18
IV. Pembahasan 4.1. Produksi Sampai saat ini sektor pertanian masih berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkan visi Kabupaten Morowali sebagai Kabupaten Si’e 2012 (lumbung pangan) maka diperlukan keberhasilan dari program-program pembangunan yang diadakan oleh pemerintah pada sektor pertanian. Sektor pertanian memiliki beberapa sub sektor diantaranya sub sektor perkebunan. Di dalam sub sektor perkebunan itu sendiri, masih terbagi lagi dalam berbagai komoditi, diantaranya kelapa, kelapa sawit, karet, kakao, kopi, cengkeh dan lain-lain. Tabel 4.1. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Tanaman Perkebunan Kakao Kabupaten Morowali Menurut Kecamatan Tahun 2010 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kecamatan Menui Kepulauan Bungku Selatan Bahodopi Bungku Tengah Bungku Barat Bumi Raya Witaponda Lembo Mori Atas Mori Utara(*) Petasia Soyo Jaya Bungku Utara Mamosalato Total rata-rata kecamatan
Luas (Ha) 159 1.043 1.191 2.008 1.011 1.265 867 1.788 1.925 …… 1.901 1.269 408 357 15192 1169
Produksi kakao kering (Ton) 19,00 672,80 340,00 639,00 360,00 559,80 366,60 617,40 596,00 ……. 821,80 501,20 435,00 20,10 5948,70 457,59
Produktivitas (Kg/Ha) 119,50 645,06 285,47 318,23 356,08 442,53 422,84 345,30 309,61 …….. 432,30 394,96 1066,18 56,02 5194,36 391,57
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Morowali Catatan*) : Data masih gabung dengan kecamatan induknya (Mori Atas)
19
Salah satu komoditi perkebunanan unggulan Kabupaten Morowali adalah kakako. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 4.1. dimana keempatbelas kecamatan yang berada di Kabupaten Morowali semuanya memiliki perkebunan kakao yang dikekola oleh masyarakat atau perkebunan rakyat. Dari Tabel 4.1., terlihat bahwa rata-rata kecamatan di Kabupaten Morowali pada tahun 2010 memiliki perkebunan kakao seluas 1.169 Ha dengan produksi 457,59 ton. Setiap kecamatan memiliki luas perkebunan kakao yang berbeda-beda, demikian juga dengan hasil produksi dan produktivitasnya. Banyak hal yang dapat mempengaruhi produksi dan produktivitas dari perkebunan kakao diantaranya perbedaan tingkat kesuburan tanah, perbedaan umur tanaman kakao (belum menghasilkan, menghasilkan dan tidak menghasilkan atau rusak), serangan hama dan perubahan iklim. Perkebunan kakao terluas bereda di Kecamatan Bungku Tengah yaitu 2.008 Ha atau 13,22% dari total luas perkebunan kakao Morowali tahun 2010, berikut kecamatan Mori Atas 1.925 Ha (12,67%) sebelum pemekaran Kecamatan, dan Kecamatan Petasia 1.901 Ha (12,51%). Kecamatan yang memiliki luas perkebunan kakao paling sedikit adalah Kecamatan Menui Kepulauan yaitu 159 Ha atau hanya 1,05% dari luas perkebunan kakao Kabupaten Morowali. Produksi terbesar pada tahun 2010 berasal dari Kecamatan Petasia sebesar 821,80 Ton atau menyumbang 13,81% total produksi kakao Kabupaten Morowali, berikut Kecamatan Bungku Selatan dengan produksi 672,80 ton (11,31%). Kecamatan yang kontribusinya paling sedikit adalah Kecamatan Mamosalato (0,34%) dan Menui Kepulauan (0,32%). Produktivitas perkebunan kakao di tingkat Kecamatan pada tahun 2010 cukup bervariasi dengan 391,57 kg/Ha. Banyaknya masalah seperti keterbatasan biaya produksi, perubahan iklim, penyakit dan hama yang dihadapi petani dalam pengolahan perkebunan kakao di berbagai Kecamatan di Kabupaten Morowali membuat produktivitas perkebunan pun bervariasi. Walaupun satu Kecamatan
20
memiliki perkebunan kakao yang lebih luas, tetapi jika dibandingkan dengan kecamatan lain produktivitas Kecamatan tersebut justru lebih rendah (Tabel 4.1.). Kecamatan Bungku Utara yang luas perkebunanya mecapai 2.008 Ha, tingkat produktivitasnya hanya 318,23 kg/Ha. Demikian juga dengan Kecamatan Mori Atas yang produktivitasnya hanya 309,61 kg/Ha dengan luas areal perkebunan 1.925 Ha. Lain halnya dengan Kecamatan Bungku Selatan yang memiliki luas perkebunan 1.043 Ha atau hampir seribu hektar lebih sedikit dari Kecamatan Bungku Utara dan Mori Atas justru produktivitasnya dua kali lebih besar dari kedua kecamatan tersebut yakni 645,06 kg/Ha. Dari semua Kecamatan yang ada di Kabupaten Morowali, Kecamatan yang memiliki produktivitas perkebunan kakao paling tinggi adalah Kecamatan Bungku Utara yaitu 1.066,18 kg/Ha dengan lahan perkebunan hanya 408 Ha. Sedangkan Kecamatan dengan produktivitas perkebunan kakao terendah adalah Kecamatan Mamosalato dengan luas perkebunan 357 Ha dan produktivitasnya hanya 56,02 kg/Ha. Secara keseluruhan pada tahun 2010, produktivitas perkebunan kakao Kabupaten Morowali yang rata-rata 391,57 kg/Ha masih lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas perkebunan kakao Sulawesi Tengah yaitu 832,51 kg/Ha. Produksi atau hasil dari suatu usaha pertanian dalam hal ini produksi komoditi kakao, akan dijadikan sebagai suatu patokan apakah komoditi kakao memiliki potensi untuk diusahakan dan dikembangkan sebagai komoditi unggulan di Kabupaten Morowali. Secara keseluruhan luas dan produksi perkebunan kakao Kabupaten Morowali dari tahun 2007- 2010 dapat dilihat pada Tabel 4.2.
