Nugroho Trisnu Brata, Religi Jawa dan Remaking Tradisi Grebeg Kraton,…..
59
RELIGI JAWA DAN REMAKING TRADISI GREBEG KRATON, SEBUAH KAJIAN ANTROPOLOGI Nugroho Trisnu Brata Jurusan Sosiologi dan Antropologi FIS Universitas Negeri Semarang
Abstract: One of traditions still maintained by Yogyakarta society is grebeg kraton. Issues appointed in this paper are; first, how does Javanese society interpret phenomenon of grebeg Kraton Yogyakarta in the present time? Second, can remaking of a tradition be conducted so that it is able to create a new tradition? Method used in this research was qualitative research method. Data collection was conducted using observation technique, observation participatory, and depth interview.The discussion results showed; first, that in the present time which has been considered as modern age there are apparently Javanese society who still believes the existence of King’s blessing through goods media in form of Grebeg Mountains. Second, grebeg mountains tradition, in fact, can be reproduced or remade by Kraton Yogyakarta (Yogyakarta Palace) and society who hold mass movement pisowanan ageng on May 20, 1998 to demand Soeharto the President to retreat. The society who came in groups to Sultan in Alun-alun Lor Kraton Yogyakarta (North Square of Yogyakarta Palace) got foods and drinks freely in road banks toward the Palace. The model of grebeg mountains was remade become Sultan’s appeal to the society around the roads passed by mass of pisowanan ageng in order the society provides free foods and drinks to the mass. Keywords: tradition, grebeg, remaking
Kota Yogyakarta selama ini dikenal sebagai Kota Pendidikan, Kota Perjuangan, Kota Pariwisata, dan Kota Budaya. Sebagai Kota Pendidikan karena di Yogyakarta terdapat universitas negeri tertua dan terbesar di Indonesia yaitu Universitas Gadjah Mada yang didirikan pada 19 Desember 1949. Para mahasiswa dari seluruh pelosok Indonesia diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan di Universitas Gadjah Mada. Di Yogyakarta bisa dijumpai mahasiswa atau pelajar yang berasal dari seluruh propinsi yang ada di Indonesia dan terdapat asrama-asrama mahasiswa yang dibangun oleh masing-masing
pemerintah daerah yang warganya mengenyam pendidikan di Yogyakarta. UGM adalah pelopor lembaga pendidikan tinggi di Yogyakarta, disusul oleh berpisahnya IKIP Negeri Yogyakarta (kini UNY) dari UGM, lalu diikuti oleh munculnya berbagai perguruan tinggi yang lain. Dari sini terlihat bahwa Yogyakarta adalah miniatur Indonesia karena mahasiswa dari berbagai pelosok Indonesia berkumpul dan menuntut ilmu di Yogyakarta. Sebagai Kota Perjuangan, karena pada masa awal kemerdekaan Indonesia (1945-1949) Yogyakarta menjadi basis
60
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2, Desember 2009
perjuangan TNI dan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan. Kota Yogya pada masa itu juga menjadi Ibu Kota Indonesia untuk menggantikan Jakarta yang dianggap tidak aman karena datangnya bala tentara sekutu (Inggris dan NICA). Presiden Soekarno bermukim di Yogya untuk mengendalikan pemerintahan dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sebagai Kota Pariwisata, karena banyaknya objek pariwisata di Kota Yogyakarta dan sekitarnya baik wisata alam, wisata belanja, wisata peninggalan budaya (cultural artefak), wisata pertunjukan seni budaya (cultural behavior), maupun wisata religi Jawa yang berhubungan dengan makam rajaraja Mataram. Sebagai Kota