ISHLAH DALAM PERSPEKTIF HADITS (KAJIAN HADITS DENGAN PENDEKATAN TEMATIK) Ahmad Bastari Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
Abstrak Agama Islam adalah agama yang “rahmatan lil ‘alamiin”. Agama yang tidak hanya mengatur dan menaungi tidak hanya kelompok terkecil dari masyarakat yaitu keluarga, mengatur dan menaungi kehidupan intern umat Islam tapi juga mengatur dan menaungi kehidpan antar umat Islam dan umat-umat lainnya. Makalah ini akan menampilkan salah satu cara yang mengatur intern umat Islam dari level terkecil yaitu keluarga sampai level terbesar yaitu Negara, dan mengatur hubungan antar umat Islam dengan umat lainnya dengan mengedepankan ‘ishlah’. Kata kunci: Ishlah, Hadits, Hadits Tematik
A. Pendahuluan Dengan tidak menafikan fakta historis adanya kehidupan yang serba aman dan sejahtera, tetapi dalam masa-masa tertentu kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sejarah panjang peradaban manusia selalu diwarnai konflik dan pertikaian, dari level komunitas terkecil seperti rumah tangga ke tingkat komunitas menengah seperti antara elit partai, kelompok dan golongan, hingga komunitas terbesar antar bangsa dan blok Negara. Konflik tersebut seakan-akan tak pernah reda, kerusuhan social berlatar belakang konflik Suku, Agama dan Ras (SARA) seakanakan mewabah ke seluruh pelosok kehidupan yang dilatarbelakangi Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
139
Ahmad Bastari
oleh berbagai motif dan kepentingan. Konflik tersebut terjadi salah satu penyebabnya adalah karena hilangnya nilai-nilai kebajikan, kemanusiaan, kedamaan dan persaudaraan, baik antar individu maupun antar komunitas (kelompok). Dalam hal ini usaha-usaha untuk merekonsiliasi dan memperbaiki hubungan (ishlah) antar pihak-pihak yang bertikai sangat diperlukan demi terciptanya sebuah kehidupan yang penuh harmoni, damai dan saling pengertian. Dalam konteks ishlah inilah para Nabi dan rasul diutus oleh Allah SWT. ke dunia ini untuk menebarkan rahmat dan kedamaian di alam ini.1 Pada tingkat konseptual, al-Qur’an dan al sunnah telah mengemukakan secara gamblang tentang hakekat ishlah dalam berbagai konteks makna dan penggunaannya. Pada tingkat praktis kita dapat melihatnya dalam praktek-praktek yang pernah dicontohkan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Pada masa ini upaya kearah ishlah di antara sesama manusia baik dalam konteks individu maupun kelompok dan yang lebih luas lagi seperti antar Negara dapat dimulai dengan mengkaji pesan-pesan moral yang terangkum dan terdokumenkan dalam hadits Nabi yang dalam paper ini akan mencoba akan mengkajinya dengan menggunakan pendekatan tematik (maudhu’iy). B. Ishlah : Definisi dan aplikasinya
Secara bahasa, kata islah berasal dari kata ( ) َص ُل َحyang berarti baik dan bagus, kata ( ) َص ُل َحsering dilawankan dengan kata ( ) َف َس َدrusak. Dalam pemakaiannya kedua kata tersebut dipakai dalam konteks verbal,2 sementara kata ( ) َا ْص َل َحbiasanya khusus dipakai untuk menghilangkan persengketaan di kalangan manusia, tetapi jika dipakai oleh Allah SWT., maka ( ) َا ْص َل َحadalah kadang-kadang dilakukan dengan melalui proses penciptaan yang sempurna, kadang-kadang yang menghilangkan suatu kejelekan / kerusakan setelah keberadaannya dan kadang-kadang dengan melalui penegakan hukum (aturan) terhadapnya.3 Ibrahim Madkur dalam Mu’jamnya berpendapat bahwa kata Lihat QS. Al Anbiya’ : 107 Lihat QS. At Taubah : 102 3 Ar-Raghb al-Asfahany, Mu’jam Mufradat alfad al-Qur’an, (Beirut : Dar al Fikr, tt), h. 292 1 2
140
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Ishlah Dalam Perspektif Hadits
ishlah yang berasal dari kata ( ) َا ْص َل َحmengandung dua makna yaitu: manfaat dan keserasian serta terhindar dari kerusakan, sehingga jika kata tersebut terbentuk imbuhan; ( اح ٌ ) ِا ْص َلmaka berarti menghilangkan segala sifat pemusnahan dan pertikaian antara dua belah pihak, dan berarti menghilangkan dan menghentikan segala bentuk permusuhan.4 Sementara Ibnu Manzur berpendapat bahwa kata bermakna sebagai anti tesis dari kata (اح ٌ ) ِا ْص َلdari kata ( ) َا ْص َل َحbiasanya mengindikasikan rehabilitasi setelah terjadi kerusakan, sehingga dimaknai dengan “perbaikan”. Manusia salah satu makhluk Allah SWT. yang mempunyai dua dimensi fisik dan psikis, jasad dan ruh, dari dimensi tersebut berimbas pada keberadaannya di mana ia sebagai makhluk individu dan juga social, kedua sisi tersebut saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dan bahkan dalam aspek yang kedua inilah yang lebih menonjol sehingga ia tdak pernah lepas dari hubungan antar sesama. Dalam sosialisasi pergaulan, sikap emosi antara individu satu dengan yang lain relative variatif, ada yang bertemperamen rendah (sabar), ada yang sedang dan ada yang tinggi, sehingga wajar kadangkadang terjadi perselisihan dalam bersosialisasi. Dalam hal ini Islam telah menyadari kondisi tersebut, sehingga ia memberikan fasilitas lembaga ishlah jika ternyata terjadi perselisihan yang tidak dapat dielakkan. Dalam proses penyelesaian konflik, Islam mendorong dan memfasilitasi proses penyelesaian dengan memberikan prestasi bagi siapa dari yang bersengketa lebih dahulu mengedepankan sikap ksatrianya yaitu dengan mengedepankan ishlah atas gap yang telah terjadi. C. Ishlah dalam hadits Nabi
Tema ini jika dilihat dari kitab-kitab hadits yang standar (كتب )التسعة, hanya Bukhary yang membahas dan dimasukkan dalam bab khusus yaitu bab shulh, sementara yang lain, hadits-hadits tersebut dimasukkan dalam berbagai bab dan pembahasan.5
Ibrahim Madkur, al Mu’jam al Wajiz, (tp. Tt), h. 368 Dalam pemaparan hadits yang sesuai dengan tema, karena keterbatasan halaman makalah, maka yang dipaparkan hanya hadits yang berasal dari Bukhary dan sebagian kitab lain. Adapun kitab-kitab lain hanya penulis jadikan syahid dan tabi’ 4 5
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
141
Ahmad Bastari
Dalam pembahasan al Bukhary memulai dengan mencantumkan firman Allah SWT. QS. An Nisa : 114 :6
ﭒ ﭓﭔﭕﭖﭗﭘﭙﭚ ﭛ ﭜﭝﭞﭟﭠ ﭡﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.”
