BAB IV METODE PENYELESAIAN HADITS-HADITS MUKHTALIF DALAM KITAB TA'WÎL MUKHTALIF AL-HADÎTS
Pada dasarnya, penyelesaian yang ditempuh oleh Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts tidak hanya menuntaskan pertentangan antara beberapa hadits saja. Beliau juga mengkompromikan hadits-hadits yang dinilai berlawanan maupun tidak sejalan dengan al-Qur'an dan dalil ‘aqlî serta menjelaskan hadits-hadits yang mengandung makna tasybîh (penyerupaan dengan sifat-sifat Allah). Beberapa
pendekatan
yang
digunakan
Ibnu
Qutaibah
dalam
penyelesaian tersebut menunjukkan betapa luasnya ilmu dan wawasan beliau dalam berbagai aspek. Inilah yang melatarbelakangi analisisnya dalam memberikan solusi terhadap hadits-hadits yang dianggap saling bertentangan. Namun secara spesifik, berikut akan penulis contohkan berbagai langkah yang ditempuh Ibnu Qutaibah sebagai metode penyelesaiannya. A. Penyelesaian antara hadits dengan hadits Penyelesaian antara beberapa hadits yang saling bertentangan merupakan bagian terbesar yang mendominasi isi dari kitab Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts dengan berbagai macam pendekatan. Berbagai pendekatan tersebut akan dapat diketahui setelah menelaah terlebih dahulu uraian Ibnu Qutaibah dalam sample yang penulis ketengahkan dalam penelitian ini. Di antara hadits-hadits tersebut adalah pertama, hadits tentang penularan suatu penyakit. Dalam suatu riwayat Rasulullah SAW pernah bersabda:
58
59
ﺮ ﹶﺓ ﻴﻭ ﹶﻻ ِﻃ ﻯﺪﻭ ﻋ ﻻ Artinya: “Tidak ada penularan dan ramalan jelek.” Dilihat dari redaksinya, hadits tersebut mengandung pengertian tidak adanya sesuatu yang menjadi penyebab timbulnya hal baru (bencana/musibah) pada diri orang lain. Tetapi hadits tersebut dianggap bertentangan dengan riwayat lain yang menyebutkan bahwa:
ﺼﺢ ِ ﻣ ﻰ ﻠﻫ ٍﺔ ﻋ ﺎﻭ ﻋ ﺩﻥﱠ ﹸﺫ ﻮ ِﺭ ﹶﻻ ﻳ Artinya: “Jangan sekali-sekali orang yang sakit mendatangi orang yang sehat.”
ﺳ ِﺪ ﻦ ﹾﺍ ﹶﻻ ﻙ ِﻣ ﺭ ﺍﻭ ِﻡ ِﻓﺮ ﺠ ﹸﺬ ـ َ ﻦ ﺍ ﹾﳌ ﺮ ِﻣ ِﻓ Artinya: “Larilah dari orang yang sakit lepra, seperti kamu lari dari singa.”
1
ﺑ ِﺔﺪﺍ ﻭﺍﻟ ﺪﺍ ِﺭ ﻭﺍﻟ ﺮﹶﺃ ِﺓ ﻤ ﰱﺍﹾﻟ ِ ﻡ ﺆ ﺸ ﹶﺍﻟ
Artinya:“Suatu bencana (sial) itu (bermula) pada wanita, rumah dan hewan.” Ketiga hadits di atas justeru memberi pemahaman bahwa suatu penyakit akan mudah sekali menular pada orang lain jika terjadi kontak langsung maupun tidak langsung dengan penderita. Menurut Ibnu Qutaibah, hadits-hadits di atas sebenarnya tidak bertentangan sama sekali bila telah diketahui makna dan konteksnya masing-
1
Muhammad ‘Abd al-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin Muslim bin Qutaibah al-Dainûrî, Dâr al-Fikr, Beirut, 1995, hlm. 98-99
60
masing. Dalam mengkompromikannya, Ibnu Qutaibah terlebih dahulu menjelaskan arti per kata dari redaksi hadits yang dipertentangkan tersebut, baru kemudian menjelaskan kaitannya dengan hadits-hadits yang lain, sebagaimana uraiannya di bawah ini: Pada dasarnya penyakit menular hanya tertentu pada penyakit lepra, thâ’ûn (wabah penyakit seperti kolera) dan sejenisnya, yaitu segala macam penyakit yang menular melalui sebab-sebab tertentu. Penyakit lepra menimbulkan bau yang tidak sedap sehingga menyakiti orang yang berada di sekitarnya dan terkadang ia juga tertular. Untuk itu para dokter menyarankan agar jangan sampai mendekati orang yang terkena penyakit lepra, gudik maupun yang sejenisnya. Mereka tidak dengan tegas bermaksud khawatir tertular, tetapi khawatir jika penyakit tersebut menimbulkan bau yang tidak sedap sehingga mengganggu orang di sekitarnya, akibatnya ia akan merasakan sakit. Oleh karena itu Nabi mengingatkan agar jangan sampai berbaur dengan orang yang terkena penyakit menular. Inilah yang dikehendaki dalam hadits beliau:
ﺼﺢ ِ ﻣ ﻰ ﻠﻫ ٍﺔ ﻋ ﺎﻭ ﻋ ﺩﻥﱠ ﹸﺫ ﻮ ِﺭ ﹶﻻ ﻳ Dan hadits-hadits yang semakna dengan hadits tersebut, yang memberi pengertian adanya kekhawatiran menularnya suatu penyakit kepada orang yang sehat melalui kontak langsung dengan penderita. Sedangkan mengenai penyakit thâ’ûn yang banyak ditakuti oleh banyak orang, ada suatu riwayat sehubungan dengan hal tersebut:
ﻨﻪﺍ ِﻣﺟﻮ ﺮ ﺨ ﺗ ﻼ ﻢ ِﺑ ِﻪ ﹶﻓ ﹶ ﺘﻧﺒﹶﻠ ِﺪ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﹶﺃﻢ ِﺇﺫﹶﺍ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺑِﺎﹾﻟ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﷲ ُ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ِ ﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﺳ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻮﻩ ﻠﹸﺪﺧ ﺗ ﻼ ﺒﹶﻠ ٍﺪ ﹶﻓ ﹶﺎ ِﺇﺫﹶﺍ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ِﺑﻳﻀﻭﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺃ Artinya: Rasulullah SAW bersabda,”Jika penyakit thâ’ûn berada di suatu daerah di mana kamu tinggal, maka janganlah keluar darinya.” Beliau juga bersabda, “Jika penyakit tersebut berada di suatu tempat, maka janganlah kamu mendatanginya.” Maksud Nabi dalam sabdanya tersebut adalah jangan sampai seseorang yang keluar dari wilayah yang terkena penyakit thâ’ûn tersebut merasa telah lari dari qadar Allah, dan janganlah mendatangi wilayah tersebut sebab tempat dia berada sekarang lebih aman dan lebih baik.2
