HAKIKAT TAURAT DALAM PERJANJIAN LAMA DAN RELEVANSINYA BAGI GEREJA MASA KINI Joni Tapingku
Abstract The meaning and essence of the Torah is not merely in the sense of legalistic law. Torah is the will of God for salvation. Various statutes, regulations and laws that are practical aspects of safety, justice and righteousness of God revealed to the people of Israel through God's saving events like liberation from Egypt, maintenance and administration in the desert land of Canaan. Therefore, when we talk about the actualization of various regulations, statutes and laws of the Old Testament means we're talking about God's assurance and safety. Both constitute a unified whole and can not be separated from each other. In other words, the nature of the various regulations, laws, statutes and laws that are identical to the salvation of God. Regulations, statutes and laws is a translation of God's love to the people of Israel, which has been expressed through the work of liberation from Egypt, maintenance and administration in the desert land of Canaan. This shows that the love of God means loyalty and obedience to His Torah (Deut. 6: 5). Loyalty and obedience to the law of God also means loving people and other creatures.
Pendahuluan Sejak Reformasi Gereja pada abad keenam belas, para teolog mulai mempertentangkan antara “Hukum dan Anugerah” atau “Taurat dan Injil”, yang ditafsirkan sebagai dua dispensasi pewahyuan Allah yang berbeda, di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Para teolog seperti Martin Luther, Lehmann, Finger, Noth dan Zimmerli, berpendapat bahwa Taurat adalah penampilan dispensasi Perjanjian Lama, dan Anugerah sebagai penampilan dispensasi Perjanjian Baru. Artinya, iman di dalam Perjanjian Lama di dasarkan pada prinsip usaha manusia, sehingga tergolong sebagai agama atau kepercayaan yang legalistik; sementara iman Perjanjian Baru didasarkan pada prinsip Anugerah Allah.1 Taurat kemudian mulai dimengerti sebagai daftar moralitas yang harus dijalankan oleh umat Israel secara legalistis. Pemahaman ini melekat dan masih berkembang dalam pikiran warga jemaat sampai saat ini bahwa Taurat tidak berlaku lagi, karena sudah digenapi dalam kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Pada hal Yesus sendiri sama sekali tidak pernah meniadakan Taurat itu (Mat. 5:17-48). Akibat yang ditimbulkan oleh pemahaman tersebut ialah perlakuan yang tidak adil terhadap Taurat dalam pelayanan gereja. Dalam akta ibadah, gereja terlalu jarang membacakan ketetapan, peraturan dan hukum Taurat, dengan alasan bahwa Taurat tidak relevan lagi pada masa kini. Itupun kalau ada yang dibaca hanya berkisar pada Kesepuluh Firman (Kel. 20:1-17: Ul. 5:6-21). Apa yang dijumpai dalam unsur liturgi, baik pembacaan maupun khotbah, Taurat hampir tidak mendapat perhatian, dan khususnya mengenai petunjuk hidup, lebih banyak dimonopoli oleh bagian-bagian Perjanjian Baru. Semua bentuk pemahaman di atas bisa menjadi indikasi bahwa warga jemaat tidak memahami benar apa arti dan makna Taurat itu dalam Perjanjian Lama. Kalau Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru diterima sebagai firman Allah, 1
Bambang Budijanto, Torah Dalam Hidup Bangsa Israel (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1995), h. 1. Hakikat Taurat dalam PL dan Relevansinya Bagi Gereja Masa Kini - Joni Tapingku
1
maka semua ketetapan, peraturan dan hukum, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, juga harus dihargai dan diterima memiliki kadar yang sama. Taurat tidak lebih rendah (inferior) dari Injil atau sebaliknya, Injil lebih tinggi dari Taurat. Jadi, untuk memahami pokok bahasan ini seharusnya ditelusuri dari bagaimana umat Allah di dalam Perjanjian Lama memahami Taurat itu sendiri, sesuai dengan apa yang Allah maksudkan.
Pengertian Istilah “Taurat” berasal dari bahasa Ibrani
hr'AT
(Tôrâ), yang berarti
“pengajaran”, “penuntun”, “petunjuk”, “perintah”, “hukum”.2 Kata
hr'AT
(Tôrâ)
berasal dari akar kata hry (yrh - bentuk hifil), yang berarti “menuntun”, “mengajar” dan “mencetuskan”.3 Istilah ini berkaitan erat dengan beberapa istilah bervariasi yang muncul dalam Perjanjian Lama. Zimmerli melihat keterkaitan istilah tora dengan mispatim (hukum-hukum atau undang-undang), huqqot (ketetapan-ketetapan), miswot (perintah-perintah) dan berit (perjanjian).4 Preuss menambahkan kata edot (peringatan-peringatan) dan kata debarim (firman atau perkataan-perkataan).5 Gerhard von Rad juga melihat keterkaitan Taurat dengan istilah yang lain, yakni sedaqa (kebenaran atau keadilan). Dengan membandingkan Ulangan 4:8 (saddiqim) dengan Mazmur 19:10 (sadequ) dan Mazmur 119:7 (sideqeka), Gerhard von Rad menyatakan bahwa Taurat adalah bukti kebenaran tentang kesetiaan Allah dalam persekutuan-Nya dengan Israel.6 Dalam Septuaginta, Taurat adalah terjemahan dari kata nomos yang berarti “ajaran” dan “hukum” (Kel. 24:12). Kata nomos banyak dijumpai dalam Septuaginta dengan istilah entole (perintah, ketetapan, peringatan), yang lebih umum digunakan untuk menerjemahkan kata miswa (Kej. 26:5); prostagma (ketetapan, perintah) sering diterjemahkan dari kata hoq (Kej. 26:5; Kel. 18:16); dan dikaiwma sebagai terjemahan dari kata mispat (Kel. 21:1).7
2
Word Analysis. Bible Works. CD-ROM, version 7, 2006; Francis Brown, S.R. Driver and Charles A. Briggs (BDB), A Hebrew and English Lexicon of The Old Testament (Oxford: Clarendon Press, 1978), h. 434, 435; George Arthur Buttrick (ed.), The Interpreter’s Dictionary of the Bible (IDB) (New York: Abingdon Press, 1962), h. 77. 3
B. Davidson, The Analytical Hebrew and Chaldee Lexicon (London: Samuel Bagster and Sons Limited, 1966), h. DCCLIII; Francis Brown, S.R. Driver and Charles A. Briggs (BDB), A Hebrew and English Lexicon of The Old Testament (Oxford: Clarendon Press, 1978), h. 434, 435, 1064. 4 Walther Zimmerli, Old Testament Theology in Outline (Edinburgh: T & T Clark, 1978), h. 112, 113. 5
Horst Dietrich Preuss, Old Testament Theology, Vol. I (Edinburgh: T&T Clark, 1991), h.
81. 6
Gerhard von Rad, Old Testament Theology, Vol. I (New York & London Harper & Row, 1962), h. 196. 7
2
Buttrick (ed.), The Interpreter’s Dictionary of the Bible (IDB), h. 77.
Jurnal Lembaga 2014
Berbagai istilah di atas sering membingungkan. Samakah artinya semua sebutan ini, atau berlainankah artinya masing-masing? Atau, manakah dari istilahistilah itu yang lebih cocok dengan pengertian Taurat? Menyikapi pertanyaanpertanyaan demikian, Ch. Barth menjelaskan bahwa sudah barang tentu beberapa di antaranya pernah mempunyai artinya sendiri-sendiri, tetapi hal itu tidak berarti bahwa keterkaitan antara satu dengan yang lain tidak ada. Sekalipun dalam Perjanjian Lama ditemukan penggunaan sebuatan-sebutan ini berganti-ganti, tetapi pada prinsipnya tidak ada perbedaan arti atau tingkat dari hukum-hukum itu. Semuanya mempunyai kepentingan yang sama, dan justru dengan kesamaan tingkat itulah terletak kesatuan hukum-hukum itu.8 Nada yang hampir sama juga dikemukakan oleh von Rad bahwa sebutan yang berbeda-beda itu harus dipahami sebagai satu kesatuan perintah-perintah Tuhan yang resmi dan sebagai satu kesatuan teologis yang harus dihormati, yakni Taurat Tuhan. Bagi Rad, ketika kita menyebutkan salah satu dari sebutan-sebutan itu, pada saat itu juga kita sedang menyebutkan Taurat itu sendiri.9 Dalam tradisi Yahudi, istilah Taurat menunjuk kepada kelima kitab pertama dalam Perjanjian Lama (Pentateukh).10 Menurut tradisi Sinai, istilah ini menunjuk kepada Dekalog (Kel. 20:1-17; Ul. 5:6-21), Hukum Deuteronomis (Ul. 12-26), Kitab Perjanjian (Kel. 20:22-23:19) dan Hukum Kekudusan (Im. 17-26).11 Secara umum istilah ini juga dikenakan kepada berbagai peraturan, ketetapan dan hukum yang terdapat dalam Keluaran 20 - Ulangan 34.12 Adapun asal usul dari Hukum Deuteronomis, Kitab Perjanjian dan Hukum Kekudusan, Barnabas Ludji menjelaskan sebagai berikut: a. Penulis Kitab Ulangan yang biasa disebut aliran Deuteronomis tidak diketahui dengan pasti. Aliran ini mempunyai hubungan dengan Deuteronomi yang dikenakan kepada Kitab Ulangan yang berarti pengulangan. Kitab Ulangan memang merupakan pengulangan dari berbagai tulisan yang sudah ada sebelumnya, misalnya Kitab Perjanjian (Kel. 20-23) diulangi dalam bentuk dan cakupan yang lebih luas dalam Ulangan 12-26, dan selanjutnya diulangi lagi dalam Imamat 17-26. Hukum Deuteronomis sendiri berisi berbagai peraturan, ketetapan dan hukum yang mengatur hubungan antara Allah dengan umat Israel dan diperkirakan berasal dari Israel Utara pada abad ke-8 sM. Hukumhukum itu dibawa ke Yerusalem ketika Israel Utara dihancurkan oleh Asyur pada tahun 723/722 sM. Pada tahun 622 sM, masa pemerintahan raja Yosia, hukum-hukum ini ditemukan kembali ketika Bait Allah diperbaiki dan kemudian menjadi dasar reformasi oleh raja Yosia. Hukum dan peraturan ini kemungkinan berasal dari sekelompok nabi dan ditulis ketika memuncak paham sinkritisme dan dekadensi moral di berbagai sektor kehidupan, termasuk penindasan orang-orang lemah dan miskin oleh kaum elit saat itu (bnd. Ul. 15); 8
Ch. Barth, Theologia Perjanjian Lama, jilid 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), h. 296.
