NASKAH PUBLIKASI
CURIOSITY ANTARA ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PENDIDIKAN KONVENSIONAL DENGAN MODEL EXPERIENTAL LEARNING
Oleh : INDAH SYORAYA INDAH RIA SULISTYORINI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2008
NASKAH PUBLIKASI
CURIOSITY ANTARA ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PENDIDIKAN KONVENSIONAL DENGAN MODEL EXPERIENTAL LEARNING
Telah Disetujui Pada Tanggal
________________________
Dosen Pembimbing Utama
(Indah Ria Sulistyorini, S.Psi, Psikolog)
IDENTITAS PENULIS
Nama
: Indah Syoraya
Alamat Rumah
: JL. Kaliurang Km. 5 Gang Srikaloka CT.2/15, Sleman Yogyakarta 55281
Nomor Telepon/HP
: 085292329009
CURIOSITY ANTARA ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PENDIDIKAN KONVENSIONAL DENGAN MODEL EXPERIENTAL LEARNING
Indah Syoraya Rr. Indah Ria Sulistyorini
ABTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada perbedaan curiosity antara anak yang mengikuti model pendidikan konvensional dengan model pendididkan eksperiental. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan curiosity antara anak yang mengikuti model pendidikan konvensional dengan model pendididkan eksperiental. Curiosity pada anak yang mengikuti model pendidikan eksperiental lebih tinggi daripada anak yang mengikuti model pendidikan konvensional. Begitupun sebaliknya, Curiosity pada anak yang mengikuti model pendidikan konvensional lebih rendah daripada anak yang mengikuti model pendidikan eksperiental. Subjek dalam penelitian ini adalah anak-anak berusia 9-12 tahun, laki-laki dan atau perempuan, bersekolah di sekolah dasar di Sleman Yogyakarta. Penelitian ini mengambil subjek siswa-siswi kelas V Sekolah Dasar (SD) dan siswa-siswi kelas IV Sekolah Dasar (SD) SDN Karang Wuni 1 Yogyakarta sebanyak 46 siswa dan siswa-siswi kelas V Sekolah Dasar (SD) dan siswa-siswi kelas IV Sekolah Dasar (SD) SDIT Alam Nurul Islam Yogyakarta sebanyak 49 siswa. Adapun skala yang digunakan adalah skala Curiosity yang disusun oleh peneliti sendiri serta pembuatan aitem oleh peneliti dengan mengacu pada aspek-aspek yang ada pada teori Kashdant hingga dihasilkan aitem sebanyak 32 aitem. Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan fasilitas program SPSS 16.0 for Windows untuk menguji apakah terdapat perbedaan Curiosity antara anak yang mengikuti model pendidikan konvensional dengan model pendididkan eksperiental. Hasil uji-t menunjukkan angka 2.212 dengan p sebesar 0.029 (p<0,05). Sedangkan mean SDN KarangWuni 1 sebesar 69.9565 dan mean SDIT Alam Nurul Islam sebesar 73.6939. Dengan komposisi data diatas, dapat dikatakan bahwa hipotesis dapat diterima, yang berarti ada perbedaan curiosity antara anak yang mengikuti model pendidikan konvensional dengan model pendidikan eksperiental, dimana anak yang mengikuti model pendidikan eksperiental lebih tinggi curiosity-nya daripada anak yang mengikuti model pendidikan konvensional. Kata Kunci : Curiosity, Pendidikan Konvensional, Pendidikan Eksperiental
CURIOSITY ANTARA ANAK YANG MENGIKUTI MODEL PENDIDIKAN KONVENSIONAL DENGAN MODEL EXPERIENTAL LEARNING
Pengantar Tujuan pendidikan menurut UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 3 No. 20 tahun 2003, adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, serta untuk mengembangkan potensi peserta didik supaya menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Beberapa tahun berturut-turut peringkat Indonesia dalam Human Development Index (HDI) menempati posisi pada urutan bawah. HDI Indonesia tahun 2006 berada pada posisi 108 dari 177 negara (UNDP, 2006). Hal tersebut menunjukkan rendahnya kualitas SDM Indonesia. Salah satu faktor yang menentukan kualitas SDM adalah pendidikan. Kenyataan bahwa Indonesia menempati posisi bawah dalam HDI menunjukkan lemahnya manajemen sistem pendidikan di Indonesia. Selama berpuluh-puluh tahun banyak kekurangan yang ada dalam sistem pendidikan di Indonesia. Kekurangan tersebut antara lain: terlalu berorientasi pada aspek akademis, teacher oriented, kurikulum yang terlalu berat, rasio guru dan murid yang tidak sesuai, dan aplikasi metode pendidikan yang digunakan kurang sesuai dengan tahapan perkembangan usia anak (Alvita, 2007). Akibatnya, SDM yang dihasilkan bukanlah SDM yang handal, namun sebaliknya SDM yang dihasilkan adalah generasi yang tidak percaya diri (apalagi kalau divonis dengan sistem rangking di sekolah), tidak bisa
bekerja, tidak terampil, dan tidak berkarakter (Megawangi, et. al., 2005). Maka tidak heran jika mutu SDM Indonesia dalam HDI berada jauh dibawah Malaysia, Thailand, Filipina, dan terutama Singapura yang telah masuk dalam kategori high human development (UNDP, 2006). Semiawan (2002), mengatakan dunia pendidikan di Indonesia saat ini tengah
mengalami
krisis
Permasalahan-permasalahan
yang
cukup
pendidikan
serius
dan
mengarah
sangat kepada
kompleks. terdapatnya
kesenjangan antara tujuan yang hendak dicapai dengan kenyataan keluaran sebagai hasil proses pendidikan. Mulai dari mutunya yang dianggap kurang memuaskan, keluarannya yang tidak segera tertampung oleh pasaran kerja, atau kalaupun tertampung, dikeluhkan kekurang-siap-pakaiannya, kesempatan untuk menikmati belum merata, serta seringnya dilakukan perubahan. Fakta di lapangan dijumpai dengan adanya kegiatan menghafal sejumlah fakta di luar kepala dalam proses belajar mengajar. Artinya, seseorang yang telah belajar akan ditandai dengan banyaknya fakta-fakta yang dapat dihafalkan (Slameto, 2003). Model belajar yang seperti ini membuat individu yang mempunyai kemampuan menghafal rendah semakin inferior, tidak percaya diri, tersisih dan mempunyai cita-cita yang rendah.