Al-Thabaary menuturkan sebab turunnya ayat tersebut mengenai keinginan seseorang (Thu’mah) untuk membela keluarganya meskipun bersalah dengan membisikkan masalahnya kepada Nabi.7 Masalah ini terjadi di kalangan masyarakat sesuai dengan kepentingan dan interest masing-masing. Perintah bersedekah, melakukan ma’ruf dan upaya melakukan perbaikan di antara manusia yang dikecualikan dari pembicaraan rahasia yang buruk, menunjukkan bahwa amalan-amalan menjadi terpuji bila dilakukan dengan rahasia. Ketiga hal tersebut pada hakekatnya tidak keluar dari memberi manfaat dan menolak mudharat, pemberian manfaat dapat disimbolkan dengan ma’ruf, sementara yang menolak mudharat disimbolkan dengan perbaikan (ishlah) antar manusia.8 Dari hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Bukhary9 dapat dikelompokkan menjadi beberapa topik.10 yang hanya penulis cantumkan nomor haditsnya saja. 6 Muhammad bin Ismail al Bukhary, Shahih al-Bukhary, jilid III, (Dar Ihya al ‘Arabiyyah, tt.), h. 221 7 Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabary, Jami’ al Bayan ‘an Ta’wili alQur’an, Jilid 1, (Beirut: Dar al Fikr, 1988), h. 342 8 M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah, (Ciputat: Lentera Hati), vol. 2, 2000, h. 561 9 Dari hadits-hadits yang berkaitan dengan topic ini jika dilihat dari kualitas sanadnya adalah shahih dan ma’ruf. Oleh karena itu penulis mendapatkan kesulitan untuk melacak secara tematis dari hadits-hadits tersebut dalam berbagai hadits selain Bukhary. Tetapi penulis hanya akan menunjukkan nomor hadits sesuai dengan isyarat dari Mu’jam sebagai syahid atau tabi’ dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhary. 10 Dalam kitab-kitab hadits lain (kutub al Tis’ah) tidak ada yang membahas
142
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Ishlah Dalam Perspektif Hadits
1. Upaya perbaikan konflik antar manusia bukan sikap hipokrit Kata ishlah dalam ayat tersebut dikaitkan dengan pembisikan sehingga seolah-olah ia bagian dari profokator dan hipokratif. Hal ini seperti hadits yang bersumber dari Ummi Kultsum.11
ٍ َح َّدثَنَا َع ْب ُد ا ْل َع ِزي ِز بْ ُن َع ْب ِد ال َّل ِه َح َّدثَنَا ِ�إبْ َرا ِه ُيم بْ ُن َس ْع ٍد َع ْن َصا ِل ٍح َع ْن ابْ ِن ِش َها ب أَ� َّن ُح َم ْي َد يَقُو ُل الر ْح َم ِن أَ� ْخبَ َرهُ أَ� َّن أُ� َّم ُه أُ� َّم كُ ْلثُو ٍم ِب ْن َت ُع ْقبَ َة أَ� ْخبَ َرتْ ُه أَ�نَّ َها َس ِم َع ْت َر ُسو َل ال َّل ِه َّ بْ َن َع ْب ِد )س فَيَ ْن ِمي َخ ْي ًرا أَ� ْو يَقُو ُل َخ ْي ًرا (رواه البخارى ِ اب ا َّل ِذي ي ُ ْص ِل ُح ب َ ْي َن ال َّنا ُ َل ْي َس ا ْلك ََّذ
“Ummi Kulsum binti Uqbah ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Bukanlah sang pendusta yang mendamaikan antar manusia sebab dia dituntut untuk menyampaikan atau mengucapkan kebajikan”.
Kata ( ) يَن ِْميdalam hadits tersebut yang difathah fa fi’ilny dan dikasrah lam fi’il berarti (menumbuhkan). Hal ini jika informasi yang sampai yang datang tersebut dalam bentuk ishlah dan sesuatu yang mengajak kebaikan, tetapi jika informasi yang datang tersebut dalam bentuk perusakan dan provokatif, maka hal tersebut akan diungkapkan dengan kata ( ( ) َص َّل َحdengan menggunakan tasydid).12 Ibnu Hajar memberikan catatan bahwa dalam matan Hadits tersebut terjadi syak perawi yaitu dengan adanya ungkapa () ُي ْص ِل ُح. Para ‘Ulama berpendapat sepertiyang dikutip oleh Ibnu Hajar bahwa yang dimaksud oleh ungkapan (اب ا َّل ِذي ُي ْص ِل ُح ُ )لَ ْي َس ا ْل َك َّذadalah bahwa ia menyampaikan segala kebaikan yang ia ketahui dan mendiamkan kejahatan yang ia ketahui. Hal ini tidak dikategorikan sebagai kebohongan karena kebohongan adalah menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kejadiannya, padahal dalam peristiwa ini si informan adalah no comment.13
masalah ini sebagai topic khusus, justru hadits-hadits yang dikelompokkan oleh Bukhary dalam topic ini terdapat dalam berbagai bab, dan di antara bab yang paling banyak adalah masalah jihad, qadha dan lan-lain. Oleh karena itu penulis mendapatkan kesulitan untuk melacak secara tematis dari hadits-hadits tersebut dalam kitab hadits selain Bukhary. Tetapi penulis hanya akan menunjukkan nomor hadits sesuai dengan isyarat dari mu’jam sebagai syahid atau tabi’ dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhary. 11 Untuk menterjemahkan hadits, penulis menterjemahkan mulai thabaqat sahabat hingga matan, adapun sebelum thabaq cukup dicantumkan dalam sanad. 12 Hadits ini dapat dilihat dalam Shahih Muslim: 2605, At Tirmidzi: 1938, Abu Daud: 4920, 4921, Ahmad: 26727 13 Al Imam al Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqalany, Fath al Bary, (Beirut: Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
143
Ahmad Bastari
Berbeda dengan pendapat sebagian ulama bahwa dalam halhal tertentu kebolehan sikap bohong jika dinilai dengan niat baik, tetapi menurut hadits tersebut sekali bohong tetap bohong dalam kondisi apa dan bagaimanapun. Adapun peristiwa dalam hadits tersebut tidak dikategorikan kebohongan karena ia hanya mendiamkan bukan menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai dengan faktanya.14 2. Ishlah dalam hutang piutang
َحدَّ َثنَا َع ْب ُد ال َّل ِه ْب ُن ُم َح َّم ٍد َحدَّ َثنَا ُع ْث َمانُ ْب ُن ُع َم َر َ�أ ْخ َب َرنَا ُيو ُن ُس َو َق َال ال َّل ْي ُث َحدَّ ثَ ِني ُيو ُن ُس َع ْن َ َاب َ�أ ْخ َب َر ِني َع ْب ُد ال َّل ِه ْب ُن َك ْع ٍب َ�أنَّ َك ْع َب ْب َن َما ِل ٍك َ�أ ْخ َب َر ُه َ�أ َّن ُه تَ َق اضى ا ْب َن َ�أ ِبي َحدْ َر ٍد ٍ ا ْب ِن ِشه ِفي ا ْل َم ْس ِج ِد َفا ْرتَ َف َع ْت َ�أ ْص َوا ُت ُه َما َحتَّى َس ِم َعهَا ول ال َّل ِه ِ َد ْينًا َكانَ لَ ُه َع َل ْي ِه ِفي َعه ِْد َر ُس ُ ول ال َّل ِه َص َّلى ال َّل ُه َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َو ُه َو ِفي بَ ْي ٍت َف َخ َر َج َر ُس ُ َر ُس ِ�إلَ ْي ِه َما َحتَّى َك َش َف ول ال َّل ِه َ ِس ْج َف ُح ْج َر ِت ِه َفنَادَى َك ْع َب ْب َن َما ِل ٍك َف َق َال َيا َك ْع ُب َف َق َال لَ َّب ْي َك َيا َر ُس ْول ال َّل ِه َف َأ� َشا َر ِب َي ِد ِه َ�أن ُ ول ال َّل ِه َف َق َال َر ُس َ الش ْط َر َف َق َال َك ْع ٌب َقدْ َف َع ْل ُت يَا َر ُس َّ َض ْع ُق ْم َفا ْق ِض ِه ول ال َّل ِه “Pada masa Rasulullah, Ka’ab bin Malik pernah cek cok dengan Ibn Abi Hadrad atas hutangnya di dalam masjid dengan suara yang lantang sehingga didengar oleh Rasulullah saw. Ketika beliau di rumah, lalu rasulullah keluar menjumpai mereka berdua sehingga terbukalah tirai dindingnya lantas beliau memanggil Ka’ab bin Malik seraya menyeru : Ya Ka’ab lantas Ka’ab menyahut dengan mengacungkan tangan sehinga di atas tirai lalu Ka’ab mengatakan: telah saya lakukan Rasulullah, maka Rasulullah saw, bersabda : berdirilah dan selesaikan”.