9
Rad, Old Testament Theology, 199. Buttrick (ed.), The Interpreter’s Dictionary of the Bible (IDB), h. 77.
10
11
Preuss, Old Testament Theology, h. 81.
12
Barnabas Ludji, Berteologi Dalam Anugerah (Jakarta: STT Cipanas, 1997), h. 50. Hakikat Taurat dalam PL dan Relevansinya Bagi Gereja Masa Kini - Joni Tapingku
3
b. Istilah Kitab Perjanjian (sefer haberit) diambil dari Keluaran 24:7. Perjanjian
ini merupakan kumpulan peraturan, hukum dan ketetapan yang diperkirakan berasal dari golongan para imam. Para ahli memang berbeda pendapat mengenai masa penulisan Kitab Perjanjian. Ada yang mengatakan berasal dari zaman sebelum kerajaan dan ada juga yang mengatakan dari zaman kerajaan. Akan tetapi hampir semua ahli setuju bahwa Kitab ini ditulis selambatlambatnya pada abad ke-9 sM; c. Sedangkan istilah Hukum Kekudusan diambil dari rumusan yang terdapat dalam Imamat 19:2 dan 20:7. Para ahli berpendapat bahwa Hukum Kekudusan berasal dari para imam yang hidup pada zaman pembuangan (exilic) dan sesudah pembuangan (post exilic). Walaupun demikian, penulis Hukum Kekudusan juga menggunakan hukum-hukum yang sudah dikenal jauh sebelumnya dan menafsirkannya dalam konteks yang baru, sehingga hukumhukum yang tua diperluas dengan hukum-hukum yang baru.13 Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa proses penulisan Taurat secara keseluruhan ditulis dan diredaksikan melalui masa yang panjang. Pada mulanya disampaikan dalam bentuk lisan secara turun-temurun dan kemudian dibukukan dan diajarkan dari generasi yang satu ke generasi yang lain (Ul. 6:1722). Selama proses penulisan sering terjadi perluasan, penambahan dan pengulangan hukum Taurat karena adanya usaha aktualisasi yang dilakukan para penulis sesuai konteks yang berbeda-beda. Tujuan penuturan dan perluasan Taurat, ialah agar keselamatan, kasih, keadilan dan kebenaran Allah dapat dihayati dan dialami dalam konteks yang baru. Karena itu, tidak mengherankan jika kita menemukan peraturan, ketetapan dan hukum yang hampir sama dan serupa, misalnya tentang sepuluh firman dalam Keluaran 20:1-17 memiliki kemiripan dengan Ulangan 5:6-21; tentang peraturan ibadah dan hari raya dalam Keluaran 23:14-19; 34:18-26 dan Ulangan 16:1-17; tentang binatang haram dan halal dalam Ulangan 14:3-20 dan Imamat 11:1-23. Hubungan Taurat dengan Hukum-hukum Kuno Dunia Timur Dekat Tak dapat dipungkiri bahwa antara hukum Perjanjian Lama dan hukumhukum dunai kuno Timur Dekat tidak hanya terdapat perbedaan prinsip, tetapi juga terdapat persamaan yang mencolok. Adanya persamaan-persamaan yang mencolok dengan hukum-hukum tetangga tidak berarti bahwa hukum Perjanjian Lama mencerminkan pinjaman sepenuhnya, melainkan sebagai indikasi adanya pengaruh hukum-adat yang tersebar luas saat itu.14 Ada baiknya untuk melihat sepintas lalu hubungan hukum-hukum ini. Gagasan hukum bukanlah sesuatu yang unik bagi masyarakat Ibrani di dunia Timur Dekat kuno. Fakta menunjukkan bahwa dokumen-dukumen hukum yang ditulis dalam bahasa Akkad sudah ada di Palestina sejak tahun 2000 SM,15 bahkan sebelum zaman Musa. Kodeks-kodeks yang dikenal dengan baik adalah hukum-hukum Sumeria dari Ur-Nammu (Dinasti Ur III, 2064-2046, atau Dinasti 13
Ibid., h. 49-51.
14
Roland de Vaux, Ancient Israel: Its Life and Institution, Vol. 1 (New York: McGrawHill Book Company, 1965), h. 146. 15
Otto Kaiser, Introduction to the Old Testament (Oxford: Basil Blackwell, Oxford, 1975),
h. 32.
4
Jurnal Lembaga 2014
Shulgi, putranya, 2046-1999), Lipit-Ishtar (Raja Isin, 1875-1864), hukum-hukum Babel Lama dari Eshnunna (abad ke-19), Hammurabi (Raja Babel, 1792-1750),16 dan naskah perjanjian damai Dinasti Het (1450-1200).17 Ditemukannya hukum Hammurabi dan hukum-hukum Timur Dekat kuno lainnya pada awal abad ini telah membawa suatu gelombang baru dalam studi analisis kritis terhadap Alkitab. Dewasa ini, kebanyakan teolog modern berpendapat bahwa bangsa Israel telah mengadopsi bagian dari aturan-aturan hukum-hukum kuno di atas dalam menyusun kitab hukum mereka sendiri. Menurut para teolog ini, hukum-hukum bangsa Israel, khususnya yang disebut dengan “Kitab Hukum Perjanjian” (Coveriant Code - Kel. 21:1 - 23:33) sangat diwarnai oleh hukum-hukum bangsa-bangsa yang ada di sekitar mereka.18 Para ahli berpendapat bahwa antara Kitab Hukum Perjanjian dan bentuk hukum-hukum kuno lainnya terdapat kesamaan. Bentuk hukum-hukum ini pada umunya terdiri dari prolog, hukum-hukum dan epilog.19 Di dalam prolog, asal mula hukum-hukum ditelusuri dari tindakan dewadewa dalam menetapkan atau mengangkat raja: ... Pada waktu itu Anu [Anunnaki] dan Enlil [dewa langit dan bumf] memilih aku, Hammurabi, raja yang agung, penyembah dewa-dewa, supaya kebenaran ditegaskan di negeri ini, ... ketika Marduk mengutusku untuk memerintah atas orang-orang dan membawa pertolongan bagi negeri ini, aku menetapkan hukum dan keadilan di dalam bahasa negeri ini dan mengusahakan kesejahteraan bagi bangsa ini.20
Prolog yang demikian ini biasanya dibandinbgkan dengan kata-kata pembukaan dari “Kitab Hukum Perjanjian” ((Coveriant Code): Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Beginilah kaukatakan kepada orang Israel: Kamu sendiri telah menyaksikan, bahwa Aku berbicara dengan kamu dari langit” (Kel. 20:22).
Akan tetapi, pemeriksaan yang saksama terhadap kedua mukadimah (prolog) ini memperlihatkan adanya perbedaan satu terhadap yang lain. Sementara Hammurabi mengklaim menjadi pemberi hukum, Musa tidak pernah melakukannya. Hammurabi dengan jelas menunjuk dirinya sebagai pembuat hukum bangsa Babel tersebut. Sedangkan Musa memahami dirinya hanya sebagai mediator antara Yahweh, Sang Pemberi hukum, dengan bangsa Israel (Kel. 20:18-22).21 Perbandingan selanjutnya adalah antara bagian tubuh atau isi dari peraturanperaturan yang terdapat dalam Hukum Hammurabi dan Hukum Perjanjian. Pertamatama, seperti yang umum terdapat dalam kitab-kitab bukum kuno (misalnya, hukum 16
John H. Walton, Ancient Israelite Literature in its Culture Context (Grand Rapids: Zondervan, 1989), h. 69-94; H.J. Boecker, Law and Administration of Justice in the Old Testament and the Ancient Near East (Augsburg, Minneapolis, 1980), h.66-176. 17
G.E. Mendenhall, Law and Covenant in Israel and The Ancient Near East (Pittsburgh, Pennsylvania, 1955), h. 27. 18
Budijanto, Torah Dalam Hidup Bangsa Israel, h. 11.
19
Ibd., h. 12.
20
Ibd.
21
Ibid., h. 13. Hakikat Taurat dalam PL dan Relevansinya Bagi Gereja Masa Kini - Joni Tapingku
5
bangsa Het dan hukum bangsa Asyur), peraturan-peraturan yang ada dalam Kitab Hukum Hammurabi maupun yang ada dalam Kitab Hukum Perjanjian, diformulasikan dalam bentuk kasuistik. Peraturan-peraturan ini dimulai dengan formulasi kondisional: “Jika ...” atau “Apabila ...” dan diakhiri dengan “maka ...”, dengan menggunakan bentuk kata ganti orang ketiga. Berkaitan dengan isinya, pokok-pokok yang dicakup dalam Kitab Hukum Perjanjian memiliki kesamaan dengan aturan-aturan Kitab Hukum Hammurabi. Tetapi di dal am setiap kasus, peraturan-peraturannya berbeda. Setiap keparalelan atau kesamaan kasus yang diatur oleh kedua kitab hukum bisa dijelaskan dengan memahami kesamaan kebutuhan yang umum dan situasi kehidupan di daerah Timur Dekat kuno. Sebagai contoh, kedua kitab hukum memuat ketetapan bagi budakbudak. Budak-budak yang berkebangsaan Ibrani melayani tuannya selama enam tahun sebelum mereka dibebaskan, dan ini dijelaskan di dalam peraturan yang terdapat dalam Keluaran 21:2 sebagai berikut: Apabila engkau membeli seorang budak Ibrani, maka haruslah ia bekerja padamu enam tahun lamanya, tetapi pada tahun yang ketujuh ia diizinkan keluar sebagai orang merdeka, dengan tidak membayar tebusan apa-apa.
