BAB I LATAR BELAKANG
1.1
Latar Belakang: Inflamasi adalah respon lokal pada jaringan mamalia hidup
terhadap luka yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, parasit, reaksi antigen-antibodi, trauma mekanik, racun inorganik/organik dan jaringan asing. Ciri-ciri inflamasi yaitu pembengkakan, kemerahan, panas, rasa sakit, dan kehilangan fungsi (Punchard, Wheland dan Adcock, 2004). Pada umumnya, pengobatan inflamasi dilakukan dengan memberikan NSAID yang dapat memberikan efek samping tukak lambung (Katzung, 1998). Efek samping tersebut dapat diatasi dengan menggunakan obatobatan yang berasal dari tumbuhan (Gunawan dan Mulyani, 2004). Salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai anti inflamasi yaitu salam. Salam atau Syzygium polyanthum merupakan tumbuhan Indonesia yang mengandung minyak atsiri (sitral dan eugenol), tanin, dan flavonoid. Salah satu bagian dari tumbuhan salam yang dapat diambil yaitu daun. Daun salam merupakan daun tunggal dan akan berbau harum bila diremas. Menurut Hadisoewignyo, Ervina, dan Soegianto (2013), daun salam mempunyai khasiat sebagai anti inflamasi. Khasiat lain daun salam yaitu penurun kolesterol, pengobatan hipertensi, diare, dan terapi diabetes melitus (Departemen Kesehatan RI, 1980). Tanaman yang dapat digunakan sebagai anti inflamasi salah satunya
adalah
mengandung
sambiloto.
Sambiloto
deoxy-andrographolide,
neoandrographolite,
dan
merupakan
tumbuhan
andrographolide
homoandrographolide
yang
(zat
pahit),
(Winarto,
2004).
Andrografolida pada sambiloto dapat berperan sebagai anti inflamasi 1
(Parichatikanond dkk., 2010). Fungsi lain dari sambiloto yaitu obat diare, anti tumor, immunostimulant, hepatoprotektor, antihistamin, antipiretik, analgesik, anti inflamasi dan anti tukak lambung (Winarto, 2004). Penelitian mengenai kombinasi fraksi air daun salam dan fraksi air herba sambiloto telah dilakukan oleh
Hadisoewignyo, Ervina, dan
Soegianto (2013). Berdasarkan penelitian tersebut, didapatkan dosis fraksi air daun salam dan fraksi air herba sambilo yang dapat memberikan efek anti inflamasi adalah 250 mg dengan perbandingan 10:1. Dosis tersebut sudah merupakan dosis konversi pada manusia. Pada penelitian ini, dosis yang
didapat
akan
diformulasikan
dalam
bentuk
tablet
dengan
menggunakan ekstrak etanol daun salam dan ekstrak etanol herba sambiloto. Ekstrak etanol digunakan karena fraksi air membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal dalam pembuatannya. Konversi dosis dilakukan dengan membandingkan kadar flavonoid dalam fraksi dengan kadar flavonoid dalam ekstrak etanol. Keunggulan dari fraksi air daun salam dan herba sambiloto dibandingkan dengan ibuprofen yang merupakan salah satu golongan NSAID yaitu efek antiinflamasi yang lebih besar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hadisoewignyo, Ervina, dan Soegianto (2013) dimana persen daya anti inflamasi fraksi air daun salam dan fraksi air herba sambiloto dengan perbandingan 10:1 pada dosis manusia 300 mg/kgBB adalah 51,57% sedangkan persen daya anti inflmasi ibuprofen dengan dosis 36 mg/kgBB adalah 40,63%. Secara teoritisnya persen daya antiinflamasi fraksi air daun salam dan fraksi air herba sambiloto dengan perbandingan 10:1 dan dosis manusia 250 mg adalah 45,68%. Tablet merupakan sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi (Departemen Kesehatan RI, 1995). Bentuk
2
tablet dipilih karena memiliki keuntungan. Keuntungan dari tablet yaitu kemudahan tablet untuk diproduksi dalam skala besar dan dengan kecepatan produksi yang tinggi, kemudahan penggunaan, ketepatan dosis dalam tiap tablet, dan tablet mudah dibawa oleh pasien. Tablet diformulasi dengan menggunakan bahan aktif dan bahan tambahan. Bahan tambahan yang digunakan termasuk bahan penghancur dan bahan pengikat (Hadisoewignyo dan Fudholi, 2013). Bahan penghancur (disintegran) adalah bahan yang berfungsi untuk menghancurkan tablet pada saat tablet kontak dengan cairan (Hadisoewignyo dan Fudholi, 2013). Pada formulasi, bahan penghancur yang digunakan yaitu crospovidone yang termasuk dalam katagori superdisintergran. Superdisintegran merupakan bahan yang lebih efektif dan mempunyai disintegran.
