ZAKARIA: ADOPSI TEKNOLOGI BUDI DAYA KEDELAI PADA LAHAN SAWAH IRIGASI
Tingkat Adopsi Teknologi Budi Daya Kedelai pada Lahan Sawah Irigasi di Pasuruan, Jawa Timur Amar K. Zakaria Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani 70, Bogor, Jawa Barat
ABSTRACT. Level of Adoption of Soybean Cultivation Technology in the Irrigated Rice-Field of Pasuruan Regency, East Java. Soybean is an important food crop that have a strategic role in the agricultural development of Indonesia. In the last two decades, the national soybean production had continued to decline due to mainly of the declining of the planting area, as a result of the reduced level of farmers’ participations in soybean cultivation. The government had developed a strategic program to increase soybean production in order to meet the domestic needs through a technical aspects, and also the need of raising the participation of farmers. The research was conducted at two locations in Pasuruan Regency, East Java, in 2009, using the survey method. Primary data was collected through interviews with 64 farmers as the respondents by giving a structured questionnaires. The data were arranged in a cross tabulation and analyzed to measure the feasibility of the farming based on the gross B/C ratio, profitability, BEP (Break Even Point), and competitive advantage of soybean farming in paddy fields. The results showed that soybean farming in the research area was profitable with gross values of B/C 1.85 and 2.19, respectively. However, the recommended technology has not been fully implemented by farmers. The present finding was also indicated that soybean cropping has a competitive advantage over maize. Keywords: Soybean farming technology, farmer participation, self-sufficiency ABSTRAK. Kedelai termasuk komoditas penting tanaman pangan yang memiliki peranan strategis dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Produksi nasional kedelai dalam dua dekade terakhir terus menurun, seiring dengan penurunan luas areal tanam. Hal ini sebagai akibat dari berkurangnya tingkat partisipasi petani untuk menanam kedelai. Upaya pemerintah melalui program peningkatan produksi dalam rangka mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri dan sekaligus menuju swasembada, merupakan program yang strategis, karena pelaksanaannya tidak hanya mencakup aspek teknis, tetapi juga diperlukan penggalangan partisipasi petani. Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur pada tahun 2009 dengan menggunakan metode survei. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan 64 petani responden dengan pengisian kuesioner terstruktur. Data diolah dengan tabulasi silang dan untuk mengukur tingkat kelayakan usahatani digunakan Gross B/C rasio, profitabilitas, BEP (Break Even Point), dan keunggulan kompetitif usahatani kedelai pada lahan sawah. Hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani kedelai di wilayah penelitian memberi keuntungan dan layak diusahakan dengan nilai Gross B/C 1,85 dan 2,19, walaupun teknologi belum sepenuhnya diterapkan. Kedelai memiliki keunggulan kompetitif terhadap jagung. Kata kunci: Usahatani kedelai, partisipasi, swasembada, teknologi
180
B
udi daya tanaman kedelai di Indonesia secara umum masih tradisional, belum menerapkan teknik baku. Cara tanam kedelai di lahan sawah selama tiga dasawarsa terakhir belum banyak berubah, kecuali dalam penggunaan varietas dan pestisida. Teknik penyiapan lahan, tanam benih, dan penyiangan tanaman sama dengan yang dilakukan pada tahun 1980an. Hal tersebut kemungkinan yang mengakibatkan produktivitas kedelai sangat beragam atau seringkali rendah. Di sisi lain, panduan teknik budi daya baku kedelai sudah banyak disediakan dalam bentuk buku atau booklet (Sumarno 1993; Lii 1990; Marwoto et al. 2007; Ditjen Tanaman Pangan 2007; Syam dan Musaddad 1991). Leaflet dan lembar informasi dari berbagai institusi penelitian dan pengkajian juga sudah banyak disediakan bagi penyuluh. Adopsi teknologi budi daya kedelai secara baku termasuk lambat dibandingkan dengan adopsi budi daya baku tanaman padi. Produksi kedelai nasional ditentukan oleh dua sumber pertumbuhan utama, yaitu luas areal tanam/ panen dan tingkat hasil per satuan luas atau produktivitas tanaman. Areal tanam dapat mencerminkan minat petani terhadap usahatani kedelai yang berhubungan erat dengan kebutuhan bahan pangan dan kondisi sosial budaya masyarakat. Produktivitas tanaman menggambarkan tingkat penerapan teknologi produksi oleh petani (Subandi et al. 2007). Produktivitas tanaman kedelai di Indonesia masih rendah, rata-rata 1,28 t/ha, jauh di bawah potensi hasil beberapa varietas unggul yang dapat mencapai 2-2,5 t/ha (Suhartina 2005). Di Indonesia kedelai dibudidayakan di lingkungan yang sangat beragam dan sebagian besar (60%) diusahakan di lahan sawah pada awal musim kemarau (April-Juni) atau akhir musim kemarau (Juli-Oktober). Kondisi demikian menunjukkan bahwa areal pertanaman kedelai sebagian besar terdapat pada daerah yang infrastrukturnya relatif mapan dan lahannya relatif subur. Hal ini berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas kedelai yang saat ini masih rendah. Oleh karena itu, Sudaryanto et al. (2001) mengemukakan bahwa jika kondisi sosial ekonomi kondusif, maka secara teknis pengembangan kedelai memiliki potensi dan peluang bagi peningkatan produksi dan produktivitas.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 29 NO. 3 2010
Upaya peningkatan produksi kedelai selain ditentukan oleh ketersediaan lahan juga ditentukan oleh teknologi produksi yang tersedia dan dapat diterapkan oleh petani secara utuh. Komponen teknologi yang paling mudah diterapkan petani adalah varietas unggul, namun sering dihambat oleh ketersediaan benihnya karena belum berkembangnya industri perbenihan kedelai. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kedelai domestik tidak memiliki keunggulan komparatif dibanding kedelai impor karena lemahnya daya saing usahatani kedelai dan harga yang diterima petani ditentukan oleh mekanisme pasar (Heriyanto et al. 2004). Oleh karena itu, agar usahatani kedelai mempunyai keunggulan komparatif, maka produktivitas kedelai harus mencapai 2 t/ha (Swastika 2001). Di samping itu, menurut Prabowo (2008), swasembada kedelai akan tercapai jika pemerintah memberi kebijakan jaminan harga yang layak, sehingga petani tertarik dan bergairah untuk menanam kedelai. Bahkan menurut Pakpahan (2004), petani di negara-negara maju pun mendapat perlindungan dan subsidi yang sangat besar. Dengan permasalahan tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengungkapkan secara objektif karakteristik petani kedelai pada agrosistem lahan sawah irigasi di Pasuruan; (2) mengetahui keragaan petani dalam penerapan teknologi budi daya kedelai di lahan sawah irigasi di Pasuruan; dan (3) menganalisis kelayakan usahatani kedelai di tingkat petani pada lahan sawah irigasi dan tingkat keunggulan kompetitifnya terhadap padi dan jagung.
METODOLOGI Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2009 di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, menggunakan metode survei terstruktur. Lokasi penelitian dipilih berdasarkan wilayah berbasis kedelai pada lahan sawah irigasi, yaitu Desa Plinggisan di Kecamatan Kraton dan Desa Wrati di Kecamatan Kejayan. Data primer dikumpulkan melalui wawancara melalui pengisian kuesioner terstruktur terhadap 64 petani contoh yaitu 32 petani di Desa Plinggisan dan 32 petani di Desa Wrati. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik petani, tingkat partisipasi petani terhadap kelompok tani, keragaan penerapan teknologi budi daya kedelai, dan tingkat penggunaan sarana produksi dalam usahatani kedelai. Data diolah dengan tabulasi silang yang disajikan dalam bentuk tabel. Untuk mengetahui tingkat kelayakan
usahatani kedelai, secara sederhana dinilai dengan analisis gross B/C ratio, yaitu imbangan pendapatan kotor dan biaya total usahatani. Apabila nilai B/C >1 berarti kedelai layak diusahakan. Selain itu dilakukan pendekatan dengan menghitung tingkat profitabilitas dan Break Even Point (BEP/Titik Impas) dengan formula sebagai berikut: 1. π = TR – TC di mana:π = Keuntungan (profit) TR = Total penerimaan usahatani (revenue) TC = Total biaya usahatani (total cost) 2. Profitabilitas (Pr) = (π/TR) x 100% 3. Gross B/C = TR/TC Untuk mengetahui BEP/titik impas pada produktivitas dan harga digunakan rumus sebagai berikut: Titik Impas Produktivitas (TIP) = BT/H, dan Titik Impas Harga (TIH) = BT/Y di mana: H = harga komoditas Y = produktivitas BT= biaya total Kriteria keputusan yang diambil adalah semakin rendah nilai BEP semakin tinggi daya saing komoditas. Untuk mengukur tingkat keunggulan kompetitif kedelai di wilayah penelitian dilakukan perbandingan terhadap usahatani padi dan jagung pada musim tanam yang sama, yaitu musim kemarau pertama (MK I). Tingkat keunggulan kompetitif kedelai dibandingkan dengan padi dan jagung ditentukan berdasarkan kriteria pada Tabel 1.
