KERJASAMA ANTARA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN TENTARA NASIONAL INDONESIA DALAM PENGAMANAN AKSI UNJUK RASA MENENTANG HARGA KENAIKAN BAHAN BAKAR MINYAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO.2 TAHUN 2002 TENTANG POLISI REPUBLIK INDONESIA DAN UNDANG-UNDANG NO.34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA
Oleh Johan ABSTARK Rencana kenaikan BBM membuat tekanan ekonomi bagi masyarakat, sehingga masyarakat Melaksanakan haknya secara bebas menyampaikan Pendapat dan Aspirasi dimuka Umum sesuai Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang menjamin hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan aspirasinya di muka umum, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan perlindungan Hak Asasi bagi seluruh masyarakat. Akan tetapi dalam penerapannya, tidak sedikit pula yang menyalahgunakan kedua Undang-undang tersebut, dimana sekelompok massa melakukan kegiatan Unjuk rasa yang diikuti dengan tindakan anarkis. karena tidak adanya aturan yang tegas mengenai mekanisme penanggulangan anarkis massa, Maka diperlukan Kerjasama antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Tentara Nasional Indonesia dalam Pengamanan Aksi Unjuk Rasa Menentang Harga Kenaikan Bahan Bakara Minyak Berdasarkan Undang-undang No.2 Tahun 2002 Tentang Polisi Republik Indonesia dan Undang-undang No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Latar Belakang Rencana Pemerintah Indonesia untuk menaikkan harga BBM pada 1 April 2012 menimbulkan protes dari publik. Ekspresi penolakan diwujudkan dalam berbagai bentuk, salah satunya yang utama adalah mengkonsolidasikan diri dalam aksi unjuk rasa. Setidaknya elemen mahasiswa, buruh, tani, organisasi masyarakat sipil, anggotaanggota partai politik, hingga warga Indonesia yang memiliki perhatian tinggi pada isu kenaikan harga BBM teridentifikasi terlibat aktif dalam aksi penolakan kenaikan harga BBM. Ketika Rezim kepemimpinan Orde lama dikenal suatu peraturan perundang-
undangan yaitu Penetapan Presiden Nomor 11 tahun 1963 tentang Penghapusan Kegiatan Subversi, yang semula dikeluarkan orde lama untuk mengamankan revolusi yang sedang berlangsung pada saat itu dimana negara dalam keadaan darurat, sehingga sebagian orang menganggap membenarkan tindakan presiden untuk membentuk peraturan yang bersifat darurat dan tidak dalam rangka struktur serta hirarki perundang-undangan menurut UUD 19451.
1
Materi Perkuliahan Pidana Militer, Fakultas Hukum Universitas Pakuan Tahun Ajaran 2010/2011.
Tindakan anarkis yang dilakukan masyarakat ketika menyampaikan pendapat dan aspirasinya menjadi sebuah tantangan yang sangat besar. Hal ini di karenakan tugas pokok fungsi yang diemban organisasi kepolisian yaitu melayani dan melindungi setiap orang dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum, sesuai dengan tingkat tanggung jawab tinggi2. Di Indonesia sendiri fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat3, dengan tujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia4. Tidak adanya aturan yang pasti dalam menanggulangi tindakan anarkis yang dilakukan oleh sejumlah massa, membuat organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia membuat suatu aturan sendiri dengan mengeluarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Akan tetapi peraturan ini dinilai melanggar hak asasi manusia dalam penerapannya, karena dalam peraturan tersebut diatur ketentuan penggunaan senjata api terhadap massa yang melakukan aksi anarkis dengan kemungkinan terburuk hilangnya nyawa seseorang. Akan tetapi di lain sisi Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian ini
4
Indonesia, Undang-undang Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undangundang Nomor 2 Tahun 2002, Pasal 2. 5 Ibid., Pasal 4
secara langsung bersinggungan dengan Hak asasi manusia yang paling mendasar, yaitu hak untuk hidup dan hak untuk tidak di siksa yang sudah diatur dalam konstitusi5. Akan tetapi tindakan anarkisme tersebut secara langsung melanggar hak konstitusional masyarakat lainnya, dengan alasan para pelaku anarkis tersebut tidak menghormati hak asasi manusia orang lain dan tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara6, betapa tidak karena tindakan anarkis menyerang secara langsung hak-hak asasi manusia seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak di siksa, serta perlindungan terhadap harta benda. Peristiwa anarkisme, adalah suatu peristiwa yang tidak normal dan bersifat darurat. Dalam keadaan yang tidak normal itu (keadaan darurat) bisa dipahami bahwa jaminan hak asasi manusia (HAM) dapat dilanggar atau setidaknya dapat ditunda pelaksanaannya7. Dengan kata lain, dalam keadaan darurat, aparat keamanan/TNI/Polri dimungkinkan untuk melakukan pelanggaran HAM untuk menjaga integritas negara dan melindungi warga negara dari ancaman bahaya8. Dalam rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pun, walau tidak dibenarkan secara eksplisit, suatu perbuatan pelanggaran hak asasi manusia yang merupakan suatu tindak pidana tidak dapat dipidana, sepanjang perbuatan tersebut merupakan perintah Undang-Undang9. Hal ini dapat dipahami, karena berdasarkan Undang-Undang kepolisian, tugas pokok fungsi dari organisasi kepolisian adalah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman apapun 6
Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 28 7 Ibid., Pasal 28 J. 8 Undang-undang No 34 tentang Tentara Nasional Indonesia 9
Indonesia, Hukum Pidana, U
Kitab
Undang-Undang
Sebagaimana diutarakan diatas, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian sendiri berisikan aturan yang bersinggungan langsung dengan orang banyak, dan berlaku untuk menindak semua orang atau warga negara yang melakukan tindakan yang melibatkan orang banyak atau massa, serta berhubungan langsung dengan hak asasi manusia karena mengatur mengenai penggunaan senjata api terhadap pelaku anarkis, sehingga sedikit banyak apa yang di atur dalam Perkapolri ini memiliki sifat yang sama dengan sifat Undang-Undang yaitu sifat berlaku Universal. Sedangkan dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan disebutkan bahwa segala peraturan yang berisikan materi muatan tentang Hak asasi manusia, harus diatur kedalam bentuk Undang-Undang10. Pembentukan mengeluarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian bertujuan baik, yaitu selain untuk memberikan suatu mekanisme serta tata cara bertindak juga memberikan kepastian hukum serta perlindungan kepada para pelaksana aturan tersebut. Akan tetapi jika di paksakan penerapannya, maka hal tersebut akan menjadi bumerang bagi pelaksana peraturan tersebut. Polisi Republik Indonesia Definisi politie mengandung arti sebagai organ dan fungsi, yakni sebagai organ pemerintah dengan tugas mengawasi, jika perlu menggunakan paksaan supaya yang diperintah menjalankan dan tidak melakukan larangan-larangan pemerintah. Fungsi dijalankan atas kewenangan dan kewajiban 11
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Pasal 8 huruf a angka 1.
