Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Asep Hidayat Henti Hendalastuti Rachmat Atok Subiakto
Penerbit FORDA PRESS 2014
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra Penulis: Asep Hidayat, Henti Hendalastuti Rachmat, dan Atok Subiakto Reviewer: Supriyanto, Agung Endro Nugroho, dan Iskandar Zulkarnaen Siregar Editor: Pujo Setio dan Harisetijono Desain Sampul dan Tata Letak: FORDA PRESS
Copyright © 2014 Penulis Cetakan Pertama, Desember 2014 xviii + 130 halaman; 148 x 210 mm ISBN: 978-602-71770-5-5
Diterbitkan oleh: FORDA PRESS (Anggota IKAPI No. 257/JB/2014) Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat 16610 Telp./Fax. +62251 7520093, Email:
[email protected]
Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh: PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat 16610 Telp. +62251 8633234, 7520067 Fax. +62251 8638111
Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan TAXUS Sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra / oleh Asep Hidayat … [et al.] ; Reviewer: Supriyanto, A.E. Nugroho, I.Z. Siregar. ; Editor: P. Setio, Harisetijono. -- Cet. 1. -- Bogor : FORDA Press, 2014 xviii, 130 hlm. : ill. ; 21 cm. ISBN: 978-602-71770-5-5 1. Taxus – Sumatra – Tanaman obat – Antikanker I. Rachmat, H.H. II. Subiakto, A. III. Judul
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 (1)
Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72
(1)
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2)
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Kata Pengantar Buku ini disusun dengan latar belakang dari catatan sejarah panjang di bidang kehutanan Indonesia atas ketertarikan terhadap sumber daya hutan yang telah sekian lama terfokus hanya pada produk kayu (Wood is a crown of forestry). Nilai-nilai sumber daya hutan lainnya ditempatkan pada strata kedua dan dianggap sebagai produk tambahan atau produk minor hutan (secondary product). Dengan kata lain, ketertarikan dan perhatian terhadap produk hutan bukan kayu (non timber forest product) menjadi terabaikan. Untungnya, ketertarikan dan perhatian atas hasil hutan bukan kayu pada akhir-akhir ini terus meningkat dan mendapat dukungan. Faktor pemicunya adalah meningkatnya kekhawatiran tentang nilai-nilai biodiversitas yang terkandung di dalam hutan akan musnah, berkembangnya mekanisme perdagangan karbon dunia, dan jasa lingkungan dari hutan semakin terasa. Di antara sekian banyak pengelompokan jenis hasil hutan bukan kayu, tumbuhan atau pohon yang memiliki potensi sebagai sumber senyawa aktif obat-obatan (natural product) merupakan salah satu kelompok yang sangat menjanjikan. Sejak ribuan tahun yang lalu sampai dengan sekarang di abad 21, tumbuhan telah dikenal sebagai sumber penting dari berbagai senyawa yang bersifat obat. Lebih dari 100.000 struktur metabolit sekunder yang berbeda satu sama lain teridentifikasi, 80% di antaranya
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
|v
disintesis oleh tumbuhan, dan selanjutnya diekstraksi untuk memenuhi berbagai keperluan umat manusia. Hutan tropis Indonesia merupakan sumber tanaman obat. Namun sayang, potensi tersebut hanya sedikit yang diteliti, digali, dan dimanfaatkan secara optimal. Di negara lain seperti Cina, lebih dari 7.000 spesies tanaman obat sudah terdaftar; Korea telah melakukan standardisasi 530 jenis tanaman obat sejak tahun 1983; dan di Jerman, penelitian dan pemanfaatan obat-obatan dari bahan alam yang biasa disebut phytomedicines sudah jauh lebih maju. Taxus sumatrana atau cemara Sumatra tumbuh di hutan subtropis lembab dan hutan hujan pegunungan pada ketinggian 1.400–2.800 m dpl. Secara alamiah, penyebarannya meliputi Philiphina, Vietnam, Taiwan, Cina, dan termasuk Indonesia. Di Indonesia, T. sumatrana tumbuh secara alami sebagai subkanopi di hutan pegunungan ataupun punggung pegunungan di Sumatra: Gunung Kerinci, Jambi, Kawasan Hutan Lindung Dolok Sibuaton, Sumatra Utara, dan Gunung Dempo, Sumatra Selatan. Genus Taxus merupakan satu-satunya pohon cemara yang penting secara ekonomi. Selama berabad-abad, masyarakat di dunia menggunakan Taxus sebagai bahan baku obatobatan. Genus Taxus menjadi jenis yang sangat fenomenal mulai tahun 1990-an dengan berhasil diidentifikasinya Taxane, senyawa unik yang termasuk golongan diterpenoid. Senyawa ini ditemukan pada seluruh bagian pohonnya; baik pada bagian daun, kulit, akar, maupun biji. Senyawa aktif ini berpotensi sebagai obat antikanker dan memiliki risiko atau efek samping yang kecil. Taxane terbukti efektif
vi | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
dan efisien membunuh sel kanker sehingga dijadikan sebagai obat yang paling populer dan paling dicari di dunia. Kondisi seperti ini secara jelas telah memicu eksploitasi berlebihan, diiringi dengan kerusakan habitat yang menyebabkan penurunan tajam pada populasi Taxus sehingga memicu terbentuknya fragmentasi populasi. Untuk mengontrol status kelestarian terutama dalam mekanisme perdagangannya, genus ini telah masuk ke dalam Appendix II CITES Ann. # 10. Sejarah perkembangan penelitian dan penggunaan genus Taxus di wilayah bumi bagian Utara telah tercatat dengan baik. Sejarah ini dimulai dari penemuan genus Taxus sebagai sumber Taxol, distribusi dan status kelangkaan, proses isolasi dan ekstraksi, pengembangan teknik budi daya dan kultur sel, sampai dengan pemanfaatan kalus dan jamur endofitik sebagai sumber alternatif Taxol. Kondisi yang demikian bertolak belakang sekali dengan T. sumatrana yang hidup dan tumbuh di Indonesia. Jenis ini masih belum populer, baik bagi instansi pemerintah, swasta, maupun masyarakat umum. Oleh karenanya, hal yang wajar apabila sampai dengan saat ini tidak banyak informasi yang dapat kita peroleh; baik dari segi ekologi, silvikultur, maupun aplikasi bioteknologi penggunaan yang dapat menjamin aspek kelestarian jenis ini. Buku ini mencoba memberikan gambaran secara umum tentang genus Taxus; mulai dari pola penyebaran populasi, teknik silvikultur, senyawa aktif Taxol, aplikasi bioteknologi, dan strategi pengelolaan sumber daya
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| vii
genetik; dengan penekanan yang lebih detil pada jenis T. sumatrana yang hidup di Indonesia. Selanjutnya, status riset pada setiap aspek kegiatan diuraikan untuk mempertegas minimnya informasi yang kita miliki sampai saat ini dan memberikan gambaran tentang pentingnya T. sumatrana sebagai sumber hasil hutan bukan kayu, baik dari aspek kelestarian maupun potensinya secara ekonomis. Kami juga berharap bahwa keberadaan populasi T. sumatrana yang terbatas dapat dipertahankan, meskipun ancaman yang besar terjadi pada habitatnya. Bioteknologi merupakan aplikasi teknologi yang memungkinkan kelestarian dan keseimbangan T. sumatrana tetap terjaga di dalam hutan.
Bogor, Desember 2014 Penulis
viii | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
SAMBUTAN KEPALA PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI Hutan memiliki manfaat yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Hampir dapat dipastikan bahwa lebih dari 95% manfaat tersebut berupa hasil hutan bukan kayu, termasuk jasa lingkungan. Manfaat yang besar tersebut masih terabaikan karena kita masih terfokus pada pemanfaatan kayu, yang sebenarnya nilai manfaatnya jauh lebih kecil, yaitu sekitar 5%. Kerusakan hutan sebenarnya telah dimulai sejak pemberian konsesi dalam pengelolaan hutan yang fokusnya hanya pada eksploitasi kayu. Kondisi ini secara perlahan telah mengurangi potensi keanekaragaman hayati, baik pada tingkat ekosistem, jenis (flora dan fauna) maupun genetik, yang pada akhirnya nilai hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan menjadi tiada. Buku “Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra” disusun berdasarkan suatu kenyataan bahwa genus Taxus yang hidup di bagian Utara dunia telah mengalami penurunan populasi yang tajam pada sebaran alaminya dan telah terjadi fragmentasi populasi. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan penurunan tingkat keragaman genetik dan meningkatnya keterancaman jenis tersebut. Hal ini terjadi karena genus Taxus adalah pohon hutan yang paling diburu di dunia, sebagai konsekuensi dari sebuah kenyataan bahwa genus Taxus berkhasiat sebagai obat antikanker yang paling ampuh, efisien, dan
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| ix
efektif. Sementara di Indonesia, genus Taxus ditemukan di daerah Sumatra: Gunung Kerinci, Jambi, Kawasan Hutan Lindung Dolok Sibuaton, Sumatra Utara, dan Gunung Dempo, Sumatra Selatan, dengan sebutan Taxus sumatrana. Keberadaan Taxus yang hidup di Indonesia ini perlu mendapat perhatian khusus melalui upaya pelestarian agar nasibnya tidak serupa dengan genus Taxus yang hidup di dunia bagian Utara. Saya berkeyakinan bahwa buku ini akan bermanfaat bagi banyak pihak; baik pemerintah, swasta, maupun masyarakan umum. Fakta yang dimuat dalam buku ini dapat dijadikan sumber acuan, inspirasi, dan memperkaya khasanah keilmuan. Informasi hasil penelitian dan penggunaan genus Taxus yang diungkap di buku ini dapat dijadikan pertimbangan kehati-hatian dalam pemanfaatannya dengan mengedepankan pengetahuan bioteknologi agar kelestarian jenis T. sumatrana terjamin. Saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang bersedia menyusun buku ini. Curahan tenaga, pikiran, dan kerja keras kita semua adalah bagian dalam upaya untuk melestarikan dan melindungi T. sumatrana di hutan dari kondisi keterancaman, sekaligus memanfaatkannya dengan bijaksana. Bogor, Desember 2014 Kepala Pusat,
Ir. Adi Susmianto, M.Sc. x | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI SERAT TANAMAN HUTAN Kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan YME, karena berkat hidayah dan karuniaNya, buku berjudul “Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra” dapat disusun dan diterbitkan. Saya menyambut baik hadirnya buku ini, dan dengan penuh keyakinan, buku ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam pengelolaan jenis Taxus sumatrana di Indonesia oleh berbagai pihak. T. sumatrana adalah jenis pohon hutan yang hidup di Pulau Sumatra, Indonesia, dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Nilai yang tinggi ini dikarenakan senyawa aktif yang terkandung di dalamnya berkhasiat sebagai obat antikanker yang paling diburu. Akibatnya, keterancaman terhadap keberadaan jenis ini sangat tinggi sehingga perlu dicari beberapa alternatif penanganan, baik sebagai upaya untuk memproduksi senyawa aktif maupun pelestarian jenis. Buku ini menyajikan informasi mulai dari pola penyebaran populasi, teknik silvikultur, senyawa aktif, aplikasi bioteknologi, dan strategi pengelolaan sumber daya genetik dari genus Taxus, termasuk informasi dari jenis T. sumatrana yang hidup di Indonesia. Ucapan terima kasih dan penghargaan, saya sampaikan kepada kontributor, reviewer, editor, dan pihak lain yang terlibat dalam proses penerbitan buku ini. Jerih Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| xi
payah yang telah kita lakukan mudah-mudahan mendapat balasan dari Tuhan YME, dan tercapai keberhasilan upaya menuju pengelolaan hutan yang lestari.
Kuok, Desember 2014 Kepala Balai,
Ir. R. Gunawan Hadi Rah Rahmanto, M.Si.
xii | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
DAFTAR ISI Kata Pengantar ...................................................................
v
Sambutan Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi ..........................................................................
ix
Sambutan Kepala Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan ..................................................................
xi
Daftar Isi ............................................................................... xiii Daftar Tabel ......................................................................... xvi Daftar Gambar .................................................................... xvii Bab 1. Pendahuluan ..........................................................
1
Bab 2. Mengenal Taxus Lebih Dekat ...............................
7
2.1 Taxus sumatrana (Miq) de Laubenfels ......... 2.1.1 Penyebaran ................................................. 2.1.2 Habitus ......................................................... 2.1.3 Sistem Perbanyakan .................................... 2.1.4 Penggunaan .................................................
12 12 14 15 15
2.2 Taxus brevifolia Nutt ....................................... 2.2.1 Penyebaran .................................................. 2.2.2 Habitus ......................................................... 2.2.3 Sistem Perbanyakan .................................... 2.2.4 Penggunaan .................................................
18 18 18 19 22
2.3 Taxus baccata Linn ......................................... 2.3.1 Penyebaran .................................................. 2.3.2 Habitus ......................................................... 2.3.3 Sistem Perbanyakan .................................... 2.3.4 Penggunaan .................................................
23 23 24 26 27
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| xiii
2.4 Taxus cuspidata Siebold & Zucc .................... 2.4.1 Penyebaran .................................................. 2.4.2 Habitus ......................................................... 2.4.3 Sistem Perbanyakan ................................... 2.4.4 Penggunaan .................................................
28 28 28 29 29
2.5 Taxus canadensis Marsh ................................. 2.5.1 Penyebaran .................................................. 2.5.2 Habitus ......................................................... 2.5.3 Sistem Perbanyakan ................................... 2.5.4 Penggunaan .................................................
30 30 30 31 31
Bab 3. Biologi dan Domestikasi Taxus ............................ 33 3.1 Biologi Taxus .................................................. 3.1.1 Pembungaan dan Pembuahan .................. 3.1.2 Pengumpulan Buah .................................... 3.1.3 Ekstraksi dan Pembersihan ....................... 3.1.4 Penyimpanan .............................................. 3.1.5 Perlakuan Praperkecambahan ................... 3.1.6 Perkecambahan dan Uji Viabilitas Benih ..
33 33 35 36 37 38 39
3.2 Pembibitan dan Pemuliaan .......................... 3.2.1 Seleksi Kultivar ........................................... 3.2.2 Teknik Perbanyakan Melalui Stek di Persemaian .................................................. 3.2.3 Budi Daya dengan Persemaian Intensif .... 3.2.4 Kultur Jaringan ............................................ 3.2.5 Metode Kultur untuk Peningkatan Produksi Taxane ...........................................
41 43
xiv | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
44 46 48 49
Bab 4. Kandungan Senyawa Aktif .................................... 53 4.1 Sejarah Penemuan ......................................... 56 4.2 Produksi Taxane ............................................. 4.2.1 Ekstraksi Bagian Tanaman ........................ 4.2.2 Sintesis .......................................................... 4.2.3 Semisintesis .................................................. 4.2.4 Kultur Sel/Kalus ........................................ 4.2.5 Fermentasi Jamur Endofitik ......................
63 63 67 68 68 81
4.3 Mekanisme Aksi Penghambatan Sel Kanker 86 Bab 5. Strategi Pengelolaan Sumber Daya Genetik Taxus sumatrana ..................................................... 89 5.1 Keragaman Genetik dan Kelestarian Jenis ... 89 5.2 Keragaman Genus Taxus: Sejarah dan Rute Penyebaran ..................................................... 90 5.3 Strategi Pelestarian Jenis .............................. 5.3.1 Konservasi Ex Situ ........................................ 5.3.2 Penelitian Dasar Sebagai Landasan Penyusunan Strategi Konservasi yang Komprehensif .............................................. 5.3.3 Konservasi In Situ: Pelestarian T. sumatrana yang Wajib Dilakukan Secara Konsisten ......................................................
91 91
93
97
Bab 6. Penutup .................................................................. 101 Daftar Pustaka .................................................................... 103
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| xv
Daftar Tabel Tabel 1.
Data produksi benih ........................................ 34
Tabel 2.
Periode skarifikasi dan kondisi uji perkecambahan ................................................. 39
Tabel 3.
Perjalanan penting dalam penemuan dan perkembangan Taxol® di bidang biokimia, bioteknologi, dan klinis ................................... 60
Tabel 4.
Kandungan senyawa aktif dari bagian tanaman Taxus .................................................. 64
Tabel 5.
Perkembangan penelitian kultur sel dalam produksi paclitaxel ............................................ 71
Tabel 6.
Beberapa jamur endofitik penghasil paclitaxel (>24 μg/L) …………………………………… 85
xvi | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Daftar Gambar Gambar 1.
Biosintesis metabolit sekunder dan fungsi interkasi antara tanaman dan lingkungan
3
Evolusi angiosperms dan gymnosperms dari Psiphytatae .....................................................
8
Gambar 3.
Sebaran alami Taxus di dunia ...................
9
Gambar 4.
Genus Taxus: morfologi pohon, kulit batang, daun, dan buah/aril ..................... 10
Gambar 5.
Sebaran alami T. sumatrana di Indonesia yang saat ini ditemukan ............................. 14
Gambar 6.
T. sumatrana; A) tumbuh pada tempat alaminya (TN. G. Kerinci Seblat), B) tumbuh di Kebun Raya Cibodas (planted), C) Batang/ ranting/percabangan, D) Morfologi daun ........................................... 17
Gambar 7.
Bonsai genus Taxus sebagai penggunaan lainnya .......................................................... 23
Gambar 8.
Perbanyakan T. sumatrana melalui stek: A) Akar yang tumbuh dari jaringan kalus, B) Akar adventif yang tumbuh secara spontan, dan C) Penampang melintang akar (ep = epidermis; kr = korteks; ph = phloem; ka = kambium; aa = akar adventif) ..................... 51
Gambar 2.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| xvii
Gambar 9.
Perbanyakan T. baccata dengan kultur jaringan: A) Plantlet dari bagian tanaman yang sudah dewasa, B) Sumber bagian tanaman yang dihasilkan dari kalus biji T baccata, C) Induksi pada media yang mengandung IBA (8 mg/L), dan D) Aklimatisasi plantlet di rumah kaca umur 6 bulan ............................................................. 52
Gambar 10. Struktur molekul dari 10-deacetylbaccatin III (A), baccatin III (B), dan paclitaxel (C) ......... 54 Gambar 11. Biosintesis paclitaxel .................................... 83
xviii | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
BAB 1 Pendahuluan Siapa
yang tidak mengenal penyakit kanker; suatu
pertanyaan yang bagi setiap orang awam dapat menjadi sebuah momok. Secara umum, kanker diartikan sebagai penyakit kelainan siklus sel yang dicirikan dengan meningkatnya kemampuan sel untuk tumbuh tidak terkendali dan menyerang jaringan sel yang ada di dekatnya, selanjutnya bermigrasi melalui proses metastasis. Angka kematian penderita kanker menempati ranking ke-2 untuk skala dunia dan ranking ke-3 untuk skala Indonesia (Dhama et al., 2013). Sebagai upaya pengobatan penyakit kanker; Amerika Serikat, melalui Institut Kanker Nasional (National Cancer Institute [NCI]), membentuk sebuah lembaga khusus yang dinamakan Cancer Chemotherapy National Service Center (CCNSC) pada tahun 1956. Misi lembaga ini adalah sebagai lembaga pendukung penelitian dalam penemuan obat antikanker. Kegiatan lembaga tersebut diawali dengan melakukan eksplorasi terhadap tumbuhan-tumbuhan asal Amerika Serikat yang berpotensi sebagai sumber bahan aktif antikanker. Senyawa organik atau bahan aktif yang terdapat pada tumbuhan akan secara alamiah dibentuk/dihasilkan
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
|1
melalui proses fisiologis dan metabolisme dalam sistem jaringan kehidupannya. Dalam sebuah ekosistem, mahluk hidup akan membangun jaringan sebagai respons dalam menghadapi perubahan kondisi fisik dan lingkungannya. Hal ini diperlukan sebagai mekanisme untuk berkembang dan bertahan hidup (proteksi diri). Salah satu respons tersebut, yaitu dengan cara memproduksi senyawa organik yang bersifat aktif. Hanson (2003) mengklasifikasikan senyawa organik yang diproduksi tumbuhan menjadi tiga kategori: 1) senyawa organik yang berperan dalam metabolisme dan reproduksi, 2) senyawa organik yang berperan dalam struktur seluler (lignin, selulosa dan protein), dan 3) senyawa organik yang tidak berperan langsung dalam metabolisme dan reproduksi, tetapi diperlukan untuk memproteksi/mengontrol dirinya terhadap perubahan kondisi lingkungan, atau lebih dikenal dengan istilah secondary metabolism. Kelompok dan fungsi secondary metabolism dijelaskan oleh Hartman (1996), yang secara ringkas diuraikan dalam bentuk diagram sederhana, sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Upaya mengeksplorasi dan mengoleksi contoh uji untuk penyaringan (screening) bahan aktif antikanker telah dilakukan oleh NCI yang bekerjasama dengan Departemen Pertanian Amerika (US Department of Agriculture[USDA]) [dalam hal ini pengerjaan teknisnya dilakukan oleh USDA Eastern Regional Research Laboratorium di bawah pengawasan Monroe wall]. Melalui perjalanan panjang, pada tahun 1972 telah teridentifikasi bahwa kelompok tumbuhan pada genus Taxus mengandung bahan aktif antikanker yang dikenal dengan senyawa paclitaxel (merek 2 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
dagang Taxol®), yang saat itu diekstraksi dari jenis cemara Pasifik/Pasific yew (Taxus brevifolia Nutt). Tumbuhan tersebut ditemukan di areal pegunungan North Western, Amerika Serikat, dan Kanada bagian Barat (Farrar, 1995). Bahkan dari hasil analisis terbaru, hampir semua bagian tumbuhan (batang, kulit batang, bagian berkayu, dan akar) diketahui mengandung bahan aktif antikanker.
