DAMPAK BIOPSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL ANAK KORBAN PERCERAIAN ORANG TUA (Studi Kasus pada Perceraian yang Diakibatkan oleh Perselingkuhan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) Skripsi Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh: MAYANGSARI NIM: 1111054100012
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/ 2015 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini, telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari saya terbukti bahwa dalam penulisan skripsi ini bukan hasil karya saya sendiri atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain (plagiat), maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juli 2015
Mayangsari
ABSTRAK
Mayangsari Dampak Biopsikososial dan Spiritual Anak Korban Perceraian Orang Tua (Studi Kasus Pada Perceraian yang Diakibatkan oleh Perselingkuhan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Perselingkuhan dan disertai dengan Kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT merupakan pemicu perceraian rumah tangga nomor dua di Indonesia. Perceraian kerap kali membawa pengaruh dalam segala aspek kehidupan anak baik pengaruh yang bersifat positif maupun negatif. Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah perceraian orang tua agar dapat melihat bagaimana dampak perceraian orang tua mempengaruhi kondisi kesehatan anak, psikologis anak, kehidupan sosial anak serta spiritual anak atau dapat disebut sebagai biopsikososial dan spiritual. Dengan memperhatikan aspek tersebut diharapkan perceraian tidak menjadi momok yang menakutkan bagi anak karena meskipun orang tua mereka berpisah, mereka masih dapat merasakan kasih sayang seutuhnya dari kedua orang tua. Pendekatan yang peneliti gunakan dalam skripsi ini adalah metodologi penelitian kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus, dimana dalam teknik pengumpulan data penulis melakukan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik pemilihan informan yang peneliti gunakan ialah purposive sampling. Pemilihan purposive sampling berdasarkan karena ciri-ciri yang dimiliki oleh subjek yang dipilih karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan. Strategi sampling yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah strategi typical sampling atau sampling yang bersifat khas atau unik. Peneliti melakukan wawancara dengan orang tua, anak yang menjadi korban perceraian serta beberapa temannya. Adapun hasil temuan yang peneliti dapatkan mengenai dampak biopsikososial dan spiritual anak korban perceraian orang tuanya, adalah dapat dilihat melalui aspek biologis yaitu bagaiamana kondisi kesehatan anak sebelum dan sesudah perceraian orang tuanya, aspek psikologis yaitu bagaimana konsep diri seorang anak dengan perceraian orang tuanya, aspek sosial dan spiritual adalah bagaimana interaksi seorang anak dengan lingkungannya, apakah perceraian benar-benar memberikan pengaruh terhadap aspek-aspek tersebut diatas. Serta bagaimana pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya, karena pola asuh merupakan dasar pembentukan diri seorang anak.
i
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Dampak Perceraian Orang Tua terhadap Bopsikososial dan Spiritual Anak (Studi Kasus terhadap Perselingkuhan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).” Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, Sang Teladan yang telah membawa kita ke zaman kebaikan. Skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus diselesaikan sebagai syarat guna meraih gelar Sarjana Sosial Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menghaturkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu hingga selesainya penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung kepada: 1. Dr. Arif Subhan, MA selaku Dekan Ilmu Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Suparto, M. Ed, Ph. D selaku Wakil Dekan Bidang Akademik. Dr. Roudhonah, MA selaku Wakil Dekan bidang Administrasi Umum. Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan. 2. Lisma Dyawati Fuaida, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesejahteraan Sosial, Hj. Nunung Khairiyah, MA selaku Sekretaris Program Studi Kesejahteraan Sosial. Terimakasih atas nasehat dan bimbingannya. 3. Ibu Ellies Sukmawati, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membantu mengarahkan, membina, dan selalu bersedia meluangkan waktunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih telah menjadi dosen pembimbing penulis sejak praktikum 1, praktikum 2, hingga skripsi.
ii
4. Seluruh dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi , Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalamannya kepada penulis. 5. Kepada seluruh informan peneliti yang telah bersedia memberikan informasi dan waktunya sehingga penelitian ini dapat selesai tepat waktu. 6. Kedua orangtua tercinta ayahku Adeng Mustajab dan Ibuku Kristina yang tak pernah hentinya memanjatkan doa dan memberikan dukungannya kepada penulis, sehingga penulis selalu termotivasi dengan kasih sayang kalian yang begitu besar. Dan untuk kedua kakakku, Rizkyana dan Ludfy Adetia yang juga turut memberikan dukungan bagi kelancaran penulisan skripsi ini. Serta keempat keponakanku Kanza, Nada, Azka dan Dhiva yang menjadi penghibur dikala lelah dalam mengerjakan skripsi ini. 7. Muhammad Hafiz Zuldi dan Ade yang selalu memberikan dukungan moril, semangat serta perhatian terbaiknya kepada peneliti sehingga terselesaikannya skripsi ini. 8. Sahabat terbaikku sejak kecil Renzi Yurfiandi yang selalu membantu, mengarahkan, mengantarkan peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Sahabatku tercinta Yusnia, Nindy, Retno, Sonia dan Tri yang selalu berjuang bersama-sama dalam menyelesaikan skripsi ini, serta temanteman kesejahteraan sosial Angkatan 2011 yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
Jakarta, Juni 2015
Mayangsari
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ............................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... viii BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1 A. Latar Belakang................................................................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................................8 C. Tujuan Penelitian ............................................................................................9 D. Manfaat Penelitian .........................................................................................9 E. Metodelogi Penelitian ...................................................................................10 BAB II KAJIAN TEORI .....................................................................................22 A. Keluarga .......................................................................................................22 1. Pengertian Keluarga ...............................................................................22 2. Orang tua ................................................................................................23 3. Anak .......................................................................................................23 a.
Pengertian Anak.............................................................................23
b.
Anak dan Keluarga yang Bercerai..................................................24
4. Pola Asuh................................................................................................25 a.
Jenis-jenis Pola Asuh......................................................................25
iv
b.
Kelekatan........................................................................................28
c.
Hukuman........................................................................................28
d.
Perlakuan Salah Terhadap Anak....................................................29
e.
Akibat Kekerasan Pada Perkembangan Anak................................30
f.
Ayah sebagai Pengasuh..................................................................31
g.
Pengaruh Ayah pada Perkembangan Anak....................................32
B. Perceraian .....................................................................................................33 1. Definisi Perceraian .................................................................................33 2. Penyebab Perceraian ...............................................................................33 C. Psikologi Sosial ............................................................................................35 1. Pengertian ...............................................................................................35 2. Fase-fase Perkembangan ........................................................................36 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psikososial......................................40 D. Biopsikososial...............................................................................................42 1. Faktor Biologis.......................................................................................42 2. Faktor Psikologis....................................................................................44 3. Faktor Sosial...........................................................................................46 E. Assesmen Biopsikososial dan Spiritual.......................................................51 BAB III GAMBARAN UMUM INFORMAN ...................................................55 A. Profil Informan 1 ..........................................................................................55 B. Profil Informan 2 ..........................................................................................58 C. Profil Informan 3 ..........................................................................................61
v
D. Profil Informan 4 ..........................................................................................64 E. Assesmen Biopsikososial dan Spiritual.............................................................66
BAB IV HASIL TEMUAN & ANALISIS ..........................................................78 A. Temuan Lapangan ........................................................................................78 1.
Kondisi Biologis........................................................................................78 a. Dampak Perceraian Orang tua terhadap Aspek Kesehatan Anak........................................................................78
2. Kondisi Psikologis Anak...........................................................................84 a. Fase-fase Perkembangan Anak............................................................84 b. Hubungan dengan Lingkungan Keluarga............................................89 c. Status Ekonomi Orang tua...................................................................94 3. Kondisi Sosial Anak..................................................................................98 a. Budaya.................................................................................................98 b. Status Sosial Ekonomi........................................................................101 c. Aspek Spiritual...................................................................................103 4. Pola Asuh Orang tua................................................................................107 a. Jenis Pola Asuh..................................................................................107 b. Kelekatan............................................................................................112 c. Perlakuan Salah terhadap Anak.........................................................115 d. Akibat Kekerasan pada Perkembangan Anak...................................118 e. Pengaruh Ayah pada Perkembangan Anak.......................................122 B. Analisa.......................................................................................................125 1. Kondisi Biopsikososial dan Spiritual...................................................126 a. Kondisi Kesehatan.........................................................................126
vi
b. Kondisi Psikologis........................................................................127 1) Fase-fase Perkembangan Anak...............................................127 2) Hubungan Anak dengan Lingkungan Keluarga......................128 3) Status Ekonomi Orang tua.......................................................129 c. Kondisi Sosial.................................................................................129 1) Budaya......................................................................................130 2) Status Sosial Ekonomi..............................................................130 3) Aspek Spiritual.........................................................................131 2. Pola Asuh Orang Tua...........................................................................131 a. Jenis Pola Asuh...............................................................................131 b. Kelekatan........................................................................................132 c. Hukuman.........................................................................................133 d. Perlakuan Salah terhadap Anak......................................................134 e. Akibat Kekerasan pada Perkembangan Anak.................................134 f. Pengaruh Ayah pada Perkembangan Anak.....................................135 BAB V PENUTUP ..............................................................................................136 A. Kesimpulan .................................................................................................136 B. Saran ...........................................................................................................138 DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................140 LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Karakteristik Informan ...........................................................................14
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
- Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 2
- Pedoman Wawancara
Lampiran 3
- Pedoman Observasi
Lampiran 4
- Transkip Wawancara
Lampiran 5
- Hasil Observasi
Lampiran 6
- Dokumentasi
ix
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk selalu hidup berdampingan
satu dengan yang lainnya, dan saling tolong menolong tanpa membedakan suku bangsa mereka, sehingga tercapai suatu kehidupan yang dinamis dan harmonis. Perkawinan merupakan bentuk kehidupan bersama antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang diridhai Allah. Melalui suatu perkawinan maka diberikanlah suatu jalan yang aman dan sah pada naluri kebutuhan biologis antara seorang laki-laki dan seorang peremuan. Selain itu dengan perkawinan akan terjaga kemurnian dan terpelihara keturunan yang dilahirkan oleh pasangan tersebut. Pernikahan adalah sebuah komitmen yang serius antar pasangan dan dengan mengadakan pesta pernikahan, berarti secara sosial diakui bahwa saat itu pasangan telah resmi menjadi suami istri. Duvall & Miller menjelaskan bahwa pernikahan adalah hubungan pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang ditujukan untuk melegalkan hubungan seksual, melegitimasi membesarkan anak, dan membangun pembagian peran di antara sesama pasangan.1 Pada prinsipnya tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Pasal 1 menegaskan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai
1
Sarlito W. Sarwono dan Eko A. Meinarno, Psikologi Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), h. 73.
1
2
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 2 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 disebutkan bahwa “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.
3
Akan tetapi, jika salah satu unsur dari ketiga sifat itu tidak
tertanam secara kuat dalam keluarga, maka kelangsungan keluarga tersebut akan sangat rapuh. Upaya untuk tetap mempertahankan kebahagian rumah tangga seringkali tidak berjalan mulus, dan tidak jarang suatu rumah tangga mengalami hambatan-hambatan sehingga sukar untuk mempertahankan keutuhannya. Ketika keutuhan rumah tangga sudah tidak dapat lagi dipertahankan, maka jalur yang ditempuh adalah mengakhiri perkawinan dengan jalan perceraian. Sejalan dengan penegasan Rasulullah saw, bahwa menceraikan istri merupakan perbuatan halal yang paling dimurkai oleh Allah. Dalam hadits riwayat dari Ibn Umar ra,. ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Perbuatan halal yang paling dimurkai oleh Allah adalah talak” (HR. Abu Daud dan Ibn Majah).4 Secara tidak langsung, Islam membolehkan perceraian namun di sisi lain juga mengharapkan agar proses perceraian tidak dilakukan oleh pasangan suami isteri. Perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan yang terakhir setelah ikhtiar dan segala daya upaya yang telah dilakukan guna perbaikan
2
Departemen Agama RI, Undang-Undang No. 1 tahun 1974, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999/2000), h. 96. 3 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Ditbinbapera Depag RI: 2000), h. 3. 4 Asep Usman Ismail, MA, Al-Qur’an dan Kesejahteraan Sosial: Sebuah Rintisan Membangun Paradigma Sosial Islam Yang Berkeadilan dan Berkesejahteraan, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), cet. I, h. 164.
3
kehidupan perkawinan dan ternyata tidak ada jalan lagi kecuali dengan perceraian antara suami isteri.5 Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Fenomena perceraian cukup meningkat akhir-akhir ini. Baik dari kalangan artis maupun masyarakat biasa. Dalam sebuah rumah tangga pasti tidak akan terlepas dari masalah. Masalah dalam rumah tangga itu merupakan suatu hal yang biasa, tapi percekcokkan yang berlarut-larut dan tidak dapat didamaikan lagi secara otomatis akan disusul dengan perceraian. Perceraian pada dasarnya merupakan peristiwa yang sebenarnya tidak direncanakan dan dikehendaki oleh pasangan suami isteri yang sama-sama terikat dalam perkawinan. Perceraian merupakan kondisi dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila antara suami isteri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. 6 Seperti yang kita ketahui fenomena perceraian kini banyak terjadi. Usia pernikahan yang baru sebentar rentan terhadap konflik yang berujung perpisahan. Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mengakui bahwa angka perceraian hingga saat ini masih tetap tinggi. Berdasar data Peradilan Agama (PA) secara nasional angka perceraian pada 2010 mencapai 314.354 pada tingkat pertama. Sementara berdasar bidangnya, jumlah perceraian mencapai 284.379, yakni cerai gugat mendominasi mencapai 190.280 dan cerai talak sebanyak 94.009, dikutip dari merdeka.com.7
5
Jamil Latif, “Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia”, cet. 2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), h. 30. 6 Elizabeth B. Hurlock, “Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan”, cet. 5 (Jakarta: Erlangga, 1993), h. 307. 7 http://www.vemale.com/relationship/keluarga/31001-fenomena-perceraian-diindonesia-ternyata-inilah-penyebabnya.html, diakses pada 18 Febuari 2015.
4
Selain itu faktor lain yang dapat memicu perceraian, diantaranya perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga. Selain faktor ekonomi yang menjadi alasan pertama para suami isteri memutuskan untuk bercerai, ternyata perselingkuhan menduduki peringkat kedua sebagai alasan untuk melakukan perceraian. Menurut data yang ada Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag), Nasaruddin Umar mengakui bahwa penyebab perkawinan itu bermacam-macam. Penelitian yang dilakukan pihaknya, ada 14 faktor penyebab perceraian. Perceraian yang disebabkan perselingkuhan menaik dari sebelumnya. Di urutan pertama ada ekonomi sebagai pemicu perceraian, di urutan kedua, pemicu perceraian adalah perselingkuhan sebanyak 20.199 kasus. Jawa Timur menempati urutan tertinggi dengan 7.172 kasus, menyusul Jawa Barat sebanyak 3.650 kasus dan posisi ketiga ditempati Jawa Tengah sebanyak 2.503. Sedangkan di DKI Jakarta sebanyak 1.158 perceraian disebabkan perselingkuhan.8 Banyak pemberitaan di media baik cetak maupun elektronik yang memaparkan berbagai faktor-faktor mengenai perceraian yang sering kita lihat sehari-hari. Seperti halnya perceraian yang diakibatkan oleh faktor kekerasan atau biasa disebut dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. KDRT dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga, tetapi 8
2015.
http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=85348, diakses pada 28 Febuari,
5
umumnya masyarakat masih banyak mengartikan bahwa KDRT itu hanya semata kekerasan fisik.9 Banyak pasangan suami isteri yang memutuskan untuk melakukan perceraian karena adanya indikasi kekerasan yang dirasakan oleh salah satu pihak, biasanya isteri yang menjadi korban KDRT. Banyak isteri yang mengalami lukaluka, kecacatan, bahkan banyak kasus KDRT yang berujung pada kematian karena mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya, hal tersebut bisa disebabkan karena emosi yang tinggi, pertengkaran yang hebat dan sulit untuk menemukan jalan keluarnya bahkan banyak juga
isteri tersebut mengetahui
suaminya telah berselingkuh dengan wanita lain. Seringkali perceraian orang tua membuat anak menjadi korbannya. Dampak yang ditimbulkan dari perceraian orang tua ternyata sangat berpengaruh pada kehidupan anak. Banyak kita lihat dan bahkan kita rasakan bahwa perceraian menjadikan pintu masuk kenakalan para remaja. Dampak dari perceraian orang tua terhadap anak akan mempengaruhi segala aspek kehidupan anak, seperti aspek biologis atau fisik, psikologi, sosial, dan spiritual. Sebuah penelitian yang dilakukan Norwegian Institute of Public Health dan The University of Olso, mempelajari 3.166 siswa kelas tiga untuk memastikan apakah status pernikahan orang tua mempengaruhi gaya dan nafsu makan anak-anak. hasilnya anak dengan orang tua bercerai memiliki berat badan yang berlebih atau gemuk dibandingkan dengan anak yang tumbuh dengan orang tua yang tidak bercerai. Penelitian juga menemukan, anak lelaki dengan orang tua
9
http://www.pa-bantul.go.id/artikel/87-kdrt-pada-anak-sebagai-alasan-perceraian.html, diakses pada 18 Febuari 2015.
6
bercerai lebih beresiko mengalami obesitas.10 Selain itu terjadi dalam beberapa kasus, anak yang orang tuanya bercerai menjadi lebih mudah terserang penyakit yang diakibatkan dari trauma psikologis akibat dari perceraian orangtuanya. Secara psikologis anak yang orang tuanya bercerai akan mengalami kesedihan, merasa bersalah atas perpisahan orang tuanya, anak merasa kesepian, kehilangan kasih sayang, depresi bahkan frustasi. Menurut psikolog sekaligus pemerhati anak, Seto Mulyadi mengatakan, perceraian membuat anak merasa sedih, dan tidak lengkap. “Mereka cenderung menjadi tidak bersemangat, gelisah, bingung, dan sebaginya.” 11 Dampak dari trauma psikologis ternyata akan berpengaruh terhadap aspek sosisal. Menurut sebuah studi di tahun 2011, American Sociological Review, dampak negatif sosial pada anak-anak yang diakibatkan oleh perceraian orang tua, umunya dimulai ketika proses perceraian itu dimulai. Kesedihan, kesepian, kecemasan, masalah perilaku dan berkurangnya harga diri cenderung dialami oleh anak. Anak-anak dalam penelitian itu, dikatakan menjadi sosok yang tidak percaya diri di hadapan teman-temannya, kemampuan belajarnya berkurang, begitu juga dengan keterampilan sosial interpersonalnya. Saat proses perceraian selesai, anak akan “terpaksa” pindah dari lingkungannya karena harus mengikuti salah satu dari orangtuanya. Lingkungan anak yang sebelumnya sudah sangat akrab dengannya akan terputus.12
10
“Perceraian Picu Anak Obesitas”, Warta Kota, 14 September 2014, h. 5. http://m.life.viva.co.id/news/read/394141-dampak-perceraian-orangtua-terhadappsikologis-anak, diakses pada 9 Maret 2015. 12 Perceraian Sebabkan Perkembangan Sosial Anak Terganggu, http://tabloidnova.com/Keluarga?Pasangan/Perceraian-Sebabkan-Perkembangan-Sosial-AnakTerganggu, diakses pada 29 Juli 2015. 11
7
Perceraian orang tua sangatlah berdampak negatif bagi anak-anak. Dampak tersebut tidak hanya berasal disaat perceraian orang tua saja, tetapi dampak tersebut juga dirasakan anak sejak sebelum perceraian dan setelah perceraian. Sebelum perceraian orang tuanya, seorang anak biasanya akan menyalahkan dirinya dan merasa bahwa dia adalah penyebab dari perceraian orangtuanya. Dan ketika orangtua telah berpisah, ia akan merasa kehilangan sosok atau figur seorang ayah atau ibu yang sekarang sudah tidak bersama lagi. Biopsikososial dan spiritual adalah alat assesmen yang digunakan oleh para pekerja sosial untuk melakukan intervensi terhadap seseorang yang biasa dikenal dengan klien. Biopsikososial menekankan bagaimana pengaruh interaktif dari faktor-faktor biologis, psikologis serta spiritual terhadap berkembangnya masalah-masalah individu dari berbagai segi usia.13 Oleh karena itu, menarik untuk meneliti dampak perceraian orang tua bagi anak dengan judul ”Dampak Biopsikososial dan Spiritual Anak Korban Perceraian Orang Tua (Studi kasus pada perceraian yang diakibatkan oleh perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga)”. Skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca terlebih tentang dampak yang dihadapi oleh anak yang menjadi korban perceraian orang tuanya meliputi aspek kesehatan, psikologis, sosial dan spiritualnya. Selain itu skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pasangan suami isteri yang sedang dalam proses perceraian atau sudah menjalani proses perceraian, seyogyanya memperhatikan dan mempersiapkan suatu perceraian dengan baik terutama bagi anak, dimulai dari memberikan pengertian pada anak
13
John W. Santrock, Remaja, (Jakarta:Erlangga, 2007), h. 233.
8
bahwa akan adanya sebuah perpisahan antara ayah dan ibu. Selain itu orang tua juga harus tetap bertanggung jawab kepada anak-anak mereka, agar anak tersebut tidak merasa kehilangan meskipun ada sebuah perpisahan. Dan bagi para calon pasangan suami isteri yang akan menikah diharapkan skripsi ini dapat memberikan informasi tentang dampak perceraian orang tua yang dirasakan oleh anak. Perceraian sangat mahal harganya, hal ini berarti banyak hal yang harus dibayar karena begitu banyak konsekuensi negatif yang menjadi resiko perceraian, terutama bagi anak-anak dari hasil perkawinan tersebut, karena menikah bukan hanya sebagai kesenangan semata, namun banyak tanggung jawab yang harus diemban oleh suami dan isteri terlebih ketika mereka telah dikaruniai seorang anak. B.
Batasan dan Rumusan Masalah A. Batasan Masalah Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas, maka penulis
memfokuskan hanya pada ”Dampak Biopsikososial dan Spiritual Korban Perceraian Orang Tua (Studi Kasus Pada Perceraian yang Diakibatkan oleh Perselingkuhan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)”.
B.
Perumusan Masalah Sehubungan dengan pembatasan masalah di atas, penulis membuat rumusan
masalah yaitu:
9
1. Bagaimana dampak biopsikososial dan spiritual anak korban perceraian orang tua? 2. Bagaimana pola pengasuhan orang tua kepada anak pasca perceraian? C.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk menggambarkan kondisi biopsikososial dan spiritual anak korban perceraian orang tua. 2. Untuk mengetahui pola pengasuhan orang tua kepada anak pasca perceraian orang tua.
D.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat akademis 1) Memberikan
sumbangan
pengembangan
pengetahuan
bagi
kompetensi pekerjaan sosial yang berkaitan dengan Biopsikososial pada anak sebagai korban perceraian orang tua. 2. Manfaat Praktis 1) Memberikan masukan dan saran kepada orang tua tentang dampak perceraian terhadap Biopsikososial anak. menjadikan suatu rekomendasi kepada calon pasangan suami isteri yang akan menikah tentang dampak perceraian kepada anak. Serta bagi para suami isteri yang telah memutuskan untuk memilih bercerai, agar lebih memperhatikan dan mempersiapkan kehidupan anak-anak pasca perceraian. 2) Untuk masyarakat yang belum menikah, agar mempersiapkan suatu pernikahan secara matang baik dari segi emosional dan ekonomi
10
agar kelak tidak terjadi perceraian, karena perceraian sangat mahal harganya bagi anak. E.
Metodelogi Penelitian Metode Penelitian merupakan suat proses yang harus dilalui dalam suatu
penelitian agar hasil yang diinginkan dapat tercapai. Metode penelitian ini kemudian dibagi menjadi: 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Bodgan Tailor dalam bukunya sebagaimana di kutip oleh Lexy J.Moleong, metodelogi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data dan deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka pendapat ini diartikan pada latar dan individu secara holistic (utuh). Peneliti tidak boleh mengisolasikan inividu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu gambaran sebagai dari suatu keutuhan.14 Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mencoba memahami fenomena dalam setting dan konteks naturalnya (bukan di dalam laboratorium) dimana peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi fenomena yang diamati. 15 2. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus (case study). Studi kasus merupakan penelitian tentang suatu “kesatuan sistem”. 14
Dr. Lexy J.moleong, “Metodelogi Penelitian Kualitatif”, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h.3. 15 Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar, (Jakarta: PT. Indeks, 2012), h.7.
11
Kesatuan ini dapat berupa program, kegiatan, peristiwa, atau sekelompok individu yang terkait oleh tempat, waktu atau ikatan tertentu. Studi kasus adalah penelitian yang diarahkan untuk menghimpun data, mengambil makna dan memperoleh pemahaman dari kasus tersebut. Kasus sama sekali tidak mewakili populasi dan tidak dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan dari populasi. Kesimpulan studi kasus hanya berlaku untuk kasus tersebut. Tiap kasus bersifat unik atau memiliki karakteristik sendiri yang berbeda dengan kasus lainnya.16 Studi kasus adalah suatu model yang menekankan pada eksplorasi dari suatu “sistem yang berbatas” (bounded system) pada satu kasus atau beberapa kasus secara mendetail, disertai dengan penggalian data secara mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi yang kaya akan konteks. Sesuai dengan salah satu ciri dari model studi kasus adalah keunikan dari kasus yang diangkat. Dalam studi kasus, kasus yang diangkat biasanya kasus-kasus yang memiliki keunikan dapat berupa program, kejadian, aktivitas atau subjek penelitian. 17 Peneliti akan mencoba mencari tahu dampak-dampak apa saja yang dirasakan oleh anak pasca perceraian orang tuanya meliputi aspek bio/fisik, psikologi dan sosial. 3. Lokasi dan Waktu Penelitian
16
M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodelogi Penelitian Kualitatif, cet. 1, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 61. 17 Haris Herdiansyah, Metodelogi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, cet. 3, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. 76.
12
Adapun lokasi yang menjadi tempat penelitian adalah sesuai dengan domisili para informan yaitu di Jakarta, Depok dan Bekasi. Waktu penelitian ini dilakukan sejak bulan Januari 2015 hingga Juni 2015. 4. Teknik Pemilihan Informan Teknik yang digunakan untuk pemilihan informan dalam penelitian ini adalah ialah purposive sampling. Pemilihan purposive sampling berdasarkan karena ciri-ciri yang dimiliki oleh subjek yang dipilih karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan.18 Strategi sampling yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah strategi typical sampling atau sampling yang bersifat khas atau unik. Typical sampling adalah suatu strategi yang digunakan untuk kasuskasus yang bersifat khas atau unik atau individu-individu yang memiliki karakteristik unik. Unik dapat berarti tidak familier atau tidak biasa, tetapi bukan merupakan suatu hal yang ekstrem. Identifikasi yang dapat dilakukan oleh peneliti adalah dengan bertanya langsung kepada individu yang bersangkutan atau dengan menggunakan data demografis atau data survei, tergantung dari kasus yang akan diteliti.19 Untuk itu peneliti memilih lima orang anak yang menjadi korban perceraian orang tua sebagai sumber informan yang sesuai dengan ciri-ciri dari penelitian yang akan dilakukan. Selain itu peneliti juga akan menggali informasi yang diperoleh dari orang tua, guru disekolah, dan teman-teman. 18 19
Herdiansyah, Metodelogi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, h. 106. Ibid, h. 108.
13
Keterangan informasi yang akan diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1 Karakteristik Informan No 1.
1.
Informan
Informasi yang dicari
Jumlah
Anak korban perceraian orang tua
Untuk mengetahui tentang biopsikososial dan spiritual anak korban perceraian orang tua serta bagaimana pola asuh yang diterapkan orang tua setelah adanya
4 Orang
14
2.
2.
Orang tua yang melakukan percceraian dengan kasus perselingkuhan
3.
4.
4.
5.
Orang tua yang melakukan perceraian dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga Teman
perceraian. Untuk mengetahui kondisi biopsikososial dan spiritual anak serta adakah pengaruh penyebab perceraian terhadap pola pengasuhan anak Untuk mengetahui kondisi biopsikososial dan spiritual anak serta adakah pengaruh penyebab perceraian terhadap pola pengasuhan anak Mengetahui perubahanperubahan yang dirasakan setelah orang tua bercerai
1 Orang
3 Orang
2 Orang
10 orang
Jumlah
5. Sumber Data Data Primer diperoleh dari proses penelitian langsung dari partisipan atau sasaran penelitian, yaitu daya yang berasal dari 4 orang anak korban perceraian orang tua, 4 orang tua yang bercerai, dan 2 orang teman. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai literatur, buku-buku, Perpustakaan, atau internet yang terkait dengan penelitian. 6. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah sebagai berikut: a. Teknik Observasi Metode observasi
(pengamatan)
merupakan
sebuah
teknik
pengumpulan data yang mengharuskan peneliti turun ke lapangan
15
mengamati hal-hal yang berkaitan dengan ruang, tempat, pelaku, kegiatan, benda-benda, waktu, peristiwa, tujuan dan perasaan.20 Inti dari observasi adalah adanya perilaku yang tampak dan adanya tujuan yang ingin dicapai. Perilaku yang tampak dapat berupa perilaku yang dapat dilihat langsung oleh mata, dapat didengar, dapat dihitung, dan dapat diukur. 21 Teknik observasi yang peneliti gunakan adalah observasi partisipatif, dimana sesuai dengan cirinya yaitu pendekatan dan rancangan yang mendalam,
kualitatif,
dan
studi
kasus.
Observasi
partisipatif
mengharuskan peneliti terlibat langsung dalam berbagai kegiatan informan. Teknik ini digunakan hanya untuk dua orang informan saja, yaitu informan “IA” dan “AP”. Hal tersebut ditengarai karena kedua informan masih belum bisa diajak berkomunikasi secara aktif, sehingga untuk mendapatkan data, peneliti menggunakan teknik observasi ini kepada kedua informan. Seperti melakukan observasi ketika informan sedang berinteraksi dengan orang tuanya serta lingkungan sekitar. Selain itu peneliti juga akan melakukan observasi ketika informan berada dirumah. Dengan menggunakan metode observasi diharapkan peneliti dapat memperoleh data terkait tentang aspek sosial informan. b. Metode Wawancara Wawancara merupakan percakapan antara dua orang yang salah satunya bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi untuk
20
M.Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 165. 21 Haris Herdiansyah, Metodelogi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, h.131.
16
suatu tujuan tertentu.22 Bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur karena peneliti akan melakukan wawancara secara mendalam dan percakapan ini mirip dengan percakapan informal. Penggunaan metode wawancara dipilih karena peneliti dapat menggali informasi secara mendalam dari para informan tentang aspek biopsikososial dan spiritual anak pasca perceraian orang tuanya. Selain itu peneliti juga bisa menggali informasi dari sumber-sumber yang sudah ditentukan seperti guru, teman dan orang tua informan. c. Studi Dokumentasi Studi dokumentasi adalah suatu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek. Studi dokumentasi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan peneliti untuk mendapatkan gambaran dari sudut pandang subjek melalui suatu media tertulis dan dokumen lainnya yang ditulis atau dibuat langsung oleh subjek yang bersangkutan.23 Teknik dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah peninggalan tertulis, foto-foto, rekam medis, buku-buku yang berkaitan dengan penelitian, teori maupun literatur lainnya. 7. Teknik Analisis Data Analisis
data
adalah
proses
mengatur
urutan
data,
mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan uraian dasar. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik 22 23
Ibid., h.118. Ibid., h.143.
17
interactive model yang dikemukakan oleh Miles and Huberman. Teknik analisis data ini meliputi: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan lalu diverifikasi.24 Tahap pertama reduksi data melibatkan langkah-langkah editing, pengelompokkan, dan meringkas data. Pada tahap kedua, peneliti menyusun kode-kode dan catatan-catatan (memo) mengenai berbagai hal termasuk yang berkenaan dengan aktivitas serta proses-proses hingga peneliti dapat menemukan tema-tema, kelompok, dan pola-pola data. Berdasarkan keterangan diatas, maka setiap tahap dan proses tersebut dilakukan untuk mendapatkan keabsahan data dengan menelaah seluruh data yang ada dari berbagai sumber yang telah didapat dari lapangan dan bentuk dokumen pribadi, gambar, foto, dsb, melalui metode wawancara yang didukung dengan studi dokumentasi. Hal ini sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti, yaitu mengungkap lebih dalam, menganalisis, serta menggambarkan tentang seberapa besar dampak perceraian orang tua mempengaruhi aspek biopsikososial anak serta bagaimana pola pengasuhan yang diterapkan pasca perceraian orang tua. 8. Teknik Keabsahan Data Burhan Bungin dalam bukunya penelitian kualitatif mengatakan bahwa dalam melakukan penelitian kualitatif seringkali menghadapi persoalan dalam menguji keabsahan hasil penelitian, hal ini dikarenakan banyak hal, yaitu karena, (1) alat penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan observasi mendukung banyak kelemahan ketika
24
M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodelogi Penelitian Kualitatif, h. 306.
