MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME ISLAM (Studi Kasus Pada Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.sos)
Oleh: Dede Eka Nurdiyansah NIM : 104032201019
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2012
MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME ISLAM
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Dede Eka Nurdiyansah NIM
: 104032201019
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Modernisme Dan Fundamentalisme Islam (Studi Pada Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan karya tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam skripsi. Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan aturan jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain. Demikian pernyataan ini diperbuat untuk dipergunakan seperlunya.
Jakarta, 28 September 2012 Yang menyatakan
Dede Eka Nurdiyansah
ABSTRAK
Nama NIM Fakultas Jurusan
: Dede Eka Nurdiyansah : 104032201019 : Ilmu Sosial dan Politik : Sosiologi
Dengan sejarahnya yang panjang Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah menjadi salah satu ikon universitas Islam di Indonesia. ini di tandai dengan modernisasi pendidikan yang begitu intens dilakukan oleh para pimpinan UIN Syahid dengan cara mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, dengan tujuan lebih mengembangkan Islam secara sosiologis daripada sekedar kental warna normatifnya. Efek dari modernisasi ini, dengan cara salah satunya pengintegrasian berbagai disiplin keilmuan, membuat khususnya UIN Syahid Jakarta kemudian di kenal sebagai kampusnya “para pembaharu”. Akan tetapi, hal ini seakan kontras, dengan ditemukannya beberapa beberapa mahasiswa dan alumni UIN Syahid Jakarta dalam kasus terorisme di Indonesia belakangan ini. Seperti tertangkapnya Afham Ramadhan, Soni Jayadi, dan alumni UIN Syahid Jakarta Fajar Firdaus, ketiganya terbukti menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme Muhammad Sahrir dan Saefuddin Zuhri di kamar kosan-nya di Jl Semanggi II, Ciputat, pada akhir tahun 2009 dan masing-masing dijatuhi vonis empat tahun enam bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kecenderungan di kampus Islam UIN Syahid Jakarta yang lebih mengedepankan Islam yang modern, rasional dan kompatibel seolah linear dengan yang terjadi di perguruan tinggi umum seperti di Universitas Sriwijaya Palembang, yang menurut Kasinyo Harto yang dalam kesimpulan penelitiannya ternyata corak pemikiran keagamaannya cenderung fundamnetalis/radikalis. Masalah inilah yang kemudian menggerakkan penulis untuk mengetahui kecenderungan pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta, apakah mahasiswa UIN Syahid Jakarta pemikiran keagamaannya modernis atau lebih bersifat fundamentalis. Kajian pustaka pemikiran keagamaan modernisme dan fundamentalisme Islam menggunakan kajian modernisme dan fundamentalisme dalam buku Yusril Ihza Mahendra “Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam”. Untuk memecahkan masalah ini, penulis menggunakan pendekatan studi kasus, dengan metode kualitatif untuk menghasilkan data deskriptif. Pendekatan studi kasus digunakan untuk menjelaskan perbedaan pemikiran keagamaan modernisme dan fundamentalisme dalam masalah ijtihad, preseden tradisi zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan hikmah. Selanjutnya metode kualitatif untuk menghasilkan data, berupa kata-kata dari informan. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, dan studi kepustakaan. Wawancara dilakukan dengan informan sebanyak delapan orang mahasiswa UIN Syahid Jakarta yang tersebar di 11 fakultas.
Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa: Pertama, berkaitan dengan hal acuan atau dasar dalam membangun masyarakat berdasarkan Al-Quran dan hadis, sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini selaras dengan modernisme dan fundamentalisme Islam bahwa Al-Quran dan hadis dapat dijadikan acuan atau dasar dalam membangun tatanan masyarakat dengan sebagian kecil mengatakan dengan pertimbangan. Sedangkan sebagian kecil lain mengatakan, Al-Quran dan hadis tidak bisa dipakai sebagai landasan dalam membangun masyarakat dan sisanya masih dilematis yaitu dalam masalah ibadah bisa Al-Quran dan hadis dijadikan pedoman tapi dalam masalah horizontal (hubungan sesama manusia/muamalah) masih dilematis. Kedua, berkaitan dengan ijtihad, dalam hal hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita, mahasiswwa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini selaras dengan modernisme Islam bahwa ayat-ayat Al-Quran seperti hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita harus terus diijtihadkan. Sedangkan sebagian kecil lain mengatakan, ayat-ayat Al-Quran tersebut sudah jelas maknanya jadi memang tidak perlu diijtihadkan lagi. Ketiga, berkaitan dengan tradisi zaman awal Islam dalam hal hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita masih relevan atau tidak menurut mahasiswa UIN Syahid Jakarta. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini sepakat dengan modernisme Islam bahwa tradisi-tradisi zaman awal Islam seperti hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita tidak relevan lagi untuk diterapkan dimasa sekarang. Sedangkan sebagian kecil lain mengatakan, tradisitradisi zaman awal Islam seperti hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita masih relevan untuk diterapkan dimasa sekarang. Keempat, Berkaitan dengan ijma dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini sepakat dengan fundamentalisme Islam bahwa seorang muslim harus memberikan apresiasi-peghargaan terhadap ulama-ulama jaman para tabiin dan tabi l-tabi‟in. Akan tetapi sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini menyatakan bahwa ijma-ijma terdahulu dapat diperbaharui hal ini cenderung bersifat modernis karena aliran modernis memandang ijma (konsensus) yang dicapai oleh generasi terdahulu, dapat diperbaharui oleh generasi yang hidup di zaman kemudian. Hal ini dilakukan jika factor-faktor psikologis, social, politik dan ekonomi yang melatarbelakangi ijma itu berubah. Dalam hal ini termasuk juga kemungkinan memperbaharui ijma para sahabat nabi. Kelima, berkaitan dengan pluralisme, dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini cenderung memandang positif terhadap pluralisme, dan hal ini selaras dengan modernisme Islam. Keenam, berkaitan dengan hikmah (kebijaksanaan) dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam
penelitian ini cenderung bersifat modernis Bagi mereka hikmah (kebijaksanaan) akan ditemukan dimana saja termsuk pada kelompok-kelompok dari luar Islam. Dan mereka juga cenderung bersikap terbuka untuk beradaptasi dan mengakulturasi prnsip-prinsip doktrin dengan “hikmah” yang telah disumbangkan oleh masyarakat-masyarakat yang mendukung peradaban lain.
KATA PENGANTAR Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabaraakatuhu Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, yang telah memberikan segala kenikmatan-Nya kepada penulis, baik itu nikmat iman, sehat , dan waktu serta nikmat kemudahan jalan yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Besar umat manusia Muhammad SAW, yang membawa risalah Allah SWT dan mengajarkannya kepada manusia sehingga terhindar dari zaman kebodohan. Shalawat dan salam tidak lupa penulis haturkan pula kepada para keluarga nabi, sahabat nabi, tabi‟in, tabi-tabi‟in, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Penulis melakukan penelitian ini untuk memenuhi persyaratan akan kelulusan penulis untuk memperoleh gelar sarjana sosial di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Sosiologi Agama. Dan alhamdulillah penelitian ini dapat penulis selesaikan. Dengan selesainya penelitian ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Kedua Orang tuaku, kakak dan adiku tercinta, terima kasih atas segala dukungannya dan ridhonya baik dari segi moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. 2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku pembimbing utama. Terima kasih atas segala bimbingan, pendapat dan waktu yang diberikan kepada penulis. 3. Prof. Dr. Bachtiar Effendy, Dr. Hendro Prasetyo. MA, dan seluruh staf dekanat, terimakasih atas waktu yang telah diberikan kepada penulis selama ini. 4. Dosen-Dosen UIN Jakarta FUF dan FISIP Reguler yang telah mengajar dan mendidik penulis selama menjadi mahasiswa di FUF dan sekarang di FISIP Reguler UIN Jakarta, terima kasih atas pengorbanan waktu dan ilmu yang diberikan kepada penulis dan kawan-kawan mahasiswa lainnya. Semoga Allah
SWT mencatat semuanya sebagai amal ibadah yang tak akan terputus hingga akhir zaman. Amin. 5. Mahasiswa/i UIN Syahid Jakarta, yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian penulis. Terimakasih sekali lagi atas partisipasinya. 6. Keluarga besar penulis nenek teragung Hj. Nurnas, paman, bibi dan anak-anak yang diridhoi Tuhan ”Agung, Yudha dan Salwa”, Bpk Hj. Sobari, istri dan anak-anaknya, Bpk. Adang beserta keluarga, dll yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu disini, terima kasih atas doa dan motivasinya ya...!!! 7. Untuk Mahasiwa Sosiologi Agama FUF angkatan tahun 2004, terima kasih, atas persahabatan dan pengalaman yang telah diberikan kepada penulis. Dalam penelitian ini penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang dilakukan penulis. Oleh karena itu penulis akan membuka diri untuk menerima kritik dan saran dari semua pihak terkait penelitian ini sehingga penulis dapat memperbaiki dan menyempurnakan penelitian ini. Akhir kata penulis berharap semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada seluruh pihak terkait. Wassalamu‟alaikum Wr.Wb. Jakarta, 28 September 2012
Dede Eka Nurdiyansah
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ............................................................................ 1 B. Pertanyaan Penelitian .......................................................................... 10 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 10 D. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 11 E. Metodologi Penelitian ......................................................................... 14 1. Pendekatan .............................................................................. 14 2. Metode..................................................................................... 14 3. Subjek...................................................................................... 14 4. Jenis Data ................................................................................ 15 5. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 15 6. Teknik Analisis Data ............................................................... 17 F. Sistematika Penulisan ......................................................................... 17 BAB II KERANGKA TEORI A. Istilah Modernisme dan Fundamentalisme Islam ............................... 19 B. Landasan Historis Modernisme dan Fundametalisme Islam .............. 21 C. Pandangan Keagamaan Modernisme dan Fundametalisme Islam ...... 28 1. Ijtihad ............................................................................................ 30 2. Preseden Tradisi Zaman Awal Islam ............................................ 34
3. Ijma ............................................................................................... 38 4. Pluralisme Dan Hikmah ................................................................ 40 BAB III GAMBARAN OBJEK PENELITIAN MAHASISWA UIN SYAHID JAKARTA A. Sejarah Singkat Lahirnya UIN Syahid Jakarta.................................... 43 B. Visi, Misi Dan Tujuan ......................................................................... 54 C. Motto Dan Arah Pengembangan ......................................................... 56 D. Kerja Sama Dan Pengembangan Jaringan .......................................... 58 BAB IV ANALISIS DATA MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME MAHASISWA UIN SYAHID JAKART A. Acuan Atau Dasar Dalam Membangun Masyarakat ........................... 60 1. Ijtihad ............................................................................................ 66 2. Preseden Tradisi Zaman Awal Islam ............................................ 76 3. Ijma ............................................................................................... 82 4. Pluralisme...................................................................................... 87 5. Hikmah .......................................................................................... 92 BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan ................................................................................... 97 2. Saran .............................................................................................. 99 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah Dengan sejarahnya yang panjang dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia dan perkembangan modernisasi pendidikan dilingkungan internal kampus, UIN Syahid Jakarta telah memainkan peranan penting dan strategis dalam spectrum pendidikan Islam di Indonesia dan sekarang ini telah menjelma mejadi salah satu ikon universitas Islam terkemuka di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari para perintis dan pemimpin UIN Syahid Jakarta sendiri, salah satunya Harun Nasution. Ia merupakan salah satu pionir pembaharuan pendidikan di UIN Syahid Jakarta. Ketika menjabat sebagai rektor pada tahun 1973 sampai 1984, Harun Nasution memfokuskan tentang pentingnya umat Islam untuk berpikiran modern dalam mengembangkan keilmuan serta memahami khazanah Islam, salah satunya, yaitu mengembangkan suasana dialogis antara berbagai disiplin ilmu di lingkungan universitas, baik antara disiplin “sekuler” dengan agama maupun diantara cabang-cabang ilmu agama itu sendiri. Basis penggunaan pendekatan integrasi keilmuan ini untuk lebih mengembangkan Islam secara sosiologis daripada sekedar kental warna normatifnya 1. Gagasan integrasi keilmuan Harun Nasution, kemudian dilanjutkan pada masa kepemimpinankepemimpinan selanjutnya seperti Quraish Shihab, Said Agil Al-Munawar, dan Azyumardi Azra. Menurut Raudah Agustiar: 1
Nurhidayat Muh. Said, Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia “Studi Pemikiran Harun Nasution” (Jakarta, Pustaka MAPAN, 2006), hal. 33-54.
“Integrasi keilmuan yang dikembangkan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah dalam pengertian adanya keterpaduan yang utuh antara ilmu-ilmu (termasuk nilai-nilai) keislaman dengan ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi, dengan menjadikan Al-Qur‟an dan Al-Hadis sebagai sumner landasan yang utama2”. Efek dari paradigma pendidikan yang dikembangkan oleh UIN Syahid Jakarta, mempengaruhi cara mahasiwanya dalam menanggapi berbagai fenomena kehidupan yang mereka hadapi. Seperti yang di kemukakan oleh Bachtiar Effendy bahwa,: “Mahasiswa UIN Jakarta pada awal 1980-an seperti Fachry Ali, Komarudin Hidayat, Azyumardi Azra, Mansoer Faqih, Kurniawan Zulkarnaen dan lain-lain, mereka sering menggunakan “ilmu-ilmu lain” dalam melihat berbagai fenomena keagamaan Islam atau sejumlah persoalan sosial politik yang berkembang di tanah air. Kegairan intelektual seperti ini sempat menimbulkan penilaian bahwa mahasiswa IAIN lebih menekanan “ilmu-ilmu sekuler” daripada “ilmu-ilmu Islam”. Menurt Bachtiar, diskursus intelektual yang mereka bangun lebih sarat dengan rujukan-rujukan berbahasa inggris daripada berbahasa arab. Inilah yang memicu rekan-rekan mereka dari PT-PT umum untuk menganggap mahasiswa IAIN Jakarta mempunyai kecenderungan yang “sekularistis”.3 Selanjutnya, tindak lanjut dari proses modernisasi paradigma pendidikan Islam di lingkungan IAIN, adalah dengan melakukan pengiriman para dosen dan para calon dosen dari seluruh Indonesia ke McGill University, yang kemudian menjadi pionir untuk modernisasi studi Islam khususnya di UIN Syahid Jakarta4. Menurut M. Amin Abdullah, selain peran Harun Nasution dan pengiriman tenaga pengajar ke McGill University, bahwa: “Negara juga sangat berperan dalam peralihan tipe pendidikan Islam dari peran dakwah ke akademik, yaitu dengan melakukan berbagai perubahan 2
Raudah Agustiar, Perubahan IAIN Menjadi UIN Jakarta: “Antara Kenyataan dan Harapan”, Jurnal Mimbar Agama Dan Budaya, Vol. XXX, No. 2, 2004, h. 175 3 Komarudin Hidayat dan Hendro Prasetyo, Problem dan Prospek IAIN “Antologi Pendidikan Tinggi Islam”, (Jakarta, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam Dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI, 2000), h. 103-114 4 Kusmana, Eva Nugraha dan Eva Fitriati, Paradigma Baru Pendidikan Islam “Rekaman Implementasi IAIN Indonesia Social Equity Project (IISEP) 2002-2007, (Jakarta, IISEP, 2008), hal. 3.
yang didorong oleh berbagai kebijakan seperti mengakui pendidikan yang dikembangkan masyarakat sendiri seperti pesantren dan lembaga pendidikan swasta, pengalihan status dari lembaga pendidikan swasta ke negeri, kebijakan arah pendidikan nasional, kebijakan perbaikan kurikulum dan kelembagaan sampai kebijakan transformasi kelembagaan dari institute ke universitas5. Modernisasi pendidikan dengan pengintegrasian disiplin keilmuan, pengiriman tenaga pengajar ke “Barat” dan kebijakan tipe pendidikan Islam, membuat khususnya UIN Syahid Jakarta kemudian di kenal sebagai kampusnya “para pembaharu” dan hal ini kemudian dikuatkan dengan Pola Ilmiah Pokok (PIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri yaitu pembaharuan dalam Islam dengan menampilkan Islam yang modern, rasional dan kompatibel dengan perkembangan zaman agar tercipta integrasi keislaman, kemanusiaan dan keindonesiaan6. Dari uraian singkat diatas, kita dapat melihat bahwa UIN Syahid Jakarta telah “mensimbolkan” dirinya sebagai institusi pendidikan keislaman yang dapat menghasilkan sarjana muslim yang memiliki keunggulan kompetitif dalam persaingan global. Dalam pandangan teori interaksionisme simbolik, apa yang dilakukan UIN Syahid Jakarta ini merupakan proses “simbolisasi bahasa”, yang memungkinkan mereka untuk berkomunikasi dengan dunia sosial diluar diri mereka.
Dan
penggunaan
simbol-simbol
ini
menurut
pandangan
teori
unteraksionisme simbolik salah satunya berfungsi untuk berhubungan dengan dunia material dan sosial dengan membolehkan “mereka” memberi nama, membuat kategori, dan mengingat objek-objek yang “mereka” temukan dimana saja, dan dalam hal ini bahasa mempunyai peran yang sangat penting, dan
5
Kusmana dan JM. Muslimin, Paradigma Baru Pendidikan “Restropeksi dan Proyeksi Pendidikan Islam di Indonesia”, (Jakarta, IIESP, 2008), hal. 35. 6 Kusmana, Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset,(Jakarta,UIN Press,2006), h. 111.
menurut pandangan teori interaksionisme simbolik bahasa merupakan sistem simbol yang mahabesar7. Akan tetapi, “simbolisasi” UIN Syahid Jakarta seolah sudah berubah dan mendapat tantangan dengan ditemukannya beberapa beberapa mahasiswa dan alumni UIN Syahid Jakarta, seperti tertangkapnya Afham Ramadhan, Soni Jayadi, dan
alumni
UIN
Syahid
Jakarta
Fajar
Firdaus,
ketiganya
terbukti
menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme yaitu Muhammad Sahrir dan Saefuddin Zuhri8. Gagasan dan cita-cita kampus Islam UIN Syahid Jakarta yang lebih mengedepankan Islam yang modern, rasional dan kompatibel seolah linear dengan yang terjadi di perguruan tinggi umum seperti di Universitas Sriwijaya Palembang, yang menurut Kasinyo Harto yang dalam kesimpulan penelitiannya ternyata corak pemikiran keagamaannya cenderung fundamnetalis/radikalis9. Dalam melihat fenomena ini, penting untuk melihat pandangan William James salah satu pemikir interaksionisme simbolik yang mengembangkan konsep tentang „self‟ (diri). Ia mengatakan bahwa: “Manusia mempunyai kemampuan untuk melihat dirinya sebagai objek. Dalam kemampuan itu, ia bisa mengembangkan suatu sikap dan persasaan terhadap terhadap dirinya sendiri. Lebih lanjut ia juga dapat membentuk tanggapan-tanggapan-tanggapan terhadap perasaan-perasaan dan sikapsikap itu. James menyebutkan kemampuan-kemampuan ini sebagai „self‟. Dan dia mengakui pentingnya kemampuan-kemampuan ini dalam membentuk cara-cara seseorang menanggapi dunia di sekitarnya”10.
7
Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta, Prestasi Pustakakarya, 2007), hal. 110 http://news.detik.com/read/2010/08/03/192306/1413027/10/tiga-mahasiswa-uin-jakartadivonis-4-tahun-6-bulan-penjara 9 Kasinyo Harto, Islam Fundamentalis Di Perguruan Tinggi Umum “Kasus Gerakan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang”, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008) 10 Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, hal. 96 8
Dan karena kemampuan untuk mengerti arti dan simbol-simbol, menurut Herbert Blumer maka manusia bisa melakukan pilihan terhadap tindakan-tindakan yang diambil. Manusia tidak perlu menerima begitu saja arti-arti dan simbolsimbol yang dipaksakan kepada mereka. Sebaliknya mereka bisa bertindak berdasarkan interpretasi yang mereka buat sendiri terhadap situasi itu. Dengan kata lain, manusia mempunyai kemampuan untuk memberikan arti baru kepada situasi itu11. Dalam melihat fenomena diatas, penting menyimak pendapat George Herbert Mead tentang pranata sosial (sosial institutions). Menurutnya: “Pranata didefinisikan sebagai “Tanggapan Bersama Dalam Komunitas” atau “Kebiasaan Hidup Komunitas”. Proses ini disebut “Pembentukan Pranata”. Kita membawa kumpulan sikap yang terorganisir ini kedekat kita, dan sikap kita itu membantu mengendalikan tindakan kita, sebagian besar melalui keakuan (me). Pendidikan adalah proses internalisasi kebiasaan bersama komunitas ke dalam diri aktor. Pendidikan adalah proses yang essensial karena menurut pandangan Mead, aktor tidak mempunyai diri dan belum menjadi anggota komunitas sesungguhnya hingga mereka mampu menanggapi diri mereka sendiri seperti yang dilakukan komunitas yang lebih luas. Untuk berbuat demikian, aktor harus menginternalisasikan sikap bersama komunitas. Namun, Mead dengan hati-hati mengemukakan bahwa pranata tak selalu menghancurkan individualitas atau melumpuhkan kreativitas. Mead mengakui adanya pranata sosial yang “menindas, stereotif, dan ultrakonservatif–seperti gereja–yang dengan kekakuan, ketidaklenturan, dan ketidakprogresifannnya, menghancurkan atau melenyapkan individualitas. Tetapi mead cepat-cepat menambahkan: “tidak ada alasan yang tak terelakan mengapa pranata sosial harus menindas atau konservatif, atau mengapa mereka itu tak selalu lentur dan progresif, lebih membantu perkembangan individualitas keetimbang menghalanginya. Menurut Mead pranata sosial seharusnya hanya menetapkan apa yang sebaiknya dilakukan individu dalam pengertian yang sangat luas dan umum saja, dan seharusnya menyediakan ruang yang cukup bagi individualitas dan kreativitas”.12 Fenomena fundamentalisasi atau radikalisasi agama yang muncul belakangan ini, menurut beberapa pengamat adalah salah satu bentuk aliran 11 12
238
Ibid, h. 112 George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta,Prenada Media Group,2007), h. 237-
pemikiran dan gerakan Islam yang ingin berusaha melahirkan arus penegasan kembali identitas dan ideologi muslim dan berupaya mewujudkan cita-cita politiknya kepentas kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia belakangan ini. Dalam melihat fenomena ini, menurut Mambaul Ngadimah: “Pemikiran dan gerakan Islam adalah fenomena sejarah sekaligus budaya yang beragam, yang perkembangannya sangat terkait dengan latar sosiobudaya dan politik tertentu dari suatu masyarakat Islam yang hidup di kawasan tertentu dan dalam kurun waktu tertentu. Dan permasalahan yang menimbulkannya adalah pergumulan Islam dn modernitas, khususnya di negara-negara belahan Dunia Ketiga, terutama sejak otoritas Islam sebagai kekuatan politik merosot tajam pada abad ke 18. Persoalan ini menurut Mambaul Ngadimah, telah menyita banyak energi kalangan intelektual Muslim untuk memecahkannya, namun hingga kini boleh dikatakan belum ada suatu pembahasan yang tuntas baik dalam bentuk solusi maupun antisipasi mengenai persoalan Islam dan modernitas. Ketegangan teologis ini secara tidak terduga telah melahirkan reaksi intelektual dari kaum muslimin berupa aliran-aliran pemikiran keagamaan yang kemudian memperkaya khazanah intelektual-keagamaan Islam. Diantaranya, apa yang terkenal dengan sebutan Modernisme Islam, Fundamentalisme Islam,”13. Perdebatan antara kalangan modernis dan fundamentalis tentang bagaiman mensinergikan Islam dalam kondisi dewasa ini, telah memancing perdebatan dan persaingan yang terus menerus, di seluruh dunia Islam termasuk di Indonesia. Contohnya adalah di Pakistan. Di Pakistan kalangan nodernis dan fundamentalis berdebat tentang bagaimana menerapkan semangat hukum Islam pada zaman aslinya, dan semangat zaman modern, hal ini berakibat pada persoalan serius dalam mendefinisikan ke-Islaman-nya sejak berdiri pada 3 Juni 1947. Konflik antara kalangan modernis dan fundamentalis ini juga terjadi di Afghanistan isunya adalah sama yaitu tentang bagaimana menerapkan semangat hukum Islam ditengah kondisi modern. Di Indonesia sendiri, penerapan syariat Islam di daerahnya menimbulkan krisis konstitusi karena dipandang bertentangan dengan 13
Jurnal Innovatio, Vol. VII, No. 14, Juli-Desember 2008
undang-undang yang lebih tinggi14. Menurut Yusril Ihza Mahendra, perbedaan pendapat dalam bagaimana mensinergikan antara Islam dan modernitas di kalangan
modernis
dan
fundamentalis
Islam
merupakan
akibat
dari
kecenderungan penafsiran dalam memahami doktrin agama yaitu Al-Quran dan Sunnah Nabi yang dijadikan acuan dalam membangun tatanan masyarakat. Menurut Yusril Ihza Mahendra: “Keduanya (modernisme dan fundamentalisme Islam) sama-sama berdasarkan kepada Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Dan bertujuan untuk membangun suatu tatanan masyarakat Islam, sesuai dengan maksud doktrin yang termaktub dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi itu. Namun demikian meskipun kedua aliran itu mempunyai tujuan yang sama, kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin menunjukkan adanya perbedaan yang cukup penting. Para modernis Islam cenderung menafsirkannya secara elastic dan fleksibel. Sementara para fundamentalis cenderung menafsirkannya secara rigid dan litieralis.”15 Dijelaskan kembali oleh Yusril Ihza Mahendra bahwa: “Perbedaan kecenderungan corak penafsiran ini, menghasilkan perbedaan pula dalam memahami berbagai masalah, khususnya masalahmasalah yang berhubungan dengan (a) itjihad; (b) preseden zaman awal, serta sejarah dan tradisi Islam; (c) ijma; (d) pluralisme (kemajemukan) dan (e) hikmahi.”16 Aliran pemikiran dan gerakan kebangkitan Islam muncul dan mendapat perhatian besar saat pada masa tiga kerajaan besar (Turki Utsmani, Safawai dan Mughal), yang merupakan simbol kekuatan politik Islam yang tersisa, mengalami kehancuran dan kemunduran yang berpuncak pada abad 18 dan sekarang semakin menunjukkan intensitasnya dan mengkristal setelah negara-negara Muslim
14
Untuk memahami tentang perdebatan modernis dan fundamentalis dalam penerapan syariat Islam di berbagai belahan dunia Muslim, baca Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam “Dari Indonesia Hingga Nigeria”, (Jakarta, Alvabet, 2004), h. 138-168. 15 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 29. 16 Ibid., h 30.
terpecah kedalam negara–bangsa. Hancurnya kekuatan Islam sebagai sistem sosial, ekonomi dan politik, menurut Azyumardi Azra: “Secara historis hal ini disebabkan karena, pada masa-masa kejayaan politik muslim, khususnya dimasa Dinasti Utsmani, perasaan “kememadaian” (sufficiency) kaum muslim terhadap Islam begitu tinggi, sehingga membawa mereka lalai mencermati perkembangan dan dinamika masyarakat non-muslim, dalam hal ini khususnya Eropa. Kaum muslim merasa tidak perlu mengamati – apalagi belajar – dari kaum kafir, karena Islam diyakini memadai untuk menjawab tantangan orang-orang kafir.”17 Dan selanjutnya akibat dari krisis yang muncul di negara-negara Muslim, menurut Tarmizi Taher : “Krisis yang muncul dalam negara-negara baru ini memberi ruang bagi sementara kalangan agamawan untuk membentuk gerakan-gerakan radikal. Mereka berusaha menolak tatanan yang ada, baik sistem negara, hukum dan kebudayaan, untuk kemudian diganti dengan sistem Islam. Penolakan mereka sangat radikal, dan begitu juga konsep kehidupan yang mereka tawarkan. Berbeda dengan kaum revivalis yang sekedar ingin mengembalikan kemurnian Islam atau kaum modernis yang bertujuan memodernisasi Islam, kalangan fundamentalis mempercayai kesempurnaan Islam bagi seluruh dimensi kehidupan. Oleh karenanya, mereka terus berusaha mengganti semua institusi sosial, ekonomi, budaya, dan politik dengan model Islam”.18 Aliran-aliran modernisme dan fundamentalisme Islam, selalu ditandai dengan perdebatan persepsi dan pola berpikir, perbedaan-perbedaan itu tidak jarang berujung pada kekerasan yang berlumuran darah, manakala kepentingan politik terlibat didalamnya, namun kadangkala perbedaan-perbedaan itu seakan menjadi tidak penting ketika kelompok-kelompok Islam tersebut merasa sedang berhadapan dengan musuh bersama, atau pada masing-masing kelompok terasa tidak berbenturan. Dari realitas diatas, menurut penulis yang menarik untuk di cermati dan diteliti dalam kehidupan beragama pada umumnya tak terkecuali 17
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam “Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme”,(Jakarta, Paramadina, 1996), h. vi. 18 Tarmizi Taher, Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam, Dalam, Radikalisme Agama, Peny, Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo (Jakarta: PPIM-IAIN, 1998), h. 30
kehidupan beragama Islam adalah fenomena dan kenyataan yang menunjukkan bahwasannya kehidupan umat beragama-baik kaum awam maupun intelektualdalam kehidupan mereka sehari-hari adalah sangat tergantung dan ditentukan oleh teks-teks, nash-nash dan kepustakaan keagamaan yang mereka miliki, baik yang terkait dengan persoalan ibadah semata, maupun tata hubungan sosial keagamaan, sosial-ekonomi, dan budaya. Jika timbul persoalan dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya, mereka tidak segera menyelesaikan persoalan tersebut secara “spontan” dengan menggunakan commensense tetapi selalu merujuk terlebih dahulu darip ada wejangan uraian, petuah, nasehat/fatwa ustadz ulama, bhiku, pendeta, pastor atau organisaasi-organisasi, pemuka-pemuka masyarakat dan orang-orang yang dianggap tokoh masyarakat. Para tokoh agama kemudian berkonsultasi dahulu dengan teks-teks dan kitab keagamaan yang mereka miliki dan yang pernah mereka telaah dan pelajari dahulu, tanpa mempertimbangkan lebih jauh dalam onteks dan situasi apa dan bagaimana teks-teks, kitab-kitab, fatwa-fatwa dahulu tersebut di tulis. Maka dari itu, penulis sangat tertarik untuk mempelajari aliran-aliran pemikiran keagamaan Islam, dan kecenderungan gagasan-gagasan pemikiran Islam yang berkembang di perguruaan tinggi Islam, khusunya Universitas Islam Negari (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan tema “Modernisme dan Fundamentalisme Islam (Studi Pada Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Peneliti sangat yakin bahwa, sangatlah penting untuk mendalami aliran-aliran pemikiran keagamaan dalam masyarakat, seperti pemikiran-pemikiran keagamaan modernisme dan fundamentalisme dalam Islam, dan kemudian meminta reaksi atau tanggapan mahasiswa UIN Syahid Jakarta, hal ini di karenakan UIN Syahid Jakarta dikenal Pola Ilmiah Pokok (PIP) UIN Syarif
Hidayatullah
Jakarta
sendiri
yaitu
pembaharuan
dalam
Islam
dengan
menampilkan Islam yang modern, rasional dan kompatibel dengan perkembangan zaman agar tercipta integrasi keislaman, kemanusiaan dan keindonesiaan. B. Pertanyaan Penelitian Sesuai dengan pernyataan masalah diatas, maka dibuat pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) Bagaimana kecenderungan pemikiran keagamaan mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta jika dilihat dari kerangkan pemikiran keagamaan modernisme dan fundamentalisme dalam religiokultural Islam? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Mengacu pada permasalahan diatas, maka penelitian ini bertujuan, untuk mengidentifikasi kecenderungan pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam kerangka aliran pemikiran keagamaan modernisme dan fundametalisme dalam religio kultural Islam. 2. Manfaat Penelitian Hasil penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan memiliki manfaat, akademis dan praktis sebagai berikut:
a. Memberikan informasi mengenai kecenderungan pemikiran mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah dalam kerangka pemikiran keagamaan aliran modernisme dan fundamentlisme Islam. b. Memberikan gambaran arah kecenderungan mahasiswa apakah bersifat modernis atau fundamentalis dalam kaitannya dengan doktrin agama. c. Manfaat bagi peneliti, menambah khazanah pengetahuan tentang ragam pemikiran keagamaan dalam Islam. D. Tinjauan Pustaka Sejauh pengamatan penulis, cukup banyak studi secara khusus yang membahas kecenderungan pemikiran keagamaan seseorang terhadap pemikiran modernisme dan fundamentalisme Islam. Berikut adalah, penelitian tentang modernisme dan fundamentalisme Islam dalam kaitannya dengan doktrin agama yang kemudian digunakan untuk menganalisis berbagai arah kecenderungan individu atau institusi sosial. Berikut adalah beberapa penelititan modernisme dan fundamentalisme Islam. 1. Disertasi Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam. Dalam Disertasi ini Yusril mencoba menghubungkan kaitan pemahaman keagamaan modernisme dan fundamentalisme Islam dalam pengaruhnya terhadap pembentukan partai politik Masyumi di Indonesia dan partai Jama‟at Islami di Pakistan. Yusril mengatakan bahwa modernisme dan fundamentalisme Islam dapat dibedakan secara tegas, karena kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin agama berbedabeda. Perbedaan ini kemudian, mengakibatkan perbedaan masalah dalam
melihat masalah Ijtihad, preseden zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan hikmah. Pandangan-pandangan dasar tersebut mempengaruhi tipologi organisasi dan tipologi program partai modernis (Masyumi) dan partai fundamentalis (Jama‟at-i-Islami). Dari disertasi ini, penulis mengambil kerangka awal perbedaan modernisme dan fundamentalisme Islam. Bahwa modernisme dan fundamentalisme Islam dapat dibedakan secara tegas, karena kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin agama berbedabeda. Perbedaan ini kemudian, mengakibatkan perbedaan masalah dalam melihat masalah Ijtihad, preseden zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan hikmah. Disertasi Yusril Ihza Mahendra ini, merupakan pijakan awal penulis dalam memetakan modernisme dan fundametalisme Islam untuk melihat arah kecenderungan pemikiran keagamaan seseorang, apakah kecenderungannya bersifat modernis atau fundamentalis yang dilihat dari bagaimana seseorang memaknai masalah ijtihad, preseden zaman awal serta tradisi Islam, ijma, pluralisme dan hikmah. 2. Tesis Rihlah Nuraulia, Fundamnetalisme Islam Di Indonesia Studi Atas Gerakan Dan Pemikiran Hizbut Tahrir. Dalam tesis ini Rihlah Maulia ingin menggali pola-pola gerakan dan pemikiran Hizbut Tahrir yang dikelompokkan dalam kalangan Islam fundamentalis. Dalam tesisnya ini, Rihlah Nuraulia mengatakan bahwa, ciri utama fundamentalime adalah pandangannya
yang
khas
mengenai
kedudukan
ijtihad.
