HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS CIGASONG DINAS KESEHATAN KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2014 Oleh :
Aat Agustini ABSTRAK Jumlah ibu yang mengalami kejadian anemia pada tahun 2013 di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka dari 675 terdapat 107 ibu (55,8%). Data tersebut menunjukkan lebih dari 50% ibu hamil menderita anemia yang diprediksi berhubungan dengan masalah eksternal seperti pendapatan keluarga, pendidikan dan pengetahuan tentang kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor eksternal berdasarkan pendidikan, pendapatan dan pengetahuan tentang anemia dengan kejadian anemia pada ibu hamil, Diketahuinya hubungan faktor eksternal berdasarkan pendapatan dengan kejadian anemia pada ibu hamil di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan pendekatan case control. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengkasebanyak 675 ibu, dengan teknik pengambilan sampel case control. Pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran kuesioner sebanyak 15 item pertanyaan terhadap sampel sebanyak 132 responden. Hasil penelitian menyatakan bahwa kejadian anemia pada ibu hamil di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014 didapatkan dari 132 ibu hamil dengan kejadian anemia sebanyak 33 ibu (25,0%), berdasarkan faktor eksternal ibu berdasarkan pendidikan ibu hamil sebanyak 69 ibu (52,3%) pendidikan rendah, berdasarkan pendapatan sebanyak 100 ibu (75,8%) tingkat pendapatan rendah, berdasarkan pengetahuan sebanyak 73 ibu (55,3%) dengan pengetahuan baik. Ada hubungan faktor eksternal ibu berdasarkan pendidikan p = 0,001 (p = < α 0,05), berdasarkan pendapatan p = 0,001 (p = < α 0,05), dan berdasarkan pengetahuan p = 0,363 (p = < α 0,05), sehingga hipotesis penelitian terbukti. Bagi institusi pendidikan diharapkan dapat memperbanyak dan mengembangkan literatur atau kepustakaan, bagi tempat penelitian diharapkan dengan cukup banyaknya kasus anemia maka tenaga kesehatan dapat melakukan penanganan secara langsung dengan cara mengaktifkan kader-kader posyandu untuk melakukan penyuluhan kesehatan kepada ibu-ibu yang sedang hamil. Kata kunci : Anemia, Ibu Hamil
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
I.
PENDAHULUAN Kesehatan adalah salah satu faktor penting dalam mewujudkan tujuan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa telah dilakukan pemerintah sebagai bagian dari rangkaian program pembangunan kesehatan secara menyeluruh, terarah dan terpadu. Menurut Bloom (dalam Notoatmodjo, 2003), derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor yaitu lingkungan yaitu faktor lingkungan 45 %, perilaku 30 %, keturunan 5 % dan pelayanan kesehatan 20 %. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal melalui pelayanan kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan peningkatan kesehatan (promotif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) dan pencegahan penyakit (preventif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terarah, terpadu dan berkesinambungan terutama pada ibu hamil. Sampai saat ini tingginya angka kematian ibu di Indonesia masih merupakan masalah yang menjadi prioritas di bidang kesehatan. Di samping menunjukkan derajat kesehatan masyarakat, juga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan kualitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI, 2003) menyebutkan bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) yaitu 307 per kelahiran hidup atau setiap jam terhadap dua orang ibu bersalin karena berbagai sebab yang salah satunya anemia sebesar 54 %.
Anemia ibu hamil merupakan suatu kejadian dimana ibu hamil mengalami atau mempunyai kadar Hb < 11 gr % salah satu cara untuk menurunkan kejadian anemia pada ibu hamil adalah dengan cara pemberian Fe minimal 90 tablet dalam masa kehamilannya (saefudin, 2002 : 281) Sedangkan untuk mengetahui seorang ibu hamil anemia atau tidak anemia maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar HB. Adapun pemeriksaan yang dimaksud dianjurkan dua kali yaitu pada trimester I dan III. Anemia pada kehamilan bisa berdampak pada ibu hamil dan janin yang dikandungnya yaitu meningkatnya resiko kehamilan ibu, perdarahan dan juga BBLR (Mansjoer, 1999 : 547). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka (2013) tercatat jumlah kematian ibu sebanyak 28 dari 1.866 kelahiran hidup. Kematian tersebut disebabkan oleh perdarahan yang sebagian disebabkan oleh anemia yaitu sebanyak 16 orang, infeksi sebanyak 10 orang, eklampsia sebanyak 4 orang dan penyebab lainnya sebanyak 7 orang. Sedangkan untuk mengetahui hasil studi pendahuluan, di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong tahun 2014 tercatat kejadian anemia adalah 15,88% yaitu ada 107 kasus anemia dari 675 jumlah kehamilan atau ibu hamil. Kejadian anemia berdasarkan status ekonomi sebagian terjadi pada keluarga dengan ekonomi rendah. Hal ini dibuktikan dengan terdapat keluarga pengguna kartu sehat atau miskin dengan kasus anemia. Ibu hamil di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka sebagian besar tergolong pada kasus anemia sedang (Hb 7 - 8 gr%) yang dapat membahayakan pada kehamilan dan persalinan.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Jumlah ibu hamil yang menderita anemia di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong sebanyak 107 atau 15,85 %, dan merupakan angka tertinggi urutan ke-3 kejadian anemia per-puskesmas di Kabupaten Majalengka. Sehingga penulis tertarik untuk meneliti tentang “Analisis Faktor Eksternal terhadap Kejadian Anemia pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka Tahun 2014”. Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalahnya adalah belum diketahuinya hubungan faktor eksternal terhadap kejadian anemia pada ibu hamil di wilayah kerja UPTD Puskesmas Kabupaten Majalengka Tahun 2014. sehingga pertanyaan penelitiannya adalah “Adakah hubungan faktor eksternal dengan kejadian anemia pada ibu hamil di wilayah kerja UPTD
Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014?” Penelitian ini merupakan penelitian ilmu di bidang kebidanan dan secara khusus meneliti tentang analisis faktor eksternal terhadap kejadian anemia pada ibu hamil di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014 yang mencakup pendidikan, sosial ekonomi, dan pengetahuan. Masalah tersebut diteliti untuk mengetahui anslisis faktor eksternal diantaranya pendidikan, tingkat pendapatan dan pengetahuan terhadap anemia pada ibu hamil di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014.
II. METODOLOGI PENELITIAN Desain penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan pendekatan desain case controll. Rancangan ini dipakai karena populasi kasus relatif kecil dan
rancangan ini dapat mempelajari beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan outcome serta dapat dilakukan dengan waktu relatif cepat dan biaya murah.
III. HASIL PENELITIAN 4.1.1
Analisis Univariat 1. Kejadian Anemia Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kejadian Anemia Ibu Hamil di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka Tahun 2014 No
Kejadian Anemia
a.
Anemia
b.
Tidak Anemia Total
Berdasarkan tabel 4.3 bahwa kejadian anemia pada pada ibu hamil dalam penelitian ini dibagi
N
Jumlah
%
33
25,0
99
75,0
132
100,0
dua yaitu anemia jika kadar Hb <11gr% dan tidak anemia jika kadar Hb>11gr. Didapatkan dari 132 ibu
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
hamil dengan kejadian Anemia sebanyak 33 ibu (25,0%) dan tidak Anemia sebanyak 99 ibu (75,0%). 2.
Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar ibu hamil tidak menderita Anemia.
Faktor Eksternal a. Pendidikan Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Pendidikan Ibu Hamil di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka Tahun 2014 No
Pendidikan Ibu
a.
Rendah
b.
Menengah Total
Berdasarkan tabel 4.4 bahwa pendidikan ibu hamil dalam penelitian ini dibagi dua yaitu rendah (SD), menengah (SMP/SMA sederajat), Didapatkan dari 132 ibu hamil dengan dengan pendidikan b.
N
Jumlah
%
59
44,7
73
55,3
132
100,0
rendah sebanyak 59 ibu (44,7%), menengah sebanyak 73 ibu (55.3 %). Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar ibu memiliki jenjang pendidikan menengah SMP/SMA sederajat.
Pendapatan Ibu Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Pendapatan Ibu Hamil di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka Tahun 2014 No
a.
Rendah
b.
Tinggi
Pendapatan Ibu
Total Berdasarkan tabel 4.5 bahwa pendapatan ibu hamil dalam penelitian ini dibagi dua yaitu rendah jika pendapatan < UMK Rp.700.000 dan tinggi jika pendapatan > UMK Rp.700.000. Didapatkan dari 132 ibu hamil dengan dengan tingkat
N
Jumlah
%
40
30,3
92
69,7
132
100,0
pendapatan rendah sebanyak 40 ibu (30,3%) dan tinggi sebanyak 92 ibu (69,7%). Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar ibu mempunyai tingkat pendapatan tinggi.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
c.
Pengetahuan Ibu Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu Hamil di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka Tahun 2014 No
a.
Buruk
b.
Baik
Pengetahuan Ibu
n
Total
4.1.2
Berdasarkan tabel 4.6 bahwa pengetahuan ibu hamil dalam penelitian ini dibagi dua yaitu buruk jika hasil nilai kuesioner pengetahuan < (nilai rata-rata = 10,47) dan baik jika nilainya > . Didapatkan dari 132 ibu hamil
Jumlah
%
59
44,7
73
55,3
132
100,0
dengan dengan nilai pengetahuan buruk sebanyak 59 ibu (44,75%) dan baik sebanyak 73 ibu (55,3%). Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar ibu mempunyai tingkat pengetahuan yang baik.
Analisis Bivariat 1. Hubungan Faktor Eksternal Berdasarkan Pendidikan dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Faktor Eksternal Berdasarkan Pendidikan dengan Kejadian Anemia pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Pendidikan Ibu
Rendah
Menengah Jumlah
Kejadian Anemia
n
Anemia
%
28
84.85
33
100
5
15.15
Berdasarkan tabel 4.7 bahwa faktor eksternal ibu menurut pendidikan rendah dengan kejadian Anemia pada ibu hamil sebanyak 28 ibu (84,85%), sedangkan pendidikan menengah dengan kejadian Anemia pada ibu hamil sebanyak 5 ibu (15,15%). Hal tersebut menunjukkan bahwa ibu hamil dengan pendidikan
Tidak Anemia
n
31 68 99
%
31.31 68.69
100
n
Total
59 73
132
%
44.70 55.30
P Value
0,001
100
rendah memiliki proporsi lebih tinggi untuk terjadinya Anemia dibandingkan ibu hamil dengan pendidikan menengah. Dibuktikan dengan nilai OR 0,564 yaitu pendidikan rendah memiliki peluang sebesar 0,564 kali untuk terjadinya anemia dibandingkan ibu dengan pendidikan tinggi.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Perbedaan proporsi ini menunjukkan hasil yang bermakna terlihat dari hasil uji chi square dengan α = 0,05 nilai p = 0,001 (p<α ) yang berarti ada hubungan yang 2.
Hubungan Faktor Eksternal Berdasarkan Pendapatan dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Faktor Eksternal Berdasarkan Pendapatan dengan Kejadian Anemia pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka Tahun 2014
Pendapatan Ibu Rendah Tinggi Jumlah
Kejadian Anemia
n
Anemia
n
%
21.21
85
85.86
26
78.79
33
100
7
Tidak Anemia
%
Berdasarkan tabel 4.8 bahwa faktor eksternal menurut pendapatan rendah dengan kejadian Anemia pada ibu hamil sebanyak 26 ibu (78,79%) dan sedangkan menurut pendapatan tinggi dengan kejadian Anemia pada ibu hamil sebanyak 7 ibu (21,21%).
Hal tersebut menunjukkan bahwa ibu hamil dengan pendapatan rendah memiliki proporsi lebih tinggi untuk terjadinya Anemia dibandingkan ibu hamil dengan tingkat pendapatan tinggi. Hal ini dibuktikan dengan OR 0,379 yaitu 3.
signifikan antara pendidikan dengan kejadian Anemia pada ibu hamil di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014.
14 99
14.14 100
n
Total
40 92
132
%
30.30 69.70
P Value 0,001
100
pendapatan rendah memiliki peluang sebesar 0,379 kali untuk terjadinya anemia dibandingkan ibu dengan pendapatan tinggi.
Perbedaan proporsi ini menunjukkan hasil yang bermakna terlihat dari hasil uji chi square dengan α =0,05 nilai p = 0,001 (p < α) yang berarti ada hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan kejadian Anemia pada ibu hamil di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014.
Hubungan Faktor Eksternal Berdasarkan Pengetahuan dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Faktor Eksternal Berdasarkan Pengetahuan dengan Kejadian Anemia pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka Tahun 2014
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
PengetahuanIbu Buruk Baik Jumlah
Kejadian Anemia
n
Anemia
%
12
36.36
33
100
21
63.64
Berdasarkan tabel 4.9 bahwa faktor eksternal menurut pengetahuan buruk dengan kejadian Anemia pada ibu hamil sebanyak 12 ibu (36,36%) sedangkan menurut pengetahuan baik dengan kejadian Anemia pada ibu hamil sebanyak 21 ibu (63,64%) dan tidak Anemia sebanyak 52 ibu (71,2%).
Tidak Anemia n
%
47
47.47
99
100
52
52.53
n
Total
59 73
132
%
44.70 55.30
100
dibandingkan ibu hamil tingkat pengetahuan baik.
P Value 0,363
dengan
Perbedaan proporsi ini menunjukkan hasil yang bermakna terlihat dari hasil uji chi square dengan α =0,05 nilai p = 0,363 (p < α 0,05) yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kejadian Anemia pada ibu hamil di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014.
Hal tersebut menunjukkan bahwa ibu hamil dengan pengetahuan baik memiliki proporsi lebih tinggi untuk terjadinya Anemia
IV. PEMBAHASAN
A. Analisis Univariat 1. Kejadian Anemia pada Ibu Hamil Hasil penelitian di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014 menunjukkan kejadian Anemia pada ibu hamil sebanyak 25 % (33 ibu). Hal ini sejalan dengan penelitian menurut Mansjoer (2001) menyatakan bahwa perubahan fisiologi yang terjadi pada kehamilan sering menyulitkan karena penurunan hemoglobinnya (Hb). Pada wanita hamil disebabkan ekspansi volume sel darah merah hemoglobin (Hb), sehingga menyebabkan rentannya ibu terhadap kejadian anemia pada proses kehamilannya. Kejadian Anemia pada ibu hamil di objek penelitian cukup
2.
besar, sehingga hal tersebut merupakan suatu kasus yang penting untuk ditangani secara dini seperti dengan melakukan penyuluhan, layanan kesehatan dan pemeriksaan secara kontinyu pada ibu hamil. Faktor Eksternal a. Pendidikan Hasil penelitian di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014 menunjukkan faktor eksternal ibu menurut pendidikan sebagian besar mempunyai tingkat pendidikan rendah (lulusan SMP/SMA sederajat) sebanyak 55,3 % (73 ibu). Hal ini sejalan dengan teori menurut Notoatmodjo (2003 : 121) bahwa konsep pendidikan kesehatan itu juga proses pendidikan, maka
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
konsep pendidikan kesehatan itu juga sebagai proses belajar pada individu, kelompok, atau masyarakat atau tidak tahu tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu dan mampu mengatasi masalah-masalah kesehatannya sendiri. Berdasarkan jenjang pendidikan di objek penelitian dari hasil observasi ditemukan bahwa sebagian ibu telah mengenal dan mengetahui tentang perilaku kesehatan melalui berbagai sumber informasi di tempat pelayanan kesehatan, media informasi, pergaulan sosial ataupun faktor lainnya. b. Pendapatan Hasil penelitian di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014 menunjukkan faktor eksternal ibu menurut pendapatan sebagian besar mempunyai status sosial ekonomi/pendapatan tinggi (lebih dari UMK Rp.700.000) sebanyak 69,7% (92 ibu). Hal ini sejalan dengan teori menurut Manuaba (1998) bahwa keadaan status ekonomi yang rendah menyebabkan ketidakmampuan seseorang dalam membayar pelayanan kesehatan yang baik, karena itu orang yang berstatus ekonomi rendah akan berorientasi pada pengobatan tradisional. Tingkat persaingan status sosial dan tidak stabilnya keadaan ekonomi searah dengan berkembangnya taraf hidup masyarakat menyebabkan sebagian besar responden berada pada kategori pendapatan yang kecil setiap bulannya. Rendahnya tingkat pendapatan berdasarkan observasi diakibatkan sulitnya pekerjaan tetap, sehingga tingkat sosial ekonomi
keluarga didukung dengan pekerjaan ataupun penghasilan tambahan sehari-hari di lingkungan masyarakat (seperti menjadi buruh, pengrajin, dan lain-lain), disamping sebagian lainnya mengandalkan aspek pertanian dan perdagangan. c. Pengetahuan Hasil penelitian di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014 menunjukkan faktor eksternal ibu menurut pengetahuan sebagian besar mempunyai tingkat pengetahuan baik sebanyak 55,3% (73 ibu). Hal ini sejalan dengan teori menurut Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Besarnya tingkat pengetahuan yang baik di objek penelitian berdasarkan hasil observasi ditemukan bahwa sebagian ibu telah mengenal dan mengetahui tentang perilaku kesehatan melalui berbagai sumber informasi di tempat pelayanan kesehatan, media informasi, pergaulan sosial ataupun faktor lainnya seperti majalah dan surat kabar. B. Analisis Bivariat 1. Hubungan Faktor Eksternal Ibu Menurut Pendidikan dengan Kejadian Anemia pada Ibu Hamil Hasil penelitian di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014 menunjukkan proporsi ibu hamil dengan pendidikan rendah lebih tinggi untuk terjadinya Anemia, dibandingkan dengan pendidikan menengah. Berdasarkan hasil uji chi
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
square menyatakan bahwa faktor eksternal ibu menurut pendidikan mempunyai hubungan dengan kejadian Anemia pada ibu hamil. (p 0,001 OR 0,564). Hal ini sejalan dengan teori menurut Hidayat (1980) bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan makanan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam kuantitas dan kualitas dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan rendah. Teori lain dikemukakan Daniel S (2003: 3) menyatakan bahwa kesehatan masyarakat yang buruk adalah pertanda rendahnya gizi masyarakat. Rendahnya gizi masyarakat adalah akibat dari rendahnya pendapatan dan terbatasnya sumber daya alam. Selanjutnya, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) adalah akibat dari kurangnya pendidikan. Sedangkan menurut hasil penelitian Soekirman (1985) menyatakan bahwa makin tinggi pendidikan seseorang, makin baik status gizi yang bisa menyebabkan penyakit salah satunya anemia.
Berdasarkan pembahasan dinyatakan bahwa hasil penelitian yang telah dilakukan tidak terdapat kesenjangan antara teori dengan kenyataan yang terjadi di objek penelitian, dan dapat diinterpretasikan bahwa rendahnya jenjang pendidikan ibu lebih mungkin menyebabkan terjadinya Anemia pada ibu hamil daripada jenjang pendidikan ibu yang tinggi dan salah satunya karena dengan
2.
pendidikan rendah lebih kurang mempunyai wawasan dan pengetahuan tentang kesehatan.
Hubungan Faktor Eksternal Ibu Menurut Pendapatan dengan Kejadian Anemia pada Ibu Hamil Hasil penelitian di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014 menunjukkan proporsi ibu dengan tingkat pendapatan rendah lebih tinggi untuk terjadinya Anemia pada ibu hamil dibandingkan dengan tingkat pendapatan tinggi. Berdasarkan hasil uji chi square menyatakan bahwa faktor eksternal ibu menurut pendapatan mempunyai hubungan dengan kejadian Anemia pada ibu hamil. (p 0,001 OR 0,379).
Hal ini sejalan dengan teori menurut Sugiyono (2004) menyatakan bahwa status ekonomi keluarga menggambarkan kekuatan keluarga untuk melangsungkan kehidupan sehari-hari. Disamping itu juga berperan dalam mengambil keputusan terutama dalam kaitannya dengan keuangan keluarga, salah satunya adalah tindakan pencarian pelayanan kesehatan.
Berbagai kasus kesehatan yang muncul termasuk anemia akibat kurang gizi sebagian besar hanya merupakan dampak dari problematika lainnya yaitu kemiskinan dan pendidikan. Kemiskinan menjadi masyarakat tidak mampu makan yang baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Status ekonomi keluarga di negara barat, dapat dijabarkan melalui penghasilan keluarga per tahun sebab datanya pasti mudah diperoleh. Tidak dengan halnya di negara-negara berkembang yang sukar mengukur mengemukakan
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
penghasilannya, terlebih di pedesaan karena penduduknya mengandalkan pekerjaan harian yang tidak menentu hasilnya. Oleh karena itu di negara berkembang seperti Indonesia, status ekonomi diperoleh secara tidak langsung dengan menanyakan pengeluaran keluarga tiap bulannya.
3.
Berdasarkan pembahasan maka dinyatakan bahwa hasil penelitian yang telah dilakukan tidak terdapat kesenjangan antara teori dengan kenyataan yang terjadi di objek penelitian, dan dapat diinterpretasikan bahwa rendahnya tingkat pendapatan ibu lebih memungkinkan terjadinya anemia pada ibu hamil dari pada tingkat pendapatan ibu yang tinggi dan salah satunya dengan pendapatan yang rendah menyebabkan kurang dapat memenuhi asupan makanan yang bergizi bagi ibu hamil yang menyebabkan rendahnya status gizi sehingga menimbulkan anemia. Hubungan Faktor Eksternal Ibu Menurut Pengetahuan dengan Kejadian Anemia pada Ibu Hamil Hasil penelitian di di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014 menunjukkan proporsi ibu dengan pengetahuan baik lebih tinggi untuk terjadinya Anemia pada ibu hamil dibandingkan dengan pengetahuan yang buruk. Berdasarkan uji statistik menyatakan bahwa faktor eksternal ibu menurut pengetahuan mempunyai tidak mempunyai hubungan dengan kejadian Anemia pada ibu hamil. (p 0,363 OR 1,118) Hal ini sejalan dengan teori menurut Notoatmodjo (2003), yaitu apabila seseorang dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan mengenai suatu bidang tertentu dengan benar, baik secara lisan maupun tulisan maka dapat disimpulkan bahwa ia mengetahui bidang tersebut. Didapatkan bahwa pengetahuan adalah sekumpulan informasi yang diperoleh dari proses belajar selama hidup melalui penglihatan dan pendengaran terhadap sesuatu.
Hasil penelitian menurut Suhardjo (1986) menyatakan bahwa tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap perilaku dalam memilih makanan yang akan berdampak pada asupan gizinya. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan saangat penting peranannya dalam menentukan asupan makanan. Dengan adanya pengetahuan tentang gizi, masyarakat akan tahu bagaimana menyimpan dan menggunakan pangan. Memperbaiki konsumsi pangan merupakan salah satu bantuan terpenting yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu penghidupan.
Berdasarkan pembahasan maka dinyatakan bahwa hasil penelitian yang telah dilakukan tidak terdapat kesenjangan antara teori dengan kenyataan yang terjadi di objek penelitian, dan dapat diinterpretasikan bahwa buruknya pengetahuan ibu lebih cenderung untuk terjadinya anemia pada ibu hamil dari pada ibu yang mempunyai pengetahuan baik dan salah satunya dengan rendahnya pengetahuan ibu hamil mengakibatkan terbatasnya wawasan dan perilaku kesehatan tentang asupan makanan bergizi dalam menunjang proses kehamilannya ataupun mencegah terjadinya anemia.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
C. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 5.1.1 Kejadian anemia pada ibu hamil di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014 didapatkan dari 132 ibu hamil dengan kejadian anemia sebanyak 33 ibu (25,0%). 5.1.2 Faktor eksternal ibu berdasarkan pendidikan ibu hamil di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014 sebagian besar mempunyai jenjang pendidikan rendah sebanyak 69 ibu (55,3%). 5.1.3 Faktor eksternal ibu berdasarkan pendapatan ibu hamil di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014 sebagian besar mempunyai tingkat pendapatan tinggi sebanyak 92 ibu (69,7%). 5.1.4 Faktor eksternal ibu berdasarkan pengetahuan ibu hamil di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014 sebagian besar mempunyai tingkat pengetahuan baik sebanyak 73 ibu (55,3%). 5.1.5 Ada hubungan faktor eksternal ibu berdasarkan pendidikan dengan kejadian anemia pada ibu hamil di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014 dengan p = 0,001 (p = < α 0,05) sehingga hipotesis penelitian terbukti. 5.1.6 Ada hubungan faktor eksternal ibu berdasarkan pendapatan dengan kejadian anemia pada ibu hamil di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka
5.1.7
tahun 2014 dengan p = 0,001 (p = < α 0,05) sehingga hipotesis penelitian terbukti. Tidak ada hubungan faktor eksternal ibu berdasarkan pengetahuan dengan kejadian anemia pada ibu hamil di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014 dengan p = 0,363 (p = < α 0,05) sehingga hipotesis penelitian terbukti.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka penulis mengajukan saran-saran yang relevan sebagai berikut : 5.2.1 Bagi Peneliti Diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada ibu hamil di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cigasong Kabupaten Majalengka tahun 2014. 5.2.2 Bagi Institusi Pendidikan Institusi pendidikan dalam hal ini diharapkan dapat memperbanyak dan mengembangkan literatur atau kepustakaan yang bermanfaat bagi pengembangan kreatifitas dan profesi. 5.2.3 Bagi Tempat Penelitian Diharapkan dengan cukup banyaknya kasus anemia yang terjadi pada ibu hamil, maka tenaga kesehatan dapat melakukan penanganan secara langsung misalnya dengan pemberian asupan gizi (obat-obatan) gratis bagi ibu hamil yang kurang mampu ataupun tidak langsung dengan cara
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
mengaktifkan kader-kader posyandu untuk melakukan penyuluhan kesehatan kepada ibuibu guna menanggulangi kejadian
anemia pada ibu hamil selama proses kehamilannya.
DAFTAR PUSTAKA Bachtiar, dkk. 2000. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka. 2007. Laporan Hasil Kegiatan Program Gizi. Majalengka : Dinkes Kabupaten Majalengka. _________. 2007. Laporan Tahunan PWS KIA. Majalengka : Dinkes Kabupaten Majalengka. Google
Search. 2014. Http://www.pikiranrakyat.n et
Hidayat, Alimul A. 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika. Mansjoer.
Mansoer,
1999. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Arif. 2001. Kapita Selekta kedokteran Jilid I. Jakarta : Media Aesculapius.
Manuaba, IBG. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.
Notoatmodjo, Soekirdjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Price. 1994. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-proses Penyakit) Edisi 4. Jakarta Buku Kedokteran EFC.
Rustam, Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid I. Jakarta : EGC.
Saefudin. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Maternal dan Neonatal, Edisi I Cetakan ke3. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. SDKI. 2003. Menekan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi. Jawa Barat. Subdin Pelayanan Dasar. http://www.rumahzakatindo nesia. 20 Desember 2007. Sugiyono.
2004. Statistika Penelitian. Alfabeta.
Untuk
Taber, Ben-Zion. 1994.Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : Buku Kedokteran EFC.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PEKERJAAN DENGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PERAWATAN BAYI PREMATUR DI RSUD CIDERES KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2014 Oleh : Rahayu Setyowati
ABSTRAK Perawatan bayi prematur merupakan hal penting yang perlu diketahui ibu dengan bayi prematur dalam meningkatkan pertumbuhan bayinya. Kejadian bayi prematur di RSUD Cideres periode bulan Januari –Oktober tahun 2014 masih tinggi yaitu 89 bayi (5,2%) dengan pengetahuan perawatan bayi prematur masih kurang sebesar 40,0% yang berkaitan dengan pendidikan dan pekerjaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pendidikan dan pekerjaan dengan pengetahuan ibu tentang perawatan bayi prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka tahun 2013 Penelitian ini menggunakan metode analytic dengan desain penelitian cross sectional. Populasi dan sampel penelitian ini seluruh ibu dengan bayi prematur periode April-Juni tahun 2013 sebanyak 38 responden dengan teknik Total Sampling. Data yang digunakan adalah data primer dari pengumpulan kuesioner responden. Pengolahan data melalui analisis univariat menggunakan distribusi frekuensi dan analisis bivariat menggunakan uji Chi Square (α 0,05). Hasil penelitian diperoleh kurang dari setengahnya pengetahuan ibu tentang perawatan bayi prematur kategori kurang sebesar 28,9%, lebih dari setengahnya kategori pendidikan rendah sebesar 57,9%, lebih dari setengahnya kategori tidak bekerja sebesar 52,6%. Hasil penelitian disimpulkan ada hubungan pendidikan dengan pengetahuan ibu tentang perawatan bayi prematur (ρ value 0,027), ada hubungan pekerjaan dengan pengetahuan ibu tentang perawatan bayi prematur (ρ value 0,049), sehingga hipotesis penelitian terbukti. Saran bagi petugas kesehatan agar meningkatkan pengetahuan ibu yang memiliki bayi prematur dalam menunjang asuhan sesuai standar manajemenn BBLR dan prematur melalui konseling, latihan maupun praktek, dan bagi ibu dengan bayi prematur agar aktif untuk mendapatkan informasi melalui konseling saat praktik untuk menambah pengalaman dalam melakukan asuhan bayi prematur sesuai standar. Kata Kunci : Pendidikan, Pekerjaan, Pengetahuan Perawatan Bayi Prematur
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
I.
PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan tersebut merupakan upaya seluruh potensi bangsa Indonesia baik masyarakat, swasta, maupun pemerintah Pembangunan kesehatan bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat, yang salah satunya diupayakan pelayanan kesehatan perawatan bayi baru lahir (Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 46 ) Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) masih merupakan masalah di bidang kesehatan terutama kesehatan perinatal. BBLR terdiri atas BBLR kurang bulan dan BBLR cukup bulan/lebih bulan. BBLR kurang bulan/prematur, biasanya mengalami penyulit, dan memerlu perawatan yang memadai (Kementerian Kesehatan RI, 2011 : 86). Sehingga hal ini merupakan permasalahan kesehatan pada bayi baru lahir yang perlu diupayakan untuk menghindari risiko kematian bayi. Menurut perkiraan World Health Organization (WHO), terdapat 5 juta kematian neonatus setiap tahun dengan angka mortalitas neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per 1000 kelahiran hidup, dan 98% kematian tersebut berasal dari Negara berkembang. Secara khusus angka kematian neonatus di Asia Tenggara adalah 39 per 1000 kelahiran hidup.
