Variasi Hadits Ibadah Menurut Ibnu Taymiyah
Oleh: Salamah Noorhidayati1 Abstrak Makalah ini mengupas tentang pandangan Ibnu Taimiyah tentang hadîts-hadîts at-tanawwu‟ fi al-ibâdah, yaitu hadits-hadits yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang diajarkan oleh Nabi, akan tetapi antara yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan, sehingga menggambarkan keberagaman dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Dalam hal ini Ibn Taimiyah, tidak semata-mata mempersoalkan validitas sanad dan otentisitas matan hadis mukhtalif, tapi juga mempertimbangkan factor keutamaan hadis tersebut bagi yang membaca dan mengamalkannya.
Kata Kunci: Hadits, at-Tanawwu‟, at-Ta‟arudh, al-Afdhaliyyat. Pendahuluan Hadis sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah alQur'an, bagi umat Islam merupakan peninggalan yang sangat berharga. Mereka menjaganya dari segala usaha dan dugaan yang negatif seta kebohongan yang menyesatkan. Di antara usaha tersebut adalah adanya keharusan meriwayatkan hadis secara tekstual (al-riwâyah bi al-lafzh). Namun mengingat bahwa pada zaman Nabi Muhammad saw, periwayatan hadis banyak berlangsung secara oral (lisan) berdasarkan hafalan masing-masing sahabat, maka membuka peluang terjadinya periwayatan secara makna (al-riwâyah bi al-ma'na).2 Hadis Nabi yang dimungkinkan diriwayatkan secara lafal hanyalah hadis yang dalam bentuk sabda (hadis qauliyah) dan ini pun sangat sulit dilakukan kecuali untuk sabda-sabda tertentu. Sedangkan hadis Nabi yang tidak berupa sabda, periwayatannya hanya mungkin ditempuh oleh sahabat secara makna.3
Dosen STAIN Tulung Agung. Email:
[email protected] 'Azm Allah al-Daminiy, Maqâyis Naqd Mutun al-Sunnah, (Riyad: t.p.,1984), h. 19. 3 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 68. 1
2Musfir
Al-Dzikra Vol. 6 No. 1 Januari – Juni Tahun 2012
18 Salamah Noorhidayati Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa mayoritas hadis-hadis Nabi diriwayatkan secara makna. Hal ini ditunjukkan oleh adanya perbedaan-perbedaan lafal dari para periwayat yang tsiqat untuk satu hadis. Namun demikian, al-riwâyah bi al-ma'na dengan berbagai alasannya, merupakan fenomena yang tak dapat dielakkan. Sebagai alasan utamanya adalah ketidakmungkinannya seluruh sabda dan perbuatan Nabi untuk diriwayatkan secara lafal. Namun jelas, bahwa adanya al-riwâyah bi al-ma'na secara otomatis akan berimplikasi pada perbedaan redaksi, yang disebabkan oleh adanya model meringkas atau memengggal hadis (al-ikhtishar dan al-taqthi), mendahulukan lafal yang tidak semestinya didahulukan (al-taqdîm) atau mengakhirkan lafal yang semestinya didahulukan (al-ta'khîr), mengganti kata yang dianggap sinonim (al-ibdal), dan menambah atau mengurangi kata-kata (al-ziyâdah wa al-nuqshan). Perbedaan redaksi hadis ini ada yang tidak mempengaruhi makna atau maksud hadis, namun ada juga yang menyebabkan perbedaan makna, bahkan tidak jarang menjadi pemicu munculnya perbedaan dan perpecahan umat.4 Ikhtilaâf (perbedaan) adalah suatu hal yang pasti, tidak mungkin dipungkiri. Karena ia adalah sunnatullah yang akan selalu terjadi pada setiap umat dan seluruh manusia, dan merupakan rahmat Allah (QS Hud: 118-119). Namun demikian, banyak ayatayat al-Qur`an maupun hadis yang menyebutkan tentang larangan ber-ikhtilâf (berselisih) karena seringkali- berakibat kepada iftiraq (perpecahan). Untuk mengatasi perbedaan tersebut, ulama dari berbagai bidang mencoba merumuskan kaedah-kaedah dalam memahami kandungan teks al-Qur‟an maupun haadis. Sehingga pada abad IV hijriyah terciptalah ilmu-lmu yang membantu fuqaha-mujtahid di dalam upaya memahami teks ayat/hadis sebagai sumber hukum ajaran Islam. Maka berkembanglah ilmu hadis, ilmu qur‟an, ushul fiqh, logika dan lain-lain yang membantu para pengkaji hukum Islam untuk menyimpulkan maksud sebenarnya dari pembacaan sebuah teks. Dalam artikel ini, penulis mencoba meneliti hubungan antara hadis-hadis tentang tanawwu‟ fi al-„ibâdah dengan ikhtilâf alummah, khususnya dalam wilayah fiqih, dalam perspektif Ibn Taimiyah. Pemilihan tokoh ini dikarenakan dia memiliki pemikiran 4 Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadis Analisis ar-Riwayah bi alMa‟na terhadap Kualitas Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 124.
