1 Strategi Pemberian Pakan Berkualitas Rendah (Jerami Padi) Untuk Produksi Ternak Ruminansia Oleh Djoni Prawira Rahardja Dosen Fakultas Peternakan Unhas
I. Pendahuluan Ternak menggunakan komponen zat-zat gizi untuk memenuhi kebutuhan mempertahankan kondisi normal tubuhnya, pertumbuhan jaringan tubuh, berproduksi dan bereproduksi. Produk-produk ternak, seperti daging, susu, telur dan hasil-hasil ikutan lain, pada dasarnya merupakan hasil dari serangkaian proses yang kompleks, mulai dari proses pencernaan sampai metabolisme zat-zat gizi, yang mengakumulasikan protein, karbohidrat, lemak dan mineral pada jaringan-jaringan tubuh. Laju akumulasinya menentukan jumlah produk yang dibentuk dan komposisi atau kualitas dari produk tersebut ditentukan oleh laju akumulasi dari masing-masing komponennya selama waktu tertentu. Produksi daging identik dengan pertumbuhan jaringan pada ternak muda yang bertumbuh. Protein, karbohidrat dan lemak berakumulasi pada jaringan-jaringan dengan laju yang sama dengan perbedaan antara laju sintesis dan katabolismenya. Pada keadaan normal, laju akumulasi lebih sedikit dibandingkan laju sintesis ataupun laju katabolismenya. Komponen-komponen organik pada susu dan telur berakumulasi pada laju yang sama dengan laju sintesisnya karena produk-produk tersebut merupakan produk sel yang langsung diekskresikan oleh sel yang bersangkutan dan tidak mengalami proses katabolik. Tenaga yang dibutuhkan untuk mengendalikan rangkaian proses sintesis tersebut berasal dari energi yang dibebaskan oleh proses oksidatif dalam sel-sel. Laju akumulasi vitamin dan mineral mempunyai nilai yang penting yang menentukan kualitas dari produk-produk ternak, akan tetapi memberikan pengaruh yang terbatas terhadap kuantitas produk. Neraca vitamin dan mineral mempengaruhi jumlah produk secara tidak langsung, karena metabolisme protein, karbohidrat dan lemak banyak bergantung pada kehadirannya. II. Sistem Pencernaan dan Metabolisme pada Ternak Ruminansia Mikroba memiliki kemampuan untuk fermentasi komponen-komponen pakan, termasuk karbohidrat dan protein menjadi asam-asam organik yang sederhana, yang umumnya dikenal sebagai Volatile Fatty Acid (VFA) atau asam lemak volatil (asam asetat, propionat dan butirat).
2 Karbohidrat dalam material hijauan, seperti selulosa dari serat kasar, pati dari bijibijian atau gula dari molases, semuanya difermentasi menjadi VFA dalam rumen, menjadi komponen yang larut seperti protein. Energi yang dilepaskan dalam proses fermentasi digunakan oleh mikroba untuk kepentingan tubuhnya. VFA adalah zat-zat gizi utama produk fermentasi sebagai sumber energi utama untuk kebutuhan induk semang. Dalam usus halus, proses pencernaan sisa-sisa mikroba yang mati merupakan sumber dari sebagian protein yang dibutuhkan induk semang. Hal yang lebih kompleks yaitu berkaitan dengan protein dalam pakan. Sebagai contoh, jika protein dalam pakan memiliki kelarutan yang tinggi, maka melalui proses yang sama dengan fermentasi karbohidrat, protein tersebut akan mengalami fermentasi dalam rumen dan menghasilkan VFA dan amonia. Di lain pihak, jika protein dalam pakan memiliki tingkat kelarutan rendah, maka protein tersebut relatif tidak mengalami perubahan ketika melalui rumen (by pass) dan memasuki bagian saluran pencernaan selanjutnya, sampai kemudian memasuki usus halus dimana proses penguraian enzimatis oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh ternak sendiri. Protein yang yang bergerak sampai di bagian usus halus dan terhindar dari fermentasi rumen dikenal sebagai “by pass protein”, dan ketika dihidrolisa dalam usus halus menjadi asam-asam amino yang tersedia bagi ternak. Selanjutnya, melalui proses absorbsi (sistem transport