MYALL CREEK MASSACRE, 1838: TRAGEDI PEMBANTAIAN TERHADAP ABORIGIN OLEH KULIT PUTIH DI DAERAH KOLONI NEW SOUTH WALES, AUSTRALIA Kartika Bahari Kusriyanti
Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok
E-mail:
[email protected]
Abstrak
Pada 10 Juni 1838 terjadi pembantaian 28 orang Aborigin oleh sekelompok kulit putih di Myall Creek, New South Wales. Sejak awal kedatangan kulit putih di Australia, konflik memang seringkali terjadi antara kaum Aborigin dengan pendatang kulit putih tetapi dalam tragedi pembantaian kaum Aborigin di Myall Creek tersebut merupakan pertama kalinya Pemerintah Koloni menjatuhkan hukuman gantung terhadap para pelaku pembantaian. Penelitian ini mencoba untuk mengungkapkan terjadinya pembantaian kaum Aborigin di Myall Creek, kebijakan Pemerintah Koloni terkait pembantaian dan respon masyarakat atas kebijakan yang diterapkan Pemerintah Koloni. Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah yang terdiri dari empat tahapan yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Hasil dari penelitian ini adalah George Gipps, gubernur daerah koloni New South Wales, menerapkan hukuman gantung terhadap orang kulit putih yang membunuh kaum Aborigin sebagai salah satu usahanya untuk menghapuskan sikap rasis kulit putih terhadap orang Aborigin. Respon masyarakat kulit putih atas kebijakan Gipps terpecah antara kalangan mayoritas yang menentang dengan kalangan minoritas yang mendukung kebijakan Gipps.
The Myall Creek Massacre, 1838: The Tragedy of Aboriginal Massacre by White Settlers in New South Wales Abstract On June 10th 1838, there was a massacre of 28 Aborigines by a group of whites in Myall Creek, New South Wales. Since the whites arrived in Australia, it was often a conflict between Aborigines and white settlers. But the massacre of Aborigines at Myall Creek was the first time since Government Colonies gave the trial and sentence to death for the perpetrators of the massacre. This research attempts to reveal the Aboriginal massacre at Myall Creek, Colony Government policies related to the massacre and the public responses to government policies. This research using historical methods which consist of four steps: heuristic, critic, interpretation and historiography. The result of this research is George Gipps, the governor of the colony of New South Wales, applied death penalty to white people who killed the Aborigines as one of his efforts to abolish the white racist attitudes towards Aborigines. Response of the whites at the discretion of the Gipps torn between majority that opposed the policy and the minority that supported Gipps.
Myall Creek..., Kartika Bahari Kusriyanti, FIB UI, 2013
Keywords: Aboriginal, white settlers, Myall Creek, massacre, New South Wales
Pendahuluan Orang-orang Eropa menginjakkan kakinya untuk pertama kali di Australia pada tahun 1788. Australia yang merupakan benua dengan luas 7,7 juta kilometer persegi bukanlah hamparan bumi yang hampa manusia. Pada saat itu di sana sudah ada sekitar 300.000 penduduk asli yang kemudian diberi nama “Aborigin” (Crowley 1980: 578). Istilah ini berasal dari bahasa Latin: ab origine. Artinya “sedari mula” atau “sejak awal”. Sementara kata “Aboriginal” digunakan di Inggris sejak abad ke-17 yang memiliki arti “pertama atau yang paling awal dikenal, berasal dari.” Australia mulai menggunakan kata “Aboriginal” untuk menyebut penduduk aslinya sejak awal tahun 1789. Penduduk asli Australia yaitu Aborigin dan Penduduk Kepulauan Selat Torres merupakan pewaris salah satu tradisi kebudayaan tertua dunia yang masih ada hingga saat ini. Penduduk Australia lainnya adalah migran atau keturunan migran yang tiba di Australia yang berasal dari sekitar 200 negara sejak Inggris mendirikan pemukiman Eropa pertama di Sydney Cove pada tahun 1788. Jumlah penduduk Aborigin mulai merosot drastis sejak kehadiran pemukiman kulit putih di Australia yang ditandai dengan kedatangan armada pertama Inggris pimpinan Gubernur Phillip pada tanggal 26 Januari 1788. Armada pertama tersebut mengangkut 1.487 orang, dimana 759 orang diantaranya merupakan para narapidana (Grolier 1998: 121). Kedatangan armada pertama itu terkait dengan klaim Inggris atas Australia sebagai penal colony-nya yang diperkuat dengan konsep terra nullius yang menyatakan bahwa Australia merupakan wilayah tak berpenghuni. Penal colony merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat yang digunakan untuk mengasingkan para tahanan dan memisahkan mereka dari populasi umum ke sebuah lokasi terpencil di sebuah pulau atau wilayah kolonial yang jauh. Mayoritas orang kulit putih memiliki pemikiran rasis yang menganggap bahwa orang Aborigin tidak akan setara dengan mereka. Pemikiran rasis tersebut tidak lepas dari munculnya konsep savage yang menyatakan bahwa orangorang Aborigin merupakan sekumpulan manusia yang masih belum beradab. Kata “savage” mengacu pada gambaran mental orang-orang Eropa yang liar, penyembah berhala, tidak beradab yang suka membunuh, kanibalisme dan sebagainya. Bagi orang kulit putih, orang-orang Aborigin diasumsikan sebagai orang yang liar (wild), kotor (dirty), berubah-ubah (fickle), memiliki intelijensi yang rendah (of low intelligence), curang (treacherous), kejam (murderous) dan agresif (aggressive). Konsep tersebut kemudian semakin diperkuat dengan adanya teori Great Chain of Being yang menempatkan orang-orang Aborigin pada rantai kehidupan manusia yang paling bawah, dan sejajar dengan orang-orang negro yang dianggap memiliki hubungan darah dengan kera-kera Afrika (Reynolds 1982: 47). Akibatnya orang-orang kulit putih pun memandang rendah orang-orang Aborigin dan memperlakukan mereka layaknya hewan semacam dingo. Dingo atau warrigal, Canis lupus dingo, adalah tipe anjing liar. Dingo umumnya dideskripsikan sebagai anjing liar Australia, tetapi tidak berasal dari Australia. Dingo modern dapat ditemukan di Asia Tenggara dan di Australia, terutama di utara. Mereka memiliki ciri umum seperti serigala dan anjing. Nama dingo berasal dari bahasa Eora orang Aborigin yang merupakan penduduk asli daerah Sydney (McLaren 1983: 18). Pada tahun 1838, 28 orang Aborigin dibantai di Myall Creek, New South Wales. Diantara semua pembantaian Aborigin Australia, peristiwa di Myall Creek berbeda dengan kasus pembantaian Aborigin yang lain. Salah satu perbandingannya ialah peristiwa pembantaian Aborigin di Waterloo Creek yang terjadi pada tanggal 26 Januari 1838. Pada peristiwa Waterloo Creek, sekelompok orang kulit putih membantai sekelompok besar Aborigin (dilaporkan hingga seratus orang Aborigin) yang sedang berkemah di sebuah laguna yang dikenal dengan nama Waterloo Creek. Tidak diberikan hukuman terhadap pelaku pembantaian dengan alasan tidak adanya bukti pembantaian atas apa yang dilakukan oleh kulit putih. Sedangkan dalam peristiwa Myall Creek terdapat bukti-bukti dan sumber-sumber yang terdokumentasikan dengan baik sehingga kita bisa mengetahui apa yang dilakukan oleh orang-orang kulit putih terhadap suku asli Australia. Pembantaian suku Wirrayaraay Aborigin di Myall Creek, kasus pengadilan yang diadakan, dan digantungnya tujuh pelaku atas tindakan mereka dalam pembantaian tersebut adalah momen penting dalam perkembangan hubungan antara kaum pendatang dengan orang Aborigin. Dihukumnya pelaku pembantaian adalah upaya dari Pemerintah Koloni untuk menegakkan hukum dengan adil demi mengendalikan konflik perbatasan antara pendatang kulit putih dan orang Aborigin. Pembantaian di Myall Creek dalam perjalanan sejarah budaya Australia saat itu adalah pertama kalinya Pemerintah Koloni ikut campur tangan untuk memastikan hukum koloni yang diterapkan sama, baik kepada orangorang Aborigin atau pendatang yang terlibat dalam kasus pembunuhan. Tidak dibedakan hukuman yang dijatuhkan bagi siapa yang bersalah.