18
dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa control dalam observasi partisipatif, (2) sumber data kualitatif yang kurang akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian.25 Oleh sebabitu, hendaknya seperti yang telah dijelaskan oleh Lexy J. Moleong dalam bukunya Metodelogi Kualitatif dalam menentukan keabsahan data adalah dengan melakukan triangulasi. Triangulasi
adalah
teknik
pemeriksaan
keabsahan
data
yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.26 Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, sehingga data yang diperoleh sangat berpeluang untuk keluar dari obyektifitas, untuk itu cukup penting untuk penulis melakukan pemeriksaan kembali data yang diperoleh, dengan tujuan untuk mendapatkan kevalidan data. Teknik keabsahan data yang digunakan oleh peneliti adalah triangulasi sumber dan metode. Menurut Burhan Bungin, triangulasi yaitu membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara, sedangkan triangulasi sumber membandingkan apa yang dikatakan didepan umum dengan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu. 9. Tinjauan Pustaka Dalam penulisan penelitian ini, penulis melakukan tinjauan pustaka sebagai langkah dari penyusunan skripsi yang penulis teliti, agar terhindar dari kesamaan judul dan lain-lain dari skripsi yang sudah ada
25
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif Ekonomi, Kebijakan public, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 156. 26 Prof. Dr. Lexy J. Moleong, M.A. Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 330.
19
sebelum-sebelumnya. Setelah mengadakan tinjauan pustaka, maka peneliti menggunakan skripsi sebagai tinjauan pustaka pada skripsi ini. Peneliti menggunakan literatur berupa skripsi yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Skripsi pertama membahas tentang “Dampak
Perceraian
pada
Anak
Remaja”
oleh
Grace
Killis
(089900046Y), Jurusan Psikologi, Universitas Indonesia, tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dampak perceraian orang tua pada anak usia remaja dan faktor-faktor yang mempengaruhi dampak perceraian tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada awal perceraian anak akan lebih merasakan dampak negatifnya tetapi seiring dengan berjalannya waktu ternyata perceraian juga mempunyai dampak positif bagi kehidupan individu yang mengalaminya.27 Skripsi kedua membahas tentang “Perbedaan Self-Esteem antara Anak Usia Middle Childhood yang Orang Tuanya Bercerai dan yang Orang Tuanya
Tidak
Bercerai”
oleh
Belinda
Agustya
Pawidya
Putri
(0606092290), Jurusan Psikologi, Universitas Indonesia tahun 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur perbedaan self-esteem antara anak usia middle childhood yang orang tuanya bercerai dan yang orang tuanya tidak bercerai. Aspek yang diukur pada penelitian ini yaitu personal, akademis (sekolah), sosial (teman sebaya), dan keluarga (orang tuanya). Hasil analisis menunjukkan rendahnya Self-Esteem pada anak yang orangtuanya bercerai, baik secara menyeluruh atau pada tiap aspeknya.
27
Grace Killis, Dampak Perceraian pada Anak Remaja, (Skripsi S1) Jurusan Psikologi, Universitas Indonesia, 2013.
20
Pada dua kelompok ditemukan bahwa anak perempuan memiliki SelfEsteem yang tinggi dibandingkan anak laki-laki. Judul pada penelitian ini adalah Dampak Biopsikososial Anak Korban Perceraian Orang Tua (Studi Kasus Pada perceraian yang diakibatkan oleh perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga). Peneliti akan membahas tentang dampak-dampak perceraian orang tua yang dirasakan oleh anak-anak dari berbagai macam aspek yaitu aspek kesehatan, psikologis, sosial dan spiritual. Untuk teknis penulisan hasil penelitian ini mengacu pada buku pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi, dkk. Yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007. 10.
SISTEMATIKA PENULISAN Penulisan skripsi ini disajikan kedalam 5 Bab, berikut adalah sistematika
penulisan skripsi: BAB I Pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian (terdiri dari pendekatan dan jenis penelitian, lokasi dan waktu penelitian, teknik pemilihan subyek dan informan, sumber data, teknik analisis data, teknik keabsahan data), serta Sistematika Penulisan. BAB II Landasan Teori,
Bab ini mengemukakan tentang keluarga, tentang
perceraian, psikososial, serta aspek biopsikososial. BAB III Gambaran Umum, meliputi profil dari empat orang informan, yaitu anak yang menjadi korban perceraian orang tua, melihat seberapa besar perceraian
21
orang tua berpengaruh ada biopsikososial dan spiritual anak, serta untuk melihat bagaimana pola asuh yang diterapkan orang tua pasca perceraian. BAB IV Hasil Penelitian dan Analisis Data, Pada bab ini memuat tentang temuan-temuan dan analisis yang mendukung secara garis besar mengenai dampak perceraian orang tua terhadap biopsikososial anak serta bagaimana pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anak pasca perceraian. BAB V Penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
BAB II KAJIAN TEORI
Penelitian ini berisikan tentang dampak perceraian orang tua terhadap biopsikososial dan spiritual anak. Untuk menunjang penelitian ini, maka peneliti menuliskan teori-teori yang terkait dengan penelitian ini, yaitu: A.
Keluarga Pengertian Keluarga
1.
Dalam Islam, untuk membentuk sebuah keluarga maka para muslim dan muslimah dianjurkan untuk melakukan pernikahan, karena menikah merupakan fondasi dalam pembentukan keluarga. Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya.1 Keluarga adalah kelompok orang yang ada hubungan darah atau perkawinan. Orang-orang yang termasuk keluarga adalah ibu, bapak dan anakanaknya. Ini disebut keluarga batih (nuclear family). Keluarga yang diperluas (extended family) mencakup semua orang dari satu keturunan dari kakek dan nenek yang sama, termasuk keturunan suami dan isteri. Keluarga mempunyai fungsi untuk berkembang biak, mensosialisasi atau mendidik anak, dan menolong serta melindungi yang lemah, khususnya orang tua yang lanjut usia.2 Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami isteri, atau suami isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, ata ibu dan 1 2
W.A. Gerungan Dipl. Psych, Psikologi Sosial, (Bandung: Eresco, 1988), cet. XI, h. 180. Kusdwiratri Setiono, Psikologi Keluarga, (Bandung: P.T. Alumni, 2011), cet. I, h. 24.
22
23
anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga. 3 Jadi yang dimaksud keluarga merupakan kelompok orang yang memiliki hubungan darah atau perkawinan, dan keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan. Yang termasuk dalam keluarga adalah ayah, ibu, adik, kakak, nenek dan mencakup semua keturunan dari suatu keturunan. Orang Tua
2.
Seperti yang telah kita ketahui diatas, bahwa keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak, bahkan ada juga keluarga yang terdiri dari beberapa orang lainnya seperti ada kakek, nenek, paman dan sebagainya. Dalam keluarga, ayah dan ibu biasa disebut sebagai orang tua yang memiliki peran masing-masing dalam merawat dan membesarkan anak-anaknya. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.4 3.
Anak a.
Pengertian Anak Anak merupakan anugrah terindah yang dititipkan Tuhan kepada
para pasangan suami isteri yang harus dijaga dengan baik. Anak membutuhkan kasih sayang, perhatian, rasa aman dalam setiap tumbuh kembangnya. Pengertian anak menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud anak menurut 3
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Surabaya: Kesindo Utama, 2003), h. 4. 4 Ibid, h.4.
24
undang undang tersebut adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.5 Menurut John Locke, anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan.6 Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa anak merupakan manusia yang berusia 0 hingga mencapai 18 tahun dan memiliki pribadi yang bersih dan peka terhadap rangsangan dari lingkungan. b.
Anak dan Keluarga yang Bercerai Sebagian besar peneliti setuju bahwa anak-anak dari keluarga yang
bercerai menunjukkan penyesuaian diri yang lebih buruk dibanding anakanak dari keluarga yang tidak bercerai.7 Anak yang berasal dari keluarga bercerai lebih memiliki kecenderungan untuk mengalami masalah akademis, menunjukkan masalah-masalah
eksternal
seperti
kenakalan,
kurang
memiliki tanggung jawab, memiliki hubungan intim yang kurang baik, putus sekolah, berhubungan dengan peer yang antisosial, dan memiliki nilai diri yang rendah.8 Konflik perkawinan bisa memiliki akibat negatif terhadap anak, baik dalam konteks perkawinan maupun perceraian. Kepribadian dan tempramen memainkan peran dalam penyesuaian anak-anak dari keluarga bercerai. Anak-anak yang secara sosial dewasa dan bertanggung jawab, yang hanya menunjukkan sedikit masalah emosional, dan yang memiliki temperamen yang terkendali lebih baik dalam menghadapi perceraian
5
Ibid, h. 4. Hastuti, Psikologi Perkembangan Anak, (Jakarta: Tugu Publisher, 2012), cet.1, h. 11. 7 Santrock, Perkembangan Anak, h. 186. 8 Ibid., h. 186. 6
25
mereka. Anak-anak dengan tempramen yang sulit sering kali mengalami kesulitan dalam menghadapi perceraian orang tua mereka. Ketika hubungan orang tua yang bercerai terjalin harmonis dan ketika mereka menggunakan gaya pengasuhan otoritatif, penyesuaian anak-anak akan meningkat.9 4.
Pola Asuh A. Jenis-Jenis Pola Asuh Hubungan suami isteri yang harmonis merupakan prakondisi yang diperlukan guna mewujudkan pengasuhan anak yang kondusif. Kehilangan pengasuhan yang baik, misalnya perceraian, kehilangan orang tua, baik untuk sementara maupun selamanya, bencana alam, dan berbagai hal yang bersifat traumatis lainnya sangat mempengaruhi kualitas kesehatan fisik, emosi, mental dan spiritual anak. Dengan mengacu pada konsep dasar tumbuh kembang anak, maka secara konseptual pengasuhan anak adalah upaya orang dewasa dalam lingkungan keluarga guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang (asah, asih dan asuh) dengan baik dan benar, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.10 Menurut Diana Baumrind ada 4 jenis pola pengasuhan orang tua, yaitu:11
9
Santrock, Perkembangan Anak, h. 188. Asep Usman Ismail, MA., Al-Qur’an dan Kesejahteraan Sosail: Sebuah Rintisan Membangun Paradigma Sosial Islam yang Berkeadilan dan Berkesejahteraan, h. 165. 11 John W. Santrock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 167. 10
26
a.
Pengasuhan Otoritarian (Authoritarian Parenting) Pengasuhan otoritarian ini adalah pola yang membatasi dan
menghukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan orang tua dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Batas dan kendali yang tegas diterapkan pada anak, dan sangat sedikit tawarmenawar verbal yang diperbolehkan. Pola ini bisa mengakibatkan perilaku anak yang tidak kompeten secara sosial. Anak yang memiliki orang tua otoriter sering kali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah. Anak dengan pola pengasuhan ini mungkin berperilaku agresif. b.
Pengasuhan Otoritatif (Authoritatif Parenting) Pola ini mendorong anak untuk mandiri, namun masih
menempatkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat dan penyayang kepada anak. Pola ini biasanya mengakibatkan perilaku anak yang kompeten secara sosial. Anak yang memiliki orang tua otoritatif sering kali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi. Mereka cenderung mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stres dengan baik. c.
Pengasuhan Yang Mengabaikan (Neglectful Parenting) Pola dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan
anak. Anak yang memiliki orang tua yang mengabaikan merasa bahwa
27
aspek lain kehidupan orang tua lebih penting dari pada diri mereka. Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial dan banyak diantaranya memiliki kemampuan pengendalian diri yang buruk. d.
Pengasuhan Yang Menuruti (Indulgent Parenting) Suatu pola dimana orang tua sangat terlibat penuh dengan anak
tetapi tidak menaruh banyak tuntutan dan kontrol yang ketat pada mereka. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam hubungan dan teman sebaya. Dalam mengasuh anak, orangtua hendaknya bersikap arif dan bijaksana, tidak ekstrim terhadap salah satu pola asuh yang ada, dalam arti mampu memberi pengasuhan sesuai dengan apa yang sedang dilakukan anak dan apa harapan orangtua. Dengan demikian pengasuhan yang diberikan oleh orangtua lebih mengutamakan kasih sayang, kebersamaan, musyawarah, saling pengertian dan penuh keterbukaan. Jika anak-anak dibesarkan dan diasuh dengan pola asuh yang demokratis, niscaya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Seluruh potensi yang dimiliki anak dapat dikembangkan secara optimal. Dengan demikian pada gilirannya nanti anak-anak yang sehat, cerdas, ceria dan berakhlak mulia dapat terwujud. Dampak positif yang akan muncul adalah terwujudnya suatu tatanan masyarakat yang baik, saling menghargai, saling menghormati, saling
28
menyayangi, saling mengasihi, masyarakat yang terbuka, berpikiran positif, jujur, dan mempunyai toleransi yang baik. B.
Kelekatan (Attachment) Kelekatan yang aman pada orang tua dalam masa remaja bisa
membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan anak yang tercermin dalam harga diri, penyesuaian emosional, dan kesehatan fisik. Anak yang lekat secara aman memiliki kemungkinan yang lebih rendah untuk melakukan perilaku bermasalah.12 C.
Hukuman Selama berabad-abad, hukuman fisik seperti memukul dianggap
sebagai metode yang perlu dan bahkan disarankan untuk mendisiplinkan anak. Penelitian terbaru menyimpulkan bahwa hukuman fisik oleh orang tua berasosiasi dengan tingkat ketaatan dan agresi cepat yang lebih tingi oleh anak-anak. Selain itu hukuman fisik berhubungan dengan tingkat internalisasi moral dan kesehatan mental yang lebih rendah.13 Berikut adalah alasan mengapa orang tua tidak dibenarkan memberikan hukuman fisik ataupun hukuman serupa, yaitu:14 1. Ketika orang tua menghukum anak dengan berteriak, menjerit atau sebagainya, mereka menunjukkan kepada anak model lepas kendali ketika menghadapi situasi yang menekan. Anak-anak mungkin akan meniru perilaku agresif dan lepas kendali ini.
12
John W. Santrock, Perkembangan Anak, h. 177. Santrock, Perkembangan Anak, h. 169. 14 Ibid, h. 170 13
29
2. Hukuman bisa menanamkan rasa takut, kemarahan, dan penghindaran. Pemukulan terhadap anak bisa menyebabkan anak takut dengan orang tua dan pada akhirnya memilih untuk menghindari orang tua. 3. Hukuman memberi tahu anak apa yang tidak boleh dilakukan, tetapi anak seharusnya diberikan umpan balik. 4. Hukuman bisa bersifat menyiksa. Ketika orang tua mendisiplinkan anak mereka, mereka mungkin tidak bermaksud menyiksa. Namun mereka menjadi begitu terpancing ketika menghukum anak tersebut sehingga menjadi bersifat menyiksa. Kebanyakan psikolog anak merekomendasikan orang tua agar mengajak anak berpikir logis, khususnya menjelaskan akibat tindakan anak terhadap orag lain, sebagai cara terbaik untuk menangani perilaku anak yang salah. D.
Perlakuan Salah Terhadap Anak Penting untuk diketahui bahwa kekerasan terhadap anak adalah
kondisi yang beragam, bahwa keparahan kekerasan itu biasanya mulai dari ringan ke sedang, dan bahwa kekerasan terhadap anak hanya disebabkan oleh karakteristik kepribadian orang tua. Berikut akan dijelaskan tipe perlakuan yang salah terhadap anak menurut National Clearinghouse on Child Abuse and Neglect:15 1.
Kekerasan fisik, dicirikan oleh terjadinya cidera fisik karena penonjokan, pemukulan, penendangan, penggigitan, pembakaran atau pembahayaan anak.
15
Santrock, Perkembangan Anak, h. 172.
30
2.
Penelantaran anak, dicirikan oleh kegagalan dalam memenuhi kebutuhan dasar anak. Penelantaran bisa berupa penelantaran fisik, meliputi peninggalan, pengusiran dari rumah, pengawasan yang kurang memadai dan penundaan dalam mencari perawatan kesehatan. Penelantaran pendidikan, meliputi membiarkan anak bolos sekolah yang parah, tidak mendaftarkan anak usia sekolah ke sekolah, dan tiadak memenuhi kebutuhan pendidikan khusus anak, dan penelantaran emosional meliputi, tidak adanya perhatian terhadap kebutuhan anak akan kasih sayang, penolakan atau ketidakmampuan untuk memberikan kepedulian psikologis yang perlu, penyiksaan pasangan di depan anak, dan pembiaran penggunaan alkohol dan obat-obatan oleh anak.
3.
Kekerasan seksual meliputi mempermainkan alat kelamin anak, hubungan seksual, pemerkosaan, sodomi, eksploitasi komersial melalui pelacuran atau produksi materi pornografi.
4.
Kekerasan emosional meliputi tindakan pengabaian orang tua atau pengasuh yang menyebabkan atau bisa mengakibatkan pada masalah behavioral, kognitif atau emosional yang serius. Walaupun bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap anak diatas bisa
ditemukan secara terpisah, namun bentuk-bentuk tersebut sering juga terjadi dalam kombinasi. Kekerasan emosional hampir selalu ada ketika bentuk kekerasan lain terjadi. E.
Akibat Kekerasan pada Perkembangan Anak Akibat perlakuan salah terhadap anak pada perkembangannya
antara lain adalah pengendalian emosi yang buruk, masalah keterikatan,
31
masalah dalam hubungan dengan peer group, kesulitan beradaptasi di sekolah, dan masalah psikologis lainnya.16 Anak yang diperlakukan secara salah mungkin menunjukkan emosi negatif yang berlebihan, seperti mudah marah atau menangis, atau mereka mungkin juga menunjukkan emosi positif yang tidak peka seperti jarang tersenyum atau tertawa. Ketika anak-anak diperlakukan secara salah, mereka sering menunjukkan pola keterlibatan yang tidak percaya diri dalam hubungan sosial mereka ketika dewasa. Anak-anak yang diperlakukan secara salah kurang memiliki bekal untuk mengembangkan hubungan peer yang berhasil. Mereka cenderung menjadi terlalu agresif terhadap teman sebaya atau menghindari interaksi dengan teman sebaya. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan dan penelantaran beresiko menghadapi masalah akademis. Kekerasan fisik terkait dengan kecemasan anak, masalah kepribadian, depresi, gangguan perilaku dan kenakalan.17 Pengasuhan yang baik membutuhkan waktu dan usaha. Pada dasarnya orang tua tidak bisa melakukannya hanya dalam waktu satu menit. Tentu bukan hanya jumlah waktu yang dihabiskan orang tua bersama anak yang penting bagi perkembangan anak tetapi kualitas pengasuhan jelas lebih penting. F.
Ayah Sebagai Pengasuh Parke & Sawin dalam Santrock, menunjukkan bahwa ayah
memiliki kemampuan untuk bertindak secara peka dan secara tanggap terhadap anaknya.18 Meskipun ayah dapat menjadi pengasuh yang aktif,
16
Santrock, Perkembangan Anak, h. 173. Ibid., h. 174. 18 John W. Santrock, Live-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 198. 17
32
sabar dan terlibat penuh dengan si anak, tetapi masih jarang orang tua yang mengikuti pola ini. Memang terdapat perbedaan antara perilaku ayah dan ibu terhadap seorang anak. Interaksi ibu dan anak biasanya berpusat pada kegiatan pengasuhan anak, memberi makan, mengganti popok, memandikan dan lain sebagainya. Sedangkan interaksi ayah dengan anak mencakup aktivitas permainan. Ayah lebih banyak melibatkan diri dalam permainan fisik seperti melambungkan bayi, melemparkan bayi ke udara, menggelitik dan lain sebagainya. G.
Pengaruh Ayah pada Perkembangan Anak Peran ayah juga memberi pengaruh pada anak. keterlibatan ayah
dalam membesarkan anak pada usia 5 tahun merupakan penentu empati terkuat bagi pria dan wanita pada usia 31 tahun. Pria dan wanita tersebut memiliki hubungan sosial yang lebih baik mengalami lebih banyak kehangatan dari ayah semasa anak-anak. Ayah yang menggunakan gaya pengasuhan otoritatif lebih cenderung memiliki anak dengan masalah eksternal seperti mengekspresikan perasaan yang tertahan atau bersikap sangat agresif dan masalah internal seperti kecemasan atau depresi yang lebih sedikit dibandingkan dengan ayah yang menggunakan gaya pengasuhan lainnya.19
19
Santrock, Perkembangan Anak, h. 196.
33
B.
Perceraian Perceraian dapat dikatakan sebagai mimpi buruk bagi para pasangan suami
isteri terlebih ketika mereka telah memiliki anak. Perceraian sendiri akan membuat anak menjadi korbannya. Untuk itu perlu diperhatikan kepada para pasangan orang tua yang telah bercerai, maupun yang sedang dalam proses perceraian, hendaknya mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik terlebih dengan kesiapan mental dari anak itu sendiri. Berikut adalah beberapa teori yang peneliti gunakan terkait dengan perceraian. Definisi Perceraian
1.
Perceraian ialah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta kepada pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian, pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana membagi harta benda masing-masing yang diperoleh selama pernikahan (seperti rumah, mobil, perabotan atau kontrak), dan mereka menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka. Hal ini dapat dipahami karena besarnya dampak perceraian yang tidak hanya menimpa suami-isteri, tetapi juga anak-anak. anak-anaklah yang sangat merasakan pahitnya akibat perceraian kedua orang tuanya. Sejatinya perceraian dapat diminta oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak untuk mengakomodasi realitas-realitas tentang perkawinan yang gagal.20 2.
Penyebab Perceraian Banyak hal yang dapat menyebabkan pasangan suami isteri memiliki
jalan untuk bercerai sebagai jalan terakhir. Seperti yang kita ketahui, dewasa 20
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), cet. 1, h. 228.
34
ini tidak hanya seorang suami yang menjatuhkan talak, justru seorang istri yang lebih banyak menggugat suaminya. Berikut akan dibahas yang menjadi penyebab-penyebab perceraian. Berdasarkan pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa perceraian terjadi karena alasan sebagai berikut: 1. Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan lainnya yang sukar
disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dua tahun berturut-turut tanpa seizin pihak lain dan tanpa alasan yang sah. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang mengancam jiwa pihak lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang sukar disembuhkan sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri. 6. Serta antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terusmenerus sehingga tidak ada harapan untuk dirukunkan.21 Selain itu Miller dalam bukunya menyatakan bahwa penyebab perceraian dapat dibagi dalam beberapa kategori spesifik, yaitu: a.
Ketidaksesuaian yang tidak dapat ditanggulangi lagi.
21
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, artikel diakses pada tanggal 16 Maret 2015, dari http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/1700/node/18/pp-no-9-tahun-1975pelaksanaan-undang-undang-nomor-1-tahun-1974-tentang-perkawinan
35
b.
Tinggal secara terpisah lebih dari 18 bulan tanpa kemungkinan untuk bersatu kembali.
c.
Selingkuh.
d.
Perkawinan kontrak.
e.
Meninggalkan pasangan secara sukarela selama lebih dari 1 tahun.
f.
Pergi tanpa kabar berita selama 7 tahun.
g.
Kebiasaan mabuk-mabukan.
h.
Kekerasan yang tidak dapat ditoleransi.
i.
Pasangan menjalani hukuman.
j.
Pasangan dalam perawatan karena gangguan mental selama 5 dari 6 tahun terakhir. 22
C.
Psikologi Sosial Psikologi sosial merupakan salah satu cabang psikologi yang secara nyata berhubungan langsung dengan masalah sosial manusia. 1.
Pengertian Psikologi sosial adalah psikologi dalam konteks sosial. Psikologi,
seperti yang telah kita ketahui, adalah ilmu tentang perilaku, sedangkan sosial di sini berarti interaksi antar individu atau antar kelompok dalam masyarakat. Psikologi sosial adalah psikologi yang dapat diterapkan dalam konteks keluarga, sekolah, teman, kantor, politik, negara, lingkungan, organisasi dan sebagainya.23 Kata psikososial itu sendiri menggaris bawahi suatu hubungan yang dinamis antara efek psikologis dan sosial, yang mana masing-masingnya saling 22
Grace Kilis, “Dampak Perceraian Pada Anak Remaja”, (Skripsi S1 Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Juli 2003), h. 10. 23 Sarlito W. Sarwono dan Eko A. Meinarno, Psikologi Sosial, h. 11.
36
mempengaruhi. Kebutuhan psikososial mencakup cara seseorang berfikir dan merasa mengenal dirinya dengan orang lain, keamanan dirinya dan orangorang yang bermakna baginya, hubungan dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya serta pemahaman dan reaksinya terhadap kejadian-kejadian disekitarnya.24 Baron dan Byrne mengemukakan bahwa psikologi sosial adalah cabang psikologi yang berupaya untuk memahami dan menjelaskan cara berpikir, berperasaan, dan berperilaku individu yang dipengaruhi oleh kehadiran orang lain. Kehadiran orang lain itu dapat dirasakan secara langsung, diimajinasikan, ataupun diimplikasikan.25 Selain itu menurut Allport, psikologi sosial adalah upaya untuk memahami dan menjelaskan bagaimana pikiran, perasaan dan perilaku individu terpengaruh oleh kehadiran orang lain. Pengaruh tersebut dapat bersifat aktual, dalam imajinasi, maupun secara tidak langsung. 26 Jadi psikologi sosial adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana seseorang berinteraksi dengan orang lain dan interaksi tersebut saling mempengaruhi baik dalam pikiran maupun dalam berperilaku. 2.
Fase-Fase Perkembangan Menurut Erik H. Erickson, fase-fase perkembangan psikososial dibagi dalam beberapa tahapan tertentu, yaitu sebagai berikut:27
24
Departemen sosial, Standar Rehabilitasi Psikososial Pekerja Migran, (Jakarta: 2004),
h.2. 25
Fattah Hanurawan, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), cet. I, h. 1. 26 Sarwono dan Meinarno, Psikologi Sosial, h. 12. 27 Azahrotun, Psikologi Perkembangan: Tinjauan Psikologi Barat dan Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press___, 2006), h. 58.
37
a. Kepercayaan Dasar versus Kecurigaan Dasar (Trust vs Mistrust) Masa bayi berlangsung antara 0-1 tahun. pada tahap ini anak mulai belajar percaya pada orang yang ada di sekitarnya. Namun sebaliknya, pada tahap ini pula anak dapat merasa tidak percaya pada orang lain, menarik diri dari lingkungan masyarakat dan melakukan pengasingan diri. Pemenuhan kebutuhan pada tahap ini cenderung bersifat fisik, seperti pemenuhan kepuasan untuk makan dan mengisap, rasa hangat dan nyaman, cinta dan rasa aman. Semua pemenuhan ini akan menimbulkan sebuah kepercayaan pada diri anak terhadap orang lain. Sebaliknya
jika
kepuasan
ini
tidak
terpenuhi
maka
akan
mengakibatkan perasaan curiga, rasa takut dan tidak percaya pada orang lain. Hal ini ditandai dengan perilaku makan, tidur dan eliminasi yang buruk. b. Otonomi versus Perasaan Malu dan Keragu-raguan (autonomy vs shame and doubt) Masa kanak-kanak permulaan yaitu berlangsung pada usia 2-3 tahun yang menentukan tumbuhnya kemauan baik dan kemauan keras, anak mempelajari apakah yang diharapkan dari dirinya, apakah kewajiban dan hak-haknya yang disertai pembatasan-pembatasan yang dikenakan pada
dirinya.
Inilah
tahap
saat
berkembangnya
kebebasan
pengungkapan diri yang pada akhirnya akan menimbulkan rasa percaya diri pada anak. Konsekuensi apabila kepuasan pada tahap ini tidak terpenuhi adalah anak akan menjadi individu yang pemalu.
38
c. Inisiatif versus Kesalahan (Initiative vs Guilt) Masa bermain, berlangsung pada usia 4 tahun sampai usia sekolah. Pada tahap ini anak mulai belajar pada tingkat ketegasan tertentu. Anak mulai mengevaluasi kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya. Namun sebaliknya, pada tahap ini pula anak bisa merasa kurang percaya diri, pesimis, takut salah. Perasaan takut salah ini muncul pada saat anak melakukan aktivitas yang berlawanan dengan orang yang lebih tua darinya. Selain itu, anak juga perlu belajar untuk melakukan aktivitas yang tidak merusak hak-hak orang lain. d. Kerajinan versus Inferioritas (Industry vs Inferiority) Masa usia sekolah, berlangsung antara usia 6-11 tahun. Pada masa ini berkembang
kemampuan
berpikir
deduktif,
disiplin
diri
dan
kemampuan berhubungan dengan teman sebaya serta rasa ingin tahu akan meningkat. Pada tahap ini anak mulai membangun rasa bersaing dan ketekunan pada dirinya. Sebaliknya, anak mungkin akan kehilangan harapan, merasa cukup, menarik diri dari sekolah dan teman sebaya. Anak mulai mendapatkan pengenalan melalui demonstrasi
ketrampilan
dan
produksi
benda-benda
serta
mengambangkan harga dirinya melalui sesuatu pencapaian apa yang diinginkannya. Tahap ini mendorong anak untuk memiliki perasaan inferior, yaitu perasaan yang timbul akibat adanya orang yang dewasa yang memandang usaha anak untuk belajar bagaimana sesuatu bekerja melalui manipulasi dianggap merupakan sesuatu yang bodoh atau merupakan masalah.
39
e. Identitas versus Kekacauan Identitas (Identity vs Role Confusion) Masa adolesen, berlangsung pada usia 12/13-20 tahun. Selama masa ini individu mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah unik, namun siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti ditengah masyarakat, entah peranan ini bersifat menyesuaikan diri atau sifat memperbaharui. Selain itu individu mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada irinya sendiri, seperti aneka kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan-tujuan yang dikejarnya di masa dan, kekuatan dan hasrat untuk mengontrol nasibnya sendiri. Terjadinya kegagalan untuk mengembangkan rasa identitas akan menyebabkan kebingungan peran, yang sering muncul dari perasaan tidak adekuat, isolasi dan keragu-raguan. f. Keintiman versus Isolasi (Intimacy vs Isolation) Masa dewasa muda, berlangsung antara usia 20-24 tahun. Pada masa ini, mereka mengorientasikan dirinya terhadap pekerjaan dan teman hidupnya. Menurut Erickson, masa ini menumbuhkan kemampuan dan kesediaan meleburkan diri dengan orang lain, tanpa merasa takut kehilangan sesuatu yang ada pada dirinya yang disebut intimasi. Ketidakmampuan
untuk
masuk
ke
dalam
hubungan
yang
menyenangkan serta akrab dapat menimbulkan hubungan sosial yang hampa dan terisolasi atau tertutup (menutup diri). g. Generativitas versus Stagnasi Masa dewasa tengah, berlangsung pada usia 25-45 tahun. generativitas yang ditandai jika individu mulai menunjukkan perhatiannya terhadap
40
apa yang dihasilkan, ia mulai kreatif, produktif, dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Sedangkan gejala negatif yang dapat timbul adalah ia mulai merasa kurang nyaman terhadap dirinya. Untuk mengatasi hal tersebut, ia cenderung sangat perhatian dengan dirinya baik dari segi penampilan maupun cara bertindaknya dihadapan orang lain demi tercapainya cita-cita di masa depan. Ia akan melakukan perenungan diri yang mengarah pada stagnasi kehidupan. h. Integritas versus Keputus-asaan Masa usia tua, berlangsung diatas usia 65 tahun. tahap ini merupakan tahap terakhir dimana individu telah menjalani kehidupannya dan menerima kehidupannya itu sebagai suatu yang berharga dan unik. Masa ini disebut juga masa lansia. Pada masa ini manusia telah dapat melihat ke belakang dengan rasa puas dan siap menerima sebuah kematian. Resolusi (pencapaian) yang tidak berhasil bisa menghasilkan perasaan putus asa karena individu melihat kehidupan sebagai bagian dari ketidakberuntungan, kekecewaan dan kegagalan. 3.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psikososial a. Lingkungan Keluarga Hubungan dengan orang tua atau pengasuh merupakan dasar bagi perkembangan psikososial. Sejumlah ahli mempercayai bahwa kasih sayang orangtua dan pengasuh selama beberapa tahun kehidupan merupakan kunci utama perkembangan sosial anak. meningkatnya kemungkinan anak memiliki kompetensi secara sosial dan penyesuaian diri yang baik pada tahun-tahun prasekolah dan setelahnya. Salah satu
41
aspek penting dalam hubungan orangtua dan anak adalah gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. b. Status Ekonomi Orang Tua Keadaan sosio-ekonomi keluarga tentulah mempunyai peranan terhadap
perkembangan
anak-anak,
bahwa
dengan
adanya
perekonomian yang cukup, lingkungan material yang dihadapi anak di dalam keluarga itu lebih luas, ia mendapat kesempatan yang lebih luas untuk mengambangkan bermacam-macam kecakapan yang tidak dapat ia kembankan apabila tidak ada alat-alatnya.28 c. Lingkungan Sekolah Mengenai peran sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak, hurlock mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan anak, baik dalam cara berfikir maupun cara berprilaku. Sekolah berperan sebagai substitusi keluarga dan guru substitusi orang tua. Ada beberapa alasan mengapa sekolah memainkan peranan berarti bagi perkembangan psikososial anak, yaitu anak harus hadir di sekolah, sekolah memberikan pengaruh kepada anak sejak dini seiring perkembangan konsep dirinya dan anak lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah daripada di tempat lain selain di luar rumah. d. Kelompok Teman Sebaya Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial mempunyai peranan yang cukup penting bagi perkembangan psikososial anak. hasil penelitian lainnya dikemukakan oleh Hans Sebald (Sigelman &
28
Gerungan Dipl. Psych., Psikologi Sosial, h. 181.
42
Shaffer) bahwa teman sebaya lebih memberikan pengaruh dalam memilih cara berpakaian, hobi, perkumpulan (klub) dan kegiatankegiatan sosial lainnya. Peran teman sebaya bagi anak adalah memberikan kesempatan untuk belajar bagaimana berinteraksi dengan orang lain, mengontrol tingkah laku sosial, mengembangkan keterampilan, dan saling bertukar perasaan masalah. D.
