NOTULA RAPAT FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) PERSIAPAN PEMBAHASAN RUU TENTANG KUHP
Hari/Tanggal : Jumat/ 25 Maret 2011 Waktu : 09.00 WIB – selesai Tempat : Hotel The Hills, Bukit Tinggi – Sumatera Barat.
1.
Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dibuka pukul 09.00 WIB oleh Bapak Zafrullah Salim, MH., selaku Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan, yang
mewaklili
Direktur
Jenderal
Peraturan
Perundang-undangan
dengan
memberikan arahan dan sambutan pembukaan Focus Group Discussion (FGD) dengan mengucapkan terimakasih atas kedatangan para hadirin yang akan memberikan sumbangan berupa pendapat dan pertanyaan. RUU ini sudah mengalami pergantian 8 kali ketua, dan sudah 9 orang ketua yakni sejak tahun 1982.
2.
Bahwa Menteri Hukum dan HAM membuka kembali RUU ini dengan mengirimkan surat tanggal 10 November 2010 untuk melakukan perumusan kembali selama 3 bulan. Dengan melakukan diskusi dengan beberapa ahli pidana di daerah diharapkan dapat menyempurnakan RUU ini secara substansi
3.
Bahwa kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 25 – 26 Maret 2011 dengan dibagi beberapa sesi dan Pembicara dari para ahli Hukum Pidana yang terdiri dari : a. Prof. Dr. Ismansyah, SH., MH dari Universitas Andalas (Pemberlakuan Hukum Pidana Adat atau Hukum yang hidup dalam Masyarakat) b. Dr.Chairul Huda, SH.,MH. dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (Tujuan Pemidanaan, Jenis Pidana, Pidana Minimum Khusus, dan Pidana Mati) c. Dr. Mudzakir, SH.,MH. dari Universitas Islam Indonesia (“Restorative Justice System) d. Prof. DR. Amin Suma, MA dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayahtullah Jakarta (Delik Penodaan Agama). e. DR. Wicipto Setiadi, SH.,MH (Tindak Pidana Kesusilaan, Zina dan Pornografi).
1
www.djpp.depkumham.go.id
4.
Sesi Pertama : Pembicara : Prof. Dr. Ismansyah, SH., MH (Pemberlakuan Hukum Pidana Adat atau Hukum yang hidup dalam Masyarakat) dengan Moderator : Cholillah, SH.,M.HUM. Prof. Dr. Ismansyah, SH., MH : -
Prof DR. Ismansyah berpendapat bahwa hukum Adat merupakan substansi yang sangat penting untuk didiskusikan karena memang mempunyai sifat yang tidak tertulis,
-
Ketika Persoalan hokum adat kita diselesaikan secara hokum, maka yang menjadi pertanyaan saya hokum seperti apa yang dapat menyelesaikannya, karena hokum kita sudah berbentuk seperti pola, dimana apabila ada suatu perbuatan yang melanggar ketertiban masyarakat maka harus dihukum akan tetapi masyarakat hokum adat tidak menganut hokum karena sudah menggangu keseimbangan masyarakat, yang artinya bahwa lahirnya hokum adat tidak berbeda jauh dengan peraturan hokum tertulis, karena hokum pidana adat merupakan hokum yang hidup dalam masyarakat;
-
Mengusulkan agar hokum adat itu mendapatkan sifat hokum, apabila memang hokum adat ini dimasukkan kedalam peraturan tertulis, karena seperti yang te;lah diketahui bahwa dalam hokum pidana kita, sifat hukumnya telah dicantumkan dan jelas.
-
Sebagai contoh perang antar kampung di Sumatera Barat, lebih cenderung diselesaikan secara adat dari pada diselesaikan melalui kepolisian.