Akan tetapi, budak-budak berkebangsaan Babel hanya berkewajiban melayani selama tiga tahun: Apabila kewajiban seorang laki-laki harus dipenuhi dan ia istrinya, anaknya laki-laki, atau anaknya perempuan, atau mengikat mereka untuk melayani, selama tiga tahun mereka akan bekerja di dalam rumah orang yang membeli mereka atau tuan mereka; pada tahun keempat kebebasan harus diberikan kepada mereka.22
Sebuah contoh lain dalam Kitab Hukum Perjannan ialah bahwa seorang anak akan dihukum mati apabila memukul ayahnya atau ibunya hingga berakibat kematian (Kel. 21:15). Sementara dalam Kitab Hukum Hammurabi, ibu tidak disebut dan hukuman terbatas hanya dengan memotong jari tangan si anak. Bahkan di dalam kasus yang paling sering dikutip, untuk mendukung kesatuan kedua Kitab Hukum tersebut, yaitu hukum yang mengatur tentang lembu yang menumpahkan darah, kalimatnya berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam Keluaran 21:28-29 dikatakan bahwa: Apabila seekor lembu menanduk seorang laki-laki atau perempuan, sehingga mati, maka pastilah lembu itu dilempari mati dengan batu dan dagingnya tidak boleh dimakan, tetapi pemilik lembu itu bebas dari hukuman. Tetapi jika lembu itu sejak dahulu telah sering menanduk dan pemiliknya telah diperingatkan, tetapi tidak mau menjaganya, kemudian lembu itu menanduk mati seorang laki-laki atau perempuan, maka lembu itu harus dilempari mati dengan batu, tetapi pemiliknya pun harus dihukum mati.
Sementara itu, Hukum Hammurabi menyatakan bahwa: Apabila seekor lembu jantan saat melewati jalan menanduk seseorang dan mengakibatkan orang itu mati, maka kasus tersebut tidak memiliki tuntutan. Apabila seekor lembu milik seseorang pernah menanduk dan kepada pemiliknya telah diberitahukan kesalahannya perihal lembu jantannya yang menanduk ini, dan ia tidak memotong tanduk ataupun mengikat lembu jantan tersebut, dan lembu jantan tersebut menanduk anak dari seorang laki-laki serta mengakibatkan kematiatuiya, maka pemilik lembu itu harus membayar dengan perak sebanyak setengah “mana”.23
22
Ibid. h. 14.
23
Ibid. h. 16.
6
Jurnal Lembaga 2014
Selain itu, karakter umum dari hukum-hukum bangsa Israel adalah religius, sementara hukum-hukum dari bangsa Babel tersebut berbentuk legal dan sekular, meskipun ada gambaran figur-figur ilahi disebutkan di dalam prolog dan epilog dari Kitab Hukum Hammurabi, tetapa figur-figur tersebut sangat jarang disebutkan atau dikaitkan dengan, hukum-hukum di dalamnya. Sebaliknya, dalam Kitab Hukum Perjanjian Yahweh sering disebutkan dan dikaitkan dengan hukum-hukum-Nya (Kel. 21:13; 22:20,23-31). Hukum-hukum bangsa Israel, tidak seperti Kitab-kitab Hukum Timur keno lainnya, tidak hanya mempedulikan keputusan-keputusan yang bersifat yuridis. Ketetapan-ketetapan Alkitab melindungi orang-orang yang lemah, seperti para janda dan anak yatim (Kel. 22:22), orang miskin (Kel. 22:25; 23:11), budak perempuan (Kel. 21:7-11), dan bahkan orang asing (Kel. 23:9). Sebaliknya, Kitab Hukum Hammurabi secara keseluruhan memperlihatkan suatu tendensi untuk melindungi kepentingan dari golongan yang betkuasa.24 Ketetapan-ketetapan dalam Kitab Hukum Hammurabi lebih berorientasi pada hak milik, sementara Kitab Hukum Perjanjian lebih berorientasi pada pribadi-pribadi yang hidup di tengah masyarakat. Dan akhimya, epilog dari Kitab Hukum Hammurabi membuat klaim yang besar terhadap raja itu tendiri. Raja mengingatkan agar para penggantinya tidak mengubah hukum-hukum yang sudah dibuatnya. Lebih jauh lagi, dalam epilog itu, Hammurabi berusaha memberi bobot yang lebih pada kitab hukumnya dengan mengucapkan berkat- berkat atas para penggantinya yang memberikan perhatian dan menjunjung hukum-hukum-ini, serta kutuk bagi mereka yang mengabaikannya: Kata-kataku ini adalah penting, ... Apabila orang memberikan perhatian kepada perkataanku yang sudah aku tuliskan di atas monumenku, tidak menghapuskan pertolonganku, tidak memberangus kata-kataku, dan tidak mengubah ketetapan- ketetapanku, kiranya Shamash memperpanjang pemerintahan orang itu ... Apabila orang itu tidak memberikan perhatian kepada perkataanku yang sudah aku tulis di alas monumenku; apabila ia mengabaikan kutuk-kutukku ... memberangus kata-kataku, mengubah ketetapan-ketetapanku, menghapus penulisan namaku dan menuliskan namanya sendiri ... kiranya Anu yang agung, bapa dari para dewa, yang telah menetapkan pemerintahanku, mengambil dari padanya kemuliaan kedaulatannya ...25 Gagasan seperti itu tidak terdapat dalam Keluaran 23:20-33, yang oleh para teolog modern diakui sebagai epilog berurutan dari Kitab Hukum Perjanjian. Dalam perikop di atas tidak ada klaim bahwa Musa-lah yang memberikan hukum-hukum itu, dan tidak ada kutuk yang disebutkan bagi orang yang bersikap acuh tak acuh terhadap hukum-hukum tersebut. Berkat-berkat yang disebutkan tidak secara spesifik dikaitkan dengan hukum-hukum yang mendahuluinya, tetapi diberikan terutama atas ketaatan terhadap tuntunan Tuhan selanjutnya dan atas kesetiaan umat terhadap perjanjian ilahi (Kel. 23:20-26). Kitab Hukum Perjanjian ini diakhiri dengan suatu peringatan bagi mereka yang berani mengabaikan perjanjian ilahi di Sinai, yaitu dengan cara mengabaikan inti dari ketentuan-ketentuan peranjian (Kel. 23:32-33). 24
Ibid. h. 17.
25
Ibid. h. 19-20. Hakikat Taurat dalam PL dan Relevansinya Bagi Gereja Masa Kini - Joni Tapingku
7
Oleh karena itu, jelaslah bahwa Torah memiliki tempat yang unik dalam kehidupan religius bangsa Israel. Torah dipahami di dalam konteks kekhususan hubungan antara Yahweh dan Israel, yaitu “hubung perjanjian”. Sifat (karakter) dasar dari Kitab Hukum Musa sama sekali berbeda dengan sifat dasar dari ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat di Timur Dekat kuno. Torah terutama bersifat feligius dan diberikan di dalam konteks perjanjian ilahi antara Yahweh dan Israel. Oleh karena itu, Torah harus dibaca, dimengerti dan dilakukan dalam konteks petjanjian ilahi. Di pihak lain, ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat di Timur Dekat lainnya semata-mata bersifat legal/yuridis, berdiri sendiri, dan mengejar tujuannya sendiri, yaitu untuk menegakkan keadilan dan memberikan perlindungan bagi hak-hak pribadi dan hak milik. Torah tidak hanya memiliki keunikan jika dibandingkan dengan Hukum Hammurabi (bangsa Babel), tetapi juga memiliki keunikan jika dibandingkan dengan naskah perjanjian damai Dinasti Het (bangsa Het). Penggalian tempattempat kuno menemukan berbagai contoh dari prasasti dan rumusan-rumusan hukum di antara bangsa-bangsa sekitar umat Israel. Mendenhall dan Pritchard,26 mencatat enam buah elemen yang tampaknya selalu ditemukan dalam dokumen perjanjian bangsa Het: 1. Mukadimah: pengakuan terhadap penguasa sebagi Tuan. Dalam mukadimah raja besar memperkenalkan nama dan gelarnya, misalnya, “Inilah sabda Sun Mursillis, raja besar, raja tanah Hatti, pahlawan, kekasih dewa prahara, putra Suppilulihumas, raja besar”. 2. Prolog sejarah: kebajikan raja masa lampau yang dicatat dengan formulasi seperti, “Aziras, kakekmu, dan Du-Teshub, bapamu tetap loyal terhadap aku sebagai Tuan mereka ..... karena bapamu mengingatkan kepadaku namamu dengan sangat terpuji, aku mencarimu ....... dan menempatkan engkau sebagai pengganti kedudukan bapamu”. 3. Ketetapan-ketetapan: uraian kewajiban bagi para budaknya (bangsa yang takluk). Misalnya, “Bila seorang menyatakan perkataan tidak ramah kepada raja dan tanah Hatti di hadiratmu, Duppi-Tessub, engkau tidak boleh menyembunyikan namanya kepada raja”. 4. Ketetapan untuk menyimpan dokumen perjanjian rumah ibadah dan membacanya secara periodik di depan umum. Salinan perjanjian ini diletakkan di hadapan Dewi Matahari Arinna ....... Di tanah Mitanni, salinan ini diletakkan di hadapan Teshub ....... Dalam jangka waktu yang tetap mereka harus membacanya di hadapan raja tanah Mitanni dan di hadapan putra-putra tanah Hurri. 5. Mengundang para saksi ilahi, termasuk benda-benda yang tidak berjiwa (gunung, angin, awan, dan lain sebagainya). Misalnya, “Kami memohon kehadiran para dewata untuk mendengarkan dan bertindak sebagai saksi: Dewi Matahari Arinna ...... Dewa Matahari, tuan surga, dewa prahara, tuan tanah Hatti ....... gunung, sungai Tigris dan Efrat, surga dan bumi, angin dan awanawan”. 6. Berkat dan kutuk yang dihubungkan dengan kesetiaan terhadap isi perjanjian. Misalnya, “Bila Duppi-Teshub tidak setia pada kata-kata perjanjian dan sumpah, semoga dewa-dewa sumpah ini menghancurkan Duppi-Teshub secara 26
Mendenhall, Law and Covenant in Israel and The Ancient Near East, h. 32-34; Pritchard, Ancient Near East Texts (Princeton: Univ. Press, 1969), h. 203-205.
