MENDEFINISIKAN KEMBALI ARSITEKTUR TROPIS DI INDONESIA Tri Harso Karyono Desain Arsitektur, vol. 1, April, 2000, pp.7-8.
Satu di antara sederet alasan mengapa manusia membuat bangunan adalah karena kondisi alam atau iklim di mana manusia berada, tidak selalu dapat menunjang aktifitas yang dilakukannya secara baik. Kadangkala alam menurunkan hujan lebat, kadang menjatuhkan sengatan matahari yang sangat tajam, atau menghembuskan angin yang terlalu keras. Sementara aktifitas manusia yang sangat bervariasi memerlukan kondisi iklim tertentu di sekitarnya yang bervariasi pula. Permainan sepak bola masih dapat dilangsungkan di bawah guyuran hujan, tapi tidak demikian halnya dengan tennis, tennis meja dan lainnya. Aktifitas bermain layang-layang mengharapkan angin yang relatif kencang sementara permainan bulu tangkis tidak dapat berlangsung di bawah hembusan angin yang melaju dengan cepat. Demikian pula dengan aktifitas manusia lainnya: mengetik, melukis, tidur, makan, membaca, dan sebagainya pada umumnya memerlukan kondisi-kondisi fisik iklim tertentu agar aktifitas tersebut dapat dilangsungkan secara baik. Untuk melangsungkan aktifitas kantor misalnya diperlukan ruang dengan kondisi visual yang baik di mana intensitas cahaya mencukupi, diperlukan kondisi termal yang mendukung di mana suhu udara berada dalam rentang nyaman tertentu, demikian pula diperlukan kondisi audial dengan intensitas gangguan bunyi yang rendah yang tidak mengganggu pengguna bangunan. Arsitektur dan Iklim Setempat Karena cukup banyak aktifitas manusia yang tidak dapat diselenggarakan di luar akibat ketidak sesuaian kondisi iklim luar, maka manusia membuat bangunan. Dengan bangunan diharapkan iklim luar yang tidak menunjang penyelenggaraan aktifitas manusia dapat ‘dimodifikasi’ - dirubah menjadi iklim dalam (bangunan) yang lebih sesuai, sehinga aktifitas manusia dapat dilangsungkan dengan baik. Namun usaha manusia untuk merubah kondisi iklim luar yang tidak sesuai menjadi iklim dalam (bangunan) yang sesuai seringkali tidak seluruhnya tercapai. Dengan membuat bangunan manusia dapat menyingkirkan hujan agar tidak mengguyur tubuhnya. Dengan bangunan pula manusia di daerah tropis dapat menghindari sengatan matahari. Juga dengan bangunan manusia dapat mengurangi laju angin yang kencang. Namun dalam banyak kasus manusia di daerah tropis seringkali gagal menciptakan kondisi termal yang nyaman di dalam bangunan. Ketika berada di dalam bangunan, pengguna bangunan justru
1
merasakan udara ruang yang panas, sehingga kadangkala mereka lebih memilih berada di luar bangunan. Pada saat arsitek melakukan tindakan untuk menanggulangi persoalan iklim dalam bangunan yang dirancangnya, maka ia secara benar mengartikan bahwa bangunan adalah alat untuk memodifikasi iklim. Iklim luar yang tidak sesuai dengan tuntutan penyelenggaraan aktifitas manusia dicoba untuk dirubah menjadi iklim dalam (bangunan) yang sesuai dengan tuntutan tersebut. Udara luar yang terlalu panas atau terlalu dingin dirubah oleh bangunan menjadi ‘tidak terlalu’ panas atau ‘tidak terlalu’ dingin. Para arsitek yang kebetulan hidup, belajar arsitektur dan berprofesi di negara maju yang beriklim sub tropis, dengan suhu udara luar rata-rata rendah, secara sadar atau tidak, atau karena harus mengikuti aturan membangun setempat, selalu melakukan tindakan yang benar. Karya arsitektur yang mereka rancang selalu diikuti dengan pertimbangan pemecahan problematik iklim setempat yang bersuhu rendah. Bangunan dibuat dengan dinding rangkap tebal, di mana di antara lapisan dinding ditambahkan bahan isolasi panas agar panas di dalam bangunan tidak mudah merambat ke udara luar yang bersuhu sangat rendah, sehingga suhu udara di dalam bangunan dapat dipertahankan tetap hangat. Meskipun mereka melakukan tindakan perancangan guna mengatasi iklim Sub Tropis setempat, karya mereka tidak pernah disebut sebagai karya Arsitektur Sub Tropis. Karya arsitektur yang mereka rancang ada sebagian yang disebut sebagai arsitektur Victorian, Georgian,
Tudor,
dan
lainnya.