untuk mengadakan pengawasan dan bila perlu dengan paksaan yang dilakukan dengan cara memerintah untuk melakukan kewajiban umum, mencari secara aktif perbuatan yang tidak melaksanakan kewajiban umum, memaksa yang diperintah untuk melakukan kewajiban umum. Dengan perantara pengadilan, dan memaksa yang diperintah untuk melakasanakan kewajiban umum tanpa perantaraan pengadilan.11 Arti kepolisian di sini ditekankan pada tugastugas yang harus dijalankan sebagai bagian dari pemerintahan, yakni memelihara keamanan, ketertiban, ketentraman masyarakat, mencegah dan menindak pelaku kejahatan. Sesuai dengan Kamus Umum Bahasa Indonesia, bahwa polisi diartikan Sebagai badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum serta Anggota dari badan pemerintah tersebut di atas12. Sejarah tentang Kepolisian Dalam perkembangan sejarah kepolisian sejak Revolusi Kemerdekaan hingga sekarang mengalami beberapa kali perubahan eksistensi dan kedudukan, dimana perubahan tersebut membawa dampak dan pengaruh yang signifikan terhadap tugas dan tanggungjawabnya sebagai suatu lembaga dalam organisasi negara. Secara historis perubahan eksistensi, kedudukan fungsi kepolisian tersebut dapat ditelusuri sejak masa Revolusi Kemerdekaan 1945 hingga masa Reformasi. Pada masa Revolusi Kemerdekaan antara tahun 1945-1949, diawali dengan keluarnya keputusan yang ditetapkan oleh Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 tentang pembentukan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan 11
Sadjijono, Hukum Kepolisian Polri dan Good Governance, (Surabaya : Laksbang Mediatama), hal. 51. 12 W.J.S. Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1986), hal .763.
membentuk Badan Kepolisian Negara (BKN), dimana organ kepolisian yang telah ada pada masa penjajahan Belanda ditempatkan di bawah Departemen Urusan Dalam Negeri sebagai Jawatan Kepolisian Negara, sehingga terjadi suatu persamaan kedudukan antara Dinas Polisi Umum pada jaman penjajahan Belanda dengan Jawatan Kepolisian Negara. Kedudukan kepolisian selama berada di bawah Departemen Dalam Negeri wewenangnya sangat terbatas, hal ini disebabkan adanya kendala dan struktur serta operasional. Perubahan kedudukan, tugas dan tanggungjawab terjadi lagi pada saat keluarnya ketetapan Dewan Pertahanan Negara Nomor 49 Tahun 1946 tanggal 9 Nopember 1946 dan Nomor 112 tanggal 1 Agustus 1947, saat itu kepolisian negara dimiliterisasi yang mempunyai kedudukan sebagai tentara, dengan tugas selain menjalankan tugas-tugas kepolisian di bawah kendali Kementrian pertahanan juga diperintahkan untuk menjalankan pekerjaan tentara atas perintah komando tentara. Pada saat terjadi perubahan sistem ketatanegaraan, yakni dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 19491950 ada dua kepolisian, yaitu Kepolisian Negara dan Kepolisian Federal. Segala urusan kepolisian di daerah federal secara administratif berada di bawah menteri Dalam Negeri RIS, namun pemindahan dan penempatan anggota masih disahkan oleh Menteri Dalam Negeri RI yang selanjutnya diambil alih oleh Kepolisian RIS. Kemudian setelah diberlakukannya UUDS Tahun 1950, lembaga kepolisian kembali bertanggungjawab kepada Perdana Menteri dan semua anggota polisi berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan organisasinya bernama Persatuan pegawai Negeri Polisi Republik Indonesia yang disingkat PPNPRI. Melalui Penetapan Perdana Menteri Nomor 3/PM tanggal 27 Januari 1950 pimpinan kepolisian diserahkan kepada Menteri Pertahanan dengan maksud untuk memusatkan pimpinan kepolisian dan tentara
dalam satu tangan, dan dengan Ketetapan Presiden RIS Nomor 150 Tahun 1950 tanggal 7 Juni 1950, organisasi kepolisian negaranegara bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia. Selanjutnya dalam sidang Kabinet tanggal 2 Nopember 1951 memutuskan, bahwa Jawatan Kepolisian Negara seluruhnya berada di bawah pimpinan Perdana Menteri yang pelaksanaannya dimulai pada awal tahun 1952. Sambil menunggu keluarnya Undang-undang Kepolisian, maka Jawatan Kepolisian Negara tetap menjalankan fungsinya sebagai pembantu Perdana Menteri Urusan Keamanan Umum13 Dengan keluarnya Keppres Nomor 153 Tahun 1959 tanggal 10 Juli 1959 yang menetapkan bahwa Kepala Kepolisian Negara (KKN) diberi kedudukan Menteri Negara exOfficio, yag kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 154 Tahun 1959 tanggal 13 Juli 1959 dibentuk Departemen Kepolisian Negara yang dimasukkan ke dalam bidang keamanan, dan sebutan Kepala Kepolisian Negara (KKN) berubah menjadi Menteri Muda Kepolisian. Sejalan dengan Keputusan Presiden Nomor 154 Tahun 1959 tersebut juga keluar Surat Edaran Menteri Pertama Nomor 1/MP/RI/1959 tanggal 26 Agustus 1959 yang isinya mengganti Jawatan Kepolisian Negara menjadi Departemen Kepolisian dan Kepala Kepolisian diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian. Kemudian berdasarkan Keppres No. 21 Tahun 1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian diubah menjadi Menteri / KKN. Selain itu Departemen Kepolisian dimasukkan kedalam bidang Keamanan Nasional. Pada tanggal 19 Juni 1961 DPR-GR mengesahkan Undang-undang Pokok Kepolisian Nomor 13 Tahun 1961. Di dalam Undang-undang Pokok Kepolisian Nomor 13 Tahun 1961 disebutkan, bahwa kedudukan Kepolisian Republik Indonesia sebagai salah satu unsur ABRI, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3, namun di dalam penjelasan Undang13
Ibid., hal. 91-92.
