POTENSI PEMANFAATAN KAYU KARET UNTUK MENDUKUNG PEREMAJAAN PERKEBUNAN KARET RAKYAT Island Boerhendhy dan Dwi Shinta Agustina Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet, Kotak Pos 1127, Palembang 30001
ABSTRAK Kayu karet mempunyai prospek yang cerah sebagai bahan baku industri untuk menyubstitusi kayu hutan alam mengingat ketersediaannya sangat besar dan diharapkan terus meningkat sejalan dengan adanya peremajaan tanaman karet tua. Selain itu, kayu karet mempunyai sifat-sifat fisik, mekanis, dan kimia yang setara dengan kayu hutan alam. Pemanfaatan kayu karet perlu didukung dengan industri pengolahan. Kontinuitas penyediaan bahan baku bagi industri pengolahan antara lain dapat ditempuh melalui pengembangan pola kemitraan antara petani dan industri pengolahan kayu karet. Pola kemitraan juga dapat menjamin harga jual kayu di tingkat petani sehingga dapat mendukung upaya peremajaan karet rakyat. Klon-klon anjuran seperti BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100, AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 112, dan IRR 118 direkomendasikan untuk dikembangkan dalam skala luas sebagai penghasil lateks sekaligus kayu. Kata kunci: Kayu karet, industri kayu, peremajaan tanaman, perkebunan rakyat
ABSTRACT Rubber wood potency in supporting replanting of rubber smallholdings Nowadays, the use of rubber wood for industry is very profitable because its availability is abundantly and would increase in the future in line with the replanting program of smallholdings. Rubber wood also has good characteristics in physics, chemical, and mechanic which is equal with other natural timber. Utilization of rubber wood should be supported with industrial processing. Partnership program between supplier of rubber wood and farmers is important to guarantee the continuous supply of raw material for whole year. The partnership will also increase wood price at farm level and support replanting program. Some clones such as BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100, AVROS 2037, IRR5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 112, and IRR 118 were recommended in a large scale as latex and timber clones. Keywords: Rubber wood, wood industry, replanting, small farmers
K
omoditas karet memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian nasional, antara lain sebagai sumber pendapatan bagi lebih dari 10 juta petani dan menyerap sekitar 1,70 juta tenaga kerja, serta memberikan kontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) yang nilainya mencapai Rp6 triliun setiap tahun (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2002). Selain itu, pengembangan perkebunan karet berperan dalam mendorong pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baru di wilayah pengembangan. Tanaman karet juga memberikan kontribusi yang sangat penting dalam pelestarian lingkungan. Upaya pelestarian lingkungan akhir-akhir ini menjadi isu
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
penting mengingat kondisi sebagian besar hutan alam makin memprihatinkan. Pada tanaman karet, energi yang dihasilkan seperti oksigen, kayu, dan biomassa dapat digunakan untuk mendukung fungsi perbaikan lingkungan seperti rehabilitasi lahan, pencegahan erosi dan banjir, pengaturan tata guna air bagi tanaman lain, dan menciptakan iklim yang sehat dan bebas polusi. Pada daerah kritis, daun karet yang gugur mampu menyuburkan tanah. Daur hidup tanaman karet yang demikian akan terus berputar dan berulang selama satu siklus tanaman karet paling tidak selama 30 tahun. Oleh karena itu, keberadaan pertanaman karet sangat strategis bagi kelangsungan kehidupan, karena mampu
berperan sebagai penyimpan dan sumber energi (Indraty 2005). Hal senada dikemukakan oleh Azwar et al. (1989), bahwa laju pertumbuhan biomassa ratarata tanaman karet pada umur 3−5 tahun mencapai 35,50 ton bahan kering/ha/ tahun. Hal ini berarti perkebunan karet dapat mengambil alih fungsi hutan yang berperan penting dalam pengaturan tata guna air dan mengurangi peningkatan pemanasan bumi (global warming). Perkebunan karet di Indonesia masih didominasi oleh perkebunan rakyat yang mencakup areal sekitar 2,80 juta ha atau 85% dari total areal perkebunan karet seluas 3,30 juta ha. Dari luasan tersebut, perkebunan rakyat memberikan kontri61
busi sekitar 1,20 juta ton atau 76% dari total produksi karet alam nasional sebesar 1,60 juta ton pada tahun 2002 (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2002). Secara umum permasalahan utama dalam perkebunan karet rakyat adalah produktivitas yang rendah, hanya sekitar 610 kg/ha/tahun, padahal produktivitas perkebunan besar negara atau swasta masing-masing mencapai 1.107 kg dan 1.190 kg/ha/tahun (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2002). Rendahnya produktivitas karet rakyat tersebut antara lain disebabkan oleh luasnya areal karet yang menggunakan bahan tanam nonunggul (seedling), dan tanaman umumnya sudah tua atau rusak sehingga perlu diremajakan (Gambar 1). Upaya peremajaan oleh petani dengan menerapkan teknologi maju secara swadaya berjalan relatif lambat dan tingkat keberhasilannya rendah karena adanya berbagai kendala, antara lain terbatasnya dana, kurangnya ketersediaan informasi dan sumber daya manusia yang handal, serta lemahnya kelembagaan finansial (Supriadi et al. 1999). Nilai ekonomis karet terletak pada kemampuannya dalam menghasilkan lateks, sedangkan produk nonlateks seperti kayu karet pada awalnya dianggap sebagai hasil samping terutama untuk kayu bakar. Namun, sejalan dengan berkembangnya teknologi pengolahan dan pengawetan kayu karet dan makin terbatasnya ketersediaan kayu dari hutan alam, baik untuk memenuhi permintaan pasar domestik maupun ekspor maka
Gambar 1. 62
Kebun karet tua yang perlu diremajakan.
