Jurnal Administrasi Negara / Volume 12 / No. 2 / Juni 2006, pp. 33-40
Organisasi Perangkat Daerah ditinjau dari Perspektif Pemerintah Pusat dan Daerah Muhammad Firdaus Abstrak Setelah sekitar enam tahun otonomi daerah digulirkan, masih tersisa banyak permasalahan yang memerlukan pembenahan. Salah satu masalah penting yang mendesak untuk dipecahkan adalah kelembagaan pemerintah daerah. Pergantian peraturan pemerintah yang mengatur masalah ini cenderung ditandai dengan upaya resentralisasi, dimana pemerintah membatasi diskresi seraya meningkatkan restriksi dan penyeragaman struktur organisasi pemerintah daerah. Pemerintah pusat beralasan bahwa pemerintah daerah menggelembungkan organisasi mereka tanpa mempertimbangkan karakteristik dan kebutuhan nyata mereka ketika diberi kewenangan luas dalam urusan ini. Akan tetapi bagi daerah, alasan pemerintah pusat tersebut tidak mendasar; hanya mecerminkan beberapa daerah dan mengabaikan kebanyakan daerah lain yang secara bertanggung jawab telah merampingkan organisasi ketika kewenangan luas ada di tangan mereka.
Pendahuluan Kelembagaan Pemerintah Daerah merupakan salah satu bagian terpenting dalam paket urusan yang didesentralisasikan dalam kerangka otonomi daerah di Indonesia. Setelah berjalan sekitar enam tahun, reformasi kelembagaan pemerintah daerah nampaknya belum memadai sehingga secara efektif belum berdampak pada peningkatan penyelenggaraan pelayanan publik. Kelambatan reformasi kelembagaan ini menjadi perdebatan tersendiri dalam wacana otonomi daerah.
Jurnal Administrasi Negara / Volume 12 / No. 2 / Juni 2006, pp. 33-40
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki pandangan yang berseberangan mengenai hal ini. Pemerintah pusat melihat bahwa pemerintah daerah kebablasan dalam menata struktur organisasi mereka sehingga tidak mencerminkan kebutuhan daerah secara nyata. Akan tetapi pemerintah daerah berpandangan bahwa justru pemerintah pusatlah yang tidak serius dalam memberi kesempatan kepada daerah untuk menyusun sendiri kelembagaan mereka secara bertanggung jawab. Dalam perdebatan ini, argumen pemerintah pusat cenderung lebih bergema sehingga menempatkan pemerintah daerah pada posisi serba salah. Tentu saja kedua argumen di atas didasarkan pada alasan-alasan yang valid dari sudut pandang masing-masing. Tulisan ini memcoba mendudukkan perdebatan ini dalam perspektif dengan meninjau kedua sisi argumen tersebut. Tulisan ini didasarkan pada berbagai laporan kajian dan wawancara penulis dengan pejabat pemerintah pusat maupun daerah dalam kerangka Stock-taking Study on Decentralization yang dilaksanakan oleh DRSP-USAID.
Pergeseran Arah Otonomi Daerah Desentralisasi secara menyeluruh atau biasa juga dikenal dengan bigbang decentralization mengharuskan pemerintah pusat dan pemerintah daerah melakukan penyesuaian terhadap tugas, fungsi dan kewenangan mereka yang baru. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa upaya perubahan radikal semacam ini tekendala oleh berbagai faktor, dan diperlukan komitmen politik yang kuat untuk mewujudkanya. Komitmen dan leadership ini pulalah yang lemah dalam upaya desentralisasi di Indonesia. Pada suatu sisi, pemerintah pusat kehilangan banyak kewenangan yang selama ini telah dinikmati dan tentu saja hal ini menimbulkan efek psikologis bagi aparat dan pejabatnya. Pada sisi lain, pemerintah daerah
Jurnal Administrasi Negara / Volume 12 / No. 2 / Juni 2006, pp. 33-40
