MOTIVASI KERJA WANITA KARIER: STUDI KASUS TIGA GURU DI SDN PANDEGLANG 13, PANDEGLANG
Arief Budiman
Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia E-Mail:
[email protected]
ABSTRAK Skripsi ini mengaji fenomena kemunculan wanita karier yang menjalani profesi guru SD. Kasus yang diangkat adalah tiga guru di SDN Pandeglang 13. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode etnografi dan metode riwayat hidup. Skripsi ini menjelaskan tentang awal kemunculan motivasi menjadi guru SD dan komitmen guru SD dalam bekerja. Kemunculan motivasi menjadi guru SD diawali oleh pengetahuan mengenai profesi guru. Pengetahuan tersebut dipelajari dan menjadi dorongan dalam diri untuk menjadi guru SD. Dorongan tersebut diarahkan secara sadar untuk menjadi guru SD. Faktor-faktor sosial budaya yang berperan dalam pembentukan motivasi menjadi guru SD antara lain latar belakang ekonomi keluarga orientasi dan pendidikan yang diberikan masing-masing orangtua informan, lingkungan sosial keluarga orientasi, latar belakang ekonomi keluarga prokreasi, dan pola hubungan suami-istri. Di SDN Pandeglang 13, komitmen guru dalam bekerja rendah karena tidak bekerja dengan penuh dedikasi dan profesional. Orientasi guru dalam bekerja adalah menyelesaikan tugas dan memperoleh penghasilan. Guru lebih mengutamakan urusan rumah tangga daripada profesi. Kata kunci: Motivasi, wanita, guru, pengetahuan, SDN Pandeglang 13, komitmen.
ABSTRACT This thesis examines the phenomenon of emergence of working woman career whose profession as elementary school teacher. The case of this thesis is three teachers in SDN Pandeglang 13. Research methods used that ethnography and individual life history. This thesis explains the beginning of the emergence of motivation of being elementary school teacher and the commitment of elementary school teachers in work. The emergence of motivation is preceded by knowledge about the profession of teacher. The knowledge transforms to be impulse by learning knowledge of profession of teacher. The impulse is directed consciously to be elementary school teacher. Social and cultural factors that have roles in the motivation being elementary teachers namely economic background of orientation family and education from parents, economic background of procreation family, and the pattern of marital relationship. In Pandeglang SDN 13, teacher commitment in working low because it does not work with full dedication and professional. Orientation in the teacher worked is finished the task and earned revenue. Teacher prioritize the household affairs than profession.
Keywords: Motivation, woman, teacher, knowledge, SDN Pandeglang 13, commitment.
Pendahuluan
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
Budaya patriarki merupakan budaya masyarakat di dunia, termasuk di Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia menganut ideologi patriarkis yang menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Hal tersebut diperlihatkan dengan adanya pembagian peran di antara lelaki dan wanita yang mana laki-laki pada domain publik dan perempuan berada pada domain domestik. Pembagian peran tersebut menunjukkan bahwa ruang lingkup aktivitas lelaki lebih luas dibandingkan wanita. Dengan demikian, laki-laki mampu berkembang lebih jauh dalam berbagai aspek kehidupan dibandingkan perempuan karena ruang lingkup peran perempuan lebih sempit. Sekalipun wanita mendapat peran di ruang publik, sebagian besar wanita mendapat jenis pekerjaan yang menunjukkan posisinya lebih rendah dari lelaki. Bergman (1986: 87) mengatakan bahwa kunci untuk mengetahui rendahnya posisi wanita dalam pasaran kerja adalah jenis pekerjaan di antara laki-laki dan wanita. Dalam konteks keluarga, pada domain publik peran laki-laki yang paling menonjol adalah sebagai pemimpin keluarga yang mencari nafkah. Berbeda halnya dengan perempuan, pada domain domestik perannya sebagai pengurus rumah tangga di bawah pengawasan suami. Bahkan, istri diharapkan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional suami terlebih dahulu sebelum memenuhi kebutuhannya sendiri (College Women's Study Collective, 1983: 196 dalam Sutedja, 1993: 2). Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran wanita sebagai ibu sehingga wanita berada pada domain domestik. Dalam kondisi pemisahan domain publik dan domain domestik, menurut Rosaldo (1983: 24) aktivitas wanita diisi oleh tanggung jawabnya di rumah untuk mengurus anak dan rumah tangga mereka. Emosi dan perhatian wanita pun tertuju pada dua hal tersebut. Blau dan Ferber (1986: 21) mengatakan bahwa lelaki memonopoli aktivitas di luar rumah sedangkan aktivitas perempuan berkisar di sekitaran rumah. Dubeck dan Borman (1996: 1) mengatakan bahwa selama abad ke-20 proporsi wanita yang bekerja, khususnya yang telah menikah dan memiliki anak, meningkat secara pesat. Peningkatan tersebut berlangsung secara terus menerus di berbagai belahan dunia. Dalam kondisi demikian, keberadaan wanita semakin diakui dalam domain publik. Wanita-wanita Indonesia memiliki beragam profesi yang dijalani. Profesi sendiri berkaitan dengan pendidikan yang dijalani. Pendidikan mendorong manusia untuk mengembangkan apa yang telah dipelajarinya selama menempuh pendidikan. Di samping itu, pendidikan juga membuat manusia sadar bahwa bakat-bakat yang dimilikinya harus dikembangkan (Suryochondro, 1990: 158). Seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan wanita maka besar kemungkinan bekerja dan meniti karier merupakan pilihan bagi wanita.
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
Dalam konteks keluarga, wanita yang berkarier mampu memberikan kontribusi berupa nafkah bagi keluarganya. Dalam kondisi demikian wanita dituntut untuk menggabungkan aktivitasnya pada domain publik dan domain domestik. Di satu sisi wanita harus profesional dalam menjalani profesinya, di sisi lain ia harus bertanggung jawab atas keutuhan keluarganya. Apabila wanita hanya mampu bertanggung jawab atas pekerjaannya dan mengabaikan keluarganya maka keutuhan keluarga akan terancam. Sebaliknya, apabila wanita hanya bertanggung jawab atas keluarganya maka kariernya yang terancam. Merujuk pada Ching-Ching (1995: 25 dalam Kussudyarsana dan Soepatini, 2008: 4), ketika mengalami konflik keluarga-pekerjaan maka wanita akan sulit berpartisipasi dalam menjalankan salah satu peran, apakah itu dalam keluarga atau pekerjaan, karena terjadi pertentangan antara peran pekerjaan dan peran keluarga. Ada banyak profesi yang dijalani wanita karier. Salah satu profesi yang dijalani adalah guru. Guru sebagai profesi di Indonesia secara formal telah dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 2 Desember, bertepatan dengan hari Guru Nasional XII.1 Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, “guru merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.”2 Sebagai pendidik profesional, guru memiliki peranan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Kualitas sumber daya manusia sendiri ditentukan oleh kualitas pendidikan. Apabila kualitas pendidikan meningkat maka kualitas sumber daya manusiapun meningkat. Pada tahun 2012 berdasarkan Education For All Global Monitoring Report yang diumumkan UNESCO, peringkat pendidikan Indonesia adalah 64 dari 120 negara di dunia.3 Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia harus ditingkatkan setiap tahun. Dengan demikian tanggung jawab seorang guru begitu besar terhadap kemajuan bangsa karena peran guru sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Apabila sebagian besar guru tidak profesional dalam menjalankan tugasnya maka kualitas pendidikan di Indonesia
1
Lihat http://informasismpn9cimahi.wordpress.com/2010/05/22/, diakses pada 20 November 2013, Pukul 20.36 WIB. 2 Lihat Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Bab I Ketentuan Umum. 3 Lihat http://kampus.okezone.com/read/2013/06/01/373/816065/astaga-ri-peringkat-ke-64-untukpendidikan, pada 18 November 2013, Pukul 07.10 WIB.
