NGABEN SARAT DAN RELEVANSINYA DI MASA KINI
Oleh: ENUNG SOLIHAH NIM. 106032101071
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala puji dan syukur hanya pada-Nya atas segala kasih dan sayang-Nya yang tiada terhenti. Penulis mengucapkan syukur karena dapat menyelesaikan Skripsi ini yang berjudul “NGABEN SARAT DAN RELEVANSINYA DI MASA KINI”. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Junjungan Nabi Muhammad SAW, Nabi akhir zaman, keluarga dan semua sahabatnya. Dalam penyusunan Skripsi ini, Penulis mengalami berbagai macam rintangan dan hambatan. Namun berkat adanya bantuan dari berbagai pihak, semuanya
itu
dapat
diatasi,
sehingga
Skripsi
ini
dapat
diselesaikan.
Perkenankanlah Penulis dalam kesempatan ini menyampaikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu Penulis, kepada : 1. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA. beserta seluruh para Pembantu Dekan Fak. Ushuluddin dan jajarannya. 2. Drs. M. Nuh Hasan, MA dan Bapak Maulana, M.Ag selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama. 3. Bapak Drs. Roswen Dja’far sebagai dosen pembimbing Penulis. Atas segala bimbingan, arahan, bantuan, motivasinya, serta kesempatan dan waktu yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.
i
4. Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu Penulis dalam menyediakan bukubuku yang dibutuhkan Penulis semasa kuliah dan penulisan Skripsi ini. 5. Kepada seluruh dosen Perbandingan Agama yang telah memberikan ilmunya dan mendidik penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama. 6. Bapak I Ketut Bantas, S.Ag, M.Fil., H (Ketua Parisada Hindu Dharma DKI Jakarta), Bapak Dewa Ketut Suratnaya (Dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara) dan Bapak Firdaus (Konselor PHDI) yang telah membantu Penulis dan bersedia menyediakan waktunya untuk melakukan wawancara sebagai bahan Penulis dalam penulisan Skripsi ini. 7. Kedua orang tua saya, Bapak Hamim (Alm.) dan Ibunda Siti Julaeha, serta abangku, Rahmat Syukur, M.Pd.I, Dadan Hermanto dan seluruh keluarga besar yang telah memberikan doa, arahan, motivasi, selama kuliah dan penyusunan Skripsi. 8. Kepada Wasil dan kawan-kawan “perberoan” dan seperjuangan yang telah memberikan arahan dan motivasinya yang terus menerus kepada Penulis. 9. Keluarga Besar Mahasiswa Perbandingan Agama Angkatan 2006 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. 10. Seluruh teman-teman anak kosan Balance yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. 11. Seluruh teman-teman di kantor ESQ yang selalu memberikan semangat kepada penulis.
ii
Terakhir, Penulis mengucapkan terima kasih atas semua pihak yang tidak bisa disebut satu persatu yang telah membantu Penulis dalam menyusun dan menyelesaikan Skripsi ini. Semoga jasa baik yang telah diberikan kepada Penulis, Tuhan dengan Maha Kasihnya membalas dengan sebaik-baik balasan. Amiin.
Jakarta, 04 Maret 2011
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................i DAFTAR ISI ............................................................................................................iv
BAB I
: PENDAHULUAN
.................................................................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ..........................................................2 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................6 C. Tujuan Penulisan ......................................................................7 D. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan ...............................8 E. Sistematika Penulisan ...............................................................10
BAB II
: NGABEN DALAM AJARAN HINDU ........................................ 11 A. Pengertian dan Tingkatan Ngaben ......................................... 11 B. Landasan Umum ...................................................................... 20 C. Landasan Khusus ..................................................................... 28
BAB III
: NGABEN SARAT DAN RELEVANSINYA ..............................33 A. Pengertian, Jenis dan Maksud Ngaben Sarat .......................33 B. Landasan Filosofis Ngaben Sarat ..........................................37 C. Upakara dan Upacara Ngaben Sarat .....................................38
iv
D. Relevansi Ngaben Sarat di Masa Kini ...................................54 BAB IV
: PENUTUP .....................................................................................60 A.Kesimpulan ...............................................................................60 B.Saran-saran ...............................................................................61
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................62 LAMPIRAN-LAMPIRAN
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Epilog dari drama kehidupan manusia atau sebagai penutup perjalanan hidup manusia adalah soal kematian. Sebagaimana halnya dengan kehidupan, sejak jasad mulai bernyawa di dalam rahim, telah diadakan ritual pranatal dan dilanjutkan dengan ritual-ritual sesudah lahir. Begitupun dengan bagian akhir perjalanan kehidupan manusia memiliki ritual setelah mati. Tata cara atau semua peraturan yang mengatur upacara (baca: ritual) kematian (petrime-dha-yajna) terhimpun dalam sebuah kitab Weda Smrti yang dikenal dengan nama kitab ―Petrimedha Sutra‖, dikumpulkan oleh Maha Resi Budhayana. Lebih lanjut, sejak Agama Hindu mulai tersebar ke Asia Tenggara, pokok-pokok tata cara ritual penyelesaian mayat orang mati telah digubah kembali dan disesuaikan berdasarkan kebiasaan dan fasilitas setempat. Tentunya, hal ini juga tertulis dalam rontal-rontal yang masih tersimpan sebagai warisan kebudayaan bagi masyarakat Hindu di Indonesia.1 Disebabkan tata cara ritual penyelesaian mayat telah berkembang dan mengikuti kebiasaan tradisi setempat, penting kemudian sedikit banyak mengetahui nama atau istilah dari ritual penyelesaian mayat itu sendiri. Ritual penyelenggaraan atau penyelesaian mayat, dalam kepercayaan umat Hindu di Bali, disebut dengan istilah Ngaben atau dalam istilah pada umumnya 1
Fatwa M.P.K.S. No. 20/1973, Kremasi (Pembakaran Mayat), (Jakarta: Majlis Pertimbangan Kesehatan Dan Syara’ Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1973), h. 23
1
dikenal dengan istilah Kremasi atau pembakaran mayat. Pada dasarnya, ritual Kremasi (baca: pembakaran mayat) yang dikenal familiar dalam dunia modern saat ini, merupakan ritual yang dapat ditemukan dalam praktek pra-sejarah, jaman Sutra dan permulaan sejarah, atau telah dilakukan oleh sebagian bangsa di dunia sejak zaman sebelum Masehi dan juga pada masa Romawi. Berdasarkan dengan bukti arkeologis yang dijelaskan oleh ahli Antropologi Inggris V. Gordon Childe, pembakaran mayat atau kremasi telah dijalankan oleh masyarakat neolitik di kepulauan Inggris, Brittany, Switzerland, dan Jerman Tengah. Kremasi menjadi cara yang disukai di Inggris dan Eropa Utara dan Tengah pada abad pertengahan sampai abad perunggu (dari 1400 SM) dan di Spanyol dan Itali Atas sejak permulaan abad besi (dari 1000 SM). Juga dijalankan di Troy Dardonelles, Carchenish dekat Euphratus dan kadang di Creta dan Yunani: antara 1400 dan 1000 SM. Kemudian kremasi atau pembakaran mayat menjadi populer di India di kalangan Hindu.2 Dalam kebudayaan primitif yang telah sampai saat modern ini, kremasi dijalankan secara luas. Pembakaran itu tidak hanya dimaksudkan untuk menghancurkan jasmani mayat secara lebih efektif, dan karenanya untuk mencegah kembalinya hantu itu yang mungkin, tetapi sejak api menyala juga sebagai suatu fungsi pensucian, pembakaran itu sering dianggap sebagai kebaikan untuk melindungi roh jahat. Tetapi, jangan diartikan, bahwa tujuan kebiasaan kremasi itu sama dalam semua keadaan. Di samping itu, untuk mengurangi keberanian roh dari
2
Fatwa M.P.K.S. No. 20/1973, Kremasi (Pembakaran Mayat), h. 12-13.
2
mendatangi bangkai (mayat) dan tempatnya semula, dan untuk memberikan semacam pengertian pensucian dari roh jahat, maka kremasi itu juga dalam beberapa contoh, di kalangan orang Hindu dan Chukchi Siberia, telah dihubungkan dengan kepercayaan tentang suatu tempat tinggi bagi roh dari orang yang meninggal. Nyala dari timbunan kayu pembakaran mayat itu, menjulang ke atas, dianggap dapat memudahkan naiknya roh.3 Sementara kremasi masih merupakan cara pembebasan mayat yang lebih disukai dikalangan bangsa-bangsa primitif, kekurangan bahan bakar sering membawa orang untuk menggunakan cara-cara lain. Contohnya, orang-orang Chukchi sering menggunakan cara membiarkan mayat itu, sedangkan orang-orang Koryak, yang hidup lebih jauh ke daerah selatan, mengambil kremasi bila dapat dilakukan, tetapi melemparkan mayat mereka itu ke dalam lautan dari sebuah batu yang curam apabila kekurangan bahan bakar. Dalam zaman sutra pun, acara penyelesaian jenazah sebagaimana dalam kitab-kitab Aranyaka dan kitab Yajur Weda, acara itu disebut dengan istilah ―Pitrimedha‖ atau upacara untuk membahagiakan orang-orang yang telah meninggal. Mantra-mantra umumnya diambil dengan ayat Rg Weda. Acaranya lebih mendetail dan lebih sistematik dengan berbagai bentuk rituil sebagai pelengkap acara. Diantara kitab-kitab yang memuat acara itu, kitab Hiranyakesi Grhiyasutra adalah kitab yang paling banyak dianut dan tersebar pemakaiannya,
3
Fatwa M.P.K.S. No. 20/1973, Kremasi (Pembakaran Mayat), h. 13
3
sampai ke Indonesia dalam bentuk gubahan sastra. Acara inilah yang kemudian disistimatisir disesuaikan menurut tradisi tempat setempat.4 Kremasi dalam perkembangan selanjutnya telah menjadi cara penyelesaian mayat yang paling populer,5 bahkan dengan perkembangan sifat dan sosial ekonomi masyarakat, upacara pembakaran mayat tidak lagi merupakan satu tradisi rutin tetapi merupakan proyek prestise dengan segala kemegahannya. Kejadiankejadian yang dapat kita amati seperti yang terjadi di kalangan umat Hindu di Bali.6 Lebih dari itu, pembakaran mayat menjadi tradisi dan diizinkan dalam hukum positif, bahkan merupakan sebuah kewajiban dalam hukum agama sebagaimana halnya yang membudaya dalam agama Hindu. Hal ini mempunyai arti kejiwaan yang mendalam di samping mempercepat proses pemulangan atau penyelesaiannya. Secara ekonomipun acara ini akan lebih menguntungkan dari acara lainnya dan karena itu oleh masyarakat Hindu di Bali telah dikeluarkan anjuran kepada masyarakat Hindu untuk menempuh acara pembakaran seketika (Swastha). Dari aspek kejiwaan, pembakaran lebih mempercepat proses penyelesaian ikatan batin yang ditinggal, sehingga baik yang ditinggal maupun yang meninggal tidak merasakan adanya rintangan batiniah misalnya karena merasa punya kuburan, terpaksa pula hari-hari tertentu harus pergi berkunjung untuk melakukan terpana. Inilah yang disebut ikatan batin yang dapat mengganggu itu. Lain halnya 4
Fatwa M.P.K.S. No. 20/1973, Kremasi (Pembakaran Mayat), h. 30. Fatwa M.P.K.S. No. 20/1973, Kremasi (Pembakaran Mayat), h. 26. Uraian tentang acara pembakaran ini dijelaskan pula dalam kitab Grhya sutra. Kebiasaan ini bersifat wajib dijaman Weda. 6 Fatwa M.P.K.S. No. 20/1973, Kremasi (Pembakaran Mayat), h. 30. 5
4
dengan mayat dibakar, begitu habis dibakar dan dibuang abunya ke laut, selang beberapa hari kemudian pikiran kita sudah terbebaskan oleh ikatan-ikatan itu. Berdasarkan analisa itu, secara ilmiah perlu pula diusahakan pembuktian tentang kebaikan pembakaran mayat itu didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dan kebudayaan agama. Dalam perkembangan agama Hindu selanjutnya dengan mengikuti kebiasaan-kebiasaan setempat, penyelesaian mayat orang meninggal—kremasi dalam sebutan lainnya,—dalam tradisi umat Hindu di Bali lebih populer dan biasa disebut dengan istilah Ngaben. Bagi umat Hindu—khususnya di Bali—Ngaben atau pembakaran mayat kemudian berkembang dengan pelbagai sajen dan alat-alat upakara sebagai sarananya. Ini pun tidak hanya menggambarkan sebagai sebuah kebutuhan mutlak untuk mengantar arwah ke tempat yang membahagiakan yakni tatkala bersekutu dengan Sang Hyang Widi. Lebih dari itu, tradisi atau ritual Ngaben di Bali dengan aneka upakara dan upacaranya bukan hanya sebagai ritual keagamaan, melainkan juga menjadi proyek prestise dengan segala kemegahannya. Ngaben sebagai ritual keagamaan di Bali merupakan bagian dari Pitra Yadnya7,
yakni
sebagai
upacara
keagamaan
yang
diadakan
untuk
menyelenggarakan jenazah keluarga yang meninggal dengan menggunakan
7
Pitra Yadnya terdiri dari dua kata, yakni ―pitra‖ dan ―yadnya‖. ―Pitra‖ yang berarti orang tua (bapak, ibu atau leluhur). Sedangkan ―yadnya‖ berarti berkorban atau pengorbanan dengan hati tulus ihlas nan suci. Pitra Yadnya juga menjadi bagian dari Panca Yadnya: Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, Rsi Yadnya, Butha Yadnya dan Pitra Yadnya itu sendiri.