21
Tabel 4.2. Luas, Produksi dan Produktivitas Tanaman Perkebunan Kakao Kabupaten Morowali Tahun 2007-2010 Tahun
Luas (ha)
2007 11.742 2008 11.81 2009 13.84 2010 15.192 Rata-rata 13.146 Sumber: BPS Kabupaten Morowali
Produksi Biji Kakao Kering (ton) 5489.09 5535.16 6383.79 5948.7 5,839.16
Produktivitas (Kg/Ha) 467.47 468.68 461.26 391.56 447.25
Dari tahun ke tahun luas perkebunan kakao di Kabupaten Morowali terus mengalami peningkatan dengan rata-rata produksi 5.839,16 ton per tahun. Dengan bertambahnya luas perkebunan kakao dari tahun ke tahun, maka diharapakan produksi dan produktivitasnya akan ikut meningkat. Dari Tabel 4.2. dapat dilihat bahwa pada tahun 2010 produksi dan produktivitas kakao mengalami sedikit penurunan. Namun tahun sebelumnya yaitu tahun 2007-2009 produksi kakao terus meningkat. Pada tahun 2009 produksi kakao mengalami peningkatan sebesar 848,67 ton atau meningkat 13,29% dari tahun 2008. Jika dilihat dari produktivitas, tahun 2007-2010 produktivitas perkebunan kakao cenderung stabil dengan rata-rata 447.25 kg/Ha. Apabila dibandingkan dengan produktivitas Kakao Sulawesi Tengah dengan rata-rata 696,62 kg/Ha, produktivitas perkebunan kakao Kabupaten Morowali masih rendah. Dari Tabel 4.2. tentunya memberikan gambaran bahwa luas dan produksi komoditi kakao di Kabupaten Morowali semakin maningkat dan memiliki peluang atau potensi untuk terus dikembangkan sebagai salah satu komoditi unggulan, menjadi sumber pendapatan dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
22
4.1.1. Usaha Perkebunan Kakao di Desa Peleru Usaha pertanian yang dikelola oleh masyarakat di setiap kecamatan (Tabel 4.1.) adalah komoditi kakao. Kecamatan penghasil kakao tersebut diantaranya adalah Kecamatan Mori Utara. Kecamatan yang baru terbentuk pada tahun 2009 dan merupakan hasil pemekaran dari kecamatan Mori Atas ini, berada di sebelah Barat Kabupaten Morowali dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Poso. Luas perkebunan kakao di Kecamatan Mori Utara yang tersebar di delapan Desa pada tahun 2011 mencapai 589,75 Ha dengan produktivitas lebih tinggi dari rata-rata Kabupaten dan Propinsi yaitu 800 kg/Ha atau sama dengan 471,8 ton per tahun (BPK kecamatan Mori Utara). Selanjutnya, dari data BPK (Badan Penyuluhan Kecamatan) kecamatan Mori Utara, luas perkebunan kakao terbesar berada di Desa Peleru yaitu 570,4 Ha atau 96,7% dari luas perkebunan kakao di Kecamatan Mori Utara. Tanaman kakao memiliki habitat di lingkungan hutan tropis, tanah yang lembab dengan naungan yang cukup. Kakao akan berproduski secara maksimal apabila di lingkungan atau iklim yang tepat seperti cukupnya ketersediaan air dan hujan yang relatif merata di sepanjang tahun. Desa Peleru memiliki potensi dan iklim yang cocok untuk pertumbuhan tanaman kakao. Sebagian besar pekebunan kakao petani berada di lembah sepanjang Sungai Kuse. Kondisi tanah yang lembab dan ketersediaan air yang cukup membuat lokasi ini sangat cocok untuk perkebunan kakao. Sebagian besar penduduk Desa Peleru memiliki lahan dan mata pencaharian sebagai petani kakao. Inilah yang membuat Desa Paleru menjadi salah satu kantong penghasil komoditi kakao di Kecamatan Mori Utara. Keseharian petani dijalani dengan mengolah dan memelihara perkebunan kakao yang merupakan lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan terbesar petani. Dari 30 responden, rata–rata
23
petani di Desa Peleru memiliki luas perkebunan kakao sebesar ≤ 2 Ha (86.67%) dengan lama bertani rata-rata 10-20 tahun (70%). Budidaya, pemeliharaan dan produksi tanaman kakao yang dilakukan oleh petani berskala perkebunan rakyat di Desa Peleru dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Penanaman Sebelum dilakukan penanaman tentunya yang terpenting adalah ketersediaan bibit dan lahan dengan luas tertentu yang sudah siap untuk ditanami. Biji kakao yang dijadikan sebagai bibit adalah biji kakao yang berasal dari buah terpilih dari pohon kakao yang telah ada sebelumnya. Sebelum ditanam, terlebih dahulu dilakukan pembibitan, baik menggunakan polibek berukuran kecil maupun di lahan yang suduah disiapkan khusus untuk pembibitan. Setelah bibit kakao berumur kurang lebih tiga sampai enam bulan, bibit tersebut dipindakah ke lahan perkebunan dengan jarak tanam 3x3 meter. Petani melakukan penanaman kakao secara berkala sesuai dengan ketersediaan bibit dan luas lahan yang siap ditanami. Dari hasil wawancara lapangan, hanya 23.33% petani responden yang mengetahui jenis kakao yang mereka tanam yaitu jenis trinitario/hibrida sedangkan 76.67% responden lainya menjawab tidak mengetahui jenis kakao yang mereka tanam. Kakao yang ditanam petani jenisnya sudah bercampur, hal ini terjadi karena bibit yang digunakan adalah bibit lokal yang berasal dari pohon kakao yang ditanam sebelumnya, baik dari kerabat sesama petani atau milik petani itu sendiri. 2. Pemupukan Pemupukan dilakukan untuk menyuburkan dan mengembalikan unsur hara pada tanah sehingga meningkatkan dan merangsang pertumbuhan tanaman kakao baik batang, daun dan buah. Umur tanaman kakao petani responden
24
