PEMODELAN SPASIAL HABITAT KATAK POHON JAWA (Rhacophorus javanus Boettger 1893) DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN PENGINDERAAN JARAK JAUH DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT
MUHAMMAD IRFANSYAH LUBIS
DEPERTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PEMODELAN SPASIAL HABITAT KATAK POHON JAWA (Rhacophorus javanus Boettger, 1893) DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN PENGINDERAAN JARAK JAUH DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPERTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
SUMMARY Muhammad Irfansyah Lubis. E34103003. “Spatial Modeling of the Javan Tree Frog (Rhacophorus javanus Boettger 1893) Habitat Using GIS and Remote Sensing in Gede Pangrango National Park, West Java”. Under supervision of MIRZA DIKARI KUSRINI and LILIK BUDI PRASETYO The Javan Tree Frog is one of the Vulnerable species listed in IUCN’s Red List due to its distribution of less than 20,000 km2, fragmention of its habitat, and the decreasing the quality and quantity of forest in Java. Gede Pangrango National Park (GPNP) is one of the habitats of the species. Habitat modeling is an important application to be used for rare species such as the Javan Tree Frog to create a spatial model of its habitat.The aims of this research were to create a model of the habitat distribution of the Javan Tree Frog in GPNP using GIS and Remote Sensing. A computerized Geographic Information System (GIS) program and remote sensing were developed and used to identify suitable locations of Javan Tree Frog habitat. The GIS database integrated five different thematic map layers: Leaf Area Index (LAI), river buffer map, temperature map, elevation and slope map. These layers were then overlaid and assigned weights determined from analyzing the distribution of Javan Tree Frog using Principle Component of Analysis (PCA). PCA analysis produced two principle components where 55% of the five variables studied were described by the two components. Component 1 was 1.71 and component 2 was 1.069. Variables included in Component 1 were canopy cover, distance from river, elevation, and temperature. Slope was included in Component 2. Therefore, habitat suitability model for the Javan Tree Frog in GPNP was Y = {(1.71x SFElevation) + (1.07xSFSlope) + (1.71x SFLeaf Area Index) + (1.71x SFDistance from river) + (1.71x SFTemperature)}. From the model map, the lowest pixel obtained was 7.9 and the highest was 26.0 with standard deviation of 2.8 and mean of 17.44. Based on the data, the low habitat suitability class for Rhacophorus javanus was 7.9-20.25, medium suitability class was 20.25 – 21.65, and high suitability class was 21.65 – 26.0. High habitat suitability class covered only 9% of the total national park area, while the class with the greatest area was low habitat suitability covering 87% of the total park area. This model of Javan Tree Frog habitat is 93,75% validated for the high suitability class. Key words: Javan Tree Frog, Habitat modelling, GPNP.
RINGKASAN Muhammad Irfansyah Lubis. E34103003. “Pemodelan Spasial Habitat Katak Pohon Jawa (Rhacophorus javanus Boettger 1893) Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis Dan Penginderaan Jarak Jauh di Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa Barat”. Di bawah bimbingan MIRZA DIKARI KUSRINI dan LILIK BUDI PRASETYO Katak pohon Jawa (Rhacophorus javanus) termasuk jenis katak yang jarang ditemui karena penyebarannya yang sedikit. Pada tahun 2004 jenis ini masuk daftar IUCN (International Union Conservation Natural) sebagai jenis yang Vulnerable (terancam) karena penyebarannya kurang dari 20.000km2, habitatnya yang terfragmentasi dan penurunan kualitas dan kuantitas hutan di Pulau Jawa. Salah satu lokasi penyebaran yang diketahui saat ini adalah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model sebaran spasial habitat R. javanus di TNGP dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jarak Jauh. Pemodelan spasial habitat Katak Pohon Jawa dilaksanakan di TNGP pada November 2006-April 2007. Pembuatan peta kesesuaian habitat Katak Pohon Jawa dilakukan dengan mengevaluasi beberapa variabel seperti kerapatan tajuk, kelerengan, ketinggian, jarak dari sungai dan sebaran temperatur. Parameter-parameter ini dianalisis dengan menggunakan SIG dan Citra Satelit sehingga menghasilkan peta tematik untuk setiap variabel. Dari data tersebut kemudian dianalisis dengan PCA (Principal Component of Analysis) sehingga menghasilkan nilai komponen utama yang akan dijadikan bobot pada setiap variabel. Bobot ini lalu dijadikan model spasial habitat yang dianalisis dengan menggunakan beberapa metode, dimulai dari metode scoring, pembobotan dan overlay sehingga menghasilkan peta kesesuaian habitat Analisis PCA menghasilkan 2 komponen utama dimana sebanyak 55% dari kelima variabel telah dapat dijelaskan oleh kedua komponen tersebut. Komponen 1 memiliki nilai 1,71 sedangkan komponen 2 sebesar 1,07. Variabel yang termasuk dalam komponen 1 adalah kerapatan tajuk, jarak dari sungai, ketinggian dan sebaran temperatur sedangkan variabel komponen 2 adalah kemiringan lereng. Dengan demikian, model indeks kesesuaian habitat bagi Katak Pohon jawa di TNGP adalah Y = {(1.71x FKKetinggian) + (1.07xFKKemiringan lereng) + (1.71x FKKerapatan tajuk) + (1.71x FKJarak dari Sungai) + (1.71x FKTemperatur) }. Dari peta model tersebut, nilai piksel terendah adalah 7,90 dan tertinggi adalah 26,00 dengan standar deviasi data yang dihasilkan sebesar 2,81 dan rerata (mean) sebesar 17,44. Berdasarkan data tersebut, kesesuaian habitat R. javanus rendah dengan selang 7,9–20,25, sedang dengan selang 20,25–21,65 dan tinggi dengan selang 21,65–26,00. Hasil analisis peta kesesuaian habitat menunjukkan kelas kesesuaian tinggi memiliki luas 9%, kesesuaian sedang memiliki luas 4%, sedangkan daerah dengan kesesuaian rendah sebesar 87% dari total luas kawasan. Model kesesuaian habitat Katak Pohon Jawa ini dapat diterima dengan tingkat validasi mencapai 93,75% untuk kesesuaian habitat tinggi. Kata kunci: Katak Pohon Jawa, Model Habitat, TNGP
Judul Penelitian : Pemodelan Spasial Habitat Katak Pohon Jawa (Rhacophorus javanus Boettger 1893) Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis Dan Penginderaan Jarak Jauh Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat Nama
: Muhammad Irfansyah Lubis
NRP
: E34103003
Departemen
: Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Menyetujui Komisi Pembimbing Ketua,
Anggota,
Dr. Ir. Mirza D. Kusrini, M.Si. NIP. 131 878 493
Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc. NIP. 131 760 841
Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. NIP. 131 578 788
Tanggal lulus:
KATA PENGANTAR Maha besar Allah SWT yang telah menciptakan dunia dan seisinya yang dengan rahmat-Nya menjadikan manusia khalifah di bumi. Indonesia memiliki kekayaan hidupan satwaliar yang sangat beragam. Keanekaragaman ekosistem pada daerah tropis memberikan habitat tersendiri pada keberadaan spesies endemik. Beberapa spesies endemik diketahui memiliki habitat pada ekosistem hutan di Indonesia. Salah satu jenis satwaliar yang endemik Indonesia khususnya di Pulau Jawa adalah Katak Pohon Jawa (Rhacophorus javanus Boettger 1893) yang sampai saat ini belum diketahui pola sebaran habitatnya di daerah-daerah di Pulau Jawa. Penyusunan skripsi yang berjudul “Pemodelan Spasial Habitat Katak Pohon Jawa (Rhacophorus javanus Boettger 1893) Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jarak Jauh di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat” dilakukan di bawah bimbingan Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Dr. Ir. Lilik B Prasetyo, M.Sc. Pada akhirnya, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan kebaikan bagi banyak pihak.
Bogor, Maret 2008
M. Irfansyah Lubis
i
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang Sidempuan pada tanggal 29 Maret 1985. Penulis merupakan anak keempat dari pasangan Drs. Syahrial Lubis dan Anizar Sirait. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1997 di SD Negeri 16 Padang Sidempuan, kemudian melanjutkan di SLTP Negeri 4 Padang Sidempuan pada tahun 1997 sampai dengan 2000. Pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU) diselesaikan pada tahun 2003 di SMU Negeri 4 Padang Sidempuan. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen
Konservasi
Sumberdaya
Hutan
dan
Ekowisata,
Fakultas
Kehutanan. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif di kegiatan organisasi Kedaerahan Ikatan Mahasiswa Tapanuli Selatan (IMATAPSEL) periode 20032004. Selain itu, penulis juga aktif dalam kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA), periode tahun 2004 – 2006 sebagai anggota Kelompok Pemerhati Herpetofauna “Phyton” (KPH “Phyton”) HIMAKOVA. Penulis telah melaksanakan kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Cagar Alam Leuweung Sancang, Taman Wisata Alam Kamojang dan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Garut Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Pemodelan Spasial Habitat Katak Pohon Jawa (Rhacophorus javanus Boettger 1893) Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jarak Jauh di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat” di bawah bimbingan Dr. Ir. Mirza D. Kusrini, MSi dan Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc.
ii
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya penulis haturkan kepada kedua orang tua tercinta (Ibu dan Bapak) atas semua do’a dan kasih sayang yang tak pernah putus serta dukungan moral maupun materi yang telah engkau berikan. Skripsi ini tidak mungkin dapat disusun tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc yang telah banyak memberikan bimbingan, bantuan serta motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS. selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan dan Dr. Lina Karlinasari, S. Hut, M.Sc. selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan bagi kesempurnaan skripsi ini. 3. British Petroleum Conservation Program (BPCP) melalui Proyek Amfibi Gede Pangrango (Ketua: Mirza D. Kusrini) atas bantuan dana dan peralatan yang diberikan. 4. Keluarga besar Frog Team KSHE IPB : Neneng, Boy, Lutfi, Dian, Ririn, Wempy, Inggar, Yazid, Reza, Feri dan Rima serta angkatan 41 yang telah membantu dalam pengambilan data di lapang. 5. Mas Tri (PPLH), Mas Yudi (PPLH), Mas Syarif (PPLH), Rudy KSH’39, Nanang dan Bilal yang telah membantu dalam pengolahan peta dan analisis spasial. 6
Tim P3H KPH Garut 2006 : Yuyun, Imran, Reza yang telah memberikan semangat untuk cepat lulus.
7. Tim PKLP TN Alas Purwo 2007 : Ruri, Adi, Imran, Reren, Boy yang telah memberikan banyak kenangan yang tak terlupakan. 8. Asyraf, Deden, Joko, Gondes, serta seluruh teman-teman KSH-ers ’40 untuk keceriaan dan semangat serta kehangatan persahabatan yang diberikan. 9. Seluruh staf pengajar di Fakultas Kehutanan IPB atas ilmu yang telah diberikan, Staf KPAP DKSHE : Bu Evan, Bu Titin, Bu Ratna, Pak Acu, Teh Sri, dll yang telah banyak membantu dalam kegiatan administrasi 10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, terima kasih.
iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ..................................................................................
i
RIWAYAT HIDUP.........................................................................................
ii
UCAPAN TERIMAKASIH ..........................................................................
iii
DAFTAR ISI .................................................................................................
iv
DAFTAR TABEL ........................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
ix
I.
PENDAHULUAN .................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2 Tujuan ...........................................................................................
1
1.3 Manfaat .........................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
3
2.1 Katak Pohon Jawa (Rhacophorus Javanus Boettger 1893) ..........
3
2.1.1 Taksonomi .............................................................................
3
2.1.2 Morfologi ................................................................................
3
2.1.3 Habitat dan Penyebaran ........................................................
4
2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG) ..................................................
6
2.2.1 Komponen Dasar Dalam Penggunaan SIG ...........................
6
2.2.2 Fungsi Analisis Dalam SIG ....................................................
7
2.3 Penginderaan Jarak Jauh .............................................................
7
2.4 SIG dan Penginderaan Jarak Jauh .................................................
8
2.5 Aplikasi SIG Untuk Konservasi Satwa Liar Terutama Amfibi ........
9
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN .............................................
11
3.1 Sejarah, Letak dan Luas Kawasan..................................................
11
3.1.1 Sejarah Kawasan ..................................................................
11
3.1.2 Letak dan Luas Kawasan ......................................................
12
3.2 Iklim ................................................................................................
13
3.3 Geologi dan Tanah ........................................................................
13
3.4 Topografi ........................................................................................
14
3.5 Hidrologi .........................................................................................
14
II.
iv
3.6 Flora dan Fauna..............................................................................
14
3.6.1 Flora ......................................................................................
14
3.6.1 Fauna ....................................................................................
16
3.7 Kondisis Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat .........................
16
IV. METODE PENELITIAN .......................................................................
17
4.1 Lokasi dan Waktu ...........................................................................
17
4.2 Peralatan .......................................................................................
17
4.3 Data yang Digunakan ....................................................................
17
4.4 Asumsi Dalam Membuat Model .....................................................
18
4.5 Penentuan Nilai Skor Kelas Kesesuaian Setiap Variabel ..............
20
4.6 Pengolahan Peta ...........................................................................
21
4.6.1 Pengolahan Citra ...................................................................
21
4.6.2 Pembuatan Peta LAI (Leaf Area Index) .................................
21
4.6.3 Pembuatan Peta Temperatur ................................................
22
4.6.4 Pembuatan Peta Ketinggian dan Peta Kemiringan Lereng ............................................................................................
22
4.6.5 Pembuatan Peta Jarak Dari Sungai ......................................
23
4.7 Analisis Data ..................................................................................
24
4.7.1 Analisis Komponen Utama (Principal Component of
V.
Analysis) .........................................................................................
24
4.7.2 Analisis Spasial .....................................................................
24
4.8 Validasi Model ................................................................................
25
HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
28
5.1 Hasil ...............................................................................................
28
5.1.1 Peta Kerapatan Tajuk LAI .....................................................
28
5.1.2 Peta Temperatur ....................................................................
29
5.1.3 Peta Ketinggian Tempat .......................................................
30
5.1.4 Peta Kemiringan Lereng ........................................................
31
5.1.5 Peta Jarak Dari Sungai ..........................................................
32
5.1.6 Analisis Komponen Utama ....................................................
32
5.1.7 Model Kesesuaian Habitat .....................................................
34
5.1.8 Validasi Model .......................................................................
35
5.2 Pembahasan ..................................................................................
35
5.2.1 Analisis Model Kesesuaian Habitat .......................................
35
v
5.2.2 Sumber-sumber Bias .............................................................
41
5.2.3 Ancaman Terhadap Habitat Katak Pohon Jawa ....................
43
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
45
6.1 Kesimpulan .....................................................................................
45
6.2 Saran .............................................................................................
45
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
46
LAMPIRAN .................................................................................................
