2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Saribuah Nenas 2.1.1. Sifat Umum dan Pembuatan Saribuah Nenas
terrnasuk kategori tanarnan tropis
yang
sangat cocok
dikembangkan di Indonesia (Pracaya, 1985). Daerah-daerah tensi
untuk produksi nenas terutarna
berpo-
adalah wilayah Jawa Barat,
Sumatra Bagian Selatan dan Tengah, dan Jawa Tirnur (BPS, 1994). Kualitas buah nenas tergantung antara lain dari varietas, nutrisi, kontak dengan cahaya, intensitax cahaya, fluktuasi suhu lingkungan, kernatangan dan penyakit (Mehrlich dan Felton, 1980).
Kornposisi
kimia buah nenas pada urnurnnya adalah air 80-85 persen, kandungan gula 12-15 persen (dua pertiganya adalah sukrosa, sisanya glukosa persen asam, 0,l persen
dan fruktosa), protein 0,4 persen, 0,6
lernak, dan sisanya berupa serat dan berbagai jenis vitamin (Samson, 1980). Pernbuatan
saribuah pada prinsipnya berlangsung
rapa tahap, antara lain pernilihan bahan baku, pengepresan kedua, blending, dan diakhiri pengernasan (Mehrlich
dan
Felton,
dalarn bebe-
pengepresan kesatu,
dengan pemanasan dan
1980).
Variasi pernbuatan
saribuah nenas dirnungkinkan, tetapi pada dasarnya rnasih dalarn kerangka tahap-tahap tersebut di atas. Cairan yang diperoleh dari ekstraksi atau pengepresan nenas disebut single strength
(SS)
saribuah nenas. Single strength (SS) didefinisikan sebagai saribuah nenas yang rnempunyai sifat fisiko-kirnia yang sesuai dengan saribuah perolehan langsung dari buah tanpa perlakuan apapun kecuali ekstrasi
atau pengepresan. Sebutan saribuah tanpa keterangan apapun berarti SS (single strength) yang mempunyai total padatan terlarut antara delapan sampai 1 5 "Brix (Hodgson dan Hodgson, 1993).
2.1.2. Mutu dan Kearnanan Saribuah M u t u didefinisikan sebagai kelompok sifat atau faktor yang membedakan tingkat pemuas atau aseptabilitas dari suatu komoditas bagi pembeli atau konsumen
(Kramer
1966;
Soekarto,
Komoditas saribuah nenas yang diperdagangkan harus persyaratan m u t u atau standar yang ditetapkan.
1990).
memenuhi
Codex Alimentarus
Commission FAOIWHO ( 1 9 9 6 ) telah merekomendasikan standar mutu saribuah
nenas
(tampiran 1),
yang
nenas mempunyai total padatan terlarut
mensyaratkan saribuah
minimal 1 0 "Brix
dengan
warna, flavor dan penampakan umum tidak menyimpang dari keadaan umum saribuah nenas yang biasa dikenal orang. Warna, flavor dan penampakan saribuah nenas pada umumnya ditentukan secara subyektif, dan merupakan
bagian pokok yang
--
dicermati dalam menjamin standar saribuah nenas (Hodgson dan Hodgson, 1993).
Batasan standar m u t u secara obyektif terhadap
penampakan urnum, warna maupun
flavor saribuah nenas hingga
saat ini belum disebutkan secara eksplisit. Standar saribuah nenas dari Codex di atas yang tegas diukur secara
obyektif adalah padatan terlarut,
kadar etanol,
anti busa,
kadar cemaran logam berat, dan bebas dari mikroba yang mampu hidup pada kondisi penyimpanan normal (Lampiran 1). Asam askorbat
tidak dicanturnkan dalarn rekornendasi rnutu saribuah nenas oleh Codex, narnun dalam persyaratan urnurn produk akhir saribuah secara urnurn oleh Codex disebutkan harus mengandung asarn askorbat minimal 400 rnglkg (Codex, 1992). Berdasarkan standar tersebut
diatas,
rnaka
dari Codex rnutu
(1992) dan Codex
saribuah
nenas
(1996)
dipertimbangkan
berdasarkan berbagai jenis parameter rnutu secara fisik, kirnia dan biologis.
Dalarn rnernpelajari pengaruh proses terhadap rnutu pangan
urnurnnya tidak semua parameter rnutu diukur,
tetapi hanya diukur
satu atau beberapa parameter yang disebut indeks mutu.
lndeks
rnutu diharapkan dapat rnernberikan garnbaran parameter rnutu lain sebanyak-banyaknya baik yang biasa dinilai secara subyektif rnaupun secara obyektif. Warna, indeks kecoklatan, kadar asarn askorbat, dan kadar gula pernah digunakan sebagai indeks rnutu dalarn pernbuatan konsentrat nenas (Braddock dan Marcy, 1985). Warna merupakan indeks rnutu penting, karena terlihat konsurnen lebih awal.
Warna dan kadar gula
dapat rnencerrninkan penerimaan konsumen terhadap saribuah nenas dari konsentrat,
dengan model pendugaan yang dinyatakan Fontana
et a/. (1993) sebagai berikut:
di rnana:
P : Penerirnaan konsurnen pada saribuah nenas, dengan skor
0-9(sangat tidak diterirna - sangat diterima).
dG: Perubahan glukosa (%) dR: Perubahan gula pereduksi (%) dHunter-L: Perubahan skala warna Hunter-L (%)
Kadar asarn askorbat bukan hanya sering digunakan sebagai indeks
rnutu saribuah tetapi juga produk bahan pangan lain yang
diolah dengan panas dan disimpan.
Hal ini karena asarn askorbat
rnerupakan zat gizi yang relatif sensitif pada pernanasan (Lund, 1 9 7 7 ) dan mengalarni kerusakan akibat oksidasi rnaupun enzirnatis dalarn penyimpanan (Labuza, 1982). Penurunan kadar asam askorbat yang besar merupakan suatu peringatan kernungkinan terjadinya kerusakan zat gizi lainnya akibat pernanasan maupun selarna penyirnpanan. lndeks kecoklatan sering digunakan sebagai indikator rnutu untuk rnenyatakan warna saribuah, dan Lozano, 1984;
rnisalnya pada saribuah ape1 (Toribio
Bayindirli et a/., 19951,
saribuah wortel (Sirns
et a/., 1993), saribuah nenas (Wirakartakusurnah et a/., 1995) dan berbagai jenis saribuah jeruk (Kanner et Sarnaniego,
1986; Cohen et a/., 1994).
a/.,
1982; Robertson dan
lndeks kecoklatan banyak
digunakan sebagai indikator rnutu, karena sensitif dan rnudah diukur juga
mempunyai
cakupan
parameter
menyatakan penampakan warna.
rnutu
yang
has,
selain
Misalnya, indeks kecoklatan dapat
merupakan indikasi telah terjadinya serangkaian reaksi perubahan mutu yang rnelibatkan banyak kornponen pangan (Saper,
1993),
berkaitan dengan pembentukan furfural atau HMF, perubahan flavor, dan gula (Lee dan Nagy, 1988131, dan berkaitan dengan zat gizi
lainnya seperti asarn amino dan asarn askorbat (Sadler, 1987). lndeks kecoklatan umurnnya diukur secara spektrofotornetrik dan dinyatakan dengan satuan nilai absorbansi pada 420nrn (Meydav et a/., 1977). Penarnpakan saribuah nenas secara urnurn bersifat cloudy (tidak jernih atau tidak transparan), tetapi jika terjadi pengendapan partikel akan menjadi jernih sehingga rnenyirnpang dari standar Codex. lndeks rnutu
yang
dikaitkan
dengan
ha1 ini adalah
inaktivasi
enzirn
pektinesterase dan telah digunakan sebagai indeks rnutu dalarn pasteurisasi saribuah jeruk (Holland et a/., 1976). Menurut standar Codex (19961, saribuah nenas harus bebas dari mikroorganisme normal.
yang
dapat
Dengan p H 3,5-3,7,
hidup dalarn
kondisi penyimpanan
bakteri patogen tidak mernproduksi
racun bahkan tidak dapat hidup dan rnikroba yang berpeluang besar hidup pada saribuah tersebut adalah jenis Lactobacil/us, bakteri asam Iaktat,
kapang
dan
khamir
(Cousin
dan
Rodriguez,
1987).