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
akan sulit untuk meningkat. Indonesia akan semakin tertinggal jauh oleh negara-negara lain di berbagai bidang kehidupan, misalnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan profesionalisme guru adalah dengan diadakannya program sertifikasi guru. Program sertifikasi guru merupakan program terencana, sistematis dan diatur oleh undang-undang. Prinsip utama sertifikasi guru adalah akuntabilitas, objektivitas, dan tranparansi sehingga guru yang menjalani test sertifikasi benar-benar layak untuk lolos sertifikasi. Apabila guru dinyatakan lolos sertifikasi setelah menjalani test maka guru mendapatkan fasilitas tambahan berupa tunjangan finansial. Tunjangan
finansial dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan guru dan diharapkan
profesionalisme juga meningkat.4 Akan tetapi, merujuk pada laporan penelitian Bank Dunia pada tahun 2009, 2011 dan 2013 fenomena sertifikasi yang diadakan pemerintah ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap profesionalisme guru dan prestasi siswa. 5 Artinya, kenaikan pendapatan tidak begitu signifikan dalam memicu motivasi guru. Fenomena wanita karier di tengah budaya patriarki dan persoalan profesionalisme guru menarik minat saya untuk mengetahui lebih jauh bagaimana munculnya motivasi wanita menjadi guru SD. Untuk mengetahui bagaimana munculnya motivasi wanita menjadi guru SD maka saya mencari
sebuah sekolah yang menunjukkan fenomena wanita karier yang
berprofesi sebagai guru. Saya mencari sekolah dasar negeri yang mayoritas gurunya merupakan wanita. Berdasarkan pencarian yang telah dilakukan, saya memilih sebuah sekolah dasar yang terletak di Kabupaten Pandeglang yaitu SDN Pandeglang 13. Bagi saya, SDN Pandeglang 13 cukup ideal untuk dijadikan setting penelitian. Berdasarkan survei pendahuluan yang telah dilakukan diketahui bahwa mayoritas guru sekolah tersebut adalah wanita. Dari 12 orang guru, hanya dua orang guru yang lelaki. 6 Semua guru di sekolah ini telah berkeluarga dan memiliki anak. Sebagian besar guru memiliki usia sudah tidak muda lagi, yaitu di atas 45 tahun. Usia tersebut menunjukkan waktu yang dijalani guru wanita sebagai wanita karier telah cukup lama. Dalam seminggu, semua guru bekerja dari hari Senin sampai hari Sabtu. Guru berada di sekolah 7.00 pagi sampai pukul 10.30 siang. Artinya, waktu yang dijalani di sekolah cukup lama. 4
Lihat http://panduanguru.com/sertifikasi-guru-sebagai-usaha-memajukan-pendidikan/, diakses pada 20 November 2013, Pukul 16.30 WIB. 5 Lihat http://www.edupostjogja.com/pendidikan-nasional/berita-nasional/sertifikasi-guru-tidak-berpengaruhsignifikan-bagi-pendidikan, di akses pada 21 November 2013, Pukul 05.42 WIB. 6 Berdasarkan tugas mengajar, guru SDN Pandeglang 13 dikategorikan ke dalam dua jenis yaitu guru kelas dan guru mata pelajaran. Guru lelaki merupakan guru mata pelajaran, bukan guru kelas. Guru kelas merupakan wali kelas tertentu dan mengajar semua mata pelajaran, kecuali mata pelajaran olahraga, seni dan agama. Berbeda halnya guru mata pelajaran yang hanya mengajar satu pelajaran tertentu.
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
Berdasarkan pengamatan saya di beberapa sekolah, saya menemukan bahwa guru sekolah dasar pada umumnya wanita. Berdasarkan data statistik tahun 2008 mengenai jumlah guru diketahui bahwa jumlah guru wanita lebih banyak daripada guru lelaki pada pendidikan dasar maupun menengah (Santana, 2012 dalam Hutapea, 2012: 102). Hal tersebut terjadi di sekolah negeri dan sekolah swasta. Berdasarkan studi literatur yang telah saya lakukan, penelitian terdahulu mengenai motivasi didominasi oleh penelitian relasi antara motivasi karyawan sebuah perusahaan dengan kinerja atau prestasi (dan sebagian besar jawaban penelitian relasinya kuat). Metode penelitian yang digunakan pun sebagian besar kuantitatif. Misalnya, penelitian Lucky Wulan Analisa (2011) yang berjudul “Analisis Pengaruh Motivasi Kerja dan Lingkungan Terhadap Kinerja Karyawan.” Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh motivasi kerja dan lingkungan terhadap kinerja karyawan kuat. Metode penelitian yang digunakan merupakan metode kuantitatif. Sejauh ini kajian teoritis motivasi lebih sering digunakan sebagai pisau analisa dalam penelitian psikologi, manajemen dan administrasi. Hal tersebut dapat dilihat dari literatur-literatur yang tersebar di perpustakaan, internet dan lainnya. Saya belum menemukan penelitian antropologi yang khusus membahas motivasi guru di sebuah sekolah dasar. Padahal kajian motivasi guru memberikan kontribusi terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia karena dapat menjawab persoalan-persoalan guru dalam menjalankan profesinya. Kajian ini memberikan pemahaman tentang apa yang terjadi sebenarnya dengan kehidupan guru di sekolah dan di rumah yang berpengaruh terhadap motivasi bekerjanya. Bukan semata-mata tentang relasi motivasi dengan kinerja atau prestasi. Menjadi sangat menarik bagi saya untuk mengangkat kasus guru wanita yang telah berkeluarga. Di satu sisi ia berada pada domain domestik dan di sisi lain pada domain publik. Kondisi demikian menjadi tantangan tersendiri bagi guru wanita yang telah berkeluarga. Padahal di Indonesia fenomena budaya patriarki mengakar kuat yang mana menempatkan wanita berada pada domain domestik. Penelitian antropologi terdahulu yang membahas motivasi pernah dilakukan oleh Yosefina Anggraini (1998). Penelitiannya berjudul “Motivasi Hidup Membiara (Studi Kasus Lima Orang Biarawati).” Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi menjadi biarawati berawal dari rasa ketertarikan yang kuat terhadap biarawati lain yang hidup membiara. Ketertarikan tersebut berlangsung berulangkali hingga akhirnya biarawati menjadi pilihan hidup. Motivasi biarawati terpelihara melalui sosialisasi nilai, norma, aturan dan pedoman yang berlaku dalam hidup membiara. Bagi biarawati jalan hidup yang diambil merupakan suatu persembahan
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
seluruh hidup kepada Allah. Persembahan tersebut diwujudkan untuk melayani sesama manusia. Penelitian antropologi terdahulu lain yang berkaitan dengan wanita karier pernah dilakukan oleh A.A.A. Sundantari Bintang Sutedja (1993). Penelitiannya berjudul “Pengaturan Peran Ganda Pada Wanita Karir (Kasus Lima Eksekutif Wanita Pada Lima Bank Swasta di Jakarta).” Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita karier yang bekerja pada lima bank swasta dapat mengatur peran ganda yang dijalani dengan baik. Peran ganda sebagai ibu rumah tangga di rumah dan eksekutif di tempat kerja dijalani dengan seimbang sehingga konflik keluarga terhindari. Di rumah mereka menjalankan aktivitas mengurus rumah tangga, mengasuh anak dan menempatkan diri sebagai pendamping suami. Dalam mengambil keputusan pun sesuai keinginan suami. Dalam kehidupan rumah tangga bisa dikatakan bahwa suami tetap menjadi pemimpin bagi wanita karier. Berbeda halnya saat menjalankan peran eksekutif di tempat bekerja. Di tempat bekerja wanita karier bekerja dengan profesional dan berdedikasi. Dalam mengambil keputusan yang diutamakan adalah pertimbangan rasional. Fokus penelitian saya adalah fenomena kemunculan wanita karier yang menjalani profesi guru SD. Meskipun sebagian besar masyarakat di Indonesia menganut budaya patriarki yang menempatkan lelaki melakukan aktivitas pada domain publik, namun wanita yang berada pada domain publik dapat muncul, misalnya wanita yang menjalani karier sebagai guru SD. Fenomena tersebut akibat dari munculnya motivasi wanita menjadi guru SD dan kebudayaan yang dianut. Penelitian ini membahas dan menganalisis kemunculan motivasi wanita menjadi guru SD dan komitmen guru SD dalam bekerja.
