1
VARIASI GENETIK DAN TEKNIK PERBANYAKAN VEGETATIF CEMARA SUMATRA (Taxus sumatrana)
HENTI HENDALASTUTI RACHMAT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Variasi Genetik dan Teknik Perbanyakan Vegetatif Cemara Sumatra (Taxus sumatrana) adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2008
Henti Hendalastuti Rachmat NIM E051060431
3
ABSTRACT HENTI HENDALASTUTI RACHMAT. Genetic Variation and Vegetative Propagation Technique of Sumatran Yew (Taxus Sumatrana). Under direction of Dr. ISKANDAR Z. SIREGAR and Dr. SUPRIYANTO Genetic diversity and vegetatif propagation technique for Sumatran yew (Taxus sumatrana) are little known and could be useful for the management of this long-lived species either for conservation, habitat restoration or production of paclitaxel (Taxol® ), a promising anti-cancer agent. The objective of this research were: 1) To estimate genetic variation of Sumatran yew from three reproductive population (mother tree, planted tree in Cibodas Botanical Garden and natural seedling) using RAPD marker that is important in formulating appropriate conservation strategies for the species; and 2) To find out suitable rooting medium in propagating Sumatran yew vegetatively. In this study, the genetic diversity was estimated based on Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Of the 28 universal primers screened, six produced polymorphic and clear RAPD bands. The result also showed that there was a relatively high genetic diversity within population with the percentage of polymorphic band (PPB) ranging from 45,8% – 83,33% with an average 69,43% and Nei’s genetic diversity index (He) of 0,2346, and moderate genetic differentiation among population (GST = 0,2892 ). The high genetic diversity found on population of Sumatran yew may result from their life history characteristic as an outcrossing, widespread distribution, wind-pollinated, animal digested seed and long-lived woody species. Results from shoot cutting experiment using three different rooting media showed that rooting ability was significantly affected by the medium. Among the three media tested, combination of cocodust and rice husk at the ratio 2:1 (v/v) gave the best result in rooting ability (66,7%). Keywords: Taxus sumatrana, genetic diversity, RAPD, cutting
4
RINGKASAN HENTI HENDALASTUTI RACHMAT. Variasi Genetik dan Teknik Perbanyakan Vegetatif Cemara sumatra (Taxus sumatrana). Dibimbing oleh Dr. Ir. ISKANDAR Z. SIREGAR dan Dr. Ir. SUPRIYANTO Kulit, daun, cabang, ranting, dan akar dari genus Taxus merupakan sumber paclitaxel (Taxol®), yang saat ini sangat sukses digunakan dalam mengobati kanker ovarium dan kanker payudara serta berbagai jenis penyakit non kanker lainnya seperti alzheimer, sarcoma kaposi (tumor jaringan pembuluh darah), dan sklerosis ginjal. Produksi 1 kg Taxol membutuhkan sekitar 30.000 kg biomasa. Menurut Smith & Cameron (2001), kebutuhan Taxol untuk Amerika Utara dan Eropa saja sekitar 400 kg/tahun (setara dengan 12 juta kg biomas) atau diprediksikan sekitar 1.000 kg/tahun untuk pasar dunia (setara dengan 30 juta kg biomas). Permintaan terhadap produk ini mengalami kenaikan rata-rata 20% setiap tahun. Oleh karena kondisi penurunan populasi Taxus yang sudah berada pada tingkat yang sangat memprihatinkan, maka Taxus telah dimasukan ke dalam Appendiks II CITES sejak tahun 2005 (CITES, 2005). Indonesia merupakan sedikit dari negara yang memiliki sebaran alamiah Taxus di zona Asia. Taxus sumatrana yang dikenal di dunia internasional dengan nama Sumatran yew (Cemara sumatra) merupakan salah satu jenis pohon berdaun jarum yang tumbuh secara alamiah di Indonesia (Sumatera) pada ketinggian 1.400-2.300 mdpl. Keragaman genetik suatu individu memegang peranan yang penting karena tingkat keragaman individu dalam populasi maupun antar populasi menggambarkan status keberadaan suatu jenis di alam. Pemilihan teknik RAPD dalam menganalisis keragaman genetik telah dilakukan pada beberapa jenis Taxus namun sampai saat ini belum ada laporan penggunaan teknik ini untuk menganalisis keragaman genetik Cemara sumatra yang tumbuh di Indonesia. Upaya budidaya merupakan salah satu kunci penting dalam mempertahankan keberadaan suatu jenis. Karena sulitnya penanganan pada pematahan dormansi benih maka teknik perbanyakan paling umum dari genus Taxus dilakukan dengan penyetekan. Meskipun telah dilaporkan beberapa upaya dan keberhasilan perbanyakan jenis-jenis Taxus melalui perbanyakan dengan stek, namun sampai saat ini belum ada laporan hasil penelitian yang serupa terhadap jenis Cemara sumatra. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1) Menduga keragaman genetik Cemara sumatra dari 3 populasi reproduktif (populasi pohon induk, populasi Cibodas, populasi anakan alam) dengan menggunakan Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) yang berguna sebagai dasar dalam memformulasikan strategi konservasi yang paling sesuai; dan 2) Mendapatkan metode penyetekan dengan tingkat keberhasilan yang paling tinggi dari beberapa media yang berbeda. Bahan tanaman yang digunakan untuk analisis variasi genetik adalah sampel daun Cemara sumatra dari 3 populasi reproduktif yaitu populasi pohon induk alam, populasi anakan alam, dan populasi yang ditanam di Cibodas. Ekstraksi daun dilakukan dengan modifikasi metode cetyl trimethyl ammonium bromida (CTAB) dari Milligan (1989). Amplifikasi DNA dilakukan dengan metode Random Amlified Polymorphic DNA (RAPD) pada mesin PCR MJ
5
Research PTC-100. Primer yang digunakan adalah 6 primer hasil optimasi keluaran Operon Technology yaitu OPC-05, OPO-06, OPO-13, OPY-14, OPY-15 dan OPY-20. Variabel untuk keragaman genetik dalam populasi adalah: Persentase Lokus Polimorfik (PLP), jumlah alel efektif (Ae), indeks Shanon (S) dan keragaman genetik Nei-s (He). Sedangkan variabel yang diukur pada keragaman genetik antar populasi adalah : jarak genetik (do), diferensiasi genetik (GST), dan analisis gerombol. Pada kegiatan penelitian teknik perbanyakan vegetatif dengan stek, sumber bahan stek merupakan pohon induk Cemara sumatra yang tumbuh di Gunung Kerinci – Jambi yang diambil dari cabang ortotrof. Penanaman bahan stek di rumah kaca dilakukan pada 3 media yang berbeda yaitu : tanah : sekam pada rasio 1:1 (v/v) (M1), tanah : sekam : serbuk kelapa pada rasio 1:1:1 (v/v/v) (M2), dan serbuk kelapa: sekam pada rasio 2:1 (v/v) (M3). Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali dengan masing-masing ulangan terdiri dari 7 bahan stek. Pengecekan akar dilakukan pada umur stek 16 minggu setelah tanam (MST), 20 MST, dan 24 MST sedangkan penyapihan dilakukan pada umur 28 MST. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Variabel pengamatan adalah persentase stek hidup, persentase stek berakar, jumlah dan panjang akar primer serta jumlah dan panjang akar sekunder. Pengamatan histologi akar dilakukan pada akhir pengamatan penyetekan dengan menggunakan metode parafinasi dengan tujuan mengetahui daerah munculnya akar pertama kali. Dari total 48 lokus yang terdeteksi, 47 (97,92%) merupakan lokus polimorfik. Persentase lokus polimorfik memiliki nilai rata-rata 69,43%, dengan kisaran 45,83% - 83,33%. Rata-rata jumlah alel efektif per lokus adalah 1,4039. Keragaman genetik dalam populasi (He) tergolong tinggi dengan nilai 0,2346 dan indeks Shanon memiliki nilai 0,3524. Dari ketiga populasi yang dianalisis, populasi pohon induk alam (He = 0,2590) dan hasil perbanyakan di Kebun Raya Cibodas (He = 29,59) memperlihatkan tingkat variabilitas yang jauh lebih tinggi dibanding populasi anakan alam (He = 0,1490). Diferensiasi genetik antar populasi (Gst) tergolong sedang dengan nilai 0,2892. Sedangkan besarnya jarak genetik Nei (do) antar populasi berkisar dari 0,1308 – 0, 2598 dengan nilai rata-rata 0,2041. Berdasarkan jarak genetik Nei (1972), populasi Cemara sumatra terbagi menjadi 2 kelompok. Populasi pohon induk alam dan populasi hasil perbanyakan vegetatif berada pada satu kelompok yang sama dan kelompok kedua hanya terdiri dari populasi anakan alam. Perlakuan pemakaian media yang berbeda dalam penyetekan Cemara sumatra menghasilkan perbedaan yang signifikan hanya pada variabel persentase stek berakar. Media serbuk kelapa : sekam pada 2:1 (v/v) (M3) menghasilkan persentase stek yang paling tinggi yaitu 66,7%. Berdasarkan hasil mikroteknik, pembentukan akar pada stek Cemara sumatra dimulai dari sel-sel meristem pada kambium. Namun demikian pada beberapa stek, akar terbentuk dengan didahului oleh terbentuknya kalus dan ada juga akar adventif pada batang yang tumbuh secara spontan. Kata kunci: Taxus sumatrana, variasi genetik, RAPD, penyetekan
6
Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
7
VARIASI GENETIK DAN TEKNIK PERBANYAKAN VEGETATIF CEMARA SUMATRA (Taxus sumatrana)
HENTI HENDALASTUTI RACHMAT
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
8
Judul Tesis : Variasi Genetik dan Teknik Perbanyakan Vegetatif Cemara Sumatra (Taxus sumatrana) Nama : Henti Hendalastuti Rachmat NIM : E051060431
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Supriyanto Anggota
Dr. Iskandar Z. Siregar Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS
Tanggal Ujian: 19 Agustus 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
9
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga segala upaya penulis dalam melaksanakan dan menyusun karya ilmiah dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2007 ini adalah Variasi Genetik dan Teknik Perbanyakan Vegetatif Cemara Sumatra (Taxus sumatrana). Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Departemen Kehutanan atas kesempatan dan beasiswa yang telah diberikan untuk melanjutkan studi ke Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan juga kepada Dr. Iskandar Z. Siregar dan Dr. Supriyanto selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan dan motivasi dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Keberhasilan ini juga tidak terlepas dari peran suami, anak dan keluarga, terima kasih untuk semuanya. Semoga dengan adanya karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2008 Henti Hendalastuti Rachmat
x
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumedang, Jawa Barat pada tanggal 8 Agustus 1978 sebagai anak ketiga dari pasangan Bapak Mamat Rachmat dan Ibu Eceh Suwangsih (Alm). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB, lulus pada bulan April 2001.
Kesempatan untuk
melanjutkan ke program master pada Progran Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun ajaran 2006/2007.
Beasiswa
pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Kehutanan. Penulis bekerja sebagai peneliti pada Loka Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya institusi tempat penulis bekerja mengalami perubahan tugas pokok dan fungsi menjadi Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat, Badan Litbang Kehutanan – Departemen Kehutanan.
Bogor, Agustus 2008
Henti Hendalastuti Rachmat
xi
DAFTAR ISI Hal DAFTAR TABEL ........................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. v PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 Latar Belakang....................................................................................... 1 Perumusan Masalah ............................................................................... 2 Tujuan ................................................................................................... 4 Hipotesis................................................................................................ 4 Manfaat.................................................................................................. 4 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 5 Taxus sumatrana (Miq) de Laubenfels ................................................... 5 Keragaman Genetik ............................................................................... 7 Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)....................................... 8 Sistem Perbanyakan Vegetatif Stek ........................................................ 9 METODE PENELITIAN.............................................................................. 12 Analisis Keragaman Genetik......................................................................... 12 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 12 Alat dan Bahan ...................................................................................... 12 Metode................................................................................................... 14 Teknik Perbanyakan Vegetatif ..................................................................... 20 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 20 Alat dan Bahan ...................................................................................... 20 Metode................................................................................................... 20 Pengamatan Histologi Akar ......................................................................... 23
xii
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 26 Keragaman Genetik Cemara sumatra ............................................................ 26 Keragaman Genetik dalam Populasi ...................................................... 26 Keragaman Genetik antar Populasi......................................................... 33 Perbanyakan Vegetatif Stek ......................................................................... 34 Persentase Stek Hidup dan Berakar ........................................................ 35 Jumlah dan Panjang akar Primer dan Sekunder ...................................... 39 Pertumbuhan dan Perkembangan Akar pada Stek................................... 40 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 44 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 45 LAMPIRAN ................................................................................................. 48
xiii
DAFTAR TABEL No.
Hal
1.
Koordinat, ketinggian tempat dan diameter pohon induk populasi alam Cemara sumatra yang dijadikan sampel untuk analisis RAPD
13
2.
Kondisi sampel anakan alam untuk analisis RAPD di Gunung Kerinci
13
3.
Kondisi tanaman Cemara sumatra hasil perbanyakan di Cibodas yang digunakan untuk analisis RAPD
14
4.
Komposisi buffer ekstraksi
15
5.
Urutan basa nukleotida 28 primer dari Operon Technology
17
6.
Komposisi untuk reaksi PCR dengan bahan Green Go Taq
18
7.
