arsitektur.net
2009 vol. 3 no. 3
One Point Control the Others - Master of Puppets Achmad Zakiri Santiago Calatrava Valls merupakan seorang arsitek berkebangsaan SpanyolValencia yang banyak memenangkan penghargaan sebagai arsitek, pematung, dan ahli struktur. Pada awalnya ia adalah seorang seniman pematung dan pelukis yang pada tahun 1990-an karyanya banyak dipuji-puji orang. Bagi saya, karya arsitek kelahiran 28 Juli 19512 ini banyak menggambarkan gaya futuristic high-end dengan detail teknis yang amat mengagumkan.
Gambar 1. Lyon-Santolas Airport Railway Station, Lyon, France. Sumber: Santiago Calatrava. Philip Jodidio. Spain: Taschen.
Banyak orang mengatakan bahwa karyanya terinspirasi dari bentuk-bentuk natural yang berada di alam (Jodidio, 1998). Seperti karyanya pada Satolas TGV Station di Lyon, France, bentuk yang terinspirasi dari bentuk unggas terlihat pada bagian kakinya yang mirip dengan kaki unggas. Bagi saya yang diperagakan Calatrava adalah pengadopsian bentuk alami yang merupakan pengembangan dari bentuk-bentuk platonic solid dengan metode penghalusan (polygon smoothing) serta melakukan penekukan massa terhadap poros, sedemikian hingga titik-titik pada massa tersebut ikut bergerak secara teratur. Hal ini banyak dilakukan dalam program 3D modelling yang banyak dikenal dengan FFD atau Free Form Deform (Smith, 2006). Ide awal karya tersebut berasal dari sketsa dan lukisan Calatrava berikut yang kemudian diwujudkan ke dalam sebuah model untuk dijadikan bahan studi (Jodidio, 1998). Dari sana didapatkan bahwa bentuk tersebut menyerupai burung yang sedang melebarkan sayapnya. Desain kemudian dikembangkan lebih lanjut mengikuti konsep utama yang telah ditentukan. Sehingga muncul bentuk kaki burung yang menjadi pertemuan antara dua lengkungan utamanya. Dan terdapat bidang yang menyerupai paruh burung pada bagian interiornya.
Gambar 2. Konsep perancangan arsitektur Satolas TGV Station. Sumber: Santiago Calatrava. Philip Jodidio. Spain: Taschen. & Gambar 3. Potongan membujur Satolas TGV Station Sumber: Santiago Calatrava Second Edition. Dennis Sharp. UK: E&FN Spon.
8
arsitektur.net
2009 vol. 3 no. 3
Dari gambar tampak samping di atas banyak terjelaskan tentang bagaimana metode array bagian-bagian struktur yang kemudian menjadi bidang. Terdapat tiga metode yang dapat digunakan untuk dapat menghasilkan bentuk yang demikian, yaitu: 1. Control point, menekuk bidang dengan menggunakan tiga buah control point yang berada pada ujung dan tengah massa. Kedua ujungnya ditarik ke bawah sedangkan bagian tengahnya ditarik ke atas sedemikian hingga massa yang terdiri dari bidang-bidang poligon yang sama ukurannya akan membuat sebuah lengkungan 2. Shape Lofting, membuat sebuah guideline yang telah terhitung tingkat kelengkungannya dan kemudian digabungkan dengan bentuk lain yang akan mengikuti garis guideline tersebut sedemikian hingga membentuk kelengkungan yang memiliki volume. Kelemahan metode ini adalah kurang terukurnya bidangbidang poligonal terhadap sumbu utamanya atau guideline tersebut. 3. Offset, metode yang paling sering digunakan oleh para engineer dalam perancangan dengan menggunakan perangkat Computer Aided Design. Metode ini sangat terukur dalam perancangan dan praktiknya. Karena garis yang terbentuk merupakan hasil dari kurva terukur yang memiliki titik pusat yang jelas. Dalam kasus ini dapat menggunakan lingkaran yang terpusat pada sumbu yang berada di dalam tanah dan kemudian diisi dengan tulang struktur vertikal yang juga terhubung dengan titik pusat lengkung. Metode ini dipandang paling efektif dalam penyelesaian bentuk serta strukturnya hingga tahap detail. Kelemahan metode ini adalah ketika harus menghitung sebuah kurva yang sangat tidak beraturan. Mekanisme yang akan saya gunakan adalah dengan metode control point, yaitu sebuah cara untuk mengatur titik, garis atau bidang dengan sebuah titik (point) sedemikian rupa hingga bila kita menggerakkan salah satu titik kontrol tersebut maka titik-titik yang lain akan ikut berpindah sesuai dengan sistem kontrol yang ditentukan. Berikut merupakan ilustrasi dari penerapan control point yang digunakan juga sebagai pendekatan terhadap design TGV Station karya Santiago Calatrava. Hal yang serupa ternyata telah dilakukan oleh seorang ahli biologi dan matematika yang bernama D’Arcy Thompson pada tahun 1917 dalam bukunya On Growth and Form. Ia mengatakan bahwa, “An organism is so complex a thing, and growth so complex a phenomenon, that for growth to be so uniform and constant in all the parts as to keep the whole shape unchanged would indeed be an unlikely and an unusual circumstance. Rates vary, proportions change, and the whole configuration alters accordingly” ( Thompson, 1917).