Tinjauan Teoritis Saya menggunakan konsep motivasi dan konsep kebudayaan dalam menganalisis fenomena kemunculan wanita karier yang menjalani profesi guru SD. Motivasi dari perilaku manusia merupakan salah satu obyek utama dalam penelitian antropologi psikologi. Motivasi dilihat sebagai salah satu dari faktor-faktor penyebab pendahulu dari perilaku manusia. (Hsu, 1962; Danandjaja, 1988: 151). Sebelum memaparkan keterkaitan antara konsep motivasi dan konsep kebudayaan, saya akan memaparkan terlebih dahulu definisi-definisi konsep motivasi. Winardi (2008:1) mengatakan bahwa istilah motivasi berasal dari kata dalam bahasa latin yaitu movere yang berarti menggerakkan. Hamzah B. Uno (2008: 1) menjelaskan bahwa motivasi merupakan dorongan dasar yang menggerakkan seseorang bertingkah laku, dorongan ini berada pada diri
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
seseorang yang menggerakkan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan dorongan dalam dirinya. Berelson (1967:159) mengatakan bahwa motivasi merupakan pendorong atau penggerak tingkah laku seseorang ke arah apa yang menjadi tujuannya sehingga menghasilkan tingkah laku yang terarah atau disadari tujuannya. Tujuan yang hendak dicapai dapat berupa objek, keadaan atau kegiatan. Senada dengan Berelson, definisi yang diajukan Greenberg dan Baron (dalam Djatmiko, 2004: 67) pun tidak jauh berbeda, motivasi diartikan sebagai suatu proses yang mendorong, mengarahkan dan memelihara perilaku manusia kearah pencapaian suatu tujuan. Menurut Winardi (2008: 40) motivasi berhubungan dengan kebutuhan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan manusia yang harus dipenuhi dalam kondisi-kondisi tertentu sehingga manusia tergerakkan atau terdorong untuk memenuhinya. Abraham H. Maslow (dalam Winardi, 2001: 69) mengatakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki lima tingkat kebutuhan antara lain: 1) kebutuhan fisiologis; (2) kebutuhan rasa aman; (3) kebutuhan akan kasih sayang; (4) kebutuhan akan harga diri; 5) kebutuhan aktualisasi diri. Akan tetapi, Sarwono (1976: 64 – 66; dalam Anggraini: 10) menekankan bahwa kebutuhan tidak selalu menimbulkan dorongan manusia untuk melakukan tindakan karena faktor kebudayaan berperan dalam menimbulkan dorongan untuk melakukan tindakan tertentu. Motivasi merupakan berbagai hal yang mendorong timbulnya tingkah laku dan tindakan, baik yang bersumber dari dalam diri manusia maupun luar diri manusia, termasuk faktor kebudayaan. Hal ini menunjukan bahwa motivasi dan kebudayaan memiliki keterkaitan. Spradley (1980: 6) mengatakan bahwa kebudayaan merupakan pengetahuan yang digunakan manusia untuk menginterpretasikan pengalamannya. Spradley (1975: 7-8) menguraikan beberapa sifat dasar dari kebudayaan, yaitu: kebudayaan itu dipelajari; bukan merupakan karakter bawaan individu, dibagi/dimiliki bersama; para anggota masyarakat yang sama memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu dan cenderung untuk memiliki karakter dasar yang sama dari kenyataan yang dihadapi, kebudayaan merupakan adaptasi; tidak berkembang secara kebetulan, tetapi merupakan cara untuk memahami lingkungan dan mengatasi berbagai masalah dalam lingkungannya saat itu. Kebudayaan juga merupakan suatu sistem yang dinamis yang secara terus menerus berubah seiring berjalannya waktu. Mengacu pada Spradley, Parsudi Suparlan (1986: 107) mengatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan yang dimiliki manusia sebagai mahluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan. Berdasarkan kedua definisi tersebut dapat diketahui bahwa kebudayaan merupakan sistem
pengetahuan
yang
dipelajari
dan
digunakan
untuk
memahami
dan
menginterpretasikan lingkungan serta dijadikan pedoman untuk bertingkah laku.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode etnografi dan metode riwayat hidup. Pertama-tama saya akan memaparkan terlebih dahulu metode etnografi. Istilah yang digunakan untuk seseorang yang menggunakan metode etnografi adalah etnografer. Dalam metode etnografi, berikut ini penjelasan Hammersley dan Atkinson (1995): “.. the ethnographer participating, overtly or covertly, in people’s daily lives for an extended period of time, watching what happens, listening to what is said, asking questions- in fact, collecting whatever data are available to throw light on the issues that are the focus of the research” ( “.. partisipasi etnografer, secara terbuka atau tertutup, di kehidupan sehari-hari masyarakat dalam jangka waktu lama, melihat apa yang terjadi, mendengar apa yang dikatakan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan -- pada kenyataannya mengumpulkan semua data yang tersedia untuk menyoroti isu yang menjadi fokus penelitian” )
Sehubungan setting penelitian di SDN Pandeglang 13 maka saya selama berada di lapangan berusaha turut berpartisipasi menjadi bagian dari SDN Pandeglang 13. Pada awal kedatangan saya di sekolah, saya merasa canggung karena belum dikenal oleh sebagian besar guru dan merasa cukup asing dengan suasana yang ada. Melalui salah satu guru yang telah peneliti kenal sebelumnya, yaitu ibu saya sendiri, saya diperkenalkan dengan warga sekolah. Penelitian saya dimulai dari bulan Oktober 2013 sampai bulan Februari 2014. SDN Pandeglang 13 merupakan setting dalam penelitian saya. Selama berada di SDN Pandeglang 13 saya menjadi guru olahraga. Di samping menjadi guru olahraga, saya mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian di telepon genggam blackberry dari apa yang dilihat dan apa yang didengar. Setelah mencatat, saya sesegera mungkin memindahkannya ke laptop untuk dibuat fieldnote (catatan lapangan). Dalam fieldnote saya menandai informasiinformasi yang berkaitan dengan fokus penelitian. Selanjutnya memikirkan dan menentukan informasi apa yang harus di dapat dalam fieldnote selanjutnya. Saya meminta data-data sekunder yang diperlukan oleh peneliti kepada pegawai administrasi di SDN Pandeglang 13 untuk mendapatkan profil sekolah, Dinas Pendidikan
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
Pandeglang, Badan Perencanaan dan Pembangunan Kabupaten Pandeglang, dan Kecamatan Pandeglang. Saat meminta data sekunder ke dinas yang bersangkutan saya disertai dengan surat izin penelitian dari Departemen Antropologi, Universitas Indonesia. Penelitian ini juga menggunakan metode riwayat hidup. Menurut Koentjaraningrat (1994: 167) metode riwayat hidup amat berguna bagi penelitian antropologi psikologi. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data mengenai keterangan apa yang pernah dialami individu-individu tertentu sebagai warga dari suatu masyarakat yang sedang diteliti melalui wawancara. Data riwayat hidup penting untuk mendapatkan gambaran yang lebih dalam mengenai rincian dari hal yang tidak mudah untuk diceritakan orang dengan metode wawancara berdasarkan pertanyaan langsung. Data riwayat hidup juga penting untuk memperoleh pengertian mendalam tentang hal-hal psikologis yang tidak mudah diamati dari luar. Sehubungan penelitian ini mengenai wanita karier yang berprofesi sebagai guru maka saya menentukan dan memilih beberapa guru yang tepat untuk dijadikan informan-informan kunci. Informan kunci memberikan informasi paling banyak dan berhubungan langsung dengan fokus penelitian ini. Berikut ini kriteria saya dalam menentukan informan: (1) guru wanita; (2) guru kelas; (3) berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipil); (4) telah berkeluarga; (5) memiliki anak yang masih sekolah; (6) terbuka terhadap saya 7. Dalam memilih informan kunci yang sesuai kriteria, saya mengamati setiap guru dan berupaya mendapatkan informasi sedalamdalamnya mengenai guru-guru tersebut. Saya memilih tiga guru yaitu Bu Iah, Bu Heti, dan Bu Iis karena memenuhi kriteria dalam penelitian saya. Tiga guru tersebut paling terbuka terhadap saya dibandingkan guru-guru yang lain sehingga saya bisa mendapatkan data sebanyak-banyaknya dari mereka. Di samping itu, jumlah tiga guru juga didasarkan pada pertimbangan keterbatasan waktu penelitian dan data yang saya peroleh mengenai gambaran umum mereka. Bu Iah, Bu Heti, dan Bu Iis menarik untuk diteliti karena memiliki belakang keluarga yang berbeda-beda. Saya memilih Bu Iah, Bu Heti, dan Bu Iis juga berdasarkan pertimbangan karier. Ketiga informan merupakan wanita karier dan memiliki pengalaman yang berbedabeda. Berikut ini ciri-ciri wanita karier (KBBI kontemporer, 1991): 1. aktif melakukan kegiatan-kegiatan untuk mencapai suatu kemajuan. 7
Berikut ini alasan penentuan kriteria: (1) guru wanita sesuai fokus penelitian wanita karier; (2) guru kelas memiliki tugas mengajar paling banyak; (3) PNS memiliki jenjang karier dan penghasilan guru PNS secara finansial relatif proporsional; (4) telah berkeluarga memiliki tanggung jawab rumah tangga;(5) anak yang masih sekolah tinggal bersama dan diasuh guru saat menjadi ibu rumah tangga di rumah ;(6) terbuka memberikan informasi mendalam dan dapat dipercaya.