Tabel 1. Kerangka analisis keunggulan kompetitif komoditas kedelai, jagung, dan padi. Komoditas
Kedelai Jagung Padi
Produksi (kg/ha)
Harga (Rp/kg)
Y1 Y2 Y3
H1 H2 H3
Keunggulan kedelai terhadap: Jagung F1 Padi F2
Biaya Keuntungan (Rp/kg) (Rp) D1 D2 D3
E1 E2 E3
P1 P2
Di mana: F1 = (E2 + D1)/H1 dan F2 = (E3 + D1)/H1; F1 = tingkat produktivitas minimum kedelai agar kompetitif terhadap padi sawah. P1 = (E2 + D2)/Y1 dan P2 = (E3 + D1)/Y1; P1 = tingkat harga minimum kedelai agar kompetitif terhadap padi sawah. Sumber: Ramli dan Swastika (2005).
181
ZAKARIA: ADOPSI TEKNOLOGI BUDI DAYA KEDELAI PADA LAHAN SAWAH IRIGASI
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Rumah Tangga Contoh Kondisi rumah tangga petani, seperti usia dan pendidikan formal, tanggungan keluarga, pengalaman bertani, luas garapan usahatani, dan sumber modal usahatani menjadi faktor intern yang berpengaruh terhadap sikap dan motivasi petani dalam melaksanakan usahatani. Dari segi usia, petani di Plinggisan rata-rata berumur 43,2 tahun, sedangkan di Wrati 46,4 tahun. Dengan demikian, berarti petani rata-rata pada usia produktif yang secara fisik cukup mendukung untuk melakukan berbagai aktivitas usahatani. Berdasarkan tingkat pendidikan formal, semua petani responden sudah menyelesaikan pendidikan dasar, sehingga dapat menerima dan memutuskan penerapan teknologi budi daya yang dianjurkan sesuai dengan pengetahuannya. Pada umumnya mereka memiliki pengalaman bertani lebih dari 10 tahun. Berdasarkan jumlah anggota rumah tangga yang ditanggung, yaitu 4,4 jiwa di Plinggisan dan 4,6 jiwa di Wrati, maka petani pada umumnya memiliki potensi yang cukup memadai sebagai sumber tenaga kerja keluarga, karena pada dasarnya mereka lebih mengutamakan curahan tenaga keluarganya dalam berbagai aktivitas usahatani. Rata-rata luas usahatani kedelai 0,36-0,38 ha, tergolong kecil, sehingga dalam melaksanakan budi daya kedelai hanya 37-47% petani yang menggunakan modal usahatani yang bersumber dari kredit (Tabel 2). Partisipasi Petani dalam Budi Daya Kedelai Secara sederhana, partisipasi berarti turut ambil bagian dan saling berbagi sesuatu yang merupakan manifestasi
Tabel 2. Karakteristik petani kedelai pada agroekosistem lahan sawah irigasi, di dua desa di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, 2009.
