PENERAPAN DIVERSI DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA ANAK MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (Analisis Kasus Putusan Perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Salah SatuSyaratMemperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh : MUHAMMAD IQBAL FARHAN NIM : 1111043200017
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016M / 1437 H
PENERAPAN DIVERSI DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA ANAK MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (Analisis Kasus Putusan Perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Sebagai Salah SatuSyarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh: Muhammad Iqbal Farhan NIM: 1111043200017 Di bawahBimbingan: DosenPembimbing I
DosenPembimbing II
Dr.H.AsrorunNi’am, Lc.,MA. NIP: 19760531200003 1 001
Hj. Ummu Hana Yusuf Saumin,MA. NIP: 19610820 199603 2 001
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 M / 1437 H i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi ini berjudul PENERAPAN DIVERSI DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA ANAK MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (Analisis Kasus Putusan Perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG). Telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 11 Oktober 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Hukum Islam (S.H) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum dengan Konsentrasi Perbandingan Hukum. Jakarta, 11Oktober 2016 Mengesahkan, DekanFakultasSyariahdanHukum
Dr. AsepSaepudinJahar, MA NIP. 196912161996031001
PANITIA UJIAN Ketua
: Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si
(..............................)
NIP. 197412132003121002 Sekretaris
: Hj. Siti Hanna, S.Ag.,Lc, MA
(..............................)
NIP. 197402162008012013 Pembimbing I
: Dr. H. AsrorunNi’am, Lc.,MA
(..............................)
NIP. 19760531 200003 1 001 Pembimbing II : HJ. Ummu Hana Yusuf Saumin
(..............................)
NIP. 19610820 199603 2 001 Penguji I
: Dr. H. Nahrowi, SH, MH
(..............................)
NIP.19730215 199903 1 002 Penguji II
: DewiSukarti, MA
(..............................)
NIP. 19720817 200112 1 001
ii
LEMBAR PENYATAAN
Dengan ini saya menyatakan : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 03 Oktober 2016
MUHAMMAD IQBAL FARHAN
iii
ABSTRAK Muhammad Iqbal Farhan, 1111043200017. Penerapan Diversi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam. (Analisis Kasus Putusan Perkara Nomor:15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG). Perbandingan Hukum, Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Di bawah bimbingan Dr.H. Asrurun Ni’am, Lc.,MA dan Hj.Ummu Hana Yusuf Saumin.MA. Fenomena kenakalan remaja dan tindak pidana yang dilakukan anak setiap tahun semakin meningkat. Upaya pencegahan dan penanggulangan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia adalah dengan membentuk undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menerapkan restorative justice, termasuk diversi sebagai alternatif penyelesaian. Meski pada kenyataannya, sebagian masyarakat dan aparat penegak hukum cenderung selalu ingin menghukum anak yang berhadapan dengan hukum, sehingga banyak anak yang pada akhirnya dimasukkan ke dalam penjara. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis putusan Nomor:15/Pid.SusAnak/2014/PN.TNG menurut hukum positif dan hukum Islam. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundangundangan dan pendekatan kasus. Penulis menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan sekunder. Hasil penelitian ini bahwa pertama putusan yang dijatuhkan oleh hakim cukup adil bagi anak yaitu 8 bulan penjara sebagai upaya terakhir dalam penyelesaian permasalahan ini. Yang kedua, menurut hukum Islam pencurian yang dilakukan anak termasuk
pencurian kecil. Putusan yang diberikan kepada anak adalah hukuman ta’zir berupa penjara 8 bulan. Hukuman tersebut diberikan sebagai ta’dib agar anak menyesali perbuatannya dan diharapkan anak masih bisa membangun masa depan yang lebih baik. Kata kunci: Anak, Diversi, Putusan Nomor:15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG Pembimbing : Dr. H. Asrorun Ni’am, Lc.,MA. HJ. Ummu Hana Yusuf Saumin,MA. Daftar Pustaka : Tahun 1971 s/d 2014
iv
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan taufik serta hidayahnya. Sholawat serta salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Kemudahan dan pertolongan Allah SWT serta atas izinNya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Penerapan Diversi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Analisis Kasus Putusan Perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG).” Karya ini tidaklah dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan dari pihak-pihak terkait serta temanteman seperjuangan dalam memberikan ide dan wawasan serta waktu untuk berdiskusi. Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila penulis mengucapkan terimakasih sebagai bentuk penghargaan kepada: 1. Bapak Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc.,MA selaku Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Dr. H. Asrorun Ni’am, Lc.,MA selaku dosen Pembimbing I yang telah berkenan meluangkan waktu dan mencurahkan segala perhatiannya untuk
memberikan pengarahan dan perbaikan yang baik sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Ibu Hj. Ummu Hana Yusuf Saumin, MA selaku dosen Pembimbing II yang telah berkenan meluangkan waktu dan mencurahkan segala perhatiannya serta kesabarannya dalam memberikan pengarahan dan perbaikan yang baik sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 6. Ketua dan seluruh Staff Pengadilan Negeri Tangerang yang telah membantu memberikan informasi dan data yang diperlukan dalam proses penyusunan skripsi ini. 7. Pimpinan dan Staff Karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Pimpinan dan Staff Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah banyak membantu penulis dalam mencari buku dan referansi yang diperlukan. 8. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak mencurahkan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani pendidikan berlangsung. 9. Ayahanda tercinta Bapak Muhamad dan Ibunda tercinta Musenah yang telah banyak mendoakan dan memotivasi yang tak henti-hentinya kepada penulis sehingga skripsi ini selesai. 10. Adik-adik tersayang Elin Maelani dan Adinda Putri Nur Halizah.
11. Teman-teman
seperjuangan
yang
tidak
bisa
disebutkan
satu
persatu
Perbandingan Hukum angkatan 2011 yang selalu memberikan motivasi, semangat dan kenangan dalam menjalani masa pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga kita bisa sukses untuk kedepannya. Aamiin ya robb.
Mudah-mudahan bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah SWT. Akhirnya penulis berharap skripsi ini ada manfaatnya.Aamiin ya robb.
Jakarta, 03 Oktober 2016
Muhamad Iqbal Farhan
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL……………………………………………………….
i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING………………………………
i
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………
ii
LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………………
iii
ABSTRAK…………………………………………………………………...
iv
KATA PENGANTAR……………………………………………………….
v
DAFTAR ISI…………………………………………………………………
vi
BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah…………………………………………
1
B. IdentifikasiMasalah……………………………………………..
7
C. BatasandanRumusanMasalah………………………………….
7
D. TujuandanManfaatPenelitian…………………………………..
9
E. Tinjauan (Review) KajianTerdahulu……………………………
10
F. MetodePenelitian……………………………………………….
11
G. SistematikaPenulisan……………………………………………
14
BAB II TINJAUAN TENTANG DIVERSI MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. PengertianAnak…………………………………………………
16
B. PengertianTindakPidana……………………………………….
28
C. PengertianDiversi……………………………………………….
41
BAB III PUTUSAN HAKIM NOMOR 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG
vi
A. Duduk Perkara…………………………………………………..
57
B. Amar Putusan……………………………………………………
67
BAB IV ANALISIS PANDANGAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
TERHADAP
PUTUSAN
NOMOR
15/Pid.Sus-
Anak/2014/PN.TNG A. Analisis Pandangan Hukum Positif Terhadap Putusan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/PN.TNG………………………...……………
69
B. Analisis Pandangan Hukum Islam Terhadap Putusan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/PN.TNG………………………..…………….
75
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………………….
79
B. Saran……………………………………………………………
80
DAFTAR USTAKA……………………………………………………….. LAMPIRAN
vi
82
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak sebagai tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu, agar setiap anak kelak mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahtraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.1 Akhir-akhir ini harapan tersebut seperti dikandaskan oleh berbagai berita di media massa yang memuat tentang kenakalan remaja dan tindak pidana yang telah dilakukan oleh anak semakin meningkat. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi yang dilakukan oleh anak dirasakan telah meresahkan semua pihak khususnya orang tua. Fenomena meningkatnya perilaku tindak kekerasan yang dilakukan anak tidak sebanding lurus dengan usia pelaku.
1
M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Anak (UU-SPPA), (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm 8.
2
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum, yaitu: 1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap kejahatan, seperti; tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah. 2. Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.2 Berdasarkan hasil pemantauan KPAI anak berhadapan dengan hukum hingga april 2015 tercatat 6006 kasus.3 Kemudian catatan Komnas Perlindungan Anak, di tahun 2013, sekitar 5000 anak mendekam dipenjara dan ada yang sudah divonis melakukan tindak pidana.4 Sedangkan dari data statistik Polda Metro Jaya antara bulan Januari-Maret 2015 tercatat 14.918 kasus kenakalan remaja.5 Kemudian catatan yang disampaikan oleh Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Ditjen Pemasyarakatan Priyadi dalam konferensi pers di Aula Lapas Anak, Jalan Arcamanik, Selasa (4/8/2015), Priyadi mengatakan bahwa catatan kriminalitas di Indonesia pada tahun 2015, anak-anak yang berada di lingkungan rutan dan lapas jumlahnya 3.812 orang. Anak-anak yang dilakukan diversi sebanyak 5.229 orang, dan total ada sekitar 10 ribu termasuk mereka yang 2
M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Anak (UU-SPPA), hlm 33. 3 http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahunmeningkat/. Diakses pada 16 Oktober 2016. 4 http://Metro.sindonews.com/read/910410/31/5-000-anak-mendekam-di-penjara1412957017. diakses pada 21 Agustus 2015. 5 http://reskrimun.metro.polri.go.id/site/statistik. diakses pada 21 September 2015
3
sedang asimilasi, pembebasan bersyarat, dan cuti jelang bebas. Kebanyakan dari mereka terlibat dalam kasus narkoba, kesusilaan, dan pencurian.6 Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.7 Dewasa ini, upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak telah dilakukan oleh pemerintah. Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi HakHak Anak (Convention on the Right of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan
hukum
terhadap
anak,
berkewajiban
untuk
memberikan
perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. 8 Salah satu bentuk perlindungan anak oleh negara diwujudkan melalui sistem peradilan pidana khusus anak yang berhadapan dengan hukum. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
6
http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2015/08/04/337054/sepuluh-ribu-anakkini-berhadapan-dengan-hukum. diakses pada 21 September 2015. 7 Lihat Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan Tentang Rancangan UndangUndang Pengadilan Anak. 8 Lihat Konsideran Menimbang huruf C UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
4
Sistem pengadilan anak yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 telah diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak karena sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan Khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Terdapat perubahan yang fundamental dalam Undang-Undang tersebut, antara lain digunakannya pendekatan restorative justice melalui sistem diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigma negatif
terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum dan si anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Restorative Justice adalah penyelesian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga korban/pelaku, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesain yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Sedangkan diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana.9 Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi bertujuan mencapai perdamain antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan, menghindarkan anak dari
9
Pasal 1 ayat (6 dan 7) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
5
perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.10 Dalam Pasal 7 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan bahwa: Ayat (1) “Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib di upayakan diversi”. Ayat (2) “Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: 1. Diancam dengan pidana penjara dibawah 7(tujuh) tahun; dan 2. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana”.11 Oleh karena itu penerapan diversi merupakan suatu kewajiban, maka menjadi penting bagi pejabat penegak hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan untuk benar-benar memahami bagaimana mekanisme penerapan diversi tersebut. Atas dasar itu, kemudian Mahkamah Agung merespon UU Sistem Peradilan Pidana Anak dengan menerbitkan PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. PERMA ini memuat tata cara pelaksanaan diversi yang menjadi pegangan hakim dalam penyelesaian pidana anak mengingat belum ada regulasi yang memuat hukum acara khusus diversi Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam hukum Islam, dikenal adanya proses penyelesaian sengketa melalui perdamaian yang disebut dengan
al-sulh. Secara bahasa, al-sulh berarti
menyelesaikan perkara atau pertengkaran. Sayyid Sabiq memberikan pengertian 10
Lihat Pasal 6 undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak. 11
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
6
al-sulh dengan akad yang mengakhiri persengketaan antara dua pihak.12Islam menganjurkan pihak yang bersengketa menempuh jalur damai, baik didepan pengadilan maupun diluar pengadilan. Al-sulh memberikan kesempatan para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam penyelesaikan sengketa. Meskipun UU SPPA telah diberlakukan per 1 Agustus 2014, keinginan besar untuk selalu menghukum pelaku kejahatan dengan hukuman penjara bukan saja membuat penjara penuh, tetapi juga menghambat penerapan restorative justice. Seperti kasus pencurian sepeda motor yang dilakukan anak dibawah umur yaitu Mohammad Abdul Faisal Bin Sarmaya 17 (tujuh belas) tahun yang terjadi di Kp. Bolang RT 004/001 Ds. Sukasari Kec, Rajeg Kab. Tangerang. Bahwa sebelum sampai ke persidangan korban dan anak telah ada perdamaian, namun dalam putusannya, hakim memvonis terdakwa anak dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dengan dakwaan pencurian dengan pemberatan dan membawa senjata tanpa ijin dari yang berwenang. Prof. M Taufik Makarao, mengatakan kultur sebagian masyarakat Indonesia yang cenderung selalu ingin menghukum justru belum mendukung penerapan restorative justice, termasuk diversi. Padahal, menghukum pelaku anak dibawah umur apalagi mengirimnya ke penjara dalam waktu lama tak akan menyelesaikan sepenuhnya masalah yang dihadapi.13
12
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah juz 2 (Kairo: Dar al Fath,1990), hlm 201. http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt522ec06e6e632/kultur-menghukum--hambatanpenerapan-diversi. diakses pada 21 Agustus 2015. 13
7
Berdasarkan uraian permasalahan diatas, menjadi dorongan penulis untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul: “Penerapan Diversi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Analisis Kasus Putusan Perkara Nomor 15/Pid.SusAnak/2014/PN.TNG).” B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah dari penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang diversi? 2. Bagaimana pandangan Hukum Positif terhadap putusan perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG? 3. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap putusan perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG? 4. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat penerapan diversi dalam penyelesaian tindak pidana anak di Pengadilan Negeri Tangerang? 5. Apa dampak positifnya terhadap anak yang menyelesaikan tindak pidana dengan sistem diversi?
C. Batasan Masalah dan Rumusan Masalah Diversi merupakan wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana khususnya yang dilakukan oleh anak untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara, mengambil
8
tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya. Berdasarkan latar belakang tersebut, tema yang dibahas akan sangat luas apabila dipaparkan secara keseluruhan di dalam skripsi ini. Maka dari itu penulis membatasi pembahasan dalam skripsi ini, sebagai berikut: 1. Kajian: dalam skripsi ini penulis akan menjelaskan yang berkaitan dengan diversi, yaitu: a. Anak: di dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Anak disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana dan anak menurut hukum Islam. b. Tindak pidana: di dalam penulisan ini penulis akan menjelaskan apa itu tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, dan tindak pidana dalam hukum Islam. c. Diversi: di dalam penulisan ini penulis akan menjelaskan apa itu diversi, bagaimana penerapannya dan seperti apa pandangan hukum Islam tentang diversi. 2. Lokasi penelitian skripsi ini adalah Pengadilan Negeri Tangerang berdasarkan Surat Putusan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG. 3. Data yang diteliti dalam skripsi ini adalah UU SPPA yang mulai diberlakukan pada tahun 2014, PERMA No 4 Tahun 2014, Putusan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG yang dikeluarkan pada tahun 2014.