-
Untuk mengetahui hokum pidana adat memerlukan pemahaman tentang budaya, agama dan kepercayaan serta kesadaran hukum, karena banyak hukum adat yang akhirnya tidak berlaku karena kesadaran hukum mereka rendah;
-
Menurut Prof Ismansyah bahwa kebijakan hukum pidana pada dasarnya sama dengan kebijakan hukum pidana adat, dimana kebijakan hukum adat diberlakukan terhadap daerah masing-masing dan sudah saatnya kita memberlakukan asas legalitas materiil bukan asas legalitas formil;
-
Beberapa alasan hukum adat diberlakukan dalam hukum adat yakni sebagai perluasan kebijakan hukum pidana dalam konsep Rancangan Undang-Undang tentang KUHP, selain dalam Pasal 1 ayat (4) mengatakan bahwa “berlakunya
2
www.djpp.depkumham.go.id
hukum yang hidup dalam masyarakat, sepanjang sesuai dengan nilai-nilai pancasila; -
Dalam menerapkan hukum harus mencerminkan keadilan, aspek logis, etis, dan estetis yuridis.Logis yuridis disini dilakukan dengan akal sehat, etis yuridis, disini bilamana diukur dari sudut moral; dan setetis yuridis apabila diukur dari seni dan keindahan hukum;
-
Kebijakan hukum adat ini tidak terlepas dari aspek sosial budaya, memberlakukan hukum pidana adat, dimana pada sosio-budaya terdapat nilai kesadaran hukum meliputi penghayatan, pemahaman, kepatuhan terhadap hukum;
-
Dari sosio politik, sangat dominan untuk menjadikan suatu kebijakan itu secara nyata dan ekspilisit, nilai-nilai sosio-politik pada hakekatnya akan memberikan muatan terhadap isi hukum pidana yang dicita-citakan, sehingga terjadi reformasi terhadap hukum pidana yang berlaku sekarang dan untuk membedakan dengan warisan kolonial (KUHP lama atau WVS);
-
proses kriminalisasi berjalan terus menerus dengan menggunakan KUHP tanpa ada evaluasi mengenai pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem, mengakibatkan
krisis
kelebihan
kriminalisasi
(the
crisis
of
over-
criminalization), terlihat pada mengenai banyaknya atau melimpahnya jumlah kejahatan dan krisis kelampauan batas dari hukum pidana (the crisis of overreach of the criminal law), terlihat pada usaha pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan sanksi yang efektif; -
Memformulasikan hukum pidana adat untuk masuk dalam penggunaan sanksi pidana
yang
diatur
dalam
Rancangan
KUHP
pada
hakekatnya
memformulasikan kebijakan yang telah ditelaah dalam suatu perumusan perundang-undangan melalui bentuk kriminalisasi suatu perbuatan -
pelanggaran terhadap seseorang, pelanggaran terhadap kelompok masyarakat, pelanggaran terhadap keselamatan masyarakat, maka hukum pidana adat dapat diterapkan. Tiap perbuatan atau tiap peristiwa dalam sistem adat dinilai dan dipertimbangkan berdasarkan atas tata susunan persekutuan yang berlaku pada saat terjadi perbuatan atau peristiwa itu. Pada saat itu perbuatan atau peristiwa tersebut dapat dianggap melanggar hukum, meskipun tidak ada norma hukum yang tertulis mengaturnya 3
www.djpp.depkumham.go.id
-
Ada
beberapa
alasan
yang
dapat
menutup
kemungkinan
untuk
diberlakukannya hukum pidana adat, meringankan maupun memberatkan hukum pidana adat, diantaranya perbuatan-perbuatan untuk memperoleh obat bagi pengobatan orang sakit atau memenuhi keinginan seorang wanita yang sedang hamil (ngidam), Alasan yang memberatkan pidana adalah kedudukan seseorang, misal seorang kepala adat akan mendapat hukum yang lebih berat daripada warga masyarakat biasa untuk perbuatan yang dilakukan sama bentuk atau jenis perbuatan hukum pidana adatnya dan