8
Jurnal Lembaga 2014
pribadi, istrinya, anak-anaknya, cucunya, rumahnya, dan tanahnya. Tetapi bila ia menghormati kata-kata ini ....... semoga dewa-dewa sumpah ini melindunginya secara pribadi, istrinya, anak-anaknya, cucunya, rumahnya dan tanahnya”. Kesamaan antara hukum-hukum Perjanjian Lama (Keluaran 20-23 dan Kitab Ulangan) dan naskah-naskah perjanjian bangsa Het kelihatan begitu jelas. Kita melihat bahwa kalimat pembukaan, “Akulah TUHAN, Allahmu, ...... (Kel. 20:2) sangat mirip dengan formula mukadimah perjanjian Timur Dekat kuno, sedangkan kalimat selebihnya dari ayat 2 tersebut, “.......... yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan”, membentuk prolog sejarah di mana Allah mengingatkan orang-orang Israel akan perbuatan-Nya yang baik di dalam pembebasan mereka dari tanah Mesir. Mendehall juga membandingkan prolog sejarah ini dengan Ulangan 7:7,27 yang menunjukkan siapa Allah dan apa yang telah dilakukan Allah pada masa lampau. Formula tuntutan tercermin dalam Hakim-Hakim 21:8-10, Keluaran 20:3-17 dan Keluaran 20:22-23:19. Daftar dewa-dewa dan benda-benda mati sebagai saksi dapat dibandingkan dengan Yehezkiel 17:12-21, Yesaya 1:2 dan Ulangan 32:1.28 Sedangkan berkat dan kutuk yang tidak bisa dipisahkan dengan isi perjanjian dapat ditemukan dalam Ulangan 28.29 Demikian juga hukum Hammurabi memiliki kesamaan dengan Kitab Perjanjian. Dalam prolog hukum Hammurabi terdapat ungkapan, “......Pada waktu itu Anu (Anunnaki) dan Enlil (dewa langit dan bumi) memilih aku, Hammurabi, raja yang agung, penyembah dewa-dewa, supaya kebenaran ditegaskan di negeri ini, ....... ketika Marduk mengutusku untuk memerintah atas orang-orang dan membawa pertolongan bagi negeri ini, aku menetapkan hukum dan keadilan di dalam bahasa negeri ini dan mengusahakan kesejahteraan bagi bangsa ini”.30 Prolog ini biasanya dibandingkan dengan kata-kata pembukaan dari aturan Perjanjian.31 Kedua prolog ini tidak hanya memperlihatkan kesamaan, tetapi juga memperlihatkan perbedaan yang sangat prinsip. Bagi bangsa Babel, Hammurabi mengklaim dirinya sebagai pemberi hukum,32 sedangkan Musa tidak pernah melakukannya. Kedudukan manusia, termasuk Musa sebagai penerima hukum Allah di Sinai, hanya sebagai mediator Allah.33
27
Ibid., h. 33.
28
Ibid., h. 34.
29
Ibid.
30
Budijanto, Torah Dalam Hidup Bangsa Israel, h. 12.
31 Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Beginilah kaukatakan kepada orang Israel: Kamu sendiri telah menyaksikan, bahwa Aku berbicara dengan kamu dari langit” (Kel. 20:22). 32
M.C. Tenney, The Zondervan Pictorial Encyclopedia of the Bible, Vol. 3 (Grand Rapids: Zondervan, 1977), h. 24. 33
Walther Eichrodt, Theology of The Old Testament, Vol. I (London: SCM Press, 1961), h.
75. Hakikat Taurat dalam PL dan Relevansinya Bagi Gereja Masa Kini - Joni Tapingku
9
Oleh karena raja adalah personifikasi dewa maka ia juga mempunyai wewenang mutlak untuk membuat dan menetapkan hukum. Konsekuensinya ialah bahwa raja berada di luar jangkauan hukum dan hukum tidak dapat menjeratnya meskipun ada tindakan sewenang-wenang dari raja. Artinya, hukum hanya mengatur dan berlaku bagi rakyat biasa. Bahkan di bidang keagamaan, raja harus disembah karena dia adalah ilah, pembuat hukum dan kultus itu sendiri. Konsep ini berbeda dengan pemahaman Israel di mana pemberi hukum adalah Allah sendiri. Manusia mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum. Hukum bukan sebagai hak istimewa bagi golongan tertentu saja. Tegasnya, tidak seorang pun yang berada di luar jangkauan hukum, termasuk Musa, hakim-hakim, imamimam dan raja-raja di Israel. Demikian juga dengan setiap ketetapan raja harus berada di bawah kontrol dan seleksi hukum Allah. Setiap pelanggaran terhadap hukum, termasuk pelanggaran raja, berarti penghinaan dan melawan Allah. Kesamaan selanjutnya dari kedua kitab hukum ini dapat dilihat dari peraturan-peraturan yang diformulasikan dalam bentuk hukum kasuistis. Peraturan-peraturan ini dimulai dengan formulasi: “Jika/apabila ...........” dan diakhiri dengan “maka ........”. Sebagai contoh Hukum Hammurabi (203 dan 205): “Jika seorang merdeka memukul pipi sesamanya, ia harus membayar satu mina perak. Jika seorang budak memukul pipi seorang merdeka, maka telinganya harus dipotong”. Formulasi ini mirip dengan hukum Perjanjian dalam Keluaran 21:2-6, 26 dan 27.34 Dalam hubungannya dengan Dekalog, Eichrodt menjelaskan bahwa larangan yang terdapat dalam Dekalog: jangan menyembah ilah lain, jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri dan nasihat untuk menghormati orang tua, juga terdapat dalam hukum Hammurabi. Dalam hukum Hammurabi terdapat petunjuk bahwa seorang istri yang tidak menjaga dan menghargai suaminya akan dibuang ke dalam sungai; perampaok, saksi dusta dalam pengadilan harus dihukum mati. Perbedaannya terletak pada penekanan masingmasing hukum tersebut. Hukum Hammurabi lebih menekankan unsur moralitas, sedangkan Dekalog tidak hanya menekankan unsur moralitas, tetapi juga pemahaman keagamaan yang sangat mendasar. Karena nilai manusia lebih berharga dari materi maka hukum Allah lebih menekankan pengendalian kekejaman yang tidak berprikemanusiaan.35 Sementara itu, Epzstein juga melihat persamaan dan perbedaan itu dari sudut konsep keadilan dalam masyarakat. Berbagai ketetapan, peraturan dan hukum bangsa-bangsa Mesopotamia pada dasarnya bertujuan untuk membangun, menegakkan dan menghormati keadilan dan kebenaran dalam negeri, terutama melindungi kaum lemah (perempuan janda, anak yatim, budak dan petani) yang sering menjadi korban ketidakadilan oleh para pejabat istana dan kaum elit.36 Bagi Epzstein, konsep mispat dan sedeq (hukum atau keadilan dan kebenaran) dalam Perjanjian Lama tidak hanya menyangkut hubungan kesetiaan dan ketaatan kepada hukum dan moral, tetapi 34
D.W. Thomas, Documents from Old Testament Times (Edinburgh & New York: Harper & Row, 1958 & 1961), h. 34. 35
Eichrodt, Theology of The Old Testament, h. 77-78.
36
Leon Epzstein, Social Justice in the Ancient Near East and People of the Bible (London: SCM Press, 1986), h. 5-6.