5
berbagai sesajen dan upakara di dalamnya. Melakukan Pitra Yadnya ini merupakan sebuah kebutuhan mutlak dan kewajiban (swadharma).8 Tegasnya, Ngaben yang merupakan salah satu bentuk upacara Pitra Yadnya memiliki sasaran yang cukup luas yang tidak hanya bagi roh orang tua atau leluhur, melainkan untuk segenap roh keluarga yang meninggal. Namun ada pula maknanya yang sempit, yakni hanya bermaksud pengorbanan dalam bentuk upacara-upakara yang tidak merangkum pengorbanan dalam wujud lainnya. Jadi, Ngaben dalam kepercayaan umat Hindu di Bali disebut sebagai upacara pembakaran mayat yang merupakan bagian dari Pitra Yadnya yang diyakini sebagai salah satu sarana untuk mengembalikan unsur-unsur Panca Maha Bhuta9 kepada asalnya. Artinya, setiap manusia terdiri dari unsur atau elemen pratiwi (zat tanah, serba keras atau padat), apah (zat air atau yang cair), teja (zat panas dan cahaya), bayu (udara), dan akasa (ether). Kendatipun demikian, Ngaben yang merupakan bagian dari Pitra Yadnya terdiri dari beberapa jenis yang pelaksanaannya beranekaragam berdasarkan tempat, tradisi dan kemampuan yang ada dalam pelaksanaannya. Jadi, ada tiga jalan yang bisa ditempuh untuk menggelar yadnya, yakni Ngaben Nista (kecil/biasa), Madya (sederhana) dan ngaben Sarat (utama). B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dengan melihat dan membaca latar belakang masalah di atas, maka Penulis akan berusaha membatasi penulisan skripsi ini pada Ngaben Sarat tidak terkait 8
I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 3-5 9 Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama, (Surabaya: Paramita, 2002), h. 22-23. Penjelasan lebih lanjut tentang Panca Mahabhuta bisa juga dibaca dalam bukunya I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, h. 6-8
6
dengan tingkatan ngaben lainnya (nista dan madya) dan Relevansinya Di Masa Kini. Hal ini dimaksud demi menjaga fokus utama dari pokok pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Lebih dari itu, pada prinsipnya agar tidak menyimpang dari tujuan pokok penulisan skripsi ini sendiri. Pembakaran mayat (baca: ngaben) dalam kepercayaan agama Hindu di Bali merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan secepat mungkin. Sekaligus juga memiliki beberapa tingkatan ataupun jenis-jenis ngaben yang memerlukan penjelasan tersendiri dan memiliki keunikan yang menarik perhatian. Maka, untuk menghindari meluasnya permasalahan yang akan dibahas atau dikaji dalam penulisan skiripsi ini, maka kemudian Penulis dirasa perlu untuk merumuskan permasalahan yang akan dieksplorasi secara komprehensif dan elaboratif kedalam pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan Ngaben Sarat dan Adakah Relevansinya Terhadap perkembangan Umat Hindu di Bali Masa Kini? C. Tujuan Penelitian Penulisan skripsi yang dilakukan secara sungguh-sungguh, elaboratif dan diharapkan sesuai standar keilmiahan ini memiliki beberapa tujuan. Tujuan utama penulisan skripsi ini untuk mengeksplorasi sebaik mungkin judul skripsi ini agar kemudian para Pembaca bisa dengan mudah dan benar mengetahui dan memahami apa dan bagaimana yang dimaksud dengan Ngaben Sarat dalam kepercayaan umat Hindu di Bali. Selain itu, penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendukung terselenggaranya upacara Ngaben Sarat, khususnya yang berkenaan dengan upacara dan upakaranya yang begitu unik dan khas
7
apalagi memiliki kaitan yang mendalam dalam kepercayaan keberagamaan masyarakat Hindu di Bali. Dan adakah relevansinya bagi umat Hindu di Bali masa kini yang mulai memiliki kehidupan modern dan disibukkan dengan kegiatan individu yang begitu padat. Bagi para penggiat dan pengkaji agama khususnya dalam hal tema-tema perbandingan agama, penulisan dan penelitian skripsi ini bisa dijadikan pijakan awal atau bahan dasar untuk pengembangan lebih lanjut dan jauh. Sekaligus juga penulis berharap dapat menyumbangkan pemikiran dalam rangka menambah wacana dan memperkaya horizon Ilmu Perbandingan Agama itu sendiri. Secara akademis penulisan skripsi ini memiliki tujuan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. D. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah studi kepustakaan (library research). Artinya, penelitian yang dilakukan oleh Penulis hanya dengan cara membaca, mempelajari, membedah dan meneliti bukubuku dan ensiklopedi semaksimal mungkin sesuai dengan data yang dibutuhkan. Sekaligus juga menggunakan sumber lain yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini, semisal majalah-majalah ataupun sejenisnya. Hal ini dimaksud demi membantu atau mempertajam pembahasan yang Penulis lakukan, kendatipun metode penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan, yang artinya penulis hanya mengkaji dan membahas berdasarkan buku-buku yang ada dan yang dibutuhkan.
8
Di samping itu, selain menggunakan metode studi kepustakaan, penulis juga melakukan atau menambahkan wawancara (interview), yaitu mengumpulkan data dengan wawancara langsung tiga tokoh Hindu di Pura Aditya Jaya Rawamangun yaitu pada tanggal 26 Oktober 2011dengan Bapak Dewa Ketut Suratnaya (Dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara) dan pada tanggal 30 Oktober 2011 dengan Bapak I Ketut Bantas (Ketua Persatuan Hindu Dharma Indonesia) dan Bapak Firdaus (konselor PHDI) yang ada hubungannya dengan masalahmasalah yang akan penulis kemukakan. Keilmiahan dalam penulisan skripsi dan demi hasil yang akurat dan baik sangat bergantung pada metode dan tehnik yang digunakannya. Jadi, metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptifanalitis. Deskriptif yang dimaksud oleh penulis yaitu metode penulisan yang (berusaha) menggambarkan atau menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan judul skripsi ini menurut apa adanya secara jelas dan detail tanpa mengurangi ataupun menambahkannya. Kemudian dilanjutkan dengan metode analitis kritis yang artinya memberikan
uraian-uraian
kritis
dan
sistematis
terhadap
pokok-pokok
pembahasan dan permasalahan tanpa adanya upaya untuk memberikan penilaian tertentu terhadap pembahasan skripsi ini. Hal ini dimaksud demi menghasilkan alur yang jelas dan sistematis. Sedangkan tehnik penulisan skripsi ini, Penulis berpedoman pada buku Pedoman Akademik 2009-2010 bagian teknik Penulisan Karya Tulis Ilmiah
9
(Makalah, Skripsi, Tesis,dan Disertasi) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009.
E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dan pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab. Masing-masing bab terdiri dari sub-sub bab sebagaimana berikut: Bab Pertama berisi Pendahuluan antara lain: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan, dan Sistematika Penulisan. Bab Kedua menjelaskan tentang Ngaben Dalam Ajaran Hindu antara lain: Pengertian dan Tingkatan Ngaben, Landasan Umum dan Landasan Khusus. Bab Ketiga adalah Bab yang akan menjelaskan secara elaboratif, eksploratif-komprehensif mengenai Ngaben Sarat dan Relevansinya yang meliputi: Pengertian, Jenis dan Maksud Ngaben Sarat, Landasan Filosofis Ngaben Sarat, Upakara dan Upacara Ngaben Sarat, sekaligus Relevansi Ngaben Sarat di Masa Kini. Bab keempat adalah bab terakhir yang membahas tentang Kesimpulan dan Saran-Saran.
10
BAB II NGABEN DALAM AJARAN HINDU
A. Pengertian dan Tingkatan Ngaben Ada yang mengira perkataan Ngaben yang kita kenal di Bali berasal dari kata ngaba+in yang menurut bahasa Bali berarti, membekali atau memberi bekal. Sudah tentu dalam hal ini bekal yang dimaksud dapat berbentuk materi yang diwujudkan dalam upakara-upakara dan benda-benda materi lainnya, dan juga bekal immateriil yang berwujud puja Mantra dari Ida Pedanda serta doa-doa dari sanak saudaranya.10 Dari kata Ngaben yang berarti membekali inilah mungkin timbul anggapan yang mengarah kepada pembuatan upacara besar-besaran sebagai perwujudan rasa terima kasih dan hormatnya kepada alamarhum. Disamping itu terselip suatu anggapan atau pandangan yang seolah-olah orang yang meninggal itu memerlukan bekal sebanyak-banyaknya dalam perjalanannya kedunia sana. Perkiraan yang lebih tepat asal kata mengenai Ngaben itu dikira dari kata abu. Dari kata abu lalu menjadi ngabu-in dan disingkat menjadi Ngabon. Kata Ngabon ini mengandung arti bahwa mayat itu justru dibakar agar mnenjadi abu. Kemudian kata Ngabon ini berubah menjadi kata Ngaben. Bagi masyarakat Jawa dan Bali yang mengenal kromo inggil, yaitu bahasa kasar dan halus, bila mereka merubah kata-kata dari kasar ke halus cukup dengan cara mengubah beberapa
10
Cudamani, Arti Simbul Dalam Upacara Ngaben (Jakarta: Hanuman Sakti, 1993), h. 3.
11
huruf saja contohnya: ngonkon (kasar) –ngenken (halus), metakon (kasar) – metaken (halus), ngabon (kasar) –Ngaben (halus).11 Dalam istilah lain disebutkan bahwa Ngaben berasal dari kata beya12 artinya biaya atau bekal. Beya berarti bekal ini berupa jenis upakara yang diperlukan dalam sebuah upacara Ngaben. Kata Beya yang berarti bekal, kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi biaya atau prabeya dalam bahasa Bali. Orang yang menyelenggarakan beya dalam bahasa Bali disebut meyanin. Kata Ngaben, meyanin, sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wedhana.13 Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya14—yang disebut-sebut dalam lontar—adalah atiwa-atiwa atau Malebuang.15 Kata atiwa ini pun belum dapat dicari asal usulnya. Kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara (Austronesia). Upacara sejenis ini (baca: atiwa-atiwa) juga bisa dijumpai pada suku Dayak, di Kalimantan yang disebut tiwah. Demikian juga di Batak dikenal dengan sebuthan tibal, untuk menyebutkan upacara setelah kematian. Upacara Ngaben atau meyanin, atau juga atiwa-atiwa, untuk umat Hindu di pegunungan Tengger dikenal dengan nama entas-entas. Kata entas mengingatkan kita pada upacara pokok Ngaben di Bali. Yakni tirta pangentas yang berfungsi
11
Cudamani, Arti Simbul Dalam Upacara Ngaben, h. 3-4. Lebih lanjut Cudamani menjelaskan bahwa dalam lontar-lontar penyelesaian mayat itu dikenal dengan istilah atiwa-atiwa. Pengertian atiwa-atiwa sudah mencakup pengertian apakah upacara itu berbentuk utama (besarbesaran), madya (sedang) ataupun nista (sederhana). 12 Kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. 13 Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama (Surabaya: Paramita, 2002), h. 21. 14 Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 21-22. 15 I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 35.
12
untuk memutuskan hubungan kecintaan sang Atman (roh) dengan badan jasmaninya dan mengantarkan atman ke alam Pitra. Dalam bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, Ngaben itu disebut Palebon, yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Dengan demikian Palebon berarti menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanamkan kedalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat. Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan arealnya disebut tunon. Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar. Sedangkan pemasmian berasal dari kata basmi yang berarti hancur. Tunon lain katanya adalah setra atau sema. Setra artinya tegal sedangkan sema berasal dari kata smasana yang berarti Durga. Dewi Durga yang bersthana di Tunon ini. Dalam literatur lain disebutkan bahwa Ngaben berasal dari bahasa Bali dari asal kata ―api‖. Kata ―api‖ ini mendapat prefek sengau ―ng‖ dan suffik ―an‖, dari kata api menjadi ―Ngapian‖. Setelah disandhikan menjadi kata: Ngapen. Aksara P, B dan W adalah aksara satu warga. Dengan demikian hurup ―p‖ berubah menjadi huruf ―b‖. Dari perubahan itu kata Ngapen menjadi kata Ngaben, yang artinya menuju api.16 Dalam ajaran Hindu api itu lambang kekuatan Dewa Brahma. Dengan demikian Ngaben berarti menuju Brahma. Jadinya maksud dan tujuan upacara Ngaben adalah mengantarkan Sanghyang Atman menuju alam Brahman. Karena
16
Drs. I Ketut Wiana, Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita, 2002), h. 25-26.
13
kita berasal dari Brahman. Atman yang berasal dari Brahman ini dilambangkan dalam upacara Nyambutin oleh umat Hindu di Bali. Berbagai pengertian Ngaben yang Penulis kemukakan di atas tidak berbeda dengan penjelasan salah satu Pandita yang Penulis wawancarai langsung bahwa: “Ngaben itu istilahnya muncul hanya di Bali yang lain itu tidak dikenal Ngaben, bahkan Hindu di India, di Jawa juga tidak dikenal Ngaben. Biasanya ada beberapa persepsi, yang pertama itu Ngaben bisa dikaitkan dengan api “ngapen”, ngapen itu menggunakan api untuk mengembalikan lima unsur, lima unsur itu yang membentuk tubuh manusia sewaktu hidup. Selama mati dia menjadi jenazah, jadi mayat, dia harus dikembalikan pada alamnya. Jadi unsur air dikembalikan kepada air, unsur tanah dikembalikan kepada tanah, unsur api dikembalikan kepada api, kemudian apa lagi, unsur udara dikembalikan kepada udara, dan unsur either dikembalikan kepada either. Nah, proses tercepat untuk mengembalikan lima unsur pembentuk manusia ya dengan pembakaran jenazah sehingga menjadi abu, nanti abunya dibuang ke laut. Itu dianggap sudah kembali ke semua unsurnya. Unsur kembali ke alam. Yang kedua, Ngaben itu diartikan sebagai ngabehin. Ngabehin itu biaya jadi menggunakan dan membutuhkan biaya atau banyak dana atau uang untuk proses itu dan Ngaben ini dikaitkan dengan Pitra Yajna. Pitra itu leluhur, Yajna upacara, jadi sebentuk penghormatan untuk leluhur itu sebetulnya. Dengan mempercepat mengembalikan lima unsur. Kemudian itu terkait dengan pembakaran jenazahnya, ya kremasinya sampai pembuangan abunya kelaut disebut Sawa Wedana. Itu proses untuk sawanya (badan kasar). Nanti setelah itu ada proses yang namanya Atma Wedana. Atma Wedana itu terkait bagaimana kita menuntun si roh supaya pertama hubungan dengan dunianya putus. Jadi tidak ada hubungan dengan dunia lagi sehingga dia terpisah dengan kehidupan di dunia ini bahwa dia sekarang menuju sana menuju ke cahaya yang kita anggap sebagai cahaya Tuhan. Kesana arahnya untuk itu roh itu harus dituntun. Nah ini yang namanya atma wedana. Ini dilakukan oleh keturunan dari yang meninggal sebagai wujud bakti Dan penghormatan bahwa leluhur itu banyak membuat jasa kepada yang hidup. Sehingga ini dianggap kewajiban moral, kewajiban sebetulnya bahasa kasarnya utang padahal kewajiban sebetulnya bukan utang kalau saya bilang. Nah itu pemahaman Ngaben. Tapi Ngaben itu tidak semuanya menggunakan api atau dibakar dan sesungguhnya kalau kita bicara Ngaben. Ngaben itu bisa lewat api, udara, tanah, air. Nah jadi itu semua namanya Ngaben hanya walaupun perlakuannya berbeda-beda tetapi upacaranya sarana upacara tetep sarana upacara Ngaben karena di Bali pun tidak semua yang meninggal itu diaben,
14
dibakar jenazahnya. Ada berapa daerah seperti Tabanan di dekat gunung Batu. Nah, itu secara keseluruhan Ngaben bisa dipahami seperti itu. Secara umum ya Ngaben bisa dipahami. Ah tentu berbeda kalau misalnya di Jawa Ngaben itu tidak harus di bakar Karena orang Jawa katakanlah belum tega dia melihat orang tuanya, kakeknya dibakar utuhutuh, secara seperti itu sehingga Ngaben di Jawa itu hanya menggunakan puspalingga. Jadi tidak dibongkar kalau di Jawa tidak dibongkar tapi kemudian ada ritual langsung pada Atman Wedana yang namanya entasentas. itu Ngaben persi Jawa. Kalau di India ga dikenal istilah Ngaben walaupun jenazah di bakar kremasi disana malah di India itu kelihatan lebih ekstrim. Jadi kewajiban moral sebetulnya Ngaben itu jadi seperti itu. Nah caranya berbeda-beda kalau yang dikremasi ini mempercepat proses, ada yang dikubur namanya Ngaben juga. Di trunyan itu pake angin Ngabennya dibiarin aja sampai abis sendiri. Nah itu Ngaben lewat angin mengembalikan lima unsur pada pokoknya yang tanah kembali ke tanah, yang api balik ke api, yang angin Balik ke angin. Pancamahabuta lima unsur kekuatan alam semesta itu aja sebetulnya. Tidak ada yang istimewa logik aja. Ketika kita mau lahir lima unsur kan membentuk kita dan kita menerima lima unsur itu lewat kelahiran sebagai sesuatu yang suci sebetulnya. Nah kita harus kembalikan dengan status yang sama dengan suci juga kita kembalikan, ga bisa kita kemballikan dalam kondisi yang kotor.”17 Jadi pada prinsipnya, Ngaben atau meyanin adalah penyelenggaraan upacara untuk sawa (mayat) orang yang sudah meninggal. Selain itu, Ngaben merupakan salah satu bentuk pelaksanaan upacara pitra yajna yang diyakini sebagai salah satu sarana untuk mengembalikan unsur-unsur Panca Mahabutha kepada asalnya. Melaksanakan pitra yadnya merupakan sebuah kewajiban atau swadharma bagi umat Hindu. Begitu pula dengan upacara Ngaben yang merupakan bagian dari pitra yadnya, maka upacara Ngaben juga merupakan sebuah kewajiban untuk dilakukan. Ngaben ini merupakan langkah untuk menghormati leluhur dan merupakan suatu pembayaran utang kepada leluhur.
