NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN CONSCIENTIOUSNESS DENGAN STRES KERJA PADA WARTAWAN
Oleh : PUSPITA DEWI SAWITRI SUS BUDIHARTO DIAN SARI UTAMI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2009
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN CONSCIENTIOUSNESS DENGAN STRES KERJA PADA WARTAWAN
Telah Disetujui Pada Tanggal
Dosen Pembimbing Utama
(Sus Budiharto, S.Psi., M.Si., Psi)
HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN CONSCIENTIOUSNESS DENGAN STRES KERJA PADA WARTAWAN
Puspita Dewi Sawitri Sus Budiharto Dian Sari Utami INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kepribadian conscientiousness dengan stres kerja pada wartawan. Hipotesis yang diajukan yaitu ada hubungan negatif antara kepribadian conscientiousness dengan stres kerja pada wartawan. Semakin tinggi kepribadian conscientiousness yang dimiliki wartawan, semakin rendah stres kerjanya. Sebaliknya semakin rendah kepribadian conscientiousness yang dimiliki, stres kerjanya akan semakin tinggi. Subjek dalam penelitian ini adalah wartawan Surat Kabar Harian Jogja dan Harian Republika Jogjakarta. Teknik pengambilan data menggunakan metode skala yang terdiri dari dua skala, yaitu skala stres kerja yang mengacu pada teori Beehr dan Newman (Rini, 2002; Luthans, 2006; Tosi dkk, 1990) dan skala kepribadian conscientiousness yang diadaptasi oleh Zulaifah dan Indirawati (2008) dari alat ukur NEO PI-R yang disusun berdasarkan teori Costa & McCrae (1992). Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS versi 15.0 for windows untuk menguji hubungan antara kepribadian conscientiousness dengan stres kerja pada wartawan. Korelasi product moment Spearman menunjukkan nilai sebesar r = -0,245 dan p = 0,096; p > 0,05 yang berarti tidak ada hubungan antara kepribadian conscientiousness dengan stres kerja pada wartawan, demikian hipotesis penelitian ini ditolak. Kata Kunci : Kepribadian Conscientiousness, Stres Kerja
Pengantar
Informasi saat ini menjadi suatu kebutuhan yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Rasa ingin tahu yang merupakan sifat dasar manusia menjadi faktor pendorong terbesar akan kebutuhan tersebut. Manusia mencari informasi untuk berbagai tujuan hidup. Selain menambah pengetahuan yang dapat memperluas cakrawala berpikir, informasi juga berperan sebagai salah satu sumber pertimbangan dalam pengambilan keputusan (Hidayat & Prakosa, 1997). Media pers sebagai penyedia informasi bagi masyarakat tidak dapat melakukan perannya tanpa adanya wartawan. Wartawan dengan pengetahuan jurnalistiknya dapat mengolah informasi yang berguna dan memilah informasi yang sesuai dengan kaidah jurnalistik (Hidayat dan Prakosa, 1997). Hubungan itu jelas menempatkan wartawan sebagai faktor terpenting karena mereka yang paling berperan dalam memberikan informasi yang perlu disampaikan kepada masyarakat (Ishwara, 2005). Bekerja sebagai wartawan memiliki tantangan yang cukup berat, banyak kendala yang sering muncul dalam usahanya mengumpulkan informasi untuk membuat sebuah berita, di antaranya waktu yang terbatas, sulitnya mendapatkan sudut pandang dari peristiwa yang diliput, serta sumber-sumber yang tidak kooperatif (Ishwara, 2005). Profesi wartawan juga mempunyai persaingan yang cukup ketat, sedangkan media pers yang dapat menampung tenaga profesional tersebut
memiliki jumlah yang sedikit. Wartawan yang tidak mampu menyampaikan informasi secepatnya ke kantor dan menyebabkan berita tidak muncul di media tempat ia bekerja keesokan harinya akan beresiko kehilangan pekerjaannya. Hal ini disebabkan karena surat kabar mereka akan berisi berita-berita yang tidak aktual sehingga pada akhirnya akan ditinggal pembaca (Muflih, 1997). Wartawan memiliki pola kerja yang tidak mengenal waktu, mereka harus siap meliput kapanpun ada peristiwa penting terjadi. Hal tersebut membuat waktu istirahat mereka berkurang, terlebih lagi mereka harus memenuhi tenggat waktu (deadline)
pengumpulan
berita
yang
diberikan
perusahaan.