Tahapan dalam proses PCR
18
8.
Sekuensi primer dan jumlah pita polimorfik yang dihasilkan
26
9.
Variabilitas genetik dalam populasi Cemara sumatra berdasarkan analisis RAPD
29
10.
Nilai keragaman genetik dalam dan antar populasi Cemara sumatra
33
11.
Rekapitulasi hasil sidik ragam penggunaan media tanam yang berbeda terhadap perkembangan stek Cemara sumatra 28 MST
34
12.
Hasil sidik ragam persentase hidup dan berakar stek Cemara sumatra
35
13.
Hasil uji Duncan pengaruh media terhadap persentase berakar stek Cemara sumatra
36
14.
Kondisi perakaran stek Cemara sumatra 28 MST pada tiga kondisi media yang berbeda
39
xiv
DAFTAR GAMBAR No.
Hal
1.
Pohon, batang, dan daun Cemara sumatra
6
2.
Penyebaran Cemara sumatra
7
3.
Prosedur penelitian keragaman genetik
14
4.
Cara penilaian pita dengan sistem skoring
19
5.
Hasil amplifikasi pita yang diperlihatkan oleh primer
26
6.
Amplifikasi RAPD oleh primer OPC-05
27
7.
Amplifikasi RAPD oleh primer OPO-06
27
8.
Amplifikasi RAPD oleh primer OPO-13
27
9.
Amplifikasi RAPD oleh primer OPY-14
28
10.
Amplifikasi RAPD oleh primer OPY-15
28
11.
Amplifikasi RAPD oleh primer OPY-20
28
12.
Persentase hidup dan berakar stek Cemara sumatra
35
13.
Kondisi perakaran stek Cemara sumatra 28 MST pada tiga media berbeda
36
14.
Rata-rata jumlah akar primer dan sekunder stek Cemara sumatra 28 MST pada media yang berbeda
39
15.
Panjang akar primer dan sekunder stek Cemara sumatra 28 MST pada media yang berbeda
40
16.
Penampang melintang akar Cemara sumatra hasil penyetekan
41
17.
Akar yang tumbuh dari jaringan kalus
42
18.
Akar adventif batang yang tumbuh secara spontan
42
xv
DAFTAR LAMPIRAN No.
Hal
1.
Hasil analisis tanah dari Gunung Kerinci - Jambi
48
2.
Hasil skoring pita DNA yang diamplifikasi oleh 6 primer dari Operon Technology Analisis sidik ragam untuk variabel persen hidup dan berakar stek Cemara sumatra 28 MST Hasil uji Duncan persen berakar stek Cemara sumatra 28 MST
49
3. 4. 5.
Analisis sidik ragam untuk panjang akar utama, jumlah akar utama, panjang akar sekunder dan jumlah akar sekunder stek Cemara sumatra 28 MST
50 50 50
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang banyak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, baik untuk produksi kayu, jasa lingkungan, maupun sumber plasma nutfah. Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai hutan yang luas dengan berbagai tipe hutan yang tersusun atas berbagai jenis tumbuhan dengan keanekaragaman yang tinggi. Keanekaragaman hayati sebagai sumber kekayaan hayati bagi umat manusia merupakan pilar untuk mengembangkan tanaman pangan, bahan baku industri, maupun bahan baku obatobatan. Berangkat dari catatan sejarah, ketertarikan terhadap sumber daya hutan telah sekian lama terfokus hanya pada produk berupa kayu atau turunannya. Nilai-nilai sumber daya hutan yang lainnya ditempatkan pada kelas kedua dan dinilai sebagai produk tambahan dengan sebutan produk minor hutan. Dari hal tersebut tergambar secara jelas kurangnya ketertarikan dan perhatian terhadap produk hutan non kayu. Seiring dengan waktu, telah terjadi peningkatan ketertarikan dan perhatian terhadap hasil hutan non kayu akhir-akhir ini. Perubahan iklim dunia merupakan salah satu faktor signifikan yang berkontribusi dalam meningkatkan perhatian berbagai kalangan terhadap nilai-nilai biodiversitas dan signifikansi jasa lingkungan yang terkandung di dalam hutan. Kondisi degradasi hutan di berbagai belahan dunia yang semakin tinggi juga telah menuntut dilakukannya upayaupaya pelestarian dan pengelolaan hutan dan hasil hutan. Produk hasil hutan non kayu kini telah menjadi bisnis besar dan beberapa diantaranya berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendukung bisnis tersebut mulai dari budidaya, ekstraksi sampai ke pemasaran. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa tidak jarang pemanenan terhadap hasil hutan non kayu sama merusaknya dengan pemanenan terhadap kayu. Pada beberapa jenis hasil hutan non kayu (rotan, kayu penghasil gaharu, berbagai jenis akar dan batang) sistem pemanenannya akan menimbulkan kematian terhadap pohon/tumbuhan tersebut.
2
Diantara sekian banyak pengelompokan jenis hasil hutan non kayu, tumbuhan atau pohon sebagai sumber senyawa aktif obat-obatan (industri farmasi) merupakan salah satu kelompok hasil hutan non kayu dengan nilai ekonomis yang tinggi. Menurut Kuswiyati et al. (1999) dalam Anonim (1999), disebutkan bahwa Indonesia mempunyai 1260 jenis tumbuhan obat-obatan. Tanaman obat yang dimanfaatkan baru 456 jenis dari 646 jenis tanaman obat yang telah diteliti. Di negara lain seperti Cina, sudah terdaftar lebih dari 7000 spesies tanaman obat, Korea sejak 1983 melakukan standardisasi 530 jenis tanaman obat. Di Jerman, penelitian dan pemanfaatan obat-obatan dari bahan alam yang biasa disebut phytomedicines sudah jauh lebih maju. Tahun 1989 pasar obat-obatan dari bahan alam di Jerman mencapai nilai $1,7 milyar, atau 10% dari total nilai pasar Jerman. Hasil penelitian Allenbach Institute (1989) menyatakan bahwa 58% penduduk Jerman menggunakan obat dari bahan alam (Kompas, 22 Oktober 1998 dalam Budiatmoko 1999). Namun demikian, sangat disayangkan bahwa potensi hutan Indonesia sebagai sumber bahan alami obat-obatan bernilai tinggi belum tergali secara optimal.
Hanya beberapa jenis pohon atau tumbuhan saja yang sudah
dimanfaatkan secara komersial dan masih jauh lebih banyak jenis pohon/ tumbuhan yang belum terjamah. Dengan tingkat degradasi hutan yang sangat tinggi, cukup masuk akal jika timbul kekhawatiran bahwa tumbuhan/pohon penghasil obat-obatan di hutan Indonesia akan musnah bahkan sebelum potensinya dapat diketahui.
Perumusan Masalah Kulit, daun, cabang, ranting, dan akar dari genus Taxus merupakan sumber paclitaxel (Taxol®), yang saat ini sangat sukses digunakan dalam pengobatan kanker ovarium dan kanker payudara. Saat ini, Taxol® juga mulai digunakan untuk pengobatan beberapa jenis kanker lainnya dan penyakit non kanker seperti alzheimer, sarkoma kaposi (tumor jaringan pembuluh darah), dan sklerosis ginjal. Seiring dengan tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan untuk memperoleh bahan aktif Taxol® di dunia farmasi karena permintaan pasar yang sangat tinggi terhadap produk ini maka populasi Taxus di dunia telah menurun
3
secara drastis.
Tingkat pemanenan Taxus yang sangat tinggi di populasi
alamiahnya juga dipicu oleh sangat rendahnya kandungan Taxol® pada bagian tanaman. Produksi 1 kg Taxol® membutuhkan sekitar 30.000 kg biomasa. Menurut Smith & Cameron (2001), kebutuhan Taxol® untuk Amerika Utara dan Eropa saja sekitar 400 kg/tahun (setara dengan 12 juta kg biomas) atau diprediksikan sekitar 1.000 kg/tahun untuk pasar dunia (setara dengan 30 juta kg biomas). Jika diasumsikan 1 ha hutan tanaman mampu menghasilkan 400 kg biomasa maka diperlukan 75.000 ha hutan tanaman Taxus untuk pemenuhan suplai bahan baku. Permintaan yang sangat tinggi terhadap bahan aktif Taxol® dan berbagai senyawa Taxane lainnya yang diekstraksi dari Taxus berlangsung mulai tahun 1990-an dan mengalami kenaikan rata-rata sebesar 20% per tahun. Fenomena ini diprediksikan akan terus meningkat seiring dengan kenyataan bahwa Taxol® merupakan obat anti kanker paling dicari di dunia (Anonim, 2003). Upaya budidaya untuk pemenuhan bahan baku telah dilakukan di wilayah timur laut Pasifik dan Midwest Amerika Serikat namun sebagian besar bahan baku yang digunakan masih diimpor dari Asia terutama dari Cina dan India. Penurunan drastis populasi Taxus telah menyebabkan jenis ini dimasukan ke dalam Appendiks II CITES sejak tahun 2005 (CITES 2005). Indonesia merupakan sedikit dari negara yang memiliki sebaran alamiah Taxus di zona Asia.
Taxus sumatrana yang dikenal di dunia dengan nama
Sumatran yew (Cemara sumatra) merupakan salah satu jenis pohon berdaun jarum yang tumbuh secara alamiah di Indonesia (Sumatera) pada ketinggian 1.400-2.300 mdpl. Sedikit sekali penelitian ilmiah yang sudah dilakukan mengenai jenis ini di Indonesia. Sangat berbeda dengan negara-negara di belahan bumi bagian utara yang sudah sangat berkembang dalam meneliti Taxus dari berbagai aspek, di Indonesia hanya terdapat dua hasil penelitian saja yang telah dipublikasikan yaitu mengenai studi kapang endofitik penghasil Taxol® yang hidup pada batang Cemara sumatra yang tumbuh di Cibodas (Syukur et al. 2003) dan penemuan senyawa taxane diterpenoid baru yang diekstraksi dari bagian daun Cemara sumatra yang tumbuh di Sumatera ( Kitagawa et al. 1995). Sampai dengan saat ini belum dilaporkan adanya
publikasi ilmiah hasil penelitian atau kajian
4
mengenai keragaman genetik, teknik budidaya maupun strategi konservasi Cemara sumatra yang tumbuh alami di Indonesia. Dari kondisi ini muncul dua permasalahan utama, yaitu: 1. Bagaimana keragaman genetik intra maupun antar populasi Cemara sumatra di Indonesia dan strategi konservasi apa yang bisa disusun berdasarkan keragaman genetik yang dimilikinya? 2. Bagaimana tingkat keberhasilan perbanyakan vegetatif melalui penyetekan dengan media berbeda pada Cemara sumatra?
Tujuan Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah : 1. Menduga keragaman genetik Cemara sumatra dari 3 populasi reproduktif (populasi pohon induk, populasi Cibodas, populasi anakan alam) dengan menggunakan
Random
Amplified
Polymorphic
DNA
(RAPD)
dan
memformulasikan strategi konservasi yang paling sesuai. 2. Mengkaji metode penyetekan dengan tingkat keberhasilan yang paling tinggi dari beberapa media yang berbeda.
Hipotesis 1.
Variasi genetik populasi Cibodas sebagai hasil perbanyakan vegetatif dari alam akan lebih mendekati populasi pohon induk alam dibanding dengan populasi anakan alam.
2.
Pemakaian media tanam yang berbeda pada penyetekan Cemara sumatra akan menghasilkan perbedaan tingkat keberhasilan dalam memperbanyak jenis ini secara vegetatif.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sains dasar (basic science) mengenai keragaman genetik dan teknik perbanyakan Cemara sumatra yang penting sebagai landasan dalam praktek budidaya
dan
pengelolaannya dimasa mendatang, baik untuk tujuan komersial maupun konservasi.
TINJAUAN PUSTAKA
Taxus sumatrana (Miq) de Laubenfels Aspek botanis Taxus sumatrana termasuk ke dalam genus Taxus, famili Taxaceae dan sub-divisi Gymnospermae. Di dunia internasional Taxus sumatrana dikenal dengan nama Sumatran yews atau Cemara sumatra. Habitus dari tanaman ini berbentuk semak sampai pohon dengan tinggi bisa mencapai 30 m.
Daun
berbentuk elip-lanset, berwarna hijau zaitun dengan ukuran panjang 1,8 – 3,0 cm, lebar 2.0 – 2.5 mm, dan tebal 200 – 275 µm. Warna kulit batang merah keabuabuan dengan tebal kulit 0,5-0,8 cm. Bunga kerucut jantan biasanya tidak terlihat, sedangkan bunga kerucut betina berbentuk subsilindris dengan panjang 2 mm, lebar 1 mm. Buah berbentuk kerucut kaku dengan panjang 4 mm dan lebar 3 mm, mengerucut dari tengah ke puncak. Seluruh genus Taxus dikenal sebagai jenis yang berumur panjang bahkan pohon tertua di daratan Eropa dengan umur diperkirakan 3.000 – 4.000 dan berdiameter lebih dari 4 meter adalah Taxus baccata (Spjut 2003). Hampir semua jenis Taxus berumah dua (dioceous) hanya Taxus canadensis merupakan tumbuhan berumah satu (monoceous). Bunga berukuran kecil dan soliter dan tumbuh dari tunas aksilar. Kuncup bunga betina terdiri dari ovul tunggal yang dikelilingi oleh 5 kelopak bunga. Antesis diindikasikan dengan terdapatnya mikropolar pada oval yang terbuka, yang selanjutnya akan berkembang menjadi benih. Kuncup bunga jantan biasanya mengelompok di sepanjang bagian bawah percabangan. Bunga jantan memiliki 14 stamen, masingmasing dengan 5-9 mikrosporangia atau kantung polen. Polinasi terutama dilakukan oleh angin. Sampai dengan saat ini tidak banyak informasi yang dapat diperoleh mengenai Cemara sumatra yang tumbuh di Indonesia baik dari segi ekologi maupun silvikultur. Gambar 1 berikut memperlihatkan pohon, batang dan daun Cemara sumatra yang ditanam di Kebun Raya Cibodas.
