KONSEP PENDIDIKAN HUMANIS DALAM PERSPEKTIF HADITS
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh SUCI NURPRATIWI NIM: 109011000240
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI KONSEP PENDIDIKAN IIUMANIS DALAM
PERSPEKTIF TIADITS Diajukan KepadaFakultas IImu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Sebagai Syarat untuk MemPeroleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh: SUCI NTIRPRATIWI
MM:
109011000240
1
Di bawah bimbingan
DT. JEJEN MUSFAH.
MA
NrP. 19770602 200501 1 004
JURUSAN PENDTDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARTF HIDAYATULLAH
JAKARTA r43s IJ12013 M
LEMBAR PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah
Nama
Suci Nurpratiwi
NIM
10901 1000240
ini:
Program Studi Pendidikan Agama Islam Jurusan
Pendidikan Agama Islam
Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini rnerupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan *empercle{1elar Sarjana Strata Satu (S-1)
di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan kbtentuan yang berlaku di
UIN Syarif Hidayatullah lakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiptakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerirna sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 12 Desemb er 2013
Suci Nurpratiwi
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi berjudul Konsep Pendidikan Humanis dalam Perspektif lladits disusun oleh Suci Nurpratiwi,
NIM.
109011000240, Jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya
ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.
Jakarta, 12 Desernber 2013
Yang mengesahkan,
Dosen Pembimbing
Dr. Jeien Musfah. MA NIP. 19770602 200s01 1 004
ilI
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul: 'oKonsep Pendidikan Humanis dalam Perspektif Hadits" disusun oleh Suci Nurpratiwi, NIM: 109011000240, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal l7 Ianuari 2014 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh Gelar Sarjana 51 (S.Pd.D dalam bidang Pendidikan Agama Islam. Jakarta,17 Januan2014
Panitia Ujian Munaqasah Ketua Panitia (Ketua JurusarVProgram
Bahrissalim. M.Ag NIP. 19680307 t99803
r 002
Studi)
Tanda Tangan
Tanggal
_
Sekretaris (Sekretaris JurusanlProdi)
Drs. Sapiudin Shidiq. M.Ae NrP. 19670328200003 1 001 Penguji
I
Drs. Rusdi Jamil. MA NIP. 19621231 t99503 1 005 Penguji
II
?,/, -
Drs. Masan AF, M.Pd NrP. 19510716 198103 1 005
*ot
y
Mengetahui, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah lakarta
Dra. Nurlenafi.ifa'i. MA" Ph.D NrP. 19591020 198603 2 001
IV
/b"C
ABSTRAK Suci Nurpratiwi, NIM: 109011000240, Konsep Pendidikan Humanis dalam Perspektif Hadits Manusia di pandang sebagai makhluk Tuhan yang memiliki fitrah-fitrah tertentu yang harus dikembangkan secara optimal. Pendidikan yang memanusiakan adalah pendidikan yang mampu mengembangkan pribadi seseorang dengan semua aspeknya. Rasulullah saw telah mengingatkan kepada umat Islam dengan haditsnya bahwa pendidikan harus dilakukan dengan berdasar atas nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pendidikan yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, pendidik merupakan tokoh sentral terhadap berkembangnya kemampuan dan potensi anak didik. Penggunaan metode pembelajaran yang humanis dalam memberikan pengajaran termasuk salah satu hal yang perlu diperhatikan. Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi dengan jenis penelitian kualitatif. Penganalisaan data lebih difokuskan pada penelitian kepustakaan (library research), yakni dengan membaca, menelaah dan mengkaji buku-buku dan sumber tulisan yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas, yaitu berpedoman dari kitab hadits shahih Bukhari sebagai referensi primer dan buku-buku lain yang mendukung sebagai referensi sekunder. Pendekatan kualitatif penulis gunakan untuk menganalisis sudut pandang hadits terhadap konsep pendidikan yang humanis. Teknik analisis dalam penelitian ini adalah teknik content analysis. Adapun dalam pembahasannya penulis menggunakan metode deskriptif karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan bukan angka-angka. Hasil penelitian ini adalah mengenai konsep pendidikan yang humanis terhadap pendidik dan metode pembelajaran dalam sudut pandang hadits. Seorang pendidik yang humanis harus dapat mengetahui dan memahami kondisi psikologis siswa, menunjukkan kasih sayang dan kepeduliannya, juga tegas terhadap siswa tanpa harus marah. Sedangkan metode pembelajaran yang humanis merupakan cara guru memberikan kebebasan kepada siswa dalam berpikir dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Metode belajar humanis diantaranya yaitu metode simulasi, eksperimen, diskusi, gradual, pemberian reward, kontrak belajar, dan tanya jawab. Dalam metode pembelajaran yang humanis guru harus mengoptimalkan seluruh kemampuan siswa agar dapat berpikir kritis dan mengembangkan kemampuannya dalam keterampilan dan sikap. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pencerahan akan pentingnya humanisme dalam pendidikan, yaitu mengedepankan pendekatan humanis dalam pengembangan potensi peserta didik. Maka akan tercipta suasana belajar mengajar yang kondusif, penuh kasih sayang, membebaskan dan demokratis. Sehingga dapat terwujudnya tujuan pendidikan yaitu memanusiakan manusia.
v
ABSTRACT Suci Nurpratiwi, NIM: 109011000240, The Concept of Humanistic Education in Hadits Perspective Human seen as God creature who have fitrah which have to be developed optimally. Humanistic education is the education which is able to develop individual personality with those all aspects. Rasulullah saw has reminded Muslim by His hadits that education should be done according to the human values. In education which considers human values as priority, educator is central prominent towards the development of students’ ability and students’ potency. The use of humanistic learning method in teaching is one of important things which should be considered. The method used by the writer was documentation method which is qualitative design. The data analysis was focused on the library research, which was done by reading, investigating, and analyzing many books and written sources which is related to the problem in this research. It was oriented from Bukhari shahih holy books as a primer reference and the other books which support as secondary reference. The writer used a qualitative approach to analyze hadits perspective towards the concept of humanistic education. The technique of analysis in this research was content analysis. Besides, the writer used descriptive method in the discussion because the data which were collected was in the form of word, not the number. The result of this research is about the concept of humanistic education towards the teacher and the learning method in hadits perspective. A humanistic teacher should be able to know and to comprehend the students’ psychological condition, to show his/her caring to the students, and also should be firm to the students without showing the anger. While the humanistic learning method is teacher’s way to give the freedom to the students to think and to act based on the humanistic principles. The humanistic learning method can be simulation method, experiment method, discussion method, gradual method, giving reward method, learning contract method, and question and answer method. In this humanistic learning method, teacher should optimize all the students’ ability in order to encourage students to think critically and develop their ability and their attitude. Based on this research result, the writer hopes that this research can enlighten people about the importance of humanism in education, which takes humanism as a primer approach in developing the students’ potency. Therefore, it will create the conducive, affectionate, free and democratic teaching and learning situation. Thus, it will build the education goal which is humanized the human.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahiim, Alhamdulillahirabbil‘alamiin, segala puji kehadirat Allah swt yang awal dan yang akhir, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan segala macam petunjuk serta kemudahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tercurah limpah kepada junjungan alam Nabi besar Muhammad saw yang telah menjadi uswah hasanah dalam segala segi kehidupan, semoga kita mendapatkan syafaatnya di yaumul qiyamah, amiin. Dengan penuh rasa syukur skripsi yang berjudul “Konsep Pendidikan Humanis dalam Perspektif Hadits” ini akhirnya dapat terselesaikan. Skripsi yang memuat sudut pandang hadits dalam memandang konsep pendidikan yang ideal dan humanis ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, dorongan, dan doa dari banyak pihak. Maka seyogyanya penulis haturkan ucapan terima kasih yang mendalam kepada seluruh pihak yang telah membantu, mendukung, dan mendoakan penulis dalam perjalanan menempuh tugas akhir ini. Terkhusus penulis ucapkan terima kasih kepada: 1.
Ibu Nurlena, MA, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Bahrissalim, M.Ag dan Bapak Drs. Sapiuddin Shidiq, M.Ag., selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Dr. Jejen Musfah, MA, selaku Dosen Pembimbing skripsi, yang selalu meluangkan waktu dan tiada henti memberikan semangat, arahan, bimbingan dan dorongan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
4.
Dr. Mohammad Dahlan, M. Hum, Dosen Penasehat Akademik. Serta Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
vii
Hidayatullah yang telah mengarahkan, mendidik, membimbing, dan memberikan ilmu yang sangat bermanfaat untuk penulis. 5.
Orang tua tercinta (Ahmad Sanusi dan Siti Umayah), adik-adik (Rizqi Ilham & Ahmad Fauzan Aziz) beserta seluruh keluarga yang telah memberikan motivasi, dorongan, cinta kasih dan doa yang tulus tanpa batas.
6.
Kawan-kawan seperjuangan PAI kelas F 2009, yang selalu menyemangati penulis selama belajar di kampus ini. Arya, Paul, Manda, Anggie, Aas, Dije, Say, Wiwi, Dini, Ulva, Ihya, Yopi, Adnan, Mamet, Karen, Pardi, Malih, Anwar. Semoga sukses kawan, perjalanan kita masih panjang.
7.
Kawan-kawan seperjuangan HMI Komtar, Aan, Oman, Anggi, Afaf, Neneng, Nda, Didin, Fuad, Haffas, Abduh, Fathur, Linda, Nety, Anang, Anike, Izah, yang telah sepenuh hati mensupport dan mendoakan penulis.
8.
Kakanda, Ayunda, serta adinda-adinda HMI Komtar. Terkhusus Kanda Asep Eka Mulyanuddin, terima kasih untuk bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9.
Keluarga kost, Asti, Ka Ingga, Yuli, Ricka, Ichi, Lisfa, Lala, Atik dengan tanpa rasa bosan selalu ada untuk penulis dalam suka maupun duka.
10. Ahmad Ivan Farhan, untuk luangan waktu, bantuan, dan support kepada penulis dalam menulis skripsi ini. Semoga selalu diberi kemudahan dalam meraih masa depan. 11. Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberikan dukungan kepada penulis baik secara moril maupun materiil, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Akhirnya, penulis hanya dapat berdoa semoga amal kebaikan mereka diterima oleh Allah swt serta mendapat imbalan yang semestinya. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis khususnya. Amin ya robbal alamien.. Jakarta, 12 Desember 2013
Suci Nurpratiwi
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI..............................................................
i
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING.....................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................
iv
ABSTRAK .......................................................................................................
v
ABSTRACT .....................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................
ix
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................
1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................
9
C. Pembatasan Masalah..................................................................
9
D. Perumusan Masalah ...................................................................
9
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................
9
BAB II LANDASAN TEORI A. Pendidikan Humanis ..................................................................
10
1. Pengertian Humanis .............................................................
10
2. Teori Belajar Humanistik ....................................................
12
3. Sejarah Konsep Pendidikan Humanis..................................
13
4. Pengertian Pendidikan Humanis..........................................
15
5. Komponen Pendidikan Humanis .........................................
18
6. Pendidikan Humanis dalam Pandangan Beberapa Tokoh ...
29
B. Hadits .........................................................................................
33
1. Pengertian Hadits .................................................................
33
2. Kedudukan dan Fungsi Hadits .............................................
35
3. Biografi Imam Al-Bukhari ..................................................
38
4. Kitab Shahih Bukhari ..........................................................
40
C. Hasil Penelitian yang Relevan ....................................................
42
ix
BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu Penelitian........................................................................
44
B. Jenis Penelitian ..........................................................................
44
C. Sumber Data ..............................................................................
45
D. Metode Pengumpulan Data .......................................................
46
E. Teknik Analisis Data .................................................................
46
F. Pedoman Penulisan ....................................................................
48
BAB IV ANALISIS HADITS TENTANG PENDIDIK DAN METODE PENGAJARAN YANG HUMANIS A. Pendidik yang Humanis .............................................................
49
1. Mendidik Tidak Setiap Waktu Agar Murid Tidak Bosan....
49
2. Memberi Pengajaran Sesuai Tingkatan Psikologis Peserta
BAB V
Didik ....................................................................................
53
3. Tidak Menghukum Ketika Siswa Melakukan Kesalahan ....
56
4. Sikap yang Murni Apa Adanya ...........................................
59
B. Metode Pengajaran yang Humanis ............................................
62
1. Metode Simulasi ..................................................................
62
2. Metode Eksperimen .............................................................
66
3. Metode Tukar Informasi (Diskusi) ......................................
69
4. Metode Gradual dan Menyenangkan ...................................
72
5. Metode Pemberian Pujian (Reward)....................................
76
6. Metode Kontrak Belajar ......................................................
79
7. Metode Tanya Jawab ...........................................................
82
PENUTUP A. Kesimpulan ...............................................................................
85
B. Implikasi ....................................................................................
86
C. Saran .........................................................................................
86
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
92
x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu kunci yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Dalam konteks dan ruang lingkup kehidupan suatu bangsa, pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dan strategis untuk menjamin kelangsungan dan perkembangan kehidupan bangsa tersebut. Karena dari dan dengan pendidikan lah seluruh aspek kehidupan manusia dapat tercerahkan. Pendidikan harus dapat menyiapkan warga negara untuk menghadapi masa depannya. Yang kemudian tertanam beribu-ribu harapan kemajuan dan kesejahteraan hidup bagi setiap anak manusia. Dengan demikian tidak salah apabila banyak orang berpendapat bahwa cerah tidaknya masa depan suatu negara sangat ditentukan oleh pendidikannya saat ini. Pendidikan merupakan lokomotif yang penting dalam menggerakkan kehidupan manusia. Baik buruknya sumber daya manusia tergantung dari pendidikan yang diperolehnya. Maka proses pendidikan harus jelas dan terarah. Menurut H.A.R Tilaar, “proses pendidikan merupakan suatu proses yang bertujuan. Meskipun tujuannya bukan merupakan tujuan yang tertutup (eksklusif) tetapi tujuan yang secara terus-menerus harus terarah kepada pemerdekaan manusia.”1 Idealnya pendidikan mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berdaya guna dan mempunyai pengaruh di dalam masyarakatnya, juga dapat bertanggung jawab atas hidupnya sendiri dan orang lain, yang tentunya dilengkapi dengan watak yang luhur dan berkeahlian. Meminjam pernyataan Immanuel Kant,2 yang mengatakan bahwa “manusia hanya dapat menjadi manusia karena pendidikan”, dapatlah dipahami bahwa jika manusia itu tidak di didik, maka ia tidak akan dapat menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya. 1
H.A.R. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), h. 119. 2 Eko Susilo, Dasar-dasar Pendidikan, (Semarang: Effhar, 1990), hal. 19.
1
2
Pendidikan
adalah
usaha
sadar
mengembangkan
manusia
menuju
kedewasaan, baik kedewasaan intelektual, sosial, maupun kedewasaan moral. Oleh karena itu, maka proses pendidikan bukan hanya mengembangkan intelektual saja, akan tetapi mencakup seluruh potensi yang dimiliki anak didik. Dengan demikian, pendidikan pada dasarnya memberikan pengalaman belajar untuk dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki siswa, melalui proses interaksi baik antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan lingkungan.3 Pemaksimalan seluruh potensi tersebut harus pula ditunjang oleh kemampuan guru, sarana prasarana, dan kurikulum pendidikan yang memadai. Begitu bagusnya konsep-konsep dan undang-undang yang mengatur pendidikan, bagaimana pendidikan mencapai sasaran yang ideal. Namun pada prakteknya, hal tersebut seakan sia-sia dan menjadi konsep belaka. Menurut data yang dilansir situs Okezone.com News & Entertainment, “Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Kualitas pendidikan Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara di negara-negara berkembang di Asia Pacific dan berada pada level 14 dari 14 negara untuk kualitas pendidiknya.”4 Banyaknya problematika yang terjadi mengesankan seakan negara tidak serius dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Gagalnya pendidikan untuk menanamkan nilai humanisme terlihat dengan menempatkan Indonesia termasuk ke dalam negara yang korup, banyak sekolah-sekolah yang khusus bagi para pemodal, orang kaya dan miskin tidak mendapatkannya, sekolah seolah menjadi pemicu marjinalisasi terhadap mereka yang tidak bisa mengenyam pendidikan yang layak. Hal ini semakin menutup nilai humanis dalam pendidikan. Masih maraknya budaya tawuran dan kenakalan remaja, banyaknya sarana prasarana dan gedung sekolah yang tidak layak pakai menggambarkan kacaunya wajah pendidikan Indonesia.
3
Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 178. 4 Okezone.com News & Entertainment, Kualitas Guru Rendah, Penyakit Utama Pendidikan Indonesia, 2013, (http://kampus.okezone.com/read/2013/01/02/373/740458/kualitas-guru-rendahpenyakit-utama-pendidikan-indonesia).
3
Berdasarkan data Kemendiknas, secara nasional saat ini Indonesia memiliki 899.016 ruang kelas SD, namun sebanyak 293.098 (32,6%) dalam kondisi rusak. Sementara pada tingkat SMP, saat ini Indonesia memiliki 298.268 ruang kelas namun ruang kelas dalam kondisi rusak mencapai 125.320 (42%). Bila dilihat dari daerahnya, kelas rusak terbanyak di Jawa Barat sebanyak 23.415, disusul Jawa Tengah 22.062, Jawa Timur 17.972, Nusa Tenggara Timur 7.652, Banten 4.696, Sulawesi Selatan 3.819, Sulawesi Tenggara 2.776, Sulawesi Tengah 1.186, Lampung 911, Sulawesi Barat 898, dan Papua Barat 576.5 Ini menunjukkan tidak adanya perhatian pemerintah terhadap pendidikan. Sarana dan infrastruktur pendidikan masih di bawah standar kelayakan. Diperparah lagi dengan mahalnya biaya pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Hal ini menjadi masalah yang paling utama dalam pendidikan yang ada di Indonesia. Mahalnya pembiayaan pendidikan yang harus ditanggung oleh orang tua siswa menyebabkan banyaknya anak-anak yang putus sekolah di kalangan masyarakat Indonesia yang kurang mampu. Di samping sarana infrastruktur dan mahalnya biaya mengenyam pendidikan, pelaksanaan kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram dan tidak humanis. Muatan kurikulum dan mata pelajaran yang padat terhadap siswa membuat siswa tidak dapat merasakan belajar sesuai yang ia inginkan. Mereka seakan dipaksa untuk mengikuti mata pelajaran yang banyak tanpa dapat mengembangkan kreativitasnya yang lain. Pendidikan lebih mengedepankan perkembangan kognitif saja. Terbukti dengan adanya sistem Ujian Nasional (UN). Berhasil tidaknya pendidikan hanya diukur dengan standar yang hanya melihat satu aspek perkembangan saja, tidak memaksimalkan seluruh potensi peserta didik. Sistem seperti ini dapat mengkerdilkan peserta didik sebagai pribadi manusia dan sekolah sebagai lembaga pendidikan menjadi satu aspek saja yaitu kecerdasan yang diukur oleh Ujian Nasional. 5
Positivego, Masalah Pendidikan di Indonesia dan Solusinya, (http://positivego.blogspot. com/2012/11/masalah-pendidikan-di-indonesia.html).
2012,
4
Padahal sebagaimana diketahui, tujuan pendidikan yang telah dirumuskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 disebutkan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.6 Esensi dari Undang-undang tersebut sangat jelas, yaitu agar dapat terbinanya seluruh potensi peserta didik maka pendidikan harus mencakup keseluruhan aspek individu, yaitu aspek intelektual, keterampilan dan moral. Sehingga pendidikan dapat memanusiakan manusia secara utuh. Lemahnya kemampuan para guru dalam menggali potensi anak menjadi salah satu pemicu rendahnya kualitas pendidikan. Guru sebagaimana yang kita ketahui merupakan penentu utama berhasil tidaknya tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Ini berimplikasi terhadap rendahnya pencapaian siswa. Padahal pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Pada dasarnya, proses pembelajaran berkaitan erat dengan empat unsur, yaitu pendidik (guru), peserta didi k (murid), materi pelajaran dan sistem pengajaran. 7 Dalam mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan, pendidik dan peserta didik merupakan dua unsur yang saling memiliki ketergantungan. Peserta didik dalam pendidikan merupakan subyek sekaligus obyek. Proses pembelajaran harus mengedepankan kepentingan pese rta didik untuk keberlangsungan perkembangan potensi yang dimilikinya. Maka dengan begitu, pendidik adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap 6
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Depdiknas RI), cet. I, hal. 8. 7 Najib Khalid al-Amir, “Min Asalib al-Rasul saw Fi al-Tarbiyyah” dalam Abuddin Nata, dan Fauzan (eds), Pendidikan dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 247.
5
perkembangan anak didik. Pendidik berfungsi sebagai fasilitator dan penunjuk jalan ke arah penggalian potensi peserta didik tersebut. Dalam pendidikan yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, pendidik merupakan tokoh sentral terhadap berkembangnya kemampuan dan potensi anak didik. Pendidik bukan hanya sekedar mentransfer ilmu dan informasi belaka, namun lebih dari pada itu. Guru dikatakan sukses dalam mengajar apabila ia mampu menanam kedisiplinan terhadap siswa, namun siswa tetap bergembira dalam belajar. Apabila guru mengeluh terhadap siswa yang tidak berminat belajar, hal itu dapat terjadi dikarenakan siswa tidak berminat melakukan apa yang dikehendaki oleh guru. Kalau saja guru tersebut lalu mengadakan aktivitasaktivitas yang lain yang lebih menyenangkan bagi siswa, bisa saja mereka akan berubah sikap dan reaksinya. Selain itu, sebaik apapun tujuan pendidikan, jika tidak didukung oleh metode pembelajaran yang tepat, tujuan tersebut sangat sulit untuk dapat tercapai dengan baik. Sebuah metode akan mempengaruhi sampai tidaknya suatu informasi secara lengkap atau tidak. Bahkan sering disebutkan cara atau metode kadang lebih penting dari pada materi itu sendiri. Oleh sebab itu pemilihan metode pembelajaran harus dilakukan secara cermat, disesuaikan dengan berbagai faktor terkait, sehingga hasil pendidikan dapat memuaskan.8 Keadaan yang terjadi saat ini, banyak guru yang masih menggunakan metodemetode pembelajaran konvensional dan tidak bervariasi, penanaman pengetahuan yang tidak sampai pada konsep atau pengertian dan nilai, dan suasana kelas yang aktif-negatif, dimana siswa lebih aktif mencatat dan mendengarkan dari pada aktif berbicara. Penggunaan metode tersebut secara terus menerus akan menghilangkan kreativitas berpikir siswa dan menghilangkan hak dan kebebasan siswa untuk belajar sesuai yang diinginkannya. Oleh karena itu pendidikan haruslah benar-benar membantu peserta didik untuk
8
menumbuhkembangkan
aspek-aspek
dirinya.
Perlu
dikembangkan
Anwar Qomari, Pendidikan Sebagai Karakter Budaya Bangsa, (Jakarta: UHAMKA Press, 2003), h. 42.