50
vi
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Perbandingan ukuran SVL Katak Pohon Jawa ..................................
4
2. Perbandingan daerah penyebaran Katak Pohon Jawa ......................
4
3. Beberapa penelitian tentang Katak Pohon Jawa ................................
5
4. Karakteristik spektral Landsat Thematic Mapper................................
8
5. Jenis data............................................................................................
18
6. Skor tiap variabel ...............................................................................
20
7. Piksel info ..........................................................................................
25
8. Penentuan selang skor .....................................................................
25
9. a)Tabel hasil analisis PCA ................................................................
33
b)Tabel vektor ciri .............................................................................
33
10. Tabel nilai bobot tiap variabel ...........................................................
33
11. Tabel skor tiap kelas kesesuaian ......................................................
34
12. Tabel validasi tiap kelas kesesuaian .................................................
35
13. Perbandingan suhu habitat Katak Pohon Jawa pada dua analisis yang berbeda .......................................................................
40
vii
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. (Rhacophorus Javanus) .....................................................................
4
2. Daerah penyebaran Rhacophorus Javanus di Pulau Jawa ...............
6
3. Peta kawasan Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) ..............
12
4. Kerangka pembuatan peta kerapatan tajuk LAI ................................
21
5. Kerangka pembuatan peta temperatur .............................................
22
6. Kerangka pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng ..........
23
7. Kerangka pembuatan peta jarak dari sungai ......................................
23
8. Diagram alir penelitian ........................................................................
27
9. Peta kerpatan tajuk LAI.......................................................................
28
10. Peta temperatur ..................................................................................
29
11. Peta ketinggian ...................................................................................
30
12. Peta kemiringan lereng .......................................................................
31
13. Peta jarak dari sungai .........................................................................
32
14. Peta kesesuaian habitat Katak Pohon Jawa .....................................
34
15. Peta zonasi kawasan TNGP ...............................................................
36
16. Titik keberadaan Katak Pohon Jawa di Sungai Cibereum ................
37
17. Peta temperatur Katak Pohon Jawa di Telaga Biru-Rawa Denok.......
39
18. Peta ketinggian titik beberapa Katak Pohon Jawa .............................
41
viii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Data titik Rhacophorus Javanus di TNGP pada masing-masing peta tematik .......................................................................................
50
2. Data titik Rhacophorus Javanus di TNGP (Kusrini et al. 2005,2007)..........................................................................................
52
3. Kelas tiap peta tematik dan luasannya .............................................
54
ix
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Amfibi merupakan salah satu keanekaragaman hayati Indonesia yang kurang mendapat perhatian. Di sekitar Jawa saat ini diketahui terdapat sekitar 450 jenis amfibi, sebagian besar di antaranya dapat dijumpai di hutan-hutan di sekitar Jawa Barat yakni sekitar 37 jenis dari semua jenis yang ada di Jawa dan Bali (Iskandar 1998). Sedangkan untuk kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dan sekitarnya tercatat 18 jenis dari lima famili (Kusrini et al. 2007; Liem 1971). Rhacophorus adalah salah satu marga dari Famili Rhacophoridae yang dapat ditemukan mulai dari semenanjung Asia sampai Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Di Pulau Jawa, katak dari marga Rhacophorus yang merupakan jenis katak pohon sejati hanya ada dua jenis yaitu Rhacophorus javanus dan Rhacophorus reiwardtii (Iskandar 1998). Katak pohon Jawa (R. javanus) termasuk jenis katak yang jarang ditemui karena penyebarannya yang sedikit. Pada tahun 2004, jenis ini masuk daftar IUCN sebagai jenis yang Vulnerable (terancam) karena penyebarannya kurang dari 20.000 km2, habitatnya yang terfragmentasi dan penurunan kualitas dan kuantitas hutan di Pulau Jawa (Iskandar & Mumpuni 2004 dalam IUCN 2007). Salah satu lokasi penyebaran yang diketahui saat ini adalah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Iskandar 1998; Kusrini et al. 2005, 2007). Pemodelan spasial sangat perlu dilakukan terutama pada satwa-satwa yang langka karena dapat memprediksi distribusi spesies dan habitatnya untuk mempermudah pengontrolan populasi dan pengelolaan habitat. Penelitian pemodelan spasial untuk amfibi belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh sebab itu, penelitian tentang pemodelan spasial habitat katak Rhacophorus javanus di kawasan TNGP Jawa Barat perlu dilakukan untuk mengetahui variasi lingkungan tempat hidup yang penting bagi Katak Pohon Jawa. 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model sebaran spasial habitat Rhacophorus javanus di TNGP dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jarak Jauh.
1
1.3. Manfaat Penelitian ini dapat memberikan kontribusi ilmiah maupun kontribusi bagi pengelolaan
kawasan
konservasi
terutama
dalam
pelestarian
satwaliar
khususnya katak di kawasan TNGP. Informasi mengenai sebaran spasial habitat jenis ini dapat digunakan untuk menduga potensi ancaman di hutan yang menjadi
penyebaran
alaminya
dan
sebagai
bahan
pertimbangan
bagi
pengelolaan kawasan konservasi lainnya.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Katak Pohon Jawa (Rhacophorus Javanus Boettger 1893) 2.1.1. Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari katak pohon Jawa (Rhacophorus javanus Boettger 1893) berdasarkan Goin et al. (1978) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Phyllum
: Chordata
Class
: Amfibia
Ordo
: Anura
Sub Ordo
: Acosmanura
Famili
: Rhacophoridae
Genus
: Rhacophorus
Spesies
: Rhacophorus javanus Boettger 1893 (Rhacophorus margaritifer) (Rhacophorus barbouri Ahl 1927)
Di Indonesia suku Rhacophoridae terbagi ke dalam 5 genus yaitu: Nyctixalus (2 jenis), Philautus (17 jenis), Polypedates (5 jenis), Rhacophorus (20 jenis) dan Theloderma (2 jenis). Famili Rhacophoridae merupakan keluarga katak pohon di Indonesia menggantikan famili Hylidae yang tersebar luas di dunia (Iskandar 1998). Dari seluruh jenis famili Rhachophoridae yang ada di Indonesia, hanya ada 8 jenis yang dapat ditemukan di Pulau Jawa, dengan 2 jenis diantaranya berasal dari genus Rhacophorus yaitu Rhacophorus javanus dan Rhacophorus reinwardtii (Iskandar 1998). 2.1.2. Morfologi Menurut Iskandar (1998), katak Pohon Jawa
berukuran kecil sampai
sedang, tubuh relatif gembung, jari tangan kira-kira setengah atau duapertiganya berselaput, semua jari kaki kecuali jari keempat, berselaput sampai kepiringannya, tumit mempunyai sebuah lapisan kulit (flap), tonjolan kulit terdapat sepanjang pinggir lengan, dasar kaki sampai jari luar. Tekstur kulit dengan permukaan dorsum halus, perut termasuk bagian bawah kaki berbintil kecil kasar. Kulit berwarna coklat mahagoni atau kemerahan, sampai ungu dengan bercak-bercak tidak beraturan.
3
a
b
a
a
b
b Gambar 1. Rhacophorus javanus Ket : a) Tonjolan kulit. b). Tonjolan pada tumit. Ukuran katak pohon Jawa sangat bergantung pada jenis kelaminnya. Individu jantan biasanya lebih kecil daripada individu betina. Berdasarkan beberapa literatur maka ukuran SVL (Snout Venth Length) yakni panjang dari moncong sampai tulang ekor tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan ukuran SVL Katak Pohon Jawa SVL
Pencacah
♂
♀
Iskandar (1998)
<50 mm
50 – 60 mm
Kurniati (2003)
36 – 45 mm
44 – 68 mm
< 46 mm
39-63 mm
Kusrini & Fitri (2006)
2.1.3. Habitat Dan Penyebaran Jenis ini memiliki habitat utama berupa hutan hujan tropis dan subtropis pegunungan, lahan basah termasuk sungai permanen, sungai sedang sampai kecil dan air terjun. Sampai saat ini diketahui penyebarannya hanya terdapat di Pulau Jawa-Indonesia antara lain 2 daerah di Jawa Barat yakni Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGH) dan Taman Nasional Gede-Pangrango (TNGP), daerah lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tabel 2. Perbandingan daerah penyebaran Katak Pohon Jawa IUCN (2007)
Pencacah
Penyebaran Diatas 1000 m dpl
Iskandar (1998)
250 – 1500 m dpl
Kurniati (2003)
Dataran rendah sampai 1700 m dpl
Kusrini & Fitri (2006)
600 – 1800 m dpl
Dari pengamatan terhadap sampel yang tersimpan di Museum Zoologi Bogor (MZB) di Cibinong, laporan hasil penelitian dan informasi informal dari
4
penelitian diketahui penyebaran R. Javanus saat ini (Tabel 3). Berikut ini adalah data penyebaran Rhacophorus javanus di Pulau Jawa berdasarkan laporan tertulis dan laporan lisan dari peneliti yang kompeten di bidangnya. Tabel 3. Beberapa penelitian tentang Katak Pohon Jawa No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Pencacah MZB MZB MZB MZB MZB MZB MZB MZB MZB MZB MZB MZB MZB MZB MZB MZB MZB MZB MZB Kusrini Kusrini Kusrini Kusrini Kusrini Kusrini Fanani
Tahun 1963 1996 1964 1963 1963 2001 2004 1999 1999 1964 1997 2004 1996 1999 1997 1999 1997 1997 19-99 2004-2007 2004-2007 2004-2007 2004-2007 2004-2007 2004-2007 2004
Lokasi Cibodas (1450m) CA Telaga Warna Cibodas (1450m) Cibodas TNGH (Taman Nasional Gunung Halimun) Cimamerang, Kabandungan, Sukabumi TNGH Cisarua, Cigudeg, TNGH Gunung Malabar, Jabar Bogor Batu Laman TNGH (1300m dpl) Situ Gede Jabar Hutan Cikorek, TNGH Gn. Botol TNGH Tmn. Wisata Buru, Karembi, Sumedang, Jabar Gunung Salak (1300 m dpl) Sungai Cikaniki, Gn Halimun Log Trail, S. Cikole S. Cisarua 2 Malasari, TNGH Kawah Ratu (TNGH) Sukamanteri (TNGH) Chevron Geothermal Indonesia (TNGH) Cangkuang (TNGH) Ciapus Leutik (TNGH) Ciputri (TNGH) Sleman (1300 m dpl), D.I. Yogyakarta
Catatan: Data dari MZB adalah spesimen koleksi berbagai peneliti yang terdapat pada MZB. Data Kusrini berasal dari laporan penelitian (Kusrini & Fitri 2006) sementara data dari Yogyakarta berasal dari komunikasi dengan peneliti dari Fakultas Biologi UGM (Achmad Fanani Muharromi)
Iskandar (1998) menyebutkan bahwa jenis ini biasanya hidup di hutan primer antara ketinggian dari 250 – 1500 m diatas permukaan laut. Rhacophorus javanus biasanya hidup di daerah yang berhutan di pegunungan bahkan di hutan yang sudah terganggu. Jenis ini umum dijumpai didaerah bervegetasi, dengan kecenderungan populasi yang menurun (Iskandar & Mumpuni 2004 dalam IUCN 2007).
5
Gambar 2. Daerah Penyebaran Rhacophorus javanus di Pulau Jawa 2.2. Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem informasi geografis merupakan alat bantu yang dapat digunakan untuk mengetahui penyebaran geografis spesies tertentu. SIG adalah sistem komputer yang dapat merekam, menyimpan dan menganalisis suatu informasi tentang
keadaan
rupa
bumi.
Dengan
menggabungkan
data-data
yang
berhubungan dengan spesies ke dalam SIG, maka hasil itu dapat ditampilkan. 2.2.1 Komponen Dasar Dalam Penggunaan SIG SIG mempunyai empat komponen dasar, yaitu perangkat keras, perangkat lunak, data dan operator/orang. Perangkat keras menunjukkan komponen komputer yang membentuk kerangka kerja secara fisik dalam sistem yang dijalankan. Sesuai dengan fungsinya, perangkat keras SIG dapat dimasukkan dalam empat kategori utama yaitu: alat masukan (Digitizer, Keyboard), alat penyimpan (Hardisk, CD ROM), alat untuk memproses (prosessor) dan alat untuk pengeluaran (Printer, Plotter). Perangkat lunak menunjukkan program dan fungsi analisis. Data secara spasial digolongkan ke dalam data geografi dan atribut data. SIG dapat menyimpan data geografi struktur dan vektor atau raster.
6
2.2.2. Fungsi analisis dalam SIG Fungsi-fungsi analisis dalam SIG merupakan suatu metode, secara umum metode ini dikelompokkan menjadi 4 kelompok (Aronoff 1989) sebagai berikut ini : 1. Retrieval, re-Klasifikasi dan pengukuran Fungsi analisis dalam kelompok ini memiliki kesamaan ciri yaitu proses yang dilakukan tidak merubah data baik spasial atau atributnya. Retrieval merupakan proses untuk menyeleksi dan menampilkan sebuah atau beberapa data yang memiliki kesamaan ciri atau sifat. Re-klasifikasi merupakan proses menandai kembali data menjadi kelompok baru dengan kriteria tertentu, sedangkan pengukuran meliputi proses untuk mendapatkan ukuran-ukuran seperti panjang, tinggi dan luas. 2. Overlay (tumpang susun) peta Overlay peta akan menghasilkan informasi baru. Informasi ini dihitung dengan menggunakan persamaan-persamaan matematis tertentu dari input data penyusunnya melalui 3 macam yaitu : tumpang susun aritmatika, logika, dan bersyarat. 3. Surface Operation Analisis ini memperhatikan nilai di sekitar titik atau lokasi yang sedang dievaluasi. 4. Connectivity Fungsi yang termasuk fungsi keterkaitan adalah fungsi persinggungan, fungsi kedekatan, fungsi penyebaran, fungsi pencarian dan fungsi penjaringan. 2.3. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lilesand & Kiefer 1990). Komponen dasar suatu sistem penginderaan jarak jauh lokal ditunjukkan dengan adanya hal berikut : suatu sumber tenaga yang beragam, atmosfer yang tidak mengganggu, sensor sempurna, serangkaian interaksi yang unik antara tenaga dengan benda di muka bumi, sistem pengolahan data tepat waktu, berbagai penggunaan data.