dari perilaku seseorang dalam mewujudkan perannya sesuai harapan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu (Adjid 1985). Upaya mengajak petani berpartisipasi dalam pengembangan kedelai perlu ditempuh dengan metode dan cara yang efektif sehingga dapat diterima dengan baik. Terwujudnya pola partisipasi yang efektif di tingkat petani yang didukung oleh kemampuan kerja sama dalam ikatan kelompok tani adalah media interaksi untuk mengadopsi teknologi. Menurut Syahyuti (2006), partisipasi tersebut diperlukan untuk menjamin keberlanjutan pembangunan, di mana individu dan lembaga saling berinteraksi dan berperan aktif agar terjadi perubahan dan prosesnya telah diterima sebagai alat yang esensial. Simatupang (2004) mengemukakan bahwa langkah terobosan untuk mempercepat dan memantapkan inovasi teknologi pada kondisi nyata merupakan paradigma baru dalam proses adopsi inovasi teknologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi petani kedelai di Kabupaten Pasuruan dalam kelompok tani adalah sebagai berikut: (1) sebagian besar petani di kedua desa penelitian mengetahui eksistensi kelompok tani di wilayahnya, tetapi yang menjadi anggota hanya 59% di desa Plinggisan dan 53% di Wrati; (2) petani yang hadir dalam kegiatan pertemuan kelompok berkisar antara 71-74%; dan (3) materi yang dibahas pada pertemuan adalah varietas unggul yang cocok di wilayah usahataninya, waktu tanam, pola tanam, teknik budi daya kedelai, penanganan pascapanen dan pemasaran hasil. Secara rinci, keterlibatan petani contoh dalam kelompok tani disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Tingkat partisipasi petani kedelai terhadap kelompok tani pada agroekosistem lahan sawah irigasi di dua desa di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, 2009. Partisipasi terhadap kelompok tani (%) Uraian Plinggisan (n=32)
Wrati (n=32)
Rata-rata (n=64)
Keberadaan kelompok tani a. Mengetahui b. Tidak tahu
87,5 12,5
81,3 18,7
84,4 15,6
Keanggotaan kelompok a. Menjadi anggota b. Tidak
59,4 40,6
53,1 46,9
56,3 43,7
Keterlibatan pertemuan a. Selalu mengikuti b. Kadang-kadang c. Tidak ikut
42,1 31,6 26,3
35,3 35,3 29,4
38,7 33,5 27,8
Keterlibatan program a. Peserta SLPTT b. Mendapat BLBU c. Tidak terlibat
12,5 28,1 59,4
15,6 21,9 62,5
14,1 25,0 55,9
Karakteristik petani kedelai Uraian
Desa Plinggisan
Desa Wrati
Kisaran Ratarata
Kisaran Ratarata
Umur petani (th) 28-62 48,2 Pendidikan formal (th) 5-14 8,2 Pengalaman tani (th) 12-24 19,2 Tanggungan keluarga (jiwa) 3-6 4,4 Luas garapan kedelai (ha) 0,18-1,00 0,36 Sumber modal (%) - Swadana petani 62,5 - Kredit/bayar panen 37,5
182
27-65 4-12 10-26 6-8 0,21-0,85
46,4 7,4 16,8 4,6 0,38
-
53,1 46,9
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 29 NO. 3 2010
Tingkat partisipasi petani di dua desa di Kabupaten Pasuruan dalam penerapan teknologi budi daya kedelai disajikan pada Tabel 4. Dalam memilih benih, sebagian besar petani menetapkan kriteria yang paling sesuai dengan kondisi wilayahnya, yaitu 53,1% di Plinggisan dan 59,3% di Wrati dan secara agregat adalah sebesar 56,2%. Untuk pilihan benih yang memiliki potensi produksi tinggi adalah 26,7% dan tahan terhadap hama 17,1%. Dalam hal pemilihan varietas kedelai yang ditanam, petani di kedua desa relatif tidak berbeda di mana secara