1
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DENGAN KEKERASAN FISIK KEPADA ANAK YANG DILAKUKAN OLEH IBU
Disusun Oleh : Agnes Saraswati Devi Hepi Wahyuningsih, S.Psi, M.Si.
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007
2
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DENGAN KEKERASAN FISIK PADA ANAK YANG DILAKUKAN OLEH IBU
Telah Disetujui Pada Tanggal
Dosen Pembimbing Utama
(Hepi Wahyuningsih, S.Psi., M.Si.)
3
HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DENGAN KEKERASAN FISIK PADA ANAK YANG DILAKUKAN OLEH IBU
Agnes Saraswati Devi Hepi Wahyuningsih S.Psi., M.Si
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara kontrol diri dengan kekerasan fisik pada anak yang dilakukan oleh ibu. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara kontrol diri dengan kekerasan fisik pada anak yang dilakukan oleh ibu. Semakin tinggi kontrol diri maka semakin rendah perilaku kekerasan fisik pada anak. Sebaliknya semakin rendah kontrol diri maka semakin tinggi perilaku kekerasan fisik pada anak. Subyek dalam penelitian ini adalah para ibu yang mempunyai anak usia 018 tahun dan tinggal di daerah dengan status perekonomian menengah kebawah. Teknik pengambilan subyek yang digunakan adalah purposive sampling. Adapun skala yang digunakan adalah Skala Kontrol Diri sejumlah 17 aitem berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh Averill (Sarafino,1994) dan Skala kekerasan anak sejumlah 25 aitem. Kedua skala dibuat sendiri oleh peneliti. Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS Versi 12,0 for windows untuk menguji apakah ada hubungan antara Kontrol Diri dengan Kekerasan Fisik Pada Anak. Korelasi Spearman menunjukkan korelasi sebesar r=-0,108; p = 0,365 yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara Kontrol Diri dengan Kekerasan fisik pada anak. Jadi hipotesis penelitian ditolak. Kata kunci: Kontrol Diri, Kekerasan Fisik pada Anak.
4
PENGANTAR Anak adalah anugerah yang tak terhingga. Mereka adalah karunia Tuhan yang tidak dapat diingkari nikmat-Nya. Setiap orang tua muslim, pasti menyadari bahwa anak merupakan amanat Allah yang dipercayakan kepada dirinya (orang tua anak). Kesadaran dari orang tua muslim akan hakikat anak sebagai amanat Allah ini sepantasnya ditanggapi dengan penuh tanggung jawab. Menjaga amanah merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Maka tanggung jawab orang tua kepada anaknya antara lain adalah merawat buah hati kita dengan penuh kasih sayang, mengasuhnya dengan baik, dan mendidiknya dengan benar sesuai dengan syariat yang telah ditentukan. Fenomena kekerasan anak juga merupakan fenomena gunung es, tersembunyi dan sulit terungkap. Hal ini terjadi karena anak tidak dapat menyuarakan sendiri pengalaman serta penderitaannya dan orang dewasa di sekitarnya dengan mudah menyembunyikan fakta yang terjadi. Mereka mengganggap bahwa kekerasan yang ia lakukan merupakan privasi mereka sendiri, urusan rumah tangga tiap orang dan orang lain tidak boleh mengetahui. Data statistic Nation Committee for the Prevention of Child Abuse (NCPCA) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kekerasan anak sebesar 45 persen setiap tahunnya di seluruh negara. (http://www.yesican.org/stats.html.). Setiap tahunnya, di Indonesia sendiri, kekerasan yang menimpa anak-anak baik itu dari keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar, terus mengalami peningkatan, seperti dari tahun 2004 ke tahun 2005 yang meningkat 20 hingga 25 persen.