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
2. kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu merupakan kegiatan-kegiatan profesional sesuai dengan bidang yang ditekuninya, baik di bidang politik, ekonomi, pemerintahan, ilmu pengetahuan, ketentaraan, sosial, pendidikan, maupun di bidang lainnya. 3. bidang pekerjaan yang ditekuni oleh wanita karier adalah pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya dan dapat mendatangkan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, atau jabatan. Saya melakukan wawancara mendalam terhadap tiga guru tersebut di SDN Pandeglang 13 dan rumah guru yang bersangkutan. Saya juga mewawancarai suami dan anak guru. Setiap kali wawancara mendalam memerlukan waktu yang cukup lama. Selama wawancara saya memutuskan untuk melakukannya sambil mencatat di sebuah catatan kecil. Saya menyadari bahwa SDN Pandeglang 13 merupakan tempat guru bekerja sehingga berupaya semaksimal mungkin untuk tidak membuat guru merasa terganggu.
Temuan dan Analisis Munculnya Motivasi Menjadi Guru SD Munculnya motivasi ketiga informan untuk menjadi guru SD berawal dari pengetahuan mereka mengenai profesi guru. Pengetahuan awal mereka mengenai profesi guru diperoleh dari lingkungan sekolah. Selaku individu yang berada di lingkungan sekolah, ketiga informan mempelajari keseluruhan pengetahuan yang berada di lingkungan sekolah. Keseluruhan pengetahuan yang dipelajari merupakan kebudayaan yang dijadikan pedoman ketiga informan dalam menilai lingkungannya sehari-hari. Parsudi Suparlan (1986: 107) mengatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan yang dimiliki manusia sebagai mahluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan. Pada tiga kasus informan, pengetahuan awal mengenai guru diperoleh di lingkungan sekolah melalui pengamatan terhadap guru yang mengajarnya. Ketiga informan memahami dan menginterpretasi guru yang mengajar selama berada di lingkungan sekolah. Pada awal penilaian terhadap profesi guru, ketiga informan mengacu pada kebudayaan yang ada di sekolahnya masing-masing. Saat pertama kali mengenal profesi guru, ketiga informan memiliki gambaran yang relatif sama. Ketiga informan menggambarkan guru sebagai sosok yang tugasnya mengajar siswa. Sebagian besar guru yang mengajar adalah wanita. Ketiga
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
informan juga mengenal beragam karakteristik guru dalam mengajar. Ketiga informan menggambarkan bahwa sebagian besar guru yang mengajarnya tergolong keras terhadap siswa saat mengajar sehingga para siswa segan dan mudah diatur. Pada saat kelas tiga SMP, pengetahuan ketiga informan mengenai guru bertambah saat mencari tahu jenjang pendidikan setelah SMP. Ketiga informan tidak hanya memperoleh pengetahuan mengenai profesi guru melalui pengamatan terhadap guru yang mengajar, tetapi juga melalui diskusi dengan teman dan orang tua. Pada kasus Bu Iah, ia mencari tahu mengenai kelanjutan pendidikannya kepada ibunya. Ibunya menyarankan Bu Iah untuk menjadi guru kelak dengan melanjutkan pendidikan di SPG. Bu Iah diberitahu oleh ibunya bahwa profesi guru menjamin masa depannya karena penghasilan guru dapat memenuhi kebutuhan dan tidak menganggu kewajibannya sebagai istri saat membina rumah tangga karena waktu yang dimiliki seorang guru di rumah cukup banyak. Menurut ibunya, profesi yang ideal bagi wanita adalah guru SD karena profesi ini tidak menganggu kewajibannya sebagai ibu rumah tangga dan penghasilannya dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Melalui diskusi antara ia dan ibunya, pengetahuan Bu Iah bertambah mengenai profesi guru. Pada kasus Bu Heti, saat kelas tiga SMP ia mencari tahu kelanjutan pendidikannya kepada ibunya. Ibunya menyarankan Bu Heti untuk menjadi guru kelas dengan melanjutkan pendidikan di SPG. Ibunya menyarankan bahwa pendidikan SPG memberi bekal ilmu pengetahuan keguruan. Bu Heti diharapkan menjadi guru seperti ibunya. Bu Heti juga mengamati aktivitas ibunya yang berprofesi sebagai guru. Berdasarkan pengamatannya, profesi yang dijalani ibunya tidak begitu melelahkan dan menyediakan waktu yang cukup banyak di rumah. Pada kasus Bu Iis, saat kelas tiga SMP ia mencari tahu mengenai kelanjutan pendidikannya ke ibunya. Ibunya memberi keleluasaan kepada Bu Iis untuk melanjutkan pendidikan kemana saja. Bu Iis disarankan untuk melanjutkan pendidikan, tanpa diarahkan menjadi guru. Setelah lulus dari tingkat pendidikan setelah SMP, Bu Iis disarankan untuk memiliki pekerjaan tanpa disarankan secara spesifik jenis pekerjaannya. Bu Iis juga disarankan oleh gurunya. Bu Iis disarankan oleh gurunya untuk melanjutkan ke SPG apabila ingin menjadi guru kelak. Bu Iah, Bu Heti dan Bu Iis mendapat pengetahuan juga mengenai profesi guru dari temantemannya di SMP. Ketiganya diberitahu bahwa profesi guru merupakan profesi yang remeh karena tidak dapat menghasilkan uang yang banyak. Di samping itu, pendidikan SPG umumnya dijalani oleh orang-orang dari daerah tertinggal. Dalam kebudayaan sekolah masing-masing informan, profesi guru kurang memiliki prestise. Ketiga informan kurang
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
mempedulikan anggapan teman-temannya di SMP karena menganggap bahwa profesi guru ideal untuk wanita. Anggapan tersebut muncul setelah mengetahui bahwa pekerjaan guru tidak mengganggu aktivitas sebagai ibu rumah tangga, penghasilannya mencukupi kebutuhan sehari-hari, dan pendidikan yang dibutuhkan agar menjadi guru yaitu SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Pengetahuan tersebut diperoleh di lingkungan keluarga. Dalam menilai profesi guru, ketiga informan mengacu pada kebudayaan keluarga masing-masing. Saat ketiga informan mengetahui dan menganggap bahwa guru merupakan profesi yang ideal bagi wanita, motivasi ketiga informan untuk menjadi guru terbentuk. Berelson (1967:159) mengatakan bahwa motivasi merupakan pendorong atau penggerak tingkah laku seseorang ke arah apa yang menjadi tujuannya sehingga menghasilkan tingkah laku yang terarah atau disadari tujuannya. Tujuan yang hendak dicapai dapat berupa objek, keadaan atau kegiatan. Pengetahuan mengenai profesi yang ideal untuk wanita menggerakan tindakan ketiga informan untuk menjadi guru. Ketiga informan kemudian memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke SPG setelah lulus SMP. Keputusan tersebut dilakukan secara sadar dalam rangka mencapai tujuan ketiga informan yaitu menjadi guru. Saat memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke SPG, tujuan yang hendak dicapai setelah lulus SPG adalah menjalani karier sebagai guru. Selama tiga tahun di SPG, ketiga informan mempelajari profesi guru dan ilmu keguruan yang menjadi modal utama untuk menjalani profesi guru. Ketiga informan juga menjatuhkan pilihan untuk menjadi guru SD setelah lulus SPG. Motivasi untuk menjadi guru SD muncul saat menyadari bahwa guru SD cocok untuk dijalani karena dapat langsung dijalani setelah SPG dan siswa yang diajar lebih mudah dibandingkan siswa TK. Selama menjalani pendidikan SPG, ketiga informan memperoleh pengetahuan bahwa profesi guru SMP dan guru SMA dapat dijalani setelah mengikuti jenjang pendidikan perguruan tinggi. Sementara itu guru TK dapat dijalani setelah lulus SPG, tapi lebih sulit dijalani daripada guru SD karena usia anak yang masih balita. Ketiga informan mempelajari pengetahuan mengenai profesi guru TK, guru SD, guru SMP, dan guru SMA dalam menilai profesi guru. Keputusan Menjadi Guru SD Ketiga informan tidak langsung menjalani profesi guru SD setelah lulus SPG, melainkan menjalani kehidupan rumah tangga. Pada tiga kasus informan dapat diketahui bahwa motivasi menjadi guru SD muncul kembali setelah mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Latar belakang ekonomi keluarga prokreasi menjadi dorongan ketiga informan dalam memutuskan untuk menjalani profesi guru SD. Saat menghadapi kesulitan dalam