Kaum
fundamentalis hanya membenarkan ijtihad yang dilakukan sepanjang syariah tidak memberikan perincian yang lebih mendalam terhadap masalah-masalah tertentu. Selain itu harus ada preseden dari tradisi awal
Islam, ataupun pendapat para fuqoha terkemuka dari jaman silam tentang persoalan-persoalan itu. Jika ijtihad dilakukan, ia hanya boleh dilakukan oleh para mujtahid yaitu alim ulama yang telah memenuhi syarat-syarat untuk melakukan ijtihad. Konsensus, meskipun diakui sebagai salah satu sumber hukum Islam, tetapi terbatas pada ijma dari jaman para sahabat nabi. Ijma pada zaman itu tidak boleh dihapuskan oleh ijma yang disepakati oleh generasi-generasi yang hidup dijaman kemudian. E. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yaitu suatu tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya kepada satu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif19. Pendekatan ini dipilih untuk dapat menjelaskan kecenderungan pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid dalam kerangka pemikiran keagamaan modernisme dan fundamentalisme Islam. 2. Metode Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang menghasilkan data deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskirpsikan tentang pandangan keagamaan modernisme dan fundamentalisme mahasiswa UIN Syahid Jakarta, sehingga dapat dilihat arah kecenderungan pemikiran keagamaan seseorang. Maka metode yang akan digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Bogdan dan 19
Sanafiah Faisak, “Format-Format Penelitian Sosiali”, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2001), h. 22.
Taylor, metode penelitian deskriptif kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata dari orang-orang dan perilaku yang teramati20. 3. Subjek Untuk teknik pencarian Informan dalam penelitian ini menggunakan teknik pemilihan sampel berdasarkan pertimbangan (Purposif Sampling), merupakan tipe pemilihan sampel secara tidak acak yang informasinya diperoleh dengan menggunakan pertimbangan tertentu21. Informan dalam penelitian ini adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah menyelesaikan proses perkuliahan, yaitu semester 9, 10, 11, 12 13, dan 14. Dikarenakan mereka sudah disosialisasikan tentang kajian-kajian keagamaan dalam religio-kultural Islam, dan dianggap sudah banyak terlibat dalam diskusi-diskusi keagamaan di UIN Syahid Jakarta. 4. Jenis Data Penjelasan Pandangan keagamaan modernisme dan fundamentalisme Islam, diperlukan data sebagai berikut; Pertama, data primer, data ini diperoleh langsung dari sumbernya, terutama orang yang dipilih sebagai informan yang akan diajak wawancara. Data primer yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan
data
mengenai
unsur-unsur
keagamaan
modernisme
dan
fundamentalisme Islamm. Kedua, data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung, yaitu dengan cara mengutip atau mencatat dari buku-buku, dokumen-dokumen berupa arsip UIN Syahid Jakarta (sejarah berdiri, Visi-misi 20
Febri Anwar, Kekuasaan Pemilik Modal Dan Resistensi Pemulung Dalam Hubungan Kerja “Studi Kasus Pada Pemulung Di Pondok Pinang Jakarta selatan”, (Jakarta, FISIP UIN Jakarta, 2012), h 11. 21 Sanafiah Faisak, “Format-Format Penelitian Sosiali”, h. 67
dan tujuan, motto dan arah pengembangan, kerja sama dan pengembangan jaringan). 5. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu wawancara, dan telaah pustaka. Berikut adalah penjelasan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini. 1. Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab. Jenis wawancara yang digunakan penelitian adalah wawancara tak terstuktur, yaitu adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancaran yang telah disusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar pemasalahan yang akan ditanyakan22. Wawancara ini akan menggali informasi tentang pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta. Wawancara menggunakan alat perekam elektronik. Infroman yang di wawancarai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Nama SHI IHN DNU ISN IBL ROS SPY IHM
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Dirasat Islamiyah Syariah dan Hukum Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Ushuluddin dan Filasat Tarbiyah dan Keguruan Adab Tarbiyah dan Keguruan 22
Ibid., h. 233-234
Jenis Kelamin Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki
Waktu Wawancara 10- September-2012 11- September- 2012 11-September- 2012 12-September- 2012 13-September-2012 14-September-2012 15-September-2012 15-September-2012
2. Telaah
pustaka
yaitu
dengan
membaca,
memahami,
dan
menginterpretasikan buku-buku, jurnal-jurnal, laporan penelitian yang berkaitan dengan pembahasan ini. Buku seperti, Modernisme Dan Fundamentalisme Islam; “Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamâ'at-i-Islâmî (Pakistan)" Karya Yusril Ihza Mahendra. 6. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus menerus sampai tuntas. Data dianalisis dengan menggunakan tiga tahap yaitu: Pertama, reduksi data (data reduction), mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, dan memfokuskan pada hal-hal penting, terhadap data yang terkait dengan perbedaan pemikiran keagamaan modernisme dan fundamentalisme dalam masalah-masalah ijtihad, preseden tradisi zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan hikmah. Kedua, penyajian data (display data), dengan mendisplay data, maka akan memudahkan untuk memahami kecenderungan unsur-unsur, kedalaman dan arah pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta. Ketiga, penarikan kesimpulan (conclusion drawing/verification) dengan melakukan penyimpulan terhadap data tentang ijtihad, preseden tradisi zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan hikmah, dan mengaitkannya dengan kerangka teori sehingga dapat dipahami fenomena pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dan juga menjawab pertanyaan penelitian. 7. Sistematika Penelitian Dalam penulisan daftar pustaka literatur yang digunakan, peraturan kutipan dan cara-cara mengutip serta tata cara penulisan skripsi ini mengacu pada
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: skripsi, tesis, dan disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang termuat dalam buku panduan akademik program strata 1 2011/2012. Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan. Bab ini terdiri dari pernyataan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Kajian Pustaka. Bab ini berisi kajian modernisme dan fundamentalisme Islam yang terdiri dari kontroversi istilah, landasan historis modernisme dan fundamentalisme dan pandangan keagamaan modernisme dan fundamentalisme Islam Bab III Merupakan gambaran umum lokasi penelitian Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tinjau dari sejarah berdiri, Visi-misi dan tujuan, motto dan arah pengembangan, kerja sama dan pengembangan jaringan. Bab IV Merupakan hal yang beruhubungan dengan hasil penelitian mengenai pernyataan pandangan keagamaan mahasiswa dalam hal, ijtihad, preseden tradisi zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan hikmah. Bab V Penutup. Bab ini berisi kesimpulan penelitian dan saran.
BAB II KAJIAN TEORI
A. Istilah Modernisme dan Fundamentalisme Islam Membicarakan istilah modernisme dan fundamentalisme di dalam Islam terasa lebih sulit daripada di dalam Protestan, apalagi kedua istilah ini memang selalu dikaitkan dengan tradisi Kristen Protestan. Menurut Asep Syamsul M Romli: “Dalam tradisi Kristen, Fundamentalisme sering dilawankan dengan “modernisme”, yakni aliran (pemikiran) yang mengutamakan setiap yang baru dari hal lama. Fundamentalisme merupakan oposan dari gerejawan ortodoks terhadap sains modern, manakala sains modern (dianggap) bertentangan dengan cerita atau ajaran bibble. Para aktivisnya menamakan diri “fundamentalis”. Mereka adalah kaum oposisi yang menentang liberalisme dan modernisme. Pihak fundamentalis menuduh kaum modernis sebagai perusak agama Kristen dan mengorbankan bibble demi kepentingan sains modern23”. Mengenai hal ini hemat penulis penting untuk menyimak pendapat dari Yusril Ihza Mahendra: “Modernisme dan fundamentalisme bukanlah istilah yang berasal dari perbendaharaan kata dalam bahasa masyarakat-masyarakat muslim. Kedua istilah itu dimunculkan oleh kalangan akademisi barat dalam konteks sejarah keagamaan dalam masyarakat mereka sendiri. Modernisme pada awalnya diartikan sebagai aliran keagamaan yang melakukan penafsiran terhadap doktrin agama kristen untuk menyesuaikannya dengan perkembangan modern. Fundamentalisme diartikan sebagai reaksi terhadap modernisme. Fundamentalisme dianggap sebagai aliran yang
23
Asep Syansul M. Romli, Demonologi Islam: Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam (Jakarta,Gema Insani Press, 2000), h. 30
berpegang teguh pada “fundamen” agama kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci agama itu secara rigid dan literalis24”. “Istilah modernisme dan fundamentalisme kemudian digunakan oleh sarjana-sarjana orientalis dan pakar ilmu sosial dan kemanusiaan barat untuk membedakam dua kecenderungan pemikiran yang hampir sama dengan apa yang dijumpai dalam agama kristen itu, di dalam masyarakat yang memeluk agama lain. Hal serupa juga mereka terapkan untuk mengamati pemikiran keagamaan dalam masyarakat-masyarakat muslim. Sungguhpun demikian dalam perkembangan ilmu sosial dan kemanusiaan masa kini, baik ilmuwan barat maupun ilmuwan muslim telah menggunakan istiah yang tidak sama dalam mengategorikan kedua aliran tersebut. Istilah modernisme sering juga di ganti dengan istilahistilah lain, seperti “reformism”, reawakening, renaissance, dan renewal. Sedangkan istilah fundamentalisme sering pula di ganti dengan istilahistilah revivalism, militancy, reassertion, resurgence, activism, dan reconstruvtionsm. Dalam diskursus teoritis, sebagaimana biasanya, para penulis bukan saja saling berbeda dalam menggunakan istilah, tetapi istilah yang sama, sering pula didefinisikan dengan maksud yang berbeda”25. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa memang terdapat perbedaan konteks dan aplikasi konsep modernisme dan fundamentalisme dalam Kristen dan Islam. Meskipun demikian, harus juga diakui bahwa masalah modernisme dan fundamentalisme dalam Islam telah menjadi konsep yang mapan dan diterima masyarakat luas, terutama untuk memotret fenomena orientasi ideologis aliran pemikiran dan gerakan Islam. Meski secara terminologi modernisme dan fundamentalisme masih diperdebatkan karena konteks munculnya khas Kristen Protestan, tetapi dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi agama, istilah tersebut telah dianggap mapan dan diterima untuk menganalisis gejala perkembangan aliran pemikiran dan gerakan agama26. Untuk itu penulis, akan
24
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 5-6 25 Ibid. 5-6 26 Untuk lebih mengetahui perdebatan istilah modernisme dan fundamentalisme, diterangkan lebih lanjut oleh Muhammad Chirzin, Jihad Dalam Al-Qur‟an Persfektif Modernisme
tetap mempergunakan istilah ini dalam penulisan kerangka teori penulisan ini. Dan sedapat mungkin, kedua istilah itu akan di gunakan secara netral. Penulis sadar bahwa pemilihan istilah tekhnis dalam suatu kajian ilmiah memang akan dihadapkan pada resiko-resiko tertentu yang tidak seluruhnya dapat di hindari. Penggunaan modernisme dan fudamentalisme sebagai istilah tekhnis dalam kerangka teori ini akan di perinci secara lebih jelas dala pembahasan pandangan keagamaannya. B. Landasan Historis Modernisme dan Fundamentalisme Islam Sebagaimana di ketahui Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam memang lahir pada mulanya sebagai agama di Mekkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi “negara-agama”, selanjutnya membesar pada masa khalifah, dan menjadi kekuatan politik internasional yang tidak kecil pengaruhnya pada masa Dinasti Umayah, dan Abasiyah. Dalam proses perkembangannya itu, Islam membuahkan umat yang mampu mengembangkan ajaran Islam itu menjadi berbagai pengetahuan, mulai dari ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat tasawuf, dan lainnya, terutama dalam masa empat abad semenjak ia sempurna diturunkan. Umat Islam dalam periode itu dengan segala ilmu yang dikembangkannya, berhasil mendominasi peradaban dunia dengan cemerlang, sampai mencapai puncaknya di abad 12-13 M. Di masa inilah khususnya Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan ke-Islam-an berkembang sampai puncaknya, baik dalam bidang kajian agama, science, dan arsitektur. Di jaman itu pula para
dan Fundamentalisme dalam jurnal Hermenia, Jurnal Kajian Interdisipliner Vol. 2 No. 1 JanuariJuni 2003: 95-115.
pemikir muslim dihasilkan, sehingga menghasilkan apa yang disebut sebagai kebudayaan Islam. Masa keemasan ini kemudian hancur, setelah jatuhnya Kota Baghdad (Ibukota Dinasti Abbasiyah) pada tahun 1258 M, ke tangan bangsa Mongol, yang bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah Abbasiyah, tapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan perandaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Setelah Khilafah Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan tentara mongol, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastis. Setelah hancurnya Dinasti Abbasiyah, Islam menjadi statis atau dikatakan mengalami kemunduran. Hancurnya tatanan masyarakat muslim itu semakin terasa saat tiga kerajaan besar Islam pengganti Dinasti Abbasiyah yaitu Dinasti Utsmani, Safawi, dan Mughal, yang merupakan simbol masyarakat muslim secara ekonomi, politik dan militer mengalami kehancuran. Dijelaskan oleh Akber S. Ahmed, bahwa luluh lantahnya kejayaan Islam disebabkan oleh ketidakberdayaan dan ketidakharmonisan tiga kerajaan Islam terakhir yaitu Utsmani, Safawi, dan Mughal, yang merupakan kelanjutan dari dinasti Islam sebelumnya yaitu Umayyah dan Abasiyah, menurutnya : “Tidak ada kesatuan simbolik baik dalam sikap keagamaan, maupun politik, satu sama lain tidak pernah akur, dan dalam rangka memperluas kekuasaan, mereka tidak hanya menyerang serta menaklukkan serta menaklukkan bangsa-bangsa non-muslim, tetapi juga menganeksasi wilayah-wilayah muslim. Utsmani, misalnya, yang berbasis di Turki terus memperluas wilayahnya dengan menundukkan Siria, dan Irak sebagaian besar Afrika Utara. Sikap yang sama juga dilakukan oleh dua kerajaan lainnya dengan cara menundukkan wilayah disekitar
mereka. Maka wajar kalau hubungan antarketiga kerajaan tidak harmonis dan konflik internal di dalam wilayah masing-masing kerajaan sangat tajam. Ketika kekuatan Eropa masuk kedalam wilayah muslim, penguasa kerajaan-kerajaan tersebut tidak lagi bisa berbuat banyak.”27 Selain faktor yang disebutkan diatas, menurut Azyumardi Azra: “Secara historis hal ini disebabkan karena, pada masa-masa kejayaan politik muslim, khususnya dimasa Dinasti Utsmani, perasaan “kememadaian” (sufficiency) kaum muslim terhadap Islam begitu tinggi, sehingga membawa mereka lalai mencermati perkembangan dan dinamika masyarakat non-muslim, dalam hal ini khususnya Eropa. Kaum muslim merasa tidak perlu mengamati – apalagi belajar – dari kaum kafir, karena Islam diyakini memadai untuk menjawab tantangan orang-orang kafir.”28 Dilain sisi lain masyarakat muslim mengalami kehancurannya, Sementara itu di pihak lain, dunia Barat setelah belajar dari Timur (muslim) dengan menterjemahkan buku-buku karya muslim dari bahasa arab ke bahasa latin bangkit dan memasuki era Renaisance yang di warnai oleh revolusirevolusi: ketatanegaraan, gereja, ilmu pengetahuan, industri dan berlanjut ke revolusi sosial. Arah bandul kebudayaan yang pada abad-abad sebelumnya, berayun dari Timur ke Barat, kemudian beralih dari Barat ke Timur. Dunia muslim pun karena kebekuaan dan kelemahnnya menjadi mangsa empuk bagi dunia Barat sejak abad 1729. Di lukiskan oleh John L. Esposito pergeseran besar dominasi Islam dalam bidang kekuasaan, sebagai akibat kemerosotan nasib muslim, kemudian terjadilah hubungan yang sebaliknya antara pihak Islam dan pihak Barat, yaitu dari gerakan ekspansif yang demikian meluas pada masa
27
Dalam Tarmizi Taher dkk, Radikalisme Agama, Peny, Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo, h. 10 28 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam “Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme”, h. vi. 29 Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam (The New World Of Islam), terj. Mulyadi Djoyomartono dkk, (Jakarta, Gunung Agung, 1966), hal. 29.
sebelumnya kepada posisi bertahan30. Menurut John L. Esposito, kemunduran dan kehancuran tatanan masyarakat muslim ini, disebabkan oleh tiga hal yaitu pemberontakan-pemberontakan dan kekalahan-kekalahan militer, merosotnya otoritas pusat yang kuat, dan kemunduran ekonomi yang dipengaruhi oleh kompetisi Eropa dalam perdagangan dan industri31. Selain faktor-faktor yang sudah disebutkan diatas, menurut William Montgomery dalam bukunya “Fundamentalisme Islam Dan Modernitas”: “Kemunduran lembaga keagamaan di dunia muslim merupakan fakor yang penting. Menurutnya, pada permulaan abad ke 19 lembaga ini masih memiiki kekuasaan yang cukup besar di kesultanan Turki Utsmani (yang merupakan kawasan terbesar di dunia Islam) dan memiliki kekuasaan yang lumayan di berbagai dunia Islam lainnya, tetapi antara 1850 dan 1950 sebagian besar kekuasaan tersebut telah musnah, serta sejak 1950 peningkatan kekuasaan lembaga ini hanya bersifat pinggiran (terbatas). Menurutnya, hilangnya kekuasaan tersebut sebagian besar disebabkan ulama tidak ingin melakukan konsesi dalam bidang-bidang yang berada di bawah kendalinya-perumusan hukum, pengelolaan peradilan, pendidikanuntuk mengatasi hal-hal yang dipandang para negarawan sebagai sebagai masalah mendasar dewasa ini. Tanpa perlu secara resmi mengebiri kekuasaan ulama, para negarawan menciptakan lembaga-lembaga alternatif secara bertahap mengambil alih sebagian besar pekerjaan yang sebelumnya dijalankan ulama.”32 Dan menurut Gazalba, dalam bukunya “Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi Dan Sosiografi ” bahwa: “Akulturasi dua kebudayaan yang berbeda tingkatannya, akan mengakibatkan pola akulturasi yang politis yaitu penguasaan terhadap kebudayaan yang tingkatannya rendah atau tradisional. Dan hal ini terjadi ketika Islam kontak dengan masyarakat Barat. Yang terjadi waktu itu menurutnya, adalah tumbuhnya nilai-nilai Barat dalam segi sosial, 30
John L. Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta, Bulan Bintang, 1990), hal. 56 Lihat John L. Esposito, Islam Warna-Warni “Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus (AlShirat Al-Mutaqim)”, (Jakarta, Paramadina, 1998), hal. 145. 32 William Montgomery, Fundamentalisme Islam Dan Modernitas, Terj Taufik Adnan Amal, (Jakarta, Grafindo Persada, 1997), hal. 51-87. 31
ekonomi, poitik, seni, filsafat, disamping nilai-nilai modern (ilmu dan teknologi). Dalam masyarakat Islam menurut Gazalba hal ini bermakna bahwa pandangan, faham, ideologi yang lahir dalam kebudayaan Barat ikut tersemai dalam masyarakat Islam, antara lain: materialisme, individualisme, sekularisme, agnositisme, kapitalisme, ateisme, sosialisme, komunisme dan kristenisasi. Dan kalau Di pandang dari kacamata sosiologis, menurut Gazalba tantangan-tantangan dari luar inilah yang menghantam masyarakat Islam. Sedangkan tantangan dari dalam umat Islam sendiri, Gazalba merangkum ada 12 faktor yaitu: rusaknya perimbangan antara agama dan kebudayaan dalam addin, pembekuan itjihad, masjid kehilangan fungsi, keawaman terhadap Islam, kelemahan politik dan ekonomi, keterbelakangan sosial, ilmu, tekhnologi, pendidikan, kesenian dan alam pikiran, dan tidak ujudnya masyarakat Islam.”33 Faktor-faktor diatas inilah yang kemudian, menurut Azyumardi Azra menimbulkan apa yang disebut dengan “ketegangan teologis” diantara kaum muslim yaitu antara keharusan memegangi doktrin dengan dengan keinginan untuk memberikan pemahaman baru pada doktrin tersebut. ketegangan theologis itu pada gilirannya tidak hanya menciptakan barrier psikologis bagi mereka yang peduli terhadap posisi islam vis-avis realitas sosial-kultural, tetapi juga konflik theologis, intelektual dan sosial di antara kaum muslim secara keseluruhan34. Perubahan besar yang terjadi di masyarakat muslim pada akhirnya membuat tidak ada satu sistem budaya Islam pun yang mampu melindungi diri dari persaingan yang diperkenalkan oleh sistem dari luar “Barat”. Bahkan, Khilafah Utsmaniah, yang paling prestisius dan merupakan dinasti paling kuat saat itu, selain Dinasti Safawi dan Mughal, merombak semua sistem politik sosial dan budayanya dengan cara “Barat”, dan cenderung kearah sekuler. Contoh dari masuknya pengaruh Barat di dunia Islam sendiri, dimulai pada abad ke-19, dilaksanakan pertama kali
33
Sidi Gazalba, Masyarakat Islam “Pengantar Sosiologi Dan Sosiografi”, (Jakarta, Bulan Bintang, 1976), hal. 302-309. 34 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam “Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme”, h. ii.
oleh kekhalifahan Utsmani di bawah Sultan Mahmud II (1808-1839). Menurut Azyumardi Azra : “Upaya modernisasi awal ini tidak meluas sampai seluruh bidang kehidupan kaum muslim. Modernisasi model Barat dilakukan secara terbatas pada lembaga birokrasi-militer negara. Perubahan tersebut diadopsi negara dan implementasikan hanya oleh sekelompok elite. Dengan kata lain reformasi diprakarsai, dirumuskan, untuk kemudian dipaksakan dari atas, yakni dari elite penguasa. Mereka memberikan respon terhadap ancaman eksternal, yakni ekspansionisme Eropa, bukan terhadap tekanan internal yang datang dari masyarakat mereka sendiri yang menghendaki perubahan”.35 Tetapi mulai paruh abad ke-19, modernisasi dengan cepat merambah bidang-bidang kehidupan lain. Upaya-upaya yang dilakukan untuk memperkokoh pertahanan miiter dengan segera diikuti oleh program modernisasi yang lebih luas dalam wilayah kekhalifahan Utsmaniyah di bawah Sultan Abd al-Majid (18391861) dan Abd al-Hamid II (1879-1909). Modernisasi bertahap yang dilakukan oleh Sultan Mahmud II dikembangkan dan disistematisasi oleh anaknya, Abd alMajid, lewat serangkaian program reformasi ambisius yang disebut “Tanzimat” (reorganisasi)”36. Puncak modernisasi Turki Utsmani, pada akhirnya mengarah pada sekularisasi dibawah pimpinan Mustafa Kemal At Taturk. Ia adalah Bapak Sekulerisme dalam dunia perpolitikkan di negeri-negeri Islam. Dialah yang menghapuskan kekhilafahan dari Turki Ustmani atas bantuan Inggris. Kecintaannya terhadap peradaban Barat modernlah yang menyebabkannya melakukan modernisme diberbagai bidang kehidupan, dengan Barat sebagai kiblatnya. Menurutnya, jika kemajuan ingin dicapai oleh kaum muslimin maka
35
Ibid, h. 8 Ibid, h. 18
36
tidak ada jalan lain selain mengambil keseluruhan nilai Barat tersebut37. Pembaharuan besar-besaran yang dilakukan para elite penguasa pada abad-abad XVIII-XIX khususnya yang memerintah Turki yang mengarah pada sekularisasi, dan sikap menuding, kaum muslim yang bersifat tertutup dan menolak perkembangan kebudayaan pada unsur ilmu pengetahuan dan teknologi, kemudian menimbulkan reaksi keras dari banyak pihak. Keruntuhan supremasi Islam dalam berbagai bidang seperti politik, sosial dan ekonomi, yang menenggelamkan
dunia
Muslim
sampai
ke
titik
nadirnya,
kemudian
memunculkan pemikiran dan gerakan-gerakan keagamaan yang mencoba menegakkan dan mengembalikan kejayaan Islam. Menurut Mambaul Ngadimah: “Pergumulan antara Islam dan modernitas merupakan salah satu permasalahan paling krusial yang di hadapi oleh kaum muslim. Hal itu mengemuka terutama sejak otoritas Islam sebagai kekuatan politik merosot tajam pada abad 18. Persoalan ini telah menyita banyak energi kalangan intelektual Muslim untuk memecahkannya, namun hingga kini boleh dikatakan belum ada satu pembagasan yang tuntas baik dalam bentuk solusi maupun antsipasi mengenai persoalan Islam dan modernitas. Modernisme yang berangkat dari prinsip-prinsip dasar bahwa perjalanan waktu adalah linear; pandangan-dunia antroposentris; idea of progress; benar-benar bertolak belakang dengan prinsip-prinsip tradisional Islam yang memahami bahwa waktu berjalan siklikal; pandangan-dunia teosentris dan; nasib manusia selalu berada dalam kehendak tuhan (teisme). Uniknya, ketegangan teologis ini secara tidak terduga telah melahirkan reaksi intelektual dari kaum muslim berupa aliran-aliran keagamaan yang kemudian memperkaya pemikiran dan khazanah intelektual Islam. Diantaranya apa yang terkenal dengan sebutan modernisme Islam, Tradisionalisme Islam, Fundamentalisme Islam, neomodernisme Islam, neo-fundamentalisme Islam38”.
37
Dhabith Tarki Sabiq, Ar Rajul as Shanam Kamal At Taturk, Terj. Abdullah Abdurrahman, (Jakarta: Senayan Publishing, 2008). Cet. 1, hlm. 11-24. 38 Innovatio, Vol. VII, No. 14, Juli-Desember 2008
Dan menurut John L Esposito bahwa, maraknya perkembangan pemikiran dan gerakan keagamaan dalam Islam merupakan merupakan salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri, dalam mempertahankan eksistensi agama dari berbagai serangan baik dalam masyarakat agama tersebut maupun dari luar seperti kolonialisme Eropa (Barat). Seperti yang digambarkannya: “Sebagaimana halnya agama-agama besar dunia lainnya, Islam telah melewati sejumlah fase perkembangan. Lewat sejarahnya yang panjang, umat Islam harus merespon ancaman-ancaman internal dan eksternal demi mempertahankan kehidupan dan vitalitasnya. Sebagai akibatnya, Islam memiliki tradisi pembaharuan dan reformasi agama yang panjang, membentang dari zaman terawal sejarahnya sampai sekarang. Dan Abad ke 18 terbukti menjadi titik balik dalam sejarah Islam. Kekuatan, kemakmuran, dan ekspansi dinamis umat dan peradaban Islam harus berjuang mempertahankan hidupnya di hadapan kekuatan-kekuatan pribumi dan ancaman politik dan religio-kultural dari kolonialisme Eropa”.39 Dari pemaparan singkat diatas kita melihat bahwa, secara teologis, Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah – dan karena itu sekaligus bersifat transenden. Tetapi dari sudut sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas dalam kehidupan manusia. Islam dalam realitas sosial tidak sekedar sejumlah doktrin yang bersifat menjaman dan menjagatraya (universal), tetapi juga mengejewantahkan diri dalam institusi-institusi sosial yang dipengaruhi oleh situasi, dinamika ruang dan waktu. C. Pandangan Keagamaan Modernisme dan Fundamentalisme Islam Dalam menjelaskan ciri-ciri khusus pandangan keagamaan aliran modernis dan fundamentalis Islam, penulis mendasarkannya pada buku Yusril Ihza
39
John L. Esposito, Islam Warna-Warni “Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus (Al-Shirat Al-Mutaqim)”, h. 3.
Mahendra “Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam”. Menurut Yusril Ihza Mahendra: “Keduanya (modernisme dan fundamentalisme Islam) sama-sama berdasarkan kepada Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Dan bertujuan untuk membangun suatu tatanan masyarakat Islam, sesuai dengan maksud doktrin yang termaktub dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi itu”.40 Dari arti dan tujuan aliran pemikiran fundamentalis dan modernis, kita dapat melihat bahwa keduanya bersepakat tentang bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi dapat digunakan sebagai basis dalam pengorganiasian dan perngembangan masyarakat muslim. Namun demikian, menurut Yusril Ihza Mahendra meskipun kedua aliran itu mempunyai tujuan yang sama, kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin menunjukkan adanya perbedaan yang cukup penting. “Para modernis Islam cenderung menafsirkannya secara elastic dan fleksibel. Sementara para fundamentalis cenderung menafsirkannya secara rigid dan litieralis”.41 Senada dengan Yusril Ihza Mahendra, Akh. Minhaji dalam buku “Relasi Islam Dan Negara “Persfektif Fundamentalisme Dan Modernisme”, menggunakan istilah yang berbeda namun mempunyai makna yang sama dengan yang dituturkan Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya ada dua model pendekatan dalam menafsirkan doktrin agama dalam Islam, yaitu pertama, model normatif-deduktif (ilahiyah, theocentris subjective theological transendentialism) dan kedua, empiris deduktif (insaniyah, antropocentris, rational-empirical justification). Menurut Akh. Minhaji:
40
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal.
41
Ibid, h. 29
29
“Pendekatan normatif-deduktif cenderung di dominasi oleh aristotelian yang bercirikan dichotomous logic atau dalam bahasa John Dewey in pairs of dichotomies, lebih bercirikan eternalistic-absolutistic-spiritualistic logic. Dengan model logika demikian maka kajian Islam cenderung mendekati masalah secara hitam-putih, benar-salah, halal-haram, dan yang semacamnya akibatnya pemikiran yang ada bersifat sempit, kaku dan menolak nuansa-nuansa yang berada di luar dua kubu ekstrim tersebut”.42 “Pendekatan empiris-deduktif menunjukkan gejala yang berbeda. Model ini bernuansa hegelian logic yang bercirikan dialectical logic. Berdasarkan logika Hegel ini maka “every one of them was (and is) right within it‟s own field”. Artinya kebenaran itu bersifat relatif dan dipengaruhi oleh asumsi-asumsi dasar yang di anut dan juga dialektika sosial yang terjadi inilah yang kemudian dikenal dengan istilah temporalistic-relativisti materialistic logic dengan demikian hasil pemikiran ajaran Islam dengan pendekatan model yang demikian bersifat relativ dan diyakini bersifat luwes, fleksibel sekaligus di pandang mampu mengikutu denyut dan perkembangan masyarkat”.43 Perbedaan kecenderungan corak penafsiran doktrin agama antara modernisme dan fundamentalisme Islam, kemudian menghasilkan perbedaan pula dalam
memahami
berbagai
masalah,
khususnya
masalah-masalah
yang
berhubungan dengan (a) ijtihad; (b) preseden zaman awal, serta sejarah dan tradisi Islam; (c) ijma; (d) pluralisme (kemajemukan) dan (e) hikmah.” 1. Ijtihad Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur‟an dan hadis. Namun, hasil ijtihad tetap tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan hadis. Hadis yang menunjukkan bolehnya berijtihad adalah hadis nabi yang mengisahkan tentang sahabat Mu‟adz bin Jabal ketika di utus ke Yaman44.
42
Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara “Persfektif Fundamentalisme dan Modernis), (Jakarta, Yayasan Indonesia Tera, 2001), hal. xvi-xvii 43 Ibid, h. xvi-xvii. 44 Abu Yasid, Islam Akomodatif “Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama Universal”, (Yogyakarta, LKIS, 2004), h. 64.
ْبَعَثَهُ إِنَى انٍَْمَنِ فَقَالَ مُعَاذٍ أَّنَ زَسُىلَ انهَهِ صَهَى انهَهُ عَهٍَْهِ وَسَهَمَ حٍِنَ عَن َف تَصْنَعُ إِّنْ عَسَضَ نَك َ ٍَْقَضَاءٌ قَالَ أَقْضًِ بِمَا فًِ كِتَابِ انهَهِ قَالَ فَإِّنْ نَمْ ك ْعَهٍَْهِ وَسَهَمَ قَالَ فَإِّنْ نَمْ فًِ كِتَابِ انهَهِ قَالَ فَبِسُنَةِ زَسُىلِ انهَهِ صَهَى انهَهُ ٌَكُن ِقَالَ صَهَى انهَهُ عَهٍَْهِ وَسَهَمَ قَالَ أَجْتَهِدُ زَأًٌِْ نَا آنُى ٌَكُنْ فًِ سُنَةِ زَسُىلِ انهَه ثُمَ قَالَ انْحَمْدُ نِهَهِ انَرِي فَضَسَبَ زَسُىلُ انهَهِ صَهَى انهَهُ عَهٍَْهِ وَسَهَمَ صَدْزِي ِصَهَى انهَهُ عَهٍَْهِ وَسَهَمَ نِمَا ٌُسْضًِ زَسُىلَ انهَهِ وَفَقَ زَسُىلَ زَسُىلِ انهَه َم صَهَى َ انهَهُ عَهٍَْهِ وَسَه Artinya :“Dari Muadz : Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda, “.Bagaimana anda nanti memberikan keputusan ?”. “Aku memberi keputusan dengan kitabullah”. “Bagaimana kalau tidak ada dalam kitabullah?”. “Maka dengan sunah Rasulullah saw.” “Bagaimana kalau tidak ada dalam sunah Rasulullah?.” “Aku berusaha dengan ra‟yu ku dan aku tidak akan menyerah.”. Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan bersabda, “segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah” Ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Adapun menurut istilah, al-ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seseorang atau beberapa orang ulama tertentu yang memiliki syarat-syarat tertentu, pada suatu tempat dan waktu tertentu untuk merumuskan kepastian atau penilaian hukum mengenai sesuatu atau beberapa perkara yang tidak terdapat kepastian hukumnya secara eksplisit dan positif, baik dalam Al-Qur‟an maupun al-Hadis45. Dan secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu.
45
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma Dan Sistem Islam”, (Jakarta, Gema Insani, 2004), h. 55
Menurut Yusril Ihza Mahendra dalam bukunya “Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam”, perbedaan kecenderungan penafsiran dalam melihat doktrin agama aliran pemikiran modernisme Islam yang cenderung elastic dan fleksibel dan fundamentalisme Islam yang cenderung rigid dan literalis dalam melihat doktrin agama, menghasilkan perbedaan dalam memaknai masalah ijtihad. Menurut Yusril Ihza Mahendra: “Sesuai dengan kecenderungan penafsiran yang elastic dan fleksibel terhadap doktrin, modernisme Islam melihat bahwa dalam masalah-masalah mu‟amalah (kemasyarakatan), doktrin hanya memberi ketentuan umum yang bersifat universal. Karena itu ijtihad harus digalakkan. Itjihad memunggkinkan corak pengaturan doktrin yang berisi ketentuan-ketentuan umum itu dapat diimplementasikan kedalam suasana konkret, yaitu suasana masyarakat yang ada pada suatu zaman dan tempat terentu.”46 Sedangkan menurut Yusril Ihza Mahendra Fundamentalisme Islam melihat bahwa: “Kaum Fundamentalis seiring dengan kecenderungan penafsirannya terhadap doktrin yang bersifat rigid dan literalis, fundamentalisme memandang bahwa corak pengaturan doktrin bersifat total dan serba mencakup. Tidak ada masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan manusia di dunia ini yang luput dari jangkauan doktrin yang serba mencakup itu. Karena itu itjihad dengan sendirinya di batasi hanya kepada masalah-masalah diantara doktrin tidak memberikan petunjuk dan pengaturan sampai detail-detail persoalan.”47 Dari uraian diatas, antara modernisme dan fundamentalisme keduanya bersepakat tentang perlunya ijtihad dalam membuat dan merumuskan hukumhukum Islam (syariah Islam) sesuai dengan doktrin agama. Namun ada perbedaan tentang doktrin agama (Al-Qur‟an dan hadis) mana saja yang perlu dilakukannya 46
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal.