Tannins
Coumarins
Glucosinolates
Terpenes Pertahanan 1. Hewan 2. Jamur 3. Bakteri 4. Virus 5. Tanaman
METABOLISM Carbohydrate Photosyntesis
Alkaloid
Fatty acid Polyketides
Nitrogen Quinones
Ancaman/stimulasi 1. Polinisasi 2. Penyebaran benih 3. Oviposition 4. Food-plant 5. Sequestration 6. Pharmacophagy 7. Simbiosis (NFixation)
Flavonoids
Proteksi serangan fisik 1. Suhu 2. Penguapan 3. Radiasi/sinar UV
Gambar 1. Biosintesis metabolit sekunder dan fungsi interaksi antara tanaman dan lingkungan (Sumber: Hartman, 1996)
Genus Taxus tersebar luas, terutama di zona pertengahan di belahan bumi bagian Utara, Eropa, Asia, dan Amerika Timur. Genus ini umumnya tumbuh pada
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
|3
kondisi habitat yang lembab dan dingin dengan kisaran ketinggian 1.000–3.000 meter di atas permukaan laut (m dpl), serta banyak dijumpai di bawah tegakan di tempat yang memiliki iklim sedang dan subtropis (Price, 1990). Di Asia, hanya sedikit negara yang memiliki sebaran alami genus Taxus, antara lain Taxus cuspidata (ditemukan di Jepang), Taxus chinensis (ditemukan di Cina), dan Taxus sumatrana (ditemukan di Indonesia, Taiwan, Vietnam, Nepal, dan Tibet), yang kondisi populasinya terancam punah (Huang et al., 2007). Berdasarkan hasil survei langsung di lapangan diketahui bahwa habitat alami T. sumatrana di Indonesia saat ini berada di wilayah Gunung (G.) Kerinci, Jambi, yaitu pada bagian punggung bukit, lereng-lereng yang terjal, dan tepian jurang dengan ketinggian lokasi 1.700–2.200 m dpl (Rachmat, 2008). Kemudian, Pasaribu & Setyawati (2010) menemukan sebaran populasi T. sumatrana di kawasan Hutan Lindung (HL) Dolok Sibuaton pada ketinggian 1.300 m dpl. Begitu pula di G. Dempo (Pagar Alam, Palembang), T. sumatrana ditemukan pada ketinggian 1.800–2.200 m dpl. Taxol® hanya dihasilkan dari genus Taxus (Kikuchi & Yatagai, 2003). Merek dagang Taxol® dan hak pemasarannya dipegang oleh Bristol-Myers Squibb sejak tahun 1991. Semenjak itu, permintaan fenomenal terhadap Taxol® terus meningkat dan diprediksi akan tetap tinggi karena sampai sekarang diyakini bahwa Taxol® adalah obat antikanker yang paling dicari di dunia, selain obat antikanker lainnya, seperti Camptothecin, Topotecan, Irinotecan, Decetaxel, Vinblastine, Podophyllotoxin, Etoposide,
4 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Teniposide, Elliptinium, Homoharringtonine (Cragg & Newman, 2005). Permintaan yang tinggi dalam dunia perdagangannya menyebabkan penurunan populasi genus Taxus di habitat alamnya. Sebagai gambaran, untuk mendapatkan 1 kg Taxol®, bahan ekstrak yang dibutuhkan adalah sebanyak 7.270–10.000 kg kulit batang pohon Taxus. Jika kita mengasumsikan rendemen pada angka 0,01% (Suffness, 1995) maka untuk mendapatkan 1 kg Taxol® dibutuhkan sekitar 2.000 pohon Taxus (Nicolaou et al., 1994). Padahal, seorang pasien penderita kanker memerlukan 2–2.5 g Taxol® atau setara dengan sekitar 6–8 pohon Taxus (Malik et al., 2011). Kondisi seperti ini secara otomatis memicu eksploitasi yang berlebihan terhadap genus Taxus. Untuk mengontrol status kelestarian jenis dari genus Taxus, jenis ini telah dimasukkan ke dalam Appendiks II CITES Ann. #10 (CITES, 2005). Sebaran Taxus di wilayah ekuator dengan kondisi iklim hutan hujan tropis merupakan suatu fenomena tersendiri. Sebarannya di Indonesia yang hanya terbatas pada wilayah tertentu menyebabkan genus Taxus kurang populer pada skala masyarakat umum. Oleh sebab itu, buku ini disusun untuk memberikan gambaran singkat tentang genus Taxus secara umum dengan penekanan yang lebih detil pada jenis T. sumatrana sebagai satu-satunya jenis Taxus yang wilayah penyebarannya sampai ke Indonesia.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
|5
BAB Mengenal Taxus 2 Lebih Dekat Taxus adalah tanaman yang diperkirakan hidup sejak 200 juta tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya fosil Paleotaxus rediviva yang strukturnya mirip dengan Taxus seperti jenis yang sekarang ada (Waibel, 2010). Genus Taxus merupakan kelompok Gymnospermae yang tidak memiliki saluran resin. Taxus masuk ke dalam familiTaxaceae dan dalam subkelas Taxidae. Gambar 2 menjelaskan bahwa pemisahan subkelas Taxidae dan Pinidae dari Corditidae diperkirakan terjadi sekitar 300 juta tahun yang lalu (Sitte et al., 1991). Cope (1998) & Price (1990) menyebutkan bahwa genus Taxus tersebar luas, terutama di zona pertengahan di belahan bumi bagian Utara. Daerah sebaran tersebut membentang dari Amerika Utara menuju subtropika Amerika Tengah dan dari Eurasia menuju subtropika Asia Tenggara (Gambar 3), yang beriklim sedang dengan kondisi habitat yang lembab dan dingin. Arsitektur morfologi Taxus dapat berbentuk pohon ataupun semak. Pada kondisi batang utama terluka, patah, atau tumbang maka akan muncul percabanganpercabangan baru sehingga bentuk pohon dapat berubah
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
|7
menjadi semak karena tipe percabangannya yang terkulai. Diameter tajuk dengan bentuk seperti semak ini dapat mencapai 24 m. Ukuran batang utama dapat sangat besar dengan sistem perakaran yang dalam sehingga bentuk pohon terlihat kokoh jika dibandingkan dengan proporsi tinggi pohon (Gambar 4). Ukuran diameter yang besar dapat diperoleh dengan bersatunya/berimpitnya beberapa cabang dalam waktu yang cukup lama. Devonian Permian Jurassic Cenozoic 410 MYA 290 MYA 213 MYA 65 MYA Carboniferous Triassic Cretaceous 360 MYA 248 MYA 144 MYA GYMNOSPERMAE
Taxidae Pinidae Pinopsida Cordaitidae
Taxus sp Pine sp
Psilophytatae
Eudicots
ANGIOSPERMAE
Lyginopteriopsida
Monocots
A. Thaliana
Oryza sp
Gambar 2. Evolusi angiosperms dan gymnosperms dari Psiphytatae (Sumber: Sitte et al., 1991)
8 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
|9
T. wallichiana Zucc
T. sumatrana (Miq.) de Laub
T. globosa Schltdl
T. cuspidata Siebold & Zucc
T. canadensis Mar- shall
T. brevifolia Nutt
T. baccata L
SEBARAN TAXUS
KETERANGAN :
United States
Canada
Mexico
United States
Cuba
Argentina
Uruguay
Paraguay
Brazil
Guyana Suriname French Guiana
Trinidad
Bolivia
Venezuela
Mauritania
Liberia
Guinea Sierra Leone
Guinea-Bissau
Burkina Faso
Mali
Algeria
Antarctica
Cameroon
Italy
Poland
Finland
Estonia Latvia
Greece
Gabon Congo
Namibia
Angola
South Africa
Botswana
Zaire
Turkey
Mozambique
2500
Lesotho
Swaziland
Zimbabwe
Malawi
Kuwait
Madagascar
Somalia
Yemen
Saudi Arabia
Iraq
Djibouti Ethiopia
Kenya
Tanzania, United Republic of
Burundi
Rwanda
Uganda
IsraelJordan
Cyprus Syria Lebanon
Egypt
Sudan
Zambia
Bulgaria
Romania
Lithuania
Central African Republic
Chad
Libya
Albania
Yugoslavia
Hungary
Czechoslovakia
Austria
Equatorial Guinea
Nigeria
Niger
Tunisia
Sw itzerland
Sweden
Norway
Denmark
Netherlands Germany Belgium Luxembourg
France
Benin Togo Ivory Coast Ghana
Morocco
Spain
United Kingdom
Portugal
Ireland
Western Sahara
Senegal Gambia, The
Iceland
0
Oman
Qatar United Arab Emirates
Iran Pakistan
Afghanistan
Nepal
Burma
2500 Kilometers
Bangladesh
Bhutan
Union of Soviet Socialist Republics
India
Sri Lanka
Gambar 3. Sebaran alami Taxus di dunia
Chile
Colombia
Haiti Dominican Republic Puerto Rico
Peru
Jamaica
Ecuador
Costa Rica Panama
Belize Guatemala Honduras El Salvador Nicaragua
Greenland
PETA SEBARAN TAXUS
Vietnam
Indonesia
Thailand Cambodia
Laos
China
Mongolia
Brunei Malaysia
Taiwan
Philippines
Australia
Korea, R epublic of
Korea, Democratic People's Republic of Japan
Papua New Guinea
New Zealand
Foto: Ashey_wood, 2009 (www.Flickr.com)
Foto: Esther Westerveld, 2007 (www.Flickr.com)
Foto: Boubo_Bittern, 2012 (www.Flickr.com)
Foto: Tina Negus, 2011 (www.Flickr.com)
Gambar 4. Genus Taxus: morfologi pohon, kulit batang, daun, dan buah/aril
Ukuran tinggi dari kebanyakan genus Taxus rata-rata 6–12 m, namun pada kondisi lingkungan yang terbuka dan kondisi kesuburan yang mendukung dapat mencapai 12–25 m. Namun demikian, ukuran tersebut akan bervariasi untuk setiap jenis. Sebagai contoh pada Taxus floridana atau yang dikenal dengan nama cemara Florida; jenis ini berukuran kecil, bentuk tajuknya melebar, dan pada waktu mencapai usia dewasa hanya memiliki tinggi 1–5 m. Sebaliknya, Taxus brevifolia atau dikenal dengan nama cemara Pasifik dapat tumbuh alami mencapai diameter 6 m dan tinggi lebih dari 18 m. Taxus tumbuh dengan 10 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
kerapatan 1,5–2,1 pohon/ha dengan kecepatan tumbuh yang sangat lambat dan dapat hidup diperkirakan mencapai umur 2.000–4.000 tahun, meskipun masih menjadi bahan perdebatan (Hindson, 2000). Berdasarkan karakteristik morfologi yang dipelajari oleh Spjut (2007), Taxus dibagi menjadi 24 spesies dan 55 varietas. Jenis-jenis Taxus yang ditemukan terlebih dahulu terdiri atas 15 spesies dan 6 varietas, yaitu T. baccata L. (var. dovastoniana Leighton, var. elegantissima Hort. ex C. Lawson, var. glauca Jacques ex Carrière, var. pyramidalis Hort. ex C. Lawson, dan var. variegata Watson), T. brevifolia Nutt., T. caespitosa Nakai, T. canadensis Marshall, T. celebica (Warb.) H.L. Li, T. chinensis (Pilg.) Rehder, T. contorta Griff., T. cuspidata Siebold & Zucc., T. fastigiata Lindl., T. globosa Schltdl., T. mairei (Lemée & H. Lév.) S.Y. Hu ex T.S. Liu, T. recurvata Hort. ex C. Lawson, T. sumatrana (Miq.) de Laub., T. umbraculifera (Siebold ex Endl.) C. Lawson, T. wallichiana Zucc. dan var. yunnanensis (W.C. Cheng & L.K. Fu) C.T. Kuan. Selanjutnya, diidentifikasi 6 spesies baru: T. biternata Spjut, T. florinii Spjut, T. kingstonii Spjut, T. obscura Spjut, T. phytonii Spjut, dan T. suffnessii Spjut; dan 4 variteas baru: T. brevifolia Nutt. var. polychaeta Spjut, T. brevifolia Nutt. var. reptaneta Spjut, T. caespitosa Nakai var. angustifolia Spjut, dan T. contorta Griff. var. mucronata. Spjut (2007) juga mendeskripsikan 8 jenis lainnya yang merupakan kombinasi spesies dan varietas baru: T. caespitosa var. latifolia (Pilg.) Spjut, T. canadensis var. adpressa (Carrière) Spjut, T. canadensis var. minor (Michx.) Spjut, T. globosa var. floridana (Nutt. ex Chapm.) Spjut, T. mairei (Lemée & H. Lév.) S.Y. Hu ex T.S. Liu var. speciosa (Florin) Spjut, T. Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 11
umbraculifera var. hicksii (Hort. ex Rehder) Spjut, T. umbraculifera var. microcarpa (Trautv.) Spjut, dan T. umbraculifera (Siebold ex Endl.) C. Lawson var. nana (Rehder) Spjut. Sampai dengan saat ini, posisi taksonomi Taxus masih sangat kontroversial karena klasifikasi jenis-jenis tersebut lebih disebabkan isolasi geografis dan tidak diikuti dengan adanya isolasi reproduksi antar spesies (Farjon, 1998; Silba, 1984). Namun di satu sisi, Collins et al. (2003) melaporkan bahwa hybrids dari Taxus memiliki polen yang kurang berfungsi secara fungsional dan gangguan pada tahapan meiosis.
2.1
Taxus sumatrana (Miq) de Laubenfels
2.1.1 Penyebaran Taxus sumatrana atau cemara Sumatra tumbuh di hutan subtropis lembab dan hutan hujan pegunungan pada ketinggian 1.400–2.800 m dpl (Spjut, 2003; Earle, 2013a; Huang et al., 2007). Penyebaran alami jenis ini dilaporkan terdapat di Philiphina, Vietnam, Taiwan, Cina, dan Indonesia (de Laubenfels, 1988). Di Indonesia, T. sumatrana tumbuh secara alami sebagai subkanopi di hutan pegunungan ataupun punggung pegunungan di Pulau Sumatra dan Sulawesi (Spjut, 2007). Hasil survei langsung di lapangan yang dilakukan Rachmat (2008) menunjukkan bahwa habitat alami cemara Sumatra di Indonesia saat ini terdapat di wilayah G. Kerinci, Jambi (Gambar 5). Jenis ini tumbuh alami sebagai 12 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
subkanopi di hutan pegunungan pada bagian punggung bukit, lereng-lereng yang terjal, dan tepian jurang pada ketinggian 1.700–2.200 m dpl. Pola penyebaran cemara Sumatra yang tumbuh di G. Kerinci juga memiliki kesamaan dengan pola penyebaran cemara Sumatra yang tumbuh di Taiwan, yaitu terpencar mengelompok (clustering). Berdasarkan kondisi tempat tumbuh alaminya yang hanya dijumpai di wilayah punggung bukit, lereng, dan tepian jurang; cemara Sumatra diketahui menyukai tempat yang berdrainase baik (well drainage) dan tidak pernah tergenang. Selain itu, hasil analisis tanah juga menunjukkan bahwa jenis ini menyukai tanah dengan pH rendah (masam), tekstur tanah geluh (lumpur) berpasir, kandungan C organik sangat tinggi, dan rasio C/N yang tinggi (Rachmat, 2008). Berdasarkan data koleksi herbarium Bagian Botani pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (PUSKONSER) di Bogor, herbarium T. sumatrana berasal dari Karo leinden yang tidak lain adalah Tana Karo di Sumatra Utara. Pasaribu & Setyawati (2010) melakukan penelusuran ulang dan menemukan sebaran populasi T. sumatrana di kawasan HL Dolok Sibuaton dengan jumlah yang cukup banyak dan hidup soliter pada ketinggian 1.300 m dpl (Gambar 5). Pada tahun 2014, tim survei lapangan PUSKONSER Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan, menemukan keberadaan T. sumatrana di G. Dempo (Pagar Alam, Palembang) pada ketinggian 1.800–2.200 m dpl, dengan diameter terbesar 120 cm dan pohon tertinggi 21 m (Gambar 5). Hingga saat ini, kajian T. sumatrana mengenai Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 13
aspek ekologis, kerapatan populasi, keragaman genetik, budi daya, dan aspek pengelolaan lainnya di Indonesia masih belum cukup tersedia.
PETA SEBARAN TAXUS SUMATRANA DI I NDONESI A
N W
E S
MALAYSIA NANGGROE ACEH DARUSSALAM
KEPULAUAN RIAU
# MALAYSIA SUMATERA UTARA SULAW ESI UTARA
KALIMANTAN TIMUR
RIAU
GORONTALO
MALUKU UTARA
KALIMANTAN BARAT SUMATERA BARAT
SULAW ESI TENGAH KALIMANTAN TENGAH
#
IRIANJAYA BARAT
JAMBI SULAW ESI BARAT
BANGKA-BELITUNG KALIMANTAN SELATAN
SUMATERA SELATAN
MALUKU
BENGKULU
PAPUA SULAW ESI SELATAN
LAMPUNG
SULAW ESI TENGGARA
DKI JAKARTA
BANTEN JAW A BARAT JAW A TENGAH JAW A TIMUR DAERAH ISTIMEW A YOGYAKARTA BALI
NUSATENGGARA BARAT NUSATENGGARA TIMUR
TIMOR LESTE
KETERANGAN : 250
0
250
500 Kilometers
Sebaran Taxus sumatrana
Gambar 5. Sebaran alami Taxus sumatrana di Indonesia yang saat ini ditemukan
2.1.2 Habitus Habitus dari T. sumatrana berbentuk semak sampai pohon dengan tinggi dapat mencapai 30 m (Gambar 6). Daun berbentuk elips-lanset, berwarna hijau zaitun dengan ukuran panjang 1,8–3,0 cm, lebar 2,0–2,5 mm, dan tebal 200–275 µm. Warna kulit batang merah keabu-abuan dengan tebal kulit 0,5–0,8 cm. Bunga kerucut jantan 14 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
biasanya tidak terlihat, sedangkan bunga kerucut betina berbentuk subsilindris dengan panjang 2 mm dan lebar 1 mm. Buah berbentuk kerucut kaku dengan panjang 4 mm dan lebar 3 mm, mengerucut dari tengah ke puncak (Spjut, 2003; Earle, 2013a). Sampai dengan saat ini, tidak banyak informasi yang dapat diperoleh mengenai T. sumatrana yang tumbuh di Indonesia, baik dari segi ekologi maupun silvikultur. 2.1.3 Sistem Perbanyakan T. sumatrana dapat diperbanyak secara generatif (dengan biji) dan vegetatif (umumnya stek). Hasil survei langsung di lapangan ditemukan anakan yang menyebar secara sporadis pada lahan hutan yang lebih terbuka. Hasil penelitian Rachmat et al., (2010) menyatakan bahwa T. sumatrana dapat diperbanyak secara vegetatif, dengan kemampuan berakar 66,7% (28 minggu setelah tanam) pada media sabut kelapa dan sekam padi (2 : 1 [v/v]). 2.1.4 Penggunaan Kulit, daun, cabang, ranting, dan akar dari jenis Taxus, termasuk T. sumatrana, merupakan sumber Taxane, yaitu paclitaxel diekstraksi sebagai obat yang sangat sukses digunakan dalam kemoterapi berbagai jenis kanker. Hidayat & Tachibana (2013) melaporkan bahwa kulit batang T. sumatrana yang berasal dari G. Kerinci mengandung 10-deacetylbaccatin III dan baccatin III. Kedua senyawa tersebut merupakan produk antara (precursor) dari
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 15
biosintesis Taxol®. 10-deacetylbaccatin III dan baccatin III juga ditemukan pada daun dan batang muda T. sumatrana (Kitagawa et al., 1995; Shen et al., 2005). Populasi Taxus di dunia telah menurun secara drastis seiring dengan tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan untuk memperoleh bahan aktif kelompok Taxane di dunia farmasi. Ancaman tersebut akibat penebangan pohon dan pengulitan total batang, serta strategi manajemen yang minim. Namun demikian, T. sumatrana yang tumbuh di Indonesia sampai saat ini masih belum tereksploitasi sebagai alternatif sumber Taxol®. Status keterancaman jenis ini dalam IUCN Red List termasuk dalam kategori memiliki risiko keterancaman yang masih rendah (Least Concern/LC) (IUCN, 2014). Sementara itu, masyarakat lokal umumnya menggunakan kayu T. sumatrana untuk keperluan bahan baku pertukangan ringan atau pembuatan alat-alat kebutuhan rumah tangga.
16 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
A
C
B D Gambar 6. T. sumatrana; A) Tumbuh pada tempat alaminya (TN G. Kerinci Seblat), B) Tumbuh di Kebun Raya Cibodas (planted), C) Batang/ranting/percabangan, D) Morfologi daun
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 17
2.2
Taxus brevifolia Nutt
2.2.1 Penyebaran Taxus brevifolia disebut juga dengan nama Pacific yew. Jenis ini merupakan pohon berdaun jarum yang tumbuh alami di barat laut Pasifik, Amerika Utara (Ferguson, 1978; Hils, 1993). Jenis ini tersebar mulai dari bagian Selatan Alaska sampai ke California bagian Tengah dan Montana. Populasi terbanyak dijumpai di wilayah pantai Barat Pasifik, tetapi ada satu populasi yang terisolasi khusus, yaitu di Tenggara British Columbia dan Idaho bagian Selatan sampai tengah. 2.2.2 Habitus Pohon hijau sepanjang tahun dengan ukuran kecil sampai sedang, tinggi mencapai 20 m dengan diameter 50 cm, dan jarang sekali diameter batang mencapai lebih dari 50 cm (Farrar, 1995). Tajuk melebar membentuk kerucut dengan kulit batang berwarna cokelat sampai cokelat kemerahan dan tekstur yang agak bersisik. Daun berbentuk lanset, datar, berwarna hijau tua dengan panjang 1–3 cm dan lebar 2–3 mm (Mitchell, 1998), serta tersusun secara spiral pada cabang dengan bagian dasar daun melintir. Percabangan yang menjulur ke atas akan terkulai pada ujungnya (Spjut, 2007). Buah kerucut sangat termodifikasi; tiap kerucut mengandung satu individu biji dengan panjang 4–7 mm dan dikelilingi oleh sisik yang termodifikasi; buah berkembang menjadi struktur yang menyerupai buah beri dan disebut dengan aril. Aril yang
18 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
sudah masak berwarna merah cerah, bertekstur lembut dengan ukuran panjang dan lebar 8–15 mm, dan ujung aril merekah (Gambar 4). Aril akan masak sekitar 3–6 bulan sejak penyerbukan (Maret dan April) dan jika aril sudah masak (Juli–Oktober) maka aril rentan dimakan oleh burung dan predator lainnya (Rudolf, 1974; Difazio et al., 1996; Stephen et al., 1998). Pemangsaan oleh burung dan predator merupakan mekanisme penyebaran benih secara alamiah. Selama penyebaran ini, benih tidak rusak karena memiliki kulit yang cukup keras. Perkembangan embrio benih di dalam aril akan mulai terjadi 2–3 bulan setelah penyebaran oleh burung dan hal ini akan meningkatkan keberhasilan penyebaran benih secara alami. Kerucut jantan berbentuk membulat dengan diameter 3–6 mm dan tepung sarinya akan menyebar pada awal musim semi. T. brevifolia tumbuh baik di bawah naungan (Taylor & Taylor, 1981). Karakter bunga berumah dua (dioecious), tetapi pada suatu kondisi tertentu dapat ditemukan satu individu yang memiliki sifat berumah satu (monocious), atau bahkan, bertukar jenis kelamin seiring dengan waktu (Keller & Tregunna, 1976; El-Kassaby & Yanchuck, 1994; Stephen et al., 1998). 2.2.3 Sistem Perbanyakan T. brevifolia dapat diperbanyak secara generatif (dengan biji) dan vegetatif (umumnya stek). Salah satu hasil penelitian yang cukup menyeluruh tentang teknik
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 19
perbanyakan T. brevifolia secara generatif diungkapkan oleh Pilz (1996) dan secara vegetatif dilaporkan oleh Mitchell (1998). Pematangan buah T. brevifolia berlangsung selama 3–6 bulan, yaitu mulai Juli–Oktober. Buah yang masak dicirikan dengan bentuk aril yang membengkak penuh, berwarna merah dengan tekstur yang lembut. Kandungan minyak pada aril menyebabkan buah agak sulit dibersihkan (Earle, 2013b). Dengan demikian, stratifikasi benih Taxus merupakan sebuah proses biologis aktif yang membutuhkan waktu paling sedikit 12–18 bulan, atau bahkan, seringkali lebih lama lagi (Pilz, 1996). T. brevifolia yang baru saja dipetik atau jatuh dari pohonnya (masih segar) memiliki embrio yang sangat kecil yang sulit dikenali. Embrio berkembang atau membesar jika telah dilakukan stratifikasi. Hal ini diduga benih Taxus memiliki dormansi kulit atau dormansi embrio. Oleh sebab itu, uji kualitas benih dilakukan terlebih dahulu sebelum dikecambahkan untuk melihat hidup atau tidaknya embrio. Cara yang paling mudah, murah, dan cepat adalah metode pemotongan benih menjadi dua bagian dengan arah longitudinal. Meskipun metode ini merupakan metode destruktif, cara ini mampu memberikan hasil yang baik secara visual terhadap kondisi embrio benih. Teknik lain yang lebih modern untuk mengetahui kondisi embrio benih adalah dengan x-ray atau ultrasound yang akan mampu mengecek kondisi embrio, apakah hidup atau viable. Benih yang tersimpan pada lahan hutan dapat bertahan lebih dari tiga tahun. Hal ini dikarenakan 20 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
perkecambahannya baru akan terjadi setelah atau jika anakan tanaman lainnya mati sehingga lantai hutan menjadi terbuka (Minore et al., 1996). Oleh karenanya, penyimpanan dingin (cold storage) benih jenis ini sangat tidak menguntungkan. Untuk dapat bertahan lama (5–6 tahun), benih harus dikeringkan sampai kadar air mencapai 6–10% dan kemudian disimpan pada suhu 1–2oC (Rudolf, 1974). Hanya sedikit benih yang mampu berkecambah pada musim semi, sesaat setelah buah masak. Pada kondisi alaminya, perkecambahan puncak terjadi pada musin semi tahun berikutnya dan sebagian lagi pada musim semi dua atau tiga tahun berikutnya setelah benih masak atau jatuh (Rudolf, 1974). Lambatnya perkecambahan diduga ada hubungannya dengan mekanisme dormansi benih. Dormansi benih yang terdapat dalam T. brevifolia diperkirakan menyangkut tiga mekanisme: kulit benih mungkin mengandung senyawa penghambat (inhibitor); ukuran embrio yang masih sangat kecil, meskipun benih telah masak penuh; dugaan adanya dormansi genetik atau dormansi fisiologis yang belum teridentifikasi letaknya. Stratifikasi yang efektif untuk benih T. brevifolia adalah penyimpanan benih di ruang dingin dan basah pada musin dingin tahun pertama, penyimpanan pada suhu hangat di tahun yang sama, kemudian penyimpanan dingin dan basah kembali pada tahun berikutnya. Dengan cara ini, perkecambahan dapat disingkat selama waktu 12– 18 bulan (Pilz, 1996). Lamanya stratifikasi yang dibutuhkan untuk perkecambahan diduga berhubungan dengan
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 21
tingkat kemasakan biji pada waktu pengumpulan. Anakan T. brefivolia sangat rentan terhadap penyakit dumping-off. Pemberian naungan yang diperlukan pada saat benih disemai dan dibiarkan akan menghasilkan daya berkecambah sebesar 10–20%. 2.2.4 Penggunaan Kayu T. brevifolia masih digunakan [dibatasi karena kelangkaan] untuk busur panah, tombak, dayung kano, peralatan rumah tangga, alat musik, ukiran patung, furnitur, dan kayu bakar (Bolsinger & Jaramillo, 1990). Bagian tanaman, daun, ranting, dan kulit batang digunakan oleh penduduk asli Amerika untuk mengobati penyakit paru-paru, perut, luka, dan nyeri (Moerman, 1986). T. brevifolia digunakan juga untuk pohon hias, tanaman fondasi, pagar, dan bonsai (Bolsinger & Jaramillo, 1990) (Gambar 7). Meskipun sekarang sudah mulai ditemukan teknologi yang mampu memproduksi paclitaxel secara semisintetis dari pohon hasil budi daya, tingkat eksploitasi yang sangat tinggi menyebabkan kekhawatiran yang mendalam jika T. brevifolia akan menjadi langka. Tingkat eksploitasi yang tinggi juga mulai dilakukan terhadap jenis Taxus lainnya dengan tujuan yang sama, yaitu mendapatkan paclitaxel. Kondisi seperti ini telah memicu kelangkaan berbagai jenis Taxus di berbagai belahan bumi. Status keterancaman T. brevifolia dalam IUCN Red List, yaitu sebagai jenis dengan risiko mendekati keterancaman (Near Threatened/NT) (IUCN, 2014).