Hadits di atas menceritakan ishlah masalah kasus hutang piutang, Ibn Battal seperti dikutip oleh Ibnu Hajar berpendapat bahwa orang yang berhutang (gharim) boleh mengadakan ishlah dengan orang yang dihutangi dengan membayar nominal yang lebih sedikit dari yang semestinya jika waktu pelunasan telah jatuh tempo mengadakan ishlah bahkan ia wajib untuk menyelesaikannya.15 Dar al Fikr, tt, Juz. 5), h, 639 14 Imam Muslim dan juga An Nasa’I sebagaimana dikutip oleh An Nawawi meriwayatkan dari Ya’kub bn Ibrahim bahwa tidak ada kesempatan bagi manusia untuk berbohong kecuali dalam tiga yaitu ketika perang, kebijakan suami terhadap isterinya dan ishlah antara manusia. Lihat An Nawawi Syarh Muslim, (Beirut: Dar al Fikr, tt), h. 139 15 Al Imam al Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqalany, Fath al Bary…, h.
144
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Ishlah Dalam Perspektif Hadits
Jika masalah wan prestasi adalah merupakan salah satu kasus dari benih criminal yang akan menyita hak orang lain dengan tidak sah, maka pencurian dan semisalnya adalah merupakan induknya (dlulm).16 Dalam hal ini al-Qur’an memandang bahwa ishlah dalam kasus tersebut yang dijelaskan dalam QS. Al Maidah : 39 :
ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ
“Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, Maka Sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dalam ayat tersebut ishlah diidentikkan dengan proses taubat, oleh karena itu ia tidak menghalangi dari pertanggung jawab atas kedholiman yang telah dilakukan. Sementara Ishlah nya adalah merehabilitasi moralnya yang telah cidera dan kembali kepada kesuciannya, dan konsekuensi ishlahnya adalah karena ia dituntut pertanggung jawab di dunia, melainkan ia hanya akan dibebaskan pertanggung jawab di akhirat nanti jika ia memang bertaubat dan berishlah.17 3. Mengedepankan Ishlah lebih baik
َحدَّ ثَنَا ُق َت ْي َب ُة ْب ُن َس ِع ٍيد َحدَّ ثَنَا ُس ْف َيانُ َع ْن ِه َش ِام ْب ِن ُع ْر َو َة َع ْن َ�أ ِب ِيه َع ْن َعا ِئ َش َة َر ِض َي ال َّل ُه َع ْنهَا { َو ِ�إنْ ا ْم َر َ�أ ٌة َخا َف ْت ِم ْن بَ ْع ِلهَا ُن ُشوزًا َ�أ ْو ِ�إ ْع َراضً ا } َقالَ ْت ُه َو ال َّر ُج ُل يَ َرى ِم ْن ا ْم َر َ�أ ِت ِه َما ُ َلا ُي ْع ِج ُب ُه ِك َب ًرا َ�أ ْو َغ ْي َر ُه َف ُي ِري ُد ِف َرا َقهَا َف َت ُق ول َ�أ ْم ِس ْك ِني َوا ْق ِس ْم ِلي َما ِشئ َْت َقا َل ْت َف َلا َب ْأ� َس َ ِ�إ َذا تَ َر اض َيا
“Dari Aisyah ra. : “dan seroang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap berpaling dari suaminya” ia mengatakan bahwa laki-laki tersebut melihat isterinya sudah tidak menarik lantas ia ingin menceraikannya. Lalu wanita tersbut mengatakan: “tetap ikatlah (gaulilah) aku dan silakan gilir (dengan isteri lain) aku sekehendak engkau”. Aisyah mengatakan bahwa ia tidak apa-apa asal saling rela”. 653
Lihat al Maidah: 39-40; di mana ishlah konteks tersebut merupakan penyelesaian dari kasus criminal (pencurian). 17 Muhammad Ali al Shabuny, Shafwah al Tafasir, (Beirut: Dar al Fikr, tt, J.1), h. 314 16
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
145
Ahmad Bastari
Hadits ini oleh Bukhary dijadikan sebagai penjelas bagi sebab turunnya surat An Nisa : 128
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟﭠ ﭡ ﭢﭣ ﭤ ﭥ ﭦﭧ “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. “
Dalam ayat tersebut dikhawatirkan seorang wanita kehilangan ikatan, nafkah dan kasih sayang dari suaminya, maka jika ia masih merasa mampu untuk bertahan dengan menyadari bahwa hal tersebut adalah bagian dari liku-liku kehidupannya, maka tidak ada salah dan hinanya ia mengadakan upaya perbaikan (ishlah) dengan suaminya dengan melepaskan sebagian haknya secara suka rela, baik dengan kekurangan nafaqah, waktu giliran demi melanggengkan ikatan yang dianggap sakral. Ayat itu turun dilatar belakangi oleh kasus seorang wanita yang akan diceraika oleh suaminya karena ia telah habis kesayangan kepada wanita tersebut, tetapi karena wanita tersebut mempertimbangkan nasib anaknya, maka ia merelakan sebagian haknya untuk dikurangi, baik nafkah lahir maupun batinnya dan rela dimadu. Dari kasus ini akhirnya ayat tersebut menegaskan bahwa tindakan yang diambil oleh wanita tersebut adalah dianggap yang terbaik: ( ) َا ْص َلح, karena menurut al-Qur’an, penyebab konflik tersebut tidak lain karena keserakahan ُّ ), maka jika ada yang mau mengalah, niscaya konflik akan nafsu ( الش ُّح terhindarkan.18 Memang balasan dari sebuah kejahatan yang setimpal dan itulah adil. Tetapi lebih dari itu al-Qur’an lebih mengedepankan kemaslahatan yang lebih memihak kepada kedua belah pihak, oleh karena itu sikap toleran akan mendapatkan penghargaan khusus dari Allah SWT., bukan kemenangannya, sebaliknya akan dikecam olehallah karena kedhalimannya, bukan karena kekalahan.
