MUTIARA TERPENDAM PAPUA Potensi Kearifan Lokal untuk Perdamaian di Tanah Papua
Mutiara Terpendam Papua Potensi Kearifan Lokal untuk Perdamaian di Tanah Papua © Januari 2015 Penulis: Budi Asyhari-Afwan Editor: Suhadi Desain cover dan layout: Imam Syahirul Alim xiv x 86 halaman; ukuran 15 x 23 cm ISBN: 978-602-17781-8-0 Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS) Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Jl. Teknika Utara, Pogung. Telp/Fax: 0274 544976. www.crcs.ugm.ac.id; Email:
[email protected]
Kata Pengantar
K ATA P E N G A N TA R Sejak awal didirikan (tahun 2000), Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada telah mengembangkan tema hubungan agama dan budaya lokal sebagai salah satu fokus kajian. Tema tersebut merupakan bagian dari salah satu kluster studi yang dikembangkan CRCS. Kluster studi yang dimaksud adalah “Religion, Culture, and Nature”. Di antara cakupan utama dari kluster ini adalah kedatangan, perkembangan, dan varian ekspresi agama-agama dunia, termasuk benturan-benturannya dengan budaya-budaya setempat. Ekspresi keagamaan lokal warisan leluhur, yang sering dikategorikan sebagai “agama lokal” juga dikembangkan dalam kluster ini. “Agama lokal” dalam konteks ini tidak harus mengenai “kepercayaan” atau “doktrin”. Ia dapat berupa tradisi-tradisi lokal, baik dalam bentuk dan sifatnya yang ritualistik maupun yang berupa ekspresi dan perilaku keseharian. iii
Mutiara Terpendam
Buku ini adalah salah satu bentuk pengembangan kajian di atas. Ia membahas tentang tradisi-tradisi lokal Papua. Tradisi lokal Papua dibahas, sebenarnya bukan sebagai fokus utama. Pembahasannya lebih merupakan ilustrasi untuk mengembangkan konsep yang disebut “kearifan lokal”: Tepatnya, kearifan lokal untuk perdamaian dengan melihat beberapa tradisi lokal di Papua. Istilah kearifan lokal sangat popular di masyarakat. Ia sering digunakan sebagai jargon politik untuk kepentingan politik tertentu. Kearifan lokal karenanya juga sering diidentikkan dengan “politik identitas”. Kearifan lokal dikembangkan dan juga telah dikritik. Di antara kritik yang cukup sinis adalah kearifan lokal tidak lebih dari sekedar diskursus romantisisme. Kearifan lokal dipahami sebagai revitalisasi tradisi atau budaya masa lalu yang seakan tanpa cacat. Kearifan lokal diasumsikan sebagai konsep masa lalu yang coba “dipaksakan” untuk diterapkan pada masa sekarang tanpa sikap kritis. Kritik tersebut valuable dan patut diapresiasi, jika memang kearifan lokal dipahami sebagai konsep yang statis. Kearifan lokal yang dipahami penulis buku ini adalah konsep yang menekankan pentingnya “dinamika”. Sebagai konsep, kearifan lokal selalu terbuka terhadap berbagai kemungkinan tantangan dan peluang. Ia tidak dipahami bagai amplop yang tersegel, seakan tanpa ada (kemungkinan) perubahan. Ia justru terus beradaptasi dengan ragam konteks dalam lintasan sejarah. Ia bertransformasi. Kearifan lokal adalah tentang perubahan sekaligus keberlanjutan. Ia adalah tentang masa lalu, sekaligus tentang masa sekarang, dan bahkan tentang masa depan. Kearifan lokal identik dengan dinamika, transformasi, dan reproduksi. Sekali lagi, konsep inilah yang dipahami oleh penulis buku ini. CRCS telah menerbitkan dua buku semacam ini. Pertama adalah Badingsanak Banjar-Dayak: Identitas Agama dan Ekonomi Etnisitas di Kalimantan Selatan (2011). Buku ini menguraikan model kearifan lokal yang dikembangkan oleh komunitas iv
Kata Pengantar
Banjar dan Dayak di Kalimantan Selatan. Dengan kearifan lokalnya, komunitas Banjar dan Dayak yang sekalipun masingmasing memiliki identitas suku bangsa dan agama yang berbeda telah berhasil mengelola kehidupan keragaman mereka. Mereka yang berbeda mampu menjalin relasi sosial yang harmonis dan produktif, terlepas dari potensi-potensi konflik yang senantiasa mengancam. Orang Banjar dan orang Dayak masing-masing telah menyesuaikan dirinya dalam kehidupan ko-eksistensi dengan saling mengakui, mengakomodasi, dan menghargai. Keduanya merayakan kehidupan bersama. Mereka masingmasing sadar bahwa mereka berbeda. Namun, selain perbedaan mereka memiliki banyak kesamaan, khususnya aspirasi dan cita-cita hidup. Salah satu cara yang dilakukan keduanya dalam mengelola pertemuan dan interaksi mereka adalah dengan mendahulukan “kesamaan” daripada “perbedaan”. Dengan menekankan kesamaan untuk kebersamaan, mereka berhasil membangun semacam komunitas (baru) yang mengikat keduanya sebagai “saudara”. Mereka merasa memiliki ikatanikatan dan rasa solidaritas, menformulasi kepercayaan bersama, dan mengkonstruksi ingatan-ingatan sejarah kebersamaan. Kepercayaan dan konstruksi sejarah mereka, misalnya, adalah bahwa nenek-moyang mereka (Dayak sebagai penduduk asli dan Banjar sebagai pendatang) adalah “saudara” (badingsanak). Konsep tersebut terus direproduksi dalam konsep dan perilaku. Demikianlah cara kerja konsep kearifan lokal. Buku kedua adalah Bulan Sabit di Pulau Dewata: Jejak Kampung Kusamba Bali (2012). Seperti kasus di Kalimantan Selatan sebelumnya, kasus Hindu dan Muslim di Bali yang dibahas dalam buku ini juga menunjukkan sejarah relasi sosial yang rukun oleh karena kearifan lokal yang dikonsepkan, diimplementasikan, dan direproduksi. Seperti halnya komunitas Banjar dan Dayak, komunitas Hindu dan Muslim di Bali selalu diperhadapkan dengan potensi konflik akibat dari perbedaan agama dan budaya yang dimiliki masing-masing. Namun dengan kearifan lokalnya, misalnya yang disebut menyama v
Mutiara Terpendam
(saudara), mereka mampu merespon potensi konflik tersebut dengan terus mereproduksi konsep kearifan lokalnya. Konsep menyama, misalnya, direproduksi menjadi menyama selam (saudara Muslim). Konsep menyama yang awalnya dikhususkan untuk sesama Hindu Bali, namun setelah pertemuan dan interaksi mereka dengan komunitas Muslim, Hindu Bali mengembangkannya menjadi menyama selam. Komunitas Muslim dianggap dan diperlakukan sebagai saudara. Pada gilirannya, umat Islam di Bali pun melakukan hal yang sama.
Kedua penelitian di atas menunjukkan kuatnya koeksistensi komunitas-komunitas yang berbeda. Namun perlu dicatat bahwa ko-eksistensi tersebut bukanlah sesuatu yang given. Ia tidak berada begitu saja. Ia dikelola dengan proses panjang. Ia ditempa dengan kearifan lokal. Kearifan lokal, oleh karena itu, dapat juga dipahami sebagai sistem budaya yang diciptakan, direproduksi, dan digunakan oleh komunitas untuk mencapai tujuan komunitasnya (Maarif, 2014), dalam konteks ini, perdamaian dan ko-eksistensi. Sebagai sistem budaya, kearifan lokal adalah “alat” untuk mengembangkan multikulturalisme yang menekankan pentingnya pengakuan, penerimaan, penghargaan, dan perayaan perbedaan. Berbeda dengan kedua penelitian di atas, tulisan ini belum mengurai secara detil “kearifan lokal” di Papua. Namun ia menunjukkan bahwa dengan melihat dinamika konflik akibat keberagaman dan resolusinya melalui tradisi-tradisi lokal, kearifan lokal untuk perdamaian sangat mungkin dikonsepkan dan dikembangkan. Dalam literatur tentang Papua, sebagaimana juga ditunjukkan oleh penulis, diskursus konflik sangat dominan. Demikian dominannya, Papua seakan sudah identik dengan konflik. Sisi inilah yang direspon oleh penulis. Baginya, konflik memang ada dan menyejarah (sesuatu yang sebenarnya tidak unik di Papua saja), tetapi resolusinya juga selalu ada, empiris, dan menyejarah melalui tradisi-tradisi lokal. Sayangnya, diskursus resolusi konflik melalui tradisi lokal vi
Kata Pengantar
ini cukup marginal. Ia terpendam, padahal potensinya besar. Konseptualisasi kearifan lokal untuk perdamaian dari tradisitradisi Papua cukup menjanjikan.
CRCS menganggap penting untuk terus mengembangkan kajian kearifan lokal. Kearifan lokal, in theory, menawarkan tambahan pilihan pendekatan dan metode pengelolaan keragaman, resolusi konflik dan perdamaian. Ia tidak dianggap sebagai alternatif untuk menggantikan pendekatan-pendekatan yang sudah ada dan sering digunakan seperti pendekatan kuasa dan HAM. Sebagai pilihan pendekatan, kearifan lokal sebagaimana pendekatan-pendekatan lainnya, dimungkinkan dapat lebih efektif dan produktif dibanding dengan yang lainnya. Secara teoritis, yang menjanjikan efektifitas kearifan lokal sebagai pendekatan adalah, pertama, ia merupakan bagian dari sejarah hidup masyarakat. Masyarakat sudah mengenalnya baik sebagai konsep maupun sebagai praktik. Kedua, inheren dalam konsep kearifan lokal adalah pemosisian masyarakat sebagai “subyek”, bukan obyek. Mereka berposisi sebagai orang yang mengetahui sebab dan akibat masalah (konflik misalnya), dan karenanya diasumsikan dapat merumuskan resolusi atau pemecahannya. Samsul Maarif
(CRCS, Sekolah Pascasarjana UGM)
vii
Pengantar Penulis
PENGANTAR PENULIS Keragaman suku bangsa di Papua beserta sistem kebudayaannya sangat kaya. Pada satu sisi, keragaman tersebut seringkali melahirkan konflik. Penyebab konflik ini lebih karena persoalan ringan. Konflik menjadi besar karena dibumbui dengan identitas kesukuan dan atau identitas keagamaan. Di sisi lain, sebagaimana banyak riset akademik menyebutkan, keragaman ini berhasil membentuk kepribadian dan sistem moral masyarakat Papua. Menyadari besarnya potensi konflik oleh karena banyaknya suku bangsa, hampir setiap suku bangsa dan adat di Papua memiliki mekanisme kultural yang dibangun untuk menyelesaikan konflik dengan damai. Mereka membangun mekanisme untuk membuat kesepakatan-kesepakatan kultural agar para pihak yang berkonflik melupakan segala persoalan, tidak mengulangi konflik, dan membangun toleransi serta perdamaian ke depan. Sayangnya, kekayaan itu tidak mengemuka. Ia tenggelam oleh ramainya diskursus politik, sumber daya alam, dan konflik ix
Mutiara Terpendam
kepentingan di Papua. Dalam konteks inilah pengungkapan kekayaan nilai budaya dari tradisi lokal suku bangsa di Papua sangat penting.
Kajian ini tidak dimaksudkan menelisik seluruh aspek hidup orang Papua. Ia hanya ingin mengajak menilik ulang kekayaan budaya suku-suku bangsa di Papua. Di mana hal ini lepas dari upaya pembangunan Papua selama ini. Perbincangan tentang Papua lebih fokus pada kajian politik, sumber daya alam, dan konflik. Tiga kajian tersebut dikhawatirkan menimbulkan gangguan dalam membangun perdamaian dan toleransi di Papua. Dalam membincangkan politik, konflik, dan sumber daya tetap penting untuk mempertimbangkan aspek kekayaan kultural yang dimiliki Papua. Mempertimbangkan kekayaan budaya Papua akan banyak memberi kontribusi positif dalam membangun perilaku maupun pengambilan kebijakan. Selain itu, kekayaan Papua bukanlah melulu pada sumber daya alamnya. Papua juga kaya budaya. Kekayaan kultural ini layak menjadi modal untuk membangun masa depan, bahkan memperkuat perdamaian dan toleransi di Papua. Tidak terhitung riset akademik yang menelisik kekayaan budaya Papua, utamanya kekayaan tradisi lokalnya. Hampir semua riset itu memberikan tekanan pada nilai kultural yang menuntun laku hidup orang Papua. Dengan kata lain, menekankan aspek kekayaan budaya jauh lebih bermakna daripada hanya fokus pada aspek politik, sumber daya alam, dan konfliknya. Mengkaji tiga hal terakhir itu penting. Akan tetapi, mestinya, pengetahuan tentang budaya Papua menjadi pertimbangan dominan dalam membangun Papua ke depan. Karya ini hadir dengan semangat ingin melengkapi diskusi tentang Papua yang sudah berlangsung lama di banyak tempat, baik di Papua maupun di luar Papua. Tulisan ini mengkaji kekayaan suku bangsa dengan tradisi lokal dan keragaman agama. Menyangkut adat dan agama, tulisan ini memang tidak secara rinci menjelaskan proses ritual, misalnya, tetapi hanya
x
Pengantar Penulis
mengambil nilai kulturalnya yang penulis anggap sebagai mutiara terpendam dalam membingkai dan memperkuat perdamaian di Papua. Meskipun demikian, tulisan ini juga belum sempurna. Pengamatan langsung terhadap praktik ritual dan kehidupan masyarakat Papua relatif minim. Kelemahan ini, setidaknya, terjembatani dengan adanya FGD dan workshop yang penulis ikuti di Papua dan Yogyakarta. Hasil-hasil riset tentang Papua juga sangat menyumbang dalam memberikan banyak data, utamanya yang fokus pada tradisi lokal, ritual lokal, kehidupan suku bangsa, dan kehidupan keagamaan di Papua. Riset-riset antropologi tersebut sangat membantu dalam memahami dan menafsirkan makna dari tradisi, ritual, kehidupan suku bangsa, dan kehidupan keagamaan di Papua. Oleh karena kelemahan itu pula, penulis membuka pintu kritik dan masukan untuk pengembangan kajian lebih lanjut. ***
Tulisan ini dibagi dalam tiga bab utama. Bab kedua akan mendiskusikan tentang situasi Papua. Situasi Papua ini meliputi migrasi, pendidikan, ekonomi, dan politik. Sistematika tersebut mengandaikan ada kelindan yang saling mempengaruhi. Meskipun migrasi bukan faktor satu-satunya, tetapi konteks tersebut memiliki pengaruh besar terhadap situasi dunia pendidikan di Papua, khususnya tentang akses pendidikan. Terpenuhinya akses pendidikan ini kemudian berpengaruh terhadap pemenuhan lapangan pekerjaan. Dengan kata lain, faktor pendidikan berpengaruh terhadap situasi atau kondisi ekonomi orang Papua. Dari sini pula, akhirnya persoalan politik di Papua sulit ditemukan jalan keluarnya. Persoalan politik di Papua terbatas pada kemerdekaan Papua atau tetap terintegrasi ke dalam NKRI. Bab ketiga akan fokus pada eksplorasi kekayaan budaya Papua, yakni tentang keragaman suku bangsa dan agama. Keragaman-keragaman ini layak ditonjolkan sebagai kekuatan kultural yang kaya di Papua. Kemudian bab keempat melanjutkan bab ketiga. Yaitu membahas keragaman xi
Mutiara Terpendam
suku bangsa dan agama di Papua yang merupakan modal sosial berharga untuk perdamaian. Kita tidak perlu mencari sumber kekuatan kultural dari luar Papua, jika ingin membangun perdamaian di Papua. ***
Dalam menyusun karya ini, penulis melibatkan banyak pihak, baik pihak-pihak di tempat penulis bekerja (CRCS) maupun di luarnya. Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua yang membantu tersusunnya tulisan ini. Ucapan terimakasih pertama yang harus penulis sampaikan adalah kepada Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Sekolah Pascasarjana, UGM, yang mendukung sepenuhnya penulisan karya ini. Khususnya kepada Mas Suhadi, yang pertama sekali “menantang” penulis mengambil pekerjaan ini dan banyak memfasilitasi diskusi draft rancangan buku ini. Banyak terimakasih juga atas kesediaannya melakukan editing buku ini. Terimakasih kepada Pak Zainal Abidin Bagir dan Mas Samsul Maarif yang memberikan banyak masukan dalam menentukan arah karya ini, Mas Agus Indiyanto yang bersedia menulis mapping awal tentang keragaman agama dan suku bangsa di Papua dan Papua Barat, Endy Saputra yang membantu berdiskusi mengenai kerangka teori. Terimakasih kepada Marthen Tahun yang rela penulis curi waktunya beberapa kali untuk mendiskusikan draft tulisan ini. Kepada Mas Iqbal Ahnaf, Najiah Martiam, Bapak Idrus al-Hamid, Mas Suparto Adam Iribaram, Mas Yamin, dan Mas Umar (empat yang terakhir ini dari STAIN al-Fatah Jayapura), dan masih banyak lagi atas diskusi baik secara formal maupun informal mengenai tulisan ini. Hal yang sama juga penulis sampaikan kepada peserta FGD dan Workshop “Keragaman dan Kerukunan di Papua” di Jayapura dan Yogyakarta. Meskipun keterlibatan mereka sangat mendalam dalam proses penulisan, keseluruhan isi dari karya ini tetap menjadi tanggungjawab penulis.
xii
Pengantar Penulis
Dukungan berarti lainnya dalam proses penulisan buku ini adalah seluruh mahasiswa CRCS yang tergabung dalam Divisi Riset (khususnya Bidang Data Center) dan juga para alumni CRCS yang telah banyak membantu pencarian literatur. Di antara yang dapat penulis sebutkan adalah Saiful Hakam dan Paulus Widianta, yang sejak awal membantu melakukan penelusuran literatur tentang Papua. Ichyak Ulumuddin yang bersedia memetakan literatur tentang Papua. Hidayatul Wahidah, Irza Meliana, Sulfia, dan Rahmanto yang membantu melakukan anotasi bibliografi tentang Papua. Last but not least, pekerjaan ini sungguh tidak mudah diselesaikan tanpa bantuan dan suasana hangat semua staf CRCS, yang menjadi bagian penting dalam proses penulisan karya ini: Lina Pary, Nurlina Zulkarnain, Farida Arini, Widi, Mas Agus Catur Suprono, dan Mas Bibit Suyadi. Kepada mereka penulis sampaikan terimakasih sedalam-dalamnya. Yogyakarta, Januari 2015
xiii
Mutiara Terpendam
Daftar Isi
Kata Pengantar >> iii Pengantar Penulis >> ix
Bab I Pendahuluan >> 1 A. Etnisitas dan Agama >> 7 B. Modal Sosial >> 8 C. Keragaman Suku Bangsa sebagai Modal Sosial >> 10 Bab II Membaca Situasi Papua >> 13 A. Migrasi >> 14 1. Sejarah Migrasi >> 15 2. Pengaruh Migrasi >> 18 B. Komposisi Penduduk >> 19 C. Pendidikan >> 20 D. Ekonomi >> 24 1. Sumber Daya Ekonomi >> 24 2. Kemiskinan dan Akses Ekonomi >> 26 E. Politik >> 29
Bab III Keragaman Suku Bangsa dan Agama di Papua >>43 A. Suku Bangsa >> 44 B. Agama >> 47 C. Keragaman Suku Bangsa >> 50 D. Keragaman Agama >> 57 Bab IV Kearifan Lokal dan Agama Sebagai Modal Perdamaian >> 61 A. Modal Perdamaian dari Kearifan Lokal >> 61 B. Modal Perdamaian dari Agama >> 69 Bab V Penutup >> 75 Daftar Pustaka >> 80 Biodata Penulis >> 86 xiv
Pendahuluan
BAB I PENDAHULUAN Papua memiliki beragam suku bangsa dan bahasa. Masing-masing suku bangsa memiliki sistem kebudayaan yang berbeda. Pemaknaan mereka pun beragam tentang alam sekitarnya. Suku bangsa yang bergaul setiap hari dengan gunung dan hutan memiliki perbedaan pemahaman tentang alam dibanding suku bangsa yang menetap di pantai. Sistem pencaharian mereka pun beragam. Keberagaman banyak hal tersebut memiliki pengaruh terhadap sistem pengetahuannya. Hal ini berdampak pada perilaku keseharian, norma sosial, model ritual, dan sebagainya. Keragaman inilah yang patut memperoleh perhatian. Kekayaan tradisi lokal memberikan banyak pengetahuan tentang nilai kultural yang hidup dan berkembang. Mempelajari suku-suku bangsa di Papua memberi kekayaan nilai yang luar biasa. Nilai-nilai yang dapat menjadi modal berharga untuk membangun
1
Mutiara Terpendam
Papua sendiri. Oleh karena itu, kehidupan suku bangsa beserta kebudayaannya memiliki nilai penting untuk dipelajari. Pengetahuan tentang kebudayaan yang beragam di Papua, sedikit atau banyak, akan menjadi landasan dalam merancang bangunan masa depan perdamaian di Papua. Kekurangpahaman atau minimnya pengetahuan tentang kekayaan kebudayaan tersebut berimplikasi pada kekeliruan dalam memahami hati orang Papua. Apalagi menghindar untuk memahami kultur dan tata hidup orang Papua, dapat dimungkinkan muncul perilaku yang, dari sisi norma, bertentangan dengan etika hidup orang Papua, atau bahkan melukai mereka. Sebenarnya, hal ini berlaku umum. Pengetahuan tentang kebudayaan suatu daerah akan sangat bermanfaat untuk mengetahui pola hidup, pola perilaku, dan sistem nilai yang digunakan.
Pengabaian terhadap kebudayaan mungkin juga akan berakibat pada munculnya reaksi-reaksi yang berlebihan terhadap persoalan yang berkembang. Minimnya pengetahuan tentang kebudayaan akan berimplikasi pada pemecahan masalah yang terjadi di tingkat lokal dengan sudut pandang berbeda. Sudut pandang yang sama sekali tidak mempertimbangan nilai lokal. Dalam konteks Papua, terjadinya konflik politik antara orang Papua dan pemerintah Pusat adalah salah satu contoh dari lemah dan minimnya pengetahuan tentang budaya lokal. Pada gilirannya konflik politik yang berkepanjangan akhirnya memunculkan gagasan dialog. Dialog sebagai upaya mencairkan hubungan dan mencari jalan keluar yang menguntungkan kedua pihak. Dari sinilah, dialog menjadi cara yang dapat dipahami oleh orang Papua dan pemerintah pusat. Dialog kemudian menjadi kata kunci. Semula istilah ini lahir dari pemerintah pusat. Tetapi kemudian ia justru tumbuh dari kultur suku-suku bangsa di Papua yang sebenarnya lebih mengedepankan cara ini dalam tata hidupnya ketimbang perang atau konflik. Bagi orang Papua, dialog merupakan cara terbaik menyelesaikan persoalan antarsuku bangsa di Papua. 2
Pendahuluan
Keragaman yang ada di Papua tecermin dari banyaknya suku bangsa. Keragaman itu sebenarnya menyimpan titik-titik nilai yang sama dalam setiap tata hidup suku-suku bangsa di Papua: perdamaian dan dialog. Dari nilai inilah dialog seharusnya menjadi titik tekan dalam menyelesaikan konflik Papua.
