V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Keterkaitan faktor biofisik terhadap kebakaran hutan rawa gambut
1.1. Klasifikasi tutupan lahan di wilayah studi
Hasil penafsiran citra satelit liputan tahun 1996 dan 2001 disajikan pada Tabel 10 yang dapat divalidasi dengan hasil analisis vegetasi di lapangan yang secara lengkap dibahas pada kajian berikutnya. Tabel 10. Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan dari Citra Satelit
1 No. I 1.
Kelas Wilayah
I
l ~ u t a nRawa Gbt
1
I
1
Luas (Ha) 97.149
I
2.
l ~ u t a nMangrove
3.
Pmukiman
/
1
19.346
I
1
21.791
I
Lahan Pertanianl
1
lerkebunan I
5
43.593
33.694
1
1
I
I
I
1
Lahan Terbuka
/ perkebunan rakyat I
rransisional 6.
1 7. 8.
Tambak
1 water body I
9.
tumbuhan bawah, semak belukar
Lahan Terbuka
1
1
43.949
256.081
0
13.097
23.081
1
80.678
1
I
l ~ u t u ~ Awan an J u m 1a h
89.825
I
861.041
+212.132 lahan terbuka yang tidak ada vegetasi
lahan budidaya tambak
+13.097
1
+66.744
1
-74.143
I
6.535
I
1
+ 7.230 tanah terbuka yang ada jalankanal + 9.899 tutupan tanaman pertanianl -142.672 lahan peralihan dari hutan menjadi
40 1.051
543.723
I
-14.484 Ivegetasi jenis bakau sepanjang pantai
I
4.
-77.803 breal hutan primer/sekunder di rawa
I
9.722
24.206 14.561
1
Keterangan
1 genangan air, sungai dan danau
1 area yang tidak dapat diidentlfikasi I
861.041
Keterangan :
+ : penambahan luas penutupan lahan sejak tahun 1996 sampai dengan tahun 200 1 - : pengurangan luas penutupan lahan sejak tahun 1996 sampai dengan tahun 2001 Pada Tabel 10 dapat dijelaskan bahwa di lokasi penelitian telah tejadi perubahan penutupan lahan hutan yang sangat signifikan yang ditandai dengan berkurangnya tegakan hutan rawa gambut seluas 77.803 ha, hutan mangrove berkurang 14.484 ha dan bertambahnya luas lahan terbuka yang tidak bervegetasi dari seluas 43.949 ha pada tahun 1996 menjadi seluas 2 12.132 ha tahun 200 1 Disamping itu, kondisi lahan tahun 2001 bertambah areal genangan air (water body) seluas 66.744 ha. Penambahan areal genangan air yang paling jelas terlihat
pada gambar citra satelit tahun 2001 (Gambar 28). Kondisi tersebut memberikan
I
indikasi bahwa ekosistem hutan rawa gambut di kelompok hutan S. Sugihan dan S. Lumpur dalam keadaan rusak berat. Hal ini menyebabkan ekosistem hutan tersebut relatif rentan terhadap gangguan dari luar sistem seperti kebakaran hutan, kondisi ekosistem yang demikian maka daya resiliensi menjadi berkurang akibatnya bila muncul pemicu berupa api liar oleh aktifitas manusia maka menyebabkan kebakaran hutan yang tidak terkendali. Terjadinya kerusakan ekosistem di hutan rawa gambut di lokasi penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 28 akibat kebakaran hutan yang berlangsung setiap tahun yaitu tahun 1997, 1998, 1999 dan 2000. Namun kebakaran terbesar yang menghabiskan tegakan hutan di lokasi penelitian terjadi pada tahun 1997 (Anderson, 200 1). Pada Gambar 26 memperlihatkan bahwa sebaran hotspot terbanyak terjadi pada tahun 1997 yang mengumpul pada suatu lokasi yang setelah dilihat pada citra satelit liputan tahun 2001 (Gambar 28) ternyata di lokasi tersebut berubah menjadi genangan air permanen yang dperkirakan luasnya sebesar 26.528 ha. Sebaran hotspot pada tahun berikutnya yaitu tahun 1998, 1999 dan 2000 ternyata relatif sedikit, ha1 ini bukan berarti telah berhasil mencegah terjadinya kebakaran hutan rawa gambut namun banyak dipengaruhi faktor cuaca. Kondisi cuaca pada tahun 1998
-
2000 ternyata relatif stabil dibanding tahun 1997 yang mengalami
musim kemarau panjang dengan jumlah hari hujan enam hari bulan Mei kemudian tidak ada hari hujan sejak bulan Juni sampai dengan September, satu hari hujan bulan Oktober dan empat hari hujan pada bulan Nopember (Tabel 11). Jika dilihat rata-rata hari hujan bulanan sejak tahun 1991 sampai dengan tahun 200Q ternyata hari hujan rata-rata tahun 1997 menunjukan angka paling rendah yaitu 6,67 hari hujan rata-rata bulanan dengan curah hujan 162 mm. Dengan demikian maka kondisi cuaca tahun 1997 telah mengalami kemarau panjang yang berdampak pada kejadian kebakaran hutan rawa gambut terbesar sejak tahun 1991 sampai dengan tahun 2000.
_1Batas Lokasi Penelitian
Batas Pantai dan Sungai Besar Bates Areal KT1 0Batas Areel HPH Pemukiman
0
0 Bptar Lokasi Penelidan Alan Darat N Sungai
A / Kaml
'nIBatasm mBatas Pantai dan Sungai Besar g ~atar,
HPH Pemukiman Penduduk
Pada Gambar 27 dan 28 memperlihatkan dengan baik perbedaan kondisi tutupan lahan liputan tahun 1996 dan tahun 200 1. Perubahan ini dapat ditafsirkan bahwa di lokasi penelitian telah mengalami penurunan vegetasi pohon, dengan didorninasi tumbuhan bawah, semak belukar, dan pakis. Perubahan tutupan lahan dari vegetasi pohon menjadi semak belukar, tumbuhan bawahlpakis disebabkan kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 yang merupakan peristiwa kebakaran hutan terbesar di lokasi penelitian yang dapat dilihat dari lokasi sebaran hotspot tahun 1997. Tabel 1 1. Jurnlah curah hujan dan hari hujan bulanan sejak tahun 1991 - 2000
Sumber : SK Kepala BMG No. 28/KU.30.2/KB/BMG/2000 Tanggal 22 Mei 2000
PadaTabellIdaput~baliwajumlaliarrah~sn~~~ bulanandpos~stasiuu-l*Tuhmg~padaperiode sepuhih tahrm sejak tahun 1991 d q p n tdm 2000 mqata memrqjulcaa ~tereadahpada~1997(d~~-~162rrmadanbarihujan 6,67 harii
rtenPftn d h u h dan k i huja no1 wadi p d a butan hmi, Juli,
~
d a n D a ~t a t. e d n a t ~ ~ i l r l i m p d a ~ 1997 di l a h i penelitian yang -long ekstrim d h m h g tahtm-seMm d a n ~ K o n d i i ~ ~ ~ p e d u a
kebabmn htm karena mqehbkan balm bakar di hutan ddfw a d i lebih ~ ~ d a n * ~ * ~ ~ p e a u s t t h a a n p e m e g a n g
HPH Plga m a n b i b kontrhsi d a b menimbuUran api liar. Kurva curah hujaa dan harihujanlmhm di lokaaipenelitian dis@mpada Gambat 29 dan 30.
Kuwa wrah h u mbulsnm di Wad pedithn
+1Wl +1w2 -1993 +I#+ *I995 +1998 +I997 4-1989
-+-
2000
n
Gambar 30. &ma hari hjan bulanan data tahun 1991-2000 di lokasi penefitian
12. ~
V
~
@
~
~
~
V
~
I
n
r
b
c
l
M&hi proses pgolahaa, itlterpretrrari dm a d s i s data citra satetit yang
d h d u eoftware Arcview GIs V. 3 . 2 m a k a W pengobdatairsdeksvegetasi b j & m dab bent& citra itadeks wgetasi dan tabd (Tabel 12). XQdeks
padakondigitahun2001dipitib~aisalahsatudalidari~
ymgmbeazearnaanalclrndilraji--Iaimryaa&
statis&denpanaliis~~~diharapkan~vmiabel ~ r i n t e m a l y a n g ~ ~ ~ b uPenhhmyaagtejadi t a a .
~~
karena tipe penutupsn l a h (@pe) m q m q a i ~yangtertentumerbedadalampm~iut~secara~yangteljadi
a p a b i E a a d a ~ r a d i a s i & k t r ~ m ~ ~ s p e k t r a l y a n g -leh
w)
ddui tekmlogi satelit p n g d e r a m jauh (rensofe kmktmi&j~obyelryaagtercakuppada~~piksel
pdasaatliputmKcmdkiv~yaqgmemilild~ldoropilrelatifthggi ~~vegetasiyangtinggihsebaliknya.
e
N i l a i ~ ~ d i ~ ~ n r r l a m ~ y a i t u NP dDa V 1 .
hmphm 1 dapat dilihrrt -pmhahn p
e
sampling
1996 drrn2001. P h G a m h 3 1 b 32mermqjuldarnm
pada-bh w
NDVI dari bebmapa ti&
r
b
e
d
a
a
n
~
~
~
~
y
a
n
g
*
-
dari ymg riemuls (tabu 1996) NDVI dk k i m antara - 1,000 sampai -0,519 -+ 0,629 Mtabun2OOl. 0,906
+
-+
dari s h a p k 201 sampd
p h d i n p n ratammaindeks
d a p t d ~ n b a h w a t e a a h ~ ~ i n d e k s ~ d i e k ~ h u t a n
ra~agambut&d&33%&rata-~NDVIh19%sebesar0,37 ~
0
,
2
5
vegetssi yaag tit@
~
~
U Nm D V lL y. a n g t i n g g i ~ m t i r r p l r a t ~
demikim pula d a l k p jika NDVI readah mmphu
inrtilratnr bahwa lahan yang &&ti
tingEFat
veghsi yang
readshdagankatalainjlmnlah~~~juga~~dal#d ~memberilcabinbmsihahwaekosirrtemhutan~tehhmengalami d e g r d a 6 y a n g ~ ~ ~ ~ t a h u n . K e j a d i a n ~ h u t a n y a a g b e a l a a g w w a s ~ ~ i n i a k i b s t ~ h l l t a n y a r q g ~ h grafik di l o h i
d pitu k h b r a n htm P d d h g a n NDVi ~padabmbitahun 1996dan2001 ~
p
a
d
a
~
3
3
.
Pada kurva tersebut terlihat bahwa indeks vegetasi kondisi tahun 1996 sebagian besar berada di atas garis NDVI 0,400 sedangkan tahun 2001 hampir seluruh indeks vegetasi berada di bawah garis NDVI 0,400. Gambaran ini memberikan informasi tambahan untuk membuktikan bahwa telah terjadi perubahan tingkat kehijauan vegetasi yang sangat signifikan pada kurun waktu lima tahun sejak tahun 1996 Secara prosedur statistik, untuk menguji beda nyata indeks vegetasi kedua kondisi tersebut maka dilakukan analisis keragaman yang dibantu program software SPSS 9 yang hasilnya disajikan pada Tabel 12. Berdasarkan hasil uji statistik ternyata indeks vegetasi tahun 1996 dengan tahun 2001 menunjukan perbedaan yang sangat nyata (pada taraf 0,000). Hasil tersebut menggambarkan terjadinya perubahan atau penurunan tingkat kehijauan vegetasi yang sangat signifikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kondisi vegetasi tahun 2001 telah mengalami degradasi yang sangat nyata dibanding kondisi tahun 1996. Karena besaran indeks vegetasi berkaitan langsung dengan jumlah Morofil maka nilai tersebut tidak dapat memberikan informasi yang akurat tentang tipe vegetasi yang tertangkap sensor satelit. Untuk mengkaji lebih mendalam tentang tipe dan kualitas vegetasi serta sampai sejauh mana tingkat degradasi ekosistem hutan rawa gambut di lokasi penelitian pada kondisi tahun 1996 dan 2001 akan dibahas pada sub bab berikutnya yaitu keragaan vegetasi tentang keanekaragaman jenis sehingga dapat diketahui tingkat kemantapannya. Tabel 12. Hasil Uji Statistik Indeks Vegetasi Tahun 1996 dan Tahun 200 1
/
Jumlah kuadrat
I
Derajat bebas
I
Kuadrat tengah
I F hitung 1 Tingkat nyata 1
200 5.780 Keterangan : Terjadi perbedaan nyata rata-rata indeks vegetasi (taraf nyata < 1 %) 1.3. Komposisi Floristik
Dalam ekologi hutan, kajian mengenai komposisi floristik dicerminkan oleh jenis yang ditemukan dalam suatu komunitas atau tipe vegetasi (Kershaw, 1973). Hasil analisis vegetasi yang dilakukan di lokasi penelitian pada tahun 2001 ditemukan 21 jenis tumbuhan yang terdiri dari 12 jenis tumbuhan bawah
dan sembilan jenis tumbuhan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon (Tabel 13
dan Tabel 14). Tabel 13. Komposisi jenis tumbuhan bawah di lokasi penelitian tahun 2002
Keterangan : A = Areal Non Tanaman Akasia, B = Areal Tanaman Akasia, + = Ada
Tabel 14. Komposisi jenis tingkat semai, pancang, tiang dan pohon di lokasi penelitian kondisi tahun 2002
Keterangan : A = Areal Non Tanaman Akasia, B = Areal Tanaman Akasia +
=
Ada
Penelitian di lokasi yang sama pada tahun 1996 ternyata ditemukan 29 jenis tumbuhan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon yang tergolong kedalarn 28 marga dan 22 suku (Suwarso, 1997). Daftar jenis, marga dan suku tumbuhan
pohon yang ditemukan di lokasi penelitian tahun 1996 disajikan pada Tabel 15 dan Tabel 16.