ﮬ ﮭ ﮮ ﮯﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ Ahmad Musthafa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, juz II, (Beirut: Dar al Fikr,
18
tt), h. 172
146
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Ishlah Dalam Perspektif Hadits
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Al Syura : 40)
4. Ishlah yang didasarkan atas kebohongan adalah batal
عَن َ�أ ِبي ُه َر ْي َر َة َو َز ْي ِد ْب ِن ْ َحدَّ َثنَا �آ َد ُم َحدَّ َثنَا ا ْب ُن َ�أ ِبي ِذ ْئ ٍب َحدَّ َثنَا ال ُّزه ِْر ُّي ع َْن عُ َب ْي ِد ال َّل ِه ْب ِن عَ ْب ِد ال َّل ِه َ َخا ِل ٍد ا ْل ُج َه ِن ِّي َر ِض َي ال َّل ُه َع ْن ُه َما َقا َلا َجا َء َ�أعْ َرا ِب ٌّي َف َق َال يَا َر ُس َاب ال َّل ِه َف َقا َم ِ ول ال َّل ِه ا ْق ِض بَ ْي َننَا ِب ِكت َاب ال َّل ِه َف َق َال ا ْل َأ�عْ َرا ِب ُّي ِ�إنَّ ا ْب ِني َكا َن ع َِسي ًفا َع َلى َه َذا َف َزنَى ِ َخ ْص ُم ُه َف َق َال َصدَقَ ا ْق ِض بَ ْي َننَا ِب ِكت ِبا ْم َر َ�أ ِت ِه َف َقا ُلوا ِلي َع َلى ا ْب ِن َك ال َّر ْج ُم َف َف َد ْي ُت ا ْب ِني ِم ْن ُه ِب ِما َئ ٍة ِم ْن ا ْل َغن َِم َو َو ِلي َد ٍة ُث َّم َس َأ� ْل ُت َ�أه َْل ا ْل ِع ْل ِم َام َف َق َال ال َّن ِب ُّي َص َّلى ال َّل ُه َع َل ْي ِه َو َس َّل َم َل َأ� ْق ِض َي َّن َب ْين َُك َما ُ َف َقا ُلوا ِ إ� َّن َما َع َلى ا ْب ِن َك َج ْل ُد ِمائَ ٍة َوتَ ْغ ِر ٍ يب ع يب عَ ٍام َو َ�أ َّما َ�أن َْت يَا ُ�أنَ ْي ُس ُ َاب ال َّل ِه َ�أ َّما ا ْل َو ِلي َد ُة َوا ْل َغ َن ُم َف َردٌّ َع َل ْي َك َو َع َلى ا ْب ِن َك َج ْل ُد ِمائَ ٍة َوتَ ْغ ِر ِ ِب ِكت ِل َر ُج ٍل َف ْاغ ُد َع َلى ا ْم َر َ�أ ِة َه َذا َفا ْر ُج ْمهَا َف َغدَا عَ َل ْيهَا ُ�أنَ ْي ٌس َف َر َج َمهَا “Dari Abi Hurairah dan Zaidd bin Khalid al Juhaini ra. Berkata : telah datang orang Arab Badui seraya berkata : Wahai Rasulullah, hukumlah kami ini dengan kitab Allah SWT., lalu bangunkanlah lawan perkaranya seraya berkata: Benar, hukumilah di antara kami ini dengan kitab Allah SWT., lalu Arab Badui berkata: sesungguhnya anak sya telah jatuh cinta sehingga terjadi perzinahan. Setelah itu mereka mengatakan kepada saya bahwa anak saya harus dirajam, lalu anak saya, saya tebus dengan seratus ekor kambing dan seorang budak perempuan, kemudian saya menanyakan kepada orang yang ajli ternyata mereka mengatakan bahwa anakmu harus dirajam dan dibuang selama 1 tahun, lalu Nabi saw saya akan hukumi kalian berdua dengan kitab Allah SWT., adapun budak dan kambing itu kembalikan dan ambil lagi sementara anakmu harus dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun, adapun engkau (Anis) adalah hak seseorang maka pulanglah dan rajamlah, lalu a pulang dan merajamnya”.19
Sebagian ulama hadits ada yang mempermasalahkan sebagian sanad hadits dengan dalil sebagai sanadnya ada yang tidak diketahui identitasnya. Anggapan tersebut ditepis oleh Ibnu Hajar bahwa hal itu sesuati yang naï�f bagi Bukhari dalam meriwayatkan hadits. Hadits ini dijadikan Bukhary sebagai Tabi’ bagi hadits di atas, atas dasar penunjukan bahwa segala sesuatu keputusan (hukum/aturan) jika tidak sesuai atau berlainan dengan apa yang ditetapkan baik dalam al-Qur>an maupun hadits yang shahih, maka hal tersebut dikategorikan sebagai tindakan yang mesti tertolak karena tidak sesuai dengan yang disyariatkan. Demikian juga dalam kasus ishlah yang tidak 19
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
147
Ahmad Bastari
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa hadits di atas berkaitan dengan perdamaian (perjanjian) yang dilakukan atas sesuatu yang akan dijatuhihad, tetapi ia ingin berpaling / menghindar dari hukum tersebut. Dalam kasus ini ternyata ishlah tidak dapat diterima, karena perkara yang akan di ishlah kan adalah perkara yang penyelesaiannya melalui proses hudud, sementara motif ishlahnya murni hanya untuk menghindari dari tanggung jawab hukum. Dengan demikian ishlah yang boleh dilakukan adalah ishlah dalam masalah kemanusiaan yang tidak dalam cakupan wilayah hudud, saya tidak untuk menghindar dari tanggung jawab hukum, dan jika ternyata hal tersebut dilakukan, maka ishlah tersebut dikategorikan sebagai sesuatu yang jaur.20 Ishlah dalam model ini dianggap jaur, karena pada hakekatnya bukan untuk mencapai kemaslahatan dan menghindarkan mafsadah, tetapi murni hanya sebagai dalil untuk menghindar dari tanggung jawab hukum. 5. Hasil kesepakatan / ishlah tidak boleh dilanggar
َحدَّ ثَنَا ُم َح َّم ُد ْب ُن بَ َّش ٍار َحدَّ ثَنَا ُغ ْن َد ٌر َحدَّ ثَنَا ُش ْع َب ُة ع َْن َ�أ ِبي ِ إ� ْس َحاقَ َق َال َس ِم ْع ُت ا ْل َب َرا َء ْب َن عَ ِاز ٍب ُ َر ِض َي ال َّل ُه َع ْن ُه َما َق َال لَ َّما َصالَ َح َر ُس َ�أه َْل ا ْل ُح َد ْي ِب َي ِة َكت ََب عَ ِل ُّي ْب ُن َ�أ ِبي َطا ِل ٍب بَ ْي َن ُه ْم ول ال َّل ِه
