NOTULA RAPAT FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) PERSIAPAN PEMBAHASAN RUU TENTANG KUHP Hari/Tanggal Waktu Tempat
1.
: Senin/ 14 Maret 2011 : 08.30 WIB – 13.30 WIB : Hotel Nugraha Wisata Bandungan – Ambarawa - Semarang
Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dibuka pukul 08.30 WIB oleh Bapak Dr. Wahiduddin Adams, SH., MA., selaku Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan dengan memberikan arahan dan sambutan pembukaan Focus Group Discussion (FGD).
2.
Bahwa kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 14-15 Maret 2011 dengan dibagi beberapa sesi dan Pembicara dari para ahli Hukum Pidana yang terdiri dari : a. Prof. Dr. Barda Nawawi, SH. (Sejarah Perumusan dan Substansi yang Diatur dalam RUU KUHP. b. Dr. Mudzakir, SH., MH. (Kebijakan dan Implikasi Kodifikasi Hukum Pidana Nasional) c. Dr. Wicipto Setiadi, SH., MH. (Tindak Pidana dengan Kekuatan Gaib) d. Dr. Suhariyono AR, SH., MH (Ideologi Marxisme/Leninisme dan Tindak Pidana Hidup Bersama Tanpa Nikah (kumpul kebo)). e. Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, SH., MH (Perumusan ketentuan umum atau asas hukum pidana dalam rangka merespon perkembangan hukum pidana dan Ketentuan Pidana Minimum Khusus dan pemberlakuannya); dan f.
Prof. Dr. Nyoman Serikat Putrajaya, SH., MH (Penyerapan dan pemberlakuan hukum pidana adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat).
3.
Sesi Pertama : Pembicara : Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. (Sejarah perumusan dan substansi yang diatur dalam RUU KUHP) dan Dr. Mudzakir, SH., MH., dengan Moderator : Dr. Wicipto Setiadi, SH., MH. a. Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. : -
Mengusulkan agar mulai dilakukan sosialisasi terhadap wakil2 rakyat (anggota DPR-RI) mengenai ide-ide dasar RUU KUHP;
www.djpp.depkumham.go.id
-
Draft yang ada sekarang sejatinya adalah hasil kerja tim di bawah koordinasi Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A.;
-
Secara umum, periodisasi sejarah penyusunan RUU KUHP di bagi dalam 2 (dua) fase utama, yaitu tim pengkajian teoritis yang terdiri dari para Guru Besar dan para dosen hukum pidana (1958-1993) dan tim penyusunan yang umumnya terdiri dari para perancang pada Ditjen Kumdang (legal drafting process: 1994-2010);
-
KUHP yang saat ini berlaku sesungguhnya bersifat terbatas. Para pembentuk undangundang pada masa itu menetapkan bahwa WvS berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan kedudukan Negara RI sebagai Negara yang merdeka (vide Pasal 1 Perpres No. 2/1945 dan Pasal V UU No. 1/1946);
-
Diskusi mengenai kepastian hukum dan keadilan sesungguhnya terkait dengan filosofi yang ada dalam RUU KUHP yang menganut prinsip kepastian hukum yang adil dan bukan kepastian undang-undang;
-
Sinkronisasi antara KUHP, KUHAP, dan UU Pemasyarakatan sangat penting bagi terwujudnya criminal justice system;
-
“Permaafan Hakim” (rechtelijk pardon) merupakan sebuah konsep yang didasarkan pada ide keseimbangan antara kadilan dan kepastian hukum serta nantinya diharapkan berperan sebagai pintu darurat/katup pengaman, sehingga penerapannya akan bersifat kasuistik;
-
Salah satu rekomendasi kongres hukum pidana Internasional: bahwa hukum di negaranegara bekas negara jajahan perlu direvisi dengan mengakomodir the living law dari masyarakat setempat. Adapun batasan the living law yakni sejalan dengan nilai-nilai hukum nasional dan prinsip-prinsip hukum internasional;
-
Perlu kecermatan dalam mengkaji asas legalitas dalam Pasal 1 (1) KUHP, sebab filosofi yang mendasari ketentuan tersebut sangat dipengaruhi pola pikir dan kondisi masyarakat di Belanda pada masa itu yang sangat jauh berbeda dengan pola pikir dan kondisi masyarakat di Indonesia saat ini;
-
Hal-hal lain dalam sesi ini dapat dilihat pada makalah Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H.
www.djpp.depkumham.go.id
b. Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. : -
Kebijakan kodifikasi dan Unifikasi hukum pidana dalam RUU KUHP dan masalah keberlakuan hukum pidana/tindak pidana di luar KUHP dan implikasi hukumnya.
-
Ratifikasi hukum pidana internasional.
-
Pemberlakuan asas legalitas.
Kesimpulan : -
Belum adanya politik hukum pidana yang jelas di Indonesia (mau kodifikasi atau perundangundangan tersebar?) sehingga arah pertumbuhan hukum pidana menjadi liar;
-
Bhinneka Tunggal Ika itu tidak hanya mencerminkan keberagaman politik, tetapi juga keberagaman hukum;
-
UU Narkotika dan UU Pornografi merupakan contoh nyata adanya ketidakjelasan arah perkembangan hukum pidana di Indonesia;
-
Perlu ada kriteria yang baku terhadap lex specialis, sehingga tidak selalu bersifat derogate legi generali yang pada akhirnya dapat merusak sistem hukum;
4.
-
Masih adanya kerancuan pemahaman mengenai “hukum pidana khusus”;
-
RUU KUHP nantinya dapat dijadikan pedoman dalam pembangunan hukum pidana nasional;
-
Hal-hal lain dalam sesi ini dapat dilihat pada makalah Dr. Mudzakkir, S.H., M.H.