Desa Peleru yang berumur ≤ 10 tahun sebesar 16.67% dan 76.67% berumur 10-20 tahun sedangkan umur diatas duapuluh tahun hanya 6,67%. Umur tanaman kakao ini merupakan umur produktif sehingga Pengunaan pupuk sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitasnya. Jenis pupuk yang digunakan petani adalah pupuk urea dan beberapa pupuk lainya seperti TSP, KCL dan NPK. Skala penggunaan pupuk urea lebih besar daripada pupuk lainya dan terkadang pula petani mencampur jenis tersebut dengan pupuk urea. Pemupukan dilakukan satu kali dalam setahun dengan rata-rata penggunaan pupuk urea sebanyak 208 kg/Ha. 3. Penyemprotan Penyemprotan dilakukan untuk mengatasi dan membasmi hama serta penyakit yang menyerang tanaman kakao. Dari tahun ke tahun hama dan busuk buah ditambah dengan iklim yang tidak menentu semakin membuat resah para petani. Berbagai jenis hama pengganggu pada pertumbuhan dan pada produksi kakao adalah hama PBK (penggerek buah kakao), penggerek daun, dan batang. Masalah lain adalah timbulnya penyakit seperti hitam buah yang diakibatkan curah hujan yang terlalu tinggi, mati pucuk dan serangan jamur batang yang dapat menyebabkan matinya pohon kakao. Berbagai upaya dilakukan oleh para petani untuk mengatasi hal tersebut khususnya pada serangan hama. Pemberantasan hama dilakukan dengan melakukan penyemprotan pestisida. Rata-rata petani atau 96.67% petani responden melakukan penyemprotan dua kali dalam sebulan. Janis pestisida yang digunakan petani cukup bervariasi seperti Vigor, Unisait, Nordoks, Akodag, Sidametrin, Capture, Kloromit, Topplus dan lain-lain. Dalam satukali penyemprotan petani mencampurkan 2-3 jenis pestisida dengan skala 1/2-1 liter setiap jenis pestisida, sehingga total penggunaan pestisida
25
dalam satu kali penyemprotan berkisar 1-2 liter. Karena kebutuhan tanaman akan pupuk cukup tinggi dan juga tujuan untuk meningkatkan produksi maka terkadang dalam penyemprotan hama, petani juga mencampurkan pestisida dengan pupuk cair perangsang pertumbuhan daun dan buah seperti Ronsaid dan Agrodite. 4. Penyiangan Penyiangan diperlukan untuk menjaga lahan perkebunan tetap bersih dan bebas dari gulma atau rumput yang akan mengganggu pertumbuhan kakao seperti akan terbaginya makanan dengan rumput liar. Pada saat kakao menghasilkan buah, penyiangan dilakukan untuk menghindari hama tikus dan pemakan buah lainnya. Seiring dengan kemajuan teknologi, jika dahulu penyiangan dilakukan dengan arit, tenaga kerja dan waktu yang panjang, maka sekarang dengan alat-alat pertanian modern seperti mesin pemangkas dan herbisida yang digunakan dengan tangki penyemprot, sangat membantu petani untuk mengusahakan lahan pertanian secara efisien. 5. Pemangkasan Walaupun pada awal penanaman tanaman kakao harus memiliki naungan (pelindung), tetapi setelah pohon itu bertumbuh besar dan lebat maka tanaman pelindung tersebut tahap demi tahap harus dikurangi. Seiring dengan hal itu, kerimbunan dari daun atau cabang kakao harus diatur dengan pemangkasan cabang yang terlalu rimbun dan tunas air yang dianggap mengganggu pertumbuhan kakao. Pemangkasan dilakukan agar tanaman mendapatkan intensitas cahaya yang cukup secara keseluruhan sehingga dapat menghasilkan buah atau berproduksi secara maksimal.
26
6. Panen Buah kakao memiliki warna yang cukup beragam. Warna kakao yang pada waktu muda berwarna hijau, setelah masak akan berwarna kuning. Sedangkan jenis lain, yang awalnya berwarna merah setelah masak akan berwarna oranye. Apabila buah tersebut sudah masak maka petani melakuakn pemetikan buah (panen). Buah kakao yang telah dipetik tersebut akan dikumpulkan di salah satu tempat (biasanya ditumpuk dipinggir kebun) kemudian dilakukan pemeraman buah maksimal satu minggu agar kematangan buah kakao merata. Namun petani responden tidak melakukan proses pemeraman buah tersebut, akan tetapi langsung melakukan pemecahan buah. Pemecahan buah dapat dilakukan menggunakan beberapa alat diantaranya pisau, golok dan sepotong kayu yang bertujuan untuk memisahkan biji dari kulit kakao, kemudian dimasukan kedalam karung dan langsung diangkut ke rumah petani. Panen buah kakao di Desa Peleru dilakukan dalam dua musim, petani menyebutnya dengan musim panen raya dan panen antara (panen semester). Musim panen raya dilakukan antara bulan April sampai Juni sedangkan panen semester dilakukan antara bulan Agustus sampai November. Intensitas panen raya pada petani responden Desa Peleru ≥ 5 kali (60%) dan 3-4 kali (40%), sedangkan untuk panen antara ≥ 5 kali (70%) dan 3-4 kali (23,3%) dalam setahun. Rata–rata dalam bualan-bulan panen, baik panen raya maupun panen semester adalah dua kali pemanenan dalam sebulan (panen setiap dua minggu sekali). 7. Penjemuran Setelah biji kakao yang sudah di panen diangkut ke rumah petani, kakao tersebut dibiarkan berada di dalam karung selama 2-3 hari dengan tujuan mengurangi kandungan air dari biji yang basah, kemudian biji kakao
27
dikelurakan dari karung dan siap dijemur. Tempat penjemuran yaitu di balaibalai yang terbuat dari bambu, namun penjemuran ditempat ini sudah jarang dilakukan petani karena petani lebih memilih menjemur di daerah lapang halaman rumah dengan menggunakan karoro (tikar atau jaring penjemuran). Lama penjemuran biji kakao sampai kering yaitu 3-4 hari bahkan bisa lebih, tergantung pada cuaca atau sinar matahari. Penjemuran juga dapat dilakukan dengan menggunakan mesin khusus pengering biji kakao. Namun sampai sekarang belum ada petani responden yang memiliki dan menggunakan mesin pengering tersebut. Setelah biji kakao kering, petani melakukan pengemasan di dalam karung goni dan biji kakaopun siap untuk dijual.
