MODEL PROSES PRODUKSI INDUSTRI TAPIOKA RAMAH LINGKUNGAN BERBASIS PRODUKSI BERSIH (Studi Kasus di Provinsi Lampung)
ERDI SUROSO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul Model Proses Produksi Industri Tapioka Ramah Lingkungan Berbasis Produksi Bersih (Studi Kasus di Provinsi Lampung) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini
Bogor,
Juni 2011
Erdi Suroso P062050151
ABSTRAK ERDI SUROSO. Model Proses Produksi Industri Tapioka Ramah Lingkungan Berbasis Produksi Bersih (Studi Kasus di Provinsi Lampung). Dibimbing oleh M.H. BINTORO DJOEFRIE, UDIN HASANUDIN, dan AHMAD ARIF AMIN
Industri tapioka merupakan salah satu industri yang potensial mencemari lingkungan terutama peningkatan pemanasan global sehingga memerlukan upaya perbaikan, Upaya perbaikan yang dilakukan diharapkan akan meningkatkan efisiensi proses sekaligus menurunkan biaya operasional. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan tahap proses pengolahan tapioka yang potensial untuk penerapan produksi bersih pabrik tapioka berdasarkan penggunaan air, energi, dan karakteristik limbah yang dihasilkan; menghasilkan alternatif perbaikan proses produksi dan pengelolaan limbah industri tapioka yang dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi risiko pencemaran terhadap lingkungan berdasarkan hasil analisis dan evaluasi nilai manfaat ekonomis dan lingkungan; menghasilkan model proses produksi industri tapioka ramah lingkungan berbasis produksi bersih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip produksi bersih dapat diterapkan pada industri tepung tapioka. Proses daur ulang penggunaan air merupakan alternatif sebagai peningkatan efisiensi yang dapat dilakukan pada tahapan penggunaan limbah separator untuk proses pencucian bahan baku. Efisiensi penggunaan air produksi sebesar 923,52 m3 hasil dari daur ulang air sisa separator sehingga akan menghemat penggunaan air bersih sebesar 27% dari total air bersih yang digunakan sebesar 3.420,43 m3. Apabila dihitung dengan pajak pemanfaatan air bawah tanah, maka akan menghemat biaya operasional sebesar Rp.955.843,- per hari. Pemanfaatan air limbah sebagai sumber energi baru terbarukan merupakan alternatif perbaikan efisiensi proses produksi tapioka. Energi yang dihasilkan dari konversi gas metana setara sebesar 47.221,75 kWh/hari, sehingga bila dimanfaatkan untuk proses produksi industri tapioka sangat mencukupi dari energi yang dibutuhkan sebesar 39.904,2 kWh/hari. Kelebihan energi industri tapioka sebesar 7.317,55 kWh/hari dikonversikan ke bahan bakar solar, maka akan setara dengan 2.195,27 liter solar/hari. Energi yang digunakan industri tapioka untuk keperluan proses pengeringan menggunakan oven sebesar 12.779,57 kWh bila dikonversi bahan bakar solar setara 3.833,87 liter, maka kebutuhan bahan bakar solar tersebut dapat terpenuhi 100% seluruhnya. Biaya operasional yang dibutuhkan untuk membeli bahan bakar solar sebesar Rp.25.303.548,- dapat dihemat dengan memanfaatkan sumber energi baru terbarukan. Kelebihan energi setelah dikurangi konsumsi energi untuk proses pengeringan sebesar 7.317,55 kWh setara dengan bahan bakar solar sebanyak 2.195,27 liter dapat dikonversikan menjadi nilai ekonomi sebesar Rp. 14,488,749,-. Kelebihan energi ini dapat digunakan untuk aktivitas lain di sekitar lokasi industri seperti aktivitas kantor, perumahan dan penerangan. Selain itu, berkurangnya gas CO2 dari hasil dekomposisi air limbah industri tapioka adalah sebesar 4.562,84 tonCO2e. Perusahaan akan dapat memperoleh CER (Credit Emission Reduction) dari upaya pengurangan carbon yang terlepas ke lingkungan melalui methane capture berkisar Rp. 281.830.656,- s/d Rp. 845.491.970,-. Hasil studi kelayakan ekonomi opsi produksi bersih industri tapioka dengan memanfaatkan ampas/onggok sebagai pakan ternak dengan kegiatan penggemukan sapi sebanyak 100 ekor dapat memberikan keuntungan sebesar
Rp.966.500.000,- dengan payback periode 0,74 tahun. Penggunaan kembali air sisa proses separator untuk pencucian ubikayu memberikan nilai keuntungan penghematan biaya sebesar Rp.24.851.923,- setiap bulannya. Pemanfaatan air limbah sebagai salah satu sumber energi terbarukan dalam bentuk biogas dengan sistem CIGAR memberikan manfaat yang cukup menguntungkan dengan payback periode selama 7,3 bulan. Pemanfaatan kulit, serat ubikayu untuk pupuk organik akan memberikan manfaat sebesar Rp.79.500.000. Industri tapioka dinilai sangat menguntungkan apabila dapat menerapkan dengan baik perbaikan proses yang direkomendasikan, sehingga dampak pencemaran terhadap lingkungan dapat diminimalkan. Model proses produksi industri tapioka ramah lingkungan berbasis produksi bersih yang dihasilkan dapat memberikan solusi skenario pemanfaatan air limbah, pemanfaatan energi dari air limbah dan reduksi emisi gas. Limbah padat dapat digunakan sebagai pakan ternak, pupuk organik yang secara efektif menuju terciptanya agroindustri tapioka yang ramah lingkungan dan menurunkan dampak efek pemanasan global.
Kata kunci: produksi bersih, proses produksi, tapioka
ABSTRACT ERDI SUROSO. Tapioka Industry Production Process Model-Based Environmentally Friendly Cleaner Production (Case Study in Lampung Province). Under the direction of M.H. BINTORO DJOEFRIE, UDIN HASANUDIN, and AHMAD ARIF AMIN.
Tapioca industry is one industry that potentially polluted the environment, especially the increase of global warming that requires improvement efforts, improvements made efforts expected to improve process efficiency while lowering operational costs. The purpose of this study is to get the tapioca processing stage for potential application of clean production of tapioca factory based on the use of water, energy, and characteristics of waste generated; produce alternative production process improvement and management of industrial waste tapioca that can increase efficiency and reduce the risk of pollution to the environment based on analysis and evaluation of economic benefits and environmental values; produce a process model of environmentally friendly industrial production of tapiocabased cleaner production. The results showed that the principle of cleaner production can be applied to the tapioca starch industry. The process of recycling water used efficiency improvements as an alternative that can be performed on stage separator for use of waste raw material leaching process. Efficiency of water used for production of 923.52 m3 of recycled water from the rest of the separator so that will save fresh water use by 27% of the total water use for 3,420.43 m3. If the tax is calculated with the use of underground water, it will save operational cost IDR.955,843 per day. Utilization of wastewater as a source of new renewable energy is an alternative to tapioca production process efficiency improvements. The energy generated from the conversion of methane equivalent of 47,221.75 kWh / day, so when used for industrial production processes of tapioca is sufficient energy required for 39,904.2 kWh / day. Excess energy for industrial tapioca 7,317.55 kWh / day is converted into diesel fuel, it will be the equivalent of 2,195.27 liters of diesel / day. Energy used tapioca industry for the drying process using an oven at 12,779.57 kWh when converted diesel fuel equivalent of 3,833.87 liters, then the diesel fuel requirements can be fulfilled 100% full. Operational costs required to purchase diesel fuel for IDR5.303.548, - can be saved by making use of new renewable energy sources. Excess energy net energy consumption for the drying process of 7317.55 kWh equivalent to diesel fuel as much as 2195.27 liters could be converted into economic value of IDR. 14,488,749, -. Excess energy can be used for other activities around the location of industries such as office activities, housing and lighting. In addition, the reduction of CO 2 gases from the decomposition of the waste water industry amounted to 4,562.84 tonCO2e tapioca. The company will be able to obtain CERs (Credit Emission Reduction) of reduction carbon released into the environment through methane capture ranges from IDR. 281,830,656 - 845,491,970. The results of the economic feasibility study of industrial cleaner production options by utilizing tapioca pulp / onggok as fodder to cattle fattening activities as much as 100 individuals may provide a gain of IDR.966,500,000 with a payback period of 0.74 years. Reusing water separator for the rest of the process of washing the cassava value IDR.24,851,923 advantage of cost savings per month. Utilization of wastewater as a source of
renewable energy in the form of biogas systems provided sufficient benefit Cigar profitable with payback period of 7.3 months. Utilization of the skin, fiber cassava for the organic fertilizer will provide benefits for IDR.79,500,000. Tapioca industries considered to be very profitable if it can apply to either the recommended process improvements, so the impact of pollution on the environment can be minimized. Tapioca production process model of environmentally friendly industrial based on production cleaner that can provide solutions resulting waste water utilization scenarios, energy utilization of waste water and reduction of gas emissions. Solid waste can be used as animal feed, organic fertilizer which effectively towards the creation of environmentally friendly agroindustry tapioca and reduce the impact of global warming effects. Keywords: cleaner production, production process, tapioka industry
RINGKASAN DISERTASI ERDI SUROSO. Model Proses Produksi Industri Tapioka Ramah Lingkungan Berbasis Produksi Bersih (Studi Kasus di Provinsi Lampung). Dibimbing oleh M.H. BINTORO DJOEFRIE, UDIN HASANUDIN, dan AHMAD ARIF AMIN.
Industri tapioka merupakan salah satu jenis industri agro (Agro-basedindustri) berbahan baku ubikayu/singkong yang banyak tersebar di Indonesia baik skala kecil, menengah, maupun berskala besar. Provinsi Lampung merupakan salah satu sentra produksi ubikayu di Indonesia dengan total luas panen pada tahun 2009 mencapai 320.344 ha, tingkat produktivitas rata-rata 24,61 ton/ha dan total produksi sebesar 7.885.116 ton. Ubikayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang memiliki peranan penting dalam sistem ekonomi daerah. Produksi ubikayu yang sangat tinggi telah mendorong berdirinya lebih dari 65 industri tapioka di Propinsi Lampung. Industri tapioka dalam kegiatan produksinya memiliki rendemen berkisar 20-25% b/b dari bobot ubikayu yang diolah. Industri tapioka selalu menghasilkan limbah, baik berupa limbah padat, cair maupun gas yang sering menimbulkan bau yang tidak dikehendaki. Limbah padat berupa kulit, ampas (onggok), dan lindur (elot). Kandungan air yang cukup tinggi dalam limbah padat tapioka merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme yang menyebabkan proses pembusukan limbah padat menjadi lebih cepat dan proses pembusukan ini dapat menimbulkan masalah bau busuk pada limbah padat tapioka. Air limbah industri tapioka berasal dari proses pencucian bahan baku, dan ekstraksi. Limbah organik tersebut bila dibuang langsung ke perairan umum akan menimbulkan perubahan warna air menjadi kehitaman, penurunan kadar oksigen dalam air dan menimbulkan bau busuk. Air limbah yang dihasilkan industri tapioka sekitar 4-7 m3/ton ubikayu yang diolah dengan konsentrasi bahan organik yang sangat tinggi. Sistem pengolahan air limbah tapioka saat ini banyak menggunakan kolam-kolam anaerobik yang memanfaatkan mikroba untuk menguraikan bahan-bahan organik dalam air limbah tersebut. Sistem kolam anaerobik selain memerlukan waktu tinggal yang lama, juga dinilai kurang ekonomis karena memerlukan areal pengolahan air limbah yang cukup luas dan tidak menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi. Penerapan sistem kolam anaerobik dalam pengolahan air limbah tapioka akan menghasilkan gas berupa metana (CH4). Gas metana merupakan gas rumah kaca yang memberikan kontribusi terhadap pemanasan global. Selain bersifat merusak lingkungan, gas metana dikenal umum berpotensi sebagai bahan 3 bakar alternatif dengan nilai kalor 35,9 MJ/m CH4. Hal ini ditunjukkan dengan telah dimanfaatkannya gas metana sebagai bahan bakar alternatif antara lain dari pengolahan kotoran ternak, baik sapi maupun babi. Pemanfaatan gas metana yang dihasilkan dari air limbah agroindustri sebagai sumber energi alternatif belum banyak dikaji. Pemanfaatan gas metana yang terbentuk pada kolam anaerobik IPAL agroindustri tapioka akan memberikan manfaat yaitu menurunnya nilai COD air limbah sehingga dapat memenuhi baku mutu lingkungan, tersedianya energi alternatif, dan sekaligus berperan dalam mencegah pemanasan global dengan tidak terlepasnya gas metana ke udara. Obyek penelitian ini adalah pabrik tapioka yang mengolah ubikayu menjadi tapioka. Penelitian difokuskan pada proses pengolahan ubikayu menjadi tapioka
yang potensial untuk penerapan konsep produksi bersih dengan beberapa kriteria penilaian antara lain identifikasi sumber penghasil limbah, efisiensi penggunaan sumberdaya energi, daur ulang limbah dan pemanfaatan air limbah. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan tahap proses pengolahan tapioka yang potensial untuk penerapan produksi bersih pabrik tapioka berdasarkan penggunaan air, energi, dan karakteristik limbah yang dihasilkan; menghasilkan alternatif perbaikan proses produksi dan pengelolaan limbah industri tapioka yang dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi risiko pencemaran terhadap lingkungan berdasarkan hasil analisis dan evaluasi nilai manfaat ekonomis dan lingkungan; menghasilkan model proses produksi industri tapioka ramah lingkungan berbasis produksi bersih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip produksi bersih dapat diterapkan pada industri tepung tapioka. Proses daur ulang penggunaan air merupakan alternatif sebagai peningkatan efisiensi yang dapat dilakukan pada tahapan penggunaan limbah separator untuk proses pencucian bahan baku. Efisiensi penggunaan air produksi sebesar 923,52 m3 hasil dari daur ulang air sisa separator sehingga akan menghemat penggunaan air bersih sebesar 27% dari total air bersih yang digunakan sebesar 3.420,43 m 3. Apabila dihitung dengan pajak pemanfaatan air bawah tanah, maka akan menghemat biaya operasional sebesar Rp.955.843,- per hari. Pemanfaatan air limbah sebagai sumber energi baru terbarukan merupakan alternatif perbaikan efisiensi proses produksi tapioka. Energi yang dihasilkan dari konversi gas metana setara sebesar 47.221,75 kWh/hari, sehingga bila dimanfaatkan untuk proses produksi industri tapioka sangat mencukupi dari energi yang dibutuhkan sebesar 39.904,2 kWh/hari. Kelebihan energi industri tapioka sebesar 7.317,55 kWh/hari dikonversikan ke bahan bakar solar, maka akan setara dengan 2.195,27 liter solar/hari. Energi yang digunakan industri tapioka untuk keperluan proses pengeringan menggunakan oven sebesar 12.779,57 kWh bila dikonversi bahan bakar solar setara 3.833,87 liter, maka kebutuhan bahan bakar solar tersebut dapat terpenuhi 100% seluruhnya. Biaya operasional yang dibutuhkan untuk membeli bahan bakar solar sebesar Rp.25.303.548,- dapat dihemat dengan memanfaatkan sumber energi baru terbarukan. Kelebihan energi setelah dikurangi konsumsi energi untuk proses pengeringan sebesar 7.317,55 kWh setara dengan bahan bakar solar sebanyak 2.195,27 liter dapat dikonversikan menjadi nilai ekonomi sebesar Rp. 14,488,749,-. Kelebihan energi ini dapat digunakan untuk aktivitas lain di sekitar lokasi industri seperti aktivitas kantor, perumahan dan penerangan. Selain itu, berkurangnya gas CO2 dari hasil dekomposisi air limbah industri tapioka adalah sebesar 4.562,84 tonCO2e. Perusahaan akan dapat memperoleh CER (Credit Emission Reduction) dari upaya pengurangan carbon yang terlepas ke lingkungan melalui methane capture berkisar Rp. 281.830.656,- s/d Rp. 845.491.970,-. Hasil studi kelayakan ekonomi opsi produksi bersih industri tapioka dengan memanfaatkan ampas/onggok sebagai pakan ternak dengan kegiatan penggemukan sapi sebanyak 100 ekor dapat memberikan keuntungan sebesar Rp.966.500.000,- dengan payback periode 0,74 tahun. Penggunaan kembali air sisa proses separator untuk pencucian ubikayu memberikan nilai keuntungan penghematan biaya sebesar Rp.24.851.923,- setiap bulannya. Pemanfaatan air limbah sebagai salah satu sumber energi terbarukan dalam bentuk biogas dengan sistem CIGAR memberikan manfaat yang cukup menguntungkan dengan payback periode selama 7,3 bulan. Pemanfaatan kulit, serat ubikayu untuk pupuk organik akan memberikan manfaat sebesar Rp.79.500.000. Industri tapioka dinilai sangat
menguntungkan apabila dapat menerapkan dengan baik perbaikan proses yang direkomendasikan, sehingga dampak pencemaran terhadap lingkungan dapat diminimalkan. Model proses produksi industri tapioka ramah lingkungan berbasis produksi bersih yang dihasilkan dapat memberikan solusi skenario pemanfaatan air limbah, pemanfaatan energi dari air limbah dan reduksi emisi gas. Limbah padat dapat digunakan sebagai pakan ternak, pupuk organik yang secara efektif menuju terciptanya agroindustri tapioka yang ramah lingkungan dan menurunkan dampak efek pemanasan global. Kata Kunci: Produksi bersih, proses produksi, industri tapioka
1.
2.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
MODEL PROSES PRODUKSI INDUSTRI TAPIOKA RAMAH LINGKUNGAN BERBASIS PRODUKSI BERSIH (Studi Kasus di Provinsi Lampung)
ERDI SUROSO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup Tanggal Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka Tanggal
: Prof. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.Eng. Dr. Ir. Mohammad Yani, M.Eng. : 21 Maret 2011
: Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S. Dr. Ir. Muhammad Romli, M.Sc.St. : 07 Juni 2011
“Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada Kemudahan” (Q.S. Al-Insyirah 94:6)
Kupersembahkan karya ini Untuk doa, dukungan dan kesetiaan yang tulus dan tak berujung dari: Papa (alm.) dan Ibu –“ the most”, Sylvia – “the beloved wife”, Sidiq, Nadia, dan Syafiq – “the precious gifts”, Papi, Keluarga Besar, Kerabat dan para sahabat – “the truly friends”
Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu akan menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) sedangkan harta terhukum. Kalau harta itu akan berkurang apabila dibelanjakan, tetapi ilmu akan bertambah apabila dibelanjakan.(Sayyidina Ali bin Abi Thalib)
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia dan rahmat-Nya sehingga penyusunan disertasi yang menjadi tugas dan tanggung jawab penulis telah dapat diselesaikan. Disertasi ini berjudul Model Proses Produksi Industri Tapioka Ramah Lingkungan Berbasis Produksi Bersih (Studi Kasus di Provinsi Lampung) merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kinerja proses produksi dan lingkungan dari industri tapioka yang pada saat ini belum dapat dikatakan baik. Disertasi ini dapat terselesaikan berkat bimbingan, arahan, dan masukan yang tak kenal lelah dan penuh kesabaran dari komisi pembimbing yang diketuai oleh Prof. Dr. Ir. M.H. Bintoro Djoefrie, M.Agr. dengan anggota Dr.Eng. Ir. Udin Hasanudin, M.T., Dr. drh. Ahmad Arif Amin, untuk itu penulis ucapkan banyak terima kasih. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Muchammad Sri Saeni, M.S. (almarhum) sebagai ketua komisi pembimbing pertama atas bimbingan, arahan dan masukan semasa beliau masih hidup hingga akhir hayatnya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Eng. dan Dr. Ir. Mohammad Yani, M.Eng. selaku penguji luar komisi pada saat ujian tertutup. Selain itu, Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S. dan Dr. Ir. Muhammad Romli, M.Sc.St. selaku penguji luar komisi pada saat ujian terbuka. Penulis tetap mengharapkan kesediaan para pembimbing dan penguji untuk memberikan kesempatan bertukar pikiran di masa mendatang. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program pascasarjana pada tingkat Doktor (S3). Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SPS-IPB dan para staf pengajar PS PSL atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program pascasarjana pada tingkat Doktor serta menambah ilmu/wawasan di bidang lingkungan. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas Lampung dan seluruh civitas akademika Universitas Lampung yang telah memberikan ijin dan kesempatan penulis mengikuti program pascasarjana Doktor (S3). Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., Prof. Dr. Ir. KES Manik, M.S., Prof. Dr. John Hendri, M.S. yang telah bersedia memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi program pascasarjana Doktor (S3).di Institut Pertanian Bogor. Kepada Bapak Suryadi, Bapak Abi, Bapak Supardi, Bapak Gigik, Bapak Julius, Bapak Supar serta para pemilik industri tapioka di Provinsi Lampung yang telah bersedia meluangkan waktu, berbagi ilmu dan informasi, serta masukan yang berharga, penulis sampaikan terima kasih dan besar harapan bahwa penelitian dapat memberikan sesuatu yang berguna walaupun masih sangat sederhana.
Penulis mengucapkan terimakasih atas kebaikan dari para sahabat khususnya Prof. Dr. John Hendri, M.S., Prof. Dr. Wan Abbas Zakaria, M.S., Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.S., Dr. Ir. Suharyono AS, M.S., Ir. Slamet Budi Yuwono, M.S., Dr. Ir. Tanto Pratondo Utomo, M.S., Drs. Buchori Asyik, M.S., Ir. Setyo Widagdo, M.Si., Dr. Ir. Sumaryo, M.Si., Dr. Hartoyo, M.Si., Dr. Toto Gunarto, M.S., Dr. M. Thoha B.S Jaya, M.S., Ir. Abdullah Aman Damai, M.Si., Dr. Rustam Abdul Rauf, M.S., Dr. Muh. Sarkowi, Ir. Prima Yudha, M.T.A., Drs. Teguh Budi Raharjo,M.S., Ir. Efri, M.S., Dr. Ir. Murhadi, M.S., Dr. Muchammad Yusron, M.Phil., Partomo, Asnil, Muhammad Wijaya beserta mahasiswa S 3 angkatan 2005 PS PSL SPS-IPB, rekan-rekan bimbingan disertasi/tesis/skripsi Prof. Dr. Ir. H.M.H. Bintoro Djoefrie, M.Agr., rekan-rekan jurusan THP FP-Unila, rekan-rekan Wisma Beldes, Hi. Uking sekeluarga, mas Joko Sugiyono serta para mahasiswa Unila, atas segala bantuan baik moril maupun material. Terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada Prof. Koichi Fujie, Mr. Inokawa dan Mr. Kajitani atas kesempatan bergabung sebagai anggota peneliti dalam riset kerjasama Universitas Lampung-JFE Techno Research, Japan serta kesempatan untuk menimba ilmu dalam bidang agroindustri. Kepada Tim Asisten Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Agroindustri, Kementerian Lingkungan Hidup RI, penulis mengucapkan terima kasih atas kesempatan bergabung sebagai anggota tim dalam menyusun buku Pedoman Pengelolaan Limbah Industri Pengolahan Tapioka tahun 2009 dan Penerapan Pedoman Pengelolaan Limbah Agroindustri Tapioka tahun 2010. Atas segala pengorbanan, dukungan, dan ketulusan serta doa yang tak putus terutama selama penulis mengikuti program S3 dari Ibunda Hj. Endang Suprapti, bapak mertua H. Arifin Winatapradja, istriku tercinta Hj. Sylvia Putrandari W, anak-anakku Sidiq, Nadia dan Syafiq, mas Hari Prasetyo dan mbak Mala, kak Wayan Suwindra, kak Mufti Sapano, mas Vedi dan Shanti, Trisna dan Rini, mas Adriatma dan mbak Mevia serta seluruh keluarga besarku, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga. Penulis juga memanjatkan doa kepada papa H. Mas’ud Yusuf (alm.) dan ibu mertua Hj. Iken Srisularsikin (alm.) yang tidak sempat mendampingi penulis hingga disertasi ini terselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang turut mendukung dan membantu penulis selama ini sekaligus permohonan maaf karena tidak dapat menyebutkan satu per satu. Semoga disertasi ini bermanfaat. Bogor, Juni 2011
Erdi Suroso
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Metro, Provinsi Lampung pada tanggal 6 Oktober 1972, sebagai anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Drs. Hi. Mas’ud Yusuf, M.Pd. (almarhum) dan Dra. Hj. Endang Suprapti. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Sejahtera I, Kedaton, Bandar Lampung pada tahun 1985; Sekolah Menengah Pertama dari SMP Xaverius Tanjungkarang, Bandarlampung pada tahun 1988; Sekolah Menengah Atas dari SMA Xaverius Pahoman, Bandarlampung pada tahun 1991. Penulis melanjutkan pendidikan Sarjana (S1) di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung (UNILA) dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun 1998, penulis bergabung sebagai staf pengajar di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung (UNILA). Pada tahun 2000 dengan beasiswa dari Dirjen Dikti melalui BPPS, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) pada Program Pascasarjana Magister Teknologi Agroindustri – Universitas Lampung dan lulus pada tahun 2004. Selanjut-nya pada tahun 2005 dengan beasiswa BPPS pula, penulis melanjutkan pendidikan program Doktor S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana - Institut Pertanian Bogor (SPs IPB). Penulis menikah dengan Hj. Sylvia Putrandari, S.T.P. dan telah dikaruniai 3 orang anak yaitu Sidiq Nurrachman, Nadia Fakhirah Nurramdhani dan Muhammad Nur Syafiq. Selama mengikuti pendidikan pada program S3 penulis berkesempatan mengikuti satu seminar internasional, yaitu International Wastewater Association (IWA) Congress di Bangkok tahun 2006. Selain itu, penulis pada tahun 2007 berkesempatan mengikuti kursus singkat Teknologi Tepat Guna Limbah Cair yang berlangsung di Pusteklim Yogyakarta. Sebagian dari disertasi ini telah dipublikasikan pada Majalah Ilmiah Teknologi Agroindustri edisi Juni 2011 Volume 2 No. 1 yang diterbitkan oleh Balai Riset dan Standarisasi Industri Bandar Lampung (ISSN: 2085 - 6067) dengan judul Kajian Evaluasi Proses Produksi Industri Tapioka Berbasis Produksi Bersih (Studi Kasus di Provinsi Lampung) dan Jurnal Agroland Universitas Tadulako edisi April 2011 Volume 18 No. 1 (ISSN: 0854-641X) dengan judul Pemanfaatan Air Limbah Industri Tapioka Sebagai Penghasil Gas Metana Dalam Upaya Pelestarian Lingkungan.
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ....................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ............................................................................................
ii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
x
PENDAHULUAN............................................................................................ Latar Belakang ........................................................................................ Kerangka Pemikiran. .............................................................................. Perumusan Masalah ................................................................................ Tujuan Penelitian .................................................................................... Manfaat Penelitian .................................................................................. Novelty (Kebaruan) ................................................................................
1 1 2 4 6 6 7
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... Konsep Dasar Produksi Bersih ............................................................... Peluang dan Tantangan Penerapan Produksi Bersih .............................. Strategi Penerapan Produksi Bersih ....................................................... Penerapan Produksi Bersih ..................................................................... Industri Tapioka ...................................................................................... Limbah Industri Tapioka ........................................................................ Biogas Sebagai Sumber Energi Alternatif ..............................................
8 8 9 14 16 19 22 27
METODE PENELITIAN ................................................................................. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. Pelaksanaan Penelitian............................................................................ Tahapan Penelitian.................................................................................. Kajian Produksi Bersih Industri Tapioka ............................................... Neraca Massa dan Neraca Energi ........................................................... Evaluasi Ekonomis Pilihan Produksi Bersih .......................................... Parameter Mutu Lingkungan Air Limbah Industri Tapioka ................... Metode Pengukuran Biogas di Kolam Air Limbah ................................ Nilai Tambah Pengelolaan Limbah terhadap Lingkungan .....................