Biopsikososial Bipsikososial merupakan alat assessment yang digunakan oleh pekerja sosial
untuk
melakukan
intervensi
terhadap
kliennya.
Pendekatan
biopsikososial (biopsychosocial approach) menekankan pengaruh interaktif dari faktor-faktor biologis, psikologis dan sosial terhadap berkembangnya masalah-masalah remaja dan orang-orang yang berasal dari berbagai usia lainnya.29 Dengan
demikian
seandainya
seseorang
terlibat
dalam
suatu
permasalahan, maka permasalahan tersebut dapat terkait dengan kombinasi dari faktor biologis seperti faktor bawaan atau proses-proses yang berlangsung di otak, faktor psikologis seperti gejolak emosional atau kesulitan dalam menjalin relasi serta faktor sosial seperti kemiskinan dan lain sebagainya. 1.
Faktor-Faktor Biologis Menurut pendekatan biologis, masalah-masalah remaja disebabkan
oleh kegagalan dari fungsi-fungsi tubuhnya. Para ilmuwan yang menganut
29
John W. Santrock, Remaja, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 233.
43
pendekatan biologis biasanya berfokus pada faktor otak dan faktor genetik sebagai penyebab timbulnya masalah-masalah remaja.30 a.
Otak 31 Salah satu perkembangan fisik yang paling penting selama masa
awal anak-anak ialah perkembangan otak dan sistem syaraf yang berkelanjutan. Meskipun otak terus bertumbuh pada masa awal anak-anak, namun otak tidak bertumbuh sepesat saat masa bayi. Ketika anak-anak mencapai usia 3 tahun, ukuran otaknya adalah ¾ otak orang dewasa. Pada usia 5 tahun, otaknya mencapai sekitar 9/10 otak orang dewasa. Otak dan kepala bertumbuh lebih pesat dari pada bagian tubuh lain manapun. Beberapa pertambahan ukuran otak disebabkan oleh pertambahan jumlah dan ukuran urat syaraf yang berujung di dalam dan di antara daerahdaerah otak. Ujung-ujung urat syaraf itu terus bertumbuh setidak-tidaknya hingga masa remaja. Beberapa pertumbuhan otak juga disebabkan oleh myelination, suatu proses dimana sel-sel urat syaraf ditutup dan disekat dengan suatu lapisan sel-sel lemak. Proses ini memiliki dampak meningkatkan kecepatan informasi yang berjalan melalui sistem surat syaraf. b.
Genetika Setiap spesies harus memiliki suatu mekanisme untuk meneruskan
karakteristik dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mekanisme ini dijelaskan dengan prinsip-prinsip genetika. Masing-masing dari kita akan
30 31
Santrock, Remaja, h. 233. John W. Santrock, Live-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, h. 224.
44
membawa suatu kode genetik yang kita warisi dari orang tua kita. Kode genetik ini ditempatkan di dalam setiap sel tubuh kita. Masing-masing dari kita memulai kehidupan sebagai suatu sel tunggal yang beratnya kira-kira seperduapuluh juta ons. Potongan benda yang sangat kecil ini menyimpan kode genetika. Intruksi ini mengatur pertumbuhan dari sel tunggal itu menjadi seseorang yang terdiri dari bertrilyun-trilyun sel, yang masing-masing berisi satu tiruan kode genetik asli yang sempurna.32 2.
Faktor- Faktor Psikologis Beberapa faktor psikologis yang dianggap sebagai penyebab timbulnya
masalah remaja adalah gangguan berpikir, gejolak emosional, proses belajar yang keliru, dan relasi yang bermasalah. Secara khusus pengaruh keluarga dan kawan-kawan sebaya dianggap memiliki kontribusi yang penting terhadap timbulnya masalah remaja.33 A. Emosi Karena emosi memainkan peran yang sedemikian penting dalam kehidupan, maka penting diketahui bagaimana perkembangan dan pengaruh emosi terhadap penyesuaian pribadi dan sosial. a.
Pola Perkembangan Emosi Kemampuan untuk bereaksi secara emoional sudah ada pada bayi yang baru lahir. Gejala pertama perilaku emosional ialah keterangsangan umum terhadap stimulasi yang kuat. Dengan meningkatnya usia anak,
32 33
Santrock, Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, h. 84. Ibid, h. 233.
45
reaksi
emosional
mereka
menjadi
kurang
menyebar,
kurang
sembarangan, dan lebih dapat dibedakan.34 b.
Emosi Tidak Memaksa Kita Untuk Berbuat Sesuatu Emosi seperti rasa sayang, marah, dan benci yang kita alami dalam batin kita biasanya merupakan tanggapan terhadap kejadian-kejadian dalam hidup kita. Emosi dapat merangsang pikiran baru, khayalan baru, dan tingkah laku baru. Namun pada saat-saat tertentu hubungan antara perasaan dan tingkah laku tidak begitu jelas, terlebih ketika kita sedang berada di dalam dua perasaan yang bertentangan satu sama lain, dan kita tidak bisa membedakannya. Emosi sendiri pada dasarnya tidak memaksa kita untuk bertingkah laku secara tertentu. Tetapi arti yang kita berikan kepada emosi itu dapat mengarahkan kita kepada tingkah laku tertentu.35 Bukan hanya emosi yang menjadi salah faktor psikologi, tetapi juga
gangguan berpikir. Berikut akan dibahas konsep dasar berpikit dan jenis-jenis gangguan berpikir. B. Konsep Berpikir Plato mengartikan berpikir sebagai suatu aktivitas ideasional. Jadi, berpikir adalah suatu aktivitas, karenanya subyek yang berpikir itu aktif. Aktivitas itu sendiri sifatnya ideasional, artinya menggunakan abstraksiabstraksi (ideas), dan bukan aktivitas sensoris atau motoris, tetapi dapat disertai oleh kedua aktivitas itu.36
34
Hurlock, Perkembangan Anak, h. 212. Rochelle Semmel Albin, Emosi: Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya, (Yogyakarta: Kanisisus, 1986), h. 17. 36 MIF Baihaqi, Psikiatri: Konsep Dasar dan Gangguan-Gangguan, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), h. 91. 35
46
Berpikir adalah proses yang dinamis. Sedangkan bagaimana proses berpikir itu berlangsung, para ahli mengemukakan dengn istilah yang berbeda. Menurut Suryabrata, proses berpikir dapat dibagi menjadi tiga langkah, yaitu:37 1. Pembentukan pengertian, 2. Pembentukan pendapat, dan 3. Pembentukan kesimpulan. 3.
Faktor-Faktor Sosial Masalah-masalah psikologis yang berkembang pada dasarnya juga
muncul di sebagian besar budaya. Meskipun demikian, frekuensi dan intensitas
masalah-masalah tersebut bervariasi antara budaya yang satu
dengan budaya yang lain, dimana variasi ini berkaitan dengan aspek-aspek budaya seperti aspek sosial-ekonomi, teknologi dan agama atau spiritual. Faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan masalah-masalah remaja dapat meliputi status sosio-ekonomi dan kualitas lingkungan tempat tinggal.38 Berikut akan dibahas beberapa faktor yang mempengaruhi aspek sosial seseorang adalah sebagai berikut: a.
Budaya Budaya (Culture) adalah pola perilaku, keyakinan dan hal-hal lain yang dihasilkan oleh suatu kelompok orang tertentu yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. 39
37
MIF Baihaqi, Psikiatri: Konsep Dasar dan Gangguan-Gangguan, h. 92. Santrock, Remaja, h. 233. 39 Santrock, Remaja, h. 189. 38
47
Menurut Richard Brislin mendeskripsikan sejumlah karakteristik budaya sebagai berikut:40 1. Budaya disusun oleh sejumlah idealisasi, nilai, dan asumsi mengenai kehidupan yang mengarahkan perilaku manusia yang hidup di budaya tersebut. 2. Budaya dibuat oleh manusia. 3. Budaya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya; yang bertanggung jawab dalam mewariskan budaya tersebut adalah orang tua, guru, dan pimpinan komunitas. 4. Pengaruh budaya paling jelas terlihat dalam perselisihan-perselisihan halus di antara orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. 5. Apabila nila-nilai budaya mereka dilanggar atau ketika harapan budaya mereka dabaikan, orang yang tinggal di budaya tersebut akan cenderung bereaksi secara emosional. 6. Tidak jarang orang menerima suatu nilai budaya di suatu keadaan dalam kehidupannya namun kemudian menolaknya di saat lain. b. Status Sosial- Ekonomi Status Sosial-ekonomi (socioeconomic status atau SES) merujuk pada kelompok orang-orang yang memiliki pekerjaan, pendidikan, dan karakteristik ekonomi yang kurang lebih sama. Individu yang berasal dari SES yang berbeda memiliki tingkat kekuasaan, pengaruh dan prestasi yang berbeda-beda.41 40 41
Ibid, h. 189. Santrock, Remaja, h. 190.
48
Beberapa perbedaan status sosial-ekonomi yang terlihat secara gamblang tergantung pada ukuran dan kompleksitas komunitas. Sosial ekonomi rendah kadangkala dideskripsikan sebagai orang yang memiliki penghasilan rendah, kelas pekerja atau kerah biru. Sementara sosial ekonomi menengah kadangkala dideskripsikan sebagai orang yang memiliki penghasilan menengah, memegang pekerjaan manajerial atau kerah putih. Para profesional yang berada di puncak bidangnya, para eksekutif perusahaan tingkat tinggi, para pemimpin politik, dan individuindividu yang kaya adalah mereka yang digolongkan sebagai kategori sosial ekonomi kelas atas.42 Hoff, Laursen, & Tardif, mengemukakan bahwa ditemukan perbedaan pengasuhan anak di antara kelompok-kelompok sosial-ekonomi yang berbeda.43 1. Orang tua yang memiliki sosial-ekonomi rendah lebih mengusahakan agar
anaknya
meyesuaikan
diri
terhadap
ekspektasi
sosial,
mencipatakan atmosfir rumah dimana orang tua memiliki otoritas yang jelas terhadap anak-anak, lebih banyak menggunakan hukuman fisik untuk mendisiplinkan anak-anaknya, dan komunikasi yang dilakukan kepada anak-anaknya bersifat searah. 2. Orang tua yang memiliki sosial-ekonomi lebih tinggi lebih mengusahakan agar anak-anaknya mengembangkan inisiatif dan mampu menunda kepuasan, menciptakan lingkungan rumah dimana anak-anak lebih ditempatkan sebagai partisipan yang setara dan lebih 42 43
Santrock, Remaja, h. 198. Ibid, h. 198.
49
banyak mendiskusikan aturan-aturan yang akan diberlakukan dibandingkan hanya sekedar menetapkannya dengan otoriter, jarang menggunakan hukuman fisik untuk menghukum, dan lebih banyak melakukan komunikasi dua arah dengan anak-anaknya. c.
Aspek Spiritual Spiritualitas pada hakikatnya adalah suatu kekuatan yang datang dari luar kekuatan diri sebagai manusia. Spiritual adalah pencarian manusia akan makna dan tujuan hidup, sehingga memiliki keseluruhan kepribadian dari sejumlah pengalaman hidup yang beragam.44 Aspek spiritual sendiri sangat penting bagi setiap manusia di dunia ini, karena aspek spiritual yang akan membantu kita dalam membedakan baik-buruk, benar-salah, dan lain sebagainya. Untuk itu dibuatlah sebuah aturan-aturan serta norma-norma untuk membantu kita dalam memahami konsep benarsalah, baik-buruk dan lain sebagainya. Berikut akan dibahas aspek-aspek yang berkaitan dengan spiritual. 1. Etika Menurut bertens, etika mempunyai tiga arti:45 Pertama, etika dalam arti nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Pengertian ini bisa dirumuskan juga sebagai suatu sistem nilai yang dapat berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada tataran sosial. 44
Siti Napsiyah Ariefuzzaman dan Lisma Diawati Fuaida, Belajar Teori Pekerjaan Sosial, (Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), cet. I, h. 81. 45 Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelekstual, Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), cet. II, h. 27.
50
Kedua, etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral. Dalam artian ini etika dimaksudkan sebagai kode etik. Ketiga, etika dalam arti ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika, baru menjadi ilmu apabila kemungkinan-kemungkinan etis (asas dan nilai yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima oleh masyarakat seringkali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. 2. Moral Moral berasal dari bahasa Latin, yaitu kata mos, (adat istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan), mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, cara hidup). Moral adalah hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang baik sebagai kewajiban atau norma. Moral dapat diartikan sebagai sarana untuk mengukur benartidaknya atau baik-tidaknya tindakan manusia.46 3. Nilai Menurut Steeman, nilai adalah yang memberi makna pada hidup, yang memberi pada hidup ini titik-tolak, isi, dan tujuan. Nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang. Nilai itu lebih dari sekedar keyakinan, nilai selalu menyangkut tindakan. Nilai seseorang diukur melalui tindakan. Oleh karena itu, etika menyangkut nilai.47
46
Sjarkadi, Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, h. 29. 47 Ibid., h. 29.
51
Asesmen Biopsikososial dan Spiritual48
E. 1.
Deskripsi, Assesmen klien dan Sistem klien a. Bio 1)
Gambaran fisik: jenis kelamin, umur, berat badan, tinggi badan, kecacatan (jika ada), dan tanda kekerasan atau penelantaran jika ada.
2)
Penampilan: cara berbicara, kehangatan, respon awal terhadap wawancara, ekspresi tubuh, dll.
3)
Status kesehatan: apakah ada diagnosis? Layanan kesehatan apa yang diterima oleh klien? apakah klien telah berkonsultasi dengan sumber lain tentang jenis penyembuhan untuk masalah kesehatannya? Apakah klien sedang menggunakan obat? Catatan kesehatan dan pengobatannya. Apakah kecanduan terhadap narkotika atau alkohol? Apakah status kesehatannya merupakan masalah dalam rencana pelayanan?
b. Psiko 1)
Gambaran tentang kondisi emosi klien: cara berbicara, respon terhadap suatu masalah, pola pikir klien, dan pikiran-pikiran klien pada situasi yang dihadapi.
2)
Kesehatan jiwa: adakah bukti tentang masalah kesehatan jiwa seperti depresi, gelisah yang ekstreem, gangguan kognitif, psikosis. Bagaimana masalah kesehatan jiwa ini berpengaruh dalam keberfungsian sosialnya.
48
Dokumen praktikum dosen kesejahteraan sosial yang diselenggarakan oleh Save the Children UK.
52
3)
Catatan menjadi korban: pengalaman dengan trauma, kekerasan dan penganiayaan. Asessmen resiko: seberapa amankah lingkungannya saat ini? Faktor resiko keselamatan apa yang ada dalam kehidupan klien saat ini?
c. Sosial 1)
Situasi saat ini dan sejarah perpindahan: latar belakang pedesaan atau perkotaan, daerah asal, jika pernah pindah apakah alasannya? Sudah berapa lama mendiami tempat tinggal saat ini? Bagaimana keterikatan klien dengan tempat asalnya? Seberapa sering mengunjungi atau berhubungan dengan orang disana? Tempat apa yang sangat penting bagi klien? (dapat menggunakan peta). Kejadian kritis apa yang menyebabkan dia akhirnya ditempatkan di tempat saat ini (panti rehabilitasi, panti asuhan misalnya)? Siapa yang mengambil keputusan klien akan masuk ke tempat tersebut? Jika diketahui, bagaimana jaringan dukungan saat itu membantu klien? apa yang paling disukai oleh klien tentang kehidupan sebelum masuk ke tempat tersebut? apa yang paling tidak disukai? Mengapa? Pertanyaan sama tentang kehidupan di panti jika klien tinggal di panti.
2)
Pekerjaan dan status keuangan (orang tua/ pengasuh utama/ wali): apa pendapatannya, dari pemerintah atau dari sumber lain yang diterima oleh klien? siapa yang bekerja dalam keluarga? Apa pekerjaannya? Apakah klien mendapatkan penghasilan yang cukup untuk pemenuhan kebutuhan dasar? Bagaimana
53
caranya mendukung atau mengatasi masalah sehubungan dengan permasalahan yang dirancang dalam rencana pelayanan? Apa kesulitan untuk mendapatkan lebih banyak sumber penghasilan? 3)
Hubungan dan peran dalam keluarga: riwayat keluarga dan isu signifikan yang dihadapi oleh keluarga di masa lalu dan saat ini. Termasuk status perkawinan yang formal dan informal, peran anggota keluarga dan konflik antar peran, struktur keluarga, kompleksitas latar belakang budaya dalam keluarga, riwayat perpisahan dalam keluarga, orang-orang yang termasuk dalam keluarga, hubungan keterikatan/ kelekatan klien dengan keluarga atau dengan orang penting lainnya di luar keluarga? Siapa dan seberapa sering anak berkomunikasi? Peran anggota keluarga/orang penting lain dalam proses pengasuhan anak dan perawatan, siapa yang melakukan dalam lingkungan keluarga.
4)
Keberfungsian sekolah dan keberfungsian dari institusi lainnya (untuk klien yang dalam usia sekolah): bagaimana penampilan tugas-tugas sehari-hari, bagaimana kemampuan menghadapi stress/ tekanan, pada setting-setting mana saja pelaksanaan tugas-tugas itu berlangsung? Bagaimana keluarga menjamin akses pendidikan anak-anak mereka? Apa saja yang dapat menyebabkan anak tidak hadir di sekolah, atau proses belajar terganggu?
54
5)
Keberfungsian rekan/ teman: relasi klien dengan temantemannya di kampung/ komunitas asal? Di sekolah? Di panti? Di komunitas sekitar panti/ sekolah?
d. Spiritual 1)
Data spiritual dan budaya: apa identitas budaya klien? apa agama yang saat ini dianutnya? Bagaimana agama menjadi pendukung atau hambatan bagi klien? Apa sumber inspirasinya? Apa ada sesuatu yang memberi makna kehidupan bagi klien? Bagaimana pandangan spiritual klien terhadap situasi dan permasalahan yang dihadapinya serta terhadap masa depannya?
BAB III GAMBARAN UMUM INFORMAN Pada bab ini akan dibahas tentang gambaran umum dari para informan, yaitu anak yang menjadi korban perceraian orangtua. A.
Profil Informan 1 1.
Nama
: IA
2.
Tempat Tanggal Lahir
: Jakarta, 20 Desember 2012
3.
Usia
: 2 tahun
4.
Jenis Kelamin
: Laki-laki
5.
Usia Anak saat Perceraian : 1,5 tahun
6.
Usia Pernikahan Orangtua : 1,5 tahun
7.
Domisili
: Ciganjur, Jakarta Selatan
8.
Agama
: Islam
9.
Status
:-
“IA” adalah anak tunggal dari orang tua yang masih berusia belia. “IA” adalah anak dengan pernikahan campuran. Ayah “IA” berasal dari Skotlandia dan mamanya berasal dari Jawa Tengah. “IA” berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi menengah ke atas. Bisa dikatakan ia tidak pernah kekurangan satu hal apapun. Orang tua “IA” menikah pada usia yang masih muda, yaitu ibu “U” masih berusia 17 tahun dan ayah “J” masih berusia 16 tahun. Keduanya menikah karena “U” telah mengandung 5 bulan. Awalnya “U” berusaha untuk
55
56
menggugurkan kehamilannya dengan cara meminum berbagai jamu dan minuman keras, karena ketika itu ia bekerja sebagai pegawai di sebuah club di kawasan Cilandak. Memang Tuhan berkehendak lain, janin tersebut sangatlah kuat. Ketika “U” memeriksakan kandungannya ke Puskesmas, bidan mengatakan bahwa janinnya dalam keadaan sehat dan memiliki detak jantung yang bagus. Akhirnya “U” memutuskan untuk menikah dengan “J”. Di awal pernikahan memang sangatlah bahagia, terlebih lagi 4 bulan kemudian “IA” lahir kedunia. “U” memiliki kekhawatiran yang tinggi karena ia takut jika anaknya lahir dalam keadaan yang tidak sempurna, karena pada awal kehamilannya ia pernah mencoba untuk menggugurkannya. Setelah “IA” ;ahir, mereka membesarkan anak semata wayangnya dengan penuh kasih sayang. Hanya saja dalam membesarkan anaknya tersebut, “J” tidak mau berbagi tugas dengan “U”. “U” sering kali menitipkan anaknya karena ia akan memasak, mencuci dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, namun “J” tidak mau menjaga anaknya. Ia lebih suka bermain game online dibanding harus menjaga anaknya. Hal itu yang menjadi konflik setiap hari yang mereka rasakan. Banyak permasalahan yang mereka temui di sepanjang perjalanan pernikahan mereka. Hal tersebut di karenakan suaminya pernah mengajak manatan pacarnya kerumah dan tidur di dalam kamar mereka ketika “U” sedang pergi bersama anaknya. Suaminya juga sering terlihat sedang chatting di facebook bersama mantan pacarnya. Pada tanggal 21 Oktober 2014, “J” berulang tahun. Ia pergi ke sebuah club di daerah Jakarta Selatan dengan mengajak “IA” yang dalam keadaan tertidur pulas. Ia pergi ke club dengan mantan pacarnya. Ia berani
57
mengajak “IA” karena saat itu “UA” sedang pergi keluar karena merasa kecewa dengan sikap suaminya. Layaknya perasaan seorang ibu, “U” merasakan ada hal yang tidak enak dihati kecilnya. Ia teringat anaknya pada malam itu. Kemudian ia pergi kerumah “J” dan mendapati “J” telah pergi bersama “IA”. Ia bersama ibu mertuanya mencari anaknya, dan ketika ditemukan “U” melihat anaknya yang sedang tidur di bangku belakang mobil sendirian dengan kaca mobil yang terbuka sangat kecil. “U” menangis sambil mencari suaminya untuk membukakan pintu mobil. Akhirnya “IA” dibawa pulang kerumah orang tua “U” dan beberapa hari kemudian “UA” menggugat cerai suaminya. “IA” harus menerima perpisahan orang tuanya sekitar 6 bulan yang lalu, tepatnya ketika “IA” masih berusia 1,5 tahun. Setelah memutuskan untuk berpisah, “U” tinggal dirumah ibunya di kawasan Ciganjur bersama anaknya. Mereka hanya tinggal bertiga karena sejak usia 5 tahun, ibu dan ayah “U” telah bercerai. “U” menjadi tulang punggung keluarga setelah ia berpisah dengan suaminya. Ia bekerja sebagai pegawai di sebuah perusahaan. Baru-baru ini ia memilih untuk keluar dari pekerjaannya karena semenjak ia berpisah dari suaminya, “IA” sering sakit-sakitan. Saat ini “IA” sedang menderita penyakit infeksi saluran kencing dan asma. Berat badannya menurun semenjak perpisahan orang tuanya. “IA” adalah anak yang ceria, anak yang cerdas dan tidak rewel. Ia tidak malu ketika bertemu dengan orang yang baru dikenal. “IA” merupakan anak yang menyenangkan, siapapun yang bertemu dengannya, pasti akan merasa senang. Meskipun orang tuanya telah berpisah, “IA” masih mendapatkan kasih sayang
58
yang utuh dari kedua orang tuanya. Jika tengah malam “IA” mengatakan bahwa ia merasa kangen papanya, dengan siap “U” segera mengantarkannya untuk bertemu dengan papanya. Apapun akan dilakukan agar “IA” bahagia. Sejak kecil “IA” sudah diajarkan untuk bertanggung jawab atas apa yang ia kerjakan. Ketika ia memberantakan mainannya, dia juga yang akan membereskan mainan-mainannya tersebut. “IA” juga belajar untuk menerima konsekuensi ketika ia melakukan sesuatu hal yang benar ataupun salah. “UA” menanamkan nilai-nilai tersebut agar “IA” tumbuh menjadi anak yang mandiri dan lebih baik dari dirinya. B.
Profil Informan 2 1. Nama
: SP
2. Tempat Tanggal Lahir
: Yogyakarta, 20 Juni 1992
3. Usia
: 23 tahun
4. Jenis Kelamin
: Perempuan
5. Usia Anak saat Perceraian : 6 tahun 6. Usia Pernikahan Orangtua : 8 tahun 7. Domisili
: Bekasi
8. Agama
: Islam
9. Status
: Mahasiswa
SP merupakan anak kedua dari dua bersaudara. SP bersama keluarganya tinggal di Jambi. Keluarga SP merupakan keluarga dengan kelas sosial ekonomi menengah atas. Ayah dari SP merupakan Direktur disebuah Badan Usana Milik
59
Negara di Jambi, dan ibunya hanya sebagai ibu rumah tangga. Kakek dari SP merupakan mantan Bupati Jambi. Ketika SP berusia 6 tahun, tepatnya saat SP duduk di bangku kelas 1 SD, orang tua SP memutuskan untuk bercerai. Keputusan bercerai dipilih sebagai jalan keluar karena ayah SP sering mabuk dan melakukan tindak kekerasan. Suatu ketika ibu dari SP menerima pukulan di sekitar kelopak mata hingga menyebabkan luka robek di bagian kelopak mata tersebut dan menjadi luka permanen. Memang pernikahan mereka tidak mendapat restu dari masing-masing keluarga. Mereka memutuskan untuk keluar dari Jambi setelah mereka lulus SMA dan melakukan pernikahan tanpa adanya restu dari masing-masing keluarga. Setelah orang tua SP bercerai, mereka hidup terpisah. SP dan kakaknya tinggal dan di asuh oleh kakek dan neneknya dari keluarga ayahnya di Jambi. SP kecil memang lahir di Yogyakarta, karena pada saat itu ayah SP sedang meneruskan pendidikannya. Ketika ayah SP sudah selesai dengan pendidikannya, SP beserta kedua orang tuanya kembali ke Jambi. Sementara kakak dari SP tinggal di Jambi bersama dengan kakek dan neneknya. SP kecil sering merasa sedih ketika melihat teman-teman sekelasnya pada saat TK diantar oleh orang tuanya, namun SP hanya diantar oleh supir dan pengasuhnya. Sesekali kakek yang mengantar SP untuk pergi ke sekolah dan hal tersebutlah yang membuat SP sangat dekat dengan kakeknya. Saat usia remaja SP harus menerima kenyataan bahwa ayahnya memutuskan untuk menikah lagi. Awalnya SP sangat menyayangi calon ibunya karena ketika SP sakit, calon ibunyalah yang merawatnya. Namun keadaan berubah ketika ayahnya telah menikah. SP tinggal dirumah baru dengan ayah dan
60
ibu tirinya. Seperti cerita di dongeng, SP menerima perlakuan yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang ibu. Disaat ayahnya bekerja SP disuruh oleh ibu tirinya untuk membersihkan seluruh rumah, sedangkan ibunya pergi jalanjalan ke mall. SP juga hanya tidur dikamar bekas pembantu yang sangat sempit. Akhirnya SP memilih untuk tinggal kembali dengan kakeknya ketika ibu tirinya telah melahirkan. Pada saat itu kebencian SP kepada ayah dan ibu tirinya dimulai. Ayahnya sudah jarang menghubunginya, bahkan seperti orang yang tidak kenal. Terlebih ketika beberapa aset seperti rumah mewah dan beberapa ruko yang diatas namakan SP diambil alih oleh ibu tirinya. Padahal aset tersebut disiapkan untuk masa depan SP. SP pernah mengungkapkan kekesalannya kepada peneliti bahwa SP menginginkan ayah atau ibu tirinya mati saja agar hidupnya tenang. Di sisi lain, ibu dari SP juga telah menikah dan tinggal di daerah Bekasi. Ibu dari SP menikah dengan suami yang bekerja sebagai direktur di Badan Usaha Milik Negara di Jakarta. Dari pernikahannya tersebut, ibu SP dikaruniai dua orang putra. Ibu SP kini menjadi seorang pebisnis dengan beberapa artis di Ibu Kota dan memiliki beberapa sanggar senam di Jakarta. Meskipun memiliki suami yang mapan, namun ibu SP tidak ingin menggantungkan hidupnya dengan suami. Ketika lulus SMA di Jambi, SP melanjutkan pendidikan disebuah universitas negeri di Jambi namun tidak diteruskan dan memilih untuk pindah dan melanjutkan pendidikan disebuah universitas negeri di Jakarta. SP tinggal disebuah rumah kost mewah yang ada disekitar kampus. Setiap dua minggu sekali SP sering menginap dirumah ibu kandungnya. SP sangat menyayangi ibunya karena apa yang diminta oleh SP, ibunya selalu berusaha untuk memberikannya.
61
Karena sejak kecil SP memiliki relasi yang kurang baik dengan ayahnya, hal tersebut mengakibatkan pada kehidupan pribadi SP. SP terkadang merasa kesulitan untuk dekat dan mempercayai laki-laki. Karena baginya sosok laki-laki itu kurang bisa bertanggung jawab, jahat, dan tidak bisa dipercaya. SP juga menjadi pribadi yang gampang mengalami stress saat ada masalah, bahkan kadang ia merasa tidak mampu untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun yang menjadi nilai positif dari SP adalah, meskipun ia berasal dari keluarga yang bercerai, namun hal tersebut tidak begitu mempengaruhi pendidikan dan kehidupannya. SP memiliki beberapa teman di kampus maupun di rumah kostnya. Hanya saja SP termasuk orang yang kurang percaya diri. SP memiliki beberapa teman dekat dikampusnya yang biasa dijadikan sebagai tempat bercerita. C.
Profil Informan 3 1. Nama
: AP
2. Tempat Tanggal Lahir
: Jakarta, 4 Desember 2010
3. Usia
: 4,5 tahun
4. Jenis Kelamin
: Perempuan
5. Usia Anak saat Perceraian : 1 bulan 10 hari 6. Usia Pernikahan Orangtua : 7 bulan 7. Domisili
: Depok
8. Agama
: Islam
9. Status
: Pelajar
62
AP adalah anak tunggal dari pasangan orang tua yang masih belia, yaitu ibu “N” dan ayah “I”. Saat menikah ibu AP masih duduk di kelas 2 di sebuah sekolah pariwisata yang ada di Jakarta, sedangkan ayahnya saat itu berstatus sebagai mahasiswa di universitas swasta di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Orang tua AP menjalin hubungan (pacaran) sejak kelas 3 SMP dan kebetulan mereka bertetangga. Mereka tinggal di daerah Cilandak Barat. Mereka merupakan pasangan suami isteri yang menikah di usia muda. Alasan mereka untuk menikah karena saat itu ibu “N” sedang mengandung sekitar 3 bulan. Hal tersebut pertama kali dicurigai oleh keluarganya. Suatu hari ibu “N” tidak masuk sekolah karena ia merasa tidak enak badan. Kemudian ia dipanggil oleh orang tuanya, karena orang tuanya melihat ada tanda-tanda fisik yang berbeda seperti payudaranya mulai membengkak, badan yang semakin gemuk serta perut yang makin membesar. Akhirnya ibu “N” mengakui kepada keluarganya bahwa ia sedang dalam keadaan hamil. Keluarga sangat terpukul mengetahui hal tersebut karena “N” merupakan anak bungsu, ia sangat manja dan selalu terbuka kepada keluarganya. Setelah mendengar pernyataan dari “N”, kakak laki-laki dan ayahnya langsung mendatangi rumah “I” dan memintanya untuk segera bertanggung jawab. Kurang dari 2 minggu pernikahanpun dilaksanakan. Pernikahan tersebut sifatnya tertutup, hanya untuk keluarga inti dari kedua belah pihak. Setelah menikah mereka tinggal dirumah keluarga “I”. Sejak menikah dan tinggal dirumah mertua, “N” sering di siksa oleh suaminya, dalam keadaan hamil ia ditendang oleh suaminya, “N” juga sering membaca pesan singkat dari perempuan
63
lain untuk suaminya, “N” juga diminta untuk melakukan semua pekerjaan rumah. “N” berusaha untuk bersabar atas semua sikap suaminya tersebut. Sekitar enam bulan kemudian “N” melahirkan anak perempuannya. Setelah melahirkan seperti wanita pada umumnya, “N” meminta izin kepada suaminya untuk tinggal dirumah orang tuanya selama 40 hari. Namun suaminya tidak memberikan izin. Akhirnya “N” mengikuti kata-kata suaminya namun ada perasaan sedih yang “N” rasakan. Setiap hari orang tua “N” mengantarkan makanan untuk “N” kerumah mertuanya, karena mertua “N” tidak pernah membuatkan “N” makanan yang bergizi, hanya mie instan yang ada dirumah. Selain itu, sikap suami “N” semakin hari semakin tidak bisa diterima olehnya. Ia sering meninggalkan “N” dengan anaknya di malam hari dengan alasan ada kelas dikampusnya, padahal “N” mengetahui bahwa suaminya sering pergi dengan wanita lain. Belum genap dua bulan, “N” memutuskan untuk menggugat cerai suaminya. “N” terpaksa melakukan hal tersebut karena “N” sering diperlakukan kasar oleh suaminya sendiri. “N” mengaku bahwa ia tidak akan pernah mau jika suatu saat suaminya mengajak rujuk. Seteleh bercerai, hak asuh anak jatuh kepada “N” karena anak tersebut masih dibawah umur dan harus dalam pengasuhan ibunya. Mantan suami “N” diharuskan memberi nafkah 2 juta perbulan. Hanya satu bulan mantan suaminya memberikan nafkah, setelah itu ia tidak memberikan nafkah. “N” sendiri harus dibantu oleh kedua orang kakaknya untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Sekitar umur 6 bulan, “N” memutuskan untuk bekerja sebagai sales promotion girl (SPG) sebuah brand, dan ia menitipkan anaknya
64
dengan ibunya. “N” juga memilih untuk melanjutkan sekolahnya yang sempat tertunda, pada malam hari ia mengikuti kelas paket C yang diadakan di daerah Cilandak, karena “N” memiliki cita-cita untuk dapat melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi. Anak “N” semakin hari semakin besar. Ia dibesarkan dalam keluarga besar, ia tinggal dengan ibu, nenek, kakek, om, tante dan sepupunya. “AP” tinggal disebuah perumahan elit di kawasan Bango. Sekitar 2 tahun lamanya AP bersama mamanya tinggal dengan keluarga besarnya. Namun pernah terjadi konflik yang mengharuskan AP dan mamanya keluar dari rumah keluarganya tersebut. Ia tinggal disebuah rumah kost di daerah pondok labu. Pada bulan Desember tahun 2014, ibu “N” memutuskan untuk menikah dengan pasangannya. “N” memutuskan untuk menikah karena AP sangat dekat dengan suaminya yang sekarang. Biasanya AP sangat sulit untuk bisa melihat mamanya dekat dengan pria lain, ia pasti selalu menangis dan marah. AP menjadi anak yang tertutup, murung, sedih, pendiam dan sulit untuk bersosialisasi dengan temannya. Bahkan ia juga menjadi korban bully oleh temannya disekolah. D.
Profil Informan 4 1.
Nama
: RP
2.
Tempat Tanggal Lahir
: Ponorogo, 23 Agustus 1991
3.
Usia
: 24 tahun
4.
Jenis Kelamin
: Laki-laki
5.
Usia Anak saat Perceraian : 13 tahun
6.
Usia Pernikahan Orangtua : 14 tahun
7.
Domisili
: Krukut, Depok
65
8.
Agama
: Islam
9.
Status
: Mahasiswa
RP adalah anak tunggal dari keluarga yang berasal dari Jawa Timur. Ibunya bekerja sebagai seorang guru dan ayahnya bekerja sebagai pegawai di sebuah kantor dinas di daerah Jawa Timur. Keluarga RP merupakan keluarga dengan kelas sosial ekonomi menengah. Pada suatu hari mereka sekeluarga diharuskan untuk pindah ke daerah yaitu ke daerah Kepulauan Bangka, Palembang, dan berakhir di Jakarta. Ayah RP memutuskan untuk tinggal di Jakarta karena pada saat itu ekonomi keluarga mereka sedang memburuk disebabkan oleh ayah RP yang kerap meminjam uang untuk investasi. Ayah RP belum bisa mengembalikan uang-uang yang dipinjamnya bingung harus mencari lagi uang agar bisa menutupi semua hutang-hutangnya. Padahal ketika mereka pindah di Jakarta, mereka sudah tidak memiliki apa-apa. Pertengkaranpun sering terjadi antara ayah dan ibu RP karena ayah RP sering meminta uang dari istrinya, sedangkan uang istrinya tersebut digunakan untuk biaya hidup sehari-hari. Ayah RP sering memaki-maki istrinya sendiri ketika tidak diberikan uang akhirnya ketika RP duduk di kelas 6 Sekolah Dasar, ibunya memutuskan untuk bercerai. Setelah bercerai, RP hanya tinggal dengan ibunya, dan ayahnya hidupberpindah untuk menghindari orang-orang yang menagih hutangnya. Sempat beberapa waktu setelah bercerai ayahnya kembali kerumah tetapi hanya untuk meminta uang melalui RP, dan hingga saat ini RP sudah tidak pernah bertemu ayahnya dan tidak mengetahui dimana keberadaannya.
66
Setelah orangtuanya berpisah RP tumbuh menjadi anak yang cenderung pendiam dan tertutup. RP juga mengalami gangguan kesehatan. RP didiagnosa menderita gejala panic attacks oleh seorang psikiater. Ia sering merasa pusing, lemas, berkeringat lebih dan lain sebagainya. Bahkan RP sempat tidak bisa jalan beberapa bulan karena gejala panic attacks tersebut. RP merupakan sosok yang berprestasi. Ia sering menjuarai berbagai lomba keterampilan siswa untuk mewakili sekolahnya, bahkan ia sering keluar menjadi juara. Ia sangat mahir dalam berbahasa Inggris, untuk itu ia sering diikut sertkan oleh pihak sekolah dalam perlombaan-perlombaan pidato dalam bahasa Inggris. Semasa sekolah, RP adalah siswa yang pandai, pendiam dan tidak pernah melanggar peraturan di sekolahnya. Saat ini RP melanjutkan pendidikannya di sebuah perguruan tinggi di daerah Depok, Jawa Barat dan sedang mempersiapkan untuk ujian akhir kelulusannya. E.
Assesmen Biopsikososial dan Spiritual 1)
Assesmen Biopsikososial dan Spiritual “IA” “IA” adalah seorang anak dengan jenis kelamin laki-laki dan berusia 2,5 tahun. “IA” memiliki postur tubuh yang kecil dengan berat badan ± 10kg dan tinggi badan ± 68cm. Memiliki mata yang besar dengan bola mata berwarna hitam pekat. “IA” memiliki dua lesung pipi yang membuat dirinya terlihat semakin manis. “IA” termasuk anak yang banyak berbicara. Tanpa rasa takut dengan orang yang baru dikenalnya, hampir semua orang yang berada di dekatnya selalu diajak bicara. “IA” termasuk anak yang aktif, terlihat ketika peneliti sedang melakukan sesi wawancara dengan
67
ibu “U”, “IA” terlihat berlari-larian dari pintu depan melewati pintu samping sambil tertawa-tawa dan sesekali mengatakan “aku robot”. “IA” yang masih bersia 2,5 tahun ternyata mengidap penyakit asma yang didapatkan dari garis keturunan ayahnya. Selain itu belakangan ini “IA” juga menderita infeksi saluran kencing. Beberapa kali “IA” mengeluhkan rasa sakit ketika buang air kecil dan bengkak disekitar area kelaminnya. “IA” bersama ibu “U” memeriksakan kondisi kesehatannya ke klinik hingga kerumah sakit. Dan dokter di sebuah rumah sakit memberikan masuka untuk melakukan khitan terhadap “IA”. Akhirnya ibu “U” memutuskan untuk mengkhitan “IA” disebuah rumah khitana di Jakarta 2 bulan lalu. Hal tersebut dilakukan demi kesehatan “IA”. “IA” merupakan anak yang ceria, dan tidak pemalu ketika bertemu dengan orang yang baru dikenalnya. Hanya saja menurut penuturan ibu “U”, “IA” kerap kali merasakan rindu dengan papanya. Namun ras rindu tersebut tidak mempengaruhi “IA”. “IA” tetap anak yang ceria. “IA” lahir dan besar di daerah perkotaan, tepatnya di Jakarta. “IA” merupakan anak dari perkawinan campuran. Mamanya berasal dari suku Jawa, dan papanya berasal dari Skotlandia. Setelah kedua orang tuanya berpisah “IA” tinggal bersama dengan mamanya di daerah Ciganjur, Jakarta Selatan. Tempat tinggal yang tidak berjauhan dengan tempat tinggal papanya.
68
Setelah berpisah dari mantan suaminya, ibu “U” yang menjadi tulang punggung keluarga. Sebelumnya, ibu “U” dan suami mendapatkan uang untuk biaya hidup dari orang tua “J” yaitu mertua dari ibu “U”. “J” yang usianya lebih muda dari ibu “U” masih berstatus sebagai mahasiswa di sebuah universitas di Jakarta. Untuk keperluan seperti makan, susu, dan sebagainya ditanggung oleh keluarga “J”. Ternyata ibu “U” juga merupakan korban dari perceraian orang tuanya. Kedua orang tuana berpisah ketika ia masih berusia 9 tahun. Perceraian kedua orang tuanya ditengarai oleh adanya pihak ketiga. Setelah perceraian ibu “U” tinggal bersama ibunya di daerah Ciganjur dan ayahnya tinggal di daerah Cipete. Hal tersebut membuat ibu “U” sangatlah dekat dengan mamanya. Ketika ia sedang bertengkar dengan “J”, ia selalu berceritan, meminta pendapat dan masukan dari ibunya. Saat ini kedua orang tuanya memutuskan untuk menikah dengan pasangannya masing-masing. Ibu “U” tidak pernah menyangka bahwa apa yang dirasakannya di waktu kecil ternyata harus dirasakan juga oleh “IA”. “IA” harus menjadi korban dari perpisahan kedua orang tuanya. Agama yang dianut “IA” adalah agama Islam. Meskipun ayahnya berasal dari Skotlandia, namun keluarganya memutuskan untuk menjadi mualaf. Saat ini “IA” yang berusia 2,5 tahun sedang
69
diajarkan untuk sholat oleh ibu “U”. Selain itu ibu “U” juga selau mengajarkan untuk selalu saling menyayangi kepada sesama. 2)
Assesmen Biopsikososial dan Spiritual “SP” “SP” adalah seorang wanita yang cantik, berusia 23 tahun, memiliki tubuh yang kecil, dan tidak terlalu tinggi. “SP” merupakan sosok yang ramah, sesekali “SP” tersenyum ketika sedang berlangsungnya wawancara. Hampir semua pertanyaan dijawab oleh “SP”. Namun kendala yang dirasakan ketika berlangsungnya wawancara adalah suara “SP” yang kecil dan tidak terlalu jelas. Menurut “SP”, ia sudah beberapa kali memeriksakan kondisi kesehatannya ini ke beberapa rumah sakit terkenal di Jakarta. Diagnosis yang diberikan dokterpun bermacam-macam seperti kelenjar tiroid dan alergi debu. “SP” hanya diberikan obat oleh dokter tersebut, namun obat itu tidaklah merubah kesehatan “SP”. Hingga akhirnya “SP” memutuskan untuk melanjutkan pengobatan alternatif. Dua kali berobat “SP” merasakan adanya perubahan pada suaranya. Namun saat ini “SP” tidak lagi melanjutkan pengobatan tersebut karena jarak tempat pengobatan yang terlalu jauh dari tempat tinggalnya serta antrian pasien yang amat panjang. Sehingga ketika ingin berobat “SP” harus berangkat dari rumah kostnya sekitar pukul 05.00 WIB. Dari cara berbicara “SP”, peneliti melihat “SP” adalah seseorang yang ramah dan hangat. Hanya saja ketika peneliti menanyakan tentang ayahnya, emosi “SP” langsung berubah naik.
70
“SP” langsung menceritakan bagaimana hubungannya dengan sang ayah sejak dulu hingga saat ini, seperti halnya ketika sang ayah sudah tidak memperhatikan dan menyayangi dirinya semenjak menikah dengan ibu tirinya, belum lagi beberapa aset seperti rumah mewah, dan beberapa ruko yang diberikan ayahnya kepada “SP” diambil oleh ibu tirinya. Awalnya “SP” merasa kesal hingga “SP” berharap ayah dan ibu tirinya cepat-cepat meninggal agar hidupnya tenang. Namun saat ini “SP” menyerahkan semua permasalahan ini kepada Allah SWT. “SP” berasal dari Jambi. Ia tinggal di daerah perkotaan karena keluarga “SP” merupakan keluarga yang berasal dari sosialekonomi yang tinggi. Datuknya merupakan mantan bupati Jambi yang sekarang menjadi kepala adat di Jambi. “SP” lebih memilih untuk tinggal dirumah datuknya atau kakeknya ketika sedang pulang ke Jambi. Hampir tiga sampai empat kali “SP” pulang ke Jambi, seperti saat lebaran, liburan kuliah dan tahun baru.”SP” memilih untuk pulang agar bisa berkumpul dengan temantemannya yang ada di Jambi. Ayah “SP” bekerja sebagai direktur di sebuah perusahaan milik negara dan ibunya adalah ibu rumah tangga yang sedang menjalankan bisnis sanggar senam dan bisnis sebuah produk kesehatan. Status ekonomi keluarga “SP” dapat dikatakan mapan atau dikatakan memiliki status ekonomi yang tinggi. Dengan status
71
keuangan
yang
tinggi,
membuat
“SP”
dapat
memenuhi
kebutuhannya. Semenjak kedua orang tuanya berpisah dan memutuskan untuk menikah dengan pasangan masing-masing, ternyata membuat “SP” memiliki jarak dengan orang tuanya terlebih dengan sang ayah. “SP” jarang berkomunikasi dengan ayahnya, karena “SP” menganggap bahwa ayahnya sudah tidak menyayangi dirinya. “SP” lebih dekat dengan datuknya yang selama ini sudah merawat dan membesarkan dirinya. Saat ini “SP” berstatus sebagai mahasiswi di sebuah universitas negeri di Jakarta dan sedang dalam penyelesaian tugas akhir. “SP” menceritakan bagaimana proses dalam mengerjakan tugas akhirnya tersebut. “SP” ingin sekali sidang seperti temantemannya yang lain, namun terkadang “SP” merasakan dirinya bodoh sehingga tidak mampu untuk mengejar teman-temannya. Padahal “SP” adalah mahasiswi yang rajin hadir di kelas serta nilainilainya pun amat baik. “SP” yang memiliki sifat tertutup membuat dirinya tidak memiliki banyak teman di lingkungan tempat tinggalnya sekarang dan di lingkungan kampus. “SP” merasa kesulitan ketika harus berinteraksi dengan orang yang baru dikenalnya. Tapi hal tersebut berbanding terbalik di kampung halamannya. “SP” memiliki banyak teman di Jambi, karena “SP” sejak kecil tinggal di Jambi.
72
“SP” dan keluarganya menganut agama Islam. Datuknya dikenal sangat agamis terlebih beliau merupakan kepala adat di daerah tersebut. “SP” selalu diajarkan untuk selalu berbuat kebaikan, bersabar, serta berserah diri kepada Allah. Seperti halnya ketika semua aset yang merupakan haknya diambil oleh ibu tirinya, “SP” tidak pusing memikirkan hal tersebut, karena datuknya selalu mengajarkan untuk selalu berserah diri kepada Allah, dan selalu berdoa agar “SP” dapat hidup mandiri serta mapan meskipun tanpa kekayaan dari sang ayah. 3)
Assesmen Biopsikososial dan Spiritual “AP” “AP” adalah seorang anak perempuan dengan mata yang bulat dan besar, memiliki rambut yang hitam dan panjang. Memiliki badan yang berisi dengan pipi yang gembil. “AP” adalah anak yang pendiam dan pemalu. Ketika ditanya “AP” hanya diam dan sesekali melihat peneliti sambil mengumpat di balik badan mamanya. “AP” yang memiliki sifat pemalu, ternyata lebih sering menghabiskan waktu bersama mamanya untuk bermain dirumah, dibanding harus bermain diluar rumah dengan teman-teman seusianya. Hal tersebut membuat “AP” tidak terlalu memiliki banyak teman. Sehingga “AP” kerap kali menjadi korban bully oleh teman-teman di sekolahnya terdahulu. Karena sekarang “AP” sedang tidak bersekolah karena “AP” baru saja pindah rumah.
73
“AP” berasal dari suku Jawa, mamanya berasal dari Yogyakarta dan ayahnya berasal dari Surabaya. Namun keduanya lahir dan besar di Jakarta. Begitu pula dengan “AP” yang sejak kecil hingga saat ini tinggal di Jakarta. “AP” dan mamanya baru saja pindah rumah, karena mamanya baru saja menikah lagi. Saat ini mereka tinggal di daerah Depok, Jawa Barat. Ayah kandung “AP” saat ini bekerja sebagai karyawan disebuah perusahaan di Jakarta. Namun ayahnya tidak pernah memberikan nafkah kepada “AP” dan mamanya setelah bercerai. Saat ini yang menjadi tulang punggung keluarga adalah ayah tirinya. Ia bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta di Jakarta serta memiliki usaha sampingan yaitu memiliki bengkel motor. Beberapa bulan lalu, orang tua “AP” memutuskan untuk memindahkan “AP” dari sekolahnya yang lama karena tempat tinggal merekapun pindah. Sejak ibu “N” menikah dengan “A”, mereka kini tinggal di Depok sehingga “AP” juga harus pindah sekolah. Di sekolahnya terdahulu, “AP” dikenal sebagai anak yang pendiam dan pemalu. Ia hanya memiliki satu teman dekat yang bernama Tasya. Ia tidak suka bermain dengan temannya yang lain karena menurutnya, teman-teman yang lain nakal. “AP” juga sering menjadi korban bully oleh teman sekolahnya, seperti dicubit pipinya, ditarik rambutnya dan sebagainya. “AP” juga kerap kali menangis di dalam kelas dengan alasan yang tidak jelas. “AP”
74
termasuk anak yang pintar, terlihat dari tugas-tugas sekolahnya yang selalu mendapat nilai bintang tiga. “AP” dilahirkan ditengah-tengah keluarga muslim. Kedua orang tuanya sedang giat untuk mengajarkan “AP” beberapa doadoa, serta hafalan bacaan sholat. Selain itu orang tua “AP” juga sering membacakan cerita-cerita tentang 25 nabi yang di dapat melalui internet. Hampir setiap malam, ibu “N” membacakan kisah tentang 25 nabi tersebut kepada “AP”. Hal tersebut ternyata membuat ikatan emosional “AP” dan ibu “N” terjalin sangat erat. 4)
Assesmen Biopsikososial dan Spiritual “RP” “RP” adalah seorang laki-laki yang memiliki tubuh kurus namun tinggi. Berat badannya ± 48kg dan tinggi ± 168cm. Memiliki kumis yang tipis serta menggunakan kacamata. Saat ini usia “RP” 24 tahun. “RP” memiliki pembawaan yang dewasa, terlihat dari cara berbicara, serta penggunaan bahasa “RP”. Ketika berbicara, “RP” seringkali menggerakkan kedua tangannya sebagai salah satu ekspresi yang diungkapkannya. “RP” baru saja sembuh dari penyakitnya yang sudah lama diderita. Sekitar 1 tahun lalu “RP” menderita penyakit tipus karena aktivitas “RP” yang begitu padat. “RP” adalah seorang asisten laboratorium di kampusnya. Namun beberapa bulan terakhir, “RP” menderita pannic attacks, yaitu salah satu gangguan kejiwaan. Sebelumnya “RP” mengeluhkan kondisi tubuhnya yang lemas hingga tidak mampu melakukan aktivitas apapun, ia hanya
75
terbaring di tempat tidurnya. Selain itu ia juga mengalami keringat berlebih di sekujur tubuhnya, disertai dengan rasa panik dan ketakutan yang berlebihan. Akhirnya “RP” ditemani teman wanitanya memeriksakan kondisi tersebut di sebuah rumah sakit di daerah Depok, akhirnya dokter mendiagnosis bahwa “RP” menderita pannic attacks dan diharuskan untuk melakukan rawat jalan dengan meminum obat yang diberikan oleh dokter. Sekitar 1 bulan, akhirnya “RP” mulai merasakan kesembuhan pada dirinya namun rasa panik tidak bisa dihilangkan secara langsung, semuanya harus melalui proses. Tidak jarang rasa panik dan ketakutan tersebut datang lagi. Orang tua “RP” berasal dari suku Jawa. Namun mereka hidup berpindah-pindah tempat. Mereka pernah tinggal di Kepulauan Bangka Belitung karena sang ayah yang bekerja sebagai pegawai negeri dipindah tugaskan. Namun akhirnya mereka pindah dan menetap di Depok sekitar 5 tahun lalu. Kepindahan mereka yang kedua, karena sang ayah terlilit hutang hingga akhirnya kedua orang tuanya memutuskan untuk berpisah. Setelah berpisah, “RP” tinggal dengan ibunya di Depok dan ayahnya tidak diketahui keberadaannya. Sang ayah tinggal berpindah-pindah untuk menghidnari orang-orang yang menagih hutang kepadanya. “RP” dan ibu “W” merasakan bagaimana kesulitan ekonomi menimpa keluarga mereka. Mereka yang awalnya hidup berkecukupan, kini hidup dengan sederhana. Ibu
76
“W” bahkan pernah bekerja di sebuah rumah makan sebagai pelayan. Untuk makan sehari-hari didapatkan dari sisa-sisa lauk yang ada di warung makan tersebut. Namun saat ini ibu “W” bekerja sebagai guru bidang studi bahasa Inggris di sebuah sekolah swasta di Depok, yang tidak jauh dari tempat tinggalnya saat ini. Tinggal hanya dengan ibu, membuat “RP” sangatlah dekat dengan ibunya. Mereka saling bercerita satu sama lain layaknya sahabat. Bahkan terkadang “RP” disuapi oleh ibunya. “RP” masih sering diperlakukan seperti anak kecil oleh ibunya. “RP” merupakan sosok yang berprestasi, sejak kecil “RP” sering mengikuti perlombaan pidato menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, minat “RP” terhadap teknik komputer membuat dirinya terpilih menjadi asisten laboratorium di kampusnya. Menjadi asisten laboratorium membuat dirinya memiliki uang saku untuk keperluannya sehari-hari. “RP” dan keluarganya menganut agama Islam. Sekarang “RP” lebih rajin dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai umat Muslim seperti menjalankan sholat 5 waktu. Sebelumnya, “RP” jarang menjalankan sholat. Hingga pada akhirnya, ketika “RP” menderita sakit, ia merasa bahwa dirinya mendapat teguran dari Allah SWT. Dan saat ini “RP”menjadi lebih rajin dalam menjalankan ibadah kepada Allah serta sedang mempelajari membaca Al-Qur’an yang dibantu oleh teman dekat wanitanya. Dekat dengan Allah membuat “RP” merasakan
77
ketenangan dan mengurangi sedikit rasa ketakutan yang ada pada dirinya.
BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS
Berdasarkan hasil temuan penulis dapat diperoleh suatu informasi mengenai dampak perceraian orang tua terhadap biopsikososial anak. Pada bab ini, hasil temuan penulis dijelaskan melalui teori biopsikososial. Adapun sub bab yang akan dibahas diantaranya ialah mengenai dampak perceraian orang tua terhadap aspek biologis atau kesehatan anak, dampak perceraian orang tua terhadap aspek psikologis anak dan dampak perceraian orang tua terhadap aspek sosial anak serta bagaimana pola asuh yang diterapkan orang tua pasca perceraian. A. Temuan Lapangan 1. Kondisi Biopsikososial Anak a. Dampak Perceraian Orang tua terhadap Aspek Kesehatan Anak Banyak sekali kita ketahui dan bahkan kita rasakan tentang dampak perceraian orang tua terhadap anak. Perceraian memang memiliki dampak terbesar dalam kehidupan anak, salah satunya terhadap kesehatan anak. Walaupun tidak semua anak mengalami masalah kesehatan setelah orang tuanya bercerai. Berikut akan adalah hasil temuan lapangan peneliti: 1). Kondisi Kesehatan “IA” Sebelum orang tuanya bercerai “IA” tidak pernah mengalami gangguan dengan kesehatannya. “IA” memiliki berat badan yang stabil, ia juga jarang sakit sesuai dengan pernyataan dari ibu “U” selaku orang tua dari “IA”:
78
79
“Dia tuh jarang sakit dulunya, badannya gemuk. Tapi pas gue pisah dia jadi sering sakit.”1 Dari pernyataan diatas dapat digambarkan bahwa “IA” adalah anak yang sehat, memiliki berat badan yang stabil dan badannya terlihat gemuk. Namun setelah perceraian kedua orang tuanya kesehatan “IA” mulai berubah. Ia menjadi sering sakit-sakitan. Ketika penelitian ini dilakukan “IA” sedang mengalami gangguan infeksi saluran kencing. Selain itu beberapa bulan lalu “IA” juga mengidap asma yang merupakan turunan dari ayahnya, seperti yang dijelaskan oleh ibu “U” sebagai berikut: “Setelah gue dan papanya berpisah, anak jadi sering sakit. Dimulai dari berat badan yang turun, kemudian asma, dan sekarang infeksi saluran kencing jadi harus buru-buru di sunat. Kalo asma sih karena keturunan kayanya, papanya juga punya asma. Gue juga kaget anak kecil begini bisa punya asma.”2 Dari pernyataan orang tua “IA”, ternyata pasca perceraian orang tuanya kondisi kesehatan “IA” juga ikut menurun. Kondisi kesehatan yang menurun dikarenakan “IA” terkadang merasa rindu dengan papanya. Hal tersebut juga diungkapkan oleh ibu “U”: “Dia suka bilang, ma aku kangen papa. Aku mau tidur sama papa. Dan kalo “IA” udah bilang kaya gitu, biarpun tengah malem bakalan gue anterin.”3 Dari rasa rindu yang dirasakan oleh “IA” kepada papanya ternyata sangatlah berpengaruh terhadap kesehatannya. Nafsu makan “IA” terkadang suka menurun. Ternyata keterkaitan antara emosional
1
Wawancara pribadi dengan ibu “U”. Jakarta, 7 Mei 2015. Wawancara Pribadi dengan ibu “U”. 3 Wawancara pribadi dengan ibu “U”. 2
80
dalam bentuk rasa rindu yang dirasakan oleh “IA”, sangatlah berpengaruh terhadap kesehatannya seperti nafsu makan yang menurun dan masalah-masalah pada kesehatan lainnya seperti infeksi saluran kencing, asma yang di derita oleh “IA”. Dari hasil wawancara dengan ibu “U” ternyata setelah perceraian
orang
tuanya
“IA”
mengalami
gangguan
pada
kesehatannya seperti berat badan yang turun, infeksi saluran kencing dan asma. Karena sebelum kedua orang tuanya bercerai “IA” tidak mengalami gangguan pada kesehatannya. Jadi terdapat pengaruh pada aspek kesehatan “IA” setelah orang tuanya bercerai. 2) Kondisi Kesehatan “SP” Selain itu, anak
yang mengalami masalah dengan
kesehatannya pasca perceraian orang tua adalah “SP”, berikut ungkapan Ibu “T” selaku orang tua dari “SP”: “Dia tuh dari kecil udah sering sakit apalagi setelah tante dan ayahnya cerai. Sudah sering periksa ke Rumah Sakit yang terkenal di Jakarta katanya alergi, katanya kelenjar getah bening, sampai pernah disuruh operasi sama dokter. Macem-macemlah kata dokter.”4 Dari penuturan ibu “T” menjelaskan bahwa sejak kecil “SP” memang sering menderita sakit walaupun kedua orang tuanya belum bercerai. Hanya saja setelah ayahnya bercerai ternyata “SP” semakin sering mengalami gangguan pada kesehatannya. Hal tersebut dijelaskan dengan adanya beberapa hasil test yang dikeluarkan oleh beberapa rumah sakit terkenal di Jakarta untuk mengetahui penyakit
4
Wawancara Pribadi dengan Ibu “T” selaku orang tua dari SP. Bekasi, 16 Mei 2015.
81
yang diderita “SP”, namun semuanya belum bisa menunjukkan penyakit apa yang sebenarnya di derita oleh “SP”. Ternyata perceraian orang tua memiliki dampak pada gangguan kesehatan “SP”. 3) Kondisi Kesehatan “AP” Kondisi kesehatan “AP” sangat berbeda dengan kedua kondisi informan diatas. “AP” yang orang tuanya telah bercerai pada usianya yang baru 40 hari. Sejak kecil “AP” memang jarang menderita sakit, seperti penuturan dari ibu “N” selaku orang tua dari “AP”: “Anak ini mah jarang sakit si, paling juga dia kalo sakit batuk pilek aja itu juga jarang banget, hampir enggak pernah ke dokter. Dia juga makannya banyak banget semenjak abis berenti nyusu botol. Kalo minta makan bisa dua jam sekali. Kalo engga diturutin nangis.”5 Dari pernyataan ibu “N” diatas terlihat bahwa sejak kecil memang “AP” jarang menderita sakit. Sakit yang di derita hanyalah batuk pilek dan jarang pergi ke dokter. Selain itu nafsu makan “AP” juga meningkat semenjak “AP” berhenti meminum susu formula. Jika “AP” meminta makan namun tidak diberikan oleh mamanya biasanya “AP” menangis. Dari penuturan ibu “N” diatas terlihat bahwa perceraian kedua orang tuaya tidak berdampak pada kondisi kesehatan “AP”.
5
Wawancara pribadi dengan ibu “N” selaku orang tua dari AP. Depok, 6 Mei 2015.
82
4) Kondisi Kesehatan “RP” Sebelum orang tuanya berpisah “RP” adalah anak yang sehat, ia jarang menderita sakit. Seperti penuturan dari ibu “W” selaku orang tua “RP”: “Dia itu engga ada gangguan kesehatan apa-apa sebelum saya pisah sama suami, tapi sejak saya pisah sama suami ya ada aja yang dirasain.”6 Namun ketika orang tuanya bercerai “RP” mulai mengalami gangguan pada kesehatannya. Pasca percerain “RP” yang tinggal dengan ibunya harus merasakan sulitnya kehidupan. Bahkan dulu ibunya sempat bekerja sebagai penjaga warung makan dan ketika ada sisa makanan dari warung makan tersebut, barulah “RP” dan ibunya bisa makan. Sehingga ketika “RP” duduk di bangku kuliah ia menderita penyakit lambung karena jam makan yang tidak teratur karena ia harus bekerja menjadi asisten laboratorium di kampusnya. Dan karena ia sering talat makan dan memiliki aktivitas yang cukup tinggi akhirnya ia menderita penyakit typus. Kurang lebih satu tahun “RP” menderita penyakit typus dan harus beberapa kali dirawat di sebuah rumah sakit di Depok. Seperti penuturan dari “RP”, sebagai berikut: “Dulu waktu orang tua pisah gue jadi sering sakit. Dulukan gue hidupnya enak, nah sekarang gue harus hidup susah sama ibu, makan aja nunggu ada makanan sisa dari warung, soalnya dulu ibu kerja jadi penjaga warung nasi. Kan kerena dulu kalo makan nunggu makanan sisa jadi suka telat makan dan kena deh penyakit lambung. Udah gitu gue kan kerja jadi asisten laboratorium di kampus yang kerjanya 6
Wawancara pribadi dengan ibu “W” selaku orang tua dari RP. Depok, 9 Mei 2015.
83
cape jadi kena typus hampir setahun sampe beberapa kali dirawat tapi engga sembuh-sembuh.”7 Karena menderita typus yang cukup lama, akhirnya “RP” memutuskan untuk cuti kuliah selama 2 semester. Selain itu “RP” juga kerap kali memikirkan ayahnya yang tidak pernah menghubunginya lagi. Berikut penjelasan dari “RP”: “Gara-gara gue sakitnya lama, akhirnya gue ngambil cuti setahun. Soalnya kalo gue kuliah, gue takut kenapa-kenapa di jalan, takut pingsan soalnya bawaannya lemes banget. Udah gitu gue juga suka kepikiran sama bapak, dia engga pernah hubungin gue lagi semenjak pisah sama ibu.”8 Dari penuturan ibu “W” ternyata sebelum adanya perceraian tidak ada gangguan kesehatan yang dirasakan oleh anak tunggalnya. Namun ketika kedua orang tua memutuskan untuk bercerai, gangguan kesehatan mulai dirasakan oleh “RP”. Ia jadi sering menderita sakit seperti typus yang dideritanya cukup lama hingga mengharuskan dirinya untuk mengambil cuti dari kuliahnya, hingga penyakit lambung dan rasa rindu yang dirasakan “RP” kepada ayahnya yang sekarang sudah tidak lagi menghubunginya. Dari temuan lapangan yang peneliti dapatkan, ternyata tiga dari empat anak yang orang tuanya bercerai memiliki gangguan pada kesehatan mereka, seperti yang diungkapkan oleh “RP” salah satu anak yang menjadi korban dari perceraian orang tuanya serta ketiga ibu sebagai wali dari anak tersebut yaitu ibu “U”, ibu “W” dan ibu “T”.
7 8
Wawancara Pribadi dengan “RP”. Depok, 16 Mei 2015. Wawancara Pribadi dengan “RP”.
84
2. Kondisi Psikologis Anak Selain berdampak pada kesehatan anak, ternyata perceraian orang tua juga berdampak pada psikologis anak. Faktor-faktor yang akan dibahas dalam aspek psikologis yaitu, perkembangan anak berdasarkan fase-fase perkembangannya, melihat bagaimana hubungan anak dengan lingkungan keluarga, status ekonomi orang tua, lingkunngan sekolah serta hubungan dengan teman sebaya. a. Fase-fase Perkembangan Anak 1) Fase-fase perkembangan “IA” Ketika orang tuanya memutuskan untuk bercerai, saat itu “IA” masih dalam usia 1,5 tahun. Usia tersebut seharusnya seorang anak mendapatkan banyak pelajaran sepeti berkembangnya kebebasan pengungkapan diri yang akan melahirkan kepercayaan diri pada anak. seperti pengungkapan ibunya, “IA” selalu diberikan kebebasan dalam menentukan apa yang diinginkan. Ibu “U” hanya akan memberikan pilihan konsekuensi apa yang akan dirasakan ketika sudah memilih suatu pilihan. Dan ibu “U” tidak akan marah jika “IA” memilih pilihan yang tidak sejalan dengan apa yang dianjurkannya, berikut ungkapannya: “Gue selalu ngasih kebebasan sama dia. terserah mau ngapain, paling gue cuma ngasih tau baik buruknya aja. Kaya misalnya beli mainan nih, dia pengen warna merah, gue bilang dirumah udah ada yang merah, kamu belom punya warna kuning, dan kalo dia tetap minta warna merah, yaudah itu hak dia.”9
9
Wawancara pribadi dengan ibu U.
85
Dari pernyataan ibu “U” diatas terlihat bahwa ibu “U” sangat memberikan kebebasan kepada anaknya, namun ia hanya mengarahkan saja dan pada akhirnya pilihan tetap jatuh di tangan “IA” sendiri. Karena “IA” selalu dibiasakan untuk memilih apa yang menjadi pilihannya, hal tersebut berdampak pada kepercayaan diri “IA” yang tinggi. Seperti halnya ia tidak pernah merasa takut jika harus bertemu dengan orang yang baru dikenalnya, dan “IA” juga tidak malu untuk menjawab pertanyaan jika ditanya dengan orang lain. Terlihat dari hasil observasi yang peneliti lakukan: “Ketika peneliti berkunjung kerumahnya di daerah Ciganjur, “IA” tidak merasa takut dengan kedatangan peneliti. “IA” tetap enjoy dengan aktivitasnya. Bahkan “IA” mengajak peniliti untuk membeli makanan yang ada di seberang jalan. Selain itu ketika peneliti sedang berbincangbincang dengan mamanya, “IA” sangatlah aktif. Ia berlarilari melewati pintu depan menuju pintu samping dan sesekali “IA” menaiki ayunan yang berada di ruang tamu sambil berkata “aku robot”.10
Dari informasi diatas terlihat bahwa perceraian orang tuanya tidak mempengaruhi fase dalam perkembangan psikologis “IA”. “IA” tetap tumbuh layaknya anak yang tumbuh ditengah-tengah keluarga yang utuh, meskipun sebenarnya “IA” dibesarkan dalam keluarga yang bercerai. 2) Fase Perkembangan “SP” Ketika orang tuanya bercerai “SP” masih berusia 6 tahun. Ia masih berada di bangku sekolah dasar tepatnya berada di kelas 1. Pada usia ini seorang anak akan memiliki kemampuan untuk 10
Hasil observasi pribadi. Jakarta 7 Mei 2015.
86
berhubungan dengan teman sebaya atau peer group. “SP” yang harus menerima kenyataan bahwa orang tuanya telah berpisah, ternyata memiliki masalah dalam berhubungan dengan temannya. “SP” menjelaskan bahwa ia hanya akan bermain dengan teman yang sudah ia dan mamanya kenal saja, sehingga “SP” tidak terlalu memiliki banyak teman: “Gue suka susah gitu kalo kenal sama orang baru. Engga tau kenapa ya kayanya tuh emang engga gampang buat deket sama orang baru. Gue kalo udah nyaman sama orang yaudah males buat kenal sama orang baru, mau itu pacar, mau temen sekolah. Jadi tuh dari jaman sekolah dulu harus ada barengannya yang emang udah kenal deket. Kaya kuliah nih ya, harus ada temen sekolah dari Jambi yang kuliah disini juga. Karena enggak gampang buat gue untuk kenal dan percaya sama orang baru. Makanya temen gue engga terlalu banyak.”11 Hal senada juga diungkapkan oleh sahabat “SP” yang menyatakan bahwa “SP” memang tidak terlalu suka berhubungan dengan orang yang baru dikenal: “Sebenernya dia orangnya rame kalo udah kenal deket, tapi kalo sama orang baru ya agak susah juga deketnya, dia enggak gampang percayaan sama orang, apalagi orang yang baru dikenal. Butuh waktu lama buat kenal lebih deket lagi.”12
Dari pernyataan diatas terlihat bahwa perceraian orang tua mempengaruhi fase pada perkembangan “SP”. “SP” tumbuh menjadi anak yang memiliki kesulitan ketika harus berinteraksi dengan orang yang baru dikenalnya dan menyebabkan “SP” yang merasa cukup meskipun tidak memiliki banyak teman. 11 12
Wawancara pribadi dengan “SP”. Wawancara pribadi dengan sahabat “SP”. Tangerang, 11 Mei 2015.
87
3) Fase Perkembangan “AP” Usia “AP” ketika kedua orang tuanya bercerai adalah 40 hari. Usia yang masih sangat kecil bagi anak yang harus kehilangan kehangatan dari kedua orang tuanya. Seharusnya pada usia ini seorang anak mendapatkan rasa hangat dan nyaman serta cinta dan rasa aman dari orang tuanya. Karena “AP” tidak mendapatkan rasa hanyat, nyaman dan sebagainya dari sang ayah, ternyata berdampak pada perkembangannya. Menurut penuturan dari ibu “N”, “AP” tumbuh menjadi anak yang pendiam dan pemalu. “AP” juga memiliki rasa ketakutan yang besar ketika bertemu dengan orang yang baru dikenalnya. Seperti dalam kutipan wawancara berikut: “Dia itu pendiem, pemalu, takut sama orang baru. Dia juga kalo ketemu sama orang baru rada takut, maunya deketdeket sama saya mulu, kan kadang saya yang jadi malu kalo lagi ada tamu dirumah.”13 Karena “AP” memiliki sifat pendiam, ternyata “AP” sering menjadi korban bully oleh teman-teman di sekolahnya terdahulu. Ia sering kali ditarik rambutnya, dicubit pipinya, namun “AP” tidak pernah membalasnya. Seperti apa yang dijelaskan oleh ibu “N”: “Dia itu engga punya temen. Dia suka jadi korban bully di sekolahnya. Kalo di isengin temennya enggak pernah mau bales, makanya temennya seneng ngeledekin dia. Kadang dia suka ditarik-tarik rambutnya, dicubitin pipinya tapi dia enggak ngebales.”14 13 14
Wawancara pribadi dengan ibu “N”. Wawancara pribadi dengan ibu “N”.
88
Dari informasi diatas, dapat terlihat bahwa perceraian orang tua mempengaruhi fase perkembangan pada “AP”, yaitu “AP” tumbuh menjadi anak pendiam, pemalu serta menjadi korban bully oleh temannya. 4) Fase Perkembangan “RP” Ketika orang tuanya bercerai, “RP” tengah berada di usia 13 tahun. dimana di usia tersebut setiap individu akan merasakan identitas yang melekat pada dirinya dan siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti. Seperti penuturan dari “RP” yang merasakan peran sebagai teman hidup dari ibunya. Seperti halnya memberikan dukungan kepada ibunya di dalam pekerjaan layaknya seorang suami yang mendukung istrinya dalam bekerja. Seperti yang penuturan dari “RP”: “Ya deket banget ya. Saking deketnya gue sama ibu, kadang gue ngerasa kalo gue ini punya peran ganda, jadi anak juga terus gantiin posisi bapak juga. Kaya ngasih dukungan kalo ibu kerja kan harusnya itu tugasnya bapak, belom lagi gue harus dengerin keluh kesahnya ibu. Gue jadi ngerasa engga kaya anak muda banget, soalnya gue punya peran sebagai bapak juga.”15
Di usianya yang kini 24 tahun, ia harus berperan selayaknya seorang suami yang harus mendengarkan keluh kesah istrinya, dan memberikan dukungan kepada istrinya. Timbul pernyataan bahwa dirinya tidak merasa seperti anak muda. Dan saat ini “RP” merasakan kebingungan peran yang ia rasakan, namun hal tersbut tetap
15
Wawancara pribadi dengan “RP”.
89
dijalaninya untuk menyesuaikan keadaan keluarga mereka yang sudah bercerai. Selain itu “RP” juga menuturkan bahwa dirinya pernah menderita gangguan kejiwaan yaitu pannic attacks. Kondisi tersebut disebabkan karena “RP” memiliki kecemasan yang tinggi dan kerap kali merasa ketakutan untuk melakukan sesuatu: “Beberapa bulan lalu gue dirujuk sama salah satu dokter untuk dateng ke psikiater. Dari gejala yang gue rasain kaya suka keringetan berlebih, lemes, rasa takut, cemas, akhirnya psikiater bilang kalo gue kena pannic attacks. Penyebabnya si karena imajinasi gue lebih kuat dari pada realitas, makanya gue takut ngapa-ngapain waktu itu.”16
Ternyata dampak perceraian orang tua sangatlah dirasakan oleh “RP”. Ia harus berperan sebagai seseorang yang mendukung penuh ibunya layaknya seorang suami, dan “RP” juga harus mengalami salah satu dari gangguan kejiwaan yaitu pannic attacks. Dari hasil temuan di lapangan, ternyata perceraian memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap fase perkembangan anak, dimana orang tua yang seharusnya dapat memenuhi tumbuh kembang sang anak, namun dengan adanya perceraian maka akan ada suatu kondisi dimana sang anak tidak sempurna dalam melewati fase-fase perkembangan hidupnya. b. Hubungan dengan Lingkungan Keluarga Hubungan yang terjalin antara orang tua atau pengasuh dengan anak merupakan dasar bagi perkembangan sosialnya. Karena kasih sayang orang tua dan pengasuh merupakan kunci utama perkembangan
16
Wawancara pribadi dengan “RP”.
90
sosial anak, dan memiliki penyusaian diri yang baik. Hal tersebut tidak terlepas dari gaya pengasuhan yang diterapkan kepada anak. 1) Hubungan “IA” dengan Keluarga Hubungan yang terjalin antara ibu “U” dengan “IA” sangatlah dekat. Sangat terlihat bagaimana “IA” sangat menyayangi mamanya seperti hasil dari observasi yang peneliti lakukan: Ketika di sela-sela wawancara peneliti dengan mamanya, sesekali “IA” memeluk dan mencium mamanya, serta meminta dipangku oleh mamanya dan “IA” juga sering kali bermanja-manja dengan mamanya. Namun saat itu ibu “U” tiba-tiba terbatuk-batuk, kemudian “IA” langsung memeluk dan mengatakan mama minum obat ya nanti sakit loh.”17 Meskipun kedua orang tua “IA” telah bercerai, namun orang tua mereka berkomitmen untuk tetap membesarkan “IA” secara bersama-sama. Karena “IA” memiliki hak atas kasih sayang dari kedua orang tuanya, berikut pernyataan dari ibu “U”: “Gue sama papanya si masih suka jalan-jalan ngajak “IA”. Kan mau gimanapun dia juga butuh waktu buat maen sama papanya. Kadang juga dia nginepkan dirumah papanya. Biarpun gue kesel sama papanya tapi gue enggak pernah ada niatan untuk misahin dia sama papanya.”18
Dari informasi diatas dapat dilihat bahwa meskipun perceraian telah terjadi diantara orang tua “IA” dan hak asuh jatuh kepada ibu “U”, namun ibu “U” dan mantan suaminya berkomitmen untuk tetap membesarkan “IA” secara bersama. Terlihat ketika mereka menghabiskan waktu luang untuk sekedar berjalan-jalan agar 17 18
Hasil observasi pribadi. Jakarta, 6 Mei 2015. Wawancara pribadi dengan ibu “U”.
91
“IA” tetap merasakan kasih sayang yang utuh dari kedua orang tuanya. 2) Hubungan “SP” dengan Keluarga Semenjak perceraian, ternyata kedua orang tua “SP” tidak menjalin komunikasi yang harmonis terlebih untuk membesarkan “SP” dan kakak laki-lakinya. “SP” yang merasakan bahwa setelah bercerai ayahnya sudah tidak mempedulikannya lagi dan lebih peduli kepada istri barunya. Bahkan jika “SP” datang berkunjung kerumah ayahnya di Jambi, ayahnya menyuruhnya untuk cepat pulang, seperti penuturannya sebagai berikut: “Ayah sama mama gue mah musuhan dah abis cerai. Kan abis cerai aja gue tinggal sama datuk gue, baru-baru ini aja gue tinggal sama mama. Gue juga kesel sama ayah gue, dia lebih sayang sama istrinya dari pada sama gue. Kalo gue lagi main kerumah ayah gue, tiba-tiba ayah gue kaya enggak suka sama gue, malah gue disuruh cepet-cepet pulang. Gue mah tau banget pasti otak ayah gue udah di cuci sama emak tiri gue.”19 Berbeda dengan hubungan “SP” dengan mamanya. Ia sangat dekat dengan mamanya. Sejak kecil mamanya selalu memberikan apa yang dia inginkan seperti yang diungkapkannya: ”Dia selalu ngasih apa yang gue minta, waktu diajak ke dokter gigi misalnya, gue harus dikasih hadiah dulu baru gue mau pergi ke dokter gigi, dan kebawalah sampe sekarang. Jadi gue semangat kalo ngerjain apa-apa terus dikasih hadiah.”20 Hal serupa disampaikan pula oleh sahabat “SP” yang mengatakan bahwa “SP” memang terbiasa untuk diberikan sesuatu 19 20
Wawancara pribadi dengan “SP”. Wawancara pribadi dengan “SP”.
92
biasanya berupa barang yang ia inginkan agar ia termotivasi dalam mengerjakan sesuatu: “Setau gue emang dia dari dulu, kalo mau apa-apa ya harus ada hadiahnya dulu, dan hadiahnya yang dia mau, katanya mah biar semangat ngerjain apa-apa kalo dikasih hadiah dan dia emang deket sama mamanya.”21
Dari informasi diatasterlihat bagaimana huungan antara “SP” dengan ayahnya tidaklah harmonis, namun berbanding terbalik dengan hubungan “SP” dengan mamanya yang sangatlah harmonis. Hubungna yang harmonis dengan mamanya tidak terlepas dari apa yang selalu diberikan oleh mamanya kepada “SP”. 3) Hubungan “AP” dengan Keluarga Ternyata hubungan “AP” dengan ayahnya juga tidaklah harmonis. Semenjak orang tuanya bercerai “AP” hampir tidak pernah bertemu dengan ayahnya. “AP” baru mengenal ayahnya ketika ia berusia 3 tahun. Karena “AP” yang tidak mengenal sosok ayahnya, hal tersebut pernah membuat “AP” merasa takut jika harus bertemu dengan sosok pria dewasa, seperti yang diungkapkan oleh ibu “N”: “Abis cerai si kita engga pernah ketemu lagi tuh sampe anak udah gede. Tapi waktu kira-kira “AP” umur 3 tahun dia dateng ngajak rujuk tapi saya engga mau. Nah mulai dari situ dia usaha banget PDKT sama anaknya sendiri. Ya bayangin aja tiba-tiba dateng terus ngenalin diri jadi ayah, apa engga bingung anaknya.”22
21 22
Wawancara pribadi dengan sahabat “SP”. Wawancara pribadi dengan ibu “N”.
93
Namun hubungan antara “AP” dengan mamanya sangatlah dekat, hal tersebut juga didasarkan atas hak asuh perwalian “AP” yang jatuh kepada ibu “N”. “AP” yang sehari-hari selalu menghabiskan waktu bersama dengan ibunya membuat “N” menjadi anak yang tidak percaya diri, seperti yang diungkapkan oleh ibu “N”: “Kalo saya sama anak si deket banget, namanya seharihari kita berdua terus, ngapa-ngapain berdua. Cuma ya karena kita terlalu deket dia tuh jadi engga pede. Apalagi kalo ketemu sama orang lain”.23 Dari informasi diatas terlihat bahwa hubungan “AP” dengan mamanya sangatlah dekat, namun kedekatan tersebut justru membawa “AP” tumbuh menjadi anak yang kurang memiliki percaya diri, hal tersebut juga didasari oleh hubungan “AP” dengan ayahnya yang tidak harmonis setelah kedua orang tuanya bercerai. 4) Hubungan “RP” dengan Keluarga Seperti yang dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa “RP” memiliki kedekatan yang erat dengan ibunya. Karena semenjak perceraian hubungan “RP” dengan ayahnya tidaklah seharmonis dulu. Seperti yang dijelaskan oleh “RP”: “Setelah pisah ibu sama bapak udah enggak ga ketemu lagi. Ibu udah males banget kali kalo ketemu bapak, kayanya si sakit hati karena masalah yang dulu. Tapi gue masih suka smsan sama bapak, ya enggak sering si. Biasanya dia mah kalo sms minta uang sama gue. Itupun tanpa sepengetahuan ibu.”24
23 24
Wawancara pribadi dengan ibu „N” Wawancara pribadi dengan “RP”.
94
Dari informasi “RP” diatas dapat dilihat bahwa hubungan “RP” dengan ayahnya tidaklah harmonis dikarenakan ibunya yang masih memiliki rasa sakit hati dengan ayahnya tersebut. bahkan untuk berkomunikasi dengan ayahnya, “RP” harus melakukannya secara diam-diam tanpa sepengetahuan ibunya. c. Status ekonomi orang tua Ternyata perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh status ekonomi orang tua. Dengan perekonomian yang cukup maka anak akan mendapatkan kesempatan yang lebih leluasa untuk mengembangkan dirinya. 1)
Status Ekonomi orang tua “IA” “IA” yang terlahir dengan status ekonomi orang tua yang tinggi membuat “IA” mampu mendapatkan apa yang diinginkan dengan mudah serta dapat mengembangkan dirinya dengan luas. “IA” yang berusia 2 tahun akan dipersiapkan ibu “U” untuk bisa masuk disebuah play group yang terkenal di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Hal tersebut dilakukan oleh ibu “U” karena ia menginginkan anaknya bisa lancar berbahasa Inggris sejak kecil, seperti yang diungkapkan ibu “U” sebagai berikut: “Sekarang diakan umurnya 2 tahun, jadi gue lagi siapin dia untuk masuk play group di Kemang. Gue pengen dia bisa bahasa Inggris dari kecil, kalo di sekolah biasakan bahasa Ingrisnya kurang, tapi kalo disana pasti sehari-hari pake bahasa Inggris.”25
25
Wawancara pribadi dengan ibu “U”.
95
Dengan status ekonomi yang tinggi, maka orang tua “IA” telah mempersiapkan masa depan yang cerah untuk “IA”, dengan rencana menyekolahkannya di sebuah play group dengan status sekolah Internasional. 2)
Status Ekonomi orang tua “SP” Status ekonomi keluarga yang tinggi membuat “SP” dengan mudah mendapatkan apa yang ia inginkan. Selain itu untuk mempermudah akses dalam menjalankan perkuliahannya, orang tuanya memberikan satu unit mobil sedan mewah untuk menunjang aktivitasnya
terutama
dalam
pendidikan.
Seperti
yang
dijelaskannya sebagai berikut: “Gue disinikan ngekost, jadi gue minta mobil sama mama buat kalo kemana-mana, kaya ngerjain tugas segala macem.”26 Hal serupa juga disampaikan oleh sahabat “SP” yang membenarkan jika orang tua “SP” terutama mamanya sangatlah sayang kepada “SP”. Apapun yang diminta “SP” akan selalu diusahakan oleh mamanya, seperti ketika ia kuliah di Jakarta “SP” diberikan mobil oleh mamanya, seperti yang diungkapkan sebagai berikut: “Setau gue si mamanya emang sayang banget sama dia. apa aja yang diminta pasti diturutin. Kaya waktu dia baru kuliah di Jakarta, dia dibeliin mobil sama mamanya buat kalo ke kampus atau buat ngerjain tugas. Semua gedget yang baru pasti dia punya.”27
26 27
Wawancara pribadi dengan “SP”. Wawancara pribadi dengan sahabat “SP”.
96
Dengan status ekonomi orang tua “SP” yang tinggi, maka “SP” dengan mudah mendapatkan apa yang dia butuhkan seperti pemberian mobil dan gedget yang diberikan oleh mamanya. Namun hal tersebut jika tidak disikapi dengan positif akan membawa “SP” pada gaya hidup hedonisme. 3)
Status Ekonomi orang tua “AP” Meskipun “AP”terlahir dari orang tua dengan status ekonomi yang rendah, namun hingga saat ini “AP” masih bisa mengembangkan dirinya karena “AP” adalah anak tunggal. Otomatis semua pendapatan orang tua selain untukbiaya hidup, juga diperuntukkan bagi “AP”. Seperti penuturan dari ibu “N”: “Untuk sekarang si semuanya cukup. Namanya baru punya anak satu jadi ya semuanya pasti buat dia, misalnya beli ipad buat dia belajar dirumah. Tapi enggak tau deh gimana nanti kalo dia punya ade lagi.”28 Untuk saat ini, segala keperluan dan kebutuhan “AP” masih dapat terpenuhi oleh mamanya, karena “AP” yang tidak memiliki saudara. Namun orang tuanya sendiri meragukan jika kelak “AP” memiliki adik, apakah segala kebutuhan “AP” masih bisa dipenuhi atau tidak.
4)
Status Ekonomi orang tua “RP” “RP” yang terlahir sebagai anak tunggal memang selalu menjadi prioritas bagi kedua orang tuanya. Namun semenjak ayahnya mengalami kebangkrutan, status ekonomi kedua orang
28
Wawancara pribadi dengan ibu “N”.
97
tuanya pun berubah. “RP” yang biasa hidup dengan segala sesuatu yang berkecukupan, kini ia harus hidup dengan seadanya. Seperti yang diungkapkan oleh “RP”: “Dulukan gue termasuk orang yang ada, tapi gara-gara bokap bangkrut akhirnya ya kita hidup seadanya aja.”29 Namun, “RP” dan ibunya kembali menata perekonomian yang sempat terjatuh agar kehidupan mereka kembali menjadi lebih baik lagi. Seperti yang diungkapkan ibu “W”, saat itu ia pernah bekerja menjadi seorang pelayan di warteg karena tidak mengetahui harus bekerja apa. Namun saat itu ia ditawarkan bekerja menjadi guru bahasa Inggris di sebuah sekolah di kawasan Depok: “Dulu sebelum jadi guru, ibu pernah kerja jadi pelayan di warteg. Ya lumayan ajalah sekalian buat makan seharihari, soalnya kalo ada makanan sisa boleh dibawa pulang. Tapi waktu itu ibu ditawarin buat ngajar di sekolah sama temen, yaudah akhirnya ibu coba dan alhamdulillah keterima jadi guru bahasa Inggris.”30
Berdasarkan informasi diatas, dapat disimpulkan bahwa status ekonomi sangatlah mempengaruhi perkembangan pada anak. Orang tua yang memiliki status ekonomi yang tinggi akan mempermudah sang anak untuk mengembangkan dirinya seperti pada pendidikan dan kebutuhan sehari-hari yang memang membutuhkan biaya yang cukup besar.
29 30
Wawancara pribadi dengan “RP”. Wawancara pribadi dengan ibu “W”.
98
3. Kondisi Sosial Anak a. Budaya Dalam aspek budaya ini, akan terlihat bagaimana pola-pola kebiasaan yang diterapkan oleh orang tua sehingga akan berdampak pada nilai-nilai yang diyakini oleh sang anak. 1)
Budaya Keluarga “IA” “IA” yang selalu diajarkan untuk hidup mandiri, ternyata membuat
dirinya terbiasa untuk melakukannya sendiri. Ibu “U” memang sejak kecil menanmkan kemandirian dan berani pada diri “IA” agar kelak, ”IA” tidak bergantung dengan orang lain. seperti penuturan dari ibu “U” sebagai berikut: “Dia tuh selalu gue ajarin untuk mandiri. Biar dia engga bergantung sama orang lain. dia juga harus berani engga boleh takut sama orang baru.”31 Hal tersebut terlihat ketika peneliti mengunjungi rumah “IA”. Saat itu “IA” yang baru pertama kali bertemu dengan peneliti tidak merasa takut ataupun malu dengan orang yang baru dikenalnya. Justru “IA” malah menghampiri peneliti dan mengajak bersalaman serta mengajak membeli makanan diluar, seperti hasil observasi yang peneliti dapatkan: “Saat itu peneliti yang baru tiba dirumah “IA”, melihat “IA” yang sedang duduk di sebuah ayunan di dalam rumah. Setelah peneliti bertemu dengan ibu “U”, “IA” juga ikut menghampiri peneliti dan bersalaman dan sambil menunjuk kearah luar untuk mengajak peneliti membeli makanan di luar.”32
31 32
Wawancara pribadi dengan ibu “U”. Hasil observasi pribadi.
99
Dari kebiasaan yang diterapkan oleh ibu “U”, ternyata berdampak pada sikap “IA” yang mandiri dan tidak takut dengan orang yang baru dikenalnya. 2)
Budaya Keluarga “SP” “SP” yang memiliki masalah dengan hubungan dengan orang yang
baru ia kenal ternyata dipengaruhi oleh budaya yang diterapkan oleh mamanya. Sejak kecil “IA” dibiasakan untuk selalu bermain dengan orang yang sudah dianggapnya dekat saja. Seperti apa yang diungkapnya sebagai berikut: “Temen gue mah dikit. Gue kan emang susah ya kalo deket sama orang baru. Soalnya gue kan dari kecil dibiasain maen sama orang yang itu-itu aja. Sama orang yang udah dikenal mama.”33 Karena “SP” dibiasakan untuk selalu bermain dengan orang yang ituitu saja, maka berdampak pada sifat “SP” yang sulit untuk menjalin relasi dengan orang yang baru dikenalnya. 3)
Budaya Keluarga “AP” “AP” yang banyak mengahabiskan waktunya dirumah dengan
mamanya, ternyata membuat dirinya menutup diri dengan lingkungan luar. “AP” tidak suka jika terlalu lama berada diluar rumah, ia ingin selalu berada dirumah. Seperti penuturan dari ibu “N” sebagai berikut: “Kalo untuk pergi-pergi keluar rumah si jarang ya, soalnya saya males kalo pergi-pergi gitu. Emang kebanyakan dirumah aja. Lagian nih sekalinya diajak pergi, anaknya minta pulang mulu. Dia lebih seneng dirumah.”34
33 34
Wawancara pribadi dengan “RP”. Wawancara pribadi dengan ibu “N”.
100
Dari kebiasaan “AP” yang jarang diajak untuk berinteraksi dengan lingkungan luar, ternyata hal tersebut berpengaruh pada kehidupan “AP” yang tidak menyukai jika berada diluar rumah sehingga membuat “AP” menjadi pribadi yang terutup dan menarik diri dari lingkungannya. 4)
Budaya Keluarga “RP” “RP” yang berasal dari daerah Jawa sangat menjunjung tinggi nilai
adat dan istiadat di dalam keluarganya. Seperti “RP” yang selalu diajarkan untuk bertutur kata yang halus dan menjaga sopan santun. Seperti pernyataan dari “RP”: “Gue kan dari Jawa ya, jadi tuh bener-bener nerapin nilainilai adat sehari-hari. kaya gue yang selalu diajarin untuk ngomong halus sama ibu. Jadi kalo temen gue ngomong kasar atau apa ya gue engga suka. Gue pasti bakalan negor temen gue soalnya kaya gitu tuh enggak sopan.”35 Dari kebiasaan yang selalu diajarkan untuk bertutur kata yang halus, membuat “RP” menilai orang lain dari segi tutur katanya. Untuk “RP” jika ada seseorang yang berbicara kasar maka hal tersebut merupakan hal yang tidak sopan. Seperti ungkapan dari teman dekat wanitanya sebagai berikut: “Dia mah kadang nih ngomong elu, gue aja tuh kasar. Jadi kalo mau ngomong sama dia ya harus aku kamu, harus alus. Orang waktu dia ketemu temen gue aja kan dia ngomong elu, gue, terus dia langsung bilang, ih temen kamu tuh kasar banget deh engga sopan.”36 Dari budaya yang diajarkan kepada “RP” ternyata membuat ”RP” memiliki penilaian tersendiri terhadap orang, salah satunya menilai melalui tutur katanya saat berbicara.
35 36
Wawancara pribadi dengan “RP”. Wawancara pribadi dengan teman dekat “RP”. Tangerang, 15 Mei 2015.
101
Dari informasi diatas dapat terlihat bahwa budaya yang diterapkan oleh keluarga ternyata berpengaruh terhadap nilai yang diyakini oleh seorang anak. b. Status Sosial Ekonomi Dalam aspek ini akan dilihat bagaimana status ekonomi orang tua dari tiap-tiap informan. Karena status sosial ekonomi akan berpengaruh terhadap pola pengasuhan kepada anak. 1) Status Sosial Ekonomi “IA” Orang tua “IA” termasuk dalam keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi. Terlihat dari bagaimana pola asuh yang diterapkan oleh ibu “U” kepada “IA”. Ibu “U” yang tidak pernah menggunakan hukuman fisik kepada “IA”. Seperti yang diungkapkan ibu “U” sebagai berikut: “Kalo ngomel mah gue pernah, cuma engga sering-sering banget. Lagian dia jugakan anaknya jarang bikin kesel. Kalo mukul si engga pernah kepikiran di kepala gue. Anak itu lahir bukan untuk disakitin.”37 Selain itu, ibu “U” juga selalu memberikan kebebasan kepada “IA” untuk mengembangkan dirinya, namun ia selalu memberikan arahan kepada anaknya tersebut: “Gue selalu ngasih kebebasan buat dia. Gue jarang ngelarang-ngelarang dia, karena anak segitu emang lagi pengen banyak tau. Paling gue cuma ngarahin dia aja.”38
Dengan status sosial ekonomi yang tinggi ternyata membuat ibu “U” memberikan kebebasan kepada anaknya untuk 37 38
Wawancara pribadi dengan ibu “U”. Wawancara pribadi dengan ibu “U”.
102
mengembangkan dirinya dan ia tidak pernah menggunakan hukuman fisik kepada anaknya tersebut. 2) Status Sosial Ekonomi “SP” “SP” yang terlahir ditengah keluarga dengan sosial ekonomi yang tinggi, membuat dirinya tidak pernah mengalami hukuman fisik dari mamanya. Jika ada hal yang “SP” tidak suka, ataupun ada hal yang mamanya tidak suka, mereka akan mendiskusikannya dan mencari jalan tengah sebagai solusi. Seperti yang dijelaskan “SP” sebagai berikut: “Dari kecil mama tuh engga pernah mukul anaknya, paling ngomel, itu juga engga pernah lama. Ngomelnya paling kalo ada hal yang dia engga suka dari gue. Tapi si biasanya kita omongin bareng, engga sukanya dimana, harusnya kaya gimana, jadi sama-sama enak dan ngerti satu sama lain.”39
Dari informasi diatas dapat dikatakan bahwa orang tua dari “SP”, tidak pernah menggunakan kekerasan fisik kepada “SP”, justru mereka melakukan diskusi secara bersama-sama untuk mencari solusinya jika ada perselisihan diantara mereka. 3) Status Sosial Ekonomi “AP” “AP” yang tumbuh didalam keluarga dengan sosial ekonomi keluarga yang rendah, membuat dirinya sering kali mendapatkan hukuman fisik dari ibunya. Hal tersebut disebabkan karena ibu “N” menginginkan “AP” seperti anak-anak yang lainnya, tidak pendiam dan pemalu. Seperti yang diungkapkannya:
39
Wawancara pribadi dengan “SP”.
103
“Pengen gitu ya ngeliat dia tuh kaya anak-anak laen, bisa maen, engga pemalu, pendiem. Saya jadi kesel kalo dia lagi kumat. Paling suka saya cubit apa engga dipukul aja biar dia ngerti. ”40 Karena sosial ekonomi keluarga “AP” yang rendah, mengakibatkan “AP” menerima hukuman fisik dari mamanya. Selain itu, ibu “N” menuntut agar “AP” dapat menyesuaikan diri seperti anak-anak lain pada umumnya. 4) Status Sosial Ekonomi “RP” Orang tua “RP” memang terlahir dari keluarga yang sosial ekonominya tinggi. “RP” yang sangat di sayang oleh kedua orang tuanya mengaku tidak pernah menerima kekerasan fisik dari kedua orang tuanya: “Dari kecil si ibu sama bapak engga pernah yang namanya mukul. Kalo kesel ya paling cuma dibilangin aja baikbaik.”41
Dari informasi diatas, terlihat bahwa anak yang berasal dari sosial ekonomi keluarga yang rendah kerap kali menjadi korban kekerasan fisik dari orang tuanya karena orang tua mengharapkan anaknya dapat menyesuaikan diri terhadap ekspektasi sosial seperti yang dialami oleh “AP”, dan anak yang memiliki sosial ekonomi yang tinggi tidak pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya. c. Aspek Spiritual Spiritual merupakan suatu aspek yang penting bagi setiap manusia. Dengan spiritual, individu dapat membedakan antara baik dan buruk, 40 41
Wawancara pribadi dengan ibu “N”. Wawancara pribadi dengan “RP”.
104
benar dan salah, dan lain sebagainya. Dalam poin ini kita akan melihat bagaimana ke empat informan menerapkan aspek spiritualitas di dalam kehidupan mereka. 1) Aspek Spiritual “IA” “IA” yang masih berusia 2 tahun ternyata sudah mulai mengenal sholat dan beberapa doa harian. Semuanya diajarkan oleh ibu “U”. Ibu “U” menginginkan “IA” untuk bisa menjadi anak yang soleh. Seperti yang diungkapkan oleh ibu “U”: “Gue pengen dia jadi anak yang soleh, bisa ngaji, rajin solat. Makanya dari sekarang gue suka ngajarin dia kaya doa-doa sehari-hari. kadang dia juga ikut solat kalo tetangga gue solat ke masjid.”42 Selain itu ibu “U” juga mengajarkan bagaimana saling menyayangi terhadap orang lain dan memberikan arahan tentang sesuatu hal yang benar ataupun salah: “Gue si engga terlalu mau banyak ngatur dia, yang penting si gue selalu ngarahin dia. Kaya gue selalu ngajarin kalo kamu engga bisa ngambil maenan misalnya, kamu harus minta tolong. Kalo anak yang pinter kaya gitu. Dan syukurnya sih dia ngerti ya sama apa yang gue ajarin.”43 Dari informasi diatas dapat dilihat bahwa ibu “U” telah menanamkan nilai-nilai spiritual di dalam diri “IA”. Ia mengajarkan bagaimana “IA” harus meminta bantuan kepada orang lain ketika “IA” tidak bisa melakukannya sendiri, selain itu ibu “U” juga telah mengajarkan doa sehari-hari kepada “IA” dengan harapan “IA” tumbuh menjadi anak yang soleh. 42 43
Wawancara pribadi dengan ibu “U”. Wawancara pribadi dengan ibu “U”.
105
2) Aspek Spiritual “SP” “SP” yang saat ini sedang mengerjakan tugas akhirnya, semakin rajin melakukan ibadah kepada Allah SWT. Karena pesan dari mamanya, jika ia tidak boleh meninggalkan sholat. Allah akan mengabulkan semua doa-doa hambanya jika hambanya taat beribadah, seperti yang diungkapkan “SP” berikut: “Sekarangkan gue lagi skripsi ya, kata mama gue harus makin rajin sholatnya biar skripsinya dilancarin, biar bisa jawab pertanyaan pas sidang. Soalnya Allah bakalan ngabulin semua doa-doa gue asal gue engga cape untuk selalu minta sama Allah.”44 Dari ungkapan “SP” terlihat bahwa Allah SWT akan mengabulkan semua doa-doanya merupakan sebuah nilai yang diyakini oleh “SP”. Untuk itu “SP” sangat yakin jika semakin rajin ia berdoa kepada Allah SWT, maka segala urusannya akan dilancarkan oleh Allah SWT. 3) Aspek Spiritual “AP” “AP” yang memiliki sifat pendiam dan sering kali menjadi korban bully oleh temannya, membuat ibu “N” khawatir dengan keadaan “AP”. Karena anak yang diam biasanya menjadi korban kekerasan seksual. Seperti yang diucapkan oleh ibu “N”: “Dia mah kan anaknya diem banget ya, saya tuh takut kalo dia jadi korban kekerasan seksual kaya yang di tv gitu. Namanya anaknya diem, kalo di apa-apain belom tentu dia bisa jawab.”45
44 45
Wawancara pribadi dengan “SP”. Wawancara pribadi dengan ibu “N”.
106
Selain itu ibu “N” juga selalu mengajarkan kepada “AP” bagian-bagian tubuh mana yang boleh dipegang oleh orang lain dan bagian tubuh mana yang tidak boleh dipegang oleh orang lain. Seperti yang diungkapkan ibu “N”: “Saya si suka ngajarin sama dia area mana aja yang boleh di pegang sama orang lain, bagian mana yang cuma boleh dipegang sama mama. Saya suka bilang, yang ini engga boleh ya dipegang sama orang lain, ini Cuma boleh dipegang sama mama. Kalo ada orang yang megang, bilang sama mama. Dan sampe sekarang si dia masih nurutin apa yang saya ajarin. Karena dia tau kalo itu untuk kebaikan dia juga.”46 Dari informasi diatas, terlihat bahwa ibu “N” telah menerapkan nilai-nilai kepada diri “AP”. “AP” yang diajarkan untuk selalu menjaga bagian-bagian tubuhnya dari orang lain, meyakini bahwa apa yang diajarkan mamanya adalah hal yang benar. 4) Aspek Spiritual “RP” “RP” yang beberapa waktu lalu mengalami gangguan pada kejiwaannya, kini menjadi lebih rajin untuk melaksanakan ibadah. Ia lebih rajin menjalankan sholat lima waktu dan ia kini lebih giat untuk belajar mengaji. Hal tersebut ditengarai oleh keyakinan “RP” yang menganggap bahwa saat dirinya sakit, ia telah lalai dalam menjalankan ibadah. Sehingga ketika keadaannya sekarang telah membaik, ia harus lebih mendekatkan dirinya kepada Allah. Seperti apa yang dijelaskannya sebagai berikut:
46
Wawancara pribadi dengan ibu “N”.
107
“Dulu mah gue jarang sholat, tapi sekarang setelah gue sehat ya gue lebih rajin sholat. Mungkin kemaren gue dikasih sakit karena emang gue juga jarang sholat.”47
Hal senada diungkapkan oleh teman dekat wanitanya, yang melihat diri “RP” menjadi lebih rajin dalam beribadah dan saat ini “RP” sedang rajin untuk belajar mengaji. Berikut ungkapannya: “Sekarang si dia jadi lebih rajin sholat. Gue selalu ingetin dia untuk selalu sholat, kalo engga sholat entar dikasih sakit lagi sama Allah. Sekarang juga gue lagi ngajarin dia buat ngaji.”48
Berdasarkan
informasi
diatas
terlihat
bagaimana
masing-masing
informan menerapkan aspek spiritual dalam kehidupan mereka seperti “RP” yang kini lebih rajin beribadah semenjak ia mengalami sakit, “SP” yang lebih rajin mendekatkan diri kepada Allah SWT agar ia diberi kemudahan dan kelancaran dalam mengerjakan skripsinya.
2.
Pola Asuh Orang Tua a.
Jenis Pola Asuh Hubungan antara orang tua yang harmonis merupakan kondisi yang diperlukan untuk mewujudkan pengasuhan pada anak yang kondusif sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Berikut akan dijelaskan jenis-jenis pola asuh yang diterapkan orang tua kepada masing-masing informan.
47 48
Wawancara pribadi dengan “RP”. Wawancara pribadi dengan teman dekat “RP”.
108
1)
Jenis Pola Asuh “IA” Ibu “U” selalu mengajarkan anakanya untuk mandiri dan
bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan. Ia selalu memberikan anaknya sebuah pilihan dan menjelaskan apa saja konsekuensi dari pilihannya tersebut. Seperti penjelasannya sebagai berikut: “Gue selalu ngajarin “IA” untuk mandiri dan tanggung jawab biarpun dia masih kecil. Gue berusaha untuk ngasih dia kebebasan. Contohnya kalo dia mau minum, dia bisa ambil gelas sendiri di dapur kalopun dia ngerasa engga bisa dan minta bantuan ya engga masalah yang penting sebelumnya dia udah usaha sendiri. Terus juga kalo dia abis berantakin mainannya, gue engga mau beresin. Jadi dia yang harus beresin sendiri. Kalopun engga rapi, yang penting dia udah usaha buat ngerapihin sendiri, nanti baru gue yang nyimpen mainannya. Jadi mau dia ngeluarin mainannya sebanyak apapun itu, dia udah tau konsekuensinya. Dia harus beresin sendiri dan gue engga akan mau bantuin.”49 Dari informasi diatas terlihat bahwa ibu “U” ingin mengajarkan anaknya untuk hidup mandiri dan bertanggung jawab. Selain itu, dari pernyataan diatas dapat dilihat bahwa ibu “U” menerapkan pola asuh dengan jenis pola asuh Otoratif (Authoritatif Parenting) kepada “IA”. Jenis pola asuh ini mendorong anak untuk lebih mandiri. Dan ternyata jenis pola asuh ini sangatlah peneliti rasakan ketika berinteraksi dengan “IA”. Ia dapat menjalin relasi dengan baik ketika peneliti mengunjungi rumahnya. “IA” tidak merasa malu apalagi takut dengan orang lain.
49
Wawancara pribadi dengan ibu “U”selaku orang tua dari “IA”. Jakarta, 7 Mei 2015.
109
2)
Jenis Pola Asuh “SP” “SP” yang berasal dari keluarga sosial ekonomi yang tinggi, tentu saja memuat “SP” sangatlah muda untuk meminta atau mendapatkan sesuatu. Dan status sosial ekonomi yang dimiliki keluarga ternyata berpengaruh terhadap pola asuh yang diberikan oleh mamanya. Mamanya selalu memberikan apa yang diinginkan “SP” sebagai motivasi “SP” dalam mengerjakan sesuatu. Seperti penuturan “SP”: ”Dia selalu ngasih apa yang gue minta, waktu diajak ke dokter gigi misalnya, gue harus dikasih hadiah dulu baru gue mau pergi ke dokter gigi, dan kebawalah sampe sekarang. Jadi gue semangat kalo ngerjain apa-apa terus dikasih hadiah.”50 Hal serupa disampaikan pula oleh sahabat “SP” yang mengatakan bahwa “SP” memang terbiasa untuk diberikan sesuatu biasanya berupa barang yang ia inginkan agar ia termotivasi dalam mengerjakan sesuatu: “Setau gue emang dia gitu dari dulu, kalo mau apa-apa ya harus ada hadiahnya dulu, dan hadiahnya yang dia mau, katanya mah biar semangat ngerjain apa-apa kalo dikasih hadiah.”51 Selain itu semenjak perceraian, “SP” merasa mamanya lebih protective terhadap dirinya. “SP” mengatakan jika mamanya selalu menelponnya setiap hari dan selalu berpesan agar menjaga diri baik-baik agar tidak mudah terpengaruh oleh pergaulan bebas. “SP” juga mengatakan meskipun ia sering membuat mamanya marah,
50 51
Wawancara pribadi dengan “SP”. Wawancara pribadi dengan sahabat “SP”.
110
namun sejak kecil mamanya tidak pernah memukulnya. Itu yang membuat “SP” sangatlah sayang kepada mamanya, seperti yang diceritakannya sebagai berikut: “Semenjak gue gede, mama lebih protect aja sama gue, hampir tiap hari dia telpon buat ngontrol keadaan gue ya namanya juga anak kosan, katanya jaga diri baik-baik, jangan terlalu deket sama cowo, dsb. Meskipun gue sering bikin kesel mama, tapi dia mah jarang marah, dari gue kecil, dia engga pernah mukul gue.”52 Menurut pemaparan diatas, ketika “SP” beranjak dewasa sang mama menjadi lebih protective kepada “SP” dikarenakan tempat tinggal mereka yang kini berjauhan. Sejak kecil, mamanya selalu berusaha memberikan apa yang “SP” inginkan, sehingga berdampak pada kepribadian “SP” sekarang yang selalu merasa senang atau termotivasi jika diberikan hadiah setelah berhasil melakukan sesuatu. “SP” juga mengungkapkan rasa sayangnya terhadap mamanya karena mamanya tidak pernah memukul dirinya sejak kecil, mamanya selalu memberikan kasih sayang terhadap dirinya. Dapat kita lihat pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya. Dapat dilihat bahwa pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua “SP” sebagai wali adalah pengasuhan yang menuruti (Indulgent Parenting). Anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya selain itu ia akan selalu berusaha untuk selalu mendapatkan apa yang ia inginkan.
52
Wawancara pribadi dengan “SP”.
111
3)
Jenis Pola Asuh “AP” Berbeda dengan “AP” yang kerap kali menerima kekerasan dari mamanya. “AP” terkadang harus menerima cubitan atau pukulan dari mamanya jika “AP” tidak bisa menjelaskan apa yang ia inginkan, berikut pernyataan dari ibu “N”: “Saya itu sebenernya galak sama anak. Engga jarang saya suka nyubit atau mukul. Soalnya anaknya susah dibilangin. Kalo ditanya baik-baik engga bisa ngomong. Saya itu keras sama anak soalnya saya engga mau dia itu kaya saya. Jadi dia harus nurutin semua omongan saya, biar engga salah jalan kaya saya.”53 Dapat kita lihat dari kata-kata ibu “N” yang mengatakan “... dia harus nurutin semua omongan saya, ...” bahwa pola asuh yang diterapkan ibu “N” kepada anaknya cenderung kepada pola asuh dengan jenis otoritarian (Authoritarian Parenting). Pola asuh ini cenderung membuat anak untuk mengikuti keinginan orang tuanya dan dampak dari pola asuh otoritarian ini adalah akan membuat anak sulit untuk berkomunikasi dan merasa ketakutan. Ia bersikap demikian karena ia tidak ingin anaknya salah jalan seperti ia ketika masih muda dulu. Karena pernikahan yang terjadi pada saat itu didasarkan oleh kesalahannya yang hamil di luar nikah.
4)
Jenis Pola Asuh “RP” “RP” yang kini tinggal bersama ibunya mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, ibunyalah yang membuat aturan seperti “RP” tidak di izinkan jika pulang diatas jam 20.00 WIB. “RP” yang terlahir sebagai anak tunggal memang sangatlah dekat
53
Wawancara pribadi dengan ibu “N”.
112
dengan ibunya, terkadang “RP” diperlakukan seperti anak yang masih kecil seperti ketika makan terkadang masih disuapi oleh ibunya, seperti yang dijelaskan oleh “RP”: “Kalo dirumah itu semua yang bikin aturan ya ibu, contohnya nih gue engga boleh pulang malem sama ibu. Kadang abis maghrib aja udah disuruh pulang, pokonya jam delapan malem udah harus dirumah. Padahal namanya anak muda ya kalo malem aja baru ngajakin ngumpul. Gue juga engga ngerti ya kadang ibu tuh galak banget kalo gue lagi diluar rumah, khawatir kalo gue belom sampe rumah. Tapi nih kalo gue udah dirumah, kadang gue makan aja disuapin sama ibu, udah kaya anak kecil.”54
Dari informasi di atas, dapat dilihat bahwa ibu dari “RP” menerapkan pola asuh Otoritarian (Authoritarian Parenting), karena “RP” didesak untuk mengikuti arahan dari ibunya seperti halnya untuk selalu ada di rumah ketika jam delapan malam. Selain itu “RP” juga tidak diberikan kesempatan untuk pulang malam untuk menghabiskan waktunya bersama temannya. Namun ketika “RP” berada dirumah, ibunya selalu memberikan perhatian dan kasih sayang layaknya seperti anak yang masih kecil. Hal tersebut dikarenakan “RP” adalah anak tunggal dan “RP” sangatlah dekat dengan ibunya, bahkan untuk tidurpun, “RP” masih harus tidur berdua dengan ibunya. b.
Kelekatan Kelekatan antara ibu dan anak pada penelitian ini mayoritas terjalin dengan hangat, karena setelah perceraian ibu berperan
54
Wawancara pribadi dengan “RP”.
113
menjadi wali. Sehingga membuat sang anak kurang memiliki kelekatan yang baik dengan sang ayah. 1)
Kelekatan “IA” dengan Ayah Meskipun kedua orang tuanya telah berpisah, namun hubungan yang terjalnin antara kedua orang tuanya membuat “IA” memiliki kelekatan yang baik dengan ayahnya. Mereka masih sering menghabiskan waktu bersama demi tumbuh kembang “IA”. Seperti yang diungkapkan oleh ibu “U” sebagai berikut: “Yang pisahkan gue sama papanya, tapi kalo anak tetep engga bisa dipisahin dari papanya. Jadi ya kita enjoy aja ngejalaninnya, kan semua buat anak. jadi ya dia tetep deket sama papanya.”55 Karena kedua orang tua “IA” berkomitmen untuk tetap menjalin keharmonisan demi pertumbuhan “IA”. Dan hal tersbut tergambarkan pada diri “IA” yang kondisi sosialnya tumbuh dengan baik. Hal tersebut merupakan pengaruh dari kelekatan antara “IA” dengan ayahnya.
2)
Kelekatan “SP” dengan Ayah “SP” yang semenjak perceraian kedua orang tuanya mengalami hubungan yang tidak harmonis dengan ayahnya ternyata membuat “SP” tidak memiliki kelekatan diantara dirinya dengan ayahnya. Menurut penuturan “SP” ayahnya berubah menjadi tidak sayang dan memperhatikan dirinya lagi semenjak bercerai dari mamanya. Seperti yang diungkapkannya sebgai berikut:
55
Wawancara pribadi dengan ibu “U”.
114
“Abis cerai ya ayah gue udah engga pernah perhatian lagi sama gue, kaya udah engga sayang gitu. Sampe sekarang juga kan dia jarang telepon gue, nanya aja engga. Mungkin lupa kali kalo punya anak kaya gue.”56 Dari pernyataan “SP” diatas terlihat bahwa hubungan “SP” dengan ayahnya tidaklah terjalin dengan baik sehingga berpengaruh terhadap kelekatan antara “SP” dengan ayahnya. 3)
Kelekatan “AP” dengan Ayah “AP” yang sejak berusia 40 hari telah ditinggalkan ayahnya, membuat “AP” hampir tidak memiliki kelekatan antara dirinya dengan ayahnya. Seperti penuturan ibu “N” yang mengatakan bahwa “AP” memang tidak dekat dengan ayahnya. “AP” mengenal ayahnya saat ia berusia 3 tahun, dan memang sebelumnya sang ayah tidak pernah berusaha untuk mendekati anaknya. “Ya diakan emang dari 40 hari udah ditinggal ayahnya. Dia kenal ayahnya juga baru-baru ini aja pas umur 3 tahun. Bapaknya juga sih engga pernah ada usaha buat deketin anaknya dari kemaren, sekarang ya nikmatin aja kalo anaknya engga kenal ama dia.”57 Karena “AP” tidak pernah mendapatkan kelekatan dari ayahnya ternyata berdampak pada diri “AP” yang kerap kali tidak bisa menyesuaikan emosional seperti halnya ia suka memukul-mukul wajahnya sendiri jika ia merasa kesal serta harga diri “AP” yang rendah sehingga membuat dirinya kerap kali menjadi korban bully oleh temannya.
56 57
Wawancara pribadi dengan “SP”. Wawancara pribadi dengan ibu “N”.
115
4)
Kelekatan “RP” dengan Ayah Ketika kedua orang tuaya bercerai, “RP” telah berusia 13 tahun. Hal tersebut membuat “RP” memiliki kelekatan dengan ayahnya. Ia mengatakan bahwa ia sering pergi, bermain dengan ayahnya semasa kecil. Namun hal tersebut berubah setelah kedua orang tuanya bercerai. Bahkan “RP” tidak mengetahui dimana ayahnya tinggal sekarang. “Dulu mah gue deket banget, namanya anak satu-satunya jadi ya pasti deket. Dulu nih kalo bokap tugas keluar kota, gue sering ngikut, abis itu jalan-jalan deh. Tapi ya sekarang mah dia tinggal diamana aja gue engga tau.”58 Adanya perceraian ternyata membuat “RP” tidak dapat menjalin kelekatan dengan ayahnya seperti semasa ia kecil, bahkan saat ini ia tidak mengetahui tempat tinggal sang ayah.
Berdasarkan informasi diatas terlihat bahwa tiga orang informan tidak lagi memiliki kelekatan dengan ayahnya, hal tersebut dikarenakan adanya perceraian diantara kedua orang tuanya. Namun ada satu informan yang masih memiliki kelekatan dengan ayahnya meskipun kedua orang tuanya telah bercerai. c.
Perlakuan Salah Terhadap Anak Saat
ini
masih
banyak
orang
tua
yang
masih
memperlakukan anaknya dengan salah mulai dari kekerasan firik, penelantaran anak, kekerasan seksual, hingga kekerasan emosional. 1)
58
Perlakuan Salah Terhadap “IA”
Wawancara pribadi dengan “RP”.
116
“IA” yang pernah menjadi korban penelantaran fisik oleh ayahnya, yaitu “IA” pernah ditinggalkan di dalam sebuah mobil di sebuah tempat club malam. Saat itu terjadi sebuah pertengkaran diantara ibu “U” dan mantan suaminya. Ibu “U” meninggalkan “IA” yang sedang tertidur di dalam kamar. Dan tidak lama ibu “U” kembali serta kaget mendapati anaknya tidak ada di dalam kamar. Ternyata “IA” diajak pergi oleh ayahnya. “Waktu itu gue berantem ya sama suami, nah anak gue lagi tidur tuh, yaudah karena gue kesel kan sama suami jadi gue tinggal pergi keluar sebentar. Engga lama gue balik lagi dan engga ada anak gue dikamar, dia dibawa pergi sama laki gue ke club. Dia udah janjian sama pacarnya itu. Akhirnya gue kesana sama mertua gue, dan gue liat anak gue lagi tidur di jok mobil belakang, untung engga mati tuh anak gue gara-gara kelakuan bapaknya.”59 Dari informasi diatas terlihat bahwa “IA” pernah menjadi korban
penelantaran
oleh
ayahnya.
Hal
tersebut
dapat
membahayakan nyawa “IA”, karena dibiarkan tidur sendiri disebuah parkiran sebuah club yang minim udara. 2)
Perlakuan Salah Terhadap “SP” “RP” yang mengatakan bahwa dirinya jarang dipedulikan, diperhatikan oleh ayahnya, mengaku kesal dengan sikap ayahnya tersebut. Sehingga “RP” merasa bahwa ayahnya tidak lagi menyayangi dirinya. “Ayah gue mah udah kaya orang engga sayang sama gue, engga pernah dia mah merhatiin gue, gue kenapa-kenapa juga dia mana pernah peduli. Ya gue juga pengen
59
Wawancara pribadi dengan ibu “U”.
117
ngerasain gimana di sayang sama ayah gue kaya orangorang.”60 Dari pernyataan “SP” diatas terlihat bahwa ia merasa jika ayahnya sudah tidak lagi menyayangi dirinya sehingga membuat “SP” menjadi salah satu korban penelantaran emosional yaitu kondisi dimana sang ayah tidak dapat memberikan kasih sayang, perhatian dan sebagainya kepada “SP”. 3)
Perlakuan Salah Terhadap “AP” “AP” yang memiliki sifat pendiam kerap kali membuat ibu “N” jengkel dan akhirnya ibu “N” sering melayangkan tangannya untuk mencubit atau memukul “AP”. “Dia tuh saking diemnya jadi suka bikin kesel. Kalo dibilangin suka engga denger, malah kadang nangis. Keselkan jadinya, makanya saya suka nyubit dia biar dia ngerti sama apa yang saya omongin.”61 Tidak hanya menerima kekerasan fisik, ternyata “AP” juga menerima penelantaran emosional. “AP” hampir tidak pernah merasakan kasih sayang dan perhatian dari sang ayah karena sejak perceraian kedua orang tuanya, sang ayah tidak pernah menemuinya lagi dan baru menemui “AP” ketika berusia 3 tahun.
4)
Perlakuan Salah Terhadap “RP” Setelah kedua orang tuanya bercerai, “RP” sudah tidak lagi bertemu dengan ayahnya, bahkan ia tidak mengetahui dimana ayahnya tinggal sekarang. Hal tersebut terkadang membuat “RP”
60 61
Wawancara pribadi dengan “SP”. Wawancara pribadi dengan ibu “N”.
118
sedih dan teringat akan ibunya yang harus berjuang sendirian untuk membesarkan dirinya, hingga akhirnya “RP” mengalami gangguan kejiwaan yaitu pannic attacks. “Kan abis pisah ibu sama bapak udah engga pernah ketemu lagi, gue juga engga tau bokap tinggal dimana. Kadang gue jadi inget sama ibu yang harus kerja buat gue, harus merhatiin gue. Karena rasa cemas itu akhirnya gue kena pannic attacks.”62 Dari informasi diatas terlihat bahwa “RP” yang sudah tidak bertemu dengan ayahnya lagi membuat dirinya menerima kekerasan emosional sehingga menyebabkan “RP” mengalami masalah emosional yang serius. Anak yang orang tuanya bercerai cenderung merasakan perlakuan yang salah dari orang tua terhadap dirinya. Sehingga dari perlakuan yang salah tersebut membuat sang anak memiliki dampak seperti gangguan emosional. Akibat Kekerasan pada Perkembangan Anak
d.
Pada bagian ini akan dibahas akibat dari kekerasan pada perkembangan anak yang dilakukan oleh orang tuanya. 1)
Akibat Kekerasan pada Perkembangan “IA” “IA” yang pernah menjadi korban penelanaran oleh ayahnya saat kecil, ternyata tidak merasakan akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya tersebut. “IA” tetap tumbuh menjadi anak yang ceria dan aktif serta mampu berinteraksi dengan orang yang baru ia kenal. Seperti yang diungkapkan oleh ibu “U”:
62
Wawancara pribadi dengan “RP”.
119
“Abis kejadian itu si Alhamdulillah ya engga pernah ada dampak apa-apa sama anak. Dampaknya malah ke gue, gue jadi benci banget sama laki gue, tapi si ya sebenci apapun tetep harus terlihat baik didepan anak.”63 Penelantaran yang pernah dialami oleh “IA” ternyata tidak membawa pengaruh terhadap dirinya, justru membawa pengaruh terhadap ibu “U” yang saat itu mengaku menjadi benci dengan mantan suaminya. 2)
Akibat Kekerasan pada Perkembangan “SP” “SP” yang menjadi korban penelantaran emosional ayahnya mengaku merasakan dampak pada dirinya, yaitu ia menjadi lebih sering menangis. Hal tersebut dirasakan oleh “SP” ketika kedua orang tuanya bercerai yaitu ketika ia berusia 6 tahun. “SP” pernah menangis di kelasnya hingga gurunya terheran-heran karena ketika ditanya ia tidak dapat menjelaskan apa yang menyebabkan dirinya menangis. Mamanya pun pernah dipanggil oleh pihak sekolah untuk menjelaskan permasalahan yang dialami oleh “SP”: “Gue nih ya dulu suka nangis dikelas. Tapi gue sendiri engga tau kenapa gue nangis. Sampe gue dibawa ke kantor guru, ditanya kenapa ko nangis? Tapi ya gue engga pernah bisa jelasin kenapa. Mama gue juga pernah dipanggil sama wali kelas gue waktu itu.”64 Hal serupa diucapkan pula oleh ibu “T” yang pernah dipanggil oleh pihak sekolah karena “SP” yang kerap kali menangis di dalam kelas.
63 64
Wawancara pribadi dengan ibu “U”. Wawancara pribadi dengan “SP”.
120
“Tante dulu pernah dipanggil si sama wali kelasnya garagara dia nangis di kelas. Cuma ya kalo tante tanya juga emang dia engga bisa jelasin kenapa dia nangis.”65 Dampak lain yang dirasakan oleh “SP” adalah ia mengalami kesulitan dalam menjalin relasi dengan orang yang baru dikenalnya. Seperti penjelasan dari sahabat “SP” berikut: “Dia emang susah si ya kalo buat maen sama orang baru, susah adaptasinya. Kalo maen emang harus sama orang yang bener-bener dia anggep deket aja si.”66
Dari
informasi
diatas
terlihat
bahwa
penelantaran
emosional yang dirasakan “SP” ternyata berdampak pada kehidupan “SP”. Ia tumbuh menjadi anak yang sulit untuk menjalin relasi dengan orang yang baru dikenalnya, selain itu penelantaran emosional juga membuat “SP” menjadi lebih mudah menangis. 3)
Akibat Kekerasan pada Perkembangan “AP” Perlakuan salah dari sang ayah juga dirasakan oleh “AP” sehingga membuat “AP” tumbuh menjadi anak yang tidak memiliki rasa percaya diri, sering menangis serta menghindari interaksi dengan teman sebaya. “AP” lebih senang bermain dengan mamanya dirumah daripada harus bermain dengan teman-teman seusianya. Seperti yang diucapkan oleh ibu “N”: “Dia mah kan pemalu, pendiem, minderan anaknya. Dia lebih suka dirumah maen sama saya dari pada maen keluar sama temen-temennya, makanya diakan engga punya temen. Dia juga kan anaknya agak cengeng ya, masa dia disekolah suka nangis tiba-tiba, kalo ditanya gurunya
65 66
Wawancara pribadi dengan ibu “T”. Wawancara pribadi dengan sahabat “SP”.
121
engga papa, cuma sedih aja. Tapi ya engga jelas sedihnya kenapa.”67
Ternyata perlakuan salah yang dilakukan oleh ayahnya membuat “AP” merasakan dampak yang sangat luar biasa pada dirinya. Ia tumbuh menjadi anak yang pendiam, minder, sering menangis dan lain sebagainya. 4)
Akibat Kekerasan pada Perkembangan “RP” Akibat dari perlakuan yang salah terhadap “RP” ternyata sangat dirasakan oleh “RP”. “RP” yang mengalami pannic attacks ternyata disebabkan oleh rasa kecemasan yang dirasakannya. Kecemasan tersebut hadir ketika “RP” tidak lagi mengetahui dimana keberadaan sang ayah serta mulai memikirkan bagaimana keadaan ibu
dan
dirinya
beberapa
tahun
kedepan.
Seperti
yang
diungkapkannya sebagai berikut: “Sebenernya si yang bikin gue cemas itu ya gue engga tau bokap gue ada dimana, gue juga engga tau gimana nasib ibu sama gue beberapa tahun kedepan. Gue yang suatu saat bakalan nikah, mungkin apa engga gue tega ninggalin ibu. Yang gitu-gitu tuh selalu ada di kepala gue.”68 Gangguan kejiwaan yang dialami oleh “RP” ternyata disebabkan oleh kecemasan yang dirasakan oleh “RP” akan masa depannya dan ibunya kelak. Terlebih lagi “RP” yang masih memikirkan dimana keberadaan ayahnya saat ini. Dari informasi diatas terlihat bahwa tiga orang anak yang mengalami perlakuan salah oleh orang tuanya, memiliki resiko terhadap kehidupan mereka 67 68
Wawancara pribadi dengan ibu “N”. Wawancara pribadi dengan “RP”.
122
saat ini, seperti gangguan emosional, kecemasan yang berlebih, menangis dan lain sebagainya. e.
Pengaruh Ayah pada Perkembangan Anak Pada bagian ini akan dibahas bagaimana pengaruh ayah pada perkembangan anak yang menjadi korban perceraian. Karena pegaruh ayah terhadap perkembangan anak akan terlihat dari hubungan sosial yang baik pada si anak. 1)
Pengaruh Ayah pada Perkembangan “IA” “IA” termasuk anak yang beruntung, walaupun kedua orang tuanya telah bercerai, namun “IA” masih dapat merasakan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Meskipun ia tinggal dengan mamanya, namun “IA” tidak kehilangan sosok sang ayah. Pengaruh sang ayah terhadap tumbuh kembang “IA” ternyata membuat “IA” tumbuh menjadi anak yang supel, ceria dan percaya diri. “Kalo gue si liatnya dia tuh deket banget sama papanya. Dulu nih kalo papanya ada dirumah ya kita selalu maen bareng, pergi bareng keluar sekalian ngenalin dia sama ornag-orang diluar, biar engga takut kalo ketemu orang.”69 Karena kelekatan yang dimiliki “IA” dengan ayahnya, ternyata membuat “IA” menjadi anak yang memiliki kepercayaan diri, serta tidak takut jika bertemu dengan orang lain. Hal tersebut merupakan pengaruh dari sang ayah yang selalu mengenalkan “IA” dengan lingkungan baru dan lain sebagainya.
2)
69
Pengaruh Ayah pada Perkembangan “SP”
Wawancara pribadi dengan ibu “U”.
123
Hubungan “SP” yang tidak harmonis dengan ayahnya, serta perlakuan ayahnya yang kerap kali tidak memperhatikan serta memberikan kasih sayang, membuat “SP” tumbuh menjadi individu yang sulit menjalin relasi dengan orang yang baru dikenalnya karena kurangnya rasa kepercayaan “SP” terhadap orang lain. Sebagaimana yang diungkapkan oleh “SP”: “Gue kan emang susah kalo harus kenal sama orang baru, gue suka engga percayaan sama orang baru. Kalo dia baik, kalo ternyata dia jahat? Gue mah inget pesen mama ajalah jangan gampang percaya sama orang baru soalnya sekarang banyak orang yang jahat.”70 Dari pernyataan “SP” tersebut terlihat bahwa rasa kepercayaan “SP” terhadap orang lain sangatlah rendah, hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya sosok ayah dimasa perkembangan “SP”. Padahal sang ayahlah yang seharusnya mengajarkan dan membentuk rasa kepercayaan di dalam diri sang anak. 3)
Pengaruh Ayah pada Perkembangan “AP” Pengaruh sang ayah pada perkembangan “AP” sangatlah minim, sehingga menyebabkan “AP” tumbuh menjadi anak yang minder, sulit berinteraksi dengan orang lain serta tidak dapat mengekspresikan apa yang ia rasakan. Seperti yang diungkapkan oleh ibu “N”: “Mungkin karena orang tuanya pisah berpengaruh sama keadaannya dia sekarang, ya dia jadi anak yang minderan. Kasian si sebenernya kalo liat dia. Apalagi dia juga lebih banyak diem, jadi kita engga tau dia lagi ngerasain apa.
70
Wawancara pribadi dengan “SP”.
124
Kalo anak yang laenkan suka cerita kalo dia lagi seneng atau gimana.”71
Selain itu dari hasil observasi peneliti menunjukkan bahwa “AP” adalah anak yang tidak dapat mengekspresikan perasaan yang sedang ia rasakan. “Ketika “AP” sedang kesal oleh ibunya karena tidak diambilkan makanan. “AP” yang memiliki sifat pendiam tidak dapat mengungkapkan rasa kesalnya seperti anakanak yang lain. Saat itu “AP” hanya duduk disudut pintu sambil menatap tajam kearah ibu “N”, seolah-olah menunjukkan bahwa dirinya sedang merasa kesal”.72
Dari informasi diatas terlihat bagaimana pengaruh sang ayah terhadap perkembangan “AP”. “AP” yang nyaris tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari sang ayah ternyata tumbuh menjadi anak yang tertutup. 4)
Pengaruh Ayah pada Perkembangan “RP” “RP” yang tengah beranjak remaja ketika kedua orang tuanya bercerai, ternyata juga merasakan bagaimana pengaruh seorang ayah dalam kehidupannya. Sejak kecil ia memang dekat dengan sang ayah, “RP” sering menghabiskan banyak waktu dengan ayahnya saat kecil, ternyata belum merasa puas. Ia masih ingin menghabiskan waktu bersama ayahnya seperti ia menghabiskan waktu bersama ibunya. Dan dari hal tersebut ternyata membawa “RP” merasakan kecemasan yang tinggi sehingga membuat dirinya jatuh sakit serta menderita pannic attacks.
71 72
Wawancara pribadi dengan ibu “N”. Hasil observasi pribadi“AP”.
125
“Meskipun dari 0 sampai 13 tahun gue masih dapet kasih sayang dari bokap, tapi itu belum ngebuat gue puas. Gue masih pengen kaya dulu lagi. Ternyata kasih sayang dari orang tua itu emang bener-bener sepanjang hayat. Sekarang gue udah engga ngerasain itu dari bokap, makanya suka kepikiran terus jadinya sakit.”73
Dari informasi diatas, ternyata keempat informan merasakan betul bagaimana pengaruh sang ayah pada kehidupan mereka. Anak yang dibesarkan dengan campur tangan sang ayah membuat anak tersebut tumbuh menjadi percaya diri, memiliki hubungan sosial yang baik seperti “IA”. Namun anak yang ayahnya tidak terlibat dalam membesarkan sang anak, maka anak tersebut tumbuh menjadi anak yang pendiam, anak yang memiliki kecemasan serta tidak mampu mengekspresikan perasaan mereka.
B.
Analisa Perceraian orang tua ternyata memberikan dampak dalam beberapa aspek
kehidupan anak. Maka untuk dapat melihat gambaran bagaimana dampak perceraian orang tua terhadap biopsikososial dan spiritual anak, maka peneliti menggunakan biopsikososial, psikologis sosial serta beberapa teori tentang pengasuhan pada anak. Teori biopsikososial menekankan pada
bagaimana
dampak dari pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap kehidupan sang anak. Maka untuk melihat gambaran apakah perceraian orang tua memberikan dampak terhadap kesehatan, psikologis, sosial, serta spiritual sang anak, peneliti menggunakan teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Dengan menggunakan teori biopsikososial dan spiritual maka akan terlihat bagaimana
73
Wawancara pribadi dengan “RP”.
126
keterkaitan antara aspek kesehatan, psikologis, sosial serta spiritual seorang anak yang orang tuanya telah bercerai seperti yang telah dijelaskan pada bab 2 (h. 43). Dari beberapa aspek biopsikososial dapat dianalisis bahwa:
1. Kondisi Biopsikososial a.
Kondisi Kesehatan Berdasarkan hasil temuan lapangan, ternyata perceraian orang tua
memiliki dampak bagi kesehatan seorang anak. Tiga dari empat anak yang orang tuanya bercerai memiliki gangguan pada kesehatannya, seperti yang dialami “SP” yang menurut penuturan orang tuanya lebih sering menderita sakit sejak orang tuanya bercerai (lihat bab 4, h. 66). Hal serupa juga dirasakan oleh “RP” yang menderita sakit hingga setahun lamanya dikarenakan perubahan kondisi ekonomi pasca perceraian orang tuanya (bab 4, h. 68), serta “IA” yang menderita infeksi saluran kencing semenjak orang tuanya bercerai. Tidak hanya itu, “IA” juga menderita penyakit asma. Penyakit tersebut didapatkan “IA” berdasarkan garis keturunan dari papanya. Seperti yang disebutkan dari teori genetika pada bab 2 (h. 44) bahwa, masing-masing dari kita akan membawa suatu kode genetik yang kita warisi dari orang tua kita. Kode genetik ini ditempatkan di dalam setiap sel tubuh kita
127
b.
Kondisi Psikologis Berdasarkan hasil temuan peneliti, aspek psikologis terdiri menjadi beberapa bagian yaitu fase-fase perkembangan anak, hubungan anak dengan lingkungan keluarga, dan status ekonomi orang tua. 1)
Fase-fase Perkembangan Anak Berdasarkan hasil temuan lapangan, ternyata perceraian
cukup membawa pengaruh terhadap perkembangan anak. Seperti yang dirasakan oleh “SP” yang memiliki kesulitan dalam berhubungan dengan temannya (lihat bab 4, h. 72). Karena ketika kedua orang tuanya bercerai, saat itu “SP” masih berusia 6 tahun sehingga membuat “SP” menarik diri dari teman-teman seusianya seperti yang dijelaskan pada bab 2 (h. 39). “RP “ juga merasakan hal serupa pada perkembangannya. “RP” yang sangat dekat dengan ibunya ternyata merasakan kebingungan peran pada dirinya (lihat bab4, h. 74). Karena hal terbut pula “RP” memiliki kecemasan yang berlebihan sehingga pada beberapa bulan lalu “RP” divonis dokter mengalami pannic attacks. Selain itu perceraian orang tua juga terlihat dari perkembangan “AP”. “AP” tumbuh menjadi anak yang pendiam sehingga kerap kali menjadi korban bully oleh teman-temannya, pemalu, serta merasa takut jika bertemu dengan orang yang baru dikenalnya. Pemicu utama dalam fase-fase perkembangan ini adalah hubungan antara kedua orang tua yang tidak harmonis pasca perceraian.
128
2)
Hubungan Anak dengan Lingkungan Keluarga Hubungan antara orang tua dan anak merupakan kunci dari
tumbuh kembang seorang anak. Berdasarkan hasil temuan di lapangan, ternyata orang tua yang telah memutuskan untuk bercerai, tidak lagi menjalin komunikasi dengan mantan pasangannya, sehingga membuat sang anak tidak memiliki kedekatan dengan sang ayah. Seperti yang diraakan oleh ketiga informan “AP”, “SP”, dan “RP”, bahwa seteleh orang tua meraka bercerai, mereka jarang berhubungan serta berkomunikasi dengan sang ayah. “SP” yang mengatakan bahwa kedua orang tuanya seperti bermusuhan pasca perceraian (lihat bab 4, h. 77), “RP” yang mengatakan bahwa ibunya sudah tidak ingin lagi bertemu dengan sang ayah setelah bercerai (lihat bab 4, h. 79) dan “AP” yang harus merasakan berkenalan dengan ayahnya diusianya yang telah 3 tahun (lihat bab 4, h. 78). Berbeda dengan “IA” yang kedua orang tuanya masih memiliki hubungan yang harmonis demi kepentingan tumbuh kembang “IA” (lihat bab 4, h. 76). Hal tersebut terlihat pada diri “IA” yang tumbuh menjadi anak yang memiliki kompetensi sosial yang baik. Seperti yang telah dijelaskan pada bab 2 (h. 25), bahwa anak yang berasal dari keluarga bercerai lebih memiliki kecenderungan untuk menunjukkan masalah-masalah eksternal seperti kenakalan, kurang memiliki tanggung jawab, memiliki hubungan intim yang kurang baik, seperti yang dirasakan oleh ketiga informan diatas.
129
3)
Status Ekonomi Orang Tua Berdasarkan hasil temuan dilapangan ternyata status
ekonomi orang tua berdampak pada perkembangan sang anak. Seorang anak akan dengan mudah untuk mengembangkan dirinya jika ditunjang oleh faktor-faktor lainnya, salah satunya faktor ekonomi. “IA” dan “AP” yang lahir ditengah keluarga dengan status ekonomi yang tinggi, ternyata mulai dirasakan dalamkehidupannya. Ternyata ibu “U” telah mempersiapkan “IA” yang akan memasuki play group. Untuk dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki sang anak ternyata ibu “U” akan mendaftarkan “IA” di sebuah play group internasional di kawasan Kemang, Jakarta Selatan (lihat bab 4 h. 80). Hal serupa juga dirasakan oleh “SP”. Sejak kecil “SP” yang selalu dimanjakan oleh mamanya, ternyata mendapatkan satu unit mobil dari sang mama. Mobil tersebut diberikan sebagai alat penunjang “SP” untuk mengerjakan berbagai macam tugas kuliahnya (lihat bab 4, h. 81). Seperti yang dijelaskan pada bab 2 (h. 25) bahwa dengan adanya perekonomian yang cukup, anak akan mendapat kesempatan yang lebih luas untuk mengambangkan bermacam-macam kecakapannya. Dan ternyata status ekonomi orang tua juga akan berdampak pada pengasuhan yang diterpkan oleh orang tua terhadap anaknya. c.
Kondisi Sosial Berikut
adalah
faktor-faktor
sosial
yang
mempengaruhi
perkembangan masalah-masalah anak, meliputi status sosio-ekonomi dan spiritual.
130
1)
Budaya Berdasarkan hasil temuan dilapangan, ternyata budaya yang
diterapkan oleh orang tua akan berdampak pada sang anak. Seperti yang dirasakan oleh “RP”. Ibunya selalu mengajarkan untuk selalu menjaga sopan santun serta bertutur kata yang halus (lihat bab 4, h. 86). Hal tersebut membuat “RP” sering merasakan kesal jika ada seseorang yang berbicara dengan kata-kata yang kasar seperti yang dijelaskan oleh Richard Brislin pada bab 2 (h. 48) bahwa apabila nilanilai budaya mereka dilanggar atau ketika harapan budaya mereka dabaikan, orang yang tinggal di budaya tersebut akan cenderung bereaksi secara emosional. Selain itu kebiasaan yang dibentuk oleh ibu “U” kepada “IA” ternyata membuat “IA” tidak takut jika bertemu dengan orang yang baru dikenalnya seperti yang dijelaskan dalam hasil observasi pada bab 4 (h. 84). 2)
Status Sosial Ekonomi Berdasarkan hasil temuan di lapangan, ternyata status sosial
ekonomi suatu keluarga sangat mempengaruhi pola pengasuhan kepada anak. Orang tua yang memiliki status sosial ekonomi yang tinggi, cenderung lebih menggunakan pola asuh otoratif. Seperti yang dirasakan oleh “IA”, “SP” dan “RP” yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi yang tinggi, orang tua mereka tidak pernah menggunakan hukuman fisik kepada mereka. Berbeda dengan “AP” yang berasal dari status sosial ekonomi yang rendah kerap kalo menerima hukuman fisik dari ibunya karena ibunya menganggap
131
bahwa “AP” tidak dapat menyesuaikan diri seperti anak lainnya (lihat bab 4, h. 88). Dari hasil temuan lapangan tersebut, dapat terlihat bagaimana orang tua menerpkan pola pengasuhan kepada anaknya berdasarkan dari status sosial ekonomi yang berbeda seperti yang dijelaskan leh Hoff, Laursen & Tardif pada bab 2 (h. 49). 3)
Aspek Spiritual Berdasarkan hasil temuan lapangan, ternyata anak yang
orang tuanya bercerai tumbuh menjadi anak yang lebih religius. Seperti yang dirasakan oleh “RP”, ketika ia sakit, ia mengakui bahwa saat itu dirinya tidak pernah menjalankan ibadah (lihat bab 4, h. 92), dan saat ini sedang mulai mendekatkan diri kepada Allah atas kesembuhan dirinya serta “SP” yang saat ini sedang mendekatkan diri kepada Allah SWT agar diberikan kemudahan dalam mengerjakan tugas akhirnya (lihat bab 4, h. 91). Hal tersebut menandakan bahwa mereka meyakini adanya kekuatan lain diluar kekuatan dirinya sehingga mereka akan menjadi pribadi yang mampu membedakan baik-buruk, benar-salah berdasarkan pengalaman hidup mereka seperti yang dijelaskan pada bab 2 ( h. 50) 2. Pola Asuh Orang Tua a. Jenis Pola asuh Jenis pola asuh yang digunakan orang tua mayoritas adalah pengasuhan otoritarian. Berdasarkan hasil temuan dilapangan dua dari empat orang tua memilih untuk menggunakan pola pengasuhan terebut. Dampak dari pola pengasuhan tersebut adalah seorang anak akan
132
mengalami ketakutan, selain itu kecemasan seperti yang dirasakan oleh “RP” (lihat bab 4, h. 75), tidak memiliki kepercayaan diri serta memiliki kemampuan komunikasi yang rendah seperti yang dialami oleh “AP” yang memiliki sifat pendiam (lihat bab 4, h. 73). Kemudian satu orang tua memilih menggunakan pola pengasuhan dengan jenis otoratif atau biasa dikenal dengan pola asuh demokratis. Dampak dari pola asuh ini adalah anak akan memiliki perilau yang kompeten secara sosial, dapat mengendalikan diri, mandiri serta mampu berinteraksi dengan orang dewasa seperti yang nampak pada diri “IA” (lihat bab 4, h, 93). Dan orang tua terakhir lebih menekankan pada pola pengasuhan yang menuruti. Dampak dari pola asuh ini adalah akan membuat anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya dan selalu berharap mendapatkan apa yang dia inginkan seperti yang dialami oleh “SP” yang sejak kecil selalu mendapatkan sesuatu yang dia inginkan dan hal tersebut terbawa hingga ia dewasa (lihat bab 4, h. 94). Ia akan lebih termotivasi dalam melakukan sesuatu hal jika sudah mendapatkan apa yang ia inginkan. Ketiga jenis pola pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua dapat dilihat pada bab 2 (h. 26). b. Kelekatan Ketiga anak yangorang tuanya bercerai, ternyata tidak memiliki kelekatan dengan ayah mereka setelah perceraian. Hal tersebut disebabkan oleh hubungan kedua orang tua mereka yang tidak lagi harmonis. Seperti yang dirasakan oleh salah satu informan, yaitu “AP” yang baru merasakan kelekatan dari ayahnya pada usia 3 tahun. hal tersebut menyebabkan “AP” tumbuh menjadi anak yang memiliki harga diri yang rendah, sehingga
133
menyebabkan “AP” menjadi korban bully oleh teman-temannya (lihat bab 4, h. 73). Padahal kelekatan dari kedua orang tua akan membantu anak dalam berkompetensi secara sosial dan melalui kelekatan tersebut dapat tercermin kesejahteraan anak melalui kesehatan fisik serta penyesuaian emosional yang baik, seperti yang dijelaskan pada bab 2 (h. 29). Berbeda dengan “IA” yang masih memiliki kelekatan dengan kedua orang tuanya (lihat bab 4, h. 76), membuat “IA” tumbuh menjadi anak yang memiliki kompetensi sosial yang lebih baik diantara ketiga anak yang lain. Hal tersebut tidak terlepas dari hubungan antara kedua orang tua yang masih terjalin dengan harmonis dan akan mempengaruhi pola pengasuhan kepada anak seperti yang dijelaskan pada bab 2 (h. 25). c. Hukuman Berdasarkan hasil temuan di lapangan, satu dri tiga anak yang orang tuanya bercerai, kerap kali menerima hukuman dari orang tuanyya. Seperti penakuan ibu “N” yang sering mencubit bahkan memukul “AP” jika tidak menuruti apa yang ia katakan (lihat bab 4, h. 103). Dan hal tersebut terlihat dari sifat “AP” yang pendiam, serta sulit dalam mengelola emosinya (lihat bab 4, h. 110). Dampak yang dirasakan anak yang kerap kali menerima hukuman dari orang tuanya adalah ia merasa ketakutan jika ia melakukan sebuah kesalahan, untuk itu ia lebih memilih untuk diperintah dari pada memulai sebuah aktivitas terlebih dahulu seperti yang dijelaskan pada bab 2 (h. 30). Dan ketiga anak lainnya mengakui tidak pernah menerima hukuman fisik dari orang tuanya. Jika kita telaah kembali, ternyata ketiga
134
anak tersebut berasal dari keluaga dengan status sosial-ekonomi yang tinggi, sehingga mempengaruhi pada pola pengasuhan orang tua seperti yang dijelaskan oleh Hoff, Laursen, & Tardif pada bab 2 (h. 49). d. Perlakuan Salah terhadap Anak Berdasarkan hail temuan dilapangan, anak yang orang tuanya bercerai kerap kali menerima perlakuan yang salah dari orang tuanya. Seperti kekerasan fisik yang dialami oleh “AP” yang sering menerima cubitan dari ibu “N”, selain itu penelantaran emosional juga dirasakan oleh “SP” dan “AP” yang kebutuan emosionalnya seperti kasih sayang yang tidak didapatkan dari ayahnya. Serta “IA” yang menerima penelantaran fisik oleh ayahnya (lihat bab 4, h. 102). Dari hal tersebut ternyata berdampak pada kehidupan mereka. Seperti yang dirasakan oleh “AP” dan “SP” yang kerap kali menangis karena tidak mampu mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Hal tersebut merupakan akibat dari perlakuan salah yang mereka terima dari orang tua seperti yang dijelaskan pada bab 2( h. 32). e. Akibat Kekerasan pada Perkembangan Anak Berdasarkan hasil temuan lapangan, ternyata keempat anak diatas yang menerima perlakuan salah dari orang tuanya merasakan dampak yang berbeda-beda. Seperti yang dirasakan “AP”, yang sering menerima cubitan dari ibu “N” memiliki pengendalian emosi yang buruk, selain itu ia juga menjadi korban bully oleh teman-temannya karena ia memiliki kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain. terdapat kesamaan antara “AP” dengan “SP”, yaitu mereka sama-sama sering menangis karena tidak dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya (lihat bab 4, h. 105-106). Serta
135
dampak yang dirasakan “RP” yang memiliki kecemasan yang tinggi sehingga ia menderita pannic attacks. Seperti yang dijelaskan pada bab 2 (h. 31) bahwa akibat dari kekerasan pada perkembangan anak adalah sulitnya anak dalam mengembangkan hubungan dengan peer group, tidka percaya diri, sering menangis, dan sebagainya. f. Pengaruh Ayah pada Perkembangan Anak Berdasarkan hasil temuan lapangan, ternyata kehadiaran ayah sangatlah berpengaruh terhadap perkembangan mereka. Ayah yang tidak terlibat dalam membesarkan anak, membuat anak tumbuh menjadi anak yang tertutup, pendiam, tidak mampu mengekspresikan perasaan mereka seperti yang dirasakan “AP”, “RP” dan “SP”. Semenjak kedua orang tuanya bercerai, mereka tidak lagi merasakan kehangatan sang ayah dalam perkembangannya. Hal tersebut disebabkan karena hubungan kedua orang tua mereka yang tidak harmonis. Namun hal berbeda dirasakan oleh “IA” yang masih merasakan kehangatan sang ayah dalam perkembangannya sehingga membuat “IA” tumbuh menjadi anak yang memiliki hubungan sosial yang lebih baik seperti yang dijelaskan pada bab 2 (h. 33).
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai berbagai macam dampak perceraian orang tua terhadap anak, terdapat beberapa aspek yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana dampak perceraian orang tua yang dirasakan oleh seorang anak, salah satunya dengan menggunakan teori biopsikososial. Biopsikososial akan membantu dalam melihat bagaimana suatu perceraian orang tua memberikan dampak terhadap kondisi kesehatan anak, kondisi psikologis anak serta kondisi sosial anak. Selain itu akan terlihat bagaimana pola asuh orang tua pasca perceraian. Pada kondisi kesehatan dapat dilihat bagaimana kondisi anak setelah orang tua mereka bercerai dan menurut hasil temuan di lapangan, anak yang orang tuanya bercerai cenderung memiliki gangguan pada kesehatannya, seperti infeksi saluran kencing dan asma. Untuk kondisi psikologis, dapat dilihat bagaimana anak yang menjadi korban perceraian orang tuanya cenderung menjadi anak yang sulit untuk mengungkapkan perasaannya dan hanya dapat melampiaskannya dengan tangisan. Selain itu terdapat anak yang mengalami gangguan kejiwaan yaitu pannic attacks pasca orang tuanya bercerai. Dalam kondisi sosial dapat dilihat bagaimana seorang anak mengaplikasikan budaya atau kebiasaan-kebiasaan yang dibuat oleh orang tua sehingga menjadi nilai yang diyakini pada dirinya. Ternyata anak yang orang tuanya bercerai memiliki kesulitan dalam menjalin relasi dengan orang lain, selain itu mereka juga dituntut untuk bisa hidup mandiri, berkualitas
136
137
dan kuat dalam menjalani hidup mereka karena mereka dibesarkan dalam keluarga yang tidak lengkap. Untuk menjadikan anak yang mandiri, berkualitas serta kuat dalam menjalani kehidupan tentu saja tidak terlepas dari pola asuh yang diterapkan oleh orang tua. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana orang tua yang menerapkan pola asuh otoritarian dimana orang tua mendesak anak untuk selalu mengikuti arahan orang tua dan pola asuh akan berdampak pada kondisi anak seperti anak menjadi ketakutan jika akan melakukan sesuatu dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah karena
seorang anak tidak
diberikan kesempatan untuk
berargumentasi, mengungkapkan apa yang ia rasakan dan sebagainya. Selain itu, hampir semua orang tua yang bercerai tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan mantan pasangannya. Sehingga hubungan yang tidak harmonis tersebut berdampak pada pola asuh sang anak. Seorang anak yang dibesarkan tanpa adanya figur seorang ayah akan menjadi anak yang kurang berkompetensi secara sosial dan cenderung memiliki perilaku menyimpang. Selain itu pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anaknya ternyata dipengaruhi oleh status sosial ekonomi suatu keluarga. Anak dengan keluarga yang status sosial ekonominya tinggi lebih sering mengajak anak untuk berpartisipasi serta terlibat dalam pembuatan aturan-aturan yang akan diberlakukan dan jarang menggunakan hukuman fisik serta cenderung melakukan komunikasi dua arah dengan anaknya. Hal tersebut bertolak belakang terhadap anak dengan keluarga yang status sosial ekonominya rendah, orang tua memiliki otoritas yang tinggi terhadap anak, lebih sering menggunakan hukuman
138
fisik untuk mendisiplinkan anak serta komunikasi yang digunakan kepada anaknya. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa perceraian orang tua telah memberikan dampak pada biopsikososial anak. Serta pada penelitian ini terlihat bagaimana orang tua yang telah bercerai menerapkan pola asuh terhadap sang anak yang tentunya tidak terpelas dari status sosial dan ekonomi suatu keluarga. Untuk itu penulis memberikan saran dengan harapan mampu memberikan informasi bagi seluruh orang tua, serta calon pasangan yang akan menikah. Adapun saran yang dapat diberikan antara lain: 1.
Sebaiknya, bagi calon pasangan yang akan menikah nanti lebih mempersiapkan pondasi rumah tangga yang akan dibangun kelak, karena jika pondasi rumah tangga tidak kuat akan berujung pada perselisihan bahkan perceraian karena dampak perceraian yang dirasakan oleh anak sangatlah mahal harganya.
2.
Serta bagi para orang tua yang telah memiliki anak sebaiknya perlakukan anak sebaik mungkin dengan memberikan kasih sayang, perhatian rasa aman, karena hal tersebut dibutuhkan bagi tumbuh kembang anak. Anak yang sehat bukan hanya sehat secara fisik, namun psikologis serta sosialnya. Berhentilah untuk melakukan kekerasan pada anak seperti memarahi anak secara berlebihan, memukul, serta memisahkan anak dengan ayahnya, dan lain sebagainya terlebih jika hal tersebut didasari sebagai pelampiasan emosi orang tua. Anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh, bahagia, maka dari itu
139
lindungilah mereka dan bantu mereka untuk dapat memenuhi apa yang menjadi hak mereka. 3.
Serta akan lebih menarik untuk menggali tentang penelantaran emosional dan kekerasan emsional pada penelitian berikutnya, karena tanpa kita ketahui bahwa penelantaran emosional dan kekerasan emosional pada anak akan membawa dampak yang sangatlah besar pada kehidupan anak dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA BUKU Albin, Rochelle Semmel. Emosi: Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya. Yogyakarta: Kanisisus, 1986. Ariefuzzaman, Siti Napsiyah dan Fuaida, Lisma Diawati. Belajar Teori Pekerjaan Sosial, cet. 1. Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Azahrotun, M.Si, Dra. Psikologi Perkembangan: Tinjauan Psikologi Barat dan Islam. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press___, 2006). Burhan Bungin. Penelitian Kualitatif Ekonomi, Kebijakan public, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana, 2009. Fattah Hanurawan, Dr. Psikologi Sosial Suatu Pengantar, cet. I. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010. Ghony, M. Djunaidi dan Fauzan Almanshur. Metodelogi Penelitian Kualitatif, cet. 1. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012. Haris Herdiansyah. Metodelogi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, cet. 3. Jakarta: Salemba Humanika, 2012. Hastuti, S.Psi. Psikologi Perkembangan Anak, cet. 1. Jakarta: Tugu Publisher, 2012. Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan cet. 5. Jakarta: Erlangga, 1993.
140
141
Ismail, Asep Usman, MA, DR. H. Al-Qur’an dan Kesejahteraan Sosial: Sebuah Rintisan Membangun Paradigma Sosial Islam Yang Berkeadilan dan Berkesejahteraan. Jakarta: Lentera Hati, 2012. Jamil Latif. Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia cet. 2. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982 . Kharlie, Ahmad Tholabi, Dr. Hukum Keluarga Indonesia, cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Kusdwiratri Setiono, Psi, Prof. Em. Dr. Psikologi Keluarga, cet. I. Bandung: P.T. Alumni, 2011. MIF Baihaqi, Msi, Drs. Psikiatri: Konsep Dasar dan Gangguan-Gangguan. Bandung: PT. Refika Aditama, 2005. Moleong, Lexy J. MA. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000. Samiaji Sarosa, S.E., M.Sc., Ph.D. Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar. Jakarta: PT. Indeks, 2012. Santrock, John W.Live-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga, 2002. Santrock, John W. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga, 2007. Santrcok, John W. Remaja. Jakarta: Erlangga, 2007. Sarwono, Sarlito W, dan Meinarno, Eko A. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika, 2011.
142
Sjarkawi, M.Pd, Dr. Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelekstual, Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, cet. II. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008. W.A. Gerungan, DR. Dipl. Psych. Psikologi Sosial, cet. XI. Bandung: Eresco, 1988 Undang-undang Departemen Agama RI. Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999/2000. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Ditbinbapera Depag RI: 2000. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Surabaya: Kesindo Utama, 2003.
Media Online Angka
perceraian
meningkat.
http://www.vemale.com/relationship/keluarga/31001-fenomena-perceraiandi-indonesia-ternyata-inilah-penyebabnya.html, diakses pada 18 Febuari 2015. Maya Sofia, Tasya Paramita. “Dampak perceraian orang tua terhadap psikologis anak”.
Artikel
diakses
pada
9
Maret
2015
http://m.life.viva.co.id/news/read/394141-dampak-perceraian-orangtuaterhadap-psikologis-anak
dari
143
Lily Ahmad. “KDRT pada anak sebagai alasan perceraian”. Artikel diakses pada 18 Febuari 2015 dari http://www.pa-bantul.go.id/artikel/87-kdrt-pada-anaksebagai-alasan-perceraian.html Indriani, Fransisca Nanik., “Dampak Psikologis Perceraian Orang Tua Terhadap Anak”. skripsi S1 Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Soegijapranata (UNIKA) Semarang. Artikel diakses pada 23 September 2014 dari http://www.e-bookspdf.org/view Ant, Es. “Dirjen Bimas Islam Sayangkan Perceraian Meningkat”. Artikel diakses pada 28 Febuari 2015 dari http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=85348
Media cetak Moe. “Perceraian Picu Anak Obesitas”. Warta Kota, 14 September 2014, h. 5.
Lampiran 2 Pedoman Wawancara Orang tua 1. Apakah anak ibu sering menderita sakit setelah perceraian? 2. Apa penyakit yang di derita oleh anak ibu? 3. Bagaimana ibu melihat perkembangan anak ibu di usianya saat ini? 4. Bagaimana hubungan ibu dengan mantan suami ibu? 5. Bagaimana cara ibu untuk menerapkan kebiasaan-kebiasaan yang ibu bentuk kepada anak ibu? 6. Apakah ibu pernah memarahi anak ibu? 7. Bagaimana cara ibu memberikan kesempatan pada anak ibu untuk mengembangkan dirinya? 8. Apa harapan untuk anak ibu? 9. Bagaimana cara ibu untuk mengajarkan nilai-nilai kebiasaan kepada anak ibu? 10. Bagaimana ibu melihat kedekatan sang anak dengan ayahnya? 11. Apakah ibu dan mantan suami pernah terlibat pertengkaran hingga membahayakan anak? 12. Apakah terlihat dampaknya pada anak ibu? 13. Apakah anak ibu masih dekat dengan ayahnya setelah perceraian?
Anak 1. Apakah anda merasakan gangguan pada kesehatan anda setelah orang tua bercerai? 2. Apakah ada hal lain yang dirasakan setelah kedua orang tua bercerai? 3. Apakah kedua orang tua masih menjalin hubungan yang baik? 4. Bagaimana hubungan anda dengan ibu? 5. Bagaimana hubungan anda dengan ayah? 6. Apa yang anda rasakan ketika ayah sudah jarang untuk memberikan perhatiannya? 7. Apakah ibu pernah memukul anda? 8. Apa pesan atau nasehat dari orang tua anda? 9. Bagaimana hubungan anda dengan teman-teman? Teman 1. Seperti apa anda melihat pribadi A? 2. Seperti apa anda melihat kedekatan A dengan orang tuanya? 3. Apakah A pernah menceritakan permasalahannya dengan anda? 4. Apa harapan anda untuk A?
Lampiran 3 Pedoman Observasi 1. Untuk melihat bagaimana kedekatan emosional orang tua dengan anak. 2. Untuk melihat bagaimana interaksi anak dengan orang disekitarnya. 3. Untuk melihat bagaimana tingkah laku anak. 4. Untuk melihat adakah kekerasan yang dilakukan orang tua.
Lampiran 4 Transkip wawancara
Nama
: Ibu “U”
Usia
: 21 Tahun
Domisili
: Ciganjur
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Status
: Ibu dari “IA”
Tempat dan waktu
: Jakarta, 7 Mei 2015. Pukul 13.00-15.30.
Pertanyaan: 1. Apakah anak ibu sering menderita sakit setelah perceraian? Jawab : Dia tuh jarang sakit dulunya, badannya gemuk. Tapi pas gue pisah dia jadi sering sakit 2. Apa penyakit yang di derita oleh anak ibu? Jawab : “Setelah gue dan papanya berpisah, anak jadi sering sakit. Dimulai dari berat badan yang turun, kemudian asma, dan sekarang infeksi saluran kencing jadi harus buru-buru di sunat. Kalo asma sih karena keturunan kayanya, papanya juga punya asma. Gue juga kaget anak kecil begini bisa punya asma 3. Bagaimana ibu melihat perkembangan anak ibu di usianya saat ini? Jawab : Gue selalu ngasih kebebasan sama dia. terserah mau ngapain, paling gue cuma ngasih tau baik buruknya aja. Kaya misalnya beli mainan nih, dia pengen warna merah, gue bilang dirumah udah ada yang merah, kamu belom punya warna kuning, dan kalo dia tetap minta warna merah, yaudah itu hak dia 4. Bagaimana hubungan ibu dengan mantan suami ibu?
Jawab : Gue sama papanya si masih suka jalan-jalan ngajak “IA”. Kan mau gimanapun dia juga butuh waktu buat maen sama papanya. Kadang juga dia nginepkan dirumah papanya. Biarpun gue kesel sama papanya tapi gue engga pernah ada niatan untuk misahin dia sama papanya 5. Apa rencana ibu untuk mempersiapkan masa depan anak? Jawab : Sekarang diakan umurnya 2 tahun, jadi gue lagi siapin dia untuk masuk play group di Kemang. Gue pengen dia bisa bahasa Inggris dari kecil, kalo di sekolah biasakan bahasa Inngrisnya kurang, tapi kalo disana pasti sehari-hari pake bahasa Inggris 6. Bagaimana cara ibu untuk menerapkan kebiasaan-kebiasaan yang ibu bentuk kepada anak ibu? Jawab : Dia tuh selalu gue ajarin untuk mandiri. Biar dia engga bergantung sama orang lain. dia juga harus berani engga boleh takut sama orang baru 7. Apakah ibu pernah memarahi anak ibu? Jawab : Kalo ngomel mah gue pernah, cuma engga sering-sering banget. Lagian dia jugakan anaknya jarang bikin kesel. Kalo mukul si engga pernah kepikiran di kepala gue. Anak itu lahir bukan untuk disakitin 8. Bagaimana cara ibu memberikan kesempatan pada anak ibu untuk mengembangkan dirinya? Jawab : Gue selalu ngasih kebebasan buat dia. Gue jarang ngelarang-ngelarang dia, karena anak segitu emang lagi pengen banyak tau. Paling gue cuma ngarahin dia aja 9. Apa harapan untuk anak ibu? Jawab : Gue pengen dia jadi anak yang soleh, bisa ngaji, rajin solat. Makanya dari sekarang gue suka ngajarin dia kaya doa-doa sehari-hari. kadang dia juga ikut solat kalo tetangga gue solat ke masjid
10. Bagaimana cara ibu untuk menjaga anak ibu? Jawab : Gue si engga terlalu mau banyak ngatur dia, yang penting si gue selalu ngarahin dia. Kaya gue selalu ngajarin kalo kamu engga bisa ngambil maenan misalnya, kamu harus minta tolong. Kalo anak yang pinter kaya gitu. Dan syukurnya sih dia ngerti ya sama apa yang gue ajarin 11. Bagaimana cara ibu untuk mengajarkan nilai-nilai kebiasaan kepada anak ibu? Jawab : Gue selalu ngajarin “IA” untuk mandiri dan tanggung jawab biarpun dia masih kecil. Gue berusaha untuk ngasih dia kebebasan. Contohnya kalo dia mau minum, dia bisa ambil gelas sendiri di dapur kalopun dia ngerasa engga bisa dan minta bantuan ya engga masalah yang penting sebelumnya dia udah usaha sendiri. Terus juga kalo dia abis berantakin mainannya, gue engga mau beresin. Jadi dia yang harus beresin sendiri. Kalopun engga rapi, yang penting dia udah usaha buat ngerapihin sendiri, nanti baru gue yang nyimpen mainannya. Jadi mau dia ngeluarin mainannya sebanyak apapun itu, dia udah tau konsekuensinya. Dia harus beresin sendiri dan gue engga akan mau bantuin 12. Bagaimana ibu melihat kedekatan sang anak dengan ayahnya? Jawab : Yang pisahkan gue sama papanya, tapi kalo anak tetep engga bisa dipisahin dari papanya. Jadi ya kita enjoy aja ngejalaninnya, kan semua buat anak. jadi ya dia tetep deket sama papanya. 13. Apakah ibu dan mantan suami pernah terlibat pertengkaran hingga membahayakan anak? Jawab : Waktu itu gue berantem ya sama suami, nah anak gue lagi tidur tuh, yaudah karena gue kesel kan sama suami jadi gue tinggal pergi keluar sebentar. Engga lama gue balik lagi dan engga ada anak gue dikamar, dia dibawa pergi sama laki gue ke club. Dia udah janjian sama pacarnya itu. Akhirnya gue kesana sama mertua gue, dan
gue liat anak gue lagi tidur di jok mobil belakang, untung engga mati tuh anak gue gara-gara kelakuan bapaknya 14. Apakah terlihat dampaknya pada anak ibu? Jawab : Abis kejadian itu si Alhamdulillah ya engga pernah ada dampak apa-apa sama anak. Dampaknya malah ke gue, gue jadi benci banget sama laki gue, tapi si ya sebenci apapun tetep harus terlihat baik didepan anak 15. Apakah anak ibu masih dekat dengan ayahnya setelah perceraian? Jawab : Kalo gue si liatnya dia tuh deket banget sama papanya. Dulu nih kalo papanya ada dirumah ya kita selalu maen bareng, pergi bareng keluar sekalian ngenalin dia sama ornag-orang diluar, biar engga takut kalo ketemu orang
Nama
: Ibu “T”
Usia
: 50 Tahun
Domisili
: Bekasi
Pekerjaan
: Wirausaha
Status
: Ibu dari “SP”
Tempat dan waktu
: Bekasi, 16 Me 2015. Pukul 10.00-12.00
Pertanyaan: 1. Apakah anak ibu memiliki ganguan kesehatan setelah bercerai? Jawab : Dia tuh dari kecil udah sering sakit apalagi setelah tante dan ayahnya cerai. Sudah sering periksa ke Rumah Sakit yang terkenal di Jakarta katanya alergi, katanya kelenjar getah bening, sampai pernah disuruh operasi sama dokter. Macem-macemlah kata dokter 2. Bagaimana hubungan ibu dengan mantan suami? Jawab : Ya sudah masing-masing ajalah, tante punya hidup sendiri dia juga punya hidup sendiri. 3. Bagaimana ibu melihat kedekatan anak ibu dengan ayahnya sebelum dan sesudah perceraian? Jawab : Kalo dulu si iya deketlah dia sama ayahnya tapi emang semenjak ceraikan udah masing-masing. Dia juga sempat tinggal sama datuknya. Kalo sekarang si kayanya engga terlalu deketlah, ayahnya juga masa bodo sama dia. 4. Apakah ibu pernah memarahi anak ibu? Jawab : Kalo marah si engga cuma ingetin dia aja supaya baik-baiklah, namanya dia ngekost. Tante takut kalo dia kenapa-kenapa. 5. Bagaimana ibu mengajarkan nila-nilai kebaikan kepada anak ibu?
Jawab : Ya tante si selalulah ingetin dia untuk sholat, pokonya bersikaplah baik-baik. Allah engga suka sama orang yang macem-macemkan. 6. Apakah perceraian membawa dampak terhadap akademis anak ibu? Jawab : Kalo nilai si engga ya, Tante dulu pernah dipanggil si sama wali kelasnya gara-gara dia nangis di kelas. Cuma ya kalo tante tanya juga emang dia engga bisa jelasin kenapa dia nangis 7. Apa yang ibu lakukan untuk melihat anak ibu bahagia? Jawab : Kalo tante si sebisa tante kasihlah apa yang dimau sama anak. Jangan seringsering marahin anak, soalnya kalo dimarahin dia bisa jauh dari kita, kalo ada apa-apa kita juga nantikan yang repot.
Nama Usia Domisili Pekerjaan Status Tempat dan waktu
: Ibu “N” : 21 Tahun : Depok : Ibu rumah tangga/ Mahasiswa : Ibu dari “AP” : Depok, 6 Mei 2015. 13.00-15.00
Pertanyaan: 1. Apakah anak ibu mengalami gangguan kesehatan setelah perceraian? Jawab : Anak ini mah jarang sakit si, paling juga dia kalo sakit batuk pilek aja itu juga jarang banget, hampir enggak pernah ke dokter. Dia juga makannya banyak banget semenjak abis berenti nyusu botol. Kalo minta makan bisa dua jam sekali. Kalo engga diturutin nangis 2. Bagaimana ibu melihat keseharian anak ibu? Jawab : Dia itu pendiem, pemalu, takut sama orang baru. Dia juga kalo ketemu sama orang baru rada takut, maunya deket-deket sama saya mulu, kan kadang saya yang jadi malu kalo lagi ada tamu dirumah 3. Bagaimana interkasi anak ibu dengan teman-temannya? Jawab :Dia itu engga punya temen. Dia suka jadi korban bully di sekolahnya. Kalo di isengin temennya engga pernah mau bales, makanya temennya seneng ngeledekin dia. Kadang dia suka ditarik-tarik rambutnya, dicubitin pipinya tapi dia engga ngebales 4. Apakah ibu melihat perbedaan yang mencolok pada anak ibu yang disebabkan oleh perceraian? Jawab : Dia mah kan pemalu, pendiem, minderan anaknya. Dia lebih suka dirumah maen sama saya dari pada maen keluar sama temen-temennya, makanya diakan engga punya temen. Dia juga kan anaknya agak cengeng ya, masa dia disekolah suka nangis tiba-tiba, kalo ditanya gurunya engga papa, cuma sedih aja. Tapi ya engga jelas sedihnya kenapa. Mungkin karena orang tuanya pisah berpengaruh sama keadaannya
dia sekarang, ya dia jadi anak yang minderan. Kasian si sebenernya kalo liat dia. Apalagi dia juga lebih banyak diem, jadi kita engga tau dia lagi ngerasain apa. Kalo anak yang laenkan suka cerita kalo dia lagi seneng atau gimana 5. Bagaimana hubungan ibu dengan mantan suami? Jawab : Abis cerai si kita engga pernah ketemu lagi tuh sampe anak udah gede. Tapi waktu kira-kira “AP” umur 3 tahun dia dateng ngajak rujuk tapi saya engga mau. Nah mulai dari situ dia usaha banget PDKT sama anaknya sendiri. Ya bayangin aja tibatiba dateng terus ngenalin diri jadi ayah, apa engga bingung anaknya 6. Bagiamana hubungan kedekatan yang terjalin antar ibu dengan anak? Jawab : Kalo saya sama anak si deket banget, namanya sehari-hari kita berdua terus, ngapa-ngapain berdua. Cuma ya karena kita terlalu deket dia tuh jadi engga pede. Apalagi kalo ketemu sama orang lain 7. Apakah saat ini ibu sudah merasa cukup dalam memenuhi kebutuhan anak? Jawab : Untuk sekarang si semuanya cukup. Namanya baru punya anak satu jadi ya semuanya pasti buat dia, misalnya beli ipad buat dia belajar dirumah. Tapi engga tau deh gimana nanti kalo dia punya ade lagi 8. Apakah ibu sering menghabiskan waktu diluar rumah bersama anak? Jawab : Kalo untuk pergi-pergi keluar rumah si jarang ya, soalnya saya males kalo pergi-pergi gitu. Emang kebanyakan dirumah aja. Lagian nih sekalinya diajak pergi, anaknya minta pulang mulu. Dia lebih seneng dirumah 9. Apa yang ibu harapkan dari anak ibu? Jawab : Pengen gitu ya ngeliat dia tuh kaya anak-anak laen, bisa maen, engga pemalu, pendiem. Saya jadi kesel kalo dia lagi kumat. Paling suka saya cubit apa engga dipukul aja biar dia ngerti
10. Bagaimana ibu mengajarkan nilai-nilai positif kepada anak ibu di usianya yang sekarang? Jawab : Saya si suka ngajarin sama dia area mana aja yang boleh di pegang sama orang lain, bagian mana yang cuma boleh dipegang sama mama. Saya suka bilang, yang ini engga boleh ya dipegang sama orang lain, ini Cuma boleh dipegang sama mama. Kalo ada orang yang megang, bilang sama mama. Dan sampe sekarang si dia masih nurutin apa yang saya ajarin. Karena dia tau kalo itu untuk kebaikan dia juga. Dia mah kan anaknya diem banget ya, saya tuh takut kalo dia jadi korban kekerasan seksual kaya yang di tv gitu. Namanya anaknya diem, kalo di apa-apain belom tentu dia bisa jawab 11. Apakah ibu pernah marah ketika anak ibu tidak menjalankan apa yang ibu perintahkan? Jawab : Saya itu sebenernya galak sama anak. Engga jarang saya suka nyubit atau mukul. Soalnya anaknya susah dibilangin. Kalo ditanya baik-baik engga bisa ngomong. Saya itu keras sama anak soalnya saya engga mau dia itu kaya saya. Jadi dia harus nurutin semua omongan saya, biar engga salah jalan kaya saya 12. Apa hukuman yang biasanya ibu berikan? Jawab : Dia tuh saking diemnya jadi suka bikin kesel. Kalo dibilangin suka engga denger, malah kadang nangis. Keselkan jadinya, makanya saya suka nyubit dia biar dia ngerti sama apa yang saya omongin 13. Apakah sang anak mengenal siapa ayahnya? Jawab : Ya diakan emang dari 40 hari udah ditinggal ayahnya. Dia kenal ayahnya juga baru-baru ini aja pas umur 3 tahun. Bapaknya juga sih engga pernah ada usaha buat deketin anaknya dari kemaren, sekarang ya nikmatin aja kalo anaknya engga kenal ama dia
Nama
: Ibu “W”
Usia
: 46 Tahun
Domisili
: Depok
Pekerjaan
: Guru
Status
: Ibu dari “RP”
Tempat dan waktu
: Depok, 9 Mei 2015. 16.00-17.00
Pertanyaan: 1. Apa alasan ibu untuk memilih bercerai? Jawab : Semenjak bapak bangkrut dia jadi suka marah-marah apalagi kalo engga dikasih uang, suka ngomel pake kaata-kata kasar. Akhirnya ibu pilih untuk pisah aja. 2. Apakah ibu melihat gangguan kesehatan pada anak ibu sebelum dan sesudah perceraian? Jawab : Dia itu engga ada gangguan kesehatan apa-apa sebelum saya pisah sama suami, tapi sejak saya pisah sama suami ya ada aja yang dirasain 3. Bagaimana hubungan ibu dengan mantan suami? Jawab : Saya udah engga tau gimana kabarnya. 4. Bagaimana kedekatan ibu dengan anak pasca bercerai dari suami? Jawab : Ya pastinya deket banget namanya tinggal berdua. Jadi ya deket sekali 5. Bagaimana ibu melihat kedekatan anak ibu dengan ayahnya terdahulu? Jawab : Dulu si dia deket banget ya sama bapaknya. Kalo dia lagi libur suka diajak ikut tugas sama bapaknya. 6. Bagaimana ibu menerapkan nilai-nilai kehidupan di dalam diri anak ibu? Jawab : Ibu selalu pesen untuk selalu jaga sopan santun, jaga omongan, apalagi kita kan orang Jawa, jadi harus jaga sikap dimanapun.
Nama
: “SP”
Usia
: 23 tahun
Domisili
: Bekasi
Pekerjaan
: Mahasiswa
Tempat dan waktu
: Jakarta, 11 Mei 2015. Pukul 14.00-16.00.
Pertanyaan: 1. Apakah anda merasakan gangguan pada kesehatan anda setelah orang tua bercerai? Jawab : Kalo ngerasain secara langsung si engga ya, tapi dari gue masih di Jambi emang sering sakit. Belom lama abis kontrol sana sini tapi doter engga ada yang tau penyakitnya apa 2. Apakah ada hal lain yang dirasakan setelah kedua orang tua bercerai? Jawab : Gue nih ya dulu suka nangis dikelas. Tapi gue sendiri engga tau kenapa gue nangis. Sampe gue dibawa ke kantor guru, ditanya kenapa ko nangis? Tapi ya gue engga pernah bisa jelasin kenapa. Mama gue juga pernah dipanggil sama wali kelas gue waktu itu 3. Apakah kedua orang tua masih menjalin hubungan yang baik? Jawab : Ayah sama mama gue mah musuhan dah abis cerai. Kan abis cerai aja gue tinggal sama datuk gue, baru-baru ini aja gue tinggal sama mama. Gue juga kesel sama ayah gue, dia lebih sayang sama istrinya dari pada sama gue. Kalo gue lagi main kerumah ayah gue, tiba-tiba ayah gue kaya engga suka sama gue, malah gue disuruh cepet-cepet pulang. Gue mah tau banget pasti otak ayah gue udah di cuci sama emak tiri gue 4. Bagaimana hubungan anda dengan ibu? Jawab : Hubungannya si deket banget. Dia selalu ngasih apa yang gue minta, waktu diajak ke dokter gigi misalnya, gue harus dikasih hadiah dulu baru gue mau pergi ke
dokter gigi, dan kebawalah sampe sekarang. Jadi gue semangat kalo ngerjain apa-apa terus dikasih hadiah. Gue disinikan ngekost, jadi gue minta mobil sama mama buat kalo kemana-mana, kaya ngerjain tugas segala macem 5. Bagaimana hubungan anda dengan ayah? Jawab : Abis cerai ya ayah gue udah engga pernah perhatian lagi sama gue, kaya udah engga sayang gitu. Sampe sekarang juga kan dia jarang telepon gue, nanya aja engga. Mungkin lupa kali kalo punya anak kaya gue 6. Apa yang anda rasakan ketika ayah sudah jarang untuk memberikan perhatiannya? Jawab : Ayah gue mah udah kaya orang engga sayang sama gue, engga pernah dia mah merhatiin gue, gue kenapa-kenapa juga dia mana pernah peduli. Ya gue juga pengen ngerasain gimana di sayang sama ayah gue kaya orang-orang 7. Apakah ibu pernah memukul anda? Jawab : Dari kecil mama tuh engga pernah mukul anaknya, paling ngomel, itu juga engga pernah lama. Ngomelnya paling kalo ada hal yang dia engga suka dari gue. Tapi si biasanya kita omongin bareng, engga sukanya dimana, harusnya kaya gimana, jadi sama-sama enak dan ngerti satu sama lain 8. Apa pesan atau nasehat dari orang tua anda? Jawab : Semenjak gue gede, mama lebih protect aja sama gue, hampir tiap hari dia telpon buat ngontrol keadaan gue ya namanya juga anak kosan, katanya jaga diri baikbaik, jangan terlalu deket sama cowo, dsb. Meskipun gue sering bikin kesel mama, tapi dia mah jarang marah, dari gue kecil, dia engga pernah mukul gue. Sekarangkan gue lagi skripsi ya, kata mama gue harus makin rajin sholatnya biar skripsinya dilancarin, biar bisa jawab pertanyaan pas sidang. Soalnya Allah bakalan ngabulin semua doa-doa gue asal gue engga cape untuk selalu minta sama Allah 9. Bagaimana hubungan anda dengan teman-teman?
Jawab : Temen gue mah dikit. Gue kan emang susah ya kalo deket sama orang baru. Soalnya gue kan dari kecil dibiasain maen sama orang yang itu-itu aja. Sama orang yang udah dikenal mama. Gue suka susah gitu kalo kenal sama orang baru. Engga tau kenapa ya kayanya tuh emang engga gampang buat deket sama orang baru. Gue kalo udah nyaman sama orang yaudah males buat kenal sama orang baru, mau itu pacar, mau temen sekolah. Jadi tuh dari jaman sekolah dulu harus ada barengannya yang emang udah kenal deket. Kaya kuliah nih ya, harus ada temen sekolah dari Jambi yang kuliah disini juga. Karena engga gampang buat gue untuk kenal dan percaya sama orang baru. Makanya temen gue engga terlalu banyak
Nama Usia Domisili Pekerjaan Tempat dan waktu
: “RP” : 23 tahun : Depok : Mahasiswa : Depok, 16 Mei 2015. Pukul 16.00-17.15
Pertanyaan : 1. Apakah anda merasakan gangguan kesehatan setelah perceraian orang tua? Jawab : Dulu waktu orang tua pisah gue jadi sering sakit. Dulukan gue hidupnya enak, nah sekarang gue harus hidup susah sama ibu, makan aja nunggu ada makanan sisa dari warung, soalnya dulu ibu kerja jadi penjaga warung nasi. Kan kerena dulu kalo makan nunggu makanan sisa jadi suka telat makan dan kena deh penyakit lambung. Udah gitu gue kan kerja jadi asisten laboratorium di kampus yang kerjanya cape jadi kena typus hampir setahun sampe beberapa kali dirawat tapi engga sembuhsembuh 2. Apakah ada pengaruh yang anda rasakan karena adanya gangguan kesehatan tersebut? Jawab : Gara-gara gue sakitnya lama, akhirnya gue ngambil cuti setahun. Soalnya kalo gue kuliah, gue takut kenapa-kenapa di jalan, takut pingsan soalnya bawaannya lemes banget. Udah gitu gue juga suka kepikiran sama bapak, dia engga pernah hubungin gue lagi semenjak pisah sama ibu. Beberapa bulan lalu gue dirujuk sama salah satu dokter untuk dateng ke psikiater. Dari gejala yang gue rasain kaya suka keringetan berlebih, lemes, rasa takut, cemas, akhirnya psikiater bilang kalo gue kena pannic attacks. Penyebabnya si karena imajinasi gue lebih kuat dari pada realitas, makanya gue takut ngapa-ngapain waktu itu 3. Bagaimana hubungan kedua orang tua anda setelah perceraian? Jawab : Setelah pisah ibu sama bapak udah engga ga ketemu lagi. Ibu udah males banget kali kalo ketemu bapak, kayanya si sakit hati karena masalah yang dulu. Tapi
gue masih suka smsan sama bapak, ya engga sering si. Biasanya dia mah kalo sms minta uang sama gue. Itupun tanpa sepengetahuan ibu 4. Bagaimana hubungan anda dengan ibu? Jawab : Ya deket banget ya. Saking deketnya gue sama ibu, kadang gue ngerasa kalo gue ini punya peran ganda, jadi anak juga terus gantiin posisi bapak juga. Kaya ngasih dukungan kalo ibu kerja kan harusnya itu tugasnya bapak, belom lagi gue harus dengerin keluh kesahnya ibu. Gue jadi ngerasa engga kaya anak muda banget, soalnya gue punya peran sebagai bapak juga 5. Bagaimana hubungan anda dengan ayah? Jawab : Dulu mah gue deket banget, namanya anak satu-satunya jadi ya pasti deket. Dulu nih kalo bokap tugas keluar kota, gue sering ngikut, abis itu jalan-jalan deh. Tapi ya sekarang mah dia tinggal diamana aja gue engga tau 6. Apakah setelah perceraian anda pernah bertemu lagi dengan ayah? Jawab : Kan abis pisah ibu sama bapak udah engga pernah ketemu lagi, gue juga engga tau bokap tinggal dimana. Kadang gue jadi inget sama ibu yang harus kerja buat gue, harus merhatiin gue. Karena rasa cemas itu akhirnya gue kena pannic attacks 7. Apa penyebab pannic attacks tersebut? Jawab : Sebenernya si yang bikin gue cemas itu ya gue engga tau bokap gue ada dimana, gue juga engga tau gimana nasib ibu sama gue beberapa tahun kedepan. Gue yang suatu saat bakalan nikah, mungkin apa engga gue tega ninggalin ibu. Yang gitu-gitu tuh selalu ada di kepala gue 8. Apa nilai yang dapat anda ambil dari kondisi anda saat ini? Jawab : Dulu mah gue jarang sholat, tapi sekarang setelah gue sehat ya gue lebih rajin sholat. Mungkin kemaren gue dikasih sakit karena emang gue juga jarang sholat
9. Sejauh mana anda melihat pengaruh ayah terhadap diri anda sekarang? Jawab : Meskipun dari 0 sampai 13 tahun gue masih dapet kasih sayang dari bokap, tapi itu belum ngebuat gue puas. Gue masih pengen kaya dulu lagi. Ternyata kasih sayang dari orang tua itu emang bener-bener sepanjang hayat. Sekarang gue udah engga ngerasain itu dari bokap, makanya suka kepikiran terus jadinya sakit 10. Adakah perbedaan sebelum dan sesudah perceraian pada kehidupan anda? Jawab : Dulukan gue termasuk orang yang ada, tapi gara-gara bokap bangkrut akhirnya ya kita hidup seadanya aja. Dulu sebelum jadi guru, ibu pernah kerja jadi pelayan di warteg. Ya lumayan ajalah sekalian buat makan sehari-hari, soalnya kalo ada makanan sisa boleh dibawa pulang. Tapi waktu itu ibu ditawarin buat ngajar di sekolah sama temen, yaudah akhirnya ibu coba dan alhamdulillah keterima jadi guru bahasa Inggris 11. Apakah orang tua anda pernah memukul anda? Jawab : Dari kecil si ibu sama bapak engga pernah yang namanya mukul. Kalo kesel ya paling cuma dibilangin aja baik-baik 12. Apakah anda dilibatkan dalam membuat aturan-aturan dirumah? Jawab : Kalo dirumah itu semua yang bikin aturan ya ibu, contohnya nih gue engga boleh pulang malem sama ibu. Kadang abis maghrib aja udah disuruh pulang, pokonya jam delapan malem udah harus dirumah. Padahal namanya anak muda ya kalo malem aja baru ngajakin ngumpul. Gue juga engga ngerti ya kadang ibu tuh galak banget kalo gue lagi diluar rumah, khawatir kalo gue belom sampe rumah. Tapi nih kalo gue udah dirumah, kadang gue makan aja disuapin sama ibu, udah kaya anak kecil
Nama Usia Domisili Pekerjaan Tempat dan waktu
: “KJ” : 20 tahun : Tangerang : Mahasiswa : Tangerang, 11 Mei 2015. Pukul 11.00-12.00 WIB
Pertanyaan: 1. Seperti apa anda melihat pribadi “SP”? Jawab : Sebenernya dia orangnya rame kalo udah kenal deket, tapi kalo sama orang baru ya agak susah juga deketnya, dia engga gampang percayaan sama orang, apalagi orang yang baru dikenal. Butuh waktu lama buat kenal lebih deket lagi. Dia juga agak manja si sama mamanya. Setau gue emang dia dari dulu, kalo mau apa-apa ya harus ada hadiahnya dulu, dan hadiahnya yang dia mau, katanya mah biar semangat ngerjain apa-apa kalo dikasih hadiah dan dia emang deket sama mamanya 2. Seperti apa anda melihat kedekatan “SP” dengan orang tuanya? Jawab : Setau gue si mamanya emang sayang banget sama dia. apa aja yang diminta pasti diturutin. Kaya waktu dia baru kuliah di Jakarta, dia dibeliin mobil sama mamanya buat kalo ke kampus atau buat ngerjain tugas. Semua gedget yang baru pasti dia punya 3. Apakah “SP” pernah menceritakan permasalahannya dengan anda? Jawab : Iya dia sering cerita ko, termasuk tentang keluarganya juga. 4. Apa harapan anda untuk “SP”? Jawab : Semoga bisa lulus kuliah tahun ini biar bisa banggain mamanya. Itu aja.
Nama Usia Domisili Pekerjaan Tempat dan waktu Pertanyaan:
: “ON” : 21 tahun : Depok : Mahasiswa : Tangerang, . Pukul 14.00-16.00 WIB
1. Seperti apa anda melihat pribadi “RP”? Jawab : Dia dewasa, baik, sopan. Dia itu kalo ngomong alus banget, gue aja perempuan kalah. Dia mah kadang nih ngomong elu, gue aja tuh kasar. Jadi kalo mau ngomong sama dia ya harus aku kamu, harus alus. Orang waktu dia ketemu temen gue aja kan dia ngomong elu, gue, terus dia langsung bilang, ih temen kamu tuh kasar banget deh engga sopan 2. Bagaimana anda melihat kedekatan “RP” dengan ibunya? Jawab : Ya dia mah deket banget, orang ngapa-ngapain sama ibunya. Gue aja kaget masih ada anak muda yang kemana-mana sama ibunya. 3. Apakah anda mengetahui pannic attacks yang diderita “RP”? Jawab : Iyalah tau, kan gue juga yang nganterin kerumah sakit. Gue yang suka boncengin dia kalo dia lagi sakit, kadang nemenin kuliah. 4. Apakah anda mengetahui apa penyebab dari pannic attacks? Jawab : Kan katanya dia suka cemas, apa-apa dipikirin jadinya begitu dah. Tapi si sekarang udah mendingan, jarang kumat lagi sakitnya. Paling kalo kecapean aha kumatnya. Sekarang si dia jadi lebih rajin sholat. Gue selalu ingetin dia untuk selalu sholat, kalo engga sholat entar dikasih sakit lagi sama Allah. Sekarang juga gue lagi ngajarin dia buat ngaji
Lampiran 5 Hasil observasi informan “IA” Waktu Observasi
: Kamis, 7 Mei 2015
Tempat Observasi
: Di rumah Orang tua “IA”, Ciganjur
Orang yang terlibat
: Orang Tua “IA” dan “IA”
Waktu 12.00-14.30 WIB
Deskripsi Saat itu peneliti yang baru tiba dirumah “IA”, melihat “IA” yang sedang duduk di sebuah ayunan di dalam rumah. Setelah peneliti bertemu dengan ibu “U”, “IA” juga ikut menghampiri peneliti dan bersalaman dan sambil menunjuk kearah luar untuk mengajak peneliti membeli makanan di luar. Peneliti mengunjungi kediaman ibu “U” yaitu orang tua dari “IA”. Ketika peneliti mengunjungi mengunjungi rumahnya, hanya ada ibu “U”, “IA” dan calon suaminya yang sedang menonton televisi diruang tengah. Pada saat itu “IA” mengenakan baju kaos berwarna biru dengan gambar tokoh kartun angry bird dan menggunakan celana dalam berwarna kuning. “IA” adalah anak yang ceria dan sangat aktif. Ketika peneliti sedang asik berbincang dengan mamanya, “IA” selalu mondar-mandir sambil berlari dari ruang tamu menuju pintu dapur yang ada di samping. Sesekali “IA” juga mencium dan memeluk mamanya, kemudian ia berlari lagi. Ketika peneliti berkunjung kerumahnya di daerah Ciganjur, “IA” tidak merasa takut dengan kedatangan peneliti. “IA” tetap enjoy dengan aktivitasnya. Bahkan “IA” mengajak peniliti untuk membeli makanan yang ada di seberang jalan. Selain itu ketika peneliti sedang
Makna Dari observasi yang peneliti lakukan terhadap “IA” adalah, ternyata “IA” merupakan anak yang periang, anak yang tidak takut dengan orang yang baru ia temui dan “IA” tidak memiliki kesulitan dalam berinteraksi dengan orang yang baru dikenalnya. Dan dapat dilihat juga bahwa “IA” memiliki kedekatan yang kuat dengan mamanya, yaitu dapat dilihat ketika “IA” memeluk dan mencium mamanya disela-sela perbincangan peneliti dan mamanya. Selain itu, “IA” juga termasuk anak yang mandiri, karena sejak kecil “IA” diajarkan untuk selalu terbiasa melakukan sesuatu hal sendiri, seperti mengambil gelas, membereskan mainan, dan lain sebagainya.
berbincang-bincang dengan mamanya, “IA” sangatlah aktif. Ia berlari-lari melewati pintu depan menuju pintu samping dan sesekali “IA” menaiki ayunan yang berada di ruang tamu sambil berkata “aku robotTerkadang ia menaiki ayunan yang berada di ruang tamu sambil mengatakan, ” aku robot “. “IA” sangat menyukai mainan robot. Ketika mamanya mengatakan, “ besok di sunat ya?”, kemudian “IA” menjawab “iya ma tapi nanti beli robot ya dua”. Peneliti juga melihat “IA” yang terkadang mengambil patung pajangan milik neneknya yang berada di meja dekat ruang tamu. Berkali-kali “IA” berlari dan memegang patung tersebut seolaholah “IA” akan membantingnya, namun mamanya selalu mengingatkan bahwa patung itu milik nenek, jadi tidak boleh di banting. Ketika di sela-sela wawancara peneliti dengan mamanya, sesekali “IA” memeluk dan mencium mamanya, serta meminta dipangku oleh mamanya dan “IA” juga sering kali bermanja-manja dengan mamanya. Namun saat itu ibu “U” tiba-tiba terbatuk-batuk, kemudian “IA” langsung memeluk dan mengatakan mama minum obat ya nanti sakit loh Saat itu “IA” mengajak peneliti untuk membeli makanan, yaitu kebab yang berada di seberang jalan dekat rumahnya, ia mengatakan “tante kita beli kebab yu”. Awalnya peneliti merasa kaget karena biasanya anak kecil takut atau merasa malu jika bertemu dengan orang yang baru ia kenal, namun “IA” tidak sama sekali merasa takut ketika bertemu dengan peneliti. Ia melakukan kegiatan aktivitas seperti biasanya tanpa menghiraukan jika ada orang baru di dalam rumahnya. “IA” tidak merasa
terganggu dengan kehadiran peneliti. Akhirnya atas izin ibu “U”, peneliti mengajak “IA” untuk membeli kebab yang berada di dapan rumahnya, namun kebab tersebut belum dibuka. Peneliti mengajak “IA” untuk membeli ice cream di sebuah toko yang tidak jauh dari rumah. Sebelum membelikan ice cream, peneliti menelfon ibu “U” untuk meminta izin, apakah “IA” boleh untuk memakan ice cream. Dan ketika “IA” berbicara kepada mamanya melalui telepon, “IA” yang berada di gendongan peneliti menangis. Ketika peneliti bertanya, “IA” mengatakan, “engga boleh sama mama”. Akhirnya peneliti berbicara dengan ibu “U”, dan ibu “U” mengizinkan “IA” untuk membeli ice cream. Sesampainya dirumah, “IA” langsung memamerkan ice cream tersebut kepada mamanya. Kemudian mamanya mengatakan “kalo batuk jangan bilang sama mama ya. Abis makan ini harus mandi ya biar engga lengket, abis itu minum susu, bobo ya”. Dan “IA” meminta mamanya untuk membukakan ice cream. Tidak lama kemudian “IA” pergi menuju dapur untuk mengambil gelas. Setelah itu “IA” memakan ice cream yang dibelinya tadi. Ketika “IA” sedang asyik memakan ice cremnya tiba-tiba ibu “U” bertanya kepada “IA”, kamu udah makan belum? Saat itu “IA” tidak menjawab pertanyaan mamanya. Ia malah asyik memakan ice creamnya. Kemudian ibu “U” bertanya kembali, kamu engga punya kuping ya? Kan mama lagi nanya. Seketika “IA” langsung melihat kearah mamanya dan melempar gelas tersebut kearah mamanya. Kemudian mamanya langsung mengajaknya untuk mandi sesuai dengan perjanjian diawal tadi. Setelah selesai mandi, “IA” mengenakan baju diruang tamu
sambil memegang sebuah mainan robot. Setelah “IA” selesai mengenakan baju, peneliti meminta izin untuk pamit pulang. Hasil observasi informan “AP” Waktu Observasi
: Rabu, 6 Mei 2015
Tempat Observasi
: Di rumah Orang tua “AP”
Orang yang terlibat
: Orang Tua “AP” dan “AP”
Waktu 13.00-15.30
Deskripsi Ketika peneliti melakukan observasi terhadap “AP”, saat itu “AP” merasa takut ketika peneliti datang dan ia bersembunyi dibelakang ibu “N”. Saat itu “AP” menolak ketika diajak bersalaman oleh peneliti. Ketika peneliti duduk diruang tamu dan ibu “N” pergi ke dapur, “AP” selalu mengikuti kemanapun ibunya pergi. Ketika peneliti sedang melakukan wawancara dengan ibu “N”, “AP” meminta makan kepada ibunya. Namun ibu “N” menolak permintaan “AP” dikarenakan “AP” baru selesai makan. Kemudian “AP” kesal dengan ibunya. “Ketika “AP” sedang kesal oleh ibunya karena tidak diambilkan makanan. “AP” tidak dapat mengungkapkan rasa kesalnya seperti anak-anak yang lain. Saat itu “AP” hanya duduk disudut pintu sambil menatap tajam kearah ibu “N”, seolah-olah menunjukkan bahwa dirinya sedang merasa kesal. Tidak lama kemudian “AP” menangis sambil memukul-mukul wajahnya. Dengan rasa kesal akhirnya ibu “N” mencubit tangan “AP” sambil memarahi “AP”. Tidak lama kemudian “AP” berhenti menangis dan menghampiri ibu “N”
Makna Berdasarkan hasil observasi ternyata “AP” merupakan anak pendiam dan takut jika bertemu dengan orang yang baru pertama kali ia lihat. Selain itu “AP” juga termasuk anak yang tidak bisa mengekspresikan perasaannya ketika sedang kesal kepada ibunya.
yang sedang duduk dengan peneliti. Kemudian ibu “N” mencium dan memeluk “AP” serta mengambilkan makanan untuk “AP”. Ketika ibu “N” mengambilkan makanan, peneliti mencoba untuk mendekati “AP” yang sedang duduk disamping motor sambil menonton tv. Saat itu peneliti bertanya “Kamu suka nonton film kartun ini ya?” Kemudian “AP” menjawab pertanyaan peneliti dengan bercerita tentang film kartun tersebut. Tidak lama kemudian ibu “N” datang dan menyuapi “AP” dengan sepiring nasi dan ayam goreng yang dimasaknya”
Lampiran 6 DOKUMENTASI
“IA” yang sedang memakan ice cream dirumahnya
“IA” yang sedang bermanja-manja oleh ibu “U”
Wawancara dengan ibu “N”
Penjalinan relasi dengan “AP”
Wawancara dengan “RP”
Wawancara dengan sahabat “SP”
Wawancara dengan ibu “T”