6
pendidikan yang tidak hanya menekankan aspek ingatan, hafalan, memorizing (berbasis materi) saja, namun sampai pada aspek penalaran dan kemampuan menggunakan keterampilan secara baik serta sifat berpikir yang aktif-positif. Pendidikan yang humanis melihat peserta didik dalam konteksnya sebagai manusia yang memiliki keunikan masing-masing. Anak didik seharusnya di tempatkan sebagai sosok pribadi yang pada hakekatnya seorang manusia dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Di sinilah letak nilai dari sebuah pendidikan humanis, dengan menempatkan anak didik sebagai pribadi yang utuh. Utuh sebagai insan manusia yang butuh pendampingan dan pendidikan dalam sebuah dinamika hubungan antar manusia. Begitulah pendidikan humanis memandang pendidik dan peserta didik, lebih menekankan kepada nilai kemanusiaan. Namun menurut Sulaeman, pendidikan belum mampu mencapai titik idealnya yakni memanusiakan manusia, yang terjadi justru sebaliknya yakni menambah rendah derajat dan martabat manusia. Makna pendidikan yang belum terealisasikan ini menurutnya terkait dengan situasi sosiohistoris dan kondisi lingkungan yang melingkupinya. Seperti halnya penjajahan yang dilakukan Barat (kaum kolonialisme) terhadap bangsa Indonesia selama berabad-abad ternyata membawa dampak yang sangat serius terhadap pola pikir dunia pendidikan, sehingga amat berpengaruh juga terhadap proses pendidikan yang berlangsung. Salah satu dampak yang paling buruk dari kolonialisme yang telah melanda negara-negara jajahan khususnya negara Islam adalah dengan munculnya sebuah masyarakat kelas “elit” yang lebih tepat disebut sebagai “anakanak yang tertipu.” Produk dari sistem pendidikan (Barat) yang “mengagumkan” ini didesain untuk membentuk sebuah kelas yang tercerabut dari tradisi budaya dan moralnya.9 Sehingga para elit yang terbaratkan, yang tercerabut dari akar budayanya melihat Barat dengan rasa kagum yang teramat besar seakan-akan Barat adalah segala-galanya. Akibatnya, banyak para ahli diantaranya ahli-ahli
9
Sulaeman Ibrahim, Pendidikan Sebagai Imperialisme dalam Merombak Pola Pikir Intelektualisme Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 81.
7
pendidikan ataupun pendidik lebih berkiblat kepada budaya dan para tokoh pendidikan Barat. Padahal sebenarnya dalam Islam pun nilai-nilai kemanusiaan sangat dianjurkan, bahkan diharuskan. Hal ini tercermin dari banyaknya ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi yang sarat akan nilai-nilai tersebut. Keberadaan hadits Nabi sebagai penjelas dan penguat hukum-hukum dalam al-Qur’an sekaligus sebagai pedoman bagi kemaslahatan hidup manusia dalam semua aspeknya banyak memerintahkan mengenai hal-hal hablum minannaas, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan sosial bermasyarakat. Hal ini disebabkan, meskipun secara umum bagian terbesar dari syari’ah Islam telah terkandung dalam al-Qur’an, namun muatan hukum yang terkandung belum mengatur berbagai dimensi aktivitas kehidupan ummat secara terperinci dan analitis. Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam kedua setelah al-Quran. Fungsi hadits sebagai penjelas al-Quran menempatkan hadits pada posisi yang sangat sentral dalam Islam. Sebenarnya, antara al-Quran dan hadits tidak dapat dipisahkan. Munculnya hadits yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw pada hakikatnya merupakan suatu perwujudan dari wahyu al-Quran. Oleh karena itu, secara ontologis kedua sumber ini tidak bisa dipisahkan. Hadits Nabi yang jumlahnya ribuan bahkan ratusan ribu mengandung aneka nilai yang cukup kaya. Itu semua merupakan sumber inspirasi yang tidak akan pernah habis untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Banyak sekali perintah Nabi dalam haditsnya yang menganjurkan dalam memberikan pengajaran haruslah selalu memperhatikan nilai-nilai asasi manusia. Nabi Muhammad saw adalah seorang pendidik yang sangat profesional. Nilai-nilai pendidikan yang ada dalam diri Nabi Muhammad saw menunjukkan bahwa beliau telah berhasil menjadi guru yang profesional. Beliau mampu berkomunikasi dengan setiap orang sesuai dengan kadar kesanggupan orang tersebut.10 Dalam haditsnya beliau menyatakan:
10
Abuddin Nata dan Fauzan (eds), Pendidikan dalam Perspektif Hadits, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005), cet. I, h. 28.
8
Kami para Nabi diperintahkan untuk menempatkan manusia sesuai dengan kedudukan mereka dan berbicara terhadap mereka sesuai dengan tingkat pemikiran mereka. (H.R. Abu Dawud). Berdasarkan hadits tersebut dapatlah dipahami bahwa Rasulullah saw telah mengingatkan kepada umat Islam bahwa mendidik harus dilakukan dengan berdasar atas nilai-nilai kemanusiaan. Kesemua contoh yang telah ditunjukkan Nabi Muhammad saw dalam haditsnya merupakan acuan dan sumber yang dapat digunakan umat Islam dalam seluruh aktivitas kehidupan. Banyaknya pendidik yang tidak meneladani cara-cara mendidik sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah namun lebih kepada pemikiran pendidikan dari Barat, membuat penasaran penulis untuk mengungkap konsep pendidikan bukan hanya dari pemikiran para tokoh Barat saja, tetapi juga dari perspektif al-Quran dan hadits. Karena bagaimanapun, jauh-jauh hari sebelumnya kedua sumber ajaran Islam ini telah memberikan pelajaran kepada kita akan pentingnya nilainilai humanisme. Maka berangkat dari latar belakang tersebut, penulis tergerak untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan humanis seperti apa yang diajarkan Islam melalui ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi. Selain itu penulis juga ingin membuktikan bahwa kajian mengenai pendidikan humanis bukan hanya lebih banyak dibahas oleh para pemikir Barat saja. Terkait dengan penelitian ini, penulis hanya berusaha untuk meneliti pendidikan humanis seperti apa yang diajarkan Islam yang terdapat dalam hadits saja. Sehingga penulis mencoba meneliti bagaimanakah konsep pendidik dan metode pembelajaran yang humanis menurut sudut pandang hadits. Maka kemudian penulis tergerak untuk menyusun sebuah tulisan yang semoga dapat menjadi suatu bahan acuan bagi penulis maupun seluruh pelaku pendidikan pada umumnya dengan judul “Konsep Pendidikan Humanis dalam Perspektif Hadits”.
9
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasi masalah-masalah adalah sebagai berikut: 1. Lemahnya kemampuan para pendidik dalam menggali potensi siswa 2. Kurikulum
dan materi pelajaran
yang terlalu
padat
dan lebih
mengutamakan aspek kognitif, kurang memperhatikan aspek keterampilan dan afektif siswa 3. Penerapan metode pembelajaran yang masih konvensional dan tidak bervariasi 4. Mahalnya pembiayaan pendidikan yang harus di tanggung oleh orang tua siswa menyebabkan banyaknya anak putus sekolah 5. Belum memadainya kualitas infrastuktur pendidikan 6. Minimnya kajian tentang pendidikan humanis yang dilakukan oleh pendidik terhadap al-Quran maupun hadits. C. Pembatasan Masalah Agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dan tepat dalam pembahasannya, maka perlu adanya pembatasan masalah terkait masalahmasalah yang akan diteliti secara lebih mendalam. Dalam hal ini penulis hanya berusaha mengetahui konsep pendidik dan metode pembelajaran yang humanis dalam perspektif hadits. D. Perumusan Masalah Berdasar dari penjabaran pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah yang diteliti adalah: “Bagaimana konsep pendidik dan metode pembelajaran yang humanis dalam perspektif hadits?”. E. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui konsep pendidikan humanis sebagai pendidikan yang memanusiakan manusia dalam perspektif hadits 2. Untuk mengetahui hubungan pendidik dan peserta didik yang humanis dalam perspektif hadits
10
3. Untuk mengetahui metode pembelajaran yang humanis dalam perspektif hadits Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi: 1.
Penulis, hasil penelitian ini merupakan modal awal dalam mengetahui konsep pendidik dan peserta didik yang humanis dalam perspektif hadits dan menjadi acuan penulis dalam melaksanakan pendidikan yang ideal.
2.
Jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk dijadikan salah satu bahan pertimbangan dan rujukan dalam mengetahui perspektif hadits terhadap suatu konsep pendidikan yang humanis.
3.
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk dijadikan salah satu acuan dalam pembenahan konsep pendidikan yang semestinya.
4.
Dunia pendidikan secara umum dalam menambah khazanah ilmu kependidikan khususnya tentang pendidikan humanis dalam perspektif hadits.
BAB II LANDASAN TEORI A. Pendidikan Humanis 1. Pengertian Humanis Istilah “humanisme” adalah temuan dari abad ke-19. Dalam bahasa Jerman Humanismus pertama kali diciptakan pada tahun 1808, untuk merujuk pada suatu bentuk pendidikan yang memberikan tempat utama bagi karyakarya klasik Yunani dan Latin. Dalam bahasa Inggris “humanism” mulai muncul agak kemudian. Pemunculan yang pertama dicatat berasal dari tulisan Samuel Coleridge Taylor, di mana kata humanism dipergunakan untuk menunjukkan suatu posisi Kristologis, yaitu kepercayaan bahwa Yesus Kristus adalah murni manusia. Kata tersebut pertama kali dipakai dalam konteks kebudayaan pada tahun 1832.1 Dilihat dari segi kebahasaan, humanisme berasal dari kata Latin humanus dan mempunyai akar kata homo yang berarti manusia. Humanus berarti sifat manusiawi atau sesuai dengan kodrat manusia.2 Semula humanisme merupakan sebuah gerakan yang memposisikan harkat, martabat, dan nilainilai kemanusiaan. Sebagai aliran pemikiran kritis yang berasal dari gerakan yang menjunjung tinggi manusia, humanisme menekankan harkat, peranan dan tanggung jawab manusia. Humanisme sendiri, selalu diatributkan kepada sebuah corak pandangan filsafat yang menempatkan manusia dalam kedudukan tempat yang khusus serta menjadikannya ukuran segala sesuatu. Dari sisi sejarah, awalnya humanisme merupakan aliran sastra, budaya, pemikiran, dan pendidikan, kemudian mengalami perkembangan dan mulai menampakkan nuansa politiknya. Dengan kata lain, disadari atau tidak, humanisme telah menjalar ke semua aspek kemasyarakatan tersebut, seperti komunisme, utilitarianisme, spiritualisme, individualisme, eksistensialisme, liberalisme, hingga protestanismenya Martin Luther King (Kristen Protestan).3 1
Alister E. Mcgrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, diterjemahkan oleh Liem Sien Kie, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), h. 53. 2 A. Mangunhadjana, Isme-isme dari A sampai Z, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 93. 3 Mahmud Rajabi, Horison Manusia, (Jakarta: al-Huda, 2006), h. 31.
10
11
Wiel Veugelers menyatakan, “Humanism is an open worldview that stresses personal autonomy and humanity.” Tantangan bagi pemikiran yang humanis dan prakteknya adalah dalam hubungan antara otonomi dan humaniti. Otonomi bukanlah sesuatu yang membatasi seseorang, tetapi merupakan jalan atau cara seseorang agar dapat berhubungan dengan orang lain. Humaniti adalah keadaan dimana setiap seseorang mempunyai kebebasan untuk mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya. Lebih lanjut ia mengungkapkan, ”Humanity is the condition that gives people the possibility of developing human capabilitites: of being a reflective and dialogical person, of getting the sources to live a good life, of living together ruled by moral values, of helping others to live a good life too.”4 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah humanis berasal dari kata human dengan segala bentuk derivasinya, yang kesemuanya memiliki arti yang berbeda antara satu dengan yang lain. Kata “human” memiliki arti: (1). bersifat manusiawi, (2). berperikemanusiaan (baik budi, luhur budi, dan sebagainya). Kata “humanis” memiliki arti: (1). orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan asas perikemanusiaan; pengabdi kepentingan sesama umat manusia, dan (2). penganut paham yang menganggap manusia sebagai objek terpenting. Kata “humanisme” (humanism: Inggris) memiliki arti: (1). aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik, (2). paham yang menganggap manusia sebagai objek studi terpenting, dan (3). aliran zaman Renaissance yang menjadikan sastra klasik sebagai dasar seluruh peradaban manusia. (4). kemanusiaan. Kata “humanistik” memiliki arti: pertumbuhan rasa kemanusiaan atau bersifat kemanusiaan. Adapun kata “humanisasi”, yang merupakan kata jadian, memiliki arti: pertumbuhan rasa perikemanusiaan; pemanusiaan.5 Dengan demikian humanis berarti segala sesuatu yang menyangkut hubungan kemanusiaan, hak-hak yang manusiawi, dan sebagainya. Rasa kemanusiaan yang tinggi merupakan nilai penting yang terkandung dalam prinsip-prinsip dasar humanis.
4
Wiel Veugelers (ed), Education and Humanism, (Netherland: Sense Publishers, 2011), h. 1. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 512. 5
12
2. Teori Belajar Humanistik Teori-teori belajar sejauh ini telah menekankan peranan lingkungan dan faktor-faktor kognitif dalam proses belajar mengajar. Dalam proses pembelajaran, para ahli membagi beberapa teori dalam memahaminya, karena dengan teori-teori tersebut para ahli dapat mengklasifikasi aktivitas pembelajaran, diantara teori belajar yang dikenal adalah teori belajar humanistik. Teori humanistik secara jelas menunjukkan bahwa belajar dipengaruhi oleh bagaimana siswa-siswa berpikir dan bertindak, dan dipengaruhi dan diarahkan oleh arti pribadi dan perasaan-perasaan yang mereka ambil dari pengalaman belajar mereka. Menurut teori humanistik, belajar merupakan proses yang dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia. Dimana memanusiakan manusia berarti mempunyai tujuan untuk mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal. Sehingga dapat dikatakan belajar berhubungan erat dengan kematangan otak dan mental anak didik.6 Oleh karena itu, pendekatan ini lebih menekankan pada bagaimana seorang anak dapat melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan positif inilah yang disebut sebagai potensi manusia, dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan yang positif. Kemampuan positif tersebut erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif. Menurut Sri Esti dalam bukunya, Psikologi Pendidikan: Ahli-ahli teori humanistik menunjukkan bahwa tingkah laku individu pada mulanya ditentukan oleh bagaimana mereka merasakan dirinya sendiri dan dunia sekitarnya. Di samping itu, individu bukanlah satusatunya hasil dari lingkungan mereka seperti yang dikatakan oleh teori ahli tingkah laku, melainkan langsung dari dalam (internal), bebas memilih, dimotivasi oleh keinginan untuk aktualisasi diri (self actualization) atau memenuhi potensi keunikan mereka sebagai manusia.7 6
Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), cet. IV, h. 15. Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006), h. 181. 7
13
Dikatakan oleh Moh. Amin, “pendidikan modern harus mengandung humanistic aspect of learning. Oleh karena itu sudah saatnya bahwa humanistic teaching and learning harus dikembangkan di lembaga pendidikan di Indonesia.”8 Dengan demikian, jelaslah bahwa teori pendidikan humanistik berorientasi pada perkembangan seluruh potensi manusia secara utuh agar dapat tercapainya aktualisasi diri dengan sebenar-benarnya. 3. Sejarah Konsep Pendidikan Humanis Pendidikan humanis memiliki dasar filosofis yang berbeda. Teori filsafat pragmatisme, progresivisme, dan eksistensialisme merupakan peletak dasar munculnya teori pendidikan humanistik pada tahun 1970. Ketiga teori filsafat ini memiliki karakteristik masing-masing dalam menyoroti pendidikan. Ide
utama
pragmatisme
dalam
pendidikan
adalah
memelihara
keberlangsungan pengetahuan dengan aktifitas yang dengan sengaja mengubah lingkungan. Pragmatisme memandang pendidikan (sekolah) seharusnya merupakan kehidupan dan lingkungan belajar yang demokratis yang menjadikan semua orang berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan sesuai realitas masyarakat. Pengaruh pemikiran ini sangat dirasakan dan bahkan menjadi faktor utama munculnya teori/pemikiran humanisme dan progresivisme. Inti pragmatisme dalam pendidikan adalah sebagai berikut: a. Peserta didik (siswa) adalah subyek yang memiliki pengalaman b. Guru bukan orang yang tahu kebutuhan siswa untuk masa depannya c. Materi/kurikulum harus sesuai kebutuhan siswa yang menekankan proses dari pada materi d. Metode pembelajaran harus memberikan kebebasan kepada siswa untuk mencari pengalaman belajar yang berguna e. Kebijakan pendidikan mengikuti arus perubahan sosial Adapun ide progresivismenya yang sangat dipengaruhi oleh pragmatisme itu sangat menekankan adanya kebebasan aktualisasi diri bagi peserta didik 8
Moh. Amin, dkk., Humanistic Education, (Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Pendidikan Tinggi, 1979), h. 8.
14
supaya kreatif. Paham ini menekankan terpenuhinya kebutuhan dan kepentingan anak. Anak harus aktif membangun pengalaman kehidupan. Belajar tidak hanya dari buku dan guru, tetapi juga dari pengalaman kehidupan. Dasar orientasi teori progresivisme adalah perhatiannya terhadap anak sebagai peserta didik dalam pendidikan. Sebagai sebuah teori pendidikan, progresivisme menekankan kebebasan aktualisasi diri supaya kreatif sehingga menuntut lingkungan belajar yang demokratis dalam menentukan kebijakannya. Kalangan progresivis berjuang untuk mewujudkan pendidikan yang lebih bermakna bagi kelompok sosial. Progresivisme pendidikan ini menjadi teori dominan dalam pendidikan Amerika dari dekade 1920-an hingga 1950-an. Di antara alasan hilangnya eksistensi teori ini adalah karena ide atau gagasan dan program pendidikan progresif telah diadopsi oleh teori lain yang mengembangkannya. Ide progresivisme tersebut selanjutnya diperbarui dalam pendidikan humanistik. Pengaruh eksistensialisme
terakhir yang
munculnya pilar
pendidikan
utamanya
adalah
humanistik
adalah
individualisme.
Teori
eksistensialisme lebih menekankan keunikan anak secara individual dari pada progresivisme yang cenderung memahami anak dalam unit sosial. Anak sebagai individu yang unik. Pandangan tentang keunikan individu ini mengantarkan kalangan humanis untuk menekankan pendidikan sebagai upaya pencarian makna personal dalam eksistensi manusia. Pendidikan berfungsi untuk membantu kedirian individu supaya menjadi manusia bebas dan bertanggung jawab dalam memilih. Kebebasan manusia merupakan tekanan para eksistensialis. Dengan kebebasan tersebut peserta didik akan dapat mengaktualisasikan potensinya secara maksimal. Kaum eksistensialis memandang sistem pendidikan yang ada itu dinilai membahayakan karena tidak mengembangkan individualitas dan kreatifitas anak. Sistem pendidikan tersebut hanya mengantarkan mereka bersikap konsumeristik, menjadi penggerak mesin produksi, dan birokrat modern. Kondisi ini mematikan sifat-sifat kemanusiaan. Bagi kaum eksistensialis, perhatian utama pendidikan adalah membantu kedirian peserta didik untuk
15
sampai pada realisasi yang lebih utuh sebagai individu yang memiliki kebebasan, bertanggung jawab, dan memiliki hak memilih. Aliran ini memberikan semangat dan sikap yang bisa diterapkan dalam kegiatan pendidikan. Pemikiran pendidikan ini mengantarkan pandangan bahwa anak adalah individu yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga muncul keinginan belajar. Apabila lingkungan baik (kondusif untuk belajar), maka anak akan terdorong untuk belajar sendiri. Karena itu, pendidikan harus menciptakan iklim atau kondisi yang kondusif untuk belajar. Ketidakmauan anak untuk belajar disebabkan oleh kesalahan lingkungan yang kurang mendukung untuk berperan aktif. Konsep ini menjadi penopang terbentuknya pemikiran pendidikan
humanistik.
Hal
ini
sesuai
dengan
pandangan
bahwa
eksistensialisme adalah suatu humanisme.9 Pemikiran filosofis dari eksistensialisme dan pragmatisme yang didukung dengan pengembangan dan pembaruan pemikiran teori progresivisme menghasilkan pemikiran baru berupa pendidikan humanistik. Ide kedua filsafat dan teori pendidikan tersebut berpusat pada nilai-nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan dalam pragmatisme terletak pada otoritas masyarakat, sedangkan dalam eksistensialisme berada dalam peran individu. Karena itu filsafat pragmatisme dan eksistensialisme merupakan sumber inspirasi munculnya pendidikan humanistik.
4. Pengertian Pendidikan Humanis Dalam perspektif definitif, pendidikan tidak pernah disepakati para pakar dalam formulasinya, sebab warna dari pemikiran sudah barang tentu dipengaruhi oleh pandangan hidup dan nilai-nilai budaya yang dianut para pakar tersebut. Namun dengan segala perbedaan pandangan yang mereka kemukakan, dalam satu hal mereka sama-sama setuju bahwa pendidikan 9
Zainal Arifin Tandjung, Sejarah Singkat Filsafat Modern: dari Descartes sampai Wittgenstein, (Jakarta: Pantja Simpati, 1984), h. 321.
16
bertujuan untuk memberi bekal moral, intelektual dan keterampilan kepada anak manusia agar mereka siap menghadapi masa depannya dengan penuh percaya diri.10 Dalam hal ini Zamroni menjelaskan bahwa: Pendidikan dalam arti luas merupakan proses yang berkaitan dengan upaya mengembangkan diri seseorang pada tiga aspek kehidupan, yakni pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup. Pendidikan berperan menyiapkan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Pendidikan membimbing dan membentuk diri manusia menuju masa depan yang gemilang.11 Pendidikan sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahmad Tafsir berarti “pengembangan pribadi dengan semua aspeknya, dengan penjelasan bahwa pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri maupun oleh lingkungan, dan pendidikan oleh guru dan orang lain. Adapun yang dimaksud semua aspek tersebut yaitu mencakup jasmani, akal dan hati.”12 Dalam istilah atau nama pendidikan humanistik, kata humanistik pada hakikatnya adalah kata sifat yang merupakan sebuah pendekatan dalam pendidikan. Pendidikan humanistik sebagai sebuah teori pendidikan dimaksudkan sebagai pendidikan yang menjadikan humanisme sebagai pendekatan.13 Pendekatan humanisme yaitu pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Dalam paradigma humanis, manusia di pandang sebagai makhluk Tuhan yang memiliki fitrah-fitrah tertentu yang harus dikembangkan secara optimal. Dan fitrah manusia ini hanya
bisa
dikembangkan
melalui
pendidikan
yang
benar-benar
memanusiakan manusia (pendidikan humanis). 10
Ali Muhdi, Ideologi dan Paradigma Pendidikan Nasional dalam Buku Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Pustaka Fahioma, 2007), h. 18. 11 Zamroni, Pendidikan untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society, (Yogyakarta: Bigraf, 2001), h. 24. 12 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2005), h. 26. 13 Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 95.