alasan yang
meringankan adalah penyesalan dan hak untuk mendapat perlindungan; -
Sudi Prayitno: ditiinjau dari ekstensi perundang-undangan,yang tidak hanya berlaku uyntuk segelintir tapi berlaku untuk semua orang, Penejelasan pasal 1 alasan diberlakuakan hukum adat ini karena memenuhi keadilan kelompok masyarakat tertentu tetapi tidak semua mempunyai hukum adat, sehingga bagi yang tidak mempunyai hukum adat maka hukum adat menjadi tidak berlaku, secara teknis siapakah hakim nanti yang mengadili kasus adat, dan berapa hukaman yang akan dijatuhkan;
-
Siapakah yang dimaksud seseorang dalam hukum adat ini, karena tidak hanya seseorang tetapi komunitas atau sekelompok masyarakat tertentu;
-
Hukum harus memperhatikan seluruh kepentingan, termasuk hukum adat, tidak menjadi masalah dengan pemberlakuan hukum adat sesuai dengan daerahnya masing-masing, perlunya mendiskusikan mengenai nilai-nilai agama dalam pemberlakuan hukum adat, hukum juga harus memperhatikan agama masing-masing sesuai dengan nilai-nilai agama.
-
Membuka diskursus yang kedua tidak hanya pemberlakuan hukum adat;
-
Muhardirajab (UMSB):Melihat dari sisi legalitas, akan terjadi bentrokan hakim memutuskan perkara, disamping itu pada ayat 4 juga memberlakukan pasal yang sesuai dengan nilai pancasila;
-
Prof Dr. Ismansyah: Pada saat yang mengadili bukan orang setempat, hal tersebut menjadi permasalahan, pada saat seseorang melanggar hukum adat maka harus diselesaikan secara adat, hukum memang harus mewakili seluruh kepentingan tetapi juga harus melihat system sosial yang ada. Perlu ada persamaan persepsi masing-masing daerah, mengenai sanksi, perbuatan ini merupakan perbuatan pidana atau bukan, 4
www.djpp.depkumham.go.id
-
(Universitas…..): Upaya kita menciptakan suatu hukum pidana nasional, tidak hanya mengganti kitab udang-undang hukum pidana, ada 3 landasan yang perlu diperhatikan, yakni filosofis, yuridis dan sosiologis, filosofi sesuai dengan nilai pancasila, secara sosiologis disini sesuai dengan nilai masyarakat, berkaitan dengan ayat 3 ini yakni hukum yang hidup, dalam masyarakat. Mencari rumusan yang hendaknya bisa diterima oleh masyarakat seluruhnya.
-
Pengadilan Tinggi Sumatera Barat: Perlu diinventaris hukum adat yang berlaku, baru kemudian mempertanyakan apakah bisa dimasukkan dalam hukum nasional, mengingat setiap dearah mempunyai hukum adat yang berbeda, solusinya diambil persamaan dari setiap hukum adat yang berbeda, KUHP merujuk pada Perda,
-
Shinta Agustina (Universitas Andalas): terkait dengan hukum adat pada Pasal 1 ayat 3 dan 4, tetapi adakah pasal yang bisa digunakan hakim seandainya memutuskan perkara pidana adat?
-
Lapas Payakumbuh: mengapa pasal 1 ayat 3 bukan hukum adat melainkan hukum yang hidup dalam masyarakat? Karena hukum yang hidup dalam masyaraka tidak hanya hukum adat.
-
Yeni: Penegakan hukum adatnya seperti apa ketika hukum adat masuk dalam RUU KUHP, karena hukum adat hanya berlaku bagi masyarakat setempat.
-
Arliyus berpendapat harus ada persepsi yang sama tentang FGD ini, kemudian apakah pembahasan mengenai RUU ini secara runtut atau hanya masalah yang urgent saja, kedua kaitannya dengan pasal 1 ayat 3, dipertanyakan perbuatan adat apa yang bisa dipidana? Mencari perbuatan yang bisa diterima secara nasional, dimana perbuatan adat tersebut dapat masuk dalam RUU KUHP ini
-
5.