6
Koleksi pribadi, 2006
5 cm
Gambar 1 Pohon, batang, dan daun Cemara sumatra.
Penyebaran, tempat tumbuh dan status ekologi Cemara sumatra tumbuh di hutan sub tropis lembab dan hutan hujan pegunungan. Penyebaran alami jenis ini mencakup wilayah Afganistan, Tibet, Nepal, Bhutan, Burma, Vietnam, Taiwan dan Cina.
Di Indonesia, Cemara
sumatra tumbuh secara alami sebagai sub kanopi di hutan pegunungan ataupun punggung pegunungan di Pulau Sumatera dan Sulawesi pada ketinggian 1.400 – 2.300 mdpl (Spjut 2003). Di Taiwan, jenis ini dikenal sebagai jenis konifer yang terancam punah dengan pola penyebaran yang terpencar mengelompok (Huang et al. 2008). Untuk Cemara sumatra yang tumbuh di Indonesia sampai dengan saat ini belum dilaporkan adanya publikasi ilmiah aspek ekologi yang komprehensif tentang jenis ini. Adapun penyebaran jenis ini di Indonesia seperti terlihat pada Gambar 2.
7
Gambar 2 Penyebaran Cemara sumatra di Indonesia. (Sumber: http://www.conifer.org) Keterangan : Titik merah mengindikasikan wilayah penyebaran Cemara sumatra di Indonesia
Produk perdagangan dalam dunia tumbuhan obat terdiri dari berbagai komoditas mulai dari bahan baku mentah (akar, kulit batang, daun dll) sampai dengan hasil ekstrak atau produk farmasi akhir yang sudah dikemas. Ekstrak Taxus baik berupa bahan kimia mentah, setengah dimurnikan atau senyawa aktif yang sudah dikemas dan siap dikonsumsi merupakan bentuk produk yang diperdagangkan luas di dunia. Tambahan anonasi #10 pada Apendix II CITES untuk Taxus sumatrana berimplikasi terhadapa mekanisme perdagangannya yaitu pelarangan perdagangan segala bagian pohon dan turunannya, kecuali biji dan produk farmasi akhir siap konsumsi (CITES 2007). Dengan demikian, pemenuhan bahan baku dalam pembuatan Taxol bertumpu hanya pada dua pilihan utama yaitu pembangunan hutan tanaman dan pemanfaatan bioteknologi dalam sintesis senyawa Taxol (kultur suspensi sel, kultur rambut akar, pemanfaatan kapang endofitik, teknik fermentasi sel tanaman).
Keragaman Genetik Tingkat keragaman individu dalam populasi maupun antar populasi secara tidak langsung menggambarkan status keberadaan suatu jenis di alam. Tingkat keragaman yang rendah mengindikasikan penurunan dalam populasi efektif di alam akibat terjadinya inbreeding.
Dalam hal ini, populasi dengan tingkat
8
keragaman genetik yang tinggi mempunyai peluang hidup yang lebih baik karena mempunyai
kemampuan
lingkungannya.
yang
lebih
baik
untuk
beradaptasi
dengan
Menurut Finkeldey (2005), keragaman genetik adalah suatu
besaran yang mengukur variasi fenotype yang disebabkan oleh faktor-faktor genetik. Keragaman genetik dapat dibagi menjadi keragaman genetik di dalam populasi dan antar populasi dimana masing-masing memiliki besaran/parameter pengukuran.
Keragaman genetik dalam populasi biasanya diukur dengan
polimorfisme atau persentase lokus polimorfik, rata-rata jumlah alel per lokus, keragaman gametik, keragaman genetik dan rata-rata tingkat heterozigositas. Keragaman antar individu dalam suatu jenis merupakan hal yang penting karena keragaman materi genetik yang berbeda tersebut akan menggambarkan perbedaan tingkat adaptasi individu di dalam suatu jenis terhadap dinamika kondisi lingkungannya. Individu-individu dalam generasi tertentu yang memiliki tingkat adaptasi tinggi terhadap lingkungannnya akan mampu bertahan hidup dan menghasilkan individu-individu turunan untuk generasi selanjutnya. Keragaman genetik antar populasi dihitung dengan menggunakan parameter jarak genetik, diferensiasi, pengelompokan keragaman genetik, dan analisa gerombol (Hattemer 1991 dalam Siregar 2000; Yeh 2000)
Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Penanda genetik RAPD merupakan metode yang mendeteksi polimorfisme DNA dengan hasilnya berupa ada atau tidaknya amplifikasi di dalam sebuah lokus yang ditandakan dengan terbentuk atau tidaknya pita-pita DNA. genotipe, RAPD merupakan penanda dominan.
Pada level
DNA yang digunakan dalam
teknik RAPD ini bisa DNA dari posisi manapun baik DNA inti, DNA kloroplas maupun DNA mitokondria. RAPD menggunakan prinsip kerja mesin PCR dan pertama kali digunakan dan dikembangkan oleh William et al. (1990) dengan menggunakan primer tunggal atau sekuen nukleotida pendek (10-20 mer) yang susunan basanya dibuat secara acak (Glaubitz & Moran 2000).
Teknik RAPD
banyak dipilih untuk menganalisis keragaman genetik dengan berbagai alasan antara lain tidak membutuhkan latar belakang pengetahuan tentang genom yang
9
akan dianalisis, tersedianya primer yang secara universal dapat digunakan untuk organisme prokariot maupun eukariot, mampu menghasilkan karakter yang relatif tidak terbatas jumlahnya, bahan-bahan yang digunakan relatif lebih murah, mudah dalam preparasi, dan relatif cepat memberikan hasil (Weissing et al. 1995). Pemilihan teknik RAPD dalam menganalisis keragaman genetik telah dilakukan pada beberapa jenis Taxus diantaranya adalah Taxus bacata, Taxus canadensis dan Taxus brevifolia. Teknik RAPD berhasil mendeteksi keragaman klonal dalam populasi, struktur populasi, diferensiasi dan dinamika genetik populasi, serta mendeteksi pengaruh persilangan resiprokal terhadap terbentuknya kultivar/hybrid baru (Hilfiker et al. 2004; Collins et al. 2003). Meskipun teknik ini semakin berkembang dan banyak digunakan untuk analisis genetik pada berbagai jenis dalam genus Taxus namun sampai saat ini belum ada laporan penelitian mengenai penggunaan teknik RAPD untuk analisa genetik Cemara sumatra yang tumbuh di Indonesia.
Sistem Perbanyakan Vegetatif Stek Didapatnya teknik perbanyakan yang paling sesuai terutama untuk jenisjenis yang terancam punah dapat menjadi salah satu kontribusi yang sangat penting dalam upaya pelestarian jenis tersebut. Dari berbagai teknik perbanyakan yang ada, penyetekan merupakan metode yang paling populer dalam memperbanyak tanaman secara vegetatif (Maden 2003). Adapun menurut Balitbanghut (2007), beberapa alasan digunakannya perbanyakan vegetatif antara lain adalah : a) Memperoleh keturunan dari pohon induk yang memiliki keunggulan genetik. Hal ini berkaitan erat dengan program pemuliaan dari suatu jenis; b) Sulitnya mendapatkan pasokan benih suatu jenis; dan c) Perbanyakan vegetatif dinilai akan lebih efisien untuk diterapkan pada jenis-jenis tertentu. Umumnya perbanyakan vegetatif jenis-jenis Taxus dilakukan dengan penyetekan. Persentase berakar cukup bervariasi antar kultivar atau antar jenis tergantung dari suhu, sistem dan mekanisme penyemprotan (misting), serta penggunaan hormon tumbuh seperti IBA atau NAA. Hasil pengamatan Echer (1988) dalam Kulkarni (2000) terhadap beberapa jenis Taxus diperoleh persentase berakar antara 63-100% sedangkan Chee (1995) dalam Kulkarni (2000)
10
melaporkan stek batang Taxus cuspidata yang diperlakukan dengan larutan IBA 0,2% + NAA 0,1% + Thiamine 0,08% memiliki persentase berakar 73,5%. Namun demikian tingkat keberhasilan stek berakar untuk jenis Taxus wallichiana sangat kecil yaitu 20-30% dengan waktu pembentukan akar yang panjang yaitu 3 bulan. Penyetekan di rumah kaca pada kondisi ternaungi dengan suhu lapisan bawah polibag yang dikondisikan pada 21 oC dan kelembaban yang tinggi cukup berhasil untuk Taxus brevifolia, Taxus canadensis, Taxus globosa dan Taxus floridana. Adapun sumber bahan stek adalah anakan alam yang berumur 1-2 tahun, panjang stek 10 - 20 cm, dan
pencelupan dengan hormone IBA
berkonsentrasi 5.000 – 10.000 ppm. Media yang digunakan adalah campuran spaghnum peat moss, vermikulit kasar dan perlite atau pasir (Vance & Rudolph 2000). Penelitian yang cukup menyeluruh dan intensif mengenai teknik penyetekan pada Taxus telah dilakukan untuk jenis Taxus canadensis.
Pada jenis ini
terindikasi bahwa penyetekan dapat dilakukan pada setiap musim namun biaya dan keberhasilan berakar stek bervariasi untuk tiap musimnya.
Penyetekan
dengan bahan stek dari pucuk yang tidak dorman dan masih aktif melakukan pemanjangan (bulan Mei-Juli) dapat menjadi sangat problematik karena bahan stek mudah pecah dan sulit dalam mempertahankan suhu dan kisaran kelembaban dalam rumah kaca selama musim panas.
Bahan stek pada berbagai ukuran
hampir semuanya mampu berakar, ukuran bahan stek yang dipilih lebih pada pertimbangan tipe dan ukuran kontainer atau polibag yang digunakan. Untuk kontainer persemaian berukuran 65 cm2 dengan masa tumbuh stek di rumah kaca sekitar 1 tahun maka ukuran panjang bahan stek yang direkomendasikan adalah 7,5 - 10 cm.
Perakaran yang baik tumbuh tepat diatas nodul sehingga
pemotongan bahan stek diatas nodul akan lebih baik dibandingkan pada bagian antar nodul. Dibutuhkan waktu sekitar 12-16 minggu agar bahan stek membentuk kalus dan mulai membentuk perakaran. Suhu rumah kaca pada siang hari dipertahankan pada 22-25 oC dan 18 oC pada malam hari pada awal pembentukan akar. Untuk mempertinggi kemampuan berakar dilakukan pencelupan bahan stek ke dalam
11
IBA 0,8% bentuk serbuk. Sebaiknya dibuatkan lubang tanam terlebih dahulu pada media tumbuh untuk mengurangi pecah atau luka bahan stek. Bahan stek ditanamkan dengan kedalaman minimal 3,0 cm - 4,0 cm, media di sekitarnya dipadatkan dan pH media dipertahankan pada 5,5 cm - 6 cm (Yeates et al. 2005). Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan berakar stek. Salah satu faktor yang sangat signifikan untuk keberhasilan berakar adalah juvenilitas bahan stek dimana stek yang berasal dari ortet muda memiliki nilai persentase berakar lebih tinggi yaitu 70,8%, sedangkan stek dari ortet tua memiliki nilai persentase berakar 48,6 % (Mitchell 1997). Meskipun telah dilaporkan beberapa upaya dan keberhasilan perbanyakan jenis-jenis Taxus melalui perbanyakan dengan stek, namun hingga saat ini belum ada publikasi ilmiah hasil penelitian yang serupa terhadap jenis Cemara sumatra.
METODE PENELITIAN
Analisis Keragaman Genetik Tempat dan waktu penelitian Penelitian keragaman genetik tanaman Cemara sumatra dilaksanakan di Laboratorium Analisis Genetika, Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, sedangkan untuk dokumentasi hasil PCR dilaksanakan di Laboratorium Biorin, Pusat Studi Ilmu Hayati dan Bioteknologi IPB. Waktu Penelitian selama 5 bulan (Nopember 2007 – Maret 2008). Bagian yang digunakan untuk analisis keragaman genetik adalah bagian daun.
Sampel diambil dari 3 populasi
reproduktif yaitu populasi pohon induk alam, populasi anakan alam, dan populasi hasil perbanyakan. Sampel daun untuk populasi reproduktif pohon induk dan anakan alam Cemara sumatra diambil dari Gunung Kerinci, Taman Nasional Kerinci Seblat - Jambi, sedangkan populasi hasil perbanyakan vegetatif diambil dari hasil perbanyakan vegetatif yang ditanam di Kebun Raya Cibodas.