yang sudah lama merindukan otonomi menyambut antusias perubahan tersebut, kendati kemudian kewalahan dalam menangani berbagai tugas, fungsi, peranan dan tanggung jawab yang dilimpahkan secara serempak. Perlu diingat bahwa pemerintah daerah tidak memiliki pengalaman menyelenggarakan sendiri urusan pemerintahannya dan telah kehilangan daya kreativitas karena selama era pemerintahan sentralistis mereka terbatas sebagai administrator atau penyelenggara kebijakan pemerintah pusat. Maka wajar kalau dalam fase awal penyelenggaraannya daerah terkesan tidak mampu melaksaakan urusan-urusan yang telah didesentralisasikan. Kini setelah desentralisasi kurang lebih enam tahun bergulir, dampak nyata dari otonomi daerah belum nampak sebagaimana diharapkan. Hal ini terlihat terutama kalau ditinjau dari output berupa peningkatan pelayanan publik secara nyata. Oleh pemerintah pusat, hal ini merupakan indikasi ketidakmampuan pemerintah daerah dalam mengemban misi desentralisasi, yang sekaligus dijadikan pembenaran penarikan kembali sebagian kewenangan yang telah dilimpahkan kepada mereka. Pada sisi lain daerah juga berargumen bahwa pemerintah pusatlah yang tidak siap. Pemerintah pusat gagal dalam melaksanakan fungsinya yakni dalam menetapkan kerangka aturan main yang jelas. Bahkan Rasyid (2002) mengamati adanya kecendrungan pemerintah untuk memperlambat desentralisasi yang mulai terlihat sejak diberlakukannya UU 22/1999 yang merupakan grand design otonomi daerah. Misalnya, pemerintah pusat mencabut kewenangan dibidang pertanahan, melakukan pentahapan penyerahan wewenang kepada daerah oleh beberapa departemen, dan lambannya pemerintah dalam menyusun Kepres berbagai standar pelayanan minimium. Apapun alasannya, tindakan pemerintah pusat bisa ditafsirkan sebagai upaya resentralisasi, yang tentu saja bertentangan dengan semangat otonomi daerah yang prinsipnya bertujuan untuk membebaskan pemerintah pusat dari urusan domestik yang terlalu teknis agar bisa berkonsentrasi pada urusan stragegis (Rasyid, 2002, hal. 8). Kecenderungan resentralisasi ini berkulminasi pada pemberlakuan UU 32/2004 yang menggantikan UU 22/1999. Undang-undang pemerintahan
Jurnal Administrasi Negara / Volume 12 / No. 2 / Juni 2006, pp. 33-40
daerah yang baru ini mengurangi kewenangan daerah dan memperkuat posisi propinsi sebagai wakil pemerintah di daerah. Ryaas Rasyid, sang arsitek otonomi daerah, bahkan tidak segan-segan mengatakan bahwa keluarnya UU 32/2004 merupakan tindakan aborsi yang telah mencabut roh otonomi daerah1. Secara khusus, gejala resentralisasi sistematis ini juga terjadi dalam kewenangan pembentukan organisasi perangkat daerah. Pedoman utama desentralisasi kelembagaan pemerintah daerah pada awal digulirkannya otonomi daerah adalah Peraturan Pemerintah (PP) 84/2000 yang merupakan penjabaran dari Undang-undang (UU) 22/1999. Pasangan kerangka hukum ini dijiwai oleh semangat desentralisasi, meskipun diakui tidak luput dari kelemahan disana sini. Tidak lama berselang, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 50 tahun 2000 yang intinya memberikan batasan mengenai jumlah dan jenis organisasi yang boleh dibentuk oleh pemerintah daerah. Struktur internal setiap jenis organisasi daerah juga diatur secara ketat. Pengkengan ini kemudian diperkuat melalui PP 8/2003 yang menggantikan PP 84/2000. Tentu saja Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi daerah maupun PP 8/2003 tidak sejalan dengan spirit otonomi dan bertentangan dengan UU 22/1999 yang status atau kekuatan hukumnya lebih tinggi. Disamping itu, penyeragaman struktur organisasi pemerintah daerah akan berdampak negatif bagi penyelenggaraan pelayanan masyarakat karena tidak mampu mengakomodasi karakteristik dan kebutuhan daerah yang sesungguhnya sangat majemuk. Dalam Konferensi Internasonal Kepemerintahan Daerah yang Responsif dan Akuntabel2 di Hotel Nikko Jakarta, wakil-wakil daerah menyampaikan bahwa tidak mungkin keragaman karakteristik, potensi dan kebutuhan daerah diwadahi dalam bentuk organisasi yang seragam. Bupati Sleman, misalnya, mengatakan penyeragaman seperti ini menunjukkan betapa pemerintah pusat memandang enteng kompleksitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Jurnal Administrasi Negara / Volume 12 / No. 2 / Juni 2006, pp. 33-40
