PENDIDIKAN HUMANIS DALAM ISLAM SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I dalam Ilmu Tarbiyah
Disusun Oleh: MUJIB 111 04 020
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2011
PENDIDIKAN HUMANIS DALAM ISLAM SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I dalam Ilmu Tarbiyah
Disusun Oleh: MUJIB 111 04 020
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2011
KEMENTERIAN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
Jl. Stadion 03 Telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721 Website : www.stainsalatiga.ac.id E-mail :
[email protected]
Prof. Dr. Mansur, M.Ag DOSEN STAIN SALATIGA NOTA PEMBIMBING Lamp : 4 eksemplar Hal : Naskah skripsi Saudara Mujib Kepada Yth. Ketua STAIN Salatiga di Salatiga Assalamu'alaikum. Wr. Wb. Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi saudara : Nama : Mujib NIM : 11104020 Jurusan / Progdi : TARBIYAH / PAI Judul : PENDIDIKAN HUMANIS DALAM ISLAM Dengan ini kami mohon skripsi Saudara tersebut di atas supaya segera dimunaqosyahkan. Demikian agar menjadi perhatian. Wassalamu'alaikum wr wb Salatiga, 11 Agustus 2011 Pembimbing
Prof. Dr. Mansur, M.Ag NIP. 196 806 131 994 031 004
PERNYATAAN KEASLIAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Mujib
NIM
: 111 04 020
Jurusan
: Tarbiyah
Program Studi
: Pendidikan Agama Islam
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 6 Agustus 2011 Yang Menyatakan,
Mujib
KEMENTERIAN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
Jl. Tentara Pelajar Telp. (0298) 323706 Faks. 323433 Salatiga 50721 PENGESAHAN SKRIPSI PENDIDIKAN HUMANIS DALAM ISLAM DISUSUN OLEH MUJIB NIM: 111 04 020
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Tarbiyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 26 September 2011 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar S1 Kependidikan Islam Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji
: Suwardi, M.Pd
Sekretaris Penguji
: Drs. Djoko Sutopo
Penguji I
: Prof. Dr. Mansur, M.Ag
Penguji II
: Siti Ruhayati, M.Ag
Penguji III
: M. Gufron, M.Ag
Salatiga, 28 September 2011 Ketua STAIN Salatiga
Dr. Imam Sutomo, M. Ag NIP. 19580827 198303 1 002
MOTTO “Selalu menatap kedepan, hal yang terburuk adalah yang tak mau bangkit. Waktu terus berjalan berjuta kemungkinan akan bisa diusahakan.”
PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan kepada: 1. Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan jalan-Nya sehingga selalu diberi kemudahan dalam menjalankan segala aktifitas. 2. Kedua orang tua yang senantiasa sabar dalam memberikan dukungan dan doa kepada penulis dalam menuntut ilmu. 3. STAIN Salatiga sebagai tempat menimba ilmu yang memberikan berbagai pengetahuan yang sangat bermanfaat. 4. Teman-teman HMI Cabang Salatiga, Wahyu B.U, Nur Wahid Effendi, Muchtar Lutfi, Hasbullah, M. Rofik, Cahyo Ginanjar, Torik Huda, Ahmad Muzaki, dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Berproses bersama dalam segala keadaan yang memberikan berbagai pengalaman yang tak terhitung nilainya.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, Sholawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat untuk memperkaya khazanah keilmuan dan dapat dijadikan pijakan untuk mengembangkan kualitas pendidikan. Tanpa bantuan dari berbagai pihak tentunya skripsi ini tidak akan bisa selesai, untuk pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag selaku ketua STAIN Salatiga. 2. Prof. Dr. Mansur, M.Ag selaku pembimbing skripsi, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan dukungan kepada penulis, sehingga penulisan skripsi dapat selesai. 3. Para Dosen dan Karyawan STAIN Salatiga yang telah memberikan jalan ilmu dan pelayanan. 4. Kepada semua pihak yang telah menjadi inspirasi, motivasi, penyemangat yang tidak dapat penulis satu per-satu Demikian kiranya, semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan menjadi wacana keilmuan baru bagi para pembaca. Salatiga, 6 Agustus 2011 Penulis,
Mujib
ABSTRAK Mujib, 11104020. Pendidikan Humanis Dalam Islam. Skripsi Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Skripsi Jurusan Tarbiyah, Program Studi PAI STAIN Salatiga. Pembimbing: Prof. Dr. Mansur, M. Ag. Kata kunci : Pendidikan Humanis Islam Tujuan penelitian dalam skripsi ini ada tiga hal, yaitu: (1) Mengetahui konsep pendidikan yang humanis; (2) Mengetahui konsep pendidikan humanis dalam Islam; (3) Mengetahui implikasi konsep pendidikan humanis Islam dalam pendidikan Islam. Penelitian ini dirancang dengan jenis penelitian kepustakaan (perpustakaan) yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan material yang terdapat di ruang perpustakaan, berupa: Al-Qur’an, buku-buku hadits, buku-buku ilmiah, majalah, catatan-catatan, dokumen, dan lain-lain. Setelah data terkumpul penulis menerapkan dua metode yaitu: (1) metode induksi dan deduksi sebagai cara untuk mendapatkan pengetahuan yang bertolak dari hal khusus untuk menentukan hal yang umum dan penarikan kesimpulan dari hal umum ke hal atau bentuk khusus, (2) metode analisis dan sintesis untuk mengkaji secara mendalam dan menyimpulkannya. Kesimpulan penelitian ini menunjukan bahwa: (1) hasil penelitian dalam skripsi ini menunjukan bahwa pendidikan yang humanis merupakan paradigma pendidikan yang menempatkan siswa sebagai subjek dalam proses belajar-mengajar. Selain Mengembangkan kecerdasan dari segi intelektual anak didik, juga memperhatikan pengembangan nilai-nilai kemanusiaannya sehingga dapat menjadi manusia yang progresif dan aktif, (2) konsep pendidikan humanis dalam Islam adalah pendidikan yang mendidik manusia untuk menghargai sesama manusia, menjunjung tinggi akhlakul karimah, dan mengembangkan segala potensi manusia untuk dapat menjadi insan kamil yaitu manusia yang cerdas dari aspek intelektual, emosional dan spiritual, (3) implikasi dari konsep pendidikan humanis dalam Islam dalam pendidikan Islam adalah dengan melibatkan segala aspek dalam pendidikan diantaranya, Guru, metode, murid, materi, dan evaluasi. Pendidikan memiliki tanggungjawab terhadap upaya perkembangan jasmani dan rohani anak didik agar mencapai tingkat pemahaman akan keberadaannya dimuka bumi, sehingga ia mampu menjadi manusia yang sempurna dalam kacamata peradaban manusia dan sempurna dalam standar agama.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i HALAMAN LOGO............................................................................................ ii HALAMAN JUDUL.......................................................................................... iii NOTA PEMBIMBING....................................................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN............................................................................ v PENGESAHAN.................................................................................................. vi MOTTO DAN PERSEMBAHAN...................................................................... vii KATA PENGANTAR........................................................................................ viii ABSTRAK.......................................................................................................... ix DAFTAR ISI....................................................................................................... x BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..............................................................
1
B. Penegasan Istilah.........................................................................
4
C. Rumusan Masalah.......................................................................
5
D. Tujuan Penelitian.........................................................................
6
E. Manfaat Penelitian.......................................................................
6
F. Landasan Teoritik........................................................................
7
G. Metode Penelitian........................................................................ 19 H. Sistematika Penulisan.................................................................. 22 BAB II
KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Humanis..................................................................... 23 B. Humanisme Religius.................................................................... 26 C. Konsep Pendidikan Humanis....................................................... 28
BAB III
KONSEP HUMANIS DALAM ISLAM A. Konsep Humanis Islam................................................................. 41 B. Konsep Pendidikan Islam yang Humanis..................................... 63 C. Pendidikan Humanis dalam Islam................................................ 72
BAB IV
IMPLIKASI PENDIDIKAN HUMANIS ISLAM A. Aspek Guru.................................................................................. 82 B. Aspek Metode.............................................................................. 83 C. Aspek Murid................................................................................ 89 D. Aspek Materi................................................................................ 92 E. Aspek Evaluasi............................................................................ 94
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.................................................................................. 96 B. Saran-Saran.................................................................................. 97
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu wadah untuk melahirkan manusia yang berpengetahuan. Pendidikan memberikan andil besar bagi kemajuan masyarakat, bangsa dan bernegara. Pendidikan terjadi dalam berbagi tempat, di antaranya di rumah, masyarakat dan lembaga pendidikan (sekolah). Di rumah yang dididik oleh orang tuanya, di masyarakat terdidik oleh lingkungan pergaulan seorang anak tersebut, kemudian pendidikan formal di sekolah (madrasah) dididik oleh guru. Pendidikan di rumah terbatas karena kesibukan dari orang tuanya yang harus bekerja untuk mencari nafkah keluarga, sedangkan pendidikan di lingkungan masyarakat sering terbatas pada pengekoran pada arus pergaulan. Sehinggga pendidikan yang paling efektif adalah pendidikan formal untuk mendidik anak hingga usianya menginjak dewasa. Di sinilah urgennya pendidikan dalam pembentukan pribadi seseorang anak menjadi manusia seutuhnya (insan kamil). Realitas di lapangan berkata lain. Pembaharuan terhadap dunia pendidikan indonesia terus dituntut beberapa pihak. Orang-orang melihat dunia pendidikan belum memadai kualitasnya. Ini ditandai oleh banyaknya geng-gengan dan tawuran antar pelajar yang sekarang sudah menjadi momok bagi masayarakat. Generasi bangsa kehilangan kesadarannya. Maraknya tawuran pelajar dipicu oleh 1
beberapa faktor. Rendahnya kualitas pribadi siswa mendorong perilaku yang tidak bernorma. Selain itu juga pergaulan antar remaja putra dan putri semakin bebas (tindak asusila). Fenomena ini membuktikan masih terdapat kelemahan dalam pola pendidikan
dalam
sekolah.
Pendidikan
masih
menitikberatkan pada
kecerdasan intelektual (IQ). Proses kelulusan masih tergantung pada ujian akhir nasional (UAN). Akhirnya
prioritas lebih menekankan pada
pemberdayaan intelektual dan masih kurangnya dalam penekanan terhadap nilai-nilai moral (kemanusiaan) anak didik. Hal ini tidak terlepas dari sistem pendidikan di indonesia. Moralitas atau budi pekerti seyogyanya membedakan antara seorang anak yang mengenyam pendidikan dengan yang tidak sekolah. Bangsa yang konon santun dan ramah ini seolah tidak kunjung berdaya untuk menebar kebajikan dan keteladanan. Perilaku asusila dan kekerasan seolah menjadi hobi dan menjadi gaya hidup. Fakta yang memperihatinkan tidak sedikit perilaku kejahatan moral dilakukan oleh generasi muda bangsa. Sebagian di antara mereka adalah dari peserta didik di sekolah maupun perguruan tinggi. Usaha melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, baik jasmani maupun rohani, dari kehidupan fisik maupun mentalnya dalam melaksanakan kehidupan di muka bumi. Sehingga pendidikan intelektualnya
merupakan dan
juga
keseluruhan norma-norma
dengan
mendidik
kemanusiaannya.
kecerdasan Kita
sering
membanggakan diri sebagai bangsa yang religius (yang tentunya juga berarti
bangsa yang berakhlaq mulia). Tetapi dengan jujur kita harus mengakui bahwa kebanggaan di atas itu sering kosong belaka. Dengan kondisi bangsa yang “korup” serta “pungli” dimana-mana. Pendidikan akhlak atau nilai-nilai kemanusiaan mutlak pentingnya. Nurcholis Madjid menyatakan bahwa tanpa akhlaq yang baik, suatu bangsa akan binasa (Nurcholis Madjid, 2010: 173). Dalam konteks ini, kompleksitas penyimpangan moralitas generasi bangsa dan kekerasan yang proliteratif (menyebar) tersebut merupakan tugas berat orang tua dan dunia pendidikan, sekolah agama (madrasah) maupun sekolah umum. Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan diri peserta didik agar sesuai dengan fitrah keberadaannya. Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan (peserta didik) untuk mengembangkan diri dan potensi
yang
dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring kemunduran Islam dunia pendidikan Islam turut mengalami kemunduran. Islam sangat memperhatikan tentang pentingnya mendidik anak secara utuh dengan menjunjung nilai humanis (nilai-nilai kemanusiaan), hal ini terbukti dengan banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang manusia dari penciptaan, potensi yang dimilikinya, perannya dimuka bumi dan ditinggikannya derajat manusia dibanding dengan mahluk-mahluk Allah lainnya. Humanisasi yang di terapkan dalam Al-Quran tidak meninggalkan
peran manusia di bumi ini sebagai hamba yang diwajibkan untuk mengabdi kepada khaliknya.
B. Penegasan Istilah Untuk mempertegas pengertian tentang judul “pendidikan humanis dalam Islam”, dan demi terarahnya pembahasan dalam penulisan ini maka terlebih dahulu dirumuskan istilah kunci yang digunakan dalam judul tersebut. 1. Pendidikan Pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect), dan jasmani anak selaras dengan alam dan masyarakatnya. Secara umum pendidikan adalah usaha untuk membantu sesorang yang pada umumnya belum dewasa untuk mencapai kedewasaan melalui suatu proses, suatu interaksi antara manusia yang berlangsung pada kancah hubungan manusia, atau bisa disebut sebagai pergaulan, dengan tujuan agar manusia tersebut kelak dapat melaksanakan hidup dan tugas hidupnya sebagai manusia secara mandiri dan bertanggung jawab (Saifullah, 2005:44). 2. Humanis Kata “humanis” dalam kamus ilmiah popular berarti, suatu doktrin yang menekankan pada kepentingan-kepentingan manusia dan ideal (M.D.J. Al-Barry dan Sofyan Hadi A.T, 2008: 134). Humanis sebagai aliran filsafat modern yang “anti-religius”, Tetapi dalam pengertian yang lain, dimana para pendukungnya begitu optimistik tentang kemungkinan-
kemungkinan atau kemampuan manusia. Filsafat humanisme mempunyai beberapa pandangan hidup yang berpusat pada kebutuhan dan ketertarikan manusia (Abdurrahman Mas’ud, 2002: 129).. 3. Islam Islam menurut bahasa adalah selamat (Wahyudi Abdullah, 2010: 485). Menurut istilah yaitu agama yang dapat menyelamatkan manusia atau umat dari kehidupan di dunia diwahyukan oleh Allah melalui rosulNya (Muhammad) menjadi pegangan hidup manusia agar memperoleh kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2008: xii).
C. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang di uraikan di atas dapat diketahui bahwa pada masa modern ini, dunia pendidikan masih dihadapkan kepada beberapa problem pendidikan. Diantaranya dari segi degradasi terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu yang menjadi pokok dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana konsep pendidikan yang humanis? 2. Bagaimana konsep pendidikan humanis dalam Islam? 3. Bagaimana implikasi konsep pendidikan humanis Islam dalam pendidikan Islam?
D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang penulis maksud adalah: 1. Mengetahui konsep pendidikan yang humanis. 2. Mengetahui konsep pendidikan humanis dalam Islam. 3. Mengetahui implikasi konsep pendidikan humanis Islam dalam pendidikan Islam.
E. Manfaat Penelitian 1. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan Islam, khususnya dalam memberi kontribusi bagi pendidikan Islam, khususnya dalam mencari paradigma pendidikan Islam, yang hingga hari ini terus diusahakan untuk menemukan suatu paradigma pendidikan Islam yang ideal. 2. Tulisan ini diharapkan dapat membuka wawasan dan menambah cakrawala berfikir bagi pihak-pihak yang berkompeten dalam dunia pendidikan dan rekan-rekan yang setia dalam memperjuangkan pendidikan untuk mendapatkan cahaya terang dalam cita-cita dari pendidikan itu sendiri. 3. Tulisan ini diharapkan menjadi motivasi bagi kalangan akademisi untuk lebih peka dalam mencari akar permasalahan yang menyebabkan lemahnya pendidikan kita dan mencari solusi yang inovatif dan terbaik bagi dunia pendidikan di negara kita untuk masa yang akan datang.
F. Landasan Teoritik 1. Konsep Penciptaan Manusia Dalam Al Quran banyak ditemukan gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna filosofi dari penciptaannya. Manusia merupakan makhluk-Nya
yang paling sempurna dan sebaik-baik
penciptaan yang dilengkapi dengan akal pikiran. Manusia memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir, dan memutuskan (Al-Rasyidi dan Samsul Nizar, 2005: 1). Manusia adalah mahluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan bagi mengemban tugas dan fungsinya sebagai makhluk Allah di muka bumi. Proses penciptaan manusia dalam teori pembentukan (taswiyah) sebagai suatu proses yang timbul di dalam materi yang membuatnya cocok untuk menerima ruh. Firman Allah dalam Al-Qur’an tentang proses penciptaan manusia sebagai berikut,
§N èO 5> #tè? ` ÏiB /ä3 »oYø)n=yz $¯RÎ*sù Ï] ÷èt7ø9$#z` ÏiB 5= ÷ƒu‘ ’ÎûóO çFZä. b Î) ⨠$¨Z9$# $yg•ƒr'¯»tƒ 7ps)¯=sƒèC ÎŽöxî ur 7ps)¯=sƒ’C 7ptóôÒ •B ` ÏB ¢O èO 7ps)n=tæ ô` ÏB §N èO 7pxÿ õÜ œR ` ÏB Artinya: Hai manusia jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna (QS. Al-Hajj: 5) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah AlQur’an, 2009: 332).
Materi itu merupakan saripati tanah liat Nabi Adam a.s yang merupakan cikal bakal bagi keturunannya. Cikal bakal atau sel benih (Nutfah) ini semula adalah tanah liat setelah melewati berbagai proses akhirnya menjadi bentuk lain yaitu manusia dalam bentuk yang sempurna. Tanah liat berubah menjadi makanan (melalui tanaman dan hewan), makanan menjadi darah, kemudian menjadi sperma jantan dan indung telur. Kedua unsur ini bersatu dalam satu wadah yaitu rahim dengan transformasi panjang yang akhirnya menjadi tubuh manusia yang harmonis (Jabillah) yang cocok untuk menerima ruh. Sampai di sini proses murni bersifat materi sebagai warisan leluhurnya. Kemudian setiap manusia menerima langsung dari Allah di saat embrio sudah siap dan cocok menerimanya. Maka dari pertemuan antara ruh dan badan, terbentuklah mahluk baru manusia 2. Konsep Humanis Dalam Islam Sebagai sebuah agama, Islam merupakan pedoman dan tuntutan bagi manusia untuk menjalani kehidupan, yang di dalamnya terkandung ajaran mengenai bagaimana manusia menjalani kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Islam yang demikian disebut sebagai agama (al-dien), sehingga agama meliputi seluruh dimensi kehidupan. Dalam hal ini secara subtansial, ajaran Islam berisi tentang tuntutan bagi manusia untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Sedangkan secara fungsional, Islam memiliki visi dan misi pembebasan manusia dari segala bentuk belenggu kemanusiaan. Oleh
karena
itu,
Islam merupakan agama
yang menjadikan manusia
sebagaimana adanya, atau lebih tepatnya, Islam selaras dengan fitrah manusia. Sebagaimana diterangkan dalam Al Quran:
Ÿw 4$pköŽn=tæ }¨ $¨Z9$# tsÜ sù ÓÉL©9$# «! $# |N tôÜ Ïù 4$Zÿ‹ÏZym ÈûïÏe$#Ï9 y7 ygô_ ur óO Ï%r'sù Ÿw Ĩ $¨Z9$# uŽsYò2 r& Æ
Å3 »s9ur ÞO ÍhŠs) ø9$# Úú
ïÏe$!$# šÏ9ºsŒ 4«! $# È, ù=yÜ Ï9 Ÿ@ ƒÏ‰ ö7s? ÇÌÉÈ tb qßJ n=ôètƒ
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama agama (Allah), tetaplah atas fitrah Allah (agama) yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah. ( itulah ) Agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”. (Q.S. ArRum: 30) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 407).