Al-Dzikra Vol. 6 No. 1 Januari - Juni Tahun 2012
Penentuan Awal Bulan Kamariah
19
secara spesifik terkait dengan hadits-hadits mukhtalif, khususnya hadis-hadis at-tanawwu‟ fi al-ibâdah, dan metode penyelesainnya. Pembahasan akan dimulai dari deskripsi biografis Ibn Taymiyah, dilanjutkan dengan paparan tentang hadis-hadis at-tanawwu‟ fi al‟ibâdah, contoh-contoh, metode penyelesaian dan implikasinya bagi perbedaan pendapat Biografi Ibnu Taimiyah dan Peta Pemikirannya Abul Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al-Harrani, atau yang biasa disebut dengan nama Ibnu Taimiyah, lahir pada 22 Januari 1263/10 Rabiul Awwal 661 H – wafat: di Damaskus, 1328/20 Dzulhijjah 728 H 5, dan dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal al-Islam Syarafuddin.6 Jenazahnya disalatkan di masjid Jami`Bani Umayah sesudah salat Zuhur dan dihadiri para pejabat pemerintah, ulama, tentara serta para penduduk. Ibn Taimiyyah adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran, Turki, berasal dari keluarga religius. Ayahnya bernama Syihabuddin bin Taimiyah adalah seorang ulama besar dalam madzhab Hambali yang merupakan tokoh kharismatik pada masa khilafah Abbasiyah.7 Kakeknya Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani adalah seorang ulama yang menguasai fiqih, hadits, tafsir, ilmu ushul dan penghafal Al Qur'an (hafizh). Ibnu Taimiyah lahir di masa ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika berusia enam tahun (tahun 1268), Ibnu Taimiyah dibawa ayahnya ke Damaskus disebabkan serbuan tentara Mongol atas Irak. Semenjak kecil sudah terlihat tanda-tanda kecerdasannya. Ketika umurnya belum mencapai belasan tahun, ia sudah
5Dalam sumber lain disebutkan pada tanggal 20 Zulqaidah 728/ 26 september 1328 H. lihat Muh. Bin Ismail Ibn Kasir, al-Bidâyah wa anNihâyah, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), jilid IX juz 14, h. 135-136. 6Muhammad Farid Wajdi, Dâirah al-Ma‟ârif al-Islâmiyah (Kairo: Dairah al-Ma‟arif li at-Thiba‟ah wa an-Nasyr, t.t), jilid I, h 231; Ibn Taimiyah, Kitab al-Asma‟ wa as-Sifat (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1408H/ 1988 M), juz I, h.3; Abu Zahrah, Hayatuhu wa „Asruhu (Beirut: Dâr al-Fikr al-Arabi, [t.th]), h. 9-10. 7Hasanin M. Makhluf, “Pengantar dan Biografi Ibn Taimiyah” dalam al-Fatawa al-Kubra (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1966) jilid I, h. 9.
Al-Dzikra Vol. 6 No. 1 Januari – Juni Tahun 2012
20 Salamah Noorhidayati menguasai ilmu ushuluddin dan mendalami bidang-bidang tafsir, hadis, dan bahasa Arab. Ia telah mengkaji Musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian al- Kutub as- Sittah dan al- Mu‟jam al-Kabîr at-Thabarani. Yang demikian ini membuat para tokoh tercengang. Kesempatan belajar yang diperoleh Ibn Taimiyah sangat luas, dikarenakan ia dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang berpendidikan. Faktor penopang lainnya adalah adanya sebuah madrasah madzhab Hambali yang sangat berkualitas di Damaskus, madrasah yang didirikan oleh Abu al-Farj Abd al-Wahid seorang ulama bermadzhab Hambali. Di Damaskus inilah ia belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu di antaranya ilmu hitung (matematika), khat (ilmu tulis menulis Arab), nahwu, ushul fiqih.8 Ibn Taimiyah adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak ajaran agama Islam. Ia dikenal sebagai tokoh yang sangat kontroversial dan ultrakritis di zamannya, penuh dengan perjuangan memurnikan tauhid umat dan ide-ide kritis dalam memperbaharui pemahaman terhadap ajaran Islam. Ia adalah tokoh pembaharu yang membangkitkan rasa kagum pada sebagian masyarakat dan sekaligus juga mengundang rasa benci dan hasud pada sebagian yang lain. Perjalanan hidupnya sering diwarnai dengan keluar masuk penjara dan siksaan, dikarenakan gagasan dan pemikirannya yang sering berlawanan dengan kebijakan penguasa dan pendapat mayoritas ulama saat itu.9 Meminjam istilah Nurcholish Madjid, “Ibn Taimiyah adalah seorang egalitarianis radikal, yang metodologi pemahamannya kepada agama menolak otoritas mana saja kecuali al-Qur‟an dan Sunnah, 10serta ijma‟ umat muslimin.11 Pada masa Ibn Taimiyah, perkembangan pemikiran sosial keagamaan umat Islam secara umum banyak dipenuhi oleh berbagai praktik ibadah dan pemikiran yang telah terdistorsi oleh
Muhammad Isom Yusqi, Metodologi Penyelesaian Hadis Kontradiktif (Jakarta: CV Sukses Bersama, 2006), h. 30 9 Ibid., ... h. 22 10Nurcholish Madjid (ed), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 41. 11Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: Macmillan Press, 1970), h. 689; Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyyah Dalam Bidang Fikih Islam, (Jakarta: INIS,1991), h.31. 8
Al-Dzikra Vol. 6 No. 1 Januari - Juni Tahun 2012
Penentuan Awal Bulan Kamariah
21
bid‟ah, takhayul dan khurafat yang merupakan factor perusak kemurnian tauhid dan akidah Islam yang benar. Selain itu, sikap fanatisme buta (taklid) terhadap ulama madzhab sudah tersebar dimana-mana. Akibatnya, aktifitas ijtihad tertutup rapat-rapat, dan terjadi stagnasi pemikiran keagamaan dan keilmuan dalam Islam.12 Sebagai reaksi atas kondisi sosial keagaman dan penyimpanganpenyimpangan yang terjadi di masyarakat pada masanya, ibn Taimiyah banyak melakukan kritik tajam. Ide-ide Kritis dan polemis ibn Taimiyah tertuang dalam beberapa karyanya, misalnya “Manâsik al-Haj”, “as-Sarim al-Maslûl „ala Syatim ar-Rasûl” dan “Fatawâ al-Hamawiyah”13. Selain pakar dalam bidang fiqh dan usul fiqh, Ibnu Taymiyyah juga menguasai Ilmu Hadis, berupa ilmu rijal al- hadits (perawi hadis) yang berguna dalam menelusuri Hadis dari periwayat atau pembawanya dan Funun al- hadits (macam-macam hadis) baik yang lemah, cacat atau shahih. Ia memahami semua hadits yang termuat dalam al-Kutub as Sittah dan Al-Musnad. Genealogi pemikiran keagamaan Ibn Taimiyah dibangun atas dasar pemahamnnya bahwa al-Qur‟an sebagai wahyu, sunnah Nabi sebagai penjelasnya dan praktik-praktik ibadah adalah hasil pemahaman keagamaan yang benar (ijma‟ dan qiyas) oleh para salafime (as-salaf as-sâlih) terhadap al-Qur‟an dan sunnah. Seluruh pemikiran keagamaannya, baik dalam wilayah aqidah, ibadah maupun mu‟amalah berpedoman kepada ketiga sumber utama di atas. Tampaknya, metodologi pemikiran Ibn Taimiyah ini mempunyai benang merah dan genelogi pemikiran dengan metode pemahaman dan pemikiran keagamaan Ahmad bin Hanbal, sebagai tokoh pendiri madzhab Hanbali.14 Madzhab Hambali, sebagaimana diketahui, adalah salah satu madzhab hukum Islam yang secara utuh dan konsisten terhadap teks-teks al-Qur‟an dan hadis, dan pemahaman as-salaf assâlih. Madzhab tersebut bertujuan dan menjadikan teks-teks alQur‟an dan hadis sebagai satu-satunya sumber hukum dan teologi terpercaya bagi umat Islam. Madzhab ini berupaya keras untuk memurnikan ajaran Islam dari pemahaman dan pendekatan yang
12Isom
Yusqi, Metodologi..., h. 23 , h. 24 14Muh. Amin, Ijtihad Ibn Taimiyyah..., h. 13, 130. 13Ibid.