permintaan terhadap kayu karet terus meningkat setiap tahun. Peningkatan permintaan kayu karet juga didorong oleh membaiknya perekonomian dunia dan bertambahnya jumlah penduduk, serta terbatasnya ketersediaan kayu hutan alam terutama setelah kayu ramin, meranti putih, dan agathis dilarang untuk diekspor dalam bentuk kayu gergajian (Boerhendhy et al. 2003). Nilai ekonomi kayu karet yang makin tinggi tersebut dapat menjadi tambahan modal bagi petani untuk melakukan peremajaan kebun karet dengan menanam klon-klon unggul yang produktivitasnya tinggi dan pertumbuhannya cepat. Menurut Manurung (2003), kebutuhan bahan baku kayu nasional tahun 2003 sebesar 63 juta m3, sementara dalam rangka pelaksanaan kebijakan soft landing, pemerintah melalui Departemen Kehutanan pada tahun yang sama hanya memberikan jatah tebangan sebesar 6,80 juta m3. Data tersebut memperlihatkan adanya kesenjangan yang sangat besar, sekitar 56 juta m3, antara produksi dan kebutuhan kayu. Kondisi ini disebabkan oleh menurunnya produktivitas hutan alam akibat laju kerusakan hutan yang sangat tinggi. Oleh karena itu perlu dicari alternatif kayu pengganti kayu hutan alam yang memungkinkan untuk diekspor. Pemanfaatan kayu karet sebagai pengganti kayu hutan alam sangat memungkinkan mengingat ketersediaan kayu karet sangat besar serta sifat-sifatnya relatif sama dengan kayu hutan alam, seperti kayu ramin, meranti, dan agathis (Boerhendhy et al. 2003). Di Indonesia, industri pengolahan kayu karet skala besar mulai berkembang sejak akhir tahun 1980-an, seperti di Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, dan Jawa. Pada awalnya, kayu karet banyak dimanfaatkan untuk kayu pertukangan, terutama kayu yang berdiameter besar, namun akhir-akhir ini kayu karet berdiameter kecil pun banyak digunakan untuk keperluan pabrik papan serat densitas medium (Medium Density Fibreboard, MDF) (Boerhendhy et al. 2003). MDF dapat diproses menjadi bubur kayu, selanjutnya menjadi papan partikel, pulp, dan kertas Di Malaysia, industri pengolahan kayu karet untuk ekspor telah dimulai sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1980, Malaysia mengekspor 17.500 m3 kayu karet dalam bentuk gergajian dan angka ini meningkat menjadi 178.000 m3 pada tahun
1986 (Coto 1989). Terbukanya pasar ekspor kayu karet gergajian dan berkembangnya pemanfaatan kayu karet berdiameter kecil untuk keperluan pabrik MDF menyebabkan makin banyaknya minat pengusaha perkayuan untuk ikut dalam kegiatan pengolahan kayu karet. Tulisan ini bertujuan untuk membahas potensi pemanfaatan kayu karet dan peranannya dalam mendukung peremajaan kebun karet rakyat. Berbagai masalah yang dihadapi dalam pemanfaatan kayu karet juga dibahas dan disertai dengan upaya pemecahannya.
PELUANG KAYU KARET SEBAGAI SUBSTITUSI KAYU HUTAN ALAM Ada beberapa alasan mengapa kayu karet dapat digunakan sebagai substitusi kayu hutan alam dan menjadi andalan dalam memenuhi kebutuhan kayu baik untuk pasar dalam maupun luar negeri. Alasan tersebut adalah: 1) sifat-sifat dasar kayu karet, baik sifat fisik, mekanis maupun kimia relatif sama dengan kayu hutan alam, 2) potensi ketersediaan kayu karet cukup besar sejalan dengan peremajaan perkebunan karet rakyat, dan 3) nilai ekonomis kayu karet cukup baik.