agregat 62,5% menggunakan varietas unggul nasional. Jika dilihat dari penggunaan benih berkualitas ternyata masih banyak petani (76,6%) yang menggunakan benih tidak berlabel. Kondisi ini juga tercermin dari sumber benih yang digunakan, yaitu berasal dari pasar atau petani lain. Hal ini terjadi karena ketersediaan benih unggul bermutu di daerah setempat masih terbatas dan harga jualnya relatif mahal. Penanaman kedelai pada lahan sawah irigasi pada umumnya dengan cara disebar (71,9%), sedangkan penanaman secara ditugal dilakukan oleh petani yang mengikuti program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) atau
Tabel 4. Keragaan penerapan teknologi budi daya kedelai oleh petani pada agroekosistem lahan sawah irigasi pada dua desa di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, 2009. Penerapan teknologi (%) Komponen teknologi
Kriteria benih - Produksi tinggi - Kecocokan wilayah - Tahan hama Varietas - Unggul nasional - Unggul lokal Kualitas benih - Berlabel - Tidak berlabel Sumber benih - Produksi sendiri - Pembelian - Bantuan Cara tanam - Ditugal - Disebar Penggunaan pupuk - Lengkap berimbang - Tidak lengkap - Tanpa pemupukan Cara pemupukan - Ditugal - Disebar Pestisida - Menggunakan - Tidak
Plinggisan (n=32)
Wrati (n=32)
Agregat (n=64)
31,3 53,1 15,6
22,0 59,3 18,7
26,7 56,2 17,1
65,6 34,4
59,4 40,6
62,5 37,5
28,1 71,9
18,7 81,3
23,4 76,6
31,3 56,2 12,5
37,5 53,1 9,4
34,4 54,6 11,0
31,2 68,8
25,0 75,0
28,1 71,9
9,4 71,8 18,8
12,5 65,6 21,9
11,0 68,7 20,3
31,3 68,7
37,5 62,5
34,4 65,6
100,0 0,0
100,0 0,0
100,0 0,0
yang mendapat bantuan langsung benih unggul (BLBU) dari Dinas Pertanian. Dalam pemupukan, tampaknya masih dijumpai petani yang tidak memakai pupuk pabrik (20,3%). Dari petani pengguna pupuk (79,7%), ternyata yang melakukan pemupukan secara lengkap dan berimbang sesuai anjuran hanya 11%. Kondisi ini tidak terlepas dari persepsi petani bahwa tanaman kedelai tidak memerlukan pemupukan secara lengkap seperti padi. Pemberian pupuk umumnya disebar (65,6%), karena menurut petani, cara ini lebih praktis dan efisien dari segi tenaga kerja. Pada kegiatan pengendalian organisme pengganggu tanaman, seluruh petani kedelai di kedua desa penelitian menggunakan pestisida, karena tanaman kedelai rentan terhadap hama dan penyakit, dari tanam sampai panen. Tingkat Penggunaan Sarana Produksi Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemakaian benih umumnya melebihi jumlah yang dianjurkan (40 kg/ha) dengan rata-rata pemakaian di Plinggisan 47,8 kg/ha dan di Wrati 48,4 kg/ha (Tabel 5). Hal ini karena cara tanam disebar dan benih yang digunakan tidak berlabel atau dari produksi petani sendiri. Sebagian besar petani hanya memakai dua jenis pupuk, yaitu urea dan SP36. Pupuk Phonska atau NPK hanya digunakan oleh sebagian kecil petani, karena selain harganya lebih mahal juga ketersediaannya di lapangan masih terbatas. Takaran pemakaian pupuk urea adalah 68,4 kg/ha di Plinggisan dan 62,6 kg/ha di Wrati, sedangkan pupuk SP36 masing-masing 57,6 kg dan 53,8 kg/ha. Walaupun takaran kedua jenis pupuk yang digunakan di bawah anjuran, namun cukup memadai untuk petani saat ini. Dalam pemakaian pupuk Phonska/NPK, takarannya baru mencapai rata-rata 16,4 kg/ha di Plinggisan, dan Tabel 5. Tingkat penggunaan sarana produksi pada usahatani kedelai pada agroekosistem lahan sawah irigasi, di dua desa di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, 2009. Penggunaan sarana produksi Komponen sarana