Lactobacillus telah digunakan sebagai indeks m u t u dalarn proses pengolahan saribuah
jeruk (Nagy et
at., 1977), konsentrat pasta
tomat (Villari et a/., 1984) dan mikroba indikator daalam rancangan proses HTST dengan oven gelombang rnikro (Nikdel et al., 1994).
2.1.2. Aspek Fisiko-kimia Saribuah Saribuah nenas rnempunyai kandungan padatan terlarut rata-rata
12 "Brix, dengan nilai indeks kecoklatan antara
0,080-0,105
unit
absorbansi pada 4 2 0 n m (Braddock dan Marcy, 1985). Berdasarkan sifat fluidanya, saribuah nenas terrnasuk dalarn fluida Newtonian dan
diatas 22"Brix berubah menjadi pseudoplastik jika padatan terlarutnya bertambah (Hodgson dan Hodgson, 1993). Saribuah nenas mengandung sukrosa 8-10 g1100g. glukosa 1,7 g l 1 OOg,
fruktosa
0,7-1,8
g1100g dan asam askorbat
mgI100rnL (Braddock dan Marcy, relatif stabil, berkisar
antara
1985).
3.3-3.7,
3,3-5,3
Nilai p H saribuah nenas
dengan
kandungan
asam
nonvolatil yang didominasi asam sitrat dan malat (Singleton dan Gortner, 1965).
Dalam saribuah nenas juga terdapat lebih dari 45
senyawa .volatil, seperti aldehida, ester dan turunannya, senyawa
furan dan turunannya, furfurai dan
senyawa-
hidroksimetilfurfural
(Flat dan Forrey, 1970). Mehrlich
dan Felton (1980) juga melaporkan
adanya
mineral dan vitamin dalam saribuah nenas. Kalsium, fosfor,
sejumlah magne-
sium dan potasium terdapat lebih dari 8 mgllOOg, sedangkan niasin dan asam pantotenat masing-masing 0,29 dan 0.16 mg1100g. Nenas juga dilaporkan mengandung sejumlah pigmen klorofil, karotenoid dan antosianin (Gortner, 1965).
2.1.3. Aspek Biokimia dan Mikrobiologi Saribuah Aspek biokimia nenas yang menonjol dibanding buah-buahan lainnya adalah ketersediaan enzim bromelin.
Hasil penelitian Gortner
dan Singleton (1965) menunjukkan bahwa lebih dari 5 0 persen protein nenas berupa enzim protease (bromelin). saribuah nenas lebih dari 2 0 jenis (Tabel 1)
Asam amino dalam yang didominasi oleh
aspargin, alanin, serin dan glisin (Hodgson dan Hodgson, 1993).
Tabel 1 .
Kadar asam amino dalarn saribuah nenas (Hodgson dan Hodgson, 1993) -
No. Narna Asarn Amino
Alanin Alpha-aminobutirat Gamma-aminobutirat Arginin Asparagin Aspartat SisteinISistin Jenkolat Etanolamin Glutamat Glutamin Glisin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Phenilalanin Prolin
20.
Serin
21.
Threonin
22.
Tirosin
-
Konsentrasi tppm)
Enzim peroksidase juga dijumpai pada nenas muda,
tetapi
keberadaannya rnenurun terus pada proses pematangan buah.
Selain
peroksidase, dalam
buah nenas
juga
dilaporkan terdapat poliga-
lakturonase, fosfatase, oksidase dan dehidrogenase (Gortner dan Singleton, 1965). dalam proses
Beberapa
jenis enzim dapat menjadi
masalah
bahan pangan berasam tinggi, antara lain :
lipase,
fenolase, lipoksigenase, katalaso, peroksidase, pektinase, oksidase, Pektinase,
dan
dan fosfatase.
fosfatase
berpengaruh
golongan
buah secara alami tgrdapat enzim pektinesterase yang
pada
peroksidase,
protease
protease,
mutu produk
(Sadler, 1987). Pada
keadaannya bervariasi tergantung jenisnya (Reed, 1975). Pektinesterase adalah golongan enzim pektinase yang mengkatalisis
deesterifikasi hidrolitik
tanpa gugus metoksil.
pektin sehingga membentuk
Menurut Kulp (1975),
pektin
enzim pektinesterase
tidak hanya diproduksi oleh tanaman, tetapi juga diproduksi mikroba seperti Fusariurn sp., Clostridium sp. dan sebagainya. Mikroflora
yang
mungkin terdapat
dalam
produknya, antara lain berupa bakteri seperti
buah
nenas
Clostridium paste-
urianum, Lactobacillus plantarum, Leucostoc mecenteroides, beberapa jenis bakteri Clostridium
grampositif yang
dan
belum
dan
teridentifikasi.
pasteurianum tidak mampu hidup pada produk nenas
yang rnempunyai pH kurang dari 4,2 (Hodgson dan Hodgson, 1993). Mereka
juga rnencatat
saribuah nenas
adanya sejumlah kapang dan khamir pada
yang dibuat dari konsentrat (Aw rendah), seperti:
Byssochlamys fulva dan Talaromyces flavus.
Khamir bersama sporanya dapat dieleminasi dengan rnudah menggunakan pasteurisasi,
tetapi
kapang
yang
berspora
pernanasan lebih lama jika produk berupa konsentrat.
perlu
Kadar gula
yang tinggi dalarn konsentrat akan rneningkatkan daya tahan khamir terhadap panas (Frazier dan Westhoff, 1978). Kapang lebih dorninan pada jenis konsentrat, tetapi pada buah dan sayuran dengan Aw tinggi, bakteri umumnya mengambil peran pertama merusak dalam ferrnentasi, kemudian diikuti kapang dan kharnir (Gilliland, 1986).
2.2. Mekanisme Perubahan Mutu Saribuah Perubahan
warna
dan flavor
saribuah
nenas
diduga akibat
degradasi gula, pemanasan dan penyimpanan (Mehrlich dan Felton, 1980). Perubahan rnutu saribuah menurut faktor penyebabnya yang dorninan dapat terjadi akibat reaksi kimia, aktivitas biokirnia dan kerja mikroba.
Berlandaskan indeks
mutu saribuah nenas yang diuraikan
dibagian 2.1 maka perubahan mutu saribuah nenas yang penting dikemukakan rnekanismenya adalah kecoklatan dan perubahan gula, degradasi asarn askorbat, perubahan mutu akibat aktivitas kerja enzim dan mikroba.
2.2.1. Kecoklatan dan Degradasi Gula Kecoklatan yang terjadi d i dalam bahan pangan rnerupakan produk serangkaian reaksi yang rnelibatkan banyak senyawa, lebih kompleks dari sekedar pembagian kecoklatan secara nonenzimatis dan enzimatis (Saper, 1993). Kecoklatan nonenzimatis berdasarkan rnekanismenya
dibedakan atas empat golongan, yaitu kecoklatan akibat karamelisasi, reaksi
Maillard,
degradasi
asam
askorbat
dan degradasi lipid
(Sadler, 1987). Kecoklatan reaksi Maillard diawali oleh reaksi gula pereduksi dengan
asam
amino
membentuk
glikosilamin,
yang
kemudian
membentuk produk Amadori. Selanjutnya terjadi reaksi-reaksi pembentukan senyawa
antara
dan
hingga berakhir pada pembentukan
senyawa kecoklatan (Gambar 1).
Saat ini telah diketahui bahwa
produk Amadori dapat menjadi berbagai senyawa dengan melalui berbagai senyawa antara sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 2 (Tressl et a/., 1994) Sukrosa tidak terrnasuk gula pereduksi (BeMiller dan Whistler, 1996),
tetapi
dapat
menghasilkan fruktosa
dan glukosa
yang
merupakan gula pereduksi. Pembentukan produk antara berupa HMF dalam Gambar 1 merupakan indikator kuat telah terjadi degradai gula pereduksi seperti fruktosa dan glukosa tersebut (Sadler,
1987).
Akibat degradasi gula bukan hanya terbukanya peluang kecoklatan reaksi Maillard, tetapi juga dapat menghasilkan berbagai senyawa, sebagaimana diperlihatkan dalam Tabel 2.