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
memenuhi kebutuhan rumah tangga, ketiga informan terdorong untuk memenuhinya. Ketiga informanpun menyadari bahwa mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sebagaimana dikatakan Winardi (2008: 40) bahwa motivasi berhubungan dengan kebutuhan. Motivasi dapat muncul tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan manusia yang harus dipenuhi dalam kondisi-kondisi tertentu sehingga manusia tergerakkan atau terdorong untuk memenuhinya. Agar pemenuhan kebutuhan keluarga dapat tercukupi, ketiga informan memilih untuk menjalani hidup sebagai guru SD yang berpenghasilan. Penghasilan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan fisiologis para anggota keluarga. Abraham H. Maslow (dalam Winardi, 2001: 69 menjelaskan bahwa salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisiologis meliputi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Profesi yang ingin dijalani ketiga informan hanya profesi guru SD. Ketiga informan tidak memilih profesi lain karena keahlian yang dimiliki hanya mengajar siswa SD. Hal ini berkaitan dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki ketiga informan yaitu SPG sehingga ketiga informan memiliki keterampilan sebagai guru. Pada tiga kasus informan, motivasi menjadi guru SD tidak hanya karena mengalami kondisi
kesulitan dalam memenuhi
rumah tangga. Ketiga informan juga ingin
mengaktualisasikan dirinya dengan memanfaatkan ilmu mengajar yang dimilikinya dan melakukan aktivitas pada domain publik. Sebagaimana dikatakan Abraham H. Maslow (dalam Winardi, 2001: 69) bahwa pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri menimbulkan dorongan dalam diri manusia untuk melakukan tindakan tertentu. Kebutuhan lain yang dikemukakan Abraham H. Maslow yaitu kebutuhan akan harga diri. Dengan menjalani profesi guru SD, ketiga informan juga memperoleh status sosial sebagai guru SD yang dapat memenuhi kebutuhan akan harga diri. Ketiga informan menganggap bahwa status sosial sebagai wanita yang menjalani profesi lebih baik dibandingkan ibu rumah tangga. Peningkatan status kepegawaian selama menjalani karier sebagai guru SD juga dianggap meningkatkan status sosial ketiga informan. Meskipun penghasilan ketiga informan diawal karier dianggap kurang mencukupi, penghasilan mereka mengalami peningkatan seiring berjalannya waktu dan perubahan status kepegawaian sehingga penghasilan mereka cukup bisa diandalkan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga. Seiring dengan meningkatnya penghasilan, kesejahteraan keluarga informanpun meningkat. Ketiga informanpun merasa status sosialnya meningkat sebagai guru SD. Pada kasus Bu Iah dan Bu Iis, kariernya sebagai guru SD diawali dengan menjadi guru berstatus guru bantu. Setelah menjadi guru bantu, mereka menjadi guru berstatus PNS
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
Golongan II | a. Berbeda halnya dengan kasus Bu Heti yang mengawali karier sebagai guru berstatus tenaga kerja sukarela. Selanjutnya statusnya berubah menjadi guru bantu. Setelah itu ia menjadi guru PNS Golongan II | a. Saat ini status kepegawaian Bu Iah PNS Golongan III | d, Bu Heti PNS Golongan III | a dan Bu Iis PNS Golongan II | a. Bu Iah dan Bu Heti sudah menerima tunjangan sertifikasi sementara Bu Iis belum. Faktor-faktor Sosial Budaya yang Berperan dalam Pembentukan Motivasi Menjadi Guru SD: 1) Latar Belakang Ekonomi Keluarga Orientasi dan Pendidikan yang diberikan masingmasing Orangtua Informan Masing-masing orang tua informan memperhatikan pendidikan ketiga informan karena pendidikan dianggap mampu meningkatkan kesejahteraan. Meskipun orang tua dan sebagian besar tetangga dari Bu Iah, Bu Heti, dan Bu Iis semasa tinggal bersama orang tua berpendidikan SD, orang tua ketiga informan menyekolahkan semua anaknya sampai tingkat pendidikan SMA/sederajat. Melalui pendidikan, ketiga informan memperoleh pengetahuan yang luas dan menyadari bahwa pendidikan membuka peluang untuk menjalani beragam profesi. Pendidikan juga menyadarkan ketiga informan bahwa wanitapun dapat menjalani profesi sebagaimana pria. 2) Lingkungan Sosial Keluarga Orientasi Ketiga informan memperoleh pengetahuan mengenai lingkungan sosial keluarga orientasinya melalui pengamatan dan interaksi sosial yang terjadi dari waktu ke waktu. Pengetahuan tersebut dipelajari dan digunakan untuk menginterpretasikan lingkungan sosial keluarga orientasinya. Di lingkungan sosial keluarga orientasi, informan mengetahui status dan peran istri dalam keluarga. Ketiga informan mengamati profesi orang tua mereka dalam kehidupan sehari-hari sehingga memperoleh pengetahuan mengenai orang tua mereka. Ibu yang mencari nafkah menimbulkan kesadaran pada kedua informan bahwa wanita yang sudah menikah tidak hanya menjadi ibu rumah tangga di rumah, tetapi juga dapat mencari nafkah di luar rumah. Meskipun demikian, di lingkungan keluarga masing-masing informan tetap menjunjung kebudayaan patriarki. Ketiga informan diajarkan oleh orang tua masing-masing agar mampu melakukan aktivitas domestik di rumah karena anak perempuan. 3) Latar Belakang Ekonomi Keluarga Prokreasi Ketiga informan mempelajari keseluruhan pengetahuan mengenai kondisi ekonomi keluarga prokreasi sehingga motivasi menjadi guru SD dapat muncul. Sebelum memutuskan menjalani profesi guru SD, masing-masing keluarga informan memiliki latar belakang
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
ekonomi yang kurang sejahtera. Dalam kondisi ekonomi yang kurang sejahtera, pengetahuan mengenai kebutuhan rumah tangga yang harus dipenuhi mendorong ketiga informan untuk memenuhinya. Kondisi tersebut menimbulkan dorongan dalam diri masing-masing informan untuk membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga. Penghasilan suami dianggap belum bisa memenuhi kebutuhan keluarga dengan layak oleh masing-masing informan. 4) Pola Hubungan Suami-Istri Selama membina rumah tangga, ketiga informan mempelajari pengetahuan pola hubungan suami-istri. Pengetahuan tersebut digunakan informan dalam menilai status sosial suami dan istri di dalam rumah tangga. Dorongan dalam diri masing-masing informan untuk menjadi guru SD muncul saat mengetahui status sosial suami di dalam keluarga tidak lagi sebagai pemimpin keluarga yang menghidupi istri dan anak. Pada saat informan mengetahui bahwa suami tidak mampu menghidupi istri dan anak-anak, pola hubungan suami-istri masingmasing menunjukkan suami tidak memiliki kekuasaan yang lebih besar dari istri di dalam rumah tangga. Pengetahuan mengenai pola hubungan suami-istri menimbulkan dorongan dalam diri masing-masing informan untuk mencari nafkah dengan menjalani profesi guru SD. Bekerja di SDN Pandeglang 13 Profesi guru SD yang dijalani selama bertahun-tahun tidak bisa dilepaskan dari keberadaan motivasi dalam diri informan untuk tetap bekerja. Motivasi kerja informan dapat dilihat melalui aktivitas dan kinerja informan dalam menjalani profesinya. Bu Iah, Bu Heti dan Bu Iis memiliki peran ganda sebagai guru SD dan ibu rumah tangga sehingga motivasi kerja mereka dibentuk oleh pengetahuan yang ada di lingkungan keluarga prokreasi dan lingkungan SDN Pandeglang 13. Berikut ini faktor-faktor yang membentuk motivasi kerja informan selama bekerja di SDN Pandeglang 13: A.