Pengolahan komoditi kakao di Desa Peleru masih terbilang sederhana serta kurang memperhatikan standar dan mutu yang baik. Sistem pengolahan kakao petani masih sebatas panen, jemur sampai dianggap kering lalu dijual. Sedangkan untuk menghasilkan komoditi kakao yang berkualitas diperlukan pengolahan yang lebih teliti. Beberapa proses pengolahan masih dilewatkan oleh para petani seperti proses fermentasi atau pemeraman dengan tujuan melepas lendir-lendir yang melekat pada biji dan menambah aroma khas biji kakao, belum melakukan pencucian yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan lendir yang masih melekat pada biji, serta sortasi (membersikan kotoran dan memisahkan biji yang baik dan yang kurang baik). Dengan intensitas dua kali panen dalam sebulan, maka panen raya petani sebanyak 4-6 kali dan panen antara sebanyak 4-8 kali dalam satu tahun. Perbedaan intensitas panen baik panen raya dan panen semester antara responden tergantung dari produktivitas perkebunan kakao masing-masing responden dan juga karena dipengaruhi oleh cara pemeliharaan seperti pemberian pupuk, pemangkasan,
28
kebersihan lahan dan penyemprotan hama. Total hasil produksi kakao kering ratarata untuk panen raya dan panen semester petani responden adalah 1,6 ton per tahun. Usaha pertanian kakao tentunya berkaitan erat dengan sarana produksi (saprodi) sebagai pendukung berjalannya usaha perkebunan tersebut. Sarana produksi yang digunakan diantaranya pupuk, pestisida, dan alat-alat pertanian. Pupuk dan pestisida diperoleh petani dari kelompok tani, kios-kios lokal dan pasar Kecamatan. Pupuk yang digunakan oleh petani adalah pupuk urea dengan harga Rp. 100.000/50 kg (tahun 2011) dan beberapa pupuk lainnya seperti TSP, KCL dan NPK. Sedangkan pestisida yang digunakan oleh petani cukup beragam dan harganyapun bervariasi (Tabel 4.3.). Tabel 4.3. Daftar Jenis, Fungsi dan Harga Pestisida No. Pestisida 1 Vigor 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Fungsi Harga /botol (RP) Untuk membasmi hama penggerek buah, 75.000 batang dan daun pada tanaman kakao. Unisait Untuk membasmi hama penggerek buah, 75.000 batag dan daun pada tanamn kakao. Nordoks Mencegah jamur dan hitam buah kakao. 125.000 Alika Membasmi serangga, ulat penggerek 50.000 batang, daun dan buah kakao. Akodan Untuk membasmi hama penggerek buah, 85.000 batang dan daun pada tanaman kakao. Capture Mencegah serangan hama pengerek dan 75.000 mencegah busuk buah. Kloromit Untuk membasmi hama semut. 130.000 Seprint Untuk mencegah serangan Hama 50.000 penggerek batang, daun dan buah kakao. Sidametrin Untuk memberantas ulat atau hama 30.000 penggerek tanaman kakao. Topplus Perangsang buah. 35.000 Ronsaid Perangsang buah. 10.000
Sumber: Data Primer
29
Selain pupuk dan pestisida, sarana produksi yang juga digunakan dalam pengolahan perkebunan kakao adalah alat-alat pertanian. Sebagian besar petani kakao sudah menggunakan alat pertanian yang moderen seperti mesin pemangkas, gunting buah dan lain-lain. Beberapa alat pertanian yang digunakan oleh petani kakao di Desa Peleru dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Alat-Alat Pertanian Yang Digunakan Petani Serta Fungsinya di Lahan Perkebunan Kakao No. Alat Pertanian 1 Arit 2 Cangkul 3 4
Gerobak Dorong Golok (Parang)
7
Grobak menggunakan tenaga sapi (roda)
8
Gunting Buah/Daun/Ranting
9
Pemetik Buah (Poncada)
Fungsi/ Kegunaan Untuk penyiangan Untuk penggali lubang dalam penanaman kakao serta penggalian saluran air di lahan perkebunan. Sebagai alat pengangkut buah kakao saat panen. Untuk penyiangan dan digunakan pula untuk memisahkan biji kakao dari kulitnya (Pemecahan buah). Sebagai alat transportasi petani ke lahan perkebunan dan sebagai alat pengangkut biji kakao dari perkebunan ke rumah petani. Untuk memetik buah dan pemangkasan ranting kakao Alat pertanian kakao mirip angka 7 yang disambungkan pada sebatang bambu dengan panjang tertentu. Berfungsi untuk pemetik buah dan alat pemangkas dahan kakao. Untuk menjemur biji kakao yang masih basah.
10
Jaring Penjemuran ( Karoro)
11
Terpal
Untuk menjemur biji kakao yang sudah setengah kering.
10
Karung goni
11
Mesin Pemangkas Rumput
Untuk menyimpan biji kakao setelah dipanen serta biji kakao yang sudah kering dan siap dijual. Untuk alat pemangkas rumput di lahan perkebunan kakao.
13
Tangki Penyemprot
Untuk penyemprotan rumput dan juga hama pada perkebunan kakao.
Sumber: Data primer Petani kakao tidak semua mengerjakan proses pengolahan perkebunan kakaonya seorang diri. Untuk proses produksi, dibutuhkan tenaga kerja untuk kegiatan penyemprotan, pemangkasan, pemupukan, panen dan pengangkutan.
30
Tenaga kerja tersebut berasal dari dalam keluarga (anggota keluarga) maupun tenaga kerja dari luar keluarga (jasa tenaga kerja). Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Produksi Perkebunan Kakao Petani Desa Peleru No.