Sifat-Sifat Kayu Karet Salah satu sifat fisik kayu karet yang cukup penting adalah kerapatan atau berat jenis. Kerapatan kayu karet tergolong setengah berat yaitu berkisar antara 0,62–0,65 g/cm3 (Seng 1951; Budiman 1987; Mandika et al. 1989; Darsini 1991). Variasi kerapatan kayu karet disebabkan beberapa hal, antara lain perbedaan genetik, tempat tumbuh, dan contoh yang dianalisis (Budiman, 1987). Kerapatan kayu karet setara dengan kayu eik atau oak (Quercus sp.), Acasia mangium (0,61), ramin (0,63), dan mahoni (0,61) (Seng 1951; Kartasujana dan Martawijaya 1973; Sutigno dan Mas’ud 1989; Darsini 1991). Nilai penyusutan (stabilitas dimensi) kayu karet sangat kecil, hanya sedikit lebih kecil dari kayu jati (Budiman 1987; Boerhendhy et al. 2001). Dibandingkan dengan kayu ramin, penyusutan kayu karet dari basah sampai kering udara arah radial dan tangensial jauh lebih kecil, yaitu 1,77−3,05% (Boerhendhy et al. 2001), sedangkan kayu ramin mengalami penyuJurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
sutan untuk arah radial 4,50% dan arah tangensial 9,70% (Darsini 1991). Berkaitan dengan penyusutan, untuk mempercepat waktu pengeringan diperlukan dapur pengering (kilndry). Salah satu kelemahan kayu karet yaitu mudah terjadi cacat (melengkung dan melintir) dan sering mengalami retak di bagian ujung selama proses pengeringan. Untuk mengatasi masalah tersebut, tumpukan kayu perlu diberi pemberat atau pegas dan bagian ujungnya diberi penutup untuk mengurangi cacat bentuk tersebut (Budiman 1987; Coto 1989). Dilihat dari sifat fisik dan mekanis, kayu karet tergolong kayu kelas kuat IIIII, yang setara dengan kayu ramin, perupuk, akasia, mahoni, pinus, meranti, durian, ketapang, keruing, sungkai, gerunggang, dan nyatoh (Seng 1951; Budiman 1987; Sutigno dan Mas’ud 1989; Sulastiningsih et al. 1999). Kelas awet kayu karet tergolong kelas awet V yaitu setara dengan kayu ramin (Seng 1951), namun kayu karet lebih rentan terhadap serangga penggerek dan jamur biru (blue stain) dibanding kayu ramin. Oleh karena itu, untuk memanfaatkannya perlu dilakukan pengawetan yang lebih intensif dibandingkan kayu ramin, terutama setelah digergaji. Pengawetan kayu ramin cukup dengan cara pencelupan, sedangkan pada kayu karet harus dilakukan dengan cara vakum dan tekan (Sutigno dan Mas’ud 1989). Namun, dengan berkembangnya teknologi pengawetan, masalah tersebut telah dapat diatasi (Coto 1989). Sifat lain yang menarik dari kayu karet adalah mudah digergaji dengan hasil gergajian yang cukup halus, serta mudah dibubut dengan permukaan yang rata dan halus. Kayu karet mudah pecah bila dipaku sehingga perlu hati-hati dalam pengerjaannya. Selain itu, kayu karet mempunyai sifat perekatan yang baik dengan semua jenis perekat industri (industrial adhesives). Menurut Sutigno et al. (1979), kayu lapis (tripleks) dari kayu karet yang direkat dengan perekat urea formaldehyde (UP) dan diberi ekstender 20% mempunyai sifat keteguhan rekat yang memenuhi standar Indonesia, Jepang, dan Jerman. Hal ini berarti sifat perekatan kayu karet tergolong baik, karena tidak semua jenis kayu dapat memenuhi syarat keteguhan rekat ketiga standar tersebut. Dengan warna khas putih kekuningan atau kuning pucat seperti warna jerami, serta tekstur yang halus dan Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
rata mirip kayu ramin, kayu karet mudah diwarnai sehingga disukai dalam pembuatan mebel (Budiman 1987; Boerhendhy et al. 2001). Produk berbahan kayu karet makin banyak diminati. Menurut Hasan (1989), peralatan yang terbuat dari kayu karet dapat dibuat secara knock down atau completed knock down seperti meja dan kursi makan, kursi lipat, rak, pigura dan lis kaca, dinding penyekat, jelusi jendela, dan profil lantai. Produk seperti ini umumnya diekspor ke Asia Timur, Eropa, dan Amerika. Sifat-sifat kimia yang penting dari kayu karet antara lain adalah kadar holoselulose, lignin, dan ekstraktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar holoselulose kayu karet tergolong tinggi (67,38%), kadar lignin tergolong rendah (20,68%) dibandingkan dengan kayu A. mangium yang umum digunakan untuk bahan baku pulp yaitu sebesar 26,72%, dan kadar zat ekstraktif tergolong tinggi (4,58%) (Boerhendhy et al. 2001). Kayu karet dengan kandungan holoselulose tinggi sangat baik sebagai bahan baku kertas karena akan menghasilkan rendemen pulp yang tinggi. Sementara itu dengan kadar lignin yang rendah, kayu karet sangat disukai dalam pengolahan pulp karena akan menghasilkan pulp yang mempunyai sifat keteguhan tinggi dan warnanya cerah. Kayu karet mempunyai kadar zat ekstraktif lebih tinggi dibandingkan dengan klasifikasi kayu Indonesia (> 4%). Kadar zat ekstraktif yang tinggi akan menghambat proses pengolahan pulp terutama pengolahan secara kimia, karena akan menurunkan rendemen pulp dan kemungkinan menimbulkan noda dalam lembaran kertas yang dihasilkan. Namun, masalah tersebut dapat diatasi dengan cara merendam kayu karet dan memberikan tambahan ramuan dengan jenis kayu lain (Silitonga et al. 1974). Sifat kimia kayu karet yang juga cukup penting adalah dimensi serat, yang meliputi panjang serat, diameter serat, tebal dinding, dan lebar lumen serat. Baik secara tersendiri maupun kombinasinya, sifat-sifat tersebut akan berpengaruh terhadap sifat keteguhan lembaran pulp yang dihasilkan. Panjang serat kayu karet cukup baik, sekitar 1,70 mikron, lebih tinggi dibandingkan dengan kayu akasia yang mempunyai panjang serat 0,986 mikron Diameter serat kayu karet tergolong kecil yaitu sekitar 24,16 mikron (kurang dari 36 mikron). Tebal dinding sel berukuran tipis
sampai sedang (3,53–4,68 mikron), sedangkan lebar lumen serat tergolong lebar (0,61 mikron) (Boerhendhy et al. 2001). Menurut Hendi dan Suhendi (2000), kayu dengan serat yang panjang, diameter serat yang kecil, dinding sel yang tipis, dan lumen serat yang lebar sangat baik untuk pembuatan pulp dan kertas, karena akan menghasilkan daya tenun yang tinggi sehingga kertas yang dihasilkan mempunyai keteguhan sobek yang tinggi. Ditinjau dari sifat kimia, kualitas kayu karet termasuk ke dalam kelas II (Hendi dan Suhendi 2000). Berdasarkan sifat fisik, mekanis, dan kimia tersebut, kayu karet memungkinkan dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, mebel, dan bahan baku pulp.
POTENSI DAN PROSPEK PERMINTAAN KAYU KARET Kayu karet dapat digunakan sebagai pengganti kayu hutan alam setelah melalui proses pengolahan dan pengawetan. Penggunaan kayu karet untuk bahan baku industri sangat cerah mengingat ketersediaannya sangat besar dan akan terus meningkat di masa depan sejalan dengan luasnya areal tanaman karet yang perlu diremajakan, meskipun angka yang pasti belum diperoleh. Namun, berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2002, luas tanaman karet yang perlu diremajakan sekitar 125.000 ha atau 4% dari total luasan karet di Indonesia. Jika tiap hektar tanaman karet diperkirakan dapat menghasilkan 50 m3 kayu bulat yang dapat diproses menjadi kayu gergajian (Djajapertjunda dan Nasution 1989) maka dari luasan 125.000 ha akan diperoleh 6,25 juta m3 kayu bulat, yang bersumber dari perkebunan rakyat (87%), perkebunan besar negara (6%), dan perkebunan besar swasta (7%)). Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi merupakan tiga propinsi yang memiliki areal karet tua terluas di Sumatera yang perlu diremajakan, masing-masing 23.907 ha, 20.317 ha, dan 19.012 ha (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2002). Pada masa lampau, kayu karet hasil peremajaan hanya digunakan sebagai bahan bakar dalam pembuatan ribbed smoked sheet (RSS), pembakaran kapur, dan kayu bakar. Namun dengan makin berkembangnya teknologi pengolahan kayu karet, pemanfaatan kayu karet menjadi semakin luas. Di Malaysia, kayu 63