Monosakarida
pada
pemanasan suhu tinggi dalarn suasana asam kuat dapat mengalami dehidrasi, 1989).
hingga menjadi furfural seperti dalam Gambar 3 (Wong, Dalarn ha1 ini baik
dapat menjadi l,2-enediol,
fruktosa maupun
glukosa sama-sama
dan kemudian melewati jalur yang sama
membentuk hidroksirnetilfurfural (HMF). Konversi dari gula ke HMF itu berlangsung dalam empat tahap (Gambar 3).
16
+amin, -H20
Glikosilamin rearangemen
1-amino-I -deoksi-2-ketosa
Basis Schiff, HMFIFurfural
Redukton
Hasil fisi (asetal, diasetil, dll.)
Dehidroredukton
HMF atau furfural
Aldehid
+amin
Melanoidin polirner dan kopolimer kecoklatan yang mengandung nitrogen
Garnbar 1. Kecoklatan reaksi Maillard (Hodge, 1 9 5 3 dan Nursten, 1990; dalarn Apriyantono, 1992)
Y
3-deokC l +C5 tsi-aldo-
Basa Schiff t---C2+C4
11
2,3-Ened~ol
, lntr F
S trecker
Keterangan: K = ICll~CO,lI
R, =
c~rco,ii
"'-'"'
ktI(cli,)€..
I.
I /
j
reaksi kecoklatan
1 -
--) pH<5
pH 7
I Keterangan tentang senyawa antara (intr.) : N-K
N-K
011
0Ii
1
intr D
011
H
NI1.K
01i
A
L
Gambar 2. Jalur pembentukan senyara antara (intermediate) dalam kecoklatan reaksi Maillard dari glukosa (Tressl eta/., 1994)
-
pernbentukan aroma
Tabel 2 . Beberapa senyawa hasil degradasi gula (Lee dan Nagy, 1988)
Asam asetat Asetilformoin Asam format 2-Asetilfuran 2-Asetilpirol a-Angelica lactone B-Angelica lactone
N-Etilpropil-2-karboksaldehid 2,3-Dihidro-3,5-dihidroksi-6-metil-4H-piranon 2,5-Dimetil-4-hidroksi-3(2H)-furanon
Furfural Furfuril alkohol 2-Hidroksiasetil furan 2-Hidroksiasetil furan format 5-Hidroksimetil furfural 4-Hidroksi-2-(hidroksimetil)-5-metil-3(2H)-furanon
Metilsiklopentenolon 5-Metil-2-furaldehid 5-Metilpirol-2-karboksaldehid
. l H I
H- C=O
H-CSOH
HO-:-H I H-C-OH
H-C-OH
n
I
H-C-OH
2
15
H-C-OH no-A-H I
C-OH
=
I
HO-C-H I
n-c-on
I
n-C-on
H-C-OH
I C H,
I
I
-
H
f
n-i-0"
frukto~a
H@
H-C-OH I
CH.OH
CH,OH
1.2-enediol
H-C-OH $4
0
!
CH,
glukosa
C-OH I NO-C-H
[e
I H-C-OH
I
H-C-OH
-
H-C-OH
H - C G H
H@
H-C-OH
H-C=O
.(I
@ + Y o
5
H,O
H,O-C-H I H-C-OH
C-OH
A
:
I H-C-OH
I
I
H-C-OH I CH,OH
I
H-C-OH I CH,OH
H-C-OH I
CH,OH
3-deoksiglikosulosa
H - C =O I C-OH I,
CH I H-C-OH
H
H-C=O I
H-C=O
CGH H.0
(D
're
-L
H-C-OH,
I
I
C =o
in CH I
H-C-OH
H-C-OH
I
I
CH.~H
CH,OH
H-C-OH I
CH,OH
glikosulos-3-ene H-
c=o I
F?J
C=OH G
r
H CH I
,
H-C-OH CH,OH
H- C =O
-
(:-OH
(id C-OH I
""'pJ",,
HOC&
-"so
0
ucHO
OH
hidroksimetilfurfuraj
1
CH.OH
O ;:
0
I1
CH,CCH,CH,COOH
+
HCOOH
aSam levulonat I
Gambar 3. Pembentukan turunan furan dari glukosa dan fruktosa (Wong, 1989)
Perbedaan pokok
kecoklatan
akibat
reaksi
Mailtard,
asam
askorbat dan lipida pada dasarnya hanya bertumpu pada asal karbonil reaktifnya.
Pada reaksi Maillard,
karbonil reaktif berasal dari gula
pereduksi, sedangkan kecoklatan dari lipid bermula dari autooksidasi asam lemak tidak
jenuh dan umumnya mempunyai Ea dibawah 5
Kkallmol (Sadler, 1987). Peristiwa kecoklatan yang mempunyai E a d i bawah 5
Kkallmol pernah ditemukan dalam penelitian Priyanto
(1991), yaitu sebesar 2,5 Kkalfmol pada kecoklatan kerak roti tawar dalam pemanggangan selama 5-30 menit dengan suhu 250-280 "C.
2.2.2.
Degradasi Asam Askorbat
Kehilangan asam askorbat dapat berlangsung secara enzimatis dan nonenzimatis yang bersifat oksidatif maupun nonoksidatif. Jalur kerusakan secara
enzimatis
pada produk sterilisasi
dan
paste-
urisasi dapat diabaikan, karena enzim askorbikase yang mengkatalisis
kerusakan tersebut inaktif atau kehilangan kemampuannya
dalam pemanasan ringan (Wong, 1989). Kerusakan nonenzimatis asam askorbat yang berkelanjutan dapat menghasilkan prekusor dan senyawa kecoklatan, hat dalam Gambar 4 (Gregory 111, 1996).
sebagaimana terli-
Dalam gambar tersebut
terlihat bahwa kerusakan dapat berlangsung dengan atau tanpa katalis
logam, dan juga dapat
berlangsung dengan jalur oksidatif
(kondisi aerobik) maupun nonoksidatif (anaerobik). Dari kedua jalur tersebut sama-sama dihasilkan senyawa diketogulonic acid (DKG),
Asam askorbat
(ti2 A - u ~ ~ o )
Garnbar 4. Degradasi asam askorbat hingga rnenjadi kecoklatan (Gregory 111, 1996)
yang selanjutnya rnelalui 3-deoksipentose
(DP) atau xilosone
(X)
dapat rnernbentuk senyawa coklat. Dalarn Garnbar 4 tersebut terlihat bahwa setelah pernbentukan DKG relatif sulit dibedakan antara kerusakan yang berasal dari proses
oksidatif rnaupun nonoksidatif, bahkan juga ada sebagian senyawa yang rnungkin berasal dari degradasi gula. tahap
awal
kerusakan
Narnun dernikian dalarn
asarn askorbat, terdapat perbedaan nyata
peranan oksigen, asarn dan produk reaksinya.
terutama dalarn
Kerusakan asarn askorbat nonoksidatif dapat dipercepat dengan pH yang diturunkan atau kondisi asam (Wong, 1989).
2.2.3. Kerusakan Saribuah Akibat Enzirn dan Mikroba
Enzirn yang secara alarni terdapat dalarn bahan pangan jika tidak diinaktifkan dapat rnengkatalisis reaksi-reaksi yang tidak dikehendaki dan rnerusak rnutu pangan.
Hasil reaksi yang dikatalisis tersebut
dapat rnerupakan suatu surnbangan yang berarti bagi kelangsungan dan ketahanan hidup mikroba yang ada hingga rnernperberat kerusakan pangan. guna pangan.
Di pihak lain, mikroba rnernproduksi sejurnlah enzirn
keperluan rnetabolisrnenya hingga rnemperparah kerusakan Karena
itu kerusakan akibat enzim
dan
mikroba dapat
bekorelasi dan berakibat tirnbal balik. Dalarn produk berupa saribuah kernungkinan
kerusakan yang terjadi akibat kerja enzirn adalah
perubahan warna,
kekeruhan dan flavor yang rnenyirnpang dari
standar saribuah sebagairnana dibahas di bab 2.1.
2.2.3.1.