Myall Creek..., Kartika Bahari Kusriyanti, FIB UI, 2013
Metode Penelitian Proses penyusunan penelitian ini menggunakan metode sejarah sebagai metode dalam pencarian, pengolahan, serta dalam penyusunan akhirnya. Metode sejarah yang dimaksud meliputi heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Tahap pertama ialah pengumpulan data atau heuristik. Heuristik merupakan tahap dimana seorang penulis harus mencari dan mengumpulkan data-data yang dibutuhkan untuk penelitiannya, data itu berupa sumber primer seperti arsip, surat kabar, dan naskah-naskah dan sumber sekunder seperti buku-buku sejarah. Dalam rangka pencarian data penelitian ini penulis melakukan studi kepustakaan dan pencarian situs-situs resmi yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Studi kepustakaan merupakan salah satu cara untuk menelusuri data, baik primer maupun sekunder yang berupa hasil studi yang sebelumnya pernah dilakukan mengenai pembantaian orang Aborigin di Myall Creek oleh kulit putih. Sumber primer yang penulis gunakan dalam membuat penelitian ini diantaranya adalah kumpulan dari dokumen-dokumen yang telah dibukukan seperti yang terdapat dalam buku A Documentary History of Australia I: Colonial Australia 1788-1840 karya Frank Crowley dan berita dalam surat kabar sezaman yang telah didigitalisasi dalam www.trove.nla.gov.au. Adapun sumber sekundernya ialah berupa buku-buku yang digunakan untuk menunjang penelitian ini. Selain menggunakan buku-buku, penelusuran sumber juga dilakukan dengan memanfaatkan informasi yang terdapat di internet yang berupa jurnal-jurnal dan berita terkait dengan masalah pembantaian Aborigin di Myall Creek. Jurnal-jurnal yang digunakan diperoleh dari http://www.jstor.org. Data-data yang menjadi sumber penelitian ini sebagian besar berasal dari koleksi perpustakaan Universitas Indonesia. Selanjutnya penulis melakukan tahap kritik terhadap sumber yang telah diperoleh. Data-data yang telah terkumpul itu dikritik demi menguji kebenaran data tersebut. Kritik terbagi menjadi dua, yaitu kritik intern yang menyangkut kebenaran isi dari data tersebut, dan juga kritik ekstern yang menyangkut keaslian dokumen yang telah diperoleh. Dalam proses tersebut, penulis mencoba menganalisis kembali sumber-sumber yang telah diperoleh, terutama menyangkut kebenaran sumber tersebut. Penulis juga mencoba untuk melakukan pengujian terhadap data-data yang telah diperoleh untuk mengetahui kredibilitasnya sebagai sumber. Sumber satu dengan yang lain dipastikan kebenarannya dengan jalan membandingkan dengan buku atau sumber lain. Terdapat beberapa sumber yang memuat data-data yang berbeda, terutama mengenai jumlah korban Aborigin dalam pembantaian di Myall Creek. Oleh karena itu, penulis mencoba menggunakan data yang paling relevan dan dapat dipertanggungjawabkan yang terdapat dalam beberapa sumber. Setelah dikritik, tahap selanjutnya dalam metode sejarah adalah interpretasi. Interpretasi merupakan penafsiran terhadap fakta yang ditemukan dalam sumber-sumber. Ini merupakan bagian dari verifikasi atau penyeleksian data agar data yang diperoleh menjadi relevan dengan penelitian yang dibuat. Penulis mencoba mengklarifikasi fakta-fakta yang ada satu sama lain, sekaligus dilihat apakah ada saling keterkaitan antara fakta yang satu dengan yang lainnya. Dalam melakukan interpretasi, penulis juga mencoba meminimalisir subyektivitas penulis terkait topik dalam skripsi ini. Penulis mencoba berada dalam pihak yang netral dan tidak memandang pembantaian dan kebijakan yang diterapkan sebagai suatu hal yang buruk ataupun baik. Tahap terakhir adalah tahap historiografi atau penyusunan sejarah yang didalamnya terdapat metode serta suasana zaman. Pada proses akhir ini penulis merekonstruksi fakta-fakta menjadi sebuah penyusunan sejarah. Faktafakta sejarah yang penulis temukan diseleksi, disusun dan diberi tekanan, lalu ditempatkan dalam suatu urutan kronologi yang sistematis. Penulis menyeleksi dan memberi tekanan pada fakta-fakta yang menggambarkan tragedi pembantaian orang Aborigin oleh kulit putih beserta kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Koloni Inggris dan tanggapan masyarakatnya.
Analisis dan Interpretasi Data 1. Kehidupan Orang Aborigin dan Orang Kulit Putih di Australia 1.1 Suku Aborigin di Australia Menurut sejarawan Australia, Manning Clark, nenek moyang Aborigin pertama kali datang ke Australia sekitar 25.000 tahun sebelum masehi pada zaman glasial (Clark 1963: 13). Menurut asumsi prasejarah, mereka bergerak dari daratan ke daratan, menyinggahi berbagai pulau di Indonesia, mengembara dengan rakit-rakit besar yang sangat bergantung pada angin dan cuaca bagus. Titik pendaratan awal mereka di Australia adalah tempat-tempat yang sekarang berada di sekitar Cape York, Arnhem Land, dan Kimberleys (Reeve 1989: 379). Pemukiman orang-orang Aborigin terbentuk sejak sekitar 50.000 tahun sampai 100.000 tahun yang lalu. Para arkeolog menemukan ratusan situs kehidupan dan berbagai perkakas yang terbuat dari batu. Di sekitar Danau Mungo, New South Wales, ditemukan tanda-tanda kehidupan dari 32.000 tahun yang lalu dan di Keilor, Victoria, muncul tandatanda kehidupan dari sekitar 31.000 tahun yang lampau. Manusia Aborigin yang pertama adalah pemburu-pemburu dan pengembara yang sangat bergantung pada cuaca dan musim tetapi mereka juga sudah pandai membangun bendungan
Myall Creek..., Kartika Bahari Kusriyanti, FIB UI, 2013
sederhana untuk memperlambat arus sungai dan memancing ikannya. Di dataran rendah, mereka mengumpulkan telur emu (sejenis kasuari),udang karang, dan kerang (Reeve 1989: 382). Keadaan Australia yang tidak menawarkan orang-orang Aborigin hewan yang dapat diternakkan ataupun tumbuh-tumbuhan yang dapat ditanam untuk makanan menyebabkan orang-orang Aborigin harus hidup secara seminomadik (Shaw 1954: 21). Akibat kehidupan yang semi-nomadik, mereka pun tidak memiliki rumah tetap dan hanya mendirikan gubuk-gubuk yang terbuat dari lumpur, ranting-ranting ataupun kulit kayu mia-mia/ gunyah (Shaw 1954: 50). Demi mempertahankan hidupnya, mereka pun berburu dan meramu makanan. Umumnya laki-laki Aborigin akan berburu hewan seperti kangguru, wallaby, enchidna, tupai, reptil (seperti ular dan kadal), unggas, lebah dan ikan. Mereka berburu secara berkelompok dengan menggunakan peralatan seperti tombak dan bumerang. Sementara laki-laki Aborigin berburu, para perempuan Aborigin akan mengumpulkan yam, buah-buahan atau sayur-sayuran di daerah pedalaman dengan tongkat penggali. Mereka biasanya dibantu oleh anak-anak yang bertugas mengumpulkan buahbuahan. Berbeda dengan konsep kepemilikan orang-orang kulit putih yang mengedepankan kepemilikan individu, orangorang Aborigin umumnya mengikuti konsep kepemilikan bersama. Mereka juga memiliki pandangan yang berbeda dengan orang-orang kulit putih dalam hal kepemilikan tanah. Bagi orang-orang Aborigin, tanah adalah sumber makanan dan sumber kehidupan spiritualnya, dimana tanah menjadi rumah dari totemnya, bagian dari hasil ciptaan nenek moyangnya dalam Dreamtime dan juga tempat beristirahat rohnya ketika ia meninggal kelak. Hal tersebut jauh berbeda dengan pandangan kulit putih atas tanah, dimana bagi mereka tanah addalah sumber kemakmuran material. Begitu berhasil mendapatkan tanah, mereka akan menggarapnya dan mendapatkan keuntungan dari penggarapan tanah tersebut (Christie 1979: 23). Pada umumnya kehidupan tradisional Aborigin dipengaruhi oleh Dreamtime, yakni suatu kepercayaan mengenai masa penciptaan. Masa penciptaan tersebut adalah masa dimana roh-roh nenek moyang Aborigin menciptakan dunia termasuk di dalamnya bentuk-bentuk tanah, manusia, flora dan fauna, benda-benda langit, musim, adat istiadat, hukum, nyanyian dan upacara-upacara. Pada masa tersebut roh-roh nenek moyang Aborigin merupakan makhluk setengah manusia dan setengah hewan atau tumbuh-tumbuhan. Usai menciptakan dunia dan isinya, mereka pun bertransformasi menjadi objek tertentu seperti pohon, bintang atau batu yang dikenal dengan sebutan “tjuringa.” Objek-objek tersebutlah yang menjadi tempat keramat bagi kelompok Aborigin. Oleh karena roh nenek moyang tidak menghilang begitu saja, melainkan berada di tempat-tempat keramat, maka masa penciptaan tersebut tidak pernah berakhir dan selalu menghubungkan masa lalu dan masa kini. Orang-orang Aborigin memelihara hubungan tersebut dengan melakukan ritual-ritual tertentu. Orang Aborigin Australia pada dasarnya adalah bangsa pengembara, tak pernah menetap di suatu tempat tertentu. Mereka hidup dengan berburu dan mengumpulkan bahan makanan, tidak pernah mengadakan pertanian. Hal inilah yang sering diartikan secara keliru oleh para pendatang kulit putih yang kemudian menganggap orang Aborigin “mandeg dalam keprimitifannya” (Reeve 1989: 381). Orang kulit putih mengukurnya dari kemajuan material mereka sendiri tetapi tidak memperhatikan faktor atau ciri khas orang Aborigin dalam hubungannya dengan alam pemberi kehidupan. Orang Aborigin dikenal dekat sekali dengan alam, bahkan boleh dikata menyatu pada alam sekitarnya. 