22 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Sumber: http://swindon-bonsai.co.uk/ (diakses 9 Maret 2014)
Gambar 7. Bonsai genus Taxus sebagai penggunaan lainnya
2.3
Taxus baccata Linn
2.3.1 Penyebaran Taxus baccata disebut juga dengan nama English yew. Jenis ini merupakan pohon berdaun jarum yang tumbuh alami di Eropa (bagian Barat, Tengah, dan Selatan), Barat Laut Afrika, Irak Utara, dan Barat Daya Asia (Zamani et al., 2008; Spjut, 2007). Meskipun distribusi sebaran alaminya sangat luas, jumlah individu setiap populasinya sangat kecil sehingga mempertinggi risiko keterancamannya (Lewandowski et al., 1995). Berbagai penemuan terhadap jenis yang memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 23
T. baccata menyebabkan terjadinya subpengelompokan baru (Zamani et al., 2008). Taxus baccata merupakan nama ilmiah yang merujuk pada variasi atau kultivar untuk European yew, common yew, dan English yew (Rushforth, 1999). Sudah sejak lama pohon ini disebut sebagai “Pohon Kematian”; padahal, secara alami memiliki sifat yang berumur panjang, kuat dan awet, beracun, dan secara tradisional digunakan oleh penduduk lokal sebagai obat nyeri/keluhan pada dada, serta simbol kehidupan yang kekal (Hartzell, 1991). 2.3.2 Habitus Pohon hijau sepanjang tahun dengan ukuran kecil sampai sedang, tinggi mencapai 10–20 m, pada beberapa individu dapat mencapai 30 m, dan tumbuh pada ketinggian 2.000–4.000 m dpl (Lewandowski et al., 1995; Orwa et al., 2009; Bondare, 2013; Sharma & Uniyal, 2010). Jenis ini tumbuh sangat lambat, tetapi dapat hidup sangat lama (Hartzell, 1991). Pohon terbesar yang tercatat dalam sejarah untuk T. baccata, yaitu diperkirakan berumur mencapai 2.000–4.000 tahun [meskipun secara historis penentuan umur jenis Taxus dari spesimen kayu tidak dapat diperkirakan secara tepat dan masih menjadi perdebatan] (Hindson, 2000). Namun demikian, terdapat satu kesepakatan umum di antara para botanis bahwa T. baccata merupakan jenis pohon paling tua yang tumbuh di Eropa.
24 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Morfologi lainnya terkait T. baccata adalah sebagai berikut. Kulit batang berwarna cokelat kemerah-merahan dan bersisik; daun berbentuk lanset, datar, berwarna hijau tua dengan panjang 1–3 cm dan lebar 2–3 mm (Thomas & Polwart, 2003; Hoffman, 2004); daun tersusun secara spiral pada cabang dengan bagian dasar daun melintir (Edward & Dennis, 1994). Buah kerucut sangat termodifikasi; tiap kerucut mengandung satu individu biji yang sangat beracun (Edward & Dennis, 1994) dengan panjang kurang dari 1 cm dikelilingi oleh sisik yang termodifikasi dan berkembang menjadi struktur yang juga menyerupai buah beri (aril). Pembungaan terjadi pada bulan September dan berbuah pada bulan Oktober. Buah akan dikelilingi oleh aril dan apabila sudah masak akan berwarna merah cerah dan bertekstur lembut dengan ukuran panjang dan lebar 8– 15 mm sehingga aril rentan dimakan oleh burung dan mamalia (Sharma & Uniyal, 2010). Selama penyebaran ini, benih tidak rusak karena memiliki kulit yang cukup keras (Orwa et al., 2009). Seperti halnya T. brevifolia, perkembangan embrio benih T. baccata di dalam aril akan mulai terjadi 2–3 bulan setelah penyebaran oleh burung atau mamalia sehingga membantu meningkatkan keberhasilan penyebaran dan perkecambahan benih secara alami. Kerucut jantan juga berbentuk membulat dengan diameter 3–6 mm dan akan menyebarkan tepung sarinya pada awal musim semi. Pada umumnya, T. baccata juga berumah dua (dioecious), tetapi pada suatu kondisi tertentu dapat ditemukan pula satu individu yang bersifat berumah satu (monocious), atau bahkan, bertukar jenis kelamin seiring Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 25
dengan waktu (Bondare, 2013). Semua bagian pohon sangat beracun (toxic), kecuali aril yang berwarna merah cerah yang menutupi biji yang memungkinkan terjadinya proses pencernaan dan penyebaran biji oleh burung (Edward & Dennis, 1994). 2.3.3 Sistem Perbanyakan Seperti halnya Taxus yang lain, T. baccata dapat diperbanyak secara generatif (dengan biji) dan vegetatif (umumnya stek). Perbanyakan secara generatif banyak mengalami kendala, seperti jumlah biji/buah yang tidak melimpah akibat banyaknya satwa pemakan buah ini (Daniel et al., 2000). Selain itu, pemecahan masa dormansi sangat sulit dan daya viabilitas rendah (Khali, 2001). Perbanyakan secara vegetatif memberikan peluang yang sangat menjanjikan sebagai penyedia bibit tanaman untuk proses regenerasi secara alami (Singh & Bhalla, 2006). Penelitian tentang teknik propagasi secara vegetatif telah dilakukan secara intensif oleh Nandi et al. (1996), Maden (2003), dan Singh & Bhalla (2006). Hasil perbanyakan vegetatif terhadap Taxus baccata dilaporkan bahwa jenis ini memiliki kemampuan berakar 65–80% dengan panjang akar sekitar 10–38 cm (14 minggu setelah tanam dengan menggunakan hormon NAA 0,25 mM), dan 85–95% dengan panjang akar 8–13 (IBA 0,25 mM) (Nandi et al., 1996).
26 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
2.3.4 Penggunaan T. baccata biasa ditanam di halaman-halaman gereja di Inggris dan Irlandia sampai ke wilayah Austria. Di kalangan petani pada komunitas tertentu, pohon ini ditanam sebagai penyemangat keberhasilan ladang atau lahan pertanian mereka. Jika dikaitkan secara rasional, hal ini berhubungan dengan hampir semua bagian tanaman yang beracun, kecuali aril, sehingga tidak akan ada binatang pengganggu di ladang/wilayah pertanian mereka. Aril buahnya secara turun-temurun digunakan masyarakat lokal sebagai obat alami untuk mengobati gigitan ular, kalajengking, anjing gila (rabies), penyakit jantung, paru-paru, dan diabetes (Orwa et al., 2009; Sharma & Uniyal, 2010). Daun Taxus sangat beracun, senyawa alkaloid dan glukosida yang terkandung sangat beracun bagi binatang, seperti kelinci dan kuda, serta bagi manusia dapat mengganggu sistem pencernaan, gangguan saraf, pernapasan dan jantung, yang berujung pada kematian. Taxus baccata juga umum digunakan sebagai jenis ornamental dalam landscaping tanaman hias di kebun. Rantingnya yang hijau juga digunakan oleh penduduk lokal di Nepal sebagai hiasan rumah selama festival keagamaan (Orwa et al., 2009). Penggunaan penting lainnya adalah di dunia farmasi. Ekstraksi terhadap Taxus jenis ini menghasilkan docetaxel yang merupakan obat kemoterapi untuk berbagai penyakit kanker. Status keterancaman jenis ini dalam IUCN Red List, yaitu jenis dengan risiko keterancaman yang masih rendah (IUCN, 2014). Namun demikian, penelitian Lewandowski et al. (1995) menemukan
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 27
bahwa jenis ini memiliki keragaman genetik yang sangat rendah yang berimplikasi pada peningkatan risiko kepunahan jenis.
2.4
Taxus cuspidata Siebold & Zucc
2.4.1 Penyebaran Taxus cuspidata disebut juga dengan nama Japanese yew. Tumbuhan ini pertama kali ditemukan sekitar 80 tahun yang lalu di Jepang (Li, 1999). Kemudian, pohon berdaun jarum ini mulai meyebar ke wilayah lain, seperti Korea, Cina bagian Selatan, dan Rusia bagian Tenggara (Spjut, 2007). 2.4.2 Habitus Pohon hijau sepanjang tahun dengan ukuran daun kecil (berbentuk jarum), tinggi mencapai 16–20, dan disebut pohon dewasa jika umurnya mendekati 200 tahun (Suffness, 1995). Pertumbuhan riap tahunan jenis ini relatif kecil (Zu et al., 2006) dengan proses germinasi yang hampir 2 tahun (Hartzell, 1991). Daun berwarna hijau tua dengan panjang 1,5–3,5 cm dan lebar 2–3 mm yang tersusun secara spiral pada cabang dengan bagian dasar daun melintir (Ohwi, 1965; Hoffman, 2004). Tumbuhan ini ditemukan hidup pada ketinggian 1.000–3.000 m dpl (Waibel, 2010; Allison et al., 2008). T. cuspidata juga ditemukan hidup di luar habitat (areal terbuka, ketinggian 80 m dpl) dan mampu hidup dengan tinggi hanya mencapai 2 m, mirip seperti pohon kerdil atau semak (Allison et al., 2008). 28 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
T. cuspidata memiliki karakteristik daun dan morfologi reproduksi yang hampir mirip dengan Taxus yang lainnya. Benih hasil pembuahan dikelilingi oleh aril dan berdaging buah berwarna merah jika sudah masak (Allison et al., 2008). 2.4.3 Sistem Perbanyakan Perbanyakan generatif merupakan mekanisme perbanyakan Taxus secara alami. Namun dari aspek budi daya, teknik perbanyakan melalui vegetatif dianggap sebagai teknik perbanyakan yang paling efisien (Li et al., 2006), termasuk juga untuk Taxus jenis ini. 2.4.4 Penggunaan T. cuspidata merupakan jenis yang sangat umum ditanam di Asia bagian Timur dan Amerika Selatan bagian Timur sebagai tanaman hias/ornamental. Penggunaan lainnya adalah sebagai sumber bahan aktif dalam dunia farmasi. Sekitar 193 senyawa aktif telah ditemukan; baik pada kulit batang, biji, kayu maupun akar Taxus cuspidata (Wang et al., 2010). Senyawa yang paling penting saat ini adalah Taxol® sebagai obat kanker payudara, ovarium, dan jenis kanker lainnya. Sayangnya, permintaan taxol yang tinggi tidak selaras dengan kemampuan regenerasinya yang cenderung menurun (Zu et al., 2006), pertumbuhan yang lambat (Hartzell, 1991), dan jumlah benih yang terbatas (Daniel et al., 2000). Hal ini menjadikan populasi Taxus di beberapa wilayah distribusi alaminya mengalami
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 29
penurunan drastis. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh IUCN, T. cuspidata dikelompokkan sebagai tanaman hutan yang populasinya terancam punah dengan tingkat risiko yang rendah (IUCN, 2014).
2.5
Taxus canadensis Marsh
2.5.1 Penyebaran Taxus canadensis disebut juga dengan nama Canadian yew, American yew, dwarf yew,dan ground hemlock. Jenis ini merupakan pohon berdaun jarum yang tumbuh alami di Amerika Utara bagian Tengah dan Timur (Darbyshire, 2003). Tempat tumbuh terbaik adalah di daerah yang basah, jurang-jurang, tepian sungai, dan juga tepian danau. 2.5.2 Habitus Berbeda dengan Taxus lainnya, T. canadensis tumbuh sebagai semak yang melebar yang tingginya tidak lebih dari 4 m dengan diameter 9 cm (Pinto & Herr, 2005). Kulit batang berwarna cokelat bersisik. Daun berbentuk lanset, datar, dan berwarna hijau tua dengan panjang 1–2 cm dan lebar 0,5–2 mm (Hoffman, 2004). Buah kerucut sangat termodifikasi; tiap kerucut mengandung satu individu biji yang dikelilingi oleh sisik yang termodifikasi dan berkembang menjadi struktur yang menyerupai buah beri (aril) (Wilson et al., 2006). Jenis ini ditemukan tumbuh pada ketinggian kurang dari 1.500 m dpl dengan kondisi pH tanah sekitar 5–7,5 (Comer et al., 2003; Pinto & Herr, 2005).
30 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
T. canadensis adalah tumbuhan yang hidup di bawah naungan atau menempati strata kedua pada lantai hutan. Untuk tumbuh dan bertahan hidup, tumbuhan ini hampir tidak memerlukan cahaya matahari. Namun demikian, cahaya pada ketinggian 1 m dapat dimanfaatkan sampai 95% untuk pertumbuhannya (Aubin et al., 2000). Jika tumbuh pada lahan terbuka, kemampuan hidupnya akan berkurang menjadi <50%. Untuk mencegah dehidrasi, jenis ini akan mengendalikan kelembaban dan suhu melalui sistem perakaran yang dimilikinya (Martell, 1974; Pothier & Margolis, 1991). 2.5.3 Sistem Perbanyakan T. canadensis dapat diperbanyak secara generatif (dengan biji) dan vegetatif (umumnya stek). Namun, perbanyakan secara generatif banyak mengalami kendala sehubungan dengan karakteristik benih Taxus secara umum sehingga perbanyakan vegetatif cukup menjanjikan untuk memenuhi ketersedian bibit. Prosedur lengkap teknik perbanyakan secara vegetatif diuraikan oleh Yeates et al. (2005). 2.5.4 Penggunaan T. canadensis memiliki tingkat toksikogenik yang lebih rendah dibandingkan T. baccata. Namun demikian, seluruh bagian tanaman tetap memiliki kandungan racun yang cukup tinggi, kecuali bagian aril (Edward & Dennis, 1994; Orwa et al., 2009; Sharma & Uniyal, 2010). Masyarakat lokal
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 31
setempat secara tradisional memanfaatkan daun T. canadensis sebagai teh. Dalam dosis yang kecil, tumbuhan ini digunakan untuk pengobatan berbagai macam keluhan penyakit rematik. Cabang-cabang atau ranting-ranting juga digunakan bersama dalam mandi uap untuk pengobatan luar penyakit rematik. Namun demikian, [tetap harus menjadi catatan] tumbuhan ini masih sangat toksik dan para herbalis modern lebih menyukai penggunaan herbal lainnya yang lebih aman digunakan untuk menggantikan T. canadensis dalam mengobati suatu penyakit. T. canadensis dipanen sebagai sumber penghasil Taxane di bagian Utara Ontario, Quebec, dan Atlantik sejak kelompok senyawa ini menjadi fokus utama dunia dalam pengobatan berbagai penyakit kanker (Farr, 2008). Kandungan bahan aktif pada T. canadensis jauh lebih besar dibandingkan T. brevifolia. Selain itu, bagian daun T. canadensis yang banyak mengandung kelompok senyawa Taxane dapat dipanen secara berkala dan berkelanjutan untuk diekstraksi setiap 5 tahun sekali tanpa menebang pohon atau menguliti batangnya yang akan menimbulkan kematian tanaman. Berdasarkan data yang tercatat, pemanenan daun T. canadensis meningkat tajam dari sekitar 5.000 kg pada tahun 2003 menjadi 400.000 kg pada tahun 2005, dengan rasio Taxol® yang diperoleh adalah 30.000 : 1 (kg/kg) (Farr, 2008). Menurut data IUCN (2014), status keterancaman jenis ini dalam IUCN Red List, yaitu sebagai jenis dengan risiko keterancaman yang masih rendah.
32 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
BAB Biologi dan 3 Domestikasi Taxus 3.1
Biologi Taxus
3.1.1 Pembungaan dan Pembuahan
Hampir semua jenis Taxus berumah dua, namun T. canadensis merupakan tumbuhan berumah satu (Wilson et al., 1996). Bunga berukuran kecil dan soliter yang tumbuh dari tunas aksila. Kuncup bunga betina terdiri atas ovul tunggal yang dikelilingi oleh lima kelopak bunga (Difazio et al., 1996). Anthesis diindikasikan dengan terdapatnya mikropolar pada ovul yang terbuka, yang selanjutnya akan berkembang menjadi satu benih (Allison et al., 2008; Difozio et al., 1996). Kuncup bunga jantan biasanya mengelompok di sepanjang bagian bawah percabangan (Difazio et al., 1996). Bunga jantan memiliki 14 stamen (penghasil gamet jantan), masing-masing dengan 5–9 mikrosporangia atau kantong polen. Polen tersebar pada bulan Februari–Mei dengan butir-butir polen berwarna kuning dan berdiameter sekitar 19–26 m (Maguchi & Fukuda, 2001). Buah masak pada akhir musim panas sampai musim gugur; susunan luar buah berdaging dengan aril berbentuk seperti cangkir, tumbuh tunggal, keras, berbentuk oval dengan panjang mencapai lebih dari 6 mm (Wilson et al., 2006). Biji yang matang memiliki lapisan luar berwarna cokelat keabuan
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 33
sampai cokelat dan terisi dengan jaringan megagametofit putih (kaya lemak). Informasi mengenai frekuensi pemanenan benih berkualitas baik hanya sedikit. Pembungaan dan produksi buah akan dihasilkan pada pohon yang telah berumur 30– 35 (Thompson & Teoranto, 2014). Namun, terdapat indikasi bahwa hampir seluruh jenis Taxus memproduksi benih hampir setiap tahun, dengan jumlah benih/pohon yang sangat bervariasi. Benih yang ditemukan pada lapisan atas tanah tetap utuh dan memiliki viabilitas baik, meskipun sudah jatuh bertahun-tahun (Minore et al., 1996). Jumlah benih Taxus per kilogram sangat bervariasi menurut jenis. Tabel 1 menunjukkan data jumlah benih beberapa jenis Taxus.
Tabel 1. Data produksi benih Jenis
Lokasi pengumpulan
T. baccata
Eropa Barat Amerika Serikat T. brevifolia Carson & Skamania South Cascade Central Cascade T. canadensis Upper Midwest Minesota & Wincosin T. cuspidata Jepang Amerika Serikat
Produksi benih (buah) Jumlah Ratacontoh Jumlah/kg rata/kg 13.900-18.000 13.200-15.000 32.400-36.200 23.800-25.900 26.330-39.950 33.000-62.400 35.700-38.460 24.700-43.000 14.840-19300
17.000 14.100 33.100 24.950 31.077 46.300 37.000 31.300 16.300
Sumber: Vance & Rudolp (2000)
34 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
14 3 2 10 4 4 4 7 3
Berdasarkan data pada Tabel 1 terlihat bahwa data T. sumatrana tidak ada. Hal ini berarti, T. sumatrana belum dipelajari dengan baik tentang keberadaan dan pemanfaatannya secara luas di Indonesia. Jumlah benih per kilogramnya termasuk banyak sehingga benih-benih Taxus termasuk kelompok benih berukuran sedang. 3.1.2 Pengumpulan Buah Pematangan buah dan pemasakan aril (bentuk biji penuh dengan warna aril merah–oranye) berlangsung selama berbulan-bulan. Selama periode tersebut, peluang hilangnya buah karena dimakan satwa mamalia cukup tinggi, yaitu mencapai 75% hanya dalam beberapa hari (Wilson et al., 1996; Sharma & Uniyal, 2010). Untuk menghindari kehilangan akibat hama, pemetikan buah harus dilakukan teratur dan dimulai saat satu per satu buah tersebut mulai matang. Untuk menjamin terkumpulnya benih pada satu areal khusus, pemasangan kantong plastik pada percabangan-percabangan yang berbuah cukup efektif sehingga buah tidak jatuh akibat pergerakan tupai atau hama lainnya. Jika pengunduhan buah secara individual tersebut untuk setiap pohon dianggap tidak praktis, pemanenan dapat dilakukan dengan membentangkan kantong plastik di bawah percabangan (Difazio et al., 1996). Biasanya, pemasangan dimulai pada bulan Juli dan pengecekan dilakukan pada akhir musim gugur. Fenologi T. sumatrana hingga saat sekarang belum terdokumentasikan dengan baik, apalagi Taxus pada umumnya berumah dua. Dengan demikian, peluang untuk
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 35
mendapatkan pohon terisolasi dan tidak berbuah akan sangat besar. Fenologi T. sumatrana harus diketahui dengan baik agar dapat mengembangkan strategi perbanyakannya. Teknik perbanyakan secara vegetatif untuk klon-klon unggul merupakan salah satu teknik dalam pengadaan benih. 3.1.3 Ekstraksi dan Pembersihan Benih harus segera diekstraksi dari daging buah setelah dipanen (Thompson & Teoranto, 2014). Penyimpanan dengan daging buah akan mengundang infeksi jamur. Ekstraksi benih dilakukan dengan maserasi aril segar di dalam air (Jaziri et al., 1996). Benih yang dimasukkan dalam mesin pembersih berkecepatan rendah merupakan metode pemisahan aril yang cukup praktis tanpa merusak benih. Setelah ekstraksi selesai, benih harus dikeringkan. Langkah selanjutnya setelah benih kering, antara lain penimbangan berat benih, penyemaian langsung, stratifikasi, ataupun penyimpanan dingin (cold storage). Kemurnian lot benih biasanya berkisar 96–100% dan tingkat kesehatan 78–99% (Vance & Rudolp, 2000). Teknik ekstraksi benih T. sumatrana juga belum banyak ditulis. Teknik ekstraksi basah akan lebih menjamin persentase kesehatan benih yang lebih baik karena Taxus mempunyai struktur daging buah yang mudah terkelupas jika difermentasi terlebih dahulu.