Kecoklatan Enzimatis
Kecoklatan enzirnatis
disebabkan
oleh reaksi yang dikatalisis
oleh enzirn fenolase. Reaksi yang dikatalisis enzim tersebut ada dua tipe, yaitu
reaksi
hidroksilasi yang
menghasilkan
reaksi oksidasi
yang rnenghasilkan
Hyslop,
Jika
ortofenol
dan
ortoquinon (Richardson dan maka
reaksi
pertama menghasilkan o-dihydroxyphenylalanine (DOPA) dan
reaksi
DOPA quinon,
dapat
1976).
kedua rnenghasilkan
substratnya
tirosin,
berupa
yang
jika
berlanjut
terjadi kecoklatan sebagairnana terlihat dalam Garnbar 5. Dalam Garnbar 5 terlihat bghwa oksigen dan enzirn berperan besar dalam kecoklatan enzimatis. ini dapat
Karena itu kerusakan enzimatis
rnudah terhambat dengan inaktivasi
angan oksigen.
enzim
atau pernbu-
Selain itu keberadaan sistein dan sejurnlah antiok-
sidan lrnisalnya asarn askorbat) juga dapat rnenghambat kecoklatan enzimatis melalui reaksi dengan dopaquinon, sebagaimana diperlihatkan dalam Garnbar 6. Asarn askorbat dan sistein dalarn ha1 ini mengembalikan reaksi dari bentuk dopaquinon menjadi DOPA. Vitamin
E Itokoferol) rnerupakan antioksidan kuat yang langsung rnengharnbat jalur kerja fenolase.
D i pihak lain, asarn askorbat dan sistein secara
alami terdapat dalam saribuah (Mehrlich dan Felton, 19801, sehingga kecoklatan
enzimatis
relatif
larnbat
dibanding
kecoklatan
nonenzimatis. Namun demikian, dalarn pernotongan buah dan sayur d i udara terbuka,
kecoklatan enzirnatis yang sangat cepat terjadi
akibat jumlah oksigen yang berlimpah (Scott, 1975).
-
CHI-CH-NY
-
I
I
C=O !
CZO
I
OH
I
OH
Tirosin
MELANIN
Cn>-Cn-E(H1 ! c=o
CH~-CH-NH,
OH
dopa
dopaquinon
I
HC-HzC-S
CH,-CH-NH)
I
I c=o
c=o
I
OH
SH
c=o
5-S-sisteinildopa Nb
I
OH
dopaquinon
sistein
,
CH2-CH-NY c=o .*
W2-CH-C=0
1
I
I
N&
OH
dopahidroquinon
I
OH
sistin
F
m;on CHI-W-NH>
I
c=o I
OH
dopaquinon
OH
asam askorbat
dopahidroquinon
+
0
asam dehidro askohat
Gambar 6. Jalur penghambatan asam askorbat dan sistin dalam penghambatan kecoklatan enzimatis (Friedman, 1996)
2.2.3.2.Penjernihan Enzimatis Saribuah nenas secara normal berpenampakan keruh (cloudy) atau tidak jernihltransparan. Kekeruhan saribuah bukan hanya penting dalarn penarnpakan saribuah, tetapi juga rnemberikan dalarn
pengecapan
(mouthfeelness).
komponen utarna dalarn
Pektin
juga
citra khas merupakan
mempertahankan penarnpakan kekeruhan
tersebut (Holland et at., 1976). Kekeruhan saribuah dipertahankan oleh pektin koloidal dengan rnempertahankan keseirnbangan strength dan jumlah
ikatan ion
logarn. Kesetirnbangan tersebut terganggu atau rusak oleh aktivitas enzirn pektinesterase.
-
Pektinesterase dalarn ha1
ini rnengkatatisis
reaksi hidrolisis grup metoksi pada pektin sehingga karboksil bebas (Garnbar 7).
rnenjadi grup
Peningkatan grup karboksil akan
rnengganggu strength dan jurnlah ikatan yang menjadi daya penstabil pektin koloid untuk rnernpertahankan kekeruhan, sehingga dapat menyebabkan pengendapan. lnaktivasi enzirn pektinesterase dalarn saribuah olahan dipandang lebih penting dari enzirn fenolase.
Hal ini
disebabkan dampak yang ditimbulkan fenolase rnasih dapat terhenti oleh senyawa dalarn produk seperti asarn askorbat dan sistein.
Pada
saribuah jeruk kerusakan rnutu akibat penjernihan atau hilangnya kekeruhan
tersebut
umurnnya
dihindarkan
dengan
pektinesterase melalui pernanasan (Nagy et al., 1977).
inaktivasi
2.2.3.3.Kerusakan M u t u Akibat Kerja Mikroba Keasaman saribuah nenas yang tinggi,
pH
33-3.7.merupakan
keuntungan tersendiri karena dengan p H kurang dari 3.9
mencegah
mikroba patogen dan sporanya untuk hidup. Proses pada saribuah nenas diarahkan untuk membunuh sel vegetatif,
hingga dicapai
standar m u t u bebas dari mikroba sesuai rekomendasi Codex. Lactobacillus merusak mutu saribuah, karena menimbulkan penyimpangan rasa dan bau, lebih tahan p H rendah dan relatif tahan pemanasan dibandingkan mikroba dapat lainnya.
3.6,
hidup pada
pH
rendah
LactobaciNos tersebut-masih dapat tumbuh baik pada p H
sedangkan
Leuconostoc sangat
lambat pertumbuhannya dan
baru membaik pertumbuhannya pada p H lebih besar dari 3,9 (Nagy e t a/.,
1977).
lebih
banyak
Dominasi dan ketahanan panas kapang dan khamir terjadi
pada
bahan
pangan
dengan
Aw rendah
(konsentrat), tetapi pada saribuah dan produk ber-Aw tinggi bakteri lebih dominan (Labuza, 1982). Kerusakan yang ditimbulkan oleh Lactobacillus terhadap saribuah pada prinsipnya disebabkan oleh kegiatan metabolisme mikroba tersebut agar dapat bertahan hidup. Kegiatan pokok dalam hat
ini memfermentasi gula
sebagaimana terlihat di Gambar 8.
Lactobacihs
dan menghasilkan metabolit Ketersediaan gula berkurang
akibat metabolisme akan mempengaruhi rasa dan flavor saribuah bersamaan dengan gangguan metabolit terhadap keasaman dan bahkan warna saribuah.
1
ruktoss lukose
Fruktgsa-1,6P
Glukosa-6P MDH 6P Ccukon~r
."*" 0'
i
UnH
"'I 0
X t ~ u ~ o sSP r
+
i 2 h
v
2 T a ~ o r a3P
ATP
Tllosa-3P
+
::
A s r r r ~P
Aurrr
NADH
"5 IIG**lra.]
MD+
Jalur Glikolitik
Jalur Foefolitik
C
Garnbar 8. Jalur fermentasi g u l a o l e h b a k t e r i L a c t o b a c i l l u s s. (Flamming 'et a/.. 1986)
2.3.Proses Aseptik 2.3.1. Prinsip Dasar Proses (process) didefinisikan sebagai pemanasan terhadap bahan pangan dalam waktu dan suhu tertentu yang ditentukan secara ilmiah untuk mencapai kecukupan sterilisasi komersial (The Food Processor Institute, 1988).
Proses aseptik adalah suatu
pemanasan secara
kontinu dalam tempo singkat dalam rangka sterilisasi (UHT) atau pasteurisasi (HTST) bahan pangan diluar
kemasan.
Pengernasan
aseptik diawali dengan sterilisasi kemasan tanpa produk,
diikuti
dengan pengisian produk proses aseptik dan ditutup secara hermetis dalam kondisi aseptik.
Hubungan antara
proses aseptik sangat erat, pengertian
sebagai
tersebut,
sehingga sering dianggap sebagai satu
pengemasan
processing and packaging).
pengemasan aseptik dan
dan
proses
aseptik
(aseptic
Untuk menghindari kerancuan pengertian
Nelson et a/. (1 987) memberikan diagram sistem proses
dan pengemasan aseptik sebagaimana terlihat dalam Gambar 9.
Proses aseptik dan pengantaran bahannya Pengisian dan penutupan aseptik , dan
Sterilisasi kemasan dan pengantaran kemasan
Gambar 9. Sistem proses aseptik
Keuntungan proses aseptik adalah tersedianya
peluang menggu-
nakan suhu lebih tinggi dibandingkan proses konvensional.