Proses Produksi
Jumlah dan Presentase Responden Hanya dari Hanya dari Dari dalam Total dalam kel luar kel dan luar kel jumlah % Jumlah % Jumlah % jumlah % 1 Penanaman 30 100 30 100 2 Pemupukan 13 43 9 30 8 27 30 100 3 Penyemprotan 13 43 8 27 9 30 30 100 4 Penyiangan 18 60 8 27 4 13 30 100 5 Pemangkasan 16 53 8 27 6 20 30 100 6 Panen 6 20 14 47 10 33 30 100 7 Pengangkutan 18 60 12 40 30 100 8 Penjemuran 30 100 30 100 Sumber: Data Primer Dalam proses produksi perkebunan Kakao, petani pemilik perkebunan terkadang mengerjakan sendiri proses pengolahan karena dipengaruhi beberapa faktor seperti keterbatasan biaya dan lahan pertanian yang tidak terlalu luas sehingga dapat di kerjakan sendiri oleh petani tersebut. Dapat dilihat pada Tabel 4.5. dimana proses penanaman kakao di lahan pertanian dan proses penjemuran, dilakukan oleh tenaga kerja (TK) hanya dari dalam keluarga dengan presentase 100 % yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang terkadang ikut membantu. Namun berbeda halnya dengan beberapa proses produksi yang membutuhkan bantuan tenaga kerja dari luar keluarga seperti untuk proses pemupukan yang walaupun hanya dilakukan satu tahun sekali, petani yang menggunakan TK dari dalam keluarga sebesar 43%, TK dari luar keluarga 30% dan yang menggunakan TK dari dalam dan dari luar keluarga presentasenya sebesar 27%. Untuk penyemprotan, petani yang menggunakan TK hanya dari dalam keluarga 43%, TK hanya dari luar keluarga 27% dan responden yang menggunakan TK dari dalam dan luar keluarga
31
berjumlah 30%. Untuk proses penyiangan, sebagian besar petani menggunakan TK hanya dari dalam keluarga yaitu sebesar 60%, sedangkan sisanya TK hanya dari luar keluarga sebnyak 27% dan 13% lainnya menggunakan TK dari dalam dan luar keluarga. Proses pemangkasan, yang menggunakan TK hanya dari dalam keluarga yaitu sebanyak 53%, yang menggunakan TK hanya dari luar keluarga 27% sedangkan TK dari dalam dan luar keluarga 20%. Proses panen merupakan proses yang cukup lama dan membutuhkan banyak tenaga kerja dari luar keluarga. Responden yang menggunakan TK hanya dari dalam keluara pada proses panen 20% saja sedangkan 47% lainnya menggunakan TK hanya dari luar keluarga serta yang menggunakan TK dari dalam dan luar keluarga sebanyak 33% responden. Untuk proses pengangkutan 60% petani responden memilih mengangkut sendiri kakao yang telah di panen (menggunakan TK hanya dari dalam keluarga) sedangkan 40% lainnya memakai TK hanya dari luar keluarga. Sebagian besar masyarakat Desa Peleru adalah petani kakao, sehinga selain kepala keluarga (bapak), ibu rumah tangga atau TK wanita juga ikut membantu dalam beberapa proses produksi walaupun presentasenya sangat kecil. Proses yang menggunakan tenaga kerja wanita adalah proses pemupukan yaitu 13% (masuk dalam data TK dari dalam keluarga Tabel 4.5.) dan dalam proses panen sebanyak 23% responden menggunakan TK wanita dari dalam keluarga (ibu rumah tangga) dan 43% lainnya menggunakan TK dari luar keluarga.
32
Tabel 4.6. Rata- Rata Penggunaan Tenaga Kerja dan Jumlah Hari Kerja Menurut Jenis Kelamin untuk Proses Produksi Kakao di Desa Peleru Rata-rata jumlah TK No.
Proses produksi
TK dalam kel P W
TK dari luar kel P W
Rata-rata jumlah HK TK dalam kel P W
TK dari luar kel P W
1
Penanaman
1
-
-
-
-
-
-
-
2
Pemupukan
1
1
2
-
3
3
3
-
3
Penyemprotan
1
-
2
-
3
-
2
-
4
penyiangan
1
-
2
-
7
-
4
-
5
Pemangkasan
1
-
2
-
9
-
6
-
6
Panen
1
1
3
3
3
3
3
3
7
Pengangkutan
1
-
1
-
1
-
1
-
8
Penjemuran
1
1
-
-
-
-
-
-
Sumber: Data Primer Tabel 4.6. dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Penanaman: Petani melakukan penanaman di lahan perkebunannya dengan hari dan waktu kerja yang fleksibel atau berkala, hal ini dilakukan sesuai ketersediaan lahan dan bibit yang siap ditanam. 2) Pemupukan: Selain menggunakan dua orang TK (ayah,ibu) dari dalam keluarga dengan tiga hari kerja (HK), jumlah TK yang dibutuhkan dari luar keluarga dalam satukali pemupukan rata-rata dua orang TK dengan tiga HK. 3) Penyemrpotan: Rata-rata penggunaan TK pada proses penyemprotan yang berasal dari luar keluarga adalah dua orang dengan dua HK. Pada proses penyemprotan ini, pemilik kebun ikut bekerja namun waktu kerjanya lebih lama yaitu rata-rata tiga HK. 4) Penyiangan: Untuk penyiangan dengan luas lahan ≤ 2 Ha, petani menyewa rata-rata dua orang TK dari luar keluarga dengan empat HK, sedangkan petani responden lainya yang tidak menyewa tenaga kerja menghabiskan waktu kerja selama satu minggu untuk proses penyiangan. 5) Pemangkasan: Dalam pamangkasan, petani
33
responden menggunakan rata-rata dua orang TK dari luar keluarga dengan rata-rata enam HK. Apabila petani hanya melakukan pemangkasan dengan tenaga sendiri, maka jumlah hari kerja yang dibutuhkan lebih panjang yakni sembilan HK. 6) Panen: Proses panen ini membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan proses-proses sebelumnya. Untuk satu kali panen, petani menyewa rata-rata tiga orang TK pria dari luar keluarga dan tiga orang TK wanita, ditambah dengan anggota dalam keluarga petani itu sendiri dengan rata-rata tiga HK per satukali panen. Dalam proses pemanenan buah kakao, TK pria bertugas untuk memetik buah sedangkan wanita sebagai tenaga pemecah buah kakao. Namun tidak jarang TK pria juga ikut melakukan proses pemecahan buah. 7) Pengangkutan: Pada hari panen pertama, kedua dan ketiga, biji kakao langsung diangkut sendiri oleh petani pemilik perkebunan pada hari itu juga dengan menggunakan gerobak atau sepeda motor atau oleh tenaga kerja pria dengan cara dipikul (ndalembara). Selain itu, ada beberapa petani yang menggunakan jasa pengangkutan gerobak dengan biaya Rp. 20.000- Rp. 25.000 per karung. Rata–rata petani responden maupun tenaga kerja lainya mulai bekerja di perkebunan kakao dari pukul 08.0016.00 WITA (8 jam per HK). Upah rata-rata tenaga kerja baik upah penyemprotan, pemupukan, penyiangan dan panen adalah Rp. 40.000/ HK. Berbagai persoalan atau masalah yang sering di hadapi oleh para petani dalam hal pengolahan dan produksi perkebuan kakao seperti keterbatasan modal, sumber daya manusia (SDM) dan serangan hama. Usaha pertanian perkebunan kakao membutuhkan modal sebagai biaya operasional produksi. Dengan modal yang cukup, petani dapat membiayai keperluan usaha seperti pengadaan saprodi (alat-alat pertanian, pupuk, pestisida, dan upah tenaga kerja). Modal yang digunakan petani responden untuk membiayai operasional produksi diperoleh dari hasil penjualan biji kakao. Terbatasnya akses modal oleh petani baik dari lembaga kauangan Bank dan
34