2
Ibid., hlm. 98
61
Dalam uraian tersebut dinyatakan bahwa Ibnu Qutaibah tetap mengakui adanya hukum alam yang berlaku bagi penyakit menular. Menurut beliau penyakit menular merupakan sesuatu yang tidak menular dengan sendirinya, namun dengan takdir Allah dan sesuai dengan hukum alam. Peristiwa thâ’ûn dalam hadits tersebut dijadikan Ibnu Qutaibah sebagai latar belakang munculnya hadits tentang bencana (sial) -meskipun dalam riwayat lain disebutkan bahwa mengenai isi dari hadits tersebut Nabi hanya menirukan ucapan orang Jahiliah- sebab kedua hadits ini dinilai mempunyai hubungan yang erat. Sehingga akan didapatkan titik temu dari beberapa hadits yang dianggap saling berlawanan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qutaibah: Munculnya penyakit thâ’ûn ini lambat laun ternyata mempengaruhi keyakinan masyarakat Arab. Sehingga mereka menilai apabila mereka tertimpa musibah, maka penyebab utamanya adalah kaum wanita, rumah dan hewan. Anggapan inilah yang ditolak dalam sabda Rasulullah SAW:
ﺮ ﹶﺓ ﻴﻭ ﹶﻻ ِﻃ ﻭﻯ ﺪ ﻋ ﻻ Sedangkan riwayat Abû Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Bencana (sial) itu berasal dari wanita, rumah dan hewan” sebenarnya mengandung kesalahpahaman pada diri periwayatnya. Abû Hurairah mungkin hanya mendengar sebagian hadits tersebut dari Rasulullah, sehingga tidak memahami secara keseluruhan. Saya memperoleh riwayat yang semakna dengan hadits tersebut dari jalur Abû Hassân al-A’raj tentang klarifikasi dua orang sahabat kepada ‘Aisyah terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Abû Hurairah tersebut. Sebagai jawaban, kemudian ‘Aisyah berkata:
ﷲ ِ ﻮ ِﻝ ﺍ ﺭﺳ ﻦ ﻋ ﺬﹶﺍﺙ ِﺑﻬ ﺪ ﹶ ﺣ ﻦ ﻣ ﻋﻠﹶﻰﹶﺃﺑِﻰﺍﹾﻟﻘﹶﺎ ِﺳ ِﻢ ﺮﹶﺃ ﹶﻥ ﺰ ﹶﻝ ﺍﹾﻟﻘﹸ ﻧﺍﱠﻟﺬِﻱ ﹶﺃﺏ ﻭ ﺖ ﹶﻛ ﹶﺬ ﻗﹶﺎﹶﻟ ﻮ ﹶﻥ ﻮﹸﻟ ﻳ ﹸﻘ ﻴ ِﺔﺎ ِﻫِﻠﻫﻞﹸ ﺍﹾﻟﺠ ﻢ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﺃ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ُ ﺍﷲﻠﻰﷲ ﺻ ِ ﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﺳ ﻢ ِﺇﳕﱠﺎﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﷲ ُ ﺍﺻﻠﻰ ﰲ ِ ﻭ ﹶﻻ ﺽ ِ ﺭ ﰲ ﺍﹾﻟﹶﺎ ِ ﺒ ٍﺔﻴﺼ ِ ﻦ ﻣ ﺏ ِﻣ ﺎﺎﹶﺃﺻﺕ ﻣ ﺮﹶﺃ ﹶﻗﺍ ِﺭ ﹸﺛﻢﺍﻟﺪﺮﹶﺃ ِﺓ ﻭْ ﺍ ﹾﳌﺑ ِﺔ ﻭﺍﰲ ﺍﻟﺪ ِ ﺮ ﹶﺓ ﻴﹶﺃﻥﱠ ﺍﻟ ِّﻄ 3 ﺒ ِﻞ ﹶﺃ ﹾﻦ ﹶﻗ ﺏ ِﻣ ٍ ﺎﰲ ِﻛﺘ ِ ﻢ ِﺇﻟﱠﺎ ﺴﻜﹸ ِ ﻧﻔﹸﹶﺃ (٢٢ :ﺎ )ﺍﳊﺪﻳﺪﺮﹶﺃﻫ ﺒﻧ ﻥ 3
Ibid., hlm. 99
62
Artinya: Aisyah berkata,”Demi Dzat yang menurunkan al-Qur'an kepada Abû al-Qâsim, orang yang telah menceritakan hadits tersebut telah berbohong. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Masyarakat Jahiliyyah dulu pernah berkata, Sesungguhnya bencana selalu menetap pada diri wanita, hewan dan rumah.” Kemudian Aisyah membaca ayat, Tiada suatu bencana yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauĥ maĥfûzh) sebelum Kami menciptakannya.”(QS. al-Hadîd:22) 4
Uraian Ibnu Qutaibah di atas menunjukkan bahwa langkah-langkah yang diambil Ibnu Qutaibah dalam menyelesaikan pertentangan antara beberapa hadits merujuk pada pendekatan historis, yang dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk memahami hadits-hadits Nabi dengan cara mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadits tersebut disampaikan oleh Nabi. Hal ini dilakukan oleh Ibnu Qutaibah karena indikasi yang mengarah pada cara pemahaman tersebut lebih kuat untuk dijadikan bahan pertimbangan. Di samping itu beliau juga tidak meninggalkan corak kebahasaan dalam menguraikan kata-kata tertentu, yang menjadi ciri khas beliau sebagai salah satu tokoh ensiklopedik. Kedua hadits tentang etika memakai sandal, yang dalam hal ini terdapat riwayat yang bersumber dari Abû Hurairah sebagai berikut:
ﻢ ﺣ ِﺪﻛﹸ ﻌ ِﻞ ﹶﺃ ﻧ ﺴﻊ ﺷ ﻊ ﻧ ﹶﻘ ﹶﻄﻪ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ِﺇﺫﹶﺍﺍ ﻢ ﹶﺃﻧ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ُﺍﷲﻠﻰﻲ ﺻ ﻨِﺒﻋ ِﻦ ﺍﻟ ﺮ ﹶﺓ ﻳﺮ ﰊ ﻫ ِ ﻦ ﹶﺃ ﻋ ﺪ ٍﺓ ﺍ ِﺣﻌ ٍﻞ ﻭ ﻧ ﰲ ِ ﻤﺸِﻲ ﻳ ﻼ ﹶﻓ َﹶ Artinya:“Dari Abû Hurairah yang meriwayatkan dari Rasulullah SAW, beliau bersabda,”Apabila tali sandal seseorang di antara kalian putus, maka janganlah ia berjalan dengan satu sandal.”
4
Departemen Agama RI., Al-Qur'an Dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur'an, Kumudasmoro Grafindo, Semarang, 1994, hlm. 904
63
Hadits tersebut dianggap bertentangan dengan riwayat ‘Aisyah yang mengatakan bahwa:
