NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM TRADISI GREBEG MAULUD DI KRATON SURAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh : SANTOSO NIM. 11106108 JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA TAHUN 2010
i
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka Skripsi saudara: Nama
: Santoso
NIM
: 11106108
Jurusan
: Tarbiyah
Program Studi
: Pendidikan Agama Islam
Judul
: NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM TRADISI GREBEG MAULUD DI KRATON SURAKARTA
Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan. Salatiga, 7 Agustus 2010 Pembimbing
Drs. Juz’an, M.Hum NIP. 19611024 198903 1 00
iii
DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Stadion 03 Telp. (0298) 323 706, 323 433 Salatiga 50721 Website : www.stainsalatiga.ac.id E-mail :
[email protected]
PENGESAHAN KELULUSAN Skripsi Saudara Santoso dengan Nomor Induk Mahasiswa 11106108 yang berjudul Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Grebeg Maulud di Kraton Surakarta 2010 telah dimunaqosahkan dalam Sidang Panitia Ujian Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga pada Selasa, 31 Agustus 2010 dan telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I.). Salatiga, 21 Ramadhan 1431 H. 31Agustus 2010 M. Panitia Ujian Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
DR.Imam Sutomo, M.Ag NIP. 19580827 198303 1 002
Dr.Rahmat Haryadi.M.Pd NIP.1967011 2199203 1005
Penguji I
Penguji II
Drs.Mifhahuddin.MAg NIP. 19700922 199403 1 002
Muna Erawati.S.Psi,MSi NIP.19751218 199903 2002
Dosen Pembimbing
Drs. Djuz’an, M.Hum NIP. 19611024 198903 1 002 iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Santoso
NIM
: 11106108
Jurusan
: Tarbiyah
Program Studi
: Pendidikan Agama Islam
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga,9 Agustus 2010 Yang menyatakan,
Santoso
v
MOTTO ”Jadikanlah Hidup sebentarmu berguna dan bermanfaat,jangan pernah lupa siapa dirimu,ingat slalu akan tujuan hidupmu.
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada: Tuhan Yang Maha Esa Untuk Bapak dan Ibuku Sholikhin dan Kartini yang selalu memberikan do’a Kepada kakakku M. Syarifudin Dosen pembimbingku Drs. Djuz’an, M.Hum dan Dra Siti Asdikhoh.M.Si, serta Fatchurahman, M.Pd Sahabat-sahabatku, Eko, Lutfi dan kelas C PAI 2006 Teman spesialku yang selalu setia “menungguku”.
vii
KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim Dengan menyebut nama Allah dzat yang menguasai seluruh alam, puji dan syukur selalu atasnya, yang selalu memberikan rahmat dan hidayahnya kepada seluruh alam. Sholawat dan salam tercurah pada rasul pilihan dan seorang reformis dunia, Nabi Muhammad SAW. para keluarga, sahabat, serta para umat yang selalu berada dalam tuntunannya, dan selalu mengikuti beliau. Skripsi yang berjudul “Nilai-nilai pendidikan Islam dalam tradisi Grebeg Maulud di Kraton Surakarta” ini, diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam( S.PdI ) pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri ( STAIN ) Salatiga. Dalam skripsi ini, penulis akan memaparkan, bagaimana sejarah Tradisi Grebeg Maulud di Kraton Surakarta, Ritual apa saja yang terdapat dalam prosesi Grebeg Maulud di kraton Surakarta, Nilai-nilai Islam apa saja yang terdapat dalam tradisi Grebeg Malud di Kraton Surakarta. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Yang terhormat Ketua STAIN Salatiga Bpk. DR.Imam Sutomo, M.Ag 2. Yang terhormat Bpk. Drs. Djuz’an, M.Hum selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini. 3. Yang terhormat Ibu Siti Asdikoh M.Si, dan Bapak Fatchurahman M.Pd yang selalu memberikan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
viii
4. Orang tuaku tercinta, yang telah mendidik, dan mengasuhku, tanpa ada rasa lelah dan berhenti. 5. Para masyayih-masyayihku, yang telah mengajarkan berbagai ilmu sebagai bekal hidup 6. Kakaku yang selalu memberi dorongan dan masukan dalam proses skrisipku 7. Dindaku tercinta yang selalu setia dan sabar menungguku 8. Teman-temanku dan pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini
Semoga amal dan niat baik di terima Allah SWT dan menjadi amal untuk bekal kelak di akhirat. Amin. Harapan penulis semoga skripsi ini menjadi bermanfaat dan berguna bagi kemajuan pendidikan kita.
Salatiga,2010 Penulis Santoso NIM 11106108
ix
ABSTRAKSI Santoso.2010. Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Grebeg Maulud di Kraton Surakarta. Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Dosen Pembimbing Drs. Djuz’an, M.Hum. Kata kunci: Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Grebeg Maulud di Kraton Surakarta. Penelitian ini membahas tentang Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Grebeg Maulud di Kraton Surakarta.Fokus yang dikaji dalam penelitian ini adalah Bagaimana sejarah tradisi gerebeg maulud di kraton Surakarta,ritual apa saja yang terdapat dalam prosesi grebeg maulud di kraton Surakarta,nilai-nilai pendidikan Islam apa saja yang terdapat dalam tradisi grebeg maulud di kraton Surakarta.Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui sejarah tradisi grebeg maulud di kraton Surakarta,untuk mengetahui ritual apa saja yang terdapat dalam prosesi grebeg maulud di kraton Surakarta,untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan Islam dalam tradisi grebeg maulud di kraton Surakarta. Sesuai dengan pendekatan kualitatif, maka kehadiran peneliti di lapangan sangat penting sekali mengingat peneliti bertindak langsung sebagai instrumen lengsung dan sebagai pengumpul data dari hasil observasi yang mendalam serta terlibat aktif dalam penelitian. Data yang berbentuk kata-kata diambil dari para informan / responden pada waktu mereka diwawancarai. Dengan kata lain data-data tersebut berupa keterangan dari para informan, sedangkan data tambahan berupa dokumen. Keseluruhan data tersebut selain wawancara diperoleh dari observasi dan dokumentasi. Analisa data dilakukan dengan cara menelaah data yang ada, lalu mengadakan reduksi data, penyajian data, menarik kesimpulan dan tahap akhir dari ananlisa data ini adalah mengadakan keabsahan data dengan menggunakan ketekunan pengamatan triangulasi. Dari penelitian yang dilaksanakan diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: Sekaten Solo Bersamaan dengan mulai ditabuhnya gamelan pusaka di bangsal Pradangga Masjid Agung Solo, ratusan orang di kompleks masjid yang sebagian besar kaum perempuan, serta merta mengunyah kinang. Seperangkat kinang yang terdiri dari sejumput tembakau, satu buah kembang kantil dan beberapa helai daun sirih ini jika dikunyah pada saat gamelan pusaka ditabuh, diyakini akan membawa berkah kesehatan, awet muda dan kelancaran rejeki. Oleh karenanya, pada hari gamelan ditabuh pertama kali, para penjual kinang berdatangan dan menggelar dagangannya di pelataran kompleks masjid Agung. Satu perangkat kinang yang dimasukkan dalam wadah berupa conthong (kerucut) dari daun pisang, kini dijual seharga 500 rupiah. x
Selain tradisi nginang, sebagian besar warga juga punya kepercayaan bahwa pecut (cambuk) yang dibeli saat itu dapat membuat hewan-hewan ternak mereka lebih produktif. Sehingga selain penjual kinang, para penjual pecut juga memenuhi kompleks pelataran masjid Agung. Karena adanya kepercayaan ini serta demi kemudahan pengaturan dan tetap terjaganya kerapian masjid, pihak keraton membuat peraturan bahwa pedagang yang boleh berjualan di dalam kompleks masjid hanya pedagang kinang, pecut, 4 macam makanan tradisional khas sekaten yakni cabuk rambak, wedang ronde, telor asin dan nasi liwet serta mainan tradisional gangsingan. Tabuhan gamelan pusaka menandai dimulainya perayaan maleman sekaten Solo. Gamelan yang ditabuh adalah Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari dengan gending utama Rambu dan Rangkur. Tabuhan gamelan sekaten ini konon adalah kreasi wali sanga pada sekitar abad ke 15, untuk menarik perhatian warga dan melakukan syiar Islam. Karena ditujukan untuk menarik perhatian, gamelan yang dibuat pada jaman kerajaan Majapahit ini oleh wali sanga dirombak menjadi lebih besar dari ukuran gamelan biasa agar suara yang dihasilkan bisa terdenga sampai jauh. Maleman Sekaten sendiri oleh walisanga ditujukan untuk mengenalkan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW kepada para warga, sebagai awal untuk mengenalkan agama Islam. Sekaten berasal dari kata Syahadatain (dua kalimat syahadat tanda KeIslaman). Kalimat Syahadat pertama yang menyatakan kepercayaan kepada ke-Esa-an Tuhan (Asyhadu an laa Illaaha Ilallah) disimbolkan dengan Kyai Guntur Madu, sedangkan kalimat kedua yang mengakui kenabian Rasulullah Muhammad SAW (wa Asyhadu anna Muhammaddarrasulullah) dilambangkan dengan Kyai Guntur Sari. Sebelum gamelan ditabuh, para wali biasanya memberi pencerahan tentang Islam kepada para warga yang telah berdatangan. Dan hasilnya tidak sedikit orang-orang yang langsung bisa mengucapkan kalimat syahadat begitu gamelan mulai mengalunkan gending. Syiar tentang keIslaman ini terus dilakukan selama Maleman Sekaten digelar selama 7 hari. Oleh karenanya, gamelan pusaka juga terus dimainkan selama itu. Kini, selain tetap memelihara syiar Islam, Maleman Sekaten juga ditujukan untuk kepentingan ekonomi dan pariwisata. Rangkaian ritual adat sekaten atau lebih dikenal sebagai Grebeg Maulud tetap dipelihara dengan baik sebagai tradisi leluhur juga sebagai acara untuk menarik para wisatawan. Sementara Maleman sekaten diperpanjang menjadi satu bulan untuk memberi keuntungan ekonomi bagi para pedagang dan masyarakat sekitar.
xi
DAFTAR INFORMAN
1. Bapak R.Tikno Pranoto Kepala museum Surakarta 2.
Bapak KRT Purwoto Dipuro Ahli Pendidikan
3.
Bapak KRT Dwidjasaputro Panitia Sekaten
4. Bapak KHP Krdimardowo Abdi Dalem Punokawan 5.
Bapak Drs.R.Subalidinata Ahli Pendidikan
6.
Bapak Mardono Masyarakat Pengunjung
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...........................................................................................
i
LEMBAR BERLOGO .........................................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................
iv
HALAMAN PERNYATAAN .............................................................................
v
HALAMAN MOTTO ..........................................................................................
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ...........................................................................
vii
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
viii
ABSTRAK ............................................................................................................
x
DAFTAR INFORMAN ........................................................................................
xii
DAFTAR ISI .........................................................................................................
xiii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………. 1 A. Latar Belakang Masalah................................................................
1
B. Perumusan Masalah.......................................................................
5
C. Tujuan Penelitian...........................................................................
6
D. Kegunaan Penelitian......................................................................
6
E. Kerangka Teoritik..........................................................................
6
F. Penegasan Istilah............................................................................
9
G. Metode Penelitian........................................................................... 11
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian............................................... 11 2. Kehadiran Peneliti.................................................................... 11 3. Lokasi Penelitian...................................................................... 12 4. Sumber Data............................................................................. 12 5. Prosedur Pengumpulan Data.................................................... 12 6. Analisis Data............................................................................ 13 7. Pengecekan Keabsahan Data.................................................... 15 xiii
8. Tahap-tahap Penelitian............................................................. 15 H. Telaah Pustaka.................................................................................16 I. Sistematika Penulisan.................................................................... 20
BAB II KAJIAN PUSTAKA…………………………………………………….23 A. Grebeg Maulud………………………………………………….. 23 1. Pengertian Grebeg Maulud………………………………….
23
2. Sejarah Grebeg Maulud……………………………………… 24 3. Islamisasi di Jawa……………………………………………. 26 4. Sinkretisasi Islam dalam Budaya Jawa………………………. 42 B. Pendidikan Islam…………………………………………………...47 1. Pengertian Pendidikan Islam…………………………………....47 2. Tujuan Pendidikan Islam……………………………………… 51 3. Unsur-Unsur Pendidikan Islam…………………………………52 4. Batasan-Batasan Pendidikan Islam……………………………..70 5. Bentuk-Bentuk Pendidikan Islam………………………………72 BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN………………………………….....75 A. Paparan Data…………………………………………………….......75 1. Gambaran Umum Lokasi………………………………………..75 2. Latar Belakang adanya Tradisi Grebeg Maulud di Kraton Surakarta…………………………………………………………77 B. Temuan Penelitian……………………………………………….......79 1. Grebeg Maulud………………………………………………... 79 2. Prosesi Upacara Grebeg Maulud……………………………... 87 xiv
3. Rangkaian Ritual Adat Grebeg Maulud secara Lengkap……… 89 4. Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Masing-Masing Gunungan..91 5. Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Barang-Barang yang di jual dalam Perayaan Sekaten………………………………………. 99 BAB IV PEMBAHASAN……………………………………………………….. 104 BAB V PENUTUP………………………………………………………………. 109 A. Kesimpulan……………………………………………………….. 109 B. Saran…………………………………………………………….... 117 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN
xv
RIWAYAT HIDUP Nama : Santoso Tempat Tanggal Lahir : Rejosari 9 Maret 1983 Pendidikan Formal : SDN 101 Rejosari 1 (1990 -1996) MTs Singkut (1996-1999 ) MAN Salatiga ( 1999-2002 ) Pendidikan Terakhir : STAIN Salatiga
xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya masing-masing suku bangsa memiliki kebiasaan, tradisi, adat istiadat dan budaya yang saling mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Mereka hidup secara berdampingan dan penuh toleransi dengan peradaban yang berbeda-beda. Kita dapat melihat Paham kejawen tidak dapat terlepas dari kehidupan orang Jawa. Paham ini sering diidentikkan dengan Mistisisme. Menurut Tim penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:749), “Mistisisme adalah ajaran yang menyatakan ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia yang bersifat gaib. Meskipun tidak seluruhnya anggapan ini benar, tetapi memang dunia kejawen tidak dapat dilepaskan dari mistis dan mistis juga merupakan bagian dari kejawen. Sebelum datangnya agama Hindu dan Budha di Jawa, orang Jawa telah mengenal suatu keyakinan yang bersifat sinkritisme, yaitu Animisme dan Dinamisme. Di sinilah akar permasalahannya dari keyakinan orang Jawa hingga saat ini, sedangkan ajaran Hindu atau Budha hanya sebagai pewarna saja. Dan masuknya agama-agama wahyu termasuk agama Islam ternyata tidak mematikan keyakinan dan paham ini. Ia tetap berjalan secara pasang surut mengikuti perubahan waktu dan perkembangan jaman. Hal itu terwujud dalam bentuk kepercayaan adanya danyang-danyang yang berarti hantu penjaga (rumah, pohon dsb) di tempat-tempat tertentu dan percaya adanya 1
dewa-dewa yang menguasai tempat-tempat di bagian bumi ini. Sesudah masuknya Islam di tanah Jawa pada abad XV justru memberi corak tumbuhnya paham kejawen yang bibit-bibitnya telah turun temurun dan telah diwariskan kepada anak cucu, sehingga menimbulkan fenomena budaya baru yaitu percampuran antara Kejawen dengan Islam. Hal ini dapat dicontohkan berkembangnya seni budaya pewayangan dari wali songo sebagai media dakwah Islam. Jadi, “Wayang memang merupakan seni pentas yang paling jitu menjadi sarana hiburan yang sekaligus menjadi wasilah memasyarakatkan nilai-nilai budaya Jawa yang dipandang luhur. Dalam pertunjukan wayang diekspresikan tata karma feodal yang halus yang berlaku di kraton” (Simuh, 1999:119). Dengan demikian para wali adalah tokoh penyebar Ajaran Agama Islam yang berdakwah melalui seni, selain disukai masyarkat Jawa sebagai hiburan pada jaman dulu mereka juga mendapatkan makna yang disampaikan oleh wali melalui pertunjukan wayang tersebut. Menurut Koentjaraningrat (1984 : 5), “Kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, ialah : 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. 2. Wujud kebudayaan sebagai satu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia”. Wujud pertama sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto, wujud kedua bersifat tentang pola tingkah laku manusia dan bisa diobservasi, difoto 2
dan didokumentasi. Sedangkan wujud ketiga adalah merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat, hal ini berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba. Ada dua faktor yang menyebabkan keyakinan atau paham kejawen ini masih berlangsung sampai sekarang ini, yaitu : 1. Faktor Intern Hal ini tidak terlepas dari sikap hidup orang Jawa yang telah meyakini betul dengan nilai-nilai kejawen.Kejawen merupakan campuran (sinkretisme) kebudayaan
agama
pendatang,Hindu,Budha,Islam,dan
Kristen Soesilo Faham,Kejawen (sinkretisme) adalah pencampuran Hindu-Budha-Islam,meskipun
berupa
pencampuran,namun
ajaran
Kejawen masih berpegang pada tradisi Jawa asli sehingga dapat dikatakan mempunyai kemandirian sendiri Orang Islam tradisional menganggap kejawen adalah merupakan kelengkapan utama dalam kehidupan seharihari.Belum lengkap dalam menjalankan agama Islam tanpa dicampuri dengan nilai-ailai ajaran Kejawen.Kalangan orang Jawa masih banyak melakukan ritual-ritual kuno seperti ciri magis pewayangan, pengorbanan kerbau atau hewan tertentu bahkan ketika mereka sudah menyatakan keIslamannya. Karena mereka menjalankan agama hanya sebatas pada pelaksanaan syari’at rukun Islam yang lima. Sedangkan mereka butuh ketenangan batin dan media atau sarana mendekatkan diri kepada Tuhan.
3
2. Faktor Ekstern. Hal ini banyak diwarnai oleh perjalanan sejarah Jawa. Selain di dalam buku Horoskop Jawa (Primbon) disebutkan adanya larangan keras untuk mantu atau menggelar hajatan (pernikahan) di bulan Suro pada hari Senin dan Selasa. Atau pada tanggal 6, 11, 13, 14, 17, 18, 27 yang mereka sebut sebagai tanggal-tanggal naas atau sial. Paham Kejawen justru dikokohkan oleh Islam yang diajarkan oleh para Walisongo. Antara lain Tawassul. Pengkultusan orang-orang tertentu, larangan menyembelih hewan tertentu (Baca : Sapi) karena untuk menghormati ajaran Hindu dan lain sebagainya (Koentjaningrat,1994:334-335). Kebudayaan
mempunyai
berbagai
bentuk
dan
beberapa
unsur.Salah satu unsur di antara unsur-unsur atau nilai yang ada dalam kebuyaan adalah sistem religi atau kepercayaan.Dari unsur yang berupa sistem religi tersebut,dapat mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan dan gagasan dari Tuhan,dewa-dewa,roh para leluhur dan sebagainya.Hal ini dimaksudkan agar manusia memiliki kemantapan,keseimbangan dalam kehidupan lahiriyah maupun batiniyah.Sistem religi atau kepercayaan yang merupakan pondamen dan pegangan hidup masyarakat dapat diaktualisasikan
atau
diwujudkan
dalam
bentuk
upacara
yang
dilaksanakan oleh masyarakat setempat guna memperingati,memuliakan terhadap roh para leluhur yang oleh masyarakat tersebut dianggap dapat mendatangkan pengaruh kepada manusia yang masih hidup. Berkaitan dengan uraian tersebut di atas maka timbul suatu 4
keinginan dari peneliti untuk mengadakan penelitian guna mengetahui maksud, tujuan, dan nilai-nilai pendidikan Islam dari upacara Tradisi Grebeg Maulud yang telah mentradisi di kalangan masyarakat Surakarta dan sekitarnya.Dimana anggapan dari masyarakat yang berdomisili di Surakarta dan sekitarnya yang mayoritas beragama Islam bahwa pelaksanaan dari kegiatan tradisi grebeg maulud tersebut masih mengandung nilai-nilai pendidikan Islam.Oleh karena itu dalam penelitian ini, peneliti mengambil judul skripsi “NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM TRADISI GREBEG MULUD DI KRATON SURAKARTA TAHUN 2010. B. Perumusan Masalah Untuk merumuskan permasalahan tersebut, perlu adanya sistematika analitik untuk mencapai sasaran yang menjadi objek kajian, sehingga pembahasan akan lebih terarah pada pokok masalah. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari pokok masalah dengan pembahasan yang tidak ada relevansinya. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Fokus masalah “Nilai Nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Grebeg Maulud di Kraton Surakarta Sub Fokus Masalah. 1. Bagaimana sejarah sejarah tradisi grebeg maulud di Kraton Surakarta?
