JURNAL PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 2 2008
Penciri Ketahanan Morfologi Genotipe Kedelai terhadap Hama Penggerek Polong Gatut Wahyu Anggoro Susanto dan M. Muchlish Adie1 Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Jl. Kendalpayak, Malang, Jawa Timur
ABSTRACT. Characteristic of Morphological Resistance on Soybean Genotype to Pod Borer Insect (Etiella zinckenella Tr.). Characteristic of pod morphology determines the level of soybean resistancy to pod borer. Research was conducted at screen house and laboratory of ILETRI, Malang from February to August 2005. Experiment was arranged in randomized block design, consisting of 10 genotypes (85-JP, 85-CR, Shr/Wil-60, 9637/KawiD-8-125, 9837/Kawi-D-3-185, Wilis/9837-D-6-220, 9637/Kawi-D3-185, 9069/Wilis, Cikuray and Wilis), with three replicates. Observation of pod morphology included the following characters: trichomes density, trichomes length, pod surface area, total number of pods per node, and distance between nodes on main stem and of 100 seeds weight. Among the 10 soybean genotypes variation on morphological characters were observed. Pod trichomes density ranges from 0.0 to 33/3 mm 2, trichomes length range from 0.0 to 2.2 mm, pod surface area ranges from 268 to 433 mm 2, the average of distance between nodes on main stem ranges from 3.0 to 4.5 cm and the average of total pods per node ranges from 2 to 3 pods.Genotype of 85-JP had no trichomes, 85-CR had more dense trichomes than others, and Shr/Wil-60 had the longest trichomes (2.19 mm). The number of Etiella zinckenella eggs on 85-JP was the smallest (1.3 eggs/plant/7 days) and the largest number of eggs was on 85-CR (59.8 eggs/plant/7 days). The lower of damage precentage of pod and seed was on 85-JP, 5.6% and 4.8%, respectively. Trichomes density indicated a positive correlation with the total of Etiella eggs (rg = 0.77**, rf = 0.76**) and damage precentage of pod and seed (rg = 0.92**, rf = 0.85** and rg = 0.92**, rf = 0.90**, respectively). Trichomes length had a positive correlation with the damage percentage of pod and seed (rg = 0.51**, rf = 0.46** and rg = 0.51**, rf = 0.49**). Total of pods per node had a positive correlation with the total Etiella eggs (rg = 0.65**, rf = 0.65**) and damage precentage of pod and seed (rg = 0.75**, rf = 0.61** and rg = 0.74**, rf = 0.63**). The results showed that space among trichomes were the most preferred place for oviposition of Etiella zinckenella. Genotype 85-JP indicated some level of resistance to pod borer and it had no trichomes of pod (glabrous type). Pod with no trichomes can be used as of morphological resistance indicator on soybean genotype to pod borer (Etiella zinckenella Tr.). Keywords: Soybean (Glycine max L Merril), morphological characteristics, Etiella zinckenella Tr. ABSTRAK. Karakter morfologi polong diduga berperan sebagai pertahanan tanaman kedelai terhadap hama penggerek polong. Penelitian dilakukan di rumah kasa dan laboratorium Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi), Malang, mulai Februari sampai Agustus 2005. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok, 10 perlakuan yaitu genotipe kedelai 85JP, 85-CR, Shr/Wil-60, 9637/Kawi-D-8-125, 9837/Kawi-D-3-185, Wilis/9837-D-6-220, 9637/Kawi-D-3-185, 9069/Wilis, Cikuray dan Wilis, dengan tiga ulangan. Karakter morfologi polong yang diamati adalah kepadatan dan panjang trikoma, luas permukaan polong, jumlah polong per buku, jarak antarbuku pada batang utama, dan bobot 100 biji. Kesepuluh genotipe kedelai memiliki karakter morfologi