Benih (kg/ha) Pupuk (kg/ha) - Urea - SP36 - Phonska/NPK PPC/ZPT (lt/ha) Pestisida (lt/ha)
Desa Plinggisan
Desa Wrati
Ratarata
Kisaran
Ratarata
Kisaran
47,8
40-52
48,4
43-51
68,4 57,6 16,4 1,2 2,8
54-100 40-100 0-40 0-2,0 1,4-3,6
62,6 53,8 14,6 0,8 3,1
52-100 36-100 0-36 0-1,6 1,5-4,0
183
ZAKARIA: ADOPSI TEKNOLOGI BUDI DAYA KEDELAI PADA LAHAN SAWAH IRIGASI
14,6 kg/ha di Wrati, karena tidak semua petani yang menggunakannya. Pemakaian pupuk pelengkap cair (PPC) dan zat pengatur tumbuh (ZPT) rata-rata hanya 1,2 l/ha di Plinggisan dan 0,8 l/ha di Wrati. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan oleh semua petani kedelai dengan takaran pestisida rata-rata 2,8 l/ha di Plinggisan dan 3,1 l/ha di Wrati. Struktur Biaya dan Kelayakan Usahatani Kedelai Keberhasilan usahatani ditentukan oleh biaya dan pendapatan usahatani. Biaya usahatani kedelai di Plinggisan adalah Rp 2,94 juta. Dilihat dari struktur pengeluaran, alokasi terbesar adalah untuk tenaga kerja (58,5%), termasuk tenaga kerja keluarga sebesar 34,1%. Alokasi biaya untuk pengadaan sarana produksi adalah 34,4% dengan kontribusi terbesar untuk pengadaan benih (13,9%) dan pestisida (10,6%). Di Wrati, dari total biaya usahatani sebesar Rp 3,37 juta, 58,8% di antaranya dialokasikan untuk tenaga kerja, 30,9% untuk pengadaan sarana produksi dan 10,4% untuk pengeluaran lain-lain (Tabel 6). Pendapatan usahatani kedelai di Plinggisan Rp 6,45 juta sehingga petani memperoleh keuntungan bersih sebesar Rp 3,51 juta dengan tingkat profitabilitas 54,4%. Di Wrati, pendapatan usahatani kedelai Rp 6,22 juta dengan keuntungan bersih Rp 2,85 juta dan tingkat profitabilitas 45,8%. Berdasarkan analisis pendapatan dan biaya usahatani (Gross B/C) tersebut maka usahatani kedelai di kedua wilayah cukup efisien, karena memberikan nilai profitabilitas yang kompetitif. Hal ini tidak terlepas dari membaiknya harga jual kedelai dan adanya partisipasi
Tabel 6. Analisis usahatani kedelai pada agroekosistem lahan sawah irigasi di dua desa di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, 2009. Plinggisan
petani dalam penerapan teknologi budi daya, walaupun belum sepenuhnya diadopsi sebagaimana yang dianjurkan penyuluh. Berdasarkan analisis kelayakan finansial usaha dengan nilai imbangan pendapatan dan biaya usahatani diperoleh nilai B/C >1, yaitu 2,19 di Plinggisan dan 1,85 di Wrati. Rata-rata nilai gross B/C dari kedua wilayah penelitian adalah 1,99 dengan tingkat profitabilitas 50,2% (Tabel 7). Hal ini berarti usahatani kedelai di wilayah tersebut cukup layak untuk dilanjutkan. Dilihat dari tingkat BEP usahatani kedelai, baik terhadap produksi (titik impas produktivitas/TIP) maupun harga (titik impas harga/TIH), hasil analisis menunjukkan bahwa TIP di Plinggisan adalah 565 kg/ ha dari nilai aktual 1.240 kg/ha (45,6%), dan di Wrati 644 kg/ha dari nilai aktual 1.186 kg/ha (54,3%). TIH di Plinggisan adalah Rp 2.370/kg dari harga aktual Rp 5.200, dan di Wrati Rp 2.851/kg dari harga aktual Rp 5.250/kg. Dapat disimpulkan bahwa usahatani kedelai pada lahan sawah di lokasi penelitian memiliki daya saing yang