Sistim skoring yang dijadikan kriteria untuk menilai jenis organisasi yang boleh dibentuk oleh daerah terlalu kaku dan mekanistis sehingga tidak memadai untuk menangkap kebutuhan ril daerah. Sebagian dinas yang sesungguhnya penting bagi daerah tidak bisa dibentuk karena secara teknis skor tidak mencukupi, meskipun secara logis urusan tersebut sangat penting untuk diwadahi dalam bentuk dinas. Hambatan membentuk dinas yang dibutuhkan daerah juga disebabkan oleh terlalu umumnya fungsi-fungsi pelayanan yang termasuk dalam kriteria teknis yang diatur dalam lampiran PP 8/2003. Penguatan kendali pemerintah pusat telah selangkah lebih maju lagi dengan digantinya UU 22/1999 dengan UU 32/2004 yang mengambil sebagian kewenangan yang telah diserahkan kepada daerah. Draft pengganti PP 8/2003 juga sedang dalam tahap akhir untuk disahkan dan didalamnya cukup banyak memberlakukan pengekangan. Hanya saja, sekarang meskipun mengekang, tidak lagi bertentangan dengan undangundang yang ada di atasnya (UU32/2004), karena undang-undang itu sendiri memang sudah restriktif. Dengan kata lain, pemerintah pusat sudah punya pembenaran untuk tetap mencampuri urusan pembentukan organisasi perangkat daerah melalui draft peraturan pemerintah yang sebentar lagi akan menggantikan PP 8/2003. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam draft pengganti PP 8/2003, terdapat beberapa kemajuan. Salah satunya yang signifikan adalah tidak diberlakukannya standar seragam dalam penetapan besaran organisasi daerah, tetapi didasarkan pada kriteria luas wilayah, jumlah penduduk dan besarnya APBD (Pasal 15). Kendati demikian, perkembangan tersebut belum signifikan kearah pengembalian kewenangan daerah untuk mengatur sendiri organisasi mereka. Daerah, misalnya, menghawatirkan bahwa kriteria tersebut nantinya hanya menguntungkan beberapa daerah besar yang bisa leluasa membentuk semua organisasi yang dibutuhkan. Daerah lainnya yang lebih kecil akan terbentur pada terbatasnya jumlah organisasi yang diperbolehkan oleh kriteria tersebut, sementara ragam dan jumlah urusan yang mesti diwadahi secara khusus dalam bentuk organisasi tidak selalu lebih sedikit dan lebih sederhana dibandingkan dengan yang ada di daerah besar. Lebih jauh lagi, Pasal 2
Jurnal Administrasi Negara / Volume 12 / No. 2 / Juni 2006, pp. 33-40
Ayat 1 dalam PP 8/2003 yang menetapkan dasar pertimbangan dalam pembentukan organisasi perangkat daerah telah dihilangkan dalam draft pengganti ini. Bahkan Pasal 22 PP 84/2000 yang secara eksplisit memberi kewenangan kepada daerah, yakni “Nomenklatur, jenis dan jumlah unit organisasi di lingkungan Pemerintah Daerah ditetapkan oleh masing-masing Pemerintah Daerah berdasarkan kemampuan, kebutuhan dan beban kerja” tidak lagi dipertahankan dalam PP 8/2003 mapupun dalam draft penggantinya.
Perspektif Pemerintah Pusat V.S. Pemerintah Daerah Alasan kecenderungan resentralisasi kewenangan oleh pemerintah pusat dalam hal penataan organisasi pemerintah daerah tercermin dalam keynote speech Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPan) dalam sosialisasi PP 8/2003 di Lembaga Administrasi Negara (LAN). MenPan menyatakan bahwa “diskresi yang sangat luas dalam penataan kelembagaan sebagimana dirumuskan dalam PP Nomor 84 Tahun 2003 ternyata tidak selalu memunculkan output dan outcome yang positif” karena bisa diterjemahkan secara berbeda-beda oleh daerah sesuai dengan keinginan masing-masing, dan bahwa penataan organisasi perangkat daerah tidak hanya berlandaskan pada kebutuhan, tapi “seringkali terjadi adanya intervensi berbagai kepentingan dari para pelaku maupun stakeholders kelembagaan di daerah” (hal. 7-8)3. Menurut pemerintah pusat, akibat langsung dari kelonggaran yang diberikan oleh PP 84/2000 adalah membengkaknya organisasi perangkat daerah. Kalau kecenderungan ini berlanjut Menteri Keuangan mengkhawatirkan bakal tidak mampu mendukung pemerintah daerah melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan karenanya meminta MenPan untuk menertibkannya4. Oleh MenPan, permintaan tersebut direspon dengan keluarnya PP 8/2003 yang dianggap oleh daerah tidak sejiwa dengan semangat otonomi dan bertentangan dengan UU 22/1999 yang ada di atasnya.