ﺪ ِﺓ ﺍ ِﺣﻌ ِﻞ ﺍﹾﻟﻮ ﻨﰲ ﺍﻟ ِ ﻰﻤﺸ ﻢ ﹶﻓ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ُﺍﷲﻠﻰﷲ ﺻ ِ ﻮ ِﻝ ﺍ ﺭﺳ ﺴﻊ ﺷ ﻊ ﻧ ﹶﻘ ﹶﻄﺎﺍﺑﻤﺖ ﺭ ﻗﹶﺎﹶﻟ ﻯﺧﺮ ﺢ ﹾﺍ ﹸﻻ ﺼِﻠ ﻰ ﻳﺣﺘ Artinya: ‘Aisyah berkata,”Pernah (suatu ketika) tali sandal Rasulullah SAW putus, kemudian beliau berjalan dengan satu sandal hingga beliau memperbaikinya.” Dalam menemukan titik temu antara kedua hadits di atas, Ibnu Qutaibah berusaha menyoroti setting sosial masyarakat Arab pada waktu hadits tersebut terjadi. Beliau berangkat dari penilaian masyarakat terhadap ketentuanketentuan umum yang telah berlaku di dalamnya, termasuk adat istiadat daerah setempat. Seperti yang diuraikan oleh Ibnu Qutaibah sebagai berikut: Seseorang akan dianggap tabu bila ia menemukan tali sandalnya telah putus, kemudian membuangnya atau setidak-tidaknya membawa tali sandal tersebut dan berjalan dengan satu sandal yang lain sampai menemukan gantinya. Hal ini terjadi jika orang tersebut memakai sesuatu yang sejenis dengan sandal seperti sepatu, kaos kaki dan sebagainya. Berbeda dengan apabila yang dipakai adalah pakaian satu steel umpamanya, maka ia tidak dianggap tabu jika memakai salah satu bagian dari pakaian tersebut. Sedangkan jika salah satu tali sandalnya putus namun orang tersebut hanya melangkah sejauh dua sampai tiga langkah saja sampai dapat memperbaikinya, maka hal tersebut juga tidak dianggap tabu.5 Pertimbangan Ibnu Qutaibah tersebut bukanlah satu-satunya dasar pemahaman beliau dalam memberikan solusi. Sebagai buktinya, beliau sengaja memberi perbandingan dengan permasalahan lain yang memiliki kaitan erat, yang dijadikan dalil penguat agar apa yang beliau tawarkan dalam
5
Ibnu Qutaibah, op. cit., hlm. 87
64
memahami hadits-hadits di atas dapat diterima secara menyeluruh oleh orang lain. Dalil penguat tersebut dapat dilihat dari pendapat Ibnu Qutaibah sebagai berikut: Permasalahan di atas sama seperti bolehnya seseorang yang sedang shalat, melangkah dua sampai tiga langkah menuju barisan yang ada di depannya. Tetapi haram baginya jika berjalan, apalagi sampai melebihi tiga langkah. Ia tidak boleh mengambil selendang yang jatuh, tidak boleh melipat pakaian apalagi melakukan pekerjaan yang terus menerus. Ia boleh tersenyum, namun tidak boleh tertawa. Semua itu berdasarkan pada kaidah bahwa tuntutan hukum bagi sesuatu yang sedikit dilakukan, akan berbeda dengan yang banyak dan berulang-ulang dilakukan.6
Uraian di atas memberi gambaran bahwa metode yang digunakan Ibnu Qutaibah dalam menyelesaikan hadits-hadits yang bertentangan tersebut berdasarkan pada pendekatan sosiologis, yang merupakan salah satu cara memahami hadits Nabi yang berpijak dari posisi masyarakat yang membawa kepada perilaku tertentu. Di samping itu, Ibnu Qutaibah juga mengikutsertakan kaidah-kaidah hukum yang dijadikan sebagai dalil penguat terhadap uraiannya. Ketiga, hadits tentang wudhu dalam keadaan junub. Mengenai hal ini terdapat beberapa riwayat dari ‘Aisyah sebagai berikut:
ﺩ ﹶﺃ ﹾﻥ ﺍﻢ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ِﺇﺫﹶﺍﹶﺃﺭ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ُﺍﷲﻠﻰﷲ ﺻ ِ ﻮ ﹶﻝ ﺍ ﺳ ﺭ ﺖ ﹶﺃﻥﱠ ﺎ ﻗﹶﺎﹶﻟﻨﻬﻋ ُ ﻲ ﺍﷲ ﺿ ِ ﺭ ﺸ ﹶﺔ ﺎِﺋﻦ ﻋ ﻋ ﻼ ِﺓ ﺼﹶ ﻟِﻠﻮ َﺀﻩﻭﺿ ﺿﹶﺄ ﻮ ﺗ ﺐ ﻨﻮﺟ ﻭﻫ ﻡ ﺎﻳﻨ Artinya: Diriwayatkan dari ‘Aisyah beliau berkata,”Sesungguhnya Rasulullah SAW telah berwudhu ketika hendak tidur, padahal beliau dalam keadaan junub.”
6
Ibid., hlm. 88
65
ﻳ ﹾﺄﻛﹸ ﹶﻞ ﺩ ﹶﺃ ﹾﻥ ﺍﻢ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ِﺇﺫﹶﺍﹶﺃﺭ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ُﺍﷲﻠﻰﻲ ﺻ ﻨِﺒﺖ ﹶﺃﻥﱠ ﺍﻟ ﺎ ﻗﹶﺎﹶﻟﻨﻬﻋ ُ ﻲ ﺍﷲ ﺿ ِ ﺭ ﺸ ﹶﺔ ﺎِﺋﻦ ﻋ ﻋ ﺐ ﻨﻮﺟ ﻭﻫ ﲏ ِ ﻌ ﺗ ﺿﹶﺄ ﻮ ﺗ ﻡ ﺎﻳﻨ ﻭ ﹶﺃ Artinya: Dari ‘Aisyash beliau berkata,”Sesungguhnya Nabi SAW ketika hendak makan atau tidur, beliau terlebih dulu berwudhu padahal beliau dalam keadaan junub.” Jika dilihat dari redaksinya, kedua hadits di atas menyatakan bahwa Rasulullah SAW selalu mengambil air wudhu dulu dalam kondisi sedang junub sebelum melakukan aktifitas lain. Namun hadits tersebut dianggap berseberangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah pula yang mengatakan bahwa:
ﺎ ًﺀﺲ ﻣ ﳝ َ ﻴ ِﺮ ﹶﺃ ﹾﻥﻦ ﹶﻏ ﺐ ِﻣ ﻨﻮﺟ ﻭﻫ ﻡ ﺎﻳﻨ ﻢ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ُﺍﷲﻠﻰﷲ ﺻ ِ ﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﺳ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ Artinya:”Rasulullah SAW pernah tidur dalam keadaan junub tanpa menyentuh air.” Menurut Ibnu Qutaibah, ketiga hadits di atas memang tidak dapat dipungkiri terdapat perbedaan. Tetapi adanya perbedaan ini justru merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan pertentangan hadits-hadits tersebut. Artinya, ketiga hadits tersebut dinilai sebagai tata cara pelaksanaan ibadah yang berbeda-beda sehingga semuanya dapat diamalkan dan dianggap sah, sebagaimana komentar Ibnu Qutaibah di bawah ini: Ketiga hadits tersebut dapat diamalkan semuanya, sebab Rasulullah SAW memang telah melakukan semuanya. Hal itu disebabkan Rasulullah SAW ingin membebaskan kepada umatnya untuk melakukan mana amal ibadah yang lebih utama maupun yang hanya sebatas diperbolehkan (rukhshah) saja.7 7
Ibid., hlm. 220-221
66
Penyelesaian tersebut menunjukkan bahwa Ibnu Qutaibah juga sependapat dengan Imam Syâfi’î dalam menggunakan kaidah al-Ikhtilâf min Jihah al-Mubâh, dalam menuntaskan hadits-hadits yang dianggap berlawanan. Keempat, hadits tentang kuantitas air. Terdapat dua riwayat hadits yang saling bertentangan sebagaimana berikut:
ﻲ ٌﺀ ﺷ ﻪ ﺴ ﺠ ِّ ﻨﻳ ﻪ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺍ ﹾﳌﹶﺎﺀُ ﹶﻻ ﻢ ﹶﺃﻧ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ُﺍﷲﻠﻰﻲ ﺻ ﻨِﺒﻋ ِﻦ ﺍﻟ Artinya: Nabi Muhammad SAW bersabda,”Air tidak dapat dinajiskan oleh sesuatu pun.”