karet dapat dimanfaatkan menjadi berbagai produk, seperti papan, papan partikel, papan serat, kertas, komponen bangunan, profil lantai, dan furnitur. Di Liberia, kayu karet sebagian besar digunakan untuk papan partikel dan di Sri Lanka untuk produksi pulp sebagai bahan dasar kertas (Tan et al. 1980; Paardekooper 1989). Di India, kayu karet digunakan sebagai bahan kayu bangunan, ukiran, papan, penyekat, palet, dan boneka (Sekhar 1989). Pada masa mendatang, Indonesia sangat berpeluang untuk mengembangkan kayu karet sebagai bahan baku industri. Beberapa pabrik di Sumatera Selatan sudah mulai mengolah kayu karet dalam bentuk laminating board dan moulding. Di Lampung terdapat pabrik pengolahan papan partikel (Sumana et al. 1991), sedangkan di Jambi terdapat pabrik pengolahan papan partikel, kayu lapis, MDF, dan moulding. Hasil olahan kayu karet yang berwarna khas putih kekuningan seperti kayu ramin dan prupuk umumnya dipasarkan ke negara-negara Eropa seperti Perancis, Belanda, Jerman dan Inggris; serta negara-negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial 1997). Beberapa produk olahan dari kayu karet disajikan pada Gambar 2. Permintaan terhadap produk kayu karet dari tahun ke tahun semakin meningkat sebagai akibat perkembangan penduduk dunia dan membaiknya kondisi perekonomian berbagai negara. Selain itu, dengan berkembangnya teknologi pengolahan kayu, pemanfaatan kayu karet sebagai bahan baku industri tidak lagi hanya terbatas pada kayu yang berukuran besar, tetapi kayu-kayu yang berukuran lebih kecil pun dapat diproses menjadi bubur kayu yang seterusnya diolah menjadi papan partikel, pulp, dan kertas. Dengan demikian seluruh bagian kayu termasuk cabang dan ranting saat ini telah dapat dimanfaatkan (Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia 1999). Berdasarkan hal tersebut, kayu karet yang bersifat terbarukan (renewable) diharapkan dapat digunakan lebih luas sebagai substitusi kayu hutan alam sehingga memberi nilai tambah bagi pekebun, terutama sebagai tambahan modal dalam peremajaan kebun karet mereka, serta sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) dan devisa negara. Sejalan dengan bergesernya peran tanaman karet dari semula hanya sebagai 64
penghasil lateks kemudian menjadi penghasil lateks dan kayu, maka pemilihan klon pun perlu diarahkan untuk memenuhi kedua keperluan tersebut. Tanaman hendaknya memiliki pertumbuhan yang cepat, baik pada masa tanaman belum menghasilkan (TBM) maupun pada masa tanaman menghasilkan (TM), serta produktivitasnya tinggi. Berdasarkan Hasil Rumusan Lokakarya Pemuliaan Karet tahun 2005, beberapa klon yang dapat dikembangkan untuk produksi lateks dan kayu adalah BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100, AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 112, dan IRR 118 (Balai Penelitian Sembawa 2006). Potensi produksi dan sifat sekunder klon-klon tersebut disajikan pada Tabel 1.
KAYU KARET MENDUKUNG BIAYA PEREMAJAAN KARET RAKYAT Satu siklus tanaman karet untuk menghasilkan lateks sekitar 30 tahun, yang
Gambar 2.
terbagi atas fase TBM 5 tahun dan TM 25 tahun. Setelah masa tersebut, kebun karet tidak produktif lagi sehingga perlu diremajakan. Kebun-kebun seperti ini merupakan sumber bahan baku pabrik pengolahan kayu karet. Pada penanaman dengan jarak tanam 6 m x 3 m, populasi tanaman tiap hektar sekitar 550 pohon. Pada saat peremajaan, populasi tersebut berkurang menjadi 250–300 pohon/ha karena berbagai hal, seperti tumbang atau patah akibat angin. Umumnya petani mengalami kesulitan dalam melakukan peremajaan kebun karet tua karena kurangnya modal untuk biaya penebangan, pembukaan lahan, pemagaran, pengadaan bibit, dan penanaman. Selain itu, penebangan atau peremajaan dipengaruhi oleh musim pembukaan lahan. Pembukaan lahan perkebunan biasanya dilakukan pada musim kemarau. Lokasi kebun yang sulit dijangkau atau tidak dilengkapi akses jalan untuk kendaraan roda empat akan mempersulit pengangkutan kayu ke tempat pengolahan. Kondisi tersebut
Beberapa produk olahan dari kayu karet: kursi dan meja makan, lemari hias khas Palembang, dan rak majalah atau koran.