9
Untuk meneliti seluruh identifikasi masalah diatas memerlukan suatu usaha dari peneliti. Dengan keterbatasan kemampuan maka penelitian ini hanya akan dibatasi pada: 1. Bagaimana pandangan Hukum Positif terhadap putusan perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG? 2. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap putusan perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Untuk menjelaskan pandangan Hukum Positif terhadap putusan perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG. b. Untuk menjelaskan pandangan Hukum Islam terhadap putusan perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG. 2. Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini penulis mengharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya: a. Bagi Ilmu Pengetahuan Dapat
memberikan
sumbangan
pemikiran
terhadap
kemajuan perkembangan ilmu hukum yang menyangkut proses diversi dalam penyelesaian perkara pidana anak di Pengadilan Negeri.
10
b. Bagi Masyarakat Dapat memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat luas tentang proses diversi dalam penyelesaian perkara pidana anak di Pengadilan Negeri.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Dalam penelitian ini, penulis melakukan kajian terdahulu, beberapa hasil kajian yang kiranya berkaitan dengan judul dan tema yang penulis angkat untuk dijadikan penelitian. Dari beberapa hasil penelitian yang telah penulis baca maka ada beberapa yang penulis anggap bisa dijadikan review (kajian) antara lain:
1. Skripsi yang berjudul “Islam dan Keadilan Restoratif Pada Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum” yang ditulis oleh Ifah Latifah Fitriani.14 Skripsi ini menjelaskan adanya penerapan penyelesaian alternatif kasus anak melalui restorative justice, mengkaji restorative justice dalam persfektif hukum Islam, urgensi dan sisi-sisi maslahah keadilan restoratif dalam penyelesaian kasus pidana anak. 2. Skripsi yang berjudul “Konsep Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak Perfektif Hukum Islam (Studi Atas UU RI No. 11 tahun 2012 Tentang Sitem Peradilan Pidana Anak)”.15 Dalam skripsi ini membahas tentang diversi dalam UU SPPA, diversi dalam hukum 14
Ifah Latifah Fitriani, “Islam dan Keadilan Restoratif Pada Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum”, skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta (2012). 15 Mufidatul Mujubah, “Konsep Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak Persfektif Hukum Islam (Studi Atas UU RI No. 11 Tahun 2012 Tentang Sitem Peradilan Pidana Anak)”, skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta (2013).
11
Islam dan teori perdamain (al-sulh) sebagai perbandingannya. Yang membedakan dari skripsi yang akan penulis kaji adalah bagaimana penerapan diversi di pengadilan dengan adanya studi kasus putusan pengadilan.
Selain
menggunakan
UU
SPPA
penulis
juga
menggunakan PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. PERMA ini memuat tata cara pelaksanaan diversi yang menjadi pegangan hakim dalam penyelesaian pidana anak mengingat belum ada regulasi yang memuat hukum acara khusus diversi Sistem Peradilan Pidana Anak. 3. Skripsi yang berjudul “Analisis Kasus Putusan (Perkara Nomor 225/PID.B/2010/PN-BKL) Dalam Perspektif Restorative Justice”.16 Skripsi ini membahas bagaimana penerapan dan alasan apa saja restorative justice dapat diterapkan pada tindak pidan ringan menurut hukum positif dan hukum Islam.
F. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum. Penelitian hukum adalah menemukan kebenaran kohesi yaitu 16
Rani Putri Larasati, “Analisis Kasus Putusan (Perkara Nomor 225/PID.B/2010/PNBKL) Dalam Perspektif Restorative Justice”, skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta (2014).
12
adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hokum, serta apakah tindakan seseorang sesuai dengan norma hukum atau prinsip hokum.17 2. Pendekata Penelitian Keterkaitannya dengan penelitian normatif, pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum menurut Peter Mahmud Marzuki adalah sebagai berikut: a) pendekatan kasus, b) pendekatan perundangundangan, c) pendekatan historis, d) pendekatan perbandingan, dan e) pendekatan konseptual.18 Adapun pendekatan yang digunakan penulis dari beberapa pendekatan diatas adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang digunakan dengan menelaah undang-undang yang berkaitan dengan isu hokum yang ditangani. Pendekatan kasus adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 3. Sumber-sumber Penelitian a. Data Primer Merupakan bahan utama yang dijadikan pedoman dalam penelitian, terdiri dari: 17
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group: 2014), hlm. 47. 18 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, hlm. 133.
13
a) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak b) PERMA Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak c) Putusan Pengadilan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG b. Data Sekunder Kajian-kajian yang membahas tentang diversi yang terkait dengan pokok masalah diatas, juga didukung dengan data pelangkap seperti: a) Buku-buku b) Makalah Hukum c) Jurnal d) Artikel Ilmiah e) Arsip-arsip yang mendukung f) Publikasi dari lembaga terkait. 4. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan: a. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat atau penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaan berupa peraturan perundang-undangan, karya ilmiah para sarjana, dan laporan lembaga terkait.
14
b. Studi Dokumentasi adalah berupa putusan pengadilan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG
yang
diambil
langsung
di
pengadilan Negeri Tangerang. 5. Metode Analisis Penelitian ini menggunakan analisis deduktif, yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang bersifat khusus. Analisis dilakukan dengan melakukan telaah terhadap isu yang dihadapi dari putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap kemudian mengidentifikasi peraturan perundang-undangan, kemudian ditarik kesimpulan dari hasil analisis tersebut.
G. Sistematika Penulisan Agar penelitian ini dapat tersusun secara teratur dan berurutan sesuai apa yang hendak dituju dan dimaksud dengan judul diatas, maka dalam sub bab ini penulis akan membuat sistematika sebagai berikut: BAB I :
Merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, kerangka teori dan konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II :
Tinjauan tentang diversi menurut hukum positif dan hukum Islam yang memuat pengertian anak, tindak pidana dan diversi.
15
BAB III :
Putusan Hakim Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG a) Duduk Perkara, dan b) Amar Putusan
BAB IV :
Analisis Pandangan Hukum Positif dan Hukum Islam Terhadap Putusan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG
BAB V :
Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
16
BAB II TINJAUAN TENTANG DIVERSI DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA ANAK
A. Pengertian Anak 1. Anak menurut Undang-Undang di Indonesia Anak ditempatkan pada posisi yang mulia sebagai amanah Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki peran yang sangat startegis dalam menjamin eksistensi negara.1 Ditinjau dari aspek yuridis pengertian anak dimata hukum Positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa, orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur atau kerap juga disebut anak yang dibawah pengawasan wali.2 Pengertian anak dapat dikaji dari perspektif sosiologis, psikologis dan yuridis. Pengertian dari perspektif sosiologis diartikan kriteria dapat dikategorikan sebagai anak, bukan semata-mata didasarkan pada batas usia yang dimiliki seseorang, melainkan dipandang dari segi mampu tidaknya seseorang untuk hidup mandiri menurut pandangan social kemasyarakatan dimana ia berada. Perspektif psikologis, berarti pertumbuhan manusia mengalami fase-fase perkembangan kejiwaan yang masing-masing ditandai dengan cirri-ciri tertentu. Untuk menentukan kriteria seorang anak, disamping ditentukan atas batas usia, juga dapat dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang dialaminya. Perspektif yuridis berarti kedudukan seorang anak menimbulkan akibat hukum, dalam lapangan hukum keperdataan, akibat hukum terhadap kedudukan seorang anak menyangkut kepada persoalan hak dan kewajiban, seperti masalah kekuasaan orang tua, pengakuan sahnya anak, perwalian, pendewasaan, serta masalah pengankatan anak 1
M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Anak (UU-SPPA), (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm 9. 2 Dr. Lilik Mulyadi, Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2014), hlm. 1-2.
17
dan lain-lain.3 Dasar itulah yang dapat menentukan mengenai klasifikasi seorang anak, karena Indonesia sebagai negara hukum maka perlindungan terhadap anak harus dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Anak dalam pasal 1 butir 1 Undang-undang Perlindungan Anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.4 Dasar pertimbangan penentuan batas usia dalam UU ini mengacu kepada ketentuan dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990. Dalam definisi tersebut disebutkan bahwa anak juga termasuk mereka yang masih dalam kandungan. Hal ini dimaksud bahwa anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir apabila kepentingan anak memerlukan untuk itu, sebaliknya dianggap tidak pernah ada apabila anak meninggal pada waktu dilahirkan. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam hukum perdata, ketentuan belum dewasa adalah belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin5. Kemudian dalam Undang-undang Sistem Perlindungan Anak, batasan usia pertanggungjawaban pidana ditentukan antara usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Hal tersebut
3
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 1- 4. 4 UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 5 KUHPerdata Bab XV Pasal 330 dinyatakan “Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa. Menurut konsep hukum Perdata, Pendewasaan ada 2 macam,yaitu pendewasan penuh dan pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas). Keduanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang.Untuk pendewasaan penuh syaratnya telah berumur 20 tahun penuh. Sedangkan untuk pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal 421 dan 426 KUHPerdata).
18
ditegaskan dalam The Beijing Rules, di dalam Rules 4 dinyatakan, bahwa: Pada sistemsistem hukum yang mengakui konsep usia pertanggungjawaban pidana bagi anak-anak, awal usia itu tidak dapat ditetapkan pada tingkat usia yang lebih rendah, mengingat kenyataan
kedewasaan
emosional,
mental
dan
intelektual.6Artinya
jika
pertanggungjawaban pidana ditetapkan terlalu rendah, maka pengertian tanggung jawab tidak memiliki arti. Sedangkan batasan anak menurut Diana Kusumasari tertera dalam table berikut:7 Dasar Hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pasal Pasal 45 Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan:.... dstnya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Namun R. Soesilo dalam bukunya Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 61) menjelaskan bahwa yang dimaksudkan “belum dewasa” ialah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin. Jika orang kawin dan bercerai sebelum umur 21 tahun, ia tetap dipandang dengan dewasa. Pasal 47 Anak yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah yang belum mencapai 18 tahun.
Pasal 1 angka 26 Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun Pasal 1 angka 8 Anak didik pemasyarakatan adalah: a. Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan
6
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm 16. 7
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/l4eec5db1d36b7/perbedaan-batasanusia-cakap-hukum-dalam-peraturan-perundang-undangan. diunduh pada Kamis, 9 Mei 2016.
19
belas) tahun; Anak negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun; c. Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Pasal 1 angka 3, angka 4, dan angka 5 b.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
a.
Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana terakhir diubah dengan UndangUndang No. 35 Tahun 2014 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
Kompilasi Hukum Islam
Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. Pasal 1 angka 5 Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Pasal 1 angka 1 Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pasal 1 angka 4 Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Pasal 98 ayat (1) Batas umur usia anak yang mampu berdiri sendiri atau
20
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
dewasa adalah 21 tahun Pasal 4 huruf h Warga Negara Indonesia adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin. Pasal 1 angka 5 Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Batas usia anak jika dilihat dari usia perkawinan,maka dibedakan dalam 2 kategori, yaitu:
a. Usia kuantitatif,penentuan usia kuantitatif beraneka macam. Dalam UU Kepemudaan, mereka yang sudah 16 tahun disebut pemuda, sudah tidak disebut anak. Dalam UU Pemilu, mereka yang berusia 17 tahun sudah dianggap dewasa dan bisa mengikuti pemilu. Berbeda pula dalam usia kecapakan kerja, UU Ketenagakerjaan menyebutkan usia 13-15 tahun masuk kategori dimungkinkan bekerja ringan.8 b. Usia Kualitatif, yaitu usia pernikahan dengan mengedepankan kemampuan atau kompetensi anak. Pernikahan dimaknai sebagi akad berarti membutuhkan edukasi yang mendalam bagi kedua pihak. Kesiapan menanggung akibat hukum pascaakad harus diperhatikan. Di sinilah pentingnya edukasi pernikahan, menuju pendewasaan usia, dalam arti kualitatif yang merujuk pada kompetensi. Secara terminologi, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita 8
Asrorun Ni‟am Sholeh, Usia Kualitatif Pernikahan, http://m.republika.co.id/berita/koran/opinikoran/15/05/11/no6bg710-usia-kualitatif-pernikahan. diakses pada 9 juni 2016
21
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu hak yang harus dipenuhi pada anak adalah hak beragama sesuai yang dianut.Dengan demikian, usia pernikahan hendaknya merujuk pada kualitas individu yang terkait erat dengan kematangan dan kesiapan fisik maupun mental untuk merealisasi tujuan perkawinan. Batasan 19 tahun dan 16 tahun hanya dibaca sebagai usia "minimalis", itu pun tetap dengan syarat ketat, syarat izin orang tua, syarat tetap terpenuhi hak dasar kesehatan, pendidikan, dan sosial, serta terlindungi dari kekerasan dan eksploitasi9. 2. Anak menurut Hukum Islam Anak dalam syari‟at Islam didefinisikan sebagai seseorang yang belum mencapai umur baligh. Baligh dalam Islam dimaknai sebagai batasan umur seseorang yang sudah dapat dipertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya secara hukum. Baligh dapat ditentukan dengan tanda-tanda alami atau dengan umur.Nabi saw bersabda :
.َيتَلِ َم َْ
ِب َح ََّّت َّ َع ِن: ُرفِ َع الْ َقلَ ُم َع ْن ثَالَثٍَة ِّ ِالص
Artinya:"Tuntutan untuk mengamalkan syari'at tidak diberlakukan bagi tiga orang : (salah satunya) bagi anak kecil sampai dia keluar sperma " (HR. Abu Daud dan Al-Baihaqi)10.
Atas dasar hadis tersebut, di dalam banyak pembahasan fiqh Islam disebutkan ciri-ciri balighnya seseorang dapat ditandai dengan datangnya haid pertama pada perempuan dan keluar sperma bagi laki-laki atau mimpi jima‟ (ihtilam)11.Sedangkan fakta empiris membuktikan bahwa terjadinya haid pertama pada perempuan juga
9
Asrorun Ni‟am Sholeh, Usia Kualitatif Pernikahan. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, t.t), hlm 177. 11 Muhammad Djafar, Pedoman Ibadah Muslim dalam Empat Madzhab Sunni dan dalil-dalilnya, (Surabaya : GBI (Anggota IKAPI), 1993), Cet-1, hlm 6. 10
22
keluarnya sperma bagi laki-laki terjadi pada rata-rata usia anak di bawah 15 tahun. Dalam Psikologi Perkembangan dijelaskan bahwa pada usia sekitar 10-14 tahun, individu mengalami "bermimpi" (pollusio)12. Ada beberapa perbedaan pendapat ulama tentang tanda-tanda alami seseorang mencapai baligh,13 diantaranya: Menurut mazhab Hanafiyah seorang anak dikatakan mencapai dewasa (baligh) jika mengalami ihtilam bagi laki-laki, sedangkan perempuan dikatakan dewasa jika sudah mengalami haid. Batas umur dikatakan dewasa menurut Hanafiyah adalah 12 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan. Menurut mazhab Malikiyah, tanda alami seorang anak mencapai dewasa adalah haid dan hamil bagi perempuan, sedangkan keluarnya air mani, tumbuhnya rambut disekitar kemaluan, berubahnya bau badan dan pecahnya suara adalah tanda alami bagi laki-laki. Menurut mazhab Syafi‟iyah, seorang anak dikatakan dewasa apabila sudah mencapai umur 15 tahun.14Dalam Islam seorang anak pada dasarnya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya.Hal ini disebabkan anak belum dibebani dengan tanggung jawab dan tidak dibebani hukum karena belum dewasa.