Fenomena lain dalam dunia pendidikan
adalah sifatnya yang sentralis. Semua kegiatan belajar mengajar berpusat kepada pendidik. Individu cenderung pasif dan tidak ada kebebasan untuk berekspresi dan berkreasi. Keadaan seperti ini berakibat kepada tidak adanya ruang bagi individu untuk berkompetensi. Ironisnya, hal itu diperparah dengan dijejalinya individu dengan materi kurikulum formal. Oleh karena itu, yang terjadi bukannya tercapainya target pendidikan, namun individu mengalami kebosanan (Suara Merdeka, 24 februari 2005).
Menurut Mulyasa (2005) salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas pembelajaran adalah belum dimanfaatkannya berbagai sumber belajar secara maksimal, baik oleh guru maupun peserta didik. Dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar secara optimal, peserta didik dapat termotivasi untuk berpikir logis dan sistematik sehingga memiliki pola pikir yang nyata dan semakin mudah memahami hubungan materi pelajaran dengan lingkungan alam sekitar serta kegunaaan belajar dalam kehidupan sehari–hari. Sejalan dengan Mulyasa menurut Afiatin (2004), problematika pendidikan yang terjadi di indonesia salah satunya adalah terdapatnya kesenjangan yang cukup lebar antara pengetahuan yang dimiliki para siswa dengan sikap dan perilakunya. Banyak siswa yang tahu dan
hapal
materi
pelajaran,
tetap
tidak
mampu
mengaplikasikan
pengentahuannya tersebut bagi peningkatan kualitas kehidupannya. Sebagai contoh siswa tahu bagaimana berperilaku sosal yang baik, tetapi mereka kurang mampu menghargai orang lain, bertoleransi dan berperilaku sopan. Pengetahuan hanya mampir sebentar dan kemudian menguap begitu saja, seolah tidak berbekas dalam kehidupan siswa. Proses belajar yang diperoleh siswa lebih banyak pada “belajar tentang” (learning about thing) daripada “belajar menjadi” (learning how to be). Tampaknya, pengetahuan yang dimiliki oleh oleh siswa merupakan transmisi informasi, belum merupakan sesuatu yang dicari, digali, dan ditemukan sendiri sehingga betul-betul menjadi miliknya dan menjadi bagian dari kehidupannya. (www.inparametric.com). Menurut Slameto (2003), anak menambah pengetahuannya, menambah kemampuannya mencapai kebiasaan yang baik. Anak mulai memperhatikan keaadaan sekelilingnya dengan objektif. Karena timbul keinginannya untuk mengetahui kenyataan, keinginan itu, akan mendorongnya untuk menyelidiki
segala sesuatu yang ada di lingkungannya. Pelajaran yang memberi kesan menyenangkan,
menarik,
mengurangi
ketegangan,
bermanfaaat,
atau
memperkaya pengetahuan lebih efisien dan tersimpan atau memberi kesan yang lebih lama. Erickson
(Hurlock,
1999)
mengatakan
bahwa
masa
anak-anak
merupakan gambaran awal manusia sebagai manusia, tempat di mana kebaikan dan sifat buruk yang tertentu berkembang dan mewujudkan dirinya. Anak kecil adalah penggali atau pengeksplorasi rasa ingin tahu segala sesuatu (Rose dan Nicholl, 2003). Csikszentmihalyi (Rose dan nicholl,2003) mengemukakan, selama beberapa tahun pertama kehidupan, setiap anak adalah ‘mesin belajar’ kecil yang tidak kenal lelah mencoba dan mencoba lagi gerak-gerak baru, katakata baru, setiap hari. Rasa ingin tahu adalah sifat alami positif yang dimiliki oleh setiap manusia, yang nampak jelas contohnya pada seseorang pada waktu ia masih anak-anak. Anak pada usia sekolah yang berada pada masa perkembangan, dimana pengetahuan baru yang diperoleh dari pelajaran disekolah, akan diikuti dengan observasi, membaca, diskusi dengan orang. Rasa ingin tahu orang pada usia sekolah muncul diawali rangsangan dari orang lain seperti gurunya, seperti orang dewasa, sedang orang dewasa, rasa ingin tahu muncul dengan sendirinya karena kepekaannya terhadap lingkungan sekitarnya (Munibah, 2003). Dengan keingintahuan seseorang akan mampu mengenali lingkungan terdekatnya, akan mampu mengenali orang-orang yang berada disekitarnya. Seorang anak mulai belajar membedakan sesuatu yang enak atau sesuatu yang tidak membuatnya nyaman dengan mengembangkan rasa ingin tahu atau keingintahuan. Dalam perkembangannya, semakin banyak seseorang melihat
hal-hal yang baru disekitar lingkungannnya, maka akan bertambah dan berkembang rasa ingin tahunya. Dari pemaparan sebelumnya ditemukan bahwasannya keingintahuan merupakan salah satu komponen penting dalam proses pembelajaran dan perkembangan hidup individu. Jadi curiosity adalah sebuah emosi positif dalam diri seseorang yang diasosiasikan dalam hasrat keingintahuan atau keinginan mengetahui sesuatu hal yang baru yang memotivasi seseorang untuk bereksplorasi. Dalam
dunia
pendidikan,
ada
banyak
model
pendidikan
yang
berkembang di Indonesia. Salah satu dari model pendidikan tersebut adalah model pendidikan klasik dimana pendidikan klasik atau juga disebut pendidikan konvensional, model pendidikan ini merupakan model pendidikan tertua yang bertolak dari asumsi bahwa pendidikan berfungsi memelihara, mengawetkan, dan meneruskan semua warisan budaya terdahulu kepada generasi berikutnya. Dengan demikian guru tak perlu repot dan susah susah mencari dan menciptakan pengetahuan, konsep, dan nilai nilai baru, karena semuanya telah tersedia. Model ini lebih menekankan pada isi pendidikan daripada proses atau bagaimana mengajarkannya dan menekankan perkembangan segi segi intelektual [to develop the mind (Hutchins dalam Oliva, 1992)] daripada emosional, psikomotor, dan sosial siswa. Guru bertugas memilih dan menyajikan materi ilmu yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik. Guru adalah juga sebagai ahli dalam bidang ilmu dan juga contoh atau model nyata dari pribadi yang ideal. Sedangkan siswa merupakan penerima pengajaran yang baik, yang sesungguhnya sebagai penerima informasi yang pasif. Kurikulum yang dihasilkan oleh model pendidikan ini adalah Kurikulum Subjek Akademik yang digunakan di banyak negara, juga Indonesia. Kurikulum