5
Komnas Perlindungan Anak mencatat bahwa kasus kekerasan terhadap anak mencapai 700 kasus. Sedangkan pada tahun 2004 sekitar 500 kasus (Media Indonesia, 10 Januari 2006). Adapun kekerasan yang sering dilakukan orang tua kepada anaknya adalah dengan cara melukai, menyiksa atau menganiaya secara fisik seperti memukul, melempar, menendang, mengguyur dengan air dan sebagainya. Ada juga orang tua yang melakukan kekerasan dengan menekan dan mengganggu emosi anak sehingga anak menjadi takut dan tidak berani mengungkapkan pendapatnya, sehingga anak menjadi penurut dan akhirnya tergantung kepada orang lain. Selain itu ada juga yang melakukan kekerasa seksual seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, membuat foto porno, pelacuran anak dan perdagangan anak (kompas, 3110-2004). Berdasar data tahun 1996, 25 negara melaporkan bahwa kasus kekerasan yang terjadi meliputi 62 persen pengabaian anak, 25 persen kekerasan fisik, 7 persen kekerasan seksual, 3 persen kekerasan emosional dan 4 persen kekerasan lainnya. Hal tersebut diperkuat dengan, 31 negara memberi data sebagai berikut : 60 persen kasus pengabaian, 23 persen kekerasan fisik, 9 persen kekerasan seksual, 4 persen kekerasan emosional dan 5 persen kekerasan lainnya (NCPCA's 1996 Annual Fifty State Survey, www.Yes I Can.org). Berdasarkan data Komnas Anak, pada tahun 2005 kekerasan terhadap anak mencapai 736 kasus, yang terdiri dari 233 kasus kekerasan fisik, 327 kasus kekerasan seksual dan 176 kasus kekerasan psikis (Rakyat Merdeka, Minggu 23 Juli 2006).
6
Berdasarkan kasus-kasus yang sudah terjadi, kekerasan kepada anak sebagian besar dilakukan oleh keluarga mereka sendiri, seperti yang tuturkan oleh Elly Yuliandari, Konselor Savy Amira, sekitar 80 persen tindak kekerasan yang menimpa anak-anak (child abuse) ternyata dilakukan oleh keluarga mereka sendiri, 10 persen terjadi di lingkungan pendidikan, dan sisanya oleh orang yang tidak dikenal (Kompas, 23-05-2002). Kasus kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga menduduki porsi terbesar dalam kasus kekerasan yang menimpa anak-anak pada rentang usia 3-18 tahun, hal ini dituturkan oleh Purwanti Ketua Yayasan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Kompas, 31-10-2004). Ertanto (Qomariyah, 2001) menunjukkan bahwa ibu menduduki posisi ke tiga setelah teman dan guru dalam melakukan tindak kekerasan fisik terhadap anak yaitu sebanyak 12,05 % dari seluruh kasus tindak kekerasan fisik terhadap anak. Data NCANDS tahun 1999 menyebutkan bahwa wanita berkecenderungan lebih besar melakukan tindakan kekerasan terhadap anak daripada pria. Hal ini dapat dilihat dari data yang menunjukkan bahwa dari 58.581 korban kekerasan fisik, 35,6 persen kekerasan dilakukan oleh ibu saja; 26,6 persen dilakukan oleh ayah saja dan 14,2 persen dilakukan oleh kedua orang tua (Shehan, 2003). Sangat disayangkan jika kekerasan yang terjadi pada anakanak dilakukan oleh keluarga mereka sendiri apalagi seorang ibu. Ibu yang seharusnya melindungi mereka, menjaga mereka dan memberinya kasih sayang malah memperlakukan mereka tidak seperti manusia. Rumah seharusnya menjadi tempat yang nyaman bagi perkembangan anak.
Dirumahlah
anak
banyak
menghabiskan
waktunya.
Akan
tetapi
7
dirumapulalah anak mengalami tindak kekerasan. Apalagi jika ibu berada di rumah (ibu tidak bekerja). Berdasarkan survey yang telah dilakukan, diketahui bahwa seorang wanita yang berada dirumah (sebagai ibu rumah tangga) akan lebih berpotensi besar melakukan tindakan kekerasan terhadap anaknya. Adapun pola kekerasan fisik yang terjadi menurut Ertanto (Qomariyah, 2001) adalah pencubitan 12,6 persen; penjeweran 11,62 persen; pemukulan 10,36 persen; perkelahian 9,66 persen; penendangan 8,27 persen; penjambakan 7,96 persen dan penjitakan 12,05 persen. Disadari atau tidak, anak merupakan potensi masa depan yang pada dasarnya dibangun oleh generasi sebelumnya. Pengalaman-pengalaman yang didapatnya akan berpengaruh pada kehidupannya ketika mereka tumbuh kembang menjadi manusia dewasa. Green (Qomariyah, 2001), faktor yang mempengaruhi kekerasan fisik kepada anak antara lain adalah faktor orang tua. Secara psikologis tidak ada ciri khusus dari orang tua yang menunjukkan seorang pelaku tindak kekerasan, karena setiap orang dapat melakukannya (tindak kekerasan fisik terhadap anak). Adapun ciriciri khusus orang tua yang berkecenderungan melakukan tindakan kekerasan yaitu, mempunyai konflik yang tidak terpecahkan; kontrol terhadap implus yang lemah; Harga diri yang rendah; mencintai diri sendiri yang berlebihan; penggunaan mekanisme pertahanan diri yang primitive; adanya gangguan dalam identitas orang tua dimana identifikasi berubah-ubah, tidak stabil dan didominasi oleh nilai-nilai permusuhan. Mash dan Wolfe (2005) berpendapat bahwa salah satu bentuk Child abuse (kekerasan kepada anak) adalah physical abuse. Kekerasan fisik ini terjadi ketika