29 29 29 30 33 34 35 37 40 40
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ Profil Tanaman Ubikayu Ubikayu di Indonesia ..................................... Potensi Tanaman Ubikayu di Provinsi Lampung ................................... Struktur Industri Tapioka di Provinsi Lampung ..................................... Pengelolaan Limbah Industri Tapioka .................................................... Sistem Penanganan Limbah .................................................................... Studi Kelayakan Opsi Produksi Bersih Industri Tapioka ....................... Model Proses Produksi Industri Tapioka Ramah Lingkungan ...............
42 42 43 46 63 72 86 90
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
92
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
94
LAMPIRAN ..................................................................................................... 100
ii DAFTAR TABEL Tabel : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Teks
Halaman
Upaya-upaya yang dapat diterapkan pada produksi bersih ...................... Komposisi kimia kulit ubikayu ................................................................ Komposisi kimia onggok .......................................................................... Baku mutu air limbah industri tapioka ..................................................... Konversi energi biogas ............................................................................. Komposisi biogas ..................................................................................... Data yang dibutuhkan pada kajian produksi bersih tingkat pabrik tapioka ...................................................................................................... Perbandingan rata-rata angka BOD5/COD untuk beberapa jenis air........ Karakteristik industri tapioka yang dipilih sebagai lokasi penelitian ....... Kadar pati varietas ubikayu di wilayah studi ........................................... Karakteristik kualitas air limbah dari separator dan cucian ..................... Karakteristik air limbah yang dihasilkan dari industri tapioka................. Karakteristik air limbah di kolam anaerobik I, II, III, IV ......................... Karakteristik biogas beberapa industri tapioka ........................................ Komposisi pupuk organik dari kulit ubikayu ........................................... Perhitungan asumsi energi listrik yang dihasilkan dari biogas ................ Studi kelayakan opsi produksi bersih pada industri tapioka .................... Penentuan skala prioritas opsi produksi bersih ........................................ perhitungan studi kelayakan ekonomi opsi produksi bersih industri tapioka ......................................................................................................
18 23 23 27 28 28 33 39 48 58 65 67 68 72 79 83 87 88 89
iii DAFTAR GAMBAR Gambar : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43.
Teks
Halaman
Kerangka pemikiran penelitian .............................................................. Perumusan masalah.................................................................................. Teknik-teknik produksi bersih ................................................................. Skema proses pengolahan tapioka di industri kecil ................................. Skema proses pengolahan tapioka di industri skala besar ....................... Lokasi pengambilan sampel di Provinsi Lampung .................................. Diagram alir tata laksana penelitian......................................................... Metodologi kajian produksi bersih .......................................................... Lima Jenis Penyebab Dihasilkannya Limbah .......................................... Jenis-jenis pilihan perbaikan dengan pendekatan produksi bersih .......... Neraca material dan komponen-komponennya ....................................... Peralatan penangkap gas (a) dan gas meter (b) yang digunakan untuk pengukuran biogas pada IPAL industri tapioka ....................................... Pohon industri ubikayu ............................................................................ Perkembangan harga ubikayu di Provinsi Lampung ............................... Proses pengupasan ubikayu ..................................................................... Proses pencucian ubikayu ........................................................................ Proses pemarutan ubikayu ....................................................................... Pengayakan parutan pati ubikayu ............................................................ Air aci dialirkan pada bak pengendapan .................................................. Proses pengendapan aci ubikayu ............................................................. Tapioka basah yang siap untuk dijemur .................................................. Penjemuran tapioka basah ....................................................................... Neraca massa dan air industri tapika A ................................................... Kondisi eksisting industri tapioka A........................................................ IPAL industri tapioka A setelah ditutup dengan plastik HDPE............... Kondisi eksisting industri tapioka skala besar ......................................... Proses pengangkutan bahan baku ubikayu .............................................. Proses penentuan kualitas dan pengukuran kadar pati ubikayu ............... Neraca massa dan air proses pengupasan dan pencucuian ubikayu ........ Neraca massa dan air proses pencacahan dan pemarutan ubikayu .......... Neraca massa dan air proses ekstraksi bubur ubikayu ............................. Neraca massa dan air proses dewatering susu pati ubikayu .................... Neraca massa dan air proses sentifuse susu pati ...................................... Neraca massa dan air proses pengeringan dan pengemasan tapioka ....... Diagram alir proses produksi industri tapioka D ..................................... Jenis air limbah proses produksi tapioka ................................................. Lay out pengolahan air limbah industri tapioka ...................................... Lokasi pengambilan sampling gas pada kolam air limbah industri tapioka...................................................................................................... Jenis limbah padat pengolahan tapioka ................................................... Air limbah yang menghasilkan gas CO2 dan CH4 ................................... Kondisi sistem penanganan limbah padat industri tapioka ...................... Pemanfaatan dan penghematan air dari proses separator ........................ Pupuk organik setelah proses dekomposisi selama 30 hari .....................
3 5 17 20 21 29 30 31 32 32 32 40 44 45 49 49 49 50 50 51 51 51 52 53 54 56 57 57 59 60 61 61 62 62 63 64 67 69 71 72 73 78 80
iv Gambar : 44. 45. 46. 47.
Teks
Halaman
Kegiatan peternakan dan penggemukan sapi di salah satu industri tapioka ....... Pakan meniran yang sudah dipisahkan dengan tanah ........................................ Neraca energi industri tapioka ........................................................................... Model proses produksi tapioka ramah lingkungan ............................................
80 81 83 91
v DAFTAR LAMPIRAN Lampiran : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Teks
Halaman
Sebaran tanaman ubikayu di Indonesia ................................................... Luas panen, produksi, dan produktivitas ubikayu di Indonesia ............... Luas panen tanaman ubikayu (ha) di 10 provinsi di Indonesia tahun 2005-2009 ................................................................................................ Produksi ubikayu (ton) di 10 provinsi di Indonesia tahun 2005-2009 .... Produktivitas ubikayu (kuintal/ha) di 10 provinsi di Indonesia tahun 2005-2009 ................................................................................................ Perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas ubikayu di Propinsi Lampung tahun 2004-2008. ...................................................... Karakteristik beberapa varietas unggul ubikayu......................................
101 102
Daftar perusahaan industri tapioka di Provinsi Lampung .................................. Evaluasi proses produksi industri tapioka ......................................................... Estimasi biaya instalasi biogas industri tapioka ................................................ Perhitungan reduksi CO2 ................................................................................... IPCC Guidelines for national greenhouse gas inventories ................................. Wawancara dengan petugas quality control dalam tahapan proses produksi tapioka .............................................................................................................. Wawancara dengan salah satu manager pabrik mengenai penentuan kadar pati dalam ubikayu ............................................................................................ Pengambilan sampel air limbah dari separator .................................................. Air limbah yang berasal dari pencucian ubikayu............................................... Pengambilan air limbah di IPAL industri tapioka ............................................. Pengukuran di lokasi (temperatur, pH dan DO) bersama Dr. Ir. Udin Hasanudin, M.T. ............................................................................................... Kunjungan Prof. Dr. Ir. H.M.H. Bintoro, M.Agr. ke lokasi salah satu industri tapioka .............................................................................................................. Limbah padat yang cukup melimpah masuk ke kolam penampungan air limbah ............................................................................................................... Limbah onggok yang dihasilkan dari proses produksi industri tapioka ............. Salah satu IPAL industri tapioka ....................................................................... Salah satu outlet IPAL akhir industri tapioka .................................................... Spektrofotometer HACH 4000C untuk mengukur COD ................................... Digestion reaktor DRB 200 untuk pemanasan COD ......................................... Inkubator dan furnace untuk analisa TS dan VTS ............................................. Desikator dan timbangan analitik 4 digit ........................................................... Gas chromatography dan seperangkat PC untuk analisa konsentrasi biogas ..... Reagen COD yang telah diisi sampel air limbah ............................................... Hasil biogas yang dimanfaatkan untuk memasak .............................................. Generator biogas dengan kapasitas 3.2 MW .....................................................
106 108 110 111 112
102 102 103 103 104
113 113 114 114 115 115 116 116 117 117 118 118 119 119 119 120 120 121 121
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Industri tapioka merupakan salah satu jenis industri agro (Agro-basedindustri) berbahan baku ubikayu/singkong yang banyak tersebar di Indonesia baik skala kecil, skala menengah, maupun skala besar. Provinsi Lampung merupakan salah satu produsen ubikayu di Indonesia dengan total luas panen pada tahun 2009 seluas 320.344 ha, tingkat produktivitas rata-rata sebesar 24,61 ton/ha dan total produksi sebesar 7.885.116 ton (BPS, 2010). Ubikayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang memiliki peranan penting dalam sistem ekonomi daerah (Direktorat Jenderal PPHP, 2006). Produksi ubikayu yang sangat tinggi telah mendorong berdirinya lebih dari 65 industri tapioka di Propinsi Lampung.
Industri tapioka dalam kegiatan
produksinya memiliki rendemen berkisar 20-25% b/b dari bobot ubikayu yang diolah. Industri tapioka selalu menghasilkan limbah, baik berupa limbah padat, cair maupun gas yang sering menimbulkan bau yang tidak dikehendaki. Ketiga jenis limbah ini memiliki karakteristik dan beban pencemaran yang berbeda. Limbah padat berupa kulit, ampas (onggok), dan lindur (elot). Kandungan air yang cukup tinggi dalam limbah padat tapioka merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme yang menyebabkan proses pembusukan limbah padat menjadi lebih cepat dan proses pembusukan ini dapat menimbulkan masalah bau busuk pada limbah padat tapioka. Air limbah industri tapioka berasal dari proses pencucian bahan baku (ubikayu), dan ekstraksi.
Limbah organik tersebut bila dibuang langsung ke
perairan umum akan menimbulkan perubahan warna air menjadi kehitaman, penurunan kadar oksigen dalam air dan menimbulkan bau busuk. Air limbah yang dihasilkan industri tapioka sekitar 4-7 m3/ton ubikayu yang diolah dengan konsentrasi bahan organik yang sangat tinggi. Sistem pengolahan air limbah tapioka saat ini banyak menggunakan kolamkolam anaerobik yang memanfaatkan mikroba untuk menguraikan bahan-bahan organik dalam air limbah tersebut. Sistem kolam anaerobik selain memerlukan
2 waktu tinggal yang lama, juga dinilai kurang ekonomis karena memerlukan areal pengolahan air limbah yang cukup luas dan tidak menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi. Penerapan sistem kolam anaerobik dalam pengolahan air limbah tapioka akan menghasilkan gas berupa metana (CH4). Gas metana merupakan gas rumah kaca yang memberikan kontribusi terhadap pemanasan global (Rhode, 1990). Gas metana akan menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan panas bumi meningkat. Adanya pencemaran udara, yang berupa bau tidak sedap di dekat lokasi industri tapioka, banyak disebabkan oleh membusuknya limbah padat maupun air limbah yang tidak dikelola dengan cepat dan tepat, sehingga terjadi pembusukan yang tidak dikehendaki (Balitbang Industri, 2007). Untuk itu sangatlah perlu kiranya dikembangkan metode pengelolaan limbah yang lebih baik dan ramah lingkungan sehingga akan memberikan nilai ekonomis yang lebih besar. Tindakan pengelolaan lingkungan dalam sistem pengelolaan lingkungan (environment protection agency) diprioritaskan pada usaha pengurangan limbah pada sumbernya. Pendekatan tersebut memunculkan konsep produksi bersih. Produksi bersih merupakan suatu pendekatan yang mengarah kepada peningkatan efisiensi proses produksi, penggunaan teknik-teknik daur ulang dan pakai ulang, kemungkinan substitusi bahan baku dengan yang lebih ekonomis dan tidak berbahaya serta perbaikan sistem operasi dan prosedur kerja. Upaya-upaya yang dilakukan pada penerapan produksi bersih, mulai dari yang sederhana sampai dengan yang kompleks, yaitu good housekeeping, optimasi proses, substitusi bahan baku, teknologi baru, dan desain produk baru. Kerangka Pemikiran Kegiatan industri tapioka yang ada saat ini sering menimbulkan masalah lingkungan sehingga sudah selayaknya diperhatikan dan dikendalikan. Jika tidak ditangani secara serius, maka limbah industri tapioka yang terdiri atas limbah padat, cair dan gas, berpotensi besar mencemari lingkungan.
3 Upaya-upaya nyata sebagai pelaksanaan prinsip pengembangan industri yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan harus menjadi perhatian khusus dalam melakukan kegiatan industri. Pengendalian tersebut sudah harus dimulai dari tahap pemilihan bahan baku hingga akhir proses produksi.
Sehubungan
dengan itu, dibutuhkan informasi pemilihan bahan baku yang bersih dari bahan pencemar, teknologi proses yang bersih dan mampu menghasilkan limbah yang sedikit, efisiensi proses yang tinggi, serta didukung teknologi daur ulang dan penanganan limbah yang baik. Hal tersebut merupakan salah satu butir konsep cleaner production/produksi bersih. Produksi bersih merupakan konsep strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang diterapkan secara terus-menerus pada proses produksi, produk dan jasa untuk meminimalkan terjadinya resiko terhadap manusia dan lingkungan (UNEP, 2003). Ubikayu
Pabrik Tapioka
Masukan: Air yg diperlukan? Energi yg diperlukan
Global Warming? Pencemaran?
Limbah
Efisiensi
Proses Pengolahan
Tapioka Meminimalisasi
Kajian yg dilakukan
Produksi bersih QuickScan Profound Analysis Sintesis
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Upaya pokok dari penerapan konsep produksi bersih adalah upaya mencegah, mengurangi, dan mengeliminasi limbah yang dihasilkan dengan cara sebagai berikut: (1) menghitung penggunaan bahan-bahan kimia dan bahan-bahan lainnya serta jumlah limbah yang dihasilkan; (2) mengidentifikasi penyebab dihasilkannya limbah; (3) mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan upaya untuk mengurangi limbah; (4) mengevaluasi kemungkinan-kemungkinan yang layak; dan (5) mengimplementasikan kemungkinan terbaik dari penerapan produksi bersih. Keluaran
4 yang diharapkan dari implementasi produksi bersih adalah terjadinya peningkatan efisiensi, kinerja lingkungan, dan keunggulan kompetitif. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Perumusan Masalah Tapioka yang dihasilkan dari proses produksi ubikayu memiliki rendemen berkisar 20-25% b/b dari bobot ubikayu yang diolah. Selebihnya industri ini juga menghasilkan limbah padat,air limbah dan gas. Limbah padat yang dihasilkan berupa kotoran kulit ubikayu, ampas limbah yang dihasilkan industri tapioka berkisar 4-7 m3/ton ubikayu yang diolah dengan konsentrasi bahan organik yang sangat tinggi dengan nilai COD mencapai 18.00025.000 mg/L, sehingga perlu dilakukan penanganan serius dalam menurunkan jumlah dan konsentrasi limbah yang dihasilkan. Sistem pengolahan air limbah industri tapioka yang saat ini diterapkan yaitu pengolahan limbah biologis secara anaerobik terbuka (lagoon/pond) yang dapat menghasilkan gas karbon diokasida (CO2), metana (CH4), amoniak (NH2), hidrogen sulfat (H2S), dan senyawa lainnya. Sistem kolam anaerobik disamping memerlukan waktu tinggal yang lama, juga dinilai kurang ekonomis karena memerlukan areal pengolahan air limbah yang cukup luas dan tidak menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi. Gas metana merupakan gas rumah kaca yang memberikan kontribusi terhadap pemanasan global (Rhode, 1990). Pemanasan global (global warming) merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas seperti karbondioksida (CO 2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari akan terperangkap dalam atmosfer bumi. Gas metana (CH4) merupakan gas yang mudah terbakar (flammable gas) sehingga merupakan salah satu sumber energi baru dan terbarukan. Pemanfaatan gas metana sebagai sumber energi dapat mengurangi dampak pemanasan global. Walaupun dalam pembakaran metana juga akan dihasilkan karbon dioksida, tetapi dampak karbon dioksida terhadap pemanasan global jauh lebih kecil, yaitu hanya 21 kali lebih kecil dibandingkan dampak gas metana (Rodhe, 1990).
5 Bahan Baku Ubikayu
INDUSTRI TAPIOKA
TAPIOKA
Limbah Padat (Kulit, Onggok, Elot)
Air limbah
Pencemaran Udara
Pencemaran Air
Global Warming CO2 CH4
Preventif Integratif Berkelanjutan
PRODUKSI BERSIH
menghitung penggunaan bahan serta limbah yang dihasilkan mengidentifikasi penyebab dihasilkannya limbah mengidentifikasi kemungkinan upaya mengurangi limbah mengevaluasi kemungkinan-kemungkinan yang layak mengimplementasikan kemungkinan terbaik dari penerapan produksi bersih dan mengkaji penerapannya
MODEL PROSES PRODUKSI INDUSTRI TAPIOKA RAMAH LINGKUNGAN BERBASIS PRODUKSI BERSIH
Gambar 2. Perumusan Masalah Selain bersifat merusak lingkungan, gas metana dikenal umum berpotensi 3
sebagai bahan bakar alternatif dengan nilai kalor 35,9 MJ/m CH4 (Nakamura, 2006). Hal ini ditunjukkan dengan telah dimanfaatkannya gas metana sebagai bahan bakar alternatif antara lain dari pengolahan kotoran ternak, baik sapi maupun babi. Pemanfaatan gas metana yang dihasilkan dari air limbah agroindustri sebagai sumber energi alternatif belum banyak dikaji. Pemanfaatan gas metana yang terbentuk pada kolam anaerobik IPAL agroindustri tapioka akan memberikan manfaat yaitu menurunnya nilai COD air limbah sehingga dapat memenuhi baku mutu lingkungan, tersedianya energi alternatif, dan sekaligus berperan dalam mencegah pemanasan global dengan tidak terlepasnya gas metana ke udara. Cleaner production atau produksi bersih adalah suatu strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, terintegrasi dan berkelanjutan untuk mencegah
6 dan/atau mengurangi terbentuknya limbah pada sumbernya. Obyek penelitian ini adalah pabrik tapioka yang mengolah ubikayu menjadi tapioka. Penelitian difokuskan pada proses pengolahan ubikayu menjadi tapioka yang potensial untuk penerapan konsep produksi bersih dengan beberapa kriteria penilaian antara lain identifikasi sumber penghasil limbah, efisiensi penggunaan sumberdaya energi, daur ulang limbah dan pemanfaatan air limbah. Selanjutnya dilakukan kajian terhadap bagian dari proses produksi ubikayu menjadi tapioka untuk menghasilkan kemungkinan penerapan konsep produksi bersih berdasarkan analisis dan evaluasi nilai manfaat ekonomis dan lingkungannya. Implementasi produksi bersih industri tapioka tersebut dilakukan untuk menghasilkan suatu model proses produksi industri tapioka ramah lingkungan berbasis produksi bersih yang efisien dalam penggunaan air dan energi, biaya produksi, minimalisasi limbah yang dihasilkan dan kemungkinan produksi dan pemanfaatan energi dari air limbah. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1.
mendapatkan tahap proses pengolahan tapioka yang potensial untuk penerapan produksi bersih pabrik tapioka berdasarkan penggunaan air, energi, dan karakteristik limbah yang dihasilkan;
2.
menghasilkan alternatif perbaikan proses produksi dan pengelolaan limbah industri tapioka yang dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi risiko pencemaran terhadap lingkungan berdasarkan hasil analisis dan evaluasi nilai manfaat ekonomis dan lingkungan;
3.
menghasilkan model proses produksi industri tapioka ramah lingkungan berbasis produksi bersih. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi untuk
perbaikan proses produksi dan pengelolaan limbah industri tapioka yang ramah lingkungan sehingga dapat menurunkan resiko pencemaran lingkungan sekaligus meningkatkan efisiensi industri tapioka.
7 Novelty (Kebaruan) Dalam penelitian ini novelty (kebaruan) yang dikemukakan adalah dapat memberikan kontribusi kondisi industri tapioka yang lebih baik dan ramah lingkungan dibandingkan kondisi industri tapioka sekarang ini dengan merekomendasikan perbaikan efisiensi penggunaan air dan energi terhadap proses produksi industri tapioka yang telah berlangsung selama ini dan memanfaatkan potensi energi dari air limbah industri tapioka sebagai salah satu sumber energi terbarukan sekaligus berkontribusi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.
8
TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Produksi Bersih Produksi bersih merupakan salah satu sistem pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan secara sukarela (voluntary) sebab penerapannya bersifat tidak wajib. Konsep produksi bersih merupakan pemikiran baru untuk lebih meningkatkan kualitas lingkungan dengan lebih bersifat proaktif. Produksi bersih merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan pendekatan secara konseptual dan operasional terhadap proses produksi dan jasa, dengan meminimumkan dampak terhadap lingkungan dan manusia dari keseluruhan daur hidup produknya. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal, 1995) mendefinisikan Produksi bersih sebagai suatu strategi pengelolaan lingkungan yang preventif dan diterapkan secara terus-menerus pada proses produksi, serta daur hidup produk dan jasa untuk meningkatkan eko-efisiensi dengan tujuan mengurangi risiko terhadap manusia dan lingkungan. Strategi Produksi bersih mempunyai arti yang sangat luas karena di dalamnya termasuk upaya pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan melalui pilihan jenis proses yang akrab lingkungan, minimisasi limbah, analisis daur hidup produk, dan teknologi bersih.
Pencegahan pencemaran dan perusakan
lingkungan merupakan strategi yang perlu diprioritaskan dalam upaya untuk mewujudkan industri dan jasa yang berwawasan lingkungan, namun bukanlah merupakan satu satunya strategi yang harus diterapkan. Strategi lain seperti program daur ulang, pengolahan dan pembuangan limbah tetap diperlukan, sehingga dapat saling melengkapi satu dengan lainnya (Bratasida, 1997). Strategi untuk menghilangkan limbah atau mengurangi limbah sebelum terjadi (preventive strategy), lebih baik daripada strategi pengolahan limbah atau pembuangan limbah yang telah ditimbulkan (treatment strategy). Kombinasi kedua strategi tersebut sesuai dengan skala prioritas pelaksanaan produksi bersih adalah sebagai berikut (Overcash, 1986) : 1. Eliminasi : Strategi ini dimasukkan sebagai metode pengurangan limbah secara total. Bila perlu tidak mengeluarkan limbah sama sekali (zero discharge).
9 2. Mengurangi sumber limbah: Strategi pengurangan limbah yang terbaik adalah menjaga agar limbah tidak terbentuk pada tahap awal. Pencegahan limbah mungkin memerlukan beberapa perubahan penting dalam proses produksi, tetapi dapat meningkatkan efisiensi ekonomi yang besar dan menekan pencemaran lingkungan. 3. Daur ulang: Jika timbulnya limbah tidak dapat dihindarkan dalam suatu proses, maka harus dicari strategi untuk meminimalkan limbah tersebut sampai batas tertinggi yang mungkin dilakukan, seperti misalnya daur ulang (recycle) dan/atau penggunaan kembali (reuse). Jika limbah tersebut tidak dapat dicegah atau diminimalkan melalui penggunaan kembali atau daur ulang, maka strategi yang bersifat mengurangi volume atau kadar racunnya melalui pengolahan limbah dapat dilakukan. Walaupun strategi ini kadang-kadang dapat mengurangi jumlah limbah, tetapi tidak sama efektifnya dengan mencegah limbah di tahap awal. 4. Pengolahan limbah: Strategi yang terpaksa dilakukan mengingat pada proses perancangan produksi perusahaan belum mengantisipasi adanya teknologi baru yang sudah bebas limbah (zerro waste). Hal ini berarti limbah memang sudah terjadi dan ada dalam sistem produksinya, namun kualitas dan kuantitas limbah yang ada dikendalikan agar tidak melebihi baku mutu yang telah disyaratkan. 5. Pembuangan limbah: strategi terakhir yang perlu dipertimbangkan adalah metode-metode pembuangan alternatif. Pembuangan limbah yang tepat merupakan suatu komponen penting dari keseluruhan program manajemen lingkungan, meskipun ini adalah teknik yang paling tidak efektif. 6. Remediasi: strategi penggunaan kembali bahan-bahan yang terbuang bersama limbah. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kadar racun dan kuantitas limbah yang ada. Peluang dan Tantangan Penerapan Produksi Bersih Produksi bersih diperlukan sebagai cara untuk mengharmonisasikan upaya perlindungan lingkungan dengan kegiatan pembangunan dan pertumbuhan
10 ekonomi. Menurut Djajadiningrat (2001), peluang penerapan Produksi bersih adalah: 1. Memberi keuntungan ekonomi, karena konsep produksi bersih didalamnya terdapat strategi pencegahan pencemaran pada sumbernya (source reduction dan inprocess recycling) yaitu pencegahan terbentuknya limbah secara dini sehingga dapat mengurangi biaya investasi yang harus dikeluarkan untuk pengolahan, pembuangan limbah dan upaya perbaikan lingkungan. 2. Mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan. 3. Memelihara dan memperkuat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang melalui konservasi sumberdaya, bahan baku dan energi. 4. Mendorong pengembangan teknologi baru yang lebih efisien dan akrab lingkungan 5. Mendukung prinsip ‘environmental equity’ dalam rangka pembangunan berkelanjutan. 6. Mencegah atau memperlambat terjadinya proses degradasi lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam. 7. Memelihara ekosistem lingkungan. 8. Memperkuat daya saing produk di pasar internasional. Tantangan penerapan produksi bersih, antara lain : 1. Tercapainya efisiensi produksi yang optimal 2. Diperolehnya penghargaan masyarakat terhadap sistem produksi yang akrab lingkungan 3.
Mendapatkan insentif. Pengembangan pelaksanaan dan penerapan produksi bersih intinya adalah mengubah pola pikir tradisional ‘end-of-pipe’ dengan paradigma baru dalam pengelolaan pencemaran lingkungan, yaitu penerapan produksi bersih, yang dapat meningkatkan efisiensi produksi sehingga akan memberikan peningkatan keuntungan baik secara finansial, teknik maupun regulasi. Hambatan ekonomi akan timbul bila kalangan pengusaha merasa tidak akan mendapat keuntungan dalam penerapan produksi bersih. Sekecil apapun penerapan
11 produksi bersih, bila tidak menguntungkan bagi perusahaan maka sulit bagi manajemen untuk membuat keputusan tentang penerapan produksi bersih. Menurut Djajadiningrat (2001), hambatan pada aspek ekonomi dan teknis antara lain: 1.
Keperluan biaya tambahan peralatan
2.
Tingginya modal/investasi yang dibutuhkan dibanding kan penerapan kontrol pencemaran secara konvensional sekaligus penerapan produksi bersih
3.
Penghematan proses produksi bersih yang belum nyata realisasinya
4.
Kurangnya informasi produksi bersih
5.
Sistem yang baru ada kemungkinan tidak sesuai dengan yang diharapkan, sehingga dapat menyebabkan gangguan
6.
Fasilitas produksi ada kemungkinan sudah penuh sehingga tidak ada tempat
lagi untuk tambahan peralatan. Kendala sumberdaya manusia dalam penerapan produksi bersih dapat
berupa: 1. Kurangnya komitmen manajemen puncak 2. Adanya keengganan untuk berubah baik secara individu maupun organisasi 3. Lemahnya komunikasi internal 4. Pelaksanaan organisasi yang kaku 5. Birokrasi, terutama dalam pengumpulan data. 6. Kurangnya dokumentasi dan penyebaran informasi. 7. Kurangnya pelatihan kepada sumberdaya manusia mengenai produksi bersih. Manfaat penerapan Produksi bersih, antara lain : 1.
Lebih efektif dan efisien dalam penggunaan sumberdaya alam.
2.
Mengurangi biaya-biaya yang berkenaan dengan lingkungan
3.
Mengurangi atau mencegah terbentuknya pencemar
4.
Mencegah berpindahnya pencemar dari satu media ke media lain
5.
Mengurangi risiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan
6.
Memberikan peluang untuk mencapai sistem manajemen lingkungan pada ISO 14000
12 7.
