MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA BERKELANJUTAN BERBASIS PRODUKSI BERSIH DAN PARTISIPASI MASYARAKAT
Oleh : HASAN SUDRADJAT NRP: P 062059464
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Model Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berbasis Produksi Bersih dan Partisipasi Masyarakat adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, 1 Oktober 2010
Hasan Sudradjat NRP: P 062059464
iii
ABSTRACT HASAN SUDRADJAT. 2010. Model of Sustainable Sugar Industry Development Based on Clean Development Mechanism and Society Participation. Under Supervision of Rizal Syarief, Syaiful Anwar and Usman Ahmad. In the last decade, Indonesian sugar industry has been facing some inter-related problems that have caused a setback of the industries. The production has been declining with a 3.3% annual rate, due to a decrease in area and productivity. On the other hand, the consumption has been increasing with a 2.96% annual rate, leading to an increase in import of 16.5% of the total consumption per year. The declining performance of the industry has been attributed to the inappropriate government international trade and domestic support policies and inefficiency in farm and plant levels because of lack of integrated production system. In response to these problems, this study is aimed at (1) evaluating socio-economic condition and community perception, (2) evaluating environmental condition, (3) evaluating sustainability of sugar industry, (4) evaluating and formulating alternatives government policies related to international and domestic market policies and (5) building models of integrated production systems between farm and sugar plant activities through an integrated planting and harvesting schedule. The methods used in achieving these objectives were an econometric of Indonesian sugar market, a compromised import tariff, and Multy-Party- MultyObjective Model. The results of this study showed that the community have a good socio-economic condition and have a good perception. Environmental factor in sugar industry was also considered in good condition. Experiencing heavy distorted by international market through import of sugar, the policy directly affects the price at farmer level and Indonesian sugar industry more significant compared to other influencing factors. In this respects, provenue price policy is more effective than tariffrate quota, import tariff, input subsidy, and distribution policy. Sugar cane smallholders in general are more responsive toward government policies, compared to governmentowned estates, and private estates. Moreover, productivity in farm and sugar plant can be improved by developing an integrated production system through an integrated planting and harvesting schedule. The result of this research showed that sugar industry sustainability is good enough; Sustainability analysis in 5 factors of sugar industry showed that the industry sustainability is good enough. Out of f the 5 factors, only law and institutional factor which is considered not sustainable enough, while the other 4 factors (ecology, economy, technology, social and culture) are on sustainable category. Key factor influencing sustainable sugar industry management are area susceptibility, planting period management, product marketing, society formal education, factory contribution to public, society, family atmosphere relationship of society, machine revitalization, human resource productivity, cooperation with society, organizer policy of sugar industry, and local government involved. Alternative policy of sugar industry development is implementing an extensification by observing economy as dominant factor, observing industrialist dominant actor, and improving basic commodity quality and quantity as dominant purpose. There are three types of policy implementation suggested from this study. Firstly, Indonesian sugar industry has to increase its efficiency in all aspects of production activities. The integrated production system model developed in this study could be
iv
more applied in increasing efficiency in planting and harvesting schedule in a more compromised fashion. Secondly, to create a fairer playing ground, Indonesian sugar industry still needs some government supporting policies. Provenue price, tariff ratequota, import tariff, input subsidy, are policies that can be used to achieve the goal of fairer playing ground and the industry development. Thirdly, government can stimulate minimum support if the increase in domestic consumption and efficiency is main target. Sugar industry management model had better notice area, seed, fertilizer, water, human resource, society growth, waste material management, law, and institutional. Key words: sugar industry, sustainable, key factor, policy alternative, model.
v
RINGKASAN HASAN SUDRADJAT. Model Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berbasis Produksi Bersih dan Partisipasi Masyarakat. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF sebagai Ketua Komisi Pembimbing, SYAIFUL ANWAR dan USMAN AHMAD sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Industri gula merupakan salah satu industri agro yang layak untuk dikembangkan, karena konsumsi gula baik nasional maupun dunia demikian besar antara lain digunakan untuk konsumsi mansyarakat (langsung) maupun sebagai bahan tambahan dalam industri makanan dan minuman. Seperti halnya di Indonesia, konsumsi gula dunia juga terus meningkat padahal pertumbuhan produksinya tidak sebanding. konsep model pengembangan industri gula berkelanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat, mencoba mengaplikasikan aspek ekonomi, sosial budaya, teknologi dan hukum – kelembaga ke sistem produksi berbasis ekologi yang didukung oleh partisipasi masyarakat. Penerapan konsep dimaksud melahirkan istilah RSSC-PC (rountable on sustainable sugarcane–principle and cryteria) yaitu suatu wacana rekayasa sosial yang diwaktu mendatang menuntut antisipasi dari industri gula nasional. Tujuan umum penelitian ini adalah membangun model pengembangan industri gula di Indonesia dalam rangka menuju swasembada di tahun 2014. Tujuan khususnya adalah mendapatkan gambaran kondisi sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat, mendapatkan gambaran kondisi kualitas lingkungan pabrik gula, menganalisis keberlanjutan industri gula dan mendapatkan faktor pengungkit yang harus diperhatikan untuk meningkatkan keberlanjutan dalam pengelolaan industri gula, menentukan alternatif kebijakan dalam pengembangan industri gula di masa yang akan datang yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat, merumuskan skenario strategi dan kebijakan pengembangan industri gula secara holistik dipandang dari sisi politik, keamanan, kepastian hukum, kepastian berusaha, investasi, teknologi, dan arah yang perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku industri gula, peran kemitraan serta industri pendukung serta untuk mendapatkan model pengembangan industri gula yang transparan serta dapat menciptakan industri gula menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang berbasis produksi bersih dan partisipatif masyarakat. Metode yang digunakan adalah desk study, wawancara (pengamatan langsung), observasi, focus group discussion (FGD), multi dimension scalling (MDS) dan analysis hierarchi process (AHP). Hasil Penelitian terhadap kondisi aktual industri gula dan stakeholdernya menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar pabrik gula mempeunyai kondisi sosial ekonomi yang baik, dan persepsi masyarakat baik terhadap industri gula maupun terhadap lingkungan cukup baik. Kondisi lingkungan di sekitar pabrik gula memperlihatkan kondisi yang cukup baik, hal ini terbukti dari beberapa parameter kualitas limbah cair dan kualitas air sungai tempat membuang limbah cair pabrik gula yang berada di bawah baku mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hasil analisis keberlanjutan pabrik gula juga memperlihatkan nilai yang cukup berlanjut terutama dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya serta teknologi; sedangkan dimensi hukum dan kelembagaan yang kurang berlanjut; dari tahun 2003, kondisi industri gula stagnan, yaitu jumlah pabrik masih 61 buah; produksi 2,5 juta ton dan randemen sekitar 8,3; sedangkan limbah (waste) yang berpotensi sebagai hasil samping juga masih dikelola secara konvensional. Dalam rangka meningkatkan keberlanjutan pada pengolahan industri gula diperlukan faktor pengungkit/kunci yang harus diperhatikan dan berdasarkan nilai skornya adalah berturut-turut: sosial & budaya: pendidikan formal
vi
masyarakat, kontribusi pabrik terhadap masyarakat, hubungan kekeluargaan warga masyarakat; ekonomi: pasar produk (tidak boleh ada distorsi), dukungan finansial belum maksimal, ekologi: luas areal dan kerentanan lahan, pengelolaan masa tanam dan limbah belum optimal, teknologi: revitalisasi mesin, produktivitas dan peningkatan kualitas sdm, hukum & kelembagaan: kerjasama dengan masyarakat, kebijakan pendorong industri gula, keterlibatan pemda dan lintas sektoral yang holistik. Alternatif kebijakan pengembangan industri gula yang utama adalah melakukan penertiban dan pemberdayaan dari sisi dimensi hukum dan kelembagaan; sedangkan lainnya memperhatikan faktor dominan seperti: revitalisasi mesin dan peralatan yaitu dengan meningkatkan kualitas dan efisiensi, peningkatan produktivitas dan memperbaiki on farm, kualitas bahan baku; ekstensifikasi, dengan melibatkan pengusaha yang ada dan calon pengusaha; swastanisasi, melibatkan pengusaha. Merumuskan skenario: pengembangan industri dan perbaikan kinerja lingkungan berjalan secara simultan. perbaikan kinerja industri semakin baik seiring dengan kinerja lingkungan (hukum & kelembagaan), dengan pertumbuhan keduanya yang relatif stabil, sehingga akan menghasilkan pembangunan yang ideal. Sebagai bahan perbandingan bahwa produksi gula dunia menurun sebesar 9 juta ton pada tahun 2008/09. Sedangkan FAO telah merevisi perkiraan 158,5 juta ton, yaitu 2,5 juta ton dibawah perkiraan pertama yang dirilis pada November 2008, dan 9 juta ton atau 5,4 % kurang dari pada 2007/08; artinya menurut FAO produksi dunia mencapai 566 juta ton, atau mengalami kenaikan 15% dari tahun lalu, dengan ekspansi luas tanaman tebu 12%. Hal tersebut diperkirakan sekitar 60% dari panen 2008/09. Industri gula Brazil diolah menjadi etanol berbasis tebu yang didukung pasar ekspor yang lebih tinggi. Luas tanaman tebu di Brazil sekitar 5 juta ha, sedangkan Indonesia hanya 0,4 juta ha. Brazil dan Thailand berkontribusi lebih terhadap perdagangan dunia. Indonesia bila kekurangan gula mengimpor antara lain dari Brazil, Thailand dan China. Disisi lain, WTO memaksa Uni Eropa untuk mengurangi ekspor gula mereka sampai dengan 80%. Hampir 75% produksi gula dunia merupakan hasil perkebunan tebu di zona tropis yang berlokasi di bumi bagian selatan. Produsen gula tebu terkemuka yaitu Brazil, India, China, Thailand, Pakistan dan Mexico. Sisanya diproses dari gula bit yang tumbuh di daerah bersuhu dingin, di bumi bagian utara seperti Perancis, Jerman, USA, Rusia, Ukraina, dan Turki yang merupakan negara-negara produsen terbesar gula bit. Kontribusi kebijakan pemerintah terhadap kinerja industri gula, dapat dikategorikan sebagai industri strategis harus melibatkan lintas sektoral dengan langkah-langkah antara lain: Dimensi ekologi: melakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi tersebut, yaitu: 1) Kerentanan lahan; 2) Pengelolaan pada masa tanam 3) Peralatan produksi di lapangan dan 4) Inisitatif perluasan lahan; Dimensi ekonomi melakukan perbaikan terhadap atribut: 1) Pasar produk industri gula; 2) Kemitraan dalam pemasaran; 3) Modal kerja dan sumber dana; 4) Pemanfaatan limbah; 5) Hasil produksi berupa gula pasir; 6) Ketersediaan bahan baku berupa tebu; 7) Kenaikan hasil produksi; 8) Penghasilan pekerja dan penduduk sekitar; 9) Harga bahan baku gula dibanding dengan hasil penjulan; dan 10) Biaya pemeliharaan mesin-mesin; Dimensi sosial melakukan perbaikan terhadap atribut: 1) Penyediaan fasilitas untuk praktek kerja siswa/ mahasiswa; 2) Penyelenggaraan peringatan hari-hari besar (agama, nasional); 3) Penyediaan fasilitas sosial; 4) Penyediaan fasilitas umum; 5) Kontribusi pabrik terhadap masyarakat; 6) hubungan antar masyarakat; 7) jaringan pengaman sosial (Social safety net); 8) Tingkat penyerapan tenaga kerja; 9) Tingkat pendidikan formal masyarakat; Dimensi Teknologi: perencanaan mengantisipasi sistem global, peningkatan produktivitas SDM, kolaborasi dengan pihak luar, rencana revitalisasi mesin-mesin produksi, bahan baku untuk perbaikan, teknologi mesin pabrik, teknologi pengolahan limbah, dan tingkat penguasaan teknologi. Disamping itu harus ada: 1) Rencana revitalisasi mesin-mesin
vii
produksi dan 2) Peningkatan produktivitas SDM; dimensi hukum dan kelembagaan melakukan perbaikan terhadap atribut: 1) kerjasama pengusaha dan masyarakat; 2) Kebijakan pendorong industri gula; 3) Keterlibatan pemerintah daerah; 4) Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah; 5) Kerjasama dengan pihak asing; 6) Status industri gula; 7) Pembinaan dan dukungan kelembagaan dan 8) Ketersediaan perangkat hukum. Dengan demikian maka sasaran dilihat dari multi dimensi yang terdiri atas revitalisasi, swastanisasi dan ekstensifikasi dapat berjalan dengan simultan. Model pengembangan pabrik gula yang disarankan di sini adalah model pengembangan pabrik gula RSSC-PC, yakni model pengembangan pabrik gula yang berpegang teguh pada prinsip aspek legal (hukum & kelembagaan), ekonomi dan teknologi, lingkungan serta sosial budaya. Kata kunci: industri gula, industri berkelanjutan, faktor kunci, alternatif kebijakan, pengembangan model.
viii
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ix
MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA BERKELANJUTAN BERBASIS PRODUKSI BERSIH DAN PARTISIPASI MASYARAKAT
Oleh:
HASAN SUDRADJAT NRP: P 062059464
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
x
Penguji Luar Komisi:
Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. 2. Dr. Ir. Etty Riani MS.
Ujian Terbuka: 1. Dr. Haris Munandar, MSc. 2. Dr. Ir. A. Sutowo Latif, MS.
xi
Judul Disertasi : Model Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berbasis Produksi Bersih dan Partisipasi Masyarakat Nama
: Hasan Sudradjat
NIM
: P062059464
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Ketua
Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc Anggota
Plh. Ketua Program Studi PSL
DR. Drh. Hasim, DEA.
Tanggal ujian: 3 September 2010
Dr. Ir.Usman Ahmad, MAgr Anggota
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal lulus:
xii
KATA PENGANTAR Pertama-tama, penulis ingin menyampaikan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan judul Model Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berbasis Produksi Bersih dan Partisipasi Masyarakat. Penulis berharap karya tersebut dapat memberi kontribusi terhadap upaya pengembangan industri gula Indonesia. Dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, penulis telah menerima bimbingan, masukan, dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih secara tulus dan sebesar-besarnya kepada Prof. Dr.Ir. Rizal Syarief DESS, Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc, Dr. Ir. Usman Ahmad, MAgr, selaku komisi pembimbing. Begitu pula kepada Prof. Dr. Ir. Soerjono Hadi Sutjahjo MS selaku Ketua Program Studi dan Dr.Ir. Etty Riani MS yang banyak memberikan bimbingan dan dukungan selama penulis menyelesaikan studi. Selain itu, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada keluarga, terutama ibunda Asiah, anak-anak: Milda Ramdhini, B.A, M.A di Kuenzelsau, Jerman, Melidya Assani di Aalen, Jerman dan Ridwansyah Haryo Zamzami di Wismar, Jerman; adik-adik: Drs Dede Suhardiman MM & keluarga, Ir. Wawan Setiawan MM & keluarga, Drs Udin Sobarudin & keluarga, yang telah membantu dalam penyusunan, pengolahan data serta dukungan moril sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Akhir kata, penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan industri gula Indonesia.
Bekasi, 1 Oktober 2010
Hasan Sudradjat
xiii
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Majalengka, 9 April 1958 sebagai anak pertama. dari empat bersaudara, pasangan Haryono Wartono (Alm) dan Asiah. Pendidikan Sarjana strata satu ditempuh di STIA-LAN lulus pada tahun 1990 dan FT Perkapalan lulus pada tahun 1998 Pendidikan Pascasarjana diselesaikan pada tahun 1996 pada Program Studi Marketing Management. Pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis mulai bekerja pada tahun 1979 - sekarang pada Kementerian Perindustrian. Pada tahun 1984 penulis menikah dengan Dra. Siti Asiah MM dan telah dikaruniai tiga orang putra yakni Milda Ramdhini BA MA, Melidya Assani, dan Ridwansyah Haryo Zamzami.
Bogor, 1 Oktober 2010
xiv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xix I.
PENDAHULUAN .................................................................................... 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7
1
Latar Belakang ................................................................................. Perumusan Masalah........................................................................... Tujuan Penelitian .............................................................................. Kerangka Pemikiran .......................................................................... Kegunaan Manfaat Penelitian .......................................................... Ruang lingkup dan Pembatasan Penelitian ...................................... Kebaruan (Novelty) ...........................................................................
1 3 8 9 10 12 12
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
13
2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10 2.11 2.12 2.13 2.14
Kondisi Industri Gula di Indonesia ................................................... Kebijakan Industri dan Perdagangan................................................. Penelitian Terdahulu yang Terkait ................................................... Kerangka Teoritis Proteksi ............................................................... Kerangka Teoritis ............................................................................. Pembangunan Berkelanjutan ............................................................. Industri .............................................................................................. Pengelolaan Lingkungan ................................................................... Pencemaran ...................................................................................... Analisis Kebijakan ............................................................................ Model ............................................................................................... Alur Proses Industri Gula .................................................................. Produksi Bersih (Green Production)................................................. Partisipasi Masyarakat.......................................................................
13 14 15 16 17 18 21 25 28 30 33 36 36 38
III. METODE PENELITIAN .......................................................................
47
II.
3.1 3.2
Jenis, Sumber Data, dan Teknik Pengambilan Contoh .................... Analisis data ......................................................................................
49 50
IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN, INDUSTRI GULA INDONESIA DAN DUNIA .....................................................................
59
4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7
Masalah yang Dihadapi Pabrik Gula di Lokasi Penelitian ............... Kondisi Umum Pabrik Gula di Lokasi Penelitian ............................. Gambaran Umum Industri Gula Dunia ............................................. Perdagangan Gula Internasional........................................................ Gambaran Umum Industri Gula di Indonesia ................................... Kebijakan Pemerintah pada Industri gula ....................................... Pengembangan Industri ..................................................................... 4.7.1 Pasokan Bahan Baku .............................................................
59 61 67 75 76 80 85 85
xv
4.7.2 4.7.3 V.
Masalah lain di Industri Gula ................................................ Daya Dukung Peralatan Produksi ..........................................
87 89
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ............................................
95
5.1 5.2 5.3
5.4 5.5 5.6 5.7 5.8
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ................................................. Kualitas Lingkungan ......................................................................... Analisis Kebijakan ............................................................................. 5.31 Indeks Keberlanjutan Industri Gula ....................................... 5.8.2 Analysis Hierarki Process ..................................................... Skenario Pengelolaan Industri Gula .................................................. Model Pengelolaan Pabrik Gula Berwawasan Lingkungan .............. Implikasi Kebijakan Pengelolaan Pabrik Gula Berwawasan Lingkungan ....................................................................................... Pembahasan Umum ........................................................................... Implikasi Kebijakan ..........................................................................
95 111 116 116 138 144 150 155 158 167
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 168 6.1 6.2
Kesimpulan ....................................................................................... 168 Saran ................................................................................................. 169
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 170 LAMPIRAN ....................................................................................................... 179
xvi
DAFTAR TABEL
Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Halaman Perkembangan konsumsi gula dunia tahun 2003 – 2004 ........................... 14 Skala banding secara berpasangan dalam AHP ......................................... 56 Penggunaan lahan di Pabrik Gula Jati Tujuh ............................................. 67 Produksi dan konsumsi gula dunia (juta ton) ............................................ 68 Produsen gula terkemuka dunia ............................................... ................. 74 Produsen gula terkemuka dunia yang mengekspor .......................... ......... 75 Luas areal tebu per perusahaan ............................................... ................. 77 Dukungan teknis di setiap pabrik gula .............................................. ........ 93 Usia responden di sekitar Pabrik Gula Jati Tujuh, Majalengka . ............... 96 Hasil analisa kualitas air badan air sebelum opersional pabrik .................. 111 Hasil analisa kualitas air badan air setelah operasional pabrik ................. 111 Hasil pengukuran kedalaman air tanah ............................................... ...... 111 Hasil analisa kualitas air bersih penduduk sekitar Pabrik Gula Jatitujuh ..................................................................................................... 112 Hasil analisa kualitas udara............................................... ........................ 113 Hasil pengukuran kebisingan di afdeling (kebun) dan Pabrik Gula Jati Tujuh .................................................................................................... 114 Hasil analisis Rap-Berinla untuk beberapa parameter statistic ................. 130 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan multidimensi dan masing-masing dimensi pada selang kepercayaan 95%. .................... 133 Faktor strategis parameter kunci pengelolaan dan kondisi masa depannya..................................................................................................... 141 Kondisi incompatible antar keadaan dari faktor-faktor penting tersebut dalam pengelolaan industri gula ............................................... ................. 142 Skenario kebijakan pengeloaan industri gula ............................................ 143
xvii
DAFTAR GAMBAR Nomor 1 2 3 4 5 6. 7. 8. 9. 10. 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Halaman Perumusan masalah industri gula nasional ...................................... Kerangka pikir model pengembangan industri gula berkelanjutan berbasis produksi bersih & partisipasi masyarakat ......................... Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan .................................. Alur proses industri pengolahan tebu menjadi gula ........................ Pengolahan produk turunan industri gula (limbah) dan pemanfaatannya........................................................................ .......... Ilustrasi indeks keberlanjutan (jika lima dimensi) setiap faktor mempunyai kepentingan/konstribusi ............................................... Tahapan analisis dengan aplikasi modifikasi rap-fish menggunakan MDS .................................................................................................. Struktur hirarki limbah industri gula ................................................. Diagram hirarki AHP pada pengembangan industri gula ................. Contoh sintesa prioritas pemecahan masalah ................................... Bagan mekanisme pelaksanaan program bantuan pembiayaan pembelian mesin peralatan pabrik gula............................................... Asal responden .................................................................................. Persentase responden berdasarkan jenis kelaminnya ........................ Tingkat pendidikan formal responden ............................................... Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan anak ......................... Kondisi transportasi di sekitar pabrik gula ........................................ Keterkaitan masyarakat dengan pabrik gula ...................................... Kesempatan masyarakat berpartisipasi pabrik gula ........................... Dampak positif terhadap masyarakat ................................................. Pendapatan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar pabrik gula ..................................................................................................... Kepemilikan lahan tebu (oleh masyarakat) ........................................ Penyiapan bibit tebu oleh pabrik gula ................................................ Limbah pabrik yang dapat dimanfaatkan kembali ............................ Penghasilan rata-rata per bulan yang berasal dari limbah industri gula ..................................................................................................... Pemahaman masyarakat terhadap program produksi bersih .............. Pengetahuan masyarakat terhadap bantuan sosial pabrik gula .......... Analisis rap-berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi ekologi .................................................................................. Peran masing-masing atribut ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS ikB-berinla .............................................................. Analisis rap-berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi ekonomi ............................................................................... Peran masing-masing atribut ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS ikB-berinla ................................................... Analisis Rap-berinla yang menunjukkan nilai indeks dimensi sosial budaya ............................................................................................ Peran masing-masing atribut teknologi yang dinyatakan dalam
4 11 19 36 38 52 53 54 55 55 81 95 97 98 98 99 100 100 101 102 103 103 104 104 106 107 117 118 119 120 123
xviii
33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43.
bentuk perubahan RMS ikB-berinla .................................................. Analisis rap-berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi teknologi ...................................................... Peran masing-masing atribut teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS ikB-berinla ....................... Analisis Rap-berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi hukum dan kelembagaan ...................................................... Peran masing-masing atribut hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk RMS ikB-Berinla ...................................... Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan industri gula ..................................................................................................... Diagram hirarki AHP pada pengembangan industri gula .................. Urutan prioritas faktor dalam pengembangan industri gula berkelanjutan ..................................................................................... Urutan prioritas aktor dalam pengembangan industri gula berkelanjutan ..................................................................................... Urutan prioritas sasaran dalam pengembangan industri gula berkelanjutan ..................................................................................... Urutan prioritas tujuan dalam pengembangan industri gula berkelanjutan ..................................................................................... Model pengelolaan pabrik gula berwawasan lingkungan .................
124 126 127 128 129 131 134 135 136 137 138 145
xix
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1 2 3 4 5 6.
Halaman Jenis limbah yang bernilai ekonomi................................................. Daftar alamat, nomor telepon dan faximile pabrik gula .................. Contoh klasifikasi mesin peralatan industri gula 250 TCD (ton can day) .................................................................................................. Tingkat komponen dalam negeri ..................................................... Gambaran umum industri gula nasional ......................................... Hasil perhitungan melalui program komputer (AHP, MDS dan lainlain) ........................................................................ ..........................
181 184 189 194 205 214
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dan beriklim tropis
serta memiliki dua musim dalam setahun, yaitu musim penghujan dan musim kemarau, dengan penyinaran matahari sepanjang tahun. Kondisi ini merupakan cerminan bahwa Indonesia merupakan negara yang subur dan kaya dengan sumberdaya alam. Kondisi lahan yang subur, iklim serta penyinaran matahari yang mendukung untuk segala jenis tanaman, menjadikan Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk membangun dan mengembangkan industri agro (agro base industries). Industri agro ini diartikan sebagai industri yang mengolah hasil tanaman (agro) seperti hasil pertanian, hasil hutan dan hasil perkebunan, atau dengan kata lain merupakan kelompok industri pengolahan. Salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai potensi besar untuk diolah sebagai bahan baku industri (industri agro) ialah tebu (Sacharum officinarum). Tebu mempunyai beberapa nama dalam beberapa bahasa lokal yakni tebu, rosan (Jawa), tiwu (Sunda), tebhu (Madura),
isepan (Bali), teubee (Aceh), tewu (Nias, Flores), atihu
(Ambon), tepu (Timor); dalam Bahasa Inggris yaitu sugar cane. Tebu merupakan bahan baku industri gula putih (white sugar) yang sering disebut sebagai gula pasir. Industri gula merupakan salah satu industri agro yang layak untuk dikembangkan, karena konsumsi gula baik nasional maupun dunia demikian besar. Konsumsi yang besar ini antara lain digunakan untuk konsumsi mansyarakat (langsung) maupun sebagai bahan tambahan dalam industri makanan dan minuman. Dari tahun ke tahun, konsumsi gula ini cenderung meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan pertumbuhan industri makanan dan minuman. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2009 kebutuhan atau konsumsi gula nasional untuk industri makanan dan minuman, dan untuk rumah tangga mencapai 4,85 juta ton. Sayangnya kebutuhan ini hanya dapat dipenuhi sekitar setengahnya saja (55%) oleh industri gula nasional, sedangkan sisanya dipenuhi dengan mengimpor gula dari negara lain. Seperti halnya di Indonesia, konsumsi gula dunia juga terus meningkat padahal pertumbuhan produksinya belum sebanding. Pada periode tahun 2004/2005 produksi gula mengalami defisit sekitar 3 juta ton, karena kebutuhan gula dunia meningkat
2 sebesar 1,3% atau mancapai 145,1 juta ton pada tahun 2005, sedangkan produksi hanya meningkat 1% atau 142,5 juta ton pada tahun yang sama. Sedangkan produksi dunia gula menurun sebesar 9 juta ton pada tahun 2008/09. FAO telah merevisi perkiraan 158,5 juta ton, yaitu 2,5 juta ton dibawah perkiraan pertama yang dirilis pada November 2008, dan 9 juta ton atau 5,4 % kurang dari pada 2007/2008. Keadaan industri gula di Indonesia mengalami masa kejayaan pada tahun 1930an, saat itu jumlah pabrik gula yang beroperasi sebanyak 179 pabrik gula (PG), produktivitas 14,8 persen dan rendemennya 11-13,8 persen, ekspor gula mencapai 2,4 juta ton dengan jumlah produksi puncak mencapai 3 juta ton pertahun (Sudana et al., 2000).
Namun sejak saat itu keadaan industri gula nasional terus menurun
kemampuannya hingga akhirnya tidak dapat/mampu lagi memenuhi kebutuhannya sendiri (kebutuhan nasional), akibatnya untuk memenuhi kebutuhan nasional harus dilakukan dengan mengimpor gula dari negara lain. Selain adanya permasalahan rendemen yang kurang dari sembilan, industri gula juga mengeluarkan limbah yang dapat mencemari lingkungan, untuk itu maka harus dicari jalan keluar dari masalah tersebut. Berbagai upaya untuk melakukan pengolahan sisa produksi (limbah) pabrik gula menjadi komoditi yang bermanfaat dapat dilaksanakan, mengingat diantara limbah yang dikeluarkan ini, limbah dari industri gula dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Pada dasarnya industri gula sudah melakukan berbagai upaya produksi bersih clean development mechanism (CDM) seperti melakukan pemanfaatan pucuk dan daun tebu untuk makanan ternak, pemanfaatan ampas menjadi bahan bakar, particle board, pulp selulosa, dan funtural, pemanfaatan nira sebagai blotong, molase, dan gula. Namun demikian pemanfaatan bahan-bahan tersebut belum cukup beragam dan masih memberikan nilai tambah yang relative rendah, sebagai contoh pemanfaatan nira hanya terbatas untuk blotong, molase, dan gula; padahal nira dapat pula dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti untuk bahan baku semen, bahan cat, pupuk, mancori cement; (molase) sebagai gula cair, Llysin, asam glutamat, asam organik, bahan kimia, atau untuk membuat protein sel tunggal dan bahan obat-obatan (kanker). Jika hal ini dapat dilakukan, maka bukan saja akan dapat meminimalkan pencemaran dan mengurangi degradasi lingkungan karena telah melakukan clean development mechanism (CDM), namun juga akan memberikan keuntungan ekonomi tersendiri bagi perusahaan, sekaligus akan mengurangi pengangguran karena dalam pengolahan limbah menjadi produk yang bernilai ekonomi
3 akan menyerap cukup banyak tenaga kerja, sekaligus melibatkan masyarakat dalam industri gula tersebut (partisipasi). Namun di lain pihak industri gula juga menghasilkan limbah cair yang mengakibatkan tercemarnya perairan, serta mengakibatkan tercemarnya udara dan kebisingan (Laporan AMDAL Pabrik Gula Jati Tujuh, 2007). Berdasarkan hal tersebut, maka industri gula seharusnya melakukan produksi bersih, yakni melakukan berbagai upaya mulai dari awal, dalam proses, hingga di akhir. Produksi bersih merupakan strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu,
yang perlu diterapkan secara terus-menerus (sustainable) pada proses
produksi dan daur hidup produk dengan tujuan mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan, sehingga tidak mencemari lingkungan. Industri
gula pada dasarnya telah melakukan berbagai upaya untuk
meningkatkan daya saing, meningkatkan keuntungan dan sebagainya, namun hingga saat ini belum pernah ada yang memotret apakah industri gula sudah berlanjut atau belum. Industri gula juga belum berperan optimal dalam menunjang kesejahteraan masyarakat di sekitarnya dan bagi kegiatan pembangunan di wilayahnya. Selain itu juga
belum diketahui parameter apa yang paling dominan yang dapat meningkatkan keberlanjutan pabrik gula; serta belum ada yang membuat kajian, alternatif apa yang terbaik untuk mengembangkan industri gula tersebut, serta skenario apa yang dapat membuat industri gula menjadi pabrik yang secara ekonomi menguntungkan, secara sosial budaya menciptakan rasa aman, berkeadilan dan makmur serta tetap dapat menjaga kelestarian lingkungan, dan model seperti apa yang dapat menciptakan industri gula menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut, kiranya diperlukan penelitian mengenai model pengembangan industri gula berkelanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat. 1.2 Perumusan Masalah Industri gula pada umumnya mengalami masalah yang sangat kompleks, disebabkan antara lain (Gambar 1): a. Budi Daya Tanam Sub Optimal Usaha tani yang selama ini dilakukan belum sepenuhnya dilakukan secara profesional. Banyak lahan-lahan yang ditanami tebu tetapi tingkat budidayanya belum bertitik tolak pada yang seharusnya, seperti: pemilihan bibit yang kurang disesuaikan habitat tanah, pemupukan yang belum tepat baik jenis maupun kuantitasnya, penyiangan
4 yang juga kurang tepat. Lahan-lahan irigasi untuk persawahan yang dipaksakan ditanami tebu, sehingga hasilnya kurang optimal (Suntoro dan Sudaryanto, 1996).
Peralatan Produksi Tidak Efisien
Limbah tidak dioptimalkan
Budi Daya Tanam Sub Optimal
Jadwal Tanam, Jadwal Tebang Kurang Tepat
Kebutuhan Meningkat
Rendemen Rendah
Kebijakan Sub Optimal Perbankan Perpajakan Iklim Usaha
Produksi Rendah
Kemitraan yang Artifisial
Luas Areal Berkurang Distorsi Pasar
Kapasitas Kurang Memadai
Kemitraan masyarakat berkurang Harga relatif fluktuatif
Produktivitas Tidak Optimal
POTENSI DAMPAK
UMUM Peningkatan Impor Gula Penurunan Daya Tahan Ekonomi Inflasi Penurunan Penyerapan Tenaga Kerja
LINGKUNGAN Limbah Tidak Dimanfatkan Mengganggu Lingkungan Potensi Ekonomi ”stagnan” Industri Pendukung tidak optimal
Gambar 1 Perumusan masalah industri gula nasional
Impor
5 b. Jadwal Tanam dan Jadwal Tebang Kurang Tepat Hingga saat ini para petani tebu, belum sepenuhnya diajak berfikir ke arah industrialisasi gula. Padahal sejak perencanaan sampai evaluasi tentang kinerja pabrik seharusnya sudah melibatkan sekaligus membudidayakan serta memberdayakan para petani, bukan hanya petani penggarap. Penentuan jadwal tanam dan jadwal tebang seringkali hanya batas naluri dan kebiasaan, tidak atas dasar kebutuhan para pelaku industri yang langsung memproses bahan baku. Dengan demikian pada gilirannya hanya dihasilkan gula giling dengan kualitas belum optimal (Wuryanto, 2000; Murdiyatmo, 2000). c. Peralatan Produksi Tidak Efisien Sebagian besar industri gula di Indonesia dibuat pada zaman penjajahan Belanda, dengan umur rata-rata diatas 50 tahun. Peralatan produksinya masih kuno, sehingga menurut asosiasi industri gula, tingkat efisiensinya hanya 25%. Namun jika teknologinya diperbaharui maka diperlukan investasi yang sangat besar. Di sisi lain, keuntungan (profit margin) yang selama ini diperoleh hanya cukup untuk biaya operasional. Sehingga untuk pembaharuan mesin-mesin produksi sangat memerlukan inovasi dan keuangan yang cukup tinggi (Wuryanto. 2000; Arifin 2000; Murdiyatmo, 2000). d. Kebijakan Sub Optimal Kebijakan yang mendukung industri gula bersifat sub optimal dan relatif belum mendukung industri. Adapun kebijakan yang ada adalah SK Menperindag No. 25/MPP/Kep/1/1998 yang mengakhiri peran BULOG dalam penstabilan harga membuat harga gula di pasar menjadi sangat fluktuatif, mengingat impor oleh para pedagang gula sangat berpengaruh terhadap gula produksi dalam negeri. Para importir berlomba-lomba mendatangkan gula dengan harga yang lebih murah dibanding produk lokal. Namun dengan
pembatasan
jumlah
importir
sesuai
dengan
SK
Menperindag
No.
643/MPP/Kep/9/2002 tanggal 23 September 2002, jumlah importir dibatasi sehingga kontrol terhadap pemasukan gula dapat dilakukan dengan efektif. SK Menperindag No. 594/MPP/Kep/9/2004 tanggal 23 September 2004 tentang Penunjukan Surveyor sebagai Pelaksana Verifikasi atau Penelusuran Teknis Gula Impor. Kondisi yang sama juga terjadi pada dukungan finansial (Soentoro et al., 1999, Adisasmito, 1998, Sudana et al., 2000).
6 e. Luas Areal Berkurang Jumlah areal cenderung berkurang terus sebagai akibat konversi lahan bagi kegiatan diluar kegiatan pertanian seperti untuk industri, perhotelan, perumahan, dan pariwisata sebagai contoh tahun 1993 luasnya 421.000 hektar, saat ini hanya 350.000 hektar. Menurut Adisasmito et al. (1998) dan Syaefullah et al. (1999) luas lahan idealnya 450.000 hektar. f. Kapasitas Kurang Memadai Produktivitas tebu lahan tegalan rata-rata 54,4 ton tebu per hektar, sedangkan lahan irigasi mencapai 78,9 ton tebu per hektar dan peralatan produksi yang sudah tua, membuat kapasitas produksi menjadi sangat kurang memadai. Di sisi lain, dengan pertambahan penduduk yang kian meningkat maka kebutuhan gula, baik untuk dikonsumsi langsung maupun untuk industri makanan juga akan meningkat; oleh karena itu maka pemenuhan kebutuhan gula akan semakin keteteran. Agar dapat mencapai jumlah tonase yang diperlukan yang selama ini berproduksi sedikitnya dibutuhkan 4 buah pabrik baru lagi dengan kapasitas 12.000 ton tebu perhari. (Adisasmito et al., 1998 dan Woeryanto. 2000). g. Adanya Distorsi Pasar (Impor) Sebagai akibat produkstivitas industri dalam negeri jauh lebih rendah dari permintaan terhadap komoditi gula, maka dilakukan impor. Produksi dalam negeri pada tahun 2006 sebesar 1,45 juta ton, sedangkan impor gula 1,6 juta ton berupa gula putih dan gula rafinasi (raw sugar) mencapai 400.000 ton. Harga gula dipasaran sekitar Rp. 5.600,- sampai Rp. 6.500,- per kg. Gula rafinasi Rp. 3.500,- per kg, namun harga aslinya berkisar Rp. 2.200 – 2.800,- per kg. Padahal masyarakat tidak mau tahu apakah produk lokal (gula putih) ataukah gula rafinasi, yang penting harganya murah. Dengan demikian maka akan terjadi distorsi harga, dan yang terkena dampak malah para petani itu sendiri (Suntoro et al., 1999 dan Adisasmito, 1998). h. Kebutuhan Meningkat Kebutuhan untuk mengkonsumsi gula secara langsung maupun tidak langsung terjadi peningkatan, sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan tingkat daya beli masyarakat, sehingga memerlukan jumlah tonase gula yang meningkat pula dengan kenaikan mencapai 2,96%. Kebutuhan ini tidak sejalan dengan produksi yang mengalami penurunan sebesar 6,14% (Dewan Gula Indonesia, 2002). i. Limbah yang Belum Dioptimalkan Secara Ekonomis
7 Secara agregat ada dua jenis limbah yang saat ini belum diproses lebih kearah nilai ekonomi yang lebih tinggi (Koentardi, Jawa Manis, 2006). Di lain pihak jika limbah tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal, juga akan dapat menarik masyarakat untuk terlibat dalam pengolahan limbah industri gula tersebut j. Kemitraan/Partisipasi Tidak Berdasarkan Prinsip Bisnis Banyak pihak yang terlibat dalam penyediaan bahan baku industri gula konvensional (tebu), seperti petani, penyedia pupuk, perbankan, instansi pemerintah terkait (pemangku kepentingan) dan penggarap tanah. Kemitraan yang dibangun tidak melembaga sebagai mitra bisnis yang lestari, dan tidak dijalankan atas dasar saling menguntungkan secara berkelanjutan, sehingga hanya sekedar menguntungkan dalam kurun waktu beberapa kali waktu panen (Gumbira – Sa’id, 2001). Selain itu partisipasi masyarakat belum terlalu baik, padahal menurut Purnaningsih dalam Sitorus (1994) prinsip kemitraan/partisipasi masyarakat adalah prinsip yang kuat membantu yang lemah dalam berbagai aspek seperti aspek produktivitas, aspek pemasaran dan aspek kelembagaan. k. Penerapan Produksi Bersih (Green Production) Belum Optimal Peralatan produksi industri gula yang digunakan saat ini adalah peralatan yang telah ada sejak zaman Belanda, sehingga tingkat produkstifitas rata-ratanya hanya ±25%. Untuk memenuhi demand gula bagi industri dan masyarakat luas, setiap kerusakan pada umumnya hanya tambal sulam. Itupun tidak mengubah percepatan dan efisiensi produksi secara keseluruhan. Idealnya peralatan produksi yang digunakan harus yang bersifat ”electrical system” produksi bersih (green production). Dalam beberapa hal industri gula sudah menerapkan produksi bersih dengan cara memanfaatkan kembali limbah yang dihasilkannya, namun produksi bersih yang dilakukan masih belum optimal, sehingga belum dapat membantu mensejahterakan masyarakat sekitar yang seyogyanya dapat memanfaatkan limbah tersebut untuk diolah menjadi produk yang bernilai ekonomis. Namun demikian kiranya masalah yang paling mendesak untuk dipecahkan saat ini adalah: 1. Bagaimana kondisi sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat di sekitar pabrik (industri) gula 2. Bagaimana kondisi kualitas lingkungan pabrik (industri) gula
8 3. Seperti apa keberlanjutan industri gula dan apa faktor pengungkit (parameter apa yang paling dominan) yang harus diperhatikan untuk meningkatkan keberlanjutan dalam pengelolaan industri gula. 4. Alternatif kebijakan dalam pengembangan industri gula di masa yang akan datang, seperti apa yang akan membuat industri gula yang keberlanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat 5. Skenario apa yang dapat membuat industri gula menjadi pabrik yang secara ekonomi menguntungkan, secara sosial budaya menciptakan rasa aman, berkeadilan dan makmur serta tetap dapat menjaga kelestarian lingkungan, 6. Model pengembangan industri gula seperti apa yang dapat menciptakan industri gula yang transparan dan dapat menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian
ini adalah untuk menyusun suatu model pengembangan
industri gula yang berbasis produksi bersih dengan memanfaatkan limbahnya, dan partisipasi dengan cara melibatkan masyarakat sekitar pabrik untuk ikut serta mengembangkan dan mengelola industri gula dan limbah yang dihasilkannya. Guna mencapai tujuan utama tersebut, ada beberapa tahapan penelitian dan sub tujuan yang perlu dilakukan, antara lain: 1. Mendapatkan gambaran kondisi sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat 2. Mendapatkan gambaran kondisi kualitas lingkungan pabrik gula 3. Menganalisis keberlanjutan industri gula dan mendapatkan faktor pengungkit yang harus diperhatikan untuk meningkatkan keberlanjutan dalam pengelolaan industri gula. 4. Menentukan alternatif kebijakan dalam pengembangan industri gula di masa yang akan datang yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat. 5. Merumuskan skenario strategi dan kebijakan pengembangan industri gula secara holistik dipandang dari sisi politik, keamanan, kepastian hukum, kepastian berusaha, investasi, teknologi, dan arah yang perlu ditempuh oleh pemerintah maupun para pelaku industri gula, peran kemitraan serta industri pendukung.
9 6. Mendapatkan model pengembangan industri gula yang transparan serta dapat menciptakan industri gula menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat 1.4 Kerangka Pikir Industri gula merupakan salah satu industri agro yang mempunyai nilai strategis yang sudah melakukan produksi bersih dengan cara memanfaatkan limbahnya walau masih terbatas pada pucuk dan daun untuk makanan ternak, niranya yang hanya digunakan sebagai blotong, molase, dan gula dan belum dideversivikasi lebih lanjut menjadi bahan yang lebih komersial. Ampasnya juga masih dimanfaatkan terbatas yakni sebagai bahan bakar, particle board, makanan ternak, pulp selulosa, funtural. Oleh karena itu maka industri gula harusnya dapat menjadi industri terpadu (in-house production) untuk memperoleh keberagaman komoditi dan mempunyai nilai tambah yang sangat signifikan. Dalam rangka mencapai kondisi ideal (industri terpadu) tersebut perlu dukungan dari berbagai sektor seperti hukum, politik, sosial budaya budaya budaya, ekonomi, keamanan, teknologi produksi, sumber daya manusia yang handal, skala produksi yang cukup, permodalan yang dipenuhi, dan sebagainya. Jika kondisi ideal tercapai, sudah barang tentu akan memperkecil ketergantungan terhadap luar negeri, penghematan devisa, nilai usaha menjadi meningkat, industri pendukung (industri permesinan, industri logam) menjadi tumbuh, pemberdayaan masyarakat sekitar dan masyarakat konsumen, dan yang lebih penting yaitu kelestarian lingkungan, baik masyarakat petani maupun pada industri gula itu sendiri. Keuntungan lain secara makro jika dapat mencapai kondisi industri gula ideal antara lain adalah dapat terjadi penguatan ekonomi lokal maupun nasional. Hal ini terjadi karena hanya dengan memanfaatkan limbahnya saja pun sudah dapat memperkokoh ekonomi masyarakat lokal secara keseluruhan, bahkan secara nasional akan relatif memperkuat struktur ekonomi, karena didukung oleh ekonomi rakyat yang menjadi tulang punggungnya. Selain itu juga akan terjadi peningkatan teknologi industri yang dapat meningkatkan keuntungan (profit margin), sehingga diharapkan dapat melakukan pemeliharaan dan percepatan revitalisasi mesin dan peralatan. Industri ideal akan meningkatkan kesinambungan eksistensi industri gula asal didukung oleh modal yang cukup kuat dan iklim usaha yang kondusif. Namun demikian untuk mencapai
10 industri ideal tersebut harus didukung oleh kebijakan terpadu, tidak ”ego-sektoral” seperti yang relatif terjadi saat ini, sehingga dapat menanggulangi permasalahan lahan yang belum mendapat kepastian kesinambungan pertanian tebu, dari sisi perdagangan tidak hanya melihat sisi suplai atau demand, dan ada keberpihakan dari perbankan, moneter dan fiskal. Oleh karena itu maka industri gula akan menjadi kuat (ideal), apabila terdapat keterpaduan dukungan. Selama ini sudah cukup banyak penelitian yang dilakukan antara lain Idha Haryanto Soemodihardjo (2007) yang melakukan penelitian tentang optimasi penggunaan lahan di daerah penghasil padi dan tebu di Jawa Timur; Victor Siagian (1999) tentang analisis efisiensi biaya produksi gula di Indonesia; pendekatan fungsi biaya multi-input;
Ruchiyat Deni Djakapermana (2006) disain
kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan ruang wilayah Pulau Kalimantan;
Eko
Sulistiyono (2006) hubungan pengelolaan air dengan produksi, kandungan gula nikotin daun tembakau;
Wayan Reda Susila (2006) pengembangan industri gula Indonesia;
analisis kebijakan dan keterpaduan sistem produksi, dan sebagainya. Namun demikian penelitian tentang model pengembangan industri gula berkelanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat belum pernah dilakukan. Oleh karena itu maka harus segera dilakukan penelitian tersebut di atas. Untuk lebih jelasnya kerangka berpikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
1.5 Kegunaan/Manfaat Penelitian Kegunaan atau manfaat penelitian diharapkan memberikan manfaat antara lain: 1.
Bagi pemerintah dapat dijadikan salah satu acuan bagaimana mengambil kebijakan secara terpadu mulai dari hulu (lahan, irigasi, penyediaan bibit, bahan baku), antara (teknologi produksi, ekonomi, perbankan, fiskal), hilir (perdagangan) khususnya bagi penguatan serta pengembangan industri gula di dalam negeri.