8
ibu –orang yang mengasuh- melakukan tindakan kekerasan yang meliputi menghantam, memukul, menendang, membakar, atau segala sesuatu yang merugikan anak secara fisik. Sedangkan WHO (1999) mendefinisikan bahwa kekerasan fisik (physical abuse) adalah sesuatu yang mengakibatkan luka fisik atau sesuatu yang merugikan dari suatu interaksi atau ketiadaan interaksi, yang mana hal tersebut ada dalam kendali orang tua. Childwelfare memaparkan bahwa Faktor resiko yang menyebabkan terjadinya kekerasan fisik kepada anak adalah pertama faktor anak, anak dengan kelahiran prematur, keganjilan kelahiran, berat/beban kelahiran rendah, ekspose ke toksin dari kandungan, perangai yang sulit atau lambat, memiliki cacat fisik, mental maupun kognitif, memiliki penyakit serius atau kronis, anak-anak yang memiliki trauma, anak-anak yang antiosial, usia anak (bayi hingga remaja akhir), anak yang memiliki permasalahan perilaku, dan defisit perhatian. Faktor kedua dalah faktor ibu, antara lain adalah faktor kepribadian, external locus of control, poor impluse control, depression/Anxiety, memiliki toleransi rendah untuk frustrasi, memiliki ketiadaan kepercayaan, memiliki konflik dengan orangtua tinggi, adanya kekerasan domestik, sebagai orang tua tunggal, memiliki banyak anak, tinggal di tempat pengasingan, perceraian, hubungan anak-orang tua yang tidak harmonis, sikap dan prasangka negatif terhadap anak dan harapan, pengetahuan tidak akurat tentang pengembangan anak. Faktor ketiga adalah faktor sosial atau lingkungan, lingkungan yang berpotensi sebagai pemicu kekerasan fisik antara lain lingkungna dengan status Ekonomi-Sosial rendah, peristiwa hidup yang membuat stress, tiadak adanya akses ke perawatan medik, asuransi
9
kesehatan,
kepedulian
anak
cukup,
dan
jasa
kemasyarakatan,
pengangguran/tunawisma, adanaya diskriminasi sosial dan lingkungan yang berbahaya. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor penyebab kekerasan fisik yang dilakukan orang tua pada anak adalah faktor kepribadian orang tua. Adapun salah satu faktor yang memicu timbulnya kekerasan fisik yang terjadi antara lain kontrol diri. METODE PENELITIAN Subyek penelitian ini adalah seorang ibu yang memiliki anak usia balita hingga 18 tahun dan tinggal di daerah dengan status perekonomian menengah kebawah. Penelitian ini dilakukan secara kuantitatif. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data dari penelitian ini adalah dengan menggunakan angket. Disini subyek diminta untuk mengisi sejumlah pernyataan yang digunakan untuk mengungkap permasalahan yang akan diteliti. Skala di sini terdiri dari skala kontrol diri dan skala kekerasan fisik kepada anak. Alat ukur yang digunakan adalah skala kekerasan fisik dan skala kontrol diri. Skala kekerasan fisik untuk mengungkap kekerasan fisik yang terjadi pada anak yaitu untuk mengetahui tinggi rendahnya kekerasan fisik dalam pengasuhan anak. Kekerasan fisik tersebut akan diungkap dengan skala kekerasan fisik yang terdiri dari bentuk-bentuk kekerasan fisik. Skala kontrol diri dimaksudkan untuk mengungkapkan seberapa besar kontrol diri seseorang. Skala ini disusun dengan memodifikasi sejumlah aitem
10
yang digunakan oleh Abdurrahman (2004). Aspek aspek yang hendak diungkap meliputi kemampuan mengontrol perilaku, kemampuan mengontrol stimulus, kemampuan mengantisipasi peristiwa, kemampuan menafsirkan peristiwa dan kemampuan mengambil keputusan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis statistik product moment. Hal ini berkaitan dengan tujuan peneliti untuk mengetahui apakah ada pengaruh kontrol diri dengan terjadinya kekerasan fisik yang terjadi pada anak. Proses analisis data ini dipercepat dan dipermudah dengan adanya perangkat lunak SPSS for windows versi 12.0. HASIL PENELITIAN Uji hipotesis ini dilakukan dengan menggunakan teknik Spearmen, karena salah satu skor variabel tidak berdistribusi normal yaitu pada variabel kekerasan fisik dan kedua variabel tidak memiliki hubungan linearitas yang signifikan. Uji hipotesis ini dilakukan melalui prosedur Bivariate Correlation dari komputer progran SPSS 12.0 for windows. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, bahwa korelasi antara kekerasan fisik dengan kontrol diri sebesar -0,108 dengan p = 0,365 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kontrol diri dengan kekerasan fisik kepada anak. Dengan demikian, hipotesis yang penulis ajukan ditolak.