Dalam hukum pidana Islam, yang membahas tentang hukum pidana anak di bawah umur, yaitu mengenai batasan umur, dan kedewasaan seseorang, maka tidak lepas dari dua
12
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, (Jakarta : Balai Penerbitan &Perpustakaan Islam Yayasan
Ihya Ulumuddin Indonesia, Jilid 1, 1971), hlm 68. 13 Chindy Pratisti Puspa Devi, Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Persfektif Hukum Islam, (Depok: Indie Publishing, 2014), hlm 25. 14 Dalil atau bukti yang menyatakan bahwa batasan umur anak mencapai umur 15 tahun adalah khabar Ibn Umar, “Ibnu Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengizinkan dirinya menyertai dalam perang Uhud, pada ketika itu, Ibn Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengizinkan Ibn Umar ikut dalamperang tersebut. Lihat di buku Chindy Pratisti Puspa Devi, Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Persfektif Hukum Islam, hlm 26.
23
perkara, yaitu kekuatan berfikir (idrak) dan pilihan (ikhtiar). Dengan demikian setiap manusia pasti melalui beberapa masa berbeda, dalam menjalani hidupnya mulai dari dia lahir sampai dia dewasa dan cakap dalam hukum15. Pengertian anak dari segi bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Di dalam bahasa Arab terdapat berbagai macam kata yang digunakan untuk arti anak, sekalipun terdapat perbedaan di dalam pemakaiannya. Kata-kata sinonim ini tidak sepenuhnya sama artinya. Sebagai contoh“walad” artinya secara umum anak, tetapi dipakai untuk anak yang dilahirkan oleh manusia dan binatang yang bersangkutan16.
Dalam konsep fiqih Islam dijelaskan tentang sifat-sifat seseorang yang dijadikan sebagai
tolok ukur syara‟
yang disebut
ahliyyah.Ahliyyah
adalahsifat
yang
menunjukanseseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara‟. Apabilah seseorang telah mempunyai sifat ini, maka ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik kepada orang lain, atau transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain.
Melalui defenisi diatas ini dipahami bahwa ahliyyah merupakan sifat yang mengindikasikan seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya sehingga semua perbuatannya dapat dikenai taklif(pembebanan hukum).
1. Pembagian ahliyyah Kemampuan atau kecakapan untuk bertindak hukum dan dikenai taklif sejalan dengan perkembangan jasmani dam akalnya. Sehubungan dengan ini, para ahli usul fiqh
15
Fuad, M. Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991),
hlm 24. 16
Sudarsono, Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), cet. Ke-2, hlm 6.
24
membagi ahliyyah kepada bentuk, yaitu ahliyyah al-ada‟ ( )اهلية االداءdan ahliyyah alwujub( )اهلية الوجوب a.
Ahliyyah al-ada‟ adalah kecakapan yang telah dimiliki seseorang sehingga setiap perbuatan dan
perkataannya telah diperhitungkan secara syara‟. Orang yang memiliki sifat ini dipandang telah sempurna untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. dengan kecakapan ini seseorang dianggap sebagai mukallaf, dimana semua perbuatannya diperhitungkan oleh hukum Islam, baik yang berbentuk positif maupun yang negatif.
Seseorang dipandang sebagai ahliyyah al-ada‟ atau memiliki kecerdasan secara sempurana apabilah telah baliqh, berakal dan bebas dari semua yang menjadi penghalang dari kecakapan ini, seperti keadaan tidur ,gila, lupa, terpaksa dan lain-lain. Khusus berkaitan dengan harta, kewenangan dan kecakapan seseorang dipandang sah selain baliqh, berakal, juga harus cerdas (rusyd). Rusyd adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan hartanya. Seperti firman Allah surat an-Nisa‟.4
ِ َّ وابْتَ لُواْ اليتَامى ح اح فَِإ ْن آنَ ْستُم ِّمْن ُه ْم ُر ْشداً فَ ْادفَعُواْ إِلَْي ِه ْم أ َْم َوا ََلُ ْم َ َّت إ َذا بَلَغُواْ النِّ َك َ ََ َ َ artinya : “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya17". Kecakapan berbuat hukum atau ahliyyah al-ada‟ terdiri dari tiga tingkat. Setiap tingkat ini dikaitkan kepada batas umur seorang manusia. Ketiga tingkat itu adalah
17
Ahmad Hatta, Tafsir Qur‟an Perkata (Jakarta: Maghfiroh Pustaka, 2010), hlm78.
25
1. Adim al-ahliyyah ( )عديم االهليةatau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir sampai berumur tamyiz sekitar umur 7 tahun.Dalam batas umur ini,seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal. Sedangkan taklif itu dikaitkan kepada sifat berakal. Karena itu anak seumur ini belum disebut mukalaf atau belum dituntut melaksanakan hukum. Ucapan-ucapan pembebasan dan ucapan lain yang diucapkannya tidak mempunyai akibat hukum atau tidak sah. Semua tindakan pelanggaran atau kejahatan yang dilakukannya tidak dapat dituntut secara badani. Untuk menutupi kerugian pihak lain yang menjadi korban kejahatannya yang dibebankan kepada hartanya atau harta orang tuanya. 2. Ahliyyah al-ada‟ naqishah ( )اهلية االداء ناقصةatau cakap berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa. Penamaan naqishah (lemah) dalam bentuk ini oleh karena akalnya masih lemah dan belum sempurna. Manusia dalam batas umur ini dalam hubungannya dengan hukum, sebagian tindakannya telah dikenanai hukum dan sebagian lainnya tidak dikenai hukum. Dalam hal ini tindakan manusia, ucapan atau perbuatannya, terbagi kepada 3 tingkat; dan setiap tingkat memiliki akibat hukum tersendiri, yaitu: a) Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya; umpamanya menerima pemberian (hibah) atau wasiat. Semua tindakan dalam bentuk ini, baik dalam ucapan maupun perbuatan adalah sah dan terlaksana tampa persetujuan dari walinya. b) Tindakan yang semata-mata merugikanya atau mengurangi hak-hak yang ada padanya; umpamanya pemberian yang dilakukannya, dalam bentuk hibah atau sadaqah, pembebasan utang; jual beli dengan harga yang tidak
26
pantas. Segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang dilakukan oleh mumayyiz dalam bentuk itu tidak sah dan tidak berikat hukum atau batal yang tidak memungkinkan untuk disetujui oleh walinya. c) Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian. Umpamanya jual beli, sewa menyewa, upah mengupah dan lainnya yang disatu pihak mengurangi haknya dan dipihak lain menambah hak yang ada padanya. Tindakan yang dilakukannya dalam bentuk ini tidak batal secara mutlak tetapi kesahannya tergantung pada persetujuan yang diberikan oleh walinya sesudah tindakan itu dilakukan. 3. Ahliyyah al-ada‟ kamilah ( )اهلية االداء كاملةatau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.Usia dewasa dalam kitab-kitab fiqh ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat jasmani; yaitu bagi wanita telah haid atau mens dan para laki-laki dengan mimpi bersetubuh. Pembatasan berdasarkan jasmani ini didasarkan pada petunjuk al-Qur‟an, yaitu sampai usia perkawinan atau umur yang pada waktu itu telah mungkin melakukan perkawinan. b. Ahliyyah al-wujub Ahliyyah al-wujub adalah kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi tiap manusia ditinjau dari segi ia adalah manusia, semenjak ia dilahirkan sampai menghembuskan nafas terakhir dalam segala sifat, kondisi dan keadaannya. Para ahli ushul membagi ahliyah alwujub itu kepada dua tingkatan.
27
1. Ahliyah al-wujub naqish ( )اهلية الوجوب ناقصةatau kecakapan dikenai hukum secara lemah, yaitu ketika seorang masih berada di dalam kandungan ibunya (janin). Janin dianggap memiliki ahliyyah Al-Wujub yang belum sempurna, karena hak-hak yang harus ia terima belum dapat dimilikinya, sebelum ia lahir kedunia dengan selamat walau sesaat. Apabila ia telah lahir maka hak-hak yang ia terima menjadi miliknya. Ada empat hak janin yang masih dalam kandungan ibunya, yaitu: a.
Hak keturunan dari ayahnya
b.
Hak waris dari ahli warisnya
c.
Wasiat yang ditujukan kepadanya
d.
Harta wakaf yang ditujukan kepadanya.18
2. Ahliyah al-wujub kamilah ( )الوجوب كاملةاهليةatau kecakapan di kenai hukum secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga menerima hak. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir sampai ia sekarat selama ia masih bernafas.Contoh anak yang baru lahir, disamping ia berhak secara pasti menerima warisan dari orang tua atau kerabatnaya, ia juga dikenahi kewajiban seperti zakat fitrah atau zakat harta menurut sebagian pendapat ulama yang pelaksanaannya dilakukan oleh orang tua atau walinya.
Ketentuan ini juga penting untuk mencegah adanya tindakan dari orang yang tidak bertanggung jawab terhadap usaha penghilangan janin yang dikandung seseorang. Dalam penjelasan buku Perlindungan Anak disebutkan bahwa adanya ketentuan untuk memberikan perlindungan kepada anak secara utuh tanpa adanya diskriminasi antara yang sudah kawin dengan yang pernah kawin dimana persyaratan tersebut menekankan 18
Totok Jumantoro,dkk, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: PT. Amzah, 2005), hlm 4.
28
pada segi legalistiknya, sedangkan dalam perlindungan anak penentuan batas usia anak lebih dititikberatkan pada aspek untuk melindungi anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya.19
Untuk menentukan batasan usia anak secara pasti tergolong agak sulit karena perkembangan seseorang baik fisik maupun psikis sangat variatif satu dan yang lainnya, walaupun seseorang itu sudah dewasa namun tingkah lakunya masih memperlihatkan tanda-tanda belum dewasa dan demikian pula sebaliknya. Bertitik tolak dari uraian diatas maka untuk pendefinisian anak yang dapat dijadikan acuan oleh penulis yaitu merujuk pada pengertian anak menurut Undang-Undang no 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana yang dimaksud dengan anak adalah “Seseorang yang belum berusia 18 (Delapan belas tahun), termasuk anak yang didalam kandungan”.
B. PengertianTindak Pidana 1. Tindak Pidana Menurut Hukum Positif. Tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Strafbaar feit” atau “Delict”, atau “Crime” dalam bahasa Inggris. Namun, dalam beberapa literature dan perundang-undangan hukum pidana, terdapat istilah lain yang dipakai oleh para sarjana untuk menerjemahkan Strafbaar feit, seperti perbuatan pidana, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan yang boleh dihukum, dan lain-lain.20
19
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Perlindungan Anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002, hlm 8. 20 Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm 9.
29
Pada dasarnya, istilah Strafbaar feit dijabarkan secara harfiah terdiri dari tiga kata. Straf yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum.Kata baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh.Kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan
perbuatan.Jadi,
secara
singkat
bisa
diartikan
perbuatan
yang
dapat
dihukum.21Selanjutnya menurut Pompe perkataan “Strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.22 Menurut Vos memberikan definisi yang singkat, bahwa strafbaar feit ialah kelakuan atau tingkah laku manusia, yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana. Pidana yang dimaksud disini adalah hukuman, menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan hukuman ialah “suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan ponis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana”.23 Sudarto, menggunakan istilah tindak pidana dengan alasan bahwa istilah tindak pidana sudah sering dipakai oleh pembentuk undang-undang dan sudah diterima oleh masyarakat. Menurut Sudarto,24 yang dimaksud tindak pidana adalah “Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan pemberian pidana”.D. Simons berpendapat bahwa tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja 21
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: AMZAH, 2012), hlm 25. P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm 23. 23 R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, (Bogor: Politea, 1995), hlm 56. 24 Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hlm 39. 22
30
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undangundang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.25 Moeljatno, dengan memberikan alasan yang sangat luas lebih senang menggunakan istilah perbuatan pidana.Dalam definisinya, Moeljatno membedakan secara tegas antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana.Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan tersebut disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.Dengan demikian, terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana, pertama-tama harus dibuktikan dahulu mengenai perbuatan yang telah dilakukannya apakah telah memenuhi rumusan undang-undang atau tidak.Walaupun perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, namun tidak secara otomatis orang tersebut harus dihukum, karena dilihat pula mengenai kemampuan bertanggung jawabnya.Apabila dianggap tidak mampu bertanggung jawab, maka orang tersebut lepas dari segala tuntutan hukum.26 Apabila dihubungkan dengan masalah tindak pidana anak, maka terhadap anak yang telah melakukan Criminal act selain perlu dikaji sifat dari perbuatannya, patut diuji pula masalah kemampuan bertanggung jawab.Dengan demikian, diperlukan adanya kecermatan bagi hakim dalam menangani anak yang disangka telah melakukan suatu tindak pidana, untuk menentukan masalah pertanggungjawaban pidananya.
25
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang: UMM Press, 2009), hlm 8. 26 Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, hlm 11.
