PERBEDAAN PENURUNAN INTENSITAS NYERI ANTARA SEBELUM DAN SESUDAH DILAKUKAN TEKNIK MASASE KUTANEUS PADA PASIEN POST BEDAH MAYOR DI RUANG NUSA INDAH RSUD MAJALENGKA TAHUN 2012 Barbar Indra Haerawan, Aat Agustini, SKM (Program Studi S1 Keperawatan STIKes YPIB Majalengka) ABSTRAK Nyeri post bedah mayor terjadi karena adanya luka insisi selama pembedahan. Masase kutaneus merupakan salah satu penanganan nyeri non farmakologis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan penurunan intensitas nyeri antara sebelum dan sesudah dilakukan masase kutaneus. Jenis penelitian ini adalah quasy experiment dengan 20 responden post bedah mayor yang diambil secara purposive sampling di ruang Nusa Indah RSUD Majalengka. Desain penelitian ini adalah time series design. Intensitas nyeri diukur sebelum dan setelah dilakukan masase kutaneus menggunakan Skala Nyeri Numerik 0-10 (AHCPR). Hasil penelitian ini menunjukkan rata – rata intensitas nyeri sebelum dilakukan masase kutaneus adalah 5.10 dengan sebagian besar responden mengeluh nyeri sedang (85%). Sementara sebagian kecil responden mengeluh nyeri ringan (5%) dan nyeri berat (10%). Adapun gambaran intensitas nyeri setelah intervensi adalah 70% nyeri sedang, 30% nyeri ringan dan rata – rata 3.75. Dari hasil perhitungan uji statistik paired t test dengan SPSS diperoleh nilai t =10.283 dan ρ value 0.000 (< 0.05) maka Ho ditolak yang berarti bahwa ada perbedaan penurunan intensitas nyeri antara sebelum dan sesudah dilakukan teknik masase kuteneus pada pasien post bedah mayor. Oleh karena itu perawat dapat mengaplikasikan masase kutaneus dalam membantu menurunkan intensitas nyeri pada pasien post bedah mayor. ABSTRACT Major surgical postoperative pain occurs because of the incision during surgery. Massage is one of the cutaneous non-pharmacological pain management. This study aims to determine wheter there are differences between the reduction in pain intensity before and after cutaneous massage. Type of this research is quasy experiment with 20 post major surgery respondents taken by purposive sampling in the Nusa Indah Majalengka hospital. The design of this study is time series design. Intensity of pain was measured before and after cutaneous massage using numerical pain scale 0 -10 (AHCPR). The result showed average pain intensity prior to cutaneous massage is 5.10 with most of the respondents complained of moderate pain (85%). While a minority of respondents complained of mild pain (5%) and severe pain (10%). Intensity of pain after intervention was 70% moderate pain, 30% mild pain and average 3.75. From the calculation of statistical test with SPSS paired t test obtained t value 10.283 and ρ value 0.000 (< 0.05) then Ho is rejected. Which is
means that there is a difference in pain intensity decrease between before and after a massage techniques cutaneous at patients post major surgery. Therefore, nurses can apply massage to help reduce pain intensity of post major surgery patients.