17
Hasil wawancara langsung dengan bapak Dewa Ketut Suratnaya, Dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara pada tanggal 26 Oktober 2010. Lihat lampiran II.
15
Dalam melakukan upacara Ngaben ada perbedaan tingkatan—tergantung tempat, tradisi dan kemampuan—dari segi penyelenggaraan dengan tujuan agar semua orang bisa menikmati dan memakai dengan pas sesuai dengan seleranya, dengan catatan harus sesuai dengan etika yang berlaku dan esensinya tidak berubah. Jadi, ada tiga jalan yang bisa ditempuh untuk menggelar yadnya, yakni Ngaben Nista/Alit (kecil/biasa), Madya (sederhana) dan Ngaben Sarat (utama).18 Perbedaan ini muncul juga dikarenakan ada tuntutan dalam melaksanakan yadnya sebagaimana tertulis dalam lontar-lontar. Bahwa umat boleh memilih satu di antara tiga jalan pokok yang ditempuh, yakni nista, madya dan utama/sarat. Aneka sesajen dan upakara yang jumlahnya paling sedikit adalah yadnya pada tingkat nista. Yang lebih banyak ada pada tingkat madya dan yang paling banyak ada pada tingkat utama/sarat. Artinya, tingkatan-tingkatan Ngaben yang muncul dalam realitas kehidupan masyarakat
seperti
Ngirit/Ngelanus/Metandang
halnya Mantri,
Ngaben Ngaben
pada
tingkat
Ngaben
Maprenawa/madya/sederhana,
Ngaben Ngewangun/utama/sarat19 muncul di lapangan dari Pandita yang muput atau dari tukang Banten yang membuat Bantennya. Bahkan tiap-tiap Pandita memiliki pegangan Lontar tersendiri dan penafsiran sendiri tentang Upacara Pitra Yajna tersebut. Ada yang menggunakan Lontar Yama Tattwa dan sejenisnya, ada juga yang menggunakan Lontar Sunari Gama PeNgabenan.
18
Kata pengantar Wayan Supartha. S.H. dalam bukunya I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: mengapa mayat dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. xv-xvii. 19 Istilah-istilah Ngaben Ngerit (sederhana), Ngaben Maprenawa (menengah) dan Ngaben Ngewangun (besar) bisa diperjelas dalam bukunya Drs. I Ketut Wiana, Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita, 2002), h. 27-28.
16
Ngaben merupakan salah satu yadnya yang paling banyak ragamnya, baik dari besar-kecilnya biaya dan wibawa/prestis lahiriahnya. Dari segi banyaknya sesajen, ada Ngaben yang hanya menggunakan sesajen tiga sampai empat nyiru. Itu bagi yang ekonominya lemah atau orang yang ingin hemat-hematan. Tapi bagi mereka yang cukup berada atau yang ekonominya pas-pasan namun ingin hebathebatan, sesajennya bisa empat sampai lima truk. Dari segi biaya, ada yang hanya cukup mengeluarkan ratusan ribu sampai yang ratusan juta rupiah. Perbedaan tingkatan Ngaben ini demi menjawab beranekaragamnya penjelmaan manusia atau keadaan umat manusia selaku subyek yang akan beryadnya. Tidak saja bermacam-macam dalam hal bakat, kecerdasan, selera dan lainnya, melainkan pula dalam hal kedudukan dan kemampuan materian/ekonomi dalam masyarakat. Ada yang raja, menteri, punggawa, rakyat jelata dan ada pula yang kaya, setengah kaya, sedang-sedang saja, sampai yang gelandangan.20 Artinya, tingkatan ini diadakan agar umat manusia dapat menempuh jalan yang paling sesuai dengan kemampuan dirinya masing-masing. Perbedaan itu bisa muncul
dalam melaksanakan yadnya sebagaimana
tertulis dalam lontar-lontar. Bahwa umat boleh memilih satu di antara tiga jalan pokok yang ditempuh, yakni nista, madya dan utama. Dalam bahasa Indonesia, istilah-istilah ini lebih diartikan kecil, menengah dan besar.21 Bahkan tiga macam jalan itu bisa dirinci menjadi sembilan macam, dengan mengadakan tiga jenis jalan pula bagi setiap macamnya. Jadi dalam kelompok nista ada jenis nistaning nista, madyaning nista dan utamaning nista. Begitu pula 20
Lontar Wrehaspati Tatwa yang dikutip oleh I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: mengapa mayat dibakar?, h. 37. 21 I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: mengapa mayat dibakar?, h. 36.
17
pada kelompok madya, mempunyai nistaning madya, madyaning madya dan utamaning madya. Begitu pula bagi kelompok utama ada nistaning utama, madyaning utama dan utamaning utama.22 Hal ini kemudian mudah dibayangkan, bahwa macam sajen dan upakara yang jumlahnya paling sedikit adalah yadnya pada tingkat nista. Yang lebih banyak ada pada tingkat madya dan yang paling banyak ada pada tingkat utama. Kendatipun demikian, sukses atau gagalnya suatu Pitra Yadnya tidak bisa diukur dari penampilan luarnya. Misalnya jumlah bantennya yang besar dan banyak, badenya yang tinggi bagaikan menara pencakar langit, jumlah orang yang terlibat di dalamnya, jumlah dan kualitas tamu-tamu yang hadir. Upacara yang memakan biaya mahal, tanpa dilandasi pikiran bersih bisa digolongkan gagal. Kualitas manusia itu sendiri yang menentukan dalam sebuah upacara tersebut, bukan sekedar kuantitas alat-alat yang dipakainya. Namun, sebuah yadnya besar dengan dana besar tidak salah bila betul-betul dilandasi ketulusan suci dan kesungguhan. Bahkan perlu dikecam bila orangorang yang hidupnya kaya raya tapi menggelar Pitra Yadnya dengan upacara kecil dengan maksud menghemat. Pitra yadnya harus dirasakan sebagai sebuah pengorbanan. Orang yang punya deposito beratus-ratus juta rupiah, tentu akan tidak merasa menanggung beban, bila upacara Pitra Yadnya-nya hanya menghabiskan ratusan ribu rupiah. Dengan demikian, jelas tidak perlu adanya keseragaman dalam hal besar kecilnya bentuk upacara Pitra Yadnya. Bisa dicontohkan dengan sebuah baju yang 22
I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Harus Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 37.
18
ukuran dan warnanya sama tentu tidak pas bila dipakai oleh semua orang. Jadi, memang harus ada perbedaan agar semua orang bisa memakai dengan pas sesuai dengan seleranya. Tentunya saja harus sesuai dengan etika yang berlaku dan esensinya tidak berubah. Artinya, keanekaragaman kemampuan ekonomi, serta yadnya itu agar terasa sebagai ―beban‖, tetapi beban yang dapat dipikul. Para maha resi kemudian mengadakan jenis nista, madya, utama. Jenis itu diadakan, agar semua umat dapat menempuh jalan yang paling sesuai dengan kemampuan dirinya masing-masing. Maka dari itu, upacara pitra yadnya (baca: Ngaben) yang merupakan sebagai sebuah kewajiban haruslah dirasakan sebagai beban (yang dapat dipikul). Beban dalam arti ada rasa pengorbanan, bukan dalam arti ―menyiksa diri‖. Bukanlah melakukan yadnya atau pengorbanan namanya bagi mereka yang standar pengeluarannya perhari ala tarif hotel internasional kalau upacara yang dipikulnya hanya menghabiskan dana senilai dua kuintal beras. Pengeluaran ―sekecil‖ itu, tentu tidak terasa sebagai beban di pundak mereka. Jumlah biaya atau besarnya sesajen bukan ukuran untuk tuntasnya sebuah yadnya. Bila bernama Ngaben dan telah memenuhi syarat esensial, maka upacara Mretaka Sawa itu sudah boleh dikatakan tuntas dalam arti puput. Tinggal hanya melanjutkan ke upacara Atman Wedana. Jadi, sebuah upacara Ngaben bisa dikatakan tuntas (puput) dan sukses tidak ditentukan oleh kecil-besarnya sesajen, material dan wibawa lahiriah dalam tingkatan Ngaben, melainkan tergantung syarat essensialnya dan kualitas manusia
19
itu sendiri. Kendatipun berbeda-beda dalam tingkatannya, upacara Ngaben itu tetap punya nilai yang sama dari segi spritual religius. B. Landasan Umum Landasan umum ini merupakan landasan pokok Ngaben yang terangkai dalam lima kerangka agama Hindu, yang disebut Panca Sradha atau lima keyakinan, antara lain: 1. Ketuhanan/Brahman Brahman adalah salah satu sebutan yang digunakan dalam upanisad untuk menamakan Tuhan Yang Maha Esa atau Pencipta Alam Semesta. Dalam kepercayaan Hindu, Brahman ini merupakan asal muasal terciptanya alam semesta beserta isinya. Alam semesta ini seperti; planet, bintang tumbuhtumbuhan, manusia, serta benda mati yang disebut benda mati, yang berasal dari tuhan dan akan kembali kepada tuhan bila saatnya tiba. Cepat atau lambat alam semesta beserta isinya akan lebur menjadi satu dengan tuhan (amor ing acintyaa). Dengan kata lain, Brahman ini merupakan tujuan akhir kembalinya semua ciptaan. Kebahagiaan terakhir umat Hindu adalah bersatunya jiwa (atman) dengan Brahman yang disebut moksa. Berdasarkan keyakinan inilah, upacara Ngaben dilakukan dengan maksud untuk mengembalikan semua unsur yang menjadikan alam semesta termasuk manusia ke asalnya yaitu Brahman.23 Landasan ini juga diperjelas oleh Bapak I Ketut Bantas, Beliau mengatakan bahwa: 23
Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama (Surabaya: Paramita, 2002), h. 153.
20
“Ada yang perlu diketahui dulu yaitu pokok-pokok ajaran Hindu. Pertama Hindu yakin kepada Tuhan Yang Maha Esa disebutnya Brahman. Brahman ini sumber dari segala yang ada di alam semesta ini termasuk adanya manusia ini. Itu keyakinan yang pertama. Yang kedua Hindu yakin yang namanya atman. Atman itu adalah kalau kita menggunakan istilah kekuatan yang menghidupkan setiap mahkhluk hidup termasuk manusia. Manusia hidup karena ada atman di dalam dirinya. Atman ini sumbernya adalah dari Tuhan. Dalam Hindu Tuhan itu adalah Brahman. Atman itu sumbernya dari Brahman, jadi sumbernya dari Brahman. Jadi begitu terjadi pembuahan dalam janin Brahman masuk ke dalam atman sehingga embrio itu hidup. Nah kalau sudah hidup kenyataannya kita tidak bisa mengelak kita pasti berbuat sesuatu bekerja action gitu ya. Nah dalam keyakinan Hindu hidup adalah bekerja, berbuat. Setiap perbuatan itu membawakan pahala membawa hasil, hasilnya dua macam baik dan buruk. Baik atau buruk ini yang mengantarkan kita ke surga atau neraka, kalau baik dan buruk ini bisa diatasi artinya dia bisa menjadi pintar atau manusia yang mempunyai keyakinan kuat kepada Yang Maha Esa dan dia sadar bahwa Atmanya sendiri bersumber dari Brahman dia akan berbuat begitu rupa, menghindari hal-hal yang bersifat keburukan kalau bisa dia capai, dia akan bisa kembali ke Brahman. Kita akan kembali ke Brahman yang kembali kepada Brahman ini adalah atman. Di kala orang mati badan jasmani tertinggal di dunia ini dia kembali kepada tanah itu adalah Atmanya saja atau roh itu. Yang berasal dari bumi kembali kepada bumi yang berasal dari Brahman itu ya harus kembali ke Brahman. Untuk kembali kepada Brahman dalam proses yang cepat itulah diadakan upacara Ngaben. Jadi dalam proses yang cepat, proses yang cepat maksudnya badan yang tertinggal itu begitu Atmanya mati manusia mati Atmanya lepas dia lihat badannya tergeletak begitu, tapi dia masih sayang dengan badannya, masih muda ko mati sayang terikat badannya itu mau pergi masih ada, supaya dia bebas badannya, badan inilah yang di aben. Jenazahnya ini dikremasi untuk kembali kepada sumbernya lagi. Badan ini menurut keyakinan Hindu berasal dari unsur tanah, unsur air, unsur angin, unsur api, unsur either. Dengan dibakar lima unsur ini kembali kepada sumbernya secara cepat, nah kalau itu sudah kembali secara cepat atman ini bebas dia tidak lagi tertikat dengan dunia “waduh badan saya masih di kuburan” apakah dia akan ke neraka karma-karmanya nanti akan menghadap ke pencipta karena karmanya. Jadi dia mendapat kebebasan setelah badan jasmani kembali ke unsurnya. Jadi prinsip daripada Ngaben adalah mengembalikan unsur jasad badan jasmani kepada sumbernya yang disebut panca mahabuta. Pancamahabuta itu tanah, api, angin, air, dan either. Jadi prisnsip Ngaben itu mengembalikan itu tentu saja melalui proses upacara walaupun sebenarnya kalau tidak di kremasi, dikubur aja dalam tanah dalam kurun waktu tertentu dia akan hancur juga dia akan kembali juga tapi lama. Selama itu Atmanya akan terikat ya mungkin saja dia muncul ke kuburan
21
Karena ia masih menungguin badannya tapi kalau itu tidak ada dia bebas pergi kemana. Nah jadi itu prinsipnya dari Ngaben mengembalikan unsur badan ini secara cepat kepada asalnya. Jadi secara kilat prinsip pemahaman Ngaben itu mengembalikan unsur jasad seperti itu.”24 2. Atman Atman berada pada masing-masing badan manusia. Ialah yang menghidupkan manusia. Dan Atman ini merupakan serpihan atau setetes kecil (atum) dari Brahman. Suatu saat setelah tiba waktunya, Ia pun akan kembali kepada asalnya yang suci, maka dari itu atman perlu disucikan. Berkenaan dengan hal ini maka diperlukan upacara Ngaben. “Dalam ajaran Weda itu mengatakan begini, manusia diciptakan dari tidak ada menjadi ada maka dia harus kembali lagi ke tidak ada. Nah untuk kembali ke tidak ada itulah supaya atman itu bisa kembali dengan cepat dilakukan upacara Ngaben. Nah, jadi weda itu mengajarkan begitu sumbernya dari tidak ada kembali ke tidak ada seperti itu. Hanya saja kalau dalam Hindu proses kembali cepat itu dengan Ngaben kalau tidak di aben gimana gitu ada yang terlupakan nah itu pasti ada kan itu nah nanti itu akan hancur sendiri akan kembali kepada sumbernya. Nah, kalau di Bali ada tradisi begini untuk hal-hal seperti itu pake aja istilahnya pengeluatan terus diangkat harus diangkat gitu ya setiap periode mungkin lima tahun sekali di areal yang ada kuburan yang ada diadakan upacara pembersihan. Kalau kita berbicara diangkat itu sama entas-entas model di jawa. Jawa itu ga dibakar jenazahnya, tapi yang diupacari Atmanya/rohnya itu yang diangkat setelah seribu hari namanya entas-entas biasanya itu Ngaben juga namanya. Karena sudah mengangkat dari katakanlah asalnya mereka tidak tau kan mereka di alam kubur ya dari kubur walaupun tidak tau pasti mati dalam kubur apa tidak matinya pasti yang menghidupkan belum tentu. Sebab kalau di Hindu tuh gini manusia itu dua unsur saya kan bilang badan jasmani dan roh. Tapi ada istilah lain itulah nama dan rupa. Kalau rupa tuh keliatan ada yang jangkung, ada yang cebol, ada yang pendek, cakep tapi nama yang mana namanya itu ini kepala, ini dada, ini perut nah namanya yang mananya itu. Itulah nama yang menghidupkan dia itu yang ada dianggap sebagai nama karena nama ga bisa keliatan badannya yang ke liat. Nah nama dan rupa itu menyatu hidup nah makanya kalau dalam istilah militer ada latihan-latihan serius jangan sampe diadakan juga tempat pulang nama 24
Hasil wawancara langsung dengan Bapak I Ketut Bantas selaku Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia pada tanggal 30 Oktober 2010. Lihat lampiran II.
