MASALAH KEMATIAN DALAM SAJAK-SAJAK SUBAGIO SASTROWARDOYO: RELEVANSINYA DENGAN MASALAH KEMANUSIAAN MASA KINI
Wiranta Uuniversitas Sebelas Maret
Abstrak Tema kematian dalam sajak-sajak Subagio dianggap penting karena selain dapat memberikan pemahaman terhadap makna kematian dalam keseluruhan sajak-sajak Subagio pada khususnya, juga dapat menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan perkembangan tema-tema puisi Indonesia modern pada umumnya. Esai kecil ini tidak berpretensi menggali seluruh sajak-sajak yang telah ditulis Subagio. Dengan berbagai keterbatasan tulisan ini ingin sekedar menjelaskan mengenai gambaran tema kematian yang teraktualisasi dalam beberapa judul sajak Subagio Sastrowardoyo. Juga tentang gambaran sikap dan pandangan Subagio Sastrowardoyo terhadap masalah kematian dalam sajak-sajaknya. Kata Kunci: puisi,kematian, Subagio Sastrawardoyo
PENDAHULUAN Dalam bibliografi puisi Indonesia modern, puisi-puisi yang mengungkapkan masalah kematian merupakan puisi-puisi yang banyak digarap para penyair. Linus Suryadi AG misalnya, justru lebih tegas lagi dengan pernyataannya bahwa, tema kematian dalam puisi, tema maut dalam sajak, merupakan salah satu tema yang mendapat banyak perhatian penyair di mana pun (1989: 138). Barangkali apa yang dinyatakan Boris Pasternak yang kemudian disitir Linus dalam bukunya memang benar (1989: 138) bahwa kesenian mempunyai dua ketekunan yang tetap dan tak berakhir: seni selalu bersemadi tentang maut dan di samping itu selalu menciptakan kehidupan. Subagio Sastrowardoyo (meninggal: 25 Juli 1995) merupakan salah seorang penyair Indonesia modern yang memperlihatkan perhatian yang cukup intens terhadap tema-tema kematian dalam sajak-sajak yang diciptakan selama ini. Teeuw mengatakan bahwa kerisauan Subagio terhadap maut, sangat terasa melalui banyak halaman karya-karyanya (1989: 124). Berbeda dengan puisi-puisi Indonesia modern yang ditulis penyair lain, puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo memperlihatkan intensitas yang cukup mengesankan. Ditandai dengan 23
karya-karyanya yang ditulis di awal kepenyairannya (Simphoni, 1957) disusul dengan karyakaryanya yang ditulis setelah “berkelana” di luar negeri (Daerah Perbatasan, 1970, Keroncong Motinggo, 1975, Buku Harian, 1979). Setelah pulang ke Indonesia, Subagio menulis lagi dan nampaknya karyanya ini (Simfoni Dua, 1989) merupakan bukti terakhir betapa obsesif Subagio menggumuli tema-tema kematian. Tema kematian memang bukan monopoli Subagio Sastrowardoyo. Banyak penyair yang lain - baik penyair yang sudah mapan maupun penyair yang masih mencari tempat - juga menggarap tema kematian, namun Subagio memperlihatkan kesetiaan yang luar biasa, kalau tidak dapat dikatakan kontinuitas atensi terhadap persoalan kematian. Dengan sikap yang sederhana, wajar atau justru dengan sikap putus asa Subagio banyak dalam sajak-sajaknya mendedahkan misteri kematian. Dengan demikian penelitian tentang tema kematian dalam sajak-sajak Subagio dianggap penting karena selain dapat memberikan pemahaman terhadap makna kematian dalam keseluruhan sajak-sajak Subagio pada khususnya, juga dapat menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan perkembangan tema-tema puisi Indonesia modern pada umumnya. Esai kecil ini tidak berpretensi menggali seluruh sajak-sajak yang telah ditulis Subagio. Dengan berbagai keterbatasan tulisan ini ingin sekedar menjelaskan mengenai gambaran tema kematian yang teraktualisasi dalam beberapa judul sajak Subagio Sastrowardoyo. Juga tentang gambaran sikap dan pandangan Subagio Sastrowardoyo terhadap masalah kematian dalam sajak-sajaknya.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan strukturalsemiotik. Metode deskriptif yaitu cara untuk menggali objek penelitian lewat data-data, menganalisisnya kemudian membuat penyandraan secara sistenatis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasinya (Dirjen Dikti, 1981: 14). Pendekatan struktural bertitik tolak dari suatu konsepsi bahwa karya sastra terbina oleh berbagai norma sastra. Norma-norma itu merupakan kelompok yang saling berhubungan satu sama lain, sehingga merupakan satu organisme (Udin, 1985: 4). Jadi pendekatan struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetel dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Pendekatan semiotik pada dasarnya melihat karya sastra dalam sistem ketandaan. Dalam konsep semiotik terdapat prinsip-prinsip yang berkaitan dengan tanda. Prinsip-prinsip itu adalah penanda dan petanda. Penanda adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu, sedangkan petanda adalah aspek kemaknaan atau konseptual dari tanda (Teeuw, 1984: 44). Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, dapat dibedakan tiga jenis tanda yaitu ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat persamaan bentuk alamiah. Indeks 24
adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan antara penanda dan petanda bersifat alamiah. Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi masyarakat. Populasi penelitian ini adalah semua sajak yang ditulis Subagio Sastrowardoyo dan yang telah terbit menjadi buku cetakan1. Selanjutnya sampel penelitian adalah sebagian dari sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo yang terdapat dalam lima buku kumpulan puisi yang telah disebutkan di atas. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu penetapannya berdasarkan tujuan tertentu, antara lain memilih puisi yang dianggap memuat tema-tema kematian secara dominan, memilih puisi yang benar-benar berkualitas secara struktur atau pengucapan2. Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini ada dua macam yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapun sumber data primer adalah sumber asli darimana data diperoleh. Oleh karena itu data yang dihasilkan dari sumber data primer adalah data primer, yaitu data-data yang secara langsung berkaitan dengan atau berkenaan dengan masalah yang diteliti dan secara langsung diperoleh dari sumber puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo. Sedangkan sumber data sekunder adalah sumber yang berisi data dari tangan kedua, tidak dari sumber langsung, namun dapat dipakai untuk mendukung data primer di dalam analisis. Dengan demikian, analisis data akan lebih tajam dan berwawasan lebih luas. Dalam penelitian ini data sekunder adalah tulisan-tulisan atau tinjauan kritis terhadap karya-karya puisi Subagio Sastrowardoyo sepanjang dapat ditemukan. Juga tulisan-tulisan yang menceritakan riwayat hidup Subagio Sastrowardoyo, latar belakang sosial budaya Subagio Sastrowardoyo berikut zaman dan lingkungan tempatnya berpijak, dapat dianggap sebagai data sekunder.
1
Adapun sajak-sajak yang ditulis Subagio Sastrowardoyo yang telah terbit sebagai buku adalah : Simphoni (Pustaka Jaya, Jakarta,1957,1971,1975), Daerah Perbatasan (Balai Pustaka, Jakarta,1970,1989), Keroncong Motinggo (Pustaka Jaya, Jakarta,1975), Buku Harian (Budaya Jaya, Jakarta, 1979), Simfoni Dua (Balai Pustaka, Jakarta, 1990). 2
Berasal dari buku kumpulan Simphoni: Dewa Telah Mati, Jarak, Burung, Stasion, Sajak, Adam di Firdaus, Afrika Selatan, Kapal Nuh, Sodom dan Gomorrha, Keharuan, Simphoni, Kota Suci. Berasal dari buku kumpulan Keroncong Motinggo: Pagi, Di Atas Ranjang, Keroncong Motinggo, Suatu Ketika, Gerimis, Kenangan, Terimakasih Pada Pagi, Siksaan, Dekat Api, Maafkan Kalau Aku Lekas Lupa Kepada Nama, Laut, Kelana, Kayon, Seperti Pisau Belati. Berasal dari buku kumpulan Buku Harian: Tamu, Batara Kala, Tembang Pangkur, Malam Penganten, Kebangkitan, Hari dan Hara. Berasal dari buku kumpulan Daerah Perbatasan: Lahir Sajak, Manusia Pertama Di Angkasa Luar, Drama Penyaliban Dalam Satu Adegan, Daerah Perbatasan, Pidato Di Kubur Orang, Salju, Kata, Di Ujung Ranjang, Sebelum Tidur, Dan Kematian Makin Akrab. Berasal dari buku kumpulan Simfoni Dua: Nada Awal, Aku Tidak Bisa Menulis Puisi Lagi, Jendela, Senja, Di Seberang Mimpi, Menunggu Sampai Pagi, Pada Daun Gugur, Variasi Pada Tema Maut, Istirahat, Tamu, 25
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik kepustakaan dengan sumber data pokok 52 puisi yang telah terpilih sebagai sampel penelitian. Ditambah dengan data-data lain sebagai pendukungnya yang berupa buku-buku, artikel, hasil penelitian yang lalu yang dianggap relevan.