31
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Unsur-unsur tindak pidana terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif.Dalam masalah ini, Satochid Kartanegara menjelaskan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat diluar diri manusia, yaitu berupa suatu tindak-tanduk, jadi suatu tindakan, suatu akibat tertentu dan berupa keadaan yang semuanya dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.27Adapun unsur subjektif adalah unsur yang terdapat pada diri pembuat.Unsur-unsur subjektif ini berupa hal yang dapat dipertanggungjawabkan seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan (toerekeningsvat baarheid)dan kesalahan seseorang (schuld).28 Seseorang dapat dikatakan toerekeningsvat baarheidapabila orang tersebut memenuhi tiga syarat, yaitu keadaan jiwa orang tersebut dapat mengerti akan nilai dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya,29Orang tersebut dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukan,30Orang tersebut harus sadar bahwa perbuatan yang telah dilakukannya itu adalah perbuatan yang terlarang, baik dilihat dari segi hukum, dari sudut kemasyarakatan, ataupun darisegi ketatasusilaan. Kemudian kesalahan seseorang atau schuldmerupakan unsur subjektif kedua dari tindak pidana bisa berupa dolus atau dalam Bahasa Belanda disebut opzet yang berarti kesengajaan dan culpa atau ketidaksengajaan atau kealpaan.Indikasi adanya opzet pada diri pelaku tindak pidana, KUHP menggunakan beberapa istilah. Yaitu dengan sengaja,
27
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian satu, (Ttp: Balai Lektur Mahasiswa, t.th), hlm 73. M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, hlm 27. 29 Dalam hukum Islam, masalah ini biasanya dihubungkan dengan kondisi orang yang bersangkutan haruslah sudah baligh, dewasa, dan berakal sehat serta tidak dalamkondisi dipaksa oleh pihak lain. 30 Dalam konsep-konsep fiqih klasik, syarat yang kedua ini berkaitan dengan status sosial subjek hukum.Dalam hal ini, statusnya disyaratkan harus hurriyyah (merdeka) dan mandiri. 28
32
seperti dalam pasal 333 dan 338 KUHP, yang diketahuinya, seperti dalam pasal 280 dan 286 KUHP, dengan maksud seperti dalam pasal 362 dan 368 KUHP.31 Wirjono Projodikoro menjelaskan arti culpa adalah kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak berat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak sengaja terjadi.32Tindak pidana akibat culpa ini dalam rumusan undang-undang ada dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tetapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidakhati-hatian itu sendiri.33 Sedangkan menurut Simon salah satu yang berpandangan monistis, unsur-unsur tindak pidana adalah: a) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat) b) Diancam dengan pidana c) Melawan hukum d) Dilakukan dengan kesalahan e) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Sedangkan menurut Pompe yang berpandangan dualistik, walaupun menurut teori tindak pidana terdiri dari unsur-unsur: a. Perbuatan, b. Bersifat melawan hukum, c. Dilakukan dengan kesalahan, d. Diancam pidana. Namun dalam hukum positif, sifat
31
Tongat, Hukum Pidana Materiil, (Malang: UMM Press, 2006), cet ke-3, hlm 8-10, lihat juga P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan terhadap Harta Milik dan Lain-Lain Hak yang Timbul dari Hak Milik, (Bandung: Tarsito, 1997), hlm 62. 32 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2003), cet pertama, hlm 72. 33 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, hlm 30.
33
melawan hukum dan kesalahan bukan sifat mutlak untuk adanya tindak pidana. Oleh karena itu, ia memisahkan antara tindak pidana dari orang yang dapat dipidana.34 Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Moeljatno yang berpendapat bahwa unsur-unsur perbuatan pidana meliputi: a. Perbuatan (manusia) b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang c. Bersifat melawan hukum Adapun kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari sipembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal tersebut melekat pada orang yang berbuat. Apabila dilihat dari aspek yuridis-normatif, mengkaji suatu tindakpidana termasuk di dalamnya masalah kejahatan, maka arah pandangannya hanya fokus pada maslah lahiriyah, dalam arti hanya menitik-beratkan pada perbuatan nyata (actusreus).Walaupun jangkauan secara luas dari hukum pidana mencakup pula pada persoalan batin (mens-rea) khususnya menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.Namun, menyangkut persoalan tindak pidana, persoalan pokok lebih menitik-beratkan pada masalah moral/etika yang erat hubungannya dengan masalah kepribadian/kejiwaan (psikologis).Terkait dengan persoalan tindak pidana anak, maka persoalan pokok lebih menitik-beratkan pada masalah tingkah laku yang erat dengan masalah kejiwaan. 3. Tindak Pidana Menurut Hukum Islam Dalam hukum Islam, istilah hukum pidana disebut dengan fiqh jinayah. Fiqih jinayah adalah ilmu tentang hukum syara‟ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang
34
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, hlm 11-12.
34
(jarimah) dan hukumannya (uqubah), yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.35 Dalam
penjelasan lain, Fiqih Jinayah adalah ilmu yang membicarakan tentang jenis-jenis hukum yang diperintah dan dilarang al-Qur‟an dan hadis Nabi SAW, serta hukuman yang akan dikenakan kepada orang yang melanggar baik perintah maupun larangan tersebut (tindakan kriminal). Yang dimaksud tindakan kriminal adalah perbuatan kejahatan yang mengganggu ketertiban umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan.36 Hukum Pidana Islam merupakan Syari‟at Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat.37 Menurut Abdul Qadir Audah, Jinayah berarti “perbuatan yang dilarang oleh syara‟ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, maupun lainnya”.38
a. Macam-Macam Jarimah Ulama fiqh membagi jarimah dilihat dari berat ringannya hukuman ada tiga jenis, yaitu: 1) Jarimah Hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Menurut Abdul Qadir Audah, “hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara‟ dan merupakan hak Allah”. Jarimah hudud yang terdiri atas: a) Jarimah zina, b) Jarimah qadzaf (menuduh muslim baik-baik berbuat zina), c) Jarimah syrub al-khamr (meminum minuman keras), d) Jarimah al-bagyu (pemberontakan), e) Jarimah al-riddah (murtad),
35
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2005), cet ke-1, hlm 1. Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-undangan, Fikih dan Hukum Internasional (Jakarta: KENCANA, 2013), Cet-1, hlm 111. 37 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar grafika, 2007), hlm, 1. 38 Abd Qadir Audah, al-Tasyri‟ al-Jina‟iy al-Islamiy, Juz 1 (Beirut: Dar al-Kitab al-„Araby, t.t.), hlm 67. 36
35
f) Jarimah al-sariqah (pencurian), g) Jarimah al-hirabah (perampokan).39 2) Jarimah Qishash adalah menjatuhkan sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh. Dalam fiqh jinayah sanksi qishash ada dua macam, yaitu: a) Qishash karena melakukan jarimah pembunuhan. b) Qishash karena melakukan jarimah penganiayaan.40 3) Jarimah
Ta‟zir
adalah
hukuman
yang bersifat
mendidik
yang
tidak
mengharuskan pelakunya dikenakan sanksi hukuman had dan tidak pula membayar kaffarah atau diyat. Dalam hukum Islam jenis hukuman yang berkaitan dengan hukuman ta‟zir diserahkan semuanya kepada kesepakatan manusia.41 Ditinjau dari unsur-unsur jarimah atau tindak pidana, objek utama kajian fiqh jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Al-rukn al-syar‟i atau unsur formil ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang yang secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana. 2. Al-rukn al-madi atau unsur materiil ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan sebuah jarimah,
39
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm 3. M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, hlm 4-5. 41 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm 10. 40
36
3. Al-rukn al-adabi atau unsure moril ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak dibawah umur, atau sedang dibawah ancaman.42 Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana segera terlintas dalam pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum yang tidak tertulis seperti hukum adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti hukum Barat. Hukum Barat melalui asas konkordansi, sejak pertengahan abad ke-19 (1855) berlaku di Indonesia. Hukum dalam konsepsi seperti hukum Barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan manusia itu sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam konsepsi hukum perundang-undangan (Barat), yang diatur oleh hukum hanyalah hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat. Di samping itu, ada konsepsi hukum lain, di antaranya adalah konsepsi Hukum Islam. Dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubunganhubungan lainnya, karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan. Seperti hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya.43
42
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, hlm 2-3. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hlm, 42. 43
37
Sedangkan untuk tujuan hukum Islam disebut dengan maqasid al-syari‟ah. Secara umum tujuan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individu dan sosial. Dengan kata lain, untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia
dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang
bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Abu Ishaq al Shatibi merumuskan maqasid al-syari‟ah menjadi lima bidang, yakni (1) untuk memelihara agama (hifdz al-din), (2) memelihara jiwa (hifdz al-nafs), (3) memelihara akal (hifd al-aql), (4) memelihara keturunan (hifdz alnasl), dan (5) memelihara harta (hifdz al-mal).44 Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa tujuan hukum Islam termasuk juga hukum pidana, tidak hanya melindungi kepentingan individu, tetapi juga kepentingan masyarakat dan Negara, bahkan lebih dalam lagi adalah kepentingan yang berhubungan dengan keyakinan agama, jiwa, akal atau potensi berpikir, keturunan, maupun harta kekayaan. Jadi wilayah yang menjadi tujuan perlindungan dari hukum pidana Islam ini jelas luas sekali karena menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, kaitannya dengan sesame manusia maupun dengan Sang Pencipta. 1) Asas-Asas dalam Hukum Islam Secara terminologi asas merupakan landasan berpikir yang sangat mendasar. Jika dihubungkan dengan hokum, asas adalah kebenaran yang digunakan sebagai tumpuan berpikir dan alas an berpendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hokum. Asas hukum berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan hukum.
44
Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-undangan, Fikih dan Hukum Internasional, hlm 119.
38
Asas Hukum Islam berasal dari sumber Hukum Islam terutama al-Qur‟an dan Hadist yang dikembangkan oleh akal pikiran orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Asas-asas umum Hukum Islam adalah asas-asas hukum yang meliputi semua bidang dan lapangan Hukum Islam, yaitu meliputi: a) Asas Keadilan Asas keadilan merupakan yang paling penting dan substantif, serta mencakup semua asas dalam bidang hukum Islam. Sejatinya hukum adalah menjunjung tinggi keadilan karena keadilan adalah tujuan akhir dari pada sebuah hukum. Allah SWT menyebutkan kata “keadilan” sebanyak lebih dari 1000 kali dalam al-Qur‟an. Hal tersebut mengingatkan kepada kita betapa pentingnya menegakkan keadilan diatas segalanya, terutama dalam menegakkan hukum.45 Salah satu ayat al-Qur‟an yang memerintahkan manusia berlaku adil dan menegakkan keadilan di antaranya firman Allah SWT QS. Al-Shad ayat 26.
Artinya: “Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”.46
45
http://www.islamcendikia.com/2014/01/asas-asas-umum-dalam-hukum-islam.html?m=1. Diakses pada 24 Juni 2016. 46 Departemen Agama RI, Al-Akhyar Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm 454.
39
Dari ayat diatas, Allah dengan sangat jelas memerintahkan penguasa, penegak hukum sebagai khalifah di bumi untuk menyelenggarakan hokum sebaik-baiknya, seadil-adilnya tanpa memandang stratifikasi sosial, baik kedudukan atau jabatan, asal-usul, termasuk mengenai keyakinan pencari keadilan. Semuanya harus ditegakkan berdasrkan keadilan. b) Asas Kepastian Hukum Asas kepastian hukum adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan yang dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan yang ada dan berlaku pada perbuatan itu. Asas ini berdasarkan firman Allah SWT QS. AlIsraa‟ ayat 15.
Artinya:“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul”.47
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan asas kepastian hukum yang menyatakan bahwa tidak ada suatu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan itu48.
47
Departemen Agama RI, Al-Akhyar Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm 283. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam diIndonesia, hlm 129. 48
40
c) Asas Kemanfaatan Asas kemanfaatan adalah asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum tersebut diatas. Dalam melaksanakan asas keadilan dan kepastian hukum, seyogyanya dipertimbangkan kemanfaatannya, baik bagi yang bersangkutan sendiri maupun bagi kepentingan masyarakat. Dalam menerapkan ancaman hukum mati terhadap seseorang yang melakukan pembunuhan, misalnya dapat dipertimbnagkan kemanfaatan penjatuhan hukum itu bagi diri terdakwa sendiri dan bagi masyarakat. Kalau hukum mati yang akan dijatuhkan itu lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat, hukuman itulah yang dijatuhkan. Kalau tidak menjatuhkan hukum mati lebih bermafaat bagi terdakwa sendiri dan keluarga atau saksi korban, ancaman hukuman mati dapat diganti dengan hukuman denda yang dibayarkan kepada keluarga terbunuh. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam firman Allah QS. AlBaqarah ayat 178.
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
41
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih”.49
C. Pengertian Diversi 1. Diversi Menurut Hukum Positif Ketidakpuasaan terhadap sistem khususnya terhadap tindak pidana anak yang pula menekankan perlindungan dan rehabilitasi terhadap pelaku anak melahirkan suatu cara baru yaitu diversi dan restorative justice. Anak yang melakukan pelanggaran atau tindak pidana sangat besar dipengaruhi oleh faktor diluar anak tersebut seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusian untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove) seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak. Berdasarkan pemikiran tersebut maka lahirlah konsepdiversi atau pengalihan. Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata diversi atau “diversion” dalam bahasa Inggris pertama kalidikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yangdisampaikanKomisi Pidana Presiden (President‟s Crime Commission) Australiadi Amerika Serikat pada tahun 1960. Awalnya konsep diversi telah ada sebelum tahun 1960ditandai dengan berdirinya peradilan anak
49
Departemen Agama RI, Al-Akhyar Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm 27.
42
(children‟s courts) sebelum abad ke-19yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untukmelakukan peringatan (police cautioning).50 Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, pembimbing kemasyarakatan anak, polisi, jaksa atau hakim.51 Sedangkan diversi menurut UU Sistem Peradilan Anak adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana.52 Oleh karena itu tidak semua perkara anak yang berkonflik dengan hukum harus diselesaikan melalui jalur peradilan formal, dan memberikan alternatif bagi penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif.Maka, atas perkara anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilakukan diversi demi kepentingan terbaik bagi anak dan dengan mempertimbangkan keadilan bagi korban. Menurut Romli Artasasmita, diversi yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau mengalihkan/tidak meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak selama proses pemeriksaan dimuka sidang.53 Sedangkan menurut Chris Graveson, diversi adalah proses yang telah diakui secara Internasional sebagai cara terbaik dan paling baikdalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum. Intervensi terhadap anakyang berhadapan dengan hukum sangat luas dan beragam, tetapi lebih banyak
50
Marlina, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, (Jurnal Equality, Vol. 13 No. 1 Februari 2008), hlm. 97 lihat juga Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, (Bandung: P.T. Alumni, 2014), cet ke-1, hlm 110. 51 Dalam Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, hlm 48. 52 Lihat Pasal 1 ayat (7) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. 53 Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), hlm 14.
43
menekankan pada penahanan dan penghukuman, tanpa peduli betapa ringannya pelanggaran tersebut atau betapa mudanya usia anak tersebut.54 Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemerikasaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi.55 Kata “wajib diupayakan” mengandung makna bahwa penegak hukum anak dari penyidikan, penuntutan dan juga hakim diwajibkan untuk melakukan upaya agar proses diversi bisa dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: (a) diancam dengan penjara dibawah 7 (tujuh) tahun; (b) bukan merupakan tindak pidana.56 Ketentuan ini menjelaskan bahwa anak yang melakukan tindak pidana yang ancamannya lebih dari 7 (tujuh) tahun dan merupakan sebuah pengulangan maka tidak wajib diupayakan diversi, hal ini memang penting mengingat kalau ancaman hukuman lebih dari 7 (tujuh) tahun tergolong pada tindakan pidana berat, 57 dan suatu pengulangan merupakan anak pernah melakukan tindak pidana baik sejenis maupun tidak sejenis termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui diversi. Pengulangan tersebut menjadi bukti bahwa tujuan diversi tidak tercapai yakni menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang berupa tindak pidana. 2. Tujuan Diversi Tujuan
dari
diversi
adalah
untuk
mendapatkan
cara
menangani
pelanggaranhukum di luarpengadilan atau sistem peradilan yang formal. Ada kesamaanantara tujuan diskresi dan diversi. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginanmenghindari
efek
negatif
terhadap
jiwa
dan
perkembangan
anak
olehketerlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat 54
Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, hlm 111. Lihat pasal 7 ayat (1) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. 56 Lihat pasal 7 ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. 57 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Anak (UU-SPPA), (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),hlm 139. 55
44
penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau „diskresi‟.58 Menurut konsep diversi dalam penanganan kasus anak di Kepolisan yang berhadapan dengan hukum, karena sifat avonturir anak, pemberian hukuman terhadap anak bukan semata-mata untuk menghukum tetapi mendidik kembali dan memperbaiki kembali. Menghindarkan anak dari eksploitasi dan kekerasan, akan lebih baik apabila diversi dan apabila dihukum maka tidak efektif. Konsep diversi juga didasarkan pada kenyataan proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya dari pada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya, sehingga lebih baik menghindarkannya keluar sistem peradilan pidana. Selain itu, diversi juga dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. Pada pasal 6 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan tujuan diversi,yakni antara lain: a) Mencapai perdamaian antara korban dan anak; b) Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan; c) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; d) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e) Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. 58
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restroative Justice Dalam Hukum Pidana (Medan: USU Press, 2010), hlm 2.