kemampuan
disintegrasi
Keunggulan
yang
lebih
crospovidone
besar
dibandingkan
dibanding dengan
superdisintegran lain yaitu kemampuan kompresibilatas yang bagus, dan kemampuan yang lebih poten. Crospovidone bekerja dengan menggunakan mekanisme
pengembangan,
porositas,
dan
gaya
kapilaritas
(Mohanachandran, Sundhumol, dan Kiran, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahman, dkk (2011) mengenai disolusi dengan menggunakan 3 macam disintegran yang berbeda. Pada penelitian didapatkan hasil persen obat terlepas pada menit ke-45 dengan menggunakan crospovidone adalah 96% dan 96,5%, dengan menggunakan Sodium Starch Glycolate (SSG) adalah 77,95% dan 83,5%, dan dengan menggunakan sodium carboxymethylcellulose (CMC Na) adalah 62.5% dan 65.0%. Hal tersebut menunjukan crospovidone lebih baik dibandingkan SSG dan CMC Na.
3
Bahan pengikat adalah bahan yang berfungsi untuk membentuk ikatan antar partikel supaya terbentuk tablet yang memenuhi persyaratan bobot tablet, kekerasan tablet, dan kerapuhan tablet. Bahan pengikat juga diperlukan untuk memberikan daya tahan (Hadisoewignyo dan Fudholi, 2013). Bahan pengikat yang digunakan adalah gelatin. Gelatin merupakan pengikat dari bahan alam. Gelatin merupakan pengikat yang umum digunakan, selain itu gelatin meningkatkan kekerasan tablet dan menurunkan kerapuhan tablet (Wade, 1994). Tablet pada umumnya dirancang agar mengalami disintegrasi dan melepaskan bahan aktif. Pemilihan penghancur menjadi salah satu faktor penentu disintegrasi dari tablet. (Mohanachandran, Sundhumol dan Kiran, 2011). Selain bahan penghancur, bahan pengikat juga mempunyai pengaruh dalam kekerasan tablet dimana kekerasan tablet berhubungan dengan disintegrasi tablet (Hadisoewignyo dan Fudholi, 2013). Pendekatan trial and error akan memakan biaya dan waktu yang banyak sampai ditemukannya kombinasi konsentrasi pengikat dan penghancur yang sesuai. Desain eksperimental dilakukan untuk mengatasi hal tersebut. Faktorial desain merupakan salah satu cara menentukan suatu optimasi formula. Metode factorial design dilakukan dengan dua faktor yaitu konsentrasi gelatin sebagai pengikat dan konsentrasi crospovidone sebagai penghancur. Konsentrasi tingkat rendah gelatin yang digunakan yaitu 3 persen, dan konsentrasi tingkat tinggi gelatin yang digunakan yaitu 5 persen. Konsentrasi tingkat rendah crospovidone yang digunakan adalah 3 persen, dan konsentrasi tingkat tinggi crospovidone yang digunakan adalah 5 persen. Total percobaan yang dilakukan yaitu 4 dengan 2 kali replikasi untuk tiap percobaan.
4
1.2
Perumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
pengaruh
gelatin
sebagai
pengikat
dan
crospovidone sebagai penghancur dalam formulasi tablet dengan bahan aktif ekstrak etanol daun salam dan ekstrak etanol herba sambiloto dan interaksinya terhadap evaluasi mutu tablet? 2.
Pada kombinasi berapakah gelatin dan crospovidone dapat menghasilkan formula optimum dengan bahan aktif ekstrak etanol daun salam dan ekstrak etanol herba sambiloto dengan evaluasi mutu tablet yang baik?
1.3
Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui pengaruh gelatin dan crospovidone dalam evaluasi mutu tablet dengan bahan aktif ekstrak etanol daun salam dan ekstrak etanol herba sambiloto.
2.
Mengetahui kombinasi konsentrasi gelatin dan konsentrasi crospovidone dalam menghasilkan formula optimum dengan bahan aktif ekstrak etanol daun salam dan ekstrak etanol herba sambiloto yang memiliki evaluasi mutu tablet yang baik.
1.4
Hipotesis Penelitian
1.
Gelatin dapat digunakan sebagai pengikat dan crospovidone dapat digunakan sebagai penghancur dan menghasilkan tablet dengan bahan aktif ekstrak etanol daun salam dan ekstrak etanol herba sambiloto yang mempunyai evaluasi mutu tablet yang baik.
2.
Kombinasi gelatin dan crospovidone dapat menghasilkan tablet dengan evaluasi mutu tablet yang baik.
5
1.5
Manfaat
Dari penelitian ini diharapkan dapat membuat tablet berbahan ekstrak etanol daun salam dan ekstrak etanol herba sambiloto yang baik dengan menggunakan
gelatin
sebagai
pengikat
dan
crospovidone
sebagai
penghancur.
6