Jurnal Administrasi Negara / Volume 12 / No. 2 / Juni 2006, pp. 33-40
Namun pemerintah daerah membela diri dengan alasan bahwa tanpa evaluasi yang komprehensive pemerintah terlalu cepat mengeneralisir beberapa kasus daerah yang memekarkan organisasi mereka secara berlebihan, tapi mengabaikan sebagian besar daerah yang mencoba realistis dalam mengembangkan organisasi5. Kenyataanya memang ada daerah yang tidak serta merta memekarkan organisasi mereka meskipun peluang itu terbuka dalam PP 84/2000. Kota Yogyakarta, misalnya, sudah ramping ketika PP 84/2000 diberlakukan, dan bahkan mendapatkan peluang menambah jumlah eselon ketika beralih ke PP 8/2003. Kabupaten Solok juga menyatakan bahwa semangat PP 8/2003 sudah diadopsi sebelum diimplementasikan. Pemerintah pusat sendiri belum pernah mempublikasikan secara kongkrit proporsi daerah yang dianggap berlebihan dalam hal penataan kelembagaan.
Faktor-faktor yang Memperbesar Organisasi Pemerintah Daerah Setidaknya ada dua faktor utama yang menyebabkan menggelembungnya organisasi di sebagian daerah, yakni faktor transitional dan faktor struktural. Faktor Transisional Sebenarnya permasalahan yang dijadikan pemerintah pusat sebagai dasar argumen untuk mengendalikan daerah secara ketat sebagiannya bersifat transisional, dan akan berlalu dengan sendirinya seiring dengan proses pembelajaran yang dialami pemerintah daerah. Perlu dipahami bahwa pemerintah daerah dibebani dengan kewajiban menyerap sekitar 2.4 juta pegawai pemerintah pusat dan mengintegrasikan instansi pemerintah pusat di daerah kedalam struktur organisasi mereka. Memperbesar organsasi untuk menampung mereka, termasuk pejabat struktural yang oversupply, adalah jalan pintas yang aman. Ditambah pula dengan
Jurnal Administrasi Negara / Volume 12 / No. 2 / Juni 2006, pp. 33-40
kenyataan bahwa kapasitas pemerintah daerah ketika itu masih rendah karena tidak adanya pengalaman serupa sebelumya. Hal tersebut di atas diperparah dengan ketiadaan pedoman yang jelas dari pusat. Rasyid (2002) juga melihat bahwa kemampuan daerah untuk secara kreatif dan optimal mendayagunakan kewenangan-kewenangan yang telah dilimpahkan oleh pemerintah nasional agaknya masih harus melalui jalan panjang. Artinya, daerah perlu diberi kewenangan hukum, kesempatan dan dukungan yang cukup untuk belajar, bukanya dengan menarik kembali kewenangan yang telah diberikan. Apalagi ketidakmampuan daerah untuk kreatif juga tidak terlepas dari lambatnya pusat dalam memberikan kerangka pelaksanaan yang jelas sebagai dasar bagi daerah untuk melihat seberapa luas wilayah untuk berkreasi. Dengan demikian, daerah tidak bisa disalahkan sepenuhnya jika memperbesar organisasi merupakan opsi yang paling feasible ketika itu. Euphoria berotonomi tidak bisa dilepaskan dari menggelembungnya struktur organisasi sebagian daerah. Dengan diberikannya kewenangan yang telah lama dirindukan wajar kalau mereka ingin segera memanfaatkanya, termasuk dalam menata kelembagaan mereka. Sebenarnya the first Indonesian Rapid Decentralization Assessment (IRDA) yang diselenggarakan oleh Asia Foundation menemukan bahwa pemerintah daerah telah mampu mengatasi masalah-masalah pengintegrasian pegawai pemerintah dengan merestrukturisasi perangkat kelembagaan mereka tanpa harus melakukan downsizing (penguragan jumlah pegawai). Putaran kedua IRDA menemukan bahwa setelah menyerap pegawai pemerintah dan mengintegrasikan organisasi pemerintah pusat ke perangkat daerah jumlah dinas malah berkurang sebagai akibat dari merger unit-unit. Meskipun jumlah Badan dan Kantor meningkat. Survey yang diselenggarakan oleh Depdagri sendiri juga menujukkan lebih dari separuh daerah yang disurvei mengatakan bahwa mengintegrasikan lembaga dekonsentrasi di daerah tidak menyebabkan pembengkakan struktur organisasi dan dua pertiga mengatakan bahwa PP 84/2000 bisa memberikan cukup arahan6.