5
2. Ritual apa saja yang terdapat dalam prosesi grebeg maulud di Kraton Surakarta? 3. Nilai nilai pendidikan Islam apa saja yang terdapat dalam tradisi grebeg maulud di Kraton Surakarta? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan masalah tersebut,penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui sejarah tradisi Grebeg Maulud di Kraton Surakarta. 2. Untuk mengetahui ritual apa saja yang terdapat dalam prosesi Grebeg Maulud di Kraton Surakarta. 3. Untuk mengetahui nilai nilai pendidikan Islam dalam tradisi Grebeg Mulud di Kraton Surakarta. D. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan sebagai berikut: 1. Bagi Akademik, hasil penelitian ini dapat berguna untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang terdapat di Indonesia. 2. Bagi masyarakat, sebagai sumbangan informasi bagi segenap masyarakat yang beragama Islam untuk tetap menjaga nilai-nilai pendidikan Islam yang terdapat pada tradisi Grebeg maulud di Kraton Surakarta. 3. Bagi peneliti, sebagai bahan masukan untuk mengembangkan wawasan dan sikap ilmiah serta sebagi bahan dokumen untuk penelitian lebih lanjut. E. Kerangka Teoritik. Kehidupan
manusia
dan
alam 6
dipengaruhi
oleh
dinamika
perkembangan yang pesat dan disadari oleh manusia modern. Kesadaran tersebut merupakan suatu kepekaan yang mendorong manusia agar secara kritis menilai kebudayaannya. Evaluasi ini secara praktis mendorong manusia menyusun kembali peradabannya. Usaha untuk menilai proses perkembangan budaya ternyata selalu diajukan dalam setiap lingkungan kebudayaan dan dalam setiap tahap perkembangan. Selain itu ada kecenderungan bahwa budaya
semakin
berkembang
menuju
ke
suatu
dunia
yang
oleh
Kluckhohn(1999) disebut ‘dunia yang secara antropologis peka'. Hal demikian berarti manusia dewasa ini semakin sadar akan unsur-unsur persamaan dan perbedaan dalam eksistensi sebagai manusia, antara manusia yang hidup pada zaman dulu dan sekarang dengan kebudayaannya sendiri-sendiri ternyata ada hubungan
timbal
balik
serta
ada
kesamaan
unsur
sekaligus
perbedaannya( Kluckhohn 1999). Begitu pula dengan sekaten yang mengalami perkembangan sejak awal mulanya hingga sekarang. Perkembangan bertolak dari perubahan yang dalam hal ini terletak pada perbedaan nuansa perayaan sekaten yang semakin komersil dengan menunjukkan jati dirinya sebagai ajang promosi niaga dan pariwisata
sehingga
perkembangannya
terkesan
cenderung
ke
arah
materialistik. Konsekuensi yang timbul yaitu pudarnya makna asli yang sakral dari sekaten itu sendiri sehingga dalam beberapa tahun ini sebagian masyarakat yang datang berkunjung nyaris tidak mengetahui apa makna essensial-sesungguhnya dari upacara perayaan sekaten karena fokus mereka tertuju hanya pada pameran saja. 7
Menurut Ragil Pamungkas (2006:31-32), ”Dalam Agama Islam tidak mengajarkan sesembahan terhadap benda-benda selain hanya kepada Allah SWT. Akan tetapi setelah Islam masuk di tanah Jawa, para Walisongo tidak menghilangkan budaya-budaya asli orang Jawa melainkan para Walisongo memasukkan ajaran-ajaran Islam dalam upacara atau ritual tersebut dengan mengganti keberadaan sesaji dengan penyajian baru seperti menu tumpeng dan kenduri”. Contoh dari ritual-ritual asli Jawa yang telah dimasuki ajaranajaran Islam di antaranya seperti upacara : Mitung Dino, Patang Puluh Dino, Nyatus, Mendak, Nyewu, dan lain-lain.Acara-acara tersebut yang dulunya ketika belum di masuki ajaran Islam hanya di isi dengan acara ritual yang berisi slametan,makan bersama,bahkan bakar kemeyan, kemudian setelah Islam datang dan melalui dakwah para wali,kemudian acara tersebut sedikit demi sedikit dimasuki ajaran Islam dengan di isi dengan bacaan bacaan kalimat tahlil,tahmid, serta bacaan bacaan yang terdapat dalam Alqur’an dan Al hadis. Upacara tradisi merupakan bagian dari adat istiadat yang merupakan salah satu upaya masyarakat Jawa untuk menjaga keharmonisan dengan alam, dunia roh, sesamanya, sebagai perwujudan dari itu, Kraton Kasusunan Surakarta sekarang ini masih memiliki keanekaragaman hasil kebudayaan. Hal tersebut masih tercermin dengan dilakukannya beberapa upacara tradisional, diantaranya : upacara lamasan pusaka, sekaten, upacara tabuhan, upacara grebeg besar, dan lain sebagainya. Secara historis,memang terbukti bahwa keratonlah yang yang 8
membolisir percepatan tranmisi muatan serta kandungan nilai tradisi dan budaya Jawa,bahkan menjadi tokoh sentral, yang sekaligus melakukan fungsi control
atas
tersebut.Sebagai
keberlangsungan lembaga
tumbuh-kembangnya
yang
melahirkan
budaya
moralitas
Jawa
budayanya
tersendiri,keraton mengharapkan agar masyarakat secara bersama sama tumbuh berkembang dalam bingkai pembelajaran moralitas sistem birokasi pemerintahan dan budaya (Moedianto,1987). Dalam agama Islam, Nabi Muhammad merupakan rosul pembawa ajaran Islam di muka bumi, sehingga hari kelahirannya diperingati oleh umat Islam, karena Nabi Muhammad sebagai pembawa kebenaran. Selain itu dalam ajaran Islam disebutkan bahwa orang harus selalu bersyukur atas segala sesuatu yang telah diberikan oleh Tuhan (QS,14:7). Oleh sebab itu, sebagai ungkapan rasa syukur
kepada Tuhan, kasusunan Kraton
Surakarta
mengemasnya dalam bentuk upacara tradisional. Salah satu budaya tradisional yang hingga saat ini tetap dipertahankan keberadaannya adalah upacara tradisi sekaten di keraton Surakarta. Pada dasarnya upacara tradisi ini merupakan upacara mempringati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Upacara tersebut sebagai wujud rasa syukur atas diutusnya Nabi Muhamman SAW.Maka acara tersebut diadakan setiap tahun sekali dalam penyelenggaraan sekaten. Perayaan sekaten ini diadakan 12 Maulud/12 Robiul awwal. F Penegasan Istilah Untuk menghindari pengertian dan penafsiran judul diatas dan membatasi ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini, maka perlu 9
dijelaskan beberapa pengertian yang terkandung, yaitu: 1. Nilai Nilai adalah prinsip atau hakikat yang menentukan harga atau nilai dan makna bagi sesuatu, atau sesuatu yang tidak terbatas (Abd Azis, 2009 : 119). 2. Pendidikan Islam Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam ( Abd Azis,2009:11). 3. Tradisi Tradisi adalah sebagai sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat (Andika Amri, 2008:1). Tradisi berasal dari kata latin traditio yang berkata dasar trodere, artinya menyerahkan, meneruskan turun temurun (P.M Laksono,2009:9). 4. Grebeg Grebeg adalah upacara keagamaan di Kraton yang diadakan tiga kali dalam setahun (Andika Amri, 2008 : 2). 5. Maulud Maulud adalah nama bulan dalam bulan-bulan Jawa, yang bertepatan dengan bulan lahirnya Nabi Muhammad saw (Andika Amri,
10
2008:2).Maulud mempunyai arti hari kelahiran atau perayaan hari kelahiran (M.Dahlan Barry,1994:446). G. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Untuk pemecahan masalah penelitian ini, peneliti mengunakan dokumen yang berupa skripsi, tesis, dan literatur-literatur untuk ditelaah secara komprehensif, khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan Islam dan tradisi grebeg maulud. Oleh karena itu jenis penelitian ini termasuk penelitian documenter (content analysis atau documentary research). Dalam melakukan penelitian, bentuk yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Strategi pendekatan yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian adalah strategi terpancang yaitu peneliti melakukan telaah secara seksama terhadap dokumen-dokumen. 2. Kehadiran Peneliti Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai pengumpul data dan sebagai instrument aktif dalam upaya mengumpulkan data-data di lapangan, sedangkan instrument pengumpulan data yang lain selain manusia adalah berbagai bentuk alat-alat bantu dan berupa dokumen dokumen lainnya yang dapat digunakan untuk menunjang keabsahan hasil penelitian, namun berfungsi sebagai instrument pendukung. Oleh karena itu, kehadiran peneliti secara langsung di lapangan sebagai tolak ukur keberhasilan untuk memahami kasus yang diteliti, sehingga keterlibatan 11
peneliti secara langsung dan aktif dengan informan dan atau sumber data lainnya di sini mutlak dilakukan. 3. Lokasi Penelitian Kraton Surakarta terletak di Kota Surakarta, atau yang lebih populer dengan nama Solo. Kota Solo adalah salah satu nama kota di Jawa Tengah, tepatnya sebelah utara Kabupaten Boyolali, dan merupakan kota penghubung
antara
Propinsi
Jawa
Timur
dan
daerah
Istimewa
Yogyakarta,dan Jarak dengan ibu Kota Propinsi sekitar 100 km. 4. Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data kualitatif yaitu data yang berbentuk kalimat, kata, atau gambar (Sugiyono 2003:14-15). Data kualitatif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dokumen yang berisi nilai-nilai pendidikan dan grebeg maulud. Oleh karena itu, data yang diperlukan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunnder yaitu data yang bersumber dari pihak kedua, baik berupa catatan, laporan, atau lainnya. Dalam penelitian ini, data sekunder yang dimaksud adalah dokumen.Data primer yaitu data yang bersumber dari pihak kedua,yakni hasil wawancara. 5. Prosedur Pengumpulan Data a. Metode Observasi Menurut Hadari Nawawi (1990:100), “Observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan percatatan secara sisitematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian”. Berusaha 12
mengamati dan mendengarkan dalam rangka memahami, mencari Jawab, mencari bukti terhadap fenomena sosial-keagamaan (perilaku, kejadian-kejadian, keadaan, benda dan simbol-simbol tertentu) selama beberapa waktu tanpa mempengaruhi fenomena yang diobservasi dengan mencatat, merekam, memotret fenomena tersebut guna penemuan data analisis. Metode observasi digunakan untuk mengamati tradisi grebeg Maulud di Kraton Surakarta b. Metode Wawancara Wawancara identik dengan pengumpulan data dengan bertanya langsung, lisan maupun tertulis kepada nara sumber. Jadi, “Interviu adalah
usaha
mengumpulkan
informasi
dengan
mengajukan
pertanyaan secara lisan, untuk dijawab secara lisan pula” (Hadari Nawawi, 1990:111). Ciri utamanya adalah kontak langsung dengan tatap muka antara penulis dengan sumber informasi. Metode wawancara digunakan untuk menggali informasi tentang bentuk tradisi grebeg Mulud di Kraton Surakarta. c. Metode Dokumentasi Menurut Irawan (200:70), studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang ditunjukan kepada subyek penelitian. Dokumentasi yang di peroleh penulis dalam hal ini adalah berupa kumpulan dari beberapa pengamatan langsung kelokasi penelitian. 6. Analisis Data
13
Menurut Noeng Muhadjir (1996:104) mengatakan, “Analisis data merupakan upaya untuk mencapai dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lainya. Untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikanya sebagi temuan bagi orang lain. Sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut, analisis perlu dilanjutkan dengan berupaya mancari makna”. Sedangkan Menurut Imam Suprayogo dan Tobroni (2001:192), “Kegiatan analisis data selama pengumpulan data dapat dimulai setelah peneliti memahami fenomena sosial yang sedang diteliti dan setelah mengumpulkan data yang dapat dianalisis”. Kegiatan-kegiatan analisis selama penulis mengumpulkan data meliputi : a. Menetapkan fokus penelitian. b. Penyusunan temuan-temuan sementara berdasarkan data yang telah terkumpul. c. Pembuatan rencana pengumpulan data berikutnya berdasarkan temuan-temuan pengumpulan data sebelumnya. d. Pengembangan
pertanyaan-pertanyaan
analitik
dalam
rangka
pengumpulan data berikutnya; dan e. Penetapan sasaran-sasaran pengumpulan data berikutnya. Setelah
data
terkumpul
maka
selanjutnya
adalah
menganalisis data, sebagai tatap akhir suatu penelitian maka
tahap penulis
menggunakan metode deskriptif yaitu dengan cara data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, hal ini disebabkan oleh 14
adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Jadi, ”Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi data, penyajian data serta menarik kesimpulan (verifikasi)” (Milles, 1992:16-18). Secara garis besar, teknik analisis data dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut. Setelah data dirasakan cukup, selanjutnya data tersebut ditelaah dan diseleksi. Jika terdapat data yang tidak diperlukan, data tersebut direduksi. Setelah data baru hasil reduksi baik, selanjutnya ditarik suatu kesimpulan, yang merupakan hasil akhir atau jawaban terhadap judul. 7. Pengecekan Keabsahan Data Agar data mempunyai validitas, reliabilitas, dan objektivitas yang tinggi, perlu dilakukan triangulasi data. Triangulasi data adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu, yaitu triangulasi sumber, metode, dan teori (Moleong 2001:178). Dalam penelitian ini, hanya dilakukan triangulasi sumber yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. 8. Tahap-Tahap Penelitian
15
Beberapa urutan kegiatan yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan penelitian ini, sebagai berikut: a. Persiapan, meliputi : Penyusunan proposal, pengurusan perijinan, dan penyususnan jadwal kegiatan. b. Pengumpulan data, meliputi : Pengumpulan dokumen dan penelaahan dokumen yang terkumpul. c. Analisis data, meliputi : analisis awal, reduksi data, analisis data temuan, pengayaan dan pendalaman, dan merumuskan kesimpulan. d. Penyusunan laporan, meliputi : penyusunan laporan sementara (draf), penilaian laporan penelitian sementara, perbaikan laporan dan penyusunan laporan akhir. H. Telaah Pustaka Alif Lukmanul Hakim dalam tulisannya” Sekaten Sebuah Proses Akulturasi Budaya dan Pribumisasi Islam Seorang dosen D3 MKU pada Universitas UUI PakultasPsikologi “Perayaan Sekaten dalam masyarakat Jawa – khususnya masyarakat Kota Yogyakarta dan sekitarnya – yang telah begitu mengakar kuat dan mentradisi tidak hanya di kalangan grass root (akar rumput) tapi juga masyarakat keseluruhan pada umumnya tidak dapat dipungkiri merupakan hasil dari ”sinergisasi” dan ”akulturasi” (perpaduan) kebudayaan, antara Islam (sebagai agama sekaligus ”budaya”) dengan budaya lokal setempat. Uraian berikut ini dimaksudkan untuk
16
mencegah adanya perselisihan dan wacana yang sifatnya distortif dalam memandang perayaan Sekaten. Hubungan dan kolaborasi antara, Islam sebagai ”teks besar” atau ”grand narrative” dengan budaya lokal tidak lagi dapat dipandang dalam frame penundukkan an sich – Islam menundukan (atau) ditundukkan oleh budaya lokal – tetapi harus dipandang bahwa proses akulturasi tersebut malah semakin menunjukkan kekayaan atau keberagaman ekspresi budaya Islam setelah bersinggungan atau bertemu dengan bangunan budaya lokal. Islam tidak melulu dipandang dalam dimensi keuniversalitasannya – walaupun pada titik ini orang yang beragama Islam harus tetap berkeyakinan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang paripurna dan universal – tetapi juga bahasa dan sikap akomodatif ”Islam” dalam menerima dan mengapresiasi budaya lokal. Di sisi lain, budaya lokal tidak pula melulu kita pandang sebagai bagian yang harus selalu mengalah kepada Islam, namun ia – budaya lokal – pasti mempunyai kacamata sendiri dalam membahasakan Islam menurut perspektifnya sendiri. Cara pandang yang seperti ini akan menghasilkan konstruksi pemahaman baru yang peranannya sangat signifikan dalam proses pembauran dan perpaduan antara dua unsur budaya yang berbeda sehingga menghasilkan akulturasi budaya yang massif dan mengakar di masyarakat tanpa menghilangkan substansi dari dua unsur budaya yang bertemu.
17
Menurut Drs.H.Mundzirin Yusuf MSi. dalam Disertasinya “Gunungan;Fungsi,Respon,dan
Pengaruhnya
di
Msyarakat
(Kajian
Terhadap Upacara Gerebeg di Kraton Gyogyakarta Hadiningrat 2009 “Dalam prosesi gerebeg sebagai simbol sedekah dikeluarkan banyak gunungan antara lain: gunungan kakung, gunungan putri, gunungan drajat, gunungan pawuhan, dan gunungan gepak. Gunungan-gunungan ini memiliki 3 arti penting: arti religius, berkait dengan kewajiban Sultan untuk menyiarkan dan melindungi agama Islam dalam kerajaan, karena Sultan memiliki kududukan dan peranan sebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah. Arti historis, berkait dengan kewajiban Sultan untuk meneruskan tradisi warisan raja-raja Mataram Islam sebelumnya. Arti kultural, terkait dengan kedudukan Sultan sebagai pemimpin suku Jawa yang harus memelihara dan melestarikan kebudayaan Jawa. Menurut promovendus upacara gerebeg yang pada awal mula diadakannya merupakan sarana Islamisasi masyarakat Jawa ternyata mengandung beragam fungsi antara lan: fungsi sosial, sebagai share of community (saling memberi pelajaran) antara kaum muda dan kaum tua untuk kuat menjaga martabat. Fungsi budaya, upacara gerebeg menunjukkan bahwa budaya Keraton yang usianya sudah berabad-abad masih tetap eksis sampai sekarang. Fungsi politik, upacara gerebeg menjadi sarana audiensi antara rakyat dengan rajanya, dan menyimbulkan bahwa posisi Sultan masih sangat kuat. Fungsi ekonomi, upacara gerebeg yang dimeriahkan Pasar Malam Sekaten menjadi sarana bagi masyarakat untuk melakukan 18
aktifitas ekonomi. Dari paparan disertasinya tentang upacara grebeg, yang merupakan kajian sosio-historis tersebut, promovendus berharap agar masyarakat
tidak
menggeser
makna
grebeg
dari
makna
yang
sesungguhnya. Sampai saat ini masih banyak masyarakat yang menghadiri upacara grebeg dengan niat ngalab berkah, meminta sesuatu yang berbau kemusrikan dari punggawa kraton yang membawa gunungan, atau hanya sekedar mencari hiburan. Padahal sesungguhnya, secara substansial, prosesi grebeg memiliki makna yang sangat mendalam dan integratif antara sinkretisme jawa dengan nilai-nilai ke-Islaman. Karena gunungan yang dimunculkan pada upacara grebeg diilhami oleh ayat-ayat suci AlQur?an, penyelenggaraannya dikaitkan dengan hari-hari besar Islam (12 Maulud/Rabi?al-awwal, 1 Syawal dan 10 Besar/Zu al-Hijjah), waktu penyelenggaraan
disesuaikan
dengan
satat
Dhuha-saat
itu
Allah
menurunkan rizki-Nya, sebelum dibagikan kepada masyarakat gunungan didoakan di Masjid Gedhe oleh penghulu Keraton, membagi-bagikan bahan makanan yang ada di gunungan juga merupakan simbol ajakan untuk bersedekah sebanyak-banyaknya agar mendapatkan barakah dari Allah SWT. Berdasarkan tulisan-tulisan yang telah ada, maka Penulis ingin mengadakan penelitian tentang perayaan grebeg maulud di kraton Surakarta dengan judul penelitian “Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Grebeg Maulud di Kraton Surakarta 2010. 19
I. Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Fokus Penelitian C. Tujuan Penelitian D. Kegunaan Penelitian E. Kerangka Teoritik F. Penegasan Istilah G. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian 2. Kehadiran Peneliti 3. Lokasi Penelitian 4. Sumber Data 5. Prosedur Pengumpulan Data 6. Analisis Data 7. Pengecekan Keabsahan Data 8. Tahap-Tahap Penelitian H. Telaah Pustaka I. Sistemaitka Penulisan BAB II : KAJIAN PUSTAKA A. Grebeg Maulud 1. Pengertian Grebeg Maulud 2. Sejarah Grebeg Maulud 20
3. Islamisasi di Jawa 4. Sinkretisasi Islam dalam Budaya Jawa B.
Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam 2. Tujuan Pendidikan Islam 3. Unsur-Unsur Pendidikan Islam 4. Batasan-Batasan Pendidikan Islam 5. Bentuk-Bentuk Pendidikan Islam
BAB III : PAPARAN DATA DAN HASIL TEMUAN A. Paparan Data 1. Gambaran umum Lokasi 2. Latar Belakang Adanya Tradisi Grebeg Maulud di Kraton Surakarta B. Temuan Penelitian 1. Grebeg Maulud 2. Prosesi Upacara Grebeg Maulud 3. Rangkaian Ritual Adat Grebeg Maulud secara Lengkap 4. Nilai-Nilai
Pendidikan
Islam
dalam
Masing-Masing
Gunungan 5. Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Barang-Barang yang Biasa dijual dalam Perayaan Sekaten BAB IV : PEMBAHASAN BAB V : PENUTUP 21
A. Kesimpulan B. Saran
22
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Grebeg Maulud 1. Pengertian Grebeg Maulud Garebeg atau grebeg adalah upacara sesajen yang bertujuan mempersatukan seluruh lapisan masyarakat,diadakan tiga kali setahun yaitu(1) grebeg maulud untuk memperingati lahirnya nabi Muhammad;(2) garebeg besar untuk mengenang tokoh legendaris Islam Hasan dan Husain;(3) grebeg puasa,sebagai pernyataan syukur atas berakhirnya bulan puasa Ramadhan(Soemarjan 1981:33). Menurut sejarah kata grebeg berasal dari kata “gumebreg”yang berarti riuh,rebut,dan ramai.Tentu saja ini mengambarkan suasana grebeg yang memang ramai dan riuh (Aditya Surya,2000).Maulud berasal dari kata walada,yalidu,wiladatan,maulidan,yang berarti orang yang dilahirkan atau anak.Maulud berarti hari kelahiran atau perayaan hari kelahiran (Mahmud yunus,1990:506 ). Dari pengertian-pengertian di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa grebeg maulud adalah suatu upacara perayaan yang dilenggarakan oleh kraton sebagai bentuk rasa syukur,dan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. Inti dari upacara ini sebetulnya seperti selamatan,yaitu makan bersama.Hanya saja dalam bentuk besar dan dihadiri oleh massa rakyat. 23
Untuk keperluan ini Kraton menyediakan nasi dan lauk pauk (dibentuk gunung).Gunungan
diprosesikan
dari
Kraton
ke
Masjid
Besar,disembahyangi oleh penghulu dan kemudian dibagi kepada hadirin (Groneman,1895). 2.Sejarah Grebeg Maulud Pada awalnya sekaten atau grebeg merupakan upacara yang berwujud pertunjukan Jawa-Islam dengan misi dahwah.Kesenian yang ditampilkan antara lain shalawatan ,samporahan,dan dhiba’an yang diiringi gamelan,rebana,dan terban.Upacara itu di gelar satu minggu dengan ditandai keluarnya gamelan (gong) dari keraton untuk dibunyikan di Masjid Agung. Mengingat upacara ini suci dan sakral, pengunjung yang hendak melihat disyaratkan mencuci kaki dan membaca kalimat syahadat. (www.joglo.com). Sedangkan
pada
mulanya
sekaten
diperkenalkan
kepada
masyarakat jawa oleh salah satu anggota wali sanga, yaitu Sunan Kalijaga yang hidup pada zaman kerajaan Islam Demak (abad ke-XV). Upacara grebeg ini sudah ada sejak abad ke XII di jaman Kerajaan Majapahit. Sesudah kejatuhan kerajaan tersebut, Kraton Demak pernah menghentikan upacara ini. Hal ini sempat mengecewakan rakyat karena mereka sudah terbiasa dengan upacara Grebeg. Kemudian Sunan Kalijaga, seorang wali yang terkenal amat bijaksana mengusulkan kepada Sultan Demak untuk menghidupkan kembali Grebeg, dengan tujuan untuk menyebarkan agama 24
Islam dan pada saat itu dibunyikan Gamelan di dekat Masjid sehingga banyak rakyat yang datang. Suanan Kalijaga seorang Wali yang berwibawa dan sangat ramah dalam menyebarkan agama Islam tidak pernah menjelek-jelekkan kepercayaan lain. Penabuhan gamelan pada saat Grebeg disebut Sekaten, sejak saat itu hingga sekarang Sekaten selalu menarik perhatian banyak orang. (Suryo Negoro, 2001:81-82) Diantara para wali sanga, Sunan Kalijaga sangat terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, ulama, pemimpin, dan filosof. Kaum cendekiawan dan bangsawan simpatik kepada beliau karena caranya menyiarkan Islam disesuaikan dengan tata cara budaya masyarakat setempat waktu itu. Disamping itu, beliau juga seorang wali yang kritis dan kreatif. Terbukti dengan inisiatifnya mengarang cerita-cerita wayang yang dikombinasikan dengan ajaran agama Islam. Hal itu dilakukan atas pertimbangan bahwa masyarakat jawa pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap agama nenek moyang, atau dengan kata lain masyarakat masih memegang teguh tradisi adat istiadat lama. (Kompas, 29 April 2005) Perayaan sekaten yang diadakan sunan Kalijaga bertujuan untuk menarik minat masyarakat Jawa pada saat itu yang masih banyak menganut ajaran leluhur. Pelaksanaan dimulai dengan membaca syahadat sebelum acara sekaten tersebut dimulai. Untuk mengikuti acara sekaten tersebut penduduk setempat dianjurkan bersuci terlebih dahulu, kemudian 25
membaca syahadatain sebagai syarat memeluk agama Islam(Budiono hadi,2007). Istilah ‘ syahadat’ yang diucapkan sebagai ‘ syahadatain’ ini kemudian berangsur-angsur berubah dalam pengucapannya sehingga menjadi syakatain dan pada akhirnya menjadi istilah ‘ sekaten’ sampai sekarang(Sri Sultan X.1998:9-10). Acara sekaten saat itu dimeriahkan dengan pertunjukan pentas seni tradisional, yaitu pertunjukan wayang dengan lakon punokawan dengan senjata ampuhnya jimat kalimosodo (dua kalimat syahadat). (Sabbili 9/X/2004) dan untuk pada saat ini acara sekaten kebanyakan ditambah dengan adanya acara pasar malam. 3. Islamisasi di Jawa. Menyiarkan agama Islam merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim, karena hal itu diperintah oleh Islam. Setiap muslim harus menyiarkan agamanya, baik yang sepengetahuannya sedikit apalagi yang banyak, kepada orang lain yang belum mengetahuinya. Hal itu disebabkan karena kebenaran yang terkandung di setiap dada muslim tidak akan diam, kecuali kebenaran itu terwujud dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Dan tidak akan merasa puas hingga ia menyampaikan kebenaran itu pada setiap orang, sehingga apa yang ia percayai itu juga diterima sebagai kebenaran oleh anggota masyarakat dan umat manusia pada umumnya. Islam merupakan unsur penting pembentuk jati diri orang Jawa. Ajaran dan kebudayaan Islam mengalir sangat deras dari Arab dan Timur 26
Tengah sehingga memberi warna yang sangat kental terhadap kebudayaan Jawa. Agama Islam disebarkan oleh nabi Muhammad saw pada mulanya hanya pada kalangan terbatas, yaitu keluarga dan sahabat terdekat. Dalam waktu yang relatif singkat Islam berkembang dengan cepat. Sepeninggal Nabi Muhammad saw, agama Islam disiarkan oleh sahabat empat yang terkenal dengan gelar khulafaur Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib. Islam kemudian menyebar ke daerah daerah luar Jazirah Arab. Maka, segera bertemu dengan berbagai peradaban dan kebudayaaan lokal yang sudah mengakar selama berabadabad. Negeri yang sudah didatangi Islam seperti Mesir, Siria, Palestina, dan Persia sudah lama mengenal ajaran Filsafat Yunani. Ajaran Hindu, Budha, Majusi, Kristen, dan mistik Neoplatonisme telah lama dikenal di sekitar Jazirah Arab (Simuh,1995:69).dengan demikian Islam yang tersebar senantiasa mengalami penyesuaian dengan lingkungan peradaban dan kebudayaan setempat. Pulau Jawa selalu terbuka bagi siapapun yang masuk. Orang Jawa terkenal ramah sejak dulu dan siap menjalin kerja sama dengan siapapun. Termasuk ketika pedagang dan alim ulama yang bertubuh tinggi besar, hidung mancung, dan berkulit putih kemerahan. Mereka adalah para pedagang dan ulama dari tanah Timur Tengah. Kedatangan mereka teryata membawa sejarah baru yang hampir mengubah wajah Jawa secara keseluruhan.