11
PEMBAHASAN Beberapa hal yang menyebabkan tidak adanya hubungan tersebut (analisis ditolak), pertama adalah terletak pada kelemahan dalam metode pengumpulan data. Dalam pengumpulan data, sebagian angket penulis edarkan sendiri dan sebagian lagi dititipkan. Selain itu, angket yang tersebar akan diambil kembali beberapa hari kemudian guna keefektifan waktu. Metode seperti itu sangat efektif dalam penggunaan waktu tetapi dapat merugikan dalam perolehan jumlah data. Selain itu pengontrolan jawaban hampir tidak ada, sehingga penulis tidak tahu apakah jawaban sesuai dengan apa yang dimengerti dalam pernyataan angket tersebut. Hal lain yang mempengaruhi tidak diterimanya hipotesis penulis adalah terletak pada alat ukur yang digunakan. Pada alat ukur kontrol diri, cenderung mengukur kontrol diri secara kognitif. Berdasarkan analisis tambahan, tingkat pendidikan subyek tidak ada perbedaan antara subyek yang berpendidikan tinggi dengan subyek yang berpendidikan rendah. Sehingga hipotesis yang penulis ajukan ditolak. Perasaan negatif (kemarahan, ketakutan, dan
ketenangan) merupakan
pemacu timbulnya kekerasan fisik kepada anak, selain itu perilaku anak yang tidak sengaja turut menjengkelkan ibu, sehingga ibu melakukan kekerasan fisik kepada anak (Black dkk, 1999). Penelitian ini, ibu yang melakukan kekerasan fisik dilaporkan mempunyai perasaan negatif yang lebih besar (seperti tense, depresi, marah, bingung, dan jengkel) dibandingkan dengan ibu yang tidak melakukan kekerasan fisik kepada anaknya. Dapat di lihat bahwa penelitian Black
12
dkk, berkaitan dengan perasaan negatif seseorang. Dix (Sedlar dan Hansen, 2001) menyatakan bahwa respon emosi memiliki peranan dalam pola asuh, termasuk dalam proses pengasuhan yang maladaptive. Kemarahan merupakan frekuensi terbesar danmerupakan intensitas ekspresi tertinggi oleh orang tua selama dalam peran pengasuhan. Hal ini diasosiasikan dengan pola asuh yang keras dalam interaksi orangtua dan anak. Peterson dkk (Sedlar dan Hansen, 2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa ibu yang mempunyai skor kemarahan tinggi, akan diikuti dengan perlakuan kekerasan fisik yang tinggi pula. Penjelasan diatas menggambarkan bahwa emosi atau perasaan negatif yang memicu secara langsung terjadinya kekerasan fisik kepada anak. Dapat dikatakan bahwa seseorang dengan kognitif yang bagus tetapi tidak mampu mengelola emosinya, maka hal itu mungkin saja memicu timbulnya kekerasan fisik kepada anak. Dan sebaliknya, orang dengan kemampuan kognitif yang rendah, tetapi bisa mengelola emosinya dengan baik maka bukan tidak mungkin orang tersebut tidk melakukan kekerasan fisik kepada anaknya. Masalah kekerasan anak bukanlah masalah yang berdiri sendiri akan tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi. Seperti yang dituturkan oleh Bittner dan Newberger (Andayani, 2001) bahwa kekerasan kepada anak merupakan fenomena yang bersifat multifaktor. Faktor-faktor tersebut anatara lain berasal dari faktor sosial budaya, faktor anak, faktor keluarga, faktor individu (ayah atau ibu) dan faktor pencetus. Sependapat dengan Bittner dan Newberger, Belsky (Makalah, 2006) menyatakan bahwa kekerasan kepada anak tidak terjadi
13