ini juga disebut separated subject curriculum karena terdiri dari mata pelajaran yang terpisah-pisah, atau disebut pula subject centered curriculum karena berpusat pada mata pelajaran. Prehatiningsih (2005), dalam penelitiannya tentang kecerdasan emosi mengatakan bahwa pendidikan konvensional dengan ciri adanya adegan disekolah-sekolah dimana setiap peserta duduk baris demi baris melihat dan mendengarkan pendidik mengajar di hadapan mereka; dan adanya kurikulum sekolah yang membebani peserta didik, di mana berbagai informasi tanpa henti dijejalkan ke dalam benak mereka. Individu mengalami proses belajar hanya dengan
mengembangkan
belahan
otak
kiri
yakni
memfokuskan
pada
kemampuan menghafal, kemampuan bahasa, matematika, dan pemikiran logis. Sekolah hanya memberi kesempatan yang sangat sedikit untuk melatih kemampuan berfikir alternatif dan mengabaikan aspek lainnya. Pembelajaran yang kurang memperhatikan perbedaan individual anak dan didasarkan pada keinginan guru, akan sulit untuk dapat mengantarkan anak didik ke arah pencapaian tujuan pembelajaran. Sekolah konvensional merupakan sekolah yang menerapkan kurikulum sesuai dengan ketentuan dinas pendidikan yaitu, kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter), yaitu: ? Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal. ? Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
? Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi. ? Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. ? Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. Berbeda dengan pendidikan model konvensional, experiential learning menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk menolong pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran. Pola-pola yang digunakan dalam metode tersebut yaitu let the experiences speak by their self, tell story, and reflection. Berdasarkan pengalaman mengajar dan wawancara di kelas, metode Experiental Learning memiliki keunggulan di antaranya meningkatkan semangat pembelajar karena pembelajar aktif, membantu terciptanya suasana belajar yang kondusif karena pembelajar bersandar pada penemuan individu, memunculkan kegembiraan dalam proses belajar mengajar karena pembelajaran dinamis dan terbuka dari berbagai arah, dan mendorong serta mengembangkan berfikir kreatif karena pembelajar partisipatif untuk menemukan sesuatu. Metode Experiential Learning tidak hanya memberikan
wawasan
pengetahuan
konsep-konsep
saja.
Namun,
juga
memberikan pengalaman yang nyata yang akan membangun keterampilan melalui penugasan-penugasan nyata. Experiental learning memberikan kesempatan kepada indiviu untuk melakukan kegiatan-kegiatan belajar secara aktif. Ada keterlibatan pengalaman belajar yang sesungguhnya. Individu tidak hanya menggunakan potensi-potensi kognisi saja, namun integrasi antara kognisi, afeksi dan psikomotorik. Experiental
learning mengarahkan individu ke dalam eksplorasi yang alami investigasi secara langsung kepada obyek yang akan dipelajari. Implemenhtasinya, saat pelajaran bertema hewan peliharaan, individu langsung menyentuh hewanhewan tersebut sambil pendidik menanamkan rasa cinta dan kasih sayang. Untuk pemeliharaan dan perawatan diserahkan kepada individu untuk dibentuk sikap kemandirian dan tanggung jawab. Proses belajar mengajar dapat dilanjutkan didalam ruang kelas untuk memilih motorik halusnya dengan mewarnai atau menggambar hewan yang tadi dilihatnya. Bila aspek logika atau kognisi yang ditekankan, individu dibawa menuju ruang perpustakaan untuk mencari referensi atau diskusi. Dengan metode seperti itu, individu bebas bereksperimen sesuai dengan keinginannya, dan dibimbing pendidik untuk mengobservasi dan menyimpulkan hasil ciptaannya. Individu dilatih untuk berani bicara dan penuh percaya diri berkomunikasi dengan semua orang dari segala lapisan. Dengan mengalami dan menghayati situasi yang hidup dan nyata dihadapan mereka, aspek-aspek kepribadian dapat berkembang. Mereka mampu mengenal dirinya sendiri, memilik kebiasaan, sikap, cita-cita, berpikir dan berbuat, berani bertanggung jawab (Hamalik, 2004). Namun tetap saja perlu dicatat, model experiental learning yang diterapkan oleh sekolah alam ini adalah eksperimen yang belum selesai. Usia sekolah ini masih terlalu muda. Selain itu, jangan mengharap anak-anak kita jadi sempurna di usia 12 tahun ketika ia menamatkan sekolah dasarnya. Meski begitu, ada pula kelemahan yang dimiliki sekolah alam. Salah satunya adalah keluhan Vega pada majalah Nakita tentang ruang belajar yang tanpa dilengkapi bangku dan kursi. Disamping itu, tidak adanya sekat di ruang belajar tak jarang membuat konsentrasi siswa mudah terpecah.