22
penyatuan nama yang dibilang gagal berhasil tapi ya namanya aja yang terlihat badan ini dan ga terlihat namanya itu. Yang dikasih nama itu ya rohnya itu.”25 3. Karma Upanishad mengajarkan bahwa segala sesuatu tunduk dan takluk pada karma, baik manusia, binatang, maupun tumbuhan-tumbuhan. Karma meliputi kehidupan dahulu, sekarang dan yang akan datang. Karma berarti kehidupan atau perbuatan berikutnya sebagai akibat dari perbuatan sebelumnya. Menurut Harun Hadiwijono, ajaran karma ini berakar pada ajaran rta dalam agama weda purba. Pada agama Brahmana, yang memusatkan perhatian pada korban, rta mempunyai arti yang sama dengan korban atau yajna. Tiap-tiap upacara korban membawa berkahnya sendiri. Karena itu dapatlah dikatakan ajaran tentang rta dan yajna ini memberi isyarat ajaran tentang karma. Atau, kalau dikaitkan dengan ajaran tentang kelahiran kembali maka kelahiran kembali itu ditentukan oleh keseimbangan relatif yang ditentukan oleh amal perbuatan baik atau buruk pada masa-masa sebelumnya. Orang akan menjadi baik atau buruk hanyalah karena karmanya sendiri. Hubungan antara ajaran tentang karma dengan ajaran tentang penjelmaan atau perpindahan jiwa merupakan hal yang penting dalam ajaran upanisad. Vamadewa telah mengembangkan ajaran ini. Manusia harus menanggung akibat perbuatan atau karmanya. Setelah ia mati pengetahuan dan amal perbuatannya akan membimbing dia. Barang siapa berbuat baik ia akan dilahirkan kembali sebagai manusia yang baik, dan sebaliknya, barang siapa 25
Hasil wawancara langsung dengan Bapak I Ketut Bantas selaku Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia pada tanggal 30 Oktober 2010. Lihat Lampirann II.
23
berbuat jelek atau jahat ia akan dilahirkan kembali sebagai manusia yang jahat. Karena itu manusia itu perlu dilahirkan kembali berulang kali di dunia supaya perbuatan-perbuatan buruknya dapat tertebus. Hanya atman yang mulia dan tinggi yang sudah tahu akan maya saja mampu mengatasi hukum karma dan mencapai kebebasan serta lepas dari samsara.26 Manusia hidup tidak lepas dari kerja. Kerja itu atas dorongan suksma sarira (Budi, Manah, Indria, dan Aharalagawa) setiap kerja akan berpahala. Kerja yang baik (Subha Karma), akan mandapatkan pahala yang baik pula. Sebaliknya apabila kerja buruk (Asubha Karma), maka akan berakibat keburukan pula. Pahala karma ini akan merupakan beban bagi atman yang akan kembali asalnya. Lebih-lebih karma yang buruk. Ia merupakan beban atman yang akan menghempaskan ke alam bawah (neraka). Oleh Karena itu, manusia perlu membebaskannya. Hal inilah yang menyebabkan perlunya diadakan upacara Ngaben yang salah satu aspeknya akan menebus dan menyucikan dosa-dosa itu 4. Samsara Upanishad juga mengajarkan tentang samsara, yaitu bahwa kehidupan bukan saja akan berakhir dengan kematian, tetapi kematian pun akan berakhir dengan kehidupan. Artinya, yang hidup akan mati dan yang mati akan hidup lagi, demikian seterusnya. Tinggi rendahnya kehidupan yang kemudian tergantung pada karma. Perbuatan baik yang lebih banyak daripada perbuatan buruk akan
26
Alef Theria Wasim, Agama Hindu dalam Agama-Agama Di Dunia (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 75-76.
24
mengakibatkan karma yang baik sehingga kehidupan baru itu pun akan lebih baik daripada kehidupan yang sebelumnya. Samsara adalah perputaran kelahiran kembali. Hanya manusia yang telah mencapai Atman yang mulia dan yang tahu akan maya saja yang dapat mengatasi hukum karma dan mencapai moksa. Orang semacam ini akan terlepas dari keterikatannya dengan proses ulang kelahiran kembali atau samsara. Untuk dapat lepas dari samsara ia harus menghancurkan dan menumpas keinginan-keinginannya, yaitu dengan mengetahui bahwa Atman dan Brahman sehingga dapat sampai pada pengetahuan yang sejati (jnana). Barang siapa mencapai tingkatan ini ia akan mencapai moksa, yaitu kelepasan, dan sadar bahwa segala sesuatu adalah satu. Ia akan mencapai kesatuan dengan Brahman, dan berhak disebut sebagai jiwanmukti.27 Samsara artinya penderitaan. Atman lahir berulang-ulang ke dunia ini. Syukur kalau lahirnya menjadi manusia utama, atau setidak-tidaknya menjadi manusia. Akan menjadi sangat menderita kalau lahir menjadi binatang. Oleh karena itu perlu dilaksanakan upacara Ngaben, yang salah satu tujuannya adalah untuk melepaskan atman supaya dapat kembali ke asalnya. 5. Moksa Moksa merupakan tujuan ahkhir dari agama Hindu atau bisa dikatakan bahwa moksa ini adalah kebahagiaan abadi yang menjadi tumpuan harapan semua umat Hindu. Moksa diartikan sebagai suatu istilah untuk menyebutkan kalau
27
Alef Theria Wasim, Agama Hindu dalam Agama-Agama di Dunia, h. 75.
25
roh manusia telah kembali dan menjadi satu dengan tuhan.28 Jadi, Atman rindu kembali kepada Brahman atau bisa dikatakan manusia itu selalu rindu dan ingin kembali kepada asalnya, yaitu Tuhan. Di mana roh tidak mengalami kelahiran kembali, artinya bebas dari inkarnasi serta mencapai kebahagiaan yang tertinggi, yaitu kebahagiaan tanpa wali duka. Demi tercapainya moksa itu,
maka
atman
harus
disucikan.
Dosa-dosanya
harus
dibebaskan
keterikatannya dengan duniawi harus diputus, kemudian terakhir ia harus dipersatukan dengan sumbernya. Inilah yang menjadi konsep dasar upacara Ngaben, memukur dan terakhir ngalinggihing dewa hyang sanggah kamulan atau ibu dengen. Hal ini mengandung arti Atman bersatu dengan sumbernya (kamulan kawitan) atau dengan kata lain mencapai moksa. selain itu juga Ngaben ini merupakan langkah untuk mempercepat proses moksa. Meskipun adanya, namun moksa belum tentu bisa dicapai dengan Ngaben. Hal ini sesuai dengan penjelasan Bapak Dewa Ketut Suratnaya: “kalau berbicara moksa tanpa dibakar pun orang akan bisa moksa. Moksa itu kan kembali dikaitkan dengan karma dan kemudian ini juga kalau kita membicarakan moksa maka kaitannya dengan reinkarnasi. Reinkarnasi itu katakanlah orang jawa mengatakan itu menitis, penitisan orang Bali bilang mesurye, meteje kemudian reinkarnasi purnabawa seolah-olah kalau orang itu mati sebetulnya dia justru pada saat mati. Setelah mati ia mulai kehidupan baru hanya dia akan ganti badan sesuai dengan karmanya gitu. Kalau dia masih punya katakanlah karma baiknya masih karma buruknya lebih besar daripada karma baiknya maka dia harus menuntaskan dengan kehidupan yang berikutnya dan karma-karma ini hanya bisa diselesaikan kalau dia hidup lagi dia punya badan baru lagi dimulai lagi dari nol dia seperti itu. Nah, kalau moksa ini kan pelepasan artinya kalau orang udah nol karmanya maka dia tidak ada alasan untuk lahir lagi. Maka dia di sana ia akan berada di alam Tuhan moksa itu sebetulnya. Tidak bisa diartikan 28
Cudamani, Pengantar Agama Hindu: Untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: Yayasan Wisma Karya, 1987), h. 99.
26
sebagai penyatuan seperti air dengan api seperti kita misalnya 2 atau 3 orang menyatu blek. Kita bayangkan moksa seperti air sungai yang mengalir ke laut ketika mengalir di laut kita tidak akan bisa memisahkan lagi tapi ada di sana seperti itu. Dan orang yang diaben itu belum tentu semua moksa. Tergantung karmanya dan pengabenan itu tidak mutlak bisa membebaskan semua rohroh itu menjadi moksa. Tidak bisa Belum tentu, tergantung karma yang menentukan dan upacara itu kan sekedar sebuah upaya dan dianggap sebagai kewajiban dari keturunannya untuk menyelesaikan membantu. Karena bagiamana pun juga roh itu bodoh dia membutuhkan tuntunan butuh seperti itu. Jadi, moksa sebetulnya bukan karena diaben, tidak bisa kita katakan bahwa orang yang di aben pasti moksa walaupun tujuan agama Hindu akhirnya adalah moksa. Ya moksa itu artinya kita tidak terbatas ruang dan waktu dan kita tidak kena proses di alam manapun artinya kita tidak kena proses misalkan kalau panas tidak kepanasan, dingin tidak kedinginan dan kita bisa berada di mana saja si roh ini jadi tidak ada lagi ruang dan waktu yang membatasi dia, itu yang kita maksudkan dengan moksa. Walaupun istilahnya roh penyatuan dengan Tuhan. Demikian juga konsep moksa ini penyatuan atman dengan Brahman, atman dengan Tuhan jangan diartikan lalu luluh lebur menyatu bisa saja kita menyatu. bisa saja kita menemukan sesuatu kebesaran pelepasan itu juga sudah termasuk moksa. Dan bahkan dalam Hindu dikenal moksa sewaktu masih hidup. Ketika orang ini tidak terikat lagi dengan dunia, alam dunia kebutuhan dunia walaupun dia masih hidup. Masih makan masih minun tapi kalau dia mampu melepaskan ikatan-ikatan duniawi ini keterikatan duniawi ini dia termasuk moksa di dunia namanya Diwan Mukti, nah ini juga moksa. Kalau di Hindu itu konsep diwan mukti ini umumnya ada pada orangorang yang sudah memiliki tingkat kesucian yang tinggi seperti misalnya para Bhiku, para Rsi kemudian para Pandita-pandita karena mereka waktu menapak dari orang biasa menjadi orang suci ini mereka sudah harus mampu melepaskan ikatan-ikatan duniawi ini. Ya termasuk hubungan dengan istri, hubungan dengan keluarga, hubungan dengan anak cucu itu gak ada. Secara spiritual nah ini diwan mukti mereka ini, sehingga waktu prosesi dari orang biasa menjadi orang suci mereka sama seperti orang menaik haji mereka itu tidak pakai pakaian dalem jadi pundala namanya hanya dipakai baju putih dilipatkan kedalem tubuh seperti itu. Ada proses seperti itu. Ya ini diwan mukti sewaktu masih hidup nah ini juga moksa namanya. Tidak ada jaminan setiap upacara dalam Hindu itu hanya merupakan sebuah upaya dan pelaksanaan sebuah kewajiban, karena kewajiban moral tadi orang mengatakan hutang kepada leluhurnya utang
27
kepada wujud kuasa Tuhan atau dewa-dewa dan hutang kepada Tuhan itu sendiri. Jadi ga menjamin itu hanya sebuah upaya.”29
C. Landasan Khusus Landasan khusus ini merupakan landasan filosofis dari Ngaben. Secara filosofis mayat harus dibakar atau melaksanakan swadharma (kewajiban), dikarenakan pitra yadnya merupakan suatu upacara keagamaan. Maka sebuah keluarga yang melaksanakan upacara ini adalah berdasarkan ajaran agama.30 Tegasnya, upacara ini bukanlah sekedar tradisi yang hambar begitu saja. Tradisi ini adalah suatu tugas suci, swadharma atau kewajiban yang mutlak, karena sudah merupakan hutang. Artinya, ajaran atau upacara itu mengandung makna bahwa setiap orang bukan main besar hutangnya. Apalagi kalau yang diupacarai itu adalah orang tua, ayah atau ibu, kakek dan garis lurus ke atas, maka bobotnya selaku dharmaning santhana sangat dirasakan oleh anak atau keturunannya. Hal ini disebabkan karena pengikat utama yang menunggalkan sekelompok keluarga terutama yang mempertautkan anak-anak dengan orang tua atau leluhurnya adalah ―tali sutra‖ yang maha halus yang bernama cinta kasih. Cinta kasih yang dalam batas tertentu itu begitu kuat, sampai-sampai meluluhkan ―aku‖ menjadi ―kami‖. Bahkan dalam banyak hal, urutannya pun menjadi ―kami‖, susudah itu baru ―aku‖. Dengan kalimat lain, kepentingan keluarga kami didudukkan jauh lebih di atas daripada kepentingan seseorang (akunya). Tali kasih
29
Hasil wawancara langsung dengan Bapak Dewa Ketut Suratnaya Sebagai Dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara pada tanggal 26 Oktober 2010. lihat pada lampiran II. 30 Alasan mengapa Agama Hindu menganjurkan agar mayat dibakar bisa juga dilihat dalam bukunya Cudamani, Arti Simbol Dalam Upacara Ngaben (Jakarta: Hanuman Sakti, 1993), h. 6-8.
