rumahpemilu.org Indonesia ElectI
n Portal
newsletter 7 juni 2013
artikel Hak P(em)ilih dan Peran Pengawas Pemilu Oleh Muhammad Yunus
”Dalam hal terdapat warga negara yang memenuhi syarat sebagai Pemilih dan tidak memiliki identitas kependudukan dan/atau tidak terdaftar dalam daftar pemilih sementara.... » Hlm. 4
Kuota Vagina untuk Parlemen Oleh Usep Hasan Sadikin
n
pengantar
Rumah Bersama untuk Pemilu Ideal “Tak ideal maka tak dipandang.” Kalimat ini coba untuk menyampaikan maksud yang lebih dari sekedar perkenalan untuk disayang. Newsletter Rumah Pemilu (RP) merupakan media baru turunan dari portal RP yang di pertengahan 2012 muncul. Pada “Pengantar” edisi perdana Newsletter RP ini, RP ingin mengajak masuk pembaca ke dalam rumah kepemiluan untuk mewujudkankan pemilu ideal. Bila mengingat keadaan pemberitaan media utama saat ini, kehadiran media yang lepas dari kuasa partai amat dibutuhkan. Menempatkan media sebagai milik publik ibarat hasrat yang mendesak. Untuk lebih meyakin kannya lagi, RP dan Newsletter RP membuka ruang partisipasi pembaca untuk mengisi opini bahkan pemberitaan. Syariat demokrasi “dari, oleh, untuk rakyat” menjadi lebih kuat karena pembaca juga bisa terlibat dalam ruang kebebasan media sebagai pilar keempat demokrasi. » Hlm. 2
Hasil Riset Keterwakilan Politik Perempuan Tingkat Lokal dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia di 2012 menemukan kontradiksi isu perempuan antara kuantitas dan kualitas. » Hlm. 6
Lumpuhnya Pendidikan Politik oleh Parpol Oleh Diah Setiawaty
Berbicara tentang Pendidikan Politik maka kita akan melihat salah satu serangkaian aktivitas yang terdengar asing jika tidak bisa dibilang mengerikan di telinga masyarakat awam. » Hlm. 8
rumahpemilu.org Indonesia ElectI
n Portal
newsletter | 7 juni 2013
n
pengantar
Rumah Bersama untuk Pemilu Ideal “Tak ideal maka tak dipandang.” Kalimat ini coba untuk menyampaikan maksud yang lebih dari sekedar perkenalan untuk disayang. Newsletter Rumah Pemilu (RP) merupakan media baru turunan dari portal RP yang di pertengahan 2012 muncul. Pada “Pengantar” edisi perdana Newsletter RP ini, RP ingin mengajak masuk pembaca ke dalam rumah kepemiluan untuk mewujudkankan pemilu ideal.
bermodal uang, tapi juga caleg lain yang sangat mungkin lebih potensial. Melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang dana kampanye, permasalahan dan celah dana kampanye coba diatasi. Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay (3/6) mengatakan, pertengahan atau akhir Juni PKPU dana kampanye akan lalui uji layak publik. Sebelumnya, KPU harus berdialog dengan beberapa pemangku kepentingan, yang ahli dalam bidang tersebut.
Bila mengingat keadaan pemberitaan media utama saat ini, kehadiran media yang lepas dari kuasa partai amat dibutuhkan. Menempatkan media sebagai milik publik ibarat hasrat yang mendesak. Untuk lebih meyakinkannya lagi, RP dan Newsletter RP membuka ruang partisipasi pembaca untuk mengisi opini bahkan pemberitaan. Syariat demokrasi “dari, oleh, untuk rakyat” menjadi lebih kuat karena pembaca juga bisa terlibat dalam ruang kebebasan media sebagai pilar keempat demokrasi.
Pada penyelenggaraan pilkada, kecenderungan pemilih yang menurun menjadi masalah yang lebih sensitif karena dihadapkan hasil suara yang berbeda sangat tipis. Hasil Pilkada Kota Palembang (selisih 8 suara) dirubah KPU berdasar Putusan Mahkamah Konstitusi. Pilkada Bali (selisih 996 dari 2.109.234) dan Pilkada NTT (selisih 2,5%) berlanjut gugatan ke MK.