Penelitian
membuktikan bahwa desakan waktu memberikan pengaruh tidak baik pada sistem cardiovascular sehingga menyebabkan terjadinya serangan jantung prematur dan tekanan darah tinggi (Friedman dan Rosenman dalam Munandar, 2001). Selain itu, pekerjaan wartawan yang selalu dikejar deadline telah mendorong akumulasi stres yang bisa menimbulkan penyakit syaraf (Broto, 2008). Selain secara fisik, wartawan juga rentan mengalami gangguan psikologis. Seringnya menyaksikan kejadian-kejadian traumatis seperti kerusuhan, korban pembunuhan atau bencana alam dapat menimbulkan pengaruh psikologis dalam diri wartawan. Sebuah penelitian menyebutkan tiga dari 10 wartawan mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD) setelah bekerja dalam tugas-tugas yang berbahaya, depresi, kecemasan, dan masalah dalam hubungan interpersonal juga dilaporkan terjadi (Witchel, 2005). Penemuan tersebut didukung oleh penelitian dari Feinstein dkk (2002) yang menemukan bahwa hampir 30 persen wartawan
yang ditempatkan di daerah konflik menunjukkan tanda-tanda post-traumatic stress. Profesi wartawan juga memiliki resiko ancaman keselamatan yang tinggi. Banyak kejadian yang menimpa wartawan saat meliput berita di daerah konflik, seperti yang di alami reporter RCTI Ersa Siregar yang tewas dalam baku tembak antara TNI dengan GAM di wilayah Peureulak NAD pada tahun 2003 (Molkan, 2007). Permasalahan lain yang juga menambah beban kerja wartawan adalah rendahnya tingkat kesejahteraan. Hasil penelitian terakhir Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tentang kesejahteraan wartawan menunjukkan masih rendahnya tingkat pendapatan wartawan. Penelitian yang dilakukan di 17 kota tersebut mengungkap penghasilan rata-rata wartawan antara Rp 900 ribu sampai Rp 1,4 juta per bulan. Namun yang menyedihkan masih dijumpai wartawan yang gajinya di bawah Rp 200 ribu per bulan. (Hanggoro dan Irianti, 2006). Berbagai pemaparan mengenai tantangan serta resiko kerja wartawan di atas membuktikan bahwa profesi ini memiliki beban kerja yang tinggi. Pekerjaan yang memiliki beban kerja yang tinggi serta tekanan waktu (deadline) yang tinggi membuat individu merasa tertekan dan menimbulkan stres (Davis & Newstrom, 1989). Hal tersebut sesuai dengan Filippo (Wijaya 1990) yang mengatakan bahwa beban kerja yang terlalu tinggi, jam kerja yang menekan serta pekerjaan yang mengandung resiko tinggi merupakan faktor yang dapat menyebabkan stres kerja. Mengacu pada penyataan para pakar tersebut, maka wartawan dapat dikategorikan ke dalam pekerjaan yang mempunyai tingkat stres kerja yang tinggi karena
memiliki beban kerja, desakan waktu serta resiko kerja yang tinggi. Stres kerja adalah respon terhadap stimulus yang ada pada pekerjaan yang mengarahkan pada konsekuensi negatif, secara fisik atau psikologis, bagi orang yang mengalaminya (Muchinsky, 2003). Stres kerja terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara karakteristik individu (keterampilan dan kemampuannya) dengan kebutuhan pekerjaan dan lingkungan kerjanya (french dalam Landy & Conte, 2004). Hidayat dan Prakosa (1997) dalam penelitiannya menunjukkan adanya hubungan negatif antara motivasi berprestasi dengan stres kerja pada wartawan, sedangkan Sedianingsih dan Herachwati (2000) membuktikan adanya pengaruh stres kerja terhadap kepuasan kerja pada wartawan. Stres kerja dapat ditimbulkan oleh dua hal, yaitu kondisi kerja dan kualitas personal. Kondisi kerja yang berpotensi menimbulkan stres kerja di antaranya desain tugas atau pekerjaan yang stressful, gaya manajemen yang stressful, hubungan interpersonal yang tidak kondusif, peranan kerja yang tidak jelas, nasib karir yang tidak jelas dan kondisi lingkungan yang mengancam keselamatan (Ubaidillah, 2006). Sedangkan faktor yang berasal dari kualitas personal salah satunya adalah kepribadian individu itu sendiri (Aamodt, 2004; Muchinsky 2003). Kepribadian merupakan pola berpikir, emosi dan perilaku yang berbeda serta
karakteristik
yang
mendefinisikan
gaya
pribadi
individual
yang
mempengaruhi interaksinya dengan lingkungan (Atkinson dkk, 1987). Besarnya stres dipengaruhi oleh penilaian subjektif individu terhadap situasi kerja yang dianggap sebagai stressor.
Pada penelitian ini tipe kepribadian yang digunakan adalah dimensi conscientiousness dari teori five factor model of personality. Conscientiousness adalah derajat individu pada keteraturan, ketahanan, dan motivasi dalam perilaku yang mengarah pada tujuan (Costa & McCrae dalam Pervin dkk, 2005; Simmering dkk, 2003). Profesi wartawan yang memiliki tantangan kerja tinggi membutuhkan individu yang memiliki kualitas kepribadian tertentu untuk mendukung pekerjaannya. Karakteristik kepribadian tersebut antara lain pekerja keras, pantang menyerah, tekun, teliti, disiplin, dapat dipercaya dan bertanggungjawab (Ishwara, 2005; Setati, 2005). Kualitas kepribadian tersebut sesuai dengan karakteristik dalam dimensi kepribadian conscientiousness. Beberapa penelitian tentang dimensi kepribadian conscientiousness pernah dilakukan, di antaranya oleh Martocchio dkk (1997) yang membuktikan bahwa pekerja yang berkepribadian conscientiousness lebih sedikit melakukan absen atau bolos dibandingkan dengan pekerja yang berkepribadian extraversion. Selain itu, Simmering dkk (2003) menemukan bahwa conscientiousness berhubungan dengan komitmen terhadap tujuan, motivasi belajar, dan perilaku belajar. Kepribadian berperan dalam hal mengubah stressor menjadi sesuatu yang menekan atau sebagai tantangan yang pada akhirnya menentukan apakah individu akan mengalami stres atau tidak (Schultz, 1985). Kepribadian juga berhubungan dengan jenis pekerjaan yang dipilih individu dan menentukan bagaimana fungsi mereka di dalam pekerjaan tersebut (De Fruyt & Salgado, 2003; Hogan & Ones, 1997; Roberts & Hogan, 2001 dalam Pervin dkk, 2005). Asumsinya adalah
individu dengan karakteristik tertentu akan memilih pekerjaan tertentu dan akan berfungsi lebih baik pada beberapa pekerjaan daripada pekerjaan lainnya (Pervin dkk, 2005). Berdasarkan pemaparan tersebut, di asumsikan bahwa wartawan yang memiliki kualitas kepribadian conscientiousness yang tinggi akan dapat bekerja lebih baik dan memiliki stres kerja yang rendah daripada wartawan yang memiliki kualitas kepribadian conscientiousness yang rendah.