Memberikan keunggulan daya saing pada tingkat pasar domestik dan internasional. Saat ini terdapat dua mekanisme yang mendorong terjadinya pendekatan
baru dalam hal perdagangan global, yaitu pertama, adanya kekuatan konsumen yang makin meningkat dan makin besarnya rasa solidaritas lingkungan terhadap produk yang dibelinya agar tidak menimbulkan dampak lingkungan dalam pengadaannya, seperti ecolabel atau green label yang menandai bahwa produk tertentu diproduksi melalui produksi bersih. Kedua, sejak awal tahun tujuh puluhan sampai pertengahan delapan puluhan, industri menghadapi penegakan hukum yang konsisten disertai baku mutu yang makin ketat. Oleh karena itu, terjadi kejar-mengejar antara baku mutu dengan kemampuan industri menaati baku mutu. Dari sisi perdagangan terjadi kecenderungan mengaitkan aspek lingkungan hidup, sehingga hal tersebut menjadikan suatu tantangan bagi kalangan industri dan jasa untuk dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerjanya supaya tetap dapat mempertahankan diri dalam situasi persaingan global. Pengusaha juga perlu mempertimbangkan perspektif konsumen mengenai produknya, seperti citra positif yang diperoleh dengan mendapatkan sertifikasi ecolabel dan ISO 14000. Sebagian konsumen mempunyai pertimbangan yang luas dalam setiap melakukan tindakan berkonsumsi. Mereka tidak hanya memperhatikan mutu, penampilan, harga, garansi ataupun pelayanannya saja, melainkan juga akan mempertimbangkan beberapa masalah baru. Pertama, masalah ekologi, yang berkaitan dengan ada tidaknya unsur pencemaran atau perusakan lingkungan mulai dari pengadaan bahan baku, proses produksi, serta akibat yang ditimbulkan dari penggunaan barang tersebut. Kedua, masalah etika, setiap kali konsumen memutuskan untuk membeli atau tidak membeli, mereka terlebih dahulu mempertimbangkan etika produsennya. Apakah produsen menjalankan usahanya dengan benar atau apakah produsen tidak memanfaatkan kelemahan peraturan yang ada di suatu negara. Contoh dalam hal ini adalah penghargaan yang lebih dari konsumen terhadap suatu perusahaan yang telah menggunakan standar yang diakui secara internasional (misalnya ISO 9000, ISO 14000). Yang ketiga adalah masalah keadilan, yaitu apakah produksi tersebut mengeksploitasi sumberdaya alam dan ekonomi masyarakat lokal, atau apakah pengusaha mengupayakan
13 pelestarian dengan penghitungan yang tepat antara eksploitasi yang mereka lakukan sejalan dengan upaya perbaikan. Contoh dalam masalah ini adalah kondisi masyarakat sekarang yang semakin kritis sehingga upaya pelestarian lingkungan hidup selalu ditanyakan dalam setiap bentuk produk dan jasa yang ada. Penerapan produksi bersih dapat mendukung ketiga aspek tersebut, terutama dalam kaitannya dengan sertifikasi ecolabel dan ISO 14000. Sikap Indonesia mengenai perlunya integrasi produksi bersih dengan strategi pemasaran produk dalam menanggapi isu lingkungan sudah jelas. Hal tersebut sudah menjadi komitmen pemerintah. Dalam konteks perdagangan dan industri di Indonesia, pemerintah juga telah memperkenalkan produksi bersih (cleaner production) sejak tahun 1993 melalui program-program yang dikembangkan oleh BAPEDAL untuk menarik minat masyarakat (community awareness) dalam menerapkan produksi bersih. Tekad pemerintah untuk melaksanakan produksi bersih ini kemudian dicanangkan pada tahun 1995 sebagai komitmen nasional bagi kalangan industri dan pengusaha untuk dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Tindak lanjutnya pada tahun 1996 telah disusun suatu rencana pelaksanaan kegiatan produksi bersih yang mencakup arahan pelaksanaan produksi bersih pada seluruh sektor kegiatan. Pola ini dilakukan melalui kegitan bantuan teknis, pengembangan sistem informasi, peningkatan kesadaran dan pelatihan serta pengembangan sistem insentif. Selanjutnya konsep produksi bersih dilaksanakan sejalan dengan program-program lain yang dapat mendorong penerapan produksi bersih seperti label lingkungan (environmental labeling) dan Sistem Manajemen Lingkungan (environmental management system) melalui kegiatan kerjasama dengan instansi terkait misalnya Kementerian Industri dan Perdagangan Republik Indonesia. Pemasaran pada hakekatnya ditujukan untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Persoalannya, kebutuhan konsumen tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan untuk hidup saja, tetapi juga kebutuhan untuk menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan hidup mereka. Kepedulian konsumen akan lingkungan yang semakin meningkat tersebut perlu diantisipasi oleh semua pihak. Adanya integrasi produksi bersih dengan strategi pemasaran produk maka banyak manfaat
14 yang dapat diperoleh bagi semua pihak (win-win situation). Bagi pengusaha ekspor, upaya mengintegrasikan penerapan produksi bersih dengan strategi pemasaran akan membuat produk dan/atau jasa lainnya telah memenuhi persyaratan tertentu sehingga dapat dikatakan sebagai produk/jasa yang akrab dengan lingkungan. Dengan demikian, produknya akan dapat diterima oleh konsumen internasional. Strategi Penerapan Produksi Bersih Komitmen nasional produksi bersih merupakan upaya penggalangan penerapan produksi bersih secara sukarela oleh berbagai kalangan, baik itu pemerintah, kalangan industri dan jasa, bahkan para peneliti dan konsultan yang terlibat. Komitmen nasional
produksi bersih ini antara lain : 1. Produksi bersih dipertimbangkan pada tahap sedini mungkin dalam pengembangan proyek-proyek baru, atau pada saat mengkaji proses dan/atau aktivitas yang sedang berlangsung 2. Semua pihak turut bertanggung jawab dan terlibat dalam program dan rencana tindakan produksi bersih dan bekerjasama untuk mengharmonisasikan pendekatan-pendekatan produksi bersih. 3. Agar produksi bersih dapat dilaksanakan secara efektif, semua pendekatan melalui peraturan perundang-undangan, instrumen ekonomi maupun upaya sukarela harus dipertimbangkan. 4. Program produksi bersih menekankan pada upaya perbaikan yang berlanjut. 5. Produksi bersih hendaknya melibatkan pertimbangan daur hidup suatu produk 6. Produksi bersih menjadi salah satu elemen inti dari sistem manajemen lingkungan, seperti pada ISO 14001. 7. Produksi bersih dilaksanakan agar tercapai daya saing yang lebih besar di pasar domestik maupun internasional melalui peningkatan efisiensi dan perbaikan struktur biaya. Penerapan produksi bersih hingga saat ini telah memperoleh dukungan yang luas dengan penerapan pada skala nasional maupun internasional melalui program Clean Development Mechanism (CDM) yang tercantum dalam Pasal 12 Protokol
15 Kyoto. Penerapan CDM terutama adalah untuk mengurangi emisi karbon ke atmosfir, dan dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing negara. Selain itu, negara maju khususnya yang tergabung dalam JI (Joint Implementation) harus membantu negara-negara berkembang dalam penerapan CDM. Dengan membantu penerapan CDM tersebut, negara maju dapat memperoleh unit pengurangan emisi (Emission Reduction Unit/ERU) dan sertifikasi pengurangan emisi (Certified Emission Reduction/CER) dari penerapan CDM tersebut, serta peningkatan jatah emisinya di dalam negeri melalui perdagangan emisi. Bagi negara berkembang, kerjasama tersebut dapat meningkatkan kegiatan ekonomi dan pembangunan di negara tersebut serta membantu mempercepat tercapainya pembangunan yang berkelanjutan. Itulah sebabnya mengapa CDM dapat diterima oleh banyak negara, karena dinilai fleksibel dan mampu mengendalikan pencemaran lingkungan (Murdiyarso, 2003). Menurut Murdiyarso (2003) bahwa secara umum untuk dapat menerapkan produksi bersih, diperlukan kelembagaan Produksi bersih sebagai prioritas pada semua aktivitas, dengan cara : 1.
Memasukkan konsep produksi bersih ke dalam perundang-undangan, peraturan dan kebijakan nasional.
2.
Mengintegrasikan konsep produksi bersih dalam suatu kebijakan dan program departemen sektoral dan pemerintah daerah, diantaranya dengan meneliti peluang untuk memberikan insentif dalam rangka promosi untuk pelaksanaan produksi bersih.
3.
Menetapkan komite nasional produksi bersih yang bertugas untuk mengembangkan, melaksanakan strategi dan merencanakan produksi bersih. Komite tersebut akan memantau perkembangannya dan melaporkan kepada presiden mengenai kinerja produksi bersih.
4.
Mempercepat usaha penerapan produksi bersih secara nasional, berarti memfasilitasi diterimanya produksi bersih oleh semua pihak, dan hal ini akan diperkuat dengan diratifikasinya Protokol Kyoto.
5.
Mengidentifikasi peluang dan mengembangkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang produksi bersih dan mendorong pelaksanaan produksi bersih yang bersifat operasional untuk semua aktivitas.
16 6.
Mengembangkan program pendidikan dan latihan produksi bersih untuk semua pihak.
7.
Bantuan bagi perusahaan skala kecil dan menengah dalam upaya mengintegrasikan konsep produksi bersih, baik bantuan teknis maupun pendanaan.
8.
Pengembangan penggunaan instrumen ekonomi untuk dapat mendukung dilaksanakannya produksi bersih, mengingat produksi bersih perlu dirancang menarik agar dapat meningkatkan partisipasi semua pihak, seperti pemberian insentif. Penerapan Produksi Bersih Produksi bersih berbeda dengan kontrol polusi yang merupakan proses
pengendalian pencemaran suatu kegiatan setelah kegiatan produksi (after-theevent) dengan pendekatan reaksi dan perlakuan (react and treat); sedangkan produksi bersih merupakan suatu tindakan proaktif dengan filosofi antisipasi dan pencegahan (anticipate and prevent) dan menganggap bahwa mencegah lebih baik daripada menangani sesuatu yang telah terjadi. Produksi bersih difokuskan pada upaya pengurangan limbah yang dihasilkan selama siklus hidup dari suatu produk yang dihasilkan berdasarkan kegiatan-kegiatan dan teknologi yang meminimalkan limbah dan energi yang digunakan dengan melibatkan penggunaan desain produk, teknologi yang ramah lingkungan, proses dan kegiatan yang meminimalkan limbah. Teknologi pengolahan limbah (end-of-pipe) tidak berarti menjadi tidak diperlukan dengan diterapkannya konsep produksi bersih, tetapi dengan penerapan filosofi produksi bersih menyebabkan berkurangnya masalah limbah dan polusi yang pada akhirnya mengurangi beban yang harus diolah dengan teknik pengolahan limbah dan untuk beberapa kasus resiko berupa limbah yang dihasilkan dapat dihindari. (Andrews et al. 2002; UNEP DTIE dan DEPA 2000). Beberapa upaya dan teknik-teknik yang dapat dilakukan dalam penerapan konsep produksi bersih disajikan pada Gambar 3. dan Tabel 1. Keberhasilan penerapan upaya perbaikan melalui pendekatan produksi bersih didukung antara lain melalui: (1) perubahan sikap (changing attitudes) dari pihak-pihak yang terlibat didalam suatu organisasi yang menerapkan produksi bersih dan hal ini sama pentingnya dengan penerapan perubahan teknologi;
17 (2) penerapan pengetahuan (applying know-how) yang berarti peningkatan efisiensi, penerapan teknik manajemen yang lebih baik, perbaikan teknik tata cara kerja (housekeeping practices), dan penyempurnaan kebijakan dan prosedur kerja perusahaan; dan (3) perbaikan teknologi (improving technology) yang dilakukan antara lain dengan (a) perubahan proses dan teknologi manufaktur; (b) perubahan penggunaan input proses (bahan baku, sumber energi, resirkulasi air); (c) perubahan produk akhir atau pengembangan produk-produk alternatif; dan (d) penggunaan kembali limbah dan hasil samping (UNEP DTIE dan DEPA 2000; Maiellaro dan Lerario, 2000). TEKNIK PRODUKSI BERSIH
Pengurangan Sumber Pencemar
Pengubahan Produk Penggantian Produk Pengubahan Komposisi Produk
Daur Ulang
Pengendalian Sumber Pencemar
Pengubahan Material Input Pemurnian material Penggantian material
Pengambilan Kembali Diproses untuk: Mendapatkan kembali bahan asal Memperoleh produk samping
Pengubahan Teknologi Pengubahan proses Pengubahan tata letak, peralatan/perpipaan Pengubahan tatanan dan ketentuan operasi Otomatisasi peralatan
Gambar 3. Teknik-teknik produksi bersih. Sumber: UNEP DTIE dan DEPA (2000)
Penggunaan Kembali Pengembalian ke proses asal Penggantian bahan baku untuk proses lain
Tata Cara Operasi Tindakan-tindakan prosedural Pencegahan kehilangan Pemisahan aliran limbah Peningkatan penanganan material Penjadwalan produksi
18 Tabel 1. Upaya-upaya yang dapat diterapkan pada produksi bersih Jenis Upaya Keterangan Good House- Penerapan produksi bersih melalui perbaikan tatacara kerja dan keeping upaya perawatan yang memadai, sehingga dihasilkan suatu keuntungan yang nyata. Upaya ini memerlukan biaya yang rendah. Optimisasi Konsumsi terhadap sumberdaya yang digunakan dapat Proses dikurangi dengan mengoptimalkan proses yang digunakan. Upaya ini memerlukan biaya yang lebih tinggi dibandingkan house-keeping Substitusi Penerapan produksi bersih melalui upaya ini dapat menghindari Bahan Baku masalah lingkungan yang mungkin timbul dengan mengganti bahan-bahan yang berbahaya bagi lingkungan dengan bahan lain yang bersifat lebih ramah lingkungan. Upaya ini kemungkinan memerlukan perubahan peralatan proses produksi yang digunakan. Teknologi Penerapan produksi bersih melalui upaya ini dapat mengurangi Baru konsumsi sumberdaya dan meminimalkan limbah yang dihasilkan melalui peningkatan efisiensi operasi kerja. Upaya ini umumnya memerlukan invesitasi modal yang tinggi, tetapi jangka waktu kembali modal (payback periods) umumnya singkat Desain Penerapan produksi bersih melalui desain produk baru Produk Baru menghasilkan keuntungan melalui siklus hidup produk tersebut termasuk mengurangi penggunaan bahan-bahan berbahaya, limbah yang dihasilkan, konsumsi energi, dan meningkatkan efisiensi proses produksi. Desain produk baru merupakan strategi jangka panjang yang membutuhkan peralatan produksi baru dan upaya pemasaran yang lebih intensif, tetapi hasil yang diperoleh sangat menjanjikan Sumber: UNEP DTIE dan DEPA (2000); Maiellaro dan Lerario (2000) Produksi bersih yang diterapkan pada berbagai bidang memberikan keuntungan antara lain: (1) perbaikan proses produksi yang dilakukan dan produk yang dihasilkan; (2) penghematan bahan baku dan energi, sehingga mengurangi biaya produksi; (3) peningkatan daya saing sebagai akibat penggunaan teknologi baru dan yang telah diperbaiki; (4) mengurangi kekhawatiran terhadap peraturan lingkungan yang diterapkan;
19 (5) mengurangi upaya yang berkaitan dengan penanganan, penyimpanan, dan pembuangan bahan-bahan berbahaya; (6) meningkatkan kesehatan, keselamatan, dan moral para pekerja; (7) meningkatkan citra perusahaan; dan (8) mengurangi biaya penanganan limbah yang dihasilkan (UNEP CCP dan the CRC WMPC, 1999; UNEP DITE dan DEPA 2000; Maiellaro dan Lerario, 2000). Industri Tapioka Industri tapioka di Indonesia terbagi menjadi industri berkapasitas kecil, menengah dan besar yang beroperasi secara nasional. Industri tapioka skala kecil adalah industri yang menggunakan teknologi proses dan peralatan tradisional dengan kemampuan produksi sekitar 5 ton bahan baku per hari. Industri tapioka skala menengah adalah industri yang menggunakan teknologi proses dan peralatan yang lebih sederhana dibandingkan industri skala besar serta mempunyai kemampuan produksi 20-200 ton bahan baku per hari. Industri tapioka skala besar adalah industri yang menggunakan teknologi proses produksi mekanis penuh dan mempunyai kemampuan produksi di atas 200 ton bahan baku per hari (Bapedal, 1996). Dilihat dari proses pengolahan, industri tapioka digolongkan dalam dua kelompok.
Kelompok pertama industri kecil menggunakan mesin-mesin
sederhana dengan kapasitas produksi rendah, modal kecil dan lebih banyak menggunakan tenaga kerja, dan kelompok kedua merupakan industri besar yang menggunakan mesin-mesin dengan kapasitas produksi besar, modal kuat dan tenaga kerja sedikit. Skema proses pengolahan tapioka industri kecil dan industri besar dapat dilihat pada Gambar 4. dan Gambar 5. Tahapan proses produksi industri tapioka skala kecil adalah tahap proses pengupasan bahan baku, pencucian bahan baku, pemarutan ubikayu, proses ekstraksi bubur ubikayu, proses pengendapan dalam bak pengendapan, proses penjemuran menggunakan panas matahari, proses penggilingan tapioka kasar dan pengayakan hingga diperoleh tapioka halus.
20
Ubikayu
1 ton
Kulit dan kotoran
Pengupasan
Air
Pencucian
Limbah Cair
Pemarutan Bubur ubikayu Air
Ekstraksi
Ampas 400 kg
Air Pencucian untuk peralatan
Limbah Cair
Air Limbah
Pengendapan
Air Limbah
Penjemuran
Air
Penggilingan
Pengayakan
TEPUNG TAPIOKA
300 kg
Gambar 4. Skema Proses Pengolahan Tapioka di Industri Skala Kecil Sumber: (Bapedal, 1996) Tahapan proses produksi di pabrik tapioka modern skala besar adalah tahap pembersihan ubikayu dari pasir atau tanah, pengupasan dapat dilakukan manual dengan tenaga manusia maupun secara mekanis, pemotongan dan pencacahan dilakukan untuk mendapatkan ukuran ubikayu yang lebih kecil untuk mempermudah pada proses selanjutnya, serta pemarutan yang dilakukan secara mekanis dan biasanya pada proses ini ditambahkan dengan air yang akan menghasilkan bubur ubikayu. Tahap selanjutnya adalah ekstraksi bubur ubikayu yang dilakukan
21 dengan ekstraktor (saringan berputar berbentuk kerucut) yang terdiri dari ayakan stainless steel atau filter cloth dengan bantuan air cucian yang mengandung asam sulfide untuk menjamin pemisahan pati dengan ampasnya dan untuk menghindari terjadinya proses mikrobiologi. Setelah dilakukan ekstraksi bubur ubikayu, tahap selanjutnya adalah pengeringan dan pengemasan. Kegiatan ini terdiri dari penghilangan air pada bubur tepung dengan menggunakan dewatering, pengeringan tepung basah dengan flash dryer atau pneumatic dryer, pengumpulan tepung kering dengan cyclone dan pengayakan atau penyaringan yang dilakukan untuk menyaring ukuran tepung sesuai kebutuhan sebelum dimasukkan ke silo (ruangan penyimpan) untuk pengemasan tepung tapioka yang selanjutnya siap dipasarkan.
Gambar 5. Skema Proses Produksi Tapioka Industri Skala Besar (Sumber: KLH, 2004 dalam Purwati, 2010)
22 Limbah Industri Tapioka Menurut Winarno (1986) yang dimaksud limbah adalah kotoran atau buangan yang tercermin dalam kata pelimbahan yang berarti tempat penampung kotoran atau buangan.
Thompson (1973) mengatakan bahwa sebagian besar
limbah merupakan komponen penyebab pencemaran yang terdiri dan zat atau bahan yang tidak mempunyai kegunaan lagi bagi masyarakat. Limbah industri pertanian kebanyakan menghasilkan limbah yang bersifat cair atau padat yang masih kaya dengan zat organik yang mudah mengalami penguraian (Algamar, 1986). Industri yang ada membuang umumnya membuang limbahnya ke perairan terbuka, sehingga dalam waktu yang relatif singkat akan terjadi bau busuk sebagai akibat terjadinya fermentasi limbah. Kunaefi (1982) berpendapat bahwa limbah industri adalah buangan yang berasal dari industri sebagai akibat dari produksi. Pengusaha industri yang akan membuang limbah diwajibkan mengolah terlebih dahulu untuk mencegah pencemaran lingkungan hidup di sekitarnya dengan metode pengolahan limbah yang dapat dilakukan secara fisik, kimia, biologi atau kombinasi untuk mengatasi pencemaran.
Sugiharto (1987) mengatakan bahwa air limbah yang berasal dari
industri sangat bervariasi, serta tergantung dari jenis dan besar kecilnya industri, pengawasan pada proses industri, derajat penggunaan air, dan derajat pengolahan. Limbah dari industri tapioka bisa dibedakan menjadi 3 macam yaitu limbah padat, cair dan gas (Tjiptadi, 1985). Limbah padat dari industri tapioka adalah kulit ubikayu, ampas atau onggok, dan lindur (elot). Limbah kulit ubikayu adalah limbah yang dihasilkan dari proses pengupasan kulit ubikayu. Persentase jumlah limbah kulit ubikayu bagian luar sebesar 0,5-2% dari berat total ubikayu segar dan limbah kulit ubikayu bagian dalam sebesar 8-15% (Hikmiyati et al., 2009). Kulit ubikayu ini biasanya juga digunakan untuk pakan ternak dan selebihnya dibuang karena mengandung Cyanogenic glucosides yang dapat meracuni hewan ternak (Nursita, 2005). Komposisi kimia kulit ubikayu dapat dilihat pada Tabel 2. Ampas (onggok) adalah limbah dan industri tapioka yang dihasilkan dari proses pemerasan dan penyaringan. Komponen penting yang terdapat dalam onggok adalah pati dan selulosa. Onggok juga mengandung air dan karbohidrat yang cukup tinggi serta kandungan protein kasar dan lemak yang rendah.
23 Tabel 2. Komposisi kimia kulit ubikayu Komposisi kimia Air* Abu* Lemak kasar* Serat kasar* Protein kasar* C** H** O** N** S** Ash**
Nilai (%) 67,7438 1,8629 1,4430 10,5952 6,0360 59,31 9,78 28,74 2,06 0,11 0,3
Sumber: *) Laboratorium Fakultas Peternakan,Universitas Diponegoro (2008) dalam Hikmiyati, et al. (2009) **) Ikawati, et al. (2009) Banyaknya onggok yang dihasilkan dipengaruhi oleh varietas ubikayu, umur ubikayu, dan kasar-halusnya parutan yang digunakan. Varietas ubikayu yang bermutu baik dapat menghasilkan pati dengan rendemen tinggi. Saat musim hujan sebagian industri tapioka banyak membuang onggok bersama dengan air limbahnya, sehingga airnya keruh dan pekat. Hal ini sangat mengganggu kesehatan dan bahkan dapat mematikan biota air. Onggok yang dikeluarkan industri kecil karena keterbatasan pengetahuan dan teknologi yang dimiliki maka onggok masih mengandung pati dengan konsentrasi cukup tinggi (Ira, 1991 dalam Chardialani, 2008). Adapun komposisi kimia onggok dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia onggok. Komposisi kimia Karbohidrat* Protein Lemak Serat kasar* Air Abu
Nilai (%) 68 3,6 2,3 10 20,31 4,4
Sumber : *) Susijahadi (1997) dalam Pratama (2009) Lindur atau elot adalah limbah padat yang dihasilkan dari sisa proses pengendapan pati. Limbah elot ini masih mengandung kadar pati dengan kualitas rendah, sehingga bila elot ini langsung dibuang bersamaan dengan air limbah ke perairan, maka elot akan meningkatkan beban pencemaran yang akan terjadi di perairan.
24 Air limbah industri tapioka berasal dari proses pencucian bahan baku, penyaringan bubur ubikayu (ekstraksi) dan pengendapan pati. Kualitas air limbah industri tapioka dapat ditentukan dengan beberapa parameter uji. Parameter uji yang pokok dalam air limbah industri tapioka antara lain BOD5, COD, padatan terlarut, padatan tersuspensi, sianida (HCN) dan pH. Menurut Fajarudin (2002), karakteristik limbah cair industri tapioka meliputi: 1. Warna Warna air limbah transparan disertai suspensi berwarna putih. Zat terlarut dan tersuspensi yang mengalami penguraian hayati dan kimia akan berubah warna. Hal ini merupakan proses yang paling merugikan, karena kadar oksigen di dalam air limbah menjadi nol, sehingga air limbah berubah menjadi warna hitam dan busuk. 2. Bau Bau industri tapioka tidak enak disebabkan oleh adanya pemecahan zat organik oleh mikroba. Bau menyengat yang timbul di perairan sungai atau saluran, biasanya timbul apabila sungai atau saluran tersebut sudah menjadi anaerob atau tidak ada oksigen yang terlarut. Bau tersebut timbul karena penyusun protein dan karbohidrat terpecah, sehingga timbul bau busuk dari gas alam sulfida. 3. Kekeruhan Adanya padatan terlarut dan tersuspensi di dalam air limbah tapioka menyebabkan air keruh. Kekeruhan ini terjadi Karena zat organik atau zat-zat tersuspensi dari pati yang tercecer atau zat organik terlarut yang sudah terpecah, sehingga air limbah berubah menjadi emulsi keruh. 4. BOD (Biochimical Oxigen Demand) Padatan yang terlarut dalam air buangan terdiri dari zat organik dan anorganik.
Zat organik misalnya protein, karbohidrat, lemak, dan minyak.
Protein dan karbohidrat lebih mudah terpecah melalui proses hayati menghasilkan amonia, sulfida, dan asam lainnya. Sedangkan lebih stabil terhadap perusakan hayati, namun apabila ada asam mineral dapat menguraikan asam lemak menjadi gliserol. Air limbah industri tapioka mengandung pati, sedikit lemak, protein dan zat organik lainnya yang ditandai banyaknya zat-zat terapung dan menggumpal. Jumlah zat organik yang terlarut dalam air limbah tapioka dapat diketahui dengan
25 melihat nilai BOD. Angka BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk keperluan aktivitas mikroba dalam memecah zat organik secara biologis di dalam air limbah. Angka BOD dinyatakan dalam satuan mg/Latau ppm (part per million) dan biasanya pula dinyatakan dalam beban yaitu gram atau kilogram per satuan waktu. 5. COD (Chimical Oxigen Demand) Chimical Oxigen Demand merupakan parameter air limbah yang menunjukkan jumlah zat organik biodegradasi dan non biodegradasi dalam air limbah. Zat tersebut dapat dioksidasi oleh bahan kimia K2Cr2O7 dalam asam, misalnya sulfat, nitrit kadar tinggi, dan zat-zat reduktor lainnya. Besarnya angka COD biasanya dua sampai tiga kali lebih besar dari BOD. Kisaran angka COD adalah 7.00030.000 mg/L. 6. Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) air limbah tapioka sangat dipengaruhi oleh kegiatan mikroba dalam pemecahan bahan organik. Air buangan cenderung asam, dan pada keadaan asam ini terlepas zat-zat yang mudah menjadi gas. Dari hasil percobaan, pada saat pembuatan tapioka pH larutan 6,51 namun setelah air limbah berumur tujuh jam mulai terjadi penurunan pH menjadi 5,8 setelah 13 jam pH menjadi 4,91 dan setelah satu hari menjadi pH 4,84 (Nurhasan dan Pramudyanto, 1983). 7. Padatan Tersuspensi Padatan tersuspensi mempengaruhi kekeruhan air dan warna air. Apabila terjadi pengendapan dan pembusukkan zat-zat tersebut di dalam badan perairan penerima air limbah, maka akan mengurangi nilai guna perairan tersebut. Padatan tersuspensi di dalam air cukup tinggi, berkisar 1.500-5.000 mg/L.