47
Ibid., hal. 31
29
ijtihad. Modernisme Islam membatasi diri pada doktrin agama yang berkaitan dengan masalah muamalah (kemasyarakatan). Karena menurut mereka dalam masalah
muamalah
doktrin-doktrin
hanya
menerangkan
prinsip-prinsip
universal48. Sementara itu, fundamentalisme tidak membatasi diri pada masalah muamalah, tapi langsung membatasi ijtihad pada doktrin agama, menurut mereka doktrin agama yang sudah memberikan petunjuk dan pengaturan sampai ke detaildetail persoalan, tidak perlu dilakukan ijtihad49. Menurut Saiful Mujani dalam bukunya “Muslim Demokrat „Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca ORDE BARU” dikalangan Islam, terdapat sejumlah nas-nas doktrin agama tentang hukum muamalah (kemasyarakatn) salah satunya adalah hukum potong tangan bagi pencuri. Dan 48
Kaum modernis membedakan doktrin agama kedalam dua bidang, yaitu ibadah dan muamalah. Semua peraturan dalam bidang ibadah sudah di perinci oleh syariah, sedangkan dalam bidang muamalah, syariah memberikan prinsip-prinsip umum dan mendorong kreativitas, karena tanpa kreativitas (ijtihad) Islam akan kehilangan relevansinya denga zaman. Dalam Chirzin, Jihad Dalam Al-Qur‟an Persfektif Modernisme dan Fundamentalisme dalam jurnal Hermenia, Jurnal Kajian Interdisipliner Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2003: 95-115. Dalam buku Endang Saifuddin Anshari, “Wawasan Islam “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma Dan Sistem Islam”, Secara definitif muamalah dapat diartikan dalam arti luas dan sempit. Dalam arti yang luas, yaitu tata aturan ilahi yang mengatur hubungan sesama manusia dan benda. Muamalah dalam arti luas ini, secara garis besar terdiri atas dua bagian besar. A. Al-Qanunul Khas „hukum perdata‟ yang meliputi: 1). Muamalah dalam arti sempit = hukum niaga, 2). Munakahah = hukum nikah, 3). Waratsah = hukum waris, 4). Dan lain sebagainya. B. Al-Qanunul‟Am‟ „hukum publik‟ yang meliputi: 1). Jinayah = hukum pidana, 2). Khilafah = ketatanegaraan, 3). Jihad = hukum perang dan damai, dan lain sebagainya. Endang Saifuddin Anshari, “Wawasan Islam “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma Dan Sistem Islam”, (Jakarta, Gema Insani, 2004), h. 45. 49 Ijtihad modernisme dan fundamentalisme Islam diatas berkaitan dengan sifat-sifat dari nas yang ada di Al-Quran dan Sunnah Nabi yang bersifat qath‟i dan zhanni yang sering digunakan oleh para ulama dan pemikir Islam dalam kaitannya dengan pembahasan kedudukan Al-Qur‟an dan sunnah Nabi dilihat dari wurud-nya (kedatangannya) atu tsubut-nya (penetapannya). Pembagian status qath‟i dan zhanni terhadap dalil-dalil naqli (al-qur‟an dan as-sunnah) itu mereka lakukan dalam upaya merumuskan dan menentukan “kawasan” ajaran Islam yang tidak dapat lagi dilakukan ijtihad dan masih dapat (bahkan ada yang harus) dilakukan ijtihad. Tentang sifat-sfat dari doktrin agama ini diterangkan dalam buku Syuhudi Ismail, Hadists Nabi “Menurut Pembela, Pengingkar Dan Pemalsunya”, (Jakarta, Gema Insani Press, 1995), h. 94. Dalam buku ini diterangkan bahwa, yang disebut dengan nas qath‟i (dharuri, yaqini, absolut, daan mutlak) dari segi dalalah-nya (petunjuk atau pengertiannya) ialah nas yang menunjukkan satu pengertian tertentu dan tidak mengandung kemungkinan takwil ataupun peluang untuk memberikan pengertian yang selainnya. Adapun yang dimaksud dengan nas yang berstatus zhanni (nazhari, relatif dan nisbi) di segi dalalah-nya (petunjuk dan pengertiannya) menurut penjelasan Khallaf ialah nas yang menunjukkan satu pengertian, namun terhadap nas itu masih dimungkinkan dilakukan takwil yang menghasilkan pengertian yang lain.
hukum ini, dapat dijadikan dukungan terhadap fundamentalisme Islam, karena kecenderungannya yang bersifat literalis dalam menafsirkan doktrin agama. Dan sebaliknya yang sarjana muslim yang melalui “kritisisme historis-nya” melihat bahwa semangat yang medasari penerapan hukum itu adalah untuk menciptakan tatanan keadilan dan keamanan dalam masyarakat50. Berikut adalah contoh nas Al-Qur‟an dan hadis tentang hukum jinayah (hukum pidana) potong tangan bagi pencuri, hukum waris, dan hukum tentang kepemimpinan wanita: a. Ayat Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri.
ٍ انهَ ِه ۗ وَانهَ ُه عَزٌِ ٌز َ ِّق وَانّسَارِقَةُ فَاقْطَعُىا أٌَْدٌَِهًَُا جَزَا ًء بًَِا كَّسَبَا َكَانًا ي ُ ِوَانّسَار ٌٌ انهَ َه غَفُى ٌر رَحٍِى َ ِب عَهٍَْ ِه ۗ إ ُ ٌ انهَ َه ٌَتُى َ ِب يٍِ بَعْ ِد ظُهًِْ ِه وَأَصْهَحَ فَئ َ حَكٍِىٌ فًٍََ تَا Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (alMâidah/5:38-39) Dan nas Al-Qur‟an ini dipertegas kembali oleh hadis yang diriwayatkan oleh Abdullâh Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:
َل انهَ ِه صّهى انهّ ُه عَهٍَْ ِه وَ سَهَىَ قَطَعَ سَا رِقًا فًِ يِجٍٍَ قًٍَِْتُ ُه ثَالَثَ ُة دَرَاهِى َ أََرَسُ ْى
50
Dalam bukunya ini, Saiful Mujani memakai istilah yang berbeda dalam melihat varian Islam tapi mempunyai makna yang sama dengan konsep varian Islam yang digunakan dalam penelitian ini. Syaiful mujani mengasosiasikan Modernisme Islam dengan Islam Liberal, sedangkan fundamentalisme Islam dengan Islamisme. Kalangan Islamis memahami ayat-ayat diatas cecara harfiah (rigid dan literalis) dan menuntut agar hukum itu diterapkan. Namun demikian banyak sarjana muslim, lagi-lagi melalui “kritisisme historis”, menegaskan bahwa semangat yang mendasari ayat itu adalah menciptakan tatanan keadilan dan ketentraman dalam masyarakat. Saeful Mujani, “Muslim Demokrat „Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca ORDE BARU”, (Jakarta, Gramedia, 2007), h. 104
Artunya: Bahwa Rasûlullâh memotong tangan seseorang yang mencuri tameng/perisai, yang nilainya sebesar tiga dirham (Muttafaqun „Alaihi). b. Ayat Tentang Hukum Waris
ًٍَْ َظِ انْأَُث ّ َم ح ُ ٌُىصٍِكُ ُى انهَـهُ فِىٓ أَوْلٰدِكُ ْۖى نِهّذَكَ ِر يِ ْث Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan (An-nisa ayat 11) c. Ayat Tentang Hukum Kepemimpinan Wanita
ٌ عَهَى انُِّّسَآ ِء َ انرِّجَالُ قَىّٰيُى Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (An-nisa ayat 34)
Ayat Quran ini kemudian ditegaskan kembali dalam hadis berikut ini. Hadits: Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menjadikan wanita sebagai pemimpin mereka.” (HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan Nasa'i). 2. Preseden (Teladan) Tradisi Zaman Awal Islam Kecenderungan penafsiran doktrin yang berbeda antara modernisme dan fundamentalisme, yang berakibat pada perbedaan dalam berijtihad, hal ini juga mengakibatkan perbedaan pula dalam memaknai masalah zaman awal, serta sejarah dan tradisi Islam. Modernis memandang tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat beliau terutama zaman Kkhulafa Rasyidin hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan menyangkut hal-hal yang terperinci. Sedangkan kaum fundamentalis memandang bahwa tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat beliau terutama zaman Kkhulafa Rasyidin tidak hanya mengikat dalam hal
prinsip-prinsipnya saja, tapi juga dalam hal-hal perinciannya. Mengenai hal ini, menurut Yusril Ihza Mahendra: “Modernisme memandang tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi Muhamma dan para sahabat beliau-terutama zaman Kkhulafa Rasyidin hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan menyangkut hal-hal yang terperinci. Kaum modernis pada umumnya berdalih bahwa masyarakat manusia tidaklah statis, melainkan dinamis. Masyarakat terus berubah dan berkembang dari suatu zaman ke zaman lain tanpa seorangpun mampu menahannya. Namun demikian, prinsip-prinsip yang berhubungan dengan watak manusia yang menjadi anggota masyarakat itu, seperti norma-norma tentang kebaikan dan keburukan, pada hakekatnya tidak berubah. Tetapi perincian-perinciannyalah yang terus berkembang dari masa ke masa. Karena itu, preseden awal Islam di zaman Nabi dan para sahabat, tidak harus diikuti sampai kepada perincian-perincian berdasarkan kepada prinsip-prinsip yang berlaku dalam masyarakat.”51 “Sedangkan perubahan perubahan itu menurut kaum modernis, adalah “sunnah Allah” yang berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Kalau demikian, apalagi dengan warisan sejarah dan tradisi Islam dari zaman sesudah itu – yaitu generasi sesudah sahabat, tabiin dan tabi-i l-tabiin – yang menurut pandangan kaum modernis, lebih banyak mencemaskan aspirasi-aspirasi yang hidup di zaman mereka. Warisan tradisi di zaman ini pun, dengan sendirinya tidaklah mengikat generasi-generasi kaum muslim yang hidup di jaman kenudian. Kaum modernis juga kurang membrikan aspirasi yang tinggi terhadap warisan tradisi pemikiran Islam dari zaman yang lampau.”52 Sedangkan dalam memaknai preseden zaman awal, serta sejarah dan tradisi Islam kaum fundamentalis, menurut Yusril Ihza Mahendra: “Fundamentalisme memandang, preseden zaman awal Islam adalah mengikat secara keseluruhan, ini berarti bahwa preseden itu bukan hanya mengikat dalam prinsip, melainkan juga dalam perincian-perinciannya. Fundamentalisme memandang orang-orang yang hidup dizaman awal lebih memahami maksud-maksud doktrin. Zaman Islam awal itu, yaitu
51
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal.
52
Ibid., hal. 30
30
zaman nabi dan para sahabat, adalah zaman yang ideal yang wajib diwujudkan di segala zaman.”53 Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tradisi adalah adat kebiasaan turuntemurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan, dan atau penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar54. Sedangkan tradisi secara umum di pahami sebagai pengetahuan, doktrin, kebiasaan, praktek dan lain-lain yang diwariskan turun-temurun termasuk cara penyampaian pengetahuan, doktrin dan praktek tersebut55. Dari uraian diatas, kita dapat melihat bahwa terjadi perdebatan antara modernisme dan fundamentalisme Islam tentang tradisi-tradisi seperti apakah yang hendak di pelihara atau ditegakkan di dalam dunia dimana seseorang dihadapkan tidak hanya kepada satu kelompok tradisi tetapi kepada begitu banyak tradisi (pluralisme tradisi) dan juga dihadapkan dengan dunia yang berubah dengan cepatnya. Menurut Waqar Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat memperhatikan tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurispedensi hukum Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh nabi muhammad. Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat56. Dalam sejarahnya, Islam dan tradisi merupakan dua substansi yang berlainan, tetapi dalam perwujudannya dapat saling bertaut, saling mempengaruhi,
53
Ibid., hal. 32 http://kamusbahasaindonesia.org/tradisi 55 Anisatun Mu;tiah dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya Di Indonesia, Vol. 1 (Jakarta, Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), h. 15 56 Waqar Ahmad Husaini, Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, (Bandung, Pustaka, 1983), h. 74. 54
saling mengisi dan saling mewarnai perilaku seseorang. Islam merupakan suatu normatir yang ideal, sedangkan tradisi bisa bersumber dari ajaran nenek moyang, adat istiadat setempat atau hasil pemikirannya sendiri. Islam berbicara mengenai ajaran yang ideal, sedangkan tradisi merupakan realitas dari kehidupan manusia dan lingkungan57. Dalam literatur kajian Islam banyak sekali tradisi (kebiasaan) yang dicontohkan nabi Muhammad yang tertuang dalam hadis seperti yang disebutkan Akaha dan Abduh Zulfidar dalam bukunya “160 Kebiasaan Nabi saw”58. Contoh dari preseden (teladan) zaman awal, serta sejarah dan tradisi Islam adalah apakah tradisi hukum potong tangan bagi yang mencuir yang pernah di terapkan pada zaman Nabi Muhammad dan para sahabat. Tradisi hukum ini, menurut kalangan modernis harus di laksanakan hanya prinsip-prinsipnya saja, semangat ayat ini menurut mereka untuk menciptakan tatanan dan keamanan dalam masyarakat. Menurut kalangan modernis, hukum potong tangan boleh jadi merupakan sebuah instrumen yang efektif dan dapat diterima untuk menciptakan tatanan sosial. Dalam masyarakat modern, instrumen lain seperti penjara diyakini lebih manusiawi dan mendidik, dan karenanya bisa menjadi pengganti hukum Islam tersebut59.
Akan tetapi menurut kalangan fundametalis Islam hukum
potong tangan ini harus diterapkan sesuai apa yang dicontohkan nabi dan para sahabat, jadi tidak termakan oleh kondisi jaman60.
57
Ahmad Taufik Weldan dan M. Dimyati Huda, Metodologi Studi Islam “Suatu Tinjauan Perkembangan Islam Menuju Tradisi Islam Baru” (Malang, Bayumedia Publishing,2004), h. 29. 58 Dalam buku ini Akaha dan Abduh Zulfidar, menulis 160 kebiasaan nabi dalam hal ibadah. Akaha dan Abduh Zulfidar, 160 Kebiasaan Nabi saw, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, cetakan I, 2002) 59 Saeful Mujani, “Muslim Demokrat „Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca ORDE BARU”, h. 104-106 60 Menurut Dwi Ratna Sari bahwa salah satu karakteeristik fundamentalisme Islam yaitu berpegang teguh pada kedaulatan syariat Islam. Tujuan utama umat Islam adalah menegakkan kedaulatan Tuhan di muka bumi ini. Tujuan ini bisa dicapai dengan membangun tatanan Islam
3. Ijma Dalam ensiklopedia umum, apabila ada kejadian atau peristiwa yang hukumnya tidak terdapat dalam Al-Quran atau hadis. Dalam hal demikian para alim ulama terkemuka mengambil suatu ketetapan atas kata sepakat. Cara penentuan hukum ini disebut ijma61. Ijma' (ُ )انِئجًَْاعadalah mashdar (bentuk) dari ajma'a (َ )أَجًَْعyang memiliki dua makna:
1) Tekad yang kuat ( ُ )انعَزْ ُو انًُؤَكَدseperti: ٍسَفَر bertekad kuat untuk melakukan perjalanan). 2)
Kesepakatan (ُ )االتِفَاقseperti: ( muslimin bersepakat tentang sesuatu.
ٌ عَهَى ٌ أَجًََعَ فُهَا
(sifulan
ٌ عَهَى كَّذَا َ ْ)أَجًَْ َع انًُّسْهًُِى
kaum
Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah:
ٍ َ ًِ عَصْ ِر ي ْ هلل عَهٍَْ ِه وَسَهَ َى بَعْ َد وَفَاتِهِ ِف ُ ي أُيَ ِة يُحًََ ٍد صَهَى ا ْ ِق يُجْتَهِد ُ اتِفَا ٍ األُيُىْ ِر َ ِانعُصُىْ ِر عَهَى أَيْ ٍر ي "kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula" . Menurut Khaled M. Abou El Fadl, dalam kajian Islam ada beberapa permasalahan tentang teori dan praktek mengenai doktrin ijma dikalangan pemikir muslim. Meskipun mayoritas ahli hukum pada dasarnya menerima doktrin ijma,
(Nizham al-Islam) yang memosisikan syariat sebagai Undang-Undang tertinggi. Dari pemahaman ini, maka agenda formalisasi syariat Islam menjadi entry point bagi terbentuknya negara Islam sehingga syariat Islam benar-benar dapat diperlakukan dalam hukum positif, baik hukum perdata seperti perkawinan, perceraian, waris, maupun hukum jinayat seperti potong tangan dan lain sebagainya. Dwi Ratna Sari, Fundamentalisme Islam, Jurnal Komunika Vol.4 No.1 Januari-Juni 2010, h. 40-57. 61 Ada pendapat bahwa pada hakekatnya ijma ialah ijtihad dengan dasar yang lebih luas. Ijtihad mengenai (hasil) pemikiran oleh satu orang. Ijma mengenai kegiatan yang sama, tetapi oleh lebih dari satu orang. Karena ijtihadlah yang sebenarnya yaang menjadi sumber hukum. Ensiklopedia Umum, (Yogyakarta, Kanisius, 1973), h. 478 62 http://www.nurulilmi.com/maudhui/manhaj/287-ijma.html
mereka tidak sepakat menyangkut ijma siapa yang bisa dipedomani-apakah ijma para sahabat, para ahli ilmu hukum, atau masyarakat awam? Mereka juga berbeda pendapat tentang apakah semua ahli hukum harus diikuti, apakah hanya ahli hukum di wilayah tertentu, atau hanya ijma ahli hukum yang memiliki kualifikasi tingkatan tertentu. Selain itu menurut Khaled M. Abou El Fadl, mereka tidak sepakat tentang apakah ijma suatu generasi mengikat generasi lain, dan apakah ijma di sebuah wilayah tertentu mengikat wilayah lainnya63. Perbedaan dalam memanai
masalah
ijma
ini,
terlihat
ketika
aktivis
modernisme
dan
fundamentalisme Islam dalam memaknai masalah ijma. Menurut Yuril Ihza Mahendra, perbedaan dalam memaknai dan merumuskan masalah „ijma‟ anatara modernisme dan fundamentalisme Islam, merupakan akibat dari perbedaan kecenderungan penafsiran atas doktrin agama. Berikut adalah pandangan ijma menurut kalangan modernisme Islam: “Erat hubungannya dengan dengan pandangan yang dinamis terhadap masyarakat seperti dikemukakan diatas, modernisme juga memandang ijma (konsensus) yang dicapai oleh generasi terdahulu, dapat diperbaharui oleh generasi yang hidup di zaman kemudian. Hal ini dilakukan jika factor-faktor psikologis, social, politik dan ekonomi yang melatar belakangi ijma itu berubah. Dalam hal ini termasuk juga kemungkinan memperbaharui ijma para sahabat nabi. Kaum modernis juga juga memperluas konsep tradisional mengenai ijma - yaitu konsesus mayoritas para ulama fiqh mengenai suatu masalah hukum – menjadi konsensus mayoritas kaum muslim, atau wail-wakil mereka, pada suatu zaman dan tempat tertentu. Konsensus baru yang dibuat itu harus diputuskan dengan berpedoman kepada “dasar-dasar doktrin”. Ijma seperti itu tentu saja tidak boleh melampaui hudud, yaitu batas-batas yang telah ditentukan oleh doktrin.”64
63
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan “Dari Fiqh Otoriter Ke Fiqh Otoritatif”, (Jakarta, Serambi,2001), h. 118. 64 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal. 30
Sedangkan menurut Yusril Ihza Mahendra fundamentalisme Islam memaknai masalah ijma: “Fundamentalisme memandang ijma zaman sahabat nabi adalah ijma yang mengikat generasi-generasi kaum muslim hingga akhir zaman. Ijma demikian tidak dapat di ubah oleh ijma-ijma yang dibuat oleh generasi yang hidup setelah mereka. Kaum fundamentalis juga-berbedadengan kaum modernis-pada umumnya memberikan apresiasi yang tinggi terhadap warisan sejarah dan tradisi Islam di zaman tabiin dan tabi l-tabi‟in. Juga pada tradisi pemikiran Islam yang diwariskan oleh para ulama di masa lampau yang dipandang mempunyai otoritas.”65 4. Pluralisme Dan Hikmah Kecenderungan penafsiran modernisme yang bersifat elastis dan fleksibel dan fundamentalisme Islam yang rigid dan literalis dalam menghadapi doktrin agama, menghasilkan perbedaan pula dalam memahami beberapa masalah, khususnya masalah-masalah yang berhubungan dengan cara beritjihad yang, modernisme lebih menekankan pada kritisisme historis yang dilandasi oleh semangat perkembangan zaman, sedangkan fundamentalisme lebih pada keterangan dari teks doktrin agama. Selain itu, kecenderungan penafsiran ini juga mengakibatkan perbedaan dalam memaknai masalah preseden tradisi zaman awal nabi dan para sahabat, apakah mengikat secara keseluruhan atau hanya prinsipprinsipnya saja. Menurut Yusril Ihza Mahendra ada dua pandangan modernis dan fundamentalis Islam yang saling berhubungan dengan pandangan-pandangan diatas yaitu dalam memaknai masalah pluralisme dan hikmah. Menurut Yusril Ihza Mahendra ada dua pandangan dasar modernis yang saling berhubungan dengan pandangan-pandangan diatas yaitu, sikapnya yang positif dalam melihat
65
Ibid., hal. 32
pluralisme,
dan
keleluasaan
untuk
mengambil
hikmah
(kebijaksanaan)
darimanapun asalnya. Menurut Yuril Ihza Mahendra: “Kaum modernis yakin selama dunia itu ada, selama itu pula pluralisme tetap ada. Modernisme juga berkeyakinan bahwa kaum muslim adalah umat pertengahan dan umat terbaik yang ditonjolkan Allah kepada seluruh manusia. Mereka menjadi penengah antara kecenderungankecenderungan ekstrim yang terdapat pada umat-umat yang lain.”66 “Sikap yang positif dan optimis ini terhadap pluralisme ini selanjutnya mendorong modernis cenderung bersikap terbuka dan toleran. Bagi mereka hikmah (kebijaksanaan) akan ditemukan dimana saja termsuk pada kelompok-kelompok dari luar Islam. Dengan berpegang teguh kepada salah satu hadis mengenai “hikmah” (kebijaksanaan), modernisme cenderung bersikap terbuka untuk beradaptasi dan mengakulturasi prnsipprinsip doktrin dengan “hikmah” yang telah disumbangkan oleh masyarakat-masyarakat yang mendukung peradaban lain. Dorongan mencari hikmah itu adalah seiring dengan kecenderungan kaum modernis yang lebih berorientasi pada penyelesaian masalah yang dihadapi secara konkret, dengan pendekatan yang bercorak pragmatis dan kompromistis. Mereka bebas mencari hikmah, karena mereka percaya bahwa evolusi kebudayaan manusia sebenarnya bergerak menuju nilai-nilai yang ditunjukkan Islam. Sedangkan nilai-nilai Islam, menurut mereka, adalah nilai-nilai universal yang sesuai dengan the human nature (watak manusia), sungguhpun secara formal tentulah tidak semua manusia memeluk agama Islam.”67 Sedangakan menurut Yusril Ihza Mahendra ada dua pandangan dasar fundamentalis Islam yang saling berhubungan dengan pandangan-pandangan diatas yaitu, sikapnya yang cenderung memandang negatif dan pesimis kepada pluralisme,
dan
keleluasaan
untuk
mengambil
hikmah
(kebijaksanaan)
darimanapun asalnya. Menurut Yuril Ihza Mahendra: “fundamentalisme cenderung memandang negatif dan pesimis kepada pluralisme, masyarakat cenderung dilihat secara “hitam-putih”, yaitu antara masyarakat Islam-i yang meyakini dan mengamalkan doktrin secara 66
Ibid., hal. 31 Ibid., hal. 31
67
kafah (menyeluruh) dengan masyarakat Jahiliah yang tidak meyakini dan mengamalkannya. Sejarah manusia cenderung untuk dilihat sebagai sejarah pertentangan antara dua golongan masyarakat ini, yang 68 disimbolkan dengan sejarah para Nabi dan para penentangnya.” Dengan pembagian dikotomis masyarakat yang kaku diatas, menurut Yusril Ihza Mahendra: “Maka hikmah (kebijaksanaan) tidak perlu dicari dalam masyarakat yang telah jelas-jelas bersifat Jahailiah itu. Karena itu, fundamentalisme cenderung bersifat tertutup dari kemungkinan beradaptasi dan berakulturasi dengan prestasi-prestasi peradaban yang telah dikembangkan oleh masyarakat lain. Memang, bagi fundamentalisme, manusia didunia ini hanya dihadapkan kepada dua pilihan, menjadi “mu‟min” atau menjadi “kafir.”69 Dari uraian diatas, kita dapat melihat bahwa kalangan modernisme Islam memandang positif dan optimis ini terhadap pluralisme yang mendorong bersikap terbuka dan toleran. Hal ini kemudian membuat mereka berkeyakinan bahwa hikmah atau kebijaksanaan dapat ditemukan dimana saja tanpa terkecuali teemasuk masyarakat Barat. Sedangkan kalangan fundamentalisme Islam cenderung memandang negatif dan pesimis kepada pluralisme, masyarakat cenderung dilihat secara “hitam-putih”, yaitu antara masyarakat Islam-i yang meyakini dan mengamalkan doktrin secara kafah (menyeluruh) dengan masyarakat Jahiliah yang tidak meyakini dan mengamalkannya.
68
Ibid., hal. 32 Ibid., hal. 32
69
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITAN MAHASISWA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
A. Sejarah Singkat Lahirnya UIN Syahid Jakarta Penulisan Sejarah singkat lahirnya UIN Syahid Jakarta dalam karya ilmiah ini mengikuti formula yang di susun buku panduan akademik 2010/2011. Penulisan demikian disebabkan minimnya literatur-buku yang membahas tentang sejarah UIN itu sendiri. Berikut adalah sejarah singkat UIN Syahid Jakarta yang penulis sadur secara langusung dari buku pedoman akademik 2010/2011. Sejarah pendirian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan suatu mata rantai sejarah perkembangan perguruan tinggi Islam Indonesia dalam menjawab kebutuhan pendidikan tinggi Islam modern yang telah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka. Sejak berdirinya sampai sekarang, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah melewati beberapa periodesasi sebelum menjadi salah satu ikon universitas Islam di Indonesia. Babakan sejarah itu di bagi kedalam empat periodesasi yaitu periode perintisan, periode fakutas dari IAIN aljami‟ah, periode IAIN Syarif Hidayatulah, dan periode UIN Syarif Hidayatullah. Selama itu, lembaga pendidikan ini telah menjalankan mandatnya sebagai institut pembelajaran dan transmisi ilmu pengetahuan, sebagai institusi riset yang mendukung proses pengembangan ilmu dan pembangunan bangsa, dan sebagai institusi pengabdian masyarakat yang terus mendorong program-program
peningkatan kesejahteraan sosial.70 Berikut adalah sejarah singkat UIN Syahid Jakarta. a. Periode Perintisan Pada zaman penjajahan Belanda, seorang pelajar muslim Dr. Satiman Wirjosandojo, tercatat pernah berusaha mendirikan Pesantren Luhur sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam. Namun, usaha ini gagal karena hambatan dari pihak penjajah Belanda.71Setelah itu, pada tahun 1940, Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) di Padang mendirikan hal serupa dengan nama Sekolah Tinggi Islam (STI) tapi karena adanya pendudukan Jepang, lembaga pendidikan ini hanya berjalan selama dua tahun. Namun, kegagalan pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam sebelumnya itu, tidak serta menyurutkan niat umat Islam Indonesia untuk terus menyuarakan pentingnya pendidikan tinggi Islam bagi kaum muslim Indonesia. Hal ini, membuat Pemerintah Jepang di Indonesia kemudian mejanjikan kepada umat Islam untuk mendirian lembaga pendidikan tinggi agama di Jakarta. Janji Jepang itu kemudian di respon tokoh-tokoh Muslim seperti Muhammad Hatta dan Muhammad Natsir dengan membentuk yayasan, yang diketuai oleh Muhammad Hatta sendiri dan Muhammad Natsir sebagai sekertaris.72 Yayasan ini kemudian mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) pada 8 Juli 1945 di Jakarta dan mengangkat Abdul Kahar Mudzakkir sebagai ketua. Tercatat ada beberapa tokoh Muslim lain ikut berjasa dalam proses pendirian dan pengembangan STI. Mereka antara lain Drs. Muhammad Hatta, K.H. Kahar
70
Komarudin Hidayat dkk, Buku Pedoman Akademik Strata Satu 2011/2012, (Jakarta,Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan, 2011), hal. 5. 71 Ibid., h. 5 72 Ibid., h. 5-6
Mudzakkir, K.H. Wahidin Hasyim, K.H. Mas Mansur, K.H. Fatturrahman Kafrawi, dan Farid Ma‟ruf. Dua tahun setelah pendirian STI, tahun 1946 STI dipindahkan ke Yogyakarta karena mengikuti kepindahan Ibukota Negara dari Jakarta ke Yogyakarta. Kemudian pada 22 maret 1948, STI mengubah namanya menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) karena perkembangannya yang semakin besar. Sampai dengan tahun 1948, UII tercatat memilii empat fakultas, yaitu Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Pendidikan73. Kemudian, didasarkan kepada Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 tahun 1950, Fakultas Agama UII ditransformasikan menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Hal in disebabkan oleh Kebutuhan akan tenaga fungsional di Departemen Agama menjadi latar belakang penting berdirinya perguruan tinggi agama Islam. Dalam konsideran disebutkan bahwa PTAIN bertujuan memberikan pengajaran studi Islam tingkat tinggi dan menjadi pusat pengembangan serta pendalaman ilmu pengetahuan agama Islam. Berdasarkan PP tersebut juga, ditetapkan 26 september 1950 sebgai hari jadi PTAIN. PTAIN ini, dipimpin K.H. Muhammad Adnan dengan jumlah mahasiswa pada tahun 1951 sebanyak 67 orang. Pada periode tersebut PTAIN memiliki tiga jurusan, yaitu Jurusan Tarbiyah, Jurusan Qadla Syariah, dan Jurusan Dakwah.74 Mata kuliah pada waktu itu terdiri dari Bahasa Arab, Pengantar Ilmu Agama, Fiqh Dan Ushul Fiqh, Tafsir, Hadits, Ilmu Kalam, Islam, Sejarah Kebudayaan Islam, Ilmu Pendidikan dan Kebudayaan, Ilmu Jiwa, Pengantar Hukum, Asas-Asas Hukum Publik Dan Privat, Etnologi, Sosiologi dan Ekonomi. Kemudia, mahasiswa yang lulus tingkat 73
Ibid., h. 6 Ibid., h. 6
74
bangkaloreat dan doktoral masing-masing mendapatkan gelar Bachelor Of Art (BA) dan Doctorandus (Drs). Komposisis mata kuliah PTAIN terus berlanjut sampai masa-masa berikutnya dan merupakan kajian utama perguruan tinggi Islam. Dan gelar akademik yang ditawarkan ketika itu, juga terus bertahan sampai pertengahan dekade 1980-an75. b. Periode ADIA (1957-1960) Pada tahun 1 Juni 1957, Departemen Agama mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta. Hal ini disebabkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga fungsional di bidang guru agama Islam yang sesuai dengan tuntutan modernitas pada dekade 1950-an. ADIA didirikan dengan tujuan mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri guna mendapatkan ijazah pendidikan akademi dan semi akademi sehingga dapat menjadi guru agama, baik untuk sekolah umum, sekolah kejuruan, maupun sekolah agama. Kepemimpinan ADIA dipercayakan kepada Prof.Dr.H.Muhammad Yunus sebagai dekan dan Prof.H.Bustomi A. Gani sebagai wakil dekan. ADIA memiliki tiga jurusan, dan dengan komposisi kurikulum yang sama dengan PTAIN, hanya dengan beberapa tambahan matakuliah untuk kepentingan tenaga fungsional. Ketiga jurusan itu yaitu Jurusan Pendidikan Agama, Jurusan Bahasa Arab, dan Jurusan Dakwah Wal Irsyad yang juga dikenal dengan Jurusan Khusus Imam Tentara. Sedangkan komposisi kurikilum lengkapnya adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Bahasa Prancis, Bahasa Ibrani, Ilmu Keguruan, Ilmu Kebudayaan Umum dan Indonesia, Sejarah Kebudayaan Islam, Tafsir, Hadits, Husthalahah Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, Tariqh Tasyri Islam, Ilmu Kalam/Mantiq, Ilmu Akhlak/Tasawuf, 75
Ibid., h. 6
Ilmu Filsafat, Ilmu Perbandingan Agama, dan Ilmu Pendidikan Masyarakat 76. Ada dua ciri utama ADIA. Pertama, sesuai dengan mandatnya sebagai akademi dinas, mahasiswa yang mengikuti kuliah di ADIA terbatas
pada
mahasiswa
tugas
belajar. Mereka diseleksi dari pegawai atau guru agama di lingkungan departemen agama yang berasal dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia. Kedua, sesuai dengan mandatnya untuk mempersiapkan guru agama modern, tanggung jawab pengelolaan dan penyediaan anggaran ADIA berasal dari Jawatan Pendidikan Agama (Japenda) Departemen Agama, yang pada waktu itu memiliki tugas mengelola madrasah dan mempersiapkan guru agama Islam modern di sekolah umum77. c. Periode Fakultas IAIN Al-Jamaah Yogyakarta (1960-1963) Pada tahun 1960-an, ADIA di Jakarta dan PTAIN di Yogyakarta diintegrasikan menjadi satu lembaga pendidikan tinggi agama Islam negeri. Integrasi ini dikarenakan dalam satu dekade ternyata PTAIN di Yogyakarta, memperlihatkan perkembangan yang menggembirakan. Hal ini terlihat dari Jumlah mahasiswa PTAIN semakin banyak dengan area of studies yang semakin luas. Selain itu, mahasiswa PTAIN tidak hanya datang dari berbagai wilayah Indonesia, tetapi juga datang dari negara tetangga seperti Malaysia. Meningkatnya jumlah mahasiswa dan meluasnya area of studies, yang kemudian menuntut peluasan dan penambahan, baik dari segi kapasitas kelembagaan, fakultas dan jurusan, maupun komposisi mata kuliah mengharuskan dilaksanakannya integrasi lembaga pendidikan ADIA di Jakarta dan PTAIN di Yogyakarta untuk memenuhi
76
Ibid., h. 7 Ibid., h. 7
77
kebutuhan diatas. Integrasi ini terlaksana dengan keluarnya Peraturan Presiden Republik Indonesia no. 11 tahun 1960 tertanggal 24 agustus 1960 bertepatan dengan 2 rabiul awal 1380 hijriah. Peraturan Presiden RI tersebut sekaligus mengubah dan menetapkan perubahan nama dari PTAIN menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) al-Jamiah al-Islamiyah al Hukumiyah. IAIN diresmikan oleh menteri agama di gedung kepatihan Yogyakarta78. Nama dan jabatan pimpinan IAIN dan fakultas-fakultasnya pada saat diresmikan adalah sebagai berikut:”79 No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jabatan Rektor/Presiden Institu Sekertaris Senat Dekan Fakultas Tarbiyah Dekan Fakuktas Adab Dekan Fakultas Ushuluddin Dekan Fakultas Syariah
Nama Prof.Mr.R.H.A. Soenarjo Mr. Wasil Azis Prof. Dr.H. Mahmud Yunus Prof. H. Bustami A. Gani Prof.Dr. Muchtar Yahya Prof. .T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy
Lokasi Yogyakarta Yogyakarta Jakarta Jakarta Yogyakarta Yogyakarta
Peresmian IAIN ini di sambut antusias oleh umat Islam Indonesia. Beberapa daerah kemudian mengajukan penegerian perguruan tinggi Islam yang telah ada didaerahnya atau meminta untuk membuka fakultas yang sesuai dengan kondisi daerahnya. Aspirasi ini diperkuat oleh ketetapan MPRS nomor 1/RIS/1963 lampiran A.ad 5 yang secara eksplisit dan tegas meminta perluasan IAIN. Dalam kurun waktu dua tahun, yaitu sejak 1960 sampai dengan 1963, IAIN berdiri di sembilan kota dengan perincian sebagai berikut; Fakultas Tarbiyah Di Jakarta, Yogyakarta, Malang dan Banda Aceh. Fakultas Adab di Jakarta dan Yogyakarta. Fakultas Ushuluddin di Jakarta dan Yogyakarta. Fakultas Syariah di Yogyakarta, Banda Aceh, Banjarmasin, Palembang, Surabaya, Serang dan Ujung
78
Ibid., h. 8 Ibid., h. 8
79
Pandang. Selanjutnya status dan struktur organisasi IAIN diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 9 tahun 198780. d. Periode IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta IAIN kemudian mengalami perkembangan pesat, perkembangan tersebut tidak dapat lagi tertampung oleh kapasitas kelembagaan IAIN yang terpusat di Yogyakarta. Atas dasar semua itu, kemudian dipandang perlu mengembangkan IAIN menjadi institut yang berdiri sendiri. Berdasarkan keputusan Menteri Agama RI nomor 49 tahun 1963 tertanggal 25 februari 1963 ditetapkan adanya dua IAIN, masing-masing IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengkoordinasi fakultas-fakultas di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya. Sedangkan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengkoordinasi fakultas-fakultas yang berada di wilayah Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatera. Peresmian pembagian wilayah koordinasi dilakukan pada 18 maret 1963 di aula IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta di hadiri menteri agama. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berdiri sendiri dipimpin oleh Prof. Drs. H. Soenardjo sebagai rektor81. Pada saat peresmian itu, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki empat fakultas, yaitu Fakultas Tarbiyah, Adab, dan Ushuluddin di Jakarta dan Fakultas Syariah di Serang. Di samping itu IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga mengkoordinasikan Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Syariah di Banda Aceh dan Palembang. Selanjutnya, dalam masa dua tahun, dari 1963 sampai 1965, di buka fakultas-fakultas baru, yaitu Fakultas Tarbiyah di
80
Ibid., h. 8 Ibid., h. 8-9
81
Serang, Cirebon, Padang dan Pekanbaru, dan Fakultas Syariah di Jambi.82Atas aspirasi dan perjuangan masyarakat Muslim setempat, fakultas fakultas yang berada di bawah koordinasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta kemudian berdiri sebagai IAIN yang mandiri. Antara lain, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh berdiri 5 oktober 1963, IAIN Raden Patah Palembang berdiri 22 oktober 1964, IAIN Antasari Kalimantan Selatan diresmikan 22 november 1964, IAIN Imam Bonjol Padang berdiri 21 November 1966, dan IAIN Sultah Taha Saefuddin di Jambi berdiri tahun 1967.83 Sejak terbitnya keputusan Menteri Agama Nomor 15 Tahun 1988, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta terdiri dari fakultas-fakultas Tarbiyah, Adab, Ushuluddin, Syariah dan Dakwah di Jakarta dan Fakultas Tarbiyah di Pontianak. Selanjutnya, berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1997 tentang perubahan status fakultas daerah menjadi sebuah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), maka Fakultas Tarbiyah Pontianak berdiri sendiri sebagai STAIN Pontianak84. Pada masa kepemimpinan Prof. Dr. Harun Nasution (1973-1984), IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dikenal luas sbagai “kampus pembaharu”. Hal ini disebabkan karena Harun Nasution banyak mengadakan pembaharuan-pembaharuan Islam dengan menekankan Islam rasional. Harun nasution mengadakan perubahan kurikulum IAIN yang salah satunya adalah memasukan maatakuliah filsafat dan menyelenggarakan Program Pascasarjana (PPs). PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan pertama di lingkungan IAIN di seluruh Indonesia. PPs ini mengawali kuliah perdananya pada
82
Ibid., h. 9 Ibid., h. 9 84 Ibid., h. 10 83
tanggal 1 September 1982, setelah sehari sebelunya (30 Agustus 1982) diadakan peresmian pembukaannya85. e. IAIN With Wider Mandate IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu IAIN tertua di Indonesia yang bertempat di Ibukota Jakarta, menempati posisi yang unik dan strategis. Ia tidak hanya menjadi “jendela Islam di Indonesia”, tetapi juga menjadi simbol bagi kemajuan pembangunan nasional, khususnya pembangunan di bidang sosial-keagamaan, sebagai upaya untuk untuk mengintegrasikan ilmu agama dan umum, lembaga ini mulai mengembangkan diri dengan konsep IAIN dengan mandat yang lebih luas (IAIN with wider mandate) menuju terbentuknya Universitas Islam Negeri, langkah konversi ini mulai diintensifkan pada masa kepemimpinan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA dengan dibukanya Jurusan Psikologi dan Pendidikan Matematika pada Fakultas Syariah, serta Jurusan Ekonomi dan Perbankan Islam pada Fakultas Syariah pada tahun akademik 1998/1999.86Untuk lebih memantapkan langkah konversi ini, pada tahun 2000 di buka Program Studi Agri Bisnis dan Program Studi Teknik Informatika bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta Program Studi Manajemen dan Program Studi Akuntansi. Pada 2001 diresmikan
Fakultas Psikologi, dan Fakultas Dirasat
Islamiyah bekerjasama dengan Universitas Al-Azhar, Mesir. Selain itu dilakukan pula upaya kerjasama dengan Islamic Development Bank (IDB) sebagai penyandang dana pembangunan kampus yang modern; McGill University melalui
85
Ibid., h. 10 Ibid., h. 10
86
Canadian International Development Agencies (CIDA), Leiden University (INIS), Universitas Al-Azhar (Kairo); King Saud University (Riyadh); Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor (IPB); Ohio University; Lembaga Indonesia Amerika (LIA); Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT), Bank Mandiri, Bank Muamalat Indonesia (BMI); dan universitas-universitas serta lembaga lainnya.87Langkan perubahan bentuk IAIN menjadi UIN mendapat rekomendasi pemerintah dengan ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 4/U/KB?2001 dan Menteri Agama RI Nomor 500/2001 tanggal 22 November 2001, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional memberikan rekomendasi dibukanya 12 program studi yang meliputi Program Studi Ilmu Sosial dan Eksakta, yaitu Teknik Informatika, Sistem Informasi, Akuntansi, Manajemen, Sosial Ekonomi Pertanian/Agribisnis, Psikologi, Bahasa dan Sastra Inggris, Ilmu Perpustakaan, Matematika, Kimia, Fisika, dan Biologi.88Seiring dengan itu, rancangan keputusan Presiden tentang perubahan bentuk IAIN menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga telah mendapat rekomendasi dan pertimbangan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI dan Dirjen Anggaran Departemen Keuangan RI Nomor 02/M-PAN/1/2002 tanggal 9 Januari 2002 dan nomor S-490/MK 2/2002 tanggal 14 Februari. Rekomendasi ini merupakan dasar bagi keluarnya Keputusan Presiden Nomor 031 tanggal 20 Mei tahun 2002 tentang perubahan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.89 f. Periode UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (mulai 20 mei 2002)
87
Ibid., h. 10-11 Ibid., h. 11 89 Ibid., h. 11 88
Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 031 tanggal 20 mei 2002 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta resmi berubah menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Upacara peremiannya dilakukan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Hamzah Haz pada 8 Juni 2002 bersamaan dengan upacara Dies Natalis ke 45 (lustrum ke-9) serta pemancangan tiang pertama pertama pembangunan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melalui dana Islamic Development Bank (IDB). Setelah itu program konversi UIN dibubarkan dan dirikan secara bersamaan Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial dan Fakultas Sains dan Teknologi.90Belakangan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menambah fakultas baru, yaitu Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (Program Studi Kesehatan Masyarakat) berdasarkan surat keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 1338/D/T/2004 tahun 2004 tanggal 12 April 2004 tentang ijin penyelenggaraan Program Studi Kesehatan Masyarakat (S1) dan Keputusan Direktur Jenderal Kelembagaanagama Islam tentang ijin penyelenggaraan Program Studi Kesehatan Masyarakat program Sarjana (S1) pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor Dj.II/37/2004 tanggal 19 Mei 2004. Mulai tahun akademik 2009/2010 tiga program studi, Pemikiran Politik Islam dan Sosisologi Agama dari Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, dan Ilmu Hubungan Internasional dari Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, bergabung kedalam Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.91
90
Ibid., h. 11 Ibid., h. 11
91
Sebagai bentuk reintegrasi ilmu, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak tahun akademik 2002/2003 menetapkan nama-nama fakultas sebagai berikut:92 1. Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 2. Adab dan Humaniora 3. Ushuluddin dan Filsafat 4. Syari‟ah dan Hukum 5. Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi 6. Dirasat Islamiyah 7. Psikologi 8. Ekonomi dan Bisnis 9. Sains dan Teknologi 10. Kedokteran dan Ilmu Kesehatan 11. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik B. Visi, Misi dan Tujuan Visi dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah : “Berdaya saing tinggi dan terdepan dalam mengembangkan dan mengintegrasikan aspek keislaman, keilmuan, dan keindonesiaan”.93 Menurut Kusmana : “Ke tiga aspek (aspek keislaman, keilmauan dan keindonesiaan) ini membuka peluang bagi UIN Jakarta untuk menyelenggarakan tidak hanya fakultas-fakultas kajian Islam tapi juga fakultas-fakultas umum. Dengan demikian, kapasitas layanan pendidikan tinggi di UIN Jakarta lebih luas dan pada saat yang sama menjadi terbuka untuk berkompetisi dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi lain di Indonesia khususnya maupun diluar negeri”.94 Sedangkan Misi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ada lima yaitu: a) Menghasilkan sarjana yang memiliki keunggulan kompetitif dalam persaingan global. b) Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan untuk mengembangkan dan mengintegrasikan aspek keislaman, keilmuan dan keindonesiaan.