Sekolah alam merupakan sekolah yang menerapkan model pendidikan experiental
learning
yang
juga
menerapkan
sistem
keterpaduan,
yaitu
memadukan konsep kurikulum umum, kurikulum agama dan pengembangan diri anak. Kurikulum ini mengacu pada standar kompetensi yang ditetapkan Depdiknas dan menjadikan alam sebagai media belajar dalam rangka pembentukan karakter anak. Kurikulum ini diintregasikan dengan pengalaman yang distrukturkan yang didapat siswa di alam. Sekolah ini memadukan tiga ranah pendidikan yaitu kognitif, afektif dan motorik secara optimal dan memadukan antara pendidikan rumah, sekolah dan masyarakat. Disekolah ini kurikulum dibagi menjadi tiga tahap, yaitu : a.
Kurikulum tahap pertama adalah kurikulum umum yang sama dengan sekolah lainnya, mengacu pada kurikulum KTSP, memuat 8 mata pelajaran yaitu, PAI (Pendidikan Agama Islam), PKN, SBK (Kesenian), bahasa Indonesia, matematika, IPA, IPS, penjaskes.
b. Kurikulum tahap kedua adalah kurikulum bermuatan agama yaitu, tafids (kegiatan awal belajar dikelas setiap pukul 07.00 - 08.00 WIB sebelum memulai pelajaran lainnya), BTAQ, Bahasa Arab. c. Kurikulum ketiga adalah pengembangan diri pada anak, yaitu ?
Pertama, outdoor class yaitu adanya hari kegiatan outdoor di masingmasing kelas, dimana pada setiap kelas ada satu hari selama semingu seharian berada disekolah anak-anak hanya akan berada diluar kelas mengerjakan aktivitas belajarnya. Ada outbond, jalan-jalan, mengenal alam, atau belajar mata pelajaran diluar kelas.
?
Kedua, adanya market day atau disebut juga hari berjualan yang hanya dilaksanakan hari jumat, disini anak tidak berada didalam kelas tetapi berada di lapangan sekolah.
?
Ketiga, TIK (Teknologi Informasi).
?
Keempat, kegiatan berbahasa yaitu, bahasa Jawa, bahasa Ingris, dan bahasa Arab.
?
Kelima, menulis diary, disini anak bisa menceritakan kegiatan sehariharinya baik dirumah atau disekolah.
?
Keenam, kepanduan.
?
Ketujuh, berkebun.
?
Kedelapan, beternak. Partisipasi aktif anak dalam proses belajar merupakan hal yang sangat
vital dan dapat dikatakan sebagai “jantung” dari proses belajar yang efektif. Anak pada dasarnya mempunyai rasa keingintahuan yang besar sekali sehingga mendorong untuk selalu bertanya. Anak harus dilibatkan secara langsung dalam proses belajar dengan menunjukkan objek-objek secara kongkrit dan dirangsang rasa keingintahuannya melalui diskusi kelas. Jadi, anak mengalami secara langsung semua hal yang dipelajarinya, dan tidak hanya mendengarkan guru (teacher oriented) yang membuat anak menjadi pasif, sehingga segala sesuatu yang diperoleh anak dalam proses belajar mengajar akan bertahan lama dan dapat diimplementasikan pada kehidupan sehari-harinya. Adanya keterlibatan langsung anak dalam proses belajar melalui pemberian pengalaman yang kongkret maka akan membentuk kesadaran yang dapat memberikan manfaat langsung dan memberikan makna hakiki pada anak.
Anak memiliki berbagai potensi termasuk didalamnya keingintahuan. Keingintahuan inilah yang membuat anak mengembangkan potensinya yang lain. Sangat sulit untuk mengembangkan rasa ingin tahu pada anak tanpa ada proses pancingan.
Pada
model
pendidikan
experiental
learning
anak
dilatih
mengembangkan rasa ingin tahu dengan proses belajar pada pengalamannya secara langsung. Dari uraian diatas dapat ditarik sebuah asumsi yang menarik dan perlu dicari pembuktiannya. Asumsi itu adalah dengan adanya perbedaan pada kedua model pendidikan tersebut, sehingga diperkirakan akan membawa pengaruh yang berbeda pula pada diri anak, khususnya terhadap rasa keingintahuannya. Yang menjadi pertanyaan kemudian adaah apakah ada perbedaan keingintahuan antara anak yang mengikuti model pendidikan experiental
learning
dengan
anak
yang
mengikuti
model
pendidikan
konvensioanal.
Metode Penelitian Subjek Penelitian Karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah : 1.
Anak-anak berusia antara sembilan hingga 12 tahun
2.
Laki-laki dan atau perempuan
3.
Berpendidikan di sekolah dasar (SD) Karang Wuni 1 dan di SDIT Alam Nurul Islam di Kabupaten Sleman propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DI Yogyakarta).
