FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS KARET PERKEBUNAN RAKYAT Kasus Perkebunan Rakyat di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung
SKRIPSI
WIYANTO H34051738
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 i
ABSTRACT This research compared rubber quality between smallholder rubber farmers in rubber development program village and non-program village. The objectives of the research were to describe the socioeconomic characteristics of the farmers, describe the rubber farm conditions, identify cause of low-quality rubber, identify farmer’s efforts to increase rubber quality, to describe and to test relationship between socioeconomic characteristics of the farmers, technical factors, and rubber quality among them, and to analyze the net increase of farmer income after use of rubber quality improvement technology. Data for the research were generated from 64 respondents randomly (stratified cluster sampling) from three villages; one village was rubber development program village and two else were non-program villages. Descriptive statistics, qualitative analysis and binary logistic regression model were used in analysing the data. The empirical data showed that majority of farmers were over 40 years: 54.69 percent were middle age (40-60 years) and 31.25 percent were old age (over 60 years). Findings revealed that majority of farmers (93.75 percent) cultivated their rubber plantation by intercropping system. The result of analysis showed that smallholder rubber farmers in rubber development program village produced lower grade rubber (average 6.13) than rubber farmers in non-program village (average 6.98). The cause of that was the use of additive coagulant such as extract of Gadung tuber (Dioscorea hispida Dennst). The identification result suggest that the causes of low-quality rubber were the use of coagulant other than formic acid and existence of contaminants such as wood shavings (tatal), leafs and black dry rubber in coagulump. The empirical result revealed that majority of farmers did efforts to increase rubber quality such as cleaning of collecting pans periodic (57,81 percent), keeping of coagulump from contaminants (57,81 percent), but just a little farmer used trained tappers (32,81 percent), cleaning of collecting cups before tapping(28,12 percent ), dissociating types of coagulump (9,38 percent). There were no farmers using of formic acid as coagulant. The qualitative analysis indicated relationship between membership of farmer institution and soscial acivities, education, family income, family size, farm size, use of TSP as coagulant and rubber quality. The binary logistic regression model revealed relationship between age, education (negative relationship), family size, membership of farmer institution, familu size, (positive relationship) and rubber quality at 20 percent probability level. The partial budgets analysis proved that use of formic acid as coagulant was profitable in program village and non-program village, but there were no farmers using of formic acid as coagulant because it was scarce (difficult to find).
ii
RINGKASAN WIYANTO. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet Perkebunan Rakyat (Kasus Perkebunan Rakyat di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. (Di bawah Bimbingan NUNUNG KUSNADI) Penelitian ini membandingkan kualitas karet antara desa program pengembangan karet dan desa non program pengembangan karet. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan karakteristik usahatani dan sosial ekonomi petani karet, mengidentifikasi penyebab rendahnya kualitas karet di tingkat petani, mengidentifikasi usaha-usaha yang dilakukan petani untuk meningkatkan kualitas karet yang diproduksinya, menganalisis hubungan antara karakteristik sosial ekonomi, faktor teknis dan kualitas karet, serta menganalisis peningkatan keuntungan usahatani karet karena adanya upaya peningkatan kualitas karet khususnya penggunaan asam semut sebagai pembeku lateks. Penelitian ini dilaksanakan di tiga desa di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Data primer dikumpulkan dari 64 responden petani karet yang dipilih secara random (stratified cluster sampling). Waktu pengambilan data primer dilaksakan pada bulan April hingga Mei 2009. Statistik deskriptif, analisis kualitatif berupa teknik analisis domain dan teknik analisis taksonomik, serta model regresi logistik biner digunakan dalam menganalisis data penitian ini. Data empiris menunjukan bahwa mayoritas petani karet di daerah penelitian berusia lebih dari 40 tahun. Sebannyak 54.69 persen petani termasuk dalam usia dewasa madya (40-60 tahun) dan 31.25 persen termasuk dewasa lanjut (lebih dari 60 tahun). Dari sisi usahataninya, petani karet di daerah penelitian mayoritas (93.75 persen) melakukan penanaman karetnya dengan sistem tumpang sari. Tanaman tumpang sari yang banyak digunakan adalah singkong. Perbandingan kualitas menunjukan bahwa kualitas karet yang diproduksi petani di desa program lebih rendah dibandingkan kualitas karet di desa non program. Salah satu penyebab lebih rendahnya kualitas karet petani di desa program adalah penggunaan pembeku tambahan di samping pembeku utama yaitu air ekstrak umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst). Secara umum, penyebab rendahnya kualitas karet di tingkat petani adalah penggunaan pembeku selain pembeku terbaik dan dianjurkan lembaga penelitian karet yakni asam semut. Petani karet di daerah penelitian menggunakan pupuk TSP dan tawas sebagai pembeku getah. Selain pembeku, penyebab rendahnya kualitas karet di tingkat petani adalah tercampurnya koagulump dengan kotoran seperti tatal, daun dan karet kering yang berwarna hitam. Petani karet di daerah penelititan melakukan aktivitas atau kegiatan yang termasuk usaha peningkatan kualitas karet. Upaya-upaya yang dilakukan mayoritas petani antara lain membersihkan bak penampung (sebanyak 57,81 persen responden), menjaga koagulump dari kotoran (57,81 persen petani), tetapi hanya sebagian kecil petani yang menggunakan penyadap terlatih (32,81 persen), membersihkan mangkuk penampung lateks sebelum menyadap (28,12 persen), memisahkan jenis-jenis koagulump (9,38 persen). Tidak ada petani responden iii
yang menggunakan asam semut sebagai pembeku, padahal asam semut merupakan pembeku karet terbaik. Analisis kualitatif mengindikasikan hubungan semantik antara kualitas karet dan keanggotaan petani di dalam kelompok tani, partisipasi petani di dalam kegiatan sosial, pendidikan formal petani, penghasilan (income) rumah tangga, jumlah anggota keluarga, dan penggunaan pupuk TSP sebagai pembeku. Hasil analisis kualitatif ini didukung analisis model regresi logistik biner. Model regresi logistik biner menunjukan adanya hubungan negatif antara usia, pendidikan dan kualitas karet, serta hubungan positif antara keanggotaan petani di dalam kelompok tani, partisipasi petani di dalam kegiatan sosial, jumlah anggota keluarga, pernahnya bertanya kepada PPL dan kualitas karet pada tingkat selang kepercayaan 80 persen (α=20 persen). Hasil analisis keuntungan parsial menunjukan bahwa upaya peningkatan kualitas karet berupa penggunaan asam semut sebagai pembeku menguntungkan bagi petani. Keuntungan tersebut diperoleh dari peningkatan harga karet yang menggunakan pembeku asam semut Rp 500,00 lebih tinggi dibandingkan karet dengan pembeku pupuk TSP atau tawas. Masalah yang dikeluhkan petani dari penggunaan asam semut adalah sulit didapatkannya asam semut dan belum tahunya petunjuk teknis penggunaan asam semut untuk membeku lateks.
iv
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS KARET PERKEBUNAN RAKYAT Kasus Perkebunan Rakyat di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung
WIYANTO H34051738
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 v
Judul Skripsi
: Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet Perkebunan Rakyat (Kasus Perkebunan Rakyat di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung)
Nama
: Wiyanto
NIM
: H34051738
Menyetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Mengetahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus : vi
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet Perkebunan Rakyat (Kasus Perkebunan Rakyat di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2009
Wiyanto H34051738
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tulang Bawang, Lampung pada tanggal 26 September 1987. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Sudarsono dan Ibunda Yatinah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 1 Mulyakencana pada tahun 1999 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SLTP Negeri 3 Tulang Bawang Tengah. Pendidikan menengah atas di SMU Negeri 1 Tumijajar pada tahun 2005. Penulis diterima pada Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) pada tahun 2005. Pada tahun 2006 penulis diterima pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen dengan kurikulum Mayor-Minor. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif sebagai Bendahara di Forum Studi Islam Mahasiswa pada tahun 2006-2007, Sekretaris dan Bendahara pada tahun 2007-2008.
viii
KATA PENGANTAR Segala puji kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi berjudul “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet Perkebunan Rakyat (Kasus Perkebunan Rakyat di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung)” dapat diselesaikan dengan baik setelah melalui proses belajar, bimbingan, dan diskusi dalam waktu yang tidak sebentar. Penyusunan skripsi ini merupakan sarana proses pembelajaran bidang usahatani dan non usahatani seperti pembelajaran mengenai statistika, analisis kualitatif, dan psikologi. Fokus kajian dalam skripsi ini adalah kualitas karet di tingkat petani. Di dalamnya dibahas mengenai usahatani karet, faktor kualitas, serta simulasi perubahan pendapatan akibat adanya upaya peningkatan kualitas. Selain data lapang, skripsi ini juga memuat teori, konsep, dan hasil penelitian dari para penulis sebelumnya. Penyebutan referensi yang dikutip dalam skripsi ini diharapkan mampu menambah nilai keilmiahannya, dan tak lupa ucapan terimakasih kepada pemilik karya yang dikutip dalam skripsi ini. Skripsi ini telah diupayakan untuk ditulis dengan sebaik mungkin, namun tidak menutup kemungkinan masih terdapat kekurangan. Meskipun demikian, mudah-mudahan skripsi ini ada manfaatnya bagi kita dan bagi pengembangan usahatani karet perkebunan rakyat serta memberikan manfaat bagi peneliti dan penelitian usahatani selanjutnya.
Bogor, September 2009 Wiyanto
ix
UCAPAN TERIMAKASIH Setelah mengucapkan puji syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala penulis mengucapkan terimakasih atas terselesaikannya skripsi ini kepada: 1) Bapak Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS atas bimbingan materi maupun non materi skripsi, motivasi, dan manajemennya. Saya mendapatkan lebih dari yang saya perkirakan sebelumnya. 2) Kedua orang tuaku tercinta atas do’a, motivasi, keteladanan dan pembelajarannya tentang hidup. I love You so Much. 3) Ibu Ir. Dwi Rachmina, MSi. selaku dosen penguji utama atas koreksi, saran dan diskusinya. 4) Mas Yeka Hendra Fantika, SP selaku dosen penguji akademik atas koreksi dan sarannya. 5) Adik-adikku,
Daryanti Sudarsono, Syaiful Iskandar Sudarsono, Widyana
Sudarsono, atas motivasi, sindiran, dan keceriannya. Be kind people. 6) Eno, Mama Eno, Mas Yoppy, Mas Eko, Mbak Erry, Aliya cute, and The Little Aisha, for memories, kindliness, home, Thank for All. Jazakumullohu khoiron. 7) Mbak Iya yang telah menjadi motivator sekaligus pesaing dalam perlombaan “cepat lulus”. (Selamat Bu Bidan telah memenangkan perlombaan). 8) Bapak Sarju, Staf Balai Kampung, Ketua Kelompok Tani, warga dan petani karet Kampung Pulung Kencana, atas keramahan dan bantuannya. 9) Bapak Efen Efendi, Bapak Anizar, warga dan petani karet Kampung Bandar Dewa atas keramahan dan bantuanya. 10) Bapak Samidi, Staf Balai Kampung, Ketua RK, warga dan petani karet Kampung Tirta Kencana, atas keramahan dan bantuannya. 11) Bapak Saryono, Bapak Suradi, Ibu Sariyati, Ibu Sulastri dan Staf PPL di BP4K Kecamatan Tulang Bawang Tengah, atas data, diskusi, informasi dan bantuannya. 12) Bapak Haidirsyah, dan Staf Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Tulang Bawang atas informasi, diskusi dan datanya. 13) Dr. Yoharmus Syamsu, MSi., Staf BPTK Bogor, Bu Widi di Perpustakaan LRPI dan staf LRPI, atas diskusi, referensi, dan datanya. x
14) Mbak Dian dan Bu Ida di sekretariat palayanan akademik AGB atas keramahan dan bantuannya. 15) Adriyanto Pratama atas bantuannya dalam pengambilan data primer. 16) Teman-Teman AGB 42, Mada Pradana, Teguh Purwadi, Abu Ayyub Bayu Kristianto, M. Faisal, Muhammad Reza Bachmid, Doni Zepriana, dan temanteman yang sering berdiskusi selama penyelesaian tugas akhir. 17) Teman-teman kubu Nawi (Pondok Iwan) dan yang sering berkunjung kesana yang sibuk dengan skripsinya masing-masing, serta Kubu Dani dan yang sering berkunjung kesana yang sedang sibuk menghilangkan status “pengangguran”. 18) Mbak Fitri atas bantuan dan dukungannya selama ini (kapan kau selesaikan skipsimu?). 19) Teman-teman 42 di MT Al-Furqon atas Ukhuwah Islamiyyahnya, Mas-Mas 40: Mas Anri, Mas Bayu, Mas Fandy, Mas Muji, Mas Tri dua-duanya, Mas Daus GMSK 41, dan special Thank to guru-guru Bahasa Arabku: Mas Sugeng (MSG), Mas Kemal (afwan ndak pernah dimuroja’ah). 20) And thanks for all of memories and anything good in my life, my mind and my heart.
Bogor, September 2009 Wiyanto
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...............................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................
xviii
I
PENDAHULUAN .................................................................... 1.1. Latar Belakang .............................................................. 1.2. Perumusan Masalah ....................................................... 1.3. Tujuan ............................................................................ 1.4. Manfaat .......................................................................... 1.5. Ruang Lingkup ..............................................................
1 1 3 6 6 6
II
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 2.1. Penilaian Kualitas Produk ............................................. 2.2. Manfaat Peningkatan Kualitas ....................................... 2.3. Faktor-Faktor yang Berbagai Macam Produk ...............
7 7 8 10
III
KERANGKA PEMIKIRAN ................................................... 3.1. Kualitas Karet Alam ........................................................ 3.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet Rakyat .................................................... 3.2.1 Faktor Sosial Ekonomi ......................................... 3.2.2 Faktor Teknis ........................................................ 3.3. Jenis-Jenis Bahan Olah Karet ........................................ 3.4. Konsep Diferensiasi Harga ............................................ 3.5. Konsep Usahatani .......................................................... 3.6. Konsep Pendapatan Usahatani ...................................... 3.7. Anggaran Keuntungan Parsial ....................................... 3.8. Diagram Alur Pemikiran ...............................................
14 14
IV
METODE PENELITIAN ....................................................... 4.1. Lokasi dan Waktu .......................................................... 4.2 . Metode dan Pengambilan Sampel ................................. 4.3. Desain Penelitian ........................................................... 4.4. Data dan Instrumentasi .................................................. 4.5. Metode Pengumpulan Data ........................................... 4.6. Metode Pengukuran Kualitas Karet Perkebunan Rakyat ........................................................ 4.7. Metode Analisis .............................................................. 4.7.1. Transformasi Data ............................................... 4.7.2. Teknik Analisis Domain ...................................... 4.7.3. Teknik Analisis Taksonomik ............................... 4.7.4. Model Regresi Logistik Biner ............................. 4.7.5. Analisis Keuntungan Parsial Upaya Peningkatan Kualitas Karet ................................. 4.8. Definisi Operasional ......................................................
15 16 19 22 24 24 25 26 27 30 30 30 32 33 33 34 37 37 38 40 42 46 48 xii
4.9.
Jadwal Kegiatan .............................................................
50
V
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...................... 5.1. Gambaran Umum Lokasi penelitian .............................. 5.2. Karakteristik Sosial Ekonomi Petani ............................. 5.3. Penyelenggaran Usahatani karet .................................... 5.4. Perbandingan Kualitas Karet .........................................
52 52 56 66 83
VI
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KARET PERKEBUANAN RAKYAT .................................. 6.1. Tabulasi Faktor .............................................................. 6.2. Analisi Domain Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet ........................................ 6.3. Analisis Taksonomik Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet ........................................ 6.4 Model Regresi Logistik Biner Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet ................................ 6.5. Perbandingan Analisis Kualitatif dan Analisis Kuantitatif ........................................................ 6.6. Upaya-Upaya Peningkatan Kualitas Karet Rakyat ........ 6.7. Analisis Anggaran Parsial Upaya Peningkatan Kualitas Karet ...........................................
VII
84 84 93 97 100 112 114 115
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... 7.1. Kesimpulan .................................................................... 7.2. Saran ..............................................................................
109 109 110
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................
124
LAMPIRAN .........................................................................................
128
xiii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Gross Ekspor Karet Alam Tahun 2005-2008 ..........................
1
2.
Produksi Karet Alam Dunia Tahun 2005-2007 ......................
3
3.
Ekspor Karet Alam Indonesia Berdasarkan Tipe dan Grade ..
4
4.
Luas Areal dan Produksi Karet Alam Menurut Pengusahaannya .......................................................
5
Jumlah Responden Berdasarkan Cluster di Masing-Masing Desa Penelitian .........................................
32
6.
Pola Hubungan Semantik ........................................................
39
7.
Betuk Tabulasi Anggaran Parsial ............................................
48
8.
Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Usia...........
57
Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Pendidikan Formal ...............................................
58
10. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga....................................
59
11. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Pendapatan Rumah Tangga..................................
68
12. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Luas Lahan Kebun yang Dimiliki ......................
69
13. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan pengalaman yang Dimiliki .................................
62
14. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan penggunaan Informasi ........................................
63
15. Tanaman Asal, Kelompok Desa dan Alasan Petani Mengalihfungsikan Lahan Menjadi Perkebunan Karet ..........
67
16. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Berdasarkan Tanaman Tumpangsari yang Ditanam ...............
68
17. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Berdasarkan Jenis Bibit yang Digunakan ...............................
70
5.
9.
xiv
18. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Frekuensi Pemupukan ..........................................
72
19. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Penggunaan Kriteria Matang Sadap ........................................
75
20. Kondisi Tenaga Kerja Penyadap di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 ...................
76
21. Penggunaan Bahan Mangkuk Penampung Lateks oleh Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 ...................................................
78
22. Frekuensi Penyadapan Petani Karet di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 .....................
79
23. Waktu Penyadapan Petani di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 ...................................................
80
24. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Bahan oleh Karet yang Diproduksinya ..............
81
25. Penggunaan Koagulan Lateks oleh Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 ................
82
26. Perbandingan Kualitas Karet Desa program dan Non Program .............................................
83
27. Perbandingan Kualitas Karet Berdasarkan Usia Petani di Kecamatan Tulang bawang Tengah Tahun 2009 ...............
85
28. Perbandingan Kualitas Karet Berdasarkan Pendidikan Formal Petani di Kecamatan Tulang bawang Tengah Tahun 2009 .......................................
86
29. Perbandingan Kualitas Karet Berdasarkan Jumlah Angggota Keluarga Petani di Kecamatan Tulang bawang Tengah Tahun 2009 .......................................
87
30. Perbandingan Kualitas Karet Berdasarkan Pendapatan Rumah Tangga Petani di Kecamatan Tulang bawang Tengah Tahun 2009 .......................................
88
31. Perbandingan Kualitas Karet Berdasarkan Pengalaman Petani di Kecamatan Tulang bawang Tengah Tahun 2009 .......................................
89
32. Kualitas Karet yang Diproduksi Petani Responden di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Ketergabungannya dengan Kelompok Tani ........
90
xv
33. Perbandingan Kualitas Karet Petani di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Ketergabungannya dengan Kegiatan Sosial ............................
91
34. Perbandingan Kualitas Karet Petani di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Luas kebun Karet yang Dimiliki .............................................
91
35. Perbandingan Kualitas Karet Petani di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Frekuensi Pemupukan .............................................................
92
36. Perbandingan Kualitas Karet Petani di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Penggunaan Koagulan ............................................................
93
37. Pola Hubungan Semantik Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet .........................................
96
38. Hasil Pendugaan Model Regresi Logistik Biner Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet Perkebunan rakyat ................................................................... 39. Perbandingan Analisis Kualitatif (Teknik Taksonomik) dan Analisis Kuantitatif (Model Regresi Logistik Biner) .......
103 113
40. Upaya-Upaya Peningkatan Beserta Jumlah Petani yang Melakukannya ........................................
115
41. Biaya Koagulan Sebelum dan Sesudah Upaya Peningkatan Kualitas Karet Seluar Satu Kektar ..........
118
42. Penerimaan Usahatani Sebelum dan Setelah Upaya Peningkatan Kualitas Karet Seluas Satu Hektar ..........
119
43. Biaya Penyadapan Sebelum dan Sesudah Upaya Peningkatan Kualitas Karet Seluas Satu Hektar ..........
120
44. Anggaran Parsial Upaya Peningkatan Kualitas Karet Seluas Satu Hektar Petani Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2000 ......................................
120
xvi
DAFTAR GAMBAR Nomor 1.
Halaman Perkembangan Eksor Karet Alam Thailand, Indonesia dan Malaysia Tahun 2006, 2007, 2008 ...................................
2
2.
Diagram Alur Pemikiran .........................................................
28
3.
Bahan Olah Karet Kualitas 10 dengan skala Pengukuran 1 hingga 10 ................................................
35
Pola Metode Taksonomik .......................................................
40
4.
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Bagan Analisis Taksonomik Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kalitas Karet ............................................
128
2. Tranformasi Kualitas Menjadi Skala Biner dan Data Faktor-Faktor yang Diduga Memengaruhi Kualitas ................
130
3. Output Minitab 14 dari Model Regressi Logistik Biner Faktor-Faktor yang memengaruhi Kualitas Karet ....................
134
xviii
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karet alam (Hevea brasiliensis) merupakan komoditas yang banyak dikembangkan di dunia terutama oleh Thailand, Indonesia dan Malaysia. Tujuan utama pengembangan karet alam adalah memroduksi lateks dan bekuannya. Lateks dan bekuannya merupakan bahan baku utama bagi industri berbasis pertanian untuk memroduksi produk berbahan dasar karet seperti ban, sepatu karet, sarung tangan karet, balon dan produk-produk karet lainnya (Nazaruddin dan Paimin 1992). Semua negara di dunia membutuhkan produk-produk berbahan baku karet, namun tidak semua negara mampu memroduksi lateks dan bekuannya. Hal ini menjadikan karet alam sebagai komoditas yang diperdagangkan secara internasional. Perdagangan karet internasional akan mendatangkan penghasilan bagi negara produsen dan membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk desa di negara tersebut. Selain mendatangkan pendapatan bagi negara, perdagangan karet internasional juga akan memunculkan persaingan antarnegara produsen karet alam. Persaingan ini dapat memengaruhi perkembangan agribisnis karet di masing-masing negara produsen. Persaingan antarnegara produsen karet alam terlihat dari ekspor masing-masing negara (Tabel 1). Tabel 1. Gross Ekspor Karet Alam Tahun 2005-2008 (000 ton) No 1 2 3 4 5
Negara Thailand Indonesia Malaysia Vietnam India
2005 2632 2024 1128 566,5 60
2006 2772 2287 1134 673,4 71
2007 2704 2407 1018 681,9 29
2008 2675 2296 917 619 77
Sumber: ANRPC Monthly Bulletin of Rubber Statistics June 2009
Tiga produsen utama karet alam yakni Thailand, Indonesia, dan Malaysia memroduksi 72,1 persen dari produksi karet alam dunia pada tahun 2007 dan mengekspor 86,9 persen hasil produksinya (Tabel 2). Sepanjang tiga tahun terakhir, terjadi perubahan volume ekspor dari masing-masing negara. Penurunan volume ekspor Thailand dan Malaysia terus terjadi selama tiga tahun terakhir. 1
Khusus untuk tahun 2008, semua negara mengalami penurunan ekspor karet alamnya. Penurunan volume ekspor disebabkan karena terjadinya krisis ekonomi dunia pada kwartal terakhir tahun 2008 yang menyebabkan permintaan karet alam menurun. (Gambar 1).
Total Ekspor (000 ton)
3000 2500 2000 1500
2006
1000
2007 2008
500 0 Thailand
Indonesia
Malaysia
Eksportir
Gambar 1. Perkembangan Eksor Karet Alam Thailand, Indonesia dan Malaysia Tahun 2006, 2007, 2008 Sumber: ANRPC Monthly Bulletin of Rubber Statistics June 2009, IRSG (2009)
Penurunan ekspor Malaysia memang telah dimulai sejak tahun 1990 yang disebabkan oleh perubahan struktur ekonomi dalam negeri yang ditunjukkan dengan meningkatnya konsumsi karet domestik dan perkembangan industri manufaktur
yang berbasis
karet.
Malaysia
mengurangi
ekspor
dengan
meningkatkan nilai tambah dari produk barang jadi karet, terutama produk sarung tangan dan produk lateks pekat lainnya. Thailand dan Vietnam meningkatkan produksi dan ekspor karet alamnya dengan memasuki pasar yang ditinggalkan Malaysia. Sementara itu, Indonesia belum dapat memanfaatkan peluang tersebut dan industri karet dalam negeri kurang didorong untuk berkembang dengan baik (Anwar 2003). Tabel 1 juga menunjukkan kenyataan mengenai daya saing karet alam Indonesia. Indonesia selalu menduduki peringkat kedua setelah Thailand dalam gross ekspor, padahal luas lahan karet Indonesia (baik luas lahan total maupun yang disadap) lebih luas daripada Thailand. Selain ekspor, jumlah produksi
2
Indonesia juga selalu dibawah Thailand (Tabel 2). Hal ini menunjukkan Indonesia masih relatif lebih rendah dalam hal produksi, produktivitas dan daya saing dibandingkan negara produsen karet lainnya terutama Thailand. Tabel 2. Produksi Karet Alam Dunia Tahun 2005-2007 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Negara Thailand Indonesia Malaysia India Vietnam China Ivory Coast Liberia Sri Lanka Brazil Others Total
2005 000 ton % 2.937,2 33,0 2.271,0 25,5 1.126,0 12,7 771,5 8,7 509,0 5,7 428,0 4,8 157,0 1,8 111,0 1,2 104,4 1,2 101,5 1,1 375,4 4,2 8.892,0 100,0
2006 000 ton % 3.137,0 31,9 2.637,0 26,8 1.283,6 13,0 853,3 8,7 553,5 5,6 533,0 5,4 178,3 1,8 100,5 1,1 109,2 1,1 108,3 1,0 352,3 3,7 9.846,0 100,0
2007 000 ton % 3.056,0 31,2 2.797,0 28,6 1.199,6 12,3 806,7 8,2 601,7 6,2 600,0 6,1 180,0 1,8 98,0 1,1 102,0 1,0 106,0 1,0 235,0 2,5 9.782,0 100,0
Source: IRSG Rubber Statistical Bulletin Vol 62 No.8/ Vol 62 No.9, May/June 2008 dihimpun oleh www.anrpc.org
Untuk dapat berkembang di pasar internasional, komoditas karet Indonesia harus memiliki dayasaing yang kuat. Dayasaing yang kuat dapat dicapai dengan pemenuhan keinginan pasar terkait dengan karakteristik karet. Keinginan pasar dapat dipenuhi dengan peningkatan kualitas karet alam yang dihasilkan oleh Indonesia, mengingat persyaratan kualitas yang diterapkan negara importir karet alam semakin ketat. Menurut Porter (1990) untuk dapat memelihara atau meningkatkan dayasaing, berbagai faktor produksi dan infrastruktur harus ditingkatkan kualitasnya. Perbaikan faktor produksi meliputi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan ilmu pengetahuan. Dengan meningkatnya kualitas faktor produksi dan infrastruktur karet alam, diharapkan kualitas karet alam yang diproduksi Indonesia akan meningkat. 1.2. Perumusan Masalah Peningkatan dayasaing karet alam Indonesia dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas karet yang diproduksi oleh petani karet.
Peningkatan
kualitas karet alam (bahan olah karet) merupakan salah satu strategi pengembangan agribisnis karet yang diajukan oleh Anwar (2006). Ia menyatakan
3
bahwa produksi karet Indonesia banyak didukung oleh perkebunan rakyat, sehingga karet memiliki arti yang penting sebagai sumber devisa, penyerap tenaga kerja, dan sebagai sumber pendapatan petani. Untuk itu, dalam pengembangan agribisnis karet indonesia, strategi di tingkat off-farm adalah : (a) peningkatan kualitas bahan olah karet rakyat berdasarkan SNI; (b) peningkatan efisiensi pemasaran untuk meningkatkan marjin harga petani; (c) penyediaan kredit untuk peremajaan, pengolahan dan pemasaran bersama; (d) pengembangan infrastruktur; (e) peningkatan nilai tambah melalui pengembangan industri hilir; dan (f) peningkatan pendapatan petani melalui perbaikan sistem pemasaran. Tabel 3. Ekspor Karet Alam Indonesia Berdasarkan Tipe dan Grade Type and Grade
2003 (ton)
2004 (ton)
2005 (ton)
2006 (ton)
Latex Concentrate
12.526
11.755
4.014
8.334
Ribbed smoked Sheet*)
46.165
145.895
334.125
325.393
RSS 1 RSS 2 RSS 3 RSS 4 RSS 5 Others
2007 (ton) 7.610 (0,3%) 275.497 (11,4%) 68.237 551 540 532 114 205.522
Standard Indonesian Rubber (SIR) SIR 3L SIR 3 CV SIR 10 SIR 20 Other SIR* Other types of Natural Rubber *) Grand Total
1.589.387
1.684.959
1.674.721
1.952.268
2.121.863 (88,15%)
74.451 59.809 1.332.270 122.857
116.145 32.248 1.524.435 12.131
64.880 3.381 1.605.956 504
50.726 1.897.205 4.337
8.352 4.287 33.792 2.063.306 12.126
12.842
31.652
10.921
3
1.786
1.660.920
1.874.261
2.023.781
2.285.998
2.406.756
Sumber : Central Bureau of Statistics of Indonesia Compiled by Gapkindo (2008)
Peningkatan kualitas bahan olah karet Indonesia harus dilakukan karena kualitas produksi karet Indonesia masih rendah. Rendahnya kualitas bahan olah karet petani Indonesia terlihat dari besarnya proporsi karet remah (crumb rubber)
4
berbentuk SIR (Standard Indonesian Rubber) dalam ekspor karet Indonesia pada tahun 2007 yakni sebesar 88,15 persen dari total ekspor karet alam Indonesia (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar bahan olah karet rakyat diolah menjadi karet remah. Bahan baku karet remah biasanya merupakan koagulump lateks yang bermutu rendah (Nazaruddin dan Paimin 1992). Dampak dari pengolahan bahan olah karet bermutu rendah menjadi karet remah adalah biaya pengolahan yang tinggi. Tingginya biaya pengolahan akan berdampak pada rendahnya farmer share yang diterima petani. Agar peningkatan kualitas karet produksi Indonesia terlihat nyata, peningkatan kualitas karet harus dimulai dari tingkat petani. Hal tersebut dikarenakan 78,9 persen produksi karet nasional dilakukan oleh perkebunan rakyat, dan 84,66 persen lahan karet Indonesia merupakan perkebunan rakyat (Tabel 4). Selain dimulai dari petani, peningkatan kualitas karet harus dirasakan dampaknya oleh petani berupa keuntungan tambahan dengan meningkatnya kualitas bokar yang diproduksinya. Tabel 4. Luas Areal dan Produksi Karet Alam Menurut Pengusahaannya Tahun
Luas Areal (000 Ha)
Produksi (000 ton)
PR
PBN
PBS
Jumlah
PR
PBN
PBS
Jumlah
2000
2.882,8
212,6
277,0
3.372,4
1.125,2
169,9
206,4
1.501,5
2001
2.838,4
221,9
284,5
3.344,8
1.209,3
182,6
215,6
1.607,5
2002
2.825,5
221,2
271,7
3.318,4
1.226,6
186,5
217,2
1.630,3
2003
2.772,5
241,6
276,0
3.290,1
1.396,2
191,7
204,4
1.792,3
2004
2.747,9
239,1
275,2
3.262,2
1.662,0
196,1
207,7
2.065,8
2005
2.767,0
237,6
274,8
3.279,4
1.838,7
209,8
222,4
2.270,9
2006
2.833,0
238,0
275,4
3.346,4
2.082,6
265,8
288,8
2.637,2
2007*
2.899,7
238,2
275,8
3.413,7
2.186,2
277,2
301,3
2.764,7
2008** 3.000,5
239,5
276,8
3.516,8
2.241,8
285,9
311,0
2.838,7
Keterangan: *) Angka sementara **) Angka Estimasi Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2008)
5
Dari uraian diatas, beberapa permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: 1.
Mengapa kualitas karet di tingkat usahatani rendah?
2.
Faktor-faktor apa yang memengaruhi kualitas karet di tingkat usahatani?
3.
Upaya apa yang telah dilakukan/diusahakan oleh petani karet untuk meningkatkan kualitas karet?
4.
Apakah peningkatan kualitas menguntungkan bagi petani karet?
1.3. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kualitas karet di tingkat usahatani.
2.
Mengidentifikasi upaya-upaya yang telah dilakukan oleh petani dalam rangka meningkatkan kualitas karet alam yang diproduksinya.
3.
Menganalisis keuntungan yang diterima oleh petani akibat upaya peningkatan kualitas karet.
1.4. Manfaat Manfaat yang dimiliki penelitian ini adalah: 1.
Bagi penulis, penelitian ini sebagai wahana penerapan ilmu yang telah diterima di bangku kuliah.
2.
Bagi pembaca, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan penelitian terkait selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian tentang karet rakyat dapat menjadi sangat luas atau sempit tergantung ruang lingkup penelitiannya. Karena itu, agar penelitian ini tidak keluar dari perumusan masalah dan tujuan yang telah ditetapkan, maka penelitian ini difokuskan pada petani karet yang menjual hasil produksinya dalam bentuk koagulump (bekuan). Secara wilayah geografis, ruang lingkup penelitian ini mencakup wilayah Kecamatan Tulang Bawang Tengah.