2.
Untuk para pelaku industri, agar dapat meningkatkan efisiensi produksi dengan memanfaatkan faktor pengungkit yang perlu ditingkatkan kembali sehingga industri gula akan berkelanjutan secara ekonomi, ekologi, sosial budaya budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan
3.
Sebagai bahan referensi bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam perencanaan produksi melalui teknologi industri yang berwawasan serta wacana lingkungan hidup yang progresif.
11
PEMBANGUNAN EKONOMI NILAI STRATEGIS
HUKUM & POLITIK KELEMBAGAAN
SOSIAL BUDAYA
INDUSTRI GULA UTUH/KONVENSIONAL
PEMANFAATAN LIMBAH INDUSTRI
Masalah: • Modal Kerja • SdM • Teknologi • Produksi • Skala Ekonomi
KEBIJAKAN TERPADU
INDUSTRI GULA RAFINASI TEKNOLOGI PRODUKSI
PARTISIPASI MASYARAKAT
Memperkecil Ketergantungan thd LN
EKONOMI KEAMANAN
PROGRAM PEMANFAATAN BERBASIS EKONOMI
Nilai ”margin” Meningkat
Kelestarian Lingkungan
EKSISTENSI INDUSTRI GULA
Industri Pendukung Kuat
Penberdayaan Masyarakat/ Partisipasi
PENINGKATAN TEKNOLOGI INDUSTRI
Penghematan Devisa
PENGUATAN EKONOMI LOKAL & NASIONAL
Gambar 2. Kerangka pikir model pengembangan industri gula berkelanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat
12 1.6 Ruang Lingkup dan Pembatasan Penelitian Mengingat luasnya penelitian, maka ruang lingkup yang akan dilakukan adalah: 1.
Mencari gambaran kondisi sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat
2.
Mencari gambaran kondisi kualitas lingkungan pabrik gula
3.
Melihat keberlanjutan dari industri gula yang menjadi objek dan mencari parameter yang paling dominan yang dapat meningkatkan keberlanjutan pasbrik gula
4.
Mencari alternatif yang terbaik untuk mengembangkan industri gula tersebut dengan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat
5.
Mencari skenario yang dapat membuat industri gula menjadi pabrik yang secara ekonomi menguntungkan, secara sosial budaya menciptakan rasa aman, berkeadilan dan makmur serta tetap dapat menjaga kelestarian lingkungan
6.
Mencari model pengembangan industri gula yang transparan, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan serta hukum yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat.
1.7 Kebaruan (Novelty) Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini dapat disampaikan beberapa kemajuan (advantage) yaitu dari sisi pendekatan kebijakan, dari sisi pendekatan teknologi yang dipakai, dari segi finansial (modal kerja, fiskal, moneter), dari sudut proses produksi (pemanfaatan limbah untuk suatu komoditi bernilai ekonomis). 1. Kebaruan dari pendekatan kebijakan, merupakan konsep baru dimana pemangku kepentingan (stakeholder, termasuk kemitraan masyarakat) saling mendukung terhadap keberadaan industri gula di dalam negeri. 2. Model pengembangan industri gula RSSC - PC (roundtable on sustainable sugar cane – princip and criteria) yang transparan, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan serta hukum yang berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat. 3. Membantu memecahkan masalah dari sisi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan serta hukum, dalam rangka pengembangan industri gula yang berkelanjutan berbasis produksi bersih dan partisipasi masyarakat.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Tebu merupakan bahan baku industri gula. Dilihat dari aspek agronomis tebu merupakan tanaman perkebunan/industri berupa rumput tahunan. Tanaman ini merupakan komoditi penting karena di dalam batangnya terkandung 20% cairan gula. Tanaman ini mungkin berasal dari India, tetapi mungkin juga berasal dari Irian karena disana ditemukan tanaman liar tebu. Di Jawa Barat tebu dikenal dengan nama tiwu sejak 400 tahun yang lalu. Adapun klasifikasi tanaman tebu adalah sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
2.1
Kelas
: Monocotyledonae
Keluarga
: Poaceae
Genus
: Saccharum
Spesies
: Saccharum officinarum
Kondisi Industri Gula di Indonesia Walaupun Indonesia dulu mengalami kejayaan dalam bidang industri gula sejak
masa kolonial Belanda, tetapi saat ini mengalami kemunduran yang cukup tragis dimana jumlah pabrik menurun dan peralatan produksi yang hanya dapat bertahan (belum dapat dikembangkan secara proporsional). Padahal kebutuhan gula justru dari tahun ke tahun selalu meningkat. Pengalihan areal/lahan pertanian tebu menjadi konversi lain semakin kuat yang salah satunya dari kebijakan ketahanan pangan (Sudana et al., 2000). Industri perumahan, juga semakin mengurangi luasan areal tanaman tebu dimana 65% menjadi berubah fungsi (Sumaryanto et al.,1995) Di sisi lain periode tahun 2004/2005 merupakan periode yang cukup menggembirakan bagi industri gula dunia, khususnya dari sisi produsen. Pada periode tersebut, rata-rata harga gula mencapai US $ 261,92./ton untuk white sugar dan US$193,78/ton untuk raw sugar, atau meningkat sekitar 9,8 % untuk white sugar dan 24 % untuk raw sugar dari rata-rata harga tahun 2003/04. Hal ini disebabkan pada periode 2004/2005, untuk kedua kalinya pasar gula dunia kembali mengalami defisit sekitar 3 juta ton. Pada periode 2004/2005, produksi gula dunia mencapai 142,5 juta ton atau meningkat sekitar 1 % dari periode sebelumnya. Di sisi lain, konsumsi
14 meningkat lebih pesat yaitu 1,3 %, dari 143,3 juta ton pada tahun 2004 menjadi 145,1 juta ton pada tahun 2005 (FAO dalam Susila, 2006a). Pada tahun 2004, konsumsi gula dunia meningkat menjadi sekitar 143,3 juta ton, atau meningkat sekitar 4 juta ton atau 2,9% lebih tinggi dari periode tahun 2003. Peningkatan konsumsi terutama bersumber dari kelompok negara berkembang sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Di negara berkembang, konsumsi pada tahun 2004 meningkat 3,8%, dari 91,9 juta ton pada tahun 2003 menjadi 95,4 juta ton pada tahun 2004. Kelompok negara di Afrika diperkirakan mengalami peningkatan produksi sebesar 5,3%. Pada negara maju, laju peningkatan konsumsi relatif marjinal yaitu hanya sekitar 1,3%, dari 47,3 juta ton pada tahun 2003 menjadi 47,9 juta ton pada tahun 2004. Tingkat konsumsi gula dunia pada tahun 2003-2004 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan konsumsi gula dunia tahun 2003 – 2004
Kelompok Negara Dunia Negara Berkembang Amerika Latin dan Karibia Afrika Near East Far East Negara Maju Eropa Amerika Utara CIS Oceania Lainnya Sumber : FAO dalam Susila, 2006a. 2.2
Konsumsi (juta ton) 2003 2004 139.2 143.3 91.9 95.4 24.8 25.7 7.6 8.0 10.6 10.8 48.9 50.8 47.3 47.9 20.3 20.5 10.1 10.3 11.1 11.3 1.4 1.4 4.4 4.4
Pertumbuhan (%) 2.9 3.8 3.6 5.3 1.9 3.9 1.3 1.0 2.0 1.8 0.0 0.0
Kebijakan Industri dan Perdagangan serta Pola Distribusi Gula Kebijakan pemerintah terhadap usaha tani padi, pencabutan subsidi pupuk,
berdampak pada produktivitas industri gula (Soentoro et al., 1999). Jaminan harga dan ketidak pastian berusaha dalam sektor industri gula, salah satu sebab para petani tebu dan industri gula menjadi ragu dalam melakukan usahanya (Murdiyatmo et al., 2000). Penurunan produksi oleh industri gula nasional, otomatis diisi oleh gula impor. Hal ini terjadi dimanapun, bukan di Indonesia saja, sehingga devisa yang harus
15 dikeluarkan cukup besar. Hal ini berdampak pada ketahanan stabilitas ekonomi dan politik (Simatupang et al., 2000) 2.3.
Penelitian Terdahulu yang Terkait Penelitian yang sudah dilakukan terdahulu yang berkaitan dengan tanaman tebu
dan industri gula dan antara lain adalah: 1. Idha Haryanto Soemodihardjo (2007): Optimum Penggunaan Lahan Di Daerah Penghasil Padi dan Tebu di Jawa Timur.
Pada penelitian tersebut diuraikan
mengenai permasalahan lahan yang ditanami tebu sering tumpang tindih dengan padi, dimana tidak ada kesinambungan penanaman tebu. Sehingga penyediaan bahan baku berupa tebu untuk industri gula sangat tidak menentu. Walaupun demikian, hal ini menjadi salah satu inputan dalam menelaah industri gula, dari sisi penyediaan lahan bagi kelangsungan produktifitas industri gula 2. Victor Siagian (1999): Analisis Efisiensi Biaya Produksi Gula di Indonesia; Pendekatan Fungsi Biaya Multi-Input.
Penelitian ini menitik beratkan kepada
optimalisasi produksi dari sisi off farm, artinya orientasi pada mesin-mesin pengolah di pabrik gula. Sedangkan untuk on farm (di lahan produksi), belum mendapat sorotan yang lebih luas. Hasil penelitian inipun menjadi salah satu rujukan dalam penentuan kebijakan untuk revitalisasi permesinan selanjutnya di industri gula berbasis tebu. 3. Ruchiyat Deni Djakapermana (2006): Disain Kebijakan dan Strategi Dalam Pemanfaatan Ruang Wilayah Pulau Kalimantan.
Seperti kita ketahui bahwa
Kalimantan adalah Raksasa lahan yang masih tidur, belum dimanfaatkan optimal untuk kegiatan ekonomi dalam arti luas. Untuk itu agar tidak terjadi salah kelola atau menjadi berantakan dalam peruntukkannya, maka telah dikaji pemanfaatan lahan dari sisi tata ruang. Kondisi ini penting mengingat nilai tanah yang sangat strategis guna kehidupan manusia dimuka bumi ini dalam penyelenggaraan penjaminan kehidupannya yang adil, merata dan berkesinambungan. Penelitian ini juga menjadi salah satu acuan dalam penataan ruang untuk industri gula di masa datang
4. Wayan Reda Susila (2006): Pengembangan Industri Gula Indonesia; Analisis Kebijakan dan Keterpaduan Sistem Produksi. Di dalam penelitian tersebut hampir komprehensif, antara lain mengenai kebijakan pemerintah dibidang harga, impor
16 dan tarifnya; pertanahan, sistem produksi. Belum dilihat secara menyeluruh tentang pengaruh yang bisa menimbulkan dampak terhadap produktifitas; seperti manajemen, teknologi produksi dilihat dari permesinan dan on farm itu sendiri. 2.4 Kerangka Teoritis Proteksi Dalam rangka menjamin kelangsungan usaha maka salah satu kiat yang perlu segera dievaluasi yaitu perlindungan/proteksi. Walaupun Indonesia sudah meratifikasi beberapa perjanjian internasional seperti AFTA dan WTO, bukan berarti serta merta terbuka seluas-luasnya terhadap impor semua barang termasuk gula. Hal ini karena menyangkut kehidupan masyarakat banyak (Houck, 1986). Kebijakan perdagangan (trade policies) yang dalam hal ini menyangkut tarif impor, selalu menimbulkan perdebatan yang satu dengan lainnya saling bertentangan. Bila tarif impor ditinggikan, sedangkan produk gula di dalam negeri belum memenuhi volume yang dibutuhkan; maka akan merugikan konsumen yang jumlahnya sangat banyak. Apabila tarif impor terlalu rendah di satu sisi harga gula akan menjadi murah, sehingga konsumen sangat diuntungkan, sisi lain yaitu produsen dan petani sangat dirugikan karena keuntungannya sangat kecil. Hal ini sangat mengganggu gairah dalam pergerakan dibidang agro, walaupun para petani dan pabrik gula jumlahnya sangat kecil (+ 1,5 juta orang) dibanding jumlah konsumen yang 240 jutaan orang. Jalan tengah yang biasa ditempuh untuk menanggulangi hal tersebut adalah dengan pendekatan penerimaan maksimum pemerintah atau pendekatan tarif optimum. Pendekatan tersebut bertitik tolak dari berbagai aspek dengan melihat berbagai dampak seperti produksi, konsumsi, harga, ekspor/impor dan distribusi kesejahtraan. Dengan demikian pendekatan surplus konsumen dan surplus produsen dapat diprediksi dan diestimasi dengan baik. Ada beberapa kelemahan dari pola pendekatan ini, antara lain: 1. Tidak memperhitungkan jumlah kelompok yang memperoleh dampak positif maupun dampak negatif. Padahal hal tersebut penting bagi pemerintah dalam rangka salah satu tawaran kebijakan. 2. Tidak memperhitungkan intensitas dari dampak kebijakan perdagangan.
17 2.5 Kerangka Teoritis Lainnya Tariff-Rate Quota (TRQ) Adalah suatu kebijakan harga domestik melalui peraturan pengendalian impor secara terpadu. Artinya bila impor tersebut sangat mengganggu harga produk lokal, maka besarnya tarif terhadap kuota impor harus diberlakukan sehingga semangat berproduksi gula maupun penyediaan bahan baku berupa tebu oleh para petani tidak terganggu (Elbehri et al., 2000). Banyak negara yang menggunakan instrumen kebijakan ini seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, China, India, Thailand (LMC, 2002; USDA, 2002 dalam Susila, 2005). Pengaturan atau kebijakan ini esensinya adalah pengenaan tarif impor berdasarkan volume impor. Bila volume yang diimpor melebihi kuota yang telah ditetapkan, maka tarifnya dikenakan tinggi. Sebaliknya bila impor masih dalam kuota yang telah ditetapkan oleh pemerintah, maka tarifnya sesuai dengan ketentuan yang ada. Sebagai ilustrasi bahwa Amerika Serikat pada tahun 2003 melakukan pengenaan tarif US$ 0,625/pound pada volume quota sebesar 1,3 juta ton. Di atas volume quota tersebut dikenakan tarif US$ 15.36/pound. Hal tersebut dalam rangka pengendalian harga dalam negeri. Harga Provenue Harga provenue di sini diartikan sebagai harga di tingkat petani sama dengan harga yang berlaku di dunia. Kondisi tersebut akan terjadi jika asuransi, transportasi dan sebagainya dianggap nol, karena dianggap bahwa Indonesia saat ini sebagai negara kecil dalam hal industri gula dunia (Susila, 2005) Subsidi Input Agar tidak bertentangan dengan peraturan internasional, maka subsidi yang diberikan harus selektif seperti subsidi harga pupuk, subsidi harga input, subsidi suku bunga kredit. Salah satu keuntungan pula adalah harga gula domestik tidak naik; karena asuransi, transportasi dianggap nol (Murdiyatmo, 2000). Produktivitas Produktivitas dalam kajian ini adalah rasio antara input dan output. Bila output lebih besar dari input dengan kuantiti tertentu dianggap bahwa usaha tersebut dinyatakan sehat. Namun sebaliknya bila proses produksi mulai dari hilir sampai hulu tidak menghasilkan angka yang diinginkan maka usaha dimaksud adalah suatu peluang bisnis yang tidak menjanjikan. (Sitorus, 2004).
18 2.6
Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan
dengan konsep yang mengintegrasikan antara aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep pembangunan yang disepakati secara internasional pada saat dilakukan United Nation Conference On The Human Environment di Stockholm tahun 1972. Pada pembangunan berkelanjutan selalu diupayakan agar menjadi pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang dengan tanpa mengorbankan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Hal ini sesuai dengan pernyataan Serageldin (1996) yang menyatakan bahwa suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut baik ditinjau dari aspek ekonomi, ekologi, maupun dari aspek sosial budaya bersifat berkelanjutan. Menurut
Plessis
(1999),
pada
saat
awal
dicanangkan
pembangunan
berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan relatif hanya diarahkan untuk mengatasi konflik antara proteksi lingkungan dan sumberdaya alam dalam rangka menjawab kebutuhan pembangunan yang berkembang. Selanjutnya disadari bahwa pembangunan berkelanjutan tidak mungkin tercapai tanpa mempertimbangkan perubahan ekonomi dan sosial budaya seperti pengurangan tingkat kemiskinan dan keseimbangan sosial budaya. Komisi Burtland selanjutnya semakin memperkokoh
keinginan yang harus
dicapai dalam pembangunan berkelanjutan, antara lain dalam mengintegrasikan keselarasan antara aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya tidak boleh kaku. Oleh karenanya World Bank menjabarkan konsep dalam mengoperasionalkan paradigma pembangunan
berkelanjutan,
dalam
bentuk
kerangka
segitiga
pembangunan
berkelanjutan (sustainable development triangle) seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3.
19
EKONOMI
EKOLOGI Sumberdaya alam dan lingkungan
an a erj pat n k da ata pen mp usi ik ese rib nfl • K edist si ko • R esolu •R
•A • V sesm • I alua en li nte si n rn ling gkun ali k sas ung gan i an
Efisiensi Pertumbuhan
§ Penanggulangan Kemiskinan § Pemerataan § Kelestarian
• Nilai-nilai budaya • Partisipasi • Konsultasi
SOSIAL Keadilan Pemerataan
Gambar 3. Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan Adapun arti berkelanjutan dari setiap aspek adalah sebagai berikut: Berkelanjutan secara ekonomi diartikan bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Berkelanjutan secara sosial budaya mengandung arti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial budaya, kohesi sosial budaya, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial budaya, dan pengembangan kelembagaan, sehingga dapat menciptakan rasa aman dan rasa berkeadilan. Hal tersebut diatas sejalan dengan pendapat Roderic dan Meppem (1997), yang mengatakan bahwa untuk mencapai status berkelanjutan diperlukan pengelolaan terhadap (1) Keberlanjutan ekonomi yang mendukung sistem ekologi, (2) Terdapat pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi
20 sekarang dan generasi yang akan datang secara berimbang/adil, dan (3) Terdapat efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya. Menurut Mitchell (1997) terdapat dua prinsip keberlanjutan yang sangat penting untuk digaris bawahi, yakni prinsip lingkungan/ekologi politik.
dan prinsip sosial budaya
Prinsip lingkungan/ekologi, merupakan prinsip yang akan selalu berupaya
untuk melindungi sistem penunjang kehidupan, memelihara integritas ekosistem, dan mengembangkan dan menerapkan strategi preventif dan adoptif untuk menanggapi ancaman perubahan lingkungan global.
Prinsip sosial budaya politik, akan
mempertahankan skala fisik dari kegiatan manusia di bawah daya dukung atmosfer. Pada prinsip sosial budaya politik, juga sudah memperhatikan (mengenakan) biaya lingkungan dari kegiatan manusia, dan memperhatikan (mengharuskan) adanya kesamaan sosio, politik dan ekonomi dalam transisi menuju masyarakat yang berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Hanley (2001) mengungkapkan bahwa pembangunan berkelanjutan sangat diperlukan terutama dalam hal mengintegrasikan ekonomi, lingkungan sosial budaya dan etika, baik untuk skala nasional maupun skala internasional, sehingga dapat menciptakan kualitas kehidupan yang lebih baik bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Oleh karena itu maka implementasi konsep pembangunan berkelanjutan ini perlu diterapkan pada banyak negara. Dalam rangka mengatasi hal tersebut, maka FAO mengembangkan indikator keberlanjutan untuk pembangunan (wilayah) berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan, teknologi, dan aspek pertahanan keamanan. Pada dasarnya dalam melakukan pembangunan berkelanjutan, di dalamnya pasti akan melakukan pengelolaan lingkungan, yang dapat dikatakan merupakan hal yang sangat
dibutuhkan
dalam
melakukan
pembangunan
berkelanjutan,
sekaligus
implementasi dari aspek ekologi pada pembangunan berkelanjutan. Adapun yang dimaksud dengan pengelolaan lingkungan disini adalah pengelolaan lingkungan yang sesuai dengan UU 23/1997 dan No. 32/2009, yakni upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (UU PPLH No. 32/2009).
Definisi ini dapat dikatakan cukup baik karena
mengartikan pengelolaan lingkungan dengan
cakupan yang luas, yang tidak saja
meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan melainkan juga mencegah proses
21 terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan lingkungan. Adapun ciri-ciri pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut: 1. Menjaga
kelangsungan hidup manusia dengan cara melestarikan
fungsi dan
kemampuan ekosistem yang mendukung langsung maupun tidak langsung. 2. Memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal dalam arti memanfaatkan sumberdaya alam sebanyak mungkin dan teknologi pengelolaan mampu menghasilkan secara lestari. 3. Memberi kesempatan kepada sektor dan kegiatan lain di daerah untuk ber-kembang bersama-sama baik dalam kurun waktu yang sama maupun berbeda secara berkelanjutan. 4. Meningkatkan dan melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem untuk memasok sumberdaya alam, melindungi serta mendukung kehidupan secara terus menerus. 5. Menggunakan prosedur dan tata cara yang memperhatikan kelestarian fungsi dan kemampuan ekosistem untuk mendukung kehidupan baik sekarang maupun masa yang akan datang. 2.7.
Industri Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku,
barang setengah jadi, atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri (Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang Industri).
Pada industrialisasi lebih
mengarah pada suatu proses atau kegiatan industri yang tengah berlangsung (Soerjani et al., 1987). Dilaksanakannya kegiatan industri ini pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata dengan memanfaatkan dana, sumber daya alam, atau hasil budidaya serta memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Departemen Perindustrian (2010) yang mengatakan bahwa peran sektor industri dalam pembangunan ekonomi bertujuan untuk memperluas kesempatan kerja, menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan masyarakat, menghasilkan devisa melalui ekspor dan menghemat devisa melalui substitusi produk impor. Hal ini juga terbukti dari adanya kenyataan bahwa jika pertumbuhan industri pesat, maka akan dapat merangsang
22 terjadinya pertumbuhan sektor pertanian dalam rangka menyediakan bahan baku bagi kebutuhan industri tersebut. Menurut Arsyad (1999) selain dapat merangsang pertumbuhan sektor pertanian, pertumbuhan industri juga akan dapat merangsang pengembangan sektor jasa seperti lembaga keuangan, pemasaran, perdagangan, periklanan dan transportasi. Semua sektor jasa tersebut akan mendukung laju pertumbuhan industri yang dapat menyebabkan meluasnya kesempatan kerja yang pada akhimya meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat. Padahal terdapatnya kenaikan pendapatan dan daya beli masyarakat ini menunjukkan bahwa perekonomian tersebut mengindikasikan terjadi pertumbuhan dan sehat. Adanya pertumbuhan ekonomi yang sehat ini mendorong setiap daerah melakukan kegiatan industri, oleh karenanya maka dapat dimaklumi jika perkembangan industri dewasa ini dapat dikatakan semakin pesat. Adapun faktor lain yang juga ikut mendorong pertumbuhan dan perkembangan industri antara lain adalah sebagai akibat dari adanya penerapan kemajuan teknologi oleh manusia guna mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.
Di lain pihak menurut Allenby (1999) akibat dari adanya
dorongan peningkatan kesejahteraan material guna meningkatkan kualitas hidup ini dibutuhkan barang dan jasa yang semakin banyak. Dalam industrialisasi juga dituntut adanya sumberdaya manusia yang cukup berkualitas, oleh karenanya maka industrialisasi selalu berkaitan dengan diadakannya usaha-usaha untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia serta upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan SDM tersebut di atas dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan sumberdaya lain secara optimal. Namun di lain pihak industrialisasi juga dapat mempengaruhi dan mengubah cara pandang masyarakat agraris seperti halnya Indonesia, yang beranggapan bahwa sektor industri adalah sektor yang dapat meningkatkan kesejahteraan, dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, atau dengan kata lain sektor industri merupakan sektor yang dapat mendongkrak berbagai hal sesuai dengan keinginan semua pihak. Cara pandang masyarakat yang kurang tepat tersebut dapat mendorong masyarakat untuk beramai-ramai melakukan urbanisasi, sehingga masyarakat agraris yang tadinya hidup di perdesaan akan meninggalkan lahan pertaniannya untuk kemudian berpindah ke kota industri dengan bekal keterampilan yang kurang memadai (Allenby, 1999). Urbanisasi masyarakat perdesaan ke perkotaan hampir sangat sulit untuk dicegah pada era industrialisasi. Faktor penarik utamanya berupa adanya kesempatan kerja yang
23 lebih baik di kota sehingga dapat meningkatkan penghasilannya, disamping ketersediaan fasilitas yang lebih banyak dan beragam. Faktor pendorong hal tersebut adalah kemiskinan akibat dari tidak seimbangnya pertambahan penduduk dengan ketersediaan lahan atau tanah di desa. Adanya desakan untuk memenuhi kebutuhan hidup ini mengakibatkan mereka tanpa ada paksaan dari siapapun mereka bermigrasi dan cenderung ke arah mendekati tempat kerjanya (industri). Namun demikian menurut Soemarwoto (2001) selain untuk bekerja pada industri, ada diantara mereka yang dalam tujuan migrasinya bukan untuk bekerja menjadi buruh industri, namun bertujuan untuk melakukan kegiatan sosial budaya ekonomi di luar industri, seperti: membuka warung dan pemondokan. Dalam melaksanakan kegiatan industri tersebut, sudah pasti akan dilakukan pembangunan fisik berupa pembangunan sarana dan prasarana pendukungnya. Namun sayangnya pembangunan sarana dan prasarana tersebut seringkali masih mengabaikan aspek lingkungan, sehingga pembangunan tersebut seringkali tanpa didukung oleh usaha kelestarian lingkungan akan mempercepat proses kerusakan alam (Sunu, 2001). Hal itu dapat ditandai dengan terjadinya kerusakan lingkungan, terkontaminasinya biota-biota yang ada di sekitarnya, terutama biota air yang hidup di perairan penerima limbah cair industri, berkurangnya beberapa biota dan spesies, bahkan terjadi perubahan morfologi dari biota tersebut, sehingga berbeda dari morfologi aslinya (Riani dan Cordova, 2008). Selain hal tersebut, menurut Djajadiningrat (2001) industrialisasi juga dapat mempengaruhi transformasi struktur sosial budaya, seperti urbanisasi, karena industri yang dikembangkan bersifat padat karya. Di sisi lain, jika terdapat suatu kegiatan industri di suatu tempat, walaupun secara ekonomi terjadi dampak positif berupa terjadinya pertumbuhan ekonomi yang sehat, namun di lain pihak, dapat muncul dampak negatif dari kegiatan industri tersebut. Salah satu contoh dari dampak negatif yang dapat diakibatkan oleh kegiatan industri dan teknologi adalah terjadinya pencemaran lingkungan, baik pencemaran udara, pencemaran air, maupun pencemaran tanah. Terjadinya pencemaran-pencemaran tersebut pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya berbagai kerugian, seperti lingkungan menjadi tidak sehat, mahluk hidup yang ada di dalamnya menjadi terganggu hidup dan kehidupannya serta akan mengurangi daya dukung lingkungan (Riani dan Cordova, 2008). Oleh karena itu maka dibutuhkan komitmen semua pihak untuk menjaga kelestarian lingkungan agar generasi yang akan datang tidak mewarisi
24 kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh tindakan manusia saat ini dan dapat menaikan tingkat sosial budaya ekonomi masyarakat (Soemarwoto, 2001). Menurut Soemarwoto (2001) kualitas lingkungan yang baik akan mempunyai potensi untuk didapatkannya kualitas hidup yang tinggi. Selanjutnya dikatakan bahwa bahwa dalam menilai kualitas hidup tersebut, terdapat
tiga buah kriteria yang
menunjukkan tercapai tidaknya kualitas hidup yang diinginkan. Adapun ketiga kriteria tersebut, adalah sebagai berikut. 1. Derajat dipenuhinya kebutuhan untuk hidup sebagai makhluk hayati. Kebutuhan ini bersifat mutlak, didorong oleh keinginan manusia untuk menjaga kelangsungan hidup hayatinya. Kelangsungan hidup hayati tidak hanya menyangkut dirinya, melainkan juga masyarakat dan terutama keturunannya. Kebutuhan ini terdiri atas udara, air, pangan. Kesempatan ini untuk mendapatkan keturunan serta perlindungan terhadap serangan penyakit dan sesama manusia. Kebutuhan hidup ini dalam keadaan terpaksa mengalahkan kebutuhan hidup yang lain. 2. Derajat dipenuhinya kebutuhan untuk hidup manusiawi. Kebutuhan hidup ini bersifat relatif, walaupun ada kaitan dengan kebutuhan hidup jenis pertama di atas. Di dalam kondisi iklim Indonesia, rumah dan pakaian, bukanlah kebutuhan yang mutlak untuk kelangsungan hidup hayati, melainkan kebutuhan untuk hidup manusiawi. Kebutuhan hidup manusiawi yang lain adalah pendidikan, agama, seni dan kebudayaan. 3. Derajat
kebebasan untuk memilih. Dalam masyarakat yang tertib, derajat
kebebasan dibatasi oleh hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Adanya hubungan antara kualitas lingkungan dengan kualitas hidup yang diukur berdasarkan tiga kriteria tersebut di atas, memperlihatkan bahwa pada dasarnya kualitas lingkungan dapat diukur. Adapun yang dimaksud dengan kualitas lingkungan di sini adalah kondisi lingkungan dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Semakin tinggi derajat kemampuan lingkungan hidup untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, semakin tinggi pula kualitas hidup dan sebaliknya. Semakin memburuknya kualitas lingkungan maka semakin tinggi dan berat biaya pencapaian tujuan pembangunan yang diinginkan.
25 2.8 Pengelolaan Lingkungan Dalam rangka mencapai pembangunan berkelanjutan, hal yang pertamakali harus dilakukan adalah melakukan pengelolaan lingkungan, sehingga sumberdaya yang ada di dalamnya menjadi lestari. Oleh karenanya maka untuk mencapai pembangunan berkelanjutan
maka
pengelolaan
sumberdaya
alam
harus
mengikuti
konsep
pembangunan sumberdaya yang berkelanjutan, seperti yang dinyatakan oleh Fauzy dan Anna (2005) yang menyatakan bahwa konsep pembangunan sumberdaya yang berkelanjutan harus mengandung aspek: 1. Ecological
sustainability
(keberlanjutan
ekologi).
Dalam
pandangan
ini
pemanfaatan sumberdaya alam/hutan hendaknya tidak melewati batas daya dukungnya. Peningkatan kapasitas dan kualitas ekosistem menjadi hal yang utama. 2. Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosial budaya-ekonomi). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perlu memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pemanfaat sumberdaya pada tingkat individu. 3. Comunity sustainability, mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat perlu menjadi perhatian pembangunan yang berkelanjutan. 4. Institusional sustanability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut memelihara aspek finansial dan administrasi
yang
sehat
merupakan
prasyarat
dari
ketiga
pembangunan
berkelanjutan diatas. Dalam hal pengelolaan lingkungan (melalui pendekatan sumberdaya alam), guna mencapai pembangunan yang berkelanjutan, ada empat prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Optimalisasi pemanfaatan sosial budaya dan ekonomi; bahwa pengembangan sumberdaya alam harus didasarkan pada strategi yang dapat mengoptimalkan manfaat sosial budaya dan ekonomi jangka panjang dari sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. 2. Koordinasi antar bidang sektoral; ekosistem sumberdaya alam wajib dikelola dengan memadukan kebijakan-kebijakan sektoral, perencanaan dan strategi pengelolaan guna mengoptimalisasi pemanfaatanya. Optimalisasi manfaat sosial budaya ekonomi dapat dicapai dengan peningkatan koordinasi yang lebih baik dalam proses perencanaan atas kebutuhan pemanfaatan sumberdaya alam.
26 3. Multiguna sumberdaya alam; dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya, kegiatan perencanaan dan manajemen sumberdaya alam dilakukan dengan mengambil berbagai kegunaan yang dimiliki oleh sumberdaya alam yang tersedia dan dapat diperbaharui. 4. Memperhatikan kapasitas ekosistem; pemanfaatan sumberdaya alam akan sangat bergantung pada kemampuan ekosistem sumberdaya alam tersebut dalam menyediakan sumber daya guna memenuhi permintaan. Dalam pengelolaan lingkungan kita mengenal tiga standar pengelolaan, yaitu (1) British Standard (BS 7750): 1994 yang berlaku di Inggris; (2) Environmental Management Audit Scheme (EMAS) yang berlaku di Uni Eropa; dan (3) ISO seri 14000 merupakan standar internasional yang menjadi sarana penting dalam perdagangan global yang terbuka dan tidak memihak, khususnya berkaitan dengan pemberian perlakuan yang tepat dalam penanganan masalah lingkungan (Simatupang, 1995). Dalam hal yang berkaitan dengan perdagangan global penerapan ISO seri 14000 dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk kongkrit dari implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan. Bahkan Simatupang (1995) mengatakan bahwa terbitnya ISO seri 14000 pada pertengahan 1996 merupakan babak baru dalam standarisasi perdagangan dunia setelah diterapkan ISO seri 9000 yang dianggap cukup handal dalam bidang sistem manajemen kualitas (QMS). Dengan demikian, standar ISO seri 14000 dapat digunakan sebagai sarana meningkatkan daya saing suatu produk industri dalam menembus pasar internasional dan sekaligus dijadikan faktor penggiat dalam mengembangkan upaya pengelolaan lingkungan. Standar ISO seri 14000 bertumpu pada prinsip perbaikan terus-menerus (continous improvement) dengan membawa elemen baru bagi peningkatan manajemen organisasi, yaitu pendekatan sistem manajemen untuk mengoptimalkan seluruh kinerja lingkungan dan menengahi setiap kerusakan lingkungan. Penerapan ISO seri 9000 difokuskan pada kepuasan pelanggan dan persyaratan kualitas internal, sedangkan penetapan ISO seri 14000 membuat perusahaan bukan saja mampu memuaskan pelanggan dan masyarakat tetapi sekaligus dapat memenuhi persyaratan peraturan lingkungan yang diberlakukan. Pada ISO/DIS (Draft of International Standard) 14001, perbaikan terus-menerus ini harus dapat mengoptimalkan lima bidang kegiatan dalam model sistem pengelolaan lingkungan (EMS) yang saling berhubungan dan bersamaan, yaitu (1) peninjauan
27 manajemen; (2) kebijakan lingkungan, (3) perencanaan: aspek lingkungan; aspek hukum, persyaratan sasaran dan target; program pengelolaan lingkungan; (4) implementasi dan operasi: struktur dan pertanggungjawaban; pelatihan dan kepatuhan; komunikasi; dokumentasi sistem pengelolaan lingkungan; pengendalian dokumen; pengendalian operasional; kesiapan dan reaksi pada keadaan darurat; dan (5) pemeriksaan dan tindakan perbaikan; monitoring dan pengukuran; tanpa konfirmasi dan tindakan korektif dan pencegahan; pencatatan; audit sistem pengelolaan lingkungan. Sehingga dari situ akan didapatkan manfaat dari penerapan standar ISO 14001, melalui sertifikasi (RSCC-PC), yakni pengurangan limbah. Pemberian sertifikasi ini dilakukan setelah lembaga sertifikasi yang melakukan penelitian atau audit proses dan dokumentasi suatu kegiatan industri tersebut telah melihat adanya kesesuaian pelaksanaan SML (sistem manajemen lingkungan) di pabrik tersebut dan industri tersebut telah memiliki SML yang memenuhi standar ISO 14001 dan menerapkan SML terus menerus secara aktif dalam kegiatan sehari-hari di pabrik. Selanjutnya setelah mendapatkan sertifikat ISO, maka perusahaan tersebut harus melakukan kegiatan SML yang ada di bawah pengawasan dengan cara dilakukan audit di lapangan minimal 2 kali setahun oleh lembaga sertifikasi SML yang telah memperoleh akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional (Hadiwiardjo, 1997). Menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/I/1988 yang dimaksud dengan polusi atau pencemaran air dan udara adalah masuk dan dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air/udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air/udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air/udara menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Adanya sertifikasi ISO 14001 ini sangat diperlukan mengingat dengan semakin meningkatnya perkembangan industri, baik industri migas, pertanian maupun industri non migas lainnya, maka semakin meningkat pula tingkat pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh adanya buangan-buangan industri (Fardiaz, 1992). Oleh karenanya maka pengelolaan lingkungan wajib dilakukan oleh suatu industri.
28 2.9
Pencemaran Menurut UU. No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup atau
saat ini telah diubah menjadi UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Indikator pencemaran air dapat diketahui melalui perubahan baik ditinjau dari aspek fisika, aspek kimia maupun aspek biologi (Manahan, 2002).
Secara umum
terjadinya pencemaran ini berasal dari adanya bahan buangan (limbah) baik limbah yang dikelompokkan sebagai limbah padat, limbah organik, limbah anorganik, limbah olahan bahan makanan, limbah cairan berminyak, limbah zat kimia, limbah berupa panas, dan sebaginya. Pada industri gula seringkali dihasilkan limbah yang didominasi oleh limbah kimia organik. Limbah yang didominasi bahan kimia organik ini seringkali mengakibatkan terjadinya keracunan baik pada hewan air yang hidup pada perairan yang tercemar bahan organik, maupun pada hewan darat, bahkan pada manusia yang hidup pada lingkungan darat yang tercemar bahan organik. Atau dapat pula meracuni manusia yang menggunakan air yang mengandung di dalamnya tercemar bahan kimia organik tersebut (Darmono, 2001). Menurut
Sutamihardja
(1982),
perubahan-perubahan
yang
terjadi
dan
mengakibatkan berubahnya kualitas lingkungan, pada umumnya/sebagian besar berasal dari aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, baik di darat maupun di wilayah perairan seperti di wilayah pesisir. Bahkan aktivitas manusia dapat dikatakan merupakan sumber terbesar dari pencemaran. Oleh karena itu maka pengendaliannya harus dilakukan dengan mengendalikan aktivitas manusia itu sendiri, di samping pengendalian sumber-sumber pencemar yang berasal dari aktivitas alam seperti banjir, tanah longsor dan lain-lain. Beberapa sumber pencemar yang merupakan aktivitas alam seperti letusan gunung berapi dan angin ribut, memang sulit untuk dihindari. Ada beberapa parameter yang sering diukur sebagai parameter pencemaran dari limbah yang
29 didominasi oleh bahan organik, terutama jika limbah tersebut masuk ke dalam suatu badan air adalah: Nilai pH Nilai pH adalah derajat keasaman yang terdapat pada suatu media, baik itu air
maupun tanah. Pada perairan yang menjadi tempat bermuaranya limbah cair industri, seperti limbah cair organik yang melimpah seringkali mengakibatkan nilai pH tersebut menurun. Penurunan pH dalam perairan pada prinsipnya dapat mengakibatkan berbagai hal, diantaranya akan mengganggu hidup dan kehidupan biota yang terdapat di dalamnya. Selain itu juga dapat menyebabkan penguraian karbonat dan hidroksida sehingga meningkatkan absorpsi kation logam dari sedimen. Oleh karena itu maka semakin rendah pH semakin banyak desorpsi logam, dan sedimen tinggi konsentrasi logam dalam perairan. Hal ini akan berakibat pada keadaan redoks air, dan mempengaruhi kehidupan mikroorganisme dan ikan yang hidup di dalamnya (Fardiaz, 1992). Biological Oxygen Demand (BOD) BOD atau kebutuhan oksigen biologis atau biological oxygen demand (BOD), merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mendegradasi bahan organik yang terdapat pada suatu media air pada suhu dan periode waklu tertentu. Oleh karena itu maka pengukuran BOD bertujuan untuk mengukur jumlah oksigen yang diperlukan oleh bakteri (mikroba) guna menguraikan bahan organik dalam media cair tersebut, melalui penguraian secara aerobik atau dengan kata lain melalui proses oksidasi yang dilakukan oleh mikroorganisme yang terdapat pada media cair mengandung oksigen yang cukup. Mengingat proses penguraian bahan organik yang dilakukan oleh bakteri secara aerobik, maka proses tersebut akan mampu menghabiskan oksigen terlarut, sehingga berdampak pada kematian biota dan menimbulkan bau yang tidak sedap seperti telur busuk, dan aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan bahan organik tersebut akan semakin meningkat jika berada pada suhu di atas 60°C. Nilai BOD selain dipengaruhi oleh suhu juga dipengaruhi oleh pH media cair tersebut. Hal ini ada kaitannya dengan kehidupan mikroorganisme yang menguraikan bahan organik tersebut. Dalam hal ini karena organisme yang merombak bahan organik akan menyesuaikan diri pada pH 6,5 - 8,3. BOD merupakan indikator pencemaran organik. Oleh karena itu maka BOD merupakan indikator pencemaran organik yang
30 banyak digunakan untuk menilaikualitas suatu perairan atau menilai kualitas limbah cair atau untuk menilai kepekatan limbah.
Nilai BOD juga dapat dimanfaatkan untuk
merancang sistem penanganan limbah cair secara biologis yang didasarkan pada reaksi oksidasi. Kimia Terlarut (COD) Kebutuhan oksigen kimiawi atau chemical oxygen demand (COD) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi seluruh bahan organik secara kimiawi yang terdapat dalam suatu media cair, baik dalam ekosistem perairan maupun dalam limbah cair. Reaksi yang terjadi pada penentuan COD, bahan organik yang terdapat pada media cair tersebut dioksidasi dengan menggunakan K 2 Cr 2 O 7 (kalium bichromat) sebagai sumber oksigennya, sehingga akhirnya akan terurai menjadi gas CO 2 dan H 2 O serta sejumlah ion khrom. Pada media cair yang tercemar limbah organik pada umumnya dapat dicerminkan dari warna media cair tersebut. Dalam hal ini, sebelum berlangsung reaksi oksidasi pada umumnya media cair berwarna kuning, dan setelah reaksi oksidasi berubah menjadi berwarna hijau. Jumlah oksigen yang diperlukan untuk reaksi oksidasi limbah organik tersebut pada dasarnya seimbang dengan jumlah kalium bichromat yang digunakan. Dalam hal ini semakin banyak kalium bichromat yang digunakan pada reaksi oksidasi, identik dengan jumlah oksigen yang diperlukan untuk menguraikan bahan organik tersebut. Secara umum kebutuhan oksigen untuk keperluan penguraian bahan organik secara kimia, akan lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan oksigen untuk penguraian bahan organik secara biologi. Hal ini terjadi karena bahan-bahan organik yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme, semuanya akan dapat ikut teroksidasi dalam uji COD. Sebagai contoh selulosa, selulosa merupakan bahan yang sulit diukur melalui uji BOD karena sulit dioksidasi oleh mikroorganisme, namun melalui reaksi kimia, dapat diuraikan.