7
Perkembangan teknologi penginderaan jauh saat ini atau dimasa yang akan datang memberikan kemungkinan memperoleh data untuk inventarisasi sumberdaya alam yang baru, cepat dan akurat. Satelit penginderaan jauh yang sering digunakan untuk melihat penutupan lahan adalah Satelit Landsat. Citra Landsat komposit warna cocok digunakan untuk menggunakan cakupan lahan dan penggunaannya. Salah satu sensor dari satelit landsat adalah sensor TM (Thematic Mapper) yang memiliki resolusi spasial 30x30 meter dengan karakteristik tersaji pada Tabel 4 berikut ini. Table 4. Karakteristik spektral Landsat Thematic Mapper Band
Panjang Gelombang
Band 1
0,45-0,52 μm
Band 2
0,52-0,60 μm
Band 3
0,63-0,69 μm
Band 4
0,76-0,90 μm
Band 5
1,55-1,75 μm
Band 6
10,40-12,50 μm
Band 7
2,08-2,35 μm
Kegunaan Untuk penetrasi tubuh air, pemetaan perairan pantai, membedakan antara tanah dengan vegetasi, tumbuhan berdaun lebar dan konifer Untuk mengukur puncak pantulan hijau saluran tampak bagi vegetasi guna penilaian ketahanan. Band absorbsi klorofil yang penting untuk diskriminasi vegetasi. Menentukan kandungan biomassa dan deliniasi tubuh air. Menunjukkan kandungan kelembapan vegetasi dan tanah juga bermanfaat untuk membedakan salju dengan awan. Band infra merah termal yang penggunaannya untuk analisa penekanan vegetasi, diskriminasi kelembapan tanah dan pemetaan tanah Band yang diseleksi karena potensi untuk membedakan tipe batuan dan untuk pemetaan hidrotermal.
Sumber : Lo (1995)
2.4. SIG dan Penginderaan Jauh Sistem Informasi Geografi dan penginderaan jauh memiliki keterkaitan yang dinyatakan oleh Howard (1996) bahwa informasi yang diturunkan dari analisis citra penginderaan jauh dilakukan untuk diintegrasikan dengan data yang disimpan dalam bank data SIG. Masukan dari data penginderaan jauh biasanya harus dilengkapi dengan intervensi manusia pada analisisnya. Perkembangan integrasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis adalah estimasi bahwa aliran data memiliki arah yang sama. Aliran yang sebaliknya tidak diinginkan tetapi juga realistis diperlukan dalam analisis penginderaan jauh. Hambatan utama dalam pembiayaan ini adalah biaya untuk membuat basis data digital SIG. Namun hal tersebut dapat ditekan dengan cara peningkatan dan perbaikan tersedianya perangkat keras dan perangkat lunak serta peta-peta digital yang telah tersedia dalam bentuk digital.
8
2.5. Aplikasi SIG Untuk Konservasi Satwa Liar Terutama Amfibi Keunggulan-keunggulan Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai sebuah perangkat sistem yang mudah dioperasikan dengan kemampuan untuk mengumpulkan, menyimpan dan memunculkan lagi, mentransformasi dan menampilkan data spasial dari dunia nyata untuk sebuah maksud atau tujuan tertentu telah membuat SIG sebagai perangkat yang sangat berguna dalam analisa spasial dan telah diaplikasikan dalam berbagai kegiatan, tidak hanya sekedar pemetaan namun juga pemanfaatannya dalam pengelolaan sumberdaya alam maupun konservasi. Lang (1998) menunjukkan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya alam, SIG sangat berperan penting dalam menyediakan kerangka kerja analisis untuk membantu komunitas masyarakat dalam mencari permasalahan-permasalahan yang umum terjadi dan mendiskusikan masalah pembangunannya. SIG dapat digunakan dalam menentukan kesesuaian wilayah untuk pertanian, untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah yang terjadi deforestasi, untuk menganalisis dampak asap polusi udara dan pergerakannya, untuk mengidentifikasi perubahan lahan, untuk mendukung wilayah reklamasi lahan bekas tambang, untuk perlindungan wilayah pantai dari pencemaran, untuk pengelolaan habitat hutan maupun untuk penentuan kawasan sebagai habitat satwa langka. Metode penampalan manual dari penentuan kelimpahan suatu spesies dapat dilakukan secara otomatis dengan SIG. Batas-batas di peta dapat diketahui dengan menggabungkan data tentang distribusi faktor-faktor habitat dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi komunitas yang jarang. Peta kelimpahan jenis dan peta vegetasi dapat digabungkan untuk membuat peta penggunaan lahan dan peta kesesuaian lahan digunakan untuk mengetahui keadaan saat ini dan kemungkinan potensi penurunan keanekaragaman hayati. Kastanya (2001) dalam penelitiannya tentang karakeristik lanskap Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), memanfaatkan program Patch Analyst dalam sistem informasi geografis untuk menduga karakteristik lanskap Elang Jawa diwilayah Pulau Jawa bagian barat. Sedangkan Muntasib (2002) juga memanfaatkan kemampuan analisis spasial SIG dalam menumpangsusunkan data spasial menggunakan model pembobotan. Muntasib mengkombinasikan tiap parameter habitat berdasarkan komponen fisik, biologi dan sosialnya untuk mengetahui pola penggunaan ruang habitat Badak Jawa (Rhinoceros sundaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon.
9
Penggunaan SIG untuk aplikasi konservasi satwa liar sudah mulai banyak dilakukan di Indonesia beberapa diantaranya seperti tertera pada contoh beberapa penelitian diatas (Kastanya 2001, Lang 1998, Muntasib 2002), namun belum ada yang mengunakan metode ini untuk konservasi amfibi di Indonesia, sedangkan di luar negeri hal ini sudah banyak dilakukan. Penelitian di bidang amfibi sangat diperlukan karena laporan terakhir menyebutkan populasi amfibi telah menurun drastis hampir di seluruh dunia akibat kerusakan habitat, kehilangan habitat, fragmentasi habitat, dan perubahan iklim global (IUCN 2007; Pellet 2005). Oleh karena itu, penelitian berbasis SIG sangat diperlukan untuk mempelajari pola spasial yang dilakukan, karena amfibi memiliki siklus hidup yang kompleks dan menempati habitat yang beragam. Munger et al.
(1998) meneliti tentang prediksi keberadaan Columbia Spotted
Frog (Rana luteiventris) and Pacific Tree Frog (Hyla regilla) dengan menggunakan SIG. Parris (2000) meneliti salah satu jenis katak yang terancam punah di Queensland Australia dengan menggunakan aplikasi SIG dan Pemodelan spasial untuk melihat distribusi spasial dan preferensi habitat katak pohon Litoria pearsonia dan menganalisanya secara statistik.
10
III. KEADAAN UMUM LOKASI 3.1.
Sejarah, Letak dan Luas Kawasan
3.1.1. Sejarah Kawasan Kawasan TNGP mempunyai arti penting dalam sejarah konservasi dan penelitian botani Indonesia. Kawasan ini merupakan kawasan pertama yang ditetapkan sebagai kawasan cagar alam di Indonesia yaitu berdasarkan Pengumuman Menteri Pertanian tanggal 6 Maret 1980 (BTNGP 2003). Landasan hukum status kawasan sejak jaman pemerintah Hindia Belanda sampai kawasan ini menjadi taman nasional yaitu : 1. Besluit van den Gouvernur General van Nederlandsch Indie 17 Mei 1889 No. 50 tentang Kebun Raya Cibodas dan areal hutan di atasnya ditetapkan sebagai contoh flora pegunungan Pulau Jawa dan merupakan Cagar Alam dengan luas keseluruhan 240 Ha. Selanjutnya dengan Besluit van den Gouvernur General van Nederlandsch Indie 11 Juni 1919 No 33 Staatblad No. 392-15 yang memperluas areal dengan areal hutan di sekitar Air Terjun Cibeureum. 2. Tahun 1919 dengan Besluit van den Gouvernur General van Nederlandsch Indie 11 Juli 1919 No 83 Staatblad No. 392-11 menetapkan areal hutan lindung di lereng Gunung Pangrango dekat Desa Caringin sebagai Cagar Alam Cimungkat seluas 56 Ha. 3. Sejak tahun 1925 dengan Besluit van den Gouvernur General van Nederlandsch Indie 15 Januari 1925 No 7 Staatblad 15 dan menarik kembali berlakunya peraturan tahun 1889, menetapkan daerah Puncak Gunung Gede, Gunung Gumuruh, gunung Pangrango serta DAS Ciwalen, Cibodas sebagai Cagar Alam Cibodas / Gunung Gede denngan luas ± 1.040 Ha. 4. Daerah Situ Gunung, lereng Selatan Gunung Gede Pangrango dan bagian Timur
Cimungkat,
berdasarkan
SK
Menteri
Pertanian
No.
461/Kpts/Um/31/1975 tanggal 27 Nopember 1975 telah ditetapkan sebagai Taman Wisata dengan luas ± 100 Ha. 5. Bagian-bagian lainnya seperti komplek hutan Gunung Gede, Gunung Pangrango Utara, Gegerbentang, Gunung Gede Timur, Gunung Gede Tengah, Gunung Gede Barat dan Cisarua Selatan telah ditetapkan tahun 1978 sebagai Cagar Alam Gunung Pangrango dengan luas 14.000 Ha.
11
6. Dengan diumumkannya 5 (lima) buah taman nasional di Indonesia oleh Menteri Pertanian tanggal 6 Maret 1980, maka kawasan Cagar Alam Cibodas, Cagar Alam Cimungkat, Cagar Alam Gunung Gede Pangrango, Taman Wisata Situgunung dan hutan-hutan di lereng Gunung Gede Pangrango diumumkan sebagai kawasan TNGP dengan luaas 15.196 Ha. 7. Berdasarkan SK Menhut No 174/Kpts-II/tanggal 10 Juni 2003 kawasan TNGP diperluas menjadi 21.975 ha. 3.1.2. Letak dan Luas Kawasan Secara geografi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terletak antara 106º 51’ - 107º 02’ BT dan 6º 51’ LS.
Gambar 3. Peta Kawasan Taman Nasional Gede Pangrango TNGP yang awalnya memiliki luas 15.196 hektar dan terletak di 3 (tiga) wilayah kabupaten yaitu Cianjur (3.599,29 Ha), Sukabumi (6.781,98 Ha) dan Bogor (4.514,73 Ha), saat ini sesuai SK Menhut No 174/Kpts-II/tanggal 10 Juni 2003 diperluas menjadi 21.975 ha. Sesuai ketentuan pasal 32 dan 33 dalam Undang-undang No 5 Tahun 1990, maka zonasi di TNGP l terdiri dari zona inti
(7.400 ha), zona rimba
(6.848,30 ha) dan zona pemanfaatan (948,7 ha).
12
Secara administratif pemerintahan, wilayah TNGP mencakup ke dalam 3 (tiga) kabupaten, yaitu; Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Batas-batas kawasan ini adalah (BTNGP 2003): Sebelah Utara
: Wilayah Kabupaten Cianjur dan Bogor
Sebelah Barat
: Wilayah Kabupaten Sukabumi dan Bogor
Sebelah Selatan
: Wilayah Kabupaten Sukabumi
Sebelah Timur
: Wilayah Kabupaten Cianjur
3.2.
Iklim Berdasarkan laporan TNGP (BTNGP 2003) kawasan TNGP memiliki
jumlah bulan basah 7-9 bulan berurutan, dan jumlah bulan kering < 2 bulan setiap tahunnya. Berdasarkan klasifikasi Schmidt and Ferguson TNGP masuk kedalam tipe iklim B1 dimana curah hujan rata-rata di TNGP berkisar antara 3.000-4.200 mm/th dengan rata-rata curah hujan bulanan 200 mm dengan Nilai Q berkisar antara 11,3-33,3 %. Suhu berkisar antara 10-180 C dan kelembaban relatif berkisar antara 80-90 % sepanjang tahun. 3.3.
Geologi dan Tanah Kawasan Taman Nasional Gede Pangrango terdiri dari 2 gunung berapi :
Gede dan Pangrango. Diantara dua puncaknya dihubungkan oleh suatu saddle yang dikenal dengan nama Kandang Badak pada ketinggian 2.400 m dpl. Lereng-lereng gunungnya sangat curam dibelah oleh aliran sungai deras yang mengukir bagian lembah yang dalam dan punggung bukit yang panjang. Penampakan ini merupakan tipe dari daerah muda/baru dengan tingkat erosi yang tinggi. Secara umum kawasan ini merupakan dataran yang kering tetapi terdapat pula rawa yaitu Rawa Gayonggong, Rawa Denok dan Situgunung sehingga memperkaya keanekaragaman pada habitatnya (Whitten et al.
1996).
Sesuai Peta tanah Propinsi Jawa Barat dari Lembaga Penelitian Tanah Bogor jenis tanah pada lahan kritis Blok Bobojong yaitu latosol coklat yang mendominasi lereng Gn. Gede bagian bawah. Tanah ini mengandung liat dan lapisan sub soil gembur, mudah ditembus air dan lapisan bawahnya melapuk. Tanah sangat gembur dan agak peka terhadap erosi.
13
3.4.
Topografi Kawasan TNGP memiliki ketinggian yang beragam, mulai dari 1.000 m
dpl yaitu di sekitar Kebun Raya Cibodas, 2.985 m dpl (Puncak Gn. Gede) sampai 3.019 m dpl (Puncak Gunung Pangrango). Kedua gunung ini dihubungkan oleh lereng dengan ketinggian 2.500 m dpl (BTNGP 2003). 3.5. Hidrologi TNGP merupakan hulu dari 55 sungai, baik sungai besar maupun sungai kecil (BTNGP 2003). Aliran-aliran kecil mengalir dari dinding kawah menuju bawah dan menghilang pada tanah vulkanik yang mempunyai porositas tinggi. Umumnya kondisi sungai di dalam kawasan ini masih terlihat baik dan belum rusak oleh manusia. Kualitas air sungai cukup baik dan merupakan sumber air utama bagi kota-kota yang terdapat di sekitarnya. Lebar sungai di hulu berkisar 1-2 meter dan di hilir mencapai 3-5 meter dengan debit air yang cukup tinggi. Kondisi fisik sungai ditandai dengan kondisi yang sempit dan berbatu besar pada tepi sungai bagian hilir. 3.6.