Sementara sebagian
lain
disebut atau
diklasifikasikan sebagai Arsitektur Modern (Modern Architecture), Arsitektur Pasca Modern (Post Modern Architecture), Arsitektur Modern Baru (New Modern), Arsitektur Teknologi Tinggi (High-tech Architecture), Arsitektur Dekonstruksi (Deconstruction Architecture), dan sebagainya. Di sini terlihat bahwa arsitektur yang dirancang guna mengatasi problematik iklim setempat tidak selalu diberi sebutan dengan nama iklim tersebut, karena pemecahan masalah iklim merupakan suatu tuntutan mendasar yang ‘wajib’ dipenuhi oleh suatu karya arsitektur di manapun dia dibangun. Sebutan tertentu terhadap karya arsitektur hanya diberikan terhadap ciri-ciri tertentu yang dimiliki oleh karya tersebut yang kehadirannya ‘tidak wajib’, yang kemudian memberi warna atau corak terhadap arsitektur tersebut. Sebut saja arsitektur yang ‘bersih’ tanpa embel-embel dekorasi, yang bentuknya tercipta akibat fungsi (form follows function) disebut sebagai Arsitektur Modern. Arsitektur yang mengembangkan pemikiran dekonstruksi Derrida kemudian disebut Arsitektur Dekonstruksi. Arsitektur dengan penyelesaian estetika tertentu yang menyangkut bentuk, ritme, aksentuasi, dan sebagainya, dapat diklasifikasikan (Charles Jencks) ke dalam berbagai nama, seperti halnya Arsitektur Post Modern, New Modern, dan lainnya. Semua karya arsitektur tersebut tidak pernah diberi julukan Arsitektur Sub Tropis
2
meskipun karya tersebut dirancang di daerah iklim sub tropis guna mengantisipasi problematik iklim tersebut.
Arsitektur Tropis Yang menjadi pertanyaan kemudian, mengapa muncul sebutan Arsitektur Tropis?. Julukan ini seakan-akan menyepadankan Arsitektur Tropis dengan Arsitektur Modern, New Modern, Dekonstruksi dan lainnya, di mana jenis yang disebut belakangan lebih mengarah pada pemecahan estetika: bentuk, ritme, hirarki ruang, dan sebagainya? Sementara Arsitektur Tropis, sebagaimana arsitektur sub tropis, adalah karya arsitektur yang mencoba memecahkan problematik iklim setempat. Dalam hal ini iklim tropis.
Gambar 2.1. Grha Sabha Pramana, Universitas Gajah Mada, Yogya: Bangunan dengan atap lebar melindungi bangunan dari air hujan dan sengatan matahari, namun belum menjamin dapat mengatasi udara panas di dalam bangunan Sumber: Tri H. Karyono
Bagaimana problematik yang ditimbulkan iklim tropis dipecahkan secara desain atau rancangan arsitektur? Jawabannya dapat seribu satu macam. Arsitek dapat menjawab dengan warna post modern, dekonstruksi, high-tech, atau apapun, seperti halnya yang terjadi dalam arsitektur sub tropis. Dengan demikian pemahaman Arsitektur Tropis yang selalu beratap lebar, berteras atau apapun menjadi tidak mutlak lagi. Yang penting adalah apakah rancangan tersebut sanggup mengatasi problematik yang ditimbulkan iklim tropis: hujan deras, terik matahari, suhu udara tinggi, kelembaban tinggi (untuk tropis lembab), dan kecepatan angin rendah, sehingga manusia yang semula tidak nyaman berada di alam terbuka, menjadi nyaman ketika berada di dalam bangunan tropis. Bangunan dengan atap lebar mungkin hanya mampu mencegah air hujan untuk tidak masuk ke dalam bangunan, namun belum tentu mampu menurunkan suhu udara tinggi di dalam bangunan tanpa disertai pemecahan rancangan lain yang tepat. Dengan pemahaman
3
semacam ini bentuk arsitektur tropis, sebagaimana arsitektur sub tropis, menjadi sangat terbuka kemungkinannya. Arsitektur tropis dapat bercorak atau berwarna apa saja sepanjang bangunan tersebut mampu merubah kondisi iklim luar yang tropis tidak nyaman menjadi iklim dalam yang nyaman bagi manusia di dalamnya.