Dalam laporan WHO yang dikutip dari State of the world’s mother (2009) dikemukakan bahwa hampir 27% kematian neonatus ini diperkirakan lebih tinggi disebabkan oleh kejadian prematur yang sebenarnya juga disebabkan oleh sepsis, asfiksia, hipotermi dan kelainan kongenital juga menjadi penyebab kematian neonatus. Di Indonesia, perawatan bayi prematur masih memprioritaskan pada penggunaan inkubator, tetapi keberadaannya masih sangat terbatas. Hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas neonatus menjadi sangat tinggi, bukan hanya akibat kondisi prematuritasnya, tetapi juga diperberat oleh hipotermia dan infeksi nosokomial (Departemen Kesehatan RI, 2009 : 5). Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia tahun 2011 sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup diantaranya dengan proporsi bayi prematur yang meninggal cukup tinggi mencapai 32,4%, gangguan pernapasan 36,9%, sepsis 12%, hipotermi 6,8%, kelainan darah/ikterus 6,6% dan lain-lain. Sedangkan di Jawa Barat pada AKB mencapai 39 per 1.000 kelahiran hidup diantaranya bayi lahir prematur mencapai 11,36%, Asfiksia (12.50%) dan hipotermi mencapai 1,07% (Kementerian Kesehatan RI, 2011 : 75). Sedangkan Angka Kematian Bayi di Kabupaten Majalengka tahun 2011 mencapai 14,0 per 1.000 kelahiran hidup di bawah target 16 per 1.000 kelahiran hidup (Dinkes Kab. Majalengka, 2014 : lampiran 1). Kejadian bayi prematur merupakan salah satu faktor penyebab kematian pada bayi baru lahir 0-28 hari. Berdasarkan data RSUD Cideres periode bulan Januari-Oktober 2014 tercatat sebanyak 89 kasus bayi prematur dari 1.697 persalinan (5,2%). Dari 99 kasus
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
kematian bayi terdapat 30 kasus bayi meninggal terbesar akibat prematur (30,3%), IUFD (29,3%), dan asfiksia (13,1%). Berdasarkan hasil studi pendahuluan melalui wawancara di Ruang Parkit RSUD Cideres antara bulan Oktober–Desember tahun 2014 sebanyak 10 ibu yang melahirkan bayi premature, diantaranya pada bulan Oktober hanya 1 dari 4 ibu yang mengetahui perawatan bayi prematur, pada bulan November hanya 1 dari 3 ibu yang mengetahui perawatan bayi prematur sedangkan pada bulan Desember sebanyak 2 dari 3 ibu mengetahui perawatan bayi prematur. Hal ini dapat digambarkan pengetahuan perawatan bayi prematur tergolong masih rendah hanya 4 dari 10 ibu (40,0%) yang mengetahuinya sehingga akan mempengaruhi perawatan pada bayinya. Menurut Notoatmodjo (2007 : 59) perilaku seseorang dalam memperoleh pengetahuan seseorang dipengaruhi yaitu : faktor internal (pendidikan, umur dan pekerjaan), faktor eksternal (lingkungan dan sosial budaya) dan faktor predisposisi (sikap, perilaku dan emosional). Sedangkan menurut Azwar (2009 : 68) salah satu
faktor yang menentukan terjadinya masalah kesehatan di masyarakat adalah ciri manusia atau karakteristik manusia antara lain: umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, status sosial ekonomi, ras/etnik, dan agama. Maka pengetahuan ibu tentang perawatan bayi prematur salah satunya berkaitan dengan pendidikan, pekerjaan ibu. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Hubungan Pendidikan dan Pekerjaan dengan Pengetahuan Ibu tentang Perawatan Bayi Prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014”.
II. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini adalah analytic dengan desain cross sectional. Menurut Notoatmodjo (2010 : 37) cross sectional merupakan suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan cara pendekatan, observasi, atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Point time approach). Artinya tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan
III. HASIL PENELITIAN 1. Analisis Univariat a. Gambaran Pengetahuan Ibu tentang Perawatan Bayi Prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu tentang Perawatan Bayi Prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Pengetahuan No Perawatan Bayi f % Prematur 1. Baik 15 39.5 2. Cukup 12 31.6 3. Kurang 11 28,9 Total 38 100.0 MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa pengetahuan perawatan bayi prematur kategori baik sebanyak 15 orang (39,5%), kategori cukup sebanyak 12 orang (31,6%) dan kategori kurang sebanyak 11 orang (28,9%),. Hal ini b.
Gambaran Pendidikan Ibu dengan Bayi Prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Pendidikan Ibu dengan Bayi Prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 No 1. 2. 3.
Pendidikan Ibu Tinggi Menengah Rendah Total
Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa ibu yang berpendidikan tinggi sebanyak 4 orang (10,5%), menengah sebanyak 12 orang (31,6%) dan rendah sebanyak 22 orang (57,9%). Hal ini c.
f
%
4 12 22 38
10.5 31.6 57.9 100.0
menunjukkan bahwa lebih dari setengahnya ibu dengan bayi prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 memiliki pendidikan kategori rendah sebesar 57,9%.
Gambaran Pekerjaan Ibu dengan Bayi Prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Pekerjaan Ibu dengan Bayi Prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 No 1. 2.
2.
menunjukkan kurang dari setengahnya pengetahuan ibu tentang perawatan bayi prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 termasuk kategori kurang sebesar 28,9%.
Pekerjaan Ibu Bekerja Tidak bekerja Total
Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui bahwa ibu yang tidak bekerja sebanyak 20 orang (52,6%) dan ibu yang bekerja sebanyak 18 orang (47,4%). Hal ini menunjukkan
f
%
18 20 38
47.4 52.6 100.0
bahwa lebih dari setengahnya ibu dengan bayi prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 termasuk kategori tidak bekerja sebesar 52,6%.
Analisis Bivariat a. Hubungan Pendidikan dengan Pengetahuan Ibu tentang Perawatan Bayi Prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Tabel 4.4
No 1. 2.
Hubungan Pendidikan dengan Pengetahuan Ibu tentang Perawatan Bayi Prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014
Pendidikan Ibu Tinggi Rendah Jumlah
Pengetahuan Perawatan Bayi Prematur Total ρ value Baik Cukup Kurang f % f % f % f % 9 56.3 6 37.5 1 6.3 16 100.0 0.027 6 27.3 6 27.3 10 45.5 22 100.0 11 15 12 31.6 11 28.9 38 100.0
Berdasarkan tabel 4.4 dapat diketahui bahwa ibu yang berpendidikan tinggi dan memiliki pengetahuan tentang perawatan bayi prematur kategori baik sebesar 56,3%, sedangkan ibu yang berpendidikan rendah dan memiliki pengetahuan tentang perawatan bayi prematur kategori baik sebesar 27,3%. Hasil perbandingan menunjukkan bahwa proporsi ibu yang berpendidikan tinggi lebih besar memiliki pengetahuan tentang b.
perawatan bayi prematur kategori baik dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan rendah. Perbedaan proporsi ini bermakna, dibuktikan dari hasil perhitungan statistik melalui uji Chi Square pada α=0,05 diperoleh nilai ρ value 0,027 (< 0,05), sehingga hipotesis nol ditolak, berarti ada hubungan pendidikan dengan pengetahuan ibu tentang perawatan bayi prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014.
Hubungan Pekerjaan dengan Pengetahuan Ibu tentang Perawatan Bayi Prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014. Tabel 4.5 Hubungan Pekerjaan dengan Pengetahuan Ibu tentang Perawatan Bayi Prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014
No 1. 2.
Pekerjaan Ibu Bekerja Tidak Bekerja Jumlah
Pengetahuan Perawatan Bayi Prematur Baik Cukup Kurang f % f % f % 10 55.6 6 33.3 2 11.1 5 25.0 6 30.0 9 45.0 15 39.5 12 31.6 11 28.9
Berdasarkan tabel 4.5 dapat diketahui bahwa ibu yang bekerja dan memiliki pengetahuan tentang perawatan bayi prematur kategori baik sebesar 55,0%, sedangkan ibu yang tidak bekerja dan memiliki pengetahuan tentang perawatan bayi
Total f % 18 100.0 20 100.0 39 100.0
ρ value 0.049
premaur kategori baik sebesar 25,0%. Hasil perbandingan menunjukkan bahwa proporsi ibu yang bekerja lebih besar memiliki pengetahuan tentang perawatan bayi prematur kategori baik dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Perbedaan proporsi ini bermakna, dibuktikan dari hasil perhitungan statistik melalui uji Chi Square pada α=0,05 diperoleh nilai ρ value 0,049 (< 0,05), sehingga
IV. PEMBAHASAN a. Gambaran Pengetahuan Ibu tentang Perawatan Bayi Prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Hasil penelitian diketahui lebih dari setengahnya pengetahuan ibu tentang perawatan bayi prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 termasuk kategori kurang sebesar 28,9%. Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Lasianti (2014 : 43) mengenai faktorfaktor yang berhubungan dengan pengetahuan ibu tentang metode kanguru pada bayi hipotermi dan prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Periode Bulan Juli– Agustus Tahun 2014 diperoleh kurang dari setengahnya kategori pengetahuan kurang (46,7%). Demikian halnya lebih rendah dari pada hasil penelitian Rahayu (2011 : 38) mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan pengetahuan dan sikap terhadap perawatan lanjutan bayi prematur di RSUD Dr. Pirngadi Medan 2011 diperoleh sebesar 33,3% memiliki pengetahuan kurang terhadap perawatan lanjutan bayi prematur. Demikian halnya dengan hasil penelitian Magdalena. (2014 : 1) mengenai pengetahuan ibu tentang penatalaksanaan perawatan bayi BBLR di rumah di RSKIA Kota Bandung menunjukkan bahwa ratarata pengetahuan ibu kategori kurang 45,92% diantaranya dalam
hipotesis nol ditolak, berarti ada hubungan pekerjaan dengan pengetahuan ibu tentang perawatan bayi prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014. mempertahankan suhu dan kehangatan (75,56%), memberikan ASI (42,22%) dan mencegah infeksi (44,45%). Sesuai teori Notoatmodjo (2003 : 121) pada waktu pengindraan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian persepsi terhadap obyek. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (ovent behavior). Dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Salah stauya pengetahuan tentang perawatan bayi prematur. Menurut Saifuddin (2006 : 302) masalah utama dalam persalinan prematur adalah perawatan bayinya, semakin muda usia kehamilannya semakin besar morbiditas dan mortalitasnya. Dalam manajemen BBLR (Departemen Kesehatan RI, 2009 : 35) menyebutkan bahwa masalah bayi berat lahir rendah antara lain asfiksia, gangguan nafas, hipoglikemia, msalah pemberian ASI, infeksi, dan masalah perdarahan Pengetahuan merupakan faktor yang berperan dalam tindakan seseorang salah satunya terhadap perawatan bayi prematur. Tetapi di lokasi penelitian masih banyak ibu
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
b.
yang berpengetahuan kurang tentang perawatan bayi prematur disebabkan masih kurangnya informasi yang didapatkan ibu sebagai akibat kurangnya sikap ibu dalam merespon penatalaksanaan perawatan bayi dari tenaga kesehatan. Sehingga kurang mengetahuinya ibu tentang penatalaksanaan perawatan bayi dapat berdampak buruknya terhadap pelaksanaan perawatan terhadap bayinya yang berisiko prematur teruatama jika perawatan tersebut dilakukan di rumah. Upaya intervensi yang dilakukan diantaranya melalui pemberian konseling dan latihan atau praktek perawatan bayi prematur pada ibu yang memiliki bayi prematur yang dilakukan pada saat petugas kesehatan melakukan perawatan rutin di ruang perawatan rumah sakit dengan tujuan ibu dapat menerapkannnya di rumah. Gambaran Pendidikan Ibu dengan Bayi Prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Hasil penelitian diketahui bahwa lebih dari dari setengahnya ibu dengan bayi prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 memiliki pendidikan kategori rendah sebesar 57,9%. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Lasianti (2014 : 44) mengenai faktorfaktor yang berhubungan dengan pengetahuan ibu tentang metode kanguru pada bayi hipotermi dan prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Periode Bulan Juli– Agustus Tahun 2014 diperoleh kurang dari setengahnya kategori pendidikan rendah sebesar 43,3%. Pendidikan kesehatan ialah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memelihara dan
c.
meningkatkan derajat kesehatan, baik fisik, mental dan sosialnya sehingga produktif secara ekonomi maupun sosial (Notoatmodjo, 2007 : 109). Sedangkan menurut Nursalam (2007 : 83) pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalan memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi. Upaya intervensi yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan melalui penyuluhan terhadap ibu yang berpendidikan rendah mengenai cara-cara perawatan bayi prematur, sehingga saat pemulangan ke rumah ibu dapat menerapkannya sesuai anjuran perawatan bayi prematur dengan baik dan benar. Gambaran Pekerjaan Ibu dengan Bayi Prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Hasil penelitian diketahui bahwa lebih dari setengahnya ibu dengan bayi prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 termasuk kategori tidak bekerja sebesar 52,6%. Pekerjaan menurut Chaniago (2005 : 25) adalah perbuatan melakukan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapat hasil. Pekerjaan adalah suatu kegiatan rutin untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Sedangkan menurut Mubarok (2009 : 30) lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satunya pengetahuan tentang perawatan bayi baru lahir. Pekerjaan bagi ibu merupakan suatu aktivitas yang
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
d.
dapat mendorong terhadap perilaku positif dalam menerima informasi, hal ini ditunjang oleh penghasilan yang ibu dapatkan maupun dari hasil interaksinya dalam memperoleh sumber-sumber informasi yang dibutuhkan oleh ibu selama perawatan bayinya Tetapi hasil penelitian diperoleh masih ada sebagian ibu yang tidak bekerja, sehingga wawasan dan pengetahuan yang diperolehnya terbatas, sehingga kemungkinan besar kurang pula informasi dalam merawat bayi. Upaya intervensi yang dilakukan petugas kesehatan diantaranya memberikan konseling perawatan bayi melalui penggunaan media, seperti pamflet sehingga mudah dipahami oleh ibu. Hubungan Pendidikan dengan Pengetahuan Ibu tentang Perawatan Bayi Prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan pendidikan dengan pengetahuan ibu tentang perawatan bayi prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 dengan ρ value 0,027, sehingga hipotesis penelitian terbukti. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Lasianti (2014 : 47) mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan pengetahuan ibu tentang metode kanguru pada bayi hipotermi dan prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Periode Bulan Juli– Agustus Tahun 2014 ditemukan ada hubungan antara pendidikan dengan pengetahuan ibu tentang metode kanguru pada bayi hipotermi dan prematur. Pendidikan erat kaitannya dengan pengetahaun yang
diterimanya dari hasil pendidikannya, sebagaimana menurut Chaniago (2005 : 547) bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi, tingkah lakunya akan berbeda dengan orang yang hanya berpendidikan Sekolah Dasar atau sama sekali tidak pernah mengenal bangku sekolah, terutama tingkat pengetahuannya. Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula, mengingat bahwa peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan (Notoatmodjo, 2007 : 79). Menurut Ambarwati dan Rismintari (2009 : 31) pendidikan ibu-ibu terutama yang berada di pedesaan masih rendah. Masih banyaknya ibu yang beranggapan bahwa kehamilan dan persalinan merupakan sesuatu yang alami yang berarti tidak memerlukan pemeriksaan dan perawatan, serta tanpa mereka sadari bahwa ibu hamil termasuk golongan resiko tinggi salah satunya prematur. Sedangkan menurut Hoffman, Rudolph, 2006) untuk merawat bayi prematur memang dibutuhkan penanganan khusus, dan peran ibu sangat penting. Hal itu karena organ-organ tubuh bayi belum berkembang secara maksimal dan bayi prematur ini sangat rentan terhadap infeksi. Sehingga risiko mengalami gangguan kesehatan sangat tinggi.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
e.
Hal ini hasil penelitian diperoleh sebagian besar ibu yang berpendidikan rendah cenderung memiliki pengetahuan yang kurang dibandingkan ibu yang berpendidikan tinggi karena kurangnya pemahaman dalam menerima informasi perawatan bayi. Sehingga diinterpretasikan semakin rendah pendidikan ibu akan semakin kurang pengetahuan ibu tentang perawatan bayi prematur dibandingkan ibu yang berpendidikan tinggi. Hal tersebut terjadi karena ibu yang berpendidikan rendah kurang memiliki dukungan emosional disamping pemahaman yang kurang, sedangkan ibu yang berpendidikan tinggi memiliki dukungan kepercayaan diri dan pemahaman, dengan asumsi ibu yang berpendidikan tinggi lebih mengetahui perawatan bayi prematur. Sehingga pendidikan merupakan faktor utama yang berperan terhadap tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan bayi prematur. Upaya intervensi terhadap ibu bayi prematur yang berpendidikan rendah diantaranya pihak tenaga kesehatan dapat memberikan penyuluhan dan konseling sehingga ibu mendapatkan kejelasan mengenai penatalaksanaan perawatan bayi yang dapat diterapkannya di rumah dalam menanggulangi prematur pada bayinya. Hubungan Pekerjaan dengan Pengetahuan Ibu tentang Perawatan Bayi Prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan pekerjaan dengan pengetahuan ibu
tentang perawatan bayi prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 dengan ρ value 0,049, sehingga hipotesis penelitian terbukti. Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh status pekerjaan, usia dan tingkat-tingkat pendidikan. Sesuai teori Suryatim (2010 : 7) bahwa pekerjaan mempunyai pengaruh pada pengetahuan seseorang. Orang yang menekuni suatu bidang pekerjaan akan memiliki pengetahuan mengenai segala sesuatu mengenai apa yang dikerjakannya. Sedangkan menurut Hurlock (2006 : 245) semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dan menurut Notoatmodjo (2003 : 87) dengan bekerja seseorang dapat berbuat sesuatu yang bernilai, bermanfaat, dan memperoleh berbagai pengalaman. Dalam pekerjaan selalu dituntut perubahan kebutuhan untuk memegang pekerjaan yang mengarah ke sistem kerja yang otomatis. Untuk mengetahui tuntutan dibutuhkan informasi yang lengkap dan cepat, oleh karena itu orang yang bekerja akan memiliki akses yang lebih baik tentang berbagai informasi salah satunya tentang peratawan bayi prematur. Pekerjaan seseorang dapat menggambarkan tingkat kualitas sumber dayanya, terutama pada ibu yang bekerja lebih matang dalam berfikir dan lebih aktif dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Hal ini dari hasil penelitian diperoleh pekerjaan berkaitan dengan pengetahuan ibu premature. Hal ini disebabkan ibu yang tidak bekerja memiliki kesempatan yang terbatas dalam
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
interaksinya sehingga kurang menerima informasi dalam perawatan bayi, dibandingkan ibu yang bekerja. Upaya intervensi yang dilakukan petugas kesehatan diantaranya mengupayakan pendidikan kesehatan terutama terhadap ibu yang bekerja melalui pemberian konseling yang lebih efektif, sehingga informasi yang disampaikan petugas kesehatan lebih mudah dipahami ibu sehingga dapat meningkatkan pengetahuannya untuk dapat diaplikasikan dalam perawatan bayi prematur sesuai standar.
V. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan mengenai hubungan pendidikan dan pekerjaan dengan pengetahuan ibu tentang perawatan bayi prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka tahun 2014 disimpulkan sebgai berikut : 1. Kurang dari setengahnya pengetahuan ibu tentang perawatan bayi prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014
2.
3.
4.
5.
termasuk kategori kurang sebesar 28,9%. Lebih dari setengahnya ibu dengan bayi prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 memiliki pendidikan kategori rendah sebesar 57,9%. Lebih dari setengahnya ibu dengan bayi prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 termasuk kategori tidak bekerja sebesar 52,6%. Ada hubungan pendidikan dengan pengetahuan ibu tentang perawatan bayi prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 sehingga hipotesis penelitian terbukti (ρ value 0,027). Ada hubungan pekerjaan dengan pengetahuan ibu tentang perawatan bayi prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2014 sehingga hipotesis penelitian terbukti (ρ value 0,049).
DAFTAR PUSTAKA Ambarwati Arikunto,
Azwar,
dan Rismintari .2009. Kebidanan Komunitas. Jakarta : EGC.
Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Pratek.Jakarta: PT Rineka Cipta.
Azrul. 2006. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi I. Jakarta : Binarupa Aksara.
_________. 2009. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Belajar.
Bobak, Lowdermilk Jensen. 2007. Buku Ajaran Maternitas. Jakarta : EGC.
Chaniago, Amran 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bandung : Pustaka Setia.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Cuningham, Gerry 2005. Obstetri Williams. Jakarta : EGC.
Majalengka : Prodi D III Kebidanan STIKes YPIB.
Departemen Kesehatan. 2009. Manajemen Perawatan Bayi Baru Lahir. Jakarta : Depkes RI.
Magdalena, Rita 2014. Pengetahuan Ibu tentang Penatalaksanaan Perawatan Bayi BBLR di Rumah di RSKIA Kota Bandung. Bandung : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. Tersedia http://jurnal. unpad.ac.id Vol No 1 2014 Vol 1, No 1 (2014).
Doenges, Merllyn. 2009. Rencana Asuhan Keperawatan Psikiatri Edisi II. Jakarta: EGC.
Manuaba, I Gde Bagus. 2009. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
Elizabeth. 2006. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga.
Maulana. 2010. Promosi Kesehatan. Jakarta : EGC.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Modul (Buku Acuan) Manajemen Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) untuk Bidan Des. Jakarta : Depkes RI.
Dinkes Kab. Majalengka. 2014. Profil Kesehatan Kabupaten Majalengka. Majalengka : Dinkes Kab. Majalengka.
Hoffman, Rudolph. 2006. Buku Ajar Pediatrik. Jakarta : EGC. Hurlock,
JNPK-KR.
2007. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta: Save The Children.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Profil Data Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2011. Jakarta : Kemenkes RI.
Lasianti, Femi. 2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan Ibu Tentang Metode Kanguru pada Bayi Hipotermi dan Prematur di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Periode Bulan Juli–Agustus Tahun 2014.
Mansjoer, Arif. 2002. Kapita selekta kedokteran. Jakarta : EGC.
Maryuni dan Nurhayati. 2009. Asuhan Bayi Baru Lahir Normal. Jakarta : Trans Info Media.
Mubarok, Ahmad. 2009. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia : Teori dan Aplikasi Dalam Praktik. Jakarta : EGC.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta : PT. Rineka Cipta. _________. 2009. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT Rineka Cipta. _________.
2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Nursalam, Pariani. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika.
Oxorn. 2006. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Poerwadarminta. 2007. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta : PN Balai Pustaka.
Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. Rahayu, Ary Oktora Sri. 2011. Faktorfaktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan terhadap Perawatan Lanjutan Bayi Prematur Di RSUD Dr. Pirngadi Medan 2011. Medan USU. Tersedia : http://repository.usu.ac.id Jurnal Medicine SP - Bidan Pendidik 07 Juli 2011
Slamet. 2009. Hak Atas Derajat Kesehatan Optimal Sebagai. HAM di Indonesia. Bandung : Amri. Sugiyono.
2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfa Beta
Sukadi. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta : EGC. Suryabudhi. 2007. Cara Merawat Bayi dan Anak-anak. Bandung : Pioner Jaya.
Suryatim. 2010. Partisipasi dan Keaktifan Kader Posyandu. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta : Lembaran Negara. Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003. tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Lembaran Negara.
Wiknjosastro, Hanifa. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBPSP.
Riskesdas. 2010. Riset Kesehatan Dasar (riskesdas) Tahun 2010. Jakarta : Depkes RI. Saifuddin, Abdul Barri. 2009. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : YBPSP. Setyowati. 2009. Asuhan Keperawatan Keluarga. Yogyakarta : Mitra Cendikia Press.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN DENGAN METODE PENDIDIKAN SEBAYA (PEER EDUCATION) TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA DALAM MENANGGULANGI HIV AIDS DI SMAN 1 MAJALENGKA TAHUN 2014 Oleh:
Deis Isyana NP ABSTRAK Pendekatan pendidikan sebaya sangat bermakna kolektif, komunikasi lebih lancar dan terjadi perubahan sikap di kalangan remaja untuk pencegahan HIV/AIDS. SMAN 1 Majalengka merupakan salah satu sekolah favorit di Kabupaten Majalengka karena lokasinya yang berada di pusat kota Majalengka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode pendidikan sebaya (peer education) terhadap pengetahuan dan sikap remaja dalam menanggulangi HIV/AIDS. Penelitian ini menggunakan quasi eksperimen dengan pre-experiment design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X dan XI di SMAN 1 Majalengka Kabupaten Majalengka sebanyak 691 siswa dan sampelnya sebanyak 88 orang. Uji hipotesis yang digunakan yaitu uji-T. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan remaja pada saat pretest sebagian besar berpengetahuan cukup (62,5%) dan postest sebagian besar berpengetahuan baik (55,7%). Sikap remaja pada saat pretest sebagian besar bersikap negatif (55,7%) dan postest sebagian besar bersikap positif (54,5%). Terdapat pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode pendidikan sebaya (peer education) terhadap pengetahuan remaja tentang HIV AIDS ( value = 0,000) dan sikap remaja dalam menanggulangi HIV AIDS ( value = 0,000). Peer eduication merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap remaja dalam menanggulangi HIV AIDS. Pihak sekolah melalui guru BK atau BP perlu memberi ruang dan kesempatan bagi remaja untuk membentuk dan membangun diskusi di kalangan remaja sebagai cikal bakal terbentuknya peer education.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
II. PENDAHULUAN Paradigma sehat merupakan cara pandang, pola pikir, atau model pembangunan kesehatan yang bersifat holistik. Melihat masalah kesehatan yang dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersifat lintas sektor. Upayanya lebih diarahkan pada peningkatan, pemeliharaan dan perlindungan kesehatan, bukan hanya penyembuhan orang sakit atau pemulihan kesehatan tetapi bagaimana menjadikan orang tetap dalam kondisi sehat (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Selama ini masalah kesehatan lebih menekankan pada penyakit, obat, Puskesmas, rumah sakit dan dokter yang memberikan sifat histeria massa sehingga sering ketika terjadi masalah kesehatan sangat jarang berfikir bahwa aspek pencegahan menjadi referensi utama. Padahal, berdasarkan penelitian lebih dari 50 persen masalah kesehatan (penyakit) dapat dicegah dengan upaya preventif (Hidayat, 2010). Salah satu penyakit yang perlu mendapatkan upaya preventif saat ini di dunia adalah penyakit HIV/AIDS, karena penanganan terhadap penyakit HIV/AIDS terutama di negara-negara berkembang masif berfokus pada aspek kuratif dan rehabilitatif serta pada kawasan berisiko tinggi. Data United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) mencatat perhari di seluruh dunia, lebih dari 5.000 orang terjangkit HIV/AIDS. Sebagian besar kasus HIV/AIDS terjadi pada kaum muda berusia 15-24 tahun dan 1.400 anak berusia dibawah 15 tahun meninggal setiap tahun karena
penyakit yang berkaitan dengan AIDS (UNAIDS, 2014). Kasus HIV/AIDS di Indonesia setiap tahun cenderung meningkat. Pada tahun 2014, jumlah kasus HIV sebanyak 21.511 kasus dan AIDS sebanyak 5.686 kasus. Sementara pada bulan Januari sampai dengan Maret tahun 2013 terdapat jumlah kasus HIV sebanyak 5.369 kasus dan kasus AIDS sebanyak 460 kasus. Apabila dilihat dari usia, maka persentase kasus HIV/AIDS pada kelompok usia kurang dari 19 tahun sebesar 6,3%, umur 2029 tahun sebesar 30,7%, umur 30-39 sebesar 21,8% dan > 40 tahun sebesar 13,9% (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Kasus HIV/AIDS di Propinsi Jawa Barat sepanjang tahun 19872013 menempati urutan keempat tertinggi di Indonesia yaitu sebanyak 4.131 kasus. Urutan pertama yaitu Propinsi Papua (7.795 kasus), kedua yaitu Jawa Timur (6.900 kasus) dan ketiga yaitu DKI Jakarta (6.299 kasus). Adapun jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2013 di Propinsi Jawa Barat yaitu kasus HIV sebanyak 464 kasus dan kasus AIDS sebanyak 33 kasus (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2013 terdapat kasus HIV sebanyak 69 kasus dan AIDS sebanyak 46 kasus. Adapun pada tahun 2013 kejadian HIV sebanyak 10 kasus dan AIDS sebanyak 23 kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, 2013). Upaya preventif untuk mencegah semakin tingginya kasus HIV/AIDS dapat dilakukan dengan cara
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
memberikan pendidikan kesehatan pada remaja tentang HIV/AIDS. Hal ini karena remaja merupakan kelompok yang paling rentan terhadap infeksi HIV/AIDS dan remaja menjadi fokus dari semua strategi penanggulangan penyebaran virus HIV/AIDS (Kementerian Kesehaatn RI, 2013). Melalui penyebaran informasi dan pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS pada remaja terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan serta mempengaruhi sikap remaja berisiko terhadap terjangkitnya oleh virus HIV/AIDS (Mozes, 2008). Ketidaktahuan remaja tentang HIV/AIDS adalah akibat informasi yang sering salah disamping adanya pergeseran nilai dan perilaku seks ke arah seks bebas terutama di kalangan generasi muda. Maka perlu dilakukan upaya pencegahan dan perlindungan pada kelompok remaja secara efektif dan komprehensif (Kristiyanasari, 2009). Program pemberian pendidikan kesehatan telah dilakukan selama ini khususnya berkaitan dengan HIV/AIDS dengan berbagai metode baik secara langsung maupun tidak lansgung. Secara langsung yaitu melalui ceramah maupun metode diskusi dan secara tidak langsung antara lain melalui berbagai media baik elektronik maupun cetak. Meskipun demikian, kasus HIV/AIDS pada remaja masih tetap terjadi dan cenderung meningkat (Yatim, 2010). Salah satu pendekatan pendidikan kesehatan yang efektif pada remaja untuk mencegah maraknya kasus HIV/AIDS yaitu dengan metode Peer Education (pendidikan sebaya). Melalui pendidikan sebaya ini diharapkan
lebih berhasil, karena adanya bentuk pelatihan dan pendidikan sebaya ini juga diharapkan terbinanya kelompokkelompok motivator penanggulangan HIV/ AIDS di kalangan remaja (Andrews, 2010). Pendekatan pendidikan sebaya sangat bermakna kolektif, komunikasi lebih lancar dan terjadi perubahan sikap di kalangan remaja untuk pencegahan HIV/AIDS. Tabunya pendidikan seks dikalangan tertentu, membutuhkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) yang benar, tepat dan efektif lewat jalur pendidikan sebaya secara simultan untuk kalangan remaja dan perlunya informasi tentang reproduksi sehat dan Penyakit Menular Seksual (PMS) dalam materi KIE yang integral dalam penanggulangan AIDS (Trianto, 2010). Pendidikan paling efektif dalam pencegahan HIV/AIDS adalah melalui pendidikan sebaya. Melalui pendidikan sebaya kaum muda dapat mengembangkan pesan maupun memilih media yang lebih tepat sehingga informasi yang diterima dapat dimengerti oleh sesama mereka. Kelebihan metode ini salah satunya yaitu kebebasan remaja untuk mengemukakan pendapatnya (Dita, 2010). SMAN 1 Majalengka merupakan salah satu sekolah favorit di Kabupaten Majalengka karena lokasinya yang berada di pusat kota serta fasilitasnya cukup lengkap dan terdapat kelas yang berstandar internasional sehingga menjadi daya tarik dari masyarakat. Berdasarkan data SMAN 1 Majalengka Kabupaten Majalengka tahun ajaran 2013/2014 diketahui bahwa jumlah siswa saat ini sebanyak 1.044 siswa terdiri dari kelas
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
X sebanyak 359 orang, kelas XI sebanyak 332 orang dan kelas XII sebanyak 353 orang. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap 20 orang siswa di SMAN 1 Majalengka dengan wawancara diketahui sebanyak 14 orang (70%) belum mengetahui mengenai penularan serta dampak HIV/AIDS dengan tepat dan 12 orang (60%) menyatakan bahwa pacaran pada saat ini merupakan suatu yang wajar. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih perlu adanya upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap remaja tentang HIV/AIDS.