Ismansyah: Secara pribadi .
Sesi Kedua dengan Pembicara Dr. Chairul Huda, SH, MH., (Tujuan Pemidanaan, Jenis Pidana, Pidana Minimum Khusus, dan Pidana Mati) dan Dr. Mudzakir, SH., MH ((“Restorative Justice System) dengan Moderator: Drs. Zafrullah Salim, MH. Diskusi dibuka oleh moderator (Drs. Zafrullah Salim, M.H.). Adapun beberapa catatan penting dalam sesi ini dapat kami sampaikan sebagai berikut: -
Jangan membaca RUU KUHP secara tekstual, tetapi harus dipahami betul filosofi yang melatarbelakanginya; 5
www.djpp.depkumham.go.id
-
Tujuan dari hal-hal yang bersifat teroritik-filosofis dinormakan adalah sebagai pedoman hakim dalam memilih pidana sebagai ultimum remedium;
-
Tujuan dari pemidanaan tidak hanya yang terbatas dalam RUU, itu hanyalah tujuan minimal yang memang perlu dinormakan;
-
Hakim wajib mengikuti pedoman pemidanaan yang ada dalam RUU dan harus tercantum secara tegas dalam pertimbangan putusannya;
-
Perlu ada moratorium penalisasi untuk membatasi pertumbuhan sanksi-sanksi pidana dalam Undang-Undang di luar KUHP;
-
Salah satu bentuk modernisasi RUU KUHP adalah adanya fleksibilitas penjatuhan jenis pidana (contoh: pidana tambahan dapat dijatuhkan secara mandiri);
-
Living law bukan hanya hukum adat, tetapi hukum agama, dan sebagainya;
-
Perlu ada sinkronisasi antara RUU KUHP, RUU KUHAP, dan RUU tentang Pemasyarakatan guna membangun Criminal Justice System yang ideal;
-
Restorative justice di Indonesia nantinya tidak bersifat mutlak (not only restore), tetapi menganut prinsip keseimbangan;
-
Diskusi Pidana mati sebenarnya bukan pada pengancamannya, tetapi pada pelaksanaannya;
-
Hal-hal lain dalam sesi ini dapat dilihat pada makalah Dr. Chairul Huda, S.H., M.H.
-
Mengusulkan agar pidana kerja sosial dilakukan di tempat yang menimbulkan kerugian korban;
-
Rasionalisasi waktu “10 tahun” untuk memantau terpidana mati guna mendapatkan alternatif pemidanaan itu apa?;
-
RUU KUHP adalah sebuah kodifikasi, bukan sekedar UU biasa (sehingga prinsip dan asas-asas hukum pidana lebih diutamakan dripada definisi/ketentuan umum), sedangkan RUU HAP tidak, karena bukan kodifikasi dan tidak memerlukan UU Pemberlakuan;
-
Nantinya akan ada UU Pemberlakukan KUHP yang mengatur masa transisi;
-
Perlu ada strategi khusus dalam pembahasan RUU KUHP;
-
Pemberian remisi memang perlu mempertimbangkan kejahatan yang telah dilakukan, bukan hanya “berkelakuan baik” selama di LP;
-
Pidana mati dalam RUU KUHP bersifat absolute ultimum remedium;
6
www.djpp.depkumham.go.id
-
Pidana mati lebih baik didiskusikan dalam tataran “pada perbuatan-perbuatan seperti apa yang layak diancam pidana mati?”;
-
Mengadili adalah pergulatan kemanusiaan, bukan mekanisasi yang selalu bersifat otomatis;
6.
-
Filsafat pemidanaan retributive (KUHP) dan restorative (RUU KUHP);
-
Hal-hal lain dalam sesi ini dapat dilihat pada makalah Dr. Mudzakkir, S.H., M.H.