Keterangan : A = sebelum penebangan B = bekas tebangan TPTI C = bekas tebangan liar D = bekas tebangan TPTI dan tebangan liar + = Ada Sumber : Suwarso (1997)
Tabel 16. Jumlah jenis, marga dan suku permudaan dan pohon di empat kondisi hutan tahun 1996
Keterangan : Sm = Semai, PC Sumber : Suwarso (1997)
=
Pancang, Tg
=
Tiang, Ph
=
Pohon
Dibandingkan dengan hasil penelitian sebelurnnya yang dilakukan di ekosistem hutan rawa gambut di propinsi Riau oleh Karhana (1994) ditemukan 21 jenis, sedangkan Haryanto (1993) menemukan 77 jenis tumbuhan tingkat tiang dan pohon di hutan gambut kawasan Suaka Margasatwa Danau Pulau Besar dan Danau Bawah.
Istomo (1994) menemukan 41 jenis tumbuhan tingkat semai,
pancang, tiang, dan pohon di hutan rawa gambut Kalimantan Tengah.
Dari
beberapa hasil penelitian tersebut ternyata dapat diketahui beberapa jenis yang umum ditemukan di hutan rawa gambut, antara lain ramin (Gonystylus bancanus), terentang (Campnosperma spp.), meranti (Shorea spp.), geronggang (Cratoxylon arborescens) dan nyatoh (Palaquium ridleyi). Tabel 14. menunjukkan bahwa jumlah jenis pohon yang terdapat di lokasi penelitian (areal non hutan tanaman akasia dan hutan tanaman) untuk tingkat semai adalah dua jenis, tingkat pancang sembilan jenis, tingkat tiang enam jenis, dan tingkat pohon satu jenis. Terlihat bahwa tingkat pohon mempunyai jumlah jenis terendah karena di lokasi penelitian ada hutan tanaman jenis akasia. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian tahun 1996 ternyata menunjukkan terjadi penurunan komposisi jenis pada semua tingkat pertumbuhan. Tampak terlihat bahwa kebakaran hutan telah menyebabkan penurunan jurnlah spesies yang sangat signifikan dalam kurun waktu enam tahun. Bagi jenis-jenis pohon pada semua tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian pada tahun 2002 hanya ditemukan sembilan jenis dari yang semula (tahun 1996) sebanyak 29 jenis. Kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997, 1998, 1999, 2000 dan 2001 menyebabkan kerusakan hutan yang sangat berat sehingga tumbuhan bawah mendominasi areal yang pada akhirnya terjadi persaingan yang ketat antara
permudaan pohon dengan jenis tumbuhan bawah diantaranya : jenis paku-pakuan (paku pijai, paku wangi, pakis gajah, pakis udang) dan semak belukar. Dengan demikian maka jenis-jenis permudaan pohon tidak mampu bersaing dengan tumbuhan bawah tersebut yang akhirnya tertekan dan mati. Pada Tabel 14 terliit bahwa hanya empat jenis saja yang mampu bertahan pada semua tingkat pertumbuhan yaitu; mahang, pulai, simpur dan terentang, sedangkan empat jenis yang ditemukan termasuk golongan semak belukar dan satu jenis akasia merupakan jenis eksotik yang diadopsi untuk rehabilitasi lahan. Komposisi floristik suatu ekosistem menentukan tingkat keanekaragarnan jenis yang mencerminkan kualitas vegetasi di ekosistem tersebut, sedangkan kualitas ekosistem dapat dinilai dari keragaan kualitas vegetasi. Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada kondisi tahun 2002 rnaka dapat dijelaskan bahwa kebakaran hutan telah menurunkan kualitas ekosistem pada tingkat yang lebih rendah. Kualitas ekosistem yang rendah relatif rentan terhadap gangguan dari luar dan dapat diklasifikasikan rawan bahaya kebakaran. Untuk mengetahui dorninansi suatu jenis pada setiap tingkat pertumbuhan di areal non hutan tanaman dapat dilihat pada Tabel 17 sampai Tabel 18. Tabel 17. Indeks nilai penting (INP)tumbuhan bawah kondisi tahun 2002
Keterangan :
F = Frekwensi, K = Kerapatan, FR = Frekwensi Relatif, '
KR = Kerapatan Relatif dan INP = Indeks Nilai Penting
Tabel 18. Indeks nilai penting (INP) tingkat semai kondisi tahun 2002
I
I
I
Keterangan : F = Frekwensi, K = Kerapatan, FR = Frekwensi Relatif: KR = Kerapatan Relatif dan INP = Indeks N i Penting Data pada Tabel 17. dan Tabel 18. memperlihatkan bahwa areal penelitian didominasi tumbuhan bawah jenis paku-pakuan dan rumput lidang dengan INP total 190,64 %, sedangkan permudaan tingkat semai
INP 9,39
ditemukan tiga jenis yaitu mahang, pulai dan simpur.
% yang hanya
Ketiga jenis tersebut
merupakan jenis asli setempat termasuk jenis yang mampu bersaing dengan tumbuhan bawah, toleransi tinggi dan berhasil beradaptasi terhadap habitat. Tabel 19. Indeks nilai penting (INP) tingkat pancang kondisi tahun 2002
Keterangan : F = Frekwensi, K = Kerapatan, FR = Frekwensi Relatif, KR = Kerapatan Relatif dan INP = Indeks N iai Penting Tabel 20. Indeks nilai penting (INP) tingkat tiang kondisi tahun 2002
Keterangan : F = Frekwensi, K = Kerapatan, FR = Frekwensi Relatif, KR = Kerapatan Relatif dan INP = Indeks Nilai Penting
Data pada Tabel 19 dan Tabel 20 menunjukkan fenomena yang menarik bahwa jenis pulai mendominasi areal penelitian untuk tingkat pancang dan tiang walaupun pada tingkat pancang menduduki urutan dominansi kedua setelah pakis gajah. Hal ini memberi harapan positif bahwa jenis pulai mampu bersaing dengan tumbuhan bawah sehingga pada masa mendatang jenis pohon ini akan menjadi pohon unggulan setempat. Dengan demikian maka untuk rehabilitasi hutan rawa gambut pasca kebakaran jenis pohon pulai dapat direkomendasikan karena terlihat dari hasil analisa vegetasi ternyata jenis ini memiliki INP yang dominan pada tingkat semai (5,39 %), pancang (59,81 %) dan tiang (80,74 %). Martawijaya et
a1 (1981) menyatakan bahwa kayu pulai memiliki berat jenis 0,30
-
0,36 dengan
kadar selulose 54,l %, lignin 24,6 %, pentosan 14,9 % dan abu 0,9 %. Termasuk kelas awet lima yang penggunaannya untuk pembuatan venir, kayu lapis, korek api, peti, barang kerajinan dan keperluan lainnya. Tabel 2 1. Jumlah jenis dominan di empat kondisi hutan pada tahun 1996 Jenis dominan I Tiang Pancang
Semai gempolan (44,93) terentang (34,35)
milas (35,83) lterentang
, enebangan
I Pohon 1 terentang (65,08) milas (46,3 1) ramin (43,38)
terentang (27,50)
% 7 3
terentang (3 1,48) gelam tikus (3 1,48) malam-malam (3 1-02] ekas tebangan liai pasir-pasir (200)
4
ekas tebangan
2
milas (88,61)
ekas tebangan
pasir-pasir (133,33)
I
I terentang (39,77) meranti bu-nga (300)
-
I
pulai (124,88) jeiutung (83,03) terentang(31,24) milas (66,16) meranti (55,87) terentang (5 139)
Nilai dalam tanda kurung menunjukkan Indeks Nilai Penting (%) Sumber : Suwarso (1997)
Tabel 21. menunjukan bahwa jenis terentang (Campnosperma macrophylla) merupakan
satu-satunya jenis
yang mendominasi pada berbagai tingkat
pertumbuhan di empat kondisi hutan.
Hal ini dapat dipahami karena jenis ini
merupakan jenis pionir di hutan rawa dan bersifat intoleran. Namun dibandingkan dengan hasil analisis vegetasi tahun 2002 ternyata jenis terentang tidak mendominasi areal penelitian yang ditunjukkan dengan INP pancang 4,58 % dan tiang 6,75 %.
1.4. Keanekaragaman jenis Keanekaragaman jenis merupakan variasi dari jenis dalam suatu wilayah yang tidak hanya sebagai hngsi dari jumlah jenis saja tetapi juga fbngsi dari kemerataan distribusi kelimpahan jenis itu dalam komunitasnya (Putman and Wratten, 1984; Magurran, 1988).
Keanekaragaman jenis adalah salah satu
tingkatan dari katagori keanekaragaman hayati yang meliputi keanekaragaman genetik, jenis dan ekosistem. Tingkat
kemantapan
ekosistem
berkaitan
erat
dengan
tingkat
keanekaragaman jenis, dengan kata lain semakin mantap ekosistem maka tingkat keanekaragaman jenisnya makin tinggi. Ekosistem yang mantap berarti ekosistem tersebut cukup elastis terhadap gangguan, dengan perkataan lain mampu memulihkan kembali kondisi ekosistem. Indeks keanekaragaman jenis merupakan indikator jumlah jenis dan kemerataan individunya yang dicerminkan dengan besaran nilai H.
Semakin
tinggi nilai H maka keadaan vegetasi di areal yang bersangkutan keanekaragaman jenisnya semakin tinggi, sebaliknya jika nilai H semakin rendah maka keadaan vegetasi pada areal yang bersangkutan keanekaragaman jenisnya semakin rendah. Untuk menggambarkan perubahan besaran nilai H pada areal penelitian kondisi tahun 2002 ditampilkan nilai H di areal bekas tebangan liar, hutan alam sebelum penebangan dan bekas tebangan TPTI dengan kondisi tahun 1996 sebagai pembanding. Hasil perhitungan keanekaragaman jenis di empat kondisi hutan tahun 1996 dapat dilihat pada Tabel 22, sedangkan kondisi hutan tahun 2002 disajikan pada Tabel 23. Tabel 22. Indeks keanekaragaman jenis di empat kondisi hutan tahun 1996
No 1 2 3 4
Kondisi hutan
Indeks Keanekaragaman (H) Semai Pancang Tiang Pohon Sebelum penebangan 2 2 2 2 Bekas tebangan TPTI 2 2 1 2 Bekas tebangan liar 1 0 0 2 Bekas tebangan TPTI dan tebangar 1,86 liar
Sumber : Suwarso (1997)
Tabel 23. Indeks keanekaragamanjenis vegetasi kondisi tahun 2002
Berdasarkan hasil perhitungan indeks keanekaragaman jenis pada semua tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian pada kondisi tahun 2002 ternyata diperoleh indeks keanekaragaman jenis relatif rendah, yaitu antara 0,04 sampai 1,77. Indeks keanekaragaman jenis terendah terlihat pada tingkat semai sebesar 0,04 dan tertinggi pada komunitas tumbuhan bawah sebesar 1,77. Besaran indeks
keanekaragaman jenis pada tingkat semai, pancang dan tiang kondisi tahun 2002 masih l e b i rendah dibandiig kondisi hutan bekas tebangan dengan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) tahun 1996. Untuk mengetahui tingkat kernantapan suatu vegetasi hutan rawa gambut di lokasi penelitian digunakan kriteria menurut Samingan (1992), yang disajikan pada Tabel 24. Tingkat kemantapan vegetasi dapat dilihat indeks keanekaragaman jenis sebagai tolok ukurnya, makin tinggi maka makin mantap dan sebaliknya. Tabel 24. Kriteria untuk Tingkat Kernantapan Ekosistem Hutan Rawa Gambut Indeks keanekaragamanjenis Kategori bkala > 2,O 4 Baik sekali 1,5 - 2,O 3 Baik 2 1,O - 1,5 Buruk 1 < 1,O Sangat buruk Sumber : Samingan (1992)
Kriteria mantap sekali
mantaP
kurang mantaP tidak mantap
A
Apabila dibandingkan antara Tabel 22 dengan Tabel 23, maka dapat diiatakan bahwa kondisi hutan rawa gambut pada tingkat semai, pancang dan tiang termasuk kategori buruk dan sangat buruk dengan tingkat kemantapan kurang rnantap dan tidak mantap. Yang menarik adalah kondisi tumbuhan bawah yang tennasuk dalam kategori baik dan mantap. Dengan kualitas ekosistem yang buruk tersebut maka tingkat kerawanan terhadap peluang kebakaran hutan menjadi semakin meningkat, oleh karena itu jika ada pemicu (sumber api) diprediksi akan terjadi kebakaran.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2001 tanggal 5 Pebruari 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, pada Bab I1 dan Bab I11 pasal 3 sampai dengan pasal 10 kemudian pada lampiran PP tersebut dicanturnkan kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan disebutkan bahwa indikator kerusakan hutan jika terjadi penurunan keanekaragaman jenis. Jika dikaji indeks keanekaragaman jenis di lokasi penelitian sebesar dua di semua tingkat permudaan pada kondisi sebelum penebangan (1996) yang dianggap sebagai hutan primer kemudian dibandingkan besaran indeks keanekaragaman jenis pada kondisi tahun 2002 yang berkisar antara 0,04 sampai 1,37 dan mengacu pada PP No. 4 Tahun 2001 tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ekosistem hutan rawa gambut di lokasi penelitian telah mengalami kerusakan yang diakibatkan kebakaran. 1.5. Model prediksi kebakaran hutan rawa gambut dari faktor biofisik
Proses kebakaran hutan melibatkan unsur bahan bakar di hutan berupa selulose, oksigen yang terkandung di udara bebas dan energi dalam bentuk api yang berasal dari aktivitas manusia (sebagai pernicu) maupun dari hasil proses kebakaran itu sendiri yang menghasilkan energi, karbondioksida dan air. Dalam kajian faktor-faktor biofisik pada dasarnya merupakan uraian dari kondisi selulose dan energi sebagai faktor pemicu yang berpengaruh terhadap terjadinya kebakaran di ekosistem hutan rawa gambut yang meliputi; indeks vegetasi (NDVI) tahun 1996, ketebalan gambut, tipe tanah, curah hujan dan jarak sungai. Pada penelitian ini ingin mengkaji hubungan keterkaitan antara variabel tersebut dengan kebakaran hutan dalam bentuk persamaan matematik yang telah dikonversi menjadi data spasial (keruangan) kemudian akan dicari variabel biofisik yang paling menentukan.