Jurnal Administrasi Negara / Volume 12 / No. 2 / Juni 2006, pp. 33-40
Selain itu hasil wawancara penulis dengan beberapa kepala daerah yang dianggap inovatif (misalnya Bupati Jembrana, dan Sleman) menunjukkan bahwa meskipun mereka merestrukturisasi oprganisasi mereka tanpa berlandaskan PP 8/2003, organisasi yang terbentuk ternyata tidak bertentangan dengan, atau setidaknya tidak terlalu jauh melenceng dari, apa yang dituntut oleh PP 8/2003, yakni organisasi yang ramping sesuai kebutuhan nyata dan karakteristik daerah. Ini merupakan indikasi lebih jauh mengenai adanya niat dan kemampuan daerah untuk menyesuaikan organisasi dengan kebutuhan lokal secara bertanggung jawab. Faktor transisional yang disebutkan diatas seyogyanya akan berlalu seiring dengan pembenahan dan pembelajaran daerah. Faktor Struktural Selain dari faktor-faktor transitional diatas, ada pula sejumlah faktor struktural yang memancing sebagian pemerintah daerah untuk memperbesar organisasi mereka. Insentif Sebagai Efek Samping Kebijakan Terdapat sejumlah kebijakan pemerintah yang menimbulkan efek insentif bagi daerah untuk memekarkan organisasi mereka. Sebagai konsekuensi dari beban pemeritah pusat yang di tanggungkan ke pemerintah daerah, maka pemerintah pusat memberikan anggaran dalam bentuk DAU. Memperbesar organisasi merupakan salah satu cara efektif untuk mendapatkan DAU yang bear karena gaji dan tunjangan pejabat termasuk didalamnya. Peningkatan eselon jabatan struktural di daerah yang dimaksudkan untuk menghargai bertambahnya beban kerja dan tanggung jawab daerah berakibat pula pada kecenderungan beberapa daerah untuk menambah unit organisasi agar jumlah eselon bertambah.
Jurnal Administrasi Negara / Volume 12 / No. 2 / Juni 2006, pp. 33-40
Disamping itu, ada pula sejumlah instansi sektoral yang tidak konsisten dengan desentralisasi dan “membujuk” pemerintah daerah untuk membentuk dinas tertentu. Instansi seperti Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Pertanian, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Dalam Negeri sendiri menyurat langsung ke Gubernur, Bupati/Walikota dan DPRD di seluruh Indonesia untuk mendorong pembentukan Dinas atau Unit organisasi tertentu yang oleh daerah bisa diartikan sebagai prasyarat memperoleh kucuran dana dekonsentrasi. Sebagai akibatnya daerah membentuk dinas tersebut dan ini turut andil dalam penggelembungan organisasi yang belum tentu sesuai kebutuhan mereka. Ketidakseimbangan Insentif antara Jabatan Struktural dan Fungsional Jabatan srtruktural yang terkait langsung dengan besaran organisasi memiliki berbagai keuntungan dan karenanya berdampak langsung pada mekarnya organisasi perangkat daerah. Pertama, jabatan struktural memungkinkan perpanjangan usia pensiun. Misalnya, dalam PP 32/1979 tentang pensiun, PNS pensiun pada usia 56 tahun. Akan tetapi, bagi yang menduduki jabatan struktural (eselon I dan II), usia pensiunnya "dapat diperpanjang" hingga usia 60 tahun. Meskipun kata "dapat" tidak mengindikasikan perpanjangan secara otomatis, dalam prakteknya di artikan seperti itu. Kedua, bagi pejabat struktural yang menduduki jabatan yang persyaratan kepangkatannya dibawah minimal diberi percepatan kenaikan pangkat untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Ketiga, minat tinggi pada jabatan struktural juga karena jabatan fungsional yang bisa dimasuki aparat pemerintah daerah masih terbatas pada yang tunjangan fungsionalnya rendah. Manfaat berganda ini membuat daya tarik jabatan struktural semakin tinggi dan berdampak langsung pada membesarnya organisasi perangkat daerah.