ُ ول ال َّل ِه َف َق َال ا ْل ُم ْش ِر ُكونَ َلا ت َْكت ُْب ُم َح َّمدٌ َر ُس ُ ِكتَابًا َف َكت ََب ُم َح َّمدٌ َر ُس ول ال َّل ِه لَ ْو ُكن َْت َر ُسولًا لَ ْم ُ ُن َقا ِت ْل َك َف َق َال ِل َع ِل ٍّي ا ْم ُح ُه َف َق َال َع ِل ٌّي َما َ�أنَا ِبا َّل ِذي َ�أ ْم َحا ُه َف َم َحا ُه َر ُس ِب َي ِد ِه َو َصا َل َح ُه ْم ول ال َّل ِه أ أ أ اح ِّ ُاح َف َس َأ� ُلو ُه َما ُج ُل َّبان ِّ عَ َلى َ�نْ يَدْ ُخ َل ُه َو َو َ� ْص َحا ُب ُه ثَ َلاثَ َة َ� َّي ٍام َو َلا يَدْ ُخ ُلوهَا ِ إ� َّلا ِب ُج ُل َّب ِان ِ الس َل ِ الس َل اب ِب َما ِف ِيه ُ َف َق َال ا ْل ِق َر “Al Barra’ bin Azb berkata : ketika Rasulullah mengadakan perjanjian dengan masyarakat Hudaibiyah, Ali bin Abi Thalib menulis perjanjian di antara mereka, lantas ia menulis “Muhammad Rasulullah”. Lalu orang musyrik berkata: jangan engkau tulis “Muhammad Rasulullah”, seandainya engkau seorang rasul kami tidak akan membunuh engkau, mereka menyuruh Ali untuk menghapusnya, lalu Ali menolaknya, lalu Rasulullah menghapusnya sendiri dengan tangannya dan beliau mengadakan perjanjian dengan mereka bahwa beliau akan memasuki dalam wilayahnya, maka tindakan tersebut dikategorikan sebagai tindakan yang jaur. Lihat Al Imam al Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqalany, Fath al Bary..., h. 640 20 Ibid.
148
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Ishlah Dalam Perspektif Hadits
kota Mekkah dengan sahabatnya selama tiga hari, dan tidak boleh masuk Makkah kecuali hanya dengan memakai senjata yaitu hanya sarungnya dan pedang”.
Dalam riwayat di atas membicarakan masalah hasil atau kedudukan ishlah yang tidak diketahui oleh umum, dalam hadits tersebut tidak dicantumkan nama kakek atau Qabilahnya. Hal tersebut mungkin dilakukan jika masalah tersebut memang masyhur sehingga tidak perlu untuk mencantumkan nama kakek dan lain-lain. Oleh karena itu apapun hasil / kesepakatan ishlah harus dijalankan.21 Ishlah dalam hadits di atas adalah ishlah dalam konflik social, dimana kedua belah pihak harus menghargai dan menghormati hasil proses ishlah dari kedua belah kelompok. Tetapi jika konflik tersebut adalah konflik individu (keluarga), maka proses shlahnya harus melalui juru diplomatic, seperti yang ditegaskan dalam QS. An Nisa : 35
ﭾﭿﮀ ﮁﮂﮃﮄﮅﮆﮇﮈﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suamiisteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Al Maraghi menjelaskan bahwa khitab dalam ayat tersebut secara dhahir ditunjukkkan kepada suami isteri, tetapi juga mencakp semua orang yang menyaksikan peristiwa tersebut lebih khusus adalah kaum kerabatnya agar berupaya untuk menyelesaikan masalah tersebut jika menyaksikan. Pengupayaan damai oleh pihak ketiga dari masing-masing keluarga suam isteri tersebut diharapkan agar antar satu pihak dengan yang lain tidak terlalu mudah untuk melanggar dan mengingkari hasil kesepakatan yang telah dicapai.22 6. Ishlah untuk semua golongan
َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْ ُن َرا ِف ٍع َح َّدثَنَا ُس َريْ ُج بْ ُن ال ُّن ْع َما ِن َح َّدثَنَا فُلَ ْي ٌح َع ْن نَا ِف ٍع َع ْن ابْ ِن ُع َم َر َر ِض َي ش ب َ ْينَ ُه َوب َ ْي َن ا ْلبَ ْي ِت فَنَ َح َر َه ْدي َ ُه ٍ ْ َخ َر َج ُم ْعتَ ِم ًرا فَ َحا َل كُفَّا ُر قُ َري ال َّل ُه َع ْن ُه َما أَ� َّن َر ُسو َل ال َّل ِه 643
Al Imam al Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqalany, Fath al Bary…, h.
21 22
Ahmad Musthafa al Maraghi, Tafsir al Maraghi…, Jilid. 5, h. 30
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
149
Ahmad Bastari
اضا ُه ْم َعلَى أَ� ْن ي َ ْعتَ ِم َر ا ْل َع َام ا ْل ُم ْقب َِل َولَا ي َ ْح ِم َل ِسلَا ًحا َعلَ ْيه ِْم ِ�إلَّا َ ََو َحلَ َق َر ْأ� َس ُه بِا ْل ُح َديْ ِبيَ ِة َوق ُسيُوفًا َولَا ي ُ ِق َيم ِب َها ِ�إلَّا َما أَ� َح ُّبوا فَا ْعتَ َم َر ِم ْن ا ْل َعا ِم ا ْل ُم ْق ِب ِل ف ََد َخلَ َها كَ َما كَا َن َصا َل َح ُه ْم فَلَ َّما أَ�قَ َام ِب َها ثَلَاثًا أَ� َم ُروهُ أَ� ْن ي َ ْخ ُر َج فَ َخ َر َج
“Dari Umar ra. Rasulullah saw, keluar mengerjakan umrah, lalu dihalangi oleh orang-orang kafir Quraisy untuk ke ka’bah kemudian beliau menyembelih binatang qurbannya dan mencukur kepalanya di Hudaibiyah, kemudian beliau memberi keputusan kepada mereka bahwa beliau akan melakukan umrahpada tahun mendatang dengan tidak membawa senjata kecuali pedang dan tidak boleh tinggal kecuali diizinkan maka ia melakukan umrah pada tahun mendatang seperti yang telah disepakati, setelah mereka tinggal 3 hari, mereka disuruh keluar, lantas keluar’23
Jika dilihat dari isyarat hadits di atas, serta tabi’nya, maka perjanjian yang menuju kepada ishlah harus ditepati yang tidak pandang siapa yang mengadakan perjanjian, baik di kalangan orang muslim maupun non muslim, sehingga diharapkan ishlah tersebut betul-betul objektif dan jauh dari pengaruh subjektifitas masingmasing, semata-mata adalah tujuan utama dari ishlah itu sendiri yang kemaslahatan. Hal ini sebagaimana Musa ketika hendak membela dan memenangkan kelompoknya yang berkelahi atas yang lain, tindakan Musa dikategorikan sebagai tindakan yang semena-mena yang hanya mencari kemenangan bukan kemaslahatan dan kedamaian. Hal ini disebutkan dalam QS. Al Qashash : 1924
ﯓﯔﯕﯖﯗﯘﯙ ﯚﯛﯜ ﯝﯞﯟﯠ ﯡ ﯢ
ﯣ ﯤﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ “Maka tatkala Musa hendak memegang dengan keras orang yang menjadi musuh keduanya, musuhnya berkata: “Hai Musa, apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin Telah membunuh seorang manusia? kamu tidak bermaksud melainkan hendak menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan tiadalah kamu hendak menjadi salah seorang dari orang-orang yang mengadakan perdamaian”.