Dari ayat di atas, terjalin suatu pengertian, bahwa fitrah manusia pada dasarnya selaras dengan fitrah (agama) Allah. Demikian juga sebaliknya, agama Islam sebagai fitrah Allah yang selaras dengan fitrah manusia. Adapun fitrah yang dimaksud ini, mengacu pada fitrah manusia bermakna keadaan asli alami yang dibawa manusia ketika lahir (Khoiron Rosyidi, 2004:34). Dengan berdasarkan pada pengertian tersebut, dalam sub bab ini akan dibahas tentang manusia menurut pandangan Islam yang akan menjadi dasar pijakan bagi sebuah pendidikan Islam yang humanis, yang meliputi hakikat wujud manusia, potensi insaniah manusia, dan tujuan penciptaan manusia. a.
Hakikat Wujud Manusia 1) Manusia sebagai Mahluk Jasmani -Rohani yang Mulia.
Dalam pandangan Islam, manusia diciptakan oleh Allah sebagai mahluk yang mulia. Adapun letak dari kemuliaan manusia, salah satunya adalah pada kesempurnaan dari hakikat wujud manusia. Hal ini disebabkan karena manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk yang terbaik. Sebagaimana ditegaskan di dalam AlQuran:
ÇÍÈ 5O ƒÈqø)s? Ç` |¡ ôm r&þ’Îûz` »|¡ SM} $#$uZø)n=y{ ô‰ s)s9 Artinya: “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (QS.At-Tiin: 4) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 597).
Sebagai mahluk yang bentuknya sempurna, secara fitrah (asal kejadian), manusia memiliki struktur bidimensial, yaitu dimensi jasmani dan rohani. Secara jasmani manusia diciptakan dari tanah. Dalam firmanNya dijelaskan:
:*yJ ym ô` ÏiB 9@ »|Á ù=|¹ ` ÏiB #\t± o0 7, Î=»yz ’ÎoTÎ) Ïps3 Í´¯»n=yJ ù=Ï9 y7 •/u‘ tA $s% øŒÎ)ur ¼çms9 (#qãès)sù ÓÇr r•‘ ` ÏB ÏmŠÏù àM ÷‚ xÿtRur ¼çmçF÷ƒ§qy™ #sŒÎ*sù
ÇËÑÈ 5b qãZó¡ ¨B ÇËÒÈ tûïω Éf »y™
Artinya:”Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ”sesungguhnya Aku menciptakan seorang basyar (manusia) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kehidupannya dan telah meniupkan ruh-Ku (ruh ciptaanNya) maka tunduklah kamu (para malaikat) kepadanya dengan bersujud.” (QS. Al Hijr: 28-29) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah AlQur’an, 2009: 263).
Firman di atas menjelaskan kepada manusia tentang asal usul dan proses dirinya. Dalam proses penciptaannya, selain diberi bentuk berupa tubuh (jasmani) yang bersifat kongkrit, Allah memberikan tiupan ke dalamnya yang membentuk satu kesatuan yang
bernama
manusia
sebagai
sebaik-baiknya
kejadian.
Kesempurnaan manusia dalam bentuk terbaik yang diberikan oleh Allah ini menjadikan manusia memiliki kelebihan dari mahlukmahluk lainnya. Segi kelebihan secara fisik yang ada pada manusia ini jika diperbandingkan dengan binatang misalnya: dalam hal ini binatang dan manusia sama-sama memiliki hati. Akan tetapi, hanya hati, mata dan telinga manusia saja yang dapat menerima kebenaran dan menolak ketidakbenaran. Setelah pembentukan fisik mendekati sempurna dalam bentuk janin, Allah meniupkan ruh-Nya kepada manusia dan sejak itu dia benar-benar menjadi mahluk jasmani-rohani yang mulia sehingga para malaikatpun diperintahkan oleh Allah agar tunduk kepada manusia. Para ulama jumhur sepakat menafsirkan saat ditiupkan ruh kepada manusia terjadi getaran Ilahi. Dengan getaran Ilahi tersebut manusia hidup sebagai mahluk jasmani dan rohani yang mulia melebihi mahluk lainnya. Kelebihan itulah yang menyebabkan tidak ada mahluk Allah yang melebihi manusia. Allah membuatnya
hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihan, dan memutuskan, dan ini adalah sifat-sifat rabbaniah. Hal ini yang memungkinkan manusia hidup dengan berbagai kemampuan dan kewenangannya sesuai asmaul husna dalam batas-batas kemahlukannya. Hal ini pulalah menjadikan fitrah bermakna kesucian manusia sejak dilahirkannya, selain dalam Islam sendiri tidak dikenal dengan apa yang dinamakan dosa turunan, sebagaimana yang terdapat dalam agama lain. 2) Manusia sebagai Mahluk Religius. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada ayat sebelumnya (QS. Ar Rum: 30), bahwa Allah telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrahnya. Dalam hal ini, pada hakikatnya, manusia diciptakan oleh Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu agama Tauhid. Perihal naluri beragama Tauhid dalam diri manusia ini, dijelaskan di dalam firmanNya:
#’n?tã öN èd y‰ pkôr&ur öN åktJƒÍh‘èŒ óO Ïd Í‘qßgàß ` ÏB tPyŠ#uä ûÓ Í_t/ .` ÏB y7 •/u‘ x‹ s{ r& øŒÎ)ur ÏpyJ »uŠÉ) ø9$#tPöqtƒ (#qä9qà) s? c
r&¡!$tRô‰ Îgx© ¡4’n?t/ (#qä9$s% (öN ä3 În/tÎ/ àM ó¡ s9r&öN ÍkŦ àÿRr& ÇÊÐËÈ tû,Î#Ïÿ»xî #x‹ »yd ô` tã $¨Zà2
$¯RÎ)
Artinya: ”Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari subi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):” bukanlah Aku ini Tuhanu ?”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar dihari kemudian kamu tidak mengatakan:”sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-Esaan Tuhan)”.
(QS. Al-A’raf: 172) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 173).
Ayat tersebut menjelaskan, bahwa pada fitrahnya, dalam diri manusia telah terdapat naluri beragama. Peristiwa inilah yang di dalam Al-Qur’an disebut Abdullah, perjanjian antara Tuhan dengan manusia dan sebaliknya. Perjanjian yang kemudian terlukis dalam tiap-tiap jiwa manusia sebagai dasar rohaninya yang dibawanya lahir ke alam terang ini sebagai fitrah. 3) Manusia Mahluk Individu dan Sosial. Kemanuggalan antara tubuh (jasmani) dan jiwa (rohaniah) yang diciptakan Allah, merupakan suatu diri (individu) yang berbeda antara satu dengan yang lain. Islam sendiri memandang bahwa, meskipun manusia dalam beberapa ciri dan sifat memiliki kesamaan, namun terdapat beberapa perbedaan perseorangan (alfuruq al fardiyah) dalam sifat. Yang menunjukan eksistensinya sebagai seorang individu yang memiliki karakteristik sendiri. Pengakuan Islam terhadap sifat individualitas manusia ini tergambar dalam konsep tanggung jawab yang merupakan konsep individualitas yang khas Islam. Di dalam Al Quran dijelaskan :
ÇÌÑÈ îpoY‹Ïd u‘ ôM t6|¡ x. $yJ Î/ ¤§ øÿtR ‘@ ä. Artinya :”Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas segala yang diperbuatnya”. (QS. Al-Mudatsir:38) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 576).
Secara garis besar Al-Qur’an menjelaskan perbedaan masingmasing individu dengan menunjukan adanya kelebihan antara satu dengan yang lainnya. Dan hal yang paling ditekankan dalam hal ini ialah adanya tanggung jawab individu, baik terhadap Tuhan, maupun terhadap diri sendiri. b.
Potensi Insaniah Manusia. Allah SWT memberikan potensi-potensi dasar pada manusia. Potensi dasar ini diantaranya insting, indera dan akal. Secara khusus disebutkan dalam Al Quran:
ãN ä3 s9 Ÿ@ yèy_ ur $\«ø‹x© šc
qßJ n=÷ès? Ÿw öN ä3 ÏF»yg¨Bé& Èb qäÜ ç/ .` ÏiB Nä3 y_ t÷z r& ª! $#ur
ÇÐÑÈ šc
rãä3 ô± s? öN ä3 ª=yès9 noy‰ Ï«øùF{ $#ur t»|Á ö/F{ $#ur yì ôJ ¡ 9$#
Artinya:”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut (sulbi) ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.” (Q.S. An-Nahl:78) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 275).
Ayat di atas menerangkan bahwa selain penglihatan dan pendengaran, manusia juga dianugerahkan oleh Allah hati (akal) yang dapat membedakan yang baik dan yang buruk, benar dan salah. Sebagai sarana vital akal merupakan alat untuk mencapai kebenaran, akan tetapi tidak secara mutlak. Karena akal bukanlah wasilah langsung untuk menyikap kebenaran, melainkan sebagai jalan menuju kebenaran melalui proses berfikir dan telaah. Akal ini dapat mempertimbangkan sesuatu setelah sesuatu itu direkam lewat indera
pendengaran dan penglihatan. Karena pendengaran dan penglihatan hanya mampu menangkap sesuatu yang bersifat empirik, maka kemampuan akal hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat empirik. Dengan berbagai kelemahan itu, akal manusia yang semestinya dapat berbuat cermat, teliti, dan penuh pertimbangan, menjadi kacau dan tidak objektif lagi. Dengan keterbatasan yang dimiliki inderawi dan akal manusia sebagai seperangkat alat mencari kebenaran, maka sebagai bagian dari hidayah Allah yang tidak kalah pentingnya adalah Agama. Dalam proses pengembangan dan aktualisasi potensi insani yang berupa indera dan akal tersebut, Allah membimbing manusia dengan agama Islam, dimana secara fitrah manusia cenderung kepadanya. Sedangkan mengenai hal-hal yang bersifat ghaib diperlukan petunjuk khusus, yakni wahyu Allah (agama). c.
Tujuan Penciptaan Manusia 1) Manusia sebagai Hamba Allah (‘abdullah). Tujuan
penciptaan
manusia
adalah
beribadah,
melaksanakan ibadah, mengabdikan diri (jiwa dan raga) sematamata kepada Allah. Tujuan penciptaan ini di tegaskan di dalam AlQuran:
ÇÎÏÈ Èb r߉ ç7÷èu‹Ï9 žw Î)}§ RM} $#ur £` Ågø:$#àM ø)n=yz $tBur Artinya: “Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat:56) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 523).
Ibadah secara harfiah berarti rasa tunduk (taat) melakukan pengabdian secara penuh kepada Allah. Pengertian ibadah meliputi cakupan yang sangat luas, meliputi segala amal perbuatan yang titik tolaknya adalah ikhlas karena Allah, dengan tujuan keridhaan dari Allah. Lebih luas lagi, ibadah juga berati setiap sikap, pandangan, ucapan, dan perbuatan yang bertitik tolak dari sikap ihklas dan tujuan
vertikal
Mardhatillah
(keridhaan
Allah),
bertujuan
horisontal fiddunya hasanah wa filakhirati hasanah (kebahagiaan di dunia dan di akhirat) di samping menjadi rahmat bagi segenap manusia dan seluruh alam. Selain memiliki makna luas, ibadah juga memilki makna khusus yakni, hubungan ta’abbudi (ritual) langsung antara ‘abdi (hamba) dengan Allah, yang tata caranya ditentukan oleh Allah di dalam Al-Qur’an dan oleh Rasul-Nya dan sunnahnya. Ibadah dalam arti khas ini bukanlah terletak di luar ibadah dalam arti luas, melainkan terletak di dalamnya, bahkan menempatkan titik sentralnya seperti Sholat, Zakat, Puasa dan Haji. Gabungan antara ibadah dalam arti luas dengan ibadahibadah lainnya disebut ibadah dalam arti luas. Bagi setiap muslim, seluruh aspek kehidupan dan penghidupan itu adalah ibadah.
2) Manusia sebagai Wakil Allah di Muka Bumi (kholifatullah fil ard). Selain dari tujuan penciptaan manusia untuk tunduk dan patuh kepada Allah, tujuan lain yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai wakil Allah dimuka bumi (Khalifatullah Fil Ard). Hal ini secara jelas di tegaskan di dalam Al-Quran:
(Zpxÿ‹Î=yz ÇÚ ö‘F{ $#’Îû×@ Ïã %y` ’ÎoTÎ)Ïps3 Í´¯»n=yJ ù=Ï9 š•/u‘ tA $s% øŒÎ)ur Artinya:”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang kholifah dimuka bumi.” (Q.S. Al-Baqarah: 30) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 6 ).
Tujuan penciptaan manusia ini juga mengandung tugas dan fungsi manusia sebagai khalifahtullah fil ard. Karena Allah adalah zat yang menguasai dan memelihara alam semesta (Rabbul ‘Alamin), maka tugas utama manusia sebagai wakil Tuhan adalah menata dan memelihara serta melestarikan dan menggunakan alam sebaik-baiknya untuk kesejahteraan hidupnya. Manusia sebagai Khalifatullah telah diberikan Tuhan identitas dan kemampuan dasar yang antara lain adalah, pertama, manusia sebagai mahluk berfikir. Bukti identitas ini adalah manusia
diberi
akal.
Logikanya,
tidak
mungkin
Tuhan
memerintahkan manusia untuk berfikir kalau tidak dibekali dengan alatnya. Dengan akal manusia dapat berfikir, dan dengan kemampuan berfikirnya dapat menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, berkat ditemukan ilmu pengetahuan, manusia berusaha
menciptakan kesejahteraan hidup, dunia-akhirat. Di sini pula letak kebebasan manusia untuk berpendapat sebagai akumulasi dari proses berfikir yang mendalam dan ilmiah. Kedua, manusia sebagai makhluk yang dapat dididik. Allah telah membekali manusia dengan segenap kemampuan belajar dan mengetahui. Hal ini ditegaskan pula di dalam Al-Quran:
ù&tø%$# ÇËÈ @, n=tã ô` ÏB z` »|¡ SM} $# t, n=y{
ÇÊÈ t, n=y{ “ Ï% ©!$# y7 În/u‘ ÉO ó™ $Î/ ù&tø%$#
÷Ls>÷ètƒ óO s9 $tB z` »|¡ SM} $#zO ¯=tæ ÇÍÈ ÉO n=s)ø9$Î/ zO ¯=tæ “ Ï%©!$# ÇÌÈ ãPtø.F{ $# y7 š/u‘ur ÇÎÈ Artinya:”Bacalah dan Tuhanmulah yang maha pemurah, yang menciptakan dari ‘alaq (pena). Bacalah , dan Tuhanmu Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan perantara qalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (Q.S.Al-Alaq: 1-5) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 597).
Dari kedua tujuan penciptaan manusia tersebut, tersirat dan tersurat adanya beban tanggung jawab manusia, baik tanggung jawab terhadap Allah, tanggung jawab terhadap masyarakat, dan tanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Dan kedua fungsi tersebut pada hakikatnya merupakan fitrah atas penciptaan manusia yang selaras dengan fitrah agama Islam itu sendiri, yakni sebagai Rahmatan Lil Alamin. Sebagaimana yang diungkapkan di atas pada hakikatnya agama Islam selaras dengan fitrah manusia yang bertujuan untuk
mengaktualisasikan eksistensi manusia sebagaimana adanya, maka secara otomatis, hal ini akan memberikan padangan dasar bagi pendidikan Islam. Dalam arti, dengan menggunakan pemaknaan agama Islam yang memiliki visi dan misi kemanusiaan (Humanis) yang jelas dan sesuai dengan fitrah manusia, maka hal ini secara otomatis akan memberikan paradigma pendidikan Islam yang selaras dengan paradigma agama.
G. Metode penelitian Untuk membantu dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil beberapa metode untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan, sedangkan metode yang penulis gunakan: 1. Metode Berfikir Rasional Berfikir secara rasionalistik yang penulis maksud adalah bertolak dari kerangka teoritik yang dibangun dari pemaknaan hasil penelitian terdahulu, teori-teori yang dikenal, buah-buah fikiran para pakar, dan di konstruksikan menjadi sesuatu yang mengandung sejumlah problematik yang perlu diteliti lebih lanjut (Noeng Muhadjir, 1989: 75). 2. Jenis Penelitian Untuk membahas beberapa masalah dalam penulisan skripsi ini maka penulisan menggunakan jenis penelitian kepustakaan (perpustakaan) penelitian bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan material yang terdapat di perpustakaan, isinya Al-Quran, buku-
buku Hadits, buku-buku ilmiah, majalah, catatan-catatan, dokumen, dan lain-lain (Kartini Kartono, 1990: 33). Yang bertujuan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, metode ini penulis terapkan untuk mengkaji konsep-konsep yang ada tentang pendidikan humanis dalam Islam. 3. Sumber Data Sumber data dalam penulisan skripsi ini dapat digolongkan menjadi dua macam: a. Sumber Data Primer Yaitu hasil atau tulisan karya penelitian teoritik dan orisinil, sumber data ini merupakan diskripsi langsung tentang kenyataan yang dibuat individu pertama kali (Kartini Kartono, 1990: 84). Sebagai sumber primernya Al-Quran dan Al-Hadits. b. Sumber Data Sekunder Yaitu bahan pustaka yang ditulis dan dipublikasikan oleh penulis yang secara langsung melakukan pengamatan dan partisipasi yang dalam kenyataan yang dideskripsikan oleh bukan penemu teori (Ibnu Hajar, 1989: 84). Bahan skunder adalah buku-buku ilmiah, majalah, artikel, dan lain-lain. Yang isinya dapat dijadikan metode pelengkap dalam penulisan skripsi ini. Setelah data terkumpul penulis menerapkan metode analisis data yaitu proses, cara, pembuatan mengkaji, menyelidiki, dan penelaahan (Ibnu Hajar, 1989: 84).
1) Metode Induksi dan Deduksi Suatu cara ataupun jalan yang di pakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ialah dengan bertitik tolak dari pengamatan dari hal-hal atau istilah yang bersifat khusus. Kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum (Anton Bakker, 1987:5). Hal-hal atau masalah yang bersifat umum, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus (Anton Bakker, 1987:94). Noeng Muhadjir menjelaskan bahwa dalam logika dikenal dengan logika deduktif atau logika katagorik. Bahwa pembuktian kebenaran dalam logika deduktif distrukturkan dalam satu konflik (Noeng Muhadjir, 1989: 5). 2) Metode Analisis dan Sintesis a)
Metode Analisis Ialah jalan yang di pakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dengan jalan mengadakan perincian obyek yang diteliti atau cara pengamatan terhadap obyek tertentu dengan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan yang lain sekedar kejelasan mengenai halnya (Noeng Muhadjir, 1989: 49).
b) Metode sintetis Adalah jalan yang dicapai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
dengan
menggabungkan.
cara
pengumpulan
data
atau
H. Sistematika Penulisan Dalam penulisan penelitian ini, penulis mencantumkan lima bab dengan pokok tiap-tiap bab sebagai berikut: Bab Satu, Pendahuluan, latar belakang masalah, penegasan istilah, pokokpokok masalah, tujuan dan kegunaan (manfaat) penelitian, landasan teoritis, metode penelitian, dan sitematika penulisan. Bab Dua, Pengertian humanis, konsep humanis dalam pendidikan. Bab Tiga, Konsep humanis Islam, konsep pendidikan Islam yang humanis dan pendidikan humanis dalam Islam Bab Empat, Implikasi Pendidikan humanis dalam Islam. Bab Lima, Penutup berisi kesimpulan, saran, serta kata penutup.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Humanis Kata Humanis berarti suatu doktrin yang menekankan pada kepentingan-kepentingan kemanusiaan dan ideal (Sofyan Hadi A.T dan M.D.J Al-Barry, 2008: 134).