Metode Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah wartawan surat kabar di Yogyakarta yang masih aktif. Pengambilan subjek menggunakan metode purposive sampling agar mendapatkan subjek yang sesuai dengan kriteria yang ditentukan sehingga benar-benar mewakili populasi yang ingin diteliti. Pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan metode skala menggunakan dua buah angket, yaitu angket stres kerja dan angket kepribadian conscientiousness. Skala stres kerja yang digunakan dalam penelitian ini dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan teori Beehr dan Newman (Rini, 2002; Luthans, 2006; Tosi dkk, 1990). Skala ini terdiri dari 21 aitem dan disusun menggunkan model skala Likert yang terdiri dari 4 pilihan jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS). Sedangkan skala kepribadian conscientiousness yang digunakan pada penelitian ini menggunakan skala kesungguhan (conscientiousness) yang disusun oleh Zulaifah dan Indirawati (2008) yang diadaptasi dari alat ukur NEO PI-R dari
Costa & McCrae (1992). Skala ini terdiri dari 48 aitem dan juga menggunakan model skala Likert yang terdiri dari 4 pilihan jawaban yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS). Semakin tinggi skor yang
diperoleh
subjek,
semakin
tinggi
stres
kerja
atau
kepribadian
conscientiousness yang dimiliki, sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek, semakin rendah stres kerja atau kepribadian conscientiousness yang dimiliki. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui koordinasi dengan bagian sekretariat perusahaan untuk membantu proses pendistribusian kuesioner kepada responden. Mengingat jam kerja subjek penelitian ini (wartawan) tidak menentu, sehingga dapat mengurangi intensitas pertemuan langsung dengan peneliti, maka untuk mengatasinya peneliti akan menitipkan kuesioner kepada bagian sekretariat untuk disampaikan kepada responden. Begitupun dengan prosedur pengembalian kuesioner dilakukan di bagian sekretariat untuk nantinya akan diambil oleh peneliti setelah kuesioner terkumpul. Metode analisis data pada penelitian ini menggunakan teknik korelasi Product Moment untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara stres kerja dengan kepribadian conscientiousness pada wartawan menggunakan bantuan program komputer SPSS 15.0 For Windows.
Hasil Penelitian
Subjek penelitian adalah wartawan surat kabar Harian Umum Republika dan Harian Jogja yang berjumlah 30 orang. Proses pengambilan data terbilang lancar meskipun memakan waktu yang cukup lama. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kesibukan wartawan dalam mencari berita, serta jam kerjanya yang tidak teratur sehingga menyulitkan dalam penyebaran kuesioner karena mereka tidak setiap saat berada di kantor, dan adanya beberapa wartawan yang sedang bertugas ke luar daerah sehingga peneliti harus bersabar untuk menunggu hingga semua kuesioner terisi. Tabel 1 Deskripsi Subjek Penelitian No. Faktor 1. Jenis Kelamin 2.
Usia
3.
Pendidikan Terakhir
4.