Sesi Kedua dengan Pembicara Dr. Wicipto Setiadi, SH, MH., ( Tindak Pidana dengan Keuatan gaib) dan Dr. Suharino AR, SH., MH (Ideologi Marxisme/Leninisme dan Tindak Pidana Hidup Bersama tanpa Nikah). a. Dr. Wicipto Setiadi, SH., MH Tindak pidana kekuatan ghaib atau sering dikenal dengan istilah santet telah ditampung dalam RUU tentang KUHP yakni Pasal 293 yang berbunyi: “Pasal 293 (1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental
www.djpp.depkumham.go.id
atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga). Penjelasan: Pasal 293 Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya. Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet). Terhadap rumusan pasal tersebut, terdapat berbagai masukan/tanggapan, yakni: -
Praktek selama ini dalam proses penyidikan, perbuatan santet dikenakan 2 (dua) pasal dalam KUHP yakni Pasal 378 mengenai penipuan yakni jika korban tidak meninggal sedangkan jika korban meninggal dikenakan Pasal 359 mengenai kealpaan.
-
Perlunya penjelasan mengenai unsur-unsur tindak pidana agar lebih mudah untuk membuktikan.
-
Delik formil lebih implementatif dari delik materiil karena tidak perlu ada akibat.
-
Jika nantinya dijadikan delik materiil diusulkan agar dimasukan dalam RUU tentang Hukum Acara Pidana mengenai alat bukti tindak pidana santet.
-
Perlunya katagori perlakuan terhadap orang yang hanya menyatakan diri dengan orang yang benar-benar bisa melakukan santet.
-
Pidana denda perlu dikaji kembali terkait dengan ada atau tidak adanya unsur kerugian materi.
-
Frasa “menimbulkan harapan” diusulkan diganti dengan “memberikan harapan” dengan alasan bahwa jika menggunakan frasa “menimbulkan harapan” perlu dibuktikan.
www.djpp.depkumham.go.id
Kesimpulan : -
Pasal 293 merupakan delik formil sehingga tidak perlu menimbulkan akibat.
-
Merumuskan penjelasan pasal yang lebih mendalam agar lebih operasional.
-
Rumusan akan diperhalus dan diperbaiki.
b. Dr. Suhariyono AR, SH., MH. Ideologi Komunisme dan Marxisme/Leninisme -
Ketentuan mengenai ideologi Komunisme dan Marxisme/Leninisme terdapat dalam Pasal 212, Pasal 213, dan Pasal 214 RUU tentang KUHP yang berbunyi: Pasal 212
(1)
Setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan/atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
(2)
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya kerusuhan dalam masyarakat dan/atau kerugian harta kekayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(3)
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menimbulkan kerusuhan dalam masyarakat dan mengakibatkan orang menderita luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
(4)
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menimbulkan kerusuhan dalam masyarakat dan mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(5)
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan jika perbuatan itu dilakukan hanya semata-mata untuk kegiatan ilmiah. Pasal 213
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun setiap orang yang: a.
mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga keras menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme;
www.djpp.depkumham.go.id
b.
mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam
maupun
di
luar
negeri,
yang
diketahuinya
berasaskan
ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah dasar negara; atau c.
mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/MarxismeLeninisme dengan maksud menggulingkan pemerintah yang sah. Pasal 214
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum menyatakan keinginannya dengan lisan, tulisan, dan/atau melalui media apa pun untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. (2) Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menimbulkan kerusuhan dalam masyarakat dan/atau kerugian harta kekayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. (3) Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menimbulkan kerusuhan dalam masyarakat dan mengakibatkan orang menderita luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. (4) Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menimbulkan kerusuhan dalam masyarakat dan mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. -
Rumusan Pasal 212, Pasal 213, dan Pasal 214 RUU tentang KUHP merupakan penyempurnaan dari Pasal 107a sampai dengan Pasal 107e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
-
Selain UU Nomor 27 Tahun 1999, pelarangan terhadap paham komunisme juga tertampung dalam Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI sebagai Organisasi Terlarang.
www.djpp.depkumham.go.id
Terhadap rumusan Pasal 212, Pasal 213, dan Pasal 214 RUU tentang KUHP, terdapat berbagai masukan/tanggapan, yakni: -
Pelarangan penyebaran paham diusulkan tidak hanya pada komunisme dan marxisme-leninisme hal ini untuk mengantisipasi adanya paham di luar paham tersebut di atas yang lebih membahayakan.
-
Seandainya tidak bisa menyebut atau menunjuk paham yang akan dilarang sebaiknya tidak ditentukan paham apa saja yang dilarang melainkan cukup dengan frasa “mengubah Pancasila sebagai ideologi”.
-
Perlu dikaji kembali alasan mengapa pidana yang dijatuhkan kepada pembuat yang menyebarkan atau mengembangkan paham komunisme dan marxismeleninisme [Pasal 212 ayat (1)] lebih lama dari pada pembuat yang di luar paham tersebut [Pasal 214].
-
Perlu dilihat kembali Pasal 212 ayat (1) mengenai frasa “dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara”, bagaimana jika pembuat tidak bermaksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara?
-
Frasa “setiap orang yang melakukan tindak pidana” diusulkan agar diganti menjadi “pembuat” sebagai konsistensi istilah.
Adapun hal-hal yang disepakati yakni: -
Memberikan penjelasan mengenai istilah komunisme dan marxisme-leninisme.
-
Alasan mengapa pidana yang djatuhkan terhadap pembuat yang menyebarkan atau mengembangkan paham komunisme dan marxisme-leninisme [Pasal 212 ayat (1)] paling lama 7 (tujuh) tahun sedangkan bagi pembuat yang di luar paham tersebut [Pasal 214] paling lama 5 (lima) tahun akan ditanyakan kepada para penyusun RUU tentang KUHP.