LATAR BELAKANG Upaya kesehatan sebagai salah satu komponen esensial dalam pencapaian tujuan pembangunan kesehatan yakni terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya adalah kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Upaya tersebut berupa pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan (UU RI No 36 Tahun 2009). Pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan sebagaimana tercantum dalam pasal 64 ayat (1) UU RI No 36 tahun 2009 dapat ditempuh melalui pembedahan. Pembedahan adalah segala tindakan pengobatan invasif yang umumnya dilakukan dengan membuat insisi (sayatan) terlebih dahulu, bertujuan untuk membuka dan menampilkan bagian tubuh yang akan dilakukan tindakan perbaikan dan diakhiri dengan penutupan luka (penjahitan) (Syamsuhidayat & Wim, 2005). Insisi (sayatan) yang umum dilakukan dalam setiap pembedahan termasuk bedah mayor memicu timbulnya respon nyeri pada klien. Hal ini terjadi karena tubuh melepaskan bahan – bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, bradikinin, prostaglandin, dan
substansi P (Brunner & Suddart, 2002). Nyeri akut setelah menjalani pembedahan dapat memicu timbulnya stress, frustasi dan gelisah, peningkatan laju metabolisme dan curah jantung, kerusakan respon insulin, peningkatan produksi kortisol, dan retensi cairan sehingga mengakibatkan klien mengalami gangguan tidur, cemas, tidak nafsu makan dan ekspresi tegang (Brunner & Suddart, 2002; Potter & Perry, 2006). Untuk itu dibutuhkan penatalaksanaan nyeri post bedah yang efektif dalam asuhan keperawatan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Penatalaksanaan nyeri yang efektif tidak hanya mengurangi ketidaknyamanan fisik tetapi juga dapat meningkatkan mobilisasi lebih awal dan memperpendek masa hospitalisasi sehingga dengan demikian tentunya hal ini juga akan berimplikasi terhadap berkurangnya biaya perawatan kesehatan selama hospitalisasi (Potter & Perry, 2006). Perawat dapat melakukan penatalaksanaan nyeri dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan farmakologi dan pendekatan non farmakologi (Brunner & Suddart, 2002). Pendekatan farmakologi adalah tindakan kolaboratif dengan dokter melalui pemberian obat analgetik. Sedangkan pendekatan non farmakologi berupa pemberian intervensi keperawatan secara
mandiri (independen) yang meliputi : stimulus dan massage kutaneus, terapi es dan panas, stimulasi syaraf eliktris transkutan (TENS), distraksi, imajinasi terbimbing, hipnotis dan teknik relaksasi napas dalam (Brunner & Suddart, 2002). Masase kutaneus sebagai salah satu tindakan non farmakologi seperti tertera di atas merupakan pemberian stimulus pada kulit yang bertujuan untuk menghilangkan nyeri. Prinsip kerja masase kutaneus adalah memblok transmisi stimulus nyeri dengan cara mendorong pelepasan endorphin dan mengaktifkan serabut saraf sensori A-beta. Serabut saraf sensori A-beta berukuran lebih besar dan bekerja lebih cepat, sehingga menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan A-delta yang berdiameter kecil sekaligus menutup gerbang sinap untuk transmisi impuls nyeri (Potter & Perry, 2006). Selain itu masase kutaneus juga tanpa efek samping dan tanpa perlu biaya yang relatif mahal (Hidayat & Uliyah, 2005). Keuntungan lainnya adalah tindakan ini dapat dilakukan di rumah, sehingga klien dan keluarga dapat melakukan upaya kontrol gejala nyeri dan penanganannya (Price & Wilson, 2006). RSUD Majalengka merupakan Rumah Sakit Negeri milik pemerintah kabupaten Majalengka tipe B dengan status terakhir Badan Layanan Umum