36 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
3.1.4 Penyimpanan Benih Taxus termasuk dalam kelompok benih ortodoks sehingga memiliki daya simpan yang cukup lama. Penyimpanan pada suhu rendah dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan viabilitas pada angka rata-rata 50– 70% (Thompson & Teoranto, 2014). Untuk menjaga agar viabilitas benih tetap tinggi pada periode penyimpanan jangka panjang sampai 5–6 tahun, benih tersebut harus segera dikeringanginkan selama 2 minggu sesaat setelah diekstraksi dan dibersihkan, selanjutnya disimpan dalam wadah tertutup dengan suhu 1–2oC (Rudolf, 1974). Pada kondisi benih dikeringkan sampai kadar air 2–3% dengan kelembaban realtif 12–25%, viabilitas benih sebesar 90% dapat dipertahankan selama berminggu-minggu pada penyimpanan suhu ruangan 25oC. Cara lain untuk mempertahankan viabilitas benih yang cukup praktis dan sederhana adalah dengan menyimpan benih tersebut pada media pasir yang lembab dan gembur pada suhu rendah. Dengan teknik sederhana seperti ini, benih dapat disimpan selama 4 tahun (Thompson & Teoranto, 2014). Teknik penyimpanan benih pada dasarnya bertujuan untuk memperpanjang masa hidup atau viabilitas benih agar ketika dikecambahkan akan memiliki persentase tumbuh yang tinggi. Berbagai teknik penyimpanan benih T. sumatrana masih perlu diteliti lebih lanjut.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 37
3.1.5 Perlakuan Praperkecambahan Secara umum, benih Taxus sangat lambat berkecambah (Foster, 1993; Hartzell, 1991; Windels & Flaspohler, 2011). Perkecambahan alami biasanya tidak terjadi pada satu tahun setelah benih jatuh, namun benih akan berkecambah pada 2–4 tahun berikutnya (Minore et al., 1996; Thompson & Teoranto, 2014). Benih yang masih viable dapat ditemukan pada lapisan permukaan atas tanah/ serasah, meskipun benih tersebut sudah jatuh bertahuntahun sebelumnya. Data yang dilaporkan Minore et al. (1996) menyebutkan bahwa 59% perkecambahan Taxus secara alami terjadi dengan dipicu oleh kondisi kebakaran yang menyebar dan 41% sisanya akan terjadi setelah tersimpan lebih dari 3 tahun dalam lantai hutan. Mamalia atau burung pemakan benih Taxus tidak akan membuat benih tersebut cepat berkecambah, tetapi peran mereka hanya sebatas dalam penyebaran benih (Linares, 2012). Hal ini pun porsinya menjadi sedikit karena sebagian besar buah yang dikonsumsi akan dimakan dan dicerna oleh satwa tersebut. Sebagai contoh pada Taxus cuspidata, mamalia dan burung mampu mengonsumsi 90% benih jenis ini dan hanya menyisakan 10% benih yang jatuh ke tanah dan tersebar (Minore et al., 1996). Benih Taxus sangat kuat dengan masa dormansi yang bervariasi dan umumnya pematahan dormansi dilakukan dengan skarifikasi panas-dingin. Prosedur pematahan dormansi untuk jenis Taxus yang direkomendasikan oleh International Seed Testing Association (ISTA) berupa perlakuan prechilling selama 270 hari pada suhu 3–5oC.
38 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Tabel 2 menggambarkan perlakuan skarifikasi untuk beberapa jenis Taxus yang pernah dilakukan.
Tabel 2. Periode skarifikasi dan kondisi uji perkecambahan Kondisi perkecambahan Kemampuan Stratifikasi (hari) Suhu (oC) berkecambah rata-rata Panas Dingin Siang Malam
Jenis T. baccata
-
-
16
10
67
T. baccata
120
365
10–16
10–16
47
T. brevifolia
-
-
30
20
55
T. cuspidata
120
365
10–16
10–16
68
Sumber: Vance & Rudolp (2000)
Cara lain yang dilakukan oleh Zhiri et al., (1994) untuk memecah masa dormansi adalah melakukan pencucian dan perendaman selama 7 hari dan perlakuan perkecambahan secara in vitro pada media MS (Murashige dan Skoog) atau H (Heller) yang dimodikasi. Dengan metode ini, benih akan berkecambah 100% dalam waktu 7 hari setelah penaburan. Perlakuan tersebut memberikan kemungkinan bahwa dormansi kulit merupakan problem utama sehingga penyerapan air secara imbibisi berjalan sangat lambat dan membutuhkan nitrogen dari larutan MS. 3.1.6 Perkecambahan dan Uji Viabilitas Benih Tipe perkecambahan benih Taxus adalah epigeal. Perkecambahan jenis ini berlangsung secara sporadis (tidak seragam) dalam beberapa tahap selama bertahun-tahun Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 39
(Thompson & Teoranto, 2014; Minore et al., 1996). Salah satu penyebab hal ini adalah adanya dormansi yang sangat tinggi. Persentase perkecambahan pada tahun pertama tidak secara otomatis dapat mengindikasikan potensi perkecambahan benih karena perkecambahan masih akan berlangsung pada tahun-tahun berikutnya (Minore et al., 1996). Teknik perkecambahan Taxus yang lebih cepat memerlukan perlakuan awal (skarifikasi dan stratifikasi) untuk melakukan pematahan dormansi, baik dormansi fisik, fisiologis maupun embrio. Uji perkecambahan benih untuk jenis-jenis Taxus yang direkomendasikan sebagai pilihan pertama adalah pewarnaan dengan tetrazolium. Berikutnya, uji dilanjutkan dengan perkecambahan dalam media pasir pada suhu lingkungan 30oC selama 28 hari setelah dilakukan stratifikasi selama 270 hari (ISTA, 1993). Uji pemotongan benih juga direkomendasikan sebagai teknik yang cepat untuk mengecek viabilitas benih. Setelah benih dipotong dengan pisau tajam menjadi dua bagian, pengujian dapat dilakukan terhadap embrio dan megagametofit. Jika embrio berkembang dan tidak berwarna (bening/ transparan) dengan kuncup kotiledon terlihat dan megagametofit berwarna putih, benih dapat dikelompokkan sebagai benih dewasa dan viable. Uji viabilitas dengan metode pewarnaan selama 24–28 jam, yang selanjutnya diteruskan dengan pemotongan embrio, akan memberikan hasil benih viable jika semua bagian embrio dan endosperma berwarna cerah.
40 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
3.2
Pembibitan dan Pemuliaan
Dalam pengelolaan sumber daya, secara garis besar terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk menjamin kelestarian suatu jenis atau produk: 1) penerapan dan pengembangan tata cara yang dapat memberikan jaminan tingkat pemanenan lestari terhadap populasi alam, dan 2) optimalisasi produk atau hasil melalui program domestikasi. Dalam hal ini, domestikasi mengacu pada kegiatan mengonversi (merubah) suatu jenis liar menjadi jenis budi daya/pemeliharaan, yang selanjutnya dapat diperjualbelikan sesuai dengan peraturan yang berlaku agar jenis yang tumbuh secara alami tidak punah. Terminologi domestikasi pada sektor kehutanan lebih dikenal dengan istilah pemuliaan pohon. Salah satu titik berat dari tujuan domestikasi pada sektor kehutanan adalah untuk menjamin kelestarian pemanenan kayu dan mengakomodasi kebutuhan industri pengolahan hasil hutan dan turunannya. Domestikasi yang dilakukan pada beberapa jenis Taxus dilakukan untuk menekan tingkat eksploitasi jenis ini di alam dan menyuplai kebutuhan industri paclitaxel dengan meningkatkan produksi perbanyakan secara massal, cepat tumbuh, dan memiliki kandungan Taxane yang tinggi (Smith et al., 2006). Program domestikasi Taxus merupakan kegiatan pemuliaan pohon yang merubah Taxus alam menjadi pohon yang dibudidayakan secara intensif untuk memenuhi berbagai tujuan, namun akan lebih diutamakan untuk klon-klon yang menghasilkan Taxane tertinggi; baik pada kulit, daun maupun bagian
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 41
lainnya. Yeates et al. (2005) menyatakan bahwa untuk mendukung keberhasilan domestikasi maka diperlukan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi dan diimplementasikan dengan tiga kerangka model kegiatan domestikasi. Untuk Taxus sumatrana, kerangka kegiatan model domestikasi yang dapat dikembangkan, sebagai berikut. 1) Seleksi individu dari keseluruhan sebaran populasi jenis yang ada di Indonesia. 2) Pengujian dan skrining untuk menyeleksi klon-klon dengan kandungan Taxane yang tinggi. 3) Implementasi program produksi skala besar dari pohonpohon elite atau klon terpilih. Program produksi secara massal dapat dikerjakan melalui stek, cangkok, sambungan, kultur jaringan, dan kultur sel. Jika program tersebut dapat dikerjakan secara sistematis, produksi Taxane tidak lagi mengandalkan tegakan alami sehingga kelestarian produksi dan kelestarian Taxus dapat dijaga dengan baik. Taxane merupakan senyawa kimia yang terkandung dalam semua jenis Taxus, namun konsentrasinya bervariasi interindividu maupun antarindividu, dan varietas. Pemanenan Taxane yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi telah menjadi faktor penyebab langkanya berbagai populasi Taxus di dunia. Sebagai konsekuensi dari pertumbuhan yang lambat, tingkat pemanenan yang tinggi, pemangsaan biji oleh binatang, dan konversi lahan hutan
42 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
untuk berbagai kepentingan mengakibatkan laju kelangkaan Taxus menjadi semakin nyata dan semakin cepat (Windels & Flaspohler, 2011; Linares, 2012). Oleh karenanya, program domestikasi menjadi sebuah kegiatan yang dinilai signifikan untuk dilaksanakan. Selama ini, kegiatan domestikasi Taxus telah dimulai sejak tahun 1997 (Webster et al., 2005). Untuk melaksanakan tiga model domestikasi Taxus seperti yang telah dituliskan sebelumnya, program pemuliaan Taxus yang dapat dilaksanakan (Smith et al., 2003; Yeates et al., 2005) meliputi seleksi kultivar, perbanyakan melalui stek di persemaian, manajemen budi daya intensif, kultur jaringan, dan peningkatan kandungan Taxane. Penjelasan setiap program pemuliaan tersebut diuraikan sebagai berikut. 3.2.1 Seleksi Kultivar Pada skema kegiatan ini semua genotipe dari suatu jenis Taxus dikumpulkan dari sebaran alaminya dan selanjutnya dilakukan perbanyakan. Salah satu teknik perbanyakan yang dapat dilakukan dan telah terbukti berhasil untuk berbagai jenis Taxus adalah dengan penyetekan (Rachmat et al., 2010; Nandi et al., 1996; Maden, 2003; Singh & Bhalla, 2006; Li et al., 2006; Mitchell, 1998). Setelah bibit dewasa, penanaman dilakukan di berbagai lokasi untuk uji provenansi dengan jumlah klon yang ditanam diusahakan sebanyak mungkin, atau minimal 100 klon per lokasi. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan klon dan juga terhadap kemampuan
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 43
memproduksi Taxane untuk setiap klon yang berbeda. Uji multilokasi akan memperkuat pengetahuan tentang pengaruh interaksi potensi genetika dan lingkungan untuk menghasilkan kandungan Taxane yang tertinggi. Seleksi kultivar untuk T. canadensis telah berhasil dilakukan dengan mengumpulkan 1.325 genotipe dari berbagai sebaran habitat alaminya (Webster et al., 2005; Smith et al., 2003). Meskipun masih sangat awal, hasil uji provenansi sementara terlihat adanya variasi sifat pertumbuhan, baik interpopulasi maupun antarpopulasi. Variasi genetik intervariasi dan antarvariasi teramati secara signifikan memiliki sebaran nilai 10–95% dan 25–85%. Total produksi biomassa antarbagian tanaman juga bervariasi secara signifikan antargenotipe yang dikumpulkan. Individu atau klon yang memperlihatkan performa terbaik dari keseluruhan populasi pengamatan dikembangkan untuk menjadi sumber perbanyakan. Peranan dari tekanan lingkungan (environmental stressing factors) juga perlu dipelajari dalam rangka meningkatkan produksi Taxane dalam lingkungan tertentu. 3.2.2 Teknik Perbanyakan Melalui Stek di Persemaian Program domestikasi dinyatakan berhasil dilakukan apabila periode waktu yang dibutuhkan mulai teridentifikasinya klon atau individu elite (penghasil Taxane tertinggi) sampai pada produksi skala besar terhadap individu-individu elite tersebut dapat dicapai sesingkat mungkin. Sampai dengan saat ini, kultur jaringan masih belum cukup berkembang dan perbanyakan stek masih 44 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
harus dilakukan dengan berbagai perbaikan pada banyak aspek untuk mendukung upaya produksi massal bahan tanaman. Jika perbanyakan stek sukses dilakukan dengan keberhasilan untuk mempersingkat waktu perbanyakan dan menekan biaya produksi, jumlah potensi individu elite hasil perbanyakan stek dapat ditingkatkan (Holloway, 2007). Berbagai percobaan penyetekan telah dilakukan, terutama dengan mempertimbangkan pengaruh berbagai faktor, seperti musim saat dilakukannya penyetekan, ukuran bahan stek, hormon tumbuh, media, intensitas cahaya, suhu terhadap pertumbuhan dan kecepatan perakaran (Rachmat et al., 2010; Nandi et al., 1996, Maden 2003; Singh & Bhalla, 2006; Webster et al., 2005; Yeates et al., 2005). Hasil pengamatan terhadap beberapa jenis Taxus diperoleh fakta bahwa untuk negara dengan empat musim, perbanyakan dengan teknik stek dapat dilakukan di setiap musim, hanya saja ada beberapa perbedaan perlakuan yang harus diterapkan untuk setiap musim tertentu. Dengan demikian, lokasi sebaran alami jenis Taxus yang dikembangkan akan memengaruhi perlakuan yang harus dikerjakan. Perlakuan terhadap T. sumatrana mungkin akan lebih mudah karena tumbuh di hutan tropis yang lembab tetapi dingin karena jenis tersebut tumbuh di dataran tinggi, seperti di G. Kerinci, G. Dempo, dan kawasan HL Dolok Sibuaton. Meskipun ukuran bahan stek hanya memperlihatkan pengaruh yang kecil terhadap kemampuan berakar, terdapat indikasi bahwa keberhasilan stek semakin
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 45
meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran bahan stek (Rachmat et al., 2010). Hal tersebut terkait dengan C/N di dalam bahan stek. Penambahan perendaman dalam larutan yang mengandung nitrogen diharapkan dapat meningkatkan persentase berakar bahan stek. Aplikasi hormon untuk merangsang perakaran juga bervariasi antarvarietas. Meskipun sampai dengan saat ini belum ada laporan mengenai perbedaan bahan stek yang diberi hormon dan yang tidak diberi hormon terhadap kemampuan berakar, penelitian pada beberapa jenis Taxus memperlihatkan hasil bahwa pemberian hormon akan memperpendek inisiasi pembentukan kalus (Mitchell, 1998; Kaul, 2008; Holloway, 2007). Gambar 8 adalah sistem perakaran T. sumatrana yang diperbanyak melalui stek. 3.2.3 Budi Daya dengan Persemaian Intensif Budi daya T. sumatrana dengan teknik persemaian intensif merupakan suatu kebutuhan karena jenis ini termasuk langka dan tumbuh lambat. Dalam hal ini, faktor yang diperhatikan antara lain media tumbuh, pupuk, mikoriza, lingkungan tumbuh, pemeliharaan, dan teknik perbanyakannya. Pada tahap awal, pencangkokan berulang (succesive grafting) harus dilakukan dari pohon-pohon besar di tegakan alami, kemudian dipindahkan ke persemaian. Pencangkokan berulang dilakukan kembali di persemaian sehingga akan didapat kebun pangkas yang memiliki sifat juvenil. Hal ini dimaksudkan agar mudah untuk melakukan perbanyakan dengan stek atau kultur jaringan. 46 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Sifat juvenil merupakan masalah utama dalam pengembangan pohon hutan. Secara genetik, pohon tua telah mengekspresikan potensi genetikanya, tetapi sangat sulit untuk perbanyakannya. Sebaliknya, semai mudah perbanyakannya, tetapi belum diketahui dengan baik potensi genetikanya sebagai penghasil Taxane. Setelah didapatkan materi juvenil yang secara genetik dianggap tua, manajemen persemaian intensif dapat dilanjutkan. Pada tahap yang lebih lanjut, kebun pangkas T. sumatrana dapat dibangun pula. Penelitian mengenai manajemen persemaian intensif perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa responsif jenis-jenis Taxus terhadap budi daya intensif di persemaian. Berbagai jenis pupuk pada beberapa taraf pemberian juga harus diujicobakan. Percobaan pemupukan dengan jenis dan dosis yang bervariasi seyogyanya dikombinasikan pula dengan berbagai kondisi lingkungan yang beragam untuk mendapatkan kondisi yang paling optimal dalam mendukung pertumbuhannya. Upaya ini diperlukan untuk mendukung keberhasilan produksi skala besar tanaman Taxus. Percobaan-percobaan lainnya yang dapat dilakukan dalam manajemen budi daya intensif, antara lain manipulasi lingkungan untuk memperlebar masa tanam di semua musim, pemberian pupuk intensif, periode dan intensitas penyiraman, serta prunning bagian atas tajuk. Informasi terkait interaksi bibit T. sumatrana dengan mikoriza atau mikroba lain masih sangat kurang. Studi hubungan simbiosis mikoriza dengan beberapa jenis Taxus sudah dilakukan oleh beberapa peneliti. Wubet et al. (2003)
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 47
mengidentifikasi bahwa T. baccata berasosiasi dengan Vesicular-Arbuscular Mikorhiza (V-AM) jenis Glomus sp dari tipe Paris. Sementara itu, Korouri et al. (2002) dapat mengisolasi empat jenis mikoriza dari akar T. baccata, yaitu kelompok Glomus, Acaulospora, Gigaspora, dan Sclerocysis. Iglesias et al. (2000) melaporkan bahwa stek T. baccata yang diinokulasi dengan Acaulospora scrobiculata atau Glomus deserticola meningkatkan serapan hara P, K, Ca, Mg, Cu, dan Zn pada umur 9 bulan. Sementara itu, inokulasi jenis V-AM yang ditambah dengan pupuk dosis standar menghasilkan kolonisasi pada akar T. occidentalis sebesar 91–99% (Falkowski & Matysiak, 2010). Inokulasi Glomus intraradices juga dapat meningkatkan biomassa semai T. baccata (Scagel et al., 2003). Walaupun penelitian pengaruh inokulasi mikoriza telah nyata dapat meningkatkan pertumbuhan semai Taxus, studi pengaruh mikoriza terhadap kadar Taxane masih belum dilakukan. 3.2.4 Kultur Jaringan Tujuan terpenting dari kegiatan kultur jaringan adalah memproduksi bibit klonal elite dengan waktu yang lebih cepat dan kuantitas yang lebih banyak jika dibandingkan dengan teknik perbanyakan konvensional, seperti penyetekan. Riset dengan metode ini juga dilakukan untuk pengembangan metode embriogenesis somatik dan bioreaktor mini untuk menghasilkan jaringan embriogenesis somatik bahan tanaman yang seragam. Pengembangan embriogenesis somatik pada jenis T. brevifolia sudah diketahui pada tahun 1996 pada media 48 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Lloyd & McCown, yaitu sebanyak 5% dapat diregenerasi menjadi tanaman (Chee, 1996). Abbasin et al. (2010) berhasil membuat sebuah prosedur sederhana untuk memperbanyak T. baccata melalui kultur jaringan dengan pengembangan embriogenesis somatik (Gambar 9) yang memungkinkan secara ekonomi dapat menyediakan sumber produksi Taxol® dan menghindari bibit tanaman Taxus dari keterancaman kelangkaan jenis. Hussain et al. (2013) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa kultur kalus dari batang dan daun tidak cocok untuk organogenesis dari Taxus wallichiana, namun kultur pucuk sangat bagus untuk perpanjangan dan multiplikasi tunas dalam kultur jaringan. 3.2.5 Metode Kultur untuk Peningkatan Produksi Taxane Tujuan paling penting dalam sebuah proyek domestikasi Taxus adalah terbentuknya individu-individu dengan kandungan Taxane yang tinggi. Dengan demikian, tanaman yang mampu tumbuh dua kali lebih cepat, tetapi kandungan Taxane yang rendah akan memiliki nilai yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh relatif lebih lambat namun memiliki kandungan Taxane yang lebih tinggi. Selain itu, tanaman dengan pertumbuhan yang cepat dan kandungan Taxane yang rendah akan memerlukan biaya pengolahan dan pemrosesan yang lebih tinggi karena untuk menghasilkan Taxane yang banyak akan membutuhkan biomassa yang lebih banyak untuk diolah dan diproses.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 49
Berdasarkan hal tersebut, semua klon yang ditanam harus diamati dan diuji kandungan Taxane yang dimilikinya. Kandungan Taxane akan bervariasi seiring dengan variasi klon atau varietas. Variasi kandungan Taxane juga dapat diamati berdasarkan variasi musim, umur daun, dan pengaruh pengelolaan intensif. Untuk mendapatkan individu dengan kandungan Taxane yang tinggi dapat pula dilakukan dengan berbagai teknik manipulasi selama di persemaian, elisitasi pada prepemanenan dan pascapemanenan, screening berbagai material, teknik kultur di laboratorium, dan optimasi penanganan pascapanen dan pemrosesan biomassa. Domestikasi merupakan sebuah proses panjang dan berkelanjutan, terutama domestikasi untuk komoditas kehutanan yang rata-rata berbentuk pohon dengan daur hidup yang puluhan, bahkan ratusan tahun. Domestikasi Taxus memerlukan waktu sedikitnya 5 tahun untuk mendapatkan hasil atau informasi awal (Smith & Cameron, 2002). Oleh karenanya, sebelum domestikasi berhasil dibangun dan dikembangkan, populasi Taxus di alam sampai dengan saat ini masih menjadi sumber utama yang dipanen untuk memproduksi berbagai senyawa Taxane.