92
Ibid., h. 12 Ibid., h. 13 94 Kusmana, “Integrasi Keilmuan “UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset”, (Jakarta, PPJM dan UIN Jakarta Press, 2006), hal. 110. 93
c) Meningkatkan kualitas penelitian dan pengabdian yang bermanfaat bagi kepentingan keilmuan dan kemasyarakatan. d) Membangun good university governance dan manajemen yang profesional dalam mengelola sumber daya perguruan tinggi sehingga menghasilkan pelayanan prima kepada sivitas akademika dan masyarakat; e) Membangun kepercayaan dan mengembangkan kerjasama dengan lembaga nasional, regional, maupun international.95 Misi UIN Jakarta di atas, yang secara keseluruhan bermuara pada terciptanya lulusan yang mempunyai competitive advantage sejalan dengan tujuan UIN Jakarta yaitu dalam: a) Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, bidang keagamaan, sosial maupun sains dan teknologi. b) Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan agama, sosial dan sains teknologi serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.96 Menurut Kusmana, usaha kearah realisasi tujuan tersebut didukung oleh pola ilmiah pokok (PIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu pembaharuan dalam Islam dengan menampilkan Islam yang modern, rasional dan kompatibel dengan perkembangan zaman agar tercipta integrasi keislaman, keilmuan, dan keindonesiaan. Atas dasar itu maka orientasi pengembangan UIN Jakarta kedepan diorientasikan pada beberapa hal berikut: a) Pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia (SDM) seluruh sivitas akademika UIN yang memiliki keluruhan moral, kedalaman spiritual, kecerdasan intelektual, dan kematangan professional. b) Pemberdayaan dan peningkatan kualitas akademik, administrasi, pelayanan dan seluruh komponen berikut perangkat kerja di UIN Jakarta secara professional dan optimal. c) Pembaharuan sistem pendidikan menuju reintegrasi keilmuan, keislaman, keindonesiaan, dan wawasan global, serta 95
Komarudin Hidayat dkk, Buku Pedoman Akademik Strata Satu 2011/2012, h. 13 Ibid., h. 13
96
pengembangan UIN sebagai pusat keunggulan dalam studi dan pemikran Islam.97 C. Motto dan Arah Pengembangan Menurut situs http://uinjkt.ac.id/index.php/motto.html, sejak tahun 2007 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menetapkan knowledge, piety, dan integrity sebagai mottonya. Motto ini pertama kali di sampaikan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, dalam pidato wisuda sarjana ke-67 tahun akademik 2006-2007. “Knowledge mengandung arti bahwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki komitmen menciptakan sumber daya insani yang cerdas, kreatif, dan inovatif. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berkeinginan memainkan peranan optimal dalam kegiatan learning, discoveries, and engagement hasil-hasil riset kepada masyarakat. Komitmen tersebut merupakan bentuk tanggung jawab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam membangun sumber daya insani yang mayoritas muslim. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ingin menjadi sumber perumusan nilai keislaman yang sejalan dengan kemodernan dan keindonesiaan. Oleh karena itu, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menawarkan studi-studi keislaman, studi-studi sosial, politik dan ekonomi serta sains dan teknologi modern – termasuk kedokteran – dalam persfektif integrasi ilmu.”98 “Piety mengandung pengertian bahwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki komitmen mengembangkan inner quality dalam bentuk kesalehan dikalangan sivitas akademika. Kesalehan yang bersifat individual (yang tercermin dalam terma habl min allah) dan kesalehan sosial (yang tercermin dalam terma habl min al-nas) merupakan basis bagi sivitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam membangun relasi sosial yang lebih luas.”99 “Sedangkan integrity mengandung pengertian bahwa sivitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan pribadi yang menjadikan nilai-nilai etis sebagai basis dalam pengambilan keputusan dan perilaku sehari-hari. Integrity juga mengandung pengertian bahwa sivitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki kepercayaan diri sekaligus menghargai kelompok-kelompok lain.”100
97
Kusmana, “Integrasi Keilmuan “UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset”, h. 111 98 http://uinjkt.ac.id/index.php/motto.html 99 http://uinjkt.ac.id/index.php/motto.html 100 http://uinjkt.ac.id/index.php/motto.html
“Dalam motto knowledge, piety, dan integrity terkandung sebuah spirit untuk mewujudkan kampus madani, sebuah kampus yang berkeadaan, dan menghasilkan alumni yang memiliki kedalaman dan keluasan ilmu, ketulusan hati dan kepribadian kokoh.”101 Sedangkan berkaitan dengan arah arah pengembangan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam situsnya yaitu http://uinjkt.ac.id/index.php/arahpengembangan.html : “UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah menjadi jendela keunggulan akademis Islam Indonesia (windw of academic excellence of Islam in Indonesia) dan barometer perkembangan pembelajaran, penelitian dan kerja-kerja sosial yang diselenggarakan kaum muslim indonesia dalam berbagai bidang ilmu. Dalam kerangka memperkuat peranannya tersebut, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berkomitmen utuk mengembangkan diri sebagai universitas riset (research university) dan universitas kelas dunia (world class university).”102 “Universitas riset dapat diartikan sebagai universitas yang menjadikan tradisi riset sebagai basis normatif aktivitas universitas. Secara operasional unversitas riset adalah universitas yang mengimplementasikan sistem pendidikan berbasis riset dengan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan SKS secara utuh; keseluruhan aktivitas penelitian menerapkan standar ilmiah; penyelenggaraan manajemen universitas mengacu pada total quality management (TQM); dan mengupayakan produk-produk unggulan perguruan tinggi yang diapresiasi publik.”103 “Sedangkan universitas kelas dunia dapat diartikan bahwa pengembangan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta diarahkan untuk membangun jaringan kerja sama dengan universitas-universitas terkemuka didunia. Jaringan kerja sama itu dirancang dalam berbagai tingkatan, baik pembelajaran dalam bentuk pertukaran mahasiswa (students exchange), penelitian, dan saat program-program pengabdian masyarakat (social services). Pada bersamaan pembangunan jaringan itu diharapkan dapat memberikan manfaat berupa pengakuan dunia internasional terhadap UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu universitas berkualitas dunia.”104 D. Kerja Sama dan Pengembangan Jaringan Untuk menjadi World Class University, Kerjasama dan pengembangan jaringan merupakan bagian penting yang harus dilakukan UIN Syarif 101
http://uinjkt.ac.id/index.php/motto.html http://uinjkt.ac.id/index.php/arah-pengembangan.html 103 http://uinjkt.ac.id/index.php/arah-pengembangan.html 104 http://uinjkt.ac.id/index.php/arah-pengembangan.html 102
Hidayatullah Jakarta. Hal inilah yang membuat petinggi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selalu berusaha memperluas kerja sama dan jaringan dengan berbagai institusi yang dipandang dapat memberikan dukungan terhadap kemajuan peningkatan kulitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berikut adalah MOU kerja sama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan beberapa lembaga-lembaga: a. Pergururan Tinggi Dalam Negeri 1. Universitas Indonesia (UI) 2. Universitas Gadjah Mada (UGM) 3. Universitas Negeri Jakarta (UNJ) 4. Universitas Pendidikan Indonesia ((UPI) 5. Universitas Muhammadiyah 6. Institut Pertanian Bogor (IPB) 7. Institut Teknologi Bandung (ITB) 8. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 9. IAIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru 10. IAIN Ar-Raniry Banda Aceh 11. IAIN Sumatera Medan 12. IAIN Alaudin Makassar 13. IAIN Raden Intan Lampung 14. STAIN Ternate 15. STAIN Manado 16. Perguruan Tinggi Swasta (PTIS) Kopertais Wilayah I Jakarta.105 b. Pergururan Tinggi Dalam Negeri 1. Al-Azhar University, Cairo, Mesir 2. Universitas Leiden, Belanda 3. McGill University, Montreal, Kanada 4. Univesitas Sains malaysia (USM) Penang Malaysia 5. Ohio University, Athens, Ohio, Amerika Serikat. 6. Ohio State University, Columbus, Amerika Serikat. 7. Emory Univesity, Atalanta, Amerika Serikat. 8. Duke Univesity, Amerika Serikat. 9. University of Melbourne, Australia. 10. Australia National University, Australia 11. Griffith University, Australia 12. Sun Moon University, Korea 13. Kolej University Islam Malaysia (KUIM), Malaysia 14. Institut Agama Islam Negeri (Insaniah) Alor Setar Kedah, Malaysia 15. Carrol College, Montana, Amerika Serikat 105
Ibid., h. 28-29
16. St. Mary‟s College Of Maryland, Amerika Serikat 17. Islamitische Universitiet Van Europa, Rotterdam, The Netherlands 18. Prince of Songkla University, Thailand 19. Hadramout University Of Science And Technology, Yaman 20. Universitas Umum Al-Qurra 21. King Abdul al-Aziz Univesity 22. Cairo University 23. „Ains Shams University di Mesir 24. Umdurman University Sudan 25. Ulumal-Qur‟an Sudan 26. Universitas Santo Tomas, Manila Fhilipina106 c. Lembaga-lembaga luar negeri 1. CIDA (The Canadian International Development Agency), Kanada 2. TAF (The Asia Foundation) 3. The Ford Foundation 4. USAID (The United States Agency For International Development) 5. AMNEF (America Indonesia Exchange Foundation), IIEF (The Indonesian International Education Foundation), Amerika Serikat 6. Japan Foundation Association, Jepang 7. JFPR (The Japan Fund For Poverty Reduction), Jepang 8. Toyota Foundation, Jepang 9. Japanese Government (Mombusho) Scholarship, Jepang 10. Konrad-Adenauer-Stiftung, Jerman 11. DAAD (Deuthcher Akademinscher Austausch Dienst), Jerman 12. AusAID, (The Australia Government‟s Overseas Aid Program), Australia 13. INIS (The Indonesia-Netherland Cooperation In Islamic Studies) 14. ISIM (International Institute For The Study Of Islam In The Modern World), Belanda 15. EFEO (Ecole Francaise d‟Extreme Oreint), Perancis 16. Islamic Cultural Center Iranian Embassy107
106
Ibid., h. 29 Ibid., h. 30
107
BAB IV ANALISIS DATA MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME MAHASISWA UIN SYAHID JAKARTA
A. Acuan Atau Dasar Dalam Membangun Masyarakat. Pembahasan ini secara keseluruhan merupakan penelitian, untuk melihat kecenderungan pemikiran keagaamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam kerangka
modernisme
dan
fundamentalisme
Islam.
Modernisme
dan
fundamentalisme adalah aliran pemikiran keagamaan dalam religio-kultural Islam, yang berusaha merumuskan, mengaplikasikan, dan mensinergikan Islam dalam alam modernitas. Keduanya modernisme dan fundamentalisme Islam dapat dibedakan karena kecenderungan penafsirannya yang berbeda ketika berhadapan dengan doktrin agama (Al-Quran dan hadis) yang dijadikan landasan dalam membangun masyarakat. Modernisme Islam cenderung elastic dan fleksibel dalam menafsirkan doktrin agama, sedaangkan fundamentalisme Islam cenderung rigid dan literalis. Perbedaan kecenderungan ini kemudian membuat keduanya berbeda dalam memahami berbagai masalah, khususnya masalah-masalah yang berhubungan dengan (a) ijtihad, (b) preseden (teladan) zaman awal Islam, (c) ijma, (d) pluralisme dan (e) hikmah. Kelima hal inilah yang akan penulis gunakan sebagai indikator dalam melihat kecenderungan pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta apakah cenderung bersifat modernis atau fundamentalis. Menurut penulis sebelum membahas kelima hal diatas, ada baiknya membahas tentang kesatuan pandangan modernisme dan fundamentalisme bahwa
Al-Quran dan hadis dapat dijadikan acuan dalam membangun tatanan masyarakat Pembahsan yang ini penting untuk melihat apakah informan mempunyai kecenderungan yang sama dengan modernisme dan fundamentalisme Islam bahwa Al-Quran dan hadis dapat dijadikan landasan dalam membangun tatanan masyarakat, atau sebaliknya. Menurut Yusril Ihza Mahendra dalam bukunya “Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam”, tidak ada perbedaan acuan atau dasar antara modernisme dan fundamentalisme dalam permasalahan “Apa” yang harus dijadikan acuan dalam membangun masyarakat. Menurut Yusril Ihza Mahendra: “Keduanya (modernisme dan fundamentalisme Islam) sama-sama berdasarkan kepada Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Dan bertujuan untuk membangun suatu tatanan masyarakat Islam, sesuai dengan maksud doktrin yang termaktub dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi itu”108. Dari pemaparan diatas, kita dapat melihat bahwa keduanya aliran pemikiran modernis dan fundamentalis, bersepakat bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi dapat digunakan sebagai basis dalam pengorganiasian dan perngembangan masyarakat muslim. Berdasarkan hasil penelitian, terhadap delapan mahasiswa UIN Syahid Jakarta, sebagian besar bersepakat bahwa Al-Quran dan Sunnah Nabi bisa dijadikan pedoman dalam membangun tatanan masyarakat. Sedangkan sebagian kecil, mengatakan bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi bisa dijadikan acuan atau dasar dalam membangun masyarakat, akan tetapi dengan pertimbangan. Sedangkan sebagian kecil lainnya, mengatakakan tidak bisa dengan alasan. Dan yang lainnya mengatakan masih dilematis. Berikut adalah pengkategorisasian jawaban informan dalam penelitian ini. 108
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 29
1. Bisa. Al-Quran Dan Sunnah Nabi Dijadikan Acuan Atau Dasar Untuk Membangun Masyarakat. Sebagian besar informan dalam penelitian ini mengatakan bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi bisa dijadikan acuan atau dasar dalam membangun masyarakat. Sebagaimana yang dinyatakan oleh IBL. “Ya. Bisa lah, Al-Quran dan hadis itu kan memang pedoman hidup umat manusia”109.
Hal senada juga diungkapkan oleh DNU bahwa tidak ada yang tidak diatur dan dijelaskan oleh Al-Quran dan hadis, keduanya sudah mengatur segalagalanya, dari hal yang besar sampai yang kecil. “Oh sangat, sangat bisa. Islam itu sebenarnya memang sudah mengatur segala-galanya melalui Al-Quran, yang kemudian dijelaskan oleh perkataan, dan perbuatan nabi yang dinamakan hadits. Sebenarnya tidak ada yang tidak dijelaskan dalam Al-Quran dan hadits semuanya ada bahkan sampai hal-hal kecil juga, misalnya proses penciptaan manusia ada di dalam Al-Qur‟an, dalam kehidupan sehari-hari, makan itu kan harus menggunakan tangan kanan ga boleh pake tangan kiri, sampai buang hajat saja sebenarnya diatur dalam Islam, harus doa dulu tidak boleh berisik dll”110. Hampir sama dengan informan diatas, IHM menyatakan bahwa penggunaan Al-Quran dan hadis dalam membangun tatanan masyarakat sudah digunakan ketika Fathul Mekkah. “Menurut saya bisa. Bisa banget pertama al-Quran dan hadits itu dikalau kita menilisik dijaman Rasulullah ketika fathul mekkah. Fathul mekkah itu dimana masyarakat madani ada disana itu yang muslim dan non muslim
109 110
Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta, 13 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 20112
bersama-sama membangun negara yang tidak ada gontol-gontokan dan itu landasannya itu Islam”111. Dari pemaparan pendapat sebagian besar informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta diatas kita dapat melihat bahwa, penggunaan Al-Quran dan Sunnah Nabi dimungkinkan dijadikan acuan atau dasar dalam membangun masyarakat, karena kedua sumber utama hukum Islam ini, sudah mengatur segala-galanya baik itu dalam masalah-masalah besar seperti sains, bahkan social, ekonomi dan politik, sampai hal-hal kecil kehidupan manusia yang dilakukan sehari-hari. Dan penggunaan sumber hukum ini, telah dan sudah digunakan dan dicontohkan oleh Muhammad ketika peristiwa Fathul Mekkah, dimana muslim dan non-muslim disatukan dalam satu simbol keagamaan Islam. Kecenderungan pendapat sebagian besar informan ini, selaras dengan modernisme dan fundamentalisme Islam bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah nabi memang bisa dijadikan acuan atau dasar dalam membangun tatanan masyarakat. 2. Bisa Dengan Pertimbangan. Al-Quran Dan Sunnah Nabi Dijadikan Acuan Atau Dasar Untuk Membangun Masyarakat. Sedangkan sebagian kecil informan seperti ISN dan IHN mengatakan bahwa bisa Al-Quran dan hadis dijadikan pedoman dalam membangun tatanan masyarakat akan tetapi dengan pertimbangan dan tambahan dalam penerapannya. ISN melihat bahwa dibutuhkan dasar-dasar lain seperti ijma dan qiyas dan kearipan-kearipan lokal bukan hanya Al-Quran dan hadis. “Bisa, bisa Quran dan hadis itu. Ya kalau memang secara Islam merupakan sumber kuat untuk mengatur kehidupan manusia baik itu sosial ekonomi dan bernegara”. Tapi selain itu juga kan kita negaranya 111
Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012
banyak perbedaan-perbedaan suku bangsa dan budaya disini dibutuhkan dasar-dasar hukum lain seperti ijma dan qiyas kan seperti juga kearipankearipan lokal yang ada itu bisa dijadikan hukum jadi kita ini enggak hanya terpaku hanya dengan quran dan hadits secara leterlek gitu loh. Jadi ada ijma ada qiyas yang dalam Al-Quran gak ada dalam hadits gak disebutkan tetapi kalau musyawarah-musyawarah para ulama para pemimpin itu bagus ya itu bisa dijadiin hukum. Semisal dahulu itu waktu perumusan negara ini kan ini apa ijma juga waktu merumuskan negara kita Indonesia berasaskan dengan pancasila dan Bhineka Tungggal Ika itu ijma itu kan di al-Quran gak ada Bhineka Tunggak Ika sama Pancasila. Bhineka Tunggal Ika sendiri itu kan dari kitab itu Sutasoma, sedeangkan kitab Sutasoma itu sendiri kan dari ajaran-ajaran leluhur kita pada masa kerajaan Prabujayanegara, itu raja kedua Majapahit. Jadi sangat apa menyeluruh. Jadi Quran dan hadis enggak begitu bisa dipaksakan yang penting kalau di Quran dan hadis gak ada bisa di pake kesepakatan ulama dan para pemimpin”112 Sedangkan IHN berpendapat bahwa penggunaan Al-Quran dan hadis sebagai dasar dalam membangun masyarakat bisa kalau masyarakatnya mempunyai keyakinan yang sama (Islam). Akan tetapi dalam masyarakat yang plural, harus didasarkan pada kebaikan bersama dan asalkan tidak keluar dari nilai-nilai yang ada dalam Al-Quran dan hadis. “Bisa gak bisa, tapi sebaiknya kita lihat konteks dulu. Masyarakat mana. Kalau di Timur Tengah kemungkinannya bisa karena mereka punya satu keyakinan yang sama, ya kan Islam semuanya ga ada yang lain, terus budayanya sama lagi. Tapi kalau dikita kan beda. Di kita bukan hanya keyakinan yang beda tapi suku bahasa dan adat istiadat juga beda. Jadi kondisional aja, asal begini enggak keluar dari nilai-nilai dalam Quran dan hadis dan didasarkan pada kebaikan bersama. Itu aja kali”113. Dari pemaparan pendapat sebagian kecil informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta diatas kita dapat melihat bahwa, penggunaan Al-Quran dan Sunnah Nabi dimungkinkan dijadikan acuan atau dasar dalam membangun masyarakat, akan tetapi dengan pertimbangan, dikarenakan setiap daerah mempunyai kondisi sosial 112 113
Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta, 11 September 2012
yang berbeda-beda seperti beraneka ragamnya suku, adat istiadat dan sudah adanya kearipan-kearipan lokal yang tertanam sebelum datangnya Islam. Kondisi inilah yang memungkinkan Al-Quran dan Sunnah Nabi tidak dapat diterapkan secara menyeluruh ke masyarakat. Karena itu diperlukan dasar hukum lain seperti ijma, qiyas dan disandarkan pada kebaikan bersama asalkan memang tidak keluar dari dua sumber hukum Islam yaitu Al-Quran dan Sunnah Nabi. Kecenderungan pendapat sebagian kecil informan ini, selaras dengan modernisme dan fundamentalisme Islam bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah nabi memang bisa dijadikan acuan atau dasar dalam membangun tatanan masyarakat. Akan tetapi, penerapannya yang tidak kaffah, karena memperhatikan kondisi sosial masyarakat, diberlakukannya qiyas dan penggunaan ijma yang diperluas pada ijma para ulama setempat, bukan pada ijma dari zaman sahabat nabi dan didasarkan pada kebaikan bersama yang tidak keluar dari Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi membuat kecenderungan ini lebih bersifat modernis. Karena menurut Yusril Ihza Mahendra, kaum modernis memperluas konsep tradisional mengenai ijmayaitu konsesus mayoritas para ulama fiqh mengenai suatu masalah hukum– menjadi konsensus mayoritas kaum muslim, atau wail-wakil mereka, pada suatu zaman dan tempat tertentu. Konsensus baru yang dibuat itu harus diputuskan dengan berpedoman kepada “dasar-dasar doktrin”. Dan Ijma seperti itu tentu saja tidak boleh melampaui hudud, yaitu batas-batas yang telah ditentukan oleh doktrin, Hal ini berbeda dengan fundamentalisme Islam yang memandang ijma zaman sahabat nabi adalah ijma yang mengikat generasi-generasi kaum muslim hingga akhir zaman114.
114
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal.
3. Tidak Bisa. Al-Quran Dan Sunnah Nabi Dijadikan Acuan Atau Dasar Untuk Membangun Masyarakat. Berbeda dengan informan-informan diatas, yang mengatakan bahwa AlQuran dan Sunnah Nabi dapat dijadikan acuan atau dasar dalam membangun masyarakat, dan tentunya dengan pertimbangan yang telah disebutkan diatas, SPO dan SHI berpendapat bahwa Al-Qur‟an dan hadis tidak bisa digunakan dalam membangun tatanan masyarakat. SPO mengatakan bahwa karena di Indonesia sudah ada UUD dan juga menurutnya: “Kasihan orang Kristen dan juga kita kan bukan negara Islam”115. Senada dengan SPO, SHI menambahkan bahwa “formalisasi” Al-Quran dan hadis dalam UU untuk membangun masyarakat akan dan selalu menimbulkan masalah karena penafsirannya beragam dan hal ini tidak akan mendatangkan kebaikan bersama. Dan juga menurutnya tidak semua solusi ada dalam al-Quran itu, karena al-Quran hanya menerapkan landasan-landasan kebaikan. Tapi secara personal penerapan Al-Quran dan hadis itu bisa. “Al-Quran dan hadis itu kan banyak penafsirannya, para ulam itu banyak berbeda-beda. Terus pemahaman ulama mana sebenarnya yang akan dijadikan landasan? Apa kita bikin pemahaman sendiri. Nah kalau pemahaman pemerintah gak sama dengan salah satu ulama terkenal bagaimana? Nanti kan jadi cek-cok. Ketika al-Quran akan dijadikan UU pasti banyak pertentangan enggak akan selalu mulus dan proses dalam menjadikan landasan al-Quran itu justru tidak membawa kebaikan itu akan mempersulit, memperumit dan akan menambah masalah sendiri bagi pemerintah. Tapi secara personal bisa maksudnya tiap orang kan punya keyakinan untuk menerapkan kebaikan. Tapi ketika dijadikan undangundang kepemerintahan itu kemudian yang akan jadi bermasalah. Karena memang sejak dulu selalu bermasalah ketika al-Quran itu dijadikan
30 115
Wawancara Pribadi Dengan SPO. Jakarta, 15 September 2012
landasan dan masalahnya bukan pada isi al-Quran-nya, tapi ketika diterapkan pada konteks tertentu itu ada yang menyatakan itu baik atau enggak? Apakah sudah sesuai pemahaman terhadap al-Quran untuk menerapkan kebaikan. Menurut saya dalam memahami al-Quran itu banyak beraneka ragam dan penerapannya pun selalu beragama dan itu akan menambah masalah sendiri dan solusinya tidak selalu berada dalam al-Quran, karena kalau kita selalu melihat bahwa yang mengatakan semua solusi ada dalam al-Quran itu salah, karena al-Quran hanya menerapkan landasan-landasan kebaikan”116. Pemaparan pendapat sebagian kecil informan yang berbeda dengan informan diatas yang mengatakan bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi tidak bisa dijadikan acuan atau dasar dalam membangun masyarakat, dengan alasan bahwa negara Indonesia, bukanlah negara Islam dan juga beraneka ragamnya penafsiran terhadap Al-Quran dan Sunnah Nabi, akan menambah sulit penerapan kedua sumber hukum tersebut, hal ini akan diperumit karena akan bertentangan dengan UU yang sudah dijadikan formula dalam mengatur dan membangun tatanan masyarakat, kecenderungan ini berbeda dengan sebagian besar informan dalam penelitian ini, dan hal ini juga bertolak belakang dengan keyakinan modernisme dan fundamentalisme Islam yang mengatakan bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi bisa dijadiakn acuan atau dasar dalam membangun tatanan masyarakat. 4. Dilematis. Al-Quran Dan Sunnah Nabi Dijadikan Acuan Atau Dasar Untuk Membangun Masyarakat. Sedangkan pendapat dilematis dikemukakan ROS. Ia mengemukakan bahwa Al-Quran dapat dijadikan pedoman umat manusia dan dapat dijadikan acuan dalam segala hal tapi dalam hubungan horizontal (sesama manusia) masih banyak yang dilematis.