Jurnal Administrasi Negara / Volume 12 / No. 2 / Juni 2006, pp. 33-40
Kelemahan Peraturan Pemerintah Mengenai Kelembagaan Pemerintah Daerah Selain kecenderungan resentralisasi yang alasannya diperdebatkan antara pemerintah pusat dan daerah, perangkat aturan mengenai kelembagaan pemerintah daerah dan mekanisme penyusunan dan implementasinya juga memiliki beberapa kelemahan. Struktur Eselon yang Seragam Sebenarnya, struktur eselon yang seragam tidak hanya merupakan kelemahan PP 8/2003, akan tetapi juga PP 84/2000. Hingga draft pengganti PP 8/2003 pola seragam tersebut tetap berlaku. Penyeragaman struktur eselon tidak membuka jalan kearah pengembangan sistem penggajian berbasis kinerja karena tidak ada persaingan untuk menduduki jabatan kepala dinas pada daerah yang eselonnya lebih tinggi. Sebenarnya pemerintah bukannya tidak menyadari kelemahan ini. Beberapa hari sebelum diberlakukanya PP 84/2000, Capacity Building to Support Decentralized Administrative System (CB-SDAS) memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk mendesain struktur eselon yang mencerminkan beban kerja dan tanggungjawab bagi pejabat di daerah, namun pemerintah tidak menanggapi. Padahal usulan CB-SDAS tersebut akan turut pula menyelesaikan kontradiksi dalam PP 8/2003, dimana sebuah urusan pelayanan publik bisa diwadahi dengan kantor jika skornya tidak mencukupi untuk dijadikan dinas. Sementara PP yang sama juga mengatur bahwa kantor hanyalah mengemban fungsi staf, yaitu penyelenggara pelayanan dan dukungan internal. Pola penyeragaman seperti ini juga tidak memberi penghargaan kepada kepala unit organisasi yang memiliki beban kerja dan tanggung jawab yang tinggi. Selain itu, tersirat isyarat hierarkhi antara propinsi dan Kabupaten/Kota karena eselon jabatan pada level provinsi lebih tinggi. Kepala Dinas propinsi di Propinsi Papua yang tantangan tugas tidak sekompleks kepala Dinas di Kota Surabaya akan memiliki eselon yang lebih tinggi
Jurnal Administrasi Negara / Volume 12 / No. 2 / Juni 2006, pp. 33-40
(tunjangan lebih tinggi). Lagi pula dari segi beban kerja, kabupaten/kota justru lebih tinggi, dan pada merekalah titik berat otonomi daerah diletakkan. Penegakan Peraturan Kelemahan dari PP 8/2003 adalah tidak jelasnya sanksi bagi daerah yang tidak mengimplementasikannya. Disamping itu, masa transisi yang diberikan untuk bermigrasi dari PP 84/2000 ke PP 8/2003 terlalu lama (2 tahun). Bahkan pemerintah tidak konsisten dalam pemberlakuan PP 8/2003. Dalam sebuah Focus Group Discussion di Makassar terungkap bahwa ada edaran MenPan mengenai ketidak harusan daerah mengimplementasikan PP 8/2003 karena penggantinya sementara disusun. Hal-hal seperti ini tidak mendorong daerah untuk belajar dan kreatif dalam memanfaatkan kewenangan hukum yang diberikan. Proses Konsultasi Salah satu permasalahan mendasar dalam penyusunan dan implementasi kebijakan publik di Indonesia adalah lemahnya atau bahkan absennya tahap konsultasi publik. Yang dikenal adalah “sosialisasi” yang konotasi maupun pelaksanaannya bersifat satu arah, sehingga terkesan dipaksakan dari atas, yakni mempermaklumkan kebijakan yang telah ditetapkan. Maka tidak mengherankan jika banyak kebijakan pemerintah yang kemudian ditolak atau tidak memiliki kredibilitas dimata masyarakat karena mereka tidak merasa terlibat dan memiliki andil dalam penyusunan kebijakan tersebut. Kebijakan dalam hal organisasi perangkat daerah tidak terkecuali. Meskipun pemerintah telah melibatkan daerah dalam proses penyusunan draft peraturan pemerintah mengenai kelembagaan pemerintah daerah, pemerintah daerah sendiri merasa kegiatan tersebut hanya sebatas formalitas dan mekanismenya tidak efektif karena dilakukan dalam forum yang terlalu besar. Dengan demikian, suara dan keprihatinan daerah tidak terakomodasi secara efektif.