Masa Kerja
Kategori a. laki-laki b. Perempuan a. 21-25 tahun b. 26-30 tahun c. 31-35 tahun d. 36-40 tahun e. 41-45 tahun f. 46-50 tahun a. SMA b. Diploma c. S1 d. S2 a. < 1 tahun b. 1 tahun 1 bulan – 3 tahun c. 3 tahun 1 bulan – 5 tahun d. > 5 tahun
n 20 10 9 7 5 3 3 3 0 1 28 1 12 2 1 15
Gambaran umum mengenai data penelitian dapat dilihat pada tabel deskripsi data penelitian yang berisi fungsi-fungsi statistik dasar masing-masing variabel untuk skala stres kerja dan skala conscientiousness berikut ini:
Tabel 2 Deskripsi Statistik Data Penelitian Variabel Hipotetik Min Max Mean SD Min Conscientiousness 48 192 120 24 113 Stres Kerja 21 84 52,5 10,5 29
Empirik Max Mean 179 137,6 55 43,80
SD 14,65 7,17
Berdasarkan deskripsi data penelitian di atas dapat diketahui apakah variabel stres kerja dan kepribadian conscientiousness subjek tergolong tinggi, sedang, atau rendah, yaitu dengan membuat kategorisasi masing-masing variabel. Kriteria kategorisasi ditetapkan oleh peneliti guna mendapatkan data tentang keadaan kelompok subjek pada variabel yang diteliti. Data pada penelitian ini dimasukkan ke dalam lima kategori, yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah. Sebaran empirik dari skala conscientiousness dapat diuraikan untuk mengetahui keadaan kelompok subjek penelitian pada tabel berikut ini: Tabel 3 Kriteria Kategori Skala Conscientiousness Skor Kategori X < 163,98 Sangat Tinggi 146,39 < X = 163,98 Tinggi 128,81 < X = 146,39 Sedang 111,22 = X = 128,81 Rendah X < 111,22 Sangat Rendah
Frekuensi 2 5 15 8 0
% 6,67 16.67 50 26.66 0
Sedangkan untuk sebaran empirik skala stres kerja diuraikan pada tabel berikut ini: Tabel 4 Kriteria Kategori Skala Stres Kerja Skor Kategori X > 56,715 Sangat Tinggi 48,105 < X = 56,715 Tinggi 39,495 < X = 48,105 Sedang 30,885 = X = 39,495 Rendah X < 30,885 Sangat Rendah
Frekuensi 0 7 15 6 2
% 0 23,33 50 20 6,67
Sebelum dilakukan analisis data dengan teknik korelasi Product Moment, maka terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji linieritas yang merupakan syarat sebelum melakukan pengetesan terhadap nilai korelasi. Uji normalitas dilakukan pada masing-masing variabel yaitu stres kerja dan conscientiousness dengan menggunakan teknik One sample Kolmogorf – Smirnov Test. Kaidah yang digunakan yaitu jika p > 0,05 maka sebaran data normal, sedangkan jika p < 0,05 maka sebaran data tidak normal. Hasil uji normalitas menunjukkan nilai K-S-Z sebesar 0,729 dengan p = 0,663 (p > 0,05) untuk skala stres kerja dan nilai K-S-Z sebesar 1,002 dengan p = 0,268 (p > 0,05) untuk skala conscientiousness. Maka dapat dikatakan bahwa skala stres kerja dan skala conscientiousness ini memiliki sebaran normal. Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui linieritas hubungan antara variabel stres kerja dengan conscientiousness. Hubungan antara kedua variabel dikatakan linear apabila p < 0,05. Uji linearitas dilakukan dengan teknik compare means. Pengujian ini juga dilakukan dengan mengunakan bantuan program komputer SPSS 15.0 for windows. Hasil uji linearitas terhadap variabel stres kerja dengan conscientiousness memperoleh hasil F = 3,300 dengan p = 0,112 maka dapat dikatakan bahwa hubungan kedua variabel tidak linear karena p > 0,05. Setelah dilakukan uji asumsi, maka dilakukan uji korelasi. Uji korelasi digunakan untuk mengetahui adanya hubungan antara stres kerja dengan kepribadian conscientiousness. Uji korelasi yang dilakukan pada penelitian ini
menggunakan teknik korelasi product moment dari Spearman dengan bantuan program komputer SPSS 15.0 for Windows. Hasil analisis data menunjukkan korelasi antara variabel stres kerja dengan variabel kepribadian conscientiousness memiliki nilai r = -0,245 dengan p = 0,096 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan hipotesis yang diajukan peneliti ditolak. Peneliti juga menambahkan pengujian dengan melakukan uji beda (t-test) untuk mengetahui perbedaan stres kerja wartawan berdasakan lama kerja dan usia. Kaidah yang digunakan yaitu apabila p < 0,05 maka terdapat perbedaan tingkat stres kerja pada kedua kelompok, tetapi jika p > 0,05 maka tidak terdapat perbedaan tingkat stres kerja pada kedua kelompok. Tabel 10 Hasil Uji Beda (t-test) Variabel Grouping Lama Kerja Klp 1 = < 5 tahun Klp 2 = > 5 tahun Usia Klp 1 = 21 – 30 tahun Klp 2 = 31-60 tahun
t -1,389 -0,966
p 0,176 (p > 0,05) 0,342 (p > 0,05)
Kategori Tidak ada perbedaan Tidak ada perbedaan
Ket : Usia dikelompokkan berdasarkan teori tahap perkembangan psikososial Erikson (Feist & Feist, 2008). Berdasarkan hasil uji beda diketahui bahwa baik kelompok variabel lama kerja maupun kelompok usia tidak memiliki perbedaan tingkat stres kerja, karena nilai p > 0,05 (tidak memenuhi kaidah).
