TRADISI TAHLILAN DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA TEGALANGUS (ANALISIS SOSIO KULTURAL)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu
Oleh
Muhammad Iqbal Fauzi NIM: 109015000111
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK
Muhammad Iqbal Fauzi (NIM: 109015000111), Tradisi Tahlilan dalam Kehidupan Masyarakat Desa Tegalangus (Analisis Sosio Kultural). Skripsi, Jurusan Pendidikan IPS, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motivasi masyarakat desa Tegalangus dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan di tempat orang yang meninggal dan untuk mengetahui nilai-nilai positif dan negatif dari tradisi tahlilan di desa Tegalangus terhadap masyarakatnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi. Kemudian teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Masyarakat desa Tegalangus memiliki motivasi yang berbeda-beda dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan di tempat orang yang meninggal, Seperti, masyarakat akan lebih termotivasi untuk hadir dan mengikuti pelaksanaan tahlilan jika orang yang meninggal atau keluarga yang tertimpa musibah (yang ditinggal oleh salah satu anggota keluarganya) adalah temannya, keluarga temannya, atau bahkan seorang tokoh masyarakat. Tradisi tahlilan di desa Tegalangus memiliki nilai positif dan negatif bagi masyarakatnya. Silaturrahmi, solidaritas sosial dan ceramah agama yang berisi pengetahuan agama merupakan nilai-nilai positif dari tradisi tersebut. Selain nilai positif tersebut, tahlilan juga memiliki nilai negatif bagi masyarakat desa Tegalangus. Tahlilan membentuk kebiasaan masyarakat dalam menyuguhkan aneka hidangan untuk jama’ah tahlilan yang memberatkan keluarga, terutama keluarga yang tidak mampu, tahlilan juga sering dijadikan ranah politik, banyak yang menjual tahlilan untuk kepentingan politik, terlebih jelang pemilihan umum.
Kata Kunci: Tradisi, tahlilan, masyarakat Tegalangus.
iv
ABSTRACT
Muhammad Iqbal Fauzi (NIM: 109015000111), Tahlilan Tradition in Society Living of Tegalangus Village (Cultural Socio Analysis). Thesis Studies Socilogy-Antropology of Education, Department of Social Studies, Faculty of Tarbiyah and Teaching, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. 2014. This research aim to know motivation of Tegalangus people to attend realization of tahlilan in the house people who passed away and for knowing negative and positive values from tahlilan tradition in Tegalangus village to the society. The method that was used in this research is qualitative descriptive method. And the data technique collection in this research use interview, observation and documentation. And then, the data analysis technique that was used in this research is data reduction, presentation and interpretation of conclusion. Tegalangus people have different motivation to attending realization of tahlilan in the house people who passed away, start from people who want praying seriously untill people who was only for delete the obligation. Tahlilan tradition in Tegalangus village have positive and negative values for people. Silaturahmi, social solidarity and religion speech which contain religion knowledge is positive value from that tradition. Beside it, tahlilan made people behaviour for burden family, the first for family who include in poor people, tahlilan also was become as politic domain, many people who sold tahlilan for politic importance, especially close general election. Key words: Tradition, tahlilan, Tegalangus society
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh Syukur Alhamdulilah segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam, atas rahmat dan karunia-Nya kepada penulis maka selesailah skripsi ini yang berjudul “Tradisi Tahlilan dalam Kehidupan Masyarakat Desa Tegalangus (Analisis Sosio Kultural)”. Tak lupa sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan bagi manusia, dan semoga kita menjadi pengikutnya hingga nanti. Selesainya skripsi ini tak lupa do’a dan kesungguhan hati, kerja keras serta bantuan dari berbagai pihak baik saran maupun bantuan lainnya. Tiada kata yang dapat penulis ucapkan selain ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bantuan ini, dan lebih khusus ucapan terimakasih yang saya ucapkan kepada: 1. Nurlena Rifa’i MA.Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Iwan Purwanto, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPS Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Drs. H. Syaripulloh, M.Si., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan IPS Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. 4. Cut Dhien Nourwahida. MA., selaku Dosen pembimbing akademik, yang telah memberikan arahan, motivasi juga dukungan kepada penulis selama masa perkuliahan. 5. Dr. Muhammad Arif, M.Pd., sebagai pembimbing skripsi, terimakasih atas segala bimbingan, saran, pengarahan, ilmu, waktu, serta motivasinya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. vi
6. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan IPS, yang telah dengan sabar dan ikhlas mendidik penulis, sehingga ilmu yang diberikan kepada kepada penulis dapat bertambah dan bermanfaat. 7. Abah dan Umi, yang telah membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang, kesabaran serta pengorbanan. Untaian do’a penuh cinta yang selalu penulis panjatkan untuk Abah dan Umi mudah-mudahan bisa menjadi pengganti sebuah kebanggaan yang belum sempat penulis persembahkan untuk Abah dan Umi. 8. Keluargaku tercinta, Mamah, Teh Enti, Mas Agus (matur nuwun Mas, atas waktu tanya jawabe), Teh Uus, Bang Dayat, Ka Aceng, Teh Yanti, Ka Ade, Ka Alan, Teh Yuli (thank you laptopnya), Bang Syahdan, Nunu (sory yah ga bisa ngasih tebengan lagi), Firda, yang tak henti-hentinya mengirimkan do’a, memberikan nasihat, motivasi dan terus memberikan dukungan baik secara materi maupun spirit bagi penulis di setiap situasi dan kondisi. Asa, Indana, Syifa, Rahmah, Taftajani, Nashoriy, Kalzoem, Kaffah, Nuah, senyuman dan tangisanmu selalu menjadi motivasi bagi penulis. Mak Isah, Mpo Mursiah, terimakasih atas segala do’anya. 9. Mang Edi, Ustadz Ikhwan, Ustadz Ahmad, selaku guru agama penulis, tempat penulis bertanya tentang banyak hal, yang tak henti-hentinya memberikan nasihat, arahan, motivasi juga dukungan kepada penulis dalam menjalani kehidupan sebagai makhluk sosial dan hamba Allah SWT. 10. Guru-guru penulis di Yayasan Pendidikan Islam Hidayaturrohman (Hiro), terima kasih atas segala ilmu dan do’anya kepada penulis. 11. Ustadz Ikhwan Muhtarip, Ustadz Ahmad Yuarsa, Pak Achmad Zamroni, Pak Sarip Hidayatulloh dan seluruh responden lainnya, terima kasih atas bantuan dan kesediaanya untuk menjadi sumber dalam penulisan skripsi ini. 12. Rizquna Jersey, yang telah memberikan pelajaran tentang kehidupan, terutama mengenai susahnya cari uang. vii
13. Didik RJ, selaku rekan usaha dan teman, tempat penulis bertanya dan bercerita tentang banyak hal, terima kasih atas segala dukungan dan motivasi kepada penulis. 14. Teman-teman penulis, Furqon, Cessna, Feri, Irul, Angga, Bayu, Rahman, Ucup, Kober, Wahyu DJ, Beles, Zaki, Gagap, Agung, Desty, Desi, Nanda, Indah, Dkk). 15. Teman-teman dunia lain, Thile dan Usuf, yang senantiasa gentayangan didekat penulis dan selalu mendengarkan keluh kesah penulis dalam menjalani masa perkuliahan, meskipun penulis yakin kalau kalian berdua tak paham apa yang penulis ceritakan. Nanang, terima kasih bos atas segala do’a dan dukungannya. 16. Pelanggan Rizquna Jersey, lewat perantara kalianlah rizqi Rizquna Jersey Allah titipkan, semoga terus bertambah. 17. Semua teman-teman seperjuangan Jurusan IPS angkatan 2009, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung dalam penulisan skripsi ini hingga selesai. Akhir kata penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan ketidak sempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya, dan pembaca umumnya. Semoga skipsi ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi dunia pendidikan khususnya dan pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya. Alhamdulillahirrobil’Alamin Wassalamu’alaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh. Jakarta, 17 Januari 2014
Penulis viii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ..................................................i SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH .................................................ii LEMBAR PENGESAHAN SIDANG MUNAQASAH ..................................iii ABSTRAK ….. .. ...............................................................................................iv KATA PENGANTAR ….. .. .............................................................................vi DAFTAR ISI ......................................................................................................ix DAFTAR TABEL .............................................................................................xii DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................................1 B. Identifikasi Masalah ..............................................................................6 C. Pembatasan Masalah .............................................................................7 D. Perumusan Masalah ..............................................................................7 E. Tujuan Penelitian ..................................................................................8 F. Manfaat Penelitian ................................................................................8
BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teori 1. Pengertian Tradisi Tahlilan ................................................................10 a. Pengertian Tradisi …...................……………………………….. 10 b. Pengertian Tahlilan .......................................................................13 c. Sejarah Tahlilan ............................................................................15 d. Pelaksanaan Tahlilan .....................................................................20 2. Masyarakat a. Pengertian Masyarakat ...................................................................22 b. Bentuk-bentuk Masyarakat ............................................................26 1) Masyarakat Tradisional ..........................................................26
ix
2) Masyarakat Modern ...............................................................29 3. Teori Fungsionalisme Struktural a. Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons …………….... 30 b. Teori Fungsionalsme Struktural Robert K. Merton ……………. 32 4. Solidaritas Sosial Emile Durkheim ………………………………… 35 B. Hasil Penelitian Relevan ........................................................................37 C. Kerangka Berpikir ..................................................................................41
BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................43 B. Latar Penelitian (Setting) .......................................................................43 C. Metode Penelitian....................................................................................44 D. Prosedur Pengumpulan Data ..................................................................44 1. Wawancara .........................................................................................46 2. Observasi ............................................................................................48 3. Dokumentasi .......................................................................................48 E. Teknik Pengolahan Data ........................................................................59 F. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data .....................................50 G. Analisis Data ...........................................................................................51 1. Analisis Sebelum di Lapangan ...........................................................51 2. Analisis Selama di Lapangan .............................................................52 3. Reduksi Data .....................................................................................52 4. Penyajian Data ...................................................................................52 5. Penarikan Kesimpulan ........................................................................52
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Fisik dan Sosial Daerah Penelitian ..........................................54 1. Gambaran Umum Wilayah ...............................................................54 2. Kondisi Demografi............................................................................54 3. Sarana dan Prasarana .......................................................................56 B. Tradisi Tahlilan dalam Kehidupan Masyarakat Desa Tegalangus x
(Analisis Sosio Kultural) ......................................................................58 1. Motivasi Masyarakat Desa Tegalangus dalam Menghadiri Pelaksanaan Tahlilan di Tempat Orang yang Meninggal ……….. 58 2. Nilai-nilai Positif yang Terkandung dalam Tradisi Tahlilan di Desa Tegalangus …………..……………..………………….... 61 3. Dampak Negatif yang Ditimbulkan dari Tradisi Tahlilan di Desa Tegalangus Terhadap Masyarakatnya …………….………. 63
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...........................................................................................66 B. Saran .....................................................................................................67
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................68 LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jenis Data, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ..................45 Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan RW/RT .............................................55 Tabel 4.2 Sarana dan Prasarana Desa Tegalangus ..............................................57
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Pedoman Observasi Lapangan
Lampiran 2
Hasil Observasi Lapangan
Lampiran 3
Pedoman Wawancara
Lampiran 4
Hasil Wawancara
Lampiran 5
Pedoman Studi Dokumentasi
Lampiran 6
Panduan Tahlilan
Lampiran 7
Jadwal Pembacaan Tahlil di Desa Tegalangus
Lampiran 8
Surat pengantar penelitian dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 9
Surat Keterangan Penelitian dari desa Tegalangus
Lampiran 10 Profil Desa Tegalangus Lampiran 11 Foto-foto Pelaksanaan Tahlilan di Masjid, Mushola dan di Masyarakat
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sebelum Islam masuk ke Indonesia, agama Hindu dan Buddha telah berkembang luas di Nusantara ini-di samping banyak yang masih menganut animisme dan dinamisme.1 Suatu kenyataan bahwa Islam ke Indonesia dilakukan secara damai. Berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah yang dalam beberapa kasus disertai dengan pendudukan wilayah oleh militer Muslim. Islam dalam batas tertentu disebarkan oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para guru agama (da’i) dan pengembara sufi.2 Secara umum, dapat dikatakan bahwa proses masuknya Islam ke Nusantara yang ditandai awal hadirnya pedagang-pedagang Arab dan Persia pada abad ke-7 Masehi, terbukti mengalami kendala sampai masuk pada pertengahan abad ke-15. Ada rentang waktu sekitar delapan abad sejak kedatangan awal Islam, agama Islam belum dianut secara luas oleh penduduk pribumi Nusantara. Baru pada pertengahan abad ke-15, yaitu era dakwah Islam yang dipelopori tokoh-tokoh sufi yang dikenal dengan sebutan Wali Songo, Islam dengan cepat diserap ke dalam asimilasi dan sinkretisme Nusantara.3 Dalam kenyataannya, para Wali telah merumuskan strategi dakwah atau strategi kebudayaan secara sistematis, terutama bagaimana menghadapi kebudayaan Jawa dan Nusantara pada umumnya yang sudah sangat tua, kuat, dan sangat mapan. Ternyata, para wali memiliki metode yang sangat bijak. Mereka
1
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran Tentang Paradigma dan Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 197. 2 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005), h. 8. 3 Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan), (Tangerang: Transpustaka, 2011), h. 37.
1
2
memperkenalkan Islam tidak serta merta, tidak ada cara instan, karena itu mereka merumuskan strategi jangka panjang.4 Strategi para Wali dalam mengembangkan ajaran Islam di bumi Nusantara dimulai dengan beberapa langkah strategis. Pertama, tadrij (berharap). Tidak ada ajaran yang diberlakukan secara mendadak, semua melalui proses penyesuaian. Bahkan, tidak jarang secara lahir bertentangan dengan Islam, tapi ini hanya strategi. Misalkan mereka dibiarkan minum tuak, makan babi, atau mempercayai para danyang dan sanghyang. Secara bertahap, perilaku mereka itu diluruskan. Kedua, ‘adamul haraj (tidak menyakiti). Para Wali membawa Islam tidak dengan mengusik tradisi mereka, bahkan tidak mengusik agama dan kepercyaan mereka, tapi memperkuatnya dengan cara yang Islami.5 Penyebaran Islam di tanah Jawa oleh para Wali memiliki persamaan dengan pertama kali Rasulullah SAW menyebarkan Islam di tanah Arab, yaitu kondisi masyarakat yang telah beragama, berkeyakinan dan telah memiliki budaya dan tradisi setempat. Di Jawa, khususnya, telah mengakar sebuah keyakinan dari agama Hindu dan Buddha dalam banyak aspek, terlebih yang berkaitan dengan kematian, ritual selamatan dan sebagainya. Tidak berbeda jauh dengan kondisi di atas, Rasulullah SAW juga menghadapi sebuah kondisi masyarakat yang hampir sama dengan mewarisi beragam tradisi dan adat istiadat dari leluhur warga Arab, utamanya dengan keberadaan Ka’bah.6 Sesuai dengan metode dakwah Rasulullah ini, Wali Songo dan para penyebar Islam terdahulu tidak serta menghilangkan dan menghapus tradisi dari agama sebelum Islam. Mereka sangat toleran dengan tradisi lokal yang telah membudaya dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan akidah dan hukum Islam, serta mencoba meraih hati mereka agar masuk Islam dengan menyelipkan ajaran Islam dalam tradisi mereka. Meski demikian, ajaran yang dimasukkan dalam tradisi tersebut bukan hal yang terlarang dalam agama bahkan termasuk ibadah dan
4
Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan), (Tangerang: Transpustaka, 2011), h. xi. 5 Ibid., h. xii. 6 Muhammad Ma’ruf Khozin, Tahlilan Bid’ah Hasanah, (Surabaya: Muara Progresif, 2013), h. 4.
3
pendekatan diri pada Allah, semisal dzikir, mendo’akan orang mati dalam selametan, membaca surat Yasin dan menghadirkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal, sedekah atas nama orang meninggal dan sebagainya.7 Di satu sisi Rasulullah SAW menghargai tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat, di sisi lain ketika Rasulullah SAW dihadapkan dengan tradisi yang menyimpang maka Rasulullah SAW tidak menghapusnya, namun menggantinya dengan hal-hal yang sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contohnya adalah penduduk Madinah, dimana penduduknya telah memiliki dua nama hari (Nairuz dan Mahrajan) yang dijadikan sebagai hari perayaan dengan bersenang-senang, persembahan pada patung dan sebagainya. Maka, kedatangan Islam tidak menghapus tradisi berhari raya, namun dengan mengubah rangkaian ritual yang ada di dalamnya dengan sholat dan sedekah dalam ‘idhul fitri, juga sholat dan ibadah haji atau qurban dalam ‘idhul adha.8 Demikian halnya cara dakwah yang dijalankan oleh para Wali Songo khususnya di tanah Jawa. Para Wali sangat arif dengan budaya lokal pra Islam, seperti tingkeban saat kehamilan (mendo’akan janin), 7 hari, 40 hari dan 100 hari setelah kematian dan tradisi selamatan lainnya. Budaya ini tidaklah serta merta dihapus oleh para penyebar Islam tersebut, tetapi diisi dengan nilai-nilai yang sesuai ajaran Islam seperti baca al-Qur’an, shalawat, sedekah. Amaliah ini sama seperti yang dilakukan Rasulullah SAW ketika mengubah isi hari raya di Madinah.9 Kematian adalah satu kenyataan yang setiap kali disaksikan oleh manusia. Karena itu, tidak mengherankan kalau mereka menjadi biasa dengan kematian itu, sebagaimana mereka menghadapi musim dingin, musim panas, tenggelam dan terbitnya matahari.10 Di kalangan masyarakat kita ada tradisi, ketika ada orang meninggal, maka pihak keluarga mengadakan selamatan 7 hari, yang dihadiri para tetangga, kerabat dan handai taulan dengan ritual bacaan tahlilan yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang meninggal itu. Selamatan tersebut dilakukan pula 7
Ibid., h. 6-7. Ibid., h. 11. 9 Ibid., h. 13. 10 Ahmad Shalaby, Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam, (Jakarta: Amzah, 2001), h. 189. 8
4
pada ke-40, 100 dan 1000 harinya. Lalu diadakan setiap tahunnya yang diistilahkan dengan haul.11 Keberhasilan dakwah Wali Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya. Wali Songo tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam. Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit.12 Kehidupan masyarakat yang masih kental dengan tradisi keagamaan yang terkait dengan perjalanan hidup manusia, seperti tujuh bulanan, aqiqah, dan tahlilan atau tradisi keagamaan yang terkait dengan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Islam, misalnya mauludan (memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW), rajaban (memperingati peristiwa isra’ mi’raj), nuzulul qur’an (memperingati peristiwa turunnya al-Qur’an), muharroman (menyambut tahun baru hijriyah) bisa dilihat dalam kehidupan masyarakat desa Tegalngus, kecamatan Teluknaga, kabupaten Tangerang. Masyarakat desa yang menganut agama Islam dan tergolong dalam warga nahdliyin (sebutan untuk jama’ah nadhlatul ‘ulama) ini rutin menyelenggarakan tradisi-tradisi keagamaan tersebut. Salah satu tradisi yang menarik dicermati dan ditelusuri lebih dalam adalah tradisi tahlilan. Tradisi ini diselenggarakan ketika ada warga yang meninggal dunia. Pelaksanaannya berlangsung selama tujuh hari berturut-turut yang dimulai setelah jenazah dikebumikan atau dikuburkan sampai hari ketujuh dari prosesi penguburan tersebut. Setelah itu, dilanjutkan dengan tahlilan 15 hari, 40 hari, 100 hari sampai satu tahun memperingati warga yang meninggal tersebut, yang lebih dikenal dengan istilah haul. Tahlilan bagi masyarakat desa Tegalangus telah menjadi budaya yang bersifat keharusan sehingga jika ada salah satu dari 11
Muhammad Idrus Ramli, Membedah Bid’ah dan Tradisi dalam Perspektif Ulama Salafi. (Surabaya: Khalista, 2010), h. 48-49. 12 Ibid.,
5
masyarakat yang tidak melaksanakan tahlilan ketika salah satu anggota keluarganya meninggal dunia sering disebut sebagai kelompok minoritas. Tetapi hal demikian tidak menyebabkan kerukunan antarmasyarakat terganggu. Berdasarkan pengamatan penulis, tradisi tahlilan di desa Tegalangus dihadiri oleh para kerabat dan tetangga orang yang meninggal. Tradisi ini dipimpin oleh seorang tokoh agama (kiai, ustadz, atau amil). Hal yang menarik dari tradisi tahlilan di desa Tegalangus adalah, selain aktivitas yang berisi kesakralan dan kekhidmatan, tradisi ini juga merupakan ruang pertemuan antarwarga. Ketika sebelum dimulai dan saat menyantap hidangan setelah prosesi usai, warga yang berkumpul berkomunikasi satu sama lain tentang banyak hal. Dari hal yang serius sampai senda gurau, dari masalah pribadi sampai masalah umum, bahkan tidak jarang dari komunikasi tersebut lahir kesepakatan untuk melakukan kegiatan sosial. Secara bahasa tahlilan berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya membaca kalimat la ilaha illallah.13 Berdasarkan pengertian tahlilan tersebut dan melihat yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, ternyata pembacaan tahlil dilaksanakan bukan hanya ketika ada tetangga atau kerabat yang meninggal, tetapi upacara-upacara lainnya pun sering dihiasi dengan pembacaan kalimat tauhid tersebut. Misalnya acara pengajian, pemberian nama anak, acara khitanan, acara maulidan, rajaban, nuzulul Qur’an, muharroman sampai acara ulang tahun dan lain sebagainya. Tetapi, bagi masyarakat desa Tegalangus kecamatan Teluknaga kabupaten Tangerang, apabila menyebut kata tahlilan maka yang dimaksud adalah tahlilan dalam rangka mendo’akan kerabat atau tetangga yang meninggal dunia. Tahlilan sudah menjadi tradisi yang mengakar bagi masyarakat desa Tegalangus, selain memang mayoritas masyarakatnya merupakan nahdliyin (sebutan untuk jamaah Nahdlatul ‘Ulama), nilai-nilai positif yang terkandung dalam tahlilan menjadi alasan bagi masyarakat tersebut untuk melaksanakan dan melestarikan tradisi yang oleh sebagian kelompok dianggap bid’ah tersebut.
13
Munawar Abdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), h. 276.