Meskipun demikian, dialog pun mensyaratkan hal lain jika tujuan dialog adalah dalam rangka kesejajaran posisi antara Papua dengan Jakarta dan daerah-daerah lain, yaitu kesejahteraan. Tanpa mempertimbangkan dampak pembangunan terhadap orang Papua, dapat dipastikan persoalan tidak mudah diselesaikan. Pembangunan Papua sudah demikian pesat dari sisi ekonomi dan produksi. Tetapi orang Papua (khususnya di desa dan gunung) belum sepenuhnya merasakan dampak dari pembangunan itu. Banyak sekali industri dan penambangan, tetapi pengaruh ekonominya belum menjamah ke pedalaman Papua. Jika ditilik dari sejarah, kondisi masyarakat Papua tersebut memiliki riwayat panjang. Mungkin, bahkan Papua memiliki pengalaman sejarah yang berbeda dengan daerah lain. Perbedaan ini ditandai oleh masih berkuasanya Belanda di Papua hingga 1962. Itulah sebabnya mengapa perkembangan nasionalisme Indonesia di provinsi ini memiliki corak berbeda. Perbedaan ini mulai tampak sejak proses tersemainya nasionalisme Papua pada 1925 dan nasionalisme Indonesia pada 1945 di Papua. Richard Chauvel (2005) memberikan penjelasan bahwa salah satu faktor penyebab munculnya nasionalisme Papua terletak pada perjalanan sejarah Papua yang menyangkut perbedaan dan persaingan antara orang Papua dan orang Indonesia (seperti Ambon, Kei, Manado, dan Sangir), baik sebelum perang Pasifik 1942 maupun selama 1944-1962. Nasionalisme Papua lahir dari benih yang ditanamkan Belanda. Sementara benih nasionalisme Indonesia ditanamkan oleh “orang Indonesia” dari orangorang Indonesia bagian timur. Dari sinilah, penjelasan Chauvel disepakati Meteray (2012: 19-27) yang menyebut orang Papua kemudian memiliki nasionalisme ganda (dual nationalism). 3
Mutiara Terpendam
Namun, pemerintah Belanda saat itu mengesankan bahwa mereka lebih memahami budaya orang Papua ketimbang pemerintah Indonesia. Hal ini nampak pada pendekatan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda kepada orang Papua. Akibatnya, orang Papua merasa “berbeda”dengan orang Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda menempatkan beberapa orang Papua dalam posisi strategis pemerintahannya. Sementara pasca Papua menjadi bagian dari Indonesia, pemerintah menempatkan posisi orang Papua jauh di bawahnya. Beberapa jabatan penting di masa pemerintahan Hindia Belanda di Papua diberikan kepada orang Papua. Sebaliknya, ketika Papua menjadi bagian dari Indonesia, beberapa jabatan pemerintahan di Papua tidak diberikan kepada orang Papua. Posisi-posisi tersebut diberikan kepada orang luar Papua yang dikirim ke Papua. Persoalan di atas, setidaknya, dapat menjadi ilustrasi bagaimana “posisi” Papua. Pada satu sisi, ia sangat tidak dapat dilepaskan dari nasionalisme Indonesia. Di sisi lain, Papua belum merasakan detak nasionalisme tersebut dalam kehidupan kesehariannya. Orang Papua belum sepenuhnya merasakan manfaat menjadi bagian dari Indonesia. Problem lama ini, akibatnya, tidak pernah lepas dari persoalan politik. Masing-masing pihak, antara pemerintah pusat ( Jakarta) dan Papua, memiliki perbedaan perspektif yang tajam mengenai hal itu. Indonesia berusaha mendesakkan isu nasionalisme Indonesia kepada orang Papua. Sementara orang Papua ingin dihargai sebagai pemilik tanah Papua. Dua perspektif ini melahirkan konflik panjang, meskipun banyak pihak berusaha mencari solusi kondisi ini.
Rumitnya persoalan konflik politik tersebut sengaja dihindari oleh tulisan ini. Sebagaimana dijelaskan di atas tentang makna pentingnya kekayaan budaya di Papua, tulisan ini lebih memilih menjelaskan tentang sisi lain Papua, yakni fenomena sosial dan budaya Papua. Penelusuran terhadap aspek tersebut, setidaknya, akan mengantarkan pada penjelasan lebih jauh tentang upaya pembangunan Papua dari sisi budaya 4
Pendahuluan
dan manusianya. Sisi kebudayaan dan kemanusiaan ini belum banyak disentuh dalam tulisan-tulisan akademis tentang Papua. Celah ini yang ingin ditelisik melalui penggalian kehidupan sosial, budaya, dan agama di Papua. Bagaimana kehidupan sosial, budaya, dan agama di Papua? Seberapa besar modal sosial tersebut dapat dimanfaatkan untuk membangun visi perdamaian dan toleransi di Papua? Pertanyaan-pertanyaan ini dianggap mampu mengisi celah dalam pengkajian tentang Papua. Namun, untuk mengetahui lebih dalam mengenai hal-hal tersebut, lebih dahulu akan dipaparkan mengenai situasi Papua dari empat aspek berikut: migrasi, pendidikan, ekonomi, dan politik. Empat hal ini dianggap sebagai latar penting untuk memahami Papua. Latar ini bermanfaat untuk lebih dalam menyelami tentang sisi kebudayaan dan kemanusiaan Papua. Istilah Papua dalam tulisan ini tidak dimaksudkan membatasi hanya tentang Provinsi Papua, melainkan mencakup Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua. Papua dimaknai sebagai tanah Papua secara keseluruhan. Dalam konteks tertentu, istilah Papua Barat kadang akan dipakai. Kemunculan itu hanya dimaksudkan untuk memperjelas uraian, khususnya yang menunjuk lokasi. Sebagaimana diketahui, Provinsi Papua Barat adalah pemekaran dari Provinsi Papua. Namun pemekaran ini tidak besar pengaruhnya terhadap konstruksi identitas kultural orang Papua. Ia hanya bersifat lebih administratif. Pemekaran dimaksudkan untuk meratakan pembangunan. Pembangunan yang sejak dulu tersendat di Papua. Pemekaran dinilai sebagai solusi untuk mempermudah akses dan jangkauan pembangunan dan persoalan pengurusan administrasi. Persoalan kesulitan akses memang tidak kunjung selesai, meskipun Papua sudah memiliki Otonomi Khusus (Otsus). Selain tentang akses, problem-problem lain sering muncul, baik persoalan ekonomi, kependudukan, kesehatan, dan sebagainya. Jika dilihat lebih mendalam, ada beberapa faktor yang membuat Papua memiliki kompleksitas persoalan terutama pasca implementasi Otsus. 5
Mutiara Terpendam
Pertama, proses menghilangkan pengaruh kolonial Belanda, dan utamanya Pepera, pada tahun 1961–1963 dianggap tidak pernah melibatkan rakyat Papua secara keseluruhan. Adalah wajar jika sampai saat ini masih ada tuntutan dari beberapa pihak untuk mengkaji kembali “aspek historis” dari proses “integrasi” wilayah Papua ke dalam NKRI. Kedua, masyarakat Papua telah mengalami peminggiran yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal lebih disebabkan oleh kapasitas dan kultur lokal. Sementara, bersamaan dengan itu, kehadiran faktor luar sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan Papua, baik dari sisi persaingan ekonomi, fenomena migrasi, dan disparitas pembangunan desa dan kota. Ketiga, Papua masih menyimpan masalah terkait hubungannya dengan pemerintah pusat. Hubungan Papua-Jakarta ini sampai sekarang tetap didiskusikan untuk mencari solusinya. Dialog merupakan satusatunya cara yang diinginkan oleh kedua pihak. Yang menjadi masalah adalah model dialognya. Dalam tulisan ini disebutkan beberapa model dialog yang pernah dilakukan dan model yang sedang dilakukan.
Sebelum lebih jauh, buku ini ingin fokus pada keragaman di Papua. Dalam rangka itu, buku ini memakai beberapa teori yang dimanfaatkan untuk membungkus eksplorasi lebih jauh tentang keragaman suku bangsa dan agama. Bahwa keragaman suku bangsa dan agama di suatu daerah, sebagaimana terlihat dari kondisi sosial di Papua, pada dasarnya dapat dipandang sebagai aset kolektif suatu masyarakat. Dengan kata lain, keragaman suku bangsa merupakan bagian dari “modal sosial” (social capital) karena mengandung kekayaan nilai-nilai kultural yang dapat dikembangkan untuk membangun masyarakat. Meski demikian, keragaman suku bangsa juga berpotensi menciptakan konflik dan isolasi sosial. Selain itu, keragaman suku bangsa di Papua juga disebabkan migrasi dari luar Papua, misalnya, suku Jawa yang mayoritas Islam dimigrasikan dalam program transmigrasi. Pada konteks ini, keragaman suku bangsa dan agama berpotensi menjadi modal sosial karena mencakup 6
Pendahuluan
pula sistem nilai yang diyakini oleh masing-masing anggota suku bangsa. A.
Etnisitas dan Agama
Menurut Gerry van Klinken (2004: 64-87) dalam artikel Ethnicity in Indonesia, etnisitas diidentifikasi sebagai sebuah kultur, berupa sistem adat, kepercayaan, dan agama. Etnisitas kadang juga diartikan punya sifat isolatif pada sebuah masyarakat yang tertutup di satu wilayah. Selain itu, Klinken menelusuri konsep yang disarankan Fredrik Barth yang mengartikan etnisitas sebagai akibat dari interaksi salah satu suku bangsa dengan suku bangsa lain. Dengan kata lain, identitas salah satu suku bangsa tidak berasal dari dalam suku bangsa itu sendiri, melainkan berhubungan dengan kelompok suku bangsa lainnya. Etnisitas bukanlah terbentuk dari isolasi, tapi interaksi (Klinken 2004). Etnisitas mencakup kepercayaan nenek-moyang, memori kolektif, gagasan kekeluargaan, bahasa, dan agama. Seringkali etnisitas bertalian dengan agama. Di Indonesia sendiri, etnisitas dan agama memiliki pengaruh dalam sejarah konflik di masyarakat. Sejak zaman kolonialisme Belanda, perbedaan suku bangsa dan agama menjadi cara kekuasaan politik menciptakan konflik di Indonesia. Kita dapat merunutnya, antara lain, konflik Ambon (Kristen dan Muslim), Partai Kristen Protestan mewakili suku bangsa lokal Batak di Tapanuli Utara (1955), pemberontakan Darul Islam tahun 1950-an di Aceh yang bersifat etnik, konflik di Poso (Sulawesi Tengah) pasca-1998 melibatkan agama dan asal usul tempat. Klinken menunjukkan bagaimana etnisitas merupakan entitas yang diciptakan atau dibuat. Etnisitas seringkali dikonstruksi oleh elit politik untuk menciptakan krisis. Selain itu, Klinken menyebutkan mayoritas konflik suku bangsa di Indonesia menggambarkan lima karakteristik yang diajukan Ted Gurr dan rekan-rekannya yang memeriksa 233 konflik suku bangsa di seluruh dunia dalam empat dekade sejak Perang Dunia Kedua.
7
Mutiara Terpendam
Ted Gurr, sebagaimana dikutip Klinken, membagi konflik suku bangsa ke dalam lima kategori: (1) Etnonasionalis, satuan etnik yang hidup dalam wilayah tertentu dan ingin memisahkan diri dari negara (misalnya: Aceh, Papua); (2) Persaingan komunal, persaingan antarkelompok untuk meraih kekuatan politik (Kristen vs Muslim di Ambon dan Poso); (3) Etnokelas, upaya suku bangsa tertentu untuk mencapai persamaan hak dan mengatasi diskriminasi sebagai imigran dan minoritas; (4) Masyarakat adat, hidup dalam wilayah tertentu dan menginginkan otonomi yang lebih besar dari negara yang memerintah untuk melindungi tanah adat (misalnya: Papua, Dayak Kalimantan); dan (5) Sekte agama militan, kelompok-kelompok kecil yang berjuang untuk ideologi agama (misalnya Laskar Jihad). Kategori-kategori tersebut kenyataannya kadang tidak berlangsung secara terpisah. Seringkali konflik suku bangsa berlatar agama sebenarnya dipengaruhi persaingan komunal dari kalangan elit tertentu untuk merebut kekuasaan. Pada konteks di Papua, Klinken melihat konflik suku bangsa di sana memiliki unsur etnonasionalisme dan masyarakat adat. Setelah tahun 1999, selain di Aceh, salah satu gerakan ethnonationalist di Indonesia berlangsung di Papua Barat. Sebelumnya, etnonasionalisme berlangsung di Ambon (Republik Maluku Selatan) yang bercampur dengan politik agama Kristen versus Islam. Konflik suku bangsa di Indonesia mayoritas dilatarbelakangi dua hal: agama dan tempat asal. Sejak 1920-an, menurut Klinken, agama telah menjadi jantung politik Indonesia sejak munculnya gerakan nasionalis. Hingga Orde Baru, agama dan tempat asal dijadikan sarana menegakkan otoritarianisme atas keragaman suku bangsa di Indonesia. B.
Modal Sosial
Menurut Bhandari dan Yasunobu, konsep “modal sosial” (social capital) merupakan analisis yang menggabungkan sistem nilai sosial-budaya yang multi-dimensional untuk menjelaskan hasil dari suatu perkembangan sosial (Bhandari & Yasunobu 8
Pendahuluan
2009: 486). Konsep ini secara historis mengacu pada kajian para sosiolog dan ekonom, seperti Adam Smith, John Stuart Mill, dan Max Weber, yang memperlakukan kebudayaan sebagai penjelasan gejala ekonomi. Umumnya, konsep ini dianggap bersifat abstrak, karena berakar pada ide tentang kepercayaan (trust), norma, jaringan informal, nilai-nilai, keyakinan, kewajiban, kolektivitas, pertemanan, keanggotaan, keterlibatan masyarakat, informasi, dan lembaga kolektif, yang berkontribusi terhadap pembangunan sosial dan ekonomi.
Mayoritas teori modal sosial sama-sama menekankan hubungan sosial yang menghasilkan keuntungan yang produktif. Perbedaannya, terdapat teori yang menganggap modal sosial sebagai sumber daya pribadi, sedangkan teori yang lain menganggapnya sebagai sumber daya sosial. Teori-teori tersebut memandang dasar modal sosial adalah hubungan sosial yang menimbulkan manfaat bagi individu dan kolektif, yang dibangun secara komunikatif. Bangunan kolektif ini memiliki unsur-unsur yang penting, yakni: jaringan sosial (keluarga, teman, masyarakat, dan asosiasi), norma-norma (norma-norma bersama, nilai-nilai, dan perilaku), dan kepercayaan (pada orang dan lembaga). Ketiga kategori ini dianggap sebagai sumber daya kolektif yang berpengaruh positif pada pembangunan ekonomi. Menurut Bhandari dan Yasunobu, Pierre Bourdieu membedakan tiga bentuk modal sebagai aset kolektif yang bersifat instrumental, yakni ekonomi, budaya, dan sosial. Bordieu menekankan pentingnya jaringan sosial melalui peluang dan keuntungan yang tersedia bagi anggota suatu kelompok. Bourdieu mengindentifikasi tiga unsur modal sosial: (a) hubungan sosial yang memungkinkan aktor mendapatkan akses ke sumber daya; (b) jumlah sumber daya yang dihasilkan oleh totalitas hubungan antara aktor; dan (c) kualitas sumber daya tersebut. Teori yang lain dikemukakan Coleman. Ia mengidentifikasi modal sosial pada tataran fungsi, yakni berupa kombinasi
9
Mutiara Terpendam
entitas-entitas dalam struktur dan tindakan sosial. Coleman mengindentifikasi tiga bentuk modal sosial: kepercayaan, saluran informasi, dan arus informasi. Bagi Bourdieu dan Coleman, jaringan sosial dipandang sebagai sarana kolektif yang dapat dikelola. Sementara Hartmut Esser menunjukkan dua aspek mendasar dari modal sosial, menyangkut produksi dan penggunaannya. Selain menunjukkan sifat individual dan kolektif yang selama ini dikemukakan teori modal sosial, Esser kemudian membedakan antara: (1) modal sosial relasional, yang menunjuk ke sumber daya yang tersedia untuk aktor individual memanfaatkan relasi interpersonal dengan aktor lain yang mengontrol sumber daya sosial; dan (2) modal sosial sistem, yang merupakan properti dari struktur sosial, berupa sistem kolektif para aktor, seperti memfungsikan kontrol sosial, sistem kepercayaan, dan sistem moralitas, dalam kelompok, organisasi, komunitas, dan wilayah (Esser 2008: 23-25). Nan Lin mengembangkan teori berbasis jaringan modal sosial. Ia membedakan modal sosial sebagai: (1) sumber daya yang tertanam dalam satu jaringan sosial, (2) sumber daya yang dapat menjadi akses melalui hubungan di dalam jaringan sosial. Teori Nan Lin menekankan koherensi dan produksi dalam modal sosial (Lin 2008: 50-69). C.
Keragaman Suku Bangsa sebagai Modal Sosial
Robert Putnam mengawali kajian tentang relasi modal sosial dengan keragaman suku bangsa yang dipengaruhi proses imigrasi. Ia mendasarkan modal sosial sebagai hubungan timbal balik antarindividu dalam jaringan sosial, norma-norma, dan kepercayaan yang muncul di antara mereka. Jaringan sosial merupakan nilai, di mana kontak sosial mempengaruhi produktivitas individu dan kelompok. Jumlah asosiasi dan partisipasinya menunjukkan kekayaan modal sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain, modal sosial membutuhkan persyaratan berupa keterlibatan masyarakat, partisipasi dalam organisasi, dan hubungan sosial yang berpotensi meningkatkan 10
Pendahuluan
dan menguatkan norma-norma kepercayaan. Keterlibatan sipil dalam jaringan sosial berfungsi memfasilitasi, mengkoordinasi, berkomunikasi, memperkuat reputasi, dan menyelesaikan konflik kolektif. Dalam penelitiannya di Amerika Serikat berjudul E Pluribus Unum: Diversity and Community in the Twenty-first Century, Putnam menyimpulkan, bahwa keragaman suku bangsa memicu munculnya isolasi sosial tiap kelompok suku bangsa terhadap kelompok suku bangsa lainnya (Putnam 2007: 141). Hal ini mengakibatkan berkurangnya salah satu unsur modal sosial, yakni kepercayaan. Isolasi sosial tersebut juga memicu seleksi individual dalam melakukan komunikasi dalam jaringan sosial. Maurice Gesthuizen, Tom van der Meer, dan Peer Scheepers menerapkan teori Robert D. Putnam tentang modal sosial pada konteks keragaman suku bangsa (Gesthuizen et.al. 2009: 121-142). Mereka menguji tesis Putnam, yang masih abstrak dan kurang empiris, tentang adanya isolasi sosial yang dipengaruhi keragaman suku bangsa. Jika Putnam melakukan riset di Amerika dan menyimpulkan adanya relasi negatif antara keragaman suku bangsa dan modal sosial, mereka justru menemukan relasi yang lebih positif dan kompleks di negaranegara Eropa. Dengan metodologi dan analisis yang berlapislapis, dari statistik, wawancara, bermacam variabel, dan berlapis indikator, mereka mengukur pengaruh keragaman suku bangsa terhadap modal sosial warga negara Eropa. Selain melalui kuisioner, sekitar 27.000 orang diwawancarai secara tatap muka. Temuan mereka justru membantah tesis-tesis yang dikemukakan Putnam. Konflik suku bangsa di Amerika yang diteliti Putnam mungkin juga dipengaruhi keragaman suku bangsa, karena secara hipotesis aspek heterogenitas suku bangsa dapat memicu solidaritas kelompok suku bangsa, sekaligus mengisolasi anggotanya dari kelompok suku bangsa lain. Sebaliknya dari tesis Putnam, ketiga peneliti tersebut justru menemukan jumlah konflik yang sangat sedikit dalam masyarakat Eropa yang beragam. 11
Mutiara Terpendam
Pada dasarnya, ketiga peneliti ini meletakkan dua variabel, yakni variabel kontekstual dan individual. Tiap variabel masih diklasifikasikan lagi menjadi beberapa indikator. Variabel individual bersifat independen, mencakup indikator kepercayaan antarpribadi (interpersonal trust), pendidikan, jenis kelamin, usia, pekerjaan, urbanisasi, dan status perkawinan. Tiap indikator juga masih dibagi lagi. Misalnya, indikator kepercayaan antarpribadi dibagi ke dalam pertanyaan-pertanyaan dengan pilihan jawaban yang formal dan informal. Artinya, relasi-relasi individu dalam masyarakat apakah memiliki karakteristik yang resmi (pertemuan organisasi masyarakat) atau tidak resmi (bercakap-cakap seharihari). Pada sisi yang lain, variabel kontekstual bersifat dependen, terdiri dari ketimpangan ekonomi, jaminan sosial, sejarah demokrasi negara (jaminan keamanan dan kesejahteraan), dan prosentase imigran.
12
Membaca Situasi Papua
BAB II MEMBACA SITUASI PAPUA Bab ini akan menampilkan kondisi kependudukan, pendidikan, ekonomi, dan politik masyarakat Papua. Sebagian besar bahan yang digunakan pada bagian ini adalah data statistik, baik yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) maupun dari literatur lain tentang Papua. Di bawah ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai kondisi migrasi, pendidikan, ekonomi, dan politik di Papua sebagai latar kajian babbab berikutnya. Beberapa hal tersebut dianggap sebagai pengetahuan yang penting untuk mengetahui dinamika Papua dewasa ini.
13
Mutiara Terpendam
A.
Migrasi
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi di Papua dan Papua Barat banyak dipengaruhi oleh migrasi. Migrasi ikut mewarnai sejumlah perubahan dan dinamika di banyak aspek kehidupan di Papua. Maksud migrasi di sini adalah perpindahan penduduk dari luar wilayah Papua dan Papua Barat ke dua provinsi ini. Migrasi dapat bersifat sukarela (berdagang dan lain-lain), tapi juga karena tugas kemiliteran dan kepegawaian, atau bahkan keagamaan.
Secara sederhana migrasi didefinisikan sebagai aktivitas perpindahan. Sedangkan secara formal, migrasi didefinisikan sebagai perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain yang melampaui batas politik/ negara atau pun batas administrasi/batas bagian suatu negara. Bila melampaui batas negara maka disebut dengan migrasi internasional (migrasi internasional). Sedangkan migrasi dalam negeri merupakan perpindahan penduduk yang terjadi dalam batas wilayah suatu negara, baik antardaerah atau pun antarprovinsi. Pindahnya penduduk ke suatu daerah tujuan disebut dengan migrasi masuk. Sedangkan perpindahan penduduk keluar dari suatu daerah disebut dengan migrasi keluar (Depnaker dalam Safrida 2014). Definisi di atas kemudian diperjelas dengan definisi yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS). Bahwa migrasi adalah perpindahan seseorang melewati batas administrasi provinsi menuju provinsi lain dalam jangka waktu enam bulan atau lebih. Lebih jauh lagi, BPS menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis migran antarprovinsi. Migran semasa hidup (life time migrant) adalah mereka yang pindah dari tempat lahir ke tempat tinggal sekarang, atau mereka yang tempat tinggalnya sekarang bukan di wilayah provinsi tempat kelahirannya. Migran risen (recent migrant) adalah mereka yang pindah melewati batas provinsi dalan kurun waktu lima tahun terakhir 14
Membaca Situasi Papua
sebelum pencacahan. Migran total adalah orang yang pernah bertempat tinggal di tempat yang berbeda dengan tempat tinggal pada waktu pengumpulan data (Safrida 2014; Munir 2011: 133-153). Dalam tulisan ini, istilah migrasi yang digunakan adalah perpindahan penduduk dari tempat lahir ke tempat tinggal sekarang, atau mereka yang tempat tinggalnya sekarang bukan di wilayah provinsi tempat kelahirannya, life time migration. 1.