Tabel 1. Potensi produksi karet kering dan pertumbuhan beberapa klon anjuran untuk klon penghasil lateks dan kayu. Klon
Tetua
BPM 1 PB 330 PB 340 RRIC 100 AVROS 2037 IRR 5 IRR 32 IRR 39 IRR 42 IRR 112 IRR 118
AVROS 163 X AVROS 368 PB 5/51 X PB 49 PB 235 X PR 107 RRIC 52 X PB 85 AVROS 256 X AVROS 352 KLON PRIMER LCB 1320 X AVROS1734 LCB 1320 X FX 25 LCB 1320 X F 351 IAN 873 X RRIC 110 LCB 1320 X FX 2784
Produksi (kg/ha) 1.945 1.774 2.180 1.997 1.993 1.609 1.644 1.640 1.989 2.195 2.011
Pertumbuhan TBM Cepat Sangat Sangat Sangat Sangat Sangat Cepat Sangat Sangat Cepat Sangat
cepat cepat cepat cepat cepat cepat cepat cepat
TM Sangat cepat Cepat Sedang Cepat Cepat Cepat Cepat Sangat cepat Cepat Cepat Cepat
Sumber: Balai Penelitian Sembawa (2006).
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
mengakibatkan suplai bahan baku ke pabrik pengolahan kayu karet menjadi tidak kontinu. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah seperti Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan untuk menjamin kesinambungan pasokan bahan baku bagi pabrik pengolahan kayu karet. Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan bekerja sama dengan salah satu pabrik pengolahan kayu karet telah membuat kesepakatan melalui kemitraan dengan petani. Melalui pola kemitraan dapat disepakati penjadwalan kegiatan penebangan di kebun petani sehingga kebutuhan kayu karet dapat terpenuhi sepanjang tahun. Dengan pola kemitraan tersebut, petani dapat menjual kayu karet kepada industri pengolahan dengan harga yang disepakati, dan pihak industri menyediakan bibit unggul, melakukan penebangan dan pendongkelan akar dengan menggunakan traktor sehingga pembukaan lahan untuk peremajaan dapat dilakukan dengan cepat. Selain itu, pembukaan lahan dengan cara pendongkelan akar sangat bermanfaat untuk mengatasi serangan penyakit jamur akar putih (JAP) yang merupakan salah satu penyakit utama pada tanaman karet. Sementara itu petani hanya mengeluarkan biaya untuk pembersihan dan persiapan tanam seperti pengajiran, pembuatan lubang tanaman, dan penanaman. Untuk kegiatan persiapan lahan dan penanaman, pekebun harus mengeluarkan biaya Rp6.652.500/ha masing-masing untuk tenaga kerja Rp2.320.000 serta bibit, pupuk, dan peralatan Rp4.332.500. Pada saat peremajaan akan diperoleh 247 pohon/ha dengan kayu berkualitas baik dari populasi awal 550 pohon. Jika harga kayu rata-rata Rp42.600/pohon (diameter > 45 cm) maka akan diperoleh pendapatan bersih dari hasil penjualan kayu karet sebesar Rp3.869.700/ha. Pendapatan yang diperoleh bergantung pada jumlah tegakan per hektar, diameter batang, jarak pabrik ke lokasi kebun, dan kondisi jalan yang dilalui. Selama masa TBM, pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan kayu karet dapat digunakan untuk pemeliharaan kebun dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pada masa TBM, petani dapat menanam tanaman sela di antara karet untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau untuk dijual sebagai tambahan penghasilan. Di Sumatera Selatan, jenis tanaman sela yang dianjurkan adalah padi gogo pada tahun pertama serta nenas dan pisang Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
pada tahun kedua dan ketiga. Tanaman sela tahan naungan seperti jahe, kapulaga, dan vanili masih dapat diusahakan di antara tanaman karet setelah tanaman karet menghasilkan (Gambar 3).
PERMASALAHAN DAN UPAYA PEMANFAATAN KAYU KARET Meskipun industri kayu karet mempunyai prospek dan potensi yang cukup baik, beberapa permasalahan perlu mendapat perhatian, yaitu (Boerhendhy et al. 2002): 1) Sebagian besar lokasi kebun karet rakyat terletak di wilayah yang tidak mempunyai akses jalan sehingga sulit dijangkau oleh kendaraan roda empat. Selain itu, tidak semua sentra karet memiliki industri pengolahan kayu karet, sehingga jarak antara lokasi kebun dan pabrik relatif jauh. Akibatnya, pengangkutan sering tertunda dan memerlukan biaya cukup besar. Penundaan pengangkutan menyebabkan kayu menjadi rusak karena terinfeksi jamur biru, terutama untuk kayu gergajian. Pada kondisi seperti itu, penjualan kayu karet menjadi tidak ekonomis sehingga kayu karet hanya digunakan sebagai kayu bakar. Kayu karet akan bernilai ekonomis jika kebun mempunyai akses jalan yang dapat
Gambar 3.