undang dimaksud menyatakan, bahwa Kepolisian RI adalah sipil dan militer. Dalam peringatan hari Bhayangkara tanggal 1 Juli 1968 Presiden Soeharto menyatakan dan menyebutkan, bahwa agar Kepolisian kembali pada fungsinya sebagai Kepolisian, sebagai realisasi pernyataan tersebut kemudian dikeluarkan Keppres No. 79 Tahun 1969 yang menetapkan, bahwa ada perbedaan tugas dan kewajiban antara Kepolisian dan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Pendekatan sosial dan urusan keamanan nasional adalah urusan Kepolisian, sedangkan pendekatan pertahanan keamanan nasional adalah urusan Angkatan Perang14. Maka sejak tanggal 27 Juni 1969 sebutan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI) diubah menjadi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Keluarnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, memberikan suatu ketegasan terhadap wewenang Polri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum, di samping sebagai pengayom dan pelindung masyarakat yang telah diatur dalam Undang-undang Pokok Kepolisian Nomor 13 Tahun 1961. Wewenang Polri sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tersebut diatur dalam Pasal 6 yang memberikan penekanan bahwa Polri sebagai penyidik, dan Pasal 7 ayat (1) yang mengatur wewenang Polri sebagai penyidik yang dirinci pada huruf a sampai dengan j. Pengaturan tugas, fungsi dan wewenang polri dipertegas dengan keluarnya UndangUndang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Hankamneg, dengan demikian jelas bahwa tugas Polri dipertanggungjawabkan kepada Menhankam / Pangab yang selanjutnya Menhankam / Pangab bertanggungjawab kepada Presiden. Kemudian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Ketentun-Ketentuan Pokok Pertahanan 14
Mabes Polri, Op. Cit., hal. 208.
Keamanan Negara Republik Indonesia mengatur tentang jabatan Kapolri, tugas tanggungjawab kegiatan operasional dan pembinaan Polri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 yang diubah dengan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Ketentuan Pokok Hankam ini ada subtansi yang sangat mendasar bagi perkembangan Polri yang perlu di tindak lanjuti, yakni dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3), menyebutkan: “Mengingat bahwa tugas dan wewenang kepolisian bersangkut paut dengan hak dan kewajiban warga negara secara langsung, sedangkan tugas dan wewenang kepolisian perlu dirumuskan secara tegas dan terperinci, maka perlu disusun Undang-undang tersendiri bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan kedudukan dan fungsinya berdasarkan undang-undang ini”. Pada saat peringatan hari ABRI tanggal 5 Oktober 1998 Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto mengeluarkan pernyataan, bahwa Polri akan dikeluarkan dari ABRI, Akhirnya pada tanggal 1 April 1999 keluar Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pemisahan Polri dan TNI yang kemudian ditindak lanjuti pemisahan Polri secara struktural dari ABRI. Pada massa transisi ini Polri diletakkan di bawah Menteri Pertahanan Keamanan (Menhankam) sebagai suatu pemindahan wewenang pembinaan dan pertanggungjawaban yang selama ini dipegang oleh Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab). Pada tahun 2000 dikeluarkan Ketetapan MPR RI Nomor VI / MPR / 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia secara kelembagaan dan Ketetapan MPR RI Nomor VII / MPR / 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri, dimana Polri tidak lagi menjadi unsur ABRI dan memiliki peran yang berbeda dengan Polri, dimana TNI sebagai alat negara yang berperan dalarn pertahanan negara,
sedangkan Polri sebagai alat negara berperan dalam memelihara keamanan. Perubahan kedudukan dan fungsi kepolisian yang terjadi pada era reformasi tersebut belum sepenuhnya dapat dilaksanakan secara mandiri oleh Polri, karena lembaga Polri berada di bawah Presiden masih banyak instrumen hukum yang mengikat dan menyatakan Polri sebagai bagian dari ABRI. Seperti masih diberlakukannya UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, namun demikian setelah keluarnya Keppres No. 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan diundangkannya UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), maka Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit ABRI, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Ketentuan-ketenhian Pokok Hamkamneg, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI dan Peraturan Peraturan Pemerintah serta Keputusan-keputusan Menpangab yang masih diberlakukan bagi polri tidak berlaku lagi bagi Polri. Tentara Nasional Indonesia Tentara adalah salah satu kelompok professional yang harus dimiliki olehnegara. Tentara terdiri kelompok orang yang terorganisasi dengan disiplin untuk melakukan pertempuran yang tentunya berbeda dengan kelompok orang-orang sipil.5 Mereka adalah orang pilihan yang secara materiil digaji oleh negara dan dipersipkan hanya untuk bertempur dan memenagkan peperangan guna mempertahankan eksistensi sebuah negara. Sejarah tentang Tentara Tentara Nasional Indonesia (TNI) lahir dalam kancah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan dari ancaman
Belanda yang berambisi untuk menjajah Indonesia kembali melalui kekerasan senjata. TNI merupakan perkembangan organisasi yang berawal dari Badan Keamanan Rakyat (BKR). Selanjutnya pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan untuk memperbaiki susunan yang sesuai dengan dasar militer international, dirubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Dalam perkembangan selanjutnya usaha pemerintah untuk menyempurnakan tentara kebangsaan terus berjalan, seraya bertempur dan berjuang untuk tegaknya kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. Untuk mempersatukan dua kekuatan bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular dan badan-badan perjuangan rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden mengesyahkan dengan resmi berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada saat-saat kritis selama Perang Kemerdekaan (1945-1949), TNI berhasil mewujudkan dirinya sebagai tentara rakyat, tentara revolusi, dan tentara nasional. Sebagai kekuatan yang baru lahir, disamping TNI menata dirinya, pada waktu yang bersamaan harus pula menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Dari dalam negeri, TNI menghadapi rongronganrongrongan baik yang berdimensi politik maupun dimensi militer. Rongrongan politik bersumber dari golongan komunis yang ingin menempatkan TNI dibawah pengaruh mereka melalui “Pepolit, Biro Perjuangan, dan TNI-Masyarakat:. Sedangkan tantangan dari dalam negeri yang berdimensi militer yaitu TNI menghadapi pergolakan bersenjata di beberapa daerah dan pemberontakan PKI di Madiun serta Darul Islam (DI) di Jawa Barat yang dapat mengancam integritas nasional. Tantangan dari luar negeri yaitu TNI dua kali menghadapi Agresi Militer Belanda yang memiliki organisasi dan persenjataan yang lebih modern. Sadar akan keterbatasan TNI dalam menghadapi agresi Belanda, maka bangsa Indonesia melaksanakan Perang Rakyat Semesta dimana segenap kekuatan TNI