Alat dan bahan Untuk analisis keragaman genetik tanaman Cemara sumatra alat yang digunakan adalah GPS Garmin Type 76C, tube, gelas piala, gelas ukur, sarung tangan, UV transiluminator, kamera digital, mortar dan pestel, hotplate, stirer, neraca analitik, vortex, Peltier Thermal Cycler MJ-100 Reserach, pipet, freezer dan sentrifuse. Bahan tanaman yang digunakan adalah sampel daun Cemara sumatra dari 3 populasi reproduktif yaitu populasi pohon induk alami (nomor sampel 1-10), populasi anakan alam (nomor sampel 11-20), dan populasi hasil perbanyakan vegetatif (nomor sampel 21-30).
Masing-masing populasi diwakili oleh 10
individu. Untuk populasi pohon induk maka dilakukan pencatatan letak geografis berdasarkan penunjukkan koordinat oleh GPS (Global Positioning System). Untuk populasi anakan alam, tidak berhasil dilakukan pencatatan koordinat. Hal ini disebabkan kondisi lokasi tempat tumbuh anakan yang bervegetasi sangat rapat dan gelap sehingga tidak terdapat ruang/celah yang memungkinkan GPS mampu menangkap sinyal satelit dan bekerja secara optimal. Koordinat yang
13
ditunjukkan oleh GPS untuk tiap lokasi pengambilan sampel pada populasi pohon induk alam seperti terlihat pada Tabel 1, sedangkan kondisi anakan alam dan tanaman hasil perbanyakan yang diambil sampel daunnya untuk analisis keragaman genetik dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 1 Koordinat, ketinggian tempat, tinggi dan diameter pohon induk populasi alam Cemara sumatra yang dijadikan sampel untuk analisis RAPD No. sampel 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Tabel 2 No. sampel 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Koordinat GPS S: 01o43’986’’ E: 101o15’311’’ S: 01o43’890’’ E: 101o15’741’’ S: 01o44’027’’ E: 101o15’659’’ S: 01o44’018’’ E: 101o15’659’’ S: 01o43’972’’ E: 101o15’702’’ S: 01o43’886’’ E: 101o15’733’’ S: 01o43’893’’ E: 101o15’749’’ S: 01o43’834’’ E: 101o15’736’’ S: 01o43’830’’ E: 101o15’746’’ S: 01o43’773’’ E: 101o15’736’’
Ketinggian tempat (m dpl)
Tinggi pohon (m)
Diameter pohon (cm)
Σ pohon Taxus lain di sekitarnya
1786
12
20
3
2090
15
25
3
2044
15
25
3
2045
30
110
0
2052
18
25
6
2090
22
45
3
2090
25
45
3
2150
15
20
2
2147
18
40
4
2163
35
110
0
Kondisi sampel anakan alam untuk analisis RAPD di Gunung Kerinci Tinggi (cm) 15 12 10 8 20 13 20 23 20 14
Diameter (cm)
Orientasi tumbuh
0,5 0,3 0,4 0,5 0,5 0,5 0,5 0,3 0,4 0,4
ke atas ke atas ke atas ke atas Menyamping ke atas ke atas Menyamping Menyamping ke atas
14
Tabel 3 Kondisi tanaman Cemara sumatra hasil perbanyakan vegetatif di Cibodas yang digunakan untuk analisis RAPD No. sampel 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Tinggi tanaman (m) 1,2 1,1 1,0 1,1 0,9 1,2 1,2 2,4 2,2 2,0
Diameter (cm)
Tahun tanam
6 4 5 5 4 5 5 12 10 12
2002 2002 2002 2002 2002 2002 2002 2000 2000 2000
Bahan kimia yang digunakan dalam analisis RAPD adalah Buffer TE, PVP (polyvinylpyrrolidone) 2%, agarose, ethidium bromida (EtBr), buffer ekstrak, CTAB, Cloroform IAA, phenol, propanol, NaCl, etanol (ETOH) 100%, Taq Polymerase dan Primer dari Operon Technology.
Metode penelitian Metode analisis DNA dengan RAPD dibagi menjadi tiga tahapan yaitu ekstraksi, RAPD dan analisis data. Secara umum prosedur penelitian dengan metode RAPD dapat dilihat pada Gambar 3.
Pengambilan Sampel Daun
Ekstraksi dan Isolasi DNA Seleksi Primer PCR-RAPD
Pemotretan Hasil Amplifikasi
Interpretasi & Analisis Data: Deskriptif, POPGENE Ver 3.2
Gambar 3 Prosedur penelitian keragaman genetik
15
Ekstraksi dan isolasi DNA Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan metode CTAB (Milligan 1989) yang meliputi beberapa kegiatan yaitu: ekstraksi, pemurnian dan presipitasi. Pada kegiatan ekstraksi, sampel daun digerus dalam pestel dengan penambahan larutan buffer ekstraksi sebanyak 300-500 µl dan larutan PVP 2% sebanyak 100 µl sampai berbentuk serbuk. Hasil gerusan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung plastik steril yang kemudian diisi dengan buffer pengekstrak CTAB (komposisi pada Tabel 4.) sebanyak 500 µl dan ditambahkan 100 µl PVP 2%. Tabung kemudian ditutup rapat dan dikocok lalu diinkubasi dalam water bath selama 45 menit – 1 jam pada suhu 65 0C. Setiap 15 menit sekali tabung-tabung tersebut diangkat dari water bath untuk dikocok perlahan-lahan.
Tabel 4 Komposisi buffer ekstraksi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nama Bahan Tris-HCl 1 M NaCl 5 M EDTA 0.5 M CTAB 10% Merkaptoetanol PVP 1% Aquadest
1 sampel reaksi 100 µl 280 µl 40 µl 200 µl 5 µl 100 µl 280 µl
X sample reaksi X x 100 µl X x 280 µl X x 40 µl X x 200 µl X x 5 µl X x 100 µl X x 280 µl
Setelah inkubasi selesai, tabung diangkat dan didinginkan pada suhu ruang selam 15 menit dan dicuci dengan menambahkan 500 µl Cloroform IAA dan phenol 10 µl. Selanjutnya disentrifugasi pada 13.000 rpm selama 2 menit. Supernatan yang diperoleh kemudian dipindahkan ke tabung baru dengan penambahan kembali 500 µl Cloroform IAA dan phenol 10 µl dan disentrifugasi kembali pada 13.000 rpm selama 2 menit. Tahap presipitasi adalah memindahkan supernatan hasil pemurnian ke tabung steril baru kemudian ditambahkan isopropanol dingin dan NaCl masingmasing sebanyak 500 µl dan 300 µl, dikocok kemudian disimpan dalam freezer selama 60 menit. Setelah itu dilakukan sentrifugasi kembali selama 2 menit , dan cairan dalam tube dibuang sehinga yang tertinggal adalah pellet DNA. Ke dalam pellet DNA tersebut selanjutnya ditambahkan ETOH 100% sebanyak 300 µl, kemudian disentrifugasi kembali dan cairan dibuang sampai yang tertinggal hanya pellet DNA. Penambahan ETOH 100% masih tetap dilakukan dan kemudian
16
disentrifugasi kembali pada 13.000 rpm selama 2 menit. Cairan dibuang kembali dengan hati-hati agar pellet DNA tidak ikut terbuang. Setelah yang tertinggal hanya pellet DNA yang menempel pada dinding tabung, tahapan selanjutnya adalah dikeringanginkan dalam desikator selama 15 menit. Setelah pellet DNA kering, ditambahkan buffer TE sebanyak 40 µl lalu ketuk-ketuk dan disentrifugasi sampai tercampur merata.
Uji kualitas DNA Untuk pengujian kualitas DNA maka agarose 1% (0,33 gram agarose dalam 33 ml TAE) disiapkan bersamaan dengan proses pengeringan pellet DNA dalam desikator. Untuk proses elektroforesis, 3 µl DNA masing-masing sampel dicampur dengan 2 µl blue juice 10 X. Masukkan campuran DNA dan blue juice pada sumur agarose 1% dengan menggunakan pipet mikro. Running dilakukan pada tegangan 100 volt selama ± 24 menit.
Hasil elektroforesis kemudian
direndam dalam larutan ethidium bromide (EtBr) 0,005 % (10 µl EtBr dalam 200 ml aquades) selama 5-10 menit, dan selanjutnya dilihat pada UV transiluminator dan didokumentasikan dengan menggunakan foto gel.
Seleksi primer Seleksi primer dilakukan terhadap 28 primer secara acak yaitu primer golongan OPO, OPC dan OPY yang diproduksi oleh Operon Technology. Selanjutnya dari 28 primer tersebut dipilih primer-primer yang menghasilkan pita DNA yang jelas, terang, dan polimorfik. Urutan basa nukleotida dari 28 primer produksi Operon Technology disajikan pada Tabel 5.
17
Tabel 5 Urutan basa nukleotida 28 primer dari Operon Technology No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Primer OPO-05 OPO-06 OPO-07 OPO-08 OPO-11 OPO-13 OPO-14 OPO-16 OPY-01 OPY-05 OPY-06 OPY-07 OPY-08 OPY-09
Urutan Basa 5' CCCAGTCACT '3 5' CCACGGGAAG '3 5' CAGCACTGAC '3 5′ CCTCCAGTGT '3 5' GACAGGAGGT '3 5' GTCAGAGTCC '3 5' AGCATGGCTC '3 5' TCGGCGGTTC '3 5' GGTGGCATCT '3 5' AGCCGTGGAA '3 5' AAGGCTCACC '3 5’ AGAGGGGTGA 3’ 5' AGGCAGAGCA '3 5' GTGACCGAGT '3
No. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Primer OPY-10 OPY-11 OPY-12 OPY-13 OPY-14 OPY-15 OPY-16 OPY-17 OPY-18 OPY-19 OPY-20 OPC- 4 OPC- 5 OPC -7
Urutan Basa 5’ CAAACGTGGG ‘3 5' AGACGATGGG '3 5' AAGCCTGCGA '3 5' CACAGCGACA '3 5' GGTCGATCTG '3 5' AGTCGCCCTT '3 5' GGGCCAATGT '3 5' GACGTGGTGA '3 5' GTGGAGTCAG '3 5’ TGAGGGTCCC 3’ 5' AGCCGTGGAA '3 5’ CCGCATCTAC 3’ 5’ GATGACCGCC 3’ 5’ GTCCCGACGA 3’
Untuk proses PCR, masing – masing DNA hasil ekstraksi diambil 1 µl dan dicampur menjadi satu.
Selanjutnya dilakukan pengenceran dengan
penambahan 99 µl aquabidest. Ambil komponen campuran untuk reaksi PCR (green go Taq 7,5 µl, Nuclease-free water 2,5 µl, DNA mix masing-masing 2 µl dan primer masing-masing 1,5 µl) dan disentrifugasi selama 5-10 detik dan selanjutnya dimasukkan ke dalam mesin PCR. DNA hasil PCR kemudian dielektroforesis dengan menggunakan agarose 2% (0,30 g agarose dalam 15 ml TAE) pada tegangan 90 volt selama 24 menit, selanjutnya dilihat pada UV transiluminator. Primer yang menghasilkan pita atau jumlah amplifikasi yang terbanyak digunakan untuk amplifikasi DNA dari 30 sampel yang diuji.
Amplifikasi dengan PCR (Polymerase Chain Reaction) Sebelum melakukan amplifikasi PCR, DNA hasil ekstraksi diencerkan dengan aquabidest.
Perbandingan antara DNA dengan aquabidest tergantung
pada resolusi pita genomik hasil ekstraksi (misalnya pengenceran 100 X artinya 99 µl aquabides dan 1 µl DNA hasil ekstraksi. Proses amplifikasi dilakukan dengan metode RAPD menggunakan mesin PCR MJ Research PTC-100.
Untuk proses amplifikasi DNA dengan PCR
terdapat empat komponen yang digunakan antara lain Green Go Taq, DNA
18
sampel dari bibit tanaman, primer dan aquaidest. Komposisi bahan untuk PCR disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Komposisi untuk reaksi PCR dengan bahan Green Go Taq No. 1 2 3 4
Nama Bahan H2O Green Go Taq Primer Cetakan DNA
1 sampel reaksi 2 mikro liter 7.5 mikro liter 1.5 mikro liter 2 mikro liter
X sample reaksi X x 2 mikro liter X x 7.5 mikro liter X x 1.5 mikro liter X x 2 mikro liter
DNA hasil PCR dielektroforesis dengan menggunakan konsentrasi agarose 2% (0.66 gram agarose dalam 33 ml TAE), dirunning pada tegangan 90 volt selama 24 menit dan direndam dalam larutan etidium bromida 0,005% selama 5-10 menit.
Visualisasi fragmen DNA dilakukan pada UV transiluminator.
Selanjutnya hasil running tersebut didokumentasikan dengan menggunakan foto gel. Pengaturan suhu pada mesin PCR MJ Research PTC-100 disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Tahapan dalam proses PCR Tahapan Pre denaturasi Denaturasi Annealing Extension Final Extension
Suhu (oC) 95 95 37 72 72
Waktu (menit) 2 1 2 2 10
Jumlah siklus 1 45 1
Analisis hasil PCR Berdasarkan foto DNA kemudian dilakukan skoring dan diterjemahkan dalam data biner berdasarkan ada tidaknya pita dengan ketentuan nilai 0 (nol) untuk tidak ada pita dan nilai 1 (satu) untuk adanya pita pada suatu posisi yang sama dari setiap individu yang dibandingkan (Gambar 10). Data yang diperoleh, diolah dengan menggunakan software POPGENE versi 3.2.