2.10 Analisis Kebijakan Menurut Widjajono (1999), analisis kebijakan adalah ilmu yang menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan publik. Menurut Vining et al. (1998), analisis kebijakan merupakan suatu nasehat yang berorientasi pada klien, yang relevan dengan kebijakan publik dan disampaikan dengan nilai-nilai sosial budaya. Namun demikian tidak semua nasehat berarti analisis kebijakan, sehingga untuk menentukan nasehat
31 tersebut merupakan kebijakan publik atau tidak, perlu dibuat lebih spesifik dan terkait dengan kebijakan publik. Analisis kebijakan juga sering diartikan sebagai ilmu seni dan keahlian. Oleh karena itu maka keberhasilan analisis kebijakan harus dapat mempergunakan keahlian dasar ke dalam perspektif yang realistik atas ketentuanketentuan dalam masyarakat. Menurut Dwijowijoto (2003) pada dasarnya analisis kebijakan mencakup tiga hal utama yang saling kait mengkait, yaitu bagaimana merumuskan kebijakan, bagaimana mengimplementasikan kebijakan dan seperti apa evaluasi kebijakannya (setiap kebijakan dirumuskan untuk tujuan tertentu yaitu mengatur sistem yang sedang berjalan untuk mencapai tujuan
bersama yang telah disepakati). Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa analisis kebijakan adalah tindakan yang diperlukan dalam rangka pembuatan sebuah kebijakan, baik kebijakan yang baru sama sekali atau kebijakan yang baru sebagai konsekuensi dari kebijakan yang ada. Begitu pentingnya analisis kebijakan ini mengakibatkan pekerjaan analisis kebijakan menjadi suatu keharusan bagi perumus kebijakan, namun demikian pada implementasi kebijakan dan lingkungan kebijakan, analisis kebijakan tidak terlalu ditekankan lagi. Pada implementasi kebijakan dan lingkungan biasanya dilakukan evaluasi. Namun demikian, evaluasi kebijakan merupakan bagian dari analisis kebijakan yang lebih berkenaan dengan prosedur dan manfaat dari kebijakan. Meskipun analisa kebijakan lebih fokus kepada perumusan, namun setiap analisis kebijakan pasti akan mencakup evaluasi kebijakan. Hal ini disebabkan pada analisis kebijakan mencakup seluruh proses mulai dari proses awal kebijakan, yaitu menemukan isu kebijakan, menganalisa faktor pendukung kebijakan, implementasi kebijakan tersebut, peluang evaluasinya, serta juga mencakup kondisi lingkungan kebijakan. Menurut Aminullah (2004) pada analisis kebijakan kita dituntun untuk menemukan langkah strategis yang nantinya akan mempengaruhi sistem. Ada dua pilihan skenario yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi kinerja sistem yaitu: (1) kebijakan fungsional, skenario dengan tindakan yang mempengaruhi fungsi dari unsur sistem tanpa merubah sistem; dan (2) kebijakan struktural, skenario dengan tindakan yang akan menghasilkan sistem yang berbeda. Analisis kebijakan juga merupakan ilmu yang menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan publik. Produk analisis kebijakan adalah nasehat sehingga
32 seorang analis kebijakan hanyalah penasehat kebijakan bukan penentu kebijakan. Secara umum analisis kebijakan bertujuan untuk menganalisis dan mencari alternatif kebijakan yang dapat dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan bagi penentu kebijakan. Oleh karena itu dalam persiapan analisis kebijakan, seorang analis kebijakan menurut Vining et al. (1998) perlu memperhatikan lima hal yaitu : 1. Analis perlu tahu bagaimana mengumpulkan, mengorganisasi dan berkomunikasi dalam situasi di mana terdapat batasan waktu dan akses kepada orang-orang. 2. Analis perlu mempunyai prespektif untuk melihat masalah-masalah sosial budaya dalam konteksnya. 3. Analis perlu memiliki kemampuan teknik agar dapat memprediksi dengan baik dan mengevaluasi alternatif kebijakan dengan percaya diri. 4. Analis perlu mempunyai pemahaman perilaku organisasi dan politik agar supaya dapat memprediksi kemungkinan pengaruh dan keberhasilan pelaksanaan kebijakan. 5. Analis
perlu
mempunyai
rambu-rambu
etika
bahwa
secara
ekplisit
bertanggungjawab kepada klien. Muhammadi et al. (2001) menyatakan bahwa analisis kebijakan adalah pekerjaan intelektual memilah dan mengelompokkan upaya atau untuk memperoleh pengetahuan tentang cara-cara yang strategis dalam mempengaruhi sistem, sehingga akan mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam sistem dinamis untuk menyederhanakan sistem dalam analisis kebijakan pada umumnya digunakan simulasi model. Ada dua tahap simulasi model untuk analisis kebijakan yaitu: (1) pengembangan kebijakan alternatif, yaitu suatu proses berpikir kreatif untuk menciptakan ide-ide baru tentang tindakan yang diperlukan dalam rangka mempengaruhi sistem untuk mencapai tujuan, baik dengan cara merubah model maupun tanpa merubah model; dan (2) analisis kebijakan alternatif, suatu upaya untuk menentukan alternatif kebijakan yang terbaik dengan mempertimbangkan perubahan sistem serta perubahan lingkungan ke depan. Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan preskriptif. Sebagai disiplin ilmu terapan, analisis kebijakan meminjam tidak hanya ilmu sosial budaya dan perilaku tetapi juga administrasi publik, hukum, etika dan berbagai macam cabang analisis sistem dan matematika terapan. Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan: (1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah
33 teratasi, (2) fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai, dan (3) tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilainilai. Analisis kebijakan pada dasarnya adalah suatu upaya untuk mengetahui apa yang sesungguhnya dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukan hal tersebut dan apa yang menyebabkan mereka melakukannya dengan cara yang berbeda-beda. Analisis kebijakan merupakan suatu proses pencarian kebenaran yang bermuara pada penggambaran dan penjelasan mengenai sebab-sebab dan akibat dari tindakan pemerintah. Secara umum kita mengenal tiga jenis analisis kebijakan, yaitu: (1) analisis prospektif, (2) analisis retrospektif, dan (3) analisis terintegrasi (Dunn, 1994). Analisis prospektif merupakan analisis kebijakan yang terkait dengan produksi dan transformasi informasi sebelum tindakan kebijakan dilakukan. Analisis retrospektif, sebaliknya berkaitan dengan produksi dan transformasi informal setelah tindakan kebijakan dilakukan. Sedangkan analisis terintegrasi adalah analisis kebijakan yang secara utuh mengkaji seluruh daur kebijakan dengan menggabungkan analisis prospektif dan retrospektif. 2.11 Model Menurut Manetsch and Park (1997) model adalah penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata (riil), sehingga untuk aspek-aspek tertentu, model akan bertindak seperti dunia nyata. Oleh karena itu maka model yang baik akan memberikan gambaran perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan meminimalkan perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan. Menurut Forrester (1968), model adalah pengganti dari suatu obyek atau sistem. Pemodelan adalah suatu gugus aktivitas pembuatan model. Jorgensen (1988), menyatakan model adalah pernyataan formal dari suatu sistem yang terdiri atas parameter penting suatu permasalahan dalam istilah fisik atau matematis. Pemodelan adalah proses membangun suatu sistem nyata dalam suatu bahasa tertentu misalnya dalam bahasa matematik (Forrester, 1980) Murdick et al. (1984) dan Simatupang (1995) mengemukakan bahwa model sebagai suatu representasi atau formalisasi interaksi berbagai proses yang terjadi dalam suatu sistem nyata. Sistem nyata adalah sistem yang sedang berlangsung yang dijadikan
34 perhatian dan dipermasalahkan. Model juga dapat digunakan untuk keperluan optimasi, dimana suatu kriteria model dioptimalkan terhadap input atau struktur sistem alternatif. Karena itu, model dapat dibangun dengan basis data (data base) atau basis pengetahuan (knowledge base) (Eriyatno, 2003). Dalam menyelesaikan permasalahan yang kompleks salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan konsep model simulasi. Penggunaan simulasi, akan mengakibatkan model mengkomputasikan jalur waktu dari variabel model untuk tujuan tertentu dari input sistem dan parameter model. Oleh karena itu maka model simulasi akan dapat memprediksi dunia riil yang kompleks. Model dan manipulasinya melalui proses simulasi adalah alat yang sangat bermanfaat dalam sistem analisis. Model dapat digunakan sebagai representasi sebuah sistem yang sedang dikerjakan atau menganalisis sistem yang sudah dilakukan. Adanya penggunaan model akan dihasilkan desain atau keputusan operasional dalam waktu yang singkat dan biaya yang murah (Blanchord dan Fabrycky, 1981). Dalam pelaksanaan simulasi, model mempunyai peranan yang penting, dan bermanfaat untuk mengkaji suatu sistem yang kompleks. Model adalah suatu gambaran abstrak dari sistem dunia nyata dalam hal-hal tertentu. Suatu model yang baik akan menggambarkan dengan baik segi tertentu yang penting dari perilaku dunia nyata (Manetsch et al. 1977). Berdasarkan berbagai pendapat tersebut diatas, maka model secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk peniruan dan penyederhanaan dari suatu gejala, proses atau benda dalam skala yang lebih kecil skalanya. Menurut Muhammadi et al. (2001), pemahaman struktur dan perilaku sistem akan membantu dalam pembentukan model dinamika kuantitatif formal, dengan menggunakan diagram sebab akibat (causal loop) dan diagram alir (flow chart). Diagram sebab akibat akan dipergunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir yang akan disimulasikan dengan menggunakan program
model yang ada dalam
software atau program untuk analisis sistem, sehingga setelah dilakukan analisis akan didapatkan kesimpulan dan kebijakan apa yang harus dilaksanakan. Selanjutnya dikatakan bahwa tahapan-tahapan untuk melakukan simulasi model adalah sebagai berikut : 1. Penyusunan konsep: pada tahap ini dilakukan identifikasi variabel-variabel yang berperan dalam menimbulkan gejala atau proses. Variabel-variabel tersebut saling berinteraksi, saling berhubungan, dan saling berketergantungan. Kondisi ini
35 dijadikan sebagai dasar untuk menyusun gagasan atau konsep mengenai gejala atau proses yang akan disimulasikan. 2. Pembuatan model: gagasan atau konsep yang dihasilkan pada tahap pertama selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian, gambar atau rumus. 3. Simulasi: simulasi dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat. Pada model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, sedangkan
pada model kualitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan
melakukan analisis hubungan sebab akibat antar variabel dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan untuk memahami perilaku gejala atau proses model. 4. Validasi hasil simulasi: validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik jika kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi tersebut digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta kecenderungan di masa depan, yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi pengambil keputusan untuk merumuskan suatu kebijakan di masa mendatang.
Penyusunan model itu sendiri terdiri atas beberapa tahap yaitu pendefinisian atau pembatasan masalah, penyusunan model konseptual, penyusunan model matematik, verifikasi dan pengujian keabsahan model. Pembatasan masalah terdiri dari kegiatan penetapan gejala, identifikasi masalah, dan definisi masalah. Penyusunan model konseptual dengan menyusun suatu keterkaitan antar variabel dalam suatu sistem sehingga menghasilkan suatu rangkaian yang mengindikasikan gambaran performance dari apa yang ingin dicapai.
Penyusunan model matematika adalah kumpulan
keterkaitan variabel-variabel yang membentuk formulasi atau fungsi persamaan yang mengekspresikan sifat pokok dari suatu sistem atau proses fisik. Pada dasarnya keberhasilan suatu model sangat ditentukan oleh kemampuan seorang pemodel dalam mendefinisikan sejumlah elemen yang terkait pada model tersebut pada sistem yang nyata. Hal penting dalam pengembangan model adalah mencari peubah-peubah utama dan peubah-peubah tersebut sangat erat hubungannya dengan pengkajian yang terdapat pada peubah-peubah.
36 Secara umum model dibagi 3, yaitu model ikonik (objek fisik), model analog atau representasi grafis (model visual), dan model simbolik atau model abstrak disebut juga model matematik. Dalam hal ini, khusus untuk ilmu sistem, ilmu sistem memusatkan perhatian pada model simbolik sebagai perwakilan dari realitas yang dikaji. 2.12 Alur proses industri gula Alur proses industri gula pada umumnya diseluruh dunia adalah sama; yang membedakan
adalah
sistem
pemasakan
melalui
sulfitasi
atau
(katalisatornya yaitu karbon) (Gambar 4).
Penccurahan
Pembersihan
Pemotongan
Bagas
Air pembe rsih
Air pemb ersih
Gambar 4 : Alur proses industri pengolahan tebu menjadi gula
carbonatasi
37
2.13 Produksi Bersih (Green Production) Dalam penelitian ini disamping kriteria “produksi bersih” akan lebih bertitik tolak kepada “green productivity”. Green productivity (GP) is a strategy for simultaneously enhancing productivity and environmental performance for overall socio-economic development that leads to sustained improvement in the quality of human life. It is the combined application of appropriate productivity and environmental management tools, techniques and technologies that reduce the environmental impact of an organization's activities, products and services while enhancing profitability and competitive advantage. (Source: Asian Productivity Organization (APO), Januari 2008) Hal ini dianggap lebih luas cakupannya dibanding definisi “produksi bersih” karena ada beberapa aspek yang sangat erat kaitannya dengan kualitas lingkungan yaitu management tools, techniques and technologies dalam rangka mengurangi dampak kegiatan manusia dalam kegiatan produksi dan jasa untuk peningkatan profitability and competitive advantage.
Barang sisa (waste)/jenis limbah yang dapat dimanfaatkan
dalam proses pembuatan gula dan dapat dijadikan nilai ekonomi yang lebih tinggi dari industri gula antara lain (Gambar 5) seperti: 1. Bagasse/blotong: electricity (listrik), charqucoal briquettes (bahan bakar), methane and producer gas (bahan bakar), pulp and paper (kertas), paper board and card board (kertas),
fibre board (karton),
particle board (karton), moulded board
(karton), cement baggase board (semen, karton), alpha cellulose (bahan selulusa), carboxymethyl cellulose (tambahan selulosa), xylitol (bahan campuran kimia), diaceltyl (bahan campuran kimia), plastik (bahan plastik), etanol (bahan bakar dll), amonia (amoniak), poultry litter & mulch (bahan makanan ternak), bagasse concrette (campuran beton). 2. Molassse: exportation, fertilizer (pupuk), dehydrated molasses, animal feed (bahan campuran makanan ternak), rum, ethyl alcohol (alkohol), rectified spiritus (spirtus), anhydroses alcohol (alkohol), alcohol derivatives (alcohol), vinegar and acetic acid (campuran asam), acetone – butanol (aseton), citric acid (campuran asam), glycerol (gliserol), yeast, single cell protein (bahan protein), aconitic acid (campuran asam), monosodium glutamate (pecin), dextron (bahan kosmetik), l-lysine (bahan
38 kosmetik), xnatham gum (bahan bumbu masak), itasonic acid (bahan kosmetik), linolenic acid (bahan kosmetik)
Gambar 5. Pengolahan produk turunan industri gula (limbah) dan pemanfaatannya
2.14 Partisipasi Masyarakat Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah “A categorical terms for citizen power. It is the redistribution of power that enables the have not citizens, presently excluded from the political and
39 economic processes, to deliberately include in the future”. Definisi ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat sebenarnya merupakan suatu kategori istilah kekuasaan masyarakat. Partisipasi sesungguhnya adalah pendistribusian kembali kekuasaan dari kekangan proses politik dan ekonomi untuk kemudian bebas menentukan masa depannya. Berdasarkan hal tersebut Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009) mengidentifikasikan tingkatan partisipasi masyarakat menjadi delapan tangga/tingkatan (level), mulai dari tanpa partisipasi sampai dengan pendelegasian kewenangan untuk mengawasi. Delapan tingkatan partisipasi tersebut, yaitu manipulation, therapy, informing, consultation, placation, partnership, delegated power dan citizen control. Pengertian dari masing-masing tingkatan partisipasi masyarakat menurut Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009) adalah sebagai berikut: Pertama, partisipasi masyarakat pada tingkatan manipulasi (manipulation). Tingkatan partisipasi ini merupakan tingkatan yang paling rendah karena masyarakat hanya dipakai namanya sebagai anggota dalam berbagai badan penasehat (advising board). Pada tingkatan ini, partisipasi masyarakat sebenarnya diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi oleh pihak penguasa dengan tujuan publik mengetahui bahwa masyarakat juga terlibat dalam proses pembangunan, bahkan sebagai badan penasehat. Pemahaman ini untuk industri gula pada zaman penjajahan Belanda, dipakai secara murni; dimana rakyat dengan tingkat pendidikan yang masih rendah diintimidasi/dimanipulasi, diharuskan menanam tebu diatas lahan petani itu sendiri. Hasil panennya disampaikan ke PG. Mereka tidak menghitung rendemen dan lain sebagainya, hanya menerima penggantian harga sesuai dengan beratnya tebu. Kedua, partisipasi masyarakat pada tingkatan terapi (therapy). Tingkat partisipasi ini sebenarnya hanyalah kedok dengan melibatkan peran masyarakat dalam perencanaan. Para perencana atau perancang sebenarnya memperlakukan anggota masyarakat seperti dalam proses penyembuhan pasien penyakit jiwa dalam group therapy. Meskipun masyarakat terlibat dalam berbagai kegiatan, pada kenyataannya kegiatan tersebut lebih banyak untuk mengubah pola atau cara pikir masyarakat yang bersangkutan daripada mendapatkan masukan atau usulan-usulan mereka. Pola ini hanya sebagai ajakan semu, seolah-olah diajak berfikir perencanaan padahal masih bersifat menutup-nutupi kegiatan proses giling. Dengan demikian degradasi lahan akibat tidak adanya siklus tanam dengan varietas bibit tebu atau tanaman lain.
40 Ketiga, partisipasi masyarakat pada tingkatan pemberian informasi (informing). Pada tingkat ini pihak pelaksana pembangunan memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak-haknya, tanggung jawabnya, dan berbagai pilihan yang dapat menjadi langkah pertama yang sangat penting dalam pelaksanaan peran masyarakat. Meskipun demikian, yang sering terjadi penekanannya lebih pada pemberian informasi satu arah dari pihak pemegang kuasa pelaksana pembangunan kepada masyarakat tanpa adanya kemungkinan untuk memberikan umpan balik atau kekuatan untuk negosiasi dari masyarakat. Dalam keadaan semacam itu, terutama bila informasi diberikan pada saat-saat terakhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mempengaruhi rencana program tersebut agar dapat menguntungkan mereka. Alat-alat yang sering dipergunakan untuk komunikasi satu arah adalah media berita, pamflet, poster dan tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan. Pada tingkatan ini, tidak tercipta komunikasi dialogis atau komunikasi dua arah sehingga aspirasi dari bawah tidak tersalurkan dengan baik. Masyarakat hanya diberikan informasi masa mulai giling, mulai pemupukan, masa olah pasca panen oleh PG, akan tetapi tidak diberikan alasan kuat mengapa waktu-waktu itu yang dilakukan bukan waktu lain. Para petani tebu pun tidak dapat merubah skenario PG. Dengan demikian secara umum, bergaining position masih sangat lemah. Sampai sekarangpun kejadiannya masih seperti itu. Keempat, partisipasi masyarakat pada tingkatan konsultasi (consultation). Pada tingkatan ini, pihak penyelenggara pembangunan menggali opini dan aspirasi setelah memberikan informasi kepada masyarakat. Akan tetapi, bila konsultasi dengan masyarakat tersebut disertai dengan cara-cara peran yang lain, cara ini tingkat keberhasilannya rendah, karena tidak adanya jaminan bahwa kepedulian dan ide masyarakat akan diperhatikan. Metode yang sering dipergunakan adalah attitude surveys atau survai tentang arah pikiran masyarakat, neighbourhood meeting atau pertemuan lingkungan masyarakat dan public hearing atau dengar pendapat dengan masyarakat. Konsultasi dengan para petani tebu, pada dasarnya bukan untuk meningkatkan kemitraan sejati akan tetapi masih kepada meggali keinginan masyarakat dalam waktu pendek. Seperti halnya penentuan bibit, irigasi, pola tanam/tebang; belum sampai kepada peningkatan produktifitas dalam arti sesunggunya. Kelima, partisipasi masyarakat pada tingkatan perujukan (placation). Pada tingkat ini, masyarakat mulai mempunyai beberapa pengaruh meskipun beberapa hal masih tetap ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Dalam pelaksanaannya
41 beberapa anggota masyarakat yang dianggap mampu dimasukkan sebagai anggota dalam badan-badan kerja sama pengembangan kelompok masyarakat yang anggotaanggota lainnya wakil-wakil dan berbagai instansi pemerintah. Dengan sistem ini usulusul atau keinginan dari masyarakat terutama lapis bawah dapat diungkapkan. Namun demikian, seringkali suara dari masyarakat tersebut tidak diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya yang relatif lebih rendah, atau jumlah mereka terlalu sedikit dibanding dengan anggota-anggota instansi pemerintah lain. Biasanya masyarakat pada tingkatan ini akan mengalami berbagai kekalahan dalam memperjuangkan keinginan dan aspirasi komunitasnya. Rujukan bagi peningkatan produktifitas belum bisa jadi acuan. Artinya PG yg tanahnya punya HGU, karena tingkatan produktifitasnya masih sama-sama dengan petani tebu pada umumnya. Oleh karena itu setiap tindakan, baik itu yang sifatnya on farm maupun off farm, belum terlihat sejara jelas pada proses kemitraan di industri gula berbasis tebu. Keenam, partisipasi masyarakat pada tingkat kemitraan (partnership). Pada tingkat ini, atas kesepakatan bersama, kekuasaan dalam berbagai hal dibagi antara pihak masyarakat dengan pihak pemegang kekuasaan. Dalam hal ini disepakati bersama untuk saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan, pengendalian keputusan, penyusunan kebijakan dan pemecahan baerbagai masalah yang dihadapi. Setelah adanya kesepakatan tentang peraturan dasar tersebut, maka tidak dibenarkan adanya perubahanperubahan yang dilakukan secara sepihak oleh pihak manapun. Pada tingkat ini posisi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan dalam penyelenggaraan pembangunan relatif egaliter (setara). Tingkat kemitraan yang dimaksudkan disini baru teralisir pada tatanan penyelenggaraan hasil panen, dimana hasil tebunya saling ketergantungan. PG membutuhkan tebu sebagai bahan baku industri gula, petani membutuhkan PG sebagai agen pembelian. Selebihnya dari itu belum terwujud secara langgeng/lestari. Ketujuh, partisipasi masyarakat pada tingkat pendelegasian kekuasaan (delegated power). Pada tingkat ini, masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana atau program tertentu. Pada tahap ini, masyarakat mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana atau program tertentu. Pada tahap ini, masyarakat mempunyai kewenangan untuk diperhitungkan bahwa program-program yang akan dilaksanakan bermanfaat bagi mereka. Untuk memecahkan perbedaan yang muncul, pemilik kekuasaan yang dalam hal ini adalah pemerintah harus mengadakan tawar-menawar dengan masyarakat dan tidak dapat memberikan tekanan-
42 tekanan dari atas. Proses-proses pemberdayaan tampaknya semakin diaplikasikan pada tingkatan ini. Penentuan rendemen, penentuan harga dan kaitan hak masyarakat petani lainnya; belum sepenuhnya dihargai oleh PG. Hal ini mungkin, mengingat PG sendiri mempunyai keterbatasan-keterbatasan, dimana garis demarkasi antara manajemen dengan kondisi di lapangan masih terganjal oleh aturan hkum dan kelembagaan yang belum ada keberpihakan. Padahal kalu hal ini dilakukan dengan murni dan konsekwen, niscaya menguntungkan semua fihak. Seperti halnya di industri lainnya (otomotif), para penyedia komponen adalah merupakan partner bisnis sesungguhnya, yang merupakan tanggung jawab sepenuhnya ATPM (agen tunggal pemegang merek). Kedelapan, partisipasi peran masyarakat pada tingkat masyarakat yang mengontrol (citizen control). Pada tingkat ini, masyarakat memiliki kekuatan untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Mereka mempunyai kewenangan penuh di bidang kebijaksanaan, aspek-aspek pengelolaan dan dapat mengadakan negosiasi dengan pihak-pihak luar yang hendak melakukan perubahan. Dalam hal ini usaha bersama warga atau neighbourhood corporation dapat langsung berhubungan dengan sumber-sumber dana untuk mendapatkan bantuan atau pinjaman dana tanpa melewati pihak-pihak ketiga. Pada tingkat ini peran masyarakat dipandang tinggi karena mereka benar-benar memiliki posisi untuk melakukan bargaining dengan pihak kedua tanpa harus melalui apalagi meminta bantuan dari pihak ketiga. Level ini merupakan yang tertinggi dalam pola kemitraan sejati. Hal ini bisa terjadi bila sama-sama punya pegangan hukum dan kelembagaan yang berbudaya. Para petani tebu diberikan rangsangan untuk memiliki atau menanamkan modalnya pada asset PG, berapapun besarnya.
Pada penentuan
segala kegiatan dari hulu sampai hilir, dilakukan secara bersama-sama dan tanggung jawabnya pun juga bersama-sama. Suatu tatanan kebersamaan yang sebenarnya sangat sederhana, gampang diaplikasikan; tetapi sulit untuk diterapkan mengingat belum adanya kemauan politik dalam menggangkat derajat para petani. Arenstein (1969) mengelompokkan delapan tingkatan partisipasi masyarakat menjadi tiga tingkatan menurut pembagian kekuasaan, yaitu: 1. Nonparticipation (tidak ada partisipasi/tingkatan partisipasi masyarakat itu rendah). Tingkatan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah: manipulation dan therapy).
43 2. Tokenism (tingkatan partisipasi masyarakat sedang). Termasuk dalam kelompok ini adalah: informing, consultation dan placation. 3. Citizen power, (tingkatan partisipasi masyarakat tinggi). Termasuk dalam kelompok ini adalah: partnership, delegated power, citizen control. Dari berbagai definisi dan konsep yang telah dikemukakan, nampaknya semua mengarah kepada keterlibatan masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan, bahkan menurut Arenstein (1969) tidak hanya terlibat saja namun tingkatannya sampai dengan pendelegasian kekuasaan dan pengawasan. Satu hal yang perlu diingat bahwa efektif tidaknya program-program partisipasi masyarakat ditentukan oleh kepercayaan, komunikasi, kesempatan, dan fleksibilitas (Mitchell dan Setiawan, 2000). Menurut Cohen and Uphoff (1977) dalam pelaksanaan pembangunan yang dimaksud dengan partisipasi adalah mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan operasional berdasarkan rencana yang telah disepakati bersama. Selanjutnya dikatakan bahwa partisipasi juga dapat terjadi pada saat memanfaatkan hasil pembangunan, yang tidak lain dari memanfaatkan hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan. Selain itu dalam partisipasi tersebut, juga akan selalu diupayakan terjadinya pemerataan kesejahteraan dan fasilitas yang ada di masyarakat, serta masyarakat tersebut ikut serta menikmati atau menggunakan sarana hasil pembangunan. Partisipasi juga dapat terjadi saat mengevaluasi pembangunan yakni partisipasi masyarakat dalam bentuk keikutsertaan masyarakat tersebut dalam menilai serta mengawasi kegiatan pembangunan dan memelihara hasil-hasil pembangunan yang dicapai. Berdasarkan
hal
tersebut,
maka
Takeda
(2001)
menegaskan
pentingnya
pembangunan partisipatif, mengingat dari hal tersebut akan dapat diketahui kebutuhan dan opini stakeholder terhadap program pembangunan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya dikatakan bahwa penentu keberhasilan pembangunan partisipatif setidaknya terdapat empat elemen kunci menuju kesuksesan pembangunan partisipatif oleh stakeholder. Adapun ke empat elemen kunci tersebut adalah informasi, intermediasi, institusionalisasi, dan inisiatif, seperti uraian di bawah ini. 1. Informasi berperan sangat esensial sebagai wahana untuk memfasilitasi partisipasi. Ketiadaan informasi dapat berakibat pada ketidak tahuan stakeholder mengenai apa, kapan,dimana, siapa dan bagaimana berpartisipasi dalam proses perencanaan kebijakan dan implementasinya. Informasi yang baik dan tepat sasaran seringkali menjadi pionir bagi keberhasilan suatu program.
44 2. Intermediasi dapat memfasilitasi partisipasi, sehingga intermediasi berperan dalam fungsi intermediasi antara individu dengan organisasi guna. 3. Institusionalisasi merupakan hal yang penting mengingat mekanisme partisipasi harus diinstitusionalisasikan. Hak-hak dan proses partisipasi harus didefinisikan dalam pedoman teknis, regulasi, atau kebijakan pemerintah. Dalam taraf pelaksanaan misalnya dengan melakukan “forum lintas pelaku“ sebagai bentuk dari institusionalisasi partisipasi stakeholder. Kerjasama yang erat antar stakeholder dapat juga merupakan bentuk forum partisipasi stakeholder. memfasilitasi
partisipasi
stakeholder
Prinsip pokoknya adalah agar dapat dalam
perencanaan
dan
implementasi
pembangunan maka dibutuhkan kesediaan diantara stakeholder untuk melakukan koordinasi, konsultasi, dan negosiasi. 4. Inisiatif sangat diperlukan pada partisipasi, mengingat stakeholder sangat krusial dalam berpartisipasi dalam aktivitas pembangunan dan proses pembangunan. Dalam hal ini pemerintah harus menyediakan dan memberdayakan stakeholder agar mampu menempatkan perannya dalam membuat inisiatif. Informasi mengenai kasus-kasus partisipasi yang sukses merupakan insentif bagi masyarakat untuk melakukan aksi yang serupa.
Upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang kondisi partisipasi masyarakat adalah dengan memaparkan mekanisme, derajat dan efektifitas partisipasi masyarakat. Mekanisme partisipasi merupakan media atau saluran yang dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk menjalankan aktifitas
partisipasinya.
Sementara
itu,
derajat
partisipasi
merupakan
upaya
membandingkan mekanisme partisipasi yang berjalan tersebut dengan tangga partisipasi. Selanjutnya efektifitas partisipasi digunakan untuk menjelaskan apakah mekanisme dan aktivitas yang sudah berjalan telah mampu memuaskan stakeholders terhadap partisipasi masyarakat (Muluk, 2007). Dalam hal industri gula di lapangan dapat dikemukakan bahwa untuk on farm tingkat Pertama sampai Keenam yaitu manipulasi (manipulation), terapi (therapy), informasi (informing), konsultasi (consultation), perujukan (placation), kemitraan (partnership) masih bisa dilakukan langsung oleh masyarakat. Masyarakat bisa diajak partisipasi dalam perencanaan di lapangan (sawah dan lain-lain), irigasi, pemupukan, pembibitan, pemanenenan, transportasi, penggudangan, sehingga prediksi hasil panen sudah bisa diperkirakan.
Akan tetapi pada tingkat
ketujuh dan kedelapan yaitu
45 pendelegasian kekuasaan (delegated power) dan masyarakat yang mengontrol (citizen control); tidak bisa dilakukan lagi oleh masyarakat mengingat kemampuan (bargaining posisition)-nya lemah. Sedangkan pada off farm partisipasi masyarakat sangat kecil, mengingat aturan dan sifat-sifat teknis di pabrik memerlukan skill dan keahlian (expertice) yang harus dipenuhi oleh standar pabrik, seperti menjalankan dan mengontrol permesinan, evaluasi sisa/sampah (waste), penurunan limbah, penaikan efisiensi produksi dan sumberdaya. Menurut Bock (2001) terdapat tiga keuntungan jika dalam pembangunan dan desain suatu kegiatan menggunakan proses partisipatif, keuntungan tersebut adalah l) hasilnya bersifat alamiah dan tidak merupakan rekayasa, 2) masyarakat yang merupakan target merasa lebih memiliki dan memberikan kontribusi secara signifikan guna kesuksesan kegiatan, dan 3) pemantauan kegiatan lebih mudah dilaksanakan dan akan lebih transparan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa partisipasi stakeholder merupakan konsep kunci guna membuka transparansi dan akuntabilitas dalam proses pembuatan keputusan dan kebijakan. Disamping itu juga dapat mempromosikan efektifitas penggunaan sumberdaya lokal dan menjadi aspek penting dalam rangka menciptakan kebijakan yang lebih sesuai. Adapun visi dari pembangunan partisipatif yang berkelanjutan adalah proses lokal yang terinformasi baik dan partisipatif yakni pada pembangunan tersebut terlihat adanya kerjasama antar stakeholder dalam mencapai keseimbangan antara keberlanjutan pembangunan ekonomi, ekologi dan sosial (Charter, 2001).
Menurut Edgington and
Fernandez (2001) pembangunan partisipatif merupakan aktivitas banyak pihak dan merupakan kerjasama antara pemerintahan lokal dengan berbagai aktor dalam berbagai tingkatan serta merupakan suatu proses yang terpadu dari berbagai dimensi pembangunan. Menurut Stohr (2001) pembangunan partisipatif ini merupakan adaptasi manajemen yang bersifat fleksibel yang didasarkan pada partisipasi aktif, konsensus bersama, dan koordinasi antar pihak. Namun demikian, dalam implementasi penerapannya, seringkali dibatasi oleh beberapa faktor pembatas, seperti sumberdaya lokal yang kurang, pemerintahan yang lemah serta kapasitas pemerintahan local yang kurang handal. Menurut Bulle (1999) setiap
anggota dari suatu komunitas mempunyai peran yang berbeda, maka terdapat banyak cara partisipasi dalam pengelolaan suatu kegiatan, termasuk di dalamnya pengelolaan industri gula. Ciri industri gula di Indonesia masih tradisional, melihat luas tanah masih dipunyai oleh petani, sedangkan HGU oleh pabrik masih sedikit. Sehingga ketergantungan pasokan bahan baku dari petani sangat tinggi. Di sisi lain para petani
46 belum dibekali oleh teknologi yang mumpuni. Lain halnya di Brazil, Thailand dan China, partisipasi masyarakat diapresiasi dengan baik. Para petani tebu dianggap sebagai mitra sejajar/setara dalam hal memperoleh keuntungan. Dimana semuanya saling menghargai, dalam arti yang luas. Kemampuan mengelola tanaman tebu di lahan, akan dipantau oleh pihak pabrik, sekaligus sebagai penyuluh. Irigasi menjadi tanggung jawab pabrik, bibit dengan varietas unggul disiapkan oleh PG, anti hama disiapkan pula oleh pabrik, sehingga semuanya berjalan simultan. Porsi masing-masing pihak diperhitungkan dengan sangat teliti dan tidak merugikan salah satu pihak. Disamping itu, bila terjadi keugin akibat force majeure, maka pemerintah mempunyai scheme untuk menanggulanginya, dimana penggantian kerugian harus dibayarkan kepada para petani tebu dengan jelas, cepat dan transparan. Hal tersebut disadari oleh para penyeleggara pemerintahnya bahwa gula bukan semata-mata komoditi akan tetapi lebih dari itu yaitu sebagai function food. Atas dasar tersebut maka gula harus menjadi security food, sesuatu yang berifat menyangkut hidup manusia.
III. METODE PENELITIAN Penelitian pendahuluan telah dilakukan sejak tahun 2007 di pabrik gula baik yang konvensional maupun yang rafinasi serta tempat lain yang ada kaitannya dengan bidang penelitian. Penelitian utama dilakukan mulai Juli sampai Desember 2008, kemudian dilanjutkan sampai dengan Mei 2010 dengan melakukan survei di PTPN X, PTPN XI, PT Jawa Manis (1 PG), PT RNI II (4 pabrik gula). Pada penelitian ini jumlah pabrik gula yang diteliti yaitu 45 buah dari 61 buah pabrik yang aktif atau sekitar 73%. Dari ke 45 pabrik gula tersebut dilakukan penelitian secara garis besar (makro) selama 2 tahun seperti Business Plan, Kinerja Permesinan, On farm, Bahan Baku, SdM, partisipasi masyarakat, pengolahan limbah, dengan melakukan beberapa kali focus group discussion (FGD) yaitu di Jakarta (4 kali), di Yogyakarta (1 kali), di Surabaya (2 kali). Secara garis besar penelitian ini, antara lain meliputi : 1. Survey lapangan di pabrik gula dan industri pembuat mesin peralatan. 2. Melakukan wawancara terhadap para stakeholder untuk menyusun kebijakan pengelolaan pabrik gula. Pada penelitian dikumpulkan data primer dan data sekunder, baik yang berkaitan langsung dengan kegiatan maupun sebagai penunjang dalam menyelesaikan penelitian yang dilakukan.
Kegiatan pengumpulan data meliputi aktivitas desk study dan
wawancara langsung dengan beberapa pelaku industi gula nasional.
A. Desk study Desk study untuk inventarisasi data kualitatif dan kuantitatif serta informasi umum mengenai teknologi, macam/jenis/type/spesifikasi teknis dan mesin peralatan industri gula.
Kegiatan ini merupakan pengumpulan data berdasarkan dokumen-
dokumen yang ada pada dinas/instansi, asosiasi terkait yang berhubungan dengan industri gula. Data yang dikumpulkan antara lain : 1. Perkembangan luas dan produktivitas/produk kebun bahan baku industri gula (tebu) di Indonesia (5 tahun terakhir). 2. Perkembangan jumlah dan kapasitas industri di Indonesia yang meliputi : a. Jenis produk (gula, dan produk turunannya). b. Produktivitas/produk dari masing-masing jenis produk.
48 c. Mesin/peralatan yang digunakan dalam industri gula. d. Tingkat efisiensi mesin/peralatan industri gula yang ada saat ini. 3. Perkembangan konsumsi masing-masing produk industri gula di dunia dan Indonesia (5 tahun). 4. Jumlah negara pemasok gula dan produk turunannya serta jumlah pasokannya (5 tahun).
B. Metode Wawancara Wawancara dilakukan kepada responden yang terkait dengan industri gula, pelaku industri gula, pejabat dari instansi, asosiasi terkait, perguruan tinggi, balai litbang dan industri pendukung. Wawancara dilaksanakan dengan berpedoman pada kuesioner atau daftar pertanyaan yang sudah disiapkan. Mengingat penelitian ini merupakan penelitian yang ditujukan untuk membuat kebijakan pengelolaan di pabrik gula, maka pada penelitian ini dilakukan wawancara secara mendalam terhadap stakeholder terkait dengan menggunakan bantuan kuesioner baik untuk analisis keberlanjutan yang menilai tentang keberlanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, hukum dan kelembagaan. Serta dilanjutkan dengan analisis hierarki proses untuk mencari alternatif kebijakannya.
C. Metode Observasi (Pengamatan Langsung) Pengamatan langsung dilakukan berdasarkan pokok-pokok identifikasi yang meliputi : 1. Kondisi kegiatan usaha industri gula serta proses produksinya bagi masing-masing produk dan keberadaan mesin/peralatan yang sudah tersedia. 2. Kondisi kegiatan usaha industri dalam penanganan limbah. 3. Program industri terhadap masyarakat sekitar.
Kategori Keberlanjutan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : 1. Skala Indek 75% - 100% Kategori: baik 2. Skala Indek 50% - 75% Kategori: cukup 3. Skala Indek 25% - 50% Kategori: kurang 4. Skala Indek
0% - 25% Kategori: buruk
49 3.1 Jenis, Sumber Data, dan Teknik Pengambilan Contoh Dalam rangka menjaga obyektivitas dan dapat mempresentasikan kondisi yang sebenarnya, maka diambil contoh penelitian dari kepustakaan, organisasi atau asosiasi terkait, dari pabrik gula (konvensional maupun rafinasi). Setelah data terkumpul maka dilakukan penyusunan dan penyaringan sehingga data yang dipakai untuk keperluan analisis merupakan data yang valid dan relevan. Penyaringan data dilakukan sesuai dengan jenis dan tingkat kepentingan informasi yang dibutuhkan melalui serangkaian proses pengolahan agar didapatkan suatu data yang dapat dipakai sebagai bahan analisis untuk masing-masing potensi yang akan dijabarkan. a. Data Primer Data primer yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data eksisting di pabrik gula yang konvensional dan industri gula rafinasi, jenis limbah yang dihasilkan, perlakuan terhadap limbah yang dihasilkan serta upaya pemanfaatan limbah gula yang sudah dilakukan selama ini dan pengelolaan yang dilakukan terhadap limbah gula serta data kualitas limbah cair, dan kualitas udara sekitar pabrik (debu, kandungan bahan kimia serta kebisingan). Disamping dari sumber data tersebut, pada penelitian ini salah satu data primer yang diambil adalah pendapat stakeholder (pendapat dan pertanyaan-pertanyaan tersebut, dipandu berdasarkan kuesioner yang telah disediakan). Untuk keperluan ini stakeholder yang diwawancarai/diminta pendapatnya antara lain: 1.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat
2.
Departemen Perdagangan
3.
Departemen Perindustrian
4.
Bapeda
5.
Dinas Lingkungan hidup
6.
Pengusaha (pemegang modal)
7.
Bagian pengelolaan limbah di industri pabrik gula
8.
Masyarakat
9.
Instansi terkait lainnya.
Adapun persyaratan stakeholders tersebut antara lain adalah sekurangkurangnya sudah menjabat diposisi yang diinginkan selama 2 tahun, atau untuk
50 masyarakat sekurang-kurangnya sudah tinggal di lokasi sekitar industri gula selama 5 tahun. Sedangkan untuk perguruan tinggi dan LSM diutamakan untuk yang menguasai bidang pengelolaan limbah b. Data Sekunder Data sekunder yang diambil adalah data saat ini dan data pada tahun-tahun sebelumnya yang diambil dari instansi terkait seperti dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten, Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat, data kualitas limbah cair, data jenis dan kualitas limbah padat yang dihasilkan, sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik, sarana dan prasarana lingkungan, fasos dan fasum. c. Data Sosial budaya-Ekonomi Data sosial budaya ekonomi yang digunakan pada penelitian ini meliputi data primer yakni: 1. Pandangan
masyarakat
terhadap
keberadaan
pabrik
gula disekitar lokasi
permukiman, dan pandangan terhadap keberadaan limbah dan pengolahan limbah industri pabrik gula 2. Struktur ekonomi, jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan penduduk, pengeluaran keluarga, laju pertumbuhan ekonomi, pendapatan/produktivitas per kapita, pengeluaran keluarga, pendapatan dan penyebaran aktifitas ekonomi
Selain itu juga diambil data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi terkait yang meliputi 1. Jumlah dan komposisi penduduk, jumlah keluarga, tingkat kesehatan, tingkat pendidikan, pola pekerjaan, kesempatan kerja, jumlah tenaga kerja, kegiatan sosial budaya, luas wilayah, kondisi perumahan, status pemilikan lahan, tingkat aksesibilitas 2. Dana sektor-sektor pembangunan
3.2. Analisis data a.
Analisis Keberlanjutan Industri Gula Analisis keberlanjutan dilakukan melalui beberapa tahapan yakni:
1.
Penentuan atribut pengelolaan limbah industri gula pada masing-masing faktor
51 2.
Penilaian terhadap setiap atribut (skala ordinal) berdasarkan kriteria keberlanjutan pada setiap faktor
3.
Analisis ordinasi “Rap-fish” yang berbasis metode multidimentional scalling (MDS)
4. Penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan limbah industri gula yang dikaji secara umum dan dikaji pada setiap faktornya. Pada setiap atribut data yang dihasilkan dari pengamatan lapang, diberi skor atau peringkat yang mencerminkan keberlanjutan dimensi pengelolaan limbah industri gula dengan skor buruk (kondisi yang paling tidak menguntungkan) sampai dengan baik (kondisi paling menguntungkan), serta antara keduanya. Nilai/skor tersebut dianalisis secara multidimensional, untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi berkelanjutan dari pengelolaan limbah industri gula. Untuk memudahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi Rap-fish. Untuk ini digunakan perangkat lunak modifikasi Rap-fish (Kavanagh, 2001) yang merupakan pengembangan MDS yang ada pada perangkat lunak SPSS, sehingga posisi titik berkelanjutannya dapat divisualisasikan dalam sumbu horizontal dan vertikal. Selanjutnya dilakukan proyeksi titik-titik tersebut pada garis mendatar, dan diberi skor 0% dan titik baik 100%, dan titik yang berada diantara keduanya merupakan posisi keberlanjutan sistem. Pada analisis ordinasi mencerminkan seberapa jauh status keberlanjutan faktor tersebut dan hasil analisis terhadap semua faktor, menunjukkan
perbandingan
keberlanjutan antar faktor yang divisualisasikan dalam bentuk diagram layanglayang/kite diagram (Gambar 6). Jika sistem yang dikaji nilai indeksnya lebih dari 50% (>50%), maka sistem tersebut sustainable, namun jika kurang dari 50% (<50%), maka sistem tersebut belum sustainable. Selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas untuk melihat atribut apa yang paling sensitif memberikan kontribusi di lokasi penelitian. Pengaruh dari setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan root mean square (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu X (skala sustainabilitas). Dalam mengevaluasi pengaruh galat (eror) acak pada proses pendugaan nilai ordinasi pengelolaan limbah industri gula digunakan analisis Monte Carlo, karena
52 menurut Kavanagh (2001) serta Fauzi dan Anna (2002) analisis ini dapat digunakan untuk mempelajari: 1. Pengaruh kesalahan pembuatan skore atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi, penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut 2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda 3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (interaksi) 4. Kesalahan pemasukan data atau ada kehilangan data 5. Tingginya nilai stress hasil analisis Rap - fish (nilai stress dapat diterima jika 25%)
Gambar 6.
Ilustrasi indeks keberlanjutan (jika lima dimensi) setiap faktor mempunyai kepentingan/kontribusi.
Untuk lebih jelasnya tahapan analisis Rap - fish menggunakan metoda MDS dengan aplikasi Rap-fish dapat dilihat pada Gambar 7.
53
Kondisi pengelolaan limbah saat ini
Gambar 7.
Tahapan analisis dengan aplikasi modifikasi Rap–fish menggunakan MDS
b. Analisis Hierarki Proses (AHP) Pada penelitian ini ditentukan alternatif pengelolaan industri gula. Dalam menentukan alternatif pengelolaan pabrik gula dalam rangka mewujudkan model pengelolaan industri gula yang berwawasan lingkungan dilakukan analisis dengan menggunakan AHP dengan prinsip kerja sebagai berikut (Maarif, 2000). 1. Identifikasi sistem, yaitu untuk mengidentifikasi permasalahan dan menentukan solusi yang diinginkan 2. Penyusunan struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan subtujuan-subtujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat di atasnya. Perbandingan berdasarkan “judgment” dari pengambil keputusan, dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya 4. Menghitung matriks pendapat individu 5. Menghitung pendapat gabungan 6. Pengolahan horizontal
54 7. Pengolahan vertikal 8. Revisi pendapat
c. Membuat Struktur Hirarki Dalam menganalisis kebijakan pengelolaan limbah industri gula, struktur Hirarkinya dicoba untuk dilihat secara cukup detil seperti terlihat pada Gambar 8. Gambar 8 menunjukkan model pengembangan industri gula berkelanjutan dilihat dari berbagai aspek dan pemangku kepentingan (stakeholder), sedangkan Gambar 9 memperlihatkan contoh sintesa prioritas pemecahan masalah pada industri gula.
PADAT (Solid Waste
LIMBAH INDUSTRI
Sosial budaya Budaya
CAIR (Liquid Waste)
Ekonomi
GAS (Air Waste)
Lingkungan
Gambar 8. Struktur hirarki limbah industri gula
55 Industri Gula
Fokus
Aktor
Ekonomi
Sosbud
Faktor
Lingkungan
Dis. Perindag
Deperindag
Dinas LH
Pengusaha
Transportasi
Fiskal
Pemasaran
Teknologi
Revitalisasi
Swastanisasi
Ekstensifikasi
Masyarakat
Tujuan
Bahan Baku
Sasaran
Partisipasi Masy.
Perbankan
Infrastruktur
Gambar 9. Diagram hirarki AHP pada pengembangan industri gula d. Membuat matriks perbandingan berpasangan Pada analisis AHP dibuat perbandingan berpasangan untuk menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat di atasnya, dengan didasarkan pada judgement dari para pengambil keputusan. Dalam menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen yang lain, digunakan pembobotan berdasarkan skala Saaty (Saaty, 1993 dalam Maarif, 2000) seperti Tabel 2. e. Penentuan prioritas Mengolah nilai-nilai perbandingan relatif sehingga dapat ditentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Bobot atau prioritas dihitung menggunakan manipulasi matriks (melalui penyelesaian persamaan matematik).