Budaya karena keberadaan Kraton Yogyakarta yang berfungsi sebagai pusat kebudayaan Jawa sekaligus sebagai pemelihara nilainilai budaya Jawa yang halus, adiluhung, klasik namun modis, dan aristokratis. Secara historis Kraton Yogyakarta adalah institusi penerus kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Raja Panembahan Senopati. Kerajaan Mataram pecah, diawali oleh perang saudara yang dikenal dengan perang Mangkubumen, antara Raja Sunan Pakubuwono II melawan adiknya sendiri yaitu Pangeran Mangkubumi. Menurut Ricklefs (2002; 107-109), dengan adanya campur tangan penjajah Belanda, akhir dari perang Mangkubumen ini adalah ditandatanganinya Perjanjiyan Giyanti (Perjanjian Giyanti) pada tahun 1755 M yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua, sebelah timur adalah
Kerajaan Surokarto Hadiningrat dengan Rajanya Sunan Pakubuwono III (putra dari Sunan Pakubuwono II), dan sebelah barat adalah Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta) dengan rajanya Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubu-wono I. Tahun 1755 ini juga dikenal sebagai peristiwa Paliyan Negari (pembelahan negara), karena kerajaan Mataram dibelah menjadi dua, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Karena perjuangannya melawan dan berusaha mengusir penjajah Belanda yang telah menguasai kerajaan Mataram, maka Pangeran Mangkumi atau Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 2006 mendapat anugerah sebagai Pahlawan Nasional dari Presiden Susilo Bambang Hudoyono. Dua pahlawan nasional dari Kraton Yogyakarta yang lain adalah Pangeran Diponegoro dan Sultan Hamengkubuwono IX. Sedangkan Sultan Agung Hanyokrokusumo adalah Raja Mataram ke-3 yang juga diangkat menjadi pahlawan nasional karena usahanya mengusir Belanda dari Batavia (Jakarta). Kedua kraton Jawa baik Surakarta maupun Yogyakarta sampai saat ini masih melestarikan prosesi ritual grebeg kraton. Ritual grebeg kraton yang menjadi bagian tradisi kraton-kraton Jawa yang diwariskan secara turuntemurun hingga saat ini masih menjadi daya tarik wisatawan baik domestik maupun manca negara. Antusiasme masyarakat untuk menghadiri ritual grebeg kraton Jawa bisa mengukuhkan eksistensi budaya Kraton Jawa Yogyakarta yang adiluhung, halus, dan klasik.
Nugroho Trisnu Brata, Religi Jawa dan Remaking Tradisi Grebeg Kraton,…..
Permasalahan yang diangkat di sini adalah; Pertama, bagaimana masyarakat Jawa Kejawen memaknai fenomena grebeg Kraton Yogyakarta pada masa kekinian? Kedua, apakah suatu tradisi bisa di-remaking sehingga bisa melahirkan sebuah tradisi baru? Dengan memperhatikan deskripsi di muka dan berdasarkan pada dua permasalahan yang ada maka tulisan ini akan berusaha menganalisis fenomena grebeg Kraton Yogyakarta. Tujuan penulisan artikel ini adalah; Pertama, berusaha mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana masyarakat Jawa Kejawen memaknai fenomena grebeg Kraton Yogyakarta pada masa kekinian. Kedua, berusaha mendeskripsikan dan menganalisis apakah suatu tradisi bisa di-remaking sehingga bisa melahirkan sebuah tradisi baru. Tradisi grebeg yang berupa hajat Raja sebenarnya hanya diselenggarakan oleh Kraton-kraton Jawa. Akan tetapi seiring perkembangan jaman maka di berbagai tempat kemudian juga ikutikutan mengadakan ritual grebeg sebagai tradisi baru yang dilahirkan demi alasan pariwisata budaya. Grebeg yang diadakan bukan oleh kraton pada masa lalu dianggap tabu karena menyamai tradisi besar yang hidup di dalam kraton.