1.2 Kedatangan Orang Kulit Putih di Australia Orang Inggris pertama yang singgah di Pantai Barat Australia pada tahun 1688 dengan kapal perang Cygnet ialah William Dampier. Ia berkunjung lagi ke benua itu dengan kapal HMS Roebuck pada tahun 1699. Hampir satu abad kemudian, tepatnya 10 April 1770, Kapten James Cook dengan kapal HMS Endeavour tiba di New Zealand di sebelah timur Australia dan pada tanggal 9 April ia mendarat di Tanjung Botany (Reeve 1989: 362). Cook berhasil menemukan dan memetakan seluruh garis pantai di bagian timur benua Australia (Grolier 1998: 142). Pada tanggal 22 Agustus 1770, Kapten Cook memproklamasikan pemilikan seluruh pantai timur Australia dari 38 derajat sampai 10,5 derajat Lintang Selatan atas nama Raja George III (Reeve 1989: 362). Dengan ditancapkannya bendera Inggris di tanah Australia oleh James Cook, ia pun mengklaim hak atas seluruh pantai bagian timur benua Australia yang dinamainya sebagai New South Wales. Saat Kapten Cook kembali ke Inggris dari ekspedisinya pada tahun 1711, Inggris sedang menghadapi masa yang sulit. Revolusi Industri yang terjadi di negara tersebut membuat banyak petani miskin kehilangan tanah mereka, sementara para buruh kehilangan pekerjaan mereka karena adanya penggunaan mesin-mesin baru sehingga tenaga mereka tidak dibutuhkan lagi, akibatnya banyak penduduk Inggris yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hal tersebut akhirnya menyebabkan terjadinya peningkatan tindak kriminal secara drastis di negara Inggris (Reeve 1989: 362). Penjara-penjara di Inggris menjadi penuh sesak dan tidak sanggup lagi menampung tambahan narapidana, akibatnya Inggris mengalami kesulitan untuk mengurangi kepadatan penjara-penjara di negeri itu karena banyaknya para tahanan. Mereka tak bisa lagi dibawa ke Amerika. Amerika menolak menjadi tempat pembuangan narapidana karena negeri itu telah menyatakan kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1776. Inggris pun harus mencari tempat baru untuk menampung narapidananya. Joseph Banks, Presiden Royal Society yang juga merupakan seorang naturalis dalam armada Kapten Cook, mengusulkan agar Inggris mengirimkan narapidananya ke New South Wales. Usulan tersebut juga diperkuat oleh James
Myall Creek..., Kartika Bahari Kusriyanti, FIB UI, 2013
Matra, seorang ahli ekonomi yang juga ikut dalam armada Kapten Cook. Ia mengemukakan bahwa kedudukan New South Wales akan memberikan banyak keuntungan sebagai jalur lalu lintas perdagangan Cina, Jepang dan Korea. Tidak hanya itu saja, New South Wales juga dapat dijadikan pangkalan bagi Angkatan Laut Eropa pada saat keadaan darurat (Madgwlck 1969: 8). Akhirnya Parlemen Inggris pun menetapkan bahwa New South Wales dijadikan sebagai sebuah daerah koloni untuk pembuangan narapidana Inggris pada tahun 1786. Istilah pengiriman narapidana dari Inggris ke Australia tersebut dikenal dengan sebutan transportation (Clark 1973: 88). Kapten Collins, seorang Judge-Advocate mengatakan (Crowley 1980:1), “A fleet of eleven ships into Botany Bay on the eastern coast of Australia between 18 and 20 January 1788. Most of the 1.030 people on board were convicts – 548 men and 188 women who had been sentenced to transportation for various crimes commited in Britain. The British government had thought that it was undesireable and expensive to keep these people in British prisons, and in any case, it could find nowhere else to send them. Criminals previously sentenced to transportation had been sent to the American colonies, but those colonies hhad recently achieved their independence and wanted no more. The convicts were therefore sent to Botany Bay, which was as far away from Britain as it was possible to sail. “ Tahun demi tahun berlalu, pemukiman demi pemukiman berkembang terus ke seluruh penjuru angin, apalagi sejak ditemukannya tambang-tambang emas. Secara lambat laun pula terbentuk koloni-koloni di Australia, yakni New South Wales (1823), Tasmania (1825), Western Australia (1838), South Australia (1842), Victoria (1851), dan terakhir Queensland (1859) (Crowley 1980: 368). 1.3 Hubungan Orang Kulit Putih dengan Kaum Aborigin Pada awal kependudukan, Pemerintah Koloni Inggris tidak memiliki kebijakan khusus terhadap orang-orang Aborigin. Kebijakan hanya didasarkan untuk kebaikan bersama. Gubernur Phillip bahkan diperintahkan untuk membina pergaulan dengan orang-orang Aborigin. Tak hanya itu saja, ia juga diberikan mandat untuk menghukum siapa saja yang berkeinginan untuk menghancurkan orang-orang Aborigin. Tugas lain yang harus diembannya adalah bahwa ia harus mencari tahu berapa jumlah orang-orang Aborigin sehingga Pemerintah Kolonial tahu bagaimana berhadapan dengan orang-orang Aborigin sehingga dapat memberikan keuntungan tertentu pada koloni (Barnard 1966: 651). Akibat persediaan makanan para pendatang kulit putih mulai menipis, sementara pasokan pangan dari Eropa tak kunjung tiba, maka kerusuhan dan kelaparan mulai melanda. Hubungan orang kulit putih dengan Aborigin juga menegang (Reeve 1989: 364). Akhirnya konflik antara kaum Aborigin dengan kulit putih mulai bermunculan. Pertentangan antara kaum Aborigin dengan kulit putih sering diakibatkan karena saling merasa takut, cemas, serta salah paham. Ketika wilayah pemukiman kulit putih dibentuk, konflik sering terjadi karena banyaknya pertempuran kecil mengenai hak kepemilikan lahan. Walaupun tampaknya hanya merupakan perkelahian-perkelahian kecil, hal tersebut mengungkapkan pertentangan pokok antara Aborigin dengan kulit putih mengenai pertukaran dan pembagian wilayah dengan konsep orang kulit putih mengenai hak-milik perorangan. Banyak orang kulit putih dibunuh sebagai pembalasan atas penghinaan atau pelanggaran hukum adat kaum Aborigin (Butlin 1983: 128). Begitu pemukiman kulit putih berkembang, orang-orang Aborigin pun mulai menghadapi berbagai masalah. Lahan mereka dikuasai oleh Kerajaan Inggris dan dibagi-bagikan kepada pemukim kulit putih. Tak ada lahan yang khusus dibagikan untuk orang-orang Aborigin sehingga mereka pun tersingkir ke pedalaman. Tempat-tempat keramat mereka tidak dihargai dan upacara-upacara tradisional mereka menjadi sulit untuk dilaksanakan. Tak hanya itu, mereka bahkan tidak bisa berburu dan meramu makanan seperti biasanya (Shaw 1954: 23). Salah satu cara orang-orang Aborigin mendapatkan makanan adalah dengan menombak hewan-hewan ternak milik kulit putih. Kehadiran industri pastoral yang merajalela di daratan Australia menyebabkan orang-orang Aborigin semakin kesulitan mendapatkan makanannya. Hewan ternak milik squatter, seperti domba dan sapi, menghancurkan yams dan tumbuh-tumbuhan yang menjadi bahan makanan untuk orang-orang Aborigin. Dampak lain dari keberadaan hewan ternak tersebut ialah menyebabkan hewan-hewan buruan Aborigin menjauh. Lubang-lubang air yang penuh dengan ikan, bebek dan belut pun dirusak oleh domba atau dijaga oleh hutkeepers (Christie 1979: 42). Hal-hal tersebut yang menyebabkan orangorang Aborigin membunuh hewan-hewan ternak dan terkadang beserta penggembalanya. Perburuan terhadap orang Aborigin tujuan pertamanya adalah merebut tanah-tanah kaum Aborigin, untuk dijadikan ladang pertanian dan peternakan para pendatang Eropa. Pada awal 1830-an hingga 1880-an, kaum kolonialis Eropa melancarkan apa yang mereka sebut gerakan “pasifikasi”. Tetapi sesungguhnya yang terjadi adalah gerakan penaklukan. Pada 1830, lebih dari 3.000 pendatang Eropa membentuk apa yang mereka sebut Black Line (Garis Hitam). Melalui garis imajiner ini, mereka berjuang untuk mengurung seluruh warga Aborigin Tasmania, dan menggiring mereka ke Semenanjung Tasmania, jauh dari masyarakat pendatang. Pada tahun 1834, Gubernur Stirling, salah seorang anggota Komite Parlemen Inggris memberitahukan bahwa para pemukim di Australia Barat menganggap orang Aborigin sebagai musuh yang sangat kuat, maka tidak ada gunanya untuk membangun pemukiman di wilayah itu dengan jumlah pemukim yang sedikit. Seorang pemukim menyatakan
Myall Creek..., Kartika Bahari Kusriyanti, FIB UI, 2013