-
Konsistensi rumusan dengan mengganti frasa “setiap orang yang melakukan tindak pidana” menjadi “pembuat”.
Tindak Pidana Hidup Bersama Tanpa Nikah (kumpul kebo)
www.djpp.depkumham.go.id
-
Ketentuan mengenai kumpul kebo terdapat dalam Pasal 487 RUU tentang KUHP yang berbunyi: Pasal 487 Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Kategori IV.
-
Selain dalam Pasal 487 RUU tentang KUHP disandingkan juga pasal yang pernah disusun pada tahun 2002 yakni Pasal 422 yang berbunyi: Pasal 422 (1) Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah dan karenanya mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Kategori II. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan, kecuali atas pengaduan keluarga salah satu pembuat tindak pidana sampai derajat ketiga, kepala adat, atau oleh kepala desa atau lurah setempat. Terhadap rumusan Pasal 487 RUU tentang KUHP dan Pasal 422 RUU tentang KUHP draft Tahun 2002, terdapat berbagai masukan/tanggapan, yakni: -
Pasal 487 bukan merupakan delik formil sehingga berpotensi menimbulkan mafia di penyidik karena rumusannya yang masih terlalu luas.
-
Selain itu, juga tidak bisa diperlakukan untuk semua daerah karena ada beberapa daerah (Bali, Mentawai, Minahasa, Karawang) yang menurut adatnya tidak melarang perbuatan yang ada dalam ketentuan Pasal 487.
-
Untuk menampung hal tersebut, diusulkan agar ketentuan mengenai kumpul kebo menjadi delik materiil.
-
Perlu penjelasan mengenai “perkawinan yang sah”.
-
Jika disepakati Pasal 487 sebaiknya pidana maksimal dipersingkat yakni 2 (dua) tahun karena 5 (lima) tahun dinilai terlalu tinggi.
www.djpp.depkumham.go.id
Adapun hal-hal yang disepakati yakni: -
Menyepakati rumusan Pasal 422 RUU tentang KUHP draft Tahun 2002 dengan penghalusan rumusan.
-
“Perkawinan yang sah” akan dirumuskan dalam penjelasan pasal yakni perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
5.
Sesi Ketiga dengan Pembicara Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, SH., MH (perumusan ketentuan umum atau asas hukum pidana dalam rangka merespon perkembangan hukum pidana dan ketentuan pidana minimum khusus dan pemberlakuannya). Hasil Rapat: 1. Rapat FGD III dibuka oleh Pemandu, DR. Suhariyono AR, SH.,MH, dengan memperkenalkan pembicara yakni Prof. DR. Eddy O.S. Hiariej, SH.,MH. 2. Prof. DR. Eddy O.S. Hiariej, SH, MH. Menyampaikan pengantar mengenai Perumusan Ketentuan Umum asas hukum pidana dalam rangka merespon perkembangan hukum pidana dan ketentuan pidana Minimum Khusus dan Pemberlakuannya 3. Ada beberapa poin yang disampaikan mengenai ketentuan pidana minimum khusus dan pemberlakuan , diantaranya mengenai stelsel pidana,pandangan mengenai ketentuan umum RUU tentang KUHP dan asas yang dijadikan sebagai pagar dimana asas tersebut memagari hakim untuk tidak menjatuhkan pidana pokok pada saat yang sama. Disamping itu Hakim dilarang menjatuhkan pidana tambahan tanpa pidana pokok. Akan tetapi hakim boleh menjatuhkan pidana pokok dan lebih dari satu pidana tambahan, 4. Penyampaian mengenai stelsel pidana, yang dalam perkembangannya ada 3, yakni: a. Definite sentence: menetapkan ancaman pidana secara pasti, hakim tidak boleh menjatuhkan putusan diluar dari peraturan perundang-undangan yang tertulis. Sistem ini merupakan system yang paling tua dalam pemidanaan. b. Indefinite sentence : Hakim memberikan putusan minimum umum, yang apabila dilihat didalam KUHP kita hanya 1 (satu) hari dan maks khusus,. Dalam stelsel ini ada ancaman pidana maksimum atau denda sekian rupiah. c. Indeterminate sentence :mencatumkan pidana baik minimum maupun maksimum khusus, lalu hakim diberi ruang antara minimum khusus dan maksimum khusus.