Padatan
tersuspensi ini merupakan suspensi pati yang terendapkan pada pengendapan tingginya kandungan padatan tersuspensi menandakan bahwa proses pengendapan belum sempurna. 8. Asam Sianida (HCN) Selama ini dikenal ada dua jenis ubikayu, yaitu ubikayu manis dan ubikayu pahit. Kriteria manis dan pahit biasanya berdasarkan kadar asam sianida (HCN)
26 yang terkandung dalam umbi ubikayu. Darjanto dan Muryati (1980) membagi ubikayu menjadi tiga golongan sebagai berikut. a. Golongan yang tidak beracun (tidak berbahaya), mengandung HCN 20 - 50 mg per kg umbi. b. Golongan yangberacun sedang, mengandung HCN 50 – 100 mg per kg umbi. c. Golongan yang sangat beracun, mengandung HCN lebih besar dari 100 mg per kg umbi. Menurut Grace (1977), kandungan asam sianida semula diperkirakan berhubungan dengan varietas ubikayu, namun kemudian ternyata juga bergantung pada kondisi pertumbuhan, tanah, kelembaban, suhu dan umur tanaman. Komposisi kimia tepung dan pati ubikayu jenis pahit dan manis ternyata hampir sama, kecuali kadar serat dan kadar abu pada tepung ubikayu manis lebih tinggi dari tepung ubikayu pahit (Rattanachon et al. 2004). Selanjutnya Rattanachon et al. (2004) menerangkan bahwa viskositas tepung dan pati ubikayu tergantung varietasnya, dan tidak ada hubungannya dengan kriteria manis atau pahit. Industri tapioka kebanyakan menggunakan bahan baku ubikayu beracun, karena harganya murah. Ubikayu mengandung senyawa sianogenik linamarin. Komponen ini apabila terhidrolisis dapat menjadi glukosa, aseton, dan asam sianida (HCN). HCN terhidrolisa jika kontak dengan udara (O 2), oleh karena itu kandungan sianida bukan penyebab utama timbulnya pencemaran. Menurut Barana dan Cereda (2000) limbah cair industri tapioka memiliki kandungan sianida sebanyak 33,59 ppm. HCN pada ubikayu yang telah tua ditandai oleh membirunya umbi pada ubikayu ataupun pada kulitnya. HCN juga terletak pada daun ubikayu, ditandai dengan pahitnya rasa daun pada ubikayu tersebut. HCN diketahui dapat larut dalam air. Hal ini terlihat bahwa ubikayu yang mengalami proses pencucian akan mengalami perubahan warna biru perlahan memudar kemudian menjadi agak keputih-putihan kembali. Hal itu membuktikan bahwa kadar asam sianida ubikayu akan menurun kadarnya setelah mengalami pencucian, perendaman, perebusan, dan penjemuran. Air limbah dengan karakteristik tersebut harus ditangani dengan serius agar tidak mencemari lingkungan dan memenuhi standar baku mutu air limbah di
27 Provinsi Lampung. Spesifikasi baku mutu air limbah industri tapioka didasarkan pada Peraturan Gubernur Lampung Nomor 7 Tahun 2010 tentang baku mutu air limbah usaha dan/atau kegiatan di Provinsi Lampung.
Baku mutu untuk air
limbah industri tapioka dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Baku Mutu Air Limbah Industri Tapioka Parameter BOD (5 Hari, 20OC) COD Total Padatan Tersuspensi pH Sianida Debit
Kadar Maksimal 100 mg/L 250 mg/L 60 mg/L 6–9 0,2 mg/L 25 m3 per ton produk
Sumber : Peraturan Gubernur Lampung Nomor 7 Tahun 2010 Biogas sebagai Sumber Energi Alternatif Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau fermentasi dari bahan-bahan organik termasuk diantaranya kotoran manusia dan hewan, limbah domestik (rumah tangga), limbah agroindustri, sampah biodegradable atau setiap limbah organik yang biodegradable dalam kondisi anaerobik. Biogas merupakan gas yang tidak berwarna, sangat tinggi dan cepat daya nyalanya, sehingga sejak biogas berada pada bejana pembuatan sampai penggunaannya untuk penerangan atau memasak, harus selalu dihindarkan dari api yang dapat menyebabkan kebakaran atau ledakan (Suriawiria, 2005). Sifat Biogas adalah 20 % lebih ringan dari udara dan mempunyai satu suhu nyala di sekitar 650ºC sampai dengan 750ºC. Nilai kalor dari biogas adalah 20 Mega Joules (MJ) per m3 dan membakar dengan tingkat efisiensi 60 persen di suatu dapur biogas yang konvensional. Biogas dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembangkit listrik, pemanas ruangan, memasak, dan pemanas air. Jika dikompresi, biogas dapat menggantikan gas alam terkompresi (CNG) yang digunakan pada kendaraan. Biogas yang telah dimurnikan akan memiliki karakteristik yang sama dengan gas alam. Akan tetapi gas tersebut harus sangat bersih untuk mencapai kualitas pipeline. Air (H2O), hydrogen sulfide (H2S) dan partikulat harus dihilangkan jika terkandung dalam jumlah yang besar di gas tersebut.
Apabila biogas harus digunakan tanpa
pembersihan yang ekstensif, maka biasanya gas ini dicampur dengan gas alam
28 untuk meningkatkan pembakaran. Biogas yang telah dibersihkan untuk mencapai kualitas pipeline dinamakan gas alam terbaharui. Nilai potensial pemanfaatan biogas ini akan terus meningkat karena adanya jumlah bahan baku biogas yang melimpah dan rasio antara energi biogas dan energi minyak bumi yang menjanjikan. Konversi energi biogas dan penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Konversi energi biogas Penggunaan Penerangan* Listrik* Pengganti bahan bakar** Minyak Tanah Solar
Energi 1 m3 biogas sebanding dengan lampu 60 – 100 W selama 6 jam sebanding dengan 1,25 Kwh listrik 0,62 liter 0,52 liter
Sumber: *) Kristoferson dan Bolkaders (1991) dalam Haryati (2006) **) Ditjen PPHP Departemen Pertanian RI (2009) Gas metan adalah gas yang mengandung unsur satu atom C dan empat atom H yang memiliki sifat mudah terbakar. Satu mol metana memerlukan dua mol oksigen untuk dapat dioksidasi menjadi CO2 dan air, akibatnya setiap produksi 16 gram metana dapat menurunkan COD air limbah sebanyak 64 gram. Pada suhu dan tekanan standar, setiap stabilisasi 1 pound COD dapat meng-hasilkan 5,62 ft3 metana atau 0,35 m3 metana/kg COD (Grady dan Lim, 1980 dalam Haryati, 2006). Komposisi biogas dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi biogas Komposisi Metana (CH4) Karbon dioksida (CO2) Nitrogen (N2) Hidrogen (H2) Hidrogen sulfida (H2S) Oksigen (O2) Sumber : Hermawan et al. (2007)
% 55 - 75 25 - 45 0 - 0,3 1-5 0-3 0,1 - 0,5
29
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di industri tapioka skala kecil dengan kapasitas bahan baku 80 ton /hari dan skala besar dengan kapasitas bahan baku 750 ton/hari di Provinsi Lampung. Industri tapioka skala kecil berada di wilayah Kabupaten Pesawan. Sedangkan industri tapioka skala besar tersebut tersebar di 5 (lima) kabupaten. Selain dari industri tapioka, data juga dikumpulkan dari berbagai sumber baik data primer maupun data sekunder.
Penelitian ini berlangsung
selama 9 bulan dari bulan Februari sampai dengan November 2008.
Gambar 6. Lokasi pengambilan sampel di Provinsi Lampung Keterangan: : lokasi penelitian (pengambilan sampel)
Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilakukan pada dua tahap yaitu (1) pengamatan dan kajian produksi bersih pada tingkat pabrik tapioka; dan (2) kajian implementasi
30 penerapan produksi bersih pabrik tapioka yang direkomendasikan. Secara lengkap diagram alir tata laksana penelitian disajikan pada Gambar 7. QuickScan source identification cause evaluation
Pabrik Tapioka
bagian proses produksi yang potensial untuk penerapan produksi bersih Profound Analysis neraca massa dan energi options generation
Diagram input-output Alternatif-alternatif pilihan penerapan produksi bersih Sintesis Evaluasi ekonomi Evaluasi lingkungan
layak?
tidak
ya Alternatif-alternatif pilihan penerapan produksi bersih terpilih Model Proses Produksi Industri Tapioka Ramah Lingkungan Berbasis Produksi Bersih
Gambar 7. Diagram alir tata laksana penelitian Tahapan Penelitian Pada penelitian ini metodologi yang dikemukakan Gambault dan Versteege (1999 dalam Fauzi 2003) yang disajikan pada Gambar 8. dan Audit and Reduction Manual for Industrial Emission and Wastes (UNEP 1991 dalam FHBB 2005) digunakan sebagai metodologi acuan kajian serta metode QuickScan (Buser dan
31 Walder 2002; FHBB 2005) digunakan pada tahap analisis pendahuluan. QuickScan menghasilkan keluaran berupa: 1) sumber-sumber utama penyebab polusi lingkungan; 2) kuantitas material dan atau energi yang digunakan; 3) limbah atau cemaran dan emisi yang dihasilkan.
Metode QuickScan
menghasilkan fokus audit pada pengkajian penerapan produksi bersih tahap berikutnya terhadap suatu bagian proses produksi dinilai potensial untuk diterapkannya perbaikan berdasarkan konsep produksi bersih (Buser dan Walder 2002). 2. QuickScan
1. Persiapan
penelitian pendahuluan untuk menentukan fokus kemungkinan penerapan produksi bersih 3. Profound analysis analisis mendalam terhadap proses produksi terpilih, penjabaran dalam bentuk neraca massa dan energi
Alternatif-alternatif pilihan produksi bersih terpilih
4. Sintesis pencarian pilihan pencegahan, penyeleksian pilihan pencegahan, dan studi kelayakan
Gambar 8. Metodologi kajian produksi bersih (modifikasi Gambault dan Versteege 1999 dalam Fauzi 2003) Analisis pendahuluan menggunakan teknik QuickScan dilakukan dengan cara identifikasi sumber (source identification) yang diikuti dengan evaluasi penyebab (cause evaluation), dan perolehan pilihan yang mungkin diterapkan (option generation). Kajian difokuskan pada lima komponen yaitu 1) bahan-bahan masukan (input); 2) teknologi yang digunakan; 3) pelaksanaan proses; 4) produk; dan 5) limbah yang dihasilkan (Gambar 9.).
Kemungkinan-kemungkinan jenis-jenis
pilihan perbaikan yang dihasilkan berupa 1) substitusi bahan-bahan masukan; 2) modifikasi teknologi; 3) good housekeeping; 4) modifikasi produk yang dihasilkan; dan 5) on-site reuse (Gambar 10.).
32 Teknologi
Bahan-bahan masukan
Pelaksanaan proses Produk yang dihasilkan
PROSES PENGOLAHAN TAPIOKA
Limbah
Gambar 9. Lima jenis penyebab dihasilkannya limbah (van Berkel, 2006). Modifikasi Teknologi Substitusi Bahan masukan
Good Housekeeping Modifikasi Produk yang dihasilkan
PROSES PENGOLAHAN TAPIOKA
On-site reuse
Gambar 10. Jenis-jenis pilihan perbaikan dengan pendekatan produksi bersih (van Berkel, 2006). Tahapan proses pengolahan tapioka dikaji secara rinci dan mendalam (profound analysis) untuk mendapatkan informasi tentang masukan yang digunakan pada proses serta keluaran yang dihasilkan. Masukan pada suatu tahapan proses berupa bahan-bahan yang digunakan, energi, dan air; sedangkan keluaran yang dihasilkan berupa produk utama, hasil samping, limbah yang dapat didaur ulang atau digunakan kembali, dan limbah yang harus ditangani sebelum dibuang ke lingkungan.
Masukan dan keluaran dihitung dalam basis yang sama dan
selanjutnya dijabarkan dalam neraca seperti disajikan pada Gambar 11. Masukan
Gas
Bahan baku 1
Keluaran Produk utama
Bahan baku 2
Hasil samping Proses produksi atau unit operasi
Bahan baku 3
Air limbah
Air dan energi
Limbah yang disimpan atau dibuang
Gambar 11. Neraca material dan komponen-komponennya
33 Kajian Produksi Bersih Industri Tapioka Tahap ini berupa pengamatan terhadap proses pengolahan ubikayu menjadi tapioka pada tingkat pabrik dan wawancara untuk mendapatkan data yaitu 1) bahan-bahan masukan (input); 2) teknologi yang digunakan; 3) pelaksanaan proses; 4) produk; dan 5) limbah yang dihasilkan. Data yang diperoleh dari hasil analisis pendahuluan dijabarkan dalam bentuk aliran masukan dan keluaran berupa neraca massa dan energi serta limbah yang dihasilkan. Komponen-komponen dalam neraca massa dan energi yang dihasilkan disajikan berdasarkan basis unit produk yang dihasilkan. Tahap sintesis untuk menentukan pilihan produksi bersih terpilih berdasarkan: 1) evaluasi ekonomis menggunakan kriteria PBP, NPV, dan IRR (Soeharto 2002) 2) evaluasi lingkungan berdasarkan kriteria perubahan penggunaan bahan baku dan pembantu, perubahan penggunaan air dan energi, dan karakteristik limbah yang dihasilkan berupa nilai TSS, COD, BOD, sianida (HCN), dan pH (Alaerts dan Santika 1984; APHA 1992). Data yang dikumpulkan pada tahap ini disajikan pada Tabel 7. Tabel 7.
Data yang dibutuhkan pada kajian produksi bersih tingkat industri tapioka
Jenis Masukan (input)
Limbah padat
Keterangan Ubikayu, air, energi, dan lainlain Tapioka, hasil samping, limbah padat, air limbah Diagram alir dan neraca Kadar kotoran, kadar pati Kadar abu, kadar air, Derajat putih, cemaran logam, dan uji bakteri Jumlah dan karakteristik limbah) Jumlah dan jenis limbah
Biaya produksi tapioka
Biaya per satuan produk
Keluaran (output) Proses pembuatan tapioka Mutu Ubikayu Mutu tapioka
Air limbah
Cara perolehan data Wawancara, pengamatan dan pengukuran langsung Wawancara, pengamatan dan pengukuran langsung Pengamatan langsung Pengujian laboratorium Pengujian laboratorium
Pengukuran langsung dan pengujian laboratorium Pengamatan dan pengukuran langsung Wawancara
34 Neraca Massa dan Neraca Energi Neraca Massa Neraca massa (mass balance) seringkali disebut sebagai neraca material dalam industri kimia. Suatu neraca massa dapat bermakna tanpa adanya neraca energi, tetapi sebaliknya suatu neraca energi membutuhkan pengetahuan tentang massa dan komposisi dari semua aliran yang ada dalam neraca. Kombinasi dari neraca massa dan neraca energi merupakan suatu alat yang penting untuk evaluasi yang efektif terhadap proses rutin suatu industri kimia (Clausen dan Mattson 1978). Neraca massa dibuat berdasarkan konsep hukum kekekalan (konservasi) materi yang menyatakan bahwa atom-atom tidak dapat diciptakan atau dihancurkan. Atom-atom yang masuk ke dalam suatu sistem terakumulasi dalam sistem atau meninggalkannya (Clausen dan Mattson 1978). Hal ini dinyatakan dalam persamaan berikut: Akumulasi dari atom j total atom j yang dalam sistem = memasuki sistem
-
total atom j yang meninggalkan sistem …. (1)
Dengan menjumlahkan seluruh atom yang masuk dan meninggalkan sistem, total neraca material yang dihasilkan menjadi: Total akumulasi dalam sistem
=
total massa memasuki sistem
total massa - meninggalkan sistem …(2)
Jika tidak terjadi akumulasi dalam sistem maka persamaan 2 direduksi menjadi sebagai berikut: total massa memasuki sistem
total atom massa = meninggalkan sistem ……..…..................... (3)
Neraca massa dibuat berdasarkan beberapa tahap yaitu: (1) Menggambarkan aliran proses yang telah disederhanakan dalam bentuk diagram; (2) Menempatkan data yang tersedia pada aliran proses yang telah dibentuk dalam suatu diagram menggunakan unit tertentu (metric system atau the American engineering system); (3) Membuat semua persamaan kimia untuk reaksi kimia yang terjadi di dalam proses; dan (4) Memilih basis yang digunakan untuk perhitungan (Clausen dan Mattson, 1978).
35 Neraca Energi Neraca energi dibuat berdasarkan hukum termodinamika pertama tentang kekekalan energi. Hukum termodinamika pertama diterapkan dalam bentuk neraca energi dengan persamaan sebagai berikut: Energi yang terakumulasi = energi yang dalam sistem masuk
– energi yang keluar ……………… (4)
Neraca energi dibuat dengan tahapan yang sama seperti pembuatan neraca massa dan semua jenis energi yang terdapat dalam sistem harus diekspresikan dalam satuan unit yang sama (metric system atau the American engineering system). Jenis-jenis energi yang digunakan dalam neraca energi adalah energi potensial, energi kinetik, energi termal (thermal energy), energi kerja (work energy), dan energi dalam (internal energy) (Clausen dan Mattson, 1978). Energi yang merupakan salah satu input dalam proses produksi pertanian memiliki beberapa bentuk, antara lain energi langsung, energi tidak langsung, dan energi biologis. Energi yang digunakan dalam proses produksi dan pengolahan tapioka dapat dikategorikan menjadi 2 golongan yaitu energi langsung dan energi tidak langsung. Energi langsung adalah bentuk energi yang digunakan secara langsung dalam proses produksi yang antara lain berupa energi bahan bakar dan energi manusia. Energi tidak langsung adalah energi yang digunakan untuk membentuk barang atau memberikan masukan atau energi yang tidak langsung berhubungan dengan proses produksi yang antara lain berupa energi biomassa dan energi alat mesin. Jumlah energi langsung dan tidak langsung yang telah digunakan dalam memproduksi suatu barang disebut embodied energy (Abdullah, 1987; Fluck, 1992). Dalam penelitian ini akan ditentukan kebutuhan energi langsung per satuan produk yang dihasilkan. Evaluasi Ekonomis Pilihan Produksi Bersih Evaluasi ekonomis terhadap pilihan produksi yang dihasilkan ditentukan menggunakan instrumen-instrumen berupa pay back period, net present value (NPV), dan internal rate of return (IRR) (UNEP 1995 dalam UNEP DTIE dan DEPA 2000; Brown 1994; Soeharto 2002).
36 Pay back Period (PBP) PBP atau waktu pengembalian modal adalah waktu yang diperlukan oleh proyek untuk mengembalikan investasi awal dengan tingkat pengembalian tertentu. Perhitungan PBP dilakukan berdasarkan aliran kas baik tahunan maupun yang merupakan nilai sisa. Apabila suatu alternatif investasi mempunyai umur ekonomis lebih besar daripada periode pengembalian (N’), maka alternatif tersebut layak. Jika sebaliknya N’ lebih besar dari estimasi umur ekonomis, maka dikatakan tidak layak. PBP dihitung dengan formula sebagai berikut: N"
PBP = -P +
A ( P / F , i%, t ) t 1
t
….. (5)
Keterangan: At N’ P F
= = = =
Aliran kas yang terjadi pada periode t Periode pengembalian yang akan dihitung nilai sekarang nilai yang akan datang
Net present value (NPV) NPV menyatakan nilai bersih investasi saat ini yang diperoleh dari selisih antara nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan kas bersih di masa yang akan datang, setelah memperhitungkan discount factor. Suatu proyek dapat dinyatakan bermanfaat untuk dilaksanakan apabila NPV > 0. Jika NPV =0 berarti proyek dapat mengembalikan sebesar social opportunity cost faktor produksi modal. Jika NPV < 0 berarti proyek tidak dapat menghasilkan, sehingga ditolak. Formula untuk menghitung NPV adalah : n
NPV =
t 1
( Bt Ct ) K 0 ……………………………… (6) (1 i ) t
Keterangan: Bt Ct K0 n i
= = = = =
benefit bruto proyek pada tahun ke t biaya bruto proyek pada tahun ke t nilai investasi awal umur ekonomis proyek tingkat bunga modal (persen)
Internal rate of return (IRR) IRR menunjukkan tingkat bunga pada saat jumlah penerimaan sama dengan jumlah pengeluaran atau tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV = 0. Jika
37 nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku maka suatu proyek dapat dilanjutkan, jika yang terjadi sebaliknya maka proyek ditolak. IRR dapat dihitung dengan formula sebagai berikut PVP IRR = D f P x( D f N D f P …………….. (7) PVP PVN Keterangan:
DfP DfN PVP PVN
= = = =
Discount factor yang menghasilkan present value positif Discount factor yang menghasilkan present value negatif present value positif present value negatif Parameter Mutu Lingkungan Air limbah Industri Tapioka
Industri tapioka mempunyai potensi mencemari lingkungan karena mengandung bahan organik yang tinggi berupa senyawa karbon, dan nitrogen yang relatif tinggi, sehingga berpotensi menyebabkan proses eutrofikasi dan dapat menstimulasi pertumbuhan ganggang secara cepat (Tchobanoglous, 1991). Total Suspended Solid (TSS) TSS atau total zat padat tersuspensi diklasifikasikan menjadi zat padat dan melayang yang bersifat organis dan zat padat terendap yang dapat bersifat organis dan anorganis. Zat padat terendap adalah zat padat dalam suspensi yang dalam keadaan tenang dapat mengendap setelah waktu tertentu karena pengaruh gaya beratnya. Penentuan zat padat terendap tersebut dapat melalui volumenya yang disebut dengan analisis volume lumpur (sludge volume) dan dapat melalui bobotnya yang disebut dengan analisis lumpur kasar atau umumnya disebut zat padat terendap (settleable solids) (Alaerts dan Santika 1984). Sampel dimasukkan ke dalam tabung untuk disentrifius.
Sebelumnya
cawan kosong telah di oven selama 1 jam dan dinginkan ke dalam desikator selama 30 menit. Kemudian dilakukan penimbangan berat cawan. Endapan yang terbentuk dari sentrifius di masukkan ke dalam cawan porselen yang telah diketahui berat keringnya kemudian cawan di masukkan ke dalam oven 105 oC selama lebih kurang 3 jam atau masukkan ke dalam inkubator selama semalam dengan suhu 800C.
Kemudian di oven selama 2 jam dengan suhu 105 oC.
Selanjutnya dimasukkan ke dalam desikator selama kira-kira 60 menit dan
38 lakukan penimbangan. Selisih berat cawan setelah dioven dengan berat kering cawan dan dibagi dengan volume sampel yang disentrifius dalam liter adalah nilai TSS (APHA, 1998). SS
berat cawan setelah dioven 105o C ,2 jam ( g ) berat ker ing cawan ( g ) volum sampel yang disentrifi us ( L)
Biological Oxygen Demand (BOD) BOD atau kebutuhan oksigen secara biologis merupakan suatu analisis empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses mikrobiologis yang terjadi di dalam air. Nilai BOD yang dihasilkan menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan atau mengoksidasikan hampir semua zat organik yang terlarut dan sebagian zat-zat organik yang tersuspensi dalam air (Alaerts dan Santika 1984; APHA 1992). Larutan buffer yang digunakan untuk pengujian BOD terdiri dari 4 larutan dengan komposisi sebagai berikut : 1. Larutan buffer fosfat dibuat dengan cara melarutkan 8,5 gram KH2PO4, 33,40 gram Na2HPO4.7H2O, dan 1,70 gram NH4Cl ke dalam 1 Liter aquades. 2. Larutan buffer magnesium sulfat dibuat dengan cara melarutkan 22,50 gram MgSO4.7H2O dalam 500 mL aquades dan diencerkan sampai 1 Liter. 3. Larutan buffer kalsium klorida dibuat dengan cara melarutkan 27,50 gram CaCl2 dalam 500 mL aquades dan diencerkan hingga 1 Liter. 4. Larutan buffer ferri klorida dibuat dengan cara melarutkan 0,25 gram FeCl3.6H2O ke dalam 500 mL aquades dan diencerkan hingga 1 Liter. Nilai BOD diukur dengan menghitung selisih antara konsentrasi oksigen terlarut sebelum (DO0) dan sesudah inkubasi selama 5 hari (DO5). Pengukuran DO menggunakan DO meter jenis DO-24P. Sebelum alat digunakan terlebih dahulu DO meter dilakukan kaliberasi. Sampel sebanyak 20 mL dimasukkan ke dalam gelas beaker 1000 mL dan ditambahkan larutan buffer masing-masing sebanyak 1 mL serta 1 tetes seed kemudian diencerkan hingga 800 mL. Setelah itu sampel distirer selama 5 menit lalu dimasukkan ke dalam botol BOD ukuran 300 mL
39 (sampel dibuat duplo) dan dilakukan pengukuran DO0. Blanko dibuat dengan memasukkan larutan buffer masing-masing 1 mL dan seed 1 tetes ke dalam gelas beaker 1000 mL dan diencerkan hingga 800 mL.
Kemudian blanko distirer
selama 5 menit lalu dimasukkan ke dalam botol BOD ukuran 300 mL (blanko dibuat duplo) dan dilakukan pengukuran BO0. Setelah dilakukan pengukuran DO0 dan BO0, botol BOD ditutup rapat dan diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20 oC di ruang gelap. Pada hari ke-5 dilakukan pengukuran DO yang tersisa. Rumus perhitungan BOD : DO0 DO5 BO 0 BO 5 BOD (mg / L) 1000 1000 x P V1 V2
Dengan : DO0 = rata-rata DO sampel 0 hari (mg/L) DO5 = rata-rata DO sampel 5 hari (mg/L) BO 0 = rata-rata DO blanko 0 hari (mg/L) BO 5 = rata-rata DO blanko 5 hari (mg/L) V 1 = rata-rata volume botol sampel (mL) V 2 = rata-rata volume botol blanko (mL) P = Pengenceran Chemical Oxygen Demand (COD) Pengukuran karakteristik limbah berupa COD dilakukan dengan cara : Sampel diaduk terlebih dahulu kemudian diambil sebanyak 0,2 mL atau 200 µl menggunakan mikropipet. Masukkan ke dalam vial yang berisi reagen COD, kemudian dipanaskan dengan reactor unit DRB200 pada suhu 150oC selama 2 jam. Setelah dipanaskan, vial dikeluarkan dan dibiarkan sampai suhunya sama dengan suhu ruang kemudian diukur nilai COD dengan HACH Spektrofotometri DR4000 (HACH Company, 2004). Analisis COD berbeda dengan analisis BOD namun perbandingan antara nilai COD dan nilai BOD dapat ditetapkan seperti yang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Perbandingan rata-rata angka BOD5/COD untuk beberapa jenis air Jenis air BOD5/COD Air buangan domestik (penduduk) 0,40 – 0,60 Air buangan domestik setelah pengendapan primer 0,60 Air buangan domestik setelah pengolahan biologis 0,20 Air sungai 0,10 Sumber: Alaerts dan Santika (1984)
40 Metode Pengukuran Biogas di Kolam Air Limbah Teknik yang dikembangkan adalah menggunakan metode Direct Floating Material Method yaitu meletakkan kontainer plastik yang dilengkapi dengan material mengambang (floating material), pemberat, selang plastik, katup, dan gas-meter di atas kolam IPAL seperti pada Gambar 12.
Gambar 12.
(a) (b) Peralatan penangkap gas (a) dan gas meter (b) yang digunakan untuk pengukuran biogas pada IPAL industri tapioka
Biogas dikumpulkan dari kolam No.4 menggunakan kontainer plastik dengan 60 cm × 40 cm × 30 cm (panjang × lebar × kedalaman). Setiap titik pengambilan sampel biogas memiliki waktu pengukuran selama 1-3 jam. Laju aliran biogas yang keluar dicatat menggunakan meteran gas basah (WK-NK-0.5B, Shinagawa Corporation, Jepang) dengan kapasitas laju alir 1-300 L/jam. Sampel biogas diambil dari kolam air limbah No.4 untuk menentukan komposisi biogas. Sampel biogas selanjutnya diukur dengan menggunakan alat analisis gas (GC2014, Shimadzu). Nilai Tambah Pengelolaan Limbah Terhadap Lingkungan Nilai tambah terhadap lingkungan dari pengelolaan limbah dihitung dari pengolahan limbah cair, sementara untuk pengolahan limbah padat tidak dilakukan perhitungan karena limbah padat diasumsikan dapat direduksi sampai ke titik nol (zero). Nilai tambah terhadap lingkungan dari pengolahan limbah cair menjadi biogas dilakukan dengan menghitung reduksi pencemaran gas rumah kaca (CH4) setelah dilakukan pengolahan.