17
Konsep
utama
dari
pemikiran
pendidikan
humanistik
menurut
Mangunwijaya adalah “menghormati harkat dan martabat manusia. Hal mendasar dalam pendidikan humanistik adalah keinginan untuk mewujudkan lingkungan belajar yang menjadikan peserta didik terbebas dari kompetisi yang hebat, kedisiplinan yang tinggi, dan takut gagal.”14 Pendidikan humanis memandang bahwa peserta didik adalah manusia yang mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda-beda. Karena itu dalam pandangan ini peserta didik ditempatkan sebagai subyek sekaligus obyek pembelajaran, sementara guru diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog peserta didik. Pendekatan pembelajaran humanis memandang manusia sebagai subyek yang bebas merdeka untuk menentukan arah hidupnya. Bagi Muchlis R. Luddin, terdapat beberapa prinsip dasar yang penting diperhatikan di dalam penyelenggaraan pendidikan bagi seorang individu manusia. Salah satu dari prinsip dasar tersebut adalah bahwa setiap individu dilahirkan dan „ditakdirkan‟ mempunyai „atribut permanen‟. Setiap orang memiliki kekhasannya masing-masing secara individual. Dalam dunia pendidikan, bentuk khas dari „atribut permanen‟ individu itu bisa tampil dalam intelegensi seorang individu, dalam sikap individu dan dalam „prestasi setiap individu‟. Prinsip dasar semacam ini memberi pemahaman bahwa dasar pembelajaran anak atau individu tidak lagi dapat dilaksanakan dengan pola yang seragam. Apalagi jika dalam penyelenggaraan pendidikan yang menggunakan asumsi „pukul rata‟.15 Pendidikan humanis bukan berarti mengesampingkan perkembangan kognitif
atau
intelektual.
Pendidikan
humanis
memandang
bahwa
perkembangan kognitif atau intelektual sama pentingnya dengan afektif siswa yang harus dikembangkan yang merupakan aspek terpenting dalam pendidikan.16
14
160.
15
Y.B. Mangunwijaya, Mencari Visi Dasar Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h.
Muchlis R. Luddin, Negara, Pendidikan Humanis dan Globalisasi, (Jakarta: PT. Karya Mandiri Pers, 2008), h. 48. 16 Carl Rogers, Summary, Carl Rogers and Humanistic Education, 1977, h. 42.
18
Jelaslah bahwa pendidikan humanis berorientasi pada pengembangan manusia, menekankan nilai-nilai manusiawi, dan nilai-nilai kultural dalam pendidikan. Sasaran pokok pendidikan humanis adalah membentuk anggota keluarga, masyarakat, dan warga negara baik, yang memiliki jiwa demokratis, bertanggung jawab, memiliki harga diri, kreatif, rasional, objektif, tidak berprasangka, mawas diri terhadap perubahan dan pembaharuan serta mampu memanfaatkan waktu senggang secara efektif. 5. Komponen Pendidikan Humanis a. Guru Kata pendidik (guru) secara fungsional menunjukkan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan, keterampilan, pendidikan, pengalaman, dan sebagainya. Istilah pendidik sering diwakili oleh istilah guru yang berarti orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing.17 Menurut H.C Witherington “tugas utama seorang guru bukanlah menerangkan hal-hal yang terdapat dalam buku-buku, tetapi mendorong, memberikan inspirasi, memberikan motif-motif dan membimbing muridmurid dalam usaha mereka mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.”18 Laura Zucca menyebutkan, “Teachers become key participants in the learning process”.19 Sehingga jelaslah dipahami bahwa tugas para pendidik tidaklah mudah, bahkan sangat kompleks. Guru bukan hanya sekedar mentransfer ilmu dan informasi belaka, namun lebih dari pada itu. Guru dikatakan sukses dalam mengajar apabila ia mampu menanam kedisiplinan terhadap anak namun anak tetap bergembira dalam belajar.
17 Abuddin Nata dan Fauzan (eds), Pendidikan dalam Perspektif Hadits, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005), cet. I, h. 207. 18 H.C. Witherington, Psikologi Pendidikan, Terj. dari Educational Psychology oleh M. Buchori, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), h. 77. 19 Laura Zucca-Scott, Know Thyself: The Importance of Humanism in Education, International Education, 2010, h. 34.
19
Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa, guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Dari
perspektif
humanistik,
pendidik
seharusnya
memperhatikan pendidikan lebih responsif terhadap kebutuhan kasih sayang (affective) siswa. Kebutuhan afektif adalah kebutuhan yang berhubungan dengan emosi, perasaan, nilai, sikap, predisposisi, dan moral.20 Menurut Hamacheek dalam buku Psikologi Belajar karya Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, “guru-guru yang efektif tampaknya adalah guru-guru yang manusiawi. Mereka mempunyai rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis daripada autokratik, dan mereka mampu berhubungan dengan mudah dan wajar dengan para siswa, baik secara perorangan ataupun secara kelompok.”21 Guru-guru yang percaya bahwa setiap siswa itu mempunyai kemampuan untuk belajar akan mempunyai perilaku yang lebih positif terhadap siswa-siswa mereka. Menurut Combs dan kawan-kawan, ciri-ciri guru yang baik ialah sebagai berikut: 1) Guru yang mempunyai anggapan bahwa orang lain itu mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah mereka sendiri dengan baik. 2) Guru yang melihat bahwa orang lain mempunyai sifat ramah dan bersahabat dan bersifat ingin berkembang. 3) Guru yang cenderung melihat orang lain sebagai orang yang sepatutnya dihargai. 4) Guru yang melihat orang-orang dan perilaku mereka pada dasarnya berkembang dari dalam; jadi bukan merupakan produk yang dari peristiwa-peristiwa eksternal yang dibentuk dan yang digerakkan. Dia melihat orang-orang mempunyai kreativitas dan dinamika; jadi bukan orang yang pasif atau lamban. 5) Guru yang menganggap orang lain itu pada dasarnya dipercaya dan dapat diandalkan dalam pengertian dia akan berperilaku menurut aturan-aturan yang ada. 20 21
Sri Esti Wuryani Djiwandono, loc.cit, h. 181. Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), h. 237.
20
6) Guru yang melihat orang lain itu dapat memenuhi dan meningkatkan dirinya, bukan menghalangi, apalagi mengancam.22 Guru yang humanis bukanlah guru yang pemarah atau keras, guru yang pemarah akan menyebabkan anak didik takut. Ketakutan itu dapat bertumbuh atau berkembang menjadi benci. Karena takut itu menimbulkan derita atau ketegangan dalam hati anak. Jika ia sering menderita oleh seorang guru, maka guru tersebut akan dijauhinya agar dapat menghindari derita yang mungkin terjadi. Apabila anak didik benci kepada guru, maka ia tidak akan berhasil mendapat bimbingan dan pendidikan dari guru tersebut, selanjutnya ia akan menjadi bodoh walaupun kecerdasannya tinggi.23 Peranan guru dalam pendidikan humanis adalah secara terus menerus melakukan segala sesuatu untuk membantu siswa membangun self concept mereka. Ini berarti bahwa guru melibatkan siswa di dalam proses belajar sehingga mereka memiliki pengalaman-pengalaman sukses, merasa diterima, disukai, dihormati, dikagumi, dan sebagainya. Ini berarti bahwa guru harus memperlakukan setiap orang sebagai individu dengan kebutuhan-kebutuhannya yang tertentu pula.24 Guru tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada siswa. Guru-guru harus sebagai narasumber, tetapi tidak bersikap otoriter yang memaksakan jawaban yang benar. Anak-anak harus bebas untuk membentuk pengertian mereka sendiri. Sehingga menurut Zakiah Daradjat, “guru yang sukses adalah guru yang memilih bagi anak didiknya pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan tubuh dan mentalnya. Dalam proses mengajar, guru harus memperhatikan keadaan murid, tingkat pertumbuhan dan perbedaan perorangan yang terdapat di antara mereka.”25 Maka hal ini berimplikasi bahwa guru harus dapat memahami dan mengetahui perkembangan psikologis anak. 22
Ibid., h. 238. Zakiah Daradjat, op.cit, h. 11. 24 Moh. Amin, dkk., op.cit, h. 9. 25 Zakiah Daradjat, loc.cit, h. 15. 23
21
b. Siswa Dalam bahasa Indonesia, makna siswa, murid, pelajar, dan peserta didik merupakan sinonim. Semuanya bermakna anak yang sedang berguru (belajar, bersekolah), anak yang sedang memperoleh pendidikan dasar dari suatu lembaga pendidikan. Dapat dikatakan juga bahwa anak didik merupakan semua orang yang belajar, baik pada lembaga pendidikan secara formal maupun lembaga pendidikan non formal.26 Peserta didik ditempatkan sebagai pusat (central) dalam aktifitas belajar. Peserta didik menjadi pelaku dalam memaknai pengalaman belajarnya sendiri. Dengan demikian, mereka diharapkan mampu menemukan potensinya dan mengembangkan potensi tersebut secara maksimal. Peserta didik bebas berekspresi cara-cara belajarnya sendiri. Mereka menjadi aktif dan tidak sekedar menerima informasi yang disampaikan oleh guru. Tujuan pengajaran harus mempunyai arti penting bagi siswa. Tidak cukup jelasnya tujuan hanya dalam otak siswa, atau siswa mengetahui keberhasilannya dalam mencapai tujuan tersebut, akan tetapi hendaknya tujuan itu dirasakannya penting. Hal itu tidak akan tercapai, kecuali jika tujuan tersebut dihubungkan dengan kehidupan, lingkungan, dan keperluan siswa. Semakin dekat tujuan itu kepada keperluan dan kehidupannya, akan semakin besar dorongan siswa untuk mencapainya. Agar tujuan tersebut penting bagi siswa, hendaknya mereka yang menentukannya sendiri dengan memikirkannya.27 Di samping itu, siswa juga harus mempunyai substantial hand dalam mengarahkan diri mereka, memilih apa yang akan dipelajari, sampai tahap mana ia akan belajar, kapan dan bagaimana ia akan belajar. Hal tersebut dimaksudkan agar siswa memiliki self directed, self-motivated, dan bukan sebagai penerima informasi pasif. c. Metode Pembelajaran Dari segi bahasa, metode berasal dari dua kata, yaitu kata “metha” yang berarti melalui dan kata “hodos” yang berarti jalan, dengan demikian 26 27
Abuddin Nata dan Fauzan (eds), op.cit, h. 248-249. Zakiah Daradjat, op.cit, h. 18.
22
metode berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Jalan mencapai tujuan ini bermakna ditempatkan pada posisi sebagai cara untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan ilmu atau tersistematisasikannya. Dengan pengertian tersebut berarti metode lebih memperlihatkan sebagai alat untuk mengolah dan mengemban suatu gagasan.28 Zakiah Daradjat menjelaskan, ”metode mengajar adalah sistem penggunaan teknik-teknik di dalam interaksi dan komunikasi antara guru dan murid dalam pelaksanaan program belajar-mengajar sebagai proses pendidikan.”29
Metode
menggambarkan
pembelajaran
prosedur
bersifat
bagaimana
prosedural,
mencapai
artinya
tujuan-tujuan
pembelajaran. Oleh karena itu, tepat bila dikatakan bahwa setiap metode pembelajaran mencakup kegiatan-kegiatan sebagai bagian atau komponen dari metode itu. Adapun prinsip-prinsip dalam memilih metode mengajar menurut Engkoswara yaitu: 1) Asas maju berkelanjutan (continuous progress) yang artinya memberi kemungkinan kepada murid untuk mempelajari sesuatu sesuai dengan kemampuannya. 2) Penekanan pada belajar sendiri, artinya anak-anak diberi kesempatan untuk mempelajari dan mencari sendiri bahan pelajaran lebih banyak lagi dari pada yang diberikan oleh guru. 3) Bekerja secara tim, dimana anak-anak dapat mengerjakan sesuatu pekerjaan yang memungkinkan anak bekerja sama. 4) Multidisipliner, yaitu memungkinkan anak-anak untuk mempelajari sesuatu meninjau dari berbagai sudut. 5) Fleksibel, yaitu dapat dilakukan menurut keperluan dan keadaan.30 Pendekatan humanisme menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. Untuk itu, metode pembelajaran humanistik mengarah pada upaya untuk mengasah nilai-nilai kemanusiaan siswa. Sehingga para pendidik 28
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. I, h.
29
Zakiah Daradjat, op.cit, h. 41. Engkoswara, Dasar-dasar Metodologi Pengajaran, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), h. 46.
91. 30
23
diharapkan dalam pembelajaran lebih menekankan nilai-nilai kerjasama, saling membantu, dan menguntungkan, kejujuran dan kreativitas untuk diaplikasikan dalam proses pembelajaran sehingga menghasilkan suatu proses pembelajaran yang diharapkan sesuai dengan tujuan dan hasil belajar yang dicapai siswa. Kesesuaian
antara
materi
pelajaran
dan
metode
pengajaran
merupakan faktor penting dalam keterbukaan dan kesediaan anak untuk belajar. Penggunaan kata-kata sukar dan samar dalam mengajar anak didik membaca dan menulis, atau menggunakan metode yang gersang dalam mengajar, akan memalingkan anak dari
materi pelajaran, serta
menimbulkan kebosanan dalam diri mereka.31 Menyusun materi pengajaran, kegiatan belajar, atau situasi belajar, jangan memandang kepada guru dari seginya sendiri, akan tetapi harus dipandang kepadanya dari segi murid yang ditujukan kepadanya proses belajar. Dengan demikian pengajaran akan mempunyai bekas yang kekal dalam diri anak didik. Agar dapat para guru mencapai hal tersebut, perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut ini: 1) Tujuan harus jelas dalam pikiran anak didik 2) Materi pengajaran harus mempunyai arti bagi anak didik 3) Menyusun materi pengajaran, dan berbagai kegiatan pengajaran dalam bentuk satuan pelajaran dan sekitar masalah-masalah yang sesuai dengan anak-anak didik. 4) Pembagian kegiatan dan materi pengajaran secara baik 5) Pengikutsertaan anak didik dalam membuat langkah-langkah dan merangsang sebanyak mungkin kegiatan mereka.32 Dalam pada itu, metode-metode pembelajaran yang humanis antara lain adalah sebagai berikut:
31 32
Zakiah Daradjat, loc.cit, h. 18. Ibid, h. 28.
24
1) Guru menyediakan/memberikan sumber Salah satu strategi mengajar yang disarankan Rogers adalah memberi siswa dengan berbagai macam sumber yang dapat mendukung dan membimbing pengalaman belajar mereka. Sumbersumber tersebut dapat meliputi materi pengajaran yang biasa, seperti buku, bimbingan referensi, dan alat-alat bantuan listrik (misalnya kalkulator, komputer). Sumber dapat juga meliputi orang, seperti anggota masyarakat yang mempunyai satu bidang minat atau ahli yang bersedia mengungkapkan pengalaman-pengalamannya kepada siswa. Guru-guru dapat juga sebagai sumber dengan pengetahuan dan pengalaman keterampilan yang tersedia untuk siswa jika diperlukan.33 2) Simulasi Simulasi berasal dari kata “simulate” yang memiliki arti pura-pura atau berbuat seolah-olah. Dan juga “simulation” yang berarti tiruan atau perbuatan yang hanya berpura-pura saja. Simulasi sebagai jenis pengalaman belajar merupakan miniatur atau model yang mewakili situasi nyata. Penekanan dalam metode simulasi adalah pada kemampuan siswa untuk berimitasi sesuai dengan objek yang diperankan. Pada titik finalnya diharapkan siswa mampu untuk mendapatkan kecakapan bersikap dan bertindak sesuai dengan situasi sebenarnya. Dalam simulasi apa yang didemonstrasikan harus memiliki pesan moral yang sesuai dengan tingkatan cara berfikir siswa, sehingga pemahaman mereka terhadap kejadian yang diperagakan tidak terhalang oleh apresiasi dan imajinasi mereka. Penekanan dalam simulasi
(pendemonstrasian)
pelakunya.
34
harus
disesuaikan
dengan
para
Pembinaan kemampuan bekerja sama, komunikasi, dan interaksi merupakan bagian dari keterampilan yang akan dihasilkan melalui pembelajaran simulasi. Metode ini menuntut lebih banyak aktivitas 33
Carl Rogers, op. cit, h. 27. Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 183. 34
25
siswa. Siswa terlibat dan merasa bahwa mereka belajar tentang situasi kehidupan nyata. Tanggung jawab untuk pelaksanaan simulasi di tangan para siswa setelah guru memperkenalkan itu. Metode ini dapat digunakan
dalam
pembelajaran
berbasis
kontekstual,
bahan
pembelajaran dapat diangkat dari kehidupan sosial, nilai-nilai sosial, maupun masalah-masalah sosial. 3) Menggunakan kontrak belajar Learning
contracts
(kontrak
belajar)
merupakan
metode
pembelajaran individual untuk mengembangkan tanggung jawab siswa. Kontrak belajar ialah metode yang menjadikan aturan sebagai suatu kontrak dalam belajar yang diciptakan sendiri atas dasar kesepakatan. Tentunya antara pihak pendidik dan pihak yang dididik. Siswa dilibatkan langsung ketika proses pembuatan kontrak belajar. Metode ini memungkinkan percepatan individu sehingga siswa dapat belajar pada tingkat di mana mereka bisa menguasai suatu materi. Kontrak belajar dapat didesain sedemikian rupa sehingga siswa dapat belajar dengan materi atau bahan yang mengandung konsep dan pengetahuan
yang
cocok
dengan
kecakapan
mereka
dan
pengalamannya. Metode ini memfokuskan pada individu, namun demikian kontrak belajar juga memberikan keuntungan bagi siswa untuk bekerja pada kelompok kecil. Ketika siswa menggunakan kontrak belajar, guru terlebih dulu menjelaskan tujuan belajar yang harus dicapai oleh siswa. Saat siswa sudah terbiasa dengan metode ini, guru dapat memilih untuk melibatkan mereka pada penyusunan tujuan belajar. Memusatkan pekerjaan anak didik pada mendengar saja, adalah perbuatan yang tidak akan membawa hasil. Guru harus mengetahui bahwa perbuatannya mengikutsertakan anak-anak didik dalam perencanaan dan pelaksanaan, sebenarnya melatih mereka untuk mendapatkan keterampilan yangdiperlukan dalam hidup, di samping membiasakan mereka aktif dalam tindakan-tindakannya, bukan pasif.35 35
Zakiah Daradjat, op.cit, h. 33.
26
Metode kontrak belajar dapat sangat memotivasi siswa, yaitu membuat siswa menjadi makin mandiri, belajar menggunakan sumber atau referensi untuk kepentingan mereka, bangga akan kemampuannya untuk mengajar diri mereka sendiri dan berbagi pembelajaran baru dengan yang lainnya. 4) Pembelajaran Inkuiri Pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban yang sudah pasti dari suatu masalah yang dipertanyakan.36 Metode inkuiri merupakan metode pembelajaran yang sifatnya partisipatif,
mengedepankan
proses
pengalaman.
Guru
dalam
pembelajaran inkuiri menimbulkan masalah dan berfungsi sebagai sumber daya bagi siswa dalam solusi mereka dari masalah. Siswa dengan demikian berfungsi sebagai ilmuwan. Metode inkuiri memberikan keuntungan bagi siswa untuk mengalami
dan
menjalani
proses
di
mana
mereka
dapat
mengumpulkan informasi terkait lingkungan sekitar mereka. Hal tersebut memerlukan tingkat interaksi yang cukup tinggi antara siswa, guru, ketersediaan bahan, dan lingkungan belajar. Dalam pembelajaran inkuiri siswa akan terlibat aktif pada proses pembelajaran di mana mereka dapat: a) bertindak berdasarkan rasa ingin tahu dan ketertarikan b) mengembangkan pertanyaan-pertanyaan c) memikirkan berbagai cara melalui kontroversi dan permasalahanpermasalahan d) melihat masalah secara analitik e) menemukan persepsi mereka dan apa yang mereka ingin segera ketahui f) mengembangkan, mengklarifikasi, dan menguji hipotesis 36
Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008),h. 191.
27
g) menarik kesimpulan dan menggeneralisasikan pemecahan masalah yang memungkinkan. Bertanya merupakan pokok pembelajaran inkuiri. Siswa harus mengajukan pertanyaan yang relevan dan mengembangkan cara untuk mencari jawaban dan menggeneralisasikan penjelasan. Menurut Sri Esti, ia mengutip pendapat Rogers, bahwa pembelajaran inkuiri yaitu pembelajaran dimana siswa mencari jawaban terhadap pertanyaan yang riil, membuat penemuan autonomous (bebas), dan menjadi pencetus dalam belajar atas inisiatifnya sendiri.37 Penekanannya yaitu pada proses berpikir sebagaimana penerapannya terhadap interaksi siswa dengan isu-isu, data, topik, konsep, bahan, dan masalah. Pada metode ini, diupayakan agar siswa berpikir divergen. Kemampuan berpikir tersebut diperlukan untuk melakukan elaborasi pada pertanyaanpertanyaan yang diberikan kepada siswa. Metode pendidikan yang konvensional membuat anak-anak kurang otonom, kurang terbuka, dan kurang empiris. Metode inkuiri membuat siswa berpikir independen dan terbuka, serta baru, pemahaman yang lebih dalam, dan lebih kekal. 5) Pembagian Kelompok Metode pembelajaran dengan pembagian kelompok merupakan salah satu metode yang efektif. Dalam metode ini, para siswa bekerja secara kelompok dan mengurangi peran guru yang terkadang terlalu dominan dalam mengajar. Siswa dibagi dalam beberapa kelompok sesuai dengan jumlah siswa yang ada dikelas, dengan cara ini diharapkan siswa dapat menjadi lebih kreatif dan aktif. Metode pembelajaran ini melibatkan dua orang peserta atau lebih untuk berinteraksi saling bertukar pendapat atau memecahkan masalah sehingga didapatkan kesepakatan diantara mereka. Pembelajaran menggunakan metode ini merupakan pembelajaran yang bersifat interaktif. Metode pembelajaran dengan pembagian 37
Sri Esti Wuryani Djiwandono, op.cit, h. 187.
28
kelompok dapat meningkatkan siswa dalam pemahaman konsep dan keterampilan
memecahkan
masalah
dan
meningkatkan
rasa
kebersamaan diantara siswa. Metode ini sangat efektif untuk menolong siswa mencari jawaban atas pertanyaan pertanyaan yang tidak diketahuinya.38 Metode ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan proses kelompok. Karena dalam proses pembelajaran, penting bagi siswa untuk belajar bekerja sama, saling membantu, dan menerima sudutsudut pandang yang berbeda. 6) Reinforcement (Imbalan dan Hukuman) Masalah imbalan dan hukuman berhubungan dengan cara menimbulkan minat anak didik terhadap proses belajar. Banyak guru yang menggunakan hadiah atau hukuman sebagai cara untuk mendorong anak didik untuk belajar. Alasan mereka dalam hal itu adalah bahwa anak memerlukan rasa harga diri dan keberhasilan untuk melanjutkan kemajuannya. Hendaknya guru mengetahui bahwa keberhasilan anak didik dalam proses belajar itu sendiri, merupakan imbalan, karena anak didik merasa lega dan puas terhadap dirinya, hal itu akan membawa kepada kemajuan yang berkelanjutan.39 Jelaslah bahwa metode-metode belajar yang humanis tersebut gaya mengajarnya didasarkan pada hubungan-hubungan interpersonal yang ramah dan terbuka antara guru dengan para siswanya. Dengan metode pembelajaran yang humanis ini membuat para siswa terbuka kepada guru dalam belajar, siswa dapat mempercayai guru dan siswa akan dengan senang meminta nasehat-nasehat kepada gurunya tanpa rasa takut dan enggan.