Dengan
suhu tinggi tersebut dan didukung oleh sistem kontinu, maka waktu proses dapat diperpendek (Lund, 1987). kenyamanan
produksi
dan desain
Keuntungan
lain adalah
kernasan, m u t u produk dapat
diharapkan lebih baik, dan relatif hemat energi (Toledo dan Chang, 1990). Disamping penggunaan (pumpable) bangkan
keuntungan proses
diatas,
aseptik
yaitu
dan penentuan w a k t u
terdapat
keterbatasan
bahan harus prosesnya
bersifat
dalam fluida
perlu mempertim-
sifat aliran bahan. Berdasarkan pertimbangan
keamanan
pangan untuk masyarakat umum, maka waktu dan suhu proses yang diperlukan untuk destruksi mikroba hanya dievaluasi dibagian tempat
target pemanasan (holding tube)
isotermal (Toledo, 1986).
Waktu proses ditentukan
pada perioda pada
berdasarkan
kecepatan maksimal fluida (Vrnax) sebagai berikut (Lund, 1987):
dimana:
0 : Waktu proses aseptik (detik) L : Panjang holding tube (cm) Vmax: kecepatan maksimal bahan (cmjdetik)
kondisi
Besar V ~ . X dipengaruhi oleh profil atau distribusi kecepatan.
Vmax
untuk aliran laminer (bilangan Reynolds, Re, kurang dari 2100) fluida Newtonian sebesar dua kali kecepatan rata-ratanya (V), sedangkan untuk nonNewtonian diduga dengan model hubungan sebagai berikut (Lund, 1987):
dimana: V : kecepatan rata-rata fluida (cmldetik) n : indeks perilaku aliran (tanpa satuan).
Bagi fluida yang bersifat turbulen baik fluida Newtonian maupun. nonNetonian persamaan (2-2) diatas kurang tepat jika digunakan. Dalam ha1 ini lebih tepat digunakan persarnaan Dodge dan Metzner dengan menggunakan bilangan Reynolds urnum (generalized Reynolds number, Re'). Palmer dan Jone (1976) telah menghitung rasio V/Vmax dalam berbagai sehingga dilakukan.
nilai Re' sebagaimana terlihat dalam Gambar
pendugaan kecepatan maksimal bahan Penggunaan informasi reologi dengan
lebih
10,
mudah
referensi suhu
kamar akan bias atau kurang tepat jika kenyataannya sifat tersebut ternyata berubah pada suhu tinggi.
2.3.2.Sterilisasi dalam Proses Aseptik Proses aseptik pada aktivitas
mikroba yang
Namun demikian dalam
dasarnya dirancang untuk menghilangkan tidak
dikehendaki dalam bahan pangan.
perkembangannya proses
dituntut untuk rnempertahankan mutu dan
tersebut juga
meningkatkan keawetan
produk dengan menginaktifkan enzim pengganggu (Toledo dan Chang, 1990).
Kecukupan
pemanasan
proses
aseptik
pada
dasarnya
diperhitungkan pada kemampuan sistem pemanasan (Lund, 1977), dan rnikroba indikatornya menurut golongan p H bahan pangan yang diproses (Cousin dan Rodriguez, 6 987). Bahan pangan dikelompokkan dalam
tiga golongan berdasarkan
pH-nya, yaitu berasam rendah (pH lebih besar dari 4'61, asam (pH 4Penentuan waktu dan
4,6)dan berasam tinggi (pH kurang dari 4,O). suhu dalam proses yang
ditetapkan
pangannya. dan
aseptik tergantung
berdasarkan
jenis
ketahanan
mikroba
panas
dan
indikator, p H bahan
Stumbo (1 9 7 3 ) merangkum alternatif mikroba indikator
ketahanan panasnya
menurut golongan p H bahan pangan
sebagaimana terlihat dalam Tabel 3. Pada
bahan pangan berasam rendah
mikroba indikator Clostridium asam
umumnya
sporogenes PA3679, pada makanan
sering digunakan mikroba indikator jenis bakteri
seperti BaciNus coagulans atau berasam
tinggi digunakan
digunakan
mesofilik
Clostridiurn pasteurianurn,
bakteri
toleran
asam
yang
(Lactobacillus,
Leuconostoc), kapang atau khamir (Cousin dan Rodriguez, 1987).
Tabel 3. Nilai D dan grup mikroba dalam bahan pangan (Sturnbo, 1973)
Kelompok Bahan Pangan dan rnikrobanya
Ketahanan panas (rnenit)
Bahan pangan berasarn rendah: Terrnofilik (berspora) Grup flatsour (B.stearotherrnophilus) Grup gaseous (C. therrnosaccharolyticum) Grup sulfit (C.nigrican)
4,O-5.0 3,O-4,O 2,0-3,0
Mesofilik (berspora) C.botulinurn (A dan B) Grup C. sporogenes (termasuk PA36791
0,l-0,2 0,l-1.5
Bahan pangan asarn: Terrnofilik (berspora)
0,Ol-0,07
Mesofilik (berspora) Anaerob fakultatif Butirat anaerob (C.pasteurianum) Bahan pangan berasarn tinggi: Lactobacillus, f euconostoc dan kharnir serta kapang
D(66"C) 0,5-1 ,O
Pada bahan pangan berasam rendah,
seperti susu, sterilisassi
proses aseptik dilakukan dengan UHT yaitu pernanasan pada suhu
135-1 50°C selarna 2-5 detik. saribuah pH 3,5-4,
Pada produk berasam tinggi,
dilakukan dengan HTST yaitu pernanasan pada
suhu 85-95°C selarna 15-30 detik (Fardiaz, 1992). waktu
seperti
proses yang lebih singkat
dalarn
Penggunaan
proses aseptik
HTST
dimungkinkan dengan menaikkan suhu proses. Proses aseptik dalarn waktu tiga detik pada 104 O C telah dicobakan pada saribuah jeruk dan apel, dengan hasil relatif sama dengan saribuah yang diproses hotfill
85°C selarna tiga menit (Toledo dan Chang, 1986). Penggunaan waktu proses yang rnakin pendek diharapkan dapat mengurangi kerusakan zat gizi dan rnenghemat biaya produksi. Narnun dernikian penggunaan waktu pendek perlu dilakukan dengan cermat, sebab rneskipun inaktivasi rnikroba target tercapai tetapi ada kernungkinan enzim yang dapat rnerusak bahan pangan belurn inaktif. Keadaan tersebut dikemukakan Toledo (1990) dalarn diperlihatkan pada Garnbar 11 untuk Dalam
gambar
tersebut
terlihat
kasus bahwa
bahan
ilustrasi yang pangan asam.
C.pasreurianum
dapat
diinaktivasi (6D) dalarn pemanasan seharna 12 detik (0.2 rnenit) pada suhu
96"C,
tetapi
waktu
tersebut
tidak
mencukupi
untuk
rnenginaktivasi enzirn pektinesterase dan poligalakturonase yang perlu waktu proses tidak kurang dari lima menit. Dengan dernikian dalarn proses aseptik dengan HTST, perlu diperhitungkan keberadaan enzirn perusak yang relatif tahan dalarn rentang suhu sistem pemanasan tersebut.
I
1
85
90
9%
Suhu *c
Gambar 1 1 . Waktu inaktivasi faktor biologis bahan pangan (Toledo dan Chang, 1990)
2.4.
Kinetika Reaksi Kimia dan M u t u Pangan Penggunaan
kinetika
dalarn
bidang
pangan
pada
dasarnya
rnerupakan penerapan prinsip kinetika yang digunakan dalarn reaksi kirnia.
Kinetika kirnia ialah suatu telaah rnengenai laju reaksi kirnia
dan perubahannya pada berbagai kondisi (Labuza,
1983).
Kinetika
kirnia juga berkaitan dengan perubahan suatu sifat kimia dalarn suatu waktu (Steinfeld et a/.,1 989). Kinetika dalarn bidang pangan telah rneluas penggunaannya, bukan hanya mernpelajari perubahan kimia tetapi juga fenornena fisik dalarn bahan
pangan
yang
dapat
dijelaskan
dengan
kinetika
seperti
pendugaan waktu kedaluwarsa (Labuza, 1982), gelatinisasi pati dan penyerapan air (Wirakartakusurnah,
1 9 8 1 ) dan perubahan warna
kerak roti (Priyanto et al., 1990). Manfaat inforrnasi kinetika terutama dalarn perencanaan proses, pengembangan produk dan penyirnpanan bahan pangan,
sebagaimana terangkum pada Tabel 4 berikut (Lenz
dan Lund, 1980).