pada tahun 1833, ia menyetujui pendapat bahwa seandainya kaum Aborigin setempat memiliki senjata api dan sedikit disiplin, di samping pengetahuan mereka akan wilayah setempat, mereka akan menghancurkan pemukiman orang kulit putih dalam waktu kurang dari sebulan. Dalam bukunya, Frank Crowley menuliskan, “The British government claimed to own the whole New South Wales; it did not acknowledge that the Aborigines had any land rights, and when they retaliated by spearing the whites or setting fire to the countryside, they were hunted down like animals. Since they had no firearms and no knowledge of the methods of modern warfare, and did not live in villages or even in houses, they were quickly overpowered and overrun.” Dari keterangan di atas dapat dikatakan bahwa Pemerintah Inggris mengklaim New South Wales sebagai wilayah mereka. Mereka tidak mengakui hak kepemilikan lahan kaum Aborigin. Ketika kaum Aborigin marah karena lahannnya diambil, kaum Aborigin melakukan pembalasan dengan menusuk orang kulit putih dan membakar desa mereka (kulit putih). Kulit putih pun marah atas tindakan Aborigin. Mereka membalas tindakan kaum Aborigin juga tetapi dengan menggunakan persenjataan modern yang mereka miliki. Karena kaum Aborigin tidak memiliki persenjataan modern dan pengetahuan metode perang seperti yang dipunyai orang-orang kulit putih, maka dengan cepat kaum Aborigin dapat dikalahkan dan dikuasai oleh kulit putih. Berkurangnya jumlah penduduk Aborigin secara drastis selain karena kedatangan kulit putih yang mendatangkan peperangan juga disebabkan oleh penyakit-penyakit baru yang dibawa para pendatang, seperti TBC, flu, cacar, dan sebagainya. Faktor lain yang juga menyebkan berkurangnya populasi penduduk Aborigin adalah terusirnya mereka dari ladang perburuan dan tempat suci mereka. Pihak pendatang lebih kuat dan mereka memutuskan secara sepihak: orang Aborigin harus diubah, tidak hanya kebudayaan material, kepercayaan atau kebiasaan-kebiasaannya tetapi juga dasardasar perekonomian masyarakatnya (Reeve 1989: 383). Begitu orang-orang Aborigin mengenal tempat pemukiman barunya, habislah arti ikatan-ikatan kebiasaannya. Dengan menciutnya lapangan hidup mereka, timbul persaingan antara orang-orang Aborigin sendiri yang sebelumnya tak mereka kenal karena masing-masing telah hidup berkecukupan. 2. The Myall Creek Massacre 2.1 Orang-Orang Aborigin di Myall Creek Umumnya terjalin hubungan yang harmonis antara Wirrayaraay dan kulit putih di stasiun Myall Creek. Dalam situasi serupa pada zaman kolonial dimana Aborigin tinggal di stasiun peternakan domba milik kulit putih, hubungan tersebut melibatkan pertukaran antara perempuan Aborigin dengan perlindungan dan makanan dari kulit putih. Suku Aborigin menjadi tergantung dengan kulit putih, agar mereka bisa memperoleh makanan. Mereka telah diminta untuk menyerahkan tombak mereka dengan alasan keamanan bagi kulit putih, oleh karena itu mereka tidak bisa berburu seperti biasanya dengan hasil buruan yang jumlahnya banyak. Maka untuk mendapatkan makanan, orang-orang Aborigin “meminjamkan” istri dan anak perempuannya untuk mendapatkan makanan dari laki-laki kulit putih (Reynolds 1984: 146). Perlu dicatat bahwa dalam budaya Aborigin ada sikap yang sangat berbeda untuk hubungan seksual dengan yang berlaku di sebagian besar masyarakat. Seorang pria Aborigin kadang-kadang akan “meminjamkan” istrinya untuk pengunjung yang ramah jika istrinya setuju. Hal tersebut merupakan tanda persahabatan dan kemurahan hati. Apa yang menyebabkan banyak terjadinya konflik di perbatasan pada saat itu ialah ketika kulit putih mengambil dan memperkosa wanita Aborigin dengan mudahnya tanpa izin dari wanita Aborigin tersebut. Di Myall Creek ada persetujuan antara pertukaran perempuan Aborigin Wirrayaraay dengan makanan dan perlindungan. George Anderson, seorang convict worker yang menjadi penjaga pondok, diketahui telah memiliki hubungan seksual dengan Ipeta, istri seorang Aborigin. Hubungan antara suku Aborigin dan kulit putih pada umumnya baik, mereka menghabiskan banyak waktu bersama-sama. Kamp Aborigin Wirrayaraay itu berbatasan langsung dengan dua stasiun peternakan lain. Bersama dengan tiga convicts worker dan dua Aborigin pengurus domba, Davey dan Billy. Orang kulit putih sering menghabiskan malam dengan menyalakan api unggun bersama orang Wirrayaraay, menyanyi dan menari sementara Wirrayaraay menghabiskan waktu di sekitar gubuk stasiun. Charley (salah satu pemuda Aborigin) menjadi teman dekat Hobbs, sementara Anderson diberi julukan “Jackey Jackey” oleh Wirrayarray. 2.2 Peristiwa Pembantaian Pada hari Minggu, 10 Juni 1838, sekelompok orang yang terdiri dari sebelas narapidana dan mantan narapidana dipimpin oleh seorang squatter bernama John Fleming, dengan brutal membantai 28 pria, wanita dan anakanak Aborigin yang berkemah di pondok di stasiun peternakan Myall Creek. Sebelumnya pada Sabtu, 9 Juni 1838, Thomas Foster dan William Mace penjaga dari stasiun peternakan terdekat dari Myall Creek, pergi ke Myall Creek untuk “meminjam” beberapa suku Aborigin untuk membantu menguliti ternak mereka di stasiun mereka. Pada saat itu Foster dan Mace tiba di Myall Creek di malam hari dan menjelaskan kepada Kilmeister mereka ingin “meminjam” sekitar empat atau lima pemuda Aborigin untuk membantu menguliti ternak mereka. Keesokan harinya, pada Minggu 10 Juni 1838, Foster dan Mace meninggalkan Myall Creek dengan membawa sepuluh orang Wirrayaraay yang dipimpin oleh King Sandy. Para Aborigin khawatir jika membiarkan anak laki-laki mereka pergi dengan orang asing, sehingga King Sandy dan beberapa orang Aborigin pergi bersama mereka untuk
Myall Creek..., Kartika Bahari Kusriyanti, FIB UI, 2013
menjaga mereka, meninggalkan orang Aborigin yang lain di bawah perlindungan Kilmeister dan Anderson di Myall Creek. Sudah sore hari ketika geng Fleming tiba di punggung bukit di sebelah barat stasiun pondok Creek Myall. Anderson dan Kilmeister berada di gubuk mereka sementara suku Aborigin sedang berkumpul di sekitar api unggun mereka. Kemudian Fleming datang naik sampai ke pondok stasiun menuju kamp Wirrayaraay, suku Aborigin yang ketakutan bergegas pergi ke pondok memohon kepada Anderson dan Kilmeister untuk melindungi mereka. Dua anak laki-laki Aborigin, Johnny dan Jimmy, melompat ke sungai dan bersembunyi. Kilmeister pergi ke luar untuk berbicara dengan Fleming dan gengnya, yang banyak di antaranya adalah orang yang Kilmeister kenal. Anderson menunggu di pintu gubuk dan tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan antara Kilmeister dan kawanan tersebut tetapi tak lama kemudian Kilmeister berjalan pergi untuk mengambil kudanya dan malah membantu kawanan Fleming tersebut (Rosser 1993: 195-208). John Russell mengambil tali dan menambatkan kudanya, kemudian diikuti oleh peternak lain, mereka masuk ke dalam gubuk. Ketika Anderson bertanya apa yang akan ia lakukan, Russell menjawab bahwa ia akan membawa orangorang Aborigin tersebut ke belakang pondok dan menakut-nakuti mereka. Mereka mengatakan, tindakan mereka adalah sebagai pembalasan atas pencurian sapi yang dilakukan oleh orang Aborigin, tetapi mereka tidak berusaha untuk mengidentifikasi setiap individu yang bertanggung jawab atas pencurian tersebut (Rosser 1993: 195-208). Russell dan teman-temannya kemudian memasuki pondok dan mulai mengikat tangan orang-orang Aborigin Wirrayaraay dengan tali seukuran cambuk. Mereka mengumpulkan 28 orang Wirrayaraay Aborigin yang berkemah di daerah tersebut, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Para wanita ketakutan dan anak-anak menangis dan memohon kepada Anderson untuk menolong mereka. Semua orang Aborigin Wirrayaraay diikat dengan tali digiring keluar dari gubuk mereka. Di barisan paling belakang orang-orang Aborigin Wirrayaraay yang terikat, ada seorang gadis kecil yang tidak terikat erat. Saat ia berjalan keluar pondok, Anderson menyambarnya dan menyembunyikannya di balik pintu. Beberapa waktu kemudian, saat matahari terbenam, Anderson mendengar dua suara tembakan. Kelompok kulit putih tersebut menembak dan menebas kepala orang-orang Aborigin Wirrayaraay satu persatu. Proses ini jelas memakan waktu dan satu per satu korban menunggu untuk dibunuh dan dapat dibayangkan teror yang dialami oleh wanita-wanita dan anak laki-laki Aborigin saat mereka menunggu giliran mereka untuk disembelih. Orang-orang kulit putih itu tuli terhadap tangisan korban-korban mereka yang dalam keadaan tidak berdaya dipenggal dan dimutilasi sampai mati. Mereka menjadi mayat tanpa kepala dan kepala mereka dibiarkan jatuh tergeletak begitu saja. Para pelaku pembantaian kemudian mendirikan tenda, mereka