Gambar.2.2. Gedung S. Widjojo, Jakarta Pusat: Solusi arsitektur tropis sangat terbuka sepanjang permasalahan iklim tropis dapat diatasi oleh bangunan Sumber: Tri H. Karyono
Dengan pemahaman semacam ini pula, kriteria arsitektur tropis tidak hanya dilihat dari sekadar ‘bentuk’ atau estetika bangunan beserta elemen-elemennya, namun lebih kepada kualitas fisik ruang yang ada di dalamnya: suhu ruang rendah, kelembaban cukup rendah, pencahayaan alam cukup, pergerakan udara (angin) memadai, terhindar dari hujan, dan terhindar dari terik matahari. Sehingga penilaian terhadap baik buruknya karya arsitektur tropis harus diukur secara kuantitatif menurut kriteria-kriteria di atas: bagaimana fluktuasi suhu ruang (dalam unit derajat celcius), bagaimana fluktuasi kelembaban (dalam unit persen), bagaimana intensitas cahaya (dalam unit lux), bagaimana aliran/kecepatan udara (dalam unit meter per detik), adakah air hujan masuk ke dalam bangunan, adakah terik matahari mengganggu penghuni dalam bangunan, dan sebagainya sehingga pengguna bangunan dapat merasakan kondisi yang lebih nyaman dibanding ketika mereka berada di luar bangunan. Saya menganggap bahwa definisi atau pemahaman arsitektur tropis di Indonesia hingga saat ini cenderung keliru. Arsitektur tropis sering sekali dibicarakan, didiskusikan, diseminarkan dan diperdebatkan oleh mereka yang memiliki keakhlian dalam bidang Sejarah atau Teori Arsitektur. Arsitektur tropis seringkali dilihat dalam konteks ‘budaya’. Padahal
4
kalau ditengok lebih dalam, kata ’tropis’ sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan budaya atau kebudayaan. Bahwa iklim tropis akan membentuk budaya atau kebudayaan tertentu yang dipengaruhi iklim tropis yang berbeda dengan budaya atau kebudayaan lain yang dibentuk oleh iklim lain bukanlah sesuatu yang dapat dibantah. Tropis berkaitan dengan ‘iklim’, yakni iklim tropis. Sehingga pembahasan arsitektur tropis harus didekati dari aspek iklim. Mereka yang mendalami persoalan iklim dalam arsitektur – yang cenderung dipelajari oleh disiplin ilmu Sains Bangunan atau Sains Arsitektur akan dapat memberikan jawaban lebih tepat dan terukur apakah suatu bangunan dikategorikan sebagai arsitektur tropis. Para akhli arsitektur tropis: Koenigsberger, Givoni, Kukreja, Sodha, Lippsmeier, Nick Baker, dan lainnya mendalami keilmuan terkait dengan Sains Bangunan, bukan Sejarah atau Teori Arsitektur. Kekeliruan pemahaman mengenai arsitektur tropis di Indonesia nampaknya dapat dipahami, karena pengertian arsitektur tropis sering dicampur adukan dengan pengertian ‘arsitektur tradisional’ atau ’vernakular’ di Indonesia yang secara menonjol, dengan keterbatasan teknologi masa itu, cenderung dipecahkan melalui pendekatan iklim tropis. Bagi masyarakat tradisional, iklim sebagai bagian dari alam merupakan unsur yang paling dipertimbangkan, bahkan dihormati atau dikeramatkan dalam membangun rumah atau bangunan lain. Tidak mengherankan jika ekspresi iklim sangat menonjol dalam karya arsitektur tersebut. Manusia Indonesia cenderung akan membayangkan bentuk-bentuk arsitektur tradisional atau vernakular Indonesia (arsitektur Tapanuli, Minangkabau, Toraja, dan lainnya) ketika mendengar istilah arsitektur tropis. Dengan bayangan - yang tidak seluruhnya benar ini, pembicaraan tentang arsitektur tropis selalu diawali. Dari sini pula pemahaman arsitektur tropis lalu memiliki konteks dengan budaya, yakni budaya atau kebudayaan tradisional Indonesia. Mereka yang mendalami ilmu sejarah dan teori arsitektur kemudian dapat berbicara banyak mengenai budaya dalam kaitannya dengan arsitektur. Perlu dipahami bahwa arsitektur tropis (basah) tidak hanya terdapat di Indonesia, akan tetapi di seluruh negara yang beriklim tropis (basah), dengan budaya yang berbeda-beda. Sehingga pendekatan arsitektur tropis dari aspek budaya menjadi tidak relevan. Dari uraian di atas, perlu ditekankan kembali bahwa pemecahan rancangan Arsitektur Tropis (basah) pada akhirnya sangatlah terbuka. Arsitektur Tropis dapat berbentuk apa saja – tidak harus serupa dengan bentuk-bentuk Arsitektur Tradisional yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia, sepanjang rancangan bangunan tersebut mengarah pada pemecahan persoalan yang ditimbulkan oleh iklim Tropis, yakni: terik matahari, suhu tinggi, hujan, kelembaban tinggi, dan sebagainya.
5
6