10
Jurnal Lembaga 2014
juga menyangkut kebahagiaan hidup dan identitas Israel sebagai umat Allah.37 Von Rad, Fahlgren dan Crusemann melihat makna konkrit tentang sedeq bukan hanya menyangkut persekutuan manusia dengan Allah, tetapi juga persekutuan manusia dengan sesamanya.38 Dari perspektif sosiologis, Maimodies mengatakan bahwa manusia harus meneladani pola tindakan Allah dalam: hesed (kasih setia/anugerah), mispat (keadilan) dan sedeq (kebenaran) dalam memperjuangkan kehidupan sosial yang penuh dengan kebahagiaan.39 Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa hukum Taurat memiliki keunikan tersendiri dari hukum-hukum lainnya. Berbagai ketetapan, peraturan dan hukum dalam Taurat berpusat pada hubungan umat Israel dengan Allah dan hubungan antara sesama serta hubungan dengan alam (Ul. 5:6,7; 25:4). Berbagai ketetapan, peraturan dan hukum adalah pengungkapan kehendak Allah yang bersifat menyelamatkan dan meliputi banyak aspek dalam jangkauannya. Seluruh kehidupan berada dalam kontrol hukum Allah, apakah seseorang sedang bangun pagi, duduk untuk makan, berjalan-jalan dan pergi tidur. Apakah mengenai kehidupan dalam segi pemerintahan, sosial-politik, sosial-ekonomi, keagamaan, apakah dia pejabat atau rakyat biasa, merdeka atau budak, pegawai atau petani, kaya atau miskin, semuanya tidak ada yang terletak di luar jangkauan hukum. Hakikat Taurat Apakah hakikat Taurat itu? Apakah hanya sebagai hukum dalam pengertian yuridis? Apakah yang menjadi dasar sehingga keseluruhan kitab Perjanjian Lama sering disebut Taurat? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering membingungkan dan menimbulkan kesalahmengertian orang Kristen selama ini. Kebingungan dan kesalahmengertian ini muncul karena adanya perubahanperubahan yang menentukan di dalam pemahaman mengenai Taurat, misalnya ketika kata Ibrani Torah diterjemahkan ke dalam kata Yunani nomos di dalam Septuaginta; yang kemudian di dalam Vulgata diterjemahkan menjadi lex, yang adalah asal dari kata law dalam bahasa Inggris (hukum terjemahan Indonesia). Kata lex, bukanlah terjemahan yang memadai dari kata nomos (Yunani). Kata nomos pun bukan terjemahan yang memadai dari kata Tora.40 Perubahanperubahan ini menunjukkan adanya jangkauan pengertian Taurat yang luas dan bukan sekedar hukum dalam pengertian yuridis seperti tradisi pemahaman selama ini. Para ahli mempunyai pendapat yang sama mengenai hakikat Taurat. Bagi Preuss, Taurat tidak hanya berisi norma-norma kemanusiaan, tetapi juga berisi pengakuan dan penjelasan tentang kehendak Allah. Taurat tidak hanya menjadi sifat khusus dari umat yang telah dibebaskan dari perbudakan dan dipilih Allah, tetapi juga pada saat yang sama menekankan tanggung jawab mereka untuk senantiasa menjadi bangsa yang kudus di hadapan Allah. Sebab firman-Nya, 37
Ibid., h. 46-47.
38
Ibid., h. 48.
39
Ibid., h. 50.
40
G. Kittel & G. Friedrich, Theological Dictionary of the New Testament, Vol. 10 (Grand Rapids: Wm. Eerdmans Publishing, 1964-1976), h. 1046. Hakikat Taurat dalam PL dan Relevansinya Bagi Gereja Masa Kini - Joni Tapingku
11
“Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus” (Im. 19:2).41 Eichrodt mengatakan bahwa Taurat adalah pengungkapan kehendak Allah yang bersifat menyelamatkan.42 Nada yang hampir sama juga dikemukakan oleh Dyrness bahwa pemberian hukum Taurat oleh Allah di Sinai adalah merupakan bagian dari pemberian diri Allah sendiri kepada umat-Nya dalam perjanjian dan menyatakan maksud kasih karunia-Nya.43 Dari sudut etika Perjanjian Lama (dogma), Bruce mengatakan bahwa hukum-hukum itu tidak lain sebagai pengungkapan sifat dan hakikat Allah yang telah memilih dan berjanji kepada umat-Nya.44 Dari penelitian istilah-istilah di atas menunjukkan bahwa arti dan hakikat Taurat bukan semata-mata hukum dalam pengertian legalistis. Taurat adalah adalah kehendak Allah yang menyelamatkan. Berbagai ketetapan, peraturan dan hukum itu merupakan aspek praktis dari keselamatan, keadilan dan kebenaran Allah yang dinyatakan kepada umat Israel melalui peristiwa-peristiwa penyelamatan Allah seperti pembebasan dari Mesir, pemeliharaan di padang gurun dan pemberian tanah Kanaan. Karena itu, apabila kita berbicara tentang berbagai ketetapan, peraturan dan hukum, kita sedang berbicara tentang jaminan dan keselamatan dari Allah. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Apabila kita berbicara tentang aktualisasi berbagai peraturan, ketetapan dan hukum dalam Perjanjian Lama berarti kita sedang berbicara tentang jaminan dan keselamatan Allah. Keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Dengan perkataan lain, hakikat berbagai peraturan, perintah, ketetapan dan hukum itu adalah identik dengan keselamatan Allah. Peraturan, ketetapan dan hukum adalah merupakan penjabaran kasih Allah kepada umat Israel, yang sudah dinyatakan melalui karya pembebasan dari Mesir, pemeliharaan di padang gurun dan pemberian tanah Kanaan. Hal ini menunjukkan bahwa mengasihi Allah berarti kesetiaan dan ketaatan kepada Taurat-Nya (Ul. 6:5). Kesetiaan dan ketaatan kepada Taurat Allah juga berarti mengasihi sesama dan makhluk lain. Penjabaran keselamatan Allah melalui berbagai ketetapan, peraturan dan hukum, pertama-tama dapat kita temukan dalam Kitab Taurat. Misalnya Dekalog (Kel. 20:1-17; Ul. 5:6-21). Gerhard von Rad mengatakan bahwa sebagai proklamsi tentang kehendak Allah bagi keadilan umat Israel, maka Dekalog adalah alat yang membawa umat Israel kepada Allah, menyelamatkan dan menghibur mereka.45 Lebih lanjut von Rad mengatakan bahwa perintah-perintah Yahweh dalam Dekalog adalah pemberian keselamatan. Pemberian ini sangat menentukan bagi hidup atau mati seseorang. Menerima Taurat berarti hidup, 41
Preuss, Old Testament Theology, h. 81.
42
Eichrodt, Theology of the Old Testament, h. 92.
43
William Dyrness, Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 2001), h. 109. 44
W.S. Bruce, The Ethics of The Old Testament (Edinburgh: T&T Clark, 1960), h. 24.
45
Rad, Old Testament Theology, 192.
12
Jurnal Lembaga 2014
sebaliknya menolak Taurat berarti kematian.46 Sekalipun sederhana, hanya dalam dua loh batu, namun hukum ini memiliki otoritas yang sangat tinggi dan memuat norma moral Israel yang universal yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa atau agama-agama lainnya.47 Hukum ini tidak bisa dipisahkan dari maksud perjanjian itu sendiri. Hukum ini senantiasa merupakan legitimasi kehidupan umat Allah, baik di bidang keagamaan, sosial-politik maupun di bidang sosial-ekonomi. Prinsip ini sangat jelas bahwa hubungan dengan sesama manusia diatur sesudah dan berkenaan dengan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan sikap dan perilaku terhadap Allah. Von Rad mengatakan bahwa kewajiban-kewajiban manusia terhadap Allah dalam perintah pertama sampai dengan perintah keempat harus diikuti oleh kewajiban-kewajiban manusia terhadap sesamanya dalam perintah kelima sampai dengan perintah kesepuluh.48 Kewajiban-kewajiban ini tidak seharusnya menjadi beban yang menakutkan bagi umat Israel melainkan pertama-tama harus disambut sebagai anugerah Allah. Mukadimah dengan formula anugerah, “Akulah TUHAN, Allah-Mu” (Kel. 20:2; Ul. 5:6), pertama-tama menyatakan karya pembebasan Allah yang mendahului kewajiban. Kesetiaan kepada Dekalog adalah penekanan persekutuan antara Allah dan umat Israel pilihan-Nya.49 Dekalog mengatur dan merupakan respon umat Israel terhadap anugerah dan karya Allah yang adil. Menaati hukum berarti memelihara persekutuan, kebenaran dan keadilan yang merupakan pemberian Allah kepada umat Israel yang ditebus-Nya. Hal inilah yang senantiasa memotivasi umat Israel untuk hidup dalam iman dan kesetiaan terhadap perintah-perintah Allah, baik di waktu susah maupun senang. Adapun makna dan fungsi Dekalog dalam kehidupan umat Israel, dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Hukum pertama sampai kedua berisi larangan untuk tidak menyembah allah lain ataupun mencoba membentuk patung sebagai ganti Allah (Kel. 20:3-5; Ul. 5:7-9; lihat juga Kel. 22:19; 23:13,24; 34:14). Oleh karena hanya Dia, YHWH, yang telah menyelamatkan Israel dari Mesir, maka hanya Dia juga yang harus disembah oleh umat Israel (Hos. 12:10; 13:4). Ungkapan “Allah yang cemburu” (el qanna), menurut von Rad, adalah merupakan penekanan tentang kekudusan dan kesanggupan Yahweh semata-mata.50 Larangan ini senantiasa menjadi dasar untuk melawan penyembahan kepada dewa bangsa-bangsa asing (Yos. 24:19,23; Ul. 32:16; I Raj. 14:22,23). Konsekuensi pelanggaran terhadap larangan-larangan ini adalah hukuman mati (Ul. 13:2-11; 29:24-26; I Raj. 18:40; band. Kitab Perjanjian: Kel. 22:19). Latar belakang bentuk hukuman ini banyak dipengaruhi oleh lingkungan politheisme saat itu yang menerapkan toleransi keagamaan dan tidak mengenal hukuman bagi seorang pemimpin yang murtad dan yang membuat keluarga dan bangsanya ikut murtad. Bagi 46
Ibid., h. 194.
47
Bruce, The Ethics of The Old Testament, h. 94.
48
Rad, Old Testament Theology, 191.
49
Preuss, Old Testament Theology, h. 103.