kemudian minum-minum dan membual tentang pembantaian yang telah mereka lakukan. Bill Rosser dalam artikelnya mengatakan, ”The initial attack upon the unfortunate blacks came before mid-day. They were overpowered by the white men, roped, and chained together – men, women and children – and marched out some distance from the station and into a holding yard for cattle. There, they were slaughtered in cold blood!” Kawanan kulit putih yang dipimpin oleh Fleming itu hanya menyisakan satu wanita Aborigin untuk mereka bawa pergi pada saat malam hari. Tampaknya wanita Aborigin tersebut terhindar dari kematian hanya untuk memuaskan hasrat seksual kelompok orang kulit putih itu (Reese 1964: 105). Selama beberapa hari berikutnya geng Fleming terus berkeliling mencari Aborigin untuk dibantai. Mereka sangat tertarik untuk mengejar King Sandy yang melarikan diri ke Stasiun McIntyre. Kembali ke sepuluh orang Aborigin yang dipinjam Foster dan Mace untuk membantu mereka menguliti ternak di stasiun mereka. Orang Aborigin tersebut pada malam terjadinya peristiwa pembantaian sedang dalam perjalanan untuk kembali menuju Stasiun Myall Creek. Tiba-tiba dalam perjalanan tersebut mereka melihat sekelompok kawanan kulit putih berkuda membawa senjata, lalu mereka bergegas untuk pergi dan tak kembali ke Stasiun Myall Creek. King Sandy dan Aborigin yang lain telah mengetahui keadaan di Myall Creek, mereka kembali ke McIntyre mencari perlindungan setelah mengumpulkan para korban yang tersisa dari Myall Creek. Dua hari setelah pembantaian Myall Creek, para pembunuh kembali dan membakar tubuh korban mereka. Mereka kemudian pergi lagi untuk mencari sepuluh orang Aborigin yang telah melarikan diri. Mereka menemukan orang-orang Aborigin tersebut pada hari berikutnya dan membunuh sebagian besar dari mereka (Reese 1964: 200). Ketika manajer stasiun peternakan Myall Creek, William Hobbs, kembali dari bepergiannya selama beberapa hari, ia menemukan sekitar 28 tulang belulang yang telah gosong menghitam. Hobbs bertanya kepada George Anderson, seorang penjaga stasiun peternakan sekaligus penggembala yang merupakan prison worker (pekerja dari penjara), apa yang sebenarnya terjadi. Anderson yang pada saat terjadinya peristiwa pembantaian sedang berada di lokasi menceritakan bahwa telah terjadi pembantaian orang Aborigin yang dilakukan oleh sekelompok orang kulit putih dan Charles Kilmeister tremasuk salah satu pelakunya. Mendengar apa yang dikatakan Anderson, Hobbs memutuskan untuk melaporkan kejadian tersebut kepada Kapten Edward Denny Day, seorang Police Magistrate di wilayah Liverpool Plains, NSW. Kemudian Day memutuskan untuk meneruskan laporan Hobbs kepada seorang Sekretaris Kolonial, Edward Deas Thomson, yang kemudian Thomson melaporkan hal tersebut kepada Gubernur Gipps (Clark 1973: 144).
Myall Creek..., Kartika Bahari Kusriyanti, FIB UI, 2013
Gipps kemudian meminta pendapat kepada Jaksa Agung John Hubert Plunkett. Plunkett yang merupakan seorang Jaksa Agung yang menjunjung tinggi asas persamaan hukum, menyarankan kepada Gipps agar menindaklanjuti kasus tersebut, persamaan atas hukum harus diberikan juga kepada kaum Aborigin. Pada bulan Juli 1838, sebulan setelah kejadian, Gipps dengan didukung oleh Jaksa Agung John Plunket memutuskan untuk menyelidiki kasus tersebut. Gubernur Gipps memerintahkan Kapten Edward Day, untuk membentuk tim penyelidik yang bertugas melakukan penyelidikan terhadap dugaan kasus pembantaian itu (Ryan 2008: 2). Para penyelidik meneliti tempat dimana orang-orang Aborigin dikatakan telah dibunuh dan ternyata mereka menemukan banyak tulang belulang hangus, dengan jumlah sedikitnya 20 potongan tengkorak yang berbeda bentuknya. Day hari itu menyimpulkan sedikitnya 27 orang telah tewas di sana. Day kemudian melaporkan kembali kepada Gubernur Gipps pada bulan September 1838, setelah 53 hari melakukan penyelidikan (Clark 1973: 145). 2.3 Proses Pengadilan Surat kabar The Sydney Gazette and New South Wales Advertiser pada 20 November 1838 menuliskan bahwa pengadilan pertama berlangsung pada tanggal 15 November 1838. Kasus Myall Creek tersebut diperdengarkan kepada Ketua Mahkamah Agung New South Wales, James Dowling. Pada pengadilan pertama, sebelas tersangka didakwa atas kasus pembantaian itu. Mereka ialah: Charles Kilmeister, William Hawkins, John Blake, John Johnston, Charles Toulouse, Charles Domba, Edward Foley, James Oates, James Parry, George Palliser, dan John Russell. Dakwaan terhadap mereka berbeda-beda, ada yang sebagai pelaku pembunuhan dengan melakukan pembunuhan dan sebagai otak pembunuhan, ada yang hanya membantu dan bersekongkol satu sama lain dalam pembantaian Aborigin di Myall Creek tersebut. Sidang pertama pada November 1838 itu didasarkan pada bukti yang lemah. Tidak ada orang selain pembunuh yang menyaksikan pembantaian tersebut dan mereka telah membakar tubuh korban sebelum dapat dijadikan sebagai bukti, sehingga atas dasar itu para terdakwa tidak mengaku bersalah. Tetapi ternyata ada seorang penjaga stasiun peternakan sekaligus seorang penggembala yang merupakan prison worker (pekerja dari penjara) yaitu George Anderson, yang menjadi satu-satunya saksi dan ia berkulit putih. Ia merupakan saksi kunci untuk penuntutan terhadap terdakwa. Anderson mengatakan di pengadilan bagaimana 12 orang kulit putih mengikat korban (orang-orang Aborigin di Myall Creek) bersama-sama. Anderson juga mengatakan bahwa anak salah satu pelaku telah menunjukkan kepadanya pedang berlumuran darah yang digunakan untuk membunuh orang Aborigin. Kesaksian Anderson didukung oleh Kapten Day, yang telah melakukan penyelidikan dan bukti forensik yang dikumpulkan di tempat kejadian perkara. Tetapi dengan alasan tidak teridentifikasinya mayat yang telah gosong menghitam tersebut, setiap juri hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk menyatakan terdakwa tidak bersalah. Seperti yang dikutip dalam surat kabar The Australian pada 6 Desember 1838, salah satu juri di persidangan berkata bahwa meskipun ada seorang kulit putih yang bersalah atas suatu pembunuhan, ia tidak bisa menghukum orang kulit putih yang membunuh orang Aborigin. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini, “I look on the blacks as a set of monkeys, and I think the earlier they are exterminated the better. I know well they are guilty of murder, but I, for one, would never consent to see a white man suffer for shooting a black one. “ Berdasarkan keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa pada waktu itu orang-orang kulit putih tidak mengganggap kaum Aborigin sebagai manusia, justru mereka mengganggap kaum Aborigin sebagai monyet yang tidak berharga dan patut dibasmi dari muka bumi. Oleh sebab itu, orang-orang kulit putih tidak rela jika diterapkan keadilan hukum bagi kaum Aborigin. Bagi orang-orang kulit putih, tidak akan pernah terdengar berita orang kulit putih dihukum gantung atas tindakannya membunuh orang Aborigin. Tetapi keadilan Ketua Mahkamah Agung NSW, James Dowling, yang peduli terhadap hukum selalu mengingatkan juri bahwa hukum yang dibuat tidak ada perbedaan antara pembunuhan orang Aborigin dengan pembunuhan orang kulit putih Eropa. Kemudian Jaksa Agung James Plunkett yang tidak puas atas hasil pengadilan pertama meminta waktu untuk mengajukan dakwaan lain di pengadilan kedua dan permintaannya dikabulkan. The Australian pada 6 Desember 1838 juga menuliskan mengenai sidang kedua yang diselenggarakan pada tanggal 29 November 1838 dengan menghadirkan para juri yang berbeda dari sidang pertama. Anderson masih dipanggil sebagai saksi kemudian memberikan bukti berupa pedang yang berlumuran darah yang digunakan untuk membunuh kaum Aborigin. Anderson mengatakan bahwa orang-orang Aborigin di pondok Myall Creek itu berteriak kepadanya untuk meminta bantuan. Dia mengatakan bahwa setidaknya seorang wanita Aborigin ditinggal di pondok karena wanita itu cantik dan kelompok kulit putih itu akan membawa wanita Aborigin tersebut untuk memuaskan hasrat seksual mereka. Ada pula anak kecil Aborigin yang ditinggalkan bersama wanita itu. Anak kecil tersebut berusaha mengikuti ibunya yang diikat dengan korban yang lain, tetapi dicegah oleh Anderson dan Anderson membawa anak itu kembali ke gubuk. Atas hal tersebut, selain tuduhan pembantaian, tuduhan terhadap para pelaku ditambahkan menjadi tindak kekerasan terhadap anak dan wanita (Rosser 1993: 204). Pada tanggal 5 Desember 1838 mereka akan dijatuhi hukuman eksekusi dengan digantung. Para pelaku tersebut yang kemudian dieksekusi di Penjara Darlinghurst, Sydney, adalah: Charles Kilmeister, James Oates, Edward Foley, John Russell, John Johnstone, William Hawkins, dan James Parry (Clark 1963:147). The Sydney Herald pada 7 Desember 1838 menuliskan bahwa keputusan tersebut baru diratifikasi oleh Legislative Assembly (Dewan Eksekutif)