56 Tabel 2. Skala banding secara berpasangan dalam AHP Tingkat Keterangan Kepentingan 1 Kedua elemen sama pentingnya.
Penjelasan Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama terhadap tujuan.
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya.
Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibandingkan elemen lainnya.
5
Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lain.
Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya.
7
9
2,4,6,8
Elemen yang satu jelas lebih penting daripada elemen yang lain.
Satu elemen dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktek.
Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki Elemen yang satu mutlak lebih tingkat penegasan tertinggi yang penting daripada elemen yang mungkin menguatkan. Nilai ini diberikan bila ada dua lain. kompromi diantara dua pilihan.
Kebalikan Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan. Jika untuk aktifitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i. f.
Konsistensi logis Semua elemen dikelompokkan secara logis dan disusun dalam bentuk peringkat
secara konsisten sesuai dengan kriteria yang logis. Adapun Software yang digunakan untuk proses analisis AHP adalah criterium decision plus version 3.0.
Gambar 10. Contoh sintesa prioritas pemecahan masalah
IV.
KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN, INDUSTRI GULA INDONESIA DAN DUNIA
Pabrik gula yang diteliti antara lain PTPN X terdiri dari 11 pabrik yaitu Cukir, Gempolkrep, Jombang Baru, Krembong, Lestari, Merican, Mojopanggung, Ngadirejo, Pesantren Baru, Tulangan, Watutulis. PTPN XI terdiri dari 16 pabrik yaitu: Asembagoes, Gending, Jatoroto, Kanigoro, Kedawung, Olean, Pagotan, Pajarakan, Panji, Purwodadi Prajekan, Rejosari, Semboro, Sedhono, Wonolangan, Wringinanom; PG PT Madu Baru. PTPN IX terdiri dari 8 pabrik yaitu Jatibarang, Pangka, Sumberharjo, Sragi, Rendeng, Gondang Baru, Mojo, Tasikmadu, Cepiring.
RNI I
terdiri dari 5 pabrik yaitu Candi, Krebet Baru I dan II, Rejoagung Baru, Madukismo. RNI II terdiri dari 5 pabrik yaitu Jatitujuh, Karang Suwung, Sindanglaut, Subang, Tersana Baru; PG Swasta yaitu PT Gunung Madu Plantation; sedangkan untuk gula rafinasi yaitu PT Jawa Manis. Pada penelitian ini jumlah pabrik gula yang diteliti 45 buah dari 61 buah pabrik yang aktif atau sekitar 73%. Adapun pabrik gula yang belum sempat diteliti yaitu PT. Kebon Agung (Kebon Agung Trangkil), PT. Bapippundip (Pakis Baru); PTPN II (Sei Semayang, Kuala Madu), PTPN VII (Bunga Mayang, Cintamanis); PTPN XIII (Pelaihari); PTPN XIV (Bone, Caming, Takalar); PT. Gula Putih Mataram; RNI III (Tolanghua); PT. Sweet Indolampung; PT. Indolampung Perkasa. 4.1
Masalah yang Dihadapi Pabrik Gula di Lokasi Penelitian Hasil penelitian ini memperlihatkan adanya berbagai permasalahan yang
dihadapi oleh pabrik gula yang diteliti, adapun permasalahan tersebut antara lain adalah: 1. Masalah-masalah On farm: a. Sulitnya penambahan areal baru dan mempertahankan lahan yang sudah ada b. Penyediaan agro input untuk budidaya tebu belum tepat jumlah, waktu, harga, dan mutu c. Kurangnya sarana irigasi/pengairan, terutama untuk wilayah pengembangan di lahan kering d. Keterbatasan alat pengolahan tanah terutama di lahan kering e. Keterbatasan infrastruktur (jalan produksi, jembatan) terutama untuk wilayah pengembangan di luar Jawa
60 f. Fungsi kelembagaan petani belum optimal dalam mendukung peningkatan produksi dan produktivitas g. Penerapan teknologi budidaya oleh petani yang belum optimal terkait dengan keterbatasan permodalan h. Manajemen tebang muat angkut (TMA) belum mencapai standar manis bersih segar (MBS) i. Penataan varietas tebu yang masih terhambat
2. Masalah-masalah Off farm: a. Tingkat efisiensi pabrik (overall recovery) masih jauh dibawah standar b. Kinerja mesin dan peralatan pabrik gula yang kurang memadai c. Rendahnya tingkat otomatisasi pabrik yang mempengaruhi efisiensi dan daya saing usaha d. Pengalihan teknologi proses sulfitasi menjadi karbonatasi belum menjadi pertimbangan oleh perusahaan gula e. Belum
berkembangnya
diversifikasi
produk
termasuk
energi
untuk
meningkatkan daya saing industri gula.
3. Masalah lainnya yang dihadapi industri gula antara lain: a. Belum terjaminnya pendapatan petani dari aspek penetapan harga gula b. Belum optimalnya peran lembaga riset dalam upaya peningkatan kinerja pergulaan nasional c. Belum optimalnya dukungan lembaga keuangan/perbankan dalam mendukung revitalisasi industri gula nasional d. Masih
lemahnya
peran
dan
fungsi
kelembagaan
usaha/koperasi
dan
kelembagaan organisasi petani tebu dalam mendukung upaya peningkatan produksi dan pendapatan e. Kebijakan fiskal (tarif bea masuk, pajak, retribusi serta berbagai pungutan) belum sepenuhnya mendukung pengembangan industri gula f. Belum adanya kebijakan terpadu untuk industri pergulaan nasional g. Belum terealisasinya SNI wajib untuk standar gula kristal putih (GKP)
61 Sebagai tuntutan akademis, agar didapat data yang lebih mikro telah dilakukan penelitian ke lapangan secara berkala yaitu ke Pabrik Gula Jati Tujuh yang termasuk dalam group RNI II. Pabrik gula Jatitujuh memiliki areal yang luasnya sebesar 11,821 ha tersebar di Kabupaten Majalengka. Lokasi kegiatan Pabrik Gula Jati Tujuh yang dibahas dalam studi AMDAL berada di Kabupaten Majalengka yaitu di Kecamatan Jati Tujuh, Kecamatan Kertajati. Letak lokasi kegiatan cukup strategis karena mudah dicapai dari berbagai arah baik dari arah Indramayu dan Majalengka maupun dari arah Cirebon. 4.2
Kondisi Umum Pabrik Gula di Lokasi Penelitian Pabrik gula pada dasarnya telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan
daya saing, meningkatkan keuntungan, dan sebagainya. Namun hingga saat ini belum pernah ada yang memotret apakah pabrik gula sudah berlanjut atau belum. Selain hal tersebut juga belum diketahui parameter apa yang paling dominan yang dapat meningkatkan keberlanjutan pabrik gula. Hal lainnya adalah belum ada yang membuat kajian, alternatif apa yang terbaik untuk mengembangkan pabrik gula tersebut, serta skenario apa yang dapat membuat pabrik gula menjadi pabrik yang secara ekonomi menguntungkan, secara sosial budaya menciptakan rasa aman, berkeadilan dan makmur serta tetap dapat menjaga kelestarian lingkungan, dan model seperti apa yang dapat menciptakan pabrik gula menjadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Hasil penelitian di beberapa pabrik gula yaitu: 1.
PTPN X (10 PG), dengan profile sebagai berikut: a. Status perusahaan, dibentuk berdasarkan PP No. 15 Tahun 1996, tanggal 14 Pebruari 1996. Perusahaan yang berstatus sebagai badan usaha milik negara (BUMN) ini merupakan penggabungan kebun-kebun di Jawa Tengah dan Jawa Timur dari eks PTP XIX, PTP XXI-XXII dan PTP XXVII. b. Komoditi usaha yaitu tebu, tembakau dan tanaman serat. Tanaman tebu ditanam pada areal lahan sawah dan lahan kering seluas 65.320 ha yang terdiri dari areal tebu sendiri seluas 2.857,10 ha dan areal tebu rakyat 62.462,90 ha. c. Kebun-kebun,
yaitu di PG. Kria, PG. Watoetoelis, PG. Toelangan, PG.
Kremboong, PG. Gempolkrep, PG. Djombang Baru, PG. Tjoekir, PG. Lestari, PG. Meritjan, PG. Pesantren Baru, PG. Ngadiredjo dan PG. Modjopanggoong.
62 d. Produksi tebu pertahun: Gula: 213.219 ton, Gula Industri: 19.138 ton Tetes : 229.033 ton e. Alamat Jl. Jembatan Merah No. 3-5, Tromol Pos 5077, Surabaya 60175 ; Telepon: (031) 3523143, 3522848 ; Fax (031): 3523167, 3539744 Email [email protected]. Perwakilan Jakarta: Jl. Perum Taman Gandaria Blok F/12.A. Kebayoran Baru Jakarta Selatan; Telp (021)7396565, fax (021): 7396565. 2.
PTPN XI (16 PG), dengan profile perusahaan: a. Status perusahaan adalah badan usaha milik negara (BUMN) agribisnis perkebunan dengan core business gula. Perusahaan ini bahkan satu-satunya BUMN yang mengusahakan komoditas tunggal, yakni gula, dengan kontribusi sekitar16-18% terhadap produksi nasional. Sebagian besar bahan baku berasal dari tebu rakyat yang diusahakan para petani sekitar melalui kemitraan dengan pabrik gula (PG). PT Perkebunan Nusantara XI (Persero), disingkat PTPN XI, berstatus sebagai badan usaha milik negara (BUMN) ini merupakan penggabungan kebun-kebun di Jawa Timur. Pendirian perusahaan sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 Tahun 1996 tanggal 14 Pebruari 1996 dan merupakan gabungan antara PT Perkebunan XX (Persero) dan PT Perkebunan XXIV-XXV (Persero) yang masing-masing didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 1972 dan No. 15 Tahun 1975. Anggaran Dasar Perusahaan Perseroan yang dibuat berdasarkan Akte Notaris Harun Kamil SH, No. 44 tanggal 11 Maret 1996, telah dilakukan perubahan dan mendapat persetujuan sesuai Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. C-21048HT.01.04.Th.2002 tanggal 29 Oktober 2002. Persetujuan perubahan anggaran dasar tersebut sesuai dengan format isian Akta Notaris Model II yang tersimpan dalam database Salinan Akta Nomor 02 tanggal 02 Oktober 2002, yang dibuat oleh Notaris Sri Rahayu Hadi Prasetyo SH, berkedudukan di Tangerang. Secara umum sebagian besar unit usaha di lingkungan PTPN XI telah beroperasi sejak masa kolonial berkuasa di Hindia Belanda. Kantor Pusat PTPN XI sendiri merupakan peninggalan HVA yang dibangun pada tahun 1924 dan merupakan
63 lambang konglomerasi industri gula saat itu. Bentuk perusahaan berulang kali mengalami perubahan dan restrukturisasi terakhir terjadi pada tahun 1996 bersamaan dengan penggabungan 14 PTP menjadi 14 PTPN. b. Komoditi usaha, mengusahakan hanya satu macam komoditi yaitu tebu. Tanaman tebu ditanam pada areal lahan sawah dan lahan kering seluas 69.516 ha yang terdiri dari areal tebu sendiri seluas 27.946 ha dan areal tebu rakyat 41.570 ha. Hasil olahan tanaman tebu tersebut dalam bentuk gula tebu/pasir, tetes, alkohol dan spiritus. c. Kebun-kebun yang dimiliki 16 unit usaha kebun yang dilengkapai dengan pabrik pengolahan (PG), yaitu: PG. Soedhono; PG. Poerwodadie; PG. Redjosarie PG. Pagottan; PG. Kanigoro; PG. Kedawung; PG.Wonolangan; PG. Gending; PG Padjarakan; PG. Djatiroto; PG. Semboro; PG. D Maas; PG. Wringin Anom; PG. Olean; PG. Panji; PG. Asembagoes; PG. Pradjekan d. Produksi
pertahun:
gula: 291.894,4 ton, tetes : 208.980,2 ton, alkohol :
459.000,0 ton, spiritus: 274.993,2 ton
3.
PT Jawa Manis (1 PG) PT Jawamanis Rafinasi merupakan salah satu perusahaan gula rafinasi yang
memproduksi gula putih berkualitas tinggi. Di tingkat nasional, produk-produk terkenal dengan kualitasnya yang tinggi, berkelas internasional dan proses pembuatan gulanya di atur sedemikian rupa agar sesuai dengan standard management kualitas global. Pabrik yang berlokasi di Ciwandan, Propinsi Banten, dekat dengan pelabuhan Ciwandan dan Cigading, yang memudahkan fasilitasi proses pembuatan gula. Akses yang mudah ke Jalan Tol Jakarta membuat pergerakan produk yang cepat pula ke seluruh Jawa. PT Jawa Manis Rafinasi didirikan pada tahun 2002 sebagai perusahaan joint venture antara perusahaan lokal dan investor asing. Pada saat itu, dibutuhkan produsen lokal agar produksinya dapat menggantikan produk-produk impor. Kapasitas awal yang hanya 150.000 ton per tahun, meningkat menjadi 340.000 ton gula setiap tahunnya. Pasar produksi ini pada prinsipnya difokuskan kepada kualitas.
64 4.
PT RNI II (5 PG) PT. PG Rajawali II yang bergerak dibidang agro industri sebelumnya mengelola
8 PG dan 1 PSA ex PTP XIV – Cirebon, setelah pengalihan kepada PT RNI pada tahun 1989, dalam perjalanannya 3 PG yang berlokasi di Kabupaten Majalengka dan Cirebon yaitu PG Kadipaten, PG Jatiwangi dan PG Gempol ditutup karena kekurangan bahan baku. Berdasarkan RUPS tanggal 15 Januari 2003, telah diangkat Dewan Komisaris dan Direksi PT.PG. Rajawali II yang berstatus sebagai anak perusahaan PT RNI dan beroperasi hingga sekarang. Manajemen PT PG Rajawali II dalam kurun waktu 2003 sampai 2005, seiring dengan kebijakan yang ditetapkan oleh PT RNI Holding, telah melakukan berbagai tindakan terobosan yang inovatif guna meningkatkan kinerja perusahaan secara signifikan yaitu dengan melakukan restrukturisasi organisasi, konsolidasi SDM, penataan portofolio bisnis, revitalisasi peralatan pabrik dan lain-lain sehingga mampu meningkatkan daya saing produk-produk yang dihasilkan. Dalam 3 tahun terakhir PT Rajawali II telah mencapai kinerja terbaik sejak perusahaan ini didirikan. Sebagai perusahaan dengan kinerja terbaik dalam bidang agro industri berbasis tebu di Indonesia, siap menghadapi tantangan, unggul dalam kompetisi global dan bertumpu pada kemampuan sendiri (own capabilities). Jika pabrik gula akan direstrukturisasi atau dipermodern, memerlukan biaya yang sangat mahal, walaupun demikian mau tidak mau harus diteliti lebih lanjut tingkat keuntungan jangka panjangnya.
Dengan demikian, diharapkan akan memperkecil
ketergantungan terhadap luar negeri, penghematan devisa, nilai usaha menjadi meningkat, industri pendukung (industri permesinan, industri logam) menjadi tumbuh, pemberdayaan masyarakat sekitar dan masyarakat konsumen, dan yang lebih penting yaitu kelestarian lingkungan, baik masyarakat petani maupun pada industri gula itu sendiri. Dalam memperoleh dukungan finansial, industri gula belum mendapat preferensi yang menguntungkan, baik untuk modal kerja maupun dalam rangka revitalisasi mesin peralatan produksi. Tingkat suku bunga sama dengan pinjaman umum, berkisar antara 14 sampai 24% pertahun. Hal tersebut sangat menyulitkan berkembangnya industri gula di dalam negeri. Sistem perpajakan terhadap industri gula, baik tata niaga maupun bea masuk dan PPn impor terhadap mesin perlatan produksi pada umumnya belum berpihak kepada dukungan revitalisasi idustri. Namun demikian ada celah yang agak meringankan yaitu
65 seperti yang termaktub dalam Keppres 80/2003 dan yang diatur dalam SK Menperin No. 11/2004 yang mengatur tingkat komponen dalam negeri (TKDN) mengamanatkan bahwa dalam pengadaan barang-barang yang telah mencapai tingkat tertentu diberikan preferensi harga sampai 30%. Iklim usaha di sektor industri gula belum sepenuhnya menjanjikan, akibat beberapa faktor yang sangat berpengaruh seperti penyelundupan, penimbunan, kualitas gula lokal yang lebih rendah dari gula impor. Berbagai faktor ini
juga sangat
berpengaruh pada harga eceran. Disamping itu hingga saat ini belum ada kebijakan yang melindungi (proteksi) bagi para pelaku industri gula dalam arti luas dan layak (Soentoro et al., 1999; Adisasmito, 1998; Sudana et al., 2000). Kemampuan penyediaan lahan oleh industri gula tidak sepenuhnya oleh pabrik gula itu sendiri, akan tetapi banyak pula industri gula yang lahan tebunya punya masyarakat. Pola tanaman tebu rakyat yang dilakukan oleh pemerintah tahun 80-an, yaitu pola TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) dimana pola plasma dan inti dikembangkan, pada awalnya memperoleh antusiasme oleh berbagai fihak, termasuk penyediaan dana oleh perbankan. Akan tetapi selanjutnya sistem yang secara teoritis sangat bagus, selalu ada perubahan yang pada akhirnya mengganggu terhadap program dimaksud. Sebagai contoh bahwa masyarakat yang mengelola/menanam tebu tidak lagi mendapat harga yang baik, karena dengan perubahan kondisi tanah yang terus-menerus dieksplorasi menyebabkan kurangnya daya dukung terhadap hasil panen. Disamping itu, para petani dengan keterbatasan dana tidak mungkin mengubah sistem pola tanam yang harus bergantian jenis tebunya sesuai dengan kondisi tanah ataupun irigasi yang sangat dibutuhkan oleh tanaman tebu yang semakin hari berebutan dengan alih konversi lahan. Oleh karena itu, maka partisipasi masyarakat dalam mendukung industri gula nasional masih perlu diperhitungkan dengan seksama. Prinsip kemitraan/partisipasi masyarakat adalah prinsip yang kuat membantu yang lemah dalam berbagai aspek seperti aspek produktivitas, aspek pemasaran dan aspek kelembagaan (Purnaningsih, 1991 dalam Sitorus, 1994). Hal yang sama terjadi pada peralatan giling langsung tebu yang terbuat dari tembaga, setiap selesai giling pasti mengalami keausan. Untuk memperbaikinya tidak langsung di ”inhouse workshop”, tetapi dilakukan diluar pabrik seperti di PT Barata Indonesia (Surabaya), PT Boma Bisma Indra (Surabaya) dan PT Rekayasa Industri (Jakarta), yang pada gilirannya akan memakan ongkos tinggi dilihat dari transportasi
66 maupun waktu penyelesiannya. Disamping itu perlatan produksi yang sifatnya ”electrical system”, teknologinya sangat bervariatif tergantung pada merek asal unit peralatan produksi tersebut; misalnya dari Belanda, Perancis atau Jerman. Disamping itu kebutuhan untuk mengkonsumsi gula secara langsung maupun tidak langsung terjadi peningkatan, sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan tingkat daya beli masyarakat. Pembuatan makanan (kue-kue) yang memerlukan gula sangat bervariatif sesuai dengan temuan-temuan teknologi dan cita rasa yang berkembang dengan pesat, sehingga memerlukan jumlah tonase gula yang meningkat pula dan besarnya mencapai 2,96%. Padahal kenyataan tersebut tidak sejalan dengan terjadinya penurunan produktivitas industri gula yang besarnya mencapai -6,14% (Dewan Gula Indonesia, 2002). Dalam melaksanakan kegiatannya, Pabrik Gula Jatitujuh memanfaatkan sumberdaya yang ada disekitarnya baik berupa sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Kegiatan pemanfaatan kedua sumber daya ini memperhatikan aspek lingkungan sekitarnya yang meliputi komponen fisik, kimia, biologi, sosial budaya, ekonomi, dan budaya serta komponen kesehatan masyarakat. Namun sebaliknya, bila terdapat kegiatan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan, maka akan berdampak negatif. Masa hak guna usaha (HGU) pabrik gula Jatitujuh adalah 25 tahun. Umur kegiatan berlaku selama hak guna usaha berlaku yaitu berdasarkan SK Kepala Badan Pertahanan Nasional No. 12/HGU/BPN/2004. Lokasi kegiatan afleding (kebun) tebu terbagi menjadi 4 (empat) afdeling yaitu di Jatimunggul, Cibenda, Kerticala dan Jatitujuh. Lokasi kebun ini berada pada elevasi + 25-50 m dpl. Letak lokasi secara geografis berada pada 108o 6’ 3” BT dan 6o 6’ 3” LS. Adapun penggunaan lahan di Pabrik Gula Jati Tujuh luasnya mencapai 12 ha, dengan penggunaan lahan rincinya dapat dilihat pada Tabel 3.
67 Tabel 3. Penggunaan lahan di Pabrik Gula Jati Tujuh
No. 1.
2.
Penggunaan Lahan Lahan tertutup bangunan/ kedap air a. Emplasemen b. Jalan c. Kantong air d. Pertamina e. Sungai/daerah genangan f. Luas lahan tertutup
Luas 2
m
%
135,4 682,4 479,5 66,5 105,7 1.469,5
11,4 5,72 4,02 0,56 0,89 12,33
Lahan terbuka a. Penghijauan dan hortikultura b. Kebun produksi: - Tebu giling - Tebu bibit c. Lahan terbuka Luas lahan terbuka
253,0
2,12
8.400 1.000 799,05 10.452,05
70,46 8,37 6,70 87,67
Total luas lahan yang dikuasai
11.921,55
100
Sumber: PT. PABRIK GULA. Rajawali II 4.3
Gambaran Umum Industri Gula Dunia Produksi dunia gula menurun sebesar 9 juta ton pada tahun 2008/09.
FAO telah merevisi perkiraan 158,5 juta ton, yaitu 2,5 juta ton dibawah perkiraan pertama yang dirilis pada November 2008, dan 9 juta ton atau 5,4% kurang dari pada 2007/08. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh produksi di India, di mana output gula sekarang sudah menurun drastis 45%. Penurunan terjadi dari luas tanaman, seperti banyak produsen mengalokasikan tanah untuk alternatif yang lebih menguntungkan seperti jagung dan kedelai. Selain India, produksi gula di Australia, Uni Eropa, Pakistan, Thailand dan Amerika Serikat juga mengalami penurunan yang relatif kecil. Namun, di Amerika Latin dan kawasan Karibia, produksi gula di Brasil (Oktober/September) meningkat menjadi 39,6 juta ton pada tahun 2008/09, sekitar 29% lebih tinggi dari pada 2007/08, meskipun hujan lebat pada saat panen, yang menurunkan hasil panen. Produksi dunia mencapai 566 juta ton, yang berarti ada kenaikan 15% dari tahun lalu, dengan ekspansi luas tanaman tebu 12%. Diperkirakan kurang lebih 60% dari
68 panen 2008/09 Brazil diolah menjadi etanol berbasis tebu yang didukung pasar ekspor yang lebih tinggi. Namun jika harga gula internasional terus naik, sedangkan harga minyak mentah tidak mengalami kenaikan, maka gula berbasis tebu diarahkan untuk ditingkatkan. Di tempat lain di wilayah ini, produksi gula di Kolombia meningkat sebesar 3 % pada tahun 2008/09, sementara itu di Argentina relatif tetap / tidak berubah dan di Peru sedikit penurunan. Di Eropa, Perancis menduduki peringkat pertama dengan menjadi produsen gula terbesar yang memproduksi sebanyak 22.60% dari total produksi pada tahun 2004/2005, yaitu sebesar 4,5 juta ton. Posisi selanjutnya diisi oleh Jerman, Polandia dan Inggris. Di negara-negara Eropa Timur, seperti Latvia dan Slovenia hanya memiliki share 0,3% dan 0,2 % dari total produksi Eropa, yang berkisar 19,9 juta ton (Tabel 4). Tabel 4. Produksi dan konsumsi gula dunia (juta ton) Keseimbangan (World Balance) Produksi Perdagangan Pemakaian Persediaan (stock) Indikator Suplai & Demand Konsumsi perkapita Dunia (kg/th) LIFDC (kg/th) World stock-touse ratio (%)
2006-2007
2007-2008
2008-2009
166.1 46.7 154.0
167.6 47.3 158.4
158.5 50.2 162.2
Perubahan 2008-2009 thd tahun 20072008 -5.4 6.0 2.4
73.3
80.9
76.3
-5.7
22.5 12.9
23.1 13.4
23.4 13.7
1.3 1.8
47.6
51.1
47.0
Harga di AS 10.08 12.80 13.78 8.8 (US $ (cent/lb) Sumber: United States Department of Agriculture Supply and Distribution Foreign Agricultural Service Sugar, 2009 Di Meksiko (Januari-Mei 2009), produksi gula mencapai 5,8 ton, relatif tidak berubah dari musim lalu. Pemakaian pupuk tanaman dan peternakan sangat sedikit, cukup untuk mengimbangi insentif produksi yang ditawarkan oleh program Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), yang memberikan Gula Meksiko akses
69 bebas ke Pasar Kanada maupun Amerika Serikat. Guatemala, produsen gula terbesar kedua di wilayah tersebut yang memperluas juga tingkat pasar, sebagai akibat dari meningkatnya areal tebu, karena didorong oleh harga gula tebu yang lebih tinggi. Di Kuba, produksi gula sekarang mengalami penurunan dibanding 2008/2009 sebagai akibat dari kerusakan oleh Badai Ike dan Gustave, yang melanda negeri tersebut pada bulan September 2008. Agregat produksi gula di Afrika naik sebesar 8,3% menjadi 11 juta ton pada tahun 2008/2009, melampaui pertumbuhan tahunan 3% selama tiga tahun terakhir. Ekspansi terutama disebabkan oleh peningkatan lahan tanam dan kapasitas pengolahan baru. Investasi ini berlangsung sebagian besar untuk mengantisipasi ekspor yang lebih besar ke pasar dan harga gula yang lebih tinggi. Uni Eropa di bawah Everything-But Arms Initiative (EBA), yang memungkinkan negara-negara paling terbelakang di Afrika mempunyai akses bebas kuota ke Pasar Uni Eropa. Di Afrika Selatan, produsen gula terbesar benua itu, produksi gula mencapai 2,3 juta ton pada tahun 2008/09, naik 6,6% dari 2007/08, karena cuaca baik meskipun peningkatan biaya pupuk sebesar 100% sejak 2007/08. Pada saat yang sama, devaluasi rand terhadap Dolar Amerika Serikat sejak 2007/08 telah memberikan beberapa keuntungan kepada eksportir gula. Produksi gula di Mesir diperkirakan 1,9 juta ton, hanya 1,4% lebih banyak daripada di 2007/2008, karena harga sereal lebih menarik, terutama perluasan wilayah untuk gandum. Produksi di Sudan naik 3,6% dari 2007/2008, karena kondisi cuaca yang menguntungkan dan kondusif berkat dukungan publik juga. Produksi direncanakan untuk dikembangkan secara signifikan di tahun-tahun mendatang, terutama dengan selesainya Proyek Gula Nil (Nile Sugar Project), yang menyediakan infrastruktur irigasi untuk meningkatkan kawasan tebu. Keuntungan sekitar 8% juga di Kenya meskipun subsektor gula negara menghadapi persaingan kuat dari produsen yang lebih efisien dalam anggota lain dari pasar bersama Common Market for Eastern and Southern Africa (COMESA). Peningkatan produksi gula pada tahun 2008/09 juga dialami oleh Mauritius, Mozambik, Swaziland dan Republik Tanzania. Program EBA adalah sebuah inisiatif Uni Eropa yang memberikan akses bebas terbatas kepada 50 negara-negara berkembang untuk melemparkan produksinya ke pasar Uni Eropa. Program EBA diberlakukan pada tahun 2001 untuk semua produk, kecuali untuk pisang segar dan beras. Impor komoditas ini dari negara-negara berkembang sangat menarik walaupun tunduk pada kuota yang secara bertahap berakhir
70 pada tahun 2009. Dalam kasus gula, tidak ada tarif atau pembatasan kuantitatif diterapkan pada impor dari negara-negara berkembang. Sejauh ini, investasi besar yang telah dibuat oleh negara-negara berkembang, khususnya di Afrika, untuk memperluas kapasitas produksi gula dan pengolahan di tingkat pertanian dan pabrik untuk mengantisipasi peningkatan akses pasar ke Uni Eropa. Pada tahun 2008, gula negaranegara berkembang diekspor ke Uni Eropa sebesar 400.000 ton, meningkat 33,6 % dari tahun 2007. Terlepas dari itu semua ekspornya sekitar 100% lebih rendah untuk negara-negara berkembang daripada pemasok Most Favoured Nation (MFN) lain, sekitar 66% dari peningkatan impor Uni Eropa di tahun 2008 diisi oleh pengiriman dari Brazil. Suplainya terkendala, termasuk kurangnya kapasitas penyimpanan gula, yang terus menghalangi kemampuan negara-negara berkembang guna memperluas ekspor. Penelitian menunjukkan hasil yang bertolak belakang pada efek kemungkinan EBA mengimpor dari Uni Eropa dari negara-negara berkembang, walaupun akses pasar telah penuh diberikan kepada mereka pada Oktober 2009. Beberapa penelitian memperkirakan mereka tidak melampaui 1 juta ton, dengan alasan biaya usaha (production cost) besar, sementara yang lain proyek mereka untuk lebih dari 2 juta ton. Selain dari kesenjangan yang ada dalam infrastruktur fisik, konvergensi harga internal Uni Eropa dan harga gula dunia dalam beberapa tahun terakhir secara substansial mengurangi daya tarik pasar Uni Eropa, yang dapat menyebabkan negara-negara berkembang untuk memikir ulang beberapa atau semua dari mereka menggunakan Uni Eropa untuk lain wilayah baik regional dan atau pasar internasional. Prospek produksi gula di Asia menunjukkan penurunan tajam dari tingkat dicapai dalam 2007/2008, karena pengurangan substansial di India dan Pakistan. Output gula di Negara-negara Asia tersebut, sekarang diperkirakan mencapai 15,8 juta ton, turun 45% dari tahun lalu, mengingat curah hujan tidak teratur dan perubahan alokasi tanah untuk konversi lahan lainnya. Akibatnya, produksi India diperkirakan jatuh, dan hanya untuk konsumsi dalam negeri, untuk pertama kalinya sejak 2004/05. Harga domestik telah meningkat sejak awal tahun 2009, memaksa pemerintah untuk merekomendasikan
perubahan
harga
minimum
resmi/the
statutory
minimum
price (SMP) untuk tebu, yang dapat menyebabkan kenaikan harga 54% untuk musim 2009/2010. Demikian pula, produksi gula di Pakistan menurun sebanyak 23%, terutama karena harga yang diberikan tidak memberikan insentif yang cukup untuk produsen,
71 sementara pengurangan akses ke kredit membuatnya sulit bagi beberapa pabrik untuk membeli dan memproses tebu. Di Thailand meskipun produksi gula diperkirakan naik 2%, tetapi kenyataannya mengalami penurunan, walaupun sebelumnya berprospek untuk dikembangkan lebih dari 5% kerena cuaca yang tidak menguntungkan dan lahan tebu berkurang. Para industri gula menyalahkan situasi kredit yang ketat, sehingga mengalami penurunan utilisasi kapasitas pabrik sehingga turun pula produksinya. Ekspansi sedang dilakukan di Turki, sementara produksi di Cina mungkin mengalami penurunan karena cuaca dingin tiba-tiba melanda di daerah selatan yang pada saat kritis sedang dalam pengembangan tanaman. Produksi gula di Uni Eropa 14,4 juta ton, sesuai dengan target produksi, setelah mencapai 17,4 juta ton pada tahun 2007/2008. Penurunan produksi konsisten dengan pelaksanaan program reformasi rezim gula Uni Eropa, yang dimulai tahun 2006/2007, dalam hal ini produksi gula Uni Eropa harus dipotong 6 juta ton selama empat tahun. Sejauh ini, pemotongan total telah mencapai 5,8 juta ton. Produksi gula sekarang terkonsentrasi di 18 negara anggota sebagaimana jumlah anggota Uni Eropa sebanyak 23 sebelum dimulainya reformasi. Di sisi lain, produksi diperkirakan naik di Federasi Rusia meskipun ada pengurangan lahan, di tingkat pertanian dan pabrik. Produksi di Ukraina mengalami penurunan, di mana petani mengurangi lahan untuk menanam biji bunga matahari yang lebih menguntungkan. Produksi gula di Amerika Serikat di bawah level 2007/08, menyusul penurunan 13% produksi gula bit, mencerminkan pergeseran ke tanaman lain. Perkiraan awal 2009/10 menunjukkan bahwa pemulihan lahan sebanyak 28%, akan membawa prospek yang lebih tinggi. Di Australia, kondisi cuaca yang kurang menguntungkan dalam bentuk banjir bisa menekan produksi sebesar 6,4 % menjadi 4,7 juta ton. Harga gula dunia yang kuat sesuai permintaan global, sejak isu terakhir dari kebutuhan makanan pada bulan November 2008. Harga gula internasional pada tiga tahun belakangan ini mengikuti kecenderungan stabil, bergerak dari US$ 12,10 sen per pound pada November 2008 menjadi US$ 13,65 sen per pond pada bulan April 2009 dan mencapai harga tertinggi US$ 16,06 sen per pound pada Mei 2009. Pola harga terutama mencerminkan pengurangan ketersediaan ekspor global, menyusul penurunan tajam dalam produksi gula India pada 2008/2009. Harga bisa bergerak lebih tinggi, itu bukan karena penurunan ekonomi dunia, yang dibatasi permintaan, dan melemahnya
72 mata uang nasional relatif terhadap dolar Amerika Serikat, yang ditopang ekspor dari negara-negara seperti Brazil, produsen/pengekspor gula terbesar dunia. Harga gula juga dapat meningkatkan volatilitas (mudah berubah) mengingat ketidak-pastian terkait dengan sejauh mana India akan memanfaatkan pasar dunia untuk menebus defisit produksinya. Konsumsi global terus berkembang, tetapi pada tingkat yang lebih lambat dari kecenderungan tren jangka panjang, di tahun 2008/2009 meningkat menjadi 162 juta ton atau 2,4% lebih banyak daripada di 2007/2008. Lambatnya peningkatan tersebut jika dibandingkan masing-masing dengan 3,4% dan tingkat 4,7% ekspansi dialami dalam 2007/2008 dan 2006/2007. Konsumsi gula perkapita diperkirakan meningkat dari 23,1 kg pada 2007/08 menjadi 23,4 kg pada 2008/09. Harga gula domestik meningkat dan prospek ekonomi tidak banyak, sehingga mengalami perlambatan konsumsi. Penurunan ekonomi, menekan penggunaan gula oleh industri olahan makanan, termasuk industri minuman, yang sangat sensitif terhadap variasi dalam pendapatan. Konsumsi gula di negara-negara berkembang diramalkan tumbuh sebesar 3,2% menjadi 113,2 juta ton, didukung pertumbuhan penduduk dan oleh pendapatan perkapita. Konsumsi gula di India, bisa mencapai 25,3 juta ton, naik dari 24,6 juta pada 2007/08, sedikit meningkat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Meskipun sisa ceruk pasar, diantisipasi juga oleh Brazil, Cina dan Indonesia. Di sisi lain perubahan konsumsi diperkirakan meningkat dinegara-negara maju, khususnya Australia, Jepang dan Uni Eropa, mengingat sudah tinggi konsumsi perkapitanya, sementara adanya perlambatan pertumbuhan penduduk. Konsumsi di Amerika Serikat agak tumbuh, tapi relatif masih banyak ketidak pastian terhadap ukuran ekspansinya karena penurunan ekonomi saat ini. Perdagangan gula dunia mencapai 50,2 juta ton pada tahun 2008/2009, 6% lebih tinggi dari perkiraan 2007/2008, yang didorong oleh permintaan impor yang kuat oleh negara-negara yang menghadapi kekurangan produksi, khususnya Uni Eropa, India dan Pakistan. Karena ketidakpastian jumlah impor gula oleh India guna menutup kekurangan produksi yang tajam pada tahun 2008/2009. Berdasarkan informasi saat ini, FAO memperkirakan impor India berkisar sekitar 3 juta ton, dengan bebas bea. Uni Eropa berubah menjadi importir net-gula, sebagai penurunan produksi sejalan dengan reformasi industri gula dalam negerinya. Impor resmi tercatat sebesar 4,9 juta ton, setara
73 dengan 53,6 %, atau 1,7 juta ton lebih tinggi dari musim lalu, yang berasal dari negara yang memiliki akses khusus ke Uni Eropa, mengingat tarif MFN sangat tinggi. Di tempat lain di Eropa, impor oleh Federasi Rusia, importir gula terbesar di tahun 2007/2008, yang menurun sebesar 14% menjadi 2,8 juta ton, karena ekspansi produksi. Saat ini jumlah impornya jauh telah kurang dari tahun-tahun sebelumnya, karena bea masuk yang sangat tinggi sebesar US$ 220 per ton. Di Asia, pembelian oleh India, Malaysia dan Pakistan meningkat, terutama karena permintaan domestik yang kuat atau penurunan produksi. Di seluruh dunia, pengiriman ke Amerika Serikat diperkirakan sebesar 2,7 juta ton, yaitu 800.000 ton lebih banyak dari pada 2007/08, terutama untuk melayani pasar domestik. Sekaligus mengadakan kembali cadangan, mengingat rasio stock yang digunakan relatif rendah. Impor oleh negara-negara di Afrika yang diramalkan diperluas sekitar 4,3% menjadi 9,2 juta ton, jauh lebih rendah daripada yang dibayangkan sebelumnya, sebagai persediaan yang diproduksi secara lokal untuk bisa menggantikan impor. Kekurangan produksi di 2008/2009, terutama di India, telah mendorong pasokan terhadap permintaan situasi di pasar dunia. Meskipun demikian, ketersediaan stok yang relatif baik di Thailand. Disamping itu pertumbuhan yang baik di Brazil dan Guatemala akan membantu mempertahankan ekspansi 6,2% diekspor dunia. Brazil, eksportir terbesar di dunia, bisa memperoleh manfaat besar dari meningkatnya kucuran gula internasional. Brazil bisa meningkatkan pengiriman sebesar 28% menjadi 24,1 jta ton, setelah kenaikan di tahun 2007/08, terutama karena biaya pengangkutan agak murah yang memungkinkan negara tersebut mendapatkan kembali pangsa pasar, khususnya di Asia. Secara keseluruhan dari Asia, ekspor turun sebesar 8% menjadi 10,7 juta ton pada tahun 2008/09, terutama karena pengiriman yang lebih kecil dari India dan Pakistan. Didorong oleh tingginya harga gula internasional, pengiriman dari Thailand meningkat sebesar 41% menjadi 5 juta ton, sebagian besar disalurkan kepada negara-negara tetangga. Di tempat lain, ekspor Meksiko 600.000 ton, meningkat 20% selama 2007/08, bahkan bisa mencapai 1 juta ton, didukung karena akses bebas ke pasar Amerika Utara. Harga gula internasional berdasarkan Perjanjian Gula Internasional/International Sugar Agreement (ISA), yang dihasilkan oleh Organisasi Gula Internasional/International Sugar
Organization
(ISO),
dihitung
sebagai
rata-rata
sederhana
dengan Intercontinental Exchange Sugar Contract (IESC) No. 11.
sesuai
Di dalam
74 produksinya, Uni Eropa menggunakannya untuk konsumsi domestik yaitu 68%, India dan Amerika Serikat sekitar 60% dan Brazil 48%. Brazil dan Thailand berkontribusi lebih terhadap perdagangan dunia, sedangkan WTO memaksa Uni Eropa untuk mengurangi ekspor gula mereka sampai dengan 80%. Hampir 75% produksi gula dunia merupakan hasil perkebunan tebu di zona tropis yang berlokasi di bumi bagian selatan. Produsen gula tebu terkemuka yaitu Brazil, India, China, Thailand, Pakistan, dan Meksiko. Sisanya diproses dari gula bit yang tumbuh di daerah bersuhu dingin, di bumi bagian utara. Perancis, Jerman, USA, Rusia, Ukraina, dan Turki merupakan produsen terbesar dari gula bit. Tidak semua negara produsen menjual gula mereka di perdagangan internasional. Saat ini, 70% gula dunia dikonsumsi di negara produsen. Hanya 30% saja yang di perdagangkan di luar negara asalnya. Konsumsi gula global meningkat sekitar 2% per tahunnya, dan mengalami peningkatan17% dari 128 juta ton di tahun 2000 menjadi 150 juta di tahun 2006. Konsumsi gula tertinggi terdapat di Brazil (59 kg gula per tahun), Meksiko (53), dan Australia (50).
Tabel 5. Produsen gula terkemuka dunia No.
Negara
Jumlah (juta ton)
Rasio dari produksi gula global (%) 20
1
Brazil
30
2
Uni Eropa
22
14.7
3
India
20
13.33
4
China
10
6.6
5
USA
7
4.6
6
Meksiko
6
4
7
Afrika Selatan
5.7
3.8
8
Australia
5.4
3.6
9
Thailand
5
3.3
10
Rusia
2.7
1.8
Sumber: Top Ten Sugar Exporters (2010)
75 Tabel 5 menyajikan produsen gula terkemuka untuk tahun 2005-2006. Produsenprodusen tersebut memiliki kontribusi hampir 80% dari produksi gula global yang berjumlah 150 juta ton di tahun 2005-2006. (Musim gula international berjalan dari September sampai dengan Agustus). Produsen yang juga mengekspor dengan persentase tertinggi dari produksi gula mereka, adalah Australia (76%), Brazil (59%), dan Uni Eropa (37%). Sebaliknya, India dan Meksiko masing-masing hanya mengekspor 5% saja, sedangkan China dan Rusia tidak menjual produksi gula mereka ke pasar internasional. Tabel 6 memperlihatkan 10 eksportir gula terkemuka dunia untuk tahun 2005-2006.
Tabel 6 Produsen gula terkemuka dunia yang mengekspor No.
Negara
Jumlah (juta ton) 17,7
Rasio dari ekspor gula global (%) 39
1
Brazil
2
Uni Eropa
8,1
18
3
Australia
4,1
9
4
Thailand
2,6
5,8
5
1,6
3,6
6
SADC (South Africa Development Community) Guatemala
1,5
3,3
7
India
1,4
3,1
8
Teluk Persia
1,3
2,9
9
Afrika Selatan
1,3
2,9
10
Kuba
1,2
2,7
Sumber: Top Ten Sugar Exporters (2010) 4.4
Perdagangan Gula Internasional Brazil terus mendominasi pasar gula internasional, dipacu oleh permintaan
ethanol bebasis gula. Di tahun 2006-2007, Thailand diharapkan dapat meningkatkan ekspor gula sampai mendekati 30% dikarenakan luasnya perkebunan tebu disana. Meskipun India telah meningkatkan produksi gula sebanyak 12%, pemerintah setempat melarang ekspor gula sampai April 2007 sebagai langkah untuk meningkatkan harga gula domestik.
76 Uni Eropa gagal menjalankan tanggung jawab untuk melaksanakan Persetujuan Uruguay (The Uruguay Agreement on Agriculture), Organisasi Perdagangan Dunia (The World Trade Organization) yang saat ini membatasi ekspor gula bersubsidi Uni Eropa sebanyak 1.4 juta ton per tahunnya. Adanya penurunan dramatis ekspor gula Uni Eropa, kenaikan ekspor dari Brazil, Thailand dan India diharapkan dapat mengurangi efek kerugian
di
pasar
gula
internasional.
(http://world-trade-organization.suite101.
com/article.cfm/ top_ten_sugar_exporters; Top Ten Sugar Exporters, 31 Mei 2010) 4.5
Gambaran Umum Industri Gula di Indonesia Dalam perekonomian Indonesia, gula merupakan salah satu komoditas strategis.
Dengan luas areal sekitar 350 ribu ha pada periode 2000-2005, industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1,5 juta orang. Gula juga merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dan sumber kalori yang relatif murah. Karena merupakan kebutuhan pokok, maka dinamika harga gula mempunyai pengaruh langsung terhadap laju inflasi. Pada periode 1991-2001, industri gula Indonesia mulai menghadapi berbagai masalah yang signifikan. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat dengan laju 16,6% per tahun pada periode tersebut. Hal ini terjadi karena ketika konsumsi terus meningkat dengan laju 2,96% per tahun, produksi gula dalam negeri menurun dengan laju 3,03% per tahun. Pada lima tahun 1997-2002, produksi gula bahkan mengalami penurunan dengan laju 6,14 % per tahun (Dewan Gula Indonesia, 2002). Di Indonesia, luas areal penanaman tebu pada musim tanam tahun 2003/2004 mencapai 321.530,1 hektar. Luas areal perkebunan di Pulau Jawa lebih luas dibandingkan dengan perkebunan tebu di luar Pulau Jawa.
Perincian luas areal
penanaman tebu di Indonesia pada musim tanam 2003/2004 disajikan pada Tabel 7. Dilihat dari sisi luasan bahwa tanah milik perusahaan gula yaitu 151.011,6 ha atau hanya 46,97%; sedangkan tanah (kebun) milik rakyat luasnya 170.518,5 ha atau 53,03%.
Dengan kata lain bahwa kontribusi dan partisipasi masyarakat terhadap
industri gula nasional sangat tingi. Lokasi atau tempat di Pulau Jawa merupakan mayoritas dari jumlah luasan tanah dari seluruh tanah/kebun yaitu 208.167,3 ha atau 64,74%. Ini merupakan kondisi yang patut terus diperhatikan, mengingat Pulau Jawa
77 dengan penduduk mayoritas memerlukan kegunaan tanah untuk berbagai keperluan seperti perumahan, industri, sarana prasarana jalan dan kegiatan ekonomi lainnya (Tabel 7).