Gambar 4. Mekanisme control point
Yang dilakukakan Thompson adalah menentukan titik kontrol pada sebuah grid yang menjadi bidang pengontrol sebuah bentuk, sehingga bila titik kontrol tersebut dirubah maka akan merubah grid yang merupakan sebuah kontrol terhadap sebuah bentuk.
Berikut adalah ilustrasi gambar yang dicontohkan Thompson dalam teorinya.
9
arsitektur.net
2009 vol. 3 no. 3
Gambar 5. Transformasi Argyropelecus Olfersi menjadi Sternoptyx Diaphana Sumber: On Growth and Form:New Edition. UK: Cambridge University Press & Gambar 6. Simulasi teori D`Archy Thompson menggunakan komputer
Secara geometri metode ini tidak merubah dari susunan topologinya hanya saja terjadi perubahan posisi terhadap koordinatnya. Bila kita perhatikan gambar di atas , pergerakan yang terjadi merupakan shear (The MacTutor History of Mathematics archive, 2000) , tetapi bila dihubungkan dengan metode control point maka dapat saja terjadi penggerakan empat buah control point yang digerakkan melawan arah sejajar dengan sumbu x. “…constant in all the parts as to keep the whole shape unchanged…” (Thompson, 1917) Menurut Thompson, metode ini menjaga setiap titik berada dalam satu kesatuan yang konstan atau terus menerus dan memiliki nilai yang tetap untuk memelihara agar keseluruhan bentuk tidak berubah secara topologinya. Oleh karena itu yang ingin saya buat adalah sebuah benda dimana disaat kita menggerakan titik kontrolnya maka akan mengubah posisi koordinat titik lainnya. Secara mudah kita dapat menyebutnya, one point control the other atau structural point.
Gambar 7. Konsep Master of Puppets
Project master of puppet adalah sebuah nama untuk mewakilkan studi tentang penggunaan control point ini. Dimana master of puppet berarti terdapat seorang master yang mengontrol semua puppets-nya. Sama dengan control point dimana disaat ia digerakkan maka ia menggerakan banyak titik secara bersamaan. Sehingga master-nya adalah titik kontrol tersebut dan puppets-nya adalah titiktitik yang membentuk bentuk tersebut. Bila membandingkan dengan gambar keenam, maka yang menjadi master-nya adalah gridnya sedangkan puppetsnya adalah bentuk ikan tersebut.