lembaga pinjaman lainya membuat petani harus membagi pendapatan dari hasil penjualan biji kakao untuk kebutuhan pokok sehari-hari dengan biaya operasional produksi. Keterbatasan akses modal ini, disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan pemahaman petani mengenai akses peminjaman modal di bank, sehingga petani enggan untuk meminjam modal. Saat terjadi penurunan produksi bahkan saat gagal panen pada tanaman kakao, petani membiayai operasinal pertanian seadanya saja (megurangi pupuk dan jumlah pestisida), petani kadang menempuh cara lain seperti mengutang saprodi (sarana produksi) pada pembeli (pengumpul biji kakao) yang akan dilunasi setelah memperoleh hasil panen kakao. Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu komponen penting dalam pengolahan perkebunan yang baik. Pengetahuan dan informasi yang diperoleh petani Desa Peleru mengenai pengolahan perkebunan kakao masih sangat sedikit sehinga cara budidaya tanaman kakao yang dipraktekan petani hanya berdasarkan pengalaman dan informasi dari sesama petani dan dari pembeli kakao. Keterbatasan ini juga dikarenakan masih kurangnya pelatihan, seminar-seminar dan sosialisai pertanian yang diberikan oleh pemerintah atau instansi terkait lainya. Belum maksimalnya kinerja Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) yang ditempatkan disetiap desa dalam memberikan pendampingan bagi petani, khususnya petani kakao. Akibatnya petani tidak dapat berbuat banyak selain mengandalkan pengetahuan dan informasi terbatas yang mereka miliki dalam mengolah perkebunan kakao tersebut. Dalam pertanian kakao, masalah terbesar petani adalah serangan hama. Serangan hama sangat merugikan petani karena akan menyebabkan menurunnya hasil produksi. Hama yang menyerang perkebunan petani diantaranya hama penggerek batang dan daun yang menyebabkan daun dan batang kakao menjadi rusak dan bahkan mati. Hama pengerek buah juga menjadi musuh terbesar petani, karena akan menyebabkan busuk dan kangker buah sehingga produksi dapat
35
menurun drastis. Selain itu, jamur batang dan mati pucuk juga dapat membuat pohon kakao akan perlahan-lahan mati. Cuaca yang tidak menentu, seperti curah hujan yang terlalu tinggi membuat buah kakao yang masih muda menjadi hitam dan akhirnya petani akan mengalami gagal panen. Berbagai upaya dilakukan petani untuk mengatasi masalah ini seperti melakukan pemangkasan pucuk yang telah mati, peremajaan kembali, dan penyemprotan perstisida yang tetap dilakukan walaupun dengan harga pestisida yang cukup mehal bagi petani.
4.2. Pemasaran Setelah melalui proses produksi yang cukup panjang mulai dari penanaman, pemeliharaan, pemetikan dan penjemuran, petani memperoleh output atau hasil dari usaha pertanian tersebut berupa biji kakao kering. Biji kakao kering dikemas dengan baik di dalam karung goni kemudian siap untuk dijual. Sebanyak 93,33% petani responden menggunakan sistem penjualan langsung ke rumah pembeli, sedangkan hanya 6,66% saja yang didatangi oleh pembeli. Alat transportasi dan angkutan yang digunakan oleh petani dalam penjualan kakao adalah sepeda motor (66,7 %), gerobak yang ditarik oleh sapi (13,3 %), sedangkan sisanya menggunakan mobil dan tenaga manusia (dipikul). Ada beberapa jenis pedagang kakao diantaranya pengumpul (tengkulak), kelompok tani, pedagang antar kecamatan, pedagang antar kabupaten, dan pedagang antar pulau (eksportir antar pulau). Pengumpul adalah pedagang yang langsung membeli kakao di rumah-rumah petani dan kemudian kembali menjualnya kepada pengumpul tingkat kecamatan bahkan ke pedagang tingkat kabupaten. Harga beli yang ditetapkan oleh pengumpul tersebut cukup bervariasi. Kelompok tani, adalah kelompok yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat dan beranggotakan para petani kakao dengan jumlah anggota tertentu. Tujuan utama dibentuknya kelompok
36
tani atau organisasi tani ini adalah untuk menjadi lembaga musyawarah dan diskusi bagi petani mengenai masalah-masalah dalam pertanian kakao. Selain itu, tujuan dibentuknya kelompok tani di Desa Peleru yaitu untuk membendung masuknya tengkulak atau pedagang baru dari luar desa yang dianggap merugikan pengumpul lokal yang telah lama bekerja sama dengan petani. Terbentuknya organisasi petani (kelompok tani) akan mempermudah penyaluran bantuan dari pemerintah dan mempermudah petani dalam penyediaan saprotan (sarana produski pertanian). Sebanyak 56,66% petani responden menjual kakaonya kepada kelompok Tani, 36,66% menjual ke pengumpul biasa, dan hanya 6,66% yang menjual ke pedagang besar antar kabupaten. Di Desa Peleru, Penjualan kakao ke kelompok tani sama dengan penjualan ke pengumpul biasa (tengkulak), hal ini terjadi karena yang menjadi pembeli sebenarnya adalah pengumpul lokal yang merupakan anggota dan bahkan ketua dari kelompok tani tersebut. Namun demikian, ada perbedaan pengumpul biasa (pengumpul dari luar kelompok tani) dengan pengumpul lokal yang berada di dalam keanggotaan kelompok tani. Perbedaan tersebut diantaranya adalah penetapan harga. Harga beli pengumpul biasa lebih rendah karena berdasarkan harga di tingkat kecamatan, sedangkan harga pengumpul yang berasal dari kelompok tani cenderung lebih tinggi karena pengumpul tersebut berpatokan dari harga kakao pengumpul besar di tingkat kabupaten. Selain itu, kerjasama dan relasi yang baik yang sudah berlangsung cukup lama antara petani dengan pengumpul lokal, membuat petani lebih memilih untuk menjual komoditi kakaonya pada pengumpul lokal yang juga merupakan anggota kelompok tani daripada ke pengumpul biasa. Pengumpul tingkat kecamatan biasanya membeli langsung ke rumah-rumah petani dan juga dari para pengumpul biasa yang sudah menjalin relasi dengannya. Pengumpul tingkat kabupaten adalah pengumpul yang membeli kakao dari pedagang antar kecamatan dan juga dari pengumpul-pengumpul lokal di tingkat
37
desa. Pengumpul besar tingkat kabupaten menjual langsung ke pedagang antar pulau (ekportir antar pulau) dan bahkan langsung ke sektor industri pengolahan. Berikut digambarkan rantai pemasaran dan pelaku usaha dalam pertanian komoditi kakao di Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah (Gambar 4.1.). Model ini diadopsi dari model Kameo dkk tahun 2011 mengenai rantai nilai dan pelaku usaha komoditas kopi. Gambar 4.1. Rantai Pemasaran dan Pelaku Usaha Dalam Usaha Pertanian Kakao di Kabupaten Morowali
Di Desa Peleru dan Kabupaten Morowali bahkan di Sulawesi Tengah, belum tersedia sarana industri pengolahan kakao yang dapat mengolah biji kakao menjadi coklat bubuk, coklat cair, permen dan jenis olahan lainnya. Untuk itu sebagian besar pengumpul tingkat Kabupaten di Sulawesi Tengah menjual biji kakao ke eksportir antar pulau yang ada di Kota Palu. Sebagian kecil lainnya menjual ke industri pengolahan di Makasar Sulawesi Selatan. Menurut penelitian Tuti Millias tahun 2009 mengenai Analisis Permintaan Ekspor Biji Kakao Sulawesi Tengah Oleh Malaysia, tahun 2002 sebesar 77,61% biji kakao Sulawesi Tengah di ekspor ke luar negeri antara lain ke Malaysia dan beberapa negara lainnya (Tuty Millias 2009: 92).