116
Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012
“Bisa sebenarnya. Seperti yang sudah dijelaskan dalam Al-Quran dan hadis. Quran itu pedoman bagi umat manusia untuk dijadikan sebagai acuan dalam segala hal. Termasuk dalam persoalan sesama kita atau vertikal dengan tuhan. Karena al-quran itu bersifat universal maknanya. Tapi banyak yang masih dilematis terutama yang horizontal”117. Dari pemaparan informan ROS diatas, dalam hal hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia, penggunaan Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi dapat dijadikan acuan, akan tetapi kompleksnya masalah manusia, menyebabkan masih banyak yang harus dipertimbangkan. Pendapat ragu-ragu yang dikemukakan ROS dalam hal ini, kemungkinannya masih bertanya-tanya kira-kira dalam masalah masyarakat apa saja Al-Quran dan Sunnah Nabi dijadikan acauan atau dasar. Akan tetapi, secara implisit kita dapat melihat pendapat ini bertolak belakang dengan modernisme dan fundamentalisme Islam, dimana menurut Yusril Ihza Mahendra, keduanya (modernisme dan fundamentalisme Islam) meyakini bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi dapat dijadikan acuan atau dasar dalam membangun suatu tatanan masyarakat Islam, yang tentunya sesuai dengan maksud doktrin yang termaktub dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi itu. Dari acuan atau dasar dalam membangun tatanan masyarakat, aliran pemikiran modernisme dan fundamentalisme diatas, kita dapat melihat bahwa keduanya bersepakat tentang bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi dapat digunakan sebagai basis dalam pengorganiasian dan perngembangan masyarakat muslim. Namun demikian, menurut Yusril Ihza Mahendra meskipun kedua aliran itu mempunyai acuan atau dasar yang sama dalam membangun tatanan masyarakat muslim, kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin (Al-Quran dan
117
Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta 14 September 2012
Sunnah Nabi) yang dijadikan landasan dalam membangun masyarakat menunjukkan adanya perbedaan yang cukup penting. “Para modernis Islam cenderung menafsirkannya secara elastic dan fleksibel. Sementara para fundamentalis cenderung menafsirkannya secara rigid dan litieralis”.118 1. Ijtihad Perbedaan kecenderungan corak penafsiran doktrin agama diatas antara modernisme dan fundamentalisme Islam, menurut Yusril Ihza Mahendra menghasilkan perbedaan dalam memahami berbagai masalah, salah satunya masalah-masalah yang berhubungan dengan Ijtihad. Pembahasan ini merupakan hasil penelitian untuk melihat kecenderungan pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam masalah ijtihad yang dihubungkan dengan konsep ijtihad aliran modernisme dan fundamentalisme Islam, sehingga diharapkan dapat melihat kecenderungan ijtihad mahasiswa UIN Syahid Jakarta. Ijtihad dalam penelitian ini adalah mengacu pada perumusan ijtihad modernisme dan fundamentalisme Islam. Sedangkan ijtihad secara istilah adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seseorang atau beberapa orang ulama tertentu yang memiliki syarat-syarat tertentu, pada suatu tempat dan waktu tertentu untuk merumuskan kepastian atau penilaian hukum mengenai sesuatu atau beberapa perkara yang tidak terdapat kepastian hukumnya secara eksplisit dan positif, baik dalam Al-Qur‟an maupun al-Hadis119. Menurut Yusril Ihza Mahendra dalam bukunya “Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam”, perbedaan kecenderungan penafsiran 118
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, h. 29. Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma Dan Sistem Islam”, (Jakarta, Gema Insani, 2004), h. 55 119
dalam melihat doktrin agama aliran pemikiran modernisme Islam yang cenderung elastic dan fleksibel dan fundamentalisme Islam yang cenderung rigid dan literalis dalam melihat doktrin agama, menghasilkan perbedaan dalam memaknai masalah ijtihad. Menurut Yusril Ihza Mahendra: “Sesuai dengan kecenderungan penafsiran yang elastic dan fleksibel terhadap doktrin, modernisme Islam melihat bahwa dalam masalahmasalah mu‟amalah (kemasyarakatan), doktrin hanya memberi ketentuan umum yang bersifat universal. Karena itu ijtihad harus digalakkan. Itjihad memunggkinkan corak pengaturan doktrin yang berisi ketentuan-ketentuan umum itu dapat diimplementasikan kedalam suasana konkret, yaitu suasana masyarakat yang ada pada suatu zaman dan tempat terentu.”120 Sedangkan menurut Yusril Ihza Mahendra Fundamentalisme Islam melihat bahwa: “Kaum Fundamentalis seiring dengan kecenderungan penafsirannya terhadap doktrin yang bersifat rigid dan literalis, fundamentalisme memandang bahwa corak pengaturan doktrin bersifat total dan serba mencakup. Tidak ada masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan manusia di dunia ini yang luput dari jangkauan doktrin yang serba mencakup itu. Karena itu itjihad dengan sendirinya di batasi hanya kepada masalah-masalah diantara doktrin tidak memberikan petunjuk dan pengaturan sampai detail-detail persoalan.”121 Dalam bukunya “Muslim Demokrat „Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca ORDE BARU” Saiful Mujani mengatakan bahwa terdapat sejumlah nas-nas doktrin agama tentang hukum muamalah (kemasyarakatn) yang menimbulkan kontroversi dalam aplikasinya dalam masyarakat seperti hukum potong tangan bagi pencuri, waris, dan kepemimpinan wanita. Dan ketiga ijtihad terhadap hukum dalam ayat ini, menurut Saiful Mujani dapat dijadikan dukungan terhadap fundamentalisme karena bacaannya yang 120
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal.
121
Ibid., hal. 31
29
literal dalam memaknai ayat-ayat tersebut. Sedangkan sebaliknya kalangan modernis Islam menilai bahwa semangat yang mendasari ayat-ayat tersebut adalah untuk menciptakan tatanan dan keamanan dalam masyarakat. Berikut adalah ayatayat tersebut. a. Ayat Hukum Potong tangan
جزَاءً ِبًَا كَّسَبَا َكَانًا يٍَِّ انَههِ ۗ وَانَه ُه َ طعُىا أٌَْدِ ٌَ ُهًَا َ وَانّسَا ِرقُ وَانّسَا ِر َقةُ فَا ْق َحكٍِىٌ َفًٍَ تَابَ يٍِ َبعْدِ ظُ ْه ًِهِ وَأَصْهَحَ َفئٌَِ انَههَ ٌَتُىبُ عَهَ ٍْهِ ۗ إٌَِ انَهه َ ٌعزٌِز َ ٌغَفُىرٌ رَحٍِى Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (alMaidah :38-39) Berdasarkan hasil penelitian, terhadap delapan mahasiswa UIN Syahid Jakarta, ada tiga pendapat berlainan tentang kebijakan hukum potong tangan dalam Al-Qur‟an surat al-Maidah ayat 38-39. Berikut adalah pengkategorisasian jawaban informan dalam penelitian ini. 1. Perlu dilakukan Ijtihad kembali. Sebagian besar informan dalam penelitian ini, mengakui ini adalah salah satu dari karakterisstik syariat Islam. Akan tetapi, secara umum mereka menyatakan bahwa ayat tentang hukum potong tangan harus di ijtihadkan atau di tafsir ulang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Muslim bersangkutan, seperti penggantian solusi kebijakan potong tangan dengan penjara. Pergantian
penggunaan hukum potong tangan dengan penjara, lebih mengandung sisi kemanusiaan. Seperti yang dikemukakan IHN. “Ya memang benar bahwa ini adalah salah satu karakteristik hukum yang ada dalam quran, tapi ini kan sifatnya masih belum jelas, menurut saya kita harus mencari penetapan lain tapi bukannya menyalahi quran loh ya ini hanya tentang bagaimana kita membuat semua orang yang ada dalam wilayah itu bahagia, yang esensinya tidak menyalahi jati diri kita sebagai seorang muslim, yang penting itu kan hukumannya entah bentuknya apa yang jelas kalau ada orang yang berbuat jahat ya harus dihukum, dan itu dengan landasan bahwa semua orang tidak merasa dirugikan dan diberatkan. Ya kalau hukum potong tangan jangan lah, bisa syich tapi kita belum siap untuk itu. Dan menurut saya juga hukum sekarang cukup lah untuk mewakili potong tangan tersebut”122. SPO melihat bahwa hukum ini kurang mengandung rasa kemanusiaannya. “Kalau saya kurang setuju aja, kalau mencuri potong tangan gituh loh. Apa ya, rasa kemanusiaannya itu gak ada, lebih baik kalau misalkan yang pencuri itu kita komunikasi, lu benar-benar mencuri ya? Jadi kalau mencuri kemudian potong tangan no, itu rasa kemanusiaannya kurang”123. Hal yang sama dikemukakan oleh ISN. “Hukum potong tangan itu ya. Islam itu perlu tafsiran ulang itu. Al-Quran memang hukum potong tangan ya pake arab ya. Kalau di Arab hukumnya potong tangan tapi kalau di Indonesia itu kan hukum itu enggak bisa di gunain disini karena kalau hukum potong tangan digunain disini yang mayoritas masih gimana ya?, di pake di Indoenesia ya tahu sendiri kalau kita jalan-jalan keluar jalannya pada buntung-buntung, di ganti dengan kesepakatan ulama diganti dengan penjara. Kalau mau ditetapin potong tangan pada buntung”124. Senada dengan informan diatas, menurut ROS dalam berhadapan dengan ayat seperti ini (hukum potong tangan), harus diartikan sebagai peringatan.
122
Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta 11 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan SPO. Jakarta, 15 September 2012 124 Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012 123
“Banyak dikalangan para ulama menafsirkan ayat tersebut sengat berbeda-beda ada yang tekstual personal. Saya pikir dalam konteks ketika kita dihadapkan pada ayat seperti ini harus diartikan sebagai peringatan atau ajaran yang harus kita aplikasikan dalam konteks keislaman. Islam itu bukan hanya nilai-nilai yang bersifat normatif”125. Sedikit berbeda dengan ROS, menurut IBL maksud dari ayat potong tangan ini, yang dipotong itu bukan tangannya tapi kesempatannya, jadi kesempatan untuk dia mencuri itu yang dipotong. “Waduh, ribet ini, Gua syih bukan ahli tafsir, filsafat gua, hahahaha. Tapi sepengetahuan gua dan keyakinan gua niyh ya, dari bacaan-bacaan yang gua pahami, hukum potong itu, hmmm kan disana tertulis tentang potonglah tangan keduanya, menurut gua syih yang di potong itu bukan tangannya tapi kesempatannya, kesempatannya untuk dia mencuri itu yang dipotong. Sepengetahuan gua niyh ya, tapi gua gak tau kalo ada tafsir yang lain”126. 2. Perlu dilakukan Ijtihad kembali, Tapi Perlu Diterapkan Pada Koruptor. Sementara pendapat berbeda dalam objek penerapan hukum ini dikemukakan oleh SHI. Menurutnya, hukum ini memang tidak bisa diberlakukan dan harus di uji kembali apakah akan mendatangkan kebaikan bersama atau tidak. Akan tetapi menurutnya hukum ini perlu di terapkan tapi khusus pada koruptor yang mengambil uang negara. “Tidak bisa hukum potong tangan, ini masalah kebijakan bukan prinsip. Tapi lebih pada kebijakan atau peraturan, ya mungkin bisa bagi orangorang tertentu tapi. Potong tangan itu harus dilihat pada konteksnya, asbabun nuzulnya. Karena setahu saya ayat ini sudah tidak berlaku saat Umar dengan beberapa alasan bahwa ayat ini tidak sesuai lagi dengan konteks ayat itu. Pada zaman rasul umar setuju. Di Indonesia harus diuji lagi apalah hukum potong tangan akan memberikan kebaikan yang lebih luas tidak, karena yang mencuri itu kebanyakan terpaksa tapi kalau koruptor saya setuju potong tangannya, mereka itu sudah kaya tapi masih 125 126
Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta 14 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta, 13 September 2012
nyomot-nyomot uang negara. Tapi kalau orang miskin mencuri karena terpakasa, bagaimana ia mencari nafkah? Malah membunuh dia dong”127. 3. Tidak Perlu dilakukan Ijtihad kembali. Sementara itu, DNU memiliki pendapat berbeda dibandingkan dengan sebagian besar informan lain. Ia menyatakan bahwa kewajiban seorang muslim adalah mentaati apa yang sudah diperintahkan Tuhan dan rasul, bukan mentaati apa yang sudah manusia buat. “Nah ini dia salah satu yang membuat masyarakat kita itu ngeri, salah satunya hukum potong tangan ini, coba deh baca lagi mas artinya jelaskan dan surat itu juga dijelaskan lagi oleh Nabi bahwa apabila Aisyah eh maksudah saya Fatimah, Fatimah anakku mencuri maka aku sendiri yang akan memotongnya tangannya. Sebagai seorang muslim yang baik, sebenarnya kita kan harus mengikuti perintah Tuhan dan Rasul-nya kan, kalau ada yang mencuri yang potong tangannya, kalau sekarang kan gak dipenjara kan, karena ini bukan negara Islam ini negara pancasila. Tinggal milih mau ikut perintah Tuhan dan Rasul atau perintah buatan manusia, kalau saya ikut yang pertama, kalau saya loh mas kalo yang lain syich ya monggo”128.
Dan hampir senada dengan DNU, menurut IHM bahwa memang menurutnya hukum potong tangan bagi yang mencuri itu merupakan klimaks dari perbuatan yang berulang-ulang yang dilakukan oleh individu, yang kemudian dilakukan potong tangan jadi memang tidak dilakukan serta merta yang mencuri potong tangan. Akan tetapi menurutnya, lagi-lagi bahwa hukum ini, belum bisa diterapkan di Indonesia karena sudah ada UU yang jelas tentang itu. “Yang saya yakini yang Allah turunkan dan yang diantarkan oleh jibril dan diterima oleh muhammad ketika ada potong tangan di awal saya sudah sampaikan kita lihat asbabunnujul-nya ayat itu turun, jangan 127 128
Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 2012
sampai intrepretasi kita malah mengartikan saklek dengan potong tangan. Bisa kita lihat asbabunnujul-nya potong tangan itu. Beberapa pendapat ulama mengatakan hukum potong tangan itu sebenarnya bentuk ketika kita sudah benar-benar memuncak sudah berulang-ulang melakukan kesalahan tersebut sudah diingatkan dan itu pun barulah dilakukan hukum seperti itu dan itu bukan semerta-merta dilakukan hukum potong tangan enggak sama sekali seperti itu. Dan tentunya dengan pertimbanganpertimbangan yang banyak. Kebijakan potong tangan itu ada pada kebijakan seorang pemimpin bagaimana ulama-ulama itu bisa menyingkapi pasti kan ketika jaman Rasulullah hukum potong tanga itu ada. Tapi inget di Indonesia kita sudah punya UU yang jelas untuk saat ini dan itu belum bisa, Yang bisa melakukan hukum potong tangan itu adalah negara yang mengaplikasikan syariat Islam. Kalau di Indonesia belum bisa”129. Dari pemaparan pendapat informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian diatas, kita dapat melihat bahwa, sebagian besar informan dalam penelitian ini melihat ayat hukum potong bagi pencuri dalam Al-Qur‟an surat alMaidah ayat 38-39, harus diartikan sebagai peringatan dan perlunya pengijtihadan kembali kebijakan hukum tersebut. Selain itu, usaha penemuan hukum baru (ijtihad) selain potong tangan, yang digantikan dengan penjara dengan alasan kondisi sosial masyarakat, rasa kemanusiaan, kebaikan bersama dan sudah adanya UU, membuat kecenderungan ijtihad sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini cenderung bersifat elastic dan fleksibel. Hal ini, selaras dengan kecenderungan penafsiran modernisme Islam. Senada dengan sebagian besar informan diatas, sebagian kecil informan hanya berbeda dalam objek penerapannya, yang menurutnya perlu diterapkan terhadap para pelaku korupsi. Dalam hal ini, kecenderungan ijihad ini masih bersifat modernis. Karena dalam perspektif fundamentalis, penerapan hukum potong tangan bagi pencuri ini tidak memilih kasus, tapi harus menyeluruh. Sedangkan sebagian kecil informan 129
Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012
dalam penelitian ini mengatakan bahwa hukum potong tangan bagi pencuri dalam Al-Qur‟an surat al-Maidah ayat 38-39, maknanya sudah jelas dan memang tidak perlu diijtihadkan lagi. Kecenderungan penafsiran ini bersifat fundamentalis karena kecenderungan penafsirannya bersifat rigid dan literalis. b. Ayat Tentang Hukum Waris
ًٍَْ َحظِّ ا ْنأَُث َ ٌُُىصٍِكُىُ انهَـهُ فِىٓ أَوْلٰ ِدكُ ۖىْ نِه َّذ َكرِ يِثْم Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan (An-nisa ayat 11). Berdasarkan hasil penelitian, terhadap delapan mahasiswa UIN Syahid Jakarta, ada dua pendapat berlainan tentang kebijakan hukum waris dalam AlQur‟an surat an-Nisa ayat 11. Berikut adalah pengkategorisasian jawaban informan dalam penelitian ini. 1.
Perlu dilakukan Ijtihad kembali. Menurut sebagian besar informan dalam penelitian ini, perlu dilakukannya
pengkajian ulang atas kebijakan hukum ini. Kebijakan yang didasarkan pada keadilan, maslahat, musyawarah, dan kondisi keluarga yang ada dalam masyarakat. Hal ini
seperti yang dikemukakan oleh IBL. “Kalo hukum waris kayak di Islam emang gitu syich, tapi, sebenarnya gua lebih setuju lagi kalo dibagi secara adil antara laik-laki dan perempuan. tapi kalo yang lain gak tau. Jadi kalo warisannya serebu gituh, ya dibagi gope-gope. Nah itu baru adil ya gak”130. Hal ini senada juga dinyatakan oleh SHI. “Waris konteksnya juga harus di kaji lagi. Ya karena untuk kebaikan tidak ada yang pasti. Ga bisa dipukul rata, karena setiap orang punya kondisi 130
Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta, 13 September 2012
dan akan selalu beragam untuk solusinya. Rasul waktu itu masih dalam lingkungan terbatas untuk saat itu, tapi untuk kebijakan memang harus ditafsirkan ulang”131.
Sedangkan SPO, menyatakan bahwa faktor kebutuhan dan peran yang berbeda dalam setiap masyarakat membuat hukum ini perlu pengkajian ulang. “Kalau pendapat aku sendiri syih harus di tafsir ulang, mungkin ini kan konteks Arab jadi mungkin di Arab itu benar-benar laki-laki jadi kepala keluarga, terus kemudian laki-laki dapat satu terus perempuan dapat setengah. Mungkin laki-laki itu kepala keluarga yang harus menghidupi istri dan juga anak-anaknya tapi kalau kemudian konteksnya sekarang laki-laki tidak selamanya jadi kepala keluarga, bahkan ada yang balance keduanya mencari nafkah, kemudian ada yang isterinya aja yang mencari nafkah nah itu harus di tafsir ulang. Menurut saya itu lebih kepada perannya kalau misalkan kebutuhan perempuan lebih besar dari laki-laki gimana, kalau kebutuhan dan perannya dalam keluarga itu penting gitu jadi di tafsir ulang aja gitu apa yang kita lihat kondisi aja jangan ayatnya seperti itu terus kita ikutin gituh gak apa ya saya rasa itu mengesampingkan akal kita”132. Hampir senada dengan SPO, IHN berpendapat bahwa hukum waris adalah hukum keluarga jadi sebaiknya diserahkan pada keluarga dengan pertimbangan musyawarah dan keadilan bagi semua anggota keluarga. “Ya itu tadi sama mas kalau inikan hukum keluarga. Jadi sebaiknya diserahkan ke keluarga tersebut. Asal itu tadi semua orang yang terlibat dalam masalah ini bahagia semua gak ada yang merasa dirugikan jadi di musyawarahkan aja. Tapi jangan sampai ada klaim gak islami atau gak sesuai islam gituh, gk boleh itu. Itu urusan yang diatas, wong pelacur aja ada koq yang masuk surga. Gitu loh mas”133.
131
Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan SPO. Jakarta, 15 September 2012 133 Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta 11 September 2012 132
2. Tidak Perlu dilakukan Ijtihad kembali. Berbeda dengan sebagian informan lain DNU mengatakan bahwa ayat waris ini memang sudah jelas dan detail jadi tidak perlu ada kajian ulang atas ayat ini. Menurutnya. “Coba lihat ayatnya oh ayat waris ini iya itu sama kalo saya syich gitu kayak ayat potong tangan diatas memang harus gitu laki-laki dapat ¾ bagian. Ya gak pake kenapa-kenapa yan gak boleh ditafsir lagi itu kan udah jelas perintahnya, kenapa harus di tafsir lagi, saya tuh bingung ma temen-temen di UIN termasuk mas ini, mereka tuh lebih mengutamakan akalnya daripada hatinya, baru baca teori-teori marx, feminis, teori-teori sosial kayak gitu lah, udah merasa hebat aja mereka pikir mereka itu siapa, mereka itu ibaratnya burung gereja yang meminum air dilautan ya segitu yang mereka ambil dari Tuhannya”134. Senada dengan DNU, IHM menyatakan bahwa pada ayat tersebut sebenarnya tersimpan keadilan yang tersembunyi, karena pada akhirnya harta laki-laki akan menjadi harta perempuan juga, jadi memang hukum waris ini sudah adil. “Itu unik itu pertanyaan teman sma dulu. Bu kenapa bu perempuan dapat lebih dikit dari laki-laki, guru agamanya perempuan. jawaban guru agama saya simpel banget ya perempuan juga nanti dapat dari laki-laki karena perempuan itu hartanya. Jadi kalau misalkan keluarga gitu kan hartanya suami itu hartanya istri gitu kan jadi bukan hartanya suami jadi kalaupun perempuan dapatnya setengah dia dapat satu juga karena suami itu kan hartanya dibagi dua buat dia ama buat istrinya gituh jadi sama aja. Adil gituh karena suami itu kepala rumah tangga jadi dia banyak bebannya dibandingkan perempuan. itu sudah adil nanti kalau kita bekeluarga pun yang saya rasakan pasti seperti itu, nanti juga hartanya laki-laki juga hartanya perempuan”135. Dari pemaparan pendapat informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian diatas, kita dapat melihat bahwa, sebagian besar informan dalam 134 135
Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012
penelitian ini melihat ayat waris dalam Al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 11, diijtihadkan kembali kebijakan hukum tersebut. Dan ijtihad hukum yang baru itu harus didasarkan pada keadilan, maslahat, musyawarah, dan kondisi keluarga yang ada dalam masyarakat, membuat kecenderungan ijtihad sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini terhadap ayat waris diatas cenderung bersifat elastic dan fleksibel. Hal ini, selaras dengan kecenderungan penafsiran modernisme Islam. Sedangkan sebagian kecil informan dalam penelitian ini mengatakan bahwa kebijakan hukum waris dalam Al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 11, maknanya sudah jelas dan memang tidak perlu diijtihadkan lagi, karena itu memang datangnya dari Tuhan, sudah adil, dan sebenarnya menyimpan kebaikan tersembunyi bagi manusia. Kecenderungan penafsiran ini bersifat fundamentalis karena kecenderungan penafsirannya bersifat rigid dan literalis. c. Ayat Tentang Kepemimpinan Wanita
انرِّجَالُ قَىّٰيُىٌَ عَهَى انُِّّسَآ ِء Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (An-nisa ayat 34). Berdasarkan hasil penelitian, terhadap delapan mahasiswa UIN Syahid Jakarta, ada dua pendapat berlainan tentang kepemimpinan wanita dalam AlQur‟an surat an-Nisa ayat 34. Berikut adalah pengkategorisasian jawaban informan dalam penelitian ini. 1. Perlu dilakukan Ijtihad kembali Dari delapan informan, sebagian besar secara umum menyatakan bahwa Al-Quran surat an-Nisa ayat 34 perlu ditafsirkan dan diijtihadkan ulang karena menurut mereka bahwa laki-laki dan perempuan tidak ada bedanya. Pertimbangan
kemampuan yang tidak didasarkan pada jenis kelamin merupakan faktor utama ayat ini harus di tafsirkan ulang. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh IBL. “Ini kalo menurut gua ya, sesuai yang gua pahami aja ya. Menurut gua syich simpel aja, kalo perempuan bisa ya kenapa enggak, yang dilihat kan sebenarnya bukan jenis kelaminnya tapi kemampuannya. Kalo dia bisa mimpin negara ya kenapa enggak. Jadi siapa yang yakin niyh merasa mampu ya monggo maju. Tapi jangan blee juga dikita mah jadi negarawan itu bukan dari hati, jadi dari kesadarnnya gitu, ini mah giliran ada duit maju, gak ngeliat, jadi bertanya gitu, berdialog dengan dirinya gitu, apa saya bisa gak, jangan jadi negarawan jadi-jadian. Ya jadi nya gini niyh negara kita”136. Hal senada juga dikemukakan oleh SPO. “Gak harus lihat skill aja. Bisa aja perempuan lebih dari laki-laki, terlepas dari kekurangan dan kelebihannya. Kalau mau lebih lihat kekurangannya seperti hamil, haid dan lain-lain, laki-laki juga punya kekurangan gituh jadi ya dipertimbangkan mana yang lebih pantas aja, kalau misalkan mau lihat kekurangan dari perempuannya hamil dsb, tapi laki-laki juga punya kekurangan gituh, jadi yang mana diantara laki-laki dan perempuan itu yang pantas jadi pemimpin dari kekurangan dan kelebihan yang dimiliki itu aja. Banyak koq perempuan yang jadi pemimpin kayak di inggris seperti Ratu Elizabeth. Sebenarnya ga bertentangan ini kan harus kontekstual kalau di arab kan mungkin konteksnya kayak gitu tapi kalau sekarang kan beda. Kalau aku lebih pada perkembangan kondisi saat ini aja”137. Hampir sama dengan informan diatas, menurut ISN bahwa tidak masalah perempuan memimpin dalam berbagai hal, karena dalam sejarah memang banyak perempuan yang menjadi pemimpin dan itu berhasil. “Yang penting punya kemampuan. Di kita buktinya namanya Ratu Tri Buana Tungga Dewi itu ibunya Hayam Wuruk ratu itu bisa memimpin negara Majapahit setelah Prabujayanegara itu kekuasaannya sanagat luas dan bisa bersifat adil makmur. Maksud dari arti jalalukaumalannisa itu kan dalam konteks keluarga jadi ibunya ini harus nurut sama sang 136 137
Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta, 13 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan SPO. Jakarta, 15 September 2012
suami bagaimanapun walau pun istrinya ini seorang pejabat misal bupati misalnya itu ketika sudah nyampai rumah harus tunduk sama suami. Walau diluar rumah suaminya bawahan bupati perempuan itu, tafsirannya ibu rumah tangga itu. Jadi kalau pemimpin negara gak apaapa”138. Sedangkan SHI melihat bahwa pemerintah, organisasi dan anggotanya harus bekerjasama untuk menghasilkan pemimpin dan itu tidak dilihat dari jenis kelamin. “Ya iya, tapsirnya ini sudah beragam. Bagi saya konteks itu lebih penting dari hanya pemahaman teks. Konteks dan hati nurani. Boleh wanita itu mimpin mimpin negara, kenapa enggak. Tapi harus teruji dulu kepemimpinannya. Laki-laki dan perempuan gak ada bedanya. Jadi intinya pemerintah, organisasi, dan anggotanya harus bekerjasama. Pemimpin ini bisa enggak memberikan sumbangan yang besar atau hasil maksimal”139. Sedikit berbeda dengan informan diatas, IHN mengatakan bahwa hanya dalam masalah agama saja perempuan harus tetap mengedepankan laki-laki sebagai pemimpin. “Gak-gak harus seperti itu, karena kalau zaman sekarang secara personal perempuan juga ada yang melebihi laki-laki. Ini kan masalah mampu dan tidak mampu kalau mampu ya gak apa. Saya yakin pereempuan bisa koq. Dalam semua hal kalau perempuan bisa ya gak apa-apa. Oh ya tapi kalau masalah agama selama ada laki-laki mas, perempuan harus memposisikan dirinya”140.
2. Tidak Perlu dilakukan Ijtihad kembali Berbeda dengan sebagian besar informan lainnya, DNU mengatakan bahwa walaupun perempuan memang mempunyai kemampuan tapi perempuan memang harus memposisikian dirinya di belakang laki-laki.
138
Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012 140 Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta, 11 September 2012 139
“Kalo saya syich selama ada laki-laki ya perempuan harus tau posisinya walaupun mereka hebat tapi laki-laki juga kan banyak juga. Dan juga urusannya perempuan itu ribet kalau mimpin negara ya kan, belum dia hamil nanti itu kan 9 bulan mas, belum haidnya, dll. Jangan dech kalau menurut saya mah ini urusan laki-laki. Perempuan itu sebaiknya berdiri dibelakang laki-laki, mereka itu salah satu penyemangat paling hebat loh. Tapi gak berarti posisi perempuan dibawah loh tapi lebih pada saling mengisi satu sama lain”. Dari pemaparan pendapat informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian diatas, kita dapat melihat bahwa, sebagian besar informan dalam penelitian ini melihat ayat dalam Al-Quran surat an-Nisa ayat 34, diperlukan ijtihad kembali kebijakan hukum tersebut, yang didasarkan pada pertimbangan kemampuan yang tidak didasarkan pada jenis kelamin. Hal ini, membuat kecenderungan ijtihad sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini terhadap Al-Quran surat an-Nisa ayat 34 diatas cenderung bersifat elastic dan fleksibel. Hal ini selaras dengan kecenderungan penafsiran modernisme Islam. Sedangkan sebagian kecil informan dalam penelitian ini mengatakan bahwa kebijakan hukum kepemimpinan laki-laki tas wanita dalam Al-Quran surat an-Nisa ayat 34, sudah cukup jelas karena menurutnya walaupun perempuan memang mempunyai kemampuan tapi perempuan memang harus memposisikan dirinya dibelakang laki-laki. Kecenderungan penafsiran ini bersifat fundamentalis karena kecenderungan penafsirannya bersifat rigid dan literalis. 2. Preseden Tradisi Zaman Awal Islam Pembahasan ini merupakan hasil penelitian untuk melihat pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam masalah preseden (teladan) tradisi zaman awal Islam yang dihubungkan dengan pemaknaan preseden tradisi zaman awal Islam aliran modernisme dan fundamentalisme Islam. Menurut Yusril
Ihza Mahendra dalam bukunya “Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam”, kecenderungan penafsiran doktrin yang berbeda antara modernisme dan fundamentalisme, yang berakibat pada perbedaan dalam berijtihad, mengakibatkan perbedaan pula dalam memaknai masalah preseden tradisi zaman awal Islam. Modernis memandang tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat beliau terutama zaman Kkhulafa Rasyidin hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan menyangkut hal-hal yang terperinci. Sedangkan kaum fundamentalis memandang bahwa tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat beliau terutama zaman Kkhulafa Rasyidin tidak hanya mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, tapi juga dalam hal-hal perinciannya. Mengenai hal ini, menurut Yusril Ihza Mahendra: “Modernisme memandang tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat beliau-terutama zaman Kkhulafa Rasyidin hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan menyangkut hal-hal yang terperinci. Kaum modernis pada umumnya berdalih bahwa masyarakat manusia tidaklah statis, melainkan dinamis. Masyarakat terus berubah dan berkembang dari suatu zaman ke zaman lain tanpa seorangpun mampu menahannya. Namun demikian, prinsip-prinsip yang berhubungan dengan watak manusia yang menjadi anggota masyarakat itu, seperti norma-norma tentang kebaikan dan keburukan, pada hakekatnya tidak berubah. Tetapi perincian-perinciannyalah yang terus berkembang dari masa ke masa. Karena itu, preseden awal Islam di zaman Nabi dan para sahabat, tidak harus diikuti sampai kepada perincian-perincian berdasarkan kepada prinsip-prinsip yang berlaku dalam masyarakat.”141 “Sedangkan perubahan perubahan itu menurut kaum modernis, adalah “sunnah Allah” yang berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Kalau demikian, apalagi dengan warisan sejarah dan tradisi Islam dari zaman sesudah itu – yaitu generasi sesudah sahabat, tabiin dan tabi-i l-tabiin – yang menurut pandangan kaum modernis, lebih banyak mencemaskan 141
30
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal.
aspirasi-aspirasi yang hidup di zaman mereka. Warisan tradisi di zaman ini pun, dengan sendirinya tidaklah mengikat generasi-generasi kaum muslim yang hidup di jaman kenudian. Kaum modernis juga kurang membrikan aspirasi yang tinggi terhadap warisan tradisi pemikiran Islam dari zaman yang lampau.”142 Sedangkan dalam memaknai preseden zaman awal, serta sejarah dan tradisi Islam kaum fundamentalis, menurut Yusril Ihza Mahendra: “Fundamentalisme memandang, preseden zaman awal Islam adalah mengikat secara keseluruhan, ini berarti bahwa preseden itu bukan hanya mengikat dalam prinsip, melainkan juga dalam perincian-perinciannya. Fundamentalisme memandang orang-orang yang hidup dizaman awal lebih memahami maksud-maksud doktrin. Zaman Islam awal itu, yaitu zaman nabi dan para sahabat, adalah zaman yang ideal yang wajib diwujudkan di segala zaman.”143 Tradisi di dalam penelitian ini dimaknai sebagai kerelevanan kebiasaan yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat, yang di batasi pada tradisi hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita. Kerelevanan dalam penelitian ini dimaknai sebagai cocok atau tidak pengaplikasian hukum tersebut dijaman modern. Berdasarkan hasil penelitian, terhadap delapan mahasiswa UIN Syahid Jakarta, ada dua pendapat berlainan tentang kerelevanan tradisi hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita. Berikut adalah pengkategorisasian jawaban informan dalam penelitian ini. 1. Tidak Relevan. Dari delapan informan yang dimintai pendapatnya tentang tradisi potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita apakah masih relevan atau tidak untuk diterapkan di saat sekarang (modern), sebagian besar informan menyatakan bahwa tradisi Islam tersebut sudah tidak relevan lagi. Secara umum, pertimbangan142
Ibid., hal. 30 Ibid., hal. 32
143
pertimbangan yang dijadikan alasan adalah pertama, bahwa setiap daerah mempunyai masalahnya sendiri-sendiri yang tidak bisa diterapkannya ketiga hukum itu. Kedua, ketiga hukum itu (potong tangan bagi yang mencuri, waris dan kepemimpinan wanita) tidak bisa menjaga kemaslahatan atau kebaikan bersama karena setiap daerah berbeda budaya dan akan menimbulkan ancaman bagi yang lain (non-Muslim). Hal ini seperti diungkapkan oleh SHI. “Yang jelas setiap daerah punya perbedaan masing-masing karena setiap daerah punya masalahnya masing-masing. Satu masalah ya satu solusi. Ya saya berani mengatakan itu hukum potong tangan, saol wanita dipimpin ama laki-laki dan hukum waris tidak relevan. Karena zaman modern solusinya harus ditemukan benar-benar, mengatasi tidak bisa oh ini diterapkan di masa Rosul pasti benar ini gak bisa. Kalau gitu caranya ya sama kayak jaman raja pokoknya manut-manut aja sama pemimpinnya ga ada solusi yang diberikan”144. Senada dengan SHI, IHN menambahkan bahwa diluar masalah ibadah, ia mengatakan bahwa hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita sudah tidak relevan lagi diterapkan. “Gak gak relevan yang kita bicarakan tadi kan, diluar hukum ibadah niyh loh ya. Karena itu tadi, kalau saya dasar hukum itu yang paling penting adalah menjaga kemaslahatan dan kebaikan bersama. Kalau kemudian ketetapan hukum itu mencurangi bagian lain, maka hukum itu wajib untuk diganti atau di hapus”145. Menurut ROS bahwa hukum potong tangan, waris, dan kepemimpinan wanita memerlukan pengkajian ulang. Ketiga hal itu, dapat relevan asal menjadi kesepakatan bersama, akan tetapi di negara yang beranekaragam, hal itu tidak relevan karena dapat menimbulkan ancaman bagi yang lain.