50 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
A
B
C
Gambar 8. Perbanyakan T. sumatrana melalui stek: A) Akar yang tumbuh dari jaringan kalus, B) Akar adventif yang tumbuh secara spontan, dan C) Penampang melintang akar (ep = epidermis, kr = korteks, ph = phloem, ka = kambium, aa = akar adventif) (Sumber: Rachmat, 2008)
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 51
A
B
C
D
Gambar 9. Perbanyakan T. baccata dengan kultur jaringan: A) Plantlet dari bagian tanaman yang sudah dewasa, B) Sumber bagian tanaman yang dihasilkan dari kalus biji T. baccata, C) Induksi pada media yang mengandung IBA (8 mg/L), dan D) Aklimatisasi plantlet di rumah kaca umur 6 bulan (Sumber: Abbasin et al., 2010)
52 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
BAB Kandungan Senyawa 4 Aktif Tumbuhan
tingkat
tinggi
merupakan
pabrik
biokimia yang dapat diperbaharui yang memanfaatkan bahan bakar sinar matahari dan mampu memproduksi metabolit primer ataupun sekunder dari bahan baku air, udara, dan mineral-mineral. Kondisi seperti ini telah mengantarkan manusia untuk memanipulasi dan memodifikasi tumbuhan untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan di bidang industri, baik kesehatan dan pangan (sebagai perasa, pewarna, dan obatobatan) maupun kosmetika. Tumbuhan menyintesis berbagai senyawa kimia dengan beragam manfaatnya masing-masing. Berbagai senyawa kimia yang dihasilkan tumbuhan, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit sekunder juga dikenal dengan “produk alami” (Gambar 10). Saat ini dipercaya bahwa terdapat lebih dari 100.000 struktur metabolit sekunder yang berbeda satu sama lain dengan 80%-nya disintesis oleh tumbuhan dan digunakan manusia untuk berbagai kepentingan. Padahal, metabolit sekunder sebelumnya dipandang sebagai produk sisa sampai tahun 1960-an.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 53
A
B
C
Sumber: Sankawa & Itokawa (2003)
Gambar 10. Struktur molekul dari 10-deacetylbaccatin III (A), baccatin III (B), dan paclitaxel (C)
Sebagai salah satu produk dari metabolit sekunder yang berpotensi memiliki aktivitas antikanker, paclitaxel 54 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
(golongan senyawa diterpen yang sangat kompleks) diperoleh dari ekstraksi bagian tanaman genus Taxus. Tata nama secara kimiawi adalah 5β, 20-epoxy-1,2 α,4,7 β,13 α hexahydroxytax-11-en-9one-4, 10-diacetate-2-benzoate 13 ester dengan (2R,3S)-N-benzoyl-3-phenylisoserine. Formulasi dan berat molekulnya adalah C47H5NO14 dan 853.9 Da (Panchagnula, 1998). Pada struktur utama Taxol® terdapat cincin A, B, dan C yang memiliki beberapa gugus fungsi, seperti dua hidroksil, satu benzoil, dua asetil, dan satu cincin oksetane. Ikatan pada C13 pada stuktur utama adalah C13 (2′R,3′S)-N-benzoyl-3′-phenylisoserine dengan satu gugus hidroksil and benzoil (Gambar 10). Malik et al. (2011) melaporkan proses biosintesis Taxol® sebagai berikut. Pembentukan dimulai dari geranylgeranyl diphosphate (GGPP) yang disintesis dari tiga molekul isopentenyl pyrophosphate (IPP) dan isomer dimethyl diphsophate (DMAPP) dengan bantuan enzim geranylgeranyl diphosphate (Gambar 11). Langkah awal dalam biosintesis Taxol® adalah kristralisasi geranylgeranyl diphosphate (GGPP) menjadi taxa-(4,5),(11,12)-diene melalui kristalisasi reaksi taxadiene synthase (TS). Setelah itu, gugus oksigen dan acyl ditambahkan ke dalam struktur utama Taxane melalui oksigenasi yang dikatalisasi oleh cytochrome P450 mono-oxygenases. Langkah kedua adalah hidroksilasi pada C5 cincin Taxane dengan enzim cytochrome P450 taxadiene-5 α-hydroxylase (T5 α H) yang menghasilkan taxa-4(20),11(12)dien-5 α–ol. Langkah selanjutnya adalah katalisasi pada acylates taxa-4(20),11(12)-dien-5 α-ol oleh taxadiene-5 α-ol-Oacetyl transferase (TDAT) spesifik di posisi C5 sehingga
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 55
terbentuk taxa- 4(20),11(12)-dien-5 α-yl-acetate. Produk yang terbentuk kemudian dihidroksilasi oleh taxoid 10 βhydroxylase (T10 β H) pada posisi C10. Setelah tahap ini, jalur yang terjadi menjadi tidak linier, artinya masih memungkinkan terbentuknya senyawa precursor yang lain, seperti taxa-4(20),11(12)-dien-5 α-acetoxy-10 β-14 β-diol (Hafner, 1996) sampai terbentuknya 2-debenzoylTaxane, melalui aktivitas enzyme 2 α-O-benzoyl transferase (DBT), 10deacetylbaccatin III (10-DAB). Hidroksilasi pada C10 yang dikalatalisasi oleh enzim 10-deacetyl-baccatin III-10-O-acetyl transferase (DBAT) akan membentuk baccatin III. Langkah terpenting dalam biosintesis paclitaxel adalah esterifikasi C13 grup hidroksil dari baccatin III dengan β-phenylalanine-CoA yang dikonjugasi melalui katalisasi baccatin III 13-O-phenylpropanoyl-CoA transferase (BAPT) dan menghasilkan 3′-N-debenzoyl-2′-deoxytaxol. Produknya kemudian melalui aksi dari Cyt P450-dependent hydroxylase menghidroksilasi C2′ dan enzim 3′ -N-debenzoyl2′-deoxytaxol N-benzoyl transferase (DBTNBT) mengkonjugasi benzoyl-CoA menjadi 3′-N-debenzoyl-2′-deoxytaxol, dan pada akhirnya Taxol® akan terbentuk sebagai hasil akhir.
4.1
Sejarah Penemuan
Sejarah telah mencatat bahwa tanaman yang berasal dari hutan telah digunakan secara tradisional sebagai obat herbal untuk menjaga kesehatan dan vitalitas individu, menyembuhkan penyakit, dan juga mencegah, menekan,
56 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
atau mengendalikan perkembangan penyakit. Sebenarnya, pencarian senyawa aktif yang berpotensi sebagai obat antikanker sudah dimulai sejak tahun 1950, kemudian secara intensif dilakukan pada tahun 1956 di negara Amerika Serikat melalui National Cancer Institute (NCI) dengan membentuk sebuah lembaga khusus yang dinamakan Cancer Chemotherapy National Service Center (CCNSC). Sejarah penemuan paclitaxel dimulai pada tahun 1956 saat NCI meminta ahli botani untuk mengumpulkan berbagai contoh lebih dari 30.000 jenis tumbuhan dan teridentifikasi lebih dari 110.000 senyawa hasil ekstraksi untuk diuji kandungan dan aktivitas antikankernya (Jaziri et al., 1996). Arthur S. Barclay, salah satu dari para botanis, mengumpulkan 15 kg cabang, daun, dan kulit batang T. brevifolia dari sebuah hutan di dekat Gunung Saint Helen. Beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 1963, Monroe E. Wall menemukan bahwa senyawa yang diekstraksi dari kulit batang T. brevifolia menunjukkan aktivitas antikanker. Selanjutnya, Wall dan partnernya, Mansukh C. Wani, giat mengisolasi dan memurnikan senyawa tanaman tersebut, serta mengadakan uji antikanker di Research Triangle Park, Carolina Utara. Pada tahun 1967, tim tersebut berhasil mengisolasi bahan aktif dan mengungkapkan hasilnya pada pertemuan American Chemical Society di Miami Beach. Tulisan mengenai bahan aktif berikut struktur kimianya dipublikasikan pertama kali pada tahun 1971 dalam Journal of American Chemical Society.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 57
Isi dari tulisan tersebut segera ditanggapi oleh Robert A. Holton, seorang peneliti post doctoral di Universitas Stanford pada bidang produk sintesis alami. Dia menemukan bahwa T. brevifolia dengan tinggi 40 kaki yang berumur lebih dari 200 tahun hanya menghasilkan 0,5 kg paclitaxel saja. Penelitian yang dilakukan oleh Holton dan kelompoknya berhasil mengungkap prosedur empat langkah pengubahan 10-deacetylbaccatin III (senyawa serupa yang terdapat pada berbagai jenis Taxus lain yang tidak lengkap) menjadi paclitaxel. Pada akhir 1970-an, Susan B. Horwits, seorang ahli farmakologi molekuler dari Albert Einstein College of Medicine di New York mengungkapkan kunci dari teka-teki bagaimana kerja paclitaxel dalam melawan kanker. Sejak saat itulah paclitaxel mulai menjadi obat yang populer bagi para dokter dalam menangani pasien-pasien kanker payudara, kanker ovarium, kanker paru-paru, dan bahkan sarcoma kaposi. Paclitaxel juga digunakan sebagai obat pencegah restenosis atau pendangkalan stent coroner. Paclitaxel diinduksikan secara lokal ke arteri koroner sehingga pembungkusan atau pelapisan lokal oleh paclitaxel pada jaringan ini akan membatasi tingkat pertumbuhan nointima (jaringan luka) antar-stent. Seiring dengan berkembangnya berbagai penelitian di berbagai institusi, paclitaxel menjadi obat antikanker paling poluler dan paling dicari di dunia karena efek samping yang kecil, efektif, dan efisien dalam membunuh sel kanker (Zhou et al., 2010). Paclitaxel dipasarkan dengan 58 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
nama dagang Taxol® dan hak pemasaran dipegang oleh Bristol-Myers Squibb (BMS) mulai tahun 1991. Penjualan Taxol® di tahun 1999 mencapai US$1.5 milyar (Malik et al., 2011), tetapi ada indikasi penurunan penjualan 24%, yaitu dari US$422 juta menjadi US$385 juta dari tahun 2006 hingga tahun 2007. Penurunan tersebut disebabkan masa berlakunya hak pemasaran oleh BMS berakhir dan terjadi peningkatan persaingan. Namun demikian, total market penjualan Taxol® masih dapat mencapai US$1 milyar per tahun. Ketertarikan peneliti terhadap genus Taxus telah meningkat tajam sejak tahun 1990-an, saat diketahui bahwa jenis pohon dalam genus ini mengandung berbagai senyawa fitokimia yang memperlihatkan aktivitas biologi dalam melawan sel kanker. Paclitaxel (Taxol®), 10-DAB dan Baccatin III, semuanya memperlihatkan aktivitas antitumor dan antikanker, baik secara in vitro maupun in vivo. Minat terhadap penelitian genus Taxus terus berkembang semakin tinggi. Hal ini dibuktikan dengan telah dikeluarkannya dana milyaran dolar untuk pengembangan produksi Taxol®, baik melalui ekstraksi langsung dari kulit batang Taxus maupun dengan metode kultur sel atau metode sintesis lainnya. Aspek studi mengenai Taxus juga terdiversifikasi lebih luas mencakup biokimia, bioteknologi, dan kesehatan. Beberapa hasil penelitian penting sehubungan dengan sejarah penemuan dan perkembangan Taxol®, seperti tersaji pada Tabel 3 (Kulkarni, 2000).
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 59
Tabel 3. Perjalanan penting dalam penemuan dan perkembangan Taxol® di bidang biokimia, bioteknologi, dan klinis Tahun
Perkembangan/penemuan
1856
Isolasi substansi alkaloid yang diberi nama Taxane dari Taxus baccata oleh Lucas H.
1921, 1923
Penetapan struktur Asam Winterstein yang merupakan penyusun utama Taxane.
1925
Isolasi Taxane bebas nitrogen.
1953
Kultur gametofit Taxus spp yang diinisiasi oleh LaRue C.D.
1957, 1958
Pemurnian Taxane menjadi Taxane-A dan Taxane-B.
1959
Kultur polen Taxus spp yang diinisiasi oleh Tuleke W.
1963
Isolasi Baccatin-I.
1964
Deteksi 9 KB aktivitas sitotoksik dalam ekstrak kulit batang Taxus brevifolia.
1966
Isolasi Baccatin-III ditemukan, tetapi struktur kimia belum terdeterminasi.
1969–1975
Isolasi Taxane oleh beberapa peneliti.
1970–1975
Struktur dari Baccatin-I, III, IV, V, VI dan VII diketahui melalui x-ray kristalografi oleh Della Casa de Macano dan Halsall.
1971
Isolasi dan struktur Taxol® (prinsip aktivitas sitotoksisitas yang terjadi pada kuantitas yang sangat kecil dari 0,004% berat kering bahan tanaman) dari Taxus brevifolia dipublikasikan oleh Wani et al. (1971).
1970–1973
Serangkaian makalah mengenai perkecambahan embrio Taxus baccata dengan leaching ABA dari benih diterbitkan oleh Le Page-Degivry M.T.
60 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Tahun
Perkembangan/penemuan
1974
Kultur kalus pertama dari Taxus baccata.
1975
Pengujian aktivitas Taxol® dalam melawan B16 melanoma oleh Institut Kanker Nasional, AS.
1977
Pengembangan preklinis Taxol® dimulai oleh Institut Kanker Nasional, AS.
1979
Ditemukan bahwa Taxol® mengikat mikrotubul dan menstabilisasinya melawan depolimerisasi.
1983
Tahap I uji klinis menunjukkan efektivitas Taxol® dalam melawan sejumlah tumor.
1985– sekarang
Tahap II uji klinis menunjukkan efektivitas Taxol® melawan sel-sel kanker payudara, ovarium, dan paru-paru.
1989
Produksi Taxol® secara in vitro melalui kalus dan kultur suspensi sel. Perkembangan Taxol® baru analog: Taxtore, dengan proses semisintesis dari 10 DAB. Laporan pertama tentang aktivitas klinis Taxol® terhadap pasien kanker ovarium.
1990–1994
Berbagai kelompok peneliti mengembangkan semisintesis Taxol® dari 10-deacetylbaccatin III (10-DAB).
1991
Paten pertama di AS yang dianugerahkan ke USDA untuk keberhasilannya memproduksi Taxol® melalui teknik in vitro dan kultur suspensi sel. Ditemukan aktivitas Taxol® dalam melawan kanker payudara.
1992
Ditemukan aktivitas Taxol® dalam melawan sel kanker paru-paru. Taxol® disetujui untuk pengobatan kanker ovarium oleh FDA USA. Ditemukan kandungan radiosensitizing Taxol®.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 61
Tahun 1993
Perkembangan/penemuan Produksi Taxane dan Taxol® ditunjukkan dalam Taxomyces andreanae dan fungi endofit yang diisolasi oleh kulit batang bagian dalam Taxus brevifolia. Taxol® memperlihatkan aktivitas yang cukup baik dalam melawan kanker di kepala dan leher.
1994
Sintesis total Taxol® oleh Nicolaou et al. (1994) dan Holton (1984). Taxol® diproduksi dengan teknik semisintesis dari 10-DAB dan tersedia untuk penggunaan klinis. Taxol® disetujui sebagai obat untuk pengobatan kanker payudara oleh FDA, USA.
1995–1996
Ditemukan bahwa Taxol® menghalangi resorpsi tulang osteoklastik. Taxol® yang dihasilkan secara semisintesis disetujui diperdagangkan oleh FDA. Ditemukan aktivitas sitotoksik Baccatin III melawan beberapa macam kanker.
1997
Ditemukannya efek antiproliferatif dan apoptotik dari Taxol® terhadap tumor prostat. Taxol® yang diproduksi secara semisintetik disetujui sebagai pengobatan alternatif untuk AIDS dan Sarcoma Kaposi’s oleh FDA.
1997–2000
Banyak informasi baru dalam bentuk paten dan tidak diterbitkan.
62 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Tabel 3 menunjukkan bahwa tidak ada Taxane yang berasal dari T. sumatrana. Hal ini berarti penelitian T. sumatrana untuk penghasil Taxane dengan berbagai aspeknya masih sangat terbuka, terutama dari uji klinis.
4.2
Produksi Taxane
Genus Taxus merupakan salah satu jenis pohon dengan laju pertumbuhan yang sangat lambat. Padahal, terapi pengobatan seorang pasien penderita kanker dengan menggunakan paclitaxel yang diekstraksi dari pohon jenis ini sekurang-kurangnya membutuhkan penebangan dan pemrosesan dari 6 pohon T. brevifolia berumur lebih dari 100 tahun. Meskipun senyawa yang serupa dengan paclitaxel dapat diekstraksi dari berbagai jenis Taxus lainnya, potensi dan efektivitasnya tidak setinggi paclitaxel itu sendiri dengan rendemen 0,017% dari berat kering (Jaziri et al., 1996). 4.2.1 Ekstraksi Bagian Tanaman Hampir semua bagian tanaman: kayu, cabang muda, kulit, daun, dan akar mengandung paclitaxel. Beberapa penelitian yang berhubungan ekstraksi senyawa aktif dari bagian tanaman genus Taxus tersaji pada Tabel 4.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 63
Tabel 4. Kandungan senyawa aktif dari bagian tanaman Taxus No.
Jenis Taxus
Bahan
Senyawa Aktif
Referensi
1.
T. sumatrana
Daun
1. Paclitaxel (0,006%) 2. Baccatin III (0,02%) 3. Taxane diterpenes ester grup
Kitagawa et al., 1995; Shen et al., 2005
Kulit
Baccatin II dan 10deacetylbaccatin III (10DAB III) 1. Paclitaxel (0,0039%) 2. 10-BAD III (0,017%) 3. Baccatin III (0,003%)
Hidayat & Tachibana, 2013 Kwak et al., 1995
Kulit
Taxol® (0,017%)
Buah
1. Paclitaxel (0,0039%) 2. 10-DAB III (0,017%) 3. Baccatin III (0,003%)
Jarizi et al., 1996 Kwak et al., 1995
Daun
Paclitaxel (0,01%)
Kayu, cabang, kulit, akar, & daun
Paclitaxel, 10-DAB III, Baccatin III (Kandungan senyawa aktif akan bervariasi tergantung sumber bahan ekstrak, umur, dan musim)
Buah
1. Paclitaxel (0,018%) 2. 10-DAB III (0,035%) 1. 9-dihydro-13acetylbaccatin III (510 lebih tinggi dari precursor Taxol®) dan hanya ditemukan dengan jumlah yang sedikit di bagian kulit dan genus Taxus lainnya 2. Paclitaxel
2.
3.
4.
5.
T. brevifolia
T. baccata
T. cuspidata
T. canadensis
Buah
Daun
Hokowa, 2003 Kikuchi & Yatagai, 2003
Kwak et al., 1995 Zhang et al., 1992; Gunawardana et al., 1992; Shi et al., 2002; Zamir et al., 1996
64 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Metode yang digunakan untuk memurnikan paclitaxel sangat sulit bila hanya menggunakan kromatografi silika. Proses tersebut dimulai dengan ekstraksi menggunakan metanol sebagai bahan pelarut, selanjutnya fraksinasi dilakukan dengan metilen klorida dan air untuk membuang senyawa lain selain Taxane. Fraksi yang terlarut kemudian dimurnikan melalui beberapa tahap kromatografi, dan pemurnian akhir dilakukan dengan kristalisasi (Itokawa, 2003). Namun, bagaimana mendapatkan teknik ekstraksi dan purifikasi yang lebih sederhana dengan memaksimalkan hasil yang ingin dicapai dalam skala produksi menjadi tantangan tersendiri. Hal ini karena jumlah senyawa aktif yang dikandung sangat rendah dan kemungkinan akan hilang selama proses pemurnian. Kikuchi & Yatagai (2003) menjelaskan tiga metode yang dapat digunakan secara efisien untuk memisahkan paclitaxel, baccatin III, dan 10-deacetylbaccatin III dari daun T. cuspidata, yaitu ordinary solvent extraction (OSE), supercritical fluid extraction (SFE), dan accelerated solvent extraction (ASE) methods. Mereka menemukan bahwa SFE sangat mahal (sekitar US$935 ribu) dan akan menjadi lebih mahal bila digunakan untuk produksi dalam skala industri. Selain itu, pengoperasiannya juga sangat sulit dan rumit karena harus berlangsung pada tekanan yang sangat tinggi. Sebaliknya, ASE dioperasikan secara otomatis dan relatif mudah digunakan, namun teknologi untuk skala produksi belum tersedia. Selain itu, biayanya juga masih sangat mahal dan memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam perawatan. Untuk saat ini, metode yang paling
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 65
memungkinkan adalah OSE, meskipun dalam praktiknya masih memerlukan perbaikan lebih lanjut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, paclitaxel diproduksi secara alami oleh tanaman genus Taxus, seperti T. sumatrana yang tumbuh di Pulau Sumatra, Indonesia. Meskipum permintaan paclitaxel akan terus meningkat, keberadaannya yang bersumber dari alam sangat terbatas (rendemen dan sumber bahan baku). Oleh sebab itu, teknik budi daya dengan menyediakan anakan Taxus yang memiliki kandungan paclitaxel tinggi melalui uji domestikasi yang dilakukan secara intensif akan memberikan peluang penyediaan sumber bahan esktraksi. Namun demikian, penelitian tidak boleh berhenti sampai di sini, tetapi harus terus diarahkan pada pencapaian hasil yang berkelanjutan dan lestari. Pembanguan industri kehutanan yang baru (misalnya Forest Factory) akan memberikan peluang bagi para peneliti untuk melakukan penelitian dan pengembangan baru melalui kolaborasi penelitian dengan beberapa bidang keilmuan yang lain, seperti botani, bio-engineering, kimia organik, dan farmasi. Tabel 4 menunjukkan bahwa T. sumatrana dapat menghasilkan Taxol® (0,006%), Baccatin III (0,02%), Taxane diterpenes ester group yang diisolasi dari daun, serta Baccatin II dan 10-deacetylbaccatin III (10-DAB III) dari bagian kulitnya. Fakta ini sangat menjanjikan untuk pengembangan sumber bahan aktif yang bermanfaat untuk menanggulangi penyakit kanker. Jika bahan aktif tersebut diproduksi dari daun, pengembangan kebun pangkas T.
66 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
sumatrana menjadi pilihan utama dari pada memproduksi bahan aktif dari kulit pohon. 4.2.2 Sintesis Metode sintesis total senyawa paclitaxel telah berhasil dilakukan, namun keberhasilan ini lebih menekankan pada pencapaian untuk sebuah bidang keilmuan/akademik, bukan untuk aplikasi praktis skala industri. Hal ini dikarenakan proses sintesis total paclitaxel memerlukan biaya yang mahal, rumit, dan hasil yang sedikit atau tidak sesuai (Yuan et al., 2006; Malik et al., 2011). Kompleksitas molekul Taxoid ternyata memberikan tantangan tersendiri bagi para ahli kimia organik untuk mengaplikasikan keilmuan yang mereka miliki dalam menyintesis paclitaxel. Selain itu, terdapatnya tantangan yang lain, seperti dimungkinkannya penemuan senyawa Taxoids yang baru yang lebih menjanjikan bagi dunia farmasi, menjadikan para ahli tetap melakukan berbagai terobosan dalam penelitian-penelitian serupa. Lebih dari lima puluh kelompok peneliti melakukan serangkaian penelitian untuk menyintesis paclitaxel. Sebuah Taxoid sederhana berhasil diperoleh setelah puluhan tahun kegiatan sintesis dilakukan (Holton et al., 1988). Keberhasilan ini kemudian dilanjutkan oleh Holton dan kelompok penelitian yang dipimpin oleh Nicolaou yang secara bersamaan menemukan total sintesis molekul paclitaxel, yang kemudian dikenal sebagai jalur sintesis paclitaxel Holton dan Nicolaou (Holton, 1984; Holton &
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 67
Kennedy, 1984; Nicolaou et al., 1994, 1995a, 1995b, 1995c, 1995d). Setelah itu, beberapa kelompok lain berhasil mengembangkan metoda yang berbeda dalam sintesis paclitaxel (Masters et al., 1995; Danishefsky et al., 1996; Wender et al., 1997; Mukaiyama et al., 1999; Kusama et al., 2000; Kuwajima & Kusama, 2000a, 2000b). Dari segi jumlah dan biaya produksi, prestasi penemuan ini tidak seimbang dengan penemuan teknik peningkatan produksi paclitaxel secara alami: kultur sel dan fermentasi jamur. 4.2.3 Semisintesis Proses produksi yang selanjutnya dikembangkan adalah proses ekstraksi semisintetis. Pada proses ini, 10deacetylbaccatin dan/atau baccatin III dapat diekstraksi dari berbagai jenis Taxus dari bagian daun dan kulit dengan jumlah yang relatif lebih banyak. Selanjutnya, 10deacetylbaccatin diubah menjadi paclitaxel melalui proses sintesis organik. Produksi paclitaxel melalui semisintesis telah dilakukan oleh Indena pada tahun 2007 dengan melakukan penanaman besar-besaran T. baccata (www.indena.com/news/, diakses 5 Maret 2014). 4.2.4 Kultur Sel/Kalus Cara lain yang dikembangkan untuk mendapatkan paclitaxel dan turunannya adalah dengan kultur sel. Cara ini merupakan sebuah metode alternatif yang dinilai banyak pihak lebih ramah lingkungan dan tidak tergantung musim. Teknik kultur sel telah terbukti menjadi
68 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
alternatif penting untuk mendapatkan paclitaxel dari berbagai genus Taxus secara in vitro. Kultur sejenis ini dapat diperbesar sampai pada tingkat produksi paclitaxel secara komersial. Kultur sel semakin menjadi alternatif yang banyak dipilih dalam memproduksi paclitaxel sehubungan dengan kenyataan bahwa populasi alamiah Taxus spp. yang tumbuh secara alami memiliki banyak variasi dalam kandungan paclitaxel-nya. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor, seperti iklim, musim, dan variasi epigenetik. Dengan menggunakan kultur sel yang kondisinya benar-benar tetap dan terkontrol, produksi paclitaxel lebih mudah dikendalikan dengan kontinuitas suplai dan kualitas produk yang lebih terjamin. Beberapa keuntungan yang didapatkan dengan dilakukannya kultur sel terhadap jenis pohon Taxus spp. (Vongpaseuth & Roberts, 2007) adalah sebagai berikut. 1) Kultur sel mampu meniadakan kebutuhan berbagai jenis pohon Taxus spp. sebagai bahan baku paclitaxel yang keberadaannya di alam mulai langka. 2) Kultur sel dapat menghasilkan keragaman genetik tinggi selama proses pencarian varian yang memiliki kandungan paclitaxel tinggi. 3) Kultur sel dapat menghasilkan satu atau beberapa varian yang memiliki karakter super atau elite untuk studi manipulasi genetik atau studi lainnya. 4) Kultur sel dapat digunakan sebagai bahan penelitian dalam mempelajari jalur biosintesis paclitaxel sehingga
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 69
didapat teknik manipulasi khusus yang tepat dalam meningkatkan kandungan paclitaxel. Sampai saat ini, penggunaan media padat B5 (Gamborg et al.,1968), MS (Murashige & Skoog, 1962), SH (Schenk & Hildebrandt, 1972), atau Woody Plant Media/WPM (McCown & Lloyd, 1981) dengan penambahan 2,4 D (2,4-dichlorophenoxyacetic acid) atau NAA (1naphthaleneacetic acid), PVP (polyvinylpyrrolidone), TDZ (Thidizuron), IAA (3-indoleacetic acid), BAP (6benzylaminopurine), IBA (indole-3-butyric acid), KIN (kinetin), karbon aktif, sukrosa, LH (luitenizing hormone), dan berbagai vitamin lainnya dengan konsentrasi yang berbeda pada Taxus mairei, T. baccata, T. chinensis, dan T. cuspidata telah terbukti mampu menginduksi pembentukan kalus dan menghasilkan paclitaxel (Kulkarni, 2000; Zhang et al., 2000; Jianfeng & Zhigang, 2006; Gong & Yuan, 2006; Wang et al., 2003; Khoroushahi et al., 2006). Selanjutnya, tabel berikut ini menunjukkan perkembangan dari beberapa penelitian kultur sel yang dilakukan untuk menghasilkan Taxol® secara in vitro (Kulkarni, 2000).