Metode Penelitian Metode (prosedur) penelitian untuk mengumpulkan data tentang ritual grebeg di Kraton Yogyakarta ini mengacu pada metode penelitian yang ada di dalam ilmu sosial. Metode
61
penelitian di dalam ilmu sosial ada 2 metode, yaitu; metode penelitian kualitatif dan metode penelitian kuantitatif. Penelitian untuk mengumpulkan data tentang pelaksanaan ritual grebeg di Kraton Kasultanan Yogyakarta ini dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Teknik pengambilan data dengan teknik observation (observasi), observation participatory (partisipasi observasi), dan depth interview (wawancara mendalam). Peneliti juga melakukan perekaman data visual dengan pemotretan memanfaatkan kamera foto, tetapi secara terpaksa data visual tidak ditampilkan dalam tulisan ini. Sebelum penelitian lapangan (field research) dilaksanakan, terlebih dahulu peneliti mengkaji berbagai literatur yang berhubungan dengan ritual, tradisi, religi masyarakat Jawa, Kraton Yogyakarta, dan grebeg itu sendiri. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif sehingga yang lebih dipentingkan adalah kualitas dan kedalaman data, bukan kuantitas data seperti pada metode penelitian kuantitatif. Peneliti tidak memanfaatkan kuisioner sebagai instrumen penelitian, tidak ada hipotesa, tidak ada verifikasi data, tidak mencari korelasi antar variabel, tidak ada sebab dan akibat (causality), tidak ada analisis data statistik, tidak ada prosentase responden terhadap populasi, dan tidak ada istilah responden sebagai nara sumber pengumpulan data karena itu semua adalah poin-poin ciri khas pada metode penelitian kuantitatif. Sebaliknya peneliti memanfaatkan interview guidance (panduan atau pedoman wawancara) sebagai instrumen penelitian, yang
62
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2, Desember 2009
bersifat fleksibel dan menyesuaikan dengan kondisi di lapangan saat melakukan wawancara mendalam. Nara sumber penggalian data adalah key persons yang disebut sebagai informan, bukan responden. Penggalian data difokuskan pada makna (meaning) yang ada di dalam pikiran informan terhadap fenomena yang dia mengerti, dia alami, atau dia saksikan.
Makna Tradisi Gunungan Grebeg Kraton Hari Kamis tanggal 21 April 2005 yang bertepatan dengan kalender Tahun Jawa tanggal 12 Mulud 1938 J, Kraton Kasultanan Yogyakarta kembali mengadakan ritual garebeg (grebeg). Prosesi ritual grebeg berlangsung sekitar jam 09.00 sampai 11.00 WIB. Ada 6 gunungan grebeg, 1 gunungan diberikan ke Puro Paku Alaman dan 5 gunungan grebeg dibawa ke halaman Masjid Besar Kauman untuk dirayah (diperebutkan). Ritual grebeg Mulud sebenarnya adalah rangkaian tradisi peringatan Maulud Nabi Muhammad (lahirnya Nabi Muhammad) di Kraton Yogyakarta. Ritual ini diawali oleh pasar malam selama 35 hari, disambung dengan ritual dibunyikannya 2 perangkat gamelan sekaten milik Kraton selama 7 hari, dan puncaknya adalah pembacaan Risalah Maulid Nabi Muhammad SAW oleh Pengulu Kraton yang dihadiri oleh Sultan Hamengkubuwono X di serambi Masjid Besar Kauman sebelum 2 perangkat gamelan sekaten diboyong kembali ke Kraton. Terdapat keyakinan masyarakat Jawa apabila nginang (mengunyah
kinang) sambil mendengarkan alunan suara gamelan sekaten yang eksotis dan mendayu-dayu, maka dia akan awet muda. Apabila ada bujangan yang secara sengaja makan sego gurih (nasi gurih) sambil mendengarkan bunyi gamelan sekaten maka dia akan segera mendapatkan jodoh yang diinginkan. Bagi pedagang ternak atau pemilik ternak seperti sapi, kerbau, atau kambing apabila membeli cambuk di area perayaan sekaten maka cambuk itu akan membuat jinak hewan yang liar dan memperlancar rejeki. Religi yang berakar pada tradisi masyarakat Jawa Kejawen ini telah berlangsung secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi tersebut juga masih bisa dijumpai pada ritual grebeg mulud di Kraton Yogyakarta pada saat penelitian ini dilakukan di bulan April 2005. Religi masyarakat Jawa yang biasa disebut dengan Kejawen adalah sinkretisme berbagai agama besar yang diadopsi dan disinkronkan dengan religi animisme dan dinamisme. Animisme dan dinamisme telah ada sejak jaman dahulu kala sebelum agama-agama besar Hindu, Budha, Islam, dan Kristen-Katolik masuk ke Indonesia. Religi kejawen dikenal sebagai produk monumental masa kejayaan Kerajaan Mataram Islam yang berpusat di Kotagede. Kerajaan ini didirikan oleh Panembahan Senopati Ing Ngalogo. Raja selanjutnya yang merupakan keturunan beliau adalah Panembahan Hanyokrowati Sedo Krapyak, Sultan Agung Hanyokrokusumo, Sunan Amangkurat, Sunan Pakubuwono, dan Sultan Hamengkubuwono.
Nugroho Trisnu Brata, Religi Jawa dan Remaking Tradisi Grebeg Kraton,…..