Dengan ditemukan faktor penentu biofisik maka kajian
berikutnya adalah analisis regresi yang menggabungkan dengan faktor penentu sosial ekonomi sehingga diperoleh model prediksi kebakaran hutan rawa gambut secara konseptual. Berdasarkan model prediksi tersebut maka dapat dirumuskan cara pencegahan kebakaran hutan rawa gambut.
1.5.1. Keterkaitan kebakaran hutan rawa gambut dan lima variabel biofisik Berdasarkan output SPSS E9. (Lampiran 6) yang menghubungkan peluang terjadinya kebakaran dengan lima variabel faktor biofisik maka diperoleh model persamaan matematis sebagai penduga hngsi peluang kebakaran hutan rawa gambut dari faktor biofisik secara spasial sebagai berikut : Peluang kebakaran
=
- 1.7406 + 0.0003 log (hujan) - 0.7675 log (tipe tanah) + 0.0041 log (tebal gambut) - 0.6409 log (ndvi 96) + 0.0020 log (jarak sungai)
Log (Y) = - 1.7406 + 0.0003 log X1 - 0.7675 log X2 + 0.0041 log X3 - 0.6409 log & + 0.0020 log Xs
Keterannan : Y
=
Nilai peluang kebakaran hutan rawa gambut dari faktor biofisik atau Odd-ratio yaitu PI1-P (nilai Y berkisar antara 0 dan 1)
X1 = Curah hujan ( d t h n ) XZ = Tipe tanah (gambut dan mineral) X3 = Ketebalan gambut (cm)
&
=
Xs
=
Indeks vegetasi (NDVI) Jarak sungai (meter)
Secara statistik model tersebut cukup dapat diandalkan untuk memprediksi respon kebakaran karena terlihat dari adanya peranan yang sangat nyata (pada taraf nyata < 1%) yaitu variabel jarak sungai dalam menjelaskan kebakaran. Dari koefisien determinasi terlihat bahwa kelima variabel bebas yang disertakan dalam model, ternyata variabel bebas mempunyai kemampuan memprediksi 71,50 % dari variasi respon kebakaran. Variabel bebas yaitu jarak sungai yang berpengaruh nyata (korelasi positif) dapat dilihat pada Sign. = 0,0015 (a
=
0.15 %). Hal ini menggambarkan bahwa
keberadaan sungai di ekosistem hutan rawa gambut ditinjau dari aspek kebakaran menjadi faktor penentu karena makin jauh dengan sungai ternyata makin tinggi peluang terjadinya kebakaran. Tampilan lokasi-lokasi yang rawan kebakaran karena tinggi peluang terjadinya kebakaran disajikan pada Gambar 34.
tr ,u am, - - .
Karakteristik sejumlah sungai di lokasi penelitian bersifat multifbngsi bagi masyarakat sekitar hutan karena sungai bukan hanya sebagai sarana transportasi dan tempat mencari ikan tetapi juga sebagai tempat pemukiman yang disekelilingnya terdapat lahan usaha tani. Dengan demikian maka di sepanjang kiri kanan sungai banyak terjadi aktivitas masyarakat yang berhubungan dengan api, namun hasil kajian ini menunjukan bahwa peluang terjadinya kebakaran hutan rawa gambut yang tinggi justeru bukan di lokasi tersebut melainkan pada lokasi yang semakin jauh dari sungai. Hal ini dapat diperiksa pada Gambar 34 yang ditunjukan dengan warna merah sebagai daerah-daerah yang memiliki peluang kebakaran hutan rawa gambut yang relatif tinggi pada jarak lebih dari enam kilometer dari sungai. 1.5.2.
Keterkaitan kebakaran hutan rawa gambut dengan variabel jarak sungai sebagai faktor penentu biofisik Berdasarkan output SPSS V.9.0 (Lampiran 7) yang menghubungkan
peluang terjadinya kebakaran dengan satu variabel jarak sungai sebagai faktor biofisik penentu maka diperoleh model matematis sebagai penduga fbngsi kebakaran hutan rawa gambut yaitu sebagai berikut : Peluang (kebakaran) = - 1.7031 + 0.0020 log jarak sungai Log (Y) = -1.7031 + 0.0020 log X Keterangan :
Y
=
Nilai peluang kebakaran hutan rawa gambut dari variable jarak sungai atau Odd-ratio yaitu P/1-P (nilai Y berkisar antara 0 dan 1)
X
=
Jarak sungai (meter)
Secara statistik,model tersebut cukup dapat diandalkan untuk memprediksi respon kebakaran karena terlihat dari adanya peranan yang sangat nyata (pada taraf nyata < 1% atau Sign.
=
0,0002) yaitu variabel jarak sungai mempengaruhi
terjadinya kebakaran hutan rawa gambut.
Dari koefisien detenninasi terlihat
bahwa variabel bebas jarak sungai yang disertakan dalam model, mempunyai kemampuan memprediksi 72,02 % dari variasi respon kebakaran hutan rawa gambut.
Gambar 35 memperlihatkan model prediksi kebakaran hutan rawa
gambut dari faktor biofisik dengan varibel jarak sungai sebagai faktor penentu.
Pada Gambar 35 diperlihatkan dengan jelas lokasi-lokasi yang mempunyai peluang terjadinya kebakaran hutan dari nilai terendah hingga tertinggi yang digambarkan dengan warna merah tua berarti peluang kebakaran tertinggi (rawan kebakaran), sedangkan warna putih peluang terendah (aman bahaya kebakaran). Lokasi-lokasi yang rawan kebakaran ternyata terletak di daerah yang jauh dari sungai pada jarak lebih dari 18 km dari sungai terdekat. Yang menarik dari kajian ini adalah daerah-daerah di sekitar sungai (< 18 krn) ternyata nilai peluang kebakarannya paling rendah, ha1 ini memberikan informasi bahwa aktivitas masyarakat sekitar hutan dalam bentuk usaha tani intensif di sepanjang kanan kiri sungai tidak menyebabkan terjadinya kebakaran hutan rawa gambut. Hasil wawancara dengan responden ternyata aktivitas utama masyarakat selama musim kemarau adalah menanam sayuran di pinggir sungai, membalak (mencari kayu bulat) serta mencari ikan di lebak lebung (genangan air di dalam kawasan hutan rawa gambut).
Dalam aktivitas membalak dan mencari ikan,
masyarakat hams masuk ke dalam kawasan hutan untuk mencari sisa kayu bulat pasca kebakaran serta berusaha menemukan lebak lebung maupun anak sungai di dalam hutan yang biasanya melakukan pembakaran lahan untuk membuka akses agar lebih mudah. Aktivitas masyarakat demikian dapat menimbulkan api liar di dalam kawasan hutan, apabila bersatu dengan bahan bakar potensial maka peluang kebakaran hutan menjadi tinggi. Bahan bakar potensial dalam kajian ini adalah vegetasi hutan yang ditunjukan nilai NDVI (bahan bakar di permukaan) dan gambut sebagai bahan bakar di bawah permukaan.
Berdasarkan data yang diperoleh ternyata NDVT
tinggi dan gambut tebal terletak di lokasi-lokasi yang jauh dari sungai (Gambar 18 dan Gambar 31), sedangkan di sepanjang kiri kanan sungai tipe tanah merupakan tanah mineral yang tidak terdapat tegakan hutan maupun gambut sehingga tidak cukup tersedia bahan bakar potensial. Oleh karena itu, peluang tertinggi kebakaran hutan tidak terletak di sekitar sungai justeru pada lokasi yang tersedia cukup bahan bakar potensial dan ada aktivitas masyarakat yaitu di dalam kawasan hutan rawa gambut. Hal ini juga didukung faktor curah hujan (Gambar 16) yang ternyata relatif tinggi (rata-rata 2.21 1 - 2.714 d t h n ) pada daerah di sekitar sungai sehingga bahan bakar potensial yang ada tidak mudah terbakar.
2. Keterkaitan faktor sosial ekonomi dengan kebakaran hutan rawa gambut Kebakaran hutan hanya dapat terjadi apabila ada bahan bakar potensial di hutan dengan faktor pemicunya berupa api liar yang berasal dari aktivitas manusia. Faktor alam pada dasarnya hanya sebagai pendukung kebakaran yang kontribusinya yaitu menyediakan bahan bakar potensial, sedangkan faktor manusia merupakan faktor utama yang menimbulkan api liar. Aktivitas manusia dalam rangka pemanfaatan sumberdaya hutan rawa gambut merupakan bentuk interaksi sosial dengan ekosisten hutan sebagai faktor penentu kebakaran hutan. Interaksi sistem sosial yang terbentuk di lokasi penelitian ini karena adanya kepentingan mendasar terhadap sumber bahan kehidupan yang berasal dari kawasan hutan rawa gambut seperti air, ikan, satwa, kayu dan bahan makanan lain Pada kondisi keseimbangan (steady state) antara sistem sosial dengan ekosistem hutan maka semua unsur befingsi normal sehingga mempunyai daya resiliensi, tetapi apabila salah satu atau kedua sistem tersebut terjadi perubahan ekstrim misalnya jumlah masyarakat sekitar hutan yang semakin bertambah dan ekosistem hutan mengalami degradasi atau terjadi penurunan kualitas lingkungan maka sumberdaya hutan tidak mampu lagi menyediakan aliran bahan, energi dan materi kepada sistem sosial bahkan menjadi rentan gangguan dari luar. Apabila kondisi tersebut dibiarkan tanpa ada campur tangan manusia maka hngsi hutan sebagai pengatur lingkungan hidup secara lestari mustahil akan tercapai. Dengan demikian perlu input materi dan energi terhadap ekosistem hutan dan transfer tehnologi kepada sistem sosial guna menyelaraskan kembali interaksi pada kedua system tersebut. Kajian faktor sosial ekonomi mencakup karakteristik masyarakat di dalam dan di luar hutan yang penghidupannya tergantung pada kawasan hutan rawa gambut. Dalam studi ini ingin diketahui karakteristik jati diri, mata pencaharian, kondisi tempat tinggal, persepsi terhadap keberadaan HPH dan kelembagaan formal dan non formal. Disamping itu, akan dikaji tentang bagaimana pendapatan masyarakat tersebut karena menurut Sajogyo (1978) rendahnya pendapatan, pendidikan, sempitnya penguasaan lahan dan sulitnya mencari pekerjaan merupakan gambaran umum masyarakat pedesaan termasuk masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.