Sesi Ketiga dengan Pembicara Prof. Dr. Amin Suma, MA. (Tndak Pidana Penodaan Agama). Hasil Rapat: 1. Rapat FGD III dibuka oleh Pemandu, DR. Wicipto Setiadi, SH.,MH., dengan memperkenalkan pembicara yakni Prof. DR. Amin Summa, MA. 2. Prof. DR. Amin Summa, MA. Menyampaikan pengantar mengenai
Tindak
Pidana Penodaan Agama. Secara Umum dan keseluruhan RUU KUHP ini sudah berjalan puluhan, sehingga diharapkan pembahasan terhadap draf ini mendekati sempurna. Secara umumsaya berpendapat bahwa RUU KUHP yang baru ini jelas lebih luas dan lebih bisa mengikuti perkembangan masyarakat disbanding dengan KUHP yang lama, dengan cakupan yang lebih luas.Khusus yang berkenaan dengan TIndakan Pidana Agama diatur dalam BAB VII dalam Pasal 341-349. Berdasarkan alasan-alasan tertentu, bahwa tindak pidana ini pada umumnya tidak menyangkut individu tetapi melibatkan juga orang banyak. Dalam RUU ini menurut beliau juga harus memperhatikan rasa keadilan dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku. Dalam ancaman pidana yang menyangkut tindak pidana ini hukuman beda tetapi kenapa denda sama kategori 4; 3. Merekomendasikan RUU KUHP ini untuk segera dibahas di DPR RI, karena sudah terlalu lama, selain itu RUU merupakan suatu kesadaran dalam menyikapi kejahatan dan tidak pidana yang ada di Negara ini; 4. Wicipto mengusulkan untuk mengharmonisasikan terutama terkait dgn ancaman [pidana yang berbeda antara pasal per pasal tetapi dengan denda yang sama; 5. Ardisal, SH (LBH Padang): ada beberapa catatan yang perlu disampaikan, pertama mengenai kategori ancaman hukuman yang berbada namun denda yang sama, hal ini merupakan alternative dimana apabila seseorang mampu membayar maka penjara ditiadakan, selain itu dalam Pasal 344, mempertunjukan…apakah
7
www.djpp.depkumham.go.id
kegiatan ini tidak termasuk penghinaan? 344 ini merupakan pasal yang konkrit, sedangkan pasal 341 merupakan pasal yang abstrak, apakah ini bisa digunakan? 6. Sudi Prayitno (Law Firm Sudi Prayitno): mencermati konsistensi dalam memformulasikan pasal-pasal yang terkait dengan penghinaan terhadap agama, terutama mengenai ancaman pidananya. Ada dua pola yang terdapat dalam ancaman pidana pada Bab ini. Pola pertama langsung menyebutkan berapa ancaman pidananya kemudian pola kedua, ketika menjatuhkan sanksi berupa denda, tidak ditemukan dalam penjelasan mengapa harus menggunakan kategori sanksi, apabila kita konsisten kenapa terhadap Pasal 341 itu tidak menetapkan pidana penjara paling banyak 2 tahun, pidana denda 30 juta yang merupakan kategori III, sehingga apabila rumusan pasalnya seperti ini maka kita harus membuka kategori I, Hal ini menurut saya tidak efektif, karena ketika kita ingin mengetahui berapa pidana penjara dan pidana dendanya, disini tidak langsung disebutkan berapa dendanya, Kemudian Pasal mengenai penghasutan untuk meniadakan agama dalam Pasal 345, apabila dilihat dalam penjelasannya, ancaman bagi orang yang menghasut orang lain dari beragama menjadi tidak beragama (murtad), tetapi bagaiman dengan orang menghasut orang lain yanmg sudah beragama pindah ke agama lain? Tidak ada yang mengatur mengenai hal tersebut