yang beragam. Kepadatan trikoma polong berkisar antara 0,0-33/3 mm 2, panjang trikoma 0,0-2,2 mm, luas permukaan polong 268-433 mm 2, jarak antarbuku pada batang utama 3,0-4,5 cm, jumlah polong per buku 2-3 polong. Genotipe 85-JP tanpa trikoma, dan 85-CR memiliki trikoma lebih rapat dibandingkan dengan genotipe lainnya, genotipe Shr/Wil-60 mempunyai trikoma terpanjang (2,19 mm). Jumlah telur pada genotipe 85-JP paling sedikit (1,3 butir/tanaman/ 7 hari), sedangkan pada geotipe 85-CR paling banyak (59,8 butir/ tanaman/7 hari). Persentase polong dan biji terserang paling rendah ditunjukkan oleh genotipe 85-JP, masing-masing 5,6% dan 4,8%, sedangkan paling tinggi pada genotipe 85-CR, masing-masing 57,3% dan 54,4%. Kepadatan trikoma berkorelasi positif dengan jumlah telur penggerek polong (rg = 0,77**, rf = 0,76**), persentase kerusakan polong dan biji (rg = 0,912**, rf = 0,84** dan rg = 0,92**, rf = 0,90**). Panjang trikoma berkorelasi positif dengan persentase kerusakan polong dan biji (rg = 0,50**, rf = 0,46** dan rg = 0,51**, rf = 0,49**). Jumlah polong per buku utama berkorelasi positif dengan jumlah telur penggerek polong (rg = 0,65**, rf = 0,65**), persentase kerusakan polong dan biji rg = 0,75**, rf = 0,61** dan rg = 0,74**, rf = 0,63**. Ruang di antara trikoma merupakan tempat ideal peletakan telur penggerek polong. Genotipe 85 JP tergolong tahan terhadap hama penggerek polong kedelai dan tanpa memiliki trikoma pada polong (tipe glabrous). Karakter tanpa trikoma pada polong dapat digunakan sebagai penciri morfologi tanaman kedelai tahan penggerek polong. Kata kunci: Kedelai, penciri morfologi, Etiella zinckenella Tr.
udi daya kedelai di daerah tropis Indonesia bersifat unik. Areal tanam terluas kedelai terdapat pada musim kemarau (MK) pada saat intensitas cahaya melimpah, tetapi peluang infestasi hama juga tinggi. Dua kondisi tersebut yang menyebabkan produksi kedelai labil dan biaya produksi tinggi. Hama penggerek polong Etiella zinckenella Tr. merupakan salah satu hama yang merugikan karena menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas hasil. Faktor yang mempengaruhi perkembangan populasi hama adalah tanaman inang, musuh alami, dan iklim Perkembangan populasi penggerek polong meningkat pada musim kemarau dibandingkan dengan musim hujan dan imago mulai datang pada pertanaman kedelai pada saat tanaman berumur 42 hari setelah tanam (HST) (Tengkano et al. 1992). Tanda serangan penggerek polong adalah berupa lubang gerek berbentuk bundar pada kulit polong. Imago akan meletakkan telur pada polong, puncak peneluran terjadi pada saat tanaman berumur sekitar 50 HST dan peletakan telur berakhir pada 65 HST. Stadia hama penggerek polong yang
B
95
SUSANTO DAN ADIE: PENCIRI KETAHANAN MORFOLOGI KEDELAI TERHADAP HAMA PENGGEREK POLONG
merusak adalah larva, mulai instar satu hingga lima, dengan cara menggerek kulit polong, kemudian masuk dan menggerek biji dan hidup di dalamnya (Tengkano et al. 1992). Naito dan Harnoto (1984) memperkirakan kerugian hasil akibat serangan hama ini dapat mencapai 90%. Tingkat kerugiannya ditentukan oleh kerentanan varietas, populasi hama, dan musim. Hingga saat ini belum ada varietas kedelai di Indonesia yang relatif tahan terhadap hama penggerek polong. Strategi dasar pembentukan varietas tahan diawali oleh pemahaman terhadap hubungan tanamanserangga untuk menentukan faktor penentu ketahanan. Trikoma