ﺎﺠﺴ ِ ﻧ ﺤ ِﻤ ﹾﻞ ﻳْ ﻴ ِﻦ ﹶﱂﺘﺑﹶﻠ ﹶﻎ ﺍ ﹾﳌـَﺎ ُﺀ ﻗﹸﻠﱠﻪ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ِﺇﺫﹶﺍ ﻢ ﹶﺃﻧ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ُﺍﷲﻠﻰﻲ ﺻ ﻨِﺒﻋ ِﻦ ﺍﻟ Artinya: Nabi Muhammad SAW bersabda,”Jika air mencapai dua qullah maka tidak akan menjadi najis.” Kedua hadits di atas dinilai bertentangan sebab menurut hadits kedua, selagi air belum mencapai dua qullah maka tidak akan mampu menahan najis. Hal ini berbeda dengan hadits yang pertama. Menurut penilaian Ibnu Qutaibah, kedua hadits tersebut tidak bertentangan sama sekali jika diketahui latar belakangnya. Sebab masingmasing hadits ditujukan pada kondisi yang berbeda, sebagaimana penjelasan Ibnu Qutaibah sebagai berikut: Maksud Nabi dalam hadits tersebut adalah bahwa pada umumnya debit air yang tertampung dalam sumur maupun kolam sangat banyak, sehingga dapat dikatakan jika air mengalir sangat deras maka tidak ada sesuatu pun yang mempu menahannya. Hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud di sini adalah air yang banyak. Seperti halnya api yang melalap sebuah bangunan. Inilah yang dikehendaki dalam hadits
67
pertama. Kemudian maksud Nabi dari hadits kedua adalah menjelaskan batas minimal ukuran air yang mampu menahan najis.8 Dalam penjelasan tersebut, Ibnu Qutaibah berusaha memadukan kedua hadits tersebut dengan cara mentakhshish hadits pertama. Hal ini beliau lakukan berdasarkan pada konteks terjadinya hadits tersebut. Kelima, adanya riwayat hadits sebagai berikut:
ﺎﻭ ِﻏﻨ ﻱ ﺎﻚ ِﻏﻨ ﺳﹶﺄﻟﹸ ﻭﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺃ ﻦ ﺍﹾﻟ ﹶﻔ ﹾﻘ ِﺮ ﷲ ِﻣ ِ ﻮ ﹶﺫ ﺑِﺎ ﻌ ﺗ ﻪ ﻢ ﹶﺃﻧ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ُﺍﷲﻠﻰﻲ ﺻ ﻨِﺒﻋ ِﻦ ﺍﻟ ﺱ ِ ﺮ ﺧ ِّﺪ ﺍﹾﻟ ﹶﻔ ﻰ ﻠﺴ ِﻦ ﻋ ﺤ ﻌﺬﹶﺍﺭِﺍﹾﻟ ﻦ ﺍﹾﻟ ِﻣﺴﻦ ﺣ ﺆ ِﻣ ِﻦ ﹶﺃ ُ ﺑِﺎ ﹾﳌـﻭﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺍﻟ ﹶﻔ ﹾﻘﺮ ﻱ ﻮ ﹶﻻ ﻣ Artinya: Diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau meminta perlindungan kepada Allah dari kefakiran, dan beliau berdoa,”Aku meminta kekayaan bagiku (dari-Mu) dan kekayaan Tuhanku.” Dan beliau bersabda,”Kefakiran bagi seorang mukmin lebih baik dari pada kendali kuda yang paling baik.” Hadits tersebut dianggap berlawanan dengan hadits di bawah ini:
ﺮﻧِﻲ ﺸ ﺣ ﺍﺎ ﻭﻴﻨﺴ ِﻜ ﺘﻨِﻲ ِﻣﻭﹶﺃ ِﻣ ﺎﻴﻨﺴ ِﻜ ﺣِﻴﻨِﻲ ِﻣ ﹶﺃﻬﻢ ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺍﻟﱠﻠ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ُﺍﷲﻠﻰﻲ ﺻ ﻨِﺒﹶﺃﻥﱠ ﺍﻟ ﻴ ِﻦﺎ ِﻛﻤﺴ ﺮ ِﺓ ﺍﹾﻟ ﻣ ﺯ ﰲ ِ Artinya: Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda,”Ya Allah hidupkan dan matikanlah aku dalam kemiskinan serta masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang miskin.” Dalam menyelesaikan pertentangan kedua hadits di atas, Ibnu Qutaibah berpijak dari celah yang belum tersentuh pada kedua hadits di atas, yang 8
Ibid., hlm 301-302
68
merupakan titik temu pemahamannya. Beliau berpendapat bahwa essensi dari kedua hadits tersebut berbeda, sebab pengertian fakir dan miskin tidaklah sama. Pendapat ini sebagaimana uraian beliau sebagai berikut: Dalam menakwilkan hadits-hadits tersebut, mereka kurang memahami arti dari fakir dan miskin, dan cenderung menyamakan keduanya, padahal keduanya tidak sama. Pada dasarnya kata miskin berasal dari akar kata sukûn yang berarti tenang, tawâdhu’(rendah hati) dan khusyû’. Jadi seakan-akan dalam doanya, Nabi meminta agar jangan dimasukkan ke dalam kelompok orang-orang yang takabbur. Berbeda dengan fakir. Seandainya kata miskin sama dengan fakir niscaya Allah melarang Nabi-Nya berdoa seperti itu. Sebab pada kenyataannya pada saat meninggal, Nabi dalam keadaan kaya raya meskipun beliau tidak menggenggam satu dirham pun. Berbeda dengan kondisi Nabi pada saat diutus sebagai rasul, yang masih dalam keadaan tidak mempunyai apaapa. Sedangkan menanggapi hadits tentang keutamaan fakir bagi seorang mukmin di atas, Ibnu Qutaibah memberikan takwil yang sesuai dengan penjelasan sebelumnya, sebab bagaimana pun juga tidak ada fakir yang dianggap mulia. Fakir dalam hadits di atas ditakwili sebagai musibah yang menimpa seorang mukmin. Untuk lebih jelasnya berikut penjelasan Ibnu Qutaibah: Fakir dalam hadits tersebut ibarat musibah dan ujian yang sangat berat, yang barang siapa bersabar dan menerima dengan ikhlas maka akan dimuliakan oleh Allah. Karena sepanjang pengetahuan kami, tidak ada seorang hamba Allah pun yang berdoa seraya berkata, “Ya Allah berilah aku kefakiran dan sakit” tetapi mereka berdoa, “Ya Allah berikanlah rizki dan kesehatan kepadaku.” 9 Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam memberikan jalan keluar terhadap pertentangan hadits-hadits tersebut, Ibnu Qutaibah tidak hanya memahaminya melalui pendekatan bahasa saja, namun juga berdasarkan bukti-bukti lain yang ada kaitannya dengan hadits yang bersangkutan. Hal ini
9
Ibid., hlm. 154-156
69
tentu saja membutuhkan analisis yang cermat, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. B. Penyelesaian antara hadits dengan al-Qur'an Dalam memberikan solusi terhadap pertentangan antara hadits dengan al-Qur'an, Ibnu Qutaibah berusaha menakwilkan keduanya yang dianggap masih janggal dan kurang jelas pemahamannya. Di samping memberikan takwil, Ibnu Qutaibah juga menganalisa berdasarkan uraian bahasa, serta mempertegas argumentasinya dengan menampakkan kelemahan pendapat lain. Hal ini dapat dilihat dalam contoh hadits yang beliau utarakan sebagai berikut:
ﻴﹶﻠ ﹶﺔﺮ ﹶﻟ ﻤ ﻭ ﹶﻥ ﺍﹾﻟ ﹶﻘ ﺮ ﺗ ﺎﻣ ِﺔ ﹶﻛﻤ ﺎﻡ ﺍﹾﻟ ِﻘﻴ ﻮ ﻳ ﻢ ﺑ ﹸﻜﺭ ﻭ ﹶﻥ ﺮ ﺗ ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ُﺍﷲﻠﻰﻲ ﺻ ﻨِﺒﹶﺃﻥﱠ ﺍﻟ ﻳِﺘ ِﻪﺅ ﰲ ﺭ ِ ﻮ ﹶﻥ ﻣ ﺎﺗﻀ ﺪ ِﺭ ﹶﻻ ﺒﺍﹾﻟ Artinya: Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah bersabda,”Pada hari kimat kamu semua akan dapat melihat Tuhanmu dengan tanpa berdesak-desakan sebagaimana kamu melihat rembulan pada saat malam purnama.” Hadits tersebut secara lahiriah bertentangan dengan ayat di bawah ini:
(١٠٣ )ﺍﻷﻧﻌﺎﻡﻴﺮﳋِﺒ ﺍ ﹶﻴﻒﻮ ﺍﻟﻠﱠ ِﻄ ﻭﻫ ﺭ ﺎﺑﺼ ﺍﹾﻟﹶﺄﺪ ِﺭﻙ ﻮ ﻳ ﻭﻫ ﺭ ﺎﺑﺼ ﺍﹾﻟﹶﺄﺪ ِﺭﻛﹸﻪ ﹶﻻﺗ Artinya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah yang Maha Halus dan Maha Mengetahui.” (QS. al-An’âm)10
(١٤٣ ﺍﻧِﻲ )ﺍﻷﻋﺮﺍﻑﺗﺮ ﻦ ﻚ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻟ ﻴﺮ ِﺇﹶﻟ ﻧ ﹸﻈﺏ ﹶﺃ ِﺭﻧِﻲ ﹶﺃ ﺭ 10
Departemen Agama RI., op. cit., hlm. 204
70
Artinya: Musa berkata,”Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.” Tuhan berfirman,”Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku ...” (QS. al-A’râf) 11 Menurut Ibnu Qutaibah, baik hadits maupun ayat di atas sebenarnya tidaklah saling berlawanan, sebab masing-masing menuntut kondisi yang berbeda, sebagaimana uraian Ibnu Qutaibah di bawah ini: Hadits di atas termasuk hadits Shahih yang diriwayatkan dari beberapa jalur yang dapat dipercaya, sehingga kedudukannya kuat dan dapat dijadikan sebagai hujjah. Berdasarkan makna tekstualnya, hadits tersebut menjelaskan bahwa Allah benar-benar akan dapat dilihat besok pada hari kiamat. Hal ini berbeda dengan maksud yang terkandung dalam surat al-An’âm ayat 103 maupun al-A’râf ayat 143 yang menuntut terjadinya hal tersebut di dunia. Penakwilan ini berdasarkan bahwa Allah senantiasa terhijab (tidak dapat dilihat) oleh semua makhluk-Nya ketika masih di dunia.12