19
Lokus 1
2
3
4
5
3 1 1 0 1
4 1 0 1 1
5 1 1 0 1
Individu 6 7
8
9
10
11
8 0 1 1 1
9 1 0 0 1
10 0 1 0 1
11 1 1 1 1
L-1 L-2 L-3 L-4
Lokus L-1 L-2 L-3 L-4
Individu 1 2 1 1 1 1 1 1 1 0
6 0 1 0 1
7 1 1 1 0
Gambar 4 Cara penilaian pita dengan sistem skoring (1 = ada pita, 0 = tidak ada pita). Parameter yang diukur adalah keragaman genetik dalam populasi dan antar populasi. Parameter untuk keragaman genetik dalam populasi adalah: - Persentase Lokus Polimorfik (PLP) - Jumlah alel efektif (Ae) - Indeks Shanon (S) - Keragaman genetik Nei-s/ Heterozigositas harapan (He) Sedangkan parameter genetik yang diukur pada keragaman genetik antar populasi adalah : - Jarak Genetik (do) - Diferensiasi genetik (GST) = Keterangan :
HT – HS HT
HT : keragaman populasi total HS : keragaman populasi tunggal - Analisis gerombol
20
Teknik Perbanyakan Vegetatif Stek
Tempat dan waktu penelitian Penelitian teknik perbanyakan vegetatif dengan penyetekan dilaksanakan di rumah kaca Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi AlamDepartemen Kehutanan. Penelitian dilakukan selama 7 bulan dari September 2007- Maret 2008.
Alat dan bahan Alat yang digunakan untuk kegiatan ini adalah boks propagasi, gunting stek, ember plastik, pelubang media, dan cawan petri. Bahan penelitian terdiri dari bahan stek asal pohon induk di alam, tanah steril, sekam padi steril, serbuk kelapa steril, dan hormon perangsang akar (Rootone-F®).
Metode penyetekan Secara garis besar metode penyetekan meliputi kegiatan mulai dari pengambilan bahan stek, penanaman, pemeliharaan, dan penyapihan. Secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut.
Sumber bahan stek Sumber bahan stek diambil dari cabang ortotrof pohon induk Cemara sumatra. Pohon induk yang dijadikan sumber bahan stek dipilih secara acak yang selanjutnya bahan stek dicampur menjadi satu.
Pengambilan bahan stek Stek diambil dari bahan induk dengan menggunakan gunting stek yang tajam dan bersih. Pemotongan bahan stek berukuran 10-30 cm (untuk 1-3 stek). Karena lokasi pengambilan bahan stek jauh dari rumah kaca maka bahan stek dimasukkan ke dalam kontainer yang berisi air dan didinginkan dengan penambahan es. Setiap es sudah mencair maka dilakukan penggantian sampai dengan bahan stek tiba di rumah kaca. Lama perjalanan darat dan udara dari
21
mulai bahan stek diambil di alam sampai dengan ditanam di rumah kaca adalah 72 jam.
Pembuatan stek Pemotongan bahan stek menjadi stek siap tanam dilakukan dengan gunting stek yang tajam dan bersih.
Ukuran panjang stek yang ditanam adalah 7,5 -10
cm.
Penanaman stek Penanaman stek dilakukan setelah media dan potongan stek disiapkan. Bahan dan alat yang diperlukan untuk penanaman stek adalah stek siap tanam, media tanam, air, ember besar, box propagasi, hormon tumbuh rootone-F pada konsentrasi 5 g per 100 bahan stek, pelubang media dan sungkup propagasi. Media tanam merupakan faktor yang ingin dilihat pengaruhnya terhadap keberhasilan pembentukan akar. Media tanam yang digunakan dibagi menjadi 3 taraf yaitu : M1 = tanah : sekam pada rasio 1:1 (v/v) M2 = tanah : sekam : serbuk kelapa pada rasio 1:1:1 (v/v/v) M3 = sekam : serbuk kelapa pada rasio 1:2 (v/v) Keterbatasan jumlah bahan stek yang diperoleh di lapangan membatasi jumlah ulangan yang dipakai. Jumlah bahan stek yang diperoleh di lapangan hanya 63 bahan stek sehingga pada penelitian ini setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali dan setiap ulangan terdiri dari 7 bahan stek. Dengan demikian, jumlah bahan stek yang ditanam untuk setiap perlakuan adalah 21. Masing-masing media tanam dicampur sampai merata dan kemudian dimasukkan ke dalam box propagasi. Media tanam dalam box terlebih dahulu dibuatkan lubang tanam dengan menggunakan potongan kayu/lidi.
Hal ini
dimaksudkan agar kulit atau ujung stek terhindar dari kerusakan/pelukaan. Stek yang bagian ujung tanamnya telah dicelupkan ke dalam hormon tumbuh kemudian ditanam pada media dan ditekan dengan menggunakan dua jari untuk memadatkan stek agar stek tidak bergoyang saat dilakukan penyiraman. Setelah stek semuanya tertanam maka dilakukan penyiraman dengan emrat. Pada setiap
22
box diberi tanda tanggal penanaman dan kode perlakuan untuk memudahkan proses pengecekan dan pencatatan data.
Selanjutnya ditutup sungkup dan
ditempatkan di dalam rumah kaca dengan sistem automatic misting.
Pemeliharaan di rumah kaca Tindakan pemeliharaan stek pada tahap pembentukan akar di dalam rumah kaca meliputi penyiraman periodik, pembersihan gulma yang tumbuh pada box dan membuang guguran daun stek.
Penyapihan dan pengecekan akar Pengecekan akar pertama dilakukan pada 12 minggu setelah tanam (MST), dilanjutkan pada 16 MST dan 20 MST. Penyapihan stek ke dalam polibag dilakukan pada 28 MST. Penyapihan dilakukan untuk menstimulir pertumbuhan stek setelah stek berakar.
Variabel Pengamatan Parameter yang diamati untuk masing-masing perlakuan adalah: - Persentase stek hidup (PSH), dihitung dengan membandingkan antara jumlah stek yang masih hidup normal pada akhir penelitian dengan jumlah stek yang ditanam pada awal penelitian. - Persentase stek berakar (PSB), dihitung dengan membandingkan jumlah stek yang memiliki satu akar atau lebih pada akhir penelitian dengan jumlah stek yang diatanam pada awal penelitian. - Jumlah
akar
primer
(JAP),
dihitung
berdasarkan
jumlah
akar
utama/primer yang terbentuk yaitu akar yang muncul langsung dari bahan stek. - Panjang akar primer (PAP), dihitung dengan mengukur seluruh panjang akar primer. - Jumlah akar sekunder (JAS), dihitung berdasarkan jumlah akar sekunder yang terbentuk yaitu akar yang tumbuh dari akar primer. - Panjang akar sekunder (PAS), dihitung dengan mengukur total seluruh panjang akar sekunder.
23
Pengamatan Histologi Akar Pengamatan histologi akar dilakukan pada akhir pengamatan penyetekan untuk mengetahui daerah munculnya akar pertama kali. Untuk pengamatan ini dilakukan dengan membuat potongan longitudinal dari mulai pangkal stek. Tahapan kerja pembuatan preparat dengan menggunakan metode parafin adalah sebagai berikut:
Pematian, fiksasi dan dehidrasi Pematian dan fiksasi dilakukan dengan merendam bahan ke dalam cairan FAA (Formaldehyd-Acetic Acid Alcohol) dengan komposisi 5:5:90 selama 3-4 hari. Fiksasi bertujuan untuk mengawetkan semua struktur sel sehingga sedapat mungkin berada pada keadaan yang sama dengan keadaan pada waktu masih hidup. Dehidrasi dilakukan dengan merendam potongan bahan secara bertahap pada alkohol dengan kadar bertingkat yaitu 20%, 40%, 60% dan 100% secara rutin minimal 2 x 15 menit. Fungsi dehidrasi adalah untuk menghilangkan air dari jaringan agar dapat dimasuki cairan pelarut parafin (xylol).
Preparafinasi dan parafinasi Preparafinasi dilakukan dengan memasukkan potongan bahan ke dalam campuran alkohol 100% dan xylol dengan perbandingan 4:0, 3:1, 2:2, 1:1, 1:3 dan 0:4 (v/v) secara berurutan masing-masing minimal selama 2 X 15 menit. Tahapan ini bertujuan untuk menghilangkan alkohol dari jaringan agar dapat dimasuki larutan parafin. Parafinasi dilakukan dengan merendam potongan bahan ke dalam campuran xylol parafin dengan perbandingan 4:0, 2:2 dan 0:4 (v/v) secara berurutan masingmasing minimal selama 15 menit, jika parafin mulai memadat maka dilakukan pemanasan di dalam oven pada suhu 56o C supaya parafin tetap cair. Selanjutnya bahan tersebut direndam dalam parafin murni pada suhu 60o C minimal selama 1 hari. Tujuan dari proses parafinasi ini adalah memasukkan parafin ke dalam jaringan agar pada saat jaringan dipotong dengan mikrotom hasil potongan (pita) tidak pecah dan strukturnya dapat dipertahankan.
24
Penanaman dalam balok parafin Penanaman dilakukan pada kotak dengan cetakan besi dengan cara meletakkan potongan bahan dalam cetakan, setelah sebelumnya parafin murni cair yang dituangkan terlebih dahulu dalam cetakan tersebut.
Penanaman
dilakukan dengan bantuan pinset sesuai dengan arah yang diinginkan (longitudinal). Setelah parafin mengeras, balok parafin beserta bahan dikeluarkan dari cetakan.
Proses tersebut bertujuan menyimpan material ke dalam balok
parafin agar memudahkan dalam penyayatan.
Penyayatan dan penempelan sayatan Penyayatan dilakukan setelah terlebih dahulu balok parafin dibentuk trapesium dengan tujuan agar pita yang terbentuk lurus dan tidak pecah-pecah. Selanjutnya disayat pada mesin mikrotom putar dengan ketebalan diatur berkisar antara 5µ-20µ. Sayatan ditempel pada gelas preparat dengan menggunakan zat perekat berupa albumin. Setelah penempelan dilakukan, gelas preparat dipanaskan sebentar dengan oven pada suhu 40 – 60 o C agar sayatan merekat erat.
Pewarnaan dan penjernihan Kegiatan pewarnaan berdasarkan pada metode SAS (1968) yang terbagi menjadi penjernihan tahap I (dedehidrasi I), pewarnaan, dan penjernihan tahap II (Dedehidrasi II). Penjernihan tahap I dilakukan dengan memasukkan secara berurutan ke dalam xylol, xylol-alkohol (1:1), alkohol 100 %, ETOH 80 %, alkohol 60 % , alkohol 40 % dan alkohol 20 %, aquadest masing–masing selama 5 menit. Tujuan penjernihan ini adalah agar menghilangkan parafin dalam jaringan. Pewarnaan dilakukan agar bagian-bagian tertentu pada jaringan menjadi lebih kontras dan mudah diamati. Pewarnaan dilakukan dengan menggunakan pewarna Easin, setelah itu dimasukkan ke dalam aquades selama 5 menit, dilanjutkan dengan metil blue. Pencelupan ke dalam zat warna masing-masing dilakukan minimal selama 30 menit. Penjernihan tahap II merupakan kebalikan dari penjernihan tahap I dan bertujuan untuk membuang zat pewarna berlebih yang melekat pada potongan
25
bahan. Selanjutnya sayatan bahan yang diperoleh diolesi dengan etilen agar gelas penutup menempel dengan sempurna dan terlindungi.
Pemotretan Pemotretan
merupakan
proses
terakhir
yang
dilakukan
dengan
menggunakan photonic microscope merk Nikon dengan perbesaran 20 – 100 kali sesuai dengan arah yang diinginkan, dengan tujuan mengetahui asal usul primodia akarnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman Genetik Cemara sumatra Keragaman genetik dalam populasi Dari 28 primer keluaran Operon Technology yang diseleksi, 6 primer mampu menghasilkan pita DNA yang jelas dan polimorfik.
Keenam primer
tersebut adalah OPO-6 (O6), OPO-13 (O13), OPY-14 (Y14), OPY-15 (Y15), OPY-20 (Y20), dan OPC-5 (C5). Keenam primer tersebut selanjutnya dipakai untuk menganalisis keragaman genetik Cemara sumatra berdasarkan penanda RAPD. Gambar 5 merupakan hasil amplifikasi pita DNA yang diperlihatkan oleh 28 primer yang dicobakan sedangkan sekuen primer yang menghasilkan pita polimorfik dan jumlah pita yang dihasilkannya terlihat pada Tabel 8. Hasil foto untuk masing-masing primer pada tiap populasi seperti terlihat pada Gambar 6 Gambar 11.
M O6 O13O16 Y9 Y20
M O5 O7 O8 O11 O14 Y1 Y5 Y12 Y16 Y18 M
Y6 Y7 Y8 Y10 Y11 Y13 Y14 Y15 Y17 Y18
M
C4
C5
C7
Gambar 5 Hasil amplifikasi pita yang diperlihatkan oleh primer-primer yang dicobakan. Keterangan : M= Marker; O= OPO; Y=OPY; C=OPC.