27
Agama Islam datang ke Indonesia pada permulaan abad pertama hijriyah setelah timur tengah mengalami zaman kenabian, atau abad ke-7 M. Sebagai bukti adanya berita Cina yang mengisahkan kedatangan utusan raja Ta Cheh kepada ratu Sima.Adapun Raja Ta Cheh, menurut Hamka, adalah Raja Arab yang hidup bersamaan dengan Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Peristiwa itu terjadi pada saat Muawiyah melaksanakan pembangunan kembali armada Islam. Ruban Levy menyataka bahwa jumlah kapal yang dimiliki oleh Muawiyah pada tahun 34 H atau 655 M adalah sekitar 5.000 buah.tentu armada kapal ini berfungsi pula untuk melindungi armada niaganya. Oleh karena itu, tidaklah mustahil pada tahun 574 M, Muawiyah dapat mengirimkan dutanya ke Kerajaan Kalingga di Jepara (Anasoman, 2000). Dalam bentuk artefak kita dapatkan bukti-bukti itu dalam bentuk batu nisan, masjid, ragam hias dan tata kota. Tentang kapan masuknya Islam di Jawa masih terjadi silang pendapat dan menjadi bahan perdebatan. Padahal, seperti dinyatakan oleh Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern (1995:3), penyebaran agama Islam itu merupakan suatu proses yang sangat penting di dalam sejarah Indonesia. Mengapa peristiwa penting tersebut justru menjadi sesuatu yang paling tidak jelas?Menurut Ricklefs, hal itu disebabkan oleh minimnya peninggalan tertulis dan juga sering sangat tidak informatifnya sumber sumber yang dapat diperoleh yang menjadi bukti tentang Islamisasi di Jawa tersebut. Berkaitan dengan itu pulalah, masing-masing
28
pakar (sejarawan) memiliki dasar argumentasi untuk menetapkan kapan kira kira Islam datang di Jawa. Menurut B.J.O.schrieke,Islam masuk di Jawa pada tahun 1416 Masehi. Perkiraan schrieke ini sangat mungkin didasarkan atas berita dari Ma Huan. Pada tahun 1416 Ma Huan, seorang muslim Cina, mengunjungi daerah pesisir Jawa dan memberikan suatu laporan di dalam bukunya yang berjudul Ying Yai Sheng-Lan (Peninjauan Tentang Pantai- Pantai Samudra) yang ditulis pada tahun 1451. Dalam laporannya disebutkan tentang orang-orang Islam yang bertempat tinggal di Gresik, termasuk orang-orang Islam dari barat (Arab, Persia, dan Gujarat atau India) atau orang Cina (beberapa di antaranya beragama Islam). Hal itu menjadi bukti kongkret bahwa di pusat Majapahit ataupun di pesisir, terutama di kotakota pelabuhan, telah terjadi Islamisasi dan terbentuknya masyarakat Muslim dari berbagai ras. Agaknya, pendapat schrieke ini tidak bertolak Islamisasi yang telah berlangsung di Jawa sehingga masyarakat Jawa di beberapa wilayah tersebut telah membentuk suatu komunitas muslim. Berbeda dengan pendapat Schrieke, menurut J. P. Moquette, kedatangan Islam di Jawa jauh lebih awal dari perkiraan tahun tersebut. Hal itu terbukti dengan ditemukannya prasasti yang berupa batu nisan seorang wanita bernama Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) yang berangka tahun 475 H atau 1082 M. Meskipun demikian, hal itu belum berarti adanya proses Islamisasi telah meluas di daerah Jawa Timur pada khususnya dan pulau Jawa pada umumnya karena tidak ada bukti-bukti 29
yang menunjukan hal itu, jadi, pendapat Moquette tersebut semata-mata didasarkan atas sebuah peninggalan paling kuno yang menyebutkan adanya bukti bahwa (orang) Islam telah ada di Jawa. Berkaitan dengan penemuan batu nisan tersebut, Ricklefs(1995:3) pun menyangsikan apakah kuburan yang berbatu nisan tersebut-benar benar berada di Jawa ataukah batu itu diangkut dan diletakan di Leran beberapa waktu sepeninggal wanita muslim non-Jawa itu karena Simuh (1996:2), jejek-jejak sejarah yang hanya berupa nama itu belum bisa menggambarkan keadaan agama yang mereka anut serta faham keislamannya. Demikianlah, karena sejak akhir abad ke-11 hingga abad ke-13 bukti bukti peninggalan, baik kepurbakalaan (prasasti) maupun beritaberita dari asing tentang kedatangan Islam di Jawa masih sedikit, seperti juga dikemukakan oleh Richklefs, Islamisasi di Jawa belum dapat diketahui secara pasti. Baru sejak akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14,terutama ketika Majapahit mencapai puncak kebesarannya hingga mendekati masa masa keruntuhannya, bukti-bukti Islamisasi dapat diketahui lebih banyak. Disamping berita dari Ma Huan yang mungkin disitir oleh Schrieke, penemuan beberapa puluh nisan di Troloyo, Trowulan, dan Gresik menjadi bukti konkret Islamisasi tersebut. Dari beberapa pendapat tersebut dapatlah
bahwa Islam mulai
masuk ke Jawa, setidak tidaknya, sejak awal abad ke-10, seperti terlihat pada batu nisan di Leran, meskipun pada waktu itu mungkin masih sangat sedikit orang Jawa yang masuk ke dalam agama Islam ; dan itu pun 30
terbatas pada masyarakat di pesisis utara pulau Jawa. Bahkan mungkin yang menganut agama Islam di Jawa pada itu hanyalah para pendatang yang bermukim di wilayah tersebut, bukan penduduk lokal (pribumi) yang pada masa itu masih menganut paham animisme dan dinamisme serta agama Hindu dan Budha. Selama tiga abad berikutnya, ajaran Islam yang demokratis (karena tidak mengenal kasta atau kelas sosial) yang dibawa oleh para pedagang dari Melayu secara berlahan tapi pasti makin diminati oleh penduduk pribumi di kota kota pelabuhan pulau Jawa. Akhirnya, agama Islam dapat berkembang secara pesat di pesisir pulau Jawa sejak awal abad ke-14,seperti dikemukakan oleh Schrieke. Ada dua proses kemungkinan masuknya Islam di Jawa, yaitu (1) penduduk pribumi berhubungan dengan pedagang pedagang yang beragama Islam dan kemudian menganutnya dan (2) orang orang asing Asia (Arab, India, Cina, dll) yang telah memeluk agama Islam datang dan bertempat tinggal secara permanen di Jawa dengan melakukan perkawinan campuran dan mengikuti gaya hidup lokal sampai sedemikian rupa sehingga mereka sudah menjadi Jawa (lihat Ricklefs,1995:3). Kedua proses itu, menurut Ricklefs mungkin telah terjadi secara bersamaan. Seperti telah dikemukakan di depan, pertumbuhan secara pesat masyarakat muslim di sekitar Majapahit dan terutama di beberapa kota pelabuhannya, erat pula hubungannya dengan perkembangan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh orang orang Islam yang telah mempunyai kekuasaan ekonomi dan politik di Samudra Pasai (Aceh) dan 31
Malaka. Lewat jalur perdagangan tersebut Islam disebarkan secara damai. Namun, pada taraf permulaan masuknya Islam lewat jalur perniagaan di pesisir utara Jawa itu, terutama di daerah kekuasaan Majapahit, mungkin belum dapat dirasakan akibatnya dibidang politik oleh kerajaan Hindu tersebut. Hal itu disebabkan para penduduk pribumi yang menganut ”agama baru” tersebut hanyalah masyarakat di pesisir utara Pulau Jawa yang tidak mempunyai akses di dalam kekuasaan kerajaan. Selain itu, kerajaan Majapahit pada masa tersebut hanya mengutamakan kepentingan dagang dengan para pedagang Islam untuk saling memeperoleh keuntungan. Islam di Jawa semakin meluas lagi seiring dengan para ulama yang slalu giat menyebarkan agama ini. Secara politik, mereka mendapat restu dari Prabu Brawijaya, penguasa Majapahit kala itu. Bahkan disekitar ibukota kerajaan adidaya di nusantara itu telah banyak yang memeluk agama Islam, baik pendatang maupun penduduk asli. Jika pada awalnya Islam hanya berkembang di daerah pesisir dan luar pusat kerajaan, pada perkembangan berikutnya Islam akhirnya dapat pula menyebar ke dalam pusat kekuasaan Majapahit. Hal itu terbukti dengan ditemukannya beberapa batu nisan di kuburan kuburan di daerah Trowulan dan Troloyo, dekat situs istana Majapahit. Batu batu nisan tersebut menunjukan makam orang-orang Jawa yang beragama Islam, bukan orang asing beragama Islam yang tinggal di Jawa. Hal itu tampak dari di gunakannya tahun Saka dengan angka Jawa kuno daripada tahun Hijriah dengan angka Arab.Batu 32
nisan yang pertama ditemukan di Trowulan yang memuat angka tahun Saka 1290 (1368-1269 M). Adapun di Troloyo terdapat beberapa batu nisan yang berangka tahun sekitar tahun saka 1298-1533 (1379-1611 M). Batu-batu itu memuat kutipan kutipan ayat Alqur’an dan formula-formula yang saleh (Riecklefs, 1995:5). Berdasarkan rumitnya hiasan yang terdapat pada beberapa batu nisan itu dan juga lokasinya yang dekat dengan situs ibu kota Majapahit, Damais (lewat Ricklefs,1995:5) menarik simpulan bahwa batu batu nisan tersebut mungkin untuk menandai kuburan-kuburan orang Jawa yang sangat terhormat, bahkan ada kemungkinan mereka adalah anggota anggota raja. Sesuai dengan itu, batu batu nisan itu memberi kesan pula bahwa beberapa orang anggota kaum elit Jawa memeluk Islam pada masa kerajaan Majapahit yang beragamaan Hindu-Budha tersebut sedang berada pada puncak kejayaannya. Agama tauhid ini terus berkembang di Jawa. kaum pedagang dan nelayan di pesisir banyak yang terpikat oleh ajaran yang mengenalkan tuhan Allah SWT. Salah satu benda yang baru bagi orang Jawa adalah nisan berukir kaligrafi seperti pada batu nisan di Leran, Gresik. Pada batu nisan ini tertulis nama Fatimah binti Maimun, wafat pada tahun 1082. Orang Jawa sendiri pada zaman itu masih jarang yang memberi pertanda batu nisan bagi orang yang meninggal, apalagi batu nisan yang mewah. Pada awal abad ke-13 bukti bukti adanya jejak Islam telah ada di Trengganu dan Jawa (Groeneveldt, 1960:47 ; Moguette,1921:391). Pada
33
akhir abad ke-13, pantai uatara Jawa telah memiliki raja-raja Islam (Hall,1985:214-231; Osman,1989:89-97). Tentang kemungkinan para bangsawan Jawa memeluk agama Islam sebelum masyarakat pesisir melakukan hal itu, atau sebaliknya, Ricklefs (1995:6) menyatakan bahwa hal itu sangat mempengaruhi oleh pandangan orang tentang pentingnya para pedagang atau akum sufi sebagai pembawa agama Islam tidak perlu disangsikan bahwa Majapahit yang mempunyai kerja sama di bidang politik dan perdagangan yang luas telah berhubungan dengan para pedagang asing yang beragama Islam. Sulastin Sutrisno dalam makalahnya ”Sekilas Rona kebudayaan Jawa dalam karya sastra Melayu lama” menyebutkan bahwa dalam hubungan antara pemerintah pusat di Jawa (Majapahit) dengan pemerintah daerah (termasuk Melayu) terjadi pengiriman utusan, pembesar, atau pendeta ke daerah. Dari pertumbungan politik itu pula tidak dapat dihindari pertembungan agama dan budaya sehingga agama dan budaya asing pun (Islam)
diakrabi
oleh
pembesar-pembesar
kerajaan
Jawa.
Dari
keakrabannya itu sangat dimungkinkan pula jika mereka pun tertarik untuk mendalami dan akhirnya menganutnya. Apalagi, Islam yang berkembang di tanah Melayu (Aceh dan Samudra Pasai), misalnya, merupakan alairan tasawuf (mistik Islam) yang dalam beberapa sisi memiliki kesamaan dengan mistik yang telah lama berkembang dalam agama Hindu dan Budha yang menjadi agama “resmi”bagi para kawula dan bangsawan kerajaan Majapahit. 34
Para guru agama yang berkunjung di Jawa pada abad ke-15 dan 16 adalah kelompok ulama, pedagang, dan ahli tasawuf yang menjelajahi dunia Islam sambil menghimpun ilmu dan berdakwah. Pengislaman kepulauan Nusantara merupakan jerih payah dan usaha mereka. Di istana Islam yang terdapat disepanjang pantai Jawa, mereka mendapat sambutan yan cukup meriah sebagai ahli spiritual dan intelektual. Mobilitas sosial mereka yang begitu konmopolit, pergaulan luas, mempunyai jaringan antar bangsa, mempuyai daya pikir, dan penuh dengan kecakapan, membuat daya tarik pihak istana Islam. Mereka direkrut sebagai tenaga ahli, penasehat, dan bahkan diminta untuk membantu pemimpin Usaha (De Graaf dan Pigeaud,1989:31). Dengan ditemukannya batu nisan di Trowulan dan Troloyo itu, demikian menurut Ricklefs(19995:5-6), dapat menimbulkan keraguan terhadap pendapat yang sebelumnya dikemukakan oleh para ilmuwan (sejarawan)-seperti disitir pula didepan-bahwa agama Islam berasal dari pesisir Jawa, dan yang pada mulanya melambangkan suatu kekuatan agama dan politik yang menentang Majapahit. Terlepas dari pendapat yang mana paling benar,sesunggunya pendapat pendapat tersebut dapat dibenarkan sesuai dengan dengan bukti dan argumentasi masing masing tidak tertutup kemungkinan bahwa kedua jalur tersebut (lewat masyarakat di pesisir atau lewat bangsawan kerajaan) berjalan secara bersama-sama mengingat tahun-tahun yang hampir bersamaan pula, yakni sekitar abad ke-13. Dengan kata lain, Islam masuk ke Jawa dapat melalui dua jalur 35
sekaligus, yaitu sebagian besar melalui pesisir utara dengan penganut para penduduk di sekitar wilayah itu dan sebagian kecil juga melalui para bangsawan kerajaan yang telah berhubungan dengan para pedagang asing atapun dengan bawahan kerajaan yang beragama Islam. Secara garis besar dapat disebutkan bahwa penyebaran agama Islam dari wilayah Barat ke Timur di seluruh nusantara pada umumnya melalui jalur-jalur perdagangan (Hasjimi, 1989; Chauduri, 1989; Ibrahim, et.al.1989). Sejak abad ke-13 itu, sudah terjadi hubungan dakwah dan dagang antara orang orang di kepulauan Nusantara dengan Arab, Persia, India, dan Cina. Hubungan dagang terjadi terutama melalui jalur laut yang melewati pelabuhan pelabuhan besar. Islam masuk ke jawa secara akulturasi damai. Menurut beberapa sejarawan hal itu karena : Pertama, para pendakwah Islam yang datang mula-mula adalah para santri, ulama, pedagang dan para ahli sufi, bukan prajurit-prajurit perang dari negeri Arab atau Persia yang mengadakan penaklukan territorial. Sedangkan para pedagang tersebut melakukan perdagangan secara baik-baik dan para sufi mengajarkan doktrin-doktrin spiritual yang tentu tidak bersifat kekerasan. Kedua, sifat tenggang rasa dari orang Jawa sendiri yang mudah menerima setiap yang datang dari luar dan dianggap baik lalu disesuaikan dengan prinsip dan kebudayaan sendiri. Sehingga banyak ajaran mistik Islam yang justru lebih mudah dipahami oleh orang Jawa. Ketiga, melalui jalan perkawinan dan para pemeluk Islam giat memberikan contoh tauladan kepada masyarakat 36
sehingga mudah meraih pengikut dan memudahkan Islam tersiar secara damai (Osman,1989:97-99). Tradisi istana Majapahit secara umum pada mulanya kurang tertarik dengan budaya pesantren yang kearab-araban. Namun, daerahdaerah pesisiran ini akhirnya-demikian menurut Simuh (1996:9)-akhirnya bisa disulap oleh umat Islam menjadi pusat-pusat kebudayaan atau tradisi besar dengan sistem pendidikan pesantren dan kitab-kitab agama yang mengandung filsafat dan ajaran moral kebatinan yang halus dan luhur. Dengan demikian, tradisi besar baru pesantrenan (Islam) akhirnya menjadi tandingan tradisi besar kerajaan Majapahit (Hindu). Muara dari makin menguatnya Islam di Jawa adalah berdirinya kerajaan atau kesultanan Demak yang didukung oleh para ulama pesantren (dalam tradisi lisan Jawa disebut Wali Sanga ’Wali Sembilan’) yang mengantikan kekuasaan kerajaan Majapahit. Akan tetapi meskipun demikian perjuangan para wali dalam menyebarkan serta menyiarkan agama Islam terdapat lima periode bersejarah : a. Periode Gresik : diprakarsai oleh kewalian Giri yang dipimpin oleh sunan Giri dan keturunannya. Pada periode ini hanya menyampaikan ajaran–ajaran Islam kepada masyarakat bawah dan pesisiran, pembentukan
kader-kader
dakwah
dan
mendirikan
pesantren-
pesantren. Akhirnya dari periode Gresik ini adalah masuk Islamnya Prabu Brawijaya V di Majapahit atas anjuran Sunan Kalijaga. Masuk 37
Islamnya raja besar Jawa ini membawa pengaruh pengislaman orang Jawa di pantai dan pedesaan secara besar-besaran. b. Periode Demak : diprakarsai oleh Kesultanan Demak Bintoro. Pada periode ini segala daya upaya, pikiran, kekuatan fisik dicurahkan untuk membentuk masyarakat Islam. Lapangan perjuangan telah menimgkat ke politik dan militer. Usaha para Sultan Demak ini, dilanjutkan oleh pewarisnya, yakni Kesultanan Pajang di bawah kepemimpinan Sultan Hadiwijaya. Pada periode ini ditandai dengan pergeseran kebudayaan pesisir menjadi kebudayaan pedalaman.Islam mendapat perlindungan dan berkembang dengan pesat.Islam fundamentalis berkembang di pesantern seperti di Giri dan Kudus. c. Periode Pajang-Mataram : diprakarsai oleh Kesultanan Pajang dan Mataram. Periode ini mendapat coraknya pada masa kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Sultan Agung adalah seorang prajurit yang kuat, ulama yang bijaksana dan intelektual yang cerdas. Periode ini semakin memperkokoh kebudayaan pedalaman. Islam beurat berakar dan muncul ataliran-aliran baru di tubuh umat Islam Jawa. Kewalian Giri telah melahirkan ulama baru yang merintis pendirian pondok pesantren di daerahnya, seperti Ponorogo dan Madura. d. Periode Mutakhir. Dalam periode ini, pulau Jawa berada dalam cengkeraman Hindia Belanda. Orang-orang Barat berdatangan ke Jawa dan melakukan praktik perdagangan yang tidak adil. Orang-orang Islam bergolak, namun tidak memiliki kekuatan rill maka dapat 38
dipatahkan. Perlawanan yang paling keras dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang melibatkan seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur pada tahun 1825-1860. Periode Gresik terjadi sejak masa Majapahit akhir. Budaya besar atau high culture pada masa ini masih dikuasai oleh Majapahit yang beragama Hindu dan Budha. Oleh karena itu, untuk waktu yang relatif panjang dakwah Islam sulit dan hampir tidak masuk kelingkungan tradisi besar pada kalangan istana. Dakwah Islam lebih banyak melalui dari lapisan bawah dan menyebar melalui budaya massa di pedesaan dan pesisiran. Pada masyarakat bawah, kedatangan agama Islam ini disambut dengan hangat. Mereka memandang agama Islam sebagai rahmat yang membebaskan mereka dari zaman kejahiliyahan dan mengangkat derajat mereka menjadi kaum terpelajar baru yang jadi ahli agama. Sebelumnya, Tradisi Hindu belum memberikan kebebesan lapisan bawah untuk belajar agama. Agama Islam yang anti kelas mendapat tanggapan yang menyenangkan dari orang-orang yang sudah lama merasa tertindas karena kelas sosial. Sebagai contoh, kitab suci agama lama tidak boleh disentuh oleh kaum waisya dan sudra, yang berhak mempelajari hanyalah kaum brahmana,
kelas
tertinggi
dalam
struktur
sosial
(Budiono
Hadisutrisno,2009:132-135). Berdasarkan fakta atau bukti tertulis terlihat bahwa Islam teryata lebih cepat berkembang di daerah pesisir daripada keraton ; atau dengan kata lain, Islam lebih cepat diterima oleh masyarakat awam daripada para 39
bangsawan/penguasa kerajaan Majapahit. Hal itu antara lain, disebabkan oleh dakwah agama Islam di pusat kerajaan itu berhadapan dengan kekuasaan kerajaan Hindu kejawen. Budaya istana sebagai tradisi besar telah berkembang menjadi sesuatu yang elit dengan menyadap dan mengolah unsur-unsur agama dan sastra budaya Hindu. Tradisi besar yang demikian-yang biasanya merasa bahwa budayanya tersebut merupakan yang paling tinggi tingkatannya-memang agak sulit diubah atau dimasuki oleh Islam. Sebaliknya, demikianlah menurut Simuh (1998:8), budaya pedesaan sebagai tradisi kecil masih tetap sederhana dan didominasi oleh kepercayaan animism dan dinamisme, lengkap dengan berbagai upacara tradisionalnya yang juga sederhana. Tradisi kecil seperti itulah yang dengan mudah dapat dimasuki oleh Islam yang memang mengajarkan untuk menyiarkan agama secara bijaksana tanpa harus melakukan konfrontasi dengan tradisi setempat (bersifat adaptatif). Oleh karena itu, agama Islam di Jawa mengalami proses yang berliku-liku melalui masyarakat pinggiran. Hanya sedikit para bangsawan (intelektual) kerajaan yang tertarik dan menganut Islam. Yang sedikit itu -yang kuburannya terdapat di Trowulan dan Troloyo- kemungkinan telah berhubungan secara intens dengan para saudagar Islam atau penguasa kerajaan Islam yang menjadi bawahan atau sahabat kerajaan Majapahit ; atau yang merasakan kebenaran dan keadilan dalam ajaran Islam yang tidak mengenal kasta.