Tabel 4. Manfaat kinetika dalarn teknologi pangan No. 1. 2.
3.
Kategori rnanfaat Perbaikan produk Pengernbangan produk baru Penyimpanan produklbahan pangan
KeteranganIContoh kasus Minirnalisasi kerusakan pangan ldentifikasi peluanglalternatif produk baru dengan desain proses dan rnetode pengemasan Pendugaan umur sirnpan dan pengendalian variabelnya
2.4.1. Landasan Teori Laju dan Orde Reaksi
Perubahan kirnia dapat terjadi dalarn bentuk
sederhana hingga
yang kornpleks yaitu yang terdiri atas beberapa tahap dan urnurn-nya mencakup satu atau lebih senyawa antara.
Reaksi kimia yang hanya
berlangsung satu tahap disebut reaksi elernenter yaitu reaksi
yang
produknya langsung dibentuk dari reaktan. Reaksi elementer dapat dinyatakan
dalam
rnolekuleritasnya,
sehingga
unimolekuler, birnolekuler dan seterusnya.
dikenal
reaksi
Model kinetika bentuk
sederhana diawali dengan model yang didasarkan reaksi elementer dengan
persamaan-persarnaan
berikut
(Steinfeld
et
a/., 1989).
Reaktan A bereaksi dengan reaktan B menghasilkan X dan Y,
dan
persarnaan stoikiometrinya dapat dituliskan sebagai:
dimana : a, b, x dan y adalah jumlah rnol A, B, X dan Y
Perubahan jurnlah reaktan atau produk terhadap waktu disebut laju reaksi (R), dan untuk persamaan (2-1) dapat dinyatakan sebagai:
dimana: d0 : perubahan waktu (detik atau jam, dsb.) dCi: perubahan konsentrasi zat i (mol/L)
Dalam bentuk yang lebih umum laju reaksi dapat dinyatakan sebagai fungsi (f) dari konsentrasi reaktan A dan B, sebagai berikut:
Dengan pendekatan yang sama, fungsi produk X dan Y.
R
dapat pula dinyatakan sebagai
Selanjutnya dalam hubungan R
fungsi reaktan atau produk yang sering reaksi proporsional terhadap hasil
sebagai
ditemui adalah bahwa laju
kali perpangkatan aljabar
dari
konsentrasi individual, sehingga dapat disusun kesetaraan sebagai berikut :
dimana m dan n adalah orde reaksi terhadap A dan B. secara keseluruhan adalah m Kesetaraan
dalam
Orde reaksi
+ n.
pernyataan
(2-4) tersebut
dapat dijadikan
persamaan dengan penyisipan suatu tetapan k, sehingga diperoleh persamaan berikut:
dimana : k : adalah konstanta laju reaksi.
Persamaan (2-5) disebut persamaan laju
(rate equation), dan k
dikenal sebagai konstanta laju perubahan (rate constant). Dengan pendekatan
yang
sama
dapat
dibuat
model
persamaan
laju
berdasarkan produk, untuk reaksi unimolekuler, termolekuler dan sebagainya.
Dari reaksi unimolekuler misalnya, dengan persamaan
stoikiometri dari A+
B, dapat diperoleh:
Persamaan (2-6) dapat dinyatakan dalam bentuk hasil integrasinya sebagai persamaan berikut (Steinfeld et a / . , 1 9 8 9 ) :
Dengan demikian dapat dikemukakan persamaan untuk orde kenol (n=O),
kesatu ( n = I)dan kedua (n = 2 )
dalam
bentuk hasil
integrasinya sebagai persamaan (2-8). (2-9) dan (2-10) berikut ini (Boekel, 1996).
Konsep laju dan orde reaksi dalarn reaksi kornpleks pada dasarnya karena jurnlah
sarna dengan reaksi sederhana, tetapi produk lebih banyak bagian persarnaan.
maka
reaktan
dan
diperlukan modifikasi pada beberapa
ici
Dalarn ha1
terrnasuk reaksi kornpleks adalah
reaksi bolak-balik, reaksi dengan percabangan produk, reaksi dengan percabangan reaktan dan reaksi berantai.
Reaksi-reaksi
tersebut
beserta dengan persarnaan lajunya dalarn bentuk hasil terintegrasi dengan
asumsi orde kesatu telah diungkapkan
oleh
Sweinbourne
( 197 1), dan hasilnya terangkurn dalarn Tabel 5.
2.4.2. Kinetika Perubahan Mutu Pangan Reaksi-reaksi kirnia dalarn sistern bahan pangan sangat kompleks, karena itu urnurnnya
lebih
dapat rnenjadi
rnudah rnengungkap
reaksinya dengan pendekatan rnaternatis atau serniempiris dibandingkan
pendekatan rnekanistik
tahui rnekanisrnenya (Labuza,
di
rnana setiap tahap harus dike-
1983).
Kinetika kirnia dalarn bahan
pangan rnerupakan kajian terhadap perubahan dalarn bahan pangan dengan rnetode pendekatan semi empiris. Salah satu'sasaran pokok
Tabel 5. Reaksi kompleks dan bentuk integrasi dari persamaan laju perubahannya (dirangkum dari Sweinbourne, 1971)'
Reaksi
Hasil lntegrasi persamaan laju
CX= C~~[k1/(k~-k~)I[exp(-k10)-exp(-kz8)1 4. A
k l x
b
y
C v = C ~ o { l+
kzexp(-ki8)-kiexp(-kz0) ki-kn
') Keterangan : o (indeks):menunjukkankeadaan awal ar (indeks) menunjukkan pada 9 tak terhingga (maksimall C. : konsentrasi senyawa-x
I
eksperimen kinetika adalah rnenggambarkan laju tersebut (Hill
dan
pengembangan model matematis untuk
reaksi sebagai fungsi variabel Grieger-Block, 1980).
eksperimen
Dalam ha1 ini,
model
matematis yang diperlukan dalam kinetika perubahan m u t u pangan merupakan suatu bentuk pernyataan
atau
persamaan aljabar yang
rnarnpu menggambarkan keadaaan pangan tersebut (Saguy dan Karel, 1980). Dalam kinetika
perubahan m u t u pangan, umurnnya dilakukan
penyederhanaan reaksi-reaksi yang kornpleks dengan menjadi reaksi sederhana
dengan
orde
reaksi
dimungkinkan dengan asumsi
kenol
atau
kesatu.
Hal
ini
reaktan banyak dan berlimpah keter-
sediaannya (surplus), reaksi irriversibel, reaksi tidak berbentuk siklis atau
tanpa percabangan yang banyak, dan sebagainya (Thompson,
1982).
Penyederhanaan dari reaksi kompleks atau orde tinggi telah
diulas oleh Swinbourne (1971) dan Steinfeld et a/. (19891, sehingga dapat diperoleh reksi sederhana dengan orde kenol, kesatu atau kedua. Sebagai
contoh rnisalnya dari persamaan (2-5)
dengan dasar
reaksi persamaan (2-I), jika m = I dan n = I maka reaksi tersebut adalah orde kedua.
Namun demikian jika reaktan B ketersediaannya
berlebih (surplus) maka CB dapat
dianggap konstan.
nisikan k.= kCe, rnaka persamaan
(2-5) menjadi persamaan (2-1 1)
dengan pseudoorde
Jika didefi-
kesatu yang merupakan penyederhanaan dari
orde kedua dengan basis reaksi dua
reaktan.
Dengan pendekatan
yang
sarna
dapat disederhanakan reaksi orde ketiga rnenjadi orde
kedua atau kesatu bahkan kenol.
dirnana: ka : konstanta laju nyata (apparent)
Reaksi kornpleks yang terdapat dalarn Tabel 5 dengan mernperhatikan peran atau kontribusi reaktan dan jalur reaksinya dapat disederhanakan.
Reaksi no.1 bersifat reversibel, tetapi jika kz jauh
lebih kecil dibandingkan ki, dianggap irriversibel. jika
rnaka
kz dapat diabaikan dan dapat
Reaksi no.2 merupakan reaksi paralel, tetapi
pernbentukan Y dan Z relatif kecil dibanding
X
rnaka kebera-
daannya dapat diabaikan dan reaksi dapat dianggap hanya rnenghasilkan produk X.