Sejarah Migrasi
Kajian perkembangan Papua mesti mengikutsertakan diskusi tentang dinamika migrasi di Papua. Sejarah Papua selalu berkelindan dengan pengaruh migrasi. Migrasi dapat melalui jalur kekuasaan atau pemerintahan dan kadang selalu diiringi dengan perdagangan. Migrasi karena faktor politik/ pemerintahan dimulai sejak Kepulauan Raja Ampat masuk menjadi wilayah kerajaan Tidore. Catatan lain menyebutkan bahwa Papua sudah berhubungan dengan Maluku sejak abad XV-an. Meskipun dua catatan di atas tidak dapat menemukan kapan persisnya hubungan itu muncul. Yang dapat ditemukan hanya catatan yang menyebutkan bahwa pada awal abad XVI para sultan di Ternate dan Tidore saling bersaing memperebutkan pengaruh atas Raja Ampat di Papua (Athwa 2004: 43-46). Hubungan politik/pemerintahan ini kemudian mengalir menjadi hubungan perdagangan, di mana akhirnya pedagang dari dua daerah ini (Maluku dan Papua) saling migrasi. Orang Papua migrasi ke Maluku, demikian juga sebaliknya (migrasi dua arah). Migrasi kedua terjadi ketika Papua menjadi bagian dari Hindia Belanda. Migrasi ini pun berkaitan dengan sistem pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mengambil beberapa tenaga administrasi dari Maluku, Kei, dan Manado (Meteray 2012: 25-26). Mulai saat ini pula, agama menjadi isu cukup sentral. Jika sebelumnya di bagian barat pulau
15
Mutiara Terpendam
Papua migrasi yang terjadi berbanding lurus dengan persebaran Islam di sana, maka pada migrasi gelombang kedua ini, yang terjadi di Hollandia ( Jayapura) dan Manokwari, migrasi berbanding lurus dengan persebaran Kristen. Periode ini, Kristen menyebar dengan sangat masif, di mana perkembangannya bukan hanya di pusat-pusat perkotaan, melainkan juga naik ke gunung-gunung. Harus diakui, migrasi kedua ini hanya berkonsentrasi pada dua hal selain kekuasaan, yakni zending dan pendidikan. Sektor ekonomi kurang memperoleh perhatian. Hal itu berbeda dengan migrasi pertama yang selalu berbarengan dengan perdagangan dan ekonomi (Athwa 2004: 40).
Migrasi terbesar dan hingga kini memunculkan banyak problem adalah sejak Papua secara resmi menjadi bagian dari Republik Indonesia pada 1969. Pemerintah Indonesia mengirim banyak sekali pegawai pemerintahan dari wilayah Indonesia Timur, Tengah, dan Barat (Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Jawa) dan program transmigrasi yang dilaksanakan pada masa Orde Baru. Migrasi ini berakibat pula pada dinamika ekonomi Papua (khususnya di perkotaan), di mana banyak migran yang melakukan perdagangan di Papua. Efek transmigrasi pada masa ini belum terasa. Memori sejarah orang Papua terhadap pendatang tidak dapat dielakkan dari fenomena pasca Pepera (Penentuan Pemilihan Rakyat). Pasca Pepera, pemerintah Indonesia mengirimkan pasukan militer dan pegawai pemerintahan untuk mengamankan, mengawal, dan mengawasi sistem pemerintahan di Papua. Para pendatang ini tentu saja membawa kebudayaan yang berbeda dengan budaya Papua. Kebudayaan pendatang yang dimaksud termasuk di dalamnya adalah ekonomi dan agama. Stuart Upton menyatakan bahwa baru sejak 1971 ada catatan mengenai migrasi di Papua. Catatan pada tahun 1971 menyebutkan angka pendatang mencapai 37.251 orang dari total jumlah penduduk Papua 923.440. Sebagian besar pendatang menetap di Papua. Setidaknya tinggal 5-9 tahun. Mereka 16
Membaca Situasi Papua
sebagian besar berasal dari Maluku dan Sulawesi Selatan (Upton 2009: 293-299). Pada periode ini, para pendatang yang menetap adalah para penyebar agama, pegawai pemerintah, militer, pedagang, dan transmigran.1 Tahun 2000 (tahun 1980 dan 1990, tidak ditemukan angka migrasi), angka tersebut menjadi 420.327 pendatang dari jumlah total penduduk Papua (termasuk Papua Barat) 2.233.530. Sejumlah 31% dari jumlah tersebut terkonsentrasi di Jayapura, 18% di Sorong, 12% di Merauke, dan 11% di Manokwari. Tiga daerah tersebut merupakan lokasi-lokasi strategis secara ekonomi, kecuali Merauke. Merauke merupakan area pedesaan yang secara ekonomi tidak menguntungkan bagi para pendatang. Dan pendatang yang menetap di Merauke adalah para transmigran. Mereka bertani dan sebagian ada yang harus membuka lahan dulu untuk lahan pertanian mereka. Sebagian kecil dari transmigran juga ada di Manokwari (Upton 2009: 297). Tahun 2003, perubahan perbandingan antara orang asli Papua dan non-Papua terjadi sangat signifikan, yakni 53% (asli Papua) dan 48% (non-Papua) (Dale & Djonga 2011: xvii). Pada tahun 2010, jumlah pendatang mencapai 891.942 dari total populasi penduduk Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) 3.593.823.2
1 Program transmigrasi dimulai pemerintah Orde Baru sejak 1961, dan transmigrasi ke Papua dimulai sejak 1963. Lebih jauh, lihat http://groups. yahoo.com/group/Komunitas_Papua/message/20686. Diakses 30 April 2013. Kebijakan transmigrasi ke Papua tersebut sering dikaitkan dengan Pepera yang dilaksanakan pada 1969. Kebijakan ini memunculkan asumsi bahwa transmigrasi ini adalah salah satu cara Indonesia untuk mempengaruhi gagasan Nasionalisme Indonesia, yang kemudian memperoleh hasilnya ketika dilaksanakan Pepera. 2 Diolah dari data BPS 2010. Secara kuantitatif, kondisi perbandingan angka tersebut menunjukkan terjadinya revolusi demografis yang radikal, yang dimungkinkan akan terjadi pula dislokasi dan displacement orang asli Papua. Faktor dari kenaikan angka demografis yang kurang seimbang tersebut adalah karena adanya kebijakan pemekaran wilayah yang tanpa mempertimbangkan kesiapan orang asli Papua di daerah setempat. Akibatnya, pemekaran wilayah sama artinya dengan membuka peluang orang non-Papua ketimbang orang asli Papua.
17
Mutiara Terpendam
Pendatang tidak melulu berasal dari daerah luar Provinsi Papua, melainkan juga dari dalam Provinsi Papua sendiri. Pada tahun 2000, sebagian besar pendatang yang berasal dari provinsi lain di Indonesia memilih Mimika, Kota Jayapura, dan Kota Sorong (Upton 2009). Pilihan ini sangat rasional. Mimika merupakan daerah tujuan pendatang karena terdapat PT. Freeport Indonesia. Kota Jayapura dan Kota Sorong dikenal dengan pusat perdagangan. Sangat masuk akal jika pendatang dari luar provinsi Papua memilih tiga daerah ini. Sementara, hal itu berbanding terbalik dengan tujuan daerah dari para pendatang yang berasal dari dalam provinsi Papua sendiri. Sebagian besar bukan ke daerah yang menguntungkan secara ekonomi, melainkan justru ke daerah-daerah gunung: Jayawijaya, Paniai, dan Puncak Jaya. 2.
Pengaruh Migrasi
Pertumbuhan angka migrasi di Papua ini mulai memperlihatkan efeknya, utamanya perbedaan yang tajam antara urban-rural, pergeseran peluang akses ekonomi, dan kompetisi di sektor ekonomi strategis. Selain itu, fenomena pendatang di Papua selalu seiring dengan perkembangan hal-hal lain, termasuk agama. Sebagaimana disebutkan di atas, migrasi periode pertama berdampak pada datang dan berkembangnya Islam dan ekonomi di pesisir bagian kepala burung. Migrasi kedua berbarengan dengan masuk dan berkembangnya Kristen, pendidikan, dan institusi kesehatan. Sementara migrasi ketiga berbarengan juga dengan pertumbuhan signifikan pemeluk Islam di daerah-daerah urban di Papua, sekaligus juga naiknya perekonomian dan perindustrian di Provinsi Papua.
Pengaruh yang paling terlihat dari migrasi ini, sebagaimana disebutkan oleh Farhadian, adalah kultur Papua yang mengalami perubahan. Dia memberikan contoh kehidupan kota Jayapura. Jayapura digambarkan sebagai metropolitan yang semua fasilitasnya berbanding terbalik dengan yang ada di wilayah gunung. Kondisi kota itu mampu mengubah pandangan 18
Membaca Situasi Papua
budaya dan gaya hidup masyarakat. Dan semua itu dipengaruhi oleh banyaknya pendatang dari luar Papua (Farhadian 2005: 49-53). Kondisi serupa sebenarnya dapat dilihat juga pada perkembangan daerah-daerah lain di Papua (dan Papua Barat), seperti di Fakfak, Mimika, dan Sorong. Populasi migran yang makin bertambah di daerah-daerah ini memiliki pengaruh kuat dalam perkembangan kultur masyarakat. B.
Komposisi Penduduk
Laju perkembangan pendatang ke Papua dapat dipahami, setidaknya, jika melihat catatan Stuart Upton yang menjelaskan bahwa pada tahun 1995 Papua sudah menjadi tujuan migrasi dari luar provinsi tertinggi di seluruh Indonesia (Upton 2009: 315). Bahkan, pada 21 Mei 2010, Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, menyatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, arus migran yang masuk ke Papua terus meningkat. Peningkatannya bahkan tertinggi di dunia: 5% pertahun. Perhitungan dunia menyebutkan bahwa angka migrasi di negara-negara di seluruh dunia rata-rata adalah 2% pertahun.3 Perkembangan ini tentu saja perlu memperoleh perhatian karena, sebagaimana disebutkan di depan, meskipun migrasi hanya sebagai satu faktor, dinamika migrasi memiliki implikasi dan efek terhadap perkembangan sosial, ekonomi, agama, dan budaya masyarakat setempat. Tahun 2004, Stuart Rees menyatakan bahwa komposisi penduduk Papua Barat adalah 1.5 juta penduduk asli Papua dan hampir 1 juta penduduk pendatang atau transmigran (Stuart Ress, et.al. 2004). Perbandingan komposisi antara penduduk asli dengan pendatang, dalam perkembangannya mengalami kenaikan yang signifikan. Upton melihat perkembangan itu sejak 1970an
3 http://sampari.blogspot.com/2010/05/gubernur-papua-migrasi-ke-papua. html. Diakses pada 30 April 2013. Menurut perkiraan 2030, pertambahan penduduk Papua semakin kecil dibandingkan dengan penduduk migran. Angka pertambahan penduduk Papua akan mencapai 1.67%, sementara penduduk migrant akan bertambah 10%. Lihat Arie Sudjito, et.al., Meretas Jalan Perdamaian di Tanah Papua (Yogyakarta: IRE, 2009), hlm. 56.
19
Mutiara Terpendam
hingga 2000. Menurutnya, migrasi menjadi faktor yang sangat kuat dalam mempengaruhi seluruh dinamika kehidupan masyarakat Papua. Pada sensus pertama yang dilakukan untuk Papua, 1971, mencatat bahwa jumlah pendatang ke Papua mencapai 37.251 jiwa (Upton 2009: 293). Pada sensus tahun 2000 (sensus 1980 dan 1990 tidak dicatat tentang migrasi), jumlah pendatang mengalami kenaikan yang signifikan. Jumlah pendatang mencapai 420.327 jiwa (Upton 2009: 297). Oleh karena itu, Komposisi penduduk yang hampir seimbang antara penduduk asli dan pendatang inilah kemudian memengaruhi potret kehidupan beberapa kota di Papua baik dari sisi ekonomi maupun agama. Migrasi ke Luar Papua (Upton 2009)
Tahun Migrasi keluar Total populasi % dari total populasi
1971 6,449 923,440 0.7
1980 15,559 1,107,291 1.4
1990 30,786 1,630,107 1.9
1995 47,356 2,233,530 2.1
Akan tetapi, faktor outmigration (migrasi keluar) juga cukup kuat. Bahwa keberadan pendatang masuk ke Papua bukanlah satu-satunya bentuk migrasi. Orang Papua yang pindah dan menetap di provinsi lain juga menarik dipertimbangkan. Sebagaimana dicatat oleh Upton di atas. C.
Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu poin yang dituangkan dalam New York Agreement 1962. Bahwa setelah terjadi pengambilalihan tanggungjawab administrasi dari Belanda kepada Indonesia, maka Indonesia harus mengintensifkan pembangunan pendidikan orang Papua dan menghapus buta aksara. Belanda sudah memulai membangun lembaga pendidikan di Papua. Namun, selama menjalankan kebijakan pendidikan tersebut, baru 55% desa di seluruh tanah Papua yang berhasil dibangun Belanda. Belum selesai sepenuhnya hingga Belanda harus keluar dari tanah Papua sebagai risiko dari New 20
Membaca Situasi Papua
York Agreement antara Belanda dengan Indonesia mengenai wilayah Papua. Pemerintah Indonesia kemudian melanjutkan kebijakan Belanda tersebut. Sayangnya, pelaksanaan kebijakan pendidikan pemerintah Indonesia belum sepenuhnya mampu mencapai daerah gunung. Sehingga, tingkat pendidikan terendah di Papua (hingga kini) adalah di daerah gunung. Padahal, di sinilah letak di mana penduduk asli Papua tinggal. Dengan kata lain, kebijakan pendidikan pemerintah Indonesia masih belum sepenuhnya menyentuh kepentingan orang asli Papua, melainkan baru menyentuh daerah yang dekat dengan perkotaan (yang dihuni oleh sebagian besar pendatang). Akibatnya, dari sisi pendidikan, secara nasional, orang Papua berada pada tingkat yang rendah dalam peringkat melek pendidikan. Problem pendidikan di Papua, dan mungkin di beberapa provinsi lain, adalah mengenai bangunan sekolah, staf pendidik, dan fasilitas. Jawaban mengapa pendatang lebih tinggi prosentasenya tidak serta merta berbanding lurus dengan kesadaran mereka tentang pendidikan. Pendidikan mereka lebih bagus karena sebagian besar pendatang tinggal di perkotaan, sehingga akses pendidikan lebih mudah, di samping juga tentang ketersediaan staf pendidik dan fasilitas pendidikan lainnya. Oleh karena itu, rendahnya prosentase tingkat pendidikan orang asli Papua, dengan demikian, adalah akibat dari ketersediaan bangunan sekolah, staf pendidik, dan fasilitas yang kurang bahkan tidak memadai (Upton 2009: 274).4 Kondisi ini berkaitan dengan kualitas birokrasi dan pelayanan publik di Papua yang rendah. Hal ini sangat dipengaruhi oleh rendahnya pendidikan dan lemahnya kapasitas sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya. Kapasitas sumber daya manusia yang cakap dan profesional hanya dapat tercapai jika didukung oleh fasilitas pendidikan yang memadai. Sayangnya, 4 Stuart Upton menjelaskan alasan tersebut dengan memanfaatkan hasil penelitian disertasi Suharini Supangat yang meneliti tentang sekolah di Orang Lembah Baliyem (1986) dan thesis S2 Michael Rumbiak tentang migrasi orang Nimboran ke Jayapura. Lihat Stuart Upton (2009), hlm. 274.
21
Mutiara Terpendam
kondisi minimnya infrastruktur maupun rendahnya kualitas pendidikan masih banyak ditemui di Papua. Hal ini terbukti dengan hanya sekitar 40% masyarakat Papua yang mengenyam pendidikan (Sudjito, et.al. 2009: 25).
Kebijakan pendidikan pemerintah Indonesia secara umum tidak berpihak kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat Papua. Tingginya biaya sekolah, pada satu sisi, masih menjadi masalah bagi orang tua murid. Masalah tersebut, di sisi lain, diperparah oleh keberadaan sekolah yang tidak merata. Akibatnya, masyarakat di daerah terpencil dan pedalaman merasa kesulitan untuk memperoleh pelayanan pendidikan. Kebanyakan anak usia sekolah terlambat memasuki jenjang sekolah karena kondisi sosial ekonomi orang tua yang lemah, sehingga tidak mampu membiayai sekolah anak-anaknya. Kesulitan semakin bertambah dengan kondisi topografi yang sulit ditembus dan jarak yang jauh untuk mencapai sekolah-sekolah terdekat. Hambatan-hambatan ini yang mengakibatkan banyaknya anak putus sekolah dan tidak melanjutkan studi. Problem topografi sebenarnya merupakan problem utama pembangunan di Papua. Jika pembangunan tidak merespon atau mempertimbangkan topografi tersebut, sudah dapat dipastikan tidak akan berdampak besar terhadap orang Papua.
Kondisi ini terbalik dengan keadaan yang ditunjukkan statistik bahwa pendatang di Papua yang lebih banyak mengakses pendidikan. Tingkat kelulusan jenjang pendidikan pendatang lebih tinggi ketimbang orang Papua. Orang Papua masih banyak yang tidak sekolah/tidak lulus Sekolah Dasar. Stuart Upton mencatat perbandingan dalam bentuk grafik mengenai prosentase tingkat pendidikan antara penduduk asli dan pendatang dilihat dari usia pendidikan pada tahun 2000. Sebagian besar penduduk asli yang berusia 16-24 tahun tidak sekolah (40.2%), yang lulus Sekolah Dasar (25.5%), yang lulus sekolah menengah (SLTP dan SLTA) (33.95%). Hal ini kontras dengan penduduk pendatang, tidak sekolah (8.75%), 22
Membaca Situasi Papua
lulus Sekolah Dasar (19.85), lulus sekolah menengah (70.1%) (Upton 2009: 271). Prosentase ini berpengaruh pada peluang akses pekerjaan dan mungkin juga pada akses-akses yang lain, misalnya mencalonkan diri menjadi pejabat publik atau legislatif.
Kesimpulan sementara mengenai sebab rendahnya pendidikan di Papua adalah oleh tiga hal. Pertama, rendahnya tingkat ekonomi masyarakat. Kedua, minimnya infrastruktur pendidikan. Ketiga, jarak yang mesti ditempuh murid ke sekolah. Tingkat pendidikan orang Papua di atas, langsung atau tidak langsung, berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi mereka. Makin sulit dan berat bagi orang Papua untuk bersaing dalam kompetisi ekonomi dan bisnis di tanah mereka sendiri. Kebutuhan dunia usaha, bisnis, utamanya pertambangan dan industri mensyaratkan kualifikasi pendidikan yang tinggi. Sementara, dengan fenomena dunia pendidikan di Papua yang kurang memperoleh perhatian pemerintah, menggiring mereka pada ketidakberdayaan berkompetisi dalam dunia usaha dan sulit terjaring dalam penerimaan karyawan perusahaan pertambangan dan industri. Jika bukan orang Papua yang tinggal di perkotaan yang memperoleh akses ekonomi, maka pendatang baru yang berasal dari luar pulau Papua yang terjaring dalam seleksi tersebut. Dengan kata lain, kondisi pendidikan yang berkelindan dengan faktor ekonomi merupakan pekerjaan berat yang mesti diselesaikan oleh pemerintah untuk membawa orang Papua ke tengah medan kompetisi pendidikan dan ekonomi. Senafas dengan itu, sulitnya akses pendidikan yang dialami orang Papua, secara kultural, akan berdampak pada makin sulitnya mempertahankan identitas ke-Papua-an mereka. Proses modernisasi yang mensyaratkan kualifikasi dan kapabilitas tertentu tidak mampu membawa orang Papua ke tengah persaingan modernitas, melainkan justru semakin membawa mereka terdesak ke pelosok. Fenomena ini makin memperlihatkan juga keterdesakan kultural mereka. Beragam budaya yang masuk ke Papua sulit dibendung, sementara modal
23
Mutiara Terpendam
pendidikan dan ekonomi yang mestinya dapat dijadikan sebagai sarana mempertahankan identitas belum kuat dimiliki, maka yang terjadi adalah makin tenggelamnya kekayaan budaya Papua. D. Ekonomi 1. Sumber Daya Ekonomi
Papua merupakan provinsi dengan kekayaan alam yang besar. Bukan hanya dalam hal industri dan penambangan, melainkan juga dalam bidang kelautan, perkebunan, dan kehutanan. Kekayaan alam ini menjadi sumber ekonomi yang mampu memberikan banyak pemasukan bagi pemerintah provinsi dan nasional. Sektor-sektor usaha ini belum sepenuhnya tereksplorasi.
Sumber daya alam Papua (dan Papua Barat) sangat kaya. Sektor pertambangannya sudah mampu memberikan kontribusi lebih dari 50% perekonomian Papua dengan tembaga, emas, minyak, dan gas. Di samping itu, masih terdapat beberapa potensi tambang lain seperti batu bara berjumlah jutaan ton. Bahan gamping dan pasir kuarsa diperkirakan memiliki potensi hasil puluhan juta ton, demikian juga dengan lempung, marmer, granit, dan hasil tambang lainnya seperti pasir besi, nikel, dan krom. Selain itu, keluasan hutan yang kurang lebih mencapai 90% daratan Papua merupakan potensi besar lainnya. Hutan produksi di Papua memiliki potensi ekonomi yang tinggi, baik untuk menghasilkan produksi plywood dan lainnya, seperti produksi mebel. Sementara itu, di sektor perkebunan pun memberikan banyak harapan bagi perkembangan dan peningkatan ekonomi Papua. Perkebunan sawit, kakao, kopi arabica, buah merah, dan karet merupakan sektor perkebunan yang cukup populer di Papua. Sektor ini mampu menyerap banyak tenaga kerja. Secara umum, sebenarnya laju perekonomian Papua (juga Papua Barat) sangat ditentukan oleh pertambangan dan penggalian. Melihat fluktuasi laju perekonomian di dua 24
Membaca Situasi Papua
provinsi ini, sangat tampak besarnya pengaruh pertambangan dan penggalian. Jika di Provinsi Papua terdapat PT. Freeport, maka di Papua Barat ada BP. Migas (Victor Rumere 2011: 82-98).5 Bagaimana pun, ini merupakan kondisi riil kontribusi ekonomi Papua yang cukup signifikan, sehingga, tanpa menutup mata terhadap adanya ”kesalahan” dalam kebijakan pemerintah mengenai pertambangan di Papua, sektor ini seharusnya menjadi potensi besar untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat Papua. Selain itu, sektor yang sedang berkembang di Papua adalah pariwisata. Setidaknya perkembangan ini terlihat di Papua Barat, yang tampak cukup besar kontribusinya terhadap laju perekonomian daerah setempat.6 Ringkasnya, kekayaan alam Papua memberikan banyak peluang kepada penduduk untuk memanfaatkannya sebagai sumber penguatan ekonomi. Belum lagi jika melihat sektor pertanian, perikanan, kelautan, dan peternakan. Suguhan kekayaan sumber daya alam tersebut tentu saja, dan mestinya, akan memberikan peningkatan ekonomi yang signifikan terhadap penduduk Papua.
5 Lihat juga, Institut Teknologi Bogor, “Gambaran Umum Provinsi Papua”, dalam http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/53600/BAB%20IV %20 Gambaran%20Umum%20Provinsi%20Papua.pdf ?sequence=4. Diakses pada 02 Mei 2013. Namun, sektor pertanian lebih stabil pertumbuhannya dibanding pertambangan. Meskipun tidak tajam, sektor pertanian sedikit demi sedikit mengalami kenaikan, sebagaimana juga sektor usaha di bidang bangunan. Dalam rentang waktu 2001–2010, dua sektor tersebut mengalami kenaikan yang stabil. Hal ini berbeda dengan sektor pertambangan dan penggalian. PT. Freeport mempengaruhi naiknya laju perekonomian Papua hanya pada tahun 2005, sebagaimana juga BP Migas di Papua Barat pada tahun 2010. Tahun 2006 hingga 2010, PT. Freeport tidak kuat lagi pengaruhnya dalam laju perekonomian Papua. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh berbagai kasus yang terjadi di perusahaan tersebut yang melibatkan masyarakat asli Papua. Sementara BP. Migas di Papua Barat belum teruji pengaruhnya karena tidak diperoleh data laju pertumbuhan ekonomi Papua Barat pada tahun 2012. 6 Mengenai sektor pariwisata ini dapat dilihat dalam Yansen Saragih dalam I Ngurah Suryawan (ed.) (2011). Yansen memberikan contoh potensial pariwisata Pulau Mansinam.
25
Mutiara Terpendam
2.