Ibnu Qutaibah menilai bahwa surat al-An’âm ayat 103 termasuk ayatayat muhkamât (yang tidak memerlukan penakwilan). Tetapi dalam hal ini Rasulullah
SAW
tetap
memberikan
penjelasan
dengan
memberikan
mafhumnya sebagaimana sabdanya dalam hadits di atas. Di samping itu, hadits tersebut dinilai sebagai pembanding, yang menunjukkan bahwa kedua dalil tersebut memiliki kaitan yang sangat erat. Jika tidak demikian, Ibnu Qutaibah tidak akan berkomentar sebagaimana di bawah ini: Ketika Allah berfirman dalam surat al-An’âm ayat 103, Rasulullah SAW kemudian menjelaskan maksud dari ayat tersebut sebagaimana hadits di atas. Logisnya, menurut akal sehat, ayat tersebut berlaku dalam waktu dan ruang yang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Maksud dari firman Allah tersebut diperkuat dalam surat al-A’râf ayat 143 yang mengidentifikasikan bahwa Allah hanya dapat dilihat pada hari kiamat. Seandainya Dia tidak dapat dilihat dalam keadaan bagaimana pun juga dan tidak boleh dilihat, berarti Nabi Musa 11
Ibid., hlm. 243
12
Ibnu Qutaibah, op. cit., hlm. 189
71
tidak memahami sebagian sifat-sifat Allah yang sebenarnya wajib diketahui oleh para utusan-Nya, dan ini adalah mustahil.13 Di samping memberikan penyelesaian tersebut, Ibnu Qutaibah juga memberikan jawaban terhadap keragu-raguan golongan lain tentang isi hadits di atas yang menganggap bahwa pendukung pendapat yang mengatakan bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat dengan mata kepala manusia, termasuk ke dalam golongan orang-orang yang melampaui batas dengan menyerupakan Allah dengan hamba-Nya. Padahal (menurut mereka) orangorang yang menyerupakan Allah dengan hamba-Nya termasuk orang yang kafir. Golongan yang berpendapat seperti ini boleh jadi sebenarnya belum memahami kriteria orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka juga kurang mengetahui peristiwa yang menimpa Nabi Musa. Atau mungkin mereka sengaja mengutarakan pendapat mereka karena pada dasarnya memang tidak mau menerima hadits di atas. Hal ini mungkin saja terjadi sebab pada awalnya Ibnu Qutaibah tidak hanya memberikan solusi terhadap hadits-hadits yang bertentangan, tetapi juga menjawab tantangan musuh-musuhnya yang selalu merendahkan sunnah maupun ulama ahli hadits. Sebagai
jawaban
terhadap
penolakan
tersebut,
Ibnu
Qutaibah
memberikan sedikit uraian yang berangkat dari peristiwa yang dialami oleh Nabi Musa sebagai berikut: Jikalau benar apa yang mereka katakan, maka bagaimana dengan penjelasan Nabi Musa bahwa Allah telah benar-benar memberitakan dan berfirman langsung kepadanya di balik pohon, hingga Nabi Musa meminta kepada Allah sebagaimana disebutkan dalam surat al-A’râf ayat 143. Apakah mereka tetap menganggap bahwa Nabi Musa termasuk orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya? Tidak sama sekali. Mustahil Nabi Musa melakukan hal itu jika apa yang mereka dakwakan itu benar. Nabi Musa mengetahui bahwa Allah hanya dapat dilihat pada hari kiamat dan tidak mungkin dilihat di dunia. Tapi permintaan beliau tersebut bertujuan agar Allah berkenan memberikan
13
Ibid., hlm. 190.
72
sesuatu yang semestinya akan diterima oleh para Nabi dan kekasih-Nya besok pada hari kiamat.14
Jawaban di atas bukanlah akhir dari penolakan Ibnu Qutaibah terhadap pendapat orang lain dalam permasalahan ini. Beliau juga menganalisa hadits di atas dari sudut pandang bahasa. Beliau berpijak dari kata ru`yah (melihat) kepada Allah yang disamakan dengan melihat bulan dalam hadits di atas. Jadi, perumpamaan di sini hanya tertentu pada cara melihatnya, bukan untuk almar`î (sesuatu yang dilihat). Persamaan inilah yang mengindikasikan bahwa yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah makna tekstualnya, bukan makna yang tersirat. Hal ini sebagaimana tertuang dalam uraian beliau sebagai berikut: Menyerupakan melihat Allah dengan melihat rembulan dalam hadits tersebut bukanlah bentuk penyerupaan secara menyeluruh. Artinya, Allah tidaklah dilihat sebagaimana melihat bulan dalam berbagai kondisinya dalam melakukan putaran. Penyerupaan (tasybîh) tersebut hanya berlaku pada saat malam purnama, sehingga siapa pun tidak akan berdesakan dan berbeda pandangan terhadap kondisi bulan saat itu. Bahkan masyarakat Arab sendiri menyamakan sesuatu yang telah jelas terlihat dengan rembulan pada malam purnama, bukan dengan matahari maupun terbitnya fajar. Hal ini senada dengan ucapan seorang penyair Arab Dzu al-Rimmah, bahwa:
ﺮ ﻤ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﻌ ِﺮﻑ ﻳ ﺣ ٍﺪ ﹶﻻ ﻰ ﹶﺃ ﻠِﺇﻻﱠ ﻋ
ﺣ ٍﺪ ﻰ ﹶﺃ ﻠﺨﻔﹶﻰ ﻋ ﺗ ﺎﺕ ﹶﻓﻤ ﺮ ﻬ ﺑ ﺪ ﻭﹶﻗ
Artinya:”Engkau telah nampak dan siapa pun akan dapat melihatmu, kecuali bagi orang-orang yang tidak dapat melihat rembulan. Tidak adanya desak-desakan dalam melihat rembulan dalam hadits di atas merupakan petunjuk bahwa hal tersebut terjadi pada malam purnama, sehingga masing-masing orang akan dapat melihat rembulan secara utuh dari tempat di mana ia berdiri. Persamaan inilah yang akan terjadi pada hari kiamat nanti.15
14
Ibid., hlm. 191
15
Ibid., hlm. 190
73
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa Ibnu Qutaibah senantiasa memberikan takwil terhadap kitab mupun hadits yang kurang dapat dipahami. Dalam mengutarakan analisisnya, beliau selalu berpijak pada data-data obyektif yang dilandasi oleh pemahaman yang benar. Di samping itu, beliau juga memberikan uraiannya dari berbagai disiplin ilmu yang dibutuhkan dalam mengupas isi hadits, terutama dalam bidang kebahasaan. Penilaian ini tidaklah berlebihan sebab beliau termasuk ulama yang memahami betul tentang retorika al-Qur'an. Contoh kedua adalah ayat dan hadits yang menerangkan tentang wasiat sebagaimana berikut:
ﻦ ﻴﺮِﺑ ﺍ َﻷ ﹾﻗﻳ ِﻦ ﻭﺪ ﺍِﻟﻴﺔﹸ ِﻟ ﹾﻠﻮﺻ ِ ﻮ ﺍ ﺍﹾﻟﻴﺮﺧ ﻙ ﺮ ﺗ ﺕ ِﺇ ﹾﻥ ﻮ ـ َ ﻢ ﺍ ﹾﳌ ﺪ ﹸﻛ ﺣ ﺮ ﹶﺃ ﻀ ﺣ ﻢ ِﺇﺫﹶﺍ ﻴ ﹸﻜﻋﹶﻠ ﺐ ﻛﹸِﺘ (١٨٠
:)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ
Artinya:“Diwajibkan atas kamu apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya...”(QS. alBaqarah:180) 16 Ayat tersebut bertentangan dengan hadits di bawah ini:
ﺙ ٍ ﺍ ِﺭﻴ ﹶﺔ ِﻟﻮﺻ ِ ﻭ ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻻ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ُﺍﷲﻠﻰﷲ ﺻ ِ ﻮ ﹶﻝ ﺍ ﺭﺳ ﹶﺃﻥﱠ Artinya: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,”Tidak (sah) wasiat untuk ahli waris.” Berbeda dengan hadits pertama, langkah yang ditempuh Ibnu Qutaibah dalam menyelesaikan kedua dalil dalam contoh kedua di atas adalah menggunakan metode naskh, sebab inilah satu-satunya cara yang mungkin 16
Departemen Agama RI., op. cit., hlm. 44
74
dilakukan setelah beliau tidak menemukan alasan lain untuk menggabungkan keduanya.