Pembahasan
Data yang didapatkan dari penelitian ini memiliki sebaran yang normal namun memiliki korelasi yang tidak linear sehingga analisis data penelitian ini
menggunakan teknik korelasi product moment dari Spearman. Hasil analisis data yang telah dilakukan menunjukkan bahwa besarnya koefisien korelasi antara variabel conscientiousness dengan stres kerja adalah sebesar rxy = - 0,245 dengan p = 0,096. Hal ini berarti bahwa hipotesis yang diajukan peneliti tidak terbukti karena nilai p > 0,05, dengan kata lain kepribadian conscientiousness tidak memiliki korelasi dengan stres kerja pada wartawan. Ditolaknya hipotesis pada penelitian ini diduga karena adanya aspek dalam kepribadian conscientiousness yang tidak sesuai dengan konteks wartawan. Dugaan tersebut muncul disebabkan adanya perbedaan karakteristik subjek yang digunakan pada penelitian sebelumnya (mahasiswa) dengan karakteristik subjek pada penelitian ini (wartawan), sehingga alat ukur kepribadian conscientiousness yang digunakan tidak sesuai untuk diterapkan pada wartawan. Hal tersebut yang mempengaruhi korelasi antara kepribadian conscientiousness dengan stres kerja pada wartawan menjadi tidak signifikan. Berdasarkan
hasil
penelitian
ini
diketahui
bahwa
kepribadian
conscientiousness tidak memiliki pengaruh terhadap stres kerja yang dialami wartawan. Tidak adanya hubungan antara kepribadian conscientiousness dengan stres kerja dalam penelitian ini menunjukkan adanya faktor lain diluar kepribadian yang mempengaruhi tingkat stres kerja wartawan. Faktor tersebut dapat berupa tingkat pendidikan (Firth & Snyder dalam Hidayat dan Prakosa, 1997), dukungan sosial (French dkk dalam Berry & Houston, 1993), masa kerja (Stifer dalam Wijaya, 1990), Usia (Indik dkk dalam Wijaya, 1990), serta tahap perkembangan organisasi (Robbins, 1996).
Deskripsi data stres kerja pada penelitian ini menunjukkan rata-rata tingkat stres kerja subjek berada dalam kategori sedang, yaitu sebanyak 50% (15 orang) dari total keseluruhan subjek. Hal ini sejalan dengan nilai rata-rata subjek secara empirik (43,8) yang juga masuk dalam kategori sedang. Nilai rata-rata tingkat stres kerja subjek yang berada dalam kategori sedang menunjukkan bahwa subjek dalam penelitian ini dapat mengatasi tekanan-tekanan yang ada dalam pekerjaannya, sehingga mereka tetap dapat bekerja dengan baik. Tingkat stres kerja subjek yang berada dalam kategori sedang tersebut dapat ditinjau dari segi pendidikan (Firth & Snyder dalam Hidayat dan Prakosa, 1997). Data penelitian menunjukkan bahwa hampir semua subjek dalam penelitian ini (93,33%) memiliki pendidikan tinggi, yaitu sarjana atau S1. Firth & Snyder (Hidayat & Prakosa, 1997) menyatakan semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin luas wawasan yang dimiliki dan rasa percaya diri juga akan semakin tinggi, sehingga individu akan dapat mengembangkan cara untuk mengantisipasi stres yang dialami. Melalui pendidikan, individu mendapatkan pengetahuan serta keterampilan tentang berbagai macam ilmu. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin banyak pengetahuan serta keterampilan yang didapatkan, dengan begitu individu akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan dapat mengembangkan berbagai cara untuk mengantisipasi stres yang muncul sehingga stres kerja dapat diatasi. Dukungan sosial yang diterima subjek juga turut mempengaruhi tingkat stres kerja mereka (French dkk dalam Berry & Houston, 1993). Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa subjek pada penelitian ini bekerja dalam kelompok
penugasan. Adanya kelompok kerja dapat meringankan beban kerja subjek karena mereka dapat saling membantu satu sama lain. Selain itu juga sebagai wadah untuk menyalurkan keluhan-keluhan sehingga beban kerja terasa lebih ringan. Menurut French (Berry & Houston, 1993), dukungan sosial dapat menahan stres dan tegangan. Hal ini sejalan dengan Etzion (Hidayat & Prakosa, 1997) yang mengatakan bahwa adanya kelompok kerja dapat menjadi dukungan sosial yang mempunyai efek mengurangi timbulnya stres dan sebaliknya. Selain itu, tingkat stres kerja subjek yang berada dalam kategori sedang tersebut juga dapat ditinjau dari dukungan organisasi yang berupa pemberian waktu libur, pelatihan, tunjangan kesejahteraan serta evaluasi (feedback) dari atasan. Berdasarkan wawancara tidak formal diketahui bahwa perusahaan memberikan waktu libur sebanyak empat sampai lima kali dalam sebulan yang dapat ditentukan secara fleksibel oleh wartawan sendiri. Waktu libur sangat berguna bagi wartawan untuk beristirahat dan bersantai tanpa harus disibukkan oleh pekerjaan, dengan demikian wartawan akan terhindar dari kelelahan yang dapat menyebabkan stres kerja (Beehr dan Newman dalam Rini, 2002; Luthans, 2006; Tosi dkk, 1990). Pemanfaatan hari libur dengan baik untuk beristirahat, bersantai, olahraga serta makan makanan yang sehat merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengurangi stres (Luthans, 2006). Pemberian hari libur oleh perusahaan meskipun hanya empat kali dalam sebulan ternyata mampu menurunkan tingkat stres kerja subjek, terlihat dari rata-rata stres kerja subjek yang berada dalam kategori sedang. Pelatihan yang diberikan perusahaan baik sebelum ataupun selama bekerja