6
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penilaian Kualitas Produk Neilson et al. (2006) mendefinisikan kualitas setelah melakukan penelitian mengenai alasan penurunan harga teh sebagai apapun yang dipersepsikan oleh konsumen. Definisi ini memberikan pengertian bahwa suatu produk dengan kondisi yang sama dapat berubah kualitasnya jika konsumen memersepsikan dengan berbeda. Produsen mungkin mencoba untuk merespon persepsi konsumen ini, sehingga jika produsen sukses dalam menetapkan kualitas berdasarkan karakteristik produk yang penting bagi konsumen, produsen dapat bertahan di pasar. Respon yang diberikan produsen atau pengolah adalah dengan memroduksi produk sesuai dengan keinginan konsumen terutama aspek-aspek penting di dalam produk tersebut. Aspek-aspek penting ini akan menentukan kualitas suatu produk. Aspek-aspek penilaian kualitas dapat berbeda antara satu produk dengan produk lainnya. Neilson et al. (2006) sendiri dalam penelitiannya menilai kondisi teh yang baik adalah teh yang terdiri dua daun dalam satu pucuk teh. Leonel dan Philippe (2007) telah melakukan penelitian mengenai kualitas kopi dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Dalam penilitian tersebut, kualitas kopi dinilai dengan menggunakan tiga aspek penilaian yaitu karakteristik fisik, komposisi biokimia, dan organolepik. Karakteristik fisik kopi atau kualitas fisik terdiri dari ukuran, persentase kerusakan, dan bobot dari 100 biji kopi. Komposisi biokimia yang diukur adalah kandungan asam chlorogenic, trigoelline, lemak, kafein, dan gula. Sedangkan aspek organoleptik yang inilah adalah aroma, rasa (flavor), keasaman, bentuk, kepahitan, dan peferensi umum. Aspek organoleptik di ukur dengan skala 1 hingga 10, dimana 1= dapat diabaikan atau tidak dapat diterima sedangkan 10 = sangat kuat atau baik sekali (excellent). Anggur ‘Niagara’ memiliki aspek penilaian kualitas yang berbeda dengan aspek kualitas
kopi. Morris (1985) dalam penelitiannya menggunakan aspek
persentase padatan terlarut, pH, dan tingkat keasaman untuk menilai kualitas anggur ‘Niagara’. Berbeda lagi dengan penilaian kualitas produk peternakan. Penelitian mengenai susu sapi di China, sebagaimana ditulis oleh Chen (2008) pemasalahan-permasalahan kualitas susu segar sekarang ini meliputi: (1) berbagai tingkat protein variabel terkait dengan pengaruh perbedaan cara pemberian pakan;
7
(2) tingginya jumlah bakteri; (3) tingginya tingkat zat antibiotik terkait dengan kurangnya pengetahuan peternak. Hal ini memberikan pengertian bahwa aspek penilaian kualitas susu dapat terkait dengan masalah yang ada adalah tingkat protein, jumlah bakteri dan tingkat zat anti biotik di dalam susu. Khusus untuk komoditas karet, menurut Waluyono (1981) yang diacu dalam Erwan (1994) standardisasi dalam penentuan kualitas bahan olah karet meliputi beberapa spesifikasi antara lain kadar karet kering, kadar kotoran, kadar air, kadar abu, nilai PRI (Plastysity Ratention Index), sifat-sifat fisika lain, berat, tebal, dan ukuran lainnya serta pengemasan. Sawardin et al. (1995) juga telah melakukan penelitian kualitas bahan olah karet khususnya spesifikasi karet remah (SIR). Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa parameter terpenting mengenai karakteristik mutunya adalah kadar kotoran, kadar abu, kadar bahan menguap, dan indeks katahanan plastisitas (PRI). Sedangkan analisis kualitas yang telah dilakukan oleh Haris et al. (1995) dengan menggunakan parameter kadar karet kering, plastisitas awal (P0), indeks katahanan
plastisitas
(PRI),
kadar
kotoran,
viskositas
mooney
(VR)
memperlihatkan bahwa untuk semua jenis bahan olah karet yang sama (dalam hal ini bekuan atau koagulan) hasil produksi KUD (village cooperatif) memiliki kualitas yang lebih baik dari pedagang dan petani (farmer). Keunggulan kualitas hasil produksi KUD ini meliputi semua parameter penelitian. Hasil penelitian-penelitian diatas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan aspek penilaian kualitas berdasarkan produk yang diuji. Secara umum, aspek penilaian kualitas produk pertanian dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu karakteristik fisik, kimia dan biologi. Khusus untuk karet alam, aspek yang dapat dilihat adalah karakteristik fisik dan kimia. Karakteristik kimia karet hanya dapat diteliti di dalam laboratorium, sehingga untuk tingkat petani karakteristik kualitas yang dipakai hanyalah karakteristik fisik. Karakteristik fisik yang dapat digunakan adalah kadar kotoran, kadar air, dan kekenyalan yang dilihat secara visual saja. 2.2. Manfaat Peningkatan Kualitas Kualitas sangatlah penting dalam proses produksi termasuk bagi usahatani. Ada beberapa hal yang menjadi alasan pentingnya kualitas bagi suatu proses produksi. Ariani (2002) telah mencatat bahwa Russel (1996) mengidentifikasi 8
enam peran penting kualitas bagi perusahaan, yaitu: (1) meningkatkan reputasi perusahaan, (2) menurunkan biaya, (3) meningkatkan pangsa pasar, (4) dampak internasional (5) adanya pertanggungjawaban produk, (6) mewujudkan kualitas yang dirasakan penting. Usahatani atau suatu sentra produk agribisnis yang mampu menghasilkan produk yang berkualitas akan mendapatkan predikat sebagai usahatani yang mengutamakan kualitas. Predikat ini akan berpengaruh terhadap reputasi negara tempat produk tersebut dihasilkan. Demikian pula sebaliknya, jika suatu proses produksi hanya mampu menghasilkan produk dengan kualitas buruk. Selain reputasi yang baik, peningkatan kualitas juga dapat menurunkan biaya. Menurut Ariani (2002) penurunan biaya ini disebabkan perusahaan berorientasi pada customer satisfaction, yaitu dengan mendasarkan jenis, tipe waktu, dan jumlah produk yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Dengan demikian tidak ada pemborosan yang harus dibayar mahal. Peningkatan kualitas juga akan meningkatkan pangsa pasar sebagai dampak dari penurunan biaya. Bahkan, bila mampu menawarkan produk yang yang berkualitas, produk tersebut akan dikenal dan diterima di pasar internasional. Jika dikaitkan dengan adanya diferensiasi harga, Tomek dan Robinson (1972) menyatakan bahwa banyak produk pertanian tertentu berbeda dalam hal atribut seperti ukuran, warna, tingkat kelembaban, kadar protein, dan proporsi kerusakan atau kotoran, sehingga harga seringkali berbeda tergantung grade, kelas dan varietas. Diferensiasi harga berdasarkan kualitas terkadang dibedakan dengan harga premi (lebih tinggi) atau diskon (lebih rendah). Peningkatan kualitas diharapkan mampu memberikan tambahan pendapatan bagi produsen akibat adanya kenaikan harga. Namun sebaliknya, ketidamampuan mempertahankan, meningkatkan kualitas atau memenuhi persyaratan kualitas perbedaan harga berdasarkan kualitas memberi dampak penurunan pendapatan karena perolehan harga yang lebih rendah, terlebih lagi bagi produk yang diproduksi untuk ekspor. Neilson et al. (2006) menyatakan bahwa kualitas dan kemampuan memenuhi persyaratan menjadi hambatan untuk mengekspor produk-produk pertanian. Pernyataan ini dibuktikan dengan penelitiannya tentang penurunan harga teh terkait dengan perubahan permintaan global untuk kualitas produksi teh di India Selatan. Hasil penelitiannya juga menunjukkan pemrosesan teh yang tidak
9
benar yang menyebabkan penurunan kualitas produksi di lapang dapat merusak harga dan kekokohan harga diskon dipasar. Pernyataan Neilson et al. (2006) ini di dukung oleh pernyataan Leonel dan Philippe (2007) mengenai kualitas untuk produk kopi. Ia menyatakan bahwa kualitas kopi merupakan karakteristik yang paling dihargai di dalam perdagangan kopi internasional. Peningkatan kualitas memerlukan suatu proses yang terus menerus dan menyeluruh baik produk maupun prosesnya. Hal ini berlaku untuk semua produk termasuk bahan olah karet. Karena itu Haris et al. (1995) menyatakan bahwa perbaikan kualitas bahan olah karet seharusnya dimulai dari tingkat paling awal yaitu pada tingkat petani. Perbaikan kualitas baru akan berhasil apabila petani dapat merasakan dampak positif berupa keuntungan tambahan dengan meningkatnya kualitas bahan olah karet. Selain manfaat-manfaat di atas, peningkatan kualitas juga akan meningkatkan dayasaing produk. Suwardin et al. (1995) mengungkapkan bahwa untuk meningkatkan dayasaing diperlukan penerapan pengendalian jaminan kualitas terpadu, yaitu suatu sistem dimana kualitas produk dan jasa yang dihasilkan secara ekonomis memenuhi persyaratan pembeli berdasarkan good manufacturing practice. Hal ini berbeda dengan masa lalu dimana peningkatan kualitas produk lebih banyak ditekankan pada produk akhir. Jaminan kualitas harus dilakukan secara penuh dengan cara membentuk keterkaitan antara petani karet dengan pabrik ban, yaitu sejak lateks keluar dari pohon sampai menjadi ban atau from tree to tyre. Penjelasan di atas memberikan gambaran mengenai manfaat peningkatan kualitas karet bagi petani. Manfaat yang dapat diraih dengan adanya peningkatan kualitas anata lain peningkatan harga jual atau mempertahankan harga produk tetap tinggi sehingga pendapatan petani dapat lebih tinggi, dan mempertahankan dayasaing produk petani sehingga petani dapat berthaan di pasar produk karet. 2.3. Faktor yang Memengaruhi Kualitas Berbagai Macam Produk Kualitas bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Kualitas merupakan bagian dari semua fungsi usaha yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, pemasaran, keuangan dan lain-lain. Fungsi-fungsi ini diistilahkan sebagai faktorfaktor yang memengaruhi kualitas produk.
10
Neilson et al. (2006) menyatakan bahwa dalam kebanyakan standar kualitas industri, kualitas di pengaruhi oleh sejumlah variabel termasuk agro ekologi, iklim, susunan gen tanaman (varietas), praktek agronomi (teknik budidaya), dan metrode pemrosesan dalam pabrik. Lebih khusus lagi dalam penelitiannya tentang teh, ia menyebutkan bahwa yang terpenting adalah pemetikan daun teh yang hanya dilakukan dengan tangan. Sedangkan mengenai faktor penyebab buruknya kualitas teh ia menyatakan bahwa akar dari masalah kualitas adalah ketidakmampuan memisahkan teh yangbagus dan yang buruk, dan tidak adanya penghargaan terhadap produsen penghasil teh bermutu bagus. Untuk komoditas kopi, Leonel dan Philippe (2007) menyatakan bahwa dalam hasil penelitiannya ketinggian lahan memiliki pengaruh yang paling kuat terhadap ketiga aspek kualitas kopi yaitu karakteristik fisik, komposisi biokimia, dan organolepik. Besarnya naungan berpengruh sigifikan pada aspek karakteristik fisik dan komposisi biokimia dari biji kopi. Besarnya naungan hanya memengaruhi kulitas (organoleptik) pada ketinggian tanah tertentu (950-1255 meter). Pupuk dan banyaknya panen (produktivitas) memengaruhi kualitas secara positif dalam aspek karakteristik fisik dan komposisi biokimia. Aspek organoleptik hanya dipengaruhi oleh pemupukan tetapi tidak pada jumlah panen. Komposisi biokimia menunjukkan hubungan yang kuat dengan karakteristik organoleptik. Faktor yang memengaruhi kualitas komoditas pertanian lainnya seperti anggur, penelitian yang dilakukan Morris (1985) menunjukkan bahwa pemangkasan tangkai, jumlah tangkai, sistem budidaya, dan penempatan angjanganjang (penyangga tanaman yang merambat) memengaruhi kualitas anggur. Penilian ini dilakukan dengan menerapkan perlakukan yang berbeda untuk masing-masing faktor. Neilson et.al (2005) berhasil mengidentifikasi tiga faktor yang dipertimbangkan memiliki kontribusi utama dalam krisis kualitas dalam kakao Sulawesi sekarang ini: a) kurangnya pengetahuan umum petani mengenai penyelenggaraan usahatani yang baik, termasuk penggunaan pupuk dan pertisida, dan perlakukan yang tidak layak setelah pasca panen.
11
b) ketidakmampuan petugas yang relevan di Indonesia untuk menjalankan stardar-standar ekspor yang berarti bahwa kakao bermutu rendah akan masuk ke pasar global danakan memengaruhi reputasi internasional dari kakao Sulawesi. c) meskipun beroperasi secara relatif efisien, struktur rantai tataniaga sekarang ini tidak memberikan petunjuk harga yang jelas bagi petani untuk meroduksi kakao dengan kualitas yang lebih baik. Tidak ada perbedaan harga yang baik antara kakao berkualitas bagus dan kakao berkualitas buruk yang ada ditingkat petani. Faktor lembaga informsi juga dapat memengaruhi peningkatan kualitas. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Shigetomi (1995) mengenai penyaluran informasi dalam kaitanya dengan peningkatan kualitas karet di Thailand. Penelitian ini telah memperlihatkan bahwa sebuah sistem untuk menyalurkan informasi mengenai kualitas menyatu dengan lembaga transaksi untuk produk (karet) primer, dan ketika dilakukan penilaian terhadap lembaga transaksi , akurasi penyaluran informasi kualitas juga menjadi ukuran yang penting. Lebih khusus tentang karet alam, Team Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (1965) menjelaskan bahwa kuantitas dan kualitas produksi serta pendapatan petani karet rakyat dipengaruhi oleh faktor-faktor (1) kultur teknik, (2) pengolahan, (3) sosial ekonomi, dan (4) kebijakan dan campur tangan pemerintah. Faktor kultur teknik meliputi keadaan kebun, dan luas areal. Sedangkan dari hasil penelitian tentang pengolahan, didapatkan bahwa alat-alat yang digunakan petani produsen masih sederhana sekali. Alat-alat itu dibuat dari bahan yang murah dan mudah didapat. Meskipun sulit menghitung pengaruh penggunaan alat-alat ini terhadap kualitas dan kuantitas karet, namun secara kualitatif dapat ditetapkan bahwa ia berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas produksi. Faktor sosial ekonomi yang dikemukakan dari hasil penelitian ini adalah tenaga kerja, hubungan antarpetani, dan tataniaga karet rakyat. Berbeda dengan Team Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor , Pusat Penelitian Perkebunan Sungei Putih (1992) melaporkan bahwa kualitas bahan olahan karet sangat berkaitan dengan jenis bahan olah, karena perbedaan
12
perlakuan yang diberikan. Konsistensi kualitas bahan olah karet (seperti sheet angin) dipengaruhi oleh cara pengolahannya (kesesuaian terhadap standar) terutama menyangkut bahan penggumpal (koagulan), ketebalan, cara pengeringan dan kadar karet kering. Sebagian besar penelitian mengenai kualitas karet, terfokus pada aspek teknis dan parameter kualitas. Parameter kualitas yang dipakai hanya dapat diketahui dengan menggunakan teknik yang rumit yang pada umumnya dilakukan di laboratorium. Di tingkat petani, parameter kualitas ini sulit diidentifikasi. Kualitas di tingkat petani diidentifikasi hanya melalui teknik visual yang meliputi warna, bau, dan kotoran yang terdapat di dalam bahan olah karet. Berbagai macam faktor yang memengaruhi kualitas karet maupun produk lain, dapat dirangkum menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok teknis yang terdiri dari jenis tanaman (varietas atau klon), teknik budidaya, kondisi lingkungan, pemupukan dan metode penanganan pascapanen. Sedangkan kelompk kedua adalah kelompok sosial ekonomi petani yang terdiri dari pengetahuan petani, petugas penyuluhan, struktur tataniaga, tenaga kerja peta ni dan organisasi desa.
13
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kualitas Karet alam Usahatani sekarang ini telah mengalami perkembangan yang cepat. Keberhasilan usahatani tidak hanya diukur dari tingkat produksi per satuan luas lahan atau per satuan faktor produksi lainnya. Usahatani harus lebih memperhatikan kualitas di samping produktivitas. Kualitas telah menjadi bagian dari persaingan komoditi pertanian di pasar domestik maupun di pasar internasional. Karena itu, perhatian terhadap kualitas di tingkat usahatani akan memengaruhi dayasaing komoditi. Kualitas merupakan suatu istilah yang selalu menjadi perhatian di dalam bisnis termasuk di dalam agribisnis. Dalam sistem agribisnis, kualitas tidak hanya berada di ujung sistem (hilir), namun harus diperhatikan sejak di on farm (tingkat usahatani) bahkan dalam pemilihan dan penggunaan input harus telah memerhatikan kualitas. Ariani (2002) menyatakan bahwa terdapat banyak pengertian mengenai kualitas, pengertian mengenai kualitas menurut beberapa ahli. Ia telah mengutip definisi kualitas menurut beberapa ahli antara lain Juran, Elliot, dan Badan Standardisasi Nasional. Menurut Juran, kualitas adalah kesesuaian dengan tujuan atau manfaatnya. Menurut Elliot, kualitas adalah sesuatu yang berbeda untuk orang yang berbeda dan tergantung pada waktu dan tempat, atau dikatakan sesuai dengan tujuan. Perbendaharaan istilah ISO 8402 dan dari Standar Nasional Indonesia (SNI 19-8402-1991), kualitas adalah keseluruhan ciri dan karaktiristik produk atau jasa yang kemampuannya dapat memuaskan kebutuhan, baik yang dinyatakan secara tegas maupun tersamar. Definisi kualitas lebih lengkap dikemukakan oleh Feigenbaum (1996) yang menyatakan bahwa kualitas merupakan keseluruhan karakteristik produk dan jasa yang meliputi marketing, engineering, manufacture, dan maintenance, dimana produk dan jasa tersebut dalam pemakaiannya akan sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan. Definisi-definisi
tentang
kualitas
diatas,
memberikan
pemahaman
mengenai kualitas karet alam yaitu keseluruhan ciri dan karakteristik karet alam yang bersesuaian dengan tujuan atau manfaat, kebutuhan, dan harapan pembeli yang bisa jadi berbeda tergantung pada waktu dan tempat. Gambaran mengenai
14
ciri dan karakteristik karet alam telah diberikan Giroh et al.(2006) dengan menyatakan bahwa kualitas produk-produk berbahan dasar karet alam tergantung pada kemurnian lateks (getah karet) atau koagulump yang diperoleh dari pohon karet. Kehadiran berbagai bentuk benda-benda asing dalam lateks atau koagulump dapat berdampak jelek pada produk akhirnya. Hal ini sangat penting mengingat lateks kebun diperoleh dengan cara penyadapan, pengumpulan, dan koagulasi (pembekuan) yang sebaiknya bahan-bahan yang digunakan untuk kegitankegiatan tersebut bersih dari kontaminan dan kotoran. 3.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet Rakyat Pembahasan mengenai kualitas produk pertanian termasuk karet alam, erat kaitannya dengan teknologi yang umumnya dimiliki oleh petani. Peningkatan kualitas karet berarti peningkatan teknologi yang dimiliki oleh petani. Teknologi yang dimiliki dan kemudian ditingkatkan dapat berupa penggunaan bahan dan alat yang sebelumnya tidak digunakan, melakukan suatu teknik atau aktivitas yang sebelumnya tidak dilakukan, maupun menambah pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui. Perubahan teknologi ini biasanya disebut sebagai inovasi. Dengan adanya inovasi dalam pengelolaan perkebunan karet rakyat, diharapkan kualitas karet petani dapat menjadi lebih baik. Sebelum inovasi merubah kualitas, inovasi tersebut harus diadopsi terlebih dahulu oleh petani. Inovasi yang diterima berarti akan dapat meningkatkan kualitas. Menurut Musyafak dan Ibrahim (2005) proses adopsi dipengaruhi oleh sifat inovasi itu sendiri. Inovasi yang akan lebih cepat diterima merupakan inovasi yang memiliki banyak kesesuaian dengan kondisi biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang ada pada petani. Menurutnya inovasi seperti itu merupakan inovasi yang tepat guna. Musyafak dan Ibrahim (2005) juga mengajukan delapan kriteria inovasi tepat guna, yaitu (1) Inovasi harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh petani, (2) memberikan keuntungan secara konkrit bagi petani, (3) memunyai kompatibilitas/keselarasan, (4) dapat mengatasi faktorfaktor pembatas, (5) mendayagunakan sumberdaya yang sudah ada, (6) terjangkau oleh kemampuan finansial petani, (7) sederhana, tidak rumit dan mudah dicoba, dan (8) mudah diamati (terutama efek keberhasilannya).
15
Terkait dengan kualitas karet alam, inovasi yang tepat guna dalam peningkatan kualitas karet alam tergambar dalam upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas karet alam. Upaya-upaya peningkatan kualitas yang dilakukan petani akan memengaruhi kualitas karet alam yang diproduksinya. Upaya peningkatan kualitas merupakan faktor yang dapat dimasukan kedalam kelompok faktor teknis yang memengaruhi kualitas karet alam. Selain faktor teknis, kualitas karet alam juga dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi petani karet. Faktor sosial ekonomi yang diduga memengaruhi kualitas karet alam terdiri dari karakteristik petani dan keluarga, harga output, dan faktor pendukung berupa sumber informasi yang digunakan oleh petani untuk mengetahui hal-hal tentang perkaretan. Sedangkan faktor teknis terdiri dari faktor usahatani termasuk alat dan bahan yang digunakan, dan upaya-upaya atau inovasi yang dilakukan oleh petani untuk meningkatkan kualitas karet alam yang diproduksinya. 3.2.1. Faktor Sosial Ekonomi 3.2.1.1. Karakteristik Petani dan Keluarga Faktor sosial ekonomi yang pertama adalah karakteristik petani dan keluarganya. Diantara karakteristik petani dan keluarganya yang memengaruhi kualitas karet alam adalah usia, jumlah anggota keluarga, pendidikan, dan pendapatan keluarga. 1) Usia Penelitian Giroh et al. (2006) menunjukkan bahwa tenaga kerja atau petani perkebunan karet rakyat sebagian besar adalah orang yang telah tua. Jumlah orang tua yang lebih banyak memiliki dampak bahwa adopsi sebuah inovasi mungkin akan sulit dilakukan, sedangkan jika orang yang usianya lebih muda memiliki kemungkin yang lebih besar untuk melakukan adopsi dan penyebaran inovasi baru. Disamping itu, output per tenaga kerja petani yang lebih tua bisa jadi lebih rendah seiring dengan penurunan produktivitasnya. Hal tersebut memberikan pengertian bahwa usia akan berpengaruh terhadap upaya-upaya peningkatan kualitas karet yang pada akhirnya akan memengaruhi kualitas karet. Orang yang usianya lebih tua akan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk melakukan upaya peningkatan kualitas daripada petani yang lebih muda. Dan sebaliknya, petani 16
yang usianya lebih muda lebih besar kemungkinannya untuk melakukan upaya peningkatan kualitas yang lebih banyak dan beragam. Sehingga diduga petani yang berumur lebih muda memiliki kualitas produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang berusia lebih tua, meskipun Rogers (1983) menyatakan “earlier adopters are not different from later adopters in age”. Menurutnya terdapat bukti yang tidak konsisten mengenai hubungan usia dan keinovativan, yakni separuh dari 228 studi mengenai hal ini menunjukkan tidak adanya hubungan, 19 persen menunjukkan bahwa usia yang lebih muda lebih cepat mengadopsi dan 33 persen mengindikasikan sebaliknya. Untuk itu, penting kiranya diadakan suatu kajian mengenai hubungan antara usia petani karet dan kualitas bahan olah karet yang di hasilkannya. 2) Jumlah Anggota Keluarga Tentang faktor jumlah anggota keluarga, Giroh et al. (2006) menjelaskan bahwa ukuran (jumlah anggota) keluarga yang besar dapat dijadikan sebagai sumber tenaga kerja pertanian. Sehingga semakin besar jumlah anggota keluarga lebih memungkinkan untuk melakukan upaya peningkatan kualitas yang lebih banyak dan beragam. Karena itu, perlu diadakan kajian apakah petani karet yang jumlah anggota keluarganya lebih banyak memiliki kulitas produk yang lebih baik? 3) Tingkat Pendidikan petani Tentang pendidikan petani, Korelasi positif antara pendidikan dan adopsi inovasi baru telah ditemukan oleh van den Ban and Hawkins. Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa dengan adanya petani yang berpendidikan dalam jumlah yang besar, diharapkan petani akan dapat mengadopsi perubahan (inovasi) kualitas karet dengan mudah (Giroh et al, 2006). Dan pada akhirnya kualitas karet alam dapat ditingkatkan seiring dengan diadopsinya upaya-upaya peningkatan kualitas karet. Hal tersebut memberikan dugaan bahwa petani dengan tinggkat pendidikan lebih tinggi akan memroduksi bahan olah karet berkualitas lebih tinggi dibandingkan dengan petani berpendidikan lebih rendah. 4) Pendapatan keluarga Pendapatan keluarga diduga memengaruhi kualitas karet alam yang diproduksi petani. Petani dengan pendapatan lebih tinggi memiliki kemampuan
17
lebih besar untuk menjangkau upaya-upaya peningkatan kualitas karet. Misalnya penggunaan zat antikuagulan berupa amonia atau zat koagulan berupa asam semut. Namun, dugaan ini perlu dikaji lebih dalam, apakah pendapatan keluarga petani berpengaruh terhadap kualitas karet yang diproduksinya. 3.2.1.2. Harga produk dan Biaya Usahatani Sebelum membuat keputusan tentang perkebunannya, para petani mempertimbangkan sejumlah pemikiran terutama harga produk dan biaya produksi. Sehingga, harga produk setelah adanya inovasi dan biaya yang dikeluarkan karena adanya inovasi turut memengaruhi proses adopsi. Subejo (2000) mengungkapkan bahwa pertimbangan utama dalam proses adopsi adalah harga produk pertanian dan biaya produksi. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar petani memperhitungkan nilai input dan output pertanian yang diusahakannya. Dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas karet, upaya peningkatan kualitas akan berhasil apabila terdapat perbedaan harga bahan olah karet berdasarkan kualitas. Perbedaan harga ini diharapkan akan meningkatkan penerimaan petani yang lebih besar daripada kenaikan biaya produksinya. Apabila hal ini yang terjadi diduga harga dan biaya usahatani akan memengaruhi kualitas karet rakyat.
3.2.1.3. Faktor pendukung Dalam usahatani karet, faktor pendukung tergambar sebagai faktor yang memberikan dukungan informasi bagi petani untuk meningkatkan kualitas karet alam yang diproduksinya. Dukungan informasi ini dapat diperoleh dari sumbersumber informasi yang mampu dijangkau oleh petani. Giroh et al. (2006) telah mencatat berbagai hasil penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan sumbersumber informasi memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku adopsi para petani, karenanya penggunaan sumber informasi efektif pada tiap tahap proses adopsi. Hal ini mendukung pernyataan Rogers (1983) bahwa orang yang memiliki partisipasi sosial lebih banyak, hubungan luar yang luas, lebih sering berhubungan dengan PPL, mengakses media masa, dan memiliki pengetahuan tentang inovasi yang lebih luas akan lebih cepat mengadopsi suatu inovasi. Giroh et al. (2006) mengungkapkan bahwa banyak diantara petani karet sadar dengan adanya sumber-sumber informasi mengenai inovasi kualitas karet. Sumber-sumber informasi yang dapat digunakan oleh petani adalah teman dan
18
tetangga, pegawai pemerintah (PPL), Radio atau TV, perusahaan ban dan pengolahan karet dan lembaga riset nasional dalam bidang perkaretan. Oleh karena itu, petani yang memiliki sumber informasi lebih banyak, interaksi yang lebih luas dengan sumber informasi diduga memiliki kualitas karet yang lebih baik dibandingkan dengan petani yang sumberinformasi dan interaksinya lebih sedikit. 3.2.2. Faktor Teknis Selain kelompok faktor sosial ekonomi petani, kelompok faktor berupa faktor teknis diduga juga memengaruhi kualitas karet alam yang diproduksi petani karet. Faktor teknis yang dimaksud terdiri dari faktor usahatani termasuk alat dan bahan yang digunakan, dan upaya-upaya atau inovasi yang dilakukan oleh petani untuk meningkatkan kualitas karet alam yang diproduksinya. 3.2.2.1. Karakteristik Usahatani Faktor pertama yang termasuk kelompok faktor teknis adalah karakteristik usahatani. Diantara karakteristik ushatani yang memengaruhi kualitas karet alam adalah luas lahan perkebuann karet, dosis dan frekuensi pemupukan, frekuensi penyadapan, aktivitas terhadap produk sebelum penjualan dan peralatan yang digunakan dalam usahatani karet. Pada penelitian ini, faktor penerimaan dan biaya usahtani dimasukkan ke dalam kelompok faktor sosial ekonomi petani. Hal itu karena penerimaan dan biaya usahatani merupakan bagian dari ekonomi keluarga petani. Karakteristik usahatani yang dimaksud dalam penelitian ini adalah karakteristik usahatani yang terkait dengan teknis penyelenggaraan usahatani di areal pertanian. 1) Luas lahan Rogers (1983) menyatakan bahwa petani yang memiliki unit pertanian lebih luas akan lebih cepat dari pada petani yang memiliki lahan lebih sempit. Hal ini memberikan implikasi bahwa petani karet memiliki lahan lebih luas akan cepat mengadopsi inovasi yang berkaitan dengan peningkatan kualitas karet daripada petani berlahan sempit. Sehingga kualitas karet yang dihasilkan petani berlahan luas akan lebih cepat membaik daripada petani berlahan sempit. Namun dari sisi produksi karet,
penelitian yang dilakukan Herath dan Takeya (2003)
mendapatkan kesimpulan bahwa dampak lahan karet baik luas tanaman 19
menghasilkan, belum menghasilkan maupun kemiringannya tidak signifikan di dalam model. Karena itu, berkaitan dengan kualitas karet perlu dikaji hubungan antara luas lahan dan kualitas karet. 2) Pemupukan Bagi tanaman perkebunan lainnya, pemupukan berkorelasi positif terhadap kualitas hasil. Leonale dan Philippe (2007) telah melakukan studi mengenai hubungan antara pemupukan dan kualitas kopi arabika. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa penggunaan pupuk memiliki dampak yang positif terhadap ukuran dan berat biji yang merupakan aspek penilaian
kualitas biji
kopi.penggunaan pupuk juga dapat mengurangi kecacatan pada biji. Selain berpengaruh pada ukuran dan berat biji, pemupukan juga berpengaruh terhadap aroma dan rasa kopi. Diduga pemupukan juga berpengaruh terhadap kualitas karet alam. Karet dengan pemupukan pada waktu dan jumlah yang tepat akan memberikan hasil yang berkualitas. Sedangkan karet yang tidak dipupuk atau dipupuk dengan jumlah dan waktu yang tidak tepat akan menurunkan kualitas karet alam yang diproduksi petani. Dalam penelitian ini, dikaji hubungan antra frekuensi pemupukan dan kualitas karet yang dihasilkan. 3) Aktivitas sebelum penjualan (pemberian zat anti koagulan, penyimpanan untuk lump) Aktivitas sebelum penjualan diduga akan memengaruhi kualitas lateks ataupun lump. Aktivitas yang memengaruhi kualitas lateks adalah pemberian anti koagulan seperti amonia (NH ) atau natrium sulfit (Na SO ). Penggunaan zat anti 3
2
3
kuagulan ini akan mencegah terjadinya prakoagulasi (bekunya lateks sebelum pemberian koagulan). Sedangkan aktivitas yang memengaruhi kualitas lump adalah perendaman dalam air atau lumpur. Perendaman dalam air, penggunaan formalin sebagai pengawet lateks kebun, dan umur bahan olah yang terlalu lama dapat menyebabkan penurunan nilai Po (plastisitas sebelum dipanaskan). Perendaman dalam lumpur menyebabkan karet kotor dan berpasir. Aktivitas yang tepat sebelum penjualan akan membuat kualitas bokar menjadi lebih baik, dan sebaliknya. Aktivitas yang tidak tepat sebelum penjualan akan mengakibatkan hasil yang lebik buruk.
20
4) Peralatan dan bahan yang digunakan dalam usahatani karet Direktorat Penanganan Pasca Panen (2007) menyatakan bahwa Lateks kebun yang bermutu baik merupakan syarat utama untuk mendapatkan hasil bokar yang baik. Penurunan mutu biasanya terjadi disebabkan oleh proses prakoagulasi. Untuk mencegah terjadinya prakoagulasi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (a) Alat-alat penyadapan dan pengangkutan harus senantiasa bersih dan tahan karat; (b) Lateks harus segera diangkut ke tempat pengolahan tanpa banyak goncangan; (c) Lateks tidak boleh terkena sinar matahari langsung; dan (d) Dapat menggunakan anti koagulan seperti amonia (NH ) atau natrium sulfit (Na SO ). 3
2
3
Peralatan yang memengaruhi kualitras karet alam adalah alat-alat perlengkapan sadap dan pengolahan di tingkat petani. Perlengkapan sadap meliputi pisau sadap, talang (spout) lateks, mangkuk, cincin mangkuk dan tali cincin, zat anti koagulan dan ember penampung lateks. Sedangkan peralatan pengolahan di miliki oleh petani yang mengolah lateksnya menjadi lump baik dalam mangkuk ataupun kotak. Alat dan bahan tambahan yang digunakan adalah koagulan (pembeku), bak pembekuan dan tempat penyimpanan lump. Pisau sadap, talang (spout) lateks, mangkuk, cincin mangkuk, tali cincin, ember penampung lateks, bak pembeku dan tempat penyimpan lump berpengaruh pada kualitas karet terutama terkait dengan kemurnian lateks (getah karet) atau koagulump yang diperoleh dari pohon karet. Kebersihan peralatan sadap akan menjamin tidak adanya kontaminan berupa daun, ranting tatal dan sisa lateks yang telah menggumpal dan berwarna hitam. Zat anti kogulan akan menentukan kualitas karet terutama berkaitan dengan kemurnian lateks dan menjamin agar lateks tidak menggumpal. Sedangkan koagulan berpengaruh pada kualitas lump berupa kekenyalan, kebersihan dan bau. 3.2.2.2. Upaya-Upaya Peningkatan Kualitas Selain faktor-faktor yang berkaitan dengan sosial ekonomi dan faktor usahatani, kualitas karet juga berkaitan dengan upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh petani untuk meningkatkan mutu karetnya. Giroh et al. (2006) mencatat bahwa tingkat adopsi mengacu pada jumlah teknologi peningkat hasil yang umumnya digunakan oleh petani. Teknologi peningkat hasil yang umumnya digunakan oleh petani dijelaskan oleh Giroh et al. (2006) dalam bentuk upaya-
21
upaya meningkatkan kualitas karet. Upaya-upaya tersebut adalah (1) pembukaan perkebunan sebelum memulai menyadap yang meliputi pengukuran lingkar batang layak sadap, penggambaran, dan pembuatan bidang sadap untuk tanaman baru, dan pengambilan lateks sisa penyadapan yang lalu yang telah menggumpal (scrap) di bidang sadap kemudian memisahkannya dengan lateks, (2) membersihkan mangkuk pengumpul sebelum menyadap, (3) membersihkan kotak pembeku (koagulasi) sebelum menggunakan, (4) menyimpan bekuan di tempat yang tinggi dan telah disemen, (5) menggunakan penyadap terlatih, (6) menggunakan amonia sebagai anti koagulan. Sebagai tambahan adalah (7) penggunaan asam semut sebagai koagulan bagi petani yang bentuk produksinya berupa lump. Hal tersebut memberikan pengertian bahwa petani yang lebih banyak menggunakan dan melakukan upaya diatas memiliki kualitas karet yang lebih baik dibandingkan petani yang melakukan upaya yang lebih sedikit. 3.3. Jenis-Jenis Bahan Olah Karet Jenis karet alam yang diproduksi oleh petani Indonesia biasanya dijual dalam bentuk bahan olah karet. Bahan olah karet adalah
lateks kebun serta
gumpalan lateks kebun yang diperoleh dari pohon karet Hevea brasiliensis. Beberapa kalangan menyebut bahan olah karet bukanlah hasil produksi perkebunan besar, namun merupakan bahan olah karet rakyat (bokar) yang biasanya diperoleh dari petani yang mengusahakan kebun karet (perkebunan rakyat). Nazaruddin dan Paimin (1992) menyatakan bahwa bahan olah karet dibagi menjadi empat macam menurut pengolahannya. Keempat macam bahan olah karet yaitu: 1) Lateks Kebun Lateks kebun adalah cairan getah yang didapat dari bidang sadap pohon karet. Cairan getah ini belum mengalami penggumpalan baik dengan atau tanpa bahan pencegah penggumpalan (zat antikoagulan). Sebagian petani karet menjual hasil produksi karetnya dalam bentuk lateks kebun ini. Lateks kebun dibedakan menjadi dua golongan kualitas yaitu lateks kebun kualitas satu dengan kadar karet kering 28 persen dan lateks kebun kualitas dua dengan kadar karet kering 20 persen. Latek kebun yang baik harus memenuhi
22
beberapa kriteria antara lain tidak terdapat kotoran seperti daun atau kayu, tidak tercampur dengan air atau yang lainnya, berwarna putih dan berbau karet segar. 2) Sheet Angin Sheet angin adalah bahan olah karet yang dibuat dari lateks yang sudah disaring dan digumpalkan dengan asam semut, berupa lembaran karet yang sudah digiling tetapi belum jadi. Pembuatan sheet angin mengharuskan adanya penggilingan pada gumpalan karet untuk mengeluarkan air dan serumnya. Sheet angin tidak boleh terkena sinar matahari langsung atau air selama penyimpanan dan kotoran tidak boleh terlihat. Sheet angin dibedakan menjadi dua golongan kualitas. Sheet angin kualitas satu memiliki kadar karet kering 90 persen dan sheet angin kualitas dua memiliki kadar karet kering 80 persen. Sheet angin dapat dibuat dengan dua ukuran ketebalan yaitu 3 mm atau 5 mm. 3) Slab Tipis Slab tipis adalah bahan olah karet yang terbuat dari lateks yang sudah digumpalkan dengan asam semut. Slab tipis memiliki ketebalan 30 mm atau 40 mm. Dalam proses pembuatan slab tipis, air atau serum harus dikeluarkan dengan cara digiling atau dipompa. Selama penyimpanan, slab tipis tidak boleh terkena sinar matahari langsung atau terendam air dan kotoran tidak boleh terlihat. Slab tipis dibedakan menjadi dua kualitas yaitu kualitas satu dengan kadar karet kering 70 persen dan kualitas dua dengan kadar karet kering 60 persen. 4) Lump Segar Lump segar adalah bahan olah karet yang bukan berasal dari gumpalan lateks kebun yang terjadi secara alamiah dalam mangkuk penampung lateks. Lump segar yang bauk memiliki ketebalan 40 mm atau 60 mm. Lump segar merupakan jenis karet yang banyak dijual oleh petani karet. Lump segar yang baik tidak memperlihatkan adanya kotoran dan tidak terkena sinar matahari langsung atau terendam air. Lump segar juga digolongkan kedalam dua golongan kualitas. Lump segar kualitas satu memunyai kadar karet kering 60 persen dan kualitas dua memunyai kadar karet kering 50 persen.