diduga berperan dalam menentukan tingkat ketahanan atau kerentanan tanaman terhadap serangan hama (Karkkainen and Agren 2002). Norris dan Kogan (1980), Chiang dan Norris (1983), serta Hattori (1988) mengemukakan bahwa ketahanan tanaman kedelai terhadap hama penggerek polong dapat disebabkan oleh faktor morfologi polong. Pada tanaman tomat terdapat indikasi keterkaitan antara kerapatan trikoma pada daun dengan tingkat ketahanan terhadap hama tungau (Cerotoma trifurcata (Förster) (Snyder and Carter 1984). Hama tungau pada kedelai (Wai-Ki and Pedigo 2001) dan tungau hijau (Mononychellus tanajoa Bondar) pada tanaman ubi kayu (Nukenine et al. 2002) lebih menyukai tanaman yang bertrikoma karena ruang antartrikoma merupakan tempat ideal untuk peletakan telurnya. Demikian pula hama yang menyerang daun tanaman Datura stramonium (Solanaceae) (Valverde et al. 2001). Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji karakter morfologi polong yang berperan sebagai penentu ketahanan dan memanfaatkannya sebagai kriteria seleksi ketahanan kedelai terhadap hama penggerek polong.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di rumah kasa dan laboratorium Pemuliaan Balitkabi Malang, pada bulan Februari sampai Agustus 2005. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Bahan penelitian adalah 10 genotipe kedelai yaitu 85-JP, 85-CR, Shr/Wil-60, 9637/Kawi-D-8-125, 9837/KawiD-3-185, Wilis/9837-D-6-220, 9637/Kawi-D-3-185, 9069/ Wilis, Cikuray, dan Wilis. Benih ditanam pada pot plastik berdiameter 18 cm dan penanaman secara bertahap untuk mendapatkan keseragaman waktu pembungaan dan pembentukan polong antar genotipe. Pupuk urea 0,58 g/pot dan SP36 8,99 g/pot diberikan pada saat tanam. Pengendalian hama/penyakit dengan pestisida dilakukan
96
sampai tanaman berumur 28 HST. Pemeliharaan tanaman secara intensif meliputi penyiraman, pemupukan dan penyiangan gulma. Preferensi Oviposisi Hama Penggerek Polong Penelitian preferensi oviposisi hama penggerek polong menggunakan 10 genotipe kedelai. Tanaman yang telah berumur 35 HST, pada setiap ulangan di kurung dengan sangkar kasa berukuran 2 m x 1,5 m x 1 m. Setiap sangkar diisi 10 genotipe tanaman, setiap pot berisi dua tanaman. Pada umur 21 hari setelah berbunga (HSB) (Kamandalu et al. 1995) atau tanaman berumur 56 HST hingga masak fisiologis menurut Tengkano (1999) merupakan fase paling kritis terhadap serangan penggerek polong. Karena itu pada waktu tersebut ke dalam setiap sangkar diinfestasi 10 pasang imago (jantan dan betina) satu hari setelah menjadi imago. Sebelum dilakukan infestasi, daun tanaman yang tua dihilangkan dan disisakan 20 polong per rumpun. Pada hari ketujuh setelah infestasi, seluruh tanaman dipanen dan dilakukan pengamatan terhadap jumlah telur per tanaman. Pengujian Ketahanan 10 Genotipe terhadap Penggerek Polong Penelitian selanjutnya adalah dengan cara yang sama dengan kegiatan sebelumnya. Setelah diinfestasi, tanaman dipelihara sampai panen, kemudian diamati polong dan biji terserang penggerek polong, dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: (1) Persentase polong terserang jumlah polong terserang = x 100% jumlah polong total (2) Persentase biji terserang jumlah biji terserang = x 100% jumlah biji total Kriteria ketahanan genotipe kedelai terhadap penggerek polong mengikuti metode Chiang dan Talekar (1980) sebagai berikut: Tingkat ketahanan
Nilai pengamatan
T (tahan ) AT (agak tahan) M (moderat) AR (agak rentan) R (rentan )