28
yang halus ini dipupuk dan dipersubur pula dengan ditanamkan ajaran tatwaning dumadi, menurut tatwa agama.31 Ajaran itu mengandung makna, bahwa setiap orang bukan main besar hutangnya. Pada mulanya, ketika kita berada di rahim ibu, tubuh kita hanya sekedar dua sel yang teramat kecil. Kita sudah mempunyai utang yang besar kepada orang tua sejak berada di rahim ibu. Kita berhutang kepada ayah karena kama putih-nya (sperma), dan kita berutang kepada ibu karena kama bang-nya (ovum). Ibu melahirkan kita dengan susah payah, menahan rasa sakit yang tidak terperikan. Selanjutnya kita diberi susu baik ASI maupun susu kaleng dan berbagai zat yang lain, sehingga badan kita tumbuh menjadi besar.32 Menurut Agama Hindu, manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani. Dan manusia itu terdiri dari tiga lapis yaitu Raga Sarira, Suksma Sarira, dan Antahkarana Sarira. Raga Sarira adalah badan kasar. Badan yang dilahirkan karena nafsu (ragha) antara ibu dan bapak. Suksma Sarira adalah badan astral, atau badan halus yang terdiri dari alam pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu (Cinta, Manah, Indriya dan Ahamkara). Antahkarana Sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atman (Roh).33 Pada hakikatnya, setiap stula sarira (jasad) makhluk (manusia) terdiri dari benda-benda yang sama saja asalnya dengan benda-benda isi alam semesta yang
31
I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: mengapa mayat dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 6. 32 I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: mengapa mayat dibakar?, h. 6. 33 Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama (Surabaya: Paramita, 2002), h. 22-23.
29
ada di sekitar kita. Semuanya berasal dari unsur atau elemen yang sama, yaitu Panca Maha Butha.34 Jadi, ragha sarira atau badan kasar manusia terdiri pratiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Pratiwi adalah unsur tanah, yakni bagian-bagian badan yang padat. Apah adalah Zat Cair, yakni bagian-bagian badan yang cair ; seperti darah, kelenjar, keringat, air susu dll. Teja adalah api yakni panas badan (suhu), emosi. Bayu adalah angin, yaitu nafas. Dan yang Akasa adalah either, yakni unsur badan yang terhalus yang menjadikan rambut, kuku.35 Proses terjadinya Ragha Sarira atau badan kasar adalah sebagai berikut : sari-sari Panca Maha Butha yang terdapat pada berbagai jenis makanan terdiri dari enam rasa yang disebut sad rasa yaitu Madhura (manis), Amla (asam), Tikta (pahit), Kothuka (pedas), Ksaya (sepet) dan Lawana (asin). Sad rasa tersebut dimakan dan diminum oleh manusia (laki dan perempuan). Didalam tubuh diproses disamping menjadi tenaga, ia menjadi kama. Kama bang (Ovum/sel telur) dan kama putih (sperma). Dalam pesanggamaan kedua kama ini bertemu dan bercampur melalui pengentalan menjadilah ia janin, badan bayi. Sisanya menjadi air nyom, darah lamas (kakere) dan ari-ari.36 Disamping Panca Maha Butha yang kemudian berubah menjadi janin ikut juga Panca Tan Matra, yakni benih halus dari Panca Maha Butha itu. Panca Tan Matra ini dalam janin bayi juga memproses dirinya menjadi Suksma Sarira, yakni
34
I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: mengapa mayat dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 7. Penjelasan detail tentang Panca Maha Butha juga bisa dilihat dalam penjelasan Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 22-26. 35 Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 23. 36 Proses terjadinya Ragha Sarira bisa diperjelas dalam bukunya Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 23-25.
30
Citta, Manah, Indriya dan Ahamkara. Citta terdiri dari tiga unsur yaitu disebut Tri Guna, yaitu Sattwam, Rajas, Tama. Ketiga unsur ini membentuk akhlak manusia. Manah adalah alam pikiran dan perasaan, indriya alam keinginan dan ahamkara adalah alam keakuan. Unsur-unsur tersebut disebut Suksma Sarira. Alam transparan ini dapat merekam dan menampung hasil-hasil yang dikerjakan oleh badan atas pengendali Citta tadi. Bekas-bekas ini nantinya merupakan muatan bagi si Atman (roh) yang akan pergi ke alam pitra. Ketika manusia itu meninggal Suksma Sarira dengan Atman akan pergi meninggalkan badan. Atman yang sudah begitu lama menyatu dengan Sarira, atas kungkungan Suksma Sarira, sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal badan sudah tidak dapat difungsikan, lantaran beberapa bagiannya sudah rusak. Hal ini merupakan penderitaan bagi Atman (roh). Untuk tidak terlalu lama atman terhalang perginya, perlu badan kasarnya diupacarakan untuk mempercepat proses kembalinya kepada sumbernya di alam, yakni Panca Maha Butha. Demikian juga bagi sang atman perlu dibuatkan upacara untuk pergi ke alam pitra dan memutuskan keterikatannya dengan badan kasarnya. Proses inilah yang disebut Ngaben. Sejatinya, dari Pancamahabutha setiap orang memperoleh pinjaman zat-zat yang membuat setiap orang hidup, hingga dari ―mereka‖ setiap orang berhutang. Setiap orang berhutang selama Pancamahabutha itu terakit wungkul berbentuk stula sarira (badan kasar) baik sewaktu masih hidup maupun setelah meninggal. Jelasnya, semasih Pancamahabutha berwujud tubuh manusia termasuk setelah meninggal selaku sawa (jenazah), manusia ―pemakai‖ lima unsur zat itu dinilai
31
selaku pihak berhutang. Sebagai utang, maka tentu saja menjadi beban moral yang pada saatnya nanti harus dibayar lunas hingga terhapuslah beban itu. Selama masih hidup, kita tentu berusaha mempertahankan badan kasar ini. Penyebabnya, karena dianggap begitu penting meski benda itu pinjaman. Merupakan sebuah kewajaran dan keharusan dalam menjaganya. Namun ketika tubuh kasar ini tidak diperlukan lagi karena tidak berfungsi lagi, unsur-unsur stula sarira itu harus dikembalikan kepada pemiliknya atau asalnya semula, yakni Sang Pancamahabutha. Dengan kata lain, sawa harus dipercepat dihancurkan, hingga masing-masing unsurnya kembali menunggal dengan asalnya. Sederhananya, orang yang meninggal tidak dapat berinisiatif untuk mengembalikan bahan tubuhnya kepada Sang Pancamahabutha. Itulah sebabnya, sebagai anggota keluarga yang hidup membantu secepatnya mengembalikan utang itu. Apalagi, yang wafat itu, orang tua atau leluhur kita. Demi kasih, kita sebagai anak membantu yang wafat itu mengembalikan utangnya. Apalagi kita telah berutang jasa kepada orang tua atau leluhur yang telah ―memberikan‖ kama bang dan kama petak yang kemudian menjadi tubuh kita. Belum lagi jasa pemeliharaannya. Inilah yang menjadi latar belakang adanya swadharma seorang anak untuk mengadakan Pitra Yadnya untuk orang tua atau leluhurnya. Dengan sebuah rumus bahwa setiap ego berutang kama bang dan kama petak pada orang tuanya. Orang tua berutang unsur stula sarira pada Pancamahabutha. Bila orang meninggal, keturunannyalah yang wajib membantu membakar (membayari utang) stula sarira orang tuanya hingga kembali menunggal dengan Panca Mahabutha.
32
BAB III NGABEN SARAT DAN RELEVANSINYA
A. Pengertian, Jenis dan Maksud Ngaben Sarat Pada hakekatnya, pengertian ataupun manfaat Ngaben Sarat tidak memiliki perbedaan dengan Ngaben lainnya37 atau pada umumnya. Ngaben (Sarat) merupakan salah satu bentuk pelaksanaan upacara Pitra Yajna. Ngaben (Sarat) sebagai upacara pemberian beya atau bekel bagi roh untuk kembali kepada asalnya, dan pembakaran mayat, tawulan atau awak-awakan Sawa untuk mempercepat proses kembalinya unsur Panca Maha Bhuta ke asalnya. Dengan pengertian bahwa Ngaben Sarat adalah Ngaben yang penuh sarat dengan perlengkapan-perlengkapan upakara bebanten dan peralatan lainnya.38 Jadi, Ngaben Sarat merupakan Ngaben yang diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat dengan perlengkapan upacara upakaranya. Upacara Ngaben Sarat ini memerlukan dukungan dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya . Ngaben Sarat dilakukan terhadap Sawa yang baru meninggal maupun terhadap Sawa yang telah dipendam. Ngaben Sarat terhadap Sawa yang baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sedangkan Ngaben Sarat terhadap Sawa yang pernah dipendam disebut Sawa Wedhana. Sawa Prateka dan Sawa Wedhana memerlukan perlengkapan upacara bebanten dan sarana penunjang lainnya yang
37
Ngaben lainnya yang dimaksud oleh Penulis menyangkut tingkatan Ngaben yang variatif; nista, madya, utama atau sarat. Artinya, tingkatan Ngaben yang berbeda-beda yang juga memiliki perbedaan dalam materi, namun manfaat dari tingkatan Ngaben tersebut sama saja. 38 Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama (Surabaya: Paramita, 2002), h. 158.
33
sangat besar atau banyak. Semua itu dipersiapkan dalam kurun waktu yang panjang serta memerlukan tenaga penggarap yang besar. Karena itulah kedua jenis Ngaben (Sawa Prateka dan Sawa Wedhana39) ini disebut Ngaben Sarat.40 Penjelasan dan pelaksanaan daripada jenis-jenis Ngaben Sarat ini memiliki perbedaan. Adapun penjelasan Sawa Prateka sebagai berikut: “Sawa Prateka. Ini prihalnya pegangan pada waktu mati. Yang disebut Atiwa-tiwa. Diwarisi oleh Catur Warna, sampai sekarang. Setelah ditinggal oleh hidup, dimana tempatnya Atma. Diawa. Sawa itu diupakarakan, dengan tata cara kematian, mandi, menyecikan kotoran Sawa itu. Setelah Sawa itu bersih, dikenakan tirtha yang didapatkan dengan memanah, oleh Pandita. Diciptakan dan diajegkan atma itu lagi pada rumahnya dulu. Disuruh melihat-lihat keturunannya dan menikmati banten penentraman. Setelah atma menikmati, lagi disuruh oleh Pandita, kembah ke wujud kosong, demikian halnya Sawa ditaruh di rumah”.41 Artinya, penjelasan di atas menegaskan bahwa atma atau Urip meninggalkan badan, Sawanya lalu diupacarakan di rumah seperti dimandikan, diperciki tirtha pemanah, dihidangkan saji tarpana, dengan lebih dulu atma itu disuruh kembali sementara pada badannya terdahulu. Jadi di rumah, betul Sawanya yang diupacarakan. Inilah yang disebut Sawa Prateka. Sedangkan terhadap Sawa yang pernah dipendam lalu diAben disebut Sawa Wedhana dengan penjelasan sebagai berikut: “Adapun Sawa yang telah ditanam di Setra, namanya makingsan, dititipkan pada tanah, Atma itu dipegang oleh Bhatari Durga. Pimpinan Setra. Demikian prihalnya Sawa yang ditanam. Pada waktu pengupacarakan Sawa itu namanya Sawa Wedhana. Tiga hari menjelang peNgabenan, ada upakaranya yang disebut ngulapin”. Penjelasan ini berarti bahwa upacara Ngaben bagi Sawa yang telah dipendam disebut Sawa Wedhana. Sawa yang telah pernah dipendam disebut 39
Sawa Pretaka dan Sawa Wedhana merupakan jenis Ngaben Sarat. Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 79. 41 Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 89-90. 40
34
tawulan. Tawulan ini tidak ikut diupacarakan lagi. Tawulan ini diganti dengan pengawak42, yang dibuat dari kayu cendana atau kayu mejegau yang panjangnya satu lengkat satu hasta, dan lebarnya empat nyari.43 Jenis Ngaben Sarat ini merupakan upacara Ngaben yang terbesar. Merupakan upacara yang biasa dinilai utamaning utama. Saking besarnya, upacara ini merupakan pilihan bagi keluarga puri, geria, jero dan mereka yang martabat sosialnya wajar untuk itu, baik karena ekonominya mapan, maupun karena faktor historis.44 Kendatipun demikian, suatu upacara keagamaan barulah mempunyai nilai dan bobot, bila sang meyadnya melaksanakannya dengan sredaning manah, yakni hati yang mantap dan mulus. Manah yang sredah ikut pula ditentukan oleh standar kedudukan seseorang di masyarakat, termasuk kemampuan sosial ekonominya. Ngaben (Sarat) itu dimaksudkan untuk memproses kembalinya Panca Maha Bhuta pada badan untuk menyatu dengan Panca Maha Bhuta di alam besar ini dan akan mengantarkan atma ke alam pitra dengan memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi itu. Ragha berasal dari air dan diharapkan kembali kepada air, dan terakhir atma mulih ring wisesa. Jadi diharapkan atma agar kembali kepada sumbernya yaitu 42
Upacara Ngaben ada jenazahnya secara nyata disebut masawa atau mawatang. Sedangkan upacara Ngaben bagi jenazahnya yang ditanam atau dibakar titip disebut pengawak, upacara ini juga dilakukan terhadap orang yang dianggap meninggal dan jenazahnya tidak diketemukan. Lihat dalam I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 35-36. 43 Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara dari Tingkat Sederhana Sampai Utama (Surabaya: Paramita, 2002), h. 90-91. 44 I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 50-51.
35
Sang Hyang Wisesa, yang merupakan asal muasal dari semua ciptaan. Ragha kembali kepada air, kiranya sudah jelas, karena badan kita dibentuk oleh dua pertemuan kama bang dan kama petak yang berwujud cair. Maka dari itu, maksud upacara Ngaben (Sarat) itu untuk mengembalikan unsur yang menjadikan badan atau ragha kepada asalnya di alam ini, kedua adalah mengantarkan Atma ke alam Pitra dengan memutuskan keterkaitannya dengan ragha sarira. Hal ini diwujudkan dengan upacara ngentas Sawa dengan tirtha pangentas. Dengan memutuskan kecintaan Atma dengan dunianya, ia akan dapat kembali pada alamnya, yakni alam Pitra. Artinya, Ngaben (Sarat) itu bertujuan agar raga sarira cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu, Panca Maha Bhutta di alam ini dan bagi atma dengan selamat dapat pergi ke alam Pitra. Oleh karenanya, Ngaben (Sarat) sesungguhnya tidak bisa ditunda-tunda. Mestinya begitu meninggal segera harus diaben. Bahkan secara terperinci pada pawisik Sang Wiku kepada Sang Atma dijelaskan bahwa tujuan daripada Ngaben (Sarat) itu untuk melepaskan Sang Atma dari ikatan duniawi,
untuk
mendapatkan keselamatan dan kesenangan, dan
untuk
mendapatkan sorga bagi Sang Pitra. Bagi Pewasik ini, bukan saja Sang Atma yang diharapkan mendapat keselamatan, akan tetapi juga yang beryajna.45
45
Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama (Surabaya: Paramita, 2002), h. 26-31.
36
B. Landasan Filosofis Ngaben Sarat Landasan filosofis Ngaben secara umum telah Penulis uraikan di awal atau di depan secara komprehensif. Namun penting pula dijelaskan yang menjadi landasan filosofis yang lebih khusus dari Ngaben Sarat itu sendiri.46 1. Cinta Yang Mendalam Sangat besar hutang budhi manusia terhadap leluhurnya. Ia ada karena jasa leluhur, khususnya Bapak dan Ibu. Jasa ini begitu besar, rasa-rasanya tidak bisa terlunasi, kecuali dengan jasa pula. Ia berusaha bagaimana ia mampu untuk mengupayakan agar leluhurnya mendapat keselamatan. Usaha ini yang berupa bakti harus ada buktinya. Dan bukti ini harus dihayati dengan indria dan dapat memberi kepuasan kepada indria itu sendiri. Sebagai bukti rasa cinta kasih itu, ia akan mempersembahkan segala-segalanya. Yang megah dan terindah. Sebagai simbol dari rasa cinta ini, ia akan memenuhi semua sarana yang diperlukan. Ia tidak memperhitungkan mahalnya nilai sarana itu. Yang penting dapat mempersembahkannya. Ia akan mengikuti semua sastra. Hal inilah yang menjadikan landasan filosofisnya Ngaben Sarat itu. 2. Pembebasan Dosa Manusia berkerja atas dorongan Budi, Manah, Indria dan Ahamkara. Kalau Indira dan Ahamkara yang mendominasi, kecenderungan karma itu adalah buruk, yang akan menjadikan dosa. Manusia tidak bisa lepas dari dosa-dosa ini. Tapi antara manusia satu dengan lainnya akan berbeda kwalitas dosanya, sesuai dengan lingkungan kerja manusia itu sendiri. Kalau ia hanya seorang 46
Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 155-157.