Al-Dzikra Vol. 6 No. 1 Januari – Juni Tahun 2012
22 Salamah Noorhidayati bukan as-salaf as-sâlih (ortodoksi Islam).15Kendati demikian, Ibn Taimiyah memperingatkan dengan tegas agar umat Islam tidak bertaklid buta kepada salah satu madzhab tertentu, termasuk madzhab Hanbali. Menurutnya, rujukan terakhir umat Islam bukanlah madzhab atau firqah tertentu, tetapi al-Qur‟an dan asSunnah. Ibn Taimiyah sangat menganjurkan ijtihad dan pemahaman yang independen terhadap syari‟at Islam. Dengan demikian, satu-satunya madzhab, firqah atau aliran keagamaan yang benar bagi Ibn Taimiyyah adalah madzhab nabi Muhammad saw, dan madzhab-madzhab lain berada di bawah madzhab Nabi.16 Pemikiran Ibn Taimiyyah dalam menghadapi problematika umat Islam secara umum bisa digambarkan sebagai berikut: Pertama, harus kembali berpedoman kepada al-Qur‟an dan Hadis dalam segala urusaan, baik di dunia maupun akhirat (ar-ruju‟ ila alQur‟ân wa as-Sunnah) demi purifikasi doktrin Islam. Kedua, tidak berpegang teguh secara mutlak kepada kekuatan akal saja; ketiga, tidak boleh fanatik buta kepada pendapat seorang imam/madzhab fiqih manapun; keempat, tidak boleh fanatik dan arogan terhadap pendapatnya sendiri (tidak memonopoli kebenaran) serta bersikap obyektif dalam menerima kebenaran dari manapun; kelima, dalam memahami (menafsiri) al-Qur‟an, yang paling utama adalah menafsiri dengan al-Qur‟an itu sendiri, kemudian didukung assunnah, pendapat sahabat dan para tabi‟in. Keenam adalah manhaj akidah yang paling lurus dan murni adalah manhaj akidah salaf assalih yang mengikuti secara mutlak terhadap dalil-dalil yang tersurat dalam al-Qur‟an, tanpa takwil dan interpretasi-interpretasi yang menyesatkan.17 . Pengertian at-Tanawwu’ fi al- ‘Ibadah At Tanawwu‟ artinya variasi atau macam-macam. Istilah ini merupakan salah satu bentuk makna dari kata ikhtilaf. Ikhtilaf alhadits adalah perbedaan yang terdapat dalam hadis, baik secara tekstual-redaksional maupun kontekstual. Ikhtilaf ini mengandung dua pengertian yaitu, ta‟ârudl (pertentangan/kontradiksi) dan
15Qomaruddin,
The Political Thought of Ibn Taimiyya (Islamabad, Islamic Research Institute, 1973), h. 3; Isom Yusqi, Metodologi..., h. 31-32. 16 Isom Yusqi, Metodologi... , h. 32-33 17 Ibn Taimiyyah, Majmu Fatawa, juz XI, dalam CD Muallafat asySyaikh wa Tilmidzih (Yordan: al-Isyrof Ilmy, Turats, 1419H/1999M); h. 215; Al-Dzikra Vol. 6 No. 1 Januari - Juni Tahun 2012
Penentuan Awal Bulan Kamariah
23
tanawwu‟ (variasi).18 Ta'ârudl al-hadits adalah dua hadits (atau lebih) yang secara lahiriah tampak bertentangan (karena saling mencegah) dalam pernyataannya. Sedangkan tanawwu‟ al-hadits, adalah perbedaan redaksi hadis yang tidak mengarah pada pertentangan, tetapi lebih menunjukkan adanya variasi dalam hadis. Jadi, yang dimaksud dengan Hadîts- Hadîts tanawwu‟ fi alibâdah ialah Hadîts-Hadîts yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang diajarkan oleh Nabi akan tetapi antara yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan, bukan pertentangan, sehingga menggambarkan keberagaman dalam pelaksanaan ibadah tersebut. 19 Ulama yang paling baik menulis masalah ikhtilaf tanawwu ini dan menjelaskannya adalah Ibnu Taimiyah. Dalam hal ini, dia berpendapat bahwa Ikhtilaf tanawwu' bisa terjadi dalam beberapa hal20 misalnya: 1) ikhtilaf yang masing-masing dari kedua perkataan (pendapat) atau perbuatan itu benar sesuai syari'at, seperti bacaan (Al-Qur'an) yang diperselisihkan, dan Nabi saw bersabda: "Kalian berdua bagus/benar (bacaannya), Sesungguhnya umat sebelum kalian berselisih lalu mereka binasa”; 2) ikhtilaf dalam macam-macam sifat adzan, iqamah, do'a iftitah, tasyahhud, shalat khauf, takbir ied, takbir jenazah dan lain-lain yang semuanya disyari'atkan, meskipun dikatakan bahwa sebagiannya lebih afdhal; 3) ikhtilaf yang masingmasing dari dua pendapat mempunyai kesamaan makna namun redaksinya berbeda, sebagaimana banyak orang (Ulama) yang kadang berselisih dalam membahasakan ketentuan hukum-hukum had, sigat-sigat (bentuk-bentuk) dalil, istilah tentang nama-nama sesuatu, pembagian-pembagian hukum dan lain-lain. Walaupun pada akhirnya ikhtilaf ini membawa pada sikap memuji terhadap salah satu dari dua pendapat tadi dan mencela yang lain; 4) Ikhtilaf tentang sesuatu yang memiliki dua makna yang berbeda namun tidak saling berlawanan. Yang ini adalah perkataan benar, dan yang itu juga merupakan perkataan benar, sekalipun maknanya saling
18Louis
Ma‟luf, al-Munjid fiy al-Lughah wa al-A‟lam (Beirut: Dar alMasyriq, 1994), h. 966 19Ibn Taymiyah, Fatawa al-Kubro dalam CD Muallafat asy-Sya‟b wa Tilmidzihi, (Yordan: al-Isyraf Ilmy Turas, 1419H/1999M), juz XXII, h. 335; Salamah Noorhidayati, “Hadis-hadis Kontradiktif dan Metode Penyelesaiannya” dalam Kontemplasi Jurnal Ke-Ushuluddinan, Vol. 08, No. 01, Juli 2011, h. 46-47 20Isom Yusqi, Metodologi..., h. 38. Al-Dzikra Vol. 6 No. 1 Januari – Juni Tahun 2012