Tabel 7 Luas areal tebu per perusahaan Luas (Ha) No
1 2 3 4 5 6 7
1 2 3 4 5 6 7 8
PTPN / PT
Total (Ha)
% thd Total Ind.
Tanah Sendiri
Tanah Rakyat
12.250,0 181,0 4.049,0 23.566,8 1.008,3 2.529,7 111,0 43.695,8
9.022,0 29.137,0 47.669,0 39.236,3 19.865,6 1.571,2 17.970,4 164.471,5
21.272,0 29.318,0 51.718,0 62.803,1 20.873,9 4.100,9 18.081,4 208.167,3
6,62 9,12 16,08 19,53 6,49 1,28 5,62 64,74
6.482,3 17.244,9 8.946,1 21.416,0 17.309,2 6.500,0 12.795,5 16.621,8
711,0 5.287,6 48,4 -
7.193,3 22.532,5 8.946,1 21.416,0 17.309,2 6.548,4 12.795,5 16.621,8
2,24 7,01 2,78 6,66 5,38 2,04 3,98 5,17
Jumlah Luar Jawa
107.315,8
6.047,0
113.362,8
35,26
Total (Indonesia) %
151.011,6 46,97
170.518,5 53,03
321.530,1
Pulau JAWA PT. RNI II PTPN IX PTPN X PTPN XI PT. Kebon Agung PT. Madu Baru PT. RNI I Jumlah Jawa Luar Pulau JAWA PTPN II PTPN VII PTPN XIV PT. GMP PT. GPM PT. RNI III PT. Sweet Indo Lamp PT. ILP
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2009) Industri gula nasional memiliki peran yang strategis dalam bidang sosial budaya, ekonomi dan politik. Di bidang sosial budaya pengusahaannya melibatkan lebih dari 1,5 juta tenaga kerja baik sebagai karyawan tetap, musiman dan petani tebu. Di bidang ekonomi dari produk utamanya berupa gula yang mencapai 2,2 juta ton pada tahun 2005 bernilai sekitar ± Rp.11 trilyun, belum termasuk produk samping berupa tetes 1,3 juta ton/tahun senilai Rp. 0,7 trilyun rupiah. Kontribusi tersebut akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya produksi. Di bidang politik, dengan banyaknya masyarakat yang terlibat dalam kegiatan on farm dan off farm, memiliki posisi tawar yang tinggi dalam mempengaruhi penetapan kebijakan-kebijakan pemerintah (AGI, 2006).
78 Pemerintah telah mencanangkan swasembada gula pada tahun 2014, dengan demikian kondisi pada tahun itu dan seterusnya, diharapkan konsumsi gula nasional dapat dipasok dari produksi dalam negeri, atau tidak menggantungkan dengan gula konsumsi asal impor. Dalam rangka hal tersebut diatas, perkembangan konsumsi gula nasional saat ini terus mengalami peningkatan baik untuk kebutuhan masyarakat umum yang dikenal dengan gula putih/pasir ataupun gula untuk kebutuhan industri yang disebut gula rafinasi. Tahun 2006 konsumsi gula putih mencapai 2,66 juta ton, sedangkan gula rafinasi 1,5 juta ton. Seiring dengan peningkatan kebutuhan gula tersebut, maka pabrik gula terus memacu kapasitas produksinya dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat umum ataupun industri. Produksi gula putih/pasir sebesar 2,015 juta ton (2004) meningkat sebesar 2,3 juta ton (2006), sementara produksi gula rafinasi sebesar 380.500 ton (2004) dan meningkat sebesar 1,125 juta ton (2006). Saat ini pabrik gula tebu di Indonesia tercatat 70 buah PG, 55 PG diantaranya adalah warisan kolonial yang dinasionalisasi tahun 1957, dan 15 buah merupakan pembangunan setelah kemerdekaan, namun yang aktif beroperasi tinggal 61 PG yang terdiri dari 47 PG merupakan PG lama (warisan kolonial) yang telah berumur antara 67176 tahun dan hanya 14 PG yang berumur 10-31 tahun. Dimungkinkannya PG-PG tua masih beroperasi karena pada periode akhir tahun 1970-an s.d 1980-an, rehabilitasi secara besar-besaran telah dilakukan dengan mendapat dukungan dana dari pemerintah dan pinjaman luar negeri. Dari 61 PG yang beroperasi tersebut dengan total kapasitas riil 195.800 TCD, dengan tingkat produksi yang dicapai pada tahun 2005 sebesar 2,2 juta ton hablur serta tahun 2006 sebesar 2,42 juta ton, ternyata belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri yang terus meningkat, sehingga impor masih terus dilakukan dengan besaran berkisar 1,3 juta ton setahun (AGI, 2006). Pada tahun 2005 total konsumsi gula nasional tercatat 3,3 juta ton terdiri dari 2,6 juta ton konsumsi langsung/rumah tangga dan 0,7 juta ton konsumsi industri. Dengan pertumbuhan konsumsi gula nasional 2% per tahun yang terdiri dari konsumsi rumah tangga 1,2 % mengikuti jumlah penduduk dan 5% konsumsi industri, maka kebutuhan konsumsi gula nasional pada tahun 2009 sebesar 3,65 juta ton dan tahun 2014 sebesar 3,9 juta ton. Pemerintah bertekad untuk mandiri dalam memenuhi kebutuhan gula
79 (swasembada), sehingga ke depan peranan pabrik gula dalam menyediakan bahan berupa gula semakin penting. Dengan kapasitas yang ada, potensi PG untuk memproduksi gula hanya sebesar 2,5 juta ton hablur, sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan produksi nasional yang dilakukan secara simultan melalui rehabilitasi tanaman, diikuti rehabilitasi dan pengembangan kapasitas pabrik serta pembangunan PG baru. Sejak krisis ekonomi tahun 1998 upaya pemeliharaan pabrik gula terkendala oleh keterbatasan dana, sehingga relatif selama 12 tahun terakhir perbaikan pabrik tidak dapat dilakukan secara memadai, khususnya pabrik-pabrik gula milik pemerintah yang berjumlah 51 buah, sehingga dari jumlah tersebut saat ini hampir semuanya memerlukan rehabilitasi, dari yang ringan, sedang maupun berat. Produksi gula dalam negeri belum akan mampu memenuhi konsumsi jika tidak dilakukan tindakan akselerasi peningkatan produksi gula. Program perbaikan tingkat on farm sudah dilakukan dengan program bongkar ratoon dan penggantian varietas. Namun sejalan dengan perbaikan usaha tani perlu juga dilakukan perbaikan off farm, khususnya rehabilitasi dan revitalisasi pabrik gula. Paradigma industri gula juga harus berubah sejalan dengan perubahan tuntutan teknologi. Diversifikasi produk dan reorientasi industri gula berbasis tebu harus dilakukan. Semua kegiatan ini tentu saja memerlukan dana yang tidak sedikit, sehingga perlu dilakukan skim pendanaan yang tepat bagi pabrik gula, khususnya yang kondisi mesinnya sudah tidak memenuhi standar operasional. Produksi gula putih, yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik gula (PG) di bawah naungan PTPN (Persero) dan PT. RNI yang berjumlah 51 PG dan 10 PG yang dimiliki perusahaan swasta, sedangkan produksi gula rafinasi seluruhnya dihasilkan oleh swasta, dengan jumlah 5 unit. Mengantisipasi peningkatan minat petani tebu dan pencapaian swasembada gula tahun 2014, maka dipandang perlu meningkatkan kinerja PG-PG, yang pada umumnya telah mengalami penurunan umur teknis mesin/peralatan pabrik. Kondisi ini terjadi karena banyak PG-PG tersebut pembangunan atau pendiriannya pada zaman Belanda, hingga saat ini masih beroperasi, maka kondisi tersebut perlu dilakukan peremajaan atau restrukturisasi dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas giling, mutu gula yang dihasilkan, efisiensi penggunaan BBM dan penanganan limbah PG.
80 Produksi gula kristal putih (GKP) tahun 2009 sebesar 2,7 juta ton dan dengan program revitalisasi diproyeksikan akan meningkat menjadi 3,54 juta ton pada tahun 2014. Kebutuhan gula nasional (GKP dan gula kristal rafinasi/GKR) tahun 2014 sebesar 5,70 juta ton, terdiri dari 2,96 juta ton untuk konsumsi langsung dan 2,74 juta ton untuk kebutuhan industri. Produksi GKP tahun 2014 diproyeksikan akan surplus 580 ribu ton dari kebutuhan konsumsi langsung yang bisa dialihkan menjadi bahan baku untuk pabrik gula rafinasi atau dapat dijual langsung ke industri khususnya industri kecil. Namun demikian di tahun 2014 masih diperlukan impor gula sebesar 2,16 juta ton atau setara dengan raw sugar 2,30 juta ton, yang tentunya akan berkurang sejalan dengan dibangunnya PG baru. Peran lembaga penelitian di bidang gula khususnya P3GI dalam satu dasawarsa terakhir menurun karena ketidakjelasan status hukum dan pendanaan. Berangkat dari permasalahan tersebut diatas, pemerintah dalam tahun 2010 – 2014 perlu melakukan revitalisasi PG yang ada (existing) dan pembangunan PG baru yang berjumlah 34 buah.
4.6
Kebijakan Pemerintah pada Industri gula Kontribusi pemerintah terhadap kinerja industri gula, yang dalam hal ini dapat
dikategorikan sebagai industri strategis; seyogyanya tidak hanya teoritis akan tetapi secara nyata berbentuk materi. Beberapa industri gula nasional khususnya yang berstatus BUMN sudah menanti terhadap kucuran dana guna menyehatkan kembali industrinya.
Namun setelah dilihat dari berbagai aspek, maka yang lebih dulu
mengusulkan kucuran dana adalah melalui program revitalisasi pabrik gula. Program di atas sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 91/M-IND/PER/XI/2008 tanggal 21 Nopember 2008, No. 31/M-IND/PER/3/2009 tanggal
16 Maret 2009, No. 44/M-IND/PER/4/2008 tanggal 6 April 2010 tentang
Program Restrukturisasi Mesin Peralatan Pabrik Gula dimana bagi industri gula yang telah merevitalisasi dan menstrukturisasi pabriknya dengan menggunakan pinjaman dari bank maupun non bank, bunganya ditanggung oleh Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka, Kementerian Perindustrian dengan skema sebagai mana di bawah ini (Gambar 11).
81
BAGAN MEKANISME PELAKSANAAN PROGRAM BANTUAN PEMBIAYAAN PEMBELIAN MESIN PERALATAN PABRIK GULA SPM
8
Verifikasi
4
KEMENPERIN
KMM/LPI Laporan Hasil Verifikasi
6
3 Persetujuan dan / permohonan Pencairan anggaran
KPPN
7 SP2D
KEMENTAN
Rekomendasi
Proses Verifikasi
5
Permohonan ikut program
2
Pemohon/ Peserta Program 9
Pembayaran skema program Pengajuan Kredit
1
BANK/LKBB
Gambar 11.
Bagan mekanisme pelaksanaan program bantuan pembiayaan pembelian mesin peralatan pabrik gula
Dalam pengucuran anggaran tersebut tidak serta merta ditransfer ke rekening industri gula tersebut akan tetapi harus dengan mekanisme penelusuran dukumen yang valid/sah tentang pengadaan barang/jasa sesuai Keppres 80/2003. Untuk itu diterbitkan suatu pedoman Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka yang fungsinya mengatur tata cara permohonan keringanan biaya revitalisasi industri gula yaitu Petunjuk Teknis Bantuan Pembiayaan untuk restrukturisasi mesin/peralatan pabrik gula, Program Peningkatan Struktur Industri Mesin Kementerian Perindustrian. Sebagai tahap awal pemerintah melalui pencanangan program revitalisasi pabrik gula diharapkan mampu mendorong peningkatan efisiensi dan produktifitas baik untuk on-farm dan off farm.
Pemerintah melalui program retrukturisasi mesin/peralatan
pabrik gula akan mengoptimalkan kemampuan industri permesinan dalam negeri sebagai upaya mendukung program restrukturisasi mesin/peralatan pabrik gula. Keringanan pembiayaan pembelian mesin/peralatan merupakan stimulus untuk mensukseskan program restrukturisasi mesin/peralatan pabrik gula. Program bantuan pembiayaan keringanan pembelian mesin/peralatan pabrik gula dimaksudkan untuk membantu perusahaan industri pabrik gula melakukan peremajaan mesin/peralatan,
82 dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas produksinya dengan menggunakan mesin/peralatan berteknologi lebih maju buatan dalam negeri yang efisien serta meningkatkan partisipasi kemampuan industri mesin/peralatan di dalam negeri. Sasarannya antara lain meningkatkan produksi dan efisiensi pabrik gula-pabrik gula yang masuk dalam program restrukturisasi pabrik gula. Ruang Lingkup dalam program ini yaitu: 1. Program bantuan pembiayaan untuk peremajaan mesin peralatan pabrik gula, adalah pemberian bantuan atas potongan bunga dari Pemerintah c.q. Kementerian Perindustrian kepada perbankan dalam negeri yang telah mengeluarkan bantuan pinjaman atas restrukturisasi mesin dan peralatan pabrik gula yang disetujui pemerintah. 2. Besarnya bantuan adalah sebesar persentase tertentu dari nilai pembelian atau sejumlah nilai kredit yang telah disetujui oleh perbankan dan maksimum sebesar Rp. 10 (sepuluh) Milyar. 3. Sumber pembiayaan pembelian mesin/peralatan oleh perusahaan industri pabrik gula didanai dari salah satu sumber atau kombinasi sumber pembiayaan yang berasal dari kredit perbankan yang disetujui pemerintah. 4. Penilaian kelayakan pemberian bantuan dilaksankan oleh Tim Teknis yang dibentuk oleh Kementerian Perindustrian dan dengan bantuan verifikasi atas pembelian mesin/peralatan yang dilaksanakan oleh Lembaga Penilai Independen (LPI) yang ditunjuk (hasil lelang) oleh Pemerintah c.q. Kementerian Perindustrian. 5. Bantuan diberikan secara sekaligus setelah seluruh mesin/peralatan telah terpasang dan dioperasikan di pabrik, dan seluruh bukti-bukti pembelian mesin/peralatan dimaksud adalah benar dan sah. 6. Proses administrasi pembayararan atas bantuan yang telah disetujui akan difasilitasi melalui Kantor Perbendaharaan Negara Jakarta bekerjasama dengan pihak perbankan yang mendanai pinjaman atas kredit untuk pelaksanaan restrukturisasi pabrik gula dan Bagian Keuangan Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka, Kementerian Perindustrian.
Ketentuan dan persyaratan serta kriteria penerima program, adalah perusahaan pabrik gula, yaitu perusahaan yang mengolah tebu menjadi gula dan masuk dalam
83 program pemerintah untuk direstrukturisasi mesin/peralatannya, yang memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Berbadan Usaha Indonesia 2. Memiliki izin usaha sebagai industri pengolahan gula tebu. 3. Perusahaan yang melakukan peremajaan sebagian atau seluruh permesinannya dalam rangka perluasan atau investasi baru. 4. Telah melakukan pembelian mesin/peralatan baru (bukan bekas) yang sesuai dengan ijin usaha yang dimilikinya antara tanggal tertentu, sebagaimana tercantum dalam daftar pencairan bantuannya. 5. Mesin/peralatan sebagaimana harus didukung oleh seluruh bukti-bukti pembelian mesin/peralatan yang lengkap, benar dan sah yang pembiayaannya dapat bersumber dari kredit bank dan/atau pembiayaan lembaga keuangan bukan bank (LKBB).
Mesin/peralatan
yang
dapat
disertakan
pada
program
restrukturisasi
mesin/peralatan harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1.
Terkait dengan proses produksi
2.
Merupakan mesin/peralatan baru buatan tahun 2007 ke atas
3.
Meningkatkan efisiensi dan/atau produktifitas dan/atau mutu produk
4.
Mesin/peralatan produksi dalam negeri Jenis mesin/peralatan yang dapat disertakan pada program restrukturisasi
mesin/peralatan adalah yang masuk dalam lingkup: 1.
Mesin gilingan (cane unloading dan cane milling)
2.
Mesin pemurnian (clarification)
3.
Mesin penguapan (evaporator dan condensator)
4.
Mesin pemasakan (graining, vacuum pan dan crystallizer)
5.
Mesin puteran (curing, drying)
6.
Alat pengangkat dan pemindah ( crane, hoist dan conveyor)
7.
Boiler
8.
Turbin
9.
Kompresor
10. Generator 11. Instrumentasi dan kontrol 12. Instalasi pengolahan air limbah (IPAL)
84 13. Instalasi pengolahan air bersih (water treatment plant)
Mesin/peralatan produksi dalam negeri adalah mesin/peralatan yang proses pembuktian tingkat komponen dalam negeri (TKDN)-nya mengikuti ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/PER/3/2006 tentang Pedoman Teknis Penggunaan Produksi Dalam Negeri. Adapun kriteria pemberi pinjaman adalah sebagai berikut: 1.
Bank pelaksana adalah yang memenuhi ketentuan yaitu bank pemerintah atau swasta nasional.
2.
Lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang memenuhi ketentuan, yaitu merupakan LKBB yang berkedudukan hukum di Indonesia dan memiliki ijin usaha dari Kementerian Keuangan RI serta masih aktif dalam menjalankan berbagai kegiatan usahanya. Dalam rangka membantu tugas-tugas tersebut di atas, Kementerian Perindustrian
membentuk tim pengarah yang diketuai oleh Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian, serta beranggotakan para pejabat terkait di Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kantor Menneg BUMN, Bappenas, Kementerian Keuangan, Perbankan, P3GI, PT. Rekayasa Industri, PT Barata Indonesia, PT Boma Bisma Indra, Dewan Gula Indonesia dan instansi terkait lainnya. Tugas tim pengarah adalah memberikan arahan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program serta menjamin kerjasama lintas instansi sebaik-baiknya. Dalam rangka membantu tugas tim pengarah, Kementerian Perindustrian membentuk tim teknis yang diketuai oleh Direktur Industri Mesin, Kementerian Perindustrian, serta beranggotakan perwakilan dari unsur-unsur pelaksana dari Tim Pengarah. Tugas tim teknis adalah memberikan bantuan teknis kelembagaan yang diperlukan Kementerian Perindustrian dalam menjalankan tugas-tugasnya termasuk memberikan rekomendasi kepada kuasa pengguna anggaran (KPA) untuk mendapat keputusan atas hasil verifikasi LPI tahap permohonan mengikuti program serta memutuskan permohonan pencairan program restrukturisasi atas hasil verifikasi LPI. Sebagai langkah pengamanan, maka dilakukan berbagai kegiatan yaitu pelaporan, pemantauan dan evaluasi.
85 1.
Pelaporan a. Perusahan industri/pabrik gula yang telah memperoleh bantuan wajib menyampaikan laporan kemajuan efisiensi dan produktifivitas mesin peralatan setiap 6 (enam) bulan sekali selama 5 (lima) tahun kepada Kementerian Perindustrian dengan tembusan kepada LPI terhitung sejak 6 (enam) bulan dari realisasi pencairan bantuan. b. LPI menyampaikan laporan tertulis hasil penugasannya, yang mencakup laporan hasil verifikasi permohonan mengikuti program restrukturisasi, verifikasi pencairan program restrukturisasi dan laporan pasca pencairan program restrukturisasi, kepada Kementerian Perindustrian. c. Kementerian Perindustrian menyampaikan realisasi program kepada para Menteri terkait lainnya.
2.
Pemantauan dan evaluasi oleh LPI: a. Melakukan verifikasi atas pemasangan mesin/peralatan dan kinerja mesin peralatan yang terpasang. b. Memantau
pemanfaatan
mesin/peralatan
untuk
menghindari
terjadinya
pelanggaran atas ketentuan yang berlaku c. Melakukan evaluasi atas dampak peningkatan teknologi terhadap peningkatan effisiensi dan/atau produktivitas dan/atau mutu. d. Melakukan pemantauan dan evaluasi program secara keseluruhan serta menyusun rekomendasi kepada Kementerian Perindustrian, tim pengarah dan tim teknis. e. Dibantu tim pengarah dan tim teknis, melaporkan data sebagai bahan kepada Kementerian Perindustrian merumuskan kebijakan pengembangan program selanjutnya.
4.7 4.7.1
Pengembangan Industri Pasokan Bahan Baku Pada dasarnya semakin besar kapasitas pabrik gula maka akan semakin tinggi
efisiensi ekonominya. Berbagai kendala yang berhubungan dengan kapasitas antara lain:
86 1) Pulau Jawa Kendala yang dihadapi oleh pabrik-pabrik gula di P.Jawa dalam mempertahankan kapasitas adalah ketersediaan lahan yang terbatas. Lahan-lahan yang tadinya ditanami tebu, sudah banyak dikonversi menjadi peruntukkan lain (bangunan dan lain-lain) atau ditanami tanaman lain seperti padi dan palawija. Ada dua kemungkinan yang perlu dilakukan, yaitu: a) Melakukan merger (amalgamisasi) Mengantisipasi kesulitan mendapatkan lahan sesuai harapan, beberapa pabrik (2 atau lebih) melakukan merger agar kapasitas pabrik dapat tercapai. Mesinmesin yang tidak dipergunakan dapat dialihkan ke luar Jawa dengan melakukan pembangunan pabrik gula secara holistik. Agar lahan tidak berubah fungsi, perlu ada kerjasama antara pabrik gula dengan pemilik lahan yang bersifat langgeng.
Ini dilakukan dengan dukungan kebijakan pemerintah
daerah dan pemerintah pusat. b) Mengubah kapasitas pabrik Apabila ada kendala dalam melakukan merger, pabrik gula yang telah ada perlu menurunkan kapasitas pabrik (membangun pabrik baru dengan kapasitas yang lebih rendah, misalkan kelipatan dari 250 TCD), sesuai dengan ketersediaan lahan. Pabrik yang lama bisa dialihkan ke luar Jawa dengan pembangunan pabrik gula baru. 2) Luar Jawa Pembangunan pabrik gula yang baru di luar Jawa tidak serta merta mudah dibangun. Beberapa kendala yang ada, antara lain : a) Ketersediaan SDM petani tebu Saat ini pengelolaan budidaya tebu oleh petani di luar Jawa, belum pada kondisi yang baik dibanding dengan di Jawa yang sudah pengalaman. Untuk itu perlu perlakuan khusus, agar dapat memberikan produktivitas yang optimal, petani yang akan menanam tebu terlebih dahulu perlu diberikan pelatihan dan bimbingan oleh investor pabrik gula. b) Lahan pertanian Secara kuantitas lahan pertanian di luar Jawa masih tersedia, tetapi kesuburannya pada umumnya marginal.
Selain kesuburannya rendah,
87 ketersediaan air irigasi belum memadai dalam mendukung penanaman tebu. Ini memberikan indikasi pembangunan pabrik di luar jawa perlu investasi yang relatif besar.
4.7.2 Masalah lain di Industri Gula Masalah lain yang dihadapi industri gula nasional antara lain 1. Petani Tebu Produktivitas dan rendemen tebu yang diterima petani dari PG umumnya masih rendah, dan sampai saat ini masih menjadi faktor utama belum bersinerginya hubungan antara petani tebu dan PG. Faktor ini, selain praktek relasi petani-PG yang disintegratif terhadap peningkatan produktivitas juga dipicu oleh penguasaan tebu oleh para pedagang (penebas) tebu, yang menyebabkan pasokan tebu ke PG tidak tertib. Apabila masalah ini tidak dapat diatasi, maka program bongkar ratoon yang bertujuan untuk mendapatkan kondisi ideal pertanaman sampai kepras ke-2 tidak akan optimum sehingga tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap peningkatan rendemen dan pendapatan petani tebu. 2. Pabrik Gula Tebu. PG BUMN di Jawa sampai saat ini belum efisien, yang tercermin dari kehilangan gula (pol) selama proses pengolahan yang mencapai 0,9%. Akibatnya, rendemen gula yang diterima petani menjadi rendah dan harga pokok gula hablur yang dihasilkan tidak memiliki daya saing. Sementara itu, PG swasta murni yang berada di Luar Jawa masih menghadapi tuntutan HGU, sehingga sulit untuk mencapai full capacity. Utilisasi yang rendah ini juga dialami oleh industri gula rafinasi, karena tidak adanya koordinasi antara pemberi ijin industri (BKPM dan atau Deptan) dengan Kementerian terkait. 3. Hubungan (Partisipasi) Petani Tebu (Masyarakat) dan Pabrik Gula Rendemen tebu yang diterima petani di luar Jawa umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan petani di Jawa, meskipun petani tebu di Jawa menggunakan pupuk dan mengeluarkan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi. Rendahnya rendemen ini terkait dengan ketergantungan PG terhadap bahan baku dari pedagang (penebas) tebu, karena mereka menguasai tebu dari petani kecil/miskin yang jumlahnya diperkirakan mencapai 60%.
Pencampuran dan penetapan waktu giling yang bersamaan antara
88 petani tebu dan pedagang (penebas) tebu ini, telah menurunkan rendemen tebu yang diterima petani. Faktor ini menjadi penyebab kurang baiknya relasi antara petani dan PG, karena PG tidak bersedia menerapkan rendemen individual. 4. Industri Gula Rafinasi. Tidak
adanya
koordinasi
BKPM
dengan
Kementerian
terkait,
telah
menyebabkan industri gula rafinasi bekerja di bawah kapasitas terpasang. Rendahnya utilisasi kapasitas pabrik ini, telah meningkatkan biaya produksi gula rafinasi. Gula rafinasi merupakan bahan baku bagi kegiatan industri makanan dan minuman. Gula rafinasi ini tidak layak dikonsumsi secara langsung, tetapi harus diolah lagi supaya layak dikonsumsi karena warna gula rafinasi biasanya agak coklat atau cenderung hitam dan butirannya sangat halus. Apabila gula rafinasi langsung dikonsumsi, bisa menimbulkan gangguan kesehatan. Industri gula rafinasi secara langsung juga akan mendorong kompetisi dalam hal kualitas gula yang sekarang ini dihasilkan oleh industri gula tebu di dalam negeri. Kebutuhan untuk meningkatkan kualitas gula oleh produsen gula “plantation white sugar” tidak dapat dielakkan apabila gulanya ingin tetap menjadi pilihan konsumen. Atas dasar pemikiran ini, pengembangan industri gula rafinasi akan menjadi bagian yang penting dipandang dari sudut kualitas gula yang makin baik di pasar. Hal lainnya yang perlu dikaitkan langsung dengan gula rafinasi ini adalah dalam jangka pendek akan berkembang penciptaan kesempatan kerja baru di Indonesia. Kesempatan kerja ini walaupun merupakan hal yang sangat penting, tetapi tetap tidak boleh terlepas dari asas efisiensi dan produktivitas. Hal ini penting karena dalam jangka panjang produksi gula ini tidak terlepas dari persaingan dengan gula yang dihasilkan oleh produsen dari negara lain. Sampai tahun 2009, jumlah perusahaan yang memproduksi gula rafinasi sebanyak lima perusahaan.
Secara total, kapasitas izin mencapai sekitar 5.662 ton/hari,
sedangkan kapasitas terpasang mencapai 4.200 ton/hari. Dengan kapasitas terpasang tersebut, produksi gula rafinasi baru mencapai sekitar 395 ribu ton tahun 2004. Dengan rendemen berkisar antara 89-96 %, pemakaian bahan baku (raw sugar) pada tahun tersebut mencapai 435.000 ton. Hal ini menunjukkan bahwa gula rafinasi masih perlu diimpor untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Bahkan, industri farmasi harus mengimpor karena industri gula rafinasi di Indonesia belum mampu memproduksi spesifikasi gula yang dibutuhkan oleh industri tersebut.
89 5. Konsumen Rumah Tangga dan Industri Pangan Penerapan tarif impor sebesar Rp. 550/kg untuk raw sugar dan Rp. 700/kg untuk gula putih, menyebabkan harga jual gula pada tingkat konsumen lebih tinggi. Tingginya harga gula di pasar domestik ini telah merugikan perekonomian secara keseluruhan, dan menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya daya saing industri makanan dan minuman berbahan baku gula. 6. Perdagangan Gula di Dalam Negeri. Perdagangan gula di dalam negeri sebenarnya memiliki struktur pasar yang bersifat oligopolistik. Dalam setiap lelang gula yang dilakukan oleh APTRI atau PTPN hanya beberapa pedagang yang terlibat, sehingga tingkat kompetisinya tidak mencerminkan kondisi permintaan dan penawaran gula yang sesungguhnya. Disamping itu, lemahnya penegakan hukum (law enforcement) untuk memberantas penyelundupan dan manipulasi dokumen gula impor, telah mempengaruhi penawaran dan harga gula di pasar domestik. 7. Situasi Pasar Gula Dunia Gula yang diperdagangkan di pasar dunia mencapai 35 juta ton/tahun, atau sekitar 28 % dari total produksi gula dunia.
Harga gula dunia saat ini tidak
menggambarkan tingkat efisiensi, karena dijual di bawah ongkos produksinya. Kebijakan domestic support dan export subsidy yang dilakukan oleh negara-negara produsen gula dunia, menyebabkan harga gula di pasar internasional telah terdistorsi. 8. Kegiatan Research and Development (R & D) Sebagian besar kegiatan R & D Gula selama ini dilakukan oleh Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), dengan sebagian besar dana bersumber dari pemerintah dan iuran anggota Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia (APPI). Keterbatasan dana R & D ini telah mempengaruhi kinerja P3GI, khususnya dalam menghasilkan teknologi baru yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani tebu.
4.7.3 Daya Dukung Peralatan Produksi 1.
Klasifikasi dan Spesifikasi Teknis Mesin Peralatan Pabrik Gula
90 Klasifikasi dan spesifikasi teknis mesin peralatan pabrik gula dengan kapasitas 250 TCD, seperti tabel terlampir. Untuk melengkapi klasifikasi/spesifikasi teknis mesin peralatan PG identifikasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dalam pembangunan pabrik gula, seperti yang telah dilakukan oleh surveyor independent adalah sebagai berikut: a.
Gilingan : 32,32 % Walaupun TKDN hanya 32,32% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 82,73%,, artinya komponen mesin/peralatan gilingan mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti cane unloading dan sebagian Cane milling kecuali hydraullic serta lubrication system.
b.
Pemurnian : 3,28% Walaupun TKDN hanya 3,28% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 82,28%, artinya komponen mesin/peralatan pemurnian mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti sebagian besar clarification station dan sebagian milk of lime sulphur and soda station.
c.
Penguapan : 1,95 % Walaupun TKDN hanya 1,95% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 93%, artinya komponen mesin/peralatan penguapan mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti evaporation, condensat, tangki, yang belum adalah pompa-pompa.
d.
Pemasakan : 2,79 % Walaupun TKDN hanya 2,79% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 72,89%, artinya komponen mesin/peralatan pemasakan mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti tangki dan receiver.
e.
Puteran : 1,76 % Walaupun TKDN hanya 1,76% namun komponen dalam negeri telah mencapai 77,21%, artinya komponen mesin/peralatan pemasakan mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti tangki, alat pendukung, konstruksi, cooler, dryer.
f.
Crane and hoist : 0,46 %
91 Walaupun TKDN hanya 0,46% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 80,00%, artinya komponen mesin/peralatan alat angkat dan pemindahan barang berupa crane & hoist mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri. g.
Machine shop: 0,17 % Walaupun TKDN hanya 0,17% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 54,72%,artinya komponen mesin/peralatan bengkel untuk perbaikan mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti alat las, plate working tools, hydraulic jack.
h.
Laboratory: 0,08 % Walaupun TKDN hanya 0,08% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 68,33%, artinya komponen mesin/peralatan uji di laboratorium hasil produk gula atau sampingannya mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti gilingan kontak, elemen pembantu alat pengukuran.
i.
Water pully & water treatment: 0,98 % Walaupun TKDN hanya 0,98% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 83,91%, artinya komponen mesin/peralatan pengolah limbah cair mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti tangki, filter, cooler meter.
j.
Listrik, boiler, turbin & generator : 23,87% Walaupun TKDN hanya 23,87% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 60,00%, artinya komponen mesin/peralatan kelistrikan, energi dan pembangkitnya mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri, seperti motor control, control consul, circuit wiring.
k.
Piping, valve, cute : 2,81% Walaupun TKDN hanya 2,81% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 80,00%, artinya komponen mesin/peralatan perpipaan untuk air, uap dan alat pengaturnya mayoritas sudah dapat dibuat di dalam negeri
l.
Structure & operation platform: 1,19 % Walaupun TKDN hanya 1,19% namun komponen dalam negeri mempunyai potensi sebesar 100%, artinya komponen bangunan gedung, pabrik, gudang dan pendukung penyimpanan sudah semuanya dapat dibuat di dalam negeri, hanya kandungan kimia untuk pembuatan alat tersebut masih banyak yang impor.
92 m. Control instrument for process: 0,00 % Ini sedikit kelemahan di industri gula yang kesemuanya masih menggunakan komponen luar negeri (impor), mengingat di bidang instrumentasi ini memerlukan teknologi computer yang cukup rumit untuk mengendalikan proses produksi secara otomatis. n.
Total bobot: 71,65 % Artinya bahwa seluruh sistem permesinan di industri pergulaan ini telah didukung oleh industri komponen permesinan dalam negeri seperti PT Barata Indonesia, PT Boma Bisma Indra, PT Rekayasa Industri, PT Indomarine; yang secara berkala sudah mempunya jadwal perbaikan dan penyediaan komponen secara konsisten. Berdasarkan uraian di atas maka dari sisi teknologi industri pembuat komponen
gula dalam negeri sudah mampu mensupply kebutuhan untuk mengganti yang rusak. Namun sampai saat ini kemampuan pembuat komponen dalam negeri belum sepenuhnya diberi kesempatan untuk berkontribusi terhadap kebutuhan pengganti komponen yang rusak mengingat para pabik gula dalam negeri masih berorientasi kepada impor. 2.
Dukungan Teknis Mesin Peralatan Pabrik Gula Mengingat pabrik gula ini sejak awal dibina oleh Kementerian Pertanian dan
saat ini secara kordinatif di bawah Kementerian BUMN, sektor off farm masih belum optimal peningkatan tingkat efisiensi. Untuk itu Kementerian Perindustrian mencoba membantu dengan program revitalisasi seperti tersebut di atas. Realisasi program bantuan restrukturisasi mesin/peralatan pabrik gula tersebut untuk tahun 2009 adalah sebagai berikut (Tabel 8). Data pada Tabel 8 memperlihatkan bahwa realisasi yang bisa diserap oleh PG hanya 50% dari dana yang sudah disiapkan sebesar Rp. 50 Milyar. Hal ini mengingat kesiapan PG dalam melengkapi data yang masih belum baik, dan ada komponen mesin/peralatan yang masih terdapat unsur impor sehingga mengurahi stimulus yang disiapkan. Untuk tahun anggaran 2010 telah disiapkan anggaran Rp. 350 Milyar untuk program pembelian mesin peralatan dan program stimulus. Dengan demikian dari sisi off farm, Kementerian Perindustrian berkeinginan meningkatkan percepatan realisasi swasembada gula dengan basis produk permesinan dalam negeri.
93 Tabel 8. Dukungan teknis di setiap pabrik gula No.
Nama Perusahaan
Lokasi
Sumber Pembiayaan
Status Investasi
Jumlah Bantuan (Rupiah)
1
PT. PG Rajawali I
Jawa Timur
Kredit Bank
Non-PTPN
7.630.000.000
2
PT. PG Rajawali II
Jawa Barat
Kredit Bank
Non-PTPN
5.067.000.000
3
PT. PTPN XI
Jawa Timur
Kredit Bank
PTPN
9.052.000.000
4
PT. Madu Baru
DI Yogyakarta Dana Sendiri Non-PTPN
5
PT. PTPN IX
Jawa Tengah
Kredit Bank
PTPN
1.388.000.000
6
PT. PTPN VII
Lampung
Dana Sendiri PTPN
487.000.000
7
PT. PTPN X
Jawa Timur
Gabungan
803.000.000
Jumlah
Sumber: Ditjen ILMTA, Kementerian Perindustrian 2010
PTPN
405.000.000
24.832.000.000
V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Sosial budaya Ekonomi Masyarakat Kondisi sosial budaya masyarakat di lokasi penelitian dapat dikatakan baik. Hal ini terlihat dari hubungan kekerabatan antar warga yang sangat kuat dan sangat akrab, mereka saling bergotong royong, saling mengunjungi. Selain itu warga desa juga sering mengadakan pertemuan dan mengadakan kegiatan bersama, sehingga pada kesempatan tersebut mereka membicarakan masalah yang berkembang dimasyarakat, termasuk mengenai pabrik gula. Berikut dijelaskan tentang data masyarakat sekitar pabrik gula yang di dasarkan pada data responden yang diambil pada penelitian ini. Asal, Usia dan Jenis Kelamin Berdasarkan hasil pengamatan terhadap responden yang ada di lokasi penelitian tepatnya responden masyarakat yang tinggal di sekitar Pabrik Gula Jati Tujuh, yang jumlah respondennya mencapai 50 orang, memperlihatkan bahwa pada umumnya responden yang diwawancarai adalah penduduk asli (90%), sedangkan yang bukan penduduk asli hanya 10% (Gambar 12). Sedangkan distribusi umur responden dapat dilihat pada Tabel 9. Pada Tabel 9 terlihat bahwa usia responden antara 24 – 70 tahun.
10%
90%
Asal responden: Penduduk asli
Pendatang
Gambar 12 Asal responden Jenis kelamin responden, memperlihatkan bahwa 96% dari mereka berjenis kelamin laki-laki dan hanya 4% yang berjenis kelamin perempuan. Adapun komposisi responden
96 yang diwawancara pada penelitian ini berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Gambar 13. Tabel 9. Usia responden di sekitar Pabrik Gula Jati Tujuh, Majalengka Usia 24 28 30 33 35 39 40 42 43 45 46 47 48 49 51 52 54 56 57 58 60 61 70 Jumlah
Jumlah yang diwawancara 1 1 2 1 2 1 5 4 1 4 2 3 5 2 2 3 1 2 3 1 2 1 1 50
Persen (%) 2 2 4 2 4 2 10 8 2 8 4 6 10 4 4 6 2 4 6 2 4 2 2 100
Kondisi kisaran umur tersebut memperlihatkan bahwa responden terdiri dari usia dewasa sampai tua. Berdasarkan pengamatan di lapang dan berdasarkan Tabel 9 di atas memperlihatkan bahwa ada kecenderungan bahwa masyarakat yang ada di lokasi penelitian cenderung didominasi oleh angkatan tua. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan karena anak muda yang sudah termasuk angkatan kerja dengan mempunyai pendidikan yang bisa diandalkan, relatif lebih senang merantau ke luar dari desa untuk mencari penghidupan yang lebih layak.
97
4%
96%
Jenis kelamin responden: Laki-laki
Perempuan
Gambar 13 Persentase responden berdasarkan jenis kelamin
Jumlah Tanggungan Jumlah anggota keluarga responden yang di lokasi penelitian menggambarkan jumlah tanggungan responden. Jumlah anggota keluarga responden di lokasi penelitian paling banyak mencapai 8 orang, namun pada umumnya memiliki anggota keluarga 3 – 4 orang. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan formal responden ditunjukkan pada Gambar 14 tersebut dapat terlihat bahwa pendidikan formal responden di lokasi penelitian adalah sebagai berikut: tidak sekolah 0%, tidak tamat SD 4%, tamat SD 44%, tamat SLTP 18%, tamat SLTA 26%, diploma 4% dan sarjana 2%, dan tidak menjawab 2%. Hal ini mengandung arti bahwa tingkat pendidikan formal yang terbesar di desa kasus adalah tamatan SD.
98 2% 2%
4%
4% 26% 44%
18%
Tingkat pendidikan responden: Tidak Tamat SD Tamat SMA Tidak Menjawab
Tamat SD Diploma
Tamat SMP Sarjana
Gambar 14 Tingkat pendidikan formal responden Sarana dan Prasarana Berdasarkan data yang didapat dari responden tentang sarana dan prasarana di wilayah yang ada pabrik gulanya, memperlihatkan bahwa di lokasi pabrik gula tersedia pendidikan anak. Hal ini tercermin dari jawaban responden yang mengatakan bahwa 96% responden mengatakan bahwa di lokasi sekitar pabrik gula tersedia sarana dan prasarana pendidikan anak, namun demikian 2% dari mereka mengatakan bahwa sarana dan prasarana pendidikan anak tidak lengkap sedangkan 2% lainnnya tidak memberikan jawaban (Gambar 15). 2%
2%
96%
Fasilitas pendidikan anak: Tersedia
Kurang tersedia
Tidak Menjawab
Gambar 15 Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan anak
99 Sarana dan prasarana lain yang cukup baik adalah jalan dan alat transportasi. Dalam hal ini 98% responden yang diwawancarai mengatakan bahwa transportasi di sekitar pabrik gula lancar, dan hanya 2% responden (1 orang) yang mengatakan bahwa transportasi tidak lancar (Gambar 16). 2%
98%
Fasilitas transportasi: Tersedia
Kurang tersedia
Gambar 16 Kondisi transportasi di sekitar pabrik gula
Keterkaitan Masyarakat dengan Pabrik Gula Berdasarkan data yang didapat dari responden di atas terlihat bahwa 88% dari masyarakat di lokasi penelitian merasakan adanya keterkaitan mereka dengan pabrik gula. Hanya 12% diantara para responden yang merasa tidak terkait langsung dengan pabrik gula. Hal ini sejalan dengan pendapat responden tentang kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi di pabrik gula tersebut. Dalam hal ini 96% responden mengatakan bahwa dari mereka merasakan adanya kesempatan untuk ikut berpartisipasi di pabrik gula dan hanya 2% yang tidak merasa dapat ikut berpartisipasi dan 2% lainnya mengatakan tidak tahu (Gambar 17).
100
12%
88%
Keterkaitan penduduk dengan pabrik gula: Cukup erat
Kurang
Gambar 17 Keterkaitan masyarakat dengan pabrik gula
Kesempatan Masyarakat Berpartisipasi Secara umum masyarakat yang ada di sekitar pabrik ikut berpartisipasi dalam kegiatan pabrik gula, dan hanya 4% masyarakat di sekitar pabrik gula yang tidak berpartisipasi. 4% masyarakat yang tidak berpartisipasi ini 2% diantaranya mengatakan tidak tahu adanya partisipasi masyarakat pada kegiatan pabrik gula, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 18. 2% 2%
96%
Kesempatan berpatisipasi: Ada
Tidak ada
Tidak tahu
Gambar 18 Kesempatan masyarakat berpartisipasi di pabrik gula
101 Dampak Pabrik terhadap Masyarakat Para responden juga mengatakan bahwa walaupun umumnya terkait langsung dengan pabrik gula, dan mereka juga mempunyai kesempatan yang sangat tinggi untuk ikut berpartisipasi, namun keberadaan pabrik gula tersebut tidak serta merta meningkatkan penyerapan pengangguran dan peluang kerja yang lebih besar, namun demikian keberadaan pabrik gula tersebut telah meningkatkan peluang berusaha di lokasi penelitian. Hal ini juga tercermin dari jawaban responden pada saat ditanyakan apakah pabrik gula mempunyai dampak positif terhadap masyarakat, ternyata 80% responden menjawab bahwa mereka merasakan dampak positif terutama di bidang ekonomi dan peluang untuk berusaha. Namun demikian 14% dari mereka mengatakan bahwa pabrik tidak memberikan dampak positif, sedangkan 6% dari mereka tidak menjawab (Gambar 19).
6%
14%
80%
Dampak positif pabrik: Terasakan
Tidak terasakan
Tidak Menjawab
Gambar 19 Dampak positif terhadap masyarakat
Pendapatan Masyarakat Selanjutnya para responden juga mengatakan bahwa walaupun para responden umumnya terkait langsung dengan pabrik gula, dan keberadaan pabrik gula tersebut tidak serta merta meningkatkan penyerapan pengangguran dan peluang kerja yang lebih besar, namun demikian keberadaan pabrik gula tersebut telah meningkatkan peluang berusaha di lokasi penelitian.
Hal ini sejalan dengan pendapat responden tentang
pendapatan masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik gula, yang dalam hal ini 76%
102 diantaranya mengatakan bahwa pendapatan yang mereka peroleh dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Namun demikian 22% dari responden mengatakan pendapatannya tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga, sedangkan 2% tidak tahu (Gambar 20). 2% 22%
76%
Pendapatan penduduk sekitar: Mencukupi
Kurang
Tidak Menjawab
Gambar 20 Pendapatan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar pabrik gula
Penanaman Tebu Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik gula pada umumnya adalah masyarakat asli daerah tersebut, oleh karenanya mereka mempunyai lahan berupa sawah tempat mereka berusaha. Berdasarkan hasil wawancara terlihat bahwa sebagian besar responden (80%) menyatakan bahwa mereka memiliki lahan yang dimanfaatkan untuk menanam tebu, dan hanya 20% dari responden yang tidak memiliki lahan yang dimanfaatkan untuk menanam tebu (Gambar 21).
103 0% 20%
80%
Penduduk dan kepemilikan lahan tebu: Memiliki lahan
Tidak memiliki
Gambar 21 Kepemilikan lahan tebu (oleh masyarakat) Penyiapan Bibit Tebu Berkenaan dengan penanaman tebu tersebut, responden juga mengatakan bahwa pada saat dilakukan penanaman pabrik tebu membantu penyediaan bibit tebu. Hal ini sesuai dengan pendapat sebagian besar (82%) responden yang mengatakan bahwa dalam melakukan penanaman tebu, pabrik gula membantu menyediakan bibit yang akan ditanam, namun demikian 14% responden tidak pernah dibantu dalam pengadaan bibit, sedangkan 4% responden yang ditanya tidak mengetahui informasi tentang penyiapan bibit (Gambar 22).