70 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 71
72 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 73
74 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 75
76 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 77
78 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Orientasi penelitian pada berbagai Taxus dengan menggunakan teknik kultur sel tidak hanya berhenti sampai pada tahap pembentukan kalus. Kalus selanjutnya harus diekstraksi dengan tujuan menghasilkan paclitaxel. Kini, kultur sel lebih mengarah pada teknik untuk peningkatan kandungan paclitaxel. Berbagai teknik telah dilakukan untuk mendapatkan kandungan paclitaxel yang lebih tinggi, antara lain 1) Penggunaan inhibitor dan elicitor dalam jalur biosintesis paclitaxel dan baccatin III pada T. baccata (Cusido et al., 2007); 2) Aktivasi extracelullar signalregulated kinase-like (ERK-like, 46 kDa) yang memegang peranan penting dari proliferasi dan imobilisasi sel pada T. cuspidata (Cheng et al., 2006); 3) Pemberian bahan yang meningkatkan adaptabilitas terhadap stress chitosan pada T. chinensis (Zhang et al., 2007); 4) Induksi methyl jasmonat terhadap biosintesis Baccatin III pada T. cuspidata (Jianfeng & Zhigang, 2006); 5) Pengayaan medium B5 dengan berbagai macam induktor pertumbuhan biomassa (vanadil sulfat, perak sitrat, kobal klorida, sukrosa, dan amonia nitrat) dan penambahan campuran elicitor berupa methyl jasmonat dan asam salisilat (Khoroushahi et al., 2006). Perkembangan terkini produksi paclitaxel dilakukan dengan teknik fermentasi sel tanaman atau plant cell fermentation (PCF). Tahapan fermentasi sel seperti ini memperbanyak kalus-kalus dari galur-galur Taxus tertentu dengan menggunakan media cair di dalam wadah fermentasi dengan kondisi lingkungan yang sangat terkontrol, baik suhu maupun tekanannya. Cadangan makanan untuk pertumbuhan sel dalam media yang terdiri atas nutrisi: gula, asam amino, vitamin dan hara-hara Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 79
mikro. Selanjutnya, paclitaxel yang didapat akan diekstraksi dari sel tanaman yang terbentuk dan dimurnikan dengan teknik kromatografi, serta diisolasi dengan teknik kristalisasi. Kultur sel yang menggantikan daun dan batang tanaman Taxus sebagai sumber paclitaxel memiliki beberapa keuntungan, seperti menjamin keberlanjutan dan kontinuitas produksi paclitaxel, pemanenan paclitaxel yang dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa henti, dan lebih ramah lingkungan, baik terhadap kelestarian jenis maupun dalam hal buangan/sampah padat berbahaya hasil kerja selama di laboratorium. Dibandingkan dengan proses semisintesis, PCF tidak melalui proses transformasi kimia sehingga penggunaan bahan kimia berbahaya dan bahan lainnya dapat dihindari, serta penggunaan energi yang lebih hemat. Untuk tujuan skala aplikasi industri, beberapa bioreaktor seperti stirred, airlift, dan wave bioreaktor dapat digunakan untuk memproduksi paclitaxel melalui teknik kultur sel/PCF (Bentebibel et al., 2005). Kandungan paclitaxel (43,43 mg/L) dan baccatin III (5,06 mg/L) dalam immobilized cell yang diproduksi dalam stirred bioreaktor lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa immobilized cell pada hari ke 16 dan 8. Pada airlift bioreaktor, kandungan paclitaxel (12,03 mg/L) lebih tinggi dibandingkan tanpa immobilized cell (6,94 mg/L) pada hari ke 24. Begitu pula halnya dengan kandungan paclitaxel (20,79 mg/L) dan baccatin III (7,78 mg/L) yang diperoleh dari immobile cell yang diproduksi pada wave bioreaktor. Produksi paclitaxel menggunakan stirred bioreaktor menunjukkan hasil yang menggembirakan jika dibandingkan dengan beberapa 80 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
laporan tentang produksi paclitaxel menggunakan bioreaktor pada skala laboratorium (Bentebibel et al., 2005). Produksi paclitaxel dengan bioreaktor dengan kapasitas 880.000 liter per tahun (600 kg esktrak kotor atau setara dengan 300 kg paclitaxel) dilakukan oleh Phyton Biotech (Jerman) (http://www.phytonbiotech.com/images /6169-Phyton_FINAL.jpg, diakses 6 Maret 2014), untuk menyuplai kebutuhan Taxol® pada Bristol-Myers Squibb. Produksi paclitaxel juga dilakukan oleh ESCAgenetic (CA, USA), Samyang Genex (Taejon, Korea), Phyton (NY, USA) (Frense, 2007). Namun demikian, kultur sel pada skala besar masih memiliki keterbatasan karena rendemen yang dihasilkan masih rendah, biaya produksi yang masih mahal, dan stabilitas sel yang rendah (Yuan et al., 2006; Malik et al., 2011). Sementara itu, Tabel 5 menunjukkan bahwa kultur sel untuk T. sumatrana belum dikerjakan dan sebagian besar menggunakan hormon NAA dan 2,4 D untuk memproduksi kalus sebagai bahan dasar kultur sel. 4.2.5 Fermentasi Jamur Endofitik Ketertarikan terhadap biosintesis Taxol® memberikan isyarat bahwa paling tidak terdapat 19 enzim yang berperan dalam setiap step biosintesis paclitaxel tersebut (Jennewein et al., 2004). Hal ini menunjukkan bahwa biosintesis paclitaxel terjadi dengan keterlibatan mikrooganisme (jamur/bakteri) di dalamnya, satu dengan yang lainnya saling membutuhkan, baik yang terlibat dalam satu maupun semua biosintesis senyawa dimaksud. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, senyawa aktif
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 81
paclitaxel kelompok terpenes adalah hasil metabolit sekunder yang prosesnya secara garis besar dapat terlihat pada Gambar 11. Sebuah kenyataan lain menunjukkan bahwa jamur endofitik, kelompok jamur yang hidup pada bagian dalam jaringan tanaman dan tidak memiliki efek negatif terhadap tanaman yang ditumpanginya/inang (host plants), secara bersama-sama hidup dengan inang untuk periode waktu yang lama sehingga memungkinkan untuknya memproduksi senyawa aktif yang sama sebagaimana yang diproduksi oleh inangnya (Zhou et al., 2010). Stierle et al. (1993) mencoba mengisolasi jamur endofit penghasil paclitaxel dari kulit bagian luar T. bevifolia dan menemukan Taxomyces andeanae yang mampu menghasilkan Taxol® (24–25 ng/L) melalui mekanisme fermentasi. Penemuan ini membuktikan sebuah sumber alternatif lain penghasil paclitaxel. Lebih dari 20 genera jamur endofit dilaporkan mampu memproduksi Taxol® (Zhou et al., 2010). Jamur endofit dari T. sumatrana telah dicoba untuk diisolasi oleh Kardono (peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI]) beserta timnya yang melakukan penelitian tentang kandungan paclitaxel dan kegiatan ini masih terus berjalan. Hampir semua jamur yang berhasil diisolasi dari Taxus sp. adalah endofitik, meskipun ditemukan juga pada Justica gendarusa (Gangadevi & Muthumary, 2008a), Aegle marmelos (Gangadevi & Muthumary, 2008b), dan jenis lainnya. Hal ini membuktikan bahwa pohon inang bagi jamur penghasil paclitaxel memiliki keragaman (biodiversity) dan jamur tersebut dikelompokkan ke dalam jamur ascomycetes (Yuan et al., 2006). 82 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 83
Gambar 11. Biosintesis Paclitaxel (Sumber: Malik et al., 2011)
Beberapa faktor yang memengaruhi kandungan paclitaxel yang dihasilkan adalah kondisi fermentasi, seperti suhu, pH, jumlah inokulum, media, dan lamanya waktu fermentasi (Zhou et al., 2010). Peningkatan produksi paclitaxel dapat juga dicapai dengan beberapa metode, seperti 1) proses mutasi, baik secara fisik (misalnya, ultraviolet, sinar-X, laser, microwave) maupun kimiawi; 2) fusi protoplasma atau genetic breeding; 3) perbaikan strain melalui bioteknologi (Zhou et al., 2010). Pada Tabel 6 diuraikan beberapa jamur endofitik penghasil paclitaxel dengan konsentrasi lebih dari 24 μg/L yang dirangkum dari beberapa literatur. Produksi paclitaxel untuk skala industri dengan jamur endofit masih menemukan beberapa kendala, seperti 1) biomassa yang dihasilkan selama ini masih rendah, 2) paclitaxel yang dihasilkan dalam kultur media masih kecil, dan 3) masih belum jelasnya beberapa tahapan biosintesis paclitaxel sehingga kondisi yang optimal untuk fermentasi belum ditemukan (Yuan et al., 2006). Namun demikian, teknik produksi paclitaxel dengan jamur endofitik dinilai cukup prospektif untuk pengembangan skala besar karena biaya yang diperlukan relatif lebih sedikit dengan kandungan paclitaxel yang lebih tinggi dan jumlah produksi yang dihasilkan relatif stabil (Yuan et al., 2006; Zhou et al., 2010).
84 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Tabel 6. Beberapa jamur endofitik penghasil paclitaxel (>24 μg/L) No. Jamur Taxomyces 1. andeanae Pestalotiopsi 2. microspora Tubercularia sp. 3. Strain TF5
4. 5. 6. 7. 8.
T. cuspidata -
1000 μg/L
Phoma Strain Tax-X Altenaria alternate Strain TFP6 Colletotrichum gloeosporioides
-
33 μg/L
-
85 μg/L
Daun, Justicia gendarusa Daun, Aegle marmelos
163 μg/L
10.
Fusarium solani
14. 15. 16. 17.
60–70 μg/L
Nodulisporium sylviforme Strain IFBC-Z38
Bartalina robillardoides
13.
Taxol® 24–25 μg/L
Identifikasi Taxol®: HPLC, UV, & MS 51–126 μg/L
9.
11. 12.
Asal Kulit, T brevifolia Kulit, T. wallichiana Kulit, T mairei
188 μg/L
Referensi Strobel et al., 1993 Strobel et al., 1996a, 1996b Wang et al., 2000
Zhou et al., 2010 Chen et al., 2002* Chen et al., 2003* Tian et al., 2006* Gangadevi & Muthumary, 2008a Gangadevi & Muthumary, 2008a Chakravarthi et al., 2008
Batang 1.6 μg/L muda, T. celebia Aspergillus niger T. cuspidata 273 μg/L Zhao et al., 2009 Cladosporium sp. 800 μg/L Zhang et al., Strain MD2 2009* Pestalotiopsis Kulit, T 478 μg/L Kumaran et al., versicolor cuspidata 2010 Pestalotiopsis Daun, T 375 μg/L Kumaran et al., neglecta cuspidata 2010 Fusarium Kulit, T. 66 μg/L Garyali et al., redolens baccata 2013 Diaporthe T. wallichiana Baccatin III, Zaiyou et al., phaseolorum 219 μg/L 2013 Jamur endophytes dari T. sumatrana masih dalam penelitian
Keterangan: Data pada baris yang diberi tanda asterisk (*) bersumber dari Zhou et al. (2010)
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 85
Tabel 6 menunjukkan bahwa belum ada isolat mikroba endofitik yang diisolasi dari T. sumatrana. Hal ini memberi peluang besar kepada para peneliti untuk mengeksplorasi keberadaan mikroba endofitik pada T. sumatrana untuk menghasilkan bahan aktif melalui proses fermentasi. Isolasi, pemurnian, dan perbanyakan mikroba endofitik dengan fermentor yang diaplikasikan di laboratorium akan lebih mempercepat proses pengembangan paclitaxel. Pertanyaannya adalah mungkinkah mikroba tersebut bekerja sendiri (single species) atau bersifat konsorsium. Kenyataannya, tidak ada mikroba endofitik yang bekerja sendirian di alam, tetapi selalu terkait dengan perubahan fungsi dan struktur dari sel dan jaringan tanaman.
4.3
Mekanisme Aksi Penghambatan Sel Kanker
Sebagai penghambat mitosis, paclitaxel bekerja dengan cara menghambat pembelahan sel dan perkembangan sel kanker/tumor dengan menggangu mikrotubulin dan stimulasi proses apoptosis yang sering terhambat dalam sel kanker. Obat lain, seperti colchiline menyebabkan depolimerisasi mikrotubulin, sedangkan paclitaxel menjalankan mekanismenya dengan memberikan pengaruh yang berlawanan, yaitu dengan mekanisme hiperstabilisasi struktur mikrotubulin (memperpanjang atau memperpendek mikrotubulin sesuai keperluan). Mekanisme seperti ini menghancurkan kemampuan sel untuk menggunakan rangka cys-nya secara fleksibel. Secara spesifik, paclitaxel mengikat subunit -tubulin. Tubulin merupakan binding 86 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
block dari mikrotubul dan pengikatan oleh paclitaxel akan mengunci building blok tersebut tetap pada tempatnya. Kompleks mikrotubulin-paclitaxel yang terbentuk tidak memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan pembongkaran. Hal tersebut berimplikasi lebih luas terhadap fungsi sel karena pemanjangan dan pemendekan mikrotubulin merupakan fungsi penting sebagai mekanisme pengangkutan dalam komponen selular lain. Hasil riset lain menunjukkan bahwa paclitaxel menginduksi program pembunuhan sel kanker secara nyata. Paclitaxel juga merupakan obat untuk perawatan yang efektif terhadap sel-sel kanker yang agresif karena dapat memengaruhi proses pembelahan sel dengan mencegah restrukturisasi sel. Oleh karenanya, paclitaxel adalah obat antikanker yang paling ampuh (Onrubia et al., 2013).
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 87
BAB Strategi Pengelolaan Sumber Daya Genetik 5 Taxus sumatrana 5.1
Keragaman Genetik dan Kelestarian Jenis
Kelestarian keragaman genetik merupakan hal yang sangat penting dalam mendukung daya hidup jangka panjang suatu jenis, terlebih pada kondisi lingkungan yang mengalami berbagai perubahan dinamis. Berkurangnya tingkat keragaman genetik suatu jenis akan berimplikasi negatif terhadap potensi adaptasi jenis yang bersangkutan. Selain itu, keragaman genetik yang rendah juga diketahui akan meningkatkan risiko inbreeding. Sebagai konsekuensinya, pengelolaan keragaman genetik merupakan komponen yang sangat vital dalam menentukan strategi konservasi dan pemulihan jenis-jenis terancam. Taxus sumatrana (Miq.) de Laub. (Taxaceae) merupakan jenis konifer selalu hijau (evergreen conifer) yang terancam punah. Jenis ini tersebar di Philiphina, Vietnam, Taiwan, Cina, dan Indonesia (de Laubenfels, 1988). Habitat alami T. sumatrana adalah hutan subtropis lembab dan hutan hujan pegunungan pada ketinggian 1.400–2.800 m dpl dengan pola distribusi terpencar mengelompok di bagian punggung bukit, lereng-lereng yang terjal, dan tepian jurang (Spjut, 2003; Huang et al., 2007). Senyawa diterpenoid golongan Taxane yang diekstraksi dari T. Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 89
sumatrana berpotensi sebagai senyawa antikanker yang digunakan dalam proses kemoterapi bagi para pasien pengidap kanker (Shen et al., 2005). Selama beberapa dekade sebelumnya, kegiatan overeskploitasi jenis-jenis Taxus yang diikuti dengan perusakan habitat telah menyebabkan penurunan tajam dari berbagai populasi Taxus di dunia dan juga memicu terbentuknya fragmentasi populasi. Fragmentasi populasi merupakan salah satu ancaman yang efektif dalam penurunan tingkat keragaman genetik suatu jenis. Dengan kondisi keterancaman yang tinggi, program pelestarian sumber daya genetik T. sumatrana harus sudah dimulai dan dikembangkan.
5.2
Keragaman Genus Taxus: Sejarah dan Rute Penyebaran
Penelitian yang paling komprehensif terhadap berbagai jenis Taxus di seluruh sebaran alaminya dilakukan oleh Spjut (2007) dengan menganalisis 845 spesimen Taxus berdasarkan pada karakter anatomi daun, yang meliputi jumlah baris stomata pada pita stomata dan sel epidermis. Selanjutnya, spesimen-spesimen tersebut diurutkan berdasarkan benua, negara, provinsi, dan spesies. Hasilnya memperlihatkan bahwa Taxus di Amerika Utara memiliki karakter keragaman anatomi yang tinggi, meskipun keragaman jenis rendah; sedangkan Taxus di Barat Daya China (Asia) memiliki keragaman jenis yang tinggi dengan karakter keragaman anatomi yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa Taxus bermigrasi dari Asia ke Amerika Utara melalui daratan penghubung Pasifik pada 90 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
era Cretaceous, sedangkan migrasi dari Eropa ke Amerika Utara melalui daratan Atlantik Utara pada jaman Tersier. Di Eropa–Mediterania, evolusi Taxus dimungkinkan sebagai akibat dari kepunahan yang dipicu oleh perubahan iklim pada masa zaman Tersier dan adanya hibridisasi pada zaman Pleistosen. Keragaman yang tinggi di Asia (wilayah Barat Daya Cina) mengindikasikan rendahnya laju kepunahan di daerah tersebut, terjadinya proses hibridisasi yang lebih intensif selama zaman Pleistosen, dan juga didukung dengan kejadian geologis terangkatnya daratan Himalaya. T. baccata merupakan jenis yang dahulu penyebarannya luas. Hal ini dicirikan dengan tingkat keragaman intrapopulasi yang tinggi. Kondisi ini juga didukung oleh data paleontologi (Ledig, 1986; Srodon, 1978). Namun sejalan dengan sejarah perkembangannya; penggunaan Taxus yang berlebihan, musnahnya habitat akibat pembalakan hutan, dan perubahan struktur hutan telah menyebabkan jenis ini menjadi langka di seluruh daratan Eropa.
5.3
Strategi Pelestarian jenis
5.3.1 Konservasi Ex Situ Merancang strategi konservasi genetik yang efisien memerlukan informasi dasar dari aspek genetika populasi, yaitu penelitian mengenai distribusi keragaman genetik dari suatu jenis, baik keragaman genetik intrapopulasi maupun antarpopulasi. Sayangnya, saat informasi dasar
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 91
sudah sedemikian berkembang dan tersedia untuk banyak jenis Taxus, kondisi tersebut tidak berlaku untuk T. sumatrana yang tumbuh di Indonesia. Studi keragaman genetik T. sumatrana di P. Sumatra baru tercatat dilakukan oleh Rachmat (2008) dengan menggunakan penanda RAPD. Hal itu pun terbatas pada T. sumatrana yang tumbuh di G. Kerinci dan tidak mencakup populasi yang tumbuh alami di Tanah Karo, Sumatra Utara (HL Sibuaton, Taman Simalem), G. Tujuh, dan G. Dempo. Meskipun studi dimaksud baru dapat menggambarkan nilai keragaman genetik pada populasi di G. Kerinci, hasil tersebut dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam penyusunan strategi pelestarian sumber daya genetik T. sumatrana. Pada beberapa kasus dilaporkan bahwa regenerasi alami untuk jenis-jenis Taxus mengalami hambatan. Sebagai contoh adalah T. bacata yang diketahui sebagai jenis yang mengalami penurunan populasi (Krol, 1978), salah satunya akibat serangan jamur patogen pada tingkat semai alami. Habitat alami T. sumatrana di Indonesia yang diketahui tumbuh pada hutan dengan status taman nasional (TN), HL dan kawasan konservasi lainnya tidak serta-merta menghilangkan ancaman terhadap jenis ini dari bentuk gangguan dan hilangnya habitat alami. Kondisi tersebut ditambah lagi dengan miskinnya informasi dasar mengenai struktur tegakan dan berbagai ancaman terhadap keberlangsungan regenerasi alami sehingga konservasi ex situ masih merupakan strategi yang patut dilakukan. Hal ini dapat dimulai dengan pembangunan hutan tanaman atau plot konservasi ex situ T. sumatrana di luar habitat aslinya, dan dibangun dari sumber-sumber genetik pada 92 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
semua sebaran alaminya di Indonesia. Pembangunan kebun klonal dan gene-bank juga merupakan salah satu bentuk konservasi ex situ yang memungkinkan untuk dikembangkan. Konservasi ex situ T. sumatrana sebenarnya sudah lama diinisiasi oleh LIPI yang diimplementasikan dengan terbentuknya blok koleksi T. sumatrana di Kebun Raya Cibodas (KRC), Cianjur, Jawa Barat. Blok konservasi jenis T. sumatrana di KRC saat ini memiliki koleksi jumlah individu lebih dari 20 pohon dengan tinggi tanaman ada yang mencapai lebih dari 3 meter. Pembangunan blok khusus T. sumatrana di KRC sudah mendukung upaya pelestarian jenis ini di luar habitatnya. Hal ini didukung dengan hasil penelitian genetik T. sumatrana yang ditanam di KRC memiliki nilai heterozigositas yang sama tingginya dengan nilai heterozigositas T. sumatrana pada sebaran alami di G. Kerinci (Rachmat, 2008). Namun demikian, masih banyak penelitian-penelitian dasar yang belum dilakukan sehingga penyusunan strategi konservasi jenis ini masih belum dapat dikatakan komprehensif. 5.3.2 Penelitian Dasar Sebagai Landasan Penyusunan Strategi Konservasi yang Komprehensif Untuk penyusunan strategi konservasi yang tepat dan komprehensif diperlukan penelitian yang integratif yang berguna dalam menyediakan informasi dasar pengambilan kebijakan. Beberapa aspek penelitian yang perlu dilakukan serta signifikansinya terhadap penyusunan strategi konservasi jenis T. sumatrana, antara lain sebagai berikut.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 93
1) Regenerasi dan Sebaran Ukuran Pohon Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur populasi pada tiap sebaran alami T. sumatrana. Struktur populasi merupakan refleksi dari keberadaan populasi T. sumatrana yang dipengaruhi oleh banyaknya penyebaran pada suatu daerah dalam jangka waktu tertentu. Data yang dikumpulkan mencakup jumlah dan sebaran jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan (semai, pancang, tiang, dan pohon) dan persentase penutupan areal yang dihitung per hektar. 2) Struktur dan Tingkat Pembukaan Kanopi Struktur kanopi mengacu pada jumlah dan struktur material di atas tanah, termasuk di dalamnya ukuran pohon, bentuk, dan orientasi organ tanaman (daun, batang, bunga, dan buah) (Norman & Campbell, 1989). Tingkat kerusakan kanopi diindikasikan memiliki konsekuensi serius terhadap biomassa, tingkat survival, dan regenerasi alami melalui pengaruhnya dalam menentukan kualitas dan kuantitas benih yang dihasilkan dari kanopi yang masih tersisa. Informasi mengenai konsekuensi keterbukaan kanopi dan pengetahuan tentang teknik propagasi sederhana merupakan syarat dasar dalam menumbuhkembangkan tanaman dari berbagai provenans yang berbeda untuk berbagai tujuan, seperti transplantasi dan reforestasi.