41 Reduksi gas CO2 dari pemanfaatan limbah cair dihitung dengan menggunakan metode UNFCC (United Nation For Climate Change) tentang reduction emission di pengolahan limbah dan penggunaan reaktor dengan bahan bakar terbaharui (biogas) menggunakan IPCC 2006 Tools (Avoided waste water and on site energy use emission in the industrial sector) dimana gas CO2 dikonversikan sebagai bahan terbakar yang terperangkap pada pembentukan methane (Purwati, 2010). Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut :
ER y BE y PE y …………………………………………………….………………(1) Keterangan : ERy : Emission reduction in the year y (pengurangan emisi CO2 pada tahun y) t CO2 BEy : Baseline emission in the year y (emisi CO2 yang ditimbulkan apabila tidak ada pemanfaatan pada tahun y) t CO2 PEy : Project emission in the year y (emisi CO2 yang ditimbulkan oleh adanya pemanfaatan pada tahun y) t CO2
BE y BE y , wwtread BE y power
………………………………(2)
Keterangan : BEy,wwtread : Baseline emission from open lagoon in the year y (emisi CO2 yang ditimbulkan dari kolam pengolahan terbuka apabila tidak ada pemanfaatan pada tahun y) BEy,power : Baseline emission year from power generator in the year y (emisi CO2 yang ditimbulkan dari generator apabila tidak ada pemanfaatan pada tahun y)
PE y BE y 10%
………………………………………………………………………………………(3)
42
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Tanaman Ubikayu Di Indonesia Tanaman ubikayu tumbuh tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, namun penyebarannya terbanyak di pulau Jawa dan Sumatera, masing-masing 50% dan 32% dari total luas panen ubikayu di Indonesia. Pulau Sumatera tanaman ubikayu terbanyak di Provinsi Lampung (26,6 %), sedangkan pulau Jawa terbanyak di Provinsi Jawa Timur (18,7 %) dan Provinsi Jawa Tengah (16,7 %) (Departemen Pertanian, 2009). Indonesia merupakan salah satu negara produsen ubikayu nomor 4 terbesar di dunia setelah Nigeria, Brazilia dan Thailand. Luas lahan tanaman ubikayu di Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 2001 seluas 1.284.040 ha hingga tahun 2009 seluas 1.205.440 ha seperti yang tertera dalam data statistik pada Lampiran 2, namun produksi umbi ubikayu tetap mengalami peningkatan. Dengan demikian, produktivitas tanaman ubikayu di Indonesia mengalami peningkatan yang mungkin disebabkan tersedianya bibit yang lebih baik serta tehnik budidaya yang lebih baik juga. Provinsi dengan luas lahan ubikayu, produksi ubikayu dan produktivitas ubikayu tertinggi di Indonesia adalah provinsi Lampung. Luas panen, produksi dan produktivitas ubikayu di provinsi ini pada tahun 2009 masing-masing mencapai 320.344 Ha, 7.885.116 ton dan 24,61 ton/ha.
Data statistik pada
Lampiran 3. menunjukkan sepuluh provinsi dengan luas lahan tanaman ubikayu terbesar di Indonesia, sedangkan Lampiran 4. dan Lampiran 5. masing-masing menunjukkan sepuluh provinsi dengan tingkat produksi dan produktivitas tertinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat produktivitas tertinggi dicapai oleh provinsi di Sumatera, kemudian di Jawa dan di Sulawesi, sedangkan tingkat produktivitas di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Kalimantan Barat rendah, sehingga walaupun luas panen dan produksinya masuk dalam 10 besar, tetapi produktivitasnya tidak masuk ke dalam 10 besar. Provinsi Lampung sebagai salah satu sentra produksi ubikayu di Indonesia hampir merata diusahakan terutama pada lahan kering yang marjinal. Hal tersebut
43 didorong oleh karena mudahnya teknologi budidaya dan kecilnya risiko dalam usahatani ubikayu. Perkembangan luas panen ubikayu, produksi ubikayu, dan produktivitas ubikayu di Provinsi Lampung disajikan pada Lampiran 6. Ubikayu sebagai bahan baku industri dapat diolah menjadi berbagai produk antara lain tapioka, glukosa kristal, fruktosa, sorbitol, high fructose syrup (HFS), dekstrin, alkohol, etanol, asam sitrat (citric acid), dan monosodium glutamate. Dekstrin digunakan antara lain pada industri tekstil, kertas perekat plywood dan farmasi/kimia. Asam sitrat dapat digunakan sebagai pemberi rasa asam dalam pembuatan makanan kaleng, minuman, jams, jelly, obat-obatan. Selain itu asam sitrat dapat pula digunakan sebagai pemberi rasa asam pada sirup, kembang gula dan saus tembakau. Monosodium glutamate digunakan sebagai penyedap makanan. Sorbitol (produk akhir ubikayu) dibuat dari tapioka cair berwarna putih bening seperti gel/putih mengkilat digunakan antara lain pada industri kembang gula/ permen dan minuman instan yang produknya mempunyai nilai jual yang tinggi, serta dapat dimanfaatkan sebagai bahan pemanis untuk pasta gigi, kosmetik, dan cat minyak (Hafsah, 2003). Ubikayu merupakan bahan campuran pakan ternak yang cukup baik. Namun demikian, penggunaannya di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini antara lain disebabkan industri pakan ternak di Indonesia masih banyak menggunakan jagung dan kedelai sebagai bahan baku utamanya. Negara pemakai hasil ubikayu untuk pakan ternak yang cukup besar adalah Jerman dan Belanda, dimana > 50% menggunakan campuran ubikayu sebagai pakan ternak. Bahan ubikayu yang digunakan pada industri pakan ternak antara lain gaplek, chips, gaplek pellet, tepung gaplek, ampas, dan tepung ampas tapioka (Hafsah, 2003). Ubikayu memiliki pohon industri yang berspektrum luas seperti diperlihatkan pada Gambar 13. Potensi Tanaman Ubikayu di Provinsi Lampung Selama kurun waktu 2005-2009 produksi ubikayu di Provinsi Lampung menunjukkan peningkatan sebesar 60,95 % yaitu dari 4.806.254 ton pada tahun 2005 menjadi 7.885.116 ton pada tahun 2009. Walaupun mengalami peningkatan namun produktivitas ubikayu pada tahun 2009 di Provinsi Lampung masih relatif rendah, yaitu sebesar 24,61 ton per hektar. Wargiono (1990), menyatakan bahwa produktivitas rata-rata ubikayu dapat mencapai lebih dari 30 ton per hektar.
44 Kulit
Industri pakan ternak Industri pangan, kertas, kayu lapis
Tapioka
Dektrin
Gula Glukosa
UBIKAYU
Industri makanan
Gula Fruktosa
Industri makanan
Ethanol
Industri Kimia, pharmasi, Bio-fuel
Asam Organik
Industri makanan dan Kimia
Senyawa kimia lain
Industri Kimia
Onggok Umbi
Industri tekstil, pharmasi dan kimia
Industri pakan ternak
Gaplek Pellet
Industri pakan ternak
Industri Pangan: cassava chip, cassava stick
Gambar 13. Pohon industri ubikayu Sumber: (Wargiono dan Barrett, 1987)
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan menggunakan metode quickscan rendahnya produktivitas komoditas ubikayu di Provinsi Lampung disebabkan oleh banyak faktor.
Faktor utama adalah harga ubikayu yang masih rendah dan
kelembaman dalam pemasaran menyebabkan petani produsen kurang berminat untuk meningkatkan produktivitas usahataninya. Faktor lain penyebab rendahnya produktivitas ubikayu adalah posisi tawar petani yang lemah sebagai akibat dari petani bekerja secara individual dalam struktur pasar yang cenderung oligopsoni, sehingga harga cendrung turun pada musim panen dan merugikan petani. Harga merupakan hal penting yang mempengaruhi keputusan petani untuk menentukan
45 jumlah luas areal yang akan ditanami dengan suatu komoditi tak terkecuali ubikayu. Harga yang stabil dan tinggi menjadi insentif tersendiri bagi petani untuk memperluas areal tanamnya. Perkembangan harga ubikayu dapat dilihat pada Gambar 14.
Harga (Rp)
Perkembangan Harga Jual Ubikayu Provinsi Lampung 800 700 600 500 400 300 200 100 0 1995
1998
2001
2004
2007
2010
2013
Tahun
Gambar 14. Perkembangan Harga ubikayu di Provinsi Lampung Berdasarkan Gambar 14. perkembangan harga ubikayu relatif meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 16,6 persen per tahun. Peningkatan harga yang drastis terjadi pada tahun 1999 dimana harga ubikayu meningkat 35 persen dari Rp.318/kg menjadi Rp.432/kg. Tahun 2002 terjadi penurunan tingkat harga ubikayu sebesar 42 persen dari Rp.549/kg menjadi Rp.317/kg. Hal ini terjadi karena adanya panen raya yang mengakibatkan kelebihan penawaran ubikayu sehingga pada akhirnya harga menjadi turun. Selanjutnya hingga tahun 2010 harga ubikayu mulai semakin meningkat mendekati harga Rp.700/kg. Mengingat peranan ubikayu sebagai sumber bahan baku maka faktor harga menjadi hal yang sangat penting untuk dijaga kestabilannya. Hal tersebut dimaksudkan agar petani tidak menjadi pihak yang dirugikan karena memiliki bargaining position yang lebih rendah. Kestabilan harga ini tentunya akan menjadi jaminan bagi ketersediaan ubikayu sebagai bahan baku karena petani memiliki insentif untuk memproduksi ubikayu yang memiliki harga jual yang stabil. Adanya struktur pasar yang cenderung oligopsoni mendorong terjadinya praktik-praktik yang merugikan petani produsen seperti curang timbang, dan tidak
46 jelasnya standar rafraksi. Keadaan tersebut sudah sering dikeluhkan oleh petani ubikayu di Provinsi Lampung (Zakaria,1997). Struktur Industri Tapioka di Provinsi Lampung Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan menggunakan metode quickscan diperoleh informasi industri tapioka yang ada di provinsi Lampung dapat mengolah ubikayu sekitar 100-1.200 ton/hari/industri sesuai jumlah dan besarnya kapasitas produksi.
Selain itu, dalam waktu dekat akan beroperasi 2 pabrik
ethanol berbahan baku ubikayu yang akan menyerap sekitar 720.000 ton ubikayu/ tahun. Tapioka yang dihasilkan Provinsi Lampung digunakan untuk industri pangan dan non pangan (kertas, kayu lapis, dan papan partikel) di dalam negeri dan sebagian diekspor. Khusus untuk gaplek sebagian besar digunakan sebagai bahan baku industri pakan ternak di dalam dan di luar negeri terutama di Republik Federal Jerman, Belanda, dan Prancis. Peluang ekspor gaplek Indonesia ke MEE hanya mampu menguasai 17% sisanya sebagian besar dikuasai oleh Thailand (PAE, 1990; dan BPS, 2008). Sistem agribisnis ubikayu bagi masyarakat Lampung mampu menyediakan lapangan kerja yang luas. Budidaya ubikayu bersifat labor intensif dengan menyediakan lapangan kerja sebanyak 135 hari kerja setara pria (HKP)/ha/tahun; di tingkat pabrik pengolahan, lapangan kerja yang tersedia sebesar 17.444 HKP/ tahun (untuk pabrik berkapasitas giling 300 ton ubikayu/hari). Selain itu, ubikayu merupakan bahan baku bagi 65 pabrik tapioka dengan total kapasitas setara 5,2 juta ton ubikayu dan bagi 14 pabrik gaplek dengan total kapasitas setara 3,5 juta ton ubikayu (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung, 2006). Hasil penelitian pendahuluan menggunakan metode quickscan, diperoleh data informasi bahwa industri tapioka di Provinsi Lampung dalam memperoleh bahan baku sangat bergantung dari petani dan pemasok/mitra binaan perusahaan. Keberadaan industri tapioka yang cukup banyak dengan kapasitas produksi tinggi mengakibatkan suplai bahan baku ubikayu tidak mencukupi kebutuhan industri sehingga proses produksi tidak berjalan secara efektif. Hal ini berdampak negatif dengan munculnya tengkulak yang menjadi pedagang perantara untuk mengambil
47 keuntungan secara sepihak dalam pengadaan bahan baku ubikayu bagi industri, sehingga posisi petani yang akan dirugikan. Lemahnya posisi petani ubikayu dalam menghadapi pengaruh fluktuasi harga, terutama disebabkan karena ubikayu memiliki daya simpan yang rendah, dan produktifitasnya juga rendah akibat modal usaha yang sangat terbatas, disamping kebutuhan keluarga yang sudah sangat mendesak. Pendapatan petani ubikayu akan makin rendah lagi karena pada saat dijual ke pabrik mendapatkan mutu ubikayunya rendah dan rafaksi yang ditentukan secara sepihak oleh pabrik. Industri tapioka sebagai pengguna bahan baku ubikayu sangat sulit memperoleh kualitas bahan baku yang bermutu dengan kadar pati tinggi. Sulitnya mengontrol kualitas bahan baku ubikayu ini karena bahan baku yg diterima dari petani atau mitra binaannya memiliki mutu sangat bervariasi baik dari segi varietas ubikayu yang tidak seragam, umur panen ubikayu yang bervariasi, dan kondisi penyimpanan sementara bahan baku terlalu lama yang dapat menurunkan kadar pati dalam ubikayu. Berdasarkan hasil informasi tersebut di atas, penelitian ini hanya difokuskan pada proses industri tapioka, sehingga dari segi penyediaan bahan baku ubikayu pada tingkat on farm tidak dilakukan. Pada proses produksi industri tapioka akan dikaji penggunaan air, pemanfaatan air limbah sebagai sumber salah satu sumber energi terbarukan dan mengurangi dampak pemanasan global akibat dari efek gas rumah kaca. Selain itu, akan dikaji alternatif pemanfaatan hasil samping dari industri tapioka ini. Industri tapioka yang dipilih sebagai lokasi dalam penelitian memiliki kapasitas produksi yang berbeda, dapat dilihat pada Tabel 9. Industri Tapioka Skala Kecil Industri tapioka skala kecil pada penelitian ini merupakan industri yang menggunakan teknologi tradisional, yaitu industri pengolahan tapioka yang menggunakan peralatan produksi teknologi mekanik yang sederhana dan masih mengandalkan sinar matahari dalam tahap pengeringannya. Industri tapioka A merupakan industri tapioka skala kecil dengan kapasitas mesin terpasang 80 ton/hari bahan baku ubikayu. Bahan baku industri tapioka yang diolah pabrik berasal dari kebun sendiri dan dari petani yang menjual langsung ke lokasi pabrik. Bahan baku yang diolah tidak memiliki kualifikasi
48 mutu bahan baku tertentu karena untuk mendapatkan bahan baku ubikayu yang akan diolah, perusahaan harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar dalam jumlah maupun harga bahan baku yang dibeli. Tabel 9. Karakteristik industri tapioka yang dipilih sebagai lokasi penelitian Uraian
Satuan
Industri tapioka C D
A
B
80,00
600,00
750,00
800,00
1.800,00
20,48
150
187,50
190,02
450,00
Skala besar
Skala besar
Skala besar
Skala besar
Otomati s
Otomati s
Otomati s
Otomati s
hari
Skala kecil Semi otomati s 25,00
Sumber Energi
-
Listrik
Penggunaan Air
m3/hr
400,00 Sumur dalam
25,00 Listrik dan BBM 2.640,00 Sumur dalam
26,00 Listrik dan BBM 3.750,00 Sumur dalam
25,00 Listrik dan BBM 3.420,43 Sumur dalam
26,00 Listrik dan BBM 7.712,55 Sumur dalam
17,60
20,00
19,69
17,14
193,52
207,39
197,12
-
-
37,05
36,98
34,47
1.690,00
2.112,50
3.629,46
5.713,93
180,00 43,23 8,76
225,00 53,00 11,24
266,03 72,21 14,08
675,01 149,99 90,00
Bahan Baku Ubikayu Produksi tapioka
ton/har i ton/har i
Skala Produksi
-
Teknologi
-
Operasional
Sumber Air Indeks Air Indeks Listrik Indeks BBM Air Limbah Limbah padat Ampas/Onggok Kulit Bonggol/kotoran
-
m3/ton 19,53 tapioka kWh/ton tapioka L/ton tapioka m3/hr 395,38 ton/hr ton/hr ton/hr
9,60 1,16 0,59
E
Secara umum tahapan proses produksi pada Industri tapioka A dengan kapaitas mesin 80 ton/hari bahan baku ubikayu sebagai berikut: a.
Pengupasan; ubikayu dapat dilaksanakan di pabrik atau pabrik membeli ubikayu yang telah dikupas. Selama proses pengupasan, sortasi ubikayu juga dilakukan untuk memilih ubikayu berkualitas tinggi.
b.
Pencucian; ubikayu yang telah dikupas lalu dicuci dalam bak pencuci, yang banyak dilakukan dengan tenaga manusia dan ban berjalan (belt conveyer) sederhana.
49
Gambar 15. Proses pengupasan ubikayu
Gambar 16. Proses pencucian ubikayu c.
Pemarutan; ubikayu yang sudah dikupas dan dicuci, selanjutnya dimasukan ke dalam parutan mekanik sambil diberi air.
Gambar 17. Proses pemarutan ubikayu
50 d.
Pengayakan; parutan aci basah dimasukkan ke dalam ayakan dari kawat dibingkai berukuran kira-kira 1 x 3 meter, yang bergerak/bergoyang dengan as eksentrik. Air aci dialirkan ke dalam bak sedangkan onggok ditampung untuk dijemur.
Gambar 18. Pengayakan parutan pati ubikayu
Gambar 19. Air aci dialirkan pada bak pengendapan e.
Pengendapan; air aci yang berupa susu masuk ke dalam bak pengendapan. Panjang bak tersebut ada yang mencapai 100 m. Ketebalan endapan dari ujung 50 cm, lalu menurun hingga habis ketebalannya. Tapioka dalam bak ini sudah dapat ditentukan kelas mutunya, antara lain terbaik terletak pada meter kedua hingga meter kelima.
51
Gambar 20. Proses pengendapan aci ubikayu
Gambar 21. Tapioka basah yang siap untuk dijemur f.
Pengeringan; tapioka basah diambil dengan sekop dan dijemur menggunakan tampah (nampan bambu 100 cm).
Gambar 22. Penjemuran tapioka basah
52 g.
Penghalusan; tapioka kering yang telah dijemur kemudian dimasukkan ke dalam mesin penghalus, dan akhirnya lewat saringan terkumpul dalam bak.
h.
Pengepakan; tapioka kering dan halus dalam bak dimasukkan ke dalam karung, tetapi hal ini tidak dapat dilakukan bersama-sama saat mesin penghalus sedang berjalan sebab bak pengumpul tersebut tertutup rapat agar tapioka tidak beterbangan. Secara rinci penggunaan air dan energi industri tapioka A dapat dilihat pada
Gambar 23. Ubi Kayu 80 ton
Air 44,3 m3
Pencucian dan Pengupasan
Air cucian 46.36 m3 Kulit 11,6 ton Meniran 0,36 ton
Pemarutan
Penyaringan
Air 355,7 m3
Pengendapan
Penjemuran, Penghalusan, dan Pengemasan
Kotoran,serat 0,23 ton
Ampas 9,6 ton
Air 349,02 m3
Air menguap 4,62 m3
Pati menguap
Tapioka 20.48 ton
Gambar 23. Neraca massa dan air industri tapioka A
53 Dalam melakukan pengolahan terhadap limbah yang dihasilkan, industri tapioka A telah melakukan berbagai metode pengolahan untuk mengolah air limbah dan limbah padat yang dihasilkan dari pabrik. Proses pengelolaan air limbah yang dihasilkan, industri tapioka A telah lama memiliki IPAL berupa kolam-kolam penampung limbah yang berjumlah empat buah kolam yang cukup untuk menampung air limbah yang dihasilkan dari pabrik, selain kolam penampung, limbah padat yang berupa onggok juga telah dilakukan pengolahan dengan metode penjemuran untuk menghasilkan onggok kering. Sistem pengolahan air limbah dengan kondisi demikian belum termanfaatkan secara optimal sehingga dapat mengganggu estetika lingkungan dan memberikan sumbangan terhadap potensi pemanasan global dari gas rumah kaca yang dihasilkan. Selain itu, limbah meniran yang yang dihasilkan tidak dimanfaatkan sehingga terjadi penumpukan yang menimbulkan bau dan gundukan yang mempersempit lokasi pabrik.
Proses pengepresan onggok
Proses penjemuran onggok
Proses pengendapan pati
Kolam air limbah
Gambar 24. Kondisi eksisting indistri tapioka A Air limbah tersebut dapat menghasilkan gas CH 4 dan CO2 sehingga sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai salah satu sumber energi terbarukan. Metode penangkapan gas metana dan karbondioksida dengan menggunakan sistem CIGAR (Covered In Ground Anaerobic Bioreactor) merupakan metode
54 penangkapan biogas dengan cara membuat kolam penampung limbah dan menutup kolam tersebut dengan menggunakan plastik jenis HDPE (High Density Poly Ethylene) dengan ketebalan minimum 1,0 mm.
Sistem CIGAR dapat
mereduksi sedikitnya 95% BOD, 75% COD dan mereduksi warna limbah. Sistem CIGAR merombak bahan organik melalui tiga tahap proses biologi (hidrolisis, asido-genesis, dan metano-genesis). Penggunaan HDPE sebagai penutup kolam pada sistem CIGAR adalah karena HDPE memiliki elastisitas yang baik, jika biogas diproduksi dengan baik, maka penutup akan mengembang keatas dan jika sedang tidak ada biogas, maka plastik penutup akan rata dengan permukaan kolam. Selain itu, plastik HDPE memiliki sifat porositas yang baik, sehingga biogas yang dihasilkan tidak hilang keluar melalui pori plastik tersebut. Sistem CIGAR dengan HDPE (High Density Poly Ethylene) sebagai cover dalam memproduksi biogas dari air limbah tapioka yang telah diterapkan di industri tapioka A ini dibangun pada bulan Januari 2010. Bioreaktor ini memiliki volume sebanyak 4.410 m3 dengan laju alir umpan sebanyak 182.736 m 3. Berdasarkan volume reaktor dan laju alir umpan tersebut, air limbah di dalam bioreaktor memiliki waktu tinggal hidrolik selama 24 hari. Berdasarkan pengembangan teknologi yang telah dilakukan terutama yang berkaitan dengan optimasi proses pembentukan gas metana maka biogas yang dihasilkan pada IPAL di industri tapioka masih dapat ditingkatkan jumlahnya. Teknik tersebut kemungkinan lebih layak dilakukan untuk agroindustri yang telah berjalan dan mengolah air limbahnya dengan sistem kolam (Gambar 25).
Gambar 25. IPAL industri tapioka A setelah di tutup dengan plastik HDPE
55
Industri tapioka A dengan hasil karakterisasi limbah yang telah dilakukan terhadap kinerja CIGAR yaitu nilai T-COD inlet rata-rata adalah sebesar 10.650 mg/L dan nilai T-COD outlet rata-rata adalah sebesar 1.915 mg/L. Nilai T-COD removal adalah 8.735 mg/L, sehingga nilai T-COD removal/hari adalah sebesar 1605056,25 mg/L atau 1.605,06 g/L. Konsentrasi gas metana dalam biogas adalah 54,36% (Mulyadi, 2011) dan prosentase T-COD removal adalah 82,019%, sehingga didapat produksi gas metana yang dihasilkan dari CIGAR adalah 460,76 m 3/kg COD/hari dan produksi biogas yang dihasilkan adalah sebesar 847,64 m3/hari atau 309.388,23 m3/tahun. Karakterisasi terhadap air limbah yang diolah menjadi biogas digunakan untuk menghitung produksi gas yang dihasilkan dari reaktor CIGAR yang nantinya akan digunakan untuk menganalisis manfaat ekonomi dari pengolahan air limbah dengan metode penangkapan biogas dengan cara mengkonversi nilai produksi biogas dengan nilai bahan bakar atau energi yang disetarakan. Karakterisasi air limbah untuk menghitung potensi biogas dari reaktor meliputi nilai COD pada inlet dan outlet serta nilai COD removal air limbah. Industri Tapioka Skala Besar Industri tapioka skala besar pada penelitian ini merupakan industri yang menggunakan teknologi modern dari proses awal sampai produk jadi. Industri B, industri C, industri D, dan industri E yang menggunakan peralatan full outomate ini memiliki efisiensi tinggi, karena proses produksi memerlukan tenaga kerja yang sedikit, waktu operasional produksi lebih pendek dan menghasilkan tapioka berkualitas. Kapasitas produksi tapioka yang dihasilkan industri B sebesar 150 ton/hari, Industri C sebesar 187,5 ton/hari, industri D sebesar 200 ton/hari. Sedangkan industri tapioka E memiliki 2 unit mesin produksi dengan kapasitas terpasang 200 ton/hari dan 250 ton/hari. Kondisi industri tapioka dapat dilihat pada Gambar 26. Berdasarkan data Tabel 12, diperoleh tingkat efisiensi penggunaan air semakin tinggi dengan semakin meningkatnya kapasitas mesin produksi yang digunakan. Penggunaan air bersih berkisar antara 4,28-5,00 m3/ton ubikayu.
56
Gambar 26. Kondisi eksisting Industri tapioka skala besar Air yang digunakan bersumber dari air sumur dalam/air bawah tanah, sehingga terjadi pemborosan dalam penggunaan air bersih untuk masing-masing industri tapioka.
Industri tapioka B memanfaatkan air bersih sebesar 2.640
m3/hari, industri C sebesar 3.750 m3/hari, industri D sebesar 3.424 m3/hari, dan industri E sebesar 7.712,55 m3/hari. Penggunaan air tersebut akan berakibat tingginya pajak yang harus dibayarkan oleh industri yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Lampung No. 4/2002 tentang Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Salah satu keputusan dari peraturan daerah tersebut disebutkan penggunaan air di atas 2.500 m3 untuk niaga dikenai tarif Rp1.035,-/m3. Selain itu, tingginya penggunaan air bawah tanah akan berdampak pada penurunan jumlah dan mutu air tanah, yang dibuktikan dengan penurunan muka air yang menerus, penyusupan air laut di daerah pantai, serta amblesan tanah. Bahan baku yang baru datang ke pabrik, terlebih dahulu ditimbang untuk mencari bobot brutonya. Setelah ditimbang mobil menuju ke lapangan ubikayu untuk dilakukan pemeriksaan oleh petugas KIR ubikayu untuk melakukan penaksiran besaran refaksi/potongan berat yang akan diberlakukan.
57
Gambar 27. Proses pengangkutan bahan baku ubikayu Tafsiran refaksi dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) dengan menimbang kadar aci dari sampel 5 kg ubikayu; (2) menaksir kandungan tanah, dan kotoran yang terbawa oleh ubikayu tersebut. Setelah selesai penimbangan dan kir, muatan truk tersebut kemudian diturunkan ke lantai penghamparan/ penyimpanan. Mobil kembali ditimbang untuk mendapatkan bobot bersih kendaraan. Dengan demikian bobot ubikayu (yang akan dipakai sebagai dasar pembayaran kepada pemasoknya adalah: Bobot Netto = Bobot Bruto – Bobot Truk kosong - Refaksi
Gambar 28. Proses penentuan kualitas dan pengukuran kadar pati ubikayu Bahan baku ubikayu industri tapioka diperoleh dari petani, pemasok/mitra binaan perusahaan. Jumlah lahan dari pemasok/mitra berdasarkan informasi dari perusahaan seluas ± 45.000 ha dengan menghasilkan ± 20 ton/ha ubikayu. Varietas ubikayu unggul yang biasa ditanam, antara lain Adira 1, Adira 4, Adira 2, Darul Hidayah, Malang 1, Malang 2, Malang-4, Malang-6, UJ-3, dan UJ-5. Beberapa varietas ubikayu dan keunggulannya dapat dilihat pada Lampiran 8.