50
Rad, Old Testament Theology, 205. Hakikat Taurat dalam PL dan Relevansinya Bagi Gereja Masa Kini - Joni Tapingku
13
b.
c.
d.
e.
bangsa israel hidup dalam praktek penyembahan berhala apa pun bentuknya, berarti penyelewengan dan penyangkalan cinta dan karya Allah. Hukum ketiga, larangan untuk tidak menyebut nama Allah dengan sembarangan (Kel. 20:4; Ul. 5:11), dimaksudkan agar umat Israel tidak mempropagandakan nama Allah demi kepentingan ilmu gaib, sumpah palsu, mengutuk dan dosa profanisme lainnya (Im. 24:10-23). Hukum keempat tentang pengudusan hari Sabat dan sebagai hari peristirahatan (Kel. 20:8-11; Ul. 5:12-15; band. Kitab Perjanjian: Kel. 23:12; 34:21; Hukum Kekudusan: Im. 19:3; 23:3; 26:2). Makna perintah ini mengandung pesan ganda, bekerja dan beristirahat. Zimmeli menjelaskan beberapa makna dari Sabat: Pertama, Sabat harus dikuduskan sebagai hari peristirahatan Allah dari segala pekerjaan-Nya. Pada hari itu umat Israel bahkan seluruh ciptaan harus berhenti segala aktivitasnya dan memusatkan perhatian serta menghormati Allah sebagai satu-satunya Pencita dalam bentuk ibadah (Kel. 23:12; Im. 19:3; 26:2). Kedua. Sabat harus diperingati sebagai hari perayaan kemenangan dalam perang (I Sam. 7:5-6; 18:6-7; Yer. 36:9). Ketiga, dalam Keluaran 23:14-17; 34:18-23 dan Ulangan 16:1-17, Sabat harus dirayakan sebagai hari raya roti tidak beragi (hag hammassot), hari raya buah bungaran (hag haqqasir), hari raya tujuh minggu (hag sabu‘ot), hari raya pengumpulan (hag ha’asip) dan hari raya pondok daun (hag hassukkot).51 Makna lain dari penetapan hari Sabat di sini juga berkaitan dengan keberadaan manusia, yaitu bahwa manusia bukanlah makhluk yang hanya bekerja seperti robot, tetapi manusia adalah makhluk yang bekerja dan beribadah atau bersekutu dengan Penciptanya. Hukum kelima (Kel. 20:12; Ul. 5:16; band. Kel. 21:15, 17; Ul. 21:18-21). Menurut Preuss, menghormati ayah dan ibu berarti seorang anak bertanggung jawab memelihara dan mengurus ayah dan ibunya (1991: hlm. 103). Sedangkan menurut Zimmerli, dengan membandingkan Ulangan 13:7-12 dan Matius 10:37, perintah ini dimaksudkan sebagai penghormatan keluarga: saudara, laki-laki, perempuan dan istri, walaupun ia bukan ayah atau ibu.52 Terlepas dari dua pendapat berbeda di atas, perintah ini sebaiknya dipahami bahwa keluarga adalah tempat seseorang belajar untuk menghormati dan taat tanpa mempertimbangkan jasa seseorang. Kidner mengatakan bahwa keluarga merupakan bentuk miniatur suatu bangsa. Jika keluarga itu sehat, maka bangsa akan demikian juga, dan janji yang diberikan kepada keluarga dapat diperluas kepada bangsa. Karena itu, kewajiban untuk menghormati sesama pertamatama harus dimulai dan diwujudkan dalam keluarga.53 Hukum keenam tentang larangan membunuh (Kel. 20:13; Ul. 5:17), menurut Zimmerli ini dimaksudkan untuk menjaga kehidupan manusia sebagai karunia Allah dan melawan pembunuhan tanpa alasan (Kej. 9:6; Kel. 21:12; Im.
51
Zimmerli, Old Testament Theology in Outline, h. 125.
52
Ibid., 134.
53
Derek Kidner, Hard Sayings: The Challenge of Old Testament Morals (London: InterVarsity, 1972), h. 12.
14
Jurnal Lembaga 2014
24:17). Larangan ini tidak berkaitan dengan pembunuhan karena perang Yahweh atau hukuman mati karena tindakan kriminal berdasarkan hukum.54 f. Hukum tentang larangan berzinah (Kel. 20:14; Ul. 5:18; bnd. Kej. 38; Im. 18, 20, Ul. 22:23-24; Yeh. 18:6; 22:11), dimaksudkan untuk menjaga dan menghormati kekudusan perkawinan sebagai karunia Allah yang kudus. Menurut Zimmerli, hukum Perjanjian Lama dengan tegas menganggap semua pergaulan homoseksuil, poligami dan prostitusi sebagai kekejian di mata Tuhan. Semua bentuk pergaulan tersebut diasosiasikan dengan penyembahan kepada dewa dan sebagai sifat kebinatangan (Im. 18:22-23; 20: 13, 15-16).55 g. Hukum kedelapan berkaitan dengan hukum kesepuluh (Kel. 20:15, 17; Ul. 5:19, 21). Ungkapan “mengingini” (hamad) dalam hukum kesepuluh, pertamatama menunjuk menunjuk kepada ketidakadilan terhadap sesama (bnd. I Raj. 21). Hukum ini mengandung tanggung jawab yang sangat penting untuk melindungi harta milik manusia, yakni hidup dan rumahnya. Harta benda merupakan berkat Allah, yang mengingatkan manusia kepada pemeliharaan Allah. Jadi, merampok orang lain dan menindas dalam bentuk upah yang rendah adalah salah satu jenis ketidakadilan dan pencurian (Im. 19:13; Yes. 5:8; Mi. 2:1-2). h. Hukum tentang larangan bersaksi dusta (Kel. 20:16; Ul. 5:20; band. Kitab Perjanjian: Kel. 23:1-3, 6-9; Hukum Kekudusan: Im. 19:15-16, 35-36; Hukum Deuteronomi: Ul. 16:18-20; 17:8-13), sangat erat berkaitan dengan kejujuran, keadilan dan kebenaran, terutama dalam proses peradilan. Pelanggaran terhadap hukum ini berarti manusia akan kehilangan kemuliaan dan reputasinya; kepekaan suara hati yang benar menjadi tumpul; dan kekuatan batin untuk memiliki rasa percaya diri juga menjadi rusak. Demikian halnya dalam pemerintahan, tanpa kejujuran dalam keputusan pengadilan, maka suatu masyarakat akan runtuh dan hancur berkeping-keping. Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Dekalog adalah dasar (akar) dari semua ketetapan, peraturan dan hukum dalam Hukum Deuteronomi, Kitab Perjanjian dan Hukum Kekudusan. Ringkasan Taurat kita temukan dalam Ulangan 6:5, Imamat 19:18 dan Matius 22:37-40. Semua ketetapan, peraturan dan hukum ini mengingatkan kita pada relevansi Taurat yang terus-menerus dalam konteks yang baru dan berbeda-beda. Dalam situasi dan konteks yang berbedabeda itulah, umat Tuhan dituntut untuk senantiasa mencintai hukum Tuhan. Dengan penyelamatan dan pembebasan dari Mesir, maka dari hati tulus dan murni, umat Israel harus menghormati kehendak Allah dalam ketaatan kepada hukum-hukum-Nya. Menurut Jepsen dan Alt, terdapat dua bentuk hukum yang berbeda dalam Dekalog dan Kitab Perjanjian yakni bentuk kasuistis dan bentuk apodiktis.56 Bentuk hukum kasuistis berisi ketetapan-ketetapan yang memperhatikan penyelesaian kasus-kasus tertentu, lalu menarik suatu kesimpulan yang mengandung akibat. Formulasi hukum ini didahului dengan kata ki “apabila” 54
Zimmerli, Old Testament Theology in Outline, h. 134; Preuss, Old Testament Theology,
h. 104. 55
Ibid., h. 135.
56
Preuss, Old Testament Theology, h. 82. Hakikat Taurat dalam PL dan Relevansinya Bagi Gereja Masa Kini - Joni Tapingku
15
pada kalimat utama dan didahului dengan kata ’im “jika” (terjemahan LAI sering menggunakan kata “maka”) pada anak kalimat. Misalnya, “Apabila seorang meminjam seekor binatang dari temannya, dan binatang itu patah kakinya atau mati, ketika pemiliknya tidak ada di situ, maka ia harus membayar ganti kerugian sepenuhnya” (Kel. 22:15; lihat juga Kel. 21:2; 22:16-17; 21:18-36; dll). Dalam istilah sekarang hukum kasusitis ini disebut hukum “bersyarat”.57 Tradisi hukum bersyarat ini dikenal hampir di seluruh wilayah Timur Tengah kuno sebagai sistem hukum sekuler dan persekutuan resmi, yang kemudian diambil alih untuk menyelesaikan berbagai kasus yang terjadi setiap hari dalam kehidupan umat Israel, terutama menyangkut hak dan nasib para budak, jaminan nyawa sesama dan jaminan harta sesama. Bentuk apodiktis biasanya terdapat dalam hukum atau peraturan yang melarang dan menyuruh. Kata “apodiktis” berarti “mutlak” dan tidak mengenal kekecualian.58 Hukum apodiktis dapat diketahui dengan mudah karena bentuknya selalu mengandung keharusan. Keharusan itu bisa berupa larangan atau suruhan. Menurut Preuss,59 bentuk hukum apodiktis ditandai dengan ungkapan “engkau harus” .......... atau “engkau jangan” .............; “siapa yang berbuat seperti itu juga harus” ......... atau “seorang yang” ........... Misalnya, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” (Kel. 20:3) atau “Haruslah kamu pelihara hari Sabat, sebab itulah hari kudus bagimu; siapa yang melanggar kekudusan hari Sabat itu, pastilah ia dihukum mati, sebab setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, orang itu harus dilenyapkan dari antara bangsanya” (Kel. 31:14; lihat juga Im. 20:2-27). Menurut penelitian, nampaknya bentuk hukum apodiktis diambil alih dari kumpulan hukum Hittite, kumpulan peringatan raja Mesopotamia yang berisi pernyataan lisan tentang kebijaksanaan raja dan berisi kutukan bagi orang Mesir.60 Pada mulanya hukum ini hanya berlaku dalam lingkungan persekutuan keluarga, tetapi kemudian memperoleh bentuknya menjadi hukum yang memperhatikan persekutuan yang lebih besar, yakni persekutuan sebagai suku atau bangsa, mengatur kehidupan raja maupun rakyat biasa. Menurut para ahli, hukum ini sakral karena dianggap sebagai kehendak Allah atau hak istimewa Allah yang menunjuk kepada karakter Israel sebagai persekutuan umat Allah dan keilahian Yahweh sendiri (kel. 34:10-26). Ketentuan-ketentuan dalam hukum apodiktis, seperti melindungi kaum miskin dan lemah serta larangan menyembah ilah-ilah lain, harus menjadi tanggung jawab umat Israel secara keseluruhan tanpa kecuali. Sebab mereka pun dahulu adalah kaum lemah ketika berada di Mesir. Jadi, sekalipun terdapat perbedaan antara hukum kasuistis dan apodiktis, namun keduanya memiliki prinsip-prinsip fundamental yang sama, yakni sebagai fungsi kontrol pengamanan dari berbagai kejahatan dan kekerasan yang mengancam kelangsungan hidup ciptaan Allah. Yahweh sebagai sebagai satusatu-Nya Allah Israel berada di balik semua hukum dan ketetapan yang resmi ini. 57
Ibid.