Arti istilah humanis akan lebih mudah di pahami
dengan meninjau dari dua sisi yaitu historis dan aliran-aliran filsafat (Zainal Abidin, 2000: 25). 1. Historis Dari sisi Historis “Humanis” berarti suatu gerakan intelektual dan kasustraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke14 Masehi (Zainal Abidin, 2000: 25). Gerakan ini boleh dikatakan sebagai motor penggerak kebudayaan modern, khusus kebudayaan Eropa. Beberapa tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor gerakan ini misalnya Dante,
Petrarca,
Boccaceu,
dan
Michelangelo.
Perpisahan
atau
pertentangan antara agama dan humanisme di Barat akibat persimpangan jalan antara para pemimpin agama dan filsuf dimasa-masa awal kebangkitan kembali (renaissance). Humanisme kemudian tumbuh dan berkembang terlepas dari bimbingan keruhanian. Puncaknya ialah Komunisme, suatu ideologi yang berpangkal dari kegemasan para humanis menyaksikan berbagai ketidakadilan dalam masyarakat industri saat-saat permulaan, dan ajaran 23
yang didorong oleh rasa kemanusiaan yang sangat mendalam dengan program-program yang ambisius. Pertentangan dengan agama membawa ajaran yang sangat kuat bermotifkan rasa keadilan ini kemudian mengajarkan sikap-sikap anti agama dan atheisme (Nurcholis Madjid, 2010: 182). Dari situlah ada kemungkinan melihat ironi pada komunisme, yaitu suatu pandangan kelanjutan humanisme namun ternyata harus diwujudkan dengan cara-cara yang melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan (seperti, misalnya, kekejaman Stalin). 2. Aliran-Aliran Filsafat Dari sisi yang kedua humanisme sering dikaitkan sebagai paham di dalam filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia menempati posisi yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan teoritis-filsafat maupun dalam praktek hidup sehari-hari. Dalam arti ini, manusia dipandang sebagai ukuran bagi setiap penilaian, dan referensi utama dari setiap kejadian di alam semesta ini. Salah satu asumsi yang melandasi filsafat ini adalah bahwa manusia pada prinsipnya merupakan pusat dari realitas, berbeda dengan pandangan filsafat yang berkembang pada abad pertengahan, para humanis berpegang teguh pada pendirian, bahwa manusia pada hakikatnya bukan sebagai Viator Mundi (peziarah di muka bumi), melainkan sebagai Vaber Mundi (pekerja alam pencipta dunianya). Oleh karena itu sepatutnyalah kalau segala ukuran penilaian dan referensi akhir dan semua kejadian manusia
itu sendiri. Dan bukan kepada kekuatan-kekuatan diluar manusia (misalnya, kekuatan Tuhan dan alam). Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kasustraan pada prinsipnya merupakan aspek dasar dan gerakan renaisance (abad ke-14 sampai abad ke-16 M). Gerakan yang berawal dari Italia ini, kemudian menyebar kepenjuru Eropa, dimaksudkan untuk membangunkan umat manusia dari tidur panjang abad pertengahan, yang dikuasai oleh dogma-dogma agamis-gerejani. Abad ini sering disebut “abad kegelapan” karena cahaya akal budi manusia tertutup kabut-kabut dogma gereja. 3. Pendidikan Humanis Istilah Humanisme sendiri berasal dari kata latin humanitas (pendidikan manusia) dalam bahasa Yunani disebut Paideia, pendidikan yang didukung oleh manusia-manusia yang hendak menempatkan seni liberal dijadikan materi atau sarana utamanya (Zainal Abidin, 2000: 27). Alasan utama seni liberal dijadikan sarana terpenting di dalam pendidikan pada waktu itu (di samping retorika, sejarah, etika, dan politik) adalah kenyataan bahwa hanya seni liberal, manusia akan tergugah untuk menjadi manusia, menjadi mahluk bebas yang tidak terkukung oleh kekuatankekuatan dari luar dirinya. Kendati kebebasan merupakan tema terpenting dalam dari humanisme, tetapi kebebasan yang diperjuangkannya bukan kebebasan absolut atau kebebasan sebagai antitesis dari determinisme abad pertengahan. Kebebasan yang mereka pertentangkan adalah kebebasan
yang berkarakter manusia kebebasan manusia dalam batas-batas alam, sejarah dan masyarakat. Maka konsep kebebasan tersebut, aliran seperti naturalisme pun mendapat tempat yang layak di dalam semagat mereka. Keluhuran jiwa manusia sebagai sumber yang memancarkan kebebasan, tidak dapat dipisahkan dan moralitas tubuh sebagai bagian dari ruang (alam) dan waktu (sejarah) yang fana.
B. Humanisme Religius Kultur humanisme adalah tradisi rasional dan empirik yang mula-mula sebagian besar berasal dari Yunani dan Romawi Kuno, kemudian berkembang melalui sejarah Eropa. Humanisme menjadi sebagian dasar pendekatan barat dalam pengetahuan, teori politik, etika, dan hukum. Filsafat humanisme mempunyai pandangan hidup yang berpusat pada kebutuhan dan ketertarikan manusia. Subkategori tipe ini termasuk humanisme Kristen dan humanisme modern. Humanisme Kristen sebagai penganjur filsafat pemenuhan sendiri manusia dalam prinsip-prinsip Kristen. Ini lebih berorientasi pada kepercayaan manusia sebagian besar merupakan produk pencerahan dan bagian dari apa yang membuat humanisme pencerahan. Humanisme modern yang juga disebut humanisme naturalisti (alam), humanisme Ilmiah, humanisme etik, humanisme demokraris. Humanisme demokratis ini sebagai filsafat alam, aliran yang menolak seluruh aliran supranatural dan menyetujui ilmu, demokrasi dan keharusan pada
manusia. Humanisme modern mempunyai dua sumber yaitu sekuler dan agama. Humanisme religius muncul dari etika kebudayaan, unitarianisme dan universalisme. Sekarang ini banyak kumpulan unitarian-universalis dan seluruh etika kebudayaan masyarakat yang menggambarkan diri mereka sendiri sebagai humanis yang bernuansa modern. Dalam humanisme religius agama dimaknai secara fungsional (Abdurrahman Mas’ud, 2002: 131). Fungsi agama ialah untuk melayani kebutuhan personal atau kelompok sosial. Namun kendalanya, agama sering terjebak pada aspek formalitas sehingga sulit menjalankan fungsi ini. Keberagamaan di Indonesia masih jauh dari nuansa humanis, yakni aspek kemanusiaan nyaris hilang dalam keberagamaan di Indonesia. Yang di maksud humanisme dalam pendidikan adalah proses pendidikan
sebagai
mahluk sosial dan mahluk religius, ‘abdullah dan khalifatullah, serta sebagai individu yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengembangkan potensipotensinya. Humanisme dimaknai sebagai kekuatan atau potensi individu untuk mengukur
dan mencapai ranah
ketuhanan dan penyelesaian
permasalahan-permasalahan sosial. Menurut pandangan ini, individu selalu dalam proses penyempurnaan diri. Proses ini hanya bermuara pada penguntungan diri sendiri dan tidak dapat berdampak apapun kepada Tuhan. Sebaliknya, individu yang memperkeruh diri juga merugikan diri sendiri dan tidak merugikan Tuhan sama sekali.
C. Konsep Pendidikan Humanis Konsep dasar pendidikan masih berkisar pada persoalan faktor mana yang paling signifikan bagi tumbuhnya kepribadian ideal diantara kondisi asli yang dibawa siswa sejak lahir dan lingkungan di mana siswa itu tumbuh menjadi manusia dewasa. Sebagian pendapat menyatakan faktor pertama yang paling
menentukan,
sehingga
paling
mengembangkan sebuah lingkungan
berhasil
pendidikan
hanyalah
yang mendukung perkembangan
kepribadian asli siswa yang mempunyai potensi ideal. Sebagian lain berpendapat sebaliknya pengembangan
bahwa
lingkungan
pendidikan
kemana
merupakan
perkembangan
faktor
utama
kepribadian siswa
diarahkan. Walau terdapat sintesis dari kedua pandangan tersebut, namun masalah pokoknya tetap berada diantara kedua faktor itu yaitu bawaan dan lingkungan (Abdul Munir Mulkan, 2002: 79). Di sisi lain pendidikan memerlukan pengembangan yang memiliki proyeksi
kemanusiaan,
karena
pada
akhirnya
siswa
harus
mempertangungjawabkan segala tindakan di dalam kehidupan sosialnya. Kekurang cermatan kebijakan pendidikan dalam memahami siswa sebagai manusia
yang
unik
dan
mandiri
serta
harus
secara
pribadi
mempertangungjawabkan tindakannya, pendidikan akan berubah menjadi pemasungan daya kreatif siswa. Di dalam pendidikan kemandirian siswa masih lemah mengakibatkan minimnya tangung jawab yang melekat dalam pribadi siswa. Kenyataan ini berakar pada pandangan masyarakat dalam keragamaannya. Yaitu konsep khalifatullah masih kurang diperhatikan di
banding dengan konsep ‘abdullah. Secara umum, komunitas muslim berpandangan bahwa menjadi muslim yang baik, shaleh, santri, adalah menjadi ‘abdullah, yakni hamba yang hanya mengabdi kepada Tuhan semata, dalam rangka mencari ridhanya. Pandangan ini bukannya salah menurut agama, melainkan belum sempurna. Konsep pendidikan Islam dengan paradigma humanistik dihasilkan dari upaya refleksi dan konstruksi sejarah Islam, khususnya pada masa lima abad pertama, serta nilai-nilai normatif Islam dan dari tren humanisme universal. Ciri-ciri ini berada dalam tataran approach yang bersifat aksiomatik (kebenaran yang tidak diragukan lagi kebenarannya) dan penawaran basic principle. Setidaknya ada enam hal pokok yang perlu dikembangkan lebih lanjut dalam pendidikan Islam, yakni common sense (akal sehat), individualis menuju
kemandirian,
thirst
for
knowledge,
pendidikan
pluralisme,
kontekstualisme yang lebih mementingkan fungsi dari pada simbol, dan keseimbangan antara reward fanishment. Berikut ini pembahasan mengenai ke enam hal tersebut: 1. Common Sense (akal sehat) Tujuan penciptaan manusia diantaranya adalah menjadi seorang khalifah sebagai wakil Tuhan di bumi (H. Fuad Nashori, 2003: 36). Penyebab menjadi bisa menjadi kholifatullah fil ardl adalah kemampuan Nabi Adam a.s dalam memanfaatkan akal sehat secara proporsional. Kelebihan manusia dibanding mahluk lainnya adalah kemampuan berfikirnya. Dalam pandangan Islam, kelebihan manusia lainnya adalah
tugas yang diembannya, potensi-potensi dasarnya, dan kemungkinankemungkinan untuk berkembang untuk mewujudkan tugas manusia. Dalam Islam, al-alim lebih utama dan al-abid yang notabene dibedakan dari akal sehatnya. Dalam ayat yang sangat populer diajarkan bahwa orang-orang yang berilmu ditinggikan derajatnya beberapa tingkat.
Ëx |¡ øÿtƒ (#qßs |¡ øù$sù ħ Î=»yf yJ ø9$#† Îû(#qßs ¡ xÿs? öN ä3 s9 Ÿ@ ŠÏ% #sŒÎ)(#þqãZtB#uä tûïÏ%©!$#$pkš‰r'¯»tƒ (#qè?ré&tûïÏ%©!$#ur öN ä3 ZÏB (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$#ª! $#Æì sùötƒ (#râ“à± S$sù (#râ“à± S$#Ÿ@ ŠÏ% #sŒÎ)ur (öN ä3 s9ª! $# ÇÊÊÈ ×ŽÎ7yz tb qè=yJ ÷ès? $yJ Î/ ª! $#ur 4;M »y_ u‘yŠ zO ù=Ïèø9$# Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu:”Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Mujadillah: 11) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 543).
Realitas yang ada adalah masyarakat yang tidak mendengar dan tidak menggunakan akal sehat, yakni tradisi tangan dan mulut jauh lebih dominan dari pada tradisi telinga dan mata karena budaya yang belum terbiasa ini, simbol-simbol yang semestinya memerlukan pembacaan dari setiap orang. Pendidikan di Indonesia belum mengembangkan akal sehat bisa dilihat dari pola pendidikan yang lebih berorientasi pada apa (what oriented-education) dari pada mengapa (why oriented-education). Pendidikan pola pertama lebih didominasi metode pola pertama menghafal
sekian materi. Hal ini terlihat jelas dengan proses kelulusan sekolah dinilai dari beberapa mata pelajaran (UAN), penumpukan materi dan informasi adalah metode sekaligus tujuan pendidikan model ini. Dengan demikian, ruang berfikir sangat sedikit, apalagi ruang untuk menganalisis. Artinya, hal-hal yang berhubungan dengan daya pikir kurang diminati, baik oleh guru maupun murid. Kekurangcermatan kebijakan pendidikan dalam memahami siswa sebagai manusia yang unik dan mandiri serta harus secara pribadi mempertanggungjawabkan tindakannya, pendidikan akan berubah menjadi “pemasungan” daya kreatif individu (Abdul Munir Mulkhan, 2002: 80). Dalam peradaban modern, manusia ditetapkan sebagai objek dalam segala hal. Kecerdasan otak dan kehebatan fisik manusia kemudian dinilai tinggi. Titik balik peradaban pasca modern adalah menghargai kecerdasan emosional dan spiritual sebagai media penyatuan manusia dengan alam semesta. 2. Individualisme menuju kemandirian Pengembangan manusia menjadi individu yang shaleh, insan kamil, dengan berbagai keterampilan dan kemampuan serta mandiri adalah sasaran utama pendidikan Islam. Ada yang salah dalam mengartikan individualism yang diartikan egoisme, selfish, annaniyah, dan lebih mementingkan diri sendiri (Abdurrahman Mas’ud, 2002: 158). Selfreliance atau kemandirian adalah tujuan utama konsep individualisme. Dalam Islam, individualisme bukanlah larangan. Jika penekanannya pada kemandirian dan tanggung jawab pribadi, justru menjadi seruan dalam
Islam.
Bahwa
semua
anggota
badan
manusia
akan
dimintai
pertanggungjawabannya di depan Sang Pencipta, penafsiran sebagai tugas pendidikan dalam melembagakan tangung jawab pribadi, sosial, dan keagamaan. Dalam Al Quran diterangkan:
(#qçR%x. $yJ Î/ Nßgè=ã_ ö‘r& ߉ pkô¶ s?ur öN Ík‰É‰ ÷ƒr& !$uZßJ Ïk=s3 è?ur öN ÎgÏd ºuqøùr& #’ n?tã ÞO ÏFøƒwU tPöqu‹ø9$# ÇÏÎÈ tb qç6Å¡ õ3 tƒ Artinya: ”Pada hari itu (kiamat) Allah akan menutup mulut mereka, dan berbicaralah tangan mereka, kakinya akan menjadi saksi terhadap apa yang mereka lakukan.” (Q.S. Yasin: 65) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 444).
Individualisme dalam Islam merupakan implikasi dari ajaran dasar kesalehan. Kesalehan yang berangkat dari kesalehan pribadi kemudian berkembang pada kesalehan sosial dan lingkungan. Dalam Al-Quran diterangkan yang mengharuskan kemandirian.
ÇÌÒÈ 4Ó tëy™ $tB žw Î)Ç` »|¡ SM~ Ï9}§ øŠ©9 b r&ur ÇÌÑÈ 3“ t÷z é&u‘ø—Ír ×ou‘Η#ur â‘Ì“s? žw r& Artinya: “(yaitu) Bahwa seseorang yang berdosa tidak akal memikul dosa orang lain. Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. ( Q.S. An-Najm: 38-39) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 527).
Surat di atas menjelaskan bahwa setiap yang dikerjakannya memiliki korelasi dengan dirinya. Tanggung jawab dari setiap apa yang dikerjakannya. Dalam ayat yang lain diterangkan diantaranya sebagai berikut:
$pköŽn=tæ äou‘$yf Ïtø:$#ur ⨠$¨Z9$#$yd ߊqè%ur #Y‘$tR ö/ä3 ‹Î=÷d r&ur ö/ä3 |¡ àÿRr&(#þqè% (#qãZtB#uä tûïÏ% ©!$#$pkš‰r'¯»tƒ ÇÏÈ tb râsD÷sム$tB tb qè=yèøÿtƒur öN èd ttBr&!$tB ©! $#tb qÝÁ ÷ètƒžw ׊#y‰ Ï© Ôâ Ÿx Ïî îps3 Í´¯»n=tB Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim: 6) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 560).
Konsep individualisme dalam Islam berangkat dari tangung jawab dan tugas mulia individu, keluarga, masyarakat, dan negara secara luas serta masyarakat internasional. Kesalehan yang dilengkapi dengan kemampuan pribadi untuk menggunakan segala kemampuannya dalam menegakkan keadilan, serta menciptakan kemaslahatan. Dengan demikian kesalehan dalam konsep individualisme Islam adalah pribadi yang beriman dan bertakwa, dinamis, progresif, serta tanggap terhadap lingkungan, perubahan, dan perkembangan. 3. Thirst For Knowledge Islam adalah agama yang dengan jelas menempatkan ilmu pengetahuan dalam posisi khusus. Karena ilmu merupakan pancaran cahaya kehidupan manusia yang dapat menerangi dan mengarahkan jalan hidupnya ke arah yang lurus (Mujtahid, 2011: 32). Allah akan mengangkat manusia yang beriman dan berilmu diantara manusia diantara manusia yang mulia. Islam mendorong pengikutnya untuk mengajar ilmu pengetahuan dengan segala kemampuannya meskipun jauh di negeri Cina.