C. Penyelesaian antara hadits yang tidak sejalan dengan pemahaman akal Dalam rangka menyelaraskan pemahaman terhadap hadits yang dianggap sulit diterima oleh akal, Ibnu Qutaibah berusaha mengklasifikasikan pemahaman terhadap redaksi hadits baik secara tekstual maupun kontekstual. Pemahaman secara tekstual dapat dilihat dari uraian Ibnu Qutaibah tentang hadits-hadits di bawah ini.
ﰲ ِ ﻩ ﹶﻓِﺈﻥﱠ ﻮ ﻣ ﹸﻘﹸﻠ ﻢ ﻓﹶﺎ ﺣ ِﺪﻛﹸ ﺎ ِﺀ ﹶﺃﰲ ِﺇﻧ ِ ﺏ ﺎﻊ ﺍﻟﺬﱡﺑ ﻭﹶﻗ ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ِﺇﺫﹶﺍ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ُﺍﷲﻠﻰﻲ ﺻ ﻨِﺒﹶﺃﻥﱠ ﺍﻟ ﺸﻔﹶﺎ َﺀ ﺍﻟﺮﺆﺧ ﻭﻳ ﻢﺴ ُ ﻡ ﺍﻟ ﻳ ﹶﻘﺪ ﻧﻪﻭﹶﺃ ﺧ ِﺮ ِﺷﻔﹶﺎ ًﺀ ﰲ ﺍ َﻷ ِ ﻭ ﺎﺳﻤ ﻴ ِﻪﺣ ﺎﺟﻨ ﺣ ِﺪ ﹶﺃ Artinya: Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jika ada seekor lalat jatuh ke dalam tempat minum kamu maka celupkanlah, sebab ia selalu mendahulukan sayapnya yang mengandung racun dan mengakhirkan sayapnya yang mengandung obat penawar.” Hadits tersebut dirasa janggal pemahamannya oleh sebagian golongan, sebab bagaimana mungkin antara racun dan penawarnya dapat berkumpul dalam satu tempat, dan bagaimana bisa terjadi seekor lalat mampu mengetahui mana sayap yang beracun dan yang tidak beracun. Menurut Ibnu Qutaibah pemahaman hadits sebagaimana di atas tidak akan diperoleh secara menyeluruh sebelum memahami hal-hal yang sebenarnya lebih utama untuk dijadikan pedoman dalam memahami hadits-hadits semisal hadits di atas. Dalam hal ini Ibnu Qutaibah sengaja tidak secara langsung memberikan solusi terhadap pemecahan hadits di atas, namun beliau lebih condong memberikan kasus tertentu sebagai bahan perbandingan agar
75
dapat digunakan untuk memahami hadits di atas, sebagaimana diungkap oleh Ibnu Qutaibah di bawah ini. Di antara hadits-hadits Rasulullah SAW terdapat beberapa hadits yang memang sulit dipahami oleh akal, namun hal ini bukanlah salah satu penyebab ditolaknya suatu hadits. Dengan menolak suatu hadits berarti juga menolak semua yang disabdakan oleh Rasulullah SAW. Berkumpulnya racun dan penawarnya dalam hadits di atas tidak ubahnya seperti menfaat seekor ular. Menurut para tabib, daging ular berfungsi sebagai obat penawar bagi racun yang dibawanya, dapat mengobati sengatan kalajengking, gigitan anjing gila dan sebagainya. Perut kalajengking yang telah dirobek dapat mengobati rasa sakit yang ditimbulkan oleh sengatannya. Begitu juga dengan lalat yang bermanfaat untuk mempertajam penglihatan, mencegah sakit mata dan untuk mengobati sengatan kalajengking jika diramu dengan cara-cara tertentu. Semua itu menunjukkan bahwa obat penawar yang di dalamnya terdapat racun ternyata mampu berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya. Masih sama seperti permasalahan di atas, secara rasional bagaimana mungkin sekelompok semut mampu menyimpan biji makanan pada musim panas untuk digunakan pada musim dingin. Jika khawatir membusuk, maka biji tersebut dikeluarkan pada malam hari. Tetapi jika khawatir tumbuh, maka bagian tengahnya dilobangi. Hal semacam ini telah banyak terjadi dan tidak dapat dianalogkan. Seandainya diteliti dan dibahas lebih jauh, maka akan membutuhkan waktu yang panjang karena semua itu termasuk salah satu kelebihan yang dimiliki oleh makhluk Allah.17
Dari uraian di atas, Ibnu Qutaibah mencoba mengajak orang lain untuk menemukan satu titik pemahaman tekstual terhadap hadits-hadits yang semisal dengan hadits di atas melalui beberapa gambaran dan kejadian yang bersifat alamiah dan relistis, meskipun hal ini sulit diterima oleh akal. Di samping itu beliau mampu mencari celah kelemahan orang lain, yang dalam hal ini adalah para pengingkar hadits, dengan memaparkan beberapa bukti yang nyata. Contoh kedua adalah pemahaman hadits terhadap salah satu riwayat di bawah ini: 17
Ibnu Qutaibah, op. cit., hlm. 211
76
ﻳ ﹾﺄﻛﹸﻞﹸ ﻴﻄﹶﺎ ﹶﻥﺸ ﻚ ﹶﻓِﺈﻥﱠ ﺍﻟ ﻴِﻨﻴ ِﻤ ٍﻞ ﹸﻛ ﹾﻞ ِﺑﺮﺟ ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ِﻟ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ُﺍﷲﻠﻰﷲ ﺻ ِ ﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﺳ ﹶﺃﻥﱠ ﺎِﻟ ِﻪﺸﻤ ِ ِﺑ Artinya: Rasulullah SAW bersabda pada seorang sahabat,”Makanlah dengan tangan kananmu, karena setan biasa makan dengan tangan kirinya.” Secara sepintas, hadits tersebut tidak dapat diterima oleh akal, sebab bagaimana mungkin makhluk yang bernama setan makan dan minum serta membutuhkan tangan untuk melakukan itu, padahal ia termasuk makhluk ruhani sebagaimana malaikat. Menanggapi pertanyaan di atas, Ibnu Qutaibah berusaha memberikan argumentasi yang dapat diterima oleh akal sehingga memudahkan seseorang untuk memahami hadits tersebut. Selanjutnya beliau memberikan takwil terhadap hadits tersebut berdasarkan adanya persamaan yang kuat antara keduanya. Pada dasarnya Allah telah menciptakan segala sesuatu berpasangpasang seperti cahaya dan kegelapan, sempurna dan kurang, adil dan zhalim, baik dan buruk, taat dan maksiat, kanan dan kiri dan sebagainya. Semua itu berporos pada dua hal, yaitu Allah dan setan. Jika sesuatu tersebut termasuk dalam kategori baik maka porosnya adalah Allah, karena Dialah yang menyuruh dan meyukai hal itu. Tetapi jika sebaliknya maka porosnya adalah setan, sebab dialah yang mengajak untuk melakukan hal tersebut. Begitu juga Allah telah menciptakan tangan kanan untuk menunjukkan pada kebaikan, kemuliaan, kesempurnaan, meraih makanan dan minuman dan sebagainya. Dan menciptakan tangan kiri untuk menunjukkan kelemahan, kekurangan, digunakan untuk istinjâ` dan sebagainya. Dia juga menjadikan jalan ke surga bagi orang-orang yang mengambil arah kanan dan jalan ke neraka bagi orang-orang yang mengambil arah kiri. Oleh karena itu, dalam memahami hadits tersebut dapat melalui dua cara. Pertama, menggunakan arti sesungguhnya yaitu bahwa setan benar-benar makan namun tidak layaknya seperti makhluk lainnya. Cara makan setan hanya menghirup bau makanan saja, dan ini tergolong perbuatan arah kiri. Oleh karena itu seseorang yang makan tanpa
77