dan masyarakat serta sumber daya nasional dikerahkan untuk menghadapi agresi tersebut. Dengan demikian, integritas dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dapat dipertahankan oleh kekuatan TNI bersama rakyat. Sesuai dengan keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), pada akhir tahun 1949 dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Sejalan dengan itu, dibentuk pula Angkatan Perang RIS (APRIS) yang merupakan gabungan TNI dan KNIL dengan TNI sebagai intinya. Pada bulan Agustus 1950 RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk Negara kesatuan. APRIS pun berganti nama menjadi Angkatan Perang RI (APRI). Sistem demokrasi parlementer yang dianut pemerintah pada periode 1950-1959, mempengaruhi kehidupan TNI. Campur tangan politisi yang terlalu jauh dalam masalah intern TNI mendorong terjadinya Peristiwa 17 Oktober 1952 yang mengakibatkan adanya keretakan di lingkungan TNI AD. Di sisi lain, campur tangan itu mendorong TNI untuk terjun dalam kegiatan politik dengan mendirikan partai politik yaitu Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) yang ikut sebagai kontestan dalam Pemilihan Umum tahun 1955. Periode yang juga disebut Periode Demokrasi Liberal ini diwarnai pula oleh berbagai pemberontakan dalam negeri. Pada tahun 1950 sebagian bekasanggotaKNILmelancarkan pemberontakan di Bandung (pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil/APRA), di Makassar Pemberontakan Andi Azis, dan di Maluku pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS). Sementara itu, DI TII Jawa Barat melebarkan pengaruhnya ke Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pada tahun 1958 Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta) melakukan pemberontakan di sebagian besar Sumatera dan Sulawesi Utara yang membahayakan integritas nasional. Semua pemberontakan itu dapat ditumpas oleh TNI bersama kekuatan komponen bangsa
lainnya.Upaya menyatukan organisasi angkatan perang dan Kepolisian Negara menjadi organisasi Angkatan Bersenjata Republika Indonesia (ABRI) pada tahun 1962 merupakan bagian yang penting dari sejarah TNI pada dekade tahun enampuluhan.Menyatunya kekuatan Angkatan Bersenjata di bawah satu komando, diharapkan dapat mencapai efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan perannya, serta tidak mudah terpengaruh oleh kepentingan kelompok politik tertentu. Namun hal tersebut menghadapi berbagai tantangan, terutama dari Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai bagian dari komunisme internasional yang senantiasa gigih berupaya menanamkan pengaruhnya ke dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia termasuk ke dalam tubuh ABRI melalui penyusupan dan pembinaan khusus, serta memanfaatkan pengaruh Presiden/Panglima Tertinggi ABRI untuk kepentingan politiknya. Upaya PKI makin gencar dan memuncak melalui kudeta terhadap pemerintah yang syah oleh G30S/PKI, mengakibatkan bangsa Indonesia saat itu dalam situasi yang sangat kritis. Dalam kondisi tersebut TNI berhasil mengatasi situasi kritis menggagalkan kudeta serta menumpas kekuatan pendukungnya bersama-sama dengan kekuatan-kekuatan masyarakat bahkan seluruh rakyat Indonesia.Dalam situasi yang serba chaos itu, ABRI melaksanakan tugasnya sebagai kekuatan hankam dan sebagai kekuatan sospol. Sebagai alat kekuatan hankam, ABRI menumpas pemberontak PKI dan sisa-sisanya. Sebagai kekuatan sospol ABRI mendorong terciptanya tatanan politik baru untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen.Sementara itu, ABRI tetap melakukan pembenahan diri dengan cara memantapkan integrasi internal. Langkah pertama adalah mengintegrasikan doktrin yang akhirnya melahirkan doktrin ABRI Catur Dharma Eka Karma (Cadek). Doktrin ini berimplikasi kepada reorganisasi ABRI serta pendidikan dan latihan gabungan
antara Angkatan dan Polri. Disisi lain, ABRI juga melakukan integrasi eksternal dalam bentuk kemanunggalan ABRI dengan rakyat yang diaplikasikan melalui program ABRI Masuk Desa (AMD). Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Aksi Unjuk Rasa Menentang Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak yang Berujung Anarkis Rencana pemerintah untuk menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada 1 April 2012 menuai protes rakyat. unjuk rasa masal terjadi di beberapa tempat seperti di Jakarta, Surabaya, Malang, Probolinggo, Makasar, Samarinda, Semarang, Jambi, Bandung, Medan, Lampung, Brebes, dan Yogyakarta. Ada yang berlangsung ricuh dan ada juga aksi yang berlangsung tertib. Putra-putri Bangsa ini pun menjadi korban, luka ringan, luka berat, diborgol aparat menolak kenaikan harga BBM. Tindakan anarkasi unjuk rasa penolakan kenaikan BBM tidak bisa dihindari lagi. Aparat berjibaku dengan mahasiswa, buruh yang berunjuk rasa menolak kenaikan harga BBM. Dialog bagi Indonesia saat ini sudah tidak berguna lagi. Kebijakan yang tidak pro rakyat, sepertinya harus dilakukan dengan tindakan anarkis. Tentu kita masih ingat rezim orde baru. Runtuhnya rezim orde ini pun tidak cukup dengan dialog dan rapat-rapat. Hanya dengan anarkislah Suharto yang menguasi orde baru itu baru berani turun melepaskan kekuasaanya setelah menguasi 32 tahun bangsa Indonesia. Unjuk rasa penolakan kenaikan harga BBM bersubsidi oleh publik ini menantang pemerintah dari sisi kebijakan publik. Sebab, kenaikan harga BBM ini akan berimbas kepada kenaikan harga-harga kebutuhan pokok publik lainnya. Kementerian kesehatan misalnya, telah memastikan akan menaikkan harga obat sebesar 6-9%. Kenaikan ini diputuskan terkait rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Belum lagi dengan rencana akan dinaikkannya tarif transportasi umum, kenaikan kebutuhan sembilan bahan pokok, dan banyak kebutuhan pokok lainnya. Dari sisi kebijakan, pemerintah membela diri bahwa menaikkan harga BBM adalah rasional mengingat naiknya harga minyak dunia yang mencapai US$ 115/barel, telah membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya. Asumsi