merupakan salah satu bentuk dukungan organisasi terhadap wartawan untuk mengatasi masalah sosialisasi, meningkatkan keterampilan serta mengatasi stres kerja (Munandar, 2001). Berdasarkan wawancara diketahui bahwa sebelum diterima bekerja sebagai wartawan, subjek diharuskan menjalani proses pelatihan serta magang di perusahaan selama beberapa bulan. Program pelatihan orientasi bagi tenaga kerja baru berguna untuk mencegah timbulnya stres yang disebabkan karena adanya perbedaan nilai-nilai organisasi dan nilai pribadi (Munandar, 2001). Selain itu, pelatihan membuat mereka mengetahui berbagai faktor penekan yang akan dihadapi, seperti keterbatasan waktu, sumber yang tidak kooperatif, tidak adanya waktu kerja yang tetap, dan sebagainya. Atkinson (1987) mengatakan bahwa mampu memprediksi kejadian atau suatu peristiwa stres dapat menurunkan tingkat stres, dalam hal ini wartawan telah dapat memprediksi situasi-situasi menekan yang mungkin akan mereka hadapi, dengan demikian mereka dapat menciptakan mekanisme coping sendiri, sehingga situasi-situasi tersebut tidak terus menerus menekan. Hal ini sejalan dengan teori hipotesis sinyal keamanan dari Seligman dan Binik (Atkinson, 1987) yang menjelaskan bahwa sinyal peringatan sebelum peristiwa tidak menyenangkan memungkinkan seseorang memulai sejenis proses persiapan yang berfungsi memperkecil efek stimulus stres. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa selain gaji, perusahaan memberikan beberapa tunjangan yaitu tunjangan komunikasi (pulsa), transportasi (bensin) dan kesehatan untuk mempermudah wartawan dalam bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan mempunyai kepedulian yang baik terhadap
pekerjanya. Motowildo (Rivai dalam Haryanti, 2008) mengatakan bahwa kepuasan gaji berpengaruh terhadap intensi pindah kerja (turnover). Hal ini menunjukkan bahwa gaji dapat menjadi sumber stres potensial yang dapat menimbulkan ketidakpuasan kerja dan memicu karyawan untuk melakukan pindah kerja (turnover). Meskipun tidak diketahui secara pasti besaran gaji yang diberikan, namun pemberian tunjangan oleh perusahaan tampaknya cukup membantu meringankan beban subjek sehingga dapat menurunkan tingkat stres kerja. Dukungan organisasi juga diwujudkan perusahaan dengan memberikan umpan balik (feedback) terhadap kinerja karyawannya. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa kedua perusahaan selalu mengadakan rapat redaksi pada pukul tiga atau empat sore (sebelum waktu deadline) setiap harinya. Salah satu hal yang dibicarakan dalam rapat tersebut adalah pembahasan tentang hasil kerja masingmasing wartawan. Redaktur yang merupakan wartawan senior memberikan penilain terhadap berita-berita yang telah dibuat berdasarkan isi, judul, bahasa serta dampak pemberitaan. Beberapa masukan serta arahan juga diberikan guna meningkatkan kualitas berita selanjutnya. Kreitner dan Kinicki (Luthans, 2006) menyebutkan bahwa kurangnya feedback dari atasan merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan stres kerja. Hal tersebut juga berarti adanya feedback yang baik dapat menurunkan tingkat stres kerja. Selain tingkat pendidikan, dukungan sosial, dan dukungan organisasi, stres kerja subjek yang berada dalam kategori sedang dapat ditinjau dari lama kerja dan usia. Stifer (Wijaya, 1990) membuktikan adanya hubungan yang
signifikan antara lama kerja dan stres, semakin lama masa kerja, stres semakin rendah. Hal ini disebabkan karena individu yang sudah cukup lama bekerja di suatu bidang akan lebih berpengalaman dan terlatih untuk menghadapi masalahmasalah yang berkaitan dengan pekerjaannya, sehingga mereka juga akan lebih mampu dalam mengendalikan situasi stres yang ada. Begitupun Indik dkk (Wijaya, 1990) membuktian adanya korelasi negatif antara usia dengan stres kerja. Indik dkk menjelaskan bahwa orang-orang yang tetap tinggal dalam organisasi (tinggal lebih lama) adalah orang-orang yang tahan terhadap stres karena mereka dapat beradaptasi dan mengembangkan mekanisme coping untuk mengatasi stres, oleh karena itu anggota-anggota organisasi yang lebih senior (lebih tua) mengalami lebih sedikit stres dari pada anggota organisasi yang lebih muda. Namun begitu, uji beda yang dilakukan menunjukkan hal sebaliknya, yaitu tidak ada perbedaan stres kerja antara wartawan yang bekerja di bawah lima tahun dengan wartawan yang bekerja di atas lima tahun serta tidak ada perbedaan stres kerja wartawan yang berusia 21-30 tahun (dewasa awal) dengan wartawan yang berusia 31-60 tahun (dewasa akhir). Hal ini dapat disebabkan karena pekerjaan wartawan yang selalu menghadapi hal-hal baru seperti berita-berita baru, menghadapi orang-orang yang berbeda, narasumber yang berbeda, lokasi penempatan kerja yang berbeda dan sebagainya, membuat wartawan menghadapi permasalahan serta kendala-kendala yang berbeda pula. Hal ini membuat tekanan pekerjaan cenderung tetap tinggi. Oleh karena itu, lama kerja dan usia tidak menjamin tingkat stres menjadi rendah, terbukti dari hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa tingkat stres kerja wartawan rata-rata berada dalam kategori sedang. Meskipun diketahui bahwa rata-rata tingkat stres kerja subjek dalam penelitian ini berada dalam kategori sedang, namun terdapat 23,33% subjek yang memiliki tingkat stres kerja tinggi. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui segi tahap perkembangan organisasi (Robbins, 1996). Organisasi berjalan melalui suatu siklus (didirikan, tumbuh, menjadi dewasa dan akhirnya merosot). Suatu tahap kehidupan organisasi menciptakan masalah dan tekanan yang berbeda untuk para karyawan. Tahap pendirian dan kemerosotan sangat menimbulkan stres. Tahap pendirian dicirikan oleh besarnya kegairahan dan ketidakpastian, sedangkan tahap kemerosotan menuntut pengurangan dan pemberhentian. Seperti diketahui, subjek pada penelitian ini sebagian besar (76,67%) berasal dari wartawan surat kabar Harian Jogja yang baru didirikan pada bulan Mei 2008 yang lalu. Tahap pertumbuhan organisasi yang baru berdiri penuh dengan ketidakpastian serta perubahan-perubahan untuk menemukan sistem yang terbaik dalam perusahaan. Ketidakpastian dan perubahan yang terjadi dalam perusahaan merupakan salah satu pembangkit stres potensial (Robbins, 1996). Hal ini menjelaskan adanya beberapa subjek (23,33%) yang memiliki stres kerja tinggi. Secara keseluruhan penelitian ini menunjukkan bahwa subjek dapat mengatasi tekanan yang ada dalam pekerjaannya dengan cukup baik, terlihat dari rata-rata tingkat stres kerja subjek yang berada dalam kategori sedang, namun kepribadian conscientiousness yang semula diprediksi menjadi prediktor stres kerja tersebut ternyata tidak terbukti. Stres kerja subjek lebih dipengaruhi oleh
faktor lain di luar kepribadian, seperti lama kerja, usia, tingkat pendidikan, dukungan sosial, dukungan organisasi serta tahap perkembangan organisasi. Penelitian lebih jauh dapat dilakukan untuk membuktikan hal tersebut sekaligus untuk menyempurnakan kelemahan dalam penelitian ini. Kekurangan dalam penelitian ini di antaranya jumlah subjek yang terlalu sedikit serta pengambilan data yang kurang terkontrol. Jam kerja yang tidak teratur serta seringnya berada di luar kantor membuat peneliti sulit bertemu subjek secara langsung, sehingga peneliti tidak dapat mengawasi pengisian kuesioner secara maksimal. Selain itu, kekurangan lain dalam penelitian ini adalah tidak dilakukannya uji coba terlebih dahulu terhadap aitem skala kepribadian conscientiousness, sehingga masih diragukan apakah alat ukur tersebut benar-benar sesuai diterapkan pada wartawan untuk mengungkap kepribadian conscientiousness-nya. Skala kepribadian conscientiousness yang digunakan pada penelitian terdahulu diujicobakan kepada mahasiswa, sementara pada penelitian ini digunakan untuk wartawan, sehingga spesifikasi aitem kurang sesuai.
Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepribadian conscientiousness tidak memiliki korelasi dengan stres kerja pada wartawan. Hal ini berarti kepribadian conscientiousness tidak dapat dijadikan prediktor stres kerja dalam penelitian ini, dengan kata lain hipotesis peneliti yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara kepribadian conscientiousness dengan stres kerja wartawan ditolak.
Saran 1. Bagi perusahaan Tingkat stres kerja subjek penelitian ini memang cukup baik, yaitu berada dalam kategori sedang, namun adanya 23,33% subjek yang memiliki stres kerja yang tinggi juga perlu diwaspadai. Perusahaan mungkin dapat melakukan langkah
antisipatif
dengan
memberikan
training
untuk
meningkatkan
keterampilan wartawan sehingga dapat memudahkan mereka dalam bekerja. Adanya pembagian kelompok kerja sebaiknya tetap dipertahankan, untuk memberikan dukungan sosial terhadap wartawan, sehingga pekerjaan akan terasa lebih ringan. 2. Bagi Subjek Penelitian Subjek penelitian diharapkan dapat tetap menjaga tingkat stres kerjanya yang berada dalam kategori sedang karena stres dapat menjadi perangsang untuk bekerja lebih baik apabila berada dalam tingkatan tersebut. Namun tetap harus diwaspadai agar stres tidak menjadi tinggi karena akan dapat menghambat kinerja. Manfaatkan hari libur yang diberikan perusahaan sebaik-baiknya untuk melakukan hal-hal yang dapat mereduksi stres, seperti menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman, atau melakukan hobi dan kesenangan lainnya, sehingga ketika harus bekerja kembali fisik serta psikologis berada dalam keadaan yang optimal. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk menggali lebih lanjut tentang penelitian semacam ini, peneliti memiliki beberapa saran sebagai berikut:
a. Peneliti selanjutnya dapat menggunakan aspek kepribadian lain yang ada dalam teori big five personality untuk melihat hubungannya dengan stres kerja, karena sepengetahuan peneliti topik-topik tersebut masih jarang diteliti, dengan begitu dapat diketahui mana dari kelima aspek kepribadian tersebut yang memiliki pengaruh paling besar terhadap stres kerja. b. Peneliti selanjutnya hendaknya dapat menambah jumlah responden agar hasil penelitian benar-benar dapat mewakili keadaan subjek yang sebenarnya sehingga hasil penelitian dapat digeneralisasi secara luas. c. Mengingat pada penelitian ini tidak dilakukan uji coba terhadap alat ukur kepribadian conscientiousness, peneliti selanjutnya sangat disarankan untuk melakukan uji coba aitem pada skala kepribadian conscientiousness terlebih dahulu, agar diketahui apakah aspek-aspek yang membangun kepribadian conscientiousness benar-benar sesuai diterapkan pada karakteristik wartawan. d. Peneliti selanjutnya sangat disarankan untuk menggunakan metode kualitatif untuk mengungkap stres kerja pada wartawan, sehingga hasil yang diperoleh lebih mendalam.