menyebut nama Allah atau tidak membasuh tangannya dulu sehingga berkahnya hilang, maka dianggap makan bersama dengan setan, karena perbuatan ini tergolong arah kiri. Kedua, menggunakan arti majaz (kiasan) yaitu seseorang yang makan dengan tangan kiri berarti sesuai dengan perbuatan dan kehendak setan. Oleh sebab itu pantaslah bila dikatakan bahwa ia makan seperti setan, yang dimaksud adalah ia makan seperti cara setan.18 Dari jawaban Ibnu Qutaibah di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk memahami hadits yang sulit dipahami oleh akal sebagaimana hadits di atas dapat menggunakan pendekatan tekstual maupun kontekstual. Keduanya dapat digunakan berdasarkan pada indikator yang terdapat pada masingmasing hadits. Untuk contoh hadits yang pertama, Ibnu Qutaibah tidak menemukan indikasi yang digunakan untuk memahami hadits tersebut secara kontekstual. Sedangkan pada contoh hadits kedua, beliau menemukan berbagai indikasi yang mengarah pada pemahaman hadits tersebut baik secara tekstual maupun kontekstual. D. Penyelesaian hadits-hadits mutasyâbihât Permasalahan yang muncul di dalam hadits-hadits mutasyâbihât (samar maknanya) tidaklah pertentangan antara hadits satu dengan hadits lain yang sama-sama mengandung makna tasybîh. Tetapi pemaknaan redaksi hadits itu sendirilah yang membutuhkan pemahaman tersendiri sebab mengandung arti adanya penyerupaan antara Allah dengan makhluk-Nya. Hal ini tidak terlepas dari penolakan sebagian golongan terhadap hadits-hadits mutasyâbihât yang menilai bahwa hadits-hadits tersebut telah menyalahi aturan. Oleh karenanya Ibnu Qutaibah berusaha memberikan penjelasan sesuai dengan bidang keilmuan yang beliau miliki serta analisisnya yang cermat dengan tidak melampaui kaidah-kaidah yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan sebab beliau yakin bahwa orang-orang yang disinggung oleh Allah dalam al-Qur`an sebagai al-Râsikhûn fi al-‘Ilmi (orang yang mendalam ilmunya) juga 18
Ibid., hlm. 293
78
mendapat pengetahuan dari Allah tentang rahasia maksud syariat yang telah ditetapkan.19 Dalam memberikan argumentasinya, Ibnu Qutaibah memandang perlu tidaknya melakukan takwil terhadap hadits-hadits mutasyâbihât tergantung pada ada tidaknya dalil-dalil pendukung yang kuat baik dari kitab, hadits maupun ijtihad yang rasional, sehingga diharapkan pendapat beliau dapat diterima oleh berbagai kalangan. Di antara proses pemahaman terhadap hadits-hadits mutasyâbihât tersebut adalah berangkat dari riwayat hadits sebagai berikut:
ﺟﻞﱠ ﻭ ﺰ ﻋ ﷲ ِ ﺎِﺑ ِﻊ ﺍﻦ ﹶﺃﺻ ﻴ ِﻦ ِﻣﻌ ﺻﺒ ﻦ ﺃﹸ ﻴﺑ ﺆ ِﻣ ِﻦ ﺐ ﹾﺍﳌﹸ ِﺇﻥﱠ ﹶﻗ ﹾﻠ Artinya:”Sesungguhnya hati seorang mukmin berada di antara kedua jari-jari Allah.” Jika dalam memahami hadits tersebut diperlukan takwil, maka penakwilan tersebut dapat diterima. Tetapi jika diartikan sesuai dengan apa adanya, maka akan bertentangan dengan Kemahasucian Allah. Menurut Ibnu Qutaibah, hadits tersebut tidak tergolong hadits-hadits yang boleh ditakwili sebab tidak ditemukan dalil lain sebagai penguat. Beliau lebih cenderung memaknai hadits tersebut apa adanya dengan menyerahkan makna hakikatnya kepada Allah. Hal tersebut sebagaimana pendapat beliau sebagai berikut: Penakwilan mereka tentang lafadz ﺃﺻﺒﻊyang bermakna nikmat, justru akan semakin jauh dari maksud hadits tersebut. Sebab sehubungan 19 Yusuf Qardhawi, Al-Qur'an Dan Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam, Terj. Bahruddin Fannani, Robbani Press, Jakarta, 1997, Cet. I, hlm. 227. Menurut al-Zamakhsyarî, orangorang yang mendalam ilmunya adalah orang-orang yang teguh dan tegar serta memegang erat suatu kepastian yang ada padanya. Lihat Mahmûd bin ‘Umar al-Zamakhsyarî, Al-Kasysyâf, Dâr alFikr, Beirut, 1977, Cet. I, Juz. I, hlm. 413
79
dengan hadits tersebut Rasulullah SAW telah bersabda dalam doanya, “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku dalam agama-Mu.” Jika mengikuti penakwilan mereka, yakni hati terjaga di antara dua kenikmatan Allah, maka untuk apa Nabi berdoa supaya beliau diberi ketetapan hati ? Menurut kami, lafadz ﺃﺻﺒﻊdalam hadits di atas sesuai dengan hadits lain yang berbunyi sebagai berikut:
ﻴ ِﻦﻌ ﺻﺒ ﻰ ﺃﹸ ﻠﻭ ﹶﻛﺬﹶﺍ ﻋ ِﻊﺻﺒ ُﻰ ﹾﺍﻷ ﻠﺽ ﻋ ﺭ ﻤﻞﹸ ﹾﺍ َﻷ ﺤ ﻳ Artinya:”Bumi ini terletak di atas satu jari-jari maupun dua jari-jari.” Lafadz ﺃﺻﺒﻊdi dalam hadits tersebut pun tidak mungkin diartikan nikmat. Tetapi kami juga tidak berpendapat bila jari-jari tersebut sebagaimana jari-jari manusia, tidak pula tangan seperti tangan manusia, sebab segala sesuatu tidak dapat disamakan dengan Allah SWT. 20 Contoh kedua adalah sebuah hadits riwayat dari al-Hâkim:
ﻤ ِﻦ ﺣ ﺮ ﺲ ﺍﻟ ِ ﻧ ﹶﻔ ﻦ ﺎ ِﻣﻧﻬﺢ ﹶﻓِﺈ ﻳﺮ ﻮﺍﺍِﻟﺴﺒ ﺗ ﻪ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻻ ﻢ ﹶﺃﻧ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ُﺍﷲﻠﻰﻲ ﺻ ﻨِﺒﻋ ِﻦ ﺍﻟ Artinya: Nabi Muhammad SAW telah bersabda, “Janganlah menghina angin yang berhembus, karena ia termasuk nafas Allah yang Maha Pengasih.” Dalam memahami hadits tersebut, Ibnu Qutaibah menggunakan metode takwil yakni memalingkan makna aslinya pada makna lain yang lebih sesuai. Hal ini dilakukan sebab beliau melihat adanya hubungan yang erat antara mu`awwal (lafadz yang ditakwili) dengan mu`awwal bih (lafadz yang digunakan untuk menakwili). Di samping itu beliau juga menyertakan dalildalil lain yang menguatkan penakwilannya, sebagaimana penjelasan beliau sebagai berikut:
20
Ibnu Qutaibah, op. cit., hlm. 192-193
80
Yang dikehendaki dalam hadits di atas bukanlah seperti yang mereka katakan, akan tetapi maksudnya adalah bahwa angin yang berhembus tersebut termasuk kelonggaran dari Allah. Hal ini berdasarkan doa Nabi sebelum beliau diberi pertolongan dari Allah berupa angin yang berhembus pada waktu perang Ahzâb:
ﻨﻲ ﹾﺍ َﻷﺫﹶﻯﻋ ﺲ ﻧ ﱢﻔ ﻬﻢ ﺍﹶﻟﱠﻠ Artinya:”Ya Allah lapangkanlah aku dari penganiayaan.” Begitu juga sabda Nabi SAW:
ـ ِﻦﻴﻤﺒ ِﻞ ﺍﹾﻟﻦ ِﻗ ﻢ ِﻣ ﺭِﺑّ ﹸﻜ ﺲ ﻧ ﹶﻔ ِﺇِﻧّﻲ ﹶﻟﹶﺄ ِﺟﺪ Artinya:”Sesungguhnya aku telah menemukan kemurahan Tuhanmu dari arah Yaman.” Hadits tersebut tergolong hadits-hadits yang menggunakan kata-kata kinayah (kiasan), yang maksudnya adalah bahwa Allah telah memberikan kemudahan dan kelapangan pada Nabi dengan bergabungnya orang-orang Anshâr yang datang dari Yaman.21 Contoh ketiga adalah hadits riwayat al-Qurthubî.