Karena SMAN 1 Majalengka merupakan salah satu sekolah favorit di Kabupaten Majalengka, sehingga diharapkan metode peer education ini dapat diterapkan serta menjadi embrio lahirnya educator di kalangan remaja. Pentingnya memberikan pendidikan kesehatan melalui metode peer education, maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai “Pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode pendidikan sebaya (peer education) terhadap pengetahuan dan sikap remaja dalam menanggulangi HIV/AIDS di SMAN 1 Majalengka Kabupaten Majalengka tahun 2014”.
II. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi eksperimental dengan pre-experiment design. Dengan jenis desain one group pretest-posttest design, dimana desain ini tidak ada kelompok pembanding (kontrol), tetapi Pretest (O1)
sudah dilakukan observasi pertama (pretest) yang memungkinkan penelitian dapat menguji perubahanperubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen (program). Desain tersebut dapat dilihat pada bagan berikut: X
Posttest (O1)
Bagan 3.1 Desain Penelitian Pengaruh Pendidikan Kesehatan dengan Metode Pendidikan Sebaya (Peer Education) terhadap Pengetahuan dan Sikap Remaja dalam Menanggulangi HIV AIDS di SMAN 1 Majalengka Kabupaten Majalengka tahun 2014 III. HASIL PENELITIAN Penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode pendidikan sebaya (peer education) terhadap pengetahuan dan sikap remaja dalam menanggulangi
HIV/AIDS di SMAN 1 Majalengka Kabupaten Majalengka disajikan dalam bentuk tabel, diagram dan narasi dengan jumlah responden sebanyak 88 orang.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
4.1.1 Analisis Univariat 1) Gambaran Pengetahuan Remaja dalam Menanggulangi HIV AIDS Sebelum dan Sesudah Pemberian
Pengetahuan Remaja Sebelum Pemberian Pendidikan Kesehatan (Pretest) Kurang Cukup Baik Jumlah
Berdasarkan tabel 4.1, diketahui bahwa lebih dari setengah remaja di SMAN 1 Majalengka Kabupaten Majalengka sebelum pretest berpengetahuan cukup tentang penanggulangan
Pengetahuan Remaja Sesudah Pemberian Pendidikan Kesehatan (Postest) Kurang Cukup Baik Jumlah
Berdasarkan tabel 4.2, diketahui bahwa lebih dari setengah remaja di SMAN 1 Majalengka Kabupaten Majalengka sesudah diberikan pendidikan
Pendidikan Kesehatan di SMAN 1 Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2014
Frekuensi (f)
Persentase (%)
17 55 16 88
19.3 62.5 18.2 100.0
HIV/AIDS yaitu sebanyak 55 responden (62,5%) dari 88 responden. Namun setelah diberikan pendidikan kesehatan, pengetahuan remaja sebagai berikut:
Frekuensi (f)
Persentase (%)
0 39 49 88
0 44.3 55.7 100.0
kesehatan berpengetahuan baik tentang penanggulangan HIV/AIDS yaitu sebanyak 49 responden (55,7%) dari 88 responden.
2) Gambaran Sikap Remaja dalam Menanggulangi HIV AIDS di SMAN 1 Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Sikap Remaja Sebelum Pemberian Pendidikan Kesehatan (Pretest) Negatif Positif Jumlah
Berdasarkan tabel 4.3, diketahui bahwa lebih dari setengah remaja di SMAN 1 Majalengka Kabupaten Majalengka sebelum diberikan pendidikan kesehatan bersikap negatif
Frekuensi (f) 49 39 88
Persentase (%) 55.7 44.3 100.0
terhadap penanggulangan HIV/AIDS yaitu sebanyak 49 responden (55,7%) dari 88 responden. Namun setelah diberikan pendidikan kesehatan, sikap remaja sebagai berikut:
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Sikap Remaja Sesudah Pemberian Pendidikan Kesehatan (Postest) Negatif Positif Jumlah
Frekuensi (f) 40 48 88
Persentase (%) 45.5 54.5 100.0
Berdasarkan tabel 4.4, diketahui bahwa lebih dari setengah remaja di SMAN 1 Majalengka Kabupaten Majalengka sesudah diberikan pendidikan
kesehatan bersikap positif terhadap penanggulangan HIV/AIDS yaitu sebanyak 48 responden (54,5%) dari 88 responden.
1. Pengaruh Pendidikan Kesehatan dengan Metode Pendidikan Sebaya (Peer Education) terhadap
Pengetahuan Remaja tentang HIV/AIDS di SMAN 1 Majalengka Kabupaten Majalengka tahun 2014
4.1.2 Analisis Bivariat
Variabel
Pengetahuan (Pretest) Pengetahuan (Postest)
Mean
N
18.53
88
21.83
88
Beda Mean 3,30
Menurut hasil penghitungan statistik dengan paired sample t-test diperoleh tvalue = 11,710 dan value = 0,000 yang berarti value < α, sehingga hipotesis nol ditolak. Dengan demikian terdapat pengaruh
3) Pengaruh Pendidikan Kesehatan dengan Metode Pendidikan Sebaya (Peer Education) terhadap Sikap Variabel Sikap (Pretest) Sikap (Postest)
Mean
N
24.23
88
28.70
88
Menurut hasil penghitungan statistik dengan paired sample t-test diperoleh tvalue = 13,001 dan value = 0,000 yang berarti value < α, sehingga
SD
3.089 2,408
t
value
11,710
0,000
pendidikan kesehat5an dengan metode pendidikan sebaya (peer education) terhadap pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS di SMAN 1 Majalengka Kabupaten Majalengka tahun 2014.
Beda Mean 4.47
Remaja dalam Menanggulangi HIV/AIDS di SMAN 1 Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2014 SD
2.599 3.572
t
value
13,001
0,000
hipotesis nol ditolak. Dengan demikian terdapat pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode pendidikan sebaya (peer education) terhadap sikap remaja
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
dalam menanggulangi HIV/AIDS di SMAN 1 Majalengka Kabupaten
IV. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode pendidikan sebaya (peer education) terhadap pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS di SMAN 1 Majalengka Kabupaten Majalengka tahun 2014 ( value = 0,000). Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Maulana (2009) yaitu melalui pendidikan kesehatan dapat menjembatani kesenjangan antara informasi dan tingkah laku kesehatan dan pendidikan kesehatan memotivasi seseorang untuk menerima informasi kesehatan serta berbuat sesuai dengan informasi tersebut agar mereka menjadi lebih tahu dan lebih sehat. Liliweri (2007) menyatakan bahwa salah satu pendekatan pendidikan kesehatan yang efektif pada remaja untuk mencegah maraknya kasus HIV/AIDS yaitu dengan metode Peer Education (pendidikan sebaya). Pendidikan kelompok sebaya dilaksanakan antar kelompok sebaya tersebut dengan dipandu oleh fasilitator yang juga berasal dari kelompok itu sendiri. Melalui pendidikan sebaya kaum muda, dapat mengembangkan pesan maupun memilih media yang lebih tepat sehingga informasi yang diterima dapat dimengerti oleh sesama mereka. Menurut Mubarok (2007) bahwa pengetahuan merupakan hasil mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali kejadian yang pernah dialami baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan ini terjadi setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu obyek tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa sesuatu yang pernah dialami dalam hal ini termasuk proses transfer ilmu dalam kegiatan peer education dapat menjadi suatu hal yang akan diingat dan menjadi
Majalengka tahun 2014. suatu pengetahuan bagi seseorang remaja dalam jangka pendek dan menghasilkan tindakan yang positif di kemudian hari. Melalui peer education tidak hanya merubah remaja menjadi tahu dari tidak tahu tetaapi lebih pada merubah suatu prinsip yang sebelumnya tidak diketahui benar atau salah. Sehingga memberikan keyakinan pada remaja lebih kekal pengetahuannya. Menurut Bambang (2008) bahwa pengetahuan merupakan justified true believe. Seorang individu membenarkan (justifies) kebenaran atas kepercayaannya berdasarkan observasinya mengenai dunia. Dalam definisi ini, pengetahuan merupakan konstruksi dari kenyataan, dibandingkan sesuatu yang benar secara abstrak. Penciptaaan pengetahuan melibatkan perasaan dan sistem kepercayaan (belief sistems) dimana perasaan atau sistem kepercayaan itu bisa tidak disadari. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Harahap dan Andayani (2005) menyatakan ada pengaruh peer education atau pendidikan sebaya terhadap pengetahuan mahasiswa dalam menanggulangi HIV/ AIDS di Sumatera Utara. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Intan (2013) mengenai pengaruh metode peer education terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap remaja tentang HIV/AIDS di SMAN 1 Geyer Kabupaten Grobogan menyatakan bahwa ada pengaruh yang positif metode peer education terhadap peningkatan pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS. Peer education dapat meningkatkan pengetahuan remaja secara efektif karena kondisi diskusi yang terbuka di kalangan remaja mendukung terhadap pembicaraan dan
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
tanya jawab menjadi lebih luas sehingga wawasan remaja yang awalnya tidak tahu menjadi tahu dan lebih memahami. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode pendidikan sebaya (peer education) terhadap sikap remaja dalam menanggulangi HIV/IDS di SMAN 1 Majalengka Kabupaten Majalengka tahun 2014 ( value = 0,000). Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Mozes (2008), melalui penyebaran informasi dan pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS pada remaja terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan serta mempengaruhi sikap remaja berisiko terhadap terjangkitnya oleh virus HIV/AIDS. Hasil penelitian ini pun mendukung teori Imron (2014) bahwa pendidikan sebaya (peer education) biasanya melibatkan penggunaan anggota kelompok tertentu untuk menghasilkan perubahan di antara anggota lain dalam kelompok yang sama. Pendidikan sebaya sering digunakan untuk mengubah tingkat perilaku pada individu dengan cara memodifikasi pengetahuan, sikap, keyakinan, atau perilaku seseorang. Sikap seseorang tidak dapat berubah begitu saja tanpa ada proses yang mendasarinya. Melalui peer education akan terjadi proses perubahan cara berfikir seseorang karena terjadi dialog atau diskusi terbuka untuk mengeluarkan pendapatnya masing-masing. Menurut Maulana (2009) bahwa sikap
V. KESIMPULAN 1. Pengetahuan remaja sebelum pemberian pendidikan (pretest) lebih dari setengah berpengetahuan cukup yaitu sebanyak 55 responden (62,5%) dari 88 responden dan pengetahuan remaja sesudah pemberian pendidikan (postest) lebih dari setengah berpengetahuan baik
merupakan perbuatan yang didasari oleh keyakinan berdasarkan normanorma yang ada di masyarakat dan biasanya norma agama. Namun demikian perbuatan yang akan dilakukan manusia biasanya tergantung pada apa permasalahannya serta benarbenar berdasarkan keyakinan atau kepercayaannya masing-masing. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Harahap dan Andayani (2005) menyatakan bahwa peer education atau pendidikan sehaya berpengaruh terhadap peningkatan sikap mahasiswa dalam menanggulangi HIV/ AIDS di Sumatera Utara. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Intan (2013) mengenai pengaruh metode peer education terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap remaja tentang HIV/AIDS di SMAN 1 Geyer Kabupaten Grobogan menyatakan bahwa ada pengaruh yang positif metode peer education terhadap peningkatan sikap remaja tentang HIV/AIDS. Untuk membangun sikap dan nilai positif di kalangan remaja dalam menanggulangi HIV/AIDS perlu adanya sautu metode yang efektif dan salah satunya dapat menggunakan metode peer education, karena diskusi di kalangan remaja dan oleh remaja lebih tebuka serta akan menghasilkan komunikasi yang aktif di kalangan remaja. Sikap yang didasari oleh pengetahuan akan menghasilkan tindakan yang dapat bersifat langgeng.
yaitu sebanyak 49 responden (55,7%) dari 88 responden. 2. Sikap remaja sebelum pemberian pendidikan (pretest) lebih dari 3. setengah bersikap negatif yaitu sebanyak 49 responden (55,7%) dari 88 responden dan sikap remaja
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
sesudah pemberian pendidikan (postest) lebih dari setengah bersikap positif yaitu sebanyak 48 responden (54,5%) dari 88 responden. 4. Terdapat pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode pendidikan sebaya (peer education) terhadap pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS di SMAN 1
Majalengka Kabupaten Majalengka tahun 2014 ( value = 0,000). 5. Terdapat pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode pendidikan sebaya (peer education) terhadap sikap remaja dalam menanggulangi HIV/AIDS di SMAN 1 Majalengka Kabupaten Majalengka tahun 2014 ( value = 0,000).
DAFTAR PUSTAKA Andrews, L. 2010. Hindari AIDS Demi Masa Depan Kita Semua. Medan: Monora.
Imron, A. 2010. Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja. Yogyakarta: ArRuzz Media.
Bambang. 2008. Konsep Sistem Informasi. Yogyakarta: Andi.
Intan, Y. 2013. Pengaruh Metode Peer Education terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Remaja tentang HIV/AIDS di SMAN 1 Geyer Kabupaten Grobogan tahun 2013. Jurnal Kebidanan No. 3, Juli Tahun 2013.
Azwar, S. 2010. Sikap Manusia, Teori Dan Pengukurannya. Yogyakarta. Pustaka Setia.
Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka. 2013. Data HIV/AIDS 2001-2014. Majalengka: Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka. Dita, S. 2010. Psikologi Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia.
Hamilton. 2009. Obstetri dan Ginekologi: Panduan Praktik. Alih Bahasa: Rusi M. Syamsi. Edisi II. Jakarta: EGC. Harahap dan Andayani. 2005. Pengaruh Peer Education Terhadap Peningkatan Sikap Mahasiswa Dalam Menanggulangi HIV/ AIDS di Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara. Hidayat, A. 2009. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Indrahastuti. 2008. Dialog Seputar AIDS. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Menuju Indonesia Sehat dan Bermutu. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan RI. 2013. Laporan Perkembangan HIV AIDS Triwulan I Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Kristiyanasari, W. 2009. Asuhan Keperawatan Neonatus dan Anak. Yogyakarta: Nuha Medika.
Kurniawati, N. D. 2011. Asuhan Keperawatan pada Pasien yang Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Liliweri, A., 2007. Dasar dasar Komunikasi Kesehatan. Cetakan I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://ad.reduxmedia.com, diakses 21 Maret 2014.
Maulana. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Suparyanto, S. 2014. Klasifikasi Remaja. http://suparyanto.blogspot.com, diakses tanggal 12 Maret 2014.
Mozes, A. 2008. Remaja Merupakan Fokus dari Upaya Pencegahan AIDS. http://www.kesrepro.info, diakses tanggal 11 Maret 2014.
UNAIDS. 2014. Practical Guidelines for Intesifying HIV Prevention: Towards Universal Accsess- UNAIDS. http:
Mighwar, M. 2009. Psikologi Remaja, Petunjuk Bagi Guru dan Orang Tua. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Mubarok, dkk., 2007. Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses. Yogyakarta: Graha Ilmu. Notoadmodjo, S. 2007. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoadmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Rukiyah dan Yulianti. 2010. AIDS dan PMS. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Trianto, N. 2010. HIV/AIDS Kini Jadi Epidemi di Indonesia. Jakarta: Jurnal Nasional, Volume 2 Nomor 3, Desember 2010.
Wawan, A. dan Dewi, M. 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Jakarta. Nuha Medika. World Health Organization (WHO). 2008. Juvenile Deliquency: Adolescence. www.who.int/research/en/, diakses 2 Maret 2014.
Yatim, D. I., 2010. Dialog Seputar AIDS. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Rumini, S. dan Sundari, S. 2010. Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta.
Suliswati, L. 2008. Pendidikan Kesehatatan HIV AIDS.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
PERBEDAAN FAKTOR PERILAKU PADA KELUARGA BALITA PNEUMONIA DAN NON PNEUMONIA DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS MUNJUL KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2014
Oleh : Eti Rohayati
ABSTRAK Angka kejadian pneumonia yang tinggi maka diperlukan upaya-upaya kesehatan masyarakat dalam mencegah terjadinya pneumonia. Secara umum terdapat tiga faktor risiko terjadinya pneumonia, yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak serta faktor perilaku. Kejadian pneumonia pada balita di UPTD Puskesmas Munjul pada tahun 2013 masih menempati 10 besar dengan jumlah kasus sebanyak 298 kasus (8,37%). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan faktor perilaku pada keluarga balita pneumonia dan non pneumonia di wilayah kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka tahun 2014. Penelitian ini menggunakan penelitian korelasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu balita pneumonia dan non pneumonia dengan jumlah sampelnya sebanyak 136 keluarga balita pneumonia dan 136 keluarga balita non pneumonia. Uji hipotesis yang digunakan yaitu uji TIndependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata perilaku pada keluarga balita pneumonia sebesar 64,75% dan rata-rata perilaku pada keluarga balita non pneumonia sebesar 79,05%. Ada perbedaan faktor perilaku pada keluarga balita pneumonia dan non pneumonia terhadap kejadian pneumonia pada balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 ( value = 0,0001). Perlunya petugas kesehatan untuk lebih menjaga dan meningkatkan kegiatan penyuluhan pada masyarakat dan keluarga mengenai perilaku yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia melalui kegiatan pemberian informasi dan penyuluhan secara rutin.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
I.
PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pencapaian derajat kesehatan yang optimal bukan hanya menjadi tanggung jawab dari sektor kesehatan saja, namun sektor pendidikan, ekonomi, sosial dan pemerintahan juga memiliki peranan yang cukup besar. Upaya pembangunan di bidang kesehatan tercermin dalam program kesehatan melalui upaya promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Salah satu indikator untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat adalah angka kesakitan dan kematian balita. World Health Organization (WHO) memperkirakan angka kematian balita setiap tahunnya di atas 40 per 1.000 kelahiran hidup dan 15%-20% pada golongan usia balita karena insiden penumonia. Pneumonia adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahun, 98%-nya disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan bawah (WHO, 2011). Angka kematian balita di Indonesia telah berhasil diturunkan dari 44 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 menjadi 40 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2014, sementara target Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup. Insiden kejadian pneumonia selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu pneumonia juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Kejadian pneumonia pada balita di Indonesia pada tahun 2014 sebanyak 312.014 kasus. Adapun angka kematian karena pneumonia pada balita sebanyak 251 kejadian (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Adapun penemuan pneumonia di Jawa Barat pada tahun 2014 sebesar 168.140 kasus dan angka ini merupakan
yang tertinggi di Indonesia. Adapun kematian karena balita karena pneumonia di Jawa Barat sebanyak 23 kejadian (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat, 2013). Usia balita merupakan kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran pernafasan. Penyakit pneumonia merupakan penyakit pernafasan yang terberat dan banyak menimbulkan kematian (Saydam, 2011). Proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran nafas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti dengan nafas cepat dan nafas sesak. Pada tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran bernafas, tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun dan meninggal bila tidak segera diobati (Misnadiarly, 2008). Angka kejadian pneumonia yang tinggi maka diperlukan upaya-upaya kesehatan masyarakat dalam mencegah terjadinya pneumonia. Secara umum terdapat tiga faktor risiko terjadinya pneumonia, yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak serta faktor perilaku. Faktor lingkungan meliputi pencemaran udara dalam rumah (asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi yang tinggi), ventilasi rumah dan kepadatan hunian. Faktor individu anak meliputi umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi. Faktor perilaku meliputi perilaku pencegahan dan penanggulangan pneumonia atau peran aktif keluarga dalam menangani penyakit pneumonia (Departemen Kesehatan RI, 2008). Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku manusia merupakan respon atau
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respons ini dapat bersifat pasif atau tanpa tindakan yaitu berpikir, berpendapat dan bersikap maupun bersifat aktif yaitu dengan tindakan (Maulana, 2009).
Perilaku keluarga yang dapat meningkatkan risiko pneumonia diantaranya mempunyai kebiasaan merokok yang dilakukan didalam rumah, perilaku dalam hal membuang dahak saat batuk, perilaku dalam pengobatan secara medis misalnya membawa anaknya ke puskesmas atau rumah sakit (Syahriyanti, 2010). Dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak rumah tangga yang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Kebiasaan ibu menggendong anak sambil memasak juga masih banyak hal ini disebabkan mereka beranggapan anak akan menangis jika ditinggalkan ibunya untuk memasak. Beberapa keluarga juga mempunyai kebiasaan untuk menggunakan anti nyamuk bakar ketika akan tidur (Aditama, 2009). Berdasarkan Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka pada tahun 2014 balita yang mengalami infeksi saluran pernapasan sebanyak 37.392 balita, terdiri dari pneumonia sebanyak 4.053 balita (10,83%) dan non pneumonia sebanyak 33.339 balita (89,16%) (Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, 2014). Adapun pada tahun 2013 jumlah balita yang mengalami infeksi pernapasan sebanyak 30.607 balita, terdiri dari pneumonia sebanyak 3.163 balita (10,33%) dan non pneumonia sebanyak 27.444 balita II. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini menggunakan penelitian korelasional dengan pendekatan cross sectional. Menurut Notoatmodjo (2010) pendekatan cross sectional yaitu untuk mempelajari
(89,66%) (Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, 2013).
Angka pneumonia di Kabupaten Majalengka tahun 2014-2013 sedikit mengalami penurunan. Meskipun demikian kejadian pneumonia pada balita perlu menjadi perhatian dan kerja keras dari semua pihak terutama oleh keluarga. Karena keluarga merupakan bagian terpenting dalam pencegahan dan penyebaran penyakit pneumonia pada balita seperti kebiasan merokok dalam rumah, membakar sampah di sekitar rumah, menggunakan obat nyamuk bakar, kebiasaan mencuci tangan dan menurup ketika batuk, kesadaran akan pemberian ASI secara eksklusif, imunisasi lengkap serta memperhatikan gizi pada makanan keluarga. Adapun Puskesmas di Kabupaten Majalengka pada tahun 2013 dengan kasus pneumonia pada balita paling tinggi terdapat di UPTD Puskesmas Munjul yaitu sebanyak 298 balita (8,37%) dari 3.562 balita. Apabila dibandingkan dengan Puskesmas terdekat seperti Puskesmas Majalengka hanya 124 balita (3,56%) dari 3.480 balita (Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, 2013).
Dengan adanya masalah tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Perbedaan faktor perilaku pada keluarga balita pneumonia dan non pneumonia di wilayah kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka tahun 2014”.
dinamika korelasi antara faktor-faktor dengan efek dengan cara pendekatan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat artinya tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
III. HASIL PENELITIAN 1. Analisis Univariat 1) Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka tahun 2014 Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka tahun 2014
Kejadian Pneumonia pada Balita Pneumonia Non pneumonia Jumlah Penentuan besar sampel menggunakan perbandingan 1 : 1 sehingga didapatkan frekuensi kejadian besarnya menjadi 50%, namun sesungguhnya berdasarkan data didapatkan bahwa kejadian pneumonia pada balita di UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten
f
%
136 136 272
50,0 50,0 100
Majalengka pada tahun 2013 sebesar 298 kasus (8,37%) dari jumlah 3.562 balita. Berdasarkan tabel 4.1 tersebut, maka setengahnya balita di UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka mengalami kejadian pneumonia.
2) Gambaran Perilaku pada Keluarga Balita Pneumonia di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Tabel 4.2
Distribusi Tendensi Sentral Perilaku pada Keluarga Balita Pneumonia di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014
Variable
Mean
Median
Standar Deviasi
Skor Minimal
Skor Maksimal
Perilaku pada Keluarga Balita Pneumonia
64,75
63,60
13,424
27,30
90,90
Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa rata-rata perilaku pada keluarga balita pneumonia sebesar 64,75 dengan skor minimal sebesar 27,30% dan maksimal 90,90%. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata
perilaku keluarga balita pnuemonia adalah kurang baik. Sementara hasil pengumpulan data diperoleh bahwa perilaku keluarga yang berisiko terhadap pneumonia yang masih ditemukan adalah sebagai berikut:
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Tabel 4.3
Rekapitulasi Perilaku Keluarga Balita Pneumonia yang Berisiko terhadap Pneumonia pada Balita
No
Perilaku Keluarga
1 2 3
Kebiasaan merokok dalam rumah Kebiasaan batuk tidak ditutup mulutnya Adanya anggota keluarga membuang dahak disembarang tempat Tidak segera membawa anak ke dokter ketika mengalami batuk Masih menggunakan obat nyamuk bakar Terbiasa mencuci tangan tanpa sabun Masih membakar sampah di sekitar rumah Masih menggunakan kayu bakar dalam memasak Tidak memberikan ASI secara eksklusif Pemberian imunisasi pada anak tidak lengkap Tidak memperhatikan gizi seimbang
4
5 6 7 8 9 10 11
Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan bahwa tiga besar perilaku berisiko teradap pneumonia yang masih banyak ditemukan pada keluarga balita pneumonia di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 yaitu tidak memperhatikan gizi yang seimbang pada menu makanan untuk balita (74,0%), pemberian ASI
Frekuensi n % 42 31 47 35 28 21 57
26 74 27 8 92 26 100
42
19 54 20 5.9 68 19 74
tidak eksklusif (68,0%) dan kebiasaan mencuci tangan tanpa menggunakan sabun (54%). Adapun perilaku lainnya dengan jumlah yang beragam masih berada di bawah angka 50%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat mengenai ASI eksklusif dan pemberian makanan dengan gizi seimbang masih rendah.
3) Gambaran Perilaku pada Keluarga Balita Non Pneumonia di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Tabel 4.4
Distribusi Tendensi Sentral Perilaku pada Keluarga Balita Non Pneumonia di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014
Variable
Mean
Median
Standar Deviasi
Skor Minimal
Skor Maksimal
Perilaku pada Keluarga Balita Pneumonia
79,05
81,90
12,683
36,40
100
Berdasarkan tabel 4.4 menunjukkan bahwa rata-rata perilaku pada keluarga balita non pneumonia sebesar 79,05 dengan skor minimal sebesar 36,40% dan maksimal 100%. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata perilaku keluarga pada balita non pneumonia lebih baik dibanding rata-rata keluarga balita pneumonia. Berdasarkan pengumpulan data diperoleh bahwa perilaku keluarga yang berisiko terhadap pneumonia yang masih ditemukan adalah sebagai berikut : MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Tabel 4.4
Rekapitulasi Perilaku Keluarga Balita Non Pneumonia yang Berisiko terhadap Pneumonia pada Balita
No
Perilaku Keluarga
1 2 3
Kebiasaan merokok dalam rumah Kebiasaan batuk tidak ditutup mulutnya Adanya anggota keluarga membuang dahak disembarang tempat Tidak segera membawa anak ke dokter ketika mengalami batuk Masih menggunakan obat nyamuk bakar Terbiasa mencuci tangan tanpa sabun Masih membakar sampah di sekitar rumah Masih menggunakan kayu bakar dalam memasak Tidak memberikan ASI secara eksklusif Pemberian imunisasi pada anak tidak lengkap Tidak memperhatikan gizi seimbang
4
5 6 7 8 9 10 11
Berdasarkan table 4.5 menunjukkan bahwa secara keseluruhan perilaku berisiko teradap pneumonia yang masih banyak ditemukan pada keluarga balita pneumonia di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 jumlahnya di bawah angka 50%. Namun, yang masih banyak ditemukan yaitu
2. Analisis Bivariat
Perbedaan Faktor Perilaku pada Keluarga Balita Pneumonia dan Non Pneumonia terhadap Kejadian Tabel 4.6
Frekuensi n % 60 44 43 32 12 8,8 22 20 40 26 3 35 23 29
16
15 29 19 2,2 26 17 21
kebiasaan anggota keluarga yang merokok di dalam rumah (44%). Hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat dalam penggunaan kayu bakar, kebiasaan buang dahak sembarang serta segera membawa anaknya ke petugas kesehatan untuk diperiksa jika mengalami tanda-tanda pneumonia sudah baik.
Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014
Perbedaan Faktor Perilaku pada Keluarga Balita Pneumonia dan Non Pneumonia terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014
Variabel Perilaku pada Keluarga Balita Pneumonia Perilaku pada Keluarga Non Balita Pneumonia
Mean
Standar Deviasi
Standar Error
64,75
13,425
1,151
79,06
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan bahwa rata-rata
12,684
1,088
value 0,0001
N 136 136
perilaku pada keluarga balita pneumonia sebesar 64,75 dengan
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
standar deviasinya sebesar 13,425, sementara pada rata-rata perilaku pada keluarga balita non pneumonia sebesar 79,06 dengan standar deviasinya sebesar 12,684. Hal ini menunjukkan ada perbedaan ratarata sebesar 14,31. Hasil uji-t independent pada α = 0,05 diperoleh
IV. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan faktor perilaku pada keluarga balita pneumonia dan non pneumonia terhadap kejadian pneumonia pada balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 ( value = 0,0001). Adanya hubungan dapat dikarenakan keluarga yang dapat mengurangi perilaku yang berisiko dapat mencegah kejadian pneumonia pada balita. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Departemen Kesehatan RI (2008), yaitu faktor perilaku meliputi perilaku pencegahan dan penanggulangan pneumonia atau peran aktif keluarga dalam menangani penyakit pneumonia. Faktor perilaku keluarga tersebut diantaranya adalah kebiasaan merokok dalam rumah, batuk dan membuang dahak, membawa anak ke petugas kesehatan, penggunaan obat nyamuk bakar dan menggendong anak ketika memasak.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Suprajitno (2010) menyatakan bahwa fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan. Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena segala sesuatu tidak akan berarti jika mengalami masalah kesehatan, sehingga akan mempengaruhi secara sosial dan ekonomi keluarga. Orang tua perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarga.
value = 0,0001 yang berarti value < α sehingga ada perbedaan faktor perilaku pada keluarga balita pneumonia dan non pneumonia terhadap kejadian pneumonia pada balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014. Menurut Syahriyanti (2010), perilaku keluarga yang dapat meningkatkan risiko pneumonia diantaranya mempunyai kebiasaan merokok yang dilakukan didalam rumah, perilaku dalam hal membuang dahak saat batuk, perilaku dalam pengobatan secara medis misalnya membawa anaknya ke puskesmas atau rumah sakit. Sementara menurut Aditama (2009), dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak rumah tangga yang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Kebiasaan ibu menggendong anak sambil memasak juga masih banyak hal ini disebabkan mereka beranggapan anak akan menangis jika ditinggalkan ibunya untuk memasak. Beberapa keluarga juga mempunyai kebiasaan untuk menggunakan anti nyamuk bakar ketika akan tidur. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Hendarwan (2010) di Kabupaten Serang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pneumonia pada balita adalah perilaku keluarga. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Indriastuti (2010) menyatakan bahwa terdapat perbedaan rata-rata perilaku keluarga pada balita penderita ISPA di Kota Banda Aceh Tahun 2010. Pada penelitian ini didapatkan menunjukkan ada perbedaan rata-rata perilaku pada keluarga balita pneumonia dan non pneumonia terhadap kejadian pneumonia pada balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 sebesar 14,31. Hasil ini lebih rendah disbanding hasil penelitian Makhfudin (2009) menyatakan
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
bahwa ada perbedaan rata-rata perilaku keluarga antara keluarga dengan balita terkena infeksi pernafasan dan balita keluarga dengan balita tidak terkena infeksi pernafasan di Desa Pasar Banggi Rw 4 Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang sebesar 53,00%. Kejadian pneumonia pada balita dapat dikarenakan perilaku keluarga yang V. KESIMPULAN 1. Kejadian pneumonia pada balita di UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka pada tahun 2013 sebesar 298 kasus (8,37%) dari jumlah 3.562 balita. 2. Rata-rata perilaku pada keluarga balita pneumonia di UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka tahun 2014 sebesar 64,75%. 3. Rata-rata perilaku pada keluarga balita non pneumonia di UPTD Puskesmas
kurang baik dalam menjaga kondisi lingkungan atau adanya kebiasaan yang dapat beriksiko pada tingginya penyakit pneumonia. Maka dari itu, perlu adanya intervensi petugas kesehatan melalui pengawasan dan penyuluhan pada keluarga mengenai perilaku yang dapat mencegah kejadian pneumonia pada balita. Munjul Kabupaten Majalengka tahun 2014 sebesar 79,05%. 4. Ada perbedaan faktor perilaku pada keluarga balita pneumonia dan non pneumonia terhadap kejadian pneumonia pada balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Munjul Kabupaten Majalengka Tahun 2014 ( value = 0,0001).
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, T.Y. 2009. Polusi Udara dan Kesehatan. Jakarta: Arcan.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pengantar Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Betz, C. L. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC.
Brashers, V. L. 2009. Aplikasi Klinis Patofisiologi: Pemeriksaan dan Manajemen; Alih Bahasa H.Y Kuncara; Editor Edisi Bahasa Indonesia, Devi Yulianti, Edisi 2. Jakarta: EGC. Crowin, E. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Departemen Kesehatan RI, 2008. Pneumonia pada Balita. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka. 2013. Kejadian ISPA pada Balita di Kabupaten Majalengka Tahun 2013. Majalengka: Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat. 2013. Assessment GAVI-HSS. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Anak Provinsi Jawa Barat.
Djojodibroto. 2009. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita. Bogor: Litbang Institut Pertanian Bogor. Erlien.
2008. Penyakit Saluran Pernapasan. Jakarta: Sunda Kelapa Pustaka.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2014. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). www.idai.or.id/kesehatananak/art ikel, diakses tanggal 25 April 2014. Ismawati, C. 2010. Posyandu & Desa Siaga Panduan Untuk Bidan dan Kader. Yogyakarta : Muha Medika. Kementerian Kesehatan RI. 2013. Survei Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Maulana. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak, Orang Dewasa, Usia Lanjut, Pneumonia Atipik dan Pneumonia Atypik Mycobacterium. Jakarta: Pustaka Obor Populer. Muaris, H. 2006. Makanan Bergizi untuk Anak Balita. Jakarta: Gramedia.
Mukty dan Alsagaf, H. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press. Notoadmodjo. S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. ___________. 2007. Promosi Kesehatan Teori dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.
Nurhidayah, I. 2008. Upaya Keluarga dalam Pencegahan dan Perawatan
ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Rumah pada Balita di Kecamatan Ciawi Kabupaten Tasikmalaya. Bandung: Lembaga Penelitian UNPAD.
Rudianto, 2010. Penyakit Pneumonia (Radang Paru). http://medicastore.com, diakses tanggal 12 Maret 2014. Said,
A. 2010. Determinan Perilaku Pencarian Pengobatan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) Pada Balita. Buletin Penelitian Kesehatan, Volume 29 No I.
Santoso, A. 2007. Penilaian Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Jakarta: Salemba Medika. Saydam, G. 2011. Memahami Berbagai Penyakit. Bandung: Alfabeta. Somantri. 2010. Informasi tentang Penyakit Pneumonia. http://www.persify.com, diakses tanggal 20 Maret 2014. Sugiyono. 2009. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Syahriyanti, E. 2010. Stop Yogyakarta: Dara Ilmu. WHO.
Merokok.
2011. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. WHO.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KETERATURAN BEROBAT PASIEN TUBERKULOSIS DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS SUMBERJAYA KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2014 Oleh:
H. Ade Tedi Irawan
ABSTRAK Tingginya kasus tuberkulosis perlu mendapatkan perhatian serta penanganan dengan tepat karena infeksi tuberkulosis tidak hanya menyerang paru-paru atau saluran pernapasan, tetapi dapat menimbulkan komplikasi yang cukup serius pada organ lain termasuk tulang dan otak. Salah satunya dengan meningkatkan pengobatan pasien tuberkulosis secara teratur. Kasus tuberkulosis di Kabupaten Majalengka pada tahun 2013 paling tinggi terdapat di UPTD Puskesmas Sumberjaya yaitu sebanyak 71 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keteraturan berobat pasien tuberkulosis di wilayah kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka tahun 2014. Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien tuberkulosis bulan Maret-April di wilayah kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka sebanyak 265 orang dan sampelnya sebanyak 73 orang (proportional too size). Uji hipotesis yang digunakan uji chi square pada α = 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang dari setengahnya pasien tuberkulosis di tidak teratur berobat (42,5%), berpengetahuan kurang (45,2%) dan berjenis kelamin laki-laki (49,3%), serta sebagian besar pasien berusia > 35 tahun (83,6%). Ada hubungan antara pengetahuan ( value = 0,033), usia pasien ( value = 0,030) dan jenis kelamin pasien ( value = 0,046) terhadap keteraturan berobat pasien tuberkulosis di UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014. Perlu upaya untuk meningkatkan pemberian informasi pada pasien tuberkulosis melalui cara yang lebih menarik seperti dengan poster atau brosur disertai gambar-gambar yang berkaitan dengan pengobatan tuberkulosis agar pengobatan pasien sesuai dengan teratur.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
I.
PENDAHULUAN Sehat merupakan hak setiap orang dan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan juga terutama hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu. Di sisi lain, setiap orang diwajibkan untuk ikut mewujudkan, mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Hal tersebut sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan yaitu meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sehingga dapat bebas dari gangguan kesehatan baik yang disebabkan karena penyakit termasuk gangguan kesehatan akibat bencana, maupun lingkungan dan perilaku yang tidak mendukung untuk hidup sehat (Sudayasa, 2010). Tuberkulosis (TB atau TBC) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi perhatian dunia. Hingga saat ini, belum ada satu negara pun yang bebas tuberkulosis, namun setiap negara berbeda angka insidensinya. Menurut World Health Organization (WHO) dalam Global Tuberculosis Report 2013 menyebutkan bahwa jumlah insiden tuberkulosis di dunia sebanyak 7.053.684 kasus dengan angka kematian karena tuberkulosis sebanyak 940.000 kejadian. Indonesia merupakan negara dengan urutan ketiga, adapun dari lima negara dengan kasus tuberkulosis tertinggi di dunia yaitu China (1.377.065 kasus), India (1.236.687 kasus), Indonesia (246.864 kasus), Brazil (198.656 kasus) dan Pakistan (179.160 kasus) (World Health Organization, 2013). Menurut Kementerian Kesehatan RI, angka Case Defection Rate
(CDR) kasus tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 82,2% yaitu 194.780 kasus dari semua kasus tuberkulosis sebanyak 316.562 kasus (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Sementara Propinsi Jawa Barat pada tahun 2013 merupakan propinsi dengan jumlah kasus tuberkulosis tertinggi di Indonesia yaitu sebanyak 45.641 kasus dengan angka Case Defection Rate mencapai 75,2% (Dinas Propinsi Jawa Barat, 2013). Tingginya kasus tuberkulosis perlu mendapatkan perhatian serta penanganan dengan tepat karena infeksi tuberkulosis tidak hanya menyerang paru-paru dan saluran saja, bahkan akan memburuk serta dapat memicu komplikasi yang cukup serius pada organ lain termasuk tulang dan otak yang dapat menyebabkan kematian. Beberapa komplikasi yang sering ditemukan yaitu kerusakan tulang dan sendi, kerusakan otak, kerusakan hati dan ginjal, kerusakan jantung, gangguan mata dan resisten terhadap kuman (Misnadiarly, 2008). Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular serius yang mempengaruhi paru-paru seseorang. Bakteri yang menyebabkan tuberkulosis bisa menyebar dari satu orang ke orang lain melalui tetesan kecil yang dilepaskan ke udara melalui batuk dan bersin. Jika tuberkulosis tidak diobati hingga tuntas bisa berakibat fatal karena bakteri dapat menjadi lebih resisten. Salah satu penyebabnya karena tidak tuntasnya penderita tuberkulosis dalam pengobatan. Pengobatan pada penyakit tuberkulosis memerlukan waktu yang cukup panjang yaitu minimal harus minum obat selama enam bulan (Hartanto, 2014). Resistensi terjadi jika penderita tuberkulosis tidak menyelesaikan program pengobatannya hingga tuntas, dan mutasi bakteri penyebab
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
tuberkulosis mengakibatkan tidak lagi responsif terhadap antibiotik yang digunakan dalam waktu jangka pendek. Bakteri tuberkulosis bermutasi dengan cepat dan sering. Tuberkulosis yang resisten terhadap obat-obatan juga dapat terjadi jika penderita tidak dapat menghasilkan respon imun yang efektif dan kemungkinan penularan penyakit ini menjadi lebih besar (Corwin, 2009). Mengingat dampak yang ditimbulkan dari penyakit tuberkulosis yang cukup serius serta sulit disembuhkan jika pasien tuberkulosis lalai dalam pengobatan maka perlu meningkatkan keteraturan pasien tuberkulosis. Keteraturan minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah suatu proses dimana penderita melakukan ketepatan waktu dalam pengobatan. Hal ini dapat dilihat dari teratur dan tidak teraturnya penderita minum OAT (Muttaqin, 2008). Menurut Becker (1974) dalam Noorkasiani (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi individu melakukan prosedur pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh faktor demografis yaitu usia, jenis kelamin dan latar belakang budaya, faktor sosiopsikologis yaitu kepribadian, kelas sosial dan tekanan sosial serta faktor struktural yaitu pengetahuan dan pengalaman. Sementara menurut Muttaqin (2008) faktor yang mempengaruhi keteraturan berobat antara lain tingkat pendidikan, pengetahuan dan pendapatan. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka tahun 2014 diketahui jumlah kasus tuberkulosis sebanyak 1.121 kasus dengan case defection rate sebesar 87,8%. Adapun pada tahun 2013 jumlah kasus tuberkulosis sebanyak 1.267 kasus dengan case defection rate sebesar 96,6%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kejadian tuberkulosis di Kabupaten Majalengka tahun 2013-2014 mengalami
peningkatan (Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, 2013). Salah satu puskesmas dengan angka kejadian tuberkulosis terbanyak di Kabupaten Majalengka pada tahun 2013 terdapat di Unit Pelaksana Teknis Dearah (UPTD) Puskesmas Sumberjaya yaitu sebanyak 89 kasus dengan case defection rate mencapai 139,2%. Angka tersebut mengalami kenaikan bila dibanding tahun 2014 dengan jumlah kasus sebanyak 71 kasus dan case defection rate sebesar 114,6%. Sementara yang terendah terdapat di UPTD Puskesmas Salagedang sebanyak 13 kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, 2013). Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 27-28 Februari tahun 2014 terhadap 15 pasien tuberkulosis di Unit Pelaksana Teknis Dearah Puskesmas Sumberjaya, diketahui sebanyak 9 pasien (60,0%) pernah melakukan berobat tidak sesuai dengan jadwal yang ditentukan oleh petugas kesehatan dan 6 pasien (40,0%) melakukan berobat sesuai dengan jadwal yang ditentukan oleh petugas kesehatan. Pada pasien yang tidak melakukan berobat sesuai dengan jadwal yang ditentukan petugas kesehatan diantaranya terdapat 6 orang (66,67%) dari 9 pasien tidak memahami bahwa pengobatan tuberkulosis tidak boleh terputus dan harus tuntas sesuai jadwal meskipun sudah merasa membaik. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Faktor-faktor yang berhubungan dengan keteraturan berobat pasien tuberkulosis di wilayah kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka tahun 2014”.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
II. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian korelasional dengan desain cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien tuberkulosis bulan Maret-April di
wilayah kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka sebanyak 265 orang. Berdasarkan hasil perhitungan jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 73 orang.
III. HASIL PENELITIAN 1. Analisis Univariat Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi berdasarkan Keteraturan Berobat Pasien Tuberkulosis di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Keteraturan Berobat Tidak teratur Teratur Jumlah Hal ini menunjukkan bahwa kurang dari setengahnya pasien tuberkulosis di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas
Frekuensi (f) 31 42 73
Persentase (%) 42.5 57.5 100.0
Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014 tidak teratur berobat (42,5%).
1. Gambaran Tingkat Pengetahuan Pasien Tuberkulosis di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Pengetahuan Pasien
Kurang Baik
Jumlah
Hal ini menunjukkan bahwa kurang dari setengahnya pasien tuberkulosis di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas
Frekuensi (f) 33 40 73
Persentase (%) 45.2 54.8 100.0
Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014 berpengetahuan kurang (45,2%).
2. Gambaran Usia Pasien Tuberkulosis di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Usia Pasien
< 35 tahun > 35 tahun Jumlah
Frekuensi (f) 12 61 73
Persentase (%) 16.4 83.6 100.0
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien tuberkulosis di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya
Kabupaten Majalengka Tahun 2014 berusia > 35 tahun (83,6%).
3. Gambaran Jenis Kelamin Pasien Tuberkulosis di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Frekuensi (f) 36 37 73
Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan Jumlah
2.
Persentase (%) 49.3 50.7 100.0
Hal ini menunjukkan bahwa kurang dari setengahnya pasien tuberkulosis di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas
Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014 berjenis kelamin lakilaki (49,3%).
Hasil penghitungan statistik dengan uji chi square pada α = 0,05 diperoleh p value = 0,033 (p value < α) sehingga hipotesis nol ditolak yang berarti ada hubungan antara pengetahuan
terhadap keteraturan berobat pasien tuberkulosis di UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014.
Analisis Bivariat a. Hubungan antara Pengetahuan terhadap Keteraturan Berobat Pasien Tuberkulosis di UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Keteraturan Berobat Pasien Tuberkulosis Total Pengetahuan p Tidak Teratur Pasien value teratur f % f % f % Kurang 19 57,6 14 42,4 33 100 Baik 12 30,0 28 70,0 40 100 0,033 Jumlah 31 42,5 42 57,5 73 100
b. Hubungan antara Usia Pasien terhadap Keteraturan Berobat Pasien Tuberkulosis Di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Usia Pasien
< 35 tahun > 35 tahun Jumlah
Keteraturan Berobat Pasien Tuberkulosis Tidak Teratur teratur f % f % 9 75,0 3 25,0 22 36,1 39 63,9 31 42,5 42 57,5
Total f 12 61 73
% 100 100 100
p value
0,030
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Hasil penghitungan statistik dengan uji chi square pada α = 0,05 diperoleh p value = 0,030 (p value < α) sehingga hipotesis nol ditolak yang berarti ada hubungan antara usia pasien
terhadap keteraturan berobat pasien tuberkulosis di UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014.
c. Hubungan antara Jenis Kelamin Pasien terhadap Keteraturan Berobat Pasien Tuberkulosis di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Jenis Kelamin Pasien Laki-laki Perempuan Jumlah
Keteraturan Berobat Pasien Tuberkulosis Tidak Teratur teratur f % f % 20 55,6 16 44,4 11 29,7 26 70,3 31 42,5 42 57,5
Hasil penghitungan statistik dengan uji chi square pada α = 0,05 diperoleh p value = 0,046 (p value < α) sehingga hipotesis nol ditolak yang berarti ada hubungan antara jenis kelamin
Total f 36 37 73
% 100 100 100
p value
0,046
pasien terhadap keteraturan berobat pasien tuberkulosis di UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014.
IV . PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan terhadap keteraturan berobat pasien tuberkulosis di UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin baik pengetahuan pasien tentang tuberkulosis maka keteraturan pasien dalam berobat penyakit tuberkulosis semakin baik, demikian pula sebaliknya semakin kurang baik pengetahuan pasien tentang tuberkulosis maka keteraturan pasien dalam berobat penyakit tuberkulosis semakin kurang baik. Faktor penting yang dapat mempengaruhi tingkat keteraturan pasien dalam meminum obat adalah faktor dari pasien itu sendiri. Tidak jarang ditemukan bahwa pasien membeli obat hanya setengah resep dan
meminum obat tidak sampai habis. Hal ini berarti obat yang diminum tidak sesuai dengan takaran dalam resep obat. Alasan yang sering dikemukakan pasien yaitu biaya obat yang terlalu mahal, pasien yang terlalu apatis dan tidak percaya terhadap obat yang telah diberikan, serta keluhan yang diderita sudah hilang. Alasan tersebut kebanyakan muncul akibat kurangnya kesadaran serta pengetahuan pasien tentang pengobatan tuberkulosis dengan baik. Disamping itu meskipun sudah ada program pengobatan secara gratis bagi mereka yang tidak mampu, namun karena faktor jarak sehingga pasien tidak tepat waktu dalam melakukan kontrol atau pemeriksaan ulang. Menurut Taylor dalam Niven (2008) bahwa ketidakteraturan merupakan masalah medis yang berat
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
dan tingkat ketidakpatuhan terbukti cukup tinggi dalam seluruh populasi medis yang kronis. Secara umum ketidakteraturan dapat meningkatkan resiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang atau memperburuk kesakitan yang diderita. Hasil penelitian ini mendukung teori Niven (2008) pengetahuan pasien tentang pengobatan suatu penyakit yang benar merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan keberhasilan penyembuhan terhadap penyakit yang dideritanya. Tingkat pengetahuan penderita yang rendah akan berisiko terjadi kegagalan pengobatan dibandingkan dengan penderita yang memiliki pengetahuan tinggi. Kegagalan ini meliputi keteraturan minum obat, pemeriksaan dahak ulang pada akhir pengobatan fase awal dan satu bulan sebelum akhir pengobatan fase lanjutan. Hasil penelitian ini mendukung teori Permana (2011) yaitu salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien dalam meminum obat adalah faktor dari pasien itu sendiri. Tidak jarang ditemukan bahwa pasien membeli obat hanya setengah resep dan meminum obat tidak sampai habis. Hal ini berarti obat yang diminum tidak sesuai dengan takaran dalam resep obat. Alasan yang sering dikemukakan pasien yaitu biaya obat yang terlalu mahal, pasien yang terlalu apatis dan tidak percaya terhadap obat yang telah diberikan, serta keluhan yang diderita sudah hilang. Alasan tersebut kebanyakan muncul akibat kurangnya kesadaran serta pengetahuan pasien tentang pengobatan tuberkulosis yang benar. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Erawatyningsih dan Subketi (2009) di Wilayah Kerja Puskesmas Dompu Barat Kecamatan Woja Kabupaten Dompu Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2009 menyatakan bahwa faktor pengetahuan
berhubungan dengan ketidakteraturan pengobatan pasien Tuberkulosis. Juga dengan hasil penelitian Zanani (2009) di Puskesmas Torjun Kabupaten Sampang menyatakan bahwa pengetahuan mempengaruhi ketidapatuhan berobat pada pasien TB Paru. Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan agar pasien melakukan pemeriksaan atau kontrol ke rumah sakit sesuai dengan jadwal pemeriksaan yang ditetapkan oleh petugas kesehatan dan bagi petugas kesehatan untuk meningkatkan kegiatan pendidikan kesehatan masyarakat yaitu dengan memberikan penyuluhan atau informasi tentang tuberkulosis serta melakukan peran aktif melalui kegiatan pengawasan dan pemeriksaan kartu berobat pasien agar kepatuhan pasien dapat ditingkatkan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia pasien terhadap keteraturan berobat pasien tuberkulosis di UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014. Hasil ini menunjukkan bahwa usia muda (< 35 tahun) cenderung tidak teratur untuk berobat yang dapat dikarenakan pada usia muda kemampuan berfikir dan kematangan secara emosional masih kurang. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Niven (2008) yaitu semakin bertambah usia seseorang, ia diharapkan semakin memiliki kendali atas perilakunya sendiri. Dengan kata lain, semakin mengembangkan kemampuannya mengontrol diri. Kendali atau kontrol diri adalah pengaruh atau atau regulasi seseorang terhadap fisik, perilaku, dan prosesproses psikologisnya. Ini merupakan hal yang sangat penting dalam hidup seseorang. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Stephen (2011) keteraturan berobat paling rendah berada pada rentang usia < 35 tahun dan paling tinggi terdapat pada rentang
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
> 35 tahun. Hal ini berkaitan dengan kualitas positif yang ada pada seseorang yang lebih tua meliputi pengalaman, pertimbangan, etika kerja. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Erawatyningsih dan Subketi (2009) di Wilayah Kerja Puskesmas Dompu Barat Kecamatan Woja Kabupaten Dompu Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2009 menyatakan bahwa faktor usia berhubungan dengan ketidakteraturan pengobatan pasien tuberkulosis. Juga dengan hasil penelitian Zanani (2009) di Puskesmas Torjun Kabupaten Sampang menyatakan bahwa usia mempengaruhi ketidapatuhan berobat pada pasien TB Paru. Pada penelitian ini pun ditemukan bahwa pasien yang tidak teratur berobat juga terdapat pada usia > 35 tahun. Menurut peneliti, untuk meningkatkan keteraturan berobat pada pasien maka petugas kesehatan perlu melakukan pengawasan pada pasien yang berusia muda maupun tua karena pengobatan tuberkulosis yang memerlukan keseriusan dari pasien selama masa pengobatan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin pasien terhadap keteraturan berobat pasien tuberkulosis di UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa laki-laki lebih besar peluangnya untuk berobat secara tidak teratur yang dapat dikarenakan oleh beberapa kemungkinan seperti faktor kesibukan maupun faktor dari dalam diri pasien. Hasil penelitian ini mendukung teori Purwanto dan Dewi (2010) yaitu jenis kelamin laki-laki lebih rentan tidak
V. KESIMPULAN 1. Kurang dari setengahnya pasien tuberkulosis di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014
tertarur minum obat hal ini disebabkan karena pada umumnya beban kerja mereka lebih berat, istirahat yang kurang, serta gaya hidup yang tidak sehat diantaranya adalah merokok dan minum alkohol. Sementara pada wanita lebih banyak melaporkan gejala penyakitnya dan berkonsultasi dengan dokter karena wanita cenderung memiliki perilaku yang lebih tekun daripada laki-laki. Hasil penelitian ini pun mendukung hasil studi Vree, dkk (2007) menemukan bahwa karakteristik default penderita tuberkulosis banyak terjadi pada terjadi pada jenis kelamin laki-laki dibanding perempuan, dan perempuan lebih patuh berobat dikarenakan sebagian besar perempuan mempunyai waktu luang dan mudah mengatur waktu. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Tirtana (2011) di Wilayah Jawa Tengah menyatakan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan keteraturan minum obat tuberkulosis. Juga dengan hasil penelitian Erawatyningsih dan Subketi (2009) di Wilayah Kerja Puskesmas Dompu Barat Kecamatan Woja Kabupaten Dompu Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2009 menyatakan bahwa faktor jenis kelamin berhubungan dengan ketidakteraturan pengobatan pasien tuberkulosis. Menurut asumsi peneliti, bahwa ketidakteraturan dapat terjadi pada kelompok laki-laki maupun perempuan, sehingga pengawas atau petugas berobat perlu memberikan perlu memberikan pengawasan pada kedua kelompok tersebut dengan tepat sesuai dengan kondisi dan latar belakang pasien masing-masing.
2.
tidak teratur berobat yakni sebesar 42,5%. Kurang dari setengahnya pasien tuberkulosis di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
3.
4.
5.
Kabupaten Majalengka Tahun 2014 berpengetahuan kurang yakni sebesar 45,2%. Sebagian besar pasien tuberkulosis di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014 berusia > 35 tahun yakni sebesar 83,6%. Kurang dari setengahnya pasien tuberkulosis di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014 berjenis kelamin laki-laki yakni sebesar 49,3%. Ada hubungan antara pengetahuan terhadap keteraturan berobat
6.
7.
pasien tuberkulosis di UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014 ( value = 0,033). Ada hubungan antara usia pasien terhadap keteraturan berobat pasien tuberkulosis di UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014 ( value = 0,030). Ada hubungan antara jenis kelamin pasien terhadap keteraturan berobat pasien tuberkulosis di UPTD Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014 ( value = 0,046).
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi VI. Jakarta: Rineka Cipta. Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Aditya Media
Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka. (2014). Profil Kesehatan Kabupaten Majalengka Tahun 2014. Majalengka: Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka.
___________________. (2013). Kejadian Tuberkulosis di Kabupaten Majalengka Tahun 2013. Majalengka: Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat. (2013). Derajat Kesehatan di Propinsi Jawa Barat tahun 2013. Bandung: Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat. Jasti, S. (2005). Pill Count Adherence to Prenatal Multivitamin/Mineral Supplement Use Among Low-Income Women. Jurnal The American Society Journal of Nutritions.
Joyce, E. (2008). Pengkajian Pediatrik: Seri Pedoman Praktis. Edisi 4. Jakarta: EGC. Hartanto. (2014). Penyakit Tuberkulosis. http://penyakitpedia.blogspot.com , diakses tanggal 12 Januari 2013. Hasan. (2013). Hubungan Pengetahuan Tentang Tuberkulosis (TB) dengan Tingkat Kecemasan Pada Pasien TB Paru di Rsud Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2013. Program S1 Keperawatan STIKes YPIB Majalengka. Hidayat, A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Tuberkulosis Masih Merupakan Masalah Kesehatan Penting di Dunia dan di Indonesia. www.depkes.go.id, diakses tanggal 2 Januari 2014. Kementerian Kesehatan RI. (2013). Survei Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Maulana. (2009). Promosi Kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Meliono, I. (2007). Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI.
Misnadiarly. (2008). Penyakit Infeksi TB Paru dan Ektsra Paru: Mengenal, Mencegah Menanggulangi TBC Paru Pada Anak Pada Kehamilan. Jakarta: Pustaka Populer Obor. Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistim Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika. Niven.
(2008). Psikologi Kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Noorkasiani. (2009). Keperawatan. Jakarta: Medika.
Asuhan Salemba
Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan Teori dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Pramudiarja. (2014). Komplikasi yang Bisa Muncul Karena TBC. http://health.detik.com, diakses tanggal 15 Maret 2014.
Purwadi, D. (2014). Inilah Caranya Agar TBC Bisa Sembuh Total. http://bangka.tribunnews.com, diakses tanggal 12 Januari 2014.
Riadi,
M. (2014). Teori Kecemasan. http://www.kajianpustaka.com, diakses tanggal 2 Januari 2014.
Sudayasa, P. (2010). Indonesia Sehat 2010. http://www.puskel.com, diakses tanggal 5 Maret 2014. Sugiyono. 2009. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta.
Suryo, J. (2010). Penyembuhan Gangguan Sistem Pernapasan. Yogyakarta: Mizan. Stephen, P.R. (2011). Organisasi Behavior. Cetakan ke-7. Alih Bahasa: Dr. Hadyana Pujoatmoko. Jakarta: PT. Prehaltindo.