37
petani yang tinggal di daerah terpencil, tentu dosanya kecil pula. Tapi sebaliknya kalau ia seorang Penguasa, atau Pengusaha, yang bergerak dalam dunia politik dan perdagangan tertentu ia memiliki dosa yang lebih besar pula. Dari dasar pemikiran ini pulalah adanya upacara Ngaben Sarat terhadap mereka, terutama ketika hidupnya penuh bergelimangan dalam duniawi. Usaha pembebasan atas dosa-dosa memang sangat dibutuhkan dalam upacara Ngaben itu. Dari dasar pemikiran inilah, mengapa seorang raja harus diaben secara besar-besaran, bahkan harus memakai naga Banda. Bukankah Naga Banda simbol dari nafsu-nafsu (indria) yang melilit kehidupan seorang raja ketika masih hidupnya. Dan bukankah nafsu-nafsu itu yang membuahkan dosa? Untuk tercapainya kebebasan bagi Atma maka pembalut-pembalut itu berupa nafsu dan sekaligus dosa-dosa, perlu dihapuskan. Bertitik tolak dari pemikiran inilah yang mendorong pelaksanaan Ngaben Sarat itu. Guna menunjang teori ini, kita dapat menunjukkan adanya berjenis-jenis banten yang diperuntukan bagi penebusan Atma yang ditujukan kepada para Kala dan tempat-tempat hukuman bagi Atma. Misalnya penebusan kepada Bhatara
Yama,
untuk
Jogor
Manik,
Dorakula,
Mahakala,
Kawah
Tambragohmuka, Weci, Batu Macepak dan lain-lain. Inilah dasar-dasar pemikiran yang melatarbelakangi adanya Ngaben Sarat. C. Upakara dan Upacara Ngaben Sarat Alat upakara dan sesajen boleh beranekaragam, berbeda-beda, banyak jenisnya, tetapi memiliki substansi atau hakekat yang sama selaku pamuput. Alat
38
upakara dan sesajen dalam pengabenan ada yang berkedudukan esensial. Ia mutlak harus ada atau dipakai. Artinya, jika tanpa itu, upacara tersebut tidak dapat dinamakan Ngaben. Ada pula alat upakara dan sesajen yang hanya berkedudukan sebagai tambahan, tetapi tetap penting. Alat upakara dan aneka sesajen, bahkan upacara apapun, tidak sekedar simbol, lambang tanpa nilai atau makna, melainkan diyakini memiliki daya magis-religius yang bermanfaat untuk mencapai sasaran yang dikehendaki sesuai dengan letaknya masing-masing. Nilai daya magis-religius ini dipengaruhi oleh benar tidaknya bentuk alat dan sesajen bersangkutan, ihlas tidaknya dukungan mentalitas tukang dan pendeta, terutama keihlasan dan kuatnya hati orang yang Ngaben dan yang mendukung yadnya tersebut.47 Maka dari itu, hendaklah setiap orang beryadnya didukung dengan penuh sredaning citta, penuh kesanggupan dan kesungguhan, kemulusan dan keikhlasan hati. Di samping itu pula, upacara Ngaben atau Mreteka Sawa tidak sekedar dilakukan sekali jadi. Upacara ini memiliki bagi bagian pendahuluan dan upacara Ngabennya sendiri. Upacara pendahuluan ini tidak lain adalah upacara tingkat awal sebelum upacara Ngaben.48 Bahkan pelaksanaan upacara ataupun upakara Ngaben memiliki urutan-urutan yang perlu dilakukan sebelum Sawa diaben. Segera setelah seseorang meninggal bila dewasa (hari baik) mengijinkan maka mayat itu terlebih dahulu dimandikan49 di plataran rumah si pemilik.
47
I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 42. 48 I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, h. 20. 49 Tatacara-tatacara (memandikan) Sawa secara umum yang akan diaben ini bisa diperjelas secara lebih komprehensif dalam bukunya Cudamani, Arti Simbul Dalam Upacara Ngaben (Jakarta: Hanuman Sakti, 1993), h. 7-43.
39
Ketika seseorang diketahui meninggal, sawa dibaringkan terlentang menengadah dan selurus-lurusnya dari kepala ke kaki. Kedua tangannya direntang lurus, telapaknya menelungkup dekat kemaluannya. Mulut jenazah dikatupkan rapat-rapat, kelopak matanya diurut hingga terpejam sempurna. Lalu Sawa ditutup kain putih sampai tak tampak sedikitpun. Jenazah dibaringkan di bale adat—jika ada—dan sebaiknya pula diberi tirai secukupnya. Punjung50 diletakkan di sebelah kanan jenazah dan mendiang dipersilahkan menikmati hidangan. Sementara itu, air dan sabun untuk memandikan sawa disiapkan. Gorenglah 10 biji pisang mentah dan diambil minyak bekas gorengan itu seperlunya untuk sarana memijat sekujur tubuh jenazah agar segenap otot untuk beberapa jam tidak kaku dan kejang. Setelah semuanya siap, jenazahpun dimandikan di atas balaibalai rumah adat. Cara memandikan, yakni, mula-mula tikar alas jenazah ditarik, hingga sawa berada di atas galar. Dengan demikian, air bekas itu langsung tumpah ke bawah kolong tempat tidur.51 Setelah tubuh jenazah dikeringkan, tikar kembali digelar. Tubuh jenazah dibaringkan lagi seperti semula. Buntelan bola kain diletakkan di bagian leher gingga dagunya agar terganjel agar rahangnya tidak bergerak dan mulutnya tidak menganga. Setelah itu, tubuh jenazah ditutup kembali dengan kain putih, tirai bale adat kembali ditutup.52
50
Merupakan nasi dengan lauk pauk sebagaimana bentuk makanan orang hidup. I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 21. 52 Itulah tahap atau tindakan awal untuk menunggu acara pangringkean atau pagulungan atau pula nyaputin yang pembuatan upakaranya bisa memakan waktu lama walau dilakukan oleh banjar secara bergotong-royong. 51
40
Sesudah upacara memandikan mayat selesai, lalu mayat dibaringkan di Bale Gede Semanggen dimasukkan kedalam peti dan menunggu saat upacara Pebersihan. Pada waktu upacara Pebersihan dibuatkan banten perwujudan dari jasad yang meninggal itu, karena Sanghyang Atma memerlukan badan sementara sebagai pengganti dari jasadnya yang sudah busuk.53 Sebagaimana penjelasan di awal bahwa jenis Ngaben Sarat tergantung pada jenis Sawa yang diupakarakan. Bila sawa yang diupakarakan itu baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sedangkan terhadap sawa yang telah pernah dipendam lalu diaben disebut Sawa Wedhana.54 Jenis Ngaben Sarat inilah upacara Ngaben yang terbesar, upacara yang biasa dinilai utamaning utama. Upacara ini merupakan pilihan bagi keluarga puri, geria, jero dan mereka yang martabat sosialnya wajar untuk itu, baik karena ekonominya mapan, maupun karena faktor historis. Keutamaan sebuah upacara keagamaan ini tidak hanya dilihat dari materinya yang besar, nilai bobotnya dilihat dari dasar orang yang melakukan yadnya dengan landasan sredaning manah, yakni hati yang mantap dan tulus. Untuk penjelasan secara rinci dan komprehensif mengenai upakara-upacara Ngaben Sarat sendiri dibedakan menjadi dua bagian, upakara peralatan dan upakara bebantenan.
53
Cudamani, Arti Simbul Dalam Upacara Ngaben (Jakarta: Hanuman Sakti, 1993), h. 13-
14. 54
Sedangkan dalam penjelasan lain disebutkan bahwa Sawa Pretaka sama halnya dengan masawa atau mawatang, sedangkan Sawa Wedhana bisa juga dikatakan pengawak. Bisa diperjelas dalam I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 35-36. Sekaligus juga bisa diperluas dalam bukunya Drs. I Ketut Wiana, Makna Upacara Yajna dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita, 2004), h. 27-28.
41
1. Upakara Peralatan yang diperlukan dalam Ngaben Sarat terdiri dari peralatan inti dan peralatan penunjang. Peralatan inti adalah: Pepaga adalah jenis Bale yang dipakai untuk memandikan Sawa yang baru meninggal;55 Pengulungan dibuat dengan tikar dan kain putih (kasa) kain putih bertuliskan Padma dengan aksara Walung Kapala; Lante atau Rante Dibuat dari sebitan (serpihan) penjalinan atau rotan. Penjalin ini digulungkan dengan tali ketikung yang dibuat dari penjalin atau bambu;56 Salepa Adalah jenis peti mati tahap pertama; Bandusa peti mati tahap kedua, menyerupai perahu bercadik. Bentuk menyerupai perahu simbol kendaraan penyeberangan dari alam nyata ke alam tidak nyata; Tumpang Salu tempat dimana Sawa yang ada dalam peti Bandusa mendapatkan Samskara (Penyucian);57 Tatindih adalah penutup Bandusa; Wukur wukur dibuat dari uang kepeng. 58 Peralatan inti lainnya termasuk Sawa Karsian pengganti sawa yang pernah dipendam, simbolik dari badan manusia Sawa; Pangrekan adalah kumpulan kwangen sebagai simbol Padma; Kreb Sinom artinya kerudung muda atau kerudung bunga; Kajang artinya selimut; Adegan (Pisang Jati) artinya perwujudan atau simbolik dari swadharma manusia utama; Angenan adalah
55
Bale ini dibuat dari bambu dengan mempergunakan sedikit kawat emas, perak dan tembaga untuk mengikat alasnya. Kawat emas, perak, dan tembaga adalah Tri datu yang merupakan elemen penting ini bumi kita ini. Bisa juga dilihat dalam Drs. I Ketut Wiana, Makna Upacara Yajna dalam Agama Hindu, (Surabaya: Paramita, 2004), h. 78. 56 Ketekung adalah perubahan dari ulat menjadi kupu-kupu. Demikianlah diibaratkan manusia mati, yang merupakan proses untuk lahir kembali menjadi manusia. 57 I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 53 dan 55. 58 Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama (Surabaya: Paramita, 2002), h. 96-145 atau juga bisa dilihat dalam I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993).
42
simbol jantung manusia;59 Sok Bekel adalah merupakan bekal bagi orang yang akan kembali kepada asalnya; Lis Pering adalah sepasang lis yang dibuat dari ron jaka; Kesi-Kesi Deling/Jemek adalah simbol dari Atma (Preta) dan diletakkan dilepitan bagian hulu tempat Sawa; Iber-Iber berupa ayam atau burung;60 Tah Mabakang-Bakang sabit yang berfungsi untuk merabas apa saja yang merintangi perjalanan Atma untuk kembali ke asalnya; Gender adalah gamelan yang memakai laras salendra; Penuntun berfungsi untuk menuntun roh orang yang sudah meninggal agar kembali ke asalnya; Sanggah Cucuk dan Damar Kurung jenis Sanggah yang dipakai untuk persembahan kepada bhutakala; Kaki Patuk dan Dadong Sempret adalah orang-orangan yang berwujud laki dan perempuan, yang disebut kaki patuk dan dadong sempret. Selanjutnya, peralatan inti juga termasuk Wadah atau Bade61 pengusungan Sawa untuk pergi ke setra; Tragtag adalah wadah untuk menyelesaikan sawa ke wadah. tangga ini melambangkan undangan yang menuju sorga; Ubes-ubes adalah sejenis papecut yang mempergunakan bulu merak pada ujungnya; Pemanjangan adalah sekarura, yakni bunga kwangen bercampur uang kepeng, yang ditaburkan sepanjang jalan; Cegceg adalah berupa butir padi yang dimasuki uang kepeng; Bale Gumi adalah Bale yang berundag tiga dengan lantainya tanah. Bale Gumi adalah tempat Sawa yang akan dibakar; Bale lunjuk atau Bale 59
I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, h. 61-62. Binatang ini diterbangkan ketika Sawa mulai dibakar sebagai simbol perginya Atma dari badan kembali ke asalnya. I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, h. 107-108. 61 Menurut perlengkapannya wadah ini dibagi tiga; Wadah dengan dasar babogeman; Wadah dengan dasar bade; Bade wadah dengan papalihan lengkap, serta atapnya bertingkattingkat yang disebut tumpang. Bilangan tumpang umumnya ganjil, yakni 11, 9, 7, 5, dan 3. Bilangan tumpang melambangkan kekuasaan. Makin besar kekuasaan seseorang atau leluhurnya, maka tumpangnya akan lebih tinggi. Mengenai Bade atau pengusung jenazah ini bisa diperjelas dalam I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, h. 81-97. 60
43
Salunglung artinya Bale keindahan atau keasrian. Di bawah bale inilah Sawa itu dibakar; Patulangan adalah tempat untuk membakar Sawa; Bale Pering ini berfungsi sebagai tempat menghaluskan abu tulang yang telah dibakar (Asti Widhana); Jempana adalah wahana untuk menghanyut atau melarung sekah atau tulang yang telah dihaluskan; Bale Pawedaan adalah bale tempat Pendheta memuja; Sanggar Surya adalah sanggar untuk mempersembahkan banten upasaki kepada Surya. Disamping peralatan dan sarana yang diperlukan demikian banyaknya dalam upacara Ngaben Sarat, juga jenis upakara bebanten. Upakara bebanten juga banyak sekali diperlukan, namun secara garis besarnya dapat digolongkan menjadi: bebanten untuk upasaki di Sanggah Surya dengan ayaban sornya, unit banten pamlaspas, banten ayaban, banten yang berfungsi sebagai pebersihan, banten yang berfungsi sebagai oleh-oleh, banten yang merupakan simbol-simbol dari bagian-bagian badan, banten pamerasan dan pengampin, banten-banten upasaki (Piuning).62 Kemudian masih ada banten lain lagi, yang sangat penting yaitu: Bebangkit Pengiriman. Bebangkit ini berfungsi untuk ―ngirim‖ Sang Pitra dan sisa-sisa galihnya (tulangnya) ke laut. Demikianlah beberapa unit jenis bebanten serta arti simboliknya, yang dipergunakan dalam upacara Ngaben Sarat itu. 2. Upacara Upacara dimaksudkan adalah tata pelaksanaannya. Prosesi dari awal sampai akhir. Karena Ngaben Sarat ini ada dua jenis yakni: Sawa Prateka dan Sawa 62
Penjelasan upakara bebanten secara jelas dan terperinci bisa dibaca dalam bukunya Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama, h. 113125.