Lihat Shahih Bukhary: 2702, Shahih Muslim: 1669, al Tirmidzi: 1432, 4714, 4715, 486, Abu Dawud: 4520, 4521, Ahmad: 6031 24 Ahmad Musthafa al Maraghi, Tafsir al Maraghi…, Jilid. 7, h. 46 23
150
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Ishlah Dalam Perspektif Hadits
7. Ishlah terhadap perkara qishash tidak menggugurkan had yang diajukan oleh lawan perkara
الرب َ ِّي َع َو ِه َي ُّ َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْ ُن َع ْب ِد ال َّل ِه الْ�أَنْ َصار ُِّي قَا َل َح َّدث َ ِني ُح َم ْي ٌد أَ� َّن أَ�نَ ًسا َح َّدث َ ُه ْم أَ� َّن ف أََ� َم َر ُه ْم ابْنَ ُة ال َّن ْض ِر ك ََس َر ْت ث َ ِن َّي َة َجا ِري َ ٍة فَ َطلَبُوا الْ� أَ ْر َش َو َطلَبُوا ا ْل َعف َْو ف أََ�ب َ ْوا ف أََ�تَ ْوا ال َّنب َِّي الرب َ ِّي ِع يَا َر ُسو َل ال َّل ِه لَا َوا َّل ِذي ب َ َعثَ َك بِا ْل َح ِّق لَا ِ بِا ْل ِق َصا ُّ ص فَقَا َل أَ�نَ ُس بْ ُن ال َّن ْض ِر أَ�تُك َْس ُر ث َ ِن َّي ُة ِ�إ َّن ِم ْن اص فَ َر ِض َي ا ْلق َْو ُم َو َعف َْوا فَقَا َل ال َّنب ُِّي ُ اب ال َّل ِه ا ْل ِق َص ُ َتُك َْس ُر ث َ ِن َّيتُ َها فَقَا َل يَا أَ�نَ ُس ِكت ُِعبَا ِد ال َّل ِه َم ْن َل ْو أَ� ْق َس َم َعلَى ال َّل ِه لَ�أَب َ َّره
“Anas bercerita bahwa Rabi, mematahkan gigi serinya seorang budak lantas mereka menuntut diyat sementara ia meminta maaf tetapi mereka enggan, lalu mendatangi Nabi saw, lantas Nabi memerintahkan mereka untuk melaksanakan qishash, lalu Anas berkata: ya Rasulullah apakah gigi Rabi’ harus dipatahkan juga? Demi Dzat yang mengutusmu dengan haq, jangan engkau patahkan gigi Rabi’, lalu Rasulullah menjawab: Wahai Anas, kitab/hukum Allah SWT., memutuskan untuk diqishash, lalu mereka rela dan saling memaafkan, seraya Nabi bersabda; Sesungguhnya hamba Allah SWT. yang baik itu jika ia bersumpah atas nama Allah SWT., ia akan melakukan (kebaikan)nya”.
Peristiwa hadits di atas bahwa suatu perkara yang telah dikategorikan oleh syara’ sebagai kategori qishash, sementara lawan perkaranya mau berishlah dengan membayar diyat, maka si mushlih tidak boleh untuk mengelak. Dan jika ia mengelak, maka yang berlaku adalah hukum asalnya (qishash). Karena dalam hadits ini bukanlah Islam tidak mengedepankan ishlah, tetapi karena lawan perkara ingin meminta banding atas kekeliruannya, maka ketika hal tersebut telah masuk dalam wilayah aduan formal, maka yang berlaku adalah hukum asalnya, kecuali jika kedua orang yang berperkara mau kembali damai dan bersahaja membatalkan keputusan yang pertama. 8. Ishlah dan adil adalah sikap yang terhormat
الر َّزا ِق أَ� ْخبَ َرنَا َم ْع َم ٌر َع ْن َه َّما ٍم َع ْن أَ�بِي ُه َريْ َرةَ َر ِض َي ُ َح َّدثَنَا ِ�إ ْس َح َّ اق بْ ُن َم ْن ُصو ٍر أَ� ْخبَ َرنَا َع ْب ُد ك ُُّل ُسلَا َمى ِم ْن ال َّناس َعلَ ْي ِه َص َدقَ ٌة ك َُّل ي َ ْو ٍم تَ ْطلُ ُع ِفي ِه ال َّل ُه َع ْن ُه قَا َل قَا َل َر ُسو ُل ال َّله س َص َدقَ ٌة َّ ِ الش ْم ُس ي َ ْع ِد ُل ب َ ْي َن ال َّنا
“Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah saw bersabda: Setiap ruas jari-jari
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
151
Ahmad Bastari
manusia mengandung unsur shadaqah, dan setiap hari selama matahari jika manusia berbuat adil di kalangan manusia ia akan mendapat pahala shadaqah”.
Menurut Ibnu Hajar bahwa hadits ini merupakan bagian awal dari hadits Abi Hurairah yang panjang yang berkaitan dengan masalah jihad. Ibnu Hajar meletakkan hadits tersebut di bawah topic “adil dan ishlah di kalangan manusia adalah sikap terhormat”, pada hal dalam teks hadits tersebut tidak diungkapkan kata ishlah, yang ada hanya kata yang berarti sendi / ruas ( ) ُس َلا َمى, yang di dalam tubuh manusia tidak kurang dari 360 sendi. Kata adil akan dipahami manusia melalui indikasi adanya peradilan, di mana kata tersebut hanya identik untuk disandang oleh seorang hakim saja. Maka jika ingin menyatakan keadilan seseorang selain hakim, maka ia akan disebut adil, jika ia berbuat ishlah (adil), sehingga wajarlah tidak diungkapkan ishlah dalam hadits tersebut. 9. Jika tawaran ishlah ditolak, maka berlaku hukum yang ada.