40
Penyebab utama runtuhnya kerajaan Majapahit adalah adanya friksi atau pertentangan dari dalam kerajaan, bukan disebabkan oleh Islam. Dengan kata lain, proses islamisasi hingga mencapai bentuk kekuasaan politik dengan munculnya kerajaan Demak, dipercepat oleh adanya kelemahan-kelemahan yang dialami pusat kerajaan Majapahit sendiri sebagai akibat dari pemberontakan serta perebutan kekuasaan di kalangan keluarga raja raja. Dengan demikian jelaslah bahwa keruntuhan pusat Majapahit bukan oleh Muslim semata-mata, melainkan oleh salah satu dinasti dari Kediri, yaitu Girindra Wardana (Poesponegoro dan Notosusanto,1990:5-6). Di samping itu, runtuhnya kerajaan Majapahit juga dipicu oleh makin banyaknya bangsawan dan itelektual kerajaan yang menganut agama Islam, yang akhirnya membentuk pusat kekuatan tersendiri, seperti dinyatakan oleh Poerbatjaraka (1952:91) berikut : Dilalah karsaning Allah ,majengipun agami Islam Wonten ing tanah Jawi, punika kesarengan jaman Ura-uru ing salebeting kerajaan Majapahit, satemah Suda kikiyatanipun, wasana risak babarpisan.Ing Nalika punika para-yen ing jaman samangke ing kang dipun wastani-intelectuelen Jawi saya kathah ingkang lumebet agami Islam;…ingkang makaten wau anjarlari para intelectuelen ngempal wonten ing ulekaning agami Islam, ingkang dangu-dangu dados ulekaning pangawasa, satemah pusering kabudayan 41
Jawi-selam. Atas kehendak Allah, majunya agama Islam di tan ah Jawa itu bersamaan dengan zaman huru-hara di dalam kerajaan Majapahit. Sehingga berkurang kekuatannya, lantas rusak sama sekali. Pada masa itu Para-kalau zaman sekarang yang dinamaiintelektual Jawa makin banyak yang merasuk agama Islam : … Yang seperti itu menyebabakan para intelektual mengumpul di dalam pusaran agama Islam, yang makin lama menjadi pusaran penguasa, yang pada akhirnya menjadi pusat kebudayaan Kutipan di atas menunjukan bahwa berdirinya kerajaan Demak merupakan bentuk integrasi Islam dengan kekuasaan di Jawa. Pada akhirnya, ketika kekuasaan berpindah ke pedalaman (Pajang, Surakarta, dan Mataram), agama Islam pun berbaur dengan budaya Jawa pedalaman yang masih terpengaruh oleh tradisi Hindu-Budha sehingga menimbulkan sinkretisasi antara Islam dan (budaya) Jawa. 4. Sinkretisasi Islam dalam Budaya Jawa. Dari sekilas tentang Islamisasi di Jawa dapat dinyatakan bahwa dengan relatif mudah agama Islam diterima oleh Orang Jawa, baik masyarakat awam maupun bangsawan. Agaknya, agama Islam tersebut dengan mudah diterima oleh orang Jawa adalah karena ajarannya yang berbau mistik (tasawuf). Dengan kata lain, karena ajaran tasawuf bersifat 42
supel dan suka berasimilasi serta menerima aneka warna tradisi setempat, ajaran tersebut menarik perhatian orang Jawa.khusus berbicara tentang Islamisasi di Indonesia, Aceh(1987:15) menyatakan bahwa para penyebar agama yang pada awalnya datang di Indonesia (Samudra Pasai) telah membawa ajaran tasawuf. Dalam bentuk tasawuf itu pula agama Islam disesuaikan dengan struktur sosial dam filosofis masyarakat setempat sehingga dengan mudahnya Islam diterima tanpa adanya pertentangan (Bukhari, 1971:32). Penerimaan secara sukarela tersebut karena adanya kesesuaian antara ajaran tasawuf dengan kepercayaan masyarakat yang bersangkutan. Adapun titik kesesuaian itu adalah paham bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan (Wihdatul Wujud) (Hadiwijoyo,1983:74). Menurut Simuh (1985:79), Ajaran-ajaran tasawuf Hamzah Fansuri yang mendapat dukungan dari Sultan Iskandar Muda dapat berkembang luas ke Aceh. Kepopuleran ajaran tersebut juga merembas kedalam kepustakaan Jawa hingga abad ke-19. Secara lebih tegas, Hadiwijono (1983:15) menyatakan bahwa tulisan Hamzah Fansuri dan Syams al-Din dari Pasai menunjukan hubungan yang erat antara keduanya dengan Jawa. Sementara itu, Poerbatjaraka dan Hadidjaya (dalam Simuh,1988:9) menyatakan bahwa penyebaran agama Islam di Jawa itu segera diikuti pula dengan mengalirnya kepustakaan Islam, baik yang ditulis dengan bahasa dan huruf Arab maupun yang telah diubah dalam bahasa Melayu. Kepustakaan Jawa yang memuat ajaran-ajaran Islam tersebut dinamai kepustakaan
Islam
kejawen. 43
Di
bagian
lain,
Simuh(1988:3)
mengemukakan bahwa setelah satu nama yang sering digunakan untuk menyebut kepustakaan Islam Kejawen adalah suluk, yang isinya berkaitan dengan ajaran tasawuf. Tentang ajaran mistik Islam (tasawuf) yang datang di Jawa dapat dengan mudah diterima oleh orang Jawa. Koentjaranigrat (1984:53) menyatakan bahwa-seperti halnya yang terjadi di Aceh -gagasan-gagasan mistik mendapat sambutan yang baik karena zaman sebelum masuknya agama Islam, kepercayaan tradisional (animisme dan dinamisme) serta tradisi kebudayaan Hindu dan Budha yang ada terlebih dahulu di Jawa telah didominasi oleh unsur-unsur mistik. Bagi orang merupakan esensi atau hakikat dari kebudayaannya. Oleh karena itu, ajaran ajaran tasawuf yang telah terlebih dahulu berkembang di Aceh dapat diterima pula oleh orang Jawa. Demikianlah, ajaran atau paham Islam yang masuk ke Jawa, terutama ke daerah Jawa pedalaman seperti Mataram (wilayah Surakarta dan Yogyakarta) yang merupakan ajaran atau paham wihdatui wujud, seperti yang dianut oleh Hamzah Fansuri dapat diterima oleh oarng Jawa. Seperti dikemukakan oleh Koentjaranigrat, agaknya ajaran tersebut ada titik kesamaannya dengan sistem kepercayaan Jawa yang telah dipengaruhi oleh agama Hindu-Budha yang telah datang dahulu ke Jawa. Dengan menganut agama yang baru (Islam) yang bercorak mistik tersebut orang Jawa tetap masih mempertahankan tradisi agama terdahulunya (Hindu-Budha), misalnya selamatan untuk mengirim do’a. 44
Sesuai dengan paham yang dianut oleh masyarakat Jawa pada waktu itu, ajaran atau paham wihdatul wujud diramu menjadi ajaran atau paham manunggaling kawula gusti yang dianut oleh sebagian masyarakar Jawa dengan bercirikan kejawen. Oleh karena itu, syariat Islam-misalnya sholat ilma waktu-tidak dilaksanakan dengan taat oleh masyarakat Jawa penganut ajaran tersebut. Perintah shaum (puasa) juga dilaksanakan tidak sesuai dengan syariat Islam, tetapi disesuaikan dengan tradisi Jawa, misalnya pasa mutih, pasa ngebleng, dan pasa pati geni. Karena pengaruh ajaran tasawuf dari mazab yang cenderung kepanteisme itu pula masyarakat Jawa lebih suka membaca kitab-kitab suluk dan primbon Jawa daripada membaca kitab yang berisi syariat yang benar. Perpindahan pusat kekuasaan dari Demak ke Pajang, kemudian ke Mataram, sangat berarti bagi perkembangan Islam itu sendiri. Di daerah pertanian (agraris) adat istiadat lama dan kepercayaan Hindu-Budha yang telah mendarah daging dalam jiwa masyarakat pedalaman dengan sendirinya tidak mudah untuk digantikan oleh kepercayaan tauhid’ mengEsakan Allah’ sebagai pokok ajaran Islam (Radjiman,1977:6-9), apalagi ajaran tasawuf (mistik Islam) sangat mewarnai corak Islam di Jawa. Bahkan, oleh sunan Kalijaga yang merupakan salah seorang wali Sembilan (wali sanga) dari aliran sunnah, tradisi dalam kebudayaan Jawa tersebut dimanfaatkan untuk mengajak masyarakat Jawa kepada Islam secara hikmah dan bijaksana. Misalnya, melalui pertunjukan wayang kulit dan tradisi garebeg maulud atau sekaten yang lengkap dengan gunungan45
gunungan nasi sebagai pengganti upacara menghormati Dewi Sri (Radjiman,1977:6). Dengan demikian, agama Islam di daerah pedalaman terbentuk menjadi agama Islam. Kejawen yang bersifat sinkretis. Menurut Simuh (1988:1-2), penganut paham sinkretisme menganggap bahwa semua agama adalah baik dan benar, dan mereka gemar memadukan unsur unsur dari berbagai agama dan kepercayaan yang pada dasarnya berbeda atau bahkan berlawanan. Ajaran agama Islam yang bersifat atau bercorak sinkretis ini merasuk ke seluruh lapisan masyarakat Jawa, baik kalangan bangsawan keraton maupun masyarakat pedesaan. Salah seorang raja Jawa yang terkenal, Sultan Agung, dapat dikatakan sebagai raja jawa yang berhasil mensikretiskan ajaran Islam dengan budaya Jawa. Penguasa tertinggi kerajaan Mataram pada awal abad ke-16 itu memiliki gelar senapati ing ngalaga sayidin panata gama’ panglima di medan perang, penguasa pengatur agama’. Gelar itu menunjukan bahwa Sultan Agung merupakan raja yang menguasai urusan dunia (kerajaan) sekalipun urusan agama. Sesuai dengan itu, Sultan Agung dipercayai sebagai seorang raja yang berhasil memadukan unsur penanggalan Masehi dengan Hijriah sehingga terbentuklah sistem penanggalan Jawa. Pengaruh Islam dalam budaya Jawa (sastra) Jawa yang bertuliskan hanacaraka sesunggunya baru terjadi pada sekitar abad ke-16 (Simuh, 1996:2). Melalui sastra inilah (sastra suluk atau wirid) filsafat dan konsepkonsep ajaran Islam yang datang ke Jawa bisa diketahui secara jelas. 46
B. Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Kata “Islam” dalam “pendidikan Islam” menunjukan warna pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yang berwarna Islam, pendidikan yang Islami, yaitu pendidikan yang berdasarkan Islam. pertanyaan yang hendak dijawab ialah : Apa pendidikan itu menurut Islam? untuk menjawab pertanyaan ini lebih dahulu dibahas definisi pendidikan menurut para pakar, setelahh itu barulah dibahas apa pendidikan itu menurut Islam. Pembahasan tentang apa pendidikan itu menurut Islam terutama didasarkan atas keterangan al-Qur’an dan hadis, kadang -kadang diambil juga pendapat para pakar pendidikan Islam. Formulasi hakikat pendidikan Islam tidak boleh dilepaskan begitu saja dari ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur’an dan As-sunnah, karena kedua sumber tersebut merupakan pedomen otentik dalam penggalian khazanah keilmuan apa pun.dengan berpijak pada kedua sumber itu diharapkan akan memperoleh gambaran yang jelas tentang hakikat pendidikan Islam. Secara umum pengertian pendidikan Islam belum memiliki rumusan yang disepakati oleh seluruh ahli pendidikan Islam. Konferensi Internasional pendidikan Islam pertama (Firs world Comference on Muslam education) yang diselenggarakan oleh King Abdul Azis University Jeddah pada tahun 1977, belum berhasil merumuskan defenisi yang jelas dan disepakati tentang pengertian pendidikan menurut Islam. 47
Pada bagian rekomendasi, para peserta hanya membuat kesimpulan bahwa pengertian atau defnisi pendidikan menurut Islam adalah keseluruhan pengertian yang terkandung dalam istilah ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib (Ahmad Tafsir, 1992:28). Menurut Naquib Attas (1992:53), istilah ta’dib merupakan istilah yang paling tepat digunakan untuk mengambarkan ilmu pendidikan. Istilah tarbiyah menurut pendapatnya dianggap terlalu keras. Karena pendidikan dalam istilah ini mencakup juga pendidikan untuk hewan. Istilah ta’dib menurut penjelasannya berasal dari kata kerja adabun yang berarti pengenalan atau pengakuan tentang hakekat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara herakhis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat mereka. Demikian juga tentang kedudukan seorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakekat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual maupun rohaniah seseorang. Berdasarkan pengetahuan ini, al-Atas mendefinisikan pendidikan menurut Islam sebagai pengenalan dan pengetahuan yang secara berangsur -angsur ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam tatanan wujud sehingga hal ini menjelaskan bahwa pendidikan menurut Islam adalah usaha agar manusia mengenali kedudukan Tuhan dalam kehidupan ini. Pendidikan Islam yang didefinisikan Ridha (1953:261) adalah alta’lim. Menurutnya, pendidikan dalam Islam itu adalah al-ta’lim yang merupakan proses tranmisi berbagi ilmu pengetahuan pada jiwa individu 48
tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Tranmisi ilmu pengetahuan itu dilakukan secara bertahap sebagaimana Nabi Adam menyaksikan dan menganalisis nama-nama segala sesuatu yang diajarkan oleh Allah kepadanya. Selain Ridha yang juga mengatakan bahwa pendidikan Islam itu identik dengan al-ta’lim adalah Abd. al-Fata Jalal (1977:17) menurutnya, at-ta’lim
memiliki
makna
doktrinasi
pengetahuan,
pemahaman,
pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah. Sehingga terjadi tazkiyah al-nafs (penyucian diri atau pembersihan diri) dari manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia itu berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al hikmah serta mempelajari segala apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya. Pengertian tersebut menunjukan bahwa al-ta’lim memiliki ruang lingkup yang lebih luas dari pada al-tarbiyah. Karena al-ta’lim mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa. Sedangkan at-tarbiyah hanya diperuntukan pada pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak. Secara terminologis, para ahli pendidikan Islam memiliki cara yang beragam dalam memberikan makna al-tarbiyah, diantaranya adalah : a. Menurut Athiyah al-Abrasi (1995:8), al-tarbiyah adalah upaya mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna, kebahagiaan hidup, cinta tanah air, kekuatan raga, kesempurnaan etika, sistematika dalam berpikir, tajam perasaan, giat dalam berkreasi,
49
toleran pada yang lain, berkompetensi dalam mengungkap bahasa tulis dan lisan, serta terampil berkreativitas. b. Menurut al-Barusawi (1997:13), al-tarbiyah adalah proses pemberian nafsu dengan berbagi kenikmatan, pemeliharaan hati nurani dengan berbagai kasing sayang, bimbingan jiwa dengan hukum-hukum syari’ah, serta pengerahan hati nurani dengan berbagai etika kehidupan dan penerangan rahasia hati dengan hakekat pelita. c. Menurut al-Ghalayani (1994:185), al-tarbiyah adalah penanaman etika yang mulia pada jiwa anak yang sedang tumbuh dengan cara memberi nasehat, sehingga ia memiliki potensi-potensi dan kompetensikompetensi jiwa yang mantap yang dapat membuahkan sifat-sifat bijak, baik, cinta akan kreasi dan berguna bagi tanah airnya. Dari ketiga pengertian pendidikan Islam di atas bila dikaji secara mendalam sebenarnya hanya berbeda dalam hal penekanan atau keutamaannya saja. Kata al-tarbiyah mempunyai pengertian pendidikan yang memberikan penekanan di masa anak-anak dan juga mencakup dalam hal pemeliharaannya, terutama pemberian nafkah, mencukupi kebutuhan hidupnya dan lain lain. Artinya mensejahterakan kehidupan pada anak. Kemudian ta’lim merupakan pendidikan yang memfokuskan pada transformasi keilmuan, baik berupa sains, teknologi, ilmu-ilmu sosial, pengetahuan budaya ataupun ilmu-ilmu keagamaan. Sedangkan pembentukan prilaku seseorang lebih ditekankan pada pengertian pendidikan yang diambil dari kata ta’dib. Dengan kata lain, pendidikan 50
seseorang sehingga ia menjadi beradab, mempunyai sopan santun dan berahlak mulia. Merujuk uraian di atas tentang pendidikan dan uraian yang mendukungnya, baik secara langsung atau tidak langsung, maka pendidikan Islam adalah proses bimbingan dari seseorang kepada orang lain agar ia berkembang secara maksimal, sesuai dengan ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-sunnah serta pengembangan pamahaman kedua sumber tersebut berdasarkan kepada pikiran (ra’yu) dan ijtihad. 2. Tujuan Pendidikan Islam Tujuan pendidikan diharapkan sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada dalam Alquran dan hadis. Peranan tujuan sangat penting sebab menentukan arah proses belajar mengajar. Tujuan pendidikan Islam dirumuskan dari nilai-nilai filosofis yang kerangka dasarnya termuat dalam filsafat pendidikan Islam. Seperti halnya dasar pendidikannya maka tujuan pendidikan Islam juga identik dengan tujuan Islam itu sendiri. Mohammad Athiya El-Abrasyi (1975:22-25) seorang ulama muslim, membagi tujuan pendidikan Islam menjadi empat, yaitu : a. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. b. Sebagai persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. c. Menumbuhkan roh ilmiah (scientific spirit) pada pelajar dan menumbuhkan keinginan unuk mengetahui (curiousity) atas segala hal, serta memungkinkan pelajar untuk mengkaji berbagai ilmu. d. Menyiapkan pelajar dari segi profesional dan teknis agar ia dapat mencari rezeki di dunia dan hidup dengan mulia di samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan.
51
3. Unsur-Unsur Pendidikan Islam a. Asas Islam mengatakan bahwa Alquran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Alquran ini juga dipandang sebagai keagungan dan penjelasan, namun juga sering kali disebut sebagai petunjuk dan buku. Alquran berisi segala hal mengenai petunjuk yang membawa hidup manusia bahagia di dunia dan bahagia di akhirat kelak. Kandungan yang ada di dalam Alquran meliputi segala hal sebagaimana difirmankan Allah SWT “tidak kami luputkan dalam kitab itu segala sesuatu” (QS.6:38).
اPنRطTرPا فP مRمZكZلPثRمPم_ أPمZ أTهِ ِالRيPاحPنPجP بZرRطِيP يjئِرPطPلPضِ وRرPلR فِى اjةTابP دRامِنPمPو نRوZرPشRحZِ يRهِمxبP رP إِلىTمZ ثjءRيP شRابِ مِنPلِكتRفِى ا Jika tidak ada sesuatu yang luput dari catatan kitab Alquran ini, maka berarti Alquran berisi petunjuk segala sesuatu yang dengan jelas dinyatakan dalam ayat lain “dan kami turunkan kepadamu kitab yang menerangkan tiap-tiap sesuatu dan sebagai huda dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS.16:89).
ىPلPد‚ا عRهِيP شPا بِكPنRجِئP وRسِهِمZفRنPن أRِ مRهِمRيPلPد‚ا عRهِيPة شj TمZ أxلZ كR ِفىZثPعRبZ يPمRوPوي نRلِمِيRسZمRى ِللPرRشZبPة‚ وPمRحPرPد‚ى وZهP وjءRيPان‚ا ِلك“لِ شPيR تِبPكRيPعل P اPنRلTنزPءِ وPلPZؤPه Segala sesuatu ini banyak dipahami oleh para sarjana muslim meliputi berbagai macam cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan itu menurut Alquran harus dicari melalui 52
analogi dan hadis nabi SAW, yang merupakan bagian dari syariah Islam. Di sini, pertimbangan-pertimbangan harus diteliti melalui kedua sumber Alquran dan hadis tersebut yang secara nyata ditunjukkan melalui metode qiyas. b. Tujuan Sesuai dengan Alquran disebutkan filosofis pendidikan islam bertujuan sesuai dengan hakikat penciptaan manusia yaitu agar manusia menjadi pengabdi Allah yang patuh dan setia (QS.51:56).
نRوZدZبRعPل لِيTِ اPسRلِنRاP وTالجِنR ZقتR PلPا خPمPو Menurut Jalaluddin secara garis besar tujuan pendidikan Islam dapat dilihat dari tujuh dimensi utama : 1) Dimensi hakikat penciptaan manusia : pendidikan bertujuan untuk membimbing perkembangan peserta didik secara optimal agar menjadi pengabdi kepada Allah yang setia. 2) Dimensi tauhid : pendidikan bertujuan untuk upaya pembentukan sikap takwa. 3) Dimensi moral : pendidikan bertujuan untuk pembentukan manusia sebagai pribadi yang bermoral. 4) Dimensi perbedaan individu : pendidikan bertujuan untuk membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik secara optimal, dengan tidak mengabaikan adanya faktor perbedaan individu, serta menyesuaikan pengembangannya dengan kadar kemampuan dari potensi yang masing-masing 5) Dimensi sosial: pendidikan bertujuan untuk pembentukan manusia sosial yang sebagai dasar perilaku 6) Dimensi profesional: pendidikan bertujuan untuk membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik, sesuai dengan bakatnya masing-masing, dengan demikian diharapkan mereka dapat memiliki keterampilan yang serasi dengan bakat yang dimiliki, hingga keterampilan itu dapat digunakannya untuk mencari nafkah sebagai penopang hidupnya. 53
7) Dimensi ruang dan waktu : pendidikan bertujuan untuk membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik secara optimal agar mereka mampu menopang keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia sesuai dengan perintah syariat Islam. c. Materi Materi (atau bahan) pelajaran dirumuskan setelah tujuan pengajaran ditetapkan.Menurut Oemar Hamalik (1991:23-24) materi pelajaran memiliki sifat-sifat, yang dapat dikategorikan: 1) Fakta: adalah sifat dari suatu gejala, peristiwa, benda yang wujudnya dapat ditangkap oleh panca indera. 2) Konsep: atau pengertian adalah serangkaian perangsang yang mempunyai sifat-sifat yang sama. 3) Prinsip: adalah pola antar hubungan fungsional antara konsep. 4) Nilai: adalah suatu pola, ukuran, atau merupakan suatu tipe atau model. 5) Keterampilan: adalah pola kegiatan yang bertujuan, yang memerlukan manipulasi dan koordinasi informasi yang dipelajari. 6) Prosedur: atau proses adalah serangkaian perubahan, gerakangerakan sesuatu secara berurutan. Materi pelajaran harus sesuai dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai.Menurut S.Nasution (1991:69-71) Dalam menetapkan materi pelajaran ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Materi harus sesuai dengan tujuan pembelajaran 2) Ditulis secara garis besar 54
3) Urutan sesuai dengan urutan tujuan 4) Berkesinambungan antara materi 5) Disusun secara hierarkis Materi pelajaran mana yang harus dipilih, tentu tidak semua bahan atau materi diberikan mengingat keterbatasan waktu dan pertimbangan-pertimbangan
lain,
seperti
kemampuan
siswa.
Menetapkan materi perlu memperhatikan tujuan pengajaran, urgensi kurikulum
nilai
kegunaan,
dan
terbatasnya
sumber
bahan.