(BLU) memiliki Visi “Menjadi Rumah Sakit terpercaya dan pilihan utama di Kabupaten Majalengka tahun 2013” (Nurbaety, 2011). Jumlah pasien bedah umum selama tahun 2011 di RS Majalengka tercatat sebanyak 711 kasus (42,50 %) (Rekam Medik RSUD Majalengka, 2011). Jumlah ini lebih banyak bila dibandingkan dengan RS Cideres yang tercatat hanya 698 kasus (Rekam Medik RSUD Cideres, 2011). Urutan kedua adalah bedah kebidanan sebanyak 705 kasus (42,14 %), disusul bedah THT 125 kasus (7,47 %), bedah orthopedi 121 kasus (7,23 %), bedah mulut 10 kasus (0,60 %) dan terakhir bedah mata sebanyak 1 kasus (0,06 %). Berdasarkan hasil wawancara terhadap 6 orang perawat di Ruang Nusa Indah (Ruang Bedah) RSUD Majalengka pada tanggal 19 Maret 2012, semuanya mengatakan bahwa penatalaksanaan nyeri pada pasien seringnya adalah pemberian analgetik melalui kolaborasi dengan dokter. 2 orang mengatakan penatalaksanaan nyeri non farmakologi yang kadang digunakan adalah teknik relaksasi dan distraksi, 4 orang mengatakan jarang. Berdasarkan observasi pendahuluan terhadap 10 orang pasien post bedah di RSUD Majalengka, dengan menggunakan skala intensitas nyeri numerik/ Numerical Rating Scale (NRS) diperoleh data 60 % mengeluh nyeri berat dan 40 % nyeri ringan. Sedangkan ketika ditanya
bagaimana cara untuk mengurangi nyeri tersebut, semuanya menjawab tidak tahu. Selain itu berdasarkan hasil penelusuran penulis di RSUD Majalengka, protap ruangan untuk penatalaksanaan nyeri secara non farmakologi khususnya teknik masase kutaneus belum ada. Masase kutaneus sebagai salah satu intervensi keperawatan nyeri nonfarmakologi secara teori dapat membantu menurunkan intensitas nyeri dan bertitik tolak dari latar belakang tersebut, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Perbedaan Penurunan Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah Dilakukan Teknik Masase Kutaneus pada Pasien Post Bedah Mayor di Ruang Nusa Indah RSUD Majalengka Tahun 2012.” METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis
HASIL PENELITIAN Karakteristik Responden
penelitian quasi experimen. Rancangan penelitian yang penulis pilih adalah time series design, sama seperti rancangan pretest posttest hanya berbeda dalam pola observasi yaitu adanya pengukuran yang berulang – ulang sebelum dan sesudah perlakuan (Notoatmojo, 2010). Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah purposive sampling. Besar sampel minimal dalam penelitian ini mengacu pada pernyataan Sugiyono (2010) bahwa untuk penelitian eksperimen jumlah sampel antara 10 – 20. Alat ukur NRS merupakan alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini untuk menilai perbedaan intensitas nyeri yang dirasakan oleh klien post bedah mayor antara sebelum dan sesudah dilakukan teknik masase kutaneus. Penelitian dilakukan sore hari selama tiga hari berturut – turut untuk setiap responden yaitu pada hari ke dua, ke tiga dan ke empat perawatan klien.
Tabel 4.1: Distribusi frekuensi menurut usia Usia
Frekuensi (n)
Presentasi (%)
18 - 20
1
5
21 - 40
6
30
41 - 60
13
65
Total
20
100 madya (41 – 60). Kurang dari setengahnya adalah dewasa awal (21 – 40) dan remaja (18 – 20) hanya sebagian kecil responden.
Untuk karakteristik usia dari tabel di atas terlihat bahwa lebih dari setengah responden adalah dewasa
Tabel 4.2 : Distribusi frekuensi menurut jenis kelamin Jenis Kelamin
Frekuensi (n)
Presentasi (%)
Laki-laki
17
85
Perempuan
3
15
Total
20
100
Sedangkan untuk data jenis kelamin, sebagian besar responden adalah laki-laki. Tabel 4.3 : Distribusi frekuensi menurut jenis operasi Jenis Operasi
Frekuensi (n)
Presentasi (%)
Prostatektomi
5
25
Apendiktomi
8
40
Herniatomi
2
10
Mastektomi
2
10
ORIF
3
15
20
100
Total Kurang dari setengah responden dalam penelitian ini adalah pasien post operasi apendiktomi. Untuk
jenis operasi mayor lainnya yaitu prostatektomi, herniatomi, mastektomi dan ORIF hanya sebagian kecil respoden yang menjalaninya.
Tabel 4.4 : Distribusi frekuensi menurut pendidikan Pendidikan
Frekuensi (n)
SD
Presentasi (%)
13
65
SMP
3
15
SMA
4
20
20
100
Total
sebagian kecilnya berpendidikan SMA dan SMP.
Lebih dari setengah responden penelitian berpendidikan SD. Sedangkan
Tabel 4.5 : Distribusi frekuensi menurut pekerjaan Pekerjaan
Frekuensi (n)
Presentasi (%)
Buruh
9
45
Petani
1
5
Wiraswasta
9
45
Pelajar
1
5
20
100
Total Berdasarkan latar belakang pekerjaannya dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kurang dari setengah
responden adalah buruh dan wiraswasta. Sebagian kecil responden adalah petani dan pelajar.