karena satu atau sejumlah sebab, melainkan lebih merupakan proses multipel pada berbagai level yang memungkinkan hal itu terjadi pada situasi tertentu. Tidak adanya faktor pencetus yang memungkinkan timbulnya kekerasan fisik, maka hal itu tidak akan terjadi. Anak pada situasi tertentu bisa jadi dengan tiba-tiba mendapatkan perlakuan kekerasan fisik. Misalnya pada situasi dimana ibu sedang sibuk bekerja, anak pada saat itu rewel dan tidak mau diatur sehingga situasi itu dapat menyulut timbulnya kekerasan fisik kepada anak. Meskipun ibu mempunyai tekanan hidup (masalah keluarga, finansial dan sebagainya) tetapi jika tidak ada faktor pencetus (misalnya anak rewel) maka kekerasan fisik tidak akan terjadi. Seperti kasus yang menimpa Ika, hanya gara-gara mengganggu tidur sang ibu akhirnya nyawa Ika melayang setelah mendapatkan cekikan dilehernya (Kompas, 4 Januari 2006).Kasus itu menggambarkan bahwa kekerasan fisik akan muncul jika ada faktor pencetus. Faktor lain yang mendasari muculnya kekerasan fisik kepada anak adalah faktor sosial budaya. Dalam hal ini lingkungan beresiko memunculkan kekerasan fisik kepada anak. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Andayani (2001) bahwa faktor sosial budaya menjadi persoalan utama dan merupakan faktor mendasar terjadinya kekerasan fisik kepada anak. Faktor sosial budaya ini meliputi nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, tingkat pendidikan, hubungan interpersonal, kesehatan dan hukum. Seperti halnya Andayani, Putra (Andayani, 2001) menyatakan bahwa perilaku kekerasan kepada anak perlu juga ditinjau dari pendekatan sociocultural enviroumental. Menurutnya berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan orang
14
dewasa pada anak termasuk dalam kategori chid abuse (perlakuan salah pada anak). Kekerasan fisik kepada anak merupakan fenomena sosial yang tidak dapat berdiri sendiri dan terwujud begitu saja. Kekerasan fisik kepada anak merupakan fenomena sosial budaya yang mengandung unsur-unsur pendukungnya yaitu nilai, norma, pandangan hidup, adat istiadat, budaya, kondisi ekonomi, kondisi sosial, struktur sosial, stratifikasi sosial, dan setting terjadinya tindak kekerasan tersebut. Ditinjau dari lingkungan tempat tinggal subyek, penelitian ini dilakukan di daerah Kota Baru dan Terban yang masih dalam wilayah Yogyakarta (Jawa). Pada daerah ini masih memengang nilai-nilai dan budaya jawa yang kental seperti gotong royong, kekeluargaan, tolong menolong dan hormat menghormati antar sesama masyarakatnya. Hal ini terlihat pada saat peneliti datang ke lokasi. Warga di daerah tersebut menyambut dengan hangat (kekeluargaan) dan mereka tidak segan-segan menawarkan diri untuk menolong peneliti mengumpulkan data. Selain itu kehidupan antar tetangga saling rukun dan damai. Banyak dari mereka yang senang berkumpul dengan tetangganya dan saling menyapa jika bertemu. Dengan adanya nilai-nilai positif yang dikembangkan dalam masyarakat, hal ini sebagai kontrol sosial yang dapat mencegah timbulnya kekerasan fisik kepada anak. Dengan adanya kontrol sosial, maka perilaku individu dapat diminimalisir untuk melakukan tindakan kekerasan fisik kepada anak. Pemerintah pada masa ini sedang gencar-gencarnya memsosialisasikan perlindungan hak-hak anak. Adanya informasi dan sosialisasi hukum turut serta mempengaruhi adanya kekerasan fisik kepada anak. Hal ini seperti yang tuturkan oleh Andayani (2001) bahwa Faktor sosial budaya yang meliputi nilai-nilai dan
15
norma yang berlaku dalam masyarakat, tingkat pendidikan, hubungan interpersonal, kesehatan dan hukum mendasari munculnya kekerasan fisik kepada nak. Hukum bersifat mengikat guna mengatur perilaku individu dalam masyarakat, Koentjara (1990) berpendapat bahwa hukum merupakan suatu aktivitas yang mempunyai fungsi pengawasan sosial terhadap tingkah laku masyarakat. Dengan adanya hukum yang jelas, pasti dan diketahui khalayak ramai hal ini mencegah kekerasan fisik kepada anak.