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dengan skala curiosity. Skala curiosity digunakan dengan tujuan untuk memperoleh data curiosity pada subjek penelitian. Skala curiosity disusun berdasarkan teori curiosity yang diungkap oleh Kashdan (Peterson dan Seligman,2004) dalam Character Strengths and Virtues dan dalam pengukuran mengenai curiosity dan explorasi dalam curiosity and exploration inventory (CEI) yang mencaskup aspek-aspek yang telah peneliti simpulkan : a. Novelty – seeking b. Specifik curiosity atau information seeking c. Daya explorasi yang merupakan hasrat untuk mengexplorasi sesuatu atau hal-hal baru (exploration (strivings for novelty)). d. Pendalaman terhadap sebuah aktivitas sehingga menyebabkan ide yang mengalir (flow (deep absorption in activities)).
Tabel 1 Distribusi Skala Curiosity Sebelum Uji Coba Nomor aitem No. Aspek Faviorable Unfavorable 1 Novelty seeking dapet terlihat pada: hasrat untuk 1, 4, 16, 24, 34, 39, 48 mencari 29, 33, 40, pengalaman. 46, 49 - Sensasi mencari 28, 31, 36, petualangan. 43, 44, 47, 50 - Relatif mudah 2, 18 bosan. - Kesiapan 26, 37 32 menghadapi hal baru. 2 Daya eksplorasi 7, 10, 15, 25, 41 3 Specific curiosity - terbuka pada ide- 3, 11, 19 9 ide baru. - berorientasi pada 5, 12, 20, 27, masa yang akan datang. 13, 21 - frekuensi 6 kegiatan. - menikmati dalam 14, 22, 42 30 menyelesaikan masalah. 4 (Flow(Deep 8, 17, 23, 35, absorption in 38, 45 activities) 5 Total
Jumlah
Bobot (%) 30%
12
7
2 3
5
20% 30%
4 4
3 4
6
20%
50
100%
Metode Analisis Data Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan teknik statistik kuantitatif. Teknik statistik yang dipakai untuk mencari perbedaan antara anak yang mengikuti model pendidikan konvensioanal dan model pendidikan eksperiental lerning adalah Teknik statistik yang dipakai adalah T-test atau uji-t, uji persyaratan untuk normalitas sebaran digunakan uji Kolmogorof-
Smirnof. Sedangkan linieritas digunakan uji F. Analisis data penelitian akan dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 16.0 for windows.
Hasil Penelitian Deskripsi Subjek Penelitian Tabel 3 Deskripsi Subjek Penelitian No Faktor 1 Jenis Kelamin 2
Kelas
3
Usia
a. b. a. b. a. b. c. d.
Kategori Laki-laki Perempuan V IV 9 tahun 10 tahun 11 tahun 12 tahun
Jumlah 46 49 49 46 18 47 29 1
Deskripsi Data Penelitian Tabel 4 Deskripsi Data Penelitian Variabel Hipotetik Min Max Mean Curiosity 32 160 128
SD
Min
Max
25.6
44
91
Empirik Mean
71.8842
SD
8.39689
Deskripsi data penelitian di atas selanjutnya akan digunakan untuk mengetahui kriteria kategorisasi kelompok subjek pada variabel-variabel yang diteliti. Kategorisasi ini dimaksudkan untuk menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasar atribut yang diukur, dimana kontinum jenjang ini seperti contohnya dari rendah ke tinggi (Azwar, 2005). Rumus kategorisasi dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5 Norma Kategorisasi Norma Kategorisasi Kategori Kategori Sangat Rendah X < ? - 1,5 SD Kategori Rendah ? - 1,5 SD < X < ? - 0,5 SD Kategori Sedang ? - 0,5 SD < X < ? + 0,5 SD Kategori Tinggi ? + 0,5 SD < X < ? + 1,5 SD Kategori Sangat Tinggi ? + 1,5 SD < X Berdasarkan norma kategorisasi yang telah disebutkan sebelumnya, maka subjek penelitian ini dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori pada masing-masing variabel, yang dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini. Tabel 6 Kategorisasi Subjek Pada Variabel Perkembangan Moral Kategori Rentang Skor Jumlah Sangat Rendah 3 X ? 59.28 Rendah 26 59.29 < X < 67.68 Sedang 37 67.69 < X < 76.08 Tinggi 24 76.09 < X < 84.48 Sangat Tinggi 5 X > 84.49
Prosentase 3.16 % 27.37 % 38.95 % 25.26 % 5.26 %
Uji Asumsi Uji Normalitas Hasil uji normalitas menunjukkan sebaran yang normal pada skala curiosity dengan koefisien KS-Z=0.716 dan p=0.685 (p > 0.05). Dengan hasil uji normalitas yang demikian, maka uji asumsi normalitas untuk skala curiosity terpenuhi dengan distribusi yang normal. Uji Homogenitas Hasil uji homogenitas menunjukkan hasil dengan koefisien F 0.511 dan p = 0.447 (p > 0.05). Dengan hasil uji homogenitas yang demikian, maka uji asumsi homogenitas untuk skala curiosity terpenuhi dengan distribusi yang normal.
Uji Hipotesis Hasil uji-t seperti tampk dalam halaman lampiran menunjukkan angka 2.212 dengan p sebesar 0.029 (p < 0.05). Sedangkan mean SDN Karang Wuni 1 sebesar 69.9565 dan mean SDIT Alam Nurul Islam sebesar 73.6939. Dengan komposisi data diatas, dapat dikatakan bahwa dapat diterima, yang berarti ada perbedaan curiosity antara anak yang mengikuti model pendidikan konvensional dengan model experiental learning, dimana anak yang mengikuti model experiental learning lebih tinggi curiosity-nya daripada anak yang mengikuti model pendidikan konvensional.