44
Wedhana, maka lebih dulu diuraikan jalannya upacara untuk Sawa Prateka. Adapun tahapan-tahapan upacara Ngaben Sarat Prateka adalah sebagai berikut: a. Pabersihan Begitu setelah meninggal, Sawa hendaknya dibersihkan. Tata cara mabersih adalah sebagai berikut:63 1. Memandikan Dalam upacara memandikan ini diperlukan Upakara yang disiapkan: Air bersih, Air kumkuman, Keramas dan minyak rambut, Sigsig, Babelonyoh putih kuning, Sikapa, Telur ayam Bali, Don Tuwung, Daun-daun: intaran, menuh, Kepehan waja, kepehan meka, malem, Daun padma, daun terung bola, Monmon merah, Angkeb rai putih, Pangulungan, Kain putih, Kwangen dengan uang kepeng 11 satu buah (ada kalanya disuatu tempat juga dijalankan kwangen pangrekan 22 buah), Tirtha pembersihan, dan Papaga (bale padyusan).64 2. Pelaksanaan memandikan Sawa Sawa digotong dari tempat meninggalnya, lalu ditaruh pada bale papaga. Pakaiannya yang terdahulu dilugar, lalu dialasi tikar dengan kain baru. Dikasi gelang dengan uang kepeng 200. Di atas Sawa dipasang kain putih sebagai leluhur. Pakaiannya dilugar, kemaluannya ditutup. Kalau laki ditutup dengan kain, terung bola, oleh anaknya yang perempuan. Kalau perempuan ditutup dengan daun padma, oleh
63
Mengenai Pabersihan ataupun Pasucian bisa juga dilihat dalam bukunya I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993), h.54-66. 64 Cudamani, Arti Simbol Dalam Upacara Ngaben (Jakarta: Hanuman Sakti, 1993), h. 8-9.
45
anaknya yang laki. Sawa disiram dengan air bersih, ke sekujur tubuhnya. Lalu dilaksanakan pembersih Sawa. Mula-mula mulutnya dengan air kekumur, lalu diberi sigsig kemudian dikeramas. Kemudian diminyaki, setelah bersih bagian hulu, mukanya ditutup dengan prarai, kemudian badannya ditutup dengan kain bersih biasa. Mulai dari leher sampai kakinya. Kukunya yang kotor dikerik. Setelah itu diurap dengan bablonyoh terakhir Sawa dibersihkan kembali dengan air bersih lalu air kumkuman. 3. Eteh-eteh Setelah pembersihan lalu dilanjutkan dengan: maeteh-eteh yakni menempatkan sarana-sarana: daun intaran pada alis, pusuh menuh di atas hidungnya, kaca ditaruh di atas matanya, waja ditaruh di atas giginya, sikapa yang diiris-iris ditaruh di atas dadanya, bebek ditaruh di atas perutnya, malem ditaruh pada telinganya, daun terung bola ditaruh di atas kelamin pria, daun padma ditaruh di atas kelamin perempuan, kemudian disembar dengan daun terung. Kakinya diitik-itik ngeka pada, tangan diasumsikan diisi kwangen dengan uang kepeng 11. Monmon mirah dimasukkan pada mulutnya. Pada masing-masing bagian tubuhnya diletakkan kwangen: kwangen yang berisi pucuk dadap ditaruh dikepala atau dahi menghadap ke bawah. Kwangen yang berisi uang kepeng 11 ditaruh di tengah-tengah susu (dada), menghadap kepala. Kwangen yang berisi uang kepeng 9 yang disertai bunga teratai ditaruh di atas ulu hati. Kwangen yang berisi kuncup bunga cempaka
46
putih ditaruh pada tangan kanan kiri dan dua kwangen ditaruh pada kaki kanan kiri. Setelah itu, diberikan tirtha pembersihan dan panglukatan. Sawa kemudian digulung dengan kain putih dan tikar kalasa. Kemudian dilante dan diikat dengan tali dengan kuat. Di atas penggulungan ditaruh daun telunjungan, kain putih secukupnya dan tatindih.65 4. Persembahan Sawa diangkat, dilempari telur ayam dari kepala menuju kakinya, anakanak, cucu dan lain-lain lalu masulub. Sawa ditidurkan di bale. Dihaturi punjung,
dan
tataban
satu
soroh
eedan.
Upasaki
ke
surya
mempersembahkan suci satu soroh dengan banten asoroh eedan, beserta lis, segau dan tepung tawar. Upasaki dihaturkan, tataban keSawa menyusul. Keluarga yang lebih muda menyembah. Setelah selesai keluarga menyuapi punjung kepada Sang mati dengan alat daun dadap serta mempergunakan tangan kiri. Setelah selesai persembahan, lalu disuntik dengan formalin dan dimasukkan ke dalam peti (selepa). Hal ini dilakukan karena menunggu hari peNgabenan yang cukup lama. Hal ini disebabkan disamping menunggu dewasa jugauntuk mempersiapkan peralatan dan upacara bebanten yang begitu sarat. 5. Narpana
65
Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama (Surabaya: Paramita, 2002), h. 127-128.
47
Narpana untuk menentramkan Sang Pitra dilakukan melewati hari Purnama dan Tilem. Artinya pada hari Purnama dan Tilem sebelum pengabenan wajib mempersembahkan tarpana, dengan upakara bebanten seperti telah diuraikan di muka. 6. Matetangi Upacara ini dilakukan tiga hari menjelang peNgabenan. Upacaranya juga menghaturkan tarpana, dengan bebanten seperti telah diuraikan di muka. Upacara ini bertujuan membangun Sang mati untuk segera di Samskara. 7. Memberikan Sekul Liwet Sekul liwet yaitu bubur yang dibuat dengan beras yang dibersihkan (diseruh) 11 kali. Air yang dipakai menanak didapat dengan membeli di waktu tengah malam di suatu kelebutan di sungai. Setelah hari tengah malam bubur ini dipersembahkan oleh pretisantana yang terkemuka. 8. Upacara Kebeji dan Narpana Upacara kebeji yang bertujuan menyucikan Sang Pitra berjalan terus sampai
hari
PeNgabenan.
Sedangkan
upacara
Narpana
atau
mempersembahkan perangkatan juga berjalan setiap hari kecuali hari pasah. 9. Pemasmian atau pembakaran Sawa Pagi-pagi diadakan upacara mlaspas Wadah (Bade), Petulangan dan Bale Gumi. Mlaspas bale gumi ditandai dengan pertama membeli gumi
48
dan kedua menanam pijer pada bale gumi itu. Hal ini mendandung maksud agar gumi yang akan dipakai agar betul-betul milik sendiri. Bersamaan dengan Mlaspas bade juga diadakan upacara memanah Naga Banda bagi bade yang memakai Naga Banda. Upacara ini bertujuan membunuh keinginan-keinginan mereka yang meninggal agar jangan menghalangi perjalanan bagi Sang Pitra.66 Setelah upacara mlaspas selesai, lalu bersiap-siap berangkat ke setra. Pertama-tama yang diturunkan adalah peralatan upacara, seperti ganjaran, jemek, tiga sampir, kotak, tigasan, canang sari. Lalu disusul dengan adegan, angenan, sok bekel, pangrekan sampai dengan kajang, dengan ulon lebih dulu. Setelah itu baru tatukon, lis pering, panjang hilang dan lain-lain. Kamudian dimuka Sawa, berjejer tah mabakang-bakang, cegceg dan sekarura. Terakhir baru Sawa, diturunkan perlahan-lahan. Baru turun Sawa dipendak dengan Segehan Agung dengan Caru penghalang Dewasa. Dengan menginjak Segehan Agung ini Sawa digotong ke luar, dengan upacara berjalan lebih dulu. Berikutnya Sawa dinaikkan ke Wadah atau Bade. Ikut juga dinaikkan kajang, dengan pangrekan dan angenan. Setelah siap bade diberangkatkan. Cegceg dipasang lebih dulu di sepanjang jalan. Orang yang memanjang menaburkan Sekarura. Sawa
yang ada pada bade dituntun
dengan penuntun
oleh
pretisantananya. 66
Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 136-137.
49
Peralatan upacara hendaknya berjalan lebih dulu. Tetabuhan seperti angklung, gong dengan tabuh bebatelan mengiringi bade. Sedangkan gender dan wayang ada pada bade, digelar berjejer melakonkan Bhima Swarga. Setiap sampai pada simpang empat, bade diputar tiga kali, mapasawya namanya. Sebagai simbolik untuk kembali ke asalnya (pralina). Demikian juga ketika sampai di pemasmian, juga berputar tiga kali, setidak-tidaknya penuntunannya saja. Sesudah berhenti dimuka
petulangan
Sawa
diturunkan.
Lebih
dulu
diturunkan
upakaranya, seperti pangrekan dengan kajang, angenan. Pangrekan dan kajang dijunjung dan ditungguh disebelah hulu bale pemasmian. Selanjutnya Sawa diturunkan perlahan-lahan. Petulangan disapu dengan rambut pretisantananya, sebagai bukti hormat dan cinta yang mendalam. Setelah itu Sawa diangkat dan diletakkan perlahan-lahan pada petulangan itu. Tah yang mebakang-bakang dipakai membuka bandusa dan pembungkus Sawa itu. Tinggalkan hanya pakaian yang putih saja. Monmon yang ada pada mulutnya diambil. Sawa dapat dibungkus lagi dengan kain yang ikut dibakar. Lalu disertakan pakaian anyar untuk segera diperciki tirta. Setelah siap Sawa lalu diperciki tirtha. Mula-mula toya panembak yakni toya yang diambil oleh salah seorang putranya ditengah malam yang gelap seorang diri pada sebuah sungai. Hal ini mengandung maksud akan kesungguhan dan keikhlasan pretisantana untuk mengentaskan leluhurnya
dari
kesengsaraan.
Berikutnya
menyusul
tirtha 50
panglukatan/pebersihan, yang berfungsi untuk melenyapkan dan membersihkan segala mala yang ada pada Sawa. Terakhir barulah tirtha pangentas. Sebelum tirtha pangentas ini dicipratkan, ulantaga yang bertuliskan dasaksara terlebih dulu dibuka dan digelar pada kepala Sawa. Lalu tirthanya dicipratkan dengan mempergunakan kusa yang telah tersedia pada tirtha itu. Setelah tirtha pangentas menyusul tirtha yang dimohonkan di Sanggah Pameraja, di Ibu, di Sanggah Gede, Dadia, Panti, Kawitan dan terakhir tirtha yang dimohon di kahyangan Tiga dan Prajapati. Setelah selesai metirtha Sawa ditutup dengan pangrekan, kajang, gagutuk, ponjen dan angenan. Di bawah Sawa diletakkan adegan, tatukon, panjang hilang dan angkeb nasi. Di bawah patulangan ditumpuk kayu api yang berasal dari kayu yang harum, seperti cendanan, majagau, sandat, cempaka dan lain-lain. Api yang dipakai membakar disebut Cittagni, dapat dimohon pada Pendeta, atau di Mrajapati. Pembakaran dilakukan oleh anak atau cucu dan keluarga yang terdekat. Begitu api dinyalakan, iber-iber dilepas. Sebagai simbolis kembalinya roh dan unsur-unsur yang menjadikan manusia ke asalnya. Selama proses pembakaran ini, patut dibacakan ceritra Bhima Swarga, atau wewacan lain yang mengisahkan roh mencapai alam sorga.
51
Setelah Sawa habis terbakar, maka dihaturkan ajengan geblagan. Ajengan geblagan ini ditujukan kepada energi (kala), tulang (galih) yang telah hancur. Lalu apinya disiram dengan air biasa hingga mati. Menyiram api ini disebut ―nyeheb‖. 3. Sawa Wedhana Pelaksanaan Upacara Sawa-Wedhana, sebenarnya sama saja dengan Sawa Prateka. Perbedaannya hanya, pada Sawa-Wedhana, tidak ada yang diupakarakan. Sawa diganti dengan Karsian, yang bahannyya dari Cendana atau Majagau. Upacara ini dapat dilaksanakan di rumah atau membuat dunungan di setra atau di ujung desa. Bila pelaksanaannya di rumah, tulang atau tawulan tidak ikut ―muga beya‖ atau mendapat kunapabhinesika. Taulannya ditinggalkan di setra dibuatkan rarompok. Kalau pelaksanaannya mungah beya atu eteh-eteh di pedunungan, maka tawulannya juga ikut munggah tumpang salu atau munggah bade (wadah). Sawa Wedhana adalah Upacara Ngaben bagi Sawa yang telah pernah dipendam atau dititipkan kepada Ibu Pertiwi, dan Bhatari Durga. Karena ia dititipkan, maka kalau akan diabenkan harus diadakan upacara khusus yang disebut ―ngulapin‖ atau munas pada Bhatari Durga, di pura Dalem. Upacara Ngeplugin67 atau Ngulapin dilakukan di Jaba Pura Dalem. Peralatan Upakara di bawah serta. Upakara itu antara lain: Jemek/kesi-kesi denganperarainya, Sawa Karsian, ganjaran, papecut, kotak, tatopong, kulambi tiga
67
I Gusti Ketut Kaler, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, h. 51-52.
52
sampir, sangku, deling, tigasan, Canang Sari/Rebong. Upacara bebanten yang disiapkan:68 - Satu unit sorohan kedengan ditambah suci dan sesantun, serta 1 unit segehan. Satu unit bebangkit, untuk ayaban Bhatari Durga. Untuk piuning di Prajapati, disiapkan satu unit sorohan lengkap masuci dan sesantun, serta segehan. Kalau yang diaben itu belum satu tahun dititipkan di Pertiwi, maka disiapkan benten panebusan, yaitu terdiri dari: - Banten asoroh masuci, sesantun, jinah 800 kepeng dan beras 10 kulak. - Upacara Ngulapin atau Ngeplugin dapat dilakukan oleh Jero Mangku Dalem. Upacara ini dilakukan 3 hari sebelum pengabenan. Kemudian pada pagi-pagi hari PeNgabenan dilakukan upacara ngebet tulang di setra. Sebelum menggali disediakan pepaga kecil bertiang empat dan diisi leluhur di atasnya. Tulang yang telah digali ditempatkan pada pepaga ini. Tata cara menggali tulang adalah sebagai berikut: pertama, orang yang mati dibangunkan, tanahnya dicengkak secara simbolis ―dikedeti‖ oleh anak cucunya. Lalu penggaliannya dilanjutkan, tulang-tulang diangkat lalu dibersihkan dan digulung di atas pepaga tadi, dengan lebih dahulu dibersihkan dengan air biasa dan kumkuman. Bangbang bekas tulang tadi dihaturi suci selem dan pitik selem sebagai pengganti tulang yang diangkat. Tulang yang telah digulung itu ditutupi lagi dengan kain putih tipis dan daun telunjungan, lalu dipersembahkan dahar (punjung).
Menjelang
pembakaran,
tulang-tulang
itu
dimasukkan
pada
68
Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama, h. 144-145.