ﻋ ِﺔ ﺮ ﻭﺳ ﻢ ﻮ ِﻃﻜﹸ ﻭﻗﹸﻨ ﻢ ﻦ ِﺇِّﻟ ﹸﻜ ﻢ ِﻣ ﺑ ﹸﻜﺭ ﺐ ﺠ ِ ﻋ ﻪ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻢ ﹶﺃﻧ ﺳﻠﱠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ُﺍﷲﻠﻰﻲ ﺻ ﻨِﺒﻋ ِﻦ ﺍﻟ ﻢ ﺎ ﹸﻛﺑِﺘ ِﻪ ِﺇﻳﺎﺇﺟ Artinya: Nabi Muhammad SAW bersabda,”Tuhanmu tersenyum dan merasa heran terhadap penderitaanmu serta bergegas mengabulkan permintaanmu.” Hadits tersebut dinilai bertentangan dengan Kemahasucian Allah, sebab jika ditinjau dari penggunaannya, heran dan tersenyum merupakan ekspresi seseorang yang baru saja mengetahui suatu hal yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Akan tetapi dalam pandangan Ibnu Qutaibah, maksud dari hadits tersebut bukanlah ditujukan kepada Dzat-Nya, melainkan pada makhluk-Nya. 21
Ibid., hlm. 195
81
Sebab tidak mungkin Allah tidak mengetahui seluruh perbuatan hamba-Nya, baik yang sudah maupun yang belum dilakukan. Penakwilan Ibnu Qutaibah ini berdasarkan pada data-data yang ada dan mengarah pada maksud yang sama, sebagaimana penjelasan beliau sebagai berikut: Yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah bahwa Allah menganggap peristiwa tersebut sebagai sesuatu yang mengherankan dan menarik perhatian dalam pandangan manusia. Sebab ekspresi kegembiraan disebabkan oleh sesuatu yang dianggap heran. Sebagaimana penilaian Nabi terhadap sahabat Anshâr yang rela menyuguhi tamunya dengan memberikan makanan hariannya, padahal ia sendiri sangat membutuhkan makanan tersebut untuk diri dan keluarganya.
ﺣ ﹶﺔ ﺎ ِﺭﺎ ﺍﹾﻟﺒﻴ ِﻌ ﹸﻜﻤﺻِﻨ ﻦ ﱃ ِﻣ ﺎ ﹶﺗﻌُ ﺐ ﺍﷲ ﺠ ِ ﻋ ﺪ ﹶﻟ ﹶﻘ Artinya:”Allah benar-benar heran terhadap perbuatan kamu tadi malam.” Maksudnya, Allah menilai perbuatan tersebut sebagai sesuatu yang mengherankan dalam pandangan manusia. Begitu juga firman Allah:
(٥ :ﻢ )ﺍﻟﺮﻋﺪ ﻬ ـ ُ ﻟﺐ ﹶﻗﻮ ﺠ ﻌ ﺐ ﹶﻓ ﺠ ﻌ ﺗ ﻭِﺇ ﹾﻥ Artinya:”Dan jika (ada sesuatu) yang kamu herankan, maka yang patut mengherankan adalah ucapan mereka.”(QS: al-Ra’d: 5)22 Dalam ayat tersebut Allah tidak merasa heran dengan ucapan mereka, tetapi Dia menganggap ucapan tersebut sebagai sesuatu yang menarik perhatian bagi orang yang mendengarnya.23 Dalam menanggapi hadits pertama, Ibnu Qutaibah tetap memahaminya sebagaimana bunyi teksnya. Beliau tidak menakwili hadits tersebut sebab tidak ditemukan dalil-dalil penguat baik naqlî maupun aqlî yang mengarah pada makna lain. Meskipun demikian beliau tetap menyerahkan makna hakikat dari hadits tersebut pada Allah SWT.
22
Departemen Agama RI., op. cit., hlm. 369
23
Ibnu Qutaibah, op. cit., hlm. 194
82
Untuk hadits kedua, Ibnu Qutaibah berusaha menakwilinya dengan memberikan makna majaz sebab hadits tersebut menggunakan kata-kata kinayah (kiasan) yang harus diartikan tidak sebagaimana mestinya. Pemahaman beliau ini berdasarkan dalil lain yang mengarah pada arti yang sama dengan hadits tersebut. Sedangkan terhadap hadits ketiga, Ibnu Qutaibah memahaminya melalui pendekatan bahasa dengan menakwilkan hadits tersebut. Dalam hal ini beliau juga mengikutsertakan dukungan dari dalil lain yang mengandung maksud yang sama dengan hadits tersebut. Jadi dalam memahami hadits-hadits mutasyâbihât, Ibnu Qutaibah tetap memandang perlu dan tidaknya menggunakan takwil. Jika terdapat dalil-dalil lain yang mendukung hadits tersebut untuk ditakwili, maka beliau tetap memberikan takwil terhadap hadits tersebut dengan berbagai pendekatan yang dibutuhkan secara proposional. Akan tetapi jika tidak ditemukan dalil penguat yang mengarah pada maksud lain, maka beliau tetap memahami hadits tersebut sebagaimana bunyi redaksinya, namun demikian beliau tetap mengembalikan hakikat maknanya pada Allah SWT. Langkah yang terakhir ini merupakan salah satu metode ulama Salaf dalam memahami nash-nash yang mutasyâbihât. Sedangkan Ibnu Qutaibah, meskipun termasuk golongan ulama Salaf tetapi beliau lebih bersifat rasional, yang dengan kepiawaiannya beliau mampu menempatkan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan secara
proposional,
khususnya
yang
dianggap
bertentangan
dengan
Kehamasucian Allah. Sehingga argumentasi beliau dapat diterima oleh semua kalangan dan dibutuhkan oleh ulama hadits pada waktu itu. Beberapa hadits yang dijadikan oleh penulis sebagai contoh dalam penelitian ini, kiranya cukup untuk mengetahui metode penyelesaian Ibnu Qutaibah tentang hadits-hadits yang bertentangan maupun yang dijanggalkan maknanya dalam kitab Ta'wil Mukhtalif al-Hadîts.
83
Berbagai pendekatan yang beliau gunakan menunjukkan betapa luasnya wawasan beliau dalam berbagai disiplin ilmu, sehingga boleh dikatakan bahwa pendekatan apa pun akan digunakan Ibnu Qutaibah bila sesuai dan dibutuhkan dalam rangka memberi solusi terhadap permasalahan hadits tertentu. Namun nuansa kebahasaaan serta aspek sosio-historis merupakan salah satu karakter beliau yang mendominasi pemahamannya. Di samping itu, beliau juga memanfaatkan dukungan dari kitab, hadits maupun syair-syair Arab yang masih ada relevansinya dengan pembahasan. Dengan langkah-langkah metodik tersebut di atas, diharapkan para peneliti
dapat
memahami
hadits
Nabi
secara
proposional
dengan
mempertimbangkan segala kemungkinan yang ada, sehingga hasil penelitian dapat diterima secara komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Wallâhu a’lâm bi al-shawâb.
84