www.djpp.depkumham.go.id
Undang-Undang yang berada diluar KUHP, mencantumkan ancaman pidana secara kumulatif dan pidana denda. Ada pula beberapa ketentuan Undang-Undang yang memasang pidana minimum dan pidana maksimum khusus. Beberapa Undang-Undang mencantumkan ancaman pidana bersifat definite, tetapi ada pulaa ancaman pidana yang bersifat indefinite, didalam penerepannya hal tersebut sangat berbahaya karena bisa menimbulkan disparitas pidana. Salah satu Undang-Undang yang menggunakan stelsel definite sentence, diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotrapika, dalam pasal 59 Undang-Undang tersebut mengenakan pidana denda 5 milyar tanpa mengatakan minimum atau maksimum tetapi harga pasti nya 5 milyar rupiah, artinya tidak boleh keluar dari situ, kemudian untuk psikotrapika golongan 1 ada ancaman minimum 4 tahun dan maksimum 15 tahun, dan denda min 150 juta maks 350 juta, akan tetapi menyangkut diluar psikotrapika gol 1 dalam pasal 62 menganut indefinite dengan maks penjara sekian tahun dan denda sekian rupiah. Hal Ini sangat berbahaya dalam penegakan hokum karena bisa mengakibatkan disparitas pidana sehingga pelaku kejahatan merasa sebagai korban karena ada kesenjangan dengan menggunakan lebih dari satu stelsel pemidanaan. 5. Prof. DR. Eddy O.S. Hiera, SH, MH juga menyoroti bahwa dalam konteks pembaharuan hukum pidana, banyak Undang-Undang khusus diluar KUHP menganakan ancaman pidana yang kita tidak pernah tahiu apa unsure rasionalnya. Kepada pelaku, ancaman pidana dikenakan berapa tahun untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan, maupun denda sekian rupiah yang tidak ada alasan rasionalnya. Selain itu, semua undang-undang sektoral diluar KUHP sangat latah mencantumkan ancaman pidana. Dalam perkembangannya, di Belanda ada 5 Kategori Pidana, misalnya adalah: a. pidana maksimum 12 tahun penjara, denda kategori pertama, b. lalu yang kedua maksimum 10 Tahun penjara denda kategori kedua, c. ketiga maksimum 8 tahun penjara denda kategori ketiga, d. keempat maksimum 4 tahun penjara denda kategori keempat dan. e. terakhir maksimim 1 tahun penjara dan denda kategori kelima. Memang pertumbuhan kodifikasi disana tidak sebanyak di Indonesia akan tetapi jika membentuk suatu UU regional, ada ancaman pidana, ada pula kriminalisasi tetapi tidak ada dekriminalisasi. Dalam arti begitu ada suatu perbuatan yang dikriminalkan didalam undangundang diluar KUHP tidak mengatakan ancaman penjara sekian tahun dan denda sekian
www.djpp.depkumham.go.id
uero, akan tetapi langsung menuju pada pelanggaran pasal sekian diancam pidana sekian tahun dan maksimum 12 tahun dan denda kategori 1 sebagaimana yang telah dicantumkan dalam undang-undang tersebut. ketika akan mengkriminalisasikan perbuatan yang dikriminalkan sudah langsung merujuk pada KUHP; 6. Prof. Eddy mengusulkan sebaiknya RUU KUHP kita ada kategori pidana seperti yang diterapkan di Belanda, hal ini untuk menghindari pembentukan Uundang-Undang yang seenaknya mengenakan ancaman pidana tanpa dasar, selain itu disarankan untuk tidak mengenakan pidana minimum khusus karena hal tersebut memberi kesan bahwa perbuatan yang dilakukan amat sangat berbahaya. Jika mengenakan pidana
minimum khusus
digunakan sebagai factor pemberatan pidana. Selain itu sehingga disini memang perlu komparasi dengan Negara untuk tindak pidana apa saja yang memerlukan pidana minimum khusus; 7. Setelah Prof DR. Eddy menyampaikan pengantarnya, diskusi dibuka dengan pertanyaan dan tanggapan dari beberapa peserta, yakni:. ( Pengadilan Negeri Semarang): Pidana Minimum khusus ini dirasa sebagai sesuatu yang membingungkan, Kadang-kadang ada suatu perkara yang pidananya tidak seharusnya dijatuhkan sekian tahun, tetapi karena minimumnya sudah ditentukan, maka tetap dikenakan pidana tersebut, setelah banding ternyata diturunkan juga dibawah minimum khusus tersebut. Didalam prakteknya ada yang menyimpang dari ketentuan ada juga yang tetap pada ketentuan. Apabila pidana minimum khusus tersebut diterapkan bagaimana kaitannya dengan Pasal 12 RUU tentang KUHP dalam BUKU I yang menyebutkan bahwa: “Dalam mempertimbangkan hokum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hokum, bagaimana kaitannya dengan pidana min khusus, dipandang dari kerugiannya tidak sebanding dengan pidana yang dijatuhkan. Apakah bisa dikesampingkan dalam menjatuhkan putusan tersebut dengan mengutamakan keadilan dengan dasar Pasal 12 RUU KUHP tersebut. Apabila merujuk pada Pasal 12 ini maka Pidana Minimum khusus bisa dikesampingkan atau Pidana Minimum Khusus menjadi tidak berguna.
www.djpp.depkumham.go.id
(Ibu Yenti dari Universitas Trisakti): berpendapat bahwa politik hokum kita ketika akan menjatuhkan Pidana Minimum Khusus mengacu pada beberapa Negara mana saja dan untuk tindak pidana apa saja, sehingga kita tidak bisa semua semata-mata menggunakan pidana minimum khusus tetapi mengacu pada kecenderungan-kecenderungan yang ada seperti pada Undang-Undang Pencucian Uang. Suatu Konvensi PBB mengatakan bahwa pendapat ahli pakar Negara digunakan sebagai sumber dan masukan akan tetapi pada saat memutuskan melihat kondisi pada Negara itu sendiri. Begitu juga dengan Indonesia, yang sekarang begitu banyak kasus korupsi dari mulai jumlah kecil sampai jumlah besar kita hanya bisa menyarankan saja, akan tetapi hakim sendiri yang bisa memutuskan, sehingga pidana minimum khusus tidak bisa diberlakukan. Akan tetapi kita juga harus melihat kualitas hakim itu sendiri Pertanyaan: Berapa Pidana Minimum Khusus dalam RUU KUHP ini yang akan dijatuhkan? Dan berapa Maksimum Khususnya? Hal ini penting untuk MLA nya? Bagaimana kita menjatuhkan Pidana? Apakah Pidana Mati masih dicantumkan dalam RUU KUHP ini? Pengaturan Pidana juga harus dipertimbangkan untuk efektifitas ketika kita melakukan kerjasama Internasional. Pada RUU KUHP ini merupakan RUU tahun 2008 tetapi saya mengira bahwa 2/3 dari RUU ini merupakan hasil pemikiran dari konvensi sebelum tahun tersebut. Kemudian saya ingin mengetahui apakah RUU ini sudah up to date dan bisa mengikuti perkembangan paling tidak 2 tahun kebelakang yang artinya Rancangan UndangUndang ini baru tetapi isi dari RUU ini tidak baru. Mungkin bisa memperbanyak Pidana-Pidana Denda saja, terutama untuk kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran bisa diselesaikan dengan Denda. 8. Prof. DR. Eddy mengusulkan untuk menghapus ketentuan Pasal 1 ayat 2 yang mengatakan bahwa dalam menetapkan adannya tindak pidana dilarang menggunakan analogi, karena kontradiktif dengan ayat 3 yang mengatakan bahwa” Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,”;