Tabel 8 Sekuen primer dan jumlah pita polimorfik yang dihasilkan No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Primer OPC-05 OPO-06 OPO-13 OPY-14 OPY-15 OPY-20
Sekuen 5’GATGACCGCC ‘3 5' CCACGGGAAG '3 5' GTCAGAGTCC '3 5' GGTCGATCTG '3 5' AGTCGCCCTT '3 5' AGCCGTGGAA '3 Total
Jumlah pita polimorfik 6 10 10 6 11 5 48
27
100bp
500bp 1000bp 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 M 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
M 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Gambar 6 Amplifikasi RAPD oleh primer OPC-05. Keterangan : M = Marker; 1-10 = individu populasi pohon induk; 11-20 = individu populasi anakan alam; 21-30 = individu populasi hasil perbanyakan vegetatif di Cibodas
100bp 500bp
1000bp
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 M 11 12 13 14 15 16 17 18
19 20
M 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Gambar 7 Amplifikasi RAPD oleh primer OPO-06. Keterangan : M = Marker; 1-10 = individu populasi pohon induk; 11-20 = individu populasi anakan alam; 21-30 = individu populasi hasil perbanyakan vegetatif di Cibodas
100bp
500bp 1000bp
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
M 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 M
Gambar 8 Amplifikasi RAPD oleh primer OPO-13. Keterangan : M = Marker; 1-10 = individu populasi pohon induk; 11-20 = individu populasi anakan alam; 21-30 = individu populasi hasil perbanyakan vegetatif di Cibodas
28
100bp
500bp 1
2
3
4
5
6
1000bp
7
8
9
10 M 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
M 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Gambar 9 Amplifikasi RAPD oleh primer OPY-14. Keterangan M = Marker; 1-10 = individu populasi pohon induk; 11-20 = individu populasi anakan alam; 21-30 = individu populasi hasil perbanyakan vegetatif di Cibodas
100bp
500bp 1000bp
1
2
3
4
5
6
7
8
1500bp
9 10 M 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
M 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Gambar 10 Amplifikasi RAPD oleh primer OPY-15. Keterangan : M = Marker; 1-10 = individu populasi pohon induk; 11-20 = individu populasi anakan alam; 21-30 = individu populasi hasil perbanyakan vegetatif di Cibodas
100bp
500bp 1000bp 1 2
3
4
5
6
7
8
9 10 M 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
M 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Gambar 11 Amplifikasi RAPD oleh primer OPY-20. Keterangan : M = Marker; 1-10 = individu populasi pohon induk; 11-20 = individu populasi anakan alam; 21-30 = individu populasi hasil perbanyakan vegetatif di Cibodas
29
Dari keseluruhan 30 individu sampel, enam primer yang terseleksi mampu menghasilkan jumlah total pita (lokus) sebanyak 48 dengan ukuran 1001500 bp. Jumlah lokus yang dihasilkan setiap primer berkisar dari 5-11 lokus dengan rata-rata 8 lokus per primer. Tabel 9 memperlihatkan bahwa dari total 48 lokus yang terdeteksi, 47 (97,92%) merupakan lokus polimorfik. Persentase lokus polimorfik pada tingkat populasi memiliki nilai rata-rata 69,43%, dengan kisaran 45,83% - 83,33%. Ratarata jumlah alel efektif per lokus pada tingkat populasi dan jenis adalah 1,4039 dan 1,5715.
Berdasarkan hukum kesetimbangan Hardy-Weinberg, rata-rata
keragaman gen di tingkat populasi (He) adalah 0,2346 dan 0,3301 di tingkat jenis. Indeks Shanon memiliki nilai 0,3524 dan 0,4941 pada tingkat populasi dan jenis. Dari ketiga populasi yang dianalisis, populasi pohon induk alam (He = 0,2590) dan hasil perbanyakan di Kebun Raya Cibodas (He = 29,59) memperlihatkan tingkat variabilitas yang jauh lebih tinggi dibanding populasi anakan alam (He = 0,1490).
Tabel 9 Variabilitas genetik dalam populasi reproduktif Cemara sumatra berdasarkan analisis RAPD No. 1. 2. 3.
Populasi reproduktif n Ae He S PLP (%) GST Pohon induk alam (A) 10 1,4297 0,2590 0,3968 83,33 Anakan alam (B) 10 1,2570 0,1490 0,2249 45,83 Kebun Raya Cibodas (C) 10 1,5250 0,2959 0,4356 79,17 Rata-rata 10 1,4039 0,2346 0,3524 69,43 Rata-rata pada level jenis 30 1,5715 0,3301 0,4941 97,92 0,2892 Keterangan : n = ukuran sampel; Ae = jumlah alel efektif per lokus; He = keragaman genetik Nei; S = index Shanon; PLP = persentase lokus polimorfik, Gst = diferensiasi genetik antar populasi.
Secara teoritis, kelompok tumbuhan Gymnospermae berumur panjang memiliki keragaman genetik yang tinggi dalam populasi dan relatif rendah antar populasi (Hamrick et al. 1992). Secara umum jenis-jenis konifer juga akan memiliki tingkat variasi genetik yang tinggi yang berhubungan dengan rendahnya diferensiasi genetik antar populasi (Hamrick, 1989). Berdasarkan hasil analisis keragaman genetik dengan menggunakan RAPD, tingkat keragaman genetik Cemara sumatra tergolong cukup tinggi (rata-rata He =0,2346 dan S = 0,3524). Dengan demikian hasil penelitian mengindikasikan kecenderungan yang sama dengan teori.
30
Jika dibandingkan dengan jenis lain maka nilai keragaman genetik Cemara sumatra lebih tinggi dibanding jenis tumbuhan yang menyebar regional (He = 0,21) tetapi sedikit lebih rendah dibanding jenis dengan tipe penyerbukan menyilang (He= 0,27) (Nybom&Bartish, 2000; Nybom, 2004).
Nilai index
Shanon rata-rata sebesar 0,3524 hampir mendekati nilai index Shanon untuk jenisjenis Gymnospermae secara umum (S=0,386) dan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan index Shanon tumbuhan berkayu tahunan lainnya (S=0,241) (Nybom & Bartish, 2000). Nilai keragaman genetik dalam populasi Cemara sumatra lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis Taxus lainnya seperti Taxus fuana asal Pakistan (He = 0,1165) (Shah et al. 2008), Taxus wallichiana asal India bagian Tenggara (Saikia et al. 2000), Taxus canadensis (He = 0,102) (Senneville et al. 2001), dan Taxus brevifolia (He = 0,166) (Kassaby & Yanchuk 1994). Namun demikian, Taxus baccata memiliki nilai keragaman yang sedikit lebih tinggi (He = 0,279) (Lewandowski et al. 1995) dibanding Cemara sumatra. Untuk nilai persentase lokus polimorfik (PLP), Cemara sumatra memiliki nilai lebih tinggi (69,43%) dibanding Taxus fuana (38,34%) (Shah et al. 2008) Taxus wallichiana (45%) (Saikia et al. 2000), Taxus canadensis (26,5%) (Senneville et al. 2001), Taxus cuspidata (31,3%) (Hilfiker et al. 2004), dan Taxus brevifolia (42,3%) (ElKassaby & Yanchuk 1994), tetapi masih sedikit lebih rendah dibanding Taxus baccata (71%) (Lewandowski et al. 1994). Tingginya polimorfisme dalam populasi pada Cemara sumatra sesuai dengan Hamrick & Godt (1995) yang menyatakan bahwa jenis yang secara geografis memiliki wilayah penyebaran yang luas akan memiliki nilai polimorfisme yang lebih tinggi dibanding jenis-jenis dengan penyebaran yang sempit/endemik.
Selain itu tingginya variasi genetik bisa disebabkan oleh
karakterisasi sejarah hidup spesifik seperti dioceous, polinasi yang dibantu angin, tumbuhan berumur panjang, dan partisipasinya dalam tahap suksesi akhir. Semua karakteristik tersebut menjadi tipikal tumbuhan yang memiliki tingkat variasi genetik yang tinggi. Seperti umumnya karakteristik pada genus Taxus, Cemara sumatra selain memiliki wilayah penyebaran geografis yang cukup luas juga merupakan jenis yang berumur sangat panjang dan menyerbuk silang dibantu oleh
31
angin. Bijinya juga disukai oleh burung dan vertebrata. Nilai keragaman genetik dalam populasi Cemara sumatra yang cukup tinggi bisa disebabkan oleh faktorfaktor diatas.
Selain itu, kurang dikenalnya Cemara sumatra yang tumbuh di
Indonesia menyebabkan jenis ini cukup aman dari eksploitasi. Tidak terjadinya eksploitasi terhadap jenis ini juga bisa menjadi faktor yang menyebabkan keragaman genetik Cemara sumatra asal Indonesia masih tergolong tinggi. Tingkat keragaman genetik yang tinggi juga diperlihatkan oleh Taxus baccata (He = 0,279; PLP 71%). Tingginya keragaman jenis tersebut dikaitkan dengan tingkat adaptabilitas jenis yang tinggi terhadap lingkungan yang disertai dengan distribusi geografis yang luas (Lewandowski et al. 1995). Keragaman genetik populasi anakan Cemara sumatra lebih rendah (He = 0,1490: S = 0,2249; PLP 45,83%) dibanding populasi pohon induk (He = 0,2590; S = 0,3968; PLP = 83,33%) dan hasil perbanyakan vegetatif (He = 0,2959; S = 0,4356; PLP = 79,17%). Hasil yang sama diperoleh untuk jenis Taxus baccata (Lewandowski et al. 1995) dimana tingkat homozigositas populasi hasil keturunan generatif sangat tinggi, sedangkan tingkat homozigositas untuk populasi induk sendiri sangat rendah. Taxus baccata merupakan jenis pohon dioceous sehingga segala bentuk inbreeding yang terjadi bisa dipastikan merupakan hasil perkawinan antar saudara. Hubungan kekerabatan yang terjadi diantara hasil keturunan generatif ini bisa disebabkan karena terbatasnya penyebaran biji dan terjadinya perkawinan antar tetangga dekat. Keragaman genetik dalam populasi Cemara sumatra hasil perbanyakan vegetatif lebih tinggi dibanding dengan populasi pohon induk alam. Hal yang sama dijumpai pada Taxus cuspidata var. nana (Li et al. 2005) dimana populasi hasil perbanyakan vegetatif dengan stek batang yang hanya berasal dari beberapa pohon induk memperlihatkan tingkat keragaman yang tinggi. Keragaman yang tinggi tersebut diduga terjadi karena dua hal yaitu : 1)
Mutan awal Taxus
cuspidata yang menghasilkan varian Taxus cuspidata var. nana dari awal telah memiliki potensi variasi somatik yang tinggi, dan 2) Adanya instabilitas genomik, antara lain akibat terjadinya dan terakumulasinya mutasi somatik selama diperbanyak dengan penyetekan sejak dari mulai awal pembentukan varian Taxus cuspidata var. nana.
32
Menurut Hartman et al. (1997), perubahan gen dan kromosom dapat terjadi di dalam sel-sel somatik/vegetatif, jika hal ini diikuti dengan pembelahan mitosis akan berimplikasi terhadap perubahan permanen dalam sebuah klon. Satu perubahan kromosonal sendiri sebenarnya jarang terjadi namun karena pertumbuhan vegetatif dalam klon melibatkan jutaan pembelahan sel dalam satu rentang waktu yang cukup lama maka perubahan pada tingkat kromosom tersebut menjadi realistis.
Selain dapat terjadi secara alami, mutasi dan perubahan
kromosonal dapat terjadi secara buatan seperti pemberian bahan-bahan kimia tertentu pada titik tumbuh. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa tingkat keragaman genetik populasi Cemara sumatra lebih tinggi dibanding Taxus canadensis, Taxus brevifolia, Taxus fuana, dan Taxus wallichiana dan hanya sedikit lebih rendah dibanding Taxus baccata dan jenis konifer. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman genetik jenis ini cukup besar. Karena tempat tumbuh alami Cemara sumatra di Indonesia sampai dengan saat ini diketahui hanya di wilayah Gunung Kerinci, strategi konservasi in-situ mutlak diperlukan untuk menjaga kelangsungan jenis ini. Tingkat keragaman genetik dalam populasi yang cukup tinggi merupakan satu hal yang cukup menguntungkan karena merupakan salah satu indikasi bahwa tingkat adaptabilitas jenis terhadap lingkungan cukup baik. Namun demikian, faktor luar yang mempengaruhi stabilitas lingkungan yang sifatnya tambahan terutama berupa gangguan kerusakan habitat akibat aktivitas manusia harus diminimalisir. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa keragaman genetik populasi hasil perbanyakan vegetatif memiliki nilai yang tinggi.
Selain itu,
keberadaan anakan pada habitat alaminya sangat langka dengan nilai keragaman yang rendah. Oleh karena itu maka strategi konservasi ex-situ sebagai upaya pelestarian jenis ini di luar habitat tumbuh alaminya perlu dikembangkan. Dari hasil penelitian juga terlihat bahwa anakan alam memiliki variasi genetik yang paling rendah. Melihat pola tumbuh alami Cemara sumatra yang berpencar mengelompok (clustering), bisa diindikasikan bahwa anakan alam tumbuh dan berkembang sebagai hasil perkawinan antar saudara/tetangga dekat. Dari kondisi tersebut, untuk strategi konservasi ex-situ maka pengumpulan bahan tanaman koleksi sebaiknya diambil dari individu-individu pada kelompok yang
33
berlainan. Semakin banyak kelompok yang terwakili akan semakin baik untuk menjaga keragaman genetik yang tetap tinggi. Keragaman genetik antar populasi Diferensiasi genetik antar populasi (GST) memiliki nilai 0,2892 (Tabel 9) yang mengindikasikan bahwa 28,92% variabilitas genetik terdapat di antara populasi. Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa nilai keragaman genetik berdasarkan analisis keragaman genetik Nei (1972;1973) menunjukkan bahwa populasi hasil perbanyakan mempunyai keragaman lebih tinggi (29,59%) dibanding populasi pohon induk alam (25,90%) dan populasi anakan alam (14,90%). Sedangkan besarnya jarak genetik Nei (do) antar populasi berkisar dari 0,1308 – 0, 2598 dengan nilai rata-rata 0,2041 atau dengan kata lain sekitar 80% dari keragaman genetik berada di dalam populasi dan 20% sisanya merupakan jarak genetik antar populasi.