Kemiskinan dan Akses Ekonomi
Menurut BPS, hingga tahun 2003, Papua masih menjadi provinsi termiskin di antara provinsi-provinsi lain di Indonesia. Angka kemiskinan di Papua mencapai 38%, jauh di bawah angka rata-rata kemiskinan nasional yang mencapai 17% (Widjojo [ed.] 2010: 112-113). Kenyataan ini menjadi ironi jika dilihat dari kenyataan tanah Papua yang memiliki sumber daya alam berlimpah. Industri-industri di Papua memberi kontribusi besar kepada pemerintah pusat, tetapi sama sekali belum berimbas pada kesejahteraan masyarakat Papua sendiri. Anehnya, angka kemiskinan ini justru meningkat pada masa Otonomi Khusus (2004) yang mencapai 43% jika dibandingkan pada tahun 2003 yang mencapai 38% dari jumlah populasi 2.556.419 (Badan Pusat Statistik Provinsi Papua tahun 2006, diambil dari Widjojo [ed.] 2010). Melihat kekayaan alam yang tersedia sebagaimana dijelaskan secara singkat di atas, sebenarnya belum ada alasan yang cukup untuk mampu menjelaskan ketidakseimbangan antara sumber daya alam yang tersedia dengan kemampuan ekonomi penduduk. Dalam banyak kajian, faktor yang sering dimunculkan sebagai faktor utama adalah kapasitas atau kemampuan sumber daya manusia. Dengan tingkat pendidikan yang masih belum cukup, sebagaimana dipaparkan dalam bahasan tentang pendidikan di atas, agaknya sangat sulit warga Papua mampu memanfaatkan kekayaan alam di sekelilingnya. Dengan rata-rata pendidikan yang hanya sekian persen yang lulus SMA, maka akan sulit berkompetisi baik sebagai tenaga kerja sektor industri maupun, bahkan, membuka usaha sendiri. Alasan ini lebih didasarkan pada perkembangan modernisasi yang demikian makin kuat masuk ke Papua.
Andreas Goo menyatakan bahwa gelombang modernisasi yang masuk ke Papua masih sulit dipahami oleh orang Papua. Orang Papua dianggap mengalami “lompatan” budaya yang luar biasa dengan banyaknya peralatan modern yang masuk 26
Membaca Situasi Papua
ke Papua (seperti handphone, komputer, dan lain-lain). Dan hal itu berdampak kurang baik dalam perkembangan sosial, ekonomi, dan terutama budaya mereka. Yang mereka butuhkan adalah jembatan yang mampu mentransformasikan budaya orang Papua dengan modernisasi (Goo 2013). Ketiadaan gerakan transformasi ini, yang mestinya hal itu dilakukan oleh pemerintah, menjadikan proses pembangunan dan modernisasi hanya dapat diterima dan dilaksanakan di beberapa tempat, khususnya di lokasi-lokasi industri dan kawasan perkotaan. Fenomena itu kemudian makin meminggirkan orang Papua dalam persaingan ekonomi dan sosialnya. Dengan kata lain, pembangunan, yang mesti diakui makin maju di Papua, belum sepenuhnya mampu mengurangi angka kemiskinan orang Papua sendiri. Naiknya angka kemiskinan di Papua lebih disebabkan persaingan dalam sektor industri dan perdagangan yang ketat. Kondisi ini berdampak pada bagaimana orang Papua mengakses ekonomi. Di samping sektor pendidikan menjadi faktor penting, ada faktor lainnya yang juga sangat penting, misalnya tingkat kepercayaan pemerintah kepada warganya sendiri yang masih kurang untuk melakukan upaya-upaya ekonomi dengan membuka peluang usaha. Pemerintah lebih percaya pada perusahaan besar (yang hampir semua dari luar Papua) untuk berinvestasi atau bahkan mengeksplorasi sumber daya alam Papua. Pada satu sisi, ini dapat dipahami jika melihat kapasitas SDM yang ada. Namun, di sisi lain, belum dilakukannya upaya yang transformatif untuk mengangkat kapasitas orang Papua supaya mampu bersaing dalam sektor ekonomi tersebut merupakan hal yang sulit dipahami. Hal ini perlu memperoleh perhatian karena derap Otonomi Khusus yang demikian keras berdengung menjadi kurang memperoleh relevansinya di Papua: sumber daya alam yang mestinya mampu dikelola oleh orang Papua sendiri belum kunjung terlaksana secara maksimal.
27
Mutiara Terpendam
Faktor lainnya adalah masih kerasnya suara amberkoming (penduduk asli-penduduk pendatang). Oleh karena lembaga pendidikan lebih banyak terdapat di perkotaan, sementara pendatang sebagian besarnya ada di perkotaan, maka kemungkinan kemampuan akses ekonomi pun lebih dimiliki oleh pendatang. Kondisi ekonomi Papua masih terkait erat dengan diskusi mengenai orang asli Papua dengan pendatang. Faktor utamanya adalah kesejahteraan yang tidak terdistribusi secara seimbang antara orang asli Papua dengan pendatang. Pasar tradisional menjadi simbol perebutan ruang ekonomi orang asli Papua dan pendatang. Kenyataannya, orang asli Papua tergeser ruangnya dalam pasar tradisional. Pergeseran tersebut juga menjadi penanda pergeseran identitas sosial dan ekonomi. Sebagaimana disebutkan di atas, pendatang lebih dominan di pasar tradisional dan ruang bisnis lainnya, sementara orang asli tergeser ke pinggir. Awal perebutan ruang simbolik dalam pasar tradisional telah dimulai sejak kebijakan transmigrasi. Dan pergeseran mulai terjadi di awal 1990-an, di mana para transmigran sudah mampu bersaing di dunia pertanian dan perkebunan. Pada saat itu pula mereka mulai mampu mendesak masuk ke ruang-ruang strategis. Mereka bersaing dengan mama-mama Papua yang juga menjual hasil buminya di pasar tradisional. Orang asli Papua pun tergeser ke selasar pasar tradisional atau di pinggir jalan. Sementara pendatang sudah menguasai los dan kios di dalam pasar tradisional. Sejak saat itu, mulai muncul konflik di pasar tradisional. Konflik antara rambut kriting (curly hair) dengan rambut lurus (pendatang, orang luar, pendatang baru).
Informasi di atas berkelindan dengan analisis data statistik yang menyebutkan mengenai beberapa sektor ekonomi yang ”didominasi” oleh pendatang. Analisis tersebut menunjukkan bahwa para pendatang hampir menguasai semua sektor industri dan ekonomi strategis. Meskipun ”kalah” di bidang tertentu, tetapi mereka tetap dapat bersaing di bidang tersebut.7 Faktor 7 Lihat analisis data statistik yang dilakukan Stuart Upton (2009), hlm. 290.
28
Membaca Situasi Papua
terakhir yang berkembang di Papua adalah kultur orang Papua yang sulit dilepaskan dari kultur kehidupan hutan dan gunung. Penelitian Farhadian tentang suku Dani sangat jelas menggambarkan betapa kekuatan kultur lokal Papua masih demikian kuat, sehingga simbol-simbol baru yang datang kepada mereka masih dianggap sebagai sesuatu yang harus dikhawatirkan supaya tidak menghambat kehidupan kultur mereka (Farhadian 2005: 50-53).8 Politik
Dua provinsi yang terletak di ujung timur Indonesia ini sebelumnya bernama Provinsi Papua. Pada masa Orde Baru provinsi ini dikenal dengan nama Irian Jaya. Daerah ini memang memiliki beberapa nama. Pada era pemerintah Kolonial dinamakan Nederlands Nieuw Guinea. Kemudian setelah referendum dan menjadi bagian dari Republik Indonesia namanya berganti menjadi Provinsi Irian Jaya. Pada tahun 1999, Irian Jaya diubah lagi namanya menjadi provinsi Papua. Berdasarkan Undang-Undang no. 45/1999, Provinsi Papua dimekarkan menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Irian Jaya Barat. Pada tahun 2006, provinsi Irian Jaya Barat secara definitif memiliki seorang Gubernur. Kemudian berdasarkan PP no. 24 tahun 2007 nama Provinsi Irian Jaya Barat berubah menjadi Provinsi Papua Barat. Oleh karena alasan ini, dalam sensus penduduk tahun 2000, Provinsi Papua Barat belum dipisahkan dari Provinsi Papua. Baru pada sensus penduduk tahun 2010 Provinsi Papua Barat dianalisis sebagai unit wilayah tersendiri (Indiyanto 2013). Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945, pemerintah Belanda telah memisahkan daerah Papua dari Hindia. Papua dan penduduknya disiapkan untuk pemerintahan mereka sendiri
8 Farhadian menggambarkan bagaimana anak suku bangsa Dani yang mengalami kegagapan budaya ketika tinggal dan hidup kota Jayapura yang merupakan kota metropolitan. Mempertahankan budaya sangat penting dan menjadi tantangan berat bagi suku Bangsa Dani ketika berhadapan dengan perkembangan modernisasi di Papua.
29
Mutiara Terpendam
yang tidak berhubungan dengan Belanda. Selama 10 tahun rencana pembangunan yang dibuat Belanda pada tahun 1950, UNTEA (United Nation Temporary Administration, Pemerintah Sementara PBB) bertanggung jawab terhadap periode transisi. Sejalan dengan itu, beberapa persiapan telah dilaksanakan pada tanggal 1 Desember 1961 bersama dengan beberapa momentum penting: Pemerintah Belanda menunjuk anggota masyarakat lokal yang terpilih di Papua sebagai 50% dari Nieuw Ginea Raad (legislatif ), bendera bintang kejora berkibar berdampingan dengan bendera Belanda, dan pengenalan lagi kebangsaan Papua “Hai Tanahku Papua”. Akan tetapi, Perjanjian New York 1962 ternyata dibuat sebagai referensi untuk pengalihan Nederland Nieuw Guinea (Papua) dari Belanda ke Indonesia.
Pasca pengambilalihan Papua dari Belanda kepada Indonesia tidak serta merta menyelesaikan persoalan. Banyak yang menganggap, pengambilalihan tersebut hanya bersifat administratif. Lebih tegasnya hanya kejelasan pemilikan wilayah Papua. Kurang mempedulikan kebutuhan dasar, pembangunan, kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat Papua. Di masa awal pasca pengambilalihan, memang pada satu sisi pemerintah Indonesia sulit menghindar untuk tidak menghadirkan pasukan militer ke Papua, karena alasan bagaimana pun Papua perlu dijaga supaya tetap menjadi wilayah Indonesia. Akan tetapi di sisi lain, upaya itu selain tidak berjalan bersamaan dengan upaya pembangunan Papua, bahkan pemerintah Indonesia melihat Papua seakan sebagai wilayah yang sama sekali baru dan orang-orangnya tidak mengerti apa-apa. Oleh karena itu, sangat wajar jika masyarakat Papua berusaha menolak wilayahnya untuk masuk menjadi bagian dari NKRI.
Menghadapi penolakan tersebut, Indonesia menjalankan dua cara dalam upaya menjaga Papua untuk tetap sebagai bagian dari wilayahnya: militer dan dialog. Pendekatan militer atau keamanan digunakan untuk menekan orang Papua untuk tetap mengakui bahwa Papua adalah bagian dari wilayah Indonesia. 30
Membaca Situasi Papua
Selain itu, pendekatan keamanan dijadikan sebagai cara untuk “meredam” gerakan separatis di Papua. Pendekatan berlangsung hampir sejak terjadinya peralihan kekuasaan atas Papua dari Belanda ke Indonesia tahun 1962. Utamanya, pendekatan ini dilakukan “secara efektif ” pada masa Orde Baru. Pada masa ini, sebagaimana Timor Timur, Papua layaknya sebuah medan perang bagi militer Indonesia. Militer merupakan cara yang dianggap ideal oleh Indonesia dalam mempertahankan kekuasaan atas Papua dan melawan gerakan-gerakan yang terjadi di Papua. Pada satu sisi, pendekatan ini cukup bermakna bagi Indonesia untuk mengatakan kepada dunia tentang keseriusannya mempertahankan dan menjaga Papua. Namun di sisi lain, pendekatan ini justru menambah luka orang Papua pasca New York Agreement dan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang, bagi orang Papua, sangat manipulatif dan sama sekali tidak mewakili kehendak hati orang Papua.
Cara kedua adalah dialog. Di samping cara militer terus berlangsung, pemerintah juga berinisiatif mengadakan dialog dengan masyarakat Papua. Dialog bukan dimaksudkan untuk mendengar apa yang diinginkan oleh masyarakat Papua, melainkan untuk “memahamkan” masyarakat Papua bahwa mereka adalah bagian dari negara Indonesia. Penulis menyebut dialog tersebut dengan dialog model pertama. Dialog yang represif tanpa mempertimbangkan gagasan dan pikiran pihak kedua. Dialog berlangsung satu arah. Ketika model pertama ini gagal, kenyataannya, upaya dialog kemudian dicoba diinisiasi oleh beberapa NGO/LSM dan juga tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pemerintahan, dan tokoh agama. Penulis menyebut dialog tersebut dengan dialog model kedua. Model dialog yang berupaya membangun kapasitas orang lokal di Papua. Selain tetap mengupayakan kesetaraan posisi dalam dialog dengan pemerintah, model ini menawarkan sesuatu yang lebih jauh dari itu, yakni membangun kapasitas orang Papua dalam rangka melakukan pembangunan yang dilakukan oleh orang Papua sendiri. Setelah itu, dialog model 31
Mutiara Terpendam
ketiga berupa tawaran orang Papua terhadap pemerintah untuk melakukan kerjasama dalam melakukan dialog setara. Kerjasama ini dilakukan sejak perencanaan, isi dan cara dialog, hingga perumusan hasil dialog. Kerjasama ini merupakan model dialog yang mencoba menjembatani model dialog pertama yang sama sekali tidak memberi ruang kepada orang Papua untuk mengungkapkan suara mereka tentang identitas dan tanah mereka. Padahal, itulah sejatinya hal yang mestinya didengar oleh pemerintah. Hal yang mesti segera disampaikan lebih dulu, bahwa model-model tersebut tidak bermaksud membuat periodesasi. Model-model tersebut, kenyataannya, masih berlangsung hingga sekarang. Model pertama masih dilakukan pemerintah dalam rangka melakukan indoktrinasi mengenai nasionalisme Indonesia. Model kedua tidak kalah masifnya dengan beragam program yang dilakukan oleh NGO, gereja, dan masyarakat Papua sendiri. Demikian juga model ketiga, meskipun model ini agak lebih baru, utamanya sejak ada kebijakan Otonomi Khusus. Pertama, dialog Indonesia ( Jakarta)-Papua adalah upaya Jakarta membangun nasionalisme Indonesia bagi masyarakat Papua. Namun upaya dialog yang dilakukan tersebut disertai dengan militerisme, sehingga hasilnya justru kontraproduktif: Papua melawan. Upaya dialog justru melahirkan dualisme nasionalisme. Masyarakat Papua tetap kuat berdiri pada posisi merdeka, sementara di posisi yang lain, Jakarta membawa misi nasionalisme Indonesia. Dialog sudah dimulai sejak pasca Penentuan Pemilihan Rakyat (Pepera). Dialog ini dimaksudkan sebagai cara menyemaikan ideologi nasionalisme Indonesia kepada orang Papua. Dialog ini dilakukan karena banyak kalangan di Papua yang menolak hasil Pepera. Orang Papua menganggap bahwa Pepera penuh manipulasi. Orang-orang Papua yang dihadirkan pada saat Pepera (sebagai wakil dari kalangan adat di Papua) dianggap bukan representasi warga atau suku bangsa Papua. Mereka saat itu secara sengaja ditunjuk oleh 32
Membaca Situasi Papua
pemerintah pusat untuk mewakili warga atau suku bangsa Papua. Dengan demikian, perwakilan tersebut sudah diindoktrinasi oleh Indonesia untuk menyetujui Papua menjadi bagian dari Indonesia. Ketidaksetujuan ini memantik gelombang penolakan berupa “pemberontakan” terhadap Indonesia. Kedua adalah dialog pembangunan yang lahir dari inisiasi masyarakat sipil. Dialog model ini adalah refleksi dari kegagalan dialog pertama. Kegagalan model pertama akhirnya membuka jalan bagi pihak lain di luar pemerintah untuk tetap berusaha membangun perdamaian di Papua. Jauh dan menghindari isu politik dan disintegrasi. Dalam model ini, gereja memiliki peran signifikan. Gereja bukan hanya sebagai rumah ibadah, melainkan mengambil alih peran pemerintah dalam hal melakukan upaya menyejahterakan warga Papua. Dari gereja-gereja ini lahirlah aktrivis-aktivis kemanusiaan. Kemudian muncul beberapa NGO/LSM. Mereka akhirnya membentuk jaringan, baik jaringan di antara NGO di Papua maupun dengan luar Papua. Jaringan ini yang di kemudian hari menjadi titik penting dalam upaya dialog yang lebih mencerahkan masyarakat Papua.
Dialog model kedua di atas bukan lagi berisi doktrinasi nasionalisme, tetapi lebih pada penguatan lokal, baik berupa capacity building, penguatan basis ekonomi, dan penguatan basis budaya.9 Model ini, meskipun membutuhkan waktu lama, boleh dibilang relatif berhasil. Masyarakat Papua lebih diajak memikirkan tentang ”kehidupannya” ketimbang memikirkan ”identitas diri dan wilayahnya”. Lebih diajak memikirkan apa yang perlu dilakukan untuk kehidupan daripada sibuk memikirkan ”kemerdekaan” Papua. Setidaknya, dialog-dialog seperti ini memberi pengaruh terhadap daya kritis masyarakat Papua tentang sumber daya alam yang mereka miliki. Mereka mulai mempertanyakan industri yang masuk ke Papua. Di 9 Basis budaya ini telah lama dicoba diberangus oleh pemerintah. Ekspresi budaya masyarakat Papua dianggap sebagai ekspresi separatisme. Aktivitas seni dan kebudayaan selalu diletakkan dalam konteks menentang pemerintah dan sebagai sarana kampanye separatisme.
33
Mutiara Terpendam
samping itu, mereka kemudian juga mempertajam pertanyaan mengenai kesenjangan ekonomi.
Model dialog ini lebih menekankan pada preparing the ground, persiapan landasan dasar, untuk menggulirkan perdamaian di tanah Papua dengan ”cara lain”: membuka ruang dialog dengan lebih terbuka dan membuat zona damai. Salah satu yang berhasil dirumuskan dari pertemuan beberapa pihak dalam rangka preparing the ground adalah membuat perencanaan strategis resolusi konflik dan pembangunan perdamaian dan peningkatan kapasitas. Rumusan inilah yang kemudian ditafsirkan dalam banyak bentuk program kerja oleh banyak NGO dari Papua maupun dari luar Papua. Misalnya IRE lebih fokus pada mengkritisi dan mempersiapkan kapasitas lokal dalam hal pemerintahan. Satunama fokus pada Bina Desa di pedalaman Papua, dan Interfidei fokus pada tokoh-tokoh lintasagama, dan sebagainya. Semua program tersebut bermaksud membangun kapasitas lokal untuk membangun perdamaian dan mengakhiri konflik.
Hal yang sudah dilakukan oleh masyarakat sipil dalam rangka mengembangkan masyarakat Papua adalah memperkuat kapasitas lokal. Kapasitas ini mencakup kepemimpinan, ekonomi, pendidikan, kerjasama, dan kesadaran tentang kekayaan alam. LSM dari Papua dan dari luar Papua menginisiasi programprogram yang membidik “manusia” Papua. Menurutnya, persoalan politik dianggap kurang merepresentasikan jeritan hati orang Papua. Ia dilumuri oleh kepentingan yang justru tidak semuanya menyuarakan kepentingan orang Papua. Oleh karena itu, programnya lebih diarahkan bagaimana mengajak orang Papua memikirkan diri, lingkungan, dan sumber dayanya. Setidaknya, pendekatan ini lebih memberikan keleluasaan orang Papua untuk mengembangkan diri dan potensi wilayahnya dan untuk mempertajam analisa tentang pentingnya pembagian yang seimbang terhadap eksplorasi hasil bumi Papua yang selama ini dianggap tidak adil. Peningkatan kapasitas ini dilakukan 34
Membaca Situasi Papua
dengan beragam bentuk kegiatan dari mulai diskusi, pelatihan, dan pertemuan lintas-lembaga. Kegiatan ini memberi jembatan kepada orang Papua untuk meningkatkan kapasitasnya dan sekaligus memahami lebih dalam mengenai potensi wilayahnya.
Ketiga adalah dialog kebangsaan, yakni dialog yang berupaya menyamakan posisi antara Papua dan Jakarta. Dialog model pertama yang dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah pusat tidak memberikan solusi yang diharapkan orang Papua: menempatkan orang Papua sebagai subjek. Oleh karena itu, lahir tawaran model dialog yang ingin memberikan jembatan kepentingan sosial-politik orang Papua untuk memperkuat kapasitasnya. Meskipun dengan itu tidak berarti kekerasan berhenti. Di sana-sini masih terjadi penembakan misterius. Banyak yang terbunuh. Banyak juga orang Papua yang masih kesulitan mengembangkan perekonomiannya. Banyaknya kekerasan yang masih berlangsung melahirkan tawaran penyelesaian masalah tersebut tanpa kekerasan, yakni melalui dialog. Tawaran ini dicetuskan dalam salah satu butir solusi Kongres Rakyat Papua II tahun 2000. Tawaran ini gencar dikampanyekan oleh masyarakat sipil di Papua. Pada 2009, tawaran dialog ini makin gencar disuarakan oleh Jaringan Damai Papua ( JDP) (Tim ALDP 2013: 236-237). Dalam perkembangannya, tawaran dialog tersebut membelah orang Papua: ada yang menolak dengan pertimbangan kegagalan dialog-dialog di masa sebelumnya yang tidak pernah menempatkan orang Papua dengan semestinya dan ada pula yang tetap berupaya mengampanyekannya dengan langkah-langkah yang lebih kongkrit. Membangun kesadaran, menyiapkan pemahaman dan konsep bersama di antara berbagai komponen masyarakat dan pemerintah. Sembari aktivitas-aktivitas LSM tersebut berjalan, titik balik yang sangat memberi harapan masyarakat Papua adalah lahirnya keputusan Presiden Abdurrahman Wahid mengenai pergantian nama dari Irian Jaya menjadi Papua. Pergantian ini
35
Mutiara Terpendam
memiliki pengaruh yang luar biasa. Pergantian ini seakan kembali meneguhkan identitas lama orang Papua. Bukan orang Irian Jaya. Implikasi dari pergantian ini adalah munculnya ekspektasi masyarakat Papua mengenai kemerdekaan Papua. Sementara, pergantian nama ini oleh pemerintah pusat dimaksudkan memberi kebebasan orang Papua untuk mengembangkan potensi wilayahnya. Kebebasan diberikan untuk mengeliminasi niat Papua merdeka.
Model dialog ketiga ini berkembang bukan lagi menempatkan Indonesia vis-a-vis Papua. Melainkan lebih mengedepankan kesetaraan posisi antara Jakarta dan Papua untuk kebaikan Papua. Neles Tebay mencoba membuat jembatan yang dapat mensejajarkan posisi di antara keduanya. Dia mengusulkan tujuh aspek fundamental, dari perspektif orang Papua, jika akan mengadakan dialog tentang Papua (Tebay 2012: 26-87). Pertama, agenda dialog harus berdasarkan kesepakatan bersama. Kesepakatan agenda ini penting karena berdasarkan pada model dialog pertama, agenda selalu sudah disiapkan oleh Indonesia ( Jakarta). Agenda yang diusung pun selalu menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Papua selalu dalam posisi dirugikan, baik persoalan integrasi maupun mengenai pembangunan dan kesejahteraan. Kesepakatan agenda akan mempermudah proses dialog karena aspirasi dua pihak diserap dan akan didialogkan bersama. Kedua, partner dialog. Banyak stakeholder yang perlu dilibatkan dalam proses dialog. Sedapat mungkin partner dialog dipilih sesuai dengan representasi yang ada di Papua dan Jakarta. Misalnya, dalam dialog perlu melibatkan MRP, DPRD, perwakilan adat dan suku bangsa, perwakilan agama, termasuk di dalamnya representasi pendatang atau warga non-Papua. Neles Tebay menambahkan bahwa beragamnya representasi partner dialog ini dimaksudkan untuk membedah mengenai pelaksanaan dan kendala penerapan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua.