Dengan pendekatan yang sarna reaksi no.3 sarnpai'
no.5. juga dapat disederhanakan. Dengan asurnsi dan penyederhanaan
sebagairnana diuraikan di
atas, perubahan rnutu pangan secara urnurn dapat dinyatakan dalarn perubahan indeks rnutu pangan persarnaan (2-12).
sebagairnana diperlihatkan dalarn
dimana:
Q : indeks mutu bahan pangan (sim') Qo: indeks mutu awal (sim')
0 : w a k t u perubahan m u t u (sw') k : koefisien atau konstanta laju (Ismi)'"" sw-'1 Catatan: ' sim=satuan indeks mutu, s w = satuan waktu, tergantung dari indeks m u t u dan waktu yang digunakan. Misalkan Q: asam askorbat, sim adalah mg11OOmL, s w = detik atau menit.
Penggunaan model perubahan mutu pangan sebagaimana terlihat dalam persamaan (2-1 2) dalam dalam bidang mikrobiologi inaktivasi mikroba.
prakteknya telah lama diterapkan
pangan
dengan model
Dalam model ini indeks
Bigelow untuk
m u t u pangan adalah
jumlah mikroba (N) dan diasumsikan mengikuti orde kesatu. Asumsi ini didasarkan mekanisme kematian mikroba di mana dianggap hanyas ada satu faktor
yang
paling berperan (Ball dan Olson,
1957).
Dengan model Bigelow, persamaan (2-12) menjadi persamaan (2-13) dan bentuk D = (2,303)Ik.
integrasinya
sebagai
(2-14)
dengan konversi
dimana: N : jumlah mikroba setelah w a k t u T (cfulmL)
No : jumlah mikroba awal (cfu/mL) 9 : waktu inaktivasi mikroba (menit) D : waktu yang diperlukan untuk inaktivasi 9 0 % mikroba pada suhu d i mana perubahan terjadi (menit).
Dalam
perkembangannya
model Bigelow juga
diadopsi untuk
model kinetika inaktivasi enzim (Richardson dan Hyslop, 1976).
2.4.3. Pendugaan Model dan Parameter Secara teoritis
orde
reaksi
dapat
sampai orde tertinggi (tak
terhingga), namun dalam eksperimen kinetika kimia yang diketemukan hanya sampai orde ketiga (Steinfeld et a/., 1989), sedangkan untuk perubahan
mutu
pangan umumnya
mengikuti orde kenol atau
kesatu (Labuza, 1983) dan beberapa ada juga yang orde kedua (Bell
et a / . , 1991 ). Kecoklatan
pada saribuah jeruk
pada suhu 85-1 35OC mengi-
kuti model kinetika orde kenol (Cohen et a/., 1994). Degradasi asam askorbat dalam penyimpanan saribuah mengikuti model
kinetika
Rangkuman berbagai data
orde
jeruk yang diproses aseptik
kesatu
(Kanner et
a/., 1982).
kinetika perubahan mutu bahan pangan
yang telah dibuat Labuza (1980) dan
Thompson
(1982) sebagian
besar juga menunjukkan perubahan rnutu bahan pangan termasuk orde kenol dan kesatu.
Dengan demikian dalam
pangan dapat dikemukakan akan mengikuti salah
perubahan
rnutu
satu dari model
yang pernah diperoleh diatas, yaitu model orde kenol, orde kesatu atau orde kedua. Model perubahan mutu pangan dan orde reaksi perubahannya dapat dianalisis dengan berbagai rnetode
(Sweinbourne, 1 9 7 1),
di
antaranya dengan integrasi yang dilanjutkan dengan analisis model atau fungsi dugaannya.
Dari persamaan 2-8
dibuat
hubungan
fungsi
dugaan
Ln(Cn) = f (0) untuk orde kesatu
Cn=f(0)
sampai 2-10, dapat untuk
orde
kenol,
dan ( 1 /CAI= f (0) untuk orde kedua.
Pengujian atas ketepatan model atau fungsi dugaan dapat dilihat dari koefisien
deterrninasi
(r2) (Steinfeld,
1989). jumlah kuadrat
beda terkecil (Cohen et a/., 1994) serta uji penyirnpangan model (lack of fit) (Draper dan Smith,
1981; Box et a/., 1978).
mengetahui model tersebut dapat diperoleh
Dengan
informasi kinetika yang
berupa orde reaksi (n) dan konstanta laju (k) yang berlaku pada suhu tertentu. Pengaruh tahui
suhu terhadap perubahan mutu bahan
dengan analisis model
hubungan
pangan dike-
ketergantungan antara
dengan suhu (t). Hubungan ketergantungan
k
k terhadap suhu dalam
perubahan m u t u bahan pangan umurnnya valid dinyatakan dalarn persarnaan Arrhenius (Labuza, 1980) sebagai berikut :
dirnana: ko : konstanta preekponensial (sim~'"~"sw") *
E. : energi aktivasi
(Kkallrnol)
R : tetapan gas (1,986 10-3 Kkal/mol/K) T : suhu mutlak (K) * ) Lihat keterangan pers. 2-12 tentang satuan sim dan s w .
Dalam kaitannya dengan D, ketergantungannya
terhadap suhu
lebih tepat dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut (Ball dan Olson, 1957):
dirnana :
DO: nilai D pada suhu to (menit) to : suhu awal
("C)
t
: suhu pada nilai D yang dikehendaki ("C)
z
: suhu yang diperlukan untuk merubah satu log(D) ("C)
Kisaran
nilai D, z dan E. beberapa grup indeks
secara umum adalah
rnutu pangan
seperti tercantum dalam Tabel 6 (Cousin dan
Rodriguez, 1987) dan Tabel 7 (Saguy dan Karel, 1980). Nilai-nilai z dan
E.
dapat ditransformasikan satu dengan yang lainnya setelah
Tabel 6. Nilai D dan z destruksi termal kornponen pangan (Cousin dan Rodriguez, 1987) Grup indeks mutu
D ( l 20°C), rnn.
zrc)
Komponen warna Vitamin Enzim Spora rnikroba Galur tahan panas Komponen rnutu
10-20 120-1 2 0 0 1-15 0,2-4 >5 0 5-500
20-60 25-45 6-60 6-1 2 6-1 2 8-1 8
Tabel 7. Energi aktivasi (E.) perubahan m u t u pangan (Saguy dan Karel, 1980) Tipe reaksi Reaksi di bawah kontrol difusi Reaksi enzimatis Hidrolisis Oksidasi lipid Flavor, tekstur dan warna Vitamin Kecoklatan nonenzimatis Destruksi enzim Destruksi sel vegetatif Destruksi spora Denaturasi protein
E. (Kkallmol)
suhu dikonversikan dalam suhu mutlak
(K),sehingga
dapat diperoleh
persamaan sebagai berikut (Lund,I 977; Toledo, 1986):
Pengaruh suhu dalam kinetika perubahan m u t u atau kerusakan pangan juga sering dinyatakan dalam bentuk jika suhunya berbeda 10°C,
Qlo,
yaitu rasio laju perubahan
yang dinyatakan dalam persamaan
berikut (Labuza, 1983):
Dari model-model kinetika dan pengembangan dalam bidang pangan sebagaimana parameter kinetika.
tersebut
diatas
Miles (1 993)
kinetika ke dalam dua golongan,
dapat
diperoleh
berbagai
mengelompokkan parameter
yaitu parameter kinetika jenis k e - I
adalah yang langsung diperoleh dari data kinetika, jenis
ke-2 adalah
yang mengambarkan bagaimana parameter lain terpengaruh oleh perubahan suhu.
Rangkuman jenis
di~erlihatkandalam Tabel 8 berikut.
parameter dan definisinya
Tabel 8. Parameter kinetika dan keterangannya
Parameter
Definisi
Satuan
Jenis
D
Waktu yang diperlukan pada suhu tertentu untuk mereduksi populasi bakteri 90%'
detik
1
k
Laju reaksi
detik"
1
Ea
Energi aktivasi, ditentukan dari slope plot Arrhenius
Kkallmol
2
ko
Konstanta preekspoqensial persamaan Arrhenius
detik
2
.
z
010
Perubahan suhu ("C) yang diperlukan untuk merubah nilai D 90%
"C
Rasio laju perubahan mutu jika suhunya berbeda 10°C
') perkembangan selanjutnya dapat untuk selain
bakteri, misalnya enzim ") satuan jika model kinetika orde kesatu
2
2
2.5. Optimasi Proses
2.5.1. Tinjauan Urnurn
Optimasi adalah suatu prosedur atau cara yang dikernbangkan untuk mernperoleh pilihan terbaik dalam suatu kasus (Sidel dan Stone, 1983).