58
Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), h. 125.
59
Preuss, Old Testament Theology, h. 88.
60
Ibid.
16
Jurnal Lembaga 2014
Menurut Wright, memelihara hukum Taurat mempunyai tujuan untuk mengenal Allah dalam hubungannya dengan perjanjian. Artinya, hukum Taurat adalah benar-benar kehidupan sebagaimana yang dikehendaki Allah bagi umat-Nya.61 Pemikiran teologis seperti inilah yang juga dilanjutkan oleh Hukum Deuteronomi dan Hukum Kekudusan dalam berbagai ketetapan, peraturan dan hukum sebagai penjabaran keselamatan Allah. Dalam Hukum Deuteronomi dan Hukum Kekudusan, keselamatan juga dijabarkan melalui berbagai peraturan, ketetapan dan hukum sesuai dengan masalah-masalah yang dihadapi umat Israel dalam kehidupan sehari-harinya. Misalnya, kita menemukan berbagai peraturan dan hukum yang berhubungan dengan masalah-masalah keagamaan (Ul. 12), politik (Ul. 17:14-20), sosialekonomi (Ul. 16:18-20), peradilan yang adil dan hubungan tuan dengan hamba (Kel. 21:1-11; Ul. 15:12-18; Im. 25:39-46), penghapusan hutang (Ul. 15:1-11), dll. Peraturan dan hukum yang menyangkut berbagai kasus ini adalah merupakan bentuk refleksi keselamatan, keadilan, kebenaran dan kasih Allah. Oleh karena pentingnya makna Taurat sepanjang sejarah perjalanan kehidupan umat Israel, maka dapat dipahami jika pokok ini juga terungkap dalam Kitab-Kitab Sejarah, Kitab Sastra dan Hikmat, serta Kitab-Kitab Nabi. Dalam hukum versi Deuteronomis (Yosua - II Raja), kita membaca pesan-pesan teologis yang terdapat dalam Kitab Ulangan, antara lain, penilaian terhadap tingkah langkah para pemimpin dan umat Israel berdasarkan hukum Taurat (Ul. 12-26). Yang ditonjolkan dalam sejarah Israel bukanlah kehebatan para pemimpin Israel, melainkan hubungan kasih antara Tuhan dengan umat-Nya yang sering terganggu, justru karena pelanggaran terhadap ketetapan, perintah dan hukum Tuhan. Dasar hubungan kasih yang dimaksud terletak pada tindakan kasih Allah yang mendahului kesetiaan Israel. Allah memberikan berbagai ketetapan, peraturan dan hukum untuk ditaati sehubungan dengan tuntutan untuk mewujudkan kasih Allah itu dalam berbagai aspek kehidupan umat-Nya. Di sinilah hubungan perjanjian antara Allah dengan umat-Nya di Sinai kembali ditekankan (band. Ul. 5:2, 3). Sebab perjanjian itu berlaku terus-menerus sepanjang sejarah perjalanan umat Allah. Dengan perjanjian itu, Allah berkenan menempatkan umat-Nya di tempat tertentu yang dipilih oleh Allah sendiri, yakni Yerusalem (Ul. 12:5,11,21,26; band. I Raj. 8:16,44; II Raj. 21:7). Perjanjian itu juga berkaitan dengan pemilihan tempat ibadah, pemilihan Daud dan keturunannya serta seluruh umat Israel (I Sam. 16:8; II Sam. 6:21; I Raj. 3:8). Hubungan kasih (hesed), perjanjian (berit) dan pemilihan (bahar) adalah merupakan dasar interpretasi dan tuntutan untuk menaati hukum Taurat. Tingkah langkah umat dan para pemimpin Israel harus dinilai menurut hubunganhubungan itu yang diwujudkan melalui ketaatan dan kesetiaan kepada Taurat Tuhan (I Raj. 2:11; 9:4). Ketidaktaatan dan ketidaksetiaan terhadap Taurat berarti menghancurkan hubungan kasihi, perjanjian dan pemilihan. Dan konsekuensinya ialah bahwa salom Allah menjadi hancur. Ketidaktaatan dan ketidasetiaan menyebabkan umat dihukum melalui kekalahan-kekalahan dalam perang. Jadi, taat berarti berkat dan ketidaktaatan berarti kutuk. Yosua memberi dorongan kepada umat Israel untuk menaati Taurat Tuhan (Yos. 8:34; 23:6-13). Hanya dengan demikian maka Allah akan 61
Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), h.
163. Hakikat Taurat dalam PL dan Relevansinya Bagi Gereja Masa Kini - Joni Tapingku
17
memberkati mereka secara berlimpah-limpah. Tetapi jika mereka berpaling dan memberontak kepada Taurat Tuhan maka kutukan akan menimpa mereka. Demikian juga dengan perkataan Daud yang terkahir kepada Salomo untuk melakukan kewajibannya berdasarkan ketetapan yang tertulis dalam hukum Musa (I Raj. 2:3). Nada yang sama juga terdapat dalam I dan II Tawarikh (I Taw. 22:13; II Taw. 8:13; 25:4; 35:12). Dalam Kitab Mazmur sering ditemukan pengakuan bahwa hukum-hukum Tuhan adalah sempurna, tepat, teguh dan murni, adil dan benar, lebih indah daripada emas dan lebih manis daripada madu (Mzm. 19:8-11). Taurat Tuhan adalah sumber kebahagiaan dan kesejahteraan (Mzm. 1; 119; dll). Mencari Taurat Tuhan berarti mencari kehidupan dan keselamatan yang bersumber dari Allah. Demikian pula dalam kitab para Nabi, Taurat banyak mewarnai pemberitaan, baik nabi-nabi besar maupun nabi kecil. Akan tetapi, para nabi tidak berfungsi sebagai pembaharu hukum Taurat, melainkan lebih sebagai orang yang menyerang pelanggaran-pelanggaran terhadap perjanjian kuno dan syarat-syarat yang sah itu. Di sini paling tidak dapat dikatakan bahwa para nabi mempunyai visi yang luar biasa tentang kekudusan Allah serta tuntutan-Nya. Para nabi menyerang umat yang melakukan upcara-upcara ibadah tanpa disertai keadilan dan kebenaran. Sesungguhnya ibadah mereka dapat dinyatakan sebagai suatu kekejian (Yes. 1 dan Amos 5:21-24). Nabi Yeremia yang banyak dipengaruhi oleh konsep hukum Deuteronomis, terutama dari Kitab Ulangan, memperingatkan bahwa sebagai akibat ketidaktaatan kepada perintah Tuhan, maka Yehuda akan akan dihukum dan dihancurkan serta menjadi sasaran ejekan (Yer. 25:9, 11; 29:18), dan itulah kutuk yang bersumber dari Ulangan 28:37. Sejumlah besar kutuk yang terdapat dalam Imamat 26 dan Ulangan 28-29, juga terdapat dalam nubuat nabinabi kecil. Misalnya kutuk yang menghancurkan panen (Am. 4:9; Hag. 2:17), kemarau dan hama yang memporak-porandakan ladang dan kebun anggur (Hag. 1:10-11; Yl. 1:4). Dalam sejarah perjalanan umat Israel penghargaan tertinggi terhadap Taurat terjadi pada zaman pembuangan dan sesudah pembuangan. Selama masa pembuangan, perubahan-perubahan yang sangat penting telah terjadi dalam kehidupan umat Israel. Semua lembaga yang didukung hukum Taurat telah musnah: raja, bait Allah dan pelayanan ibadah para imam yang dilakukan secara teratur. Karena hukum Taurat yang tertulis itu merupakan peninggalan penting yang masih menghubungkan mereka dengan masa lalu, maka mereka mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Mereka membaca dan mempelajari Taurat menggantikan upacara korban dalam bait suci.62 Setelah masa pembuangan, hukum Taurat tetap mendapat tempat terutama dalam kehidupan masyarakat. Umat Israel bahkan bersumpah kutuk untuk hidup menurut hukum Allah yang diberikan dengan perantaraan Musa, hamba Allah itu (Neh. 10:29). Mereka memandang musibah nasional yang menimpa bangsa mereka sebagai hukuman Allah atas kegagalan mereka menaati hukum Taurat. Dan karena itu mereka mutuskan bahwa hal itu tidak akan terjadi lagi.63 Itulah sebabnya pada zaman itu, Taurat secara keseluruhan mendapat
62
Dyrness, Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama, h. 117.
