Barsela Menuju Sentral Perkebunan Aceh Written by ikhsan Thursday, 16 June 2016 12:18 -
Provinsi Aceh dengan luas wilayah 5.677.081 hektar memiliki potensi sumberdaya alam yang berlimpah mulai dari sumberdaya hutan, perkebunan, pertanian, peternakan, perikanan, pertambangan dan sebagainya. Pada saat Prof. Dr. Ibrahim Hasan menjabat sebagai Gubernur Aceh, beliau membagi wilayah Aceh ini menjadi dua zona, yaitu zona industri wilayah pantai utara dan timur, dan zona pertanian terdiri dari wilayah pantai barat, selatan dan tengah. Menurut penulis, pembagian zona ini sangat tepat untuk pengembangan wilayah sesuai dengan kondisi dan potensi wilayah yang ada. Kini zona tersebut telah pudar dan tidak digunakan lagi sebagai pedoman dalam pengembangan wilayah berbasis zonasi dan potensi daerah. Oleh sebab itu kita perlu menggali kembali potensi wilayah dan permasahalaan yang terjadi ditengah masyarakat dan mencoba menyelesaikannya sendiri berdasarkan kekuatan dan kearifan lokal masyarakat.
Sementara wilayah barat selatan aceh (barsela) sejak zaman kolonial sesungguhnya kaya akan sumberdaya tanaman pertanian pangan, peternakan dan perkebunan. Berdasarkan data Aceh dalam angka tahun 2013, luas areal dan produksi komoditi perkebunan dapat dilihat pada tabel-1 berikut ini. Tabel-1. Luas Areal Komoditi Perkebunan di Wilayah Barsela (ha)
No Komoditi Luas Areal (ha) Produksi (ton)
1 Sawit Perkebunan Rakyat 126.550 224.320
1/5
Barsela Menuju Sentral Perkebunan Aceh Written by ikhsan Thursday, 16 June 2016 12:18 -
2 Sawit Perkebunan Besar 110.065 845.426
3 Karet 63.160 36.533
4 Nilam 830 1.722
5 Kakao 16.202 2.969
6 Kelapa 33.210 12.178
7 Pala 20.262 6.290
8 Cengkeh 15.149 2.821
Data diatas menunjukkan bahwa komoditi unggulan Wilayah Barsela adalah sawit dan karet, namun komoditi perkebunan lainnya tidak kalah pentingnya seperti nilam dan pala. Khusus minyak nilam, komoditi ini merupakan komoditi ekspor Indonesia yang memiliki nilai tinggi dan 70 persen dari ekspor tersebut berasal dari wilayah Barsela, begitu juga dengan minyak pala. Namun pemerintah daerah harus penuh perhatian dan berusaha keras mengembangkan minyak atsiri tersebut sebagai komoditi ekspor, terlebih nilam dan pala saat ini banyak terserang hama dan penyakit, sehingga produksi komoditi ini menurun drastis. Penyakit yang sering menyerang nilam adalah penyakit budok, dengan gejala daun berubah warna menjadi khlorosis, mengeriting, rapuh, kalau diremas mudah hancur seperti kerupuk. Penyebab penyakit ini adalah sejenis virus yang dibawa dan disebarkan oleh serangga vektor, seperti kutu daun. Sedangkan tanaman pala banyak terserang oleh penggerek batang pala (Batocera hercules), sejenis serangga, jenis coleoptera (kumbang). Kumbang aktif pada malam hari (nokturnal), namun stadia yang merusak tanaman pala adalah stadia larva (ulat). Larva menggerek cabang utama dan batang pala dengan diameter gerekan 0,5-1,0 cm. Daun-daun dari cabang yang terserang akan layu, gugur dan terakhir tinggal ranting yang kering, akhirnya tanaman mati. Selain itu pala juga terserang penyakit akar.