Dalam menentukan materi pelajaran kita harus ingat bahwa materi tersebut tidak boleh bertentangan dengan Alquran dan Hadis. Jika perlu para pendidik unsur-unsur Islami dalam materi pelajaran yang akan diajarkan. Dengan hal ini diharapkan siswa mampu memahami bahwa segala sesuatu tidak bisa lepas dari Alquran dan hadis. Muhammad Fadhil al-Jamaly merumuskan kerangka materi kurikulum dalam pendidikan Islam dalam sepuluh macam, yang intinya mencakup: 1) Larangan mempersekutukan Allah. 2) Berbuat baik kepada orang tua 3) Memelihara, mendidik, dan membimbing anak sebagai tanggung jawab terhadap amanah Allah 4) Menjauhi perbuatan keji dalam bentuk lahir dan batin 5) Menjauhi permusuhan dan perbuatan munkar 6) Menyantuni anak yatim dan memelihara hartanya 55
7) Tidak melakukan perbuatan di luar kemampuan 8) Berlaku jujur dan adil 9) Menepati janji dan menunaikan perintah 10) Berpegang teguh kepada ketentuan hukum Allah d. Subjek Yang dimaksud subjek di sini adalah pendidik atau guru. Hamalik (2004:36-38) dalam bukunya menyebutkan bahwa guru adalah jabatan profesional yang memerlukan berbagai keahlian khusus. profesi, maka harus memenuhi kriteria profesional, (hasil lokakarya pembinaan Kurikulum Pendidikan UPI Bandung1975) sebagai berikut: 1)
Fisik
-
Sehat jasmani dan rohani.
-
Tidak mempunyai cacat tubuh yang bisa menimbulkan ejekan/ cemoohan atau rasa kasihan dari anak didik.
2) Mental/kepribadian -
Berkepribadian/berjiwa Pancasila.
-
Mampu menghayati GBHN.
-
Mencintai bangsa dan sesama manusia dan rasa kasih sayang kepada anak didik.
-
Berbudi pekerti yang luhur.
-
Berjiwa kreatif, dapat memanfaatkan rasa pendidikan yang ada secara maksimal.
56
-
Mampu menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa.
-
Mampu mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab yang besar akan tugasnya.
-
Mampu mengembangkan kecerdasan yang tinggi.
-
Bersifat terbuka, peka, dan inovatif.
-
Menunjukkan rasa cinta kepada profesinya.
-
Ketaatannya akan disiplin.
-
Memiliki sense of humor.
3) Keilmiahan/pengetahuan -
Memahami ilmu yang dapat melandasi pembentukan pribadi.
-
Memahami ilmu pendidikan dan keguruan dan mampu menerapkannya dalam tugasnya sebagai pendidik.
-
Memahami, menguasai, serta mencintai ilmu pengetahuan yang akan diajarkan.
-
Memiliki pengetahuan yang cukup tentang bidang-bidang yang lain.
-
Senang membaca buku-buku ilmiah.
-
Mampu memecahkan persoalan secara sistematis, terutama yang berhubungan dengan bidang studi.
-
Memahami prinsip-prinsip kegiatan belajar-mengajar.
4) Keterampilan -
Mampu berperan sebagai organisator proses belajar mengajar. 57
-
Mampu menyusun bahan pelajaran atas dasar pendekatan struktural, interdisipliner, fungsional, behavior, dan teknologi.
-
Mampu menyusun garis besar program pengajaran (GBPP).
-
Mampu
memecahkan
dan
melaksanakan
teknik-teknik
mengajar yang baik dalam mencapai tujuan pendidikan. -
Mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan.
-
Memahami dan mampu melaksanakan kegiatan dan pendidikan luar sekolah. Subjek atau pendidik hendaknya memenuhi persyaratan yang
tersirat maupun dalam Alquran dan hadis. Hal ini penting karena pendidik membawa beban berat untuk membina para siswa tidak salah jalan di kemudian hari. Maka untuk memenuhi tujuan ini pendidik harus memperhatikan dirinya sendiri atau instropeksi terhadap dirinya sendiri. Guru yang ideal adalah guru yang dapat menempatkan dirinya sebagai seorang yang ‘digugu’ dan ‘ditiru’(Moh.Roqib,2009:36). Hal ini, berarti guru haruslah orang yang memiliki kepribadian, ia tidak menguasai sejumlah pengetahuan tetapi juga berbagai sumber nilainilai kehidupan, yang bermanfaat bagi siswa. Guru juga harus dapat berinteraksi dengan masyarakat, ia mampu masyarakatnya. Guru juga harus memiliki beberapa kompetensi. Kompetensi guru
berarti
sejumlah
kemampuan
(pengetahuan,
sikap,
dan
keterampilan) yang harus dimiliki oleh seorang guru. Atau jelasnya, 58
bahwa guru hendaknya memiliki kemampuan baik pengetahuan, sikap maupun keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang guru. Menurut A.Samana (1999:51-69) Kompetensi guru sangat banyak, tetapi dapat dikelompokkan menjadi : 1) Kompetensi kepribadian (atau personal) Seorang
guru
harus
mempunyai
kepribadian
yang
mencerminkan tindak-tanduk guru pada umumnya. Seorang pendidik harus dapat menjadikan dirinya sebagai sosok teladan pare peserta didiknya 2) Kompetensi profesional Seorang guru harus mempunyai sikap profesional terhadap bidang pekerjaan yang dimilikinya yaitu mampu melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Seorang pendidik juga diharapkan mampu membimbing dan memotivasi peserta didiknya. 3) Kompetensi sosial Seorang guru harus mampu menempatkan dirinya di tengahtengah masyarakat yang mengharapkan dirinya untuk selalu mempunyai kemampuan “mengajar”. Seorang pendidik diharapkan mampu membantu anak didiknya dalam mencari nilai-nilai hidup dan mengembangkan kepribadiannya serta pengetahuannya di tengah masyarakat. 4) Kompetensi pedagogi
59
Seorang guru harus memiliki intelektual yang baik yaitu: mempunyai pengetahuan yang tentang apa yang akan diajarkan, mempunyai dasar-dasar pengetahuan yang luas tentang tujuan pengajaran yang hendak dicapai, menguasai metode mengajar, memiliki
dasar
pengetahuan
untuk
membimbing
siswa
menyangkut bakat, minat, kebutuhan dan aspirasi. Sedangkan menurut Nashih Ulwan (1981) seorang pendidik harus memiliki lima kriteria, yaitu: 1) Bertakwa kepada Allah (QS.3:102).
PنRوZلِمRسZ مRمZتRنPاP وT اِلTنZ تRوZمPتPلPاتِ ِه وPقZ تTقP حPوالZقTااتRوZنPمP أPنRذِيTا الPي“هPاأPي 2) Ikhlas (QS.4:114).
اPمP وRمZسِكZفR نPلPفjرRيP خRامِنRوZفِقRتنZ اPمP وPاءPشP يRنP مRدِ يRهP الِ يRلِكنP وRمZ يهPدZ هPكRيPلP عPسRيPل نRوZمPلRظZلتP RمZتRنPأP وRمZكRيP ِإلTفPيوZ jرRيP خRامِنRوZفِقRنZت 3) Berilmu (QS.58:11)
تPاPجPرPدPلمRلِعRواZتRوZ أPينRذTالP وRنكِمRاِمRوZنPمP أPنRذِيT الPعِ الPرفRي 4) Santun, lemah lembut (QS.3:114,QS.7:99). ل¥PنPع ِ PنRا فِيPلعRاP وPظRيPلغR اPنRظِمِيPلكRاPاءِ وPرTالضPاءِوPرT السR فِيPنRوZفِقRنZ يPنRذِيTأل
نRسِنِيRحZلمRحِب“ اZ يZالPاسِ وTالن PنRاهِلِيPلجRن ا ِ P عRرِضRعZأPفِ وRرZلعR بِاRرZمRأP وPوRفPلعRذِ اZخ 5) Punya rasa tanggung jawab (QS.20:132) 60
ويRقT لِلتZةPاقِبPلعRاP وPكZقZزRرP نZنRحPق‚ا نRلنسألك ِرزP اPهRيPلPعRبِرPطRاصPوةِ وPلT بِالصPكPلRهP أRرZمRأPو Berbeda dengan pendapat di atas, Abu Bakar Ahad AS Sayyid berpendapat bahwa seorang pendidik haru mempunyai beberapa kepribadian, yaitu : 1) Mengenakan busana muslim bagi pendidik muslimah (QS.33:59).
الِكP ذTبِهِنR بِيPلP جR مِنTهِنRيPلP عPنR نِيRدZ يPنRمِنِيRؤZلمRاPاءPنِسP وPتِكPنPبP وPاجِكPوRزP ِلRلZبِي“ قTاالنPي“هPأPيا م‚اRحِيTر‚ا رRوZغف P P الPانPكPنِ وRيPذRؤZ يPلP فPنRفPرRعZ يRأنP يPنRدPأ 2) Hendaklah memelihara jenggot bagi pendidik laki-laki muslim
‘peliharalah
jenggotmu
dan
rapikanlah
kumismu
(Sohih
Bukhari,1992:260).
ىPحxا اللRوZخRرPأP وPارِبPوTا الشRز“وZج 3) Memulai pembicaraan dengan Basmalah dan Salawat Nabi ‘setiap
perkara yang penting tidak dimulai dengan Basmalah atau Hamdalah, maka terputuslah barokah dari Allah ( Sunan Abu Daud,1992:320).
ZعPطRاقP PوZسم ِال ِفهRيهِ ِبR ِفjلPعم P “كل Lebih lanjut menurut Zahara Idris, bahwa para pendidik adalah mereka yang memiliki kriteria sebagai berikut : 1) Mempunyai pengetahuan yang bulat, up to date, tentang apa yang akan diajarkan
61
2) Mempunyai dasar-dasar pengetahuan yang luas tentang tujuan pengajaran yang hendak dicapai 3) Memiliki
dasar
pengetahuan
untuk
membimbing
siswa
menyangkut bakat, minat, kebutuhan, dan aspirasi 4) Menguasai metode mengajar Menurut Athiyah Al-Abrasyi(1975:136-137), seorang guru harus memiliki kriteria sebagai berikut: 1) Zuhud, tidak mementingkan materi (tidak materialistik), dan mengajar karena mencari keridaan Allah 2) Bersih; yaitu berusaha membersihkan diri dari berbuat dosa dan kesalahan secara fisik, serta membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela dengan cara membersihkannya syirik, sifat ria, dengki, maupun permusuhan 3) Ikhlas, antara lain dengan cara menyesuaikan antara perkataan dan perbuatan, serta tidak malu mengatakan secara jujur, bahwa saya tidak tahu terhadap masalah yang belum ia ketahui 4) Suka pemaaf, yaitu memiliki sifat pemaaf yang tinggi 5) Berperan sebagai bapak bagi siswa 6) Menguasai materi pelajaran Pendapat yang lain lagi datang dari Abd al-Rahman al-Nahlawi (1992:164). Tokoh ini mengemukakan bahwa syarat seorang pendidik meliputi sifat dan perilaku seperti: 1) Harus memiliki sifat robbani 62
2) Menyempurnakan sifat robbani dengan keikhlasan 3) Memiliki rasa sabar 4) Memiliki kejujuran dengan menerangkan apa yang diajarkan dalam kehidupan pribadi 5) Meningkatkan wawasan pengetahuan dan kajian 6) Menguasai variasi serta metode mengajar 7) Mampu bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya (proposisi) sehingga ia akan mampu mengontrol diri dan siswanya 8) Memahami dan menguasai psikologis anak dan memperlakukan mereka sesuai dengan kemampuan intelektual dan kesiapan psikologisnya 9) Mampu menguasai fenomena kehidupan, sehingga memahami berbagai kecenderungan dunia beserta dampak yang akan ditimbulkan bagi peserta didik 10) Dituntut memiliki sifat adil (objektif) terhadap peserta didik e. Objek Yang dimaksud objek dalam sistem pembelajaran adalah peserta didik. Peserta didik merupakan sasaran dan sekaligus sebagai subjek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik(Tim Dosen FIP-IKIP Malang,2003:106-128). Setidaknya secara umum peserta didik memiliki lima ciri yaitu: 63
1) Peserta didik sedang dalam keadaan berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, Kemauan, dan sebagainya. 2) Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa. 3) Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda. 4) Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu. Diharapkan pengembangan potensi peserta didik akan sejalan dengan fitrahnya yang hakiki, yaitu makhluk yang memiliki potensi untuk berkembang dan dikembangkan, dengan tujuan akhirnya adalah agar dapat berperan sebagai pengabdi Allah yang setia. 1) Konsep Al Insan (Djamaluddin Darwis,1996:99-106). a) Khalifah / potensi politik Manusia adalah makhluk yang diangkat sebagai khalifah Allah. Adapun tugas pokok manusia sebagai khalifah adalah
untuk
mewujudkan
kemakmuran
dan
untuk
mewujudkan kebahagiaan dalam kehidupan di bumi ciptaan tuhan-Nya. b) Manusia yang memiliki hidayat Kemampuan dasar yang berbentuk potensi ini secara umum disebut sebagai hidayah, yang terdiri atas : -
ghorizah: yang di dalamnya terhimpun sejumlah unsur seperti insting/fitrah, dorongan ingin tahu, harga diri, 64
seksual, mempertahankan diri dan dorongan primer lainnya, yang pada intinya merupakan dorongan manusia untuk mempertahankan hidup. -
Hissiyah: potensi yang berperan sebagai alat komunikasi. Potensi inderawi ini dapat ditumbuhkembangkan melalui latihan-latihan yang teratur dan terencana, terprogram, serta berkesinambungan sesuai dengan tujuan agama.
-
Aqliyah: potensi intelek. Dengan menggunakan akal manusia dapat meningkatkan kualitas dirinya hingga dapat menjadikan lingkungannya bermanfaat.
-
Diniyah:
potensi
agama.
Potensi
ini
dapat
ditumbuhkembangkan dengan cara pemberian informasi tentang norma-norma agama, pembentukan sikap dan pelatihan-pelatihan rutin yang berkesinambungan, terutama dalam pelaksanaan ibadat. 2) Konsep manusia sebagai Al Nas: homosocius / potensi sosial Potensi ini adalah potensi manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, wujudnya berupa kecenderungan untuk bergaul dan menjalin hubungan antar sesama manusia (Ismail Thoib,2008:10). 3) Konsep manusia sebagai Al Basr: fisiologis / fitrah ekonomi / fitrah seni / mempertahankan hidup dan fitrah melangsungkan hidup (Ismail Thoib,2008:9). 65
Potensi ini dimaksud sebagai daya manusia untuk mempertahankan hidupnya dalam upaya memenuhi kebutuhan jasmani demi kelangsungan hidup. f. Metode Metode mengajar adalah cara yang digunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran. Menurut Syaiful Bahri (2000:184-206). Jenis-jenis metode mengajar antara lain: 1) Metode ceramah: adalah penuturan materi pelajaran secara lisan. 2) Metode tanya jawab atau dialog: adalah metode mengajar yang memungkinkan terjadinya komunikasi langsung yang bersifat lalu lintas dua arah, pada saat yang sama terjadi dialog antara guru dengan siswa. 3) Metode diskusi: adalah tukar menukar informasi, pendapat, dan unsur-unsur pengalaman secara teratur dengan maksud untuk mendapat pengertian bersama yang lebih jelas dan lebih teliti tentang sesuatu, atau untuk mempersiapkan dan merampungkan keputusan bersama. 4) Metode tugas atau resitasi: adalah pemberian tugas yang bisa dilaksanakan di sekolah, di rumah, di perpustakaan, dan di tempattempat lain. Kemudian siswa yang telah melaksanakan tugas memberikan laporan yang disebut resitasi.
66
5) Metode kerja kelompok: adalah metode mengajar yang menjadikan siswa dapat bekerja dalam situasi kelompok, baik kelompok besar maupun kelompok kecil. 6) Metode demonstrasi atau eksperimen: adalah metode mengajar dimana guru memberikan demonstrasi di depan kelas. 7) Metode problem solving: adalah metode mengajar dimana guru memberikan suatu permasalahan dan siswa diharapkan mencari jalan keluarnya. 8) Metode sistem regu: adalah metode mengajar dimana guru membagi siswa dalam regu dan diharapkan belajar dan bekerja bersama regu yang telah terbentuk tersebut. 9) Metode latihan atau drill: adalah metode mengajar dimana guru memberikan latihan-latihan soal kepada siswa. 10) Metode karyawisata: adalah metode mengajar dimana guru mengajak siswa untuk berkaryawisata ke tempat-tempat yang berhubungan dengan materi pelajaran. 11) Metode manusia sumber atau resource person: adalah metode mengajar dimana guru mendatangkan ahli dalam bidangnya untuk menerangkan langsung kepada siswa. 12) Metode
simulasi:
adalah
metode
mengajar
dimana
guru
menciptakan kondisi tertentu seperti yang ada di kehidupan nyata untuk tujuan pembelajaran.
67
13) Metode sosiodrama: adalah metode mengajar dimana guru menugaskan siswa untuk membuat drama yang sesuai dengan bahan pelajaran. 14) Metode survei masyarakat: adalah metode mengajar dimana guru menugaskan siswa untuk mengadakan survei di masyarakat secara langsung. Penggunaan metode mengajar dilaksanakan secara selektif dan variatif. Artinya disesuaikan dengan banyak pertimbangan (tujuan, materi, kemampuan guru dan siswa), dan penggunaannya tidak sendiri-sendiri, artinya dalam satu proses belajar mengajar dapat digunakan banyak metode mengajar, dengan pertimbangan efektivitas pengajaran. Sebetulnya menentukan metode mengajar juga erat kaitannya dengan model, strategi, pendekatan dan juga teknik yang digunakan dalam proses belajar mengajar. g. Media Media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan atau informasi yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. atau media pembelajaran dapat disebut juga sebagai sarana fisik untuk menyampaikan isi atau materi pembelajaran. dengan kata lain media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima, sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat siswa, sehingga
68
terjadi
proses
belajar
(Usman.M.Bbasyiruddin,2002:12).
Media
pembelajaran dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) Media audio: adalah media yang menghasilkan suara, contoh: kaset, tape recorder dan radio. 2) Media visual: adalah media yang dapat memperlihatkan rupa atau bentuk. Media visual bisa disebut juga sebagai alat peraga. Media visual dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a) Media visual dua dimensi. -
Media visual dua dimensi pada bidang tidak transparan, contoh: gambar di atas kertas karton, gambar yang diproyeksikan dengan opaque projector, grafik, diagram popster, gambar cetak dan lain-lain.
-
Media visual dua dimensi pada bidang transparan, contoh: slaid, lembar transparan untuk OHP.
b) Media visual tiga dimensi, contoh: benda asli, model, contoh barang, dan alat tiruan sederhana. c) Media audio visual: adalah media yang menghasilkan rupa dan suara dalam satu unit, contoh: film bersuara, video, dan televisi (Usman.M.Basyiruddin,2002:28-32). h. Evaluasi (Syaful Bahri,2000:217-223). Evaluasi pembelajaran merupakan proses sistematis untuk memberikan predikat pada tingkat kinerja akademik yang dicapai siswa. Jenis instrumen evaluasi adalah sebagai berikut: 69
1) Tes, dibagi menjadi tiga, yaitu: a) Tes tulis -
Tes
objektif
(B/S,
pilihan
ganda,
menjodohkan,
melengkapi, dan lain-lain). -
Tes subjektif atau esai (terbatas dan tak terbatas)
b) Tes lisan (tes lisan kelompok maupun individu) c) Tes tindakan (baik kelompok maupun perorangan) 2) Non tes: untuk menilai aspek tingkah laku, seperti: sikap, minat, perhatian, motivasi dan lain sebagainya. Jenisnya antara lain: a) Observasi b) Wawancara c) Skala penilaian d) Check list dan lain sebagainya 4. Batasan-batasan Pendidikan Islam Pada dasarnya batas-batas pendidikan Agama Islam mengarah pada maksud pembatasan nyata dari pendidikan dalam jangka waktu tertentu. Apakah pendidikan itu seumur hidup ataukah hanya pada waktu tertentu saja, dalam pribahasa kita mengenal istilah long live education atau pendidikan sepanjang hidup, hal ini sesuai dengan hadis nabi yang artinya ‘tuntutlah ilmu itu sejak buaian sampai keliang lahat (sohih Bukhari,1992:300).
دRهTى الPدِ اِلRهPمR الP ِمنPمRعِلR الZبZلRطZا
70
Hadis diatas secara eksplisit adalah perintah kepada seluruh umat Islam untuk menuntut ilmu pengetahuan sejak usia dini sampai ajal hendak menjemput. Secara implisit, hadist tersebut dipahami bahwa pendidikan tidak mengenal batas usia, dengan kata lain bahwa proses pendidikan berlangsung sepanjang hidup manusia, dalam konsep pendidikan Islam, Islam mengajarkan pendidikan terhadap anak yang baru lahir, bahkan jauh sebelum ia lahir (Moh.Roqib,2009:63). Ada sejumlah ritual dalam Islam yang merupakan proses pendidikan terhadap anak, seperti mengadzankan, mengaqiqahkan, dan lain sebagainya. Paradigma ini nampak berbeda dengan konsepsi pendidikan yang menunjukan adanya stimulus-respon dalam proses pelaksanaannya, seperti yang kemukakan dalam teori belajar Edwin R. Guthrie, yang mengatakan bahwa rentetan belajar dan menuntut ilmu itu aalah hasil dari stimulus-respon sebelumnya yang kemudian menjadi perangsang (stimulus-respon) untuk kegiatan selanjutnya, artinya dalam proses pendidikan disyaratkan adanya kesadaran si terdidik sehingga memungkinkan mnculnya repon terhadap stimulus yang diberikan pendidik. Berdasarkan pandangan ini, maka pendidikan memiliki batas nyata, yaitu dimulai ketika seorang anak dapat memberikan respon terhadap pendidikan yang diberikan sang pendidik. Permasalahan yang muncul dari konsepsi ini adalah kapankah seorang anak dapat memberikan respons terhadap proses pendidikan yang diberikan padanya, permasalahanpun semakin rumit ketika perkembangan 71
fisik dan psikologis setiap manusia berbeda satu sama lainnya. Permasalahanpun muncul dalam menentukan batas akhir dari proses pendidikan. Dalam konsep pendidikan, kedewasaan si terdidik merupakan batas akhir dari suatu proses pendidikan. Artinya ketika seorang anak sudah dewasa dan mampu menjadi tuan bagi dirinya sendiri, maka ia telah mencapai
batas
akhir
pendidikan.