2.1. Karakteristik masyarakat di dalam dan di luar hutan 2.1.1. Karakteristik jati diri masyarakat
Jati diri masyarakat di dalam dan di luar hutan perlu diketahui karena diperkirakan memiliki karakteristik yang berbeda diantara kedua masyarakat tersebut yang pada umumnya merniliki tingkah laku berpola yang berbeda dalam rangka kehidupan bermasyarakat dan berinteraksi dengan ekosistem hutan sekitarnya. Pada Tabel 25. disajikan hasil uji statistik kriteria dan indikator jati diri masyarakat di dalam dan di luar hutan. Tabel 25. Hasil uji statistik kriteria dan indikator jati diri masyarakat KRITERIA dan Karakteristik INDIKATOR Masyarakat Masyarakat dalam hutan Luar Hutan 1.USIA: <30 tahun 30-44 tahun >44 tahun 2.su~rr: JadSunda Sulawesl/Bugis Sumatra/Melayu
26.40 34.01 39.52
33.24 19.67 47.05
6.49 16.15 77.33
87.40 0.00 12.60
Beda Proporsi (9'0)
-80,91 + 16,15 + 74,83
Fhitung
Taraf Nyata (YO)
0.48 1.95 0.39
52,s 23,5 56,7
44.61
0,3(*1) 27,7
1.58
9.60
3. ASAL PENDIJDUK: 39,3 Asli 11.08 0.92 20.90 0.92 79.10 88.92 Pendatang - 39,3 4. LAMA MUKIM: 6.18 +41,16 <10 tahun 0,3(*2) 47.34 40.29 16,9 28.47 2.80 54.15 10-19 tahun 30,9 1.35 39.78 >19 tahun 23.86
Desa Prioritas perbalkan
Simpang TigaSakti 0%, Simpang Tiga Makmur 3,33%
-Simpang tiga Makmur (60%
bermukim <10 tahun) 5. PENDIDIKAN: Tdk Sekolah SDISR SLTP SLTA
8.733 69.057 16.610 5.567
7.330 70.237 15.862 6.572
0.19 0.01 0.01 0.02
68,6 91,3 92,5 88,4
Catatan: Taraf nyata tertinggi 0,3% Pada Tabel 25 dapat dijelaskan bahwa jati diri yang paling menonjol diantara desa-desa di dalam dengan di luar hutan adalah suku (taraf nyata 0,3 %) yang sedikitnya suku Jawdsunda pada desa di dalam hutan paling rendah di desa
Simpang Tiga Sakti (0,00%) & Simpang Tiga Makmur (3,33%), sedangkan suku SumateraJMelayu terbanyak pada desa Simpang Tiga Makmur (93,30%) dan Simpang Tiga Sakti (96,70%) dan suku Bugis terbanyak pada desa Simpang Tiga Jaya (41,83%). Hal ini menunjukan bahwa desa-desa di dalam hutan di dominasi suku melayu dan desa-desa di luar hutan dominan suku jawa yang merupakan masyarakat transmigrasi sejak tahun 1981- 1982. Urutan kedua yang berbeda secara signifikan jati diri di antara kedua kelompok masyarakat (taraf nyata 0,30%) yaitu proporsi penduduk yang baru bermukim <10 tahun dan paling tinggi pada desa Simpang Tiga Makmur (60%). Data ini mencerminkan bahwa desa Simpang Tiga Makmur termasuk desa yang sebagian besar penduduknya masih relatif baru (
Sebagian besar
tersebut pendidikannya rata-rata
sampai SD (70%), SLTP (16 %), SLTA (6 %) dan sisanya tidak sekolah. Oleh karena itu, melihat data pendidikan tersebut menunjukan bahwa sebagaian besar masyarakat tingkat pendidikannya masih relatif rendah.
Kedua kelompok
masyarakat di dalam dan di luar hutan ternyata sebagian besar (85 %) merupakan masyarakat pendatang dan sisanya penduduk asli setempat.
2.1.2.
Karakteristik mata pencaharian masyarakat sekitar hutan Hasil penelitian Sudarmanto (1996) menyatakan bahwa masyarakat sekitar
hutan di Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan sebagian besar (65 %) mata pencahariannya diperoleh dari sumber daya hutan. Hal ini menunjukan bahwa ketergantungan masyarakat terhadap potensi sumberdaya hutan relatif besar. Data tersebut juga masih berlaku di wilayah studi khususnya bagi masyarakat di dalam hutan yang pekejaan utamanya sebagian besar (61 %) berasal dari kawasan hutan yaitu mencari ikan di dalam hutan atau nglebung (52,51 %) dan membalok atau mencari kayu logs bekas terbakar (8,90 %). Masyarakat di luar hutan karena merupakan warga
transrnigrasi maka penghldupannya 97 % berasal dari hasil usaha tani dan sisanya sebagai pedagang, pengusaha, pegawai dan tukang kayu. Tabel 26. Hasil uji statistik kriteria dan indikator mata pencaharian masyarakat KRITERIA dan INDIKATOR
Karakteristik dasyarakat Masyarakat lam hutan Luar Hutan
Beda Proporsi
Fhitung
Taraf Nyata
Desa Prioritas perbaikan
(%)
(%)
1. PEKERJAAN UTAMA: Tan1 NelayanICari Ikan Membalok/Cari Kayu Lainnya(Pegawai, Pedagang, Pengusaha,
tukang kayu} 2. PEKERJAAN TAMBAHAN: Tani NelayanICari Ikan MembaloWCari Kayu Merantau Buruh Lainnya Tidak Ada
21.72 52.5 1 8.90 16.44
97.02 0.00 0.00 2.98
4.30
- 75,30
+ 52,51 + 8,90
36.44 31.23 1 .OO
Desa Simpang Tiga Makmur 37,4 (3,396 Tani & 71,3% Nelayan & 23,4% lainnya)
0,4(*1)
a
+ 13,46
12.58
0.00 6.45 4.58
+ 16,67
+ 16,36
1.00 2.3 1 3.10
O.OO 8.60 7.69 36.48
21.69
-21,69
8.39
23.57 16.84 26.57
0.67 1.41 0.21
78.26 11.94 9.81
60.02 15.10 24.88
0.98 0.17 1.35
37,s 70,5 30,9
23.18
21.16 25.46 49.00 9.79
0.01
91,s
23.12 20.94
37,4 20,3 1573 4,4(*3) 45,9 30-1 6679
Desa Simpang Tiga Sakti (40% nelayan & 36,7% membaloWcari kayu). Desa NusaKerta (35,13% merantau & 37,02% lainnya)
3. HOK EFEKTIF: <50% <75% >75% 4. Luas Lahan Produktd. <50% <75% >74% Tanpa Tanah
6.67 2.20
66.58
Catatan: Taraf nyata tertinggi 0,4 %
- 18,79
- 46,80
+ 56,79
5.10
11.61 21.49
Desa Simpang Tiga Makmur lOO%HOK efektif <50%.
Desa Simpang Tiga Jaya 56,25% 1.0(*2) memiliki <50% tanah produktif & 43,75% tanpa tanah. Simpang tiga Sakti 83,3% tanpa tanah
JS J2
Pada Tabel 26 terlihat bahwa tejadi perbedaan yang nyata pada proporsi jenis pekerjaan utama (taraf nyata 0,40 %) yaitu desa Simpang Tiga Makmur 3,30 % bertani, 71,30 % nelayan dan 23,40 % pekejaan lainnya. Kondisi tersebut
menggambarkan desa di dalam hutan penghidupannya tidak tergantung pada usaha tani tetapi pada mencari ikan di dalam kawasan hutan khususnya pada musim kemarau, sedangkan masyarakat di luar hutan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan hasil uji statistik berikutnya bahwa proporsi luas tanah produktif juga berbeda nyata di kedua kelompok masyarakat tersebut. Desa Simpang Tiga Jaya 56,25 % responden mempunyai <50 % lahan produktif, 43,75 % responden tidak memiliki lahan produktif, sedangkan di desa Simpang Tiga Sakti 83,30 % responden tidak memiliki lahan pertanian. Yang menarik adalah kedua kelompok masyarakat tersebut memiliki pekejaan tambahan yang sama yaitu merantau dengan proporsi masyarakat di dalam dan di luar hutan masing-masing 36,48 % dan 26,57 %. Fenomena tersebut lebih mudah dipahami karena jika dilihat proporsi kepemilikan lahan usaha tani yang produktif ternyata sebagian besar (66,58 %) masyarakar di dalam hutan tidak memiliki lahan, sedangkan masyarakat di luar hutan memiliki lahan usaha tani produktif sebesar 90,21 %. Kriteria dan indikator yang berbeda nyata berikutnya adalah pekerjaan tambahan (taraf nyata 4,40 %). Di desa Simpang Tiga Sakti 40 % nelayan, 36,70 % membalaklcari kayu dibanding 0
-
13,79 % pada desa-desa di luar hutan.
Responden yang merantau bagi masyarakat di dalam hutan hanya 0
-
9,40 %
dibanding pada desa-desa di luar hutan yang 20,69 - 35,13%. Responden di desa Nusakerta 35,13 % merantau dan 37,02 % lainnya (PNS, Pegawai Swasta, pedagang, pengusaha dan lainnya). Karakteristik masyarakat demikian mencerminkan bahwa kawasan hutan makin terancam karena sebagaian besar masyarakat di dalam hutan masih menggantungkan penghidupannya pada hutan, sedangkan masyarakat di luar hutan yang lebih banyak merantau dalam kondisi tidak ada pekerjaan yang mencukupi keluarga. Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, merantau yang biasanya dilakukan pada musim kemarau yang tidak mungkin melakukan pertanian.
Tempat perantauan yang dianggap masyarakat menjanjikan adalah
Pulau Bangka karena disamping akses lebih baik (lebih kurang enam jam naik speed boat) dan hasilnya bisa mencukupi kebutuhannya sebagai pekerja borongan mengolah tanah untuk kebun lada dan atau buruh tambang timah. 2.1.3. Karakteristik kondisi tempat tinggal masyarakat
Tempat tinggal masyarakat adalah salah satu kebutuhan primer setelah bahan pangan dan pakaian sehingga dapat dijadikan sebagai indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Hasil survai masyarakat di dalam dan di luar hutan ditemukan bahwa secara umum kondisi perurnahan beserta fasilitasnya masih relatif memprihatinkan dan tidak memenuhi standar kesehatan, walaupun status kepemilikannya 90 % milik sendiri.
Hampir semua responden di desa dalam
hutan keadaan rumahnya sebagian besar (80%) beratap daun nipah, sedangkan di desa luar hutan hanya 37 %. Kedua kelompok masyarakat tersebut bahan dinding rumahnya relatif sama yaitu berupa papan. Namun yang berbeda secara signifikan adalah lantai rumah yang di desa dalam hutan semuanya menggunakan papan dan sebaliknya di luar hutan tidaka ada.
Hal ini wajar saja karena rumah-rumah
masyarakat di dalam hutan semua berupa rumah panggung
sehingga hams
berlantai papan, sedangkan masyarakat transmigran yang tinggal di luar hutan berlantai tanah sebagian besar (53 %) dan lantai semen 18 %. Berdasarkan uji statistik tersebut ditemukan bahwa kondisi tempat tinggal masyarakat di dalam dan di luar hutan yang berbeda paling menonjol (taraf nyata 0%) adalah 100% rumah responden di desa-desa di dalam hutan berlantai papan. Urutan kedua adalah fasilitas MCK (taraf nyata 0,10%) di desa-desa di dalarn hutan ternyata 86,70 % - 100 % MCK di sungai atau tidak memiliki sarana MCK sendiri. Urutan ketiga adalah atap rumah (taraf nyata 1,60%) adalah proporsi rumah responden di desa-desa di dalam hutan yang rumahnya masih terbuat dari nipahlrumbia (96,70% responden di desa Simpang Tiga Makmur) yang jauh lebih besar dibanding pada desa-desa di luar hutan Kemudian yang juga berbeda nyata adalah sarana mandi cuci dan kakus (MCK), ternyata 96 % responden masyarakat di dalam hutan tidak memiliki MCK dibanding masyarakat di luar hutan 83 % memiliki MCK sendiri.
Hasil uji
statistik karakteristik kondisi tempat tinggal masyarakat disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27. Hasil uji statistik kriteria dan indikator kondisi tempat tinggal KRITERIA dan INDIKATOR
1. PEMILIKAN RUMAH: Milik Bukan 2. BAHN ATAP RUMAH: NipaNRumbia Seng/Genteng/Sirap
3. BAHAN DINDING RMH Papan Semen 4. BAHAN LANTAI: Tanah Semen Papan
Karakteristik Beda 'F-hltung Taraf Desa Prioritas Masyarakat Masyarakat Proporsi perbaikan Nyata (YO) di dalarn Luar Hutan (%) hutan
90.00 10.00
90.74 9.26
80.00 20.00
36.91 62.92
100.00 0.00
98.96 1.04
0.01 0.01
+ 43,09
- 42,92
16.34 16.34
Desa Simpang 1,6 (*3) Tiga Makmur (96,7% 1,6 berumah atap nipah
1.OO 1.OO
0,Oo 0,00 100,O
53,OO - 53,OO 128.13 18.42 - 18.42 108.33 0,OO + 100,O 321.97
Umum
4.433
3.583
Sendiri Sungai
9o.o\ 53
83.41 12,9 +- 82,5
5.MCK:
93,9 93,9
37,4 37,4
Semua desa di 0,0(*1: dalam hutan 0,O 100% rumah berlantai 0,O papan. Semua desa di 88,l dalam hutan
::/:\
o,l(zl
86,7-100% MCK di sungai.
Catatan: Taraf nyata tertinggi 0,0%
2.1.4. Karakteristik persepsi masyarakat terhadap HPHIHTI dan hutan
Persepsi merupakan hasil penafsiran atau pemaknaan terhadap suatu ha1 berdasarkan pengetahuanlinformasi yang dirniliki dan diperoleh dari pengalaman inderawi seseorang yang berlangsung melalui proses dalam rangka membuat kesimpulan atau memberikan makna terhadap stimulir yang diterima (Rahmat, 1994).