2/5
Barsela Menuju Sentral Perkebunan Aceh Written by ikhsan Thursday, 16 June 2016 12:18 -
Semua produk perkebunan tersebut merupakan barang ekspor dalam bentuk bahan mentah melalui pelabuhan laut Meulaboh. Biasanya mereka melakukan eksport bahan mentah dari pelabuhan Meulaboh menuju penang, Singapura dan India. Namun lambat laun satu persatu dari perusahaan ini hilang bak ditelan bumi, karena berbagai sebab, terutama akibat kebijakan pemerintah pusat melalui regulasi export import. Regulasi barang ekspor juga diperbaharui, pemerintah tidak membenarkan ekspor dalam bentuk bahan mentah, namun diperketat menjadi barang setengah jadi. Regulasi tersebut sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah (added value) dari komoditi pertanian.
Apa yang terjadi setelah pemerintah membuat regulasi baru? yang terjadi adalah pengusaha yang mengolah bahan mentah menjadi setengah jadi tidak kunjung muncul, sebaliknya pemerintah melarang pengusaha yang akan mengekspor bahan mentah. Akibatnya harga dari produk-produk perkebunan mudah dipermainkan oleh para tengkulak dan pengusaha besar. “Coba kita perhatikan perkembangan harga sawit dewasa ini, sejak tahun 2013/2014 harga sawit merosot tajam dari Rp. 1500 per kg meluncur jatuh menjadi Rp. 800 per kg, bahkan ditingkat petani pernah terjadi Rp. 500 per kg. Dengan kondisi demikian, pertanyaannya kapan petani kecil bisa hidup sejahtera? Padahal investasi sawit sangat tinggi sejak land clearing, pembuatan drainase, pembuatan jalan produksi, pembuatan lubang tanam, pengadaan bibit, penanaman tanaman penutup tanah (cover crop), pemupukan dan perawatan lainnya. Harga bibit sawit yang tingginya 1 meter saat ini berkisar Rp. 25.000 – 30.000 per batang, sedangkan harga kecambah sawit mencapai Rp. 8000 per kecambah. Jika menggunakan kecambah sawit biaya yang dikeluarkan untuk bibit menjadi lebih ringan yaitu sekitar Rp. 18.000 per batang. Tanaman cover crop juga perlu dirawat, paling tidak dua kali setahun, sehingga tidak melilit tanaman utama.
Berdasarkan informasi yang kami terima dari praktisi sawit, biaya investasi sawit intensif per hektar mencapai 40-50 juta rupiah. Tentu saja dengan modal yang besar, petani kecil tidak mampu masuk dalam bisnis sawit secara intensif, namun tidak sedikit juga petani kecil dilapangan yang memulai menanam sawit skala kecil pada lahan 1-2 hektar. Tentu budidaya sawit yang diterapkan petani kecil di Barsela tidak seintensif dibandingkan dengan perusahaan besar. Pada umumnya petani kecil jarang atau tidak melakukan pemupukan dan perawatan lainnya seperti pengendalian OPT, sehingga produksi yang dihasilkan lebih rendah, mungkin hanya berkisar 6-8 ton per hektar per tahun, dibandingkan perusahaan besar yang mencapai 20-25 ton per hektar per tahun. Diperkirakan investor sudah dapat mencapai break even point (BEP) pada tahun ke 10, namun bagi petani skala kecil yang luas lahan hanya 1-2 hektar, maka BEP nya semakin lama. Produksi puncak yang dihasilkan sawit adalah pada umur tanaman 9-15 tahun, kemudian laju produksi mulai menurun. Mungkin bagi petani kecil harus pikir-pikir terlebih dahulu sebelum terjun kedalam dunia investasi komoditi sawit.
3/5
Barsela Menuju Sentral Perkebunan Aceh Written by ikhsan Thursday, 16 June 2016 12:18 -
Kembali kepada permasalahan petani kecil, dibarengi dengan kendala belum berkembangnya industri pengolahan bahan mentah. Jika kondisi ini terus terjadi dan pemerintah belum mendapat strategi jitu untuk mendorong industri pengolahan maka tentu yang mengambil keuntungan added value dari komoditi pertanian kita adalah negara asing. Betapa kecewanya kita melihat hampir semua bahan makanan dan buah-buahan yang ada dipasaran merupakan produk import dari negara asing.