Penyelenggaraan Pemilu 2014 di akhir Mei hingga awal Juni 2013 ini ada di tahap pemeriksaan perbaikan berkas calon legislator. Menunggu sampai pengumuman daftar caleg tetap (DCT), hal yang diperhatikan banyak pihak adalah pembatasan dana kampanye. UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD hanya mengatur pemasukan dana kampanye, tanpa mengatur pengeluarannya.
Semua hal peliputan tersebut menjadi pelajaran kita semua yang peduli terhadap pemilu. Aturan dan pelaksanaannya coba diperbaiki. Ada kecenderungan, semakin mendekati pencoblosan Pemilu 2014 penyelenggaraan pemilu membaik. Pleno penetapan partai peserta pemilu secara terbuka; daftar calon legislator sementara dipulikasikan secara terbuka dan mudah diakses; kuota perempuan yang lebih strategis dan diperkuat melalui PKPU; sensitivitas perihal substansial demokrasi, seperti transparansi, akuntabiltas dan kesetaraan. Semuanya merupakan bentuk membaiknya penyelenggaraan pemilu.
Pakar pemilu, Didik Supriyanto (2/6) mengatakan, salah satu alasan legislator untuk tak membatasi dana kampanye karena pembatasan dinilai melanggar kebebasan. Padahal, kebebasan menyertai kesetaraan. Prinsip kesetaraan ini lah yang menjamin kebebasan kontestasi antar peserta pemilu. Bagamana yang bisa dikenal tak hanya yang
Memang masih terlalu pagi untuk menilai “baik” Pemilu
2
rumahpemilu.org Indonesia ElectI
n Portal
newsletter | 7 juni 2013
2014. Taruhlah ini sebatas optimistis untuk meyakini dan melakukan perubahan yang lebih baik. Melalui Newsletter ini RP coba menjadi bagian dari perbaikan itu. Kita mau optimis, kita bisa bersama membangun dan menjalankan pemilu yang ideal. Indonesia dulu pernah menyelenggarakan Pemilu 1955 yang dinilai banyak pihak paling demokratis. Pun bukan yang ideal. Tapi kita tahu, saat itu pemilu ibarat rumah pertemuan keidealan ideologi yang dihantarkan ke rumah perwakilan rakyat. Kurang lebih seperti itu lah RP bersama Newsletternya diproyeksikan. Menjadi rumah pertemuan antar kita yang peduli terhadap pemilu. Saat di mana aspirasi, pemberitaan, opini bahkan ideologi sangat mungkin disampaikan ideal utuh. Bukan untuk sekedar dipandang atau dikenang. Tapi karena memang seperti itulah pemilu. Ia ingin menghantarkan kita yang berbeda ke rumah perwakilan rakyat. Dari, oleh dan untuk kita.
Usep Hasan Sadikin Redaktur » Kembali ke awal
3
rumahpemilu.org Indonesia ElectI
n Portal
newsletter | 7 juni 2013
Hak P(em)ilih dan Peran Pengawas Pemilu Oleh Muhammad Yunus
”Dalam hal terdapat warga negara yang memenuhi syarat sebagai Pemilih dan tidak memiliki identitas kependudukan dan/atau tidak terdaftar dalam daftar pemilih sementara, daftar pemilih sementara hasil perbaikan, daftar pemilih tetap, atau daftar pemilih tambahan, KPU Provinsi melakukan pendaftaran dan memasukkannya ke dalam daftar pemilih khusus”.
seorang warga negara yang notabene hak-hak politiknya dijamin oleh UUD tidak dapat menggunakan hak pilihnya? Apakah seorang warga negara harus rela kehilangan hak konstitusinya hanya karena persoalan administratif semata? Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan itulah maka pembuat undang-undang merasa berkepentingan untuk mengangkat isu ini ke dalam salah satu klausul pada undang-undang yang mengatur penyelenggaraan Pemilu 2014.