Syafrizal dan Hasanbasri. (2006). Pengelolaan Penanganan Pengobatan Tuberkulosis. Jakarta: KMPK Universitas Gadjah Mada. Wawan, A. dan Dewi, M. (2010). Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Manusia; Dilengkapi Contoh Kuesioner. Yogyakarta: Nuha Medika. Wuryanto dan Nurul, I. (2014). Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Keteraturan Berobat Penyakit Tuberkulosis di Kecamatan Semarang Utara tahun 2011. Jurnal FKM UNDIP, Nomor 2, Volume III, Tahun 2014.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
PERBEDAAN KOMPRES HANGAT (SPONGE) DAN KOMPRES DINGIN DENGAN KOMBINASI ANTIPIRETIK TERHADAP PENURUNAN SUHU TUBUH ANAK DEMAM TIFOID DI RUANG ANAK RSUD MAJALENGKA KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2015 Oleh :
Rina Nuraeni ABSTRAK Banyak penyakit yang tanda awalnya demam terutama yang menyerang anak diantaranya demam tifoid. Di Indonesia demam tifoid terdapat dalam kesadaan endemik. Penderita anak yang ditemukan biasanya berumur diatas satu tahun. Diperkirakan 182.519 anak yang di rawat di RSU di Indonesia terdiagnosa demam tifoid (Depkes RI, 2004), menurut catatan Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka selama Januari sampai Desember 2013 sebanyak 1.226 anak terdiagnosa demam tifoid, tersebar di seluruh Puskesmas di wilayah kabupaten Majalengka. Menurut catatan medical rekord RSUD Majalengka , anak yang terjangkit demam tifoid sebanyak 408 orang (Januari sampai Desember 2013), di RSUD Cideres yang di rawat dengan diagnosa demam tifoid periode januari sampai desember 2013 berjumlah 118 orang. Usia anak yang di rawat bervariasi antara 1 bulan sampai 14 tahun. Penelitian ini merupakan penelitian Quasi Experimen dengan tujuan untuk menyelidiki hubungan sebab akibat dengan cara mengadakan intervensi kepada satu kelompok eksperimen, kemudian hasil (akibat) dari intervensi tersebut dibandingkan (Notoatmodjo, 2005). Dalam penelitian ini akan diketahui apakah ada perbedaan antara kompres hangat (Sponge) dan kompres dingin terhadap penurunan suhu tubuh pada anak demam tifoid. Dari hasil penelitian, memperlihatkan hasil penurunan suhu tubuh dari kedua metode kompres tersebut, dengan rata-rata penurunan suhu pada kompres hangat (sponge) kombinasi antipiretik sebesar 1,99C dan kompres dingin kombinasi antipiretik sebesar 1,14C. Hasil penelitian ini diharapkan pula dapat menstimulasi perawat untuk menggunakan metode kompres hangat (sponge) disamping pemberian antipiretik untuk membantu mengatasi peningkatan suhu tubuh anak dengan demam tifoid.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
I.
PENDAHULUAN Salah satu pijakan perawat dalam memberikan pelayanan dan menjalankan profesinya terhadap klien adalah pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Hirarki kebutuhan dasar manusia menurut Maslow adalah sebuah teori yang dapat digunakan perawat untuk memahami hubungan antara kebutuhan dasar manusia pada saat memberikan perawatan. Menurut teori ini,beberapa kebutuhan manusia tertentu lebih dasar dari kebutuhan lainnya, oleh karena itu beberapa kebutuhan harus dipenuhi sebelum kebutuhan yang lain. Salah satu kebutuhan dasar manusia yang menjadi prioritas menurut hirarki Maslow adalah kebutuhan fisiologis yang didalamnya adalah temperatur. Tubuh dapat berfungsi secara normal hanya dalam rentang temperatur yang sempit 37C (98,6F) 1C . Gangguan temperatur lebih sering diderita oleh anak-anak dibandingkan orang dewasa karena mekanisme pertahanan tubuh dan sistem pengatur suhu tubuhnya belum sempurna seperti orang dewasa (Widjaya, 2002). Keluhan yang sering diutarakan oleh orang tua atau keluarga yang erat kaitannya dengan gangguan temperatur adalah demam. Anak dikatakan demam bila suhu rektal lebih dari 38C (100,4F) (Widjaya, 2002). Banyak penyakit yang tanda awalnya demam terutama yang menyerang anak diantaranya demam tifoid. Tifoid dan paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan Sallmonella Typhi yang termasuk pada jenis bakteri gram negatif. Demam paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukan manifestasi klinis yang sama atau menyebabkan enteritis akut. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua
umur, tetapi yang paling sering pada anak besar antara usia 5-9 tahun, ditemukan hampir sepanjang tahun terutama musim panas. Penularannya dapat terjadi dimana dan kapan saja, sejak usia seseorang mulai dapat mengkonsumsi makanan dari luar, salah satu faktor pencetus terjadinya penyakit demam tifoid yaitu akibat makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih. Demam tifoid biasanya didahului oleh demam yang terus menerus lebih dari satu minggu, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore hari. Keluhan lainnya dari demam tifoid ini adalah perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,pusing, tidak bersemangat, nyeri tekan perut bagian atas, nafsu makan berkurang, dan dapat berlanjut pada gangguan kesadaran. Terjadinya demam pada tifoid disebabkan karena endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri merangsang sintesis dan pelepasan pirogen sehingga menimbulkan demam. Secara umum mekanisme masuknya penyakit ke dalam tubuh sampai menyebabkan timbulnya demam berkaitan dengan adanya pirogen eksogen (bakteri, virus, komplek antigen anti bodi) yang menstimulasi host inflammatory cell (makrofag, netrofil, sel kuffer) untuk memproduksi pirogen endogen ( interleukin-1, inteurleukin -6, tumor nekrosis, pirogen sitokin) interleukin -1 dianggap identik dengan pirogen endogen. Interleukin -1 merangsang endotelium hipotalamus meningkatkan sintesa prostaglandin dan neurotransmitter di hipotalamus yang bekerja di preoptik hipotalamus anterior untuk meningkatkan set poin. Dengan meningkatnya set-point, maka hipotalamus mengirim sinyal untuk meningkatkan suhu tubuh dengan demikian timbulah demam (Sodeman, 1995).
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Demam dapat mengakibatkan peningkatan denyut jantung, respirasi, vasodilatasi pembuluh darah, berkeringat, nyeri kepala, nyeri sendi, malaise, kurang nafsu makan, gelisah, dan susah tidur. Demam yang tinggi dapat membahayakan bagi penderitanya terutama pada anak, bila suhu > 41C akan menyebabkan kerusakan otak permanen, sedangkan bila suhu > 43C akan menimbulkan sengatan panas bahkan kematian (Patricia & Potter, 2005). Untuk mencegah akibat yang berbahaya dari demam tinggi dan untuk mengurangi ketidaknyamanan pada anak yang mengalami demam tersebut, maka diperlukan upaya pemeliharaan suhu tubuh berupa penurunan suhu tubuh ke tingkat normal. Upaya penurunan suhu tubuh dapat dilakukan baik secara farmakologi maupun non farmakologi. Secara farmakologi dapat diberikan antipiretik, sedangkan non farmakologi dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti kompres hangat (sponge), kompres dingin, selimut hipotermi, air conditioner atau kipas angin (Mark,1998).Apabila farmakologi dan non farmakologi digabungkan untuk menurunkan suhu akan didapatkan hasil yang lebih baik daripada hanya dengan memberikan antipiretik (Friedman & Barton, 1990:Steela dkk, 1990 dikutip oleh Velasco, 2000). Selain dengan metode yang telah disebut diatas, pemberian hidrasi yang adekuat merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan karena demam berkaitan dengan kehilangan cairan dan elektrolit. Berperannya kompres dingin dalam menurunkan suhu tubuh berkaitan dengan mekanisme konduksi yang didasarkan atas azas fisika bahwa panas tubuh akan berpindah ke alat kompres yang di tempelkan karena suhu alat kompres lebih dingin dari
tubuh (Laurie, 2005), akan tetapi penggunaan kompres dingin seringkali menyebabkan penderita merasa kedinginan dan tidak nyaman. Sedangkan penggunaan antipiretik bertujuan untuk memperbaiki set point di hipothalamus dengan memblok zat seperti prostaglandin dan interleukin yang menyebabkan peningkatan termoregulasi,dimana obat akan bekerja setelah 30 menit kemudian (Velasco, 2000). Di Indonesia demam tifoid terdapat dalam kesadaan endemik. Penderita anak yang ditemukan biasanya berumur diatas satu tahun. Diperkirakan 182.519 anak yang di rawat di RSU di Indonesia terdiagnosa demam tifoid (Depkes RI, 2004), menurut catatan Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka selama Januari sampai Desember 2013 sebanyak 1.226 anak terdiagnosa demam tifoid, tersebar di seluruh Puskesmas di wilayah kabupaten Majalengka. Menurut catatan medical rekord RSUD Majalengka , anak yang terjangkit demam tifoid sebanyak 408 orang (Januari sampai Desember 2013), di RSUD Cideres yang di rawat dengan diagnosa demam tifoid periode januari sampai desember 2013 berjumlah 118 orang. Usia anak yang di rawat bervariasi antara 1 bulan sampai 14 tahun. Menurut Sacharin (1998) mekanisme pengatur suhu pada anak tidak berkembang secara penuh hingga umur anak mencapai 3-4 tahun. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka subyek penelitian ini adalah anak umur 3-14 tahun dengan diagnosa demam tifoid, dan mengalami demam pada minggu pertama. Intervensi yang biasa dilakukan di ruang perawatan anak RSUD Majalengka jika anak mengalami demam khususnya demam tifoid karena belum adanya protap, adalah
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
dengan menggunakan kompres hangat dan kompres dingin dengan menggunakan air biasa atau air es dan pemberian antipiretik bila suhu tubuh 38,5C atau lebih. Kompres dilakukan di bagian kepala, ketiak, dan lipat paha, selain dengan metode tersebut pemberian kompres dengan cara Sponge (menyeka seluruh tubuh) belum pernah dilakukan di ruang anak RSUD Majalengka. Sedangkan metode penurunan suhu tubuh dengan menggunakan selimut hipotermi dan AC tidak dilakukan karena keterbatasan fasilitas tersebut, dan yang memungkinkan dapat diterapkan
II. METODELOGI PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini merupakan penelitian Quasi Experimen dengan tujuan untuk menyelidiki hubungan sebab akibat dengan cara mengadakan intervensi kepada satu kelompok eksperimen, kemudian hasil (akibat) dari intervensi tersebut dibandingkan (Notoatmodjo, 2005). Dalam penelitian ini akan diketahui apakah ada perbedaan antara kompres hangat (Sponge) dan kompres dingin terhadap penurunan suhu tubuh pada anak demam tifoid. Dalam design ini observasi / pengukuran dilakukan sebanyak dua
di ruang anak RSUD Majalengka adalah dengan kompres hangat, kompres dingin, dan kipas angin. Melihat efek demam terhadap anak serta untuk menambah data tentang metode penurunan suhu tubuh yang efektif, dan belum adanya prosedur tetap untuk penanganan demam, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang perbedaan metode kompres hangat (sponge) dan kompres dingin dengan kombinasi antipiretik terhadap penurunan suhu tubuh pada anak demam tifoid di ruang perawatan anak RSUD Majalengka.
1 2
kali yaitu observasi sebelum eksperimen (O1) disebut pre test dan observasi sesudah eksperimen (O2) disebut pos test. Perbedaan O1 dan O2 yakni O2 - O1, diasumsikan sebagai efek treatment atau eksperimen (Arikunto, 2006), kemudian efek treatment dari kedua group ini dibandingkan hasilnya. Pola : Kelompok eksperimen O1 X1 O2 Kelompok eksperimen O1 X2 O2 O1 : Pretest
X : Kompres hangat / Sponge (X1) dan Kompres dingin (X2). O2 : Pos test
III. HASIL PENELITIAN 4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Identifikasi Kelompok Penelitian Pada penelitian ini kelompok 1 dan 2 diberikan perlakuan untuk menurunkan suhu tubuh secara non farmakologi yang dikombinasikan dengan antipiretik. Kedua tindakan ini dilakukan pada anak umur 3-14 tahun
dengan diagnosa demam tifoid dan mengalami peningkatan suhu tubuh lebih dari 38,5C pada minggu pertama. Setelah dilakukan tindakan dilihat selisih penurunan suhu sebelum dan setelah tindakan, apabila hasil rata-rata penurunan suhu dari 10 orang responden yang diberikan perlakuan didapatkan hasil lebih
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
besar dari kelompok yang lain, menunjukan bahwa metode yang digunakan untuk menurunkan suhu pada anak lebih efektif dibandingkan
metode penurunan suhu lain pada penelitian ini. Data hasil penelitian tercantum pada tabel 4.1 sebagai berikut : antipiretik terhadap penurunan suhu tubuh anak demam tifoid di ruang anak RSUD Majalengka Tahun 2015.
Tabel 4.1 Selisih penurunan suhu tubuh pada kelompok kompres hangat kombinasi antipiretik dan kompres dingin kombinasi
Nama Kelompok Tindakan Kelompok 1 Kompres Hangat Kelompok 2 Kompres Dingin (Sponge)
Subyek
Umur
Suhu Awal
Suhu Akhir Selisih
1 3 th 38,9C 36,8C 2 6 th 39,5C 37,6C 3 8 th 39,7C 37,1C 4 5 th 39C 36,9C 5 3 th 38,7C 36,7C 6 4 th 39,1C 37,4C 7 5 th 39,6C 37,4C 8 10 th 38,7C 36,9C 9 5 th 39,2C 37,3C 10 4,5th 38,8C 37,2C Rata- rata penurunan suhu (mean) Standar deviasi Varians
2,1C 1,9C 2,6C 2,1C 2,0C 1,7C 2,2C 1,8C 1,9C 1,6C 1,99C 0,2846 0,081
Umur
Suhu Awal
Suhu Akhir Selisih
4 tn 38,9C 37,7C 6 th 38,7C 37,8C 12 th 39,8C 37,9C 3 th 38,9C 37,9C 9,5th 39,3C 38,4C 4 th 39,9C 38,5C 8 th 38,8C 37,9C 6 th 39C 37,6C 9 th 38,9C 38,1C 4 th 39C 38C Rata-rata penurunan suhu Standar deviasi Varians
1,2C 0,9C 1,9C 1,0C 0,9C 1,4C 0,9C 1,4C 0,8C 1,0C 1,14C 0,3406 0.116
Tabel 4.1 memperlihatkan hasil penurunan suhu tubuh dari kedua metode kompres tersebut, dengan rata-rata penurunan suhu pada
kompres hangat (sponge) kombinasi antipiretik sebesar 1,99C dan kompres dingin kombinasi antipiretik sebesar 1,14C.
Berdasarkan tabel 4.2 diatas rata-rata penurunan suhu tubuh pada anak 3-5
tahun lebih kecil dibandingkan dengan kelompok umur anak 6-12 tahun.
4.1.2. Identifikasi Kelompok Penelitian Berdasarkan Umur Tabel 4.2 Rata - rata penurunan suhu berdasarkan kelompok umur Kelompok Umur Kelompok Hangat Kelompok Kompres Dingin (Sponge) 3 - 5 tahun 1,9C 1,2C 6 - 14 tahun 2,1C 1,1C
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
4.2. Analisa Data 4.2.1. Analisa Univariat Tabel 4.3 Penurunan suhu tubuh setelah dilakukan tindakan kompres hangat (Sponge) kombinasi antipiretik Variabel Penurunan Suhu :
- Kompres Hangat
N
Mean
10
1,99
Tabel 4.2 menjelaskan tentang hasil uji dengan menggunakan bantuan SPSS,di dapatkan rata-rata penurunan setelah diberikan tindakan kompres hangat (sponge) dengan kombinasi Tabel 4.4 Penurunan suhu tubuh setelah dilakukan kompres dingin kombinasi antipiretik pada anak Variabel Penurunan Suhu :
- Kompres Dingin
N
Mean
10
1,44
Dari tabel 4.3 dapat dilihat rata – rata penurunan suhu setelah diberikan tindakan kompres dingin dengan kombinasi antipiretik ratarata 1,14C, dengan standar deviasi 0,3406C, penurunan suhu terendah 1,80C dan terbesar 1,90C. Sebelum pengujian hipotesis dengan menggunakan rumus t-tes yang akan digunakan , dilakukan pengujian homogenitas varians kedua sampel apakah homogen atau tidak. Pengujian homogenitas varians
pada anak demam tifoid di ruang anak RSUD Majalengka Tahun 2015. Std Deviation
Min-Mak
0,2846
1,60 - 2,60
antipiretik rata-rata 1,99C, dengan standar deviasi 0,2846C dan penurunan suhu terendah 1,6C dan terbesar 2,6C. demam tifoid di ruang anak RSUD Majalengka Tahun 2015. Std Deviation
Min-Mak
0,3406
1,80 - 1,90
digunakan dengan melihat nilai F pada penghitungan dengan SPSS (terlampir pada lampiran), pada nilai f didapatkan hasil f = 0,403. Harga F hitung tersebut dibandingkan dengan F tabel (Lampiran), dengan dk pembilang = (10-1) dan dk penyebut = (10-1). Berdasarkan dk pembilang dan penyebut masing-masing = 9, dengan taraf kesalahan ditetapkan 5% , maka harga F tabel = 3,18. Dalam hal ini berlaku ketentuan, bila harga F hitung lebih kecil atau sama dengan F tabel,
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
maka Ho diterima dan Ha ditolak, Ho diterima berarti varians homogen. Dari hasil penghitungan diatas dapat dilihat bahwa F hitung lebih kecil dari F tabel (0,403 3,18), dengan demikian Ho diterima dan Ha ditolak, hal ini berarti varians homogen. Selain
4.2.2. Analisa Bivariat Tabel 4.5 Nilai Uji beda rata - rata penurunan suhu tubuh pada pemberian kompres hangat kombinasi antipiretik dan kompres
itu homogenitas varians dapat dilihat dengan melihat nilai signifikasi (terlampir pada lampiran), hasilnya nilai signifikan = 0,491. Nilai ini dibandingkan dengan = 0,05, apabila nilai signifikan 0,05 maka disimpulkan varians berbeda. dingin dengan kombinasi antipiretik pada anak yang mengalami demam tifoid di Ruang Anak RSUD Majalengka Tahun 2015
Variabel
Mean
SD
Penurunan Suhu: - Kompres Hangat - Kompres Dingin
1,9900 1,1400
0,2846 0,3406
Dari hasil pengolahan data diatas didapatkan bahwa nilai mean pada pemberian kompres hangat (sponge) dengan kombinasi antipiretik terhadap penurunan suhu tubuh pada anak dengan demam tifoid adalah 1,99
4.2.3. Pengujian Hipotesis Pada tahap ini pengujian hipotesis perlu dilakukan untuk mengetahui hipotesis yang digunakan sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh. Ha: Terdapat perbedaan metode kompres hangat (sponge) dan kompres dingin dengan kombinasi antipiretik terhadap penurunan suhu tubuh anak demam tifoid. = 5 % IV. PEMBAHASAN Disamping hasil penelitian yang telah dipaparkan dalam uraian sebelumnya, uraian berikut ini adalah tentang pembahasan hasil penelitian tersebut dan relevansinya dengan tinjauan teoritis. Hasil penelitian antara penurunan suhu tubuh pada anak demam tifoid
t
P Value
N
6,056 6,056
0,0001 0,0001
10 10
dengan standar deviasi 0,2846, dan pada pemberian kompres dingin sebesar 1,14 dengan standar deviasi 0,3406,nilai t 6,056C dan nilai P value 0,0001. Berdasarkan tabel 4.5 dapat dilihat hasil penghitungan dengan SPSS dengan melihat nilai P value sebesar 0,0001 atau < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa dengan taraf signifikansi sebesar 5%, atau dengan derajat kepercayaan 95% Ha diterima, yang berarti ada perbedaan rata-rata (mean) penurunan suhu tubuh antara pemberian kompres hangat dan kompres dingin.
sebelum dan setelah dilakukan tindakan kompres hangat dan kompres dingin kombinasi antipiretik menunjukan adanya perbedaan. Hal ini dibuktikan dengan tes uji statistik dengan menggunakan uji t independen beda dua mean, dimana didapatkan nilai taraf signifikansi dibawah 0,05 yang berarti bahwa penurunan setelah tindakan
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
kompres hangat dan kompres dingin dilakukan memiliki perbedaan yang signifikan. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa penurunan suhu tubuh pada anak demam tifoid dengan pemberian kompres hangat kombinasi antipiretik lebih bermakna dibandingkan dengan pemberian kompres dingin. Dari tabel 4.1 memperlihatkan bahwa anak dengan demam tifoid yang diberikan tindakan kompres hangat (sponge) kombinasi antipiretik rata-rata suhu tubuhnya mengalami penurunan, yaitu 1,99C lebih besar bila dibandingkan dengan anak yang diberikan tindakan kompres dingin kombinasi anitipiretik dengan penurunan suhu rata-rata yaitu 1,14C. Dengan demikian membuktikan bahwa penurunan suhu pada anak demam dipengaruhi juga oleh metode penurunan panas yang digunakan, selain faktor - faktor lain yang dapat mempengaruhi suhu tubuh. Pada tabel 4.2 dapat dilihat juga penurunan suhu pada kelompok anak usia 3-5 tahun, lebih kecil dibandingkan dengan penurunan suhu tubuh pada kelompok anak usia 6-14 tahun, hal ini dikarenakan mekanisme kontrol pengatur suhu kelompok anak yang lebih kecil belum berkembang dengan sempurna dibandingkan kelompok anak yang lebih besar (Sacharin,1998). Dengan melihat selisih penurunan suhu yang berbeda - beda banyak faktor yang mempengaruhi penurunan suhu tubuh, diantaranya umur, variasi diurnal, exercise,cairan, hormon, lingkungan, dan stres. Pada penelitian ini subyek umur anak berbeda dimana pada anak dengan umur 3-6 tahun mengalami penurunan suhu yang lebih kecil dibandingkan dengan anak umur 812 tahun. Hal ini disebabkan kontrol pengaturan suhu pada kelompok anak yang lebih kecil belum berkembang
dengan sempurna dibandingkan kelompok umur yang lebih besar. Metode kompres hangat (sponge) kombinasi antipiretik dengan rata-rata penurunan suhu 1,99C lebih besar menurunkan suhu tubuh dibandingkan kompres dingin, pada dasarnya disebabkan kompres hangat dapat menyebabkan pembuluh darah di kulit berdilatasi dan sirkulasi darah menjadi lebih baik. Dengan demikian darah akan lebih banyak mengangkut panas dari inti tubuh ke permukaan kulit, kecepatan aliran darah yang tinggi menyebabkan panas yang disalurkan dari inti ke kulit menjadi sangat efisien, selanjutnya akan terjadi proses radiasi, konduksi, konveksi, dan evaporasi. Selain itu vasodilatasi dari pembuluh darah kulit juga dapat menurunkan insulatif kulit sebagai isolator tubuh sehingga panas yang sampai ke kulit dari pembuluh darah akan lebih cepat dikeluarkan ke lingkungan (Guyton, 1997). Pendapat ini didukung oleh Stevens (1999) yang menyatakan bahwa dengan pemakaian kompres hangat diharapkan supaya penyaluran zat asam dan makanan ke sel-sel diperbesar dan pembuangan dari zat-zat yang dibuang akan diperbaiki , jadi akan timbul pertukaran zat yang lebih baik, sehingga meningkatkan penyediaan oksigen dalam jaringan tersebut dan menyebabkan vasodilatasi. Kompres dingin dapat berperan terhadap penurunan suhu tubuh saat demam, dapat dilihat dari tabel 4.1 dengan penurunan suhu rata-rata 1,14C. Hal ini berkaitan dengan proses kehilangan panas secara konduksi. Pada kompres dingin terjadi kontak antara waslap handuk basah dengan permukaan kulit, molekul yang lebih panas akan bertabrakan dengan molekul yang lebih dingin sehingga akan terjadi pemindahan panas dari tubuh yang lebih panas ke waslap handuk yang lebih dingin sehingga suhu tubuh akan turun.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Jumlah panas yang dipindahkan sebanding dengan perbedaan suhu antara obyek yang berkontak Ditunjang dengan penggunaan air sebagai media untuk menurunkan suhu tubuh, dimana air mempunyai konduktifitas yang lebih besar dari udara sehingga kecepatan kehilangan panas ke air yang bersuhu lebih rendah daripada suhu tubuh akan lebih besar daripada kecepatan kehilangan panas dari tubuh ke udara (Guyton,1997). Kompres dingin dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah sehingga kehilangan panas dari tubuh lebih kecil dibandingkan dengan ketika pembuluh darah berdilatasi, hal ini disebabkan karena pada saat vasokontriksi panas meninggalkan tubuh langsung melalui lapisan isolator kulit sehingga efeknya menghemat jumlah pengeluaran panas dalam tubuh (Guyton, 1995).
Kedua metode ini dikombinasikan dengan obat antipiretik yaitu Sanmol, penggunaan antipiretik pada anak demam bertujuan untuk mencegah kerusakan otak yang disebabkan oleh peningkatan suhu tubuh. Antipiretik akan memblok zat seperti prostaglandin dan interleukin yang dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh sehingga suhu di set poin akan turun (Velasco, 2000). Setelah suhu di set poin turun, tubuh akan merespon dengan mengeliminasikan panas. Metode kompres hangat (sponge) dan kompres dingin pada penelitian ini digunakan untuk meningkatkan efektifitas kerja obat antipiretik, sehingga penurunan suhu yang diperoleh lebih besar.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan Dari hasil penelitian tentang “Perbedaan Kompres Hangat (Sponge) dan Kompres Dingin dengan Kombinasi Antipiretik pada anak demam tifoid di Ruang Perawatan Anak RSUD Majalengka Tahun 2015” dapat disimpulkan bahwa : 1. Kompres hangat (sponge) dengan kombinasi antipiretik yang dilakukan pada anak demam tifoid diperoleh hasil penurunan suhu antara 1,60C 2,60C, dengan hasil rata-rata penurunan suhu sebesar 1,99C. 2. Kompres dingin dengan kombinasi antipiretik yang dilakukan pada anak demam tifoid diperoleh hasil penurunan suhu antara 0,80C–1,90C, dengan rata - rata penurunan suhu sebesar 1,14C.
3.
Ada perbedaan yang signifikan dari penurunan suhu tubuh pada anak demam tifoid dengan menggunakan kompres hangat (sponge ) dan kompres dingin yang di kombinasikan dengan antipiretik. Dimana penurunan suhu pada anak demam tifoid bersuhu 38,5C atau lebih dengan menggunakan kompres hangat (sponge) kombinasi antipiretik lebih besar dibandingkan dengan menggunakan kompres dingin yang di kombinasikan dengan antipiretik. 5.2. Saran 1. Hasil penelitian ini, khususnya kompres hangat (sponge) dengan suhu air 37C yang dikombinasikan dengan antipiretik sebaiknya digunakan untuk membantu mengatasi peningkatan
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
suhu tubuh anak demam tifoid diatas suhu 38,5C. 2. Penggunaan kompres dingin pada suhu lebih dari 38,5C sebaiknya tidak digunakan lagi, karena dapat menimbulkan kedinginan, ketidak nyamanan pada anak dan dapat membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga panas yang dikeluarkan oleh tubuh akan lebih sedikit. 3. Hasil penelitian ini diharapkan pula dapat menstimulasi perawat untuk menggunakan metode kompres hangat (sponge) disamping pemberian antipiretik untuk membantu mengatasi peningkatan suhu tubuh anak dengan demam tifoid.
4. Dengan hasil penelitian ini, diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk membantu Rumah Sakit dalam membuat kebijakan - kebijakan untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan demam, khususnya pada anak dengan demam tifoid. 5. Hasil penelitian ini diharapkan dapat ditindaklanjuti melalui penelitian lebih lanjut tentang keefektifan metode kompres hangat sponge dalam menurunkan subuh tubuh pada anak demam tifoid.
DAFTAR PUSTAKA Dorland, K.P. dkk, 1998. Kamus Saku Kedokteran. Dialih bahasakan oleh : Yulianti. D. Jakarta : EGC.
Laurie, C. 2005. Sains Dalam Keperawatan. Dialih bahasakan oleh : Palupi Widyastuti. Jakarta : EGC.
----------------. 1997. Fisologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta : EGC.
Marks,
Guyton, A.C. 1995. Fisologi dan Mekanisme Jakarta : EGC.
Hasting,
Manusia Penyakit.
D. 2006. Pedoman Keperawatan di rumah. Dialih bahasakan oleh: Yulianti.D. Jakarta: EGC.
Merenstein, G. B. 2001. Buku Pengantar Pediatri. Dialih bahasakan oleh Hunardja S. ed. 17. Jakarta Widya Medika.
G.M. 1998 : Broadribb’s Introductory Pediatric Nursing. Philadelphia : Lippincott.
Hidayat. A.A. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Tehnik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika
Notoatmojo. 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Kozier, B. Erb, dan K. Blais. 1995. Fundamentals of Nursing: Consepts,Prosess, and Practice. California: Addison-Wesley.
Roshdhal, C.B. 1999. Textbook of basic Nursing. Sevent Ecition.
Kozier, B. 1991. Fundamental of nursing : Consept, Process and Practice. California : Addison Wesley Company.
Potter, P.A. & Perry, Ajar Keperawatan Proses, dan bahasakan Komalasari,
A.G . 2005. Buku Fundamental : Konsep, Praktek. Dialih oleh Renata Jakarta : EGC
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Philadelphia Wilkins.
:
William’s
and
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak . FKUI. 2005. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Infomedika.
Sacharin, M.R. 1998. Prinsip Keperawatan Pediatric. Dialih bahasakan oleh : Maulang. RF, Jakarta : EGC. Sugiyono. 2007. Metodologi Penelitian Keperawatan. Bandung: C.V Alfabeta. Soegijanto, S. 2002. Ilmu Penyakit , Diagnosa & Penatalaksanaan. Jakarta : Salemba Medika.
Stevens, P. J. M. 1999. Ilmu Keperawatan. Dialih bahasakan oleh J.A. Tomasowa, Jakarta : EGC.
Vellasco, M. dkk. 2000. Pediatric Nursing Review. New York: The M.C Grow Hill Companies.