Dengan hukum yang
tersosialisasikan, dapat mengubah sikap atau pola asuh subyek pada anaknya. Media masa apapun yang marak sekarang ini, memberikan kontribusi dalam mewariskan nilai-nilai dan perbendaharaan pengetahuan manusia (Rakhmat, 2001). Lingkungan tempat tinggal subyek sangat mendukung masuknya media informasi. Hal ini diketahui dari lokasi tempat tinggalnya di kota Yogyakarta, dimana untuk memperoleh informasi sangat cepat. Selain itu, pertemuanpertemuan warga yang rutin dilakukan turut andil dalam menyebarluaskan informasi-informasi yang ada. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian ini didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kontrol diri dengan kekerasan fisik kepada anak.
16
SARAN Pada penelitian ini tentunya masih terdapat beberapa kekurangan sehingga peneliti merasa perlu adanya saran-saran membangun yang ditujukan pada penelitian selanjutnya. Perlu diperhatikan dalam pembuatan skala, hendaknya disesuaikan dengan konteks budaya, kebiasaan dan latar belakang subyek penelitian. Agar dapat dikontrol, pengumpulan data dilakukan dengan pengawasan peneliti. Penelitian tentang kekerasan terhadap anak ini (kekerasan fisik) akan lebih baik jika ada kros cek antara pelaku dan korban. Sebelum dilakukan tryout, alangkah lebih baik dilakukan preeliminir terlebih dahulu. Hal ini dapat mengurangi ketidakmengertian subyek dalam mengisi angket. Hendaknya peneliti selanjutnya meneliti dengan variabel lain seperti pola asuh pendisiplinan, bentuk-bentuk emosi negatif atau dihubungkan dengan kematangan emosi untuk menghubungkan dengan fenomena kekerasan fisik yang terjadi. Atau untuk lebih akuratnya, dilakukan penelitian yang mendalam tentang kekerasan fisik dengan metode yang lainnya sehingga sebab-sebab akan lebih jelas sesuai dengan budaya yang ada sehingga pencegahan yang dilakukan akan lebih tepat dan akurat.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 2004. Hubungan Antara Kontrol Diri dengan Pola Asuh Demokrasi. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia. Andayani, T. R. 2001. Perlakuan Salah Terhadap Anak dan Tingkat Pendidikan Orangtua. Tesis (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada. Anonim. 2006. Kekerasan Pada Anak (Child Abuse): Sebab, Akibat, dan Solusi. Proceedings Seminar Nasional (tidak diterbitkan). Surakarta: HIMPSI Wilayah Jawa Tengah. Anonim. 2004. Kekerasan pada Anak dan Konsekuensinya. http://www.kompas. com/kompas-cetak/3104/31/jakarta.htm.02/02/2006 Anonim.. 2006. Hentikan Kekerasan pada Anak. http://www.pikiran-rakyat. com/cetak/2006/012006/15/hikmah/utama01.htm. 02/02/2007 Anonim. Stop Eksploitasi Anak. http://www.rakyatmerdeka.co.id/situsberit/ viewgb_foto.php?id=252&page=2&view=view. 02/02/2006 Anonim. Tanpa tahun. Child Abuse Statistics. http://www.yesican.org/stats.html. 02/02/2006 Anonim. 2006. Kekerasan Terhadap Anak Meningkat dari Tahun ke Tahun. www.media-indonesia.com. 02/02/06 Black, D.A. dkk. 1999. Risk Factors for Partner Abuse and Child Maltreatment: A Review of Literature. http://www.nnh.org/risk/newchap8_RiskFactorsfor ChildPhysicalAbuse.htm. 06/12/06. Koentjoroningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Mash, E. J & Wolfe, D. A. 2005. Abnormal Child Psychology Third Edition. USA: Thomson Wadsworth.
18
Sedlar, G & Hansen, D J. 2001. Anger, Child Behavior, and Family Distress: Further Evaluation of the Parental Anger Inventory. Journal of Family Violence, Vol. 16, 4, 361-373. Shehan, C. L. 2003. Marriages and Families 2nd ed. Boston: A&B. Qomariah, S. J. 2001. Hubungan Antara Harga Diri dengan Tindakan Kekerasan Fisik Terhadap Anak. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Rakhmat, J. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.