Pasal 40 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD tersebut di atas lahir sebagai pelaksanaan amanat UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan “ Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar “. Dengan kata lain, pemegang otoritas tertinggi dalam hal kedaulatan adalah rakyat. Kedaulatan yang di dalamnya memiliki makna hakiki yaitu kebebasan yang merdeka untuk dipilih dan memilih.
Kontroversi Daftar Pemilih Khusus (DPK) DPK ditetapkan setelah seluruh tahapan pemutakhiran data pemilih dinyatakan selesai. Hal itupun mesti diatur lebih lanjut dengan Peraturan KPU. Apakah kemudian tidak menjadi permasalahan lagi jika regulasi yang dikeluarkan oleh KPU tidak mengundang perdebatan karena beberapa kekurangan-kekurangan di dalamnya. Belum lagi bila regulasi tersebut mengalami revisi berulang-ulang dalam rentang waktu yang singkat.
Berkaca pada pelaksanaan pemilu-pemilu sebelumnya, banyak warga negara yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya dikarenakan berbagai alasan. Diantaranya yang paling sering menjadi tema klasik adalah karena tidak terdata dalam daftar pemilih serta tidak dapat menunjukkan kartu identitas berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Dampak krusial yang bisa terjadi dalam penerapan pasal ini diantaranya adalah bagaimana sikap KPU Provinsi dalam hal :
Pada Pemilu 2009 lalu, warga negara dapat menggunakan hak pilihnya bila mampu menunjukkan KTP meskipun tidak tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009).
a. p embuktian bahwa warga negara yang dimaksud telah memenuhi syarat sebagai pemilih terutama dari segi umur;
Bagaimana bila seorang warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih tetapi tidak memiliki KTP? Apakah
b. p embuktian bahwa warga negara yang dimaksud adalah 4
rumahpemilu.org Indonesia ElectI
n Portal
newsletter | 7 juni 2013
benar penduduk setempat karena kondisi ini rawan dijadikan pembenaran mobilisasi pendukung oleh peserta Pemilu ke Dapil lain.
a. b agi warga negara yang ingin didaftar dalam DPK agar memperlihatkan Akta Lahir yang bersangkutan; b. m enunjukkan Surat Keterangan Domisili yang menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah benar penduduk setempat yang ditandatangani oleh Kepala Lingkungan atau RT/RW setempat atau sebutan lainnya serta diketahui oleh Kepala Desa/Lurah setempat.
c. Penetapan jumlah surat suara dimana Pasal 151 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2012 yang menyatakan jumlah surat suara adalah sama dengan jumlah DPT ditambah 2 % surat suara cadangan; d. Korelasi antara Pasal 40 ayat (5) dengan Pasal 150 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012 yang tentu saja pedoman teknisnya akan diturunkan dalam bentuk Peraturan KPU.
2. Agar pengawas Pemilu segera melakukan judicial review terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang yang tidak tegas dan tidak jelas sehingga berpotensi menimbulkan multitafsir;
Di antara dampak-dampak tersebut di atas, mobilisasi massa yang dapat dilakukan oleh peserta Pemilu merupakan dampak besar yang bisa mencederai proses demokratisasi, mencemari kemurnian proses Pemilu, dan merusak tatanan nilai-nilai hasil Pemilu berkualitas yang berusaha dibangun selama ini.
3. S inkronisasi dan koordinasi intensif antara KPU dan Bawaslu dalam penyusunan rancangan peraturan KPU terkait pedoman teknis penyusunan DPK maupun peraturan Bawaslu terkait tata cara pengawasan penyusunan DPK;
Eksistensi Pengawas Pemilu
4. Pengawasan melekat terhadap Pantarlih dalam melaksanakan tugas pemutakhiran data pemilih serta membuka posko pengawasan terpadu bagi warga negara yang tidak terdata dengan melibatkan unsur pengawas dan unsur pelaksana Pemilu;
Salah satu tujuan pengawasan Pemilu adalah menegakkan integritas, kredibilitas penyelenggara, transparansi penyelenggaraan dan akuntabilitas hasil Pemilu. Pengawasan Pemilu tidak hanya terkonsentrasi pada ketaatan dan kepatuhan penyelenggara dan peserta Pemilu terhadap peraturan perundang- undangan dalam pelaksanaan setiap tahapan Pemilu tetapi juga untuk memberikan garansi legitimasi terhadap hasil Pemilu agar dapat diterima oleh semua kalangan.