aktif), asam-asam amino tersebut menjadi tersedia untuk sintesa protein tubuh. Pakan bagi ternak ruminansia hendaknya mempertimbangkan kehadiran 2 sistem yang membutuhkan zat-zat gizi dan harus diberikan pada saat yang sama. Kedua sistem tersebut yaitu sistem mikroba yang tinggal dalam rumen-retikulum dan yang mencerna zatzat gizi dalam material pakan pencernaan fermentasi dan sistem ternaknya sendiri, yang menggantungkan sebagian besar kebutuhan hidupnya pada produk pencernaan fermentasi dan zat-zat gizi yang “by pass” dari proses fermentasi. III. Tiga Pendekatan Pemberian Pakan untuk Ternak Ruminansia Untuk memenuhi kebutuhan 2 sistem yang sekaligus hadir dalam tubuh ternak ruminansia, maka paling tidak ada tiga pendekatan yang selayaknya dipertimbangkan dalam pemberian pakan pada ternak ruminansia. 1. Pendekatan Pertama Pertumbuhan mikroorganisme dalam rumen membutuhkan suplai nitrogen (amonia) yang cukup. Sebagai sumber nitrogen dapat berasal dari 1) protein pakan, 2) suplementasi non protein nitrogen (npn) dalam pakan (seperti urea, feses unggas) dan 3)
3 pengembalian substansi N-organik endogen terutama melalui sekresi saliva. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah N-endogen yang kembali ke rumen tergantung pada kandungan protein pakan, dan menjadi rendah ketika protein dalam pakan rendah (deficient). Mikro organisme rumen juga memerlukan nutrient lain, dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan kebutuhan amonia. Di antaranya termasuk mikro dan makro mineral, terutama sulfur dan phosphor (Leng, 1992). Level sulfur yang rendah dalam pakan sering kali berakibat hilangnya napsu makan ternak ruminansia, karena mikro organisme rumen tidak dapat mencerna sebagian besar karbohidrat (terutama serat kasar) yang terkandung dalam pakannya. Pendekatan pertama yang perlu dilakukan yaitu ketika pakan kaya karbohidrat (seperti hijauan, biji-bijian dan molases) digunakan, maka untuk kerja fermentasi yang efesien dari mikro organisme rumen diperlukan kecukupan suplai amonia dan sulfur dalam pakan. Amonia dapat dibentuk oleh mikroba rumen dari urea atau NPN lain dalam pakan dan dimanfaatkannya sebagai sumber N untuk pembentukan protein mikroba. Molases sebagai bahan pakan sumber karbohidrat memiliki kandungan sulfur yang tinggi, akan tetapi rendah kandungan N-nya. Sejak 2 dekade lalu, molases (tetes tebu) telah menjadi populer digunakan sebagai bahan pakan ternak ruminansia dan diberikan tercampur dengan dedak dan urea dalam bentuk Urea Molases Multinutrient Block (UMMB). 2. Pendekatan Kedua Berbeda dengan kebutuhan mikro organisme dalam rumen, kebutuhan asam amino ternak ruminansia sendiri bervariasi selama pertumbuhan, tingkat produksi dan reproduksinya. Ternak membutuhkan jumlah asam amino protein yang cukup banyak selama, 1) tahap awal pertumbuhan post natalis, 2) periode akhir kebuntingan (the last trimester) dan 3) selama laktasi. Suplai protein dari hasil proses pencernaan (sebagian besar dihasilkan dari pertumbuhan mikroba rumen), umumnya tidak dapat mencukupi kebutuhan ke tiga periode tersebut di atas, terutama jika jerami (padi) menjadi pakan utamanya. Pada keadaan tersebut, intake zat-zat gizi energi lain berlebihan dibandingkan dengan protein, dan komposisi intake protein terhadap total energi tidak proporsional untuk proses pencernaan yang efesien. Sebagai konsekuensi, intake pakan akan menurun, dan kelebihan energi akan dibuang melalui proses oksidasinya dan menghasilkan panas. Pada kondisi suhu lingkungan yang tinggi (> 28°C), produksi panas akibat ketidak seimbangan pakan, merupakan beban panas yang harus dikeluarkan dari tubuh (efek kalorigenik pakan) dan proses metabolisme menjadi tidak efesien.