23
3.4. Konsep Diferensiasi Harga Banyak produk pertanian tertentu berbeda dalam hal atribut seperti ukuran, warna, tingkat kelembaban, kadar protein, dan proporsi kerusakan atau kotoran, dan harga seringkali berbeda tergantung grade, kelas dan varietas. Differensiasi harga berdasarkan kualitas terkadang dibedakan dengan harga premi (lebih tinggi) atau diskon (lebih rendah). Perbedaan harga ini mungkin berubah tiap waktu, tetapi dengan variasi yang biasanya relatif kecil disekitar tingkat harga rata-rata. Harga-harga untuk semua grade suatu komoditi cenderung berfluktuasi bersama meskipun harga premium dan diskon antar-grade sering berubah dari musim ke musim dan mungkin menunjukkan suatu tren (Tomek dan Robinson, 1972). Di antara sekian banyak produk pertanian yang memiliki diferensiasi harga berdasarkan kualitas atau grade adalah karet alam. Harga karet alam yang diterima oleh produsen karet alam (mulai dari petani hingga pengolah) tergantung pada jenis dan kualitas bahan olah karet yang diproduksi. Untuk setiap bahan olah karet, kualitas dibedakan berdasarkan kadar karet kering, proporsi kotoran, warna, dan bau. Demi mempermudah proses, perbedaan harga biasanya hanya didasarkan pada kadar karet, khususnya untuk bahan olah karet berbentuk lateks kebun. 3.5. Konsep Usahatani Bachtiar Rifa’i menyatakan pengertian usahatani adalah setiap organisasi dari alam, tenaga kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Ketatalaksanaan organisasi itu sendiri diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang-orang. Dari batasan itu dapat diketahui bahwa usahatani terdiri atas manusia petani (bersama keluarganya), tanah (bersama dengan fasilitas yang ada di atasnya seperti bangunan-bangunan, saluaran air), dan tanaman, hewan serta ternak (Soeharjo dan Patong, 1973). Istilah usahatani mencangkup pengertian yang lebih luas, mulai dari bentuk yang paling sederhana sehingga yang termodern. Dengan demikian usahatani dapat dipandang sebagai suatu “art” atau way of life atau sebagai “business” ataupun kombinasi dari hal-hal tersebut (Soeharjo dan Patong, 1973). Penjelasan yang diberikan oleh Bachtiar Rifa’i mengenai definisi usahatani memberikan pemahaman bahwa usahatani karet merupakan pengorganisasian atau
24
penggunaan input alam seperti tanah, bibit karet, modal dan tenaga kerja untuk memroduksi lateks (getah karet) yang selanjutnya diolah menjadi bahan olahan karet. Usahatani karet merupakan proses berkelanjutan mulai penanaman, perawatan, penyadapan dan aktivitas pengolahan hasil sadapan (lateks) hingga penjualan oleh pelaku usahatani (petani). Pengertian yang dikemukakan oleh Bachtiar Rifa’i ini langsung memberikan batasan mengenai usahatani karet yang dimaksud disini, yaitu usahatani karet yang dilakukan oleh petani (smallholder) atau sering disebut perkebunan karet rakyat. 3.6. Konsep Pendapatan Usahatani Penerimaan usahatani merupakan nilai uang dari produk yang dihasilkan oleh suatu kegiatan usahatani, biaya usahatani adalah semua biaya atau uang yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan kegiatan usahatani, dan pendapatan usahatani merupakan pengurangan dari penerimaan dan biaya usahatani. Pendapatan akan diterima oleh petani ketika penerimaan lebih besar daripada biaya yang dikeluarkanya. Pendapatan inilah yang diinginkan oleh petani dari penyelenggaraan usahataninya, dan dengan pendapatan pula petani dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendapatan yang semakin tinggi menjadikan petani berkemampuan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan lebih baik. Soekartawi (2002) menyatakan bahwa penerimaan usahatani adalah hasil perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut: TR= Y. Py Yaitu: TR = Total penerimaan Y
= produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani
Py = Harga Y Biaya usahatani biasanya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: (a) biaya tetap (fixed cost) dan (b) biaya tidak tetap (Variable cost). Total biaya (TC) adalah jumlah dari biaya tetap (FC) dan biaya tidak tetap (VC); maka: TC = FC + VC
25
Pendapatan usahatani adalah selisisih antara penerimaan dan semua biaya. Jadi: Pd = TR – TC Pd = pendapatan usahatani TR = total penerimaan TC = total biaya Dalam analisis usahatani dikenal adanya analisis R/C (return cost ratio) yaitu perbandingan antara peneriamaan dan biaya usahatani. R/C dapat ditulis secara matematik sebagai barikut: .
/
Secara teoritis dengan rasio R/C = 1 artinya tidak untung dan tidak pula rugi, namun karena adanya biaya usahatani yang kadang-kadang tidak dihitung, maka kriteria ini dapat diubah menurut keyakinan peneliti. Misalnya R/C yang lebih dari satu, bila suatu usahatani menguntungkan, atau dapat saja dipakai R/C minimal 1,5 atau 2,0 baru dikatakan bahwa usahatani menguntungkan. Biasanya, akan lebih baik kalau analisis R/C ini dibagi menjadi dua, yaitu menggunakan data pengeluaran (biaya produksi) yang secara riil dikeluarlan oleh petani dan yang menggunakan biaya diperhitungkan yang sesungguhnya tidak dikeluarkan opleh petani. Dengan cara cara seperti ini ada dua macam R/C yaitu: a.
R/C berdasarkan data apa danya (Tipe I).
b.
R/C berdasarkan data biaya diperhitungkan yaitu dengan memperhitungkan tenaga kerja keluarga, sewa lahan (andaikan lahan dianggap menyewa), alat pertanian (andaikan alat pertanian dianggap menyewa), dan sebagainya (Tipe II).
Dengan cara seperti itu, nilai R/C tipe I selalu lebih besar dibandingkan tipe II. (Sokertawi 2002). 3.7. Anggaran Keuntungan Parsial Anggaran keuntungan parsial digunakan untuk melihat suatu perubahan metode produksi dengan kriteria keuntungan atau engahsilan bersih. Anggaran 26
parsial dapat digunakan untuk melihat keuntungan dengan sedikit perubahan serta tidak memerlukan informasi yang dipengaruhi oleh perubahan yang sedang diamati (Suratiyah 2006). Secara umum anggaran parsial mempertimbangkan empat komponen sebagai berikut: a)
Tambahan pengeluaran atau pengeluaran baru.
b) Penerimaan yang hilang. c)
Pengeluaran yang dihemat atau tidak jadi dikeluarkan.
d) Penerimaan tambahan atau peneriamaan baru. Selisih antara (c+d) dengan (a+b) menunjukkan apakah perubahan yang direncanakan menguntungkan. Jika (c+d) lebih besar dari (a+b) maka perubahan yang direncanakan akan meningkatkan pendapatan usahatani sehingga layak untuk diusahakan. 3.8. Diagram Alur Pemikiran Kualitas karet alam yang dihasilkan oleh petani karet rakyat beragam kualitasnya, dan tidak semuanya memenuhi standar kualitas yang diinginkan oleh pasar. Untuk itu diperlukan peningkatan kualitas karet rakyat. Meskipun karet yang diterima konsumen akhir (dalam hal ini industri) dalam bentuk bahan setengah jadi, namun peningkatan kualitas tidak bisa hanya ditekankan pada produk akhir. Peningkatan kualitas karet harus dimulai di tingkat usahatani dimana lateks dihasilkan. Peningkatan kualitas ini harus dilakukan terus menerus dan harus diperhatikan sejak awal dimulainya usahatani karet. Cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kualitas karet rakyat adalah dengan meningkatkan pengetahuan petani mengenai perkaretan rakyat baik teknis maupun nonteknis dengan cara membentuk sentra-sentra produksi karet. Dengan adanya sentra produksi karet, diharapkan produksi karet nasional dapat meningkat dan penjagaan terhadap kualitas lebih mudah dilakukan. Seiring dengan perubahan yang terjadi pada kondisi pertanian di sentra produksi dan sekitarnya, penanaman karet tidak hanya dilakukan di sentra produksi karet. Penanam karet mulai dikembangkan di desa yang sebelumnya direncanakan sebagai sentra produksi beras. Sehingga produksi karet rakyat sekarang ini dapat dibedakan berdasarkan
27
daerah asalnya yaitu desa program pengembangan karet dan desa non program pengembangan karet. Dalam penelitian ini, desa program pengembangan karet merupakan desa yang pernah mendapatkan program berupa pengadaan bibit, bantuan teknis, dan pengelolaan perkebunan oleh dinas pertanian meskipun saat ini program tersebut telah berhenti dan penyelenggaraan telah diserahkan sepenuhnya kepada petani pemilik lahan. Sedangkan desa non program adalah desa yang sejak awal tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah terkait dengan penanaman karet. Peningkatan kualitas karet alam rakyat
Karakteristik usahatani
Perkebunan karet rakyat di desa program pengembangan karet
Karakteristik pribadi petani Faktor pendukung
Perkebunan karet di desa non program pengembangan karet
Upaya-upaya peningkatan kualitas Kualitas karet
Dibandingkan
Kualitas karet
Pendapatan usahatani
Dibandingkan
Pendapatan usahatani
Gambar 2. Diagram alur pemikiran
Kualitas karet yang dihasilkan oleh kedua kelompok desa tersebut diduga berbeda. Keragaman tersebut disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat muncul dari luar maupun dari dalam usahatani. Diduga ada dua kelompok faktor yang
28
memengaruhi kualitas karet ditingkat usahatani. kedua kelompok tersebut adalah faktor sosial ekonomi petani dan faktor teknis (Gambar 2). Kelompok faktor sosial ekonomi yang dapat dikaji antara lain karakteristik petani dan keluarga, harga output, dan faktor pendukung berupa sumber informasi yang digunakan oleh petani untuk mengetahui hal-hal tentang perkaretan. Sedangkan faktor teknis terdiri dari faktor usahatani termasuk alat dan bahan yang digunakan, dan upayaupaya atau inovasi yang dilakukan oleh petani untuk meningkatkan kualitas karet alam yang diproduksinya. Karakteristik petani dan keluarganya yang diduga memengaruhi kualitas karet alam adalah usia, jumlah anggota keluarga, pendidikan, dan pendapatan keluarga. Setelah kelompok desa petani ditentukan, kualitas karet alam yang dihasilkan petani di kedua kelompok desa tersebut dibandingkan. Karet alam yang dihasilkan oleh petani karet dapat berupa lateks ataupun lump (dalam penelitian ini hanya dikaji yang berbentuk lump). Keduanya memiliki parameter kualitas yang berbeda. Parameter yang biasa digunakan untuk kualitas lateks di tingkat usahatani adalah kadar karet. Sedangkan parameter kualitas lump yang digunakan adalah parameter visual berupa warna, kekenyalan, kadar kotoran dan bau. Dengan parameter kualitas ini, karet alam dapat dibedakan kualitasnya. Perbedaan kualitas menjadikan harga yang diterima petani menjadi berbeda-beda. Penerimaan berdasarkan
usahatani
kualitas
diketahui
dikalikan
dengan
dengan jumlah
mengalikan produksinya.
harga
karet
Kemudian,
pendapatan petani karet akan diketahui setelah biaya penyelenggaraan usahatani termasuk biaya peningkatan kualitas diketahui. Selanjutnya, pendapatan dari masing-masing kelompok dibandingkan dan dianalisis apakah desa program pengembangan karet sebagai salah satu cara peningkatan kualitas karet alam memberikan keuntungan bagi petani. Hal ini penting untuk dilakukan karena perbaikan kualitas baru akan berhasil apabila petani dapat merasakan dampak positif berupa keuntungan tambahan dengan meningkatnya kualitas karet yang dihasilkannya.
29
IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung.
Daerah tersebut dipilih secara sengaja
(purposive) dengan pertimbangan bahwa pada daerah tersebut (Kabupaten Tulang Bawang) memiliki areal tanaman karet rakyat menghasilkan terluas di Provinsi Lampung berdasarkan Statistik Perkebunan Indonesia tahun 2007. Kecamatan Tulang Bawang Tengah dipilih karena memiliki luas perkebunan karet rakyat terluas di Kabupaten Tulang Bawang berdasarkan statistik perkebunan dan kehutanan kabupaten Tulang Bawang tahun 2008. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Agustus 2009. 4.2. Metode Penentuan Sampel Metode penentuan sample digunakan untuk memperoleh data primer. Data primer diusahakan dapat mewakili populasi yang ada, karena tidak semua petani karet (anggota populasi) dijadikan sumber data primer.
Hanya petani
sample yang akan dijadikan sumber data primer. Metode yang digunakan dalam penentuan sample adalah Stratified Cluster Sampling. Stratified sampling digunakan dengan cara membagi desa-desa di Kecamatan Tulang Bawang Tengah menjadi strata yang homogen. Kecamatan Tulang Bawang Tengah terdiri dari 13 desa yaitu Desa Panaragan Jaya, Tirta Kencana, Mulyakencana, Penumangan Baru, Bandar Dewa, Menggala Mas, Panaragan Kampung, Penumangan Lama, Candra Kencana, Mulya Asri, Tunas Asri, Wonokerto, dan Pulung Kencana. Tigabelas desa tersebut dibagi menjadi dua kelompok desa atau strata yakni kelompok desa dengan program pengembangan karet dan desa tanpa program pengembangan karet. Dari tigabelas desa tersebut, empat desa merupakan desa program pengembangan karet yaitu Panaragan Jaya, Tirta Kencana, Mulyakencana, dan Penumangan Baru. Sedangkan desa non program pengembangan karet yaitu Bandar Dewa, Menggala Mas, Panaragan Kampung, Penumangan Lama, Candra Kencana, Mulya Asri, Tunas Asri, Wonokerto, dan Pulung Kencana.
30
Kelompok desa program diwakili oleh Desa Tirta Kencana yang dipilih secara purposive dengan pertimbangan lamanya petani mengelola perkebunan karet (paling lama dibandingkan dengan desa lainnya) dan dukungan penyalur/penangkar benih (terbanyak di Tulang Bawang). Sedangkan kelompok desa non program diwakili oleh Desa Pulung Kencana dan Desa Bandar Dewa yang dipilih dengan cara random sampling dari sembilan desa non program pengembangan karet di Kecamatan Tulang Bawang Tengah. Cluster sampling digunakan untuk memilih responden dari masing-masing desa terpilih. Desa Tirta Kencana diklaster berdasarkan wilayah administrasi di bawah desa yakni RK (Rukun Keluarga) atau dusun yang setara dengan RW. Setelah tiap-tiap RK diindentifikasi, dilakukan pendataan calon responden di masing-masing RK. Data calon responden diperoleh dari data kependudukan Desa Tirta Kencana. Dari masing-masing RK dipilih petani responden secara proporsional dengan simple random sampling. Sehingga semakin banyak petani karet di suatu RK semakin banyak petani respondennya. Dari Desa Tirta Kencana diambil 32 petani responden. Desa Pulung Kencana diklaster berdasarkan kelompok tani yang ada di desa tersebut. Identifikasi kelompok tani dilakukan dengan menggunakan data statistik perkebunan dan kehutanan Kabupaten Tulang Bawang tahun 2008. Setelah itu, pendataan calon responden dilakukan dengan cara bertanya atau wawancara kepada tiap-tiap ketua kelompok tani mengenai nama petani anggota kelompok yang memiliki kebun karet yang telah berproduksi. Dari masing-masing kelompok tani dipilih petani responden secara proporsional dengan simple random sampling. Data calon responden Desa Bandar Dewa diperoleh dengan cara bertanya kepada kepala desa mengeni petani-petani yang memiliki kebun karet yang telah berproduksi. Petani responden secara proporsional dengan simple random sampling dari data yang diperoleh. Dari desa Pulung Kencana dan Bandar Dewa diambil 32 petani responden, 20 petani dari Desa Pulung Kencana dan 12 petani dari Desa Bandar Dewa. Tabel jumlah responden masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel 5.
31
Tabel 5. Jumlah Responden Berdasarkan Cluster di Masing-Masing Desa Penelitian No 1
2
3
Jumlah Calon Responden (orang) 1956
Jumlah Responden (orang) 32
RK 1 (Dusun Tanjung Mas)
326
6
RK 2 (Dusun Sido Dadi)
248
4
RK 3 (Dusun Kauman)
224
4
RK 4 (Dusun Sumber Rejo)
271
4
RK 5 (Dusun Wido Daren)
324
5
RK 6 (Dusun Malang Rejo)
270
4
RK 7 (Dusun Wono Rejo)
293
5
Desa Pulung Kencana
73
20
Kelompok Tani Mulyo dadi
33
9
Kelompok Tani Rukun Santosa
14
Kelompok Tani Sido Dadi II
3
Kelompok Tani Suka Maju
2
Kelompok Tani Trimo Maju
4
Kelompok Tani Tunas Remaja
6
Kelompok Tani Sri Rezeki
7
Kelompok Tani Aril
4
Desa Bandar Dewa
32
Cluster Desa Tirta Kencana
Total
5
6
12 64
4.3. Desain penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode survei. Menurut Nazir (2005), metode survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keteranganketerangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok atau suatu daerah. Metode survei membedah dan menguliti serta mengenal masalah-masalah serta mendapatkan pembenaran terhadap keadaan dan praktik-praktik yang sedang berlangsung. Dalam metode survei juga dikerjakan evaluasi serta perbandingan-perbandingan terhadap hal-hal yang telah dikerjakan
32
orang dalam menangani situasi atau masalah yang serupa dan hasilnya digunakan dalam pembuatan rencana dan pengambilan keputusan dimasa yang akan datang. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dari petani karet merupakan keterangan-keterangan tentang gejala-gejala dalam usahatani karet yang berkaitan dengan faktor kualitas. Data yang diperoleh dari tiap kelompok faktor kemudian diperbandingkan, yang pada akhirnya menghasilkan kesimpulan. 4.4. Data dan Instrumentasi Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari petani karet baik petani di desa program pengembangan karet maupun di desa non program pengembagan karet. Data primer yang diambil meliputi karakteristik petani responden dan karakteristik usahatani. Data karakteristik petani responden meliputi usia, jumlah anggota keluarga, pendidikan, pengalaman dam bertani karet, dan pendapatan rumah tangga. Sedangkan data karakteristik usahatani meliputi jenis bibit, pemupukan, penyadapan, komponen biaya usahatani dan komponen pendapatan. Alat yang digunakan untuk memperoleh data primer yaitu kuesioner, contoh bahan olah karet, alat pencatat dan penyimpan elektronik. Data yang hendak digali untuk keperluan penelitian ini antara lain karakteristik usahatani karet yang dilakukan responden,
karakteristik pribadi dan keluarganya, serta
usaha-usaha yang dilakukan oleh patani karet dalam rangka peningkatan mutu bahan olah karet yang dihasilkannya.
Data primer yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan data cross section. Data sekunder merupakan data yang digunakan untuk melengkapi data primer.
Data sekunder meliputi data statistik daerah maupun nasional dan data
tentang kondisi lokasi penelitian.
Data sekunder diperoleh dari lembaga
administrasi desa, kecamatan, dan kabupaten, dinas pertanian kabupaten, buku, laporan penelitian, dan internet. 4.5 Metode Pengumpulan Data Data primer dikumpulkan dengan teknik wawancara langsung dengan dipandu kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya. Wawancara dilakukan
33
sendiri oleh peneliti dibantu dengan seorang enumerator (pewawancara) selama 16 hari, dimulai pada taanggal 30 April 2009 hingga 14 Mei 2009. Wawancara dilakukan kepada petani karet ketika mereka sedang tidak ke kebun yaitu pagi hari jika malam sebelumnya hujan, sepulang mereka menyadap (menunggu getah menetes), ba’da dzuhur hingga ba’da ‘isya (sekitar pukul 21.00 WIB) 4.6. Metode Pengukuran Kualitas Karet Perkebunan Rakyat Dalam penelitian ini, kualitas karet rakyat diukur berdasarkan persepsi petani terhadap karet produksinya. Persepsi petani terhadap kualitas karet produksinya diukur dengan menggunakan skala 1 hingga 10. Skala ini ditetapkan untuk memudahkan petani dalam melakukan penilaian. Pengukuran kualitas dengan persepsi petani digunakan untuk menjaga objektivitas dalam penilaian terhadap kualitas karet petani. Hal itu didasarkan pada metode pengukuran kualitas bokar (kuagulump) di lapang (daerah penelitian) hanya menekankan pada aspek visual dan fisik, sedangkan orang yang paling mengetahui kondisi fisik dan visual bokar adalah petani sendiri. Selain itu, dalam ketentuan-ketentuan bokar (koagulump) yang baik, Nazaruddin dan Paimin (1992) menyebutkan tiga ketentuan visual dan fisik yang mudah diamati petani dari empat ketentuan yang ada. Tiga ketentuan visual dan fisik yang mudah diamati petani adalah: 1) Tidak terlihat adanya kotoran. 2) Selama penyimpanan tidak boleh terendam air atau terkena sinar matahari langsung. 3) Tingkat ketebalan pertama 40 mm dan tingkat ketebalan kedua 60 mm. Sedangkan satu ketentuan yang tidak diketahui petani adalah kadar karet kering. Nazaruddin dan Paimin (1992) menyebutkan bahwa kadar karet kering lump atau koagulump segar mutu 1 adalah 60 persen dan mutu 2 adalah 50 persen. Dalam pengambilan data kualitas, ketentuan ini didekati dengan menjelaskan kepada petani bahwa salah satu aspek yang perlu dilihat dalam memberikan penilaian adalah kadar air dan kekenyalan koagulump. Persepsi petani terhadap kualitas karet produksinya dimunculkan dengan memberikan contoh bahan olah karet terbaik (Gambar 3). Petani diminta memberikan penilaian terhadap karet produksinya jika bahan olah karet terbaik 34
tersebut diberikan nilai tertinggi yakni 10. Bahan olah karet terbaik dibuat dengan menggunakan petunjuk di dalam Pedoman Teknis Pengolahan Ribbed Smoked Sheet yang diterbitkan oleh Balai Penelitian Perkebunan Karet Bogor.
Gambar 3. Bahan Olah Karet Kualitas 10 dengan skala Pengukuran 1 hingga 10. Pedoman teknis penggumpalan lateks yang digunkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Bahan penggumpal Bahan penggumpal yang biasa digunakan adalah asam format 1 persen (b/v) atau asam cuka larutan 2 persen. Asam format harganya lebih murah daripada asam cuka, sehingga pengusaha lebih suka menggunakan asam format. Dalam perdagangan, asam format dijual sebagai asam format pekat yang kadarnya 90 persen (b/v). Karena itu, dalam penggumpalan lateks kebun asam format harus diencerkan terlebih dahulu. Persamaan pengenceran yang digunakan adalah:
. .
C1 adalah konsentrasi awal (90 persen) dan V1 adalah Volume awal, sedangkan C2 adalah konsentrasi yang diinginkan (1 persen) dan V2 adalah volume yang diperoleh dari hasil pengenceran. Sehingga jika ada 10 ml asam format 90 persen maka agar menjadi 1 persen ditambakan air hingga volumenya mencapai 900 ml atau ditambah air 890 ml. 2) Cara penggumpalan Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam proses penggumpalan lateks yaitu:
35
a) Pemberian asam format terlalu banyak akan membuat koagulump keras, akan tetapi jika lateksnya terlalu banyak maka tidak akan terjadi gumpalan (larutan akan membubur). b) Pengenceran lateks diatas kadar karet kering standar (15 persen) akan membuat lump keras, dan jika dibawah standar lump menjadi lunak. c) Jika campuran lateks dan koagulan dibiarkan lama akan menjadi keras. Dalam proses penggumpalan lateks, 370 ml asam format 1 persen atau asam cuka 2 persen digunakan untuk menggumpalkan 1 kg karet kering atau 55,5 mililiter asam semut untuk 11 liter lateks berkadar karet kering 15 persen (Suseno 1989). Metode pengukuran kualitas yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pendekatan untuk memperoleh gambaran mengenai kualitas karet yang sesungguhnya. Metode pengukuran kualitas yang digunkan ini memiliki kekurangan atau kelemahan dibandingkan metode pengukuran kualitas yang digunakan di lembaga-lembaga penelitian karet. Kekurangan atau kelemahan metode pengukuran kualitas dalam penelitian ini meliputi dua aspek yaitu: a)
Parameter kualitas karet yang sesungguhnya adalah parameter fisik dan kimia yang meliputi kadar kotoran, warna, kadar abu, kadar karet kering, plastisitas awal (P0), indeks katahanan plastisitas (PRI), kadar kotoran, viskositas mooney (VR). Dalam penelitian ini parameter kualitas hanya dilihat dari aspek fisik yaitu kekenyalan, kadar air, warna, bau, dan kadar kotoran, yang semuanya diukur secara kasat mata.
b) Dalam penelitian ini, penilaian kualitas diserahkan sepenuhnya kepada petani pemilik produk, bukan tengkulak atau lembaga penelitian. Meskipun memiliki kelemahan dan kekurangan, metode ini tetap digunakan dengan empat pertimbangan yaitu: a)
Pengukuran kualitas dengan parameter yang sesungguhnya sangat sulit dilakukan terkait keterbatasan peralatan yang ada di lapang.
b) Pengukuran kualitas yang dilakukan oleh tengkulak sebelum pembelian hanya menggunakan parameter fisik secara visual. c)
Meskipun pengukuran kualitas di lapangan (kondisi aktual) dilakukan oleh tengkulak, pada penelitian ini penilaian diserahkan kepada petani dengan
36
alasan tengkulak yang datang kepada satu petani berbeda-beda, dan petani lebih mengetahui ada tidaknya kotoran di dalam koagulumpnya karena petani sendiri yang mengolahnya. d) Tidak adanya lembaga penelitian atau ahli kualitas karet di sekitar wilayah penelitian. 4.7. Metode Analisis Data yang diperoleh dari wawancara dengan petani ditranformasi ke dalam bentuk tabel. Hal ini perlu dilakukan agar data yang diperoleh lebih mudah dibaca dan dipahami. Data yang telah mengalami tranformasi, digunakan sebagai masukan untuk analisis selajutnya. Analisis yang dilakukan antara lain analisis faktor-faktor yang memengaruhi kualitas karet, dan analisis pendapatan usahatani karet. 4.7.1. Transformasi Data Transformasi data dilakukan dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan statistik deskriptif berupa mean dan persentase. Dalam tabel frekuensi, data mentah diatur dalam kelas yang besar interval kelasnya sama. Interval kelas dicari setelah jumlah kelas ditentukan. Nazir (2005) menyebutkan persamaan untuk mencari besar interval kelas yaitu:
di mana: I = besar interval kelas R = range atau panjang kelas (nilai maksimum dikurangi nilai minimum) k = jumlah kelas Mean dicari dengan menggunakan rumus:
Xi = data ke-i
n = jumlah data Persentase ditentukan dengan menggunakan persamaan:
x 100
37
Statistik dasar juga digunakan dalam transformasi data dalam peneliian ini. Statistik dasar yang digunakan adalah uji perbedaan dengan menggunakan uji T. Dalam penelitian ini, tingkat kepercayaan yang digunakan dalam uji satatistik dasar adalah 80 persen (α = 20 persen) atau lebih dari 80 persen (α < 20 persen). Setelah data ditransformasi, data diintepretasi dan digunakan sebagai input dalam analisis faktor-faktor yang memengaruhi kualitas karet perkebunan rakyat. Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang memengarui kualitas dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif yng digunakan adalah analisis domain dan analisis taksonomik. Analisis domain digunakan untuk menganalisis faktor secara umum dan menyeluruh, sedangkan analisis taksonomik digunakan untuk menganalisis faktor secara lebih detail. Analisis kuantitatif yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kualitas adalah Model Regresi Logistik Biner yaitu model regresi dengan variabel dependen yang bersifat dikotomous (hanya mememiliki dua kemungkinan nilai). Penggunaan dua metode dalam analisis faktor-faktor yang memengaruhi kualitas bertujuan agar kedua alat analisis dapat melengkapi jika terdapat kekurangan di dalah satu metode analisis misalkan adanya faktor yang tidak mampu dianalisis oleh satu metode namun mampu dianalisis oleh metode yang lain. Selain itu, penggunaan dua metode diharapkan mampu memberikan penguatan hasil antara satu metode dengan metode yang lain. 4.7.2. Teknik Analisis Domain Bungin (2003) menyatakan bahwa teknik analisis domain digunakan untuk menganalisis gambaran objek penelitian secara umum atau ditingkat permukaan namun relatif utuh tentang objek penelitian tersebut. Metode ini digunakan untuk penelitian yang bersifat eksplorasi. Domain atau kategori simbolik dari objek penelitian dapat bervariasi. Bervariasinya domain itu membuat domain-domain dapat dikelompokan berdasarkan kesamaan antar domain dan ditentukan hubungan domain tersebut terhadap suatu variabel pengamatan. Dalam penelitian ini domain-domain tersebut adalah faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap kualitas dan variabel pengamatan adalah kualitas karet.
38
Sehubungan dengan kemungkinan bervariasinya domain, maka Spradley menyarankan hubungan semantik (Semantic Relationship) yang bersifat universal dalam Analisis Domain yaitu hubungan jenis (strict inclution), ruang (spatial), sebab-akibat (cause-effect), rasional (rasionale), lokasi kegiatan (location for action), cara ke tujuan (means-end), fungsi (function), urutan (squence), atribut (atribution) Tabel 6. Pola Hubungan Semantik Hubungan Semantik
Bentuk Hubungan
Jenis (Strict Inclution)
X adalah jenis dari Y
Ruang (Spatial) Sebab-Akibat (CauseEffect)
X adalah bagian dari Y X bertempat di Y X adalah akibat dari Y Y adalah sebab dari X
Rasional (Rasionale)
X merupakan alasan dari Y
Lokasi Kegiatan (Location for Action)
X merupakan berlangsungnya Y
Cara ke tujuan (MeansEnd) Fungsi (Function)
X merupakan cara untuk mencapai atau melakukan Y X digunakan untuk Y
Urutan (Squence)
X merupakan urutan atau tahap dalam Y
Atribut (Atribution)
X merupakan urutan atau karakteristik dari Y
tempat
Contoh Koagulump adalah jenis dari bahan olah karet Bidang sadap karet berada di batang pohon karet Kualitas karet yang buruk merupakan akibat dari penambahan pembeku aditif Kebutuhan sehari-hari merupakan alasan petani menyadap setiap hari Mangkuk lateks merupakan tempat pembekuan koagulump Menyadap merupakan cara untuk mendapatkan getah Pisau sadap digunakn untuk melukai batang pohon karet Penambahan pembeku merupakan tahap pengolahan lateks menjadi koagulump Kepemilikan lahan karet yang luas merupakan atribut dari kesejahteraan petani
Sumber: Bungin (2003), disesuaikan.
Selain kesembilan hubungan semantik diatas, hubungan semantik lain dapat dikembangkan sendiri oleh peneliti di lapangan sejauh hubungan itu dapat menjelaskan domain yang dibutuhkan oleh peneliti (Bungin, 2003). Pola hubungan Semanik dapat dilihat pada Tabel 6. Dari kesembilan pola hubungan semantik diatas, hanya hubungan sebab akibat dan rasional yang digunakan dalam penelitian ini. Hal tersebut berdasarkan tujuan penelitian yaitu menganalisis faktor yang memengaruhi kualitas yang bisa jadi faktor tersebut berpengaruh langsung terhadap kualitas (sebab-akibat) atau berpengaruh tidak langsung. Pengaruh tidak langsung dapat menjadi faktor 39
penentu apabila faktor tersebut merupakan alasan petani untuk melakukan upaya atau tindakan yang memengaruhi kualitas karet. Analisis Taksonomik
Analisis Domain
Mutu 1 Lateks segar Mutu 2 Bahan Olah Karet Harian Dua hari Koagulump Tiga hari Satu minggu
Plastik Mangkuk Tempurung Peralatan Sadap Seng Plastik
Talang
Daun Domain Berikutnya
Taksonomik Berikutnya
Gambar 4. Pola Metode Taksonomik 4.7.3. Teknik Analisis Taksonomik Teknik analisis domain memberikan hasil analisis yang luas dan umum, tetapi belum terinci. Untuk mendapatkan hasil yang lebih fokus pada suatu domain digunakan metode analisis taksonomik.
Metode analisis taksonomik
terfokus pada domain-domain tertentu, kemudian memilih dan memecah domain-
40
domain tersebut menjadi sub-sub domain yang lebih terinci. Metode ini akan menghasilkan hasil analisis yang terbatas pada satu domain tertentu dan hanya berlaku pada satu domain tersebut pula. Dalam penelitian domain, umumnya muncul domain superior dan interior. Domain superior adalah domain yang amat penting dan mendominasi deskripsi tujuan penelitian. Dan sebaliknya bagi domain inferior. Dalam penelitian ini, kesuperioran suatu domain dilihat dari konsistensi pengaruhnya terhadap kualitas. Jadi suatu domain dikatakan superior jika memiliki pengaruh yang sama arahnya di kedua kelompok desa penelitian. Analisis taksonomik akan dilakukan terhadap domain yang superior karena dianggap memiliki pengaruh yang besar terhadap kualitas karet. Contoh pola metode taksonomik dapat dilihat pada Gambar 4. Setelah domain superior di pecah menjadi sub-sub domain langkah selanjutnya adalah intepretasi bagan atau diagram taksonomik tersebut. Secara berurutan tahapan analisis domain dan taksonomik adalah sebagai berikut: a)
Tabulasi faktor dan kualitas. Kualitas dikelompokkan berdasarkan faktorfaktor yang diduga mempengaruhinya untuk masing-masing kelompok desa (strata).
b) Pengelompokan faktor berdasarkan arah pergerakan atau hubungan antra faktor dan kualitas. Jika faktor bertambah (meningkat) dan kualitas juga meningkat, serta hal tersebut terjadi di kedua strata maka faktor dikelompokan pada kelompok faktor atau domain positif.
Jika faktor
berkurang (menurun) dan kualitas juga menurun, serta hal tersebut terjadi di kedua strata maka faktor dikelompokan pada kelompok faktor atau domain negatif. Namun apabila suatu faktor bertambah namun kualitas menurun di satu strata dan meningkat di strata yang lain, maka faktor tersebut dikompokan
dalam
faktor
atau
domain
tidak
konsisten.
Setelah
dikelompokkan, ditentukan hubangan semantik antara faktor dan kualitas. Point a) dan b) merupakan tahap analisis domain. c)
Dari tiga domain, dipilih domain superior untuk dianalisis dengan teknis analisis taksonomik.
41
d) Setelah domain superior terpilih, masing-masing faktor di analisis sev=cara kualitatif berdasarkan pengamatan lapang. 4.7.4. Model Regresi Logistik Biner Regresi logistik biner merupakan suatu bentuk regresi yang digunakan ketika variabel dipendennya bersifat dikotomi dan variabel independennya tediri dari berbagai tipe (Garson, 2009). Penggunaan model regresi logistik biner dalam penelitian ini dilakukan melalui enam tahap yaitu: 1.
Transformasi kualitas dari skala 1 hingga 10 menjadi skala biner 1 dan 0 dengan titik potong adalah rata-rata kualitas seluruh responden. Kualitas karet yang dibawah rata-rata kualitas responden dimasukan kedalam kelompok “kualitas lebih rendah” dan diberi simbol 0, sedangkan petani dengan kualitas diatas rata-rata dimasukan kedalam kelompok “kualitas lebih tinggi’ dengan simbol 1. Hasil tranformasi ini akan menjadi variabel dependen pada model regresi logistik biner.
2.
Menduga faktor-faktor yang memengaruhi yang memengaruhi kualitas karet.
3.
Membuat model hubungan kualitas dan faktor-faktor yang memengaruhinya dengn model regresi logistik biner.
4.
Menduga parameter (koefisien) variabel-variabel independen yang terdapat pada model.
5.
Menentukan variabel independen yang signifikan dalam model (uji parsial atau individual) dan menentukan signifikansi model (uji kelayakan model).
6.
Melakukan intepretasi dan pembahasan terhadap faktor-faktor yang memengaruhi kualitas karet perkebunan rakyat. Dalam penelitian ini, tahap pendugaan koefisien (tahap 4) dan uji
signifikansi (tahap 5) dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak komputer Minitab 14. 4.7.4.1. Pendugaan Model Hosmer dan Lemeshow (2000) menuliskan bentuk model persamaan logit dari multiple logistic regression adalah sebagai berikut: ! "# $ "
$ "
$ % $ "&
&
dimana
42
!
' ! 1 ( ' !
dengan bentuk model regresi logistiknya adalah ' ! ' !
)*! 1 $ )*!
+, -+. *. -+/*/ -%-+0 *0
1 $ +, -+. *.-+/ */-%-+0 *0
Dimana ' ! 12 1| ! merupakan peluang bersyarat kejadian Y=1. Dalam penelitian ini, varibel dependen (Y) adalah kualitas yang ditransformasi dalam dua variabel nominal yakni 1 untuk kelompok kualitas lebih tinggi, dan 0 untuk kelompok kualitas lebih rendah. Variabel independent (x) adalah faktor sosial ekonomi petani dan faktor teknis usahatani karet. Variabel independen terdiri dari variabel-variabel dengan skala nominal atau rasio. 4.7.4.2. Pendugaan Koefisien Koefisien variabel atau parameter model (β0, β1, β2,.....βp) dalam model regresi logistik biner diduga dengan menggunakan maximum likelihood (ML) estimation. Menurut Klienbaum dan Klein (2002) maximum likelihood (ML) estimation merupakan salah satu dari beberapa alternatif pendekatan yang dikembangkan oleh para ahli statistik untuk menduga parameter di dalam model matematis. Fungsi likelihood L atau L(θ)1 menggambarkan joint probability atau likelihood dari data amatan yang telah dikumpulkan. Istilah joint probability bermakna sebuah kemungkinan yang mengombinasikan pengaruh-pengaruh semua faktor pengamatan. Hosmer dan Lemeshow (2000) menuliskan fungsi likelihood: 8
4"! 5 ' !67 :1 ( ' !; < 67 9
Pada prinsip maximum likelihood (ML) estimation nilai β yang digunakan di dalam model regresi logistik dalah nilai β yang memaksimalkan nilai L(β). Output Minitab 14 menunjukkan koefisien variabel atau parameter model (β0, β1, β2,.....βp) di dalam tampilan Logistic Regression Table pada kolom Coef. 1
Hosmer dan Lameshow (2000) menotasikannya dengan L(β), dan notasi ini yang digunakan dalam penulisan selanjutnya.