144 145
Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta, 11 September 2012
“Semua tradisi hukum yang kita bahas tadi seperti potong tangan, waris dan masalah pemimpin laki-laki dan perempuan sebenarnya tidak relevan tapi masih bisa diterapkan dengan alasan menjadi kesepakatan bersama di komunitas bersama dan di keyakinan bersama juga. Tapi dalam konteks kita bernegara itu hampir semua warga negara punya keyakinan yang berbeda hal seperti itu kalau dijadikan dalam aturan bernegara pasti akan jadi ancaman bagi yang lain. Syariat Islam itu tidak relevan lagi di terapkan dalam konteks bernegara. Tapi lebih pada ketika hal-hal seperti itu kita terapkan dalam kontek kehidupan bersama seorang muslim harus ada semacam kesadaran bersama tanpa harus diterapkan dalam bentuk UU yang harus dipatuhi oleh semuanya”146. Hal ini ditegaskan oleh ISN bahwa, di Indonesia sudah ada UU dan ini merupakan kesepakatan ulama dan para pemikir-pemikir, jadi kesepakatan hukumnya sudah sah. Dan juga negara ini menurutnya bukan negara yang berdasaran Islam. “Tergantung negara. Kalau negara kita belum itu kan negara kita kan menggunakan hukumnya UU. UU itu bikinan manusia, UU itu ijma kesepakatan para pemikir pemikir, para ulama, kalau itu sudah kesepakatan berarti itu sudah sah”147. “Hukum waris masih relevan tapi yang menggunakan sebagian-sebagaian untuk kemaslahatan”148. “Kita gak apa-apa mau pemimpinnya wanita laki laki gak apa-apa inin kan negara ini apa bebas yang bukan berdasarkan Islam”149. Senada dengan informan diatas, IBL berpendapat hanya soal ibadah yang masih relevan sedangkan yang lainnya kurang relevan. “Soal ibadah doang syih kalo menurut gua mah, yang sangat dan sangat relevan gak boleh itu ditambah-tambah misal solat asar jadi 5 rakaat gitu atau waktunya diubah, jangan-jangan gak boleh itu. Soal yang lain
146
Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta, 14 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012 148 Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta,12 September 2012 149 Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012 147
misalnya hukum potong tangan, jangan lah kasihan masyarakat kita de ya gak”150. “Terus apa tadi waris tadi kan, emang bagus syich bagi gua tapi kasihan cuy perempuan, ade gua soalnya banyakan perempuan yang cowok cuma gua doang. Astagfirullahaladzim, ampunilah aku ya Allah, hahahaha”151. “Terus yang satu lagi tadi soal apakah perempuan boleh mimpin ya, menurut gua mah yang penting itu, tidak melanggar batas-batas yang ditentukan aja, yang penting itu, asal dia mampu yang silahkan”152. Berbeda dengan informan lainnya diatas, SPO memberikan jawaban sederhana soal ketidakrelevanan ketiga tradisi potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita. “Tradisi. Yap. Intinya akumah Beda kodisi sosial maksudnya begini kopi ini cocoknya pake gula apa misalnya, tapi kemudian kita kasih gula yang lain ya gak akan cocok jadinya. Ya kayak gituh”153. 2. Relevan. Berebeda dengan informan lainnya, IHM mengatakan bahwa hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan laki-laki diatas perempuan, masih relevan di terapkan karena banyak mengandung manfaatnya. “Kalau menurut saya sangat relevan, kenapa karena banyak ibrohnya sebeanarnya. Kita lihat dari sisi potong tangan, ketika itu memang sudah klimaks, dan itu merupakan sebuah aib jadi ketika akan melakukannya lagi, menurut saya kemungkinannya lebih kecil daripada hukum yang sekarang penjara gitu kan hanya beberapa tahun sudah bebas gitu kan efek jeranya kurang apa lagi di penjara dengan fasilitas yang mewah jadi kurang adil”154. “Karena gak ada lagi nanti perselisihan adil gak adil. Yang paling jelas itu adalah waris sampai ukurannya pun ada sampai cucunya pun bisa 150
Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta 13 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta 13 September 2012 152 Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta 13 September 2012 153 Wawancara Pribadi Dengan SPO. Jakarta 15 September 2012 154 Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012 151
dapet sampai segitunya itu jelas banget kalau dirubah itu bagi saya kurang relevan jadinya. Karena sudah jelas Allah bilangnya seperti itu rasul juga jadi enggak ada perselisihan jadi menurut saya sangat baik menggunakan hukum waris Islam. Karena itu sangat adil”155. “Kalau yang pemimpin jatuhnya itu musyawarah, maksudnya ketika memang sudah tidak ada pilihan lain baru kemudian permpuan tapi karena laki-laki punya porsi istimewa yang allah berikan. Tapi bukan berarti laki-laki lebih baik”156. Hal senada juga diungkapkan oleh DNU bahwa hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita dalam Islam masih relevan diterapkan di masa sekarang. “Masih dan sangat relevan sekali kalau kita melihat kondisi sekarang, dimana moralitas itu sudah hancur banget. Maka hukum potong tangan ini bisa dan bagus untuk diterapkan, tinggal para pemimpinya saja apakah mereka mau atau tidak. Kalau saya syich siap untuk itu”157. “Kalau hukum waris dalam Islam memang ketentuannya sudah seperti itu tidak boleh dirubah-rubah lagi. Dan ini merupakan ketetapan Tuhan, hitungannya sudah jelas dan saya yakin ini dapat mendatangkan kebaikan bagi kita”158. “Perempuan harus memposisikan dirinya, sebagi pelengkap bagi laki-laki dan menurut saya kepemimpinan memang laki-laki memang harus diatas perempuan. ya karena itu memang perintahnya”159. Dari pemaparan pendapat informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian diatas, kita dapat melihat bahwa, sebagian besar informan dalam penelitian ini melihat tradisi potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita sudah tidak relevan lagi diterapkan pada saat sekarang (modern). Hal ini, membuat kecenderungan pemaknaan informan tentang tradis zaman awal Islam 155
Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012 157 Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 2012 158 Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 2012 159 Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 2012 156
cenderung bersifat modernis. Karena kalangan modernisme memandang tradisi awal yang dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat beliau-terutama zaman Kkhulafa Rasyidin hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan menyangkut hal-hal yang terperinci. Kaum modernis pada umumnya berdalih bahwa masyarakat manusia tidaklah statis, melainkan dinamis. Masyarakat terus berubah dan berkembang dari suatu zaman ke zaman lain tanpa seorangpun mampu menahannya. Sedangkan sebagian kecil informan dalam penelitian ini mengatakan bahwa tradisi potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita masih relevan diterapkan pada saat sekarang (modern). Hal ini, membuat kecenderungan pemaknaan informan tentang tradis zaman awal Islam cenderung bersifat fundamentalis. Karena fundamentalisme memandang, preseden zaman awal Islam adalah mengikat secara keseluruhan, ini berarti bahwa preseden itu bukan hanya mengikat dalam prinsip, melainkan juga dalam perincian-perinciannya. 3. Ijma Menurut Yuril Ihza Mahendra, perbedaan dalam kecenderungan penafsiran antara modernisme dan fundamentalisme Islam, bukan hanya menibulkan perbedaan dalam masalah ijtihad dan preden zaman awal Islam, tapi juga menghasilkan perbedaan dalam memaknai dan merumuskan masalah ijma. Berikut adalah pandangan ijma menurut kalangan modernisme Islam: “Erat hubungannya dengan dengan pandangan yang dinamis terhadap masyarakat seperti dikemukakan diatas, modernisme juga memandang ijma (konsensus) yang dicapai oleh generasi terdahulu, dapat diperbaharui oleh generasi yang hidup di zaman kemudian. Hal ini dilakukan jika factor-faktor psikologis, social, politik dan ekonomi yang melatar belakangi ijma itu berubah. Dalam hal ini termasuk juga kemungkinan memperbaharui ijma para sahabat nabi. Kaum modernis juga juga memperluas konsep tradisional mengenai ijma - yaitu konsesus
mayoritas para ulama fiqh mengenai suatu masalah hukum – menjadi konsensus mayoritas kaum muslim, atau wail-wakil mereka, pada suatu zaman dan tempat tertentu. Konsensus baru yang dibuat itu harus diputuskan dengan berpedoman kepada “dasar-dasar doktrin”. Ijma seperti itu tentu saja tidak boleh melampaui hudud, yaitu batas-batas yang telah ditentukan oleh doktrin.”160 Sedangkan menurut Yusril Ihza Mahendra fundamentalisme Islam memaknai masalah ijma: “Fundamentalisme memandang ijma zaman sahabat nabi adalah ijma yang mengikat generasi-generasi kaum muslim hingga akhir zaman. Ijma demikian tidak dapat di ubah oleh ijma-ijma yang dibuat oleh generasi yang hidup setelah mereka. Kaum fundamentalis juga-berbeda-dengan kaum modernis- yang pada umumnya memberikan apresiasi yang tinggi terhadap warisan sejarah dan tradisi Islam di zaman tabiin dan tabi ltabi‟in. Juga pada tradisi pemikiran Islam yang diwariskan oleh para ulama di masa lampau yang dipandang mempunyai otoritas.”161 Dari delapan orang informan, sebagian besar sepakat bahwa harus diberikan apresiasi terhadap ijma-ijma terdahulu asalkan tidak taklid162, karena mereka adalah orang yang pintar, menjadi tulang punggung dan dihormati oleh masyarakat163. Dan karena sanad keilmuannya jelas yaitu datang dari Nabi Muhammad sendiri164. Selain itu ijma-ijma para ulama terdahulu ketika mengeluarkan ketetapan hukum atas suatu masalah, ada proses yang panjang dan tidak sembarangan orang165. Berbeda dengan sebagian besar informan SPO tidak mau diatur-atur dengan hal-hal seperti itu (ijma). “Gak setuju, jadi apa ya kalau aku pribadi, aku orangnya memang gak mau terlalu diatur-atur dikekang, i have my own conditions, yang beda 160
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal.
30 161
Ibid., hal. 32 Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta 11 September 2012 163 Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012 164 Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 2012 165 Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012 162
dengan orang lain ya kalau gak setuju dengan kondisi saya ngapain ikut yang kayak gituh”166. Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitan, terhadap delapan mahasiswa UIN Syahid Jakarta, ada dua pendapat berlainan tentang apakah ijma para ulama-ulama pada zaman dahulu (tabiin dan tabi l-tabi‟in) dapat diperbaharui atau tidak. Berikut adalah pengkategorisasian jawaban informan dalam penelitian ini. 1. Ijma Zaman Tabiin Dan Tabi L-Tabi‟in Dapat Diperbaharui Sebagian besar informan dalam penelitian ini, berkeyakinan bahwa ijmaijma para ulama terdahulu itu bisa diperbaharui sesuai dengan pertimbangan jaman asalkan tidak keluar dari sumber hukum167 dan melibatkan bukan hanya para ulama tapi juga para insan akademis diluar ulama168, tetap mengacu pada ijma terdahulu169. Hal ini seperti diungkapkan oleh IHN. “Tentu bisa, asal itu tadi tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal yang ada dalam sumber hukum utama yang kita sebutkan tadi”170. Hampri senada dengan IHN, IBL mendasarkan pada kondisi zaman dan masyarakat yang membuat ijma itu bisa diperbaharui. “Ya boleh lah dirubah ijma itu, ya yang sesuai dengan zaman atau masyarakatnya aja sesuai yang gua bilang di awal de tentang hukum waris, potong tangan sama apakah wanita boleh mimpin gitu”171. Selaras dengan informan diatas, ROS mengatakan bahwa ijma itu bukan sesuatu yang bersifat eksklusif tapi harus menjadi sesuatu yang inklusif agar bisa melahirkan ijma-ijma baru yang masih relevan.
166
Wawancara Pribadi Dengan SPO. Jakarta 15 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta, 11 September 2012 168 Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta 10 September 2012 169 Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012 170 Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta, 11 September 2012 171 Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta 14 September 2012 167
“Ijma, hal-hal seperti itu harus diapresiasi itu kan ijtihad yang kemudian dijadikan ijma yang harus dipatuhi oleh umat islam tapi tidak berarti hal-ha seperti itu tidak bisa dirubah lagi. Hal-hal itu harus senantiasa bersifat inklusif. Yang melahirkan bentuk- bentuk ijma baru yang nanti masih bisa relevan dan kita pahami untuk dijadikan acuan dalam konteks kehidupan”172. Kewajiban untuk tidak mempertahankan ijma terdahulu juga dikemukakan oleh SHI, bahwa masalah-masalah itu sekarang semakin kompelks bukan hanya datang dari agama tapi dari wilayah sosial, oleh karena itu perlu melibatkan banyak orang dalam membuat keputusan hukum. “Jelas bisa. Kalau dulu orang-orang yang memberikan ijma solusi itu ulama-ulama keagamaan tapi sekarang bukan, ijma itu bukan hanya ahli agama karena pemasalahan tidak hanya datang dari agama, permasalahan itu datang dari masalah sosila, teknologi dan yang ahli dalam bidang itu juga harus dilibatkan terhadap ijma karena kalau ahli agama itu gak mungkin dan enggak akan menghasilkan solusi kalau masalahnya bukan dari agama sebenarnya. Itu bagaimana kiai-kiai ulama-ulama memberikan solusi? padahal mereka bukan ahlinya makanya harus mengandalkan orang-orang yang punya kompetensi dalam bidang itu kalau dalam masalah kemiskinan sosiologi ya harus dilibatkan dalam ijma itu bukan MUI. Ijma itu bukan hanya ulama-ulama MUI”173. 2. Ijma
Tabiin
Dan
Tabi
L-Tabi‟in
Dapat
Diperbaharui
Dengan
Pertimbangan Sedikit berbeda dengan dua orang diatas, ISN mengatakan bahwa ijmaijma pada zaman dahulu tetap dipakai acuan, dalam merumuskan ketetapan hukum, tapi bukannya tidak bisa dirubah. Ia juga menambahkan bahwa ijma itu tergantung dari setiap wilayah, karena setiap wilayah mempunyai ijma tersendiri. “Jadi memberikan suatu penghargaan ijma-ijma menggunakan ijma-ijma beliau terdahulu itu digunain aja. Nanti kalau kita bikin ijma sendiri. Itu 172 173
Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta 14 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012
waktu permasalahan pancasila dasar-dasar negara itu kan ijma sendiri bukan ijma mereka tapi itu seiring perkembangan jaman kan permasalahan semakin komplek butuh pemikiran-pemikiran, itulah akan timbul ijma-ijma yang baru”174. “Kalau ijma zaman dahulu Gak bisa dirubah semisal pendapatnya salah satu imam. Biarlah itu pendapat beliau tapi kalau sekarnag pendapatnya itu kan kadang-kadang bisa dipakai atau enggak tapi kalau enggak bisa dipakai pemikir-prmikir sekarang kita berpikir lagi sesuai dengan konteks sekarang. Jadi bukan pemikiran mereka yang dirubah. Ijma itu kan tergantung dari setiap wilayah setiap wilayah kan punya ijma sendirisendiri”175. Pendapat hampir sama dengan ISN dikemukakan oleh IHM ijma bisa diperbaharui tetapi dengan catatan bahwa kita tetap harus mengacu pada ijma terdahulu. “Itukan mengqiyaskan kondisi dulu ke jaman sekarang. Bisa jadi pendapat dulu belun ada disekarang gituh contohnya uang pada zaman rasulullah itu kan adanya dinar sama dirham tapi kita memakai uang kertas gitu kan ini merupakan suatu proses yang panjang pake uang kertas. Jadi bukan diperbaharui bahasanya tapi bukan diperbaiki juga sebenarnya dirubahpun enggak tapi menurut saya tetap haru mengacu kepada ijma yang sudah ada ditetapkan. Ijma itu kan mengikuti kondisi dan tempat sebenarnya, tapi mengan catatan mengikuti ijma yang sebelumnya. Jadi ijma yang dulu gak kepakai dan diganti dengan ijma yang baru”176. Berbeda dengan informan lainnya, DNU mengatakan bahwa ijma dapat diperbaharui, asalkan tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi, tapi ia menambahkan bahwa para ulama sekarang tidak bisa menandingi kemampuan ulama zaman dahulu dalam perumusan hukum Islam (fiqh). “Kalau tidak bertentangan dengan al-quran dan hadis ya boleh dirubah asal jangan dikorbankan untuk perkembangan jaman aja. Jangan atas nama jaman berubah terus kita boleh mengubah-ngubah syariat gitu ya 174
Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012 176 Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta 15 Septeber 2012 175
gak boleh lah. Dan juga para ulama sekarng kan menurut saya gak ada yang bisa menandingi kemampuan mereka dalam merumuskan fiqh. Intinya gini mas kalau ulama zaman sahabat, tabiin seperti zaid bin tsabit, abu hurairah, dll sudah bersepakat tentang masalah hukum ya harus diikuti, karena mereka ya tadi sanad keilmuannya jelas mereka itu belajar agamanya ke nabi Muhammad”177. Dari pemaparan pendapat informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian diatas, kita dapat melihat bahwa, sebagian besar informan dalam penelitian ini, tidak melupakan sumbangsih ijma-ijma terdahulu, hal itu dapat dilihat dari pemberian apresiasi (penghargaan) terhadap hasil ijma ulama-ulama terdahulu. Akan tetapi, sebagaian besar informan memandang bahwa ijma-ijma para ulama terdahulu (tabiin dan tabi l-tabi‟in) dapat diperbaharui. Hal ini, membuat kecenderungan pemakanaan dalam melihat masalah ijma sebagian besar informan dalam penelitian ini cenderung bersifat modernis. Karena kalangan modernisme Islam memandang ijma (konsensus) yang dicapai oleh generasi terdahulu, dapat diperbaharui oleh generasi yang hidup di zaman kemudian. Hal ini dilakukan jika factor-faktor psikologis, social, politik dan ekonomi yang melatar belakangi ijma itu berubah. Dalam hal ini termasuk juga kemungkinan memperbaharui ijma para sahabat nabi. 4. Pluralisme Kecenderungan penafsiran modernisme yang bersifat elastis dan fleksibel dan fundamentalisme Islam yang rigid dan literalis dalam menghadapi doktrin agama, menghasilkan perbedaan pula dalam memahami beberapa masalah, khususnya masalah-masalah yang berhubungan dengan cara beritjihad yang, modernisme lebih menekankan pada kritisisme historis yang dilandasi oleh
177
Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 20112
semangat perkembangan zaman, sedangkan fundamentalisme lebih pada keterangan dari teks doktrin agama. Selain itu, kecenderungan penafsiran ini juga mengakibatkan perbedaan dalam memaknai masalah preseden tradisi zaman awal nabi dan para sahabat, apakah mengikat secara keseluruhan atau hanya prinsipprinsipnya saja. Menurut Yusril Ihza Mahendra ada dua pandangan modernis dan fundamentalis Islam yang saling berhubungan dengan pandangan-pandangan diatas yaitu dalam memaknai masalah pluralisme dan hikmah. Menurut Yusril Ihza Mahendra pandangan dasar modernis yang saling berhubungan dengan pandangan-pandangan diatas yaitu, sikapnya yang positif dalam melihat pluralisme. “Kaum modernis yakin selama dunia itu ada, selama itu pula pluralisme tetap ada. Modernisme juga berkeyakinan bahwa kaum muslim adalah umat pertengahan dan umat terbaik yang ditonjolkan Allah kepada seluruh manusia. Mereka menjadi penengah antara kecenderungankecenderungan ekstrim yang terdapat pada umat-umat yang lain.”178 Sedangakan
menurut
Yusril
Ihza
Mahendra
pandangan
dasar
fundamentalis Islam yang saling berhubungan dengan pandangan-pandangan diatas yaitu, sikapnya yang cenderung memandang negatif dan pesimis kepada pluralisme. “Fundamentalisme cenderung memandang negatif dan pesimis kepada pluralisme, masyarakat cenderung dilihat secara “hitam-putih”, yaitu antara masyarakat Islam-i yang meyakini dan mengamalkan doktrin secara kafah (menyeluruh) dengan masyarakat Jahiliah yang tidak meyakini dan mengamalkannya. Sejarah manusia cenderung untuk dilihat sebagai sejarah pertentangan antara dua golongan masyarakat ini, yang disimbolkan dengan sejarah para Nabi dan para penentangnya”179.
178
Ibid., hal. 31 Ibid., hal. 32
179
Dalam pembahasan ini pluralisme dalam pandangan modernisme dan fundamentalisme di sandingkan dan diukur dengan sikap toleransi dalam memaknai tiga hal yaitu; Apakah boleh seorang muslim memberikan salam kepada non-muslim? Apakah boleh seorang muslim memilih pemimpin nonmuslim? Dan apakah boleh seorang muslim dan non-muslim bersama-sama melakukan gotong royong atau bakti sosial? a. Apakah boleh seorang muslim memberikan salam kepada nonmuslim? Berdasarkan hasil penelitian, terhadap delapan mahasiswa UIN Syahid Jakarta, ada dua pendapat berlainan tentang apakah boleh seorang muslim memberikan salam kepada non-muslim. Berikut adalah pengkategorisasian jawaban informan dalam penelitian ini. 1. Boleh Seorang Muslim Memberikan Salam Kepada Non-Muslim. Dari delapan informan sebagian besar informan menyataan boleh bagi seorang muslim memberikan salam kepada non-muslim, dengan alasan bahwa itu baik180, budaya Islam bisa menjadi budaya nasional181, doa182 dan sesama agama samawi183. Berikut adalah pendapat-pendapat yang menyatakan boleh bagi seorang muslim memberikan salam bagi non-muslim menurut ROS. “Ya kenapa juga itu kan baik jadi membudayakan Islam juga coba kalau orang non-muslim menjawab salam kita itu kan baik artinya mereka juga mengakui kehadiran dan arti budaya kita juga kan. Dan bisa jadi budaya
180
Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta, 11 September 2012 182 Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta, 13 September 2012 183 Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta 14 September 2012 181
Islam menjadi nasional loh mas nah itu kan bagus. Pengislamisasian secara diam-diam”184. 2. Tidak Boleh Seorang Muslim Memberikan Salam Kepada Non-Muslim. Dari delapan informan sebagian kecil menyatakan tidak boleh memberikan salam kepada non-muslim185, dan lebih baik diganti dengan selamat pagi atau apa khabar186, good morning187. Berikut adalah pendapat-pendapat yang menyatakan tidak boleh bagi seorang muslim memberikan salam bagi non-muslim menurut DNU. “Ooooh paham begini mas soal apa tadi, salam kepada non-muslim assalammualaikum gitu kalau saya lebih senagn mengucapkan apa khabar aja, senang berkenalan dengan anda, kalau salam gak dech kayaknya, tapi bukan berarti saya enggak menghargai mereka loh ya”188. Dari pemaparan pendapat informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian diatas, kita dapat melihat bahwa, sebagian besar informan dalam penelitian ini, cenderung bersifat modernis karena memandang positif terhadap keanekaragaman dengan memberikan salam tanpa melihat identitas keagamaan. Sedangkan sebagian kecil informan dalam penelitian ini, cenderung bersifat fundamentalis, hal ini dapat dilihat dari ketidak setujuan informan untuk memberikan salam bagi non-muslim dan hanya mengkhususkan salam terhadap sesama muslim saja. b. Apakah boleh seorang muslim memilih pemimpin non-muslim? Berdasarkan hasil penelitian, terhadap delapan mahasiswa UIN Syahid Jakarta, ada dua pendapat berlainan tentang Apakah boleh seorang muslim 184
Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta 14 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta 15 September 2012 186 Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta 11 September 2012 187 Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta 12 September 2012 188 Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta 11 September 2012 185
memilih pemimpin non-muslim. Berikut adalah pengkategorisasian jawaban informan dalam penelitian ini 1. Boleh Seorang Muslim Memilih Pemimpin Non-Muslim Mengenai pertanyaan ini, dari delpan informan sebagian besar informan menyataan boleh bagi seorang muslim memilih pemimpin non-muslim dengan pertimbangan dapat memimpin189, tidak masalah karena pemimpim itu diatur oleh UU dan itu tidak diluar Islam190, visi misi yang baik dan adil191, selama tidak menghalangi umat Islam menjalankan Syariat Islam dan berdakwah 192. Berikut adalah pendapat yang menyatakan bahwa boleh seorang muslim memilih nonmuslim. ROS menyatakan bahwa. “Boleh juga gak apa-apa apa lagi kalau kita lihat pendapatnya ibnu khaldun pemimpin non muslim yang adil itu lebih baik daripada pemimpn muslim yang yang tidak adil. Itukan salah satu refleksi yang kemudian harus di transformasikan dalam konteks kekinian yang serba komplit termasuk dalam konteks kepemimpinan. Yang penting itu tidak mengancam pada keyakinan kita misalkan pemimpin non-muslim menerapkan aturan-aturan main yang ada dalam aturan kristen justru itu yang harus di wasoadai tapi selama pemimpin itu mempunyai visi misi yang baik dan adil bisa saja kita memilih itu. Kalau tidak adil itu juga harus di tolak itu yang harus kita pertimbangkan”193. Senada dengan ROS, IHM memiliki pertimbangan yang sedikit berbeda. Menurutnya boleh seorang muslim memilih non-muslim dengan pertimbangan dikalangan muslim sudah tidak ada figur yang bagus memimpin. “Prinsipnya sama dalam memilih pemimpin perempuan ketika memang sudah tidak ada lagi laki-laki yang memimpin pada akhirnya kan 189
Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta 11 September 2012 191 Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta, 14 September 2012 192 Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012 193 Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta, 14 September 2012 190
perempuan naik sama seperti dengan pemimpin non muslim kalau memang sudah tidak ada kriteria yang bagus dikalangan muslim yang gak jadi masalah, yang jelas selama dia tidak serta merta menghalangi umat Islam untuk menjalankan syariat Islam, untuk berdakwah dan apabila itu dilarang itu baru bahaya. Tapi ketika ada yang islam milih yang Islam saja”194. 2. Tidak Boleh Seorang Muslim Memilih Pemimpin Non-Muslim Berbeda denga tujuh informan lain, DNU menyatakan bahwa tidak boleh sorang muslim memilih pemimpin non-muslim. “Gak gak boleh masih banyak koq pemimpin non muslim hidayat nur wahid itu bagus loh mas tapi masyarakat kita kan ya gitu belum mengerti ya mau apa lagi. Wawlahuallambisohab”195. Dari pemaparan pendapat informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian diatas, kita dapat melihat bahwa, sebagian besar informan dalam penelitian ini, cenderung bersifat modernis karena memandang positif terhadap keanekaragaman dengan menyatakan bahwa boleh seorang muslim memilih pemimpin non-muslim. Sedangkan sebagian kecil informan dalam penelitian ini, cenderung bersifat fundamentalis, karena memandang negatif pluralisme, hal ini dapat dilihat dari ketidaksetujuan seorang muslim memilih pemimpin nonmuslim. c. Apakah boleh seorang muslim dan non-muslim bersama-sama melakukan gotong royong atau bakti sosial? Mengenai pertanyaan ini, dari delapan informan semuanya menyatakan bahwa melaukan gotong royong atau bakti sosial boleh, dengan alasan yang
194 195
Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta 11 September 2012
penulis rangkum sebagai berikut tolong menolong196, baik197, fardu ain198. Menurut IHM hal tersebut boleh selama tidak keluar dari batas-batas yang ditetapan oleh Al-Qur‟an dan hadis. “Gak apa-apa ibrohnya soalnya banyak yang terkandung dalam gotong royong dan kerja bakti itu. dan rasulullah memang menyuruh kita untuk melakukan itu, asal itu tadi tidak keluar dari batas-batas yang ditetapkan oleh Quran dan hadis”199. Senada dengan IHM, DNU mengatakan bahwa hal itu memang dicontohkan oleh Rasulullah ketika di Madinah. “Kalau gotong royong ya boleh lah kita kan memang harus saling tolong menolong antar sesaman manusia kan. Nabi juga mencontohkan itu ketika di Madinah”200. Dari pemaparan pendapat informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian diatas, kita dapat melihat bahwa, semua informan dalam penelitian ini, cenderung bersifat modernis karena memandang positif terhadap keanekaragaman (pluralisme) dengan menyatakan bahwa boleh seorang muslim dan non-muslim bersama-sama melakukan gotong royong atau baktu sosial. 5. Hikmah Seperti telah disebutkan sebelumnya, menurut Yusril Ihza Mahendra ada dua pandangan modernis dan fundamentalis Islam yang saling berhubungan dengan pandangan-pandangan diatas yaitu dalam memaknai masalah pluralisme dan hikmah. Modernisme Islam cenderung melihat hikmah secar terbuka untuk
196
Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta 11 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta 12 September 2012 198 Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta 10 September 2012 199 Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta 15 September 2012 200 Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta 11 September 2012 197
beradaptasi dan mengakulturasi hikmah yang telah disumbangkan oleh peradaban lain termasuk Barat. “Sikap yang positif dan optimis ini terhadap pluralisme ini selanjutnya mendorong modernis cenderung bersikap terbuka dan toleran. Bagi mereka hikmah (kebijaksanaan) akan ditemukan dimana saja termsuk pada kelompok-kelompok dari luar Islam. Dengan berpegang teguh kepada salah satu hadis mengenai “hikmah” (kebijaksanaan), modernisme cenderung bersikap terbuka untuk beradaptasi dan mengakulturasi prnsipprinsip doktrin dengan “hikmah” yang telah disumbangkan oleh masyarakat-masyarakat yang mendukung peradaban lain. Dorongan mencari hikmah itu adalah seiring dengan kecenderungan kaum modernis yang lebih berorientasi pada penyelesaian masalah yang dihadapi secara konkret, dengan pendekatan yang bercorak pragmatis dan kompromistis. Mereka bebas mencari hikmah, karena mereka percaya bahwa evolusi kebudayaan manusia sebenarnya bergerak menuju nilai-nilai yang ditunjukkan Islam. Sedangkan nilai-nilai Islam, menurut mereka, adalah nilai-nilai universal yang sesuai dengan the human nature (watak manusia), sungguhpun secara formal tentulah tidak semua manusia memeluk agama Islam.”201 Sedangakan menurut Yusril Ihza Mahendra fundamentalisme Islam yang saling berhubungan dengan pandangan-pandangan diatas yaitu, sikapnya yang cenderung memandang negatif dan pesimis kepada pluralisme, karena sikapnya yang memandang negatif terhadap pluralisme maka hikmah tidak perlu dicari di masyarakat yang bersifat jahiliyah seperti Barat. Berikut adalah pandangan fundamentalisme dalam memaknai masalah hikmah. “Maka hikmah (kebijaksanaan) tidak perlu dicari dalam masyarakat yang telah jelas-jelas bersifat Jahailiah itu. Karena itu, fundamentalisme cenderung bersifat tertutup dari kemungkinan beradaptasi dan berakulturasi dengan prestasi-prestasi peradaban yang telah dikembangkan oleh masyarakat lain. Memang, bagi fundamentalisme, manusia didunia
201
Ibid., hal. 31
ini hanya dihadapkan kepada dua pilihan, menjadi “mu‟min” atau menjadi “kafir.”202 Dalam pembahasan ini masalah hikmah dalam pandangan modernisme dan fundamentalisme diukur dengan dua hal yaitu, pertama, Adakakah nilai-nilai dari negerti Barat yang sesuai dengan tradisi Islam? Kedua, menurut anda perlu kah seorang muslim belajar tentang nilai-nilai Barat?. Dari delapan informan sebagian besar menyatakan bahwa banyak nilai-nilai dari negeri barat yang sesuai dengan tradisi Islam seperti penghormatan terhadap akal pikiran203, demokrasi204, kebersihan205. Dan semuanya juga menyatakan bahwa boleh seorang muslim belajar nilai-nilai Barat karena kebudayaan Barat merupakan representasi dari kebudayaan sebelumnya yaitu Islam206. Hal ini seperti diutarakan oleh IBL. “Gua cerita niyh ama lu sebentar ya. Ternyata dalam masalah kebersihan, Barat itu lebih islami dari masyarakat Islam. Lu liat aja, ada gak kota di Barat itu yang kotor-kotor gak ada kan? Ini kan sesuai dengan apa yang dikatakan nabi annadopatunminaliman bahwa kebersihan itu sebagian dari iman. Dan di kita malah sebaliknya. Menurut gua penting kita belajar ke Barat itu sumpah, makanya kalau gua di kasih kesempatan niyh, gua mau ngelanjutin S2 gua di Barat, amieeen. Amieen lu de”207. Senada dengan IBL, ISN menyatakan bahwa. “Oh banyak. Ini maksudnya sekularisme ya. Jadi sekularisme di Islam itu banayk contohnya aja niyh di kita dulu waktu NU itu jadi partai itu kan sudah mulai kebarat-baratan ya kan. Partai itu adanya di barat. Jadi NU ke barat-baratan208. “Demokrasi itu juga sesuai kan konsepnya dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat itu kan menurut konsep pemimpin al-adil, merakyat dan 202
Ibid., hal. 32 Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012 204 Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012 205 Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta, 13 September 2012 206 Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta 11 September 2012 207 Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta, 13 September 2012 208 Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012 203
untuk bersama, ini masuk ini dulu khalifah-khalifah juga mencontohkan ini mereka dipilih oeh orang-orang ngurusin rakyat sesuai ini”209. “Oh boleh banget itu di anjurkan itu kalau bisa itu semua kuliahnya dibarat belajar semua. Soalnya ilmu-ilmu kita kan dicuri bukan dicuri dipinjam lah”210. Berbeda sedikit dengan informan lain, DNU menyatakan bahwa sebaikbaiknya tempat adalah Madinah dan Mekkah. Tapi apabila ada nilai-nilai dari luar yang tidak bertentangan dengan Islam ya kenapa tidak. “Sebaik-baiknya tempat kata nabi itu adalah madinah dan mekkah. Lebih baik kita belajar kesana, tapi kalau sekiranya ada nilai-nilai yang tidak bertentangan dengan agama ya kenapa enggak kita ambil, kayak teknologi gitu, menurut saya boleh ya walaupun nilainya yang saya takutkan tapi semoga enggak lah”211. Dari pemaparan delapan informan mahasiswa UIN Syahid Jakarta diatas, kita dapat melihat bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syhid Jakarta dalam penelitian ini cenderung bersifat modernis. Bagi mereka hikmah (kebijaksanaan) akan ditemukan dimana saja termasuk pada kelompok-kelompok dari luar Islam. Dan mereka juga cenderung terbuka untuk beradaptasi dan mengakulturasi prinsip-prinsip doktrin dengan “hikmah” yang telah disumbangkan oleh masyarakat-masyarakat yang mendukung peradaban lain.