6
Tetapi, adanya nilai-nilai positif tersebut tidak membuat tradisi ini luput dari nilai negatif. Meskipun demikian, tidak dapat dielakkan adanya perbedaan motivasi atau dorongan bagi masyarakat untuk mengikuti pelaksanaan tahlilan di kediaman orang yang meninggal. Seperti, masyarakat akan lebih termotivasi untuk hadir dan mengikuti pelaksanaan tahlilan jika orang yang meninggal atau keluarga yang tertimpa musibah (yang ditinggal oleh salah satu anggota keluarganya) adalah temannya, keluarga temannya, atau bahkan seorang tokoh masyarakat. Disatu sisi, seiring berjalannya waktu, percampuran budaya di desa ini pun tidak dapat dihindari. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya orang dari luar yang tentunya berbeda budaya dengan masyarakat setempat menetap di desa ini dengan sebab menikah dengan warga setempat, bekerja dan lain sebagainya ataupun warga setempat yang baru kembali dari tempat rantaunya. Dengan membawa latar belakang budaya yang berbeda itu menyebabkan bercampur dua kebudayaan yang berbeda sehingga sedikit merubah tradisi di desa Tegalangus, termasuk tradisi tahlilan. Intinya, ada beberapa masyarakat yang tidak melaksanakan
tahlilan
dengan
dalil-dalil
yang
mereka
yakini
sebagai
pelindungnya. Berdasarkan latar belakang tersebutlah peneliti tertarik untuk meneliti tradisi tahlilan di desa Tegalangus dengan judul “Tradisi Tahlilan dalam Kehidupan Masyarakat Desa Tegalangus (Analisis Sosio Kultural)”. Sebelumnya penelitian ini juga pernah diteliti oleh Bapak Drs. H. Syaripulloh, M.Si dalam tesisnya di Universitas Gadjah Mada pada tahun 2003 yang berjudul “Tahlilan di Kalangan Abangan: Sebagai Pencarian Ekstasi atau Keamanan Politik”, dan ide skripsi ini berangkat dari tesis tersebut.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan masalahnya adalah: 1. Fungsi tahlilan tidak hanya untuk mendo’akan kerabat yang meninggal dunia.
7
2. Adanya perbedaan motivasi masyarakat desa Tegalangus dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan di tempat orang yang meninggal. 3. Kurangnya pemahaman masyarakat desa Tegalangus dalam menyikapi nilainilai positif yang terdapat dalam tradisi tahlilan. 4. Tradisi tahlilan di desa Tegalangus tidak lepas dari nilai negatif yang berdampak pada masyarakatnya. 5. Adanya perbedaan pendapat dalam menyikapi tradisi tahlilan di desa Tegalangus.
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas dan keterbatasan peneliti dari segi waktu dan biaya maka peneliti membatasi masalah-masalah yang sudah diidentifikasi dengan tujuan agar penelitian lebih terarah dan tidak menyimpang dari pokok penelitian. Oleh karena itu peneliti mengarahkan kepada pembahasan atas masalah-masalah pokok yang dibatasi dalam konteks permasalahan yang terdiri dari: 1. Adanya perbedaan motivasi masyarakat desa Tegalangus dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan di tempat orang yang meninggal. 2. Kurangnya pemahaman masyarakat desa Tegalangus dalam menyikapi nilainilai positif yang terdapat dalam tradisi tahlilan. 3. Tradisi tahlilan di desa Tegalangus tidak lepas dari nilai negatif yang berdampak pada masyarakatnya.
D. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah motivasi masyarakat desa Tegalangus dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan di tempat orang yang meninggal? 2. Seperti apakah nilai-nilai positif yang terkandung dalam tradisi tahlilan di desa Tegalangus bagi masyarakatnya? 3. Seperti apakah dampak negatif yang ditimbulkan dari tradisi tahlilan di desa Tegalangus terhadap masyarakatnya?
8
E. Tujuan Penelitian Sejalan dengan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui motivasi masyarakat dalam menghadiri dan mengikuti tradisi tahlilan di desa Tegalangus. 2. Untuk mengetahui nilai-nilai positif yang terkandung dalam tradisi tahlilan di desa Tegalangus bagi masyarakatnya. 3. Untuk mengetahui dampak negatif yang ditimbulkan dari pelaksanaan tahlilan di desa Tegalangus terhadap masyarakatnya.
F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini memiliki dua kegunaan atau manfaat, yaitu manfaat secara teoritik dan praktis. 1. Manfaat Teoritik. Secara teoritik, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya disiplin sosiologi agama yang kaitannya dengan sektor kebudayaan. Selain itu dapat dijadikan sumber informasi bagi peneliti lain dengan tema sejenis. 2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti, penelitian ini dijadikan sebagai tambahan pengetahuan mengenai tradisi tahlilan, khususnya tradisi tahlilan di desa Tegalangus. Selain itu, bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat juga untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelara Stara 1 (S1) pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh Jakarta. b. Bagi tokoh masyarakat (ustadz dan DKM), penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi untuk disampaikan di majlis-masjlis ta’lim dan tempattempat ‘ilmu lainnya agar dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai tradisi tahlilan. c. Bagi Majlis ‘Ulama Indonesia (MUI) desa Tegalangus, penelitian ini bermanfaat untuk dijadikan rujukan dalam rangka menjelaskan masalah hukum tahlilan yang sering menimbulkan polemik di masyarakat
9
sehingga bisa dijadikan landasan dalam mengeluarkan fatwa-fatwa terkait masalah tahlilan. d. Bagi masyarakat, selain berguna sebagai tambahan pengetahuan, penelitian ini juga berguna untuk memberikan keyakinan untuk tetap melaksanakan dan melestarikan tradisi tahlilan di desa Tegalangus.
BAB II KAJIAN TEORI
A. Kajian Teori 1. Pengertian Tradisi Tahlilan a. Pengertian Tradisi Tradisi adalah penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling benar. Selain itu, diartikan pula sebagai adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat.1 Menurut Muhammad Abed Al Jabiri, kata turats (tradisi) dalam bahasa Arab berasal dari unsur-unsur huruf wa ra tsa, yang dalam kamus klasik disepadankan dengan kata-kata irts, wirts, dan mirats. Semuanya merupakan bentuk mashdar (verbal noun) yang menunjukan arti “segala yang diwarisi manusia dari kedua orang tuanya, baik berupa harta maupun pangkat atau keningratan”.2 Berbicara mengenai tradisi, hubungan antara masa lalu dengan masa kini haruslah lebih dekat. Tradisi mencakup kelangsungan masa lalu dimasa kini ketimbang sekadar menunjukan fakta bahwa masa kini berasal dari masa lalu. Kelangsungan masa lalu di masa kini mempunyai dua bentuk: material dan gagasan, atau objektif dan subjektif. Menurut arti yang lebih lengkap, tradisi adalah keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu namun benar-benar masih ada hingga kini, belum dihancurkan, dirusak, dibuang atau dilupakan. Di sini tradisi hanya berarti warisan, apa yang benar-benar tersisa dari masa lalu. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Shils dalam Piotr Sztompka, “tradisi berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini”.3
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1.483. 2 Muhammad Abed Al Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: LKIS, 2000), h. 2. 3 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 6970.
10
11
Menurut Piotr Sztompka, “tradisi dalam arti sempit adalah kumpulan benda material dan gagasan yang diberi makna khusus yang berasal dari masa lalu”. Tradisi pun mengalami perubahan. Tradisi lahir disaat tertentu ketika orang menetapkan fragmen tertentu dari warisan masa lalu sebagai tradisi. Tradisi dapat berubah ketika orang memberikan perhatian khusus pada fragmen tradisi tertentu dan mengabaikan fragmen yang lain. Tradisi bertahan dalam jangka waktu tertentu dan mungkin lenyap bila benda material dibuang dan gagasan ditolak atau dilupakan. Tradisi mungkin pula hidup dan muncul kembali setelah lama terpendam.4 Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa tradisi adalah kegiatan pada masa lalu yang masih bertahan atau dijalankan di masa kini dan bersifat sementara. Artinya, jika kegiatan tersebut tidak dijalankan lagi, maka tidak lagi disebut sebagai tradisi. Tradisi lahir melalui dua cara. Cara pertama, muncul dari bawah melalui mekanisme kemunculan secara spontan dan tak diharapkan serta melibatkan rakyat banyak. Karena sesuatu alasan, individu tertentu menemukan warisan historis yang menarik. Perhatian, ketakziman, kecintaan dan kekaguman yang kemudian disebarkan melalui berbagai cara, memengaruhi rakyat banyak. Sikap takzim tersebut berubah menjadi perilaku dalam bentuk upacara, penelitian dan pemugaran peninggalan purbakala serta menafsir ulang keyakinan lama. Semua perbuatan itu memperkokoh sikap. Kekaguman dan tindakan individual menjadi milik bersama dan berubah menjadi fakta sosial sesungguhnya. Begitulah tradisi dilahirkan. Proses kelahiran tradisi sangat mirip dengan penyebaran temuan baru. Hanya saja dalam kasus tradisi ini lebih berarti penemuan atau penemuan kembali sesuatu yang telah ada di masa lalu ketimbang penciptaan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.5 Cara kedua, muncul dari atas melalui mekanisme paksaan. Sesuatu yang dianggap sebagai tradisi dipilih dan dijadikan perhatian umum atau dipaksakan oleh individu yang berpengaruh atau berkuasa. Raja mungkin memaksakan tradisi dinastinya 4 5
kepada
Ibid., h. 71. Ibid.,
rakyatnya.
Komandan
militer
menceritakan
sejarah
12
pertempuran besar kepada pasukannya. Perancang mode terkenal menemukan inspirasi dari masa lalu dan mendiktekan gaya “kuno” kepada konsumen.6 Dua
jalan
kelahiran
tradisi
tersebut
tidak
membedakan
kadarnya.
Perbedaannya terdapat antara “tradisi asli”, yakni yang sudah ada di masa lalu dan “tradisi buatan”, yang murni khayalan atau pemikiran masa lalu. Tradisi buatan mungkin lahir ketika orang memahami impian masa lalu dan mampu menularkan impian itu kepada orang banyak. Lebih sering tradisi buatan ini dipaksakan dari atas oleh penguasa untuk mencapai tujuan politik mereka.7 Setelah terbentuk, tradisi akan mengalami perubahan, dimana perubahan itu dapat dilihat secara kuantitaif dan kualitatif. Secara kuantitatif perubahan terlihat dalam jumlah penganut atau pendukungnya. Rakyat dapat ditarik untuk mengikuti tradisi tertentu yang kemudian memengaruhi seluruh rakyat dan negara. Sedangkan secara kualitatif perubahan terlihat pada kadar tradisi. Gagasan, simbol dan nilai tertentu ditambahkan dan yang lainnya dibuang. Perubahan tradisi juga disebabkan banyaknya tradisi dan bentrokan antara tradisi yang satu dengan saingannya. Benturan itu dapat terjadi antara tradisi masyarakat atau antara kultur yang berbeda atau di dalam masyarakat tertentu.8 Dalam Piotr Sztompka, Shils menegaskan, “manusia tak mampu hidup tanpa tradisi meski mereka sering merasa tak puas terhadap tradisi mereka”. Berdasarkan itulah dapat dikatakan bahwa suatu tradisi itu memiliki fungsi bagi masyarakat, yaitu: 1) Dalam bahasa klise dinyatakan, tradisi adalah kebijakan turun-temurun. Tradisi seperti onggokan gagasan dan material yang dapat digunakan orang dalam tindakan kini dan untuk membangun masa depan. 2) Memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan, pranata dan aturan yang sudah ada. 3) Menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok. Tradisi
6
Ibid., h. 72. Ibid., h. 72-73. 8 Ibid., 7
13
daerah, kota dan komunitas lokal sama perannya yakni mengikat warga atau anggotanya dalam bidang tertentu. 4) Membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, ketidakpuasan dan kekecewaan dan kehidupan modern. Tradisi yang mengesankan masa lalu yang lebih bahagia menyediakan sumber
pengganti kebanggaan bila
masyarakat berada dalam krisis.9
b. Pengertian Tahlilan Tahlil itu berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya membaca kalimat La Ilaha Illallah.10 Kata tahlil merupakan kata yang disingkat dari kalimat La Ilaha Illallah. Penyingkatan ini sama seperti takbir (dari Allahu Akbar), hamdalah (dari Alhamdu Lillah), hauqalah (dari La Haula Wala Quwwata Illah Billah), basmalah (dari Bismillah ar-Rahman ar-Rahim) dan sebagainya.11 Menurut Muhammad Idrus Ramli, “tahlilan adalah tradisi ritual yang komposisi bacaannya terdiri dari beberapa ayat al-Qur‟an, tahlil, tasbih, tahmid, sholawat dan lain-lain”. Bacaan tersebut dihadiahkan kepada orang-orang yang telah wafat. Hal tersebut kadang dilakukan secara bersama-sama (berjamaah) dan kadang pula dilakukan sendirian.12 Biasanya acara tahlil dilaksanakan sejak malam pertama orang meninggal sampai tujuh harinya. Lalu dilanjutkan lagi pada hari ke -40, hari ke-100, dan hari ke-1000. Selanjtunya dilakukan setiap tahun dengan nama khol atau haul, yang waktunya tepat pada hari kematiannya. Setelah pembacaan do‟a biasanya tuan rumah menghidangkan makanan dan minuman kepada para jamaah. Kadang masih ditambah dengan berkat (buah tangan berbentuk makanan matang). Pada perkembangannya di beberapa daerah ada yang mengganti berkat, bukan lagi dengan makanan matang, tetapi dengan bahanbahan makanan, seperti mie, beras, gula, teh, telur, dan lain-lain. Semua itu
9
Ibid., h. 74-76. Munawar Abdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), h. 276. 11 Muhammad Ma‟ruf Khozin, Tahlilan Bid‟ah Hasanah, (Surabaya: Muara Proresif, 2013), h. 1. 12 Muhammad Idrus Ramli, Membedah Bid‟ah dan Tradisi dalam Perpsektif Ahli Hadits dan Ulama Salafi, (Surabaya: Khalista, 2010), h. 58. 10
14
diberikan sebagai sedekah, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dunia tersebut. Sekaligus sebagai manifestasi rasa cinta yang mendalam baginya.13 Dalam konteks Indonesia, tahlil menjadi sebuah istilah untuk menyebut suatu rangkaian kegiatan do‟a yang diselenggarakan dalam rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia. Sedang tahlil secara istilah ialah mengesakan Allah dan tidak ada pengabdian yang tulus kecuali hanya kepada Allah, tidak hanya mengakui Allah sebagai Tuhan tetapi juga untuk mengabdi, sebagimana dalam pentafsiran kalimah thayyibah. Pada perkembangannya, tahlil diitilahkan sebagai rangkaian kegiatan do‟a yang diselenggarakan dalam rangka mendo‟akan keluarga yang sudah meninggal dunia.14 Di masyarakat NU (Nahdlatul „Ulama) sendiri berkembang pemahaman bahwa setiap pertemuan yang di dalamnya dibaca kalimat itu secara bersamasama disebut majlis tahlil. Majlis tahlil di masyarakat Indonesia sangat variatif, dapat diselenggarakan kapan dan di mana saja. Bisa di masjid, mushala, rumah, atau lapangan. Pada dasarnya majlis dizkir, hanya namanya yang berbeda.15 Dikatakan majlis dzikir sebab sejumlah orang berkumpul dzikir pada Allah, membaca tahmid, takbir, tahlil, tasbih, shalawat dan lainnya. Dikatakan majlis tahlil sebab sejumlah orang dzikir bersama membaca la ilaha illallah diulangulang, tasbih, tahmid, takbir dan lainnya.16 Acara ini bisa saja diselenggarakan khusus tahlil, meski banyak juga acara tahlil ini ditempatkan pada acara inti yang lain. Misalnya, setelah tahlil, yasinan lantas tahlil, acara tasmiyah (memberi nama anak) ada tahlil, khitanan ada tahlil, rapat-rapat ada tahlil, kumpul-kumpul ada tahlil, pengajian ada tahlil, sampai arisan pun ada tahlil. Waktu yang digunakan untuk tahlil biasanya 15 – 20 menit dan bisa diperpanjang dengan cara membaca kalimat la ilaha illallah 100 kali,
13
Muhammad Yusuf Amin Nugroho, Fiqh Al-Ikhtilaf NU-Muhamadiyah, (Wonosobo: Ebook, 2012), h. 140. 14 Ibid., h. 140-141. Menurut KH. M. Irfan Ms (salah seorang tokoh NU) 15 Munawar Abdul Fattah., op. cit. 16 Muhammad Sufyan Raji Abdullah, Bid‟ahkah Tahlilan dan Selamatan Kematian?, (Jakarta: Pustaka Al Riyald, 2009), h. 6.
15
200 kali, atau 700 kali. Atau diperpendek misalnya 3 kali, atau 21 kali. Semuanya itu disesuaikan kebutuhan dan waktu.17 Semua rangkaian kalimat yang ada dalam tahlil diambil dari ayat-ayat alQur‟an dan hadits Nabi. Jadi, keliru pemahaman sebagian orang yang menganggap tahlil buatan kiai atau ulama. Yang menyusun kalimat-kalimat baku tahlil dulunya memang seorang „ulama, tetapi kalimat-kalimat demi kalimat yang disusunnya tak lepas dari anjuran Rasulullah.18 Dalam penjabaran mengenai pengertian tahlilan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tahlilan adalah kegiatan membaca kalimat thayyibah khususnya La Ilaha Illallah yang dilakukan seseorang atau banyak orang dalam rangka mendo‟akan orang yang telah meninggal dunia.
c. Sejarah Tahlilan Acara tahlilan yang kedengarannya tak lagi asing di telinga orang Indonesia merupakan salah satu tradisi zaman Wali Songo yang sampai sekarang masih diamalkan oleh sebagian besar masyarakat. Asal-usul tradisi ini sebenarnya berasal dari kebudayaan Hindu-Buddha yang termodifikasi oleh ide-ide kreatif para Wali Songo, penyebar agama Islam di Jawa. Awalnya tradisi tahlilan ini belum ada, sebab masyarakat zaman dulu masih mempercayai kepada makhlukmakhluk halus dan gaib. Oleh sebab itu, mereka berusaha meminta sesuatu kepada makhluk-makhluk gaib tersebut berdasarkan keinginan yang dikehendakinya. Agar keinginan itu terkabul, maka mereka membuat semacam sesajen yang nantinya ditaruh di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti punden dan pohon-pohon besar.19 Melihat kenyataan tersebut, selain menyebar dakwah Islam, para Wali Songo juga bertekad ingin merubah kebiasaan mereka yang sangat kental akan nuansa tahayyul untuk kemudian diarahkan kepada kebiasaan yang bercorak islami dan realistik. Untuk itulah, mereka berdakwah lewat jalur budaya dan kesenian yang 17
Munawar Abdul Fattah, op. cit., h. 276-277. Ibid., 19 Irfan Yudhistira: http://irfanyudhistira.wordpress.com/2012/06/01/tradisi-tahlilan/, (diakses tanggal 08 Oktober 2013 Pukul 22.36). 18
16
cukup disukai oleh masyarakat dengan sedikit memodifikasi serta membuang unsur-unsur yang berseberangan dengan Islam. Dengan begitu, agama Islam akan cepat berkembang di tanah Jawa dengan tidak membuang mentah-mentah tradisi yang selama ini mereka lakukan. Tradisi tahlilan ini memang tidak terdapat pada zaman Nabi SAW. Lebih tepatnya tradisi ini lebih identik dengan perpaduan antara kebudayaan Jawa Kuno dengan tradisi Islam. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang secara terangterangan menolak, bahkan menentang tradisi ini. Sebab, mereka meyakini bahwa acara tahlilan merupakan amalan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sehingga termasuk bid‟ah. Namun perlu diingat,
para Wali Songo dalam berdakwah sangat
mengedepankan kehati-hatian serta strategi yang jitu dalam misinya menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Sebab, dikala itu kondisi mereka yang masih beragama Hindu dan Buddha masih belum mampu merubah total apa yang menjadi kebiasaan dan tradisi mereka, sehingga sangat sulit bagi para Wali apabila langsung mengkikis kebudayaan yang mereka lakukan selama itu dalam dakwahnya. Mereka juga tidak sembarangan membuang adat-istiadat yang mereka lakukan serta sangat selektif dan teliti memilah-milah kebiasaan mana yang masih dalam koridor syari‟at dan mana yang bertentangan. Sebab apabila para Wali Songo bertindak gegabah dalam menjalankan misinya, maka agama Islam pun sulit diterima oleh orang Jawa pada waktu itu. Bahkan tak jarang merekapun semakin membenci pada Islam yang justru semakin menghambat berkembangnya agama yang dibawa baginda Rasulullah SAW ini. Strategi Wali Songo ini kemudian diperkuat dengan statement Imam Syafi‟i yang dikutip dalam buku “Jami‟ al-„Ulum wa al-Hikam” karangan Ibnu Rajab yang berbunyi: “Bid‟ah itu ada dua, yaitu bid‟ah hasanah (terpuji) dan bid‟ah dhalalah (tercela). Bid‟ah hasanah berarti bid‟ah yang selaras dengan sunnah, sedangkan bid‟ah dhalalah berarti bid‟ah yang bertentangan dengan sunnah”.20
20
Irfan Yudhistira: http://irfanyudhistira.wordpress.com/2012/06/01/tradisi-tahlilan/, (diakses pada hari Selasa tanggal 08 Oktober 2013 pukul 22.36).
17
Meskipun tradisi tahlilan di Indonesia merupakan suatu tradisi Hindu-Buddha yang oleh Wali Songo dimodifikasi dengan nilai-nilai islami, amalan yang ada dalam tahlilan bukan murni dari bangsa Indonesia, melainkan sudah pernah dicontohkan sejak masa sahabat, serta pada masa tabi‟in dan seterusnya. Karena sudah pernah dicontohkan inilah maka kebiasaan tersebut masih ada hingga kini. Misalnya seperti selamatan hari ketujuh diperbolehkan dalam syari‟at Islam. Sebagaimana keterangan Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi dalam kitab karangannya yaitu kitab Al-Hawi Lil Fatawi: “Telah berkata Imam Ahmad bin Hambal RA di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Al-Asyja‟i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus („ulama besar zaman tabi‟in): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama tujuh hari. Maka disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orangorang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”21 Sementara itu, sedekah selama tujuh hari yang pahalanya diperuntukan untuk orang yang meninggal telah berlangsung di Mekkah dan Madinah sampai sekarang. Keterangan ini dijelaksan oleh Imam Suyuti di dalam kitabnya Al Hawi Lil Fatawi. Berikut penjelasannya: “Telah sampai kepadaku bahwasannya kesunahan bersedekah selama tujuh hari itu telah berlangsung di Mekkah dan Madinah hingga sekarang”. Maka secara dzohir disimpulkan bahwa sedekah tersebut tidak pernah ditinggalkan mulai dari zaman para sahabat sampai sekarang. Para generasi terkemudian (kholaf) telah mengambilnya secara turun temurun dari generasi terdahulu (salaf) sampai masa generasi pertama.22 Pembacaan tahlil yang dikhususkan untuk orang-orang yang telah meninggal juga menjadi tradisi turun temurun di Hadhramaut Yaman tempat berdiamnya para ahlul bait dzurriyah Nabi Muhammad SAW. Sejarah tersebut dapat ditemukan dalam kitab Al-Ilmun Nibros tulisan Sayyid Al Habib Abdulloh bin Alwi Bin Hasan Al Athos. Di kitab tersebut dijelaskan: “Sebagian dari mereka 21
Abdullah Mustaghfirin: http://www.gemasholawat.com/2012/04/hukum-selamatan-hari-ke3-7-40-100.html (diakses pada hari Jum‟at tanggal 11 Oktober 2013 pukul 18.07) dari Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Kitab Al-Hawi Lil Fatawi, jilid 2 h. 178. 22 Karyawan FB: http://karyawanfb.mwb.im/sejarah-awal-mula-munculnya-tradisi-tahl.xhtml (diakses pada hari Selasa tanggal 08 Oktober 2013 pukul 22.41).