Ajaran normatif tentang semngat mencintai ilmu terbukti dalam sejarah Islam, khususnya dari abad ke 7 sampai 11M. Semangat keilmuan Imam Syafi’i (820M) bisa mewakili potret intelektualisme pada masanya. Beliau pernah dihadiahi seorang budak cantik itu tidak memperoleh perhatian sama sekali darinya sehingga sang bidadari marah kepada para pembelinya dengan mengatakan bahwa mereka telah mengikatnya pada orang gila. Mendengar komplain ini sang ulama tidak marah dan berkata polos, “orang gila adalah orang yang memahami the value of knowledge, sehingga ia menghabiskan waktunya untuk ilmu, menyetujui sebuah hasil penelitian atau menggugatnya.” (Abdurrahman Mas’ud, 2002: 161). Lima ayat pertama yang diwahyukan Allah, Al ‘Alaq ayat 1-4 menafsirkan sebagai seruan penelitian bagi manusia yang dimulai dari kegiatan membaca. Membaca tentu bukan hanya membaca dalam arti konvensional,
melainkan membaca
alam
semesta
dengan segala
fenomenanya, termasuk fenomena sosial dan lain sebagainya. Betapa indahnya ayat ini sehingga bisa disimpulkan bahwa tanpa qalam tidak akan terwujud peradapan manusia dan kontak budaya. Dengan qalam itu generasi pendahulu mewariskan nilai-nilai, sikap, dan saint dan teknologi yang terbaik bagi generasi berikutnya. Disinilah arti wisdom of the past (kearifan masa lain), yang bisa dipelajari dan diraih kembali oleh generasi sekarang dan mendatang. Ilmu adalah energi hebat yang dapat memberikan kekuatan bagi kehidupan manusia, memberi tenaga tidak
terbatas bagi diri sendiri (Saifullah, 2005: 99). Ia tidak hanya menolak segala hambatan yang merintanginya, bahkan terhadap hal-hal yang menghalang kehidupan bangsa dan menyinari segenap penjuru dunia. Semangat meneliti yang telah diajarkan dalam Al Quran ternyata belum mampu dilembagakan oleh generasi muslim saat ini. Sebaliknya, di dunia Barat yang perpustakaannya rata-rata tutup tengah malam, semangat meneliti demikian melembaga meskipun dilandasi semangat materialisme sesuai dengan idiologi utilitarianisme mereka. Semangat Barat ini merupakan kesinambungan dari dunia Islam di masa Klasik saat mereka belajar di Spanyol dan Bagdad pada abad ke-12 sampai 15 Masehi. Tthe
spirit
of
inquiry
(semangat
meneliti)
yang
paling
mengesankan terjadi dalam lima abad pertama sejarah Islam. Imam Bukhori adalah contoh menarik untuk hal ini. Semangat menelitinya telah mengantarkannya menempuh perjalanan intelektual selama 16 tahun. Selama perjalannya itu ia menyeleksi puluhan ribu hadits shahih. Dalam konsep humanisme religius, manusia merupakan mahluk curious yang senantiasa memiliki rasa ingin tahu. Namun, rasa ingin tahu sebaliknya diolah dan diterapkan dalam kebaikan. 4. Pendidikan Pluralisme Istilah pluralisme digunakan dalam sosiologi modern dan ilmu politik pada umumnya mengacu pada tradisi demokrasi liberal Barat, yakni kondisi ketika pluralitas grup atau kelompok elite saling berbagi kekuatan atau saling bersaing untuk memenangkan kekuatan secara terus-
menerus. Pluralisme yang telah mereka rumuskan sejak abad lalu, khususnya oleh salah seorang pemikirnya, James Madison (1751-1836), memberikan andil besar dalam menyuburkan kehidupan berdemokrasi di Barat, kususnya USA. Tetapi, bukan berarti pluralisme ini tidak meninggalkan masalah. Dominasi paham Liberalisme dalam masyarakat ini tidak ditopang oleh nilai-nilai agama. Isu-isu modern yang berkembang dalam masyarakat sekuler hampir tidak pernah mencapai kesepakatan (bukan sepakat dalam ketidaksepakatan), apalagi harmoni. Indonesia adalah sebuah negara dengan penduduk yang masyarakatnya majemuk atau bhineka (plural society). Plural society adalah sebuah masyarakat atau bangsa yang di dalamnya secara formal terwujud pembagian ras, bahasa, atau agama, baik secara horizontal maupun vertikal. Sebagaimana pemahaman bahwa Islam menghargai dan menghormati keragaman dan kebhinekaan. Menurut Islam masyarakat yang ideal adalah sekumpulan manusia yang berbeda-beda tetapi hidup bersama sebagai satu kesatuan sosial yang diikat oleh nilai-nilai Islami, sehingga setiap anggota masyarakat terlindungi hak-hak asasinya dan memperoleh peluang yang sama untuk menjalankan kewajiban hidupnya (Said Agil Husin AlMunawar, Quraish Shihab dan Achmad Mubarok,2003: 103). Oleh karenanya tradisi-tradisi besar (greater traditions) mustahil terbentuk tanpa tradisi-tradisi kecil (small traditions). Secara normatif, Islam sangat mendukung pluralisme dan kegiatankegiatan cross-culture, saling pemahaman antar budaya dan bangsa. Islam
mengajarkan bahwa umat manusia ditakdirkan terdiri atas berbangsabangsa (nationalities), suku-suku agar satu sama lainnya saling mengenal, saling belajar.
Ÿ@ ͬ!$t7s%ur $\/qãèä© öN ä3 »oYù=yèy_ ur 4Ós\Ré&ur 9x.sŒ ` ÏiB /ä3 »oYø)n=yz $¯RÎ) ⨠$¨Z9$# $pkš‰r'¯»tƒ ÇÊÌÈ ×ŽÎ7yz îLìÎ=tã ©! $#¨b Î)4öN ä3 9s)ø?r&«! $#y‰ YÏã ö/ä3 tBtò2 r&¨b Î)4(#þqèùu‘$yètGÏ9 Artinya: ”Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seoarang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Meneliti.” (Q.S. AlHujurat: 13) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 517).
Dengan demikian, Islam pada dasarnya mendukung persaudaraan manusia, dan menentang prasangka-prasangka rasial, suku, kebangsaan, dan primordial. Ajaran dasar yang bersifat falsafah hidup ini tentu harus ditindak lanjuti dengan pelembagaan nilai-nilai. Sejarah Islam Klasik telah berbicara bahwa cross-culture antara peradapan Islam dengan Yunani telah melahirkan sebuah peradapan baru Islam yang sangat mengesankan. 5. Kontekstualisme Lebih Mementingkan Fungsi daripada Simbol Kehidupan masyarakat sarat dengan simbol-simbol yang demikian lekat sehingga mengalahkan fungsi simbol itu sendiri. Simbol inilah yang menyebabkan masyarakat lebih berorientasi ke belakang dari pada kedepan. Sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat ini lebih berat mempertahankan melihat ke belakang.
Dalam kontek ini tetaplah kiranya jika masyarakat itu disebut sebagai masyarakat tradisional karena dalam realitas berada dibaris terdepan dalam mempertahankan tradisi. Kalimat yang terakhir ini tidak dimaksudkan memiliki implikasi pejorative karena sesungguhnya banyak hal positif dibalik tradisionalisme yang ada dan berbeda dengan konsep konservatisme yang berarti ketertinggalan dan keterbelakangan. Bukan hanya kaum santri yang lebih simbolik atau structure oriented. Dalam pendidikan umum tampak jelas betapa paradigma struktur pendidikan lekat dengan masyarakat. Mengapa sebagian besar bangsa Indonesia tidak berbicara bahasa Arab dan Inggris, padahal mereka telah mempelajari bahasa ini sejak usia dini. Jawaban yang paling mudah adalah karena lebih banyak tata bahasa seumur-umur dari mempelajari fungsi bahasa itu sendiri. Padahal, prinsip bahasa mengatakan : language is a set of habits and mean of communication (bahasa adalah seperangkat kebiasaan dan alat komunikasi). Bagaimana mereka mampu berbahasa asing, sedangkan mereka tidak pernah membiasakan dan tidak pernah menggunakan bahasa asing itu sebagai alat komunikasi? Singkatnya, pola pikir fungsi memang masih belum populer di Indonesia. Dalam Islam, esensi dan fungsi tentu tidak boleh dikalahkan oleh segala bentuk simbolisme. Betapapun masyarakat masih mementingkan mitos dari pada etos. Mitos inilah yang memperkokoh budaya patron client dan memperkuat lahirmya pemimpin kharismatik di berbagai level kehidupan sosial. Pada masyarakat modern, mitos pemimpin kharismatik
tidak menghilang begitu saja, tetapi itu semua dilandasai rasionalisasi yang matang
dan
pertimbangan-pertimbangan
fungsional.
Singkatnya,
kemampuan masyarakat kita dalam mengelola kemampuan fungsional dan rasional memang masih rendah. Contoh yang sangat mudah adalah lebih murahnya mobil-mobil sedan ketimbang mobil minibus atau minivan di barat, sedangkan di Indonesia mobil-mobil sedan harganya justru lebih mahal. Mengapa? Alasannya adalah karena sedan lebih menyuarakan status sosial, sedangkan minibus sesungguhnya lebih bersifat fungsional. Padahal, minibus dan minivan sesungguhnya lebih bermanfaat daripada sedan karena menambah penumpang lebih banyak. 6. Keseimbangan antara reward dan punishment Punishment (tindakan disiplin pada anak) dan reward dalam dunia pendidikan bukanlah istilah baru. Dua kata ini biasanya dihubungkan dan berasal dari pembahasan reinforcement yang diperkenalkan oleh Throndike (Abdurrahman Mas’ud, 2002: 171). Observasi awalnya tentang trial and error pada umumnya dilihat sebagai landasan utama teori reinforcement (dorongan, dukungan, support). Dari tokoh ini biasanya di pahami bahwa dengan adanya reinforcement, tingkah laku atau perbuatan individu
semakin
menguat.
Sebaliknya,
absennya
reinforcement,
menyebabkan tingkah laku individu semakin melemah. Bagi umat Islam dua istilah itu sebagai pahala (reward) dan dosa (punishment). Dalam istilah psikologi, punishment terjadi ketika muncul situasi deprivation (kehilangan ) atau pengalaman tidak enak yang ditimbulkan
oleh satu kelompok atau individu secara sengaja dengan merugikan kelompok lain yang disebabkan oleh misdeed, pelanggaran atau kejahatan oleh kelompok pertama. Tingkah laku yang salah itu berupa pelanggaran aturan, hukum, undang-undang, perintah, atau juga harapan-harapan bersama. Punishment kadang-kadang juga ditimpakan karena dan oleh individu sendiri tanpa melibatkan orang lain, seperti bunuh diri yang disebut self punishment. Apabila punishment secara terminologis sudah disepakati, barangkali reward yang merupakan lawan katanya punishment tidak lagi sulit didefinisikan, yaitu suatu pemberian penghargaan dalam arti luas dan fleksibel karena prestasi seseorang. Dalam dunia pendidikan, dua definisi tersebut bisa dipahami dan diterapkan, tetapi harus selalu dengan tujuan dan cara-cara yang edukatif (mendidik). Dalam dunia pendidikan harus diupayakan mengurangi hukuman dengan lebih menekankan pada penghargaan. Hal ini akan lebih meningkatkan daya kreatifitas dan potensi murid.
BAB III KONSEP HUMANIS DALAM ISLAM
A. Konsep Humanis Islam Konsep humanis merupakan pandangan atau pemikiran yang menegaskan tentang penghormatan terhadap nilai-nilai manusia. Konsep humanis dalam Islam adalah suatu pemikiran yang mengimplementasikan amal tidak sekedar ritual kepada Allah, teteapi mencakup penerapan rahmat bagi alam semesta. Sia-sialah orang yang beribadah haji ketika melupakan esensi ajaran pengorbanan dalam Islam. Sia-sialah juga ketika seseorang yang melakukan shalat, puasa, zakat, tetapi mengabaikan hak asasi manusia dan pengorbanan dalam Islam ( Abdurrahman Mas’ud, 2002: 141). Kedudukan manusia di hadapan Allah adalah sama dan yang membedakan adalah ketaqwaannya. Manusia diciptakan dalam keadaan fitrah dan suci yang memiliki potensi-potensi ketuhanan yang suci. Oleh karenanya setiap manusia berkesempatan memunculkan segala potensi yang ada dalam dirinya. Islam mengajarkan untuk menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dengan menghargai orang lain. Salah satu wujud dari humanisme dalam Islam adanya ajaran-ajaran yang berorientasi sosial. Islam mengajarkan manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya, hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan alam semesta. Nilai-nilai Islam yang mengajarkan hubungan antara sesama manusia diantaranya al-‘adalah (keadilan), al-musawwah (egalitarian), asyuro (musyawarah), dan al-khurriatul Ikhtiyar (kebebasan memilih dalam konteks Khifdhul mal atau perlindungan harta), khifdul nafs (perlindungan akal), dan khifdul nazl (perlindungan keturunan) (Abdurrahman Mas’ud, 2002: 134). Di Indonesia aspek kemanusiaan berangsur-angsur mulai mengalami penurunan. Dengan perkembangan yang semakin 41
mengalami kemajuan di segala bidang termasuk teknologi. Di satu sisi kemajuan dapat bermanfaat dengan mudahnya mengakses informasi dari berbagai belahan dunia dengan mudah. Di sisi lain budaya-budaya asing dengan mudah masuk dan berpengaruh terhadap generasi muda. Misalnya, dari segi pemikiran dan informasi yang bernuansa individualis, materialistis, dan pragmatis. Sehingga nilai-nilai agama dari berangsur-angsur memudar. Pembentukan nilai-nilai manusia yang selaras dengan tujuan penciptaannya sangat diperlukan. Sebagaimana kehendak Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Khalifah adalah fungsi manusia yang mengemban amanat dari Tuhan (Fuad Nashori, 2003: 33). Amanat kepada manusia diantaranya adalah memberikan pelayanan terhadap sesama makhluk dengan cara menyebarkan kasih sayang terhadap sesama (rahmatan lil ‘alamin) dan ber-amar ma’ruf nahi mungkar. Hanya manusia yang memiliki kemampuan untuk mengemban amanat sebagai wakil Allah di muka bumi. Tentang kesediaan manusia menerima amanat ini digambarkan dalam Al-Qur’an bahwa langit, gunung dan bumi menolak amanat itu, namun manusia menerimanya.
b r&šú
÷üt/r'sù ÉA $t6Éf ø9$#ur ÇÚ ö‘F{ $#ur ÏN ºuq»uK¡ 9$#’n?tã sptR$tBF{ $#$oYôÊ ttã $¯RÎ) Zw qßgy_ $YBqè=sß tb %x. ¼çm¯RÎ)(ß` »|¡ RM} $#$ygn=uHxq ur $pk÷]ÏB z` ø)xÿô© r&ur $pks]ù=ÏJ øts†
Artinya:“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia”. (QS.Al-Ahzab: 72) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 427).
Syarat agar manusia dapat merealisasikannya adalah kemerdekaan atau kebebasan. Kendati kebebasan merupakan tema terpenting dalam humanisme, tetapi
kebebasan yang diperjuangkannya bukan kebebasan yang absolut, atau kebebasan sebagai antitesis dari determinisme abad pertengahan. Kebebasan yang dilakukan adalah kebebasan yang berkarakter kemanusiaan (fitrah). Keluhuran dari jiwa manusia sebagai sumber yang memancarkan kebebasan, tidak dapat dipisahkan dari moralitas tubuh sebagai bagian dari ruang (alam), dan waktu (sejarah) yang fana (Zainal Abidin, 2002: 27). Untuk meneguhkan perannya sebagai ‘abdullah dan sebagai Kholifah di bumi, manusia melakukan lima macam relasi. Relasi-relasi yang di jalani manusia adalah wujud dari amanat yang diembannya. Amanat yang di dibebankan kepada manusia tidak mengenal batas. Tanggung jawab itu meliputi seluruh alam semesta. Seluruh umat manusia adalah objek tindakan moral manusia, seluruh bumi dan langit adalah panggungnya (Fuad Nashori, 2003: 38). Manusia bertanggung jawab atas segala yang terjadi di alam semesta, dalam setiap wujudnya yang paling jauh sekalipun. Karenanya, tangung jawab manusia bersifat universal. Apabila terjadi penganiayaan manusia satu terhadap yang lain, korupsi, dan seterusnya, maka tugas manusia adalah memperbaiki setiap kesalahan. Sekalipun demikian harus dikatakan bahwa tangung jawab terhadap realitas yang ada di sekitar kita bersifat relatif atau tepatnya bertingkat-tingkat. Ada ekspresi tanggung jawabnya dalam bentuk riil, ada pula yang bertanggung jawabnya hanya dalam hati. Dalam
melaksanakan
tanggung
jawabnya
itu,
manusia
memiliki
kemerdekaan atau kebebasan untuk melakukannya secara positif atau secara negatif. Apabila manusia melakukannya secara positif, maka amanat dilakukan dengan baik. Apabila manusia melakukannya dengan negatif, maka amanat dilakukannya secara buruk atau gagal dilakukan manusia. Relasi-relasi tersebut adalah:
1. Relasi dengan Allah Dalam relasi dengan Tuhan (hablum-minallah), manusia memenuhi kewajiban beribadah kepada-Nya.
ÇÎÏÈ Èb r߉ ç7÷èu‹Ï9žw Î)}§ RM} $#ur £` Ågø:$#àM ø)n=yz $tBur Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat: 56) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 523).
Apabila manusia melakukan hubungan atau relasi kepada Allah dengan baik, maka hubungan manusia dengan Allah menjadi baik. Hubungan dengan Allah senantiasa terjaga dengan baik apabila manusia menjaga khualitas iman dengan baik. Untuk menjaga agar kualitas iman tidak pasang surut dapat diusahakan dengan memperbanyak amal ibadah dengan asumsi seakan-akan besok pagi akan mati. Kenyataan membuktikan bahwa jika seseorang dihadapkan mati selalu akan membuat seseorang berfikir dan berbuat baik betapapun jahatnya (seperti para napi yang di vonis mati) (Amin Syukur, 2003: 75). Setiap manusia memiliki potensi ketuhanan dalam dirinya yang di dalamnya terdapat nilai-nilai ketuhanan (ruh). 2. Relasi dengan diri Dalam relasi dengan diri sendiri, manusia memperoleh kesadaran tentang diri serta memilih hal-hal yang terbaik untuk diri sendiri atau mengumbar nafsu rendah.
#x‹ »yd ¨b Î) (ö/ä3 ÏGygÏ9#uä #’n?tã (#rçŽÉ9ô¹ $#ur (#qà± øB$# Èb r& öN åk÷]ÏB _| yJ ø9$# t, n=sÜ R$#ur ÇÏÈ ßŠ#tãƒÖäóÓy´ s9 Artinya:“Lalu pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata):” Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini
benar-benar suatu hal yang dikehendaki.” (Q.S. Shaad: 6) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 453).
Apabila manusia selalu memperhatikan panggilan-panggilan kebenaran dari dalam dirinya, dari hati nuraninya, maka mereka melakukan relasi secara positif dengan dirinya sendiri. Sebaliknya ketika manusia mengumbar nafsu rendah dan membiarkan hati nuraninya dalam keadaan sakit atau bahkan mati, maka ia memilih relasi internal secara negatif. Relasi dengan diri merupakan usaha untuk mampu mengelola diri agar senantiasa melakukan kebaikan. Hal yang utama dalam pembentukan diri selain mendengarkan hati nurani adalah keyakinan (Abdullah Munir, 2010: 22). Keyakinan yang kokoh adalah yang lahir dari kesadaran, bukan sekedar warisan. Dalam membangun akidah yang shahih kepada para sahabat, Rasulullah memulainya dengan penyadaran ini. Yang pertama kali adalah penyadaran terhadap hakikat kedirian manusia. Dengan bimbingan langsung dari Allah, dimulailah penyadaran melalui lima ayat pertama dalam surat al-‘Alaq. Dalam surat tersebut menerangkan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Pengetahuan manusia mengenai diri mereka sendiri tidak akan mampu menyamai pengetahuan Allah sebagai pencipta mereka. Oleh karena itu, yang paling berhak mengatur kehidupan manusia adalah Allah. Sebab, Allah adalah yang paling mengetahui tentang manusia. Dari kesadaran seperti ini, maka ketundukan manusia kepada Allah adalah sesuatu yang mutlak. Itu adalah keniscayaan, sebagaimana tunduknya sepeda motor terhadap aturan pemakaian yang dikeluarkan oleh pabrik pembuatnya. Jika ia mengabaikan aturan yang dibuat oleh pabriknya, maka ia akan cepat hancur dan binasa.