didalam Pasal 345 itu; selain itu mengaklarifikasi apakah pasal ini ada untuk melidungi orang-orang yang mempunyai agama, bagaimana dengan aliran kepercayaan yang bukan merupakan agama yang diakui? Apakah itu tidak diatur juga dalam rangka untuk melindungi orang-orang yang mempunyai kepercayaan seperti itu. 7. Mempertanyakan konsep agama yang syah bagaimana, apakah agama yang syah itu hanya berlaku untuk warganegara di Indonesia, bagaimana dengan yang diluar Indonesia, apakah ada suatu peraturan yang mengatakan bahwa agama ini syah. Terkait dengan Pasal 341, disini terkait dengan perasaan, apabila dikaitkan dengan pemikiran merupakan dua hal yang berbeda, Mempertanyakan apakah suatu delik itu kesengajaan atau kealpaan, 8. Meminta penjelasan mengenai delik penodaan agama, apabila dikaitakan dengan Pasal 343 RUU ini, apabila dihubungkan dengan situasi saat ini apakah yang dianut dan diajarkan ahmadiyah merupakan hal yang dianggap penodaaan terhadap Islam;
8
www.djpp.depkumham.go.id
9. Prof Ismansyah: Ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam kehidupan umat beragama, pertama, unsur hukumnya,
unsur pasal, dan terminalogi pasal itu
sendiri, terutama dalam Psal 345 yang sangat krusial, sebagai contoh: ada orang yang pindah agama, kemudian terhadap agama itu dia menjelekkan agama yang semula dia anut. Melihat contoh seperti komposisi dalam undang-undangnya seperti apa? Sifat melawan hukum dalam hukum pidananya bagaimana? Apakah ini termasuk delik formil atau delik materiil? Kategori antar umat beragama perlu untuk dimasukan, menyoroti sifat melawan hukum dari kasus ahmadiyah itu bagaimana? Sebagai masukan bahwa denda yang dipakai diusulkan lebih tinggi lagi sampai kategori VI, untuk mengihindari kemungkinan orang yang menghina ini adalah orang yang mampu dimana orang tersebut dengan mudah membayar dendanya, dengan kategori denda yang tinggi orang akan berfikir 2 kali untuk berbuat. 10. Muhardirajab: megusulkan dari segi sanksi dimungkin dari “atau” menjadi “dan/atau”, dilihat dalam Pasal 347, sependapat dengan ismansyah, apabila yang menhina ini orang yang mampu, maka dia akan sangat mudah untuk membayar dendanya, kemudian terkait dengan ahmadiyah, penghinaan dan penodaan terhadap agama masuk pada kategori mana? 11. Tanggapan Amin Suma: bagaimana dengan orang yang tidak beragama tetapi tidak mempunyai keyakinan, boleh jadi secara sosiologis orang mempunyai keyakinan tetapi tidak beragama, secara sosiologis keadaan masyarakat kita semakin berkembang, perlindungan terhadap pemeluk tersebut, menyetujui untuk mendapat perlindungan, baik dari sisi keamanannya. 12. Sepanjang masih perlu untuk disempurnakan, maka RUU KUHP ini masih akan terus disempurnakan, filosofi pidana denda, sependapat bahwa pidana denda kalau bisa jangan terlalu rendah; 13. Tambahan dari DR. Wicipto terkait dengan kategorisasi, mungkin bisa dilihat dalam Pasal 80, Kategori 1 dasarnya pada upah maksimum yang pada waktu itu patokannya adalah Rp. 15.000,-, tidak dicantumkan dalam pasal2 karena nilai rupiah sangat fluktuatif, mudah berubah; sehingga pada saat ada perubahan nilai rupiah, maka yang dirubah hanya satu pasal saja yakni Pasal 80. Tidak disebutkan satu persatu atau dengan kategori hanya untuk memudahkan teknik drafting saja; 14. Terkait dengan “atau” dan “dan/atau”, apabila pidana tidak terlalu berat maka dipilih pidana yang alternatif yakni “atau”; 9