5. Membangun partisipasi masyarakat luas agar lebih proaktif mengawal dan memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya dalam bentuk sosialisasi berkelanjutan dengan lebih banyak terjun ke tengah-tengah kelompok masyarakat dan komunitas.
Lantas di mana peran pengawas Pemilu untuk mereduksi potensi-potensi titik rawan pelanggaran yang mungkin saja muncul dari DPK tersebut?
Muhammad Yunus Anggota Bawaslu Provinsi Sulawesi Barat
Pengawas Pemilu dapat menempuh langkah-langkah pengawasan preventive berupa: » Kembali ke awal
1. Kontribusi aktif kepada KPU agar dalam penyusunan peraturan KPU yang mengatur tentang DPK memperhatikan syarat sebagai berikut: 5
rumahpemilu.org Indonesia ElectI
n Portal
newsletter | 7 juni 2013
Kuota Vagina untuk Parlemen Oleh Usep Hasan Sadikin
Hasil Riset Keterwakilan Politik Perempuan Tingkat Lokal dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia di 2012 menemukan kontradiksi isu perempuan antara kuantitas dan kualitas. Puskapol UI mengambil daerah penilitian yang jumlah legislator perempuannya di atas rata-rata DPRD se-Indonesia (16%). Banten 23% (22/94), Jawa Barat 25% (25/100) dan Jakarta 18% (16/85). Tapi permasalahan perempuan di tiga daerah tersebut malah relatif lebih banyak dibanding daerah lain yang keterwakilan perempuannya lebih sedikit.
pluralitas rakyat, khususnya perempuan. Penekanan perempuan berpartisipasi di politik formal dikenal sebagai perspektif feminisme liberal. Bentuknya bisa pembelaan hak dasar perempuan di undang-undang, memilih di pemilu hingga keterwakilan perempuan di parlemen. Di perjalanan, perjuangan tersebut dilengkapi perspektif feminisme radikal. Gerakan perempuan menyadari, ketakadilan politik formal lebih disebabkan budaya patriarki yang ada dalam masyarakat. Dominasi lelaki terhadap perempuan dalam dinamika masyarakat telah membentuk dan melanggengkan penetapkan ruang publik sebagai milik lelaki sedangkan ruang domestik sebagai tempat perempuan beraktivitas. Artinya, jika budaya patriarki masih kuat, suplai aspirasi dan keterwakilan dari masyarakat, baik perempuan atau lelaki, tak akan signifikan menciptakan pemerintahan adil, termasuk di parlemen.
Kita bisa cepat menyimpulkan, permasalahan perempuan ternyata tak cukup dijawab dengan mendorong tubuh bervagina duduk di parlemen. Tapi ini bukan berarti kita menilai perempuan tak layak menjadi legislator. Faktanya, dewan perwakilan rakyat yang elitis, korup, miskin ideologi dan rendah empatik pada rakyat itu selalu dikuasai tubuh berotak penis dan otot sejak demokrasi ditetapkan Bapak Bangsa.
Dari radikalisasi itu, feminisme menjadi perspektif seksualitas. Kebertubuhan jenis kelamin di tengah budaya patriarki merekam ilmu pengetahuan berdasar pengalaman sebagai korban. Kesadaran terhadap praktek dominasi relasi memproyeksikan keadilan yang hanya bisa dicapai dari kesetaraan.
Pemilu dan feminisme Rose Putnam Tong dalam “Feminist Thought” memberitahukan, pertama kali feminisme terlibat di pemilu sejak abad ke-19 di Amerika Serikat. Paham kesetaraan relasi tubuh manusia ini, memperjuangkan hak perempuan di ruang publik dalam bentuk hak pilih di pemilu. Sebelumnya, perempuan tak dilibatkan sama sekali dalam pemilihan pemerintahan berkala.