209
Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012 211 Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 2012 210
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Karakteristik
pemikiran
keagamaan
yang
bersifat
modernis
dan
fundamentalis merupakan potret yang dapat ditemui didalam semua agama tidak terkecuali Islam dan dapat dijumpai dalam pemikiran pengikut agama Islam itu sendiri, termasuk mahasiswa UIN Syahid Jakarta. Dalam penelitian ini, penulis menemukan
bahwa
seorang
informan
tidak
seutuhnya
bisa
dikatakan
fundamentalis atau modernis. Yang ada adalah ia bisa dikatakan cenderung bersifat fundamentalis dalam beberapa hal. Tapi juga bisa bersifat modernis dalam beberapa hal. Untuk mempermudah melihat kecenderungan pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta apakah bersifat modernis atau fundamentalis, dapat disimpulkan bahwa: 1. Berkaitan dengan hal acuan atau dasar dalam membangun masyarakat berdasarkan Al-Quran dan hadis, sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta
dalam
penelitian
ini
selaras
dengan
modernisme
dan
fundamentalisme Islam bahwa Al-Quran dan hadis dapat dijadikan acuan atau dasar dalam membangun tatanan masyarakat dengan sebagian kecil mengatakan dengan pertimbangan. Sedangkan sebagian kecil lain mengatakan, Al-Quran dan hadis tidak bisa dipakai sebagai landasan dalam membangun masyarakat dan sisanya masih dilematis yaitu dalam masalah ibadah bisa Al-Quran dan hadis dijadikan pedoman tapi dalam
masalah
horizontal
(hubungan
sesama
manusia/muamalah)
masih
dilematis. 2. Berkaitan dengan ijtihad yang diukur dengan hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita, mahasiswwa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini selaras dengan modernisme Islam bahwa ayatayat Al-Quran seperti hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita harus terus diijtihadkan. Sedangkan sebagian kecil lain mengatakan, ayat-ayat Al-Quran tersebut sudah jelas maknanya jadi memang tidak perlu diijtihadkan lagi. 3. Berkaitan dengan tradisi zaman awal Islam dalam hal hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita masih relevan atau tidak menurut mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini sepakat dengan modernisme Islam bahwa tradisi-tradisi zaman awal Islam seperti hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita tidak relevan lagi untuk diterapkan dimasa sekarang. Sedangkan sebagian kecil lain mengatakan, tradisi-tradisi zaman awal Islam seperti hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita masih relevan untuk diterapkan dimasa sekarang. 4. Berkaitan dengan ijma dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini selaras dengan fundamentalisme Islam bahwa seorang muslim harus memberikan apresiasi-peghargaan terhadap ulama-ulama jaman para tabiin dan tabi l-
tabi‟in. Akan tetapi sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini menyatakan bahwa ijma-ijma terdahulu dapat diperbaharui hal ini cenderung bersifat modernis karena aliran modernis memandang ijma (konsensus) yang dicapai oleh generasi terdahulu, dapat diperbaharui oleh generasi yang hidup di zaman kemudian. Hal ini dilakukan jika factor-faktor
psikologis,
social,
politik
dan
ekonomi
yang
melatarbelakangi ijma itu berubah. Dalam hal ini termasuk juga kemungkinan memperbaharui ijma para sahabat nabi. 5. Berkaitan dengan pluralisme, yang diukur dengan Apakah boleh seorang muslim memberikan salam kepada non-muslim? Apakah boleh seorang muslim memilih pemimpin non-muslim? Apakah boleh seorang muslim dan non-muslim bersama-sama melakukan gotong royong atau bakti sosial? Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini cenderung memandang positif terhadap ketiga pernyataan diatas, dan hal ini selaras dengan modernisme Islam. Hanya sebagian kecil informan dalam penelitian ini, cenderung memandang negatif terhadap ketiga pertanyaan diatas, dan dalam hal ini cenderung fundamentalis. 6. Berkaitan
dengan
hikmah
(kebijaksanaan)
dalam
penelitian
ini
menunjukkan bahwa semua mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini cenderung bersifat modernis. Bagi mereka hikmah (kebijaksanaan) akan ditemukan dimana saja termsuk pada kelompokkelompok dari luar Islam. Dan mereka juga cenderung bersikap terbuka untuk beradaptasi dan mengakulturasi prnsip-prinsip doktrin dengan
“hikmah” yang telah disumbangkan oleh masyarakat-masyarakat yang mendukung peradaban lain. B. Saran Penelitian lapangan tentang pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta melahirkan beberapa saran sebagai berikut: Pertama, adanya perbedaan pemikiran keagamaan diantara mahasiswa UIN Syahid Jakarta hendaknya tidak disingkapi sebagai permasalahan, tapi dianggap sebagai suatu hikmah yang bisa membawa kebaikan pada sesama. Kedua, institusi pendidikan Islam seperti UIN Syahid Jakarta, harus terus menjaga dan meningkatkan kesadaran pemikiran keagamaan mahasiswanya untuk lebih inklusif bukan eksklusif, dalam berhadapan dengan doktrin-doktrin agama agar tercipta insan akademis yang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman sesuai dengan visi, misi dan tujuan UIN Syahid Jakarta. Ketiga, penulis mengakui penelitian ini memiliki keterbatasan dalam membongkar fenomena pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta. Oleh karena itu, untuk kepentingan akademik penulis menyarankan adanya penelitian sejenis dikemudian hari, penelitian yang melihat pemikiran keagamaan bukan hanya dari ijtihad, preseden tradisi zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan hikmah, dan bagaimana pemikiran itu bisa terbentuk dan apa mempengaruhinya.
yang
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Abou El Fadl, Khaled M. Atas Nama Tuhan “Dari Fiqh Otoriter Ke Fiqh Otoritatif”, Jakarta: Serambi, 2001. Abdul Rahman Shaleh-Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar “Dalam Persfektif Islam”, Kencana, Jakarta, 2004. Adnan Amal, Taufik dkk. Politik Syariat Islam “Dari Indonesia Hingga Nigeria”, Jakarta: Alvabet, 2004. Akaha. 160 Kebiasaan Nabi saw, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2002) Anshari, Endang Saifuddin. Wawasan Islam “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma Dan Sistem Islam”, Jakarta: Gema Insani, 2004. Asep Syansul M. Romli, Demonologi Islam: Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam, (Jakarta,Gema Insani Press, 2000) Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam “Dari Fundamentalisme, Modernism, Hingga Post-Modernisme”. Jakarta: Paramadina, 1996. Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, Jakarta; Prestasi Pustakakarya, 2007. Burhan Bungin, Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005. Esposito, John L. Islam dan Politik. Jakarta: Bulan Bintang, 1990. ............................ Islam Warna-Warni “Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus (AlShirat Al-Mutaqim)”. Jakarta: Paramadina, 1998. Ensiklopedia Umum, Yogyakarta: Kanisius, 1973. Faisak, Sanafiah. “Format-Format Penelitian Sosiali”, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001. Gazalba, Sidi. Masyarakat Islam “Pengantar Sosiologi Dan Sosiografi”. Jakarta: Bulan Bintang, 1976. George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media Group, 2007 Husaini, Waqar Ahmad. Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, Bandung: Pustaka, 1983.
Ihza Mahendra, Yusril. Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam. Jakarta: Paramadina, 1999. Ismail,
Syuhudi. Hadists Nabi “Menurut Pembela, Pemalsunya”, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Pengingkar
Dan
Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara “Persfektif Fundamentalisme dan Modernis), Jakarta: Yayasan Indonesia Tera, 2001. Kasinyo Harto, Islam Fundamentalis Di Perguruan Tinggi Umum “Kasus Gerakan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang”. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008. Komarudin Hidayat dan Hendro Prasetyo, Problem dan Prospek IAIN “Antologi Pendidikan Tinggi Islam”. Jakarta; Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam Dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI, 2000. Kusmana dan Yudhi Munadi. Proses Perubahan IAIN Menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta “Rekaman Media Massa., Jakarta: UIN Jakarta Press, 2001. Kusmana, “Integrasi Keilmuan “UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset”. Jakarta; PPJM dan UIN Jakarta Press, 2006. Kusmana, Eva Nugraha dan Eva Fitriati, Paradigma Baru Pendidikan Islam “Rekaman Implementasi IAIN Indonesia Social Equity Project (IISEP) 2002-2007. Jakarta: IISEP, 2008). Kusmana dan JM. Muslimin, Paradigma Baru Pendidikan “Restropeksi dan Proyeksi Pendidikan Islam di Indonesia”. Jakarta: IIESP, 2008. Montgomery, William. Fundamentalisme Islam Dan Modernitas. Penerjemah Taufik Adnan Amal. Jakarta: Grafindo Persada, 1997. Mujani, Saeful. “Muslim Demokrat „Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca ORDE BARU”, Jakarta: Gramedia, 2007. Mu‟tiah, Anisatun dkk. Harmonisasi Agama dan Budaya Di Indonesia, Vol. 1 Jakarta: Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009. Nurhidayat Muh. Said, Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia “Studi Pemikiran Harun Nasution”. Jakarta; Pustaka MAPAN, 2006. Raudah Agustiar, Perubahan IAIN Menjadi UIN Jakarta: “Antara Kenyataan dan Harapan”, Jurnal Mimbar Agama Dan Budaya, Vol. XXX, No. 2, 2004
Rangkuti, Freddy. “Riset Pemasaran”. Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ekonomi IBII, 2005. Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustakakarya, 2007. Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media Group, 2007.
Robert L. Oslo, Otto H. Maclin, M. Kimberly Maclin, Psikologi Kognitif, Jakarta, Erlangga, 2008. Stoddard, Lothrop. Dunia Baru Islam (The New World Of Islam). Penerjemah Mulyadi Djoyomartono dkk. Jakarta: Gunung Agung, 1966. Sugiyono, Statistik Untuk Penelitian. Jakarta: Erlangga, 2008. Taher, Tarmizi dkk. Radikalisme Agama. Jakarta: PPIM-IAIN, 1998. Tarki Sabiq, Dhabith. Ar Rajul as Shanam Kamal At Taturk. Penerjemah Abdullah Abdurrahman. Jakarta: Senayan Publishing, 2008. Tim Penyusun, “Buku Pedoman Akademik Strata Satu 2011/2012”. Jakarta; Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan, 2011. Weldan, Ahmad Taufik dkk. Metodologi Studi Islam “Suatu Tinjauan Perkembangan Islam Menuju Tradisi Islam Baru” Malang: Bayumedia Publishing, 2004. Yasid, Abu. Islam Akomodatif “Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama Universal”, Yogyakarta: LKIS, 2004. Skripsi: Anwar, Febri. Kekuasaan Pemilik Modal Dan Resistensi Pemulung Dalam Hubungan Kerja “Studi Kasus Pada Pemulung Di Pondok Pinang Jakarta selatan”, Jakarta: FISIP UIN Jakarta, 2012. Jurnal: Jurnal Innovatio, Vol. VII, No. 14, Juli-Desember 2008 Muhammad Chirzin, Jihad Dalam Al-Qur‟an Persfektif Modernisme dan Fundamentalisme dalam jurnal Hermenia, Jurnal Kajian Interdisipliner Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2003. Dwi Ratna Sari, Fundamentalisme Islam, Jurnal Komunika Vol.4 No.1 JanuariJuni 2010.
Internet: Digilib.petra.ac.id/ http://kamusbahasaindonesia.org/tradisi http://news.detik.com/read/2010/08/03/192306/1413027/10/tiga-mahasiswa-uinjakarta-divonis-4-tahun-6-bulan-penjara http://uinjkt.ac.id \
http://www.nurulilmi.com/maudhui/manhaj/287-ijma.html
Wawancara Wawancara Pribadi Dengan SHI. Jakarta, 10 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan DNU. Jakarta, 11 September 20112 Wawancara Pribadi Dengan IHN. Jakarta, 11 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan ISN. Jakarta, 12 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan IBL. Jakarta, 13 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan ROS. Jakarta 14 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan IHM. Jakarta, 15 September 2012 Wawancara Pribadi Dengan SPO. Jakarta, 15 September 2012
LAMPIRAN-LAMPIRAN
PEDOMAN WAWANCARA UNTUK MAHASISWA UIN SYAHID JAKARTA
Nama : Usia : Jenis Kelamin : Ijtihad
1. Menurut anda apakah Al-Qur‟an dan Hadis dapat dijadikan landasan untuk membangun dan menciptakan tatanan masyarakat?. 2. Jika ya, kenapa? Jika tidak, kenapa? 3. Menurut anda metode apa yang tepat dalam menafsirkan ayat-ayat yang ada di dalam al-quran, interprtatif (tawil) atau tekstual (harfiah) 4. Bisa disebutkan alasannya? Kenapa? 5. Menurut anda apa yang di maksud dengan ijtihad? 6. Menurut anda ayat-ayat yang berkenaan dalam bidang apa saja yang bisa ditafsirkan? 7. Menurut anda apakah ayat Al-Quran tentang hukuman potong tangan bagi yang mencuri berikut ini perlu di ijtihadkan lagi atau tidak?
ٍ انهَ ِه َ ِّق وَانّسَارِقَةُ فَاقْطَعُىا أٌَْدٌَِهًَُا جَزَا ًء بًَِا كَّسَبَا َكَانًا ي ُ ِوَانّسَار Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. (al-Mâidah/5:38-39) 8. Jika ya, kenapa? Jika tidak, kenapa? 9. Menurut anda apakah ayat tentang hukum warisan dalam Islam berikut ini perlu di ijtihadkan lagi atau tidak?
ًٍَْ ٌَُىصٍِكُمُ انهَـهُ ِفىٓ أَوْنٰدِكُمْ ۖ نِهرَكَسِ مِ ْثمُ حَظِّ انْأُنث Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan (An-nisa ayat 11)
10. Jika ya, kenapa? Jika tidak, kenapa? 11. Menurut anda apakah ayat tentang hukum kepemimpinan wanita dalam Islam berikut ini perlu di ijtihadkan lagi atau tidak?
ِانسِّجَالُ قَىّٰمُىّنَ عَهَى اننِّسَآء Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (An-nisa ayat 34) Hadits: Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menjadikan wanita sebagai pemimpin mereka.” (HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan Nasa'i). 12. Jika ya, kenapa? Jika tidak, kenapa? 13. Preseden (Teladan) Zaman Awal, Serta Sejarah Dan Tradisi Islam 1. Menurut anda apakah tradisi (kebiasaan) yang dilakukan Nabi Muhammad masih relevankah diterapkan dalam masa sekarang? 2. Jika masih relevan relevan kenapa? Jika tidak relevan, kenapa? 3. Menurut anda tradisi hukum potong tangan bagi yang mencuri yang dilakukan Nabi cocok atau tidak diterapkan untuk konteks zaman sekarang? 4. Jika cocok, bisa disebutkan alasannya? Jika tidak bisa disebutkan alasannya? 5. Menurut anda tradisi hukum hukum waris yang dilakukan Nabi cocok atau tidak diterapkan untuk konteks zaman sekarang? 6. Jika cocok, bisa disebutkan alasannya? Jika tidak bisa disebutkan alasannya? 7. Menurut anda apakah perempuan boleh menduduki posisi-posisi dalam kenegaraan (menjadi khalifah/presiden)? 8. Jika boleh, bisa disebutkan alasannya? Jika tidak bisa disebutkan alasannya? Ijma 1. Menurut anda apa yang dimaksud denga ijma? 2. Menurut anda apakah kita harus memberikan aspirasi yang tinggi terhadap kesepakatan ulama para tabiin dan tabi l-tabi‟in? 3. Menurut anda apakah kesepakatan para sahabat, zaman tabiin dan tabi ltabi‟in diperbaharui atau tidak? 4. Jika dapat diperbaharui sebutkan alasannya? Jika tidak, sebutkan alasannya? 5. Menurut anda apakah kesepakatan ulama di Saudi Arabia harus diterapkan di negara lain seperti Indonesia? 6. Jika ya, kenapa? Jika tidak, kenapa?
a. Menurut anda apakah kesepakatan ulama tentang hijab di Saudi Arabia harus diterapkan di negara lain seperti Indonesia? b. Menurut anda apakah kesepakatan ulama tentang hukum potog tangan di Saudi Arabia harus diterapkan di negara lain seperti Indonesia? Pluralisme 1. Menurut anda apa yang dimaksud dengan pluralisme? 2. Menurut anda apakah sama antara toleransi dan pluralisme? 3. Bagaimana tanggapan anda tentang hal-hal berikut ini. a. Apakah boleh seorang muslim memberikan salam kepada nonmuslim? b. Apakah boleh seorang muslim memilih pemimpin non-muslim? c. Apakah boleh seorang muslim dan non-muslim bersama-sama melakukan gotong royong atau bakti sosial? Hikmah 1. 2. 3. 4.
Adakakah nilai-nilai dari negerti Barat yang sesuai dengan tradisi Islam? Bila ya, berikan contoh? Menurut anda perlu kah seorang muslim belajar tentang nilai-nilai Barat? Jika perlu kenapa? Jika tidak, kenapa?
RANGKUMAN HASIL WAWANCARA
IDENTITAS INFORMAN
Nama Jenis Kelamin SHI Laki-Laki IHN
Laki-Laki
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Dirasat Islamiyah
DNU Laki-Laki
Syariah dan Hukum
ISN
Laki-Laki
IBL
Laki-Laki
ROS
Laki-Laki
SPY
Laki-Laki
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Ushuluddin dan Filasat Tarbiyah dan Keguruan Adab
IHM
Laki-Laki
Tarbiyah dan Keguruan
Waktu Wawancara 10- September2012 11- September2012 11-September2012 12-September2012 13-September2012 14-September2012 15-September2012 15-September2012
TRANSKIP WAWNCARA
1. Hasil Wawancara Dengan DNU Nama DNU
Ijtihad oh sangat, sangat bisa. islam itu kan sebenarnya memang sudah mengatur segala-galanya iya toh melalui al-quran, yang kemudian dijelaskan oleh perkataan, dan perbuatan nabi yang dinamakan hadits. nah, sebenarnya tidak ada yang tidak dijelaskan dalam al-quran dan hadits semuanya ada bahkan sampai hal-hal kecil juga, misalnya proses penciptaan manusia ada didalam al-qur‟an, dalam kehidupan sehari-hari, makan itu kan harus menggunakan tangan kanan ga boleh pake tangan kiri, sampai buang hajat saja sebenarnya diatur dalam islam, harus doa dulu tidak boleh berisik dll.
Menurut saya, begini mas al-Quran itu kan sebenarnya ga boleh didebat ia harus dipahami. Kalo kita membaca al-Quran misalnya surat al-ikhlas, kulhuwawlahuahad artinya katakanlah bahwa tuhan itu satu, kita harus menjawabnya, ya tuhan engkalau tuhan yang satu dan begitu juga seterusnya. Nah cuman masalahnya yang mas tadi bilang bahwa memang di al-quran itu ada surat-surat yang maknanya sudah jelas ada yang tidak, nah terus permasalahannya kan bagaimana misalnya memahami dan menerapkannya dalam kehidupan kita kan?. Misal, tentang perintah salat disitu kan jelas perintahnya, cuman enggak detil nah disinilah fungsinya hadits untuk menjelaskan ayat tadi misalnya salat asar itu harus empat rakaat dll. Nah kalo saya mas dede, kalau al-Quran dan hadits itu sudah memberikan rinciannya dengan jelas dan ini kemudian dijelaskan lagi oleh hadits enggak boleh di ijtihadkan lagi, misalnya tentang perintah shalat tadi. Misalnya dibuat shalat asar itu jadi dua rakaat gak boleh itu. Sangat-sangat tidak boleh. Dalam masalah muamalah juga sama, apabila ayat sudah memberikan rinciannya dengan jelas maka ya gak boleh di tafsir ulang lagi seperti ayat waris itu kan jelas banget bahkan detail banget menurut saya.
Nah ini dia salah satu yang membuat masyarakat kita itu ngeri, salah satunya hukum potong tangan ini, coba deh baca lagi mas artinya jelas kan dan surat itu juga dijelaskan lagi oleh nabi bahwa apabila aisyah eh maksudah saya fatimah, fatimah anakku mencuri maka aku sendiri yang akan memotongnya tangannya. Sebagai seorang muslim yang baik, sebenarnya kita kan harus mengikuti perintah tuhan dan rasulnya kan, kalau ada yang mencuri yang potong tangannya, kalau sekarang kan gak dipenjara kan, karena ini bukan negara islam ini negara pancasila. Tinggal milih mau ikut perintah tuhan dan rasul atau perintah buatan manusia, kalau saya ikut yang pertama, kalau saya loh mas kalo yang lain syich ya monggo.
Coba lihat ayatnya oh ayat waris ini iya itu sama kalo saya syich gitu kayak ayat potong tangan diatas memang harus gitu laki-laki dapat ¾ bagian. Ya gak pake kenapa-kenapa yan gak boleh ditafsir lagi itu kan udah jelas perintahnya, kenapa harus di tafsir lagi, saya tuh bingung ma
temen-temen di UIN termasuk mas ini, mereka tuh lebih mengutamakan akalnya daripada hatinya, baru baca teori-teori marx, feminis, teori-teori sosial kayak gitu lah, udah merasa hebat aja mereka pikir mereka itu siapa, mereka itu ibaratnya burung gereja yang meminum air dilautan ya segitu yang mereka ambil dari tuhannya.
Nama DNU
Nama DNU
Kalo saya syich selama ada laki-laki ya perempuan harus tau posisinya walaupun mereka hebat tapi laki-laki juga kan banyak juga. Dan juga urusannya perempuan itu ribet kalau mimpin negara ya kan, belum dia hamil nanti itu kan 9 bulan mas, belum haidnya, dll. Jangan dech kalau menurut saya mah ini urusan laki-laki. Perempuan itu sebaiknya berdiri dibelakang laki-laki, mereka itu salah satu penyemangat paling hebat loh. Tapi gak berarti posisi perempuan dibawah loh tapi lebih pada saling mengisi satu sama lain.
Preseden (Teladan) Zaman Awal, Serta Sejarah Dan Tradisi Islam Masih dan sangat relevan sekali kalau kita melihat kondisi sekarang, dimana moralitas itu sudah hancur banget. Maka hukum potong tangan ini bisa dan bagus untuk diterapkan, tinggal para pemimpinya saja apakah mereka mau atau tidak. Kalau saya syich siap untuk itu.
Kalau hukum waris dalam Islam memang ketentuannya sudah seperti itu tidak boleh dirubah-rubah lagi. Dan ini merupakan ketetapan Tuhan, hitungannya sudah jelas dan saya yakin ini dapat mendatangkan kebaikan bagi kita
Perempuan harus memposisikan dirinya, sebagi pelengkap bagi laki-laki dan menurut saya kepemimpinan memang laki-laki memang harus diatas perempuan. ya karena itu memang perintahnya.
kesepakatan ulama.
Ya iya tentu harus mereka itu kan gurunya jelas nabi Muhammad. Jadi sanad keilmuannya bisa dipertanggungjawabkan.
Kalau tidak bertentangan dengan al-quran dan hadis ya boleh dirubah asal jangan dikorbankan untuk perkembangan jaman aja. Jangan atas nama jaman berubah terus kita boleh mengubah-ngubah syariat gitu ya gak boleh lah. Dan juga para ulama sekarng kan menurut saya gak ada yang bisa menandingi kemampuan mereka dalam merumuskan fiqh.
Intinya gini mas kalau ulama zaman sahabat, tabiin seperti zaid bin tsabit, abu hurairah, dll sudah bersepakat tentang masalah hukum ya harus diikuti, karena mereka ya tadi sanad keilmuannya jelas mereka itu belajar agamanya ke nabi Muhammad.
Ya kalau hijab kan memang dianjurkan oleh agama juga, begitupun hukum potong tangan ya toh. Cuma memang penerapannya aja yang berbeda-beda dinegara muslim misal soal hijab tadi intinya kan asal
Ijma
menutup aurat aja.
Nama DNU
Nama DNU
Pluralisme Pluralisme itu keragaman, kayak disidang aja saya ini.
Hmmmm ya pluralisme itu paham perbedaan budaya dll karena ada ismenya itu, kalau toleransi sikap menghargai perbedaan. Gitu ya bener gak?
Ooooh paham begini mas soal apa tadi, salam kepada non-muslim assalammualaikum gitu kalau saya lebih senagn mengucapkan apa khabar aja, senang berkenalan dengan anda, kalau salam gak dech kayaknya, tapi bukan berarti saya enggak menghargai mereka loh ya.
Gak gak boleh masih banyak koq pemimpin non muslim hidayat nur wahid itu bagus loh mas tapi masyarakat kita kan ya gitu belum mengerti ya mau apa lagi. Wawlahuallambisohab.
Kalau gotong royong ya boleh lah kita kan memang harus saling tolong menolong antar sesaman manusia kan. Nabi juga mencontohkan itu ketika di madinah.
Hikmah Sebaik-baiknya tempat kata nabi itu adalah madinah dan mekkah. Lebih baik kita belajar kesana, tapi kalau sekiranya ada nilai-nilai yang tidak bertentangan dengan agama ya kenapa enggak kita ambil, kayak teknologi gitu, menurut saya boleh ya walaupun nilainya yang saya takutkan tapi semoga enggak lah.
2. Hasil Wawancara Dengan ISN Nama ISN
Ijtihad Bisa, bisa Quran dan hadis itu. Ya kalau memang secara Islam merupakan sumber kuat untuk mengatur kehidupan manusia baik itu sosial ekonomi dan bernegara. tapi selain itu juga kan kita negaranya banyak perbedaanperbedaan suku bangsa dan budaya disini dibutuhkan dasardasar hukum lain seperti ijma dan qiyas kan seperti juga kearipan-kearipan lokal yang ada itu bisa dijadikan hukum jadi kita ini enggak hanya terpaku hanya dengan quran dan hadits secara leterlek gitu loh. Jadi ada ijma ada qiyas yang dalam alQuran gak ada dalam hadits gak disebutkan tetapi kalau musyawarah-musyawarah para ulama para pemimpin itu bagus ya itu bisa dijadiin hukum. Semisal dahulu itu waktu perumusan negara ini kan ini apa ijma
juga waktu merumuskan negara kita Indonesia berasaskan dengan pancasila dan bhineka tungggal ika itu ijma itu kan di alQuran gak ada bhineka tunggak ika sama pancasila. Bhineka tunggal ika sendiri itu kan dari kitab itu sutasoma, sedeangkan kitab sutasoma itu sendiri kan dari ajaran-ajaran leluhur kita pada masa kerajaan Prabujayanegara, itu raja kedua Majapahit. Jadi sangat apa menyeluruh. Jadi Quran dan hadis enggak begitu bisa dipkasakan yang penting kalau di Quran dan hadis gak ada bisa di pake kesepakatan ulama dan para pemimpin.
Ooh jadi kan Quran itu ada ayat muhkamat dan mutasyabihat ada yang sudah jelas seperti hukum salat seperti puasa dan sebagainya itu kan sudah jelas kan. Kalau yang belum jelas perlu penafsiran, itu harus ditafsiri itu kan fungsi hadis dsini kan untuk menafsirkan utnk menjelaskan Quran. Kalau Quran itu belum jelas dijelasin sama hadis tapi belum jelas juga ditafisirinlah sama penafsir2 sendiri kan seperti imam Jalalen, Jamakshari, Syuthi dll. Kalau itu masih susah juga kan dahulu itu belum ada perkara ada yang namanya bidah itu juga perlu di tafsirin lagi kan sekarang ada tafsir kontemporer terus pake kesepakatankesepakatan ulama tadi itu. Tafsirin semua itu.
Hukum potong tangan itu ya. Islam itu perlu tafsiran ulang itu. Al-Quran memang hukum potong tangan ya pake arab ya. Kalau di Arab hukum nya potong tangan tapi kalau di Indonesai itu kan hukum itu enggak bisa di gunain disini karena apa kalau hukum potong tangan digunain disini yang mayoritas masih gimana ya, di pake di indoenesia ya tahu sendiri lah kalau kita jalan-jalan keluar jalannya pada buntung-buntung, di ganti dengan kesepakatan ulama diganti dengan penjara. Kalau mau ditetapin potong tangan pada buntung.
Ini ya penggunaan ilmu mawaris disini kan sesama saudara sikut sana sikut sini, tapi penggunaannya masih jarang lah sesuai dengan Quran itu tadi laki-laki satu cewek dua. Digunain tapi digunain tapi sebagian tapi mayoritas itu membaginya itu sebelum meninggal dibagi dulu biar anakanaknya ga repot ga pada berantem. Kalau secara hukum islam itu memang haru karena laki-laki menafkahi yang cewe tapi disini kan di indonesia banyaknya sudah dibagi-bagi itu bukan warisan sebelum bapaknya meninggal, kamu mau cewek mau cowok di bagi sama rata biar gak gak pada iri. Tapi itu juga masih disisain untuk biaya jenazah sama sukuran dan sebagainya. Yang penting maslahat
Yang penting punya kemampuan. Di kita buktinya namanya Ratu Tri Buana Tungga Dewi itu ibunya Hayam Wuruk ratu itu
bisa memimpin negara Majapahit setelah Prabujayanegara itu kekuasaannya sanagat luas dan bisa bersifat adil makmur. Maksud dari arti jalalukaumalannisa itu kan dalam konteks keluarga jadi ibunya ini harus nurut sama sang suami bagaimanapun walau pun istrinya ini seorang pejabat misal bupati misalnya itu ketika sudah nyampai rumah harus tunduk sama suami. Walau diluar rumah suaminya bawahan bupati perempuan itu, tafsirannya iru rumah tangga itu. Jadi kalau pemimpin negara gak apa-apa. Nama ISN
Nama ISN
Preseden Zaman Awal Islam Tergantung negara. Kalau negara kita belum itu kan negara kita kan menggunakan hukumnya UU. UU itu bikinan manusia, UU itu ijma kesepakatan para pemikir pemikir, para ulama, kalau itu sedah kesepakatan berarti itu sudah sah.
Hukum waris kurang relevan tapi yang menggunakan sebagiansebagaian untuk kemaslahatan.
Kita gak apa-apa mau pemimpinnya wanita laki laki gak apa-apa inin kan negara ini apa bebas yang bukan berdasarkan Islam.
Ijma Jadi memberikan suatu penghargaan ijma-ijma menggunakan ijma-ijma beliau terdahulu itu digunain aja. Nanti kalau kita bikin ijma sendiri. Itu waktu permasalahan pancasila dasar-dasar negara itu kan ijma sendiri bukan ijma mereka tapi itu seiring perkembangan jaman kan permasalahan semakin komplek butuh pemikiran-pemikiran, itulah akan timbul ijma-ijma yang baru.
Kalau ijma zaman dahulu Gak bisa dirubah semisal pendapatnya salah satu imam. Biarlah itu pendapat beliau tapi kalau sekarnag pendapatnya itu kan kadang-kadang bisa dipakai atau enggak tapi kalau enggak bisa dipakai pemikir-prmikir sekarang kita berpikir lagi sesuai dengan konteks sekarang. Jadi bukan pemikiran mereka yang dirubah. Ijma itu kan tergantung dari setiap wilayah setiap wilayah kan punya ijma sendiri-sendiri.
Hijab itu maknanya kan menutupi sebenarnya itu untuk menutupi aurat, kalau dari cewek selain muka dan telapak tangan kalau lakilaki dari perut sampai ini. Tapi kalau masalah cadar. Kenapa koq suruh menutupi, tujuannya kan untuk menjaga ini loh harga diri ketika tujuan tersebut bisa selain harga diri kan menjaga. Itu hukumnya wajib untuk menutupi aurat tapi kan kalau disini ya banyak yang gak menutup aurat itu ya dia pakenya oblong-oblong itu kita doain aja itu kan urusan mereka-mereka sendiri mau ini itu
yang nanggung yang penting kan bisa menjaga. Pada 1700 di Blambangan itu para wanitanya itu belum ada jilbab itu masih kerajaan hindu budha putrinya itu cuma memakai ini dari pusar kebawah jadi kalau putri disitu dari kerajaan bambangan wanita-wanita Blambangan. Itu salah satu kerajaan besar di Banyuwangi, wilayahnya luas seperti Lumajang Ponorogo sama Surabaya itu ceweknya itu gak pakai. Buah dadanya itu kelihatan, tapi masyarakat disitu paling anti kesusilaan. Jadi walaupun mereka seperti itu mereka anti asusila. Tetapi setelah kompeni datang mereka suruh menutup dengan kemban, brengseknya disini sang kompeni itu suruh menutup eh malah diperkosa nah permasalahnnya di situ. Walaupun sekarang pa ngebuka-ngebuka yang penting jangan asusila percuma kalau jilbabers tapi asusila yang penting disitu maknanya. Nama ISN
Pluralisme Inikan dalam Islam sendiri adan amanya konsep tasamuh saling menghargai sesama manusia baik itu agama lain ataupun paham yang lain itu kita saling menghargai dia mau jilbabnya apa, mau dia salat mau gak, mau ajarannya apa, yang penting kita gitu juga nmanusia kan. Jadi menurut sufi siapa yang masuk surga itu bukan gara-gara amalnya, kan kalau cenderung yang makai jilbab amalnya banayk kan tapi tapi kata beliau memanusiakan manusia nah disinilah konsepnya menghargai memanusiakan manusia. Ya gak siapa yang nuduh kafir itu kan urusan hati. Kalau non muslim itu memang kafir. Itu kan untuk sebutan loh non muslim itu kafir tapi kita selaku manusia kita tidak bisa menyebut seseorang itu kafir walaupun sudah jelas-jelas orang itu masuk ke gereja orang itu masuk ke wihara orang itu gak pernah solat kan yang namanya iman cuman dalam kamar katanya.
Nama ISN
Kalau itu kurang boleh itu pakenya assalamualaikum lebih baik pake selamat pagi atau good morning.
Boleh gak apa-apa yan penting kan bisa memimpin.
Gak apa-apa. Tasamuh itu tolong menolong sesama, baik itu gotong royong bikin jembatan bareng gak apa-apa.
Hikmah Oh banyak. Ini maksudnya sekularisme ya. Jadi sekularisme di Islam itu banayk contohnya aja niyh di kita dulu waktu NU itu jadi partai itu kan sudah mulai kebarat-baratan ya kan. Partai itu adanya di barat. Jadi NU ke barat-baratan.
Demokrasi itu juga sesuai kan konsepnya dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat itu kan menurut konsep pemimpin al-adil, merakyat dan untuk bersama, ini masuk ini dulu khalifah-khalifah juga mencontohkan ini mereka dipilih oeh orang-orang ngurusin rakyat sesuai ini.
Oh boleh banget itu di anjurkan itu kalau bisa itu semua kuliahnya dibarat belajar semua. Soalnya ilmu-ilmu kita kan dicuri bukan dicuri dipinjam lah.
3.Hasil Wawancara Dengan IHN Nama IHN
Ijtihad Bisa gak bisa syich mas tapi sebaiknya kita lihat konteks dulu. Masyarakat mana. Kalau di Timur Tengah kemungkinannya bisa karena mereka punya satu keyakinan yang sama yak kan Islam semuanya gaka ada yang lain, terus budayanya sama lagi. Tapi kalau dikita kan beda. Di kita bukan hanya keyakinan yang beda tapi suku bahasa dan adat istiadat juga beda. Jadi kondisional aja, asal begini enggak keluar dari nilai-nilai dalam Quran dan hadis dan didasarkan pada kebaikan bersama. Itu aja kali.
Fleksibel-fleksibel aja asal itu tadi tidak keluar dari nilai-nilai yang ada dalam quran dan hadis. Di Quran itu juga kan memang terdapat nilainilai yang saya pikir bisa di pakai dan masih nilai-nilai yang kita pakai sekarang ini Islam-i koq.
Ya memang benar bahwa ini adalah salah satu karakteristik hukum yang ada dalam quran, tapi ini kan sifatnya masih belum jelas, menurut saya kita harus mencari penetapan lain tapi bukannya menyalahi quran loh ya ini hanya tentang bagaimana kita membuat semua orang yang ada dalam wilayah itu bahagia, yang esensinya tidak menyalahi jati diri kita sebagai seorang muslim, yang penting itu kan hukumannya entah bentuknya apa yang jelas kalau ada orang yang berbuat jahat ya harus dihukum, dan itu dengan landasan bahwa semua orang tidak merasa dirugikan dan diberatkan. Ya kalau hukum potong tangan jangan lah, bisa syich tapi kita belum siap untuk itu. Dan menurut saya juga hukum sekarang cukup lah untuk mewakili potong tangan tersebut.