www.djpp.depkumham.go.id
15. Tidak selalu pidana itu pidana penjara, terutama untuk perkara yang ringan atau sepele, diupayakan dengan pidana denda saja. 16. Tambahan dari DR. Mudzakir: Penoodaan terkait dengan Pnps….tindakannya adalah administrasi terlebih dahulu, peringatan, baru kemudian pidana yang lebih berat lagi, adanya penyalahgunaan terhadap agama yang bisa menetapkan agama itu sendiri, karena Negara tidak pernah tahu bagaimana; yang dilindiungi adalah agamanya, ajaran agamanya, perlengkapan agamanya,
orangnya, orang yang
menghalangi orang yang menjalankan agama; Sifat penghinaan itu apabila orang lain tahu, umum mengetahui, apabila hanya berdua maka itu termasuk penghinaan ringan 17. DR Wicipto: perbedaan muka umum dan umum tahu, memang perlu dijelaskan kembali, sepakat bahwa perlunya dicek kembali harmonisasi anatara pasal satu dengan pasal yang lain, terutama mengenai ancaman pidananya; 18. Terkait dengan Pasal 345, masih ada yang ketinggalan kenapa juga tidak dimasukan menghasut dan membujuk untuk pindah agama; 19. Prof Amin Suma: Manusia melakukan sesuatu pasti ada motifnya, sependapat dengan kata “membujuk”, karena agama itu merupakan hal yang sangat pribadi, membujuk sama dengan menghasut. Kesimpulan yang dapat diambil: -
Dalam RUU KUHP terkait dengan materi delik penodaan agama telah diatur dalam BAB VII (Pasal 341 sampai dengan Pasal 348);
-
Masih ada pasal yang berpotensi mengundang pertanyaan, khususnya terkait dengan penjatuhan pidana, misalnya antara Pasal 342 dan Pasal 343 disebutkan mengenai perbuatan pidananya berbeda tetapi mengapa ancaman pidananya sama;
-
Merekomendasikan agar RUU KUHP ini dapat segera disampaikan ke DPR untuk segera dibahas dan disahkan menjadi undang-undang;
-
BAB ini belu mengatur kriminalisasi terhadap hasutan untuk pindah agama (perlu dikaji secara mendalam dan hati-hati);
-
Perlu kejelasan mengenai “agama yang dianut di Indonesia”;
-
Unsur “melawan hukum” dalam BAB ini harus bersifat materiil dalam arti positif, sehingga kasus Ahmadiyah dapat diselesaikan tidak hanya karena bertentangan dengan peraturan perundang-udangan, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat; 10
www.djpp.depkumham.go.id
-
Perlu ada pemberatan pidana denda dalam BAB ini karena perbuatan-perbuatan dalam BAB ini umumnya dilakukan secara berkelompok dan sistematis;
-
Dr. Mudzakkir: Mengenai Putusan MK terhadap UU no. 1/1965 PNPS tentang Penodaan Agama, disimpulkan bahwa Negara tidak dapat menginterpretasikan apakah salah satu agama sudah menyimpang atau tidak, tetapi ajaran agama/orang2 yang menjalankan ajaran agama (kitab suci) tersebutlah yang dapat mengintepretasikan apakah ajaran tersebut menyimpang;
-
Perlu disempurnakan untuk memasukkan kata “membujuk” setelah kata “menghasut”;
-
Dr. Wicipto berpendapat bahwa perlu ada pola baku padanan antara pidana penjara dan pidana denda.