X < x – 2 SD x – 2 SD < X < x – SD x – SD < X < x x < X < x + 2 SD X > x + 2 SD
x = nilai rata-rata, SD = simpangan baku, X = intensitas
JURNAL PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 2 2008
Morfologi polong diamati pada umur 56 HST yang meliputi kerapatan trikoma, panjang trikoma, dan luas permukaan polong melalui pendekatan gravimetri, yaitu membandingkan bobot replika polong dengan bobot total kertas dan diambil nilai rata-ratanya, dengan rumus: LP = (Wr/ Wt) Lk LP Wr Wt Lk
= luas permukaan polong = bobot replika kertas = bobot total kertas = luas total kertas
Selain itu diamati jumlah polong per buku, dan jarak antarbuku. Seluruh data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji F dan apabila perlakuan berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%. Analisis korelasi sederhana digunakan untuk menelaah hubungan antarparameter. Nilai harapan varians, dan korelasi dihitung menurut Singh dan Chaudary (1979). Untuk uji signifikasi koefisien korelasi fenotipik dan genotipik antara dua sifat digunakan uji t student dengan derajat bebas (n-2). Jika t-hitung > ttabel (t-student) (db = n-2), maka koefisien korelasinya dinyatakan bermakna pada 0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kerapatan trikoma dari 10 genotipe kedelai berkisar antara 0,0-52,8/3 mm2. Genotipe 85-JP tanpa trikoma dan 85-CR (52,8/3 mm2) memiliki trikoma paling rapat dibandingkan dengan genotipe lainnya. Gambar 1 memperlihatkan polong kedelai yang tidak bertrikoma dan
Gambar 1. Polong tidak bertrikoma (genotipe 85-JP).
Gambar 2 memperlihatkan polong kedelai yang bertrikoma padat (52,8/3 mm2). Panjang trikoma berkisar antara 0,0-2,19 mm, genotipe 85-CR memiliki trikoma terpendek (1,69 mm) dan yang terpanjang dimiliki oleh genotipe Shr/Wil-60 (2,19 mm), berbeda dengan genotipe lainnya (Tabel 1). Trikoma dapat menjadi tempat ideal pada sebagian hama untuk menempatkan telur supaya tidak mudah rusak karena gangguan lingkungan. Perbedaan kerapatan (jumlah) maupun ukuran (panjang) trikoma pada kesepuluh genotip kedelai dapat mempengaruhi preferensi oviposisi. Shanower (1996) mengemukakan bahwa kerapatan trikoma yang dapat mempengaruhi perilaku oviposisi khususnya golongan Lepidoptera. Panjang trikoma efektif sebagai penghalang fisik polong terhadap serangga herbivora. Preferensi oviposisi lebih tinggi genotipe yang memiliki trikoma lebih banyak, berukuran pendek dan jumlah telur yang diletakkan 59 butir (85-CR). Sebaliknya, preferensi oviposisi lebih rendah pada genotipe yang memiliki trikoma sedikit, berukuran pendek dan jumlah telur yang diletakkan hanya empat butir (Shr/Wil-60), dan pada genotip yang tidak bertrikoma (85-JP) hanya satu butir Luas permukaan polong antar genotipe bervariasi, berkisar antara 268-432 mm2. Genotipe 85-CR (268 mm2) mempunyai luasan polong terkecil dan terbesar adalah genotipe 9637/Kawi-D-8-125 (432,97 mm2). Polong yang mempunyai permukaan lebih luas cenderung memiliki ukuran biji yang lebih besar. Apabila dikaitkan dengan jumlah telur, maka telur lebih banyak diletakkan pada permukaan polong yang lebih luas. Berat 100 biji berkisar antara 7,61-10,65 g, biji varietas Cikuray paling ringan (7,61 g) dan yang paling besar adalah genotipe 9637/Kawi-D-8-125 (12,41 g). Biji besar menyebabkan
Gambar 2. Polong bertrikoma padat (genotipe 85-CR).
97
SUSANTO DAN ADIE: PENCIRI KETAHANAN MORFOLOGI KEDELAI TERHADAP HAMA PENGGEREK POLONG
Tabel 1. Karakter morfologi polong 10 genotipe kedelai. Malang, 2005.