94 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
3) Studi Populasi Genetik T. sumatrana Formulasi strategi konservasi T. sumatrana yang tepat harus berdasarkan pada pengetahuan dasar tentang struktur genetik jenis T. sumatrana. Strategi konservasi ex situ maupun in situ tidak terlepas dari karakteristik genetik yang dimiliki jenis ini. Dalam pembangunan dan pengembangan strategi konservasi ex situ, informasi mengenai karakteristik dan keragaman genetik akan sangat diperlukan sebagai dasar dalam penentuan bagaimana material genetik dari setiap populasi yang ada tersebut harus ditanam, berapa jumlah individu minimal yang harus ditanam untuk menjaga keterwakilan keragaman genetik dari tiap populasi, dan berapa luasan minimal plot yang harus disediakan untuk pembangunan plot konservasi ex situ dimaksud. Sementara itu, informasi mengenai keragaman genetik antarpopulasi akan menjadi dasar pertimbangan pengelola untuk mengambil kebijakan bagaimana memperlakukan setiap subpopulasi yang ada dan sejauh mana aliran gen antarpopulasi harus dikontrol. 4) Teknik Perbanyakan dan Ekologi Reproduksi Jenis Terkait dengan teknik perbanyakan vegetatif jenis T. sumatrana, hasil penelitian Rachmat et al. (2010) menunjukkan tingkat keberhasilan berakar terbaik yang diperoleh dari perlakuan stek pucuk dengan menggunakan media cocopeat-sekam pada perbandingan 2 : 1 (v/v) dengan metode KOFFCO. Sampai sejauh ini, kemampuan berakar dengan teknik tersebut masih yang
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 95
tertinggi (67,7%). Namun, bibit yang dihasilkan dengan metode stek pucuk ini masih memiliki kelemahan untuk aplikasi yang sifatnya segera. Hal ini dikarenakan bibit yang dihasilkan dari stek pucuk berukuran kecil dan memerlukan waktu pemeliharaan yang lama untuk mencapai ukuran bibit siap tanam di lapangan. Oleh karena itu, metode perbanyakan vegetatif lainnya diperlukan agar mampu menghasilkan bibit dengan persentase berakar yang lebih tinggi dan bibit yang dihasilkan lebih besar sehingga tidak memerlukan waktu lama bagi bibit untuk beraklimatisasi dan siap ditanam di lapangan. Tidak seperti jenis Taxus lainnya yang tersebar di bagian Asia lainnya, Eropa, dan Amerika; hasil penelitian dasar tentang fenologi berbunga dan berbuah, karakteristik benih, perkecambahan, dan aspek lainnya terkait regenerasi alami untuk jenis T. sumatrana belum tersedia sehingga penelitian di bidang ini masih menyisakan ruang yang cukup besar untuk dilakukan. 5) Preferensi Terhadap Kondisi Tempat Tumbuh Mikro Studi semacam ini biasa dilakukan untuk semua jenis tumbuhan, baik untuk jenis yang berdaun lebar maupun berdaun jarum. Suatu jenis tertentu umumnya memiliki preferensi tertentu pula terhadap suatu lokasi mikro yang spesifik sehingga memungkinkan jenis dimaksud tumbuh dan berkembang di spot tersebut. Kondisi semai alam T. sumatrana secara jelas mengindikasikan bahwa keberadaannya selalu tidak jauh dari pohon induknya dengan kondisi penutupan tajuk yang rapat dan kondisi 96 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
lantai hutan yang lembab. Hal ini cukup sejalan dengan karakteristik jenis-jenis lainnya pada genus Taxus (Troup, 1921). Sebaran pohon T. sumatrana dewasa umumnya ditemukan di lereng-lereng bukit di tepian sungai dengan drainase yang baik (Rachmat et al., 2010). Kondisi lokasi mikro yang disukai tersebut kelihatannya merupakan tipikal kondisi mikro yang mempersyaratkan lokasi spesifik untuk tumbuh dan berkembangnya berbagai jenis Taxus. Seperti juga T. bacata, jenis Taxus asal Amerika yaitu T. brevifolia juga ditemukan tumbuh di lokasi yang menghadap lereng dengan kondisi tanah bertekstur halus dan berdrainase baik (Fites, 1993). Penelitian-penelitian semacam ini sangat diperlukan dalam manajemen pelestarian T. sumatrana, antara lain dalam kegiatan pemilihan lokasi plot konservasi ex situ yang sesuai, monitoring, pengelolaan anakan alam, reintroduksi, dan pengayaan.
5.3.3 Konservasi In Situ: Pelestarian T. sumatrana yang Wajib Dilakukan Secara Konsisten Konservasi in situ secara sederhana didefinisikan sebagai proses perlindungan flora dan fauna pada habitat alaminya. Kegiatan ini umumnya dilakukan melalui pembentukan kawasan konservasi dengan berbagai status seperti TN, Cagar Alam (CA), Suaka Margasatwa (SM), Taman Wisata Alam (TWA), Taman Hutan Raya (Tahura), dan Taman Buru (TB). Strategi konservasi in situ secara umum diyakini akan memberikan aspek pelestarian yang lebih optimal dengan konsekuensi finansial yang lebih
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 97
efisien dibandingkan penerapan strategi konservasi ex situ. Cairns (1986) menyatakan bahwa tantangan terbesar dari kegiatan konservasi in situ adalah memperluas cara pandang pengelolaan, salah satunya dengan menerapkan penggunaan multifungsi kawasan konservasi yang diikuti dengan pengembangan potensi ekonomi yang memungkinkan. Namun demikian, pengembangan potensi ekonomi yang memungkinkan pada kawasan TN di Indonesia hanya dapat dilakukan pada daerah penyangga, tidak pada zona inti. Konservasi in situ untuk T. sumatrana merupakan strategi pelestarian jenis yang mutlak dilakukan. Ada beberapa dasar yang menjadikan strategi ini paling tepat dilakukan saat ini, antara lain sebagai berikut. 1) Habitat Alami Berdasarkan data sebaran dan survei lapangan (Rachmat et al., 2010; Pasaribu & Setyawati, 2010), T. sumatrana tumbuh di TN Kerinci Seblat (G. Kerinci dan G. Tujuh), Tanah Karo (HL Sibuaton), dan Pagar Alam (G. Dempo). Secara alami, jenis ini sudah tumbuh dan berkembang di suatu kawasan dengan status kawasan konservasi sehingga tidak diperlukan adanya penetapan kawasan konservasi baru dalam upaya pelestarian in situ jenis ini. Namun demikian, tidak berarti bahwa pengelolaan in situ jenis ini menjadi lebih mudah dengan kondisi di atas. Tidak jarang, kawasan konservasi berada dalam kondisi yang tidak optimal, terlebih pada kondisi masyarakat sekitar dengan tingkat dependensi yang
98 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
tinggi terhadap ekstraksi sumber daya hutan. Mempertahankan dan menjaga keamanan dan kondisi habitat dari gangguan-gangguan yang sifatnya eksternal–terlebih antropogenik–memerlukan strategi dan pendekatan tersendiri. 2) Minimnya Pengetahuan Dasar Terhadap Jenis Kurangnya pengetahuan dasar tentang berbagai aspek terkait jenis T. sumatrana akan menyebabkan kesulitan dalam memformulasikan strategi konservasi yang paling tepat. Pembangunan kawasan konservasi in situ untuk jenis ini akan menyediakan sebuah ruang yang akan melindungi sistem dan berbagai jenis yang terkandung di dalamnya secara menyeluruh. Hal ini akan sangat berguna, terutama perlindungan terhadap suatu jenis yang minim informasi ilmiahnya. Burley (1988) mendeskripsikan bahwa konservasi in situ sangat tepat diaplikasikan pada kondisi belum ditemukannya metode investigasi dan manfaat penggunaan dari suatu jenis tertentu. Sebagai gambaran, membangun kawasan pelestarian T. sumatrana yang tepat di luar habitat aslinya (ex situ) tidak dapat dilakukan secara serta-merta begitu saja. Secara otomatis, pembangunan kawasan seperti ini akan memerlukan data dasar genetik sehingga dapat ditentukan daerah yang cocok, populasi prioritas, tingkat keragaman yang harus dipertahankan, luasan wilayah minimal, dan lain-lain.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 99
3) Viabilitas Selama tidak terjadi gangguan keseimbangan pada habitat alami sebagai akibat adanya kekuatan eksternal yang masuk ke dalam sistem, konservasi in situ akan menjamin keberlangsungan berbagai proses alami yang terjadi di dalam kawasan. Seleksi alam dan evolusi komunitas akan terus berlangsung; komunitas baru, sistem baru, dan materi genetik baru akan terus dihasilkan (Soule, 1985).
100 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
BAB 6 Penutup Kekayaan jenis hutan tropis Indonesia salah satunya menyimpan komoditas penting yang signifikan dalam dunia kesehatan. Tidak sama dengan sejarah perkembangan Taxus yang begitu intensif dieksploitasi di berbagai belahan dunia, T. sumatrana di Indonesia tercatat tidak mengalami fenomena seperti ini. Sebagai implikasinya, penelitian dan pengembangan jenis ini pun sama minimnya dibandingkan jenis-jenis lain dalam satu genus yang tumbuh di belahan bumi Utara. Namun demikian, perhatian terhadap jenis ini mulai meningkat yang diikuti dengan beberapa upaya pelestarian jenis. Upaya pelestarian jenis melalui strategi konservasi ex situ sudah mulai dikembangkan sejak awal tahun 2000-an yang diinisiasi oleh LIPI dengan pembangunan blok T. sumatrana di Kebun Raya Cibodas. Yang tidak kalah signifikan adalah upaya pelestarian jenis secara in situ dengan keamanan dan kemantapan wilayah pelestarian menjadi perhatian utama. Pelestarian jenis secara in situ akan menjaga keberadaan populasi T. sumatrana di wilayah habitat aslinya, berikut segala sistem yang menyertai di dalamnya.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 101
DAFTAR PUSTAKA Abbasin, Z., S. Zamani, S. Movahedi, G. Khaksar and B.E. Sayed-Tabatabaei. 2010. In vitro micropropagation of Yew (Taxus baccata) and Production of Plantlet. Biotechnology, 9: 48–54. Allison, T.D., S. Tatemi, O. Masashi and Y. Norikazu. 2008. Variation In Sexual reproduction in Taxus cuspidata Sieb. & Zucc. Plant Species Biology, 23: 25–32. Aubin, I., M. Beaudet and C. Messier. 2000. Light extinction coefficients specific to the understory vegetation of the southern boreal forest, Quebec. Can. J. For. Res. 30(1): 168–177. Bentebibel, S., E. Moyano, J. Palazon, R.M. Cusido, M. Bonfill and R. Eibl. 2005. Effects of immobilization by entrapment in alginate and scale-up on paclitaxel and baccatin III production in cell suspension cultures of Taxus baccata. Biotechnol. Bioeng., 89: 647– 55. Bolsinger, C.L. and A.E. Jaramillo. 1990. Taxus brevifolia Nutt., Pacific yew. In: Burns, R.M. and B.H. Honkala (eds). Silvics of North America. Agriculture Handbook 654. Forest Service, U.S. Department of Agriculture, Washington, DC. p. 573–579. Bondare, I. 2013. Population of yew tree Taxus baccata L. in Latvia. BIOLOGIJA, 59: 287–293.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 103
Burley, F.W. 1988. Monitoring Biological Diversity for Setting Priorities in Conservation. In: Wilson, E.O. (ed.), Biodiversity. Washington, D.C. National Academy Press, pp. 227–230. Cairns, J.Jr. 1986. The myth of the most sensitive species. BioSciences, 36: 670–672. Chakravarthi, B.V., P. Das, K. Surendranath, A.A. Karande and C. Jayabaskaran. 2008. Production of paclitaxel by Fusarium solani isolated from Taxus celebica. J. Biosci., 33: 259–267. Chee P.P. 1996. Plant regeneration from somatic embryos of Taxus brevifolia. Plant Cell Report, 16: 184–187 Cheng J-S., De-Ming Y., Shu-Ying L. and Ying-Jin Y. 2006. Activation of ERK-like MAP kinase involved in regulating the cellular proliferation and differentiation of immobilized Taxus cuspidata cells. Enzyme and Microbial Technology, 39: 1250–1257. CITES.
2005. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora: Thirtheen meeting of the Conference of the Parties. [http:// www.cites.org., diakses 26 Februari 2006]
Collins, D., R.R. Mill and M. Möller. 2003. Species separation of Taxus baccata, T. canadensis, and T. cuspidata (Taxaceae) and origins of their reputed hybrids inferred from RAPD and cpDNA data. Amer. J. Bot., 90: 175–182.
104 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Comer, P., D. Faber-Langendoen, R. Evans, S. Gawler, C. Josse, G. Kittel, S. Menard, M. Pyne, M. Reid, K. Schulz, K. Snow and J. Teague. 2003. Ecological systems of the United States: A working classification of U.S. terrestrial systems. Nature Serve, Arlington, Va. Cope, E.A. 1998. Taxaceae: The genera and cultivated species. Bot. Rev., 64: 291–322. Cragg, G.M. and D.J. Newman. 2005. Plants as a source of anti-cancer agents-Perspective paper. Journal of Ethnopharmacology, 100: 72–79. Cusido, R.M., J. Palazón, M. Bonfill, O. Expósito, E. Moyano and M.T. Pinol. 2007. Source of isopentenyl diphosphate for Taxol and baccatin III biosynthesis in cell culturesof Taxus baccata. Biochem. Eng. J., 33: 159–67. Daniel, G., Z. Regino, A. Joseâ, D. Hoâ, M. Joseâ, M. Goâ and C. Jorge. 2000. Yew (Taxus baccata L.) regeneration is facilitated by fleshy-fruited shrubs in Mediterranean environments. Biological Conservation, 95: 31–38. Danishefsky, S.J., J.J. Masters, W.B. Young, J.T. Link, L.B. Snyder, T.V. Magee and Jung D.K. 1996. Total synthesis of baccatin III and Taxol. J. Am. Chem. Soc., 118: 2843–2859. Darbyshire, S.J. 2003. Inventory of Canadian Agricultural Weeds. Agriculture and Agrifood Canada. Available from http://res2. [agr.ca/ecorc/weeds_ herbes/title-titre_e.htm, diakses 10 March 2014]. Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 105
de Laubenfels. 1988. Coniferales. In: David, J. (eds.) Flora Malesiana, Series I, Vol. 10. Dordrecht: Kluwer Academic. p 337–453. Dhama, K., S. Mani, S. Chakraborty, R. Tiwari, A. Kumar, P. Selvaraj and R.B. Rai. 2013. Herbal Remedies To Combat Cancers In Humans And Animals – A Review. International Journal of Current Research, 5: 1908–1919. Difazio, S.P., N.C. Vance and M.V. Wilson. 1996. Variation in expression of Taxus brevifolia in western Oregon. Canadian Journal of Botany, 74: 1943–1946. Earle, C.J. 2013a. Taxus sumatrana (Miquel) de Laubenfels 1978. [http://www.conifers.org/ta/Taxus_ sumatrana.php, diakses, 8 Maret 2014]. Earle,
C.J. 2013b. Taxus brevifolia Nutt all 1849. [http://www.conifers.org/ta/Taxus_brevifolia.php, diakses, 8 Maret 2014].
Edward, F.G. and G.W. Dennis. 1994. This document is adapted from Fact Sheet ST-624, a series of the Environmental Horticulture Department, Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida. Publication date: October 1994. El-Kassaby, Y.A. and A.D. Yanchuk. 1994. Genetic diversity, differentiation, and Inbreeding in Pasific Yew from Bristish Colombia. Journal of Heredity, 85: 112–117.
106 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Falkowski, G. and B. Matysiak. 2010. The use of arbuscular mycorrhizal fungi in container production of selected ornamental conifers under organic-mineral fertilization level. Journal of Fruit and Ornamental Plant Research, 18: 335–248. Farjon, A. 1998. World checklist and bibliography of conifers. The Royal Botanic Gardens, Kew. Farr, K. 2008. Genus level approach to Taxus species. In: International Expert Workshop on CITES NonDetriment Findings. Working Group 1, Case Study 6, Cancun, Mexico, November 17–21, 2008. Farrar, J.L. 1995. Trees in Canada. Canadian Forest Service and Fitzhenry & Whiteside Ltd. Markham ON. 502 p. Ferguson, D.K. 1978. Some current research on fossil and recent taxads. Rev. Palaeobot. Palynol., 26: 213–226. Fites, J. 1993. Ecological guide to mixed conifer plant associations, northern Sierra Nevada and Southern Cascades: Lassen, Plumas, Tahoe, and Eldorado National Forests. U.S.D.A. Forest Service, Pacific Southwest Region. R5-ECOL-TP-001. Foster, D.K. 1993. The ecology and distribution of Taxus canadensis Marshall in the State of Wisconsin. M.S. thesis, Department of Botany, University of Wisconsin–Madison, Madison, Wisc. Frense, D. 2007. Taxanes: perspectives for biotechnological production. Appl. Microbiol. Biot., 73: 1233–1240.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 107
Gamborg, O.L., R.A. Miller and K .Ojima. 1968. Nutrient requirements of suspension culture of soybean root cell. Exp. Cell Res., 50: 151–158. Gangadevi, V. and J. Muthumary. 2008a. Isolation of Colletotrichum gloeosporioides, a novel endophytic Taxol-producing fungus from the leaves of a medicinal plant, Justicia gendarussa. Mycologia Balcanica, 5: 1–4. Gangadevi, V. and J. Muthumary. 2008b. Taxol, an anticancer drug produced by an endophytic fungus Bartalinia robillardoides Tassi, isolated from a medicinal plant, Aegle marmelos Correa ex Roxb. J. Microbiol. Biotechnol., 24: 717–724. Garyali, S., A. Kumar and M.S.R. Reddy. 2013. Taxol Production by an Endophytic Fungus, Fusarium redolens, Isolated from Himalayan Yew. J. Microbiol. Biotechnol., 23: 1372–1380. Gong, Y.W. and Yuan, Y.J. 2006. Nitric oxide mediates inactivation of glutathione S-transferase in suspension culture of Taxus cuspidata during shear stress. Journal of Biotechnology, 123: 185–192. Gunawardana, G.P., P. Usha, S. Neal, D. Burres, N. Whittern, H. Rodger, S. Stephen and J.B. Mcalpine. 1992. Isolation Of 9-Dihydro-13-Acetylbaccatin III From Taxus Canadensis. Journal of Natural Products, 55: 1686–1689.
108 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Hanson, J.R. 2003. Natural Product, Metabolites. The Royal Society Cambridge-UK.
The Secondary of Chemistry,
Hartman, T. 1996. Diversity and variability of plant secondary metabolism: a mechanistic view. Entomologia Experimentalis et Applicata, 80: 177–188. Hartzell, J.R. 1991. The Yew Tree: A Thousand Whispers. Eugene, Oregon: Hulogosi. Hidayat, A. and S. Tachibana. 2013. Taxol and Its Related Compound from the Bark of Taxus sumatrana. Makalah, dipresentasikan pada International Seminar of Forest and Medicinal Plants for better human welfare, Bogor, 10–12 September 2013. Hils, M. 1993. Taxaceae Gray. Yew family. Fl. North America, 2: 423–427. Hindson, T. 2000. The Growth Rate of Taxus baccata: An Empirically Generated Growth Curve. The Alan Mitchell Memorial Lecture 2000 (diakses 20 Februari 2014). Hoffman, M.H.A. 2004. Cultivar Classification of Taxus L. (Taxaceae). In: Davidson, C.G. and P. Trehane. Proc. XXVI IHC- IVth Int. Symp. Taxonomy of Cultivated Plants. Acra Hort, ISHS. Holloway, L. 2007. Developing improved nursery culture for the production of rooted cuttings of Canada yew (Taxus canadensis). Thesis, The University Of New Brunswick.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 109
Holton, R.A. 1984. Synthesis of the Taxane ring system. Journal of the American Chemical Society, 106: 5731– 5732. Holton, R.A., R.R. Juo, H.B. Kim, A.D. Williams, S. Harusawa, R.E. Lowenthal and S. Yogai. 1988. A synthesis of Taxus. Journal of the American Chemical Society, 110: 6558–6560. Holton, R.A. and R.M. Kennedy. 1984. Stereochemical requirements for fragmentation of homoallylic epoxy alcohols. Tetrahedron Letters, 25: 4455–4458. Huang C-C., Chiang T-Y. and Hsu T-W. 2007. Isolation and characterization of microsatellite loci in Taxus sumatrana (Taxaceae) using PCR-based isolation of microsatellite arrays (PIMA). Conserv. Genetic. DOI 10.1007/s10592-007-9341-z. Hussain, A., I.Q. Ahmed, H. Nazir, I. Ullah, M. Rashid and Z.S. Khan. 2013. In vitro callogenesis and organogenesis in Taxus wallichiana ZUCC, The Himalayan Yew. Pak. J. Bot., 45: 1755–1759. Iglesias, M.I., M.J. Sainz, A.Vilariño, M.E. López Mosquera, C. Pintos and J.P. Mansilla. 2000. Mineral nutrition of taxus baccata l as affected by inoculation with arbuscular mycorrhizal fungi. ISHS Acta Horticulturae 630: XXVI International Horticultural Congress: Nursery Crops; Development, Evaluation, Production and Use.
110 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
ISTA [International Seed Testing Association]. 1993. International rules for seed testing: rules 1993. Seed Science and Technology, 21 (Suppl.): 1–259. Itokawa. 2003. Introduction. In: Itokawa, H. and Lee K.H. (eds.). Taxus. Taylor & Francis, London, UK, and New York, NY. IUCN. 2014. The IUCN Red List of Threatened Species. Jaziri, M., A. Shiri, Guo Y-M., Dupant J-P., K. Shimomura, H. Hamada, M. Vanhaelen and J. Homes. 1996. Taxus sp. cell, tissue and organ cultures as alternative source for toxoids production: a literature survei. Plant Cell, Tissue and Organ Culture, 46: 59–75. Jennewein, S., M.R. Wildung and Chau M. 2004. Random sequencing of an induced Taxus cell cDNA library for identification of clones involved in Taxol biosynthesis. PNAS, 101: 9149–9154. Jianfeng Z. and Zhigang G. 2006. Effect of Methyl Jasmonic Acid on Baccatin III Biosynthesis. Tsinghua Science and Technology, 11: 363–367. Kaul, K. 2008. Variation in rooting behavior of stem cuttings in relation to their origin in Taxus wallichiana Zucc. New Forests, 36: 217–224. Keller, R.A. and E.B. Tregunna. 1976. Effects of exposure on water relations and photosynthesis of western hemlock in habitat forms. Can. J. For. Res., 6: 40–48.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 111
Khali, R.P. 2001. Ecological studies on Taxus baccata L. in relation to regeneration and conservation. Ph.D. Thesis, FRI Deemed University, Dehra Dun. Khoroushahi, A.Y., M. Valizadeh, A. Ghasempour, M. Khosrowshahli, H. Naghdibadi, M.R. Dadpour and Y. Omidi. 2006. Improved Taxol production by combination of inducing factors in suspension cell culture of Taxus baccata. Cell Biology International, 30: 262–269. Kikuchi, Y. and M. Yatagai. 2003. The commercial cultivation of Taxus species. In: Itokawa, H. and Lee K.H. (eds.). Taxus. Taylor & Francis, London, UK, and New York, NY. Kitagawa, I., T. Mahmud, M. Kobayashi, Roemanto and H. Shibuya. 1995. Taxol and its related taxoid from the needles of Taxus sumatrana. Chem. Pham. Bull., 43: 365–367. Korouri, S.A.A., M. Matinizadeh, T. Maryam and M. Khoushnevis. 2002. Recognition of vesicular arbuscular mycorrhizal fungi in Taxus baccata from Vaz Forest. In: Pajouhesh-Va-Sazandegi, In 55 Agronomy And Horticulture, Summer 2002, 15, 2, p 30–35. Krol, S. 1978. An outline of ecology. The Yew – Taxus baccata L. In: Bartkowiak S., W. Bugala, A. Czartoryski, A. Hejnowicz, S. Król, A. Środoń and R.K. Szaniawski. (eds). Foreign Scientific Publications, Department of the National Center for Scientific and Technical, and
112 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Economic Information (for the Department of Agriculture and the National Science Foundation, Washington, DC), Warsaw, Poland, pp. 65–86. Kulkarni, A.A. 2000. Micropropagation and Secondary Metabolites Studies in Taxus spp. and Withania somnifera (L) Dunal. Disertation, The University of Pune, India. Kumaran, R.S., Kim J.K. and Hur B-K. 2010. Taxol promising fungal endophyte, Pestalotiopsis species isolated from Taxus cuspidata. Journal of Bioscience and Bioengineering, 110: 541–546. Kusama, H., R. Hara, S. Kawahara, T. Nishimori, H. Kashima, N. Nakamura, K. Morihira and I. Kuwajima. 2000. Enantioselective total synthesis of Taxol. J. Am. Chem. Soc., 122: 3811–3820. Kuwajima, I. and H. Kusama. 2000a. Enantioselective total synthesis of Taxus in and Taxol. J. Syn. Org.Chem. Jpn., 58: 172–182. Kuwajima I. and H. Kusama. 2000b. Synthesis studies on taxoids. Enantioselective total synthesis of (+)-Taxus in and (-)-Taxol. Synlett., 10: 1385–1401. Kwak S-S., Myung-Sukchoi, Park Y-G, Yoo J-S. and Liu J-R. 1995. Taxol Content in the Seeds of Taxus spp. Phytochemistry, 40: 29–32. Ledig, F.T. 1986. Heterozygosity, heterosis, and fitness in outbreeding plants. In: Soule, M.E. (Eds). Conservation Biology: The Sciences of Scarcity and
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 113
Diversity. Sinauer Associates, Massachusetts. p 77–104.