Tabel 10
Nilai keragaman genetik dalam populasi (diagonal) dan antar populasi (bawah diagonal) Cemara sumatra berdasarkan Nei’s Gene Diversity (1973) dan Nei’s Original Measures of Genetic Distance (1972).
Populasi Pohon induk alam (A) Anakan alam (B) Kebun Raya Cibodas (C)
Pohon induk alam (A) 0,2590 0,2598 0,1308
Anakan alam (B) 0,1490 0,2216
Hasil perbanyakan (C) 0,2959
Struktur genetik dari populasi tumbuhan menggambarkan interaksi berbagai proses evolusi termasuk di dalamnya sejarah evolusi jangka panjang, seperti pergantian dalam penyebaran jenis, fragmentasi habitat, isolasi populasi, mutasi, genetik drift, sistem perkawianan, aliran gen dan seleksi. Analisis data RAPD dengan menggunakan Popgene memperlihatkan bahwa Cemara sumatra memiliki diferensiasi genetik antar populasi (GST) sebesar 0,2892. Nilai ini masih lebih tinggi dibanding dengan jenis tumbuhan yang kawin silang (GST = 0,22), kelompok Gymnospermae (GST = 0,18), jenis-jenis yang hidup di daerah temperate (GST = 0,246) dan jenis dengan penyebaran geografis yang luas (0,210). Jika dibandingkan dengan jenis Taxus lain maka diferensiasi genetik antar populasi dari Cemara sumatra tergolong sedang karena memiliki nilai lebih
34
rendah dibanding Taxus fuana (GST = 0,5842) dan lebih tinggi dibanding Taxus brevifolia (GST = 0,077), dan Taxus canadensis (GST = 0,102). Berdasarkan jarak genetik Nei (1972) populasi reproduktif Cemara sumatra terbagi ke dalam 2 kelompok. Populasi pohon induk alam dan populasi hasil perbanyakan vegetatif berada pada satu kelompok yang sama dan kelompok kedua hanya terdiri dari populasi anakan alam. Sumber bahan stek dari populasi Cibodas berasal dari wilayah yang sama dari populasi pohon induk alam yaitu dari Gunung Kerinci-Jambi, dengan demikian antara populasi pohon induk dan populasi Cibodas tersebut memiliki jarak genetik yang lebih dekat (0,1308) dibanding dengan populasi anakan alam dimana jarak genetik antara populasi pohon induk dan anakan alam bernilai 0,2598.
Populasi anakan alam merupakan hasil dari perbanyakan generatif
dengan peleburan dua individu sehingga secara genetik merupakan perpaduan dari dua individu dan membentuk pola genetik tersendiri.
Perbanyakan Vegetatif Stek Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa dari ketiga media tanam stek yang dicobakan hanya terdapat satu variabel pengamatan yang berbeda secara nyata yaitu persen stek berakar (Tabel 11). Tabel 11 Rekapitulasi hasil sidik ragam penggunaan tiga media tanam yang berbeda terhadap perkembangan stek Cemara sumatra 28 MST Media M1 M2 M3 1. Stek hidup (%) 71,4a 76,2a 95,2a 2. Stek berakar (%) 47,6ab 28,6b 66,7a 3. Rata-rata jumlah akar primer per stek (buah) 5,530a 4,833a 4,817a 4. Rata-rata panjang akar primer per stek (buah) 2.620a 3,580a 3,040a 5. Rata-rata jumlah akar sekunder per stek (buah) 0,390a 0,217a 0,563a 6. Rata-rata panjang akar sekunder per stek (buah) 0,163a 0,047a 0,253a Keterangan : angka pada baris yang diikuti satu atau lebih huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%. No
Variabel
35
Persentase stek hidup dan berakar Persentase stek hidup dihitung berdasarkan jumlah stek yang masih segar (hidup) dan tidak memperlihatkan gejala kematian sedangkan persentase stek berakar dihitung berdasarkan jumlah stek yang memiliki satu akar atau lebih pada akhir penelitian.
Tabel 12 menunjukkan pengaruh media tanam terhadap
persentase stek hidup dan berakar sedangkan Gambar 12 memperlihatkan persentase stek hidup dan stek berakar untuk tiap perlakuan.
Tabel 12 Hasil sidik ragam persentase hidup dan berakar stek Cemara sumatra Variabel
Sumber keragaman Perlakuan Galat Total
Persentase stek hidup
db 2 6 8
Jumlah kuadrat 952,381 1496,735 2449,116
Kuadrat tengah 476,327 249,456
Perlakuan 2 2176,653 1088,327 Galat 6 680,204 113,367 Total 8 2856,857 Keterangan : ns = tidak berbeda nyata; * = berbeda nyata pada taraf 5%.
F-hitung
Sig.
1,909
0,228ns
9,600
0,013*
Persentase stek berakar
(%)
95.24 a
76.19 a
100,00 71.43 a 66.67 a 75,00 47.62 ab 50,00
28.57 b
25,00
0,00 M1
M2 Persentase hidup
M3
Persentase berakar
Gambar 12 Persentase hidup dan berakar stek Cemara sumatra. Perlakuan media tanam hanya berpengaruh terhadap persentase stek berakar (Tabel 11 dan Gambar 12) sehingga dilakukan uji Duncan untuk melihat perlakuan yang memberikan persentase berakar paling tinggi. Hasil uji Duncan
36
pada Tabel 13 menunjukkan bahwa media serbuk kelapa : sekam pada 2:1 (v/v) (M3) menghasilkan persentase stek yang paling tinggi yaitu 66,7%. Tabel 13 Hasil uji Duncan pengaruh media terhadap persentase berakar stek Cemara sumatra No. Perlakuan (Media) Rata-rata (%) 1. Tanah : sekam pada 1:1 (M1) 47,6ab 2. Tanah : sekam : serbuk kelapa pada 1:1:1 (M2) 28,6b 3. Serbuk kelapa : sekam pada 2:1 (M3) 66,7a Keterangan : Angka yang diikuti satu atau lebih huruf yang sama tidak berbeda secara nyata.
Perlakuan pemakaian media yang berbeda dalam penyetekan Cemara sumatra menghasilkan perbedaan yang signifikan hanya pada variabel persentase stek berakar. Untuk variabel lainnya, perlakuan tidak berbeda nyata. Dengan kondisi ini berarti bahwa pada saat stek sudah mampu berakar maka perlakuan media apapun mampu menghasilkan jumlah dan panjang akar primer maupun sekunder yang sama banyaknya.
Gambar 13 berikut memperlihatkan morfologi
akar stek Cemara sumatra pada berbagai media yang dicobakan.
M1
M2
5 cm 5 cm
M3
5 cm
Gambar 13 Kondisi perakaran stek Cemara sumatra 28 MST pada tiga media berbeda. Keterangan : M1 = media tanah-sekam pada 1:1 (v/v); M2 = tanah-sekam-serbuk kelapa pada 1:1:1 (v/v/v); M3 = serbuk kelapa-sekam pada 2:1(v/v).
37
Berdasarkan hasil pengecekan terhadap akar stek Cemara sumatra, pemunculan kalus ataupun akar stek di ketiga media mulai terjadi pada minggu ke-16. Waktu yang sama dibutuhkan Taxus canadensis untuk pembentukan akar (Yeates et al. 2005) dan masih lebih lama jika dibandingkan dengan Taxus wallichiana yang hanya perlu 12 minggu untuk membentuk akar (Chee 1995 dalam Kulkarni 2000). Namun demikian, periode yang jauh lebih lama diperlukan stek Taxus baccata tanpa penambahan hormon untuk membentuk akar yaitu setelah bulan ke-6 dan bahkan pada beberapa bahan stek, akar baru muncul setelah bulan ke-12 (Maden 2003). Seperti jenis tumbuhan lainnya yang mampu diperbanyak dengan penyetekan, jenis-jenis Taxus sebenarnya mampu berakar tanpa penambahan bahan kimia apapun asal berada pada kondisi lingkungan yang sesuai dimana mereka tumbuh secara alami. Hal ini sesuai dengan praktek masyarakat lokal di Nepal yang mampu memperbanyak Taxus baccata dengan teknik yang sangat sederhana tanpa penambahan hormon apapun. Untuk membuktikan hal tersebut maka Maden (2003) melakukan percobaan stek cabang Taxus baccata berdiameter 3-5 cm dengan panjang 15-20 cm dari pohon induk alam yang ditanam pada habitat alaminya tanpa perlakuan penambahan hormon perangsang akar dan hasilnya nilai persentase berakar mencapai 90% jika waktu penanaman dilakukan pada bulan Mei-Juni. Persentase berakar menurun drastis yaitu hanya 30% saja jika waktu penanaman dilakukan pada bulan Februari-Maret.
Dari hal
ini terlihat bahwa faktor lingkungan (iklim) sangat berperan signifikan terhadap keberhasilan pembentukan akar stek. Untuk kegiatan perbanyakan melalui penyetekan di luar habitat aslinya (di rumah kaca atau persemaian), pemberian hormon secara signifikan meningkatkan keberhasilan berakar stek Taxus bervifolia dari 30,6% menjadi 50% (Mitchell 1997) dan Taxus canadensis dari 36% menjadi 49% (Webster 2005). Berdasar hasil tersebut maka pada penelitian ini pemberian hormon dilakukan secara seragam terhadap semua bahan stek Cemara sumatra. Pada percobaan penyetekan Cemara sumatra faktor lingkungan dijaga seragam.
Satu-satunya perlakuan yang dicobakan adalah perbedaan media.
Perbedaan media tanam dilakukan untuk melihat media mana yang paling
38
mendukung dalam merangsang pembentukan akar bahan stek. Perbedaan media diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan penyetekan. Yeates et al. (2005) menyatakan pada Taxus canadensis media yang paling cocok digunakan adalah campuran gambut - vermikulit pada perbandingan 2:1. campuran media gambut - vermikulit pada perbandingan 3:1 (v/v) harus dihindari karena akan mengurangi aerasi dan keberhasilan pembentukan akar. Pada Taxus globosa (Nicholson & Munn 2003), campuran media yang digunakan adalah pasir kasar - perlite kasar pada 1:1 (v/v), sedangkan Mitchell (1997) menggunakan campuran media pasir – gambut- perlite kasar pada 1:1:1 (v/v/v) untuk Taxus brevifolia. Media stek merupakan salah satu unsur penentu keberhasilan proses pembentukan akar. Pemilihan media harus memperhatikan 3 karakteristik media yaitu; 1) Kandungan kimia, dimana media yang baik harus memiliki kandungan kkimia yang minimal agar tidak mengganggun proses penyerapan air oleh stek dari media; 2) Sifat fisik, berkaitan erat dengan kemampuan mengikat air dan porositas media. Media stek yang ideal adalah yang memiliki aerasi cukup namun dapat mengikat air; 3) Kandungan mikrobiologi, dimana media yang baik adalah media yang higienis atau populasi mikrobanya rendah (Balitbanghut 2007) Media M3 yang merupakan campuran serbuk kelapa dan sekam pada 2:1 (v/v) memiliki aerasi yang baik dan memilliki kemampuan memegang dan menyimpan air namun pada saat kondisi air berlebih media akan cepat mengeluarkannya (Balitbanghut 2007). Menurut Yeates et al. (2005) sebelum pembentukan akar, sumber utama hilangnya air dari media terjadi melalui evaporasi. Pembentukan kalus serta pembentukan dan pertumbuhan akar akan terjadi pada saat air dalam media berada tepat atau sedikit dibawah kapasitas lapang. Oleh karenanya ketersediaan air yang cukup sangat penting. Namun demikian air yang berlebihan pada fase pembentukan akar juga kurang baik. Hasil analisis media serbuk kelapa dan sekam dengan perbandingan 2:1 memiliki KTK tinggi. Nilai KTK yang tinggi merupakan salah satu indikasi bahwa media yang digunakan baik untuk perakaran.