ini dikeluarkan dengan belajar dari kasus APBN tahun 2011. Pada saat itu, ketika pemerintah menyiapkan dana subsidi BBM sebesar Rp 129.7 triliun, namun pada kenyataannya, pemerintah justru mengeluarkan anggaran subsidi BBM sebesar Rp. 165.2 triliun agar dapat menutupi kekurangan dana akibat tingginya harga minyak global. Untuk itu menaikkan harga BBM dipandang sebagai opsi yang tepat, minimal dari sisi APBN. Sebagai kompensasi kenaikan harga BBM ini, pemerintah telah menganggarkan dana bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 30-40 triliun sebagai cara untuk meredam kemarahan publik. Dana tersebut akan diberikan dalam bentuk “Bantuan Langsung Sementara Masyarakat” (BLSM). Problemnya adalah, rupanya program BLT yang dicanangkan pemerintah ini tidak dapat sepenuhnya mampu meredam kemarahan publik. Sesungguhnya unjuk rasa ini sudah dapat diprediksi sebelumnya, mengingat mayoritas publik telah menyatakan menolak kenaikan harga BBM. Terkait dengan hal itu, ada dua hal yang bisa dijelaskan untuk dapat memahami unjuk rasa : 1. Pertama, respon public sudah jelas menolak, tapi pemerintah tetap memaksa untuk menaikan. 2. jika opsi menaikan BBM ini tetap dilakukan, pemerintah sepertinya telah melanggar sebuah prinsip yang cukup dikenal dalam demokrasi, yakni konsultasi kepada
public sebagai pertimbangan pemerintah untuk menjalankan sebuah kebijakan.15 Putra-putri Bangsa ini pun menjadi korban, luka ringan, luka berat, diborgol aparat menolak kenaikan harga BBM. Tindakan anarkasi unjuk rasa penolakan kenaikan BBM tidak bisa dihindari lagi. Aparat berjibaku dengan mahasiswa, buruh yang berunjuk rasa menolak kenaikan harga BBM. Dialog bagi Indonesia saat ini sudah tidak berguna lagi. Kebijakan yang tidak pro rakyat, sepertinya harus dilakukan dengan tindakan anarkis. Tentu kita masih ingat rezim orde baru. Runtuhnya rezim orde ini pun tidak cukup dengan dialog dan rapat-rapat. Hanya dengan anarkislah Suharto yang menguasi orde baru itu baru berani turun melepaskan kekuasaanya setelah menguasi 32 tahun bangsa Indonesia.16 Belakangan aksi demonstrasi yang sering dilakukan oleh para demonstran sudah tidak murni lagi, akan tetapi aksi demonstrasi ini dilakukan dengan suatu latar belakang tertentu yang bersifat politis. Demonstrasi ini biasanya sudah direncanakan terlebih dahulu oleh pelaku politik tertentu untuk menentang kebijakan politik yang dikeluarkan oleh lawanlawan politiknya. Aksi demonstrasi ini dilakukan sangat sistematis, Pelaku politik yang merupakan otak dari suatu aksi demonstrasi ini biasanya menyuruh seseorang untuk menggelar aksi demonstrasi, dimana orang yang disuruh inipun menyuruh beberapa koordinator pelaksana demonstrasi di lapangan untuk melaksanakan aksi demonstrasi, dan pada akhirnya para koordinator pelaksana inilah yang mencari massa untuk melaksanakan aksi tersebut. Pelaku politik atau otak dari aksi demonstrasi tersebutlah yang mengatur suatu alur demonstrasi tersebut hingga terjadinya suatu tindakan anarkis, sehingga menimbulkan 15
Asrudin, Opini Koran Suara Karya , Kamis 29 Maret 2012.
pencitraan bahwa masyarakat luas sangat menetang terhadap kebijakan politik yang dikeluarkan oleh subjek yang di demo atau lawan politik dari otak demonstrasi tersebut17. Pihak-pihak yang Terlibat Dalam Unjuk Rasa Pada dasarnya pelaku tindakan anarkis yang terjadi dalam suatu aksi atau kegiatan Demonstrasi dilakukan oleh para pelaku demonstrasi atau pengunjuk rasa itu sendiri. Akan tetapi secara garis besar pelaku tindakan anarkis dalam suatu kegiatan demonstrasi dapat di bedakan menjadi dua bagian, yaitu pelaku tidak langsung yang merupakan Otak suatu tindakan anarkis atau dapat dikatakan sebagai Intelectual Dader dan pelaku langsung atau Dader yang merupakan pelaku yang terlibat langsung dalam suatu tindakan anarkis dalam suatu demonstrasi. Pelaku tidak langsung atau Intelectual Dader dan pelaku langsung atau Dader ini dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Pelaku tidak langsung atau Intelectueele Dader Pelaku tidak langsung atau Intelectueele Dader adalah pelaku yang melakukan aksinya di balik layar, pelaku tidak langsung ini merupakan otak dari suatu tindakan anarkis dalam suatu kegiatan demonstrasi. Pelaku tidak langusung ini hanyalah mereka yang menyuruh melakukan suatu tindakan yang dikenal doen plegen. 2. Pelaku langsung atau Dader Pelaku langsung atau Dader ini adalah pelaku yang terlibat langsung dalam suatu aksi anarkis. Pelaku langsung ini merupakan orangorang yang terlibat dalam suatu aksi demonstrasi yang dilaksanakan hingga akhirnya berakhir dengan suatu aksi anarkis. Pelaku langsung atau Dader ini dibagi lagi dalam 3 (tiga) kelompok bagian yang dapat diuraikan sebagai berikut : a. Provokator
16
'http://ads6.kompasads.com/new/www/d elivery/avw. Diakses 1 juni 2012
17
Karso, Wawancara yang dilakukan terhadap pelaku demonstrasi, tanggal 29 Mei 2012.
Provokator pada dasarnya sama dengan Intelectueele Dader, hanya saja provokator ini terjun langsung di lapangan dan membaur bersama-sama dengan massa pendemo. Tugas dari provokator ini adalah untuk melakukan suatu provokasi terhadap massa pendemo untuk melakukan suatu tindakan anarkis. b. Massa pengunjuk rasa Dalam tindakan anarkis yang terjadi pada suatu demonstrasi, massa pendemo adalah pihak yang melakukannya secara langsung. Istilah pidana bagi pelaku langsung ini adalah daders atau pelaku-pelaku, karena tindakan anarkis dalam suatu demonstrasi dilakukan oleh lebih dari 2 (dua) orang peserta. c. Penanggung jawab demonstrasi Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Undangundang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di Muka Umum, suatu penanggung jawab kegiatan demonstrasi harus bertanggung jawab agar kegiatan demonstrasi yang dipimpinya dapat berjalan secara aman, tertib dan damai. Hal ini menyebabkan apabila demonstran yang di pimpinnya itu melakukan seuatu pelangaran hukum, maka para penanggung jawab kegiatan demonsrasi tersebut wajib pula bertanggung jawab atas pebuatan demonstran yang dipimpinya tersebut18. Selain itu menurut pasal 17 Undangundang Nomor 1 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, suatu penanggung jawab kegiatan demonstrasi yang melakukan suatu pelanggaran pidana atau Undang-undang lainnya harus mempertanggung jawabkan perbuatannya pula baik secara pidana, perdata, maupun administrasi19. Dampak dan Akibat dari Unjuk Rasa
18
Indonesia, Undang-undang Menyampaikan Pendapat di Muka Op.Cit., Pasal 12 (1). 19 Ibid., Pasal 17.