24 Salamah Noorhidayati berbeda. Ini banyak sekali terjadi dalam perselisihan pendapat; dan 5) ikhtilaf mengenai dua cara yang sama-sama disyari'atkan. Seseorang atau satu kelompok menempuh jalan ini, sedangkan yang lain menempuh jalan lain. Kedua-duanya baik dalam agama. Semua ikhtilaf yang menggiring pada sikap mencela terhadap salah satu dari kedua jalan tersebut atau lebih mengutamakannya, tanpa dasar niat yang benar, atau tanpa dasar ilmu, atau tanpa dasar niat yang ikhlas dan tanpa dasar ilmu sekaligus adalah termasuk ihktilaf yang tercela."21 Terkait dengan at-tanawwu‟ fi al-ibâdah, Ibn Taimiyah, berpendapat bahwa segala ketentuan dan ketetapan, tata cara dan aturan, dan dasar hukum pelaksanaanya harus berhujjah dengan dalil qath‟iy (al-Qur‟an) dan hadis yang sahih. Dalam hal ibadah tidak boleh ada inovasi atau improvisasi yang bersandarkan kepada adat-istiadat, budaya sinkritis, falsafah ataupun percampuran dengan ritual agama lain. Ibadah merupakan suatu ketetapan mutlak dari wahyu-Nya atas interpretasi sunnah rasulullah, sebagaimana kaidah usul fiqh al-ashl fi al-ibâdah at-tauqîf (pada dasarnya dalam masalah ibadah adalah suatu ketetapan yang baku dari Allah swt). Oleh karenanya, dalam pengertian Ibn Taymiyah, hadis mukhtalif yang berkategori at-tanawwu‟ fi al-ibâdah tersebut sebenarnya adalah satu hadis yang dengan hadis-hadis lainnya terdapat perbedaan atau keragamaan ajaran dalam pelaksanaannya.22 Metode Ibnu Tamiyah Dalam menyelesaikan Hadits-hadits at-Tanawwu’ fi al-‘Ibâdah Menurut Ibn Taimiyah, pada hakikatya, tidak ada pertentangan yang hakiki antara nas-nas syar‟i, baik antara alQur‟an dengan al-Qur‟an, al-Qur‟an dengan hadis, dan hadis dengan hadis. Pertentangan itu hanya tampak pada lahiriah dan karena adanya perbedaan pendapat (ijtihad) ulama dalam memahami al-Qur‟an maupun hadis. Seorang muslim wajib mengikuti keduanya secara totalitas. Apabila ada pertentangan , perselisihan dan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, tentu
Ibnu Taimiyah, Iqtidha' Ash-Shiratth Al-Mustaqim, I/132-134 Ibn Taimiyah, al-Qawaid an-Nuraniyyah al-Fiqhiyyah, ditahqiq oleh Abdussalam Muhammad Ali Syahin (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), h. 79; 21 22
Al-Dzikra Vol. 6 No. 1 Januari - Juni Tahun 2012
Penentuan Awal Bulan Kamariah
25
saja mereka diharuskan untuk merujuk kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya dalam mencari solusinya .23 Sebenarnya, Ibn Taimiyah tidak menjelaskan secara sarih definisi hadis mukhtalif. Ia hanya mengatakan tentang hadis mukhtalif yang berkaitan dengan masalah variasi bentuk dan bacaan dalam ibadah. Istilah yang digunakan dalam berbagai tulisannya adalah “al-ibâdat allatii jâ‟at „ala al-wujuh al-mutanawwi‟ah”, dan “hadza khilâf al-ummah fi al-„ibâdah”. Kendati demikian, bukan berarti ia tidak membahas hadits mukhtalif. Dalam kitabnya, banyak dibahas hadits-hadits mukhtalif dan cara penyelesaiannya.24 Dalam menyelesaikan hadits-hadits mukhtalif, Ibn Taimiyah membaginya dalam dua metode, yakni (a) Metode Umum (almanhaj al-„amm) dan, (b) metode khusus (al-manhaj al-khash). AlManhaj al-„Amm digunakan oleh Ibn Taimiyah dalam menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif yang erat sekali hubungannya dengan masalah halal-haram, najis dan tidak najis dan cenderung lebih memperketat kualitas sanadnya terlebih dahulu. Kemudian setelah itu, ia akan menggunakan metode al-jam‟u kalau memungkinkan dengan mengemukakan argumentasi rasional yang mendukungnya, baik dengan analisis ilmu hadis, kebahasaan dan disiplin ilmu lainnya. Jika tidak bisa, baru menggunakan metode at-tarjih yang didukung oleh analisis kualitas sanad dan matan hadis yang dipertanggungjawabkan secara ilmiyah dan diniyah,25 baru kemudian metode an-naskh.26 Sedangkan al-manhaj al-khas digunakan untuk menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif yang berupa at-tanawwu‟ fi al-ibadah (variasi praktik dalam ibadah). Adapun metode penyelesaian yang ditawarkan, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan metode penyelesaian hadis mukhtalif lainnya, yaitu bisa dengan metode aljam‟u, at-tarjih, an-naskh atau at-tawaqquf tergantung ijtihad ulama yang bersangkutan.27 Menurut Ibn Taimiyyah, pandangan ulama terhadap hadishadis at- tanawwu‟ fi al-ibâdah, sebagai salah satu ketegori hadis
23Isom
Yusqi, Metodologi..., h. 148-149 Taimiyah, Khilaf al-Ummat (Mesir: al-Manar, 1325H), : Isom Yusqi, Metodologi..., h.149. 25Isom Yusqi, Metodologi..., h. 150-158. 26Ibid... , h. 183. 27 Ibn Taymiyah, al-Qawâ‟id an-Nuraniyyah..., h. 79; 24Ibn
Al-Dzikra Vol. 6 No. 1 Januari – Juni Tahun 2012
26 Salamah Noorhidayati mukhtalif, terbagi menjadi dua golongan,28 yaitu: Pertama, para ulama yang berpendapat setuju dan boleh mengamalkan semua keragaman ajaran yang terdapat dalam hadis-hadis tanawwu‟ fi alibâdah, (memakai metode al-jam‟u wa at-taufiq), akan tetapi mereka masih berbeda pendapat dalam menentukan mana yang lebih utama di antara keragaman ajaran ibadah tersebut bagi para pembaca atau orang yang mengamalkannya. Mereka tidak menonjolkan hadis yang lebih valid sanad dan otentik matannya untuk ditetapkan menjadi amal ibadah keseharian. Menurut mereka, semua hadis mukhtalif tersebut adalah sahih-maqbul dan tidak perlu mengunggulkan satu dari lainnya, karena semuanya datang dari dan diajarkan oleh Nabi saw. Dengan pengunggulan atas salah satunya ,maka secara tidak disengaja seakan-akan telah terjadi pengingkaran atas sunnah nabi saw yang lainnya. Kedua, para ulama yang masih berselisih tentang kebolehan melaksanakan semua keragaman ajaran tersebut, artinya mereka meyakini bahwa ajaran yang mereka pilih adalah yang terbaik, lebih unggul, lebih sahih dari yang lain, mereka menolak dan mengabaikan metode al-jam‟u. Maka, metode yang tepat bagi golongan ini adalah mengguakan metode at-tarjih., dengan argument bahwa hadis yang lain (yang tidak dipilih) kualitasnya lebih rendah dan harus dilakukan tarjih, dan untuk menjaga kemurnian ibadah, seharusnya memilih hadis yang lebih valid dan otentik.29 Terkait dengan penentuan al-afdhaliyyat (manakah yang lebih afdhal untuk diamalkan) dari hadis-hadis tentang at-tanawwu‟ fi alibâdah, Ibn Taimiyah, mengajukan pendapat bahwa untuk menentukan afdhaliyyat hadis harus mendasarkan pada 3 argumentasi berikut ini: (1) pengutamaan bersadarkan pada substansi teks (at-tafdhil an-nashiy). Maksudnya, dalam menentukan amalan yang lebih utama (al-afdhal) bagi pelakunya, harus disandarkan kepada nilai keutamaan yang termuat secara eksplisit maupun implisit dalam teks-teks hadis;(2) at-tafdhil li al-waqi‟ assikûlujiy), artinya teks-teks hadis yang diamalkan menjadi lebih utama (al-afdhal) jika secara situasi-kondisi dan realitas psikologisnya berdampak positif dan memberikan kemaslahatan yang lebih terhadap individu pelaku atau mayoritas kelompok; (3) at-tafdhîl al-mashdar al-awwal, artinya bahwa nilai keutamaan 28Isom 29Ibid.,
Yusqi, Metodologi..., h. 159-160. h. 160.
Al-Dzikra Vol. 6 No. 1 Januari - Juni Tahun 2012
Penentuan Awal Bulan Kamariah
27
(afdhaliyyat) suatu hadis terletak pada pengamalan bacaan dan bentuk ibadah secara totalitas sesuai dengan berbagai keragaman ajaran yang disampaikan Nabi, karena pada hakikatnya sumber hadis-hadis adalah Nabi.30 Dengan demikian, jika dibandingkan dengan pendapat ulama lain, perbedaan metode Ibn Taimiyah terletak pada masalah penentuan keutamaan (al-afdhaliyah),31 mana yang lebih afdhal (lebih utama) dan mana yang al-mafdhul (yang diutamakan) dalam pengamalan dari keragaman ibadah yang berasal dari berbagai hadis-hadis Nabi saw. Dia tidak semata-mata mempersoalkan validitas sanad dan otentisitas matan hadis mukhtalif, tapi juga mempertimbangkan faktor keutamaan hadis tersebut bagi yang membaca dan mengamalkannya.32 Solusi yang ditawarkan Ibnu Taymiyah terhadap persoalan variasi hadits tersebut nampaknya dapat menjadi jalan tengah dalam beberapa persoalan ibadah. Sebagaimana nampak ketika ia berbicara tentang hukum dan cara pelaksanaan salat tarawih. Sebagaimana dimaklumi bahwa terdapat perbedaan pandangan (ikhtilaf) tentang jumlah rakaat tarawih serta cara pengerjaannya. Ada yang 8 raka‟at dengan 2 rakaat 1 salam,ada yang 8 rakaat dengan 4 rakaat 1 salam,dan ada yang 20 rakaat dengan 2 rakaat 1 salam. Sebab ikhtilaf tersebut adalah karena beberapa hadis yang menjelaskan tentang shalat tarawih tidak menjelaskan berapa jumlah rakaatnya secara terperinci.33 Di antara hadis tentang salat tarawih dan witir adalah yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, yang menyatakan bahwa “shalat Rasulullah saw pada waktu malam adalah tiga belas rakaat, lima rakaat darinya adalah witir, dan pada lima rakaat tersebut beliau tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir."34 Selain itu, Aisyah juga meriwayatkan hadits lain yang menjelaskan bahwa: “Rasulullah saw biasa shalat
30Ibid.,
Metodologi, h. 183-184 dengan landasan berpikir Ibn Taimiyah dalam menentukan al-afdhaliyyah, baca lebih lanjut dalam Isom Yusqi, Metodologi..., h. 183-184; 32Isom Yusqi, Metodologi..., h. 159. 33 Zamzami Saleh, "Hukum Salat Tarawih", dalam http://zamzami saleh.cz.cc/?p=48, diakses pada tanggal 15 juni 2011. 34 Ad-Darimi, Kitab: Kitab Shalat, Bab : Witr, No. Hadis : 1535 31Terkait
Al-Dzikra Vol. 6 No. 1 Januari – Juni Tahun 2012
28 Salamah Noorhidayati malam tiga belas rakaat, dengan lima rakaat witir, beliau tidak pernah melakukan sambil duduk selain di akhir (hayatnya)."35 Selain hadits di atas, Abu Salamah juga meriwayatkan sebuah hadits. Abu Salamah menjelaskan bahwa ia pernah bertanya kepada 'Aisyah tentang shalatnya Rasulullah saw, Aisyah menjawab; "Beliau melakukan shalat tiga belas rakaat, beliau shalat delapan rakaat kemudian witir, setelah itu beliau shalat dua rakaat dengan duduk. Jika beliau hendak ruku', maka beliau berdiri dahulu lalu ruku', setelah itu beliau shalat dua rakaat antara (adzan) dan iqamat shalat subuh."36 Hadits selanjutnya adalah yang diriwayatkan oleh Aisyah: bahwa Rasulullah saw pernah shalat malam sebelas rakaat, beliau akhiri dengan satu rakaat witir. Jika beliau selesai, beliau berbaring diatas lambung sebelah kanan hingga datang muadzin, lalu beliau melakukan dua rakaat (sunnah) ringan."37 Demikian juga sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah: Rasulullah saw pernah shalat antara habis shalat isya' yang biasa disebut 'atamah hingga waktu fajar. Beliau melakukan sebelas rakaat, setiap dua rakaat beliau salam, dan beliau juga melakukan witir satu rakaat. Jika muadzin shalat fajar telah diam, dan fajar telah jelas, sementara muadzin telah menemui beliau, maka beliau melakukan dua kali raka'at ringan, kemudian beliau berbaring diatas lambung sebelah kanan hingga datang muadzin untuk iqamat."38 Variasi redaksional beberapa hadis di atas menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqih. Untuk lebih jelasnya, ikhtilaf tersebut terbagi menjadi dua: (1) Ikhtilaf tentang jumlah rakaat Tarawih; dan (2). Ikhtilaf tentang cara mengerjakan shalat tarawih dengan 2 rakaat 1 salam atau 4 rakaat 1 salam atau seluruh rakaat 1 salam.
35 Muslim, Kitab: Shalatnya musafir dan penjelasan tentang qashar, Bab : Shalat malam dan jumlah rakaat Nabi SAW. No. Hadist : 1217 36 Muslim, Kitab: Shalatnya musafir dan penjelasan tentang qashar, Bab : Shalat malam dan jumlah rakaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam , No. Hadist : 1222 37 Sumber : Muslim, Kitab : Shalatnya musafir dan penjelasan tentang qashar, Bab : Shalat malam dan jumlah rakaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam .No. Hadist : 1215 38 Sumber : Muslim, Kitab : Shalatnya musafir dan penjelasan tentang qashar, Bab : Shalat malam dan jumlah rakaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. No. Hadist : 1216
Al-Dzikra Vol. 6 No. 1 Januari - Juni Tahun 2012
Penentuan Awal Bulan Kamariah
29
Terkait masalah pertama, yaitu tentang jumlah rakaat tarawih, terdapat beberapa pendapat. Pendapat pertama, mengatakan bahwa jumlah rakaat tarawih adalah 13 rakaat, 5 di antaranya adalah witir. Pendapat ini berdasarkan pada hadis nomor 1 sampai 3 sebagaimana disebut di atas. Pendapat kedua, mengatakan bahwa jumlah rakaat tarawih adalah 11 rakaat, 1 atau 3 rakaat diantaranya adalah shalat witir. Ini adalah perkataan alKamal bin al-Himam al-Hanafi, riwayat dari imam Malik, serta pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah. Dalilnya: Hadist Riwayat Muslim dari Aisyah RA. sebagaimana disebut dalam hadis nomor 4 dan 5. Pada Hadis tersebut jelas dikatakan bahwa nabi mengerjakan salat tersebut dengan jumlah 11 rakaat dengan 8 tarawih dan 3 rakaat witir. Namun hadis ini kemudian ditentang oleh kebanyakan para fuqaha‟ sebagai dalil salat tarawih. Pendapat ketiga mengatakan bahwa jumlah rakaat tarawih adalah 20 rakaat dengan diikuti 3 rakaat shalat witir. Ini adalah pendapat mazhab Hanafiah, salah satu pendapat yang masyhur dari imam Malik, serta pendapat mazhab Syafi‟iyah dan Hanabilah. Dalil mereka adalah hadits yang berbunyi: “ Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Yazid bin Ruman dia berkata; "Para sahabat pada masa Umar bin Khatthab mengerjakan shalat malam dua puluh tiga rakaat." Khalifah Umar bin Khattab ra. telah membuat sunnah dalam hal salat tarawih ini dan telah mengumpulkan orang-orang dengan diimami oleh Ubay bin Ka‟ab, sehingga Ubay bin Ka‟ab melakukan salat tarawih secara berjamaah, sedangkan para sahabat mengikutinya. Di antara para sahabat yang mengikuti pada waktu itu terdapat Usman bin „Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas‟ud, „Abbas dan puteranya, Thalhah, az-Zubayr, Mu‟adz, Ubay dan para sahabat Muhajirin dan sahabat Ansor lainnya ra. Pada waktu itu tak seorangpun dari para sahabat yang menolak atau menentangnya, bahkan mereka membantu dan menyetu-juinya serta memerintahkan hal tersebut. Oleh karenanya, ulama telah menganggap amalan tersebut sebagai ijmak. Pendapat keempat mengatakan bahwa jumlah rakaat tarawih adalah 36 rakaat dengan diikuti 3 rakaat salat witir. Ini adalah pendapat kedua yang masyhur dari imam Malik dan amalan mazhab Syafi‟iyah di Madinah.39 Dalilnya yaitu bahwa salat 36 rakaat tersebut adalah amalan ahli Madinah. Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. bahkan menambah jumlah rakaatnya menjadi 36 39
Ibn Rusyd, Bidayah, h. 152 Al-Dzikra Vol. 6 No. 1 Januari – Juni Tahun 2012