38
Nina Herlina, Metode Pembelajaran Kelompok, 2013, (http://herlinanina22.blogspot.com /2013/02/metode-pembelajaran-kelompok.html). 39 Zakiah Daradjat, op.cit, h. 24.
29
6. Pendidikan Humanis dalam Pandangan Beberapa Tokoh a. Arthur W. Combs Teori belajar Arthur W. Combs dikenal dengan meaning (makna atau arti). Menurutnya, belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu, guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan siswa. Sehingga siswa belajar sesuai dengan apa yang diinginkan tanpa adanya paksaan sedikit pun. Anak yang tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sesungguhnya tak lain hanyalah dari ketidakmauan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.40 Combs berpendapat bahwa seorang guru harus lebih memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa diri siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari
materi
pelajaran
tersebut
dan
menghubungkannya
dengan
kehidupannya. Menurut Combs, dalam prakteknya teori humanistik cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Pembelajaran berdasarkan teori humanistik cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, 40
Dadang, Teori Belajar Humanisme Arthur W. Combs Meaning; Makalah Ilmu Pendidikan dan Perpustakaan, 2011, 2013, (http://makalahilmupendidikandanperpustakaan.blogspot.com/ 2011/07/teori-belajar-humanisme-arthur-w-combs.html).
30
berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. b. Carl Rogers Rogers adalah seorang psikolog humanis yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi
masalah-masalah
terpenting
dalam
proses
kehidupannya. pembelajaran
Menurut adalah
Rogers
yang
pentingnya
guru
memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran. Tujuan pendidikan adalah dan haruslah dapat membuat siswa berkembang terhadap seluruh kemampuan yang dimilikinya. Karena dengan kemampuan itulah siswa dapat hidup dan bertahan dalam kehidupannya—dalam dunia yang cepat berubah, yang ditandai dengan ketegangan antara ras, bangsa dan kelompok lain. Orang yang benar-benar berguna adalah orang yang dapat dengan mudah beradaptasi dan memahami bagaimana caranya memahami segala sesuatu.41 Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran. Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsipprinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah : 1) Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami. 2) Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri. 3) Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya. 4) Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil. 5) Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar. 41
Carl Rogers, op. cit, h. 44.
31
6) Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya. 7) Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu. 8) Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari. 9) Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting. 10) Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu. c. Abdul Munir Mulkhan Konsep pendidikan humanis Abdul Munir Mulkhan mencakup tiga pembahasan, yaitu hakikat manusia, hakikat pendidikan humanis, dan ranah pendidikan humanis. Dalam pandangan Mulkhan, manusia merupakan makhluk yang unik, keunikan manusia terletak di dalam kemampuannya memproduksi kebudayaan. Hakikat pendidikan humanis dimaknai sebagai proses peneguhan keunikan manusia, proses akumulasi pengalaman dan proses penyadaran, karenanya praktik pendidikan harus didasari konsep kebermaknaan manusia secara unik. Ranah pendidikan humanis menurut Mulkhan mencakup aspek kebijakan dan strategi pendidikan, otonomi pendidikan, peran dan orientasi pendidikan, fungsi sekolah dan lingkungan, tugas dan tanggung jawab pendidik, dan metode pembelajaran garden learning dan natural learning. d. Ki Hajar Dewantara Ki Hajar Dewantara melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologisnya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, rasa dan karsa. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan
32
semua
daya
secara
seimbang.
Pengembangan
yang
terlalu
menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dari titik pandang sosio-antropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Ki Hajar Dewantara membedakan antara sistem pengajaran dan pendidikan. Mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Pendidikan adalah segala pemeliharaan lahir dan batin terhadap anak-anak untuk dapat memajukan kehidupan lahir atau jasmani dan batin atau rohani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Ajaran kepemimpinan Ki Hajar Dewantara yang sangat popular di kalangan masyarakat adalah Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. e. Abraham Maslow Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hierarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya. Satu konsep yang diperkenalkan Maslow adalah perbedaan antara deficiency needs dan growth needs. Deficiency needs (rasa aman, cinta dan harga diri) adalah menyangkut fisik dan psikis. Kebutuhan ini harus dipuaskan, tetapi sekali dipuaskan, motivasi seseorang untuk kebutuhan ini hilang. Sebaliknya, growth needs seperti kebutuhan untuk ingin tahu dan mengerti, kebutuhan untuk keindahan dan kebutuhan aktualisasi diri tidak pernah dipuaskan seluruhnya.42 42
Sri Esti Wuryani Djiwandono, op. cit, h. 345.
33
Self actualization menurut istilah Maslow ialah pemenuhan dirinya sendiri dan realisasi dari potensi pribadi. Aktualisasi diri (self actualization) didefinisikan sebagai keinginan untuk menjadi apapun yang ingin dia lakukan. Maslow menempatkan self actualization paling atas dari hierarki kebutuhan manusia. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperhatikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Di sekolah, deficiency needs yang paling penting adalah kebutuhan siswa untuk dicintai dan dihargai. Jika siswa merasa tidak dicintai dan dihargai dan dianggap tidak mampu, mereka tidak mempunyai motivasi kuat untuk mencapai tujuan growth needs, seperti ingin mencari pengetahuan lebih lanjut untuk dirinya sendiri, atau kreatif dan terbuka untuk ide-ide baru dari orang lain. Seorang guru yang dapat membuat siswa merasa senang, merasa diterima, dihargai sebagai individu dan dicintai, mungkin akan membuat mereka ingin belajar dan kreatif terhadap ide-ide baru.43 B. Hadits 1. Pengertian Hadits Secara etimologi hadits adalah kata benda (isim) dari kata al-Tahdits yang diartikan al-Ikhbar, yakni pemberitaan, kemudian menjadi termin nama suatu perkataan, perbuatan, dan persetujuan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Pemberitaan yang merupakan makna dari kata hadits sudah dikenal orang Arab sejak Jahiliyah yaitu untuk menunjuk “hari-hari yang popular” dengan nama al-Ahadits.44 Demikian juga kata Hadits juga berasal dari akar kata:
Yang memiliki beberapa makna, diantaranya: 43
Ibid., h. 348. Majid Khon, dkk., Ulumul Hadits, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah, 2005), h. 2. 44
34
a. Al-Jadid (baru), antonim dari kata al-Qodim, yakni terdahulu. Barangkali makna etimologi ini mempunyai konteks teologis, bahwa segala kalam selain kalam Allah bersifat Hadits (baru), sedangkan kalam Allah bersifat Qadim (terdahulu). b. Al-Qarib (dekat) atau dalam waktu dekat belum lama misalnya: (baru masuk Islam). c. Al-Khabar (berita), oleh karena itu ungkapan pemberitaan hadits selalu menggunakan ungkapan
(memberitakan kepada kami,
mengabarkan kepada kami, dan menceritakan kepada kami). Dari segi terminologi, hadits menurut muhadditsin adalah:
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan atau perbuatan atau persetujuan dan atau sifat.”45 Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa hadits merupakan sumber berita yang diperoleh dan datang dari Nabi Muhammad saw dalam segala bentuk baik berupa perkataan, perbuatan, sikap persetujuan, dan sifatsifatnya baik sifat fisik (khalqiyah) dan sifat perangai (khuluqiyah), baik berkaitan dengan hukum atau tidak. Hadits merupakan jalan atau cara yang pernah dicontohkan Nabi Muhammad saw dalam perjalanan kehidupannya melaksanakan dakwah Islam. Contoh yang diberikan beliau dapat dibagi kepada tiga bagian. a. Hadits Qauli (perkataan), misalnya sabda Nabi di berbagai tempat dan penjelasan Nabi tentang hukum-hukum Islam, seperti sabda beliau: “Sesungguhnya sahnya amal tergantung niat…” (H.R. Bukhari dan Muslim). b. Hadits Fi‟li (perbuatan), yaitu perbuatan Nabi yang diriwayatkan oleh para sahabat seperti wudhu, shalat, dan ibadah Nabi saw. 45
Ibid, h. 3.
35
c. Hadits Taqriri (persetujuan), yaitu perbuatan atau perkataan para sahabat yang disetujui Nabi baik beliau diam ketika mengetahuinya (tanda setuju) atau menggaris bawahinya. d. Hadits Washfi (sifat), sifat Nabi adakalanya sifat fisik (khalqiyah) dan sifat perangai (khuluqiyah). Ulama al-Syafi‟iyah memasukkan bagian dari Sunnah apa yang dicitacitakan Rasul saw (sunnah hammiyah) sekalipun baru rencana dan belum dilakukannya, karena beliau tidak merencanakan sesuatu kecuali yang benar dan dicintai dalam agama, dituntut dalam syari‟at Islam, dan beliau diutus untuk menjelaskan syariat Islam. Seperti cita-cita beliau berpuasa tanggal 8 Dzulhijjah. Kesemua contoh yang telah ditunjukkan Nabi merupakan acuan dan sumber yang dapat digunakan umat Islam dalam seluruh aktifitas kehidupannya. Hal ini disebabkan, meskipun secara umum bagian terbesar dari syari‟ah Islam telah terkandung dalam Al-Qur‟an, namun muatan hukum yang terkandung belum mengatur berbagai dimensi aktivitas kehidupan ummat secara terperinci dan analitis. Untuk itu diperlukan keberadaan hadits Nabi sebagai penjelas dan penguat hukum-hukum dalam Al-Qur‟an sekaligus sebagai pedoman bagi kemaslahatan hidup manusia dalam semua aspeknya. Dari sini dapat dilihat bagaimana posisi dan fungsi hadits Nabi sebagai sumber pendidikan Islam yang utama setelah Al-Qur‟an.46 2. Kedudukan dan Fungsi Hadits a. Kedudukan Hadits Dalam Islam, hadits mendapatkan peranan yang terpenting kedua setelah Al-Quran. Kedudukannya sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. H. Abdul Majid Khon dalam bukunya Ulumul Hadits, adalah sebagai sumber hukum Islam.47 Dan hal ini merupakan hasil konsensus para ulama. Dari segi urutan 46
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 97-98 47 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2008), cet. I, h. 22.
36
tingkatan dasar Islam ini hadits menjadi dasar hukum Islam (Tasyri‟iyyah) kedua setelah al-Quran. Uraian-uraian di bawah ini merupakan paparan tentang kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam dengan melihat beberapa dalil,48 diantaranya yaitu: 1) Dalil al-Quran dalam surat Ali „Imran ayat: 179
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.”49 Melalui ayat ini Allah memberikan gambaran adanya pemisahan antara orang-orang yang munafik dan orang-orang yang beriman. Oleh karena itu, adanya tuntutan khusus bagi orang mukmin untuk taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya.50 2) Dalil Hadits Sabda Rasul :
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian yang kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” 48
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 49. Ibid, h. 50. 50 Ibid, …. 51 Imam Malik, Muwattha, Bab an-Nahyu „anil Qauly bil Qadari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), juz 5, no. 3338, h. 1323. 49
37
b. Fungsi Hadits Adapun hadits berfungsi sebagai berikut: 1) Memberi bayan (penjelasan) Penjelas terhadap al-Quran. Untuk menjelaskan makna kandungan alQuran yang sangat dalam dan global atau lil al-Bayan (menjelaskan) sebagaimana tertuang dalam surat an-Nahl ayat 44:
“Dan kami turunkan kepadamu al-Quran agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” 2) Takhsis (pengecualian) Sunnah memberikan pengecualian terhadap yang „am dalam Al-Quran. Seperti pada firman Allah yang artinya, “Diajarkan kepadamu bahwa warisan anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan”. Ayat tersebut memberikan „am. Artinya dalam keadaan bagaimanapun bagian warisan tersebut satu berbanding dua. Kemudian, terdapat pengecualian, sunnah yang men-takhsis (mengecualikannya), kecuali ahli waris yang membunuh terwaris, atau berbeda agama. 3) Taqyid (pembatasan) Sunnah memberikan pembatasan terhadap kemutlakan pesan al-Quran. Kata „tangan‟ dalam ayat “Pencuri laki-laki dan perempuan hendaklah kamu potong tangan mereka” adalah mutlak. Yang disebut tangan adalah sejak dari jari-jari sampai dengan pangkal lengan. Kemudian terdapat sunnah yang membatasi potong tangan itu pada pergelangan, bukan pada siku atau pangkal lengan. 4) Menguatkan Apa yang terkandung dalam sunnah menguatkan kandungan al-Quran. Seperti sunnah-sunnah yang isinya mewajibkan shalat, haji, puasa, zakat, menguatkan kandungan al-Quran dalam maksud yang sama.
38
5) Menetapkan hukum baru Di dalam sunnah terdapat ketentuan agama yang tidak diatur dalam alQuran. Artinya, Nabi diberikan legitimasi oleh Allah untuk mengambil kebijakan, ada yang berupa penjelasan terhadap kandungan al-Quran dan dalam hal-hal tertentu Nabi membuat ketetapan khusus sebagai wujud penjelasan hal yang tidak tertuang eksplisit dalam al-Quran. 3. Biografi Imam Al-Bukhari Nama lengkap Imam Al-Bukhari adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah al-Ja‟fi al-Bukhari. Dilahirkan hari Jum‟at 13 Syawal 194 H/810 M di kota Bukhara. Ayah Imam Bukhari bernama Ismail bin Ibrahim yang mempunyai nama panggilan Abul Hasan. Ismail bin Ibrahim adalah salah seorang ulama besar dalam bidang hadits.52 Pada usianya yang masih relatif muda Bukhari sudah mampu menghafal tulisan beberapa ulama hadits yang ada di negerinya. Masih pada usia relatif muda pula ia pergi ke Mekkah bersama ibu dan saudaranya untuk melakukan ibadah haji pada tahun 210 H. Selanjutnya tinggal di Madinah dan menulis kitab sejarah yang terkenal Tarikh al-Kabir, di samping makam Nabi Muhammad saw. Al-Bukhari tergolong orang yang memiliki sifat penyabar dan memiliki kecerdasan yang jarang dimiliki oleh orang lain. Kecerdasan dan ketekunan dalam mempelajari hadits-hadits itulah kemudian ia diberi gelar Amir alMukminin fi al-Hadits, suatu gelar kehormatan yang diberikan kepadanya dari ulama-ulama hadits pada zamannya. Di samping sifat penyabar dan kecerdasan itu, ia juga terkenal mempunyai sifat wara‟ dalam menghadapi kehidupan, dan ahli ibadah. Imam Bukhari belajar hadits selama enam tahun di Hijaz dan mengembara ke Baghdad sebanyak delapan kali. Al-Dzahabi menyatakan bahwa pertama kali Bukhari memperoleh periwayatan hadits dari luar negerinya sendiri pada tahun 215 Hijriyah setelah mengadakan lawatannya
52
h. 467.
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), cet. 3,
39
yang dimulai sejak tahun 210 Hijriyah ke berbagai wilayah negeri, kemudian ia memulai pengembaraannya ke berbagai negeri untuk mendapatkan periwayatan
hadits
dari
beberapa
tokoh
periwayat
setempat
yang
dikunjunginya.53 Al-Bukhari menghafal 100.000 hadits shahih, dan 200.000 hadits yang tidak shahih, suatu kemampuan menghafal yang jarang ada tandingannya.54 Banyak ulama hadits yang merasa penasaran dengan kelebihan al-Bukhari ini. Ketika Imam Bukhari di Baghdad, beliau pernah mendapat ujian dari para ulama hadits. Ujian tersebut dilakukan oleh para ulama Baghdad untuk mengetahui kemampuan Imam Bukhari dalam bidang hadits. Pengujian terhadap kepiawaian Imam Bukhari dalam bidang hadits juga dilakukan oleh ulama hadits setelah Imam Bukhari wafat, yaitu dengan meneliti shahih Bukhari, baik terhadap sanad maupun matannya. Dari sekian banyak penelitian tentang shahih Bukhari, disimpulkan bahwa hadits dalam shahih Bukhari mayoritas berkualitas shahih. Guru dan murid Imam Bukhari dalam bidang hadits mencapai ratusan orang. Dari hasil penelitian, guru Imam Bukhari dalam bidang hadits sebanyak 289 orang. Informasi itu diperoleh dari jumlah guru yang riwayatnya terdapat dalam shahih Bukhari. Di antara para guru itu adalah Maky ibn Ibrahim, Abdullah ibn Usman al-Marwazy, Abdullah ibn Musa al-„Abbasy, Abu „Ashim al-Syaibani dan Muhammad ibn Abdullah al-Anshari.55 Murid beliau dalam bidang hadits banyak sekali sehingga ada yang mengatakan murid Imam Bukhari sebanyak 90.000 orang. Di antara muridnya yang dapat disebutkan adalah Muslim al-Hajjaj, al-Turmuzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Abu Dawud, dan Muhammad ibn Yusuf al-Fiyabi. Menurut Nuruddin Itr, penulis kutub al-sittah adalah murid Imam Bukhari kecuali al-Nasa‟i.56 Namun, pendapat tersebut dibantah oleh Muhammad Muhammad Abu
53
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet.I, h. 195. Ibid., h. 194. 55 Munzier Suparta, op.cit, h. 239. 56 Nur al-Din „Itr, Manhaj al-Naqd Fi „Ulum al-Hadits, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1994), h. 25 dalam Majid Khon, dkk., Ulumul Hadits, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah, 2005), h. 243. 54
40
Syuhbah, menurutnya al-Nasa‟i juga termasuk murid Imam Bukhari.57 Dilihat dari segi tahun lahir dan wafat mereka dan tempat rihlah-nya, maka lebih diterima pendapat terakhir. Menurut Abdul Majid Khon, “beliau meninggal dunia pada tanggal 1 Syawal 256 H/31 Agustus 870 M pada hari jumat malam sabtu malam Hari Raya Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari di desa Khartank kota Samarkhand.”58 4. Kitab Shahih Bukhari Salah satu karya besar yang monumental dalam kitab hadits yang ditulis oleh Muhammad bin Isma‟il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari adalah kitab Jami‟ al-Shahih. Al-Jami‟ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtasar min Umuri Rasulillah Shallallahu „Alaihi wa Sallam wa Sunanihi wa Ayyamihi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Shahih al-Bukhari ini, merupakan kitab hadits yang telah disusun oleh al-Bukhari dalam kurun waktu 16 tahun. Shahih Bukhari, adalah permulaan kitab yang disusun dalam bidang hadits saja. Hadits-hadits kitab al-Bukhari sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar di dalam Muqaddimah Fath al-Bari sebanyak 7.397 buah hadits dengan berulang-ulang, selain dari yang mu‟allaq, yang mutabi‟, dan mauquf, dan tanpa berulang-ulang dari matan-matan yang maushul sebanyak 2.602 hadits.59 Latar belakang penulisan kitab Shahih-nya berawal dari pernyataan gurunya Ishaq Ibn Rahawaih kepada murid-muridnya, yang menginginkan untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi yang shahih dalam satu kitab secara khusus, karena pada waktu itu hadits shahih, hadits hasan maupun hadits dhaif masih bercampur dalam satu kitab. Selain itu penulisan kitab shahih Bukhari tersebut di latar belakangi oleh mimpi Imam Bukhari. Ia bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad saw seolah-olah ia berada di depan beliau sambil 57
Muhammad Muhammad Abu Syubhah, op.cit., h, 243. Abdul Majid Khon, op.cit, h. 259. 59 Ibnu Ahmad „Alimi, Tokoh dan Ulama Hadis, (Sidoaro: Mashun, 2008), h. 186. 58
41
menjaga beliau dari gangguan. Mimpi itulah yang kemudian menjadikan Imam Bukhari memantapkan hati menulis kitab terkenal tersebut.60 Dalam memasukkan hadits ke dalam kitabnya, al-Bukhari sangat hatihati. Ia tidak akan memasukkan satu hadits pun ke dalam kitab itu sebelum ia shalat istikharah dua rakaat dan setelah itu ia betul-betul yakin bahwa hadits itu sahih. Abdul Majid Khon, dalam Ulumul Hadits memaparkan keistimewaan kitab al-Bukhari yang diungkapkan oleh para ulama, diantaranya: a. At-Tirmidzi berkata:
“Aku tidak melihat dalam ilmu „ilal (cacat yang tersembunyi dalam hadits) dan para tokoh hadits seorang yang lebih mengetahui dari alBukhari.” b. Ibn Khuzaimah berkata:
“Aku tidak melihat di bawah kolong langit seorang yang lebih mengetahui hadits Rasulullah saw dan yang lebih hafal daripada Muhammad ibn Ismail al-Bukhari.” c. Al-Hafizh adz-Dzahabi berkata:
“Dia adalah kitab Islam yang paling agung setelah kitab Allah swt.”61 Setelah selesai menulis kitab shahihnya, al-Bukhari memperlihatkannya kepada Ahmad Ibn Hanbal, Ibn Ma‟in, Ibn al-Madini, dan lain-lain dari kalangan ulama-ulama hadits. Mereka semuanya menilai bahwa hadits-hadits yang terdapat di dalamnya kualitasnya tidak diragukan, kecuali 4 buah hadits saja dari sekian banyak hadits itu yang memerlukan peninjauan ulang untuk dikatakan sebagai hadits shahih.62 60
Ibid., h. 181. Abdul Majid Khon, loc.cit, h. 259. 62 Badri Khaeruman, op.cit., h. 199. 61
42
Mengenai kitab al-Jami‟ al-shahih ini beberapa tokoh memberikan kritiknya antara lain terhadap para perawi (rijal) al-Bukhari yang didha‟ifkan oleh tidak kurang 80 ulama. Tetapi kebanyakan dari mereka adalah guru-guru dan murid-murid al-Bukhari sendiri yang bertemu dan berbicara dengan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kritik ini sesungguhnya telah dijawab oleh
al-Bukhari
dengan
menunjukkan
argumentasi
yang kuat,
dan
kenyataannya kitab ini telah disepakati jumhur ulama sebagai kitab lebih shahih setelah al-Quran. Para ulama telah memperhatikan kitab al-Bukhari sehingga syarh-nya sampai 82 buah kitab. Yang terkenal diantaranya; al-Tankih ditulis oleh Badruddin al-Zarkasyi (794 H), Umdat al-Qari‟ ditulis oleh al-Aini al-Hanafi (855), al-Tausyih ditulis oleh Jalal al-Din al-Suyuthi (911 H), dan Fath al-Bari ditulis oleh Ibnu Hajar (852 H). Kitab terakhir ini yang paling lengkap dan terkenal.63
C. Hasil Penelitian yang Relevan Beberapa tulisan terkait penelitian ini antara lain sebagai berikut: 1. Skripsi berjudul Kedudukan Peserta Didik dalam Perspektif Hadits (Shahih Bukhari) ditulis oleh Ahmad Zubair, jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Tahun 2012. Skripsi ini menjelaskan kedudukan peserta didik sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah saw begitu mulia, dan hal itu hanya dapat diperoleh oleh peserta didik yang kompeten dan professional. Kedudukan peserta didik dalam hadits yaitu sebagai penerang ummat, sebagai pengemban amanah, pemberi harapan yang sempurna, dan penentu hari kiamat. Diantara sifat-sifat peserta didik dalam hadits yaitu faqih, menjaga ilmu serta disiplin waktu. 2. Skripsi yang ditulis oleh Ika Nursyifa dengan judul Kompetensi Pedagogik Guru dalam Perspektif Hadits (Shahih Muslim) jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Tahun 2012. Dijelaskan 63
Ibid, h. 199.