36
Membaca Situasi Papua
Ketiga, poin yang sangat utama adalah melibatkan orang Papua dalam dialog. Aspek ini sangat penting. Sejarah menunjukkan, dialog yang dilakukan selama ini kurang menyerap keterlibatan orang Papua. Penting untuk diingat bahwa benih kebencian orang Papua terhadap Indonesia adalah peristiwa Pepera yang bagi orang Papua, perwakilan dari warga Papua dianggap tidak mewakili mereka. Perwakilan tersebut sengaja dipilih oleh Indonesia, sehingga perwakilan ini pun membawa kepentingan Indonesia. Peristiwa ini telah menimbulkan trauma sejarah yang panjang. Oleh karena itu, keterlibatan orang Papua dalam proses dialog akan sangat bermakna bukan hanya dalam hal representasi, melainkan juga akan memberi nuansa solusi yang lebih mendalam mengenai masalah di Papua.
Keempat, tahapan proses dialog, dialog ini memang tidak mungkin dilakukan melalui forum besar yang menghadirkan semua pihak, melainkan perlu ada tahapan yang dimungkinkan mampu menampung semua aspirasi dengan forum-forum yang lebih kecil. Namun, tahapan proses dialog ini mesti mengedepankan pendekatan damai, kasih, dan demokrasi, sebagaimana pernah itu disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dalam perayaan Natal Nasional di Jakarta 26 Desember 2006 (Tebay 2012: 68). Tahapan pertama adalah dialog di antara orang Papua asli di Tanah Papua untuk membahas persoalan yang dialami selama ini. Dialog ini perlu difasilitasi Majelis Rakyat Papua (MRP). Tahap kedua adalah dialog antara orang asli Papua di Tanah Papua dan orang Papua di luar negeri. Dialog ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi tentang pembangunan orang dan daerah Papua. Dialog ini pun perlu difasilitasi MRP. Tahapan ketiga, dialog antara wakil-wakil dari orang Papua dan pemerintah Indonesia. Jika pemerintah pusat mau berdialog dengan DPRD Papua, maka hasil dialog dari orang asli Papua dapat disampaikan kepada DPRD Papua untuk turut dibahas dalam dialog dengan pemerintah Indonesia. Namun demikian, tahapan dialog seperti
37
Mutiara Terpendam
ini hanya akan berlangsung apabila memang disetujui oleh orang Papua dan pemerintah Indonesia.
Kelima, keterlibatan fasilitator. Dialog membutuhkan fasilitator yang netral dan dipercaya kedua belah pihak. Selama ini, dialog mengenai Papua tidak pernah melibatkan fasilitator atau pihak netral. Fasilitator dapat dihadirkan dari luar negeri. Pihak luar negeri ini dihadirkan bukan sebagai peserta karena peserta dialog adalah pemerintah Indonesia dan orang Papua. Fasilitator dengan kenetralannya dimungkinkan akan lebih memperlancar proses dialog (Tebay 2012: 70-71).10 Keenam, perlu pembentukan tim. Untuk keperluan keseluruhan proses dalam dialog tentang Papua diperlukan membentuk dua tim: tim Jakarta dan tim Papua. Dan terakhir, ketujuh, adalah tentang perlunya nilai kebenaran yang dibimbing oleh nilai keadilan, dijiwai oleh nilai kasih, dan dilaksanakan dalam suasana kebebasan dijadikan sebagai dasar penyelesaian persoalan Papua. Model yang ditawarkan oleh Tebay ini boleh dibilang merupakan langkah lanjut dari model dialog yang diinisiasi oleh LSM. Model ini lebih mengedepankan kesetaraan posisi antara Jakarta dan Papua. Mungkin, gagasan model ini didasarkan pada pengalaman yang sudah dilakukan oleh para aktivis NGO. Warga asli Papua sudah lebih matang untuk menyuarakan aspirasi dan tuntutannya kepada pemerintah. Dari sisi kapasitas sudah sangat mumpuni untuk mampu berposisi sejajar dengan pemerintah. Model inilah yang sekarang sedang didengungkan di Papua, meskipun tidak berarti aktivitas NGO untuk lebih memperkuat kapasitas lokal berhenti. Belum diketahui akan bagaimana hasil serangkaian upaya dialog yang sudah dan sedang berlangsung. Setidaknya ada titik cerah kesepahaman mengenai pentingnya dialog demi terciptanya perdamaian di Papua yang merupakan hal
10 Neles Tebay menjelaskan beberapa pertimbangan mengapa perlu melibatkan pihak luar negeri. Bahwa di samping karakter konflik dan hubungan antara orang asli Papua dengan pemerintah pusat, juga sangat tidak bijak jika fasilitator dihadirkan dari salah satu pihak peserta dialog.
38
Membaca Situasi Papua
penting yang akan menjadi titik pancang kedamaian di tanah Papua. Dalam dua level yang berbeda, di pemerintah pusat dan masyarakat sipil di Papua, tidak dapat dipungkiri peran strategis dua orang yang sangat berkontribusi positif terhadap lahirnya inisiatif membangun kedamaian di Papua, tentu saja tidak menisbikan peran beberapa personal lain, seperti Thaha M. al-Hamid dan lain-lainnya. Dua orang tersebut adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengeluarkan keputusan untuk mengembalikan nama Papua menjadi nomenklatur provinsi menggantikan nama Irian Jaya. Termasuk juga mengizinkan berkibarnya bendera Bintang Kejora yang dianggap sebagai simbol “identitas budaya”, bukan sebagai simbol pemisahan dari NKRI. Kebijakan ini, secara politis dan secara tidak langsung juga dalam sudut pandang identitas sosial dan budaya, memberikan dorongan untuk memperteguh jalan damai. Meskipun, dalam realisasinya, masih banyak terjadi kekerasan dan penembakan.
Semangat yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat ini kemudian diambil sebagai titik pijak masyarakat sipil Papua untuk mencoba mengeksplorasi kebijakan tersebut dalam ranah lokal dan praktis. Pada titik ini, Neles Tebay memiliki peran cukup besar untuk mencoba membuat skema, strategi, dan praktik dialog. Posisi Tebay menjadi sangat penting dalam upaya ini. Ia banyak diuntungkan karena ia adalah orang Papua dan dalam gagasan-gagasannya selalu dalam perspektif orang Papua dengan menyelipkan perlunya pihak ketiga (pihak netral) untuk menjadi fasilitator dalam upaya dialog damai Papua–Jakarta.
Titik penting yang diharapkan oleh Tebay, masyarakat sipil, dan masyarakat adat di Papua adalah adanya kesetaraan dalam dialog. Kesetaraan bukan hanya dalam praktik dialog, melainkan dalam penyusunan tema dan komposisi peserta dialog. Ini dianggap penting untuk menghindari model dialog pertama yang mengesankan ada indoktrinasi nasionalisme Indonesia dan tidak mengindahkan kepentingan orang Papua, 39
Mutiara Terpendam
di mana kemudian mencuatkan gagasan nasionalisme Papua di kalangan orang Papua.
Dengan model ini, sebagaimana dijelaskan juga dalam Papua Road Map, akan memunculkan representasi yang adil baik dari pihak Papua dan Jakarta. Representasi ini akan memunculkan rekognisi kedua pihak. Efek dari dialog yang fair ini diasumsikan akan melahirkan solusi yang menyangkut perekonomian orang Papua: redistribusi ekonomi berjalan secara adil antara pribumi-pendatang (amber-komeng).
Dialog Papua-Jakarta merupakan salah satu solusi bagi penyelesaian persoalan di Bumi Cenderawasih. Dialog merupakan jalan win-win solution, seperti halnya Otsus, meskipun dalam banyak hal Otsus lebih menguntungkan Jakarta dan dana Otsus masih menyimpan banyak masalah. Dialog merupakan jalan yang bermartabat. Namun, jangan sampai dialog menghasilkan sesuatu yang tidak menguntungkan orang Papua. Oleh karena itu, perlu ada rumusan dialog yang tidak hanya memberi kesempatan pada Jakarta. Dalam dialog ini memang sebaiknya sudah tidak lagi dengan pendekatan kesejahteraan, karena hal itu tidak relevan lagi meskipun amat penting. Dialog dan penyelesaian masalah dengan pendekatan konprehensif yang melibatkan orang Papua sudah saatnya segera dilakukan. Dialog model ini diharapkan akan menggeser pandangan sebelumnya di mana pemerintah Indonesia kurang memiliki komitmen dan kemauan politik atas masalah yang dihadapi Papua. SBY dalam sebuah kesempatan menyampaikan perlunya menyelesaikan masalah Papua dengan hati. Isu dialog model terakhir ini bergulir sangat cepat hingga kadang beberapa hal substantif dan pengistilahan belum sempat disepakati, disempurnakan, dibakukan, dan dipahami bersama dengan baik, namun telah berkembang dengan berbagai persepsi. Secara teknis masih banyak hal yang harus diperhatikan agar tidak berpengaruh terhadap substansi dan tujuan dialog. Dialog Jakarta-Papua mengalami multitafsir. Orang berdebat 40
Membaca Situasi Papua
untuk menyebut kata Papua lebih dulu atau Jakarta lebih dulu. Penempatan dua kata tersebut mengkonotasikan makna yang berbeda-beda. Papua lebih dulu dimaknai sebagai tempat keberadaan persoalan. Ada kalanya Jakarta dimaknai sebagai kelompok penindas, sementara Papua menjadi korbannya. Selain itu, tawaran dialog tersebut juga dibenturkan dengan isu referendum oleh sebagian kelompok Papua yang promerdeka. Hal ini karena masih belum ada kejelasan mengenai makna dialog dan referendum di dua pihak. Dialog seharusnya dipahami sebagai cara untuk menyampaikan permasalahan, merumuskan, dan membuat pilihan. Sedangkan referendum atau juga NKRI, Otsus, dan lain sebagainya merupakan hasil atau pilihan dari berdialog. Oleh karena itu, tentu saja kotak untuk meletakkan dialog tidak sama dengan kotak untuk meletakkan referendum, NKRI, Otsus, atau pilihan lainnya. Dialog adalah jalan atau cara untuk sampai pada kotak-kotak berikutnya tersebut. Dalam perkembangannya, dialog model ketiga ini memang sudah melangkah sangat jauh. Neles Tebay dan LIPI telah menggagas pertemuan di Singapura akhir November 2009. Pertemuan ini melibatkan aktifis LSM, pemuda, mahasiswa, tokoh adat, dan kelompok akademisi. Hasil dari pertemuan tersebut adalah terbentuknya Jaringan Damai Papua ( JDP). Agenda JDP antara lain melakukan sosialisasi konsep dialog dan menghimpun berbagai masukan dari masyarakat mengenai tawaran dialog. Selain itu JDP juga memiliki agenda untuk memfasilitasi konsultasi publik di Papua dan Papua Barat sebagai satu-satunya langkah pendekatan dan konsolidasi dengan menghadirkan tokoh-tokoh Papua, termasuk di dalamnya mantan Tapol, Napol, dan tokoh Papua di luar negeri. Pemaparan mengenai dinamika situasi Papua di atas ingin menggambarkan bahwa beberapa aspek tersebut sangat penting dalam melihat Papua sekarang. Tilikan dari beberapa aspek di atas menjadi latar penting untuk melihat lebih jauh tentang
41
Mutiara Terpendam
keragaman di Papua yang dapat dijadikan modal sosial dan budaya untuk perdamaian di Papua. Dua pembahasan tersebut akan dijelaskan dalam bab-bab selanjutnya.
42
Keragaman Suku Bangsa dan Agama Di Papua
BAB III KERAGAMAN SUKU B A N G S A DA N AG A M A DI PAPUA Melihat situasi Papua yang dijelaskan dalam bab sebelumnya, bab ini akan menjelaskan tentang keragaman di Papua. Keragaman tersebut memiliki banyak nilai yang relatif potensial dalam membangun perdamaian di Papua. Bab ini banyak menyandarkan pada studi literatur. Data lapangan yang ditampilkan di sini diperoleh dari hasil penelitian yang sudah diterbitkan oleh penulis atau peneliti lain. Sebagian literatur yang disajikan di sini berkaitan dengan keragaman suku bangsa, agama, dan dinamika konflik suku bangsa di Papua. Sebagian literatur lainnya mengkaji tentang kekayaan suku bangsa dan agama di Papua sebagai modal sosial mengembangkan perdamaian. Dari literatur yang ada menunjukkan kekayaan kearifan lokal di Papua 43
Mutiara Terpendam
memberikan modal mekanisme budaya dalam menyelesaikan persoalan. Mengenai yang terakhir ini akan dielaborasi dalam bagian selanjutnya (Bab IV).
Istilah suku bangsa dalam tulisan ini didefinisikan sebagai suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasi dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku bangsa ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut seperti kesamaan budaya, agama, bahasa, perilaku, dan ciri-ciri biologis (Encyclopaedia Britannica 2007). Dalam ensiklopedia ini tidak membedakan antara kelompok etnis dan suku bangsa. Keduanya memiliki pengertian yang sama. Sementara pilihan menggunakan istilah “suku bangsa” daripada “suku” di tulisan ini lebih pada kelaziman dalam naskah-naskah ilmiah di Indonesia yang mengkaji kearifan lokal. Banyak literatur di Indonesia lebih lazim menggunakan istilah suku bangsa daripada suku. A.
Suku Bangsa
Selain keragaman suku bangsa yang ada di Papua yang mencapai ratusan, ragam ras juga sangat menonjol. Perbedaan mendasar mengenai suku bangsa ini adalah ras Melanesia dan Austronesia. Melanesia adalah ras asli orang Papua, sementara Austronesia adalah ras pendatang, yang berasal dari Bugis, NTT, maupun Manado. Konstruksi tentang ras asal ini seringkali mempengaruhi jalinan sosial (termasuk transaksi ekonomi). Namun, dalam rentang waktu yang lama, konstruksi ini perlahan bukan menjadi masalah serius. Problemnya bukan lagi tentang ras asal, melainkan tentang bagaimana memperoleh akses ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Rumbewas (2005) menambahkan, agenda utamanya sekarang adalah bagaimana orang Papua dapat mempertahankan lima aset utama mereka: aset alam, aset manusia, aset sosial, aset budaya, dan aset ekonomi.
44
Keragaman Suku Bangsa dan Agama Di Papua
Menurut Sensus Penduduk tahun 2000, suku bangsa di Papua berjumlah 312. Masing-masing suku bangsa memiliki kebiasaan, bahasa, praktik, dan agama lokal (asli) yang berbeda. Ditambah lagi dengan adanya 100 kelompok suku bangsa nonPapua. Penelitian antropologi mengkategorikan tujuh zona kebudayaan di seluruh tanah Papua: 1) Saireri; 2) Doberai; 3) Bomberai; 4) Ha-Anim; 5) Tabi; 6) Lano-Pago; dan 7) MePago. Pengaruh kesukuan dalam zona kebudayaan tersebut masih sangat kuat. Hubungan sosial di antara zona kebudayaan ini sangat beragam. Hal ini karena masing-masing memiliki sistem kebudayaan yang berbeda. Satu sisi, keragaman suku bangsa menampilkan kekayaan kebudayaan tanah Papua. Di sisi lain, keragaman ini menampilkan dinamika dan bahkan konflik. Keragaman ini seringkali digunakan sebagai justifikasi munculnya berbagai insiden di Papua. Insiden-insiden yang menampakkan ketidakpedulian terhadap keharmonisan sosial yang biasanya berujung tindak kekerasan yang sering didasari oleh faktor perbedaan suku bangsa. Memang, kenyataan menunjukkan bahwa komunikasi sosial anggota suku bangsa sangat terbatas. Orang biasanya enggan berhubungan dengan yang berasal dari suku bangsa lain, kadang juga dengan penganut agama lain. Dengan kata lain, keragaman dan perbedaan masih menjadi persoalan.
Heterogenitas suku bangsa yang demikian tinggi di Papua, dengan demikian, memiliki dinamika yang kompleks. Ditambah lagi dengan masing-masing suku bangsa memiliki budaya berbeda. Realitas ini semakin menambah daftar kompleksitasnya. Meskipun demikian, kompleksitas ini meski diakui dan dipahami jika ingin membincangkan “identitas budaya” di tanah Papua. Pengetahuan tentang keragaman suku bangsa di Papua sangat penting. Sebagaimana diketahui, masing-masing suku bangsa memiliki budaya dan pandangan sendiri dalam melihat dunia sekitarnya. Ini juga menjadi titik sulit dalam memahami kedalaman budaya Papua. Tentu saja, 45
Mutiara Terpendam
sangat tidak mungkin menyeragamkan identitas seluruh orang Papua. Hal itu karena identitas suku bangsa demikian kuat. Masing-masing suku bangsa memiliki tradisi, konsep agama, struktur sosial, dan kondisi geografis yang berbeda. Ditambah lagi dengan adanya lebih dari 253 bahasa yang digunakan sehari-hari.
Dari sisi kondisi geografisnya, ratusan suku bangsa yang beragam tersebut sebenarnya terbentuk oleh kondisi alamnya. Terdapat tiga wilayah geografis berbeda yang menentukan cara hidup masyarakat Papua. Pertama, daerah pantai yang dihuni nelayan dan pelaut. Kedua, daerah pegunungan yang padat penduduk dengan iklim yang sehat yang dihuni petani. Ketiga, daerah tanah rawa yang sangat jarang penduduknya. Kondisi geografis yang membentuk heterogenitas di Papua ini sama sekali berbeda dengan heterogenitas di Bali dan Jawa. Heterogenitas di Papua adalah heterogenitas yang tersebar. Sementara di Jawa dan Bali heterogenitasnya terpusat. Somantri (2008) menuliskan pengalaman menarik mengenai hal ini. Setelah berkeliling ke banyak suku bangsa di Papua, dia menyimpulkan bahwa terdapat banyak kesamaan di antara suku bangsa yang berada dalam kawasan yang kontur geografisnya hampir sama. Penampakan fisik, mata pencaharian, agama, dan kepercayaan tentang sakralitas babi di dalam masyarakat merupakan beberapa contoh kesamaan tersebut. Orang Papua dari suku bangsa apa pun sebenarnya juga memiliki kesamaan pandangan dalam beberapa hal. Misalnya mengenai alam, budaya paternalistik, konflik, peperangan (perang suku), dan mekanisme perdamaian dan toleransi. Mereka memaknai alam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan keseharian. Mereka menjaga alam sebagaimana mereka menjaga diri mereka sendiri. Konflik dan perang antarsuku bangsa beberapa kali terjadi dalam kehidupan suku bangsa di Papua (Tjibaou 2005). Namun, itu bukan masalah besar karena mereka juga menyediakan mekanisme kultural 46
Keragaman Suku Bangsa dan Agama Di Papua
untuk berdamai, untuk memulai dan menjaga perdamaian dan toleransi. Tentang mekanisme ini lebih lanjut dapat dibaca di Bab IV buku ini.
Tersebarnya heterogenitas suku bangsa yang memiliki kekayaan budaya yang berbeda ini, pada sisi yang lain, menjadi titik kerumitan tersendiri untuk mengenal ”budaya bersama” orang Papua. Ketidakmampuan memahami kata kunci yang mewakili semua budaya di Papua akan berimplikasi fatal. Misalnya, mungkin saja akan lahir kebijakan yang tidak mewakili hasrat dan harapan seluruh masyarakat Papua. Kebijakan ini akhirnya justru akan melahirkan resistensi dan penolakan. Hal inilah yang dialami oleh pemerintah Indonesia sejak Pepera hingga kini. Gietzelt (1985) menggambarkan hal itu. Bahwa ada beberapa efek yang harus diterima oleh masyarakat Papua Barat akibat hegemoni kebijakan pemerintah Indonesia. Masyarakat mengalami tiga beban sekaligus: tekanan ekonomi, paksaan fisik, dan penjajahan budaya. Masyarakat Papua menjadi korban proyek “peradaban”. Program transmigrasi akhirnya membuat lahan mereka diambil alih masyarakat dari daerah lain. Termasuk juga upaya eksplorasi kekayaan alam mereka. Kedua hal ini, menurut Gietzelt, adalah penyebab utama terjadinya disintegrasi sosial orang Papua. Bentuk lain yang menjadikan masyarakat Papua makin terpinggirkan adalah saat konsep “kerja bakti” digantikan oleh konsep pekerjaan yang memperoleh gaji. B.
Agama
Isu agama muncul dan menjadi hangat di Papua pada masa pasca Pepera dan dilanjutkan era Orde Baru hingga kini. Sedikit banyak isu ini makin menghangat berbarengan dengan isu pendatang. Pendatang selalu identik dengan Islam. Oleh karena itu, ketika menjelaskan mengenai pendatang, selalu dikaitkan dengan Islam. Bertambahnya populasi Muslim selalu seiring dengan pertambahan populasi pendatang. Pendatang yang berasal dari luar Papua pada kenyataannya sebagian besar adalah Muslim. 47
Mutiara Terpendam
Pada tahun 1971, populasi Kristen di Papua mencapai 56.3%, Islam 22.0%, dan Katolik 21%. Pada tahun 1980, populasi Kristen naik menjadi 64.5%, Islam turun menjadi 12.1%, dan Katolik naik mencapai 23.3%. Pada tahun 1990, pertumbuhan populasi Katolik, digabungkan dengan pertumbuhan populasi Kristen menjadi 79.3% dan Islam juga naik menjadi 20.3%. Tahun 2000, Katolik dan Kristen menjadi 75.5% dan Islam menjadi 24.2%. Pada tahun 2010, populasi Kristen naik menjadi 59.63%, Islam turun menjadi 27.14%, dan Katolik naik menjadi 12.35% (Indiyanto 2013). Mempertegas catatan angka di atas, mayoritas penduduk Papua adalah beragama Kristen. Dan sebagian besar dari umat Kristen tinggal di desa-desa dan gunung-gunung. Dua area ini merupakan tempat tinggal penduduk asli Papua. Dalam hal mata pencaharian, mereka sebagian besar adalah petani kecil. Persebaran pemeluk Kristen yang sangat dominan di area rural ini dapat dimaklumi, jika melihat sejarah masuknya Kristen di Papua pada tahun 1881/1889 (Katolik) dan tahun 1927 (Kristen). Berbeda dengan masuknya Islam yang memilih daerah perkotaan, pusat ekonomi, dan pesisir pada abad XIV/ XV, Katolik dan Kristen lebih dalam dari itu, bukan hanya di wilayah perkotaan, melainkan naik ke gunung-gunung. Populasi umat Islam di Papua lebih banyak menetap di daerah perkotaan (khususnya, Sorong, Jayapura, dan Fakfak). Masuknya Islam di daerah perkotaan berpengaruh pada penguasaan para pendatang Muslim terhadap banyak sektor ekonomi-bisnis di Papua, meskipun penguasaan ini tidak selalu berujung konflik. Isu utama konflik biasanya berawal dari keterdesakan orang asli Papua dalam wilayah pasar tradisional dan bisnis. Mereka kalah bersaing dengan pendatang. Jika konflik dikaitkan dengan agama, maka sebenarnya agama adalah isu sertaan. Bukan isu utama. Akan tetapi, karena kebetulan pendatang yang menguasai pasar tradisional dan bisnis adalah beragama lain dari agama orang Papua, maka isu 48
Keragaman Suku Bangsa dan Agama Di Papua
agama kemudian menjadi isu penting. Sebagaimana pernah terjadi konflik antarpenganut agama di Jayapura. Konflik ini bukan karena sifat pemahaman ideologis antarpenganut agama yang berbeda, melainkan akibat dari kecemburuan ekonomi dari penganut agama yang berbeda. Efek agama terhadap perekonomian pun menjadi terasa. Apalagi diperparah dengan jumlah populasi pendatang yang naik secara fantastis, demikian halnya dengan kenaikan signifikan jumlah penganut Islam di Papua pada tahun 2000.