Widjaya,M.C. 2003. Mencegah dan mengatasi demam pada balita. Jakarta : Kawan Pustaka. Young, J.J. 2005. Prosedur Perawatan di rumah : Pedoman Untuk Perawat. Dialih bahasakan oleh: Ester Monica. Jakarta : EGC.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG POSISI TUBUH YANG TEPAT SAAT BEKERJA DENGAN FREKUENSI NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA PEKERJA PABRIK GENTENG TOHAGA JATIWANGI TAHUN 2014 Oleh :
Sri Wahyuni
ABSTRAK Nyeri punggung bawah merupakan problematik keluhan nyeri yang paling banyak ditemukan dan sangat mengganggu aktifitas kerja sehari-hari. Di pabrik Genteng Tohaga Kecamatan Jatiwangi didapatkan 20 pekerja pabrik tentang nyeri punggung bawah pada umumnya mereka pernah mengalami nyeri punggung bawah 12 kali. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk hubungan pengetahuan tentang posisi tubuh yang tepat saat bekerja dengan frekeunsi nyeri punggung bawah pada pekerja Pabrik Genteng Tohaga Jatiwangi Tahun 2014 Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja pabrik genteng Tohaga Jatiwangi yaitu sebanyak 206 orang. Sampel yang diambil menggunakan teknik total sampling. Hasil penelitian menunjukkan Sebagian kecil pekerja pabrik genteng Tohaga Jatiwangi dengan frekuensi nyeri punggung bawah sering yaitu sebanyak 43 orang (20,9%). Pengetahuan pekerja tentang posisi tubuh yang tepat saat bekerja kurang dari setengahnya berpengetahuan kurang yaitu sebanyak 37 orang (39,4%). Ada hubungan antara pengetahuan tentang posisi tubuh yang tepat saat bekerja dengan Frekeunsi nyeri punggung bawah pada pekerja pabrik Genteng Tohaga Jatiwangi Tahun 2014. Saran ditunjukan bagi pekerja pabrik agar meningkatkan pengetahuan tentang nyeri NPB agar dapat mengurangi resiko nyeri NPB, dan uapay pencegahannya dapat dilakukan dengan berkonsultasi kepada petugas kesehatan. Kepustakaan Kata Kunci
: 28 Sumber (1999 – 2010) : Frekuensi Nyeri Punggung Bawah
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
I.
PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) dan Undang -Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, bahwa melalui pembangunan kesehatan salah satu hak dasar masyarakat yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dapat dipenuhi. Pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai dasar untuk peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dapat diukur melalui Index Pembangunan Manusia (IPM). Kesehatan merupakan salah komponen utama dalam IPM yang dapat mendukung terciptanya SDM yang sehat, cerdas, terampil dan ahli menuju keberhasilan Pembangunan Kesehatan (Depkes RI, 2010). Masalah kesehatan yang berkaitan dengan SDM yang sehat adalah masalahmasalah kesehatan yang berhubungan dengan penyakit salah satunya adalah nyeri punggung bawah. NPB adalah nyeri yang dirasakan daerah punggung bawah, dapat merupakan nyeri lokal maupun nyeri radikular atau keduanya. Nyeri ini terasa diantara sudut iga terbawah dan lipat bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau lumbo-sakral dan sering disertai dengan penjalaran nyeri ke arah tungkai dan kaki. Nyeri yang berasal dari daerah punggung bawah dapat dirujuk ke daerah lain atau sebaliknya nyeri yang berasal dari daerah lain dirasakan di daerah punggung bawah (referred pain) (Sadeli, 2009). Nyeri punggung bawah merupakan salah satu keluhan yang dapat menurunkan produktivitas manusia, 80% penduduk di negara maju pernah mengalami nyeri punggung bawah, prosentasenya meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Penyebab nyeri punggung sangat beraneka ragam dari yang ringan sampai berat. Walaupun nyeri punggung bawah jarang fatal namun nyeri yang dirasakan
menyebabkan penderita mengalami keterbatasan fungsional dan banyak kehilangan jam kerja, sehingga merupakan alasan dalam mencari pengobatan (Kambodji, 2002). Faktor risiko terjadinya NPB adalah usia, kondisi kesehatan yang buruk, masalah psikologik dan psikososial, artritis degeneratif, merokok, skoliosis mayor (kurvatura >80o), obesitas, tinggi badan yang berlebihan, hal yang berhubungan pekerjaan seperti duduk dan mengemudi dalam waktu lama, duduk atau berdiri berjam-jam (posisi tubuh kerja yang statik), getaran, mengangkat, membawa beban, menarik beban, membungkuk, memutar, dan kehamilan (Lubis, 2003) Kebanyakan kejadian nyeri punggung bawah tidak mengakibatkan kecacatan tapi menyebabkan gangguan aktivitas kerja. Menurut studi di Amerika Serikat, 80% manusia yang pernah mencapai usia 50 tahun, sekali dalam hidupnya pasti pernah mengalami backpain. Ini yang menyebabkan nyeri punggung bawah lalu menjadi masalah dibanyak negara, karena seringkali mempengaruhi produktivitas kerja. Di negara industri seperti Indonesia, nyeri punggung bawah banyak menyerang pekerja usia produktif sekitar 20-40 tahun (Arda, 2007). Nyeri punggung bawah merupakan problematik keluhan nyeri yang paling banyak ditemukan dan sangat mengganggu aktifitas kerja sehari-hari meskipun berbagai upaya penanggulangan dan penatalaksanaan terapi selalu dikaji tetapi hasilnya masih belum optimal. Insiden nyeri punggung bawah yang paling banyak dijumpai pada pekerja atau karyawan sebagai akibat dari kelainan mekanika gerak atau postural yang berlangsung dalam jangka waktu lama
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Faktor resiko terjadinya nyeri punggung bawah karena tegangnya postur tubuh, obesitas, kehamilan, faktor psikologi dan beberapa aktivitas yang dilakukan dengan tidak benar seperti mengangkat barang yang berat dan berdiri yang lama. Otot yang tegang terus menerus akan menimbulkan rasa pegal, misalnya sikap duduk, tidur, berjalan, atau berdiri yang salah (berdiri lama) (Arnita, 2006). Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi diseluruh aspek kehidupan masyarakat terutama dalam bidang kesehatan, diikuti pula dengan bertambahnya masalah kesehatan dikalangan masyarakat yang berupa gangguan gerak fungsional yang mengakibatkan aktifitas fungsional dalam kehidupan sehari-hari menjadi terganggu. Terganggunya aktivitas fungsional itu di karenakan otot-otot di daerah punggung bagian bawah nyeri. Berdsarkan hasil studi pendahuluan di pabrik Genteng Tohaga Kecamatan Jatiwangi didapatkan jumlah pekerja pabrik genteng selama tahun 2014 sebanyak 206 orang. Hasil wawancara dengan 20 pekerja pabrik tentang nyeri punggung bawah pada
II. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. yaitu suatu penelitian dimana variabel-variabel yang termasuk efek diobservasi sekaligus pada waktu yang sama
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan terhadap variabel dari hasil penelitian. Laporan hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel dan narasi yang meliputi pengetahuan tentang posisi
umumnya mereka pernah mengalami nyeri punggung bawah 12 kali dalam sebulan. Selain itu pengetahuan pekerja tentang posisi yang tepat saat bekerja juga masih kurang, yaitu sebanyak 15 pekerja tidak tahu tentang posisi yang tepat saat bekerja. Penanganan yang dilakukan oleh pekerja pada umumnya hanya dengan berbaring terlentang atau dengan minum obat warung dan jamu. Pengetahuan pekerja tentang gangguan nyeri punggung bawah sangat penting untuk meminimalisir resiko nyeri punggung bawah, karena pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Dari pengalaman penelitian tertulis bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Berdasarkan data-data dan uraian diatas peneliti akan meneliti lebih lanjut tentang “Hubungan Pengetahuan tentang Posisi Tubuh Yang Tepat Saat Bekerja dengan Frekeunsi Nyeri Punggung Bawah (NPB) Pada Pekerja Pabrik Genteng Tohaga Jatiwangi Tahun 2014”. (Notoatmodjo, 2002:148). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja pabrik genteng Tohaga Jatiwangi yaitu sebanyak 206 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja pabrik genteng Tohaga Jatiwangi yaitu sebanyak 206 orang.
4.1.1
tubuh yang tepat saat bekerja dan frekeunsi nyeri punggung bawah pada pekerja pabrik genteng Tohaga Jatiwangi Tahun 2014.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
4.1.1.1 Gambaran Frekuensi Nyeri Punggung Bawah Pada Pekerja Pabrik Genteng Tohaga Jatiwangi Tahun 2014. Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Nyeri Punggung Bawah Pada Pekerja Pabrik Genteng Tohaga Jatiwangi Tahun 2014. Frekuensi Nyeri Punggung Bawah Sering Tidak Sering
f 43 163 206
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2014 Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa sebagian kecil pekerja pabrik genteng Tohaga Jatiwangi dengan frekuensi nyeri punggung bawah sering yaitu sebanyak 43 orang (20,9%) dan
% 20,9 79,1 100.0
sebagian besar pekerja pabrik genteng Tohaga Jatiwangi dengan frekuensi nyeri punggung bawah tidak sering sebanyak 163 orang (79,1%).
4.1.1.2 Gambaran Pengetahuan Tentang Posisi Tubuh Yang Tepat Saat Bekerja Pada Pekerja Pabrik Genteng Tohaga Jatiwangi Tahun 2014. Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Tentang Posisi Tubuh Yang Tepat Saat Bekerja Pada Pekerja Pabrik Genteng Tohaga Jatiwangi Tahun 2014. Pengetahuan Tentang Posisi Tubuh Yang Tepat Saat Bekerja Kurang Cukup Baik
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2014 Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat pengetahuan pekerja tentang posisi tubuh yang tepat saat bekerja sebagian kecil pekerja berpengetahuan kurang yaitu sebanyak 51 orang (24,8%), lebih
Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan terhadap 2 variabel yang diduga berhubungan satu sama lain, dapat dalam
f
51 111 44 206
%
24,8 53,9 21,4 100.0
dari setengahnya berpengetahuan cukup yaitu sebanyak 111 orang (53,9%) dan sebagian kecil pekerja berpengetahuan baik yaitu sebanyak 44 orang (21,4%).
4.1.2
kedudukan yang sejajar pada pendekatan komparasi dan kedudukan yang merupakan sebab akibat (experimentasi).
4.1.2.1 Hubungan Pengetahuan Tentang Posisi Tubuh Yang Tepat Saat Bekerja dengan Frekeunsi Nyeri Punggung Bawah pada pekerja Pabrik Genteng Tohaga Jatiwangi Tahun 2014 Tabel 4.3
Hubungan Pengetahuan Tentang Posisi Tubuh Yang Tepat Saat Bekerja dengan Frekeunsi Nyeri Punggung Bawah pada pekerja Pabrik Genteng Tohaga Jatiwangi Tahun 2014
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Pengetahuan Tentang Posisi Tubuh Yang Tepat Saat Bekerja Kurang Cukup Baik Jumlah
Frekeunsi Nyeri Punggung Bawah Sering Tidak Sering n % n % 23 45,1 28 54,9 9 8,1 102 91,9 11 25,0 33 75,0 43 20,9 163 79,1
Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa kurang dari setengahnya pekerja pabrik genteng Tohaga yang berpengetahuan kurang dan mengalami frekuensi NPB sering sebanyak 23 (45,1%), sedangkan sebagain kecil pekerja pabrik genteng Tohaga yang berpengetahuan baik dan mengalami frekuensi NPB sering sebanyak 19 orang (25,0%).
IV. PEMBAHASAN 1. Gambaran Frekuensi Nyeri Punggung Bawah Pada Pekerja Pabrik Genteng Tohaga Jatiwangi Tahun 2014 Sebagian kecil pekerja pabrik genteng Tohaga Jatiwangi mengalami frekuensi nyeri punggung bawah sering yaitu sebanyak 43 orang (20,9%). Masih banyaknya pekerja yang mengalami nyeri punggung bawah dikarenakan beban kerja yang cukup berat, jam kerja yang cukup lama, produksi yang berlebihan dibandingkan dengan jumlah pekerja dan pengetahuan pekerja yang kurang memahami tentang sikap kerja yang baik. Hal ini akan bedampak pada seringnya nyeri yang dialami oleh pekerja Pabrik Genteng Tohaga Jatiwangi Tahun 2014. Keluhan nyeri punggung bawah yang paling banyak dialami pada pekerja pabrik genteng Tohaga adalah 8 kali dalam sebulan, dan hanya sebagian kecil saja pekerja mengalami keluhan nyeri yaitu 4 kali
Total n 51 111 44 206
% 100.0 100 100.0 100.0
p value 0.000
Perbedaan proporsi ini menunjukkan hasil yang bermakna dapat terlihat dari uji chi square, yakni p value = 0. 000 kurang dari nilai α (0,05) yang berarti hipotesis nol ditolak atau ada hubungan antara pengetahuan tentang posisi tubuh yang tepat saat bekerja dengan Frekeunsi nyeri punggung bawah pada pekerja pabrik Genteng Tohaga Jatiwangi Tahun 2014. dalam sebulan. Tingginya frekuensi yang dialami pekerja akan berdampak pada produktifitas, kesehatan pekerja dan lebih fatal lagi akan mengalami kelumpuhan. Nyeri punggung bawah merupakan problematik keluhan nyeri yang paling banyak ditemukan dan sangat mengganggu aktifitas kerja sehari-hari meskipun berbagai upaya penanggulangan dan penatalaksanaan terapi selalu dikaji tetapi hasilnya masih belum optimal. Insiden nyeri punggung bawah yang paling banyak dijumpai pada pekerja atau karyawan sebagai akibat dari kelainan mekanika gerak atau postural yang berlangsung dalam jangka waktu lama Nyeri punggung bawah merupakan salah satu keluhan yang dapat menurunkan produktivitas manusia, 80% penduduk di negara maju pernah mengalami nyeri punggung bawah, prosentasenya meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Penyebab nyeri
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
punggung sangat beraneka ragam dari yang ringan sampai berat. Walaupun nyeri punggung bawah jarang fatal namun nyeri yang dirasakan menyebabkan penderita mengalami keterbatasan fungsional dan banyak kehilangan jam kerja, sehingga merupakan alasan dalam mencari pengobatan (Kambodji, 2002) Nyeri punggung bawah pada pekerja berat seringkali merupakan hasil dari metode mengangkat salah dan postur mengangkat berulang, membungkuk, dan memutar gerakan dari batang tubuh dapat mempengaruhi tingkat keparahan dan frekuensi nyeri punggung bawah. Pengetahuan pekerja tentang posisi tubuh sangat dibutuhkan untuk mengurangi resiko nyeri punggung bawah berulang. Hal-hal yang dapat mempengaruhi timbulnya nyeri punggung bawah adalah kebiasaan duduk, bekerja membungkuk dalam waktu yang relatif lama, mengangkat dan mengangkut beban dengan sikap yang tidak ergonomis, tulang belakang yang tidak normal, atau akibat penyakit tertentu seperti penyakit degeneratif (Setyawati, 2003) Dalam melakukan pekerjaan, seseorang atau sekelompok pekerja berisiko mendapat kecelakaan ataupun penyakit akibat kerja. Penyakit akibat kerja merupakan penyakit yang timbul karena hubungan kerja atau yang disebabkan oleh pekerjaan dan sikap kerja (Sulistiono, dkk, 2003) Upaya pekerja dalam meminimalisir resiko nyeri punggung bawah agar berkonsulltasi dengan petugas kesehatan, tentang cara pencegahan dan pengobatan nyeri punggung bawah. 2. Gambaran Pengetahuan Tentang Posisi Tubuh Yang Tepat Saat Bekerja Pada Pekerja Pabrik
Genteng Tohaga Jatiwangi Tahun 2014 Dari hasil penelitian didapatkan, kurang dari setengahnya pekerja pabrik genteng Tohaga Jatiwangi tahun 2014 berpengetahuan kurang tentang posisi tubuh yang tepat saat bekerja yaitu sebanyak 51 orang (24,8%). Dari hasil penelitian menunjukan masih banyak pekerja yang berpengetahuan kurang tentang posisi tubuh yang tepat saat bekerja, hal beresiko pekerja mengalami nyeri punggung bawah dibandingkan dengan pekerja yang berpengetahuan baik. Pengetahuan pekerja tentang nyeri punggung bawah banyak responden yang tidak mengetahui tentang berdiri dengan posisi yang benar pada saat bekerja yaitu bobot badan terbagi rata pada kedua tungkai dan posisi mengangkat beban dari posisi berdiri langsung membungkuk mengambil beban adalah posisi yang salah. Selain itu ada juga pekerja yang tidak tahu cara mengangkat beban yang benar seperti duduk sambil mengangkat beban lalu berdiri. Sejalan dengan teori Slamet (1999) menyatakan bahwa pengetahuan dapat diperoleh dari pendidikan atau pengamatan serta informasi yang didapat seseorang. Pengetahuan dapat menambah ilmu dari seseorang serta merupakan proses dasar dari kehidupan manusia. Melalui pengetahuan, manusia dapat melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua aktivitas yang dilakukan para pekerja seperti dalam melaksanaan pekerjaan tidak lain adalah hasil yang diperoleh dari pengetahuan. Menurut Bloom dan skinner dalam Notoatmodjo (2003) pengetahuan adalah kemampuan seseorang untuk mengungkapkan
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
kembali apa yang diketahuinya dalam bentuk bukti jawaban baik lisan ataupun tulisan. Jawaban tersebut merupakan suatu reaksi dari suatu stimulasi yang berupa pertanyaan baik lisan ataupun tulisan Menurut Mubarak (2007) pengetahuan adalah informasi yang telah dikombinasikan dengan pemahaman dan potensi untuk menindaki; yang lantas melekat di benak seseorang. Pada umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan prediktif terhadap sesuatu sebagai hasil pengenalan atas suatu pola. Manakala informasi dan data sekedar berkemampuan untuk menginformasikan atau bahkan menimbulkan kebingungan, maka pengetahuan berkemampuan untuk mengarahkan tindakan. Ini lah yang disebut potensi untuk menindaki Teori mengatakan pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior), dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang disadari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak disadari oleh pengetahuan, sebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan. Upaya pekerja agar menambah wawsan dengan mencari informasi baru melalui media elektronik atau media cetak untuk menambah pengetahuan mengenai posisi tubuh yang tepat saat bekerja, karena dengan pengetahuan yang baik pekerja dapat mengurangi resiko terjadi nyeri punggung bawah. 3. Hubungan Pengetahuan Tentang Posisi Tubuh Yang Tepat Saat Bekerja Dengan Frekeunsi Nyeri Punggung Bawah pada Pekerja Pabrik Genteng Tohaga Jatiwangi Tahun 2014
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan uji chi square yakni p value (0.000) kurang dari nilai α (0,05) yang menunjukkan bahwa ada hubungan pengetahuan tentang posisi tubuh yang tepat saat bekerja dengan frekeunsi nyeri punggung bawah pada pekerja pabrik genteng Tohaga Jatiwangi Tahun 2014. Faktor risiko di tempat kerja yang banyak menyebabkan gangguan otot rangka terutama adalah kerja fisik berat, penanganan dan cara pengangkatan barang, gerakan berulang, posisi atau sikap tubuh selama bekerja (awkward posture), getaran, dan kerja statis. Oleh karena itu, pengetahuan pekerja sangat diperlukan dalam penelusuran penyebab serta penanggulangan keluhan ini. Pengetahuan pekerja tentang gangguan nyeri punggung bawah sangat penting untuk meminimalisir resiko nyeri punggung bawah, karena pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Dari pengalaman penelitian tertulis bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003) Pekerja perlu mendapatkan edukasi tentang cara bekerja yang baik, dalam hal ini yang terkait dengan gangguan NPB. Edukasi dapat meliputi teknik mengangkat beban, posisi tubuh saat bekerja, peregangan, dan sebagainya. Lebih lanjut juga diberikan exercise atau latihan untuk otot perut dan punggung untuk meningkatkan kekuatan, fleksibilitas, dan ketahanan dari punggung bawah Tidak ada kesenjangan antara teori dan hasil penelitian dilapangan bahwa asumsi adanya hubungan antara pengetahuan tentang posisi tubuh yang tepat saat
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
bekerja dengan frekeunsi nyeri punggung bawah pada pekerja pabrik Genteng Tohaga Jatiwangi Tahun 2014 terbukti secara hipotesis. Bila memang ada faktor risiko pekerjaan terhadap timbulnya NPB di tempat kerja, maka perlu dilakukan upaya kontrol. Upaya ini dapat meliputi pengadaan mesin pengangkat, ban berjalan, dan sebagainya. Adanya regulasi khusus dari perusahaan mengenai pembatasan jumlah beban yang dapat diangkat oleh pekerja adalah langkah yang baik. Demikian juga
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai “Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Posisi Tubuh Yang Tepat Saat Bekerja dengan Frekeunsi Nyeri Punggung Bawah Pada Pekerja Pabrik Genteng Tohaga Jatiwangi Tahun 2014” dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Sebanyak 43 orang pekerja pabrik Tohaga mengalami nyeri punggung bawah sering (20,9%) 2. Sebanyak 37 orang pekerja pabrik Tohaga berpengetahuan kurang (39,4%) 3. Ada hubungan antara pengetahuan tentang posisi tubuh yang tepat saat bekerja dengan Frekeunsi nyeri punggung bawah pada pekerja pabrik Genteng Tohaga Jatiwangi Tahun 2014
5.1 Saran 5.1.1 Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan lebih menambah pustaka dan literatur kesehatan ataupun aspek lainnya yang berhubungan dengan kebutuhan
halnya dengan pembatasan waktu bekerja. Walaupun belum didapatkan bukti yang kuat bahwa modifikasi faktor risiko dapat mencegah kejadian NPB, namun setidaknya dapat meningkatkan kesehatan pekerja secara umum Upaya pekerja agar menambah pengetahuan tentang posisi tubuh yang tepat saat bekerja untuk mengurangi resiko nyeri punggung bawah, dengan cara berkosnultasi dengan petugas kesehatan atau dengan temen pekerja yang sudah berpengalaman.
mahasiswa dalam melakukan penelitian. 5.1.2 Bagi Pekerja Pabrik Pekerja pabrik dapat meningkatkan pengetahuan dengan membaca artikel, bukubuku ataupun melalui media internet untuk mengurangi resiko nyeri punggung bawah. 5.1.3 Bagi Pengelola Pabrik Memberikan penyuluhan tentang nyeri NPB dan posisi tubuh yang tepat saat bekerja dengan mendatangkan tenaga ahli dibidangnya. Adanya regulasi khusus dari perusahaan mengenai pembatasan jumlah beban yang dapat diangkat oleh pekerja adalah langkah yang baik. Menghindari faktor risiko dapat mencegah kejadian NPB, namun setidaknya dapat meningkatkan kesehatan pekerja secara umum 5.1.4 Bagi Peneliti Mengaplikasikan ilmu yang didapat selama melakukan penelitian dilapangan dalam kondisi nyata, khususnya mengenai masalah yang berhubungan dengan upaya pencegahan.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
DAFTAR PUSTAKA Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka _______. 2005. Manajemen Rineka Cipta : Jakarta.
Penelitian.
_______. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta Arda, 2007. Overweight Sebagai Faktor Resiko Low Back Pain. http://kedokteran.unsoed.ac.id Arnita.
2006. Faktor Resiko Nyeri Punggung Bawah. https://docs.google.com/
Azwar, 2000. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Budiarto. Depkes
2002. Biostatistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC
RI, 2010. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun. 2010-2014. Jakarta
Graber, 2006. Buku Saku Dokter Keluarga. Jakarta : EGC
Gulo, 2005. Metodologi Penelitian . Jakarta. Grasindo
Harsono. 2009. Nyeri Punggung Bawah. Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press. Lubis. 2003. Epidemiologi Nyeri Punggung Bawah. Dalam: Meliala L, Nyeri Punggung Bawah. Kelompok Studi Nyeri Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf, Jakarta, 2003.
Meliala L. Patofisiologi Nyeri pada Nyeri Punggung Bawah. Kelompok Studi Nyeri Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta, 2003.
Merulalia, 2010. Faktor Resiko Nyeri Punggung Bawah. http://repository.usu.ac.id Meliono, dkk. 2007. MPKT Modul 1. Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI.
Notoatmojo, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. PT. Rineka Cipta. _________,
2005. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan Ilmu Dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta
Purwanto. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif untuk Psikologi dan Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Sadeli, 2009. Nyeri Punggung Bawah Dalam: Nyeri Neuropatik, patofisioloogi dan penatalaksanaan. Jakarta : Kelompok Studi Nyeri Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Santoso.
2004. Ergonomi Manusia, Peralatan, dan Lingkungan. Sidoarjo. Prestasi Pustaka Publisher
Sekaran. 2000. Metodologi Penelitian Untuk Bisnis. Jakarta : Salemba Empat.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
HUBUNGAN KEMAMPUAN KELUARGA DALAM MERAWAT BALITA YANG ISPA DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) BERULANG PADA BALITA DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS JATIWANGI KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2014
Oleh :
Tintin Purnamasari
ABSTRAK Kejadian ISPA di wilayah kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi pada balita pada bulan Januari-April 2014 sebanyak 1.411 balita dan yang mengalami kejadian ISPA berulang mencapai 215 balita kejadian ISPA berulang salah satunya dipengaruhi oleh kurangnya kemampuan keluarga dalam merawat balita yang ISPA. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kemampuan keluarga dalam merawat balita yang ISPA dengan kejadian ISPA berulang pada balita di wilayah kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi Kabupaten Majalengka Tahun 2014. Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik yang bersifat deskriptif analitik menggunakan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang mempunyai balita dan mengalami ISPA di wilayah kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi pada bulan April tahun 2014 yaitu sebanyak 1.411 balita, dengan jumlah sampel sebanyak 94 balita. Sampel yang diambil menggunakan teknik simple random sampling, yaitu sampel diambil secara acak sederhana. Hasil penelitian menunjukkan kurang dari setengahnya balita mengalami ISPA berulang yaitu sebanyak 42 orang (44,7%). Kurang dari setengahnya keluarga yang merawat balita ISPA kurang baik sebanyak 37 orang (39,4%). Ada hubungan kemampuan keluarga dalam merawat balita yang ISPA dengan kejadian ISPA berulang pada balita di wilayah kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi Kabupaten Majalengka tahun 2014. Saran ditunjukan bagi petugas kesehatan agar meningkatkan pengetahuan masyarakat di bidang kesehatan lingkungan, khususnya tentang upaya keluarga dalam merawat balita yang ISPA agar kejadian ISPA berulang tidak terjadi. Keluarga agar berkonsultasi dengan petugas kesehatan tentang cara merawat balita yang ISPA. Kata Kunci
: Kejadian ISPA Berulang.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
I.
PENDAHULUAN Derajat kesehatan masyarakat dapat terwujud, dengan ditandai oleh penduduk-penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggitingginya diseluruh wilayah Republik Indonesia (Depkes, 2009). Untuk dapat mengukur derajat kesehatan masyarakat digunakan beberapa indikator, salah satunya adalah angka kesakitan dan kematian balita. Angka kematian balita yang telah berhasil diturunkan dari 45 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 44 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Salah satu penyebab kematian balita di Indonesia adalah karena ISPA (Depkes RI, 2010). Penyakit ISPA merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga kantong paru (alveoli) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus atau rongga disekitar hidung (sinus para nasal), rongga telinga tengah dan pleura (Departemen Kesehatan RI, 2009). World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO ± 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di Negara berkembang, dimana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh ± 4 juta anak balita setiap tahun (Asrun, 2006). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita di Indonesia,. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei
mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2010 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 23% dari seluruh kematian balita. Di Jawa Barat infeksi saluran nafas masih merupakan urutan pertama penyakit terbanyak pada balita, yakni sebesar 24,7% dari jumlah anak balita pada tahun 2013 (Depkes RI, 2013). Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka tahun 2013, kasus ISPA pada balita ditemukan sebanyak 39.154, sedangkan jumlah penderita ISPA pada balita terbanyak pada tahun 2011 berada di wilayah kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi yaitu sebanyak 4.904 balita (Dinkes Majalengka, 2013). Untuk menanggulangi meningkatnya angka kejadian ISPA ini pemerintah mengadakan program pemberantasan ISPA (P2 ISPA). Langkah melaksanakan program tersebut yaitu secara bertahap menentukan daerah yang akan dicakup program, menyelenggarakan pelatihan pada para pelaksana program, melibatkan peran serta aktif masyarakat dan mengupayakan terwujudnya kerjasama lintas sektoral dan lintas program serta penyuluhan tentang cara merawat anak khususnya pada usia 0-5 tahun, ditempat pelayanan kesehatan oleh petugas kesehatan (Depkes RI, 2002). Upaya perawatan yang harus dilakukan oleh perawat terkait dengan program yang telah ditetapkan oleh pemerintah adalah melakukan deteksi dini dari penyakit batuk pilek yang sering menyerang anak, memberikan penyuluhan pada keluarga tentang cara pencegahan dan kesegeraan membawa anak berobat ke pelayanan kesehatan dan memberikan perawatan yang optimal sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, sehingga mendapatkan hasil yang optimal dan memungkinkan dapat mencegah keparahan atau komplikasi (Mubarak, 2009). Adanya peran keluarga yang baik, dimungkinkan dapat menurunkan angka
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
kejadian ISPA, sebaliknya apabila peran yang kurang dari keluarga dapat menyebabkan peningkatan kejadian ISPA pada anak, dimana peran yang diharapkan dari keluarga adalah upaya keluarga dalam mencegah terjadinya ISPA pada balita. Keluarga dapat mengambil tindakan yang benar dalam upaya perawatan anak ISPA usia 0-5 tahun, sebaliknya tindakan yang kurang baik dari keluarga kemungkinan salah dalam mengambil tindakan perawatan anak yang sakit. Anak yang sakit perlu mendapatkan perhatian khusus, karena anak belum bisa mengenal dan menolong dirinya sendiri oleh karena itu diperlukan adanya peran keluarga dalam memberikan perawatan pada anak yang menderita ISPA agar tidak mengalami komplikasi yang lebih parah. Peran aktif keluarga dalam menangani ISPA sangat penting, karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang sangat sering terjadi dalam kehidupan keluarga. Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius, karena biasanya keluarga menganggap ISPA pada balita merupakan penyakit biasa yang sering timbul dan tidak berbahaya serta bisa menghilang dengan sendirinya. Padahal ISPA merupakan penyakit berbahaya karena bila keluarga membiarkan saja anaknya terkena ISPA dan tidak memberikan perawatan yang baik, dapat No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Desa
Jatiwangi Jatisura
Surawangi
Jumlah balita 522
Mekarsari
Sutawangi Cicadas
Burujul wetan Burujul kulon Total
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa angka kejadian ISPA di wilayah kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi
521 465 359 562 387 819 651
4.286
mengakibatkan penyebaran infeksi yang lebih luas, sehingga akhirnya infeksi menyerang saluran nafas bagian bawah dan selanjutnya akan menyebabkan radang paru-paru atau penumonia yang sangat berbahaya dan menyebabkan kematian. Selain itu upaya perawatan di rumah sangatlah penting dalam upaya penatalaksanaan anak dengan infeksi saluran pernafasan. Kesembuhan seorang anak dengan infeksi pernafasan sangat tergantung dari perawatan yang diberikan, salah satunya adalah perawatan di rumah yang diberikan oleh keluarga terutama oleh ibu. Selain itu perawatan kesehatan yang baik oleh keluarga juga dapat mencegah kekambuhan infeksi saluran pernafasan. Oleh karena itu, orangtua khususnya ibu, atau orang yang dekat dengan balita, harus melakukan pencegahan untuk mengurangi resiko terjadinya ISPA yang berulang pada balita dan memberikan perawatan di rumah yang baik ketika anaknya terkena ISPA. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di UPTD Pukesmas Jatiwangi didapatkan angka kejadian ISPA pada Bulan Januari – April 2014 seperti pada tabel dibawah ini : Tabel 1.1 Rekapitulasi Angka Kejadian ISPA di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Januari –April 2014 Balita ISPA
ISPA tidak berulang
166
137
153 162 157 184 158 237 194
1.411
125
ISPA berulang 28
130
27
134 157 134 204
175 1.196
28 29 27 24 33 19
215
pada balita pada bulan Januari-April 2014 sebanyak 1.411 balita dan yang mengalami kejadian ISPA berulang
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
mencapai 215 balita. Hasil wawancara di dapatkan dari 16 keluarga yang mengalami balita ISPA, sebanyak 9 keluarga atau sebesar (56,25%) kemampuan keluarga dalam merawat balita yang ISPA masih kurang. Berdasarakan uraian diatas penulis merasa tertarik untuk menliti lebih lanjut tentang “Hubungan Kemampuan Keluarga dalam Merawat Balita yang ISPA dengan Kejadian ISPA Berulang Pada Balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi Kabupaten Majalengka Tahun 2014”. Tujuan Penelitian diketahuinya hubungan kemampuan keluarga dalam merawat balita yang ISPA dengan kejadian ISPA berulang pada balita di wilayah kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi Kabupaten Majalengka Tahun 2014 - Diketahuinya gambaran kejadian II. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik yang bersifat deskriptif analitik menggunakan rancangan cross sectional yaitu jenis penelitian yang menentukan pada waktu pengukuran/ observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat. Populasi merupakan seluruh objek atau objek dengan karakteristik tertentu yang akan diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang mempunyai balita (usia 0-5 tahun) dan mengalami ISPA di wilayah kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi pada bulan April tahun 2014 yaitu sebanyak 1.411 balita. Sampel penelitian adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sebagian keluarga yang mempunyai balita (usia 0-5 tahun) dan mengalami ISPA di wilayah kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi
-
-
ISPA berulang di wilayah kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Diketahuinya gambaran kemampuan keluarga dalam merawat balita yang ISPA di wilayah kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Diketahuinya hubungan kemampuan keluarga dalam merawat balita yang ISPA dengan kejadian ispa berulang pada balita di wilayah kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi Kabupaten Majalengka Tahun 2014
pada bulan Mei-Juni tahun 2014 sebanyak 94 balita. Cara Pengambilan Sampel prosedur pengambilan sampel ini menggunakan ”pengambilan sampel secara acak sederhana (simple random sampling)”. Hakikat dari pengambilan sampel secara acak sederhana adalah bahwa setiap anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel. Alat ukur yang digunakan untuk pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan cara menyebarkan kuesioner yang akan diujikan kepada responden. Kejadian ISPA berulang diukur dengan angket dan diisi oleh ibu balita, sedangkan kemampuan keluarga dengan memberikan sejumlah pertanyaan kepada ibu balita dengan format jawaban ya dan tidak.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
III. HASIL PENELITIAN Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA Berulang di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi Kabupaten Majalengka tahun 2014. Kejadian ISPA Berulang ISPA Berulang ISPA tidak Berulang Jumlah
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa kurang dari setengahnya balita mengalami ISPA berulang yaitu sebanyak 42 orang (44,7%) dan lebih
% 44,7 55,3 100.0
f 42 52 94
dari setengahnya balita mengalami ISPA tidak berulang sebanyak 52 orang (55,3%).