43
dalam skripsi ini bahwa seorang guru harus memiliki kompetensi pedagogik yang berupa kompetensi mengidentifikasi bahan ajar, kompetensi menentukan strategi dan metode pembelajaran, kompetensi memotivasi
peserta
didik,
dan
kompetensi
melakukan
evaluasi
pembelajaran. 3. Skripsi berjudul Konsep Pendidikan Humanistik dan Pengembangannya dalam Proses Pendidikan Islam oleh Mushlihin, jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Tahun 2004. Proses pendidikan humanistik dalam Islam adalah suatu proses memanusiakan manusia yang sejalan dengan citra dan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan yang penuh potensi, tertinggi, mulia, independen, sadar, menyadari diri, kreatif, dan bermoral.
Cara mengembangkan konsep pendidikan
humanistik dalam proses pendidikan Islam adalah dengan menerapkan nilai-nilai/prinsip-prinsip pendidikan humanistik dalam proses pendidikan Islam. 4. Tesis berjudul Konsep Pendidikan Humanis dalam Perspektif al-Quran oleh M. Mukhlis Fahruddin (PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008). Dijelaskan bahwa Islam sebagai agama kemanusiaan yang berjiwa tauhid, memandang pendidikan humanis sebagai bentuk upaya mengangkat derajat manusia kembali ke fitrahnya, sebagai makhluk yang mulia dan bermartabat, mempunyai potensi fitrah yang cenderung pada kebenaran, bebas, merdeka dan sadar akan eksistensinya. Konsepsi tauhid sesungguhnya adalah konsepsi tentang prinsip-prinsip atau nilai-nilai luhur yang menjaga kehidupan manusia, sehingga terbentuk pribadi-pribadi yang berakhlak mulia, mempunyai sikap komitmen pada kebenaran, cinta dan kasih sayang sesama, yang termanifestasikan dalam hidup sehari-hari, terlebih di dalam proses pendidikan. Pembicaraan mengenai humanisme seringkali dilakukan oleh para pakar pendidikan. Namun dari paparan di atas, belum ada tulisan atau karya ilmiah yang membahas secara spesifik mengenai pendidikan humanisme dalam perspektif hadits, maka dari itu, penulis tertarik untuk mengetahui konsep pendidikan humanis menurut perspektif hadits.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian adalah proses yang digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi guna meningkatkan pemahaman pada suatu topik. Penelitian menjadi penting karena beberapa alasan, diantaranya penelitian dapat menambah pengetahuan, yaitu penelitian berguna untuk memberikan kontribusi pada informasi yang ada mengenai suatu permasalahan. Penelitian juga meningkatkan praktik, karena penelitian memberikan ide-ide baru sebagai bahan pertimbangan
saat
menginformasikan
menjalankan perdebatan
pekerjaan.
kebijakan,
Terakhir,
karena
penelitian
penelitian
dapat
memberikan
percakapan mengenai isu-isu penting ketika pembuat kebijakan melakukan perdebatan pada suatu topik kebijakan. Pada bab ini akan dijelaskan secara rinci mengenai metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini, metode penelitian tersebut adalah meliputi waktu penelitian, jenis penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik penulisan yang akan diuraikan sebagai berikut: A. Waktu Penelitian Penelitian yang berjudul “Konsep Pendidikan Humanis dalam Perspektif Hadits” ini dilaksanakan dalam waktu beberapa bulan, dengan pengaturan waktu sebagai berikut: bulan Agustus 2013 sampai bulan September 2013 digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari textbook yang ada di perpustakaan, serta sumber lain yang mendukung penelitian, terutama yang berkaitan dengan hadits-hadits tentang pendidik dan metode pembelajaran yang humanis dari berbagai sumber sebagai sumber primer. Bulan Oktober 2013 sampai November 2013 analisis seluruh data yang telah terkumpul. B. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menekankan analisis proses dari proses berpikir secara induktif yang berkaitan dengan dinamika hubungan antar fenomena yang diamati, dan senantiasa menggunakan logika
44
45
ilmiah.1 Penelitian kualitatif mengutamakan makna. Makna yang diungkap berkisar pada persepsi orang mengenai suatu peristiwa. Penelitian kualitatif dimaksud sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Penelitian kualitatif dilakukan dalam situasi yang wajar (natural setting). Alat pengumpul data atau instrumen penelitian dalam metode kualitatif adalah penulis sendiri. Jadi penulis merupakan key instrument. Karena skripsi ini mengkaji sumber data dari materi atau literatur yang relevan dengan judul skripsi yang terdapat dalam sumber-sumber pustaka, maka skripsi ini secara khusus bertujuan mengumpulkan data atau informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruang perpustakaan, baik itu berupa buku, majalah ataupun surat kabar yang ada kaitannya dengan skripsi ini dengan cara menelaah dan menganalisa sumber-sumber tersebut dan mencatat hasilnya untuk kemudian dikualifikasikan menurut kerangka yang sudah ditentukan. C. Sumber Data Sumber data dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif kebanyakan diperoleh dari sumber manusia (human resources), melalui observasi dan wawancara. Akan tetapi ada juga sumber bukan manusia (non human resources) diantaranya dokumen, foto, dan bahan statistik.2 Sumber data dalam skripsi ini adalah dokumen atau literatur yang berupa karya ilmiah baik buku, makalah, artikel, dan lain-lain yang relevan dengan pembahasan permasalahan. Sumber data tersebut dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu sumber primer dan sumber sekunder. 1. Sumber Primer Sumber data primer adalah sumber data utama dari berbagai referensi atau sumber-sumber yang memberikan data langsung dari tangan pertama.3 Adapun yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah kitab hadits Shahih Bukhari, buku pendidikan humanis, dan buku hadits tarbawi. 1
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), cet. I, h. 80. Ibid, h. 179. 3 Saefudin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 89. 2
46
2. Sumber Sekunder Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari sumbersumber lain yang masih berkaitan dengan masalah penelitian dan memberi interpretasi terhadap sumber primer.4 Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku pendidikan, artikel-artikel, majalah dan sebagainya yang relevan dengan pembahasan skripsi ini. D. Metode Pengumpulan Data Metode yang penulis gunakan dalam pengumpulan data adalah metode dokumentasi. Yang dimaksud dengan metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa buku-buku, jurnal, surat kabar, majalah, dan lain sebagainya yang representatif, relevan dan mendukung terhadap objek kajian sehingga diperoleh jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan dari permasalahan yang telah dirumuskan. Dokumen yang telah diperoleh kemudian dianalisis (diurai), dibandingkan dan dipadukan (sintesis) membentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu dan utuh. E. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan bagian yang sangat penting dalam penelitian karena dari analisis ini akan diperoleh temuan, baik temuan substantif maupun formal. Pada hakikatnya, analisis data adalah sebuah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode/tanda, dan mengategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab. Sesuai dengan jenis serta sifat data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka teknik analisis data yang digunakan adalah content analysis atau analisis isi yang lebih mengarah kepada kajian pustaka. Di samping itu, dengan cara ini dapat dibandingkan antara satu buku dengan buku yang lain dalam bidang yang sama, baik berdasarkan perbedaan waktu, penulisannya maupun mengenai standar kualitas buku-buku tersebut dalam mencapai sasarannya sebagai bahan yang disajikan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu. 4
Ibid, h. 91.
47
Kajian isi (content analysis document) menurut Weber dalam buku Metode Penelitian Kualitatif karya Imam Gunawan adalah “metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen.”5 Teknik analisis data yang penulis lakukan dalam penelitian ini yaitu dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Pengumpulan data, yakni membuat catatan data yang dikumpulkan melalui studi dokumentasi yang dilakukan terhadap buku-buku mengenai pendidikan humanis dan kitab Shahih Bukhari. 2. Reduksi data, yaitu merangkum, menyeleksi, memfokuskan pada hal-hal penting, dan mencari tema dan polanya, sehingga dengan direduksinya data tersebut dapat memudahkan dalam melakukan pengumpulan data. Dalam proses reduksi data ini, penulis mengumpulkan data atau hadits yang terdapat dalam kitab hadits shahih Bukhari, buku pendidikan humanis dan hadits tarbawi. Setelah itu penulis membaca dan memilah-milah hadits yang dipandang perlu dan cocok dan terkait dengan pendidik dan metode pembelajaran yang dinilai humanis. 3. Penyajian data. Setelah membaca dan memilah-milah hadits, langkah selanjutnya yang penulis lakukan adalah mengolah data-data dan hadits-hadits tersebut untuk kemudian disajikan secara sistematis. Bentuk penyajian data yaitu dengan teks naratif dan deskriptif, dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menerjemahkan hadits-hadits ke dalam Bahasa Indonesia b. Mengulas isi hadits melalui sudut pandang sejarah, kemunculan hadits dengan realita kehidupan masa kini, dan tentunya dikaitkan dengan perspektif pendidikan modern. Seluruh data yang terkumpul dianalisis dengan tetap mempertahankan keaslian teks yang memaknainya. Yang menjadi fokus utama dalam penelitian skripsi ini adalah pembentukan teori dalam kajian ini, sedapat mungkin oleh penulis akan didasarkan kepada data yang ditemukan dari hadits-hadits tersebut. 5
Imam Gunawan, op. cit., h. 181.
48
4. Penarikan kesimpulan. Setelah data yang terkumpul di reduksi dan selanjutnya disajikan, maka langkah yang terakhir dalam menganalisis data penelitian ini adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi. Dari data yang diperoleh penulis mencoba untuk mengambil kesimpulan, dan kesimpulan tersebut mula-mula masih sangat kabur dan perlu dikaji ulang. Akan tetapi, dengan bertambahnya data melalui verifikasi, maka kemudian penulis memperoleh kesimpulan yang jelas. F. Pedoman Penulisan Secara teknis, penelitian ini disandarkan pada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.
BAB IV ANALISIS HADITS TENTANG PENDIDIK DAN METODE PEMBELAJARAN YANG HUMANIS
A. Pendidik yang Humanis 1. Mendidik Tidak Setiap Waktu Agar Murid Tidak Bosan a. Hadits dan Terjemahannya
1
―Muhammad ibn Yusuf menceritakan kepada kami, ia berkata, mengabarkan kepada kami Sufyan dari A‘masy dari Abi Wail dari Ibnu Mas‘ud, bahwa Nabi saw selalu memilih waktu yang tepat bagi kami untuk memberikan nasihat, karena beliau takut kami akan merasa bosan.‖2 b. Pemahaman Hadits Dalam hadits tersebut, Rasulullah selalu memperhatikan aspek waktu dalam memberikan nasihat kepada para sahabatnya. Rasulullah saw menetapkan jadwal hari-hari tertentu untuk belajar mengaji dan memberikan peringatan. Dalam hal ini Al-Bukhari membuat judul di dalam Shahih-nya: Bab Nabi saw membuat sela-sela dalam ceramah dan ilmu para sahabat agar mereka tidak lari. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari, “pelajaran yang dapat diambil dari hadits tersebut adalah anjuran meninggalkan rutinitas beraktivitas secara sungguh-sungguh, demi menghindari bosan walaupun rutinitas itu ditekankan.”3 Dari hadits Nabi tersebut terkandung pengertian bahwa dalam memberikan pengajaran, seorang guru harus mengetahui keadaan1
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Daar al-Fikr), juz. I, no. 11, h. 27. 2 Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Syarah: Shahih Al Bukhari, Terj. dari Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari oleh Ghazirah Abdi Ummah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 307. 3 Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 308.
49
50
keadaan yang baik untuk belajar dan tidak memaksakan siswa dalam proses belajar. Dalam belajar, tidak baik dilaksanakan secara terus menerus karena dikhawatirkan siswa akan merasa bosan. Melakukan hal yang sama secara terus menerus bisa menimbulkan kejenuhan dan menurunkan semangat belajar. Siswa yang bosan cenderung akan mengganggu proses belajar. Apabila siswa telah merasa bosan, maka ia akan malas dan enggan untuk belajar kembali. Meskipun ketekunan atau kontinuitas sangat diharapkan dalam belajar, akan tetapi hal itu dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya belajar boleh dilaksanakan setiap hari dengan syarat tidak membebani, atau tidak dilakukan setiap hari dengan tujuan siswa penuh semangat pada hari yang lain. Belajar harus dapat disesuaikan dengan kondisi masing-masing individu. Menurut Ngalim Purwanto, “belajar yang terus menerus dalam jangka waktu yang lama tanpa istirahat tidak efisien dan tidak efektif. Oleh karena itu, untuk belajar yang produktif diperlukan adanya pembagian waktu belajar.”4 Guru sebagai penentu keberhasilan proses belajar mengajar di dalam kelas, harus selalu peka terhadap kebutuhan dan keinginan siswa. Apabila siswa ketika belajar mulai terlihat merasa bosan, maka guru harus segera mencari cara agar siswa tidak lagi merasa bosan. Fadilah Suralaga mengemukakan, Seorang siswa yang mengalami kejenuhan dalam belajar merasa seakan-akan pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari belajar tidak ada kemajuan. Siswa yang sedang dalam kejenuhan sistem akalnya tak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan dalam proses item-item informasi atau pengalaman baru, sehingga kemajuan belajarnya seakan-akan “jalan di tempat”. Kejenuhan belajar dapat melanda seorang siswa yang kehilangan motivasi dan konsolidasi salah satu tingkat kemampuan tertentu sebelum sampai pada tingkat kemampuan berikutnya. 5 4
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), h. 114. Fadilah Suralaga, dkk., Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005), h. 133. 5
51
Selain karena hilangnya motivasi dan konsolidasi, kejenuhan belajar dapat terjadi karena siswa merasa bosan dan letih. Penyebab kejenuhan yang paling umum adalah keletihan yang menyebabkan timbulnya perasaan bosan. Selain pada pembagian waktu belajar, fokus kedua dalam hadits ini agar siswa tidak merasa bosan adalah pada pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas. Guru hendaknya memperhatikan seluruh aspek yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Penggunaan cara atau metode yang “itu-itu‖ saja akan membuat siswa cepat merasa jenuh dan bosan. Hal ini akan berdampak pada pencapaian hasil belajar siswa yang rendah karena siswa akan merasa malas dalam belajar. Teori Maslow dalam hal ini, jika deficiency needs siswa tidak terpenuhi, maka mereka enggan untuk memenuhi growth needs. Jika siswa telah merasa bosan, maka siswa akan tidak mau belajar lagi dan tidak ada keinginan untuk memenuhi keingintahuannya terhadap materi pelajaran selanjutnya. Maka rasa bosan dalam belajar akan berimplikasi tidak baik terhadap perkembangan siswa. Ketika deficiency needs tersebut tidak terpenuhi, mereka tidak mempunyai motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan growth needs yaitu mempelajari materi selanjutnya. Teori Maslow menawarkan implikasi-implikasi tertentu untuk mencapai kebutuhan tingkat yang lebih tinggi. Seorang siswa yang sukses dalam menguasai pengetahuan tertentu, mungkin akan bertambah motivasinya dan bahkan berusaha mencapai tujuan yang lebih tinggi. Sehingga hal tersebut sangat baik dalam meningkatkan belajar.6 Hadits ini sesuai dengan konsep pendidik yang humanis, bahwa dalam
memenuhi
pendidikan
yang
humanis,
guru
harus
mempertimbangkan waktu-waktu yang tepat dalam belajar agar siswa 6
Atkinson and Reynor, “Personality, Motivation, and Achievement” dalam Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006), h. 349.
52
tidak merasa bosan. Pengajaran yang humanis adalah pengajaran yang memberikan siswa kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka merasa senang dan tidak merasa bosan dalam belajar. Berikut hal-hal yang harus diperhatikan guru agar siswa tidak bosan dalam belajar, antara lain: 1) Pemilihan metode yang tepat. Sebagai pendidik, guru harus menggunakan metode yang tepat dalam proses pembelajaran. Metode-metode yang diterapkan hendaknya selalu bervariasi pada setiap pertemuan. Variasi metode pembelajaran akan membuat siswa tetap konsentrasi dan termotivasi dalam belajar, selain itu juga dapat membuat siswa menjadi lebih aktif, sehingga proses belajarmengajar tidak membosankan bagi siswa. 2) Pemilihan media yang tepat. Belajar menggunakan media akan sangat membantu guru dalam mencapai tujuan pembelajaran, di samping itu siswa pun akan merasa senang apabila belajar menggunakan media belajar. Pemilihan media yang tepat sangatlah berpengaruh terhadap kelangsungan proses belajar mengajar. Karena tujuan dari penggunaan media adalah agar siswa dapat menyerap pelajaran yang diajarkan secara aktual tanpa merasa jenuh di samping mereka juga dapat ikut bereksperimen. 3) Mengadakan simulasi-simulasi. Hal ini diperlukan di tengah-tengah proses belajar mengajar. 4) Melakukan kegiatan belajar mengajar di luar kelas. Pembelajaran di luar kelas memberikan banyak hal-hal dan pengetahuan baru bagi siswa. Pembelajaran ini dapat dilakukan misalnya di laboratorium, museum, dan tempat-tempat belajar lain yang berhubungan dengan materi yang diajarkan. Hal tersebut akan memberikan suasana dan semangat yang berbeda kepada siswa, mereka pun akan semakin termotivasi untuk belajar sehingga mereka tidak merasa jenuh dan bosan. 5) Pendekatan terhadap siswa. Pendekatan terhadap siswa bertujuan agar siswa merasa dirinya ada dan dihargai oleh guru sebagai
53
manusia yang butuh pengayoman. Hal ini dapat dilakukan dengan cara guru peduli terhadap siswa, memberi masukan ketika mereka mengerjakan tugas, mendukung terhadap minat mereka dan sebagainya. Dengan begitu, para siswa akan menunjukkan minat dan motivasi pada para guru yang memiliki perhatian dan mereka akan merasa senang dalam belajar. Begitulah Rasulullah mengajarkan pengetahuan kepada manusia, ia berpesan agar dalam mendidik harus selalu memperhatikan aspek kemanusiaan. Ada keadaan-keadaaan tertentu yang harus diperhatikan oleh pendidik dalam memberikan pengajaran atau materi pengajaran kepada peserta didik. Tujuannya agar hati para peserta didik tetap terbuka menerima apa yang akan disampaikan oleh pendidik. Mereka mau dan selalu termotivasi dan semangat dalam belajar. 2. Memberi Pengajaran Sesuai Tingkatan Psikologis Peserta Didik a. Hadits dan Terjemahannya
7
―Ali radhiallahu ‗anhu telah berkata: ―Berbicaralah kepada suatu kaum sesuai dengan kemampuan mereka. Adakah kalian suka jika seseorang akan berbuat dusta kepada Allah dan Rasul-Nya (dikarenakan kurangnya pemahaman dari mereka)?‖. Ubaidullah bin Musa menceritakan kepada kami dari Ma‘ruf bin Kharrabudz, dari Abu Thufail dan dari Ali tentang hal itu.”8 b. Pemahaman Hadits Maka ucapan beliau (berbicaralah kepada suatu kaum sesuai dengan kemampuan mereka) adalah semacam penegasan untuk mengajarkan ilmu kepada orang lain sesuai kemampuannya, tidak berlebih atau tidak berkurang. Rasulullah saw mengungkapkan apabila 7
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, op.cit, juz. I, no. 49, h. 44. 8 Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 432.
54
memberikan ilmu kepada orang dengan tidak sesuai dengan kemampuannya, dikhawatirkan mereka tidak dapat memahaminya dengan baik dan mereka akan salah dalam memahami ajaran Islam. Jika berbicara dengan orang lain Rasulullah saw selalu melihat kesesuaiannya dengan tingkat kecerdasan, disamping menggunakan bahasa (dialek) yang mudah dipahami. Beliau berbicara dengan setiap orang yang datang dari berbagai kabilah dengan logat dan dialeknya masing-masing. Bila perlu, beliau mengulang pembicaraan hingga tiga kali untuk memperjelas dan lebih memantapkan. Dari hadits Rasulullah tersebut dapat kita lihat betapa Rasulullah begitu memperhatikan kondisi psikologis dan tingkat pemahaman murid dalam memberi pengajaran. Menurut Sri Esti, “dalam dunia pendidikan, satu hal yang penting bagi guru dalam hubungannya dengan anak ialah mengetahui hakikat perkembangan anak sehingga mereka akan mengerti bagaimana anak dan remaja tumbuh dan berkembang dalam hal kognitif, sosial, dan moral.”9 Sardiman menyatakan, “proses belajar mengajar sebagai inti dari kegiatan belajar mengajar merupakan proses interaksi dua unsur manusiawi, yakni guru sebagai pihak yang mengajar dan siswa sebagai pihak yang belajar. Dalam situasi ini, siswa menjadi subjek pokoknya.”10 Hal ini bermakna, bahwa interaksi yang sengaja diciptakan berfokus pada kebutuhan dan kemampuan belajar siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Moh. Amin dalam bukunya Humanistic Education. Menurut Moh. Amin, “peranan guru dalam pendidikan humanis adalah secara terus menerus melakukan segala sesuatu untuk membantu siswa membangun self concept mereka. Ini berarti bahwa guru harus memperlakukan setiap orang sebagai individu dengan kebutuhan-kebutuhannya yang tertentu pula.”11 9
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, 2006), h. 70. 10 Sardiman A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 14. 11 Moh. Amin, dkk., op.cit, h. 9.
55
Di samping itu, Zakiah Daradjat menegaskan: Seorang guru yang berpengalaman, tidak berusaha mendorong muridnya untuk mempelajari sesuatu di luar kemampuannya. Dan ia tidak akan memompakan ke otaknya pengetahuan yang tidak sesuai dengan kematangannya atau tidak sejalan dengan pengalamannya yang lalu. Dalam proses mengajar, guru harus memperhatikan keadaan murid, tingkat pertumbuhan dan perbedaan perorangan yang terdapat di antara mereka.12 Belajar hendaknya selalu mempertimbangkan kesesuaian antara materi dengan kemampuan siswa. Yaitu materi pelajaran yang sesuai dengan usia siswa. Salah satu usaha yang dapat dilakukan dalam dunia pendidikan adalah tidak membebani siswa dengan muatan kurikulum yang padat, sehingga siswa tidak tertekan dengan banyaknya materi pelajaran yang harus mereka pahami tanpa mereka tahu alasan mengapa mereka harus mempelajarinya. E. Mulyasa mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengorganisasikan materi pembelajaran diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Materi pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik, baik perkembangan pengetahuan dan cara berfikir maupun perkembangan sosial dan emosionalnya. Pelaksanaan pembelajaran perlu diatur sedemikian rupa agar tidak membosankan dan memberatkan peserta didik. 2) Materi pembelajaran hendaknya dikembangkan dengan memperhatikan kedekatan dengan peserta didik, baik secara fisik maupun psikis. 3) Materi pembelajaran harus dipilih yang bermakna dan bermanfaat bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.13 Selain itu perlu pula memperhatikan perbedaan umur. Anak-anak tidak bisa diberi materi untuk remaja, dan remaja pun tidak bisa diberi materi untuk dewasa. Itulah hal-hal yang selalu diperhatikan oleh para 12
Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), cet. IV, h. 15. E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 155-156. 13
56
ahli pendidikan dalam menentukan materi ajar pada proses pembelajaran yang akan dilakukannya.14 Belajar berhubungan erat dengan kematangan otak dan mental anak didik. Guru yang sukses adalah guru yang memilih bagi anak didiknya pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan tubuh dan mentalnya.