Myall Creek..., Kartika Bahari Kusriyanti, FIB UI, 2013
NSW pada tanggal 7 Desember 1838, dengan Gubernur Gipps yang kemudian mengatakan dalam sebuah laporan bahwa tidak ada keadaan kebal hukum untuk salah satu terdakwa dan tidak bisa dikatakan bahwa salah satu pria lebih atau kurang bersalah daripada yang lain. Pada surat kabar The Australian, 11 Desember 1838, diberitakan bahwa Ketua MA, Dowling, juga menegaskan bahwa pengadilan harus bertindak tegas, sudah saatnya menegakkan pengadilan yang bermartabat dan administrasi peradilan yang benar-benar adil tanpa pandang bulu. Akhirnya berdasarkan saksi dan bukti-bukti yang ada, diputuskan tujuh orang pelaku dihukum mati pada pagi hari tanggal 18 Desember 1838. 3. Pasca Peristiwa: Kebijakan Pemerintah Kolonial dan Respon Masyarakat 3.1 Kebijakan Pemerintah Kolonial Pemerintah Kolonial harus melindungi kulit putih sebagai British Subject, yaitu setiap orang yang lahir di wilayah Kerajaan Inggris dan negara Persemakmuran Inggris, sementara Pemerintah Kolonial juga harus melindungi orang-orang Aborigin sebagai kaum pribumi asli Australia. Kebijakan Pemerintah Pusat Kerajaan Inggris menyatakan usahanya untuk menjaga dan melindungi suku-suku pribumi di daerah koloni Inggris, membuat kaum pribumi menjadi masyarakat yang beradab, dan meng-Kristen-kan mereka agar menjadi masyarakat yang beragama. Pemerintah Kolonial harus tunduk dan patuh kepada Kerajaan Inggris, berlindung dalam keadilan dan hukum Inggris. Sayangnya letak Pemerintah Pusat Inggris jauh dari Australia dan para pejabat lokal di daerah koloni seringkali bertindak sewenang-wenang dan cenderung tidak mematuhi perintah Kerajaan Inggris, seperti terlihat pada kutipan di bawah ini: “There was at least one huge gap between their aspirations and the implication factors of their situation. They wanted to convert the Aborigines in New Holland into English gentlemen. They had some idea of the magnitude of their task, for all the attempts of the predecessors and lead them to the beautiful and voluntary reception of the Christian religion had ended in failure.” (Clark 1963: 104). Dari keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa Pemerintah Pusat Inggris berkeinginan untuk mengubah kaum Aborigin menjadi seperti orang kulit putih dalam hal peradaban. Namun ide tersebut tidak didukung oleh pemerintah di daerah koloni. Hal itu tidak mengurangi usaha dari Pemerintah Pusat Inggris untuk memperhatikan keberlangsungan hidup kaum pribumi, khususnya kaum Aborigin di Australia. Pernyataan dan keputusan terbaik dari kebijakan Inggris untuk NSW adalah mengenai laporan dari Select Committee of the House of Commons di Inggris yang berjanji untuk mempertimbangkan keadaan dan keberlangsungan hidup Aborigin di dalam batas kekuasaan Inggris. Ketua komitenya pada masa itu ialah T. Fowell Buxton. Ia adalah seorang humanis yang ikut berperan dalam reformasi penjara dan menghapus perbudakan di Inggris. Laporan mengenai perlindungan terhadap suku pribumi diterbitkan pada tahun 1836 dan 1837. Laporan tersebut berisi pemikiran Buxton mengenai penegakkan keadilan, jaminan kesejahteraan rakyat pribumi dan diberikannya pendidikan yang memadai. Laporan tersebut berfokus pada keadaan pribumi di Australia, khususnya mengenai perlindungan lahan suku Aborigin sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupannya dengan aman, pendidikan untuk anak-anak Aborigin dan penambahan anggaran dana untuk kegiatan misionaris serta untuk penjaga perbatasan yang tugasnya melindungi Aborigin dari kesewenangan kulit putih. Parlemen menerima laporan dan usulan penting tersebut, yang menurut mereka ideal untuk diterapkan ke dalam administrasi pribumi (Rowley 1970: 23). Pada tahun 1838 Gubernur Sir George Gipps, selaku gubernur yang memerintah New South Wales pada saat itu mengirimkan surat kepada Pemerintah Inggris terkait keputusannya dalam menjatuhkan hukuman gantung kepada kulit putih pelaku pembantaian Aborigin di Myall Creek. Ia mengatakan, bahwa ia menyadari kesulitan yang akan dihadapi dari setiap tindakan dan kebijakan terkait dengan Aborigin. Ia menyadari bahwa tindakannya akan memicu kemarahan masyarakat kulit putih di daerah koloni Australia, apalagi saat itu sering terjadi konflik antara kaum Aborigin dengan kulit putih akibat kaum Aborigin dianggap telah melanggar batas kepemilikan orang kulit putih. Namun Gipps berkeyakinan bahwa penghapusan diskriminasi terhadap ras Aborigin dapat benar-benar dilaksanakan, segala macam cara dapat dilakukan. Gipps siap menghadapi konsekuensinya, walaupun banyak pihak yang meragukan kemampuannya dalam menghentikan konflik antara kulit putih dengan Aborigin (Rowley 1970: 264). Pada saat menerapkan kebijakan tersebut, Gubernur Gipps didampingi oleh Lord Normanby yang bertugas sebagai Sekretaris Gubernur. Kemudian Lord Normanby digantikan oleh Lord John Russell. Sekretaris baru itu juga mendukung Gubernur Gipps agar melanjutkan kebijakannya. “Kau tidak boleh menambah kecemasan Ratu (Pemerintah Pusat) tentang masalah kaum pribumi dari New Holland (nama bersejarah bagi benua Australia. Diciptakan pada tahun 1644 oleh penjelajah Belanda Abel Tasman sebagai Nieuw Holland),” tulisnya. Ia menambahkan bahwa meng-Kristenkan, melindungi dan mendidik kaum pribumi Aborigin adalah sacred duty (tugas suci) (McCulloch 1961: 264). Sembilan bulan kemudian, Gipps merekomendasikan pasukan kecil untuk melindungi misionaris dan pribumi, serta mendesak diadakannya pelatihan untuk anak-anak Aborigin. Ia juga mengusulkan penyediaan dana untuk program Aborigin dan Gipps juga mewajibkan penyerahan laporan tahunan secara menyeluruh mengenai masyarakat Aborigin. Kebijakan yang diterapkan oleh Gipps setelah kasus pembantaian terhadap orang-orang Aborigin di Myall Creek adalah masyarakat Aborigin dapat diterima menjadi saksi di pengadilan untuk memberikan kesaksian mereka dalam
Myall Creek..., Kartika Bahari Kusriyanti, FIB UI, 2013
suatu kasus karena Gipps melihat bahwa masyarakat Aborigin juga memiliki hak hukum yang sama seperti yang dimiliki oleh kulit putih. Gipps juga berupaya menerapkan sistem pajak bagi kulit putih atas tanah yang mereka tempati dan pemukim kulit putih harus membayar biaya kepemilikan lahan, agar mereka tidak seenaknya saja mengambil lahan yang bukan milik mereka. Pajak atas lahan yang dibayarkan oleh penduduk kulit putih akan digunakan untuk membiayai polisi yang bertugas menjaga keamanan di wilayah perbatasan (Crowley IV 1980: 552). Kebijakan tersebut merupakan penyebab utama ketidakpopuleran Gipps bagi mayoritas masyarakat kulit putih karena salah satu tujuannya untuk melindungi wilayah masyarakat Aborigin (Rowley 1970: 38). 3.2. Respon Masyarakat Mayoritas masyarakat kulit putih di New South Wales secara tegas menolak untuk menerima keputusan hukuman terhadap orang kulit putih pelaku pembantaian orang-orang Aborigin di Myall Creek. Bagi mayoritas masyarakat kulit putih, orang Aborigin tidak lebih dari monyet yang belum menjadi manusia sempurna secara utuh sehingga kaum Aborigin bukanlah manusia yang patut dibela (Crowley 1974: 118). Selain itu mereka juga beranggapan bahwa kaum Aborigin hanyalah ‘black vermin’ (hama hitam), seperti yang terlihat dalam kutipan di bawah ini: “Angry controversy broke out throughout the Colony. Most people claimed that the life of a white man was more important than that of a black man and therefore, the convicted men should not be hanged but, in spite of public opinion, the seven men were, indeed, hanged. The sentence was carried out on the morning of the 18th December 1838. Before plunging to their deaths, the men made no admissons, as was thought likely. This case and its penalty created a tremendeous uproar. The white populace bitterly resented the fact that white men were hanged for merely killing ‘black vermin’.” (Rosser 1993: 204). Dari keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa masyarakat kulit putih tidak menyetujui atas hukuman yang diberikan kepada pelaku pembantaian. Kebijakan Gubernur Gipps menimbulkan reaksi kemarahan di seluruh wilayah koloni. Menurut kulit putih, nyawa orang kulit putih lebih berharga daripada orang Aborigin yang diibaratkan sebagai ‘hama hitam’. Selain penolakan masyarakat kulit putih terhadap kebijakan George Gipps atas dijatuhkannya hukuman gantung