Flora dan Fauna
3.6.1. Flora TNGP dikenal dan banyak dikunjungi karena memiliki potensi hayati yang tinggi, terutama keanekaragaman jenis flora. Di kawasan ini hidup lebih dari 1000 jenis flora, yang tergolong tumbuhan berbunga (Spermatophyta) sekitar 900 jenis, tumbuhan paku lebih dari 250 jenis, lumut lebih dari 123 jenis, ditambah berbagai jenis ganggang, Spagnum, jamur dan jenis-jenis Thalophyta lainnya (BTNGP 2003). Van steenis (2006) menyebutkan bahwa setiap zona memiliki berbagai jenis tumbuhan yang berbeda sehingga jenis tumbuhan dapat mewakili tipe vegetasi pada masing-masing zona. Keadaan vegetasi pada setiap zona di TNGP, yaitu : a) Zona Sub Montana Zona ini mempunyai keanekaragaman jenis yang cukup tinggi baik pada tingkat pohon besar, pohon kecil, semak belukar maupun tumbuhan bawah. Jenis pohon besar yang paling dominan yaitu Puspa (Schima walichii). Jenis tumbuhan lainnya yang ada adalah Walen (Ficus ribes), Syzygium spp, Saninten (Castanopsis argentea), Pasang (Quercus sp.), Rasamala (Altingia excelsa) dan
14
sebagainya. Jenis perdu yang terdapat pada zona ini adalah Ardisia fuliginbia, Pandanus sp., Pinanga sp. Blune dan Laportea stimulans.
Sedangkan jenis
tumbuhan bawah pada zona sub montana adalah Begonia spp., Cyrtandra picta dan Curculigo latifolia. b) Zona Montana Keadaan vegetasi di zona montana dalam hal keanekaragaman jenis dan kerapatannya tidak jauh berbeda dengan keadaan zona sub montana. Jenisjenis pohon yang dominan adalah Jamuju (Podocarpus imbricatus), Pasang (Quercus sp.), Kiputri (Podocarpus neriifolius), Castanopsis spp. dan Rasamala (Altingia excelsa). Sedangkan jenis tumbuhan bawah yang terdapat pada zona montana adalah Strobilanthes cermuis, Begonia spp. dan Melastoma spp. Pada ketinggian antara 2100-2400 mdpl banyak dijumpai jenis pakupakuan atau kelompok tanaman epifit, yaitu Cythea tomentosa, Paku sarang burung (Asplenium nidus) dan Plagiogria glauca. Sedangkan jenis-jenis anggrek, antara lain adalah Dendrobium sp., Arundina sp., Cymbiddium sp., Eriates sp., Chynanthus radicans dan Calanthesp. c) Zona Sub Alpin Keadaan vegetasi di zona sub alpin berbeda dengan keadaan zona sub montana dan zona montana.
Pada umumnya keadaan pohon di zona ini
pendek-pendek dan kerdil, semak belukar jarang-jarang, tumbuhan bawah jarang diketemukan dan miskin akan jenis, hanya merupakan satu lapisan tajuk saja. Jenis pohon yang mendominasi zona sub alpin adalah Edelweis (Anaphalis javanica), Jirak (Symplocos javanica), Ki Merak (Eurya acuminata), Cantigi (Vaccinium varingifolium) dan Ki Tanduk (Leptospernium flanescens). Pohon rasamala terbesar dengan diameter batang 150 cm dan tinggi 40 m dapat ditemukan di kawasan ini di sekitar jalur pendidikan wilayah pos Cibodas. Jenis puspa terbesar dengan diameter batang 149 cm dan tinggi 40 m terdapat di jalur pendakian Selabinta–Gunung Gede. Sedangkan pohon jamuju terbesar ditemukan di wilayah Pos Bodogol. Disamping pohon-pohon raksasa, di kawasan ini juga terdapat jenis-jenis yang unik dan menarik, diantaranya kantong semar (Nepenthes gymnamphora), Rafflesia rochusseni dan Strobilanthus cernua.
15
3.6.2. Fauna Ditinjau dari potensi keanekaragaman satwaliarnya, TNGP merupakan kawasan yang memiliki jenis burung tertinggi di pulau jawa.
Sekitar 53 % atau
260 jenis dari 460 jenis burung di jawa dapat ditemukan di kawasan ini (BTNGP 1996).
Di samping itu, 19 dari 20 jenis burung endemik di Pulau Jawa hidup di
kawasan ini, termasuk jenis-jenis yang langka dan dilindungi undang-undang, salah satunya adalah “Elang Jawa” (Spizaetus bartelsi) yang ditetapkan sebagai “Satwa Dirgantara” melalui Keputusan Presiden No. 4 tanggal 9 Januari 1993, celepuk gunung (Otus angelinae) dan berecet (Psaltria exilis) (Whitten et al. 1996). Kelompok mamalia tercatat sekitar 110 jenis, 5 jenis diantaranya adalah kelompok primata yaitu monyet (Macaca fascicularis), surili (Presbytis commata), owa jawa (Hylobates moloch) lutung (Trachipytecus auratus) dan kukang (Tarsius bancanus). Beberapa jenis mamalia berukuran besar yang hidup di wilayah ini antara lain babi hutan (Sus scrofa linnaeus), mencek (Muntiacus muntjak) dan anjing hutan (Cuon alpinus) serta beberapa jenis mamalia yang berukuran kecil yaitu sigung (Mydaus javanensis), Mustella flavigula, Rattus lepturus dan ajag (Crocidura fuliginosa). Terdapat juga beberapa jenis musang dari genus Herpestes, Viverricula, Paradoxurus dan Megalole. Selain itu terdapat serangga (insecta) lebih dari 300 jenis, reptilia sekitar 75 jenis, katak sekitar 20 jenis dan berbagai jenis binatang lunak (molusca). 3.7.
Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Sebagian besar masyarakat (kurang lebih 75%) di sekitar kawasan TNGP
bermata pencaharian di bidang pertanian (land based activities), sehingga memerlukan lahan dalam pelaksanaan kegiatannya sehari-hari. Namun, sekitar 40 % diantaranya adalah buruh tani yang tidak mempunyai lahan garapan dan tergantung pada lahan orang lain. Disamping itu, tingkat pemilikan lahan rata-rata perkeluarga relatif kecil, yaitu <0,25 ha sehingga intensitas garapan sangat tinggi. Tingkat pendidikan sebagian besar masyarakat tersebut (70 %) hanya sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang demikian menimbulkan berbagai permasalahan yang merupakan tekanan terhadap kawasan dan sumberdaya alam TNGP (Tim PKLP TNGP 2006).
16
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan waktu Analisis spasial kesesuaian habitat Katak Pohon Jawa (Rhacophorus javanus) dilaksanakan di TNGP yang terdiri dari
tiga SKW (Seksi Wilayah
Konservasi) yakni SKW I Sukabumi, SKW II Bogor dan SKW III Cianjur dan terbagi dalam 13 resort. Kegiatan validasi data di lapang dilakukan pada bulan November 2007, sedangkan waktu untuk pengolahan peta dan analisis data dilakukan pada September 2007-Februari 2008. Analisis data dilakukan di Laboratorium
Analisis
Lingkungan
dan
Pemodelan
Spasial
Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. 4.2. Peralatan Beberapa peralatan yang digunakan meliputi: 1. Peralatan yang digunakan untuk survey lapangan antara lain GPS (Global Positioning System) Garmin seri 76, Kamera, Fieldguide katak Jawa dan Bali, alat tulis. 2. Peralatan untuk pengolahan dan analisis data yaitu komputer
PC/AT
dengan perangkat lunak Arcview versi 3.3 dan ERDAS Imagine versi 8.5, Microsoft Excel 2000 dan software pengolah data statistik yakni SPSS versi 1.3 4.3. Data yang digunakan Ada 2 jenis data utama dalam penelitian ini yaitu data vector dan data raster. Data vektor yaitu data yang berupa titik, garis dan polygon, sedangkan raster adalah rangkaian dari jaringan kotak yang berukuran sama atau pixel (Picture element). Data titik diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusrini et al. (2005, 2007). Sementara data validasi menggunakan hasil pengamatan langsung di lapang. Untuk masing-masing jenis data dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.
17
Tabel 5. Jenis data Data Vektor
Data raster
Data Titik
Data Garis
Data Polygon
Data Pixel
Titik Keberadaan Rhacophorus javanus Sumber : Kusrini et al. (2005, 2007)
Sungai dan Jalan di TNGP
Batas Kawasan TNGP, Kontur TNGP
Citra Landsat ETM+ tgl 23 July 2004 (path 122, row 65)
Sumber : Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB
Sumber : Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB dan Balai Besar TNGP.
Sumber : Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB
4.4. Asumsi Dalam Pembuatan Model Pembuatan peta kesesuaian habitat Katak Pohon Jawa dilakukan dengan mengevaluasi beberapa variabel penting bagi keberadaan katak ini. Beberapa penelitian menyebutkan beberapa aspek yang sangat berpengaruh pada penyebaran amfibi seperti penutupan lahan, kerapatan tajuk, ketinggian dan kelerengan, serta sebaran temperatur (Duellman dan Trueb 1994, Heyer et al. 1994, Stebbins dan Cohen 1995). Parameter-parameter ini dapat dianalisis dengan menggunakan SIG dan Citra Satelit sehingga menghasilkan peta tematik untuk setiap variabel. Setelah itu, setiap peta tematik diberi nilai kesesuaian berdasarkan asumsi yang dipakai. Penyebaran katak bergantung pada variabel-variabel diatas. Untuk itu dibutuhkan beberapa asumsi untuk mendapatkan model kesesuaian habitat yang tepat. Berikut ini adalah beberapa asumsi yang digunakan untuk pemodelan spasial habitat Katak Pohon Jawa: a. Tajuk yang rapat merupakan daerah yang disukai oleh amfibi. Katak membutuhkan penutupan tajuk yang rapat untuk melindungi tubuhnya dari kekeringan. Katak bersembunyi di daerah yang gelap seperti di bawah rimbunan daun, di lubang-lubang pohon dan sebagainya yang tidak tersentuh sinar matahari. Penutupan tajuk berhubungan langsung dengan suhu
18
dan kelembaban relatif. Hutan dengan penutupan tajuk yang tinggi dapat menyediakan iklim mikro yang lebih dingin karena menyediakan naungan dan mencegah penguapan yang berlebihan (Casey 2001; Ulhasanah 2006). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin rapat tajuk hutan maka tingkat kesesuaian semakin tinggi. Kerapatan tajuk dapat diketahui dengan pendekatan LAI (Leaf Area Indeks). Semakin besar nilai LAI maka kerapatan tajuk juga akan semakin besar sehingga radiasi matahari ke bawah tajuk semakin kecil dan kelembaban di bawah tajuk akan semakin meningkat. Untuk menganalisis kerapatan tajuk dibutuhkan peta LAI (Leaf Area Index) yang diperoleh dari hasil olahan peta Citra Landsat TNGP. b. Ketinggian dan kemiringan lereng sangat berpengaruh pada amfibi. Ketinggian tempat (elevasi) merupakan faktor yang berpengaruh terhadap keanekaragaman tumbuhan dan satwa. Iskandar (1998) menyebutkan bahwa jenis R. javanus hidup di ketinggian dari 250 mdpl sampai di ketinggian 1500 mdpl. Sedangkan Kurniati (2003) menyebutkan jenis ini hidup dari dataran rendah sampai di ketinggian 1700 m dpl, Kusrini et al. (2005, 2007) menyebutkan jenis ini hidup pada ketinggian sekitar 600-1800 m dpl. Ketinggian juga berdampak pada kemiringan lereng. Untuk menganalisis ketinggian dan kemiringan lereng dibutuhkan peta ketinggian dan kemiringan lereng yang diperoleh dari hasil olahan peta topografi atau kontur TNGP. c. Kehidupan amfibi tidak terlepas dari keberadaan sumber air Amfibi hidup selalu berasosiasi dengan air (Iskandar 1998). Seluruh atau sebagian
kehidupan amfibi tidak terlepas dari keberadaan air. Rhacophorus
javanus adalah jenis katak pohon yang hidup pada habitat arboreal
dan
biasanya datang mengunjungi air untuk beberapa periode, paling sedikit pada saat musim berbiak dan selama masa perkembangbiakan (metamorfosis). Jenis Katak Pohon Jawa ini hidup selalu mendekati air baik itu sungai maupun genangan sementara. Berdasarkan hasil survei pendahuluan, baik berudu ataupun dewasa lebih menyukai daerah perairan yang aliran airnya tenang dan tidak terlalu deras. Untuk menganalisis jarak dari sungai dibutuhkan peta jarak dari sungai yang diperoleh dari olahan peta jaringan sungai di TNGP.