43
Di dalam tampilan tersebut, ditunjukkan besarnya koefisien berdasarkan prinsip maximum likelihood (ML) estimation dan tanda koefisien (positif atau negatif). 4.7.4.3. Uji Signifikansi Uji parameter atau koefisien variabel (β0, β1, β2,.....βp) dan uji kelayakan model (uji serempak atau uji signifikansi model) dilakukan dengan menggunakan uji likelihood ratio. Berdasarkan Hosmer dan Lemeshow (2000) dan Agresti (2002), uji likelihood ratio dapat digambarkan dalam nilai G statistic2. Pada uji serempak (signifikansi model), nilai G statistic dinyatakan dengan:
@ @ @AA BA A! = (2 ? C @ @ @AA BA A!
Nilai G statistic menyebar mengikuti sebaran Chi-Square (χ2). Apabila
nilai G statistic lebih kecil dari nilai Chi-Square (χ2) tabel atau pada output Minitab tergambar di dalam nilai P-value yang lebih besar dari pada α maka terima H0 (the null hypothesis) atau gagal menolak H0 pada tingkat α tersebut (Garson, 2009). Hipotesis yang dibangun pada uji parsial ini adalah: H0: β1 = β2 = β3 =....= βp = 0 H1: minimal terdapat satu βi ≠ 0 dengan i = 1, 2,3 .....p. Pada output Minitab 14 nilai G statistic disajikan dalam tampilan Test that all slopes are zero yang terdiri dari nilai G statistic, derajat bebas, dan P-value. Uji parsial (signifikansi koefisien) digunakan uji Wald. Hosmer dan Lemeshow (2000) menuliskan nilai uji Wald (yang dinotasikan dengan Wi) sebagai berikut:
I "E ! D "E /GH
Nilai uji Wald menyebar mengikuti sebaran normal (Z). Seperti pada uji G statistic, Uji dignifikansi yang biasa digunakan adalah dengan melihat P-value dari uji tersebut. Apabila P-value dari Wald Test lebih besar dari pada α atau nilai uji Wald ( Z hitung) lebih kecil dari Z tabel maka terima H0 (the null hypothesis) atau gagal menolak H0 pada tingkat α tersebut. Hipotesis pada uji parsial adalah: H0: βi = 0 H1: βi ≠ 0 dengan i = 1, 2,3 .....p. 2
Uji G statistik disebut juga Hosmer and Lemeshow's goodness of fit test, atau goodness of fit saja (Garson,2009 dan Agresti,2002)
44
Pada output Minitab 14 nilai uji Wald (Z hitung)
disajikan dalam tampilan
Logistic Regression Table pada kolom “ Z ” dan nilai P-value pada kolom “ P ” untuk masing-masing koefisien. Pada penelitian ini uji signifikansi menggunakan taraf nyata sebesar 20 persen. 4.7.4.4. Intepretasi Koefisien Berdasarkan Hosmer dan Lemeshow (2000), pengitepretasian hasil diperlukan pengenalan dan pembahasan mengenai istilah odds ratio. Sebelum membahas istilah odds ratio, terlebih dahulu perlu didefinisikan mengenai istilah odds. Pada model regresi logistik, yang memiliki variabel bebas (independent variabel atau x) yang bersifat dikotomous yakni x = 1 atau x = 0. Nilai odds dari
hasil yang memiliki variabel bebas x = 1 didefinisikan sebagai '1!/:1 ( '1!;. Dengan cara yang sama, nilai odds dari hasil yang memiliki variabel bebas x = 0
didefinisikan sebagai '0!/:1 ( '0!;. Nilai odds ratio yang dinotasikan dengan
OR, di definisikan sebagai nilai perbandingan antara nilai odds untuk x = 1 dan nilai odds untuk x = 0. Nilai odds ratio ditunjukkan oleh persamaan: K
'1!/:1 ( '1!; '0!/:1 ( '0!;
Hosmer dan Lemeshow (2000) juga menyebutkan tentang hubungan antara odds ratio dengan koefisien regresi dari variabel yang bersifat dokotomi. Hubungan antara odds ratio dan koefisien regresi dituliskan: K +7 Cara mengintepretasi koefisien dari variabel independent yang bersifat dikotomi dalam model regresi logistik biner, dapat dilihat dalam ilustrasi berikut. Misalkan y menunjukkan kualitas karet petani yang telah ditranformasi ke dalam dikotomi variabel yakni y = 1 jika kualitas di atas rata-rata (lebih tinggi) dan y = 0 jika kualitas di bawah rata-rata (lebih rendah). Sedangkan x menunjukkan kondisi petani yang bergabung di dalam kelompok tani (x = 1) atau tidak bergabung di
dalam suatu kelompok tani (x = 0) dan nilai K 2. Hal ini memperkirakan
bahwa petani yang bergabung dalam kelompok tani berkemungkinan memroduksi karet dengan kualitas lebih baik dengan peluang dua kali lebih besar dari pada petani yang tidak bergabung dalam suatu kelompok tani.
45
Intepretasi
koefisien
variabel
independent
yang
bersifat
kontinu
dibutuhkan penjelasan mengenai istilah Endpoint of 100(1-α) persen Continuous Independent Estimate of OR(c) atau endpoint dari variabel kontinu. Endpoint dari variabel kontinu dituliskan melalui hubungan dengan koefisien regresinya sebagai berikut:
I L! exp :L"PO Q R S LGH I "E ! K < /
dengan c adalah besarnya perubahan variabel (satuan, puluhan dan seterusnya). Ilustrasi berikut ini menunjukkan cara mengintepretasi koefisien variabel yang bersifat kontinu. Misalkan y menunjukkan kualitas karet petani yang telah ditranformasi ke dalam dikotomi variabel yakni y = 1 jika kulitas di atas rata-rata (lebih tinggi) dan y = 0 jika kualitas di bawah rata-rata (lebih rendah). Sedangkan x menunjukkan besarnya pendapatan rumah tangga petani dengan nilai perubahan (c) adalah Rp100.000,00 dan memiliki nilai OR = 3,03. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap peningkatan Rp100.000,00 pada pendapatan rumah tangga petani, peluang lebih baiknya kualitas karet yang diproduksinya meningkat menjadi 3,03 kali semula. Hosmer dan Lemeshow (2000) menyatakan bahwa intepretasi koefisien dugaan dari variabel kontinu serupa dengan intepretasi variabel yang berskala nominal. Perbedan mendasarnya adalah makna besarnya skala perubahan (c) harus didefinisikan pada variabel kontinu. Pada output Minitab 14, nilai OR baik variabel dikotomi maupun kontinu terletak pada kolom odds ratio di dalam tampilan Logistic Regression Table. 4.7.5. Analisis Keuntungan Parsial Upaya Peningkatan Kualitas Karet Analisis analisis keuntungan parsial upaya peningkatan kualitas karet dilakukan dengan menghitung tambahan biaya atau pengeluaran baru, tambahan penerimaan, pengeluaran yang dihemat, dan penerimaan yang hilang dari upaya peningkatan kualitas karet untuk masing-masing kelompok petani, baik petani desa program maupun desa non program. Penerimaan merupakan hasil kali antara jumlah produksi dan harga. Penerimaan usahatani karet diduga berubah dengan berubahnya kualitas karet yang diproduksi petani akibat adanya upaya peningkatan kualitas karet. Biaya usahatani merupakan seluruh nilai barang dan tenaga kerja yang dikeluarkan dalam penyelenggaraan usahatani karet baik yang
46
secara nyata dibayarkan atau yang hanya diperhitungkan (tidak dibayarkan). Biaya usahatani juga diduga berubah akibat adanya perubahan aktivitas dalam rangka peningkatan kualitas karet. Pendapatan atau keuntungan akibat adanya upaya peningkatan kualitas karet diperoleh apabila tambahan penerimaan dan pengeluaran yang dihemat lebih besar daripada penerimaan yang hilang dan tambahan biaya karena upaya peningkatan kualitas karet. Dan sebaliknya, kerugian diperoleh apabila tambahan penerimaan dan pengeluaran yang dihemat lebih lebih kecil daripada penerimaan yang hilang dan tambahan biaya karena upaya peningkatan kualitas karet. Apabila diperoleh pendapatan atau keuntungan yang diperoleh, berarti upaya peningkatan kualitas karet layak untuk dilakukan. Namun, apabila kerugian yang diperoleh, maka upaya peningkatan kualitas tidak layak dilakukan. Tahap-tahap dalam analisis keuntungan parsial upaya peningkatan kualitas karet adalah sebagai berikut: a)
Mengidentifikasi jenis dan besarnya tambahan biaya akibat upaya peningkatan kualitas karet.
b) Mengidentifikasi jenis dan besarnya pengurangan pendapatan akibat upaya peningkatan kualitas karet. c)
Mengidentifikasi jenis dan besarnya tambahan pendapatan dengan adanya upaya peningkatan kualitas karet.
d) Mengidentifikasi jenis dan besarnya pengurangan dengan adanya upaya peningkatan kualitas karet. e)
Menjumlahkan besarnya tambahan biaya dan pengurangan pendapatan sebagai kerugian akibat upaya peningkatan kualitas karet.
f)
Menjumlahkan besarnya tambahan pendapatan dan pengurangan biaya sebagai keuntungan dengan adanya peningkatan kualitas karet.
g) Menghitung tambahan keuntungan denganadanya peningkatan kualitas karet dengan mengurangkan keuntungan dengan kerugian. h) Menabulasikan anggaran keuntungan parsial. Bentuk tabulasi keuntungan parsial dapat dilihat pada Tabel 7.
47
Tabel 7. Bentuk Tabulasi Anggaran Parsial Tambahan Biaya (Rp) Biaya tetap Biaya variabel
Rp xxxxx Rp xxxxx
Tambahan Pendapatan (Rp) Rp xxxx
Berkurangnya Pendapatan (Rp)
Berkurangnya Pendapatan (Rp)
Rp xxxx
Rp xxxxx
Total tambahan biaya dan Total tambahan biaya dan berkurangnya pendapatan per tahun berkurangnya pendapatan per tahun Rp xxxx Rp xxxx Perubahan Bersih = Rp xxxxx (positif atau negatif) per tahun Menguntngkan atau tidak Sumber: Suratiyah (2006), disesuaikan.
4.8. Definisi Operasional Dalam penelitian ini, terdapat variabel dan istilah yang dipakai secara khusus.
Agar terhindar dari perbedaan atas istilah-istilah dan variabel yang
digunakan, maka berikut ini penjelasan mengenai definisi dan batasan variabel dan istilah tersebut: 1) Desa program pengembangan karet adalah desa yang pernah mendapatkan program berupa pengadaan bibit, bantuan teknis, dan pengelolaan perkebunan oleh dinas pertanian meskipun saat ini program tersebut telah berhenti dan penyelenggaraan telah diserahkan sepenuhnya kepada petani pemilik lahan. 2) Desa non program adalah desa yang sejak awal tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah terkait dengan penanaman karet. semula desa ini dipersiapkan sebagai desa penghasil tanaman pangan, namun karena pengairan yang kurang memadai laha dialihfingsikan menjadi lahan perkebuanan karet. 3) Lump atau koagulump adalah hasil bekuan lateks (getah karet) yang dibeku dengan menggunakan zat pembeku (bukan beku alami) dan dilakukan di kotak khusus maupun di mangkuk penampungan lateks yang berada di pohon karet.
48
4) Slab adalah bahan olah karet yang terbuat dari lateks yang digumpalkan dengan asam semut pada wadah tertentu dengan ketebalan 30 mm dan 40 mm. 5) Sheet adalah bahan olah karet yang yang dibuat dari lateks yang sudah disaring dan digumpalkan dengan asam semut, berbentuk lembaran-lembaran dengan ketebalan 3 mm atau 5 mm dan telah digiling. Setelah dianginanginkan disebut sheet angin, kemudian diasap agar menjadi Ribbed Smoked Sheet (Ribbed Smoked Sheet) 6) Kualitas lump diukur dengan penampilan visual yang meliputi warna, kadar air, kadar kotoran, dan lamanya lump telah disimpan. Kualitas lump diukur dengan menggunakan skala perbandingan terhadap kualitas lump terbaik yang dibuat berdasarkan panduan dari lembaga penelitian karet. 7) Newplanting adalah penanaman karet pada lahan yang semula tidak ditanami karet. 8) Replanting merupakan penanaman karet di lahan yang semula ditanami karet setelah tanaman karet yang lama tidak berproduksi. Replanting disebut juga peremajaan. 9) Jumlah produk merupakan jumlah total produksi karet yang dihasilkan oleh petani. Dalam penelitian ini produk yang dimaksud adalah koagulump. Satuannya adalah kilogram. 10) Harga produk merupakan harga yang benar-benar diterima oleh petani dari hasil penjualan koagulump. Satuan yang digunakan untuk harga produk adalah rupiah. 11) Pendapatan (income) keluarga adalah pendapatan yang diperoleh keluarga petani baik dari usahatani maupun non usahatani. Satuan yang digunakan adalah rupiah. 12) Penerimaan usahatani adalah nilai uang dari seluruh hasil produksi petani dalam jangka waktu tertentu. Dalam analisis keuntungan parsial penerimaan usahatani dihitung per tahun. Satuan yang dipakai adalah rupiah. 13) Biaya tunai adalah seluruh jumlah uang yang benar-benar dikeluarkan untuk penyelenggaraan usahatani karet.
49
14) Biaya diperhitungkan adalah biaya atas penggunaan sumberdaya untuk usahatani karetyang pada kenyataannya tidak dikeluarkan oleh petani. 15) Pendapatan atas biaya tunai adalah selisih antara penerimaan dengan biaya tunai. 16) Pendapatan atas biaya total adalah selisih antara penerimaan dengan biaya toatal (biaya tunai ditambah biaya diperhitungakan). 17) Tenaga kerja dalam keluarga adalah tenaga kerja untuk penyelenggaraan usahatani karet yang terdiri dari petani sendiri, anggota keluarga yang menjadi tanggungannnya.
Satuannya adalah HOK (Hari Orang Kerja),
dimana satu HOK sama dengan delapan jam. Upah dinilai dengan rupiah. 18) Tenaga luar keluarga adalah tenaga kerja yang bukan berasal dari keluarga penai yang dibayar secara khusus untuk menyelenggarakan beberapa kegiatan usahatani.
Satuannya adalah HOK (Hari Orang Kerja), sedangkan upah
dinilai dengan rupiah. 19) Usia petani adalah usia petani (jumlah tahun) saat wawancara dilakukan. Data usia merupakan data bilangan bulat. Satuan usia yang digunakan adalah tahun. 20) Pendidikan formal petani adalah lamanya petani mengikuti pendidikan formal seperti SD, SMP, SMA, universitas atau yang sederajat. Satuannya adalah tahun. 21) Luas lahan adalah luas lahan karet yang sedang berproduksi (mature). Satuan luas lahan adalah hektar. 22) Banyaknya pertemuan dengan penyuluh merupakan banyaknya pertemuan yang dihadiri petani dalam periode tertentu yang dikonversi dalam waktu satu tahun. 4.9. Jadwal Kegiatan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahap yaitu tahap persiapan, pelaksanaan dan penulisan skripsi. Tahap persiapan meliputi penulisan proposal penelitian, pembuatan kuesioner, dan persiapan alat dan bahan yang diperlukan. Tahap persiapan ini dilakukan selama 1,5 bulan, yakni bulan Maret 2009 hingga pertengahan april 2009.
50
Tahap pelaksanaan penelitian meliputi pengambilan data primer dan analisis data. Pengambilan data primer dilaksanakan selama 16 hari, dimulai pada tanggal 30 April 2009 hingga 14 Mei 2009. Analisis data dan penulisan skripsi dilakukan pada bulan Mei hingga Agustus 2009.
51
V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1.1. Kecamatan Tulang Bawang Tengah Kecamatan Tulang Bawang Tengah merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung. Berdasarkan data dari Statistik Perkebunan Indonesia tahun 2007 Kabupaten Tulang Bawang sendiri merupakan kabupaten yang memiliki luas perkebunan karet rakyat terluas di Propinsi Lampung yakni sebesar 23.042 hektar atau 46,21 persen dari luas total perkebunan rakyat di Propinsi Lampung. Dari luasan tersebut, 18.729 hektar merupakan tanaman karet menghasilkan (mature), 4.038 hektar tanaman karet belum menghasilkan (immature), dan lima hektar tanaman karet rusak (damaged). Perkebunan karet rakyat di Kabupaten Tulang Bawang mampu menghasilkan produksi 21.020 ton karet kering dengan produktivitas 1.122 kg per hektar dan dijadikan sumber penghasilan oleh 18.945 kepala keluarga petani. Produksi, produktivitas, dan jumlah petani karet Kabupaten Tulang Bawang merupakan jumlah terbesar dibandingkan kabupaten lain di Propinsi Lampung. Berdasarkan Data Statistik Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Tulang Bawang tahun 2008 Kecamatan Tulang Bawang Tengah memiliki luas total perkebunan karet rakyat sebesar 7.648,99 hektar dengan komposisi 4.085,52 (53,41 persen) tanaman karet belum menghasilkan (immature), 3.563,47 hektar (46,59 persen) tanaman karet menghasilkan (mature), dan tidak ada tanaman karet rusak (damaged). Kecamatan Tulang Bawang Tengah mampu memroduksi 3.512,20 ton karet kering pada tahun 2008. Jumlah tersebut merupakan jumlah terbesar jika dibandingkan dengan kecamatan lain di Kabupaten Tulang Bawang. Kecamatan Tulang Bawang Tengah memiliki luas lahan yang sesuai untuk perkebunan sebesar 18.661,81 hektar dari 26.989,00 hektar luas wilayahnya, dengan potensi lahan pengembangan perkebunan karet produktif sebesar 6.758,37 hektar. Potensi pengembangan perkebunan karet di Kecamatan Tulang Bawang Tengah didukung dengan adanya dua perusahaan pengolahan hasil perkebunan karet. 52
Perusahaan pertama adalah PT Huma Indah Mekar (HIM) yang memiliki kapasitas pengolahan karet 30 ton per jam dengan hasil produksi berupa slab. Meskipun tidak menerima bahan olah karet rakyat dari petani (karena memiliki perkebunan sendiri), PT HIM memiliki pengaruh terhadap usahatani karet di Kecamatan Tulang Bawang Tengah. Pengaruh tersebut antra lain: 1) Menyediakan biji karet (yang jatuh di perkebunannya) yang dianggap baik oleh petani karet yang menanam bibit dari biji. 2) Menyediakan penyadap terlatih bagi usahatani karet rakyat yakni petani atau penyadap karet yang sebelumnya pernah bekerja sebagai penyadap di PT HIM sehingga telah mendapat pelatihan. Perusahaan pengolahan karet kedua di Kecamatan Tulang Bawang Tengah adalah PT Komering Jaya dengan kapasitas produksi 16 ton per hari. Bentuk produksi PT Komering Jaya adalah sheet. Perusahaan ini menerima bahan olah karet dari petani karet wilayah sekitar. Bahan olah karet yang diterima adalah koagulump dan lateks segar. Kecamatan Tulang Bawang Tengah memiliki 13 desa dengan empat desa transmigrasi dengan program pengembangan karet, empat desa pribumi, dan lima desa transmigrasi non-program pengembangan karet. Empat desa transmigrasi dengan program pengembangan karet adalah Panaragan Jaya, Tirta Kencana, Mulyakencana, dan Penumangan Baru. Di empat desa inilah awal penanaman karet di Kecamatan Tulang Bawang Tengah. Empat desa pribumi di Kecamatan Tulang Bawang Tengah adalah Bandar Dewa, Menggala Mas, Panaragan Kampung, dan Penumangan Lama. Sedangkan lima desa transmigrasi non program pengembangan karet adalah Candra Kencana, Mulya Asri, Tunas Asri, Wonokerto, dan Pulung Kencana. Dari ketiga belas desa tersebut, Desa Tirta Kencana merupakan desa terpilih dengan program pengembangan karet. Sedangkan Desa Pulung Kencana dan Desa Bandar Dewa merupakan desa terpilih dari desa non-program pengembangan karet. Kecamatan Tulang Bawang Tengah memiliki 40 penangkar/penyalur bibit karet (jenis okulasi dalam polybag) yang telah terdaftar di Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Tulang Bawang pada tahun 2008. Lima dari 40
53
penangkar/penyalur bibit karet telah memiliki dokumen atau izin penangkaran bibit karet. Di Kecamatan Tulang Bawang Tengah terdapat 30 sumber benih (batang bawah) dan entres (batang atas) yang terdaftar di Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Tulang Bawang tahun 2008. Sumber benih dan entres Kecamatan Tulang Bawang Tengah ini sekaligus menjadi sumber benih dan entres di Kabupaten Tulang Bawang. Petugas penyuluh pertanian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah pada tahun 2009 berjumlah 11 orang penyuluh baik PNS maupun penyuluh kontrak. Penyuluh di Kecamatan Tulang Bawnag Tengah bersifat polyvalent yakni mengampu seluruh bidang pertanian dari hortikultura dan tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan. Penyuluh pertanian ini tergabung dalam BP4K dahulu BPP (Balai Penyuluh Pertanian) Kecamatan Tulang Bawang Tengah. 5.1.2. Desa Pulung Kencana3 Desa Pulung Kencana merupakan salah satu desa transmigrasi non-program pengembangan karet di Kecamatan Tulang Bawang Tengah. Desa ini awalnya merupakan desa yang dipersiapkan sebagai desa produsen beras. Desa Pulung Kencana memiliki saluran irigasi teknis di semua areal pertaniannya, namun tidak semua irigasi teraliri air yang disebabkan rendahnya kapasitas dan debit air waduk Way Rarem (sumber pengairan irigasi teknis untuk wilayah Lampung Bagian Utara). Tidak terjaminnya air di sebagian wilayah pertanian, menjadikan petani di Desa Pulung Kencana mengalihfungsikan lahannya dari lahan sawah menjadi lahan palawija (singkong, kedelai, dan jagung) yang kemudian beralih menjadi karet. Desa Pulung Kencana memiliki luas lahan sawah sebesar 1.027 hektar, lahan kering 374 hektar, pemukiman 214 hektar, dan tanah perkebunan 136 hektar pada tahun 2006. Ketinggian tanah di Desa Pulung Kencana adalah 36 meter dari permukaan laut, suhu rata-rata harian 27,4 oC, dan curah hujan 2500 mm per tahun. Kondisi iklim yang dimiliki Desa Pulung Kencana, sangat memungkinkan untuk ditanami tanaman karet. Menurut Nazaruddin dan Paimin (1992) tanaman karet dapat 3
Data angka diambil dari profil Kampung Pulung Kencana tahun 2006
54
tumbuh dengan baik pada ketinggian satu hingga 600 meter dari permukaan laut, suhu harian 20 hingga 30 oC, dan curah hujan 2.000 hingga 2.500 mm per tahun. Terdapat 15 kelompok tani di Desa Pulung kencana dan 14 diantaranya telah terdaftar di Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Tulang Bawang tahun 2008. Delapan diantaranya telah terdapat petani yang memiliki perkebuanan karet yang telah produksi, bahkan dua diantaranya merupakan kelompok tani karet. Semua kelompok tani ini awalnya merupakan kelompok tani padi sawah, namun seiring pengalihfungsian lahan menjadi lahan perkebunan karet, maka kelompok taninya pun berubah secara alamiah. Perkebuanan karet rakyat di Desa Pulung Kencana didukung satu penangkar/penyalur bibit karet. 5.1.3. Desa Bandar Dewa4 Desa Bandar Dewa merupakan desa pribumi non-program pengembangan karet dari pemerintah. Desa ini terdiri dari dua lokasi yang terpisah. Lokasi pertama merupakan desa induk yang berada di tepian sungai Tulang Bawang. Desa kedua merupakan desa kantong yang terpisah secara geografis dari desa induk namun menyatu dalam pemerintahan desa. Desa Bandar Dewa memiliki suhu rata-rata harian sebesar 30 oC, kondisi ini masih cocok bagi tanaman karet untuk tumbuh dengan baik. Di Desa Bandar Dewa tidak terdapat penangkar/penyalur bibit karet. Terdapat lima kelompok tani di Desa Bandar Dewa yang terdaftar di Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Tulang Bawang tahun 2008. Semua kelompok taninya merupakan kelompok tani pemula (belum lama dibentuk). 5.1.4. Desa Tirta Kencana5 Desa Tirta Kencana merupakan desa transmigrasi dengan program pengembangan karet di wilayah Kecamatan Tulang Bawang Tengah. Desa ini memiliki ketinggian 30-45 meter dari permukaan laut dengan suhu udara 24 hingga 27 oC. Kondisi ini mendukung tanaman karet untuk tumbuh dengan baik. Desa Tirta Kencana memiliki luas 1.784 hektar dengan lahan kering seluas 1.069 hektar. Desa 4 5
Data angka desa diambil dari Profil Kampung Bandar Dewa tahun 2006 Data angka desa diambil dari Data Monografi Kampung Tirta Kencana tahun 2007
55
Tirta Kencana sebenarnya memiliki sarana irigasi teknis, namun irigasi tersebut tidak pernah mengalirkan air ke lahan pertanian penduduk. Karena itu, lahan yang sebenarnya disediakan untuk produksi beras dialihfungsikan menjadi perkebunan karet. Terdapat 16 kelompok tani di Desa Tirta Kencana dan 15 diantaranya telah terdaftar di Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Tulang Bawang tahun 2008. Empat kelompok tani merupakan kelompok tani tingkat lanjut (telah lama berdiri) dan 15 yang lain merupakan kelompok tani pemula. Terdapat 19 penangkar/penyalur bibit karet di Desa Tirta Kencana yang terdaftar di Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Tulang Bawang tahun 2008, tiga diantaranya telah memiliki dokumen/izin pengadaan bibit karet. Pengembangan karet di Tirta Kencana juga didukung dengan adanya 18 sumber benih dan entres dengan batang bawah dari klon PB 260 dan GT 1, serta batang atas dari klon PB 260, PB 235, dan RRIM 600. Jumlah penangkar/penyalur bibit karet, sumber benih, dan entres di Desa Tirta Kencana merupakan jumlah terbanyak jika dibandingkan desa-desa lain di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, bahkan di Kabupaten Tulang Bawang. 5.2. Karakteristik Sosial Ekonomi Petani 5.2.1. Usia Petani responden memiliki rata-rata usia 51,94 tahun secara keseluruhan baik di desa program pengembangan karet maupun non program pengembangan karet, dengan rentang nilai 28 hingga 76 tahun. Ini berarti petani responden rata-rata telah mencapai tahap usia dewasa madya (middle age). Berdasarkan pendapat Hurlock (2004) petani responden dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok berdasarkan kelompok usia dewasa yaitu usia dewasa awal atau dini (usia 18-40 tahun) sebesar 14,06 persen, usia dewasa madya (usia 40-60 tahun) 54,69 persen dan usia dewasa lanjut (usia diatas 60 tahun) 31,25 persen6.
6
Untuk usia tepat 40 tahun dimasukan ke dalam usia dewasa madya berdasarkan pendapat Siegler et al. (2003) yang memasukan usia 40 tahun ke dalam dewasa madya ( middle age). Demikian pula usia 60 tahun dimasukan ke dalam dewasa lanjut (old age).
56
Petani responden di desa program pengembangan karet (Tirta Kencana) memiliki rata-rata usia 53,25 tahun dengan rentang usia 35 hingga 72 tahun. Komposisi usia petani responden di desa program terdiri dari dewasa awal 12,50 persen, dewasa madya 46,88 persen dan dewasa lanjut 40,62 persen. Sedangkan petani responden di desa program pengembangan karet memiliki rata-rata usia 50,62 tahun dengan rentang usia 28 hingga 76 tahun dengan komposisi dewasa awal 15,62 persen, dewasa madya 62,50 persen dan dewasa lanjut 21,88 persen. Sebaran responden berdasarkan usia dapat dilihat dalam Tabel 8. Tabel 8. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Usia No
Kelompok Usia
Desa program (orang) 4
Desa NonProgram (orang) 5
Total (orang)
1
Dewasa Awal (20-40 tahun)
9
2
Dewasa Madya (40-60 tahun)
15
20
35
3
Dewasa Lanjut (diatas 60 tahun)
13
7
20
Jumlah
32
32
64
Dilihat dari jumlah petani tua di masing-masing desa, maka upaya-upaya peningkatan kualitas akan lebih dominan di lakukan petani di desa non program pengembangan karet daripada di desa program pengembangan karet, karena jumlah petani tua di desa program lebih banyak dari pada jumlah petani tua di desa non program. Keadaan ini memberikan konsekuensi kualitas karet yang diproduksi petani di desa program pengembangangan karet akan lebih buruk dibandingkan dengan kualitas karet di desa non program pengembangan karet. 5.2.2. Pendidikan Petani responden rata-rata mengikuti pendidikan formal selama 6,625 tahun dengan rentang nilai 0 hingga 16 tahun. Petani di desa program rata-rata mengikuti pendidikan formal selama 5,375 tahun dan petani non program 7,875 tahun. Sebaran petani berdasarkan pendidikan formalnya dapat dilihat pada Tabel 9.
57
Tabel 9. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Pendidikan Formal
1
Tidak Sekolah
3
Desa NonProgram (Orang) 0
2
Tidak Lulus SD (< 6 tahun)
5
9
14
3
SD (6 tahun)
21
7
28
4
Tidak Lulus SMP
0
0
0
5
SMP (9 Tahun)
2
5
7
6
Tidak Lulus SMA
0
0
0
7
SMA atau sederajat
1
10
11
8
Sarjana
0
1
1
Jumlah
32
32
64
No
Pendidikan
Desa Program (Orang)
Total (orang) 3
Data pada Tabel 15 menyatakan bahwa 95,31 persen dari keseluruhan petani responden dapat membaca7. Hanya 4,69 persen yang tidak mengikuti pendidikan formal. Lebih daripada itu, 21,88 persen petani pernah mengikuti pendidikan dasar meskipun tidak menamatkan pendidikan dasar, 43,75 persen telah menamatkan pendidikan dasar, dan sisanya menamatkan SMP, SMA dan sampai sarjana masingmasing 10,94 persen, 17,19 persen dan 1,56 persen (satu oorang). Berdasarkan ratarata pendidikan secara keseluruhan (yakni 6,625 tahun), berarti sebnagian besar petani karet di Kecamatan Tulang Bawang Tengah telah menyelesaikan pendidikan dasar (SD) dan dapat membaca. Hal ini memberikan pengertian bahwa petani karet mampu untuk melakukan upaya peningkatan kualitas dan adopsi teknologi peningkatan kualitas karet dengan relatif mudah. Perbandingan antara desa program pengembangan karet dan desa non program pengembangan karet menunjukkan bahwa keseluruhan (100 persen) petani desa non program pernah menjalani pendidikan dasar, sedangkan di desa program
7
Dengan Asumsi bahwa petani dapat membaca jika pernah mengikuti pendidikan formal, sehingga yang tidak mengikuti pendidikan formal sama sekali tidak dapat membaca.
58
terdapat 9,38 persen petani yang tidak pernah mengikuti pendidikan formal. Rata-rata lamanya pendidikan yang diikuti oleh petani responden menunjukkan bahwa petani di desa non program menyelesaikan pendidikan dasar dengan rata-rata 7,875 tahun. Sedangkan petani responden desa program pengembangan karet memiliki rata-rata lamanya pendidikan lebih rendah dari itu, yakni sebesar 5,375 tahun yang berarti tidak menamatkan pendidikan dasar. Hal ini memberikan dampak bahwa petani di desa non-program pengembangan karet lebih banyak melakukan upaya-upaya peningkatan kualitas karet dan lebih mudah menerima teknologi peningkatan kualitas dibandingkan petani di desa program pengembangan karet meski keduanya tetap mampu melakukan dan menerima upaya-upaya peningkatan kualitas karet rakyat. 5.2.3. Jumlah Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga memberi gambaran mengenai ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga. Bagi petani kecil (smallholder farmer), ketersedian tenaga kerja dalam keluarga menjadi pertimbangan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu kegiatan atau tambahan kegiatan penyelenggaraan usahatani. Hal itu lebih pada pertimbangan tidak perlunya pengeluaran tunai untuk kegiatan pertanian. Tabel 10. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga
1
Dua orang
5
Desa NonProgram (Orang) 1
2
Tiga orang
4
5
9
3
Empat orang
12
10
22
4
Lima orang
8
7
15
5
Enam orang
0
5
5
6
Tujuh orang
2
3
5
7
Delapan orang
1
1
2
Jumlah
32
32
64
No
Jumlah Anggota Keluarga (orang)
Desa Program (Orang)
Total (orang) 6
59
Lebih dari separuh (57,81 persen) responden memiliki jumlah anggota keluarga 2-4 orang yang tinggal satu rumah dengan kepala keluarga dengan modus di jumlah anggota keluarga empat orang. Responden yang memiliki jumlah anggota keluarga 5-7 orang sebesar 39, 06 persen. Hanya 3,12 persen yang memiliki anggota keluarga lebih dari tujuh orang (Tabel 10). Jika membandingkan antara desa program dan non program, maka desa program memiliki jumlah petani dengan keluarga lebih dari empat orang lebih banyak (25 persen dari seluruh responden ) dibandingkan dengan desa non program (17,19 persen dari seluruh responden). Data ini memberikan peluang upaya peningkatan kualitas lebih banyak dilakukan di desa program dan penyerapan serta pelaksanaan teknologi baru akan lebih cepat di desa program. Namun hal ini tidak lantas memberikan pengertian bahwa kualitas karet di desa program lebih baik dari desa non program. Perlu dilakukan analisis faktor untuk mengetahui apakah jumlah anggota keluarga ini memberikan pengaruh pada kualitas karet. 5.2.4. Pendapatan (Income) Rumah Tangga Pendapatan rumah tangga petani responden rata-rata sebesar Rp3.249.900,00 per bulan. Petani di desa program pengembangan karet memiliki pendapatan rumah tangga rata-rata sebesar Rp2.245.500,00 per bulan, sedangkan petani di desa non program memiliki pendapatan rata-rata Rp4.254.300,00 per bulan. Sebaran responden berdasarkan pendapatan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Pendapatan Rumah Tangga
1
di bawah 1.000.000
5
Desa NonProgram (Orang) 2
2
1 juta hingga 3 juta
14
10
24
3
3 juta hingga 5 juta
12
9
31
4
Lebih dari 5 juta
1
11
12
Jumlah
32
32
64
No
Pendapatan (Rp per Bulan)
Desa Program (Orang)
Total (orang) 7
60
Data lapang diatas menunjukkan bahwa petani yang memiliki pendapatan relatif besar lebih banyak terdapat di desa non program pengembangan karet. Hal ini sangat memungkinkan bahwa petani di desa non program akan mampu melakukan upaya-upaya peningkatan kualitas terutama upaya yang memerlukan tambahan biaya. Penyebutan pendapatan rumah tangga bukan pendapatan usahatani karet saja dikarenakan petani kecil (smallholder farmer) umumnya tidak membedakan antara pendapatan usahatani karet dan non usahatani karet. Selain itu, pembiayaan usahatani karet tidak hanya dibiayai dengan pendapatan dari penjualan karet, namun terkadang dari sumber pendapatan lainnya. 5.2.5. Luas Lahan Petani responden memiliki kebun karet yang telah berproduksi rata-rata sebesar 1,39 hektar, dengan rentang nilai 0,25 hektar hingga 6,25 hektar. Luas lahan diduga akan memengaruhi keinginan petani untuk meningkatkan pendapatan dengan peningkatan kualitas. Sebaran responden berdasarkan luas kebun yang dimiliki dan telah berproduksi terlihat pada Tabel 12. Tabel 12. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Luas Kebun yang Dimiliki
1
0,25 sampai 1,25
23
Desa NonProgram (Orang) 15
2
1,26 sampai 2,25
7
10
17
3
2,26 sampai 3,25
2
3
5
4
4,00 sampai 6,25
0
4
4
Jumlah
32
32
64
No
Luah Lahan (ha)
Desa Program (Orang)
Total (orang) 38
Pernbandingan antara desa program dan desa non program pengembangan karet menunjukkan bahwa luas kebun rata-rata yang di miliki petani desa non program lebih luas (1,75 ha) daripada petani di desa program (1,04 ha). Di kedua kelompok desa, mayoritas petani (59,38 persen) memiliki lahan produksi hanya 0,25
61
hingga 1,25 hektar. Sebaran petani berlahan relatif lebih luas terdapat di desa non program. Hal ini sangat memungkinkan bahwa kualitas di desa non progaram lebih baik dibandingkan desa program. Luasnya kebun produksi memberikan dampak terhadap pendapatan usahatani karet yang lebih besar dan akses terhadap upaya peningkatan kualitas lebih baik. 5.2.6. Pengalaman Pengalaman petani karet didekati dengan menggunakan variabel lamanya mengusahakan tanaman karet, pernah tidaknya bekerja di perusahaan atau KUD perkebunan
karet
dan
keikutsertaan
petani
sebagai
transmigran
program
pengembangan karet. Petani responden secara keseluruhan memiliki pengalaman rata-rata selama 13,83 tahun dalam mengusahakan karet, dengan rentang nilai 6 tahun (karet pertamanya baru mulai menyadap) hingga 39 tahun. Jika berdasarkan desa, petani di desa program memiliki rata-rata pengalaman menanam karet lebih lama dari pada petani di desa non program. Secara berurutan, rata-rata lamanya menanam karet petani di desa program dan non program adalah 14,31 tahun dan 13,34 tahun. Sebaran responden berdasarkan pengalaman yang dimiliki dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Pengalaman yang Dimiliki Desa Program (orang)
Desa Non Program (orang)
Total (orang)
6-16 tahun
20
27
47
17-27 tahun
10
3
13
28-39 tahun
2
2
4
2
Pernah Bekerja di perkebuanan karet
13
5
18
3
Transmigran pengembangan karet
13
0
13
No 1
Variabel Lama mengusahakan karet (tahun)
Pengalaman yang lebih banyak, baik lebih lama mengusahakan karet, pernah bekerja di perusahaan perkebunan karet atau KUD, maupun peserta transmigrasi
62
diharapkan memberikan tambahan pengetahuan, teknologi dan informasi mengenai pengusahaan karet lebih banyak daripada yang berpengalaman lebih sedikit. Dampak dari bertambahnya pengetahuan adalah meningkatnya kemampuan untuk melakukan pengelolaan perkebunan karet dengan baik termasuk dalam usaha peningkatan kualitas. Banyaknya petani yang lebih berpengalaman di desa program memberikan gambaran bahwa upaya-upaya peningkatan kualitas lebih banyak dilakukan. 5.2.7. Akses Informasi Sumber informasi yang dapat diakses oleh petani karet di daerah penelitian relatif terbatas, terutama informasi mengenai kualitas bahan olah karet. Hanya 42,19 persen responden yang mendapatkan informasi tentang kualitas karet. Informasi kualitas yang diperoleh petani berasal dari sumber yang berbeda. Sumber informasi yang digunakan petani karet untuk mengakses informasi perkaretan khusunya kualitas adalah teman atau tetangga, PPL atau pegawai Disbun, perusahaan perkebunan swasta (PT HIM), alumi sekolah mengengah pertanian, dan tengkulak. Tabel 14. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Penggunaan Sumber Informasi oleh Petani Karet Variabel Akses Kualitas PPL
Desa Program (orang)
Desa Non Program (orang)
17
10
7
6
Informasi
Lembaga Petani
Bergabung
Membicarakan
Bergabung
membicarakan
Kelompok Tani
3
1
17
10
Kegiatan Sosial
28
17
29
17
Sumber informasi lain tentang perkaretan yang dapat digunakan adalah kelompok tani dan organisasi atau kegiatan sosial. Ketergabungan petani ke dalam organisasi sosial atau kegiatan sosial dapat meningkatkan akses informasi mengenai pengelolaan perkebunan karet. Kelompok tani dan kegiatan sosial tersebut dapat menjadi sumber informasi yang efektif apabila di dalam kegiatan tersebut dibicarakan permasalahan karet. Karena itu, dalam Tabel 14 penggunaan sumber informasi hanya
63
memasukan petani yang membicarakan karet dengan sesama anggota kegiatan, dan petani yang dengan sengaja bertanya kepda PPL. Tabel 14 membuktikan bahwa tingkat akses informasi kualitas di daerah penelitian masih relatif rendah. Demikian pula penggunaan kegiatan-kegiatan sosial sebagai sarana menambah informasi tentang karet masih belum optimal. Di desa program, hanya satu dari tiga petani yang bergabung di kelompok tani memanfaatkan sebagai sumber informasi tentang perkaretan. Sedangkan di desa non program 10 dari 17 petani yang bergabung di kelompok tani menggunakan kelompok tani sebagai sumber informasi. Pengamatan terhadap kondisi di desa program menghasilkan bahwa kelembagaan ditingkat petani karet khusus kelompok tani tidak berjalan dengan baik, meskipun secara kuantitas terdapat 16 kelompok tani di Desa Tirta Kencana dan 15 diantaranya telah terdaftar di Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Tulang Bawang tahun 2008. Sedangkan di desa non program pengembangan karet, kelompok tani yang ada merupakan kelompok tani padi sawah (Desa Pulung Kencana) atau kelompok taninya tidak berjalan (Desa Bandar Dewa). Dalam kegiatan sosial semisal pengajian (bagi petani Muslim), ibadah minggu (bagi penduduk Kristen), dan acara adat (bagi penduduk asli) juga belum termanfaatkan secara optimal sebagai sumber informasi. Hanya 17 dari 29 petani di desa non program dan hanya 17 dari 28 petani di desa program yang bergabung dalam kegiatan sosial membicarakan persoalan karet di sela-sela kegiatannya tersebut. Hal-hal yang dibicarakan antara lain harga karet dan teknik budidaya. Tidak ada petani responden yang membicarakan mengenai kualitas karet di dalam kegiatan sosialnya. Tentang PPL, hanya 7 petani dari desa program dan 6 dari desa non program mengakses informasi perkaretan dari PPL. Alasan tidak diaksesnya informasi adalah PPL di desa program (Tirta Kencana) maupun non program (Pulung Kencana) merupakan PPL tanaman pangan dan hortikultura, sedangkan di Desa Bandar Dewa tidak terdapat PPL. Dengan berubahnya peraturan tentang PPL di Kabupaten Tulang bawang (yakni polyvalent) diharapkan akses informasi dari PPL dapat semakin baik.