14%
4%
82%
Bibit tebu petani: Dari pabrik gula
Usaha sendiri
Tidak menjawab
Gambar 22 Penyiapan bibit tebu oleh pabrik gula
104 Limbah Pabrik Berdasarkan data yang didapat dari responden mengenai limbah pabrik gula yang dapat didaur ulang (Gambar 23) terlihat bahwa 30% dari masyarakat di lokasi penelitian merasakan adanya limbah pabrik gula yang dapat dimanfaatkan kembali, namun sebagian besar dari mereka (52%) mengatakan bahwa limbah pabrik tersebut tidak dapat dimanfaatkan kembali.
18%
30%
52%
Pemanfaatan limbah pabrik: Dimanfaatkan
Tidak dimanfaatkan
Tidak tahu
Gambar 23 Limbah pabrik yang dapat dimanfaatkan kembali
20% 12% 68%
Penghasilan rata-rata per bulan dari limbah: < Rp 1.000.000
> Rp 1.000.000
Tidak menjawab
Gambar 24 Penghasilan rata-rata perbulan yang berasal dari limbah industri gula
105 Hal ini sejalan dengan pendapat responden tentang pendapatan yang diterima dari limbah pabrik gula yang dimanfaatkan tersebut. Dalam hal ini hanya 20% responden mengatakan bahwa pendapatan rata-rata dari limbah yang dihasilkan pabrik gulakurang dari Rp 1 juta dan 12% dari mereka mengatakan bahwa pendapatan yang diperoleh dari limbah pabrik gula lebih dari Rp 1 juta/bulan. Sebagian besar responden (68%) tidak menjawab pertanyaan tersebut (Gambar 24)
Produksi Bersih Pada umumnya pabrik gula sudah melakukan proses produksi bersih atau nirlimbah (cleaner production), yakni strategi pengelolaan lingkungan berupaya untuk mencegah terbentuknya limbah pada sumbernya, yang bersifat proaktif. Produksi bersih didefinisikan sebagai upaya penerapan yang kontinyu dari strategi pengelolaan lingkungan yang integral dan preventif terhadap proses dan produk untuk mengurangi terjadinya resiko terhadap manusia dan lingkungan. Menurut Surna (2001) strategi minimisasi limbah melalui produksi bersih mempunyai arti yang sangat luas karena di dalamnya termasuk upaya pencegahan pencemaran melalui pemilihan bahan baku yang murah dan aman, jenis proses yang ramah lingkungan, analisis daur hidup serta teknologi akrab lingkungan. Walaupun pabrik sudah melaksanakan produksi bersih, namun ternyata cukup banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang program tersebut. Hal ini terlihat dari hasil wawancara dengan para responden, yang dalam hal ini 50% diantaranya belum mengetahui program produksi bersih di pabrik gula, dan 4% dari mereka tidak menjawab, sehingga hanya sebagian responden (46%) yang sudah mengetahui program tersebut (Gambar 25). Adanya program produksi bersih yang dilakukan oleh pabrik gula merupakan hal yang patut diacungi jempol, mengingat program tersebut akan melindungi lingkungan sekaligus akan mendatangkan keuntungan secara ekonomi.
106
4% 40%
46% 10%
Pengetahuan petani tentang produksi gula bersih: Mengetahui Tidak mengetahui
Kurang mengetahui Tidak menjawab
Gambar 25 Pemahaman masyarakat terhadap program produksi bersih Program CSR Saat ini boleh dikatakan, sudah cukup banyak industri yang peduli terhadap lingkungan dan mereka telah melakukan berbagai program CSR, salah satunya adalah Pabrik Gula Jati Tujuh. Namun demikian berdasarkan wawancara dengan para responden, ternyata hanya 34% responden yang mengatakan bahwa pabrik gula memberikan bantuan sosial budaya, sedangkan 46% responden menyatakan bahwa pabrik gula tidak memberikan bantuan sosial budaya dan 20% responden menyatakan tidak tahu (Gambar 26). Kondisi ini memperlihatkan bahwa walaupun pabrik gula sudah melakukan CSR terhadap masyarakat sekitarnya, diduga pemberian bantuan tersebut tidak merata dan tidak disosial budayaisasikan dengan baik, sehingga hanya sebagian kecil yang mengetahuinya sedangkan lainnya tidak merasakan bantuan tersebut, sehingga akhirnya menyatakan tidak memberikan bantuan dan tidak tahu menahu dengan program tersebut.
107
20%
34%
46%
Penduduk dan bantuan sosial pabrik: Menerima bantuan
Tidak menerima
Tidak tahu
Gambar 26 Pengetahuan masyarakat terhadap bantuan sosial budaya pabrik gula
Persepsi Masyarakat terhadap Pabrik Gula Ada berbagai pandangan dari masyarakat terhadap keberadaan pabrik gula. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap responden memperlihatkan bahwa keberadaan pabrik gula tidak asing bagi masyarakat.
Hal ini sesuai dengan penyataan semua
responden pada penelitian ini (100%) yang menyatakan bahwa pada dasarnya semua responden sudah mengetahui adanya pabrik gula. Adapun informasi dari mana mereka mendapat informasi, selain karena pabrik gula tersebut sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, juga karena mereka bertempat tinggal di sekitar pabrik, bahkan mereka pada umumnya ikut terlibat di pabrik gula tersebut. Mereka bahkan sudah merasakan dampak positif dari keberadaan pabrik tersebut. Kondisi ini memperlihatkan adanya persepsi yang baik dari masyarakat terhadap keberadaan pabrik gula, karena menurut Kotler (1995), persepsi adalah proses kognitif yang dipergunakan seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya karena persepsi bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan, khusus obyek pada saat tertentu pula. Hal ini sejalan dengan pernyataan Rusmanti (2002) yang mendefinisikan persepsi sebagai kenyataan bagi seseorang bagaimana seseorang memandang pesan atau simbol, dalam hal ini yang disampaikan kepada dirinya. Dengan demikian maka persepsi dapat dinyatakan sebagai pandangan seseorang terhadap keberadaan pabrik gula yang dihasilkan oleh kemampuan mengorganisasi pengamatannya.
108 Partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan di lokasi penelitian adalah partisipasi dengan mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan operasional berdasarkan rencana yang telah disepakati bersama. Selain itu juga masyarakat dapar berpartisipasi dalam memanfaatkan hasil pembangunan serta dalam mengevaluasi pembangunan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cohen and Uphoff
(1977) yang mengatakan bahwa partisipasi
masyarakat di suatu lokasi dapat dilakukan mulai dari kegiatan operasional, dalam pemanfaatan hasil dan pengawasan kegiatan tersebut.
Ada berbagai pandangan (persepsi) dari masyarakat desa lokasi penelitian terhadap keberadaan Pabrik Gula Jati Tujuh. Berdasarkan hasil
analisa
terhadap
persepsi memperlihatkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa keberadaan Pabrik Gula Jati Tujuh tidak mengganggu (96%). Namun demikian ada juga responden yang menyatakan bahwa keberadaan Pabrik Gula Jati Tujuh tersebut mengganggu (4%). Hal ini terlihat dari tidak adanya konflik antara masyarakat dengan perusahaan di lokasi penelitian. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa keberadaan Pabrik gula Jati Tujuh dapat dikatakan tidak mengganggu. Pada dasarnya kehadiran pabrik gula sebagai perusahaan besar diharapkan masyarakat di lokasi penelitian dan sekitarnya, dapat membantu mengatasi masalah sosial budaya yang dihadapi. Pada saat dilakukan penelitian ini, sebagian kecil responden menyatakan bahwa pabrik gula pernah membantu masyarakat (34%), dan sebagian lainnya menyatakan tidak pernah membantu masyarakat di lokasi penelitian (46%). Adapun bantuan yang diberikan oleh perusahaan tersebut berupa sembako yang diberikan oleh perusahaan pada saat menghadapi hari raya. Pada dasarnya masyarakat tidak menyukai bantuan berupa bahan jadi seperti sembako tersebut, hal ini terungkap pada saat wawancara. Dalam hal ini masyarakat di lokasi penelitian menghendaki bantuan dari perusahaan berupa pelatihan keterampilan dalam rangka meningkatkan pengetahuan masyarakat, sehingga masyarakat dapat berusaha untuk menambah penghasilan atau bantuan-bantuan untuk fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat seperti tempat ibadah, sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana air bersih. Menurut Schmidheiny (1995) kondisi ini juga merupakan indikasi masih kurang berlanjutnya pembangunan pabrik gula dari aspek sosial budaya Selain dilihat persepsi dari masyarakat yang tinggal di lokasi penelitian, pada penelitian ini juga dilihat persepsi responden terhadap kondisi lingkungan terutama terhadap perairan sungai tempat membuang limbah cair pabrik gula tersebut. Persepsi
109 responden terhadap lingkungan diamati pada penelitian ini mengingat menurut Latey and Edmund (1973), persepsi seseorang terhadap lingkungan mencerminkan cara melihat, kekaguman, kepuasan, serta harapan-harapan yang diinginkan dari lingkungan. Persepsi terhadap lingkungan ini
mencakup aspek yang lebih luas, tidak sekedar
persepsi sensoris individual seperti dilihat atau didengar melainkan mencakup pada kesadaran dan pemahaman manusia terhadap lingkungan. Menurut Sarwono (1992) orang yang mempunyai persepsi yang benar mengenai lingkungan, kemungkinan besar orang tersebut berperilaku positif terhadap upaya pelestarian lingkungan. Artinya persepsi mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungan. Adapun hasil wawancara mengenai pendapat responden tentang kondisi lingkungan (perairan sungai) terlihat bahwa sebagian besar responden yang diwawancara di lokasi penelitian mengatakan bahwa perairan sungai tempat membuang air dari perusahaan/pabrik gula kotor/tercemar mencapai 80%, selanjutnya yang mengatakan bahwa air sungai bersih/tidak tercemar hanya 20%. Berdasarkan wawancara lanjutannya, didapatkan hasil bahwa sebagian responden mengatakan bahwa yang menyebabkan kotor/tercemarnya perairan sungai tempat bermuaranya limbah dari pabrik gula, bukan berasal dari pabrik gula, melainkan bersumber dari kegiatan lain di luar pabrik gula (70%). Namun demikian masih ada responden yang mengatakan bahwa pencemar tersebut berasal dari tambak udang (20%) dan bahkan ada responden yang menyatakan bahwa pencemar tersebut berasal dari masyarakat (10%). Adanya tanggapan responden yang menyatakan bahwa lingkungan perairan sungai tercemar hanya berdasarkan warna air dan bau air, mempelihatkan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pencemaran air. Dalam hal ini masyarakat cenderung mengatakan perairan tercemar jika mereka secara langsung dapat merasakannya secara kasat mata. Keadaan ini bukan tidak mungkin pada akhirnya akan dapat mengakibatkan terjadinya konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Konflik ini terjadi karena kepentingan yang tidak sama (FAO, 2001) antara masyarakat terutama yang memanfaatkan air sungai tersebut. Namun demikian konflik tidak selalu buruk, karena konflik yang dikelola dengan baik memunculkan ide-ide atau kegiatan yang akan mendatangkan sesuatu yang lebih baik. Sebagai contoh dengan adanya konflik, maka
110 pihak perusahaan akhirnya dipaksa untuk membangun unit pengelola limbah cair. Selain itu juga dapat memunculkan ide-ide lain seperti untuk membuat perjanjian antara pihak perusahaan dengan pihak masyarakat yang diwakilkan oleh LSM, untuk mengontrol limbah buangan industri gula tersebut. Oleh karenanya maka Takeda (2001) mengungkapkan perlunya mensukseskan pembangunan partisipatif, untuk itu ada empat elemen kunci menuju kesuksesan pembangunan partisipatif yang harus dilakukan oleh stakeholder yaitu informasi, intermediasi, institusionalisasi, dan inisiatif. Pembangunan partisipatif ini tentu saja sangat diperlukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bock (2001) yang menyatakan bahwa terdapat tiga keuntungan jika menggunakan proses partisipatif dalam pembangunan dan desain suatu kegiatan yakni: l) hasilnya bersifat alamiah dan tidak merupakan rekayasa, 2) masyarakat yang merupakan target merasa lebih memiliki dan memberikan kontribusi secara signifikan guna kesuksesan kegiatan, dan 3) pemantauan kegiatan lebih mudah dilaksanakan dan lebih transparan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa partisipasi stakeholder merupakan konsep kunci guna membuka transparansi dan akuntabilitas dalam proses pembuatan keputusan dan kebijakan. Disamping itu juga dapat mempromosikan efektifitas penggunaan sumberdaya lokal dan menjadi aspek pentmg untuk mencapat kebijakan yang tepat.
5.2 Kualitas Lingkungan Kualitas Air Permukaan Berdasarkan laporan AMDAL pabrik gula (2006) kualitas air permukaan yang dianalisa adalah outlet dari Sungai Kencana Timur, Waduk Ranca Bugang dan Sungai Cihapit. Hasil analisa air permukaan sungai tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah RI No. 32 Th 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Hasil analisa kualitas air permukaan dapat dilihat pada Tabel 10 dan Tabel 11. Dari hasil analisa sebelum operasional pabrik, parameter yang di atas baku mutu dan TSS dan BOD untuk sample air dari Danau Ranca Bugang dan outlet salutan sebelah timur lokasi pabrik (Blok Kencana Timur) sedangkan untuk parameter COD hanya di lokasi outlet saluran timur lokasi pabrik. Sedangkan untuk hasil analisa kualitas air badan air setelah opersional, parameter yang melebihi baku mutu di ketiga lokasi adalah TSS, BOD dan COD. Sulfida yang melebihi baku mutu terjadi di lokasi Waduk Ranca Bugang (AMDAL Pabrik Gula).
111 Tabel 10 Hasil analisa kualitas air badan air sebelum opersional pabrik Prameter 1. TSS 2. BOD 3. COD 4. Sulfida (sebagai H 2 S) 5. pH
mg/l mg/l mg/l mg/l
Hasil Analisa 1 2 127,0 140,0 10,60 42,30 18,66 74,63 0,00 0,00
mg/l
6,93
Satuan
Baku Mutu 50 3 25 0,03
6,76
69
Sumber: Data primer (hasil survey lapangan), 2008 dan Amdal 2006, diolah. Keterangan: 1 = Air Lebung/Danau Rancabugang 2 = Outlet saluran sebelah timur lokasi pabrik/blok kencana timur.
Tabel 11 Hasil analisa kualitas air badan air setelah operasional pabrik Parameter 1. 2. 3. 4.
TSS BOD COD Sulfida (sebagai H 2 S)
5. pH
Satuan
Hasil Analisa 1 2
Baku Mutu
mg/l mg/l mg/l mg/l
30,0 736,2 1299,21 0,43
73,0 89,3 157,48 0,13
50 3 25 0,03
mg/l
5,11
6,92
69
Sumber: Data Primer (Hasil Survey Lapangan) dan Amdal 2006, diolah Keterangan: 1 = Outlet pabrik sebelah timur/blok Kencana Timur 2 = Waduk Ranca Bugang 3 = Sungai Cihapit
Kuantitas Air Tanah Kondisi air tanah di daerah studi bervariasi. Akuiver disekitar afdeling (kebun) merupakan akuiver produktif sedang dengan penyebaran luas serta ketersediaan air tanah dalam cukup, sehingga mempunyai potensi cukup baik. Kedalaman air tanah antara 1 s/d 2 meter dari permukaan tanah disekitar perkebunan tebu (Tabel 12). Tabel 12 Hasil pengukuran kedalaman air tanah No. 1. 2. 3.
Nama Sumber Daerah Sumber Daerah Dilang Kidang Daerah Telaga Dua
Sumber: Amdal 2006, diolah
Kedalaman Sumur (m) 2 2 1
112 Kualitas Air Tanah Kualitas air tanah yang diambil sampelnya yaitu sumur penduduk di sekitar lokasi kegiatan, untuk melihat apakah sumur penduduk tersebut tercemar oleh kegiatan perkebunan dan Pabrik Gula Jati Tujuh atau tidak. Hasil analisa kualitas air bersih penduduk dapat dilihat pada Tabel 13 (AMDAL Pabrik Gula). Tabel 13 Hasil analisa kualitas air sumur penduduk sekitar Pabrik Gula Jati Tujuh No.
Parameter
FISIKA Bau
1 2
Zat Padat terlarut (TDS) Kekeruhan KIMIA ANORGANIK Besi Fluorida Kesadahan CaCO 3 Klorida Mangan Nitrat, sebagai N Nitrit, sebagai N pH Sulfat KIMIA ORGANIK Detergent Zat Organik (KM 3 O 4 ) Sisa Klor
3
4 5 6 7 8 9 10 11 12
13 14 15
Hasil pemeriksaan Desa Desa Sekitar Sumber SukaTelaga mulya Dua
Baku Mutu Bersih
mg/l
Tidak berbau 1.970,0
Tidak berbau 535,0
Tidak berbau 1.280,0
Tidak berbau 1.500,0
NTU
1,81
0,44
0,65
25,0
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
0,06 0,29 445,84 457,16 2,39 6,04 0,00 6,90 383,82
0,05 0,17 99,96 71,65 0,08 0,13 0,00 7,17 71,57
0,10 0,20 95,99 413,21 0,49 0,88 0,02 0,63 61,12
1,0 1,5 500,0 600,0 0,5 10,0 1,0 6,5-9,0 400,0
mg/l mg/l
0,00 9,48
0,00 1,58
0,00 4,42
0,5 10,0
mg/l
0,00
0,00
0,00
0,2-0,5
Satuan
-
Sumber: Data primer, hasil analisa balai Pengembangan Laboratorium Kesehatan, diolah. Baku Mutu: Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 416/MENKES/PER/IX/ 1990 tentang syaratsyarat dan pengawasan kualitas air.
Berdasarkan hasil analisa kualitas air tersebut di atas terdapat parameter yang melebihi baku mutu yaitu TDS dan Mangan di lokasi sumur yang berada di Desa Sumber.
Hal ini diduga berasal dari pabrik gula, terutama jika dilihat TDS yang
meningkat, diduga berasal dari limbah cair sisa pabrik gula yang di dalamnya masih
113 mengandung bahan organik. Namun Mangan diduga berasal dari kegiatan lain selain kegiatan pabrik gula. Limbah Cair Sampel limbah cair proses produksi diambil pada outlet proses produksi, kemudian diperiksa di laboratorium yang mengacu pada SK. Gubernur DT. I Jawa Barat No. 6 Tahun 1999 tentang Baku Mutu Limbah cair bagi Kegiatan Industri Jawa Barat. Hasil analisa dan baku mutu untuk spesifikasi pabrik gula dapat dilihat pada Gambar 27 dan 28. Berdasarkan hasil analisa limbah cair tersebut di atas parameter yang ada masih di bawah baku mutu, kecuali pH di atas baku mutu. Kualitas Udara Pada saat dilakukan kegiatan AMDAL Pabrik Gula (2006) dilakukan pengamatan terhadap kualitas udara, parameter yang diukur dibandingkan dengan baku mutu lingkungan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999, tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Sedangkan untuk di ruang kerja mengacu pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-01/MEN/1997 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Kimia di Udara Lingkungan Kerja. Hasil analisa kualitas udara dapat dilihat pada Tabel 14. Berdasarkan hasil analisa kualitas udara tersebut di atas semua parameter masih berada di bawah baku mutu. Tabel 14 Hasil analisa kualitas udara No. Parameter 1. Arah Angin 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Satuan
Kecepatan Ft/menit angin o Suhu C Kelembaban % RH Cuaca SO 2 µg/m3 NO 2 µg/m3 NH 2 µg/m3 H2S µg/m3 Debu µg/m3 Pb µg/m3 CO µg/m3
U1 Barat – Timur -
Lokasi U2 BaratTimur -
34,6 48,0 Cerah 5,65 4,75 12,5 Ttd 59,5 0,00 35,0
32,2 59,0 Cerah 2,75 10,3 Ttd Ttd 72,0 0,11 110,5
U3 BaratTimur 36,1 60,0 16,75 22,5 11,55 Ttd 31,6 0,08 68,25
Ambien -
900 400 2.000 20 230 2 30.000
Ruang Kerja -
5.200 5.600 17.000 14.000 10.000 50.000 29.000
Sumber: Hasil Analisa Laboratorium Balai Pengembangan Laboratorium Kesehatan. Keterangan: - Pengambilan contoh udara dilakukan pada pagi s.d siang - Lokasi: U1 = daerah perkebunan tebu, U2 = Daerah Sumber Kulon, U3 = Ruang Produksi - Baku Mutu Ambient: PP RI No. 41/1999, tentang Pengendalian Pencemaran Udara - Baku Mutu di ruang kerja: SE. Menaker No. 01/1997 tentang Nilai Ambang Batas faktor Kimia di Udara Lingkungan kerja.
114
Kebisingan Parameter yang diukur dibandingkan dengan nilai ambang batas menurut Kep. MenLH No. Kep-48/MenLH/11/1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebisingan. Sedangkan di ruang kerja mengacu SK. Menaker No. 51 Tahun 1999, tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat kerja. Pengukuran intensitas kebisingan dilakukan dengan menggunakan alat pengukur sound level meter. Intensitas kebisingan dipengaruhi oleh segala aktifitas yang ada di lokasi afdeling (kebun) dan pabrik pengolahan gula. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Hasil pengukuran kebisingan di afdeling (kebun) dan Pabrik Gula Jati Tujuh No. 1.
Lokasi Pengambilan Sampel Ruang Kerja - R. Masak Tebu - Stasiun gilingan - Stasiun pemurnian - Stasiun Instrumen/instalasi - Stasiun pengepakan - Stasiun listrik - R. water treatment - Stasiun masakan - Stasiun penguapan - R. Boiler - R. Genset - R. Produksi (pusat)
Intensitas Kebisingan dBA
Baku Mutu
86-87 78-79 81-86 92-94 85-86 85-86 89-90 83-84 93-94 91-92 92-94 93,7-94,1
85 85 85 85 85 85 85 85 85 85 85 85
2.
Ambient (dari pabrik menuju penduduk) - Jarak 50 m 59-60 - Jarak 100 m 48-50 3. Ambient (di pemukiman) - Daerah Sukamulya 39-40 - Daerah Sumber 41-42 4. Ambient(kebun) - Selatan pabrik 46,0-48,3 - Utara (pabrik) 38,8-39,4 5. Ambient (perbatasan Indramayu39-40 Majalengka) 6 Daerah perkebunan Tebu 44,7-45,2 Sumber: Data primer (Hasil Pengukuran di Lapangan).
50 50 55 55 52 50 50 50
Keterangan: Pengambilan sample sebelum produksi • Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-51/MEN/1999, tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat kerja. • Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Kep-48/MENLH/10/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan Peruntukan Terbuka Hijau sebesar 50 dBA.
115 Pada Tabel 15 terlihat adanya kegiatan yang menimbulkan instensitas kebisingan melebihi baku mutu yaitu pada Ruang Kerja pabrik (kecuali Stasiun Gilingan) dan jarak 50 m dari pabrik (AMDAL Pabrik Gula).
Dalam rangka
menghindari kebisingan ini idealnya pabrik gula memasang peredam suara dan membekali para pekerjanya dengan tutup telinga.
5.3 Analisis Kebijakan Pada penelitian ini guna melihat analisis kebijakan industri gula terutama dalam hal pengelolaan pabrik gula di Indonesia dilakukan wawancara mendalam terhadap stakeholder terkait dan selanjutnya melakukan analisis untuk melihat keberlanjutan dari pabrik gula tersebut. Setelah diketahui hasilnya selanjutnya dilakukan analisis terhadap pengelolaan industri gula dengan menggunakan AHP. 5.3.1 Indeks Keberlanjutan Industri Gula Dalam rangka memotret pabrik gula yang ada di Indonesia, dilakukan analisis terhadap dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya-budaya, teknologi serta hukum dan kelembagaan, dan dilihat keberlanjutan dari setiap dimensi tersebut. Penilaian keberlanjutan keberadaan industri gula di lokasi penelitian dilakukan dengan metode multidimensional scaling (MDS) yang disebut dengan metode Rap-Berinla. Metode Rap-Berinla sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian terdahulu merupakan pengembangan dari metode Rapfish yang telah digunakan untuk menilai status keberlanjutan keberadaan kegiatan industri gula di lokasi penelitian. Analisis RapBerinla menghasilkan status dan indeks keberlanjutan keberadaan industri gula. Dan selanjutnya dalam rangka mengetahui dimensi (aspek) pembangunan apa yang masih lemah di pabrik gula dan dimensi mana yang memerlukan perbaikan maka perlu dilakukan analisis Rap-Berinla pada setiap dimensi tersebut (ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan). Adapun hasil dari analisis tersebut adalah sebagai berikut. Dimensi Ekologi Berdasarkan Gambar 28 nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi adalah sebesar 58,13 pada skala sustainabilitas 0-100. Jika dibandingkan dengan nilai lkBBerinla 55,43 yang bersifat multi dimensi maka nilai indeks dimensi ekologi berada di
116 atas nilai lkB-Berinla dan termasuk ke dalam kategori berkelanjutan karena memiliki kisaran nilai, masuk ke dalam kategori “berkelanjutan”, yaitu terletak pada kisaran “50 - 75” (Kavanagh, 2001). Hal ini mengandung pengertian bahwa keberadaan industri gula, aspek ekologi lebih berkontribusi positif atau memberikan manfaat dalam mewujudkan keberkelanjutan industri gula. Atau dengan kata lain keberadaan pabrik gula pada satu daerah atau wilayah, tidak akan memberikan dampak buruk terhadap aspek ekologi atau lingkungan yang berada di lokasi tersebut. Kondisi ini sangat dimungkinkan, mengingat industri gula merupakan industri yang sudah menerapkan sistem produksi bersih. Dalam hal ini hampir semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan dan proses-proses yang terjadi pada industri gula dimanfaatkan kembali menjadi bahan-bahan yang bernilai ekonomis, seperti untuk membuat bahan penyedap rasa, ataupun bahan dasar pembuatan produk lainnya. Selain hal itu, kegiatan pabrik gula juga merupakan kegiatan yang salah satu kegiatan utamanya adalah harus mengadakan bahan baku berupa tebu. Adanya penanaman tebu ini merupakan hal yang cukup positif untuk dimensi ekologi, mengingat dengan adanya penanaman tebu, maka proses alih fungsi lahan menjadi tertahan atau bahkan tidak dilakukan sama sekali. Selain itu adanya penanaman tebu akan mengakibatkan lahan terbuka hijau dipertahankan, sehingga akan sangat mereduksi karbon dioksida dari atmosfir, karena karbon dioksida tersebut akan diserap oleh tanaman untuk keperluan proses fotosintesis. Kondisi ini tentu saja pada akhirnya akan secara otomatis, mengurangi proses pemanasan global, sehingga juga akan menghambat terjadinya perubahan iklim global yang saat ini semakin dikuatirkan mengingat maraknya bencana yang ditimbulkan oleh perubahan iklim global tersebut (IPCC, 2006). Selain hal tersebut di atas, adanya penanaman tebu juga memberikan keuntungan sendiri secara ekologi. Dalam hal ini dengan adanya penanaman tersebut akan memberikan dampak yang sangat postif terhadap peluang kesempatan air untuk berhenti dan masuk ke dalam tanah, sehingga mempunyai kesempatan untuk menjadi air tanah. Kondisi ini akan sangat menguntungkan mengingat adanya tanaman tebu ini memberikan harapan tersedianya air tanah pada musim kemarau, karena air tidak semua melimpas (run off) masuk ke sungai dan ke laut, namun akan terhenti dan masuk ke dalam tanah (Sitorus, 2002).
117 Selain hal tersebut, dengan adanya lokasi penanaman tebu, maka kemungkinan terjadinya musibah banjir pada musim hujan akan dapat dikurangi, mengingat lahan tempat bertanam tebu merupakan salah satu tempat yang berfungsi untuk tangkapan air. Oleh karena itu maka dimensi ekologis harus tetap dipertahankan, mengingat kondisi ekologis yang buruk akan dapat menjadi ancaman bagi pembangunan tempat lokasi industri gula menjadi tidak berkelanjutan. Jika keadaan ini terjadi, maka pada akhirnya dapat menimbulkan dampak tidak saja pada kondisi ekologis semata, namun juga terhadap kegiatan ekonomi, ekologi dan sosial budaya yang nantinya secara langsung akan dirasakan oleh masyarakat, terutama yang ada di kawasan pabrik gula tersebut, namun juga akan dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas. Melihat nilai keberlanjutan tersebut, terlihat bahwa nilai tersebut masih perlu ditingkatkan lagi, agar nilai indeks dimensi ekologi di masa yang akan datang semakin meningkat.
Agar keberlanjutannya meningkat, maka hal-hal yang perlu dilakukan
adalah melakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi tersebut, yaitu: 1) Kerentanan lahan; 2) Pengelolaan pada masa tanam 3) Peralatan produksi di lapangan dan 4) Inisitatif perluasan lahan. Untuk lebih jelasnya, mengenai hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 27.
Gambar 27 Analisis Rap-Berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi ekologi
118 Atribut-atribut dalam aspek ekologi yang ditelaah untuk mengetahui tingkat keberlanjutan keberadaan industri gula adalah tingkat kinerja tenaga dan bengkel kerja, tingkat kinerja mesin produksi, pengolahan limbah, inisiatif perluasan lahan, irigasi, peralatan produksi di lapangan, pengelolaan produksi di lapangan, pengelolaan pada masa tanam, kerentanan lahan, dan status kepemilikan lahan. Selanjutnya dilakukan analisis leverage. Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Berdasarkan Gambar 28, ada 2 atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu: 1) Kerentanan lahan; dan 2) Pengelolaan pada masa tanam.
Pengaruh Atribut Pengaruh Atribut
A t r i b
Perubahan RMS (skala 0 – 100)
Gambar 28 Peran masing-masing atribut ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS lkB-Berinla
Berdasarkan hasil analisis leverage di atas, untuk mewujudkan sistem keberlanjutan industri gula berdasarkan dimensi ekologi adalah dengan mengeluarkan kebijakan untuk memperbaiki kinerja tenaga dan bengkel kerja, inisiatif perluasan lahan, kinerja mesin produksi, pengelolaan limbah dan irigasi, serta memperbaiki status kepemilikan lahan.
119 Dimensi Ekonomi Berdasarkan Gambar 29 nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 52,60. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi mengandung pengertian bahwa keberadaan industri gula di lokasi kajian ternyata telah memberi manfaat dari aspek ekonomi yang sudah cukup tetapi belum optimal dan perlu dilakukan optimalisasi dalam peningkatan kontribusi pada nilai ekonomi (Kavanagh, 2001). Agar nilai indeks dimensi ini di masa yang akan datang semakin meningkat perlu dilakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi tersebut.
Sugarcane industry sustainability
Gambar 29 Analisis Rap-Berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi ekonomi Keberlanjutan dimensi ekonomi yang masuk pada kategori cukup berlanjut, relatif dapat dikatakan merupakan hal yang wajar, mengingat dimanapun ada kegiatan industri, akan ada keuntungan baik untuk pemda berupa adanya pajak pendapatan perusahaan, pajak bangunan, pajak pendapatan para pekerja, berbagai jenis retibusi, dan sebagainya. Kondisi yang sama juga akan terjadi pada masyarakat, karena masyarakat akan mempunyai kesempatan kerja dan kesempatan berusaha yang lebih tinggi, jika di lokasi tersebut terdapat kegiatan industri. Sebagai contoh ibu rumah tangga yang biasanya hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dapat melakukan wirausaha, misalnya dengan berjualan makanan ringan, minuman serta berbagai upaya dapat
120 dilakukan di lokasi yang terdapat industri. Karena itu sangat wajar jika nilai keberlanjutan dimensi ekonomi masuk pada kategori cukup berlanjut. Namun demikian berdasarkan pengamatan penulis selama melakukan penelitian terlihat bahwa manfaat ekonomi yang diperoleh di kawasan industri gula saat ini masih bersifat jangka pendek. Hal ini disebabkan kegiatan ekonomi yang ada di kawasan pabrik gula tersebut masih sangat terbatas pada menjadi pekerja pabrik dan berjualan makanan sedangkan kegiatan misalnya memanfaatkan limbah pabrik gula untuk dijadikan bahan industri selanjutnya, masih belum dapat dilaksanakan oleh masyarakat. Kondisi ini terjadi karena limbah pabrik gula tersebut sudah ada yang membeli secara rutin, sehingga saat ini tidak dapat dijadikan sebagai bahan baku industri rumah tangga untuk penduduk sekitar.
Pengaruh Atribut
Gambar 30 Peran masing-masing atribut ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS lkB-Berinla Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana Gambar 30, ada sepuluh atribut yang mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi dari yang
121 terbesar sampai yang terkecil, yaitu: 1) Pasar produk industri gula; 2) Kemitraan dalam pemasaran; 3) Modal kerja dan sumber dana; 4) Pemanfaatan limbah; 5) Hasil produksi berupa gula pasir; 6) Ketersediaan bahan baku berupa tebu; 7) Kenaikan hasil produksi; 8) Penghasilan pekerja dan penduduk sekitar; 9) Harga bahan baku gula dibanding dengan hasil penjulan; dan 10) Biaya pemeliharaan mesin-mesin. Hasil analisis leverage di atas menunjukkan bahwa keberadaan pasar produk industri gula memiliki peranan yang sangat penting terhadap keberlanjutan keberadaan industri gula selama ini. Hasil analisis leverage di atas juga menunjukkan bahwa perlunya dilakukan perbaikan terhadap pemanfaatan limbah, perbaikan hasil produksi, peningkatan kemitraan dalam pemasaran, modal kerja dan sumber dana, penyelesaian masalah ketersediaan bahan baku berupa tebu, upaya peningkatan hasil produksi berupa gula pasir, pengadaan biaya pemeliharaan mesin-mesin, peningkatan harga bahan baku gula dibanding dengan hasil penjualan dan peningkatan penghasilan pekerja dan penduduk sekitar dalam upaya meningkatkan keberlanjutan industri gula. Berdasarkan data tersebut di atas, maka perlu dilakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi ekonomi tersebut, sehingga nilai indeks dimensi ekonomi di kawasan pabrik gula yang ada di seluruh Indonesia, pada masa yang akan datang dapat ditingkatkan kembali.
Dimensi Sosial budaya Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya memiliki nilai paling besar dibandingkan dimensi lainnya dan termasuk ke dalam kategori cukup berkelanjutan hal ini terlihat pada Gambar 33 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya sebesar 62,74. Hal ini mengandung pengertian bahwa keberadaan industri gula berdasarkan aspek sosial budaya lebih berkontribusi positif atau memberikan manfaat dibanding semua aspek lainnya (Kavanagh, 2001). Agar nilai indeks dimensi ini di masa yang akan datang semakin meningkat perlu dilakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi tersebut. Peningkatan dimensi sosial budaya yang sudah masuk kategori cukup berlanjut ini diperlukan, mengingat walaupun kondisi di sekitar pabrik gula terkesan aman dan relatif tidak ada masalah yang berarti, namun kadang-kadang adanya ketidak puasan terutama dari para petani terhadap penerimaan hasil (jual) tebu kadang memicu terjadinya konflik seperti yang terjadi pada tanggal 19 Agustus 2010 yang mengakibatkan terjadinya demo petani tebu di PTPN X Surabaya.
122 Adapun akar permasalahan terjadinya demo di PTPN X ini adalah adanya keinginan petani tebu agar rendemen tebu yang dihasilkan kelompok tani sekitar PTPN X diakui oleh pabrik gula tinggi, namun di lain pihak rendemen dari tebu yang dihasilkan para petani ini rendah (Harian Kompas 20 Agustus 2010). Cukup
tingginya
nilai
indeks
keberlanjutan
dimensi
sosial
budaya
memperlihatkan bahwa di kawasan industri gula berindikasi adanya kegiatan industri gula relatif tidak mengakibatkan melunturnya aspek sosial budaya. Hal ini terlihat dari relatif sangat rendahnya frekuensi terjadinya konflik masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik gula, baik antara masyarakat dengan masyarakat setempat, maupun antara masyarakat asli dengan masyarakat pendatang (pekerja di pabrik gula). Konflik juga tidak pernah terjadi antara pihak masyarakat dengan pihak pengelola pabrik. Selain itu adanya industri gula relatif tidak merubah masyarakat sekitarnya menjadi lebih bersifat individual dan menjauhi sosial budaya budaya di lokasi tersebut, sehingga kondisi sosial budaya budaya masyarakat yang berada di sekitar pabrik gula relatif tidak berubah, dan pada akhirnya mengakibatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya ini tinggi. Adapun peran masing-masing aspek pada atribut sosial budaya ini dianalisis dengan menggunakan analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 31. Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana Gambar 31 ada sembilan atribut yang mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya. Dengan demikian atribut tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks dimensi ini meningkat di masa yang akan datang. Atribut-atribut lain yang mempengaruhi indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya adalah sebagai berikut: 1) Penyediaan fasilitas untuk praktek kerja siswa/mahasiswa; 2) Penyelenggaraan peringatan hari-hari besar (agama, nasional); 3) Penyediaan fasilitas sosial budaya; 4) Penyediaan fasilitas umum; 5) Kontribusi pabrik terhadap masyarakat; 6) hubungan antar masyarakat; 7) Jaringan pengaman sosial budaya (social safety net); 8) Tingkat penyerapan tenaga kerja; dan 9) Tingkat pendidikan formal masyarakat. Berdasarkan analisis leverage di atas tingkat pendidikan formal masyarakat yang cukup baik secara nyata sangat berpengaruh terhadap peningkatan indeks sistem keberlanjutan industri gula. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi sosial budaya masyarakat di lokasi kajian selama ini sedikit banyak
membantu terhadap
pengembangan industri gula di lokasi tersebut. Walaupun aspek sosial budaya memiliki tingkat keberlanjutan yang cukup baik, namun berdasarkan Gambar grafik lkb-Rap
123 Berinla ada kecenderungan bahwa di masa-masa akan datang akan terjadi penurunan nilai keberlanjutan aspek sosial budaya tersebut. Oleh karena itu maka walaupun aspek social pada kawasan industri gula cukup baik, namun mengingat pesatnya perkembangan zaman, dan mudahnya akses informasi, maka aspek social perlu mendapat perhatian yang serius dimasa yang akan datang.
Sugarcane industry sustainability
Gambar 31 Analisis Rap-Berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi sosial budaya Dimensi Teknologi Nilai indeks kebelanjutan dimensi teknologi sebesar 77,32. Nilai indeks tersebut termasuk ke dalam kategori berkelanjutan dengan “baik” (Kavanagh, 2001). Nilai ini sekaligus mengindikasikan cukup baiknya aplikasi teknologi pada keberlanjutan keberadaan industri gula. Aplikasi teknologi akan sangat membantu untuk meningkatkan produktivitas hasil produksi, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan keberlanjutan proses kegiatan produksi gula.
124 Tingginya nilai keberlanjutan dimensi teknologi diduga erat kaitannya dengan teknologi eksisting yang saat ini ada di pabrik gula. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan lapang dan hasil wawancara dengan para stakeholder terkait yang memperlihatkan bahwa aplikasi teknologi pada kegiatan industri gula sangat tinggi, walau mesin yang dimanfaatkan hingga saat ini pada umumnya masih berasal dari Zaman Belanda. Pada dasarnya mesin-mesin yang ada di pabrik gula merupakan mesin yang sudah tua (sejak Zaman Belanda) sehingga memerlukan adanya revitalisasi, namun cukup canggihnya mesin yang ada di pabrik gula seluruh Indonesia dan relatif tidak mengalami kerusakan yang sangat berarti serta ditambah dengan adanya kenyataan bahwa dengan semakin majunya pendidikan telah berdampak positif pada kualitas SDM, sehingga putra-putri Indonesia sudah mampu membuat suku cadang mesin pabrik gula tersebut. Kondisi ini mengakibatkan pada saat diwawancara para stakeholder tetap berpendapat bahwa keberlanjutan dimensi teknologi relatif sangat tinggi (Gambar 32). Pengaruh Atribut
Gambar 32
Peran masing-masing atribut sosial budaya yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS lkB-Berinla.
125 Pendapat bahwa keberlanjutan dimensi teknologi relatif sangat tinggi, padahal teknologi yang dimanfaatkan industri gula pada umumnya adalah teknologi lama yang sudah ada sejak zaman penjajahan, dan belum mengalami perubahan yang berarti, juga diesbabkan kondisi mesin yang ada hingga saat ini masih ada dalam kondisi baik hingga saat ini, sehingga tidak mengakibatkan terganggunya proses produksi, bahkan ada indikasi teknologi tersebut tidak terkalahkan oleh negara lain.
Begitu pula halnya
dengan pengelolaan kawasan industri gula yang relatif tetap mulai dari zaman penjajahan Belanda hingga saat ini, ternyata tidak menurunkan nilai keberlanjutan dimensi teknologi.
Adapun teknologi yang sudah diaplikasikan pada industri gula
tersebut, antara lain adalah teknologi dalam proses industri gula, baik teknologi di bidang proses produksi gula, proses rafinasi proses pengolahan limbah, proses penanaman tebu, proses pemanenan dan berbagai teknologi yang diperlukan dalam rangka pengendalian dan pengamanan pada kegiatan budidaya tanaman tebu. Walaupun nilai indeks keberlanjutan teknologi masuk pada kategori sangat berlanjut, namun tetap harus dilakukan berbagai usaha untuk mempertahankannya atau bahkan untuk meningkatkannya, sehingga tidak kalah bersaing dengan Negara lain. Oleh karena itu maka dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi, maka perlu dilakukan perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks teknologi pada pengelolaan kawasan industri gula di seluruh Indonesia. Berdasarkan hasil analisis leverage, ada delapan atribut yang mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi antara lain perencanaan mengantisipasi sistem global, peningkatan produktivitas SDM, kolaborasi dengan pihak luar, rencana revitalisasi mesin-mesin produksi, bahan baku untuk perbaikan, teknologi mesin pabrik, teknologi pengolahan limbah, dan tingkat penguasaan teknologi Agar nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi dapat ditingkatkan perlu dilakukan perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks tersebut, yaitu: 1) Rencana revitalisasi mesin-mesin produksi dan 2) Peningkatan produktivitas SDM. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 33.
126
Sugarcane industry sustainability
Gambar 33 Analisis Rap-Berinla yang menunjukkan nilai indeks dimensi teknologi
Hasil analisis leverage di atas menunjukkan bahwa keberadaan rencana revitalisasi mesin-mesin produksi dan peningkatan produktivitas SDM memiliki peranan yang sangat penting terhadap keberlanjutan keberadaan industri gula selama ini. Hasil analisis leverage di atas juga menunjukkan bahwa perlunya dilakukan perbaikan terhadap perencanaan mengantisipasi sistem global, kolaborasi dengan pihak luar, tingkat penguasaan teknologi, teknologi pengolahan limbah, teknologi mesim pabrik, bahan baku untuk perbaikan.
Dimensi Hukum dan Kelembagaan Berdasarkan Gambar 34, nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 25,90.
Nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan
kelembagaan ini merupakan nilai indeks keberlanjutan terendah dari kelima dimensi yang digunakan dan termasuk kedalam kategori kurang berkelanjutan (Kavanagh, 2001). Hal ini mengandung pengertian bahwa pemanfaatan keberadaan industri gula selama ini kurang memperhatikan aspek hukum dan kelembagaan. Agar nilai indeks dimensi ini di masa yang akan datang semakin meningkat perlu dilakukan perbaikan terhadap dimensi tersebut.
127
Pengaruh Atribut
Gambar 34 Peran masing-masing atribut teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS lkB-Berinla
Dimensi hukum dan kelembagaan pada pengelolaan industri gula termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan. Hal ini juga terlihat dari kondisi yang terdeteksi di lokasi penelitian yang memperlihatkan bahwa ada indikasi bahwa kelembagaan yang ada di kawasan lokasi pabrik gula berdiri, relatif lemah. Hal ini dapat ditunjukan dari belum adanya wadah yang dimiliki petani tebu untuk menyampaikan aspirasi dan pendapatnya serta belum adanya keterkaitan antara dinas yang satu dengan dinas yang lain yang terkait dengan industri gula tersebut atau dengan kata lain masih adanya sifat egosektoral pada dinas-dinas terkait. Tidak berlanjutnya dimensi hukum juga terlihat secara jelas dari masih lemahnya penegakan hukum, bahkan ada kecenderungan masyarakat dan para stakeholder yang relatif kurang mempercayai penegakan hukum di daerahnya masing-masing
128 Kondisi tersebut akan menjadi ancaman bagi pengelolaan kawasan industri gula untuk menjadi tidak berkelanjutan. Hal ini mengingat keadaan ini pada akhirnya dapat menimbulkan dampak, baik terhadap kegiatan ekonomi, ekologi dan sosial budaya yang nantinya secara langsung akan dirasakan oleh masyarakat, terutama yang ada di kawasan minapolitan tersebut, namun juga akan dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas. Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana Gambar 35, semua atribut yang ada tersebut mempengaruhi besarnya nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan dari yang terbesar sampai yang terkecil, yaitu: 1) kerjasama pengusaha dan masyarakat; 2) kebijakan pendorong industri gula; 3) keterlibatan pemerintah daerah; 4) sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah; 5) kerjasama dengan pihak asing; 6) Status industri gula; 7) Pembinaan dan dukungan kelembagaan dan 8) Ketersediaan perangkat hukum.
Sugarcane industry sustainability
Gambar 35 Analisis Rap-Berinla yang menunjukkan nilai indeks sustainabilitas dimensi hukum dan kelembagaan.
Hasil analisis leverage di atas juga menunjukkan bahwa peranan dimensi hukum kelembagaan yang kurang mendukung terhadap sistem keberlanjutan industri gula
129 sangat dipengaruhi oleh faktor kurangnya ketersediaan perangkat hukum, pembinaan dan dukungan kelembagaan yang rendah dan status industri gula yang kurang jelas.
Pengaruh Atribut
Gambar 36
Peran masing-masing atribut hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS lkB-Berinla.