19
d. Amfibi sangat bergantung pada suhu sekitarnya. Amfibi adalah mahluk berdarah dingin atau ektoterm yang berarti suhu tubuhnya sama dengan suhu sekitar atau lingkungannya (Stebbins dan Cohen 1995). Amfibi tidak memiliki mekanisme internal khusus untuk memproduksi panas dari dalam tubuhnya seperti pada mamalia dan burung. Anura dapat hidup pada suhu mulai dari 3 0C sampai 35,7 0C, dan suhu paling optimum adalah 21,7 0
C (Duellman dan Trueb 1994). Suhu pada jenis Rhacophorus
javanus
berdasarkan hasil penelitian Kusrini et al. (2005, 2007) berkisar antara 160C210C. Suhu yang rendah dapat menyebabkan penundaan masa breeding dan memperlambat laju pertumbuhan, hal ini disebabkan karena laju metabolisme yang rendah. Sebaliknya suhu yang hangat menyebabkan metabolisme berjalan lancar tetapi seiring dengan suhu meningkat maka laju pertumbuhan penyakit pada amfibi juga akan meningkat (Duellman dan Trueb 1994). Untuk itu dibutuhkan peta sebaran suhu yang diperoleh dari olahan peta Citra Landsat TNGP. 4.5. Penentuan Nilai Skor Kelas Kesesuaian Setiap Variabel Dari asumsi yang telah dibuat diatas ditentukan skor dari masing-masing kelas kesesuaian setiap variabel seperti tertera pada tabel dibawah ini : •
Kesesuaian rendah dengan skor 1,
•
Kesesuaian sedang dengan skor 2, dan
•
Kesesuaian tinggi dengan skor 3
•
Kesesuaian sangat tinggi dengan Skor 4
Dengan demikian skor dari masing-masing kelas kesesuaian setiap variabel seperti tertera pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6. Skor tiap variabel 1
2
Variabel 3 Kelas Skor Buffer sungai
4
Skor
Kelas LAI
Skor
Kelas Kemiringan Lereng (%)
1
0
1
0-15
1
>30 m
1
2
15-25
2
10-30 m
2
3
>25
3
0-10 m
3
2 3 4
02,29 2,294,58 >4,58
Skor
4
5 Kelas Suhu <12 0 C >22 0 C 12-17 0 C 17-22 0 C
Skor 1 2 3 4
Kelas Tinggi (m dpl) 5001000 >2000 10001500 15002000
20
4.6. Pengolahan Peta Peta tematik dapat diolah dengan menggunakan SIG dan pencitraan satelit. Berikut ini adalah cara pengolahan setiap peta tematik. 4.6.1. Pengolahan Citra Pengolahan
citra
meliputi
pemulihan
citra
(image
restoration),
pemotongan citra (subset image), pemulihan citra bertujuan untuk memperbaiki data citra yang mengalami distorsi, kearah gambaran yang lebih sesuai dengan tampilan aslinya. Langkahnya meliputi koreksi geometri dan koreksi radiometrik. Koreksi geometrik bertujuan untuk memperbaiki distorsi geometrik, sedangkan koreksi radiometrik bertujuan untuk memperbaiki bias pada nilai digital piksel yang disebabkan oleh gangguan atmosfer maupun kesalahan sensor. Tahap awal dalam koreksi geometrik yaitu penentuan tipe proyeksi
dan sistem
koordinat yang digunakan. Sistem koordinat yang digunakan yaitu sistem koordinat geografik dan proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator). Pemotongan citra
bertujuan untuk membatasi wilayah penelitian dengan
memotong batas wilayah menggunakan peta batas TNGP yang ada. 4.6.2. Pembuatan Peta LAI Setelah melalui proses pengolahan citra, peta tematik hasil olahan tersebut dilakukan analisis kerapatan tajuk dengan pendekatan LAI (Leaf Area Indeks). LAI adalah rasio luas daun dengan luas area contoh yang dihitung secara tidak langsung dengan analisis citra landsat ETM+. Berikut adalah kerangka pikir dari proses pengolahan Citra Satelit menjadi Peta LAI :
Gambar 4. Kerangka Pembuatan Peta Kerapatan Tajuk (LAI)
21
4.6.3. Pembuatan Peta Temperatur Konversi citra menjadi data temperatur melibatkan dua tahapan konversi yaitu (Panuju 2003): 1. Konversi Digital Number (DN) menjadi Spectral Radiance (Lλ) Konversi ini diperoleh dari metode USGS (2001) yaitu menggunakan rumusan sebagai berikut : Lλ = ((Lmax-Lmin)/(QCALMax-QCALMin)*(QCAL-QCALMin)+LMIN Dimana:
Lλ= Radiance, QCALmin= 1, QCALmax= 255, dan QCAL= Digital Number, Lmin dan Lmax adalah radian spektral pada band 6 dengan DN antara 1 sampai 255
2. Citra ETM+ band 6 menurut USGS (2001) dalam Chen et al (2001), dapat dikonversi menjadi peubah fisik dengan asumsi bahwa emisinya adalah satu. Persamaan konversi radian spektral menjadi temperatur adalah sebagai berikut : T = K2/ln(K’1/ Lλ+1) Dimana:
T= Temperatur efektif dalam Kelvin, K1= konstanta satu dalam watts dengan nilai 666,09 untuk ETM+, K2= konstanta 2 dalam Kelvin dengan nilai 1282071 untuk ETM+, Lλ= Radian Spektral dalam Watt.
Gambar 5. Kerangka Pembuatan Peta Penyebaran Suhu 4.6.4. Pembuatan Peta Ketinggian dan Peta Kemiringan Lereng Peta ketinggian dan kemiringan lereng
dibuat dari data peta kontur
(vektor) yang dianalisis dengan menggunakan software Arcview SIG 3.3. sehingga menghasilkan peta ketinggian dan kemiringan lereng digital yang diinginkan.
22
Proses pembuatannya disajikan pada Gambar 6 berikut: 3. Peralatan untuk pengolahan dan analisis data yaitu komputer
PC/AT
dengan perangkat lunak Arcview versi 3.3 dan ERDAS Imagine versi 8.5, Microsoft Excel 2000 dan software pengolah data statistik yakni SPSS versi 1.3
Gambar 6. Kerangka Pembuatan Peta Ketinggian dan Kemiringan Lereng 4.6.5. Pembuatan Peta Jarak Dari Sungai Peta jarak sungai (buffer) dibuat dari data peta jaringan sungai (vektor) yang dianalisis dengan menggunakan software Arcview GIS 3.3 dan Erdas Imagine 8.5. Proses pembuatannya disajikan pada Gambar 7 berikut :
Gambar 7. Kerangka Pembuatan Peta Buffer Sungai
23
4.7. Analisis Data 4.7.1. Analisis Komponen Utama (Principal Component of Analysis) Dari data letak titik pertemuan Katak Pohon Jawa yang di tumpang susun (overlay) pada masing-masing peta tematik (ketinggian, kemiringan lereng, jarak dari sungai, kerapatan tajuk dan sebaran suhu) diperoleh nilai dari kelima variabel habitat diatas untuk masing-masing titik individu katak yang ditemukan. Setelah itu dilakukan tabulasi data-data dalam format spreadsheet
yaitu
menggunakan program Microsoft Excel. Selanjutnya dari data tersebut dilakukan Analisis Komponen Utama (PCA) untuk mengetahui bobot dari masing-masing variabel habitat sehingga dapat diketahui variabel habitat mana yang paling berpengaruh pada penyebaran katak jenis ini. Tahapan pengolahan PCA adalah sebagai berikut : 1. Mengubah data format spreadsheet menjadi format SPSS sehingga diperoleh data setiap titik dan kelima variabel habitat menjadi format spss. 2. Mentranspose
data
tersebut
dengan
Log
10
sehingga
data
proporsional satu sama lain. 3. Menganalisis data hasil Log 10 sehingga menghasilkan nilai PCA yang diharapkan. Hasil dari analisis PCA digunakan untuk menentukan bobot masingmasing
variabel
habitat
yang
diteliti
untuk
analisis
spasial,
sehingga
menghasilkan persamaan seperti berikut : Y = (aFK1+bFK2+cFK3+dFK4+eFK5) Dimana :
Y = Model habitat Katak Pohon Jawa di TNGP a-e = Nilai bobot setiap variabel FK1 = Faktor Ketinggian FK2 = Faktor Kemiringan Lereng FK3 = Faktor Kerapatan Tajuk FK4 = Faktor Jarak dari Sungai FK5 = Faktor Temperatur
4.7.2. Analisis Spasial Dengan menggunakan SIG, titik sebaran katak dianalisis dengan faktorfaktor spasialnya yang meliputi jarak ke sumber air, ketinggian tempat, kemiringan lereng, kerapatan tajuk dan sebaran suhu untuk mendapatkan bobot. Analisis
spasial
dilakukan
dengan
metode
tumpang
susun
(Overlay),
Pengkelasan (class), Pembobotan (weighting), dan pengharkatan (scoring).
24
Pemberian skor didasarkan pada nilai kesesuaian bagi habitat Katak Pohon Jawa. Pemberian skor terdiri dari empat nilai, dimana setiap nilai menunjukkan tingkat kesesuaian habitat katak ini. Nilai tertinggi menunjukkan faktor habitat yang paling berpengaruh, sedangkan nilai bobot yang rendah menunjukkan faktor habitat yang kurang berpengaruh. Dalam penelitian ini pemberian peringkat kelas bobot terdiri dari 4 kategori yakni 1 untuk kategori rendah, 2 untuk kategori sedang, 3 untuk kategori tinggi dan 4 untuk kategori sangat tinggi. Model matematika yang digunakan adalah : 1. Nilai skor klasifikasi kesesuaian habitat Katak Pohon Jawa SKOR = Σ (Wi x Fki) Dimana:
Wi= Bobot untuk setiap parameter, Fki= Faktor kelas setiap variabel, SKOR= Nilai kesesuaian habitat.
2. Nilai selang skor klasifikasi kesesuaian habitat ditentukan berdasarkan sebaran nilai pixel dalam peta kesesuaian habitat. Data tersebut diperoleh dari informasi piksel (Picture Element) pada peta model kesesuaian habitat yang telah dibuat. Datanya pada Tabel 7 di bawah. Tabel 7. Piksel info Piksel info Min Max Mean Median Mode Std.deviasi
… … … … … …
Dari data piksel pada Tabel 7. kemudian diolah sesuai rumusan berikut : Tabel 8. Penentuan Selang Skor Selang Skor Min - (mean+Std. Dev) (Max IKHI) - (Max IKHI+ 0.5 Std) (Max IKH2) - Max
Kategori IKH1 IKH2 IKH3
IKH(1,2,3) adalah Indeks Kesesuaian Habitat (1,2,3)
4.8. Validasi Model. Validasi bertujuan untuk mengetahui tingkat kepercayaan terhadap model yang dibangun. Validasi model dapat dilakukan dengan mudah jika terdapat dua gugus data yang sama dimana pada gugus pertama dilakukan penyusunan dan pendugaan model kemudian diperiksa ketepatannya dengan gugus data lainnya (Aunuddin 1988).
25
Untuk validasi model sebaran Katak Pohon Jawa digunakan metode VES (Visual Encounter Survey) berdasarkan Heyer et al. (1994). Pada metode ini, pencarian katak dilakukan langsung pada habitat tempat tinggalnya pada waktu yang telah ditentukan. Habitat yang diamati dibagi ke dalam dua bagian yaitu habitat terestrial (darat) dan habitat akuatik (perairan). Data setiap individu Katak Pohon Jawa yang dikumpulkan meliputi: ukuran, jenis kelamin, substrat, ketinggian dari air/tanah, perilaku dan posisi satwa di lingkungan habitatnya. Selain itu dilakukan pencatatan data habitat berdasarkan checklist Heyer et al (1994) yang meliputi: tanggal dan waktu pengambilan data, nama lokasi, substrat/lingkungan tempat ditemukan, tipe vegetasi dan ketinggian, posisi horisontal terhadap badan air, posisi vertikal terhadap permukaan air, suhu udara, suhu air dan kelembaban udara. Pemilihan lokasi untuk validasi model dipilih sesuai dengan klasifikasi model kesesuaian habitat yang telah dibuat. Tiap kelas kesesuaian habitat diambil satu lokasi sampel untuk validasi. Berikut adalah cara perhitungan validasi klasifikasi habitat Katak Pohon Jawa : Validasi Dimana:
= n/N x 100%
n= Jumlah titik pertemuan Katak Pohon Jawa pada satu kelas kesesuaian, N= Jumlah total pertemuan Katak Pohon Jawa hasil survey, Validasi= Persentase kepercayaan terhadap model yang dibangun.
26
Gambar 8. Diagram alir penelitian
27
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Dari hasil analisis masing-masing peta tematik diperoleh data peta setiap variabel seperti berikut ini : 5.1.1. Peta Kerapatan Tajuk Di bawah ini adalah peta hasil dari analisis Citra Landsat menjadi Peta LAI (Leaf Area Index) Leaf Area Indeks <0
0-2.29
2.29-4.58
>4.58
1% 1%
38% 60%
Gambar 9. Peta Kerapatan Tajuk LAI Dari peta kerapatan tajuk di kawasan TNGP diatas, daerah yang paling luas adalah daerah dengan kerapatan tajuk sedang dengan nilai LAI 2,29-4,58 yakni seluas 14.541,37 ha. Daerah ini kebanyakan berada memusat di sekitar Gunung Gede. Selain itu, daerah dengan kerapatan tajuk rendah dengan nilai LAI 0-2,29 seluas 9.385,245 ha sedangkan daerah yang paling kecil luasannya adalah daerah dengan nilai LAI>4,58 yakni sebesar 205,335 ha yang berada pada daerah puncak gunung. Daerah ini merupakan daerah dengan kerapatan tajuk tinggi.
28
5.1.2. Peta Sebaran temperatur Dari hasil analisis citra landsat menjadi peta sebaran suhu dihasilkan peta tematik pada Gambar 10 di bawah ini. Temperatur <12 C
>22 C
"12-17" C
"17-22" C
5%1% 29%
65%
Gambar 10. Peta Sebaran Temperatur Dari peta temperatur di kawasan TNGP diatas dapat dilihat bahwa daerah yang paling luas adalah daerah dengan sebaran temperatur berkisar 12-170C yakni seluas 15.934,25 ha. Daerah ini terletak pada daerah kaki Gunung Gede dan Pangrango. Kemudian daerah dengan suhu berkisar 17-220C adalah daerah dengan luasan terbesar kedua yakni seluas 7.111,8 ha. Sedangkan daerah yang paling kecil luasannya adalah daerah yang bersuhu sekitar di atas 220C dengan luas 162,9 ha.
29
5.1.3. Peta Ketinggian Tempat Dari hasil analisis peta kontur menjadi peta ketinggian dihasilkan peta tematik seperti Gambar 11 di bawah ini. Ketinggian 500-1000
>2000
22%
33%
1000-1500
1500-2000
28%
17%
Gambar 11. Peta Ketinggian Dari peta ketinggian tempat di TNGP diatas dapat dilihat bahwa daerah yang paling luas adalah daerah dengan ketinggian 1000-1500 m dpl sebesar 8.061,2 ha. Daerah dengan ketinggian 500-1000 m dpl adalah daerah dengan luasan terbesar kedua yakni sebesar 6.895,4 ha. Untuk daerah yang paling kecil luasannya adalah daerah dengan ketinggian >2000 m dpl dengan luas sebesar 4.109,1 ha.
30
5.1.4. Peta Kemiringan Lereng Dari hasil analisis peta kontur menjadi peta kemiringan lereng diperoleh peta tematik seperti pada Gambar 12 di bawah ini. Kemiringan Lereng >25
"15-25"
0-15
15%
23% 62%
Gambar 12. Peta Kemiringan Lereng Dari peta kemiringan lereng di kawasan TNGP diatas dapat dilihat bahwa daerah yang paling kecil luasannya adalah daerah dengan kemiringan lereng 015 % (datar-landai) dengan luas sebesar 3.663,18 ha. Daerah dengan kemiringan lereng 15-25% adalah daerah dengan luasan terbesar kedua dengan luas 5.683,65 ha. Sedangkan daerah yang paling besar luasannya adalah daerah dengan kemiringan lereng >20% dengan luas 15.070,7 ha.