18
(ahlul bait di Hadhramaut) mengumpulkan para jama‟ah yang membaca tasbih dan tahlil sebanyak 1000 kali, kemudian mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah meninggal dunia.” Jika di Mekkah dan Madinah telah dikenal tradisi sedekah selama 7 hari, dan di Hadhramaut telah dikenal pembacaan tahlilan, maka ulama Wali Songo yang notabene merupakan keturunan ahlul bait dari Hadhramaut tersebut, mengingat para ulama ahlul bait merupakan orang-orang yang sangat menjaga kemurnian ajaran yang didapat secara turun temurun yang bermuara kepada Imam Ja‟far Shodiq (putra Ali bin Abi Tahlib) sampai kepada Rasulullah SAW., dapat dipastikan Wali Songo telah membawa tradisi itu dari sana, bukan dari Iran tempat yang menjadi pusat syiah. Bukti bahwasannya Wali Songo merupakan keturunan dari Hadhramaut ialah, bahwasannya Sayyid Ahmad Rahmatulloh yang dikenal dengan sebutan Sunan Ampel merupakan putra dari Sayyid Ibrahim Zainal Akbar bin Sayyid Husain Zainal Akbar bin Sayyid Ahmad bin Sayyid Abdulloh bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin Muhammad Sohib Marbath bin Sayyid Alwikholi' Qosam bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al Muhajir Ilallloh bin Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidli bin Ja‟far As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zaenal Abidin bin Husain Bin Ali suami Fatimah Az-Zahra sampai kepada Rasulullah SAW., dengan begitu, tradisi yang terkenal dengan tahlilan merupakan perkawinan tradisi Mekkah dan Madinah serta Hadhramaut. Yang kebetulan masyarakat Jawa kala itu sudah terbiasa dengan sesajen ala Hindu. Sehingga tradisi tahlilan ini sangat mudah diterima oleh mereka setelah disampaikan oleh para wali penyebar islam.23 Tradisi bacaan tahlil sebagaimana yang dilakukan kaum muslimin sekarang ini tidak terdapat secara khusus pada zaman Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Tetapi tradisi itu mulai ada sejak zaman ulama muta‟akhkhirin sekitar abad sebelas hijriyah yang mereka lakukan berdasarkan istinbath dari al-Qur‟an 23
Karyawan FB: http://karyawanfb.mwb.im/sejarah-awal-mula-munculnya-tradisi-tahl.xhtml (diakses pada Selasa tanggal 08 Oktober 2013 Pukul 22.41).
19
dan hadits Nabi SAW, lalu mereka menyusun rangkaian bacaan tahlil, mengamalkannya secara rutin dan mengajarkannya kepada kaum muslimin.24 Ulama berbeda pendapat tentang siapa yang pertamakali menyusun rangkaian bacaan tahlil dan mentradisikannya. Sebagian mereka berpendapat, bahwa yang pertama menyusun tahlil adalah Sayyid Ja‟far Al-Barzanji, dan sebagian lain berpendapat, bahwa yang menyusun pertamakali adalah Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad.25 Pendapat yang paling kuat dari dua pendapat yang disebut di atas adalah pendapat bahwa orang yang menyusun tahlil pertamakali adalah Imam Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad, karena Imam Al-Haddad yang wafat pada tahun 1132 H lebih dahulu daripada Sayyid Ja‟far Al-Barzanji yang wafat pada tahun 1177 H. Pendapat ini diperkuat juga oleh tulisan Sayyid Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam syarah Ratib Al-Haddad, bahwa kebiasaan Imam Abdullah Al-Haddad sesudah membaca ratib adalah bacaan tahlil.26 Tahlil yang dilakukan oleh kaum muslimin di Indonesia sama atau mendekati dengan tahlil yang dilakukan oleh kaum muslimin di Yaman. Hal itu dikarenakan tahlil yang berlaku di Indonesia ini disiarkan Wali Songo. Lima orang dari Wali Songo itu para Habaib (keturunan Nabi SAW) dengan marga Ba‟alawy yang berasal dari Hadhramaut Yaman, terutama dari kota Tarim. Namun ada sedikit perbedaan, yaitu jika di Yaman terdapat pengiriman do‟a kepada Wali Quthub yang bernama Sayyid Muhammad bin Ali Ba‟alawy yang terkenal dengan AlFaqih Al-Muqaddam. Sedangkan di Jawa lebih banyak menyebutkan Sayyidi AsSyekh Abdul Qadir Al-Jailani.27 Kalau kita perhatikan secara cermat susunan bacaan tahlilan tidak terdapat di dalamnya satu bacaan pun yang menyimpang dari al-Qur‟an dan Hadits. Semua bacaan yang ada bersumber dari keduanya. Kalaupun kemudian formatnya tidak
24
Muhammad Danial Royyan, Sejarah Tahlil, (Kendal: Lajnah Ta‟lif wan Nasyr/LTNU Kendal dan Pustaka Amanah, 2013), h. 2. 25 Ibid., h. 3. 26 Ibid., 27 Ibid., h. 8-9.
20
diatur secara langsung di dalam al-Qur‟an dan Hadits, hal itu tidaklah masalah, karena ia termasuk dzikir umum yang waktu, bilangan dan bacaannya tidak diatur secara baku oleh kedua sumber utama hukum Islam tersebut.28
d. Pelaksanaan Tahlilan Bacaan tahlil atau tahlilan seringkali dilakukan untuk mengirim pahala kepada mayyit pada hari ketujuh dari kematiannya. Ternyata ada hadits yang menjadi sandaran bagi pelaksanaan tahlil, talqin dan sedekah untuk masyyit selama tujuh hari, yaitu hadits yang berbunyi:
“Sesungguhnya orang-orang mati itu akan diuji di dalam kubur mereka selama tujuh hari.” Karena mayyit di dalam kubur, menurut hadits ini, diuji selama tujuh hari, maka ulama Ahlissunnah Waljamaah berpendapat bahwa hukumnya sunnah untuk dido‟akan, ditahlilkan, ditalqin dan disedekahi selama tujuh hari / malam.29 Hadits ini menurut Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawi AlKubro Al-Fiqhiyyah termasuk hadits mursal yang diriwayatkan oleh banyak ulama dengan sanad dari tiga ulama tingkatan tabi‟in yaitu Thawus, Ubaid bin Umar dan Mujahid. Apabila hadits mursal dikuatkan oleh hadits mursal yang lain maka dapat dijadikan dalil syar‟i, dan hadits ini sudah memiliki tiga riwayat atau sama dengan adanya tiga hadits mursal. Dengan demikian hadits ini tingkatannya sama dengan hadits marfu‟. Terlebih lagi ada pendapat bahwa Ubaid bin Umar itu termasuk sahabat, karena dilahirkan pada zaman Nabi SAW masih hidup, maka hadits ini termasuk hadits marfu‟ atau hadits muttashil.30 Hubungan tujuh hari atau malam berdasarkan hadits tersebut di atas dihitung sejak mayyit dikuburkan, bukan sejak meninggal. Ketentuan ini mengecualikan
28
Abiza el Rinaldi, Haramkah Tahlilan, Yasinan dan Kenduri Arwah?, (Klaten: Pustaka Wasilah, 2012), h. 20. 29 Muhammad Danial Royyan, op. cit., h. 19. 30 Ibid., h. 20.
21
mayyit yang tidak diketahui keberadaannya sehingga tidak bisa dikuburkan, maka dihitung sejak meninggalnya. Adapun acara lainnya seperti empat puluh hari, seratus hari atau hitungan hari tertentu sejak kematian mayyit, maka itu merupakan adat istiadat, yang jika diisi dengan kebaikan seperti shadaqah. Tahlilan dan amar ma‟ruf nahi munkar maka hukumnya boleh, sebagaimana pendapat Syekh Nawawi Al-Bantani yang berkata: “shadaqah untuk mayyit dengan cara yang sesuai dengan syara‟ itu baik, akan tetapi tidak harus terikat dengan tujuh hari atau lebih banyak”. Kalau terikat dengan hitungan hari maka itu termasuk adat, menurut Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Dan sudah ada kebiasaan dari masyarakat berupa shadaqah untuk mayyit pada hari ketiga, hari ketujuh, hari keduapuluh, hari keempatpuluh dan hari keseratus dari kematian mayyit. Sesudah itu dilakukan acara haul setiap tahun tepat pada hari kematian mayyit. Jadi, yang terpenting adalah isi dari sebuah acara, bukan kerangkanya. Meskipun kerangka itu berasal dari adat istiadat, tetapi jika diisi dengan kebaikan, maka akan menjadi kebaikan pula, selama kerangka itu bukan hal yang dilarang syara‟.31 Adapun tahlilan pada waktu setahun sesudah kematian atau peringatan haul (setahun) dari kematian mayyit maka hal itu sebenarnya berasal dari perbuatan Nabi SAW yang selalu mengunjungi tempat pemakaman para syuhada di gunung Uhud setiap tahun, sebagaimana yang tertuang dalam hadits berikut ini:
31
Ibid., h. 21-22.
22
“Dari Al-Waqidi, dia berkata: Nabi SAW menziarahi para syuhada di Uhud setiap tahun (haul). Dan apabila sudah sampai (di Uhud) beliau mengeraskan suaranya kemudian mengucapkan: “Keselamatan untuk kamu (wahai syuhada Uhud), sebab kamu telah bersabar. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu”. Kemudian Abu Bakar setiap tahun (haul) melakukan hal semacam itu, kemudian Umar, kemudian Utsman. Fatimah RA mendatangi Uhud dan berdo‟a. Saad bin Abi Waqqash mengucapkan salam kepada ahli Uhud, lalu menghadap kepada teman-temannya dan berkata: “Tidaklah kamu mengucapkan salamm kepada kaum (ahli kubur di Uhud) yang menjawab ucapan salam kamu?” 32 Jadi, peringatan haul itu berasal dari kebiasaan Nabi SAW dan para sahabatnya, kemudian dilanjutkan oleh ulama mutaakhkhirin, dan pada akhirnya menjadi kebiasaan kaum muslimin dari golongan Ahlissunnah Wal Jama‟ah pada tiap periode zaman hingga sekarang. Dan karenanya tidak dapat dianggap bid‟ah yang sesat atau khurafat.33
2. Masyarakat a. Pengertian Masyarakat Istilah yang paling lazim dipakai untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan ilmiah maupun dalam bahasa sehari-hari, adalah masyarakat. Dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata latin socius, yang berarti “kawan”. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syaraka yang berarti “ikut serta”, berpartisipasi.34 Menurut Koentjaraningrat, masyarakat adalah memang sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui apa warga-warganya dapat saling berinteraksi. Suatu negara modern misalnya, merupakan kesatuan manusia dengan berbagai macam prasarana, yang memungkinkan para warganya untuk berinteraksi secara instensif, dan dengan frekuensi yang tinggi. Suatu negara
32
Ibid., h. 22. Ibid., h. 24. 34 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 143-144. 33
23
modern mempunyai suatu jaringan komunikasi berupa jaringan perhubungan udara, jaringan telekomunikasi, sistem radio dan TV, berbagai macam surat kabar ditingkat nasional, suatu sistem upacara pada hari-hari raya nasional dan sebagainya.35 Menurut Hartono dan Arnicun Aziz, “masyarakat dalam arti luas ialah keseluruhan hubungan-hubungan dalam hidup bersama dengan tidak dibatasi oleh lingkungan, bangsa dan lain-lain atau semua keseluruhan dari semua hubungan dalam hidup bermasyarakat. Dalam arti sempit masyarakat dimaksud sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek-aspek tertentu, umpamanya territorial, bangsa, golongan dan sebagainya. Maka ada masyarakat Jawa, masyarakat Sunda, masyarakat Minang dan lain-lain.”36 Masyarakat merupakan suatu pergaulan hidup, oleh karena manusia itu hidup bersama. Beberapa orang sarjana telah mencoba untuk memberikan definisi masyarakat (society), misalnya seperti berikut. 1) Mac Iver dan Page yang menyatakan bahwa masyarakat ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta kebebasankebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah. 2) Ralp Linton mengemukakan, masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan berkerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas. 3) Selo Soemardjan menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan.37
Walaupun definisi dari sarjana-sarjana tersebut berlainan, tetapi pada dasarnya isinya sama, yaitu masyarakat yang mencakup beberapa unsur sebagai berikut.
35
Ibid., h. 144. Hartono dan Arnicun Aziz, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 89-90. 37 Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 18. 36
24
1) Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tak ada ukuran mutlak ataupun angka pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada. Akan tetapi, secara teoritis angka minimnya adalah dua orang yang hidup bersama. 2) Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati, umpamanya kursi, meja, dan sebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya manusia, maka akan timbul manusia-manusia baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti, mereka juga mempunyai keinginan-keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau perasaan-perasaannya. Sebagai akibat hidup bersama itu, timbullah sistem komunikasi dan timbullah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antarmanusia dalam kelompok tersebut. 3) Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan. 4) Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya.38
Kemantapan unsur-unsur masyarakat mempengaruhi struktur sosial. Dalam hal ini struktur sosial digambarkan sebagai adanya molekul-molekul dalam susunan yang membentuk zat, yang terdiri dari bermacam susunan hubungan antarindividu dalam masyarakat. Maka terjadi integrasi masyarakat dimana tindakan individu dikendalikan, dan hanya akan nampak bila diabstrakkan secara induksi dari kenyataan hidup masyarakat yang konkret. Struktur sosial yang berperan dalam integrasi masyarakat, hidup langsung di belakang individu yang bergerak konkret menurut polanya. Dapat menyelami latar belakang seluruh kehidupan suatu masyarakat, dan sebagai kriteria dalam menentukan batas-batas suatu masyarakat melalui abstraksi dari kehidupan kekerabatan (sistemnya).39 Dalam konteks sosiologi, bahasan tentang masyarakat biasanya selalu terkait dan tidak dapat dipisahkan dengan elemen-elemen lain yang menjadi bagian dari 38
Ibid., h. 19. M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung: PT Eresco, 1995), h. 64. 39
25
masyarakat itu sendiri, yakni individu, keluarga, dan kelompok. Individu adalah satuan terkecil dari masyarakat, keluarga adalah kumpulan beberapa individu dan bagian dari kelompok, sedangkan kelompok adalah kumpulan dari beberapa keluarga, dan merupakan bagian dari masyarakat secara keseluruhan. Menyatunya masing-masing elemen tersebut, terciptalah sebuah komunitas besar yang kemudian dikatakan sebagai masyarakat”.40 Untuk bisa bertahan hidup, semua masyarakat harus bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu, yang kalangan fungsionalis menyebutnya dengan istilah prasyarat fungsional (functional prerequisities). Kebutuhankebutuhan itu diantaranya: 1) Kebutuhan subsistens. Kebutuhan subsistens adalah kebutuhan jasmaniyah, seperti kebutuhan akan udara, makanan, air, kehangatan, tempat untuk bernaung, dan tidur, yang kesemuanya harus dipenuhi agar bisa bertahan hidup. Manusia juga membutuhkan kebutuhan jasmaniyah yang lainnya seperti kebutuhan akan rasa sayang, menghindari stress, dan keikutsertaan dalam sebuah sistem keyakinan bersama. Pemenuhan kebutuhan subsitens ini biasanya memerlukan berbagai usaha kerja, seperti berburu, mengumpulkan buah-buahan, atau memproduksi makanan, dan memerlukan tempat untuk bernaung. 2) Kebutuhan
distribusi.
Kepemilikan
kekayaan
subsistens
itu
perlu
didistribusikan ke seluruh anggota masyarakat. Bayi dan anak kecil termasuk orang yang membutuhkan orang lain untuk memberi mereka suplai makanan yang cukup. 3) Kebutuhan reproduksi-biologis. Agar masyarakat tetap eksis dan survive maka diantara anggota masyarakatnya harus melakukan reproduksi biologis. Biasanya di kita dilakukan melalui pernikahan.
40
h. 25.
Rusmin Tumanggor, Sosiologi Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004),
26
4) Kebutuhan transmisi budaya. Masyarakat perlu mentransmisikan budaya mereka – kebiasaan, nilai-nilai, ide-ide dalam masyarakat kepada anggota baru mereka agar kebudayaan bisa terus bertahan atau berlanjut. 5) Kebutuhan perlindungan. Anggota masyarakat perlu menghindari tindakan yang merusak satu sama lain dan mayarakat secara keseluruhan membutuhkan perlindungan dari ancaman luar. 6) Kebutuhan untuk komunikasi. Untuk memenuhi semua kebutuhan di atas, maka anggota masyarakat perlu mengkomunikasikannya dengan sesama anggota yang lainnya.41
b. Bentuk-bentuk Masyarakat 1) Masyarakat Tradisonal Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah suatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosialnya. Jadi, masyarakat tradisional di dalam melangsungkan kehidupannya berdasarkan pada cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lama yang masih diwarisi dari nenek moyangnya. Masyarakat tradisional hidup di daerah pedesaan yang secara geografis terletak di pedalaman yang jauh dari keramaian kota. Masyarakat ini dapat juga disebut masyarakat pedesaan atau masyarakat desa.42 Menurut Sutardjo Kartohadikusuma dalam Elly M. Setiadi dan Usman Kolip “desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat “pemerintahan sendiri.” Adapun Bintaro dalam Elly M. Setiadi dan Usman Kolip memberikan batasan desa sebagai perwujudan atas kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang terdapat di situ (suatu daerah) dalam hubungannya dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain. Sedangkan Paul H. Landis dalam Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, “mendefinisikan desa 41
Muhammad Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 35-36 42 Ifzanul: http://ifzanul.blogspot.com/2010/06/masyarakat-tradisional-masyarakat.html (diakses pada hari Jum‟at tanggal 08 November 2013 pukul 21.40).
27
sebagai wilayah yang penduduknya kurang dari 2500 jiwa, dengan ciri-ciri sebagai berikut: a) Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa. b) Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan. c) Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam, seperti: iklim, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris yaitu bersifat sambilan.43
Ferdinand Tonies membuat batasan tentang masyarakat pedesaan sebagai masyarakat gemeinschaft (paguyuban), dan paguyubanlah yang menyebabkan orang-orang kota menilai sebagai masyarakat ini tenang, harmonis, rukun dan damai dengan julukan masyarakat yang adem ayem. Akan tetapi, bukan berarti di dalam
masyarakat
pedesaan
tidak
mengenal
bermacam-macam
gejala
disorganisasi sosial atau sosial disorder. Gejala seperti ini juga terdapat di dalam struktur masyarakat pedesaan. Akan tetapi, bagaimana bentuk gejala sosial disorder, dapat dilihat keterangan berikut ini: a) Konflik (pertengkaran). Pertengkaran terjadi biasanya berkisar pada masalah sehari-hari rumah tangga dan sering menjalar ke luar rumah tangga. Sedang banyak pertengkaran ini agaknya berkisar pada masalah kedudukan dan gengsi, perkawinan, dan sebagainya. b) Kontroversi (pertentangan). Pertentangan ini dapat disebabkan oleh perubahan konsep-konsep kebudayaan (adat istiadat), psikologi atau dalam hubungannya dengan guna-guna (black magic). c) Kompetisi (persiapan). Masyarakat pedesaan adalah manusia-manusia yang mempunyai sifat sebagai manusia biasa dan mempunyai saingan dengan manifestasi sebagai sifat ini. Oleh karena itu, maka wujud persaingan dapat positif dan negatif. d) Kegiatan pada masyarakat pedesaan. Masyarakat pedesaan memiliki penilaian yang tinggi terhadap mereka yang dapat bekerja keras tanpa bantuan 43
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 838.
28
orang lain. Jadi, jelas bahwa masyarakat pedesaan bukanlah masyarakat yang senang diam-diam tanpa aktivitas.44 Menurut Soerjono Soekanto, “gemeinschaft adalah masyarakat tradisional yang memiliki hubungan personal yang dekat pada kelompok atau komunitas yang kecil”. Di dalam gemeinschaft terdapat suatu kemauan bersama (common will), ada suatu pengertian (understanding) serta juga kaidah-kaidah yang timbul dengan sendirinya dari kelompok tersebut. Keadaan yang agak berbeda akan dijumpai pada gessellschaft, di mana terdapat public life yang artinya bahwa hubungannya bersifat untuk semua orang. Gemeinschaft sering disebut dengan istilah paguyuban. Paguyuban memiliki beberapa tipe, yaitu: a) Paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood), yaitu suatu paguyuban yang merupakan ikatan yang didasarkan pada ikatan darah atau keturunan, contoh: keluarga, kelompok kekerabatan. b) Paguyuban karena tempat (gemeinschaft of place), yaitu suatu paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang berdekatan tempat tinggal sehingga dapat saling tolong-menolong, contoh: rukun tetangga, rukun warga, arisan. c) Paguyuban karena jiwa-pikiran (gemeinschaft of mind), yang merupakan suatu paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang walaupun tak mempunyai hubungan darah ataupun tempat tinggalnya tidak berdekatan, tetapi mempunyai jiwa dan pikiran yang sama, ideologi yang sama. Paguyuban semacam ini biasanya ikatannya tidaklah sekuat paguyuban karena darah atau keturunan.45
Adapun yang menjadi ciri masyarakat desa antara lain: a) Di dalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas wilayahnya. b) Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan. 44
Ibid., h, 839. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007), h. 118. 45
29
c) Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian. d) Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, dan adat istiadat.46
2) Masyarakat Modern Masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban dunia masa kini. Masyarakat modern relatif bebas dari kekuasaan adat-istiadat lama. Karena mengalami perubahan dalam perkembangan zaman dewasa ini. Perubahan-Perubahan itu terjadi sebagai akibat masuknya pengaruh kebudayaan dari luar yang membawa kemajuan terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada umumnya masyarakat modern ini disebut juga masyarakat perkotaan atau masyarakat kota.47 Kota acap kali dipahami sebagai bentuk kehidupan masyarakat yang sangat individual, penuh kemewahan, gedung-gedung yang menjulang tinggi, kendaraan yang lalu lalang hingga mengundang kemacetan, perkantoran yang mewah, dan pabrik-pabrik yang besar. Kota sering kali dianggap sebagai semua tempat tujuan masyarakat pedesaan untuk mencari pekerjaan, sebab pusat-pusat industri dan perpabrikan banyak berdiri di daerah perkotaan.48 Banyak kota di dunia berawal dari desa. Desa sendiri adalah lokasi pemukiman yang penghuninya terikat dalam kehidupan pertanian, dan bergantung pada wilayah di sekelilingnya. Dalam perjalanan waktu, karena keadaan topografis dan lokasinya, desa ini berkembang menjadi kota. Masyarakat perkotaan lebih dipahami sebagai kehidupan komunitas yang memiliki sifat kehidupan dan ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Menurut Elly M. Setiadi dan Usman Kolip ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat kota, yaitu:
46
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, op. cit., h. 840. Ifzanul:http://ifzanul.blogspot.com/2010/06/masyarakat-tradisional-masyarakat.html (diakses pada hari Jum‟at tanggal 08 November 2013 pukul 21.40). 48 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, op. cit., h. 852-853. 47
30
a) Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa. b) Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Yang penting disini adalah manusia perorangan atau individu. c) Pembagian kerja di antara warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas yang nyata. d) Kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga desa. e) Interaksi yang terjadi lebih banyak terjadi berdasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi. f) Pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk mendapat mengejar kebutuhan individu. g) Perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh dari luar.49
3. Teori Fungsionalisme Struktural a. Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Dalam teorinya, Parsons menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup.50 Bahasan tentang fungsionalisme struktural Parsons ini akan dimulai dengan empat fungsi penting untuk semua sistem “tindakan”, terkenal dengan skema AGIL. Sesudah membahas ini kita akan beralih menganalisis pemikiran Parsons mengenai struktur dan sistem.51 Suatu fungsi adalah “kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem”. Dengan menggunakan definisi ini, 49
Ibid., h, 854-855. Rahmad K. Dwi Susilo, 20 Tokoh Sosiologi Modern, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 107. 51 George Ritzer, Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 121. 50
31
Parsons yakin bahwa ada empat fungsi penting diperlukan semua sistemadaptation (A), goal attainment (G), integration (I), dan latensi (L) atau pemeliharaan pola. Secara bersama-sama, keempat imperatif fungsional ini dikenal sebagai skema AGIL. Agar tetap bertahan (survive), suatu sistem harus memiliki empat fungsi ini: 1) Adaption (Adaptasi): sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya. 2) Goal attainment (Pencapaian tujuan): sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. 3) Integration (Integrasi): sebuah sistem harus mengatur antarhubungan bagianbagian
yang menjadi
komponennya.