Analisis Tambahan Analisis tambahan terhadap data penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan masing-masing aspek dalam variabel keberfungsian keluarga terhadap variabel perkembangan moral. Rangkuman hasil analisa tambahan dapat dilihat lebih jelas pada tabel 8 di bawah ini. Tabel 8 Deskripsi Hubungan antara Keberfungsian Keluarga dengan Perkembangan Moral Subjek Penelitian ditinjau dari Aspek-aspek Keberfungsian Keluarga Aspek Sig Keterangan Novelty Seeking Equal variances assumed 0.021 Signifikan Equal variances not assumed 0.022 Signifikan Daya Eksplorasi Equal variances assumed 0.050 Signifikan Equal variances not assumed 0.051 signifikan Specific curiosity Equal variances assumed 0.597 Tidak signifikan Equal variances not assumed 0.602 Tidak signifikan Flow Deep Absorption Equal variances assumed 0.008 Signifikan Equal variances not assumed 0.008 signifikan Berdasarkan hasil analisa tambahan di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek curiosity yang menunjukkan perbedaan pada kedua model pendidikan adalah aspek pencarian terhadap hal-hal baru (Novelty seeking), aspek daya eksplorasi,
aspek
Pendalaman
terhadap
sebuah
aktivitas
sehingga
menyebabkan ide yang mengalir (flow (deep absorption in activities)) dengan
aspek pencarian terhadap hal-hal baru (Novelty seeking) p=0.021, daya eksplorasi p=0.050, aspek Pendalaman terhadap sebuah aktivitas sehingga menyebabkan ide yang mengalir (flow (deep absorption in activities)) p=0.008 (p < 0.05).
Pembahasan Melihat hasil penelitian ini, adanya perbedaan curiosity antara siswa SDIT Alam Nurul Islam yang mengikuti model experiental learning dan siswa SD Karang
Wuni
1
yang
mengikuti
model
pendidikan
konvensional.
Ini
mengindikasikan bahwa model pendidikan ikut berperan dalam menumbuhkan curiosity seseorang terlihat pada anak yang mengikuti model experiental learning memiliki rasa ingin tahu yang lebih tinggi curiosity-nya daripada anak yang mengikuti model pendidikan konvensional. Akan tetapi pada penelitian yang peneliti lakukan ini tidak mengontrol hal-hal yang ikut mempengaruhi curiosity dalam penyetaraan kondisi yaitu pola asuh orang tua dan lingkungan. Menurut analisis peneliti pada sekolah SD Karang Wuni 1 yang mengikuti model pendidikan konvensional, cara guru berinteraksi dikelas dengan siswa sangat mempengaruhi minat siswa terhadap proses yang berlangsung dikelas dan para guru para guru terlihat masih bingung mengamalkan kurikulum KTSP pada siswa. Sedangkan pada Sekolah alam pendamping atau guru dituntut untuk melakukan kedekatan pada anak sehingga anak merasa nyaman dalam proses belajar dan tidak malu apalagi takut untuk bertanya atau mengemukakan pendapat.
Menurut Locke (dalam Patmonodewo (2003)), yakin bahwa pengalaman dan pendidikan bagi anak merupakan faktor yang paling menentukan dalam perkembangan
anak.
Pengalaman
yang
diperoleh
anak
melalui
penginderaannya, akan menentukan apa yang dipelajarinya dan konsekuensinya adalah apa yang tampak pada tingkah laku anak. Hal inilah yang dikembangkan oleh model experiental learning bahwa belajar melalui pengalaman akan membuat apa yang dipelajari anak lebih lama tinggal diingatan. Strategi pembelajaran konvensional pada umumnya lebih banyak menggunakan belahan otak kiri (otak sadar) saja, sementara belahan otak kanan kurang diperhatikan. Thorndike (Wagito, 1997) mengemukakan 3 hukum belajar, yaitu : 1. law of readiness, yaitu kesiapan seseorang untuk berbuat dapat memperlancar hubungan antara stimulus dan respons. 2. law of exercise, yaitu dengan adanya ulangan-ulangan yang selalu dikerjakan maka hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi lancar. 3. law of effect, yaitu hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi lebih baik jika dapat menimbulkan halhal yang menyenangkan, dan hal ini cenderung akan selalu diulang. Proses pembelajaran pada dasarnya merupakan pemberian stimulus-stimulus kepada anak didik, agar terjadinya respons yang positif pada diri anak didik. Kesediaan dan kesiapan mereka dalam mengikuti proses demi proses dalam pembelajaran akan mampu menimbulkan respons yang baik terhadap stimulus yang mereka terima dalam proses pembelajaran. Respons akan menjadi kuat jika stimulusnya juga kuat. Ulangan-ulangan terhadap stimulus dapat memperlancar hubungan antara stimulus dan respons, sehingga respons yang ditimbulkan akan menjadi kuat. Hal ini akan memberi kesan yang kuat pula pada diri anak didik, sehingga mereka akan mampu mempertahankan respons tersebut dalam memorynya.
Hubungan antara stimulus dan respons akan menjadi lebih baik kalau dapat menghasilkan
hal-hal
yang
menyenangkan.