dilewati truk dan lokasinya tidak terlalu jauh dari pabrik pengolahan. 2) Penebangan biasanya dilakukan pada musim kemarau karena pada musim tersebut petani mudah melakukan pembakaran untuk membersihkan lahan yang akan ditanami kembali (replanting). Akibatnya di luar musim peremajaan pabrik mengalami kesulitan memperoleh bahan baku. 3) Rendemen kayu cukup rendah karena diameter kayu relatif kecil dan kayu banyak yang rusak akibat penyadapan sampai ke bagian kayu. Untuk meningkatkan pemanfaatan kayu karet di masa depan, terutama sebagai pengganti atau substitusi kayu hutan alam, perlu dilakukan berbagai upaya sebagai berikut: 1) Meningkatkan rendemen kayu karet dengan menerapkan sistem penyadapan yang tidak melukai kayu, serta menggunakan bahan tanaman unggul yang memiliki pertumbuhan cepat, batang lurus, dan produktivitas tinggi. Klon penghasil lateks dan kayu yang dapat dikembangkan adalah BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100, AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 112, dan IRR118. Klonklon tersebut memiliki potensi hasil karet kering yang cukup tinggi yaitu 1.609−2.195 kg/ha/tahun. Kayu karet memiliki rasio penyusutan tangensial terhadap radial yang rendah sehingga
Tanaman sela padi, nenas + pisang, dan kapulaga di antara gawangan karet. 65
mempunyai kestabilan dimensi kayu yang baik (Daslin dan Anas 2003). 2) Dalam penanaman ulang, petani dianjurkan menanam karet dalam satu hamparan dan dilengkapi dengan akses jalan yang dapat dilewati oleh truk untuk memudahkan pengangkutan kayu pada saat peremajaan. 3) Pembangunan industri pengolahan kayu karet perlu diawali dengan identifikasi potensi kayu karet di sekitarnya, sehingga kapasitas terpasang pabrik dapat terpenuhi dari bahan baku yang tersedia di sekitar pabrik. Pola kemitraan antara industri pengolahan dan petani juga dapat menjamin ketersediaan kayu karet melalui pengaturan waktu penebangan (peremajaan).
4) Diperlukan dukungan pemerintah dalam pemanfaatan kayu karet misalnya melalui kemudahan perizinan untuk pendirian pabrik pengolahan kayu karet.
KESIMPULAN DAN SARAN Kayu karet mempunyai prospek yang sangat cerah sebagai substitusi kayu hutan alam mengingat ketersediaannya cukup besar, permintaan terus meningkat, dan mempunyai keunggulan setara dengan kayu hutan alam. Klon-klon anjuran seperti BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100, AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 112, dan IRR 118 dapat
dikembangkan dalam skala luas untuk produksi lateks sekaligus kayu. Pemanfaatan kayu karet perlu didukung dengan industri pengolahan. Kontinuitas penyediaan bahan baku bagi industri pengolahan dapat ditempuh melalui pengembangan pola kemitraan antara petani dan industri pengolahan, sekaligus untuk mendukung peremajaan karet rakyat. Tersedianya akses jalan dengan kondisi yang baik, penggunaan bahan tanam unggul, sistem sadap yang baik, lokasi kebun dalam satu hamparan, serta adanya dukungan positif dari pemerintah merupakan langkah-langkah yang perlu dilakukan berbagai pihak agar nilai guna dan nilai ekonomi kayu karet di masa depan dapat dioptimalkan.
DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia. 1999. Klon-klon karet untuk HTI dan hutan kemasyarakatan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 21(4): 8.
Darsini, A.S. 1991. Struktur dan sifat kayu karet sebagai pengganti kayu ramin. Tesis Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Azwar, R., N. Alwi, dan Sunarwidi. 1989. Kajian komoditas dalam pembangunan hutan tanaman industri. hlm. 131−155. Prosiding Lokakarya Nasional HTI Karet, Medan, 28−30 Agustus 1989. Pusat Penelitian Perkebunan Sungei Putih, Medan.
Daslin, A. dan A. Anas. 2003. Karakteristik hasil serta sifat lateks dan kayu dari berbagai klon karet unggul generasi IV. hlm. 189−198. Prosiding Konferensi Agribisnis Karet Menunjang Industri Lateks dan Kayu 2003. Pusat Penelitian Karet, Medan.
Balai Penelitian Sembawa. 2006. Rekomendasi klon karet periode 2006−2020. Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet, Palembang.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2002. Statistik Perkebunan Indonesia: Karet. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Jakarta.
Boerhendhy, I., N. Hadjib, R.M. Siagian, A. Gunawan, dan M. Lasminingsih. 2001. Karakteristik mutu dan sifat kayu karet klon anjuran dan harapan. hlm.1−26. Prosiding Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet, 5−6 November 2001. Pusat Penelitian Karet, Medan.
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 1997. Promotion of optimum utilization of rubberwood. Socioeconomic Survey and Rubber Wood Development Potential in Jambi. 31 pp.