45
Tujuan diversi tersebut merupakan implementasi dari keadilan restoratif yang berupaya mengembalikan pemulihan terhadap sebuah permasalahan, bukan sebuah pembalasan yang selama ini dikenal dalam hukum pidana. Pada akhir dari konsep peradilan restoratif ialah mengharapkan berkurangnya jumlah tahanan di dalam penjara. Menghapus stigma negatif dari masyarakat dan mengembalikan pelaku menjadi manusia normal, menyadarkan pelaku kejahatan atas kesalahannya sehingga tidak mengulangi perbuatannya serta mengurangi beban kerja polisi, jaksa, rutan, pengadilan dan lapas, menghemat keuangan Negara, tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah dimaafkan oleh korban dan korban mendapat ganti rugi, memberdayakan masyarakat dalam mengatasi kejahatan serta mengintegraskan kembali pelaku kejahatan dalam masyarakat.59
3. Proses Diversi Diversi adalah penyelesaian kasus tindak pidana yang melibatkan anak-anak dengan jalan musyawarah,60 mendamaikan atau dikenal dengan mediasi antara pihak korban dengan pelaku.Hakim yang menangani kasus adalah hakim tunggal dan berstatus sebagai fasilitator61 dengan syarat adanya pengakuan dari anak yang melakukan tindak pidana dan korban tidak keberatan. Selain itu, syarat diversi berlaku pada anak yang telah berusia 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun baik telah menikah maupun belum menikah. Syarat ancaman hukumannya adalah di bawah 7 tahun. Bahkan, ancaman hukumannya bisa diatas 7 59
Chindy Pratisti Puspa Devi, Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Persfektif Hukum Islam, hlm 113. 60 Dalam Pasal 1 ayat (1) PERMA No 4 tahun 2014, Musyawarah diversi adalah musyawarah antara para pihak yang melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial professional, perwakilan masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan restorative justice. 61 Lihat Pasal 1 ayat (2) PERMA No 4 tahun 2014.
46
tahun dalam bentuk surat dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan).62 Proses diversi wajib memperhatikan:63 a) Kepentingan korban; b) Kesejahteraan dan tanggung jawab anak; c) Penghindaran stigma negatif; d) Penghindaran pembalasan; e) Keharmonisan masyarakat; dan f) Kepatutan, kesusilaan, dan ketertibanumum. Pada proses penegakan hukum pidana anak, maka aparat baik itu penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.64 Dalam pasal 29 dijelaskan bahwa penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai. Proses diversi tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi. Jika dalam proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, penyidik menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. Namun, jika proses diversi gagal, penyidik wajib melanjutkan penyidikan danmelimpahkan perkara ke penuntut umum dengan melimpahkan berita acara diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan.65
62
Lihat Pasal 3 PERMA No 4 tahun 2014. Lihat Pasal 8 ayat (3) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. 64 Lihat Pasal 9 ayat (1) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. 65 Lihat Pasal 29 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. 63
47
Yang dimaksud dengan kesepakatan diversi adalah kesepakatan hasil musyawarah diversi yang dituangkan dalam bentuk dokumen dan ditandatangani oleh para pihak yang terlibat dalam musyawarah diversi.66Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan dari korban dan/atau keluarga anak korban serta kesedian anak dan keluarganya. Kecuali untuk: a) Tindak pidana yang berupa pelanggaran; b) Tindak pidana ringan; c) Tindak pidana tanpa korban; atau d) Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.67 Dalam penerapan keadilan restoratif khususnya diversi,kesepakatan antara pelaku dan korban menjadi bagian terpenting dari proses. Sebab, kesepakatan itulah yang menjadi modal utama diversi.Jika keluarga korban tak mengampuni pelaku dan tetap ingin pelaku diproses ke pengadilan, keinginan untuk diversi menjadi hilang. Bentuk-bentuk hasil kesepakatan diversi antara lain dapat berupa:68 a) Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; b) Penyerahan kembali kepada orang tua/wali; c) Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPSK paling lama 3 (tiga) bulan; atau d) Pelayanan masyarakat. Hasil kesepakatan dituangkan dalam kesepakatkan diversi. Jika prosesdiversi tidak menghasilkan kesepakatan, maka proses peradilan pidana anak dilanjutkan untuk setiap tingkatannya. 66
Lihat Pasal 1 ayat (4) PERMA No 4 tahun 2014. Lihat Pasal 9 ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. 68 Lihat Pasal 11 UU Sistem Peradilan Pidana Anak. 67
48
4. Diversi Menurut Hukum Islam Pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan hukum dapat berupa berbuat atau tidak berbuat. Pelaku jarimah dapat dihukum apabila perbuatannya dapat dipersalahkan. Setiap perbuatan pidana atau peristiwa pidana itu harus mengandung unsur-unsur sifat melawan hukum, perbuatan tersebut dapat dipersalahkan dan perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang dalam hukum dinyatakan perbuatan yang dapat dihukum. Dan dikatakan bahwa jarimah dapat dipersalahkan terhadap pelakunya, apabila pelaku tersebut sudah berakal, cukup umur, dan bebas berkehendak. Dalam arti pelaku tersebut terlepas dari unsur paksaan dan dalam keadaan kesadaran yang penuh. Dan disebutkan dalam firman Allah swt QS. Al-Mudatsir ayat 38.
Artinya: “tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”.69
Pada dasarnya orang yang melakukan jarimah itu dihukum, tetapi ada di antaranya tidak dihukum dan diberikan alternatif dalam penyelesaian kejahatannya seperti keadilan restoratif dan diversi. Keadilan restoratif termasuk diversi cenderung fleksibel, proses keadilan ini ditentukan sesuai dengan ringan dan beratnya kejahatan yang diperbuat, kerusakan yang disebabkan, situasi dan kondisi pelaku dan posisi korban. Dalam hukum Islam bentuk keadilan restoratif ini dapat berupa kompensasi, konsiliasi, dan pengampunan. Hal ini bertujuan agar pelaku dapat bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan olehnya terhadap korban dan masyarakat. Menurut Andi Hamzah dalam hukum Islam pelaku tindak pidana bias mendapat pembebasan atau
69
Departemen Agama RI, Al-Akhyar Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm 576.
49
memperoleh keringanan hukum dari pengadilan bila mereka mendapat pengampunan dari korban dengan membayar denda atau diyat.70 Prinsip keadilan restoratif dalam hukum Islam terdiri dari: 1) Kompensasi (Diyat) Kompensasi atau diyat adalah sebuah alternatif untuk hukuman mati atau hukuman lain atas sebuah kejahatan yang dilakukan pelaku terhadap korban. Diyat merupakan ganti rugi dalam bentuk uang dengan jumlah yang banyak yang diberikan pelaku terhadap korban atau keluarganya untuk melakukan jalan damai dalam sebuah permasalahan peradilan. Kriteria dalam menentukan uang kompensasi biasanya diukur oleh gram emas atau spesifikasi jumlah ternak untuk setiap bagian dari tubuh yang terkena serangan atau yang mendapatkan kerugian. Hukuman diyat bagi pembunuh harus membayar kompensasi kepada pihak keluarga korban. Jumhur Ulama (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi‟I dan Imam Ahmad) sepakat menjadikan diyat Muslim merdeka seratus onta, tidak ada bedanya dalam hal ini antara pembunuhan sengaja, mirip sengaja dan tidak sengaja (kesalahan). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Ketahuilah, sesungguhnya dalam korban pembunuhan mirip sengaja, korban terbunuh oleh cambuk dan tongkat, diyatnya 100 (seratus) onta” (HR Ibnu Majah).71 Sedangkan diyat wanita muslimah separuh diyat lelaki muslim, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi SAW yang disampaikan kepada Amru bin Hazm diantar isinya adalah: “Diyat wanita itu separuh dari diyat lelaki” (HR. al-Baihaqi).
70
Chindy Pratisti Puspa Devi, Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Persfektif Hukum Islam, (Depok: Indie Publishing, 2014), hlm 43. 71 Chindy Pratisti Puspa Devi, Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Persfektif Hukum Islam, hlm 45.
50
Standar pemabayaran diyat pembunuhan adalah onta menurut pendapat mayoritas ulama. Dalam riwayat sahih dari Umar bin al-Khattab ketika berbicara diatas mimbar: “Ketahuilah bahwa harga onta telah naik (menjadi mahal). Lalu Umar mewajibkan diyat kepada orang yang punya emas sebanyak 1000 dinar, kepada pemilik perak 12000 dirham, pemilik sapi 200 sapi, dan pemilik kambing 2000 kambing” (HR Abu Dawud). Dalam hal ini nampak Umar ra menaikkan jumlah diyat selain onta disebabkan mahalnya harga onta, sehingga jadilah onta sebagai standar pembayaran diyat.72 Kompensasi adalah alternatif yang terkenal dalam hukum Islam. Apabila kejahatan dilakukan oleh anak dibawah umur ataupun oleh orang yang mentalnya terganggu (gila) maka kompensasi atau diyat dibebankan juga kepada „aqila73. Kompensasi dapat dibayar dalam kurun waktu 3 tahun, rentang waktu itu diberikan agar penerima pembayaran dapat merencanakan dan mengelola angsuran. Korban atau keluarga korban dapat menerima jumlah yang lebih kecil daripada diat jika korban atau keluarga korban setuju sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. 2) Konsiliasi (Sulh) Dalam pengertian bahasa al-sulh adalah memutuskan pertengkaran atau perselisihan. Di dalam istilah syari‟at, al-sulh adalah kesepakatan untuk mengakhiri pertikaian antara dua pihak yang bertikai. Masing-masing dari kedua belah pihak yang mengadakan kesepakatan disebut mushalih. Hak yang dipertikaikan disebut mushalah
72
Abd Qadir Audah, al-Tasyri‟ al-Jina‟iy al-Islamiy, Juz 1 (Beirut: Dar al-Kitab al-„Araby, t.t.), hlm 176-177. 73 „Aqila adalah keluarga yang membantu dalam kompensasi terhadap korban dan menahan terjadinya konflik. Hal ini dapat diartikan sebagai keluarga inti seperti: orang tua, anak-anak, saudaralakilaki dan perempuan, paman, sepupu dan mertua.
51
„anhu. Sedangkan apa yang ditunaikan oleh salah satu dari kedua belah pihak kepada lawan pertikaiannya untuk mengakhiri pertikaian disebut mushalah „alaihi.74
Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan perdamaian akan terhindarlah kehancuran silaturahmi (hubungan kasih sayang) sekaligus permusuhan diantara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri. Adapun dasar hukum dilakukan perdamaian dapat dilihat dalam firman Allah swt QS. Al-Hujurat ayat 9.
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil”75 Sulh dalam Islam merupakan satu konsep utuh dalam penyelesaian suatu perkara. Secara mendasar prinsip-prinsip yang harus ada dalam proses sulh antara lain: a. Pengungkapan kebenaran Konflik terjadi karena kurangnya informasi atau perbedaan informasi yang didapatkan oleh beberapa pihak. Bermula dari sinilah kemudian terjadi
74 75
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 5, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), hlm. 420. Departemen Agama RI, Al-Akhyar Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm 516.
52
kesalahpahaman dan dalam bertindak tidak didasarkan fakta yang benar-benar terjadi. Sulh merupakan satu proses perdamaian dimana peran informasi yang benar sangat berperan, yaitu dijadikan dasar untuk membuat satu kesepakatan oleh masing-masing pihak.76 b. Para Pihak yang Berkonflik Islam mengatur bahwa perdamaian hanya dapat dilakukan oleh para pihak yang benar-benar memiliki kepentingan di dalamnya, dalam hal terjadinya kejahatan, yaitu antara pihak pelaku dan korban yang ditengahi oleh seorang mediator. c. Mediator Dasar yang paling tepat untuk melandasi hal ini adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur‟an surat al-Hujarat ayat 9 diatas. Perselisihan harus ada pihak yang menengahi sebagai hakim. Begitu juga dalam sulh, untuk menjembatani kepentingan korbandan pelaku dalam proses perdamaian dapat diadakan mediator. Mediator disini adalah pihak yang secara independen tanpa memihak kedua belah pihak untuk membantu penyelesaian sengketa secara aktif. d. Sulh merupakan Proses Timbal Balik Prinsip ini merupakan satu kemutlakan, karena akan menentukan satu keabsahan dari proses perdamaian itu sendiri. Sulh merupakan kesepakatan kedua belah pihak tanpa paksaan, tapi bukan berarti inisiatif untuk melakukan sulh harus dari kedua belah pihak. Inisiatif bisa muncul dari salah satu pihak dan bisa juga
76
Mahrus Ali, Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat In Court System & Out System (Jakarta: Gratama Publishing, 2011), hlm 302.
53
dari pihak ketiga yang berusaha mendamaikan. Yang jelas, ketika sudah dalam forum sulh, maka sifatnya sudah sukarela dan tanpa paksaan. 77 Dalam memutuskan suatu perkara, hakim diminta untuk mempertimbangkan sulh namun hakim tidak bisa memaksakan perdamaian karena konsiliasi adalah hak dari pihak korban dan bukan suatu kewajiban. Tujuan dari konsiliasi adalah mengakhiri konflik dan gesekan. Menurut sejumlah ahli hukum, konsiliasi tidak diperbolehkan dalam kasus-kasus berat yang melibatkan kejahatan seperti terorisme, kejahatan HAM, pembunuhan berat dan pemerkosaan, karena mereka melakukan pelanggaran terhadap Allah, Negara, masyarakat dan melanggar hak kemanusian.78 Jika korban meninggal atau mejadi tidak kompeten untuk memutuskan konsiliasi (seperti anak dibawah umur atau gila) maka konsiliasi dapat diputuskan oleh keluarga atau perwakilan hukumnya. Konsiliasi dapat dicapai bila keluarga korban setuju untuk mendapatkan sejumlah uang sebagai pengganti hukuman. 3) Pengampunan/Maaf (al-„Afwu) Konsep pengampunan atau al-„afwu mirip dengan kompensasi dan konsiliasi yaitu menghindari hukuman asli. Jika diyat berarti pengampunan dengan kompensasi penuh (bayar ganti rugi sesuai dengan ketentuan diyat) dan konsiliasi, pengampunannya dengan kompensasi parsial (ganti rugi sesuai kesepakatan kedua belah pihak atau yang ditentukan oleh Negara), maka al-„afwu mengacu pada pengampunan tanpa suatu imbalanatau dapat disebut dengan “pengampunan penuh”. Menurut Abdul Qadir Audah, al-„afwu adalah jatuhnya kewajiban hukuman (seperti qishash) tanpa ganti rugi sedangkan sulh adalah jatuhnya kewajiban hukuman 77
Ahmad Ramzy, “Perdamaian Dalam Hukum Pidana Islam dan Penerapan Restorative Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia” Tesis, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012), hlm 36. 78 Chindy Pratisti Puspa Devi, Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Persfektif Hukum Islam, hlm 47.