Genotipe
Kepadatan trikoma/ 3 mm2
Panjang trikoma (mm)
85-JP 85-CR Shr/Wil-60 9637/Kawi-D-8-125 9837/Kawi-D-3-1856 Wilis/9837-D-6-220 9637/Kawi-D-3-185 9069/Wilis Cikuray Wilis
0,00 a 52,80 f 19,93 b 25,67 d 21,93 c 21,27 bc 22,40 c 27,77 d 22,83 c 33,43 e
0,00 1,69 2,19 1,91 2,10 2,10 1,95 2,03 2,03 1,78
Rata-rata BNJ 5%
24,80 1,7
1,78 0,05
Luas permukaan polong (mm2)
Bobot 100 biji (g)
282,45 268,07 279,75 432,97 357,30 370,53 315,00 351,60 309,53 331,20
11,10 bc 9,95 b 10,65 bc 12,41 c 11,10 bc 10,48 bc 10,04 b 12,27 c 7,61 a 10,08 b
3,03 3,55 4,47 4,10 4,04 3,88 4,27 3,75 3,87 4,37
10,6 1,32
3,9 0,16
a b f d e e e d e c
ab a a d c cd abc bc abc abc
329,84 46,58
Jarak antarbuku (cm) a b g ef def cde fg bc cd g
Jumlah polong per buku 1,74 2,84 2,52 2,39 2,47 2,36 2,64 2,80 2,79 2,76
a b b b b b b b b b
2,5 0,37
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 BNJ. Data dianalisis ditransformasi dengan rumus (x+0,5)1/2.
Tabel 2. Korelasi morfologi polong terhadap intensitas polong dan biji kedelai yang terserang dan preferensi peneluran hama penggerek polong. Malang, 2005. Jumlah telur penggerek polong (butir/tanaman (7 hari)
Kerusakan polong
Kerusakan biji
Morfologi polong rg Kepadatan trikoma Panjang trikoma Luas permukaan polong Jumlah polong per buku Jarak antarbuku
0,7706 ** 0,3025 tn 0,3689 * 0,6516 ** 0,1165 tn
rf 0,7641 ** 0,2958 tn 0,3334 tn 0,5698 ** 0,1080 tn
rg 0,9154 ** 0,5051 ** 0,3869 * 0,7488 ** 0,2254 tn
rf 0,8483 0,4630 0,3265 0,6059 0,1927
rg ** ** tn ** tn
0,9240 0,5082 0,3088 0,7401 0,2595
rf ** ** tn ** tn
0,9039 0,4878 0,2573 0,6267 0,2415
** ** tn ** tn
rf = korelasi fenotipe, rg = korelasi genotipe, **=sangat nyata, *=nyata, tn=tidak nyata menurut uji t pada taraf 0,05
ketersediaan makanan lebih banyak sehingga mampu mendukung kehidupan larva (Price 1992). Jarak antarbuku pada batang utama berkisar antara 3,03-4,47 cm, terpendek adalah genotipe 85-JP (3,03 cm) dan terpanjang adalah genotipe Shr/Wil-60 (4,47 cm). Jumlah polong per buku berkisar antara 2-3 polong, genotipe 85-JP memiliki jumlah polong paling sedikit (Tabel 1). Pada tanaman tomat, Srinivasan dan Uthamasamy (2005) menemukan hubungan positif antara kerapatan trikoma dengan preferensi peneluran hama penggerek buah tomat. Hal ini menunjukkan bahwa hama bersangkutan menyukai trikoma pada tanaman sebagai tempat bertelur. Pada penelitian diperoleh korelasi positif antara kerapatan trikoma dengan jumlah telur yang diletakkan oleh imago penggerek polong (rg = 0,7706**, rf = 0,7641**), persentase kerusakan polong (rg = 0,9154**, rf = 0,8483**) dan persentase kerusakan biji (rg = 0,9240**, rf = 0,9039**). Korelasi positif antara panjang trikoma dengan persentase kerusakan polong dan biji, masing-masing bernilai rg = 0,5051**, rf = 98