64
5.2.8. Kelembagaan Petani Kelembagaan petani di wilayah penelitian terdiri dari
kelompok tani,
kelompok kegiatan sosial (kelompok pengajian), dan kelompok adat. Sebelumnya, semua petani karet di desa program tergabung dalam KUD. Melalui KUD inilah program pengembangan karet dijalankan.
KUD berfungsi sebagai pengelola
perkebunan karet mulai dari pemupukan, penyadapan, dan pemasaran. Petani hanya memiliki lahan dan menerima pembagian keuntungan setiap bulannya. Setelah beberapa tahun penyadapan, pengelolaan perkebunan karet dilakukan oleh petani sendiri atas permintaan dari petani (anggota KUD). Kelompok tani secara tertulis dan terdaftar di Kabupaten Tulang Bawang Tengah terdapat di semua desa di Kecamatan Tulang bawang tengah termasuk di desa-desa penelitian. Terdapat 16 kelompok tani di Desa Tirta Kencana terdapat, 15 kelompok tani di Desa Pulung Kencana, dan lima kelompok tani di Desa Bandar Dewa. Berdasarkan keterangan dari petani responden, kelompok-kelompok tani di Desa Tirta Kencana dan Bandar Dewa ternyata sudah tidak berjalan atau tidak terdapat kegiatan. Kelompok tani di kedua desa tersebut tidak pernah mengadakan pertemuan rutin. Penggerakan kelompok tani berjalan kembali ketika terdapat program atau bantuan pemerintah yang akan digulirkan dan mensyaratkan adanya kelompok tani untuk menerima program atau bantuan. Kelompok tani di Desa Pulung Kencana masih berjalan dengan baik. Kelompok tani di desa ini sebenarnya adalah kelompok tani padi sawah dan kelompok ternak. Sebagian petani anggota kelompok memiliki lahan tak terairi sehingga mengalihfungsikan lahannya menjadi perkebunan karet. Meski demikian, ketergabungan petani karet dalam kelompok tani masih berjalan dan menghadiri pertemuan rutin. Penggunaan kelompok tani sebagian besar hanya sebagai media ramah tamah dan pembicaraan program sawah (Prima Tani) bagi kelompok tani yang sebagian besarnya masih menanam padi. Pembicaraan khusus mengenai perkaretan di kelompok tani tersebut masih sangat jarang dilakukan. Pembicaraan mengenai perkaretan bukan merupakan pebahasan khusus namun hanya di sela-sela pertemuan.
65
Pembicaraan pun hanya berupa informasi harga, dan penjual mana yang membeli dengan harga lebih tinggi. Kelompok tani belum dimanfaatkan oleh petani sebagai sarana perbaikan dalam pengusahaan karet. 5.3. Penyelenggaraan Usahatani Karet 5.3.1. Penanaman Terdapat empat hal penting yang harus diperhatikan dalam penanaman karet. keempat hal tersebut adalah jenis penanaman, sistem penanaman, jenis bibit, dan jarak tanam. 5.3.1.1. Jenis Penanaman Terdapat dua jenis penanaman karet yang telah dilakukan petani di Kecamatan Tulang Bawang Tengah yaitu newplanting dan replanting. Newplanting adalah penanaman karet pada lahan yang semula tidak ditanami karet. Penanaman jenis ini dilakukan petani di desa transmigran non-program pengembangan karet, desa pribumi, dan desa program pengembangan karet di lahan yang dikhususkan untuk peladangan (lahan kering) dan sawah. Newplanting ini dilakukan dengan cara alih fungsi lahan. Lahan yang semula ditanami padi sawah, singkong, dan tanaman lainnya dialihfungsikan menjadi perkebunan karet. Alasan pengalihfungsian lahan tersebut dapat dilihat dalam Tabel 15. Sebagian petani menyatakan bahwa masih berkeinginan menanam padi atau tanaman lainnya. Namun, ia harus segera menanam karet karena lahan yang ia miliki akan tertutup (terteduhi) tanaman karet milik petani lainnya. Replanting merupakan penanaman karet di lahan yang semula ditanami karet setelah tanaman karet yang lama tidak berproduksi. Replanting dilakukan di desa transmigran dengan program pengembangan karet. Perkebunan karet sebelumnya merupakan perkebunan karet yang dikelola oleh KUD (Koperasi Unit Desa). Setelah tanaman karet relatif tidak berproduksi dengan baik, pengelolaan perkebunan diserahkan kepada masyarakat pemilik lahan. Dibawah pengelolaan pemilik lahan, tanaman karet disadap dengan sistem eksploitasi. Setelah produksi getah menurun
66
(sampai tidak produksi) atau tanaman terserang mati kulit dan penyakit lainnya, tanaman karet program transmigrasi ditebang dan diremajakan. Akan tetapi, di desa program ini masih terdapat perkebunan karet yang belum diremajakan berumur 30 tahun dan berada diantara tanaman karet yang telah diremajakan. Tabel 15. Tanaman Asal, Kelompok Desa, dan Alasan Petani Responden Mengalihfungsikan Lahan Menjadi Perkebunan Karet. No 1 Padi
Tanaman Asal
Kelompok Desa Non-Program Pengembangan Karet
2
Padi (rencana)
Sebagian desa program pengembangan karet
3
Singkong dan tanaman lahan kering lainnya
4
Padi dan singkong
Wilayah lahan kering desa program pengembangan karet Desa pribumi
Alasan Irigasi teknis tidak dapat menjamin ketersediaan air, sehingga sering gagal panen. Irigasi teknis tidak berfungsi, air tidak mencapai lahan sawah. Pendapatan dari perkebunan karet lebih menjanjikan. Pendapatan dari perkebunan karet lebih menjanjikan dan lebih kontinu.
5.3.1.2. Sistem Penanaman Para petani di lokasi penelitian sebagian besar melakukan penanaman karet dengan sistem tumpangsari. Hanya tiga orang (4,7 persen) dari responden yang menanam dengan sistem monokultur dan satu orang tidak mengetahui apakah kebunnya dulu ditumpang sari atau monokultur, karena ia membeli kebun dalam keadaan siap produksi. Sistem tumpangsari dilakukan terhadap tanaman karet belum menghasilkan. Lamanya waktu tumpangsari berkisar antara dua tahun hingga tujuh tahun tergantung jenis bibit yang ditanam. Petani yang menanam jenis bibit okulasi dalam kantong plastik akan menumpang sari kebun karetnya rata-rata selama 2,83
67
tahun, bibit dari biji ditumpangsari selama rata-rata 3,50 tahun, jenis bibit okulasi di lahan kebun (menempel sendiri) ditumpang sari rata-rata selama 3,50 tahun setelah di okulasi, dan jenis bibit stum mata tidur akan ditumpang sari selama rata-rata 3,6 tahun. Alasan ditumpangsarinya tanaman karet dengan tanaman lain lebih pada alasan ekonomi petani. Tanaman tumpang sari digunakan petani untuk memenuhi kebutuhannya selama tanaman karet belum menghasilkan. Alasan lain yang dikemukakan petani adalah mengoptimalkan fungsi lahan. Menurut mereka, lahan di antara tanaman karet dapat dioptimalkan penggunaannya dengan menanam tanaman lain dari pada dibiarkan kosong atau ditanami tanaman penutup tanah yang tidak memiliki nilai jual. Penanaman tanaman tumpang sari tidak terlalu mengganggu tanaman karet jika perawatan karet dilakukan dengan baik. Tabel 16. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Tanaman Tumpangsari yang Ditanam
1
Singkong
Desa program 26
2
Padi gogo
2
1
3
3
Kopi
0
2
2
4
Singkong, Padi gogo, Jagung *
0
1
1
5
Singkong, kopi *
0
1
1
6
Singkong, jagung*
1
0
1
7
Jagung dan Kacang *
0
1
1
8
Padi gogo dan jagung *
1
0
1
9
Singkong dan Kacang *
0
1
1
10
Monokultur
2
1
3
Jumlah
32
31
63
No
Jenis Tanaman Tumpang Sari
Desa Non Program 23
Jumlah Responden 49
Keterangan: *) ditanam secara bergantian.
Tanaman yang digunakan sebagai tanaman tumpang sari karet antara lain singkong, padi gogo, jagung, kacang, dan kopi. Alasan ditanamnya tanaman tersebut 68
sebagai tanaman tumpang sari karet lebih ditekankan pada aspek kemudahan budidaya dan kemampuan petani mengelola tanamannya. Sebaran petani berdasarkan tanaman tumpangsari yang pernah ditanamnya dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 menunjukkan bahwa sebagian besar petani karet di daerah penelitian menanam singkong sebagai tanaman tumpang sari. Pilihan tanaman singkong terkait dengan kondisi lahan yang dimiliki petani dan kemudahan pengelolaan. Lahan tanaman karet di daerah penelitian merupakan lahan kering dan sawah yang tidak mendapat air dari irigasi teknis. Sebelum ditanami karet, lahan karet ini ditanami singkong, sehingga singkong dirasakan sebagai tanaman paling mudah diantara tanaman yang lain. 5.3.1.3 Bibit dan Klon Karet Bibit yang ditanam petani karet di daerah penelitian berbeda dalam hal jenis dan klon. Dalam luasan total lahan yang dimiliki petani, dapat terdiri dari beberapa jenis bibit dan klon yang ditanam. Terdapat lima jenis bibit yang digunakan petani yaitu biji, stum mata tidur, bibit okulasi dalam kantong plastik, dan okulasi di lahan penanaman. Dalam satu persil, petani hanya menanam satu jenis bibit. Namun untuk persil yang berbeda petani ada yang menanam jenis bibit yang berbeda. Sebaran responden berdasarkan pilihan bibit yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 17. Klon yang digunakan oleh petani di daerah penelitian antara lain AVROS, GT, PB, RRIM, dan Thailand. Dalam satu persil lahan milik petani bisa terdapat lebih dari satu klon yang ditanam. Hal tersebut dikarenakan pada saat pembelian bibit petani tidak mengetahui ciri-ciri dari klon-klon yang diharapkan, sehingga setelah tanaman tumbuh besar dan pengetahuan mereka meningkat mereka baru mengetahui jenis klon yang mereka tanam. Petani penanam jenis bibit dari biji juga tidak mengetahui klon dari jenis bibit yang ditanamnya. Hal itu karena mereka mengambil biji tersebut dari perusahaan perkebunan karet swasta. Terdapat lima alasan yang melatarbelakangi petani memilih jenis bibit dan klon. Setiap petani memiliki satu alasan utama dari lima alasan tersebut. Alasan yang diungkapkan petani dalam pemilihan jenis bibit adalah harapan produksi getah tinggi,
69
murah, cepat hidup dan tumbuh besar, hanya mengikuti keumuman petani karet disekitarnya, dan karena belum berpengalaman dalam pemilihan bibit. Tabel 17. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Jenis Bibit yang Digunakan No
Jenis Bibit
1 2 3 4
Biji Okulasi dalam kantong plastik Stum mata tidur Okulasi di lahan kebun Biji dan okulasi dalam kantong* Biji dan okulasi kebun* Okulasi dalam kantong dan okulasi kebun* Okulasi dalam kantong dan stum mata tidur* Okulasi kebun dan stum mata tidur* Jumlah
5 6 7 8 9
Desa program 0 15 5 7 1
Desa Non Program 4 20 0 1 4
Jumlah Responden 4 35 5 8 5
0 0
1 1
1 1
2
1
3
2
0
2
32
32
64
5.3.1.4. Jarak Tanam Jarak tanam yang digunakan para petani berbeda-beda. Mereka menanam dengan jarak tanam yang menghemat lahan dan mengoptimalkan ruang dalam lahan. Jarak tanam yang digunakan petani antara lain empat meter kali lima meter, enam meter kali tiga meter, dan lima meter kali tiga meter. Tanaman tumpang sari seperti singkong, jagung, dan padi gogo diberi jarak setengah meter dari batang tanaman karet. Khusus untuk kopi, penanaman dilakukan di tengah-tengah empat pohon karet. Penanaman kopi dengan cara ini petani sebut dengan jarak tanam mata lima. 5.3.2. Perawatan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) Perawatan tanaman sebelum menghasilkan terdiri empat kegiatan yaitu pemupukan, penyiangan, pemangkasan cabang, dan penyulaman. Pemupukan tanaman belum menghasilkan mengunakan jenis Urea, TSP, dan KCL. Dosis pupuk ditentukan dengan perkiraan petani sendiri. Pemupukan dilakukan bersamaan dengan
70
pemupukan tanaman tumpang sarinya. Pada tanaman belum menghasilkan pemupukan diutamakan untuk tanaman tumpang sari, bukan tanaman karet. Penyiangan dilakukan menjelang kegiatan pemupukan. Penyiangan pun mengikuti penyiangan tanaman tumpang sarinya. Penyiangan dilakukan dengan mekanik (koret dan cabut) atau dengan menggunakan pertisida kimiawi. Sejak tanaman karet ditanam hingga berusia tiga tahun, dilakukan pemangkasan terhadap cabang-cabang yang tumbuh. Pemotongan ini dilakukan agar pada batang karet yang disadap nantinya tidak terdapat cabang. Pemotongan harus dilakukan ketika tanaman masih kecil agar batang mulus tidak terdapat benjolan bekas pemotongan cabang. Pemeriksaan dan pemotongan cabang dilakukan setiap minggunya atau minimal setengah bulan sekali. Penyulaman dilakukan terhadap tanaman yang mati, terserang penyakit, atau kerdil. Penyulaman dilakukan pada usia tanaman maksimal dua tahun. Penyulaman dilakukan dengan menggunakan bibit dari jenis stum tinggi dari okulasi dalam kantong plastik. Penyulaman dilakukan pada musim penghujan agar pasokan air untuk pertumbuhan tanaman sulaman terjamin. 5.3.3. Perawatan Tanaman Menghasilkan (TM) 5.3.3.1. Pemupukan Sebagian besar petani responden (87,50 persen) melakukan pemupukan dalam satu tahun terakhir. Petani melakukan pemupukan tanpa petunjuk dari buku maupun PPL baik dalam hal frekuensi, waktu pemupukan, jenis pupuk yang digunakan, maupun dosis pemakaian. Petani responden berbeda dalam frekuensi pemupukan karet. Ada yang satu kali, dua kali, atau tiga kali dalam setahun. Petani yang memupuk tanaman karetnya sekali setahun, melakukannya di awal musim penghujan. Pemupukan dua kali setahun dilakukan di awal dan di akhir musim penghujan. Sedangkan pemupukan tiga kali setahun dilakukan di awal, pertengahan, dan akhir musim penghujan. Menurut Nazaruddin dan Paimin (1992), pemupukan yang baik dilakukan dua kali setiap tahun yakni pada saat pergantian musim (kemarau ke penghujan dan penghujan 71
ke kemarau). Sebaran petani berdasarkan frekuensi pemupukannya dapat dilihat dalam Tabel 18. Tabel 18. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Frekuensi Pemupukan oleh Petani Responden No
Frekuensi Pemupukan
Desa Program 5
Desa Non program 3
Jumlah Responden 8
9
7
16
25,00
Persentase
2
Tidak melakukan pemupukan Sekali setahun
3
Dua kali setahun
11
16
27
42,19
4
Tiga kali setahun
7
6
13
20,31
Jumlah
32
32
64
100
1
12,50
Alasan petani responden melakukan pemupukan dengan berbagai frekuensi tersebut di atas antara lain keterbatasan dana (untuk yang tidak dipupuk dan hanya sekali setahun), mengikuti petani karet yang lebih dahulu (untuk yang dua kali setahun), dan semakin sering dipupuk semakin baik (untuk yang tiga kali setahun). Dari keterangan responden, didapatkan bahwa petani sadar akan dampak pemupukan terhadap produksi yang dihasilkan. Menurut petani, semakin jarang dipupuk atau pemupukan terlambat produksi karet yang dihasilkan akan menurun. Jenis pupuk yang digunakan oleh petani karetpun berbeda-beda. Terdapat petani karet yang menggunakan pupuk tunggal (Urea, TSP, KCl) dan ada yang menggunakan pupuk majemuk (NPK) dan mikro. Mayoritas petani yang melakukan pemupukan memupuk tanaman karetnya dengan pupuk urea (98,21 persen). Selain pupuk urea, 53,57 persen responden menggunakan dengan pupuk KCl, 25 persen menggunakan dengan TSP, 53,57 persen menggunakan pupuk majemuk (NPK) berbagai merek, dan 10,71 persen menggunakan pupuk mikro. Penggunaan pupuk majemuk oleh petani dikarenakan tidak terjangkaunya harga pupuk tunggal khususnya TSP dan KCl oleh sebagian petani. Padahal pemupukan tanaman karet yang baik menggunakan pupuk tunggal.
72
Dosis yang digunakan petani karet diperhitungkan berdasarkan perkiraan pribadi tanpa referensi buku atau petunjuk PPL. Dosis disesuaikan dengan fungsi pupuk terhadap tanaman (menurut dugaan petani). Urea bermanfaat bagi daun sehingga dosis urea selalu lebih banyak daripada pupuk yang lain, agar tanaman subur, daun hijau, dan getah melimpah. Namun, jika pupuk urea terlalu banyak menyebabkan getah encer (kadar air tinggi). KCl berfungsi memperkuat batang, namun jika terlalu banyak kulit menjadi keras dan sulit disadap. TSP berfungsi menambah kadar karet (getah lebih kental), namun terlalu banyak TSP getah menjadi terlalu kental sehingga karet cepat membeku di bidang sadap. Namun karena harga TSP dan KCl relatif tidak terjangkau, maka sebagaian petani menggantinya dengan NPK. Sebagian besar petani memupuk dengan metode tabur, bukan metode gali. Pupuk langsung ditabur dibawah pohon karet tanpa terlebih dahulu membuat saluran. Alasan digunakannya metode tabur adalah menghemat tenaga kerja. Padahal metode yang benar adalah metode gali (manual circle atau chemical strip weeding). Manual circle digunakan dengan cara membuat saluran melingkar pohon dengan jarak 50 sampai 120 cm dari pohon, kemudian pupuk ditaburkan ke dalam saluran, kemudian ditutup kembali dengan tanah. Chemical strip weeding dilakukan dengan membuat saluran sejajar dengan barisan batang karet dengan jarak 1 sampai 1,5 meter , kemudian pupuk ditabur dan ditutup kembali. 5.3.3.2. Penyiangan Petani karet semuanya melakukan penyiangan baik secara periodik maupun kadang-kadang. Penyiangan tidak sering dilakukan karena lahan karet tertutup oleh dedaunan pohon, sehingga cahaya matahari relatif sedikit dan rumput tidak tumbuh dengan subur. Petani yang merutinkan penyiangan umumnya melakukan penyiangan sebelum kegiatan pemupukan. Sedangkan petani yang tidak merutinkan, melakukan penyiangan sambil melakukan aktivitas lain misalnya sambil menunggu getah menetes, atau memungut koagulump. Penyiangan dengan herbisida tidak disukai oleh petani. Menurut mereka, herbisida dapat membunuh atau membuat kering akar
73
serabut pohon karet yang muncul ke permukaan. Matinya akar serabut membuat produksi getah menurun. 5.3.3.3. Penyakit Penyakit yang sering muncul di perkebunan karet daerah penelitian adalah mati kulit yang disebabkan jamur upas dan kanker bercak, serta penyakit akar putih. Penyakit jamur upas dan kanker bercak muncul bisa karena kesalahan dalam aktifitas penyadapan. Menurut pengetahuan petani, penyadapan pada kondisi batang basah (setelah hujan) dapat meyebabkan hal ini. Tanaman yang terkena penyakit mati kulit tidak dapat memroduksi getah karet (lateks). Petani merawat dengan menyehatkan tanaman dengan cara pemupukan dan berbagai obat yang didengarnya. Petani responden belum mengetahui obat yang tepat untuk penyakit mati kulit. Penyakit akar putih muncul karena tanah yang ditanami pernah terserang penyakit ini. Petani mengobati dan mencegah penularan penyakit akar putih dengan manaburkan belerang di sekitar tanaman yang terserang penyakit. Selain penyakit, yang dikhawatirkan oleh petani adalah bencana kebakaran kebun. Untuk mencegah risiko kebakaran, petani melakukan penyapuan daun kering. Penyapuan daun kering dilakukan setahun sekali. Penyapuan dilakukan pada saat musim kemarau dengan tujuan mencegah kebakaran kebun. Daun karet kering mudah sekali terbakar. Penyapuan digunakan untuk memberi jarak antara kumpulan daun dan batang karet, sehingga misalkan terjadi kebakaran tidak membakar batang karet. 5.3.4. Penyadapan Penyadapan merupakan aktivitas utama dalam budidaya tanaman karet. Dengan penyadapan inilah dihasilkan getah karet. Penyadapan dilakukan dengan melukai batang pohon karet. Tujuan penyadapan adalah membuka pembuluh getah yang terdapat di dalam kulit pohon karet ( Nazaruddin dan Paimin 1992). 5.3.4.1. Penentuan Matang Sadap Hal pertama yang dilakukan dalam proses penyadapan adalah penentuan matang sadap. Matang sadap adalah kondisi pohon karet yang telah siap dan layak
74
untuk disadap. Petani karet menggunakan kriteria usia dan lingkar batang pohon untuk menentukan matang sadap. Petani pengguna kriteria lingkar batang menyadap pohon karet yang telah memiliki lingkar batang 40 sampai 45 centimeter pada ketinggian 100 centimeter dari permukaan tanah untuk penanaman dari biji dan 100 centimeter dari bagian atas batang bawah (kaki gajah) untuk penanaman dari bibit okulasi. Petani pengguna kriteria umur, menyadap pohon karetnya ketika telah berumur lima, enam, atau tujuh tahun berapapun lingkar batang tanaman. Sebaran responden berdasarkan penggunaan kriteria matang sadap dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 menunjukkan bahwa sebagian besar petani hanya menggunakan lingkar batang sebagai kriteria matang sadap. Hasil memberikan bukti bahwa petani telah mengetahui kriteria tanaman karet matang sadap. Pengetahuan petani ini sangat penting mengingat batang karet merupakan modal untuk mendapatkan penghasilan. Lingkar batang yang terlalu kecil mengakibatkan proses penyadapan terganggu yakni lebih mudah terkena kambium. Batang karet yang tersadap kambiumnya akan menjadi rudak, permukaan tidak mulus, penyadapan periode berikutnya lebih susah dan rentan terhadap penyakit batang. Tabel 19. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Penggunaan Kriteria Matang Sadap No
Kriteria Matang Sadap
Jumlah Responden 21
Persentase
1
Umur
32,81
2
Lingkar batang
29
45,31
3
Umur dan lingkar batang
14
21,88
Jumlah
64
100
Petani pengguna kriteria umur untuk matang sadap yakni umur lima, enam, atau tujuh tahun didasarkan pada kemudahan dan pengetahuan yang didapat dari petani karet sebelumnya. Pengguna kriteria umur tidak perlu mengukur lingkar batang ketika penyadapan akan dimulai, sehingga menghemat tenaga. Pengetahuan yang didapat dari petani sebelumnya yaitu tanaman karet tidak akan mencapai lingkar
75
batang yang sesuai untuk disadap sebelum mencapai umur lima tahun sebaik apapun perawatannya. Dengan pengetahuan tersebut, petani menilai kondisi perawatan karetnya. Jika petani merasa perawatannya baik maka akan disadap lima tahun, jika kurang baik enam atau tujuh tahun. Alasan kebutuhanpun terkadang turut menjadi alasan penyadapan. Ketika kebutuhan telah mendesak, umur dimulainya penyadapan dipercepat, namun tidak jauh dari usia lima tahun. Setelah batang pohon dinyatakan layak sadap, batang kemudian disadap. Karena batang masih kecil dan usia tnam karet masih muda, mayoritas petani responden (95,31 persen) masih menggunakan jenis penyadapan bawah dalam menyadap karetnya. Hanya tiga responden (4,69 persen) yang telah menggunakan jenis sadap bebas. Penyadapan bebas dilakuakan karena tanaman telah dewasa dan menjelen tidak produktif (mendekati usia 25 tahun). Penyadapan bebas terdapat di desa program pengembangan karet. 5.3.4.2. Penyadap Mayoritas petani (56,25) melakukan penyadapan sendiri terhadap kebun karetnya. Sedangkan 43,75 persen mempekerjakan orang lain dalam penyadapan kebun karetnya (Tabel 20), penyadapan dilakukan oleh anggota keluarga yang lain atau tenaga kerja luar keluarga. Petani yang melakukan penyadapan sendiri lebih memungkinkan untuk mengetahui kondisi perkebunan dengan baik dan menyeluruh, sehingga pengelolaan dapat dilakukan dengan lebih baik. Tabel 20. Kondisi Tenaga Kerja Penyadap di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Penyadap No 1 Petani Sendiri
Jumlah Responden 36
Persentase 56,25
2
Pekerja Upahan
28
42,75
3
Terlatih
21
32,81
4
Tidak terlatih
43
67,19
Sebagian besar penyadap baik petani sendiri atau tenga kerjanya (67,19 persen) merupakan penyadap yang tidak pernah mendapatkan pelatihan penyadapan 76
secara khusus. Keterampilan menyadap mereka hanya diperoleh dengan belajar sendiri atau belajar dengan yang telah bisa menyadap yang belum tentu pernah mengikuti pelatihan. Teknik dasar yang dilatih oleh penyadap adalah menyadap tanpa mengenai kambium. Tanpa adanya pelatihan penyadapan yang baik, penyadap sangat besar kemungkinannya tidak mengetahui hal lain tentang penyadapan seperti kemiringan (30-45 derajat) dan ketebalan penyadapan (1,5-2 milimeter). Hanya 21 orang penyadap yang telah mengikuti pelatihan menyadap. Pelatihan diperoleh penyadap dari perusahaan perkebunan karet swasta (PT HIM). pelatihan diperoleh karena sebelumnya penyadap pernah bekerja di perusahaan swasta tersebut. 5.3.4.3. Peralatan sadap Peralatan sadap yang digunakan oleh petani karet antara lain pisau sadap, talang sadap, mangkuk penampung lateks, cincin mangkuk (tempat meletakan mangkuk), tali cincin, dan ember penampung. Pisau sadap yang digunakan petani sebagian besar berbahan baja (57 orang petani) dan hanya sebagian kecil petani yang menggunakan pisau sadap berbahan besi biasa. Dampak digunakannya besi baja sebagai bahan pisau adalah tidak mudah berkarat dan tidak mudah tumpul, sehingga hasil sadapan dan getah dapat keluar dengan sempurna. Pisau yang digunakan adalah pisau berdaun sempit (51 responden). Pisau berdaun sempit digunakan karena kulit batang karet yang disadap relatif tipis. Pisau berdaun ceper digunakan untuk tanaman berumur tua. Mayoritas petani (52 petani) melakukan pengasahan pisau setiap kali mau menyadap. Hanya 12 petani yang tidak mengasah pisau setiap kali mau menyadap. Pengasahan dilakukan ketika terasa tumpul atau berkala (dua hari sekali). Sebagian besar petani responden (90,62 persen) menggunakan talang berbahan seng. Hanya 9,38 persen petani yang menggunakan bahan plastik yang dibuat sendiri dari botol air minum dalam kemasan. Dari seluruh responden, tujuh petani telah mengganti sebagian talangnya dengan daun. Penggantian dengan daun ini dapat mengakibatkan lateks tidak masuk pada mangkuknya, dan daun dapat masuk ke bahan olah karet saat penarikan scrap (sisa lateks yang menempel pada bidang sadap).
77
Tabel 21. Penggunaan Bahan Mangkuk Penampung Lateks oleh Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 No
Bahan Mangkuk
Jumlah Responden (orang) 9
Persentase
1
Plastik
14,06
2
Tempurung kelapa
41
64,06
3
Campuran Tempurung dan Plastik Jumlah
14
21,88
64
100
Mangkuk penampung lateks dapat terbuat dari plastik atau tempurung kelapa (batok kelapa). Sebaran responden berdasarkan bahan mangkuk yang digunakan terlihat pada Tabel 21. Mayoritas petani responden (64,06 persen) menggunakan tempurung kelapa sebagai mangkuk penampung lateks dikarenakan harga yang lebih murah daripada plastik dan alasan keamanan. Mangkuk baru yang terbuat dari plastik sangat rawan hilang. Semua petani karet menggunakan cincin mangkuk terbuat dari kawat kecuali petani yang memiliki pohon yang miring sehingga sangat sulit untuk dipasang cincin pada pohon. Cincin diikatkan ke pohon karet dengan menggunakan tali. Tali dapat berbahan dari ijuk, tali tambang, rafia, karet, atau kawat kecil. Cincin tidak diperlukan ketika sadapan telah mencapai beberapa centimeter dari tanah, sehingga mangkuk cukup diletakan di tanah. Saat penyadapan, lateks akan mengalir ke mangkuk. Lateks yang telah terkumpul kemudian ditambahkan zat kougulan ke dalamnya. Setelah beberapa saat akan membeku. Ember penampung digunakan untuk menampung bekuan (bahan olah karet) tersebut untuk dijual. Ember penampung terbuat dari plastik.
5.3.4.4. Frekuensi Menyadap Penyadapan harus memperhatikan kesehatan tanaman. Untuk itu, penyadapan memiliki aturan tertentu. Aturan penyadapan yang dimaksud adalah fekuensi atau keseringan dalam menyadap. Frekuensi penyadapan terbaik yang disebutkan oleh Nazaruddin dan Paimin (1992) adalah tiga hari sekali (A-B-C) untuk penyadapan dua
78
tahun pertama dan dua hari sekali (A-B) untuk penyadapan tahun ke tiga dan seterusnya. Hanya sedikit (9,38 persen) petani karet responden yang menerapkan frekuensi diatas. Alasan tidak diterapkannya frekuensi tersebut adalah desakan kebutuhan sehari-hari yang menuntut mereka untuk menyadap tanaman karet lebih sering, bahkan setiap hari sekalipun. Mayoritas petani karet (56,25 persen) menyadap setip hari asalkan tidak turun hujan. Sebaran berdasarkan frekuensi penyadapan yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Frekuensi Penyadapan Petani Karet di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 No
Frekuensi Penyadapan
Jumlah Responden
Persentase
1
Dua hari sekali
6
9,38
2
Dua kali dalam tiga hari
7
10,94
3
Tiga kali dalam empat hari
2
3,12
4
Empat kali dalam lima hari
1
1,56
5
Enam kali dalam tujuh hari
12
18,75
6
Setiap hari
36
56,25
Jumlah
64
100
Frekuensi penyadapan sangat berpengaruh pada usia tanaman. Terlalu seringnya penyadapan mengakibatkan usia produktif tanaman menjadi menurun. Penyadapan yang terlalu sering dan tidak diimbangi pemupukan yang baik dapat mengakibatkan penurunan produktiviitas pohon dan penurunan kualitas lateks yang dihasilkan. Penyadapan yang paling buruk terjadi apabila dilakukan setiap hari, bahkan jika hujan tetap disadap tetapi dengan waktu yang lebih siang. 5.3.4.5. Waktu Menyadap Waktu penyadapan yang terbaik adalah ketika tekanan turgor tanaman paling 8
tinggi . Turgor masih tinggi terjadi ketika matahari belum tinggi dan terbaik adalah 8
Turgor adalah tekanan pada dinding sel tanaman oleh isi sel.
79
tengah malam. Waktu penyadpan terbaik dan relatif sesuai dengan waktu kerja adalah dimulai pukul 05.00-06.00 pagi. Di tingkat petani, waktu penyadapan sangat tergantung kegiatan petani pada pagi hari. Jika ada pekerjaan lain, maka penyadapan dilakukan lebih pagi. Bahkan ada petani yang menyadap tengah malam (jam 01.00 dini hari), alasannya adalah getah yang dihasilkan lebih banyak. Waktu penyadapan petani dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 23. Waktu Penyadapan Petani karet di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 No
Waktu Penyadapan
Jumlah Responden
1
Pukul 01.00 dini hari
2
2
Pukul 04.00 pagi
2
3
Pukul 05.00 pagi
35
4
Pukul 06.00 pagi
25
Jumlah
64
Waktu penyadapan dapat berubah ketika terjadi perubahan kondisi misalnya
hujan
pada
tengah
malam
atau
sore
pada
hari
sebelumnya.