tentang Umum,
Suatu kegiatan Unjuk Rasa Manentang Kenaikan Harga BBM yang disertai aksi anarkis hanya akan memiliki dampak akhir anarkis, tidak ada nilai positif yang dapat diambil dari aksi anarkis tersebut. Aksi demonstrasi yang berakhir anarkis terbesar yang pernah terjadi di Indonesia salah satunya adalah aksi Demonstrasi yang terjadi untuk memperjuangankan reformasi, kegiatan tersebut menimbulkan dampak-dampak negatif yang tidak hanya dapat terlihat secara langsung akan tetapi juga dampak ikutan yang terjadi di kemudian hari. Dampak kegiatan demonstrasi yang disertai anarkis secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Terjadi tindakan pelanggaran hukum : Tindakan demonstrasi anarkis, sudah pasti adalah suatu tindakan yang melanggar hukum terutama hukum pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia. Tindakan melawan hukum pada aksi anarkis ini merukapan dampak negatif yang dapat dirasakan secara langsung ketika perbuatan tersebut dilakukan. Mengganggu ketertiban umum20 Sama seperti dengan dampak anarkis pada poin 1 (satu) sebagaimana diuraikan di atas, dampak anarkis yang kedua yaitu menggangu ketertiban umum juga merupakan dampak dari demonstrasi anarkis yang dapat dirasakan langsung. Walaupun suatu demonstrasi yang belum berubah menjadi anarkis maupun suatu demonstrasi yang sudah berubah menjadi aksi anarkis sama-sama mengganggu ketertiban umum, akan tetapi ada satu perbedaan mendasar yang membedakan kedua kegiatan demonstrasi tersebut. Perbedaan tersebut adalah walaupun suatu demonstrasi mengganggu ketertiban umum, akan tetapi aksi demonstrasi tersebut masih di dalam suatu koridor ketertiban hukum. Di mana massa demonstran beserta penanggungjawab atau pimpinan demonstran tersebut masih mau untuk mengikuti semua aturan yang telah 20
Iptu Mansri Rosdi,SH, Op.Cit.
ditetapkan dan masih bisa diarahkan ke arah ketertiban. Berbeda dengan aksi demonstrasi yang sudah berubah menjadi aksi anarkis, demonstrasi yang sudah berubah anarkis ini sangat sulit ditertibkan dan menyebabkan tidak hanya mengganggu ketertiban umum akan tetapi menciptakan suatu keadaan yang kacau. Suatu demonstrasi yang tertib sebelumnya masih dalam bentuk kumpulan kolektif yang berada di bawah pimpinan atau penanggungjawab demonstrasi tersebut, akan tetapi ketika\ suatu kegiatan demonstrasi tersebut berubah menjadi suatu aksi yang anarkis maka sifat kumpulan kolektif tersebut akan terpecah menjadi suatu kumpulan individu yang brutal. Kumpulan individu yang brutal dengan jumlah yang banyak inilah yang sangat sulit dikendalikan, sehingga dalam kondisi ini suatu ketertiban umum sangat sulit dicapai. 2. Terganggunya sistem perekonomian21 Terganggunya sistem perekonomian merupakan dampak yang dapat dirasakan beberapa saat setelah suatu tindakan anarkis pada suatu aksi Unjuk rasa dilakukan. Hal ini dapat dipahami karena tindakan anarkis dalam hal ini pada kasus demonstrasi unjuk rasa, menimbulkan suatu keadaan tidak tertib hukum dan dipandang sebagai hal yang tidak aman baik bagi warga negara Indonesia sendiri maupun warga negara lain. 3. Timbulnya budaya kekerasan22 Suatu Unjuk Rasa Menentang Kenaiakan Harga BBM sejatinya adalah suatu kegiatan untuk menunjukkan perasaan atau pemikiran serta keinginan yang bertentangan mengenai suatu hal yang timbul dalam suatu masyarakat, akan tetapi manakala suatu keinginan dari sekelompok masyarakat tersebut tidak terpenuhi atau menemui suatu kebuntuan maka tidak jarang juga kelompok masyarakat yang melakukan demonstrasi tersebut melakukan suatu aksi anarkis.
Suatu tindakan anarkis yang dilakukan berulang-ulang dan secara terus menerus akan menyebabkan suatu kebiasaan atau budaya dalam sosial kemasyarakatan yang mungkin sulit dihilangkan. Suatu tindakan anarkis yang sudah membudaya ini akan dijadikan sebagai alasan pembenar bagi generasi yang akan datang untuk melakukan perbuatan serupa di kemudian hari, terutama jika tidak ada perangkat lunak dalam arti pengaturan maupun perangkat keras berupa tindakan nyata dalam upaya menanggulangi budaya anarkis atau kekerasan ini. Tindakan Polri dan TNI dalam Mengantisipasi dan Menanggulangi Aksi Unjuk Rasa yang Berujung Anarkis Untuk mengantisipasi tindakan anarkis yang mungkin terjadi dalam setiap aksi demonstrasi, aparat kepolisian berpatokan kepada Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Dalam Undangundang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan Pendapat di Muka Umum mengamanatkan kepada pada demonstran untuk melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada pihak kepolisian sebelum melaksanakan aksinya oleh penanggung jawab masing-masing aksi demonstrasi, dan paling lambat disampaikan 3x24 jam atau tiga hari sebelum aksi demonstrasi digelar23. Dalam surat pemberitahuan pelaksanaan aksi demonstrasi yang disampaikan kepada pihak kepolisian tersebut, didalamnya terdapat informasi mengenai antara lain24 : a. Maksud dan tujuan dilaksanakannya aksi unjuk rasa. b. Tempat, lokasi, dan rute aksi unjuk rasa akan digelar.
23
21 22
Ibid. Iptu Masri Rosdi,Op.Cit.
Indonesia. Menyampaikan Pendapat Op.Cit., Pasal 10. 24 Ibid., Pasal 11.
di
Undang-undang Muka Umum,
c. Waktu dan lama demonstrasi/unjuk rasa dilaksanakan. d. Bentuk demonstrasi/unjuk rasa tersebut. e. Penanggung jawab dari kegiatan demonstrasi/unjuk rasa tersebut. f. Nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan dari pengunjuk rasa yang akan digelar. g. Alat peraga yang dipergunakan dalam aksi demonstrasi/unjuk rasa; dan atau h. Jumlah peserta demonstrasi/unjuk rasa yang akan digelar. Dengan adanya informasi-informasi yang didapat melalui pemberitahuan dari penanggungjawab pelaksanaan aksi demonstrasi atau unjuk rasa tersebut, aparat kepolisian mampu mengantisipasi atau minimal mencegah agar suatu aksi demonstrasi tidak berubah menjadi suatu aksi anarkis yang dapat merugikan orang banyak.