63
Ibid.
18
Jurnal Lembaga 2014
tempat yang sentral dalam ibadah Israel. Penghargaan itu tetap berlangsung sampai dengan zaman Perjanjian Baru. Kesimpulan 1. Hukum Taurat bukanlah merupakan kumpulan ketetapan, peraturan dan hukum yang legalistis dan kaku, yang harus dimengerti sebagai “hukum” dalam konteks yuridistik, di mana dengan menaatinya orang bisa mendapat pahala di hadapan Allah. Karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa agama Perjanjian lama adalah yang legalistik tidak dapat dibenarkan, baik secara teologis maupun historis. 2. Arti dan hakikat Taurat adalah keselamatan, keadilan, kebenaran dan kasih Allah yang menjangkau semua aspek kehidupan umat Allah. Apa yang ditampilkan oleh Yesus dalam pelayanan, kematian dan kebangkitan-Nya adalah merupakan wujud nyata hakikat Taurat itu. Dalam terang pemahaman inilah maka ucapan Yesus dapat dimengerti bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat atau Kitab Nabi-nabi, melainkan untuk menggenapinya. Jadi, Taurat adalah Injil, kabar baik dan anugerah Allah semata-mata dan bukan sebagai usaha manusia. Taurat dan Injil atau Hukum dan Anugerah tidak boleh dipertentangkan satu dengan lain. 3. Jika selama proses penulisan sering terjadi perluasan, penambahan dan pengulangan Taurat, hal itu harus dipahami sebagai usaha aktualisasi yang dilakukan para penulis sesuai konteks yang berbeda-beda. Tujuannya ialah agar keselamatan, keadilan, kebenaran dan kasih Allah dapat dihayati dan dialami dalam konteks yang baru. Tetapi harus ditegaskan bahwa konteks tidak pernah menggeser nilai dan berita abadi yang menjiwai Taurat itu, yaitu keselamatan, keadilan, kebenaran dan kasih Allah. 4. Harus dipahami bahwa berbagai peraturan, ketetapan dan hukum dalam Perjanjian Lama relevan pada masa dan konteksnya. Walaupun demikian tidak berarti bahwa Taurat tidak lagi relevan dengan pemberitaan gereja sekarang. Memang ada banyak peraturan, ketetapan dan hukum yang tidak lagi relevan dengan pergaulan gereja dan masyarakat sekarang jika dilihat secara hurufiah. Tetapi jika kita jujur yang dianggap tidak lagi relevan itu justru masih membutuhkan keadilan dan kebenaran. 5. Dengan demikian maka tidak ada alasan bagi gereja untuk melihat Taurat dengan sebelah mata, melihat sebagai beban yang menakutkan dan yang tidak lagi berlaku sekarang. Sebab banyak peraturan, ketetapan dan hukum yang jika dilihat dari latar belakang kehidupan keagamaan, sosial-ekonomi dan soialpolitik tidak jauh berbeda dari yang kita hadapi sekarang.
Relevansi Taurat Bagi Gereja Masa Kini Penghargaan tertinggi terhadap Taurat seperti pada masa pembuangan dan sesudah pembuangan justru merupakan kebalikan dari sikap gereja dewasa ini. Apa yang kita saksikan ialah gereja yang kurang menaruh perhatian terhadap Taurat. Ada banyak penyebab munculnya sikap seperti itu, antara lain: kurangnya pengetahuan tentang arti dan hakikat Taurat yang sebenarnya; hukum Taurat hanya dipahami sebatas sepuluh firman; hukum Taurat dipahami sebagai hukum Hakikat Taurat dalam PL dan Relevansinya Bagi Gereja Masa Kini - Joni Tapingku
19
dalam konteks yuridistik dan yang hanya berlaku bagi umat Israel secara legfalistis; rasa takut dan mungkin juga rasa malu karena hukum Taurat langsung kena-mengena dengan kehidupan konkret sehari-hari. Di samping itu, banyak orang beranggapan bahwa hukum Taurat tidak lagi berlaku masa kini dengan alasan: Pertama, Taurat sudah digenapi dalam kematian dan kenagkitan Yesus. Pada hal Yesus sama sekali tidak pernah menghapuskan semua peraturan, ketetapan dan hukum itu; Kedua, gereja beranggapan bahwa hukum-hukum itu tidak lagi relevan dengan pemberitaan dan pelayanan masa kini. Benar bahwa sebagian besar peraturan, ketetapan dan hukum itu sudah tidak relevan lagi jika kita melihat isinya secara hurufiah atau dari masalah yang dibicarakan, karena memang peraturan dan hukum-hukum itu dibuat dalam konteks dan kebutuhan pada masanya. Misalnya, peraturan makanan yang haram dan yang halal (Ul. 14:3-21; Im. 11:1-23), tentu tidak lagi relevan dengan jenis makanan dan cara makan yang ada di tengah-tengah kita.64 Menurut Baenabas Ludji, perlakuan yang tidak adil terhadap hukumhukum itu adalah merupakan pemahaman yang tidak proporsional dan telah mempengaruhi sikap gereja terhadap Taurat. Misalnya, gereja terlalu jarang memberitakan atau membacakan berbagai peraturan, ketetapan dan hukum yang terdapat dalam Perjanjian Lama.65 Unsur liturgi seperti petunjuk hidup baru dan persembahan lebih banyak dimonopoli oleh bagian-bagian Alkitab yang terdapat dalam Perjanjian Baru. Beberapa gereja di Indonesia memang masih menghargai hukum Taurat. Akan tetapi hukum itu hanya sebatas sepuluh firman yang dibaca dalam ibadah Minggu pertama dan ketiga. Berbagai peraturan, ketetapan dan hukum yang menyangkut kehidupan sosial-ekonomi, sosial-politik, pergaulan, keluarga, pemimpin, keadilan dan kebenaran sangat jarang dibacakan. Pemberlakuan yang tidak proporsional ini mengakibatkan pemberlakuan disiplin gerejawi akhirnya terabaikan. Sementara dekadensi moral, sinkritisme, ketidakadilan dan ketidakbenaran juga semakin mengancam kehidupan gereja masa kini. Inilah salah satu tantangan bagi Gereja Toraja untuk menjelaskan inti hukum Taurat bagi warga jemaat, yakni keselamatan, kasih, keadilan dan kebenaran Allah.
64
Ludji, Berteologi Dalam Anugerah, h. 52.
65
Ibid.
20
Jurnal Lembaga 2014
Kepustakaan Barth, Ch. Theologia Perjanjian Lama, jilid 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988. Boecker, H.J. Law and Administration of Justice in the Old Testament and the Ancient Near East. Augsburg, Minneapolis, 1980. Brown, Francis S.R. Driver and Charles A. Briggs (BDB). A Hebrew and English Lexicon of The Old Testament (Oxford: Clarendon Press, 1978. Bruce, W.S. The Ethics of The Old Testament. Edinburgh: T&T Clark, 1960. Budijanto, Bambang. Torah Dalam Hidup Bangsa Israel. Yogyakarta: Yayasan Andi, 1995. Buttrick, George Arthur (ed.). The Interpreter’s Dictionary of the Bible (IDB). New York: Abingdon Press, 1962. Davidson, B. The Analytical Hebrew and Chaldee Lexicon. London: Samuel Bagster and Sons Limited, 1966. Dyrness, William. Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2001. Eichrodt, Walther. Theology of The Old Testament, Vol. I. London: SCM Press, 1961. Epzstein, Leon. Social Justice in the Ancient Near East and People of the Bible. London: SCM Press, 1986. Kaiser, Otto. Introduction to the Old Testament. Oxford: Basil Blackwell, 1975. Kidner, Derek. Hard Sayings: The Challenge of Old Testament Morals. London: Inter-Varsity, 1972. Kittel, G. & G. Friedrich. Theological Dictionary of the New Testament, Vol. 10. Grand Rapids: Wm. Eerdmans Publishing, 1964-1976. Ludji, Barnabas. Berteologi Dalam Anugerah. Jakarta: STT Cipanas, 1997. Mendenhall, G.E. Law and Covenant in Israel and The Ancient Near East. Pittsburgh, Pennsylvania, 1955. Preuss, Horst Dietrich. Old Testament Theology, Vol. I. Edinburgh: T&T Clark, 1991. Pritchard. Ancient Near East Texts. Princeton: Univ. Press, 1969.
Hakikat Taurat dalam PL dan Relevansinya Bagi Gereja Masa Kini - Joni Tapingku
21
Rad, Gerhard von. Old Testament Theology, Vol. I. New York & London Harper & Row, 1962. Tenney, M.C. The Zondervan Pictorial Encyclopedia of the Bible, Vol. 3. Grand Rapids: Zondervan, 1977. Thomas, D.W. Documents from Old Testament Times. Edinburgh & New York: Harper & Row, 1958 & 1961. Vaux, Roland de. Ancient Israel: Its Life and Institution, Vol. 1. New York: McGraw-Hill Book Company, 1965. Wahono, Wismoady. Di Sini Kutemukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001. Walton, John H. Ancient Israelite Literature in its Culture Context. Grand Rapids: Zondervan, 1989. Word Analysis. Bible Works. CD-ROM, version 7, 2006. Wright, Christopher. Hidup Sebagai Umat Allah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000. Zimmerli, Walther. Old Testament Theology in Outline. Edinburgh: T & T Clark, 1978.
22
Jurnal Lembaga 2014