Demikianlah
hadits
ini
memerintahkan
untuk
memperhatikan aspek-aspek humanis dalam mendidik, yaitu dengan memperhatikan tingkatan psikologis siswa dalam belajar. Kematangan mental dan otak anak merupakan hal penting yang perlu diperhatikan oleh pendidik dalam pengaruhnya dalam belajar, dalam mendukung siswa mencapai tujuan-tujuan pembelajaran. 3. Tidak Menghukum Ketika Siswa Melakukan Kesalahan a. Hadits dan Terjemahannya
15
―Menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abu Uwais, ia berkata, Malik menyampaikan kepadaku dari Ibnu Syihab dari Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah dari Abdullah bin Abbas, ia berkata: ―Aku menemui orang yang datang dengan naik keledai, dan ketika itu aku mulai dewasa dan Rasulullah saw [sedang berdiri] melakukan shalat [bersama orang-orang] di Mina [pada waktu haji wada‘] tanpa dinding. Kemudian aku lewat di muka shaf. Dan aku melepaskan keledai itu untuk makan dan minum, lalu aku masuk ke dalam shaf. (Dalam riwayat lain: Kemudian aku ikut berbaris bersama orangorang di belakang Rasulullah saw), dan tidak ada [seorangpun] yang mengingkari hal itu atasku‖.16
14
Firdaus, Metode Pengajaran Rasulullah, (Surabaya: Prenada, 1998), h. 35. Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, op.cit, juz I, no. 18, h. 29. 16 Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 327. 15
57
b. Pemahaman Hadits Hadis ini menunjukkan keagungan perangai Rasulullah saw, dengan memiliki sikap lemah lembut dan mengasihi orang yang belum mengetahui tata cara salat. Dalam beberapa hadits shahih, tersebut bahwa melalui shaf itu dilarang keras. Tetapi Ibnu Abbas tidak ditegur oleh Nabi saw ketika dia melalui shaf, padahal di hadapan shaf itu tidak ada batas atau dinding dan sebagainya. Nabi saw melakukannya karena waktu itu Ibnu Abbas masih anak-anak. Ibnu Abbas menarik kesimpulan dari hadits ini bahwa dibolehkan untuk tidak menegur (mengingkari) karena tidak adanya penghalang. Tapi bukan berarti larangan untuk mengingkari atau menegur itu disebabkan mereka sedang melakukan shalat, karena hadits ini secara mutlak menafikan adanya teguran baik sedang shalat maupun setelah shalat. Lagi pula teguran tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan isyarat. Dalam hadits tersebut Rasulullah memberikan contoh kepada kita untuk tidak marah terhadap anak yang berbuat kesalahan. Begitupun dalam mengajar mereka. Dalam lingkungan pendidikan, seringkali guru memarahi siswa karena mereka tidak sesuai dengan apa yang diinginkan guru. Banyak guru yang menganggap muridnya nakal, sulit diatur, tidak mau mendengar ucapan guru, dan lain-lain. Hingga akhirnya terbentuk stereotype negatif terhadap murid. Padahal sebenarnya siswa melakukan yang dia lakukan bukan atas dasar tanpa alasan, mereka melakukannya semata karena rasa ingin tahunya yang besar. Terlebih bagi anak usia kanak-kanak dan remaja. Sri Esti menyatakan, “masa anak-anak dan remaja merupakan masa dimana anak senang melakukan eksperimen-eksperimen baru.”17 Dorongan untuk mengetahui sesuatu sangat tinggi. Memberikan hukuman terhadap hal atau tindakan salah dari siswa boleh saja, tetapi 17
Sri Esti Wuryani Djiwandono, op.cit., h. 102.
58
tidak asal menghukum. Menghukum merupakan jalan terakhir yang ditempuh guru apabila siswa benar-benar tidak bisa mendengar ucapan guru dan selalu mengulangi kesalahan-kesalahannya. Walaupun begitu, sebaik mungkin,
hendaknya
guru
menasihati mereka
dengan
menggunakan bahasa yang halus. Apabila guru marah dan menghukum siswa yang bermasalah tanpa memberi perhatian dan solusi tepat, justru akan menambah beban bagi siswa. Guru yang pemarah, akan menyebabkan anak didik takut dan malas untuk mengikuti pelajaran. Ketika anak didik tersalah, adakalanya guru harus memberi hukuman, namun hukuman tersebut adalah hukuman yang mendidik. Karena terjatuhnya murid kepada kesalahan adalah hal yang selalu diperkirakan, selama ia masih belajar dan selama nilai-nilainya masih belum terbentuk. Sedangkan kesalahan adalah kesempatan yang paling penting bagi guru untuk menolong anak didik agar bertumbuh dan belajar, sebab manusia belajar dari kesalahannya. Jadi guru harus membimbing dan memperbaiki, bukan menghukum.18 Guru yang humanis harus tetap memberikan pengarahan dan bimbingan serta kasihnya. Dengan demikian, guru benar-benar bisa berperan menjadi orang tua di sekolah bagi para siswanya. Ia tidak lagi menjadi sosok yang terlihat galak dan menakutkan. Ia justru akan menjadi sahabat bagi anak didiknya. Hal inilah yang selalu dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dalam mendidik. Tindakan Rasulullah yang diam dan tidak menegur perbuatan Ibnu Abbas juga karena beliau menganggap Ibnu Abbas masih anak kecil, belum dalam usia baligh. Sehingga ia masih belum bisa membedakan hal yang benar dan salah. Begitupun siswa di sekolah. Usia sekolah yaitu usia kanak-kanak sampai remaja adalah usia anak yang belum dapat membedakan yang benar dan yang salah. Mereka masih dalam tahap pencarian jati diri. Maka sudah sewajarnya apabila
18
Zakiah Daradjat, op.cit, h. 25.
59
anak sering melakukan eksplorasi dan eksperimen-eksperimen terhadap hal-hal baru yang belum ia pahami. Di sinilah tugas guru sebagai pembimbing, yaitu mengarahkan anak tetap pada hal-hal yang positif. Mendukungnya dalam mencari hal-hal yang baru bagi mereka. Bukan justru memarahinya. Sesuai dengan yang dikemukakan Zakiah Daradjat dalam bukunya Kepribadian Guru, Sebagai pembimbing guru hanya mengarahkan ke dalam terciptanya kepribadian siswa yang lebih baik. Guru harus mengetahui betul, bahwa hukuman terhadap murid tidak selamanya diikuti oleh perbaikan dan dorongan baginya untuk maju, bahkan boleh jadi hukuman berakibat sebaliknya, maka si anak menjadi kehilangan kepercayaan kepada diri, atau lari dari situasi belajar, atau membenci sekolah seluruhnya. Oleh karena itu, guru harus menghindari hukuman, kecuali jika terpaksa dan dalam batas peraturan pendidikan, serta atas dasar prinsip-prinsip pendidikan.19 Dengan demikian, hadits ini sesuai dengan prinsip tersebut, yaitu menanamkan nilai pendidikan yang bersifat manusiawi. Rasulullah memerintahkan agar pendidik berperilaku sebagaimana Rasulullah saw. dalam mendidik, tidak marah terhadap anak didik yang melakukan kesalahan, karena berbuat salah masih dalam batas-batas kemanusiaan. 4.
Sikap yang Apa Adanya a. Hadits dan Terjemahannya
20
19
Ibid, h. 25. Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, op.cit, juz I, no. 13, h. 27. 20
60
―Sa‘id ibn ‗Ufair menceritakan kepada kami, ia berkata, Ibnu Wahab menceritakan kepada kami dari Yunus dari Ibnu Syihab, ia berkata, Humaid bin Abdurrahman r.a berkata, ―Saya mendengar Muawiyah berkhutbah, ―Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, ―Jika Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang, maka Dia akan menjadikannya sebagai ahli agama. Saya hanya membagi-bagikan, sedangkan yang memberi adalah Allah. Sebagian dari umat ini akan tetap berpegang teguh pada agama Allah, tidak ada yang dapat mempengaruhinya sampai hari kiamat nanti.‖21 b. Pemahaman Hadits Al-Bukhari pada hadits ini berpendapat bahwa hadits ini berkaitan dengan ilmu, karena hadits tersebut menjelaskan bahwa orang yang mendalami agama Allah akan selalu mendapatkan kebaikan, dan hal ini tidak hanya dapat dicapai oleh manusia dengan usaha saja, tetapi dapat dicapai juga oleh orang yang hatinya telah dibukakan oleh Allah, dan orang semacam itu akan tetap ada sampai hari kiamat nanti.22 Namun secara implisit dalam hadits tersebut terlihat bahwa Rasulullah juga sangat mengedepankan kejujuran dan sikap rendah hati. Beliau tidak pernah berlebih-lebihan. Tersebut dalam perkataannya, “Saya hanya membagi-bagikan, sedangkan yang memberi adalah Allah.‖ Tidak karena beliau menjadi Rasul Allah lalu beliau merasa lebih mengetahui dan lebih mempunyai kemampuan lebih. Beliau selalu apa adanya, tidak semata-mata karena beliau adalah seorang Rasul lalu beliau melebih-lebihkan sesuatu yang tidak pada sebenarnya. Bahwa segala sesuatu adalah hakikat milik Allah swt. Dalam pembelajaran, proses belajar penuh arti akan dapat tercapai jika guru atau fasilitator bersikap tulus, jujur, murni, dan bukan hanya bermain peran untuk mengikuti tuntutan dari sistem. Dalam hal ini Rogers mengatakan, hubungan guru dengan siswa adalah pertemuan pribadi langsung, guru adalah orang yang apa adanya. Dia tidak merasa satu hal dan mengatakan sesuatu yang lain, ia tidak menyembunyikan
21 22
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 311. Ibid, h. 312.
61
perasaannya, baik positif atau negatif. Namun dalam mengekspresikan perasaannya guru harus menerima siswa sebagaimana adanya, sebagai diri mereka sendiri, tanpa menyalahkan atau berpikir negatif terhadap siswa.23 Sikap apa adanya tidak semata-mata menjadi alasan pembolehan untuk menghakimi orang lain atau siswa, untuk memproyeksikan perasaan seseorang pada orang lain, ataupun untuk membenarkan kemarahannya terhadap siswa. Menjadi pendidik yang apa adanya memang tidak mudah, dan harus perlahan-lahan. Lebih lanjut Rogers mengatakan, “for first of all, one must be close to one‘s feelings, capable of being aware of them. Then one must be willing to take the risk of sharing them as they are, inside, not disguising them as judgments, or attributing them to other people.‖24 Dalam bukunya Quantum Teaching, Bobbi De Porter, et.al menggunakan istilah Open The Front Door (OTFD) untuk guru dalam mengkomunikasikan isi pikiran kepada murid. Berikut adalah tahapannya: 1) Observation (nyatakan hasil observasi) Pertama katakan apa yang terjadi dengan cara yang obyektif, teramati, dan lugas, agar kedua pihak memulai pada titik yang sama. Dengan pernyataan fakta, bukan penilaian atau kesimpulan. 2) Thought (nyatakan pemikiran) Selanjutnya, nyatakan pikiran atau pendapat menggunakan pernyataan ”saya”. 3) Feeling (nyatakan perasaan) Ceritakan perasaan kita, juga dalam bentuk ”saya”. 4) Desire (nyatakan apa yang kita inginkan) Nyatakan tujuan, atau hasil yang kita inginkan. 25 Cara lain untuk bersikap „apa adanya‟ adalah dengan mengakui kesalahan yang dilakukan. Bagaimana pun juga, guru adalah manusia 23
Carl Rogers, Summary, Carl Rogers and Humanistic Education, 1977, h. 22. Ibid, h. 22. 25 Bobbi DePorter, et.al, Quantum Teaching, (Bandung: Kaifa, 2000), h. 201. 24
62
biasa yang tidak luput dari salah. Cara guru mengakui kesalahan bisa menjadi proses pembelajaran tersendiri bagi murid-murid. Berikut adalah langkah-langkahnya: a) Acknowledge (akui) b) Apologize (meminta maaf) c) Make it right (selesaikan) d) Recommit (berjanji lagi) Tidak adanya ruang dialogis antara guru dan siswa, seolah-olah guru adalah yang paling benar adalah sikap yang tidak humanis. Implikasi dari sikap guru yang otoriter seperti itu akan berimbas pada pembentukan kepribadian anak didik yang tidak baik. Mereka akan beranggapan bahwa guru adalah sosok yang sangat menakutkan, guru bukan orang yang tepat untuk berbagi (sharing). Praktik pendidikan seperti ini kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensinya. Sehingga hanya akan melahirkan generasi yang pintar secara kognitif, tidak cerdas mengembangkan diri dan kreativitasnya. Dengan demikian, hadits ini mengajarkan untuk menjadi seseorang yang apa adanya. Hal tersebut sesuai dengan prinsip humanis dalam pendidikan, yaitu ”realness is the facilitator of learning”.
B. Metode Pengajaran yang Humanis 1. Metode Simulasi a. Hadits dan Terjemahannya
63
26
―Menyampaikan kepada kami Muhammad ibn Muşanna, katanya hadis dari Abdul Wahhab katanya Ayyub dari Abi Qilabah katanya hadis dari Malik. Kami mendatangi Rasulullah saw dan kami pemuda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau selama dua puluh hari dan malam. Rasulullah saw adalah seorang yang penyayang dan memiliki sifat lembut. Ketika beliau menduga kami ingin pulang dan rindu pada keluarga, beliau menanyakan tentang orang-orang yang kami tinggalkan dan kami memberitahukannya. Beliau bersabda; kembalilah bersama keluargamu dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka dan suruhlah mereka. Beliau menyebutkan hal-hal yang saya hapal dan yang saya tidak hapal. Dan salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat. Dan apabila telah datang waktu shalat, maka adzanlah salah satu diantara kalian dan berimamlah pada yang paling besar diantara kalian.‖27 b. Pemahaman Hadits Hadits ini berkenaan dengan kesungguhan para sahabat yang datang dari Bashrah untuk belajar ilmu dari Rasulullah saw. Setelah 20 hari mereka menimba ilmu dari Rasulullah, Nabi melihat gelagat dan indikator para sahabat kiranya sudah merindukan keluarga mereka yang ditinggalkan selama mereka menuntut ilmu. Nabi lalu mempersilahkan mereka untuk pulang karena dipandang cukuplah masa belajar yang relatif itu karena mereka telah menguasai materi yang diberikan. Nabi lalu berpesan kepada mereka, salah satu diantara pesan tersebut yaitu agar tidak meninggalkan shalat yang telah dicontohkan Nabi kepada mereka.28 Pemberian contoh shalat dengan gerakan-gerakan yang dilakukan Rasulullah tersebut merupakan metode simulasi yang dilakukan Rasulullah saw dalam mengajarkan dan mendidik para sahabat. Rasulullah memang merupakan sosok pendidik yang sangat ideal. Metode simulasi yang diterapkan Rasulullah saw banyak terlihat 26
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, op.cit, juz 3, no. 595, h. 7. 27 Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. . 28 Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012), h. 273.
64
terutama dalam menjelaskan masalah ibadah, seperti ibadah salat, cara berwudhu, dan manasik haji. Dengan demikian pemahaman para sahabat menjadi lebih mantap. Dalam dunia pendidikan, simulasi diartikan yaitu ketika guru memberikan contoh kepada murid, lalu murid secara aktif ikut memeragakannya. Menurut Udin Syaefudin, “simulasi adalah sebuah model yang berisi seperangkat variabel yang menampilkan ciri utama dari sistem kehidupan yang sebenarnya. Simulasi memungkinkan keputusan-keputusan yang menentukan bagaimana ciri-ciri utama itu bisa dimodifikasi secara nyata.”29 Metode simulasi dapat memberikan pengalaman belajar secara langsung kepada siswa. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Sri Esti dalam bukunya Psikologi Pendidikan, “bahwa peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa, guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.”30 Metode ini menuntut lebih banyak aktivitas siswa. Dengan simulasi, siswa akan dapat berpikir sendiri dan memecahkan masalahnya sendiri karena mereka telah dapat berpikir secara terbuka dan mandiri. Hal ini merupakan konsep pendidikan yang humanis yang diajarkan oleh Rasul. Seperti yang telah diketahui, bahwa metode simulasi memberikan keuntungan dalam pembelajaran yaitu dapat membuat murid secara aktif mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh guru. Mereka tidak hanya sebagai pelaku pasif. Guru memberikan contoh agar siswa dapat melihat, mendengar, ataupun merasakan secara langsung materi yang harus diterima siswa, dengan begitu siswa dapat terlibat pula secara langsung. Metode simulasi ini sangat berpengaruh terhadap pencapaian hasil belajar dan tujuan pembelajaran terhadap siswa, karena siswa akan merasa mudah dalam memahami 29
Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin, Perencanaan Pendidikan Pendekatan Komprehensif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 129. 30 Sri Esti Wuryani Djiwandono, op.cit, h. 181.
65
materi karena telah di praktekkan langsung oleh guru. Aktivitas simulasi dapat membuat siswa merasa senang sehingga siswa secara wajar terdorong untuk berpartisipasi.31 Sri
Anitah
mengemukakan
beberapa
keuntungan
yang
didapatkan dari metode simulasi yang dilakukan dalam pembelajaran yaitu sebagai berikut: 1) Siswa dapat melakukan interaksi sosial dan komunikasi dalam kelompoknya 2) Aktivitas siswa cukup tinggi dalam pembelajaran sehingga terlibat langsung dalam pembelajaran 3) Dapat membiasakan siswa untuk memahami permasalahan sosial (merupakan implementasi pembelajaran yang berbasis kontekstual) 4) Dapat membina hubungan personal yang positif 5) Dapat membangkitkan imajinasi 6) Membina hubungan komunikatif dan bekerja sama dalam kelompok.32 Metode simulasi dapat dijadikan bekal bagi siswa dalam menghadapi situasi yang sebenarnya kelak, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, maupun menghadapi dunia kerja. Carl Rogers menyatakan, “students become involved and feel that they learn about real-life situations.‖33 Pembelajaran
yang
mengedepankan
pengalaman
belajar
merupakan pembelajaran yang humanis. Sebagaimana pendapat Combs, bahwa arti penting dari belajar adalah bagaimana membawa diri siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya. Sehingga hadits ini sangat mengedepankan humanisme. Metode simulasi merupakan metode yang dicontohkan Rasulullah dalam memberi pengajaran kepada para sahabat. Metode ini memberikan pengalaman secara langsung agar dapat dihubungkan dengan 31
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 185. 32 Sri Anitah, dkk., Strategi Pembelajaran di SD, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 24. 33 Carl Rogers, op.cit, h. 28.
66
kehidupan. Keteladanan menjadi hal yang perlu dimiliki oleh guru terkait dengan metode ini. Hamd mengatakan bahwa “pendidik itu besar di mata anak didiknya, apa yang dilihat dari gurunya akan ditirunya, karena anak didik akan meniru dan meneladani apa yang dilihat dari gurunya, maka wajiblah guru memberikan teladan yang baik.”34 Mendidik dengan contoh (keteladanan) adalah satu metode pembelajaran yang dianggap besar pengaruhnya. Segala yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam kehidupannya, merupakan cerminan kandungan al-Quran secara utuh. 2. Metode Eksperimen a. Hadits dan Terjemahannya
35
―Adam menyampaikan kepada kami, dia berkata, Syu‘bah menceritakan kepada kami, bahwa Hakam menceritakan kepada kami dari Dzar dari Sa‘id bin Abdurrahman bin Abra dari ayahnya, dia berkata seorang laki-laki datang kepada Umar ibn Khattab, maka katanya saya sedang janabat dan tidak menemukan air, kata Ammar ibn Yasir kepada Umar ibn Khattab, tidakkah anda ingat ketika saya dan anda dalam sebuah perjalanan, ketika itu anda belum salat, sedangkan saya berguling-guling di tanah, kemudian saya salat. Saya menceritakannya kepada Rasul saw. kemudian Rasulullah saw. bersabda: ‖Sebenarnya anda cukup begini‖. Rasul memukulkan kedua 34
Muhammad Hamd Ibrahim, Maal Muallimiin, terj. Ahmad Syaikhu, (Jakarta: Darul Haq, 2002), h. 27. 35 Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, op.cit, juz I, no. 4, h. 92.
67
telapak tangannya ke tanah dan meniupnya kemudian mengusapkan keduanya pada wajah.‖36 b. Pemahaman Hadits Hadits ini berkenaan ketika sahabat Rasulullah saw melakukan upaya atau percobaan pensucian diri dengan berguling di tanah ketika mereka tidak menemukan air untuk mandi janabat. Pada akhirnya Rasulullah
saw
memperbaiki
eksperimen
mereka
dengan
mencontohkan tata cara bersuci menggunakan debu, yaitu Rasulullah memukulkan kedua telapak tangannya ke tanah dan meniupnya kemudian mengusapkan keduanya pada wajah. Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat sejak dahulu juga telah mengenal metode eksperimen, dan Rasulullah saw membetulkan eksperimen mereka dengan cara demonstrasi. Dalam metode eksperimen, seorang guru dapat mengembangkan keterlibatan fisik, mental, dan emosional siswa. Siswa mendapat kesempatan untuk melatih keterampilan proses agar memperoleh hasil belajar yang maksimal. Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap siswa karena pengalaman yang dialami secara langsung dapat tertanam dalam ingatannya. Keterlibatan fisik dan mental serta emosional siswa diharapkan dapat diperkenalkan pada suatu cara atau kondisi pembelajaran yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan juga perilaku yang inovatif dan kreatif. Seperti yang dinyatakan Carl Rogers, tujuan pendidikan adalah dan haruslah dapat membuat siswa berkembang terhadap seluruh kemampuan yang dimilikinya. Karena dengan kemampuan itulah siswa dapat hidup dan survive dalam kehidupannya. Dalam bukunya, Freedom to Learn, Rogers menyatakan bahwa “belajar yang bemakna diperoleh siswa dengan melakukannya. Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu.”37 Pembelajaran dengan metode eksperimen melatih dan mengajar 36 37
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 576. Carl Rogers, op.cit., h. 44.