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Aksi Unjuk Rasa Unjuk rasa penolakan kenaikan harga BBM bersubsidi oleh publik ini menantang pemerintah dari sisi kebijakan publik. Sebab, kenaikan harga BBM ini akan berimbas kepada kenaikan harga-harga kebutuhan pokok publik lainnya. Kementerian kesehatan misalnya, telah memastikan akan menaikkan harga obat sebesar 6-9%. Kenaikan ini diputuskan terkait rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Belum lagi dengan rencana akan dinaikkannya tarif transportasi umum, kenaikan kebutuhan sembilan bahan pokok, dan banyak kebutuhan pokok lainnya. Dari sisi kebijakan, pemerintah membela diri bahwa menaikkan harga BBM adalah rasional mengingat naiknya harga minyak dunia yang mencapai US$ 115/barel, telah membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya. Asumsi ini dikeluarkan dengan belajar dari kasus APBN tahun 2011. Pada saat itu, ketika pemerintah
menyiapkan dana subsidi BBM sebesar Rp 129.7 triliun, namun pada kenyataannya, pemerintah justru mengeluarkan anggaran subsidi BBM sebesar Rp. 165.2 triliun agar dapat menutupi kekurangan dana akibat tingginya harga minyak global. Untuk itu menaikkan harga BBM dipandang sebagai opsi yang tepat, minimal dari sisi APBN. Sebagai kompensasi kenaikan harga BBM ini, pemerintah telah menganggarkan dana bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 30-40 triliun sebagai cara untuk meredam kemarahan publik. Dana tersebut akan diberikan dalam bentuk “Bantuan Langsung Sementara Masyarakat” (BLSM). Aksi demonstrasi ini dilakukan sangat sistematis, Pelaku politik yang merupakan otak dari suatu aksi demonstrasi ini biasanya menyuruh seseorang untuk menggelar aksi demonstrasi, dimana orang yang disuruh inipun menyuruh beberapa koordinator pelaksana demonstrasi di lapangan untuk melaksanakan aksi demonstrasi, dan pada akhirnya para koordinator pelaksana inilah yang mencari massa untuk melaksanakan aksi tersebut. Pelaku politik atau otak dari aksi demonstrasi tersebutlah yang mengatur suatu alur demonstrasi tersebut hingga terjadinya suatu tindakan anarkis, sehingga menimbulkan pencitraan bahwa masyarakat luas sangat menetang terhadap kebijakan politik yang dikeluarkan oleh subjek yang di demo atau lawan politik dari otak demonstrasi tersebut25. 1. Adanya Provokator26 Provokator biasanya akan menghasut atau menyebarkan suatu isu negatif. Cara penyampaian hasutan dan penyebaran isu negatif ini dilakukan dengan beberapa cara oleh provakator, ini bisa disampaikan melalui orang perorang melalui beberapa koordinator 25
Karso, Wawancara yang dilakukan terhadap pelaku demonstrasi, tanggal 29 Mei 2012. 26 Iptu Masri Rosdi,SH , wawancara, KBD Sabraha Polres Bogor Kota, yang dilakukan tanggal 1 November 2012.
dan atau individu penguuk rasa lainnya, dan juga dapat disampaikan secara langsung dengan meneriakkan kata-kata yang bersifat provokasi sehingga dapat didengar oleh seluruh pengunjuk rasa.
dapat membubarkan aksi demonstrasi ilegal tersebut31. warga dan tindakan anarkis lainnya. 4. Aksi dan alat peraga yang digunakan oleh massa demonstrasi yang berlebihan32
2. Tidak terakomodir kehendak dari para pengujuk rasa27 Tidak terakomodirnya kehendak/keinginan dari massa pengunjuk rasa terhadap sasaran atau aspirasi massa demonstrasi tidak tersampaikan secara langsung dapat juga menjadi faktor penyebabnya tindakan anarkis dari para demonstran.
Dalam beberapa kasus tidak jarang pula demonstran menggunakan alat peraga yang tidak umum sehingga resah masyarakat sekitar. Belakangan banyak demonstran menggunakan alat peraga seperti misal banban bekas untuk dibakar di tengah jalan umum atau di depan pagar suatu kantor pemerintahan, aksi tersebut bukannya mampu menunjukkan sikap simpatik atau perhatian dari masyarakat yang melintas tapi membuat masyarakat menjadi takut dan resah akan aksi tersebut. Contoh lain yang bisa diambil adalah para demonstran menggunakan beberapa batang kayu untuk memblokade suatu jalan umum bahkan mereka menggunakan tubuh mereka untuk memblokade jalan dengan cara menggelar aksi tidur di jalan, tindakan yang sedemikian itu tentu mengganggu ketertiban umum.
3. Tindakan represif dari aparat keamanan28 Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, pihak yang akan melakukan demonstrasi atau unjuk rasa diwajibkan melakukan pemberitahuan kepada Kepolisian setempat29, dengan ketentuan sebagaimana diatur oleh Pasal 11 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum30. Tindakan para demonstran sebagaimana terurai di atas wajib ditertibkan, karena aksi demonstrasi walaupun merupakan hak konstitusi warga negara, tindakan tersebut dapat menghambat hak orang lain sebab dapat menimbulkan ketidaktertiban. Maka berdasarkan Pasal 15 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, aparat kemanan dalam hal ini pihak kepolisian
5. Psikologi Rakyat Indonesia yang mudah tersulut emosi33 Psikologi maupun sifat masyarakat Indonesia ini merupakan efek negatif yang digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mencapai kepentingannya maupun kelompok dan golongannya. Dengan psikologi maupun sifat masyarakat Indonesia ini, para provokator mencoba memprovokasi masyarakat Indonesia untuk melakukan tindakan anarkis, terutama dalam hal ini ketika sebagian kelompok masyarakat Indonesia tersebut sedang
27
Gustriyo Surahmadi, SH, Wawancara Kepala Bagian Perundang-undangan KotaBogor. 28 Ibid. 29 Indonesia, Undang-undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum, Op.cit., Pasal 10. 30 Lihat Pasal 11 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
31
Indonesia, Undang-undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Op.cit., Pasal 15. 32 Iptu Masri Rosdi,SH, OP.Cit. 33
Iptu Mansri Rosdi,SH .OP.Cit
melakukan demonstrasi atau unjuk rasa untuk menyampaikan keinginan dan aspirasi mereka. 6. Rasio jumlah demonstran dan petugas keamanan yang tak berbanding34 Berdasarkan standar Perserikatan Bangsa-bangsa, rasio perbandingan polisi dan masyarakat yang ideal adalah 1:500 atau satu orang petugas kepolisian mampu melindungi 500 masyarakat sipil. Akan tetapi hal ini tidak berlaku untuk suatu tindakan demonstrasi yang berujung anarkis. Walaupun dalam pelaksanaannya ratio petugas pengamanan demonstrasi mencapai 1:3 dengan jumlah demonstran, tetapi itu tetap tidak menjamin suatu demonstrasi dapat berjalan kondusif, dan dapat diredam jika sudah berakhir anarkis. Kendala-kendala Yang Timbul dan Upaya Jalan Keluar Penerapkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dalam menanggulangi tindakan Demonstrasi Anarkis bukannya tanpa hambatan dan kendala. Terdapat beberapa hal yang menjadi kendala dalam menanggulangi Demonstrasi massa yang berujung anarkis ini, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut : 1. Dipandang melanggar Hak Asasi Manusia. 2. Bentuk pengaturan mengenai Penggunaan Kekuatan dalam tindakan Kepolisian dan yang tidak sesuai. 3. Pertanggungjawaban dari setiap tindakan yang dilakukan oleh anggota kepolisian dan TNI 4.