Namun
pada
kenyataannya,
perkembangan fisik, kognisi, dan psikologis setiap orang tidaklah sama, sehingga batas kedewasaan seorang manusia berbeda-beda. Tidak jarang seorang anak yang kelihatan dengan usia dewasa tapi ada juga seorang dewasa tapi nampak seorang anak-anak. Melihat adanya ketidak pastian dalam menentukan batas awal dan akhir proses pendidikan, maka sangat tepat jika pendidikan Agama Islam memiliki slogan long live education. Sebab pada kenyataannya manusia membutuhkan pendidikan sejak ia dilahirkan baik pada saat ia mampu memberikan respon maupun jauh ketika belum mampu memberikan respon, serta ia ketika dewasa ataupun telah dewasa 5. Bentuk-Bentuk Pendidikan Islam Bentuk-bentuk Pendidikan meliputi pendidikan formal, nonformal, dan informal sebagai sebuah sistem. Pendidikan formal yang sering disebut pendidikan persekolahan, berupa rangkaian jenjang pendidikan yang telah baku, misalnya MI, MTs, MA, dan PT. Pendidikan nonformal lebih difokuskan pada pemberian keahlian atau skill guna terjun
72
ke masyarakat. Pendidikan informal adalah suatu fase pendidikan yang berada disamping pendidikan formal dan nonformal. Dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal, nonformal, dan informal ketiganya hanya dapat dibedakan tetapi sulit dipisah-pisahkan karena keberhasilan pendidikan dalam arti terwujudnya keluaran pendidikan yang berupa sumberdaya manusia sangat bergantung kepada sejauh mana ketiga sub-sistem tersebut berperanan. Di samping itu dalam pendidikan Islam itu sendiri, mulai dari pengertian, tujuan,dasar, materi, metode, subjek,dan obyek pendidikan tersebut, adalah serangkaian satu kesatuan yang saling menyertai satu dengan yang lainnya.Begitu pula di dalam tradisi upacara grebeg maulud sendiri merupakan suatu upacara bersama tentunya tidak lepas dari rangkaian pendidikan Islam tersebut,dengan kata lain di dalam upacara grebeg maulud,mulai dari perlengkapan upacara,prosesi,serta hal-hal lain yang ada dalam upacara tersebut,sudah pasti mengandung nilai-nilai pendidikan Islam. Hal ini dapat dilihat dari serangkaian upacara tersebut,namun nilai-nilai itu tidak langsung tampak seperti pendidikan Islam itu sendiri.Nilai-nilai pendidikan Islam dalam tradisi ini,kita bisa melihat hal-hal yang terdapat didalam tradisi tersebut.Hal ini dapat di buktikan mengapa sebagian besar dari prosesi upacara hingga hal-hal lainnya,berada di lingkungan masjid. Masjid merupakan suatu lingkungan pendidikan Islam di bilang sangat dominan,karena di masjid tersebut ketika orang akan masuk masjid saja harus bersuci, ini merupakan suatu 73
bentuk pembelajaran bahwa masjid adalah tempat suci dan tempat beribadah kepada yang maha suci, begitu pula masjid merupakan tempat untuk berdakwah atau tempat menyampaikan nilai-nilai Islam melalui metode ceramah ataupun metode diskusi. Dalam Kontek ini upacara grebeg maulud berakhir di masjid dan sebelum gunungan sendiri dibagikan ada proses penyampaian tentang sejarah riwayat nabi Muhammad,dan kemudian gunungan didoakan dan dibagikan.Hal ini membuktikan bahwa upacara tradisi grebeg maulud merupakan
suatu
bentuk
pendidikan
Islam
dengan
media
upacara.Pendidikan dalam kontek ini adalah suatu bentuk pendidikan yang di visualkan dengan simbolik, di antaranya; arsitektur, pakaian, musik atau gamelan, dan nyanyian.
74
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN
A. Paparan Data 1. Gambaran Umum Lokasi Kota Surakarta adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kota ini juga dikenal dengan nama Solo, Sala, dan Salakarta. Nama yang terakhir tidak dipakai lagi. Di Indonesia, Surakarta merupakan kota peringkat kesepuluh terbesar (setelah Yogyakarta). Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo. Kota ini dulu juga tempat kedudukan dari residen, yang membawahi Karesidenan Surakarta di masa awal kemerdekaan. Jabatan residen sekarang dihapuskan dan diganti menjadi "pembantu gubernur untuk wilayah Surakarta". Kota Surakarta memiliki semboyan BERSERI yang merupakan akronim dari Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah. Untuk kepentingan pemasaran pariwisata, Solo mengambil slogan pariwisata Solo the Spirit of Java yang diharapkan bisa membangun citra kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa. Batas-batas administrasi Surakarta
berbatasan
dengan
Kabupaten
Karanganyar
dan
Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan. 75
Kependudukan Jumlah penduduk kota Surakarta pada tahun 2003 adalah 552.542 jiwa terdiri dari 270.721 laki-laki dan 281.821 wanita, tersebar di lima kecamatan yang meliputi 51 kelurahan. Perbandingan kelaminnya 96,06% yang berarti setiap 100 orang wanita terdapat 96 orang laki-laki. Angka ketergantungan penduduknya sebesar 66%. Jumlah penduduk tahun 2003 jika dibandingkan dengan jumlah penduduk hasil sensus tahun 2000 yang sebesar 488.834 jiwa, berarti dalam 3 tahun mengalami kenaikan sebanyak 83.708 jiwa. Catatan dari tahun 1880 [3] memberikan cacah penduduk 124.041 jiwa. Jika wilayah penyangga Surakarta juga digabungkan secara keseluruhan (Soloraya - Surakarta + Kartasura, Colomadu, Baki, Grogol, Palur), maka luasnya adalah 130 km². Penduduknya berjumlah 850.000 jiwa. Geografi Kota Solo terletak sekitar 65 km timur laut Yogyakarta dan 100 km tenggara Semarang. Lokasi kota ini berada di dataran rendah (hampir 100m di atas permukaan laut) yang diapit Gunung Merapi di barat dan Gunung Lawu di timur. Agak jauh di selatan terbentang Pegunungan Sewu. Di sebelah timur mengalir Bengawan Solo dan di bagian utara mengalir Kali Pepe yang merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Solo.
76
Tanah di Solo bersifat pasiran dengan komposisi mineral muda yang tinggi sebagai akibat aktivitas vulkanik kedua gunung api yang telah disebutkan di atas. Komposisi ini, ditambah dengan ketersediaan air yang cukup melimpah, menyebabkan dataran rendah ini sangat baik untuk budidaya tanaman pangan, sayuran, dan industri, seperti tembakau dan tebu. Namun demikian, sejak 20 tahun terakhir industri manufaktur dan pariwisata berkembang pesat sehingga banyak terjadi perubahan peruntukan lahan untuk kegiatan industri dan perumahan penduduk. 2. Latar Belakang Adanya Tradisi Grebeg Maulud di Kraton Surakarta Pada awalnya sekaten merupakan upacara yang berwujud pertunjukan jawa-Islam dengan misi dakwah. Kesenian yang ditampilkan antara lain shalawatan, samprohan, dan dhib'an yang diiringi gamelan, rebana, jedor, genjreng, dan terban. Upacara itu digelar selama satu minggu dengan ditandai keluarnya gamelan (gong) dari keraton untuk dibunyikan di Masjid Agung. Mengingat upacara ini suci dan sakral, pengunjung yang hendak melihat disyaratkan mencuci kaki dan membaca kalimat syahadat. (www.joglo.com) Sedangkan
pada
mulanya
sekaten
diperkenalkan
kepada
masyarakat jawa oleh salah satu anggota wali sanga, yaitu Sunan Kalijaga yang hidup pada zaman kerajaan Islam Demak (abad ke-XV). Di antara para wali sanga, Sunan Kalijaga sangat terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, ulama, pemimpin, dan filosof. Kaum cendekiawan dan bangsawan simpatik kepada beliau karena caranya menyiarkan Islam 77
disesuaikan dengan tata cara budaya masyarakat setempat waktu itu. Disamping itu, beliau juga seorang wali yang kritis dan kreatif. Terbukti dengan inisiatifnya mengarang cerita-cerita wayang yang dikombinasikan dengan ajaran agama Islam. Hal itu dilakukan atas pertimbangan bahwa masyarakat jawa pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap agama nenek moyang, atau dengan kata lain masyarakat masih memegang teguh tradisi adat istiadat lama. (Kompas, 29 April 2005). Perayaan sekaten yang diadakan sunan Kalijaga bertujuan untuk menarik minat masyarakat jawa pada saat itu yang masih banyak menganut ajaran leluhur. Pelaksanaan dimulai dengan membaca syahadat sebelum acara sekaten tersebut dimulai. Untuk mengikuti acara sekaten tersebut penduduk setempat dianjurkan bersuci terlebih dahulu, kemudian membaca syahadatain sebagai syarat memeluk agama Islam. Istilah ‘syahadat' yang diucapkan sebagai ‘syahadatain' ini kemudian berangsurangsur berubah dalam pengucapannya sehingga menjadi syakatain dan pada akhirnya menjadi istilah ‘sekaten' sampai sekarang. Acara sekaten saat itu dimeriahkan dengan pertunjukan pentas seni tradisional, yaitu pertunjukan wayang dengan lakon punokawan dengan senjata ampuhnya jimat kalimosodo (dua kalimat syahadat). (Sabbili 9/X/2004).
78
B. Temuan Penelitian 1. Grebeg Maulud Grebeg Maulud merupakan puncak acara dari perayaan upacara sekaten. Intisari dari grebeg maulud adalah menghormati kehadiran nabi Muhammad SAW melalui tanggal kelahiran beliau dan memetik suri teladan kehidupan beliau serta menyiarkan agama Islam. Proses menyiarkan agama Islam tersebut juga tetap mematuhi undang-undang atau peraturan Kasultanan Demak untuk menyelenggarakan perayaan dan keramaian selama tujuh hari berturut-turut. Perayaan juga diisi konsep dari Sunan Kalijaga untuk memperdengarkan gamelan di pelataran Masjid Besar yang masih tetap dilaksanakan.(Hadipikarta, 1925: 59). Grebeg mulud yang terpenting adalah: a. Grebeg Maulud Dal Setiap delapan tahun sekali Kasusunan Kraton Surakarta menyelenggarakan Grebeg Maulud Dal, yang mana Dal disini adalah nama dalah satu tahun jawa Islam yang terdiri atas delapan tahun yang disebut dengan windu. Menurut tradisi perhitungan tarikh jawa Islam, Nabi Muhammad SAW dilahirkan pada hari Senin Pon tanggal 12 Maulud tahun Dal. Bertolak dari keinginan untuk merayakan hari kelahiran nabi Muhammad SAW, maka penyelenggaraan Grebeg Maulud Dal setiap delapan tahun sekali dilaksanakan secara mewah dan penuh kemegahan.
79
Dalam prosesi perayaan grebeg maulud dal kehadiran sultan di Masjid Besar selain untuk melaksanakan kegiatan religius yang bersifat keislaman juga melakukan acara simbolis yang tidak berkaitan dengan ajaran agama Islam yang berupa upacara menendang batu bata ( jejak boto ) di sebuah pintu terbuka di pagar tembok bagian selatan Masjid Besar. Kegiatan ini melambangkan rakyat pada zaman Kesultanan Demak secara resmi telah meninggalkan animisme / kepercayaan tradisional setempat untuk kemudian memeluk agama Islam. b. Tempat-Tempat Upacara Serangkaian upacara grebeg berpusat di dua tempat, yakni Tratag Sitihinggil dan komplek Masjid Besar. Tratag Sitihinggil merupakan bangunan yang luas dengan bentuk segiempat memanjang dengan tiang-tiang tinggi tanpa dinding. Semenjak dahulu tratag ini beratap anyaman bambu, kemudian semasa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII diganti dengan atap seng, sedangkan tiangtiangnya yang berupa bambu dirubah dengan tiang besi. Pada bagian bawah atap Tratag Sitihinggil didirikan dua buah bangsal, yaitu Bangsal Manguntur Tangkil dan Bangsal Witono . Tratag Sitihinggil merupakan tempat khusus untuk melakukan upacara Pasowanan Grebeg yang diadakan tiga kali dalam satu tahun dan untuk melakukan upacara Penobatan Sultan. Dalam upacara Pasowanan Grebeg, sultan berada di Bangsal Manguntur Tangkil, 80
duduk di singgasana keemasan yang diletakkan diatas Selo Gilang , yaitu batu yang ditinggikan. Bangsal Witono digunakan dalam upacara Pasowanan Grebeg saat menyelenggarakan Grebeg Maulud Dal yang terjadi tiap delapan tahun sekali dan juga untuk menempatkan pusakapusaka kraton yang sangat keramat. Kompek Masjid Besar terdapat penataan depan serambi Masjid Besar, di sebelah utara dan selatan yang dipergunakan untuk memperdengarkan Gamelan Sekaten. Gamelan ditempatkan selama satu minggu di dalam dua buah bangunan permanen yang khusus didirikan untuk gamelan hanya dalam rangka kegiatan Grebeg Maulud/Grebeg Maulud Dal. Di tempat/ pagongan itu pula, sultan atau wakil baginda menyebarkan sedekah sejumlah mata uang logam (udhik-udhik). Ambang pintu depan serambi Masjid Besar digunakan untuk upacara ritual penerimaan sesaji selamatan negara yang berupa sesaji gunungan dan lain-lain oleh Kanjeng Kyai Penglulu yang juga memanjatkan doa bagi keselamatan, kesentosaan serta kesejahteraan raja, keluarga dan kerabat kerajaan beserta seluruh rakyatnya. Selain itu, tempat ini dipergunakan pula untuk upacara penyambutan terhadap sultan setiap kali berkunjung ke Masjid Besar (Hadipikarta, 1925: 66). Sedangkan masyarakat luas paling banyak mendatangi alun-alun lor yang digunakan untuk pameran dan bazar berbagai barang promosi niaga serta pariwisata sekaligus merupakan tempat akhir prosesi perayaan upacara sekaten yang ditandai dengan dikeluarkannya 81
gunungan untuk dibagikan pada masyarakat. c. Gamelan Sekaten Pada masa permulaan perkembangan agama Islam di jawa, salah
satu
dari
anggota wali
sanga,
yaitu
Sunan
Kalijaga
mempergunakan instrumen musik Jawa berupa gamelan sebagai sarana untuk memikat masyarakat luas agar datang dan menikmati pergelaran karawitannya. Hal tersebut menjadikan perayaan sekaten selalu diiringi musik berupa seperangkat gamelan. Menurut sejarah, ‘gong' sekaten diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Pada mulanya gong itu ditabuh pada peringatan Mauludan di halaman Masjid Demak. Fungsinya untuk mengundang orang supaya datang yang kemudian diberi ceramah keagamaan. Demi tujuan itu maka perayaan menggunakan dua perangkat gamelan yang memiliki laras suara merdu, yakni Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu . Di sela-sela pagelaran selanjutnya diadakan khotbah dan pembacaan ayat suci Al-Quran. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam maka diwajibkan bersuci lalu mengucapkan kalimat syahadat sebagai pernyataan taat dan siap menjalankan syariat dan ajaran Islam. Gamelan sekaten terdiri atas empat perangkat utama, yaitu: •
Kenong yang berbunyi ‘ nong, nong-nong'
•
Kempul yang bunyinya ‘ pung, pung, pung'
•
Kendang yang bernada ‘ tak ndang-tak ndang' 82
•
Ganjur yang berbunyi ‘ ngguurrr' Semua gamelan tersebut jika disusun sedemikian rupa
berbunyi: ‘nong-ning', maksudnya nong-kono, nong-kene (disanadisini), ‘pung-pung', maksudnya mumpung-mumpung (selagi ada kesempatan), ‘tak ndang-tak ndang' artinya ndang-ndang (cepat-cepat atau segera) dan disusul dengan bunyi ‘nggurr' yang berarti njegur (berwudhu dan masuk masjid) Dengan demikian nilai filosofis bunyi gamelan pengiring upacara sekaten adalah mengajak semua orang dimana saja agar mereka menggunakan kesempatan hidupnya untuk segera masuk agama Islam agar dapat hidup selamat di dunia maupun akhirat. d. Gendhing Sekaten Selama gamelan sekaten dibunyikan, maka akan diringi lagulagu atau dalam bahasa jawa disebut tembang/ gendhing , antara lain: 1) Gendhing Yaumi Kata ‘yaumi' berasal dari bahasa Arab yang berarti hari, maksudnya hari kelahiran nabi Muhammad SAW. 2) Gendhing Selatun Kata ‘selatun' juga berasal dari bahasa Arab yang artinya berdoa. 3) Gendhing Dhindang Salbinah Berupa lagu untuk mengenang jasa para ulama yang menyiarkan agama Islam sejak abad ke-XIII H. 83
4) Gendhing Ngajatun Kata ‘ngajatun' berasal dari bahasa Arab yang bermakna kehendak, juga berarti kemauan hati atau niat yang kuat untuk masuk agama Islam. 5. Gendhing Supiyatun Kata ‘supiyatun' juga berasal dari bahasa Arab yang artinya kesucian hati. Jika dihubungkan dengan ngajatun, maka akan bermakna keinginan hati yang kuat untuk mencapai kesucian hati. Gendhing menyesuaikan mendengarkan
diatas
selera bunyi
diciptakan
rakyat
yang
gamelan.
oleh
para
pada
masa
Musik
wali
untuk
itu
gemar
pengiring
tidak
menggunakan rebana, melainkan memakai gamelan. Kemudian diciptakan beberapa gendhing sebagai pengiring yang syairsyairnya bernapaskan Islam. e. Gunungan Grebeg Sekaten
Pada akhir perayaan sekaten diadakan upacara grebeg sekaten, yaitu ‘anggrebeg' yang maknanya mengiringkan hajat Sri Sultan berupa selamatan nasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya dan buah-buahan yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk gunung. Gunung kecuali mengandung lambang atau simbol yang bermakna dalam juga dimaksudkan untuk melestarikan adat-istiadat 84
lama, yakni pesta Pasadran Agung pada zaman Prabu Rajasanegara di Majapahit. Pada masa itu Sang Prabu mengeluarkan sedekah berujud Gunungan Mandara, kemudian hajat selamatan yang berupa gunungan (tumpeng) tersebut sampai sekarang masih menjadi tradisi selamatan di kalangan masyarakat Jawa. (Hadipikarta, 1925: 77) Jenis gunungan dan perlengkapannya terdiri atas : 1) Gunungan Kakung (pria) Gunungan kakung berbentuk kerucut dan di puncaknya ditancapkan kue dari tepung beras yang disebut boderan serta dipasang kue bola kecil secara melingkar. Dibawah kue bola disusun telur asin secara melingkar, sedangkan di seluruh bagian tubuh gunungan dipasang kacang panjang, cabai merah yang dilengkapi sembilan telur rebus dan sembilan telur asin. Kemudian ditaruh pada nampan besar yang dilengkapi dengan lauk-pauknya dan diberi empat buah kelapa muda. 2) Gunungan Putri (wanita) Gunungan putri berbentuk mirip payung terbuka, di puncaknya diletakkan kue besar berbentuk lempengan dengan warna hitam. Disekelilingnya dihiasi sejumlah kue berbentuk daun pada bagian batang tubuhnya ditutup kue ketan berbentuk bintang dan lingkaran yang dinamakan rengginan. Hiasan yang bermacam-macam itu membuat gunungan putri terlihat seperti bunga raksasa. 85
3) Gunungan Gepak Gunungan Gepak berwujud sebuah deretan tonjolan yang gepak (tumpul) yang terdiri atas 40 keranjang berisi aneka macam kue kecil. Setiap keranjang berisi kue kecil yang terdiri atas lima macam bentuk dan lima macam warna, yaitu merah, kuning, biru, hijau, dan hitam. Setiap tumpukan kue ditambah dengan buahbuahan. 4) Gunungan Pawuhan Mirip dengan gunungan putri, tetapi puncaknya ditancapi bendera kecil warna putih lalu ditancapi lidi bambu yang tiap ujungnya diberi picisan, yaitu bulatan kecil warna hitam. Gunungan ini diletakkan di atas nampan raksasa dari kayu. 5) Gunungan Darat Bentuk gunungan darat juga mirip gunungan putri, pada bagian puncak ditaruh kue besar berbentuk lempengan yang berwarna hitam dan sekelilingnya ditancapi sejumlah kue besar dari ketan yang berbentuk lidah, disebut ilat-ilatan selanjutnya diletakkan di atas nampan kayu. Hikmah yang bisa dipetik bahwa gunungan pada umumnya menggambarkan lingkungan hidup atau alam seisinya, dapat pula melambangkan kesuburan, kemakmuran, dan kehidupan.