kepada kulit putih yang melakukan pembantaian terhadap kaum Aborigin, penolakan juga terjadi dalam Legislative Assembly (Dewan Legislatif). Pada akhir Desember 1838, L.A. NSW mendesak Gipps agar menghapus kebijakan mengenai diterimanya pengakuan kesaksian dari kaum pribumi Aborigin dalam proses hukum. Karena dua hambatan yang paling berat dalam menerima saksi dari Aborigin adalah “bahasa dan agama atau ketidaktahuan mereka akan Tuhan,” sebab setiap saksi di pengadilan akan diminta sumpahnya atas nama Tuhan bahwa kesaksian yang mereka berikan adalah benar, sedangkan tidak semua Aborigin mengenal Tuhan. Kendala bahasa juga menjadi permasalahan yang berat, karena kesaksian dari Aborigin harus dapat dimengerti dengan baik oleh pengadilan agar tidak terjadi perbedaan pemahaman, tetapi bahasa Aborigin tidak sepenuhnya dimengerti oleh pihak administrasi Pemerintah Kolonial (McCulloch 1961: 264). Dalam kasus Myall Creek, mereka yang mendukung eksekusi terutama adalah juru bicara kelompok agama dan kemanusiaan di NSW. Mereka merupakan kelompok minoritas yang berpengaruh dan pandangan mereka juga dipublikasikan dalam beberapa surat kabar. The Monitor, The Australian, dan The Gazette beberapa kali menerbitkan tulisan dari kalangan yang mendukung eksekusi terhadap pelaku pembantaian orang Aborigin di Myall Creek (Rowley 1970: 37). Sedangkan mayoritas pemukim kulit putih yang menolak eksekusi tidak terkesan dengan segala macam kebijakan Aborigin yang diterapkan oleh Gipps. Bagi mereka, seluruh kebijakan tersebut adalah seperti kebijakankebijakan lain yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kerajaan Inggris. Kebijakan yang mereka buat terlihat tidak berguna dan hanya menghabiskan uang saja. Menurut mereka tidak ada seorangpun warga kulit putih yang ingin membina perdamaian dengan kaum Aborigin. Ketika kaum Aborigin mencuri barang persediaan atau melempar obor ke atas jerami dan lahan mereka, walaupun hukum melarang mereka membunuh orang Aborigin secara langsung dan terangterangan, bagaimanapun juga mereka akan membalasnya dengan menaruh racun ke dalam tepung yang akan diberikan kepada orang Aborigin (Clark 1973: 96) Kebijakan Gipps mendapatkan banyak respon, salah satunya dari surat kabar. Reaksi surat kabar dalam menanggapi kebijakan mengenai Aborigin pada masa Gubernur Gipps mewakili pendapat dan perasaan dari mayoritas orang kulit putih yang menolak untuk menjaga perdamaian dengan orang Aborigin. Opini editorial pada surat kabar umumnya hanya memiliki sedikit simpati untuk orang Aborigin yang membutuhkan perlindungan (McCulloch 1961: 267). Surat kabar The Sydney Herald pada tanggal 5 Juli 1839 mengambil kesimpulan bahwa orang kulit putih lah yang membutuhkan perlindungan hukum, bukan orang Aborigin. Seperti yang terlihat dalam kutipan di bawah ini:
Myall Creek..., Kartika Bahari Kusriyanti, FIB UI, 2013
“Protection and responsibility are reciprocal. Those who claim the protection of society must respect the ordinances of society else there is no reciprocity no mutuality of obligation. Such, we contend, is the present relative position of the black and white population in this Colony. The whites can be made amenable to the law, the blacks cannot; therefore, although in theory the laws are equal, in fact they are not so. The "black" sentimenialisls rely upon assertion and assumption; we rely upon notoriously proved facts while they drivel over the wrongs of the blacks, we remind them of the destruction of our property, and the massacre of our servants when they declaim of outrages committed on the blacks.” Berdasarkan keterangan di atas dapat dikatakan bahwa orang kulit putih mengganggap orang Aborigin tidak mengerti hukum yang diterapkan atas mereka (orang Aborigin) karena orang Aborigin akan tetap bertindak berdasarkan pernyataan dan asumsi mereka sedangkan orang kulit putih bertindak berdasarkan data dan fakta. Atas dasar tidak mengertinya orang Aborigin terhadap hukum yang berlaku, maka menurut orang kulit putih, mereka (kaum Aborigin) akan tetap melakukan perusakan terhadap lahan kepemilikan orang kulit putih dan orang kulit putih akan membunuh kaum Aborigin sebagai pembalasannya. Sedangkan The Australian pada tanggal 22 November 1838 memperlihatkan sikap yang cenderung simpati terhadap kaum Aborigin: “The aborigines are subject to the laws of the country, which we apprehend are sufficient to protect every on, both whites and blacks. It cannot be expected that every person who wanders into the interior in search of pasture for his flocks and herds is to be protected by an armed force.” Berdasarkan keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa orang Aborigin dan kulit putih sama-sama dilindungi di dalam hukum. Sehingga ketika orang kulit putih mengembara ke pedalaman untuk mencari ternaknya tidak perlu dengan membawa senjata karena hal itu dapat memicu kecurigaan bagi kaum Aborigin, sebab bisa saja senjata tersebut digunakan untuk membunuh orang Aborigin yang mereka (orang kulit putih) temui dalam perjalanan. Lain halnya dengan The Sydney Monitor pada tanggal 24 Desember 1838 yang menurut Samuel Clyde McCulloch bersikap netral. Surat kabar tersebut melaporkan kemarahan kaum Aborigin terhadap pemukim kulit putih, tetapi juga menyayangkan pembalasan orang kulit putih terhadap kaum Aborigin yang berlebihan. 3.2.1 Pembangunan Tugu Peringatan Myall Creek Inisiatif untuk mendirikan sebuah peringatan Myall Creek Massacre dimulai sejak awal tahun 1965. Pada bulan Januari 1965, Len Payne, seorang sejarawan humanis, warga Kota Bingara, mengusulkan pendirian sebuah Memorial (monumen) untuk menghormati kaum Aborigin yang meninggal karena pembantaian yang dilakukan oleh kulit putih. Bingara Advocate memuat artikel dari Payne yang berjudul “Memorial to be erected at Myall Creek (Monumen yang akan Didirikan di Myall Creek).” Artikel tersebut menggambarkan keinginan Payne untuk membangun sebuah memorial yang akan dibangun dengan menggunakan engsel dan rel dari stasiun peternakan di Myall Creek. Monumen itu akan mengambil bentuk gerbang simbolis berupa sebuah tiang beton di situs terjadinya pembantaian di Myall Creek. Namun usulan Payne ditolak oleh mayoritas masyarakat Bingara dengan alasan bahwa ide Payne tersebut tidak masuk akal dan merupakan penghinaan terhadap warga Bingara. Walau idenya ditolak mayoritas masyarakat kulit putih Kota Bingara, Payne tidak pernah kehilangan harapan bahwa suatu hari, tugu peringatan akan dibangun. Setiap tanggal 10 Juni, Payne bersama orang-orang yang memiliki rasa simpati terhadap kaum Aborigin, meletakkan karangan bunga di lokasi kejadian pembantaian di Myall Creek. Ia setiap tahun terus mengunjungi situs bekas lokasi pembantaian tersebut sampai kematiannya pada tahun 1994. Pada tanggal 10 Maret 1999, keturunan Aborigin yang leluhurnya dibantai di Myall Creek, memberikan dukungan mereka secara penuh atas proyek dibangunnya sebuah memorial Myall Creek yang akan melibatkan semua warga, baik pribumi atau non-pribumi. Keputusan atas pertemuan pada hari itu adalah dibangunnya situs peringatan tragedi Myall Creek. Telah diputuskan juga bahwa tujuan didirikannya monumen adalah untuk mendamaikan orangorang Aborigin dan non-Aborigin. Kata-kata dan karya seni yang akan dicantumkan dalam memorial dibahas dan direncanakan bersama serta dipublikasikan juga buku mengenai sejarah pembantaian Aborigin yang dilakukan oleh kulit putih. The Myall Creek Memorial terletak di utara New South Wales antara kota Bingara dan Delungra. Tugu peringatan tersebut terdiri dari batuan, granit tunggal besar yang terletak di sebuah jalur yang mengarah dari jalan setapak ke situs fitur tujuh plakat yang menjelaskan secara singkat sejarah pembantaian, didirikan di bukit yang menghadap ke lokasi pembantaian di Myall Creek. Karya ini dibuat oleh Colin Isaacs, seorang seniman asal Sydney. Di dalam memorial ini terdapat nama-nama korban, korban selamat dan pelaku kekerasan sebagai suatu tindakan rekonsiliasi yang memiliki implikasi bagi seluruh masyarakat Australia. Pada 10 Juni setiap tahunnya upacara peringatan diadakan di situs tersebut. Pada tanggal 7 Juni 2008, 170 tahun setelah peristiwa pembantaiaan kaum Aborigin oleh kulit putih, Myall Creek Massacre terjadi, Menteri Kebudayaan Federal, Peter Garrett menyatakan Myall Creek Memorial sebagai cagar budaya dan situs warisan resmi nasional. Myall Creek Memorial bergabung sebagai tempat ke-79 yang disertakan dalam daftar warisan nasional dilindungi, bersejarah dan memiliki nilai adat warisan yang luar biasa untuk bangsa Australia.