Multi-Dimensi Hasil analisis Rap-Berinla dengan menggunakan metode MDS menghasilkan nilai IkB-Berinla (indeks keberlanjutan keberadaan industri gula) adalah sebesar 55,43 pada skala sustainabilitas 0 – 100. Nilai lkB-Berinla tersebut diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 44 atribut yang tercakup dalam lima dimensi (ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan) termasuk ke dalam kategori cukup berkelanjutan, mengingat nilai lkB-Berinla-nya berada pada selang nilai 50 – 75. Beberapa parameter statistik yang diperoleh dari analisis Rap-Berinla dengan menggunakan metode MDS berfungsi sebagai standar untuk menentukan kelayakan terhadap hasil kajian yang dilakukan di wilayah studi. Tabel 16 di bawah ini menyajikan
130 nilai “stress” dan R2 (koefisien determinasi) untuk setiap dimensi maupun multidimensi. Nilai tersebut berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut untuk mencerminkan dimensi yang dikaji secara akurat (mendekati kondisi sebenarnya). Tabel 16. Hasil analisis Rap-Berinla untuk beberapa parameter statistik
Stress = Squared Correlation (RSQ) = % Analisis
Ekologi
Ekonomi
Sosial budaya
Teknologi
Hukum & Kelembagaan
MultiDimensi
0,1152471
0,1100917
0,1399428
0,2113747
0,1001564
0,135363
0,976606
0,9735096
0,9538016
0,8956022
0,98760909
0,957426
58,13%
52,60%
62,74%
77,32%
25,90%
55,34%
Berdasarkan Tabel 16 di atas setiap dimensi maupun multidimensi memiliki nilai “stress” yang jauh lebih kecil dari ketetapan yang menyatakan bahwa nilai “stress” pada analisis dengan metode MDS sudah cukup memadai jika diperoleh nilai 25%. Karena semakin kecil nilai “stress” yang diperoleh berarti semakin baik kualitas hasil analisis yang dilakukan. Berbeda dengan nilai koefisien determinasi (R2), kualitas hasil analisis semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar (mendekati 1). Dengan demikian dari kedua parameter (nilai “stress” dan R2) menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada analisis keberlanjutan sistem industri gula sudah cukup baik dalam menerangkan kelima dimensi pembangunan yang dianalisis. Berdasarkan kesepakatan terhadap nilai koefisien determinasi bahwa kualitas hasil analisis dikatakan semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar (mendekati 1). Hal ini memperlihatkan bahwa kualitas hasil analisis berdasarkan nilai R2-nya semakin baik. Dengan demikian berdasarkan dua parameter (nilai “stress” dan R2) tersebut menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada
analisis
keberlanjutan pengelolaan industri gula yang ada di sebagian besar wilayah Indonesia masuk pada kategori yang relatif baik dalam menerangkan kelima dimensi pembangunan yang dianalisis. Analisis dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu tahapan penentuan atribut keberlanjutan keberadaan industri gula yang mencakup lima dimensi (dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan hukum dan kelembagaan), tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan pada setiap dimensi, analisis ordinasi “Rap-Berinla” yang berbasis metode
131 “multidimensional scaling” (MDS), penyusunan indeks dan status keberlanjutan sistem yang dikaji. Proses ordinasi Rap-Berinla ini menggunakan perangkat lunak modifikasi Rapfish (Kavanagh, 2001). Perangkat lunak Rapfish ini merupakan pengembangan MDS yang ada di dalam perangkat lunak SPSS, untuk proses rotasi, kebaikan posisi (flipping), dan beberapa analisis sensitivitas telah dipadukan menjadi satu perangkat lunak. Melalui MDS ini maka posisi titik keberlanjutan tersebut dapat divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu horizontal dan vertikal). Untuk memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis mendatar dilakukan proses rotasi, dengan titik ekstrem “buruk” diberi nilai skor 0% dan titik ekstrem “baik” diberi skor nila 100%.
Posisi
keberlanjutan sistem yang dikaji akan berada diantara dua titik ekstrem tersebut. Nilai ini merupakan nilai indeks keberlanjutan keberadaan industri gula.
Ilustrasi hasil
ordinasi yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dari sistem yang dikaji disajikan pada Gambar 37.
Sosial budaya
62,74
Gambar 37 Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan industri gula
Analisis ordinasi ini juga dapat digunakan hanya untuk satu dimensi saja dengan memasukkan semua atribut dari dimensi yang dimaksud. Hasil analisis akan mencerminkan seberapa jauh status keberlanjutan dimensi tersebut, misalnya dimensi ekologi. Jika analisis setiap dimensi telah dilakukan maka analisis perbandingan
132 keberlanjutan antar dimensi dapat dilakukan dan divisualisasikan dalam bentuk diagram, seperti yang disajikan pada Gambar 37.
Skala indeks keberlanjutan
keberadaan industri gula mempunyai selang 0%-100%, jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks lebih dari 50% (>50%) maka sistem tersebut sustainable (termasuk kategori berkelanjutan), dan sebaliknya jika kurang atau sama dengan 50% (≤50%) maka sistem tersebut belum sustainable (termasuk kategori kurang berkelanjutan). Berdasarkan skala di atas diketahui bahwa dimensi teknologi termasuk kategori berkelanjutan “baik”, sedangkan dimensi sosial budaya dan ekologi termasuk kategori cukup berkelanjutan, dan sisanya termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan. Hal ini menunjukan bahwa aspek teknologi, sosial budaya dan ekologi memberikan kontribusi cukup besar terhadap usaha pengembangan industri gula selama ini, sedangkan aspek lainnya dirasa kurang memberi kontribusi, khususnya aspek hukum dan kelembagaan, sehingga perbaikan sistem pengelolaan terhadap kedua aspek tersebut dirasa sangat diperlukan di masa-masa yang akan datang. Analisis dengan menggunakan metode MDS disamping harus melihat tingkat akurasi terhadap jumlah atribut dari setiap dimensi atau jumlah keseluruhan atribut yang digunakan untuk menganalisis obyek yang sedang diteliti sudah representatip atau belum dari seluruh permasalahan yang dibuktikan dengan perhitungan nilai parameter “stress” dan korefisien determinasi (R2) terdapat dua asumsi perlu dibuktikan. Dua asumsi tersebut adalah sebagai berikut. Pertama tingkat kepercayaan indek total (multidimension) dan kepercayaan terhadap nilai indek setiap dimensi. Kedua pengaruh kesalahan terhadap pembuatan skor pada setiap atribut yang disebabkan oleh karena pemahaman, perbedaan opini, atau penilaian dari peneliti yang saling berbeda, kesalahan pemasukan data atau data yang hilang, atau nilai “stress” yang terlalu tinggi, yang terakhir karena kesalahan prosedur yang dapat mempengaruhi stabilitas proses analisis MDS. Dalam rangka membuktikan kedua asumsi tersebut digunakan analisis Monte Carlo. Analisis ini adalah analisis yang berbasis komputer dengan menggunakan teknik random number.
Analisis ini dinamakan Monte Carlo karena prinsip dan
prosesnya mirip dengan permainan roullet yang ada di Kota Monte Carlo, permainan tersebut dapat berfungsi sebagai pembangkit bilangan acak yang sederhana berdasarkan teori statika untuk mendapatkan dugaan peluang suatu model matematis.
Analisis
Monte Carlo pada penelitian ini yang dilakukan beberapa kali pengulangan hasilnya
133 mengandung kesalahan yang tidak banyak mengubah nilai indek total masing-masing dimensi seperti pada Tabel 17.
Tabel 17 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan multidimensi dan masing-masing dimensi pada selang kepercayaan 95%. Status Indeks Ekologi Ekonomi Sosial budaya Teknologi Hukum & Kelembagaan Multi-Dimensi
Hasil MDS 58,13 52,60 62,74 77,32 25,90 55,43
Hasil Montecarlo 57,35 51,07 62,23 76,25 24,50 54,28
Perbedaan 0,78 1,53 0,51 1,07 1,40 1,15
Pada Tabel 17, yaitu hasil analisis dengan metode MDS dan dengan analisis dengan metode Monte Carlo menghasilkan perbedaan seperti pada kolom 4 yaitu nilai perbedaannya sangat kecil, yaitu 1,15%. Hal ini membuktikan tingkat kepercayaan terhadap indek total (multidimension) dan kepercayaan terhadap nilai indek setiap dimensi, dan pengaruh kesalahan yang dapat mmpengaruhi terhadap seluruh proses analisis dengan metode MDS adalah melebihi 95%. Oleh karena itu dari analisis dengan Monte Carlo menghasilkan bahwa 1). pengaruh kesalahan terhadap pembuatan skor pada setiap atribut sangat kecil 2). kesalahan yang diakibatkan oleh karena pemahaman, perbedaan opini, atau penilaian dari peneliti yang saling berbeda, relatip sangat kecil 3). kesalahan pemasukan data atau data yang hilang, atau nilai “stress” yang terlalu tinggi, sangat kecil 4). kesalahan posedure yang dapat mempengaruhi stabilitas proses analisis MDS juga relatif kecil. 5.3.2 Analisis Hierarki Process Hasil Pembobotan pada setiap Komponen Model AHP digunakan untuk memilih arahan kebijakan yang mudah dan penting menuju pengembangan industri gula berkelanjutan. Gambar 38 merupakan diagram hirarki AHP yang telah didiskusikan dan merupakan pendapat pakar utama melalui wawancara yang mendalam. Pakar yang terlibat antara lain dari kalangan
134 pemerintah, swasta, masyarakat dan LSM. Adapun hasil analisis AHP yang dilakukan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 38.
Industri Gula
Fokus
Sosbud 0,260
Faktor
Aktor
Dis. Perindag 0,186
Ekonomi, Teknologi 0,413
Lingkungan, Huk & Kelm 0,327
Deperindag 0,200
Dinas LH 0,147
Pengusaha 0,267
Fiskal 0,118
Pemasaran 0,118
Teknologi 0,098
Revitalisasi 0,459
Swastanisa si 0 255
Masyarakat 0,201
Tujuan
Bahan Baku 0,276
Sasaran
Transporta si 0,186
Partisipasi Masy. 0,083
Perbankan 0,062
Infrastruktur 0,060
Ekstensifikasi
0,287
Gambar 38. Diagram hirarki AHP pada pengembangan industri gula
Hirarki AHP disusun dengan lima level yang memperlihatkan tahapan proses penetapan prioritas yang dimulai dari penetapan fokus pada level l yaitu keberhasilan pola pengembangan indusri gula.
Level 2 adalah faktor yang terdiri atas sosbud,
ekonomi dan lingkungan. Level 3 adalah aktor terdiri atas Dis. Perindag, Deperindag, Dinas Lingkungan Hidup, Pengusaha, dan Masyarakat. Aktor tersebut terkait dengan pengembangan industri gula dan masing-masing aktor mempunyai peran, pengaruh dan kekuatan terhadap kebijakan-kebijakan pengembangan industri gula. Level 4 adalah tujuan untuk pengembangan industri gula yang terdiri atas bahan baku, transportasi, fiskal, pemasaran, teknologi, partisipasi masyarakat, perbankan dan infrastruktur. Level 5 adalah sasaran yang terdiri atas revitalisasi, swastanisasi dan ekstensifikasi
135 Pembobotan Kriteria Faktor dalam Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun faktor-faktor yang menjadi pengaruh utama dalam pengembangan industri gula berkelanjutan.
Gambar 39
menunjukkan urutan prioritas faktor-faktor tersebut.
Ekonomi
0.413
Lingkungan
Sosbud
0.327
0.26
Gambar 39 Urutan prioritas faktor dalam pengembangan industri gula berkelanjutan
Berdasarkan Gambar 39 hasil analisis AHP yang merupakan faktor (level 3) menunjukkan bahwa faktor ekonomi mempunyai peran utama dalam pengembangan industri gula berkelanjutan, bobot nilainya adalah 0,413. Faktor ekonomi tersebut mencakup masalah fiskal, pemasaran, perbankan dsb.
Prioritas faktor selanjutnya
adalah faktor lingkungan dan faktor sosial budaya budaya dengan bobot nilainya adalah 0.327 dan 0.26. faktor lingkungan misalnya mencakup ketersediaan SDA terutama ketersediaan lahan pertanian dan ketersediaan SDM atau tenaga kerja, sedangkan sosekbud dalam hal tingkat partisipasi masyarakat, terutama daya minat petani dalam mengembangkan budidaya tanaman tebu sebagai bahan baku utama untuk industri gula. Pembobotan Kriteria Aktor dalam Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun aktor yang menjadi pengaruh utama dalam pengelolaan pengembangan industri gula berkelanjutan. Gambar 40 menunjukkan urutan prioritas aktor tersebut. Berdasarkan Gambar 40, hasil analisis AHP yang merupakan aktor (level 3) menunjukkan bahwa pengusaha mempunyai peran utama dalam pengembangan industri gula berkelanjutan, bobot nilainya adalah 0,267. Pengusaha mempunyai tingkat kepentingan yang tinggi terhadap pengembangan industri gula. Pengusaha merupakan salah satu aktor yang mempunyai peran terhadap pengembangan industri gula.
136 Pengusaha mempunyai peran sebagai investor atau penanam modal untuk pembangunan yang berkaitan dengan pengembangan industri gula. Dalam kenyataannya tanggung jawab sosial budaya dunia usaha telah menjadi suatu kebutuhan yang dirasakan bersama antara pemerintah, masyarakat dan pengusaha atau dunia usaha berdasarkan prinsip kemitraan dan kerjasama. Tanggung jawab sosial budaya pengusaha diantaranya dapat memberikan implikasi positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, meringankan beban pembiayaan pembangunan, memperkuat investasi dunia usaha, sehingga dapat meningkatkan dan menguatkan jaringan kemitraan serta kerjasama antara masyarakat, pemerintah dengan pengusaha.
Pengusaha
0.267
Masyarakat
0.201
Deperindag
0.2
Dis.Perindag
0.186
Dinas LH
0.147
Gambar 40 Urutan prioritas aktor dalam pengembangan industri gula berkelanjutan
Masyarakat memiliki bobot nilai sebanyak 0,201. merupakan salah satu aktor yang mempunyai peran terhadap pengembangan industri gula berkelanjutan. Masyarakat mempunyai peran sebagai sumber pemasok tenaga kerja dan bahan baku kepada pihak industri.
Kebutuhan bahan baku industri gula selama ini sangat
tergantung dari hasil perkebunan rakyat sebagai mitra usaha pengusaha. Pola kemitraan seperti ini memberikan implikasi positif bagi pengusaha dalam hal memperoleh sumber tenaga kerja dan bahan baku, tapi juga bagi masyakat yang kesejahteraannya meningkat. Bagi pemerintah pola kerjasama seperti ini dapat meringankan beban pembiayaan pembangunan di daerah tersebut. Pemerintah (Deperindag dan Dinas Perindag Daerah dan Dinas Lingkungan Hidup) mempunyai tingkat kepentingan yang tinggi terhadap penentuan alternatif kebijakan pengembangan industri gula. Hal tersebut disebabkan baik kenyataan di lapangan maupun dilandasi dengan hukum, pengaruh dan peran dari aktor pemerintah
137 Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004 dan dalam Undang-Undang N0. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Oleh karena itu pemerintah mempunyai peran penting untuk melakukan pengembangan industri gula secara berkelanjutan di Indonesia. Pembobotan Kriteria Tujuan dalam Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun tujuan yang menjadi capaian utama dalam pengembangan industri gula berkelanjutan, Gambar 41 menunjukkan urutan prioritas tujuan tersebut.
Bahan baku
0.276
Transportasi Fiskal Pemasaran Teknologi Partisipasi Masyarakat Perbankan Infrastruktur
Gambar 41
0.186 0.118 0.118 0.098 0.083 0.062 0.06
Urutan prioritas berkelanjutan
sasaran
dalam
pengembangan
industri
gula
Berdasarkan Gambar 41 hasil analis AHP yang merupakan tujuan (level 4) menunjukkan bahwa pengembangan industri gula dengan fokus tujuan pada masalah bahan baku dan transportasi mendapat priotitas utama dalam kriteria tujuan dengan masing-masing bobot nilai 0,276 dan 0,186. Tujuan pengadaan bahan baku menjadi prioritas utama karena proses kegiatan produksi tidak akan berjalan secara berkesinambungan apabila kegiatan industri tersebut tidak didukung oleh pengadaan bahan baku yang mendukung kegiatan produksi. Sedangkan pengadaan sarana transportasi sangat penting dalam hal mempermudah proses pengangkutan gula sebagai hasil akhir untuk dijual ke konsumen. Prioritas tujuan selanjutnya adalah “fiskal” dengan bobot nilai 0,118. Perbaikan fiskal dapat dilakukan dengan memberikan kemudahan pada para pengusaha/petani tebu dalam memperoleh pinjaman-pinjaman modal usaha dengan bunga rendah. Disamping
138 kebijakan pemerintah dalam pemberian keringan pajak
bagi komoditi gula sangat
diperlukan. Prioritas tujuan selanjutnya adalah “pemasaran” dengan bobot nilai 0.118. Pemasaran produk gula perlu didukung dengan pemberian insentif oleh pemerintah berupa pengurangan pajak terhadap produk gula sehingga harga dasar produk gula akan lebih murah. Hal ini akan menguntungkan bagi pengusaha karena produk tersebut menjadi lebih terjangkau sesuai daya beli masyarakat. Prioritas tujuan selanjutnya adalah berturut-turut “teknologi”, “partisipasi masyarakat”,
“perbankan”
dan
“infrastruktur”.
Pengembangan
industri
gula
berkelanjutan perlu didukung oleh penggunaan teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas
produksi
gula.
Sementara
itu
dukungan
masyarakat
terhadap
pengembangan industri gula berkelanjutan ditunjukkan dengan semakin banyaknya petani untuk menanam lahan perkebunan mereka dengan
komoditi tebu untuk
memasok kebutuhan bahan baku tebu bagi kebutuhan industri. Sektor perbankan terkait dengan masalah pemberian dana dengan bunga rendah. Untuk infrastruktur berupa perbaikan maupun pengadaan sarana jalan dan terkait dengan masalah kemudahan dalam proses pemasaran Pembobotan Kriteria Sasaran dalam Pengembangan Industri Gula Berkelanjutan Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun sasaran yang menjadi prioritas utama dalam keberhasilan pengembangan industri gula berkelanjutan.
Gambar 42
menunjukkan urutan prioritas sasaran tersebut.
Revitalisasi
Ekstensifikasi
Swastanisasi
0.459
0.287
0.255
Gambar 42 Urutan prioritas tujuan dalam pengembangan industri gula berkelanjutan
139 Berdasarkan Gambar 44 hasil analisis AHP yang merupakan sasaran (level 5) menunjukkan bahwa revitalisasi menjadi prioritas utama dengan bobot nilai 0,459. Revitalisasi berkait dengan prioritas kedua adalah ekstensifikasi dengan bobot nilai 0,287. Ekstensifikasi dilakukan dengan cara melakukan peluasan pembangunan perkebunan tebu rakyat untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri gula. prioritas terakhir adalah swastanisasi dengan bobot nilai 0.255. Swastanisasi dapat dilakukan dengan cara memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada swasta untuk terlibat dalam pengembangan industri gula nasional. Pemberian kemudahan-kemudahan dalam pelaksanaan investasi dan mengurangi campur tangan pemerintah (bulog) dalam proses pembentukan harga pasar .
5.4 Skenario Pengelolaan Industri Gula Keberadaan industri gula ternyata memberikan kontribusi positif ditinjau dari sisi ekologi, namun demikian masih perlu ditingkatkan lagi nilai keberlanjutannya. Adapun untuk meningkatkan nilai indeks dimensi ini di masa yang akan datang perlu dilakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi tersebut, yaitu: • Kerentanan lahan • Pengelolaan lahan pada masa tanam Keberadaan industri gula juga memberikan pengaruh yang positif terhadap perekonomian masyarakat dan pendapatan asli daerah, namun demikian dalam mempertahankan atau bahkan meningkatkan keberlanjutan ekonomi, maka perlu dilakukan perbaikan terhadap • Peningkatan pasar produk industri gula Keberadaan industri gula juga memberikan pengaruh yang positif terhadap kondisi sosial budaya masyarakat namun demikian untuk mencegah menurunnya keberlanjutan dimensi sosial budaya masyarakat, maka hal yang perlu dilakukan adalah: • Meningkatkan pendidikan formal masyarakat • Meningkatkan kontribusi pabrik terhadap masyarakat • Meningkatkan hubungan kekeluargaan antar warga masyarakat
140 Industri gula di Indonesia ternyata walaupun memiliki nilai indeks keberlanjutan teknologi yang tinggi, namun masih ketinggalan dalam hal teknologi yang dimanfaatkan.
Oleh karena itu, maka untuk mencegah menurunnya keberlanjutan
dimensi teknologi, maka hal yang perlu dilakukan adalah: • Melakukan revitalisasi mesin-mesin industri • Meningkatkan produktivitas SDM Industri gula di Indonesia ternyata walaupun memiliki nilai indeks keberlanjutan hukum dan kelembagaan yang rendah. Oleh karena iti, maka untuk meningkatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan, maka hal yang perlu dilakukan adalah: • Meningkatkan kerjasama dengan masyarakat • Membuat kebijakan pendorong industri gula • Meningkatkan keterlibatan pemda Berdasarkan hal tersebut maka deskripsi kemungkinan perubahan kondisi masing-masing faktor strategis dalam pengelolaan industri gula dapat dilihat pada Tabel 18. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap parameter kunci pengelolaan industri gula, dapat disimpulkan bahwa elemen kunci dapat berubah dengan terjadinya perubahan keadaan (state) pada setiap faktor dan dengan cara memeriksa parameter mana dan perubahan seperti apa yang tidak dapat terjadi secara bersamaan (incompatible). Sedangkan parameter kunci dan perubahannya yang terjadi secara bersamaan akan menjadi skenario strategi dalam melakukan pengelolaan di pabrik gula. Adapun kondisi incompatible antar keadaan dari faktor-faktor penting tersebut dalam pengelolaan industri gula dapat dilihat pada Tabel 19.
141 Tabel 18 Faktor strategis parameter kunci pengelolaan dan kondisi masa depannya No 1 2
3
4
Faktor stategis Kerentanan lahan
Keadaan (state) masa depan 1A 1B 1C menurun tetap meningkat Pengelolaan pada masa 2A 2B 2C tanam Tidak ada Dikelola Dikelola pengelolaan oleh oleh masyarakat masyarakat dan pabrik Pasar produk 3A 3B 3C Pasar Pasar Pasar produk produk produk menurun tetap meningkat Pendidikan formal 4A 4B 4C masyarakat menurun tetap Hingga S1
5
Kontribusi pabrik terhadap masyarakat
5A Kontribusi pasif
5B Kontribusi insentif
5C Kontribusi fungsional
6
Hubungan kekeluargaan antar warga masyarakat
6A Rentan terjadi konflik
7
Revitalisasi mesin-mesin industri
7A Mesin semakin banyak yang rusak
6B Kadangkadang terjadi konflik 7B Mesin tidak berubah
8
Produktivitas SDM
8A Pengetahua n SDM sangat jauh ketinggalan
9
Kerjasama masyarakat Kebijakan industri gula
6C Tidak pernah terjadi konflik 7C Mesin rusak diganti baru dan ada penambaha n mesin 8C SDM mengikuti pelatihan di dalam negeri 9C Meningkat 10C Dibuat yang baru
10
11
dengan pendorong
Keterlibatan Pemda
9A menurun 10A Tidak ada
8B SDM mengetahui proses yang biasa berjalan 9B tetap 10B Ada produk lama
11A 11B Keterlibatan Keterlibatan pasif insentif
11C Keterlibata n fungsional
2D Dikelola oleh semua yang berkepentingan 3D Pasar produk ke hampir semua negara 4D Hingga pasca sarjana 5D Kontribusi aktif
6D Hubungan kekeluargaan sangat harmonis 7D Reviratlisasi mesin
8D SDM dikirim keberbagai negara
10D Dibuat model kebijakan kholistik 11D Partisipasi aktif
142 Tabel 19
Kondisi incompatible antar keadaan dalam pengelolaan industri gula
No 1
Faktor stategis Kerentanan lahan
2
Pengelolaan tanam
3
Pasar produk
4
Pendidikan masyarakat
5
Kontribusi pabrik terhadap masyarakat
5A Kontribusi pasif
6
Hubungan kekeluargaan antar warga masyarakat
6A Rentan terjadi konflik
7
Revitalisasi industri
8
Produktivitas SDM
9
Kerjasama masyarakat Kebijakan industri gula
10
11
pada
masa
formal
mesin-mesin
3A Pasar produk menurun 4A menurun
7A Mesin semakin banyak yang rusak
8A Pengetahua n SDM sangat jauh ketinggalan dengan
pendorong
Keterlibatan Pemda
1A menurun 2A Tidak ada pengelolaan
9A menurun 10A Tidak ada
dari faktor-faktor penting tersebut
Keadaan (state) masa depan 1B 1C tetap meningkat 2B 2C 2D Dikelola Dikelola Dikelola oleh oleh oleh semua yang masyarakat masyarakat berkepentingan dan pabrik 3B 3C 3D Pasar Pasar Pasar produk ke produk produk hampir semua tetap meningkat negara 4B 4C 4D tetap Hingga S1 Hingga pasca sarjana 5B 5C 5D Kontribusi Kontribusi Kontribusi aktif insentif fungsional 6B Kadangkadang terjadi konflik 7B Mesin tidak berubah
8B SDM mengetahui proses yang biasa berjalan 9B tetap 10B Ada produk lama
11A 11B Keterlibatan Keterlibatan pasif insentif
6C Tidak pernah terjadi konflik 7C Mesin rusak diganti baru, ada penambaha n mesin 8C SDM mengikuti pelatihan di dalam negeri 9C Meningkat 10C Dibuat yang baru 11C Keterlibata n fungsional
6D Hubungan kekeluargaan sangat harmonis 7D Reviratlisasi mesin
8D SDM dikirim keberbagai negara
10D Dibuat model kebijakan kholistik 11D Partisipasi aktif
143 Berdasarkan parameter kunci dan hubungan incompatible antar parameter penting dalam pengelolaan industri gula maka disusun lima skenario kebijakan industri gula seperti yang dapat dilihat pada Tabel 20 sebagai berikut.
Tabel 20 Skenario kebijakan pengeloaan industri gula No 1
Kondisi yang akan dicapai Pengembangan industri gula tanpa peningkatan Industri akan berkembang kinerja lingkungan pesat, namun lingkungan 1 C (Kerentanan lahan) meningkat menjadi masalah (tidak 2 A (Tidak ada pengelolaan masa tanam) diperhatikan) Skenario
3 D (Pasar produk ke hampir semua negara) 4A/4B (Pendidikan formal masyarakat menurun/tetap) 5 A (Kontribusi pabrik terhadap masyarakat pasif) 6 A (rentan terjadi konflik antar warga masyarakat) 7 D (revitalisasi mesin) 8 D (SDM dikirim keberbagai negara) 9 A (kerjasama dengan masyarakat menurun) 10 E (Dibuat model kebijakan pendorong yang baru) 11 C (Partisipasi fungsional)
2
3
Perbaikan kinerja lingkungan secara konsisten
Terjadi perbaikan kinerja 1 A (Kerentanan lahan) menurun lingkungan dengan 2 D (Dikelola oleh semua yang berkepentingan) managemen lingkungan 3 B (Pasar produk tetap) yang ketat, bukan hanya 4 C (Pendidikan formal masyarakat hingga S1) produksi bersih yang sudah 5C (Kontribusi pabrik terhadap masyarakat fungsional) diterapkan tapi juga 6C (Hubungan kekeluargaan tidak pernah terjadi melindungi lahan tampat konflik) penanaman tebu dan 7 B (Mesin tidak berubah) lingkungan lainnya, dan 8 B (SDM mengetahui proses yang biasa berjalan) baik pihak pabrik, 9 C (kerjasama dengan masyarakat meningkat) 10B (model kebijakan pendorong ada tapi produk lama) masyarakat, maupun pemda fokus pada 11C (Partisipasi fungsional) pengelolaan lingkungan Perbaikan kinerja lingkungan dengan tetap Kualitas lingkungan makin memperhatikan kepentingan industri baik, karena diprioritaskan 1 B (Kerentanan lahan) tetap pihak industri, perhatian 2 B (Dikelola oleh masyarakat) terhadap kemajuan usaha 3 B (Pasar produk tetap) juga diperhatikan, namun 4 C (Pendidikan formal masyarakat hingga S1) perhatian terhadap faktor 5C (Kontribusi pabrik terhadap masyarakat fungsional) lingkungan relatif lebih 6 C (Tidak pernah terjadi konflik) tinggi
7 B (Mesin tidak berubah) 8 C (SDM mengikuti pelatihan di dalam negeri) 9 B (kerjasama dengan masyarakat tetap) 10B (kebijakan pendorong industri gula tetap) 11C (Keterlibatan Pemda fungsional)
4
Pengembangan industri dengan tetap memperhatikan perbaikan lingkungan
Perusahaan mengalami perbaikan kinerja secara
144 1 A (Kerentanan lahan) menurun 2 C (Dikelola oleh masyarakat dan pabrik) 3 C (Pasar produk meningkat) 4 C (Pendidikan formal masyarakat hingga S1) 5 B (Kontribusi pabrik terhadap masyarakat insentif) 6 C (Tidak pernah terjadi konflik) 7 C (Mesin rusak diganti baru dan ada penambahan mesin) 8 C (SDM mengikuti pelatihan di dalam negeri) 9 B (kerjasama dengan masyarakat tetap) 10C (Dibuat model kebijakan pendorong yang baru) 11B (Keterlibatan Pemda insentif)
5
menyeluruh dengan tetap memperhatikan perbaikan lingkungan, namun perhatian terhadap kemajuan industri relatif lebih tinggi dibanding perhatiannya terhadap lingkungan
Pengembangan industri dan perbaikan kinerja Perbaikan kinerja industri lingkungan berjalan secara simultan semakin baik seiring 1 A (Kerentanan lahan) menurun dengan kinerja lingkungan, 2 D (Dikelola oleh semua yang berkepentingan) dengan pertumbuhan 3 D (Pasar produk hampir semua negara) keduanya yang relatif 4D (Pendidikan formal masyarakat hingga stabil, sehingga akan Pascasarjana) menghasilkan 5 D (Kontribusi pabrik terhadap masyarakat aktif) pembangunan yang ideal 6 D (Hubungan kekeluargaan sangat harmonis) yang kita kenal sebagai 7 D (Reviratlisasi mesin) pembangunan yang 8 D (SDM dikirim keberbagai negara) berkelanjutan 9 C (kerjasama dengan masyarakat meningkat) 10D (Dibuat model kebijakan kholistik) 11D ( Pemda berpartisipasi aktif)
5.5 Model Pengelolaan Pabrik Gula Berwawasan Lingkungan Berdasarkan kondisi umum, dan hasil analisis maka pada penelitian ini disarikan model pengelolaan pabrik gula yang berwawasan lingkungan seperti yang tertera pada Gambar 43. Model pengelolaan pabrik gula yang berwawasan lingkungan ini pada dasarnya merupakan model pengembangan RSSC – PC (roundtabel on sustainable sugarcane – princip and criteria). Adapun prinsip yang dianut pada model pengelolaan ini adalah: • Aspek legal (hukum & kelembagaan) • Ekonomi & teknologi • Lingkungan • Sosial budaya Adapun kriteria pada model pengelolaan ini adalah • Komitmen terhadap transparansi • Memenuhi hukum & peraturan yang berlaku
145 • Komitmen terhadap kelayakan ekonomi dan keuangan jangka panjang • Penggunaan praktek terbaik (GMP – GAP) dan tepat oleh perkebunan dan pabrik • Tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keaneka ragaman hayati (Amdal, UKL, UPL: flora, fauna, konflik; - culture, kebijakan, tanaman lain) • Tanggung jawab kepada para pekerja, individu-individu dan komunitas-komunitas, kebun dan pabrik • Pengembangan perkebunan baru secara bertanggung jawab • Komitmen terhadap perbaikan terus-menerus pada wilayah-wilayah utama aktifitas • Komitmen terhadap pelaksanaan pemberdayaan masyarakat melalui program CSR
Lingkungan
Hukum & kelembagaan lintas sektor
Partisipasi masyarakat Lahan Bibit tebu Pupuk Irigasi
Teknologi
Pabrik gula Peningkatan jumlah penduduk
Pengolahan
Gula Pasar (DN dan LN)
SDM pabrik gula Limbah (padat, cair) Prinsip 4R (produksi bersih)
Gambar 43 Model pengelolaan pabrik gula yang berwawasan lingkungan
Berdasarkan model di atas didapat suatu skenario sebagai berikut: 1.
Pengembangan industri gula tanpa peningkatan kinerja lingkungan, maka: kerentanan lahan meningkat, tidak ada pengelolaan masa tanam, pasar produk ke
146 hampir semua negara artinya tidak terfokus dulu kepada kebutuhan domestik yang memerlukan jumlah produksi yang cukup besar, pendidikan formal masyarakat menurun/tetap, kontribusi pabrik terhadap masyarakat pasif, rentan terjadi konflik antar warga masyarakat, revitalisasi mesin/peralatan pabrik gula tidak bisa dipercepat, SDM diperlukan dikirim ke berbagai negara untuk peningkatan wawasan, kerjasama dengan masyarakat menurun, perlunya dibuat model kebijakan pendorong yang baru karena yang lama masih paradigma Zaman Belanda, partisipasi fungsional masih kentara. Untuk itu maka pengembangan industri gula yang diinginkan adalah pengembangan industri yang memperhatikan kesuburan tanah, penggunaan pupuk diupayakan bukan pupuk an organik yang dapat merusak kesuburan tanah, namun menggunakan pupuk organik (kompos) sehingga tidak saja akan meningkatkan margin keuntungan untuk petani, namun juga dapat meningkatkan kesuburan tanah dan mempertahankan kualitas tanah.
Namun
demikian agar dihasilkan tebu yang produksinya tinggi, maka penyediaan bibit juga harus baik (bibit unggul) dan tersedia air yang cukup serta tanamannya terurus. Dari situ terlihat bahwa kondisi yang diinginkan adalah industri gula berkembang pesat, namun lingkungan menjadi masalah (tidak diperhatikan). 2.
Perbaikan kinerja lingkungan secara konsisten, maka: kerentanan lahan menurun, dikelola oleh semua yang berkepentingan, pasar produk tetap/konsisten, tidak fluktuatif, pendidikan formal masyarakat diharapkan hingga S1, kontribusi pabrik terhadap masyarakat akan bersifat fungsional, hubungan kekeluargaan tidak pernah terjadi konflik, mesin/peralatan pabrik tidak berubah kinerjanya/konstan, SdM mengetahui dengan pasti proses yang biasa berjalan, kerjasama dengan masyarakat meningkat, model kebijakan pendorong ada tapi produk lama, partisipasi berbagai komponen / sektor akan berada pada tahap fungsional. Kondisi yang ingin dicapai antara lain terjadi perbaikan kinerja lingkungan dengan managemen lingkungan yang ketat, bukan hanya produksi bersih yang dilakukan di pabrik gula semata yang saat ini relatif sudah diterapkan tapi juga melindungi lahan tempat penanaman tebu dan lingkungan lainnya. Untuk itu maka baik pihak pabrik, masyarakat, maupun pemda idealnya harus fokus pada pengelolaan lingkungan.
3.
Perbaikan kinerja lingkungan dengan tetap memperhatikan kepentingan industri, oleh karena itu maka: kerentanan lahan relatif tetap, dikelola oleh masyarakat, pasar
147 produk tetap/konsisten, pendidikan formal masyarakat diharapkan hingga jenjang S1, kontribusi pabrik terhadap masyarakat bersifat fungsional, tidak pernah terjadi konflik, mesin tidak berubah kinerja/performannya, SDM mengikuti pelatihan cukup di dalam negeri, kerjasama/partisipasi dengan masyarakat tetap, kebijakan pendorong industri gula tetap, keterlibatan Pemda bersifat fungsional. Harapannya antara lain kualitas lingkungan makin baik, karena diprioritaskan pihak industri, perhatian terhadap kemajuan usaha juga diperhatikan, namun perhatian terhadap faktor lingkungan relatif lebih tinggi 4.
Pengembangan industri dengan tetap memperhatikan perbaikan lingkungan, maka: kerentanan lahan menurun, dikelola oleh masyarakat dan pabrik secara elegan, pasar produk meningkat, pendidikan formal masyarakat hingga S1, kontribusi pabrik terhadap masyarakat intensif, tidak pernah terjadi konflik, mesin rusak diganti baru dan ada penambahan mesin, SDM mengikuti pelatihan cukup di dalam negeri, kerjasama dengan masyarakat tetap, dibuat model kebijakan pendorong yang baru, keterlibatan pemda intensif.
Hal yang diinginkan
ialah
perusahaan/pabrik gula (PG) mengalami perbaikan kinerja secara menyeluruh dengan tetap memperhatikan perbaikan lingkungan, namun perhatian terhadap kemajuan industri relatif lebih tinggi dibanding perhatiannya terhadap lingkungan 5.
Pengembangan industri dan perbaikan kinerja lingkungan berjalan secara simultan, maka: kerentanan lahan menurun, dikelola oleh semua yang berkepentingan, pasar produk hampir ke semua negara termasuk andalan ekspor seperti Zaman Belanda, pendidikan formal masyarakat hingga Pascasarjana, kontribusi pabrik terhadap masyarakat
aktif,
hubungan
kekeluargaan
sangat
harmonis,
revitalisasi
mesin/peralatan PG berjalan konsisten dan berkelanjutan, SDM dikirim keberbagai negara untuk pemasaran dan perbaikan-perbaikan performance PG, kerjasama dengan masyarakat meningkat, dibuat model kebijakan kholistik, Pemda berpartisipasi aktif. Proses akhir yang diharapkan adalah perbaikan kinerja industri semakin baik seiring dengan kinerja lingkungan, dengan pertumbuhan keduanya yang relatif stabil, sehingga akan menghasilkan pembangunan yang ideal yang kita kenal sebagai pembangunan yang berkelanjutan. 6.
Dari sisi hukum dan kelembagaan yang saat ini masih lemah antara lain PG mempunyai pembina beberapa instansi yang keoptimalannya perlu ditingkatkan.
148 Legalitas tentang industri harus dipenuhi misalnya izin industri dsb. Pemanfaatan dibina oleh berbagai sektor/instansi harus digunakan untuk peningkatan efisiensi, peningkatan kinerja industri baik off farm maupun on farm, kepastian usaha, keberlanjutan
(sustainability),
kelangsungan
partisipasi
masyarakat
dan
perlindungan konsumen. Dan yang tak kalah pentingnya adalah menciptakan agar penanganan (pengelolaan) industri gula dilakukan secara lintas sektoral. 7.
Limbah industri, saat ini tidak dikelola dalam rangka deversifikasi produk guna optimalisasi income. Sudah waktunya untuk pembuatan berbagai produk sampingan menjadi komoditi pokok guna peningkatan ketahanan industri yang lebih tinggi. Pemanfaatannya tersebut harus indor facility, artinya fisik maupun manajemen harus dibawah kendali pabrik gula.
5.6 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Pabrik Gula Berwawasan Lingkungan Dalam melakukan pengelolaan pabrik gula berwawasan lingkungan, untuk pengelolaan optimal hendaknya diarahkan pada Perbaikan kinerja industri semakin baik seiring dengan kinerja lingkungan, dengan pertumbuhan keduanya yang relatif stabil, sehingga akan menghasilkan pembangunan yang ideal yang kita kenal sebagai pembangunan yang berkelanjutan. Dalam melakukan hal tersebut, maka hal yang perlu diperhatikan di sini adalah sebagai berikut: 1.
Kerentanan lahan Lahan merupakan sumberdaya alam yang harus diperhatikan, terutama jika lahan tersebut dimanfaatkan untuk bercocok tanam, seperti halnya untuk menanam tebu. Dalam hal ini lahan harus selalu dijaga agar tidak rentan. Untuk itu maka hal yang perlu dilakukan antara lain adalah tidak menggunakan pupuk anorganik, tidak menggunakan obat-obatan bahan kimia, dan mengolah dengan cara yang baik dan benar.
2.
Pengelolaan pada masa tanam Pada saat kita melakukan penanaman tebu ataupun penanaman jenis tumbuhan apapun, maka hal yang perlu kita perhatikan adalah pengelolaan pada maa tanam. Hal ini karena akan sangat berpengaruh pada hasil yang akan didapatkan nantinya. Dalam hal ini jika pengelolaan mulai dari perencanaannya, proses penanaman,
149 proses pembesaran dan selalu melakukan evaluasi dan monitoring, maka akan didapat hasil yang maksimal atau dengan kata lain produksinya akan tinggi 3.
Meningkatkan pasar produk industri gula Setelah melakukan proses pembuatan gula dan dihasilkan gula sebagai hasil akhir, maka selain melihat kualitas gula yang dihasilkan, hal yang tidak kalah pentingnya adalah pemasaran.
Dalam hal ini dalam rangka meningkatkan keuntungan,
idealnya harus dicarikan pasar gula tersebut, baik di dalam negeri maupun di luar negeri 4.
Meningkatkan pendidikan formal masyarakat Masyarakat sekitar pabrik gula dapat dikatakan cukup banyak yang terlibat atau yang berpartisipasi pada kegiatan yang dilakukan pabrik gula. Namun sayangnya pendidikan mereka rata-rata rendah, sehingga lapangan kerja yang tersedia juga relatif tidak membuat mereka bisa berbangga bekerja di pabrik gula, untuk itu maka dalam rangka meningkatkan daya jual masyarakat sekitar ataupun kepedulian mereka terhadap kelestarian lingkungan, maka pendidikan formal masyarakat hendaknya ditingkatkan.
5.
Meningkatkan kontribusi pabrik terhadap masyarakat Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir semua pabrik besar yang ada di Indonesia sudah dengan kesadaran sendiri melakukan CSR, hal yang sama juga dilakukan oleh pabrik gula Jati Tujuh. Namun sayangnya hanya sebagaian kecil dari masyarakat sekitar pabrik yang merasakan dan mengetahui adanya CSR yang dilakukan perusahaan. Oleh karena itu dalam rangka pemerataan maka hal yang perlu dilakukan adalah melakukan sosial budayaisasi terhadap masyarakat sekitar bahwa pabrik gula melaksanakan CSR, karena dengan diketahuinya programprogram CSR oleh masyarakat luas, maka pemberian CSR akan lebih merata. Namun demikian pabrik juga perlu meningkatkan kontribusi lainnya terhadap masyarakat misalnya dengan membantu melakukan pemberdayaan ataupun kegiatan lainnya.
6.
Meningkatkan hubungan kekeluargaan antar warga masyarakat Dimanapun, jika hubungan kekeluargaan antar warga masyarakat baik, maka halhal yang berat akan terasa ringan karena masyarakat akan bahu membahu melakukan berbagai kegiatan secara gotong royong, akan mencegah terjadinya konflik, relatif aman, dsb. Oleh karena itu maka pabrik gula harus berupaya untuk
150 membantu masyarakat sekitar untuk meningkatkan hubungan kekeluargaan antar warga masyarakat. 7.
Melakukan revitalisasi mesin-mesin industri Pabrik gula yang ada di Indonesia, pada umumnya adalah pabrik gula yang berdiri sejak Zaman Penjajahan Belanda. Oleh karenanya maka berbagai sarana dan prasarana yang ada di pabrik gula tersebut relatif masih menggunakan sarana dan prasarana Jaman Penjajahan Belanda, termasuk di dalamnya penggunaan mesinmesin industripun masih peninggalan Jaman Belanda. Pada prinsipnya hingga saat ini belum ada keluhan dengan semua peralatan, termasuk mesin-mesinnya, namun demikian mengingat mesin tersebut sudah sangat tua, maka untuk meningkatkan kinerja dan produktivitasnya, maka sudah selayaknya untuk segera dilakukan revitalisasi mesin-mesin industri.
8.
Meningkatkan produktivitas SDM Dalam suatu kegiatan, SDM selalu diperlukan untuk berbagai tujuan. Bahkan dapat dikatakan baik buruknya dan maju mundurnya suatu kegiatan industri juga akan sangat tergantung pada ide-ide brilian dari SDM yang ada di dalamnya. Oleh karena itu maka untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produk serta untuk mencapai berbagai kondisi yang ideal, maka SDM yang ada di pabrik gula perlu ditingkatkan produktivitasnya.
9.
Meningkatkan kerjasama dengan masyarakat Seperti telah dijelaskan di tas, antara masyarakat dan pabrik akan saling ada keterkaitan satu sama lain. Dalam hal ini pabrik membutuhkan SDM yang diambil dari masyarakat setempat, misalnya sebagai buruh pabrik dan sebagai petani penanam tebu, dan masyarakat membutuhkan tempat untuk mendapatkan rezeki yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu maka keduanya harus selalu berupaya untuk selalu menjaga keharmonisan dan selalu meningkatkan kerjasama diantara keduanya, serta harus selalu meningkatkan “rasa” bahwa kedua belah pihak harus merasa saling diuntungkan (simbiosa mutualisma), sehingga
pembangunan berkelanjutan akan dapat dicapai
(Sumarwoto, 2004). 10. Membuat kebijakan pendorong industri gula Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam melakukan pengelolaan pabrik gula yang berwawasan lingkungan adalah adanya kebijakan yang bersifat holistik,
151 dengan mengadopsi pendapat dan keinginan semua pihak, sehingga dapat menguntungkan semua pihak yang pada akhirnya akan menjadi pendorong bagi industri gula untuk selalu memperbaiki berbagai hal sehingga menjadi pabrik gula yang handal, dengan keuntungan yang tinggi, CSR yang sangat baik sehingga dapat memberikan rasa keadilan dan kemakmuran pada masyarakat sekitar dengan tetap selalu menjaga dan memperhatikan kelestarian lingkungan. 11. Meningkatkan keterlibatan Pemda (seluruh dinas terkait) Selama penelitian terdapat “kesenjangan” antara pabrik gula dengan pemda, dalam hal ini Pabrik Gula Jati Tujuh terdapat di Kabupaten Majalengka, namun, pada kenyataannya pabrik gula malah bekerjasama dengan kabupaten lain, oleh karenanya, maka ada rasa ketidak enakan dari pemda setempat. Kondisi ini pada suatu saat akan dapat menjadi gunung es yang siap meletus, yang pada akhirnya tidak mengenakan semua pihak. Oleh karena itu maka keterlibatan pemda setempat harus ditingkatkan, serta keterlibatan dinas terkait, sehingga pengelolaan industri gula dilakukan secara terpadu (lintas sektoral).