www.djpp.depkumham.go.id
9. Prof DR. Eddy menyarankan agar dalam mencantumkan pidana hendaknya memperhitungkan bagimana penerapannya dan bagaimana kondisi di lapangannya. Selain itu, Prof Eddy sependapat dengan Ibu Yenti bahwa tidak selama nya perbuatan pidana dikenakan hokuman Penjara, untuk kejahatan ringan bisa dikenakan pidana denda. Bahkan untuk Negara-negara eropa saat ini sudah sangat jarang sekali menjatuhkan hokum penjara, hakim disana paling hanya menjatuhkan denda perhari; 10. DR Mudzakir mengatakan bahwa denda lazimnya diseimbangkan dengan penjara, perlu dikaji lagi pola nya KUHP Greenland tidak ada ancaman pidana, benar2 diserahkan Hakim, Isi dari KUHP Greenland hanya perbuatan2 yg dikriminalisasi 11. Prof Eddy juga menyarankan untuk kemungkinannya kita bisa membuat stelsel pemidanaan dalam RUU KUHP ini, sehingga Undang-Undang yang berada di luar KUHP kembali menuju pada KUHP agar tidak mencantumkan ancaman pidana tanpa suatu landasan yang rasional. 12. Dalam Konvensi tidak pernah mencantumkan pidana min khusus, tetapi memang mengatakan perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan. Pidana Minimum Khusus disini mungkin dicantumkan sebagai pemberatan pidana. Didalam Pasal 69 ayat 2 RUU KUHP mengatakan bahwa Pidana Penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 tahun berturut-turut atau paling singkat 1 (satu) hari, kecuali ditentukan minimum khusus, Menurut saya minimum khusus ini boleh tetapi dalam konteks untuk pemberatan atau boleh diterapkan apabila ada pemberatan. 13. Beberapa tanggapan dari peserta, diantaranya: Dalam Pasal 294 RUU KUHP mengenai penguasaan dan Memasukkan atau Mengeluarkan Ke atau dari Indonesia Senjata Api , Amunisi, Bahan Peledak, dan Senjata Lain, Penerapan minimum khususnya adalah 3 tahun, apabila ada orang yang tiba2 menemukan peluru karet, ini bagaimana penerapan pidananya? Dalam menerapkan standar pidana minimum khusus harus dipikirkan secara mendalam, karena hal tersebut bisa menjebak. Untuk jenis Potasium dikalangan warung-warung kecil banyak dijumpai, apakah nantinya bisa diterapkan dilapangan? 14. Prof. Eddy mengatakan bahwa hal penting yang mesti diingat adalah kapan seorang Hakim boleh menerapkan ketentuan pidana minimum Khusus. Dipersidangan seorang hakim bisa menilai apakah memang perlu menetapkan minimum khusus. Apa pedoman untuk menerapkan pidana minimum khusus, didalamnya ada pemberatan
www.djpp.depkumham.go.id
15. Ada beberapa peserta juga menyepakati untuk menarik ketentuan pidana minimum khusus, karena bertentangan rasa keadilan. Paling tidak Pidana Minimum Khusus ditdipelajari, dikaji dan ditinjau kembali, Kenapa harus ada minimum khusus? 16. Diusulkan pula bagaimana apabila kita tidak menetapkan minimum khusus tetapi menerapkan saja minimum umum. 17. Prof. DR.
Eddy menyarankan kita bisa menciptakan pola pemidanaan yang bagus,
kriminalisasi syah2 saja tetapi ketika mengenakan ancaman pidana harus bermuara pada KUHP, hal ini untuk mencegah adanya ancaman pidana serampangan di luar KUHP. Salah satu Peserta mengatakan bahwa bagaimana dengan Undang-Undang yang sudah terlanjur ada yang berada di luar KUHP? Apabila RUU ini sudah disyahkan Bagaiman teknis penerapannya terutama untuk ancaman pidananya? Bagaimana pelaksanaan system pemidanaannya? 18. Prof DR. Eddy mengatakan bahwa pidana pokok tidak boleh dijatuhkan secara bersamaan misalnya pidana penjara dengan pidana denda atau pidana penjara dengan pidana kurungan, Pada Pasal 69 KUHP yang lama menyebutkan pidan pokok tidak boleh dibarengi 19. Selanjutnya berbicara mengenai masalah remisi untuk para koruptor menjadi persoalan yang dilema, ketika teman2 ICW berbicara di Jakarta bahwa korupsi merupaka kejahatan yang extra ordinary crime, akan tetapi dilain sisi, seorang koruptor juga mempunyai hak. Pada dasarnya remisi untuk koruptor disepakati setuju namun, hakim harus memperhatikan dan memperhitungkan lamanya pidana yang dijatuhkan; 20. DR Yenti (Univ Trisakti) membuka RUU KUHP pada Pasal 380) istilah “menghasut binatang” Straafmaat (ukuran pemidanaan dalam rumusan UU); straftoemeting (ukuran pemidanaan dalam penjatuhan pidana oleh hakim) 21. Diakhir, DR Suhariyono mengusulkan agar dibuat tabulasi untuk yang terkait dengan pidana minimum khusus.; 6. Sesi Keempat dengan Pembicara Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH., MH (Pengaruh Hukum Pidana Adat dan The Living law Bagi Perkembangan Hukum Pidana Nasional) dan Mooderator : Dr. Suhariyono AR, SH., MH. Hasil rapat :
www.djpp.depkumham.go.id
a. Bahwa UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 mengakui eksistensi adanya hukum adat, yaitu dalam Pasal 5 ayat (3) sub b. b. Kemudian ada 3 (tiga) hal yang harus dipahami oleh terutama oleh para Penegak Hukum dalam menerapkan hokum tidak tertulis, yaitu : -
Menurut hukum dianggap perbuatan tercela dan tidak ada padanannya di KUHP maka perbuatan tersebut apabila diajukan ke pengadilan maka dapat dipidana penjara/kurungan paling lama 3 bulan dan denda paling banyak Rp. 500,00 dan hal tersebut dinyatakan sebagai hukuman pengganti apya. abila si pelaku tidak menjalani hukuman adat atau sanksi adatnya.