38
Untuk mendapatkan harga yang tinggi sebelum dijual kembali, para pembeli atau pengumpul lokal hanya melakukan penjemuran kembali agar tingkat kekeringan kakao merata dengan standar kekeringan kadar air 7%. Pada pengumpul tingkat kabupaten, pembeli kembali melakukan penjemuran dan mencampur biji kakao yang dibeli dari beberapa pengumpul tingkat desa dan kecamatan agar kualitas kakao merata. Sampai pada eksportir barulah dilakukan penyortiran biji kakao yaitu dengan membersihkan kotoran yang masih bercampur dengan biji kakao dan memisahkan biji kakao berdasarkan bentuk dan tingkat kualitasnya. Keuntungan yang diperoleh pengumpul lokal berasal dari selisih harga kakao dengan harga pada pengumpul antar kabupaten yaitu Rp. 2.000/kg pada tahun 2011 dan beberapa tahun sebelumnya. Apabila harga pada pengumpul tingkat kabupaten sebesar Rp. 15.000/kg maka harga beli pengumpul lokal pada petani kurang lebih Rp. 13.000/kg atau 15% dari harga beli. Keuntungan bersih pengumpul lokal Rp. 1.500/kg karena Rp. 500/kg untuk biaya angkutan dan pemeliharaan kendaraan. Penetapan kualitas dan harga kakao sampai saat ini masih ditentukan oleh pembeli. Cara penetapan harga kakao adalah dengan mengukur dan melihat standar mutu pada kakao. Standar dan mutu tersebut berkaitan dengan kadar air (atau tingkat kekeringan), warna, dan kebersihan dengan menggunakan alat ukur tester (alat ukur kadar air). Walaupun di Desa Peleru 47% petani responden menjawab penentuan kualitas kakao menggunakan terster, namun langkah tersebut hanya sebagai formalitas yang terkadang dilakukan. Menurut pembeli dan 53% petani responden, cara pengukuran standar dan mutu kakao hanya dengan meraba dan melihat biji kakao tersebut. Hal ini dilakukan karena pembeli sudah berpengalaman dan sudah lama menggeluti jual beli kakao kering, sehingga hanya dengan meraba dan melihat maka pembeli sudah mengetahui tingkat kekeringan kakao tersebut. Penggunaan terster belum diterapkan secara serius karena menurut pembeli, petani
39
belum mengerti tentang penetapan standar kakao yang mengunakan tester dan banyaknya potongan yang akan dilakukan pembeli terhadap kakao yang dibeli sehingga menimbulkan keluhan dari petani. Permasalahan yang sering dihadapai petani dalam pemasaran adalah tidak menentunya harga (fluktuasi harga), yang kemudian akan menyebabkan pendapatan petani tidak menentu. Selain itu, sistem pembayaran dan jual beli kakao petani menggunakan sistem bayar tunai dan bukan sistem ijon. Sistem ijon adalah sistem bukingan harga berdasarkan kesepakatan bersama, yang dilakukan antara petani dan pembeli dalam rentang waktu tertentu sebelum kakao sampai ke tangan pembeli. Sebagai contoh, harga untuk kakao petani sudah ditetapkan untuk empat hari kedepan, ketika harga kakao hari kesepakatan (hari pertama) Rp. 20.000/kg maka harga pada saat penjualan kakao pada hari ke empat adalah Rp. 20.000/kg walaupun harga pada hari ke empat sudah naik menjadi Rp. 23.000/kg. Harga pada komoditi kakao sering berubah-ubah bahkan dalam satu minggu dapat terjadi dua kali perubahan harga. Untuk itu, informasi harga untuk petani sangat diperlukan. Kenyataan di lapangan bahwa 50% petani responden tidak mengetahui informasi harga minimal harga pedagang tingkat kabupaten. Informasi dan selisih harga yang diperoleh petani lainya hanya berasal dari sesama petani dan dari pengumpul lokal. Tabel 4.7. Harga Komoditi Kakao Bulan September 2011 di Kabupaten Morowali No
Komoditi
Sat
Harga bulan September 2011 Minggu I Minggu II Minggu II Minggu IV 1. Kakao Kg 17.000 18.000 19.000 19.000 Sumber: Dinas Perkebunan Kabupaten Morowali Dari Tabel 4.7. dapat dilihat bahwa harga kakao di tingkat kabupaten pada bulan September mengalami tiga kali perubahan. Walaupun dari minggu pertama sampai minggu kelima ada peningkatan harga dari Rp. 17.000 menjadi Rp. 19.000,
40
namun harga di tingkat petani pada waktu penelitian yaitu pertengahan bulan Desember sampai awal Januari mengalami penurunan sampai pada level Rp. 11.000- Rp. 14.000/ kg. Harga pada bulan ini menurut petani adalah harga terendah yang pernah mereka peroleh selama penjualan komoditi kakao.