86
2. Prosesi Upacara Grebeg Maulud Sekaten Solo Bersamaan dengan mulai ditabuhnya gamelan pusaka di bangsal Pradangga Masjid Agung Solo, ratusan orang di kompleks masjid yang sebagian besar kaum perempuan, serta merta mengunyah kinang. Seperangkat kinang yang terdiri dari sejumput tembakau, satu buah kembang kantil dan beberapa helai daun sirih ini jika dikunyah pada saat gamelan pusaka ditabuh, diyakini akan membawa berkah kesehatan, awet muda dan kelancaran rejeki. Oleh karenanya, pada hari gamelan ditabuh pertama kali, para penjual kinang berdatangan dan menggelar dagangannya di pelataran kompleks masjid Agung. Satu perangkat kinang yang dimasukkan dalam wadah berupa conthong (kerucut) dari daun pisang, kini dijual seharga 500 rupiah. Selain tradisi nginang, sebagian besar warga juga punya kepercayaan bahwa pecut (cambuk) yang dibeli saat itu dapat membuat hewan-hewan ternak mereka lebih produktif. Sehingga selain penjual kinang, para penjual pecut juga memenuhi kompleks pelataran masjid Agung. Karena adanya kepercayaan ini serta demi kemudahan pengaturan dan tetap terjaganya kerapian masjid, pihak keraton membuat peraturan bahwa pedagang yang boleh berjualan di dalam kompleks masjid hanya pedagang kinang, pecut, 4 macam makanan tradisional khas sekaten yakni cabuk rambak, wedang ronde, telor asin dan nasi liwet serta mainan tradisional gangsingan. 87
Tabuhan gamelan pusaka menandai dimulainya perayaan maleman sekaten Solo. Gamelan yang ditabuh adalah Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari dengan gending utama Rambu dan Rangkur. Tabuhan gamelan sekaten ini konon adalah kreasi wali sanga pada sekitar abad ke 15, untuk menarik perhatian warga dan melakukan syiar Islam. Karena ditujukan untuk menarik perhatian, gamelan yang dibuat pada jaman kerajaan Majapahit ini oleh wali sanga dirombak menjadi lebih besar dari ukuran gamelan biasa agar suara yang dihasilkan bisa terdenga sampai jauh. Maleman Sekaten sendiri oleh walisanga ditujukan untuk mengenalkan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW kepada para warga, sebagai awal untuk mengenalkan agama Islam. Sekaten berasal dari kata Syahadatain (dua kalimat syahadat tanda KeIslaman). Kalimat Syahadat pertama yang menyatakan kepercayaan kepada ke-Esa-an Tuhan (Asyhadu an laa Illaaha Ilallah) disimbolkan dengan Kyai Guntur Madu, sedangkan kalimat kedua yang mengakui kenabian Rasulullah Muhammad SAW (wa Asyhadu anna Muhammaddarrasulullah) dilambangkan dengan Kyai Guntur Sari. Sebelum gamelan ditabuh, para wali biasanya memberi pencerahan tentang Islam kepada para warga yang telah berdatangan. Dan hasilnya tidak sedikit orang-orang yang langsung bisa mengucapkan kalimat syahadat begitu gamelan mulai mengalunkan gending. Syiar tentang keIslaman ini terus dilakukan selama Maleman Sekaten digelar 88
selama 7 hari. Oleh karenanya, gamelan pusaka juga terus dimainkan selama itu. Kini, selain tetap memelihara syiar Islam, Maleman Sekaten juga ditujukan untuk kepentingan ekonomi dan pariwisata. Rangkaian ritual adat sekaten atau lebih dikenal sebagai Grebeg Maulud tetap dipelihara dengan baik sebagai tradisi leluhur juga sebagai acara untuk menarik para wisatawan. Sementara Maleman sekaten diperpanjang menjadi satu bulan untuk memberi keuntungan ekonomi bagi para pedagang dan masyarakat sekitar. 3. Rangkaian ritual adat Grebeg Maulud secara lengkap adalah : a. Tabuhan Gamelan Pusaka Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari. Memboyong gamelan pusaka dari keraton ke Masjid Agung Solo kemudian menabuh gending Rambu dan Rangkur sebagai prosesi Pembuka Maleman Sekaten. Ritual ini dilakukan pada tanggal 5 Mulud (Tahun Jawa). Kedua gamelan terus ditabuh hingga menjelang pelaksanaan Grebeg Gunungan Sekaten tujuh hari kemudian. b. Jamasan Meriam Pusaka Kyai Setomi Menjamasi (membersihkan) meriam pusaka yang terletak di Bangsal Witono, sitihinggil utara Keraton Kasunanan Surakarta. Dilakukan 2 hari sebelum Grebeg Gunungan Sekaten. c. Pengembalian Gamelan Pusaka ke dalam Keraton. Pagi hari sebelum pemberian sedekah Raja, para abdi dalem keraton memboyong kembali gamelan pusaka dari Masjid Agung. 89
Gamelan Kyai Guntur Madu langsung dimasukkan ke dalam ruang pusaka, sedangkan Kyai Guntur Sari dibawa ke depan Sasana Sewaka. Kyai Guntur Sari akan dibawa dan ditabuh kembali untuk mengiringi Hajad Dalem Gunungan Sekaten Masjid Agung d. Pemberian sedekah Raja berupa gunungan di Masjid Agung Raja Sinuhun Pakoeboewono memberikan sedekah kepada rakyatnya berupa makanan tradisional dan hasil bumi yang disusun dalam bentuk gunungan jaler (laki-laki) dan estri (perempuan). Gunungan ini akan diarak menuju Masjid Agung diiringi oleh seluruh sentana dan abdi dalem, para prajurit serta gamelan Kyai Guntur Sari yang dimainkan sambil berjalan. Gunungan ini akan didoakan oleh ulama Keraton di masjid Agung kemudian dibagikan kepada seluruh warga. Grebeg Gunungan digelar bersamaan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad yakni tanggal 12 Mulud (Tahun Jawa). Pada upacara grebeg ini, gunungan yang digunakan bernama Gunungan Jaler (pria), Gunungan Estri (perempuan), serta Gepak dan Pawuhan. Gunungan ini dibawa oleh para abdi dalem yang menggunakan pakaian dan peci berwarna merah marun dan berkain batik biru tua bermotif lingkaran putih dengan gambar bunga di tengah lingkarannya. Semua abdi dalem ini tanpa menggunakan alas kaki alias nyeker. Gunungan diberangkatkan dari Kori Kamandungan dengan diiringi tembakan salvo dan dikawal sepuluh bregada prajurit kraton sekitar pukul 10 siang. 90
Dari Kamandungan, gunungan dibawa melintasi Sitihinggil lalu menuju Pagelaran di alun-alun utara untuk diletakkan di halaman Masjid Gedhe dengan melewati pintu regol. Saat berangkat dari kraton, barisan terdepan adalah prajurit Wirabraja yang sering disebut dengan prajurit lombok abang karena pakaiannya yang khas berwarna merah-merah dan bertopi Kudhup Turi berbentuk seperti lombok. Sebagai catatan, prajurit Wirabraja memang mempunyai tugas sebagai “cucuking laku”, alias pasukan garda terdepan di setiap upacara kraton. Kemudian ketika acara serah terima gunungan di halaman Masjid Gedhe, prajurit yang mengawal adalah prajurit Bugis yang berseragam hitam-hitam dengan topinya yang khas serta prajurit Surakarta yang berpakaian putih-putih. Setelah gunungan diserahkan kepada penghulu Masjid Gede untuk kemudian didoakan oleh penghulu tersebut, gunungan pun dibagikan. Namun belum selesai doa diucapkan, gunungan pun sontak direbut oleh masyarakat yang datang dari seluruh penjuru Solo. Yang memprihatinkan, banyak sekali nenek-nenek yang ikut berebut gunungan. 91
4. Nilai-nilai pendidikan Islam masing-masing gunungan secara khusus akan diuraikan sebagai berikut : a. Nilai Pendidikan dalam Gunungan Kakung Gunungan kakung menggambarkan tentang dunia seisinya yang mencakup berbagai unsur seperti bumi, langit, api, angin, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia itu sendiri dengan berbagai jenis golongan beserta sifat-sifatnya. Manusia yang diharapkan dari upacara ini adalah seorang ‘ ksatria utama' yang menggambarkan figur ideal bagi orang Jawa. Kanjeng Gusti Pangeran Mangku Negara IV menyatakan, “Bentuk gunungan yang lancip menunjukkan sifat yang tajam.” Ketajaman pikiran diperlukan agar tindakan terarah pada hal-hal yang baik dan dapat membendung hawa nafsu. Gambaran sifat baik dan buruk manusia dari ksatria utama meliputi : 1) Luwamah (sifat mementingkan makan) Dilambangkan dengan warna hitam karena berhubungan dengan tanah, sebab tanah merupakan tampat tumbuhnya tanaman yang menghasilkan. 2) Amarah (sifat emosional) Dilambangkan dengan warna merah yang dihubungkan dengan api dan darah
92
3) Supiyah (sifat gairah) Dilambangkan dngan warna kuning dan dihubungkan dengan angin yang menjadi napas bila masuk kedalam tubuh manusia. Napas ini berhubungan dengan nafsu yang mengarah pada kebutuhan biologis manusia 4) Mutmainah (sifat tenang) Dilambangkan dengan warna putih yang merupakan simbol air karenanya bersifat tenang dan menyejukkan serta memberi ketentraman bagi semua orang. Hanya air yang mampu memadamkan api (emosi). Gunungan kakung yang melambangkan ksatria utama dalam hal ini raja diharapkan dapat selalu mengutamakan sifat mutmainah agar hidup manusia bisa selamat dari tatanan kosmis sebab mampu mengendalikan sifat-sifat buruk yang tercela. b. Nilai Pendidikan Islam Gunungan Putri Gunungan ini melambangkan pribadi putri sejati yang terdiri atas unsur-unsur: 1) Kerangka bambu yang didalamnya berisi wajik dengan dibungkus daun pisang, menggambarkan sifat yang dingin. Jadi wanita atau istri yang baik harus memiliki pikiran yang dingin dan tidak cepat marah. Semua persoalan dihadapi dengan tabah dan tidak berburuk sangka kepada orang tanpa bukti-bukti yang jelas. 2) Tedheng, mempunyai makna bahwa seorang putri sejati harus 93
dapat menyimpan rahasia keluarga karena pada umumnya wanita suka sekali menggunjing dan membuat gosip tentang orang lain. 3) Rengginan, ole-ole, dan ilat-ilatan menjadi simbol kekayaan yang dimiliki oleh wanita. Rengginan menggambarkan subang, ole-ole menggambarkan
konde,
dan
ilat-ilatan
menggambarkan
rambutnya. Ilat-ilatan ini berwarna hitam yang berarti seorang wanita harus teguh pendirian. 4) Buah-buahan yang tersusun melingkar pada dasar gunungan mengisyaratkan seorang istri harus bisa menyediakan makanan bergizi yang dibutuhkan keluarga setiap hari. c. Nilai Pendidikan Islam Gunungan Gepak Gepak berarti rata atau tumpul. Makna yang terkandung di dalamnya yaitu bahwa seorang putra-putri sejati harus dapat meratakan kasih sayang kepada anggota keluarganya maupun kerabatnya sesuai dengan keadaan dan kemampuan. Konsekuensinya sikap adil mutlak diperlukan kepada diri, keluarga, dan sesamanya. d. Nilai Pendidikan Islam Gunungan Pawuhan Merupakan simbol para cucu atau trah keturunan sultan, selain itu juga bermakna : 1) Buntal, mengandung pesan bahwa seseorang harus betanggung jawab (sebagai suami-istri). Oleh karena itu harus mempunyai sifat disiplin dalam mencari maupun mengeluarkan rizki dengan tertib. Singkatnya harus mampu mengatur keluar masuknya anggaran 94
ekonomi keluarga. 2) Picisan, melambangkan harta benda atau kekayaan sebuah keluarga (emas picis rojo brono ) 3) Bendera, melambangkan harta benda yang berujud sandang dan pangan. Semua kekayaan itu hanya dikatakan ‘saya hanya memiliki pawuhan sedikit.' Hal ini merupakan sifat warisan orang Jawa yang suka merendahkan diri. e. Nilai Pendidikan Islam Gunungan Darat Melambangkan daratan, bumi maupun alam semesta yang mengandung kekayaan alam berupa flora, fauna, dan bahan tambang seperti;
emas,
intan,
berlian,
dan
sebagainya.
Tanah
hitam
menggambarkan tanah yang subur (disimbolkan dengan gedebog / batang pohon pisang). Doa yang dipanjatkan dalam upacara pada prosesi gunungan, intinya adalah memohon keselamatan pada diri sultan, keluarga, dan pejabat negara, serta bagi seluruh rakyat supaya dapat menjalani hidup dengan tentram, aman, nyaman, sejahtera, dan bahagia di dalam perlindungan negara (kerajaan) yang adil dan makmur. (Hadipikarta, 1925: 81)
Tradisi grabeg, atau bisa disebut dengan gunungan, telah ada 95
sejak lama, setidaknya sejak Mataram berdiri, Gunungan sebagai tanda dari hadirnya Raja dalam upacara grabeg sudah ada sejak lama, setidaknya sejak sebelum tahun 1888. Gunungan memang terdiri dari dua jenis, gunungan laki-laki dan gunungan perempuan. Grebeg mempunyai arti dihadiri atau dikerumuni orang banyak secara bersama-sama. Kata grabeg berarti pula mengantarkan atau mengiringi bersama-sama. Kebudayaan merupakan proses dimana manusia menyesuaikan diri. kebudayaan bagi manusia tidak sekedar bekerja untuk memenuhi materi tapi juga keagamaan. Strategi kebudayaan dapat digambarkan dengan melalui tahap-tahap yang sudah dicapai. Mistis, ontologis dan fungsional yang dibuat satu kerangka acuan untuk menentukan kebudayaan yang selanjutnya. (Bakker, 1992) Kebudayaan dan masyarakat di satu pihak menciptakan kebudayaan, di satu pihak mesyarakat tunduk pada kebudayaankebudayaan yang sudah ada. Kebudayaan dan ideologi menyangkut fakta dan ide. Disini kebudayaan adalah proses pencapaian ide. Ideologi kemudian bersifat ideal, sedangkan kebudayaan bersifat universal. Upacara sesaji (dalam masyarakat sajen) itu masih hidup dan sering dilakukan oleh masyarakat baik di kota maupun lebih-lebih pada masyarakat pedesaan. Di dalam masyarakat Jawa khususnya Surakarta masih sering melakukan upacara selametan. Dari kenyataan 96
ini dapat kita katakan bahwa pada dasarnya kegiatan sesaji, selametan dan lain sebagainya sama dengan apa yang kerap kali dilakukan dalam lingkungan Istana atau Kraton. Demikian halnya dengan tradisi Kraton yang hajat atau selametan yang disebut dengan gunungan. Dari upacara tersebut sebenarnya dapat dikatakan bahwa semua kegiatan seperti hal tersebut menunjukkan adanya suatu kegiatan atau tindakan simbolis metafisik. Tindakan simbolis yang dilakukan itu merupakan bentuk religi, karena adanya pengaruh mitos Jawa asli dan kepercayaan Hindu-Budha serta Islam yang ada di dalamnya. Dengan adanya kepercayaan tentang adanya daya tuah dari gunungan yang mampu menyejahterakan masyarakat yang berkaitan dengan keadaan alam sekitar, maka grebegan di sini dapat dikatakan sebagai suatu fenomena alam yang mampu mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dengan demikian upacara Grebeg Maulud yang mempunyai nilai-nilai kesakralan budaya bagi Kraton Surakarta, mampu memberikan peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat Surakarta. Meskipun
adanya
perkembangan
modernitas
dan
arus
globalisasi, tetapi masyarakat Surakarta masih menganggap Kraton sebagai panutan. Hal tersebut sangat membantu upaya pelestarian tradisi dan budaya Kraton.
Menurut Sunan, meski belum ada riset tentang seberapa jauh 97
ikatan batin masyarakat terhadap Kraton, tetapi dengan melihat animo masyarakat yang mengunjungi acara-acara ritual Kraton, pihaknya yakin bahwa kesenian dan budaya Kraton masih kuat mengakar di masyarakat. Acara ritual Kraton, seperti grebeg maulud selalu menarik perhatian, ini indikasi bahwa budaya Kraton masih diterima dan dianut masyarakat. Kita tidak boleh menutup mata terhadap realita yang terjadi di masyarakat, tentang arus globalisasi yang begitu cepat bergulir. Hal ini menjadi keharusan Kraton untuk menyesuaikan diri. Dan itu, bisa dilakukan dengan tanpa menghilangkan ruh dari kebudayaan itu sendiri. Di tengah wacana yang menganggap nilai-nilai budaya Jawa merosot dan sikap pesimistis dari berbagai kelompok yang memiliki kekhawatiran terhadap keberadaan Kraton, terdapat hal yang menggembirakan. Yakni jika melihat Kraton yang dibanjiri ribuan orang untuk menghadiri dan mengikuti kegiatan ritual sakral. Mengingat bahwa dalam perkembangan jaman perayaan upacara Grebeg Ageng selalu menarik perhatian ribuan masyarakat yang meluangkan waktunya untuk datang dan ikut berdesak-desakan berebut mendapatkan bagian gunungan, maka Grebeg Ageng disini perlu dilestarikan sebagai salah satu warisan dari kebudayaan Kraton. Di samping itu kebudayaan tersebut juga merupakan salah satu ciri khas dari masyarakat Jawa yang ditempatkan sebagai satu bagian dari dunia wisata Indonesia. 98
5. Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Barang-Barang Yang Biasa dijual dalam Perayaan Sekaten. A. Kinang atau kapur-sirih, barang ini mengandung lima unsur yang melambangkan lima rukun Islam, yaitu :
1. Daun sirih melambangkan dua kalimat Syahadat. Sisi bagian atas dan bawah daun sirih berbeda warnanya, namun jika dikunyah sama rasanya. Hal ini berarti bahwa mengucapkan kalimat Syahadat harus dibaca lengkap, tidak boleh hanya Syahadat Tauhid saja atau Syahadat Rasul saja. 2. Injed (gamping atau kapur), warnanya putih, melambangkan shalat fardhu untuk mendapatkan kesucian, sebagaimana warna putih yang bersih-suci. 3. Gambir, rasanya sangat pahit, sedikit saja sudah cukup, melambangkan zakat, yang oleh sebagian orang (terutama yang bersifat kikir/pelit) dirasa ’pahit’ karena harus mengeluarkan sebagian harta untuk orang lain. 4. Susur (tembakau), tidak boleh dimakan, melambangkan puasa (tidak boleh makan dan minum). 5. Jambe (buah pinang), untuk mendapatkan buah pinang ini sangat sulit sebab harus memanjat pohon pinang yang licin. Hal ini melambangkan
99
haji, yang memang memerlukan perjuangan yang keras lagi sulit (Muhammad Muhtar Arifin,2010). B. Menurut Muhammad Muhtar Arifin Sholeh, Luku (alat bajak), menurut Sunan Kalijaga, memiliki tujuh bagian yang mengandung falsafah hidup mulia, untuk mencapai cita-cita dan tujuan hidup. Bagian tersebut adalah: 1. Gagang luku (buntutan - Jawa) atau tempat pegangan, berarti orang yang
ingin mencapai suatu cita-cita harus mempunyai pegangan dan harus berpegang teguh pada bekal yang telah dimiliki. Syahadatain bagi orang Islam merupakan pegangan pokok dalam beramal. Al-Quran dan asSunnah adalah pegangan hidup untuk manusia. 2. Pancadan, mancat (anjakan) artinya bertindak. Maksudnya, jika telah mempunyai pegangan dan cukup bekal yang diperlukan, maka segeralah bertindak (mengerjakannya), jangan ditunda-tunda lagi. 3. Tanding artinya membanding-bandingkan, maksudnya setelah bertindak pikiran harus berjalan membanding-bandingkan, meneliti, dan sebagainya. 4. Singkal (metu saka ing akal - Jawa) berarti timbul akalnya. Setelah berpikir,
membandingkan, dan meneliti, timbullah suatu akal untuk menyelesaikan pekerjaan. 5. Kejen artinya kesawijen ialah kesatuan alam pemusatan. Maksudnya, jika akal atau siasat telah didapat maka tenaga dan pikiran harus disatukan. 6. Olang-aling
artinya
barang
yang
menutupi.
Maksudnya,
setelah
mempersatukan segala tenaga dan pikiran untuk mengejar cita-cita 100
(tujuan) yang diinginkan, tujuan seakan-akan di depan mata tanpa ada yang menutupi. 7. Racuk diartikan ngarah sing pucuk, yaitu menghendaki yang paling atas atau paling tinggi. Maksudnya, jika mengejar cita-cita dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang telah ada, maka cita-cita tersebut akan dapat dicapai walaupun tinggi atau jauh tempatnya. Dalam hal ini manusia diwajibkan berikhtiar dan memohon kepada Allah dalam mencapai cita-cita hidupnya. C. Pacul (cangkul), filsafatnya adalah bahwa setelah selesai membajak, ternyata di sudut-sudut sawah masih terdapat tanah yang belum terbajak. Hal ini menggambarkan bahwa dalam mengerjakan sesuatu tentu ada kekurangan dan rintangannya. Kekurangan dan rintangan tersebut harus dapat diatasi. Oleh karena itu, petani perlu menggunakan cangkul yang mempunyai tiga bagian, yaitu: 1. Pacul (bagian besinya) berasal dari akar kata Jawa (ngipatake barang sing muncul - Jawa), artinya semua pekerjaan yang baik biasanya mendapat
godaan-godaan dan kesulitan-kesulitan. Godaan-godaan tersebut harus dibuang dan dilemparkan jauh-jauh. 2. Bawak diartikan obahing awak - Jawa, yaitu gerak badan pada waktu
bekerja. Maksudnya, dalam mengatasi godaan dan cobaan harus dikerjakan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh, sehingga godaan tersebut
101
dapat diatasi, godaan setan dapat diatasi. Berpangku tangan akan menjadi bantal setan. 3. Doran (kayu pegangan) diartikan ndedongo marang Pangeran - Jawa atau
berdoa kepada Allah. Maksudnya, jika mengejar cita-cita yang baik hendaknya mau berikhtiar dan selalu berdoa kepada Allah agar mendapatkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga cita-cita tersebut tercapai dengan baik. D. Pecut (cambuk), pada waktu petani membajak di sawah tentu membawa cambuk (pecut - Jawa) yang dipergunakan untuk mendorong (mencambuk) hewannya agar berjalan lebih cepat. Selain itu, petani tersebut tentu memakai caping (tutup kepala) untuk menghindari panas terik matahari. Hal ini bermakna simbolik bahwa dalam usaha untuk mencapai cita-cita memerlukan dorongan (motivasi, perlu ‘dicambuk’) sehingga mendapat rizqi yang halal, cukup sandang, pangan, papan, dan cukup kesehatan jasmani-rohani. Hal ini disertai caping yang melambangkan rasa taqwa kepada Allah swt, karena taqwa itu berarti menjaga diri, dalam konteks ini menjagai diri dari sengatan matahari – itulah fungsi caping (Muhammad Muhtar Arifin,2010). E. Celengan (alat untuk menyimpan uang) melambangkan bahwa manusia hidup di dunia harus mempunyai simpanan amal yang baik atau amal jariyah sebagai simpanan kebahagiaan di dunia dan akhirat (Muhstarvision.blogspot.com).
102
F. Endog kamal (telur asin), yang biasanya disertai dengan nasi uduk ulam sari (nasi uduk dengan ikan ayam rebus), melambangkan benih (wiji - Jawa) untuk beramal ibadah yaitu rasa iman dan taqwa. Nasi uduk ulam sari melambangkan harus mengikuti ajaran Rasulullah saw. Hal ini mengandung arti bahwa rasa iman dan taqwa merupakan dasar amal ibadah manusia yang harus sesuai dengan ajaran-ajaran Rasulullah saw (Muhammad Muhtar Arifin,2010).
103
BAB IV PEMBAHASAN
Kumpulan data yang dianalisa dalam skripsi ini bersumber dari hasil wawancara dengan sesepuh kraton Surakarta, atau orang yang memegang kendali upacara grebeg maulud yang dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang ada. Mengaju pada pokus penelitian ini, maka penulis akan sajikan berikut ini hasil analisis data secara sistematis tentang pelaksanaan upacara tradisi gerebeg maulud di kraton Surakarta dan nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam upacara tersebut. Pelaksanaan upacara tradisi grebeg maulud yang diadakan di Kraton Surakarta ini meliputi beberapa komponen Yaitu : tempat-tempat upacara, benda dan alat-alat upacara, kelengkapan upacara dan saat atau proses upacara. Proses upacara dilaksanakan tepat pada tanggal 6-12 mulud atau pada bulan kelahiran Nabi Muhammad saw. Penyelengaraan upacara ini sesuai dengan pembagian upacara masyarakat Jawa. Menurut Koentjaningrat (1994:344) ”perayaan upacara tahunan dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu : 1) Perayaan hari besar Islam yang jatuh pada tanggal 1 suro, 2) Perayaan maulud Nabi pada tanggal 12 maulud dan 3) Perayaan rejeban. Pelaksanaan upacara tradisi grebeg maulud menurut penulis sangat menjunjung nilai nilai Jawa, hal ini dapat diketahui dari busana yang dipakai upacara, alat-alat yang dipakai upacara, kelengkapan upacara, akan tetapi nilai nilai pendidikan Islam pun menyertai dalam pelaksanaan upacara tersebut. 104
Apalagi upacara tersebut bertepatan dengan bulan mulud yang bertepatan dengan bualn kelahiran seorang Nabi pembawa risalah. Dalam pelaksanaan grebeg maulud di samping terbentuk dari pola lama yaitu animisme dan dinamisme, juga diperkaya oleh pengaruh unsur-unsur agama yang datang kemudian, seperti Hindu, Budha dan juga Islam. Dalam proses perkembangannya terutama dalam proses pembukaan tata cara semakin menunjukan unsur/nilai-nilai Islam yang dianggap penting melalui sudut pandang ajaran pendidikan Islam lebih kongkritnya
dalam menyangkut pokok-pokok
ajaran Islam di antaranya yaitu masalah aqidah atau rukum iman dan Islam. Keyakinan saja tidak cukup apabiala tidak diwujudkan dengan amal perbuatan. Misalnya
dengan
beribadah
berdo’a,
mengagungkan
kesucian-nya
dan
pertolongan hanya kepada Allah. Berkaitan dengan peringatan Maulud Nabi Besar Muhammad SAW inilah, setiap tahun Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta menyelenggarakan Upacara Grebeg. Acara ini sekaligus ungkapan rasa syukur kehadlirat Illahi. Upacara Grebeg diwujudkan dengan rangkaian Upacara Sedekah Sultan, berupa gunungan dan lazim disebut Hajad Dalem Gunungan atau Pareden. Di masing-masing kraton, baik Yogyakarta maupun Surakarta setiap Grebeg Maulud selalu didahului dengan Upacara Sekaten, selama tujuh hari. Upacara ini merupakan kegiatan Syiar Agama Islam, di mana kegiatannya berupa rangkaian dibunyikannya Kagungan Dalem Gamelan Sekaten diikuti dengan Tableg di Regol Masjid Besar. Upacara Tableg dipimpin Abdidalem Penghulu Kraton. 105
Gending-gending Sekaten adalah gending pujian kehadlirat Allah SWT dan Shalawat Nabi, serta ajakan untuk menjalankan Syariat Islam secara khusuk. Gending yang ada di Sekaten memiliki makna keagamaan. Gending pertama adalah Gending Rambu, yang diolah para wali dari puji syukur yang berasal dari kata Rabbulngalamin, yang berarti Tuhan yang menguasai segala alam. Dalam perkembangan selanjutnya, gending menjadi banyak. Instrumen pun memiliki makna, seperti gamelan pelog berasal dari kata falakh yang berarti kebahagian. Sekaten diadakan sebagai penghormatan terhadap lahirnya tuntunan bagi manusia, yang perlu terus-menerus didengungkan ke pelosok masyarakat sampai kapanpun juga. Masyarakat yang datang ke Sekaten tidak lain hanya ingin mendapatkan pencerahan (berkah) dari tuntunan yang telah terbukti membawa manusia hidup dalam kebahagiaan lahir dan batin. Semangat perayaan Sekaten tak lain sebuah peringatan kepada manusia untuk dapat hormat-menghormati satu sama lain, dapat mengakui ide-ide orang lain, bisa mengakui kesalahan dengan Legawa dan menerima kemenangan dengan syukur dan takwa serta tidak takabur. Sebenarnya, orang-orang yang mendatangi Sekaten pada dasarnya adalah mereka yang mau diatur oleh tuntunan, Ngrungkebi Budi Suci dan menghambakan diri kepada Tuhan YME, menuju manusia sejati sebagaimana yang diharapkan para wali. Di dalam masyarakat pedesaan di Jawa pada umumnya ada pengetahuan tentang alam secara terbatas. Segala sesuatu yang tampak dapat mereka identifikasi sedang segala sesuatu yang tidak tampak atau diluar kemampuan akalnya, mereka hubungkan dengan hal-hal yang supranatural. 106
Untuk itulah mereka percaya ada sesuatu yang mengatasi segalanya di dunia dimana ia berada. Untuk mempengaruhi kekuatan alam supranatural, mereka menggunakan upacara-upacara tertentu, misalnya dengan sesaji, berkurban dan lain sebagainya. Di dalam menjaga keseimbangan alam mereka memiliki kepercayaan tertentu, yang berhubungan dengan supranatural itu dan mereka tidak menyadari makna apa yang ada dibalik kepercayaan itu kalau berdasarkan logika. Sekalipun kepercayaan itu sepintas lalu bersifat takhyul dan tidak masuk akal, namun apabila kita renungkan ternyata memiliki tujuan tertentu, yang tidak disadari oleh kebanyakan orang. Misalnya kepercayaan orang Jawa tabu ketika menebang pohon besar di dekat kuburan, memperlakukan barang atau sesuatu pusaka (keris, tombak milik Kraton dengan tidak sewajarnya). Mereka percaya adanya kekuatan gaib yang mencelakakan apabila larangan itu dilanggarnya, sehingga seringkali memberikan sesaji, membakar kemenyan, menempatkan bunga (kembang setaman) dan sebagainya. (Sunoto, 1983: 84-87). Di dalam upacara grebegan corak pemikiran metafisik itu terlihat pada upacara sesaji atau selametan gunungan. Upacara sesaji tampak terlihat ketika diboyongnya gamelan sekaten ke serambi masjid. Upacara selametan tampak pada waktu persiapan pembuatan tumpeng gunungan dan lainnya. Disamping itu terlihat di kalangan masyarakat tentang kepercayaan mengenai daya atau kekuatan dari sirih (kinang) yang diyakini dapat membuat awet muda ketika dimakan bersamaan pada waktu gamelan dibunyikan, dan masyarakat yang paling berharap dosini adalah kaum tani karena menganggap bagian-bagian dari gunungan ini 107
umumnya memiliki daya tuah dengan menanamnya dilahan persawahan mereka, untuk memperkuat doanya agar lahannya menjadi subur dan terhindar dari berbagai hama perusak tanaman. Dengan kenyataan ini, maka dapat dikatakan bahwa corak pemikiran metafisik ada pada masyarakat Jawa.