Tanggung Jawab sebagai Guru dan Ibu Rumah Tangga Pengetahuan terhadap tanggung jawab dipelajari dan dijadikan pedoman informan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Kesadaran terhadap tanggung jawab menjadi dorongan dalam diri informan untuk melaksanakan kewajibannya. Pada kasus tiga informan dapat diketahui bahwa kewajiban yang dimiliki saat ini adalah bekerja di SDN Pandeglang 13 dan menjadi ibu rumah tangga di rumah masing-masing. Pelaksanaan kewajiban menunjukan bagaimana kondisi termotivasi kerja. Pada tiga kasus informan, tanggung jawab utama yang dimiliki di SDN Pandeglang 13 adalah menjadi guru kelas. Sebagai guru kelas, ketiga informan melakukan aktivitas mengajar
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
di kelas dan mengerjakan administrasi guru. Pada kasus Bu Iah, Bu Heti dan Bu Iis, tanggung jawabnya sebagai guru tercermin dalam aktivitas mengajar yang rutin dilakukan setiap hari Senin sampai Sabtu. Pada hari Senin sampai Kamis aktivitas mengajar dimulai pada pukul 07.15 sampai 12.30. Pada hari Jum’at dan Sabtu aktivitas mengajar dimulai pada pukul 07.15 sampai 10.30. Pada kasus Bu Iah, Bu Heti dan Bu Iis, aktivitas rumah tangga relatif tidak menganggu terhadap aktivitasnya sebagai guru sehingga tidak mengurangi motivasi kerja di SDN Pandeglang 13. Di rumah, masing-masing informan menyadari tanggung jawabnya selaku ibu rumah tangga. Waktu yang digunakan di rumah lebih banyak dibandingkan di SDN Pandeglang 13 sehingga mendukung untuk melaksanakan aktivitas informan sebagai ibu rumah tangga. Suami memberikan toleransi terhadap profesi yang dijalani selama di SDN Pandeglang 13 sehingga motivasi kerja sebagai guru SD dapat terpelihara. Ketiga informan rutin melakukan aktivitas bersih-bersih di rumah, melayani suami dan mengasuh anak-anaknya. Pada kasus Bu Iah dan Bu Heti, aktivitas rumah tangga dibantu oleh suami dan anaknya. Berbeda halnya dengan Bu Iis, aktivitas rumah tangga dibantu oleh suami, anak dan pembantunya. Meskipun demikian, aktivitas rumah tangga dalam keluarga masing-masing sebagian besar tetap dikerjakan informan. Pada pagi hari, ketiga informan mempersiapkan makan untuk anggota keluarga dan membereskan rumah. Pada siang hari, setiap pulang dari SDN Pandeglang 13 ketiga informan mempersiapkan makan untuk anggota keluarga. Setelah mempersiapkan makan, ketiga informan tidur siang, menonton tv atau mengobrol dengan anak mereka masing-masing sampai sore hari. Ketiga informan melakukan aktivitas bersih-bersih di rumah seperti mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu, mengepel, merapikan ruangan dan lainnya biasanya pada sore hari. Apabila merasa lelah, mereka memilih untuk beristirahat di rumah atau bersosialisasi dengan tetangga. Saat beristirahat di rumah, mereka biasanya menonton tv atau mengobrol dengan anak mereka masing-masing. Pada malam hari waktu digunakan untuk berinteraksi dengan suami dan anak. Suami dan anak-anak informan tidak berkomentar atau menegur saat ketiga informan tidak melaksanakan aktivitas ibu rumah tangga. B. Penghasilan Penghasilan memiliki keterkaitan erat dengan kehidupan yang dijalani karena dapat memenuhi kebutuhan informan dan keluarga sehari-hari. Dengan adanya penghasilan, maka kebutuhan fisiologis informan seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan dapat terpenuhi. Apabila kebutuhan tidak terpenuhi maka kehidupan informanpun terganggu. Penghasilan
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
memiliki peranan penting dalam kehidupan masing-masing informan. Apabila tidak menerima penghasilan sama sekali, maka ketidakpuasan informan terhadap profesi yang dijalani terjadi sehingga informan memiliki tendensi untuk tidak bekerja. Pada kasus Bu Heti dan Bu Iis, penghasilannya saat ini sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Artinya, pemenuhan kebutuhan hidup keluarga tidak hanya mengandalkan penghasilan suami. Berbeda halnya dengan kasus Bu Iah, saat ini penghasilannya digunakan untuk dirinya sendiri karena kondisi ekonomi keluarganya sudah mapan meski hanya mengandalkan penghasilan suami dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Penghasilannya digunakan untuk membeli busana, kosmetik, aksesoris dan perhiasan. Penghasilannya juga digunakan untuk menabung. Saat ini masing-masing informan masih ingin meningkatkan status kepegawaiannya agar penghasilannya meningkat. Penghasilan sebagai guru SD dapat meningkat apabila status kepegawaian meningkat. Pengajuan peningkatan status kepegawaian dilakukan setiap tiga tahun sekali disertai kelengkapan administrasi guru dan biaya yang bersifat ilegal. Besaran biaya tersebut dianggap cukup besar oleh ketiga informan. Apabila sedang tidak memiliki uang yang cukup, maka ketiga informan lebih memilih untuk tidak naik tingkat. Ketiga informan
menggunakan
penghasilannya
masing-masing
saat
meningkatkan
status
kepegawaian. Pada tiga kasus informan, setiap menjelang akhir semester dan kenaikan tingkat diketahui bahwa aktivitas mengerjakan tugas administrasi lebih intensif. C. Siswa Siswa berperan dalam membentuk motivasi kerja informan. Motivasi belajar siswa dalam aktivitas belajar mengajar di kelas menentukan munculnya dorongan dalam diri informan untuk mengajar. Baik Bu Iah, Bu Heti maupun Bu Iis menyatakan bahwa siswa yang aktif mengikuti pelajaran di kelas dan berprestasi menambah motivasi mereka saat mengajar di kelas. Sebaliknya, siswa yang tidak aktif mengikuti pelajaran di kelas dan tidak berprestasi mengurangi motivasi mereka di kelas. Sebagian besar siswa yang diajar masing-masing informan di kelas memiliki motivasi belajar yang rendah sehingga mengurangi motivasi mereka saat mengajar. Pada tiga kasus informan, saat siswa banyak bersenda gurau dan mengeluarkan suara yang berisik, aktivitas belajar mengajar menjadi terhambat sehingga motivasi mengajarpun berkurang. Dalam meningkatkan motivasi belajar siswa, ketiga informan menyampaikan nasehat kepada siswa secara berulang-ulang. Akan tetapi, sebagian besar siswa kurang memiliki dorongan dalam diri untuk belajar meskipun dinasehati berulang-ulang.
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
Berkurangnya motivasi mengajar ditunjukan dengan keluar kelasnya masing-masing informan untuk beristirahat ke ruang guru karena tidak ada dorongan dalam diri mereka untuk mengajar meski sifatnya sementara. Di ruang guru mereka beristirahat dan menenangkan pikiran. Apabila dorongan dalam diri masing-masing informan untuk mengajar tetap ada meskipun motivasi belajar siswa kurang, maka aktivitas mengajar tetap dilanjutkan. Dalam memelihara motivasi mengajar, masing-masing berupaya untuk memelihara motivasi belajar siswa. Hal ini dilakukan agar kelas kondusif untuk aktivitas belajar mengajar. Pengetahuan masing-masing informan terhadap para siswa yang diajarnya didalami dan dijadikan pedoman informan dalam bertindak dan berperilaku di kelas. Pada kasus Bu Iah, Bu Heti dan Bu Iis, aktivitas mengajar dilakukan dengan cara lebih banyak menyampaikan materi daripada berdiskusi dengan siswa. Mereka memahami bahwa kurikulum tidak bisa diterapkan sepenuhnya karena sebagian besar siswa yang diajar kurang mampu dalam menyerap pelajaran. Padahal berdasarkan kurikulum yang digunakan, aktivitas mengajar lebih banyak berdiskusi dengan siswa. D. Pimpinan Dibawah kepemimpinan Bu Neneng selaku kepala sekolah, guru-guru dibimbing dalam menjalankan tugasnya di SDN Pandeglang 13. Hubungan antara Bu Neneng dengan guruguru yang akrab memberikan kenyamanan terhadap ketiga informan sehingga motivasi kerja dapat terpelihara. Hubungan tersebut ditandai dengan obrolan yang sering dilakukan di ruang guru tentang kehidupan di SDN Pandeglang 13 antara Bu Neneng dengan guru. Di samping itu, Bu Neneng juga berbaur dengan guru-guru melakukan aktivitas bersama seperti makan bersama. Bu Neneng memberikan arahan dan bimbingan langsung dengan halus dan mudah dipahami ketiga informan. Bu Neneng biasanya memberikan arahan dan bimbingan kepada ketiga informan di ruang guru pada saat rapat dan waktu luang guru (bukan jam mengajar). Bu Nenengpun sigap saat diminta bantuan oleh ketiga informan. Hal ini memberikan kemudahan ketiga informan dalam mengerjakan tugasnya. Ketiga informan melakukan upaya untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan mematuhi perintah Bu Neneng, misalnya mengerjakan tugas administrasi dengan baik. Hal ini tidak terlepas dari pujian yang diberikan kepala sekolah saat menerima tugas administrasi guru. Bu Neneng lebih sering memerintah guru untuk mengerjakan tugas administrasi saat menjelang akhir semester. Dorongan dalam diri ketiga informan untuk mengerjakan tugas administrasi tidak hanya untuk menyelesaikan