68
siswa untuk belajar secara aktif dengan mengikuti tahap-tahap pembelajarannya. Dengan demikian, siswa akan menemukan sendiri konsep sesuai dengan hasil yang diperoleh selama pembelajaran. Pentingnya
menggunakan
metode
eksperimen
dalam
pembelajaran yaitu karena dengan eksperimen akan membuat peserta didik mengetahui sesuatu hal yang mereka belum ketahui. Kelebihan metode eksperimen antara lain sebagai berikut: 1) Metode ini dapat membuat anak didik lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaannya sendiri dari pada hanya menerima kata guru atau buku. 2) Anak didik dapat mengembangkan sikap untuk mengadakan studi eksplorasi (menjelajahi) tentang ilmu dan teknologi. 3) Dengan metode ini akan terbina manusia yang dapat membawa terobosan-terobosan baru dengan penemuan sebagai hasil percobaan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kesejahteraan hidup manusia. 4) Anak didik memperoleh pengalaman dan keterampilan dalam melakukan eksperimen 5) Siswa terlibat aktif mengumpulkan fakta dan informasi yang diperlukan untuk percobaan. 6) Dapat menggunakan dan melaksanakan prosedur metode ilmiah dan berfikir ilmiah 7) Dapat memperkaya pengalaman dan berpikir siswa dengan hal-hal yang bersifat objektif, realitas dan menghilangkan verbalisme.38 Dengan metode ini anak didik diharapkan sepenuhnya terlibat merencanakan eksperimen, melakukan eksperimen, menemukan fakta, mengumpulkan data, dan memecahkan masalah yang dihadapinya secara nyata. Pengajaran yang berhasil adalah pengajaran dimana anak-anak didik aktif di dalamnya. Ini tidak terjadi, kecuali jika mereka diberi kesempatan untuk mencoba sendiri dan mendapat pengalaman secara pribadi. Maka dapat disimpulkan bahwa hadits ini sesuai dengan konsep
38
Saiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2000), h. 50.
69
pendidikan yang humanis. Metode eksperimen bertujuan agar terlaksananya
pembelajaran
dengan
melibatkan
seluruh
aspek
perkembangan peserta didik, memberikan kebebasan kepada peserta didik agar dapat mengembangkan seluruh kemampuan pikiran dan inderanya dalam belajar. 3. Metode Tukar Informasi (Diskusi) a. Hadits dan Terjemahannya
39
―Menceritakan kepada kami Abu Yaman, telah mengabarkan kepada kami Syu‘aib dari Zuhri, berkata Abu Abdillah, dan berkata Ibnu Wahab, mengabarkan kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab dari Ubaidillah bin Abdillah bin Abi Tsaur dari Abdillah bin Abbas dari Umar, ia berkata, ―Saya dan tetangga saya dari golongan Anshar di daerah Bani Umayyah bin Zaid —salah satu desa di Madinah— saling bergantian mendatangi Rasulullah saw, dimana dia datang pada suatu hari dan aku datang kepada beliau pada hari yang lain. Jika aku mendatangi beliau, maka aku minta khabar tentang wahyu yang turun pada hari itu dan lainnya, begitu juga bila dia yang mendatangi Rasulullah. Kemudian pada hari gilirannya (mendatangi Rasulullah) dia mengetuk pintu rumahku dengan keras dan berkata, ‗Apakah ada dia?‘ Aku terkejut dan keluar menemuinya, lalu ia berkata, ‗Telah terjadi peristiwa besar…‘ Umar berkata, Kemudian aku mendatangi Hafshah, ternyata dia menangis. Maka aku bertanya apakah Rasulullah 39
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, op.cit, juz I, no. 27, h. 33.
70
menceraikanmu? Hafshah menjawab, ‗Saya tidak tahu‘ Lalu aku (Umar) mendatangi Rasulullah dan berkata –sedangkan aku berdiri-, ‗Apakah engkau menceraikan istri-istrimu?‘ Beliau berkata, ‗Tidak‘ Maka aku mengatakan ‗Allah Maha Besar‘.‖40 b. Pemahaman Hadits Perkataan Umar, “Aku bersama tetanggaku saling bertukar apa yang diturunkan kepada Rasulullah,‖ mengisyaratkan bahwa mereka selalu melakukan tukar menukar informasi dan saling mengajari mengenai wahyu yang diberikan Allah kepada Rasul. Tetangga yang dimaksud adalah Utban bin Malik Ibnu Al-Qasthalani.41 Hadits ini menganjurkan kepada manusia untuk menuntut ilmu, juga anjuran untuk menanyakan sesuatu yang terlewatkan karena ketidakhadirannya pada saat itu. Tukar informasi antara dua orang atau lebih untuk menyelesaikan suatu persoalan dapat dikatakan sebuah diskusi. Kata diskusi berasal dari bahasa Latin yaitu “discussus” yang berarti “to examine”, “investigate” (memeriksa, menyelidik). Secara umum diskusi adalah suatu proses yang melibatkan dua orang atau lebih individu yang berintegrasi secara verbal dan saling berhadapan muka mengenai tujuan atau sasaran yang sudah tertentu melalui tukar menukar informasi, mempertahankan pendapat, atau pemecahan masalah. Metode ini sering digunakan Rasulullah saw bersama para sahabat terutama untuk mencari kata sepakat. Rasulullah saw adalah orang yang paling banyak berdiskusi, meskipun pada dasarnya beliau memiliki wewenang untuk membuat keputusan sendiri. Tetapi, sebagai bentuk rasa keguruan yang terdapat padanya, beliau tidak merasa bosan bahkan sering mengadakan diskusi dengan para sahabat, apabila ada persoalan bersama. Metode diskusi dalam belajar mengajar merupakan salah satu 40 41
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 356. Ibid, h. 357.
71
metode yang sangat baik bila diterapkan dalam lingkungan sekolah karena dengan metode ini murid-murid dibimbing untuk menghayati tata cara kehidupan di kelas yang demokratis. Diskusi adalah suatu percakapan ilmiah oleh beberapa orang yang tergabung dalam satu kelompok untuk saling bertukar pendapat tentang sesuatu masalah atau bersama-sama mencari pemecahan mendapatkan kebenaran atas suatu masalah.42 Engkoswara mengemukakan beberapa tujuan guru menggunakan metode diskusi diantaranya: 1) Memupuk anak untuk berani mengeluarkan pendapat tentang sesuatu persoalan secara bebas. 2) Supaya anak berpikir sendiri, tidak hanya menerima pelajaran dari guru. 3) Memupuk perasaan toleran, memberi kesempatan dan menghargai pendapat orang lain. 4) Melatih anak-anak untuk menggunakan pengetahuan yang telah diperolehnya.43 Hadits ini menunjukkan penerapan metode diskusi dalam proses belajar. Dan mengenai itu Rogers mengatakan, There are many kinds of groups experiences being advocated and practiced, but the basic encounter groups is an unstructured experience in which facilitation helps the groups express itself and the members to interact in such a way as to achieve a meaningful, mutually helpful experience.44 Jelaslah metode diskusi merupakan salah satu metode pengajaran yang mengutamakan nilai-nilai humanis terhadap siswa. Diantara aspek humanis yang terdapat dalam metode diskusi antara lain sebagai berikut: 1) Metode diskusi melibatkan semua siswa secara langsung dalam proses belajar mengajar. 2) Setiap siswa dapat menguji tingkat pengetahuan dan bahan 42
Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 167. Engkoswara, Dasar-dasar Metodologi Pengajaran, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), h. 50. 44 Carl Rogers, op.cit, h. 28. 43
72
pelajarannya masing-masing. 3) Metode diskusi dapat menumbuhkan dan mengembangkan cara berpikir dan sikap ilmiah siswa. 4) Dengan mengajukan dan mempertahankan pendapatnya dalam diskusi, diharapkan para siswa dapat memperoleh kepercayaan akan kemampuan diri sendiri. 5) Metode diskusi dapat menunjang usaha-usaha pengembangan sikap sosial dan sikap demokratis para siswa. Dengan demikian metode ini memberi siswa tanggung jawab untuk mempelajari materi pelajaran dan menjabarkan isinya dalam sebuah kelompok tanpa campur tangan guru.45 Metode ini pun dapat memberi pesan moral kepada siswa yaitu agar siswa memiliki sikap tenggang rasa dan rasa saling membantu dengan temannya. 4. Metode Pembelajaran Gradual dan Menyenangkan a. Hadits dan Terjemahannya
46
―Muhammad ibnu Basyar menyampaikan kepada kami, ia berkata, menceritakan kepada kami Yahya bin Sa‘id, katanya telah menceritakan kepada kami Syu‘bah, ia berkata Abu Tayyah mengatakan kepadaku dari Anas bin Malik bahwasanya Nabi saw telah bersabda: Mudahkanlah dan janganlah mempersulit, gembirakanlah (dalam riwayat lain: jadikanlah tenang) dan janganlah kalian menakutnakuti.‖47 b. Pemahaman Hadits Anas adalah sahabat Rasulullah saw. Ibnu Hajar al-Asqalani mengomentari
hadits
tersebut
dengan
mengatakan
pentingnya
memberikan kemudahan bagi pelajar yang memiliki kesungguhan 45
Melvin L. Silberman, Active Learning, (Bandung: Nuansa, 2012), cet. VII, h. 166. Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, loc.cit, juz I, no. 11, h. 27. 47 Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 308. 46
73
dalam belajar, dalam arti mengajarkan ilmu pengetahuan harus mempertimbangkan
kemampuan
si
pelajar.
Sebagai
pendidik,
Rasulullah saw tidak pernah mempersulit, dengan harapan para sahabat memiliki motivasi yang kuat untuk tetap meningkatkan aktivitas belajar. Rasulullah mengingatkan bahwa memberikan kemudahan kepada orang lain harus selalu dilakukan dalam setiap situasi dan kondisi.48 Adapun hadits ini menyiratkan bahwa dalam mengajarkan suatu ilmu harus menggunakan metode bertahap, karena segala sesuatu jika diawali dengan kemudahan, maka akan dapat memikat hati dan menambah rasa cinta. Berbeda halnya jika pengajaran itu dimulai dengan kesulitan. Dalam pendidikan, metode yang dimaksud adalah metode yang gradual, yaitu memberikan pelajaran dengan berangsur-angsur, tidak sekaligus, bertahap agar lebih bisa diterima oleh peserta didik. Memberikan pelajaran dengan cara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit,
dan
menyenangkan
adalah
metode
pengajaran
Nabi
Muhammad saw termasuk memberikan sekian alternatif (tidak monoton, kaku) terhadap suatu persoalan sehingga orang yang berkepentingan dengan itu mendapatkan apa yang cocok dengan kemampuannya, terpecahkan problem yang dihadapinya dengan menerima keterangan dari Nabi Muhammad saw secara lapang dada dan rasa puas, tidak malah menjemukan. Dari hadits Nabi tersebut terkandung pengertian bahwa dalam memberikan pengajaran, guru harus memiliki tahapan-tahapan. Tahapan-tahapan tersebut ada yang berhubungan dengan materi dan metode. Dalam tahapan mengenai materi, hendaknya materi pembelajaran disusun dengan prinsip sebagai berikut: 1) Bertolak dari hal-hal yang kongkret menuju hal-hal yang 48
Ibid, h. 309.
74
2) 3) 4) 5)
abstrak Dikembangkan dari yang diketahui ke yang belum diketahui Dimulai dari hal-hal yang dekat ke hal-hal yang jauh Dikembangkan dari pengalaman lama ke pengalaman baru Disusun dari hal-hal yang sederhana menuju hal-hal rumit dan kompleks.49
Adapun tahapan yang berhubungan dengan metode dan bentuk berarti bahwa seorang guru hendaknya memulai dari yang tampak sebelum yang tersembunyi, dari yang sederhana sebelum yang pelik, dari yang ringan sebelum yang berat, dan dari yang praktis sebelum teoritis. Pengajaran manusia dimulai dari ilmu yang ringan sebelum yang berat. Maksud ilmu yang ringan adalah yang masalahnya bisa tampak, sedangkan maksud ilmu yang berat adalah yang mendetail. Pengajaran dari bagian-bagiannya sebelum secara keseluruhan. Yang penting seorang guru tidak memulai mengajar murid-muridnya dengan pelajaran yang sulit dan permasalahan yang rumit. Tetapi seharusnya memulai dari yang paling mudah, sebab sesuatu itu jika permulaannya mudah akan mendorong seseorang untuk mendalaminya lebih jauh. Apabila hal-hal yang sifatnya mudah telah terpenuhi, maka menurut teori kebutuhan Maslow, siswa akan mau untuk memenuhi kebutuhan yang selanjutnya, yang bersifat lebih tinggi. Maka itulah pentingnya bagi guru dalam mengajarkan materi secara bertahap kepada siswa, yaitu agar siswa mau untuk terus belajar sehingga dapat tercapainya tujuan pembelajaran yang diharapkan. Abuddin Nata dalam buku Pendidikan dalam Perspektif Hadits mengemukakan bahwa “dalam mentransfer ilmu, seorang guru hendaknya memulai dari hal-hal yang mudah kemudian secara bertahap kepada yang sukar.”50 Sejalan dengan hal tersebut Zakiah Daradjat menegaskan, “penggunaan kata-kata sukar dan samar dalam 49
E. Mulyasa, loc.cit., h. 155. Abuddin Nata dan Fauzan (eds), Pendidikan dalam Perspektif Hadits, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005), cet. I, h. 218. 50
75
mengajar anak didik membaca dan menulis, atau menggunakan metode yang gersang dalam mengajar, akan memalingkan anak dari materi pelajaran, serta menimbulkan kebosanan dalam diri mereka.”51 Selain
metode
bertahap
atau
gradual,
hadits
ini
juga
memerintahkan bahwa mengajar harus menyenangkan bagi siswa. Pembelajaran menyenangkan menjadi perhatian yang cukup menarik karena dalam proses pembelajaran sejatinya harus diusahakan seoptimal mungkin dan memang diyakini bahwa suasana yang menyenangkan dalam proses pembelajaran membantu penguatan pengalaman belajar peserta didik, kesan yang mendalam serta tertanam secara kuat dalam memori peserta didik (long term memory). Metode mengajar menyenangkan merupakan metode pemberian materi pelajaran dengan cara membuat peserta didik bergembira dalam belajar. Menyediakan kondisi yang terbaik untuk belajar, yaitu menciptakan sebuah iklim atau atmosfer yang menyenangkan di setiap ruang kelas. Adanya variasi, kejutan, imajinasi, dan tantangan sangatlah penting dalam menciptakan iklim ini. Dave Meier sebagaimana dikutip oleh Indrawati dan Wawan mengungkapkan suasana gembira dalam pembelajaran menyenangkan bukan berarti suasana ribut, hura-hura, dan kemeriahan yang dangkal. Ciri-ciri suasana belajar yang menyenangkan diantaranya: 1) Rileks 2) Bebas dari tekanan 3) Aman 4) Menarik 5) Bangkitnya minat belajar 6) Adanya keterlibatan penuh dari siswa 7) Perhatian siswa tercurah 8) Lingkungan belajar yang menarik 9) Siswa bersemangat 10) Konsentrasi tinggi 52 Dengan begitu hadits ini mengajarkan untuk menerapkan metode 51
Zakiah Daradjat, op.cit, h. 28. Indrawati dan Wawan Setiawan, Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan Untuk Guru SD, (Jakarta: PPPTK IPA, 2009), h. 16. 52
76
pengajaran bertahap atau gradual dan metode pembelajaran yang menyenangkan. Kedua metode ini begitu mengutamakan sisi kemanusiaan anak. Metode gradual sangat memperhatikan tahapan perkembangan psikologis anak dan metode yang menyenangkan membuat anak tetap bergembira dalam menerima materi pelajaran. Dengan demikian, metode ini harus diterapkan dalam pengajaran sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad saw dalam hadits tersebut. Hadits ini jelas sesuai dengan konsep pendidikan yang humanis karena memerintahkan penggunaan metode gradual dan menyenangkan dalam pengajaran merupakan salah satu hal yang memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan siswa. 5. Metode Pemberian Pujian (Reward) a. Hadits dan Terjemahannya
53
―Menyampaikan kepada kami Abdul Aziz bin Abdillah, beliau berkata, Sulaiman menyampaikan kepadanya dari Umar ibnu Abi Umar dari Sa‘id ibn Abi Sa‘id al-Makbari dari Abu Hurairah, ia berkata: ―Ya Rasulullah, siapakah yang paling berbahagia dengan syafa‘at (pertolongan) anda di hari kiamat?‖ Rasulullah saw bersabda: Saya kira, hai Abu Hurairah, belum ada orang yang bertanya kepadaku tentang perkara ini sebelumnya, mungkin barangkali karena saya lihat engkau sangat antusias untuk mendapatkan hadits. Orang yang paling beruntung mendapatkan pertolonganku di hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah, benar-benar ikhlas dari hati 53
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, op.cit, juz I, no. 33, h. 35.
77
sanubari dan seluruh jiwanya.‖54 b. Pemahaman Hadits Abu Hurairah adalah sahabat Rasul saw. Hadits ini menjadi dalil bahwa sunnah hukumnya memberikan kegembiraan kepada anak didik sebelum
pembelajaran
dimulai.
Sebagaimana
Rasulullah
saw.
mendahulukan sabdanya ‟saya telah menyangka (saya kira)‟, selain itu „karena saya telah melihat engkau sangat antusias untuk mendapatkan hadits‟. Oleh sebab itu perlu memberikan suasana kegembiraan dalam mengajar. Nabi Muhammad saw adalah insan kamil yang dijadikan sebagai suri teladan bagi umat manusia. Dalam pelaksanaan tugas kenabian, menyeru ke jalan Allah swt, Nabi Muhammad saw menggunakan cara yang baik dan bijaksana, sekalipun dengan orang kafir, bukan dengan jalan kekerasan. Melalui hadits ini Rasulullah saw menjelaskan bahwa dalam mengajar ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam merangsang minat siswa dalam belajar yang merupakan motivasi atau dorongan ekstrinsik, diantaranya adalah pemberian pujian (reward). Rasulullah memberikan pujian kepada Abu Hurairah karena Abu Hurairah sangat antusias dalam mendapatkan hadits dari Rasulullah. Dalam pendidikan, pemberian pujian merupakan reward atau penghargaan atas perilaku baik yang dilakukan anak. Reward sebagai bagian
dari
metode
pembelajaran digunakan
sebagai
bentuk
reinforcement (dorongan) dalam proses pembelajaran. Penguatan dalam bentuk pemberian penghargaan dan pujian merupakan salah satu keterampilan mengajar yang harus dimiliki oleh seorang guru sehingga dapat memberikan suatu dorongan kepada anak didik dalam mengikuti pelajaran. Guru menggunakan pujian untuk menumbuhkan rasa siswa tentang harga diri, otonomi, kemandirian, prestasi dan minat
54
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 372.
78
untuk belajar. Secara umum, bentuk reward terdiri dari dua, yaitu berupa materi dan
non
materi.
Bentuk
materi
berupa
benda-benda
yang
menyenangkan dan berguna bagi anak, misalnya pemberian pensil, buku tulis, pemberian gambar bintang, beasiswa dan lain-lain. Sedangkan penghargaan berbentuk non materi berupa kata-kata yang menggembirakan (pujian), ucapan selamat atas prestasi, pemberian tepuk tangan, guru mengangguk-ngangguk tanda senang dan membenarkan suatu jawaban yang diberikan oleh anak didik.55 Menurut Oemar Hamalik, “tujuan pemberian penghargaan dalam belajar adalah bahwa setelah seseorang menerima penghargaan karena telah melakukan kegiatan belajar dengan baik, ia akan terus melakukan kegiatan belajarnya secara mandiri di luar kelas atau sekolah.”56 Islam mengajarkan bahwa barang siapa yang beramal baik, maka Allah swt akan membalas dengan setimpal. Tetapi bagi yang tidak melakukan perintah-Nya akan diberikan peringatan dan siksaan. Menurut Sri Esti, “dari perspektif humanistik, pendidik seharusnya memperhatikan pendidikan lebih responsif terhadap kebutuhan kasih sayang (affective) siswa.”57 Imbalan dapat menumbuhkan minat anak didik dalam belajar. Titik permulaan dalam mengajar yang berhasil bagi guru adalah membangkitkan minat anak didik karena rangsangan tersebut membawa kepada senangnya anak didik terhadap pelajaran, dan meningkatkan semangat mereka. Maka pemberian reward merupakan suatu bentuk penghargaan atas prestasi yang telah diraih seseorang atau bentuk motivasi terhadap apa yang telah diperbuatnya. Reward diberikan guru kepada anak sebagai pendorong, penyemangat dan motivasi sehingga akan membentuk rasa percaya diri pada mereka. Namun satu hal yang perlu diingat oleh guru, dalam memberikan 55
Ngalim Purwanto, op.cit., h. 183. Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, (Bandung: PT Sinar Baru Algesindo, 2000), h. 184. 57 Sri Esti Wuryani Djiwandono, loc.cit, h. 181. 56
79
pujian
juga
harus
dengan
kehati-hatian.
Dalam
pelaksanaan
proses belajar mengajar guru harus menyadari pemberian celaan atau pujian yang berlebihan atau terus menerus akan berpengaruh buruk pada perkembangan jiwa anak. Jelaslah metode pemberian pujian (reward) merupakan suatu bentuk metode pengajaran yang humanis. Walaupun terkesan sederhana tetapi bisa menjadi motivasi tersendiri bagi anak, di samping mereka akan lebih giat dalam belajar juga dapat menumbuhkan persaingan yang sehat antar siswa untuk meningkatkan prestasi. Dengan minat yang tinggi maka siswa akan siap mengikuti pelajaran dengan senang hati, penuh perhatian dan lebih terarah beraktivitas dalam proses belajar. 6.
Metode Kontrak Belajar a. Hadits dan Terjemahannya
58
―Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan, beliau berkata, telah menceritakan kepada kami Amru. Ia berkata, Sa‘id bin Jubair mengabarkan kepadaku. Ia berkata, Saya mengatakan kepada Ibnu Abbas, … Khidhir berkata, ―Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Wahai Musa, sesungguhnya aku diberi ilmu yang Allah ajarkan kepadaku dan tidak diketahui olehmu, dan engkau diberi pengetahuan dari Allah yang tidak aku ketahui.‖ Musa berkata, ―Insya Allah kamu akan mendapatkan aku sebagai orang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan apapun …‖.59
b. Pemahaman Hadits
58
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, op.cit, juz I, no. 44, h. 41. 59 Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 417.