7. Sesi Keempat dengan Pembicara Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H. (Tindak Pidana Kesusilaan, Zina, dan Pornografi) dan Mooderator : Mien Usihen, SH., MH. Hasil rapat : Diskusi dibuka oleh moderator (Mien Usihen, S.H., M.H.). Adapun beberapa catatan penting dalam sesi ini dapat kami sampaikan sebagai berikut: -
Tindak Pidana Kesusilaan dalam RUU KUHP diatur dalam BAB XVI, sedangkan dalam KUHP diatur dalam BAB XIV;
-
Tindak pidana kesusilaan lebih luas dari sekedar urusan seksualitas, karena meliputi pula pengemisan, perjudian, penganiayaan hewan, dsb.;
-
Kita memang memerlukan pengertian atau batasan mengenai “di muka umum” (lihat Penjelasan Pasal 467 huruf a). Adapun untuk pengertian atau batasan mengenai “di muka orang lain” (lihat Penjelasan Pasal 467 huruf b);
-
Pidana denda dalam BAB ini dicantumkan dengan sistem kategorisasi;
-
Perkosaan (Paragraf 1: Pasal 490)
-
Zina (Pasal 485);
-
Pornografi (sudah ada UU Pornografi) dan Pornoaksi;
-
Salah satu hal yang menarik untuk didiskusikan adalah “bagaimana dengan BABBAB yang ada dalam RUU KUHP, namun sudah ada UUnya tersendiri?” (Hal ini merupakan salah satu pertimbangan Menkumham untuk mengkaji kembali RUU KUHP melalui kegiatan FGD seperti ini);
-
Rumusan sudah bagus dan mendoakan agar pembahasannya lancar di DPR: 11
www.djpp.depkumham.go.id
-
Pasal 481, kriteria pengecualiannya harus hati-hati;
-
Perkosaan, mengapa pelakunya selalu diasumsikan Laki-Laki? (masukan yang perlku dikaji, meskipun pada umumnya yang mempunyai potensi lebih untuk melakukan perkosaan adalah laki-laki);
-
Konsistensi kata “anak”, “anak-anak”, “anak yang berusia di bawah 14 tahun”;
-
Ada beberapa istilah yang agak sulit ukurannya, seperti “aktivitas seksual”, “mengeksploitasi daya tarik seksual pada bagian tubuh”;
-
Pasal 477: “3 (dua) tahun”
-
Mengapa zina masih diatur sebagai delik aduan? (nantinya sangat tergantung pada politik hukum pidana kita);
-
Pasal 473: pengertian “tanpa alasan yang dibenarkan” (perlu dipertimbangkan untuk diberikan penjelasan);
-
Terdapat pengulangan pengaturan mengenai “perbuatan cabul” dalam Bagian Keempat dan Bagian kelima;
-
perlu penjelasan mengenai “kesusilaan” (Pasal 467);
-
Perlu penjelasan mengenai “karya seni, budaya, olahraga, dan ilmu pengetahuan” (Pasal 481);
-
BAB in terlalu didominasi oleh pola pemidanaan kumulatif; Perlu ada batasan pengertian “pihak ketiga yang tercemar” (Pasal 485 ayat (2))
serta Tanggapan dari Pak Mudzakir: -
Perlu kita kaji kembali mengenai Konsistensi kata “anak”, “anak-anak”, “anak yang berusia di bawah 14 tahun”;
-
Tantangan dalam BAB ini adalah masalah pembuktian dan jika pengaturan ini mau diterapkan secara konsisten maka akan banyak orang yang dipidana (penjara penuh);
-
Konsep “pihak ketiga yang tercemar” sebagai subyek yang dapat mengajukan aduan delik zina sesungguhnya merupakan perluasan dari konsep Pasal 284 KUHP lama yang belum memasukkan “pihak ketiga yang tercemar” sebagai subyek yang dapat mengajukan aduan delik zina.
8. Kegiatan FGD ini ditutup oleh Drs. Zafrullah Salim, yang kemudian hasil dari kegiatan ini akan dibahas lebih lanjut dengan tim kecil kemudian tim pleno untuk penyempurnaan penyusunan RUU KUHP ini. 12
www.djpp.depkumham.go.id
13
www.djpp.depkumham.go.id