Efek
menyenangkan
yang
ditimbulkan stimulus akan mampu memberi kesan yang mendalam pada diri anak didik, sehingga mereka cenderung akan mengulang aktivitas tersebut. Akibat dari hal ini adalah anak didik mampu mempertahan stimulus dalam memory mereka dalam waktu yang lama (longterm memory), sehingga mereka mampu merecall apa yang mereka peroleh dalam pembelajaran tanpa mengalami hambatan apapun. Berdasarkan penelitian prehatiningsih (2005), Iklim pembelajaran yang kondusif yakni proses belajar yang menyenangkan seperti yang diterapkan dalam experiental learning, membuat belajar tidak lagi dipandang sebagai beban dan paksan (seperti pada model konvensional) namun suatu kebutuhan. Di sisi lain, perencanaan pengajaran yang disusun sesuai dengan kebutuhan dan minat individu merupakan salah satu ciri dari situasi belajar yang kondusif. Dampak yang dirasakan adalah individu menjadi berani dan termotivasi untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dan maju. Ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Pradiansyah (2001), bahwa ciri keempat budaya belajar adalah adanya keingintahuan yang tinggi. Tanpa rasa ingin tahu, orang akan kehilangan motivasi belajar, dan akhirnya tak akan pernah belajar. Dalam dunia pendidikan, ada proses belajar. Proses belajar inilah di dalamnya terdapat motivasi untuk belajar. Curiosity adalah sebuah emosi positif dalam diri seseorang yang diasosiasikan dalam hasrat keingintahuan atau keinginan mengetahui sesuatu hal yang baru yang memotivasi seseorang untuk bereksplorasi. Curiosity juga sangat dibutuhkan untuk memacu keberhasilan anak dalam proses belajar. Dari dahulu, kebanyakan lembaga pendidikan
sekolah di Indonesia menggunakan model pendidikan konvensional yang menurut Hamalik (2004) model pendidikan ini berkarakter seperti; adanya disiplin yang tegas dari guru pada murid, adanya tekanan, dan hasil belajar anak diukur dari tingkat keberhasilan anak mengerjakan ujian akhir. Pendidikan
dengan
model
konvensional
sangat
menekankan
penggunaan metode mengingat-ingat apa yang telah disampaikan oleh pendidik. Kenaikan kelas ditentukan dengan sejauh mana penguasaan individu terhadap bahan yang telah dipelajari dari dalam buku saja. Rose dan Nicholl (2003) menambahkan bahwa informasi tanggal, bilangan, dan fakta tanpa henti dijejalkan ke dalam benak individu karena adanya kurikulum sekolah yang membebani individu. Semua ini dilakukan tanpa individu dapat memetik manfaat dari pelajaran yang diterima. Sejalan dengan hal itu, Semiwan (2002) lebih menegaskan tentang pendidikan konvensional yang berorientasi pada materi (content based). Content based kurikulum lebih memfokuskan pada hapalan isi atau detail teknis. Hal ini berarti tidak adanya peluang bagi individu untuk mengembangkan kemampuannya secara kreatif dan berpikir secara kritis. Sedangkan, dalam pendidikan dengan model experiental learning yang baru populer di Indonesia saat ini proses pembelajarannya lebih memihak kepada anak. Disini, metode experiental learning adalah suatu metode proses belajar mengajar yang mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan melalui pengalamannya secara langsung. Dalam hal ini, experiental learning menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk menolong pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran. Pola-pola yang digunakan dalam metode tersebut yaitu let the experiences speak by their self, tell story, and reflection.
Experiental learning memberikan kesempatan kepada indiviu untuk melakukan kegiatan-kegiatan belajar secara aktif. Ada keterlibatan pengalaman belajar yang sesungguhnya. Individu tidak hanya menggunakan potensi-potensi kognisi saja, namun integrasi antara kognisi, afeksi dan psikomotorik. Pendidikan eksperiental mengarahkan individu ke dalam eksplorasi yang alami investigasi secara langsung kepada obyek yang akan dipelajari. Implemenhtasinya, saat pelajaran bertema hewan peliharaan, individu langsung menyentuh hewanhewan tersebut sambil pendidik menanamkan rasa cina dan kasih sayang. Untuk pemeliharaan dan perawatan diserahkan kepada individu untuk dibentuk sikap kemandirian dan tanggung jawab. Proses belajar mengajar dapat dilanjutkan didalam ruang kelas untuk memilih motorik halusnya dengan mewarnai atau menggambar hewan yang tadi dilihatnya. Bila aspek logika atau kognisi yang ditekankan, individu dibawa menuju ruang perpustakaan untuk mencari referensi atau diskusi. Dengan metode seperti itu, individu bebas bereksperimen sesuai dengan keinginannya, dan dibimbing pendidik untuk mengobservasi dan menyimpulkan hasil ciptaannya. Individu dilatih untuk berani bicara dan penuh percaya diri berkomunikasi dengan semua orang dari segala lapisan. Dengan mengalami dan menghayati situasi yang hidup dan nyata dihadapan mereka, aspek-aspek kepribadian dapat berkembang. Mereka mampu mengenal dirinya sendiri, memilik kebiasaan, sikap, cita-cita, berpikir dan berbuat, berani bertanggung jawab (Hamalik, 2004). Disamping itu, adanya pengelompokan untuk tugas-tugas tertentu akan mengembangkan kerjasama dan jiwa kepemimpinan serta sikap empati kepada yang lain.
Berdasarkan pengalaman mengajar dan wawancara di kelas, metode Experiental Learning memiliki keunggulan di antaranya meningkatkan semangat pembelajar karena pembelajar aktif, membantu terciptanya suasana belajar yang kondusif karena pembelajar bersandar pada penemuan individu, memunculkan kegembiraan dalam proses belajar mengajar karena pembelajaran dinamis dan terbuka dari berbagai arah, dan mendorong serta mengembangkan berfikir kreatif karena pembelajar partisipatif untuk menemukan sesuatu. Sehinga hal inilah yang memunculkan rasa ingin tahu atau cuirosity pada anak lebih berkembang. Jadi berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa curiosity pada anak yang mengikuti pendidikan model experiental learning berbeda dengan anak yang mengikuti model pendidikan konvensional.
Kesimpulan Berdasarkan hasil analis data, kesimpulan yang bisa diambil adalah ada perbedaan antara anak yang mengikuti model pendidikan eksperintal learning dengan anak yang mengikuti model pendidikan konvensional learning. Dimana anak yang mengikuti model pendidikan eksperiental learning mempunyai curiosity lebih tinggi daripada anak yang mengikuti model pendidikan konvensional learning.