Radikalisasi itu pun melahirkan kesadaran tak kedapnya sekat privat dan publik yang sebelumnya dipelihara perspektif hak asasi manusia. Ternyata, pejabat publik yang lama dibesarkan asuhan domestik patriarki akan melahirkan kebijakan yang melarang vagina keluar rumah sebagai penyelesaian masalah perkosaan. Kita pun sadar adanya pendapat keliru yang berbunyi, perempuan tak perlu datang ke bilik suara atau duduk di parlemen karena
Fakta ini bisa sebagai gambaran, “demokrasi” (saja) dalam praktek pemilu, tak lepas diskriminatif. Sistem pemerintahan dari-oleh-untuk rakyat ternyata membutuhkan perspektif keadilan yang luas untuk bisa utuh mengakomodir 6
rumahpemilu.org Indonesia ElectI
n Portal
newsletter | 7 juni 2013
toh perannya lebih penting dengan menyusui anak atau bersiap layani penis yang lelah berpolitik.
mengalami kekerasan? Sadarkah sebagai korban relasi? Beranikah menuturkan? Sudah dapatkah aksi saling berbagi pengalaman dan penguatan sebagai bentuk ilmu pengetahuan feminisme? Lalu apa proyeksi keadilannya dan bagaimana?
Produk undang-undang pun selama ini tak sadar, jika hasil pajak diperuntukan alutsista perang maka pelayanan kesehatan yang buruk akan sebabkan ASI kering. Jika aturan publik menghambat perempuan berekspresi dan beraspirasi maka berdampak pada proses didik hipokrit dan fasis. Saat negara tak menjamin akses keadilan relasi pasangan dan keluarga, maka kekerasan dalam relasi dan rumah tangga marak terjadi. Pemerintahan yang minim seksualitas perempuan selamanya merendahkan perempuan yang terus menjadi korban.
Atas dasar itu, penguatan 30 persen perempuan berarti memprioritaskan langkah perubahan dari-oleh-untuk perempuan. Ini semacam dispensasi berdasar asumsi, komune vagina sangat sulit mendapatkan akses publik dibandingkan gerombolan bahkan ketunggalan penis. Dominasi dalam patriarki terlalu lama membatasi perempuan di ranah domestik. Kita pun jadi bisa menilai tak ada perspektif feminis di tubuh semua partai, bahkan partai yang mencitrakan diri partai perempuan dan partai yang banyak beranggota perempuan. Ada partai paternalistik yang bangga berkampanye dengan latar belakang tokoh pelaku poligami. Atau ada juga partai yang selalu memenuhi kuota 30 persen perempuan dalam kepengurusan dan pencalegan partai tapi kuat mendukung undang-undang dan peraturan daerah diskriminatif terhadap perempuan dan kader lelakinya banyak melakukan poligami.
Perempuan dan 30 persen Di pemilu Indonesia, keberpihakan politik formal berbentuk syarat kepengurusan partai dan pencalegan minimal 30 persen perempuan terus diperkuat seiring advokasi aktivis hak perempuan. Karena baru sebatas itu, upaya pembentukan perspektif feminisme terhadap bakal caleg harus melalui cara kultural. Konsepsi pemikiran feminisme berasal dari keadaan penindasan pihak dominan terhadap pihak subordinat. Sehingga perjuangannya ditempuh melalui solidaritas sosial. Komune solidaritas perempuan (sisterhood) dari aktivis feminis harus dikuatkan dan diperluas dengan jejaring dan ajakan perlibatan.
Pemilu untuk menghasilkan pemerintahan yang memproduksi undang-undang kesetaraan berkeadilan hanya bisa dicapai dengan menghantarkan tubuhtubuh korban relasi yang berkesadaran feminis. Seks yang berpolitik di parlemen hanya bisa adil dengan menghubungkan pemerintahan sebagai ranah publik kepada solidaritas perempuan menyertai pengalaman dan aspirasi dari personalitas privat setiap tubuh bervagina.