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
tugasnya sebagai guru, tetapi juga untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan kepala sekolah. Pada kasus Bu Iah, Bu Heti maupun Bu Iis aktivitas mengajarnya tidak pernah dikomentari atau dikritik oleh kepala sekolah. Hal tersebut membuat mereka merasa nyaman dalam mengajar meskipun diawasi oleh kepala sekolah. Namun, kurangnya peran Bu Neneng terhadap kinerja informan dalam mengajar berdampak pada motivasi mengajar guru yang mana mengalami penurunan karena pengawasan yang dilakukan tidak disertai masukan. Di samping itu, Bu Neneng juga tidak menerapkan sanksi saat guru melakukan kesalahan seperti keluar kelas pada jam mengajar atau telat datang ke kelas untuk mengajar. Hal tersebut menunjukan bahwa peran Bu Neneng dalam meningkatkan motivasi mengajar guru kurang. Kepala sekolah sebagai pimpinan memiliki peranan paling besar dalam mengelola SDN Pandeglang 13. Pada tiga kasus informan, program yang diterapkan dalam mencapai visi dan misi sekolah tidak mengganggu aktivitas guru dalam menjalankan profesinya dan sudah memuaskan. Program yang paling memuaskan adalah peningkatan kualitas sarana dan prasaran sehingga Bu Iah, Bu Heti dan Bu Iis merasa nyaman dengan kondisi sarana dan prasarana di SDN Pandeglang 13. E. Rekan Guru Hubungan yang diwarnai dengan keakraban memberikan kenyamanan terhadap aktivitas kerja sehingga motivasi ketiga informan untuk bekerja di SDN Pandeglang 13 dapat terbentuk. Pada tiga kasus informan diketahui bahwa guru satu sama lain saling terbuka dan berupaya untuk memelihara hubungan yang dijalin dengan melakukan aktivitas bersama di ruang guru seperti mengobrol tentang kehidupan di SDN Pandeglang 13 atau di rumah, makan bersama, menjenguk guru yang sakit dan lainnya. Guru-gurupun saling membantu satu sama lain. Misalnya, saat Bu Iis mempersiapkan upacara dibantu oleh Bu Emma. Pada kasus Bu Iah, rekan guru-guru dikenal ramah dan rendah hati. Bu Iah paling sering berkumpul dan berinteraksi dengan Bu Emma, Bu Lela dan Bu Entin. Pada kasus Bu Heti, rekan guru-guru dikenal perhatian. Bu Heti paling sering berkumpul dengan Bu Iis, Bu Nunung dan Bu Emma. Pada kasus Bu Iis, rekan guru-guru dikenal terbuka. Bu Iis paling sering berkumpul dan berinteraksi dengan Bu Heti, Bu Nunung dan Bu Emma. Bu Emma sering memberikan masukan kepada Bu Iis dalam menjalankan kehidupan rumah tangganya. Akan tetapi, hubungan antar guru yang akrab kadang mengurangi dorongan dalam diri guru untuk mengajar. Hal tersebut terlihat saat guru lebih memilih untuk mengobrol dengan sesama guru dibandingkan mengajar pada jam pelajaran. Tidak adanya nuansa persainganpun
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
tidak menimbulkan dorongan yang kuat dalam diri guru untuk bekerja. Tidak ada upaya untuk menjadi yang terbaik dibandingkan guru-guru lain. Hubungan yang dijalin menciptakan norma-norma yang berlaku di kalangan guru. Salah satu norma yang dimaksud antara lain guru tidak boleh absen mengajar tanpa izin kepada guru lain atau kepala sekolah. Apabila absen tanpa izin, maka guru yang bersangkutan digosipkan dan kenyamannyapun terganggu. Hal ini menjadi mekanisme guru dalam membentuk dorongan dalam diri guru untuk mengajar. Pengetahuan guru-guru mengenai norma-norma yang berlaku dijadikan pedoman dalam berperilaku sehari-hari di SDN Pandeglang 13.
Kesimpulan Pada tiga kasus informan dapat diketahui bahwa guru SD menjadi pilihan dalam menjalani hidup sebagai wanita karier karena profesi tersebut dinilai ideal untuk wanita. Guru SD dinilai sebagai profesi ideal untuk wanita karena aktivitasnya tidak mengganggu aktivitas sebagai ibu rumah tangga, penghasilannya mencukupi kebutuhan sehari-hari, dan pendidikan yang diperlukan SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Anggapan profesi guru SD sebagai profesi yang ideal untuk wanita diawali oleh pengetahuan ketiga informan mengenai profesi guru. Penilaian tersebut berdasarkan pengetahuan mengenai profesi guru yang diperoleh selama menempuh pendidikan. Masingmasing orang tua informan memperhatikan pendidikan ketiga informan karena pendidikan dianggap mampu meningkatkan kesejahteraan. Pendidikan yang diberikan oleh orang tua masing-masing guru adalah SD, SMP dan SPG. Pendidikan tidak hanya mengenalkan pada profesi guru, tetapi juga menyadarkan bahwa wanita dapat menjalani profesi sebagaimana pria. Sementara itu di lingkungan sosial keluarga orientasi ketiga informan juga memperoleh pengetahuan bahwa wanita dapat menjalani profesi sebagaimana pria. Berdasarkan pengamatan dan interaksi sosial yang terjadi di lingkungan tersebut, ketiga informan mengetahui bahwa wanita mampu mencari nafkah untuk keluarga sehingga muncul dorongan dalam diri masing-masing informan untuk mencari nafkah dengan menjalani profesi tertentu. Ketiga informan juga mengetahui bahwa wanita tetap harus menjalankan aktivitas domestik di rumah meskipun menjalani profesi. Pengetahuan tersebut mengarahkan ketiga informan untuk memilih profesi yang tidak menganggu aktivitas rumah tangga.
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
Seperangkat pengetahuan mengenai profesi guru dipelajari selama menempuh pendidikan di SD, SMP, dan SPG. Pada saat kelas tiga SMP, informan mengetahui bahwa profesi yang ideal untuk wanita adalah guru sehingga muncul dorongan dalam diri ketiga informan untuk menjalani profesi guru. Pengetahuan tersebut diperoleh dari orang tua informan. Profesi guru dianggap ideal karena aktivitasnya tidak mengganggu kewajiban sebagai istri dan penghasilannya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dorongan dalam diri ketiga informan diwujudkan dengan mengambil keputusan untuk melanjutkan pendidikan di SPG. Dorongan tersebut diarahkan secara sadar untuk mencapai tujuan yaitu menjadi guru. Saat menjalani SPG, ketiga informan mempelajari pengetahuan mengenai profesi guru. Saat mengetahui bahwa profesi guru SMP dan SMA tidak bisa dijalani langsung setelah lulus SPG dan profesi guru TK dianggap lebih sulit untuk dijalani, dorongan dalam diri ketiga informan untuk menjadi guru diarahkan untuk menjadi guru SD. Pada saat ketiga informan membina rumah tangga, guru SD menjadi pilihan tidak hanya karena dinilai sebagai profesi yang ideal untuk wanita, tetapi juga karena suami tidak mampu menghidupi rumah tangga dengan layak. Pada saat suami tidak mampu menghidupi rumah tangga dengan layak, muncul dorongan dalam diri informan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan menjalani profesi guru SD agar memperoleh nafkah. Suami yang tidak mampu menghidupi rumah tangga dengan layak juga menimbulkan perubahan pola hubungan suami-istri. Awalnya suami merupakan pemimpin rumah tangga yang mencari nafkah dan menghidupi anggota keluarga. Keputusan keluargapun dimonopoli suami. Namun, saat penghasilan suami tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, pola hubungan suami-istri mengalami perubahan. Istri tidak lagi mengakui kuasa suami sepenuhnya dalam rumah tangga sehingga memilih untuk menjalani karier sebagai guru SD agar mendapatkan penghasilan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Profesi guru SD dipilih sesuai dengan latar belakang pendidikan masing-masing informan yaitu SPG. Ketiga informan menyadari bahwa mereka memiliki keahlian yang diperlukan sebagai guru SD. Keahlian yang dimiliki menimbulkan dorongan dalam diri untuk menjalani profesi guru SD karena dapat mengaktualisasikan diri informan. Meskipun keahlian yang dimiliki menimbulkan dorongan untuk menjalani profesi guru SD, namun suami tetap menjadi dorongan utama masing-masing informan. Ketiga informan memilih untuk menjalani karier sebagai guru SD pada saat suami tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga dengan layak. Pada saat demikian suami tidak memiliki kuasa sepenuhnya di dalam rumah tangga dan mengizinkan ketiga informan untuk mencari nafkah sehingga dorongan yang kuat untuk menjalani karier sebagai guru SD dapat muncul.