Meskipun demikian, kondisi tersebut bukanlah alasan bagi umat beragama di Papua untuk ”melanjutkan” isu tersebut menjadi hal potensial terjadinya konflik. Setidaknya, para tokoh agama utamanya dari Kristen dan Katolik yang telah lama melakukan aktivitas penyadaran mengenai keberagaman dan pluralisme. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP), misalnya, sering melakukan pertemuan bukan hanya melibatkan umat Kristen dan Katolik, tetapi juga tokoh-tokoh dari agama lain untuk membangun Papua yang berbasis pada perbedaan yang dimiliki. Semangat itu tampak, minimal, dalam kumpulan makalah yang diterbitkan menjadi buku yang berjudul Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi: Dasar Menangani Konflik di Papua (2006). Buku ini merupakan hasil lokakarya yang dilakukan pada 2002. Salah satu inisiatif lahirnya Papua Tanah Damai adalah dari lokakarya ini. Dengan kata lain, agama di Papua memiliki peran besar dalam membangun Papua selama ini. Peran ini sebenarnya sudah terjadi sejak Belanda masuk Papua bersamaan dengan zending. Meskipun oleh sebagian orang, agama diyakini tidak akan menjadi faktor utama yang dapat melahirkan konflik di Papua secara umum, namun jika melihat penjelasan di atas, agama di Papua memiliki pengaruh besar pada aspek-aspek lain, termasuk ekonomi. Agama yang isunya selalu bergandengan dengan pendatang tidak dapat dijauhkan dari kondisi perekonomian di Papua. Pendatang, yang lebih menguasai sektor ekonomi, selalu
49
Mutiara Terpendam
dikaitkan dengan Islam. Stigma yang muncul adalah pendatang berarti Muslim. Namun terlepas dari itu, perkembangan agama di Papua sangat dinamis. Jika sebelumnya, agama tidak menjadi isu penting di Papua, sekarang agama mulai menjadi salah satu isu yang menjadi perhatian orang Papua. Sebagai contoh, komposisi Majelis Rakyat Papua (MRP) selain merepresentasikan perwakilan suku bangsa, juga perwakilan agama. Secara tidak langsung, kriteria yang dimunculkan dalam Pilkada juga ada unsur agamanya di mana selain harus orang Papua asli juga ”mengharuskan” dari agama tertentu. Contoh-contoh tersebut memberikan gambaran bahwa agama ”mulai” menjadi isu dan faktor penting dalam kehidupan masyarakat Papua.
Jika penjelasan tersebut dikaitkan dengan hasil Sensus Penduduk 2010 mengenai populasi agama di Papua dan Papua Barat, akan kita pahami betapa makin pentingnya isu agama di Papua (Indiyanto 2013). Dalam dua tabel yang menjelaskan tentang populasi penganut agama di Papua dan Papua Barat, kita akan melihat adanya perkembangan signifikan populasi Muslim, sebagaimana secara ringkas juga telah disebutkan di atas. Situasi keagamaan di Papua diwarnai banyak aspek kohesif, seperti kerjasama, penandatanganan bersama mengenai toleransi dan utamanya mengenai Papua Tanah Damai. Setiap pertemuan atau acara yang membicarakan perdamaian di Papua selalu melibatkan tokoh suku bangsa dan tokoh agama. Agama sudah mulai banyak dilibatkan dalam proyek besar seperti Papua Tanah Damai. Dengan kata lain, sebagaimana disebutkan di atas, agama juga telah masuk ke arena politik. C.
Keragaman Suku Bangsa
Papua memiliki ratusan suku bangsa yang sangat beragam, meskipun jika dirumpunkan dapat dikelompokkan hanya pada beberapa suku bangsa. Masing-masing memiliki ciri dan sistem kebudayaan yang berbeda. Bagian ini akan menjelaskan tentang 50
Keragaman Suku Bangsa dan Agama Di Papua
keragaman suku bangsa di Papua. Bahwa, sadar atau tidak sadar, keragaman suku bangsa di Papua merupakan modal sangat berharga dalam kehidupan dan kedamaian di Papua. Keragaman yang meskipun sesekali menimbulkan perselisihan, bahkan perang, tetapi di dalamnya terdapat juga mekanisme kultural untuk berdamai dan membangun kesepakatan dan solidaritas. Membangun kedamaian.
Salah satu suku bangsa yang sering menjadi kajian dan penelitian adalah suku bangsa Dani, atau sering disebut orang Dani. Keyakinan kultural orang Dani atau suku bangsa Dani adalah berdasarkan pada roh nenek moyang. Untuk menghormati roh nenek-moyang ini, orang Dani melakukan upacara. Pusat upacara antara lain adalah pesta babi. Orang Dani memiliki orientasi hidup yang terjabarkan dalam banyak konsep dan aktivitas keagamaan. Orientasi yang bermuara pada kesejahteraan hidup. Uniknya, berperang masuk dalam orientasi orang Dani, utamanya untuk mempertahankan hidup dan harga diri. Konsep keagamaan terpenting orang Dani adalah konsep atÓu. AtÓu dianggap sebagai kekuatan sakti dari nenek moyang, yang diturunkan secara patrilineal. Tidak hanya keturunan lakilaki, keturunan wanita juga dapat memiliki atÓu tersebut. Selain itu, suku bangsa Dani juga memiliki konsep kepemimpinan. Dalam suku bangsa Dani, kepemimpinan memiliki beberapa level, baik dalam rumah tangga, komunitas, dan konfederasi. Ada beberapa syarat untuk menjadi pemimpin (kain) di suku bangsa Dani: kepandaian bercocok tanam, kepandaian berburu, kepandaian berbicara, kepandaian berdiplomasi, keramahan, kemurahan hati, kekuatan fisik, dan terutama keberanian dalam peperangan dan pertempuran. Selain suku bangsa Dani, ada suku bangsa lain yang memiliki konsep kepemimpinan, yaitu suku bangsa Mee. Konsep kepemimpinan dalam suku bangsa ini lebih mendasar, di mana selalu dikembalikan pada konsep falsafah hidup orang Mee, yaitu identitas diri: orang Mee. Pandangan hidup ini 51
Mutiara Terpendam
mempengaruhi seluruh gerak budaya orang Mee. Pandangan hidup ini, misalnya, menuntun orang Mee untuk melakukan aktivitas ekonomi, kepemimpinan, hidup sosial, dan sebagainya. Dua contoh di atas sekadar untuk menyebutkan keragaman konsepsi kebudayaan di antara suku bangsa di Papua. Ada persamaan dan perbedaan antara konsep kepemimpinan yang dimiliki dua suku bangsa tersebut. Orang Dani mensyaratkan kecakapan personal ketika memilih seorang pemimpin. Sementara orang Mee lebih melihat pada kekuatan identitas personal. Sisi persamaan di antara dua suku bangsa ini adalah kuatnya karakter yang tecermin dalam falsafah hidupnya. Misalnya, orang Dani dan orang Mee melihat bahwa falsafah hidup sangat penting dalam kehidupan mereka. Falsafah hidup inilah yang bagi dua suku bangsa ini akan membimbing dalam beraktivitas, baik aktivitas sosial, bertahan hidup, memperoleh kesejahteraan, mengelola organisasi kesukuan, dan sebagainya.
Pandangan hidup ini pada akhirnya menampilkan identitas orang Papua. Jika ditelusuri lebih jauh, bagi orang Papua, identitas mereka berawal dari identitas kelompok kecil: keluarga, desa kecil, atau sekelompok kecil desa-desa. Identitas kelompok kecil atau individu itu didefinisikan melalui bahasa, tradisi keluarga, agama, budaya, dan cara hidup secara umum yang biasanya berbeda dengan tetangganya. Masing-masing orang di tanah Papua mempunyai identitasnya masing-masing, yang ditunjukkan dengan menyatakan dirinya manusia. Identitas individual tersebut kemudian diikuti dengan ditambahkan nama desa atau sungai asal mereka. Pada tahun 1800, baru berkembang identitas umum orang Papua. Pada tahun 1898, pemerintah kolonial Belanda membentuk pusat pemerintahan di Manokwari. Melalui misi Kristen, masuklah para pengajar dan penginjil di pantai utara. Oleh karena kontak terus-menerus dengan orang asing, mulailah tumbuh “identitas” Papua. sebuah identitas yang melebihi dari yang mereka alami sebagai kelompok kecil sebelumnya. Dengan kata lain, sebenarnya 52
Keragaman Suku Bangsa dan Agama Di Papua
bukan Kristen yang berhasil menumbuhkuatkan identitas kePapua-an. Mereka sendirilah yang memperkuat identitasnya sendiri.
Rizzo (2004), dalam disertasinya From Paradise Lost to Promised Land: Christianity and the Rise of West Papuan Nationalism, ingin menguji apakah benar Kristen memiliki peran besar dalam pembentukan identitas ke-Papua-an. Menurut Rizzo, hal itu tidak benar. Warga Papua sendirilah yang berhasil membangun identitasnya. Sebelum kontak dengan orang luar, sebenarnya mereka sudah kuat identitasnya. Rizzo lebih jauh memaparkan bahwa Kristen tidak memiliki konstribusi dalam terbentuknya nasionalisme orang Papua. Menurutnya, orang Papua memiliki identitas suku bangsa yang berbeda sebelum bangsa Eropa masuk ke wilayah ini. Identitas orang Papua Barat dibentuk oleh proses adaptasi terhadap lingkungan sekitar dan hubungan dengan pihak luar: Maluku-PapuaCeramese. Jadi, identitas orang Papua, sebelum kedatangan identitas etnis dari penjajah, telah terbentuk. Pembentukannya melalui dan berbentuk sekumpulan mitos dan cerita. Hal ini menjadi daya dorong utama dalam membentuk hubungan yang dinamis dengan bangsa Eropa dan Kristen. Jadi Kristen tidak membentuk orang Papua dan nasionalisme Papua. Tetapi orang Papua sendiri sebenarnya sudah mengetahui tentang identitas diri mereka. Identitas ke-Papua-an tersebut makin menguat seiring dengan sejarah pergolakan kekuasaan yang terjadi di tanah Papua. Salah satu momen penting dalam pentas kekuasaan terhadap tanah Papua terjadi pada tahun 1940-an hingga 1960-an. Saat itu, terjadi Perang Dunia II yang berimplikasi pada proses penyerahan kedaulatan Belanda atas Indonesia termasuk di dalamnya Papua. Proses peralihan kekuasaan di Papua berujung kepada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Juli–Agustus 1969 yang menyatakan Papua menjadi bagian dari NKRI. Namun demikian, sejarah Papua setelah 1969
53
Mutiara Terpendam
menunjukkan bahwa hasil Pepera itu justru menjadi salah satu akar konflik yang berkepenjangan hingga kini.
Konteks perjuangan identitas tersebut memiliki latar sejarah yang susah diuraikan utamanya karena adanya kehidupan suku bangsa yang sangat beragam di Papua. Identitas ke-Papuaan, selama ini, lebih dilihat secara politik dan ras: bahwa mereka selama ini dijajah oleh Indonesia sehingga mereka berjuang untuk merdeka, dan orang Papua bukanlah ras Austronesia, melainkan Melanesia yang dari sisi warna kulit dan potongan rambut berbeda dengan ras Austronesia. Kesadaran ras tersebut terbentuk hampir di seluruh suku bangsa di Papua. Ini dapat dipahami karena kesadaran tentang ras dianggap sebagai cara terbaik mengenal dan mempertahankan identitas ke-Papua-an mereka.
Penelitian Harple (2000), Controlling the Dragon: An ethno-historical analysis of social engagement (Indonesian Papua/ Irian Jaya), tentang suku bangsa Mimika/Kamoro di barat daya Papua menjelaskan identitas tersebut. Dengan menggunakan analisis etno-sejarah, Harple melakukan pelacakan sosial dan budaya yang membentuk kesadaran sejarah tentang identitas orang Papua. Mereka merasa berbeda dengan yang lain. Persepsi dan aktivitas suku bangsa Mimika/Kamoro di masa lampau mempengaruhi warganya dalam memaknai masa kini. Kamoro memiliki konsep tentang amoko kwere (cerita mengenai leluhur) yang akhirnya membentuk kesadaran dalam hubungan sosial dengan pihak luar, pendatang. Cerita leluhur yang menggugah identitas ras orang Papua. Melalui amoko kwere, yang selalu ditransmisikan dari generasi ke generasi, menumbuhkan ikatan dan kekuatan identitas kultural suku bangsa Mimika/Kamoro. Dengan istilah yang berbeda, transmisi kesadaran ini terjadi di hampir semua suku bangsa di Papua. Oleh karena itu, “identitas” sebagai bangsa demikian kuat di Papua: Orang Papua. Kesadaran tentang identitas tersebut memang tidak selamanya mampu menyatukan dalam satu identitas bersama. 54
Keragaman Suku Bangsa dan Agama Di Papua
Hal ini karena setiap suku bangsa di Papua juga melakukan pembentukan kesadaran tentang identitas suku bangsa. Pergulatan internal tentang identitas kesukuan memberikan kekuatan yang lain. Anggota suku bangsa memiliki identitas ganda: identitas suku bangsa dan identitas orang Papua. Sayangnya, identitas kedua lebih lemah ketimbang identitas pertama. Tidak heran, jika kesadaran identitas yang mereka pahami berujung pada kesadaran berikutnya, yakni ada pihak lain yang berbeda dengan dirinya, berbeda dengan suku bangsanya. Bahwa identitas anggota suku bangsa tertentu hampir dapat dipastikan akan berbeda dengan identitas anggota suku bangsa lain. Pemahaman bahwa ternyata ada pihak lain yang berbeda dengan dirinya. Bahwa ada seseorang yang memiliki identitas yang berbeda dengan identitas dirinya. Dan seterusnya. Pemahaman inilah yang pada jalinan waktu selanjutnya justru menjadi benih munculnya konflik antarsuku bangsa. Anggota suku bangsa sudah terbentuk oleh sistem kebudayaan suku bangsanya. Oleh karena itu perbedaan identitas, gesekan atau konflik jarang dapat dihindari. Apalagi kemudian ditemukan justifikasi pada sejarah masa lampau suku bangsanya melalui cerita mengenai leluhur. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa keragaman suku bangsa di Papua beserta sistem kebudayaannya bukan tanpa dinamika. Bagi mereka, akhirnya, konflik adalah hal yang biasa, sebagai akibat perbedaan pandangan tentang sesuatu, atau akibat dari pengentalan kesadaran identitas kesukuan. Schulman (1997) mencatat pengalaman perjalanan dan pendakiannya di salah satu puncak tertinggi di dunia yang berada di Papua. Di sekitar lembah Baliem: suku bangsa Dani. Suku bangsa ini memiliki 30 klan. Konflik sering terjadi di antara mereka. Biasanya masalah berawal dari kepemilikan babi atau kecemburuan terhadap wanita. Sering juga menyangkut tanah dan urusan materi. Dinamika yang sama juga terjadi di beberapa suku bangsa yang lain, termasuk juga antarsuku bangsa seperti perang suku bangsa (Andersen 2007). 55
Mutiara Terpendam
Konflik sosial yang terjadi di Papua tidak lepas dari persoalan keragaman suku bangsa. Konflik sosial yang dipicu karena perbedaan suku bangsa, budaya, dan golongan atau kelompok. Konflik terjadi lebih karena permasalahan yang dianggap merugikan dan mengganggu bahkan melanggar aturan dan norma yang berlaku pada suku-suku bangsa yang ada (Klinken 2004; Tjibaou 2005). Misalnya, masalah perzinahan atau perselingkuhan, pembunuhan, kematian tidak wajar, dan rasa dendam yang mendalam. Beberapa hal tersebut merupakan penyebab perang antarsuku bangsa di daerah pedalaman Papua. Di samping itu, konflik internal antarsuku bangsa yang terjadi di masa lalu juga menjadi penyebab perang antarsuku bangsa dan kelompok. Konflik sosial yang ada di daerah ini sering disebut sebagai perang suku atau Dani wim dan Amungme wem. Penyebutan ini disebabkan peristiwa perang suku yang terjadi adalah antara suku-suku bangsa asli Papua yang mendiami daerah tersebut, yakni suku bangsa Dani, suku bangsa Nduga, suku bangsa Dem, suku bangsa Damal/Amungme, suku bangsa Moni, suku bangsa Wolani, suku bangsa Ekari/Me, dan sukusuku bangsa lainnya. Suku-suku bangsa tersebut dikenal sebagai suku yang mempunyai tradisi perang sangat kuat (Tjibaou 2005).
Pelajaran yang dapat diambil dari penjelasan di atas adalah bahwa keragaman suku bangsa di Papua tidak absen dari dinamika. Oleh karena sebagian suku bangsa memiliki sistem pengetahuan dan sistem kebudayan yang berbeda, maka tentu saja itu mempengaruhi pandangan dunia masingmasing terhadap lingkungannya. Sehingga sistem sosial yang dibangunnya pun berbeda-beda. Di samping perbedaan tersebut, terdapat kesamaan budaya di antara mereka. Misalnya, sebagaimana diketahui, keragaman suku bangsa di Papua sangat kaya. Kekayaan nilainya bukan hanya tentang bagaimana menjalani hidup secara sosial dan ekonomi, melainkan juga bagaimana kepemimpinan itu dapat terlaksana secara bijak. Bahkan, kekayaan kultural tersebut juga sudah dianggap sebagai 56
Keragaman Suku Bangsa dan Agama Di Papua
agama mereka. Sistem religi, tradisi, kehidupan kultural yang meliputi mereka sudah diakui oleh mereka sebagai bagian dari keyakinan hidup dan agama mereka. Kekayaan ini tentu saja sulit diadopsi oleh karena eksplorasi pengetahuan tentang mereka tidak sampai pada keinginan lebih dalam menggali nilai-nilainya (Klinken 2004; Tjibaou 2005). Oleh karena itu, belum ada jembatan yang membawa kekayaan nilai kultural suku bangsa ini ke dalam ranah hidup sosial modern di Papua (Farhadian 2005). Akibatnya, seakan kekayaan itu tetap dianggap sebagai “the other” oleh nilai pembangunan yang dicobapaksakan untuk dilaksanakan oleh orang Papua. Sementara, kekayaan suku bangsa beserta sistem kebudayaannya merupakan modal terbesar dalam membangun Papua. D. Keragaman Agama
Bersandar pada penelitian Rizzo dan Harple di atas, agaknya selama ini ada kesalahpahaman tentang kaitan suku bangsa dengan agama di Papua. Bahwa ada generalisasi pemahaman tentang agama orang Papua. Jika Kristen tidak dapat dianggap memiliki kontribusi dalam pembentukan identitas ke-Papuaan, maka tidak serta-merta dapat dikatakan bahwa agama orang Papua identik dengan Kristen. Kesalahpahaman inilah yang akhirnya memunculkan asumsi bahwa keragaman agama di Papua menjadi persoalan. Pemahaman bahwa orang Papua adalah Kristen, sementara agama lain bukanlah Papua lebih karena sejarah panjang Papua. Dalam rentang lama banyak orang Papua sudah menerima Kristen sebagai agama yang dianutnya. Keberhasilan Kristen masuk ke desa-desa dan gunung-gunung adalah faktor utama yang mempengaruhi pandangan orang Papua tentang agama, meskipun sebenarnya banyak juga agama lokal. Banyak suku bangsa di Papua memiliki ritual sendiri yang berbeda dengan ritual Kristen. Namun, tidak seluruhnya benar jika menyatakan bahwa orang Papua tidak identik dengan Kristen. Banyak sekali suku bangsa di Papua yang memang mengidentikkan diri sebagai
57
Mutiara Terpendam
Kristen. Banyak hasil penelitian menunjukkan hal itu. Salah satunya adalah Bensley (1994), The Dani Church of Irian Jaya and the Challenges Its Facing Today. Buku ini menjelaskan kegelisahan masyarakat Dani menghadapi banyaknya pendatang Muslim. Masyarakat Dani menganggap kehadiran pendatang Muslim mengkhawatirkan bagi identitas orang Papua yang Kristen. Bahwa orang Papua yang identik dengan Kristen akan berhadapan dengan Islamisasi dan modernisasi sekaligus. Tersirat dari dua penjelasan tersebut adalah bahwa orang Papua sudah menyadari kehadiran “orang lain” yang memiliki tradisi, kultur, dan agama yang berbeda. Dari sini pula, dalam sejarah panjangnya, Papua menunjukkan keragaman dalam hal agama. Bahwa ada juga agama lain selain Kristen di Papua: Islam, Katolik, Hindu, dan lain-lain. Islam dan Katolik sebenarnya tidak mengalami penolakan oleh orang Papua. Penolakan lebih karena perilaku yang dinilai menyinggung tata nilai harmoni di Papua. Perilaku keagamaan yang sama sekali tidak menghormati adat dan agama yang sudah lama dianut oleh orang Papua akan mengalami penolakan. Dua agama ini, termasuk sebenarnya juga agama-agama lain meskipun populasinya sangat sedikit, dapat hidup dan berkembang di Papua. Dan dalam konteks sekarang, banyaknya agama tidak menjadi persoalan dominan di Papua. Selalu ada faktor lain yang mengiringi jika isu agama dimunculkan sebagai penyebab konflik atau kekerasan.
Sekadar memberikan contoh dari penjelasan di atas adalah kasus pembunuhan yang terjadi di Kota Sorong, Papua Barat, pada 21 April 2014. Kasus pembunuhan seorang Haji yang diawali ketika Pak Haji tersebut akan siaran on-air di RRI Sorong. Saat itu, di depan RRI ada pemabuk. Pemabuk tersebut meminta uang kepada Pak Haji. Mungkin karena Pak Haji tidak memberi, kemudian pemabuk membunuhnya. Kasus pembunuhan ini menjadi besar karena dibumbui menjadi kasus agama. Bertebaran berita yang menginformasikan 58
Keragaman Suku Bangsa dan Agama Di Papua
agar perempuan tidak keluar rumah di malam hari dengan mengenakan jilbab. Bentrokan ratusan warga pun terjadi. Suasana mencekam sejak siang hingga menjelang sore. Beberapa kawasan diblokade warga. Menjelang sore dan malam suasana kembali pulih setelah polisi dan para pemuka agama rembuk bersama dan mereka menghimbau warga Sorong agar tidak terpancing provokasi. Kasus yang mirip sering terjadi di beberapa daerah di Papua dan Papua Barat. Kasus yang semula tidak ada faktor agamanya kemudian menjadi konflik besar. Konflik besar terjadi setelah ada provokasi dengan memasukkan isu agama. Contoh kasus di atas memberikan klarifikasi bahwa isu agama dalam konflik di Papua bukanlah isu utama. Dengan kata lain, keragaman agama di Papua tidak mengkhawatirkan. Agama bukan faktor konflik. Di Papua, keragaman agama, sebagaimana di beberapa tempat lain, justru diterima dan bahkan menjadi salah satu pendorong kemajuan di Papua. Hal itu tampak pada, misalnya, komposisi MRP yang selalu mempertimbangkan representasi agama. Cerminan keragaman agama ini juga terlihat pada komposisi penduduk Papua (dan Papua Barat). Meskipun umat Kristen adalah mayoritas di Papua, umat agama lain juga tidak sedikit jumlahnya. Kondisi keragaman agama ini sebenarnya sudah terlihat sejak lama, bahkan sebelum Pepera. Dalam sejarahnya, di samping memiliki beragam suku bangsa, di Papua juga sudah ada agamaagama seperti Kristen, Katolik, dan Islam. Keragaman ini susah dihindari dan tidak dapat dihilangkan. Bahkan keragaman ini sangat mempengaruhi kondisi kehidupan masyarakat Papua sejak dulu hingga sekarang, baik dalam sisi kehidupan sosial, ekonomi, maupun budaya. Sebagian diskusi literatur yang disajikan di atas memberikan gambaran tentang keragaman suku bangsa dan agama dengan dinamika dan konfliknya di Papua. Sebagian literatur lainnya, yang mengkaji tentang kekayaan suku bangsa dan agama di 59
Mutiara Terpendam
Papua sebagai modal sosial untuk mengembangkan perdamaian akan dielaborasi lebih jauh dalam bab selanjutnya (Bab IV). Literatur-literatur yang telah dibahas di atas menyajikan kekayaan kearifan lokal di Papua yang memberikan modal bagi mekanisme budaya dalam penyelesaian persoalan atau konflik di Papua.