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Balita yang ISPA di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi Kabupaten Majalengka Tahun 2014. Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Balita yang ISPA Kurang Baik Baik Jumlah
Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat kurang dari setengahnya keluarga mampu merawat balita yang ISPA kurang baik yaitu sebanyak 37
%
f
37 57 94
39,4 60,6 100.0
orang (39,4%) dan lebih dari setengahnya keluarga mampu merawat balita yang ISPA deangan baik yaitu sebanyak 57 orang (60,6%).
Tabel 4.3 Hubungan Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Balita Yang ISPA dengan Kejadian ISPA Berulang Pada Balita Di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Balita Yang ISPA Kurang Baik Baik Jumlah
Kejadian ISPA Berulang ISPA Tidak ISPA Berulang Berulang n % n % 23 62,2 14 37,8 19 33,3 38 66,7 42 44,7 52 55,3
Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa kurang dari setengahnya kemampuan keluarga dalam merawat balita yang ISPA kurang baik dan mengalami kejadian ISPA berulang sebanyak 23 (62,2%), sedangkan
n 37 57 94
Total
% 100 100 100
p value 0.011
kurang dari setengahnya kemampuan keluarga dalam merawat balita yang ISPA dengan baik dan mengalami kejadian ISPA berulang sebanyak 19 orang (33,3%).
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Perbedaan proporsi ini menunjukkan hasil yang bermakna dapat terlihat dari uji chi square, yakni p value = 0. 011 kurang dari nilai α (0,05) yang berarti hipotesis nol ditolak atau ada hubungan kemampuan
IV. PEMBAHASAN Dari hasil penelitian didapatkan kurang dari setengahnya balita di wilayah kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi Kabupaten Majalengka Tahun 2014 mengalami ISPA berulang yaitu sebanyak 42 orang (44,7%). Balita yang mengalami kejadian ISPA berulang perlu mendapat penanganan khusus dari petugas kesehatan, karena biasa memperparah keadaan penyakitnya. Masih ditemukannya pasien yang mengalami kejadian ISPA berulang dikarenakan faktor lingkunganseperti cuaca yang dingin, polusi udara karena keberadaan pabrik genteng hasil pembakaran, pemenuhan gizi yang kurang pada balita, ketidaktahuan ibu terhadap lingkungan yang kotor tidak terawat dengan baik terutama saluran air yang mampet dan maish minimnya saran informasi tentang pancegahan ISPA pada balita. Selain itu faktor kemampuan ibu balita yang kurang dalam merawat balita yang ISPA, kondisi rumah yang padat hunian, selain itu keadaan status gizi bayi yang kurang baik sehingga balita mudah terserang penyakit terutama pneumonia. Hasil ini sesuai dengan teori Suprianto (2003) ISPA merupakan penyakit yang terjadi pada balita yang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kemampuan keluarga dalam merawat balita, keadaan rumah yang tidak sehat dan lingkungan yang menguntungkan sebagai tempat perkembangan bibit penyakit dan juga udara sebagai perantara dengan kualitas dan kuantitas tertentu. Sejalan dengan teori Hidayat (2005) menyatakan bahwa risiko balita mengalami kejadian ISPA berulang akan meningkat jika tinggal di rumah dengan kondisi keluarga tidak
keluarga dalam merawat balita yang ISPA dengan kejadian ISPA berulang pada balita di wilayah kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi Kabupaten Majalengka Tahun 2014. mampu merawat balita yang ISPA dengan baik. Menurut Priyati (2001) faktor risiko yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas ISPA diantaranya adalah keadaan keluarga yang tidak mampu memenuhi syarat kesehatan seperti perawatan terhadap balita yang ISPA. Upaya petugas kesehatan yang harus dilakukan terkait dengan adannya kejadian ISPA berulang adalah melakukan deteksi dini dari penyakit batuk pilek yang sering menyerang anak, memberikan penyuluhan pada keluarga tentang cara pencegahan dan kesegeraan membawa anak berobat ke pelayanan kesehatan dan memberikan perawatan yang optimal sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, sehingga mendapatkan hasil yang optimal dan memungkinkan dapat mencegah keparahan atau komplikasi. Untuk menanggulangi meningkatnya angka kejadian ISPA ini pemerintah mengadakan program pemberantasan ISPA (P2 ISPA). Langkah melaksanakan program tersebut yaitu secara bertahap menentukan daerah yang akan dicakup program, menyelenggarakan pelatihan pada para pelaksana. Dari hasil penelitian didapatkan kurang dari setengahnya kemampuan keluarga merawat balita yang ISPA kurang baik yaitu sebanyak 37 orang (39,4%) di wilayah kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi Kabupaten Majalengka Tahun 2014. Masih ditemukannya ibu yang merawat balitanya kurang baik dikarenakan tidak adanya pendidikan khusus tentang perawatan balita yang ISPA, selama ini informasi yang diperleh kleuarga hanya bersumber pada konseling dari petugas kesehatan, latar belakang pendidikan yang rendah juga turut mempengaruhi kemampuan merawat
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
balita. Fakor lingkungan yang sebagian besar pekerja pabrik genteng atau sebagai buruh sehingga berdampak pada kurangnya pengetahuan kesehatan. Kurangnya kemampuan keluarga dalam merawat balita dapat dilihat dari kebersihan di dalam dan di luar rumah tidak dijaga, rumah tidak mempunyai jamban yang sehat, dan sumber air bersih berasal dari sumur yang kotor. Air buangan dan pembuangan sampah tidak diatur dengan baik, asap dapur dan asap rokok berkumpul didalam rumah, karena banyak keluarga yang perokok dan dapur menggunakan kayu bakar dan banyak keluarga yang tidak mengenali tandatanda gawat darurat pada anak yang menderita ISPA. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Mubarak (2009) upaya perawatan yang harus dilakukan oleh perawat terkait dengan program yang telah ditetapkan oleh pemerintah adalah melakukan deteksi dini dari penyakit batuk pilek yang sering menyerang anak, memberikan penyuluhan pada keluarga tentang cara pencegahan dan kesegeraan membawa anak berobat ke pelayanan kesehatan dan memberikan perawatan yang optimal sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, sehingga mendapatkan hasil yang optimal dan memungkinkan dapat mencegah keparahan atau komplikasi. Adanya peran keluarga yang baik, dimungkinkan dapat menurunkan angka kejadian ISPA, sebaliknya apabila peran yang kurang dari keluarga dapat menyebabkan peningkatan kejadian ISPA pada anak, dimana peran yang diharapkan dari keluarga adalah upaya keluarga dalam mencegah terjadinya ISPA pada balita. Keluarga dapat mengambil tindakan yang yang sesuai dengan anjuran tenaga kesehatan dalam upaya perawatan anak ISPA usia 0-5 tahun, sebaliknya tindakan yang kurang baik dari keluarga kemungkinan salah dalam mengambil tindakan perawatan anak yang sakit. Anak yang sakit perlu mendapatkan perhatian khusus, karena anak belum bisa mengenal
dan menolong dirinya sendiri oleh karena itu diperlukan adanya peran keluarga dalam memberikan perawatan pada anak yang menderita ISPA agar tidak mengalami komplikasi yang lebih parah. Selain itu upaya perawatan di rumah sangatlah penting dalam upaya penatalaksanaan anak dengan infeksi saluran pernafasan. Kesembuhan seorang anak dengan infeksi pernafasan sangat tergantung dari perawatan yang diberikan, salah satunya adalah perawatan di rumah yang diberikan oleh keluarga terutama oleh ibu. Perawatan kesehatan yang baik oleh keluarga juga dapat mencegah kekambuhan infeksi saluran pernafasan. Oleh karena itu, orangtua khususnya ibu, atau orang yang dekat dengan balita, harus melakukan pencegahan untuk mengurangi resiko terjadinya ISPA yang berulang pada balita dan memberikan perawatan di rumah yang baik ketika anaknya terkena ISPA. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan uji chi square yakni p value (0.011) kurang dari nilai α (0,05) yang menunjukkan bahwa ada hubungan kemampuan keluarga dalam merawat balita yang ISPA dengan kejadian ISPA berulang pada balita di wilayah kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi Kabupaten Majalengka Tahun 2014. Peran aktif keluarga dalam menangani ISPA sangat penting, karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang sangat sering terjadi dalam kehidupan keluarga. Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius, karena biasanya keluarga menganggap ISPA pada balita merupakan penyakit biasa yang sering timbul dan tidak berbahaya serta bisa menghilang dengan sendirinya. Padahal ISPA merupakan penyakit berbahaya karena bila keluarga membiarkan saja anaknya terkena ISPA dan tidak memberikan perawatan yang baik sangat beresiko mengalami kejadian ISPA berulang dan dapat mengakibatkan penyebaran infeksi yang lebih luas, sehingga akhirnya infeksi menyerang saluran nafas bagian bawah dan
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
selanjutnya akan menyebabkan radang paru-paru atau penumonia yang sangat berbahaya dan menyebabkan kematian. Selain itu upaya perawatan di rumah sangatlah penting dalam upaya penatalaksanaan anak dengan infeksi saluran pernafasan. Kesembuhan seorang anak dengan infeksi pernafasan sangat tergantung dari perawatan yang diberikan, salah satunya adalah perawatan di rumah yang diberikan oleh keluarga. Selain itu perawatan kesehatan yang baik oleh keluarga juga dapat mencegah kekambuhan infeksi saluran pernafasan. Oleh karena itu, orang tua khususnya ibu, atau orang yang dekat dengan balita, harus melakukan pencegahan untuk mengurangi resiko terjadinya ISPA yang berulang pada balita
dan memberikan perawatan di rumah yang baik ketika anaknya terkena ISPA. Tidak ada kesenjangan antara teori dengan hasil penelitian dilapangan bahwa asumsi adanya hubungan antara kemampuan keluarga dalam merawat balita yang ISPA dengan kejadian ISPA berulang pada balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi Kabupaten Majalengka tahun 2014. Upaya petugas kesehatan dalam penanganan balita dengan kasus ISPA berulang agar memberikan penyuluhan tentang perwatan balita yang ISPA dirumah dan upaya pencegahan terjadinya ISPA berulang. Selain itu ibu balita juga harus memerhatikan asupan gizi balita dengan berkosultasi kepada petugas kesehatan.
1. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai “Hubungan Kemampuan Keluarga dalam Merawat Balita yang ISPA dengan Kejadian ISPA Berulang Pada Balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi Kabupaten Majalengka Tahun 2014” dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : - Sebanyak 42 orang (44,7%) balita di wilayah kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi Kabupaten Majalengka tahun 2014 mengalami ISPA berulang. - Sebanyak 37 orang (39,4%) balita di wilayah kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi Kabupaten Majalengka tahun 2014 keluarga kurang baik dalam merawat balita ISPA. - Ada hubungan yang signifikan antara kemampuan keluarga dalam merawat balita yang ISPA dengan kejadian ISPA berulang pada balita di wilayah kerja UPTD Puskesmas Jatiwangi Kabupaten Majalengka tahun 2014, dengan nilai p (0,011)
2. SARAN Bagi Institusi Pendidikan diharapkan lebih menambah pustaka dan literatur kesehatan ataupun aspek lainnya yang berhubungan dengan kebutuhan mahasiswa dalam melakukan penelitian. Bagi UPTD Pukesmas Jatiwangi : - Petugas kesehatan agar memberikan penyuluhan kepada ibu balita tentang bahaya ISPA berulang dan upaya pencegahannya dengan merawat balita yang ISPA dengan baik. - Orangtua khususnya ibu, atau orang yang dekat dengan balita, harus melakukan pencegahan untuk mengurangi resiko terjadinya ISPA yang berulang pada balita dan memberikan perawatan di rumah yang baik ketika anaknya terkena ISPA - Petugas kesehatan dalam penanganan balita dengan kasus ISPA berulang agar memberikan penyuluhan tentang perwatan balita yang ISPA dirumah dan upaya pencegahan terjadinya ISPA berulang. Selain itu ibu balita juga harus memerhatikan asupan gizi balita dengan berkosultasi kepada petugas kesehatan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Bagi Peneliti penelitian ini perlu dikembangkan lebih lanjut dengan menggunakan parameter lain untuk
mengukur variabel yang diteliti dengan ukuran yang dan metode yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Jakarta : Renika Cipta
Efendy, 2007. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Alsagaff & Mukty, 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Cetakan kesepuluh, Airlangga University Press. Surabaya.
Friedman, 1999. Keperawatan Keluarga : Teori dan Praktik. Jakarta : EGC.
Arikunto, 2005. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta : Jakarta
Asrun, 2006. Faktor Risiko Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa) Pada Balita. http://syair79.wordpress.com.
Azwar, 2000. Sikap Manusia Teori Skala dan Pengukurannya. Jakarta: Pustaka Pelajar Depkes
RI, 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita, Ditjen PPM-PLP. Jakarta.
________, 2009. Profil Departemen 2009
Kesehtan 2009. Kesehatan RI,
________, 2010. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta : Depkes RI
Dinas Kesehatan Majalengka. 2011. Profil Dinas Kesehatan Majalengka. Majalengka : Dinkes Majalengka. Dinas Kesehatan Majalengka. 2009. Profil Dinas Kesehatan Majalengka. Majalengka : Dinkes Majalengka.
Effendy. 1998. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Hidayat,
2007. Metode Penelitian Keperawatan dan teknik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika.
Maramis, Willy F. 2006. Ilmu Perilaku Dalam Pelayanan Kesehatan. Surabaya: Universitas Airlangga. Mubarak. 2007. Buku ajar : Kebutuhan dasar manusia. Jakarta : EGC.
Nita, 2008. Mengetahui Status Gizi Balita Anda. Available online at http://www.medicastore.com/ artikel (diakses tanggal 14 April 2014).
Notoatmodjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta Notoatmodjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-prinsip Dasar). Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Notoatmodjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Nurfani,
2003 http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/08
Nursalam, 2003. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika Sekaran.
2000. Metodologi Penelitian Untuk Bisnis. Jakarta : Salemba Empat
Setiadi, 2008. Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta : Graha Ilmu
Siswono, 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka Saluicion
G, dkk.2009. Seri Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan
Vietha.
Gawat Darurat Medis. Binarupa Aksara. Jakarta. 2009. Askep pada Sepsis Neonatorum. Available from: http://viethanurse.wordpress.c om/2008/12/01/askep-padasepsis-neonatorum.
Widoyono, 2008 Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga. Yasir,
2009. Askep pada Sepsis Neonatorum. Available from: http://viethanurse.wordpress.c om/2008/12/01/askep-padasepsis-neonatorum
Zaidin Ali, 2009. Pengantar Keperawatan Keluarga, Jakarta : EGC Http://pugud.blogspot.com/2008/05/pat ofisiologi-ispa.html
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
PENGARUH TEKNIK RELAKSASI TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA PASIEN POST OPERASI LAPARATOMI SAAT PERAWATAN LUKA DI RSUD MAJALENGKA TAHUN 2014 Oleh: Tresna Komalasari
ABSTRAK Teknik relaksasi dengan pernafasan dapat mengendalikan nyeri dengan meminimalkan aktifitas simpatik dalam sistem saraf otonom. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di RSUD Majalengka bahwa pasien yang mendapatkan relaksasi saat perawatan luka menyatakan bahwa rasa nyeri yang dirasakan berkurang dibanding sebelum relaksasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh teknik relaksasi terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post operasi laparatomi saat perawatan luka di RSUD Majalengka Tahun 2014. Penelitian ini menggunakan quasi eksperimen dengan desain one group pre test-post test design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien post operasi laparatomi di RSUD Majalengka pada bulan Mei sampai dengan Juni tahun 2014 dan didapat jumlah sampel sebanyak 34 responden. Uji hipotesis yang digunakan yaitu uji T-berpasangan (Paired t-test). Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas nyeri pada pasien post operasi laparatomi saat perawatan luka sebelum teknik relaksasi diperoleh rata-rata sebesar 6,176 dan sesudah teknik relaksasi diperoleh rata-rata sebesar 4,117. Terdapat pengaruh teknik relaksasi terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post operasi laparatomi saat perawatan luka di RSUD Majalengka Tahun 2014 ( value = 0,000). Teknik relaksasi dapat dijadikan sebagai salah satu terapi yang bisa diberikan pada setiap pasien post operasi laparatomi saat perawatan luka untuk mengatasi intensitas nyeri yang dialami oleh pasien.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
I.
PENDAHULUAN Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun psikologis, yang tentunya bertujuan untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan. Kebutuhan dasar manusia dalam hirarki Maslow terdapat lima kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keselamatan dan keamanan, kebutuhan mencintai dan dicintai, kebutuhan harga diri serta kebutuhan aktualisasi diri (Asmadi, 2010). Hidup sehat dan sembuh dari penyakitnya merupakan kebutuhan dasar manusia akan keselamatan dan keamanan. Pada manusia yang sedang sakit sangat mengharapkan perawatan yang optimal serta merasa nyaman dalam menjalani proses perawatannya. Salah satu kebutuhan dasar yang sangat dibutuhkan oleh pasien pembedahan adalah penyembuhan yang cepat dan nyeri yang dirasakan tidak mengancam keselamatannya. Kondisi tersebut muncul karena pada pasien pembedahan termasuk laparatomi berkaitan dengan adanya luka pada bagian abdomen (Wong, 2009). Laparatomi merupakan salah satu prosedur pembedahan mayor, dengan melakukan penyayatan pada lapisan-lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan bagian organ abdomen yang mengalami masalah (hemoragi, perforasi, kanker dan obstruksi). Laparatomi dilakukan pada kasus-kasus seperti apendisitis perforasi, hernia inguinalis, kanker lambung, kanker colon dan rectum, obstruksi usus, inflamasi usus kronis, kolestisitis dan peritonitis (Randhianto, 2008). Laporan Kementerian Kesehatan RI menyebutkan jumlah kasus laparatomi di Indonesia meningkat dari 3.281 kasus pada tahun 2011 dan 3.625 kasus pada tahun 2014. Persentase jumlah kasus laparatomi yang ditangani di rumah sakit pemerintah sebesar 38,5% dan rumah
sakit swasta sebesar 60,5% (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Jumlah kasus laparatomi pada tahun 2014 di beberapa rumah sakit di Provinsi Jawa Barat yaitu di Rumah Sakit Dokter Hasan Sadikin Bandung sebanyak 220 kasus dan di Rumah Sakit Umum Gunung Jati Cirebon sebanyak 102 kasus (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2014). Pembedahan dengan laparatomi perlu mendapatkan perawatan maksimal baik ketika sedang dilakukan pembedahan maupun setelah pembedahan, hal ini dilakukan agar proses penyembuhan pasien dapat berlangsung dengan cepat. Luka akibat pembedahan pada umumnya berukuran besar dan dalam sehingga membutuhkan waktu penyembuhan yang lama. Hal ini akan mengganggu pasien dalam melakukan aktivitas dan dapat menurunkan kualitas hidup pasien, sehingga menimbulkan ketergantungan, meningkatkan kebutuhan akan perawatan atau pelayanan dan meningkatkan biaya perawatan (Priharjo, 2013). Beberapa masalah yang sering muncul pada luka paska pembedahan, diantaranya adalah luka yang mengalami stres selama masa penyembuhan akibat nutrisi yang tidak adekuat, gangguan sirkulasi dan perubahan metabolisme yang dapat meningkatkan risiko lambatnya penyembuhan luka (Potter dan Perry, 2011). Menurut Karakata (2010), pada luka bersih dan dirawat dengan baik maka luka akan sembuh lebih cepat, sedangkan menurut Sjamsuhidajat (2009), proses penyembuhan luka disebabkan oleh gangguan sistem imun yang akan menghambat dan mengubah reaksi tubuh terhadap luka berupa rasa nyeri. Intervensi untuk mengurangi ketidaknyamanan atau nyeri pada pasien laparatomi yaitu intervensi nyeri non farmakologis, salah satunya dengan
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
menggunakan teknik relaksasi. Teknik relaksasi membantu pengembangan otot, sehingga menurunkan intensitas nyeri atau meningkatkan toleransi nyeri karena dapat mengubah persepsi kognitif dan motivasi efektif pasien. Teknik relaksasi membuat pasien dapat mengontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stres fisik dan emosi pada nyeri (Potter dan Perry, 2011). Teknik relaksasi dengan pernafasan dapat mengendalikan nyeri dengan meminimalkan aktifitas simpatik dalam sistem saraf otonom. Caranya yaitu perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. Selain untuk menurunkan intensitas nyeri, teknik ini juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meingkatkan ogsigenasi darah (Wong, 2009). Menurut Price (2009), hormon adrenalin dan kortisol yang menyebabkan stres akan menurun, klien dapat meningkatkan konsentrasi dan merasa tenang sehingga memudahkan klien untuk mengatur pernapasan. Melalui teknik relaksasi maka intensitas nyeri klien post operasi pembedahan laparatomi saat perawatan luka akan menurun. Berdasarkan data RSUD Majalengka pada tahun 2013 diketahui jumlah tindakan laparatomi sebanyak 389 kasus dan pada bulan Januari 2014 sebanyak 48 kasus. Sementara di RSUD Cideres pada tahun 2013 diketahui jumlah tindakan laparatomi sebanyak 83 kasus dan pada bulan Januari 2014 sebanyak 9 kasus. Berdasarkan data tersebut maka kasus laparatomi di RSUD
Majalengka lebih tinggi dibanding di RSUD Cideres. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis di RSUD Majalengka pada tanggal 24-28 Februari 2014 dengan wawancara dan pengamatan terhadap 5 pasien post operasi laparatomi saat perawatan luka terdapat 2 pasien diantaranya mendapatkan perlakuan teknik relaksasi, sedangkan 3 pasien tidak mendapatkan perlakukan teknik relaksasi. Pasien yang mendapatkan relaksasi saat perawatan luka terlihat menyatakan bahwa rasa nyeri yang dirasakan berkurang dibanding sebelum relaksasi. Pentingnya keperawatan melakukan intervensi berupa teknik relaksasi terutama pada pasien post operasi laparatomi saat perawatan luka karena perlunya merubah persepsi akibat rasa tidak nyaman, stres fisik dan emosi pada nyeri setelah menjalani operasi laparatomi melalui pendekatan non farmakologis. Melalui teknik relaksasi ini pasien akan merasakan kenyamanan serta menurunkan ketegangan yang mengakibatkan penurunan intensitas nyeri sehingga akan mempercepat kesembuhan pada lukanya. Dari uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh teknik relaksasi terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post operasi laparatomi saat perawatan luka di RSUD Majalengka Tahun 2014”
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
II. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain penelitian menggunakan rancangan eksperimen semu (quasi eksperimen design) (Notoatmojdo, 2010). Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen atau studi intervensi dengan menggunakan one group pre test-post test design, yaitu pada kelompok responden dengan mengukur sebelum
dan sesudah diberikan suatu tindakan (Hidayat, 2008). Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian pasien post operasi laparatomi di RSUD Majalengka pada bulan Mei tahun 2014 dengan kriteria inklusi dirawat di RSUD Majalengka, pasien khusus kelas 3 yang mau diberi teknik relaksasi dan menjalani perawatan luka post operasi laparatomi.
III. HASIL PENELITIAN 1. Analisis Univariat a. Gambaran Intensitas Nyeri pada Pasien Post Operasi Laparatomi Saat Perawatan Luka Sebelum Teknik Relaksasi di RSUD Majalengka Tahun 2014 Variabel
Mean
Median
Standar Deviasi
MinMaks
Intensitas nyeri sebelum teknik relaksasi
6,176
6,000
0,999
4-8
Berdasarkan tabel 4.2, diketahui bahwa intensitas nyeri pada pasien post operasi laparatomi saat perawatan luka sebelum teknik relaksasi diperoleh rata-rata sebesar
6,176, nilai median sebesar 6,000 dengan standar deviasinya sebesar 0,999. Dari 34 responden intensitas skala nyeri paling rendah adalah 4 dan paling tinggi 8.
b. Gambaran Intensitas Nyeri pada Pasien Post Operasi Laparatomi Saat Perawatan Luka Sesudah Teknik Relaksasi di RSUD Majalengka Tahun 2014 Variabel
Intensitas sesudah relaksasi
nyeri teknik
Mean
Median
Standar Deviasi
Min-Maks
4,117
4,000
1,007
2-7
Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa intensitas nyeri pada pasien post operasi laparatomi saat perawatan luka sesudah teknik relaksasi di RSUD Majalengka Tahun 2014 diperoleh rata-rata sebesar
4,117, nilai median sebesar 4,000 dengan standar deviasinya sebesar 1,007. Dari 34 responden intensitas skala nyeri paling rendah adalah 2 dan paling tinggi 7.