Ritual kejawen yang hidup dan sampai sekarang masih dipelihara oleh Kraton Yogyakarta salah satunya adalah tradisi grebeg. Setiap kali diadakan ritual grebeg maka Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta selalu meriah oleh iringiringan grebeg yang disertai oleh suara tembakan salvo dari senapan prajurit kraton dan diiringi oleh kelompokkelompok prajurit Kraton Yogyakarta. Menurut Irwan (1986), unsur yang paling penting dalam upacara garebeg adalah pemberian gunungan dari Raja. Gunungan adalah susunan berbagai jenis makanan dan sayuran sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk gunung. Gunungan merupakan hajat dalem atau kucah dalem yang dibagikan kepada kerabat kraton, para punggawa (pegawai), dan masyarakat. Pada bagian akhir upacara, gunungan ini dirayah (diperebutkan) oleh masyarakat setelah prosesi (pawai) dan didongani (dido’akan). Garebeg sendiri memiliki makna didatangi oleh orang banyak (disowani wong akeh), diikuti oleh orang banyak (diirid dening bala akeh), atau diserbu orang banyak (dibyuki dening wong akeh). Karena kraton disowani atau dibyuki oleh orang banyak maka raja memberikan kucah dalem (hajat raja) untuk para tamunya, pegawainya, dan rakyatnya yang sowan yang berupa gunungan. Makan bersama juga bisa menghilangkan sekat-sekat perbedaan, sehingga yang terjadi adalah rasa solidaritas dan kebersamaan dari masingmasing yang terlibat. Menurut P.M. Laksono (1985), selamatan (slametan) adalah fenomena makan bersama
63
(komuni) dalam lingkup yang terbatas, sedangkan garebeg adalah fenomena makan bersama (komuni) dalam lingkup yang lebih luas dan massal. Irwan (1986) mengatakan, garebeg (grebeg) ada tiga macam dan diadakan tiga kali dalam setahun yaitu; 1) Garebeg Mulud (Maulud) yang diselengarakan tiap tanggal 12 Bulan Mulud (Bulan Rabiulawal) adalah untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, 2) Garebeg Pasa atau Garebeg Bakda, yang diselenggarakan pada 1 Syawal yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri dan bertujuan untuk menghormati bulan puasa, malam lailatul qodar, dan syukuran atas selesainya ibadah puasa selama sebulan, dan 3) Garebeg Besar, yang diselenggarakan setiap tanggal 10 Bulan Besar (Bulan Dzulhijah) yang bertujuan untuk merayakan hari raya Iedul Adha. Pada upacara garebeg besar ini apabila bertepatan dengan Tahun Dal yang rotasinya setiap delapan tahun sekali (satu windu) maka dirayakan secara istimewa dengan menambah satu gunungan yaitu gunungan bromo atau kutuq yang puncaknya ada asap dan apinya. Kalau dikatakan bahwa Raja mengeluarkan hadiah makanan (kucah dalem) berupa gunungan grebeg kepada masyarakat, kemudian bagaimana masyarakat memaknai ritual grebeg pada masa kekinian? Dua orang yang sedang menunggu keluarnya gunungan grebeg di halaman Masjid Besar Yogyakarta, mengatakan bahwa mereka jauh-jauh datang dari Temanggung bukan untuk mendapatkan makanan grebeg. Ada juga
64
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2, Desember 2009
yang datang dari Bantul, Sukoharjo, dan Malang. Mereka ingin berebut grebeg dengan maksud ngalap berkah (mencari berkah) Sultan, di mana bagian grebeg yang berhasil dia rebut akan disimpan di rumah, bukan untuk dimakan. Perilaku ini diyakini bisa mendatangkan berkah keselamatan hidup dan kelancaran rejeki. Bagi seorang pedagang maka rejeki itu bisa berupa dagangan yang laris dan selalu mendapat laba. Bagi petani maka berkah itu bisa berupa tanaman pertanian yang selalu subur dan panen yang melimpah, dan bagi pegawai berkah itu bisa berupa kemudahan naik pangkat yang disertai dengan gaji yang mudah bertambah. Menyimpan barang yang merupakan barang pemberian Ratu (Raja) juga terjadi pada ritual nyebar udik-udik oleh Sultan pada malam terakhir dibunyikannya