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
Selama menjalani profesi guru SD, ketiga informan dapat dikatakan wanita karier karena bidang pekerjaan yang ditekuni merupakan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya yaitu mengajar siswa SD. Keahlian masing-masing informan sesuai dengan latar belakang pendidikan yang dijalani sebelum menjalani karier yaitu sekolah pendidikan guru. Profesi guru SD yang dijalani ketiga informan juga dapat mendatangkan kemajuan dalam kehidupan masing-masing informan dari segi penghasilan dan status kepegawaian. Di SDN Pandeglang 13, guru-guru memiliki komitmen dalam bekerja. Dalam menjalankan tugas-tugasnya, guru-guru berupaya menciptakan iklim sekolah yang kondusif dan berusaha mencapai visi dan misi sekolah. Namun, pada tiga kasus informan dapat diketahui bahwa komitmen guru dalam bekerja rendah. Sebagai guru, ketiga informan tidak bekerja dengan profesional dan penuh dedikasi. Bagi mereka bekerja adalah upaya memperoleh nafkah dan perwujudan aktualisasi diri. Para guru cenderung hanya mempedulikan tugas rutin seperti mengajar di kelas dan mengerjakan administrasi guru. Orientasi para guru dalam bekerja adalah menyelesaikan tugas dan memperoleh penghasilan. Ketiga informan kurang menyediakan waktu dan tenaga untuk memikirkan masalah yang berhubungan dengan tugasnya. Dalam mewujudkan komitmennya di kelas, guru mengajarkan materi pelajaran yang lebih ringan dari kurikulum. Hal ini dilakukan agar guru dapat mengajar dengan lancar dan siswa dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar. Namun, mereka kurang memperdulikan masalahmasalah siswa karena aktivitas mengajar yang dilakukan hanya mengutamakan penyampaian materi pelajaran. Meskipun guru melakukan pengendalian terhadap perilaku siswa di kelas dengan menanamkan budi pekerti melalui nasehat, namun guru tidak berupaya mengetahui lebih jauh terhadap masalah-masalah siswa sehingga siswa mengulangi perilaku yang tidak mendukung kegiatan belajar mengajar di kelas. Pada saat siswa tidak mampu mengikuti kegiatan belajar mengajar, guru tidak memiliki kemauan yang kuat dalam menciptakan keadaan kelas yang kondusif. Pada saat waktu senggang mengajar, ketiga informan lebih memilih untuk berinteraksi dengan sesama guru dan kepala sekolah. Para guru merasa nyaman dengan hubungan sosial yang terjalin sehingga dorongan dalam diri guru untuk bekerja di SDN Pandeglang 13 dapat terbentuk. Namun, kebutuhan sosial para guru yang terpenuhi tidak menimbulkan dorongan yang kuat untuk mengajar. Para guru toleran satu sama lain. Kepala sekolahpun tidak menjalankan perannya sebagai pemimpin yang menjaga komitmen guru dalam bekerja sehingga komitmen guru dalam bekerja rendah.
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
Di rumah, ketiga informan lebih memilih menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya dan tidak memikirkan masalah yang berhubungan dengan tugasnya sebagai guru SD. Ketiga informan juga relatif tidak membawa urusan rumah tangga ke sekolah. Mereka memiliki keterikatan yang kuat dengan keluarga prokreasi. Mereka lebih mementingkan kondisi rumah tangga daripada pekerjaan sehingga melakukan aktivitas domestik dengan baik dan berupaya untuk tidak membawa urusan pekerjaan ke rumah. Dalam mengintegrasikan pekerjaan dan rumah tangga guru tidak mengalami kesulitan. Saran Kebijakan pemerintah mendatang diharapkan fokus pada peningkatan kualitas kepala sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah berperan penting dalam meningkatkan motivasi guru dalam bekerja di lapangan sehingga diharapkan kepala sekolah memiliki kompetensi yang baik. Saya tidak menyarankan untuk menghapus kebijakan pemerintah yang sudah ada yaitu memberi tunjangan sertifikasi kepada guru yang telah disertifikasi. Kebijakan tersebut sepatutnya diapresiasi karena penghasilan guru membantu guru dalam menjalankan aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga. Terkait dengan guru wanita yang menjalani peran ganda sebagai guru dan ibu rumah tangga, pengaturan peran ganda harus dilakukan dengan cermat sehingga tanggung jawab sebagai guru dan ibu rumah tangga dapat dilaksanakan dengan baik.
Daftar Referensi Buku: Achmad, Roni M. 2009. 136 tahun Pandeglang. Pandeglang: Bagian Humas Sekretariat Daerah Kabupaten Pandeglang. Bergman, Barbara R. 1980 The Economic Emergence of Women. New York: Basic Books, Inc. Blau, Francine D., and Marianne A. Ferber. 1986
The Economics of Women, Men, and Work. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Berelson, B dan Gary A. Steiner. 1967
Human Behavior. New York: Harcourt, Brace & Word.
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
Danandjaja, James. 1988 Antropologi Psikologi. Jakarta: Rajawali Press. Djatmiko, Yayat Hayati. 2004
Perilaku Organisasi. Bandung: Alfabeta.
Dubeck, P.J. & Borman, K. 1996 Women and Work. New York: Garland Publisher. Hammersley, M. and Atkinson, P. 1995
Ethnography: Principles in Practice (Second Edition). London: Routledge.
Hamzah B. Uno. 2008
Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.
Handoko, Martin. 1992
Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Karsidi. 2007
Model Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan SD dan MI. Solo: Tiga Serangkai.
Peter Salim dan Yeni Salim 1991
Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: English Press
Rosaldo, E.Z. 1983
Women, Culture and Society. California: Stanford University Press.
Sarwono, Sarlito Wirawan 1976
Pengantar Umum Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang.
Spradley, James P. 1975
The Cultural Perspective. New York: John Wiley dan Sons.
1980 Participant Observation. New York: Holt, Rinehart, and Winston. Suryochondro, Sukanti. 1990
Perempuan Kerja. Bandung : Pustaka Setia.
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014
Winardi. 2001
Manajemen Perubahan. Jakarta: Kencana.
Jurnal: Kussudyarsana dan Soepatini. (2008). Pengaruh Karier Objektif pada Wanita terhadap Konflik Keluarga-Pekerjaan Kasus Pada Universitas Muhammadiyah Surakarta dalam Jurnal Penelitian Humaniora, Vol.9. No. 2, Agustus 2008. Hlm. 128 – 145. Suparlan, Parsudi. (1986). Kebudayaan dan Pembangunan, dalam Media IKA UI th. XIV no.11. Skripsi: Analisa, L.W. (2011). Analisis Pengaruh Motivasi Kerja dan Lingkungan Terhadap Kinerja Karyawan. Skripsi Sarjana Strata Satu. Tidak diterbitkan. Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Anggraini, Yosefina. (1998). Motivasi Hidup Membiara: Studi Kasus Lima Orang Biarawati. Skripsi Sarjana Strata Satu. Tidak diterbitkan. Depok: Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia. Sutedja, Sundantari Bintang A.A.A. (1993). Pengaturan Peran Ganda pada Wanita Karir: Kasus Lima Eksekutif Wanita pada Lima Bank Swasta di Jakarta. Skripsi Sarjana Strata Satu. Tidak diterbitkan. Depok: Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia. Hlm. 2. Internet: http://informasismpn9cimahi.wordpress.com/2010/05/22/, diakses pada 20 November 2013, Pukul 20.36 WIB. http://www.panduanguru.com/sertifikasi-guru-sebagai-usaha-memajukan-pendidikan/, diakses pada 20 November 2013, Pukul 16.30 WIB. http://www.edupostjogja.com/pendidikan-nasional/berita-nasional/sertifikasi-guru-tidakberpengaruh-signifikan-bagi-pendidikan, di akses pada 21 November 2013, Pukul 05.42 WIB. http://kampus.okezone.com/read/2013/06/01/373/816065/astaga-ri-peringkat-ke-64-untukpendidikan, diakses pada 18 November 2013, Pukul 07.10 WIB.
Menjadi Guru..., Arief Budiman, FISIP UI, 2014