108
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka penulis dapat menyimpulkan hasil penelitian sebagai berikut: 1. Sejarah Grebeg Maulud Pada awalnya sekaten atau grebeg merupakan upacara berwujud pertunjukan Jawa-Islam.Sedangkan pada mulanya sekaten tau grebeg diperkenalkan oleh anggota wali songo,yaitu sunan Kalijaga yang hidup pada zaman kerajaan Islam Demak (abad ke-xv).Upacara grebeg sudah ada sejak abad ke-xii di jaman kerajaan Majapahit.Grebeg Pada awalnya adalah sebagai media dakwah yang dilakukan oleh para wali songo terutama sunan Kalijaga.Ketika itu orang yang ingin menghadiri pertunjukan kesenian di haruskan membaca syahadatain yang kemudian menjadi istilah sekaten seperti sekarng ini. 2. Rangkain ritual adat ritual grebeg maulud 1.Tabuhan Gamelan Pusaka Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari. Memboyong gamelan pusaka dari keraton ke Masjid Agung Solo kemudian menabuh gending Rambu dan Rangkur sebagai prosesi Pembuka Maleman Sekaten. Ritual ini dilakukan pada tanggal 5 Mulud (Tahun Jawa). Kedua gamelan terus ditabuh hingga menjelang pelaksanaan Grebeg Gunungan Sekaten tujuh hari kemudian. 109
2).Jamasan Meriam Pusaka Kyai Setomi Menjamasi (membersihkan) meriam pusaka yang terletak di Bangsal Witono, sitihinggil utara Keraton Kasunanan Surakarta. Dilakukan 2 hari sebelum Grebeg Gunungan Sekaten. 3).Pengembalian
Gamelan
Pusaka
ke
dalam
Keraton.
Pagi hari sebelum pemberian sedekah Raja, para abdi dalem keraton memboyong kembali gamelan pusaka dari Masjid Agung.. Gamelan Kyai Guntur Madu langsung dimasukkan ke dalam ruang pusaka, sedangkan Kyai Guntur Sari dibawa ke depan Sasana Sewaka. Kyai Guntur Sari akan dibawa dan ditabuh kembali untuk mengiringi Hajad Dalem Gunungan Sekaten Masjid Agung 4).Pemberian
sedekah
Raja
berupa
gunungan
di
Masjid
Agung.
Raja Sinuhun Pakoeboewono memberikan sedekah kepada rakyatnya berupa makanan tradisional dan hasil bumi yang disusun dalam bentuk gunungan jaler (laki-laki) dan estri (perempuan). Gunungan ini akan diarak menuju Masjid Agung diiringi oleh seluruh sentana dan abdi dalem, para prajurit serta gamelan Kyai Guntur Sari yang dimainkan sambil berjalan. Gunungan ini akan didoakan oleh ulama Keraton di masjid Agung kemudian dibagikan kepada seluruh warga. Grebeg Gunungan digelar bersamaan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad yakni tanggal 12 Mulud (Tahun Jawa). 2.Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Grebeg Maulud di Kraton Surakarta. 110
1.Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Gending-gending Sekaten a.Gending Yaumi yang berarti hari kelahiran nabi Muhammad b.gending selatun yang berarti berdo’a c.Gending Ngejelatun artinya niat yang kuat untuk masuk Islam. 2.Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam setiap gunungan a.Gunungan kakung Gunungan kakung mengambarkan tentang dunia seisinya,yang mencakup unsur-unsur seperti,bumi,langit,angin,api,manusia,dan hewan.Gunungan yang lancip melambangkan sifat yang tajam untuk mengalahkan hawa napsu. b.Gunungan Putri Gunungan putrid melambangkan pribai putrid sejati yang terdiri dari unsurunsur 1).
Kerangka bambu yang didalamnya berisi wajik dengan dibungkus
daun pisang, menggambarkan sifat yang dingin. Jadi wanita atau istri yang baik harus memiliki pikiran yang dingin dan tidak cepat marah. Semua persoalan dihadapi dengan tabah dan tidak berburuk sangka kepada orang tanpa bukti-bukti yang jelas. 2).Tedheng, mempunyai makna bahwa seorang putri sejati harus dapat menyimpan rahasia keluarga karena pada umumnya wanita suka sekali menggunjing dan membuat gosip tentang orang lain. 3)
.Rengginan, ole-ole, dan ilat-ilatan menjadi simbol kekayaan yang
dimiliki
oleh
wanita.
Rengginan
menggambarkan
subang,
ole-ole
menggambarkan konde, dan ilat-ilatan menggambarkan rambutnya. Ilat111
ilatan ini berwarna hitam yang berarti seorang wanita harus teguh pendirian. 4).
Buah-buahan yang tersusun melingkar pada dasar gunungan
mengisyaratkan seorang istri harus bisa menyediakan makanan bergizi yang dibutuhkan keluarga setiap hari. a).Nilai Pendidikan Islam Gunungan Gepak Gepak berarti rata atau tumpul. Makna yang terkandung di dalamnya yaitu bahwa seorang putra-putri sejati harus dapat meratakan kasih sayang kepada anggota keluarganya maupun kerabatnya sesuai dengan keadaan dan kemampuan. Konsekuensinya sikap adil mutlak diperlukan kepada diri, keluarga, dan sesamanya. b).Nilai Pendidikan Islam Gunungan Pawuhan Merupakan simbol para cucu atau trah keturunan sultan, selain itu juga bermakna : 1) Buntal, mengandung pesan bahwa seseorang harus betanggung jawab (sebagai suami-istri). Oleh karena itu harus mempunyai sifat disiplin dalam mencari maupun mengeluarkan rizki dengan tertib. Singkatnya harus mampu mengatur keluar masuknya anggaran ekonomi keluarga. 2) Picisan, melambangkan harta benda atau kekayaan sebuah keluarga (emas picis rojo brono ) 3) Bendera, melambangkan harta benda yang berujud sandang dan pangan. Semua kekayaan itu hanya dikatakan ‘saya hanya memiliki 112
pawuhan sedikit.' Hal ini merupakan sifat warisan orang Jawa yang suka merendahkan diri. C..Nilai Pendidikan Islam Gunungan Darat Melambangkan daratan, bumi maupun alam semesta yang mengandung kekayaan alam berupa flora, fauna, dan bahan tambang seperti;
emas,
intan,
berlian,
dan
sebagainya.
Tanah
hitam
menggambarkan tanah yang subur (disimbolkan dengan gedebog / batang pohon pisang). Doa yang dipanjatkan dalam upacara pada prosesi gunungan, intinya adalah memohon keselamatan pada diri sultan, keluarga, dan pejabat negara, serta bagi seluruh rakyat supaya dapat menjalani hidup dengan tentram, aman, nyaman, sejahtera, dan bahagia di dalam perlindungan negara (kerajaan) yang adil dan makmur.
4. Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Barang-Barang Yang Biasa dijual dalam Perayaan Sekaten. A. Kinang atau kapur-sirih, barang ini mengandung lima unsur yang melambangkan lima rukun Islam, yaitu :
6. Daun sirih melambangkan dua kalimat Syahadat. Sisi bagian atas dan bawah daun sirih berbeda warnanya, namun jika dikunyah sama rasanya. Hal ini berarti bahwa mengucapkan kalimat Syahadat harus
113
dibaca lengkap, tidak boleh hanya Syahadat Tauhid saja atau Syahadat Rasul saja. 7. Injed (gamping atau kapur), warnanya putih, melambangkan shalat fardhu untuk mendapatkan kesucian, sebagaimana warna putih yang bersih-suci. 8. Gambir, rasanya sangat pahit, sedikit saja sudah cukup, melambangkan zakat, yang oleh sebagian orang (terutama yang bersifat kikir/pelit) dirasa ’pahit’ karena harus mengeluarkan sebagian harta untuk orang lain. 9. Susur (tembakau), tidak boleh dimakan, melambangkan puasa (tidak boleh makan dan minum). 10. Jambe (buah pinang), untuk mendapatkan buah pinang ini sangat sulit
sebab harus memanjat pohon pinang yang licin. Hal ini melambangkan haji, yang memang memerlukan perjuangan yang keras lagi sulit. B. Luku (alat bajak), menurut Sunan Kalijaga, memiliki tujuh bagian yang mengandung falsafah hidup mulia, untuk mencapai cita-cita dan tujuan hidup. Bagian tersebut adalah: 8. Gagang luku (buntutan - Jawa) atau tempat pegangan, berarti orang yang
ingin mencapai suatu cita-cita harus mempunyai pegangan dan harus berpegang teguh pada bekal yang telah dimiliki. Syahadatain bagi orang Islam merupakan pegangan pokok dalam beramal. Al-Quran dan asSunnah adalah pegangan hidup untuk manusia. 114
9. Pancadan, mancat (anjakan) artinya bertindak. Maksudnya, jika telah mempunyai pegangan dan cukup bekal yang diperlukan, maka segeralah bertindak (mengerjakannya), jangan ditunda-tunda lagi. 10. Tanding artinya membanding-bandingkan, maksudnya setelah bertindak pikiran harus berjalan membanding-bandingkan, meneliti, dan sebagainya. 11. Singkal (metu saka ing akal - Jawa) berarti timbul akalnya. Setelah berpikir,
membandingkan, dan meneliti, timbullah suatu akal untuk menyelesaikan pekerjaan. 12. Kejen artinya kesawijen ialah kesatuan alam pemusatan. Maksudnya, jika akal atau siasat telah didapat maka tenaga dan pikiran harus disatukan. 13. Olang-aling
artinya
barang
yang
menutupi.
Maksudnya,
setelah
mempersatukan segala tenaga dan pikiran untuk mengejar cita-cita (tujuan) yang diinginkan, tujuan seakan-akan di depan mata tanpa ada yang menutupi. 14. Racuk diartikan ngarah sing pucuk, yaitu menghendaki yang paling atas atau paling tinggi. Maksudnya, jika mengejar cita-cita dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang telah ada, maka cita-cita tersebut akan dapat dicapai walaupun tinggi atau jauh tempatnya. Dalam hal ini manusia diwajibkan berikhtiar dan memohon kepada Allah dalam mencapai cita-cita hidupnya. C. Pacul (cangkul), filsafatnya adalah bahwa setelah selesai membajak, ternyata di sudut-sudut sawah masih terdapat tanah yang belum terbajak. Hal ini 115
menggambarkan bahwa dalam mengerjakan sesuatu tentu ada kekurangan dan rintangannya. Kekurangan dan rintangan tersebut harus dapat diatasi. Oleh karena itu, petani perlu menggunakan cangkul yang mempunyai tiga bagian, yaitu: 4. Pacul (bagian besinya) berasal dari akar kata Jawa (ngipatake barang sing muncul - Jawa), artinya semua pekerjaan yang baik biasanya mendapat
godaan-godaan dan kesulitan-kesulitan. Godaan-godaan tersebut harus dibuang dan dilemparkan jauh-jauh. 5. Bawak diartikan obahing awak - Jawa, yaitu gerak badan pada waktu
bekerja. Maksudnya, dalam mengatasi godaan dan cobaan harus dikerjakan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh, sehingga godaan tersebut dapat diatasi, godaan setan dapat diatasi. Berpangku tangan akan menjadi bantal setan. 6. Doran (kayu pegangan) diartikan ndedongo marang Pangeran - Jawa atau
berdoa kepada Allah. Maksudnya, jika mengejar cita-cita yang baik hendaknya mau berikhtiar dan selalu berdoa kepada Allah agar mendapatkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga cita-cita tersebut tercapai dengan baik. D. Pecut (cambuk), pada waktu petani membajak di sawah tentu membawa cambuk (pecut - Jawa) yang dipergunakan untuk mendorong (mencambuk) hewannya agar berjalan lebih cepat. Selain itu, petani tersebut tentu memakai caping (tutup kepala) untuk menghindari panas terik matahari. Hal ini 116
bermakna simbolik bahwa dalam usaha untuk mencapai cita-cita memerlukan dorongan (motivasi, perlu ‘dicambuk’) sehingga mendapat rizqi yang halal, cukup sandang, pangan, papan, dan cukup kesehatan jasmani-rohani. Hal ini disertai caping yang melambangkan rasa taqwa kepada Allah swt, karena taqwa itu berarti menjaga diri, dalam konteks ini menjagai diri dari sengatan matahari – itulah fungsi caping. E. Celengan (alat untuk menyimpan uang) melambangkan bahwa manusia hidup di dunia harus mempunyai simpanan amal yang baik atau amal jariyah sebagai simpanan kebahagiaan di dunia dan akhirat. F. Endog kamal (telur asin), yang biasanya disertai dengan nasi uduk ulam sari (nasi uduk dengan ikan ayam rebus), melambangkan benih (wiji - Jawa) untuk beramal ibadah yaitu rasa iman dan taqwa. Nasi uduk ulam sari melambangkan harus mengikuti ajaran Rasulullah saw. Hal ini mengandung arti bahwa rasa iman dan taqwa merupakan dasar amal ibadah manusia yang harus sesuai dengan ajaran-ajaran Rasulullah saw B.Saran Diharapkan studi tentang nilai-nilai pendidikan Islam dalam Tradisi Grebeg Maulud di Kraton Surakarta ini, dapat disempurnakan dengan mengadakan penelitian lebih lanjut dari penbahasandan topik.masalah Sehingga dapat gambaran yang lengkap pada tradisi Grebeg Mulud yang berupa upacara peringatan maulud Nabi tersebut, dalam sekala yang lebih luas. Sebagai
generasi
muda
dan 117
penerus
cita-cita
bangsa
yang
berkepribadian muslim, dengan sendirinya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab akan kelangsungan agama, umat maupun masa depan bangsa, demi tegaknya ajaran Islam terutama yang menyangkut aqidah Islamiyah dan memberikan pembinaan bagi pengunjung dan masyarakat sekitarnya agar tidak terjerumus dari perbuatan yang melangagar norma-norma agama.
118
DAFTAR PUSTAKA Moh, Rifai. 2002. Al Qur’an dan Terjemahnya.Semarang : CV.wicaksana. Achmadi.2005.Ideologi Pendidikan Islam.Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Tafsir, Ahmad. 2008. Ilmu Pendidikan Dalam Persfektif Islam.Bandung:PT.Remaja Rosdakarya. Hamalik, Oemar. 2004. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi.Jakarta: Bumi Aksara. Purwanto, Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis.Bandung:PT.Remaja Rosdakarya. A.Samana.1999.Profesionalisme Keguruan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Thoha, Chabib. Repormulasi Fisafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Saleh, Abdurrahman.1994.Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al Qur’an.Jakarta:PT.Reneka Cipta. Thoib, Ismail. 2008. Wacana baru Pendidikan Meretas Filsafat pendidikan Islam. Yogyakarta :Genta Press. S. Nasution.1993. Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Citra Aditya. Athiyah, Abrasyi.1994. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Nasikh, Ulwan. 1992. Pendidikan Anak Menurut Islam: Kaidah Dasar. Jakarta; Kalam Mulia. Bahreisy, Husein.1980. Himpunan Hadis Pilihan Hadis Bukhari. Surabaya: AlIkhlas. Assiediqy, Habsi.1981. Mutiara Hadis. jakarta: Bulan Bintang. Moh, Roqib.2009.Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif Sekolah, keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang. Amri, Andika.2006. Pemahaman Metafora di dalan Tradisi, Jurnal Ilmu Pendidikan,(Online) Jilid 5,No. 3, (http;/www.blogspot.com,diakses 12 Januari 2006). Azis, Abd.2009.Filsafat Pendidikan Islam Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam. Yogyakarta: Penerbit Teras. Nazir, Moh.2003.Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Galia Indonesia. Dhanu Priyo, Prabowo.2003.Pengaruh Islam dalam Karya R.NG. Ranggawarsita. Yogyakarta : Penerbit Narasi. Hadisutrisno, Budi.2009. Islam Kejawen. Yogyakarta: Eule Book. Ramidi, Sukandar. 2002 .Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis untuk Pemula. Yogyakarta : Gajah Madha University. Barnadib, Sutari Imam. 1986. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP)-IKIP. Laksono,P,M. 2009. Tradisi: Dalam Struktur Masyarakat Jawa ,Kerajaan dan Pedesaan. Yogyakarta: Kepel Press. 119
Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 1997. Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Chafidh, Muhammad Afnan dan A. Ma’ruf Asrori. 2006. Tradisi Islami Panduan Prosesi Kelahiran, Perkawinan dan Kematian. Surabaya: Khalista. Daeng, Hans J. 2000. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Endraswara, Suwardi. 2003. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi. Ghani, Djunaidi. 1997. Dasar-dasar Pendidikan Kualitatif: prosedur, tehnik dan teori. Surabaya: PT. Bila Ilmu. Kartono, Kartini. 1992. Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis. Bandung: Mandar Maju. Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia. Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan. Mahfud, Choirul. 2006. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Moleong, Lely J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Milles, Mattew B. dkk. 1992. Analisis data Kualitatif. Jakarta: PT. UI Press. Nawawi, Hadari. 1990. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Partokusumo, Karkono Kamajaya. 1995. Kebudayaan Jawa Perpaduanya dengan Islam. Yogyakarta: Ikatan Penerbit Indonesia. Simuh. 1995. Sufisme Jawa: Transformasi Tassawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya. Suharsono dan Ana Retnoningsih. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang: Widya Karya. Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2001. Metode Penelitian Sosial Agama. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. Suryabrata, Sumadi. 1998. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. http://jogjanews.com/2010/02/19/trad...i-nogo-wilogo/. http://joglo.com/2010/01/17/trad…i-nogo-wilogo/java.html:Tradisi Sekaten Surakarta. www.suaramerdeka.com/harian/0402/23/kraton.
120
Daftar Wawancara Dalam Upacara Tradisi grebeg Maulud Di Kraton Surakarta 2010
No Hari Tanggal Bulan
Daftar Pertanyaan
Jawaban
1
1.Sejak kapan Upacara sekaten
2.Upacara tradisi sekaten sudah ada sejak zaman R.Tiknopranoto
ada.
para Wali Songo penyebar agama Islam di Jawa.
2.Bagaimana menurut bapak
2.Tradisi ini merupakan warisan budaya yang
tentang tradisi-tradisi jawa,dan
mengandung
salah satunya yakni sekaten.
masyarakat,tradisi ini perlu di lestarikan,karena
Senin 1 Pebruari 2010
Informan
nilai-nilai
yang
berguna
bagi
budaya kita banyak di klaim oleh Negara lain,dan kraton merupakan salah satu wadah pelestari budaya tersebut. 2
Sabtu 6 pebruari 2010
1.Ada Berapa acara grebeg
1.Acara Grebeg di Kraton Surakarta ada tiga KHP.Krdimardo
maulud di Kraton Surakarta ini
yakni;Grebeg malud (grebeg Dal dan Grebeg wo
2.Bagaimana Prosesi Sekaten
maulud sendiri),Grebeg Sawal,dan Grebeg Besar
Berlangsung.
2.Prosesi sekaten ini berlangsung ketika di Tabuh Gamelan kiyai Guntur madu dan kiyai Guntur sari yang di tabuh sejak tanggal 5 Maulud dalam 1
hitungan Jawa,sampai menjelang pelaksanaan grebeg gunungan,Jamasan meriam pusaka kiyai sentoni,pengembalian gamelan pusaka ke Kraton 3
Kamis 11 pebruari
hingga pembagian gunungan 1.Perlengkapan apa saja yang 1.Perlengkapan dalam Sekaten meliputi ;tempat
2010
terdapat dalam sekaten .
upacara
sekaten,gending
KRT.Dwidjasap
sekaten,Gunungan utra
2.Barang-barang apa saja yang sekaten di jual dalam acara grebeg ini.
2.Ada banyak yang semua di jual dalam acara ini,dan
merupakan
tradisi
dahulu,yakni
ada
pecut,telor asi,cangkul,kinang,rambak,gangsingan 4
5
menurut
dan lain sebagainya. anda Tradisi ini merupakan tradisi kraton sebagai Drs.R.Subalidina
Rabu 17 Pebruari
Bagaimana
2010
tentang Tradisi sekaten ini
Selasa 23 Penruari
bentuk kedekatan raja kepada rakyat. 1.Apakah Dalam Tradisi ini 1.Jelas ada Karena tradisi ini adalah tradisi yang KRT Purwoto
2010
Ada
nilai-nilai
bentuk Syukur kepada tuhan dan Merupakan ta
Pendidikan merupakan warisan para wali songo sebagai media Dipuro
Islamnya.
dakwah.
2.Lalu dimana Letak Nilainya
2.Nilai
Pendidikannya
terdapat
sekaten itu sendiri dan yang perlengkapan 2
sekaten
yakni
pada
proses
terdapat pada gunungan
sekaten,serta barang-baranh yang di jual di acara tersebut,dan mestinya dalam bentuk simbol6
Jumat 26 Pebruari
simbol. 1.Apakah anda sering datang ke 1.Sering setiap ada acara sekaten saya selalu Bapak mardono
2010
acara sekaten ini.
datang.
2.Kesan Apakah yang terdapat 2.Ya yang pastinya banyak,saya sangat senang dan dalam bapak menghadiri acara Alhamdulillah Bisa hadir,disamping saya bisa ini
mendapatkan
teman,dan
berkah,saya
juga
mendapat ilmu,karena ada acara ceramahnya sebelum gunungan di bagikan.
3
4
Foto : Penjual Pecut
Foto : Penjual Bunga Mawar
Foto : Penjual Kinang
Foto : Penjual Telur Asin
Foto : Penjual Wedang Ronde
Foto : Penjual Rambak
5