Myall Creek..., Kartika Bahari Kusriyanti, FIB UI, 2013
Kesimpulan Salah satu insiden yang terkenal dalam konflik antara kaum Aborigin dengan pendatang kulit putih adalah Myall Creek Massacre yang terjadi pada tahun 1838. Pada bulan Juni 1838, mencuat peristiwa pembunuhan terhadap orangorang Aborigin yang fenomenal di Myall Creek, New South Wales. Pada peristiwa tersebut, 28 orang Aborigin diikat dan dikepung oleh sekelompok penggembala yang hampir seluruhnya merupakan convicts dan mantan narapidana. Orang-orang Aborigin tersebut ditikam tubuhnya, ditebas kepalanya sampai mati, setelah itu mayat mereka dibakar. George Gipps, sebagai Gubernur New South Wales pada saat terjadinya kasus pembantaian Aborigin di Myall Creek menerapkan kebijakan yang cenderung melindungi kaum Aborigin dan menghapuskan rasisme terhadap mereka. Seperti yang terlihat pada kasus pembantaian di Myall Creek, Gipps menjatuhkan hukuman gantung terhadap para pelaku pembantaian tersebut. Keputusan Gipps mengenai hukuman gantung terhadap kulit putih menjadi kebijakan yang pertama kali diterapkan oleh Pemerintah Kolonial atas warga kulit putih yang membunuh kaum Aborigin. Namun respon masyarakat atas kebijakan tersebut beragam. Di beberapa wilayah, minoritas warga kulit putih mendukung kebijakan Gipps. Tetapi di lain pihak, beberapa laporan mengenai kekejaman berdarah antara kulit putih dengan Aborigin masih berlangsung. Pengeksekusian terhadap para pembunuh orang-orang Aborigin di Myall Creek mengakibatkan para pemukim kulit putih lainnya semakin gencar menyerang orang-orang Aborigin. Mereka tidak membunuh orang-orang Aborigin secara langsung dengan menggunakan senjata karena adanya kebijakan dari Gubernur Gipps mengenai larangan membunuh orang Aborigin, tetapi yang mereka lakukan adalah dengan cara memberikan upah (atas pekerjaan yang telah orang-orang Aborigin kerjakan) berupa tepung yang sudah dicampur racun dan rum alkohol kepada kaum Aborigin. Sehingga orang-orang Aborigin akan mati keracunan dan generasi kaum Aborigin akan rusak karena bahaya alkohol. Dari penelitian ini, dapat dilihat bahwa sikap masyarakat kulit putih terhadap kaum Aborigin terpecah. Ada masyarakat minoritas kulit putih yang mendukung perdamaian dengan kaum Aborigin dan ada masyarakat mayoritas kulit putih yang tidak mendukung tindakan tersebut karena pemikiran rasis mereka. The Myall Creek Memorial menjadi sebuah tugu peringatan yang dibangun oleh penduduk kulit putih yang peduli terhadap kaum Aborigin. The Myall Creek Memorial didirikan atas hasil konferensi tentang rekonsiliasi terhadap kaum Aborigin pada tahun 1998. Hasil konferensi tersebut memutuskan untuk mendirikan sebuah monumen permanen tentang peringatan tragedi pembantaian orang-orang Aborigin di Myall Creek. Para peserta konferensi merasa bahwa 'sejarah buruk' harus diakui bersama dengan baik, mereka menyadari pentingnya mengetahui sejarah yang benar dari pribumi Australia dan perjuangannya sejak invasi pendatang kulit putih ke Australia. Daftar Acuan 1. Arsip yang telah dipublikasikan dalam buku Clark, C.M.H. (1973). A History of Australia III: The Beginning of an Australian Civilization 1824-1851. Victoria: Melbourne University Press. Crowley, Frank. (1980). A Documentary History of Australia I: Colonial Australia 1788-1840. Victoria: Thomas Nelson Australia Pty Ltd.. Crowley, Frank. (1980). A Documentary History of Australia IV: Colonial Australia (1900-1939). Victoria: Thomas Nelson Australia Pty Ltd. 2. Arsip yang telah dipublikasikan secara online The Australian, “Law – Supreme Court,” 27 November 1838, dalam www.trove.nla.gov.au, diakses pada 24 Maret 2013. The Australian, “Law – Supreme Court,” 06 Desember 1838, dalam www.trove.nla.au, diakses pada 24 Maret 2013. The Australian, ”Law – Supreme Court”, 11 Desember 1838, dalam www.trove.nla.gov.au, diakses pada 23 Maret. The Sydney Gazette and New South Wales Advertiser, “Supreme Court – Criminal Side,” 20 November 1838, dalam www.trove.nla.gov.au, diakses pada 23 Maret 2013. The Sydney Herald, “Law Intelligence,” 07 Desember 1838, dalam www.trove.nla.gov.au, diakses pada 23 Maret 2013. 3. Buku
Myall Creek..., Kartika Bahari Kusriyanti, FIB UI, 2013
Armitage, Andrew. (1995). Comparing the Policy of Aboriginal Assimilation: Australia, Canada and New Zealand. Vancouver: UBC Press. Barnard, Marjorie. (1966). A History of Australia. New York: Frederik A. Praeger Inc. Butlin, Noel. (1983). Our Original Aggresion: Aboriginal Populations of Southeastern Australia 1788 – 1850. Sydney: George Allen& Unwin. Christie, F.M. (1979). Aborigines in Colonial Victoria 1855-1886. Sydney: Sydney University Press. Clark, Manning. (1963). A Short History of Australia. Australia: Tudor Distributor Pty Ltd. Crowley, Frank. (1974). A New History of Australia. Melbourne: William Heinemann Australia Pty Ltd. Kitley, Philips, Chauvel, Richard, Reeve, David (ed.). (1989). Australia di Mata Indonesia: Kumpulan Artikel Pers Indonesia 1973-1988. Jakarta: PT. Gramedia. Madgwlck, R.B. (1969). Immigration into Eastern Australia 1788-1851. Sydney: Sydney University Press. McLaren, John (ed.). (1983). A Nation Apart. Melbourne: Longman Cheshire Pty. Reese, Trevor R. (1964). Australia in the Twentieth Century: A Political History. Melbourne: F. W. Cheshire. Reynolds, Henry. (1984). The Other Side of the Frontier: Aboriginal Resistance to the European Invasion of Australia. Victoria: Penguin Books Australia. Rowley, C.D. (1970). The Destruction of Aboriginal Society. Canberra: Social Science Research Council of Australia. Shaw, A.G.L. (1954). The Story of Austarlia. London: Faber and Faber Limited. ____. (1998). Negara dan Bangsa: Asia, Australia, Selandia Baru, Oseania, Eropa. Edisi ke-1, vol. 4. Jakarta: Grolier Internasional. 4. Artikel, Hasil Penelitian dan Karya Ilmiah yang telah dipublikasikan Rosser, Bill. (1993). “Aboriginal History in the Classroom.” History Workshop, No.36, Colonial and Post-Colonial History: 195-208, diakses pada 7 Mei 2013 dalam http://www.jstor.org/stable/4289258 McCulloch, Samuel Clyde. (1961). “Sir George Gipps and Eastern Australia'a Policy Toward the Aborigine 1838-46.” The Journal of Modern History 33: 261-269, diakses pada 26 Februari 2012 dalam http://www.jstor.org/stable/1876136. Ryan, Lyndall. (2008). ““A Very Bad Business”: Henry Dangar and the Myall Creek Massacre 1838.” University of Newcastle.
Myall Creek..., Kartika Bahari Kusriyanti, FIB UI, 2013