Optimasi
juga
rnengandung
pengertian
pengendalian,
prosedur yang baik dan perencanaan hati-hati sehingga diperoleh hasil yang terbaik (Norback dan Evans, 1983). Program linier rnerupakan salah satu teknik yang efektif dan banyak digunakan (Maarif et a/., 1989). Dalarn bidang pangan antara lain pernah digunakan untuk optirnasi dan kontrol kesetirnbangan protein (Cavin et al.,
19721, pernbuatan rnayonaise (Bender et a/.,
1982) dan perencanaan ransurn pakan ikan (Sjafaat, 1989). dan sebagainya.
Prosedur optirnasi tersebut dalam operasionalnya lebih
cocok untuk rnasalah-masalah proses dan formulasi produk, karena kornponen perrnasalahannya dapat dinyatakan dalarn bentuk linier (Norback dan Evans, 1983). Salah satu keunggulan program linier adalah sederhana dan relatif cepat penyelesaiannya, tetapi terbatas penggunaannya untuk kasus fungsi atau hubungan linier.
Perrnasalahan yang diselesaikan dalarn
program linier rnenyangkut maksirnisasi atau minirnisasi fungsi-fungsi linier yang telah dibuat (Asri dan Widayat, 1986). Maksirnisasi fungsi tujuan
relatif
lebih mudah dibanding
persoalan minirnisasi sering Krarner, 1983).
minimisasinya,
karena
itu
ditransfer ke rnaksimisasi (Bender dan
2.5.2. Penyusunan Model Linier
Optimasi proses diperlukan untuk mencari alternatif kornbinasi suhu dan w a k t u proses sehingga dapat rnenginaktivasi faktor biologis (mikroba dan enzirn) tercapai tanpa rnerusak rnutu pangan (Lund, 1977). lnaktivasi mikroba dapat digarnbarkan dengan persamaan:
Untuk dapat digunakan dalam program linier rnaka bentuk fungsi atau hubungan harus memenuhi-syarat linieritas (Asri dan Widayat, 1986).
Dalam ha1 ini dengan rnemanfaatkan hubungan ketergan-
tungan D terhadap suhu, persamaan (2-19) dapat diubah rnenjadi persarnaan (2-201, kernudian ditransformasi dan disusun kembali hingga rnenjadi persarnaan (2-21) yang dapat rnemenuhi aspek linieritas.
Jika didefinisikan y =logIlog(No/N)l, a, =-(logDr +z- 1tr), a1 = 1, a2=z-l
A1 =loge
dan = A 2=t, rnaka persamaan (2-21) merupakan
persamaan linier sebagai:
Dengan cara yang sama dapat dibuat model-model linier untuk inaktivasi enzirn dan kerusakan mutu pangan.
Model tersebut telah
digunakan oleh Saguy (1988) untuk menyusun faktor pernbatas dalarn optirnasi proses aseptik dengan HTST. Model dikembangkan berdasar asumsi perubahan mutu rnengikuti model kinetika orde kesatu. Dalam ha1 perubahan mutu tidak mengikuti orde kesatu, maka model dan faktor pernbatas tersebut kurang tepat digunakan.
Dengan demikian
perlu dicari alternatif linierisasi fungsi perubahan mutu. Salah satu bentuk alternatif adalah mernrnanfaatkan ketergantungan k terhadap suhu, yang secara eksplisit d a ~ a tdinyatakan dalam bentuk hasil integrasi model kinetika orde kesatu:
Log[ln(Q,IQ)I
=logko
+ I(Ea/2,303R)
Jika didefinisikan y = log[ln(Q,/Q)1, b l=I
dan b2=Ea/(2,303R),
( T - )~I + loge
x l =loge,
(2-24)
x 2 = T - ~ , bo=logko,
rnaka persamaan (2-24) rnerupakan
fungsi linier sebagai berikut:
Dengan pendekatan yang sarna, untuk orde kenol dan kedua diperoleh persamaan (2-25) dengan catatan y =log(Qo-Q) untuk orde not dan y =
-Q,-'
) untuk orde kedua.
Dalam optirnasi dengan program linier terdapat tiga kornponen penting , yaitu peubah keputusan (decision variable), faktor pemba-tas (constraints)
dan
fungsi
tujuan
(objective
function).
Peubah
keputusan adalah suatu besaran yang akan ditentukan dalarn berbagai langkah alternatif. Faktor pembatas yaitu suatu kondisi yang telah ditetapkan sebagai acuan untuk melaksanakan kajian alternatif. Fungsi tujuan adalah ukuran yang digunakan untuk mempertimbangkan apakah suatu kombinasi terpilih suatu kombinasi yang optimal.
Berdasarkan definisi tersebut d i atas ditetapkan pengertian
i layak dari peubah keputusan alternatif optimal adalah s p e s i f i k a ~yang yang mernberikan hasil terbaik bagi fungsi tujuan (Norback dan Evans, 1983).
Format dasar penyusunan fungsi tujuan dengan peubah
keputusan dan faktor pernbatasnya disarikan dalarn Tabel 9 (Asri dan Widayat, 1986). di mana fungsi tujuan dinyatakan dalam persarnaan (2-26) dan faktor pernbatas dalam persamaan (2-27) dan (2-28) berikut ini.
z
=
x cjxj I= 1
dimana:
Z : nilai yang dimaksirnumkan atau diminirnumkan
X, : tingkat aktivitas ke-j Cj : kenaikan nilai Z apabila ada penambahan aktivitas (X,) satu satuan, atau merupakan sumbangan setiap satuan output aktivitas j terhadap nilai Z. aij: banyaknya masukan ke-i yang diperlukan untuk menghasilkan setiap unit luaran aktivitas ke-j b i : banyaknya masukan ke-i yang tersedia untuk dialokasikan pada setiap unit aktivitas (i= 1.2,
...m)
i : nomor setiap macam masukan (i= 1,2,3,
j : nomor setiap macam aktivitas .(j = 1.2.3
....m)
......n)
n : macarn aktivitas yang menggunakan masukan tersedia m : macam batasan masukan yang tersedia
Tabel 9. Data untuk program linier (Asri dan Widayat, 1986) Aktivitas Masukan
m dZ pertambahan tiap unit Tingkat aktivitas
Penggunaan masukan per unit aktivitas 1 2 3 .......... n
la,
am2 am3
......am n
C1
C2
C3
....... Cn
X1
X2
Xg
........Xn
Kapasitas masukan
bm
Penyelesaian optimasi program linier dengan dua peubah dapat dilakukan dengan rnetode grafik, tetapi jika lebih banyak variabelnya diselesaikan dengan metoda sirnplek (Bender dan Krarner, 1983). Program linier dengan dua peubah selain dapat diselesaikan dengan metode grafik juga dapat diselesaikan dengan rnetode simpleks. Dalam penyelesaian dengan metode sirnpleks, bentuk persamaan standar program linier (pers.2-26 sarnpai 2-28, dan uraian dalarn Tabel 9), perlu diadakan penyesuaian (Asri dan Widayat,
1986)
berupa: (1) Perubahan bentuk fungsi tujuan, dalarn ha1 ini peubah di sebelah
tanda = dipindahkan ke kiri, sehingga fraksi-fraksi di sebelah kanan bernilai nol.
(2) Fungsi yang berupa pertidaksarnaan diubah menjadi persamaan dengan penambahan peubah slack atau surplus ( S ) . Dengan perubahan tersebut dapat digunakan dalam tabel dasar program linier dengan rnetode simpleks.
Perhitungan-perhitungan
dengan metode simpleks lebih rnudah dikerjakan dengan bantuan kornputer melalui konversi rnatrik
(Bender dan Kramer,
1983).
Beberapa program paket yang tersedia antara lain Lindo, LP88, dan sebagainya. Program paket LP88 telah digunakan dalarn penyelesaian program linier dalarn proses aseptik sistern UHT (Saguy et at., 1988) dan dalam optimasi ransum pakan ikan (Sjafaat, 1989).