54
(seperti qishash) dengan ganti rugi. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik mengibaratkan pemaafan atau pengampunan dengan ganti rugi disebut sulh bukan „afwu. Hal ini dikarenakan hukuman wajib pembunuhan sengaja adalah qishash dan diyat tidak diwajibkan, kecuali keluarga korban merelakan untuk tidak dilakukan qishash maka wajib bagi pelaku untuk melaksanakan diyat.79 Menurut kamus ilmiah, sulh telah diserap menjadi satu kata dalam bahasa Indonesia yang berarti perdamaian atau penyelesaian pertikaian secara damai. Sedangkan al-„afwu adalah memaafkan yang disamakan dengan pengampunan. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) damai dimaknai sebagai tidak ada perang, aman, tentram, dan tidak bermusuhan. Adapun maaf dalam KBBI diartikan sebagai pembebasan seseorang dari hukuman karena suatu kesalahan.80 Pengampunan merupakan hak korban. Jika ia tetap hidup, korban dapat memaafkan setiap pelaku yang menyerang atau melukai bagian dari tubuh dengan pengampunan. Dalam hal ini beberapa ahli hukum berbeda pendapat. Menurut sebagian ahli hukum, pelaku yang mendapatkan pengampunan dari korban tidak mendapatkan hukuman asli tetapi mendapatkan hukuman alternatif yang lebih ringan daripada aslinya. Adapun sebagian besar ahli hukum lainnya sepakat bahwa pengampunan dari korban kepada pelaku menjatuhkan kewajiban atas pelaku terhadap hukuman yang harus diterimnya.81 Jika korban meninggal dunia atau tidak dapat memutuskan karena alas an kekurangan mental atau masih dibawah umur, maka keluarga memiliki wewenang dalam memberikan pengampunan. Pengampunan dapat diberikan jika anggota keluarga 79
Abd Qadir Audah, al-Tasyri‟ al-Jina‟iy al-Islamiy, hlm 168. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm 30 dan 240. 81 Chindy Pratisti Puspa Devi, Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Persfektif Hukum Islam, hlm 47- 48. 80
55
mengatakan setuju untuk memberikan ampunan. Negara yang diwakili oleh pengadilan bisa memiliki hak untuk memberikan ampunan dalam kasus-kasus tertentu seperti membunuh seorang pembunuh sebagai balas dendam, dan ketidakcukupan bukti. Dalam hal ini Negara mempunyai hak pengampunan dengan meringankan hukuman pelaku yang biasa disebut dengan hukuman ta‟zir. 4) Ta‟zir sebagai praktik keadilan dalam hukum pidana Ta‟zir dalam pengertian hukum Islam adalah hukuman yang bersifat mendidik yang tidak mengharuskan pelakunya dikenakan sanksi had dan tidak pula membayar kaffarah atau diyat.82 Menurut Wahbah Zuhaili ta‟zir adalah pertolongan, karena melarang si pelaku untuk mendapat hukuman berat, kemudian terkenal dengan istilah bahwa ta‟zir merupakan hukuman yang berupa pendidikan. Hukum ta‟zir merupakan hukuman yang tidak ditetapkan oleh syari‟at dan keputusan hukumnya diserahkan kepada Negara (penegak hukum) sesuai dengan berat ringannya perbuatan tindak pidana tersebut.83 Dalam hukum ta‟zir, pengampunan dan hukuman minimum untuk pelaku tindak pidana merupakan konsep utama. Konsep ta‟zir adalah klasifikasi hukuman yang paling bisa menerima pendekatan rekonsiliasi korban dan pelaku, resolusi konflik, meredam kemarahan, dan kompensasi. Sebagai hukuman, ta‟zir juga mengandung unsur keadilan restoratif termasuk menghormati dan menjaga martabat pelaku.84 Dalam hukum pidana Islam yang berlaku hukum qishash-diyat. Hukuman bagi pelakunya adalah setimpal sesuai perbuatannya (qishash) dan ini sesuai rasa keadilan korban, tetapi perbuatan memaafkan dan perdamaian dari korban dan keluarganya 82
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm 10. Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu (Beirut: Dar Al-Fikr,1997), cet-4, jilid VII, hlm 5591. 84 Chindy Pratisti Puspa Devi, Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Persfektif Hukum Islam, hlm 109. 83
56
dipandang sebagai sesuatu yang lebih baik. Pihak pelaku bisa dijatuhi sanksi diyat, hal ini membawa kebaikan bagi kedua belah pihak dan tidak ada lagi dendam antara kedua pihak. Pihak korban mendapat perbaikandarisanksi yang dijatuhkan, serta ada peranan korban dalam sistem dan proses peradilan pidana.85 Disinilah sebenarnya aspek penting dalam hukum pidana Islam yaitu restorative justice. Jika pelanggar bisa direhabilitasi dengan cara selain hukuman berat, tujuan akan tercapai. Meskipun dalam kerangka normatif proses keadilan restoratif banyak dipertanyakan, namun dalam kenyataannya terdapat pula praktik penyelesaian perkara pidana diluar sistem peradilan pidana, yaitu pengadilan adat. Keadilan restoratif berakar dari nilai-nilai tradisional dalam masyarakat seperti nilai keseimbangan, keharmonisan serta kedamaian dalam masyarakat.
85
Chindy Pratisti Puspa Devi, Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Persfektif Hukum Islam, hlm 110.
57
BAB III PUTUSAN HAKIM NOMOR 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG A. Duduk Perkara Pada bab ini penulis akan menjelaskan latar belakang kasus yang terjadi di wilayah Peradilan Negeri Tangerang yaitu mengenai kasus kepemilikan senjata tajam tanpa ijin dari pihak yang berwenang dan pencurian sepeda motor. Berkas perkara yang dipelajari disini adalah berkas perkara yang telah diputus di Pengadilan Negeri Tangerang dengan Putusan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG. Berkas perkara tersebut diperoleh dengan cara pengambilan data langsung dari dokumen putusan perkara yang tercatat di Pengadilan Negeri Tangerang. 1. Kasus Posisi Kasus ini menceritakan tentang kepemilikan senjata tajam tanpa ijin dari pihak yang berwenang dan disertai dengan pencurian sepeda motor yang dilakukan oleh Mohammad Abdul Faisal bin Sarmaya (alm) bersama dengan Faozi Mahmud bin Khaerudin. Kasus ini berawal pada hari kamis tanggal 09 oktober 2014 sekitar jam 04.00 Wib terdakwa Mohammad Abdul Faisal bin Sarmaya (alm) bersama-sama dengan Faozi Mahmud bin Khaerudin berkeliling-keliling di Kp. Bolang RT.004/001 Ds. Sukasari Kec. Rajeg Kab. Tangerang, kemudian melihat 1 (satu) unit sepeda motor Suzuki Smash warna hitam, tahun 2004, No. Pol:T-4604-EI No. Rangka : MH8FD110C4J-496734, No. Mesin :E402ID496089 yang terparkir di depan rumah milik korban Hamami bin H. Ijum. Selanjutnya terdakwa bersama dengan saksi Faozi
58
Mahmud berhenti lalu Terdakwa turun dan menghampiri sepeda motor tersebut, setelah itu Terdakwa mengambil/membawa sepeda motor tersebut ke jalan raya hingga jauh dari tempat kejadian. Selanjutnya
Terdakwa bersama dengan saksi Faozi
Mahmud kemudian berhenti lalu mengakali/menyambungkan kabel sepeda motor tersebut hingga akhirnya sepeda motor tersebut bisa menyala. Setelah itu Terdakwa langsung membawa pergi sepeda motor tersebut ke rumah Terdakwa. Kemudian pada hari Jum’at tanggal 17 Oktober 2014 sekitar jam 04.00 Wib saat Polsek Rajeg menggelar operasi kepolisian di Jl. Raya Kp. Priuk Desa Mekarsari Kec. Rajeg Kab. Tangerang, memberhentikan laju sepeda motor suzuki Smash dengan nomor Polisi terpasang B-6442-QT yang dikendarai Terdakwa dan saksi Faozi Mahmud. Selanjutnya pada saat Abdul Rohman, Rusdi dan Yeni Kurniawan (ketiganya anggota Polsek Rajeg) menanyakan surat-surat kelengkapan sepeda motor tersebut, Terdakwa dan saksi Faozi Mahmud
menjelaskan tidak membawa surat
kelengkapannya. Kemudian anggota Polsek Rajeg melakukan penggeledahan terhadap badan Terdakwa dan saksi Faozi Mahmud didapati 1 (satu) bilah pisau bergagang kayu warna coklat, dan juga 1 (satu) bilah pisau lipat bergagang plastik warna hitam yang pada saat itu dikalungkan oleh Terdakwa. Selanjutnya Terdakwa dan saksi Faozi Mahmud berikut barang buktinya langsung dibawa ke Polsek Rajeg guna penyidikan lebih lanjut. Setelah dikantor Polsek Rajeg, Abdul Rohman langsung mengecek identitas sepeda motor Suzuki Smash dengan No. Pol terpasang: B-6442QT yang dikendarai
59
oleh terdakwa dan saksi Faozi Mahmud, dan pada saat itu Abdul Rohman melihat No rangka dan No mesin sepeda motor tersebut sama dengan No rangka sepeda motor milik korban Hamami bin H. Ijum yang dilaporkan hilang. Selanjutnya
Abdul
Rohman langsung menginterogasi Faozi Mahmud. Faozi Mahmud menerangkan bahwa 1 (satu) unit sepeda motor merk Suzuki Smash dengan No. Pol. B-6442-QT, warna hitam adalah hasil mencuri bersama terdakwa pada hari kamis tanggal 09 oktober 2014. 2. Dakwaan Berdasarkan uraian permasalahan diatas, bahwa anak diajukan oleh Penuntut Umum dengan dakwaan kumulatif tertanggal 31 oktober 2014 Nomor Reg-Perk: PDM-538/TGR/10/2014 dengan dakwaan kesatu melanggar pasal 2 ayat (1) UU Darurat No 12 tahun 1951 yaitu melakukan tindak pidana membawa senjata tajam tanpa izin dan dakwaan kedua melanggar
pasal 363 ayat (1), ke-3, ke-4, ke-5
KUHPidana yaitu melakukan tindak pidana pencurian dalam keadaan memberatkan. 3. Tuntutan 1) Penutut Umum menyatakan terdakwa Mohamad Abdul Faisal bersalah melakukan tindak pidana membawa senjata tajam dalam dakwaan Kesatu melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Darurat RI No. 12 tahun 1951 dan melakukan tindak pidana pencurian dalam keadaan memberatkan dalam dakwaan Kedua melanggar Pasal 363 ayat (1), ke-3, ke-4, ke-5 KUHPidana;
60
2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Mohamad Abdul Faisal, berupa pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan; 3) Menyatakan barang bukti berupa: -
1 (satu) unit sepeda motor Suzuki Smash warna hitam, tahun 2004, No. Pol. T-4604-EI,
No.
Rangka:
MH8FD110C4J-496734,
No
Mesin:
E4021D496089; -
1 (satu) STNK sepeda motor Suzuki Smash warna hitam, tahun 2004, No. Pol.
T-4604-EI,
No.
Rangka:
MH8FD110C4J-496734,
No
Mesin:
E4021D496089; Dipergunakan dalam perkara lain a.n. Faozi Mahmud bin Khaerudin: -
1 (satu) bilah pisau bergagang kayu dan 1 (satu) bilah pisau lipat ukuran besar dirampas untuk dimusnahkan.
4) Menetapkan agar terdakwa Mohamad Abdul Faisal membayar biaya perkara sebesar Rp. 2000,- (dua ribu rupiah).
4. Pertimbangan Hukum Dari Hakim Majlis hakim berpendapat bahwa Terdakwa anak telah memenuhi semua unsur dari Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No 12 tahun 1951 sebagai berikut: tanpa hak, dan membuat,
menerima,
mencoba,
memperoleh,
menyerahkan
atau
mencoba
61
menyerahkan,
menguasai,
membawa,
mempunyai
persediaan,
menyimpan,
mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak. Ad.1. Tanpa Hak Di dalam fakta persidangan, dapat dibuktikan berdasarkan keterangan saksisaksi dan keterangan anak bahwa terdakwa anak; meguasai atau membawa pisau lipat ukuran besar tidak ada ijin dari pihak yang berwenang; berdasarkan uraian tersebut pengadilan berpendapat unsur tanpa hak telah terbukti dan terpenuhi. Ad.2. Membuat, menerima, mencoba, memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan,
menguasai,
membawa,
mempunyai
persediaan,
menyimpan,
mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak. Dari fakta persidangan berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan anak, bahwa pada hari jum’at tanggal 17 Oktober 2014 sekitar jam 04.00 Wib sedang menggelar operasi kepolisian di Jl. Raya Kp. Priuk Desa Mekarsari Kec. Rajeg Kab. Tangerang. Abdul Rahman, Rusdi dan Yeni Kurniawan (ketiganya anggota polsek rajeg) yang sedang bertugas melakukan operasi lalu lintas kemudian memberhetikan laju kendaraan Suzuki smash yang dikendarai oleh terdakwa anak. Selanjutnya menanyakan surat-surat kelengkapan sepeda motor tersebut, terdakwa dan Faozi Mahmud tidak dapat menunjukkan STNK motor tersebut. Kemudian Rusdi melakukan
62
penggeledahan pada badan terdakwa dan ditemukan 1 (satu) bilah pisau bergagang plastik warna hitam yang pada saat itu dikalungkan pada leher terdakwa. Berdasarkan keterangan tersebut pengadilan berpendapat unsur ini telah terbukti dan terpenuhi. Kemudian unsur di dalam Pasal 363 ayat (1), ke-3, ke-4, ke-5 KUHPidana sebagai berikut: barang siapa, mengambil sesuatu barang, seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak diketahui, yang untuk masuk ketempat untuk melakukan kejahatan atau untuk sampai pada barang yang diambil dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu,perintah palsu atau pakaian jabatan palsu. Ad1. unsur “ Barang Siapa” Barang siapa diartikan sebagai siapa saja sebagaimana setiap orang baik lakilaki atau perempuan tanpa membedakan jenis kelamin dapat merupakan subyek hukum
atau
pelaku
tindak
pidana
yang
sehat
akalnya
serta
mampu
mempertangungjawabkan atas perbuatan yang didakwakan, dalam perkara ini orang yang didakwa dan diajukan dipersidangan adalah
Mohammad Abdul Faisal bin
Sarmaya (alm) yang cakap secara hukum, sehat jasmani dan rohaninya dengan demikian unsur ini terpenuhi secara sah dan meyakinkan. Ad.2. “Mengambil sesuatu barang”
63
Berdasarkan keterangan para saksi-saksi dan keterangan anak bahwa berawal pada hari Kamis tanggal 09 Oktober 2014 terdakwa Moh. Faisal Bin Sarmaya (Alm) bersama-sama temannya bernama Faozi Mahmud Bin Khaeruddin mengambil sepeda motor Suzuki Smach warna hitam, tahun 2004, No.Polisi: T-4604-EL No. Rangka : MH8FD110C4J-496734,No.Mesin:E402ID496089 yang terparkir di depan rumah milik korban Hamami Bin H. Ijum. Berdasarkan keterangan terdakwa anak dan keterangan saksi-saksi yang menguatkan bahwa satu unit kendaraan bermotor dengan No. Pol. T-4604-EL dan ciri-ciri tersebut diatas adalah secara sah milik korban Hamami Bin Ijum berdasarkan laporan Polisi No: LP/2477/K/IX/2014.Kes.Rajeg tertanggal 10 Oktober 2014. Oleh karena itu, unsur “ Mengambil sesuatu barang” ini telah terbukti dan terpenuhi. Ad. 3. “Seluruh atau sebagian adalah kepunyaan orang lain”. Dari keterangan terdakwa anak dan keterangan saksi-saksi yang menguatkan bahwa satu unit kendaraan bermotor dengan No. Pol. T-4604-EL No. Rangka : MH8FD110C4J-496734,No.Mesin:E402ID496089 adalah milik korban Hamami bin H. Ijum yang dicuri oleh terdakwa anak bersama Fauzi Mahmud. Berdasarkan hal tersebut, unsur “Seluruh atau sebagian adalah kepunyaan orang lain” telah terbukti dan terpenuhi. Ad.4. Diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak.