Pengertian persepsi masyarakat terhadap HPWHTI dan hutan berarti
memberikan penilaian terhadap keberadaan HPWHTI dan hutan berdasarkan pengalaman, pengetahuan dan wawasan yang dirniliki masyarakat. Penilaian yang dimaksud meliputi; keberadaan HPWHTI apakah mengganggu, berdampak positif atau negatif, cara pemanfaatan hasil hutan dan penggunaan hasil hutan kayu dan non kayu.
Tabel 28. Hasil uji statistik kriteria dan indikator persepsi masyarakat terhadap HPWHTI dan hutan KRITERIA dan INDIKATOR
Karakteristik Masyarakat Masyarakat dalam hutan Luar Hutan
Beda Proporsi
Fhitung
(%)
Taraf Nyata (94)
Desa Prioritas perbaikan
1. TERGANGGU DGN KEGIATAN W H :
Ya Tidak
2.89 7.17
16,4 5,5
0.12 3.23 11.64 1.55 0.42
74,9 14,7 2,7 *) 28,l 55,O
47.96 22.61 29.42
0.54 0.51 0.00
50,5 51,4 99,2
64.43 1.100 34.47
78.97 3.125 17.99
0.60 0.37 0.78
48,3 57,4 42,8
54.43 0.000 45.57
51.31 7.150 41.54
0.02 1.49 0.03
89,5 28,9 87,3
50.00 0.000 50.00
48.73 1.042 56.97
0.00 1.00 0.07
96,6 37,4 81,l
31.13 0.000 68.87
36.27 1.042 62.69
0.06 1.00 0.08
0.819 0.374 0.787
3.333 96.67
10.030 86.64
40.00 4.433 5.567 45.57 4.433
44.74 1.723 25.585 25.84 2.083
58.87 13.30 29.60
+ 10,Ol
2. DAMPAK HPH TERHADAP MASYARAKAT:
Positil Negatii (+)I(-) Tidak T a h ~ Tidak ada
+ 2,71
- 19,979
3. HUTAN OPEN ACCES
Bolehherhak Tidak boleh Tidak Jelasltah~ 4. AMBIL KAYU UTK KEB. SENDIRI : BolehBerhak Tidak Boleh Tidak Jelas/Tah~ 5 AMBIL KAYUUTK DIJUAL
BoleNBerhak Tidak BolelTidak JelasITahu 6. AMBIL NON KAYU UTK KEB. SENDIRI
BolehJBerhak Tidak Boleh Tidak JelasITah~ 7. AMBIL NON KAYU UTK DIJUAL:
BolehBerhak Tidak Boleh Tidak Jelas/Tahu
Pada Tabel 28. memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan di kedua kelompok masyarakat dalam ha1 persepsi masyarakat terhadap keberadaan perusahaan HPH dan HTI maupun
hutan kecuali pada jawaban pertanyaan
dampak HPH terhadap masyarakat sekitar yang menjawab berdampak positif dan negatif sebanyak 25 % bagi masyarakat di luar hutan sedangkan masyarakat di dalam hutan 5 %. Yang menarik bahwa kedua kelompok masyarakat sebagian
besar (90%) menyatakan masyarakat tidak merasa terganggu dengan keberadaan
HPWHTI. Adapun yang hams menjadi perhatian bersama ternyata sebagian besar masyarakat di kedua kelompok tersebut menganggap bahwa hutan dapat dimanfaatkan oleh siapapun dan berapapun (open acces), boleh mengambil kayu dan non kayu untuk keperluan sendiri maupun dijual. Dengan persepsi tersebut mengindikasikan bahwa keberadaan hutan rawa gambut di wilayah penelitian menjadi rawan terfragmentasi. 2.1.5. Karakteristik Kelembagaan Formal dan Non Formal
Ruttan (1981) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan (rules) yang dipergunakan untuk menata pola dalam tindak dan hubungan antar individu atau lembaga. Aturan yang ada dalam kelembagaan biasanya dipergunakan juga untuk menata aturan main dari pemain atau pelaku sebagai individu maupun organisasiorganisasi yang terlibat. Pengertian antara kelembagaan dan organisasi perlu dibedakan karena seperti halnya kelembagaan, organisasi juga menyediakan mekanisme yang mengatur hubungan antar individu tetapi tidak terlibat dalam menata aturan main. Aturan yang ada dalam organisasi ditujukan dalam rangka untuk memenangkan dalam permainan tersebut. Karena kelembagaan merupakan perangkat aturan yang menata organisasi maka dalam praktek pengelolaan hutan sangat diperlukan untuk menghindari konflik antar individu maupun organisasi. Dalam penelitian ini ingin diketahui sampai sejauh mana pengetahuan dan keterlibatan masyarakat di dalam dan diluar hutan dalam kelembagaan formal dan non formal yang berkembang di masyarakat Hasil penelitian menunjukan sebagian besar masyarakat di dalam dan diluar hutan berpendapat sama bahwa hngsi kelembagaan non formal tidak tahu, manfaat kelembagaan formal dan non formal tidak jelas, keberadaan kelembagaan non formal tidak tahu, kondisi kelembagaan formal dan non formal tidak jelas dan keterlibatan masyarakat dalam kelembagan non formal juga tidak ada. Kedua kelompok masyarakat tersebut sama-sama berpendapat bahwa yang berperanan dalam pengambilan keputusan di desa adalah pimpinan formal. Pada Tabel 29. disajikan kriteria dan indikator kelembagaan formal dan non formal.
Tabel 29. Kriteria dan indikator kelembagaan formal dan non formal Karakteristik Beda F-hitung Taraf Desa Nyata (YO) Prioritas Masyarakat Masyarakat Proporsi perbailcan dalam hutan Luar Hutan (%o)
KRITERIA dan INDIKATOR KEBERADAAN LEMBAGA FORMAL: ken amah^ Tidak KenaVTahu KEBERADAAN LRG NON FORMAL KenaVTaht Tidak KenaYTahur FUNGSI LEMBAGA FORMAL: ken an ah^ Tidak Tahu Tidak Jelas
FUNGSI LEMBAGA NON FORMAL: KenaVTahu Tidak T a h ~ Tidak Jelas MANFAAT LEMBAGA F O m : Ada Tidak ada Tidak Jelas MANFAAT LEMBAGA NON FORMAL: Ada Ti& ada Tidak Jelas KONDISI LEMBAGA FORMAL:
Aktil Pasif Tidak Jelas KONDISI LEMBAGA NON FORMAL: Aktif Pasif Tidak Jelas KETERLIBATN PADA LEMBAGA FORMAL: Ya Tidak KETERLIBATAN LBG NON FORMAL: Ya Tidak PERANAN DALAM KEPUTUSAN Musyawarah Pimpinar Tidak Jelas
- 36,52 + 22,86
6.49 5.30
24,4% responden 6,4 (*2) Simpang Tig 8,3 Jaya yang mengenal
41.38 58.29
77.9C 25.43
5.57 94.43
41 .OC 59.0C
3.67 3.67
12,s 12,8
32.51 20.0C 47.49
39.72 1.04 59.27
0.19 1.27 0.17
68,3 32,2 70,2
4.43 95.57 0.00C
40.88 58.08 1.042
4.30 4.31 1.OC
10,7 10,7 37,4
27.46 3.333 69.21
33.73 5.067 59.98
0.31 0.17 0.48
60,6 70,5 52,6
23.89 3.333 72.78
34.2C 0.000 65.79
0.17 1.OC 0.06
70,l 37,4 81,2
12.31 7.817 79.87
35.24 10.615 54.13
4.17 0.24 2.38
11,l 65,l 19,s
5,3 (*I) 57,6 7,5
2.23 2.233 95.53
44.35 -42,12 6.307 49.34 + 46,19
7.35 0.37 5.70
4.433 95.57
4.025 95.97
0.01 0.01
92,5 92,5
2.23 97.77
20.47 79.22
2.91 2.96
163 16,l
41.78 24.46 34.0C
43.73 16.47 39.8C
0.01 0.41 0.09
91,0 554 77,9
Catatan: Taraf nyata tertinggi 5,3%.
Pada Tabel 29 dapat dijelaskan bahwa ada perbedaan signifikan (taraf nyata 5,30%) dalam menilai kondisi kelembagaan.
Masyarakat desa di dalam
hutan sebagian besar (95 %) menjawab tidak tahu kondisi kelembagaan non formal di wilayahnya, sedangkan masyarakat desa di luar hutan hanya 49 % yang tidak tahu kondisi kelembagaan non formal dan 44 % menjawab bahwa kondisi kelembagaan non formal aktif. Hal ini menggambarkan bahwa kelembagaan non formal di desa dalam hutan tidak berkembang secara optimal dibanding di desa luar hutan. Dalam pencegahan kebakaran hutan rawa gambut diperlukan adanya upaya-upaya pengembangan kelembagaan baik formal maupun non formal. Termasuk dalam ha1 ini adalah upaya menyelaraskan kegiatan-kegiatan kedua jenis kelembagaan tersebut, ha1 ini sejalan dengan pendapat Soekmadi (1995). Berdasarkan hasil survai dan uji statistik ditemukan perbedaan yang signifikan antara masyarakat desa di dalam dan di luar hutan yaitu karakteristik jati diri, mata pencaharian dan kondisi tempat tinggal. Adapun karakteristik persepsi masyarakat terhadap keberadaan HPWHTI dan hutan serta kelembagaan formal maupun non formal menunjukan sikap yang relatif sama pada kedua kelompok masyarakat yang diteliti. Kondisi yang sangat mencolok perbedaannya di antara kedua kelompok masyarakat adalah pada matapencaharian utama dan kondisi tempat tinggal masyarakat. Dari data tersebut terlihat bahwa masyarakat di dalam hutan penghidupannya sangat tergantung pada sumberdaya hutan khususnya kayu dan ikan di dalam lebung atau genangan air di dalam kawasan hutan.
Sebaliknya bagi masyarakat di luar hutan tidak menggantungkan pada
hutan melainkan sangat tergantung pada usaha tani yang dikembangkannya. 2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga Secara umum beberapa karakteristik masyarakat yang rawan sebagai penyebab terjadinya kebakaran adalah tingkat pendapatan yang terkait dengan jenis mata pencaharian masyarakat.
ITTO (1999), mengemukakan bahwa
kebakaran hutan berkorelasi positif dengan jumlah penduduk tetapi sebaliknya berkorelasi negatif dengan tingkat pendidikan dan pendapatan.
Makin rendah
tingkat pendidikan dan pendapatan maka peluang kebakaran semakin tinggi dan pada akhirnya kebakaran hutan berdampak pada penurunan pendapatan
masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat di dalam dan di luar hutan yang pada umumnya hidup serba kekurangan apabila tidak ditunjang dengan peningkatan pendidikadpengetahuan dan kesadaran yang tinggi akan arti dan fbngsi hutan akan cenderung mendatangkan kerusakan bagi hutan yang pada akhirnya mempengaruhi kebakaran hut an. Karena tingkat pendapatan masyarakat merupakan variabel penting dalam kejadian kebakaran hutan maka dalam kajian ini ingin diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan bersih masyarakat. Hasil uji statistik dengan model persamaan regresi berganda yang dibantu dengan program software
Shazam K 7.0 maka diperoleh output Shazam (Lampiran 8) dengan model matematis sebagai penduga hngsi pendapatan sebagai berikut :
+ bl log(jmh anggota kel) + b2 log(jmh angg kerja) + b3 log (hasil usaha tani bersih ) + b4 log (hasil panen)
Log (Pendapatan total ) = b,
Log Y
=
2.086700 - 0.000003 log XI + 0.064169 log X2
+
0.849950 log X3 + 0.0003 15 log &
Keterangan : Y
=
Pendapatan total bersih rumah tangga (Rp)
X1
=
Jumlah anggota keluarga (orang)
X2 = Jumlah anggota yang bekerja (orang)
X3 = Hasil usaha tani bersih (Rp)
& Secara
=
Hasil panen (Kg) statistik,
model tersebut
cukup
dapat
diandalkan untuk
memprediksi respon pendapatan karena terlihat adanya peranan sangat nyata (pada P-val
=
0,000). Dari koefisien determinasi terlihat bahwa keempat variabel
bebas yang disertakan dalam mode1,mempunyai kemampuan memprediksi 82,67 % dari variasi respon pendapatan.
Dari output tersebut terlihat dua variabel bebas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan yang masing-masing memiliki P value
=
0,0000,
dan koefisien regresi yang relatif besar yaitu masing-masing 0,8499 dan 0,0003 untuk variabel hasil usaha tani bersih (elasticiq at mean = 0,8373) dan hasil panen
(elasticity at mean
=
0,0163). Dengan demikian dapat disimulasikan jika terjadi
peningkatan hasil usaha tani bersih 10 % maka pendapatan rumah tangga akan naik 8,49 % dan berikutnya jika hasil panen naik 10 % maka pendapatan diprediksi naik 0,003 153 %. Karena terjadi peningkatan pendapatan rumah tangga secara signifikan akibat kenaikan hasil panen berarti ada pengaruh signifikan atas usaha pertanian intensif. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa bertani intensif dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan.