Saran Bagi Sekolah Untuk SDN Karang Wuni 1, disarankan kepada para guru untuk lebih menjalin kedekatan emosional pada anak, sekolah dijadikan sarana tempat
bermain sambil belajar untuk anak dan memberikan kegiatan-kegiatan yang lebih bervariasi. Untuk SDIT Alam Nurul Islam, disarankan untuk sepenuhnya menerapkan kurikulum yang sesuai dengan tujuan dari pendirian sekolah ini dan harus lebih mengarahkan anak-anak yang memiliki rasa ingin tahu. Untuk para praktisi pendidikan, disarankan untuk melakukan proses belajar mengajar dengan mengembangkan tiga ranah tujuan pendidikan yakni afeksi, kognisi, dan psikomotorik. Banyaknya tuntutan kehidupan masa kini dan yang akan datang, tidak cukup mampu menerapkan pendidikan dengan memfokuskan individu pada aspek kognisi.
Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan topik yang relatif sama, maka ada beberapa saran yang dapat penulis berikan, antara lain : bila masih ingin menggunakan variabel bebas yang sama, maka peneliti selanjutnya dapat menggunakan subjek penelitian yang berbeda, seperti pada remaja, dan dapat menggunakan alat ukur yang berbeda. Bila masih ingin menggunakan subjek penelitian yang sama, yakni anak-anak, maka peneliti selanjutnya dapat menggunakan metode penelitian yang berbeda. Misalnya dengan metode eksperimental, seperti dengan mendongeng, permainan, atau pelatihan, metode kuantitatif-komparatif, seperti antara siswa sekolah negeri dengan siswa sekolah berbasis keagamaan, ataupun dengan metode kualitatif dengan fokus penelitian yang lebih khusus lagi. Peneliti selanjutnya dapat menggunakan variabel tergantung yang berbeda, seperti religiusitas, kecerdasan, status sosial ekonomi keluarga, faktor teman sebaya (peer group), dan sebagainya. Terus melakukan penyempurnaan alat ukur yang dilakukan peneliti.Ketika ingin meneliti tentang
curiosity terus mencari teori-teori baru mengenai kedua variabel tersebut. Meneliti hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi curiosity pada diri seseorang, mengingat curiosity merupakan sumbu dari lilin pengetahuan.
Daftar Pustaka Al-Qur’an Abror, A. R. 1993. Psikologi Pendidikan : PT. Tiara Wacana . Al Mandari, Syafinuddin. 2004. Rumahku Sekolahku. Jakarta : Pustaka Zahra. Chauhan, C. C. 1978. Advanced Educational Psychology. New Delhi : Vikas Publishing. Dryden, G. dan VOS, J. 2003. Revolusi Cara Belajar (The Learning Revolution) ; Belajar akan Efektif kalau Anda dalam Keadaan “Fun” Bagian 1 : Keajaiban Pikiran : Kaifa. Edelman, S. 1997. Curiosity and www.csun.edu/? vcpsy00h/students/eksplore.htm
Exploration.
Elliot, Stephen N., Kratochwill, Thomas R., Cook, Joan Littlefield, Travers, John F. 2000. Educational Psychology : Effective Teaching, Effective Learning. Singapore : McGraw-Hill Book Co. Gunarsa, Singgih D, Drs. 1973. Psychologi Perkembangan. Jakarta : BPK Gunung Mulia. Hamalik, O. 2004. Proses Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Bumi Aksara. Kashdan, T. B, Rose, P, & Fincham, F. D 2004 Journal of Personality Assesment. Curiosity and Eksploration : Facilitating Positive Subjective Eksperiences and Personal Growth Opportunities. New York : Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Muhammad, A. R. 2003. Pendidikan di Alam Baru, Rekonstruksi atas Moralitas Pendidikan. Yogyakarta : Prumasophie. Munibah, K. 2003. Pengantar Falsafah Sains : Peran Imajinasi Penelitian. www1.rudyct.topcities.com/pps702_71034/khursatul_munibah.htm. Nasution. 1986. Berbagai Pendekatan dalam Belajar dan Mengajar. Edisi pertama. Jakarta : Bina Aksara.
Peterson, C. dan Selligman, M. E. P 2004 Character Strength and Virtues. Washington DC : American Psychological Association and Oxford University Press. Prehatiningsih, E. 2005. Kecerdasan Emosi antara Anak yang Mengikuti model Pendidikan Konvensional dengan Model Experiental Learning. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Ratna, G. 2006. Hubungan Curiosity dan Minat Membaca pada mahasiswa Prodi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas islam Indonesia. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Reio, T. G. Jr. 1997. Effect of Curiosity on Socialization-Related Learning ang Job Performance in Adult. Dissertation. Virginia ; Faculty of the Virginia polytechnic and state University. Rose, C. dan Nicholl, M. J. 2003. Cara Relajar Cepat Abad XXI. Bandung : Nuansa. Semiawan, C. R. 2002. Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf usia Dini. Jakarta : PT. Prehallindo. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya. Edisi Revisi. Jakarta : PT. Asdi Mahasatya. Syah, M. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Ward, W. A. Curiosity is the Wick in the Candle of Learning. www.personaldevelopment.com/chuck/curiosity.htm. Widyastuti, A. 2003. Perbedaan Kreativitas Antara Murid TKIT dan Murid TK Biasa. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Wijaya, E. S. 2005. Perbedaan Ketrampilan Social Antara Siswa Sekolah Menengah Atas Program Akselerasi dengan Siswa Program Reguler. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Facultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Yunanto, S. J. 2004. Sumber Belajar Anak Cerdas. Yakarta : PT. Grasindo. _______________. 2005. Kompas. _______________. 2005. Suara Merdeka.