4 Pendekatan dalam pemberian pakan untuk produksi ternak ruminansia yang efesien yaitu ternak ruminansia membutuhkan lebih banyak protein dari pada yang dapat disuplai oleh mikro organisme rumen. Sehingga ekstra protein harus disuplai dalam pakannya sebagai “by pass protein”. Suplai by pass protein ini menjadi lebih penting artinya terutama ketika ketika kadar protein pakan rendah, seperti jerami padi. 3. Pendekatan Ketiga Pendekatan ketiga ini berkaitan dengan kebutuhan glukosa pada ternak ruminansia. Hasil-hasil penelitian para ahli menunjukkan bukti bahwa ternak ruminansia memerlukan glukosa dalam seluruh phase kehidupannya dan kebutuhannya itu menunjukkan trend yang sama dengan kebutuhan protein (Preston, 1995). Sebagai konsekuensi sistem pencernaan, ternak ruminansia tidak mengabsorbsi glukosa dan harus mensintesanya dalam jaringan tubuh (terutama hati) untuk kebutuhan yang mutlak dipenuhi. Kadar gula darah normal pada ternak ruminansia bervariasi antara 46 – 60 mg/100 ml. Pada ruminansia yang baru lahir, konsentrasi glukosa menyerupai hewan monogastrik dan secara gradual menurun dengan meningkatnya umur. Glukosa bukan komponen yang esensial, karena dapat disintesa dalam tubuh. Akan tetapi, glukosa adalah esensial karena mutlak diperlukan untuk metabolisme seluler dan juga karena kecukupan prekusor dan kehadiran mekanisme kontrol mutlak diperlukan untuk sintesisnya. Kebutuhan energi tidak dapat dipenuhi semata-mata hanya oleh asam lemak. Glukosa diperlukan paling tidak untuk 5 jaringan tubuh, 1) jaringan syaraf, 2) otot, 3) sintesis lemak, 4) fetus dan 5) kelenjar ambing dan dalam jumlah yang lebih sedikit diperlukan untuk metabolisme dalam testis, ovarium, sel telur, sintesis steroid dan erythrocyt (Riis, 1983). Glukosa dibutuhkan dalam jumlah yang banyak oleh ternak ruminansia untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan tubuh dan pertumbuhan fetus, pertumbuhan jaringan (plasenta, ambing) dan produksi susu. Kebutuhan minimum glukosa yaitu untuk hidup pokok dan jika kandungan prekusor glukosa dalam pakan rendah dibandingkan kandungan zat-zat gizi lain (seperti jerami padi), maka ternak akan menggunakan ketersedian zat-zat gizi keseluruhan secara tidak efesien baik untuk kepentingan produksi maupun hidup pokok. Sebagai konsekuensi, ternak akan tetap mempertahankan konsumsi pakannya dan membakar kelebihan intake energi atau mengurangi intake pakan seperti yang terjadi di musim kemarau. Pembakaran kelebihan intake energi bermanfaat ketika ternak menghadapi cekaman suhu rendah atau musim dingin di daerah subtropis.
5 IV. PENUTUP Ketersediaan jerami padi yang berlimpah di Sulawesi Selatan merupakan peluang untuk meningkatkan produksi ternak ruminansia (sapi kerbau, kambing dan domba). Akan tetapi, kandungan zat-zat gizinya yang rendah menjadi faktor pembatas nilai manfaatnnya. Alternatif pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai manfaat jerami padi ini sebagai pakan dasar ternak ruminansia yaitu 1) melalui perbaikan tingkat kertersediaan zat-zat gizi jerami dengan perlakuan kimiawi atau memanfaatkan kemampuan biodegradasi mikroorganisme, seperti jamur dan bakteria, 2) melalui kerja simbiotik antara mikroba rumen dan ternaknya sendiri sebagai induk semang. Bagi mikroba, zat gizi yang ketersediaannya sering kali menjadi pembatas yaitu amonia (N), sulfur dan posfor. Sedangkan bagi ternak, ketersediaan protein- asam amino dan prekusor glukosa sering kali menjadi pembatas. Secara normal, kerja simbiotik tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan ternak dalam periode pertumbuhan, trimester terakhir kebuntingan dan laktasi. Sehingga, suplementasi dengan bahan-bahan tak terdegradasi (by pass) dalam rumen, terutama protein adalah langkah yang perlu ditempuh, terlebih jika jerami padi menjadi pakan dasarnya.
Daftar Pustaka
Leng, R.A. 1992. Drought Feeding Strategies : Theory and Pactice. The University of New England Printery, Armidale - New South Wales. Preston, T.R. 1995. Tropical Animal Feeding, A manual for research worker. FAO, United Nation, paper 126. Rome. Riis, P.M. (eds). 1983. Dynamic Biochemistry of Animal Production. Elsvier, Amsterdam, Tokyo.