Gambar 8. Gaya dan lengkungan
Bila kita perhatikan gambar di atas secara lebih mendetail, maka akan terlihat bahwa bila mana titik kontrol tersebut digerakkan maka titik-titik yang dikontrol tidak serta merta bergerak sama. Terlihat sebuah hierarki terhadap gaya yang menyebar pada titik-titik tersebut. Pembagian gaya ini terlihat seperti pembagian 10
arsitektur.net
2009 vol. 3 no. 3
gaya yang terjadi pada struktur lengkung funicular, yakni pelengkung bekerja secara maksimal apa bila gaya terbagi secara merata. Bila pemikiran konsep funicular tentang distribusi gaya merata terhadap struktur lengkung dibalikkan maka akan didapatkan suatu hal yang berbeda. Yaitu apabila yang melengkung adalah besaran gayanya terhadap bentuk yang rata maka akan dihasilkan sebuah bentuk yang melengkung. Secara matematika hal ini dapat dijelaskan dan dapat terukur dengan pasti. Sehingga apa yang dilakukan dalam mekanisme titik control pada gambar keempat dapat dibuktikan melalui fungsi matematika berikut : F (x,y) = (p(x,y),q(x,y)) dimana p(x,y) = (x)² + (xy) + (y)² + (x) + (y) dan q(x,y) = (x)² + (xy) + (y)² + (x) + (y) Dengan menggunakan fungsi tersebut maka setiap perubahan yang terjadi terhadap titik kontrol terhadap koordinat x dan y maka akan menghasilkan bentuk lengkungan. Hal ini dikarenakan setiap titik menerima gaya yang berbeda satu sama lainnya (Thompson, 1917). Namun terdapat beberapa masalah dalam perealisasian teori ini ke dalam bentuk nyata, yakni apabila suatu titik kontrol dihubungkan langsung dengan titik-titik hubung bentuk tersebut maka bentuk tersebut akan bergerak dengan gaya yang sama atau dengan jumlah vektor yang sama. Perlu sebuah trik dan strategi untuk mengubahnya menjadi sebuah susunan yang memiliki hierarki. Diantaranya adalah dengan melakukan eksplorasi terhadap topologinya, yaitu dengan melakukan manipulasi terhadap hubungan antara master dengan para puppets-nya.
Gambar 9. Eksplorasi hubungan antara titik kontrol dengan yang dikontrol
Gambar 10. Eksplorasi pergerakan titik kontrol menggunakan stik es krim
Dengan menghubungkan beberapa titik pada stik es krim dalam suatu hubungan yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya maka akan terbentuk susunan stik es krim yang melengkung. Secara teori jarak antar hubungan diatur dengan menggunakan rumus fungsi yang dijelaskan sebelumnya, namun karena keterbatasan ketelitian dalam membuat ikatan sambungan maka dibuat dengan ukuran yang sedikit berbeda. Pada gambar di atas, saat ditarik stik es krim yang telah dihubungkan satu sama lain akan membentuk sebuah lengkung (arc). 11
arsitektur.net
2009 vol. 3 no. 3
Pada drama ini wasit menjadi seorang master yang berarti mengontrol penuh jalannya pertandingan. Sedangkan para pemain merupakan puppets-nya dimana mereka harus mentaati keputusan wasit. Kedua belah tim menggunakan start yang sama yaitu skor awal 0-0, yang berarti setiap titik dalam keadaan sama rata. Namun seiring berjalannya waktu pergerakan para puppets saling berubah, menyebabkan terjadinya perubahan kedudukan pula menjadi 2-0 untuk Barcelona berkat sundulan yang dilakukan Messi.
Gambar 11. Proyek Master-Puppets dengan setting peristiwa sepakbola
Kesimpulan yang dapat diambil dari studi dan eksplorasi yang telah dilakukan bahwa metode control point merupakan salah satu cara untuk mengorganisasikan setiap titik pada bentuk agar dapat bergerak sesuai dengan perilaku sistem kontrol yang berlaku.
Dalam geometri sendiri penggunaan metode ini sudah sangat berkembang pesat terutama pada olah bentuk (transformasi bentuk). Tanpa harus merubah susunan topologi sebuah bentuk, metode ini dapat mengubah susunan koordinat bentuk tersebut secara massal dan terukur. Sedangkan didalam dunia arsitektur metode ini dapat mengubah paradigma merancang sebelumnya untuk dapat mewujudkan sebuah karya arsitektur yang lebih kreatif dan inovatif. Metode ini dapat diterapkan pada susunan Hidden Geometry dalam sebuah karya arsitektur sehingga metode ini dapat sangat berguna di masa depan, seperti yang digambarkan dalam ilustrasi berikut.
Gambar 12. Hidden geometry dalam berbagai era arsitektur
Referensi [1] Jodidio, Philip (1998). Santiago Calatrava. Spain: Taschen. [2] Sharp, Dennis (1994). Santiago Calatrava. London: E&FN Spon. [3] Smith, Brian L.(2006). 3Ds Max 8 Architectural Visualization. US: Friendsofed Press [4] Thompson, D’Archy (1917). On Growth and Form. UK: Cambridge University Press. [5] www.wikipedia.org.
12