gamelan sekaten. Yaitu pada malam hari menjelang dikeluarkannya gunungan grebeg. Udikudik yang berupa uang receh logam secara simbolik bermakna bahwa Sultan adalah pribadi yang pemurah dan ber budi bowo leksono. Sultan memberikan hartanya kepada masyarakat agar mereka hidup sejahtera. Sultan nyebar udik-udik di tiga tempat yaitu di bangsal pagongan kidul tempat gamelan sekaten Kyai Guntur Madu dan di bangsal pagongan lor tempat gamelan sekaten Kyai Nogowilogo. Pada 20 April 2005 malam terlihat kerumunan masyarakat yang hiruk-pikuk saling berdesakan dan berebut mendapatkan udik-udik yang disebar oleh Sultan. Setelah itu Sultan nyebar udik-udik di dalam Masjid Besar Kauman di mana yang hadir adalah para tamu undangan, sentono dalem (kerabat
Raja), dan abdi dalem (pegawai kraton). Di dalam masjid juga terlihat fenomena untuk mendapatkan udik-udik, hanya saja ada etika Jawa yang tidak membolehkan untuk saling berebut karena tidak sopan. Udik-udik yang jatuh di pangkuan atau yang jatuh didekatnya saja yang boleh diambil. Masyarakat Jawa Kejawen memiliki keyakinan bahwa udik-udik tidak untuk membeli sesuatu melainkan harus disimpan di rumah. Orang yang menyimpan udik-udik meyakini bahwa udik-udik bisa menjadi pancingan rejeki, yaitu sarana yang bisa memperlancar datangnya rejeki karena adanya berkah Raja seperti halnya pada fenomena berebut gunungan grebeg. Pada event dibunyikannya gamelan sekaten selama 7 hari terlihat para penjual cambuk, nasi gurih, telor merah, dan seperangkat kinang (tembakau dan sirih). Seorang lelaki tua penjual kinang yang datang dari Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah mengatakan bahwa ada keyakinan masyarakat Jawa apabila nginang (mengunyah kinang) sambil mendengarkan alunan suara gamelan sekaten yang eksotis dan mendayu-dayu, maka dia akan awet muda. Apabila ada bujangan yang secara sengaja makan sego gurih (nasi gurih) sambil mendengarkan bunyi gamelan sekaten maka dia akan segera mendapatkan jodoh yang diinginkan. Bagi pedagang ternak atau pemilik ternak seperti sapi, kerbau, atau kambing apabila membeli cambuk di area perayaan sekaten maka cambuk itu akan membuat jinak hewan yang liar dan memperlancar rejeki. Religi yang berakar pada tradisi
Nugroho Trisnu Brata, Religi Jawa dan Remaking Tradisi Grebeg Kraton,…..
masyarakat Jawa Kejawen ini telah berlangsung secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi tersebut juga masih bisa dijumpai pada ritual grebeg mulud di Kraton Yogyakarta bulan April 2005. Tentang tradisi, menurut Locher (1978; 170 dalam P.M. Laksono, 1985; 9-10), tradisi adalah suatu dinamika dalam struktur masyarakat, tradisi bisa diartikan secara diakronik maupun sinkronik. Secara diakronik maka tradisi dianggap sebagai nilai-nilai kontinu dari masa lalu, yang dipertentangkan dengan modernitas yang penuh perubahan. Tapi mempertentangkan tradisi dengan modernitas dalam kacamata berubah atau tidak berubah juga tidak pas karena tradisi juga mengalami perubahan. Maka tradisi juga harus dipahami secara sinkronik. Lebih lanjut Laksono (1985;10-11) mengatakan bahwa seperti yang diungkapkan oleh Hesterman (1972; 3) di mana bagi Hesterman tradisi merupakan jalan bagi masyarakat untuk merumuskan dan menanggapi persoalan dasar dari keberadaannya yaitu kesepakatan yang dicapai masyarakat mengenai soal hidup mati, termasuk di dalamnya soal makan dan minum. Dari sisi ini maka tradisi tidak berbeda dengan kemodernan. Berhubung persoalan dasarnya tidak bisa dipecahkan, maka tradisi harus memiliki sifat luwes dan cair sehingga bisa terus menerus menjaman (mengikuti jaman). Tradisi tidak absolut tetapi harus situasional. Dengan demikian tradisi memberikan tata transenden yang menjadi orientasi baku untuk melegitimasi tindakan manusia.