58 Hasil pengukuran lapangan kadar pati varietas ubikayu yang dominan digunakan industri tapioka disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Kadar pati varietas ubikayu di wilayah studi No.
Jenis sampel
Kadar Pati (%)
1.
Ubikayu varietas Kasertsat
18,15
2.
Ubikayu varietas Thailand
16,99
Berdasarkan Tabel 10, rendahnya hasil pengukuran kadar pati di lapangan dipengaruhi oleh variasi umur ubikayu yang dipanen tidak seragam, lamanya proses penampungan sementara sebelum proses pengolahan sehingga terjadi proses fermentasi yang berdampak pada menurunnya kandungan pati dalam bahan baku ubikayu. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian, tahapan proses produksi tapioka pada industri tapioka skala besar di Provinsi Lampung memiliki kesamaan dalam tahapannya. Tahapan proses produksi yang disajikan dibawah ini adalah industri tapioka D dengan kapasitas 800 ton/hari. Industri tapioka D memiliki data yang cukup, sehingga dipilih untuk dikaji lebih dalam tahapan proses produksinya. Diagram alir proses produksi industri tapioka D disajikan pada gambar 28. Secara lebih rinci tahapan proses produksi industri tapioka D sebagai berikut: 1. Pembersihan Bahan baku ubikayu dengan jumlah 800 ton dikumpulkan dalam tempat penampungan. Pembersihan yang dilakukan terhadap bahan baku bertujuan untuk membersihkan benda-benda asing seperti batang, ubikayu busuk, debu, pasir, tanah dan kotoran (benda asing) lainnya. Pembersihan dilakukan dengan cara peniupan angin yang bertekanan tinggi atau dengan sistem vibrasi dan saringan berputar. Setelah pembersihan dilakukan penimbangan bahan baku yang sudah dibersihkan. 2. Pencucian dan Pengupasan Kulit Pencucian bahan baku dilakukan dengan menggunakan air yang disemprotkan pada bagian ujung atas dari ban berjalan (belt conveyer) yang mempunyai kemiringan tertentu. Dengan demikian tanah, pasir, dan kotoran-kotoran
59 lainnya yang masih melekat pada bahan baku terbawa bersama air mengalir. Tahap selanjutnya adalah pengupasan kulit (peeler). Hasil hitungan neraca massa dan air diperoleh bahwa proses pencucian dan pengupasan ubikayu ini membutuhkan air sebesar 1.026,13 m 3, Proses pencucian dan pengupasan ubikayu menghasilkan produk samping berupa air cucian sebesar 1.007,13 m3 air cucian, kotoran kulit sebesar 72,21 ton, dan meniran sebesar 14,08 ton. Sedangkan produk ubikayu hasil pencucian dan pengupasan sebesar 746,79 ton.
Gambar 29. Neraca massa dan air proses pengupasan dan pencucian ubikayu 3. Sortasi Proses sortasi (penyortiran) terhadap bahan baku dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan bahan baku yang mempunyai kualitas rendah yaitu bahan baku yang berkayu, dan mulai membusuk yang dilakukan secara manual. Bagian umbi yang membusuk dipotong dan bagian yang masih segar tetap digunakan. Umbi yang masih kotor atau belum sempurna terkupas dikembalikan ke alat pencuci pencuci dan pengupas kulit. 4. Pencacahan Ubikayu yang telah disortasi kemudian ditimbang dan ditransportasikan dengan ban berjalan (belt conveyer) menuju suatu alat pencacah (choper). Pencacahan dilakukan sedemikian rupa (dirajang) hingga menjadi potongan kecil (chip) yang mempunyai ketebalan antara 30-50 mm. 5. Pemarutan Potongan kecil (chip) yang terbentuk ditampung dalam alat pengumpan (feeder) untuk diumpankan ke dalam alat pelumat (desintegrator atau rasper).
60
Gambar 30. Neraca massa dan air proses pencacahan dan pemarutan ubikayu Di dalam desintegrator, chip dilumatkan menjadi bubur umbi. Pada operasi pelumatan diharapkan dapat menghasilkan pati yang maksimal dan tanpa menghasilkan serat halus yang terlalu banyak, karena kandungan serat halus yang terlalu banyak dapat mempengaruhi efisiensi hasil. Air bersih yang dibutuhkan untuk proses pemarutan sebesar 247,03 m 3. Bubur ubikayu yang dihasilkan dari proses pemarutan sebesar 993, 82 ton. 6. Ektraksi Pati Ekstraksi pati dilakukan dengan cara bubur umbi dimasukkan ke dalam alat ekstraktor secara bertingkat (3 tahap). Bubur umbi disaring dengan saringan statis (static screen) dengan tujuan serat dan partikel kasar dapat dipisahkan. Bubur umbi yang lolos saringan dialirkan menuju saringan berputar (rotary conical screen) sehingga partikel-partikel yang lebih halus (terutama serat) dapat dipisahkan. Ektraksi bisa juga dilakukan dengan alat ekstraktor jet dengan model nozzle berputar (jet extractor, rotary nozzle type). Alat tersebut termasuk alat pemutar (centrifuge) dengan saringan miring (sliding screen) yang didalamnya dilengkapi dengan suatu system pencuci khusus (nozzle). Dalam sistem tersebut butir-butir pati dan partikel-partikel halus terlempar keluar dan ampas serta partikel yang tidak lolos saring akan semakin kecil mengandung pati. Air bersih yang digunakan pada tahap ekstraksi pati ini sangat tinggi sebesar 1.387,17 m3.
61
Gambar 31. Neraca massa dan air proses ekstraksi bubur ubikayu Produk samping yang dihasilkan berupa air sisa ekstraksi sebesar 741,09 m 3 dan limbah padat berupa ampas sebesar 266,03 ton. 7. Pengurangan Air (Dewatering) Pati yang dihasilkan dari penyaringan ditampung dalam tangki pengumpan atau dipompa untuk dimasukkan ke dalam separator sentrifugal dengan tujuan agar serat-serat halus yang terkandung didalamnya dapat dipisahkan. Bahanbahan yang terlarut dipisahkan dengan cara pencucian yang berulang di dalam separator. Pati yang sudah murni tersebut dialirkan ke dalam hidrocyclone atau bak-bak pengendapan untuk dipisahkan airnya. Kebutuhan air bersih pada proses ini sebesar 760,10 m3.
Gambar 32. Neraca massa dan air proses dewatering susu pati ubikayu Pati yang sudah mengalami banyak kehilangan air tersebut dialirkan menuju alat pemutar atau penapis vakum (rotary vacuum filter) untuk dibuang airnya lebih lanjut (de-watering). Air sisa yang dihasilkan dari proses de-watering sebanyak 1.254,16 m3. Air sisa tersebut selama ini belum dimanfaatkan dan langsung dibuang menuju kolam IPAL. Tapioka basah yang dihasilkan dari proses de-watering ini sebesar 252,73 ton.
62
Gambar 33. Neraca massa dan air proses sentrifuse susu pati 8. Pengeringan Alat pengering yang biasa digunakan untuk mengeringkan pati adalah alat pengering tipe pneumatic (pneumatic flesh drier suction type). Dalam sistem pengeringan tersebut pati basah ditransformasikan menggunakan kotrek (screw conveyer) menuju zona pengisapan (suction zone). Udara pengeringan dihasilkan dengan cara pemanasan udara, pati digerakkan menuju bagian atas alat pengering yang selanjutnya disemprotkan ke bagian bawah alat pengering terdapat ruangan yang mengandung udara panas yang mempunyai suhu antara 50oC – 60oC. Pati kering yang dihasilkan dialirkan menuju unit ayakan untuk memisahkan gumpalan-gumpalan pati kering sehingga terbentuk pati kering yang halus.
Gambar 34. Neraca massa dan air proses pengeringan dan pengemasan tapioka 9. Pengemasan Pati kering yang halus selanjutnya dimasukkan ke dalam silo, lalu dikemas ke dalam kemasan yang terbuat dari bahan blacu atau karung plastik yang di dalamnya dilapisi dengan plastik. Produk tapioka yang dihasilkan proses produksi industri tapioka dengan bahan baku 800 ton/hari sebesar 190,02 ton.
63 Proses produksi industri tapioka skala besar secara lengkap disajikan pada Gambar 35. di bawah ini.
Gambar 35. Diagram alir proses produksi industri tapioka D Pengelolaan Limbah Industri Tapioka Sumber dan Karakteristik Limbah Limbah merupakan sesuatu yang dihasilkan dari suatu proses produksi atau proses penunjang yang mendukung proses utama selain produk yang diinginkan. Limbah dihasilkan karena adanya inefisiensi di segala aktivitas dan adanya bahan atau materi dan/atau energi yang tidak dapat digunakan kembali bagi kegiatan
64 produksi tersebut.
Industri tapioka menghasilkan tiga macam limbah, yaitu
limbah padat, air limbah dan limbah gas. Limbah yang dihasilkan sebagian besar didominasi oleh air limbah yang kemudian diikuti oleh limbah padat. Air limbah Proses pembuatan tapioka memerlukan air untuk memisahkan pati dari serat. Pati yang larut dalam air harus dipisahkan. Teknologi yang ada belum mampu memisahkan seluruh pati yang terlarut dalam air, sehingga air limbah yang dilepaskan ke lingkungan masih mengandung pati. Air limbah akan mengalami dekomposisi secara alami di badan-badan perairan dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Bau tersebut dihasilkan pada proses penguraian senyawa mengandung nitrogen, sulfur dan fosfor dari bahan berprotein (Zaitun, 1999; Hanifah dkk, 1999).
Pencucian ubikayu
Air buangan pencucian ubikayu
Air separator
Gambar 36. Jenis air limbah proses produksi tapioka Air limbah yang dihasilkan pada proses pengolahan pati tapioka berasal dari proses pencucian, pembersihan alat produksi dan lantai pabrik serta dari proses pemisahan pati ubikayu. Air limbah dari hasil pengolahan pati tapioka terdiri atas air dan sisa pati tapioka yang ter-suspensi dalam air. Air limbah yang dihasilkan oleh industri tapioka skala besar ini berkisar antara 4,28-5,00 m3/ton ubikayu.
65 Menurut Nurhasan dan Pramudyanto (1991), tingginya kandungan bahanbahan organik tersebut dapat mempengaruhi keseimbangan lingkungan untuk menetralisasinya. Hal tersebut menyebabkan warna perairan berubah menjadi kehitaman, menurunkan kadar oksigen di dalam air, dan dapat menyebabkan bau busuk. Secara alami limbah tersebut dapat terdegradasi di lingkungan, akan tetapi penumpukan limbah organik di wilayah perairan seperti sungai, sumur, danau akan menurunkan kandungan oksigen terlarut. Parameter yang biasa dilakukan untuk mengukur nilai tinggi rendahnya kandungan oksigen terlarut pada suatu badan air adalah dengan menentukan nilai COD dan BOD. Semakin tinggi nilai kedua parameter tersebut maka semakin rendah kandungan oksigen terlarut pada suatu badan air tersebut. Air limbah yang dihasilkan dalam proses produksi industri tapioka dibagi dalam dua jenis yaitu: air limbah dari separator (proses ekstraksi, separator dan sentrifuse) dan air limbah dari cucian (pencucian bahan baku dan pencucian peralatan). Kandungan COD dalam air limbah dari separator masih sangat tinggi yaitu 20.433 mg/L, sedangkan kandungan COD air limbah dari cucian sangat rendah yaitu 2.015 mg/L. Karakteristik kualitas air limbah dari separator dan cucian dapat di lihat pada Tabel 11. Tabel 11. Karakteristik kualitas air limbah dari separator dan cucian Komponen
pH
DO (mg/L)
Suhu (OC)
COD (mg/L)
BOD5 (mg/L)
Air limbah dari Separator
6,01
6,62
29,6
20.433
11.466
Air limbah dari Cucian
7,68
2,36
30,4
2.015
1.132
Menurut Soeriaatmadja (1984), limbah industri tapioka yang dibiarkan terbuang diperairan terbuka akan menimbulkan 5 perubahan kualitas air, yaitu: 1) Peningkatan zat padat berupa senyawa organik, sehingga timbul kenaikan limbah padatan, tersuspensi maupun terlarut 2) Peningkatan kebutuhan oksigen oleh mikroba-pembusuk senyawa organik, dinyatakan dengan BOD5 3) Peningkatan kebutuhan oksigen untuk dekomposisi kimiawi dalam air, dinyatakan dalam COD
66 4) Peningkatan senyawa zat racun dalam air dan pembawa bau busuk dan menyebar keluar dari ekosistem akuatik 5) Peningkatan derajat keasaman dinyatakan dengan pH akan merusak keseimbangan ekosistem akuatik/perairan terbuka. Bahan organik yang terdapat di perairan sebenarnya menguntungkan bagi hewan air, karena merupakan sumber pangan bagi hewan-hewan tersebut. Namun, dalam kadar yang tinggi justru mengancam lingkungan perairan. Bila persediaan oksigen di perairan cukup, maka terjadi dekomposisi aerobik yang pada umumnya tidak menghasilkan zat-zat yang bersifat toksik terhadap organisme air. Sebaliknya, jika ketersediaan tidak mencukupi akan terjadi perombakkan anaerobik yang akan menghasilkan hidrogen sulfida dan amonia yang keduanya bersifat toksik bagi hewan air. Menurut Grady dan Lim (1980), kebutuhan oksigen ditentukan oleh kadar pencemar yang dapat diuraikan secara biologi (biodegradable pollutant), artinya kebutuhan oksigen ditentukan oleh bobot oksigen yang diperlukan untuk oksidasi zat pencemar menjadi senyawa yang stabil. Jika kandungan senyawa organik dan anorganik cukup besar, maka apabila oksigen yang terlarut dalam air akan mencapai nol, sehingga mengancam kehidupan biota air. Air limbah industri tapioka biasanya mengandung bahan organik baik yang larut maupun yang tidak larut dalam air, sehingga air limbah industri tapioka lebih cocok bila diolah secara biologi. Namun mengingat bahwa kandungan bahan organik maupun padatan terlarut serta volume limbah yang dihasilkan sangat berfluktuasi, maka perlakuan secara fisika dan kimia masih diperlukan. Industri tapioka skala besar memiliki sarana pengolahan air limbah. Semua industri tapioka tersebut menggunakan sistem kolam (lagoon) untuk mengolah air limbah yang dihasilkan dari proses produksi tapioka. Salah satu industri tapioka D memiliki 15 kolam instalasi pengolahan air limbah dengan luas wilayah 11,7 ha. Lay out kolam air limbah industri tapioka D disajikan pada Gambar 37.
67
Gambar 37. Lay out pengolahan air limbah industri tapioka Air limbah yang dihasilkan dari proses produksi industri tapioka terus mengalir dari kolam No.1 sampai kolam No.15 dengan kedalaman rata-rata 3 meter. Kolam air limbah nomor 15 merupakan kolam air limbah yang terakhir (outlet) sebelum dibuang ke perairan umum, sesuai Peraturan Gubernur Lampung Nomor 7 Tahun 2010 tentang baku mutu air limbah usaha dan/atau kegiatan di Provinsi Lampung, maka seluruh industri tapioka di Provinsi lampung diwajibkan harus memenuhi kriteria baku mutu yang telah ditentukan tersebut. Karakteristik air limbah yang dihasilkan dari outlet industri tapioka sampel penelitian disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Karakteristik air limbah yang dihasilkan dari industri tapioka Hasil Pengukuran titik Outlet Parameter
Satuan
pH Temperatur
O
C
Industri A
Industri B
Industri C
Industri D
Industri E
7,81
8,15
6,80
7,45
7,12
28,50
27,50
29,00
30,50
29,50
Dissolved oxygen (DO)
(mg/L)
4,57
4,82
5,02
4,96
4,68
Chemical oxygen demand (COD)
(mg/L)
169,00
295,00
103,00
266,00
198,00
Biological oxygen demand (BOD)
(mg/L)
67,80
129,00
52,04
102,00
92,00
Total suspended solid (TSS)
(mg/L)
42,00
51,00
27,00
39,00
44,00
Asam Sianida (HCN)
(mg/L)
0,008
0,006
0,004
0,003
0,005
Berdasarkan Tabel 12. Tersebut, nilai COD dan BOD industri B dan industri C belum memenuhi kriteria baku mutu yang ditetapkan sebesar 250 mg/L dan 100 mg/L, sehingga perlu dilakukan perbaikan pada proses pengolahan air limbahnya. Salah satu penyebab tingginya nilai COD dan BOD tersebut akibat pendangkalan
68 kolam IPAL karena jumlah limbah padat berupa kulit, serat dan meniran yang masuk kedalam kolam IPAL cukup banyak. Industri tapioka potensial di Provinsi Lampung yang disurvai telah mempunyai IPAL dengan sistem kolam biologis yang terdiri atas kolam anaerobik, fakultatif, dan aerobik. Sampel gas diambil dari kolam No.4 yang memiliki luas wilayah 0,52 ha. Kolam anaerobik No.4 IPAL industri tapioka merupakan kolam keempat yang dimasuki oleh air limbah tapioka setelah kolam anaerobik 1, anaerobik 2, dan anaerobik 3. Hasil survei yang dilakukan pada tanggal 11 januari 2008, sistem pengolahan air limbah yang ada di salah satu industri tapioka berupa kolam-kolam biologis. Kolam tersebut terdiri dari kolam penampungan, kolam pengendapan, kolam anaerob, kolam fakultatif, kolam aerob, kolam biokontrol, dan kolam bahan berbahaya dan beracun. Kolam anaerobik 4 ini memiliki luas sekitar 5.233 m 2 dengan kedalaman 3-4 meter, serta daya tampung kolam adalah 13.998 m 3. Karakteristik kolam anaerobik 4 ini adalah berwarna hitam, berbau busuk, jumlah padatan terapung sedikit, aktifitas mikroba sangat tinggi, sedikit buih, dan jika diamati akan terlihat gelembung-gelembung gas CO2 yang keluar dari dasar kolam. Karakteristik air limbah pada kolam anaerobik di salah satu industri tapioka di Provinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Karakteristik air limbah di kolam anaerobik I, II, III, IV. Karakteristik PH Kekeruhan (FAU/NTU) Padatan normal (mg/L) Padatan tersuspensi (mg/L) Padatan terendap (%) COD (mg/L) BOD5 (mg/L) Volatil acid (mg/L)
Kolam 1 4,39 2.606 4.680 2.742 4 11.130 8.624,7 1.500
Kolam 2 6,92 359,0 1.104 224,0 0 396,0 102,0
Kolam 3 7,05 236 956 224 0 154,0 24,0 -
Kolam 4 6,95 7,25 1796 520 0,20 783 563,9 192
Pengukuran COD influen kolam No.1 di bulan Februari sebesar 7.465 mg/L merupakan yang terendah nilai dan pada bulan Agustus adalah 13.640 mg/L yang merupakan nilai tertinggi. Beberapa Penelitian melaporkan variasi COD air limbah dengan investigasi ke beberapa pabrik tapioka di Vietnam nilai COD
69 berkisar 11.000 - 13.500 mg/L (Hien et al., 1999) dan pabrik tapioka di Thailand nilai COD berkisar 12.966-19.278 mg/L (Sriroth et al., 2000). Menurut Kamahara et al. (2010) bahwa nilai COD air limbah dari pabrik tapioka tidak hanya memiliki variasi dari masing-masing pabrik tetapi juga dipengaruhi oleh perubahan musim. Dalam kolam No.3 ke kolam No.5, influen COD mengalami penurunan dari 13.330 mg/L sampai 600 mg/L selama waktu 2036 hari. COD Removal sekitar 96% sampai masuk kolam yang HRT No.5 adalah 36 hari. Di sisi lain, pH meningkat dari 4,11 nilai di kolam No.3 untuk 6,78 nilai di kolam No.5 pada saat yang sama. Rajbhandari dan Annachhatre (2004) melaporkan kondisi anaerobik pH berkisar 6-8. Oleh karena itu, dengan kondisi yang ada sangat dimungkinkan untuk menghitung potensi gas metana selama waktu retensi hidrolik.
K3
K4-2 K4-1
Kolam #3
K4-3
Kolam#4
K5
Kolam #5
Gambar 38. Lokasi pengambilan sampling gas pada kolam air limbah industri tapioka Aktivitas biologis diamati dari akhir kolam No.3 sampai akhir kolam No.4 yang dibuktikan dengan pembentukan gelembung gas yang berlebihan dan adanya lumpur mengambang di permukaan kolam (Gambar 38). Oleh karena itu, kolam No.4 disimpulkan sebagai aktivitas yang paling anaerobik. Hasil yang diperoleh dari pengukuran lapangan adalah laju produksi biogas di kolam No.4 berkisar 25,9-133,4 L/m2/jam, dan laju produksi gas rata-rata adalah 67,2 L/m2/jam. Komposisi Biogas dari kolam No.4 adalah 58% metana, 30% karbon dioksida, nitrogen 5% dan 7% dari bahan lain. Dari hasil tersebut, faktor emisi metana di kolam No.4 dapat diperkirakan 0,24 g CH4/ g COD Removal. Hasil tersebut hampir sama dengan IPCC (2006) value 0,25g CH4 / g COD Removal. Selain itu, diperkirakan bahwa karbon berpengaruh mengkonversi menjadi 44%
70 sebagai metana, 23% karbon dioksida dan 6,8% sebagai limbah. Oleh karena itu, 26% dari karbon terdapat di dalam kolam. Produksi gas metana dari air limbah tapioka sangat tergantung pada COD selama proses anaerobik. Setiap kilogram COD removal akan menghasilkan 0,35 m3 CH4 (Tchobanoglous, 1991). Air limbah segar dari pabrik tapioka memiliki COD sebesar 18.000 mg/L dan harus ditangani sampai 250 maksimum COD mg/L sesuai standar efluen nasional. Berdasarkan perhitungan teoritis, nilai yang diamati produksi gas dari kolam No. 4 hanya 42-49 persen dari nilai teoritis, kondisi tersebut mungkin disebabkan oleh kondisi pada pertumbuhan anaerob kolam No.4 yang tidak sepenuhnya mendukung seperti nilai pH < 6. Kondisi optimum nilai pH untuk aktivitas anaerob berkisar 6 - 8 dan pH untuk bakteri metanogen sebesar 7 (Sham, 1984). Gas metana (CH4) yang dihasilkan pada kolam No.4 tersebut diukur secara langsung mengunakan detektor metana (methane detector).
Hasil pengamatan yang dilakukan menunjukkan 3
bahwa produksi biogas adalah sebesar 24 m /ton ubikayu dengan konsentrasi gas 3
CH4 berkisar antara 60-65 persen atau setara dengan 14,4-15,6 m gas CH4/ton ubikayu. Berdasarkan karakteristik kolam anaerobik (Tchobanoglous, 1991), limbah pabrik tapioka berpotensial untuk dikembangkan sebagai sumber energi alternatif. Limbah Padat Limbah padat industri tapioka berasal dari proses pengupasan yaitu berupa kulit ubikayu dan dari proses ekstraksi yang berupa ampas ubikayu. Tjiptadi dan Nasution (1978) membagi limbah padat dari industri tapioka terbagi menjadi beberapa macam yaitu: 1) Kulit yang berasal dari pengupasan ubikayu 2) Sisa-sisa potongan ubikayu yang tidak terparut berasal dari proses pemarutan. 3) Ampas onggok yang merupakan sisa dari proses ekstrasi pati, terdiri atas sisasisa pati dan serat-serat. Persentase jumlah limbah kulit ubikayu bagian luar sebesar 0,5-2% dari berat total ubikayu segar dan limbah kulit ubikayu bagian dalam sebesar 8-15% (Hikmiyati et al., 2009).
71
Kulit Ubikayu
Onggok Kering
Ampas /Onggok basah
Meniran
Gambar 39. Jenis limbah padat pengolahan tapioka Limbah Gas Air limbah dan limbah padat yang dihasilkan oleh industri tapioka, dalam pemanfaatannya masih belum maksimal. Beberapa industri telah melakukan pemanfaatan terhadap limbah yang dihasilkan baik yang berbentuk padat maupun cair dengan tujuan untuk meningkatkan nilai manfaat dari limbah tersebut. Namun demikian, masih banyak kendala yang dihadapi dalam melakukan pemanfaatan limbah industri tapioka. Selain volumenya yang besar, kandungan COD di dalam air limbah tersebut juga tinggi dan pada proses pengolahan secara biologi dengan sistem anaerobik tentunya dapat menimbulkan gas-gas yang berpotensi memberi sumbangan terhadap pemanasan global. Kondisi tersebut tentunya menuntut kesadaran para pelaku industri untuk melakukan pengelolaan terhadap gas-gas yang dihasilkan pada proses pengolahan air limbah untuk meminimalisasi dampak negatif yang ditimbulkan. Karakteristik biogas di lokasi sampling disajikan pada Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14, komposisi biogas yang dihasilkan dari beberapa industri tapioka di dominasi oleh gas CH4 , CO2 dan N2. Persentase rata-rata gas
72 CH4 yang dihasilkan sebesar 56,214 %, persentase rata-rata gas CO2, yang dihasilkan sebesar 38,372%, dan persentase gas N2 yang dihasilkan sebesar 5,414%. Tabel 14. Karakteristik biogas beberapa industri tapioka No.
Industri Sampling
CH4 (%)
Komposisi gas CO2 (%)
N2 (%)
1.
Industri A
54,36
35,64
10,00
2.
Industri B
60,47
33,63
5,90
3.
Industri C*)
55,97
42,08
1,95
4.
Industri D
52,38
42,62
5,00
5.
Industri E
57,89
37,89
4,22
Gambar 40. Air limbah yang menghasilkan gas CO2 dan CH4 Sistem Penanganan Limbah Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan sistem penanganan limbah yang telah dilakukan industri tapioka belum optimal sehingga masih mengakibatkan kerusakan lingkungan, mengganggu kesehatan dan estetika lingkungan serta memberikan sumbangan terhadap potensi pemanasan global. Limbah padat berupa kulit, kotoran dan meniran yang merupakan produk samping dari proses industri tapioka belum seluruhnya dimanfaatkan sehingga terjadi penumpukan yang menimbulkan bau dan gundukan yang mempersempit lokasi pabrik. Selain itu, limbah padat berupa kulit yang terbawa pada air buangan pencucian ubikayu tanpa dilakukan penanganan serius secara bertahap akan menutupi permukaan kolam air limbah, sehingga berakibat terjadi pendangkalan kolam air limbah yang ada. Pendangkalan kolam tersebut berpengaruh terhadap
73 lamanya waktu tinggal air limbah yang dihasilkan, sehingga proses pengolahan air limbah secara biologi dengan sistem anaerobik tidak berjalan dengan baik.
Gambar 41. Kondisi sistem penanganan limbah padat industri tapioka Hal ini menyebabkan air limbah yang keluar dari kolam limbah terakhir ke perairan umum/sungai tidak bisa sesuai standar baku mutu kualitas air yang diatur dalam Peraturan Gubernur Provinsi Lampung Nomor 7 tahun 2010 tentang baku mutu air limbah usaha dan/atau kegiatan di Provinsi Lampung. Limbah onggok yang dihasilkan dari proses produksi tapioka cukup tinggi berkisar 12-39% per ton ubikayu. Penanganan onggok basah masih sangat lambat sehingga terjadi penumpukan. Onggok basah sebagian akan dibeli oleh pihak ketiga dan sebagian limbah onggok basah ini di keringkan secara manual dengan menggunakan panas matahari. Proses penjemuran onggok basah ini tergantung kondisi cuaca/panas matahari sehingga memerlukan penanganan khusus, tempat luas dan waktu yang cukup lama. Hal ini berakibat timbulnya bau busuk dan menjadi sarang hewan/hama seperti kecoa, tikus, dan lalat yang dapat mengganggu kesehatan pekerja dan masyarakat yang tinggal di sekitar industri tapioka. Kasus pencemaran sungai terjadi di Provinsi Lampung selama tahun 2008 antara lain di Sungai Way Seputih dan Way Terusan yang mengalir di wilayah Kabupaten Lampung Tengah dan Tulang Bawang akibat limbah tapioka PT. Teguh Wibawa Bakti Persada (PT. TWBP) pada 11 Januari 2008. Akibat mencemari sungai tersebut, PT. TWBP diwajibkan membayar ganti rugi kepada masyarakat dan PT. TWBP harus memulihkan lingkungan perairan dengan cara menebarkan benih ikan pada Sungai Way Terusan dari hulu hingga hilir.