الزب َ ْي َر كَا َن ُّ الزب َ ْي ِر أَ� َّن ُّ الز ْه ِر ِّي قَا َل أَ� ْخبَ َر ِني ُع ْر َوةُ بْ ُن ُّ َح َّدثَنَا أَ�بُو ا ْليَ َما ِن أَ� ْخبَ َرنَا ُش َع ْي ٌب َع ْن ِفي ِش َرا ٍج ِم ْن ا ْل َح َّر ِة َاص َم َر ُجلًا ِم ْن الْ�أَنْ َصا ِر قَ ْد َشه َِد ب َ ْد ًرا ِ�إ َلى َر ُسو ِل ال َّل ِه َ ي ُ َح ِّد ُث أَ�نَّ ُه خ كَانَا ي َ ْس ِقيَا ِن ِب ِه ِكلَا ُه َما فَقَا َل َر ُسو ُل ال َّل ِه َص َّلى ال َّل ُه َعلَ ْي ِه َو َس َّل َم ِل ْل ُّزب َ ْي ِر ا ْس ِق يَا ُزب َ ْي ُر ث ُ َّم أَ� ْر ِس ْل ِ�إ َلى َجار َِك فَ َغ ِض َب الْ�أَنْ َصار ُِّي فَقَا َل يَا َر ُسو َل ال َّل ِه �آ ْن كَا َن ابْ َن َع َّم ِت َك فَتَلَ َّو َن َو ْج ُه َر ُسو ِل ال َّل ِه ثُ َّم قَا َل ا ْس ِق ثُ َّم ا ْحب ِْس َح َّتى ي َ ْبلُ َغ ا ْل َج ْد َر فَا ْستَ ْو َعى َر ُسو ُل ال َّل ِه َص َّلى ال َّل ُه َعلَ ْي ِه َو َس َّل َم الزب َ ْي ِر ِب َر ْأ� ٍي َس َع ٍة َل ُه َو ِل ْل�أَنْ َصار ِِّي ُّ قَ ْب َل َذ ِل َك أَ� َشا َر َعلَى ِحينَ ِئ ٍذ َح َّق ُه ِل ْل ُّزب َ ْي ِر َوكَا َن َر ُسو ُل ال َّل ِه ا ْستَ ْو َعى ِل ْل ُّزب َ ْي ِر َح َّق ُه ِفي َص ِري ِح ا ْل ُحكْ ِم قَا َل ُع ْر َوةُ قَا َل فَلَ َّما أَ� ْحف ََظ الْ�أَنْ َصار ُِّي َر ُسو َل ال َّل ِه َ الزب َ ْي ُر َوال َّل ِه َما أَ� ْح ِس ُب َه ِذ ِه الْ�آي َ َة نَ َز َل ْت ِ�إلَّا ِفي َذ ِل َك { فَلَا َو َربِّ َك لَا ي ُ ْؤ ِمنُو َن َح َّتى ي ُ َحكِّ ُم وك ُّ ِفي َما َش َج َر ب َ ْينَ ُه ْم } الْ�آي َ َة
Artinya: “Zubair pernah menceritakan bahwa ia pernah mengadakan percekcokan dengan seorang dari kaum anshar yang pernah ikut perang badar bersama Rasulullah Saw. Berkaitan dengan masalah irigasi di tanah yang gersang yang diairi mereka berdua, lantas Rasulullah SAW mengatakan kepada Zubair: Airi lading wahai Zubair dan setelah itu dialiri kepada tetanggamu, Orang anshar tersebut marah dan berkata; Wahai Rasulullah apakah begitu perilaku keponakanmu itu? Maka muramlah muka Rasulullah SAW. Seraya bersabda : kalau begitu airi sampai penuh lalu tutup. Pada waktu itu Rasulullah berusaha menyadarkan kepada
152
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Ishlah Dalam Perspektif Hadits
orang anshar tersebut bahwa haknya sebenarnya adalah milik zubair, padahal sebelumnya Rasulullah juga sudah memberi pandangan kepada zubair dan anshar tersebut, tetapi ia memarahi Rasulullah, akhirnya ia sadar bahwa yang dikuasai adalah milik zubair dan sesuai dengan yang telah diputuskan.25
Penolakan ishlah dalam kasus yang ada di hadis ini datang dari orang yang berhak atas tuntutan hukum yang berlaku, ia enggan damai kalau hanya dengan menerima keputusan lawannya yang tdak seberat sesuai dengan semestinya.26 Apabila ternyata tawaran ishlah ditolak oleh salah satu dari yang berperkara dan perkara tersebut telah sampai kepada hakim, maka akan berlaku hukum ada. Hal ini seperti yang diriwayatkan oleh Abi Daud yang bersumber dari Abdullah bin Amr. 10. Kewajiban pemimpin untuk mendamaikan masyarakatnya.
َ َح َّدثَنَا ُم َس َّد ٌد َح َّدثَنَا ُم ْعتَ ِم ٌر قَا َل َس ِم ْع ُت أَ�بِي أَ� َّن أَ�نَ ًسا َر ِض َي ال َّل ُه َع ْن ُه قَا َل ِق يل ِلل َّنب ِِّي َل ْو أَ�تَ ْي َت َع ْب َد ال َّل ِه بْ َن أُ�ب َ ٍّي فَانْ َطلَ َق ِ�إ َل ْي ِه ال َّنب ُِّي َص َّلى ال َّل ُه َعلَ ْي ِه َو َس َّل َم َو َر ِك َب ِح َما ًرا فَانْ َطلَ َق فَقَا َل ِ�إ َل ْي َك َع ِّني َوال َّل ِه َلق َْد ا ْل ُم ْس ِل ُمو َن ي َ ْم ُشو َن َم َع ُه َو ِه َي أَ� ْر ٌض َس ِب َخ ٌة فَلَ َّما أَ�تَاهُ ال َّنب ُِّي أَ� ْطيَ ُب رِي ًحا �آذَا ِني نَ ْت ُن ِح َمار َِك فَقَا َل َر ُج ٌل ِم ْن الْ�أَنْ َصا ِر ِم ْن ُه ْم َوال َّل ِه َل ِح َما ُر َر ُسو ِل ال َّل ِه ِم ْن َك فَ َغ ِض َب ِل َع ْب ِد ال َّل ِه َر ُج ٌل ِم ْن قَ ْو ِم ِه ف ََشتَ َم ُه فَ َغ ِض َب ِلك ُِّل َوا ِح ٍد ِم ْن ُه َما أَ� ْص َحاب ُ ُه فَكَا َن ب َ ْينَ ُه َما َض ْر ٌب بِا ْل َج ِر ِيد َوالْ�أَيْ ِدي َوال ِّن َعا ِل فَبَلَ َغنَا أَ�نَّ َها أُ�نْ ِز َل ْت { َو ِ�إ ْن َطا ِئ َفتَا ِن ِم ْن ا ْل ُم ْؤ ِم ِني َن } ا ْقتَتَلُوا ف أََ� ْص ِل ُحوا ب َ ْينَ ُه َما
“Dari Mu’tam dia berkata: “Aku mendengar ayahku pernah mengatakan: “Sesungguhnya Anas ra. Mengatakan : “dikatakan kepada Nabi SAW. : Nabi SAW. Pun berangkat menemuinya dengan mengendarai seekor keledai diikuti beberapa orang sahabat yang cukup berjalan kaki bersamaya. Ketika Nabi saw menemuinya Abdullah bin Ubay berkata : “demi Allah SWT. sesungguhnya bau keledai Rasulullah itu lebih harum keimbang baumu”. Lelaki dari Anshar itu memang sangat marah kepada Abdullah bin Ubay. Sejak keduany terlibat perang dalam mulut dan saling mencaci maki. Rupanya pertengkaran mulut yang kemudian
Sebagai syahid, Abu Dawud dan Nasa’I juga meriwayatkan yang bersumber dari Amr bin al Ash 26 Menurut catatan Ibnu Hajar bahwa hadits tersebut salah satunya yang menjadi sebab turunnya ayat QS. An Nisa : 65 25
Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
153
Ahmad Bastari
mengakibatkan terjadinya aksi pemukulan dengan benda-benda keras, akhirnya melibatkan beberapa orang teman dari masing-masing pihak, akbatnya peristiwa itu maka turunlah firman Allah SWT. : “Apabila ada dua golongan dari orang-orang yang beriman saling bertengkar, maka damaikanlah antara keduanya”.