0,4630** dan rg = 0,5082**, rf = 0,4878**. Korelasi positif juga diperoleh antara jumlah polong per buku dengan jumlah telur (rg = 0,6516**, rf = 0,5698**), persentase kerusakan polong (rg = 0,7488**, rf = 0,6059**) dan dengan kerusakan biji (rg = 0,7401**, rf = 0,6267**) (Tabel 2). Jumlah telur akan semakin banyak bila polong memiliki trikoma makin rapat dan jumlah polong makin banyak. Ruang antartrikoma merupakan tempat yang disenangi oleh penggerek polong untuk meletakkan telur, sehingga tingkat kerusakan polong dan biji menjadi tinggi. Penggerek polong meletakkan telur di antara trikoma dan menempel pada trikoma. Trikoma pada kedelai memiliki kelenjar yang menghasilkan sekret berupa eksudat di dalam dan di ujungnya. Pertimbangan lain bagi serangga untuk lebih tertarik meletakkan telur pada genotipe bertrikoma padat adalah untuk menghindari parasitoit telur atau musuh alami. Trikoma dan eksudatnya dapat meningkatkan waktu pencarian, menjebak dan secara kimiawi menangkis musuh-
JURNAL PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 2 2008
Tabel 3. Jumlah telur penggerek polong, intensitas kerusakan polong dan biji dan kriteria ketahanan dari 10 genotipe kedelai. Malang, 2005.
Genotipe
Jumlah telur penggerek polong tujuh hari (butir)
Intensitas kerusakan (%) Polong
Biji
Kriteria ketahanan Polong
Biji
85-JP 85-CR Shr/Wil-60 9637/Kawi-D-8-125 9837/Kawi-D-3-1856 Wilis/9837-D-6-220 9637/Kawi-D-3-185 9069/Wilis Cikuray Wilis
1,33 a 59,83 f 4,17 b 56,33 f 16,00 d 9,33 bc 34,67 c 42,67 e 39,67 d 45,83 e
5,63 a 57,33 f 16,55 ab 48,87 de 29,65 bcd 28,55 bc 20,91 b 39,18 cde 28,62 bc 41,13 cde
4,88 a 54,35 f 15,98 b 42,19 e 25,21 cd 25,45 cd 20,67 bc 28,53 d 25,37 cd 37,47 e
Tahan Rentan Agak tahan Agak rentan Moderat Moderat Agak tahan Agak rentan Moderat Agak rentan
Tahan Rentan Agak tahan Agak rentan Moderat Moderat Agak tahan Moderat Moderat Agak rentan
Rata-rata BNJ 5%
30,98 4,59
31,64 12,31
28,01 4,14
-
-
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 BNJ. Data jumlah telur ditransformasi akar dengan rumus (x+0,5)1/2 dan data intensitas kerusakan ditransformasi Arcsin.
musuh alami (Shanower 1996). Pada tanaman tomat, efektivitas trikoma sebagai penentu ketahanan terhadap hama ditentukan juga struktur, kerapatan dan panjang trikoma (Broersma et al. 1972). Trikoma yang panjang dapat mengganggu dan menghalangi ovipositor serangga dalam meletakkan telur. Selama tujuh hari masa infestasi imago, rata-rata jumlah telur yang dihasilkan berkisar antara 1,3-56,8 butir/ tanaman. Imago meletakkan telur paling sedikit pada genotipe 85-JP (1,3 butir/ tanaman), paling banyak pada genotipe 9637/Kawi-D-8-125 (56,8 butir/tanaman) (Tabel 3). Semakin rapat trikoma pada polong makin tinggi aktivitas peneluran imago hama penggerek polong. Trikoma dan eksukdatnya dapat meningkatkan waktu pencarian, menjebak dan secara kimiawi menangkis musuh-musuh alami (Shanower 1996). Persentase polong terserang diikuti dengan persentase biji terserang oleh penggerek polong. Rentang polong terserang berkisar antara 5,63-48,87%, sedangkan persentase biji terserang 4,88-54,35% (Tabel 3), dengan kriteria ketahanannya dari tahan hingga rentan. Genotipe 85-JP tergolong tahan, Shr/Wil-60 dan 9637/ Kawi-D-3-185 agak tahan, 9837/Kawi-D-3-1856 dan Cikuray moderat, 9637/Kawi-D-8-125, 9637/Kawi-D-8125 9069/Wilis agak rentan dan 85-CR bereaksi rentan (Tabel 3). Genotipe dengan persentase biji maupun polong terserang terendah ditunjukkan oleh 85-JP dengan reaksi sangat tahan dan tertinggi ditunjukkan oleh 85-CR dengan reaksi sangat rentan, kedua genotipe masing-masing ini dengan reaksi tanpa trikoma dan memiliki trikoma rapat. Polong kedelai tanpa trikoma