Intensitas Nyeri Sebelum Dilakukan Teknik Masase Kutaneus Diagram 4.1. :
Diagram batang intensitas nyeri sebelum dilakukan teknik masase kutaneus
Intensitas Nyeri Pra Eksperimen
Frekuensi
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
85%
5% nyeri ringan
10% nyeri sedang
Berdasarkan diagram di atas sebagian besar responden mengeluhkan nyeri sedang. Sedangkan nyeri ringan dan berat hanya dikeluhkan oleh sebagian kecil responden.
nyeri berat
6.50, intervensi ke dua (X2) sebesar 5.20 dan pada intervensi ke tiga (X3) sebesar 3.85. Intensitas nyeri semakin menurun seiring bertambahnya intervensi / perlakuan. Gambaran hasil pengukuran masing – masing pre test dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Pengukuran intensitas nyeri pre test dalam penelitian ini dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada hari ke dua, ke tiga dan ke empat perawatan klien post bedah mayor. Nilai rata – rata pre test pada intervensi ke satu (X1) sebesar
Grafik 4.1. :
Grafik intensitas nyeri sebelum dilakukan teknik masase kutaneus (pre test) X1, X2 dan X3
Intensitas Nyeri
Intensitas Nyeri Pre Test 10
Pre Test X1
5
Pre Test X2
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Responden
Pre Test X3
Dari ke tiga pre test tersebut test secara keseluruhan dapat dilihat nilai rata – ratanya digabung dan dirata dalam tabel statistik berikut ini. – ratakan kembali. Nilai rata – rata pre Tabel 4.6. : Distribusi statistik intensitas nyeri pada pasien post bedah mayor sebelum dilakukan masase kutaneus Variable
N
Mean
SD
Min – Max
Intensitas Nyeri Sebelum Dilakukan Masase Kutaneus Hasil penelitian menunjukkan intensitas nyeri sebelum dilakukan masase kutaneus rata – rata 5.10 (nyeri
20
5.10
1.02084
3–7
sedang) dengan standar deviasi 1.02084, skala nyeri terendah 3 dan tertinggi berada pada skala 7.
Intensitas Nyeri Setelah Dilakukan Teknik Masase Kutaneus Diagram 4.2. :
Diagram batang intensitas nyeri setelah dilakukan teknik masase kutaneus
Intensitas Nyeri Post Eksperimen 16
70 %
14
Frekuensi
12 10 8
30 %
6 4 2 0
nyeri ringan Berdasarkan diagram di atas sebagian besar responden mengeluhkan nyeri sedang dan kurang dari setengah responden mengeluhkan nyeri ringan. Pengukuran post test dilakukan sebanyak 3 kali. Nilai rata – rata post
Grafik 4.2.
nyeri sedang test pada intervensi ke satu (X1) sebesar 5.25, intervensi ke dua (X2) sebesar 3.90 dan intervensi ke tiga (X3) sebesar 2.10. Pada grafik di bawah ini terlihat intensitas nyeri semakin menurun dari intervensi ke satu sampai dengan intervensi ke tiga.
: Grafik intensitas nyeri setelah dilakukan teknik masase kutaneus (pre test) X1, X2 dan X3
Intensitas Nyeri
Intensitas Nyeri Post Test 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Post Test X1 Post Test X2 Post Test X3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Responden
Ke tiga nilai post test tersebut
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
digabung dan dirata – ratakan. Untuk
berikut ini.
Tabel 4.7. : Distribusi statistik intensitas nyeri pada pasien post bedah mayor setelah dilakukan masase kutaneus
Variable Intensitas Nyeri Setelah Dilakukan Masase Kutaneus Intensitas nyeri setelah dilakukan masase kutaneus rata – rata 3.75 (berada pada skala nyeri ringan – sedang) dengan standar deviasi 0.71635, skala nyeri terendah 2 dan tertinggi pada skala 5.
Perbedaan Penurunan Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah Dilakukan Teknik Masase Kutaneus Rata – rata intensitas nyeri setelah dilakukan masase kutaneus (3.75) lebih kecil dari rata – rata intensitas nyeri sebelum dilakukan
N
Mean
SD
Min – Max
20
3.75
0.71635
2–5
masase kutaneus (5.10) seperti yang tertera dalam tabel 4.6 dan 4.7 di atas. Dengan demikian selisih atau penurunan rata – rata intensitas nyeri antara sebelum dan sesudah dilakukan masase kutaneus adalah sebesar 1.35. Pada kondisi post test nyeri berat menjadi tidak ada, nyeri sedang berkurang sebesar 15% dan nyeri ringan bertambah 25%. Secara lebih terperinci gambaran pre test dan post test untuk masing – masing intervensi (X1, X2, dan X3) dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Grafik 4.3.