Sistem
juga
harus
mengelola
antarhubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L). 4) Latency
(Latensi
atau
pemeliharaan
pola):
sebuah
sistem
harus
memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.52
Parsons mendesain skema AGIL ini untuk digunakan disemua tingkat dalam sistem teoritisnya, yaitu: Organisme perilaku ialah sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dengan dan mengubah lingkungan eksternal. Sistem kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya.
Sistem
sosial
menanggulangi
fungsi
integrasi
dengan
mengendalikan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Terakhir, sistem kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak.53 Dalam mengkategorikan tindakan atau menggolongkan tipe-tipe peranan dalam sistem sosial, Parsons mengembangkan 5 buah skema yang dilihat sebagai kerangka teoritis utama dalam analisa sistem sosial. 5 buah skema itu adalah: 52 53
Ibid., Ibid., h. 121-122.
32
1) Affective versus Affective Neutrality, maksudnya dalam suatu hubungan sosial, orang dapat bertindak untuk pemuasan Afeksi (kebutuhan emosional) atau bertindak tanpa unsur tersebut (netral). 2) Self-orientation
versus
Collective-orientation,
maksudnya,
dalam
berhubungan, orientasinya hanya pada dirinya sendiri atau mengejar kepentingan pribadi. Sedangkan dalam hubungan yang berorientasi kolektif, kepentingan tersebut didominasi oleh kelompok. 3) Universalism versus Particularism, maksudnya, dalam hubungan yang universalistis, para pelaku saling berhubungan menurut kriteria yang dapat diterapkan kepada semua orang. Sedangkan dalam hubungan yang Partikularistis, digunakan ukuran/kriteria tertentu. 4) Quality versus Performance, maksudnya variable Quality ini menunjuk padaAscribed Status (keanggotaan kelompok berdasarkan kelahiran/bawaan lahir). Sedangkan Performance (archievement) yang berarti prestasi yang mana merupakan apa yang telah dicapai seseorang. 5) Specificity versus Diffusness, maksudnya dalam hubungan yang spesifik, individu berhubungan dengan individu lain dalam situasi terbatas.54
b. Fungsionalisme Struktural Robert Merton Meski Parsons adalah seorang fungsionalis struktural yang sangat penting, adalah muridnya, Robert Merton, yang menulis beberapa pernyataan terpenting tentang fungsionalisme struktural dalam sosiologi. Merton mengecam beberapa aspek fungsionalisme struktural yang lebih ekstrem dan yang tak dapat dipertahankan lagi. Tetapi, wawasan konseptual barunya membantu memberikan kemanfaatan bagi kelangsungan hidup fungsionalisme struktural.55 Meski Parsons dan Merton dikaitkan dan fungsionalisme struktural, namun ada perbedaan penting diantara keduanya. Di satu sisi, sementara Parsons menganjurkan penciptaan teori-teori besar dan luas cakupannya, Merton
54
Margaret M.Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 173-174. 55 George Ritzer, Douglas J. Goodman, op. cit., h. 136.
33
menyukai teori yang terbatas, teori tingkat menengah. Dalam hal ini Merton lebih menyukai teori Marxian. Sebenarnya Merton dan beberapa muridnya (terutama Alvin Gouldner) dapat dipandang sebagai orang yang mendorong fungsionalisme struktural lebih ke kiri secara politis.56 Merton mengkritik tiga postulat dasar analisis struktural seperti yang dikembangkan oleh antropolog seperti Malinowski dan Redcliffe Brown. Pertama adalah postulat tentang kesatuan fungsional masyarakat. Postulat ini berpendirian bahwa semua keyakinan dan praktik kultural dan sosialn yang sudah baku adalah fungsional untuk masyarakat sebagai satu kesatuan maupun untuk individu dan masyarakat. Pandangan ini secara tersirat menyatakan bahwa berbagai bagian sistem sosial pasti menunjukkan integrasi tingkat tinggi. Tetapi Merton berpendapat bahwa, meski hal ini mungkin benar bagi masyarakat primitif yang kecil, namun generalisasi tak dapat diperluas ke tingkat masyarakat yang lebih luas dan kompleks.57 Postulat kedua adalah fungsionalisme universal. Artinya, dinyatakan bahwa seluruh bentuk kultur dan sosial dan struktur yang sudah baku mempunyai fungsi positif. Merton menyatakan postulat ini bertentangan dengan apa yang ditemukannya dalam kehidupan nyata. Yang jelas adalah bahwa tak setiap struktur, adat, gagasan, kepercayaan dan sebagainya mempunyai positif.58 Ketiga adalah postulat tentang indispensability. Argumennya adalah bahwa semua aspek masyarakat yang sudah baku tak hanya mempunyai fungsi positif, tetapi juga mencerminkan bagian-bagian yang sangat diperlukan untuk berfungsinya masyarakat sebagai satu kesatuan. Postulat ini mengarah kepada pemikiran bahwa semua struktrur dan fungsi secara fungsional adalah penting untuk masyarakat. Tak ada struktur dan fungsi lain manapun yang dapat berkerja sama baiknya dengan struktur dan fungsi yang kini ada dalam masyarakat. Dengan mengikuti Parsons, kritik Merton adalah bahwa kita sekurang-kurangnya
56
Ibid., Ibid., h. 137. 58 Ibid., 57
34
tentu ingin mengakui akan adanya berbagai alternatif struktur dan fungsional yang dapat ditemukan di dalam masyarakat.59 Merton berpendapat bahwa ketiga postulat fungsional ini berstandar pada pernyataan nonempiris, berdasarkan sistem teoritis abstrak. Menjadi tanggung jawab sosiolog untuk menguji setiap postulat itu secara empiris. Keyakinan Merton bahwa bukan pernyataan teoritis melainkan pengujian empiris yang penting untuk analisis fungsional, mendorongnya mengembangkan “paradigma” analisis fungsional buatannya sendiri sebagai pedoman untuk mengintegrasikan teori dan riset empiris.60 Dari awal Merton menjelaskan bahwa analisis struktural-fungsional memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat, dan kultur. Ia menyatakan bahwa setiap objek yang dapat dijadikan sasaran analisis strukturalfungsioanal tentu mencerminkan hal yang standar (artinya, terpola dan berulang). Di dalam pikiran Merton, sasaran studi struktural-fungsional antara lain adalah: peran sosial, pola institusional, proses sosial, pola kultur, emosi yang berpola secara kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, perlengkapan untuk pengendalian sosial, dan sebagainya.61 Menurut Merton, fungsi didefiniskan sebagai “konsekuensi-konsekuensi yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu”. Tetapi, jelas ada bias ideologi bila orang hanya memusatkan perhatian pada adaptasi atau penyesuaian diri, karena adaptasi dan penyesuaian diri selalu mempunyai akibat positif. Perlu diperhatikan bahwa satu faktor sosial dapat mempunyai akibat negatif terhadap fakta sosial lain.62 Merton juga memperkenalkan konsep fungsi nyata (manifest) dan fungsi tersembunyi (latent). Kedua istilah ini memberikan tambahan penting bagi analisis fungsional. Menurut pengertian sederhana, fungsi nyata adalah fungsi yang diharapkan, sedangkan fungsi yang tersembunyi adalah fungsi yang tak diharapkan. Pemikiran ini dapat dihubungkan dengan konsep lain Merton, yakni 59
Ibid., Ibid., 61 Ibid., h. 137-138. 62 Ibid., h. 139-140. 60
35
akibat yang tak diharapkan (unanticipated consequences). Tindakan mempunyai akibat, baik yang diharapkan dan tidak diharapkan. Meski setiap orang menyadari akibat yang diharapkan, analisis sosiolog diperlukan untuk menemukan akibat yang tak diharapkan ini.63 Merton menjelaskan bahwa akibat yang tak diharapkan tak sama dengan fungsi yang tersembunyi. Fungsi tersembunyi adalah satu jenis dari akibat yang tak diharapkan, satu jenis yang fungsional untuk sistem tertentu. Tetapi, ada dua tipe lain dari akibat yang tak diharapkan: “yang disfungsional untuk sistem tertentu dan ini terdiri dari disfungsi tersembunyi” dan “yang tak relevan dengan sistem yang dipengaruhinya, baik secara fungsioanal atau disfungsional atau konsekuensi nonfungsionalnya.64
4. Solidaritas Sosial Emile Durkheim Istilah
solidaritas
dalam
kamus
ilmiah
popular
diartikan
sebagai
kesetiakawanan dan perasaan sepenanggungan. Lawang dalam Soedijati menguraikan bahwa dasar pengertian solidaritas tetap kita pegang yakni kesatuan, persahabatan, saling percaya yang muncul akibat tanggung jawab bersama dan kepentingan bersama diantara para anggotanya.65 Pengertian ini selanjutnya lebih diperjelas oleh Durkheim “solidaritas adalah perasaan saling percaya antara para anggota dalam suatu kelompok atau komunitas. Kalau orang saling percaya maka mereka akan menjadi satu atau menjadi persahabatan, menjadi saling hormat menghormati, menjadi terdorong untuk bertanggung jawab dan memperhatikan kepentingan sesamanya.66 Dalam bukunya The Division of Labor in Society, Durkheim membedakan antara kelompok yang didasarkan pada solidaritas mekanik dan kelompok yang didasarkan pada solidaritas organik. Solidaritas mekanik merupakan ciri yang menandai masyarakat yang masih sederhana, yang oleh Durkheim dinamakan
63
Ibid., h. 141. Ibid., h. 141-142.. 65 Koes Soedijati Elisabeth, Solidaritas dan Masalah Sosial Kelompok Waria, (Bandung: UPPM STIE, 1995), h. 12. 66 Ibid., h. 25. 64
36
segmental. Dalam masyarakat demikian kelompok manusia tinggal secara tersebar dan hidup terpisah satu dengan yang lain. Masing-masing kelompok dapat memenuhi keperluan mereka masing-masing tanpa memerlukan bantuan atau kerja sama dengan kelompok di luarnya. Masing-masing anggota pada umumnya dapat menjalankan peran yang diperankan oleh anggota lain, pembagian kerja belum berkembang. Peran semua anggota sama sehingga ketidakhadiran seorang anggota kelompok tidak mempengaruhi kelangsungan hidup kelompok karena peran anggota tersebut dapat dijalankan orang lain. Seorang anak, misalnya, dengan cepat dapat melakukan apa yang dilakukan ayahnya seperti berburu, berladang, atau bertani. Diluar fungsi yang murni bersifat biologis seorang lakilaki atau perempuan dapat dengan mudah melakukan apa yang biasanya dilakukan anggota dari jenis kelamin lain. Setiap kelompok pun dapat mandiri sehingga kelangsungan hidupnya tidak tergantung pada kelompok lain. Produksi dan distribusi bahan makanan dan pakaian, misalnya, dilaksanakan oleh kelompok sendiri.67 Dalam masyarakat yang menganut solidaritas mekanik, yang diutamakan ialah persamaan perilaku dan sikap. Perbedaan tidak dibenarkan. Menurut Durkheim seluruh warga masyarakat diikat oleh apa yang dinamakannya kesadaran kolektif, hati nurani kolektif, yakni suatu kesadaran bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasaan kelompok, dan bersifat ekstern dan memaksa. Sanksi terhadap pelanggaran hukum di sini bersifat represif. Barang siapa melanggar solidaritas sosial akan
dikenai hukuman pidana.
Kesadaran bersama tersebut mempersatukan para warga masyarakat, dan hukuman terhadap pelanggar aturan bertujuan agar ketidakseimbangan yang diakibatkan oleh kejahatan tersebut dapat dipulihkan kembali.68 Solidaritas organik merupakan bentuk solidaritas Solidaritas sosial yang berkembang
pada
masyarakat-masyarakat
kompleks
berasal
lebih
dari
kesalingtergantungan daripada dari kesamaan bagian-bagian.69 Tiap anggota 67
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), h. 128. 68 Ibid., 69 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 185.
37
menjalankan peran berbeda, dan diantara berbagai peran yang ada terdapat kesalingtergantungan laksana kesalingtergantungan antara bagian suatu organisme biologis. Karena adanya kesalingtergantungan ini maka ketidakhadiran pemegang peran tertentu akan mengakibatkan gangguan pada kelangsungan hidup masyarakat. Tidak berperannya tentara, misalnya, berarti bahwa masyarakat rentan terhadap serangan dari masyarakat lain, tidak berperanya petani akan mengakibatkan masalah dalam produksi dan penyediaan bahan pangan yang dapat mengancam kelangsungan hidup masyarakat.70
B. Hasil Penelitian yang Relevan 1. Tradisi Tahlilan di Perkotaan dalam Arus Modernisasi: Studi Kasus Masyarakat Gandaria Selatan-Cilandak Salah satu hasil penelitian yang relevan dengan skripsi ini adalah skripsi dari Syamsul Bahri Mahasiswa Jurusan Sosiologi Agama, Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Tradisi Tahlilan di Perkotaan Dalam Arus Modernisasi: Studi Kasus Masyarakat Gandaria Selatan-Cilandak”. Penelitian ini bertempat di Gandaria SelatanCilandak, Jakarta Selatan yang dilakukan pada tahun 2008, guna untuk mengantarkan peneliti (Syamsul Bahri) memperoleh gelar Strata 1. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah, pada masyarakat Gandaria Selatan tradisi tahlilan merupakan suatu kegiatan agama yang sudah lama dilakukan di masyarakat dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan keagamaan di Gandaria Selatan. Disamping itu tahlilan juga merupakan salah satu alat mediasi (perantara) yang paling memenuhi syarat yang bisa dipakai sebagai media komunikasi keagamaan baik interaksi dan integrasi masyarakat di Gandaria Selatan. Hal tersebut didasarkan kenyataan dimasyarakat. Tahlilan pada malam Jum‟at ataupun ketika ada salah satu masyarakat yang meninggal dunia meruapakan suatu tradisi yang memiliki dimensi ketuhanan (habl min Allah) yang mampu memberikan siraman rohani, ketenangan, kesejukan hati
70
Kamanto Sunarto, op. cit.,
38
dan peningkatan keimanan, sekaligus juga memiliki dimensi sosial (habl min anas) yang mampu menumbuhkan rasa persaudaraan, interaksi sosial dan kesatuan umat Islam di masyarakat muslim pada umumnya dan di masyarakat Gandaria Selatan pada khususnya. Walaupun berada di perkotaan besar tradisi keagamaan ini telah mempengaruhi masyarakatnya menjadi suatu yang agamis karena sebagaimana kita ketahui dampak negatif masyarakat kota salah satunya itu menjadikan kehidupan masyarakat yang individualistis, hal ini kebanyakan masyarakat kota lebih memilih kepentingan materialistis artau duniawi daripada hubungan antar masyarakat. Perbedaan pendapat tradisi tahlilan pada masyarakat Indonesia masih banyak diperdebatkan, tetapi itu hanya peredaan pendapat antara para ulama di elit saja, tetapi kenyataan yang ada di masyarakat Indonesia pada umumnya dan khususnya di masyarakat Gandaria Selatan tradisi keagamaan ini sudah lama dikenal dan dijalankan di masyarakat dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat.
2. Pro Kontra Hukum Tahlilan pada Masyarakat Dusun Cancangan Wukirsari Cangkringan Selain hasil penelitian di atas, hasil penelitian dari skripsi Abdul Alam Amrullah, Mahasiswa Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syari‟ah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta cukup relevan dengan skripsi ini. Penelitian ini bertempat di kabupaten Sleman, Yogyakarta, tepatnya di dusun Cancangan desa Wukirsari kecamatan Cangkringan yang dilakukan pada tahun 2008 guna untuk mengantar peneliti (Abdul Alam Amrullah) meraih gelar Strata 1. Hasil dari penelitian ini adalah, masyarakat dusun Gancangan Wukirsari Cangkringan dalam menyikapi metode ijtihad perkara tahlilan terbagi dalam dua kelompok (Seng Ngaji dan Tiang Jawi. Perbedaan dua kelompok masyarakat tersebut dalam perkara tahlilan di dusun Cancangan dapat disimpulkan sebagai berikut:
39
a. Kelompok Seng Ngaji melihat tahlilan adalah sebagai ritual ibadah yang dibuat-buat oleh manusia karena tidak ada tuntunan dalil yang menyebutkan secara khusus tentang ritual tersebut. Lebih spesifik lagi, bahwa kelompok ini lebih menganggap tahlilan sebagai suatu kegiatan yang menyimpang dari ajaran agama Islam karena didalamnya mengandung amalan yang tidak ada tuntunan dalam al-Qur'an dan melanggar sunnah Rasulullah SAW. Kelompok Seng Ngaji meyakini kalau usaha mengirimkan pahala kepada orang meninggal adalah tidak akan mungkin bisa sampai kepada yang dimaksud dan perbuatan memberikan hidangan oleh keluarga si mayyit kepada masyarakat yang berkumpul di rumahnya adalah jelas-jelas melanggar sunnah Nabi. b. Kelompok Tiang Jawi menangkal argumen kelompok Seng Ngaji dengan berpendapat bahwa tahlilan bukanlah ritual ibadah, tetapi lebih dari sekedar ritual tradisi yang disitu memasukkan nilai dan unsur agama Islam agar bernilai ibadah. Tentang mengirim pahala kepada orang meninggal, kelompok ini meyakini hal itu bisa saja terjadi karena mereka yakin Allah maha pengampun dan memberi perhatian khusus kepada hambanya yang dengan serius memanjatkan do'a. Adapun tentang hidangan yang disuguhkan oleh kelurga si mayyit kepada orang yang berkumpul di rumahnya adalah dianggap sebagai sedekah, sedangkan sedekah bisa dilakukanbaik waktu lapang (senang) maupun sempit (sedih). Justru dengan sedekah, keluarga si mayyit lebih merasa tenang karena memiliki harapan besar atas nasib anggota keluarganya yang meninggal itu. c. Perbedaan antara kelompok Seng Ngaji dan kelompok Tiang Jawi antara lain: 1) Berangkat dari pemahaman berbeda tentang tahlilan, kelopok Seng Ngaji menganggap tahlilan sebagai ibadah dan kelompok Tiang Jawi menganggap hanya tradisi dan bukan ibadah, sehingga dari perbedaan ini menghasilkan perbedaan ini menghasilkan perbedaan dalam pengunaan kaidah usul fiqh. 2) Perbedaan ayat-ayat al-Qur'an digunakan sebagai dasar hukum atas kegiatan tahlilan. Kelompok Seng Ngaji menggunakan surat Yasin ayat 54 sedangkan kelompok Tiang Jawi menggunakan surat al-Hasyr ayat 10.
40
3) Perbedaan
pemaknaan
hadits
tentang
seorang
perempuan
yang
mengundang Rasulullah setelah penguburan dan menyediakan hidangan makanan. Kelompok Seng Ngaji memahami bahwa perempuan tersebut adalah orang lain dan bukan istri dari orang yang meninggal, sedangkan kelompok Tiang Jawi beranggapan bahwa perempuan itu adalah istri dari orang yang meningal tadi.
3. Tahlilan dalam Perspektif Sosiologis Jurnal ilmu sosial yang ditulis oleh Yanani Djamaluddin dan diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Universitas Merdeka Ponorogo pada tahun 2005 ini cukup relevan dengan skripsi ini. Dalam jurnal ini diterangkan bahwa tahlilan sebagai aktivitas mengenang almarhum keluarga yang telah meninggal merupakan hasil sinkritisme antara agama Islam dengan agama pribumi asli Indonesia. Dalam tradisi Jawa tahlilan dikenal sebagai selamatan. Ada dua kelompok dalam masyarakat Muslim terhadap tahlilan, yaitu kelompok pro dan kontra yang keduanya mewakili tradisi hukum dalam Islam. Kelompok pro mewakili aliran yang mendasarkan pada kemaslahatan atau ijtihat, sedangkan kelompok kontra mewakili aliran yang mendasarkan pada nas. Menurut Durkheim masyarakat merupakan fungsi dari agama. Pendekatan struktural fungsional ini melihat dari tinggi rendahnya integrasi kohesi serta sangsi-sangsi moral yang mewarnai kehidupan keagamaan. Gejala-gejala semakin meningkatnya kelompok kontra sebagai pertanda defungsionalisasi tahlilan dalam masyarakat. Karena bacaan-bacaan tahlilan berfungsi membentengi dan meningkatkan kualitas rohani pembacanya maka semakin tinggi bacaan dilakukan semakin tinggi emosi dan ghirah spiritual keagamaannya. Karenanya bila tingkat emosi dan ghirah spiritualnya rendah kebiasaan tahlilan semakin defungsional. Ditinjau dari segi materinya unsur bacaan merupakan mutiara yang berguna untuk menjaga kerokhanian sedangkan unsur sedekahnya sebagai perekat integrasi kohesi sosial. Karenanya sebenarnya, tahlilan merupakan tradisi yang bermanfaat dipertahankan.
41
Penelitian yang pertama fokus pada masalah, bagaimanakah acara tradisi tahlilan pada malam Jum‟at pada warga Gandaria Selatan dapat menumbuhkan kekuatan religiusitas dalam keberagaman di masyarakat Gandaria Selatan guna memfilterisasi dampak negatif arus modernisasi. Penelitian yang kedua fokus pada masalah pro dan kontra mengenai hukum tahlilan pada masyarakat dusun Cancangan Wukirsari Cangkringan. Sedangkan penelitian yang ketiga fokus mengenai pandangan masyarakat muslim terhadap tahlilan. Berbeda dengan ketiga penelitian di atas, maka penelitian pada kesempatan kali ini, peneliti akan fokus pada masalah motivasi masyarakat dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan serta nilai-nilai positif dan dampak negatif yang ada dan ditimbulkan dari tradisi tahlilan di desa Tegalangus.