berindikasi tahan terhadap hama penggerek polong. Imago penggerek polong lebih menyukai genotipe yang memiliki lebih banyak trikoma sebagai tempat untuk meletakkan telur. Wai-Ki dan Pedigo (2001) melaporkan bahwa kedelai dengan trikoma rapat tidak disukai oleh Cerotoma trifurcata (Forster). Pada tanaman Arabidopsis thaliana, kepadatan trikoma berkorelasi negatif dengan jumlah telur yang diletakkan oleh Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Plutellidae) (Handley et al. 2005). Khan et al. (2000) serta Bjorkman dan Ahrme (2005) mengemukakan bahwa trikoma yang rapat sangat potensial bagi ketahanan tanaman Salix cinerea L. (Salicaceae) terhadap hama P. vulgatissima, viz. (Coleoptera: Chrysomelidae), Anthocoris nemorum L. (Heteroptera: Anthocoridae), dan Orthotylus marginalis L. (Heteroptera: Miridae). Pada tanaman tomat, keberadaan trikoma tidak disukai oleh hama aphid (Simmons and Gurr 2004). Beberapa penelitian tersebut menyimpulkan bahwa setiap hama memiliki perilaku berbeda dalam menanggapi morfologi yang dimiliki tanaman. Polong kedelai tanpa trikoma berindikasi tahan terhadap penggerek polong.
KESIMPULAN 1. Penciri ketahanan morfologi polong terhadap hama penggerek polong adalah trikoma polong. Kerapatan trikoma berkorelasi negatif dengan ketahanan terhadap penggerek polong. 2. Genotipe 85-JP tanpa trikoma berindikasi tahan terhadap hama penggerek polong, sehingga ber-
99
SUSANTO DAN ADIE: PENCIRI KETAHANAN MORFOLOGI KEDELAI TERHADAP HAMA PENGGEREK POLONG
peluang digunakan sebagai sumber gen perbaikan ketahanan kedelai terhadap hama penggerek polong.
UCAPAN TERIMA KASIH Diucapkan terima kasih kepada Ir. Wedanimbi Tengkano, MS yang telah banyak memberikan saran dan pemahaman dalam perbaikan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA Broersma, D.B., R.L. Bernard and W.H. Luckmann. 1972. Some effect of soybean pubescence on populations of the potato leafhopper. J. of Econ. Entomol. 65:78-82.
Naito, A. and Harnoto. 1984. Ecology of the soybean podborers Etiella zinckenella Treitschte and Etiella hobsoni Butler. Contr. Centre Res. Inst. Food Crops Bogor. 71:15-33. Norris, D.M. and M. Kogan. 1980. Biochemical and morphological based of resistance. In: F.G. Maxwell and P.R. Jennings (Eds.). Breeding Plant Resistant to insects. John Wiley and Sons. New York. p. 23-62. Nukenina, E.N., A.G.O. Dixon, A.T. Hassan, and F.G. Zalom. 2002. Relationships between leaf trichome characteristic and field resistance to cassava green mite, Mononychellus tanajoa (Bondar). Systematic and Applied Acarology. 7:77-90. Price, W.P. 1992. Plant resources as the mechanistic basis for insect herbivore population dynamics. Dalam Effects of Resource Distribution on Animal-Plant Interactions. Academic Press. Inc. p. 139-167. Shanower, G.T., J. Romeis, and A.J. Peter. 1996. Pigeonpea plant trichomes: multiple trophic level interactions. In: T.N Ananthakrishnan (Ed.). Biotechnological Prespectives in Chemical Ecology of Insect. Science Publishers. Inc. p. 76-84.