: Grafik intensitas nyeri sebelum dan sesudah dilakukan teknik masase kutaneus (pre test dan post test) untuk masing – masing intervensi (X1, X2, dan X3)
10 8 6
X1 Pre test
4
X1 Post test
2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 8 6 X2 Pre test
4
X2 Post test 2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 7 6 5
4
X3 Pre test
3
X3 Post test
2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Berdasarkan grafik di atas terlihat penurunan intensitas nyeri antara intervensi ke satu, ke dua dan ke tiga. Semakin bertambah intervensi, intensitas nyeri juga semakin berkurang. Dari ke tiga intervensi tersebut masing – masing kelompok nilai pengukuran pre test dan post
test digabung lalu dirata – ratakan. Nilai rata – rata post test lebih rendah dari rata – rata pre test. Keduanya dapat pula dilihat pada grafik di bawah ini. Pada grafik terlihat bahwa garis berwarna biru (pre test) berada di atas garis berwarna merah (post test).
Intensitas Nyeri
Grafik 4.4. : Grafik intensitas nyeri sebelum dan setelah dilakukan teknik masase kutaneus 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Pre Test Post Test
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Responden
Tabel 4.8. : Perbedaan intensitas nyeri sebelum dan sesudah dilakukan masase kutaneus pada pasien post bedah mayor di ruang Nusa Indah RSUD Majalengka Variable
N
Beda Mean
value
T
Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah Dilakukan Masase Kutaneus
20
1.35
0.000
10.283
Berdasarkan tabel 4.8. dapat dilihat bahwa dari hasil perhitungan uji paired t test dengan SPSS diperoleh nilai value sebesar 0.000 (< 0.05), maka dapat disimpulkan bahwa dengan taraf signifikansi sebesar 5% atau derajat kepercayaan 95% Ha diterima, yang berarti ada perbedaan penurunan intensitas nyeri antara sebelum dan sesudah dilakukan teknik masase kutaneus.
PEMBAHASAN Intensitas Nyeri Sebelum Dilakukan Teknik Masase Kutaneus Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum dilakukan intervensi masase kutaneus sebagian besar responden mengeluhkan nyeri sedang. Secara objektif pada saat penelitian klien terlihat mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, serta dapat mengikuti perintah dengan baik. Sedangkan nyeri ringan dan berat hanya dikeluhkan oleh sebagian kecil responden. Melalui pengukuran menggunakan NRS (Numeric Rating Scale) 10 poin diperoleh angka yang berbeda – beda dari skor 3 – 7. Rata – rata intensitas nyeri sebelum dilakukan teknik masase kutaneus adalah 5.10. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Sri Siswati (2010) di RS H. Adam Malik diperoleh nilai rata – rata pre test adalah 7.50. Sedangkan penelitian Sri Adhyati (2011) yang dilakukan di wilayah Kelurahan Sidodadi diperoleh nilai rata – rata pre test sebesar 4.70. Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang bersifat aktual atau potensial (Brunner & Suddart, 2002). Nyeri post bedah termasuk ke dalam nyeri akut yang ditimbulkan oleh trauma bedah (Price & Wilson, 2006). Dari hasil pengukuran diperoleh intensitas nyeri pre test berbeda -beda antar responden dengan kisaran antara nyeri ringan sampai nyeri berat. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Bruner dan Suddart (2002), serta Price dan Wilson (2006) bahwa karakteristik nyeri post bedah mayor memiliki intensitas ringan sampai berat. Intensitas nyeri yang dirasakan oleh klien post bedah mayor walaupun dengan stimulus nyeri yang sama sekalipun (jenis operasi) jelas akan berbeda karena nyeri itu sendiri bersifat subjektif / individual. Hal ini terjadi karena adanya proses modulasi dan persepsi yang terjadi dalam serangkaian mekanisme terjadinya nyeri post bedah. Proses ini diawali dengan transduksi yaitu proses pengubahan rangsangan nyeri (rangsangan fisik) menjadi suatu aktifitas listrik yang diterima di ujung syaraf. Setelah itu terjadi proses transmisi (penyaluran) hasil isyarat listrik yang dihasilkan pada proses transduksi melalui syaraf A delta bermielin dari perifer ke medulla spinalis dan bermuara ke daerah somatosensorik di korteks sesrebri dimana isyarat tersebut diterjemahkan. Tahapan yang ketiga adalah proses modulasi, yaitu proses interaksi antara sistem analgetik endogen yang dihasilkan tubuh dengan isyarat nyeri yang masuk di medulla spinalis. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subjektif bagi individu dan sangat ditentukan oleh makna atau arti dari asupan nyeri. Terakhir adalah proses persepsi, yaitu hasil akhir proses interaksi yang kompleks dari proses – proses sebelumnya (transduksi, transmisi, dan modulasi) yang diterjemahkan oleh daerah somatosensorik kortek serebsi. Proses penerjemahan ini menghasilkan perasaan yang subjektif sebagai persepsi nyeri (Price & Wilson, 2006). Beberapa faktor yang mempengaruhi respon nyeri adalah usia, jenis kelamin, kebudayaan, makna nyeri, perhatian, ansietas, keletihan, pengalaman sebelumnya, gaya koping, dukungan keluarga dan sosial serta efek placebo (Brunner & Suddart, 2002; Potter & Perry, 2006; Price & Wilson, 2006). Untuk mengurangi efek dari coumfounding factor tersebut maka intervensi dilakukan lebih dari satu kali. Pada penelitian ini masase kutaneus dilakukan sebnayak tiga kali selama
tiga hari berturut – turut. Pada intervensi ke satu (X1) rata – rata pre test diperoleh nilai 6.50. Sedangkan pada intervensi ke dua (X2) rata – rata pre test sebesar 5.20 dan intervensi ke tiga (X3) sebesar 3.85. Dari ke tiga nilai rata – rata tersebut terlihat pada intervensi ke tiga, intensitas nyeri yang dirasakan oleh klien post bedah mayor semakin berkurang. Intensitas Nyeri Setelah Dilakukan Teknik Masase Kutaneus Setelah dilakukan intervensi selama 10 menit, intensitas nyeri yang dirasakan oleh klien post bedah mayor mengalami penurunan yakni nyeri sedang berkurang 15% dari presentase awal 85% menjadi 70%. Nyeri berat tidak dikeluhkan lagi oleh klien pada pengukuran post test dari presentase awal 10%. Sedangkan nyeri ringan bertambah menjadi 30% dari presentase awal 5%. Nilai rata – rata intensitas nyeri post test pada intervensi ke tiga lebih kecil dibandingkan setelah intervensi ke dua dan ke satu. Rata – rata post test X1 sebesar 5.25, X2 sebesar 3.90 dan X3 sebesar 2.10. Dari hasil pengukuran tercatat angka terendah adalah 2 (nyeri ringan) dan tertinggi 5 (nyeri sedang). Rata – rata intensitas nyeri post test dari seluruh intervensi tersebut diperoleh nilai sebesar 3.75. Berbeda dengan hasil penelitian Sri Siswati (2010) diperoleh nilai rata – rata intensitas nyeri post test sebesar 4.60 sedangkan hasil penelitian Sri Adhyati (2011) diperoleh nilai rata – rata intensitas nyeri post test adalah 3.30. Hasil penelitian ini menunjukkan terjadi penurunan rata – rata intensitas nyeri dari 5.10 menjadi 3.75. Hal ini terjadi karena masase kutaneus sebagai salah satu bagian dari penatalaksanaan nyeri non farmakologis dapat membantu mengurangi persepsi nyeri dan ketegangan otot. Efek relaksasi yang ditimbulkan oleh masase kutaneus ini akan membuat kinerja syaraf parasimpatis lebih dominan dari simpatis. Prinsip kerja yang terjadi dalam intervensi masase kutaneus ini adalah pengendalian gerbang atau gate-control. Transmisi impuls nyeri oleh serabut syaraf A-delta dan C akan diblok melaui pengaktifan serabut syaraf A-beta yang memiliki ukuran lebih besar dan bekerja lebih cepat. Sedangkan menurut teori endorphin-enkefalin dijlaskan bahwa