-
Sanksi adat melebihi 3 bulan hakim diberi kesempatan menjatuhkan pidana penjara paling lama 10 tahun
-
Apabila ada padanannya dalam KUHP misalnya seperti kumpul kebo, salah satu terikat perkawinan, maka dapat dikenakan sanksi pasal perzinahan, apabila tidak ada padanannya maka menggunakan hukum pidana adat.
c. Hukum yang tidak tertulis dan diakui sebagai sumber hukum ditegaskan dalam aturan yang bersifat umum yaitu : -
UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman jo UU Nomor 35 Tahun 1999 jo UU Nomor 4 Tahun 2004 menjelaskan : Pasal 23 ayat (1) : “Segala Putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturanperaturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis”. Pasal 27 ayat (1) menyebutkan bahwa Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup”.
-
Pasal 25 ayat (1) menyebutkan segala sesuatu putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundangundangan yang bersangkutan atau seumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
-
Pasal 28 ayat (1) Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup didalam masyarakat.
-
Pasal 18B ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 amandemen ke-2, yang menyebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
www.djpp.depkumham.go.id
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UndangUndang. d. Dalam mengakui hukum tidak tertulis harus sesuai dengan fungsi dan kedudukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan harus sesuai dengan perkembangan bangsa Indonesia dan tidak bertentangan dengan Pancasila. e. Asas legalitas apabila diterapkan secara keseluruhan dan mengikuti karakter aslinya, maka tindak pidana harus dirumuskan di Undang-Undang, tidak boleh pidana berdasarkan kebiasaan serta penuntutan harus berdasarkan Undang-undang. Oleh karena itu apabila asas legalitas ini diterapkan yang berbeda dari aslinya maka akan lebih demokratis sehingga dapat menimbulkan spirit tersebut adalah forward looking, restorative justice, natural crime, dan integrated, sehingga hal ini yang mendorong untuk terjadinya hukum adat. f.
Apabila hukum adat akan direkriminalisasi harus mencakup law making and law enforcement dan lebih lanjut mencakup persyaratan sebagai berikut : -
Tidak semata-mata untuk tujuan pembalasan dalam arti tidak bersifat ad hoc.
-
Harus menimbulkan kerugian atau korban yang jelas
-
Apabila masih ada cara lain yang lebih baik dan lebih efektif jangan digunakan hukum pidana.
-
Kerugian yang ditimbulkan karena pemidanaan harus lebih kecil daripada akibat kejahatan.
-
Harus didukung masyarakat, dan
-
Harus dapat diterapkan secara efektif.
g. Pasal 1 RUU KUHP Tahun 2008 dan konsep yang sekarang tidak berubah, yaitu bahwa sumber hukum atau landasan legalitas yang menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, tidak hanya didasarkan pada asas legalitas formal berdasarkan UU, tetapi juga didasarkan pada asas legalitas materiil yang memberikan tempat kepada hukum yang hidup atau yang tidak tertulis. Dengan kata lain sifat melawan hukumnya perbuatan harus didasarkan pada landasan formal (legalitas formal) dan tidak mengurangi sifat melawan hukum secara materiil (legalitas materiil). h. Berdasarkan konsep tersebut bahwa hukum yang hidup sebagai sumber hukum tetap ada batasan-batasan berlakunya hal tersebut yaitu dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 1 ayat (4).
www.djpp.depkumham.go.id
Dengan ditegaskan dalam rumusan Pasal 1 ayat (4) dharapkan dapat menjadi criteria atau rambu-rambu pedoman hukum bagi hakim dalam menetapkan “hukum yang hidup dalam masyarakat”. i.
Kemudian yang melatarbelakangi untuk rumusan Pasal 11 RUU KUHP adalah untuk dapat dinyatakan sebagai tindak pidana sebagai salah satu syarat dapat dijatuhinya pidana adalah perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan delik dalam UU itu tau melawan hukum secara formal.
j.
Dengan adanya perumusan Pasal 11 tersebut maka asas “tiada pertanggungjawaban (pidana) tanpa sifat melawan hukum” (no liability without unlawfulness) dijadikan asas umum yang dicantumkan secara tegas/eksplisit dalam aturan umum Buku I.
k. Diakuinya pemberlakuan hukum pidana secara “retroaktif” baik ditingkat internasional maupun nasional dengan landasan International Customary Law dan The Principle of Justice sudah selayaknya ilmu hukum pidana mengalami pengembangan yang semula seolah-olah hanya mengutamakan kepastian hukum dengan karakteristiknya lex certa lex scripta and lex stricta dikembangkan dengan prinsip keadilan untuk semuanya justice for all. l.
Dengan demikian hukum pidana adat dan the living law berpengaruh pada perkembangan hukum pidana nasional baik sebagai sumber hukum pidana yang positif maupun sumber hukum pidana yang negatif serta sangat beralasan atau mendapat pembenaran tidak hanya berdasarkan praktik hukum kebiasaan nasional tetapi juga di dunia internasional.
Sesi Tanya jawab : a. Prof. Dr. Supanto, SH., MH (FH Universitas 11 Maret Surakarta) -
Hukum pidana adat diakui sebagai pidana tambahan, untuk itu disarankan untuk dirumuskan dalam tentang istilah hukum pidana adat dalam penjelasan di RUU KUHP ini, karena akan dijadikan pedoman yang pasti dan dapat dipahami bagi penegak hukum.
-
Kemudian apabila tindak pidana telah diselesaikan secara adat, apakah tidak perlu diproses lagi oleh penegak hukum dan menjadi nebis in idem.
-
Sanksi yang diterapkan dalam hukum pidana adat harus lebih jelas, misalnya mengenai tindakan santet bagaimana sanksi pidananya?
www.djpp.depkumham.go.id
Jawaban : -
Dilihat dari penjelasan umum dan penjelasan pasal perpasal KUHP ini. Yaitu pada penjelasan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP.
-
Selain itu fungsinya terbuka artinya hukum pidana adat itu harus dilihat di hukum adat yang bersangkutan. Contohnya yang terjadi di Bali berarti harus melihat hukum adat bali (ditentukan tergantung pada masing-masing daerah). Apabila RUU KUHP ini disahkan dan mencantumkan delik hukum adat ini akan dikembangkan dalam peraturan daerah. Karena peraturan daerah terbentuk tidak saja menjalankan dari peraturan yang lebih tinggi tetapi dapat terbentuk karena hal-hal khusus dalam daerah tersebut.
-
Sanksi adat tidak dapat ditentukan secara pasti dan sanksi pidana tidak boleh ganda. Apabila sudah diselesaikan secara adat selayaknya perkara tersebut dilanjutkan kedalam pengadilan. Dan apabila sudah diatur dalam KUHP prosedurnya tetap menggunakan yang diatur dalam KUHP.
b. Dr. Mudzakir, SH., MH (FH Universitas Islam Yogyakarta) -
Apakah dimasa depan seseorang dapat dihukum dengan cantolan Pasal 1 ayat (3)?
-
Seseorang bisa dihukum dengan norma hukum pidana, apa perlu ada rumusan lanjutan dibuku ke II mengenai hal tersebut?
-
Apakah formulasi hukum adat pidana dimasukkan dalam RUU KUHP ini di buku ke II?
Jawaban : -
Sistematika KUHP Buku I ketentuan umum, Buku II tindak pidana, artinya sama-sama perbuatan yang diatur dalam buku ke II dan jelas merupakan tindak pidana berdasarkan UU, oleh karena itu Prof Barda menjelaskan bahwa ada pergeseran asas legalitas materiil dan asal legalitas formil.
-
Disarankan Pasal 1 ayat (3) tetap dipertahankan, karena yang memberikan peluang kepada perumusan hukum pidana adat di masing-masing daerah. Karena setiap daerah mempunyai hukum adat yang berbeda.
-
Pasal 211 RUU KUHP, bahwa pasal ini merupakan jembatan bagi ketentuan-ketentuan Bab I sampai Bab V dan hal ini berlaku untuk ketentuan-ketentuan diluar KUHP. Artinya kalau delik adat tersebut dianggap dilakukan oleh beberapa orang bisa saja dikaitkan dengan Pasal 55.
-
Dalam buku II tidak lagi membedakan antara pelanggaran dan kejahatan.
www.djpp.depkumham.go.id
-
Pasal 100 RUU KUHP, buku II KUHP sama dengan bagian yang khusus dan prinsipnya hanya terdapat pidana mati, pidana penjara, dan pidana denda.
c. Dr. Marcella Elwina S, SH., CN., M.HUM ( FH Universitas Katolik Soegijapranoto Semarang) -
Bahwa mulai ada pergerakan di berbagai Negara yang telah menggunakan hukum adat dalam penyelesaian suatu perkara.
-
Pasal 18B ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 amandemen ke 2 yang menjelaskan Negara wajib menghormati hak warga Negara.
-
Apabila ada masyarakat adat melakukan tindakan yang melanggar hukum, dan dalam penyelesaiannya memilih dengan hukum adat, apakah hal tersebut diijinkan oleh negara?
-
Contoh di Negara Amerika Latin, ditegaskan bahwa untuk kembali kepada hukum adat dalam proses penyelesaian tindakan yang melanggar hukum dan dapat memilih untuk penyelesaiannya. Seperti yang terjadi di Guatemala dicantumkan dalam KUHPnya mengenai hal tersebut.
-
Apakah bisa memilih untuk penyelesaian secara hukum adat atau hukum Negara?
-
Penelitian di Aceh pada tahun 2008, bahwa orang yang melakukan judi hukumannya dikenai hukuman cambuk sebanyak 9 kali, dan mereka lebih memilih hukum cambuk daripada harus dipenjara 3 bulan. Berkaitan dengan hal tersebut apakah apabila ada padanannya dalam KUHP diperbolehkan untuk menggunakan hukum adat atau hukum Negara?
-
Bagaimana posisi hukum adat ini dalam RUU KUHP, apakah subordinat dibawah hukum Negara atau sejajar dengan hukum Negara?
Jawaban : -
Sewaktu diterapkan Qonun di Aceh hal tersebut sebenarnya menjadi masalah, karena hal tersebut tidak bisa diterapkan, dan apabila dilihat dengan KUHP yang sekarang, maka Jaksa hanya mau menuntut dengan menggunakan Pasal 10 KUHP.
-
Prinsipnya sepanjang KUHP kita menggunakan asas legalitas seperti sekarang ini dan perbuatannya tersebut ada padanannya dengan KUHP, maka harus tetap ditegakkan sesuai KUHP.
-
Yang harus diperhatikan adalah tentang pedoman pemberian pidana, pedoman penjatuhan pidana, pedoman pidana denda, dan hal ini sudah ada dalam konsep RUU KUHP ini.
www.djpp.depkumham.go.id
d. Atna Susila, SH (FH Universitas Muhammadiyah Magelang) -
Berkaitan dengan penyelesaian secara adat, contohnya seperti perzinahan dan kumpul kebo. Karena agak kesulitan dalam implementasikannya kedalam masyrakat yang akan menindak pelaku zina, malah akan terkena sanksi pidana.
-
Definisi kumpul kebo, penjelasannya bagaimana apakah pelaku yang dikenakan sanksi adalah yang terikat perkawinan secara sah sesuai UU Perkawinan? Karena dikhawatirkan di Papua misalnya mereka jauh dari KUA, apakah mereka dikenakan dengan sanksi pidana tersebut?
e. Dr. Yenti Garnasih, SH., MH (FH Universitas Trisakti Jakarta) -
Bahwa Indonesia terdiri dari suku-suku bangsa yang masing-masing mempunyai hukum adatnya dan kebiasaannya. Dalam kebiasaan tersebut apakah dapat digabungkan dalam traditional law. Seperti yang terjadi diterapkan di Negara lain bahwa ada prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa atau hukum kebiasaan internasional.
-
Seperti yang terjadi di Jambi, yaitu diterapkan bahwa yang telah melakukan pembunuhan, hukumannya lebih ringan daripada yang telah ditentukan oleh hukum Negara.
-
Mengapa RUU mengambil konsep customary law dengan pemahaman sedemikian rupa sehingga masuk untuk memperkuat bahwa ada hukum-hukum yang hidup di masyarakat, yang sebetulnya ancaman pidananya tidak boleh lebih dari 3 bulan? Kenapa acuannya customary law yang diatur oleh masyarakat bangsa-bangsa dimana semua bangsa mengakui sementara di Indonesia hukum adat bali tidak diakui di Jakarta?
f. -
Trisno Rahardjo, SH., MH (FH Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) Pengadilan adat dikenal di UU otonomi khusus seperti di Aceh yaitu Mahkamah Syariah. Apakah adopsi di konsep RUU KUHP tentang pengakuan adat akan lebih baik dirumuskan dalam pengadilan adat?
-
Pengaturan mengenai Peraturan Daerah yang diberlakukan untuk daerah setempat, bagaimana dengan masyarakat pendatang ke daerah tersebut dan orang tersebut memegang adat didaerah sebelumnya?
-
Kaitannya dengan kewajiban adat, bagaimana apabila hukuman adat lebih berat dari pada hukum Negara?
Jawaban :
www.djpp.depkumham.go.id
-
Kalau untuk Pegawai Negeri Sipil harus merujuk pada UU tentang Perkawinan. Perkawinan siri tidak dapat dipidana, tetapi diliaht dari syarat sahnya perkawinan tersebut yang telah diatur dalam UU Perkawinan.
-
Pengertian zina berbeda-beda dari yang di KUHP dengan yang dihukum agama dan hukum adat. Sedangkan yang di KUHP adalah perzinahan tersebut masuk dalam Perkawinan.
-
Commonlaw system menggunakan hukum pidana tertulis. Bermacam-macam hukum adat yang ada dirumuskan dengan konsep yang RUU sekarang.
-
Hukum adat juga dikatakan sebagai hukum pidana tidak tertulis karena hukum adat pasti tertulis. g. Dr. Aloysius Wisnubroto, SH., M.HUM (FH Universitas Atmadjaya Yogyakarta) - Peraturan Daerah harus dikaji kembali apabila akan mencantumkan hukum adat dalam perda tersebut. - Sepakat untuk mencantumkan hukum adat dalam RUU KUHP. h. Reza Fikri Febriansyah, SH., MH (Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan) - Pasal 18B UUDNRI Tahun 1945 terdiri unsur-unsur yang menjelaskan bahwa “sepanjang masih hidup” bagaimana untuk mengukur bahwa hukum adat tersebut masih hidup dimasyarakat? “sesuai dengan perkembangan masyarakat” dan “yang diatur dalam UU” - Apakah hukum pidana adat itu berlaku untuk semua orang, khususnya bagi pendatang?
Kesimpulan : -
Hukum pidana Indonesia tidak dapat mengandalkan asas legalitas 100%;
-
Legalitas terhadap eksistensi hukum pidana adat diatur dalam UU Drt. 1/1951 dan UU Kekuasaan Kehakiman;
-
Hukum pidana adat pada prinsipnya bersifat komplementer (pelengkap) terhadap hukum pidana nasional
-
Delik-delik adat nantinya diharapkan dapat dikembangan dalam Peraturan Daerah, namun perlu dikaji lebih lanjut korelasi antara Pasal 18B UUDNRI Tahun 1945, UU No. 10/2004, UU No. 32/2004, serta pola penyerapan hukum pidana adat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah
www.djpp.depkumham.go.id
-
Salah satu prinsip umum dalam hal ini adalah tidak boleh ada pidana ganda
m. Bahwa nanti pada saat pembahasan dengan DPR, untuk mengundang Prof.Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, Prof. Dr. Barda Nawawi, Dr. Mudzakir untuk memberikan penjelasan dan pemahaman secara utuh kepada anggota DPR mengenai konsep Buku II, system hukum nasional, hukum adat harus ditempatkan dalam RUU KUHP. n. Kegiatan FGD ini ditutup oleh Dr. Mudzakir sebagai Tim Perumus Persiapan Pembahasan RUU KUHP, bahwa hasil kegiatan ini akan dibahas lebih lanjut dengan tim kecil kemudian tim pleno untuk penyempurnaan penyusunan RUU KUHP ini.
www.djpp.depkumham.go.id