cukup tinggi. Budi daya padi sawah di dua desa penelitian umumnya dua kali, yaitu pada musim hujan (MH) dan musim kemarau pertama (MK I). Tingkat penerapan teknologi produksi padi oleh petani umumnya cukup memadai, baik dalam pemakaian benih unggul bermutu maupun pupuk. Hal ini tercermin dari produktivitas padi yang mencapai 6,4-7,2 t/ha pada MH dengan rata-rata 6,7 t/ha. Pada MK I, rata-rata 5,8 t/ha. Pengusahaan jagung di lahan sawah biasanya pada MK I karena ketersediaan air irigasi untuk tanaman padi tidak cukup. Benih jagung yang dipakai adalah hibrida, tetapi penggunaan pupuk masih di bawah takaran anjuran, sehingga produktivitas jagung hanya 4,0 t/ha pipilan kering. Mengacu pada hasil analisis keunggulan kompetitif usahatani kedelai (Tabel 8) maka tingkat produksi minimal terhadap jagung adalah 1.173 kg/ha atau 103,4%
Wrati
Komponen biaya Nilai Kontribusi Nilai Kontribusi (Rp juta) (%) (Rp juta) (%) Sarana Produksi a. Benih b. Pupuk c. PPC/ZPT d. Pestisida Jumlah Tenaga kerja Lain-lain Total biaya
0,41 0,26 0,03 0,31 1,01 1,72 2,21 2,94
Pendapatan usahatani a. Fisik hasil (kg/ha) 1.240,0 b. Nilai hasil 6,45 Penerimaan bersih 3,51 Profitabilitas
184
13,84 8,87 1,03 10,70 34,44 64,30 12,66 100,00
0,42 0,24 0,02 0,35 1,04 1,98 0,35 3,37
12,43 7,22 0,62 10,47 30,74 58,71 10,55 100,00
1.186,0 6,22 2,85 54,42
45,83
Tabel 7. Analisis kelayakan dan tingkat BEP usahatani kedelai pada lahan sawah pada MK I di dua desa di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, 2009. Kelayakan dan tingkat BEP Uraian
Hasil kedelai (kg/ha) Harga (Rp/kg) Penerimaan (Rp juta) Total biaya (Rp juta) Keuntungan (Rp juta) Profitabilitas (%) Gross B/C BEP produktivitas (kg/ha) BEP harga komoditas (Rp/kg)
Plinggisan
Wrati
Agregat
1.240 5.200 6,45 2,94 3,51 54,42 2,19 565 2.370
1.186 5.250 6,22 3,37 2,85 45,82 1,85 644 2.851
1.213 5.227 6,34 3,15 3,18 50,15 1,99 603 2.596
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 29 NO. 3 2010
Tabel 8. Tingkat keunggulan kompetitif usahatani kedelai pada lahan sawah pada MK I di Pasuruan, Jawa Timur, 2009. Komoditas
Kedelai Jagung Padi
Hasil (kg/ha)
Harga (Rp/kg)
Biaya (Rp/ha)
Keuntungan Gross (Rp/ha) B/C
1.213 4.000 5.800
5.227 1.700 2.000
3.150.000 3.850.000 5.460.000
3.180.000 2.950.000 6.140.000
1,99 1,77 2,12
Hasil dan harga minimal kedelai Keunggulan kompetitif kedelai terhadap:
Jagung Padi
Hasil (kg/ha)
Harga (Rp/kg)
% aktual
1.173 1.789
5.029 7.708
103,4 67,8
DAFTAR PUSTAKA Adjid, D.A. 1985. Pola partisipasi masyarakat pedesaan dalam pembangunan pertanian berencana: suatu survei di Jawa Barat. Disertasi Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung. Heriyanto, F. Rozi, R. Krisdiana, dan Z. Arifin. 2004. Kondisi aktual komoditas kedelai sebagai pijakan pengembangan. Dalam: Risalah Seminar Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. p. 61-78. Heriyanto, Rully K., Fachr ur R., Margono R., Imam S., T, Adisarwanto, Henry K., A. Taufiq, Marwoto, S. Wahyuni, M.M. Adie, dan Eriyanto. 2005. Adopsi dan penyebaran varietas unggul kedelai. Laporan Akhir Tahun Anggaran 2004. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. Lii, H.M. 1990. Budi daya kedelai secara intensif. Agric. Technical Mission ROC–Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur. Surabaya.