Selama budaya di masyarakat masih patriarki, kita yang mengimpikan pemerintah beserta undang-undang adil relasi hanya berhenti di bangun pagi. Urgensi suplai kesetaraan di parleman adalah perspektif seksualitas bernama feminisme. Idealnya, seleksi calon anggota legislatif dalam pemenuhan kuota minimal 30 persen perempuan di parlemen, harus menyertai alur pembentukan perspektif feminisme terhadap bakal caleg secara personal. Apakah bakal caleg sudah melalui alur pembentukan perspektif feminisme dalam komune solidaritas perempuan? Pernahkah
Usep Hasan Sadikin Pegiat Komunitas Tutur Perempuan
» Kembali ke awal
7
rumahpemilu.org Indonesia ElectI
n Portal
newsletter | 7 juni 2013
Lumpuhnya Pendidikan Politik oleh Parpol Oleh Diah Setiawaty
Berbicara tentang Pendidikan Politik maka kita akan melihat salah satu serangkaian aktivitas yang terdengar asing jika tidak bisa dibilang mengerikan di telinga masyarakat awam. Bagaimana tidak? Ketika mendengar kata politik saja masyarakat sudah merasa jengah, yang terbayang adalah partai politik, korupsi, permainan kotor dan kekuasaan. Tidak heran jika para ahli politik membayangkan pada pemilu 2014 angka golongan putih (golput) akan mengalami kenaikan signifikan karena masyarakat terutama sudah tidak percaya terhadap partai politik dan pejabat publik. Sebelumnya jika dilihat dari angka golput Pemilu legislative mulai dari tahun 1955 hingga tahun 2009 maka dapat terlihat kecenderungan yang terus meningkat secara signifikan mulai dari 6,67% pada tahun 1955 hingga 39,22% pada tahun 2009 (Jurnal Perempuan, No. 63 Tahun 2009). Untuk persentase jumlah golput pada Pemilu Presiden secara langsung sejak 2004 dan 2009 juga mengalami kenaikan signifikan, pada tahun 2004 putaran 1 angka golput sebesar 21, 77%, putaran kedua sebesar 23, 37% dan pada pemilu 2009 angka golput mencapai 27,40%. Direktur Center for Election and Political Party (CEPPUniversitas Indonesia) bahkan memprediksi bahwa angka golput pasti meroket hingga bisa mencapai dua kali lipat dari tahun 2009, apalagi hampir 30 persen pemilih adalah pemilih muda. 17 sampai dengan 29 tahun, yang mayoritas educated, kritis, urban, tersentuh teknologi, dan apatis terhadap pemilu (rumahpemilu.org/20 Mei 2013).
korupsi di KPK. Sebagai contoh sebut saja Partai Demokrat, Golkar, PDIP, sampai Partai Keadilan Sejahtera (PKS) semuanya terjerat oleh KPK dalam kasus korupsi sehingga ini akan berdampak pada Pemilu 2014. Korupsi tersebut dilakukan oleh berbagai aktor di eksekutif dan legislatif dan selalu menjadi highlight di media massa. Tentu saja ada variable-variabel lainnya di dalam pendidikan politik yang mempengaruhi tingginya angka golput. Hal ini terkait dengan kalkulasi dan teknis penyelenggaraan pemilu. Hal tersebut disebutkan oleh salah satu Komissioner KPU Arief Budiman bahwa untuk menekan golput menurut Arief harus diadakan pendidikan politik, sosialisasi mengenai pemilu yang tidak dipandang rumit oleh masyarakat diantaranya sosialisasi, pendidikan politik, sistem pemilu yang mudah bagi pemilih, kandidat/ peserta pemilu yang berkualitas (rumahpemilu.org/15 Maret 2013). Sayangnya partai politik merupakan kendaraan utama jika tidak bisa dibilang satu-satunya menuju proses demokrasi yang diatur di dalam negeri ini. Untuk menjadi pengambil kebijakan baik di dalam lembaga eksekutif dan legislatif seseorang harus maju melalui kendaraan partai politik. Oleh karena besarnya peran partai dalam fungsinya sebagai kanal dan kendaraan menuju proses legitimasi politik maka seharusnya partai politik juga melakukan pendidikan politik yang intens terhadap masyarakat. Sayangnya pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik seringkali bergerak ketika kampanye menjelang Pemilu.