31
5.1.5. Peta Jarak dari sungai Dari hasil analisis peta jaringan sungai menjadi peta jarak dari sungai diperoleh peta tematik pada Gambar 13 di bawah ini. Jarak Dari Sungai >30 m
"10-30" m
0-10 m
8% 15%
77%
Gambar 13. Peta jarak dari sungai Dari peta jarak dari sungai di kawasan TNGP diatas dapat dilihat bahwa daerah yang paling kecil luasannya adalah daerah dengan jarak dari sungai 0-10 m dengan luas sebesar 1.898,84 ha. Kemudian daerah dengan jarak dari sungai 10-30 m adalah daerah dengan luasan terbesar kedua dengan luas 3.738,21 ha. Sedangkan daerah yang paling besar luasannya adalah daerah dengan jarak dari sungai 30-100 m dengan luas 18.780,48 ha. 5.1.6. Analisis Komponen Utama Hasil analisis spasial tiap titik individu katak pada kelima variabel tersebut dianalisis dengan metode PCA, sehingga menghasilkan data komponen utama. Data hasil analisis PCA disajikan pada tabel di bawah. Tabel 9a. Tabel hasil analisis PCA Komponen Utama 1 2 3 4 5
Total 1,71188775 1,0694417 0,924887863 0,702884625 0,590898062
Akar Ciri % Keragaman 34,23775499 21,388834 18,49775727 14,05769249 11,81796125
% Kumulatif 34,23775499 55,62658899 74,12434626 88,18203875 100
32
Tabel 9b. Tabel vektor ciri Komponen Utama 1 2 -0,384165991 0,696383686 0,267620996 0,538858027 0,284774461 0,519717074 -0,635918202 0,582263915 0,572217121 0,603944319
Variabel Buffer Sungai Suhu (0C) Ketinggian Kerapatan Tajuk Kemiringan Lereng
Data diatas menunjukkan bahwa dari lima variabel yang ditelaah, dapat disederhanakan oleh dua komponen. Dimana dua komponen tersebut sudah menyerap sebagian besar varian yang terkandung dalam matriks data awal. Sebanyak 55% dari kelima variabel diatas telah dapat dijelaskan oleh komponen 1 dan 2 dan 45% dipengaruhi oleh faktor lain. Variabel yang masuk dalam komponen 1 adalah kerapatan tajuk (LAI), ketinggian, temperatur dan jarak dari sungai, sedangkan variabel yang masuk dalam komponen 2 adalah kemiringan lereng. Komponen 1 menjelaskan bahwa variabel terbesar yang mempengaruhi keberadaan Katak Pohon Jawa adalah jarak dari sungai sedangkan keempat nilai variabel lainnya hampir merata. Pada komponen 2 terlihat bahwa variabel terbesar adalah kemiringan lereng. Faktor bobot menunjukkan tingkat kepentingan dari masing-masing variabel habitat. Nilai bobot ditentukan dengan mempertimbangkan skor PCA masing-masing komponen utama dan vektor ciri terbesar dari masing-masing komponen. Tabel 10. Tabel Nilai Bobot Tiap Variabel Variabel Buffer Sungai Suhu (0C) Ketinggian Kerapatan Tajuk Kemiringan Lereng
Skor Keragaman PCA 1,71188775 1,71188775 1,71188775 1,71188775 1,0694417 Total
Nilai Bobot 1,71 1,71 1,71 1,71 1,07 7,92
Dengan demikian, model indeks kesesuaian habitat bagi Katak Pohon Jawa di TNGP adalah sebagai berikut Y = {(1,71x FK1) + (1,07x FK2) + (1,71x FK3) + (1,71x FK4) + (1,71x FK5)} Dimana :
Y= Model habitat Katak Pohon Jawa di TNGP, FK1= Faktor Ketinggian, FK2= Faktor Kemiringan Lereng, FK3= Faktor Kerapatan Tajuk, FK4= Faktor Jarak dari Sungai, FK5= Faktor Temperatur
33
5.1.7. Model Kesesuaian Habitat Dari model kesesuaian habitat Katak Pohon Jawa dianalisis secara spasial dengan menggunakan beberapa metode dimulai dari metode scoring, pembobotan, dan metode overlay sehingga menghasilkan peta kesesuaian habitat. Dari peta model tersebut diperoleh nilai piksel terendah 7,9 dan tertinggi 26,0 dengan standar deviasi data yang dihasilkan sebesar 2,80 dan rerata (mean) sebesar 17,44. Berdasarkan data tersebut, maka dapat ditentukan selang kesesuaian habitat Rhacophorus javanus sebagai berikut : Tabel 11. Tabel Skor Tiap Kelas Kesesuaian Selang
Skor
Kategori
Min - (mean+Std. Dev) (Max IKHI) - (Max IKHI+ 0.5 Std) (Max IKH2) - Max
7,9 – 20,251 20,251 – 21,655 21,655 – 26
IKH1 IKH2 IKH3
Klasifikasi Kesesuaian Rendah Sedang Tinggi
Hasil analisis kesesuaian habitat dengan klasifikasi kesesuaian rendah, sedang dan tinggi disajikan pada gambar berikut : Kelas Kesesuaian Habitat Rendah
4%
Sedang
Tinggi
9%
87%
Gambar 14. Peta Kesesuaian Habitat Katak Pohon Jawa Dari peta model spasial Katak Pohon Jawa di kawasan TNGP diatas dapat dilihat bahwa habitat dengan tingkat kesesuaian tinggi mempunyai luas sebesar 2.290,9 Ha, tingkat kesesuaian habitat rendah memiliki luas tertinggi
34
yakni 21.167,8 Ha dan yang paling kecil dengan tingkat kesesuaian sedang mempunyai luas 958,74 Ha . 5.1.8. Validasi Model. Jumlah titik pertemuan Katak Pohon Jawa pada survey lapangan untuk validasi diperoleh sebanyak 16 titik di dua lokasi yakni 15 titik di daerah Curug Cibereum dan satu titik di daerah Sungai Ciwalen, sedangkan lokasi ketiga yakni PPKA Bodogol tidak ditemukan jenis ini. Hasil dari survey validasi dapat dilihat pada Tabel 12 di bawah ini. Tabel 12. Tabel Validasi Tiap Kelas Kesesuaian Tingkat Kesesuaian 1 2 3
Skor 7,9 – 20,251 20,251 – 21,655 21,655 – 26
Klasifikasi Kesesuaian Rendah Sedang Tinggi
Luas (Ha) 21.167,8 958,74 2.291
Jumlah R.javanus 0 1 15
Validasi (%) 0 6,25 93,75
Dengan demikian model spasial habitat Katak Pohon Jawa dapat diterima dengan tingkat validasi mencapai 93,75 % untuk kesesuaian habitat tinggi. 5. 2. Pembahasan 5.2. 1. Analisis Model Kesesuaian Habitat Model kesesuaian habitat dengan tiga kelas kesesuaian yakni kesesuaian rendah, sedang dan tinggi. Pembagian kelas kesesuaian ini didasarkan pada pembagian nilai piksel, dimana semakin tinggi nilai piksel pada suatu daerah maka makin sesuai daerah tersebut bagi Katak Pohon Jawa. Habitat dengan tingkat kesesuaian tinggi mempunyai nilai piksel 21,65–26,00 dengan luas sebesar 2290,9 Ha. Daerah ini tersebar dibeberapa tempat, untuk daerah yang paling luas kesesuaian habitat tinggi berada di bagian Timur Laut TNGP yakni berada pada jalur pendakian Cibodas. Kemudian daerah yang terpencar di bagian Timur, Tenggara dan Selatan TNGP. Bila ditinjau dari peta zonasi kawasan TNGP, beberapa daerah dengan tingkat kesesuaian tinggi, berada pada zona pemanfaatan dan zona rimba. Hal ini dapat dilihat pada peta zonasi kawasan TNGP (BTNGP 2003).
35
Gambar 15. Peta Zonasi Kawasan TNGP Untuk daerah dengan tingkat kesesuaian habitat rendah memiliki luas tertinggi yakni 21.167,8Ha, dengan nilai piksel 7,9–20,2 yang tersebar merata. Daerah yang paling luas memusat pada bagian Barat Laut, Barat, Barat Daya dan Bagian Selatan serta daerah dengan ketinggian lebih dari 2000 mdpl. Dari peta zonasi kawasan TNGP diatas dapat dilihat bahwa daerah dengan kesesuaian habitat rendah tersebar di zona inti dan zona rimba TNGP. Daerah dengan tingkat kesesuaian sedang seluas 958,75 Ha dengan nilai piksel 20,25–21,65 ini berada pada daerah jaringan sungai yang memiliki ketinggian diatas daerah kesesuaian habitat tinggi. Bila dilihat dari peta zonasi kawasan berada di daerah zona rimba, zona inti dan zona peralihan rimba ke inti kawasan TNGP. Katak Pohon Jawa menempati tipe habitat yang khas. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa variabel habitat yang yang mempengaruhi kehidupannya. Berdasarkan hasil analisis PCA diperoleh beberapa variabel habitat yang sangat berpengaruh pada penyebaran jenis ini, selain itu ada juga variabel yang tidak terlalu berpengaruh pada sebaran jenis ini. Variabel-variabel tersebut antara lain adalah: a. Jarak Dari Sungai Atau Sumber Air Lainnya Amfibi hidup di dua alam. Sebagian hidupnya berada di lingkungan berair dan sebagian lagi hidup di darat. Dalam masa perkembangbiakan dari berudu sampai katak berkaki kebanyakan ordo anura hidup di dalam air. Heyer et al. (1994) menyatakan bahwa kebanyakan dari larva amfibi hidup di habitat akuatik, termasuk air yang mengalir (sungai besar dan kecil), air yang tidak mengalir (kolam dan danau), serta tempat lainnya seperti lubang pohon, ketiak daun, dan lainnya. Sedangkan larva anura yang hidup di terestrial biasanya menempati daerah dengan iklim mikro yang mengandung kelembaban tinggi seperti lumut, di
36
bawah atau di dalam kayu yang membusuk dan di lubang pohon. Selama di dalam air, larva bernafas dengan insang dan akan bernafas dengan paru-paru ketika sudah keluar dari air menuju darat. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi air buat kehidupan amfibi khususnya katak dan kodok sangat penting. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap sebaran Katak Pohon Jawa adalah variabel jarak dari sungai atau sumber air lainnya. Sebanyak 45 individu ditemukan berada pada daerah dengan jarak dari sumber air 0-10 m sedangkan sisanya berada pada jarak lebih dari 10 m dari sungai. Gambar 16 menunjukkan hubungan jarak dari Sungai Cibereum dengan posisi Katak Pohon Jawa yang ditemukan. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa kebanyakan individu Katak Pohon Jawa yang ditemukan berada tidak jauh dari sungai. Berdasarkan penelitian Kusrini et al. (2005, 2007), hampir semua individu katak pohon jawa ditemukan berada pada daerah dengan jarak dari sumber air 0-10 m, hanya sedikit sekali yang berada lebih dari 10 m dari sungai.
Gambar 16. Titik keberadaan Katak Pohon Jawa di Sungai Cibereum B. Kerapatan Tajuk (LAI) Struktur vegetasi hutan merupakan salah satu bentuk pelindung, yang menurut peranannya bagi kehidupan satwa liar dapat dibedakan atas tempat persembunyian (hiding cover), dan tempat penyesuaian terhadap perubahan temperatur (thermal cover) (Alikodra 1990). Kondisi kerapatan vegetasi akan berpengaruh terhadap intensitas sinar surya yang sampai di lantai hutan. Keadaan ini berkaitan erat dengan kemudahan penglihatan pemangsa dan yang dimangsa. Untuk menjamin berlangsungnya hubungan pemangsaan, diperlukan
37
keadaan kerapatan vegetasi yang optimal pada tingkat yang menguntungkan bagi keduanya (Alikodra 1990). Hasil Analisis PCA menunjukkan bahwa kerapatan tajuk LAI adalah varibel kedua terbesar yang mempengaruhi sebaran Katak Pohon Jawa setelah jarak dari sungai. Hal ini sesuai dengan karakteristik katak yang sangat membutuhkan tutupan tajuk untuk melindungi tubuhnya dari kekeringan di siang hari. Selain itu tutupan tajuk juga akan menyediakan mikro iklim yang lembab dan menyediakan tempat untuk beristirahat. Semakin besar tutupan tajuk maka semakin luas mikro habitat yang tersedia bagi katak ini. Van steenis (2006) menyebutkan bahwa vegetasi terutama hutan, sangat penting peranannya bagi perbaikan iklim yang menguntungkan lahan, bagi pembentukan tanah, pencegahan erosi angin, dan pembentukan relung ekologi tertentu bagi tanaman. Kanopi hutan dapat menciptakan iklim mikro pada daerah dibawahnya dan dapat melindungi tanah dari erosi (Pineda et al. 2005). Cromer et al. (2002) menyatakan bahwa kelimpahan katak pohon berasosiasi positif dengan penutupan tajuk. Hal ini juga disebabkan oleh berlimpahnya serangga di daerah berhutan yang merupakan makanan bagi amfibi dan reptil. Penurunan nilai tutupan tajuk merupakan salah satu faktor yang menyebabkan keberadaan dan kelimpahan katak berkurang. Hal ini disebabkan karena pengurangan tutupan tajuk dapat menyebabkan peningkatan suhu dan penurunan kelembaban udara. Selain itu suhu lingkungan juga berpengaruh terhadap telur katak, khususnya pada jenis-jenis katak yang meletakkan telurnya di luar badan air. Katak Pohon Jawa meletakkan telurnya pada dedaunan yang berada diatas permukaan air sehingga sangat rentan terhadap kekeringan akibat penguapan yang berlebihan. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya tutupan tajuk dapat mengakibatkan suhu lingkungan yang tidak stabil, kadang terlalu dingin dan kadang terlalu panas sehingga membuat telur katak menjadi kering dan mati (Pineda et al. 2005). C. Sebaran Temperatur Temperatur merupakan faktor yang penting di wilayah biosfer, karena pengaruhnya sangat besar pada segala bentuk kehidupan. Beberapa kegiatan organisme seperti reproduksi, pertumbuhan dan kematian dipengaruhi oleh suhu lingkungannya (Alikodra 1990). Di samping itu, temperatur pada umumnya mempengaruhi perilaku satwaliar serta berpengaruh terhadap ukuran tubuh serta bagian-bagiannya (Alikodra 1990). Organisme berdarah panas yang memiliki
38
organ yang dapat memproduksi dan mengelola suhu tubuhnya seperti mamalia biasanya beraktivitas di siang hari sedangkan organisme yang tidak memiliki mekanisme khusus pengaturan suhu tubuhnya biasanya beraktivitas di malam hari (nokturnal) seperti pada amfibi dan sebagian dari kelas reptil. Kebanyakan amfibi dapat beraktivitas pada kondisi suhu yang beragam. Banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan suhu pada amfibi, tergantung pada jenis, umur dan fase kehidupan, serta pengalaman suhu harian pada masingmasing individu yang berbeda (Stebbins dan Cohen 1995). Suhu pada amfibi dipengaruhi oleh lingkungannya karena amfibi tidak memiliki organ khusus untuk memproduksi panas dan mengatur panas pada tubuhnya. Oleh karena itu suhu juga mempengaruhi kehidupan dan penyebaran amfibi. Amfibi memiliki kisaran toleransi suhu yang besar. Perbedaan toleransi ini mengakibatkan perbedaan kebutuhan suhu yang berbeda pada lingkungannya. Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa jenis salamander dapat ditemukan beraktivitas pada suhu sekitar 00C bahkan dibawah 00C (Duellman dan Trueb 1994), dan beberapa jenis amfibi lainnya dapat hidup diatas suhu 280C bahkan ada satu jenis amfibi yang dapat hidup pada suhu 400C yakni jenis African Foam-Nest Frog (Chiromantis) (Shoemaker et al. 1989 dalam Stebbins dan Cohen 1995). Jenis Katak pohon Jawa berdasarkan hasil penelitian Kusrini et al. (2005, 2007) di TNGP dapat hidup pada suhu berkisar antara 160C- 220C. Hal ini dapat dilihat berdasarkan gambar di bawah ini.