60
Kearifan Lokal dan Agama Sebagai Modal Perdamaian
BAB IV KEARIFAN LOKAL DAN AGAMA SEBAGAI MODAL PERDAMAIAN Pada bab sebelumnya, disajikan kajian literatur tentang keragaman suku bangsa dan agama beserta dinamikanya di Papua. Bab ini, dengan menggunakan studi literatur juga, berusaha menjelaskan tentang kekayaan kearifan lokal dan agama yang dimiliki Papua. Kajian terhadap kekayaan ini memberikan modal sosial yang sangat berharga dan potensial untuk mengembangkan perdamaian di Papua. A.
Modal Perdamaian dari Kearifan Lokal
Perdamaian di Papua terbangun melalui jaringan internal suku bangsa maupun dengan luar suku bangsa. Konflik antarsuku bangsa memang masih sering terjadi sebagai upaya peneguhan identitas kesukuannya. Akan tetapi, konflik suku bangsa tersebut sebenarnya dapat teratasi dengan mekanisme yang mereka 61
Mutiara Terpendam
bangun sendiri dalam beragam bentuk pertemuan antarsuku bangsa. Pertemuan tersebut dapat mengakhiri konflik dan sekaligus membangun perdamaian dan solidaritas di antara mereka. Sehingga kita dapat mengatakan bahwa perdamaian bukanlah hal baru di Papua. Kearifan lokal adalah kekayaan Papua dalam mengelola perbedaan dengan mekanisme memperoleh jalan keluar dari konflik dengan cara damai. Ada beberapa contoh mekanisme kultural dalam menyelesaikan konflik, termasuk mengelola dinamika perbedaan.Beberapa contoh berikut ingin menunjukkan bahwa Papua memiliki modal yang sudah lebih dari cukup untuk mempertahankan perdamaian di bumi Cenderawasih. Modalmodal perdamaian ini memberikan gambaran tentang nilai perdamaian dari keragaman adat di Papua.
Lebih dalam dari itu, sebenarnya ada satu kesamaan nilai di antara suku bangsa di Papua, yakni nilai persaudaraan. Meskipun konflik suku bangsa acapkali terjadi, tetapi selalu saja ada mekanisme kultural di antara mereka untuk segera dapat menyelesaikan konflik tersebut. Penyelesaiannya juga dengan cara damai. Hal ini terjadi sebenarnya adalah karena rasa empati bagi orang Papua sangat penting, kalau bukan malah utama. Kehadiran seseorang yang berinteraksi dan berkomunikasi bukan dilihat dari isi atau pesannya, melainkan pada bagaimana rasa empati itu dirasakan. Rasa empati ini melahirkan kepercayaan. Dan kepercayaan terhadap seseorang inilah yang mempengaruhi seluruh proses komunikasi. Misalnya, proses informasi akan berjalan lebih baik jika disampaikan oleh orang yang dianggap kredibel dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, seringkali orang yang dipercaya tersebut adalah yang masih memiliki hubungan kerabat dekat dari keluarga besar mereka. Hal ini merefleksikan suatu kenyataan bahwa konsep persaudaraan sangat kuat di Papua. Jika kehadiran seseorang berhasil memunculkan rasa empati maka berimplikasi pada pengakuan orang Papua kepadanya sebagai saudara, maka 62
Kearifan Lokal dan Agama Sebagai Modal Perdamaian
bangunan kepercayaan akan terbangun kuat. Jika sudah demikian, interaksi dan komunikasi akan didasari oleh rasa saling percaya dan saling jujur. Hal ini tidak dapat ditafsirkan bahwa orang Papua adalah tertutup. Orang Papua sebenarnya memiliki sifat sangat terbuka dengan orang lain. Contohnya, jika orang Papua menyebut orang lain (misalnya, tamu) dengan sebutan bapak atau tuan, itu artinya mereka belum “sepenuhnya menerima”. Sebaliknya, jika memanggil dengan sebutan anak, misalnya, itu artinya ada “penerimaan sepenuhnya”. Dengan begitu berarti mereka telah menerimanya sepenuh hati (Goo 2013). Jika sudah demikian, siapa pun tamunya itu akan dianggap sebagai saudara, sebagai bagian dari keluarga. Artinya, nilai persaudaraan sangat terbuka dan sangat penting di Papua. Konsep persaudaraan ini merupakan modal kuat membangun perdamaian di Papua.
Ada sikap kehati-hatian dalam masyarakat Papua ketika berkomunikasi dengan orang lain. Agaknya, ini dipengaruhi oleh kondisi politik di Papua yang selama ini menempatkan orang Papua sebagai korban, bukan subyek. Bahwa orang Papua adalah obyek. Kemanusiaan, dalam tradisi lokal Papua, sangat dihargai. Prinsipnya mereka tidak ingin mengganggu orang lain. Namun jika diganggu kepentingan, hak, dan harga dirinya, maka mereka akan melawan. Perlawanan ini sering berujung perang. Meskipun demikian, perang selalu berakhir dengan perundingan. Adat di Papua menyediakan media kultural untuk mencari penyelesaian masalah, konflik, atau perang di antara mereka. Masyarakat adat Papua memiliki mekanisme penyelesaian masalah, konflik, atau perang di antara mereka dengan para-para adat. Para-para adat adalah rumah atau bangunan yang menjadi media kultural untuk acara-acara sakral dan memecahkan masalah antarsuku bangsa. Tempat ini sengaja dibuat secara khusus karena segala persoalan, keperluan, kepentingan, dan kesepakatan-kesepakatan di antara mereka. Para-para adat ini menjadi hal yang pokok dalam budaya Papua sejak lenyapnya
63
Mutiara Terpendam
rumah Mau (rumah yang berfungsi sebagai tempat inisiasi anak laki-laki, salah satu bentuk kegiatan ritual pokok yang telah lenyap seiring masuknya agama Kristen Protestan yang melarangnya). Para-para adat dianggap sebagai tempat yang disucikan dalam arti simbolis. Oleh karena itu, dalam hal perawatan, perbaikan, pembongkaran, serta pembangunannya diawali dengan musyawarah adat yang dipimpin secara langsung oleh Ondoafi, tetua adat.
Dalam para-para adat ini juga dimanfaatkan untuk menyelesaikan pertikaian antarsuku bangsa. Para pihak yang bertikai difasilitasi untuk berkumpul dan mencari jalan keluar bersama. Masing-masing mengusulkan kepentingannya. Masing-masing menjelaskan persoalannya. Dalam tradisi ini ditampung segala keinginan, hingga diperoleh kesepakatan bersama, hingga persoalan tersebut dianggap sudah selesai. Tidak perlu lagi diungkit. Setelah itu, masih di forum tersebut, dibangun kesepakatan bersama untuk tidak mengulangi lagi dan menjaga keharmonisan kehidupan antarsuku bangsa. Selain mekanisme kultural di atas, ada juga mekanisme lain yang disebut tikar adat. Sebuah mekanisme yang memfasilitasi persoalan antaranggota suku bangsa atau adat. Kalau ada masalah keluarga, orang-orang tua mengajak warganya untuk menyelesaikan masalah di atas tikar. Seperti halnya dalam parapara adat, seluruhnya mesti disampaikan hingga tidak muncul lagi buntut masalahnya. Kalau sudah di atas tikar adat, masalah yang ada kemudian diselesaikan secara baik (Goo 2013). Tikar adat ini tidak melulu menyelesaikan persoalan keseharian. Tikar adat ini, bahkan, menjadi ajang warga adat untuk mengeluarkan aspirasi, baik yang berkaitan dengan persoalan individu maupun kelompok.
Tikar adat adalah konsep yang dibangun oleh suku bangsa atau adat. Sejatinya, tikar adat dapat disamakan dengan rapat warga yang ada di beberapa daerah lain. Perbedaannya adalah jika rapat warga mungkin tidak dihadiri oleh semua warga. 64
Kearifan Lokal dan Agama Sebagai Modal Perdamaian
Sementara, dalam tikar adat, semua anggota adat hadir. Perbedaan lainnya, jika dalam rapat warga hanya berlangsung beberapa jam, maka tikar adat dapat diselenggarakan hingga malam. Sampai persoalan selesai. Jika ingin menghimpun aspirasi, maka tikar adat akan diakhiri apabila sudah sama sekali tidak ada yang menyampaikan pendapat. Dinamakan tikar adat karena dalam proses pertemuannya menggunakan tikar. Sebagaimana rapat warga, proses tikar adat juga ada yang memandu dan memimpin jalannya rapat. Hingga kini, tikar adat masih sering dilakukan, meskipun sudah agak terpinggirkan oleh kebijakan pemerintah.
Mekanisme kultural ini terpinggirkan akibat dari kebijakan pemerintah yang membuat sekat-sekat kelompok di Papua. Kelompok Merah-Putih, pro-Merdeka, Otonomi Khusus, dan pemekaran. Maksudnya, jika ada persoalan, orang Papua sudah jarang memanfaatkan mekanisme kultural tersebut, melainkan melimpahkan ke pihak aparat keamanan (negara). Padahal, jika diselesaikan di tikar adat dan para-para adat, tidak ada yang merasa diuntungkan dan dirugikan, karena posisi individu secara sosial akan kembali normal. Oleh karena itu, sebenarnya nilai-nilai adat Papua sudah memiliki potensi besar untuk dihidupkan kembali dalam membangun perdamaian, toleransi, dan solidaritas sosial. Sementara, jika dilimpahkan ke pihak aparat keamanan, yang diperoleh adalah penghakiman. Siapa yang salah dan siapa yang benar. Ujungnya, siapa yang menang dan siapa yang kalah. Padahal, dengan mekanisme pelimpahan ini, pihak keamanan (negara)-lah yang akan selalu menang. Sementara orang Papua baik yang dikalahkan dan dimenangkan, disalahkan atau dibenarkan, sama-sama mengalami kekalahan, karena yang memiliki otoritas atas budaya mereka bukan diri mereka sendiri, melainkan pihak di luar dirinya. Model seperti ini sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai modal untuk membangun kedamaian di Papua. Dan oleh karena modal itulah Papua menjadi wilayah yang damai. Papua memiliki budaya dan warisan kebudayaan yang dapat 65
Mutiara Terpendam
memperkuat warganya untuk mempertahankan kedamaian dan harmoni, tanpa menghilangkan identitas kesukuan dan sebagai bangsa Papua. Selain solidaritas kesukuan, orang Papua juga memiliki solidaritas keagamaan, meskipun solidaritas yang terakhir ini tidak serta merta berkonotasi negatif. Selain nilai-nilai adat, mereka juga disatukan oleh nilai kekristenan, walaupun kadang sulit dibedakan antara nilai Kristen dan nilai adat. Hal itu tecermin dengan solidaritas kemanusiaannya yang pada saat yang sama nilai tersebut terkandung dalam nilai adat dan juga agama.
Pengelolaan solidaritas antarsuku bangsa, sebagai contoh yang paling terkenal, adalah bakar batu dan bayar kepala. Mekanisme ini pernah dipakai antara lain pada penyelesaian damai di wilayah Kwamki Lama, Timika, Papua, pada JuliSeptember 2006, ketika pecah perang antarsuku bangsa Damal, Amungme, dan Dani. Bakar batu dan bayar kepala merupakan representasi pengelolaan solidaritas melalui ritual dan keadilan. Upacara bakar batu digelar selama lima hari. Pada hari yang ditentukan, para anggota suku bangsa yang bersengketa berkumpul, dan membuat perapian berbahan batu-batuan dan ranting-ranting kering. Para wanita memasak sayuran dan ubiubian di atas perapian tersebut. Setelah matang, semua anggota suku bangsa yang hadir menyantap masakan tersebut (Tukan 2014). Upacara bakar batu seolah berfungsi sebagai sebuah momen melupakan tragedi dan peperangan yang sudah terjadi di antara mereka. Momen pelupaan seringkali mengandung sebuah ketidakadilan bagi korban. Untuk menanggulangi hal ini, agar semua pihak merasa ikhlas dapat menerima segala peristiwa yang telah terjadi, diselenggarakanlah bayar kepala. Bayar kepala dapat dikatakan sebagai “pembayaran” santunan kepada keluarga korban yang meninggal. Pembayaran ini dapat mencapai ratusan juta rupiah perjiwa. Namun, jumlah tersebut tidak seberapa dibandingkan dengan nyawa. Mekanisme ini dipercaya sebagai 66
Kearifan Lokal dan Agama Sebagai Modal Perdamaian
sebuah pemutusan mata rantai dendam dan penghentian konflik di kemudian hari (Tukan 2014).
Di beberapa daerah, bakar batu mengalami kontekstualisasi. Wamena, sebuah daerah tempat tinggal bersama masyarakat pemeluk Kristen, Katolik, Islam, Hindu, dan Buddha, misalnya, menjadi contoh bagaimana bakar batu dikontekstualisasikan. Di Wamena, menu bakar batu ada yang diganti dengan ayam dan daging (selain babi). Ini dilakukan untuk mengakomodasi kehadiran penduduk Muslim dalam pesta upacara. Kontekstualisasi ini memberikan makna bahwa ritual bukan melulu sebagai ritual untuk melupakan tragedi. Bakar batu adalah juga sebagai media untuk membangun toleransi dan perdamaian. Demikian halnya dengan tradisi bayar kepala. Ia tidak saja dapat bermakna sebagai media resolusi konflik, tetapi lebih dari itu adalah membangun kesepakatan-kesepakatan kultural agar perdamaian dapat diwujudkan di antara mereka.
Ritual-ritual tersebut memiliki implikasi kuat dalam tata perilaku toleransi. Bangunan kesadaran hidup bersama dengan pihak lain semakin kokoh. Bahwa pihak lain tidak lagi dianggap berbeda dan mengancam identitas kultural dan eksistensi mereka. Pihak lain dianggap sebagai bagian dari kehidupan masyarakat mereka. Sebagai salah satu contoh dari implikasi tersebut adalah, dalam hal jabatan pemerintahan, penduduk Islam memiliki hak menjadi pegawai pemerintahan, sama seperti penduduk lain yang mayoritas (Kristen) (Kandipi 2014). Ritual lain yang memperkuat modal perdamaian di Papua adalah ritual pernikahan suku bangsa Dani (O’Brien 1969). Dalam disertasinya yang mencermati ritual pernikahan suku bangsa Dani, O’Brien menjelaskan bahwa ritual tersebut ternyata menyimpan dua fungsi sosial. Yaitu untuk menyatukan dasar politik masyarakat dan untuk membangun persatuan atau mengurangi permusuhan. O’Brien mengungkap struktur dan
67
Mutiara Terpendam
fungsi sistem pembayaran (maskawin) dalam ritual pernikahan masyarakat suku bangsa Dani. Akan tetapi, di balik tradisi itu, O’Brien menemukan ada aspek politik di dalamnya. Ada “kepentingan” politik dari maskawin pernikahan, baik bagi individu maupun kelompok dalam masyarakat tersebut. Bahwa maskawin dijadikan sebagai alat untuk mengkonfirmasi kelegalan dari pernikahan. Maskawin juga memberikan kontrol suami atas akses seksual kepada istri. Tradisi ini akhirnya menyediakan arena kepada pria untuk memperoleh dan mengukuhkan status politik dengan cara memamerkan dan memberikan kekayaan. Namun demikian, menurut O’Brien, di balik semua itu, pada dasarnya tradisi pemberian maskawin pernikahan dalam tradisi suku bangsa Dani ini berfungsi sebagai sarana untuk menyatukan dasar politik masyarakat sekaligus menjaga persatuan dan mengurangi permusuhan di antara mereka. Pernikahan, dengan demikian, bukan sekadar untuk menjalin hubungan dua individu dan dua keluarga besar. Pernikahan juga memiliki makna lebih. Pernikahan adalah ruang untuk membangun kesepakatan politik, transaksi sosial, dan bahkan penyatuan komunitas. Pernikahan memiliki misi keharmonisan di antara keluarga dan klan. Ujungnya, pernikahan adalah arena membangun persatuan dan perdamaian.
Contoh-contoh di atas, dan masih banyak lagi yang lain, memberikan nuansa lain. Banyak cerita yang memberikan nuansa negatif tentang Papua (selalu politis dan konflik), seakan menutup betapa Papua menyediakan banyak kearifan lokal yang menyimpan nilai budaya damai. Banyak tradisi lokal di Papua, yang meskipun sekadar tradisi pernikahan dan tradisi sederhana lainnya, jika diamati dengan jeli, selalu menyertakan misi perdamaian. Dengan kalimat lain, mengembangkan kedamaian dan perdamaian di Papua relatif tidak membutuhkan pihak lain. Papua sendiri sejatinya relatif memiliki banyak pondasi dari kekayaan tradisi lokal atau budaya adat. Inilah modal perdamaian yang belum banyak dimanfaatkan. 68
Kearifan Lokal dan Agama Sebagai Modal Perdamaian
B.
Modal Perdamaian dari Agama
Selain pengelolaan perdamaian dalam bingkai kekerabatan suku bangsa, toleransi agama-agama juga dapat ditemui di Papua. Potret toleransi dapat ditemui pada saat hari besar keagamaan. Ketika Natal tiba, penduduk yang beragama Islam berkunjung ke tetangga yang beragama Kristen. Sementara, pada saat perayaan Idul Fitri, hal yang sama dilakukan oleh masyarakat yang beragama Kristen. Ini merupakan hal lumrah yang terjadi di Papua (al-Hamid 2014: 94-100).
Barangkali toleransi tidak cukup merepresentasikan kenyataan hubungan Kristen-Muslim di Papua. Gambaran toleransi ini lebih tepat apabila direpresentasikan dengan kata pengakuan. Satu dan lain agama saling mengakui keberadaan lainnya. Contoh jelas ketika Gereja Manuran, di Raja Ampat, Papua Barat, diterjang tanah longsor pada Juli 2013. Gereja dengan ribuan jemaat itu rusak ketika longsor datang mendadak. Kejadian itu juga merenggut korban jiwa (Kompasiana, 18/8/2014). Untuk menggalang dana pembangunan kembali gereja tersebut dibuatlah acara doa bersama. Kepanitiaan terdiri dari elemen Kristen dan Muslim. Ketika acara dilaksanakan, dana berhasil dikumpulkan dari masyarakat yang beragama Islam dan Kristen. Dana tersebut sepenuhnya diberikan kepada panitia pembangungan gereja. Potret seperti ini juga terjadi di kalangan Muslim suku bangsa Fak-Fak (Republika 2/10/2011). Potret ini, bagaimana pun, dapat dilihat sebagai potret pengakuan atas keberadaan berbagai agama di Papua. Seorang antropolog dari Universitas Cenderawasih, Andreas Goo, dalam FGD ”Keragaman dan Kerukunan di Papua” (2013) membuat kesaksian menarik. Dia menceritakan: “...waktu saya jalan-jalan ke Kaimana dan Fak-Fak, saya lihat tidak ada jarak dalam soal agama.... Kita orang Papua juga harus sadar bahwa perubahan terus terjadi setiap hari dan hanya kualitas dan jumlahnya yang berbeda. Agama, suku bangsa, dan Islam Papua sudah bersatu, tapi kalau 69
Mutiara Terpendam
Kristen dengan agama suku bangsa saling bertentangan. Kalau ada konflik antara Islam dan Kristen maka pasti ada agency yang bermain di situ.”
Kutipan di atas tidak ingin menonjolkan konflik peran agama-agama, melainkan bahwa ada penerimaan orang Papua terhadap agama lain. Bahwa konflik yang selama ini terjadi tidak dapat dengan cepat diklaim sebagai konflik agama. Bahwa selalu ada faktor lain yang menjadi pendulum utamanya.
Kesadaran bahwa ada kebersatuan antara agama dengan suku bangsa yang ada di Papua merupakan modal berharga. Selain itu, berkembangnya kesadaran bahwa konflik yang selama ini terjadi, khususnya yang dikaitkan dengan agama, bukanlah konflik agama, merupakan modal lain yang sangat signifikan dalam mempengaruhi bangunan perdamaian di Papua. Dua kesadaran ini sangat berguna sebagai pijakan menyuburkan visi Papua Tanah Damai. Bahwa selain modal adat atau kearifan lokal yang terepresentasi dalam suku bangsa, agama juga memperoleh ruang untuk mengambil peran besar. Peran suku bangsa dan agama ini dapat dijadikan jembatan dialog. Sehingga, istilah yang berkembang di Papua mengenai dialog yang dianggap ”merebus batu”, karena tidak menghasilkan apaapa selain mengerdilkan orang Papua, akan terkurangi. Tidak salah jika selama ini, dialog yang dipahami oleh orang Papua adalah untuk upaya kemerdekaan mereka (Widjojo [ed.] 2010: 147). Banyaknya kerjasama antaragama makin tampak. Kerjasama tersebut dilakukan baik dalam forum-forum atau pertemuan formal maupun non-formal. Gerakan Papua Tanah Damai adalah salah satu gagasan yang mempertemukan jalinan antaragama untuk memperkuat visi tersebut. Selain itu, pertemuan-pertemuan informal berupa saling kunjung antartokoh agama di Papua sangat intensif dilakukan. Yang tidak kalah penting adalah komunikasi antarumat beragama. Mereka hidup bertetangga, bahkan di beberapa daerah mereka hidup 70
Kearifan Lokal dan Agama Sebagai Modal Perdamaian
satu rumah. Perbedaan agama bukan lagi terjadi antartetangga, melainkan sudah dalam satu keluarga. Jalinan hubungan formal, informal, non-formal, dan kekerabatan makin mengukuhkan kuatnya pemahaman tentang perbedaan. Tebay (2006), dalam bukunya Upaya Lintas Agama demi Perdamaian di Papua Barat mencoba menguraikan peran dari tokoh-tokoh agama dalam proses resolusi konflik dengan menggunakan motto Papua Tanah Damai. Pada tahun 2000, para pemimpin agama bersatu untuk mengkampanyekan perdamaian. Pemimpin agama berharap kedamaian dengan adanya hubungan baik di antara pemimpin agama.
Setelah Dialog Nasional antara Presiden B.J. Habibie dan Tim 100 pada 1999 sampai 2008, tidak pernah ada lagi dialog yang dilakukan dalam rangka menyelesaikan konflik di Papua. Namun dialog sebagai salah satu solusi tetap menjadi keinginan berbagai pihak di Papua maupun di luar Papua. Sebagai contoh pada 16-17 Agustus 2004 Centre for Peace and Conflict Studies, Universitas Sidney mengadakan international workshop mengenai Peace Building and Development in West Papua, Dialogue versus Violence: Hearing Other Voices. Proyek ini menghasilkan position paper mengenai resolusi konflik di Papua melalui dialog (Widjojo [ed.] 2010: 147). Dialog menjadi titik yang sangat penting dalam upaya membangun hubungan Papua-Jakarta, khususnya untuk membangun kehidupan di Papua. Sementara di dalam Papua sendiri, upaya dialog tetap menjadi poin utama dengan visi Papua Tanah Damai yang dideklarasikan secara resmi pada tahun 2002. Upaya ini diawali dengan melakukan seminar 5-7 Juli 2001 dan 25-30 November 2002 mengenai Papua (Tebay 2006). Sebelumnya, jika Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) masih fokus pada NGO yang berbasis agama Katolik, maka pada tahun 2000 mulai muncul gerakan kaum agamawan Papua dari Kristen, Islam, Hindu, dan Buddha. Mereka berinisiatif untuk berkumpul dan membangun pertemuan 71
Mutiara Terpendam
lintas-iman (interfaith) serta mendeklarasikan kampanye perdamaian dengan slogan Papua Tanah Damai (PTD) dan menetapkan tanggal 5 Februari sebagai Hari Perdamaian Papua serta membuat acara khusus setiap tanggal 21 September dalam rangka memperingati Hari Perdamaian Sedunia. Kelompok interfaith dengan giat mempromosikan PTD ke seluruh wilayah Papua, giat membangun jaringan dengan kelompok interfaith di daerah lain bahkan ke tingkat internasional.1 Realitas perbedaan sosial antara berbagai komponen etnis atau ras tidak boleh ditutup-tutupi atas nama toleransi dan perdamaian. Sebaliknya, persoalan yang ada perlu diangkat, dipahami dengan baik, untuk kemudian dicarikan jalan keluarnya.