selain menghasilkan mediator kimia yang dapat meningkatkan sensasi nyeri (histamin, bradikinin, prostaglandin, asetilkolin, substansi P), tubuh juga memproduksi zat inhibitor yang mampu menghambat nyeri yaitu endorfin dan enkefalin, zat seperti morfin yang mampu meredakan nyeri termasuk nyeri post bedah. Endorfin dan enkefalin ini akan diproduksi salah satunya dengan perangsangan dari masase kutaneus (Potter & Perry, 2006; Price & Wilson, 2006). Perbedaan Penurunan Intensitas Nyeri Sebelum dan Sesudah Dilakukan Teknik Masase Kutaneus Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan intensitas nyeri antara sebelum dan sesudah dilakukan teknik masase kutaneus pada klien post bedah mayor. Hal ini dibuktikan dengan uji statistic paired t test diperoleh nilai taraf signifikansi (ρ value = 0.000) < 0,05 yang berarti ada perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah dilakukan masase kutaneus. Dari tabel 4.8 memperlihatkan bahwa terdapat penurunan rata – rata intensitas nyeri sebesar 1.35 dari rata – rata intensitas nyeri sebelum intervensi (5.10) dengan rata – rata intensitas nyeri (3.75) setelah intervensi. Secara teori masase kutaneus dapat mempengaruhi aktivitas saraf otonom yakni memunculkan respon relaksasi sehingga ketegangan otot berkurang dan nyeri yang dirasakanpun tentunya akan berkurang. Sedangkan menurut teori gate-control menjelaskan
bahwa mekanisme kerja dari masase kutaneus ini adalah mendorong pelepasan endorphin yang dapat memblok stimulus nyeri. Selain itu prinsip kerjanya juga dengan mengaktifkan serabut saraf A-beta. Serabut saraf A-beta ini berukuran lebih besar dan lebih cepat dari serabut saraf A-delta dan C. Dengan demikian maka hantaran impuls nyeri oleh serabut saraf A-delta dan C akan diblok oleh serabut saraf A-beta (Potter & Perry, 2006). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang yang dilakukan oleh Sri Siswati (2010) dengan judul penelitian (skripsi) “Pengaruh masase kulit terhadap penurunan rasa nyeri pada pasien post apendiktomi di Rindu B2 RSUP H. Adam Malik Medan” dan Sri Adhayati (2011) dengan judul penelitian (skripsi) “Pengaruh Stimulasi Kutaneus ; slow stroke back massage terhadap intensitas nyeri pada penderita low back pain di Kelurahan Aek Geger Sidodadi”, dari keduanya diperoleh nilai ρ value sebesar 0.000 dengan tingkat kepercayaan 95% (ρ < 0.05) sehingga masase kutaneus terbukti efektif membantu mengurangi intensitas nyeri meskipun dengan responden, alat ukur dan uji statistik yang berbeda. Tingkat kefokusan (perhatian) responden terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsi nyeri. Tingkat kefokusan yang meningkat menyebabkan derajat nyeri akan semakin meningkat pula. Sebaliknya melalui upaya pengalihan dalam hal ini adalah masase kutaneus menyebabkan derajat nyeri yang dirasakan oleh responden menurun (Brunner & Suddart, 2002). Selain itu gaya koping yang dimiliki individu juga mempengaruhi responden dalam mengatasi nyeri. Pola koping yang adaptif akan mempermudah indvidu dalam mengatasi nyeri dan koping yang maladaptive akan menyebabkan hal sebaliknya (Brunner & Suddart, 2002). Hasil penelitian ini diharapkan dapat memacu perawat agar memberikan intervensi keperawatan masase kutaneus pada klien post bedah mayor untuk membantu mengurangi intensitas nyeri yang dirasakan klien. Setelah diajari oleh perawat, klien dapat mengaplikasikannya di rumah bersama keluarga ketika sensasi nyeri dirasakan kembali. Bagi pihak Rumah Sakit hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan dalam membuat kebijakan terkait penanganan nyeri post bedah dengan membuat protap penatalaksanaan nyeri non farmakologi masase kuaneus dan lain sebagainya.