Gambar 17. Peta temperatur Katak Pohon Jawa di Telaga Biru-Rawa Denok Berdasarkan gambar diatas, kebanyakan jenis Katak Pohon Jawa berada pada habitat dengan kisaran suhu rata-rata sebesar 16,70C. Data ini merupakan
39
hasil analisis Citra Landsat ETM+ yang tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian langsung di lapang yang dilakukan oleh Kusrini et al. (2005, 2007). Tabel 13. Perbandingan suhu habitat Katak Pohon Jawa pada dua analisis yang berbeda Sumber
Kisaran Suhu Harian
Landsat ETM+ July 2004 Kusrini et al. (2005, 2007)
0
Suhu Rata-rata Harian
0
12,8 C -17,8 C
16,70C
15,20C -190C
170C
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa rata-rata suhu harian habitat yang ditempati oleh jenis Katak Pohon Jawa berkisar antara 160C-170C.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa preferensi habitat katak ini adalah pada habitat yang bersuhu sekitar 160C-170C. D. Ketinggian Dan Kemiringan Lereng Kenaikan ketinggian suatu tempat, diikuti dengan penurunan dalam kekayaan jenisnya (Mackinnon 1982 dalam Alikodra 1990). Perubahan besar dalam komposisi jenis terjadi bersamaan dengan adanya peralihan dari habitat dataran rendah ke habitat pegunungan. Semakin tinggi letaknya, komposisi jenis dan struktur hutan berubah menjadi terbatas (Alikodra 1990). Seperti di seluruh daerah di dunia, penurunan suhu akibat peningkatan elevasi akan menimbulkan efek zonasi atau efek lingkar yang kasar dalam posisi tegak seperti garis lintang dari khatulistiwa sampai kutub-kutub utara dan selatan (Van steenis 2006). Van steenis (2006) juga menyebutkan bahwa pembagian zonasi berdasarkan ketinggian terbentuk karena perbedaan kondisi suhu dan iklim. Hal ini mengakibatkan perbedaan komposisi baik flora dan fauna pada setiap zonasi. TNGP memiliki 3 zonasi atau tipe hutan, yaitu submontana (100-1500 mdpl), montana (1500-2400 mdpl) dan sub alpin (>2400 m dpl) (BTNGP 1996). Hutan submontana memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. Seiring dengan perubahan ketinggian maka semakin berkurang keanekaragaman flora dan faunanya. Ketinggian juga berpengaruh pada penyebaran amfibi. Hasil penelitian Morrison dan Hero (2003) membuktikan bahwa populasi amfibi pada daerah yang tinggi cenderung untuk memiliki periode aktivitas dan musim breeding yang pendek, fase larva atau berudu yang lebih panjang, masa metamorposis atau perubahan bentuk yang lebih lama, masa dewasa yang lama sehingga mencapai
40
kematangan reproduksi pada umur yang lebih tua, jumlah telur tergantung ukuran tubuh serta menghasilkan telur yang lebih besar Berdasarkan penelitian Kusrini et al. (2005), Katak Pohon Jawa biasanya berada pada ketinggian antara 1500-2000 mdpl.
Gambar 18. Peta ketinggian titik beberapa Katak Pohon Jawa Kebanyakan dari jenis Katak Pohon Jawa ditemukan pada ketinggian 1500-2000 m dpl, tetapi tidak menutup kemungkinan jenis ini ditemukan pada daerah yang lebih rendah dari 1500 m dpl. Beberapa lokasi yang pernah ditemukan jenis ini seperti PPKA Bodogol (700 m dpl) (Kusrini 2005), Situ Gunung (1025 m dpl), Salabintana (1175 m dpl) dan Ciwalen (1400 m dpl) (Kusrini 2005). Tetapi jumlah yang ditemukan pada daerah ini tidak sebanyak pada daerah dengan ketinggian 1500-2000 mdpl. Hal ini menunjukkan bahwa Katak Pohon Jawa ini lebih menyukai habitat dengan ketinggian 1500-2000 m dpl. Ketinggian juga berpengaruh pada kemiringan lereng. Hasil dari analisis PCA menunjukkan bahwa pengaruh kemiringan lereng terhadap penyebaran jenis ini tidak signifikan. Pada analisis PCA, kemiringan lereng masuk dalam komponen kedua dan merupakan variabel yang paling kecil pengaruhnya terhadap penyebaran Katak Pohon Jawa di TNGP dibanding keempat variabel lainnya (jarak dari sumber air, sebaran temperatur, kerapatan tajuk dan ketinggian). Hal ini diduga dikarenakan jenis katak ini hidup arboreal sehingga tidak terlalu bergantung pada kemiringan lereng. Pada pengamatan di Curug Cibereum, beberapa dari jenis ini ditemukan berada pada vegetasi di kemiringan lebih dari 45%.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemiringan lereng tidak
terlalu berpengaruh terhadap sebaran jenis Katak Pohon Jawa.
41
5.2.2. Sumber-Sumber Bias Di dalam analisis spasial model kesesuaian habitat Katak Pohon Jawa terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan kemungkinan terjadinya error atau data kurang akurat. Faktor tersebut disebut bias. Sumber-sumber bias tersebut diantaranya : 1. Topografi Kondisi TNGP yang berbukit dan bergunung-gunung menyebabkan terjadinya perbedaan penerimaan cahaya matahari di permukaan bumi, dimana efek topografi yang terjal akan membuat obyek ternaungi oleh bayangan topografi tersebut. Sementara obyek yang berada pada kondisi topografi datar atau terkena sinar matahari langsung tak akan mendapat efek naungan. Perbedaan topografi akan memberikan efek perbedaan persentasi pencahayaan suatu obyek oleh matahari. Adanya efek naungan akibat perbedaan topografi berdampak pada perbedaan nilai piksel obyek yang sama pada kondisi pencahayaan yang berbeda. Contohnya pada penentuan nilai piksel vegetasi untuk penghitungan nilai LAI, vegetasi yang sama akan memiliki nilai piksel yang berbeda akibat efek naungan pada saat perekaman citra. Selain pada penentuan nilai piksel kerapatan vegetasi (LAI), efek naungan juga dapat terjadi pada penentuan nilai suhu pada suatu daerah. Daerah yang ternaungi dan tidak ternaungi akan memiliki nilai piksel suhu yang berbeda pada obyek yang sama pada saat perekaman citra. 2. Perbedaan/Penyimpangan letak jalur sungai dan jalan pada data vektor bila dibandingkan dengan data raster citra satelit. Perbedaan data vektor dan raster dapat disebabkan oleh perbedaan input data, dimana input data pada data vektor adalah melalui proses digitasi yang dilakukan oleh manusia sehingga memungkinkan terjadinya human error yang lebih besar dibanding dengan perekaman citra permukaan bumi oleh citra satelit yang dilakukan secara otomatis. Tetapi walaupun demikian tidak menutup kemungkinan terjadinya kesalahan pada perekaman citra. Penyimpangan dapat diperkecil dengan koreksi geometrik, yaitu dengan mencocokkan letak titik pada lokasi yang sama antara data vektor (jalan dan sungai) dengan data raster (citra satelit).
42
3. Penentuan titik sebaran katak. Letak titik sebaran katak dapat ditentukan melalui survei langsung ke lapang dan mencatat titik-titik geografis katak yang ditemukan dengan menggunakan GPS. Keakuratan posisi katak sangat ditentukan oleh keadaan penutupan vegetasi, dimana kondisi daerah dengan penutupan tajuk yang rapat dapat
menyebabkan
gangguan
penerimaan
sinyal
sehingga
dapat
mengakibatkan bergesernya titik keberadaan katak. Hal serupa juga ditemukan dalam penelitian rusa di Kolombia (Apps & Kinley 2000). Selain itu, penerimaan sinyal juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat, dimana pada daerah dengan elevasi yang tinggi akan mendapatkan sinyal yang lebih baik (Apps & Kinley 2000). 4. Variabel mikro habitat lainnya Selain kelima variabel (suhu, kerapatan tajuk, jarak dari sumber air, ketinggian dan kemiringan lereng), masih banyak faktor lain yang berpengaruh terhadap keberadaan Katak Pohon Jawa. Hal ini disebabkan karena amfibi menempati mikro habitat tertentu dengan variabel seperti kualitas air, tanaman air tertentu, kedalaman air dan lebar sungai. Akan tetapi variabel tersebut sampai saat ini belum dapat dianalisis secara spasial.
5.2.3 Ancaman Terhadap Habitat Katak Pohon Jawa TNGP merupakan kawasan yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan di Indonesia. Tidak kurang dari 30.000 pengunjung tiap tahunnya datang ke kawasan ini (Whitten et al. 1996). Hal ini mengakibatkan terjadinya beberapa masalah seperti pembuangan sampah dan perusakan habitat. Oleh karena itu, pihak pengelola mengambil langkah dengan menambah rute menuju puncak Gede dan Pangrango (Whitten et al.
1996) sehingga pengunjung tidak
menumpuk di satu lokasi atau rute. Akan tetapi dengan banyaknya rute ini menyebabkan banyak pengunjung ilegal dan masyarakat lokal yang masuk ke dalam kawasan tanpa diketahui petugas untuk mengambil hasil hutan baik flora atau faunanya dan kemudian dijual ke wisatawan (Whitten et al. 1996). Beberapa lokasi yang menjadi habitat bagi Katak Pohon Jawa seperti di daerah Danau Telaga Biru dan Curug Cibereum merupakan lokasi yang menjadi daya tarik wisata alam. Daerah ini merupakan bagian dari zona pemanfaatan TNGP. Hal ini memungkinkan terjadinya kerusakan habitat baik yang disebabkan oleh pengunjung maupun penduduk lokal yang masuk ke dalam kawasan. Dari
43
laporan BTNGP (2003) beberapa masalah yang dapat mengancam kelestarian satwa liar dan habitatnya khususnya jenis Katak Pohon Jawa ini di TNGP antara lain : 1. Penebangan liar, masih dilakukan oleh sebagian masyarakat sekitar hutan meskipun dengan frekuensi yang relatif kecil. Penebangan liar dilakukan untuk kebutuhan pembuatan gubug pertanian, bahan mebel, bahan/ alat rumah tangga, bahan bangunan rumah dan kayu bakar. Hal ini dapat merusak habitat Katak Pohon Jawa karena habitat utamanya adalah arboreal. 2. Perburuan liar, dilakukan secara tradisional (jerat burung, menggunakan anjing) maupun dengan menggunakan senapan angin. Jenis satwa yang sering diburu yaitu burung, babi hutan, kijang, cacing sonari, kupu-kupu, dan lain-lain. Pengambilan Katak Pohon Jawa oleh masyarakat belum pernah terlihat, namun di beberapa tempat jenis ini telah diperjualbelikan sebagai hewan piaraan. 3. Kebakaran hutan masih sesekali terjadi di setiap seksi konservasi wilayah. Hal ini dapat mengurangi luasan berhutan yang menjadi habitat katak ini. 4. Pencemaran lingkungan (sampah dan vandalisme) sebagai dampak dari adanya pengunjung. Sampah yang dapat mencemari habitat katak ini khususnya sampah anorganik seperti plastik, kaleng, bahkan sabun dan bahan lainnya yang dapat mencemari air akan dapat meracuni larva atau berudu yang hidup di air.
44
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 . Kesimpulan 1. Model Habitat Racophorus javanus adalah sbb Y = {(1.71x FKKetinggian) + (1.07x FKKemiringan lereng) + (1.71x FKKerapatan tajuk) + (1.71x FKJarak dari Sungai) + (1.71x FKTemperatur) }. 2. Habitat dengan tingkat kesesuaian tinggi mempunyai luas yaitu 2290.995 Ha, tingkat kesesuaian habitat rendah mempunyai luas 21167.5 Ha dan tingkat kesesuaian sedang mempunyai luas 958.7475 Ha . 3. Validasi tingkat kesesuaian habitat rendah yaitu 0 %, tingkat kesesuaian habitat sedang 6,25 %, tingkat kesesuaian habitat tinggi 93,75 %. Model dapat diterima dengan tingkat validasi mencapai 93,75 % untuk kesesuaian habitat tinggi. 4. Kemungkinan hasil bias disebabkan oleh faktor penyimpangan nilai piksel akibat perbedaan topografi, perbedaan data vektor dan data raster, kurangnya penerimaan sinyal GPS pada daerah dengan penutupan tajuk yang rapat dan adanya faktor habitat lain yang belum bisa dianalisis secara spasial. 5. Beberapa daerah yang merupakan habitat katak pohon jawa adalah daerah yang berada dalam zona pemanfaatan TNGP sehingga sangat rentan terhadap kerusakan habitat oleh manusia. 5.2. Saran 1. Perlu dilakukan analisis spasial secara keseluruhan di Pulau Jawa dengan
tambahan
beberapa
variabel
lainnya
seperti
jarak
dari
disturbance area, jarak dari pemukiman dan variabel lainnya untuk mendapatkan model habitat yang lebih baik dan lebih luas bagi jenis Katak Pohon Jawa. 2. Perlu lebih banyak lagi titik untuk validasi model di beberapa daerah yang belum pernah dikunjungi untuk mendapatkan data yang lebih valid.