Upaya ini dimaksudkan memberi ruang yang sangat luas kepada orang Papua untuk lebih berperan di tanahnya sendiri. Peran-peran ini sedapat mungkin akan menghiasi bukan hanya pada level pemerintahan, tapi juga mengakomodasi simbolsimbol budaya Papua yang sebelumnya hal ini dianggap sebagai ekspresi separatisme oleh pemerintah pusat. Selain itu, melakukan penguatan sumber daya manusia Papua untuk mampu bersaing dalam dunia usaha dan bisnis. Wilayah ini merupakan area kompetitif yang selalu menjadi momok bagi orang Papua. Mereka selalu kalah bersaing, bahkan dalam dunia pertanian sekalipun. Pentingnya rekognisi orang Papua didasari, setidaknya, oleh dua alasan. Pertama, menyangkut upaya perubahan radikal pada tataran inklusivitas orang Papua yang sebenarnya masih tersekat dalam kelompok suku-suku bangsa kecil yang terbatas baik secara ruang maupun waktu. Rekognisi juga melawan kenyataan empiris terkotak-kotaknya orang asli Papua sendiri. Orang asli Papua harus terlibat untuk berpikir dan bertindak dalam kerangka kepentingan bersama Papua. Kedua adalah 1 Mgr. Leo Laba Ladjar, Uskup Gereja Katolik Jayapura, Pendeta Herman Saud, J. Budi Hernawan, Thep van den Broek, dan I Gusti Made Sunartha adalah beberapa wakil dari kelompok Lintas Iman Papua yang aktif mempromosikan gagasan Papua Tanah Damai ke banyak daerah di Indonesia dan luar negeri.
72
Kearifan Lokal dan Agama Sebagai Modal Perdamaian
terkait konsep ”Indonesia”. Indonesia adalah konsep supra-etnis yang mengatasi identitas-identitas suku bangsa yang jumlahnya ribuan di wilayah Republik Indonesia. Dengan rekognisi, orang Papua didorong membangun kesadaran sebagai bagian dari suatu entitas yang lebih besar daripada suku bangsanya sendiri atau bahkan klannya sendiri (Widjojo [ed.] 2010: 50).
Contoh lagi yang relatif sering diteliti adalah keharmonisan kehidupan beragama di Kabupaten Fak-Fak: Satu Tungku Tiga Batu. Penggunaan istilah yang sama tentang keharmonisan juga terjadi di Sorong dan Kaimana. Konsep ini diambil dari pengamatan terhadap kehidupan masyarakat Fak-Fak yang meskipun memiliki keragaman dalam hal agama (Kristen, Islam, dan Katolik), namun tampak rukun dan tidak ada konflik kekerasan. Akan tetapi, ada yang menyatakan bahwa jika pergi ke Fak-Fak akan menemukan bangunan Katedral Santo, Masjid Agung Jami, dan Gereja Bethel Indonesia. Jika diamati, selintas tiga bangunan tersebut akan membentuk segitiga garis imajiner mirip seperti gambaran tungku dengan tiga batu. Hal ini menggambarkan tentang terbangunnya toleransi dengan saling kerjasama di antara tiga umat beragama tersebut. Tungku adalah simbol yang dimaknai sebagai kehidupan sosial dalam masyarakat. Batu adalah simbol yang dimaknai sebagai agama. Satu Tungku dengan demikian diartikan sebagai kehidupan sosial dalam bermasyarakat yang menyatu dan harmonis. Sementara Tiga Batu berarti memiliki makna adanya tiga agama yang menyangga. Satu Tungku Tiga Batu akhirnya dimaknai sebagai satu kehidupan sosial dalam masyarakat yang “disangga” oleh tiga agama. Konsep Satu Tungku Tiga Batu sangat menarik. Konsep ini sungguh merefleksikan tatanan hidup beragama masyarakat Fak-Fak. Mengapa Tungku yang didahulukukan dan Batu diletakkan di belakang? Mengapa tidak Tiga Batu Satu Tungku? Ada kesadaran bersama bahwa toleransi dalam kehidupan sosial adalah cita-cita bersama. Sementara untuk mencapai
73
Mutiara Terpendam
keharmonisan tersebut dibutuhkan kekuatan. Di Fak-Fak penopang kehidupan sosial adalah agama. Oleh karena itu, agama diambil kekuatannya untuk menjadi penopang tungku keharmonisan dan toleransi dalam kehidupan sosial. Yang diutamakan adalah kehidupan sosial yang damai dan toleran. Agama berposisi sebagai pemberi nilai/ajaran agar tujuan tersebut terjaga. Posisi agama sebagai penyangga kehidupan sosial ini akhirnya membutuhkan peran para tokoh agama. Tokoh agama bukan saja berfungsi untuk membina umatnya sendiri, melainkan juga membangun jalinan sosial dengan tokoh agama lain. Hubungan baik ini pada akhirnya berimbas pada konstruksi interaksi dan kerjasama antarumat beragama (Ernas 2014). Hubungan baik inilah yang dalam banyak hal sangat bermanfaat dalam menyelesaikan banyak problem sosial di Papua, salah satunya konflik. Tebay (2006) memberikan contoh tentang itu. Tebay menguraikan peran dari tokoh-tokoh agama dalam proses resolusi konflik. Motto yang diusung adalah Papua Tanah Damai. Pada tahun 2000, para pemimpin agama bersatu mengkampanyekan perdamaian. Menurut Tebay, membangun perdamaian di Papua mesti dimulai dengan mengembalikan kehormatan terhadap martabat kemanusiaan orang Papua. Dalam konteks ini, para pemuka agama relatif memiliki peran penting dalam membangun kedamaian di Papua.
74
Penutup
BAB V PENUTUP Sejarah keterpurukan Papua bukan baru dimulai sejak Papua masuk menjadi bagian RI. Keterpurukannya sudah terjadi sejak masa kolonial Belanda menguasai Papua. Di mana saat itu, warga Papua dalam strata sosial dan politik menjadi kelas tiga. Strata pertama adalah warga Belanda. Strata kedua ditempati oleh warga luar Papua yang dipekerjakan oleh pemerintah kolonial di Papua. Dan strata ketiga warga Papua sendiri. Mereka tidak diberi kesempatan sedikit pun dalam sistem pemerintahan kolonial Belanda di Papua. Hingga kemudian saat pemerintah kolonial memberikan kesempatan kepada warga asli Papua untuk belajar (baca: sekolah). Setelah itu persaingan antara warga asli Papua dengan warga luar Papua mulai terjadi. Namun, persaingan itu tidak banyak menolong posisi kelas sosial dan politik warga Papua. Sebab hanya beberapa orang Papua yang memperoleh kesempatan untuk sekolah. 75
Mutiara Terpendam
Pasca Pepera kemudian Papua menjadi bagian dari RI dengan nama baru Irian Jaya. Setelah bergabung dengan RI, kondisi orang Irian Jaya tidak mengalami perubahan. Bahkan pemerintah RI dianggap gagal meneruskan program pendidikan yang sebelumnya sudah dicanangkan pemerintah kolonial. Akibat dari tidak adanya perhatian pemerintah terhadap akses pendidikan ini membuat makin tertutupnya orang Irian Jaya memperoleh akses politik. Kondisi ini diperburuk oleh kebijakan pemerintah yang mendatangkan warga luar Papua untuk mengelola pemerintahan di Irian Jaya. Akibat lanjutnya adalah perasaan sakit hati yang dirasakan orang Irian Jaya terhadap pemerintah RI. Jika sebelumnya mereka merasa ditelikung dalam Pepera, kebijakan mendatangkan warga luar Irian Jaya makin menambah ketidakpercayaan orang Irian Jaya terhadap pemerintah RI.
Di pihak lain, pemerintah RI memandang Irian Jaya sebagai provinsi yang membutuhkan investasi pembangunan. Sayangnya, program pembangunan ini tanpa melibatkan dan mempertimbangkan orang Irian Jaya. Dengan kata lain, pembangunan manusianya tidak memperoleh perhatian. Hal ini berimplikasi pada bidang sosial, ekonomi, dan politik di Irian Jaya ditentukan oleh orang luar Irian Jaya. Kecemburuan pun memperoleh relevansinya. Gerakan-gerakan separatis pun bermunculan. Keinginan merdeka bergelora. Sementara pemerintah menyikapi hal ini dengan reaktif. Pasukan bersenjata dihadirkan untuk melawan para separatis. Kondisi hubungan Irian Jaya-Jakarta (Indonesia) makin buruk. Satu pihak ingin memperoleh kemerdekaan akibat ketidakadilan yang selama ini diderita. Pihak lain menganggap Irian Jaya sudah resmi menjadi bagian dari RI, sehingga setiap gerakan yang mencoba menggoyangnya akan dilawan. Melihat kondisi ini, pemerintah menawarkan langkah dialog untuk memediasi ketegangan. Dialog pun dilakukan. Bahkan sudah berkali-kali. Tetapi konflik bersenjata juga tidak 76
Penutup
kunjung berhenti. Dialog sama sekali tidak mampu memecahkan masalah. Buntu! Orang Irian Jaya mengibaratkannya sebagai merebus batu. Tak ada gunanya. Kegagalan dialog pada dasarnya disebabkan oleh perspektif awal masing-masing pihak dalam dialog. Orang Irian Jaya memiliki persepsi bahwa dialog diselenggarakan dalam rangka untuk memperoleh kemerdekaan. Sementara pemerintah RI menempatkan posisi lebih superior di atas orang Irian Jaya. Irian Jaya adalah bagian dari Indonesia. Menurut pemerintah, dialog bertujuan untuk memberikan peluang akses kepada orang Papua. Pembangunan akan segera dilaksanakan. Akan tetapi, orang Irian Jaya tidak lagi peduli dengan pemerintah RI. Kepercayaan mereka terhadap pemerintah RI semakin luntur.
Beberapa LSM pun hadir untuk membantu mencari jalan lain dialog. Ketika Irian Jaya berganti nama menjadi Papua lagi, program-program LSM makin masif. Gerakan tersebut bukan ingin melerai konflik Papua-Jakarta, melainkan ingin menyentuh kebutuhan dasar orang Papua, yakni meningkatkan kapasitas, baik kapasitas dalam pengelolaan pemerintahan maupun kesadaran hak ekonomi dan politik. Gerakan ini memang tidak dapat diharapkan akan memperoleh hasilnya dengan cepat. Ini adalah program jangka panjang. Penguatan kapasitas ini penting, sembari upaya dialog Papua-Jakarta tetap dilakukan dengan opsi ada kesejajaran posisi di antara keduanya. Tidak ada yang di atas dan di bawah. Agenda dialog juga dibahas bersama sebelumnya. Tentu saja dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan budaya orang Papua. Menyimak perjalanan ketegangan, konflik politik, dan kegagalan dialog di atas, agaknya ada ruang kosong yang selama ini belum disentuh dalam proses tersebut. Tampak sekali perspektif Papua sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan maupun agenda dialog. Perspektif Papua yang dimaksud adalah bagaimana orang Papua melihat dirinya, kelompoknya, lingkungannya, alamnya, dan dunianya. 77
Mutiara Terpendam
Padahal, Pengetahuan tentang perspektif Papua sangat penting untuk memperoleh pondasi tentang apa yang sebenarnya diinginkan oleh orang Papua. Jika tidak, agaknya sulit untuk membangun Papua dengan hati. Sulit membangun Papua dengan cara damai.
Pengetahuan tentang Papua tersebut dapat diperoleh dengan mencoba menyelami budaya yang dimiliki orang Papua. Memahami juga tentang agama-agama mereka. Papua memiliki kekayaan budaya dan tradisi yang luar biasa. Masing-masing suku bangsa memiliki sistem kebudayaan dengan seperangkat ritualnya yang bermacam-macam. Sistem kebudayaan inilah yang membangun sistem pengetahuan dan pandangan dunia (worldview) orang Papua. Bagaimana mereka memaknai diri, kelompok, lingkungan sosial, alam, dan bahkan tuhannya. Bagaimana mereka mengelola kehidupan di dalam kelompoknya. Bagaimana mereka membangun sistem untuk berhubungan dengan suku bangsa lain. Jika terjadi konflik antaranggota suku bangsa terjadi, mekanisme kultural apa yang tersedia untuk menyelesaikannya. Ritual apa saja yang memberikan nilai terbangunnya solidaritas, toleransi, dan perdamaian di antara mereka. Jika terjadi konflik antarsuku bangsa, mekanisme kultural apa yang tersedia untuk menyelesaikannya. Ritualritual apa yang memfasilitasi lahirnya kesepakatan pasca konflik. Bagaimana mekanisme terbangun agar masing-masing suku bangsa membuat kesepakatan untuk damai, toleransi, dan penuh solidaritas. Setelah sedikit banyak menelisik keragaman suku bangsa dan agama orang Papua, sebenarnya banyak sekali nilai kultural dari kearifan lokal yang dapat digunakan sebagai modal sosial memperkuat perdamaian, toleransi, dan solidaritas di Papua. Banyak sekali ritual, meskipun ritual sederhana seperti pemberian maskawin perkawinan, ternyata di dalamnya menyimpan makna solidaritas, peneguhan identitas, dan toleransi. Dan ujungnya adalah mengantisipasi konflik. Nilai-nilai itulah yang absen 78
Penutup
dalam proses dialog. Pemerintah selama ini abai terhadap nilainilai kultural warganya. Hal ini tidak hanya terjadi di Papua. Di banyak wilayah di Indonesia, kebijakan pemerintah kurang memperhatikan perspektif lokal ini. Padahal, dalam konteks Papua, untuk memperkuat perdamaian dan toleransi relatif tidak membutuhkan campur tangan pihak lain. Kekayaan budaya yang dimiliki Papua sudah lebih dari cukup untuk digali dan dimanfaatkan sebagai modal sosial membangun perdamaian dan toleransi.
Oleh karena itu, kesimpulan yang dapat diambil adalah, dalam konteks Papua, keragaman suku bangsa dan agama di Papua adalah kekayaan budaya yang sangat berharga. Mutiara terpendam! Kekayaan tersebut merupakan alternatif solusi jika ingin membangun dialog dengan hati. Alternatif solusi yang menempatkan orang Papua sebagai subyek, bukan obyek. Ketersediaan beragam modal sosial dan kultural akan menjamin titik cerah perdamaian dan toleransi di bumi Cenderawasih.
79
Mutiara Terpendam
Daftar Pustaka
Buku
Andersen, Oysten Lund, 2007. Suku Ketengban di daerah Nongme dan Lingkungan Mereka, Jayapura: Universitas Cendrawasih.
Athwa, Ali, 2004. Islam atau Kristenkah Agama Orang Irian?, Jakarta: Pustaka Da’i. Bhandari, Humnath & Kumi Yasunobu, 2009. “What is Social Capital? A Comprehensive Review of the Concept,” Asian Journal of Social Science, 37.
Chauvel, Richard, 2005. Constructing Papuan Nationalism: History, Ethnicity, and Adaptation, Policy Studies 14, Washington: East-West Center.
Dale, Cypri J. P. & John Djonga, 2011. Paradoks Papua: Pola-pola Ketidakadilan Sosial, Pelanggaran Hak atas Pembangunan, dan Kegagalan Kebijakan Afirmatif, dengan Fokus di Kabupaten Keerom, Papua dan NTT: FOKER LSM, YTHP, Sunspirit For Justice and Peace.
Encyclopaedia Britannica, 2007. “Anthropology, The study of ethnicity, minority groups, and identity”.
Ernas, Saidin, 2014. “Dinamika Integrasi Sosial di Papua Fenomena Masyarakat Fakfak di Provinsi Papua Barat”, dalam Jurnal Kawistara, Vol. 4 No. 1. 80
Daftar Pustaka
Esser, Hartmut, 2008. “The Two Meanings of Social Capital,” Dario Castiglione, Jan W. Van Deth, Guglielmo Wolleb (eds), Handbook of Social Capital, Oxford: Oxford University Press. Farhadian, Charles E., 2005. Christianity, Islam, and Nationalism in Indonesia, New York: Routledge.
Forum Mahasiswa Peduli Masyarakat Pegunungan Tengah (FMPMPT) Papua, “Transmigrasi di Papua”, dalam https://groups.yahoo.com/neo/groups/Komunitas_Papua/ conversations/topics/20686. Diakses 30 April 2013. Gesthuizen, Maurice, (et.al), 2009. “Ethnic Diversity and Social Capital in Europe: Tests of Putnam’s Thesis in European Countries,” Scandinavian Political Studies, Vol. 32 – No. 2.
Gietzelt, Dale, 1985. Indonesia in West Papua: The Dynamics of Indonesianization, Thesis di Departement of Anthropology, University of Sydney. Hamid, Idrus al-, 2014. Jayapura dalam Transformasi Agama dan Budaya: Memahami Akar Konflik Kristen-Islam di Papua, Disertasi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Harple, Todd S., 2000. Controlling the Dragon: An EthnoHistorical Analysis of Social Engagement (Indonesian Papua/ Irian Jaya), Disertasi di The Australian National University. Indiyanto, Agus, 2013. Profil Penduduk menurut Agama yang Dianut di Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, Yogyakarta: CRCS UGM. Tidak dipublikasikan. Institut Teknologi Bogor, “Gambaran Umum Provinsi Papua”, dalam http://repository.ipb.ac.id/bitstream/ handle/123456789/ 53600/BAB%20IV%20Gambaran%20 Umum%20Provinsi%20Papua.pdf ?sequence=4. Diakses pada 02 Mei 2013.
81
Mutiara Terpendam
Jennifer Bensley (1994), The Dani Church of Irian Jaya and the Challenges Its Facing Today. Kandipi, Dian, “Faiths Co-exist Peacefully in Papuan Town,” Khabar Southeast Asia diakses dari http://khabarsoutheastasia. com/en_GB/articles/apwi/articles/features/2013/12/18/ feature-04 pada tanggal 18 Agustus 2014. Klinken, Gerry van, 2004. “Ethnicity in Indonesia”, dalam Colin Mackerras (ed), Ethnicity in Asia, London dan New York: Routledge.
Lin, Nan, 2008. “A Network Theory of Social Capital,” Dario Castiglione, Jan W. Van Deth, Guglielmo Wolleb (eds), Handbook of Social Capital, Oxford: Oxford University Press. Maarif, Samsul (et al.), 2014. “Peran Kearifan Lokal Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dalam Pengelolaan Keragaman”. Dalam Mendukung Keistimewaan Yogyakarta melalui Perspektif Keilmuan Multidisiplin Guna Membangun Kemandirian Bangsa. Yogyakarta Sekolah Pascasarjana, UGM. Meteray, Bernard, 2012. Nasionalisme Ganda Orang Papua , Jakarta: Kompas.
Mujiburrahman (et al.), 2011. Badingsanak Banjar-Dayak: Identitas Agama dan Ekonomi Etnisitas di Kalimantan Selatan. Yogyakarta: CRCS UGM.
Munir, Rozy, 2011. “Migrasi”,Ed. Sri Moertiningsih Adioetomo & Omas Bulan Samosir “Dasar-dasar Demografi”, Depok: Penerbit Salemba Empat dan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. O’Brien, Denise, 1969. A Highland New Guinea Society, The Graduate school of Yale University.
Parimartha, I Gde (et al.), 2012. Bulan Sabit di Pulau Dewata: Jejak Kampung Kusamba Bali. Yogyakarta: CRCS UGM. 82
Daftar Pustaka
Putnam, Robert D, 2007. “E Pluribus Unum: Diversity and Community in the Twenty-first Century,” Scandinavian Political Studies, Vol. 30 – No. 2.
Ress, Stuart, et.al., 2004. “Peace Building and Development in West Papua--Dialogue versus Violence: Hearing Other Voices: A Report on Workshop IV, August 16-17, 2004, and Future Directions for the Project”, The West Papua Project Position Paper No 5, November 2004.
Rizzo, Susanna G., 2004. From Paradise Lost to Promised Land: Christianity and the Rise of West Papuan Nationalism, Disertasi di University of Wollongong, New South Wales, Australia.
Rumbewas, Spener, 2005. Poverty in Three Villages in Papua, Disertasi bidang Development Studies, Massey Universtiy, New Zealand. Rumere, Victor, 2011. “Pengembangan Ekonomi dan Investasi Berbasis Migas di Papua Barat”, dalam I Ngurah Suryawan (ed.), Tanah Papua di Garis Batas: Perspektif, Refleksi & Tantangan, Malang: Setara Press.
Safrida, 2014. “Kerangka Teori” dalam http://www.damandiri. or.id/file/safridaipbbab3.pdf. Diakses pada 6 Januari 2015. Saksi Mata, “Gubernur Papua: Migrasi ke Papua Tertinggi di Dunia”, edisi Jumat, Mei 21, 2010, dalam http://sampari. blogspot.com/2010/05/gubernur-papua-migrasi-ke-papua. html. Diakses pada 30 April 2013.
Schulman, Neville, 1997. Zen Exploration In Remotest New Guinea, UK: Summersdale. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP), 2006. Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi: Dasar Menangani Konflik di Papua. Jayapura: SKP.
83
Mutiara Terpendam
Somantri, Lili, 2008. “Mengenal Suku Bangsa di Pegunungan Tengah Papua”, Makalah Seminar Papua Sudah, diselenggarakan oleh Perhimpunan Pencinta Alam JANTERA, di Gedung PKM UPI, Bandung, pada 19 November 2008. Sudjito, Arie, et.al., 2009. Meretas Jalan Perdamaian di Tanah Papua, Yogyakarta: IRE.
Tebay, Neles Kebadabi, 2012. Angkat Pena demi Dialog Papua: Kumpulan Artikel Opini tentang Dialog Jakarta-Papua Tahun 2001-2011, Yogyakarta: Interfidei. Tebay, Neles, 2006. Upaya Lintas Agama demi Perdamaian di Papua Barat (Interfaith Endeavours for Peace in West Papua), Human Rights series, Missio, 24, Aachen, Germany.
Tebay, Neles, 2006. West Papua: The Struggle for Peace with Justice, London: Catholic Institute for International Relation. Tim ALDP, 2013. Fokus Papua, Jayapura: ALDP dan Cipta Media Bersama.
Tjibaou, Jean-Marie, 2005. Kanaky, Canberra: Pandanus Books. Tukan, Peter, “Bakar Batu dan Bayar Kepala Akhiri Perang Suku di Papua,” Pelita diakses dari http://www.pelita.or.id/baca. php?id=32356 tanggal 10 Agustus 2014. Upton, Stuart, 2009. The Impact of Migration on The People of Papua, Indonesia, Disertasi Department of History and Philosophy, University of New South Wales, Australia.
Widjojo, Muridan S. (ed.), 2010. Papua Road Map: Negotiating The Past, Improving The Present, and Securing The Future, Jakarta: KITLV-Jakarta, LIPI, Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
84
Daftar Pustaka
Berita dan Transkrip
“Muslim Suku Fak-Fak Timika Sumbang Pembangunan Gereja,” Republika 2 Oktober 2011, diakses dari http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islamnusantara/11/10/02/lsfg8x-muslim-suku-fakfak-timikasumbang-pembangunan-gereja, pada tanggal 18 Agustus 2014.
Kompasiana, “Potret Kerukunan Umat Beragama di Tanah Papua,” dalam http://sosbud.kompasiana.com/2013/07/15/ pot ret-ker ukunan-ummat-beragama-di-tanahpapua-572763.html. Diakses tanggal 18 Agustus 2014.
Transkrip FGD “Keragaman dan Kerukunan di Papua”, Lemlit STAIN al-Fatah Jayapura, pada 23 Mei 2013 di Jayapura.
85
Mutiara Terpendam
BIODATA PENULIS
Budi Asyhari-Afwan, lulusan program master di Prodi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM. Tujuh tahun terakhir aktif di Divisi Riset dan Data Center CRCS UGM. Minat utama risetnya di sekitar ritual lokal serta hubungan agama dan politik. Dia adalah salah satu penulis Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia yang diterbitkan CRCS UGM. Di luar CRCS UGM, dia aktif menjadi redaktur Majalah Al-Manar.
86