2. Analisis Bivariat a. Pengaruh Teknik Relaksasi terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada Pasien Post Operasi Laparatomi Saat Perawatan Luka di RSUD Majalengka Tahun 2014
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Variabel
Intensitas nyeri
Teknik Relaksasi
Mean
SD
Sebelum
6,176
0,999
Sesudah
4,117
1,007
Berdasarkan hasil penghitungan statistik dengan uji paired sample t-test pada α = 0,05 diperoleh t-value = 9,064 dan value = 0,000 yang berarti value < α sehingga hipotesis nol ditolak. Dengan demikian
IV. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat pengaruh teknik relaksasi terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post operasi laparatomi saat perawatan luka di RSUD Majalengka Tahun 2014. Besarnya penuranan intensitas nyeri setelah pemberian teknik relaksasi sebesar 2,059. Hasil penelitian ini mendukung teori Wong (2009) yang menyebutkan bahwa teknik relaksasi dengan pernafasan dapat mengendalikan nyeri dengan meminimalkan aktifitas simpatik dalam sistem saraf otonom. Klien meningkatkan aktifitas komponen saraf parasimpatik vegetatif secara simultan. Teknik tersebut dapat mengurangi sensasi nyeri. Menurut Price (2009) bahwa hormon adrenalin dan kortisol yang menyebabkan stres akan menurun, klien dapat meningkatkan konsentrasi dan merasa tenang sehingga memudahkan klien untuk mengatur pernapasan sampai frekuensi pernafasan kurang dari 60-70x/menit. Kadar PaCo2 akan meningkat dan menurunkan PH sehingga akan meningkatkan oksigen dalam darah. Pada penelitian ini pun ditemukan adanya responden yang justru mengalami kenaikan skala nyeri setelah
Beda Mean
t
2,059
9,064
value
0,000
maka dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh teknik relaksasi terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post operasi laparatomi saat perawatan luka di RSUD Majalengka Tahun 2014. pemberian teknik relaksasi. Hal ini dapat dimungkinkan pada saat pemberian teknik relaksasi, kondisi persiapan yang kurang baik sehingga hasilnya menjadi kurang maksimal dan juga dapat dikarenakan adanya faktor usia, dimana responden yang mengalami kenaikan skala nyeri tersebut ternyata berusia di atas 50 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Nurhayati dan Safrudin di PKU Muhammadiyah Gombong pada tahun 2011 menyatakan bahwa adanya pengaruh perlakuan teknik distraksi relaksasi terhadap penurunan intensitas nyeri post operasi laparatomi. Teknik relaksasi merupakan cara yang paling mudah dilakukan dalam mengontrol ataupun mengurangi nyeri. Selain mudah dilakukan, teknik ini tidak membutuhkan banyak biaya dan konsentrasi yang tinggi, seperti halnya teknik relaksasi lainnya, dan dengan menggunakan pengukuran skala wajah, pasien mampu mengekspresikan nyeri yang dialaminya dengan mudah. Maka dari itu petugas kesehatan untuk mengurangi nyeri pada pasien operasi laparatomi dapat menggunakan intervensi non farmakologi seperti memberikan teknik relaksasi dan juga memberikan bimbingan atau motivasi pada pasien.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
V. KESIMPULAN DAN SARAN 1. KESIMPULAN Hasil penelitian dan pembahasan mengenai “Pengaruh Teknik Relaksasi terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada Pasien Post Operasi Lapratomi Saat Perawatan Luka di RSUD Majalengka Tahun 2014” dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Intensitas nyeri pada pasien post operasi laparatomi saat perawatan luka sebelum teknik relaksasi diperoleh rata-rata sebesar 6,176. b. Intensitas nyeri pada pasien post operasi laparatomi saat perawatan luka sesudah teknik relaksasi diperoleh rata-rata sebesar 4,117.
c. Terdapat pengaruh teknik relaksasi terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post operasi laparatomi saat perawatan luka di RSUD Majalengka Tahun 2014 ( value = 0,000). 2. SARAN
Bagi pihak rumah sakit, teknik relaksasi dapat dijadikan sebagai salah satu terapi yang bisa diberikan pada setiap pasien post operasi laparatomi saat perawatan luka untuk mengatasi intensitas nyeri yang dialami oleh pasien.
DAFTAR PUSTAKA Asmadi. 2010. Konsep Dasar. Jakarta: EGC
Keperawatan
Carpenito, L. J. 2009. Diagnosis Keperawatan: Aplikasi Pada Praktik Klinis. Jakarta: EGC. Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Aditya Media
Djojoningrat, D., 2010. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Dubey, S., 2008. Perdarahan Gastrointestinal Atas. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hidayat, A. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. __________. 2009. Riset Keperawatan. Salemba Medika.
Pengantar Jakarta:
Ignativicus, D dan Workman. 2006. Keperawatan Medikal Bedah untuk Perawatan Collaborative. USA : Elsevier Saunders Karakata, B. 2010. Bedah Minor. Edisi 2. Yogyakarta: Nuha Medika.
Kementerian Kesehatan RI, 2014. Laporan Derajat Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Kusyati, 2009. Psikoterapi. Salemba Medika.
Jakarta:
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nurhayati dan Safrudin. 2011. Pengaruh Teknik Distraksi Relaksasi Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi Laparatomi di PKU Muhammadiyah Gombong. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 7, No. 1, Februari 2011.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Potter dan Perry. 2009. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Alih Bahasa dr. Adrina Ferderika Nggie dan dr. Marina Albar. Jakarta: Salemba Medika. Price,
Sylvia Anderson. 2009. Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Alih bahasa: Peter Anugerah; Edisi 4. Jakarta: EGC.
Priharjo. 2013. Pengkajian Fisik Keperawata n. Jakarta: PT. Bina Pustaka.
Priyanto, A. 2008. Endoskopi Gastrointestinal. Jakarta: Salemba Medika.
Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2014. Jumlah Kasus Laparatomi di Beberapa Rumah Sakit di Jawa Barat. diskes.jabarprov.go.id, diakses tanggal 12 Maret 2014. Randhianto, 2008. Perioperatif.
Keperawatan
www.athearobiansyah.blog.com, diakses tangga 15 Maret 2014.
Sjamsuhidajat. 2009. Ilmu Bedah. Edisi Salemba Medika.
Buku Ajar 2. Jakarta:
Sugiyono. 2009. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta.
Tamsuri, A. 2006. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Wong. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.
Yudha, 2014. Diagnosa dan Manajemen Perdarahan Saluran Cerna. http://www.dokterbedahherryyud ha.com/, diakses tanggal 10 Maret 2014. Yunichrist. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2 Edisi 8. Jakarta: EGC.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMANFAATAN PELAYANAN POSYANDU OLEH IBU BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUMBERJAYA KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2014 Oleh :
Teti Herawati* *Pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka
ABSTRAK Pemanfaatan pelayanan posyandu merupakan upaya pelayanan kesehatan dasar yang penting dalam memantau kesehatan masyarakat terutama ibu dan balita. Pencapaian cakupan partisipasi masyarakat (D/S) di Puskesmas Sumberjaya masih rendah sebesar 40,72% dari jumlah seluruh balita sebanyak 6.709 balita. Ada beberapa pemanfaatan pelayanan posyandu yaitu penimbangan, pemberian vitamin A dan imunisasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan posyandu oleh ibu balita di wilayah kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka tahun 2014. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini sebanyak 6.709 ibu balita sedangkan sampel sebanyak 108 responden. Data yang digunakan adalah data primer menggunakan instrumen kuesioner, analisisnya meliputi analisis univariat menggunakan distribusi frekuensi dan analisis bivariat menggunakan chi square dengan α 0,05. Hasil penelitian diperoleh pemanfaatan pelayanan posyandu oleh ibu balita (41,7%) kategori kurang, pendidikan (58,3%) kategori rendah, pekerjaan (26,9%) kategori bekerja, paritas (25,0%) kategori paritas 1. Ada hubungan yang bermakna antara pendidikan (p=0,013), pekerjaan (p=0,005), paritas (p 0,018) dengan pemanfaatan pelayanan posyandu oleh ibu balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka tahun 2014. Saran diajukan bagi ibu balita agar lebih aktif mengikuti penyuluhan kesehatan untuk menambah pengetahuan, melakukan pelayanan kesehatan untuk memantau pertumbuhan balita secara aktif melakukan kunjungan posyandu secara rutin, sehingga berperan aktif dalam memanfaatkan posyandu untuk memantau pertumbuhan balitanya dan menghindari prevalensi gizi balita kurang. Kata Kunci : Pemanfaatan Pelayanan Posyandu
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
I.
PENDAHULUAN Pendekatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) dirumuskan sebagai keterpaduan kesehatan dalam bentuk pos pelayanan terpadu (posyandu) dimaksudkan untuk menumbuhkan peran serta masyarakat dalam upaya untuk mendekatkan masyarakat terhadap jangkauan pelayanan kesehatan primer. Semakin tinggi masyarakat mendapat pelayanan kesehatan, semakin meningkat derajat kesehatan masyarakat (Departemen Kesehatan RI, 2006). Kesehatan dasar masyarakat terutama pada balita yang meliputi imunisasi dan pemantauan tumbuh kembang balita bisa didapatkan dalam pelayanan posyandu. Posyandu adalah unit pelayanan kesehatan keluarga berencana (KB) dan kesehatan terpadu yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk masyarakat, dengan dukungan teknis petugas Puskesmas. Posyandu diselenggarakan untuk kepentingan masyarakat, maka diharapkan masyarakat sendiri yang aktif membentuk, menyelenggarakan, memanfaatkan, dan mengembangkan Posyandu tersebut sebaik-baiknya (Departemen Kesehatan RI, 2006). Penyelenggaraan posyandu dilakukan oleh kader-kader dari semua sektor terkait dan ibu- ibu PKK dari desa atau kelurahan setempat. Kegiatan pelayanan posyandu dikoordinasikan dengan tenaga kesehatan atau Puskesmas Dalam pelaksanaannya, pelayanan posyandu memiliki lima program prioritas yaitu Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana (KB), imunisasi, Gizi dan Penanggulangan diare (Budioro, 2003). Kegiatan posyandu untuk pelayanan kesehatan balita dalam memonitor tumbuh kembangnya dilakukan melalui kegiatan penimbangan secara rutin. Salah satu indikasi pemanfaatan pelayanan kesehatan balita di posyandu adalah
keaktifan kedatangan ibu balita ke posyandu. Kegiatan posyandu dikatakan meningkat apabila peran serta masyarakat semakin tinggi yang terwujud dalam cakupan program kesehatan seperti imunisasi, pemantauan timbangan balita, pemeriksaan ibu hamil dan keluarga berencana meningkat (Departemen Kesehatan RI, 2006). Indikator yang dapat dijadikan sebagai ukuran peningkatan dan keberhasilan pelayanan posyandu adalah tingkat partisipasi program posyandu. Tingkat partisipasi program posyandu dapat diperoleh dengan cara membagi angka jumlah balita yang ditimbang pada waktu itu (D) dengan jumlah seluruh balita yang ada di posyandu (S) atau yang disebut cakupan D/S. Cakupan D/S dapat dijadikan sebagai tolak ukur peran serta masyarakat dan aktivitas kader atau tokoh masyarakat dalam menyelenggarakan masyarakat setempat untuk memanfaatkan posyandu. D/S dianggap baik apabila dapat mencapai 50 % lebih sedangkan jika kurang dari 50 % dapat dikatakan bahwa posyandu itu kurang mantap (Departemen Kesehatan RI, 2003). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, pada tahun 2013 terdapat 1.442 posyandu yang tersebar di 32 puskesmas dengan jumlah kader sebanyak 6.627 orang. Dalam evaluasi kegiatan posyandu, D/S rata-rata Kabupaten Majalengka selama tahun 2013 adalah 59,77%. Puskesmas dengan D/S terendah di Kabupaten Majalengka adalah Puskesmas Sumberjaya yaitu dengan D/S sebesar 40,72% dari jumlah seluruh balita sebanyak 6.709 balita. Sedangkan D/S tertinggi adalah Puskesmas Maja dengan D/S sebesar77,69% dari jumlah seluruh balita sebanyak 5.193 balita. Jumlah posyandu di Puskesmas Sumberjaya saat ini sudah cukup banyak, yaitu dengan
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
II.
jumlah desa sebanyak 13 desa terdapat 64 posyandu dengan jumlah kader sebanyak 266 orang, sedangkan di Puskesmas Maja dari jumlah desa sebanyak 18 desa terdapat 63 posyandu dengan jumlah kader sebanyak 271 orang. Pencapaian D/S yang rendah di Puskesmas Sumberjaya menunjukkan masih rendahnya pemanfaatan posyandu oleh ibu balita. Hal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor yang dapat menyebabkan kurangnya keaktifan ibu balita menimbang balitanya di posyandu adalah pendidikan, jumlah anak atau paritas dan pekerjaan ibu balita (Efendi dan Makhfudli, 2009). Pendidikan memberi banyak informasi kepada seseorang tentang kesehatan sehingga mempengaruhi pengetahuan dan perilaku seseorang tentang kesehatan. Semakin terdidik sesorang maka semakin baik perilakunya tentang kesehatan (Seno, 2008). Jumlah anak yang dimiliki ibu juga dapat mempengaruhi ibu dalam memanfaatkan posyandu. Semakin banyak anak maka akan semakin bertambah pula kesibukan ibu dalam mengurus rumah tangga dan mengasuh anaknya sehingga ibu akan mempunyai sedikit waktu untuk dapat pergi ke
posyandu. Selain jumlah anak yang banyak, ibu yang bekerja juga akan mempunyai waktu yang lebih sedikit untuk dapat meluangkan waktunya ke posyandu dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja (Efendi dan Makhfudli, 2009). Hasil penelitian Torik (2005) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kunjungan ibu balita ke posyandu di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunungpati Kota Semarang Tahun 2005 menyatakan bahwa pendidikan berhubungan dengan kunjungan ibu balita ke posyandu. Sedangkan hasil penelitian Andiana (2010) mengenai kunjungan balita ke posyandu di Posyandu Desa Cidenok Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2010 menyatakan bahwa pekerjaan dan paritas berhubungan dengan kunjungan ibu balita ke posyandu. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan posyandu oleh ibu balita di Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka tahun 2014”.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu balita di Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014 yaitu sebanyak 6.709 ibu balita. Sampel
dalam penelitian ini adalah sebagian ibu balita di Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014 yaitu sebanyak 108 responden. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner yang berbentuk pertanyaan yang dibagikan pada setiap responden.
METODOLOGI PENELITIAN
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
III.
HASIL PENELITIAN Tabel 3.1
Distribusi Frekuensi Pemanfaatan Pelayanan Posyandu oleh Ibu Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014
Pemanfaatan Pelayanan Posyandu Kurang Baik Total
Dari tabel 3.1 dapat dilihat bahwa ibu balita yang kurang memanfaatkan pelayanan posyandu sebanyak 45 orang (41,7%). Hal ini menunjukkan bahwa kurang dari setengahnya pemanfaatan Tabel 3.2
f 63 45 108
Dari tabel 3.2 dapat dilihat ibu balita yang berpendidikan rendah sebanyak 63 orang (58,3%). Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari setengahnya ibu balita
pelayanan posyandu oleh ibu balita kategori kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014.
% 58,3 41,7 100,0
berpendidikan rendah di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014.
Distribusi Frekuensi Pekerjaan Ibu Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014
Pekerjaan Ibu Balita Bekerja Tidak Bekerja Total
Dari tabel 3.3 dapat dilihat bahwa ibu balita yang bekerja sebanyak 29 orang (26,9). Hal ini menunjukkan bahwa kurang dari setengahnya ibu balita yang Tabel 3.4
% 41,7 58,3 100,0
Distribusi Frekuensi Pendidikan Ibu Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014
Pendidikan Ibu Balita Rendah Tinggi Total
Tabel 3.3
f 45 63 108
f 29 79 108
% 26,9 73,1 100,0
bekerja di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014.
Distribusi Frekuensi Paritas Ibu Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014
Paritas Ibu Balita Paritas > 1 Paritas 1 Total
f 27 81 108
% 25,0 75,0 100,0
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
Berdasarkan tabel 3.4 dapat dilihat bahwa ibu balita paritas > 1 sebanyak 27 orang (25,0). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian kecil ibu balita Tabel 3.5
mempunyai paritas lebih dari 1 di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014.
Hubungan antara Pendidikan Ibu dengan Pemanfaatan Pelayanan Posyandu oleh ibu balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014
Pendidikan Ibu Balita Rendah Tinggi Total
Pemanfaatan Posyandu Kurang n % 33 52,4 12 26,7 45 41,7
Pelayanan
Baik n 30 33 63
Dari tabel 3.5 dapat dilihat bahwa ibu balita berpendidikan rendah dan kurang memanfaatkan pelayanan posyandu sebanyak 33 orang (52,4%), sedangkan ibu balita berpendidikan tinggi dan kurang memanfaatkan pelayanan posyandu sebanyak 12 orang (26,7%). Hasil perbandingan menunjukkan bahwa proporsi ibu balita berpendidikan rendah yang kurang memanfaatkan pelayanan posyandu lebih besar (52,4%) dibandingkan ibu Tabel 3.6
% 47,6 73,3 58,3
Total n 63 45 108
% 100,0 100,0 100,0
Chi Square
ρ value
6,122
0,013
balita berpendidikan tinggi yang kurang memanfaatkan pelayanan posyandu. Perbedaan proporsi ini bermakna, dibuktikan dari hasil perhitungan statistik melalui uji chi square dengan α (0,05), diperoleh nilai chi square 6,122 dengan ρ value 0,013 < α , maka hipotesis nol ditolak berarti ada hubungan antara pendidikan ibu dengan pemanfaatan pelayanan posyandu oleh ibu balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka tahun 2014.
Hubungan antara Pekerjaan Ibu dengan Pemanfaatan Pelayanan Posyandu oleh ibu balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014
Pemanfaatan Pekerjaan Ibu Posyandu Balita Kurang n % Bekerja 19 65,5 Tidak bekerja 26 32,9 Total 45 41,7
Pelayanan
Baik n 10 53 63
Berdasarkan tabel 3.6 dapat dilihat bahwa ibu balita yang bekerja dan kurang memanfaatkan pelayanan posyandu sebanyak 19 orang (65,5%), sedangkan ibu balita yang tidak bekerja dan kurang memanfaatkan pelayanan
% 34,5 67,1 58,3
Total n 29 79 108
% 100,0 100,0 100,0
Chi Square
ρ value
7,986
0,005
posyandu sebanyak 26 orang (32,9%). Hasil perbandingan menunjukkan bahwa proporsi ibu balita yang bekerja dan kurang memanfaatkan pelayanan posyandu lebih besar (65,5%) dibandingkan ibu balita yang tidak
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
bekerja dan kurang memanfaatkan pelayanan posyandu. Perbedaan proporsi ini bermakna, dibuktikan dari hasil perhitungan statistik melalui uji chi square dengan α (0,05), diperoleh nilai chi square 7,986 dengan ρ value 0,005 < Tabel 3.7
Hubungan antara Paritas Ibu dengan Pemanfaatan Pelayanan Posyandu oleh ibu balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014
Pemanfaatan Ibu Posyandu Kurang n % Paritas > 1 17 63,0 Paritas 1 28 34,6 Total 45 41,7 Paritas Balita
α, maka hipotesis nol ditolak berarti ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan pemanfaatan pelayanan posyandu oleh ibu balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka tahun 2014.
Pelayanan
Baik n 10 53 63
Berdasarkan tabel 3.7 dapat dilihat bahwa ibu balita paritas > 1 dan kurang memanfaatkan pelayanan posyandu sebanyak 17 orang (63,0%), sedangkan ibu balita paritas 1 dan kurang memanfaatkan pelayanan posyandu sebanyak 28 orang (34,6%). Hasil perbandingan menunjukkan bahwa proporsi ibu balita paritas > 1 kurang memanfaatkan pelayanan posyandu lebih besar (63,0%) dibandingkan ibu balita paritas 1 yang IV.
PEMBAHASAN 1. Hubungan antara Pendidikan Ibu dengan Pemanfaatan Pelayanan Posyandu oleh Ibu Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014 Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendidikan ibu dengan pemanfaatan pelayanan posyandu oleh ibu balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka tahun 2014. Hasil penelitian ini sesuai hasil penelitian Tricia dan Mamdy (2008) ditemukan jenjang
% 37,0 65,4 58,3
Total n 27 81 108
% 100,0 100,0 100,0
Chi Square
ρ value
5,600
0,018
kurang memanfaatkan pelayanan posyandu. Perbedaan proporsi ini bermakna, dibuktikan dari hasil perhitungan statistik melalui uji chi square dengan α (0,05), diperoleh nilai chi square 5,600 dengan ρ value 0,018 < α, maka hipotesis nol ditolak berarti ada hubungan antara paritas ibu dengan pemanfaatan pelayanan posyandu oleh ibu balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka tahun 2014. pendidikan ibu berhubungan secara signifikan terhadap kunjungan ibu untuk memeriksakan kesehatan ibu dan balita. Demikian halya hasil penelitian Andiana (2010) mengenai kunjungan balita ke posyandu di Posyandu Desa Cidenok Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2010 ditemukan ada hubungan antara pendidikan dengan kunjungan balita. Menurut Sudarma (2008) pendidikan yang semakin tinggi akan menambah wawasan dan pengetahuan seseorang begitu pula
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
dalam bidang kesehatan. Bila suatu program ingin berjalan secara optimal, tentunya diperlukan pemahaman dan pengetahuan untuk berpartisipasi aktif dalam program tersebut. Faktor pendidikan memegang peranan sangat penting dalam menghadapi segala permasalahan yang terjadi, terutama masalah kesehatan ibu tentang kehamilan. Rendahnya pengetahuan seseorang tentang pendidikan kesehatan akan mempengaruhi rendahnya pemanfaatan posyandu oleh ibu balita. Sedangkan menurut Seno (2008) pendidikan memberi banyak informasi kepada seseorang tentang kesehatan sehingga mempengaruhi pengetahuan dan perilaku seseorang tentang kesehatan. Semakin terdidik seseorang maka semakin baik perilakunya tentang kesehatan.
2.
Hasil penelitian ini ditemukan ada hubungan antara pendidikan ibu dengan pemanfaatan pelayanan posyandu oleh ibu balita yang terjadi karena sebagian besar ibu yang berpenddikan rendah cenderung kurang memanfaatkan pelayanan posyandu. Dengan asumsi ibu yang berpendidikan tinggi lebih aktif dalam memanfaatkan posyandu dibandingkan yang berpendidikan rendah karena kurangnya pemahaman tentang pentingnya pelayanan posyandu. Upaya intervensi yang dilakukan terhadap ibu yang bependidikan rendah, pihak tenaga kesehatan dapat memberikan pendidikan kesehatan tentang manfaat dan keuntungan pelayanan posyandu yang selain dekat dengan lingkungan tempat tinggal juga pertumbuhan balita dapat terpantau setiap bulan. Hubungan antara Pekerjaan Ibu dengan Pemanfaatan Pelayanan
Posyandu oleh Ibu Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan pemanfaatan pelayanan posyandu oleh ibu balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka tahun 2014. Hasil penelitian ini sesuai hasil penelitian Torik (2005) bahwa pekerjaan berhubungan secara bermakna terhadap kunjungan ke posyandu. Rutinitas ibu dengan kegiatan pekerjaan membuat ibu terkadang jarang atau enggan untuk berkunjung ke posyandu. Mereka tidak menyadari bahwa bayinya memerlukan pelayanan kesehatan di posyandu seperti imunisasi. Keadaan keluarga atau perekonomian yang kurang mendukung membuat ibu harus bekerja untuk menambah pendapatan atau justru menjadi tumpuan perekomian keluarganya. Sedangkan hasil penelitian Tricia dan Mamdy (2008) juga ditemukan ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan tindakan ibu dalam membawa balita ke posyandu. Menurut Efendi dan Makhfudli (2009) bagi pekerja wanita, mereka adalah ibu rumah tangga yang sulit lepas begitu saja dari lingkungan keluarga. Wanita mempunyai beban dan hambatan lebih berat dibandingkan rekan prianya. Dalam arti wanita harus lebih dulu mengatasi urusan keluarga, suami, anak dan hal-hal yang menyangkut urusan rumah tangganya, termasuk urusan imunisasi anaknya. Menurut Syakira (2011) bagi ibu yang bekerja, mereka tetap adalah seorang ibu rumah tangga yang sulit lepas begitu saja dari lingkungan keluarga. Wanita yang bekerja mempunyai beban dan hambatan lebih berat dibandingkan
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
3.
ibu yang tidak bekerja. Wanita yang bekerja selain melakukan tugas pekerjaannya juga harus lebih dulu mengatasi urusan keluarga, suami, anak dan hal-hal yang menyangkut urusan rumah tangganya, sehingga kurangnya waktu yang dimiliki serta kelelahan yang dialami ibu dapat menjadi alasan untuk tidak memabawa anaknya ke posyandu. Hasil penelitian ini ditemukan bahwa ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan pemanfaatan pelayanan posyandu oleh ibu balita yang terjadi disebabkan ibu yang bekerja sebagain besar kurang memanfaatkan pelayanan posyandu yang terjadi karena sibuknya ibu dalam bekerja. Upaya intervensi yang dilakukan terhadap ibu yang bekerja diharapkan dapat meluangkan waktunya untuk berperan aktif memanfaatkan posyandu untuk memantau pertumbuhan balitanya dan menghindari prevalensi gizi balita kurang. Hubungan antara Paritas Ibu dengan Pemanfaatan Pelayanan Posyandu oleh Ibu Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara paritas ibu dengan pemanfaatan pelayanan posyandu oleh ibu balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka tahun 2014. Hasil penelitian ini sesuai hasil penelitian Tricia dan Mamdy (2008) bahwa jumlah paritas berhubungan secara signifikan terhadap kunjungan ibu untuk memeriksakan kesehatan ibu dan balita. Ibu yang mempunyai anak lebih dari satu cenderung malas untuk membawa balitanya ke posyandu. Hal ini disebabkan ibu
kerepotan dalam mengasuh anakanaknya dan perhatiannya yang terpecah untuk masing-masing anaknya. Demikian juga dengan hasil penelitian Torik (2005) ditemukan ada hubungan antara paritas dengan kunjungan ibu balita di posyandu. Menurut Syakira (2011) paritas mempengaruhi kunjungan ibu ke posyandu, dimana keluarga yang memiliki jumlah balita sedikit maka ibu akan lebih sering datang ke posyandu. Akan sangat sulit bagi ibu membawa beberapa anak sekaligus ke posyandu. Kalaupun ibu mau datang ke posyandu, biasanya yang dibawa adalah anak terkecil yang belum mendapat imunisasi lengkap. Kadangkala ibu sama sekali tidak datang ke Posyandu walaupun ada bayinya yang belum mendapat imunisasi, misalnya dengan alasan banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, anaknya yang rewel, rumah berantakan, dan sebagainya. Sedangkan menurut Efendi dan Makhfudli (2009) jumlah anak yang dimiliki ibu juga dapat mempengaruhi ibu dalam memanfaatkan posyandu. Semakin banyak anak maka akan semakin bertambah pula kesibukan ibu dalam mengurus rumah tangga dan mengasuh anaknya sehingga ibu akan mempunyai sedikit waktu untuk dapat pergi ke posyandu. Hasil penelitian ini ditemukan ada hubungan antara paritas ibu dengan pemanfaatan pelayanan posyandu oleh ibu balita yang terjadi karena sebagian besar ibu yang memiliki anak > 1 kurang memanfaatkan pelayanan posyandu karena repotnya ibu dalam mengasuh anak, sehingga kurang respon pada keiatan posyandu. Upaya intervensi tenaga kesehatan yang dilakukan tehadap ibu paritas multipara diantaranya dengan memberikan konseling melalui hubungan personal yang baik
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
tentang manfaat posyandu sehingga ibu termotivasi untuk berperan serta V.
pada kegiatan posyandu.
KESIMPULAN DAN SARAN a. Simpulan 1. Pemanfaatan pelayanan posyandu oleh ibu balita di wilayah kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka tahun 2014 lebih dari setengahnya (58,3%) sudah memanfaatkan pelayanan posyandu dengn baik 2. Pendidikan ibu balita di wilayah kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka tahun 2014 lebih dari setengahnya (58,3%) kategori rendah. 3. Pekerjaan ibu balita di wilayah kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka tahun 2014 kurang dari setengahnya (26,9%) kategori bekerja. 4. Paritas ibu balita di wilayah kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka tahun 2014 sebagian kecil (25,0%) kategori paritas 1. 5. Ada hubungan antara pendidikan ibu dengan pemanfaatan pelayanan posyandu oleh ibu balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka tahun 2014. 6. Ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan pemanfaatan pelayanan posyandu oleh ibu balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka tahun 2014. 7. Ada hubungan antara paritas ibu dengan pemanfaatan pelayanan posyandu oleh ibu balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka tahun 2014.
b. Saran 1. Bagi Puskesmas Diharapkan pihak tenaga kesehatan dapat lebih meningkatkan cakupan pemanfaatan pelayanan posyandu dengan memberdayaan kader yang ada di lingkungan untuk meningkatkan motivasi, memberikan pendidikan kesehatan, maupun konseling terhadap sasaran ibu balita dalam memanfaatkan pelayanan posyandu. 2. Bagi Ibu Balita Diharapkan masyarakat khususnya ibu balita aktif mengikuti penyuluhan kesehatan untuk menambah pengetahuan, melakukan pelayanan kesehatan untuk memantau pertumbuhan balita secara aktif melakukan kunjungan posyandu secara rutin, sehingga berperan aktif dalam memanfaatkan posyandu untuk memantau pertumbuhan balitanya dan menghindari prevalensi gizi balita kurang. 3. Bagi Peneliti Lain Diharapkan peneliti lain dapat mengembangkan hasil penelitian ini tidak hanya secara teori tetapi juga dapat mengaplikasikannya secara langsung pada lahan penelitian posyandu guna menambah pengalaman dalam meningkatkan pemanfaatan pelayanan posyandu.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015
DAFTAR PUSTAKA Andiana, R. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kunjungan Balita ke Posyandu di Posyandu Desa Cidenok Wilayah Kerja Puskesmas Sumberjaya Kabupaten Majalengka Tahun 2010. STIKes YPIB Majalengka. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Budioro. B, 2001, Pengantar Ilmu Kesehatan Masyarakat, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Departemen Kesehatan RI. 2003. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA). Jakarta : Departemen Kesehatan RI. _______________________. 2006. Buku Kader Posyandu: Dalam Usaha Perbaikan Gizi Keluarga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Efendi, F. dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas, Teori dan Praktek dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Haws, P. 2007. Asuhan Neonatus Rujukan Cepat, Cetakan I. Jakarta: EGC.
Manuwoto, S. 2006. Keadaan Masyarakat dalam Perilaku Kesehatan. http://www.rudyct.com, diakses tanggal 2 April 2014 Mellani, dkk. 2009. Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta: Fitramaya. Muaris, H. 2006. Resep: Lauk Bergizi untuk Anak Balita. Jakarta: Gramedia.
Mudjianto. 2003. Efektifitas KMS Anak Balita Sebagai Sarana Penyuluhan Gizi di Posyandu. http://digilib.litbang.depkes.go.id. Diakses tanggal 19 April 2014.
Notoatmodjo, S. 2003 Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. ______________. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Seno, A. 2008. Sistem Kesehatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soetjiningsih. 2005. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.
Sudarma. 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. Sugiyono. 2004, Statistik untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
Syakira, H. 2011. Ayo ke Posyandu. http://puskesmasoke.blogspot.com/2011/04/ayo-keposyandu.html. diakses tanggal 20 April 2014. Torik,
M. 2005. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kunjungan Ibu Balita ke Posyandu di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunungpati Kota Semarang Tahun 2005. Universitas Diponegoro.
Tricia, Y dan Mamdy. 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tindakan Ibu Untuk Membawa Anak Balitanya ke Posyandu di Kecamatan Palas Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2008. http://www.docstoc.com, diakses tanggal 19 April 2014.
Widiastuti. 2006. Pedoman Manajemen Peran Serta Masyarakat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
MEDISINA Jurnal Keperawatan dan Kesehatan AKPER YPIB Majalengka#Volume I Nomor 1 Februari 2015