Dalam hubungan antar sesama manusia tidak jarang terjadi konflik dan ketegangan. Kadang-kadang konflik itu dimulai dari halhal yang kecil dan sepele. Akan tetapi karena kedua belah pihak yang bertikai sama-sama tidak mampu menahan diri, maka terjadilah persengketaan. Peristiwa ini tidak hanya terjadi pada saatnya ini, tetapi pada aman Nabi pun telah terjadi sehingga beliau segera mengadakan rekonsiliasi (ishlah) pihak-pihak yang bertikai. Hadits di atas menerangkan bagaimana peran Nabi sebagai “juru damai” diantara pihak-pihak yang bertikai, dan bahkan hadits tersebut oleh Bukhary dijadikan sebagai dasar sebab turunya surat alHujarat : 9-10. Secara substansi, sebagian ulama ada yang mempermasalahkan keberadaan hadits tersebut sebagai dokumentasi sebab turunya surat al-hujarat:9-10. Ibnu Bath-thal sebagaimana yng dikutip oleh ibnu hajar mengomentari bahwa, beliau merasa bingung kalau hadits tersebut sebagai dokumentasi sebab turunya ayat tersebut karena menurutnya cerita dalah hadits tersebut bahwa percekcokan hanya terjadi antara sahabat Nabi dan kelompok Abdullah bin ubay ketika ia mash kafir, tetapi mengapa dalam ayat tersebut disebutkan: Dalam cerita hadits tersebut yang terjadi hanyalah caci maki sehingga berbuntut pertikaian kecil, tetapi tidak terjadi pembunuhan, cek-cok tersebut justru dengan kaum kafir dan musryik bukan sesama orang Islam.27 Namun lepas dari konteks historis hadits tersebut, kita dapat mengambil sisi lain dari pesan hadits tersebut, dimana dalam hadits tersebut seorang pemimpin dituntut untuk ekstra tanggap dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul di kalangan masyarakat agar tidak menyulut kepada permasalahan lain yang akhrnya akan berakhir dengan pertumpahan darah. Pesan inilah nampaknya mengapat dalam ayat tersebut percekcokan diungkapkan dengan ungkapan qit’al yang 637
154
Al Imam al Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqalany, Fath al Bary…, h.
27
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits
Ishlah Dalam Perspektif Hadits
merupakan akibat akhir dari persengketaan yang tidak terselesaikan dengan baik. Disamping itu seorang pemimpin juga harus siap dan rela menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan masalah dan bahkan ia harus sabar dan mampu untuk menhan emosnya seraya menebarkan rasa maaf atas kejengkelan akibat dari ulah tingkah masyarakat. Karena Nabi SAW adalah teladan yang baik (uswah hasanah) bagi umatnya yang menghendaki keridhaan Allah SWT. maka tugas mendamaikan manusia yang dilakukan oleh Nabi tersebut mesti diikuti dan bahkan menjadi tuntuttan bagi orang mukmin sesuai dengan kesanggupannya masing-masing. Mengupayakan tercapainy aishlah sesungguhnya adalah merupakan salah satu tangga untuk mencapai kebajikan. D. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan: 1. Ishlah adalah merupakan lembaga penyelesaian konflik yang tak dapat dihndari dalam kehidupan, baik antar individu, keluarga dan masyarakat secara umum sebelum diputuskan oleh lembaga pengadilan. Upaya ishlah jika dapat tercapai, hasilnya akan lebih efektif dan menguntukan kedua belah pihak, karena perkaranya bias diputuskan (selesaikan) dengan tanpa berpengaruh pada hubungan moral (mental), sehingga ia lebih baik dari pada menempuh jalah peradilan. 2. Ishlah dapat dilakukan dengan pihak mana saja tanpa ada diskriminatif, dan hasil yang telah dicapai (sepakati) harus ditaati dan dilaksanakan. 3. Ishlah yang berlakuk dalam masalah had atau qishash jika salah satu pihak tidak mau menerima dan meminta diyat, dan juga dianggap jaur jika hanya dikehendaki untuk lepas dari tanggung jawab hukuman. 4. Kewajiban seorang pemimpin harus pro aktif untuk mengishlahkan anggotanya jika terjadi perselesihan, tetapi jika orang yang berperkara telah mengajukan hukum (tuntuta) dan tidak tercapai kesepakatan, maka yang berlaku adalah hukum sebagai mana adanya. Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2014
155
Ahmad Bastari
Daftar Pustaka
Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabary, Jami’ al Bayan ‘an Ta’wili alQur’an, Beirut: Dar al Fikr, 1988, Jilid 1, Ahmad Musthafa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, juz II, Beirut: Dar al Fikr, tt,
Al Imam al Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqalany, Fath al Bary, Beirut: Dar al Fikr, tt, J.5,
Ar-Raghb al-Asfahany, Mu’jam Mufradat alfad al-Qur’an, Beirut : Dar al Fikr, tt, Ibrahim Madkur, al Mu’jam al Wajiz, tp. Tt,
M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah, Ciputat: Lentera Hati, vol. 2, 2000,
Muhammad Ali al Shabuny, Shafwah al Tafasir, Beirut: Dar al Fikr, tt, J.1, Muhammad bin Ismail al Bukhary, Shahih al-Bukhary, jilid III : Dar Ihya al ‘Arabiyyah, tt.,
156
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits