MODUL PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI
NOMOR MODUL TOPIK SUB TOPIK LEARNING OBJEKTIF
: D2 : Penyakit Obstruksi Paru : Asma bronkial : - Penatalaksanaan asma stabil Penatalaksanaan asma eksaserbasi
Tatalaksana Asma I.
ASMA BRONKIAL
II.
Waktu Mengembangkan kompetensi Sesi tutorial Diskusi kelompok Sesi praktik dengan fasilitas tutor Sesi praktik mandiri Pre-test & Pro-test Pencampaian kompetensi
Waktu 2 x 60 menit 4 x 60 menit 3 x 120 menit 4 x 120 menit 2 x 30 menit 1 minggu
Tujuan Pembelajaran A. Tujuan Umum Modul ini menguraikan tentang proses dan asuhan yang diberikan pada kasus asma bronkial pada saat stabil dan eksaserbasi. Di sini dijelaskan tentang anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan asma bronkial, baik pada keadaan eksaserbasi ataupun stabil. B. Tujuan Khusus Pada akhir pembelajaran modul diharapkan peserta didik mampu mengenali gangguan fungsi, melakukan pemeriksaan, menetapkan diagnosis dan prognosis serta melakukan penatalakssanaan pasien dengan asma bronkial.
III. BAGIAN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG JANUARI 2015
Kompetensi A. Kompetensi Kognitif 1. Memahami defenisi, penyebab, pathogenesis, dan risiko asma bronkial Memahami gambaran klinis asma bronkial 2. Memahami berbagai teknik pemeriksaan yang berkaitan dengan asma bronkial 3. Memahami tatalaksana mendiagnosis asma bronkial 4. Memahami tatalaksana terapi asma bronkial
5. 6.
Memahami indikasi dan kontraindikasi tindakan dan terapi asma bronkial Memahhami risiko, komplikasi yang dapat terjadi akibat tindakan diagnostic dan terapi asma bronkial
6. VI.
Referensi Buku Wajib Buku yang wajub dibaca: 1. PDPI. Asma. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Edisi II. Badan Penerbit FKUI, Jakarta. 2004. 2. Lecture notes on respiratori medicine. S.J. Bourke. 6th ed 3. NHLBI. Global inisiative for Asthma. 2015.
VII.
Gambaran Umum Memberikan penjelasan dan upaya yang akan dilakukan selama modul atau praktik yang dilakukan terkait dengan modul ini sehinggga tujuan pembelajaran dapat dicapai dalam waktu yang dialokasikan dan kompetensi yang diperoleh sesuai dengan yang diinginkan
VIII.
Contoh Kasus Ny. A, 30 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan sesak menciut sejak 2 hari yang lalu, sesak di pengaruhi oleh debu dan makanan laut. demam tidak ada. Dalam satu bulan ini Ny A sering mengeluhkan sesak napas yang hilang timbul serta sering terbangun tengah malam karena batuk. Biasanya Ny A hanya makan obat dari warung untuk menghilangkan gejala yang dirasakannya. Ibunya juga menderita sesak napas seperti Ny A.
B. Kompetensi Ketrampilan 1. Mampu mengenali gejala dan tanda 2. Mampu melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik 3. Mampu merencanakan dan melaksanakan hasil pemeriksaan penunjang 4. Mampu menginterpretasi hasi pemeriksaan penunjang 5. Mampu membuat keputusan klinik dan memberikan tindakkan yang tepat IV.
Metoda dan strategi pembelajaran A. Metode 1. Kuliah interaktif 2. Curah pendapat dan diskusi 3. Bed side teaching 4. pendampingan (coaching)
B. Strategi Tujuan 1 Tujuan 2 Tujuan 3 Tujuan 4 Tujuan 5
V.
. mampu mengenali gejala dan tanda (metode1,2,3,4 ) . mampu melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis (metode 1,2,3,4) . mampu merencanakan dan melaksanakan pemeriksaaan penunjang (metode 1,2,3,4) . mampu mengintrepetasu hasil pemeriksaan penunjang (metode 1,2,3,4) .mampu membuat keputusan klinik dan memberikan tindakan yang tepat (metode 1,2,3,4)
Persiapan Sesi Bahan dan peralatan yang diperlukan 1. Materi modul asma bronkial 2. Materi presentasi : Power Point 3. Model; 4. Contoh kasus 5. Daftar tilik kompetensi
audiovisual
IX.
X.
Rangkuman Kasus B. Bahan diskusi • Gangguan apa yang diderita Ny. A? • Pemeriksaan apa yang harus dilakukan pada Tn. A • Terapi yang dapat diberikan pada Tn.A? C. Penuntun diskusi kasus • Proses inflamasi • Gangguan nafas dan aktiviti Evaluasi Kognitif
• • •
Pre-test dan post-test, dalam bentuk lisan, assay dan/atau MCQ Self assessment dan Peer Assisted Evaluation Curah pendapat dan diskusi
Psikomotor • • • •
Self Assisted dan Learning Peer Assisted Evaluation (berbasis nilai 0,1 dan 2) Penilaian kompetensi (berbasis nilai memuaskan, perlu perbaikan dan tidak memuaskan) Kesempatan untuk perbaikan (Task-based Medical Education)
Kognitif dan psikomotor • • • XI.
BST Mini-CEX OSCE Instrumen Penilaian Instrumen pengukuran kompetensi kognitif dan psikomotor 1. Observasi selama proses pembelajaran 2. Log book 3. Hasil penilaian peragaan keterampilan 4. Pretest modul 5. Post-test modul 6. Penilaian kinerja pengetahuan dan keterampilan (ujian akhir semester)
XII.
Penuntun Belajar Skor Penuntun belajar 0 1 2 1. Melakukan penyapaan, memberikan informasi dan edukasi pada pasien 2. Melakukan anamnesis : a. Keluhan utama b. Keluhan tambahan c. Riwayat penyakit sekarang d. Faktor risiko e. Riwayat penyakit dahulu f. Riwayat penyakit keluarga g. Riwayat psikososial h. Riwayat pekerjaan dan kebiasaan 3. Melakukan pemeriksaa fisis status generalis a. Keadaan umum b. Tanda vital 4. Melakukan pemeriksaan status lokalis secara sistematis a. Inspeksi b. Palpasi c. Perkusi d. Auskultasi 5. Melakukan pemeriksaan penunjang 6. Menetapkan diagnosis kerja 7. Menetapkan diagnosis banding 8. Menetapkan rencana penatalaksanaan 9. Menentukan prognosis 10. Melakukan evaluasi hasil tindakkan (terapi) 11. Mengenali masalah dan penyulit serta melakukan antisipasi pencegahan 12. Mengenali masalah dan penyulit yang ada dan melakukan penanganan sesuai kemampuan serta fasilitas yang tersedia dan/atau melakukan rujukan apabila diperlukan 13. Jumlah skor Keterangan : 0 : Tidak diamati 1: Dikerjakan semua tapi tidak benar, atau tidak berurutan, atau tidak dikerjakan 2: Dikerjakan dengan bantuan 3: Dikerjakan semua dengan lengkap dan benar
3
Maksimal Skor Jumlah Skor XIII.
EPIDEMIOLOGI
: 36 : Jumlah skor
Daftar Tilik kompetensi Daftar Tilik ya Tidak 1. Penyapaan, informasi dan edukasi pada pasien 2. Malakukan anamnesis yang terarah 3. Melakukan pemeriksaan fisis status generalis 4. Melakukan pemeriksaan fisis status lokalis 5. Melakukan pemeriksaan penunjang 6. Menetapkan diagnosis kerja 7. Menetapkan diagnosis banding 8. Menetapkan penatalaksanaan 9. Menentukan prognosis 10. Menjelaskan hasil penanganan yang diharapkan 11. Mengenali masalah dan penyulit yang mungkin terjadi dan melakukan antisipasi pencegahan 12. Mengenali masalah dan penyulit yang ada dan atau melakukan rujukan apabila diperlukan Keterangan : TD : tidak diamati Centang pada kolom yang relevan Hasil : semua kolom harus tercentang kompeten, apabila tidak harus mengulang
Survey yang dilakukan oleh Global Burden Of Disease Study (GBD) pada tahun 2008-2010 memperkirakan sebanyak 334 juta jiwa penduduk dunia menderita asma. Prevalensi asma diberbagai negara berkisar antara 1-18%. Negara dengan Prevalensi asma yang tinggi (lebih dari 20%) adalah amerika latin, eropa, amerika utara dan afrika barat. Daerah dengan prevalensi rendah (kurang dari 5%) adalah asia fasifik, mediterania timur serta Eropa Utara dan timur. Angka kematian asma di seluruh dunia kurang dari 1%. Angka kejadian asma di Indonesia berdasarkan Riskesda 2013 adalah sebesar 4,5%. Propinsi dengan prevalensi yang tinggi adalah Sulteng sebesar 7,8%, NTT sebanyak 7,3% dan DIY sebesar 6,9%. Prevalensi asma di Sumbar sebesar 2,7% lebih rendah jika dibandingkan dengan angka nasional. Asma termasuk dalam 10 penyakit tidak menular terbanyak yang ditemukan dimasyarakat.
FAKTOR RESIKO ASMA Adanya gejala respirasi saat kecil, riwayat rinitis atau eksim, riwayat keluarga yang juga menderita asma atau alergi, akan meningkatkan kecurigaan pada asma. Gambaran tersebut tidak spesifik serta tidak muncul pada semua kasus asma. Pasien yang menderita rinitis atau eksim pada kulit harus dilakukan anamnesis yang terinci tentang gejala saluran napas yang mereka alami untuk dapat mencurigai terdapatnya asma pada pasien tersebut.
GAMBARAN KLINIS ASMA ASMA BRONKIAL DEFINISI ASMA Asma merupakan penyakit yang heterogen, dengan karakteristik adanya inflamasi kronis saluran napas. Hal ini ditandai dengan adanya riwayat gejala saluran napas berupa whizing, sesak napas, dada terasa berat dan batuk yang bervariasi dari waktu kewaktu serta intensitasnya, disertai dengan adanya keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi.1
Gambaran klinis yang ditemukan pada asma dapat bervariasi dari waktu kewaktu serta individu ke individu. Variasi ini dicetuskan oleh faktor tertentu seperti latihan, alergen, perubahan cuaca serta infeksi virus. Gejala serta hambatan aliran udara yang timbul pada asma bisa membaik secara spontan ataupun dengan pengobatan. Asma merupakan penyakit heterogen dimana proses yang mendasarinya berbeda-beda. Kumpulan dari gambaran demografi, gejala klinis, serta karakteristik patofisiologi dikenal dengan istilah fenotip asma. Fenotip asma yang sudah dikenal adalah : 1. Asma alergi : Fenotip ini sering muncul pada masa anak-anak, berhubungan dengan riwayat alergi sebelumnya dan atau keluarga yang mempunyai riwayat alergi. Pasien dengan fenotip ini mempunyai respon yang baik dengan kortikosteroid.
2.
3. 4. 5.
Asma non alergi : Beberapa pasien asma dewasa, sering tidak pempunyai riwayat alergi. Sel yang ditemukan pada sputumnya terutama netrofil. Eosinofil serta sel inflamasi lain biasanya jarang ditemukan. Penggunaan kortikosteroid sering tidak memberikan respon yang baik pada pasien tipe ini. Asma onset lama : asma yang timbul untuk pertama kalinya pada pasien dalam usia dewasa. Biasanya keadaan ini sering ditemukan pada perempuan, cenderung tidak ada riwayat alergi dan membutuhkan dosis kortikosteroid yang lebih besar dibandingkan pasien asma lainnya. Asma dengan hambatan aliran udara permanen : Keadaan ini sering dijumpai pada pasien yang telah lama menderita asma dimana telah terjadi airway remodeling yang mengakibatkan hambatan aliran udara permanen. Asma dengan obesitas : Pasien tipe ini mempunyai gejala respirasi yang jelas, eosinofil sedikit sekali ditemukan.
Beberapa gambaran gejala yang dapat mengarah pada diagnosis asma : 1. Pasien mengeluhkan adanya gejala lebih dari satu macam (adanya whizing, sesak napas, dan dada terasa berat). 2. Gejala biasanya memburuk pada malam serta dini hari. 3. Intensitas gejala berubah-ubah. 4. Adanya pencetus dari gejala yang timbul, bisa berupa infeksi virus, asap, paparan alergen yang bersifat individu. Anamnesis yang dilakukan dengan baik, dapat menjadi kunci dalam menemukan orang-orang dengan kemungkinan asma. Penemuan dini kasus sangat penting karena dokter dapat segera memberikan obat yang sesuai sehingga fungsi paru pasien dapat dipertahankan normal atau mendekati normal. Efek jangka panjang dari asma yang tidak terkontrol serta tidak memdapatkan obat yang tepat, seperti airway remodelling dapat dihindarkan. Berikut ini gejala-gejala yang bukan mengarah pada asma adalah : 1. Batuk tanpa ada gejala saluran napas yang lain. 2. Produksi sputum kronis 3. Nyeri dada 4. Sesak napas yang dicetuskan oleh latihan, tanpa adanya bunyi menciut. Pemeriksaan fisik yang ditemukan pada pasien asma saat diluar serangan, sering normal. Pada serangan kelainan yang dapat ditemukan adalah : • sesak • mengi • penggunaan otot bantu napas • pulsus paradoksus
DIAGNOSIS ASMA Karakteristik yang khas pada asma adalah ditemukan hambatan aliran udara serta fungsi paru yang bervariasi sepanjang waktu. Pada pasien yang tidak terkontrol variasi fungsi paru lebih besar bila dibandingkan dengan asma yang terkontrol. Fungsi paru merupakan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai: 1. Obstruksi jalan napas 2. Reversibiliti kelainan faal paru 3. Variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsibilitas jalan napas. Bila ditemukan adanya gejala yang mencurigakan kearah asma serta ditemuinya bukti adanya hambatan aliran udara ekspirasi, maka alur diagnosis dibawah ini dapat dijadikan panduan :
sampai 80% pada dewasa serta lebih dari 90% pada anak-anak. Bila didapatkan nilai yang kurang dari nilai normal maka mengindikasikan adanya hambatan aliran udara ekspirasi. Perbedaan nilai FEV1 pre dan post bronkodilator sebesar 12% dan nilai mutlak lebih dari 200 ml memberikan diagnosis pasti untuk asma. Pemeriksaan spirometri serta interpretasi hasilnya harus dilakukan oleh ahlinya, sehingga hasil yang didapat bisa dipercaya. Arus Puncak Ekspirasi (APE) Penilaian adanya hambatan aliran udara ekspirasi secara praktis dapat dilakukan dengan menggunakan peakflow. Perubahan APE lebih dari 20% dapat mengarah pada asma. Hanya saja nilai dari APE ini tidak sebaik nilai spirometri. APE dilakukan bila spirometri tidak ada. Bukti hambatan aliran udara yang dari peakflow harus tetap dikonfirmasikan dengan spirometri. Fungsi pemeriksaan APE untuk diagnosis asma : · Menilai adanya Reversibilitas, yang diketahui dengan adanya perbaikan nilai APE ³ 15% setelah pemberian inhalasi bronkodilator atau setelah diberikan bronkodilator oral selama 1014 hari. Dapat juga dinilai dari respons terapi yang didapat dari pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral , selama 2 minggu) · Variabilitas, merupakan cara penilaian terhadap variasi diurnal APE. Pemeriksaan dilakukan terhadap APE harian selama 1-2 minggu. Variabilitas juga berfungsi untuk menilai derajat berat penyakit. Cara pemeriksaan variabiliti APE harian Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2 cara : · Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai asma. APE malam - APE pagi Variabilitas harian = -------------------------------------------- x 100 % 1/2 (APE malam + APE pagi) · Spirometri Diagnosis pasti asma ditegakkan dengan menggunakan pemeriksaan spirometri. Adanya bukti penurunan rasio dari nilai Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1) terhadap Force vital capacity (FVC) merupakan tanda dari asma. Rasio dari FEV1 / FVC pada keadaan normal lebih besar dari 75%
Metode lain untuk menetapkan variabilitas APE adalah nilai terendah APE pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari). Contoh : Selama 1 minggu setiap hari diukur APE pagi dan malam , misalkan didapatkan APE pagi terendah 300, dan APE malam tertinggi 400; maka persentase dari nilai terbaik (% of the recent
best) adalah 300/ 400 = 75%. Metode tersebut paling mudah dan mungkin dilakukan untuk menilai variabilitas. DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding asma dibuat berdasarkan gambaran klinis serta umur dari pasien. Diagnosis banding akan berbeda diantara pasien dewasa lebih dari 40 tahun, usia antara 12-39 tahun dan anak-anak usia 6-11 tahun. Diagnosis banding asma yang dapat difikirkan pada pasien dewasa usia lebih dari 40 tahun adalah : 1. Disfungsi pita suara 2. PPOK 3. Hiperventilasi, disfungsi pernapasan. 4. Bronkiektasis 5. Gagal jantung 6. Pengaruh obat-obatan 7. Penyakit parenkim paru 8. Emboli paru 9. Obstruksi jalan napas sentral. Diagnosis Banding asma pada remaja : 1. Sindroma batuk kronis saluran napas atas. 2. Disfungsi pita suara 3. Hiperventilasi, disfungsi pernapasan. 4. Bronkiektasis 5. Cistic fibrosis 6. Penyakit jantung kongenital 7. Defisiensi alfa 1 antitripsin 8. Terhirup benda asing. Diagnosis banding asma pada pasien usia 6-11 tahun : 1. Sindroma batuk kronis saluran napas atas. 2. Terhirup benda asing. 3. Bronkiektasis 4. Disfungsi silia primer 5. Penyakit jantung kongenital 6. Bronkopulmonari displasia 7. Cistic fibrosis
PENATALAKSANAAN ASMA Secara garis besar penatalaksanaan asma dibagi atas dua keadaan yaitu pada keadaaan stabil dan keadaan eksaserbasi. Kedua keadaan ini mempunyai pendekatan terapi yang berbeda, asma saat eksaserbasi lebih diutamakan untuk segera mengatasi perburukan gejala yang timbul serta mencegah terjadinya eksaserbasi selanjutnya. Pada asma stabil terapi difokuskan untuk mencegah timbulnya gejala yang dapat mengganggu kehidupan pasien sehari-hari sehingga pasien dapat melakukan aktifitas sehari-harinya sama dengan orang yang tidak menderita asma. Pengobatan yang diberikan pada pasien asma tidak tetap tapi berubah-ubah disesuaikan dengan keadaan kontrol asma sehingga bersifat sangat individual. Pemilihan obat pada asma adalah obat minimal yang dapat memberikan efek terapi yang optimal. Tujuan terapi jangka panjang asma : 1. Mencapai keadaan dimana gejala terkontrol dengan baik & tidak ada hambatan aktifitas sehari-hari. 2. Meminimalkan resiko eksaserbasi, hambatan aliran udara permanen dan efek samping obat. ASMA STABIL. Asma stabil adalah suatu keadaan dimana tidak ditemukan adanya tanda-tanda eksaserbasi pada pasien. Global Initiative for Asthma (GINA) mulai tahun 2006 mengeluarkan tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu dengan penilaian tingkat asma kontrol. Penatalaksanaan asma terbaru ini berupaya menilai secara cepat apakah asma tersebut terkontrol, terkontrol sebagian atau tidak terkontrol sama sekali, hal ini bertujuan agar intervensi klinis dapat cepat dilakukan sesuai tingkat kontrol pasien. Penatalaksanaan asma dengan kontrol asma menitikberatkan pada adekuasi terapi dan bersifat individual. Pada keadaan stabil ini, penilaian asma harus dilakukan terhadap : 1. Asma kontrol yang terdiri atas dua domain yaitu : kontrol terhadap gejala dan resiko dari outcome yang jelek dimasa mendatang. 2. Obat yang diberikan terutama penggunaan inhaler. 3. Komorbid yang akan mempengaruhi gejala serta kualitas hidup pasien. Penilaian terhadap fungsi paru dengan menggunakan spirometri terutama nilai FEV1 sebagai persentasi prediksi, merupakan bagian yang penting untuk memprediksi resiko masa datang. Pasien yang berada pada keadaan stabil ini harus dievalusi bagaimana asma kontrolnya. Asma kontrol adalah suatu keadaaan bagaimana gejala asma bermanifestasi dalam kehidupan pasien sehari-hari atau pengurangan atau peningkatan gejala yang berhubungan dengan pengobatan yang digunakan.
Penilaian yang penting dilakukan pada pasien asma terdiri dari : 1. Penilain terhadap asma kontrol (kontrol terhadap gejala serta resiko perburukan dimasa datang). Penilaian yang harus dilakukan meliputi : • Gejala dalam 4 minggu yang lalu. • Identifikasi faktor resiko untuk terjadinya eksaserbasi. • Penilaian fungsi paru saat diagnosis / terapi dimulai serta secara periodik antara 3-6 bulan setelah pengobatan dengan kontroler diberikan. 2. Penilaian terhadap pengobatan yang diberikan : • Dokumentasikan step pengobatan yang diberikan. • Awasi teknik penggunaan inhaler, kepatuhan serta efek samping obat yang mungkin terjadi. • Asthma Action Plan. • Tanyakan tanggapan pasien terhadap pengobatan mereka serta sikapnya. 3. Penilaian komorbid. Nilai penyakit penyerta yang terdapat pada pasien, karena bila tidak ditatalaksana dengan baik akan mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Penilaian kontrol asma dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang mudah diisi oleh pasien. Kuesioner ini telah digunakan dibayak negara dan telah divalidasi. Kuesioner tersebut adalah : • Asthma Control Test (ACT) • Asthma Control Questionnaire (ACQ) • Asthma Therapy Assessment Questionnaire (ATAQ) • Asthma Control Scoring System (ACSS) Pada klinik-klinik yang tidak mempunyai spirometri penggunaan ACT sangat dianjurkan untuk mengetahui tingkat kontrol dari asma pasien. Hal ini dikarenakan ACT mudah diisi oleh pasien serta tidak memakan waktu yang lama. Asthma Control Test (ACT) Kuesioner ini terdiri dari lima buah pertanyaan yang dapat diisi oleh penderita. Nilai skor satu sampai dengan lima untuk tiap pertanyaan. Nilai total dari ACT dapat mengklasifikasikan tingkat kontrol asma Yaitu : Bila total skor : – 5 -15 = asma tidak terkontrol – 16 - 19 = asma terkontrol sebagian – 20 - 25 = asma terkontrol (target pengobatan asma)
Berikut ini merupakan kuesioner ACT yang dapat disediakan ditiap klinik yang melayani pasien asma: Tabel 1. Kuesioner ACT.
Pedoman terapi pada asma stabil : 1. Saat pertama kali kontrol tentukan derajat keparahan penyakit. 2. Mulailah terapi berdasarkan step pengobatan yang sesuai dengan derajat keparahan asma, pergunakan obat pilihan pertama. 3. Monitoring terapi yang diberikan sampai tercapai asma terkontrol total. Pertahankan step pengobatan tersebut selama minimal tiga bulan setelah itu turunkan step terapi satu tingkat. Monitoring dilakukan untuk mencapai asma terkontrol total dengan dosis obat terendah tapi masih memberikan efek perlindungan yang maksimal. 4. Follow up Fungsi Paru Dilakukan untuk melihat efek pengobatan yang diberikan. Berikut ini adalah pembagian derajat keparahan asma yang digunakan pada saat awal pasien datang berobat dan belum ditatalaksana dengan menilai asma kontrol.
Tabel 2. Klasifikasi derajat keparahan asma berdasarkan gambaran klinis (Sebelum Pengobatan) Derajat Asma I. Intermiten
Gejala Bulanan * Gejala < 1x/minggu * Tanpa gejala di luar serangan * Serangan singkat
II. Persisten Ringan
III. Persisten Sedang
IV. Persisten Berat
Mingguan * Gejala > 1x/minggu, tetapi < 1x/ hari * Serangan ganggu Aktivit dan tidur Harian * Gejala setiap hari * Serangan mengganggu aktiviti dan tidur *Membutuhkan bronkodilator setiap hari Kontinyu * Gejala terus menerus * Sering kambuh * Aktiviti fisik terbatas
Gejala Malam
* £ 2kali sebulan
* > 2 kali sebulan
* > 1x / seminggu
* Sering
Faal paru APE ³ 80% * VEP1 ³ 80% nilai prediksi APE ³ 80% nilai terbaik * Variabiliti APE < 20%
APE > 80% * VEP1 ³ 80% nilai prediksi APE ³ 80% nilai terbaik * Variabiliti APE 20-30%
APE 60 – 80% * VEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik * Variabiliti APE > 30%
APE £ 60% * VEP1 £ 60% nilai prediksi APE £ 60% nilai terbaik * Variabiliti APE > 30%
Step 1
Step 2 Kortikosteroid Inhalasi Dosis rendah
Obat kontroler Jenis lain yang dapat dipakai
Pertimbangkan Kortikosteroid Inhalasi Dosis Rendah
Reseptor antagonis Leukotrin / Theophilin dosis rendah
Obat Reliver
Short acting beta2 agonist (SABA) Bila perlu
Obat Kontroler yang dianjurkan
Dikutip dari 4. Pemilihan step terapi pada awal pengobatan berdasarkan tingkat derajat keparahan asma, bila pada pasien ditemukan : • Derajat keparahan intermiten maka terapi dimulai dari step 1. • Derajat keparahan persisten ringan maka terapi dimulai dari step 2. • Derajat keparahan persisten sedang maka terapi dimulai dari step 3. • Derajat keparahan persisten berat maka terapi dapat dimulai dari step 4 atau 5. Pemilihan obat utama atau obat penganti untuk kontroler dapat secara lengkap dilihat pada gambar dibawah ini.
Step 3 Step 4 Step 5 Kombinasi Kombinasi Penambahan dosis rendah Kortikosteroid terapi seperti Kortikosteroid Inhalasi Dosis anti Ig-E Inhalasi + sedang/tinggi SABA + SABA dosis dosis Tambahkan sedang/tinggi sedang/tinggi tiotropium, Kortikosteroid Kortikosteroid Tambahkan Inhalasi atau Inhalasi + kortikosteroid Kombinasi Reseptor oral dosis rendah antagonis Kortikosteroid Leukotrin, Inhalasi + atau Reseptor tambahkan antagonis theophilin. Leukotrin Short acting beta2 agonist (SABA) Bila perlu atau Kortikosteroid Inhalasi Dosis Rendah / formoterol
Gambar 2. Pemilihan obat asma berdasarkan step terapi.
Jenis obat yang digunakan pada asma : 1. Obat kontroler : merupakan obat yang dipakai sehari-hari sebagai terapi maintenen yang reguler. Obat ini berfungsi mengurangi inflamasi, gejala serta resiko terjadinya eksaserbasi. 2. Obat pelega : Obat ini digunakan oleh semua pasien asma untuk menghilangkan segera gejala yang timbul. Pada pasien yang mengalami gejala asma yang disebabkan latihan maka obat pelega dapat diberikan sebelum memulai latihan. FOLLOW UP TERAPI Kunjungan kembali pasien asma setelah pengobatan awal dalam 1-3 bulan, bila tidak ada perburukan klinis. Pengecualian untuk pasien asma yang hamil maka kunjungan kembali kedokter dilakukan tiap 4-6 minggu. Setelah terjadi eksaserbasi maka pasien harus kembali dalam 1 minggu. Hal yang menjadi dasar follow up pasien adalah : 1. tingkat kontrol asma 2. Respon terhadap terapi awal yang diberikan. 3. Kemampuan serta keinginan pasien untuk tetap mematuhi rencana pengobatan yang telah ditentukan. PENYESUAIAN TERAPI Asma merupakan penyakit yang mempunyai gejala bersifat individual. Perbaikan ataupun perburukan gejala dapat terjadi sewaktu waktu sehingga dokter yang menangani harus mampu menyesuaikan terapi berdasarkan keadaan pasien. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dokter dalam terapi adalah : 1. Pertahankan step awal terapi selama 2-3 bulan. Bila terjadi eksaserbasi dalam 2-3 pemakaian kontroler maka analisa terlebih dahulu beberapa hal dibawah ini sebelum menaikkan step terapi satu tingkat. Hal yang harus diperhatikan adalah : • Tehnik pemakaian inhaler. • Kepatuhan pasien terhadap pengobatan • Modifikasi faktor resiko seperti merokok • Nilai adakah komorbid yang mempengaruhi kondisi pasien Bila faktor diatas tidak bermasalah baru dipikirkan untuk meningkatkan step terapi. 2.
Penurunan step terapi. Tindakan ini difikirkan bila asma terkontrol total telah dicapai serta dapat dipertahankan selama 3 bulan. Pilihkan waktu yang tepat untuk menurunkan terapi. Jangan menurunkan terapi saat pasien sedang menderita infeksi saluran napas, berpergian atau sedang menghadapi situasi yang bisa mencetuskan peningkatan gejala asma seperti ujian dll.
Pemilihan inhaler Penggunaan inhaler yang baik sangat penting bagi pengontrolan gejala asma karena lebih dari 80% pasien tidak dapat mengunakan inhaler mereka dengan benar. Hal ini akan menyebakan tingkat kontrol yang jelek. Bagi dokter, penting untuk memastikan penggunaan inhaler pada pasien asma dilakukan dengan benar. Untuk memastikan pengunaan inhaler yang benar maka perlu dilakukan 4 C yaitu : 1. Choose : Pilihkan devise yang paling sesuai untuk pasien baik dari kemampuan pasien dalam menggunakannya ataupun obat yang terkandung didalamnya. 2. Check : Selalu periksa tehnik yang digunakan oleh pasien dalam menggunakan inhaler yang telah diresepkan. 3. Correct : Berikan contoh langsung teknik yang benar dengan cara mendemonstrasikan kepada pasien. 4. Confirm : pastikan semua inhaler yang diresepkan ada serta pasien telah mampu menggunakannya dengan benar. Kepatuhan pasien Kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang telah diberikan merupakan salah satu hal yang harus diawasi oleh dokter. Suatu penelitian mendapatkan sekitar 50 % pasien asma anak dan dewasa tidak menggunakan kontroler mereka. Hal ini akan berdampat terhadap gejala serta tingkat kontrol asma mereka. Dokter harus mampu menilai tingkat kepatuhan terhadap perencanaan terapi yang telah disepakati dengan pasien. Pencegahan terhadap faktor resiko Faktor resiko yang ada pada pasien dapat menyebabkan gejala sukar diatasi bila identifikasi serta pencegahan tidak dilakukan. Ketidak mampuan untuk mengendalikan faktor resiko akan mengarah pada terjadinya eksaserbasi. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya eksaserbasi adalah : 1. Pasien terlibat dalam managemen asmanya. Beberapa hal yang dapat dilakukan secara mandiri oleh pasien adalah penilaian arus puncak ekspirasi (APE) tiap hari, pengisian ACT, serta asma plan. 2. Pergunakan obat yang dapat meminimalisasi eksaserbasi. 3. Hindari paparan asap rokok lingkungan. 4. Nilai kemungkinan adanya alergi terhadap makanan. 5. Bila ditemukan pasien dengan asma berat segera rujuk ke spesialis. TERAPI NON FARMAKOLOGI Selain obat maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi gejala serta menekan faktor resiko yaitu :
1. 2.
3. 4.
Segera berhenti merokok bagi pasien asma yang merokok. Bagi perokok segera konsultasikan kepada unit berhenti merokok. Penghentian kebiasaan ini memberikan manfaat yang besar untuk mempertahankan fungsi paru serta pengobatan yang diberikan. Aktifitas fisik. Bagi pasien asma stabil, selalu nasehati untuk melakukan aktifitas fisik secara rutin, karena akan memberikan banyak keuntungan bagi pasien. Salah satu bentuk aktifitas fisik yang dianjurkan untuk pasien adalah senam asma yang dapat meningkatan ketahanan otot napas. Tanyakan riwayat pekerjaan pasien. Hal ini berhubungan dengan kemungkinan adanya paparan ditempat kerja yang dapat memperberat gejala asma. Bila ditemukan hal tersebut maka pasien harus dirujuk agar penatalaksanaan komprehensif dapat dilakukan. Peresepan Anti Inflamasi Non Steroid (AINS). Selalu tanyakan adanya riwayat asma sebelum penuliskan resep ini pada pasien. Obat AINS merupakan salah satu obat yang dapat menicu timbulnya gejala asma.
ASMA EKSASERBASI Asma eksaserbasi merupakan suatu keadaan akut atau sub akut yang terjadi, dimana ditemukan perburukan gejala serta fungsi paru, keadaan ini harus segera diatasi karena dapat meningkatan morbiditas dan mortalitas dari pasien. Saat pasien datang dalam keadaan eksaserbasi, dokter harus mampu mengidentifikasikan pasien asma yang mempunyai resiko kematian yang besar dengan riwayat : 1. Pernah menderita serangan asma yang memerlukan intubasi serta ventilator. 2. Pernah ke IGD atau dirawat dalam 12 bulan. 3. Saat ini tidak menggunakan kortikosteroid inhalasi. 4. Saat ini menggunakan atau berhenti menggunakan kortikosteroid oral 5. Pemakaian SABA lebih dari satu kanister dalam satu bulan 6. Tidak menggunakan asthma action plan 7. Menderita gangguan psikiatri atau masalah psikososial 8. Alergi makanan yang telah terkonfirmasi Penataksanaan yang dapat dilakukan di Fasyankes primer adalah : 1. 2. 3. 4.
Berikan segera terapi dengan Short acting Beta 2 Agonist (SABA). Pemberian inhalasi SABA dengan specer atau MDI yang dimiliki pasien. Berikan segera kortikosteroid oral. Oksigen diberikan dengan target saturasi yang harus dicapai adalah 93-95 % pada dewasa serta 94-98% untuk anak-anak. Pada asma dengan eksaserbasi yang berat tambahkan ipratropium bromida serta pemberian SABA dengan nebulisasi.
5. 6. 7.
Penilaian derajat eksaserbasi dilakukan bersamaan dengan pemberian terapi. Tetap fikirkan kemungkinan lain penyebab sesak pada pasien seperti penyakit jantung, inhalasi benda asing, sumbatan jalan napas atas dll. Siapkan fasilitas rujukan bila tidak ada atau perbaikan minimal.
Penilaian respon terapi dilakukan setelah 1 jam, Yang perlu dinilai adalah perubahan gejala, saturasi oksigen serta fungsi paru dapat dinilai dengan menggunakan APE.