Hasil survai ditemukan besarnya pendapatan
masyarakat di dalam hutan rata-rata Rp 5.323.915 per tahun atau Rp 443.659 per bulan (2 % berasal dari pertanian dan 98 % bukan pertanian), sedangkan masyarakat di luar hutan Rp 4.254.128 per tahun atau Rp 354.5 10 per bulan yang berasal dari pertanian 48 % dan 52 % bukan dari pertanian (Lampiran 13 dan 14). 2.3. Aktivitas masyarakat sekitar hutan yang mempengaruhi kebakaran
Faktor sosial ekonomi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sepenuhnya aktivitas manusia yang dikelompokan menjadi dua yaitu masyarakat di sekitar hutan (di dalam dan di luar hutan) dan perusahaan yang terlibat dalam kegiatan pengusahaan hutan (HPH). Faktor penentu kebakaran yang dimaksud merupakan variabel bebas yang diduga menjadi penyebab kebakaran hutan rawa gambut meliputi (1) harga hasil panen, (2) pendidikan, (3) luas lahan bertani, (4) pengeluaran rumah tangga, (5) pendapatan rumah tangga dan (6) dummy kegiatan masyarakat.
Yang dimaksud dummy kegiatan masyarakat adalah aktivitas
masyarakat yang bertani intensif diberi nilai satu karena dianggap sebagai kondisi yang permanen dalam kehidupan dan masyarakat yang membalak dan mencari ikan di dalam kawasan hutan diberi nilai no1 karena sifatnya temporer. Aktivitas manusia yang dimaksud adalah kebiasaan masyarakat di sekitar hutan yang erat hubungannya dengan kebakaran hutan dan terkait dengan pola hidup masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Cara mengambil hasil hutan kayu maupun non kayu seperti madu yang biasanya memerlukan api dan asap sebagai media untuk mengusir lebah dari sarangnya berpotensi sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan. Cara mengambil kayu dan ikan di lebung yang membutuhkan waktu di dalam hutan atau tinggal sementara (14 - 30 hari) di
kawasan hutan yang dalam kesehariannya menggunakan api untuk berbagai keperluan memasak maupun merokok yang pada akhirnya menimbulkan api liar. Kebiasaan masyarakat yang apabila beraktivitas di dalam kawasan hutan selalu merokok adalah ha1 yang menarik dalam tulisan ini karena setelah dilakukan percobaan di lapangan ternyata rokok menjadi sumber api liar sebagai pemicu kebakaran yang tidak terkendali. Pada Tabel 30 disajikan data mekanisme tejadinya sumber api liar yang berasal dari api rokok di lokasi penelitian Tabel 30. Hasil percobaan api rokok sebagai sumber api liar di lokasi penelitian -
rn KLB KAS
-
-
RESPON DARI ROKOK
Ii
PERLAKUAN SUD
Semak belukarlpakis
29
62
12
Teg Akasia umur 24 bl
31
63
77
Eks tebasltebang vegetasi
37
43
1
54 29
117
112 Api padam menit ke5
1 116 1 146 1 Api padam menit ke4 I Menit ke-3 pre-heating Menit ke-5 pyrolysis Menit ke-10 ignition Menit ke-18 flamming Menit ke-21 membakar
! I areal diameter 30 cm
Eks semprot herbisida
33
50
Menit ke-2 pre-heating
Menit ke-5 pyrolysis
Menit ke14 flammimg Menit ke-20 membakar areal diameter 36 cm -
-
Keteranaan :
- SUD : Suhu udara ; KLB : Kelembaban; KAS : Kadar air serasah; KAR : Kadar air ranting; KAL : Kadar air log; TBB : Tebal bahan bakar; TMA : Tinggi muka air
- Jenis rokok yang dipergunakan untuk percobaan adalah rokok kretek yang biasa dihisap pekerja lapangan - Posisi nyala rokok sudah mencapai lebih dari setengah batang kemudian di
lempar ke lantai hutan seperti cara pekerja membuang puntung rokok
- Percobaan dilakukan pada waktu kritis atau rawan kebakaran yaitu pada suhu udara mencapai puncaknya jam 12.00 - 14.00
- Kecepatan angin dalam kondisi normaVstabi1 (rata-rata 9 kmljam) - Kesimpulannya puntung rokok dapat menjadi pemicu kebakaran pada kondisi
rawan kebakaran pada : Suhu udara rata-rata sekitar
=
37OC
Kelembaban nisbi udara sekitar
=
43%
Kadar air serasah
=
53%
Kadar air ranting
=
33%
Kadar air cabang
=
10%
Tebal bahan bakar potensial
=
55 cm
Tinggi muka air (water ZeveZ)
=
155 cm
Pada Tabel 30 membuktikan
bahwa pada kondisi rawan kebakaran
ternyata puntung rokok dapat menjadi sumber api liar yang bisa menjalar dan membakar kesegala arah di lantai hutan dalam waktu 20 menit pada areal seluas 0.41 m2 atau untuk membakar satu meter persegi areal pasca semprot herbisida membutuhkan waktu 49 menit, sedangkan di areal yang telah ditebas atau ditebang perlu waktu 21 menit untuk membakar areal seluas 0,28 m2 atau 74 menit waktu yang diperlukan untu membakar satu m2. Areal yang telah disemprot dengan herbisida membutuhkan waktu yang relatif singkat untuk membakar luas areal yang sama dibanding areal yang telah dilakukan imasltebang manual. Jika dicermati data hasil pengukuran kadar air serasah dan kadar air ranting terlihat bahwa di areal yang disemprot herbisida menunjukan angka yang relatif rendah dibanding perlakuan lainnya. Hal ini berdampak pada kecepatan pre heating dan Jamming pada areal yang disemprot herbisida relatif lebih cepat dibanding areal pasca imasltebang. Yang menarik dari data tersebut adalah areal semak belukar yang didominasi tumbuhan bawah dan paku-pakuan ternyata tidak terbakar oleh puntung rokok karena setelah lima menit api puntung rokok padam dengan sendirinya. Jika dikaitkan dengan kadar air serasah yang mencapai 402 % diduga menjadi penyebab utama padarnnya api puntung rokok, walaupun kadar air ranting relatif rendah yaitu 12 % namun tidak mencapai ignition apalagi Jamming.
Kemungkinan karena ranting ukuran materialnya relatif lebih besar
dibanding serasah maka pre-heating dan pyrolysis terjadi tetapi tidak cukup untuk mencapai ignition. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa api puntung rokok tidak menjadi sumber api liar jika tidak ada aktivitas penyiapan lahan tanaman secara manual dan herbisida dan sebaliknya. Berdasarkan hasil percobaan tersebut mencerminkan bahwa tegakan akasia umur 24 bulan mampu menciptakan iklim mikro dengan kelembaban nisbi yang relatif tinggi dan suhu udara yang relatif rendah dibanding areal lainnya. Dampaknya ternyata api puntung rokok tidak mampu berkembang menjadi sumber api liar bahkan api puntung rokok padam dalam waktu empat menit atau satu menit lebih cepat dibanding di areal semak belukar. Untuk membuktikan kebiasaan merokok masyarakat yang bekerja di dalam hutan dapat dilihat dari data konsumsi rokok rata-rata bulanan bagi sebanyak 500 orang pekerjakaryawan PT SBA Wood Industries yaitu sebesar 2.321 bungkus rokok kretek yang berisi 12 batanghungkus dan tembakau 48 pak setara dengan 1440 batang maka dalam sebulan rata-rata menghabiskan 29.292 batang rokok atau 976 batang perhari atau 122 batang rokok yang dibakar per jam kej a (8 jam). Potensi api puntung rokok merupakan permasalahan tersendiri yang diduga kuat menjadi pemicu terjadinya kebakaran hut an. Karena aktivitas masyarakat sekitar hutan diduga merupakan variabel prediktor melalui kebiasaan merokok maupun pembakaran lahan untuk untuk memudahkan akses dalam nglebung yang menimbulkan api liar selama bekerja di hutan maka dalam kajian ini ingin diketahui variabel penentu yang mempengaruhi kebakaran hutan rawa gambut. Hasil uji statistik dengan model persamaan regresi logit berganda yang dibantu dengan program software Shazam K7.0 maka diperoleh output Shazam (Lampiran 11 ) . Berdasarkan output Shazam tersebut maka diperoleh model matematis sebagai penduga fungsi kebakaran hutan rawa gambut yaitu sebagai berikut :
+ bl Log (Harga hasil) + b2 Log (Pendidikan) + b3 Log (Luas lahan tani ) + b4 Log (Pengeluaran) + bs Log (Pendapatan) + br; Log (Dummy kegiatan masyarakat)
Peluang (kebakaran) = b,
LO^ (Y) =
b,
+ bl LogXl+ b2 LogX2 + b3 LogX3 + b4 Log%
+ bg Log %
+ bs LogXs
Log (Y) =- 12.421000 - 0.000076 Log XI + 0.000003 Log Xz + 0.000042 Log X3
+ 1.171800 Log & - 0.433490 Log X5 - 2.693300 Log & Keterangan :
Y
=
Nilai peluang kebakaran hutan rawa gambut dari faktor sosial ekonomi masyarakat atau Odd-ratio yaitu Pll-P (nilai Y berkisar antara 0 dan 1)
XI = Jumlah harga hasil bertani (Rp) X2 =
Tingkat pendidikan masyarakat (Tahun)
X3 =
Luas lahan usaha tani (Hektar)
;Yq = Jumlah pengeluaran rumah tangga (Rp)
X5
=
Jumlah pendapatan bersih rumah tangga (Rp)
;Yg = Dummy kegiatan masyarakat yang bertani (I) dan yang bekerja di hutan (0)
Secara prosedur statistik, model tersebut cukup dapat diandalkan untuk memprediksi respon kebakaran karena terlihat dari adanya peranan yang sangat nyata dari dua variabel bebas yaitu pengeluaran rumah tangga masyarakat sekitar hutan dan kegiatan masyarakat yang bekerja di dalam kawasan hutan yang mempengaruhi kebakaran hutan. Nilai koefisien determinasi terlihat bahwa keenam variabel bebas yang disertakan dalam model, ternyata variabel bebas mempunyai kemampuan memprediksi 92,25 % variasi respon kebakaran hutan. Dari output tersebut terlihat ada dua variabel bebas yang berkorelasi cukup erat seperti ditunjukan dengan nilai T-ratio > 1,6450 yaitu variabel pengeluaran rumah tangga T-ratio
=
3,0616 dan kegiatan masyarakat T-ratio
=
-1,8055,
sedangkan koefisien regresinya masing-masing + 1,1718 dan -2,6933. Dengan demikian dapat disimulasikan jika terjadi peningkatan pengeluaran rumah tangga masyarakat sebesar 10 % maka peluang kebakaran hutan akan naik 11,72 % dan berikutnya jumlah masyarakat yang bekerja di lahan pertanian naik 10 % maka peluang terjadinya kebakaran diprediksi turun sebesar 26,93 % dan sebaliknya makin banyak masyarakat yang bekerja di dalam kawasan hutan maka peluang kebakaran hutan meningkat. Pengeluaran rumah tangga yang tinggi dapat meningkatkan peluang terjadinya kebakaran hutan karena hasil wawancara di lapangan ternyata pengeluaran yang tinggi tidak diimbangi dengan pendapatan maka menjadi salah satu faktor pendorong bagi masyarakat sekitar hutan untuk mengambil keputusan
memasuki kawasan hutan dengan harapan dapat memperoleh pendapatan secara cepat dari hasil penjualan kayu (membalak) maupun hasil penjualan dari tangkapan ikan di lebung khususnya pada musim kemarau. Berdasarkan hasil uji statistik tersebut ternyata besarnya pengeluaran rumah tangga masyarakat berkorelasi positif terhadap peluang terjadinya kebakaran hutan. Hal ini mencerminkan bahwa tingkat pengeluaran masyarakat yang tinggi dapat menyebabkan peluang terjadinya kebakaran semakin tinggi pula.
Pengeluaran total rumah tangga rata-rata tahunan masyarakat di dalam
hutan yang relatif tinggi sebesar Rp 8.434.483lthn (68 % untuk bahan pangan dan 7 % membeli rokok), sedangkan di luar hutan sebesar Rp 5.573.951lthn dimana 6 1 % untuk bahan pangan dan 7 % membeli rokok (Lampiran 15 dan 16). Berdasarkan hasil perhitungan predicted value (Lampiran 20) ternyata dengan keragaan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang demikian menyebabkan peluang kebakaran di areal masyarakat di dalam hutan sebesar 88,66 % dan 14,42 % di luar hutan. Hal ini memberikan informasi bahwa aktivitas masyarakat pada
musim kemarau di dalam kawasan hutan meningkatkan peluang kebakaran dan sebaliknya kegiatan bertani secara intensif dapat menurunkan peluang terjadinya kebakaran hutan rawa gambut. Jika dilihat dari hasil uji statistik kriteria dan indikator mata pencaharian masyarakat (Tabel 26), maka dapat dikemukakan bahwa masyarakat di luar hutan yang sebagian besar bertani secara intensif tidak membutuhkan lahan yang luas dan menetap di suatu tempat yang tidak jauh dari tempat tinggal sehingga jika suatu ketika sengaja membakar lahan usaha taninya untuk membuka lahannya maka api relatif lebih terkendali. Hal ini juga dilakukan oleh masyarakat Suku Kantu di Kalimantan Barat yang melakukan pembakaran untuk mengubah tumbuhan yang ditebas dan ditebang menjadi abu dan mematikan pohan lain yang sulit ditebang. Pembakaran tersebut relatif aman karena mereka memiliki kearifan tradisional yaitu menggunakan sekat bakar yang dikenal dengan pemutus api di antara ladang dan hutan. Hasil studi kasus pembakaran lainnya di Kulit Tuba selama tahun 1974
-
1976, dari 69 kasus pembakaran ternyata perambatan api
keluar dari areal ladang hanya terjadi maksimal sejauh 4 - 5 meter (Dove, 1990).