Daftar Pustaka
Aamodt, M. G. 2004. Applied Industrial/Organizational Psychology. Canada: Wadsworth Atkinson, R. L, Atkinson, R. C, Smith, E. E. dan Bem, D. J. 1987. Pengantar Psikologi: Edisi kesebelas. Jilid dua. Batam Centre: Interaksara. Berry, L. M dan Houston, J. P. 1993. Psychology At Work: An Introduction to Industrial and Organizational Psychology. Dubuque: Brown & Benchmark Davis, K. dan Newstrom, J. W. 1989. Human Behavior at Work. 8th Edition. New York: McGraw-Hill Feinstein, A., Owen, M. D. J. dan Blair, N. 2002. A Hazardous Profession: War, Journalists, and Psychopathology. American Journal Psychiatry. 159, 15701575. Hanggoro, W. & Iriawati, I. 2006. Wartawan dan Mutu Jurnalistik yang Rendah. http://jakarta.indymedia.org/newswire.php Hanggoro,
W.
T,
2008.
Kualitas
dan
Kesejahteraan
Wartawan.
www.suaramerdeka.com
Hidayat, F. & Prakosa, H. 1997. Motivasi Berprestasi dan Stres Kerja Wartawan Republika. Anima. 49, 50-57. Ishwara, L. 2005. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Kompas. Landy, R. J. & Conte, E. M. 2004. Work in the 21st Century: An Introduction to Industrial and Organizational Psychology. New York: McGraw-Hill Luthans, F. 2006. Perilaku Organisasi. Edisi Sepuluh. Yogyakarta: Andi Martocchio, J. J. dan Judge, T. A. 1997. Relationship Between Conscientiousness and Learning in Employee Training: Mediating Influences of SelfDeception and Self-Efficacy. Journal of Applied Psychology, 5, 764-773
Miner, J. B. 1992. Industrial-Organizational Psychology. New York: McGrawHill, Inc Molkan, D. 2007. Profesi Jurnalistik dan Garis Kematian. http://jurnalistikuinsgd.wordpress.com/2007/04/16/profesi-jurnalis-dangaris-kematian Muchinsky, P. M. 2003. Psychology Applied to Work. Canada: Wadsworth. Muflih, I. 1997. Kecenderungan Perilaku Pengambilan Resiko dan Pemberitaan yang Cover Both Side pada Wartawan Surat Kabar Harian. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Munandar, A. S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi.Jakarta: UI-Press. Pervin, L. A., Cervone, D. dan John, O. P. 2005. Personality Theory and Research 9/E. USA: John Wiley & Sons, inc. Rini, J. F. 2002. Stress Kerja. http://www.e-psikologi.com/masalah/stress.htm. Robbins, S. P. 1993. Organizational Behavior: 6th edition. Engglewood Cliff: Prenctice Hall. Robbins, S. P. 1996. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi. Jakarta: PT Prenhallindo. Schultz, D. 1985. Theories of Personality. Third edition. California: Brooks/Cole Publishing Company. Simmering, M. J., Colquitt, J. A., Noe, R. A. dan Porter, C. O. L. H. 2003. Conscientiousness, Autonomy Fit, and Development: A Longitudinal Study. Journal of Applied Psychology, 5, 954-963 Tosi, H. L., Rizzo, R. dan Carrol, S. J. 1990. Managing Organizational Behavior. Second Edition. New York: Harper Collins Publishers Ubaidillah, A. N. 2006. Mengantisipasi psikologi.com/masalah/111206.htm
Stress
Kerja.
http://www.e-
Wijaya, L. S. 1990. Stress kerja dan Somatisasi pada Wartawan Pria Surat Kabar Harian dan Wartawan Pria Majalah Berita Mingguan. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Witchel, E. 2005. To Receive Dangerous Assignments and Support CPJ. www.cpj.org/briefings/2005/DA_spring05/stress_DA/stress_DA.html
Identitas Penulis
Nama
: Puspita Dewi Sawitri
Alamat
: Jalan Melayu Gg. Malaka No. 12 Pekanbaru – Riau
Nomor Telpon : 085265215393 E-mail
:
[email protected]