C. Kerangka Berpikir Sebelum Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia telah mengenal dan memeluk agama Hindu Buddha, meskipun masih banyak yang animisme dan dinamisme. Seiring berjalannya waktu, agama Islam mulai masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan, pernikahan, pendidikan, dan lain-lain. Berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah, Islam di Indonesia menyebar dan berkembang dengan damai. Salah satu bukti dari praktek penyebaran Islam di Indonesia adalah, dakwah Wali Songo yang tidak membabat habis tradisi masyarakat Indonesia yang kental dengan tradisi Hindu Buddha. Dakwah yang dilakukan Wali Songo dalam menyebarkan Islam di Indonesia khususnya di tanah Jawa tidak menghilangkan tradisi yang sudah ada, tetapi menjaga tradisi tersebut yang perlahan-lahan dimasukkan nilai-nilai Islam. Tradisi tahlilan di Indonesia misalnya,awalnya tradisi ini merupakan tradisi orang-orang Hindu Buddha yang berkumpul di tempat salah satu kerabat atau tetangganya yang meninggal dunia, dimana mereka datang untuk menghibur keluarga yang berduka. Lalu tardisi tersebut oleh Wali Songo dihiasi dengan nilai-nilai Islam, dari mulai pengiriman do‟a untuk orang yang meninggal sampai shodaqoh berupa makanan dan minuman yang pahalanya dikhususkan untuk orang yang telah meninggal dunia.
42
Sebenarnya tradisi tahlilan yang demikian itu sudah berlangsung di Timur Tengah, tepatnya di Yaman dan Makkah yang oleh Wali Songo diterapkan di Indonesia sebagai jalan dakwah mereka. Meskipun pro dan kontra yang muncul dalam mengiringi perjalanan tradisi ini, sampai sekarang tradisi tahlilan menjadi tradisi masyoritas umat Islam di Indonesia. Tak terkecuali bagi umat Islam di desa Tegalangus kecamatan Teluknaga kabupaten Tangerang, Banten. Bagi masyarakat desa Tegalangus, tahlilan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan apabila ada seorang kerabat atau tetangga yang meninggal dunia dengan tujuan mengirimkan do‟a kepada orang yang meninggal tersebut. Meskipun praktik pembacaannya bukan cuma dilakukan untuk kegiatan tersebut, artinya ada kegiatan lain yang dalam pelaksanaannya juga terdapat pembacaan tahlil, seperti maulidan, aqiqah anak, tujuh bulanan dan lain-lain, tapi toh pada kenyataannya bagi masyarakat desa Tegalangus jika menyebut tahlilan maka yang dimaksud adalah tahlilan mendo‟akan orang yang meninggal. Tradisi tahlilan di desa Tegalangus memiliki berbagai hal yang menarik untuk digali lebih dalam. Berdasarkan hal tersebutlah, peneliti tertarik meneliti tradisi ini dengan mengarah pada permasalahan motivasi masyarakat desa Tegalangus mengikuti tahlilan, nilai-nilai positif yang terkandung dalam tahlilan serta nilai negatif tradisi tahlilan bagi masyarakat desa Tegalangus.
BAB III METEDOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di desa Tegalangus kecamatan Teluknaga kabupaten Tangerang, Banten. Penelitian ini berlangsung kurang lebih selama satu bulan, terhitung dari pertengahan bulan Desember 2013 sampai awal bulan Januari 2014. Tetapi, sebelum penelitian ini dilakukan peneliti sudah sering terjun atau mengikuti pelaksanaan tahlilan dan membaur langsung dengan jama‟ah tahlilan baik itu tahlil yang dilaksanakan di masjid sebelum pengajian dimulai maupun tahlilan dalam rangka mendo‟akan orang yang telah meninggal di kediaman shohibul musibah.
B. Latar Penelitian (Setting) Pengamatan awal dilakukan untuk mamahami situasi, mempelajari keadaan dan latar subjek penelitian pada lokasi penelitian, dalam hal ini adalah tradisi tahlilan di desa Tegalangus. Pemilihan subjek peneliti akan dikemukakan secukupnya tentang pengenalan lapangan untuk menilai keadaan sosial, lokasi dan keadaan geografis. Desa Tegalangus merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah kecamatan Teluknaga, kabupaten Tangerang. Selain peneliti adalah warga desa Tegalangus, pemilihan latar atau setting penelitian ini juga dikarenakan penduduk desa Tegalangus mayoritas beragama Islam, terlebih lagi tergolong dalam nahdliyin (sebutan untuk jama‟ah nahdlatul „ulama) yang sudah terbiasa melaksanakan tahlilan. Tradisi tahlilan di desa Tegalangus masih sangat kental terasa, hampir setiap ada warga setempat yang meninggal dunia pasti akan dilangsungan tahlilan. Maka dari itulah peneliti tertarik untuk melihat dan mengetahui lebih jauh mengenai tradisi tahlilan di desa Tegalangus.
43
44
C. Metode Penelitian Penelitian pada hakikatnya merupakan wahana untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran.1 Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Pengertian penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti.2 Penelitian kualitatif dilakukan dalam situasi yang wajar (natural setting) dan data yang dikumpulkan umumnya bersifat kualitatif. Oleh karena itu, penelitian ini disebut metode kualitatif. Metode kualitatif lebih berdasarkan pada filsafat fenomenologis yang mengutamakan penghayatan (verstehen). Metode kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri.3 Responden dalam metode kualitatif berkembang terus (snowball) secara bertujuan (purposive) sampai data yang dikumpulkan dianggap memuaskan. Alat pengumpul data atau instrumen penelitian dalam metode kualitatif ialah si peneliti sendiri. Jadi, peneliti merupakan key instrument, dalam mengumpulkan data, si peneliti harus terjun sendiri ke lapangan secara aktif. Teknik pengumpulan data yang sering digunakan ialah observasi partisipasi, wawancara, dan dokumentasi.4
D. Prosedur Pengumpulan Data Dalam penelitian ini proses pengambilan dan pengumpulan data diperoleh setelah sebelumnya mendapatkan izin dari pihak kelurahan (desa), dalam hal ini dari Bapak Muhammad Jabal Nur selaku kepala desa Tegalangus untuk mengadakan penelitian. Sebagai langkah awal penelitian, peneliti akan memilih 1
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), h.30. 2 Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 166. 3 Husaini Usman, Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h.78. 4 Ibid., 78-79.
45
narasumber untuk diwawancarai. Setelah mendapatkan narasumber yang dikehendaki maka langkah selanjutnya adalah menjelaskan tujuan penelitian serta meminta kesediaan narasumber untuk berpartisipasi dalam penelitian. Setelah narasumber bersedia untuk membantu peneliti dalam penelitian ini, peneliti langsung melakukan wawancara dengan mengajukan beberapa pertanyaan tentang tradisi tahlilan di desa Tegalangus. Untuk memperoleh data sebanyak-banyaknya dan selengkap-lengkapnya, peneliti tidak hanya melakukan wawancara dalam proses pengumpulan data, tetapi juga melakukan observasi atau pengamatan untuk memperoleh data yang mungkin tidak didapatkan pada saat wawancara. Dalam proses observasi atau pengamatan, peneliti terjun langsung dengan membaur bersama warga pada acara tahlilan di kediaman orang yang meninggal. Dalam observasi ini, peneliti mengamati hal-hal yang terjadi dalam pelaksanaan tahlilan, dari mulai jumlah jama‟ah yang hadir sampai jenis makanan yang disajikan dengan sesekali memotret pelaksanaan tradisi tahlilan tersebut secara langsung. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data lazimnya menggunakan observasi dan wawancara. Juga tidak diabaikan kemungkinan penggunaan sumber-sumber non-manusia (non-human source information), seperti dokumen dan rekaman atau catatan (record) yang tersedia.5 Sebelum menjelaskan mengenai tekhnik pengumpulan data terlebih dahulu peneliti akan membuat klasifikasi tentang jenis data, sumber data dan tekhnik pengumpulan data seperti pada tabel 3.1., sebagai berikut:
Tabel 3.1 Jenis Data, Sumber Data dan Tekhnik Pengumpulan Data No.
Jenis Data
Sumber Data
Tekhnik Pengumpulan Data
1.
5
Motivasi masyarakat
Tokoh masyarakat
Wawancara dan
desa Tegalangus
desa Tegalangus dan
dokumentasi
Sanapiah Faisal. Penelitian Kualitatif : Dasar-dasar dan Aplikasi, (Malang: Yayasan Asih Asah Asuh, 1990), h.61.
46
dalam menghadiri
jama‟ah tahlilan.
pelaksanaan tahlilan di tempat orang yang meninggal. 2.
Nilai-nilai positif
Tokoh masyarakat
Wawancara dan
yang terkandung
desa Tegalangus dan
dokumentasi
dalam tradisi tahlilan
jama‟ah tahlilan.
di desa Tegalangus bagi masyarakatnya. 3.
Dampak negatif yang
Tokoh masyarakat
Wawancara dan
ditimbulkan dari
desa Tegalangus dan
dokumentasi
tradisi tahlilan di desa
jama‟ah tahlilan.
Tegalangus terhadap masyarakatnya.
Tekhnik yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: 1. Wawancara Dalam penelitian kualitatif biasanya digunakan teknik wawancara sebagai cara utama untuk mengumpulkan data atau informasi. Ini bisa dimengerti, setidaktidaknya karena dua alasan. Pertama, dengan wawancara peneliti dapat menggali tidak saja apa yang diketahui dan dialami oleh seseorang atau subjek yang diteliti, tetapi apa juga yang tersembunyi jauh di dalam diri subjek penelitian (explicit knowledge maupun tacit knowledge). Kedua, apa yang ditanyakan kepada informan bisa mencakup hal-hal yang bersifat lintas waktu yang berkaitan dengan masa lampau, masa sekarang, dan juga masa mendatang.6 Semula istilah wawancara (interview) diartikan sebagai tukar-menukar pandangan antara dua orang atau lebih. Kemudian, istilah ini diartikan lebih lanjut, yaitu sebagai metode pengumpulan data atau informasi dengan cara tanya-jawab sepihak, dikerjakan secara sistemik dan berlandaskan pada tujuan penyelidikan. Tujuan wawancara
6
Ibid., h. 62
47
sendiri adalah mengumpulkan data atau informasi (keadaan, gagasan/pendapat, sikap/tanggapan, keterangan dan sebagainya) dari suatu pihak tertentu.7 Penelitian ini melakukan wawancara terbuka dan terstruktur terhadap beberapa informan penelitian yakni beberapa tokoh masyarakat desa Tegalangus dan jamaah tahlilan dengan sebelumnya didahului pembicaraan informal untuk menciptakan hubungan yang akrab dengan informan. Hubungan yang akrab ini diperlukan agar bisa memudahkan dalam mendapatkan umpan balik dalam proses selanjutnya. Perlu diingat bahwa untuk mencapai suasana santai dan akrab diperlukan waktu agar lebih saling mengenal. Oleh karena itu, wawancara yang pertama lebih banyak ditujukan untuk membina keakraban hubungan. Lambat laun wawancara yang semula bersifat informal beralih menjadi lebih formal walaupun keakraban senantiasa dipelihara. Digunakan pula pedoman wawancara yang berupa garis-garis besar pokok pertanyaan yang dinyatakan dalam proses wawancara dan disusun sebelum wawancara dimulai.8 Pokok pertanyaan yang nantinya akan ditanyakan peneliti kepada narasumber mengarah kepada tradisi tahlilan di desa Tegalangus. Setelah pokok pertanyaan disusun dan siap untuk ditanyakan, langkah peneliti selanjutnya adalah menentukan narasumber yaitu dengan memilih terlebih dahulu narasumber utama yang nantinya akan merekomendasikan narasumber selanjutnya (kedua), begitupun seterusnya. Setelah mendapatkan narasumber terpilih, selanjutnya peneliti meminta kesediaan narasumber untuk membantu penelitian ini dengan menjawab pokok pertanyaan yang telah dibuat dan memberikan alasan atau penjelasan dari jawaban tersebut. Jika narasumber bersedia untuk membantu penelitian ini, yang perlu disepakati antara peneliti dan narasumber adalah waktu dan tempat berlangsungnya wawancara. Terkait dengan hal ini, peneliti langsung mendatangi narasumber di kediamannya yang tentunya masih berada dalam wilayah desa Tegalangus meskipun berbeda lokasi (berbeda kampung, RW dan RT).
7
Arief Subyantoro, FX. Suwarto, Metode dan Teknik Penelitian Sosial, (Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2007), h., 97. 8 Sanafiah Faisal, lo.cit.
48
2. Observasi Observasi, seperti halnya wawancara, termasuk teknik pengumpulan data yang utama dalam kebanyakan penelitian kualitatif. Dengan wawancara, peneliti dapat menanyakan pada informan tentang keadaan masa lampau, sekarang, dan yang akan datang. Juga dapat dilacak tentang hal-hal yang tak tampak, yang tersembunyi di “museum batin” subjek yang diteliti (yang bersifat tacit). Itulah keunggulan teknik wawancara. Keunggulan yang dipunyai wawancara memang tak dipunyai oleh observasi. Akan tetapi, observasi juga mempunyai keunggulan lain yang tak dapat ditandingi wawancara. Misalkan, mereka yang pernah melihat Hongkong, meskipun hanya sekali, tetap akan lebih baik pengertiannya tentang bagaimana “Hongkong” dibandingkan dengan yang hanya mendengar saja dari cerita orang walaupun telah ratusan orang yang menceritakannya. Karenanya, observasi adalah utama kegunaannya dalam penelitian kualitatif.9 Observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencacatan dengan sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki. Disini pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan terlibat (partisipant observation). Pengamatan terlibat ini dilakukan untuk memperlancar peneliti dalam memasuki setting penelitian dan untuk menghindari jawaban yang kaku yang diberikan oleh informan akibat kecurigaan atau keengganan karena mencium bau penelitian. Dengan ini diharapkan akan dapat mengungkapkan unsur-unsur kebudayaan yang tidak dapat diungkapkan
oleh
informan.10
Dengan
pengamatan
terlibat
(partisipant
observation), yang dilakukan peneliti adalah mengamati secara langsung dengan mengikuti pelaksanaan tahlilan di beberapa tempat yang tentunya masih di wilayah desa Tegalangus guna memperoleh data yang lebih banyak yang mungkin tidak didapatkan dari narasumber pada waktu wawancara.
3. Dokumentasi Teknik pengumpulan data ini termasuk dalam pengumpulan data dengan menggunakan sumber non-manusia (non-human source information). Yang 9 10
Ibid., h. 77. Ibid.,
49
disebut dokumen ialah semua jenis rekaman atau catatan “sekunder” lainnya, seperti surat-surat, memo atau nota, pidato-pidato, buku harian, foto-foto, kliping berita koran, hasil-hasil penelitian, agenda kegiatan.11 Dokumentasi dalam penelitian ini berupa jadwal tahlilan, panduan tahlilan yang biasa digunakan oleh masyarakat desa Tegalangus dan foto-foto kegiatan tahlilan di desa Tegalangus, baik itu tahlil di masjid, mushola maupun di masyarakat (di rumah orang yang meninggal). Selain itu, ada juga profil desa Tegalangus, catatan hasil wawancara dan surat keterangan melakukan penelitian dari desa Tegalangus.
E. Teknik Pengolahan Data Setelah data terkumpul maka dilakukan pengolahan data, dalam metode kualitatif ada 3 tahap dalam pengolaha data: 1. Reduksi, dalam tahap ini peneliti melakukan pemilihan, dan pemusatan perhatian untuk penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data kasar yang diperoleh. 2. Penyajian data, peneliti mengembangkan sebuah deskripsi informasi tersusun untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan. Display data atau penyajian data yang lazim digunakan pada langkah ini adalah dalam bentuk teks naratif. 3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi, peneliti berusaha menarik kesimpulan dan melakukan verifikasi dengan mencari makna setiap gejala yang diperolehnya dari lapangan, mencatat keteraturan dan konfigurasi yang mungkin ada, alur kausalitas dari fenomena, dan proposisi.12
11
Ibid., h. 81. Atwar Bajari, Mengolah data dalam Penelitian Kualitatif, 2013, (http://atwarbajari.wordpress.com/2009/04/18/mengolah-data-dalam-penelitian-kualitatif, (diakses pada hari Minggu tanggal 3 Februari 2013 Pukul 15.09). 12
50
F. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data Untuk memperoleh keabsahan data maka peneliti menggunakan beberapa teknik pemeriksaan keabsahan data, yaitu: 1. Teknik pemeriksaan derajat kepercayaan (crebebelity). Teknik ini dapat dilakukan dengan jalan: a. Keikutsertaan peneliti sebagai instrumen (alat) tidak hanya dilakukan dalam waktu yang singkat, tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan peneliti, sehingga memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan. b. Ketekunan pengamatan, yaitu dimaksud untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur serta situasi yang sangat relevan dengan persoalan yang sedang dicari dan kemudian memutuskan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Dengan demikian maka perpanjangan keikutsertaan menyediakan lingkup, sedangkan ketekunan pengamatan menyediakan kedalaman. c. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding. Teknik yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan terhadap sumbersumber lainya. d. Kecukupan refrensial yakni kecukupan bahan yang tercatat dan terekam dapat digunakan sebagai patokan untuk menguji dan menilai sewaktu-waktu diadakan analisis dan interpretasi data.13 2. Teknik pemeriksaan keteralihan (transferability) dengan cara uraian rinci. Teknik ini meneliti agar laporan hasil fokus penelitian dilakukan seteliti dan secermat mungkin yang menggambarkan kontek tempat penelitian diadakan. Uraiannya harus mengungkapkan secara khusus segala sesuatu yang dibutuhkan oleh para pembaca agar mereka dapat memahami penemuan-penemuan yang diperoleh.14
13
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosda Karya, 1991),
h.175. 14
Ibid.,
51
3. Teknik pemeriksaan ketergantungan (dependability) dengan cara auditing ketergantungan. Teknik ini tidak dapat dilaksanakan bila tidak dilengkapi dengan catatan pelaksanaan
keseluruhan
hasil
dan
proses
penelitian.
Pencatatan
itu
diklasifikasikan dari data mentah sehingga formasi tentang pengembangan instrument sebelum auditing dilakukan agar dapat mendapatkan persetujuan antara auditor dan auditi terlebih dahulu.15
G. Analisis Data Analisis data adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan dan diketahui maknanya.16 Dalam penelitian kualitatif dikenal ada dua strategi analisis data yang sering digunakan bersama-sama atau secara terpisah yaitu model strategi analisis deskriptif kualitatif dan atau model strategi analisis verifikatif kualitatif.17 Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sebelum peneliti memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Analisis telah dimulai sejak merumuskan dan mejelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian, dalam penelitian kualitatif, analisis data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan data, analisis data kualitatif berlangsung selama proses pengumplulan data, kemudiaan dilanjutkan setelah selesai pengumpulan data.18
1. Analisis Sebelum di Lapangan Penelitian kualitatif telah melakukan analisis data sebelum peneliti memasuki lapangan. Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan, atau data sekunder, yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian. Namun
15
Ibid., Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung: Tarsito, 1996), h.126. 17 Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007), h, 83. 18 Beni Ahmad S, Metode Penelitian, ( Bandung: Pustaka setia, 2008) h. 200. 16
52
demikian, fokus penelitian ini masih bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama di lapangan.
2. Analisis Selama di lapangan Selama penelitian berlangsung dan pengumpulan data masih berlangsung, peneliti melakukan analisi data, dengan cara mengklasifikasi data dan menafsirkan isi data.
3. Reduksi Data Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak. Untuk itu, perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan, semakin lama peneliti ke lapangan, jumlah data akan semakin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu, perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan polanya. Dengan demikian, data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
4.
Penyajian Data Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah menyajikan data, dalam
penilian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnnya, yang paling sering digunakan adalah dengan teks yang bersifat naratif. Penyajian data akan memudahkan peneliti untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami.
5.
Penarikan Kesimpulan Langkah selanjutnya dalam analisis data kualitatif adalah penarikan
kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah hingga ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung tahap pengumpulan data berikutnya. Akan tetapi kesimpulan pada tahap awal
53
didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan pengetahuan baru yang belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis, atau teori.19
19
Ibid., h. 202.
BAB IV HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Fisik dan Sosial Daerah Penelitian 1. Gambaran Umum Wilayah Desa Tegalangus adalah salah satu desa yang masuk wilayah kecamatan Teluknaga kabupaten Tangerang, Banten. Desa Tegalangus memiliki batas wilayah sebagai berikut: a. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Tanjung Burung b. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Kampung Besar c. Sebelah Utara berbatasan dengan desa Tanjung Pasir d. Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Pangkalan
Jarak desa Tegalangus dari pusat pemerintahan kecamatan sekitar 5 km, sedangkan jarak dari ibu kota kabupaten berjarak 19 km. Secara administrasi, desa Tegalangus terbagi ke dalam 7 (tujuh) wilayah kemandoran atau kampung yaitu: Kampung Pondok Bahagia, Pondok Makmur, Pondok Indah, Pondok Karya, Suka Tani, Suka Jaya dan Suka Maju. Total jumlah Rukun Warga (RW) di desa Tegalangus adalah 7 RW dan 21 RT.
2. Kondisi Demografi Tingkat kemiskinan di desa Tegalangus tergolong cukup tinggi. Terihat dari banyaknya warga yang menerima raskin. Namun jika dilihat dari rata-rata pendapatan penduduk per rumah tangga antara Rp. 30.000,- sampai Rp 150.000,per hari atau Rp. 1.500.000,- sampai Rp. 2.250.000,- per bulan, masyarakat desa Tegalangus tergolong tinggi tingkat perekonomiannya. Dilihat dari aspek pendidikan, sebagian besar hanya tamatan SD dan sederajat bahkan ada yang tidak tamat SD dan tidak sekolah. Tetapi seiring dengan berdirinya beberapa sarana pendidikan berbagai jenjang di desa Tegalangus, 54
55
masyarakat Tegalangus sekarang tidak sedikit yang tamatan SMA dan sederajat bahkan ada yang tamat perguruan tinggi. Komposisi penduduk di desa Tegalangus tercatat sebagai berikut:
Tabel 4.1. Komposisi Penduduk berdasarkan RW/RT Rukun
Rukun Tetangga
Jumlah
Jumlah
Jumlah Kepala
Warga (RW)
(RT)
Penduduk (Lk)
Penduduk (Pr)
Keluarga
001
01
167
163
88
02
242
248
120
03
242
244
146
01
173
151
78
02
150
144
70
03
169
123
73
04
256
213
81
01
172
146
70
02
202
217
87
03
265
232
77
01
193
143
72
02
256
213
81
01
217
183
89
02
300
278
138
03
240
216
113
04
157
121
67
01
234
238
112
02
217
188
121
03
160
150
76
01
216
184
90
02
197
132
107
4.485
3.927
1.956
002
003
004
005
006
007
Jumlah Jumlah Penduduk
8.412
-
56
Berdasarkan tabel di atas, jumlah penduduk desa Tegalangus tercatat sebanyak 8.412 orang/jiwa, laki-laki 4.485 jiwa dan perempuan 3.927 jiwa atau sekitar 1.956 Kepala Keluarga / KK yang tersebar dalam 7 Rukun Warga (RW) dan 21 Rukun Tetangga (RT).