64
Dari fakta persidangan dapat diketahui bahwa Kasus ini berawal pada hari kamis tanggal 09 oktober 2014 sekitar jam 04.00 Wib terdakwa Mohammad Abdul Faisal bersama-sama dengan Faozi Mahmud berkeliling-kelilingdi Kp. Bolang RT.004/001 Ds. Sukasrai Kec. Rajeg Kab. Tangerang, kemudian melihat 1 (satu) unit sepeda motor Suzuki Smash warna hitam, tahun 2004,No. pol : T-4604-El, No. Rangka : MH8FD110C4J-496734, No. Mesin :E402ID496089 yang terparkir di depan rumah milik korban Hamami bin H. Ijum. Terdakwa anak dan Faozi Mahmud mengambil motor tersebut dengan mendorongnya hingga ke jalan raya. Dan setelah berhasil dinyalakan terdakwa anak membawa kabur motor tersebut. berdasarkan keteranga tersebut, unsur ini pun terbukti dan terpenuhi. Ad.5. Yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang
yang diambil dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau
dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu. Dari fakta persidangan dapat diketahui bahwa terdakwa anak dan Faozi Mahmud mengambil sepeda motor yang terparkir di depan rumah milik korban Hamami bin H. Ijum dengan mendorongnya hingga ke jalan raya. Kemudian terdakwa anak bersama dengan saksi Faozi Mahmud berhenti lalu mengakali/menyambungkan kabel sepeda motor tersebut hingga akhirnya sepeda motor tersebut bisa menyala. Setelah itu Terdakwa langsung membawa pergi sepeda motor tersebut ke rumah Terdakwa. Berdasarkan keterangan tersebut, unsur ini terbukti dan terpenuhi.
65
Oleh karena terdakwa anak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana membawa senjata tanpa ijin dari pihak yang berwenang dan tindak pidana pencurian dalam keadaan memberatkan dan pada diri terdakwa anak tidak ada alasan yang dapat menghapuskan atau menghilangkan pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, anak dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan tersebut. Kedua dakwaan tersebut di perkuat dengan bukti yang diajukan oleh penuntut umum dalam persidangan sebagai berikut: 1 (satu) unit sepeda motor Suzuki Smash warna hitam, tahun 2004, No.Pol. T-4604-EI, No. Rangka : MH8FD110C4J-496734, No. Mesin : E402ID496089 ; 1 (satu) STNK sepeda motor Suzuki Smash warna hitam, tahun 2004, No.Pol.T-4604-EI, No.Rangka : MH8FD110C4J-496734, No. Mesin : E402ID496089 ; 1 (satu) bilah pisau bergagang kayu ; 1 (satu) bilah pisau lipat ukuran besar . Selain itu hakim juga telah mempertimbangkan hal-hal yang di dapat di dalam persidangan berdasarkan ketarangan terdakwa anak, orang tua terdakwa anak, kuasa hokum dan balai pemasyarakatan. a. Dalam pembelaannya, kuasa hukum terdakwa anak mengatakan bahwa antara anak dan korban telah ada perdamaian, dan mohon anak dikembalikan kepada orang tuanya.
66
b. Di persidangan Petugas dari Balai Pemasyarakatan Kelas II Serang menyatakan sebaiknya Anak dikembalikan kepada orang tuanya karena masih mau melanjutkan pendidikannya. c. Di persidangan orang tua / Ibu (Suripah) adalah orang tua Anak Mohamad Abdul Faisal menyatakan : Mohon dikembalikan kepada saya selaku ibu Anak Mohamad Abdul Faisal. d. Di dalam perkara ini terhadap Anak telah dikenakan penangkapan dan penahanan yang sah, maka masa penangkapan dan penahanan tersebut harus dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. e. Bahwa oleh karena anak dijatuhi pidana maka haruslah dibebankan pula untuk membayar biaya perkara; f. Mengingat akan Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan khususnya Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No 12 tahun 1951 dan Pasal 363 ayat (1) ke-3, ke-4, ke-5 KUHPidana, Pasal 55, 69 UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Selain pertimbangan hokum tersebut, sebelum menjatuhkan putusan Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa anak yaitu: bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap diri Anak, maka perlu dipertimbangkan
terlebih
dahulu
keadaan
yang
memberatkan
dan
yang
meringankanAnak ; Keadaan yang memberatkan: Perbuatan Anak merugikan saksi korban ;
67
Keadaan yang meringankan: -
Anak masih berusia 17 (tujuh belas) tahun ;
-
Anak mengakui terus terang perbuatannya dan menyesalinya ;
-
Anak belum pernah dihukum ;
B. Amar Putusan -
Menyatakan Anak Mohammad Abdul Faisal bin Sarmaya (alm) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”Membawa senjata tajam tanpa ijin dari yang berwenang dan melakukan tindak pidana pencurian dalam keadaan memberatkan” ;
-
Menjatuhkan pidana terhadap anak Mohammad Abdul Faisal bin Sarmaya (alm) dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan;
-
Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Anak Muhammad Abdul Faisal bin Sarmaya (alm), dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan;
-
Memerintahkan anak Muhammad Abdul Faisal bin Sarmaya (alm) tetap ditahan;
-
Memerintahkan agar barang bukti, berupa: 1 (satu) unit sepeda motor Suzuki Smash warna hitam, tahun 2004, No.Pol. T-4604-EI,
No.
Rangka
:
MH8FD110C4J-496734,
No.
Mesin
:
E402ID496089 ;- 1 (satu) STNK sepeda motor Suzuki Smash warna hitam,
68
tahun 2004, No.Pol.T-4604-EI, No.Rangka : MH8FD110C4J-496734, No. Mesin : E402ID496089 ; 1
(satu) bilah pisau bergagang kayu ;
1 (satu) bilah pisau lipat ukuran besar ; -
Membebankan anak Muhammad Abdul Faisal bin Sarmaya (alm) membayar biaya perkara sebesar Rp. 2000,- (dua ribu rupiah).
69
BAB IV Analisis Pandangan Hukum Positif dan Hukum Islam Terhadap Putusan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG
A. Analisis Pandangan Hukum Positif Terhadap Putusan Nomor 15/Pid.SusAnak/2014/PN.TNG Pada bab ini penulis akan menyajikan data yang diperoleh selama melakukan penelitian. Data tersebut diperoleh melalui studi kepustakaan dan analisis kasus yang telah menjadi berkas perkara. Berkas perkara yang dipelajari disini adalah berkas perkara yang telah diputus di Pengadilan Negeri Tangerang. Kasus atau berkas perkara tersebut diperoleh dengan cara pengambilan data langsung dari dokumen putusan perkara yang tercatat di Pengadilan Negeri Tangerang.
1. Pembahasan Setiap pelimpahan berkas perkara ke pengadilan, mengharuskan penuntut umum melimpahkan berkas dengan surat dakwaan. Fungsi utama surat dakwaan dalam pemeriksaan perkara di sidang pengadilan “menjadi titik tolak landasan pemeriksaan perkara”. Atas landasan surat dakwaan inilah hakim memimpin dan mengarahkan jalannya seluruh pemeriksaan, baik yang menyangkut pemeriksaan alat bukti maupun barang bukti. Oleh karena itu, sebelum hakim memulai pemeriksaan perkara di sidang
70
pengadilan, lebih dahulu memahami secara mantap semua unsur tindak pidana yang didakwakan.1 Landasan hukum merupakan tempat sandaran atau dasar hukum yang digunakan hakim dalam memutuskan perkara-perkara yang ditanganinya. Karena setiap tindakan atau keputusan (kebijakan) yang dilakukan aparatur hukum (hakim) dalam menjalankan tugasnya harus senantiasa bermuara dari sumber-sumber hukum yang jelas. Jika seseorang melakukan tindakan atau perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum maka ia harus mempertangungjawabkan perbuatan yang telah dilakukannya. Karena undang-undang telah menentukan perbuatanperbuatan yang dilarang dengan disertai ancaman pidana (sanksi) berupa pidana. Pemberian hukuman atau sanksi dan proses hukum yang berlangsung dalam kasus pelanggaran hukum oleh anak memang berbeda dengan kasus pelanggaran orang dewasa, karena dasar pemikiran pemberian hukuman oleh Negara adalah bahwa setiap warga Negara adalah makhluk yang bertanggung jawab dan mampu mempertanggung jawabkan segala perbuatannya. Sementara anak diakui sebagai individu yang belum dapat secara penuh bertanggung jawab atas perbuatannya. Oleh sebab itulah dalam proses hukum dan pemberian hukuman, anak harus mendapat perlakuan khusus yang membedakannya dengan orang dewasa.
1
http://eprints.uns.ac.id/10372/1/81212207200912131.pdf, diakses pada 24 Juli 2016.
71
Pada dasarnya sistem peradilan anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif khususnya diversi. Oleh karena itu, sebelum perkara anak masuk kedalam peradilan wajib di upayakan diversi. Seperti yang dijelaskan dalam pasal 7 ayat (2) UU SPPA bahwa diversi dilakukan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7 tahun, dan bukan pengulangan.2 Bahkan dalam PERMA No 4 Tahun 2014 dijelaskan dalam pasal 3 bahwa diversi dapat dilakukan dengan ancaman pidana 7 tahun atau lebih dalam surat dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif dan gabungan. Artinya upaya diversi tersebut harus dilakukan meskipun ancaman hukumannya diatas 7 tahun.3 Jika dilihat dari tuntuan pidana yang diajukan oleh penuntut umum pada pokoknya, bahwa terdakwa anak telah melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Darurat RI Tahun 1951 dan pasal 363 ayat (1), ke-3, ke-4, ke-5 KUHPidana dan terdakwa anak dituntut pidana penjara selama 10 bulan. Maka dalam prosesnya terdakwa anak harus melakukan upaya diversi terlebih dahulu. Apabila terjadi kesepakatan maka perkara akan dihentikan oleh hakim, dan jika tidak terjadi kesepakatan maka perkara akan dilanjutkan ke tahap persidangan. Jika proses peradilan anak dilanjutkan, maka ada kemungkinan anak dijatuhi hukuman pidana atau dikenai tindakan. Hal tersebut merupakan sebagai upaya terakhir 2
Lihat Pasal 7 ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Lihat Pasal 3 PERMA No 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. 3
72
dalam menyelasikan perkara tindak pidana anak. Sebelum menjatuhkan putusannya, Hakim tentu harus melihat pertimbangan-pertimbangan hukum yang ada seperti yang diatur dalam pasal 60 ayat (1), (3) UU SPPA dimana ayat (1) UU SPPA berbunyi: “Sebelum menjatuhkan putusannya, Hakim memberi kesempatan kepada orang tua/wali dan/atau pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi Anak” dan ayat (3) berbunyi: “Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara” Jika dilihat dari putusannya hakim anak telah menelaah pertimbanganpertimbangan yang ditemukan di dalam persidangan, artinya putusan tersebut sudah sesuai berdasarkan UU SPPA. Hakim juga telah mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa anak, seperti: Keadaan yang memberatkan: bahwa perbuatan anak merugikan korban; dan kemudian keadaan yang meringankan: anak masih berusia 17 (tujuh belas) tahun; anak mengakui terus terang perbuatannya dan menyesalinya; dan anak belum pernah dihukum. Dalam amar putusannya dapat diketahui bahwa hakim menjatuhkan hukuman bagi terdakwa Mohamad Abdul Faisal yaitu pidana penjara selama 8 (delapan) bulan, dan membayar denda biaya perkara sebesar Rp. 2000,- (dua ribu rupiah). Dengan pemidanaan tersebut, terdakwa Mohamad Abdul Faisal tinggal menjalani sisa
73
hukuman pidana penjaranya di Lembaga Pemasyarakatan karena masa tahanan yang telah dijalani oleh terdakwa. Putusan yang diberikan oleh Hakim selama 8 (delapan) bulan untuk perkara membawa senjata tajam tanpa ijin dari pihak yang berwenang dan perkara pencurian dengan pemberatan terbilang sangat rendah, mengingat ancaman pidana untuk Pasal 2 ayat (1) UU Darurat RI Tahun 1951, maksimal 10 (sepuluh) tahun, dan Pasal 363 ayat (1), ke-3, ke-4, ke-5 KUHPidana, maksimal 9 (Sembilan) tahun. Namun karena terdakwanya adalah anak, maka hukumannya pun dikurangi ½ (setengah) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Menjadi suatu analisa disini adalah apakah yang menjadi tujuan pemidanaan dan pidana yang dijatuhkan oleh Hakim. Menurut Muladi, “Tujuan pemidanaan adalah yang justru mengikat atau menjalin setiap tahap pmidanaan menjadi suatu mata rantai dalam suatu kebulatan system yang rasional.”4 Dengan demikian menurut Solehuddin, “Apapun jenis dan bentuk sanksi dalam hukum pidana yang akan ditetapkan, tujuan pemidanaan yang harus menjadi patokan.”5 Menurut penulis, berdasarkan semangat keadilan restoratif yang telah dirancang oleh pemerintah sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana anak. Putusan yang dijatuhkan oleh hakim tersebut berupa pidana penjara selama 8 (delapan) 4
hlm. 2.
5
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1995),
Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 119.