3. Relasi dengan sesama manusia Dalam relasi dengan sesama manusia (hablum minannas), manusia dapat membina silaturahmi, dan beramar ma’ruf nahi munkar. Dalam Islam terdapat banyak tauladan dan ajaran-ajaran mengenai hubungan dengan sesama manusia. Dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang menerangkan anjuran untuk menghormati nilai-nilai kemanusian. Diantaranya: a. Kasih Sayang
âä!$uHxq â‘ Í‘$¤ÿä3 ø9$# ’n?tã âä!#£‰ Ï© r& ÿ¼çmyètB tûïÏ%©!$#ur 4«! $# ãA qß™ §‘ Ó‰ £J pt’C öN æhuZ÷t/ Artinya : “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka...” (QS. Al-Fath: 29) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 515).
b. Saling Memaafkan
4’n1öà)ø9$#’Í<'ré&(#þqè?÷sムb r&Ïpyè¡ 9$#ur óO ä3 ZÏB È@ ôÒ xÿø9$#(#qä9'ré&È@ s?ù'tƒ Ÿw ur (#qàÿ÷èu‹ø9ur ( «! $# È@ ‹Î6y™ ’Îû šú
ïÌÉf »ygßJ ø9$#ur tûüÅ3 »|¡ yJ ø9$#ur
îLìÏm §‘ Ö‘qàÿxî ª! $#ur 3óO ä3 s9ª! $#tÏÿøótƒb r&tb q™7ÏtéB Ÿw r&3(#þqßs xÿóÁ u‹ø9ur Artinya : “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orangorang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 352).
c. Saling Menolong
ÉO øOM} $# ’n?tã (#qçRur$yès? Ÿw ur ( 3“ uqø)G9$#ur ÎhŽÉ9ø9$# ’n?tã (#qçRur$yès?ur ÇËÈ É> $s)Ïèø9$#߉ ƒÏ‰ x© ©! $#¨b Î)(©! $#(#qà)¨?$#ur 4Èb ºurô‰ ãèø9$#ur Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 106).
d. Tidak Mencela atau Menghina
(#qçRqä3 tƒ b rÓ|¤ tã BQ öqs% ` ÏiB ×Pöqs% öy‚ ó¡ o„Ÿw (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$# $pkš‰r'¯»tƒ Ÿw ur (£` åk÷]ÏiB #ZŽöyz £` ä3 tƒ b rÓ|¤ tã >ä!$|¡ ÎpS` ÏiB Öä!$|¡ ÎSŸw ur öN åk÷]ÏiB #ZŽöyz ä- qÝ¡ àÿø9$#ãLôœ ew $#}§ ø©Î/ (É= »s)ø9F{ $Î/ (#râ“t/$uZs? Ÿw ur ö/ä3 |¡ àÿRr&(#ÿrâ“ÏJ ù=s? ÇÊÊÈ tb qçHÍ>»©à 9$#ãN èd y7 Í´¯»s9'ré'sù ó= çGtƒöN ©9` tBur 4Ç` »yJ ƒM} $#y‰ ÷èt/ Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolokolokkan)dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolokolokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburukburuk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orangorang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat: 11) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 516).
e. Tidak Saling Membunuh
$pkŽÏù #V$Î#»yz ÞO ¨Yygy_ ¼çnät!#t“yf sù #Y‰ ÏdJ yètG•B $YYÏB÷sãB ö@ çFø)tƒ ` tBur ÇÒÌÈ $VJ ŠÏà tã $¹/#x‹ tã ¼çms9£‰ tã r&ur ¼çmuZyès9ur Ïmø‹n=tã ª! $#|= ÅÒ xî ur Artinya: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa: 93) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 93).
Manusia yang bermanfaat adalah manusia yang bisa mengemban amanatnya sebagai kholifah di muka bumi. Implikasi dari kholifah diantaranya mampu memberi manfaat bagi sekelilingnya. Nilai-nilai yang menjadi pedoman manusia untuk menjaga agar tetap pada alur-alur yang di ridhai oleh Allah adalah dengan berpedoman kepada Al-Quran dan sunah Nabi. Al-Quran diturunkan untuk membebaskan manusia dari penindasan, tekanan, aristokrasi, keterikatan pada kesamaan keturunan, ras, nasib, dan i’tikad buruk, penghisapan serta memerangi kebodohan dan keterbelakangan (M Anwar Firdausi, 2010: 87). 4. Relasi dengan Alam Dalam
relasi
dengan
alam
(hablum-minal-‘alam),
manusia
memanfaatkan dan melestarikan alam dengan sebaik-baiknya.
Nßgs)ƒÉ‹ ã‹Ï9 Ĩ $¨Z9$# “ ω ÷ƒr& ôM t6|¡ x. $yJ Î/ Ìós t7ø9$#ur ÎhŽy9ø9$# ’Îûߊ$|¡ xÿø9$# tygsß ÇÍÊÈ tb qãèÅ_ ötƒöN ßg¯=yès9(#qè=ÏHxå “ Ï%©!$#uÙ ÷èt/ Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Ruum: 41) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 408).
Ketika manusia melakukan relasi dengan positif dengan alam semesta, maka eksistensi alam semesta terpelihara, sehingga semakin menopang kesejahteraan hidup manusia. Sebaliknya, apabila manusia melakukan relasi dengan alam semesta secara negatif, maka eksistensi alam akan menjadi terancam rusak dan bahkan punah yang dapat mengganggu kebahagiaan hidup manusia. 5. Relasi dengan alam ghaib Salah satu relasi dimana manusia umumnya bersifat pasif adalah relasi dengan makhluk ghaib, khususnya jin. Berdasarkan penafsiran banyak ulama, jin terdiri dari jin putih (jin muslim) dan jin hitam (setan). Setan sendiri terdiri atas jin jahat dan manusia jahat. Sementara iblis adalah nenek moyang jin (sebagaimana Adam nenek moyang manusia) (Fuad Nashori, 2003: 41). Sebagai sesama makhluk Tuhan seyogyanya saling menghormati dan tidak saling mengganggu. Apalagi meminta bantuan dari makhluk halus untuk memudahkan hajatnya di dunia. Allah sangat melaknat untuk meminta bantuan kepada selain Allah.
öN èd rߊ#t“sù Çd` Ågø:$# z` ÏiB 5A %y` ÌÎ/ tb rèŒqãètƒ ħ RM} $# z` ÏiB ×A %y` Í‘ tb %x. ¼çm¯Rr&ur ÇÏÈ $Z)yd u‘ Artinya:” Dan sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari jin, tetapi mereka (jin) menjadikan manusia bertambah sesat.” (QS. Al-Jinn:6) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 572).
Dalam Islam, memahami manusia dapat dilakukan dengan menggunakan ayat nafsani (apa yang ada dan terjadi dalam diri manusia) dan ayat qur’ani (apa yang Allah ungkapkan melalui kitab suci) (Fuad Nashori, 2003: 2). Memahami
manusia dengan mencermati apa yang terjadi pada manusia merupakan suatu cara berfikir objektif. Pemikiran tentang hakikat manusia dibahas dalam filsafat manusia. Pencarian makna diri mengenai manusia telah berlangsung lama, namun sampai sekarang pun tidak ada kesatuan dan kesepakatan pandangan teori dan aliran pemikiran mengenai manusia (Abd Rahman Assegaf, 2004: 199). Studi tentang manusia memiliki sudut pandang yang berbeda-beda sehingga tidak menghasilkan pandangan secara utuh. Antropologi fisik misalnya, memandang manusia dari segi fisik-material, sementara antropologi budaya meneliti manusia dari aspek budaya. Sedangkan yang memandang manusia dari sisi hakikat dibahas oleh filsafat manusia. Pemahaman yang tidak utuh tentang manusia dapat mengakibatkan kefatalan dalam memandang dan memperlakukan seseorang terhadap sesamanya. Misalnya, manusia merupakan fase lanjutan dari spesies tertentu yang mengalami evolusi dan natural selection, akan berimplikasi pada keyakinan bahwa manusia akan terus berkembang menuju penyempurnaan spesies. Pandangan semacam ini kemungkinan mengakibatkan sikap kompetitif dalam segala hal, baik ekonomi, politik, budaya, hukum, pendidikan dan lain sebagaianya, bahkan menghalalkan segala cara untuk menghalakan berbagai cara untuk mewujudkan segala tujuan yang ingin dicapainya. Dalam memahami tentang hakikat manusia secara utuh, ada beberapa aliran pandangan mengenai manusia. 1. Aliran Materialisme Aliran ini memandang manusia sebagai materi (Anton Bakker, 2000: 97). Manusia sebagai kumpulan dari organ tubuh, unsur kimia dan unsur biologis yang semuanya itu terdiri dari zat dan materi. Manusia berasal dari materi, dan dari materi manusia memenuhi kebutuhan fisik, biologis dan
seksualitasnya. Kematian manusia dimaknai secara fisik. Tubuhnya terkubur di dalam tanah, kemudian di uraikan oleh benda-benda renik dan menjadi humus yang menyuburkan tanah, dan diserap oleh tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan sebagai materi yang dikonsumsi untuk kehidupan manusia, dan untuk memproduksi sperma dan ovum yang merupakan bibit keturunan manusia baru. Demikianlah pandangan ini, bahwa manusia berawal dari materi dan akan berakhir menjadi materi kembali. Pandangan materialisme berpendapat bahwa orang tidak perlu berfikir lebih lanjut. Yang ada hanya badan, sebutan materi yang menempel manusia. Oleh karenanya aliran ini dikenal juga dengan aliran serba zat atau serba materi.
2. Aliran Spiritualisme Menurut aliran ini, manusia itu adalah subjektifitas atau kesadaran (spiritual) (Anton Bakker, 2000: 97). Hakikat manusia adalah ruh atau jiwa (spirit and soul), sedangkan zat atau materi adalah manifestasi dari ruh atau jiwa. Dasar pikiran aliran ini adalah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya dari pada materi. Hal ini dapat di buktikan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, ketika seseorang cenderung tidak mau berpisah dengan orang yang dicintainya. Tetapi jika ruh dari orang yang dicintai sudah terlepas dari badannya, atau berati dia telah meninggal dunia, maka orang tersebut melepaskan untuk dikuburkan. Semua kecantikan, keindahan, kemolekan rupa dari orang yang dicintai menjadi tidak ada artinya tanpa ruh di dalamnya. Implikasi pandangan spiritualisme atau serba ruh ini terhadap penganutnya dapat ekstrim dengan aliran pertama. Gaya hidup seseorang akan diisi penuh dengan dimensi ruhani, pembersihan jiwa dari keterikatan
dengan unsur materi, meskipun hal itu harus dilaluinya dengan penderitaan, dan hidup sederhana. 3. Aliran Dualisme Aliran ini menganggap bahwa manusia pada hakikatnya terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan ruhani (badan dan ruh). Kedua subtansi ini masing-masing merupakan unsur asal yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi, badan tidak berasal dari ruh, dan sebaliknya ruh tidak berasal dari badan. Dalam perwujudannya, manusia menjadi serba dua antara jasad dan ruh yang keduanya berintegrasi membentuk manusia. Antara badan dan ruh terjadi hubungan kausalitas (sebab-akibat). Apa yang terjadi di satu pihak akan mempengaruhi pihak lain. Sebagai contoh, orang yang cacat jasmaninya akan berpengaruh pada perkembangan jiwanya. Sebaliknya, orang yang jiwanya cacat atau kacau akan berpengaruh pada fisiknya. 4. Aliran Eksistensialisme Implikasi eksistensialisme dalam kehidupan manusia pada intinya terletak pada sikap subjektivitas dan individualitas manusia. Dengan demikian orang cenderung bebas berbuat menurut jati dirinya dengan slogan be yourself. Eksistensialisme meletakkan empat postulat yang didasarkan pada etika eksistensial (Hassan Hanafi, 2004: 29). Yaitu, Penghargaan terhadap manusia, kebebasan dan kesadaran terhadap tanggung jawab, bergerak berdasarkan etika, niat baik (good will) dan konsistensi jiwa. Meskipun Islam memandang manusia dalam dua dimensi, yakni jasad dan ruh atau material dan spiritual, namun hal ini tidak berarti identik dengan pandangan dualisme, karena aliran dualisme menihilkan proses penciptaan, fungsi dan tujuan manusia hidup di dunia yang bersifat
transendental. Islam menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah, dapat dididik dan mendidik (homo educabile), hamba Allah (‘abd Allah) yang mulia. Berfungsi sebagai pemimpin atau pengelola bumi (khalifah fi al-ardl), dan terlahir dalam keadaan suci atau memiliki kecenderungan menerima agama (Islam) atau fitrah. Islam memandang tinggi derajat manusia sebagai ciptaan Allah. Berikut pandangan Islam terhadap manusia: Pertama, Manusia sebagai makhluk Allah. Al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dari tanah, kemudian berkembang biak melalui sperma dan ovum dalam suatu ikatan pernikahan yang suci serta proses produktif. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori Nabi SAW bersabda
ﺣَﺪﱠﺛَﻨَﺎ: َﻋَﻦْ أَﺑِﻲ ﻋَﺒْﺪِ اﻟﺮﱠﺣْﻤَﻦِ ﻋَﺒْﺪِ اﷲِ ﺑﻦِ ﻣَﺴْﻌُﻮْدٍ رَﺿِﻲَ اﷲُ ﻋَﻨْﮫُ ﻗَﺎل
: ُرَﺳُﻮْلُ اﷲِ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ وَھُﻮَ اﻟﺼﱠﺎدِقُ ﻟْﻤَﺼْﺪُوْق ، ًن ﻋَﻠَﻘَﺔ ُ ْ ُﺛﻢﱠ ﯾَﻜُﻮ، ًإِنﱠ أَﺣَﺪَﻛُﻢْ ﯾُﺠْﻤَﻊُ ﺧَﻠْﻘُﮫُ ﻓِﻲ ﺑَﻄْﻦِ أُﻣﱢﮫِ أَرْﺑَﻌِﯿْﻦَ ﯾَﻮْﻣﺎً ﻧُﻄْﻔَﺔ ِﺦ ﻓِﯿْﮫ ُ ُﻚ ﻓَﯿَﻨْﻔ ُ َ ﺛُﻢﱠ ﯾُﺮْﺳَﻞُ إِﻟَﯿْﮫِ اﻟْﻤَﻠ، َ ﺛُﻢﱠ ﯾَﻜُﻮْنُ ﻣُﻀْﻐَﺔً ﻣِﺜْﻞَ ذَﻟِﻚ، َﻣِﺜْﻞَ ذَﻟِﻚ ِ ﺑِﻜَﺘْﺐِ رِزْﻗِﮫِ رِزْﻗِﮫ: ٍ وَﯾُﺆْﻣَﺮُ ﺑِﺄَرْﺑَﻊِ وَﯾُﺆْﻣَﺮُ وَ ﺑِﺄَرْﺑَﻊِ ﻛَﻠِﻤَﺎت، َاﻟﺮﱡوْح ( ) اﻟﺒﺨﺎري وﻣﺴﻠﻢ. ٌرِزْﻗِﮫِ وَأَﺟَﻠِﮫِ وَﻋَﻤَﻠِﮫِ وَﺷَﻘِﻲﱞ أَوْ ﺳَﻌِﯿْﺪ Artinya:Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radiallahuanhu beliau berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan: Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. (Abd. Rahman Assegaf, 2004: 204).
Kesadaran bahwa manusia hidup di dunia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah dapat menumbuhkan sikap andap asor dan mawas diri bahwa dirinya bukanlah Tuhan. Oleh sebab itu manusia semestinya memandang manusia lain sebagai sesama makhluk ciptaan, dan tidak ada perhambaan di antara manusia. Sehingga, seorang istri tidak menghamba pada suami, seorang pegawai tidak pula menghamba kepada pengusaha dan rakyat tidak menghamba pada pemerintah. Yang berhak menerima penghambaan dari manusia hanyalah Allah. Allah tidak menciptakan manusia selain untuk menghamba atau beribadah kepada-Nya.
ÇÎÏÈ Èb r߉ ç7÷èu‹Ï9 žw Î)}§ RM} $#ur £` Ågø:$#àM ø)n=yz $tBur Artinya: “ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyaat: 56) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 523).
Dan, segala yang ada di langit dan bumi, sesungguhnya pun berserah diri kepada Allah.
ÏN ºuq»yJ ¡ 9$# ’Îû ` tB zN n=ó™ r& ÿ¼ã&s!ur šc ÇÑÌÈ šc
qäóö7tƒ «! $# Ç` ƒÏŠ uŽötósùr&
qãèy_ öãƒÏmø‹s9Î)ur $\d öŸ2 ur $Yã öqsÛ Äß
ö‘F{ $#ur
Artinya: “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (QS. Ali-Imran: 83) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 60).
Dengan demikian tidak berlaku bahwa manusia sebagai homo homini lopus atau manusia sebagai pemangsa bagi manusia lain karena keistimewaan antara satu manusia dengan manusia lain terletak dari taqwa kepada Allah.
Pergulatan tentang eksistensi manusia tidak bertujuan untuk menjadi yang terkuat, melainkan untuk menjadi yang paling bijak. Kedua, manusia sebagai makhluk yang dapat mendidik dan dididik (homo educabile). Pada dimensi ini manusia berpotensi sebagai objek dan subjek pengembangan diri. Oleh karena potensi manusia tidak bisa berkembang tanpa rangsangan dari luar, seperti pendidikan misalnya, maka pendidikan harus berpijak pada potensi tersebut. Makna penting dari penekanan pada potensi manusia ini berarti memandang manusia sebagai makhluk yang berfikir, memiliki kebebasan memilih, sadar diri, memiliki norma dan berkebudayaan. Implikasi dari hakikat dan wujud manusia sebagai homo educabile adalah sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih bersifat menyediakan stimulus agar peserta didik secara otomatis memberikan respons. 2) Pendidik tidak dapat memaksakan kehendak kepada peserta didik. 3) Demokratisasi merupakan model pendidikan yang sangat relevan untuk pengembangan potensi dasar manusia, sekaligus membantu menanamkan sikap percaya diri dan tanggung jawab. 4) Proses pendidikan harus selalu mengacu pada sifat-sifat ketuhanan atau tauhid (theo-sentris). Ketiga, manusia sebagai hamba Allah (‘abd Allah) yang mulia. Kemuliaan manusia dibanding dengan makhluk lainnya adalah manusia dikaruniai
akal untuk berfikir dan menimbang baik-buruk, benar-salah,
terpuji-tercela, sedangkan makhluk lainnya seperti binatang, tumbuhan, bahkan jin, tidaklah memperoleh kelebihan akal pikiran tersebut. Selain itu bentuk kejadian manusia adalah yang paling baik. Allah berfirman,
ÇÍÈ 5O ƒÈqø)s?Ç` |¡ ôm r&þ’Îûz` »|¡ SM} $#$uZø)n=y{ ô‰ s)s9 Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (QS. At-Tin: 4) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 597).
Kelebihan dan kemuliaan manusia tersebut tidak bersifat abadi, tergantung pada sifat dan perbuatannya. Manusia yang beramal saleh dan berakhlak al-karimah, memiliki tempat yang mulia disisi Allah dan manusia lain. Keempat,
Manusia
sebagai
pemimpin,
penguasa,
pengganti,
pengelola bumi, dalam arti yang lebih luas sebagai pemakmur alam semesta. Allah telah mengangkat manusia sebagai khalifah, bahkan para malaikat diperintahkan untuk sujud sebagai tanda penghormatan kepada manusia tersebut.
4’n1r& }§ ŠÎ=ö/Î) Hw Î) (#ÿr߉ yf |¡ sù tPyŠKy (#r߉ àf ó™ $# Ïps3 Í´¯»n=uKù=Ï9 $oYù=è% øŒÎ)ur ÇÌÍÈ šú
ïÍÏÿ»s3 ø9$#z` ÏB tb %x.ur uŽy9õ3 tFó™ $#ur
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ’Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 6).