PEMBAHASAN Andre Malroux pernah menulis, “Memikirkan kematian, itulah yang membuat manusia menjadi manusia” (Leahy, 1995: 401). Pernyataan tersebut terejawantahkan dalam berbagai gejala aktivitas manusia termasuk dalam olah seni, khususnya seni sastra. Pada khasanah sastra Indonesia modern, masalah kematian dapat ditemukan dalam berbagai karya sastra. Bahkan ada yang mengatakan, masalah kematian merupakan salah satu tema yang mendapat banyak perhatian penyair (Suryadi, 1989: 138). Penyair yang mengungkapkan tema-tema kematian tidak hanya penyair yang menulis jenis balada, tapi juga lirik maupun epik. Demikian pula Subagio Sastrowardoyo dalam kelima buku kumpulan puisinya, Simphoni, Daerah Perbatasan, Keroncong Motinggo, Buku Harian dan Simfoni Dua. Citra maut dalam sajak-sajaknya, baik verbal dan tersamar, lebih intensif tergarap karena penyair ini menempatkan berbagai fenomena dengan menghubungkannya dengan dimensi transendensi, sehingga sajak-sajaknya mau tidak akan menciptakan nuansa keabadian, misteri dan ketidakpastian yang menggelisahkan. Sajak “Dewa Telah Mati” berikut, pada galibnya merupakan pelukisan masalah kematian yang disamarkan dengan berbagai simbol dan perlambang dari alam kehidupan sehari, alam dongeng dan mitologi.
Tak ada dewa di rawa-rawa ini Hanya gagak yang mengakak malam hari Dan siang terbang mengitari bangkai pertapa yang terbunuh dekat kuil.
Dewa telah mati di tepi-tepi ini Hanya ular yang mendesir dekat sumber Lalu minumdari mulut pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri
26
Bumi ini perempuan jalang yang menarik laki-laki jantan dan pertapa ke rawa-rawa mesum ini dan membunuhnya pagi hari.
Sajak tersebut mengambil metafor-metafor dari mitologi rakyat seperti burung gagak sebagai salah satu pilihan untuk menghadirkan fenomena kematian. Dalam alam mitologi Jawa, burung gagak selalu dikaitkan dengan adanya peristiwa kematian. Pada sajak “Dewa Telah Mati”, aspek kematian sekurang-kurangnya dinyatakan melalui tiga pernyataan: a. Pertapa yang terbunuh dekat kuil. b. Dewa telah mati di tepi-tepi ini. c. Laki-laki jantan dan pertapa yang terbunuh di pagi hari. Nuansa kematian yang terlukis dalam sajak tersebut dapat diperoleh dari kiasan-kiasan yang dipergunakan antara lain seperti, / hanya gagak yang mengakak malam hari / siang terbang mengitari bangkai. Meskipun burung gagak tidak selalu harus bermakna kematian, tetapi kehadirannya di sekitar kehidupan manusia Jawa dipercayai sebagai tanda-tanda, alamat, perlambang akan terjadinya suatu peristiwa kematian. Tidak jarang masalah kematian diterima seseorang sebagai peristiwa yang samarsamar. Suatu rahasia besar yang berlapis-lapis, dan senantiasa menimbulkan sikap keputusasaan yang amat dalam dan luar biasa. Pada sajak “Jarak” berikut dapat ditemukan dimensi kerahasiaan yang terasakan seorang Subagio Sastrowardoyo.