30 Salamah Noorhidayati (tiga puluh enam) rakaat. Tambahan ini beliau maksudkan untuk menyamakan dengan keutamaan dan pahala penduduk Makkah yang setiap kali selesai melakukan salat empat rakaat, mereka melakukan thawaf. Jadi Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. melakukan salat empat rakaat sebagai ganti dari satu kali thawaf agar dapat memperoleh pahala dan ganjaran berimbang. Masalah kedua tentang tata cara mengerjakan shalat tarawih dalam 2 rakaat 1 salam atau 4 rakaat 1 salam atau seluruh rakaat 1 salam dan cara salat witir, apakah bilangan ganjil 3, 5, 7, 9, dst itu dilaksanakan dengan 1 salam atau disela salam. Pendapat pertama mengatakaan bahwa cara melaksanakan salat tarawih dengan 2 rakaat 1 salam. Kesepakatan seluruh imam mazhab bahwa tarawih (sama seperti shalat malam lainnya) dikerjakan dengan 2 rakaat 1 salam. Pendapat ini berlandaskan pada hadits: “Dari 'Abdullah bin 'Umar berkata, "Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW yang pada saat itu sedang di atas mimbar, "Bagaimana cara shalat malam?" Beliau menjawab: "Dua rakaat dua rakaat. Apabila dikhawatirkan masuk shubuh, maka shalatlah satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalatnya sebelumnya." Ibnu 'Umar berkata, "Jadikanlah witir sebagai shalat terakhir kalian, karena Nabi SAW memerintahkan hal yang demikian."40 Pendapat kedua adalah melakukan salat tarawih dengan 4 rakaat 1 salam atau seluruh rakaat 1 salam. Sebagaimana perbedaan dalam salat tarawih, demikian juga terjadi perbedaan terkait dengan jumlah rakaat, cara dan waktu salat witir, pendapat ulama juga variatif, misalnya Imam Malik memilih adalah 3 rakaat melakukannya secara fasl (memisahkan satu rakaat terakhir dengan genap sebelumnya, yakni 2 rakaat salam kemudian berdiri lagi satu rakaat) Demikian juga asy-Syafi‟I, Ahmad dan Ahli Hijaz. Sedangkan menurut Abu Hanifah, salat witir adalah 3 rakaat dengan mengutamakan wasl (sambung seluruhnya, yakni dengan satu salam), adapaun menurut imam asy-Syafi‟I cukup 1 rakaat.41 Kemudian masalah waktu dari salat witir, boleh dilakukan di awal, tengah atau pun akhir malam. Waktu di akhir malam menjelang subuh adalah lebih utama. Pelaksanaan salat witir boleh dilakukan secara berjamaah atau sendiri-sendiri. Adapun salat witir di bulan Ramadlan lebih utama berjama‟ah. Sahih Bukhari, Bab membuat halaqah dan duduk-duduk di masjid. Hadis no. 452. Ibn Rusyd, Bidayah, h. 145. 41 Ibn Rusyd, [t.th]: 1445-146) 40
Al-Dzikra Vol. 6 No. 1 Januari - Juni Tahun 2012
Penentuan Awal Bulan Kamariah
31
Menurut Ibn Taimiyyah, dalam pelaksanaan salat tarawih maupun witir, terutama jika dilakukan secara berjamaa‟ah, hendaknya seorang imam memilih cara pelaksanaan salat yang dikenal, menjadi kecenderungan atau yang biasa dilakukan oleh jama‟ah setempat, baik itu fashl (memisahkan satu rakaat terakhir dari rakaat genap sebelumnya ) maupun washl (menyambung seluruh rakaat dengan satu salam). Pemilihan cara pelaksanaan salat semacam ini dengan mempertimbangkan kondisi psikologis dan kecenderungan amalan jama‟ah setempat lebih utama daripada memilih cara pelaksanaan salat tarawih dan witir yang tidak disukai atau berlawanan dengan kecenderungan jama‟ah setempat, sehingga lebih menjaga kekhusyu‟an dalam salat dan tidak menimbulkan kegelisahan di antara jama‟ah setempat.42 Jadi, yang paling menentukan tentang nilai keutamaan teks hadis adalah situasi kontekstual yang mengitari hadis, atau dalam istilah Ibn Taimiyah at-tafdhil li al-waqi‟ as-sikulojiyyah.43 Pandangan Ibnu Taymiyah semacam itu juga nampak ketika ia berbicara tentang bacaan do‟a iftitah. Terdapat variasi bacaan istiftah dalam hadis Nabi saw, setidaknya ada kurang lebih 10 macam keragamannya. Dalam hal ini Ibn Taimiyah berpendapat bahwa dari segi kandungan makna bacaan istiftah yang mengandung pemujian kepada Allah (yakni subhanaka Allahumma wa bihamdika…) adalah yang paling utama dalam tataran dan situasi-kondisi zikir kepada Allah, ditinjau dari substansi teks (attafdhil an-nashiy). Namun demikian, ia juga berpendapat bahwa semua bacaan tersebut adalah bagus dan terpuji untuk diamalkan. Kesemuanya berasal dari hadis yang berkategori sahih-maqbul, sehingga tidak perlu ada pengunggulan atas satu dengan lainnya (at-tafdhil li al-masdary al-awwal).44 Sebaiknya beberapa variasi bacaan itu diamalkan secara bergantian tanpa menghususkan pada satu bentuk saja. Karena jika terjadi pengkhususan secara berkesinambungan (al-mudawwamah) dapat dikhawatirkan muncul pengingkaran terhadap sunnah Nabi saw tanpa sengaja.45 Sikap demikian juga dapat dijumpai dalam pemikiran Ibnu Taymiyah, seperti misalnya ketika ia berbicara tentang bacaan 42Ibn
Taimiyyah, Fatawa, juz XXIII, h.92. Yusqi, Metodologi, h. 170-171. 44Ibid., h. 169. 45 Ibn Taimiyah, Fatawa, juz XXII: 343. 43Isom
Al-Dzikra Vol. 6 No. 1 Januari – Juni Tahun 2012