Penyadapan dilakukan lebih siang, yakni ketika batang pohon telah kering. Penyadapan di waktu pagi setelah hujan akan sangat sulit dilakukan karena getah tidak mengalir tepat pada jalurnya. Getah karet akan mengalir secara acak dan bercecer di batang pohon. Pada kondisi seperti ini, petani lebih memilih berhenti menyadap terutama petani yang menyadap batang pohon setiap hari. 5.3.5. Penanganan Pasca Panen 5.3.5.1. Jenis Bahan Olah Karet Mayoritas petani (98,44 persen) memroduksi bahan olah karet berbentuk koagulump (coagulump). Seluruh petani di desa non program menjual hasil produksinya dalam bentuk koagulump. Sedangkan di desa program terdapat satu orang petani responden yang menjual hasilnya dalam bentuk lateks.
80
Koagulump yang dijual petani berbeda-beda jenisnya berdasarkan usia sebelum penjualan. Lebih dari setengah petani responden (56,25 persen) yang terdiri dari 18 petani desa program dan 18 petani desa non program menjual hasil dalam bentuk koagulump berumur dua hari. Koagulump dua hari didapatkan dengan cara cara menggabungkan koagulump hari pertama dan hari kedua penyadapan. Hasil penyadapan hari pertama dibekukan kemudian diambil dan disimpan dirumah atau dibiarkan di dalam mangkuk kemudian digabungkan dengan koagulump hari berikutnya. Alasan dijualnya hasil dalam bentuk koagulump dua hari adalah harga lebih tinggi dari koagulump harian, penyusutan bobot tidak terlalu besar, dan relatif praktis. Tabel 24. Sebaran Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Bahan oleh Karet yang Diproduksinya
1
Lateks kebun
1
Desa Non program (orang) 0
2
Koagulump harian
10
2
12
3
Koagulump dua hari
18
18
36
4
Koagulump tiga hari
2
7
9
5
Koagulump seminggu
0
5
5
6
Koagulump tujuh hari
1
0
1
Jumlah
32
32
64
No
Jenis bahan Olah karet
Desa Program (orang)
Jumlah Responden (orang) 1
Petani responden penjual koagulump harian berjumlah 12 orang (18,75 persen) dengan komposisi sepuluh orang petani desa program dan dua petan desa non program. Alasan mereka lebih kepada ekonomi harian keluarga dan kepraktisan. Sedangkan jumlah petani penjual koagulump tiga hari, satu minggu, dan setengah bulan masing-masig sebesar sembilan, lima dan satu orang. Sebaran responden berdasarkan bahan oleh karet yang diproduksinya dapat dilihat pada Tabel 24.
81
5.3.5.2. Pembekuan Lateks Sebagian besar petani (77,78 persen) menggunakan pupuk TSP atau SP 36 sebagai koagulan (pembeku) lateks untuk menghasilkan koagulump. Sedangkan petani lain (20,63 persen) menggunakan tawasn sebagai koagulannya. Alasan digunakannya pupuk TSP dan Tawas adalah harga, kemudahan didapat, kemudahan pemakaian, dan keamanan terhadap kesehatan. Jumlah petani pengguna koagulan dapat dilihat pada Tabel 25. Penggunaan pupuk TSP dan tawas sebagai pembeku menyebabkan kadar debu dalam bahan olah karet meningkat, sehingga mutu karet turun. Sedangkan tanpa penggunaan koagulan pembekuan lambat. Pembeku terbaik yang disarankan oleh produsen karet remah adalah asam format (asam semut). Tabel 25. Penggunaan Koagulan Lateks oleh Responden Penelitian di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Koagulan
No
Jumlah petani
Persentase
1
TSP
49
77,78
2
Tawas
13
20,63
3
Tanpa Koagulan
1
1,59
Jumlah
63
100
Selain TSP dan tawas, sebagian petani (19,05 persen) mencampur bahan pembeku dengan zat aditif. Zat aditif yang biasa digunakan adalah air perasan umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst). Air perasan umbi gadung jika dicampur dengan lateks tidak akan terlihat. Alasan digunakannya umbi gadung sebagai koagulan tambahan adalah cepat membeku dan menambah bobot koagulump. Dampak dari adanya umbi gadung adalah meningkatnya kadar abu dan penurunan plastisitas (kekenyalan) karet yang dihasilkan. 5.3.5.3. Kondisi Produk Kondisi produk yang dihasilkan petani mayoritas (57,14 persen) bersih dari ranting, tatal atau daun karena memang dijaga dengan benar. Terdapat 42,86 persen
82
petani yang mengaku terdapat tatal, ranting atau daun di dalam koagulump yang dihasilkanya, bahkan tiga di antaranya (4,76 persen) mengaku sengaja memasukan tatal ke dalam lateks sebelum dilakukan pembekuan. 5.4. Perbandingan Kualitas Karet Tabel 26 menunjukkan kualitas karet rata-rata yang diproduksi petani di Kecamatan Tulang Bawang Tengah. Dalam perhitungan kualitas karet yang diproduksi petani hanya mengikutkan 63 responden dari 64 responden karena 63 responden tersebut memroduksi dalam bentuk koagulump. Sedangkan satu responden memroduksi karet dalam bentuk lateks (getah). Tabel 26. Perbandingan Kualitas Karet Desa program dan Non Program Kelompok Responden
Kualitas*
Harga Rata-Rata (Rp)*
Desa Program
6,13
2.950**
Desa Non Program
6,98
3.233,33**
*) Berbeda nyata secara statistik hingga tingkat kepercayaan sebesar 95% **) Harga rata-rata dari petani yang menyadap karetnya setiap hari dan menjualnya dua hari sekali
Kualitas karet yang diproduksi petani di desa non program lebih tinggi dibanding kualitas karet di desa program dengan perbedaan yang signifikan secara statistik. Penyebab dan faktor yang memengaruhi kualitas karet di kedua kelompok desa dianalisis dalam pembahasan faktor-faktor yang memengaruhi kulitas karet rakyat.
83
VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS KARET PERKEBUNAN RAKYAT Analisis faktor-faktor yang memengaruhi kualitas karet perkebunan rakyat dilakukan dengan dua alat analisis yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah tabulasi faktor yang diduga memengaruhi kualitas karet. Tabulasi faktor langsung dihubungkan dengan kualitas untuk melihat pengaruh faktor tersebut. Setelah ditabulasi, faktorfaktor dikelompokan berdasarkan pengaruhnya terhadap kualitas. Faktor-faktor yang memiliki arah pengaruh yang sama dikelompokan menjadi satu domain. Akan terdapat tiga domain utama yaitu domain pengaruh positif di kedua kelompok desa, domain pengaruh negatif di kedua kelompok desa, dan domain faktor yang tidak konsisten di kedua kelompok desa yakni di kelompok desa program berpengaruh positif, sedangkan di kelompok desa non program negatif, atau sebaliknya. Tahap ketiga adalah analisis taksonomik. Dari ketiga domain yang telah ditetapkan pada tahap kedua, dipilih domain superior yakni domain yang memiliki pengaruh yang sama arahnya di kedua kelompok desa penelitian. Analisis taksonomik akan dilakukan terhadap domain yang superior karena dianggap memiliki pengaruh yang besar terhadap kualitas karet. Metode kuantitatif yang digunakan adalah model regresi logistik biner. Metode ini digunakan untuk melihat besarnya pengaruh variabel independen terhadap kualitas secara statistik. Metode ini dilakukan melalui enam tahap yaitu transformasi kualitas, pendugaan faktor,
pendugaan model, pendugaan koefisien regresi, uji
signifikansi model dan koefisien serta intepretasi koefisien. 6.1. Tabulasi Faktor Terdapat 13 faktor yang diduga memengaruhi kualitas karet perkebuanan rakyat. Ketigabelas faktor tersebut adalah usia, pendidikan, pengalaman, transmigran pengembangan karet, jumlah anggota keluarga, pengahasilan rumah tangga per bulan, partisipasi petani dalam kegiatan sosial, keanggotan kelompok tani, keberadaan PPL di desa, pernah atau tidaknya bertanya kepada PPL tentang karet, frekuensi
84
pemupukan, luas lahan, dan penggunaan TSP sebagai koagulan. Setelah mendapatkan data lapang, ternyata hanya 10 faktor yang memungkinkan untuk dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Tiga faktor lainnya (keberadaan PPL, dan pernahnya bertanya kepada PPL, harga dan transmigran pengembangan karet) tidak digunakan karena terlalu sedikitnya responden di salah satu kelompok desa yang melakukan aktivitas tersebut. Data yang terlalu sedikit juga terjadi pada petani pengakses informasi perkaretan dari PPL. 6.1.1. Usia Tabulasi faktor usia dilakukan dengan membagi usia menjadi dua kelas yaitu kelas petani berusia lebih tua dan kelas petani berusia muda. Hal ini dilakukan untuk melihat kualitas karet yang dimiliki kelompok petani yang usianya lebih tua dibandingkan dengan kualitas karet yang dimiliki petani yang berusia lebih muda. Tabulasi kualitas karet yang diproduksi petani responden berdasarkan usia petani produsen dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Perbandingan Kualitas Karet Berdasarkan Usia Petani di Kecamatan Tulang bawang Tengah Tahun 2009 No 1
2
Usia (Tahun)
Kualitas
Desa program 28 hingga 52
6,57
53 sampai 77
5,76
Desa non program 28 hingga 52
6,78
53 sampai 77
7,25
Tabel 27 memperlihatkan bahwa kelompok petani yang berusia lebih tua di desa program memiliki kualitas karet yang lebih rendah dibandingkan kelompok petani yang berusia lebih muda. Sedangkan di desa non program, kelompok petani yang berusia lebih tua memiliki kualitas karet yang lebih tinggi dibandingkan
85
kelompok petani yang berusia lebih muda. Hal ini menunjukkan hubungan yang tidak konsisten antara usia dan kualitas di kedua kelompok desa. 6.1.2. Tingkat Pendidikan Tabulasi hubungan antara pendidikan dan kualitas hanya digunakan 62 responden karena satu responden dari desa program memroduksi dalam bentuk lateks, dan satu responden dari desa non program adalah pencilan dalam lamanya pendidikan yakni 16 tahun pendidikan. Tabulasi faktor pendidikan dilakukan dengan membagi lamanya pendidikan formal petani menjadi dua kelas. Hal ini dilakukan untuk melihat kualitas karet yang dimiliki kelompok petani yang pernah menjalani pendidikan formal lebih tinggi dibandingkan dengan kualitas karet yang dimiliki petani yang yang pernah menjalani pendidikan formal lebih rendah. Tabulasi kualitas karet yang diproduksi petani responden berdasarkan pendidikan formal yang dijalani petani produsen dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Perbandingan Kualitas Karet Berdasarkan Pendidikan Formal Petani di Kecamatan Tulang bawang Tengah Tahun 2009 No 1
2
Pendidikan (Tahun)
Kualitas
Desa program 2 tahun sampai 7 tahun
6,18
8 tahun sampai 13 tahun
5,67
Desa non program 2 tahun sampai 7 tahun
7,00
8 tahun sampai 13 tahun
6,80
Tabel 28 memperlihatkan bahwa kelompok petani yang berpendidikan lebih tinggi di desa program memiliki kualitas karet yang lebih rendah dibandingkan kelompok petani yang berpendidikan lebih rendah. Demikian pula di desa non program, kelompok petani yang berpendidikan lebih tinggi memiliki kualitas karet yang lebih rendah dibandingkan kelompok petani yang berpendidikan lebih rendah.
86
Hal ini menunjukkan hubungan negatif yang konsisten antara lamanya pendidikan formal dan kualitas di kedua kelompok desa. 6.1.3. Jumlah Anggota Keluarga Tabulasi faktor jumlah anggota keluarga petani dilakukan dengan membagi rentang nilai jumlah anggota keluarga menjadi dua kelas yaitu kelas petani beranggotakan lebih banyak (enam sampai sembilan orang) dan kelas petani beranggotakan lebih sedikit (dua hingga lima orang). Hal ini dilakukan untuk melihat kualitas karet yang dimiliki kelompok petani yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih banyak dibandingkan dengan kualitas karet yang dimiliki petani yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih sedikit. Tabulasi kualitas karet yang diproduksi petani responden berdasarkan jumlah anggota keluarga yang dimiliki dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. No 1
2
Perbandingan Kualitas Karet Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga Petani di Kecamatan Tulang bawang Tengah Tahun 2009 Anggota Keluarga (Orang)
Kualitas
Desa program 2 sampai 5 orang
6,11
6 sampai 9 orang
6,33
Desa non program 2 sampai 5 orang
6,87
6 sampai 9 orang
7,28
Tabel 29 memperlihatkan bahwa kelompok petani yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih banyak di desa program memiliki kualitas karet yang lebih tinggi dibandingkan kelompok petani yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih sedikit. Demikian pula di desa non program, kelompok petani yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih banyak memiliki kualitas karet yang lebih tinggi dibandingkan kelompok petani yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih sedikit. Hal ini
87
menunjukkan hubungan positif yang konsisten antara jumlah anggota keluarga dan kualitas di kedua kelompok desa. 6.1.4. Pendapatan Rumah Tangga Tabulasi faktor pendapatan rumah tangga petani dilakukan dengan membagi rentang nilai pendapatan rumah tangga menjadi dua kelas yaitu kelas petani berpendapatan rumah tangga lebih besar (lebih dari Rp 3.264.680) dan kelas petani berpendapatan rumah tangga lebih kecil (kurang dari Rp 3.264.68). Hal ini dilakukan untuk melihat kualitas karet yang dimiliki kelompok petani yang berpendapatan rumah tangga lebih besar dibandingkan dengan kualitas karet yang dimiliki petani yang berpendapatan rumah tangga lebih kecil. Tabulasi kualitas karet yang diproduksi petani responden berdasarkan pendapatan rumah tangga yang dimiliki dapat dilihat pada tabel 30. Tabel 30. Perbandingan Kualitas Karet Berdasarkan Pendapatan Rumah Tangga Petani di Kecamatan Tulang bawang Tengah Tahun 2009 No 1
2
Pendapatan (Rupiah)
Kualitas
Desa program Kurang dari Rp3.264.680
6,30
Lebih dari atau sama dengan Rp3.264.680
5,57
Desa non program Kurang dari Rp3.264.680
7,01
Lebih dari atau sama dengan Rp3.264.680
6,91
Tabel 30 memperlihatkan bahwa kelompok petani yang memiliki pendapatan rumah tangga lebih besar di desa program memiliki kualitas karet yang lebih rendah dibandingkan kelompok petani yang memiliki pendapatan rumah tangga lebih kecil. Demikian pula di desa non program, kelompok petani yang memiliki pendapatan rumah tangga lebih besar memiliki kualitas karet yang lebih rendah dibandingkan kelompok petani yang memiliki pendapatan rumah tangga lebih kecil. Hal ini
88
menunjukkan hubungan negatif dan konsisten antara pendapatan rumah tangga petani dan kualitas di kedua kelompok desa. 6.1.5. Pengalaman Tabulasi faktor pengalaman dan kualitas karet hanya memakai data dari 58 petani karena terjadi pemangkasan data petani yang berpengalaman lebih dari 25 tahun. Dengan alasan melebihi usia produktif tanaman karet yakni 25 tahun dan terlalu jauh dari nilai rata-rata (13,83 tahun) pengalaman petani responden. Rentang nilai pengalaman dibagi menjadi dua kelas yakni kelas petani berpengalaman lebih tinggi (15 hingga 23 tahun) dan petani berpengalaman lebih rendah (6 sampai 14 tahun). Kemudian kualitas masing-masing kelas diperbandingkan. Tabulasi kualitas karet
yang
diproduksi
petani
responden
berdasarkan
pengalaman
dalam
mengusahakan karet dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Perbandingan Kualitas Karet Berdasarkan Pengalaman Petani di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 No 1
2
Pengalaman (tahun)
Kualitas
Desa program 6 sampai 14 tahun
6,00
15 sampai 23 tahun
6,10
Desa non program 6 sampai 14 tahun
6,96
15 sampai 23 tahun
6,88
Tabel 31 memperlihatkan bahwa kelompok petani yang lebih berpengalaman di desa program memiliki kualitas karet yang lebih tinggi dibandingkan kelompok petani yang lebih rendah pengalamannya. Sedangkan di desa non program, kelompok petani yang berpengalaman lebih tinggi memiliki kualitas karet yang lebih rendah dibandingkan kelompok petani yang berpengalaman lebih rendah. Hal ini menunjukkan hubungan yang tidak konsisten antara pengalaman dan kualitas di kedua kelompok desa.
89
6.1.6. Ketergabungan dengan Kelompok Tani Dalam analisis faktor ketergabungan dengan kelompok tani, hanya digunakan responden dari kelompok desa non program pengembangan karet dengan alasan di desa program pengembangan karet, hanya tiga orang responden yang bergabung dengan kelompok tani. Hal ini langsung memberi gambaran bahwa kelompok tani di desa program tidak berjalan dengan baik bahkan tidak ada aktivitas. Tabulasi kualitas karet yang diproduksi petani responden berdasarkan ketergabungannya dengan kelompok tani dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32 menunjukkan bahwa penai yang bergabung dengan kelompok tani memiliki kualitas karet yang lebih baik dibandingkan petani yang tidak bergabung. Tabel 32. Kualitas Karet yang Diproduksi Petani Responden di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Ketergabungannya dengan Kelompok Tani No
Status Ketergabungan dengan Kelompok Tani
Kualitas
1
Bergabung
7,53
2
Tidak bergabung
6,37
6.1.7. Partisipasi Sosial (Pengajian) dan Pembicaraan tentang Karet di Dalamnya Tabulasi faktor ketergabungan atau partisipasi petani dalam kegiatan sosial dan kualitas karet dilakukan dengan membagi petani di kedua kelompok menjadi dua kelas yaitu kelas petani yang bergabung atau berpartisipasi dalam suatu kegiaan sosial dan kelas petani yang tidak bergabung atau berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Kemudian kualitas masing-masing kelas diperbandingkan. Tabel 33 menunjukkan perbandingan kualitas antara kelompok petani yang berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan kelompok petani yang tidak berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Baik di desa program atau non program, petani yang bergabung dalam kegiatan sosial memiliki kualitas yang lebih tinggi daripada petani yang tidak bergabung dalam kegiatan sosial. Hal ini menunjukan ketergabungan berpengaruh positif terhadap kualitas dan konsisten di kedua kelompok desa.
90
Tabel 33. Perbandingan Kualitas Karet Petani di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Ketergabungannya dengan Kegiatan Sosial No 1
2
Pertisipasi dalam Kegiatan Sosial
Kualitas
Desa Program Tergabung dan membicarakan
6,19
Tidak tergabung atau tidak membicarakan
6,07
Desa Non Program Tergabung dan membicarakan
7,15
Tidak tergabung atau tidak membicarakan
6,80
6.1.8. Luas Lahan Karet Tabulasi faktor luas lahan perkebunan karet dan kualitas karet dilakukan dengan membagi petani di kedua kelompok menjadi dua kelas yaitu kelas petani yang memiliki luas lahan kurang dari 1,4 ha dan kelas petani yang memiliki luas lahan lebih dari 1,4 ha. Kemudian kualitas masing-masing kelas diperbandingkan. Tabel 34. Perbandingan Kualitas Karet Petani di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Luas Perkebunan Karet yang Dimiliki No 1
2
Luas lahan
Kualitas
Desa non program Kurang dari 1,4 ha
7,06
Lebih dari 1,4 hektar
6,91
Desa program Kurang dari 1,4 ha
6,14
Lebih dari 1,4 hektar
6,11
Tabel 34 menunjukkan perbandingan kualitas antara kelompok petani yang berlahan relaif lebih luas (lebih dari 1,4 ha) dan kelompok petani yang berlahan relatif lebih sempit (kurang dari 1,4 ha). Baik di desa program atau non program, petani yang kelompok petani yang berlahan relaif lebih sempit memiliki kualitas yang lebih tinggi daripada petani yang tidak bergabung dalam kegiatan sosial. Hal ini
91
menunjukan ketergabungan berpengaruh negatif terhadap kualitas dan konsisten di kedua kelompok desa. 6.1.9. Frekuensi Pemupukan Tabulasi faktor pemupukan dan kualitas karet dilakukan dengan membagi petani di kedua kelompok menjadi dua kelas yaitu kelas petani yang memupuk karetnya kurang dari dua kali dan kelas petani yang memupuk karetnya lebih dari atau sama dengan dua kali. Alasan digunakannya pemupukan dua kali sebagai pembatas karena frekuensi pemupukan yang disarankan dalam petunjuk pemeliharaan karet yang ideal adalah dua kali. Kualitas masing-masing kelas kemudian diperbandingkan. Tabel 34 menunjukkan perbandingan kualitas antara kelompok petani yang memupuk karetnya kurang dari dua kali dan petani yang memupuk karetnya lebih dari atau sama dengan dua kali. Pada Tabel 34 terlihat bahwa frekuensi pemupukan memiliki hubungan terhadap kualitas yang tidak konsisten di kedua kelompok desa. Tabel 35. Perbandingan Kualitas Karet Petani di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Frekuensi Pemupukan No 1
2
Frekuensi pemupukan
Kualitas
Desa non program Kurang dari dua kali
6,60
Lebih dari atau sama dengan dua kali
7,16
Desa program Kurang dari dua kali
6,29
Lebih dari atau sama dengan dua kali
6,00
6.1.10. Zat Koagulan yang Digunakan Dalam analisis faktor pemakaian zat koagulan, hanya digunakan responden dari kelompok desa non program pengembangan karet dengan alasan di desa program pengembangan karet tidak terdapat petani responden yang memroduksi koagulump dengan menggunakan tawas sebagai koagulannya. Faktor zat koagulan merupakan
92
faktor yang termasuk alat dan bahan yang digunakan dalam penyadapan. Dari beberapa faktor yang diduga termasuk dalam faktor yang memengaruhi hanya koagulan yang mampu diindentifikasi sebagai faktor karena peralatan lain relatif sama untuk seluruh petani responden sehingga sulit melihat pengaruh faktor terhadap kualitas. Tabel 36. Perbandingan Kualitas Karet Petani di Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Penggunaan Koagulan No
Zat Koagulan
Kualitas
1
Pupuk TSP
7,14
2
Tawas
6,79
Tabel 34 menunjukkan perbandingan kualitas antara kelompok petani pengguna pupuk TSP sebagai koagulan dan kelompok petani pengguna tawas sebagai koagulan. Pada Tabel 34 terlihat bahwa petani pengguna pupuk TSP memiliki kualitas karet yang lebih tinggi dibandingkan dengan kualitas karet petani penggunan tawas sebagai koagulan. 6.2. Analisis Domain Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet Perkebunan Rakyat Dalam penelitian ini, analisis domain dimulai dengan pengelompokan faktor menjadi domain-domain besar. Terdapat tiga kelompok faktor atau domain yaitu kelompok atau domain faktor yang memiliki pengaruh positif terhadap kualitas, domain faktor yang memiliki pengaruh negatif terhadap kualitas dan domain faktor yang tidak konsisten pengaruhnya terhadap kualitas. Pola hubungan antara kelompok domain yang memengaruhi kualitas dapat dilihat pada Tabel 37. 6.2.1. Domain Faktor Berpengaruh Positif Domain yang berpengaruh positif memiliki dua macam hubungan semantik (hubungan makna) yaitu sebab akibat (hubungan langsung) dan alasan/raisonal (hubungan tidak langsung). Hubungan sebab akibat atau hubungan langsung memberikan arti bahwa apabila faktor (misal x) ada atau x dilakukan akan
93
memengaruhi kualitas karet secara langsung. Apabila hubungan tersebut positif, maka bila x ada atau dilakukan maka kualitas karet yang diukur menurut persepsi petani akan menjadi lebih baik daripada x tidak ada atau tidak dilakukan. Sedangkan hubungan tidak langsung bermakna bahwa faktor x tidak langsung memengaruhi kualitas, namun faktor x menjadi pendorong bagi petani untuk melakukan atau tidak melakukan aktivitas yang dapat memengaruhi kualitas. Faktor yang memberikan pengaruh langsung atau berhubungan sebab akibat dan bersifat positif adalah penggunaan pupuk TSP sebagai koagulan. Petani yang menggunakan pupuk TSP sebagai koagulan memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang menggunakan koagulan selain pupuk TSP yaitu tawas. Jika menggunakan pendapat Spradlley yang dikutip oleh Bungin (2003) mengenai hubungan semantik, maka dapat dikatakan bahwa penggunaan pupuk TSP sebagai koagulan menjadi sebab kualitas bahan olah karet di Kecamatan Tulang Bawang Tengah menjadi lebih baik dibanding koagulan lain yang digunakan petani karet. Jika digunakan koagulan lain (tawas) sebagai faktornya maka dapat dinyatakan bahwa penggunaan tawas menjadi sebab lebih rendahnya kualitas bahan olah karet. Faktor pengaruh positif yang secara tidak langsung memengaruhi kualitas adalah jumlah anggota keluarga, keanggotaan dalam kelompok tani, serta pertisipasi dan pembicaraan karet di dalam kegiatan sosial. Bentuk hubungan semantik ketiga faktor diatas adalah alasan atau rasional. Terdapat sedikit perbedaan hubungan semantik antara ketiga faktor dan kualitas karet. Jumlah anggota keluarga yang lebih banyak akan memberikan kemampuan lebih bagi petani untuk melakukan upaya peningkatan kualitas terutama kegiatan yang membutuhkan tambahan tenaga kerja seperti pembersihan mangkuk sebelum menyadap dan pembersihan ember secara periodik. Sehingga jumlah anggota keluarga menjadi alasan dilakukannya upaya peningkatan kualitas. Faktor keanggotaan kelompok tani dan partisipasi dalam kegiatan sosial akan menjadi sarana bertukar informasi tentang perkaretan termasuk persoalan kualitas. Didapatkannya informasi kualitas, dapat menjadi pendorong bagi petani untuk melakukan upaya peningkatan kualitas sehingga kualitas karet petani anggota kelompok tani dan
94
partisipan kegiatan sosial lebih baik dibanding selainnya. Karena itu, ketiga faktor tersebut menjadi alasan bagi petani untuk melakukan upaya peningkatan kualitas karet yang diproduksinya. 6.2.2. Domain Faktor Berpengaruh Negatif Faktor-faktor yang memiliki pengaruh negatif terhadap kualitas antara lain pendidikan, penghasilan rumah tangga, dan luas lahan. Petani-petani dengan pendidikan yang relatif tinggi, pendapatan yang lebih besar, dan lahan yang lebih luas memiliki rata-rata kualitas yang lebih rendah. Jika melihat jenis hubungannya, ketiga faktor yang berpengaruh negatif memiliki jenis hubungan alasan atau rasional. Secara umum, semakin tingginya nilai faktor pendidikan formal, pendapatan keluarga dan luas lahan perkebunan karet yang dimiliki petani menjadi alasan bagi petani untuk tidak melakukan upaya perbaikan kualitas. Selain itu, semakin tingginya nilai faktor pendidikan formal, pendapatan keluarga dan luas lahan perkebunan karet yang dimiliki petani dapat menjadi alasan bagi petani untuk melakukan upaya peningkatan bobot atau massa karet yang bertujuan peningkatan pendapatan usahatani karetnya, namun terkadang upaya tersebut dapat menurunkan kualitas karet yang diproduksinya. 6.2.3. Domain Faktor yang Berpengaruh Tidak Konsisten Usia, pengalaman dan frekuensi pemupukkan memberikan pengaruh yang tidak konsisten antara di desa program dan di desa non program pengembangan karet. Faktor-faktor tersebut berpengaruh secara berbeda di kedua kelompok desa. Faktorfaktor tersebut berpengaruh prositif di desa program namun berpengaruh negatif di desa non program atau sebaliknya. Karena pengaruh yang tidak konsisten, maka ketiga faktor tersebut dapat dikatakan tidak memengaruhi atau tidak memiliki hubungan semantik baik langsung maupun tidak langsung terhadap kualitas karet perkebunan rakyat.
95
Tabel 37. Pola Hubungan Semantik Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet Daftar kelompok Domain Kelompok Faktor Berpengaruh Positif
Kelompok Faktor Berpengaruh Negatif
Kelompok Faktor Berpengaruh Tidak Konsisten
Domain Penggunaan pupuk TSP sebagai koagulan
Jenis Hubungan Semantik Sebab Akibat
Keanggotaan Kelompok Tani
Cara ke tujuan
Pertisipasi kegiatan Sosial
Cara ke Tujuan
Jumlah Anggota Keluarga
Alasan/Rasional
Pendapatan Rumah Tangga
Alasan/Rasional
Pendidikan
Cara ke tujuan
Luas Lahan Kebun Karet
Alasan/Rasional
Usia Pengalaman Frekuensi Pemupukan
Tidak memiliki bentuk hubungan semantik
Bentuk Hubungan Penggunaan pupuk TSP sebagai koagulan merupakan sebab kualitas bahan olah karet menjadi lebih baik dibanding koagulan lain yang digunakan petani karet Keanggotaan kelompok tani merupakan sarana untuk mendapatkan informasi mengenai kualitas Partisipasi sosial merupakan sarana untuk mendapatkan informasi mengenai kualitas Jumlah anggota keluarga yang lebih besar menjadi alasan dapat dilakukannya upaya peningkatan kualitas Pendapatan rumah tangga yang relatif lebih rendah menjadi alasan petani untuk melakukan perbaikan kualitas untuk meningkatkan pendapatan usahataninya Pendidikan yang lebih tinggi merupakan cara untuk dapat mengakses informasi teknik mempertahankan bobot. Lahan yang sempit menjadi alasan petani untuk memperbaiki kualitas agar harga yang diterimanya menjadi lebih baik. -
96
6.3. Analisis Taksonomik Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet Perkebunan Rakyat Teknik analisis domain yang telah dilakukan, hanya mampu memberikan hasil analisis yang luas dan umum mengenai hubungan antara faktor dan kualitas. Meski demikian, analisis domain diatas tetap perlu dilakukan karena hasil analisis domain merupakan input bagi analisis taksonomik. Dengan analisis taksonomik akan didapatkan gambaran lebih jelas mengenai pengaruh masing-masing faktor terhadap kualitas. Lampiran 1 menunjukkan analisis taksonomik ke tujuh faktor yang memengaruhi kualitas. Tujuh faktor tersebut merupakan faktor yang diambil dari kelompok faktor pengaruh positif dan negatif, karena kedua kelompok faktor tersebut adalah domain yang superior yaitu domain yang amat penting dan mendominasi deskripsi tujuan penelitian (Bungin, 2003). Dalam penelitian ini, kesuperioran suatu domain dilihat dari konsistensi pengaruhnya terhadap kualitas. Suatau domain dikatakan superior jika memiliki pengaruh yang sama arahnya di kedua kelompok desa penelitian. Analisis taksonomik akan dilakukan terhadap domain yang superior karena dianggap memiliki pengaruh terhadap kualitas karet. Tujuh faktor superior yang memengaruhi kualitas karet adalah penggunaan TSP, jumlah anggota keluarga, pengahasilan rumah tangga, luas lahan karet produksi, keanggotaan kelompok tani, partisipasi dalam kegiatan sosial, dan pendidikan. Enam dari tujuh faktor memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kualitas. Faktor tersebut hanya memberikan dorongan kepada petani untuk melakukan atau tidak melakukan aktivitas yang memengaruhi kualitas karet, baik pengaruh positif atau negatif. Hanya penggunaan pupuk TSP sebagai koagulan yang memberikan pengaruh langsung terhadap kualitas karet perkebunaan rakyat. Data empiris menunjukkan bahwa petani pengguna pupuk TSP sebagai koagulan memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan petani pengguna tawas. Pengaruh langsung penggunaan pupuk TSP sebagai koagulan terhadap kualitas koagulump adalah cepat membeku dan kenyal. Bagi petani, selain alasan tesebut, penggunaan pupuk TSP sebagai koagulan
adalah mudah didapat. Bagi petani
97
pengguna tawas, digunakannya tawas sebagai bahan pembeku karena relatif murah dibandingkan pupuk TSP. Lebih baiknya kualitas karena penggunaan pupuk TSP tidak menjadikan pupuk TSP menjadi koagulan terbaik dari koagulan yang ada. Penggunaan pupuk TSP menjadikan kualitas lebih baik hanya ditinjau dari pembanding yang ada dan digunakan petani di wilayah penelitian yakni tawas. Sehingga, hal ini tidak menyangkal adanya koagulan yang lebih baik dari pupuk TSP bahkan koagulan terbaik dari koagulan-koagulan yang ada. PupukTSP apabila digunakan sebagai koagulan memiliki dampak pada tingginya kadar abu bahan olah karet. Tingginya kadar abu menjadi parameter rendahnya kualitas karet berdasarkan parameter kualitas karet yang dikemukakan oleh Waluyono (1981), dan Sawardin et al. (1995). Enam dari tujuh faktor memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kualitas adalah jumlah anggota keluarga, keanggotaan kelompok tani, partisipasi dalam kegiatan sosial, penghasilan rumah tangga, luas lahan karet produksi, dan pendidikan. Jumlah anggota keluarga, keanggotaan kelompok tani, partisipasi dalam kegiatan sosial merupakan faktor yang berpengaruh positif terhadap kualitas karet perkebunan rakyat. Ketiga faktor tersebut memengaruhi kualitas karet secara positif melalui upaya peningkatan kualitas. Ukuran keluarga yang lebih besar dan terdiri dari anggota keluarga yang mampu melakukan dan membantu penyelenggaraan usahatani, menjadikan keluarga petani tersebut mampu melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kualitas dengan jumlah yang lebih banyak. Lebih banyaknya upaya peningkatan kualitas menjadikan lebih baiknya kualitas karet petani dengan jumlah anggota keluarga lebih banyak dibandingkan petani dengan jumlah keluarga lebih sedikit. Keanggotaan kelompok tani dan partisipasi dalam kegiatan sosial memengaruhi kualitas dengan mekanisme yang sama, yakni melalui peningkatan akses infomasi. Ketergabungan petani dalam suatu kelompok tani di daerah sekitar atau berpartisipasinya petani dalam kegiatan sosial masyarakat seperti pengajian, menjadi sarana bagi petani untuk mendapat informasi perkaretan. Kelompok tani dan kegiatan sosial dapat menjadi sarana petani untuk berinteraksi sesama petani karet
98
dan melakukan transfer informasi perkaretan. Salah satu informasi yang dapat ditransfer adalah informasi mengenai kualitas dan harga karet berdasarkan kualitas. Petani yang bergabung dalam kelompok tani dan kegiatan sosial lebih memungkinkan untuk mengetahui hal-hal atau kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kualitas dan
meningkatkan
harga
jual
karet
yang
diproduksinya
sehingga
dapat
melakukannya. Selain itu, petani juga lebih memungkinkan untuk mengetahui hal-hal yang dapat menurunkan kualitas dan menurunkan harga jual karet produksinya sehingga dapat menghindarinya. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa petani karet yang bergabung dengan kelompok tani atau kegiatan sosial lebih memungkinkan mendapatkan informasi kualitas dari sesama anggota. Dengan didapatkan informasi kualitas, upaya peningkatan kualitas petani yang bergabung dengan kelompok tani atau kegiatan sosial dapat lebih banyak daripada petani yang tidak bergabung sehingga kualitas petani yang bergabung lebih tingi kualitasnya daripada petani yang tidak bergabung. Berdasarkan pola hubungan semantik dan bagan analisis taksonomik pada lampiran 5 dan 6, penghasilan rumah tangga, luas lahan karet produksi, dan pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh negatif terhadap kualitas karet perkebunan rakyat. Petani yang berpenghasilan rumah tangga lebih rendah atau memiliki lahan lebih sempit memiliki keinginan lebih besar untuk meningkatkan penghasilan keluarga melalui jalur peningkatan kualitas. Hal ini memberikan dorongan bagi petani yang berpenghasilan lebih rendah atau berlahan sempit untuk melakukan upaya peningkatan lebih banyak yang berdampak pada lebih tinginya kualitas karet yang dimilikinya. Untuk faktor pendidikan, pengaruh negatif pendidikan terhadap kualitas dapat dikaitkan dengan prinsip rasionalitas petani yang berkeinginan meningkatkan pendapatan usahatani karetnya. Petani yang berpendidikan lebih tinggi lebih memiliki perhitungan yang lebih baik mengenai usaha peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan dapat diperoleh melalui peningkatan bobot karet yang diproduksinya atau peningkatan harga. Terdapat beberapa hal yang dapat meningkatan bobot karet tapi mengurangi kualitas sehingga bobot naik tetapi harga turun. Kegiatan semacam ini
99
misalnya pembuatan lump duduk 9 , dan penambahan koagulan aditif (gadung atau mengkudu). Dan ada pula yang sebaliknya, terdapat kegiatan yang dapat meningkatkan harga tetapi menurunkan bobot misal menyimpanya lebih lama. Petani berpendidikan lebih tinggi lebih mampu membandingkan dan memperkirakan perubahan pendapatan antara penurunanan harga karena penurunan kualitas dengan peningkatan bobot karet yang mereka hasilkan. Selain itu pendidikan lebih tinggi memberikan dampak pada akses informasi lebih banyak dari pada petani berpendidikan lebih rendah. Hal tersebut memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi petani berpendidikan lebih tinggi untuk melakukan upaya peningkatan pendapatan meskipun upaya peningkatan pendapatan tersebut dapat menurunkan kualitas karet yang diproduksinya. 6.4. Model Regresi Logistik Biner Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet Perkebunan Rakyat 6.4.1. Transformasi Kualitas menjadi Skala Biner Transformasi dilakukan dengan menggolongkan kualitas karet menjadi dua golongan yaitu golongan “kualitas lebih tinggi” yang dinotasikan dengan angka 1 dan golongan “kualitas lebih rendah” yang dinotasikan dengan angka 0. Penggolongan dilakukan dengan titik potong rata-rata kualitas seluruh responden. Kualitas karet yang dibawah rata-rata kualitas seluruh responden dimasukan ke dalam golongan “kualitas lebih rendah”, sedangkan petani dengan kualitas diatas rata-rata dimasukan ke dalam golongan “kualitas lebih tinggi”. Perhitungan rata-rata kualitas karet seluruh responden didapatkan bahwa titik potong tranformasi adalah 6,56. Jadi kualitas karet yang dibawah 6,56 ditransformasi ke dalam golongan “kualitas lebih rendah” dan dinotassikan dengan nilai 0, dan kualitas karet yang diatas 6,56 ditranformasi ke dalam “kualitas lebih tinggi” dan dinotasikan dengan nilai 1. Hasil tranformasi kualitas dapat dilihat pada Lampiran 2. 9
Lump duduk dibuat dengan cara memungut (mengambil) karet dalam bentuk kemudian membekunya di rumah dengan menggunakan mangkuk-mangkuk penampung yang didudukan (di persiapkan atau ditempatkan) di permukaan tanah dengan mekanisme pengenceran sebelumnya atau yang lainnya. Pembuatan lump duduk ini bertujuan untuk mengurangi keluarnya air dari koagulump.