Ya itu tadi sama mas kalau inikan hukum keluarga. Jadi sebaiknya diserahkan ke keluarga tersebut. Asal itu tadi semua orang yang terlibat dalam masalah ini bahagia semua gak ada yang merasa dirugikan jadi di musyawarahkan aja. Tapi jangan sampai ada klaim gak islami atau gak sesuai islam gituh, gk boleh itu. Itu urusan yang diatas, wong pelacur aja ada koq yang masuk surga. Gitu loh mas.
Gak-gak harus seperti itu, karena kalau zaman sekarang secara personal perempuan juga ada yang melebihi laki-laki. Ini kan masalah mampu dan tidak mampu kalau mampu ya gak apa. Saya yakin pereempuan bisa koq.
Dalam semua hal kalau perempuan bisa ya gak apa-apa. Oh ya tapi kalau masalah agama selama ada laki-laki mas, perempuan harus memposisikan dirinya.
Nama IHN
Nama IHN
Nama IHN
Nama IHN
Preseden (Teladan) Zaman Awal, Serta Sejarah Dan Tradisi Islam Gak gak relevan yang kita bicarakan tadi kan diluar hukum ibadah niyh loh ya. Karena itu tadi, kalau saya dasar hukum itu yang paling penting adalah menjaga kemaslahatan dan kebaikan bersama. Kalau kemudian ketetapan hukum itu mencurangi bagian lain, maka hukum itu wajib untuk diganti atau di hapus.
Ijma
Kesepakatan ulama.
Kalau apresiasi dalam hal penghargaan, itu harus asal jangan kemudian ijma itu dijadikan patokan yang kaku saja, taklid buta gitu gak janganjangan kalau kayak gitu gak akan maju agama kita mas.
Tentu bisa, asal itu tadi tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal yang ada dalam sumber hukum utama yang kita sebutkan tadi .
Ya gak harus lah siapa juga arab saudi, kita punya hukum mereka punya hukum jadi ya masing-masing aja dan sebenarnya itu tadi mas yang saya bilang di awal kita ini gak bertentangan dengan islam gak, serius mas boleh koq tanya pendapat lain juga pasti sama koq hasilnya sama saya.
Pluralisme Keragaman ya beda ma toleransi itu kan sikap yang mengacu pada pluralisme tadi.
Ya kenapa juga itu kan baik jadi membudayakan islam juga coba kalau orang non-muslim menjawab salam kita itu kan baik artinya mereka juga mengakui kehadiran dan arti budaya kita juga kan. Dan bisa jadi budaya islam menjadi nasional loh mas nah itu kan bagus. Pengislamisasian secara diam-diam hehe.
Gak gak masalah dan juga pemimpin negara itu kan diatur dalam koridur UU dan UU itu kan banyak nilai-nilai yang menurut saya itu tadi tidak diluar Islam seperti keadilan sosial bagi seluruh bangsa ini.
Nah apa lagi ini boleh benget dan menurut saya gak perlu pake alasan ini laksanakan.
Hikmah Kalau kita lihat sejarah kebudayaan, kebudayaan barat itu kan representasi dari kebudayaan sebelumnya yaitu islam, cuman bungkusnya aja yang berbeda tapi nilai-nilainya tetap islam, kecuali dalam hal pokok aja seperti ibadah. Dan juga kalau ingin melihat islam
yang sesungguhnya itu di barat bukan di timur tengah, dalam masalah muamalah tadi ya jadi dipilah-pilah gituh.
4. Hasil Wawancara IBL Nama IBL
Ijtihad Ya. Bisa lah, Al-Quran dan hadis itu kan memang pedoman hidup umat manusia.
Oooh, kalau gua syih, enggak, enggak saklek. Gua lebih seneng kalo doktrin agama itu lebih menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakatnya. Ya bener, ada tuh orang-orang kalo ayatnya bilang kayak gitu ya udah diikutin, ga bener itu. Harusnya kan dilihat konteks kenapa ayat itu turun, untuk apa, semangat ayat itu apa, terus lihat kondisi masyarakat juga kan. Itu baru bagus. Iqra ya kan bacalah kan jadi kita harus banya membaca dan mengkaji jangan saklek gitu.
Ijtihad itu ya salah satu yang dilakukan seorarng muslim untuk menggali hukum. Dalam Islam ini sangat penting.
Waduh,ribet ini, Gua syih bukan ahli tafsir, filsafat gua, hahahaha. Tapi sepengetahuan gua dan keyakinan gua niyh ya, dari bacaan-bacaan yang gua pahami, hukum potong itu, hmmm kan disana tertulis tentang potonglah tangan keduanya, menurut gua syih yang di potong itu bukan tangannya tapi kesempatannya, kesempatannya untuk dia mencuri itu yang dipotong. Sepengetahuan gua niyh ya, tapi gua gak tau kalo ada tafsir yang lain.
Kalo hukum waris kayak di Islam emang gitu syich, tapi hmmm, sebenarnya gua sih lebih setuju lagi kalo dibagi secara adil antara laiklaki dan perempuan. tapi kalo yang lain gak tau. Jadi kalo warisannya serebu gituh, hahhaha yang dibagi gope-gope. Nah itu baru adil ya gak.
Ini kalo menurut gua ya, sesuai yang gua pahami aja ya. Menurut gua syich simpel aja, kalo perempuan bisa ya kenapa enggak, yang dilihat kan sebenarnya bukan jenis kelaminnya tapi kemampuannya. Kalo dia bisa mimpin negara ya kenapa enggak. Jadi siapa yang yakin niyh merasa mampu ya monggo maju. Tapi jangan blee juga dikita mah jadi negarawan itu bukan dari hati, jadi dari kesadarnnya gitu, ini mah giliran ada duit maju, gak ngeliat, jadi bertanya gitu, berdialog dengan dirinya gitu, apa saya bisa gak, jangan jadi negarawan jadi-jadian. Ya jadi nya gini niyh negara kita. Ceilehhh, gituh de.
Jadi sebenarnya Intinya gua mah gini kalo dalam masalah keyakinan terus ibadah gua telen mentah-mentah, kayak kulhuwawlahuahad gitu, terus masalah ibadah juga tapi kalo untuk masalah sosial gitu menurut gua harus ditafsirkan ulang sesuai dengan masyarakatnya. Kasihan geng masyarakat kita kalo curi itu harus dipotong tangannya, bisa ada kuburan tangan di Indonesia.
Nama IBL
Nama IBL
Nama IBL
Preseden (Teladan) Zaman Awal, Serta Sejarah Dan Tradisi Islam Soal ibadah doang syih kalo menurut gua mah, yang sangat dan sangat relevan gak boleh itu ditambah-tambah misal solat asar jadi 5 rakaat gitu atau waktunya diubah, jangan-jangan gak boleh itu. Soal yang lain misalnya hukum potong tangan, jangan lah kasihan masyarakat kita de ya gak. Terus apa tadi waris tadi kan, emang bagus syich bagi gua tapi kasihan cuy perempuan, ade gua soalnya banyakan perempuan yang cowok cuma gua doang. Astagfirullahaladzim, ampunilah aku ya Allah, hahahaha
Terus yang satu lagi tadi soal apakah perempuan boleh mimpin ya, menurut gua mah yang penting itu, tidak melanggar batas-batas yang ditentukan aja, yang penting itu, asal dia mampu yang silahkan.
Ijma itu ya kesepakatan ulama.
Oh iya dong kita harus memberikan aspirasi yang tinggi terhadap mereka.
Ya boleh lah dirubah ijma itu, ya yang sesuai dengan zaman atau masyarakatnya aja sesuai yang gua bilang di awal de tentang hukum waris, potong tangan sama apakah wanita boleh mimpin gitu.
Ya ijma arab gak cocoklah diterapin di kita, kan budayanya beda, mereka itu juga sebenarnya gak ikut perintah nabi, mereka kan monarkhi kerajaan turun-temurun gituh. Kalo soal hijab yang penting nutup aurat aja, malahan gini de kalo memnurut gua mah, hijab yang kayak di arabarab itu malah bisa mendatangkan perilaku pemerkosa, lu liat aja tertutup rapat gitu jadi orang tuh makin penasaran aja ya gak, dalamnya isinya apa ketan atau serabi ya gak hahahaha.
Ijma
Pluralisme
Pluralisme itu Keragaman emang kenapa, kayak UAS aja gua ini. Lanjut de lanjut.
Ya beda lah toleran dan pluralisme, pluralisme pemahaman tentang keragaman, kalo toleransi sikap atau perilaku dalam menyikapi keragaman itu, makanya muncul kata apakah toleran dan tidak toleran ya kan. Terus masalahnya apa de lu nanya kayak gitu.
Ooooh lu mau nya itu ya boleh lah kenapa gak kita ngasih salam kepada mereka, emang kita dilarang gitu yah? Menurut gua enggak apa-apa syich, itu kan doa ya gak.
Memilih pemimpin non-muslim ya, ya boleh juga lah moga aja kita sejahtera ya gak dari pada dipimpin ama orang yang seagama tapi
bleenya minta ampun.
Nama IBL
Kalo ini apa lagi boleh banget. (melakukan gotong royong dengan nonmuslim)
Hikmah
Gua cerita niyh ama lu sebentar ya. Ternyata dalam masalah kebersihan, Barat itu lebih islami dari masyarakat Islam. Lu liat aja, ada gak kota di Barat itu yang kotor-kotor gak ada kan? Ini kan sesuai dengan apa yang dikatakan nabi annadopatunminaliman bahwa kebersihan itu sebagian dari iman. Dan di kita malah sebaliknya. Menurut gua penting kita belajar ke Barat itu sumpah, makanya kalau gua di kasih kesempatan niyh, gua mau ngelanjutin S2 gua di Barat, amieeen. Amieen lu de.
5. Hasil Wawancara ROS Nama ROS
Ijtihad
Bisa sebenarnya. Seperti yang sudah dijelaskan dalam quran dan hadis. Quran itu pedoman bagi umat manusia untuk dijadikan sebagai acuan dalam segala hal. Termasuk dalam persoalan sesama kita atau vertikal dengan tuhan. Karena al-quran itu bersifat universal maknanya. Tapi banyak yang masih dilematis terutama yang horizontal.
Orang islam harus bersifat interaktif dengan quran ketika dihadapkan dengan kontek sosial yang berbeda maknanya. Islam itu sangat mengapresiasi akal pikiran manusia. Bagaimana quran itu bisa bisa di transformasikan ke dalam konteks kehidupan sosial kita karena bagaimanapun juga kita tidak bisa menafikan perubahan-perubahan sosio kultural dari ke hari dari tahun ke tahun seterusnya makanya dituntut peran yang signifikan terkait dengan persoalan keaktifan umat islam menggunakan terkait dengan persoalan keaktifan umat islam menggunakan pikirannya untuk mentransformasikan nilai-nilai yang terkandung dalam islam dan hadis itu sendiri. Maka dengan umat yang seperti itu, kita bisa mengupayakan quran itu menjadi suatu yang bisa menjawab persoalan persoalan yang di geluti umat islam.
Banyak dikalangan para ulama menafsirkan ayat tersebut sengat berbeda-beda ada yang tekstual personal. Saya pikir dalam konteks ketika kita dihadapkan pada ayat seperti ini harus diartikan sebagai peringatan atau ajaran yang harus kita aplikasikan dalam konteks keislaman. Islam itu bukan hanya nilai-nilai yang bersifat normatif.
Memahami ayat ini sangat terkait dengan aturan-aturan main. Dalam islam memang begitu tapi dalam konteks bernegara di indonesia kita tidak boleh semena-mena menerapkan hukum seperti itu seperti kita tahu di indonesia, itu kan dari beraneka ragam keyakinan dan semacamnya maka hal-hal itu lebih baik jadi penghayatan setiap muslim saja tidak harus di formalisasikan melalui UU yang kemudian melibas juga orang-orang yang berbeda keyakinan dengan kita. itu kan sesuatu yang tidak adil tidak menghormati keyakinan orang lain. Tapi misalkan
mayoritas muslim disuatu negara misalkan menerapkan itu karena itu memang perintah dari quran yang diyakini umat islam untuk dijadikan aturan, gak papa. Umat islam lantas kan di paksa berpikir dengan pertimbangan-pertimbangan. Maka orang yang mencuri itu harus berpikir 5 kali jadi efektif untuk dijadikan semacam hukum bagi yang melanggar itu.
Nama ROS
Nama ROS
Nama ROS
Ayat waris ini kan belum ada persoalan laki-laki misal dapat bagian satu wanita setengah. Tapi, ini jadi persoalan ketika kita melihatnya dalam konteks keadilan atau dalam konteks kesamaan ini tidak adil. Pertimbangan-pertimbangan ini cukup rasional.
Pemimpin wanita. Ya boleh saja tidak harus laki-laki perempuan juga mampu sah-sah juga. Ini kan ajaran islam yang kemudian makanya harus, itu benar sebenarnya tapi harus dicari. Tapi harus di cari rasionalisasinya
Preseden (Teladan) Zaman Awal, Serta Sejarah Dan Tradisi Islam Semua tradisi hukum yang kita bahas tadi seperti potong tangan, waris dan masalah pemimpin laki-laki dan perempuan sebenarnya tidak relevan tapi masih bisa diterapkan dengan alasan menjadi kesepakatan bersama di komunitas bersama dan di keyakinan bersama juga. Tapi dalam konteks kita bernegara itu hampir semua warga negara punya keyakinan yang berbeda hal seperti itu kalau dijadikan dalam aturan bernegara pasti akan jadi ancaman bagi yang lain. Syariat islam itu tidak relevan lagi di terapkan dalam konteks bernegara. Tapi lebih pada ketika hal-hal seperti itu kita terapkan dalam kontek kehidupan bersama seorang muslim harus ada semacam kesadaran bersama tanpa harus diterapkan dalam bentuk uu yang harus dipatuhi oleh semuanya
Ijma
Ijma, hal-hal seperti itu harus diapresiasi itu kan ijtihad yang kemudian dijadikan ijma yang harus dipatuhi oleh umat islam tapi tidak berarti halha seperti itu tidak bisa dirubah lagi. Hal-hal itu harus senantiasa bersifat inklusif. Yang melahirkan bentuk- bentuk ijma baru yang nanti masih bisa relevan dan kita pahami untuk dijadikan acuan dalam konteks kehidupan.
Ya gak bisa lah soalnya hal itu kan sebuah ancaman kalau hal-hal seperti hijab dan hukum potong tangan. Alangkah baiknya menjadi penghayatan pribadi-pribadi saja dalam konteks kita menjalankan agama islam tapi kalau diterapkan dalam Uu jangan.
Pluralisme
Pluralisem hehe ya faham keragaman. Ya beda lah dengan toleransi itu lebih kesikap dalam menghargai pluralisme.
Gak masalah gak apa-apa apalagi agama samawai. Apa lagi itu lahir
dalam tradisi ibrahim sama-sama meyakini itu.
Nama ROS
Boleh juga gak apa-apa apa lagi kalau kita lihat pendapatnya ibnu khaldun pemimpin non muslim yang adil itu lebih baik daripada pemimpn muslim yang yang tidak adil. Itukan salah satu refleksi yang kemudian harus di transformasikan dalam konteks kekinian yang serba komplit termasuk dalam konteks kepemimpinan. Yang penting itu tidak mengancam pada keyakinan kita misalkan pemimpin non-muslim menerapkan aturan-aturan main yang ada dalam aturan kristen justru itu yang harus di wasoadai tapi selama pemimpin itu mempunyai visi misi yang baik dan adil bisa saja kita memilih itu. Kalau tidak adil itu juga harus di tolak itu yang harus kita pertimbangkan.
Boleh banget justru bagus sisi-sisi kemanusiaan tolong menolong dalam kehidupan itu kan baik justru islam mengapresiasi nilai-nilai itu. Selama tidak melanggar aturan keyakinan.
Hikmah Ya iyalah ada pasti. Demokrasi itu kan selaras dengan Islam. Karena mengandung konsep musyawarah. Dan masih banyak lagi
Ya boleh malah saya anjurkan haahhaha.
6. Hasil Wawancara SPO Nama SPO
Ijtihad Kalau saya syich, aduh jangan pake bawa-bawa al-Quran dan hadis dech, gak apa gitu. Sebenarnya bisa syich tapi kita kan udah ada UUD, kasihan orang kristen misalnya dan juga kita kan bukan negara islam.
Yang fleksibel-fleksibel aja lah. Ya karena, harus nyesuaiin dengan kondisi aja.
Kalau saya kurang setuju aja, kalau mencuri potong tangan gituh loh. Apa ya, rasa kemanusiaannya itu gak ada, lebih baik kalau misalkan yang pencuri itu kita komunikasi, lu benar-benar mencuri ya? Jadi kalau mencuri kemudian potong tangan no, itu rasa kemanusiaannya kurang.
Waris. Kalau pendapat aku sendiri syih harus di tafsir ulang, mungkin ini kan konteks arab jadi mungkin diarab itu benar-benar laki-laki jadi kepala keluarga, terus kemudian laki-laki dapat satu terus perempuan dapat setengah. Mungkin laki-laki itu kepala keluarga yang harus menghidupi istri dan juga anak-anaknya tapi kalau kemudian konteksnya sekarang laki-laki tidak selamanya jadi kepala keluarga, bahkan ada yang balance keduanya mencari nafkah, kemudian ada yang isterinya aja yang mencari nafkah nah itu harus di tafsir ulang. Menurut saya itu lebih kepada perannya kalau misalkan kebutuhan perempuan lebih besar dari laki-laki gimana, kalau kebutuhan dan perannya dalam keluarga itu penting gitu jadi di tafsir ulang aja gitu apa yang kita lihat kondisi aja
jangan ayatnya seperti itu terus kita ikutin gituh gak apa ya saya rasa itu mengesampingkan akal kita.
Nama SPO
Nama SPO
Preseden (Teladan) Zaman Awal, Serta Sejarah Dan Tradisi Islam Tradisi. Yap. Intinya akumah Beda kodisi sosial maksudnya begini kopi ini cocoknya pake gula apa misalnya, tapi kemudian kita kasih gula yang lain ya gak akan cocok jadinya. Ya kayak gituh.
Nama SPO
Nama SPO
Kepemimpinan wanita. Gak harus lihat skill aja. Bisa aja perempuan lebih dari laki-laki, terlepas dari kekurangan dan kelebihannya. Kalau mau lebih lihat kekurangannya seperti hamil, haid dan lain-lain, laki-laki juga punya kekurangan gituh jadi ya dipertimbangkan mana yang lebih pantas aja, kalau misalkan mau lihat kekurangan dari perempuannya hamil dsb, tapi laki-laki juga punya kekurangan gituh, jadi yang mana diantara laki-laki dan perempuan itu yang pantas jadi pemimpin dari kekurangan dan kelebihan yang dimiliki itu aja. Banyak koq perempuan yang jadi pemimpin kayak di inggris seperti Ratu Elizabeth. Sebenarnya ga bertentangan ini kan harus kontekstual kalau di arab kan mungkin konteksnya kayak gitu tapi kalau sekarang kan beda. Kalau aku lebih pada perkembangan kondisi saat ini aja.
Ijma Ijma. Gak setuju, jadi apa ya kalau aku pribadi, aku orangnya memang gak mau terlalu diatur-atur dikekang, i have my own conditions, yang beda dengan orang lain ya kalau gak setuju dengan kondisi saya ngapain ikut yang kayak gituh. Bisa lah itu kan kayak rapat aja siapa yang menang dalam rapat itu yang menjadi fatwa.
Pluralisme Pluralisme. Itu keanekaragaman. Untuk urusan agama sudahlah itu urusan pribadi aja, jangan dibawa-bawa ke orang lain itu untuk kepentingan kita aja. Saya lebih respek ke barat, saya agama islam kamu agama kristen, enggak di ekspos, jadi kepentingan yang tidak bawa-bawa agama, jangan bawa-bawa kediri saya gituh.
Gotong royong. Ya bisa lah.
Hikmah Hikmah. Ya harus belajar islam saya terapkan ke dalam diri saya, belajar barat saya terapkan dala sosial saya
7. Wawancara Dengan IHM Nama IHM
Ijtihad Menurut saya bisa. Bisa banget pertama al-Quran dan hadits itu dikalau kita menilisik dijaman Rasulullah ketika fathul mekkah. Fathul mekkah itu dimana masyarakat madani ada disana itu yang muslim dan non muslim bersama-sama membangun negara yang tidak ada gontol-gontokan dan itu landasannya itu Islam.
Yang pertama kita harus paham benar asbabun nujul dari ayat itu turun atau asal muasal dari ayat itu turun. Dan kalau tadi misalkan ditanyakan apakah kita harus saklek mengikuti apa yang dikatakan dalam al-Quran ataukah hanya potongan-potongan ataukah kita hanya buat yang mengikuti perkembangan jaman kalau menurut saya jawabannya yang tepat adalah bagaimana kita tetap mengacu mengambil yang ada dalam al-Quran tapi disesuaikan bukan hanya motong-mtong tapi disesuaikan dalam artian dalam koridor yang masih dalam ayat tersebut.
Yang saya yakini yang Allah turunkan dan yang diantarkan oleh jibril dan diterima oleh muhammad ketika ada potong tangan di awal saya sudah sampaikan kita lihat asbabunnujul-nya ayat itu turun, jangan sampai intrepretasi kita malah mengartikan saklek dengan potong tangan. Bisa kita lihat asbabunnujul-nya potong tangan itu. Beberapa pendapat ulama mengatakan hukum potong tangan itu sebenarnya bentuk ketika kita sudah benar-benar memuncak sudah berulang-ulang melakukan kesalahan tersebut sudah diingatkan dan itu pun barulah dilakukan hukum seperti itu dan itu bukan semerta-merta dilakukan hukum potong tangan enggak sama sekali seperti itu. Dan tentunya dengan pertimbangan-pertimbangan yang banyak. Kebijakan potong tangan itu ada pada kebijakan seorang pemimpin bagaimana ulama-ulama itu bisa menyingkapi pasti kan ketika jaman Rasulullah hukum potong tanga itu ada. Tapi inget di Indonesia kita sudah punya UU yang jelas untuk saat ini dan itu belum bisa, Yang bisa melakukan hukum potong tangan itu adalah negara yang mengaplikasikan syariat Islam. Kalau di Indonesia belum bisa.
Itu unik itu pertanyaan teman sma dulu. Bu kenapa bu perempuan dapat lebih dikit dari laki-laki, guru agamanya perempuan. jawaban guru agama saya simpel banget ya perempuan juga nanti dapat dari laki-laki karena perempuan itu hartanya. Jadi kalau misalkan keluarga gitu kan hartanya suami itu hartanya istri gitu kan jadi bukan hartanya suami jadi kalaupun perempuan dapatnya setengah dia dapat satu juga karena suami itu kan hartanya dibagi dua buat dia ama buat istrinya gituh jadi sama aja. Adil gituh karena suami itu kepala rumah tangga jadi dia banyak bebannya
dibandingkan perempuan. itu sudah adil nanti kalau kita bekeluarga pun yang saya rasakan pasti seperti itu, nanti juga hartanya laki-laki juga hartanya perempuan.
Nama IHM
Perlu kita lihat kenapa syih harus laki-laki untuk jadi pemimpin gituh banyak temuan yang menjelaskan bahwa sesungguhnya untuk laki-laki kenapa dijadikan pemimpin bahasa gampangnya itu dia laki-laki lebih mempunyai memakai logika daripada perasaan gampangnya seperti itu dibandingkan perempuan yang lebih mengutamakan perasaannya sehingga untuk masalah kepemimpinan bisa jadi laki-laki lebih tegas dibandingkan perempuan . kita melihat paradigmanya sekarang adalah banyak sebenarnya perempuan itu sudah jadi pemimpin tapi bukan pemimpin rumah tangga ia adalah pemimpin kepala sekolah ketua jurusan iyakan tidak menutup kemungkinan wanita jadi pemimpin tapi sekali lagi porsinya itu dibedakan antara laki-laki dan perempuan dimana untuk mengambil suatu kebijakan pun seorang kajur seorang, kepala kantor pasti akan membutuhkan masukan dari laki-laki begitu juga pihak laki-laki ketika jadi pemimpin toh kita juga perlu masukan dari perempuan karena sekali lagi yang di pimpin bukan hanya laki-laki saja sama perempuan juga sama yang dipimpin bukan hanya perempuan. Tapi Allah memang lebih mengistimewakan laki-laki daripada perempuan. Dari beberapa ilmu mengatakan seperti itu bahwa laki-laki lebih baik dari perempuan. kalau menurut saya Allah mempunyai porsi yang istimewa untuk laki-laki bukan berarti lebih baik tapi porsi istimewa untuk laki-laki dibandingkan perempuan.
Preseden Tradisi Zaman Awal Islam Kalau menurut saya sangat relevan, kenapa karena banyak ibrohnya sebeanarnya. Kita lihat dari sisi potong tangan, ketika itu memang sudah klimaks, dan itu merupakan sebuah aib jadi ketika akan melakukannya lagi, menurut saya kemungkinannya lebih kecil daripada hukum yang sekarang penjara gitu kan hanya beberapa tahun sudah bebas gitu kan efek jeranya kurang apa lagi di penjara dengan fasilitas yang mewah jadi kurang adil.
Karena gak ada lagi nanti perselisihan adil gak adil. Yang paling jelas itu adalah waris sampai ukurannya pun ada sampai cucunya pun bisa dapet sampai segitunya itu jelas banget kalau dirubah itu bagi saya kurang relevan jadinya. Karena sudah jelas Allah bilangnya seperti itu rasul juga jadi enggak ada perselisihan jadi menurut saya sangat baik menggunakan hukum waris Islam. Karena itu sangat adil.
Kalau yang pemimpin jatuhnya itu musyawarah, maksudnya ketika memang sudah tidak ada pilihan lain baru kemudian
permpuan tapi karena laki-laki punya porsi istimewa yang allah berikan. Tapi bukan berarti laki-laki lebih baik. Nama IHM
Nama IHM
Ijma Apresiasi itu penting karena bagian dari menghargai hasil karya orang lain dan yakinlah ketika ulama-ulama itu melakukan suatu ijma, itu memerlukan proses yang lama gak mungkin serta merta menurut saya kayak gini enggak kan pasti itu ada prosesnya dan enggak sembarangan orang yang menguasai.
Itukan mengqiyaskan kondisi dulu ke jaman sekarang. Bisa jadi pendapat dulu belun ada disekarang gituh contohnya uang pada zaman rasulullah itu kan adanya dinar sama dirham tapi kita memakai uang kertas gitu kan ini merupakan suatu proses yang panjang pake uang kertas. Jadi bukan diperbaharui bahasanya tapi bukan diperbaiki juga sebenarnya dirubahpun enggak tapi menurut saya tetap haru mengacu kepada ijma yang sudah ada ditetapkan. Ijma itu kan mengikuti kondisi dan tempat sebenarnya, tapi mengan catatan mengikuti ijma yang sebelumnya. Jadi ijma yang dulu gak kepakai dan diganti dengan ijma yang baru.
Intinya menurut saya ada di menutup auratnya itu. kalau kemudian ada perbedaan batas tutupan itu gak masalah. Tapi itu landasannya kan muka dan telapak tangan. Jadi gak boleh asal-asalan juga yang penting itu tadi aurat.
Pluralisme Kalau saya memberikan salam itu kepada non-muslim gak usah. Tapi kalau kita gak tahu ya gak apa-apa. Tapi lebih baik gak usah.
Prinsipnya sama dalam memilih pemimpin perempuan ketika memang sudah tidak ada lagi laki-laki yang memimpin pada akhirnya kan perempuan naek sama seperti dengan pemimpin non muslim kalau memang sudah tidak ada kriteria yang bagus dikalangan muslim yang gak jadi masalah, yang jelas selama dia tidak serta merta menghalangi umat islam untuk menjalankan syariat islam, untuk berdakwah dan apabila itu dilarang itu baru bahaya. Tapi ketika ada yang islam milih yang islam saja
Gak apa-apa ibrohnya soalnya banyak yang terkandung dalam gotong royong dan kerja bakti itu. dan rasulullah memang menyuruh kita untuk melakukan itu, asal itu tadi tidak keluar dari batas-batas yang ditetapkan oleh Quran dan hadis.
Nama IHM
Hikmah Ada banyak nilai-nilai Barat yang sesuai dengan Islam. Dan saya pribadi kalau diberikan kesempatan mau untuk belajarr ke Barat ke Harvard contohnya gituh.
8. Hasil Wawancara SHI Nama SHI
Ijtihad Al-quran dan hadis itu kan banyak penafsirannya, para ulam itu banyak berbeda-beda. Terus pemahaman ulama mana sebenarnya yang akan dijadikan landasan? Apa kita bikin pemahaman sendiri. Nah kalau pemahaman pemerintah gak sama dengan salah satu ulama terkenal bagaimana? Nanti kan jadi cek-cok. Ketika alQuran akan dijadikan UU pasti banyak pertentangan enggak akan selalu mulus dan proses dalam menjadikan landasan al-Quran itu justru tidak membawa kebaikan itu akan mempersulit, memperumit dan akan menambah masalah sendiri bagi pemerintah. Tapi secara personal bisa maksudnya tiap orang kan punya keyakinan untuk menerapkan kebaikan. Tapi ketika dijadikan undang-undang kepemerintahan itu kemudian yang akan jadi bermasalah. Karena memang sejak dulu selalu bermasalah ketika al-Quran itu dijadikan landasan dan masalahnya bukan pada isi al-Quran-nya, tapi ketika diterapkan pada konteks tertentu itu ada yang menyatakan itu baik atau enggak? Apakah sudah sesuai pemahaman terhadap al-Quran untuk menerapkan kebaikan. Menurut saya dalam memahami al-Quran itu banyak beraneka ragam dan penerapannya pun selalu beragama dan itu akan menambah maasalah sendiri dan solusinya tidak selalu berada dalam al-Quran, karena kalau kita selalu melihat bahwa yang mengatakan semua solusi ada dalam al-Quran itu salah, karena alQuran hanya menerapkan landasan-landasan kebaikan. Fleksibel. Karena yang paling dibutuhkan dalam menafsirkan alQur‟an itu hati nurani, untuk bagaimana penerapan dari al-Quran itu bisa membawa kebaikan bagi orang banyak jadi tujuan yang paling penting itu tujuan itu. Karena al-Quran sebagai rahmatan lilalamin untuk menyebarkan kebaikan. Jadi apakah yang akan kita terapkan dalam al-Quran akan membawa kebaikan, itu kan harus ditinjau ulang, enggak ada satu tinjau saja, harus ditinjau apakah penerapannya seseuai dengan kebaikan umum? Kalau tidak sesuai berarti, bukan al-Quran-nya yang salah, kita harus melihat konteks atau penerapannya. Karena saat rosul kan memang berdasarkan al-Quran waktu itu tapi ya begitu Rasul itu selalu memperbaiki diri untuk disejajarkan dengan konteks maka dari itu rosul tidak langsung punya otoritas untuk memberikan solusi, rosul selalu bermusyawarah kepada sahabatnya, ketika ada sebuah permasalahan. Kalau ada yang bilang al-Quran dan hadis
sudah cukup, apa fungsi harus bermusyawarah dengan sahabatnya.Landasan kebaikan ada dalam al-Quran dan hadis ia sama dengan pancasila, UUD 45 itu islami juga kedua-duanya, tapi untuk kebijakan solusi ga ada dalam al-Quran.
Nama SHI
Nama SHI
Tidak bisa hukum potong tangan, ini masalah kebijakan bukan prinsip. Tapi lebih pada kebijakan atau peraturan, ya mungkin bisa bagi orang-orang tertentu tapi. Potong tangan itu harus dilihat pada konteksnya, asbabun nuzulnya. Karena setahu saya ayat ini sudah tidak berlaku saat Umar dengan beberapa alasan bahwa ayat ini tidak sesuai lagi dengan konteks ayat itu. Pada zaman rasul umar setuju. Di Indonesia harus diuji lagi apalah hukum potong tangan akan memberikan kebaikan yang lebih luas tidak, karena yang mencuri itu kebanyakan terpaksa tapi kalau koruptor saya setuju potong tangannya, mereka itu sudah kaya tapi masih nyomot-nyomot uang negara. Tapi kalau orang miskin mencuri karena terpakasa, bagaimana ia mencari nafkah? Malah membubuh dia dong.
Waris konteksnya juga harus di kaji lagi. Ya karena untuk kebaikan tidak ada yang pasti. Ga bisa dipukul rata, karena setiap orang punya kondisi dan akan selalu beragam untuk solusinya. Rasul waktu itu masih dalam lingkungan terbatas untuk saat itu, tapi untuk kebijakan memang harus ditafsirkan ulang.
Kepemimpinan wanita. Ya iya, tapsirnya ini sudah beragam. Bagi saya konteks itu lebih penting dari hanya pemahaman teks. Konteks dan hati nurani. Boleh wanita itu mimpin mimpin negara, kenapa enggak. Tapi harus teruji dulu kepemimpinannya. Lakilaki dan perempuan gak ada bedanya. Jadi intinya pemerintah, organisasi, dan anggotanya harus bekerjasama. Pemimpin ini bisa enggak memberikan sumbangan yang besar atau hasil maksimal.
Preseden (Teladan) Zaman Awal, Serta Sejarah Dan Tradisi Islam
Yang jelas setiap daerah punya perbedaan masing-masing karena setiap daerah punya masalahnya masing-masing. Satu masalah ya satu solusi. Ya saya berani mengatakan itu hukum potong tanga, saol wanita dipimpin ama laki-laki dan hukum waris tidak relevan. Karena zaman modern solusinya harus ditemukan benarbenar,.mengatasi tidak bisa oh ini diterapkan di masa Rosul pasti benar ini gak bisa. Kalau gitu caranya ya sama kayak jaman raja pokoknya manut-manut aja sama pemimpinnya ga ada solusi yang diberikan.
Ijma Ijma. Ijma itu ya kesepakatan kepemimpinan ulama.
Nama SHI
Ya lah penghormatan harus. Ya karena ulama itu kan pintar orang yang diunggulkan dia yang ditauladani dia yang menjadi tulang punggung masyarakat untuk memberi solusi-solusi baru.
Jelas bisa. Kalau dulu orang-orang yang memberikan ijma solusi itu ulama-ulama keagamaan tapi sekarang bukan, ijma itu bukan hanya ahli agama karena pemasalahan tidak hanya datang dari agama, permasalahan itu datang dari masalah sosila, teknologi dan yang ahli dalam bidang itu juga harus dilibatkan terhadap ijma karena kalau ahli agama itu gak mungkin dan enggak akan menghasilkan solusi kalau masalahnya bukan dari agama sebenarnya. Itu bagaimana kiai-kiai ulama-ulama memberikan solusi? padahal mereka bukan ahlinya makanya harus mengandalkan orang-orang yang punya kompetensi dalam bidang itu kalau dalam masalah kemiskinan sosiologi ya harus dilibatkan dalam ijma itu bukan MUI. Ijma itu bukan hanya ulama-ulama MUI.
Ya gak bisa lah kondisi di arab ma kita jauh banget. Dan juga kondisi masyarakatnya juga beda. Dan satu hal lagi nabi kan pernah bilang bahwa perbedaan di umatku itu adalah rahmat. Jadi ya gak.
Nama SHI
Pluralisme Setahu saya paham tentang keanekaragaman bukan hanya soal budaya, adat istiadat, tapi pemikiran juga. Oh beda kalau toleransi lebih ke siap untuk menghargai atau pluralisme tadi . Boleh gak apa-apa baik itu Ya gak apa-apa selama non muslim itu bisa dan tidak diskriminatif, kenapa tidak? Apa lagi ini fardu ain Hikmah Ada banyak, misalnya penghormatan terhadap akal pikiran, itu sesuai dengan Islam karena di kita tuhan memang mewajibkan kita untuk melakukan itu. Perlu malah harus agar muslim bisa berkembang dan tidak dianggap warga kelas dua.