32 Salamah Noorhidayati tasyahud yang beragam. Dalam hal ini Ibn Taimiyah menganjurkan agar keragaman bacaan tasyahud, harus disikapi dengan bijaksana dan keyakinan yang mendalam bahwa perbedaan bacaan tersebut, semuanya merupakan ajaran nabi yang memang disampaikan secara variatif (at-tafdhil li al-mashdar al-awwal). Umat Islam boleh memilih dan mengamalkan mana saja yang mudah dan disukai. Bahkan dibolehkan juga mengamalkan secara keseluruhan, namun makruh mengabaikan salah satunya, karena hal itu semua tanpa kecuali berasal dari sabda nabi saw. 46 Kesimpulan Demikianlah, sebagaimana diuraikan dalam pembahasan bahwa hadis-hadis tentang at-tanawwu‟ fi al‟ibadah merupakan salah satu penyebab terjadinya perbedaan bahkan perpecahan umat. Terkait dengan at-tanawwu‟ fi al-ibadah, Ibn Taymiyah, berpendapat bahwa segala ketentuan dan ketetapan, tata cara dan aturan, dan dasar hukum pelaksanaanya harus berhujjah dengan dalil qath‟iy (al-Qur‟an) dan hadis yang sahih. Dalam hal ibadah tidak boleh ada inovasi atau improvisasi yang bersandarkan kepada adat-istiadat, budaya sinkretis, falsafah ataupun percampuran dengan ritual agama lain. Ibadah merupakan suatu ketetapan mutlak dari wahyuNya atas interpretasi sunnah rasulullah, sebagaimana kaidah usul fiqh al-asl fi al-ibadah at-tauqif. Oleh karenanya, dalam pengertian Ibn Taymiyah, hadis mukhtalif yang berkategori at-tanawwu‟ fi alibadah tersebut sebenarnya adalah satu hadis yang dengan hadishadis lainnya terdapat perbedaan atau keragamaan ajaran dalam pelaksanaannya. Salah satu solusi untuk menghindari perpecahan tersebut menurut Ibn Taimiyah adalah dengan memaknai tanawwu‟ al-hadits sebagai sebuah variasi dan keragaman dalam pelaksanaan ibadah yang kesemuanya bersumber dari Nabi saw, sehingga tidak perlu dipertentangkan. Sikap seperti di atas, dikategorikan Ibn Taimiyah sebagai sikap ihya‟ as-sunnah (menghidupkan sunnah nabi) dan sekaligus sebagai upaya untuk menghindarkan diri dari penafian terhadap sebagian sunnah Nabi yang lain. Walaupun pengutamaan amalan ibadah yang satu terhadap yang lain adalah moleh (jawaz) hukumnya, namun Ibn Taimiyah menyarankan agar seseorang tidak terlalu melebih-lebihkan keutamaan amalan tertentu atas yang lain. Sikap seperti ini mendorong seseorang beragama secara moderat dan toleran (tasamuh). [ ] 46Ibn
Taimiya, Fatawa, XXII, h. 69, 285-286, 459-460. Al-Dzikra Vol. 6 No. 1 Januari - Juni Tahun 2012
Penentuan Awal Bulan Kamariah
33
Daftar Pustaka Al-Daminiy, Musfir 'Azm Allah, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, Riyad: t.p.,1984 Amin, Muhammad, Ijtihad Ibn Taimiyyah Dalam Bidang Fikih Islam, Jakarta: INIS,1991. Hitti, Philip K, History of the Arabs, London: Macmillan Press, 1970. Ibn Katsir, Muh. Bin Ismail, al-Bidayah wa an-Nihayah, Beirut: Dar alFikr , [t.th]), jilid IX juz 14. Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 198. Ma‟luf, Louies, al-Munjid fiy al-Lughah wa al-A‟lam, Beirut: Dar alMasyriq, 1994. Madjid, Nurcholish (ed), Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Noorhidayati, Salamah, “Hadis-hadis Kontradiktif dan Metode Penyelesaiannya” dalam Kontemplasi Jurnal Ke-Ushuluddinan, Vol. 08, No. 01, Juli 2011. ______, Kritik Teks Hadis Analisis ar-Riwayah bi al-Ma‟na terhadap Kualitas Hadis, Yogyakarta: Teras, 2009. Qomaruddin, The Political Thought of Ibn Taimiyya, Islamabad, Islamic Research Institute, 1973. Taimiyah, Ibnu, al-Qawaid an-Nuraniyyah al-Fiqhiyyah, ditahqiq oleh Abdussalam Muhammad Ali Syahin, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, 1994. ______, Al-Fatawa al-Kubra, Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1966) jilid I. ______, al-Qawaid an-Nuraniyyah al-Fiqhiyyah, ditahqiq oleh Abdussalam Muhammad Ali Syahin, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, 1994. ______, Fatawa al-Kubro dalam CD Muallafat asy-Sya‟b wa Tilmidzihi, Yordan: al-Isyraf Ilmy Turas, 1419H/1999M, juz XXII ______, Iqtidha' Ash-Shiratth Al-Mustaqim, I/132-134 Taymiyah, Ibn, Khilaf al-Ummat, Mesir: al-Manar, 1325H ______, Kitab al-Asma‟ wa as-Sifat, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1408H/ 1988 M), juz I. _______, Majmu Fatawa , juz XI, dalam CD Muallafat asy-Syaikh wa Tilmidzih, Yordan: al-Isyrof Ilmy, Turats, 1419H/1999M.
Al-Dzikra Vol. 6 No. 1 Januari – Juni Tahun 2012
34 Salamah Noorhidayati Wajdi, Muhammad Farid, Dairah al-Ma‟arif al-Islamiyah, Kairo: Dairah al-Ma‟arif li at-Thiba‟ah wa an-Nasyr, [t.th]), jilid I. Yusqi, Muhammad Isom, Metodologi Penyelesaian Hadis Kontradiktif, Jakarta: CV Sukses Bersama, 2006. Zahrah, Abu, Hayatuhu wa „Asruhu, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, [t.th]. Zamzami Saleh, "Hukum Salat Tarawih", dalam http://zamzamisaleh.cz.cc/?p=48, diakses pada tanggal 15 juni 2011.
Al-Dzikra Vol. 6 No. 1 Januari - Juni Tahun 2012