Sekarang, apa yang harus dilakukan oleh petani kecil agar mereka tidak dipermainkan oleh pedagang. Berdasarkan kenyataan tersebut diatas sudah barang tentu pemerintah daerah melalui dinas terkait membuat suatu kebijakan dan terobosan tentang pengembangan komoditi pertanian, perkebunan dan peternakan terpadu. Artinya pemerintah daerah harus memikirkan sejak dari hulu yaitu sejak dari awal budidaya tanaman sampai hilir yaitu teknologi pengolahan hasil menjadi produk jadi yang siap di ekspor keluar daerah. Penyusunan master plan dan peta kesesuaian lahan mutlak diperlukan untuk setiap komoditi pertanian pangan, perkebunan, dan peternakan, agar pada saat implementasinya tidak terjadi tumpang tindih antar komoditi pertanian, perkebunan dan peternakan. Pemerintah daerah juga siap memfasilitasi pemasaran produk jadi komoditi pertanian, baik melalui kerjasama dengan pihak perusahaan besar seperti Carrefour, Hiper Mark, PT. ABC, maupun dengan pihak perhotelan dan pengelola wisata. Pemerintah daerah harus terus mendorong pengusaha untuk membangun industri pengolahan, baik industri pengolahan makanan seperti pengalengan buah-buahan, ikan, dan sayuran, industri makanan ringan, seperti keripik, kue, kacang-kacangan, dan industri minuman.
Dari potensi komoditi pertanian yang ada, pemilihan komoditi unggulan yang bernilai ekonomis tinggi harus menjadi prioritas pengembangan pada lokasi yang sesuai, artinya sesuai dengan sosial budaya setempat dan kesesuaian lahan. Sebagai contoh “Nilam” merupakan komoditi yang memiliki nilai ekonomi tinggi dapat ditanam di wilayah Kabupaten Aceh Jaya dan Aceh Barat seperti kecamatan teunom, dan Arongan Lambalek, di Kabupaten Abdya dan Aceh Selatan seperti kecamatan kluet, manggamat sampai Kabupaten Singkil. Jika wilayah barsela difokuskan untuk pengembangan komoditi nilam dibarengi dengan industri pengolahan minyak nilam menjadi industri farmasi dan industri parfume maka pemerintah akan mendapatkan nilai tambah dari produk minyak nilam tersebut.
Proses pematangan kualitas sumberdaya manusia menjadi faktor penting dalam setiap tahapan kegiatan mulai dari hulu sampai hilirisasi produk. Putra-putri daerah Barsela harus memiliki keahlian dan keterampilan khusus dalam budidaya komoditi perkebunan dan pengelolaan industri pengolahan. Terlebih lagi Indonesia sudah memasuki periode masyarakat ekonomi asean (MEA), dan asean free trade area (AFTA). Tentunya investor dan tenaga kerja profesional asing akan masuk ke Indonesia dan mengambil alih pekerjaan yang ada. Oleh sebab itu peran perguruan tinggi di Barsela dalam meningkatkan sumberdaya manusia harus nyata, perguruan tinggi harus menjadi motor penggerak dalam peningkatan keahlian dan
4/5
Barsela Menuju Sentral Perkebunan Aceh Written by ikhsan Thursday, 16 June 2016 12:18 -
keterampilan masyarakat agar dapat mengisi peluang pekerjaan di daerah dan menciptakan lapangan pekerjaan dalam bidang pegolahan hasil. Selanjutnya secara paralel, Universitas Teuku Umar melalui hasil penelitiannya dapat memberikan sharing kepada industri pengolahan di daerah tentang teknologi pengolahan komoditi pertanian agar sinergisme antara praktisi industri pengolahan dan universitas terjalin dengan baik, sehingga peluang untuk meningkatkan added value komoditi unggulan Barsela bisa tercapai. Oleh sebab itu, slogan yang cocok untuk masyarakat Barsela adalah belajar, kerja keras, disiplin dan profesionalisme.
Penulis, Dr. Ir. Alfizar, DAA (Wakil Rektor I UTU)
5/5