Boerhendhy, I., C. Nancy, dan A. Gunawan. 2002. Prospek dan potensi pemanfaatan kayu karet sebagai substitusi kayu alam. Warta Penelitian Pusat Karet 21(1−3): 58−66. Boerhendhy, I., C. Nancy, dan A. Gunawan. 2003. Kayu karet dapat menggantikan kayu hutan alam. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 25(1): 3−5. Budiman, S. 1987. Perkembangan pemanfaatan kayu karet. Sasaran 1(4): 5−9. Coto, Z. 1989. Kayu karet sebagai bahan baku industri pengolahan kayu. hlm. 393−407. Prosiding Lokakarya Nasional Pembangunan HTI Karet, Medan, 28−30 Agustus 1989. Pusat Penelitian Perkebunan Sungei Putih, Medan.
66
Djajapertjunda, S. dan D. Nasution. 1989. Kemungkinan pembangunan industri kayu karet di Sumatera Utara. hlm. 381−392. Prosiding Lokakarya Nasional Pembangunan HTI Karet, Medan, 28−30 Agustus 1989. Pusat Penelitian Perkebunan Sungei Putih, Medan. Hasan, M. 1989. Pengembangan hutan tanaman industri dengan karet sebagai alternatif. hlm. 77−85. Prosiding Lokakarya Nasional HTI Karet, Medan, 28−30 Agustus 1989. Pusat Penelitian Perkebunan Sungei Putih, Medan. Hendi dan Suhendi. 2000. Pola pewarisan genetik sifat-sifat kayu pinus (Pinus mercusii). hlm. 162−184. Prosiding Diskusi Peningkatan Kualitas Kayu, 24 Februari. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor. Indraty, I.S. 2005. Tanaman karet menyelamatkan kehidupan dari ancaman karbondioksida. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 27(5): 10−12.
Kartasujana dan Martawijaya. 1973. Sifat dan kegunaan kayu perdagangan Indonesia. Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor. Mandika, D., A. Sapta, dan R.K. Sari. 1989. Selintas tentang kayu karet. hlm. 373−379. Prosiding Lokakarya Nasional HTI Karet, Medan, 28−30 Agustus 1989. Pusat Penelitian Perkebunan Sungei Putih, Medan. Manurung, T. 2003. Laju kerusakan hutan Indonesia, terparah di planet bumi. Majalah Gatra. Paardekooper, E.C. 1989. Exploitation of the rubber tree. p. 349−414. In C.C. Webster and W.J. Baulkwill (Eds.). Rubber. Longman Scientific & Technical Co., published in the United States with John Wiley & Sons, Inc, New York. Sekhar, A.C. 1989. Rubber wood production and utilization. RRII, Kottayam 686009. 224 pp. Seng, O.D. 1951. Perbandingan berat dari jenisjenis kayu Indonesia dan pengertian beratnya kayu untuk keperluan praktek. Laporan No.46 Balai Penyelidikan Kehutanan, Bogor. Silitonga, T., Roliadi, dan Sudrajat. 1974. Papan serat dari campuran kayu karet dan beberapa jenis kayu daun lebar lainnya. Laporan No. 43 Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor. Sulastiningsih, I.M., M. Wardani, dan P. Sutigno. 1999. Pengembangan jenis andalan setempat untuk menunjang industri kayu lapis. Prosiding Lokakarya Kayu Lapis, 18 Mei 1999. Pusat Penelitian Hasil Hutan, Bogor. hlm. 184−205. Sumana, R. Dereindra, M.N. Ridha, dan S. Achdiansyah. 1991. Pendapatan dan motivasi petani dalam penjualan kayu karet tebangan. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Agribisnis, Jakarta. 15 hlm. Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
Supriadi, M., G. Wibawa, dan C. Nancy. 1999. Percepatan peremajaan karet melalui penerapan teknologi dan pemberdayaan masyarakat perkebunan. hlm. 45−69. Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Perkebunan. Buku I. Model Peremajaan Karet Rakyat Secara Swadaya. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Bogor.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006
Sutigno, P., R. Memed, dan S. Kliwon. 1979. Sifat venir dan kayu lapis jenis-jenis kayu Indonesia. Laporan No. 143 Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor. Sutigno, P. dan A.F. Mas’ud. 1989. Alternatif pengolahan kayu hutan tanaman industri karet. hlm. 259−269. Prosiding Lokakarya Nasional HTI Karet, Medan, 28−30 Agustus
1989. Pusat Penelitian Perkebunan Sungei Putih, Medan. hlm. 259−269. Tan, A.G., A. Sujan, and T.C. Khoo. 1980. Rubber wood for parquet manufacture. Planter’s Bulletin of Rubber Research Institute of Malaysia (163): 81−87.
67