39
Jumlah dan panjang akar primer dan sekunder Hasil pengamatan untuk variabel jumlah dan panjang akar primer dan sekunder seperti terlihat pada Tabel 14 berikut ini. Tabel 14 Kondisi perakaran stek Cemara sumatra 28 MST pada tiga media yang berbeda Media M1 M2 M3 1. Jumlah akar primer (buah) 5,530a 4,838a 4,817a 2. Jumlah akar sekunder (buah) 0,390a 0,217a 0,563a 3. Panjang akar primer (cm) 2,620a 3,580a 3,040a 4. Panjang akar sekunder (cm) 0,163a 0,047a 0,253a Keterangan : Angka pada baris yang diikuti satu atau lebih huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,5%. No
Variabel
Pada Gambar 14 dapat dilihat rata-rata jumlah akar primer yang terbentuk untuk media tanam M1 M2, dan M3 masing-masing adalah 5,530; 4,838, dan 4,817. Meskipun M1 memberikan rata-rata jumlah akar primer yang paling banyak diantara ketiga media yang dicobakan namun berdasarkan uji sidik ragam nilai-nilai tersebut tidak berbeda nyata. Media M3 yang memiliki rata-rata jumlah akar primer paling sedikit ternyata menghasilkan rata-rata jumlah akar sekunder yang paling banyak yaitu 0,563. Namun demikian nilai rata-rata jumlah akar sekunder yang terbentuk pada ketiga media yang dicobakan juga tidak berbeda nyata. 12,000 10,000 5.530 a
8,000 4.833 a
4.817 a
6,000 4,000 2,000
0.390 a
0.217 a
0.563 a
0,000 M1
M2 Primer
Gambar 14
M3
Sekunder
Rata-rata jumlah akar primer dan sekunder stek Cemara sumatra 28 MST pada tiga media berbeda.
40
Panjang akar primer dan akar sekunder merupakan salah satu variabel yang diukur untuk melihat ada tidaknya perbedaan perakaran yang terbentuk. Seperti terlihat pada Gambar 15, rata-rata panjang akar primer yang terbentuk untuk masing-masing media M1, M2 dan M3 adalah 2,620; 3,590 dan 3,040. Meskipun terdapat perbedaan panjang akar primer yang terbentuk pada ketiga media namun secara statistik tidak berbeda nyata. Media yang menghasilkan panjang akar sekunder paling tinggi adalah M3 (0,253) namun demikian panjang akar sekunder pada M1, M2 maupun M3 secara statistik juga tidak berbeda nyata.
3.580 a
5,000 2.620 a
4,000
3.040 a
3,000 2,000 1,000
0.253 a 0.163 a
0,047a
0,000 M1
M2 Primer
Gambar 15
M3
Sekunder
Panjang akar primer dan sekunder stek Cemara sumatra 28 MST pada tiga media berbeda.
Pertumbuhan dan perkembangan akar pada stek Untuk mengetahui proses pembentukan akar pada stek Cemara sumatra maka dilakukan kegiatan mikroteknik (histologi) berupa penyayatan jaringan dengan menggunakan mikrotom putar dan pewarnaan. Pemotongan dilakukan secara melintang. Berdasarkan mikroteknik histologi, akar berasal dari bagian kambium (Gambar 16).
41
ep
kr ph
aa ka
Gambar 16 Penampang melintang akar Cemara sumatra hasil penyetekan. Keterangan : ep = epidermis; kr = korteks; ph = phloem; ka = kambium; aa = akar adventif
Biasanya asal dan perkembangan akar adventif terjadi di sebelah luar dari bagian tengah jaringan vaskular (Hartmann et al. 1997).
Berdasarkan hasil
mikroteknik, pembentukan akar pada stek Cemara sumatra dimulai dari sel-sel meristem pada kambium. Pada beberapa stek, akar terbentuk dengan didahului oleh terbentuknya kalus (Gambar 17). Kalus merupakan massa sel tak berbentuk yang merupakan kumpulan dari sel-sel parenkim dengan berbagai tahap lignifikasi. Pertumbuhan kalus ini berasal dari sel-sel muda dalam daerah jaringan kambium vaskular, meski sebenarnya berbagai sel korteks dan bahkan empulur dapat juga berkontribusi dalam pembentukan kalus ini. Akar adventif yang muncul pada stek Cemara sumatra selain berasal dari jaringan meristem pada kambium dan jaringan kalus, ada juga akar adventif pada batang yang tumbuh secara spontan. Akar seperti ini berasal dari dalam jaringan batang dan kemudian tumbuh keluar (Gambar 18). Secara alami fenomena ini sering dijumpai pada tegakan di hutan alam.
42
kalus
Gambar 17 Akar yang tumbuh dari jaringan kalus stek Cemara sumatra 28 MST Akar
Gambar 18. Akar adventif yang tumbuh secara spontan pada batang stek Cemara sumatra 28 MST Dari hasil penelitian penyetekan diketahui bahwa metode ini berhasil memperbanyak Cemara sumatra secara vegetatif. Keberhasilan dalam menyusun teknik perbanyakan vegetatif untuk jenis Cemara sumatra merupakan salah satu langkah awal yang sangat penting dalam menyusun dan melakukan konservasi jenis ini. Dengan didukung hasil penelitian yang menunjukan keragaman genetik populasi hasil perbanyakan vegetatif cukup tinggi maka kegiatan konservasi exsitu bisa dilakukan dengan bibit yang berasal dari hasil penyetekan.
Belum
43
dicobakannya modifikasi atau berbagai kombinasi perlakuan lain dalam teknik penyetekan semakin membuka peluang didapatkannya teknik yang lebih baik dalam menghasilkan bibit. Selain bisa berkontribusi secara signifikan dalam konservasi
ex-situ,
didapatkannya
teknik
penyetekan
yang
berhasil
memperbanyak Cemara sumatra secara vegetatif juga berguna untuk program pemuliaan jenis ini.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Cemara sumatra memiliki keragaman genetik dalam populasi yang cukup tinggi (He = 0,2346) sedangkan keragaman antar populasi tergolong sedang (GST = 0,2892). Dengan kondisi tempat tumbuh alami jenis ini yang hanya ada di G. Kerinci – Jambi maka kegiatan konservasi in-situ mutlak diperlukan. Kegiatan konservasi ex-situ perlu dikembangkan berdasar pada hasil analisis genetik yang menunjukkan rendahnya nilai keragaman genetik populasi anakan alam (He = 0,1490) dan nilai keragaman genetik individu hasil perbanyakan vegetatif yang tetap tinggi (He = 0,2959). 2. Perbedaan media berpengaruh terhadap persentase berakar stek.
Media
serbuk kelapa dan sekam pada perbandingan 2:1 (v/v) merupakan media terbaik untuk memperbanyak Cemara sumatra dengan cara distek dengan persentase stek berakar mencapai 66,7%. Akar stek Cemara sumatra ada yang berasal dari sel-sel meristem pada kambium, jaringan kalus dan akar adventif pada batang yang tumbuh secara spontan.
Saran Penelitian tentang Cemara sumatra asal Indonesia masih sangat terbatas padahal komoditas ini memiliki arti yang sangat penting baik dilihat dari aspek kekayaan hayati maupun aspek ekonomi yang dimilikinya.
Oleh karenanya
diperlukan adanya penelitian-penelitian dalam aspek lainnya (ekologi, silvikultur, bioteknologi, ekstraksi) untuk bisa menjadikan jenis ini terkaji secara komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1999. Rencana Penelitian Terpadu di Kebun Percobaan Lahan Kritis Pulau Bintan. Warta Wanariset II. No. 02/WR-II/01/99, pp 2-6. KuokRiau. Anonim. 2003. FW3057 Lecture Slide Show. Pharmaceutical Product of Plants. www.rocw.raifoundation.org. Tanggal akses 4 April 2008. Badan Litbang Kehutanan. 2007. Pedoman Pembuatan Stek Jenis-jenis Dipterokarpa dengan KOFFCO System. Kerjasama antara Badan Litbang Kehutanan-Komatsu-JICA. Bogor. Budiatmoko SD. 1999. Konservasi Keanekaragaman Hayati, Upaya Penyusunan Prioritas dan Kebijakan Penunjangnya. Duta Rimba No. 227/XXIV : 37 – 42. Jakarta. CITES. 2005. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora : Thirtheen meeting of the Conference of the Parties. www.cites.org. Tanggal akses 20 Februari 2006. CITES. 2007. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora : Fourteenth meeting of the Conference of the Parties. www.cites.org. Tanggal akses 08 Februari 2008. Collins D, Robert RM, and Michael B. 2003. Species separation of Taxus baccata, Taxus canadensis, and Taxus cuspidate (Taxaceae) and origins of their reputed hybrids inferred from RAPD and cpDNA data. Am J Bot 90(2):175– 82. Finkeldey. 2005. Pengantar Genetika Hutan. Penerjemah; Edje D, Iskandar ZS, Ufah JS, Arti WK. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Terjemahan dari: An Introduction of Forest Genetics. Glaubitz JC and Gavin FM. 2000. Genetic tools: The use of biochemical and molecular markers. Di dalam: Young A, Boscher D, Boyle T, editors. Forest Conservation Genetic. Australia: CSIRO Publishing. Hamrick JL, Godt MJW and Sherman-Broyles SL. 1992. Factor influencing level of genetic dibersity in woody plant species. New For 6: 95-124. Hartman HT, Dale EK, Fred TD and Robert LG. 1997. Plant Propagation. PHI Publishing. New Delhi. Hilfiker K, Rolf H, Peter R and Felix G. 2004. Dynamic of genetic variation in Taxus baccata. Local versus regional perspective. Can J Bot 82: 219-227.
47
Huang CC and Tzen-Yuh C. 2007. Isolation and characterization of microsatellite loci in Taxus sumatrana (Taxaceae) using PCR-based isolation of microsatelite arrays (PIMA). Conserv Genet DOI 10.1007/s10592-007-9341-z. Kassaby YAE and B Jaquish. 1998. Genetic variation of western larch in British Columbia and its conservation. The Am Gen Assc 89: 248-253. Kitagawa I, Mahmud T, Kobayashi M, Roemantyo and Shibuya H. 1995. Taxol and its related taxoids from the needles of Taxus sumatrana. Chem Pharm Bull 43(2) 365-367. Kulkarni AA. 2000. Micropropagation and Secondary Metabolites Studies in Taxus spp. and Withania somnifera (L) Dunal [disertasi]. Pune: Doctor Course of Philosophy in Biotechnology. The University of Pune. Lewandowski A, J Burczyck and L Mrjnartowicz. 1995. Genetic structure of English yew (Taxus baccata L) in the Wierzchlas Reserve : implication for genetic conservation. For Ecol & Man 73 (1995) 221-227. Li XL. XM Yu. WL Guo. YD Li. XD Liu. NN Wang. and B Liu. 2006. Genomic diversity within Taxus cuspidata var. nana revealed by Random Amplified Polymorphic DNA Markers. Russ J Physiol 53(5): 684-688. Maden K. 2003. Community trial on the propagation and conservation of Taxus baccata L. Our Nature 1: 30-32. Milligan BG. 1998. Total DNA isolation. In Texbook : Molecular Genetic Analysis of Population, a Practical Approach. 2nd ed. Editor Hoelzel AR. Oxford University Press. New York. Mitchell AK. 1997. Propagation and growth of Pacific yew (Taxus brevifolia Nutt) cuttings. Northwest Sci 71: 56-63. Nicholson R and Diana XM. 2003. Observation on the propagation of Taxus globosa Schltdl. Bol Soc Bot Mex 72: 129-130. Nybom H and Bartish IV. 2000. Effect of life history traits and sampling strategies on genetic estimates obtained with RAPD markers in plant. Plant Ecol Evol Syst 3: 93-114. Nybom H. 2004. Comparison of different nuclear DNA marker for estimating intraspecific genetic diversity in plant. Mol Ecol 13: 1143-1155. Pilz D. 1996. Propagation of Pacific Yews from seed. Am Con Soc Bull. Winter Issue. 13(1):13-18.
48
Saikia D, Suman, PS Khanuja, Ajit KS, Mahendra PD, Arun K and Kukreja SK. 2000. Assestment of diversity among Taxus wallichiana accessions from northeast India using RAPD analysis. Plant Genet Res Newsl 121: 27-31. Senneville S, Beaulieu J, Daoust G, Deslauriers M and Bosquet J. 2001. Evidence of low genetic diversity and metapopulastion structure in Canadan yew (Taxus canadensis): consideration for conservation. Can J For Res 31: 110-116. Shah A, De-Zhu L, Lian-Ming G, Hong-Tao L and Michael M. 2008. Genetic diversity within and among population of the endangered species Taxus fuana (Taxaceae) from Pakistan and implication for its conservation. Biochem Sys Ecol 36:183-193 Siregar IZ. 2000. Genetic Aspect of the Reproductive System of Pinus merkusii Jungh. et de Vriese in Indonesia. Gottingen: Cuvilier Verlag. Smith R and Stewart C. 2001. Ground hemlock (Taxus canadensis). Why Interest? www.nrcan-rncan.gc.ca. Tanggal akses 22 Februari 2006. Spjut R. 2003. Overview of Study of Taxus. www.world botanical.com /taxus.htm. Tanggal akses 26 Desember 2006. Syukur S, Julinar, Abdi D and Leonardus BSK. 2003. Studi kapang endofitik penghasil Taxol. Jurnal Kimia Andalas. 9(1).40-42. Vance NC, Paul OR. 2000. Taxus L. http://www.nsl.fs.fed.us/ wpsmn/Taxus.pdf. Tanggal akses 25 Maret 2005. Yeates LD, RF Smith, SI Cameron and J Letourneau. 2005. Recomended procedures for rooting ground hemlock (Taxus canadensis) cuttings. Information Repots M-X-21 9E. natural resource Canada. Canadian Forest Service. New Brinswick-Canada. Yeh FC. 2000. Population genetic. Di dalam: Young A, Boscher D, Boyle T, editors. Forest Conservation Genetic. Australia: CSIRO Publishing.