Sikap tidak mau sujud menghormat kepada khalifah ini merupakan pelanggaran terhadap perintah Allah, karena pada awalnya pengertian sujud adalah beribadah kepada Allah. Sebagai khalifah manusia muslim dimaksudkan agar tampil dengan wajah yang ramah dan anggun untuk memimpin, mengelola dan memakmurkan bumi. Bukan sebaliknya sebagai orang yang tertindas, terbelakang dari berbagai kemajuan. Untuk mencapai
yang demikian itu, pendidikan Islam diharapkan mampu memberdayakan fungsi khalifah dalam langkah-langkah yang konkrit. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka fungsi khalifah tadi dapat diambil alih oleh manusia dan golongan yang lain. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa sekolahsekolah Islam yang unggul amat kondusif untuk mewujudkan idealitas manusia sebagai khalifah ini. Kelima, manusia lahir dalam keadaan fitrah. Fitrah berarti potensi yang dimiliki manusia untuk menerima agama, iman dan tauhid serta perilaku suci. Dalam pertumbuhannya, manusia sendirilah yang harus mengarahkan fitrah tersebut pada iman atau tauhid melalui faktor pendidikan, pergaulan dan lingkungan yang kondusif. Apabila beberapa faktor tersebut gagal dalam menumbuhkan fitrah manusia, maka dikatakan bahwa fitrah manusia tersebut dalam keadaan tertutup, yang dapat dibuka dengan faktor-faktor tersebut. Sebagai wujud dalam bentuk potensi, fitrah dengan sendirinya memerlukan aktualisasi. Dengan aktualisasi dapat terhindar dari tertutupnya oleh polusi yang dapat membuat manusia berpaling dari kebenaran. Setiap orang memililiki potensi ini, akan tetapi potensi ini tidak serta merta mewujud dalam kenyataan. Karena itu fitrah bersifat yazid wa yanqush atau bisa tambah dan bisa berkurang. Dapat bertambah, apabila ada faktor pembinaan dan pendidikan yang kondusif, dan bisa berkurang apabila ada faktor-faktor negatif yang mempengaruhinya. Manusia menerima Islam itu sama dengan jalan yang ditempuh seorang anak kecil yang menerima ibunya (Abd. Rahman Assegaf, 2004: 210). Menurut pandangan ini, manusia bukanlah sudah muslim semenjak lahirnya, melainkah telah dibekali dengan potensi yang memungkinkannya
menjadi muslim. Jadi, inti fitrah adalah bahwa manusia memiliki kecenderungan beragama, lebih spesifik lagi adalah Islam, iman dan tauhid. Contohnya, Fir’aun adalah orang yang semula tidak percaya Tuhan, bahkan menganggap dirinya sebagai Tuhan serta memerintahkan orang lain untuk menyembahnya. Namun, ketika Nabi Musa mengingatkan bahwa ia bukan Tuhan melainkan manusia biasa seperti yang lain, dan yang patut disembah adalah Allah, maka Fir’aun murka serta mengejar-ngejar dan hendak membunuh Nabi Musa. Ketika Fir’aun akan tenggelam, barulah ia menyadari akan agama yang disampaikan oleh Musa. Ini pertanda bahwa selama Fir’aun berkuasa, fitrahnya tertutup oleh kepicikan hati dan perbuatannya., namun ketika ia akan tenggelam di laut merah kesadaran akan adanya Tuhan muncul, dan itu sudah terlambat. Manusia adalah satu-satunya yang bisa menjadi subjek dan objek sekaligus. Diantara hal yang menarik minat manusia adalah manusia itu sendiri. Manusia yang sering menjadi perdebatan para ahli dapat di rumuskan menjadi tiga hal (Said Agil Huasain Al-Munawar, M. Quraish Shihab, Achmad Mubarok, 2003: 112). Antara lain: 1.
Karakter apa yang membedakan manusia dengan binatang?
2.
Apakah tabiat manusia itu pada dasarnya baik atau jahat?
3.
Apakah manusia memililki kebebasan untuk berkehendak atau kehendaknya ditentukan oleh di luar dirinya? Pertanyaan pertama dijawab oleh teori psikologi-analisa (Freud),
behavourisme (waston, Skinere), asosianis (Hobbes) bahwa manusia seperti halnya binatang yang digerakan oleh mekanisme asosiasi di antara sensasisensasi, yang tunduk kepada naluri biologis, atau tunduk kepada lingkungan,
atau tunduk kepada hukum gerak, sehingga manusia di pandang seperti mesin tanpa jiwa. Teori ini di kritik oleh teori eksistensialis dan humanis dan juga New Freudian dengan mengembalikan jiwa (psyche) ke dalam psikologi. Dikatakan bahwa manusia memiliki berbeda dengan binatang karena ia memiliki kesadaran dan tanggung jawab, serta ada keunikan dalam dirinya. Manusia bukan hanya digerakkan oleh kekuatan di luarnya, tetapi di dalam dirinya juga ada kebutuhan untuk aktualisasi diri sampai menjadi makhluk yang ideal. Jawaban atas pertanyaan kedua juga berpola seperti jawaban pertanyaan pertama, yakni kelompok pertama yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah jahat, sedangkan yang kedua menyatakan sebaliknya. Adapun jawaban dari pertanyaan yang ketiga dapat di pahami dari paham determinisme dan Free will. Dalam ilmu kalam muncul istilah Jabbariyah dan Qodariyah. Yang pertama menekankan kekuasaan mutlak Allah dimana manusia tunduk sebagai ciptaan yang tidak berdaya, dan yang kedua menekankan keadilan Allah dimana manusia memiliki ruang untuk menentukan apa yang di inginkan. Daya
tarik
tentang
pembahasan
mengenai
manusia
karena
pengetahuan tentang makhluk hidup dan terutama tentang manusia belum mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya (Said Agil Huasain Al-Munawar, M. Quraish Shihab, Achmad Mubarok, 2003: 115). Implikasi dari pertanyaan tentang manusia menghasilkan klasifikasi kualitas manusia. Dalam diri manusia terdapat berbagai keunikan sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah. Diantaranya kajian tentang kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Dalam diri manusia memiliki potensi kecerdasan
tersebut
yang
memerlukan
aktualisasi
diri
untuk
memunculkan
kecerdasannya. Untuk mencapai pada taraf manusia yang di ridhoi oleh Allah dalam setiap langkahnya apabila telah mengaktifan kecerdasan spiritualnya. Al-Ghazali menyatakan bahwa satu-satunya perangkat dalam diri manusia untuk bermakrifatullah adalah qalb (Soffa Ihsan, 2007: 64).
B. Konsep Pendidikan Islam yang Humanis Pendidikan Islam adalah usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan subjek didik agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam (Achmadi, 1992: 20). Islam menganjurkan setiap manusia untuk belajar, dari mulai baligh sampai manusia tua. Pendidikan Agama dianjurkan untuk diajarkan semenjak dini sebelum anak memperoleh pendidikan atau pengajaran ilmu-ilmu yang lain. Hal ini sangat ditekankan dalam Islam sebagai upaya pembentukan manusia seutuhnya (insan kamil). Pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban manusia (Abdullah Idi dan Toto Suharto, 2006: 93). Sehingga dalam pendidikan terdiri dari satau kesatuan antara pendidik, metode, anak didik, materi dan evaluasi. Dan lingkungan ikut bereperan dalam pendidikan. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang dapat memadukan antara aspek keduniaan dan aspek keakhiratan secara seimbang. Konsep pendidikan Islam merupakan salah satu kajian dalam Islam. Pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam telah terjadi sejak masa lalu. Banyak tokoh-tokoh yang membahas mengenai pendidikan Islam yang memiliki karakteristik masing-masing dalam pembahasannya. Pada prinsipnya tujuan pendidikan adalah merubah manusia menjadi lebih baik. Islam memandang bahwa manusia memiliki kualitas yang baik sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah.
ÇÍÈ 5O ƒÈqø)s? Ç` |¡ ôm r&þ’Îûz` »|¡ SM} $#$uZø) n=y{ ô‰ s) s9 Artinya:
“Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia itu sebaik-baiknya bentuk.” (Q.S. At-Tin: 4) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah AlQur’an, 2009: 597).
Dalam memahami pendidikan Islam yang humanis dengan menggunakan pembahasan hakikat manusia, tujuan pendidikan, metode pendidikan dalam Islam. 1. Hakikat manusia dalam Islam Dalam pendidikan manusia merupakan subjek sekaligus objek yang menjalani proses pendidikan. Pengetahuan tentang manusia adalah hal yang urgen untuk menentukan arah pendidikan. Manusia sebagai makhluk yang unik yang diciptakan oleh Allah yang memiliki keunggulan dibanding makhluk yang lain. Menurut ahli biologi tentang kapan kejadian manusia
adalah sejak
terjadinya pembuahan setelah pertemuan antara sel sperma (laki-laki) dan sel telur (perempuan). Pandangan ini mengandaikan bahwa asal kehidupan manusia hanya bersifat materi. Berdasarkan pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah bahwa ruh diciptakan setelah penciptaan adam di surga (Fuad Nashori, 2003: 22). Nabi Adam diciptakan dari tanah dengan sebaik-baik ciptaan.
ÇÐÈ &ûüÏÛ ` ÏB Ç` »|¡ SM} $#t, ù=yz r&y‰ t/ur (¼çms)n=yz >äóÓx« ¨@ ä. z` |¡ ôm r&ü“ Ï%©!$#
Artinya: “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. (Q.S. Al-Sajadah:7) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 415).
Islam meyakini dengan adanya potensi dasar sebagai bawaan sejak lahir dan potensi dasar tersebut akan berkembang dengan baik dan sempurna setelah berinteraksi dengan lingkungan sekitar, yaitu melalui pendidikan. Oleh karenanya, perubahan jasmani tidak sekedar dipengaruhi oleh faktor keturunan.
Para pemikir barat telah memunculkan berbagai teori tentang faktor yang paling dominan dalam proses perkembangan manusia. Diantaranya nativisme (bawaan sejak lahir), empiris (lingkungan) dan konvergensi (bawaan dan lingkungan). Faktor keturunan dapat dipengaruhi oleh lingkungan yang merupakan aspek pendidikan yang terpenting (Khoiron Rosyadi, 2004: 37). Di dalam Al-Quran menerangkan bahwa akal yang dimiliki manusia dalam posisi yang terhormat. Diantaranya Allah meninggikan derajat orang yang berilmu serta
persyaratan kewajiban ibadah kepada Allah bagi orang yang
berakal. Allah menciptakan manusia dengan akal dan kemampuan berfikir untuk memahami ajaran agama.
(#qßs |¡ øù$sù ħ Î=»yf yJ ø9$# † Îû (#qßs ¡ xÿs? öN ä3 s9 Ÿ@ ŠÏ% #sŒÎ) (#þqãZtB#uä tûïÏ%©!$# $pkš‰r'¯»tƒ öN ä3 ZÏB (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$# ª! $# Æì sùötƒ (#râ“à± S$sù (#râ“à± S$# Ÿ@ ŠÏ% #sŒÎ)ur (öN ä3 s9 ª! $# Ëx |¡ øÿ tƒ ÇÊÊÈ ×ŽÎ7yz tb qè=yJ ÷ès? $yJ Î/ ª! $#ur 4;M »y_ u‘yŠ zO ù=Ïèø9$#(#qè?ré&tû ïÏ%©!$#ur Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu,”berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan, apabila di katakan, “berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Mujadalah: 11) ( Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 543).
ÇÊÉÈ šc
qè=É)÷ès? Ÿx sùr&(öN ä.ãø.ÏŒ ÏmŠÏù $Y6»tGÅ2
öN ä3 ö‹s9Î)!$uZø9t“Rr&ô‰ s)s9
Artinya: “sungguh, telah Kami turunkan kepadamu sebuah kitab (Al-Quran) yang di dalamnya terdapat peringatan kepadamu. Maka apakah kamu tidak mengerti?.” (Q.S Al-Anbiya’: 10) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 322).
Pendidikan Islam tidak akan memiliki paradigma yang sempurna tanpa terlebih dahulu menentukan konsep filosofis hakikat manusia, karena pendidikan Islam ditujukan untuk manusia. Dalam konteks ini terdapat delapan prinsip filosofis tentang manusia, yaitu: a. Manusia adalah makhluk yang paling mulia di alam ini. Allah telah membekalinya
dengan
keistimewaan
yang menyebabkan ia berhak
mengungguli makhluk lain. b. Kemuliaan atas makhluk lain adalah karena manusia diangkat sebagai khalifah (wakil) Allah yang bertugas memakmurkan bumi atas dasar ketakwaan. c. Manusia adalah makhluk berfikir yang menggunakan bahasa sebagai media. d. Manusia adalah makhluk tiga dimensi yang terdiri dari tubuh, akal, dan ruh. e. Pertumbuhan dan perkembangan manusia dipengaruhi oleh faktor keturunan dan lingkungan. f.
Manusia mempunyai motivasi dan kebutuhan
g. Secara individual, tiap manusia berbeda dari manusia lainnya karena faktor keturunan dan lingkungan. h. Manusia mempunyai sifat luwes dan selalu berubah melalui proses pendidikan (Abdullah Idi dan Toto Suharto, 2006: 52). Manusia sebagai makhluk yang memiliki berbagai macam daya, yaitu daya nafsu (an-nafs al-bahimiyah) sebagai yang terendah, daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat) sebagai daya pertengahan, dan daya berfikir (an-nafs an-nathiqah) sebagai daya tertinggi ( Abuddin Nata, 2000:7). Ketiga daya tersebut saling mempengaruhi dalam tubuh manusia, yang merupakan unsur jasad dan ruhani.
2. Tujuan pendidikan dalam Islam Tujuan merupakan salah satu pokok dalam pendidikan karena tujuan dapat menentukan setiap gerak, langkah, dan aktivitas dalam proses pendidikan. Pemetaan tujuan pendidikan berarti penentuan arah yang akan dituju dan sasaran yang hendak dicapai melalui proses pendidikan dan akan menjadi tolak ukur bagi penilaian keberhasilan dalam pelaksanaan pendidikan. Tujuan pendidikan merupakan garis akhir yang hendak di capai (Triyo Supriyatno, 2009:132). Perumusan tujuan pendidikan Islam harus berorientasi pada hakikat pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya (Abdul Mujib dan
Jusuf
Mudzakkir, 2008: 71). Misalnya tentang, Pertama, tujuan dan tugas hidup manusia. Manusia hidup bukan karena kebetulan dan sia-sia. Manusia diciptakan membawa tujuan dan tugas tertentu.
È, ù=yz ’Îû tb rã¤6 xÿtGtƒur öN ÎgÎ/qãZã_ 4’n?tã ur #YŠqãèè%ur $VJ »uŠÏ% ©! $# tb rãä.õ‹ tƒ tûïÏ%©!$# Í‘$¨Z9$#z> #x‹ tã $oYÉ)sù y7 oY»ys ö6ß™ Wx ÏÜ »t/ #x‹ »yd |M ø)n=yz $tB $uZ/u‘ ÇÚ ö‘F{ $#ur ÏN ºuq»uK¡ 9$# ÇÊÒÊÈ Artinya: (yaitu) Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Maha suci engkau, lindungilah kami dari azab neraka. (QS. Ali Imran: 191) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 75).
Tujuan manusia diciptakan untuk mengabdi kepada Allah. Indikasi tugasnya berupa ibadah (‘abd Allah) dan tugas sebagai wakil-Nya dimuka bumi (khalifah Allah). Kedua, memperhatikan sifat-sifat dasar (nature) manusia, yaitu konsep manusia sebagai makhluk unik yang mempunyai beberapa potensi bawaan,
seperti fitrah, bakat, minat, sifat dan karakter yeng berkecenderungan pada alhanief (rindu akan kebenaran dari Allah) berupa Agama Islam sebatas kemampuan, kapasitas, dan ukuran yang ada. Ketiga, tuntutan masyarakat. Tuntutan ini baik berupa pelestarian nilainilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat, maupun pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan dunia modern. Keempat, dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dimensi kehidupan ideal Islam mengandung nilai yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat, serta mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan, sehingga manusia dituntut untuk tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi yang dimiliki. Namun demikian kemelaratan dan kemiskinan dunia harus diberantas, sebab kemelaratan dunia bisa menjadi ancaman yang menjerumuskan manusia pada kekhufuran. Dimensi tersebut dapat memadukan antara kepentingan hidup duniawi dan kehidupan ukhrawi.
($u‹÷R‘‰ 9$#šÆ
ÏB y7 t7ŠÅÁ tR š[
Ys? Ÿw ur (notÅz Fy $#u‘#¤$!$#ª! $# š9t?#uä !$yJ ‹Ïù Æ÷ tGö/$#ur
Ÿw ©! $# ¨b Î)(ÇÚ ö‘F{ $# ’ÎûyŠ$|¡ xÿø9$# Æ÷ ö7s? Ÿw ur (šø‹s9Î) ª! $# z` |¡ ôm r& !$yJ Ÿ2
` Å¡ ôm r&ur
ÇÐÐÈ tû ïω Å¡ øÿßJ ø9$#= Ïtä† Artinya: Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (QS. al-Qashash: 77) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 393).
Keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan hidup ini menjadi daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari gejolak kehidupan yang menggoda ketentraman dan ketenangan hidup manusia, baik yang bersifat spiritual, sosial, kultural, ekonomi, maupun ideologis dalam hidup manusia. Pendidikan Islam merupakan sarana untuk mengantarkan anak didik menjadi hamba Allah yang bertakwa, menjadi wakil Allah (Khalifatullah) di bumi serta menjadikannya memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Tujuan pendidikan Islam yang paling fundamental adalah mengantarkan anak didik agar mampu memimpin dunia dan membimbing manusia lainnya kepada ajaran Islam (Triyo Supriyatno, 2009: 133). 3. Metode pendidikan dalam Islam Metode pendidikan Islam adalah prosedur umum dalam penyampaian materi untuk mencapai tujuan pendidikan didasarkan atas asumsi tertentu tentang hakikat Islam sebagai suprasistem (Abdul mujib dan Jusuf Mudzakir, 2008: 165). Dalam pelaksanaannya, pendidikan Islam memerlukan metode yang tepat untuk mengantarkan proses pendidikan menuju tujuan yang telah dicitakan. Metode pendidikan yang berfungsi sebagai pengantar untuk sampai kepada tujuan pendidikan Islam. Kriteria yang harus di penuhi dalam metode pendidikan Islam diantaranya: a. Metode pendidikan Islam harus bersumber dan diambil dari jiwa ajaran dan akhlak Islam yang mulia. Ia merupakan hal yang integral dengan materi dan tujuan pendidikan Islam. b. Metode pendidikan Islam bersifat luwes, dan dapat menerima perubahan dan penyesuaian dengan keadaan dan suasana proses pendidikan.
c. Metode pendidikan Islam senantiasa berusaha menghubungkan antara teori dan praktik, antara proses belajar dan amal, antara hafalan dan pemahaman secara terpadu. d. Metode pendidikan Islam menghindari cara-cara mengajar yang bersifat meringkas, karena ringkasan itu merupakan sebab rusaknya kemampuankemampuan ilmiah yang berguna. e. Metode pendidikan Islam menekankan kebebasan peserta didik untuk berdiskusi, berdebat, dan berdialog dengan cara sopan dan saling menghormati. f.
Metode pendidikan Islam juga menghormati hak dan kebebasan pendidik untuk memilih metode yang dipandangnya sesuai dengan watak pelajaran dan peserta didik itu sendiri (Toto Suharto, 2006: 138). Dalam penggunaan metode pendidikan Islam yang humanis adalah
bagaimana seorang pendidik dapat mendorong peserta didiknya untuk menggunakan akal pikirannya dalam menelaah dan mempelajari segala kehidupannya sendiri dan sekitarnya. Mendorong peserta didik untuk mengamalkan ilmu pengetahuannya dan mengaktualisasikan keimanan dan ketakwaannya dalam kehidupan sehari-hari (Abdul mujib, Jusuf Mudzakir: 2008: 166). Sehingga peserta didik mampu menerapkan ilmu-ilmu yang telah dipelajari ke ranah dunianya. Konsep pendidikan Islam yang humanis adalah pemikiran yang berpijak pada ranah dunia pendidikan Islam, yang berorientasi pada pembentukan dan pengembangan fitrah anak didik. Pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban manusia.