Jurnal Administrasi Negara / Volume 12 / No. 2 / Juni 2006, pp. 33-40
Penutup Telah dibahas mengenai pergeseran arah desentralisasi, perdebatan antara pemerintah pusat dan daerah, serta kelemahan dalam peraturan perundang-undangan beserta prosedur penyusunan dan implementasinya. Jika hal ini berlanjut, maka sulit untuk mengharapkan dampak positif dari desentralisasi. Untuk itu, ada sejumlah prasyarat yang perlu dilakukan. Pertama, daerah perlu diberi cukup kewenangan hukum sebagai ruang gerak untuk berkreasi dalam menata kelembagaan mereka sesuai potensi, karekteristik dan kebutuhan masing-masing demi mengoptimalkan pelayanan publik. Pemerintah pusat hanya perlu menetapkan aturan main yang jelas dan konsisten seraya memberikan dukungan kepada daerah agar realistis dalam menata organisasi mereka demi efektivitas dan efisiensi pelaksanaan urusan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Dari berbagai sumber, termasuk FGD, pemaparan pemerintah daerah pada Konferensi Internasional mengenai Pemerintahan Daerah yang Responsif dan Akuntabel7 dan interview dengan beberapa Bupati dalam kaitanya dengan kegiatan penelitian dimana penulis terlibat, nampak jelas bahwa apa yang dibutuhkan daerah bukan resep yang kaku tapi pedoman yang jelas dan fleksibel agar daerah memiliki ruang berinovasi, waktu yang cukup untuk belajar dan dukungan dari pemerintah. Kedua, kebijakan yang memberikan insentif bagi daerah untuk memekarkan organisasi mereka perlu direvisi, termasuk perumusan ulang formulasi DAU, menyusun ulang struktur dan level eselon di daerah, dan rasionalisasi keuntungan antara jabatan struktural dan fungsional. Ketiga, konsultasi antara pusat dan daerah perlu digalakkan. dalam proses kebijakan publik, konsultasi masyarakat secara nyata harus mengiringi segenap tahapan dari proses kebijakan mengenai desentralisasi, termasuk kelembagaan pemerintah daerah. Selain
Jurnal Administrasi Negara / Volume 12 / No. 2 / Juni 2006, pp. 33-40
konsultasi antara pusat dan daerah, dialog antar daerah juga perlu digalakkan agar ide-ide kreatif di berbagai daerah bisa menyebar dengan cepat.
End Note 1
Keynote speech Ryaas Rasyid yang disampaikan pada seminar Strategi Pengembangan SDM Aparatur Berbasis Kompetensi, PKP2A II LAN Makassar, 29 March 2006
2
International Conference on Responsive and Accountable Local Governance, Hotel Nikko Jakarta 21 – 24 Februari 2006
3
Keynote speech oleh MenPan pada Lokakarya Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003, pada Auditorium LAN Jakarta, 20 Mei 2003
4
Wawancara dengan Deputi I MenPan dan Asisten Deputi I MenPan yang membidangi kelembagaan pemerintah daerah, 1 Februari 2006
5
Pendapat Kepala Sekretariat Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia, pada Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh DRSP-USAID, 17 Februari 2006
6
Comments on Government Regulation No. 8/2003 Regarding the Organisational Structure of Regional Goverments (Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah), GTZ-SfDM Discussion Paper No. 1/2003
7
International Conference on Responsive and Accountable Local Governance, Hotel Nikko Jakarta 21 – 24 Februari 2006