Bapak di sorga Biar kita jaga jarak ini antara kau dan aku Kau hilang dalam keputihan ufuk Dan aku tersuruk ke hutan buta Hiburku hanya burung di dahan dan jauh ke lembah gerau pasar di dusun Aku tahu keriuhan ini hanya sekali terdengar 27
sesudah itu padam segala suara dan aku memburu ke pintu rumah.
Bapak di sorga biarlah kita jaga jarak ini Sebab aku ini manusia mual Sekali kau tampak telanjang di hutan Aku akan berteriak seperti Yahudi: “Salib!” Dan kau akan tinggal sebungkah lumpur lekat di kayu.
Pada sajak di atas, kematian dialami sebagai hal yang hal yang samar-samar diejawantahkan dalam sesuatu yag disebut sebagai jarak. Kematian sebagai sesuatu yang sangat jauh (hilang dalam keputihan ufuk). Terasakan tetapi tidak pernah dapat didekati dengan sarana maupun cara apapun yang dimiliki manusia. Manusia hanya dapat menyamakan peristiwa kematian itu, tetapi toh tidak pernah dapat disamakan. Oleh karena itu Subagio Sastrowardoyo menulis, hiburku hanya burung di dahan / dan jauh ke lembah / gerau pasar di dusun. Agaknya Subagio Sastrowardoyo sangat menyadari bahwa di satu sisi peristiwa kematian sangat rahasia, tetapi pada sisi lain peristiwa itu sangat nyata. Bahwa peristiwa kematian selalu menarik perhatian orang-orang di sekitarnya, sangat disadari oleh si mati pada waktu belum tersapa sang kematian. Aku tahu keriuhan ini / hanya sekali terdengar / sesudah itu padam segala suara / dan aku memburu ke pintu rumah. Sikap hidup Subagio Sastrowadoyo dalam sajak yang dibukukan dalam kumpulan Simphoni dapat disamakan dengan sikap seorang arkeolog yang ingin menyusun kembali batu berdebu yang berantakan, untuk dijadikan candi yang utuh dan keramat serta berkehendak melihat pada bangun dan motif-motif dari makna perlambang yang lebih dalam dan bernilai daripada arti struktural yang bersifat profan serta berdayaguna praktis belaka (Sastrowardoyo, 1982: 23). Kenyataan telah mendesakkan dirinya sebagai sebuah kesadaran bahwa alam dan kehidupan adalah entitet-entitet yang keramat, dalam arti mengandung hubungan esensial yang lebih besar dan bermakna sebagaimana tertuang dalam sajak “Burung” berikut ini:
28
Burung masih dekat dengan malaikat karena bersayap dan berbisik dengan kepak dalam basa asing tertangkap.
Lagu tak berkata mendesir di mula dan akhir hari.
Serintis angin berembus di pinggir bumi Hidup jadi berarti dan keramat.
Bait terakhir memberikan kesadaran bahwa kematian adalah sesuatu yang fatal, gelap, sia-sia, dan serba tidak ada kejelasan. Hal ini menyebabkan kehidupan menjadi sesuatu yang berarti, bermakna, dan akhirnya harus diterima sebagai rahmat agung, kalau tidak dapat dikatakan sebagai hal yang keramat. Demikianlah, kematian melahirkan makna tersembunyi dari rahmat kehidupan yang tak pernah terperhatikan. Pada akhirnya hidup ini tidak berbeda dengan suatu tempat persinggahan sebentar, dan merupakan tempat mencari bekal untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Ilustrasi ini digambarkan Subagio dalam sajak “Setasion” berikut ini:
Adakah sorga seperti setasion ini tempat kereta lelah berhenti dengan tulang besi-besi bersilang dengan muka penumpang gilap berkeringat dan debu arang mengendap.