74 Pencemaran sungai Way Muara dan Way Sungkai terjadi pada 26 Februari 2008 yang terletak di Kabupaten Lampung Utara. Warga di wilayah kampungkampung yang dilalui Sungai Way Muara dan Way Sungkai menjadi resah akibat pencemaran sungai tersebut yang diduga tercemar limbah pabrik tapioka dari PT. FM di Tulung Buyut, Hulu Sungkai. Dugaan sungai tersebut tercemar limbah dibuktikan dengan banyaknya ikan palau, baung ukuran kecil, lais, dan parai (wader) yang mati serta warna air menjadi keruh dan berbau busuk. Selain itu juga air sungai tersebut sudah tidak dapat digunakan mandi karena membuat kulit gatal-gatal. Pencemaran Sungai Way Semah (Kabupaten Pesawaran) terjadi pada Juli 2008. Ratusan warga Desa Negarasaka, Negeri Katon, Pesawaran tidak bisa lagi memanfaatkan air Way Semah. Beberapa titik aliran sungai, terlihat warna air yang berwarna cokelat kehitam-hitaman dan mengeluarkan bau tidak sedap. Selain itu, beberapa titik aliran sungai terlihat permukaan airnya tertutup busa yang mengeluarkan bau menyengat. (BLHD Provinsi Lampung, 2010). Pengurangan limbah pada sumbernya (Source Reduction) a. Good Housekeeping Good housekeeping adalah suatu cara untuk mencegah suatu kebocoran atau tumpahan, dan perawatan terhadap alat atau perangkat yang dapat menyebabkan inefisiensi. Good housekeeping dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi pemakaian air dan mencegah kehilangan bahan. Aktivitas produksi bersih antara lain dengan pelaksanaan cara berproduksi yang baik (GMPs), pemantauan penggunaan air, dan pemantauan pekerja. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan penyuluhan sehingga pengetahuan dan kesadaran para pelaku industri lebih baik. Pencucian peralatan sebaiknya dilakukan setiap hari atau setelah selesai proses produksi. Sisa-sisa pati yang rnenempel pada alat akan mempengaruhi kualitas tapioka shift berikutnya terutama parameter derajat keputihan dan bau. Kusarpoko (2003) yang menyatakan bahwa proses kontaminasi limbah oleh mikroorganisme dapat terjadi setelah 12 jam. Menurut Grace (1977), kandungan gula dan nutrien lainnya menyebabkan mikroorganisme melakukan fermentasi dan menghasilkan alkohol dan asam organik penyebab bau.
75 Good housekeeping pada industri tapioka tersebut tergolong tidak baik. Hal tersebut terlihat dari banyaknya sisa-sisa tapioka yang bertebaran di lantai. Sisa tapioka yang bertebaran mengakibatkan bertumbuhnya mikroba. Hal tersebut dapat berdampak pada mutu tapioka yang dihasilkan. Upaya untuk mengurangi terjadinya kehilangan tersebut, industri tapioka sebaiknya menggunakan mesin khusus dalam proses pengecilan ukuran tapioka. Selain itu, pekerja tidak dilengkapi dengan sepatu boot padahal dalam proses pembuatan tapioka tersebut sebagian besar menggunakan air, sehingga kemungkinan untuk terpeleset sangat besar. Air langsung disalurkan dari tanki air melalui pipa dengan menggunakan pompa sehingga penggunaan air lebih terkontrol. b. Perubahan proses (Process Change)
Perubahan Bahan Input (Material Input Change) adalah penggantian bahan baku dari bahan yang memiliki kualitas rendah yaitu ubikayu terlalu muda atau terlalu tua, ubikayu dengan kadar pati rendah, ubikayu jumlah lendir tinggi, warna ubikayu yang tidak cerah, kadar HCN yang tinggi.
Pengendalian proses yang baik (Better Process Control) adalah modifikasi dari prosedur atau proses kerja, instruksi pengoperasian mesin dan pendokumentasian jalannya proses dalam rangka meningkatkan efisiensi dan meminimalisasi limbah dan emisi. o Tahap proses pencucian dilakukan pengontrolan pada jumlah air yang digunakan untuk proses pencucian dan mengganti secara periodik air pencucian tersebut. Ubikayu hasil pencucian juga diperiksa secara intensif sudah bersih dari lendir dan kotoran, karena dapat menurunkan kualitas produk tapioka yang dihasilkan. o Tahap proses pemarutan dilakukan pengontrolan mesin pemarutan secara periodik. Ubikayu diparut secara sempurna sehingga dapat meningkatkaan kadar pati lebih dari 86% dan granula pati yang keluar/ hilang kurang dari 90%. o Tahap proses filtering dilakukan pengontrolan mesin secara priodik sehingga dapat mengurangi kemurnian produk.
76 o Tahap proses ekstraksi dilakukan pengontrolan mesin terutama serat yang masih terbawa dalam proses. Proses ekstraksi dilakukan dalam dua tahap proses sehingga akan mempengaruhi kemurnian produk tapioka yang dihasilkan. o Tahap proses de-watering dilakukan pengontrolan terhadap putaran silinder yang diatur konstan 1.450 rpm. o Tahap proses drying dilakukan pengotrolan suhu, kelembaban, dan waktu yang digunakan untuk proses pengeringan. o Proses pengemasan dan penyimpanan dilakukan penyimpanan secara aseptis dan menerapkan proses penggudangan first in first out.
Modifikasi peralatan (Equipment Modification) adalah modifikasi dari peralatan dan perlengkapan yang digunakan pada saat proses dengan cara menambahkan alat pengendalian dan pengukuran dalam rangka meningkatkan efisiensi, meminimalisasi limbah dan emisi. Perubahan teknologi (Technology Change) adalah penggantian teknologi yang ada, alur proses dalam rangka meminimalisasi limbah dan emisi selama proses produksi. Namun demikian cara ini membutuhkan desain lebih lanjut untuk meyesuaikan dengan kapasitas produksi yang berbeda-beda sehingga membutuhkan investasi yang besar. Pencucian dua tahap dengan menggunakan recovery air limbah proses ekstraksi dan air proses separator lainnya. Cara ini dapat dilakukan dengan syarat air tidak mengandung polutan berbahaya dan mikroorganisme karena bisa menurunkan kulitas tapioka yang dihasilkan (Falcon et al., 1984).
Daur Ulang (Recycling) a. Penggunaan kembali pada tempatnya (On site Recovery and Reuse) adalah penggunaan kembali limbah yang dihasilkan pada proses yang sama atau pada proses yang lain di industri tersebut. Pada strategi daur ulang dan penggunaan kembali proses tersebut dapat melakukan penggunaan air yang masih bersih (white water) secara berulang. Air yang dikeluarkan dari beberapa proses yang masih dianggap layak digunakan kembali, seperti air pencucian pada proses penggilingan, ditampung
77 terlebih dahulu di suatu bak penampungan (white water pit) yang kemudian disalurkan ke beberapa proses yang membutuhkan air. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menghemat penggunaan air (fresh water) dalam proses. Air tersebut tidak akan digunakan kembali atau dibuang apabila sudah dianggap tidak layak untuk digunakan kembali. Air yang dianggap tidak layak digunakan kembali disebabkan oleh adanya kotorankotoran yang dapat mengganggu kualitas tapioka yang dihasilkan. Hasil pengamatan yang telah dilakukan di industri tapioka tersebut, upaya untuk meminimalkan limbah yang dihasilkan dapat dilakukan dengan memanfaatkan kembali air sisa dari separator untuk digunakan kembali sebagai pengganti air pencucian bahan baku. Pada industri skala 800 ton/hari bahan baku ubikayu, air yang digunakan sebagai pencucian dan pencacahan sebesar 1.026,13 m 3 per hari. Air sisa yang dihasilkan dari proses pengurangan air (dewatering) dengan separator sebesar 1.254,16 m3. Air sisa tersebut dapat mensubstitusi air bersih yang digunakan sebesar 90% dari 1.026,13 m3 per hari kebutuhan air bersih, sehingga terjadi penghematan air bersih sebesar 923,52 m3 atau kebutuhan air bersih hanya sebesar 102,61 m3 per hari. Selain itu, dapat mengurangi air sisa dari separator yang terbuang, sehingga air sisa yang terbuang hanya 330,64 m3. Pemanfaatan kembali air sisa dari separator sebanyak 923,52 m 3 akan menghemat penggunaan air bersih sebesar 27% dari total air bersih yang digunakan sebesar 3.420,43 m3. Apabila dihitung dengan pajak pemanfaatan air bawah tanah yang harus dibayarkan perusahaan Rp.1.035/m 3 sesuai Perda Provinsi Lampung No.4/2002, maka akan menghemat biaya sebesar Rp.955.843,- per hari dari total pajak Rp.3.540.145,- per hari. Karakteristik air sisa dari separator memiliki nilai COD yang masih tinggi sebesar 20.433 mg/L, tetapi tidak akan mempengaruhi kualitas tapioka yang dihasilkan. Air sisa dari separator tersebut masih dalam keadaan encer dan air baru digunakan untuk proses produksi, sehingga masih layak untuk digunakan kembali. Neraca pemanfaatan dan penghematan air dari proses separator disajikan pada gambar 42.
78
Gambar 42. Pemanfaatan dan penghematan air dari proses separator Keterangan: --- proses pemanfaatan daur ulang air sisa dari separator
b. Produksi produk samping yang bermanfaat (Creation of useful by-product) Tidak adanya kendala dalam pemanfaatan limbah padat industri tapioka bukan berarti seluruh industri tersebut telah melakukan pemanfaatan limbah padat sebagai produk turunan. Hal ini terjadi karena limbah padat industri tapioka berupa onggok sudah memiliki nilai ekonomi tanpa harus dilakukan pengolahan terlebih dahulu dan banyak pihak ketiga yang bersedia membeli limbah padat ini untuk berbagai keperluan. Nilai ekonomi dari onggok ini cukup tinggi yaitu sekitar Rp. 400,-/kg untuk onggok basah dengan kualitas rendah dan dapat mencapai harga Rp. 1.000,-/kg untuk onggok dengan kualitas tinggi dan kadar kekeringan tertentu.
79 Untuk limbah padat berupa kulit biasanya hanya dimanfaatkan sebagai urugan ataupun dibakar. Dengan demikian tentunya nilai manfaat yang didapat tidak maksimal karena sebenarnya nilai manfaat dari limbah padat kulit tersebut dapat lebih ditingkatkan misalnya dengan cara menggunakannya sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh industri tapioka E, penggunaan pupuk organik pada tanaman ubikayu dapat meningkatkan produksi hingga 10 ton/ha dan dapat mensubtitusi kebutuhan penggunaan pupuk kimia hingga 2 kwintal/ha/tahun. Pembuatan pupuk organik didasarkan kepada : a) Limbah padat setiap hari dikeluarkan dalam jumlah besar b) Produktivitas (kesuburan, fisik, biologis) lahan pertanian di Lampung terus menurun. c) Harga pupuk kimia makin tinggi d) Keberadaan pupuk kimia sulit diperoleh e) Teknologi pembuatan pupuk organik relatif mudah Dalam proses pembuatan pupuk organik diperlukan bahan penolong berupa Kaptan yang berfungsi untuk menikan pH dan EM4 yang merupakan kultur tanaman untuk mempercepat proses pengomposan. Limbah kulit ubikayu, onggok rusak (meniran) yang akan dikomposkan sebelumnya dibasahi terlebih dahulu dengan air lalu disiram dengan larutan EM 4 dan kaptan. Komposisi pembuatan pupuk organik dari kulit ubikayu dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Komposisi Pupuk Organik dari Kulit Ubikayu Uraian Jumlah 1.000 kg Kulit Ubikayu 1.000 kg Onggok Rusak (meniran) 100 kg Kaptan 2 liter EM4 Selanjutnya dilakukan proses fermentasi selama 30 hari. Bahan yang telah terdekomposisi karena pengomposan menjadi lebih hitam, seperti pada Gambar 43. Limbah meniran yang terdiri dari kulit, bonggol, dan serpihan ubikayu sisa hasil ekstraksi yang telah dipisahkan dengan tanah dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
80
Gambar 43. Pupuk organik setelah proses dekomposisi selama 30 hari Limbah meniran ubikayu terdiri dari kulit (80%) serta bonggol dan serpihan ubi (20%). Limbah meniran dapat diberikan pada ternak karena kandungan nutrisi didalamnya yang cukup tinggi. Menurut Hikmiyati, et al. (2009), limbah kulit ubikayu dapat menjadi sumber pakan ternak ruminansia karena kulit ubikayu memiliki kandungan nutrisi yang lengkap yaitu serat, karbohidrat, lemak, protein dan mineral makro.
Gambar 44. Kegiatan peternakan penggemukan sapi di industri tapioka A. Limbah meniran yang sudah dipisahkan dengan tanah memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Harga limbah meniran jika dijual kepada peternak adalah Rp.200.000,00/ton. Peminat limbah meniran tersebut umumnya peternakpeternak besar dengan kegiatan usaha yang sama yaitu penggemukan sapi potong.
81
Gambar 45. Pakan meniran yang sudah dipisahkan dengan tanah Kontribusi meniran ubikayu pada pakan ternak adalah sebesar 70,58% dari total pakan campuran, sisanya adalah pakan pelet (23,53%), dan bungkil sawit atau hijauan (5,88%). Sistem pemberian pakan diberikan secara bersamaan dengan mencampur ketiga jenis pakan tersebut. Metode End of Pipe Metode end of pipe dilakukan untuk mengelola air limbah yang dihasilkan oleh industri tapioka agar air yang dikeluarkan tidak berbahaya atau mencemari lingkungan. Air limbah yang dihasilkan setiap harinya mengandung senyawa asam sianida (HCN), sehingga perlu ditangani sebelum dibuang langsung ke sungai. Penanganan tersebut dapat dilakukan dengan membuat bak penampung air limbah. Selanjutnya limbah dilakukan perlakuan penambahan kapur tohor sehingga kandungan asam sianida pada limbah dapat diturunkan sehingga pH limbah netral. Pengolahan air limbah secara anaerobik dalam kolam terbuka juga sangat potensial menghasilkan gas-gas rumah kaca terutama gas metana dan karbon dioksida. Berkenaan dengan itu, pemanfaatan air limbah agroindustri tapioka akan sangat membantu pemenuhan kebutuhan energi dari sumber-sumber yang dapat diperbaharui. Selain itu penggunaan energi tersebut juga akan dapat mencegah pencemaran tanah dan air serta dapat mengurangi dampak pemanasan global akibat emisi gas-gas rumah kaca.
82 Sistem CIGAR dengan mengisolasi kolam anaerobik dengan plastik jenis HDPE (High Density Poly Ethylene), sehingga gas metana dapat diakumulasi merupakan salah satu solusi dalam mengolah air limbah industri tapioka sehingga dapat mengurangi tingkat pencemaran yang ditimbulkan dan gas metana yang dihasilkan dapat dimanfaatkan menjadi sumber energi alternatif yang terbarukan. Agroindustri tapioka umumnya menggunakan minyak diesel/solar atau batubara sebagai sumber energinya, baik untuk kebutuhan listrik maupun unit pengering. Ada juga yang menggunakan listrik PT. PLN sebagai sumber energi utamanya. Penggunaan energi listrik industri tapioka A tidak dapat dihitung secara detail, karena penggunaan listrik pada industri tapioka A bercampur dengan kegiatan usaha yang lainnya seperti pengeringan jagung, pembuatan tepung mocaf, penggemukan sapi, dan aktivitas rumah tangga. Selain itu, informasi data konsumsi listrik juga sulit diperoleh dari industri tapioka A. Sedangkan industri tapioka skala besar yang dapat diperoleh secara detail selama satu tahun adalah industri tapioka D. Indeks energi listrik yang digunakan untuk proses produksi industri tapioka sebesar 210 kWh/ton tapioka sehingga apabila dihasilkan produk tapioka sebesar 190,02 ton maka energi yang dibutuhkan sebesar 39.904,2 kWh. Sumber energi yang digunakan berasal dari listrik dan BBM. Energi listrik ini digunakan untuk proses pencacahan dan pemarutan, serta separator, sedangkan proses pengeringan menggunakan oven dengan energi dari BBM.
Proses
pencacahan dan pemarutan membutuhkan energi listrik sebesar 9.362,69 kWh, proses pengurangan air dalam separator membutuh-kan energi sebesar 17.761,96 kWh, dan proses pengeringan sampai dengan pengemasan produk membutuhkan energi sebesar 12.779,57 kWh. Apabila dalam sehari industri tapioka mengolah 800 ton ubikayu dan menghasilkan 3,76 m3 air limbah/ton ubikayu dengan nilai COD rata-rata sebesar 18.000 mg/L, jika diasumsikan bahwa 1 kg COD Removal akan menghasilkan 0,35 m3 CH4 (Tchobanoglous, 1991), maka air limbah pabrik tapioka akan menghasilkan 18.950 m3 CH4/hari atau sebesar 31.584 m3 gas/hari.
83 800 ton ubikayu
Energi listrik 9.362,69 Kwh
Energi Listrik 17.761,96 Kwh
Energi Listrik 12.779,57 Kwh
Pencacahan dan pemarutan
Seperator 2 tahap
Pengeringan & Pengemasan
Tapioka 190.02 ton
Gambar 46. Neraca energi industri tapioka Hasil perhitungan asumsi produksi energi listrik yang dapat dihasilkan dari air limbah industri tapioka sebesar 47.221,75 kWh, sehingga bila dimanfaatkan untuk proses produksi industri tapioka tahap pencacahan dan pemarutan, serta separator 2 tahap sangat mencukupi dari energi yang dibutuhkan sebesar 27.124,63 kWh. Tabel 16. Perhitungan asumsi energi listrik yang dihasilkan dari biogas Rincian Produksi Ubikayu Produksi air limbah Total air Limbah yg dihasilkan Asumsi 1 kg COD Removal (Tchobanoglous, 1991)
COD rata-rata Konsentrasi CH4 Produksi Gas Metana Produksi Biogas Kalor biogas (CH4+CO2) Produksi kalor Konversi MJ ke kWh Produksi kalor Efisiensi energi Produksi kalor riil
Satuan ton/hari 3 m /ton ubikayu m3 m3CH4 mg/L % 3 m CH4/hari m3 Biogas/hari MJ/m3 MJ kWh/MJ kWh % kWh
Nilai 800 3,76 3.008 0,35 18.000 60 18.950,4 31.584 35,9 680.319,4 0,277778 188.887 25 47.221,75
84 Menurut Kurtubi (2006) dalam Purwati (2010), 1 kWh energi listrik yang dihasilkan dari pembangkit tenaga diesel memerlukan bahan bakar solar antara 0,27-0,32 liter. Dengan kisaran tersebut, maka diasumsikan bahwa setiap 1 kWh listrik yang dihasilkan akan memerlukan 0,30 liter solar. Bila kelebihan energi sebesar 20.097,12 kWh dikonversikan ke bahan bakar solar, maka akan setara dengan 6.029,14 liter solar. Konsumsi energi untuk proses pengeringan menggunakan oven sebesar 12.779,57 kWh, bila dikonversi menjadi bahan bakar solar maka akan setara dengan 3.833,87 liter solar. Kebutuhan BBM tesebut dapat terpenuhi sebesar 100% dari sisa kelebihan energi sebelumnya. Biaya yang dibutuhkan untuk membeli BBM industri tapioka sebanyak 3.833,97 liter atau sebesar Rp.25.303.548,- (asumsi harga BBM industri Rp.6.600/L).dapat dihemat dengan memanfaatkan sumber energi baru terbarukan ini. Kelebihan energi sebesar 7.317,55 kWh atau 2.195,27 liter solar ini dapat digunakan untuk aktivitas lain di sekitar lokasi industri seperti aktivitas kantor, perumahan dan penerangan. Selanjutnya untuk memperoleh nilai ekonomi dari kelebihan energi yang dihasilkan sebesar 7.317,55 kWh atau 2.195,27 liter solar ini dapat dikonversikan menjadi nilai ekonomi sebesar Rp. 14,488,749.00,(asumsi harga BBM industri Rp.6.600/L). Pemanfaatan biogas sebagai bahan bakar terbarui juga menghasilkan manfaat lingkungan berupa berkurangnya (reduksi) CO2 yang terlepas ke lingkungan. Industri tapioka A yang telah menerapkan sistem CIGAR dengan mengisolasi kolam anaerobik dengan plastik jenis HDPE (High Density Poly Ethylene), sehingga gas metana yang dapat diakumulasi merupakan salah satu solusi dalam mengolah air limbah industri tapioka sehingga dapat mengurangi tingkat pencemaran yang ditimbulkan dan emis gas yang dihasilkan. Berkurangnya emisi CO2 yang dilakukan oleh industri tapioka A digunakan perhitungan sebagai berikut: Baseline Emisi (BE)
Project Emisi (PE)
Reduksi Emisi CO2
= = = = = = = = =
BE ww tread + BE y power 5.038,02 + 31,80 5.069,82 tonCO2e 10% dari nilai BE (asumsi untuk industri kecil) 5.069,82 x 10% 506,982 tonCO2e BE - PE 5.069,82 tonCO2e – 506,982 tonCO2e 4.562,84 tonCO2e
85 Pemanfaatan gas metana sebagai energi terbarukan juga menghasilkan manfaat lingkungan dengan berkurangnya (reduksi) gas CO2 yang terlepas ke udara. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode IPCC 2006 yang telah dilakukan, berkurangnya gas CO2 dari hasil dekomposisi air limbah di Industri tapioka A selama tahun 2010 adalah sebesar 4.562,84 tCO 2e. Dengan demikian, dalam satu tahun pengolahan air limbah dapat menggurangi potensi pemanasan global yang cukup besar dengan berkurangnya gas CO 2 sebesar 4.562,84 tCO2e hanya dalam satu tahun saja. Selain keuntungan tersebut, karena kegiatan pemanfaatan air limbah sebagai bahan bakar yang renewable ini termasuk suatu usaha baru dalam upaya pengurangan emisi carbon sehingga dapat diajukan sebagai proyek CDM (clean Development Mekanisme). Dengan proyek CDM ini, apabila disetujui maka perusahaan dapat memperoleh CER (Credit Emission Reduction) dari upaya pengurangan carbon yang terlepas ke lingkungan. CERs yang diterima oleh perusahaan dari pemanfaatan tersebut berkisar antara 5€ s/d 15 € untuk setiap ton carbon yang direduksi (Doc. PDD BAJ, 2007). Perhitungan estimasi CERs yang diperoleh menggunakan kurs tengah BI pada tanggal 22 Maret 2011 dengan harga Rp. 12.353,30 per 1€. Dengan harga tersebut, maka manfaat ekonomi tambahan yang diperoleh dapat dihitung sebagai berikut: CERs
= 4.562,84 t CO2e x (5€ s/d 15€) = Rp. 281.830.656,- s/d Rp. 845.491.970,-
Berdasarkan perhitungan tersebut, apabila disetujui oleh proyek CDM maka perusahaan dapat memperoleh CER (Credit Emission Reduction) dari upaya pengurangan carbon yang terlepas ke lingkungan melalui methane capture berkisar antara Rp Rp. 281.830.656, - s/d Rp. 845.491.970, -. Dengan pemanfaatan sebagian air limbah yang telah dilakukan proses pengolahan sebagai air proses dan pemanfaatan gas-gas yang dihasilkan sebagai bahan bakar alternatif, maka manfaat lingkungan yang dapat diperoleh antara lain dapat menurunnya volume air limbah yang terbuang ke lingkungan (badan air), dapat mengurangi beban pencemaran lingkungan yang ditimbulkan industri tapioka, mengurangi gangguan lingkungan berupa kebauan yang ditimbulkan oleh
86 munculnya gas akibat proses dekomposisi pada proses pengolahan air limbah dengan sistem biologi pada secara anaerobik. Studi Kelayakan Opsi Produksi Bersih Industri Tapioka Studi kelayakan dilakukan mencari alternatif-alternatif/opsi-opsi produksi bersih yang diberikan untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi perusahaan. Studi kelayakan yang dievaluasi meliputi studi kelayakan teknis, studi kelayakan ekonomi dan studi kelayakan lingkungan. Tujuan dari studi kelayakan tersebut adalah untuk menentukan opsi-opsi produksi bersih
yang
mungkin diterapkan atau tidak pada industri tapioka, bila ditinjau dari kemudahan dalam melaksanakan, opsi biaya dan manfaat bila opsi itu diterapkan serta dampaknya terhadap lingkungan setelah opsi tersebut diterapkan. Hasil Studi kelayakan opsi produksi bersih disajikan pada Tabel 17. Berdasarkan pada Tabel 17. tersebut, dapat terlihat bahwa opsi pemanfaatan limbah-limbah padat yang dihasilkan menduduki prioritas pertama, pertimbangan tersebut diambil berdasarkan kepada: 1.
Secara ekonomis, pemanfaatan limbah padat untuk kepentingan lain dapat memberi penghasilan tambahan bagi perusahaan meskipun pemanfaatan limbah tidak dilakukan secara langsung oleh perusahaan melainkan dengan menjualnya kepada pihak lain.
2.
Secara teknis, untuk memanfaatkan limbah padat tersebut memang bagi perusahaan cukup sulit untuk dilaksanakan, oleh karena itu, perusahaan dapat menjual limbah tersebut kepada pihak/perusahaan lain agar dapat dimanfaatkan. Berdasarkan hasil wawancara secara mendalam, hal tersebut biasa terjadi pada industri tapioka yang menyerahkan limbah padat berupa onggok kepada pihak ke-3. Masyarakat yang memanfaatkan limbah padat berupa onggok merupakan pihak ke-3 yang melakukan pengelolaan secara manual. Onggok yang dimanfaatkan oleh masyarakat mempunyai kualitas rendah dengan kondisi basah. Masyarakat memanfaatkannya dengan mengeringkan onggok tersebut menggunakan bantuan sinar matahari sehingga memerlukan waktu yang lama dan prosesnya terjadi proses dekomposisi.