3. Sarana dan Prasarana a. Transportasi Desa Tegalangus dapat dicapai dengan kendaraan umum dalam bentuk ojeg motor dan angkutan umum. Angkutan umum berangkat dari Kampung Melayu dengan jam pemberangkatan tertentu dengan tujuan akhir Pantai Tanjung Pasir. Untuk menuju desa Tegalangus dari arah Kampung Melayu maka akan melewati salah satu sisi bandara Soekarno Hatta dengan akses jalan yang relatif mudah namun pada jam tertentu mengalami kemacetan akibat jam berangkat atau pulang karyawan PT di sekitar wilayah Kampung Melayu. Sarana jalan di desa Tegalangus tepatnya di kampung Pondok Bahagia, Pondok Indah, Suka Tani dan Suka Jaya umumnya berupa jalan aspal dengan kondisi yang masih cukup baik. Kondisi sarana akses transportasi dan jalan yang cukup baik tersebut menyebabkan mobilitas masyarakat desa Tegalangus maupun dari luar desa cukup mudah sehingga akses terhadap perkembangan informasi dan ekonomi bisa lebih baik. Sedangkan sarana jalan di kampung lainnya yaitu kampung Pondok Makmur, Pondok Karya dan Suka Maju umumnya sudah dapat dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat meskipun sarana jalan rata-rata masih menggunakan paving blok.
b. Kesehatan Akses terhadap sarana kesehatan di desa Tegalangus sebenarnya tergolong mudah. Tercatat ada bidan desa, mantri dan Puskesmas yang terletak berdekatan dengan kantor desa Tegalangus. Sehingga dari aspek kesehatan masyarakat desa Tegalangus tidak mengalami kesulitan jika sewaktu-waktu harus berobat.
57
c. Pendidikan Sarana pendidikan di desa Tegalangus saat ini cukup memadai. Tercatat ada 11 lembaga pendidikan yang tergolong dalam beberapa jenjang pendidikan dari mulai Taman Kanak-kanak (TK) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) serta 20 Tempat Pengembangan al-Qur‟an (TPQ).
d. Peribadatan Masyarakat desa Tegalangus umumnya memeluk agama Islam, tetapi ada juga yang beragama Kristen dan Hindu. Tercatat ada 4 masjid, 19 musholla, 1 gereja dan 1 pura sebagai tempat atau sarana peribadatan bagi masyarakat desa Tegalangus. Berikut ini daftar secara rinci sarana dan prasarana yang dimiliki atau terdapat di desa Tegalangus:
Tabel 4.2. Sarana dan Prasarana Sarana dan Prasarana
Jumlah
Masjid
4
Musholla
19
Gereja
1
Pura
1
MA TK
2
TPQ
20
SDN
2
SMPN/MTsN
3
SMP/MTs Swasta
3
SMAN/MA
1
Puskesmas
1
Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas masyarakat desa Tegalangus beragama Islam. Meskipun demikian ada sebagian kecil
58
masyarakat yang beragama Hindu dan Kristen. Sarana pendidikan di desa Tegalangus saat ini cukup memadai. Tercatat ada 11 lembaga pendidikan yang tergolong dalam beberapa jenjang pendidikan dari mulai Taman Kanak-kanak (TK) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) serta 20 Tempat Pengembangan alQur‟an (TPQ) dengan sarana kesehatan yaitu Puskesmas sebagai pelengkapnya.
B. Tradisi Tahlilan dalam Kehidupan Tegalangus (Analisis Sosio Kultural)
Masyarakat
Desa
1. Motivasi Masyarakat Desa Tegalangus dalam Menghadiri Pelaksanaan Tahlilan di Tempat Orang yang Meninggal Tahlilan itu berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya membaca kalimat la ilaha illallah.1 Kata tahlil merupakan kata yang disingkat dari kalimat la ilaha illallah. Penyingkatan ini sama seperti takbir (dari Allahu Akbar), hamdalah (dari Alhamdu Lillah), hauqalah (dari La Haula Wala Quwwata Illah Billah), basmalah (dari Bismillah ar-Rahman ar-Rahim) dan sebagainya.2 Tahlilan merupakan tradisi yang sudah dijalani oleh sebagian masyarakat secara turun-temurun semenjak masuknya Islam di Jawa hingga sekarang ini untuk memperingati waktu kematian seseorang. Seperti yang diutarakan oleh Bapak Achmad Zamroni (tokoh masyarakat desa Tegalangus) bahwa “tahlilan adalah tradisi masyarakat muslim dalam rangka mendo‟akan mereka yang telah meninggal secara bersama-sama.”3 Tahlilan bagi masyarakat desa Tegalangus merupakan suatu kegiatan yang telah menjadi budaya atau kebiasaan. Selain di kediaman orang yang meninggal, pembacaan tahlil banyak dibaca setiap minggunya di masjid dan musholla sebelum pengajian dimulai, seperti yang dilakukan jamaah pengajian masjid Hidayaturrohman dan jam‟ah pengajian kaum ibu musholla Al-Hilal.
1
Munawar Abdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), h.
2
Muhammad Ma‟ruf Khozin, Tahlilan Bid’ah Hasanah, (Surabaya: Muara Proresif, 2013), h.
276. 1. 3
Wawancara pribadi dengan Bapak Achmad Zamroni, Tokoh Masyarakat Desa Tegalangus, (Sabtu, 21 Desember 2013).
59
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, secara bahasa pengertian tahlilan adalah membaca lafadz la ilaha illallah, tetapi tahlilan menurut Ustadz Ikhwan Muhtarip (tokoh agama masyarakat desa Tegalangus) secara umum dapat diartikan “suatu acara yang diadakan dalam rangka mengiringi hari kematian seorang muslim dengan mendo‟akannya melalui bacaan al-Qur‟an, tahlil, sholawat dan sebagainya”. Maka dari itulah tidak heran bagi masyarakat desa Tegalangus jika menyebut kata tahlilan maka yang dimaksud adalah tahlilan dalam rangka mendo‟akan orang yang telah meninggal yang dilaksanakan di rumah orang yang meninggal tersebut.4 Tujuan masyarakat mengikuti tahlilan pun beragam, seperti misalnya taqorruban illallah (mengharap berkah dari Allah) dengan mendo‟akan sesama muslim, mendekatkan diri kepada Allah dengan berdzikir (membaca tahlil, tasbih, sholawat yang biasanya terdapat dalam prosesi tahlilan), dan memberi dukungan terhadap keluarga yang ditinggalkan. Selain itu, ada juga masyarakat yang mengikuti tahlilan untuk bersilaturrahmi dengan tetangga.5 Selain untuk mendo‟akan orang yang telah meninggal dunia, tahlilan memiliki fungsi lain bagi masyarakat desa Tegalangus, misalnya berfungsi sebagai penyambung tali silaturahim diantara kerabat, tetangga, saudara dan masyarakat sekitar. Secara langsung mapun tidak langsung tahlilan juga berfungsi sebagai nasihat atau pelajaran untuk mengingatkan bahwa kita pun akan mengalami yang namanya kematian dan untuk membiasakan masyarakat berdzikir.6 Pelaksanaan tahlilan di kediaman orang yang meninggal dunia berlangsung selama tujuh hari setelah jenazah dikebumikan atau dikuburkan sampai hari ketujuh dari prosesi penguburan tersebut. Seperti yang diutarakan oleh Ustadz Ahmad Yuarsa (tokoh agama masyarakat desa Tegalangus): “di Tegalangus tahlilan dimulai setelah jenazah dikubur. Misalnya, kalau dikuburnya pada pagi, siang atau sore hari senin, maka tahlil dimulai pada hari senin setelah sholat „isya. 4
Wawancara pribadi dengan Ustadz Ikhwan Muhtarip, Tokoh Agama Masyarakat Desa Tegalangus, (Minggu, 22 Desember 2013). 5 Rangkuman peneliti berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber (draft wawancara terlampir). 6 Rangkuman peneliti berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber (draft wawancara terlampir).
60
Tetapi jika dikuburnya malam hari setelah maghrib atau „isya, maka tahlil akan dimulai besok malam setelah sholat „isya.”7 Setelah tujuh hari akan dilanjutkan pada hari ke 15, 40, 100 dan satu tahun meninggalnya seseorang yang sering disebut dengan istilah haul. Umumnya masyarakat desa Tegalangus melaksanakan tahlilan setelah sholat „isya, tapi kadang ada juga yang memulainya setelah maghrib, hal tersebut dikarenakan ada dua tempat (ada dua orang yang meninggal pada hari yang sama atau berdekatan harinya) sehingga tahlilan dibagi menjadi dua waktu.8 Setelah
tahlilan
selesai,
biasanya
tuan
rumah
(shohibul
musibah)
menghidangkan makanan dan minuman kepada para jama‟ah tahlil, bahkan kalau malam pertama, ketiga dan ketujuh sebelum pulang pun juga dibekali berkat (makanan/jajanan yang dibungkus untuk dibawa pulang) dengan maksud bersedekah. Konsumsi yang disajikan pun beragam, dari mulai makanan ringan, seperti kacang, kuping gajah, keripik pangsit, kue basah, seperti kue pisang, kue talam, putu ayu dan lain-lain. Selain itu ada juga buah-buahan, seperti semangka, melon, salak, pisang, jeruk, rambutan dan duku. Sedangkan minuman yang disajikan berupa air mineral ukuran gelas dan kopi. Penyuguhan konsumsi di acara tahlilan umumnya hanyalah makanan ringan saja seperti yang telah disebutkan di atas, tetapi jika yang meninggal dunia seorang tokoh masyarakat terkadang ada jamuan makan malam untuk para jama‟ah tahlilan sebelum pelaksanaan tahlilan dimulai.9 Dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan masyarakat pun memiliki alasan yang berbeda-beda, sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan motivasi atau dorongan bagi masyarakat dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan. Seperti, masyarakat lebih termotivasi untuk hadir dan mengikuti pelaksanaan tahlilan jika orang yang meninggal atau keluarga yang tertimpa musibah (yang ditinggal oleh
7
Wawancara pribadi dengan Ustadz Ahmad Yuarsa, Tokoh Agama Masyarakat Desa Tegalangus, (Sabtu, 21 Desember 2013). 8 Wawancara pribadi dengan Ahmad Baihaqi Nasrulloh, Masyarakat Desa Tegalangus, (Sabtu, 21 Desember 2013). 9 Data diperoleh berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti dan wawancara dengan beberapa narasumber (draft wawancara terlampir).
61
salah satu anggota keluarganya) adalah temannya, keluarga temannya, atau bahkan seorang tokoh masyarakat.10 Perbedaan motivasi tersebut bisa dilihat juga dari jumlah jama‟ah tahlil pada hari pertama, ketiga dan ketujuh dibanding dengan keempat hari lainnya (kedua, keempat, kelima dan keenam). Biasanya hari pertama, ketiga dan ketujuh akan lebih banyak dihadiri jama‟ah dibanding dengan hari lainnya karena ada ceramah agama dan berkat (nasi bungkus dengan lauk ayam, ikan dan lainnya) yang biasa menjadi buah tangan untuk para jama‟ah. Meskipun demikian, masih cukup banyak jama‟ah yang benar-benar kehadirannya dimotivasi oleh niatan untuk mendo‟akan almarhum/almarhumah dan tidak sedikit pula jama‟ah yang kehadirannya dimotivasi oleh perasaan tidak enak.11
2. Nilai-nilai Positif yang Terkandung dalam Tradisi Tahlilan di Desa Tegalangus Tahlilan merupakan salah satu tradisi yang sering mendapatkan tantangan dari orang-orang yang kontra atau tidak setuju dengan tradisi tersebut dengan alasan bid’ah dan lain sebagainya. Secara tekstual memang tidak ada nash al-Qur‟an maupun hadits yang memerintahkan acara tahlilan, tetapi secara tradisi, tahlilan tidak bertentangan dengan ayat atau pun hadits.12 Hal tersebut dikarenakan kegiatan dan bacaan yang dilakukan dalam prosesi tahlilan, seperti dzikir bersama membaca lafadz la ilaha illallah dan menghadiahkan bacaan tersebut untuk si Mati semuanya terkandung dan diperintahkan dalam al-Qur‟an dan hadits. Seperti yang diutarakan oleh Bapak Sarip Hidayatulloh (tokoh masyarakat desa Tegalangus): “secara bahasa pengertian tahlilan adalah membaca lafadz laa ilaha illallah, sedangkan keutamaan bagi orang yang membaca lafadz tersebut sangatlah banyak. Contoh, dalam kitab Tanqihul Qoul karangan Syekh Nawawi 10
Wawancara pribadi dengan Ustadz Ikhwan Muhtarip , Tokoh Agama Masyarakat Desa Tegalangus, (Sabtu, 21 Desember 2013) dan Bapak Sarip Hidayatulloh, Tokoh Masyarakat Desa Tegalangus, (Minggu, 22 Desember 2013). 11 Rangkuman peneliti berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber (draft wawancara terlampir). 12 Wawancara pribadi dengan Ustadz Ikhwan Muhtarip, Tokoh Agama Masyarakat Desa Tegalangus, (Minggu, 22 Desember 2013).
62
Tanahara Banten ada hadits qudsi yang artinya: Allah berkata, lafadz Laa Ilaha Illallah adalah kalam-Ku, dan Aku adalah Allah, siapa yang membacanya maka ia masuk benteng-Ku, dan siapa yang masuk benteng-Ku maka ia aman dari siksa-Ku”.13 Dalam pelaksanaan tahlilan di desa Tegalangus, banyak sekali nilai-nilai positif yang bisa didapatkan oleh masyarakat. Seperti berkumpulnya masyarakat dalam rangka mendo‟akan kerabat atau tetangganya yang meninggal mengandung nilai silaturahmi, adanya ceramah agama yang memuat nilai pengetahuan karena bisa dijadikan input pengetahuan agama oleh masyarakat, terutama seputar kematian. Banyaknya tetangga, sanak famili, kerabat yang membawakan makanan ke rumah orang yang meninggal yang nantinya akan disajikan pada acara tahlilan, atau menghibur dan mengajak keluarga almarhum/almarhumah agar senantiasa bersabar atas musibah yang telah dihadapinya dimana kegiatan tersebut sangat kental nilai solidaritasnya. Adanya kesadaran bersama atau kesadaran kolektif untuk membantu dan menghibur kerabat atau tetangga yang sedang tertimpa musibah menunjukan rendahnya sifat individualis yang dimiliki oleh masyarakat desa Tegalangus, sehingga dapat dikatakan masyarakat desa Tegalangus tergolong dalam solidaritas mekanik. Sesuai dengan pernyataan Emile Durkheim dalam Piotr Sztompka, bahwa salah satu ciri dari solidaritas mekanik adalah posisi individu yang bersifat kolektifitas bukan individualis.14 Tahlilan secara langsung dan tidak langsung mengandung nasihat bagi yang masih hidup untuk mengingat akan kematian serta dapat mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Selain itu, tahlilan juga berisi ajakan untuk beramal shaleh melalui silaturrahmi, membaca do‟a, ayat-ayat al-Qur‟an dan sholawat, berdzikir, dan bersedekah.15 Di dalam Islam, nilai-nilai positif yang terkandung dalam tradisi tahlilan tersebut merupakan kegiatan yang bersifat religi (ibadah) yang memiliki ganjaran 13
Wawancara pribadi dengan Bapak Sarip Hidayatulloh, Tokoh Masyarakat Desa Tegalangus, (Minggu, 22 Desember 2013). 14 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2004), h. 123. 15 Wawancara pribadi dengan Ustadz Ahmad Yuarsa, Tokoh Agama Masyarakat Desa Tegalangus, (Sabtu, 21 Desember 2013).
63
pahala. Ada hal tertentu di dalam diri manusia yang mampu mendorong manusia melakukan kegiatan tersebut. Hal tersebut senada dengan apa yang dikatakan oleh Koentjaraningrat, bahwa semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan atau religious emotion. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi.16 Seperti silaturrahmi, berdo‟a dan berdzikir dengan ayat‟ayat al-Qur‟an, bersedekah dan saling membantu satu sama lain.
3. Dampak Negatif yang Ditimbulkan dari Tradisi Tahlilan di Desa Tegalangus Terhadap Masyarakatnya Tahlilan merupakan suatu kegiatan yang erat hubungannya dengan agama, maka dari itu tidak heran jika tahlilan sering disebut sebagai salah satu dari upacara keagamaan. Menurut Koentjaraningrat, sistem upacara keagamaan memiliki empat aspek yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) tempat upacara keagamaan, (2) saat-saat upacara keagamaan dijalankan, (3) benda-benda dan alat-alat upacara, (4) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.17 Selain merupakan kegiatan yang memiliki hubungan erat dengan agama, tahlilan dikatakan sebagai upacara keagamaan dikarenakan memiliki keempat aspek tersebut. Penjabaran mengenai empat aspek di atas terkait dengan tradisi tahlilan di desa Tegalangus adalah sebagai berikut: (1) tahlilan biasa dilakukan di kediaman orang yang meninggal, di masjid dan di mushola (2) tahlilan di kediaman orang yang meninggal berlangsung selama tujuh hari terhitung dari hari meninggalnya seseorang, sedangkan tahlilan di masjid dan di mushola biasa dilakukan sebelum pengajian dimulai, (3) dalam pelaksanaan tahlilan biasanya memerlukan benda atau alat, seperti buku yang di dalamnya terdapat surat Yasin, alas duduk dan pengeras suara agar suara pemimpin upacara ini terdengar oleh seluruh jama‟ah
16 17
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 376-377. Ibid., h. 377-378.
64
yang hadir, (4) tahlilan biasanya dipimpin oleh seorang tokoh agama setempat (ustadz/ustadzah). Meskipun sarat akan nilai positif yang terkandung didalamnya tidak membuat tahlilan luput dari nilai negatif. Hal ini sesuai dengan konsep fungsi nyata dan fungsi tersembunyi Robert Merton dalam teori strukturalisme fungsional. Kedua istilah ini memberikan tambahan penting bagi analisis fungsional. Menurut pengertian sederhana, fungsi nyata adalah fungsi yang diharapkan, sedangkan fungsi yang tersembunyi adalah fungsi yang tak diharapkan. Pemikiran ini dapat dihubungkan dengan konsep lain Merton, yakni akibat yang tak diharapkan (unanticipated consequences). Tindakan mempunyai akibat, baik yang diharapkan dan tidak diharapkan.18 Tahlilan acap kali menjadi ranah politik, banyak yang menjual tahlilan untuk kepentingan politik, terlebih jelang pemilihan umum dari mulai pemilihan kepala desa (Pilkades), legislatif, kepala daerah sampai kepala Negara, sehingga menyebabkan melencengnya atau tidak sesuainya fungsi dan tujuan tahlilan, yang seharusnya berfungsi dan bertujuan untuk mendo‟akan mereka yang telah meninggal dunia, untuk bersilaturrahmi, untuk introspeksi diri malah dijadikan tempat untuk kampanye atau menyampaikan visi misi yang mungkin berisi kepentingan dari salah satu calon. Selain itu kebiasaan menyuguhkan aneka hidangan untuk jama‟ah tahlilan seakan memberatkan keluarga, terutama keluarga yang tidak mampu. Seperti yang diutarakan oleh Bapak Sarip Hidayatulloh (tokoh masyarakat desa Tegalangus): “negatifnya itu kalau ada keluarga yang tidak mampu dan salah satu anggota keluarganya ada yang meninggal, mereka sampai memaksakan menyuguhkan hidangan untuk tahlilan meskipun harus pinjam sana-sini. Padahal, masyarakat bakal tetap hadir ko tanpa ada hidangan sekalipun, ya memang tidak sebanyak biasanya. Tapi kan yang terpenting do‟anya bukan jumlah yang hadirnya”.19 Sangat disayangkan, nilai-nilai yang begitu indah itu kurang dipahami oleh sebagian masyarakat. Padahal, salah satu esensi dari kegitan ini adalah nilai 18
George Ritzer, Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 141. 19 Wawancara pribadi dengan Bapak Sarip Hidayatulloh, Tokoh Masyarakat Desa Tegalangus, (Minggu, 22 Desember 2013).
65
solidaritas yang terselip kepedulian dari masyarakat terhadap orang yang tertimpa musibah, bukan memberatkan diri sendiri atau anggota keluarga.
BAB V PENUTUP Alhamdulillah dengan rahmat, hidayat dan taufik Allah SWT, akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Dalam penutup ini, penulis mengutarakan beberapa kesimpulan dan saran.
A. Kesimpulan 1. Dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan, masyarakat desa Tegalangus memiliki perbedaan motivasi. Seperti, masyarakat akan lebih termotivasi untuk hadir dan mengikuti pelaksanaan tahlilan jika orang yang meninggal atau keluarga yang tertimpa musibah adalah temannya, keluarga temannya, atau bahkan seorang tokoh masyarakat. Perbedaan motivasi tersebut bisa dilihat juga dari jumlah jama’ah tahlil pada hari pertama, ketiga dan ketujuh dibanding dengan keempat hari lainnya (kedua, keempat, kelima dan keenam). Biasanya hari ketiga dan ketujuh akan lebih banyak dihadiri jama’ah dibanding dengan hari lainnya karena ada ceramah agama dan berkat (nasi bungkus dengan lauk ayam, ikan dan lainnya) yang biasa menjadi buah tangan untuk para jama’ah. Meskipun demikian, masih cukup banyak jama’ah yang benar-benar kehadirannya dimotivasi oleh niatan untuk mendo’akan almarhum/almarhumah dan tidak sedikit pula jama’ah yang kehadirannya dimotivasi oleh perasaan tidak enak. 2. Tradisi tahlilan di desa Tegalangus mengandung nilai-nilai positif, seperti adanya pengetahuan agama lewat ceramah agama, adanya nilai silaturahmi, nilai solidarits sosial dan nasihat untuk kita yang masih hidup. Selain itu, tahlilan juga berisi ajakan untuk beramal shaleh melalui silaturrahmi, membaca do’a, ayat-ayat al-Qur’an dan sholawat, berdzikir, dan bersedekah. 3. Di satu sisi, adanya nilai-nilai positif tersebut tidak membuat tradisi ini luput dari nilai negatif. Tahlilan acap kali menjadi ranah politik, banyak
66
67
yang menjual tahlilan untuk kepentingan politik. Selain itu tahlilan membentuk kebiasaan masyarakat dalam menyuguhkan aneka hidangan untuk jama’ah tahlilan yang terkadang memberatkan keluarga, terutama keluarga yang tidak mampu.