Jumlah personel Kepolisian dan TNI yang tidak berimbang dengan pelaku anarkis
34
Ibid.
5.
Keterbatasan sarana dan prasarana dalam penanggulangan anarkis massa
Penutup Dari Paparan diatas dapat ditarik Benang Merah Pemerintah Perlu Memepertimbangkan lagi dalam Keputusannya Menaikan Harga Bahan bakar Minyak ( BBM ),Lakukan Mediasi dengn Masyarakat . Perlunya diadakan pembinaan dan kerjasama yang lebih baik antara pihak kepolisian dan TNI dengan organisasi-organisasi masyarakat yang ada pada suatu daerah tertentu. Hal tersebut dimaksudkan untuk membina hubungan yang baik dengan para tokoh-tokoh agama, adat dan masyarakat yang secara vital memegang kendali massa.Pihak kepolisian agar mengusulkan kepada pemerintah untuk merubah bentuk Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian menjadi bentuk peraturan perundang-undangan.Agar pemerintah lebih memperhatikan konsep perlindungan hak asasi manusia secara khusus, dalam arti tidak hanya perlindungan hak asasi manusisa bagi masyarakat umum tapi juga perlindungan hak asasi manusia bagi petugas penegak hukum. Daftar Pustaka A.
Perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang Tahun 1945.
Dasar
_________. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946. _________. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981.
_________ . Undang-Undang tentang Kemerdekaan menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Undangundang Nomor 9 Tahun 1998. _________ . Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999.
B.
Buku Atmasasmita, Romli. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum. Bandung : CV. Mandar Maju, 2001. Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Gultom,
_________ Undang-undang tentang Tentara Nasional Indonesia. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004.
Binsar. Pelanggaran HAM Dalam Hukum Keadaan Darurat di Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.
_________ Undang-undang tentang Minyak dan Gas Bumi. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001
Henry, Black Cambel. Black’s Law Dictionary, abridged sict edition. USA : West Publishing co., 1998.
_________ . Undang-undang tentang Kepolisian. Undangundang Nomor 2 tahun 2002.
Kanter EY, Sianturi SR. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta : Storia Grafika, 2002.
_________ . Undang-Undang tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
________ . Hukum Kepolisian (Perkembangan di Indonesia) suatu studi historis komparatif. Jakarta : PTIK, 1972.
_________ . Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 1 tahun 2009.
Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang : Badan Penerbit Universita Diponegoro. 1995.
_________ . Prosedur penanggulangan Prosedur Tetap 1/X/2010
Tetap Anarki. Nomor
Nawawi,
Bardas. Bunga rampai Kebjikan Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya. 1996.
Purwodarminto, W.J.S,. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1986.
Rochaeti, Nur. Polisi Sebagai Sub Sistem Dari Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Purwokerto : Universitas Dipononegoro, 1997.
Asrudin, Opini Koran Suara Karya , Kamis 29 Maret 2012 D.
Karso,
Sadjijono. Hukum Kepolisian Polri dan Good Governance. Surabaya : Laksbang Mediatama, 2005.
Shrode, W.A., Voich, D. Organization and Management Basic System Concept, dikutip dari Satjipto Raharjo : ilmu hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991. Sumbu,
C.
Telly., Kalalo, Merry E., Palandeng, Engelien R., Lumolos, Johny. Kamus Umum Politik dan hukum. Jakarta : Jala Permata Aksara, 2010.
Makalah, Artikel dan lain-lain Darmawan, Iwan. Materi Perkuliahan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Tahun ajaran 2008/2009 Sinaga, Walter A., Materi Perkuliahan Pidana Politik, Fakultas Hukum Universitas Pakuan Tahun Ajaran 2009/2010. Tim Statistik Sektor Riil. Survei Persepsi Pasar. (Jakarta : Direktorat Statistik dan Moneter : 2007).
Wawancara yang dilakukan terhadap pelaku demonstrasi, tanggal 29 Mei 2012.
Lettu Mansri Rosdi,SH , wawancara, Kanit Dalmas Polres Bogor Kota, yang dilakukan tanggal 1 November 2012.
________ . Memahami Hukum Kepolisian. Yogyakarta : Laksbang Pressindo, 2010. Sarwono, Sarlito W. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta : PT Raja Grafindo Grafity, 2009.
Wawancara
E.
Gustriyo Surahmadi, SH, Wawancara Kepala Bagian Perundangundangan KotaBogor. yang dilakukan tanggal 1 November 2012. Website http://www.Kontras.org/eng/index.php. pada tanggal 1 juli 2012. http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/inde x.php. Diakses pada tanggal 29 Mei 2012. http://www.scribd.com/doc/13630455/Ti mbulnya-Gerakan-Reformasi1998-Di-Indonesiabrp. Diakses tanggal 29 Mei 2012 . http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Ind onesia_%281998sekarang%29. Diakses tanggal 31 Mei 2012. http://news.okezone.com/read/2011/02/1 6/340/425111/masyarakatterlalu-mudah-tersulut-isusara. Diakses tanggal 31 Mei 2012. http://www.scribd.com/doc/43467310/Ti ndakan-Anarkis-Massa. Diakses tanggal 20 Juli 2012. 'http://ads6.kompasads.com/new/www/de livery/avw. Diakses 1 juni 2012