100
6.4.2. Model Dugaan Regresi Logistik Biner Berdasarkan literatur yang telah disebutkan dalam Bab III dan berdasarkan analisis kualitatif, terdapat 13 variabel independent yang diduga memengaruhi kualitas karet perkebunan rakyat. Ketigabelas variabel tersebut terdiri dari tiga faktor teknis dan 10 faktor sosial ekonomi petani. Tiga faktor teknis yang diduga memengaruhi kualitas karet adalah frekuensi pemupukan, luas lahan, dan penggunaan TSP sebagai koagulan. Sepuluh faktor sosial ekonomi yaitu usia, pendidikan, pengalaman, transmigran pengembangan karet, jumlah anggota keluarga, penghasilan rumah tangga per bulan, partisipasi petani dalam kegiatan sosial, keanggotan kelompok tani, keberadaan PPL di desa, pernah atau tidaknya bertanya kepada PPL tentang karet. Data faktor-faktor yang diduga memengaruhi kualitas untuk masingmasing responden dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan literatur dan analisis kualitatif, diduga bahwa variabel frekuensi pemupukan, luas lahan, penggunaan TSP sebagai koagulan, pendidikan, pengalaman, transmigran pengembangan karet, jumlah anggota keluarga, penghasilan rumah tangga per bulan, partisipasi petani dalam kegiatan sosial, keanggotan kelompok tani, dan pernahnya bertanya kepada PPL mengenai perkaretan memiliki koefesien regresi yang bernilai positif, sedangkan variabel usia memiliki nilai koefisien regresi negatif. Dengan menyubstitusi variabel-variabel independen dan dugaan tanda koefisiennya ke dalam model umum regresi logistik biner maka akan didapatkan model regresi logistik biner faktor-faktor yang memengaruhi kualitas karet perkebunan rakyat. Model tersebut adalah sebagai berikut:
!
" #
$
101
dimana %&
' 1 '
dan '
) *+ 1 ) *+
Dimana ' , 1| merupakan peluang bersyarat kejadian Y=1. X1 = AGE =
age = Usia petani (tahun)
X2 = EDU =
education = pendidikan formal petani (tahun)
X3 = EXP =
experience = pengalaman bertanam karet (tahun)
X4 = TRD =
transmigrant of rubber development = transmigran pengembangan karet (1 = jika transmigran dan 0 = bukan transmigran pengembangan karet)
X5 = FS
=
family size = jumlah anggota keluarga (orang)
X6 = FI
=
family income = pengahasilan rumah tangga per bulan (rupiah)
X7 = FOF =
frequency of fertilization = frekuensi pemupukan (kali per tahun)
X8 = RFS =
rubber farm size = luas lahan tanaman karet produksi (hektar)
X9 = SA
social activity = partisipasi dalam kegiatan Sosial (1 = jika berpartisipasi
=
dalam kegiatan sosial dan 0 = jika tidak). X10 = MFI =
membership of farmer institution = keanggotan kelompok tani (1 = jika anggota kelompok tani dan 0 = jika tidak).
X11 = PPL =
keberadaan PPL di Desa (1 = ada PPL yang berdomisili di desa tempat tinggal petani dan 0 = jika tidak ada).
X12 = ASK =
ask to PPL = pernah bertanya PPL (1 = pernah dan 0 = tidak pernah).
X13 = UOC =
use of coagulant = Penggunaan TSP sebagai koagulan (1 = menggunakan TSP dan 0 = jika tidak).
β0
= konstanta
β1, β2,.. β13
= koefisien dugaan dari variabel independen.
'1 , 1| merupakan peluang bersyarat kejadian Y=1 yaitu peluang kualitas lebih tinggi.
102
6.4.3. Koefisien atau Parameter Dugaan Model Regresi Logistik Binner FaktorFaktor yang Memengaruhi Kualitas Karet Perkebunan Rakyat Langkah kedua setelah pendugaan model adalah pendugaan parameter atau koefisien variabel independen di dalam model. Sebagaimana telah disebutkan di Bab IV (Metode Penelitian), dalam model regresi logistik koefisien diduga dengan menggunakan teknik maximum likelihood (ML) estimation. Dalam penelitian ini, pendugaan koefisien dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak komputer Minitab 14. Hasil pendugaan koefisien variabel dapat dilihat pada Tabel 38. Tabel 38. Hasil Pendugaan Model Regresi Logistik Biner Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet Perkebunan Rakyat Predictor
Coef
SE Coef
Z
P
Odd s Rati o
Constant
6,32556
3,90741
1,62
0,105
Usia (tahun)
-0,105980
0,0443160
-2,39
0,017
0,90
Pendidikan (tahun)
-0,427463
0,173444
-2,46
0,014
0,65
Pengalaman (tahun)
0,0262696
0,0573595
0,46
0,647
1,03
Transmigran pengembangan karet Jumlah anggota keluarga
1,53532
1,02964
1,49
0,136
4,64
0,598571
0,274020
2,18
0,029
1,82
Pengahasilan rumah tangga per bulan Frekuensi pemupukan
-0,0000001
0,0000002
-0,56
0,578
1,00
-0,0296448
0,383834
-0,08
0,938
0,97
Luas lahan
-0,455514
0,431358
-1,06
0,291
0,63
Partisipasi dalam kegiatan Sosial
1,73943
1,16907
1,49
0,137
5,69
Keanggotan Kelompok Tani
3,91364
1,19047
3,29
0,001
Keberadaan PPL di Desa
-2,50652
1,54517
-1,62
0,105
0,08
Tanya PPL
1,38891
0,968257
1,43
0,151
4,01
-0,70
0,487
0,35
Penggunaan TSP sebagai -1,05742 1,52101 koagulan Test that all slopes are zero: G = 24,791, DF = 13, P-Value = 0,025
50,0 8
Model regresi logistik biner menunjukkan bahwa pengalaman, peserta transmigran, jumlah anggota keluarga, partisipasi dalam kegiatan sosial, keanggotaan kelompok tani, dan pernahnya bertanya kepada PPL memiliki koefisien yang bernilai positif. Sedangkan variabel usia, pendidikan, pengahasilan rumah tangga, frekuensi
103
pemupukan, luas lahan, keberadaan PPL di desa, dan penggunaan TSP sebagai koagulan memiliki koefisien bernilai negatif. Besar masing-masing koefisien dapat dilihat pada Tabel 38 di kolom Coef. Setelah menyubstitusi koefisien-koefisien tersebut ke dalam model dugaan, maka akan diperoleh model regresi logistik biner faktor-faktor yang memengaruhi kualitas karet perkebunan rakyat yang sebenarnya. Model hasil substitusi koefisien dugaan adalah sebagai berikut: 6,32556 0,105980 0,427463 0,0262696 1,53532 0,598571 0,0000001 0,0296448 0,455514 1,73943 3,91364 ! 2,50652 " 1,38891 # 1,05742 $ dimana %&
' 1 '
sedangkan ) *+ ' 1 ) *+ 6.4.4.
Uji Signifikansi Model dan Koefisien Variabel Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet Perkebunan Rakyat Pengujian signifikansi model dilakukan dengan menggunakan nilai G statistic
atau P-value. Pada Tabel 22 pada baris Test that all slopes are zero terlihat bahwa Pvalue dari G statistic adalah 0,025. Nilai P-value yang lebih kecil dari dari α = 20 persen memberikan arti bahwa model regresi logistik biner yang dibangun mampu menggambarkan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen (kualitas) dengan baik pada selang kepercayaan 80 persen bahkan mampu hingga 95 persen. Pada Tabel 22 terdapat kolom yang dinotasikan “ P ”. Notasi P “ merupakan pernyataan dari P-value uji Wald (Wald Test). Apabila P-value dari Wald Test lebih kecil dari pada α maka tolak H0 (the null hypothesis). Sehingga, apabila P-value uji Wald dari suatu variabel lebih kecil dari α, maka dapat dikatakan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata di dalam model pada taraf nyata α.
104
Hasil pendugaan model yang ditunjukkan oleh Tabel 22 menyatakan bahwa dari ketigabelas variabel di dalam model, terdapat
delapan variabel yang
berpengaruh nyata terhadap kualitas karet di Kecamatan Tulang Bawang Tengah pada taraf nyata α = 20 persen. Bahkan beberapa diantara delapan variabel tersebut empat variabel yang berpengaruh nyata hingga taraf lima persen. Keempat faktor yang berpengaruh nyata terhadap kualitas karet hingga taraf lima persen adalah terdapat usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga dan keanggotaan kelompok tani. Sedangkan transmigran pengembangan karet, partisipasi dalam kegiatan sosial, keberadaan PPL di desa, dan pernahnya bertanya kepada PPL memengaruhi kualitas karet secara signifikan pada taraf 20 persen. Pengujian signifikansi variabel menunjukkan bahwa faktor pengalaman, pengahasilan rumah tangga, frekuensi pemupukan, luas lahan karet produksi dan penggunaan TSP sebagai koagulan tidak signifikan dalam memengaruhi kualitas karet yang diproduksi petani di Kecamatan Tulang Bawang Tengah. Tidak signifikannya pengaruh kelima faktor tersebut terhadap kualitas terlihat dari nilai Pvalue yang lebih besar dari taraf nyata 20 persen. 6.4.5.
Intepretasi dan Pembahasan Koefisien Variabel yang Memengaruhi Kualitas Karet Perkebunan Rakyat Hasil pendugaan koefisien dan uji signifikansi variabel menunjukkan bahwa
Usia merupakan variabel yang memiliki pengaruh negatif dan signifikan di dalam model regresi logistik biner kualitas karet perkebunan rakyat. Variabel usia memiliki nilai koefisien sebesar -0,105980 dan odds ratio sebesar 0,90. Hasil statistik ini memiliki makna bahwa jika usia petani
bertambah satu tahun peluang petani
memiliki kualitas lebih rendah meningkat 0,90 kali semula. Pengaruh negatif umur terhadap kualitas dapat dijelaskan bahwa melalui hubungan usia dan produktivitas kerja. Giroh et al. (2006) mencatat bahwa output per tenaga kerja petani yang lebih tua bisa jadi lebih rendah seiring dengan penurunan produktivitasnya. Dari pernyataan tersebut tersirat bahwa semakin tua petani semakin rendah produktivitas kerjanya. Dengan penurunan produktivitas, orang yang usianya lebih tua akan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk melakukan upaya
105
peningkatan kualitas daripada petani yang lebih muda. Dan sebaliknya, petani yang usianya lebih muda lebih besar kemungkinannya untuk melakukan upaya peningkatan kualitas yang lebih banyak dan beragam. Apabila pengaruh faktor usia di dalam model dikaitkan dengan pembagian wilayah penelitian menjadi kelompok desa program dan non program maka relatif rendahnya kualitas karet produksi petani di desa program dibandingkan desa non program dapat dipahami dengan lebih jelas. Usia berpengaruh negatif, sedangkan petani di desa program berusia relatif lebih tua dibandingkan petani di desa non program sebagaimana dinyatakan dalam Sub Bab Karakteristik Sosial Ekonomi Petani. Sehingga benarlah apabila kualitas di desa program relatif lebih rendah dibandingkan desa non program dilihat dari sisi usia petani. Variabel lain yang berpengaruh negatif dan signifikan di dalam model regresi logistik biner faktor-faktor yang memengaruhi kulitas karet perkebunan rakyat di Kecamatan Tulang Bawang Tengah adalah pendidikan. Variabel pendidikan memiliki koefisien -0,427463 dan nilai odds ratio sebesar 0,65. Nilai ini bermakna, apabila petani karet memiliki pendidikan satu tahun lebih tinggi maka peluang petani tersebut memroduksi kualitas karet lebih tinggi turun atau lebih kecil 0,65 kali petani yang memiliki tingkat pendidikan satu tahun lebih rendah. Pada karaktiristik responden petani desa non program memiliki rata-rata pendidikan dan kualitas karet yang lebih tinggi sedangkan desa program sebaliknya memiliki pendidikan dan kualitas yang lebih rendah. Secara sekilas hal ini menunjukkan pengaruh positif pendidikan terhadap kualitas. Apabila melihat lebih rinci ke data masing-masing kelompok desa (sebagaimana terlihat pada tabulasi faktor lampiran 4), ternyata kualitas karet yang tinggi di desa non program dimiliki oleh petani yang berpendidikan relatif lebih rendah demikian pula desa program. Sehingga dapat dikatakan bahwa tingginya rata-rata pendidikan dan kualitas karet petani di desa non program serta rendahnya rata-rata pendidikan dan kualitas karet petani di desa program tidak langsung bermakna bahwa pendidikan berpengaruh positif terhadap kualitas. Karena itu disimpulkan bahwa pendidikan berpengaruh negatif terhadap kualitas yang dibuktikan dari analisis taksonomik dan model regresi
106
logistik biner. Kenyataan ini bertentangan dengan hipotesis yang dibangun diawal (dalam Bab Kerangka Pemikiran). Apabila dikaitkan dengan konsep adopsi maka hasil analisis pendidikan ini bertentangan dengan pernyatan Rogers (1983). Perbedaan pengaruh pendidikan terhadap kualitas dengan hipotesis awal dapat dijelaskan sebagai berikut. Sebagaimana telah dinyatakan dalam teknik analisis taksonomik, petani yang berpendidikan lebih tinggi memiliki perhitungan yang lebih baik mengenai usaha peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan dapat diperoleh melalui peningkatan bobot karet yang diproduksinya atau peningkatan harga. Terdapat beberapa hal yang dapat meningkatan bobot karet tapi mengurangi kualitas sehingga bobot naik tetapi harga turun. Dan ada pula yang sebaliknya, terdapat kegiatan yang dapat meningkatkan harga tetapi menurunkan bobot misal menyimpanya lebih lama. Petani berpendidikan lebih tinggi lebih mampu membandingkan dan memperkirakan perubahan pendapatan antara penurunan harga karena penurunan kualitas dengan peningkatan bobot karet yang mereka hasilkan. Selain itu pendidikan lebih tinggi memberikan dampak pada akses informasi lebih banyak dari pada petani berpendidikan lebih
rendah. Hal tersebut memberikan
kemungkinan yang lebih besar bagi petani berpendidikan lebih tinggi untuk melakukan upaya peningkatan pendapatan meskipun upaya peningkatan pendapatan tersebut dapat menurunkan kualitas karet yang diproduksinya. Alasan lain dari negatifnya pengaruh pendidikan terhadap kualitas adalah petani
yang memiliki
pendidikan lebih tinggi bisa jadi memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk menanggung risiko dari berbagai upaya peningkatan pendapatan. Hal ini memberi kemungkinan bagi petani untuk mencoba dan melakukan berbagai upaya yang berbeda untuk meningkatkan pendapatan usahatani karetnya, meskipun terdapat risiko penurunan kualitas dan harga dalam kegiatan atau aktivitas tersebut. Faktor pengalaman memiliki nilai 0,0262696 dan odds ratio sebesar 1,03 namun tidak signifikan di dalam model karena memiliki P-value (0,647) yang lebih dari α = 20 persen. Hal ini memberikan implikasi bahwa untuk memroduksi lateks berkualitas lebih tinggi tidak membutuhkan pengalaman bertani karet yang lama. Hal ini juga memberi pengertian bahwa upaya-upaya yang membuat kualitas menjadi
107
lebih baik bukanlah suatu kegiatan yang membutuhkan pengasahan dan pengalaman yang lama dalam penerapannya. Setiap petani berapa lama pun ia telah bertani karet mampu meningkatkan kualitasnya. Hal ini memberi sinyal positif bahwa apabila terdapat program peningkatan kualitas karet diharapkan setiap petani dari berbagai jenjang pengalaman mampu menyerap dengan baik. Variabel transmigran pengembangan karet memiliki nilai koefisien regresi sebesar 1,53532 dan nilai odds ratio 4,64. Pengaruh Variabel transmigran pengembangan karet terhadap kualitas di dalam model adalah signifikan dengan selang kepercayaan sebesar 80 persen. Makna dari nilai odds ratio adalah diperkirakan bahwa petani yang dulunya merupakan transmigran pengembangan karet di wilayah Kecamatan Tulang Bawang Tengah berkemungkinan memroduksi karet dengan kualitas lebih tinggi dengan peluang 4,64 kali lebih besar dari pada petani bukan merupakan transmigran pengembangan karet di wilayah Kecamatan Tulang Bawang Tengah. Lebih besarnya peluang untuk memroduksi karet kualitas lebih tinggi yang dimiliki oleh petani yang dulunya merupakan transmigran pengembangan karet di wilayah Kecamatan Tulang Bawang Tengah dikarenakan pada saat program pengembangan karet berlangsung, petani transmigran terlibat langsung dalam proses penyelenggaraan usahatani yang meliputi penanaman, pemeliharaan dan penyadapan. Sehingga informasi perkaretan lebih banyak diketahui oleh petani desa transmigran. Setelah penyelenggaraan usahatani karet diserahkan secara total kepada petani, informasi perkaretan tersebut digunakan dalam penyelenggaraan usahatani tersebut. Data
karakterisitik
responden
menunjukkan
bahwa
desa
program
pengembangan karet memiliki kualitas yang lebih rendah dari pada desa non program. Kalau hanya melihat pengaruh transmigran (berarti peserta program) di dalam model, maka seharusnya kualitas desa program lebih tinggi dibandingkan desa non program. Penjelasan dari hal tersebut adalah, petani di desa program tidak semua merupakan petani peserta transmigran pengembangan karet. Sehingga dapat dikatakan bahwa dapat dimungkinkan rendahnya kualitas karet di desa program dimiliki oleh petani desa program yang non pengembangan karet.
108
Pengaruh positif jumlah anggota keluarga terhadap kualitas karet di dalam model dapat dilihat dari koefisien regresi yang bernilai 0,598571. Nilai odds ratio yang dimiliki faktor jumlah anggota keluarga adalah sebesar 1,82. P-value variabel jumlah anggota keluarga adalah 0,029 yang menunjukkan bahwa variabel ini signifikan di dalam model. Intepretasi dari odds ratio jumlah anggota keluarga 1,82 adalah petani karet yang memiliki jumlah anggota keluarga yang mampu membantu penyelenggaraan usahatani satu orang lebih banyak maka peluang petani tersebut memroduksi kualitas karet lebih tinggi meningkat atau lebih besar 1,82 kali petani yang memiliki jumlah anggota keluarga satu orang di bawahnya. Ukuran keluarga yang lebih besar dan terdiri dari anggota keluarga yang mampu melakukan dan membantu penyelenggaraan usahatani, menjadikan keluarga petani tersebut mampu melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kualitas dengan jumlah yang lebih banyak. Lebih banyaknya upaya peningkatan kualitas menjadikan lebih baiknya kualitas karet petani dengan jumlah anggota keluarga lebih banyak dibandingkan petani dengan jumlah keluarga lebih sedikit. Penghasilan rumah tangga (family income) merupakan variabel yang tidak signifikan (P-value lebih dari α) dalam memengaruhi kualitas karet di dalam model regresi logistik biner. Tidak signifikannya pengaruh penghasilan rumah tangga terhadap kualitas dikarenakan sebagian besar upaya yang dilakukan petani karet untuk meningkatkan kualitas tidak membutuhkan pengeluaran atau biaya tunai. Sehingga baik petani yang berpenghasilan besar maupun kecil mampu melakukan upaya peningkatan kualitas. Variabel lain yang pengaruhnya tidak signifikan di dalam model regresi logistik biner faktor-faktor yang memengaruhi kulitas karet perkebunan rakyat di Kecamatan Tulang Bawang Tengah adalah frekuensi pemupukan. Variabel frekuensi pemupukan memiliki P-value sebesar 0,983 yang lebih besar dari α. Tidak signifikannya frekuensi pemupukan dikarenakan pemupukan memengaruhi produksi karet ketika di dalam pohon dan ketika produksi masih berbentuk getah (lateks) terutama terkait dengan jumlah dan kadar karet kering. Karena bentuk produksi petani reponden adalah koagulump, sedangkan setelah membeku, kadar karet kering
109
lateks hanya akan memengaruhi jumlah koagulump yang dihasilkan. Sedangkan kualitas koagulump diukur dari
kekenyalan, warna, dan proporsi kotoran yang
semuanya terkait dengan aktivitas di luar pohon karet dan proses perubahan getah menjadi koagulump. Karena itu, pengaruh frekuensi pemupukan terhadap kualitas koagulump dalam penelitian ini tidak signifikan. Selain itu, petani di Kecamatan Tulang Bawang Tengah melakukan pemupukkan dengan penyesuaian dosis dan frekuensi. Pemupukan dengan frekuensi satu kali menggunakan dosis per aplikasi lebih banyak dari pada pemupukan yang frekuensinya dua kali per tahun. Namun, untuk memasukan jumlah dan jenis pupuk yang digunakan dalam model relatif sulit dilakukan, mengingat kandungan unsur hara di dalam pupuk berbeda-beda untuk jenis pupuk yang sama. Luas lahan karet yang telah berproduksi memiliki P-value sebesar 0,291 dan nilai koefisien -0,455514. Nilai P-value ini menunjukkan bahwa variabel luas lahan tidak signifikan pengaruhnya terhadap kualitas karet. Hal ini menunjukkan bahwa luas kebun karet produksi tidak memotivasi untuk meningkatkan kualitas karetnya sebagaimana dugaan sebelumnya. Namun, kenyataan ini memberikan pandangan positif bahwa peningkatan kualitas dapat dilakukan oleh petani baik berlahan relatif luas ataupun yang relatif sempit karena luas lahan tidak memengaruhi kualitas karet perkebunan rakyat. Partisipasi dalam kegiatan sosial dan keanggotaan dalam kelompok tani merupakan dua variabel yang berpengaruh positif terhadap kualitas karet dan signifikan di dalam model. Besarnya koefesien variabel partisipasi dalam kegiatan sosial dan keanggotaan dalam kelompok tani masing-masing adalah 1,73943 dan 3,91364. Sedangkan nilai odds ratio berturut turut adalah 5,69 dan 50,08. Nilai odds ratio sebesar 5,69 pada variabel partisipasi dalam kegiatan sosial memberikan arti bahwa apabila petani yang semula tidak berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemudian berpartisipasi maka peluang kualitas karet petani menjadi lebih tinggi dari rata-rata responden meningkat 5,69 kali semula. Cara intepretasi serupa dapat digunakan untuk variabel keanggotaan kelompok tani. Nilai odds ratio sebesar 50,08 pada variabel keanggotaan kelompok tani memberikan arti bahwa apabila petani yang
110
semula tidak bergabung dengan kelompok tani kemudian bergabung maka peluang kualitas karet petani menjadi lebih tinggi dari rata-rata responden meningkat 50,08 kali semula. Peningkatan peluang ini dikarenakan kelompok tani dan kegiatan sosial dapat menjadi sarana petani untuk berinteraksi sesama petani karet dan melakukan transfer informasi perkaretan termasuk informasi mengenai kualitas karet. Petani yang bergabung dalam kelompok tani dan kegiatan sosial lebih memungkinkan untuk mengetahui hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas dan meningkatkan harga jual karet yang diproduksinya sehingga dapat melakukannya. Selain itu, petani juga lebih memungkinkan untuk mengetahui hal-hal yang dapat menurunkan kualitas dan menurunkan harga jual karet produksinya sehingga dapat menghindarinya. Alasan ini telah disebutkan dalam analisis taksonomik. Keberadaan PPL yang berdomisili di desa petani responden memiliki pengaruh negatif dan signifikan. Nilai koefisien, P-value, dan odds ratio variabel keberadaan PPL berturut-turut adalah -2,50652; 0,105; dan 0,08. Pengaruh negatif keberadaan PPL tidak langsung memberi makna bahwa PPL memberi dampak buruk bagi kualitas karet yang diproduksi petani, namun keberadaan PPL belum memberikan fungsi atau pengaruh terhadap usahatani karet sebagaimana mestinya (pengaruh positif). Sehingga menyebabkan kualitas karet petani di desa tempat PPL berdomisili masih rendah karena usahatani karetnya masih dijalankan dengan metode konvensional (perkiraan petani sendiri) tanpa referensi dari buku atau PPL. Diharapkan dengan berubahnya sifat PPL (menjadi multi bidang pertanian) pengaruh PPL dapat menjadi lebih baik. Meskipun keberadaan ppl yang berdomisili di desa petani responden memiliki pengaruh negatif, tapi pernahnya petani bertanya kepada PPL secara sengaja mengenai perkaretan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas. Nilai koefisien variabel pernahnya bertanya kepada PPL adalah 1,38891 dengan odds ratio sebesar 4,01. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila petani pernah bertanya kepada PPL mengenai perkaretan, maka peluang petani tersebut memroduksi karet berkualitas lebih tinggi lebih besar 4,01 kali dari pada petani yang tidak pernah bertanya kepada PPL tentang perkaretan. Pengaruh positif pernahnya petani bertanya
111
kepada PPL menunjukkan bahwa keaktifan petani untuk mendapatkan informasi memberikan nilai lebih dalam kualitas karet dan sangat diperlukan dalam proses adopsi teknologi tidak hanya dalam peningkatan kualitas. Program pemerintah dalam meningkatkan jumlah PPL diharapkan mampu memberikan lebih banyak tempat bertanya bagi petani. Variabel terakhir adalah penggunaan pupuk TSP sebagai koagulan. Varibel ini tidak signifikan pada taraf nyata 20 persen karena memiliki P-value sebesar 0,487. Dari data statistik ini dapat diketahui bahwa penggunaan pupuk TSP ataupun tawas bukan merupakan faktor yang memengaruhi kualitas, sehingga dapat dikatakan apapun pembeku yang digunakan baik TSP ataupun tawas kualitas tidak akan berbeda signifikan. Penggunaan pupuk TSP maupun tawas sebagai koagulan dapat menurunkan kualitas karet karena meningkatkan kadar abu pada bahan olah karet. 6.5. Perbandingan Analisis Kualitatif (Teknik Taksonomik) dan Analisis Kuantitatif (Model Regresi Logistik Biner) Hasil analisis kualitatif dan kuantitatif sebagian besar saling menguatkan satu sama lainnya. Variabel pendidikan misalnya, pada analisis kualitatif pendidikan berpengaruh negatif. Hal ini dikuatkan oleh hasil analisis kuantitatif yang membuktikan bahwa pendidikan memiliki pengaruh negatif dan signifikan secara statistik. Hal ini memberi kesan bahwa apabila terdapat program atau upaya peningkatan kualitas karet faktor pendidikan akan menjadi tantangan dalam kesuksesan program tersebut. Hal ini juga mengharuskan bahwa setiap perubahan yang terjadi pada aktivitas atau struktur biaya usahatani harus memiliki alasan peningkatan pendapatan karena pendidikan petani yang lebih tinggi memungkinkan petani untuk memiliki perhitungan yang lebih cermat mengenai biaya, dan pendapatan sebagaimana telah dijelaskan pada bagian variabel pendidikan pada nalisis kualitatif dan kuantitatif. Saling menguatkannya analisis kualitatif dan kuantitatif juga terjadi pada beberapa variabel lain terutama variabel yang signifikan di dalam model regresi logistik biner seperti jumlah anggota keluarga, partisipasi dalam kegiatan sosial, dan keanggotaan kelompok tani sebagaimana tampak pada Tabel 39. 112
Tabel 39.
Perbandingan Analisis Kualitatif (Teknik Taksonomik) dan Analisis Kuantitatif (Model Regresi Logistik Biner)
1
Usia
Pengaruh pada Analisis Kualitatif Tidak konsisten
2
Pendidikan
Negatif
Pengalaman
Tidak konsisten
Transmigran pengembangan karet Jumlah anggota keluarga
Tidak dianalisis Positif
Pengahasilan rumah tangga per bulan Frekuensi pemupukan
Negatif
Luas lahan
Negatif
9
Partisipasi dalam kegiatan sosial
Positif
10 11 12
Keanggotan kelompok tani
Positif
Keberadaan ppl di desa Tanya ppl Penggunaan tsp sebagai koagulan
Tidak dianalisis Tidak dianalisis Positif
No Faktor yang Memengaruhi Kualitas
3 4 5 6 7 8
13
Tidak konsisten
Pengaruh pada Analisis Kuantitatif Negatif, signifikan Negatif, signifikan Positif, tidak signifikan Positif, signifikan Positif, signifikan Negatif, tidak signifikan Negatif, tidak signifikan Negatif, tidak signifikan Positif, signifikan Positif, signifikan Negatif, signifikan Positif, signifikan Negatif, tidak signifikan
Variabel usia pada analisis kualitatif tidak konsisten pengaruhnya. Sedangkan pada analisis kuantitatif usia memiliki pengaruh negatif dan signifikan. Perbandingan ini mengindikasikan bahwa terhadap kualitas karet petani di Kecamatan Tulang Bawang Tenngah, usia memberikan dampak negatif, atau sekurang-kurangnya tidak berpengaruh. Usia tidak dapat memiliki pengaruh positif terhadap kualitas karet petani di Kecamatan Tulang Bawang Tengah. Variabel pengalaman dan frekuensi pemupukan, memang benar-benar variabel tidak signifikan dalam memengaruhi kualitas karet. Hal tersebut dibuktikan adanya kesepakatan dan saling menguatkannya hasil analisis kualitatif dan kuantitatif. Pada analisis kualitatif variabel penglaman dan frekuensi pemupukan memiliki pengaruh yang tidak konsisten sedangkan pada analisis kuantitatif kedua variabel tersebut tidak signifikan pada statistik α yang ditetapkan.
113
Hasil analisis perbandingan menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga, partisipasi dalam kegiatan sosial, dan keanggotaan kelompok tani benar-benar berpengaruh positif. Pengaruh positif ini terlihat pada kedua analisis. Hal ini memberikan indikasi bahwa pemanfaatan institusi sosial dan kelompok tani dalam penyebaran informasi kualitas akan efektif mengingat positifnya pengaruh variabel tersebut. Penghasilan rumah tangga, luas lahan dan penggunaan pupuk TSP sebagai koagulan tidak signifikan di dalam model. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas karet dapat ditingkatkan oleh semua petani baik yang berpenghasilan tinggi atau rendah, maupun petani yang berlahan sempit atau luas. Dari analisis faktor diatas, dapat diketahui bahwa jumlah anggota keluarga, partisipasi dalam kegiatan sosial dan keanggotaan petani dalam kelompok tani memiliki pengaruh yang positf dan signifikan terhadap kualitas karet secara kualitatif dan kuantitatif. Lamanya pendidikan formal yang dijalani petani memiliki pengaruh negatif terhadap kualitas karet secara kualitatif dan kuantitatif. 6.6. Upaya-Upaya Peningkatan Kualitas Karet Rakyat Dalam intepretasi koefisien dan pembahasan mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kualitas karet perkebunan rakyat telah banyak disinggung mengenai upaya peningkatan kualitas. Data empiris menunjukkan bahwa sebagian petani responden telah melakukan beberapa aktivitas yang termasuk dalam upaya peningkatan kualitas. jenis upaya dan jumlah Petani yang Melakukannya di masingmasing kelompok desa dapat dilihat pada Tabel 40. Tabel 40 menyatakan bahwa mayoritas petani melakukan aktivitas yang termasuk ke dalam upaya peningkatan kualitas. Aktivitas tersebut antara lain membersihkan bak
penampung (sebanyak 57,81 persen responden), menjaga
koagulump dari kotoran (57,81 persen petani). Namun, hanya sebagian kecil petani yang menggunakan penyadap terlatih (32,81 persen), membersihkan mangkuk penampung lateks sebelum menyadap (28,12 persen), memisahkan jenis-jenis koagulump (9,38 persen), bahkan tidak ada petani responden yang menggunakan
114
asam semut sebagai pembeku, padahal asam semut merupakan pembeku karet terbaik. Tabel 40. Upaya-Upaya Peningkatan Beserta Jumlah Petani yang Melakukannya No
Upaya PeningkatanKualitas
5
Pembersihan mangkuk setiap menyadap Membersihkan ember penampung secara periodik Penggunaan penyadap terlatih Menjaga getah dari kotoran berupa tatal, daun dan ranting Pemisahan jenis produksi
6
Penggunaan asam semut
1 2 3 4
Desa non program (orang) 9
Desa program (orang) 9
19
18
9
12
19
18
3
3
0
0
6.7. Analisis Anggaran Parsial Upaya Peningkatan Kualitas Karet Analisis anggaran parsial upaya peningkatan kualitas karet perkebunan rakyat dilakukan dengan lima tahap yaitu: a)
Mengidentifikasi dan menghitung jenis serta besarnya pengurangan biaya dengan adanya upaya peningkatan kualitas karet.
b) Mengidentifikasi dan menghitung jenis serta besarnya tambahan pendapatan dengan adanya upaya peningkatan kualitas karet. c)
Mengidentifikasi dan menghitung jenis serta besarnya tambahan biaya akibat upaya peningkatan kualitas karet untuk masing-masing kelompok desa (program dan non program).
d) Mengidentifikasi dan menghitung jenis serta besarnya pengurangan pendapatan akibat upaya peningkatan kualitas karet untukdesa program dan non program. e)
Menghitung tambahan keuntungan dengan adanya peningkatan kualitas karet dengan mengurangkan keuntungan dengan kerugian. Dalam penelitian ini, upaya peningkatan kualitas yang digunakan dalam
analisis pendapatan usahatani adalah penggunaan asam semut (asam format) sebagai koagulan tanpa penambahan koagulan aditif. Alasan dipilihnya upaya ini dalam
115
analisis pendapatan adalah penggunaan asam semut merupakan upaya peningkatan kualitas yang mengeluarkan biaya tunai sehingga bagi petani, upaya ini menjadi pertimbangan utama atau lebih membutuhkan pertimbangan yang matang untuk diadopsi. Alasan lainnya adalah, penggunaan asam semut
merupakan upaya
peningkatan kualitas yang sedang dicanangkan oleh pemerintah Kabupaten Tulang Bawang Barat pada bulan Juli tahun 2009 ini. Pemerintah kabupaten mulai mengumpulkan petani karet dan memberikan saran kepada petani agar menggunakan asam semut sebagai koagulan. 6.7 .1. Penurunan Biaya Koagulan Akibat Peningkatan Kualitas Upaya peningkatan kualitas berupa penggunaan asam semut sebagai koagulan menggantikan pupuk TSP atau tawas menyebabkan terjadinya perubahan biaya pengadaan koagulan. Koagulan yang digunakan petani sebelum upaya peningkatan kualitas (kondisi aktual) adalah pupuk TSP, SP 36 atau tawas. Koagulan didapatkan dengan cara membeli. Petani di desa program mengeluarkan 35,69 persen dari biaya tunai untuk membeli koagulan, sedangkan petani desa non program 39,63 persen. Pengeluaran biaya koagulan di desa program relatif lebih besar dibandingkan di desa non program karena keinginan petani membeku dengan lebih cepat. Selain untuk kecepatan pembekuan, penggunaan koagulan juga memperhatikan kemudahan dan harga. Oleh karena itu pilihan koagulan berupa pupuk TSP atau SP 36 lebih banyak dibandingkan tawas. Daya penambah bobot juga memengaruhi volume atau dosis penggunaan koagulan, dan karena alasan bobot inilah sebagian petani di desa program menambahkan pembeku tambahan berupa air perasan umbi gadung atau mengkudu. Besarnya biaya pengadaan koagulan petani responden dapat dilihat pada Tabel 42. Dengan adanya perubahan (simulasi) koagulan yang digunakan oleh petani ternyata mengurangi jumlah biaya pengadaan koagulan. Namun, penggunaan asam semut sebagai koagulan memerlukan sedikit perhitungan matematis. Asam semut yang digunakan untuk pembeku adalah asam semut yang tersedia dipasaran yakni asam semut teknis. Asam semut teknis memiliki konsentrasi sebesar 90 persen.