53
patulangan. Berikutnya tulang ini ikut dibakar bersama Sawa karsian. Ketentuan lain, sama dengan upacara Sawa-Prateka, seperti telah diuraikan di muka.69 Demikianlah tata cara Ngaben Sarat dilakukan, baik terhadap Sawa yang baru meninggal (Sawa-Prateka), maupun terhadap Sawa yang pernah dipendam (Sawa-Wedhana). D. Relevansi Ngaben Sarat di Masa Kini Pada masa lalu, lebih-lebih sebelum masa kemerdekaan, Umat Hindu kondisinya memang sangat lemah. Sebagai masyarakat Agraris, mereka berpenghasilan sangat rendah. Pemahaman terhadap Agama Hindu sangat rendah. Lebih-lebih ketika itu, ajaran agama masih tabu untuk dipelajari secara umum. Motto aywa wera yang disalahtafsirkan menghantui pikiran umat. Akibatnya pemahaman Agama Hindu sangat rendah. Pengertian Ngaben disalahartikan. Ngaben identik dengan ngabehin. Kalau tidak mempunyai dana yang besar, umat tidak akan berani Ngaben. Umat tidak mengenal ada bentuk Ngaben sederhana. Lalu mereka jarang sekali Ngaben. Kalau toh ada Ngaben, mereka pasti golongan Mekel, golongan Menak, keluarga Puri, atau Geria.70 Sewaktu-waktu umat kebanyakan juga ikut Ngaben. Namun secara kolektif, baik dengan cara ngiring pada puri ataupun geria. Kadang kala dari masyarakat yang berpikiran agak maju, melaksanakan Ngaben kolektif yang disebut Ngagalung. Biasanya disponsori oleh banjar. Akibat dari semua itu, Sawa leluhur umat lama terpendam. Bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip Ngaben. 69
Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 145. Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben: Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama, h. 83. 70
54
Namun, masyarakat Bali sekarang telah memasuki era Industrialisasi. Khususnya Bali merupakan daerah Industri Pariwisata. Masyarakat Industri adalah masyarakat yang penuh dengan kesibukan. Pendapatan masyarakat semakin meningkat. Pemahaman umat terhadap ajaran agama juga semakin meningkat, pelaksanaan upacara menjadi semakin semarak. Dengan pendapatan yang tinggi, umat semakin bergairah melaksanakan ibadah agamanya. Bagi umat Hindu melaksanakan upacara Agama termasuk Ngaben kelihatan makin semarak saja. Setiap orang mati sekarang kebanyakan diAben. Ada yang mengambil Ngaben sederhana dan ada juga mengambil jenis PeNgabenan Sarat. Di sisi lain akibat dari dampak pengaruh industri Pariwisata, adalah menyempitnya waktu. Hidup gotong-royong seperti masa lalu mulai terancam. Kalau dulu, kalau ada orang tetangga yang Ngaben, tanpa diundang dia datang untuk membantu bekerja. Tapi sekarang tanpa diundang, ia tidak akan datang. Kalau toh diminta, tidak sepenuhnya diharapkan. Paling-paling bisa membantu 1 sampai 2 kali. Syukurlah Umat Hindu di Bali masih mempunyai banjar. Banjar adalah suatu Lembaga Adat yang andal untuk mempertahankan kebersamaan dan gotongroyong. Melalui banjar umat yang Ngaben dapat mengharapkan bantuan warganya. Hanya beberapa kali mereka dapat meminta gotong-royong banjar. Kendatipun demikian, ternyata Lembaga Banjar ini masih sangat efektif untuk membantu pelaksanaan Ngaben Sarat itu.
55
Dalam kondisi masyarakat seperti sekarang ini, mereka yang akan Ngaben tentu sangat berhati-hati, karena sebagian kecil saja yang masih diharapkan bantuan orang lain. Oleh karenanya banyak diminta umat menempuh cara di tempat lain. Sebagian kecil dimintakan bantuan kepada warga atau banjar. Misalnya membuat beberapa bangsal, bale gumi, bale lanjut, dan meratengan atau ―mebat‖ dan pelaksanaan pada hari ―H‖ nya. Kendatipun keadaan masyarakat sekarang mengalami pergeseran tata nilai, namun akibat bertambah tingginya pendapatan Agama yang semakin meninggi pula, maka pengabenanpun kelihatannya semakin rutin. Bagi mereka yang punya, mengambil tingkat pengabenan Sarat. Dan bagi mereka yang kurang mampu juga dapat melakukan Ngaben dengan mengambil tingka sederhana. Sekarang kita tidak lagi melihat adanya kuburan umat Hindu yang menahun, artinya tidak di-Aben berpuluh-puluh tahun seperti dulu. Sekarang maksimal bertahan di bawah sepuluh tahun.71 Bali di masa sekarang sudah menjelma menjadi kawasan Industri Pariwisata. Semua kegiatan masyarakat Bali adalah mendukung sektor Industri ini. Sehingga masyarakat Hindu di Bali akan penuh dengan kesibukan. Biasanya dalam masyarakat Industri yang penuh kesibukan ini, rasa sosial dan gotongroyong akan menipis. Sebaliknya individualisme semakin menonjol. Namun di sisi lain pendapatan rakyat Bali semakin meningkat, berbeda dengan keadaan masyarakat waktu dulu. Saat ini. Seiring meningkatnya sektor industri pariwisata, pendapatan
71
masyarakat
Bali
juga
ikut
menggeliat
meningkat
dalam
Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, h. 84-85.
56
mengumpulkan keping-keping rupiah. Lebih-lebih bagi mereka yang bergerak dalam bidang usaha jasa Pariwisata. Di sisi lain lagi, pemahaman terhadap ajaran Agama Hindu akan semakin meningkat. Mereka akan memahami arti dan makna dari pada Upacara Yajna yang diajarkan dalam Agama Hindu. Sehingga mereka tidak akan canggungcanggung untuk melaksanakan yajna, untuk jenis apapun sesuai dengan kemampuan masing-masing. Ngaben Sarat memerlukan dana yang cukup besar, dan waktu yang cukup lama untuk mempersiapkannya. Upacara Ngaben bertujuan agar leluhurnya mendapatkan sorga, kelepasan, dan bagi yang beryajna juga yang dilepas samasama mendapat keselamatan dan kebahagiaan. Untuk tercapainya tujuan itu, dalam Ngaben Sarat, prestisantana berusaha dengan mempergunakan sarana bebanten dan upacara lainnya berbuat semaksimal mungkin. Membuktikan ketulusan bhaktinya dengan mempersembahkan sesuatu yang megah dan agung. Kalau memang motivasinya demikian, maka umat dalam kondisi bagaimanapun akan tetap berusahan untuk melaksanakannya. Apalah artinya dana puluhan juta bagi mereka yang telah menerima warisan ratusan juta, bahkan miliaran. Disamping itu, faktor prestise dan harga diri juga sebagai pendorong seseorang untuk melaksanakan Ngaben Sarat itu. Upacara Ngaben hanyalah sekali dalam masa hidupnya. Hal ini berarti dalam satu kali masa hidupnya. Hal ini berarti dalam satu kali masa hidupnya, hanya sekali beryajna yang menghabiskan belasan juta. Bandingkan juga dengan
57
pelaksanaan ibadah agama lain. Bukankah juga memerlukan biaya belasan juta juga, yang mereka laksanakan juga minimal sekali dalam hidupnya. Tambahan lagi, bahwa dana yang dihabiskan untuk melaksanakan Ngaben adalah beredar dalam lingkungan sendiri. Dinikmati oleh mereka yang memberikan jasa, baik berupa tenaga maupun mereka yang menyediakan natura atau untuk perlengkapan upakara. Hal ini berarti akan tumbuh dan terbina dalam era industri, profesi tukang banten dan profesi pembuat perlengkapan yajna, seperti tukang wadah. Jadi dalam masyarakat modern, upacara Ngaben akan ditangani secara profesional. Bagi Yajamana tinggal menyediakan dana. Tenagatenaga profesionallah yang akan menangani pekerjaan itu sampai selesai. Jadi sang Yajamana tidak begitu susah, tinggal menunggu selesai. Sebenarnya pekerjaan besar seperti Ngaben ini bisa diserahkan kepada banjar. Tapi dalam era industri ini anggota banjar juga terlibat kesibukan masingmasing individu. Jadi tidak dapat diharapkan sepenuhnya. Kemungkinan sebagian kecil yang dapat dibantu oleh banjar. Dengan demikian satu-satunya jalan, hanya dapat diminta bantuan kepada tenaga-tenaga profesional tadi, sudah tentu dengan imbalan jasa. Memperhatikan motivasi Ngaben Sarat, seperti tertuang pada tujuan Ngaben dan dikaitkan dengan pendapatan umat yang semakin tinggi, serta dampak positif lainnya dalam bidang sosial ekonomi, maka Ngaben Sarat masih tetap relevan, untuk masa sekarang dan yang akan datang.
58
Namun demikian, pada prinsipnya relevansi Ngaben Sarat juga harus memperhatikan kondisi atau keadaan seseorang secara materiil. “…..Relevan tidaknya itu tergantung. Relevan bagi orang yang punya uang banyak, kalau tidak punya banyak uang, ya tidak relevan…...”72 “……..Upacara besar masih bisa tergantung lagi, balik ke orangnya, balik ke keuangannya, kalau ia mampu, ia mau, silahkan…….. biasanya itu dari golongan Brahmana atau Ksatria atau yang merasa mampu. Relevan atau tidaknya itu tergantung dari sudut pandang orang, menurut saya, sebab yang namanya upacara keagamaan itu adalah hal mutlak sebab bagaimana kalau kita ketahui tertera dalam kitab suci atau sastra itu kan seperti itu adanya. Masalah pelaksanaannya itu bisa ditinggikan bisa dikecilkan bisa dilebihkan atau dikurangkan. Kalau di Bali sendiri upacara seperti itu biasa dilakukan di tepi pantai sekarang…….. Jadi menurut saya relevan atau tidaknya itu tergantung dari sudut pandang dan dari pemikiran orang tetapi setahu saya berdasarkan sastra agama masih relevan karena kitab suci itu tidak akan pernah berubah kecuali pemikiran orang. Itu menurut saya….”73 Ngaben Sarat, yang dilaksanakan dengan penuh simbol-simbol, juga merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Sebab Ngaben Sarat ini hanya ada di Bali, yang merupakan keunikan tersendiri pula. Hal ini akan menjadikan Bali sebagai daerah tujuan wisata yang lestari. Dengan demikian Ngaben Sarat juga mempunyai nilai tambah, mengail dola asing, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan devisa negara.
72
Hasil wawancara langsung dengan Bapak Dewa Ketut Suratnaya, Dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantra pada tanggal 26 Oktober 2010. lihat lampiran II. 73 Hasil wawancara langsung dengan Bapak Firdaus, Konselor Persatuan Hindu Dharma Indonesia pada tanggal 30 Oktober 2010.
59
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Ngaben Sarat bertujuan agar raga sarira cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu, Panca Maha Bhutta di alam ini dan bagi Atma dengan selamat dapat pergi ke alam Pitra. Oleh karenanya, Ngaben Sarat sesungguhnya tidak bisa ditunda-tunda. Ngaben Sarat itu dimaksud untuk melepaskan Sang Atma dari ikatan duniawi, untuk mendapatkan keselamatan dan kesenangan, dan untuk mendapatkan sorga bagi Sang Pitra. Bukan saja Sang Atma yang diharapkan mendapat keselamatan, akan tetapi juga yang beryajna. Ngaben Sarat diselenggarakan dengan semarak, penuh sarat dengan perlengkapan upacara upakaranya. Upacara ngaben sarat memerlukan dukungan dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Ngaben sarat dilakukan baik terhadap sawa yang baru meninggal maupun terhadap sawa yang telah dipendem. Baik Sawa Prateka maupun Sawa Wedhana memerlukan perlengkapan upacara bebanten dan sarana penunjang lainnya yang sangat besar atau banyak. Semua itu dipersiapkan dalam kurun waktu yang panjang serta memerlukan tenaga penggarap yang besar. Karena itulah terhadap kedua jenis ngaben ini disebut Ngaben Sarat. Memperhatikan motivasi Ngaben Sarat, seperti tertuang pada tujuan Ngaben dan dikaitkan dengan pendapatan umat di Bali yang semakin meningkat tinggi, serta dampak positif lainnya dalam bidang sosial ekonomi, maka Ngaben Sarat masih tetap relevan, untuk masa sekarang dan yang akan datang. Artinya, sesuai
60
keyakinan umat Hindu dalam pelaksanaan Ngaben Sarat, masih tetap berjalan sesuai dengan keadaan ataupun tingkatan ekonomi dan kemampuan yang melaksanakannya. B. Saran-saran Penulis menyadari sepenuhnya atas keterbatasan waktu, pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki serta masih langkanya literatur atau bahan pustaka yang dimiliki, sehingga masih banyak mempunyai kekurangan dalam penyusunan Skripsi ini. Oleh karenanya, Penulis mengharapkan sumbangan-sumbangan pemikiran, kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan Skripsi ini. Kendati demikian, Skripsi ini diharapkan menjadi penyemangat bagi yang lain untuk terus mengembangkan judul Skripsi ini ke arah yang lebih baik, akademis dan elaboratif. Semoga Skripsi bisa menambah koleksi literatur perbandingan agama dan memperkaya horison berpikir kita dalam hal tema-tema perbandingan agama, khususnya yang berkaitan dengan judul Skripsi ini.
61
DAFTAR PUSTAKA
Cudamani. Materi Kuliah Agama Hindu Di Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Yayasan Wisma Karma, 1987. ________Arti Simbol Dalam Upacara Ngaben. Jakarta: Hanuman Sakti, 19931994. Fatwa M.P.K.S. No. 20/1973. Kremasi (Pembakaran Mayat). Jakarta: Majlis Pertimbangan Kesehatan Dan Syara’ Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1973. Hadiwijono, Dr. Harun. Agama Hindu dan Budha. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2001. Honig Jr, Dr. A. G.. Ilmu Agama. Jakarta: Daun Mas,1966. Kaler, I Gusti Ketut. Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1993. Maswinara, I Wayan. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Surabaya: paramita, 2006. Pandit, Bansi. Pemikiran Hindu: Pokok-Pokok Pikiran Agama Hinndu. Surabaya: Paramita, 2006. Pendit, Nyoman S. Aspek-Aspek Agama Hindu (Seputar Weda Dan Kebajikan), Jakarta: Manikgeni, 1993. Pudja, Gede. Theologi Hindu (Brahma Widya). Jakarta: Mayasari, 1977. Putra, I Gusti Agung Mas. Upacara Manusia Yadnya. Jakarta: Parisada Hindu Dharma, 1987. Romdhon, A. Singgih Basuki, dkk. Agama-Agama Di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988. Setia, Putu. Kebangkitan Hindu: Menyongsong Abad Ke-21. Jakarta: Pustaka Manikgeni, 1993. Sharma, Pt. Kisanlal. Mengapa? Tradisi Dan Upacara Hindu. Surabaya: Paramita, 2007. Singh, Dharam Vir. Hinduisme Sebuah Pengantar. Surabaya: Paramita, 2006.
62
Sivananda, Sri Svami. Hari Raya Dan Puasa Dalam Agama Hindu. Surabaya Paramita, 2006. Smith, Huston. Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Subagiasta, I ketut. Siksa dan Jnana: Konsep Pemikiran Agama Hindu Menuju Kompetensi Guru dan Dosen. Surabaya: Paramita 2006.
Sudarsana, I. B. Putu. Ajaran Agama Hindu (Uparengga). Denpasar: Yayasan Dharma Acarya Percetakan Mandara Sastra, 2000.
Suhardana, K.M. Pengantar Etika Dan Moralitas Hindu: Bahan Kajian Untuk Memperbaiki Tingkah Laku. Surabaya: Paramita, 2006 Sura B.A., Gede dan Reneng B.A., Wayan. Buku Pelajaran Agama Hindu (untuk SMP Kelas 1). Jakarta: Departemen Agama RI, 1982-1983. Watra, I wayan. Filsafat Manusia dalam Perspektif Hindu. Surabaya: paramita, 2006. Wiana, I Ketut. Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu II. Surabaya: Paramita, 2004. Wikarman, I Nyoman Singgin. Ngaben (Upacara Dari Tingkat Sederhana Sampai Utama). Surabaya: Paramita, 2002.
63