80
Hadits ini berkenaan dengan diperintahkannya Nabi Musa a.s oleh Allah swt untuk menemui Nabi Khidhir a.s karena kelalaian Nabi Musa a.s dalam menjawab pertanyaan seseorang dari bani Israil. Ia menjawab pertanyaan tersebut tanpa mengembalikannya kepada Allah, maka Allah swt menegur Musa. Lalu diperintahkanlah Nabi Musa a.s untuk menemui Nabi Khidhir a.s. Dalam pertemuannya dengan Nabi Khidhir itu, terdapat beberapa dialog diantaranya perkataan Khidhir ketika pertama kali bertemu dengan Musa, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.” Lalu Musa berkata kepada Khidhir, “Insya Allah kamu akan mendapatkan aku sebagai orang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan apapun.” Dialog antara Nabi Musa dan Nabi Khidhir tersebut menggambarkan adanya suatu perjanjian di antara mereka. Nabi Musa ingin diajarkan beberapa ilmu oleh Nabi Khidhir. Kemudian Nabi Khidhir a.s meminta Musa untuk bersabar apabila ia ingin tetap bersamanya. Musa pun lalu menyetujui hal tersebut. Dalam penggalan hadits tersebut terdapat penggunaan metode pengajaran yang dilakukan Nabi Khidhir a.s terhadap Nabi Musa a.s, yaitu metode kontrak belajar. “Belajar yang timbul dari keinginan sendiri acapkali lebih mendalam dan lebih permanen ketimbang belajar yang diarahkan oleh guru. Namun demikian, guru harus memastikan bahwa kesetujuan terhadap apa dan bagaimana sesuatu akan dipelajari haruslah jelas.”60 Salah satu cara untuk mewujudkan hal ini adalah dengan kontrak belajar. Metode Learning Contract atau kontrak belajar adalah metode yang dikembangkan guru untuk mengidentifikasi berbagai kebutuhan siswa dalam pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang hendak dikerjakan siswa untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Learning 60
Melvin L. Silberman, op.cit, h. 207.
81
Contract dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, memberikan cara belajar baru bagi siswa, meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar, serta mengetahui karakteristik belajar siswa. Metode pembelajaran Learning Contract merupakan metode pembelajaran yang humanis. Rogers mengatakan, “class discussion can become freer—students aren‘t worried about the effects on their grades of disagreeing with the instructor.‖61 Dengan metode ini, siswa menjadi lebih bebas dalam kelas, karena segala sesuatu yang terjadi di kelas telah disepakati oleh siswa dan guru sebelum pembelajaran di mulai. Metode ini mengarahkan siswa untuk belajar mandiri, tetapi peran guru juga sangat penting dalam membantu siswa menemukan cara belajarnya. Penyusunan kontrak belajar yang efektif harus melibatkan andil siswa dalam proses implementasinya. Hendaknya guru menyadari bahwa metode apapun digunakan untuk menyusun materi pengajarannya, tidak akan berhasil dengan baik apabila anak didik tidak berperan serta dalam merencanakan dan dalam kegiatan pengajaran yang berhubungan dengan materi tersebut. Dengan begitu, penggunaan kontrak belajar membuat siswa mengetahui dan memahami tujuan belajar yang akan mereka capai, karena mereka telah merencanakannya sendiri. Hal ini juga dapat mempermudah guru dalam pencapaian tujuan belajar yang telah direncanakan. Sehingga
metode
ini
termasuk metode
yang dianjurkan
penggunaannya menurut hadits. Yaitu perlunya terjalin kerjasama yang baik antara guru dengan siswa selama proses pembelajaran ke depan. Sebagaimana Zakiah Daradjat telah menjelaskan bahwa dalam menyusun materi pengajaran, kegiatan belajar, atau situasi belajar, jangan memandang kepada guru dari seginya sendiri, akan tetapi harus dipandang kepadanya dari segi murid yang ditujukan kepadanya proses belajar. Dengan demikian pengajaran akan mempunyai bekas yang 61
Carl Rogers, op.cit., h. 27.
82
kekal dalam diri anak didik. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan pengikut-sertaan anak didik dalam membuat langkahlangkah dan merangsang sebanyak mungkin kegiatan mereka.62 7.
Metode Tanya Jawab a. Hadits dan Terjemahannya
63
‖Ismail menyampaikan kepada kami, beliau berkata, menyampaikan kepadaku Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah saw bersabda, sesungguhnya di antara pohonpohon ada pohon yang tidak jatuh daunnya, pohon tersebut seperti orang muslim, beritahu aku pohon apakah itu?‖ Orang-orang menyangka pohon tersebut adalah pohon belukar, sedangkan aku menduga pohon tersebut adalah pohon kurma. Abdullah berkata, ―Ya Rasulullah, beritahu kami pohon apakah itu?‖ Maka Rasulullah menjawab, ―Pohon kurma‖.‖64 b. Pemahaman Hadits Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Ath‘imah dari jalur A‟masyi dikatakan, telah menceritakan kepadaku Mujahid dari Ibnu Umar dan berkata, “Ketika kami sedang bersama Rasulullah saw datanglah
seseorang
membawa
kurma.”
Kemudian
Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya kurma adalah pohon yang kuberkahi sebagaimana orang muslim kuberkahi.” Keberkahan kurma terdapat pada setiap bagiannya, mulai dari muncul buahnya hingga dikeringkan dan dapat dimakan.65
62
Zakiah Daradjat, loc.cit, h. 28. Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, op.cit, juz I, no. 50, h. 44. 64 Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 271. 65 Ibid, h. 272. 63
83
Dalam hadits ini
Abu Awanah dalam kitab shahihnya
menerangkan dari jalur Mujahid dari Ibnu Umar tentang perkataan Ibnu Umar “Aku menduga pohon tersebut adalah kurma yang dibawa oleh beliau.‖ Dalam redaksi tersebut terdapat petunjuk, bahwa ketika memberi pertanyaan harus melihat kepada faktor-faktor yang ada di sekelilingnya ketika pertanyaan tersebut dilontarkan. Kemudian hendaknya pertanyaan yang ditanyakan tidak terlalu umum, supaya tidak membingungkan bagi yang akan menjawab. Terlihat dalam hadits tersebut Rasulullah saw menerapkan metode tanya jawab dalam menyampaikan pengajaran. Metode tanya jawab sering dilakukan oleh Rasul saw dalam mendidik akhlak para sahabat. Pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini yaitu seorang pengajar dapat menguji kemampuan muridnya dengan apa yang tersembunyi dan memberitahukannya jika mereka tidak mengetahui hal tersebut. “Dalam mengajar, metode bertanya merupakan teknik penyajian pelajaran dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab, terutama dari guru kepada siswa dan dapat pula dari siswa kepada guru.”66 Metode ini dapat diklasifikasikan sebagai metode tradisional atau konvensional. Dialog yang terbangun dari tanya jawab akan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya tentang sesuatu yang tidak mereka pahami. Pada dasarnya metode tanya jawab adalah tindak lanjut dari penyajian ceramah yang disampaikan pendidik. Dalam hal penggunaan metode ini, Rasulullah saw menanyakan kepada para sahabat tentang penguasaan terhadap suatu masalah. Dalam proses tanya jawab terdapat pola hubungan interaksi multi arah. Dalam memberikan pertanyaan, guru yang demokratis tidak akan menjawabnya sendiri, tetapi akan melemparkan pertanyaan dari siswa kepada siswa atau kelompok lainnya. Selain itu, ia pun tidak akan menjelaskan sampai tuntas tentang apa jawaban dari pertanyaan yang
66
Saiful Bahri Djamarah, op.cit, h. 107.
84
diajukannya. Dari pertanyaan ini akan muncul beberapa orang yang akan berinteraksi di dalam pertanyaan tersebut. Dalam penggunaan metode mengajar di dalam kelas, tidak hanya guru saja yang senantiasa berbicara seperti halnya metode ceramah, melainkan mencakup pertanyaan pertanyaan dan penyumbang ide-ide dari pihak siswa. Dengan metode tanya jawab, pertanyaan yang diajukan mengumpan siswa berpikir kritis pada pokok bahasan yang sedang dipelajari. Eksistensi peran guru dalam upaya membelajarkan siswa dituntut multi peran sehingga menciptakan kondisi belajar mengajar yang efektif. Dengan metode ini, apabila guru selalu mengapresiasi setiap pertanyaan maupun jawaban siswa, akan menciptakan daya dorong dan rasa senang bagi siswa dalam belajar. Mereka akan merasa bahwa jawabannya dihargai oleh guru. Dengan demikian, guru dan semua siswa belajar dengan perasaan senang (joyful learning), bukan dengan perasaan takut ditunjuk oleh gurunya untuk menjawab pertanyaan. Oleh karena itu, penggunaan metode tanya jawab akan lebih efektif jika diikuti dengan metode lain, misalnya penugasan atau latihan, atau demonstrasi.
Para tokoh teori pendidikan humanis tidak banyak membahas tentang penggunaan metode ini. Dengan begitu penulis menyimpulkan bahwa penggunaan metode ini dibolehkan saja asal tidak berlebihan dalam penggunaannya. Metode tanya jawab dapat dikatakan humanis, karena metode ini dapat menarik dan memusatkan perhatian siswa, sekalipun ketika itu siswa sedang ribut, yang mengantuk kembali tegar dan hilang kantuknya. Merangsang siswa untuk melatih dan mengembangkan daya pikir, termasuk daya ingatan. Mengembangkan keberanian
dan
keterampilan
siswa
dalam
menjawab
dan
mengemukakan pendapat. Pembahasan mengenai metode tanya jawab pada hadits ini merupakan metode yang baik untuk diterapkan dalam lingkungan pembelajaran.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Pendidikan humanis menekankan pentingnya memahami setiap individu sebagai seorang manusia sesuai fitrahnya. Banyaknya hadits yang membahas pentingnya menerapkan konsep humanis dalam memberikan pengajaran merupakan sebuah bukti bahwa kajian mengenai konsep pendidikan ini telah lama diajarkan oleh Rasulullah saw. 2. Pendidik yang humanis adalah pendidik yang memperlakukan anak didiknya sesuai dengan potensi mereka, tanpa memaksa, dan menekan siswa menjadi seseorang yang bukan dirinya. Setiap siswa memiliki potensi masing-masing, berbeda antara satu dan lainnya. Dalam hadits, seorang pendidik yang humanis haruslah dapat memberi pengajaran sesuai tingkatan psikologis siswa, menghindari pemberian pengajaran setiap waktu karena dikhawatirkan siswa akan merasa bosan, tegas terhadap siswa tanpa harus marah, dan sikap yang apa adanya. Pendidik harus mampu memunculkan rasa kasih sayang, mampu memberi motivasi, dan menumbuhkan suasana belajar dialogis di dalam kelas. 3. Metode humanis merupakan cara guru memberikan kebebasan kepada siswa dalam berpikir dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Dalam metode belajar yang humanis, guru harus mengoptimalkan seluruh potensi siswa agar dapat berpikir kritis dan mengembangkan kemampuannya dalam keterampilan dan sikap. Dalam hadits,
metode
pembelajaran
yang
humanis
harus
selalu
mempertimbangkan aspek psikologis siswa. Metode-metode pembelajaran humanis dalam hadits antara lain metode simulasi, metode eksperimen, metode tukar informasi, metode yang menyenangkan, metode pemberian reward, metode kontrak beajar dan metode tanya jawab.
85
86
B. Implikasi Implikasi dari penelitian ini adalah: 1. Perkataan maupun perbuatan Nabi yang terkandung di dalam hadits dapat dijadikan sumber rujukan bagi para pendidik dalam melakukan pengajaran yang baik dalam pendidikan Islam. 2. Berbagai pelatihan mengenai peningkatan kompetensi pendidik harus senantiasa dilakukan untuk mengembangkan kemampuan pendidik dalam mengajar siswa dengan metode-metode yang humanis. C. Saran 1. Bagi pendidik, harus mampu memahami potensi dan psikologis siswa demi tercapainya kegiatan belajar mengajar yang kondusif dan efektif. Siswa yang malas, nakal, dan lambat dalam belajar hendaknya diberikan pendekatan yang intensif dan personal oleh guru. Dengan begitu mereka akan terbuka dan merasa termotivasi untuk belajar. 2. Dalam mengajar hendaknya pendidik tidak selalu menggunakan metode pengajaran yang sifatnya satu arah. Penggunaan metode pengajaran multi arah akan memudahkan siswa dalam memahami materi pelajaran, sehingga mereka merasa senang dan tidak bosan dalam belajar. 3. Bagi lembaga pendidikan, agar menerapkan sistem pengajaran yang mengutamakan
prinsip-prinsip
humanisme.
Lembaga
pendidikan
hendaknya menyiapkan guru yang kompeten dan mampu mengajar siswa dengan metode-metode belajar yang humanis.
DAFTAR PUSTAKA
Alimi, Ibnu Ahmad. Tokoh dan Ulama Hadis. Sidoaro: Mashun, 2008. Ahmadi, Abu. dan Widodo Supriyono. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta, 2013. Amin, Moh. dkk. Humanistic Education. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Pendidikan Tinggi, 1979. Anitah, Sri. dkk. Strategi Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas Terbuka, 2007. Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Asqalani, Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar. Fathul Baari Syarah: Shahih Al Bukhari. Jakarta: Pustaka Azzam, 2002. Azwar, Saefudin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Bukhari, Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah al-Ja’fi. Shahih Bukhari. Daar al-Fikr. Dadang. Teori Belajar Humanisme Arthur W. Combs Meaning; Makalah Ilmu Pendidikan dan Perpustakaan. 2013. (Error! Hyperlink reference not valid.). Daradjat, Zakiah. Kepribadian Guru. Jakarta: Bulan Bintang, 2005. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. DePorter, Bobbi. Quantum Teaching. Bandung: Kaifa, 2000. Djamarah, Saiful Bahri. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2000. Djiwandono, Sri Esti Wuryani. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006. Engkoswara. Dasar-dasar Metodologi Pengajaran. Jakarta: Bina Aksara, 1988. Farid, Syaikh Ahmad. 60 Biografi Ulama Salaf. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008. Firdaus. Metode Pengajaran Rasulullah. Surabaya: Prenada, 1998.
87
88
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara, 2013. Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2000. Hamalik, Oemar. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: PT Sinar Baru Algesindo, 2000. Herlina,
Nina. Metode Pembelajaran Kelompok. 2013. (http://herlinanina22.blogspot.com/2013/02/metode-pembelajarankelompok.html).
Ibrahim, Muhammad Hamd. Maal Muallimiin, terj. Ahmad Syaikhu. Jakarta: Darul Haq, 2002. Ibrahim, Sulaeman. Pendidikan Sebagai Imperialisme dalam Merombak Pola Pikir Intelektualisme Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Indrawati., dan Wawan Setiawan. Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan Untuk Guru SD. Jakarta: PPPTK IPA, 2009. Khaeruman, Badri. Otentisitas Hadis. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah, 2008. _________. Ulumul Hadits. Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah, 2005. Luddin, Muchlis R. Negara, Pendidikan Humanis dan Globalisasi. Jakarta: PT. Karya Mandiri Pers, 2008. Malik, Imam. Muwattha, Bab an-Nahyu ‘anil Qauly bil Qadari. Jakarta: Pustaka Azzam, 2010. Mangunhadjana, A. Isme-isme dari A sampai Z. Yogyakarta: Kanisius, 1997. Mangunwijaya, Y.B. Mencari Visi Dasar Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius, 2001. Mcgrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006. Muhdi, Ali. Ideologi dan Paradigma Pendidikan Nasional Dalam Buku Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Fahioma, 2007. Mulkhan, Abdul Munir. Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002. Mulyasa, E. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.
89
Nata, Abuddin. dan Fauzan (eds). Pendidikan dalam Perspektif Hadits. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005. __________. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Nizar, Samsul. Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001. Okezone.com News & Entertainment. Kualitas Guru Rendah, Penyakit Utama Pendidikan Indonesia. 2013. (http://kampus.okezone.com/read/2013/01 /02/373/740458/kualitas-guru-rendah-penyakit-utama-pendidikanindonesia). Positivego. Masalah Pendidikan di Indonesia dan Solusinya. (http://positivego.blogspot.com/2012/11/masalah-pendidikan-diindonesia.html).
2012.
Purwanto, Ngalim. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997. Qomari, Anwar. Pendidikan Sebagai Karakter Budaya Bangsa. Jakarta: UHAMKA Press, 2003. Rajabi, Mahmud. Horison Manusia. Jakarta: al-Huda, 2006. Rogers, Carl. Carl Rogers and Humanistic Education. 1977. Sanjaya, Wina. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Sardiman, A.M. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Silberman, Melvin L. Active Learning. Bandung: Nuansa, 2012. Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Suralaga, Fadilah. dkk. Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005. Suryabrata, Sumadi. Metode Penelitian. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998. Suryosubroto. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Susilo, Eko. Dasar-dasar Pendidikan. Semarang: Effhar, 1990. Syaefudin, Udin. dan Abin Syamsuddin. Perencanaan Pendidikan Pendekatan Komprehensif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005.
90
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosdakarya, 2005. Tandjung, Zainal Arifin. Sejarah Singkat Filsafat Modern: dari Descartes sampai Wittgenstein. Jakarta: Pantja Simpati, 1984. Tilaar, H.A.R. Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas RI, 2003. Veugelers, Wiel (ed). Education and Humanism. Netherland: Sense Publishers, 2011. Witherington, H.C. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Aksara Baru, 1978. Zamroni. Pendidikan untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society. Yogyakarta: Bigraf, 2001. Zucca-Scott, Laura. International Education. 2010.
UJI REFERENSI Seluruh referensi yang digunakan dalam penulisan skripsi yang berjudul
*Konsep
pendidikan Humanis Dalam Perspektif Hadits" yang disusun oleh Suci Nurpratiwi
NIM
109011000240 Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas
dan Keguruan
IIIN
Ilmu Tarbiyah
Syarif Hidayatullah lakarta, telah diuji kebenarannya oleh
pembimbing skripsi padatatggal 12 Desember 2013.
J
=Dosen Pembimbing SkriPsi
Dr. Jejen Musfah. MA NrP. 19770602 200501 1 004
akart4 1 2 Desemb er 20
13
UJI REFERE,NSI
Judul Buku
Nama Pengarang
Halaman
No. I
A. Mangunhadlana
Isme-isme dari
A
sampai
93
7.
2. a
J.
Abdul Maiid Khon Abdul Munir Mulkhan
)) )\q
Ulumul Hadits
Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam Psikologi Belajar
4.
Abu Ahmadi dan Widodo
5.
Suorivono Abuddin Nata dan Fauzan (eds) Perspektif Hadits
Pendidikan
7.
Abuddin Nata Ahmad Tafsir
8.
Al
Imam A1 Hafizh Ibnu
Hajar Al Asqalani
Filsafat Pendidikan Islam Ilmu Pendidikan dalam Persoektif Islam Fathul Baari Syarah: Shahih Al Bukhari
lp
V 28,207, 2r8,247, 248
6.
V
95
237,238 dalam
Paraf
9t 26
272,308, 309,312,
b-
\,c
r !V
357 9.
Ali Muhdi
Ideologi dan Paradigma
18
Pendidikan
Nasional dalam Buku Konfigurasi
Politik
tr
Pendidikan
Nasional 10.
Alister E. Mcgrath
11
Anwar Qomari
t2.
Armai Arief
13.
Badri Khaeruman
Sejarah
Pemikiran Reformasi, diterjemahkan oleh Liem Sien Kie
53
Pendidikan
42
Sebagai Karakter Budaya Bangsa Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam Otentisitas Hadis
lt*
183,185
b194,195, 199
14. 15.
t6.
Bobbi DePorter, et.al Carl Rogers Dadang
Ouantum Teachins Carl Rogers and Humanistic Education Teori Belajar Humanisme Combs
Arthur W.
Meaning; Makalah Ilmu
t-
201
22,27,28, 42,44
V-
tr F-
L
Pendidikan
dan
Perpustakaan.20ll 17.
Departemen Pendidikan
18.
Nasional E. Mulyasa
24.
Eko Susilo Engkoswara
2t.
Fadhilah Suralaga, dkk
19.
22.
Firdaus
H.A.R. Tilaar
24.
H.C. Witherington
Kamus Besar
Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru Dasar-dasar Pendidikan Dasar-dasar Metodologi Pengaiaran Pendidikan dalam Perspektif Islam Metode Pengajaran Rasulullah Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif \stmodernisme dan Sthdi Kultural Psikologi Pendidikan, Terj. dari Educational
Psikologi
Psychology 25. 26.
Ibnu Ahmad
'Alimi
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail
oleh
27.
Buchori Tokoh dan Ulama Hadis Shahih Bukhari
28. 29.
30. 31. 32.
J5. 34.
Imam Malik Laura Zucca-Scott
Muhammad
36. 37.
Ibrahim Munzier Suparta Nealim Purwanto Nina Herlina
38.
Penelitian
Hamd
I
55,
ts6
t9 46,50
\[ li-
b35
l}-
tt9 v 77
V 181, 186
le.
27,29,33, 35,41,44, q)
It
80,179, r81
Muwattha
t323
Humanism in Education, International Education Horison Manusia Ulumul Hadits Active Learning Humanistic Education Negara, Pendidikan Humanis dan Globalisasi Maal Muallimiin, terj. Ahmad Syaikhu Ilmu Hadits Psikoloei Pendidikan Pembelaiaran
Metode
L
133
Kualitatif
The Importance of
Mahmud Raiabi Majid Khon,.dkk Melvin L. Silberman Moh. Amin, dkk Muchlis R. Luddin
35.
Metode
F
M.
Ibn Ibrahim Ibn
alMughirah Ibn Bardizbah al-Ja'fr al-Bukhari lmam Gunawan
412
p w
34
it 31
V
2,242,243
l,-
166,207
u
8,9
b
48
27
h,
L
49.50.239 183
t0-
t
Kelompok 39.
Administrasi
Oemar Hamalik
dan
44,45
Supervisi Pengembangan Kurikulum 40.
Psikologi Belajar
Oemar Hamalik
dan
\P 184 ti-
Mensaiar 41.
Okezone.com News & Kualitas Guru Rendah,
42.
Positivego
43. 44.
Saefudin Azwar Saiful Bahri Djamarah
45.
Utama Pendidikan Indonesia Masalah Pendidikan di Indonesia dan Solusinya Metode Penelitian
Guru dan Anak Didik
Samsul Nizar
46. 47.
Sri Anitah, dkk
48.
Sri
Esti
p
Penyakit
Entertainment
Wuryani
dalam Interaksi Edukatif Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam Interaksi dan Motivasi Belaiar Mensaiar Shategi Pembelajaran di SD Psikologi Pendidikan
Djiwandono
t' 89.91 50, ta7
t
F
97-98
t t4 24
tl-
P
70,84, L02, 187,181, 345,348,
u.
349 49. 50.
Sumadi Suryabrata Suryosubroto
51. 52. 53.
Sutrisno Hadi Syaikh Ahmad Farid Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin
54.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
56.
W el Veuselers (ed) Wina Sanjaya
57.
Y.B. Mangunwijaya
58.
Zainal Arifin Tandjung
55.
59.
ZakiahDaradiat
RI
Metode Penelitian Proses Belajar Mengajar di Sekolah Metodolosi Research 60 Biosrafi Ulama Salaf Perencanaan Pendidikan Pendekatan Komprehensif
Undang-undang
RI
8
t67 46.47 467 129
l'-
L L tt
I
8
Nomor 20 Tahun 2003
Tentang
Sistem Pendidikan Nasional Education and Humanism Perencanaan dan Desain Sistem Pembelaiaran Mencari Dasar Pendidikan Sejarah Singkat Filsafat Modern: dui Descartes sampai Wittsenstein Kepribadian Guru
Visi
lL I 178, lgl 160
'tr
u-
I
32t
L 11.15.17.
tF
60.
Zarr:-r.oni
Pendidikan
untuk Tantangan Menuiu Civil Societv
Demokrasi:
Dosen Pembimbing
Dr. Jeien Musfah. MA NrP. 19770602 200s01 1 004
18,19,24, 25-28.33 24
u