65
Masyarakat yang datang ke Kraton Yogyakarta dari berbagai penjuru daerah untuk menyaksikan perayaan ritual Sekaten dan Grebeg, banyak yang datang tidak naik kendaraan tetapi dengan berjalan kaki. Perilaku ini adalah wujud dari tirakat atau nglakoni, atau menjalani laku prihatin sehingga berkah Dalem yang diharapkan menaungi dirinya menjadi semakin kuat dan hebat. Akumulasi laku prihatin dan kepemilikan piranti gunungan grebeg, udik-udik, nginang, membeli cambuk, dan makan nasi gurih bisa memunculkan sugesti akan besarnya berkah Dalem (berkah Raja) kepada seseorang yang menjadikan orang itu merasa selalu selamat, lancar rejeki, dan selalu tercapai keinginannya. Tradisi tersebut saat ini masih bisa dijumpai pada ritual grebeg Kraton Yogyakarta, akan tetapi tidak bersifat mutlak. Dalam pengertian bahwa perilaku simbolik seperti itu tidak dilakukan oleh semua orang yang datang ke arena ritual grebeg, ada juga yang memaknai ritual grebeg secara berbedabeda. Perilaku simbolik yang merujuk pada simbol-simbol tertentu, bisa jadi dianggap aneh oleh masyarakat lain yang bukan pemilik simbol tadi. Simbol bisa dianggap sangat bermakna oleh suatu masyarakat, akan tetapi orang lain mungkin saja tidak memiliki makna sama sekali atau hampa makna terhadap simbol tadi. Remaking Tradisi Dalam Gerakan Reformasi 1998 Fenomena pemberian makanan model grebeg pernah di-remaking di dalam pisowanan ageng 20 Mei 1998 di
66
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2, Desember 2009
Alun-alun Lor Kraton Yogyakarta, satu hari sebelum Presiden Soeharto lengser. Rakyat Yogyakarta berbondong-bondong datang menghadap Sultan Hamengkubuwono. Karena didatangi oleh massa maka Sultan memberikan hadiah makanan gunungan garebeg untuk dimakan bersama-sama. Di sini terjadi proses remaking, di mana tradisi pisowanan ageng kemudian dibentuk kembali, dibuat lagi, dilahirkan kembali, direproduksi, atau ditata ulang. Pisowanan ageng pada gerakan massa 20 Mei adalah hasil dari remaking tersebut. Ternyata apa yang terjadi pada pisowanan ageng tiap Tahun Dal di mana pejabat dan rakyat (massa) datang menghadap kepada raja sebagai tanda bakti kesetiaaan kepada raja dan adanya hadiah makanan gunungan garebeg untuk dimakan bersama-sama oleh massa, masih tetap ada dalam pisowanan ageng 20 Mei walaupun dalam format yang berbeda. Pada pisowanan ageng 20 Mei 1998, massa yang berbondong-bondong sowan atau datang menghadap kepada Sultan bukan sebagai tanda bakti setia kepada raja, walaupun masyarakat masih tetap menghargai Sultan sebagai tokoh masyarakat. Mereka berbondongbondong datang kepada Sultan adalah untuk ikut mendukung gerakan reformasi, dan hal ini menjadi simbol perlawanan yang bisa mempercepat jatuhnya Soeharto. Selain itu, pada pisowanan ageng 20 Mei, karena didatangi oleh massa maka Sultan memberikan hadiah makanan gunungan garebeg untuk dimakan bersama-sama. Akan tetapi pemberian makanan tersebut tidak berujud gunungan dan tidak
dilakukan secara langsung, tetapi melalui himbauan Sultan kepada masyarakat di sekitar jalan raya yang akan dilalui oleh peserta gerakan massa yang menuju kraton, agar menyediakan makanan dan minuman kepada peserta gerakan massa dengan diletakkan di pinggir-pinggir jalan. Himbauan ini dilaksanakan oleh masyarakat, dan lautan massa yang datang menuju kraton memakan serta meminumnya secara bersama-sama dengan gratis. Massa yang berbondong-bondong melewati jalan raya kota Yogyakarta untuk mendatangi pisowanan ageng 20 Mei di Kraton Yogyakarta, sebenarnya juga memiliki potensi berbuat kekerasan dan anarki di jalanan yang mereka lewati. Apalagi jika kondisi perut sedang lapar, jika tidak bisa dikontrol maka massa bisa melakukan apa saja termasuk berbuat anarki demi memperoleh makanan sebagai pengisi perut. Nafsu amarah juga mudah bangkit apabila perut sedang lapar. Rasa lapar dan haus adalah sifat alami makluk hidup seperti manusia, sehingga kebutuhan makanan (pangan) adalah kebutuhan primer bagi manusia-selain sandang dan papan. Potensi bangkitnya nafsu amarah dan perilaku kekerasan kemudian bisa diantisipasi atau diredam dan dijinakkan dengan model gunungan garebeg, di mana massa yang datang kepada Sultan diberi kesempatan untuk menggrebeg makanan sebagai hadiah dari Sultan untuk dimakan bersama. Makan bersama juga bisa menghilangkan sekat-sekat perbedaan, sehingga yang terjadi adalah rasa solidaritas dan kebersamaan dari masing-masing yang terlibat.
Nugroho Trisnu Brata, Religi Jawa dan Remaking Tradisi Grebeg Kraton,…..
Simpulan Setelah menganalisis fenomena grebeg Kraton Yogyakarta maka sampai di sini perlu diambil suatu benang merah berupa simpulan. Gunungan grebeg adalah makanan hadiah dari Raja (Sultan) kepada orang-orang yang datang sowan ke Kraton Yogyakarta agar dimakan secara bersama-sama. Pada masa kekinian yang sudah dianggap jaman modern, ternyata ada sebagian masyarakat Jawa yang masih meyakini adanya berkah Raja lewat media barang berupa gunungan grebeg. Mereka memperebutkan gunungan grebeg yang kemudian mereka simpan di rumah masing-masing agar mendapatkan berkah dari Raja misalnya; kelancaran rejeki, panenan tanaman pertanian yang melimpah, cepat naik pangkat, lancar jodoh, dsb. Tradisi gunungan grebeg ternyata bisa di-reproduksi atau di-remaking oleh Kraton Yogyakarta dan masyarakat yang mengadakan gerakan massa pisowanan ageng tanggal 20 Mei 1998 untuk menuntut mundur Presiden Soeharto. Masyarakat yang berbondong-bondong datang sowan kepada Sultan di Alun-alun Lor Kraton Yogkarta diberi makanan dan minuman gratis di pinggir jalan-jalan yang menuju Kraton. Model gunungan grebeg di-remaking menjadi himbauan Sultan kepada warga di sekitar jalan-jalan yang dilalui oleh massa pisowanan ageng agar warga menyediakan makanan dan minuman gratis kepada massa. Perut lapar dan terpaan panas matahari yang dialami massa pisowanan ageng berpotensi membangkitkan keberingasan dan amuk massa, tetapi dengan antisipasi model gunungan grebeg akhirnya Kota
67
Yogyakarta aman tanpa kerusuhan. Padahal kota-kota lain seperti Jakarta, Surakarta, Palembang, Medan dll dilanda kerusuhan dan pembakaran oleh massa yang menuntut Presiden Soeharto mundur. Satu hari setelah pisowanan ageng yaitu tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto benar-benar mundur dari kursi presiden
Daftar Pustaka Abdullah, I. 1986. Arti Simbolis Gunungan Kakung Pada Upacara Garebeg. Laporan Akhir Sarjana Muda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Bogdan, R. dan Taylor, S.J. 1992. Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif Suatu Pendekatan Fenomenologis terhadap Ilmu-ilmu Sosial. Surabaya: Usaha Nasional. Brata, N. T. 2003. Gerakan Massa “Pisowanan Ageng” Remaking Tradisi untuk Mendobrak Stagnasi Reformasi. Tesis S2 Program Studi Antropologi UGM. Laksono, P.M. 1985. Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa; Kerajaan dan Pedesaan. Yogyakarta: Gama Press. Ricklefs, M.C. 2002. Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 17491792, Sejarah Pembagian Jawa. Jogjakarta: Mata Bangsa.
68
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2, Desember 2009
Spradley, J. P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Strauss, A. dan Corbin, J. 2003. Dasardasar Penelitian Kualitatif Tatalangkah
dan Teknik-teknik Teoritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Turner, V. 1966. The Forest of Symbols, Aspects of Ndembu Ritual. Ithaca New York: Cornel University Press.