29
Adakah gerimis itu di jendela dan puntung rokok mengepul. Dan berita politik dari koran dengan inflasi, kelapran dan bunuh diri.
Nabi, aku terlalu sayang kepada petualangan ini di mana hati kembali bocah lagi orang asing menjadi sobat dan gadis alim di sudut menjadi iseng karena resah mengharap.
Adakah di sorga kasih dan derita ini dengan senang sebentar menyelang. Nabi, aku ingin masuk ke sorga.
Apabila diamati beberapa pengalaman religius seseorang, memang tidak jarang melihat hidup ini sebagai yang dikatakan orang Jawa mampir ngombe (singgah untuk minum), maksudnya hanya sebentar waktu yang dihabiskan. Sesudah minum barang seteguk perjalanan akan diteruskan lagi. Dalam persinggahan yang hanya sebentar waktu ini, tidak jarang muncul berbagai godaan yang sering membuat orang lupa akan tujuan terakhir yaitu keabadian. Aku terlalu sayang kepada petualang ini/ di mana hati kembali bocah lagi. Namun kesadaran seyogyanya tetap terjaga. Selalu ingat bahwa dunia ini ibarat setasion. Hanya merupakan persinggahan sementara. Masih ada tempat lain yaitu surga (keabadian), yang harus menjadi tempat persinggahan abadi. Oleh karena itu harus senantiasa ingat keabadian.
30
KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo dalam kaitannya dengan tema-tema kematian, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Gambaran tema kematian yang ditampilkan Subagio Sastrowardoyo dalam sajaksajak yang telah terbit menjadi buku kumpulan sajak, memperlihatkan beragam fenomena. Citra kematian diekspresikan secara verbal dan tersamar dengan tingkat intensitas yang cukup tinggi. Dengan demikian tema-tema kematian tersebut dapat digambarkan secara memadai karena penyair cukup mengesankan menempatkan berbagai fenomena dengan menghubungkannya dengan dimensi transendensi, sehingga sajak-sajak Subagio mampu membentuk nuansa keabadian, misteriusitas dan ketidakmenentuan yang menyebabkan memberikan nuansa-nuansa kematian. Sikap dan pandangan Subagio Sastrowardoyo terhadap masalah kematian memperlihatkan berbagai wawasan dan pendapatnya sebagai seorang manusia Jawa yang mampu menampung berbagai serat-serat budaya yang pernah dialami dan diserap dalam proses pergaulannya sebagai seorang penyair dan budayawan. Kematian dipandangnya sebagai suatu takdir yang tidak mungkin dielakkan dengan cara apa pun. Manusia harus menyadari bahwa kematian merupakan batas akhir kehidupan. Kematian juga dapat dipandang sebagai bagian dari kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literature Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston. Dirjen Dikti. 1981. Metodologi Penelitian IB. Jakarta: Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan Tinggi Depdikbud. Jassin, H.B. 1967. Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik Esai. Djakarta: Gunung Agung. Junus, Umar. 1981. Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Indonesia. Jakarta: Bhratara. Kartodirjo, Sartono. 1977. “Metode Penggunaan Bahan Dokumen”, dalam Koentjaraningrat. 1977. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Sastrowardoyo, Subagio. 1982. “Catatan Tentang Simphoni”, mula-mula dimuat dalam Mimbar Indonesia (13 Nopember 1957), kemudian dimuat dalam kumpulan sajak 31
Simphoni. 1971. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Dimuat kembali dalam Pamusuk Eneste (Editor). 1982. Proses Kreatif. Jakarta: Gramedia. Sastrowardoyo, Subagio. 1975. “Mengapa Saya Menulis Sajak”, mula-mula dimuat di majalah Budaya Jaya (Januari 1973), kemudian dimuat dalam kumpulan sajak Keroncong Motinggo. 1975. Jakarta: Pustaka Jaya. Dimuat kembali dalam Pamusuk Eneste (Editor). 1982. Proses Kreatif. Jakarta: Gramedia. Udin, Syamsudin. 1985. Memahami Cerpen-Cerpen A.A. Navis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
32