Salah satu penyebab tingginya angka golput ini adalah karena hampir seluruh partai politik besar terlibat kasus
Keyataannya partai politik masih lumpuh dalam melakukan 8
rumahpemilu.org Indonesia ElectI
n Portal
newsletter | 7 juni 2013
pendidikan politik. Ini terlihat dari masih banyaknya partai yang belum melakukan pendidikan politik secara terstruktur, massive, dan intensif terhadap kader-kadernya, apalagi terhadap masyarakat awam. Terlebih-lebih partaipartai yang tidak memiliki ideologi yang kuat, mereka kerap luput dalam melakukan pendidikan politik dalam bentuk pengkaderan ini. Hingga hari ini mungkin hanya partai-partai besar yang memiliki sistem pengkaderan yang cukup baik terhadap pendidikan politik. Beberapa dari mereka membangun organ mahasiswa seperti (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafiliasi pada PDIP, Himpunan Mahasiswa IndonesiaGolkar Persatuan Mahasiswa Muslim Indonesia (PMII) yang berafiliasi pada PKB, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang berafiliasi pada PKS dan Himpunan Mahasiswa Islam yang berafiliasi pada Golkar.
nilai-nilai yang paling penting, melainkan sebagai cara mengatur konflik dan sebagai perjuangan untuk mencapai sistem terbaik berdasarkan tujuan umum yang dapat dianggap sebagai pedoman yang mendasari sebuah proses yang tidak pernah berakhir. (Bernhard Sutor, Theoretical Fundamentals; in: Wolfgang W. Mickel 58, Bonn 1999, p. 66-67)
Jika partai politik memiliki good will untuk memperbaiki diri maka tentunya sebagai salah satu instrumen penting dalam pendidikan politik masyarakat,parpol dapat memberikan kontribusi nyata terhadap perubahan dan perbaikan. Tidak hanya menekan angka golput dan huru hara pada saat pemilu, pendidikan politik yang baik bahkan dapat mendorong tingginya angka keterwakilan perempuan seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat dan meningkatnya keinginan dan kapasitas perempuan, baik kader partai maupun non partai, untuk terjun di dalam politik. Salah satu yang paling essensial adalah bahwa partai politik juga berperan dalam membangun karakter bangsa. Pendidikan politik yang diberikan sejatinya dapat memperkental karakter toleransi dan kekeluargaan sehingga dapat meningkatkan nasionalisme dan penerimaan atas keberagaman. Dengan demikian jika fungsi pendidikan politik ini dijalankan secara maksimal maka tidak hanya dapat merekrut kader atau simpatisan partai tetapi juga dapat dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terutama pemilih pemula terhadap urgensi keterlibatan mereka di dalam proses-proses politik seperti di dalam Pemilu dalam membangun masa depan bangsa.
Sistem pengkaderan ini pun bisa dibilang masih terbatas karena seiring dengan perkembangan jaman peran mahasiswa di bidang politik pun semakin rendah. Berbeda dengan masa Orla, Orba sampai masa reformasi dimana darah mahasiswa masih sangat bergejolak untuk memperbaiki kondisi sosial, politik, masyarakat di Indonesia. Kini seiring dengan tingginya biaya kuliah dan sistem pendidikan di Universitas yang menjadi semakin kompleks dan liberal mahasiswa dituntut untuk lulus tepat waktu untuk segera terjun ke dunia kerja. Tak heran jika terjadi penurunan jumlah mahasiswa yang menjadi anggota organ-organ ekstra kampus yang berafiliasi terhadap partai politik tersebut. Politik, pendidikan, dan pendidikan politik memang, politik adalah segala bentuk tindakan yang disengaja dan dipandu oleh tujuan dan nilai-nilai. Dalam masyarakat majemuk. Pertanyaannya adalah bagaimana dan apakah mungkin untuk mencapai konsensus tentang nilai-nilai. Tetapi mereka yang bertanggung jawab untuk pendidikan politik harus memastikan bahwa nilai-nilai yang digunakan adalah nilai-nilai sah yang terlegitimasi dan diupayakan terkonsentrasi pada nilai-nilai positif. Untuk semua ini, politik tidak boleh dipahami sebagai perwujudan dari
Diah Setiawaty Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
» Kembali ke awal 9