B. Saran 1. Masyarakat desa Tegalangus harus tetap melaksanakan dan melestarikan tradisi tahlilan karena banyak mengandung nilai-nilai positif. 2. Dalam masjlis ta’lim atau tempat-tempat ‘ilmu lainnya, pengajar (tokoh masyarakat/ustadz) harus mampu menjelaskan esensi dan tujuan tahlilan kepada jama’ahnya agar tidak melenceng dengan esensi dan tujuan tahlilan yang sebenarnya. 3. Majelis ‘Ulama Indonesia (MUI) desa Tegalangus harus menjelaskan masalah hukum tahlilan secara jelas agar tidak terjadi lagi polemik di masyarakat. 4. Bagi pembelajaran sosiologi, sebagai bahan pengayaan terutama mengenai konsep-konsep tradisi, budaya dan interaksi sosial. 5. Pemerintah harus ikut berperan dalam menjaga dan melestarikan tradisi tahlilan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Fattah, Munawir, 2012, Tradisi Orang-Orang NU, Pustaka Pesantren, Yogyakarta. Abed Al Jabir, Muhammad, 2000, Post Tradisionalisme Islam, LKiS, Yogyakarta. Ahmad S, Beni, 2008, Metode Penelitian, Pustaka Setia, Bandung. Amin Nugroho, Muhammad Yusuf, 2012, Fiqh Al-Ikhtilaf NU-Muhamadiyah, [t.p.], Wonosobo. Amin Nurdin, Muhammad dan Ahmad Abrori, 2006, Mengerti Sosiologi: Pengantar Memahami Konsep-Konsep Sosiologi, UIN Jakarta Press, Jakarta. Aziz, Arnicun dan Hartono, 1993, MKDU Ilmu Sosial Dasar, Bumi Aksara, Jakarta. Bungin, Burhan, 2007, Analisis Data Penelitian Kualitatif, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. Campbell , Tom, 1994, Tujuh Teori Sosial, Kanisius, Yogyakarta. Danial Royyan, Muhammad, 2013, Sejarah Tahlil, LTN NU Kendal dan Pustaka Amanah, Kendal. Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT
Dwi Susilo, Rahmad K. 2008, 20 Tokoh Sosiologi Modern, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta. Elisabeth, Koes Soedijati, 1995, Solidaritas dan Masalah Sosial Kelompok Waria, UPPM STIE, Bandung. El Rinaldi, Ebiza, 2012, Haramkah Tahlilan, Yasinan dan Kenduri Arwah?, Pustaka Wasilah, Klaten. Faisal, Sanapiah, 1990, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi, Yayasan Asih Asah Asuh, Malang. Idrus Ramli, Muhammad, 2010, Membedah Bid’ah dan Tradisi Dalam Perspektif Ahli Hadits dan Ulama Salafi, Khalista, Surabaya. Koentjaraningrat, 2002, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta.
68
69
Ma’ruf Khozin, Muhammad, 2013, Tahlialn Bid’ah Hasanah, Muara Progresif, Surabaya. Moleong, Lexy J., 1997, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Munandar Soelaeman, Muhammad, 1993, Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial, Eresco, Bandung. Nasution, 1996, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung. Poloma, Margaret M., 2007, Sosiologi Kontemporer, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ranjabar, Jacobus, 2013, Sistem Sosial Budaya Indonesia, Alfabeta, Bandung. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2010, Teori Sosiologi Modern, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Saifuddin Anshari, Endang, 2004, Wawasan Islam:Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma dan Sistem Islam, Gema Insani Press, Jakarta. Setiadi, Elly M dan Usman Kolip, 2011, Pengantar Sosiologi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Shalaby, Ahmad, 2001, Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam, Amzah, Jakarta. Subyantoro, Arief dan FX. Suwarto, 2007, Metode dan Teknik Penelitian Sosial, CV. Andi Offset, Yogyakarta. Soekanto, Soerjono, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. Sunanto, Musyrifah, 2010, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. Sunarto, Kamanto, 2004, Pengantar Sosiologi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Sunyoto, Agus, 2011, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Transpustaka, Tangerang. Suyanto, Bagong dan Sutinah, 2005, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Kencana, Jakarta. Sztompka, Piotr, 2007, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada Media Group, Jakarta.
70
Tumanggor, Rusmin, 2004, Sosiologi Dalam Perspektif Islam, UIN Jakarta Press, Jakarta. Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar, 2008, Metodologi Penelitian Sosial, Bumi Aksara, Jakarta.
Atwar Bajari, “Mengolah data dalam Penelitian Kualitatif” http://atwarbajari.wordpress.com/2009/04/18/mengolah-data-dalam-penelitiankualitatif, (diakses pada hari Minggu tanggal 03 Februari 2013 Pukul 15.09). Fb,
Karyawan. “Sejarah Awal Mula Munculnya Tradisi Tahlilan”. http://karyawanfb.mwb.im/sejarah-awal-mula-munculnya-tradisi-tahl.xhtml (diakses pada hari Selasa tanggal 08 Oktober 2013 pukul 22.41).
Ifzanul, “Masyarakat Tradisonal, Transisi dan Modern”. http://ifzanul.blogspot.com/2010/06/masyarakat-tradisional-masyarakat.html (diakses pada hari Jum’at tanggal 08 November 2013 pukul 21.40). Mustaghfirin, Abdullah. “Hukum Selamatan Hari Ke-3, 7, 40, 100”. http://www.gemasholawat.com/2012/04/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40100.html (diakses pada hari Jum’at tanggal 11 Oktober 2013 pukul 18.07). Yudhistira, Irfan. “Tradis Tahlilan”. http://.wordpress.com/2012/06/01/tradisitahlilan/(diakses pada hari Selasa tanggal 08 Oktober 2013 pukul 22.36).
PEDOMAN OBSERVASI LAPANGAN Waktu observasi No
:
Aspek yang Diamati
1
Mengadakan tahlilan di masjid
2
Mengadakan tahlilan di musholla
3
Melaksanakan tahlilan ketika ada kerabat atau tetangga yang meninggal dunia
4
Tahlilan berlangsung selama tujuh hari
5
Pengkhususan pada malam ketiga dan ketujuh
6
Jamuan makan sebelum tahlilan dimulai
7
Hidangan makanan ringan setelah selesai melaksanakan tahlilan
8
Ceramah agama
Ya
Tidak
Keterangan
HASIL OBSERVASI LAPANGAN Waktu observasi
: 22 Desember 2013 – 28 Desember 2013
No
Aspek yang Diamati
1
Mengadakan tahlilan di masjid
2
3
Ya
Keterangan
Tahlilan dilakukan sebelum pengajian dimulai, seperti yang dilakukan jama’ah Masjid Hidayaturrohman Kp. Pondok Bahagia Desa Tegalangus setiap Jum’at malam Sabtu.
Jama’ah pengajian kaum Ibu yang dilaksanakan setiap hari kamis pagi di musholla Al-Hilal biasa membaca tahlil terlebih dahulu sebelum pengajian dimulai.
Hampir seluruh masyarakat desa Tegalangus melaksanakan tahlilan ketika ada kerabat atau tetangga yang meninggal dunia.
Mengadakan tahlilan di musholla
Melaksanakan tahlilan ketika ada kerabat atau tetangga yang meninggal dunia
Tidak
4
Tahlilan berlangsung selama tujuh hari
Pelaksanaan tahlilan di kediaman orang yang meninggal dunia berlangsung selama tujuh hari dimulai dari hari meninggalnya seseorang. Setelah tujuh hari akan dilanjutkan pada hari ke 15, 40, 100 dan haul.
5
Pengkhususan pada malam ketiga dan ketujuh
Ada ceramah agama dan buah tangan berupa berkat untuk jama’ah .
6
Jamuan sebelum dimulai
makan tahlilan
Ketika yang meninggalnya tokoh agama, terkadang dipersilahkan untuk makan terlebih dahulu sebelum dimulai.
7
Hidangan makanan ringan setelah selesai melaksanakan tahlilan
Ada kacang, kuping gajah, keripik pangsit, kue pisang, kue talam, kue putu ayu, buah-buahan seperti semangka, melon, salak, duku dan rambutan.
seorang jama’ah malam tahlilan
8
Ceramah agama
Ceramah agama bisanya terdapat pada malam ketiga dan ketujuh, tetapi jika yang meniggalnya seorang tokoh masyarakat maka ceramah agama terdapat pula pada malam lainnya (1, 2, 4, 5 dan 6).
DAFTAR PERTANYAAN ATAU PEDOMAN WAWANCARA
1. Pedoman Wawancara untuk Warga A. Latar Belakang Informan Nama Umur Agama Pendidikan Profesi Tempat Hari dan tanggal
: : : : : : :
B. Berita Wawancara 1. Apa yang anda ketahui tentang tahlilan? 2. Apa yang menjadi tujuan anda mengikuti tahlilan? 3. Apa anda selalu mengikuti acara tersebut (tahlilan)? 4. Pada pukul berapa tahlilan dimulai? 5. Jenis makanan dan minuman apa saja yang disuguhkan? 6. Menurut anda apakah tradisi tahlilan memiliki nilai positif bagi masyarakat Tegalangus? 7. Apakah ada nilai negatif dari tradisi tahlilan? 8. Apa yang menjadi motivasi anda mengikuti tahlilan?
2. Pedoman Wawancara untuk Tokoh Masyarakat A. Latar Belakang Informan Nama Umur Agama Pendidikan Profesi Tempat Hari dan tanggal
: : : : : : :
B. Berita Wawancara 1. Apa yang anda ketahui tentang tahlilan? 2. Apa yang menjadi tujuan anda mengikuti tahlilan?
3. Apa anda selalu mengikuti acara tersebut (tahlilan)? 4. Pada pukul berapa tahlilan dimulai? 5. Jenis makanan dan minuman apa saja yang disuguhkan? 6. Apa fungsi tahlilan bagi masyarakat desa Tegalangus? 7. Adakah nash al-Qur’an dan hadits tentang tahlilan? 8. Menurut anda apakah tradisi tahlilan memiliki nilai positif bagi masyarakat desa Tegalangus? 9. Apakah ada nilai negatif dari tradisi tahlilan? 10. Apa yang menjadi motivasi anda mengikuti tahlilan?
HASIL WAWANCARA DENGAN WARGA
A. Latar Belakang Informan Nama Umur Agama Pendidikan Profesi Tempat Hari dan tanggal
: Ahmad Baihaqi Nasrulloh, S.Pd.I : 25 tahun : Islam : Strata 1 : Guru : Rumah Informan : Sabtu, 21 Desember 2013
B. Berita Wawancara 1. Bang, menurut apa abang tahlilan itu apa si? Menurut ane, tahlilan itu suatu kegiatan ngedo’ain orang yang udah meninggal secara bersama-sama. 2. Terus bang, kalo tujuan abang sendiri ikut tahlilan apa? Ya itu tadi, ngedo’ain tetangga atau saudara yang meninggal. 3. Kalo ada tahlilan abang selalu ikut atau gimana? Lumayan juga, dari tujuh hari misalnya, ikutlah empat atau tiga hari mah. 4. Biasanya, kapan dan jam berapa si tahlilan dimulai? Umumnya si setelah jenazah dikuburkan, kalo jamnya itu pokonya ba’da sholat ‘isya, tapi kadang ada juga yang mulainya ba’da maghrib. Yang abis maghrib itu biasanya kalo ada dua tempat tahlilannya, jadi dibagi dua waktu. 5. Jenis konsumsi yang disajiin apa aja tuh bang? Makanan ringan, kaya keripik pangsit, kacang, ada juga buahbuahan, melon, semangka, ama minumnya air mineral kemasan gelas dah. 6. Oh ya bang, kalo nilai postif dari tahlilan kaya gimana si? Ya itu, kita bisa saling mendo’akan dan turut berduka cita serta menghibur shohibul mushibah. 7. Terus kalo nilai negatifnya ada kaga bang?
Tidak ada, karena tahlilan sudah menjadi tradisi dan kesadaran bagi masyarakat desa Tegalangus. 8. Terakhir bang, kalo motivasi abang ikut tahlilan apa bang? Ikut serta dalam mendo’akan orang yang sudah meninggal dan nilai sosialnya yaitu silaturrahmi dan kebersamaan. Ditambah juga adanya ceramah agama, terutama pada malam pertama dan ketiga.
HASIL WAWANCARA DENGAN WARGA
A. Latar Belakang Informan Nama Umur Agama Pendidikan Profesi Tempat Hari dan tanggal
: Ahmad Nurmanik : 24 tahun : Islam : SMA : Staff (di salah satu perusahaan di Tangerang) : Rumah Informan : Sabtu, 21 Desember 2013
B. Berita Wawancara 1. Bang, menurut abang tahlilan itu apa si? Kumpulan di rumah orang yang meninggal yang ditujuannya mendo’akan yang meninggal tersebut 2. Kalo tujuan abang sendiri ikut tahlilan apa bang? Supaya nanti pas saya meninggal ada yang mau do’ain dan tahlilin saya. 3. Kalo ada tahlilan abang selalu ikut atau gimana? Kalo ga bentrok ama jadwal kerja saya ikut. 4. Kapan dan jam berapa si bang tahlilan dimulainya? Abis mayit dikubur, jamnya abis sholat ‘isya. 5. Kalo konsumsi yang disediain apa aja tuh bang? Ada kue pisang, kuping gajah, kacang, semangka, salak, rambutan, air aqua pastinya. 6. Terus bang, apa si nilai positif dari tradisi tahlilan buat masyarakat? Bisa kumpul ama tetangga dan bisa dengerin ceramah agama, kalo malam ketiga ama ketujuh kan kadang ada ceramahnya. 7. Kalo nilai negatifnya bang? Yang saya liat si, kadang warga suka maksain buat membeli suguhan untuk jama’ah meskipun harus pinjam uang. Padahal mah tetangga juga dah pada bantuin, ada yang bawa kue, buah, kopi buat disajian pas malam tahlilan. 8. Kalo motivasi abang ikut tahlilan apa bang?
Ngedo’ain yang meninggal ama ngehibur yang ditinggalin, supaya rame aja gitu.
HASIL WAWANCARA DENGAN TOKOH MASYARAKAT
A. Latar Belakang Informan Nama Umur Agama Pendidikan Profesi Tempat Hari dan tanggal
: Ahmad Yuarsa, S.Ag. : 41 tahun : Islam : Strata 1 : Guru : Rumah Informan : Sabtu, 21 Desember 2013
B. Berita Wawancara 1. Menurut ustadz, apa si yang dimaksud dengan tahlilan? Berdo’a untuk orang yang telah meninggal dunia dengan tata cara sebagaimana telah ditentukan oleh ‘ulama terdahulu. 2. Kalo yang menjadi tujuan ustadz mengikuti tahlilan apa si? Untuk mendekatkan diri kepada Allah, mendo’akan arwah-arwah orang muslim dan muslimah yang telah meninggal dunia semoga diampuni segala kesalahannya dan menjadi sarana untuk sulaturahim untuk memperkuat tali persaudaraan. 3. Ustadz selalu ikut tahlilan? Iya. 4. Biasanya kapan dan jam berapa tahlilan dimulai ustadz? Kalo
di
Tegalangus
si
tahlilan
itungannya
setelah
jenazah
dikebumikan, tapi kaga langsung-langsung amat, misalnya ni, kalo dikuburnya pagi, siang atau sore hari senin, berarti tahlilnya hari senin abis ‘isya. Kalo dikuburnya malem abis maghrib atau abis ‘isya, berarti ditahlilinnya besok malem abis ‘isya. 5. Kalau konsumsi yang disajikan apa aja ustadz? Macem-macem, ya umumnya si kacang, kuping gajah, ada juga melon, semangka, kue pisang, kue talam. 6. Kalo fungsi tahlilan bagi masyarakat apa si ustadz?
Sebagai nasihat atau pelajaran bahwa kita juga bakal meninggal. Selain itu tahlilan juga berfungsi untuk membiasakan masyarakat untuk berdzikir. 7. Kalo dalil tentang tahlilan ada ga si ustadz? Lupa saya, lewat saja lah yang ini. 8. Menurut ustadz apakah tradisi tahlilan ada nilai postifnya bagi masyarakat desa Tegalangus? Ya, pasti ada. 9. Kalo nilai negatifnya ustadz? Tidak ada 10. Yang terakhir pak, motivasi ustadz mengikuti tahlilan? a. Mendo’akan yang meninggal b. Bersilaturrahmi dengan tetangga. c. Karena rasa tidak enak
HASIL WAWANCARA DENGAN TOKOH MASYARAKAT
A. Latar Belakang Informan Nama Umur Agama Pendidikan Profesi Tempat Hari dan tanggal
: Achmad Zamroni, SE : 34 tahun : Islam : Strata 1 : Guru (Kepala Sekolah) : Rumah Informan : Sabtu, 21 Desember 2013
B. Berita Wawancara 1. Menurut bapak, apa si yang dimaksud dengan tahlilan? Tradisi masyarakat muslim dalam rangka mendo’akan mereka yang telah meninggal secara bersama-sama. 2. Terus pak, apa si yang menjadi tujuan bapak mengikuti tahlilan? Mendo’akan yang meninggal, memberi dukungan terhadap keluarga yang ditinggalkan dan bentuk kebersamaan. 3. Bapak selalu ikut tahlilan? Kadang-kadang 4. Biasanya kapan dan jam berapa tahlilan dimulai pak? Yang jelas setelah jenazah dikebumikan, tepatnya setelah sholat ‘isya, mengenai jam disesuaikan dengan waktu sholat ‘isya. 5. Kalo konsumsi yang disajiin apa aj ya pak? Ada makanan ringan, kaya kacang, kuping gajah. Ada juga buahbuahan, tergantung musimnya si, tapi yang lumrah itu semangka. Minumnya air aqua gelas ama kopi. 6. Kalo fungsi tahlilan bagi masyarakat apa si pak? Menggugurkan rasa tidak enak kepada keluarga yang meninggal, ada juga sebagian yang memang murni mendo’akan orang yang meninggal. 7. Kalo dalil tentang tahlilan ada ga si pak? Yang ini lewat saja ya.
8. Menurut bapak apakah tradisi tahlilan ada nilai postifnya bagi masyarakat desa Tegalangus? Sejauh ini masih positif, karena masih terdapat jama’ah tahlil yang benar-benar mendo’akan orang yang telah meninggal. 9. Kalo nilai negatifnya pak? Ada, diantaranya: a. Jamaah tahlil lebih banyak yang hanya sekedar hadir. b. Keluarga yang meninggal seakan diberatkan oleh kebiasaan menyuguhkan aneka hidangan untuk jama’ah tahlil. c. Tahlilan acap kali menjadi ranah politik, banyak yang menjual tahlilan untuk kepentingan politik. 10. Yang terakhir pak, motivasi bapak mengikuti tahlilan? a. Mendo’akan yang meninggal b. Karena rasa tidak enak
HASIL WAWANCARA DENGAN WARGA
A. Latar Belakang Informan Nama Umur Agama Pendidikan Profesi Tempat Hari dan tanggal
: Abdillah : 26 tahun : Islam : SMA : Staff (di salah satu perusahaan di Tangerang) : Rumah Informan : Senin, 23 Desember 2013
B. Berita Wawancara 1. Bang, menurut abang tahlilan itu apa si? Kumpulan di rumah orang yang meninggal yang ditujuannya mendo’akan yang meninggal tersebut 2. Kalo tujuan abang sendiri ikut tahlilan apa bang? Supaya nanti pas saya meninggal ada yang mau do’ain dan tahlilin saya. 3. Kalo ada tahlilan abang selalu ikut atau gimana? Kalo ga bentrok ama jadwal kerja saya ikut. 4. Kapan dan jam berapa si bang tahlilan dimulainya? Biasanya si abis sholat ‘isya, tapi ada juga yang abis maghrib. 5. Kalo konsumsi yang disediain apa aja tuh bang? Ada kue pisang, kuping gajah, kacang, semangka, salak, rambutan, air aqua pastinya. 6. Terus bang, apa si nilai positif dari tradisi tahlilan buat masyarakat? Bisa kumpul ama tetangga dan bisa dengerin ceramah agama, kalo malam ketiga ama ketujuh kan kadang ada ceramahnya. Terus warga juga pada peduli terhadap yang kena musibah, ada yang ngasih kopi, gula, makanan, aqua, intinya ada kepedulian satu sama lain gara-gara ada tahlilan. 7. Kalo nilai negatifnya bang? Yang saya liat si, kadang warga suka maksain buat membeli suguhan untuk jama’ah meskipun harus pinjam uang. Padahal mah tetangga
juga dah pada bantuin, ada yang bawa kue, buah, kopi buat disajian pas malam tahlilan. 8. Kalo motivasi abang ikut tahlilan apa bang? Ngedo’ain yang meninggal ama ngehibur yang ditinggalin, supaya rame aja gitu.
HASIL WAWANCARA DENGAN WARGA
A. Latar Belakang Informan Nama Umur Agama Pendidikan Profesi Tempat Hari dan tanggal
: Aman : 43 tahun : Islam : SMP : Wirausaha : Tempat Usaha Informan (Warung Makan Padang) : Senin, 23 Desember 2013
B. Berita Wawancara 1. Pak, menurut bapak tahlilan itu apa si? Kumpulan di rumah orang yang meninggal yang ditujuannya mendo’akan yang meninggal tersebut 2. Kalo tujuan bapak sendiri ikut tahlilan apa bang? Supaya nanti pas saya meninggal ada yang mau do’ain dan tahlilin saya. 3. Kalo ada tahlilan bapak selalu ikut atau gimana? Sering ikut. 4. Jam berapa si pak tahlilan dimulainya? Biasanya si abis sholat ‘isya, tapi ada juga yang abis maghrib. 5. Kalo konsumsi yang disediain apa aja tuh pak? Ada kue pisang, kuping gajah, kacang, semangka, salak, rambutan, duku, pisang, air aqua.. 6. Terus pak, apa si nilai positif dari tradisi tahlilan buat masyarakat? Pengajian lewat ceramah agama, kumpul-kumpul ama tetangga. 7. Kalo nilai negatifnya pak? Apa ya, kaga tau saya. 8. Kalo motivasi bapak ikut tahlilan apa pak? Ngedo’ain yang meninggal ama ngehibur yang ditinggalin, supaya rame aja gitu.
HASIL WAWANCARA DENGAN WARGA
A. Latar Belakang Informan Nama Umur Agama Pendidikan Profesi Tempat Hari dan tanggal
: Agus Subhan, S.Fil : 39 tahun : Islam : Strata 1 : Guru : Rumah Informan : Sabtu, 21 Desember 2013
B. Berita Wawancara 1. Menurut bapak apa si yang dimaksud dengan tahlilan? Kegiatan membaca kalimat thoyyibah baik sendiri-sendiri maupun berjama’ah.. 2. Apa si yang menjadi tujuan bapak mengikuti tahlilan? Taqorrub dengan dzikir atau wiridan. 3. Apakah bapak selalu mengikuti tahlilan? Ya, kalau yang meninggal saya kenal atau keluarga orang yang saya kenal. 4. Emang biasanya tahlilan dimulainya kapan dan jam berapa si pak? Setelah jenazah dikebumikan, jamnya si setelah ‘isya pokoknya. 5. Kalo konsumsi yang disediain apa aja pak? Banyak, yang sering si kacang, keripik pangsit, semangka, melon, duku, air aqua gelas ama kopi deh. 6. Kalau nilai positif dari tahlilan buat masayarakat apa ya pak? Menjaga silaturrahmi dan memperkuat moral. 7. Kalo nilai negatifnya pak? Mungkin jadi ada riya. 8. Terakhir ni pak, motivasi bapak mengikuti tahlilan apa ya? Di samping beribadah, juga untuk bisa bermasyarakat.