KESIMPULAN Adanya luka insisi selama pembedahan (termasuk bedah mayor) dapat menimbulkan respon nyeri pada klien. Penanganan nyeri setelah pembedahan dapat dilakukan baik secara farmakologi maupun non farmakologi. Masase kutaneus sebagai salah satu cara penatalaksanaan nyeri non farmakologi dapat memunculkan respon relaksasi sehingga intensitas nyeri yang dirasakan klien dapat berkurang. Berdasarkan hasil penelitian ini sebelum dilakukan masase kutaneus rata – rata intesitas nyeri klien adalah 5.10 dengan sebagian besar responden mengeluhkan nyeri sedang (85%). Sedangkan sebagian kecil responden mengeluhkan nyeri berat (10%) dan nyeri ringan (5%). Setelah dilakukan masase kutaneus rata – rata intensitas nyeri klien adalah 3.75 dengan
sebagian besar responden menyatakan nyeri sedang (70%) dan kurang dari setengah responden berada pada intensitas nyeri ringan (30%). Dari hasil uji statistik paired t test diperoleh nilai value sebesar 0.000 dan nilai t 10.283. value < α (0.000 < 0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara intensitas nyeri sebelum dan sesudah dilakukan masase kutaneus pada pasien post bedah mayor. Dengan demikian perawat dapat mengaplikasikan teknik masase kutaneus dalam membantu mengurangi intensitas nyeri yang dirasakan klien post bedah mayor. SARAN 1. Bagi klien yang sudah diajarkan dan diberikan teknik masase kutaneus dapat mengaplikasikannya bersama keluarga di rumah ketika sensasi nyeri dirasakan. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menstimulasi perawat untuk menggunakan metode masase kutaneus dalam membantu mengurangi intensitas nyeri pada klien post bedah mayor. 3. Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau bahan pertimbangan bagi Rumah Sakit dalam membuat kebijakan – kebijakan penanganan masalah nyeri yang dirasakan oleh klien post bedah mayor. 4. Untuk peneliti selanjutnya disarankan agar berusaha melakukan pengontrolan variabel – variabel yang mempengaruhi intensitas nyeri klien dan memperhatikan faktor pemberian analgetik.
DAFTAR PUSTAKA Adhayati, S. 2011. Pengaruh stumulasi kutaneus ; slow-stroke back massage terhadap intensitas nyeri pada penderita low back pain di Kelurahan Aek Gerger Sidodadi. Universitas Sumatera Utara Alimul Azis, H. A & Musrifatul Uliyah. 2005. Buku Saku Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : EGC Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta. Basiran. 2008. Modul Massage Olahraga. Bandung : PKO UPI Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, (Edisi8). Alih bahasa: Andry HartonoKuncara, Elyna S. Laura Siahaan & Agung Waluyo. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC. DEPKES RI. 2011. Undang Undang RI No 36 Tahun 2009. Giriwijoyo, Santosa dkk. 2006. Ilmu Faal Olahraga, Fungsi Tubuh Manusia Pada Olahraga. Bandung : FPOK UPI Harjayanti, Titi. 2007. Perbedaan penurunan intensitas nyeri sebelum dan sesudah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam pada klien post bedah mayor di RSUD Tugurejo Semarang (Skripsi). Dari http://bankjudul.wordpress.com (diakses 10 Maret 2012). Long, C Barbara. 1996. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan). Alih bahasa: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran. Bandung: Yayasan Ikatan AlumniPendidikan Keperawatan Padjajaran. Mansjoer Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Notoadmojo Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan (Edisi Revisi). Jakarta: PT Renika Cipta. Nurbaety, S. 2011. Gambaran beban kerja perawat di Ruang Mawar Rumah Sakit Umum Daerah Majalengka (Skripsi). Jatinangor: FK UNPAD. Nursalam. 2003. Konsep Dan Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatn Pedoman Skripsi, Tesis Dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Perry Anne Griffin, Potter Patricia A. 2006. Fundamental Keperawatan, Konsep, Klinis Dan Praktek, Ed 4, Vol 2, alih bahasa: Renata Komalasari, Dian Evriyani, Enie Novieastari, Alfrina Hany dan Sari Kurnianingsih. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Price A,Sylvia & Wilson M Lorraine. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, ( Edisi 6). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC. RSUD Cideres. 2011. Data Rekam Medik RSUD Cideres 2011. RSUD Majalengka. 2011. Data Rekam Medik RSUD Majalengka 2011.
Shocker, M. 2008. Pengaruh stimululus kutaneus: slow-stroke back massage terhadap intensitas nyeri osteoarthritis pada lansia di Panti Werdha Griya Asih Lawang. Dari http://www.scribd.com (diakses 14 Maret 2012). Siswati, S. 2010. Pengaruh masase kulit terhadap penurunan rasa nyeri pada pasien post apendiktomi di Rindu B2 RSUP H. Adam Malik Medan. Medan: Kultura Volume: 12 No. 1 September 2011. Sugiyono. 2009. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : ALFABETA. ------------. 2010. Statistik Nonparametris. Bandung : ALFABETA. Sjamsuhidajat, R & Jong de Wim. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Tamsuri, A. 2007. Konsep Dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63