Bjorkman, C. and K. Ahrne. 2005. Influence of leaf trichome density on the efficiency of two polyphagous insect predators. Entomologia Experimentalis et Applicata. 115(1):179-186
Simmons, A.T. and G.M. Gurr. 2004. Trichome-based host plant resistance of Lycopersicon species and the biocontrol agent Mallada signata: are they compatible?. Entomologia Experimentalis et Applicata 113:95-101.
Chiang, H.S. and D.M. Norris. 1983. Morphological and physiological parameters of soybean resistance to Agromyzid beanflies. Environ. Entomol. 12:260-265.
Singh, I.D. and B.D. Chaudhary. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetics Analysis. Kalyani Publisher. New Delhi. 301 p.
Chiang, H.S. and N.S. Talekar. 1980. Identification of source of resistance to the beanfly and two other Agromyzid flies in soybean and mungbean. J. of Econ. Entomol. 73:197-199.
Srinivasan, R. and S. Uthamasamy. 2005. Trichome density and antibiosis affect resistance of tomato to fruitborer and whitefly under laboratory conditions. Journal of Vegetable Science. 11(2):3-17
Handley, R., E. Barbara and Agren. 2005. Variation in trichome density and resistance against a specialist insect herbivore in natural populations of Arabidopsis thaliana. J. of Econ. Entomol. 30(3):284-292. Hattori, M. 1988. Host plant factors responsible for oviposition behavior in lima bean pod borer, Etiella zinckenella Treitschte. J. Insect Physiol. 34:191-196. Kamandalu, A.A.N.B., I.M. Samudra, H.P. Budi dan W. Tengkano. 1995. Identifikasi faktor biofisika tanaman inang yang menarik imago Etiella zinckenella dan Helicoverpa armigera untuk hinggap dan bertelur. Laporan Penelitian. Balittan Bogor. Karkkainen and Agren. 2002. Genetic basis of trichome production in Arabidopsis lyrata. Hereditas. 136(3):219-26. http://www. ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez? cmd= Retrieve&db=PubMed& dopt=AbstractPlus&list_uids=12471669. Diakses 3 Desember 2007. Khan, M. M. H., R. Kundu and M. Z. Alam. 2000. Impact of trichome density on the infestation of Aphis gossypii Glover and incidence of virus disease in ashgourd [Benincasa hispida (Thunb.) Cogn.]. International Journal of Pest Management. 46:201-204.
100
Synder, J.C. and C.D. Carter. 1984. Leaf trichomes and resistance of Lycopersicon hirsutum and Lycopersicon esculentum to spider mites. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 109(6):837-843. Tengkano, W. 1999. Pengaruh letak telur Etiella Zinckenella Treitschke pada tanaman kedelai terhadap kelangsungan hidup larva dan tingkat serangannya. p. 529-540. Dalam: Peranan entomologi dalam pengendalian hama yang ramah lingkungan dan ekonomis. Prosiding seminar Nasional. Buku 2. PEI, Bogor. Tengkano, W., M. Imam, dan A.M. Tohir. 1992. Bioekologi, serangan dan pengendalian hama pengisap polong dan penggerek polong kedelai. Dalam: Risalah Lokakarya pengendalian hama terpadu tanaman kedelai. Marwoto, N. Saleh, Sunardi dan A. Winarto (Eds.). Puslitbangtan. Malang. p.117-153. Valverde, P.L., J. Fornoni, and J. Nunez-Farfan. 2001. Defensive role of leaf trichome in resistance to herbivorous insects in Datura stramonium. J. Evol. Biol. 14:424-432. Wai-Ki, F. L. and L. P. Pedigo. 2001. Effect of trichome density on soybean pod feeding by adult bean leaf beetles (Coleoptera: Chrysomelidae). J. of Econ. Entomol. 94:1459-1463.