Pembakaran hutan secara tidak terkendali biasanya berawal dari api kecil di suatu lahan atau kawasan hutan yang didalamnya banyak aktivitas manusia pada musim kemarau yang rawan kebakaran. Jika diperhatikan pada masyarakat di dalam hutan yang pola matapencahariannya non usaha tani tetapi membalak dan mencari ikan pada musim kemarau (nglebung) di dalam kawasan hutan maka aktivitas tersebut tetap memberi peluang yang besar terjadinya kebakaran hutan. Faktor jumlah penduduk yang beraktivitas di dalam kawasan hutan erat kaitannya dengan mobilitas penduduk dan daya dukung sumberdaya hutan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya.
Semakin besar jumlah penduduk yang
beraktivitas di dalam kawasan hutan maka makin besar pula ruang yang diperlukan untuk menopang kehidupannya. Apabila musim kemarau panjang maka kondisi demikian menjadi sumber masalah terjadinya kebakaran hutan. Persoalannya adalah sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat yang masuk ke kawasan hutan tidak cukup dalam waktu yang relatif singkat (1-3 hari) tetapi hasil wawancara dengan responden ternyata perlu waktu sekitar dua minggu sampai satu bulan tinggal di dalam hutan. Konsekuensinya maka masyarakat hams menyiapkan bahan makanan dan rokok selama tinggal di dalam hutan. Oleh karena itu, masyarakat tentu menggunakan api untuk memasak dan merokok selama aktivitas di dalam hutan. Hal ini dapat dilihat dari besarnya pengeluaran rata-rata untuk membeli rokok sebesar Rp 602.012hahun bagi masyarakat di dalam hutan, sedangkan masyarakat di luar hutan Rp 366.835lthn (Lampiran 15 dan 16). Karena aktivitas tersebut dilakukan pada musim kemarau maka api untuk memasak dan api puntung rokok menjadi sumber api liar yang dapat memicu terjadinya kebakaran hutan (Tabel 30). Kegiatan masyarakat yang beraktivitas membalak dan mencari ikan di lebung maupun sebagai karyawan atau tenaga borongan perusahaan pemegang ijin
HPWHTI, kemudian dianalisis menggunakan metode dummy variabel yang hasilnya ternyata berkorelasi negatif. Data tersebut menggambarkan jika jumlah masyarakat yang bekerja di dalam hutan semakin banyak maka peluang kebakaran menjadi semakin meningkat dan sebaliknya. Hal ini menjadi semakin jelas bahwa keberadaan masyarakat yang beraktivitas di dalam kawasan hutan pada musim kemarau menyebabkan terjadinya kebakaran.
Tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga dapat dilihat dari besarnya pengeluaran per kapita. Rumah tangga yang pengeluaran per kapita per tahun di bawah nilai uang setara 320 kg beras dinyatakan tingkat kesejahteraannya berada di bawah garis kemiskinan dan sebaliknya jika jumlah pengeluarannya diatasnya dinyatakan tingkat kesejahteraannya berada dibawah garis kemiskinan (Sajogyo, 1977). Berdasarkan survai terhadap rumah tangga responden masyarakat di dalam hut an, ternyata tingkat kesejahteraannya masih di atas garis kemiskinan (468 kg beras per kapita per tahun dengan rata-rata satu rumah tangga terdiri dari lima orang), sedangkan masyarakat di luar hutan pengeluaran per kapita setara dengan 361 kg beras per kapita per tahun sehingga masih di atas garis kemiskinan. Namun knteria kemiskinan menurut Sajogyo sudah jarang digunakan lagi karena kriteria tersebut pada dasarnya bertumpu pada pengeluaran setara beras yang sampai saat ini masih disubsidi oleh pemerintah, sehingga hasilnya cenderung lebih rendah (under estimate).
Alternatifhya adalah menggunakan
kriteria World Bank yaitu US $ 2 per hari, dengan asumsi Rp 8.500 per dollar maka setara dengan Rp 6.205.000 per tahun.
Dengan demikian maka jumlah
pendapatan masyarakat di dalam dan di luar hutan masih lebih kecil dibanding dengan knteria World Bank sehingga tergolong miskin. Oleh karena itu menjadi wajar jika masyarakat merambah ke dalam kawasan hutan untuk menutupi segala kekurangannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Terjadinya perambahan hutan juga disebabkan karena pendapatan rumah tangga khususnya masyarakat di dalam hutan mengalamai defisit pengeluaran yang relatif besar (Rp 3,1 juta per tahun) dibanding masyarakat di luar hutan. Jurnlah pengeluaran dan pendapatan masyarakat sekitar hutan disajikan pada Tabel 3 1 berikut ini. Tabel 3 1. Pendapatan dan pengeluaran masyarakat sekitar hutan Uraian
Masyarakat di dalam hutan
Masyarakat di luar hutan
Pengeluaran per tahun
Rp 8.434.483
Rp 5.573.951
Pendapatan per tahun
Rp 5.323.915
Rp 4.254.128
Defisit per tahun
Rp 3.110.568
Rp 1.319.823
2.4. Model prediksi kebakaran hutan rawa gambut faktor sosial ekonomi 2.4.1. Model prediksi kebakaran hutan rawa gambut dari tujuh variabel aktivitas perusahaan pemegang HPH dan masyarakat sekitar hutan Berdasarkan output program software SPSS V . 9.0 (Lampiran 10) yang menghubungkan peluang terjadinya kebakaran dengan tujuh variabel dari aktivitas perusahaan pemegang HPH dan masyarakat sekitar hutan maka diperoleh model matematis sebagai penduga hngsi kebakaran hutan rawa gambut dari faktor sosial ekonomi yaitu sebagai berikut : Peluang (kebakaran) = - 2.06050000 - 0.000044001og (jarak kanallrel)
+ 0.00001620 log (jarak jalan) + 0.00006220 log (jarak lahan tani) + 0.54050000 log (HPH) + 0.00000005 log (pendapatan) + 0.00000004 log (pengeluaran) - 0.34320000 log (luas lahan tani) Log (Y) = - 2.06050000 - 0.00004400 log XI + 0.00001620 log X2 + 0.00006220 log X3 + 0.54050000 log & + 0.00000005 log X5+ 0.00000004 log )(6
- 4320000 log X7 Keterangan :
Y
=
Nilai peluang kebakaran hutan rawa gambut dari faktor sosial ekonomi atau Odd-ratio yaitu P/l-P (nilai Y berkisar antara 0 dan 1)
XI = Jarak kanallrel (meter)
XZ= Jarak jalan (meter) X3 =
Jarak lahan tani (meter)
& = Lokasi HPH X5 = Pendapatan (Rupiahltahun)
&
=
Pengeluaran (Rupiahltahun)
X7
=
Luas lahan pertanian (hektar) Secara statistik model tersebut cukup dapat diandalkan untuk memprediksi
respon kebakaran karena terlihat dari adanya pengaruh yang nyata (taraf nyata < 5%) yaitu variabel jarak kanaVrel (Sign = 0,0301) dan jarak lahan tani (Sign.
=
0,0467) dalam menjelaskan kebakaran. Koefisien determinasi ternyata variabel bebas mempunyai kemampuan memprediksi 74,09 % dari variasi respon kebakaran. Peta model disajikan Gambar 36.
2.4.2. Model prediksi kebakaran hutan rawa gambut dua variabel penentu Berdasarkan output program software SPSS V.9.0 (Lampiran 11) yang menghubungkan peluang terjadinya kebakaran hutan rawa gambut dengan dua variabel faktor sosial ekonomi penentu maka diperoleh model matematis sebagai penduga hngsi kebakaran hutan dari faktor sosial ekonomi yaitu sebagai berikut : Peluang (kebakaran) = - 1.045000 - 0.000045 log (jarak kanal)
+ 0.000075 log (jarak lahan tani) Log (Y)
=
- 1.045000 - 0.000045 log XI + 0.000075 log X2
Keterangan : Y
=
Nilai peluang kebakaran hutan rawa gambut dari dua variable penentu atau Odd-ratio yaitu Pll-P (nilai Y berkisar antara 0 dan 1)
XI = Jarak kanaVrel (meter) X2 = Jarak lahan tani (meter) Secara statistik model tersebut cukup dapat diandalkan untuk memprediksi respon kebakaran karena terlihat dari adanya peranan yang nyata (pada taraf nyata < 1 %) yaitu variabel jarak kanaVrel dan jarak lahan tani dalam menjelaskan kebakaran. Dari koefisien determinasi terlihat bahwa kedua variabel bebas yang disertakan dalam model, ternyata variabel bebas mempunyai kemampuan memprediksi 74,09 % dari variasi respon kebakaran. Variabel bebas yang berpengaruh nyata yang berkorelasi positif yaitu jarak lahan tani yang dapat dilihat pada Sign. = 0,0068 dan R yang relatif besar 1,0001. Varibel faktor sosial ekonomi lainnya yang nyata pengaruhnya terhadap kebakaran hutan rawa gambut adalah jarak kanaVrel pada Sign. = 0,0095 dan R yang relatif besar 1,0000 yang berkorelasi negatif. Berdasarkan model persamaan matematik tersebut menggambarkan bahwa keberadaan perusahaan HPH yang membangun kandrel di ekosistem hutan rawa gambut ditinjau dari aspek kebakaran menjadi salah satu faktor penyebab karena makin dekat dengan kanaVrel ternyata makin tinggi peluang terjadinya kebakaran atau dengan perkataan lain makin jauh kanaVrel relatif aman kebakaran.
Kana1 yang dibuat perusahaan merupakan tipe kanal terbuka yang befingi sebagai sarana untuk mengeluarkan kayu bulat sehingga keberadaannya membuat terjadinya pengeluaran air gambut yang berlebih (overdrained) dan pada akhirnya daerah-daerah di sekitar kanal menjadi mengering.
Hal ini mengindikasikan
bahwa kanal mengakibatkan penurunan kadar air bahan bakar potensial di sekitarnya yang menyebabkan peluang terjadinya kebakaran hutan semakin meningkat.
Disamping itu, kanal juga berfbngsi sebagai sarana transportasi
sehingga semakin meningkatkan akses bagi masyarakat sekitar hutan maupun karyawan perusahaan memasuki kawasan hutan yang apabila terjadi pada musim kemarau akan meningkatkan peluang kebakaran. Kontribusi perusahaan pemegang HPH yang membangun kanaVrel sebagai sarana pengeluaran kayu hingga tahun 1997 ternyata berperanan cukup signifikan dalam terjadinya kebakaran huta rawa gambut di lokasi penelitian. Hal ini dapat dimengerti karena dampak kegiatan HPH menyebabkan aksesisibilitas menjadi semakin terbuka sehingga aktivitas masyarakat baik karyawan perusahaan maupun masyarakat sekitar hutan lebih mudah memasuki kawasan hutan. Hasil kajian sebelumnya ternyata makin banyak masyarakat yang beraktivitas di dalam kawasan hutan maka peluang kebakaran hutan rawa gambut semakin meningkat. Terhadap variabel jarak lahan tani yang berkorelasi positif dapat diterangkan bahwa semakin jauh ternyata peluang kebakaran hutan rawa gambut semakin tinggi. Temuan ini mengindikasikan bahwa kegiatan pertanian intensif tidak menyebabkan terjadinya kebakaran hutan, ha1 ini terbukti dari hasil uji statistik spasial yang menunjukan peluang kebakaran terendah justeru pada daerah-daerah yang ada aktivitas masyarakat yang bertani.
Sebaliknya peluang
kebakaran hutan rawa gambut justeru semakin meningkat pada daerah-daerah yang semakin jauh ( > 39 km) dari lahan intensifikasi pertanian. Kasus ini terjadi karena ada kebiasaan masyarakat sekitar hutan pada musim kemarau untuk menambah pendapatannya yaitu nglebung dan membalak. Model prediksi kebakaran hutan rawa gambut dari dua variabel penentu faktor sosial ekonomi disajikan pada gambar 37.