5.7
Pembahasan Umum Pada dasarnya industri gula dapat dikatakan merupakan industri yang relatif
ramah lingkungan, karena relatif tidak terlalu banyak mengeluarkan limbah. Dalam hal ini limbah yang dihasilkan dari pabrik gula dimanfaatkan kembali menjadi bahan baku untuk industri lain seperti industri penyedap masakan (petsin). Oleh karena itu, tanpa ada perintah dari yang berkepentingan pun industri gula sudah melakukan produksi bersih. Padahal menurut Dana Mitra Lingkungan (2005) produksi bersih merupakan strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang dapat diterapkan oleh perusahaan karena menggunakan pendekatan win-win antara bisnis dan lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa teknologi yang menggunakan pendekatan produksi bersih ini akan menurunkan biaya produksi, meningkatkan efisiensi dan produktivitas serta memperbaiki citra (image) lingkungan dan hubungan dengan stakeholders lainnya.
Dengan demikian tujuan perusahaan yaitu laba (profit),
pertumbuhan (growth) dan keberlanjutan usaha (sustainable business) akan tercapai. Kondisi ini terlihat dengan jelas pada industri gula yang memperlihatkan adanya keuntungan dari melakukan produksi bersih. Dalam hal ini limbah pabrik gula ini dapat bernilai ekonomis karena dijadikan bahan baku untuk industri lain.
152 Dilakukannya produksi bersih di industri gula semakin dimungkinkan, mengingat hasil beberapa penelitian memperlihatkan bahwa pada limbah industri gula mengandung hemisululosa 24% dan selulosa 38%, sehingga memungkinkan untuk dibuat bioetanol (Prior dan Day, 2007).
Hal ini juga sesuai dengan pendapat De
Andrade dan Rivera (2009) yang mengatakan bahwa limbah pabrik gula dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembuatan bioetanol. Selain itu ada indikasi dari dalamnya dapat disintesa enzim sucrose-phosphate syntetase yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan (Grof et al, 2007).
Bahkan menurut Lunelli et al., (2007)
juga dari fermentasinya akan didapat acrylic acid. Selain hal tersebut, industri gula juga mempunyai kelebihan lainnya dibanding industri lain, yakni bahan baku industri ini adalah tebu, padahal untuk mendapatkan tebu tersebut, harus ada lahan yang dapat digunakan untuk menanam. Oleh karena itu maka industri gula akan menyediakan lahan untuk bertanam tebu, baik lahan tersebut milik industri atau milik masyarakat yang sengaja menanam tebu. Kondisi ini sangat menguntungkan untuk lingkungan, mengingat tanaman tebu yang melakukan fotosintesis pada siang hari akan menyerap karbon dioksida yang dengan bantuan sinar matahari akan diubah menjadi karbohidrat. Hal tersebut akan mengurangi beredarnya karbondioksida yang merupakan salah satu jenis gas rumah kaca diatmosfir yang di alam akan bertingkah laku sebagai rumah kaca yang akan menyebabkan terjadinya pemanasan global, dan pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global (Murdiarso, 2003). Hal ini sesuai dengan pendapat Syahrial dan Bioletty (2007) yang mengatakan bahwa karbon dioksida yang berlebihan di atmosfir merupakan gas yang mempunyai efek rumah kaca dan akan mempercepat terjadinya kenaikan panas serta Aldrian dalam Djamil (2008) yang mengatakan bahwa kelebihan karbon dioksida akan
mempercepat
terjadinya
pemanasan
global
yang pada
akhirnya
akan
mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global serta merubah hari hujan, frekuensi hujan dan besarnya curah hujan. Selain hal tersebut, adanya tanaman tebu yang harus ditanam pada hamparan lahan yang cukup luas juga menjadi keuntungan tersendiri. Mengingat lahan yang digunakan menanam tebu, sekaligus menjadi lahan terbuka hijau yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air.
Dengan adanya lahan tersebut maka akan memberikan
kesempatan pada air hujan untuk masuk ke dalam tanah dan akhirnya akan menjadi
153 simpanan air yang akan berguna sebagai cadangan air pada musim kemarau (Sitorus, 2002). Namun demikian ada kecenderungan tanahnya menjadi rentan, sehingga harus dilakukan perbaikan-perbaikan misalnya dengan menggunakan pupuk organik. Selain dari hal tersebut di atas, industri gula juga menghasilkan limbah cair yang mengandung beberapa bahan kimia dan fisika seperti oksigen terlarut (DO), BOD, COD, TSS, pH, kekeruhan dan suhu yang berada di bawah baku mutu yang ditentukan oleh pemerintah, yakni Keputusan Mentri LH No 115 tahun 2003. Dengan demikian maka limbah cair yang dihasilkan industri gula aman untuk dimasukan ke dalam ekosistem perairan. Kondisi yang sama juga terjadi pada kondisi udara dan kebisingan di sekitar industri gula. Dalam hal ini baik dilihat dari kondisi fisik maupun kondisi kimia seperti CO2, kebisingan, dan berbagai parameter bahan pencemar lainnya menunjukkan nilai yang berada di bawah ambang batas yang ditentukan, sehingga relatif aman untuk kelestarian lingkungan.
Namun demikian ternyata 80% dari
masyarakat yang diwawancara mengatakan bahwa mereka menerima dampak (gangguan) dari pabrik. Adanya produksi bersih yang dilakukan oleh industri gula di Indonesia, adanya lahan terbuka hijau yang dimanfaatkan untuk keperluan menanam tebu dan kualitas limbah cair yang berada di bawah baku mutu yang ditentukan serta kualitas udara dan kebisingan yang juga berada di bawah ambang batas, merupakan keuntungan tersendiri untuk dimensi ekologi. Dan melihat hal tersebut di atas, serta bukti nyata dari analisis keberlanjutan yang memperlihatkan bahwa dimensi ekologi cukup berlanjut, memperlihatkan bahwa industri gula merupakan industri yang ramah lingkungan, serta mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan menjadi industri yang berwawasan lingkungan yang akan mendukung terlaksananya proses pembangunan berkelanjutan. Pada penelitian ini juga terlihat bahwa selain industri gula merupakan industri strategis, namun juga memperlihatkan adanya bukti lain yang akan mendukung bahwa industri gula akan dapat menjadi industri yang mendukung pembangunan berkelanjutan, yakni secara ekonomi juga akan menguntungkan baik untuk masyarakat sekitar maupun untuk pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Hal ini juga tercermin dari hasil
wawancara dengan masyarakat sekitar, yang mengatakan bahwa 76% dari mereka merasa bahwa pendapatan yang diperoleh mencukupi biaya hidup yang mereka butuhkan. Dan dari masyarakat yang diwawancara, 96% diantaranya merasa bahwa
154 mereka mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi di industri gula. Oleh karena itu maka wajar jika dimensi ekonomi masuk pada kategori cukup berkelanjutan Hal yang sama juga terjadi pada aspek sosial budaya, dalam hal ini menurut para stakeholder dan masyarakat sekitar Pabrik Gula Jati Tujuh yang diwawancara (100%) menyatakan bahwa mulai dari berdirinya pabrik gula tersebut hingga saat ini belum pernah menimbulkan konflik dan keresahan pada masyarakat sekitar. Bahkan berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat sekitar, yang umumnya merupakan masyarakat asli memperlihatkan bahwa 88% dari masyarakat yang diwawancara menyatakan bahwa mereka mempunyai keterkaitan dengan pabrik gula, terutama dalam hal mencari penghidupan. Dengan demikian maka dimensi sosial budaya diduga juga akan mendukung terjadinya pembangunan yang berkelanjutan.
Namun sayangnya
program CSR (community social responsibility) mengindikasikan belum terlalu baik, terlihat dari wawancara dengan masyarakat sekitar, ternyata hanya 34% dari mereka yang mengatakan bahwa pabrik gula memberikan bantuan sosial budaya. Oleh karena itu maka program CSR dari pabrik gula harus ditingkatkan dan harus diperhatikan dalam pemerataannya. Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada dimensi teknik. Dalam hal ini walaupun teknologi yang ada di industri gula merupakan teknologi yang relatif usang, karena sejak Zaman Penjajahan Belanda hingga saat ini dapat dikatakan minim sekali dengan pembaharuan, ternyata juga tidak menimbulkan masalah yang berarti bahkan masuk pada kategori yang sangat berkelanjutan.
Hanya dimensi hukum dan
kelembagaan yang kurang berlanjut. Berdasarkan hal tersebut, ada indikasi bahwa industri gula di lokasi penelitian pada khususnya dan di 49 lokasi lain yang ada di seluruh Indonesia pada umumnya, merupakan industri yang relatif cukup ramah lingkungan, sehingga akan mendukung terlaksananya pembangunan berkelanjutan. Tidak seperti pada kawasan industri lainnya yang walaupun sudah memiliki sertifikat ISO 14001, sangat sulit untuk menghilangkan limbah, karena industri yang ada di Indonesia pada umumnya mendapatkan berbagai kesulitan (terutama masalah dana) untuk menerapkan konsep produksi bersih; industri gula telah melakukan proses produksi bersih seperti yang diinginkan oleh masyarakat dunia yang tertuang pada Agenda 21 yang menganjurkan dilaksanakannya teknologi bersih, sehingga dapat
155 mengurangi jumlah limbah, bahkan menjadikan limbah tersebut bernilai ekonomis (Memahami KTT Bumi, 1992). Walaupun berdasarkan kebijakan yang ada, pabrik gula tidak termasuk industri yang mencemari lingkungan (air dan udara), namun masyarakat mengeluhkan dampak buruk yang berasal dari pabrik gula.
Berdasarkan hal tersebut, maka pabrik gula
idealnya harus memiliki IPAL (instalasi pengolah air limbah), sehingga limbah cair yang dikeluarkan sudah diolah terlebih dahulu dan aman untuk ekosistem perairan yang menerimanya. Selain hal tersebut, untuk pencemaran udara dan kebisingan, hendaknya pabrik gula melengkapi pabriknya dengan filter yang lebih baik lagi. Sedangkan untuk mengurangi kebisingan hendaknya pabrik dilengkapi dengan peredam suara yang baru dan mempunyai kapasitas penyerapan suara yang lebih tinggi.
Dalam pengolahan
limbah dan buangan ini, dalam rangka menndapatkan hasil yang baik, maka selain diperlukan IPAL, juga dibutuhkan keterampilan tenaga-tenaga pelaksana, bahkan sudah selayaknya jika tenaga pelaksana ini disertifikasi. Berdasarkan hal tersebut maka selain melaksanakan pengendalian dan pengelolaan limbah, hal lain yang harus diperhatikan adalah ,mencari tenaga yang handal dibidang pengelolaan limbah. Jika hal tersebut dilakukan dengan baik, maka keberadaan industri gula tidak akan mengakibatkan terjadinya pencemaran, sehingga terjadinya degradasi lingkungan di lokasi tersebut, akan dapat dicegah. Secara umum dapat dikatakan bahwa kesadaran masyarakat industri dalam melakukan pengelolaan terhadap lingkungan juga masih rendah. lingkungan
seringkali
dianggap
sebagai
meningkatkan keuntungan perusahaan.
penghalang
oleh
Bahkan program perusahaan
untuk
Hal ini terjadi karena pengetahuan dan
kesadaran para pelaku industri yang umumnya relatif minim.
Namun demikian,
berdasarkan hasil pengamatan di lapang, hal yang juga tidak kalah pentingnya penyebab hal tersebut di atas adalah akibat sudah terlalu banyaknya pungutan-pungutan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap perusahaan, sehingga keuntungan perusahaan yang tersisa relatif sedikit, dan dianggap tidak cukup lagi untuk melakukan pembiayaan terhadap program lingkungan yang dituntun pada Agenda 21. Hal yang harus sangat diperhatikan dalam mencapai keberlanjutan industri gula seperti yang diinginkan oleh dunia sehingga dapat mencapai pembangunan berkelanjutan adalah dimensi hukum dan kelembagaan. Untuk itu hal yang tidak kalah
156 pentingnya untuk diperhatikan dalam rangka meningkatkan nilai keberlanjutan hukum dan kelembagaan antara lain adalah menciptakan kebijakan-kebijakan yang sifatnya membumi dan menguntungkan semua pihak, sehingga relatif mudah untuk diimplementasikan.
Selain itu juga harus dilakukan berbagai upaya untuk
meningkatkan ketaatan terhadap hukum dan kebijakan yang berlaku termasuk di dalamnya taat terhadap penempatan perusahaan terebut sesuai dengan rencana penataan (tataruang) yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat (Salim, 1993). Selain limbah cair dan pencemaran udara, hal yang juga tidak kalah pentingnya dan harus benar-benar mendapat perhatian serius di pabrik gula adalah sampah yang dihasilkan dari kegiatan domestik, yang pada saat dilakukan penelitian ini relatif masih berserakan di berbagai tempat.
Dari pengamatan di lapang terlihat bahwa kertas
pembungkus dan kantong plastik, setelah dipergunakan biasanya langsung dibuang ke tempat sampah, sehingga masa pakainya seringkali hanya beberapa jam, dan selanjutnya akan langsung menjadi limbah. Padahal sampah seperti tersebut di atas pada umumnya dapat di gunakan kembali atau didaur ulang, sehingga akan mendatangkan nilai manfaat baik secara ekonomi maupun secara ekologi. Dan untuk sampah yang mudah urai, yang diberi sebutan dengan sampah organik, sampah-sampah tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kompos, sehingga sampah yang mudah uraipun akan bernilai ekonomis Pada dasarnya pengelolaan limbah merupakan masalah yang sangat kompleks; oleh karena itu maka dalam menyelesaikan permasalahan limbah
tidak dapat
diselesaikan oleh satu pihak yakni perusahaan semata, namun harus diselesaikan secara holistik. Hal yang sama juga terjadi pada limbah dan sampah yang dihasilkan dari kegiatan industri atau dari kegiatan domestik di pabrik gula tersebut.
Mengingat
sampah dan limbah merupakan masalah yang cukup pelik, maka penanganannya akan lebih ideal jika tidak dikerjakan oleh satu individu atau satu bagian saja seperti bagian yang menangani masalah lingkungan, namun harus melibatkan berbagai bagian yang ada di pabrik gula tersebut serta dari seluruh pimpinan pabrik gula untuk saling bahu membahu dalam mensukseskan pengelolaan limbah dan sampah dari pabrik gula. Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan, terlihat bahwa dimensi hukum dan kelembagaan merupakan dimensi yang paling tidak berlanjut.
Kondisi ini cukup
mengkhawatirkan, hal ini sesuai dengan pendapat para stakeholder yang mengatakan
157 bahwa penegakkan hukum tidak hanya di kawasan pabrik gula, namun hampir di semua aspek masih menjadi masalah.
Menurut pendapat para stakeholder tentang
kelembagaan pun juga mengalami hal yang sama dengan aspek hukum. Oleh karena itu maka dalam rangka meningkatkan nilai keberlanjutan hukum dan kelembagaan maka pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersama-sama para stakeholder harus duduk bersama untuk membicarakan dimensi hukum dan kelembagaan. Salah satu kegiatan yang diharapkan akan muncul, antara lain membuat peraturan perundang-undangan yang bersifat operasional yang sifatnya membumi, dan harus menegakan aturan tersebut tanpa pandang bulu, namun berlaku untuk siapapun, dimanapun dan kapanpun, sehingga
dapat
bersama-sama
menyelamatkan
lingkungan
dan
melakukan
pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan analisa levarage didapatkan hasil berupa adanya sebelas atribut yang sensitive yang sangat perlu diperhatikan, untuk
meningkatkan keberlanjutan
dalam pengelolaan pabrik gula yang sudah cukup berlanjut menjadi sangat berlanut, maka harus dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kerentanan lahan, melakukan pengelolaan pada masa tanam, memperluas pasar produk, meningkatkan pendidikan formal masyarakat sekitar, meningkatkan kembali kontribusi pabrik terhadap masyarakat sekitar, semakin meningkatkan hubungan kekeluargaan antar warga masyarakat, melakukan revitalisasi mesin-mesin industri, meningkatkan produktivitas SDM, meningkatkan kerjasama dengan masyarakat, membuat kebijakan pendorong industri gula, dan melibatkan pemda setempat pada pengelolaan di pabrik gula. Namun khusus untuk semakin mengembangkan pabrik gula tersebut di masa yang akan datang sehingga tidak kalah bersaing pada era globalisasi adalah harus melakukan revitalisasi terhadap mesin-mesin industri gula. Karena walaupun mesinmesin industri gula masih ada dalam kategori sangat berlanjut, namun jika sudah terjadi globalisasi maka bukan tidak mungkin mesin-mesin yang ada dapat menjadi mesin dengan kategori sudah kadaluarsa, sehingga produk gula yang dihasilkan lebih rendah kualitas dan kuantitasnya dibanding negara lain. Kondisi ini dapat membuat Indonesia kalah bersaing dengan negara lain, bahkan kalah bersaing di negeri sendiri. Secara umum dapat dikatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah melakukan berbagai upaya penyelamatan lingkungan sebagai dari dilakukannya kegiatan industri. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah membuat
158 kebijakan-kebijakan dan membuat program-program pengelolaan limbah industri, penanaman pohon, membuat biopori, dsb. Namun demikian kebijakan dan program yang dibuat seringkali tidak berhasil menanggulangi berbagai permasalahan dan degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan industri.
Dan ironisnya
permasalahan dan degradasi lingkungan yang terjadi tersebut seringkali merupakan kesalahan bersama, baik dari pihak industri maupun pihak aparat berwajib yang samasama tidak mempunyai kesadaran dalam melakukan kewajibannya masing-masing. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kedua belah pihak ditambah dengan masyarakat sekitar harus betul-betul melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan industri, pembuangan limbah industri (padat dan cair) dan limbah domestik yang dihasilkan dari kegiatan industri tersebut serta pelaksanaan program lingkungan lainnya. Selain hal tersebut hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengawasan secara reguler serta selalu menjaga kejujuran dan kedisiplinan dari aparat yang berwajib dalam menindak pelanggaran serta selalu memberikan sanksi yang tegas bagi pelanggar hukum.
Namun hal lain yang tidak kalah penting dan perlu dilakukan adalah
memberikan penghormatan (penghargaan) pada perusahaan yang telah melaksanakan program-program lingkungan dengan baik dan benar serta selalu mentaati peraturan yang telah disepakati bersama. Dalam melaksanakan pengelolaan industri gula ini diperlukan adanya partisipasi, mengingat ada tiga keuntungan yang akan diperoleh jika menggunakan proses partisipatif dalam pembangunan dan desain suatu kegiatan yakni: l) hasilnya akan lebih bersifat alamiah dan tidak merupakan rekayasa, 2) masyarakat yang merupakan target merasa lebih memiliki dan memberikan kontribusi secara signifikan guna kesuksesan kegiatan, dan 3) pemantauan kegiatan lebih mudah dilaksanakan dan lebih transparan (Bock, 2001). Selain hal tersebut adanya partisipasi juga sekaligus merupakan konsep kunci dalam rangka membuka transparansi dan akuntabilitas pada proses pembuatan keputusan dan kebijakan. sekaligus untuk mempromosikan efektifitas penggunaan sumberdaya lokal dan menjadi aspek penting untuk mencapat kebijakan yang tepat. Pembangunan industri gula yang bersifat partisipatif sangat perlu untuk diimplementasikan mengingat pembangunan pabrik gula partisipatif yang berkelanjutan akan menjadi proses lokal, yang terinformasi dengan baik dan partisipatif, yang terlihat dari adanya kerjasama stakeholder dalam mencapai keseimbangan antara keberlanjutan pembangunan ekonomi, ekologi dan sosial (Charter, 2001).
Namun demikian dalam
159 implementasinya seringkali penerapannya dibatasi oleh beberapa faktor pembatas, seperti sumberdaya lokal yang kurang, pemerintahan yang lemah serta kapasitas pemerintahan local yang kurang handal (Stohr, 2001). Pengelolaan industri gula dengan perencanaan partisipatif juga akan dapat menciptakan kesempatan kepada para stakeholder yang memiliki kepentingan langsung pada suatu wilayah perencanaan untuk memberikan kontribusi informasi kepada perencana. Selain itu perencanaan partisipatif yang menekankan kekuatan pada stakeholder untuk memperhatikan proses perencanaan dan membuat keputusan kebijakan penting. Implementasi
perencanaan partisipatif ini hendaknya dimulai dengan pembentukan
sekelompok stakeholder telah dibentuk melalui dialog yang teratur, pertemuan-pertemuan dimana anggota dapat saling berbagi pengalaman, diskusi, mengajukan keberatan dan lain sebagainya. Perencanaan partisipatif dapat melibatkan setiap level dari stakeholder yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung (Takeda, 2001). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan pembangunan akan lebih baik, jika sejak awal sudah mengikutsertakan masyarakat sebagai pihak yang menikmati hasil pembangunan tersebut dalam setiap jenis kegiatan pembangunan. Karena hasilnya akan dapat terjadi sesuai dengan aspirasi, kebutuhan nyata, kondisi sosial budaya dan kemampuan ekonomi masyarakatnya. Partisipasi dalam pengelolaan industri gula juga dapat berbentuk berbagai jenis. Pada tingkat partisipasi paling bawah dapat berupa konsultasi pasif dan tingkat partisipasi yang
paling
aktif
adalah
seluruh
masyarakat
dan
stakeholder
membagi
kekuasaan/kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya alam (Brown et al., 2001). Partisipasi masyarakat secara nyata dan langsung dianggap dapat mengkoreksi kekurangankekurangan pelaksanaan pembangunan yang bertumpu pada pemerintah maupun mekanisme pasar. Sebagai bagian instrument pembangunan, fungsi dan proses partisipasi diharapkan dapat mengungkapkan kebutuhan masyarakat secara nyata, serta mobilisasi sumberdaya lokal (Midley et al., 1986). Seperti halnya pada pembangunan yang bersifat partisipatif, maka kunci sukses dari pembangunan partisipatif ada tiga hal yakni kuatnya dukungan institusi yang terkait yang mampu mengikat stakeholders secara efektif, mampu membangun stakeholder secara efektif, dan mampu membangun kelembagaan yang tepat (NRTEE, 1998). Berdasarkan hal tersebut maka dalam proses penyusunan rencana pembangunan, perencanaan dan pengelolaan pabrik gula, maka hal yang sangat penting untuk dilakukan adalah melakukan
160 identifikasi terlebih dahulu, selanjutnya mencoba untuk menemukan pertanyaan-pertanyaan yang akan didefinisikan, dan hal yang tidak kalah pentingnya untuk dilakukan adalah bersifat partisipatif, mengingat partisipasi stakeholder akan dapat meningkatkan distribusi manfaat dari keberadaan industri gula tersebut.
5.8 Implikasi Kebijakan Berdasarkan usulan model RSSC-PC yang dibuat pada penelitian ini, maka diperlukan adanya suatu langkah konkrit berupa implikasi kebijakan, antara lain: 1.
Mengingat aspek hukum dan kelmbagaan merupakan aspek yang paling tidak berlanjut, maka hal yang harus segera dilakukan adalah membentuk payung hukum dan kelembagaan yang kuat, beserta aturan pelaksanaan yang jelas dan terinci, yang dibuat dalam bentuk SOP.
2.
Pemerintah hendaknya memberi modal terlebih dahulu atau dengan katalain melakukan penalangan dana baik untuk kegiatan on farm maupun kegiatan off farm dalam rangka melakukan peningkatan teknologi maupun pengembangan lahan produksi yang jelas dan terukur.
3.
Setiap gerak langkah kegiatan yang dilakukan oleh industri gula hendaknya dapat terukur berdasarkan audit lingkungan melalui sertifikasi lembaga yang diakui secara internasional (TUV, ISO, ecolabelling)
4.
Pemberdayaan SDM masyarakat sekitar pabrik gula melalui kegiatan CSR, pendidikan formal, dan pengakuan keahlian; merupakan modal utama agar dapat menyempurnakan sistem yang telah ada. Untuk itu harus di sosialisasikan agar menjadi budaya masyarakat.
5.
Membuat kegiatan-kegiatan yang tercatat dan dapat ditelusur oleh siapapun, sehingga komitmen terhadap transparansi dapat terjaga. Selain itu adanya komitmen ini akan berdampak positif pada semua pelaku kegiatan dalam hal tanggung jawab berikut target yang akan dicapainya dengan jelas, pada satu satuan waktu yang terukur.
Nilai yang sudah terukur tersebut selanjutnya diberi
pembobotan sehingga satu sama lain saling mengetahui dan saling mendukung. 6.
Pembuatan aturan induk dan detilnya yang bersumber kepada target (goal) yang ingin dicapai berikut sanksi yang ketat sehingga menjadi pedoman
hukum &
peraturan yang berlaku. Hal ini diprlukan, karena akan dapat menjaga konsistensi semua kebijakan sehingga dapat dipatuhi oleh semua pihak.
161 7.
Perhitungan-perhitungan akuntansi dijadikan acuan oleh semua pihak, sehingga menjadi norma kerja yang tinggi terhadap aspek kesadaran (tidak dipaksakan) dengan tujuan komitmen terhadap kelayakan ekonomi dan keuangan dalam jangka panjang, sehingga dapat menjalaninya dengan penuh tanggung jawab.
8.
Kegiatan industri dari hulu (penyiapan bahan baku) sampai hilir dengan berpedoman kepada produksi bersih seperti penggunaan praktek terbaik (good manufacturing practices dan good agariculture practices) dan tepat oleh perkebunan dan pabrik serta didukung partisipasi penuh masyarakat.
9.
Mendorong langkah-langkah ke arah sertifikasi setiap kegiatan, sehingga tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keaneka ragaman hayati (Amdal, UKL, UPL: flora, fauna, konflik; - culture, kebijakan, tanaman lain) dapat dilestarikan.
Audit lingkungan dapat pula dilakukan melalui kegiatan Amdal,
UKL, UPL dan sejenisnya. Mengingat kegiatan-kegiatan tersebut dapat dijadikan barometer kemampuan untuk terus menopang daya dukung sumberdaya yang ada. Flora dan fauna dijadikan kekayaan alamiah yang terus menjadi pelengkap diantara perkebunan dan di pabrik. Penjagaan terhadap keharmonisan hidup ditegakkan, sehingga tidak terjadi konflik diantara sesama, baik manusia, alam dan seisinya. Budaya kerja, budaya seni dan budaya kehidupan masing-masing individu, saling menghormati dan saling mendukung sehingga terjadi keakraban dalam khasanah kekinian. Kebijakan-kebijakan yang terus diwarnai oleh sifat pembaruan dalam kerangka pencapaian target-target yang telah dibuat, dipelihara dengan konsisten seperti pemeliharaan mesin-mesin produksi (on farm & off farm) dan pembudidayaan tanaman lain yang diperlukan untuk mengisi siklus tanam, sehingga pada akhirnya akan dapat menjaga kemampuan produktifitas tanah. 10. Menjaga proporsi kebijakan yang baik, sehingga tanggung jawab kepada para pekerja, individu-individu dan komunitas-komunitas, kebun dan pabrik menjadi egaliter. Adanya kondisi ini akan sangat memungkinkan tercapainya keharmonisan, semangat dan etos kerja serta keseimbangan hidup yang hakiki. 11. Semua sektor (pertanahan, hukum, keamanan dan lain-lain) terus mendukung terhadap pencapaian kualitas dan kuantitas produksi. Bila telah optimum dari sisi lahan dan tingkat produktifitas pabrik, maka secara bersama-sama akan dapat mengembangkan perkebunan baru secara bertanggung jawab.
162 12. Setiap elemen mempunyai keterbatasan baik yang sifatnya fisik maupun non fisik, sehingga hal-hal yang tidak melampaui daya dukung lingkungan harus diperhitungkan dengan cermat. Untuk itu perlu suatu komitmen terhadap perbaikan terus-menerus pada wilayah-wilayah utama aktifitas, seperti perkebunan, irigasi, sosial budaya dan teknologi. 13. Tuhan menciptakan kemampuan manusia memang tidak sama, sehingga ada yang kuat dan ada yang lemah. Guna menutupi kesenjangan yang terlalu jauh, maka diperlukan suatu norma yang berkomitmen terhadap pelaksanaan pemberdayaan masyarakat melalui program CSR.
DAFTAR PUSTAKA
ABARE, 1998. Research Report 99.14, “Sugar, International Policies Affecting Market Expansion.” pp. 52-69. Buzzanell, Peter, and John C. Ronney, “The Brazilian Sugar and Ethanol Industry: Performance and Prospects.” Sugar and Sweetener Situation and Outlook Report, Economic Research Service, July 1988. Brazil Attache Sugar Reports. Diunduh: 14 Juni 2010 Adisasmito, K. 1998. Sistem Kelembagaan sebagai Salah Satu Sumber Pokok Permasalahan Program TRI: Suatu Tinjauan. Retrospeksi. Bulletin Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, (148):59-85. Adisasmita, R. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Cetakan Pertama. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta. Aldrian, E., Y.S. Djamil. 2008. Spatio temporal Clamate Change of Rain Fall of East Java Indonesia. Int. J. Climatology 23: 435 - 448 Allenby, B.R. 1999. Industrial Ecology. Policy Framework and Implementation. Prentice-Hall Inc. New Jersey. USA. Amirudin, Ir. 2010. Revitalisasi Industri Gula Dalam Rangka Mendukung Dwasembada Gula. Arifin, B. 2000. Kebijakan Produksi dan Perdagangan Gula Nasional: Suatu Telaah Ekonomi Politik. Makalah Disampaikan pada Diskusi Panel Kebijakan Industri Gula, Surabaya, 26 Juli 2000. Arsyad, S. 1999. Pentingnya Konservasi Tanah dan Air. Makalah Dalam Seminar Nasional Save Our Water. Bogor, 11 Desember 2004. Fakultas Pertanian Institut Peranian Bogor. Bogor Asosiasi Gula Indonesia (AGI).2006. Laporan Internal, Asosiasi Gula Indonesia, Jakarta Bock, J.G. 2001. Towards Participatory Communal Appraisal. Community Development Journal. 36(2): 146-153.
Bourgeois, R dan F. Jesus. 2004. Participatory Prospective Analisys. Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. UNESCAP-CAPSA. Bogor. Brown, K., E. Tompkins, W.N. Adger. 2001a. Trade-off Analysis for Participatory Coastal Zone Decision-Making. Overseas Development Group. University of East Anglia, Norwich U.K.
171
Bulle, S. 1999. Issue and Results of Community Participation in Urban Environment, Comparative Analysis of Nine Projects on Waste Management. UWEP Working Document 11.Waste. http://www.waste.nl Carter, J. 1996. Recent Approaches to Participatory Forest Resource Assessment. ODI. London. Cohen, J.M. and N. Uphoff. 1977. Rural Development Participation: Rural Development Committee. Cornell University
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran, Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. UI-Press. Jakarta. De Andrade, R.R. and E.C. Rivera. 2009. Study of Kinetic Parameters in a Mechanistic Model for Bioethanol Production Through a Screening Technique and Optimization. Bioprocess Biosyst Eng 32: 673-680. Dewan Gula Indonesia. 1999. Restrukturisasi Gula Indonesia April 1999. Bahan Diskusi Reformasi Gula Indonesia, Dewan Gula Indonesia, Jakarta. Dewan Gula Indonesia; 2002. Laboran Internal, Jakarta Departemen Perdagangan. 1994. Implikasi Kesepakatan GATT terhadap Sektor Pertanian Indonesia. Departemen Perdagangan, Jakarta. Devadoss, S dan J. Kropf. 1996. Impacts of Trade Liberalizations Under The Uruguay Round On The World Sugar Market. Agricultutal Economics, (15): 83-96 Djajadiningrat, S.T. 2001. Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Penerbit Studi Tekno Ekonomi, Departemen Teknik Industrifakultas teknik Industri ITB Bandung. Djakapermana R.D., 2006. Disain Kebijakan dan Strategi Dalam Pemanfaatan Ruang Wilayah Pulau Kalimantan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan Edgington, D. and A. Fernandez. 2001. The Changing Context of regional Development. in: Edgington D, Fernandez A, Hoshino C, editor. New Regions-Concepts, Issues and Practices. New Regional Development Paradigms Vol 2. Connecticut: Greenwood Press.
Elbehri, A., T. Hertel, M. Ingco, K. R. Pearson. 2000. Partial Liberalization of The World Sugar Market: A General Equilibrium Analysis Or TarifRate Quota Regimes. Third Annual Conference on Global Economics Analysis, Melbourne, Australia, 27 – 30 Juni 2003.
172
FAO. 2003. Important Commodities In Agricultural Trade. FAO Support to the WTO Negotiations, FAO, Rome. Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta. Fauzi, A., and Suzy Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Lautan untuk Analisis Kebijakan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. F.O. Licht, “Australian Sugar Industry Fears Rising Brazil Threat.” F.O. Licht’s International Sugar and Sweetener Report, pp. 213-219, Vol. 131, No. 14, Apr. 26, 1999. Diunduh: 14 Juni 2010 Grof, C.P.L., P.L. Albertson, J. Bursle, J.M. Perroux, G.D. Bonnett and J.M. Manners. 2007. Sucrose-phosphate syntetase, a Biochemical Marker of High Sucrose Accumulation of Sugarcane. Groombridge, M. A. 2001. America’s Bittersweet Sugar Policy. Trade Briefing Paper. Center for Trade Policy Study, CATO Institute, Washington DC. Gumbira-Said, E. 1998. Penerapan Manajemen Teknologi untuk Agribisnis, Majalah Usahawan No. 10 th XXV Oktober 1998, Jakarta http://www.suedzucker.de.en/product/figures/index.shtml,April 2007 Houck, J P. 1986; Elements of Agricultural Trade Policies, Mac Millan Publishing Company, New York Ibid-The European Union (EU) includes French Overseas Departments of Reunion, Guadeloupe, and Martinique. EU trade data does not include intra-EU trade. Beginning 2004/05 the PS&D reflects the EU enlargement by accession of the following ten countries. Latvia, Lithuania, Estonia, Poland, Hungary, Czech Republic, Slovakia, Slovenia, Malta, and Cyprus. As a result of this enlargement, from 15 countries to 25 countries, the ending stock figure for 2003/04 will not carry over to the beginning stock figure for 2004/05. Data prior to 2004/05 reflects the countries comprising the EU at that time. The PSD for the EU-25 ends with marketing year 2005/06. The series picks up with the EU- 27 beginning marketing year 2006/07. The EU-27 contains two new countries Bulgaria and Romania. Diunduh: 14 Juni 2010 Ibid-Includes Traditional Eastern European Countries, Hungary, Czech Republic, Slovakia, Balkans, Baltic's, Armenia, and Georgia. Beginning 2004/05 The Following Countries are Removed from This List Upon Their Accession to the EU: Latvia, Lithuania, Estonia, Poland, Hungary, Slovakia, and Slovenia. Note that Data for Poland is Zeroed out for 2004/05 because it is Included in the European Union. Diunduh: 14 Juni 2010
173
Ibid-Includes All of Continental Africa except Egypt. 14 Juni 2010 Ibid-Includes Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, and the United Arab Emirates. Diunduh: 14 Juni 2010 Ibid-Indian Data Includes Production Of Khandsari Sugar, A Native Type, SemiWhite Centrifugal Sugar. Estimated output of Khandsari Sugar In Thousand of Metric Tons (Raw Value Equivalent) Is as Follows: 2001/02 - 714; 2002/03 - 590; 2003/04 - 620; 2004/05 - 683; 2005/06 683; 2006/07 - 500; 2007/08 - 425; 2008/09 - 435; 2009/10 -404. Diunduh: 14 Juni 2010 Ibid-Includes Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, and Uzbekistan. Diunduh: 14 Juni 2010 Ibid-The 'Unrecorded' Category is a Balancing Mechanism to Equalize World Exports and Imports. It is Assumed there is a Certain Quantity of Trade that will not be Recorded, with The Result that Imports and Exports will Differ by a Certain Amount. To View Country Crop Years Click on The Following URL: http://www.fas.usda.gov/htp/sugar/tmarketingyears. pdf 5/21/2009 2:40:49 PM. Diunduh: 14 Juni 2010 IPCC, 2006. Special Report on Carbon Captures and Storages. Edited by B. Metz, O. Davidson. H. Deconnick, M. Loos, L. Meyer. Cambridge University. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 2010 Tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Kavanagh. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (RAPFISH) Project: RAPFISH Software Description (for Microsoft Excel). Fisheries Centre. University of British Columbia. Kennedy, P. L. 2001. Sugar Policy. Louisiana State University, Louisiana. Kinerja PTPN dan Pabrik Gula Swasta. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). 2009. Koentardi. 2006. PT Jawa Manis, Laporan Internal, Cilegon Kotler, P. 1997. Majemen Pemasaran. Irianto [Penerjemah]. Terjemaahan dari: Marketing Management. Erlangga. Jakarta Laporan Penyusunan Pengembangan Agribisnis gula Berbasis Tebu di Jawa Tahun 2005. 2006. Dewan Gula Indonesia dan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan.
174
Licht, F. O. 1995. The world sugar market in 1994/95’ World Sugar Statisticts, A3-A21. LMC. 2003. LMC International Documents Wide Range Of Subsidies Among World’s Major Sugar Countries. American Sugar Alliance, January 2003. LMC International, “Brazil: Outlook for Ethanol Demand and Implications for Sugar Exports.” Sweetener Analysis, 12 pp., March 2001. Diunduh: 14 Juni 2010 Lunelli, B.H. E.R. Duarte, E.C.V. de Toledo, M.R.W.Maciel and M. Filho. 2007. A New Process for Acrylic Acid Synthesis bu Fermentation Process. Applied Biochem and Biotech. 136-130: 487-500. Manahan, S.E. 2002. Environmental Chemistry. Seventh Edition. Lewis Publisher. Inc. NewYork. Mitchell, B. Setiawan B.B., Rohmi, D.H. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Muluk, K.M.R. 2007. Menggugat Pastisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah. Cetakan Pertama. Penerbit Banyumedia Publishing. Malang. Munasinghe, M. 1993. Environmetal Economic and Sustainable Development/ THE WORLD BANK. Washington D. C. 20433. U.S.A. Murdiyatmo, U. 2000. Dukungan Teknologi dalam Pembangunan Industri Gula Indonesia. Dalam Supriyono, A., Prosiding Seminar Sehari Pembangunan Perkebunan Indonesia. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, 26 Juli 2000: 43-48. Murdiyarso, D. 2003. CDM: Mekanisme pembangunan Bersih. PT Kpmpas Media Nusantara. Jakarta. Noble, J. 1997. The European Sugar Policy to 2001. World Sugar and Sweetener Yearbook 1996/1997, D13-DA21. [NRTEE] National Round Table on the Environment and the Economy. 1998, Sustainable Strategies for Oceans: A Co-management Guide. Ontario: NTREE.
Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor. 44/MIND/PER/4/2010 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 91/M-IND/PER/11/2008 Tentang Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula.
175
Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor. 31/MIND/PER/3/2010 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 91/M-IND/PER/11/2008 Tentang Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 91/MIND/PER/11/2008 Tentang Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula. Prior, B.A. and D.F.Day. 2007. Hydrolysis of Ammonia-Pretreated Sugar Cane Bagasse with Cellulase, β-Glucosidase and Hemicellulase Preparations. Appl Biochem Bioetanol (2008) 146: 151-164 Pudjianto, K. 2009. Partisipasi Masyarakat Dalam Rehabilitasi Hutan, Lahan, dan Konservasi Sumberdaya Air Di Sub Das Keduang, Daerah Hulu Das Bengawan Solo [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pursell, G. and A. Gupta. 1997. Trade Policies And Incentives In Indian Agriculture. Development Research Group, the World Bank., New Delhi. Pitcher, T.J. 1999. Rapfish : A Rapid Appraisal Technique for Fisheries and Its Application to The Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO UN. Rome. Departemen Perindustrian. 2010. Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula. Januari. Saaty, T.l. and L.G, Vargas. 1994. The Analystic Hierarchy Process Series VII, RWS Publication Ellsworth Avenue 4922, Pittsburgh, PA 15213 USA. Sanim, B. 1999; Klasifikasi Kebijakan dan Instrumennya. Fakultas Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi, IPB, Bogor Serageldin, I. 1996. Sustainability and Wealth of Nation First Step in an Ongoing Journey. Environmentally Sustainable Development Studies and Monograph Series No. 5. The World Bank, Washington D.C. Siagian V., 1999. Analisis Efisiensi Biaya Produksi Gula di Indonesia; Pendekatan Fungsi Biaya Multi-Input Multi-Output. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan Simatupang, P., N. Syafaat, KM. Noekman, A. Syam, S.K. Dermoredjo, dan B. Santoso. 2000. Kelayakan Pertanian Sebagai Sektor Andalan Pembangunan Ekonomi Nasional. Pusat Penelitian Social Ekonomi Pertanian, Bogor.
176
Sitorus, S.R.P., 1994. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan; Laboratorium Peremcanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan, Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, IPB, 1992. 2002. 2004, Bogor Soemarwoto, O2001. 2004. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Cetakan Kesepuluh. Djambatan. Jakarta. Stohr, W. 2001. Introduction. in W. Stohr, J. Edralin and D. Mani. New Regional Development Paradigms. Vol. 3: Decentralization, Governance and the New Planning for Local-Level Development. Westport. CT: Greenwood Press, Chapter 1, 1-19.
Sudana, W., P. Simatupang, S. Friyanto, C. Muslim, dan T. Sulistiyo. 2000. Dampak Deregulasi Industri Gula Terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan, Dan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Sudaryanto, T. Erwidodo, Soentoro, V T Manurung, M Rahmat, dan K Adisasmito. Dinamika Ekonomi Tebu Rakyat dan Industri Gula Indonesia. Kerjasama Pusat penelitian Sosial EkonomiPertanian dengan Pusat Penelitian perkebunan Gula Indonesia, Bogor. Soentoro, V., Sudaryanto, T. Erwidodo, T Manurung, M Rahmat, dan K Adisasmito. Dinamika Ekonomi Tebu Rakyat dan Industri Gula Indonesia. Kerjasama Pusat penelitian Sosial EkonomiPertanian dengan Pusat Penelitian perkebunan Gula Indonesia, Bogor. Sulistiyono E., 2006. Hubungan Pengelolaan Air Dengan Produksi, Kandungan Gula Nikotin Daun Tembakau. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan Sumaryanto., N. Syafaat , M. Ariani dan Friyanto S. 1995. Analisa Kebijakan Konversi Lahan Sawah Penggunaan Non-Pertanian, Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Susila W.R., 2006: Pengembangan Industri Gula Indonesia; Analisis Kebijakan Dan Keterpaduan Sistem Produksi. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan Soemodihardjo I.H. 2001. Optimum Penggunaan Lahan Di Daerah Penghasil Padi dan Tebu di Jawa Timur. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan. Sunu, P. 2001. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001. Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Susila, W.R. dan A. Susmiadi. 2000. 2006. Analisis Dampak Pembebasan Tarif Impor dan Perdagangan Bebas Terhadap Industri Gula. Laporan
177
Penelitian, Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Bogor. Susila, W.R. 2005. Pengengembangan Industri Gula Indonesia: Analisis Kebijakan dan Keterpaduan sistem Produksi. Desertasi S3. Institut Pertanian Bogor Susmiadi, A. 1998. Krisis Moneter Dan Pengaruhnya Terhadap Industri Gula Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Krisis Moneter dan Langkah Antisipatif Penanggulangan Dampak Kekeringan pada Produksi Gula 1998, Pasuruan, 10 Desember 1998. Surna T.D. 2001. Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Penerbit Studi Tekno Ekonomi, Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik Industri ITB Bandung. Sutamihardja, R.T.M. 1992. Pengelolaan Kualitas dan Pencemaran Air. Seminar on Industrial Water Pollution Control and Water Quality Management, 6-10 Januari 1992. Jakarta Syahrial, A dan Bioletty, L. 2007. Kajian Potensi CO2 dan EOR dalam Mrnciptakan Mekanisme Pembangunan Bersih di Indonesia . Jurnal Lemigas M & E Vol V No. 3 September 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi Jakarta: 33-55 Takeda, N. 2001. People Participation in Regional Development Management. Japanese Experiences. Paper presented for the Seminar on Regional Developmnet and Management Policy to Support Autonomy. 29 March 2001. Jakarta.
Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan No 32 tahun 2009. Jakarta. United States Department of Agriculture Supply and Distribution Foreign Agricultural Service Sugar: World Production May 2009; The U.S. PS&D estimates conform to those released in the World Agricultural Supply and Demand Estimates (WASDE) 'miscellaneous' category allocated to domestic consumption. The U.S. PS&D includes Puerto Rico. Diunduh: 14 Juni 2010 USDA. 2002. Sugar: World Markets And Trade. Circular Series, FS 2-02, November 2002, United State Department of Agriculture, Washington DC. Viroj NaRanong; The Thai Sugar Industry: Crisis and Opportunities* http://www.tdri.or.th/library/quarterly/text/s00_2.htm, Diunduh: 14 Juni 2010
178
Viroj NaRanong; The Thai Sugar Industry: Crisis and Opportunities* http://gain. fas.usda.gov/Recent%20GAIN%20Publications/Sugar%20 Annual_Bangkok_Thailand_4-9-2010.pdf, Diunduh: 14 Juni 2010 Woeryanto. 2000. Peningkatan Efisiensi Manajemen Industri Gula. Dalam Supriono, A., (Ed), Prosiding Seminar Sehari Pembangunan Perkebunan Indonesia. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, 26 Juli 2000: 49-54. WCED, 1987. Our Common Future. Oxford University Press. Oxford and New York.