Sunderland,
Lewandowski, A., J. Burczyk and L. Mejnartowicz. 1995. Genetic Structure of English Yew (Taxus baccata L.) in the Wierzchlas Reserve: Implications for genetic conservation. Forest Ecology and Management, 73: 221–227. Li X.L., Yu X.M., Guo W.L., Li Y.D., Liu X.D., Wang N.N. and Liu B. 2006. Genomic Diversity within Taxus cuspidata var. nana Revealed by Random Amplified Polymorphic DNA Markers. Russian in Fiziologiya Rastenii, 53(5): 771–776. Li Z.W. 1999. Maps of Ornamental Plants in Northeast of China, Shenyang: People’s Press of Liaoning. Linares, J.C. 2012. Shifting limiting factor for population dynamics and conservation status of endangered English yew (Taxus baccata L., Taxaceae). Forest Ecology and Management, [in Press]. Maden, K. 2003. Community trial on the propagation and conservation of Taxus baccata L. Our Nature, 1: 30–32. Maguchi, S. and S. Fukuda. 2001. Taxus cuspidata (Japanese yew) pollen nasal allergy. Auris Nasus Larynx, 38: 43–47. Malik, S., R.M. Cusidó, M.H. Mirjalili, E. Moyano, J. Palazón and M. Bonfill. 2011. Production of the anticancer drug Taxol in Taxus baccata suspension cultures: A review. Process Biochemistry, 46: 23–34.
114 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Martell, D.L. 1974. Canada yew Taxus canadensis Marsh. USDA For. Serv. Gen. Tech. Rep. NE-1974. pp. 158– 160. Masters, J.J., J.T. Link, L.B. Snyder, W.B. Young and S.J. Danishefsky. 1995. A total synthesis of Taxol. Angew. Chem. Int. Ed. Engl., 34: 1723–1726. McCown, B.H. and G. Lloyd. 1981. Woody plant medium (WPM) – a mineral nutrient formulation for microculture for wood plant species. Hortic sci., 16: 453. Minore, D., G.W. Howard and C. Maria. 1996. Seeds, Seedlings, and Growth of Pasific Yew (Taxus brevifolia). Northweat Science, 70: 223–229 Mitchell, A.K. 1998. Acclimation of Pacific yew (Taxus brevifolia) foliage to sun and shade. Tree Physiology, 18: 749–757. Moerman, D.E. 1986. Medicinal plants of Native America. Technical Reports 19. University of Michigan Museum of Anthropology, Ann Arbor, MI. 534 p. Mukaiyama, T., I. Shiina, H. Iwadare, M. Saitoh, T. Nishimura, N. Ohkawa and H. Sakoh. 1999. Asymmetric total synthesis of Taxol. Chem. Eur. J., 5: 121–161. Murashige, T. and F. Skoog. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with tabacco tissue culture. Physiol. Plantarum, 15: 473-497.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 115
Nandi, S.K., L.M.S. Palai and H.C. Rikhari. 1996. Chemical induction of adventitious root formation in Taxus baccata cuttings. Plant Growth Regulation, 19: 117–122. Nicolaou, K.C., Dai W.M. and R.K. Guy. 1994. Chemistry and biology of Taxol. Angew. Chem., Int. Ed. Engl., 33: 15–44. Nicolaou, K.C., H. Ueno, Liu J.J., P.G. Nantermet, Yang Z. and J. Renaud. 1995a. Total synthesis of Taxol. 4. The final stages and completion of the synthesis. J. Am. Chem. Soc., 117: 653–659. Nicolaou, K.C., Liu J.J., Yang Z., H. Ueno, E.J. Sorensen, C.F. Claiborne and R.K. Guy. 1995b. Total synthesis of Taxol. 2. Construction of A and C ring intermediates and initial attempts to construct the ABC ring system. J. Am. Chem. Soc., 117: 634–644. Nicolaou, K.C., P.G. Nanterme., H. Ueno, R.K. Guy, E.A. Couladouros and E.J. Sorensen. 1995c. Total synthesis of Taxol. 1. Retrosynthesis, degradation and reconstitution. J. Am. Chem. Soc., 117: 624 –633. Nicolaou, K.C., Yang Z., Liu J.J., P.G. Nantermet, C.F. Claiborne, J. Renaud and R.K. Guy. 1995d. Total synthesis of Taxol. 3. Formation of Taxol’s ABC ring skeleton. J. Am. Chem. Soc., 117: 645–652. Norman, J.M. and G.S. Campbell. 1989. Canopy structure. In: Pearcy R.W., J.R. Ehleringer, H.A. Mooney and P.W. Rundel. (Eds). Plant Physiology Ecology. Field Methods and Instrumentation, Champman and Hall, London, p. 301–325. 116 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Ohwi, J. 1965. Flora of Japan, Washington: Smithsonian Institution. Onrubia, M., R.M. Cusidó, K. Ramirez, L. HernándezVázquez, E. Moyano, M. Bonfill and J. Palazon. 2013. Bioprocessing of Plant In Vitro Systems for the Mass Production of Pharmaceutically Important Metabolites: Paclitaxel and its Derivatives. Current Medicinal Chemistry, 20: 880–891. Orwa et al., 2009. Taxus baccata, Agroforestry Database 4.0 (www.worldagroforestry.org/treedb/AFTPDFS/Ta xus_baccata.pdf, diakses 8 Maret 2014). Panchagnula, R. 1998. Pharmaceutical aspects of paclitaxel. Int. J. Pharm., 172: 1–15. Pasaribu, G. and T. Setyawati. 2010. Status riset Taxus sumatrana. Prosiding, seminar Bersama BPK Aek Nauli, BPK Palembang dan BPHPS Kuok. Peran Litbang Kehutanan dalam Implementasi RSPO Pekanbaru, 4–5 November 2010. Pilz, D. 1996. Propagation of Pacific Yews from seed. Am. Con. Soc. Bull. [Winter Issue], 13: 13–18. Pinto, F. and D. Herr. 2005. Autoecology of Canada Yew (Taxus canadensis Marsh.). Southern Science and Information Section Technical, Note #12. Ontario Ministry of Natural Resources, North Bay, Ont.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 117
Pothier, D. and A. Margolis. 1991. Analysis of growth and light interception of balsam fir and white birch saplings following precommercial thinning. Ann. Sci. For., 48(2): 123–132. Price, R.A. 1990. The genera of Taxaceae in the southeastern United States. J.Arnold Arbor., 71: 69–71. Rachmat, H.H. 2008. Variasi genetik dan teknik perbanyakan vegetatif cemara Sumatra (Taxus sumatrana). Thesis, Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Indonesia. Rachmat, H.H., A. Subiakto, I.Z. Siregar and Supriyanto. 2010. Uji Pertumbuhan stek cemara Sumatra Taxus sumatrana (miquel) de Laub. Jurnal Penelitian dan Konservasi Alam, (7): 289–298. Rudolf, P.O. 1974. Taxus L., yew. In: Schopmeyer, C.S., tech. coord. Seeds of woody plants in the United States. Agriculture Handbook 450. U.S. Department of Agriculture, Forest Service, Washington, DC. p 799– 802. Rushforth, K. 1999. Genomic Diversity among Yew (Taxus baccata) Genotypes of Iran Revealed by Random Amplified Polymorphism DNA Markers. Trees of Britain and Europe. Collins ISBN 0-00- 220013-9. Sankawa, U. and H. Itokawa. 2003. Biosyenthesis of toxoids. In: Itokawa, H. and Lee K.H. (eds.). Taxus. Taylor & Francis, London, UK, and New York, NY.
118 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Scagel, C.F., K. Reddy and J.M. Armstrong. 2003. Mycorrhizal fungi in rooting substrate influences the quantity and quality of roots on stem cuttings of Hick`s Yew. Hort. Technology, 13: 62–66. Schenk, R.U. and A.C. Hildebrandt. 1972. Medium and techniques for induction and growth of monocotyledonous and dicotyledonous plant cell cultures. Can. J. Bot., 50: 199–204. Sharma, P. and P.L. Uniyal. 2010. Traditional knowledge and conservation of Taxus baccata in Sikkim Himalaya. NeBIO, 1: 55–59. Shen Y-C., Lin Y-S., Cheng Y-B., Cheng K-C., T.K. Khalil, Kuo Y-H., Chien C-T. and Lin Y-C. 2005. Novel Taxane diterpenes from Taxus sumatrana with the first C-21 Taxane ester. Tetrahedron, 61: 1345–1352. Shi Q-W., S. Franc’oise, M. Orval and O.Z. Lolita. 2002. A novel minor metabolite (Taxane?) from Taxus canadensis needles. Tetrahedron Letters, 43: 6869–6873. Silba, J. 1984. An international census of the coniferae, I. Phytologia Mem., 7: 1–79. Singh, M.B. and P.L. Bhalla. 2006. Plant stem cells carve their own niche. Trends Plant Sci., 11: 241–246. Sitte, P., H. Ziegler, F. Ehrendorfer and A. Bresinsky. 1991. Strasburger Lehrbuch der Botanik. Gustav Fisher Verlag: Stuttgart, Jena, New York. Smith, R.F. and S.I. Cameron. 2002. Domesticating ground hemlock (Taxus canadensis) for producing Taxanes: a
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 119
case study In: Proc. 29th Annual Mtg. Plant Growth Reg. Soc. Amer. Halifax N.S. July 28–Aug 1, 2002. pp 40–45. Smith, R.F., S.I. Cameron, J. Letourneau, M. Duffy, D. Fleming, F. McBain-Hogg, C. McLaughlin, J. Phillips, P. Stewart-Leblanc and L.D. Yeates. 2003. Genetics of ground hemlock (Taxus canadensis). In: Simpson, J.D. (eds.) Proc. 28th Meet. Can. Tree Imp. Assoc., Part 1, 22–25 July 2002, Edmonton, AB. p 30– 31. Smith, R.F., SI. Cameron, J. Letourneau, T. Livingstone and K. Livingstone. 2006. Assessing the effects of mulch, compost tea, and chemical fertilizer on soil microorganisms and early growth, biomass partitioning, and nutrition of field-grown rooted cuttings of Canada Yew (Taxus canadensis). PGRSA 2006 Annual Meeting, July 8–12, Quebec City, Canada. Soule, M.E. 1985. What is conservation biology? BioSciences, 35: 727–734. Spjut, R.W. 2003. Nomenclatural and taxonomic review of three species and two varieties of Taxus (Taxaceae) in Asia. www.worldbotanical.com (accepted for J. Bot Res. Inst. Texas in 2006). Spjut, R.W. 2007. A phytogeographical analysis of Taxus (Taxaceae) based on leaf anatomical characters. J. Bot. Res. Inst. Texas, 1: 291–332.
120 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Srodon, A. 1978. History of the yew in Poland. The Yew – Taxus baccata L. In: Bartkowiak, S., W. Bugala, A. Czartoryski, A. Hejnowicz, S. Król, A. Środoń and R.K. Szaniawski (eds). Foreign Scientific Publications, Department of the National Center for Scientific and Technical, and Economic Information (for the Department of Agriculture and the National Science Foundation, Washington, DC), Warsaw, Poland, pp. 5–14. Stephen, P.D., V.W. Mark and Nan C.V. 1998. Factors limiting seed production of Taxus brevifolia (Taxaceae) in Western Oregon. American Journal of Botany, 85: 910–918. Stierle, A., G. Strobel and D. Stierle. 1993. Taxol and Taxane production by Taxomyces andreanae, an endophytic fungus of Pasific yew. Science., 260: 214–216. Strobel, G.A., A. Stierle and D. Stierle. 1993. Taxomyces andreanae, a proposed new taxon for a bulbilliferous hyphomycete associated with Pacific yew. Mycotaxon, 47: 71–78. Strobel, G.A., W.M. Hess, E.J. Ford, R.S. Sidhu and Yang X. 1996a. Taxol from fungal endophytes and issue of biodiversity. J. Indust. Microbiol., 17: 417–423. Strobel, G., Yang X.S. and J. Sears. 1996b. Taxol from Pestalotiopsis microspora, an endophytic fungus of Taxus walachiana. Microbiology, 142: 435–440. Suffness, M.V. 1995. Taxol: science and applications. USA: CRC Press Inc., Boca Raton, FL. Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 121
Taylor, R.L. and S. Taylor. 1981. Taxus brevifolia in British Columbia. Davidsonia, 12: 89–94. Thomas, P.A. and A. Polwart. 2003. Taxus baccata L. biological flora of the British Isles 229. J. Ecol., 91: 489–524. Thompson, D. and C. Teoranto. 2014. Cultivation of Irish Yew. Tree Improvement Section, Kilnacurra Park, Co. Wicklow. [http://www.woodlandrestoration.ie /Userfiles/david-thomson.pdf/, diakses 21 Maret 2014]. Troup, R.S. 1921. Silviculture of Indian Tree. Vol.I-III. Calendon Press, Oxford. Vance, N.C. and P.O. Rudolp. 2000. Taxus L. [http://www.enensl.fs.fed.us/wpsmn/Taxus.pdf, diakses, 25 Maret 2005]. Vongpaseuth, K. and S.C. Roberts. 2007. Advancements in the understanding of paclitaxel metabolism in tissue culture. Curr. Pharm. Biotechnol., 8: 219–36. Waibel, T. 2010. Transcriptional regulation of TaxolTM biosynthesis in Taxus cuspidata procambium cells. Disertation, Institute of Melucular Palnt Sciences, School of Biological Sciences, The University of Edinburgh, Jerman. Wang J., Guiling L., Huaying L., Zhonghui Z., Yaojian H. and Wenjin S. 2000. Taxol from Tubercularia sp. strain TF5, an endophytic fungus of Taxus mairei. FEMS Microbiology Letters, 193: 249–253.
122 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Wang Y.J., Yuan M., Lu J.C., Wu and Jiang J.L. 2003. Inhibitor studies of isopentenyl pyrophosphate biosynthesis in suspension cultures of the yew Taxus chinensis var. mairei. Biotechnology and Applied Biochemistry, 37: 39–43. Wang Y-F., Yu S-H., Dong M., Zhang M-L., Huo C-H. and Shi Q-W. 2010. Chemical Studies on Taxus cuspidata. Chemistry & Biodiversity, 7: 1698–1716. Wani, M.C., H.L. Taylor, M.E. Wall, P. Coggon and A.T. McPhail. 1971. Plant antitumor agents. VI. Isolation and structure of Taxol, a novel antileukemic and antitumor agent from Taxus brevifolia. J. Am. Chem. Soc., 93: 2325–2327. Webster, L., R.F. Smith, S.I. Cameron and M. Krasowski. 2005. Developing improved nursery culture for the production of rooted cuttings of Canada Yew (Taxus canadensis Marsh.). In: Potter, M.A. and B.E. Quill. (eds). Proceedings of the 32nd Annual Meeting of the Plant Growth Regulation Society of America, Newport Beach, California, USA, 24–27 July, 2005, pp. 95–100. Wender, P.A., N.F. Badham, S.P. Conway, P.E. Floreancig, T.E. Glass, C. Gränicher and J.B. Houze. 1997. The pine path to Taxanes. 5. Stereocontrolled synthesis of a versatile Taxane precursor. J. Am. Chem. Soc., 119: 2755–2756.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 123
Wilson, C.R., J-M. Sauer and S.B. Hooser. 2006. Taxines: a review of the mechanism and toxicity of yew (Taxus spp.) alkaloids. Toxicon, 39: 175–185. Wilson, P., M. Buonopane and T.D. Allison. 1996. Reproductive biology of the monoecious clonal shrub Taxus canadensis. Bull. Torrey Bot. Club, 123: 7– 15. Windels, S.K. and D.J. Flaspohler. 2011. The ecology of Canada Yew (Taxus canadensis Marsh.): A review. Botany, 89: 1–17. Wubet, T., M. Weiß, I. Kottke and F. Oberwinkler. 2003. Morphology and molecular diversity of arbuscular mycorrhizal fungi in wild and cultivated yew (Taxus baccata). Canadian Journal of Botany, 81: 255–266. Yeates, L.D., R.F. Smith, S.I. Cameron and J. Letourneau. 2005. Recommended Procedures for Rooting Ground Hemlock (Taxus canadensis) Cuttings. Natural Resources Canada Canadian Forest Service Atlantic Forestry Centre, Fredericton, New Brunswick, CANADA. Yuan J.I., Jian-Nan B.I., Yan B. and Zhu X-D. 2006. Taxolproducing Fungi: A New Approach to Industrial Production of Taxol. Chinese Journal of Biotechnology, 22: 1–6. Zaiyou J., Meng L., Xu G. and Zhou X. 2013. Isolation of an endofitik fungus producing baccatin III from Taxus wallichiana var. mairei. J. Ind. Microbiol. Biotechnol., 40: 1297–1302. 124 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Zamani, S., Z. Abbasian, G. Khaksar, S. Movahedi, M. Talebi and B.E.S. Tabatabaei., 2008. Genomic diversity among yew (Taxus baccata L) genotypes of Iran revealed by random amplified polymorphism DNA markers. Int. J. Agri. Biol., 10: 648–652. Zamir, L.O., Zheng Y.F., G. Caron, F. Sauriol and O. Mamer. 1996. Rearrangement of the major Taxane from T. Canadensis. Tetrahedron Letters, 37: 6435– 6438. Zhang C., Mei X., Liu L. and Yu L. 2000. Enhanced paclitaxel production induced by the combination of elicitors in cell suspension cultures of Taxus chinensis. Biotechnology Letters, 22: 1561–1564 Zhang C.H., S.F. Pedro, Guangyuan H. and Zhenjia C. 2007. Enhanced paclitaxel productivity and release capacity of Taxus chinensis cell suspension cultures adapted to chitosan. Plant Science, 172: 158–163. Zhang S., Chen W.M. and Chen Y.H. 1992. Isolation and identification of two new Taxane diterpenes from Taxus chinensis (Pilger) Rehd. Yaoxue Xuebao, 27: 268–270. Zhao K., Ping W., Li Q., Hao S., Zhao L., Gao T. and Zhou D.P. 2009. Aspergillus niger var. taxi, a new species variant of Taxol-producing fungus isolated from Taxus cuspidata in China. Journal of Applied Microbiology, 107: 1202–1207.
Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
| 125
Zhiri, A., M. Jaziri, J. Homes, M. Vanhaelen and K. Shimomura. 1994. Factors affecting the in vitro rapid germination of Taxus embryos and the evaluation of Taxol content in the planflets. Plant Cell Tiss. Org. Cult., 39: 261–263. Zhou X., Zhu H., Liu L., Lin J. and Tang K. 2010. A review: recent advances and future prospects of Taxolproducing endofitik fungi. Appl. Microbiol. Biotechnol., 86: 1707–1717. Zu Y-G., Chen H-F., Wang W-J. and Nie S-Q. 2006. Population structure and distribution pattern of Taxus cuspidata in Muling region of Heilongjiang Province, China. Journal of Forestry Research, 17: 80– 82.
126 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra
Riwayat Penulis Asep Hidayat, S.Hut, M.Agr, Ph.D.; dilahirkan di Lembang, Bandung, tanggal 26 Juni 1977. Pendidikan Strata-1 jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB) diselesaikan pada Tahun 2000. Tahun 2002 mulai bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Pada tahun 2007 mendapat kesempatan menjadi research student yang dilanjutkan dengan pendidikan Strata-2 dan Strata-3 di Ehime University,Japan dengan beasiswa dari Monbukagakusho, MEXT (Ministry of Education Culture, Sports, Sciences and Technology). Gelar Master of Agriculture (M.Agr) diperolehnya tahun 2010 dan Doctor of Philosophy (Ph.D) pada tahun 2013. Kini penulis kembali aktif menjadi peneliti dengan ketertarikan pada bidang biodegradasi polutan organik (tumpahan minyak, PAHs, PCbs, dyes, plastik biopolymer, dan lain-lain), teknologi enzimatik, mikrobiologi, bioresources science, dan sintesa bahan alam. Selama masa pendidikan dan menjadi peneliti, penulis cukup aktif memublikasikan karya ilmiahnya pada jurnal nasional maupun internasional yang terakreditasi,
antara lain lebih dari 10 karyanya telah terbit pada jurnal nasional, lebih dari 5 karyanya terbit pada jurnal internasional, dan lebih dari 15 hasil penelitiannya telah dipresentasikan di berbagai seminar nasional maupun internasional. Satu penemuannya berupa jamur pendegradasi tumpahan minyak mentah telah berhasil dipatenkan (JP2011067199) pada tahun 2011. Penulis juga aktif di berbagai organisasi profesi, seperti Wakil Sekretaris Jenderal Himpunan Peneliti Indonesia (Himpenindo) tahun 2013–2018, Sekretaris 1 Forum Bioremediasi Indonesia (FBI) tahun 2013–2018, Anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indoensia (MAPEKI), dan Anggota Japan Wood Research Sciences (JWRS), Japan tahun 2009–2013.
Henti Hendalastuti Rachmat, S.Hut, M.Si, Ph.D.; dilahirkan di Sumedang, Jawa Barat pada tanggal 8 Agustus 1978. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB, lulus pada bulan April 2001. Sejak tahun 2002, penulis bekerja sebagai peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Kesempatan untuk melanjutkan ke program master pada Progran Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB dan gelar Magister Sains diperoleh pada tahun ajaran 2006/2007 dengan beasiswa yang diperoleh dari Departemen Kehutanan. Pada tahun 2013, penulis menyelesaikan pendidikan Strata3 di Ehime University, Japan dan mendapakan gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) dengan spesifikasi bidang keahlian konservasi genetik di bawah bimbingan Prof. Ko. Harada. Sampai dengan saat ini, penulis telah memublikasikan lebih dari 15 karya ilmiahnya pada beberapa jurnal nasional dan internasional, serta aktif menghadiri pertemuan ilmiah nasional maupun internasional.
Ir. Atok Subiakto, M.Sc.; dilahirkan pada tahun 1958 di Kota Bogor, Jawa Barat. Sejak tahun 1983 mulai bekerja sebagai peneliti pada Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kehutanan, UGM dan lulus pada tahun 1983. Pendidikan master ditempuh di Royal Melbourne Institute Technology, Melbourne, Australia pada tahun 1997. Selama bekerja sampai dengan saat ini, penulis telah terlibat di 6 proyek riset internasional. Penulis juga ikut aktif dalam pertemuan ilmiah nasional dan internasional, serta sebanyak >30 karya ilmiahnya telah dipublikasikan pada beberapa jurnal nasional dan internasional.