HASIL WAWANCARA DENGAN WARGA
A. Latar Belakang Informan Nama Umur Agama Pendidikan Profesi Tempat Hari dan tanggal
: Muhammad Dahlan Kurnia, S.Kom : 30 tahun : Islam : Strata 1 : Wirausaha : Toko (Tempat Usaha) Informan : Minggu, 22 Desember 2013
B. Berita Wawancara 1. Bang, menurut apa abang tahlilan itu apa si? Tahlilan itu ritual yang dilakukan banyak orang buat ngedo’ain tetangga atau kerabat yang meninggal dunia. 2. Kalo tujuan abang sendiri ikut tahlilan apa bang? Yang intinya si ikut do’ain sambil sekalian kumpul-kumpul ama tetangga, kan jarang-jarang kumpul ama tetangga, sehari-hari kan pada sibuk ama kerjaan masing-masing. 3. Kalo ada tahlilan abang selalu ikut atau gimana? Sekali dua kali mah ikut. 4. Jam berapa si bang tahlilan dimulainya? Abis ‘isya biasanya. 5. Kalo minuman ama makanan yang disediain apa aja bang? Ada buah, kaya semangka. Ada kue basah, kaya kue pisang. Ada yang garing-garing, kaya kacang, keriping pangsit, kuping gajah. Terus ama air aqua gelas. 6. Terus bang, apa si nilai positif dari tradisi tahlilan buat masyarakat? Banyak, ada silaturrahmi, terus ada nilai pengetahuan agamanya juga (ceramah agama). 7. Kalo nilai negatifnya bang? Apa ya, kaga ada kayanya. 8. Kalo motivasi abang ikut tahlilan apa bang?
Lah, kita kan bakalan meninggal juga, kalo kata orang tua ni, hukum karma pasti berlaku, kalo saya kaga ikut tahlil terus pas saya meninggal kaga ada yang nahlilin kan ribet juga. Tapi terkadang ada juga si yang motivasinya cuma pengen dapet berkat, makanya ga heran lagi kalau malam ketiga dan ketujuh pasti jumlah jama’ahnya lebih banyak.
HASIL WAWANCARA DENGAN WARGA
A. Latar Belakang Informan Nama Umur Agama Pendidikan Profesi Tempat Hari dan tanggal
: Muhammad Syahdan Munawir, S.Kom : 30 tahun : Islam : Strata 1 : Guru : Rumah Informan : Minggu, 22 Desember 2013
B. Berita Wawancara 1. Bang, menurut abang tahlilan itu apa si? Kegiatan yang sudah menjadi tradisi bagi mayoritas muslim Indonesia dengan tujuan mendo’akan orang yang telah meninggal. 2. Kalo tujuan abang sendiri ikut tahlilan apa bang? Yang intinya si ikut do’ain sambil sekalian kumpul-kumpul ama tetangga, kan jarang-jarang kumpul ama tetangga, sehari-hari kan pada sibuk ama kerjaan masing-masing. 3. Kalo ada tahlilan abang selalu ikut atau gimana? Ikut tapi kadang-kadang. 4. Jam berapa si bang tahlilan dimulainya? Abis ‘isya biasanya. 5. Kalo makanan ama minuman yang disajiin apa aja bang? Buahan, semangka, melon, duku, rambutan, salak. Kue pisang, kue talam. Kacang, keripik, kuping gajah, telur gabus ama air aqua ukuran gelas. 6. Terus bang, apa si nilai positif dari tradisi tahlilan buat masyarakat? Misalnya itu kalo malam ketiga atau ketujuh kan suka ada ceramah agama, kalo menurut saya si itu salah satu nilai positifnya, dari ceramah yang kita dengerkan bisa nambah pengetahuan agama kita, terutama tentang kematian. 7. Kalo nilai negatifnya bang? Waduh, apa ya, lewat aja dah yang inimah.
8. Kalo motivasi abang ikut tahlilan apa bang? Ga enak aja kalo ga tahlilan. Karena kan kita juga bakalan ditahlilin nanti.
HASIL WAWANCARA DENGAN WARGA
A. Latar Belakang Informan Nama Umur Agama Pendidikan Profesi Tempat Hari dan tanggal
: Muhammad Sofyan : 25 tahun : Islam : SMA : Staff (di salah satu perusahaan di Tangerang) : Rumah Informan : Minggu, 22 Desember 2013
B. Berita Wawancara 1. Bang, menurut abang tahlilan itu apa si? Kegiatan yang tujuan ngirimin do’a buat orang yang meninggal yang dilakukan barengan di rumah yang meninggal tersebut. 2. Kalo tujuan abang sendiri ikut tahlilan apa bang? Ngirimin do’a. 3. Kalo ada tahlilan abang selalu ikut atau gimana? Kalo ga bentrok ama jadwal kerja saya ikut. 4. Jam berapa si bang tahlilan dimulainya? Biasanya si abis sholat ‘isya. 5. Kalo konsumsinya bang apa aja? Ada kacang, kuping gajah, telur gabus, semangka, melon, duku, kue talam, air aqua. 6. Terus bang, apa si nilai positif dari tradisi tahlilan buat masyarakat? Salah satunya yang saya tau itu ada ceramah agamanya setiap malam ketiga dan ketujuh. 7. Kalo nilai negatifnya bang? Menurut saya si kaga ada. 8. Kalo motivasi abang ikut tahlilan apa bang? Ga enak aja kalo ga tahlil.
HASIL WAWANCARA DENGAN TOKOH MASYARAKAT
A. Latar Belakang Informan Nama Umur Agama Pendidikan Profesi Tempat Hari dan tanggal
: Sarip Hidayatulloh, M.Pd : 38 tahun : Islam : Strata 2 : Guru (Kepala Sekolah) : Rumah Informan : Minggu, 22 Desember 2013
B. Berita Wawancara 1. Menurut bapak, apa si yang dimaksud dengan tahlilan? Kegiatan yang sudah menjadi tradisi Islam Indonesia yang bertujuan mendo’akan orang yang sudah meninggal dunia. 2. Terus pak, apa si yang menjadi tujuan bapak mengikuti tahlilan? Sesuai dengan tujuan dari tahlilan tersebut, yaitu mendo’akan orang yang sudah meninggal. 3. Bapak selalu ikut tahlilan? Tidak selalu si, tapi sering juga, lebih-lebih kalau yang meninggalnya saya kenal, baik dengan keluarganya atau dengan yang meninggalnya. Yah, tiga sampai empat hari lah dari tujuh hari tahlilan. Biasanya si malam pertama, ketiga dan ketujuh. 4. Biasanya kapan dan jam berapa si pak tahlilan dimulai? Setelah jenzah dikubur, tepatnya ba’da ‘isya. Tapi ada juga yang ba’da maghrib, kalo tahlilannya di dua tempat. 5. Kalau jenis makanan yang disajikan pak? Beragam, ada buah-buahan, ada kue-kue basah, ada yang garinggaring. 6. Kalo fungsi tahlilan bagi masyarakat apa si pak? Awalnya si hanya sebatas untuk mendo’akan orang yang meninggal, tapi seiring berjalannya waktu fungsi tahlilan tidak sebatas itu saja. Misalnya, tahlilan berfungsi sebagai suatu wadah atau tempat bagi masyarakat untuk bersilaturrahmi.
7. Kalo dalil tentang tahlilan ada ga si pak? Jadi begini, secara bahasa kan tahlilan itu pengertiannya membaca lafadz Laa Ilaha Illallah, sedangkan keutamaan bagi orang yang membaca lafadz tersebut sangatlah banyak. Contoh, dalam kitab Tanqihul Qoul karangan Syekh Nawawi Tanahara Banten ada hadits Qudsi yang artinya: Allah berkata, lafadz Laa Ilaha Illallah adalah kalam-Ku, dan Aku adalah Allah, siapa yang membacanya maka ia masuk benteng-Ku, dan siapa yang masuk benteng-Ku maka ia aman dari siksa-Ku. Cukup satu saja ya. 8. Menurut bapak apakah tradisi tahlilan ada nilai postifnya bagi masyarakat desa Tegalangus? Banyak, ada silturahminya, ada solidaritas sosialnya, ada pengetahuan agamanya. 9. Kalo nilai negatifnya pak? Ada, tapi lebih banyak positifnya. Negatifnya itu kalo ada keluarga yang tidak mampu dan salah satu anggota keluarganya ada yang meninggal, mereka sampai memaksakan menyuguhkan hidangan untuk tahlilan meskipun harus pinjam sana-sini. Padahal, masyarakat bakal tetap hadir ko tanpa ada hidangan sekalipun, ya memang tidak sebanyak biasanya. Tapi kan yang terpenting do’anya bukan jumlah yang hadirnya. Terus juga, banyak orang yang manfa’atin tahlilan buat kepentingan politik, sehingga membuat tahlilan seperti jadi lahan politik bagi orang-orang yeng punya kepentingan. 10. Yang terakhir pak, apa motivasi bapak mengikuti tahlilan? Kalau dari dalam diri si motivasinya mendo’akan yang meninggal dan rasa tidak enak jika tidak hadir. Kalo secara eksternalnya si, misalnya yang meninggalnya saya kenal, baik dengan yang meninggal atau dengan salah satu anggota keluarganya atau yang meninggalnya seorang tokoh agama (kiai). Terus juga karena ada ceramah agama, maka dari itu say amah sering hadir pas malam ketiga dan ketujuh.
HASIL WAWANCARA DENGAN TOKOH MASYARAKAT
A. Latar Belakang Informan Nama Umur Agama Pendidikan Profesi Tempat Hari dan tanggal
: Ikhwan Muhtarip, S.Pd.I : 39 tahun : Islam : Strata 1 : Guru : Rumah Informan : Minggu, 22 Desember 2013
B. Berita Wawancara 1. Menurut ustadz, apa si yang dimaksud dengan tahlilan? Umumnya acara tahlilan itu diadakan mengiringi hari kematian seorang muslim dengan mendo’akannya melalui bacaan al-Qur’an, tahlil, sholawat dan sebagainya. 2. Kalau tujuan ustadz sendiri mengikuti tahlilan apa ya ustadz? Taqorruban Ilallah (Ngarep barokah Allah) dengan mendo’akan sesama muslim. 3. Kalau ustadz sendiri apa selalu ikut tahlilan? Kalau ada waktu kosong pasti ikut. 4. Biasanya kapan dan jam berapa tahlilan dimulai ustadz? Ba’da ‘isya. Tapi setalah jenazah dikuburkan. 5. Kalau jenis konsumsi yang disajikan ustadz? Ada kacang, ada kuping gajah, ada keripik pangsit, ada telor gabus, ada kue pisang, ada semangka, melon, duku, rambutan, air aqua, kopi. 6. Terus ustadz, kalo fungsi tahlilan bagi masyarakat apa si? Bisa berfungsi sebagai penyambung tali silaturahim diantara kerabat, tetangga, saudara dan masayarakat sekitar. Disamping intinya mendo’akan almarhum/almarhumah. 7. Kalo dalil tentang tahlilan ada ga si ustadz? Secara tekstual tidak ada nash al-Qur’an maupun hadits yang memerintahkan acara tahlilan, tetapi secara tradisi, tahlilan tidak bertentangan dengan ayat atau pun hadits.
8. Menurut ustadz apakah tradisi tahlilan ada nilai postifnya bagi masyarakat desa Tegalangus? Sudah pasti ada nilai-nilai positif di dalamnya, bagaimana kita bisa menolong, menghibur orang yang tertimpa musibah. 9. Kalo nilai negatifnya ustadz? Ya walaupun ada itu hanya sebatas cara pandang atau pemahaman individu yang keliru mengenai tahlilan. 10. Yang terakhir nih ustadz, apa si motivasi ustadz mengikuti tahlilan? Kalo saya pribadi beragam si, dari mulai benar-benar mau ngedo’ain sesama muslim, pengen silaturrahmi ama tetangga sampe karena kaga enak ama tetangga.
Pedoman Studi Dokumentasi No 1
Jenis Data Jadwal tahlilan
Sumber Data Majelis ‘Ulama Indonesia (MUI) desa Tegalangus
2
Panduan tahlilan
Tokoh agama masyarakat desa Tegalangus (Ust. Ikhwan Muhtarip)
3
Foto-foto kegiatan tahlilan di
Masjid Hidayaturrohman, mushola
masjid, mushola dan di
Al-Hilal dan rumah almarhumah Ibu
masyarakat
Darpiah
4
Profil desa Tegalangus
Kantor desa Tegalangus
5
Surat pengantar penelitian
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
6
Surat keterangan telah
Kepala desa Tegalangus (Bapak
melakukan penelitian
Muhammad Jabal Nur)
MAJELIS ULAMA INDONESIA
DESA TEGALANGUS Sekretariat: Jl. Raya Tanjung Pasir Km. 2,5 Ds.Tegalangus Kec.Teluknaga Kab.Tangerang 15510
JADWAL PENGAJIAN DI DESA TEGALANGUS A. Pengajian Laki-laki
No
Tempat
Pimpinan
Alamat Tempat Suka Maju
Waktu
1.
Mushola Al-Amanah
KH. Ubaidilah, S.Ag
2.
Masjid Hidayaturrohman
Ust. Ikhwan Muhtarip, S.Pd.I Pondok Bahagia Malam Sabtu
3.
Masjid Al-Istiqomah
Ust. H. M. Bisri Asmawi
Pondok Karya
Malam Senin
Malam Senin
B. Pengajian Ibu-ibu No
Tempat
Pimpinan
Alamat Tempat
Waktu
1.
Mushola Qiyamul Lail
Ustadzah Wiwi Mujdatul Lailah
Pondok Bahagia
Rabu Pagi
2.
Mushola Al-Hilal
Ustadzah Siti Afifah
Pondok Bahagia
Kamis Pagi
3.
Mushola Nurul Jannah
Ustadzah Hj. Alwanah
Pondok Karya
Jum’at Pagi
4.
Mushola Al-Kautsar
Ustadzah Usniyah
Pondok Karya
Sabtu Pagi
5.
Mushola Al-Ikhlas
Ustadzah Saroh
Pondok Makmur
Sabtu Pagi
C. Kegiatan Pengajian Sebelum pengajian dimulai, biasanya jama’ah pengajian baik itu laki-laki atau perempuan (ibuibu) terlebih dahulu membaca tahlil, tasbih, sholawat yang disambung dengan pembacaan surat Yasin. Kitab yang dikaji pun beragam, dari mulai pembahasan tentang fiqih, tauhid sampai motivasi untuk meningkatkan ibadah kepada Allah. Diantara kitab yang dibahas adalah, Kitab Fathul Mu’in karangan Syekh Zainudin Al-Malibar, Kitab Tanqihul Qoul karangan Syekh Nawawi Tanahara Banten, kitab Riyadhus Sholikhin, Durratun Nasihin dan lain-lain.
PROFIL DESA TEGALANGUS KECAMATAN TELUKNAGA KABUPATEN TANGERANG BANTEN A. Kondisi Fisik dan Sosial Daerah Penelitian 1. Gambaran Umum Wilayah Desa Tegalangus adalah salah satu desa yang masuk wilayah kecamatan Teluknaga kabupaten Tangerang, Banten. Desa Tegalangus memiliki batas wilayah sebagai berikut: a. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Tanjung Burung b. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Kampung Besar c. Sebelah Utara berbatasan dengan desa Tanjung Pasir d. Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Pangkalan Jarak desa Tegalangus dari pusat pemerintahan kecamatan sekitar 5 km, sedangkan jarak dari ibu kota kabupaten berjarak 19 km. Secara administrasi, desa Tegalangus terbagi ke dalam 7 (tujuh) wilayah kemandoran atau kampung yaitu: Kampung Pondok Bahagia, Pondok Makmur, Pondok Indah, Pondok Karya, Suka Tani, Suka Jaya dan Suka Maju. Total jumlah Rukun Warga (RW) di desa Tegalangus adalah 7 RW dan 21 RT.
2. Kondisi Demografi Jumlah penduduk desa Tegalangus tercatat sebanyak 8.412 orang/jiwa, laki-laki 4.485 jiwa dan perempuan 3.927 jiwa atau sekitar 1.956 Kepala Keluarga / KK. Jumlah penduduk ini makin lama makin bertambah. Tingkat kemiskinan di desa Tegalangus tergolong cukup tinggi. Terihat dari banyaknya warga yang menerima raskin. Namun jika dilihat dari rata-rata pendapatan penduduk per rumah tangga antara Rp. 30.000,- sampai Rp 150.000,- per hari atau Rp. 1.500.000,- sampai Rp.
Profil Desa Tegalangus 2013-2018
2.250.000,- per bulan, masyarakat desa Tegalangus tergolong tinggi tingkat perekonomiannya. Dilihat dari aspek pendidikan, sebagian besar hanya tamatan SD dan sederajat bahkan ada yang tidak tamat SD dan tidak sekolah. Tetapi seiring dengan berdirinya beberapa sarana pendidikan berbagai jenjang di desa Tegalangus, masyarakat Tegalangus sekarang tidak sedikit yang tamatan SMA dan sederajat bahkan ada yang tamat perguruan tinggi. Komposisi penduduk di desa Tegalangus tercatat sebagai berikut: Tabel 4.1. Komposisi Penduduk berdasarkan RW/RT Rukun
Rukun Tetangga
Jumlah
Jumlah
Jumlah Kepala
Warga (RW)
(RT)
Penduduk (Lk)
Penduduk (Pr)
Keluarga
001
01
167
163
88
02
242
248
120
03
242
244
146
01
173
151
78
02
150
144
70
03
169
123
73
04
256
213
81
01
172
146
70
02
202
217
87
03
265
232
77
01
193
143
72
02
256
213
81
01
217
183
89
02
300
278
138
03
240
216
113
04
157
121
67
01
234
238
112
002
003
004
005
006
Profil Desa Tegalangus 2013-2018
007
02
217
188
121
03
160
150
76
01
216
184
90
02
197
132
107
4.485
3.927
1.956
Jumlah Jumlah Penduduk
8.412
-
3. Sejarah Pemerintahan Dalam rentang waktu 46 tahun, tepatnya sejak tahun 1967-2013 desa Tegalangus sudah mengalami tujuh kali pergantian kepala desa (lurah). Sebelum tahun 2002 setiap kepala desa memiliki masa bakti selama 8 tahun, tetapi mulai tahun 2002 setiap kepala desa memiliki masa bakti 10 tahun. Setiap kepala desa dipilih berdasarkan pemilihan langsung oleh masyarakat yang disebut dengan Pilkades (Pemilihan kepala desa). Pada tahun 2002, H. Hermawan Atmadja terpilih sebagai kepala desa Tegalangus setelah memiliki suara terbanyak pada Pilkades tahun 2002. Beliau menjabat selama 2 periode (10 tahun masa bakti) ditambah dengan perpanjangan masa bakti 1 tahun menjadi 11 tahun masa bakti. Berikut nama-nama kepala desa Tegalangus terhitung mulai tahun 1967: Tabel 4.2. Nama-nama Kepala Desa Tegalangus No.
Nama Kepala Desa
Masa Bakti
1.
H. Jaya Atmadja
1967 - 1975
2.
H. Muhammad Deris
1975 - 1983
3.
Ali Udin Nur
1983 - 1986
4.
Uun Masuni
1986 - 1994
5.
Ali Udin Nur
1994 - 2002
6.
H. Hermawan Atmadja, S.Sos
2002 - 2013
7.
Muhammad Jabal Nur
2013 - sekarang
Profil Desa Tegalangus 2013-2018
Pada akhir masa bakti H. Muhammad Deris, desa Tegalangus mengalami pemekaran wilayah, yaitu wilayah Tanjung Pasir menjadi desa Tanjung Pasir. Dimana pada masa pemekaran tersebut desa Tegalangus dipimpin oleh Ali Udin Nur kurang lebih selama 3 tahun.
4. Sarana dan Prasarana a. Transportasi Desa Tegalangus dapat dicapai dengan kendaraan umum dalam bentuk ojeg motor dan angkutan umum. Angkutan umum berangkat dari Kampung Melayu dengan jam pemberangkatan tertentu dengan tujuan akhir Pantai Tanjung Pasir. Untuk menuju desa Tegalangus dari arah Kampung Melayu maka akan melewati salah satu sisi bandara Soekarno Hatta dengan akses jalan yang relatif mudah namun pada jam tertentu mengalami kemacetan akibat jam berangkat atau pulang karyawan PT di sekitar wilayah Kampung Melayu. Sarana jalan di desa Tegalangus tepatnya di kampung Pondok Bahagia, Pondok Indah, Suka Tani dan Suka Jaya umumnya berupa jalan aspal dengan kondisi yang masih cukup baik. Kondisi sarana akses transportasi dan jalan yang cukup baik tersebut menyebabkan mobilitas masyarakat desa Tegalangus maupun dari luar desa cukup mudah sehingga akses terhadap perkembangan informasi dan ekonomi bisa lebih baik. Sedangkan sarana jalan di kampung lainnya yaitu kampung Pondok Makmur, Pondok Karya dan Suka Maju umumnya sudah dapat dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat meskipun sarana jalan rata-rata masih menggunakan paving blok.
b. Kesehatan Akses terhadap sarana kesehatan di desa Tegalangus sebenarnya tergolong mudah. Tercatat ada bidan desa, mantri dan Puskesmas yang terletak berdekatan
Profil Desa Tegalangus 2013-2018
dengan kantor desa Tegalangus. Sehingga dari aspek kesehatan masyarakat desa Tegalangus tidak mengalami kesulitan jika sewaktu-waktu harus berobat.
c. Pendidikan Sarana pendidikan di desa Tegalangus saat ini cukup memadai. Tercatat ada 11 lembaga pendidikan yang tergolong dalam beberapa jenjang pendidikan dari mulai Taman Kanak-kanak (TK) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) serta 20 Tempat Pengembangan al-Qur’an (TPQ).
d. Peribadatan Masyarakat desa Tegalangus umumnya memeluk agama Islam, tetapi ada juga yang beragama Kristen dan Hindu. Tercatat ada 4 masjid, 19 musholla, 1 gereja dan 1 pura sebagai tempat atau sarana peribadatan bagi masyarakat desa Tegalangus. Berikut ini daftar secara rinci sarana dan prasarana yang dimiliki atau terdapat di desa Tegalangus: Tabel 4.3. Sarana dan Prasarana Sarana dan Prasarana
Jumlah
Masjid
4
Musholla
19
Gereja
1
Pura
1
MA TK
2
TPQ
20
SDN
2
SMPN/MTsN
3
SMP/MTs Swasta
3
SMAN/MA
1
Puskesmas
1
Profil Desa Tegalangus 2013-2018
Pembacaan Tahlil Sebelum Pengajian di Mushola Al-Hilal
Pembacaan Tahlil Sebelum Pengajian di Masjid Hidayaturrohman
Pelaksanaan Tahlilan di Masyarakat (Rumah Almarhumah Ibu Darpiah)