3. Model prediksi kebakaran hutan rawa gambut
Untuk menemukan variabel penentu terjadinya kebakaran hutan rawa gambut secara konseptual dengan pendekatan sistem maka dilakukan analisis spasial statistik yang menggabungkan variabel faktor biofisik dan sosial ekonomi yang hasilnya disajikan pada output program software SPSS K9.0 (Lampiran 12) maka diperoleh model matematis sebagai penduga fbngsi kebakaran hutan rawa gambut dari faktor lingkungan sebagai berikut : Peluang (kebakaran) = -1.604300 - 0.000027 log (jarak kanaVre1)
+ 0.000059 log (jarak lahan tani) + 0.000100 log (jarak sungai) Log (Y) = - 1.604300 - 0.000027 log XI + 0.000059 log X2 + 0.000100 log X3 Keterangan : Y
=
Nilai peluang kebakaran hutan rawa gambut atau Odd-ratio yaitu P/1-P (nilai Y berkisar antara 0 dan 1)
XI
=
Jarak kanaVrel (meter)
X2
=
Jarak lahan tani (meter)
X3
=
Jarak sungai (meter) Secara statistik model tersebut cukup dapat diandalkan untuk memprediksi
respon kebakaran karena terlihat dari adanya peranan yang nyata (pada taraf nyata < 5%) yaitu variabel jarak lahan tani dan jarak sungai serta taraf nyata < 15 % variabel jarak kanaVrel dalam menjelaskan kebakaran. Dari koefisien determinasi terlihat bahwa ketiga variabel bebas yang disertakan dalam model, ternyata variabel bebas mempunyai kemampuan memprediksi 7 1,50 % dari variasi respon kebakaran. Dua variabel bebas yang berpengaruh nyata yang berkorelasi positif yaitu jarak lahan tani yang dapat dilihat pada Sign. = 0,0436 dan R yang relatif besar 1,0001 dan variabel jarak sungai pada Sign.
=
0,0502 dan R yang relatif besar
1,0001. Variabel lainnya yaitu jarak kanaVrel ternyata tidak berpengaruh signifikan pada selang kepercayaan < 5 % dengan koefisien determinasi ( R ~ )yang relatif kecil yaitu 0,0130 sehingga tidak dipilih sebagai variabel penentu kebakaran hutan rawa gambut. Peta model prediksi kebakaran hutan rawa gambut disajikan pada Gambar 38.
Berdasarkan hasil analisis gabungan faktor biofisik dan sosial ekonomi maka ditemukan faktor penentu yang meningkatkan peluang kebakaran hutan rawa gambut yaitu aktivitas masyarakat baik yang terlibat dengan perusahaan
HPH maupun kebiasaan masyarakat sekitar pada setiap musim kemarau yaitu membalak dan nglebung. Keberadaan sungai dan lahan intensifikasi pertanian tidak menyebabkan terjadinya kebakaran hutan, justeru peluang terjadinya kebakaran hutan rawa gambut di lokasi tersebut paling rendah.
Hal ini
menggambarkan bahwa keberadaan sungai dan lahan intensifikasi pertanian ternyata dapat dijadikan sebagai alternatif untuk menurunkan peluang tejadinya kebakaran hutan rawa gambut di lokasi penelitian. Berdasarkan temuan tersebut maka dapat dibuat pencegahan kebakaran hutan rawa gambut yang merujuk pada dua variabel penentu tersebut yang telah disertakan dalam model prediksi. Agar supaya lebih memperkuat keyakinan dalam mengambil kesimpulan tentang pemilihan model prediksi maka langkah terakhir analisis yaitu melakukan validasi model dengan membandingkan antara fakta lokasi kebakaran yang telah ditampilkan dalam peta dengan nilai-nilai pada model terbaik yang diambil secara acak. 4. Validasi Model
Dalam proses untuk menguji validasi model prediksi yang telah ditemukan dilakukan dengan bantuan program soitware ArcView GIs V. 3.2. untuk mengambil sampel lokasi kebakaran dan nilai-nilai dalam model terpilih. Selanjutnya nilai-nilai tersebut dibandingkan melalui uji statistik dengan analisis keragaman dengan bantuan program s o f ~ a r eSPSS 9 yang hasilnya adalah : Hasil uji validasi model menggunakan Software SPSS 9 Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
1.047 12.868 13.915
df 4 66 70
Mean Square .262 .I95
F 1.343
Sig. .264
Pada output SPSS tersebut telah terbukti bahwa antara kedua sampel ternyata menunjukan tidak berbeda nyata (taraf nyata > 26%) sehingga dapat disimpulkan bahwa model tersebut valid.
5. Perumusan Pencegahan Kebakaran Hutan Rawa Gambut Pencegahan kebakaran hutan merupakan bentuk usaha, tindakan atau kegiatan lainnya yang dilakukan dalam rangka mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Pencegahan kebakaran hutan sebagai salah satu komponen utama dalam pengendalian kebakaran hutan yang mencakup semua cara untuk mengurangi atau meminimalkan peluang terjadinya kebakaran tidak terkendali yang biasanya berlanjut menjadi kebakaran hutan. Pencegahan kebakaran hutan dapat dipandang sebagai kegiatan yang sangat penting dibandingkan dengan komponen pengendalian kebakaran lainnya diantaranya pemadaman kebakaran karena dalam kenyataan di lapangan ternyata kebakaran hutan khususnya di rawa gambut sangat sulit dipadamkan atau dikendalikan sehingga kebakaran hutan hanya dapat ditanggulangi dengan turunnya hujan. Artinya upaya manusia untuk memadamkan api kebakaran ternyata tidak cukup efektif dibanding datangnya hujan. Seringkali pencegahan kebakaran hutan merupakan cara yang lebih ekonomis untuk mengendalikan kebakaran dan sekaligus dapat mengurangi kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran tanpa hams menggunakan peralatan yang relatif mahal. Oleh karena itu, jika cara pencegahan kebakaran hutan dapat dimplementasikan secara efektif di lapangan maka terjadinya kebakaran dapat dihindari atau minimal dampak negatif akibat kebakaran hutan dapat dieliminir. Sasaran pencegahan kebakaran hutan adalah terhindarnya bersatunya bahan bakar potensial yang terdapat di alam (biofisik) dengan sumber api liar dari aktivitas manusia sehingga kebakaran hutan tidak terjadi, sedangkan pemadaman kebakaran adalah upaya pengendalian api liar yang telah terjadi untuk dipadamkan. Prinsip-prinsip pencegahan kebakaran hutan adalah (1) pengurangan bahan bakar potensial yaitu mengurangi kemudahan bahan bakar untuk menyala vuel Parnrnabilzty) dan (2) pengurangan sumber api (risk reduction) yaitu mengurangi kemunglunan pengguna api yang menimbulkan kebakaran (Husaeni, 1999). Dengan demikian maka dalam pencegahan kebakaran hutan selalu terkait dengan sumber api dan bahan bakar di lapangan yang bersifat dinamis dan bervariasi
menurut waktu, tempat dan kondisinya yang memungkinkan bersatunya sumber api dengan bahan bakar tersebut. Berdasarkan hasil analisis statistik spasial yang menggabungkan faktor biofisik dan faktor sosial ekonomi maka ditemukan model persamaan matematik yaitu sebagai berikut : Log (Y)
=
-1.604300 - 0.000027 log XI + 0.000059 log X2 + 0.000100 log X3
Faktor penentu terjadinya kebakaran hutan rawa gambut yaitu jarak sungai dan jarak lahan tani masing-masing berkorelasi positif yang berarti makin jauh jarak sungai dann lahan tani maka peluang kebakaran meningkat. Faktor penentu tersebut merupakan variabel yang dipakai sebagai dasar dalam perumusan pencegahan kebakaran hutan rawa gambut. Berdasarkan model prediksi kebakaran secara spasial menunjukkan bahwa daerah di sekitar sungai ternyata peluang terjadinya kebakaran paling rendah. Oleh karena itu, sungai dapat dipilih sebagai salah satu komponen pencegahan kebakaran hutan dalam bentuk kegiatan bagi masyarakat yang bersifat produktif sehingga dapat meningkatkan pendapatan bagi masyarakat sekitar hutan. Waktu pelaksanaan kegiatan masyarakat yang dimaksud dilakukan pada musim kemarau sehingga masyarakat tidak tersebar di dalam kawasan hutan (perambahan) yang diprediksi dapat menimbulkan api liar sebagai pernicu terjadinya kebakaran hutan rawa gambut . Pada peta tipe tanah (Gambar 17) ternyata jenis tanah di sekitar sungai bukan tanah gambut melainkan tanah mineral yang banyak mengandung mineral yang berasal dari aliran sungai. Jenis tanah mineral bukan termasuk bahan bakar, sedangkan tanah gambut merupakan bahan bakar potensial. Dengan demikian maka pada lokasi yang jauh dari sungai (> 39 km) tergolong rawan kebakaran karena merupakan tanah gambut. Keterkaitan antara peluang kebakaran hutan rawa dengan jarak lahan tani yang berkorelasi positif menunjukan bahwa peluang kebakaran justeru berada pada lokasi yang jauh (> 39 km) dari lahan tani. Hal ini dapat memberikan indikasi bahwa pola usaha tani menetap dalam bentuk intensifikasi dapat dijadikan salah satu alternatif
pencegahan kebakaran hutan rawa gambut.
Disamping itu, intensifikasi pertanian dapat menciptakan peluang usaha dan
kesempatan kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan sehingga pada musim kemarau masyarakat tidak masuk kedalam kawasan hutan. Dengan dernikian maka ketergantungan masyarakat sekitar hutan terhadap sumberdaya hutan dapat ditekan sehingga masyarakat sekitar hutan tidak lagi tertarik untuk memasuki kawasan hutan. Jika masyarakat lebih banyak yang melaksanakan usaha tani menetap maka jumlah masyarakat yang memanfaatkan hutan menjadi lebih sedikit dan peluang munculnya sumber api liar sebagai pemicu kebakaran dapat diperkecil. Keterkaitan antara terjadinya kebakaran hutan rawa gambut dengan keberadaan masyarakat di dalam kawasan hutan dapat dikaji dari kebiasaan masyarakat yang merokok selama aktivitas di dalam hutan. Hasil pengamatan sumber api liar yang berasal dari api puntung rokok yang dilakukan di areal bekas dilakukan imas tebang dan disemprot herbisida membuktikan bahwa pada menit ke 10 ternyata sudah terbentuk nyala api pertama (ignition) dan menit ke 14 sudah menjadi api liar warning). Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat sekitar hutan ternyata pengeluaran rata-rata untuk rokok per tahun sebesar Rp 555.189 atau Rp 46.266 per bulan atau Rp 1.542 per hari, sedangkan jumlah rokok pekerja HPWHTI yang dihisap per hari sebanyak 976 batang. Data tersebut membuktikan bahwa api puntung rokok menjadi pemicu terjadinya sumber api yang berasal dari masyarakat yang beraktivitas di dalam kawasan hutan. Pola usaha tani menetap yang dapat dikembangkan meliputi kegiatan campuran pertanian dengan perikanan, peternakan dan kehutanan atau disebut
agroforestry. Perikanan merupakan potensi sumberdaya alam yang masih perlu dikembangkan lagi melalui kombinasi perikanan tangkap dengan budidaya sesuai dengan jenis setempat yang mempunyai nilai pasar yang relatif tinggi misalnya ikan toman dan belida.
Disamping itu, kombinasi pertanian, kehutanan dan
peternakan merupakan alternatif yang dapat dikembangkan karena ketersediaan makanan ternak relatif banyak.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan 1. Terjadi korelasi positif antara faktor biofisik variabel jarak sungai dengan kebakaran hutan rawa gambut dengan model persamaan matematik : Log (Y)
=
- 1,7031 + 0,0020 log X, dengan koefisien determinasi (R') sebesar
72,02 %. semakin meningkat jarak dari sungai maka peluang kebakaran juga semakin tinggi. Hubungan regresi log antara peluang kebakaran hutan rawa gambut sebagai variabel tidak bebas (Y) dengan jarak sungai sebagai variabel bebas (X) menghasilkan nilai peluang kebakaran hutan rawa gambut dari variabel jarak sungai atau Odd-ratio = Pll-P (nilai Y berkisar antara 0 dan 1) tertinggi sebesar - 1,6820 pada jarak sungai (S.Riding) terdekat > 18 km. 2. Faktor sosial ekonomi dari aktivitas masyarakat sekitar hutan yang berpengaruh nyata terhadap kebakaran hutan rawa gambut dengan korelasi positif adalah jumlah pengeluaran rumah tangga masyarakat dan kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan. Pengeluaran masyarakat di dalam kawasan hutan rata-rata per tahun sebesar Rp 8.434.483, sedangkan di luar kawasan hutan per tahun sebesar Rp 5.573.951. Makin tinggi jumlah pengeluaran rumah tangga akibat tidak diimbangi dengan jumlah pendapatan (defisit) ternyata peluang kebakaran hutan meningkat. Pendapatan masyarakat di dalam hutan rata-rata per tahun Rp 5.323.915 (2 % berasal dari pertanian dan 98 % bukan pertanian), sedangkan masyarakat di luar hutan Rp 4.254.128 per tahun yang berasal dari pertanian 48 % dan 52 % bukan dari pertanian. Semakin banyak masyarakat yang bertani di lahan intensifikasi pertanian ternyata menunjukan peluang kebakaran hutan rawa gambut yang relatif kecil yaitu sebesar 14,42 % dibanding peluang kebakaran jika kegiatan masyarakat berada di dalam kawasan hutan yaitu 88,66 %. 3. Faktor sosial ekonomi dari aktivitas perusahaan HPH dan masyarakat sekitar hutan yang berpengaruh nyata terhadap kebakaran hutan rawa gambut adalah jarak lahan tani dan jarak kanaVrel dengan model persamaan matematik :