116
Sedangkan untuk pembekuan karet digunakan asam semut dengan konsentrasi satu persen. Berikut ini adalah penjelasan didapatkannya biaya pengunaan asam semut sebagai koagulan di masing-masing kelompok desa. Petani desa non program per hektarnya memroduksi karet sebesar 8669,997 kg kaogulump dengan pupuk TSP per tahun setelah terkoreksi hujan sebesar 10 persen hari sadap. Informasi yang diperoleh dari pedagang karet memunculkan perkiraan bahwa kadar karet kering koagulump dengan pupuk TSP adalah 20 persen. Sedangkan kadar karet kering lateksnya adalah 27 persen. Lebih rendahnya kadar karet kering ini disebabkan karena pada proses pembekuan pupuk TSP tersebut dilarutkan dalam air. Selain itu, kagulump dua harian yang dijual petani karet adalah koagulump yang dibeku pada satu hari sebelum penjualan ditambah koagulump yang dibeku pada hari penjualan. Jumlah karet yang berada pada lateks dan koagulump tidaklah berubah. Sehingga dapat dimunculkan persamaan: 8 9:;)< 9);=& >=>:%:? %:<)9@ 8 9:;)< 9);=& >:%:? 9A:B%B?C sehingga ### %:<)9@ x ?:@@: %:<)9@ ### 9A:B%B?C x ?:@@: 9A:B%B?C 27% x ?:@@: %:<)9@ 20% x 8669,997 kg Massa lateks = 6444,44 kg dengan massa karet keringnya sebesar 27% x 6444,44 = 1749,9994 kg. Suseno (1989) menyebutkan bahwa untuk membeku satu kilogram karet kering dibutuhkan 370 ml asam semut satu persen. Sehingga untuk membeku 6444,44 kg lateks dengan kadar karet kering 27 persen dibutuhkan 643,799 liter asam semut satu persen atau ekuivalen dengan 7,15 liter asam semut 90 persen. Harga pasar untuk asam semut 90 persen adalah Rp32.500,00 per liter. Sehingga biaya koagulan yang dikeluarkan petani karet desa non program dalam satu tahun jika melakukan peningkatan kualitas berupa penggunaan asam semut sebagai koagulan adalah Rp232.375,00. Petani desa program per hektarnya memroduksi karet sebesar 8369,793 kg kaogulump dengan pupuk TSP per tahun setelah terkoreksi hujan sebesar 10 persen hari sadap. Dengan asumsi kadar karet kering sama, maka dengan cara yang sama diperoleh bahwa biaya koagulan yang dikeluarkan petani karet program dalam satu
117
tahun jika melakukan peningkatan kualitas berupa penggunaan asam semut sebagai koagulan adalah Rp223.600,00. Perubahan biaya koagulan sebelum dan sesudah peningkatan kualitas dapat dilihat pada Tabel 41. Tabel 41. Biaya Koagulan Sebelum dan Sesudah Upaya Peningkatan Kualitas Karet Seluar Satu Kektar No
Uraian
Desa Non-Program
1
Biaya koagulan sebelum upaya
Rp897.267,86
2
Biaya koagulan setelah upaya
Rp232.375,00
3
Penurunan biaya koagulan
Rp664.892,86
Desa Program Rp1.016.493,75 Rp223.600,00 Rp792.893,75
Tabel 41 menunjukkan bahwa upaya peningkatan kualitas berupa penggunaan asam semut sebagai koagulan memberikan dampak penurunan biaya koagulan. Dari sisi ini, penurunan biaya koagulan akibat pengunaan asam semut dapat menjadi insentif
bagi petani untuk mengadopsi penggunaan asam semut karena mampu
menurunkan biaya tunai. 6.7.2. Penerimaan Tambahan dengan Adanya Peningkatan Kualitas Pada kondisi aktual (pembeku konvensional yakni pupuk TSP dan tawas), produksi karet petani desa non program dan program masing-masing sebesar 8669,997 dan 8369,793 kg. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pedagang karet bobot (massa) koagulump karet berusia dua hari yang menggunakan koagulan asam semut adalah 90 persen dari koagulump karet dengan koagulan pupuk TSP. Sehingga apa bila pembeku yang digunakan oleh petani adalah asam semut maka petani di kedua desa mampu memroduksi koagulump dua harian masing-masing sebesar 7802,99 dan 7532,81 kg per hektar per tahun setelah terkoreksi hari hujan sebesar 10 persen dari hari sadap. Selain produksi koagulump berubah, upaya peningkatan kualitas berupa penggunaan asam semut dan penjagaan koagulump dari kotoran akan meningkatkan harga karet di tingkat petani hingga mencapai Rp500,00 per kg. Informasi kenaikan harga ini diperoleh dari perkumpulan petani karet desa Mulyakencana (salah satu
118
desa program pengembangan karet di Kecamatan Tulang Bawang Tengah) saat bertemu dengan pelaksana program peningkatan mutu karet Dinas Pertanian Kabupaten Tulang Bawang Barat 10 dan PT Komering Jaya (sebuah perusahaan pengolah bahan olah karet menjadi sheet yang terdapat di Kecamatan Tulang Bawang Tengah). Dengan asumsi bahwa kualitas karet di desa program dan non program adalah sama, maka harga koagulump dua harian yang dapat terjadi adalah Rp500,00 lebih tinggi dari harga di desa non program, sehingga harga koagulump yang pembekunya asam semut adalah Rp3.700,00. Berubahnya jumlah produksi dan harga akan mengubah penerimaan petani. Perubahan penerimaan akibat upaya peningkatan kualitas karet dapat dilihat pada Tabel 42. Tabel 42. Penerimaan Usahatani Sebelum dan Setelah Upaya Peningkatan Kualitas Karet Seluas Satu Hektar No
Uraian
Desa Non Program
Desa Program
1
Penerimaan sebelum upaya
Rp28.409.250,00
Rp24.785.206,07
2
Penerimaan setelah upaya
Rp28.871.090,01
Rp27.871.410,69
3
Peningkatan penerimaan
Rp461.840,01
Rp3.086.204,62
Tabel 42 menunjukkan bahwa penerimaan usahatani kedua kelompok desa setelah upaya peningkatan karet lebih tinggi dari pada penerimaan sebelum peningkatan kualitas. Lebih tingginya penerimaan setelah upaya peningkatan mengindikasikan bahwa penurunan penerimaan karena penurunan kuantitas produksi mampu ditutupi peningkatan penerimaan karena adanya peningkatan harga produk, sehingga tidak ada penerimaan yang hilang karena upaya peningkatan kualitas. 6.7.3. Peningkatan Biaya Penyadapan Karena Peningkatan Penerimaan dengan Adanya Peningkatan Kualitas Pada analisis ini, digunakan sistem yang sama antara sebelum dan setelah upaya peningkatan kualitas dalam pengupahan penyadap yakni mertelu (sepertiga
10
Tulang Bawang Barat merupakan kabupaten baru, pecahan dari Kabupaten Tulang Bawang. Kabupaten ini baru berdiri tahun 2009. Karena itu, data statistik kabupaten yang digunakan dalam penelitian ini masih mangacu pada statistik Kabupaten Tulang Bawang.
119
dari penerimaan) 11 . Terjadi perubahan dalam biaya tenaga kerja penyadap karena terdapat perubahan pada penerimaan usahatani. Perubahan biaya penyadap sebelum dan sesudah peningkatan kualitas dapat dilihat pada Tabel 43.
Tabel 43. Biaya Penyadapan Sebelum dan Sesudah Upaya Peningkatan Kualitas Karet Seluas Satu Hektar No
Uraian
Desa Non-Program
Desa Program
1
Biaya penyadapan Sebelum Upaya
Rp9.469.750
Rp8.261.735
2
Biaya penyadapan Setelah Upaya
Rp9.623.697
Rp9.290.470
3
Peningkatan biaya penyadapan
Rp153.947
Rp1.028.735
Peningkatan biaya penyadapan, mengindikasikan adanya peningkatan penerimaan akibat upaya peningkatan kualitas. Peningkatan penerimaan usahatani karet memberi dampak langsung terhadap peningkatan biaya upah penyadap. Perubahan biaya tenaga kerja penyadap ini akan mengubah struktur biaya usahatani. 6.7.4. Tambahan Keuntungan Adanya Peningkatan Kualitas Tambahan keuntungan adanya peningkatan kualitas diperoleh dengan mengurangkan peningkatan biaya penyadapan dari tambahan penerimaan dan penurunan biaya koagulan. Dengan adanya upaya peningkatan kualitas karet berupa penggunaan asam semut sebagai koagulan memberikan beberapa perubahan pada struktuk biaya dan penerimaan. Terjadi peningkatan penerimaan sebesar Rp461.840,01 untuk desa non program dan Rp3.086.204,62 untuk desa program. Dari sisi biaya, terjadi penurunan biaya pengadaan koagulan sebesar Rp664.892,86 untuk desa non program dan Rp792.893,75 untuk desa program. Selain penurunan biaya, terjadi pula peningkatan biaya yakni biaya penyadapan karena peningkatan penerimaan. peningkatan biaya yakni biaya penyadapan untuk desa non program dan desa program masing-masing Rp153.947 dan Rp1.028.735. Tabel anggaran parsial dapat dilihat pada Tabel 44.
11
Mertelu merupakan istilah dalam bahasa jawa yang berarti sepertiga
120
Tabel 44. Anggaran Parsial Upaya Peningkatan Kualitas Karet Seluas Satu Hektar Petani Kecamatan Tulang Bawang Tengah Tahun 2009 Tambahan Biaya (Rp)
Tambahan Pendapatan (Rp)
Biaya penyadapan Desa Non Program Desa program
Rp153.947 Desa Non Program Rp1.028.735 Desa program
Berkurangnya Pendapatan (Rp)
Rp461.840,01 Rp3.086.204,62
Berkurangnya biaya (Rp) Biaya koagulan
Desa Non Program
Rp 0 Desa Non Program
Rp664.892,86
Desa program
Rp 0 Desa program
Rp792.893,75
Total tambahan biaya dan Total tambahan biaya dan berkurangnya pendapatan per tahun berkurangnya pendapatan per tahun (A) (B) Desa Non Program Rp153.947 Desa Non Program Rp1.126.732,87 Desa program Rp1.028.735 Desa program Rp3.879.098,37 Perubahan Bersih = (B) – (A) Desa Non Program
Rp972.785,87
Desa program
Rp2.850.363,37 Menguntungkan
Tabel 44 menunjukkan bahwa upaya peningkatan kualitas berupa penggunaan asam semut sebagai koagulan menguntungkan bagi petani di desa program maupun non program. Keuntungan diperoleh karena adanya peningkatan penerimaan dan penurunan biaya koagulan. Meskipun terjadi peningkatan biaya penyadapan, namun biaya tersebut masih tertutupi oleh peningkatan penerimaan.
121
VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Penyebab rendahnya kualitas karet perkebunan rakyat adalah penggunaan pembeku selain asam semut yang menyebabkan tingginya kadar abu dan rendahnya plastisitas awal, terdapatnya kontaminan di dalam koagulump, dan tidak adanya pemisahan jenis produksi sehingga tercampur antara karet kualitas rendah (yang berwarna hitam dan kering) dengan karet baru. Penyebab lainnya adalah penggunaan koagulan aditif seperti umbi gadung. Faktor-faktor yang memengaruhi kualitas karet di daerah penelitian secara kualitatif dan signifikan di dalam model regresi logistik biner adalah usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga, keanggotaan dan partisipasi dalam kelompok tani dan kegiatan sosial, dan pernahnya bertanya kepada PPL. Upaya-upaya yang dilakukan mayoritas petani yang dapat meningkatkan kualitas antara lain membersihkan bak penampung, menjaga koagulump dari kotoran, tetapi hanya sebagian kecil petani yang menggunakan penyadap terlatih, membersihkan mangkuk penampung lateks sebelum menyadap, memisahkan jenis-jenis koagulump. Tidak ada petani responden yang menggunakan asam semut sebagai pembeku, padahal asam semut merupakan pembeku karet terbaik.
Dari analisis pendapatan, upaya peningkatan kualitas karet berupa penjagaan dari kotoran dan penggunaan asam semut sebagai koagulan menguntungkan bagi petani dan mampu memberikan tambahan pendapatan. Meski menguntungkan, tidak ada petani responden yang menggunakan asam semut sebagai koagulan. Hal itu karena sedikitnya jumlah asam semut yang tersedia di toko-toko sarana pertanian dan kurangnya pengetahuan petani tentang penggunaan asam semut sebagai koagulan, sehingga petani lebih memilih pembeku TSP dan tawas. Jika membandingkan kelompok petani desa program dan non program, pendapatan petani di desa non program lebih tinggi dibandingkan desa program baik sebelum maupun setelah upaya peningkatan kualitas. 7.2. Saran Disarankan kepada petani karet agar menggunakan koagulan asam semut jika memang kenaikan harga koagulump asam semut mencapai Rp 500,00 lebih
122
tinggi dibandingkan harga koagulump yang menggunakan pupuk TSP atau tawas sebagai pembekunya. Apabila harga koagulump asam semut Rp500,00 lebih tinggi, maka penggunaan asam semut sebagai koagulan menguntungkan bagi petani karena mampu meningkatkan penerimaan dan menurunkan biaya. Kepada pelaksana program peningkatan kualitas karet agar memberikan sosialisasi peningkatan kualitas dari sisi teknis dan peningkatan pendapatan serta memperbanyak peredaran asam semut dikalangan petani. Sosialisasi dapat dilakukan melalui institusi-institusi sosial dan kelompok tani yang ada di lingkungan petani.
123
DAFTAR PUSTAKA [ANRPC] Association of Natural Rubber Producing Countries. 2009. ANRPC Monthly Bulletin of Rubber Statistics. Volume 1 (4): June 2009. Kuala Lumpur: Association of Natural Rubber Producins Countries. Agresti A. 2002. Catagorical Data Analysis. Ed ke-2. New York: John Wiley & Sons, Inc. Anwar C. 2003. Peluang dan Prospek Peningkatan Dayasaing Karet Alam Indonesia. Di dalam Wayan R Susila, editor. Tinjauan Komoditas Perkebunan Keret, Kopi, Kakao, Teh dan Kelapa Sawit. Bogor: Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Anwar C. 2006. Perkembangan Pasar dan Prospek Agribisnis Karet di Indonesia. Makalah Lokakarya Budidaya Tanaman Karet, tanggal 4-6 September 2006 di Medan, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet. Ariani DW. 2002. Manajemen Kualitas: Pendekatan Sisi Kualitatif. Ali M, editor. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Bungin B. 2003. Teknik-Teknik Analisis dalam Penelitian Sosial. Di dalam Burhan Bungin, editor. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers. Chen K, Hu D, Song H. 2008. Linking Markets to Smallholder Dairy Farmers in China: Quality as a New Driver. Di dalam FAORAP Regional Workshop “Improved Market Access and Smallholder Dairy Farmer Participation for Sustainable Dairy Development: Lessons Learned Studies”. Beijing; the Chinese Ministry of Education’s Key Social Science and FAO Regional Office of Asia Pacific. Http://www.aphca.org/reference/dairy/China% 20dairy%20lessons%20learned%20revised.pdf [6 agustus 2009]. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Tulang Bawang. 2009. Data Statistik Perkebunan dan Kehutanan Tahun 2008. Tulang Bawang: Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Tulang Bawang. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Statistik Perkebunan Indonesia 20062008: Karet (Rubber). Jakarta: Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. Direktorat Penanganan Pasca Panen. 2007. Pedoman Penanganan Pasca Panen Karet. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian. Erwan. 1994. Kajian pengembangan pola pembinaan mutu bahan olah karet rakyat di Sumatra Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
124
Feigenbaum AV. 1996. Kendali Mutu Terpadu.Ed ke-3. Kandahjaya H, penerjemah; Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Total Quality Control, Third Edition. Garson GD. 2009. Logistic regression. Di dalam Statnotes: Topics in Multivariate Analysis. http://faculty.chass.ncsu.edu/garson/PA765/logistic.htm#concepts. Last update 4/9/09. [27 Juli 2009]. Giroh DY, Abubakar M, Balogun FE, Wuranti V, Ogbebor OJ. 2006. Adoption of Rubber Quality Innovations among Smallholder Rubber farmers in Two Farm Settlements of delta State, Nigeria. Journal of Sustainable Development in Agriculture and Environment 2 (1). http://www.josdae.com/papers/AEVol207.pdf. [04 april 2009]. Goenadi DH, Susila WR. 2005. Liberalisasi Perdagangan pada Sub-Sektor Perkebunan: Dampak dan Upaya Mengatasinya. Di dalam Setiawan WA, Wardoyo S, editor. Prospek dan Tantangan Pertanian Indonesia di Era Globalisasi. Edisi ke-1. Bogor: PT Agricon. Hlm 536-548. Haris U, Syamsu Y, Suprapto D, Sumardji. 1995. Efisiensi pemasaran dan keragaan mutu bahan olah karet rakyat di Kaliamantan Timur. Jurnal Penelitian Karet 13 (2):124 – 142. Herath PHMU, Takeya H. 2003. Factors Determining Intercropping by Rubber Smallholders in Sri Lanka: a Logit Analysis. Agricultural Economics 29 (2003): 159–168. Hernanto F. 1989. Ilmu Usahatani. Jakarat: penebar Swadaya Hosmer DW, Lemeshow S. 2000. Applied Logistic Regression. Ed ke-2. New York: John Wiley & Sons, Inc. Hurlock EB. 2004. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Istiwidayanti dan Soedjarwo, penerjemah. Ed ke-5. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Developmental Psychology A Life-Span Approach, Fifth Edition. Klienbaum DG, Klien M. 2002. Logistic Regression A Self-Learning Text. Ed ke2. New York: Springer. Leonale LE, Philippe V. 2007. Effects of Altitude, Shade, Yield and Fertilization on Coffee Quality (Coffea Arabica L. Var. Caturra) Produced In Agroforestry Systems Of The Northern Central Zones Of Nicaragua. International Symposium on Multi-Strata Agroforestry Systems with Perennial Crops: Making Ecosystem Services Count for Farmers, Consumers and the Environment. 2, 2007-09-17/2007-09-21, Turrialba, Costa Rica. http://web.catie.ac.cr/CD_multiestrata/Poster/session1/ Effects_of_altitude.pdf [06 April 2008].
125
Morris JR. 1985. Factors Influencing The Quality of ‘Niagara’ Grapes. Di dalam Proceeding Arkansas State Horticultural Society (ASHS) 106th Ann Mtg. Arkansan: University of Arkansas. Hlm 150-151. http://www.uark.edu/ depts/ifse/grapeprog/articles/ashs106-150t.pdf [8 juli 2009]. Musyafak A, Ibrahim TM. 2005. Strategi percepatan adopsi dan difusi inovasi pertanian mendukung Primatani. Analisis Kebijakan Pertanian 3 (1) Maret 2005:20-37.http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART03-1a.pdf [05 April 2009] Nazaruddin, Paimin FB. 1992. Karet: Budi Daya dan Pengolahan, Strategi Pemasaran. Jakarta: Penebar Swadaya Nazir M. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. Neilson J, Pritchard B, Spriggs J. 2006. Implementing Quality and Traceability Initiatives among Smallholder Tea Producers in Southern India. Di dalam Batt PJ, editor. ISHS Acta Horticulture 699 I International Symposium on Improving the Performance of Supply Chains in the Transitional Economies. Chiang Mai, Thailand: ISHS (International Society for Horticultural Science. Hlm 327-334. http://www.geosci.usyd.edu.au /~jneilson/Publications/Neilsonetal_Actahort.pdf [24 juli 2009]. Neilson J, Gusli S, Palinrungi R, Sau AWT . 2005. Integrating Smallholder Cocoa Farmers Within Quality-Driven Supply Chains: Learning from the PRIMA Project (Summary of Full Report). Makasar: PENSA office of the International Finance Corporation (IFC). http://www.geosci.usyd.edu.au /~jneilson/Publications/Prima_report_summary. pdf [6 agustus 2009]. Porter M. 1990. The Competitive Adavantage of Nation. London: The Macmillan Press, Ltd. Pages: 74-75 Pusat Penelitian Perkebunan Sungei Putih. 1992. Laporan hasil penelitian pusat penelitian perkebunan Sungei Putih tahun anggaran 1991/1992. Rogers EM. 1983. Diffusion of Innovations. Third Edition. New York: The Free Press. Shigetomi S. 1995. The Transmission of Information in The Transacting of Primary Products: The Case of Quality Improvement in Thailand’s Natural Rubber Production. The Developing Economies, XXXIII-2 (June 1995): 203-221 http://www.ide.go.jp/English/Publish/Periodicals/De/pdf/95_02_04. pdf [8 agustus 2009] Siegler IC, Bosworth HB, Poon LW. Disease, Health, and Aging. Di dalam Lerner RM, Easterbrooks MA, Mistry J, Weiner IB. Handbook of Psychology volume 6 Developmental Psychology.New jersey: John Wiley and Sons, Inc. Soeharjo A, Patong D. 1973. Sendi-Sendi Pokok Usahatani. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian IPB. 126
Soekartawi. 2002. Analisis Ushatani. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Subejo. 2000. Adoption of Agricultural Crops Cultivated on Coastal Land in The Southern Coastal Area of Yogyakarta. Jurnal Agro Ekonomi 8(2) Desember 2000. http://subejo.staff.ugm.ac.id/wp-content/adoption-coastal.pdf [6 April 2009]. Suratiyah K. 2006. Ilmu Usahatani. Jakarta:Penebar Swadaya Suseno SR. 1989. Pedoman Teknis Pengolahan Ribbed Smoked Sheet. Bogor: Balai Penelitian Perkebunan Karet Bogor. Suwardin D, Jamaran I, Abdulbasith, Budiman AFS. 1995. Optimasi mutu produksi karet remah SIR 20 dengan teknik program sasaran. Jurnal Penelitian Karet 13 (2):178 – 188. Team Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 1965. Penelitian untuk menindjau kemungkinan menaikkan produksi karet rakjat dalam kwantitas dan mutu di Kalimantan Barat. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. Tomek WG, Robinson KL. 1972. Agricultural Product Prices. New York: Cornell University.
127
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Karet Lampiran 1. Bagan Analisis Taksonomik Faktor Jenis Hubungan
Sebab Akibat
Analisis Taksonomik Kualitas lebih tinggi
Petani Pengguna tawas
Kualitas lebih rendah
Penggunaan TSP
Jumlah Anggota Keluarga
Besar Kecil
Alasan atau Rasional
Petani Pengguna TSP
Pendapatan Rumah Tangga
Kecil
upaya peningkatan kualitas lebih banyak upaya peningkatan kualitas lebih sedikit
upaya peningkatan kualitas lebih banyak
Besar
upaya peningkatan kualitas lebih sedikit
Sempit
upaya peningkatan kualitas lebih banyak
Luas Lahan Karet Luas
upaya peningkatan kualitas lebih sedikit
Kualitas lebih tinggi Kualitas lebih rendah
Kualitas lebih tinggi Kualitas lebih rendah
Kualitas lebih tinggi Kualitas lebih rendah
128
Kenggotaan Kelompok Tani
Cara ke Tujuan
Kegiatan Sosial
Anggota
Transfer informasi sesama anggota
upaya peningkatan kualitas lebih banyak
Kualitas lebih tinggi
Non Anggota
sedikit transfer informasi
upaya peningkatan kualitas lebih sedikit
Kualitas lebih rendah
Transfer informasi sesama anggota
Bergabung tidak Bergabung
sedikit transfer informasi
upaya peningkatan kualitas lebih banyak upaya peningkatan kualitas lebih sedikit
lebih Tinggi
Akses informasi lebih banyak
upaya peningkatan pendapatan yang mengurangi mutu karet
Lebih Rendah
Akses Informasi lebih sedikit
upaya peningkatan pendapatan yang dapat mengurangi kualitas lebih sedikit
Kualitas lebih tinggi Kualitas lebih rendah Kualitas lebih rendah
Pendidikan Kualitas lebih tinggi
129
Lampiran 2. Tranformasi Kualitas Menjadi Skala Biner dan Data Faktor-Faktor yang Diduga Memengaruhi Kualitas
No Resp
Kualitas Transformasi dengan Kualitas Menjadi Skala 1 Skala Biner hingga 10
AGE (Tahun)
EDU (tahun)
EXP (Tahun)
TRD
FS (orang)
FI (Rp)
FOF
RFS (hektar)
SA MFI
PPL
ASK UOC
1
9,5
1
54
16
11
0
6
Rp4.913.300
3
1
1
1
1
0
0
2
7
1
47
5
10
0
6
Rp12.525.000
3
6
1
1
1
0
1
3
9
1
54
9
11
0
4
Rp7.936.600
3
2
1
1
1
1
1
4
7
1
57
12
10
0
5
Rp7.760.000
2
1
1
1
1
0
1
5
8
1
39
12
9
0
4
Rp1.916.600
2
1
1
1
1
0
1
6
5
0
68
3
11
0
4
Rp1.300.000
2
2
1
1
1
0
1
7
8
1
60
6
12
0
2
Rp7.401.000
2
3
1
1
1
1
1
8
7
1
45
9
9
0
4
Rp1.300.000
3
1
1
1
1
1
0
9
9
1
48
2
11
0
4
Rp1.593.000
2
2
1
1
1
0
1
10
5
0
52
2
11
0
3
Rp1.072.000
2
1
1
0
1
0
1
11
7
1
50
5
14
0
3
Rp4.880.000
2
1
1
1
1
0
1
12
9
1
76
3
9
0
5
Rp727.000
3
1
1
1
1
1
1
13
5
0
65
2
14
0
5
Rp900.000
2
1
1
0
1
0
1
14
7
1
38
6
10
0
4
Rp8.566.000
2
2
1
1
1
0
1
15
7
1
49
6
10
0
5
Rp5.231.000
1
2
1
1
1
0
1
16
10
1
60
3
10
0
6
Rp1.211.000
3
0
1
1
1
0
1
17
5
0
33
12
14
0
3
Rp2.098.500
2
1
1
1
1
0
1
18
5
0
53
6
7
0
5
Rp7.717.500
2
1
0
0
1
0
0
130
Lampiran 2. Tranformasi Kualitas Menjadi Skala Biner dan Data Faktor-Faktor yang Diduga Memengaruhi Kualitas (lanjutan) Kualitas Transformasi dengan No Resp Kualitas Menjadi Skala 1 Skala Biner hingga 10 19 6,5 0
AGE (Tahun)
EDU (tahun)
EXP (Tahun)
TRD
FS (orang)
35
12
8
0
3
FOF
RFS (hektar)
SA
Rp3.633.300
0
1
1
1
1
0
1
FI (Rp)
MFI PPL ASK
UOC
20
7
1
47
12
10
0
6
Rp4.425.000
2
1
1
1
1
0
0
21
8
1
48
9
15
0
4
Rp2.037.000
2
2
1
0
0
1
0
22
7
1
28
9
19
0
4
Rp2.529.375
1
1
0
0
0
0
1
23
6
0
58
6
10
0
3
Rp1.869.000
1
3
1
0
0
0
0
24
5
0
41
12
10
0
6
Rp3.824.200
1
2
1
0
1
0
0
25
8
1
55
6
36
0
7
Rp1.450.000
0
1
0
0
0
0
0
26
7
1
49
12
39
0
5
Rp1.485.000
0
2
1
0
0
0
0
27
6,5
0
47
12
19
0
4
Rp8.250.000
1
4
1
0
0
1
0
28
5
0
45
12
12
0
7
Rp7.997.850
2
2
1
0
0
0
0
29
7
1
65
6
14
0
8
Rp6.458.000
2
5
1
0
0
0
0
30
8
1
40
12
11
0
4
Rp3.733.300
2
3
1
0
0
0
0
31
7
1
54
4
9
0
7
Rp1.500.000
1
1
1
0
0
0
1
32
6
0
60
9
22
0
5
Rp7.900.000
1
4
1
0
0
0
0
33
7
1
47
4
6
0
2
Rp2.402.000
0
1
1
0
1
0
1
34
8
1
47
6
14
0
7
Rp1.518.000
0
1
1
0
1
0
1
35
5
0
56
6
17
0
5
Rp4.095.000
2
3
1
0
1
0
1
36
5
0
53
6
11
1
4
Rp1.084.300
0
1
1
0
1
0
1
37
6
0
65
6
18
1
4
Rp3.187.500
1
2
1
0
1
0
1
39
7
1
65
6
11
0
5
Rp1.700.000
2
1
1
0
1
0
1
131
Lampiran 2. Tranformasi Kualitas Menjadi Skala Biner dan Data Faktor-Faktor yang Diduga Memengaruhi Kualitas (lanjutan) Kualitas Transformasi dengan No Resp Kualitas Menjadi Skala 1 Skala Biner hingga 10 40 8 1
AGE (Tahun)
EDU (tahun)
EXP (Tahun)
TRD
FS (orang)
35
6
15
0
5
FOF
RFS (hektar)
SA
Rp1.250.000
3
1
1
0
1
0
1
FI (Rp)
MFI PPL ASK
UOC
41
5
0
41
6
29
1
4
Rp2.461.600
3
1
0
0
1
0
1
42
8
1
60
3
25
1
4
Rp1.000.000
1
1
0
0
1
0
1
43
6
0
40
12
16
0
4
Rp3.441.600
2
2
1
0
1
1
1
44
8
1
67
0
20
1
2
Rp408.000
3
1
1
0
1
0
1
45
5
0
65
6
6
0
2
Rp444.100
1
0
1
0
1
1
1
46
8
1
42
6
7
1
5
Rp2.682.600
1
2
1
0
1
0
1
47
8
1
41
6
28
1
5
Rp3.941.800
2
1
1
0
1
0
1
48
7
1
45
6
23
1
3
Rp540.000
2
0
1
1
1
1
1
49
6
0
36
9
11
0
4
Rp3.472.500
1
2
1
0
1
0
1
50
5
0
58
6
7
0
4
Rp1.500.000
3
1
1
0
1
0
1
51
7
1
45
6
7
0
4
Rp1.338.750
0
1
1
0
1
1
1
52
3
0
62
2
9
1
5
Rp3.663.750
1
1
0
0
1
0
1
53
6
0
56
6
17
0
3
Rp1.365.000
2
1
1
0
1
0
1
54
5
0
67
6
20
0
2
Rp1.583.000
2
3
1
1
1
1
1
55
7
1
37
6
10
0
4
Rp1.989.500
1
2
1
0
1
0
1
56
5
0
63
0
9
0
2
Rp945.000
2
1
1
0
1
0
1
57
7
1
65
0
11
0
5
Rp1.636.000
2
0
1
0
1
0
1
58
6
0
55
6
11
0
8
Rp1.530.000
0
1
1
0
1
0
1
59
5
0
51
6
9
0
7
Rp810.000
1
0
0
0
1
0
1
132
Lampiran 2. Tranformasi Kualitas Menjadi Skala Biner dan Data Faktor-Faktor yang Diduga Memengaruhi Kualitas (lanjutan) Kualitas Transformasi dengan No Resp Kualitas Menjadi Skala 1 Skala Biner hingga 10 60 6 0
AGE (Tahun)
EDU (tahun)
EXP (Tahun)
TRD
FS (orang)
72
2
20
1
4
FOF
RFS (hektar)
SA
Rp4.456.500
3
1
1
0
1
0
1
FI (Rp)
MFI PPL ASK
UOC
61
5
0
36
6
12
0
4
Rp10.299.900
3
2
1
0
1
1
1
62
4
0
60
6
17
1
4
Rp1.312.500
2
1
1
0
1
0
1
63
7
1
60
5
12
1
3
Rp2.187.500
1
2
1
0
1
1
1
64
5
0
41
9
10
0
5
Rp2.277.600
2
1
1
0
1
0
1
rata-rata
6,563492
Keterangan: AGE = age = Usia petani (tahun) EDU = education = pendidikan formal petani (tahun) EXP = experience = pengalaman bertanam karet (tahun) TRD = transmigrant of rubber development = transmigran pengembangan karet (1 = jika transmigran dan 0 = bukan transmigran pengembangan karet) FS = family size = jumlah anggota keluarga (orang) FI = family income = pendapatan rumah tangga per bulan (rupiah) FOF = frequency of fertilization = frekuensi pemupukan (kali per tahun) RFS = rubber farm size = luas lahan tanaman karet produksi (hektar) SA = social activity = partisipasi dalam kegiatan Sosial (1 = jika berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan 0 = jika tidak). MFI = membership of farmer institution = keanggotan kelompok tani (1 = jika anggota kelompok tani dan 0 = jika tidak). PPL = keberadaan PPL di Desa (1 = ada PPL yang berdomisili di desa tempat tinggal petani dan 0 = jika tidak ada). ASK = ask to PPL = pernah bertanya PPL (1 = pernah dan 0 = tidak pernah). UOC = use of coagulant = Penggunaan TSP sebagai koagulan (1 = menggunakan TSP dan 0 = jika tidak). Dalam analisis faktor hanya digunakan 63 responden dari 64 responden karena satu responden (responden nomor 38) memroduksi bahan olah karet berbentuk lateks. Sedangkan dalam penelitian ini hanya menganalisis bahan olah karet berbentuk koagulump. 133
Lampiran 3. Output Minitab 14 dari Model Regressi Logistik Biner FaktorFaktor yang memengaruhi Kualitas Karet Perkebuanan Rakyat Binary Logistic Regression: Quality versus Usia (Tahun); Pendidikan (; ... Link Function: Logit Response Information Variable Quality
Value 1 0 Total
Count 34 29 63
(Event)
Logistic Regression Table
Predictor Constant Usia (tahun) Pendidikan (tahun) Pengalaman (tahun) Transmigran pengembangan karet Jumlah anggota keluarga Pendapatan rumah tangga per bulan Frekuensi pemupukan Luas lahan Partisipasi dalam keg. Sosial Keanggotan Kelompok Tani Keberadaan PPL di Desa Tanya PPL Penggunaan TSP sebagai koagulan
Coef
Odds Ratio
SE Coef
Z
P
6,32556 -0,105980 -0,427463 0,0262696
3,90741 0,0443160 0,173444 0,0573595
1,62 -2,39 -2,46 0,46
0,105 0,017 0,014 0,647
0,90 0,65 1,03
1,53532
1,02964
1,49
0,136
4,64
0,598571
0,274020
2,18
0,029
1,82
-0,0000001
0,0000002
-0,56
0,578
1,00
-0,0296448
0,383834
-0,08
0,938
0,97
-0,455514
0,431358
-1,06
0,291
0,63
1,73943
1,16907
1,49
0,137
5,69
3,91364
1,19047
3,29
0,001
50,08
-2,50652
1,54517
-1,62
0,105
0,08
1,38891
0,968257
1,43
0,151
4,01
-1,05742
1,52101
-0,70
0,487
0,35
Predictor Constant Usia (Tahun) Pendidikan (tahun) Pengalaman (Tahun) transmigran pengembangan karet Jumlah Anggota Keluarga Saja Pendapatan rumah tangga per bul frekuensi pemupukan luas lahan Keg Sosial Kel. Tani PPL tanya PPL Penggunaan TSP as Coagulant
95% CI Lower Upper 0,82 0,46 0,92 0,62 1,06 1,00 0,46 0,27 0,58 4,86 0,00 0,60 0,02
0,98 0,92 1,15 34,93 3,11 1,00 2,06 1,48 56,31 516,43 1,69 26,75 6,85
Log-Likelihood = -31,074 Test that all slopes are zero: G = 24,791, DF = 13, P-Value = 0,025
134
Goodness-of-Fit Tests Method Pearson Deviance Hosmer-Lemeshow
Chi-Square 58,0100 62,1482 2,2963
DF 49 49 8
P 0,177 0,098 0,971
Table of Observed and Expected Frequencies: (See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic)
Value 1 Obs Exp 0 Obs Exp Total
Group 5 6
1
2
3
4
1 0,5
1 1,0
2 1,7
2 2,7
3 2,8
5 5,5 6
5 5,0 6
4 4,3 6
5 4,3 7
3 3,2 6
7
8
9
10
Total
3 3,6
5 4,9
4 4,6
6 5,4
7 6,8
34
3 2,4 6
2 2,1 7
2 1,4 6
0 0,6 6
0 0,2 7
29 63
Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Concordant Discordant Ties Total
Number 820 165 1 986
Percent 83,2 16,7 0,1 100,0
Summary Measures Somers' D Goodman-Kruskal Gamma Kendall's Tau-a
0,66 0,66 0,34
135