4.3. Pendapatan Hasil dari usaha pertanian perkebunan kakao adalah biji kakao kering, yang kemudian dijual untuk memperoleh uang atau pendapatan yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan sebagai sumber dana operasional pengolahan perkebunan kakao selanjutnya. Sumber pendapatan terbesar petani responden adalah dari hasil perkebunan kakao. Selain perkebunan kakao, untuk memenuhi kebutuhan pangan, sebanyak 73,33% petani responden memiliki usaha pertanian lain seperti menanam palawija, padi ladang, padi sawah dan jagung. Harga- harga saprodi (sarana produksi) yang telah di jelaskan sebelumnya tentunya akan mempengaruhi pengeluaran dan pendapatan petani. Dari hasil perhitungan diperoleh total pengeluaran rata-rata petani resmponden baik pembelian pupuk, pestisida dan pengeluaran upah TK dapat dilihat pada Tabel 4.8. Tabel 4.8. Rata-Rata Pengeluaran Usaha Perkebunan Kakao Petani Desa Peleru Per Tahun No. 1 2 3 4
Pengeluaran
Pupuk Pestisida Upah Tenaga Kerja Lain-Lain Total Sumber: Data primer
Jumlah per tahun (Rp) 943.300 2.101.500 6.040.000 518.000 9.056.133
Dengan harga pupuk urea Rp.100.000 /50 kg ditambah dengan pengeluaran pupuk jenis lainya dengan penggunaan rata-rata 208 kg/Ha pupuk urea per tahun, maka total pengeluaran pupuk adalah Rp.943.300 per tahun. Sedangkan hasil
41
perhitungan dengan jenis dan harga pestisida yang bervariasi (Tabel 4.3.) maka ratarata pengeluaran pestisida Rp.2.101.500 per tahun. Pengeluaran terbesar petani dalam produksi perkebunan kakao adalah pengeluaran upah TK. Rata-rata pengeluaran petani responden pada upah TK mulai dari penyemprotan sampai pada pemetikan adalah Rp. 6.040.000 per tahun. Lain-lain pengeluaran berasal dari sewa angkutan kakao basah yang baru dipanen dari kebun menuju rumah petani dan hal ini hanya dilakukan oleh beberapa petani dengan upah Rp. 15.000- Rp. 25.000 per karung (tergantung jarak kebun ke rumah petani) dengan skala angkutan 5-10 karung kakao basah, maka rata-rata pengeluaran petani Rp. 518.000 per tahun. Dengan demikian rata-rata pengeluaran sarana produksi dan upah TK adalah Rp.9.056.133 per tahun. Dari total biaya produksi pada Tabel 4.8. maka diperoleh hasil rata-rata produksi komoditi kakao kering 1,6 ton per tahun. Selain karena faktor fluktuasi harga, perbedaan waktu penjualan, perbedaan kualitas biji kakao membuat pendapatan petani tidak menentu dan berbeda-beda antara petani satu dengan yang lainnya. Pada Tabel 4.9 dapat dilihat perhitungan pendapatan rata-rata, pendapatan perkapita petani responden dengan menggunakan kisaran harga saat penelitian di tingkat petani. Tabel 4.9. Perhitungan Pendapatan Rata-rata Petani Kakao Desa Peleru dan Pendapatan Perkapita Berdasarkan Harga Saat Penelitian N0.
1.
Variasi harga
Harga kakao saat penelitian Sumber: Data primer
Harga (Rp)
Pendapatan kotor/tahun (Rp)
Pendapatan Pendapatan bersih/tahun perkapita/tahun (Rp) (Rp)
12.767
20.430.922
11.347.789
2.967.336
42
Kisaran harga kakao saat penelitian di tingkat petani dengan rata-rata Rp.12.767/kg (Tabel 4.9.) dijadikan sebagai patokan untuk melihat atau memperkirakan pendapatan petani kakao per tahun. Dengan harga tersebut diperoleh rata-rata pendapatan bersih petani sebesar Rp.11.347.789 per tahun. Sedangkan untuk pendapatan perkapita petani yang diperoleh dari total pendapatan bersih dibahagi dengan total anggota keluarga responden maka diperoleh pendapatan perkapita Rp. 2.967.336 per tahun. Apabila dibandingkan dengan PDRB perkapita Kabupaten Morowali atas dasar harga berlaku tahun 2011 sebesar Rp. 21.846.250 (dengan migas) dan Rp. 17.343.642 (tanpa migas), maka pendapatan perkapita petani kakao Desa Peleru dengan rata-rata harga kakao Rp.12.767/kg, sangat rendah yaitu hanya Rp. 2.967.336 per tahun atau 13,58% dan 17,11% dari besar PDRB perkapita kabupaten (Tabel 4.9.). Demikian juga saat dilihat dari garis kemiskinan Kabupaten Morowali tahun 2010 yaitu Rp. 248.568 per bulan (Statistik Daerah Kabupaten Morowali, BPS Kabupaten Morowali 2011), pengeluaran perkapita per bulan petani Desa Peleru berada sedikit lebih rendah dibawah garis kemiskinan yaitu Rp. 247.278 (pendapatan perkapita petani dibagi 12 bulan). Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan karena menunjukan indikasi kemiskinan pada petani kakao. Dengan melihat hasil perhitungan dan perbandingan tersebut, maka diperlukan usaha yang lebih keras lagi dalam hal pengembangan, peningkatan produksi pertanian dari petani sebagai pelaku usaha perkebunan dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan melalui berbagai program budidaya tanaman kakao serta penetapan harga yang wajar untuk dapat mendorong peningkatan produksi, pendapatan dan kesejahteraan petani kakao. Pendapatan dari hasil penjualan biji kakao digunakan petani untuk modal produksi selajutnya, memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagai sumber
43
pembiayaan bagi sekolah anak. Sebagian besar anak-anak usia sekolah di Desa Peleru sudah dan sedang mengenyam pendidikan baik di tingkat SD, SMP, SMA dan bahkan ada yang sedang duduk di bangku kuliah. Namun jika dilihat secara keseluruhan dari hasil pengamatan dan perhitungan menunjukan bahwa sumbangan atau pendapatan petani dari perkebunan kakao, belum dapat mengangkat dan meningkatkan kesejahteraan petani kakao.