terhadap produksi aktual. Demikian juga untuk tingkat harga minimal, yaitu Rp 5.029/kg. Hal ini menjadi cerminan bahwa usahatani kedelai memiliki keunggulan kompetitif terhadap jagung. Dibandingkan dengan padi sawah, usahatani kedelai tidak memiliki keunggulan kompetitif, karena tingkat hasil kedelai minimal 1.789 kg/ha atau tingkat harga Rp 7.708 atau 67,8% dari harga aktual. Hal ini sesuai dengan hasil kajian Rusastra et al. (2004) di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang menunjukkan bahwa usahatani kedelai umumnya tidak memiliki keunggulan kompetitif terhadap padi.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Penerapan teknologi budi daya kedelai di tingkat petani belum optimum, masih di bawah paket yang dianjurkan, terutama dalam penggunaan benih bermutu dan pupuk baik dari segi jenis dan jumlah maupun cara pemberiannya. 2. Dalam struktur biaya usahatani kedelai, benih merupakan komponen porsi terbesar sehingga menjadi faktor kritis dalam adopsi teknologi. 3. Usahatani kedelai di lahan sawah irigasi Pasuruan memberikan nilai Gross B/C >1, dengan tingkat profitabilitas 50%. Dengan demikian, budi daya kedelai di lahan sawah layak secara ekonomi. 4. Dengan tingkat Break Even Point (BEP) yang lebih rendah dari harga aktual, usahatani kedelai di lahan sawah irigasi masih memiliki daya saing. 5. Usahatani kedelai di lahan sawah irigasi pada musim kemarau memiliki keunggulan kompetitif terhadap jagung. Peluang pengembangan kedelai cukup besar, apa lagi kalau hasilnya dapat mencapai 1,8 t/ha.
Marwoto, T. Adisarwanto, Sudaryono, A. Kasno, dan S. Hardiningsih. 2007. Panduan umum pengelolaan tanaman terpadu kedelai. Puslitbangtan. Bogor. Pakpahan, A. 2004. Undang-undang perlindungan petani. Seminar Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor, 18 Maret 2004. Prabowo, H.E. 2008. Komoditas yang salah urus. Kompas, 16 Januari 2008. Ramli, R. dan D.K.S. Swastika. 2005. Analisis keunggulan kompetitif beberapa Tanaman palawija di lahan pasang surut Kalimantan Tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 8(1):67-77. Rusastra, I W., B. Rachman, dan S. Friyatno. 2004. Analisis daya saing dan struktur proteksi komoditas palawija. Dalam: Prosiding Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial-Ekonomi Pertanian, Bogor. Simatupang, P. 2004. Prima tani sebagai langkah awal pengembangan sistem dan usaha agribisnis industrial. Makalah Pelatihan Analisis Finansial dan Ekonomi bagi Pengembangan Sistem dan Usahatani Agribisnis. Wilaya, 29 Nopember – 9 Desember 2004. Subandi, A. Harsono, dan H. Kuntyastubi. 2007. Areal pertanaman dan sistem produksi kedelai di Indonesia. Dalam: Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Sudaryanto, T., I W. Rusastra, dan Saptana. 2001. Perspektif pengembangan ekonomi kedelai di Indonesia. Forum AgroEkonomi 19(1):1-20. Suhartina. 2005. Deskripsi varietas unggul kacang-kacangan dan umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. Sumarno. 1993. Kedelai dan teknik budi dayanya. Tasa Guna, cetakan V. Jakarta. Swastika, D.K.S. 2001. Swasembada kedelai: antara harapan dan kenyataan. Forum Agro-Ekonomi 19(1):1-20. Syahyuti. 2006. Tiga puluh konsep penting dalam pem-bangunan pedesaan dan pertanian. Penjelasan tentang konsep, istilah, teori dan indikator serta variabel. Bina Rena Pariwara, Yakarta. p. 153-162. Syam, M. dan A. Musaddad. 1991. Pengembangan kedelai. Puslitbangtan. Bogor.
185