45
DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar [Jilid 1]. Bogor : Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Apps C, Kinley T. 2000. Montain Caribou Habitat Use, Movements, and Factors Associated with GPS Location Bias in the Robson Valley, British Columbia. Columbia Basin Fish & Wildlife Compensation Program. Ministry of Environment, Lands And Parks. BC Fisheries. Aronoff S. 1995. Geographic Information System : A Management Perspective. WDL Publications Ottawa. Canada. Aunuddin. 1989. Analisis Data. Institut Pertanian Bogor. Bogor [BTNGP] Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2003. Laporan Pembinaan Daerah Penyangga SKW II Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Cianjur. Tidak Dipublikasikan. Casey K. 2001. Attracting Frogs to Your Garden. Southwood Press. Marrickville. Chen KML, Kwoh LK. 2001. Asian Conference on Remote Sensing, 5-9 November. Singapore. Cromer RB, Lanham JD, Hanlin HH. 2002. Herpetofaunal Response to Gap and Skidder-Rutwetland Creation in A Southern Bottomland Hardwood Forest. For. Sci. 48:407–413. Duellman WE, Trueb L. 1994. Biology of Amphibians. The Johns Hopkins University Press. Baltimore and London. Goin CJ, Goin OB, Zug GR. 1978. Introduction to Herpetology. W. H. Freeman and Company San Fransisco. Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC, Foster MS. 1994. Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard Methods for Amphibians. Smitsonian Institution Press. Washington. Horn S, Hanula JL, Ulyshen MD, Kilgo JC. 2005. Abundance of Green Tree Frogs and Insects in Artificial Canopy Gaps in A Bottomland Hardwood Forest. The American Midland Naturalist 153:321–326. Howard J. 1996. Penginderaan Jauh untuk Sumberdaya Hutan : Teori dan Aplikasi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali – Seri Panduan Lapangan. Puslitbang – LIPI. Bogor. Iskandar D, Mumpuni. 2004. Rhacophorus margaritifer. In: IUCN 2007. 2007 IUCN Red List of Threatened Species. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 02 March 2008. IUCN 2007. 2007 IUCN Red List of Threatened Species. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 02 March 2008. Kastanya FJP. 2001. Landscape characteristic of Javan Hawk-Eagles habitat using remote sensing and GIS in western part of Java [thesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
46
Kusrini MD, Endarwin W, Yazid M, Ul-Hasanah AU, N. Sholihat, Darmawan B. 2007. The Amphibian of Mount Gede Pangrango National Park. Dalam: MD Kusrini (ed). Frogs of Gede Pangrango: A Follow up Project for the Conservation of Frogs in West Java Indonesia. Book 1: Main Report. Bogor Agricultural University: 8-29 pp. Kusrini MD, Fitri A. 2006. Ecology and Conservation of Frogs of Mount Salak, West Java, Indonesia. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Kusrini MD, Fitri A, Utama H, Nasir DM, Ardiansyah D, Lestari V, Rachmadi R. 2005. Ecology and Conservation of Frogs of Mount Gede Pangrango National Park. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Kurniati H. 2003. Amphibians and Reptile of Gunung Halimun National Park West Java, Indonesia (Frog, Lizard and Snake). Cibinong : Puslitbang Biologi LIPI. Lang L. 1998. Managing Natural Resources with GIS. California : ESRI Liem DSS. 1971. The Frogs and Toads of Tjibodas National Park Mt. Gede, Java, Indonesia. The Philippine Journal of Science 100 (2): 131-161. Lilesan TM, Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Gadja Mada University Press. Yogyakarta. Lo CP. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Terjemahan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Morrison C, Hero JM. 2003. Geographic Variation in Life-History Characteristics of Amphibians: A Review. Journal of Animal Ecology 72: 270–279. Munger JC, Gerber M, Madrid K, Carnall M, Petersen W, Heberger L. 1998. U.S. National Wetland Inventory Classifications as Predictors of The Columbia Spotted Frog (Rana luteiventris) and Pacific Tree Frog (Hyla regilla). Conservation Biology 12 (2): 320-330. Muntasib EKSH. 2002. Penggunaan ruang habitat oleh Badak Jawa (Rhinoceros sundaicus Desm 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Panuju DR, Trisangkoko BH, Setiawan Y. 2003. Variasi Spasio-Temporal Temperatur Kawasan Urban Sebagai Indikator Kualitas Lingkungan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH). IPB. Parris KM. 2000. Distribution, habitat requirements and conservation of the Cascade Tree Frog (Litoria pearsoniana) anura : Hylidae [thesis]. Australian Research Centre For Urban Ecology. University of Melbourne. Australia. Pellet J. 2005. Conservation of a threatened European Tree Frog (Hyla arborea) meta population [thesis]. Faculté de Biologie et Médecine. De l'Université de Lausanne. Pineda E., Moreno C, Escobar F, Halffter G. 2005. Frog, Bat, And Dung Beetle Diversity in the Cloud Forest and Coffe Agroecosystem of Veracruz. Conservation Biology, 19 (2): 400-410.
47
Stebbins RC, Cohen NW. 1997. A Natural History of Amphibians. New Jersey: Princeton Univ. Press. Tim PKLP TNGP. 2006. Laporan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) Mahasiswa Program Sarjana Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Ul-Hasanah AU. 2006. Amphibian diversity in Bukit Barisan Selatan National Park, Lampung-Bengkulu [skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Whitten T, Soeriaatmadja RE, Afif SA. 1996. The Ecolology of Java & Bali. Jakarta-Indonesia. van Steenis, C.G.G.J. 2006. The Mountain Flora of Java. Brill, Leiden
48
LAMPIRAN
49
LAMPIRAN Lampiran 1. Data titik Rhacophorus Javanus di TNGP pada masing-masing peta tematik Identitas No
Lokasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru
20
SituGunung
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Rawa Denok Rawa Denok Rawa Denok Rawa Denok Rawa Denok Rawa Denok Ciwalen Ciwalen
Variabel Penutupan lahan
Tinggi (m dpl)
Lereng (%)
LAI
Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Daerah terbuka Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Semak Semak Hutan Hutan Hutan
1575 1576 1576 1582 1576 1580 1582 1586 1575 1575 1580 1587 1586 1584 1587 1587 1587 1588 1588
11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11
2,23 2,23 2,23 2,23 2,23 2,23 2,23 3,14 2,23 2,23 2,23 3,14 3,14 2,23 3,14 3,14 3,14 3,14 3,14
Jarak dari Sungai (m) 5 10 0 0 0 0 0 0 5 5 0 5 5 0 0 0 18 0 5
1025
0
2,04
0
12,8
1175 1187 1175 1175 1175 1190 1187 1175 1166 1187 1187 1175 1175 1200 1850 1850 1839 1893 1872 1875 1411 1425
23 5 11 11 23 16 16 23 17 16 8 23 23 11 26 26 19 25 24 24 14 8
2,28 2,39 2,20 2,20 2,20 2,31 2,31 2,35 3,39 2,31 2,24 2,35 2,35 2,59 3,34 3,34 3,34 2,24 1,89 1,58 3,65 2,99
5 5 0 5 5 5 0 5 0 5 7 0 5 10 10 7 0 5 0 0 154 62
16,9 16,9 16,9 16,9 16,9 16,1 16,0 16,9 15,6 16,0 16,5 16,9 16,9 16,0 16,0 16,0 16,0 16,9 16,4 16,9 17,8 17,8
Temperatur (0C) 16,9 16,9 16,9 16,9 16,9 16,9 16,9 16,9 16,9 16,9 16,9 16,9 16,9 16,9 16,9 16,9 17,3 16,9 16,9
50
43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81
Ciwalen Ciwalen Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Bodogol
Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Semak Hutan Hutan Hutan Hutan Semak Semak Hutan Hutan Hutan Hutan
1419 1423 1720 1711 1741 1739 1729 1681 1706 1683 1726 1702 1726 1618 1622 1633 1623 1647 1626 1648 1629 1635 1655 1637 1631 1625 1625 1734 1685 1720 1727 1738 1715 1655 1670 1729 1726 1639 676
16 8 12 27 8 16 12 28 29 31 12 29 29 11 6 19 11 34 12 37 12 12 27 10 6 27 12 7 28 29 7 13 29 28 28 26 12 10 17
2,99 3,78 2,47 1,89 2,94 2,67 2,47 2,82 2,12 2,99 2,60 2,11 2,69 2,57 2,52 2,88 2,69 2,77 2,85 3,17 2,94 3,03 3,65 3,45 2,99 3,98 3,12 2,72 2,82 1,75 2,60 3,02 3,03 2,88 2,88 2,29 2,60 2,92 2,72
75 57 14 43 0 22 25 7 20 10 15 10 5 15 33 5 14 11 47 60 47 25 49 46 67 58 51 36 32 47 53 76 72 74 67 40 25 35 53
17,8 17,8 16,4 16,0 16,9 16,9 16,5 16,5 16,5 16,5 16,0 16,5 17,4 16,5 17,4 17,4 17,4 16,5 16,5 16,9 17,4 16,0 16,0 16,0 17,4 16,5 17,4 16,0 16,5 16,5 16,9 16,9 16,5 16,5 16,5 17,4 16,9 16,0 17,9
51
Lampiran 2. Data titik Rhacophorus Javanus di TNGP (Kusrini et al. 2005,2007) No
Lokasi
Ecosystem
Sex
Substrat
Activity
X
Y
Z 3 0 0 0 1 2 1 1 1 0 2 2 2 2 2 2
SVL (mm) 59,72 41,18 46,22 43,68 47,06 40,18 42,6 43 41,66 42,43 45,72 38,92 40,86 41,28 42,94 43
Mass (g) 20 3 4 2,4 4,9 2,1 2,5 4,8 7,1 4,4 4,5 3,4 4,0 3,7 4 4,5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru
Terrestrial aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic Pond Pond
F M M M M M M M M M M M M M M M
diam diam diam diam diam diam diam diam diam diam diam Bersuara diam diam diam diam
0 0 0 3 3 2 10 7 0 0 0 3 0 -
2 -
17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
Telaga Biru Telaga Biru Telaga Biru SituGunung Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Salabintana Rawa Denok Rawa Denok Rawa Denok Rawa Denok Rawa Denok Rawa Denok Ciwalen Ciwalen Ciwalen Ciwalen Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum
Pond Pond Pond aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic Stream Stream aquatic aquatic aquatic Terrestrial aquatic aquatic aquatic aquatic
M M M M M F M M M M M M F M M M M M M M M M F F F M M M F F M
ranting daun daun daun daun ranting ranting ranting daun daun ranting ranting daun daun daun daun pisang Ranting daun daun ranting akar daun daun daun daun daun ranting batu daun daun plastik daun ranting daun daun daun daun ranting daun daun ranting daun daun ranting Ranting Ranting Ranting Daun
diam diam diam diam diam diam diam diam diam bersuara diam diam diam diam diam diam diam diam diam diam diam diam diam diam diam diam diam diam Diam Diam Diam Diam
5 -2 4 -2 -2 -1 3 2 4 -1 1 7 -5 -5 9 8 7 2 3 2 1 0 4 4 0 5 10 -
155 294 170 255 255 260 70 92 280 356 86 162 295 295 45 18 15 13 127 91 91 29 25 25 67 38 200 135
3 2 3 7 2 1 1 1 2 1 2 1 1 3 1 2 1 1 2 2 5 3 5 3 1 2 2 4 1 2 1 3
40,8 41,12 41,2 42,02 47,78 63,38 44,72 40,24 36,86 39,74 39,02 38,46 57,88 45,22 43,96 42,88 40,06 43,76 43,94 42,5 39,28 42,58 60,88 65,52 60 42,46 42,14 71,96 60,62 63,42 39,02 -
4,5 4 4,7 5,3 9,2 19 4,9 4,3 3,3 5,4 4,1 4,1 15,2 5,6 4,8 3,9 3,8 4,3 5,9 4,3 3,7 4,3 17,5 13,7 19,6 3,8 3,9 5,25 16,2 21,7 4,2 -
52
49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71
Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum
aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic aquatic Rawa Rawa Rawa Rawa Rawa Rawa Rawa Rawa Rawa Rawa Rawa Rawa Rawa Rawa Rawa Stream
M M M M M F M M M M M M M M M M M J M M M F
72 73
Cibereum Cibereum
Stream Stream
M F
74 75
Cibereum Cibereum
Stream Stream
F M
76 77 78 79 80 81
Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Cibereum Bodogol
Terrestrial Terrestrial Terrestrial Rawa Rawa aquatic
J J M M M F
Daun Ranting Ranting Daun Daun Pohon Daun Daun Pohon Pohon Pohon Ranting Ranting Ranting Pohon Daun Pohon Ranting Daun Batu Batu Daun Pohon pakis daun Pohon kecubung daun daun kecubung Daun Daun Daun Ranting Pohon daun
Diam Diam Diam Diam Diam Diam Diam Diam Diam Diam Diam Diam Diam Diam Diam Diam Diam Diam Diam Diam Diam Diam diam
0 0 2 0 2 1 2 1 0 1 2 0 1 0 0 0 2 5
38 45 34 135 35 50 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 22
2 3 2 2 4 3 2 2 3 4 3 4 3 3 5 3 3 4 3 3 5 3 2
46,62 40,82 43,82 41,62 43,42 60,32 37,42 43,92 41,62 45,72 35,12 36,82 43,32 41,82 43,12 43 37,92 16,44 44,3 44,42 43,2 63,86
6,45 5,2 5,7 5,95 5,6 16,7 4 5,2 4,2 4,8 3,45 4,2 4,95 4,95 5,95 4,7 3,7 0,4 5,29 5,29 4,7 22,25
diam makan
0 0
142 167
1 1
43,64 61,96
5 16
diam diam
2 3
178 43
2 1
63,34 42,76
14,25 4
Diam Diam Diam Diam Diam diam
1 5 2 0 3
10 1 2 0 0 205
4 3 3 3 3 0
12,62 18 40,82 43,32 41,82 55,72
2,8 3,5 4,6 4,95 4,95 10
53
Lampiran 3. Kelas tiap layer dan luasannya Layer 500-1000 m dpl >2000 m dpl Ketinggian 1000-1500 m dpl 1500-2000 m dpl 0-15 % Kemiringan lereng 15-25 % >25 % <0 0-2,29 Kerapatan tajuk (LAI) 2,29-4,58 >4,58 0-10 m 10-30 m Jarak dari sungai >30 m <12 0C >220C Sebaran Suhu 12-17 0C 17-22 0C
Luas (Ha) 6895,42 4109,06 8061,19 5293,678 15070,7 5683,65 3663,18 285,6 9385,24 14541,37 205,33 18780,48 1898,84 18780,48 1208,61 162,88 15934,25 7111,8
54