C. Pendidikan Humanis Dalam Islam Pendidikan humanis dalam Islam adalah suatu pemikiran dalam Islam sebagai suatu ajaran (agama) yang didalamnya mencakup pengajaran kepada manusia untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin memberikan pengajaran kepada manusia untuk menjadi makhluk yang sempurna. Mendidik manusia melalui Al-Qur’an dan teladan dari Nabi Muhammad. Pendidikan Islam sebagai agen pencerahan dan penyelamatan hidup manusia sangat membutuhkan pondasi yang kuat, arah yang jelas dan tujuan yang utuh. Melalui pondasi, arah dan tujuan tersebut diharapkan idealitas pendidikan Islam seperti yang tersirat dalam sumber ajaran Islam (Al-Qur’an dan hadits) senantiasa mendorong umatnya menjadi manusia yang berkualitas (berilmu), beriman, dan punya kesalehan yang tinggi. Seiring dengan perubahan zaman, pendidikan Islam kini harus terus mengembangkan dalam proses menghasilkan generasi baru yang mempunyai kekokohan spiritual, keluhuran akhlak, kematangan profesional dan keluasan ilmu, disamping menyiapkan memenuhi standar kebutuhan lapangan kerja. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang dinamis dan sistematis, mempunyai tujuan luhur yang lengkap. Arah yang dinamis ini terlihat pada diri manusia itu sendiri baik secara individu maupun kolektif, karena manusia mempunyai fitrah ingin mengetahui sesuatu yang belum pernah diketahui dan dialami sebelumnya (Triyo Supriyanto, 2009: 10). Ide dasar terbangunnya pendidikan Islam adalah keseluruhan aktivitas pedagogi yang dilatari oleh hasrat, motivasi dan semangat untuk memanifestasikan nilai-nilai Islam, baik nilai-nilai ketuhanan maupun nilai-nilai kemanusiaan melalui kegiatan pendidikan (Mujtahid, 2011: 22). Pendidikan dalam Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi manusia yang ideal. Manusia yang ideal adalah manusia yang
baik (sholeh), yakni manusia yang senantiasa menjaga keseimbangan dalam menuhi kebutuhan jasmani, akal, dan qalbnya (Triyo Supriyanto, 2009: 122). Upaya untuk mewujudkan manusia yang ideal hendaknya memandang manusia secara utuh. 1. Manusia sebagai al-Insan Penggunaan kata al-Insan dalam Al-Qur’an untuk merujuk kepada manusia, mengacu pada potensi yang dianugerahkan kepadanya. Diantaranya kemampuan menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu.
ÇÎÈ ÷Ls>÷ètƒóO s9$tB z` »|¡ SM} $#zO ¯=tæ ÇÍÈ ÉO n=s)ø9$Î/ zO ¯=tæ “ Ï%©!$# Artinya: Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq: 4-5) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 597).
Karena Islam memandang setiap manusia lahir ke dunia sudah dibekali potensi yang baik dan suci, maka pandangan Islam ini merupakan pandangan yang optimistik (Toto Suharto, 2006: 93). Hal ini merupakan petunjuk dalam proses belajar-mengajar memperhatikan kualitas-kualitas yang ada pada anak didik.
Keharusan untuk menumbuh-kembangkan anak didik dalam konteks
kualitas insaniyah, atas dasar fitrah yang dimilikinya (Triyo Supriyanto, 2009: 52). Potensi manusia menurut konsep al-insan diarahkan pada upaya mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi. Dari kreativitasnya itu manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan-kegiatan berupa pemikiran (pengetahuan). Kemudian kemampuan berinovasi mampu merekayasa temuantemuan baru dalam berbagai bidang yang kemudian ia kembangkan menjadi ilmu pengetahuan. Dengan demikian manusia menjadikan dirinya sebagai makhluk berbudaya dan berperadapan.
2. Manusia sebagai an-Naas An-naas dalam Al-Qur’an pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial, sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk bermasyarakat (zoon politicon).
4(#þqèùu‘$yètGÏ9 Ÿ@ ͬ!$t7s%ur $\/qãèä© öN ä3 »oYù=yèy_ ur 4Ós\Ré&ur 9x.sŒ ` ÏiB /ä3 »oYø)n=yz $¯RÎ)⨠$¨Z9$#$pkš‰r'¯»tƒ ÇÊÌÈ ×ŽÎ7yz îLìÎ=tã ©! $#¨b Î)4öN ä3 9s)ø?r&«! $#y‰ YÏã ö/ä3 tBtò2 r&¨b Î) Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui, Maha Meneliti.” (QS. al-Hujurat: 13) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 517).
Manusia merupakan makhluk sosial yang secara fitrah senang hidup berkelompok, mulai dari satuan kelompok terkecil (keluarga) sampai dengan kelompok besar (bangsa) atau umat manusia. Hal ini menitik beratkan pada peran manusia dalam kehidupan sosial. Adanya pertautan antara individu dengan kebudayaan masyarakat. Karena masyarakat adalah tempat individu menyatakan keberadaannya, tanpa masyarakat kehidupan individu akan melemah dan tujuan hidupnya tidak terarah (Toto Suharto, 2006: 289). Kegiatan pembelajaran dalam Islam bertujuan untuk mengembangkan karakter siswa yang memiliki sikap toleransi, harmoni, dan saling membantu yang terealisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Rasulullah Muhammad mencontohkan pada masa periodesasi madinah, yakni gambaran tatanan kehidupan sosial manusia yang harmonis, ditandai dengan semangat menjunjung tinggi nilai-nilai Islam tentang keadilan, perlindungan hak, toleransi musyawarah dan pola-pola hidup Islami lainnya yang kita kenal dengan istilah Masyarakat Madani (civil society) (Triyo Supriyatno,
2009: 56). Islam sebagai rahmat bagi alam semesta memberikan tuntunan kepada manusia untuk menjaga dan menjalankan nilai-nilai yang di ridhoi oleh Allah. Diantaranya dengan menjaga kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari. 3. Manusia sebagai al-Basyar Penggunaan kata basyar dimaksudkan untuk menggambarkan manusia secara fisik (Triyo Supriyatno, 2009: 56). Perkembangan tentang fase perkembangan manusia sebagai makhluk biologis terdapat dalam Al-Qur’an.
ÇËÉÈ šc
rçŽÅ³ tFZs? Öt± o0O çFRr&!#sŒÎ)¢O èO 5> #tè? ` ÏiB Nä3 s)n=s{ ÷b r&ÿ¾ ÏmÏG»tƒ#uä ô` ÏBur
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak”. (QS. Ar-Rum: 20) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 406).
Sebagai makhluk biologis manusia terikat oleh prinsip-prinsip kehidupan yang berifat biologis seperti berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan berkembang mencapai tingkat kematangan dan kedewasaan dan seterusnya. Selain makan dan minum manusia manusia memerlukan pasangan hidup untuk menyalurkan dorongan seksualnya. Sebagai makhluk yang diciptakan dan memiliki keterikatan aturan dari yang menciptakannya segala pemenuhan itu telah diatur oleh yang menciptakannya. Tujuan utamanya dari ketentuan atau aturan-aturan tersebut agar manusia hidup secara benar sesuai dengan hakikat penciptaannya. Pengetahuan akan eksistensi manusia sebagai makhluk biologis bertujuan untuk mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah di bumi, melalui ketrampilan-ketrampilan fisik. Karena kekuatan iman ditopang oleh kekuatan fisik (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2006: 78).
Mempersiapkan diri dengan cara membiasakan dan melatih hidup yang baik, seperti dalam berbicara, makan, bergaul, penyesuaian diri dengan lingkungan, dan berperilaku. Pembiasaan ini diterapkan sedini mungkin karena ketika sudah dewasa akan sulit dilakukan, pengenalan aspek-aspek keagamaan dan uswatun hasanah. 4. Manusia sebagai Bani Adam Mengacu pada latar belakang penciptaan Adam, manusia sebagai makhluk yang mudah tergoda. Karena itu, yang memiliki peluang untuk tergoda oleh setan, manusia selalu diperintahkan untuk berhati-hati agar tidak tergoda oleh setan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran.
äí Í”\tƒ Ïp¨Zyf ø9$# z` ÏiB Nä3 ÷ƒuqt/r& yl t÷z r& !$yJ x. ß` »sÜ ø‹¤± 9$# ãN à6 ¨Yt^ÏFøÿtƒ Ÿw tPyŠ#uä ûÓ Í_t6»tƒ Ÿw ß] ø‹ym ô` ÏB ¼çmè=‹Î6s%ur uqèd öN ä3 1ttƒ ¼çm¯RÎ) 3!$yJ ÍkÌEºuäöqy™ $yJ ßgtƒÎŽãÏ9 $yJ åky$t7Ï9 $yJ åk÷]tã ÇËÐÈ tb qãZÏB÷sミw tûïÏ%©#Ï9uä!$u‹Ï9÷rr&tû üÏÜ »uŠ¤± 9$#$uZù=yèy_ $¯RÎ)3öN åktX÷rts? Artinya: “Wahai anak cucu Adam janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menangggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-A’raf: 27) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 153).
Selanjutnya, peran manusia sebagai Bani Adam lebih merujuk pada upaya untuk menjaga kemuliaan dirinya serta mengacu kepada penghormatan nilai-nilai kemanusiaan (Triyo Supriyatno, 2009: 59). Semua manusia berasal dari nenek moyang yang sama yaitu Adam, sehingga memiliki potensi yang sama. Hal ini memberikan pengajaran untuk menghormati orang lain. Manusia
di dunia berlomba-lomba untuk menjadi manusia yang baik yang di ridhai oleh Allah. 5. Manusia sebagai Abdullah Dimensi manusia sebagai ‘Abd (hamba Allah) adalah selalu beribadah kepada Allah. Dasar pijakan diterangkan oleh Allah dalam Al-Qur’an.
ÇÎÏÈ Èb r߉ ç7÷èu‹Ï9 žw Î)}§ RM} $#ur £` Ågø:$#àM ø)n=yz $tBur Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”.(QS. Az-Zariyat: 56) (Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2009: 521).
Ibadah erat kaitannya dengan proses pendidikan, yang merupakan upaya pengembangan fitrah manusia dengan setinggi-tingginya sebagai perwujudan diri. Manusia selain sebagai hamba Allah yang selalu tunduk dan mengabdi kepada-Nya memerlukan hal yang menopang dirinya untuk menjadi hamba yang baik diantaranya pendidikan Islam. Ibadah dikaitkan dengan kedudukan sebagai khalifah yang diberikan amanat sebagai perwujudan ketaatan kepada Allah. Peran seorang hamba erat kaitannya dengan pencarian ridha Allah. Maksudnya apapun aktivitas yang dilakukan oleh manusia baik yang menyangkut hubungan antara sesama manusia maupun hubungan dengan Allah didasari dengan pencarian ridha Allah. 6. Manusia sebagai Khalifatullah Eksistensi manusia dalam kehidupan di dunia pada hakikatnya adalah untuk melaksanakan tugas kekhalifahan, yaitu membangun dan mengelola dunia tempat ia tinggal sesuai dengan kehendak penciptanya. Peran manusia yang pertama mengacu kepada bagaimana manusia dapat mengatur hubungan yang baik antara sesamanya dan alam sekitarnya. Untuk mewujudkannya, manusia
membutuhkan kecakapan dalam memegang amanat yang diberikan kepadanya, seperti sikap adil, jujur, berakhlaq mulia dan memiliki pengetahuan yang luas. Manusia pada dasarnya memiliki potensi yang baik, potensi yang dianugerahkan Allah kepada setiap manusia. Proses memunculkan dan mengembangan potensi adalah pendidikan.
Dalam
pendidikan
Islam
memberikan arahan agar manusia memiliki keseimbangan antara hubungan dengan Allah (vertikal) dengan hubungan sesama manusia (horisontal). Humanisme dalam Islam tidak lepas
dari
konsep
hablum minannas
(Abdurrahman Mas’ud, 2002: 139). Manusia memerankan dirinya sebagai sosok pribadi yang mampu mengembangkan dirinya sebagai ilmuan yang senimanserta berakhlaq mulia. Dalam Islam kualitas manusia dalam dimensi insan diukur dengan kualitas aktivitas intelektual, etika dan moral. Kemudian an-nass memerlukan penjagaan dengan baik karena manusia tidak selamanya stabil, ia selalu mengalami perubahan. Perubahan inilah yang selalu ada relevansinya dengan realitas sosial, oleh karena manusia adalah makhluk sosial.
BAB IV IMPLIKASI PENDIDIKAN HUMANIS ISLAM
Pendidikan tidak hanya dibatasi oleh pemahaman sebagai sebuah proses pengajaran mentransfer pengetahuan, melainkan proses menanamkan nilai-nilai sikap dan tingkah laku (akhlaq), melatih dan memekarkan pengalaman, serta menumbuhkembangkan kecakapan hidup (life skill) manusia. Pendidikan Islam merupakan proses pendewasaan dan sekaligus memanusiakan jati diri manusia. Manusia lahir membawa potensi, melalui proses pendidikan potensi manusia diharapkan dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan sempurna, sehingga ia dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai manusia. Pendidikan yang humanis sebagai proses perwujudan untuk membentuk manusia yang unggul sangat diperlukan. Karena selama ini pemikiran pendidikan Islam masih memiliki problem yang kompleks. Adapun permasalahannya diantaranya adalah, pandangan umat Islam ada kecenderungan dikotomis dan polaris yang telah menyejarah antara ilmu agama dan ilmu umum, Kondisi rapuhnya posisi murid dalam masyarakat kita (kurangnya rasa percaya diri) dan Permasalahan dunia pendidikan dengan tipikal certificate-oriented (berorientasi pada pencapaian ijazah) (Abdurrahman Mas’ud, 2002: 224). Permasalahan tersebut di atas adalah masalah umum dalam dunia pendidikan Islam. Berbagai upaya pencarian solusi tidak serta-merta mudah untuk diaplikasikan. Dalam konsep pendidikan humanis proses aplikasi ke ranah realitas mengupayakan dalam berbagai aspek.
81
A. Aspek Guru Salah satu unsur penting dari proses kependidikan adalah pendidik. Di pundak pendidik terletak tangungjawab yang amat besar dalam upaya mengantarkan murid ke arah tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Dalam hal ini pendidik bertanggungjawab memenuhi kebutuhan murid, baik spiritual, intelektual, moral murid. Guru paling tidak harus memiliki tiga kualifikasi dasar, yaitu menguasai materi, antusiasme, dan penuh kasih sayang (loving) dalam mengajar dan mendidik (Abdurrahman Mas’ud, 2002: 194). Pendidik dalam persepektif pendidikan Islam ialah orang yang bertanggungjawab terhadap upaya perkembangan jasmani dan rohani murid agar mencapai tingkat kedewasaan, sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya (sebagai khalifah fi al-ardh maupun ‘abd) sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Sehingga dalam mendidik dengan mempribadi (personifikasi pendidik), yaitu mempribadinya keseluruhan yang diajarkan, bukan hanya isinya, tetapi juga nilainya (Toto Suharto, 2006: 119. Misalnya, seorang pengajar ketrampilan bertukang perlu memiliki keterampilan yang tampilannya meyakinkan murid dan tidak cukup hanya menguasai teori bertukang. Seorang pengajar piano haruslah terampil bermain piano. Seorang pengajar agama tidak cukup hanya karena yang bersangkutan memiliki pengetahuan agama secara luas, melainkan juga harus seseorang yang meyakini kebenaran agama yang dianutnya dan menjadi pemeluk agama yang baik. Dalam proses pencerdasan harus berangkat dari pandangan filosofis guru bahwa murid adalah individu yang memiliki beberapa kemampuan dan keterampilan. Dalam perspektif humanisme, guru tidak dibenarkan memandang murid dengan mata sebelah, tidak sepenuh hati, atau bahkan memandang rendah kemampuan murid
(Abdurrahman Mas’ud, 2002: 195). Pengembangan potensi yang dimiliki murid dan mendukung keahliannya akan memunculkan kepercayaan diri pada murid. Dalam operasionalnya, mendidik merupakan rangkaian proses mengajar, memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain sebagainya (Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, 2005: 43). Seorang guru mempersiapkan murid dengan kasih sayangnya sebagai individu yang shaleh, dalam arti memiliki tanggung jawab sosial, religius, dan lingkungan hidup. Dalam konteks ini guru tidak sekedar melakukan transfer of knowledge atau transfer of value (menyampaikan pengetahuan atau nilai-nilai) kepada murid. Akan tetapi proses pengembangan dan meraih tanggung jawab. Dengan demikian, ucapan, cara bersikap, dan tingkah laku seorang guru ditunjukan agar murid dapat menjadi insan kamil, yakni sempurna dalam kacamata peradaban manusia dan sempurna dalam standar agama.
B. Aspek Metode Sebagai suatu ilmu, metodologi merupakan bagian dari perangkat disiplin keilmuan yang menjadi induknya (Imam Musbikin, 2010: 279). Ilmu pendidikan sebagai salah satu disiplin ilmu juga memiliki metodologi, yaitu metodologi pendidikan. Dalam pendidikan humanis memerlukan metode yang tepat untuk mengantarkan proses pendidikan menuju arah yang dicitakan. Bagaimanapun, baik dan sempurnanya sebuah kurikulum, tidak akan berarti apa-apa jika tidak memiliki metode
atau cara yang tepat untuk mentransformasikannya kepada murid.
Ketidaktepatan dalam penerapan metode secara praktis akan menghambat proses belajar mengajar, yang pada gilirannya berakibat pada terbuangnya waktu dan tenaga secara percuma.
Metode sebagai cara mengajar dalam proses belajar mengajar dan perbaikan komprehensif dari semua elemen pendidikan sehingga menjadi sebuah iklim yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Guru harus memilki metode yang dapat meningkatkan keaktifan murid dalam belajar. Misalnya, murid dapat memanfaatkan komputer atau internet untuk dapat dijadikan sebagai media belajar. Guru tidak hanya memberikan ikan akan tetapi memberikan kail atau mengajari cara memancing. Guru memberikan cara, bukan sekedar memberikan suatu ilmu pengetahuan. Proses memanfaatkan potensi murid untuk aktif belajar. Misalnya, metode reflektif dalam memecahkan masalah, yaitu berfikir aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berfikir ke arah kesimpulan-kesinpulan yang definitif melalui lima langkah. 1. Murid mengenali masalah, masalah itu datang dari luar diri murid itu sendiri. 2. Selanjutnya murid akan menyelidiki dan menganalisa kesulitannya dan menentukan masalah yang dihadapinya. 3. Lalu dia menghubungkan uraian-uraian hasil analisanya itu, dan mengumpulkan berbagai kemungkinan untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam bertindak ia dipimpin oleh pengalamannya sendiri. 4. Kemudian dia menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis dengan akibatnya masing-masing. 5. Selanjutnya dia mencoba mempraktikkan salah satu kemungkinan pemecahan yang dipandangnya terbaik, hasilnya akan membuktikan betul-tidaknya pemecahan masalah itu. Bilamana pemecahan masalah itu salah atau kurang tepat, maka akan dicobanya kemungkinan yang lain sampai ditemukan pemecahan masalah yang tepat. Pemecahan masalah itu yang benar, yaitu yang berguna untuk hidup (Trianto, 2008: 46).
Dengan demikian pentingnya metode bekerja (demonstrasi), karena bekerja memberikan pengalaman dan pengalaman memimpin orang berfikir sehingga dapat bertindak bijaksana dan benar. Pengalaman dapat mempengaruhi budi pekerti anak didik. Metode guru lebih menekankan pengembangan kreativitas, penajaman hati nurani dan religiusitas murid, dan meningkatkan kepekaan sosialnya. Penggunaan metode dalam pendidikan pada prinsipnya adalah sikap hati-hati dalam mendidik dan mengajar. Hal ini mengingat bahwa sasaran pendidikan Islam itu adalah manusia yang telah memiliki kemampuan dasar (potensi) untuk dikembangkan (Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, 2005: 67). Hal yang perlu dipertimbangkan ketika kurang hati-hati akan dapat berakibat fatal sehingga memungkinkan kemampuan dasar yang telah dimiliki murid itu tidak akan berkembang secara wajar, atau menyalahi sebagaimana yang digariskan oleh Allah. Sehingga sangat dibutuhkan pengetahuan yang utuh mengenai jati diri manusia dalam rangka membawa dan mengarahkannya untuk memahami realitas diri, Tuhan dan alam semesta, sehingga ia dapat menemukan esensi dirinya dalam lingkaran realitasnya. Hal-hal yang dapat diupayakan untuk meningkatkan perkembangan murid yang merupakan bagian dari metode pendidikan dalam kehidupan sehari-hari adalah: 1. Orang Tua: a. Selalu memperhatikan perkembangan dan kegiatan anak, misalnya acara TV dan jenis bacaan apa yang disukai anak. b. Mengajarkan kedisiplinan di rumah. c. Menghindari pendidikan dengan cara menakut-nakuti anak. d. Mengetahui siapa kawan main anak. e. Kontekstualisasi ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. 2. Sekolah:
a. Pemimpin sekolah tidak hanya berorientasi pada pembangunan fisik sekolah, melainkan juga meningkatkan pembangunan manusia seutuhnya. b. Guru tidak hanya mengejar nilai atau IP tetapi harus di imbangi dengan memperhatikan budi pekerti anak. c. Memberikan penghargaan bagi murid yang berprestasi, dan meminimalisir pemberian hukuman kepada murid dengan cara membimbingnya. d. Komunikasi guru dengan murid terjalin di kelas maupun diluar kelas. e. Kecerdasan murid harus diimbangi dengan kepekaan sosial dan ketajaman spiritual agama. 3. Lingkungan Tetangga: a. Membudayakan untuk saling mengenal, menegur dan kontrol sosial. b. Melibatkan anak dalam pertemuan atau perkumpulan sosial keagamaan, seperti pengajian RT atau masjid. c. PKK membahas juga masalah-masalah kenakalan remaja. 4. Pemerintahan: a. Melakukan tindakan preventif (pencegahan dini) terhadap kenakalan remaja. b. Visualisasi alat-alat drugs. c. Mendukung kampanye anti-drugs. d. Melakukan penegakan hukum yang jujur dan tidak tebang pilih. 5. Tokoh Agama: a. Menambah wawasan “kenakalan remaja”, seperti narkoba, minum-minuman keras, tawuran. b. Masalah kenakalan remaja tidak hanya di identikan kepada pengaruh setan, akan tetapi kurangnya proses pemahaman anak. c. Memberikan solusi konkrit terhadap permasalahan remaja.
d. Tidak memandang diri sebagai kaum bersih dan memandang orang lain, khususnya yang melanggar agama, sebagai kaum kotor. Pendidikan humanisme memperbesar peran hubungan (personal relation) antara guru dan murid. Kata kunci dalam pendidikan humanis adalah sejauh mana guru memahami, mendekati dan mengembangkan murid sebagai individu yang memiliki potensi kekhalifahan dan potensi unik sebagai makhluk Allah yang didesain sebagai ahsanu taqwim. Secara teknis guru harus melakukan hal-hal sebagai berikut. 1. Guru hendaknya bertindak sebagai role model, suri tauladan bagi kehidupan sosial akademis murid, baik di dalam maupun di luar kelas. Guru harus memberikan contoh komitmen dan dinamika diri dalam kegiatan-kegiatan akademis dan sosial keagamaan, seperti membaca (baik diperpustakaan maupun di tempat lain), berdiskusi, meneliti, menulis, ataupun kegiatan-kegiatan amar ma’ruf nahi mungkar (kontrol sosial) yang tercermin dalam ucapan dan tingkah laku sehari-hari. 2. Guru harus menunjukan sikap kasih sayang kepada murid, antusias dan ikhlas mendengar atau menjawab pertanyaan, serta menjauhkan sikap emosional dan feodal, seperti cepat marah dan tersinggung karena pertanyaan murid sering disalahartikan sebagai mengurangi wibawa. 3. Guru hendaknya memperlakukan murid sebagai subjek dan mitra belajar, bukan objek. Pendidikan yang menekankan belajar mandiri, kemampuan membaca, berfikir kritis, perlu ditingkatkan secara konsisten dalam proses belajar-mengajar. Sudah saatnya guru mengupayakan iklim dialogis atau interaktif di kelas (terhadap anak didik). 4. Guru hendaknya bertindak sebagai fasilitator, promotor of learning yang lebih mengutamakan bimbingan, menumbuhkan kreatifitas murid, serta interaktif dan
komunikatif dengan murid. Sebagai pembimbing yang arif, guru hendaknya memanfaatkan interaksi dengan murid sebagai proses peningkatan diri melalui feedback konstruktif dari murid, baik secara langsung maupun tidak langsung (Abdurrahman Mas’ud, 2002: 203). Melalui pendekatan di atas diharapkan pendidikan dapat membentuk anak secara komprehensif untuk pertumbuhan dan perkembangan murid (student center). Dengan model pendidikan yang humanis tersebut murid diharapkan dapat terangsang untuk mengasah kemampuan, pengalaman, ketrampilan dan kemandiriannya.
C. Aspek Murid Dalam paradigma pendidikan Islam, murid merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang perlu dikembangkan (Al-rasyidin dan Samsul Nizar, 2005: 47). Murid merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan. Pemahaman tentang hakikat murid sangat diperlukan. Samsul Nizar menyebutkan deskripsi tentang hakikat murid diantaranya adalah: 1. Murid bukan hanya miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap mereka dalam kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa, baik dalam aspek metode metode mengajar, materi yang diajarkan, sumber bahan yang digunakan dan lain sebagainya. 2. Murid adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Pemahaman ini cukup perlu untuk diketahui agar aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan
yang pada umumnya dilalui oleh murid. Hal ini sangat beralasan, karena kadar kemampuan murid ditentukan oleh faktor usia dan periode perkembangan atau pertumbuhan potensi yang dimilikinya. 3. Murid adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi. Diantara kebutuhan tersebut adalah kebutuhan biologis, kasih sayang, rasa aman, harga diri, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu penting dipahami oleh pendidik agar tugas-tugas kependidikannya dapat berjalan secara baik dan lancar. 4. Murid adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual (differensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan dimana ia berbeda. Pemahaman tentang differensiasi individual murid sangat penting untuk dipahami oleh seorang pendidik. Hal ini disebabkan karena menyangkut bagaimana pendekatan yang perlu dilakukan pendidik dalam menghadapi ragam sikap dan perbedaan tersebut dalam suasana dinamis, tanpa harus mengorbankan kepentingan salah satu pihak atau kelompok. 5. Murid merupakan resultan dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya pisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohaniah memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal, maka proses pendidikan hendaknya diarahkan untuk mengasah daya intelektualitasnya melalui ilmu-ilmu rasional, dan daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah. Pemahaman ini merupakan hal yang perlu agar proses pendidikan Islam memandang murid secara utuh, yakni tidak mengutamakan salah satu daya saja, tetapi semua daya dikembangkan dan diarahkan secara integral dan harmonis.
6. Murid adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis. Disini tugas pendidik adalah membantu mengembangkan dan mengarahkan perkembangan tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan, tanpa melepaskan tugas
kemanusiaannya, baik
secara vertikal maupun horisontal ( Samsul Nizar dan Al-Rasyidin, 2005: 48-50). Seluruh pendekatan murid di atas sebagai dasar dalam menentukan dan tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan. Islam mengakui bahwa murid memiliki fitrah, tetapi perkembangan fitrah ini tergantung oleh keadaan lingkungan yang melingkupinya. Perpaduan antara faktor fitrah dan faktor lingkungan dalam konsep Islam merupakan proses dominan yang dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian seorang murid (Toto Suharto, 2006: 124). Pendidik sebagai pembimbing murid memiliki peran dalam membangun sikap mandiri dalam diri murid. Dengan memberikan semangat mencari ilmu sepanjang hayat agar melekat dalam pola pikirnya. Diantaranya dengan membangun minat membaca, menambah pengetahuan dari surat kabar, majalah dan internet. Setiap murid memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga pendidik dalam penyampaian materi tidak menyamaratakan pemahaman kepada murid. Daya tangkapnya dalam memahami pengetahuan maupun nilai-nilai yang diserap anak berbeda-beda. Sehingga anak di tanamkan kebiasaan mandiri dan aktif untuk memahami pelajaran, misalnya dengan bertanya kepada gurunya.
D. Aspek Materi (Kurikulum) Kurikulum sebagai program pendidikan tidak hanya menempatkan murid sebagai objek didik, melainkan juga sebagai subjek didik yang sedang mengembangkan diri menuju kedewasaan. Kurikulum pendidikan harus didasari atas
asumsi tentang hakikat masyarakat, manusia dan pendidikan sendiri (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2008: 124). Kurikulum selalu mengalami perubahan dan perkembangan, seiring perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Materi merupakan aspek yang menentukan terhadap hasil dari proses pembelajaran. Abdurrahman Mas’ud berasumsi bahwa masalah utama pengajaran dalam pendidikan Islam paling tidak ditandai oleh hal-hal sebagai berikut: 1. Pengajaran materi secara umum, termasuk pengajaran agama, belum mampu melahirkan kreatifitas (creativity). 2. Morality atau akhlaq di sekolah umum masih menjadi masalah utama. 3. Punishment atau azab masih lebih dominan daripada reward (hadiah) (Abdurrahman Mas’ud, 2002: 206). Akar permasalahan dari berbagai masalah tersebut dikarenakan kurikulum yang over-load. Tingkat kepadatan dalam beban yang diberikan kepada murid akan mengakibatkan kekeringan kreatifitas. Budaya pendidikan yang melihat prestasi anak murid dari hasil akademik, mengharuskan murid untuk selalu diberikan PR (pekerjaan rumah), les privat dan bimbingan belajar lainnya di luar sekolah. Dalam kondisi menanggung bayak beban, dapat mempengaruhi perkembangan murid. Materi mencakup perhatian, pengembangan serta bimbingan terhadap segala aspek pribadi murid dari segi intelektual, psikologi, sosial, dan spiritual. Banyaknya tawuran pelajar, hubungan bebas (free sex) dikalangan pelajar dan berbagai kenakalan remaja dapat dihilangkan apabila materi agama dan budi pekerti menyatu dengan berbagai mata pelajaran. Guru meningkatkan reward (penghargaan) atas kelebihan (prestasi) yang telah diraih murid. Hal ini dapat terwujudkan dalam pidatopidato yang diadakan disekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, guru mengucapkan rasa bangga terhadap murid-murid dikelasnya yang pandai. Dalam
kondisi yang menyenangkan dengan adanya penghargaan atas kerja kerasnya, murid akan mudah untuk lebih kreatif dan menerima ilmu pengetahuan.
E. Aspek Evaluasi Aspek
evaluasi
mencakup
tiga
ranah
yaitu
cognitif,
afektif
dan
psychomotoric. Ketiganya tersebut secara integral dan saling berkaitan antara satu dengan yang lain (Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, 2005: 82). Secara umum, evaluasi selama ini berjalan satu arah, yakni yang dievaluasi hanyalah semesteran (Abdurrahman Mas’ud, 2002: 212). Apalagi prioritas yang dievaluasi hanyalah mengenai murid, murid tidak memperoleh kesempatan untuk memberi input balik pada sekolah mengenai gurunya atau mengevaluasi gurunya. Dalam konsep humanis, murid harus dipandang sebagai individu yang memiliki otoritas individu, mampu mengambil keputusan yang didasari sikap tanggung jawab sejak dini. Implementasi dari sikap ini adalah bahwa murid diberi kepercayaan untuk mengevaluasi dalam rangka perbaikan ke depan apa yang ia lihat dan hadapi sehari-hari. Sehingga setiap individu memiliki motivasi untuk meningkatkan kualitas pribadi agar siap dievaluasi setiap saat. Secara umum evaluasi bertujuan mengetahui kadar pemahaman murid terhadap materi pelajaran, melatih keberanian dan mengajak murid untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan, dan mengetahui tingkat perubahan tingkah lakunya (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2008: 211). Pendidikan humanis memandang bahwa materi lebih menekankan pada perubahan tingkah laku mapun perkembangan diri murid setelah melalui prose belajar. Misalnya, setelah belajar tentang materi Islam anak didik dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari yang didasari dengan nilai-nilai Islam. Evaluasi tidak hanya pada pada semesteran dan
midsemester, tetapi dalam evaluasi harian diterapkan sebagai catatan mengenai perkembangan anak. Islam mengajarkan bahwa setiap individu harus merasa ada yang memonitor setiap saat, karena Allah Maha Melihat. Proses lebih penting dari pada tujuan, karena perkembangan murid secara bertahap melaui proses tersebut. Penyadaran dari diri sendiri (internal motivation) jauh lebih ampuh, signifikan, dan fungsional dibanding evaluasi dalam bentuk apapun. Pendidikan humanis dalam Islam pada hakikatnya adalah upaya untuk mengembangkan murid dari dimensi intelektual, emosional dan spiritual.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian tentang pendidikan humanis dalam Islam, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil penelitian dalam skripsi ini menunjukan bahwa pendidikan yang humanis merupakan paradigma pendidikan yang menempatkan
siswa sebagai subjek
dalam proses belajar-mengajar. Selain Mengembangkan kecerdasan dari segi intelektual
anak
didik,
juga
memperhatikan
pengembangan
nilai-nilai
kemanusiaannya sehingga dapat menjadi manusia yang progresif dan aktif. 2. Konsep pendidikan humanis dalam Islam adalah pendidikan yang mendidik manusia untuk menghargai sesama manusia, menjunjung tinggi akhlakul karimah, dan mengembangkan segala potensi manusia untuk dapat menjadi insan kamil yaitu manusia yang cerdas dari aspek intelektual, emosional dan spiritual. 3. Implikasi dari konsep pendidikan humanis dalam Islam dalam pendidikan Islam adalah dengan melibatkan segala aspek dalam pendidikan diantaranya, Guru, metode, murid, materi, dan evaluasi. Pendidikan memiliki tanggungjawab terhadap upaya perkembangan jasmani dan rohani anak didik agar mencapai tingkat pemahaman akan keberadaannya dimuka bumi, sehingga ia mampu menjadi manusia yang sempurna dalam kacamata peradaban manusia dan sempurna dalam standar agama.
B. Saran-Saran Dengan selesainya penulisan skripsi ini penulis berharap dapat memberikan tambahan wawasan pengetahuan tentang pendidikan Islam kepada: 96
1. Dunia pendidikan, pendidikan yang bertujuan mencerdaskan generasi bangsa yang selama ini lebih memprioritaskan pada segi intelektual harus lebih lebih dapat menyeimbangkan dari segi nilai-nilai moralnya (akhlakul kharimah). Sehingga menghasilkan genenerasi anak didik yang cerdas secara intelektual yang diiringi dengan akhlak yang baik. 2. Dunia Islam, Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Islam bukan identik dengan ritual semata, menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap manusia. Dengan ilmu pengetahuan akan menghasilkan generasi muslim yang unggul dalam segala bidang sebagai perwujudan dari tugas manusia di dunia yaitu khalifah di bumi. 3. Masyarakat, Pendidikan kepada anak didik bukanlah semata-mata tugas dunia pendidikan. Lingkungan tempat tinggal anak didik berpengaruh terhadap perkembangannya. Pendidikan yang baik di institusi pendidikan harus diiringi dengan pendidikan yang baik di lingkungan masyarakat. Masyarakat yang berpendidikan dan berakhlak mulia akan menghasilkan generasi-generasi yang kreatif, progresif dan berakhlak mulia.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2002. Filsafat Manusia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Abdullah, Wahyu. 2010. Kamus Lengkap 99.000.000 Indonesia-Arab. Tangerang: Mediatama Publishing Group. Achmadi. 1992. Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan.Yogyakarta: Aditya Media. Agil Husin Al-Munawar, Said., M. Quraish Shihab dan Achmad Mubarok. 2003. Agenda Generasi Intelektual (Ikhtiar Membangun Masyarakat Madani). Jakarta: Panamadani. Al-Rasyidin dan Samsul Nizar. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press. Assegaf, Abd. Rahman. 2004. Pendidikan Tanpa Kekerasan (Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Bakker, Anton. 1987. Metode Penelitian Filsafat. Jakarta: Pustaka Filsafat. ____________ . 2000. Antropologi Metafisik. Yogyakarta: Kanisius. Firdausi, M. Anwar. 2010. Teologi Islam (Kritis-Humanis). Malang: UIN Maliki Press. Hadi A.T, Hadi., dan M.D.J. Al-Barry. 2008. Kamus Ilmiah Kontemporer (Dilengkapi dengan Pembentukan Istilah). Bandung: Pustaka Setia. Hajar, Ibnu. 1998. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Hanafi, Hasan. 2004. Islamologi 3 (Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme). Yogyakarta: LKiS. Idi, Abdullah., dan Toto Suharto. 2006. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana. Ihsan, Soffa. 2007. Into The Soul (Dari Pencarian Nalari ke Pencerahan Rohani). Ciputat: Pustaka Cendekiamuda. Kartono, Kartini. 1990. Pengantar Metode Riset Sosial. Bandung: Mandar Maju.
Madjid, Nurcholis. 2010. Islam Agama Kemanusiaan (Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia). Jakarta: Paramadina. Mas’ud, Abdurrahman. 2002. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam). Yogyakarta: Gama Media. Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Munir Mulkhan, Abdul. 2002. Nalar Spiritual Pendidikan (Solusi Problem Filosofi Pendidikan Islam). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Munir, Abdullah. 2010. Pendidikan Karakter (Membangun Karakter Anak Sejak Dari Rumah). Yogyakarta: Pedagogia. Mujib, Abdullah., dan Yusuf Mudzakkir. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Mujtahid. 2011. Reformulasi Pendidikan Islam (Meretas Mindset Baru, Meraih Peradapan Unggul). Malang: UIN Maliki Press. Musbikin, Imam. 2010. Guru Yang Menakjubkan ( Tuntunan Agar Kaya Dedikasi, Inspirasi, dan Teladan Bagi Masyarakat dan Masyarakat Sekaligus). Yogyakarta: Buku Biru. Nashori, H. Fuad. 2003. Potensi-Potensi Manusia (Seri Psikologi Islam). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nata, Abuddin. 2000. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Rosyidi, Khoiron. 2004. Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Siafullah. 2005. Muhammad Qutb dan Sistem Pendidikan Non Dikotomik. Yogyakarta: Suluh Press. Suharto, Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz. Supriyatno, Triyo. 2009. Humanitas Spiritual Dalam Pendidikan. Malang: UIN Malang Press. Syukur, HM. Amin. 2003. Tasawuf Kontekstual (Solusi Problem Manusia Modern). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Trianto. 2008. Mendesain Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching And Learning) Di Kelas. Jakarta: Cerdas Pustaka Publiser. Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an. 2009. Al-Qur’an dan Penerjemahannya. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Mujib
Tempat/Tgl Lahir
: Ngawi, 25 April 1986
Agama
: Islam
Alamat
: Bendo RT 11 RW 10 Tempuran Kecamatan Paron Kabupaten Ngawi Jawa Timur
Pendidikan
: -
MI PSM Bendo lulus tahun 1998
-
MTs N Paron lulus tahun 2001
-
MA N Paron lulus tahun 2004
Salatiga, 4 Agustus 2011
Mujib