74
bulan cukup adil. Hal tersebut dikarenakan berdasarkan fakta-fakta yang ada dalam persidangan, baik dari keterangan saksi, keterangan terdakwa sendiri, maupun dari alat bukti yang ada, dan terpenuhinya semua unsur-unsur dari Pasal yang didakwakan. Kemudian setelah dihubungkan terdapat kesesuaian dan diperoleh fakta-fakta yang meyakinkan hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwalah yang melakukan tindak pidana tersebut. Pada hakekatnya, segala bentuk penanganan terhadap anak yang melanggar hukum harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik untuk si anak. Oleh karena itu, keputusan yang diambil hakim harus adil dan proporsional, serta tidak semata-mata dilakukan atas pertimbangan hukum, tetapi juga mempertimbangkan berbagai faktor lain seperti kondisi lingkungan sekitar, status sosial anak dan keadaan keluarga mengingat anak bukan hanya sebagai pelaku tetapi juga sebagai korban dari kurang perhatiannya dari orang tua. Berdasarkan hal tersebut, pidana penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa anak sudah memenuhi syarat subtansi yang diatur dalam UU SPPA, seperti: a) anak telah berusia 14 (empat belas) tahun atau lebih (Pasal 32 ayat (2) huruf a UU SPPA), b) hanya dilakukan dalam hal anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai kekerasan (Pasal 79 ayat (1) UU SPPA), c) keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat (Pasal 81 ayat (1) UU SPPA), d) maksimum pidana
75
penjara adalah ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa (Pasal 81 ayat (2) UU SPPA).6 Pidana penjara yang telah dijatuhkan hakim dalam putusannya adalah sebagai upaya terakhir dalam penyelesaian tindak pidana anak dan hukuman tersebut diberikan sebagai efek jera atau lebih tepatnya sebagai pembelajaran terhadap terdakwa bahwa perbuatannya adalah melanggar hukum dan diharapkan terdakwa tidak mengulangi lagi perbuatannya. Putusan tersebut pun, menurut penulis dapat diterima oleh terdakwa anak maupun oleh kuasa hukumnya. Hal tersebut dibuktikan dengan tidak ada upaya hukum lanjutan atas putusan tersebut. B. Analisis Pandangan Hukum Islam Terhadap Putusan Nomor 15/Pid.SusAnak/2014/PN.TNG Menurut undang-undang yang berlaku bagi tindak pidana pada kasus pencurian tersebut mengacu pada pasal 363 KUHPidana. Dalam hukum Islam pencurian termasuk jarimah hudud. Mencuri berarti mengambil hak orang lain yang menyebabkan kerugian sepihak. Seorang pencuri dapat dikatakan mencuri apabila dia mengambil barang curiannya dari tempat penyimpanan harta. Dalam Islam hukuman potong tangan dapat dilaksanakan apabila terpenuhi syarat-syaratnya. Adapun syarat pertama: barang/harta 6
Lilik Mulyadi, Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, (Bandung: PT ALUMNI, 2014), hlm. 177-178.
76
yang diambil/dicuri oleh pelaku dilakukan secara diam-diam dengan tanpa diketahui oleh pemiliknya; kedua: barang/harta yang dicuri harus memiliki nilai; ketiga: barang/harta yag dicuri berasal dari tempat yang aman; keempat: barang atau harta yang dicuri adalah milik orang lain; kelima: barang/harta yang dicuri haruslah mencapai nilai nisab. Jika dilihat dari kasus diatas, pencurian yang dilakukan oleh terdakwa anak adalah termasuk pencurian kecil. Menurut „Abdul Qadir Audah pencurian kecil adalah mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi. Kategori hukuman bagi pencuri ada 2 macam yaitu pencurian yang diancam dengan hukuman ta‟zir apabila pelaksanaan syarat-syarat pelaksanaan hukuman had tidak terpenuhi dan hukuman had potong tangan bagi pencuri yang mencapai nisab barang curiannya. Tindak pidana pencurian baru dikenakan hukuman bagi pelakunya apabila barang yang dicuri mencapai nisab pencurian yaitu seperempat dinar. Ketentuan ini didasarkan kepada hadis Rasulullah SAW yang berbunyi:
ِ ق َإِالفِي َرب َِع َ ِدينا ٍرفَص ِ شةَ ر ِ ََُقَالََ رسول:َت ِ َ.اع ًدا ٍَ َل َتُ ْقطَ َُع َيَ ُد َسا ِر: ََ الل َ ض ََي ْ اللُ َع ْن َها قَال َ َ ُُ َُ َ َ ََع ْنَ َعائ ِ َ َ َتُ ْقطَ َع َالْي ُدفِي َرب َِع َ ِدينا ٍرف:َظ َالب َخا ِري ِ ِ َُ متّ َف ٌَق َ َعلَي َِه َوالَلا ْف ََوفِي َ ِرَوايٍََة َ َ ُُ َ ُ ُ َُ ظ َل ُم ْسل ٍَم َ َولَ ْف ُ َ .صاع ًدا َ ْ ِ ِِل ِ ِ ِ َ .ك َ ِاه ََوَأَ ْدنَيَ ِم َْنَذَل ُ يم ْ َ َح َم َداقْطَعُوافيَ ُربُ َِعَدينَا ٍرَوَلتَ ْقطَعُواف 1228. Diriwayatkan dari „Aisyah, dia berkata: Rasulullah bersabda, “Tangan pencuri tidak dipotong kecuali pencuriannya mencapai seperempat dinar keatas.” Hadis Muttafaq Alaih. Lafadznya dari riwayat Muslim. Sedangkan pada riwayat
77
Bukhari disebutkan: “Tangan pencuri itu baru dipotong jika curiannya bernilai seperempat dinar keatas.” Sedangkan pada riwayat Ahmad disebutkan: “Potonglah tangan pencuri yang mencapai seperempat dinar, dan tidak dipotong jika nilainya kurang dari itu”.7 Sanksi potong tangan dalam tindak pidana pencurian menurut ulama merupakan sanksi maksimal. Dengan demikian, tidak setiap pencurian dikenakan sanksi potong tangan. Hal ini dibuktikan dengan ditentukannya syarat dan rukun pencurian. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi maka sanksi potong tangan diganti dengan alternative sanksi lainnya. Hukuman ta‟zir merupakan hukuman yang tidak ditetapkan ketentuannya dalam syari‟at. Ketentuan hukuman ta‟zir diserahkan kepada hakim. Hukuman ta‟zir ditentukan sesuai dengan tujuan pencegahan dan perbaikan dilihat dari besar kecilnya perbuatan jarimah. Dalam kasus pencurian ini terdakwa anak masih berusia 17 tahun. Dalam hukuman yang berlaku di Indonesia, terdakwa anak masuk kedalam peradilan anak dan kesalahannya belum dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya atas pidana yang dilakukan oleh anak tersebut. Anak sebagai pelaku tindak pidana bukanlah sebagai pelaku murni akan tetapi anak sebagai pelaku juga korban. Dalam hal ini terdakwa anak termasuk sebagai korban ekonomi (kemiskinan keluarga) dan korban kurang perhatian dari orang tua. Di dalam putusan, kuasa hokum terdakwa anak mengatakan 7
Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, (Bandung: Penerbit Jabal, 2011), Penerjemah Harun Zen dan Zenal Mutaqin, Cet-1, hlm 318.
78
bahwa antara terdakwa anak dan korban telah ada perdamaian. Walaupun di dalam putusan tersebut tidak dijelaskan secara rinci perdamiannya seperti apa. Oleh karena itu, hukuman yang dapat diberikan kepada terdakwa anak menurut penulis adalah hukuman ta‟zir. Dalam memberikan hukuman ta‟zir bagi anak, sanksi yang diberikan sifatnya harus mendidik dapat diberikan melalui putusan hakim atau dari orang tua mereka. Pemberian hukuman ta’dib dilakukan terhadap perbuatan buruk yang akan dilakukan. Oleh karena itu, menurut penulis hukuman 8 (delapan) bulan penjara yang dijatuhkan oleh hakim adalah cukup adil. Hal ini merupakan sebagai uaya terakhir dalam menyelesaikan permasalahan ini dan diharapkan dari hukuman tersebut terdakwa anak menyadari perbuatannya adalah salah dan merugikan orang lain dan kedepannya terdakwa anak bisa menata kembali kehidupannya menjadi lebih baik lagi.
79
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Dari pembahasan yang dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Restorative justice termasuk diversi merupakan sebuah bentuk kemajuan dalam sistem peradilan pidana dalam menyelesaikan kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak. Namun jika proses diversi tidak berhasil, maka upaya terakhir adalah melalui persidangan di pengadilan. Seperti dalam kasus di atas, dalam putusannya hakim menjatuhkan hukuman 8 bulan penjara terhadap terdakwa anak. Dalam hal ini hakim telah mengkaji dari berbagai pertimbanganpertimbangan yang ada dalam putusannya dan didapatkan fakta-fakta hukum yang menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana membawa senjata tanpa ijin dari pihak yang berwenag dan tindak pidan pencurian dengan pemberatan. Oleh karena itu hukuman 8 bulan penjara cukup adil bagi terdakwa anak dan diharapkan dengan hukuman tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi terdakwa anak untuk tidak mengulangi perbuatannya dan memperbaiki kehidupannya di masa depan.
80
2. Di dalam hukum Islam pencurian yang dilakukan terdakwa anak adalah pencurian ringan. Di dalam kasus ini terdakwa anak masih berusia 17 tahun. Dalam hukum yang berlaku di Indonesai, terdakwa anak masuk kedalam kategori peradilan anak. Oleh karena itu, hukuman yang diberikan terdakwa adalah hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir merupakan salah satu bentuk restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana anak. Hukuman ta’zir yang berupa pidana penjara selama 8 bulan tersebut diberikan sebagai ta’dib terhadap terdakwa anak agar tidak mengulangi kembali perbuatannya dan diharapkan kedepannya anak bisa menata kembali kehidupannya menjadi lebih baik lagi di masa depan.
B. Saran Setelah penelitian Skripsi ini selesai, maka kiranya penulis perlu memberikan catatan-catatan yang perlu direnungkan. Di antara saran-saran tersebut sebagai berikut: 1. Bagi kepentingan pengambil kebijakan, skripsi ini sebagai masukan atau pertimbangan pembaharuan kebijakan formulasi sistem peradilan pidana anak di Indonesia mendatang agar batasan diversi terhadap kategori tindak pidana oleh anak bisa dihapuskan dari Undang-Undang., dan bagi penegak hukum skripsi ini dapat sebagai petunjuk dalam praktik sistem peradilan pidana anak. 2. Aparat penegak hukum, dan lapisan masyarakat khususnya orang tua mampu melakukan upaya-upaya pencegahan dengan kembali menggiatkan ajaran-
81
ajaran agama, akhlak dan moral disekolah-sekolah sebagai benteng pertahan diri setiap anak serta memperhatikan setiap pergaulan para anaknya agar tidak terjerumus kedalam hal-halyang negatif. Akan tetapi jika ada permasalahan diharapkan menggunakan sistem yang baik yang bertujuan untuk kesejahteraan anak, agar anak-anak Indonesia tetap tersenyum bahagia menikmati masa kecilnya.
82
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Referensi Audah, Abdul Qadir. al-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy Juz 1. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, t.t. Al-Asqalani, Ibn Hajar. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam. Bandung: Penerbit Jabal, 2011. Ali, Mahrus dan Syarif Nurhidayat. Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat In Court System & Out System. Jakarta: Gratama Publishing, 2011.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009. Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Beirut: Dar Al-Fikr,1997. Departemen Agama RI. Al-Akhyar Al-Qur’an dan Terjemahnya. Devi, Chindy Pratisti Puspa. Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Persfektif Hukum Islam. Depok: Indie Publishing, 2014.
Djafar, Muhammad. Pedoman Ibadah Muslim dalam Empat Madzhab Sunni dan dalil-dalilnya. Surabaya : GBI (Anggota IKAPI), 1993. Djamil, M. Nasir, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Anak (UU-SPPA). Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Fuad, M. Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991. Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: Pustaka Setia, t.t. Hatta, Ahmad. Tafsir Qur’an Perkat. Jakarta: Maghfiroh Pustaka, 2010.
Hosen, Ibrahim. Fiqh Perbandingan, Jakarta : Balai Penerbitan & Perpustakaan Islam Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia, Jilid 1, 1971. Irfan, M. Nurul. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: AMZAH, 2012.
83
Irfan, M. Nurul dan Masyrofah. Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah, 2013. Jahar, Asep Saepudin dan Euis Nurlaelawati, dkk. Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-undangan, Fikih dan Hukum Internasional. Jakarta: KENCANA, 2013. Jumantoro, Totok, dkk. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT.Amzah, 2005. Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana Bagian satu. Ttp: Balai Lektur Mahasiswa, t.th. Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Perlindungan Anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002. Lamintang, P.A.F. dan Djisman Samosir. Delik-delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan terhadap Harta Milik dan Lain-Lain Hak yang Timbul dari Hak Milik. Bandung: Tarsito, 1997. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014.
Marlina. Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Jurnal Equality, Vol. 13 No. 1 Februari 2008. Marlina. Pengantar Konsep Diversi dan Restroative Justice Dalam Hukum Pidana. Medan: USU Press, 2010. Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Universitas Diponegoro, 1995.
Mulyadi, Lilik. Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia. Bandung: P.T. Alumni, 2014. Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika,2005. P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997. Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama, 2003. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal. Bogor: Politea, 1995. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah juz 2. Kairo: Dar al Fath,1990.
84
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah 5. Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009 Sambas, Nandang. Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013. Solehuddin. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
Sudarsono. Kenakalan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta, 1991. Sudarto. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto, 1990. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Tongat. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan. Malang: UMM Press, 2009. Tongat. Hukum Pidana Materiil. Malang: UMM Press, 2006. Wahyudi, Setya. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing, 2011.
B. Skripsi dan Tesis Fitriani, Ifah Latifah. Islam dan Keadilan Restoratif Pada Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta (2012). Mujubah, Mufidatul. Konsep Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak Persfektif Hukum
Islam (Studi Atas UU RI No. 11 Tahun 2012 Tentang Sitem Peradilan Pidana Anak). Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta 2013. Larasati, Rani Putri. Analisis Kasus Putusan (Perkara Nomor 225/PID.B/2010/PNBKL) Dalam Perspektif Restorative Justice. Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta 2014. Ramzy, Ahmad. Perdamaian Dalam Hukum Pidana Islam dan Penerapan Restorative Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Tesis. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012.
85
C. Peraturan Perundang-undangan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan Tentang Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak. Undang-Undang No 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. PERMA No 4 Tahun 2014
D. Internet http://reskrimun.metro.polri.go.id/site/statistik. http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2015/08/04/337054/sepuluh-ribu-anak-kiniberhadapan-dengan-hukum. http://Metro.sindonews.com/read/910410/31/5-000-anak-mendekam-di-penjara-1412957017. http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt522ec06e6e632/kultur-menghukum--hambatanpenerapan-diversi.
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/l4eec5db1d36b7/perbedaan-batasan-usiacakap-hukum-dalam-peraturan-perundang-undangan. http://www.islamcendikia.com/2014/01/asas-asas-umum-dalam-hukum-islam.html?m=1. http://m.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/05/11/no6bg710-usia-kualitatifpernikahan.
http://eprints.uns.ac.id/10372/1/81212207200912131.pdf.