87 Tabel 17. Studi Kelayakan Opsi Produksi Bersih pada Industri Tapioka Solusi Produksi Manfaat Manfaat Proses Masalah Bersih Ekonomi Lingkungan Pengupasan Pemakaian Pencucian 2 Mengurangi Mengurangi dan air yang tahap (dengan biaya pencemaran Pencucian berlebihan menggunakan penggunaan akibat air Ubikayu pada proses air sisa proses air limbah pencucian ekstraksi dan air dari separator) Pencemaran Memanfaatkan Meningkatkan Mengurangi karena limbah (kulit pendapatan pencemaran limbah padat ubikayu) untuk akibat limbah kepentingan lain padat (pupuk) Pencemaran Memanfaatkan Meningkatkan Mengurangi karena air air limbah untuk pendapatan pencemaran limbah biogas akibat air limbah Pemarutan Loss akibat Mengumpulkan Meningkatkan proses hasil parutan rendemen pemarutan yang tercecer Penyaringan Pencemaran Memanfaatkan Meningkatkan Mengurangi karena limbah (ampas/ pendapatan pencemaran limbah padat onggok) untuk akibat limbah kepentingan lain padat Ekstraksi Pati Pencemaran Menggunakan Efesiensi air Mengurangi karena air kembali air sisa pencemaran limbah proses separator akibat limbah untuk proses pencucian Memanfaatkan Meningkatkan limbah untuk pendapatan biogas Loss akibat Mengumpulkan Meningkatkan proses pati yang rendemen ekstraksi pati tertinggal Pengemasan Pencemaran Mengumpulkan Meningkatkan Mereduksi udara karena kembali tepung- rendemen polusi udara tepung kasar tepung kasar yang tersebut beterbangan Penggunaan Kesehatan masker pekerja Berdasarkan sudut pandang lingkungan dengan memanfaatkan limbah padat tersebut dengan tidak dibuang ke lingkungan sehingga pencemaran akibat limbah padat dapat dikurangi. Memanfaatkan onggok sebagai bahan baku pembuatan asam sitrat dan pupuk organik merupakan salah satu alternatif pemanfaatan
88 limbah padat. Manfaat lingkungan yang diterima adalah berkurangnya gangguan lingkungan yang muncul berupa kebauan dan pencemaran lingkungan dari lindi yang muncul dari tumpukan onggok. Kebauan dari lindi muncul akibat terjadinya proses dekomposisi (penguraian oleh bakteri) dari tumpukan onggok yang tidak langsung dilakukan pengelolaan. Pemanfaatan limbah padat berupa kulit dan meniran sebagai pupuk organik dapat mensubtitusi penggunaan pupuk kimia. Aplikasi pupuk organik di lahan dapat digunakan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah sehingga dapat meningkatkan unsur hara pada tanah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh salah satu industri tapioka, perbaikan unsur hara tanah tersebut dapat meningkatkan produksi ubikayu hingga 10 ton/ha/ tahun. Selain itu dapat menekan aktivitas serangga hama dan mikroorganisme patogen yang dapat meningkatkan dan menjaga kestabilan produksi tanaman dan menjaga kestabilan produksi. Hasil penentuan opsi produksi bersih berdasarkan skala prioritas disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Penentuan Skala Prioritas Opsi Produksi Bersih
1
Memanfaatkan kulit, serat ubikayu untuk pupuk organik Memanfaatkan air limbah biogas Memanfaatkan ampas/ onggok untuk pakan ternak Menggunakan kembali air sisa proses separator untuk proses pencucian
3 2 3 3
2 3 4
Lingkungan
Opsi
Ekonomis
No
Teknis
Penilaian Total
Skala prioritas
3
2
8
4
3 3
3 3
8 9
3 1
3
3
9
2
Keterangan skala penilaian: Skala 3
Teknis Mudah sekali untuk dilaksanakan
2
Relatif mudah untuk dilaksanakan Susah untuk dilaksanakan
1
Ekonomi Memberikan nilai tambah yang signifikan Sedikit nilai tambah ekonomi Tidak ada nilai tambah
Lingkungan Memberikan efek yang signifikan terhadap perbaikan lingkungan Sedikit efek terhadap perbaikan lingkungan Tidak ada efek terhadap perbaikan lingkungan
89 Tabel 19. Perhitungan studi kelayakan ekonomi opsi produksi bersih industri tapioka Opsi
Perhitungan
Nilai
Satuan
1. Memanfaatkan ampas / onggok untuk pakan ternak dengan penggemukan 100 ekor sapi Hasil penjualan
100 ekor sapi x Rp.20.000.000
2.000.000.000
Rupiah
Biaya Operasional
Biaya tetap : Rp. 200.000.000 Biaya Variabel : Rp.833.500.000
1.033.500.000
Rupiah
966.500.000
Rupiah
Keuntungan Payback period
0,74 tahun
2.Menggunakan kembali air sisa proses separator untuk proses pencucian Instalasi daur ulang air Penghematan air
923,52 m3/hari x Rp.1.035/m3 x 26 hari/bulan
Keuntungan Penghematan air
-
Payback period
-
57.600.000
Rp/bulan
24.851.923
Rp/bulan Rp/bulan
3. Memanfaatkan Air Limbah untuk Biogas Biaya Instalasi
Sistem bioreaktor CIGAR
Hasil Konversi gas Metana
Rp. 131.090.335,20,-/hari x 26 hari
Payback period
25 Milyar : 3,408 Milyar
25 Milyar 3,408 Milyar 7,33
Rupiah Rp/bulan Bulan
4. Memanfaatkan kulit, serat ubikayu untuk pupuk organik Biaya operasional
Kapasitas 20 ton
120.500.000
Rp/bulan
Hasil penjualan
20 ton x Rp.10.000/kg
200.000.000
Rp/bulan
79.500.000
Rp/bulan
Keuntungan Payback period
0,60 Tahun
Berdasarkan perhitungan studi kelayakan ekonomi opsi produksi bersih industri tapioka pada Tabel 19, memanfaatkan ampas/onggok sebagai pakan ternak dengan kegiatan penggemukan sapi sebanyak 100 ekor akan memberikan keuntungan sebesar Rp.966.500.000,- dengan payback periode selama 0,74 tahun. Penggunaan kembali air sisa proses separator utnuk pencucian ubikayu memberikan nilai keuntungan penghematan biaya sebesar Rp.24.851.923,- per bulan.
90 Pemanfaatan air limbah sebagai sumber energi terbarukan dalam bentuk biogas dengan sistem CIGAR memberikan manfaat yang cukup menguntungkan, dengan payback periode selama 7,33 bulan. Kondisi optimal sitem CIGAR ini akan diperoleh apabila kontinuitas proses produksi berjalan baik, sehingga gas metana yang dihasilkan akan stabil. Pemanfaatan kulit, serat ubikayu untuk pupuk organik akan memberikan manfaat sebesar Rp.79.500.000,-. Industri tapioka dinilai sangat menguntungkan apabila dapat menerapkan dengan baik perbaikan proses yang direkomendasikan, sehingga dampak pencemaran terhadap lingkungan pun dapat diminimalkan. Model Proses Produksi Industri Tapioka Ramah Lingkungan Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, maka dapat diformulasikan dalam bentuk model proses produksi industri tapioka yang ramah lingkungan. Industri tapioka dengan produk utama tapioka, menghasilkan produk samping berupa limbah padat dan air limbah. Opsi produksi bersih dalam proses produksi tapioka adalah pemanfaatan limbah padat sebagai bahan pakan ternak, pemanfaatan penggunaan air sisa/buangan kembali dalam proses produksi industri tapioka, pemanfaatan air limbah sebagai salah satu energi alternatif (biogas), dan pemanfaatan sebagai pengomposan limbah padat. Produk recycle yang dapat dilakukan adalah pemanfaatan pakan ternak untuk kegiatan penggemukan hewan ternak, pupuk organik dan sumber energi biogas dari pupuk organik yang dihasilkan, pemanfaatan onggok untuk produk lain, dan proses treatment air limbah yang dapat digunakan sebagai alternatif sumber energi potensial. Hasil dari pemupukan lahan menggunakan pupuk organik akan memperoleh manfaat bagi industri tapioka dalam peningkatan produksi ubikayu. Produk akhir berupa penggemukan hewan ternak yang siap meningkatkan nilai tambah industri tapioka, ubikayu siap digunakan dalam proses industri tapioka atau ubikayu yang siap dipasarkan, dan memperoleh nilai tambah dari produksi biogas tersebut untuk kegiatan rumah tangga. Selain itu, produksi biogas juga dapat digunakan untuk industri lain yang membutuhkannya. Model proses produksi industri tapioka yang ramah lingkungan disajikan pada Gambar 47.
91
Gambar 47. Model proses produksi industri tapioka ramah lingkungan 91
92
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Prinsip produksi bersih dapat diterapkan pada industri tepung tapioka. Proses daur ulang penggunaan air merupakan alternatif sebagai peningkatan efisiensi yang dapat dilakukan pada tahapan penggunaan limbah separator untuk pencucian bahan baku. Efisiensi penggunaan air produksi sebesar 923,52 m3 hasil dari daur ulang air sisa separator sehingga akan menghemat penggunaan air bersih sebesar 27% dari total air bersih yang digunakan sebesar 3.420,43 m 3. Apabila dihitung dengan pajak pemanfaatan air bawah tanah, maka akan menghemat biaya sebesar Rp.955.843,- per hari. 2. Pemanfaatan air limbah sebagai sumber energi baru terbarukan merupakan alternatif perbaikan efisiensi proses produksi tapioka. Energi yang dihasilkan dari konversi gas metana setara sebesar 47.221,75 kWh/hari, sehingga bila dimanfaatkan untuk proses produksi industri tapioka sangat mencukupi dari energi yang dibutuhkan sebesar 39.904,2 kWh/hari. Kelebihan energi industri tapioka sebesar 7.317,55 kWh/hari dikonversikan ke bahan bakar solar, maka akan setara dengan 2.195,27 liter solar/hari. Energi yang dapat digunakan industri tapioka untuk keperluan proses pengeringan menggunakan oven sebesar 12.779,57 kWh bila dikonversi bahan bakar solar setara 3.833,87 liter, maka kebutuhan bahan bakar solar tersebut dapat terpenuhi 100% seluruhnya. Biaya operasional yang dibutuhkan untuk membeli bahan bakar solar sebesar Rp.25.303.548,- dapat dihemat dengan memanfaatkan sumber energi baru terbarukan. Kelebihan energi setelah dikurangi konsumsi energi untuk proses pengeringan sebesar 7.317,55 kWh setara dengan bahan bakar solar sebanyak 2.195,27 liter dapat dikonversikan menjadi nilai ekonomi sebesar Rp. 14,488,749,-. Kelebihan energi ini dapat digunakan untuk aktivitas lain di sekitar lokasi industri seperti aktivitas kantor, perumahan dan penerangan. Selain itu, berkurangnya gas CO2 dari hasil dekomposisi air limbah industri tapioka adalah sebesar 4.562,84 tonCO2e. Perusahaan akan dapat memperoleh CER (Credit Emission Reduction) dari upaya pengurangan carbon yang
93 terlepas ke lingkungan melalui methane capture berkisar Rp. 281.830.656,s/d Rp. 845.491.970,-. 3. Hasil studi kelayakan ekonomi opsi produksi bersih industri tapioka dengan memanfaatkan ampas/onggok sebagai pakan ternak dengan kegiatan penggemukan sapi sebanyak 100 ekor dapat memberikan keuntungan sebesar Rp.966.500.000,- dengan payback periode selama 0,74 tahun. Penggunaan kembali air sisa proses separator untuk proses pencucian ubikayu memberikan nilai keuntungan penghematan biaya operasional sebesar Rp.24.851.923,- per bulan.
Pemanfaatan air limbah sebagai sumber energi terbarukan dalam
bentuk biogas dengan sistem CIGAR memberikan manfaat yang sangat menguntungkan, dengan payback periode selama 7,3 bulan. Pemanfaatan kulit, serat ubikayu untuk pupuk organik akan memberikan manfaat sebesar Rp.79.500.000. Industri tapioka dinilai sangat menguntungkan apabila dapat menerapkan dengan baik perbaikan proses yang direkomendasikan, sehingga dampak pencemaran terhadap lingkungan dapat diminimalkan. 4. Model proses produksi industri tapioka ramah lingkungan berbasis produksi bersih yang dihasilkan dapat memberikan solusi skenario pemanfaatan air limbah, pemanfaatan energi dari air limbah dan reduksi emisi gas. Limbah padat dapat digunakan sebagai pakan ternak, pupuk organik yang secara efektif menuju terciptanya agroindustri tapioka yang ramah lingkungan dan menurunkan dampak efek pemanasan global. Saran Perlu dikaji pemetaan untuk mendapatkan informasi tentang sumber-sumber air limbah yang berpotensial meningkatkan efek gas rumah kaca berikut lokasi agroindustrinya, identifikasi dan inventarisasi potensi energi yang dihasilkan dari air limbah industri, sehingga dapat diperoleh informasi berapa besar industri di Provinsi Lampung menyumbang dampak pemanasan global dan mencari solusi untuk mengatasinya.
94 DAFTAR PUSTAKA Abdullah K. 1987. Energi dan listrik pertanian. Bogor: JICA-DGHE. IPB Project - ADAET. Akanbi W.B., Adebayo T.A., Togun O.A., Adeyeye A.S. , Olaniran O. A. 2007. The Use of Compost Extract as Foliar Spray Nutrient Source and Botanical Insecticide in Telfairia occidentalis. World Journal of Agricultural Sciences. 3, (5), 642-652. Alaerts G, Santika SS. 1984. Metoda Penelitian Air. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya: Algamar, K. 1986. Proses Anaerobik Sebagai Alternatif Untuk Mengolah Limbah Industri Hasil Pertanian. Paper Seminar Limbah Teknik Penyehatan serta Bioteknologi Pengolahan Limbah. Jurusan Teknik Lingkungan PAU Bioteknologi ITB dan Ikatan Ahli Teknik Penyehatan Indonesia. Bandung. Andrews SKT, Stearne J, Orbell JD. 2002. Awarness and adoption of cleaner production in small to medium sized business in Geelong Region, Victoria, Australia. Journal of Cleaner Production. 10(2002):373-380. American Public Health Association (APHA). 1992. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. 18th ed. New York: American Public Health Association. American Public Health Association (APHA). 1998.. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater, 20th edition. American Public Health Association, Washington, DC. Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Departemen Perindustrian. 2007. Panduan Pengelolaan Limbah Industri Tapioka. Jakarta. 49 halaman. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Lampung. 2010. Kondisi Umum Provinsi Lampung. http://bplhdlampung.com/index.php?option= com_content&view=article&id=196&Itemid=201. Tanggal 21 April 2010. Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2009. Lampung Dalam Angka 2008. Lampung. ----------. 2010. Lampung Dalam Angka 2009. Lampung. Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Indonesia. 2009. Di dalam http://www. bps.go.id/aboutus. php?pub=1&pubs=40 . 11 September 2010 Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. 1995. National commitment to implement a cleaner production strategy in Indonesia. Jakarta: Badan Pengendalian Dampak lingkungan. 1996. Teknologi Pengendalian Dampak Lingkungan Industri Tapioka di Indonesia. Buku Panduan. Jakarta. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2004. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. ---------. 2005. Teknologi Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang.
95 Barana, C. A., dan P. M. Cereda. 2000. Cassava Wastewater (Manipuera) Treatment Using A Two-Phase Anaerobic Biodigestor. J. Cienc. Tecnol. Aliment. Vol. 20. No. 2. Campinas. May/Aug. Brazil. http:// goegle.com/cassava wastewater. Diakses tanggal 25 Mei 2010. Bratasida, L. 1997. Kebijakan Nasional tentang Produksi Bersih. Bapedal, Jakarta. Brown JG. 1994. Agroindustrial Investment and Operations. EDI Development Studies. Washington DC: Buser C, Walder J. 2002. Guidelines for Cleaner Production – Conducting Quick-Scans in the Company. Muttenz, Switzerland: FHBB. Campbell, ME. & WM. Glenn. 1982. Profit from Pollution Prevention. Pollution Probbe Foundation, Toronto. Chardialani, A. 2008. Studi Pemanfaatan Onggok sebagai Bioimmobilizer Mikroorganisme dalam Produksi Biogas dari Limbah Cair Industri Tapioka. Skripsi. Universitas Lampung. Clausen CA, Mattson G. 1978. Principle of Industrial Chemistry. Toronto: John Wiley & Sons. Darjanto dan Murjati. 1980. Khasiat, Racun dan Masakan Ketela Pohon. yayasan Dewi Sri. Bogor: Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2009. Basis Data Statistik Pertanian. http://database.deptan.go.id/bdsp/index.asp. 7 April 2010. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Propinsi Lampung. Tahunan Tanaman Pangan. Bandar Lampung.
2006.
Laporan
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2006. Strategi pengembangan agroindustri ubikayu di Provinsi Lampung. Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. Ditjen PPHP Departemen Pertanian RI. 2009. Biogas Skala Rumah Tangga, Program Bio Energi Pedesaan (BEP). Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian-Ditjen PPHP Departeman Pertanian RI. Jakarta. Djajadiningrat, ST. 2001. Untuk Generasi Masa Depan Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Studio Tekno Ekonomi ITB, Bandung Fachbochschule beider Basel (FHBB). 2005. www.fhbb.cp/cp. 7 Maret 2005. Fajarudin. 2002. Pengaruh Jumlah Air Ekstraksi dan Lama Pengendapan Terhadap Karakteristik Limbah Cair Tapioka Pada Sistem Bacth. Skripsi. Universitas Lampung. Falcon W.P., W.O. Jones, dan R.S. Pearson. 1984. Ekonomi Ubi Kayu di Jawa. The Board Trustees of The Leland Stanford University. The Cassava Economy of Java. Penerjemah. Stanford University Press. Terjemahan dari: The Cassava Economy of Java. Jakarta
96 Fauzi AM. 2003. Analisis kelayakan finansial penerapan produksi bersih dan kendala sosio kultural. Disampaikan pada Pelatihan TOT Cleaner Production. Jakarta, 13 – 22 Oktober 2003. Fluck, R.C. 1992. Energy conservation in agricultural transportation. In R.C. Fluck (ed.), Energy in World Agriculture: Energy in Farm Production. 6:171-176. Elsevier, Amsterdam. Grace MR. 1977. Cassava Processing. Rome: FAO of The United Nations. Grady Jr. C.P.L. dan Lim H.C. 1980. Biological Wastewater Treatment, Theory and Applications. Marcel Dekker Inc. New York. Greenfield, R. E. 1971. Starch and Starch Product, p. 121-131. Di dalam: C.F. Gurnham (ed.) Industrial waste water control. Academic Press, New York, London. Hafsah, M.J. 2003. Bisnis Ubi Kayu Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Hanifah, T.A., Saeni, M.S., Adijuwana, H., Bintoro, H.M.H. 1999. Evaluasi Kandungan Logam Berat Timbal dan Kadmium dalam Ubikayu (Manihot esculenta Crantz). Buletin Ilmiah Gaku-ryoku, Vol.V (1). Haryati, T. 2006. Biogas: Limbah Peternakan Yang Menjadi Sumber Energi Alternatif. Wartazoa. 16 (3): 160-169. Hermawan, B., Q. Lailatul, P. Candrarini, dan P. S. Evan. 2007. Sampah Organik sebagai Bahan Baku Biogas. Artikel. http://www.chem-istry.org/?sect=fokus&ext=31. Diakses tanggal 28 Mei 2010. Hien PG, Oanh LTK, Viet NT, Lettinga G. 1999. Closed wastewater system in the tapioca industry in Vietnam. Water Sci Technol 39:89–96. Hikmiyati, Nopita, dan Yanie, N.S. 2009. Pembuatan Bioetanol dari Limbah Kulit Singkong Melalui Proses Hidrolisa Asam dan Enzimatis. Jurnal Penelitian Teknik Kimia. Universitas Diponegoro. Semarang. Ikawati, dan Melati. 2009. Pembuatan Karbon Aktif dari Limbah Kulit Singkong UKM tapioka Kabupaten Pati. Jurnal Penelitian Teknik Kimia. Universitas Diponegoro. Semarang. IPCC.2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Volume 5 Waste, Chapter 6 Wastewater Treatment and discharge Kamahara H., Hasanudin U., Atsuta Y., Widiyanto A., Tachibana R., Goto N., Daimon H., Fujie K. 2010. Methane Emission from Anaerobic Pond of Tapioca Strach Extraction Wastewater in Indonesia. Journal of Ecotechnology Research. 15 (2): 79-83. Kunaefi, H. A. 1982. Tata Cara Pengendalian dan Kriteria Pencemaran Lingkungan Akibat Industri. Seksi Lab & Instalkes Kanwil Propinsi Jawa Barat. Maiellaro N, Lerario A. 2000. Knowledge system for sustainable design. Sustainable building resource research. www.ba.cnr.it/iris/sustain, 13 Nopember 2002.
97 Metcalf dan Eddy. 1991. Wastewater Engineering: Treatment Disposal Reuse. McGraw-Hill Book Co. Singapore: Murdiyarso, Daniel. 2003. CDM : Mekanisme Pembangunan Bersih. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Mulyadi U. 2011. Evaluasi Kinerja Cigar (Covered In The Ground Anaero-bic Reactor) Di Industri Tapioka Rakyat. Skripsi. Universitas Lampung. Nakamura, H. 2006. Metana production technologies and its contribution to clean development mechanism (CDM). Proceeding. Seminar Sustainable Society Achievement by Biomass Effective Use, EBARA Hatakeyama Memorial Fund, January 24-25, 2006. Jakarta. Nurhasan, Pramudyanto, B. B. 1991. Penanganan Air Limbah Pabrik Tahu. Yayasan Bina Karya Lestari (Bintari). http://www.menlh.go.id./usahakecil. 5 Maret 2008. Nursita. 2005. “Sifat Fisik dan Palabilitas Wafe Ransum Komplit untuk Domba dengan Menggunakan Kulit Singkong”, Skripsi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Overcash, MR. 1986. Techniques for Industrial Pollution Prevention. Lewis Publishers, New York. Peraturan Gubernur Provinsi Lampung Nomor 7 tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Limbah Usaha dan/atau Kegiatan Di Provinsi Lampung. Pratama, A.G. 2009. Mempelajari Pengaruh Konsentrasi Ragi Instan dan Waktu Fermentasi Terhadap Pembuatan Alkohol dari Ampas Ubi Kayu (Manihot utilisima). Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara. Purwati, E. 2010. Penerapan Konsep Zero Waste Pada Pengelolaan Limbah Industri Tapioka, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta Rajbhandari, B. K. dan Annachhatre, A. P. 2004. "Anaerobic Ponds Treatment of Starch Wastewater: Case Study in Thailand", Bioresource Technology, 95(2): 135-143. Rattanachon W, Piyachomkwan K, Sriroth K. 2004. Physico chemical properties of root, flour and starch of bitter and sweet cassava varieties. http://www.ciat.cgiar.org/biotechnology/cbn/sixth_internationalmeeting/Pos ters-PDF/PS-5/W_Rattanachon.pdf. Rodhe, A. L. 1990. A comparison of the contribution of various gasses to the greenhouse effect. Science, 248, 1217-1219. Rukmana, H.R. 1997. Ubikayu Budidaya dan Pascapanen. Kanisius, Yogyakarta. Sham, H. 1984. Anaerobic wastewater treatment. Dikutip dalam Fiechter, A. (Ed). Advances in Biochemical Eng./Biotech. Vol. 29. Springer Verlag. Berlin. Soeharto, I. 2002. Studi Kelayakan Proyek Industri. Jakarta : Erlangga.
98 Sriroth K, Wanlapatit S, Chollakup R, Chotineeranat S, Piyachomkwan K, Oates C.G. 1999. An improved dewatering performance in cassava starch process by an pressure filter. Starch/Starke 51:383–388. Sriroth, K., Chollakup, R., Chotineeranat, S., Piyachomkwan, K., and Oates, C. G. 2000. Processing of cassava waste for improved biomass utilization. Bioresource Technol. 71(1): 63-69. Sudaryanto, 1989. Kulit Ubi sebagai Bahan Pakan Ternak. dalam Warta Litbang Pertanian. No. 3 vol. XI. Mei1 1989. Departemen Pertanian. Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. UI Press. Universitas Indonesia. Jakarta. Suhartina. 2005. Deskripsi varietas unggul kacang-kacangan dan umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Suriawiria, U. 2005. Menuai biogas dari limbah. Artikel. http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0405/07/cakrawala/penelitian03.htm. Diakses tanggal 28 Mei 2010. Soeriaatmaja, R.E. 1984. Asas-asas Pengolahan Limbah Tapioka. Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta.
Kantor
Tchobanoglous G. 1991. Wastewater Engineering: Treatment, Disposal, and Reuse. McGraw-Hill International Edition, Singapore. Thompson, D. N. 1973. The Economic of Environmental Protection. Wintrop Publisher, Inc. Cambridge, Massacushaetts. Tjiptadi, W. 1985. Telaah Kualitas dan Kuantitas Limbah Industri Tapioka serta Cara Pengendaliannya di Daerah Bogor. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. UNEP. 2003. Cleaner Production Assessment in Industry. Di dalam http://www.uneptie.org/pc/cp/understandingcp/cpindustry.htm. UNEP Center for Cleaner Production (CCP) dan the CRC for Waste Minimisation and Pollution Control (WMPC), Ltd. 1999. Cleaner Production Self Assessment Guide: Metal Casting Industries. www.geosp.uq.edu.au/ emc/CP/pdfs/Guide.pdf, 12 April 2005 United Nations Enviroment Programme Division of Technology, Industri, and Economic (UNEP DTIE) and Danish Environmental Protection Agency (DEPA). 2000. Cleaner Production Assessment in Dairy Processing. van Berkel R. 2006. Cleaner production and eco-efficiency. In: Handbook on Environmental Technology Management (D. Marinova, Ed.). Edward Elgar Publications, Cheltenham, UK. Wargiono, J. 1990. Pengaruh Pemupukan NPK Terhadap Status Hara dan Hasil Ubikayu. Penelitian Pertanian V.10 (1): 1-7. Wargiono, J., Barrett Diane M. 1987. Budidaya Ubikayu. Yayasan Obor Indonesia dan Gramedia. Jakarta.
99 Zakaria W.A. 1997. Analisis Penawaran dan Permintaan Produk Ubikayu Lampung serta Kaitannya Dengan Pasar Domestik dan Dunia. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Zaitun. 1999. Efektivitas limbah industri tapioka sebagai pupuk cair. Tesis Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
100
LAMPIRAN
101 Lampiran 1. Sebaran Tanaman Ubi Kayu di Indonesia* Pulau Propinsi Sumatra Nangroe Aceh Darussalam Sumatra Utara Sumatra Barat Riau Jambi Sumatra Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau Jawa
DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Daerah Istimewa Yogyakarta Jawa Timur Banten
Kalimantan
Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur
Sulawesi
Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat
Bali dan Nusa Tenggara
Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur
Luas Tanam (%) 0,2812 2,9217 0,5175 0,3960 0,2844 0,0968 0,5551 26,5893 0,1131 0,0565 50 0,0045 8,8552 16,6779 5,1396 18,7454 0,6982 32 1,3070 0,4862 0,6886 0,5533 3 0,4792 0,3868 2,6040 1,2533 0,0543 0,2777 5 1,0421 0,6303 6,3993 8
Maluku dan Papua
Maluku Papua Maluku Utara Papua Barat
0,6981 0,2507 0,8209 0,1355
2 Keterangan: * Data diolah dari luas panen ubikayu tahun 2007 basis data Departemen pertanian (2009)
102 Lampiran 2. Luas panen, produksi dan produktivitas ubikayu di Indonesia Produktivitas Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) (ku/ha) 2000 1.284.040 16.089.020 125,00 2001 1.317.912 17.054.648 129,41 2002 1.276.533 16.912.901 132,00 2003 1.244.543 18.523.810 149,00 2004 1.255.805 19.424.707 155,00 2005 1.213.460 19.321.183 159,00 2006 1.227.459 19.986.640 163,00 2007 1.201.481 19.988.058 166,36 2008 1.204.933 21.756.991 180,57 2009 1.205.440 21.990.381 182,43 Sumber: BPS (2010) Lampiran 3. Luas Panen Tanaman Ubikayu (Ha) di 10 Propinsi di Indonesia Tahun 2005 – 2009. Propinsi Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 Lampung 252.984 283.430 316.806 318.969 320.344 Jawa Timur 253.336 232.538 223.348 220.394 202.708 Jawa Tengah 210.983 211.917 198.714 191.053 192.018 Jawa Barat 117.786 113.663 105.508 109.354 114.034 NTT 86.464 89.591 76.247 87.906 86.608 DIY 60.695 60.926 61.237 62.543 71.718 Sumatera Utara 40.717 35.996 34.812 37.941 38.140 Sulawesi Selatan 27.568 32.852 31.026 29.796 28.347 Kalimantan Barat 17.020 17.775 15.573 13.677 13.929 Sulawesi Tenggara 14.820 14.825 14.933 12.190 14.803 Sumber: BPS(2010) Lampiran 4. Produksi ubikayu (ton) di 10 propinsi di Indonesia tahun 2005–2009. Propinsi Lampung Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Barat NTT DIY Sumatera Utara Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Kalimantan Barat Sumber: BPS (2010)
2005 4.806.254 4.023.614 3.478.970 2.068.981 891.783 920.909 509.796 464.435 256.467 243.251
2006 5.499.403 3.680.567 3.553.820 2.044.674 938.010 1.016.270 452.450 567.749 238.039 250.173
Tahun 2007 6.394.906 3.423.630 3.410.469 1.922.840 794.121 976.610 438.573 514.277 239.271 221.630
2008 7.721.882 3.533.772 3.325.099 2.034.854 892.907 928.974 736.771 504.198 217.727 193.804
2009 7.885.116 3.094.320 3.369.046 2.124.899 1.098.192 916.997 887.987 481.434 220.739 58.494
103
Lampiran 5. Produktivitas ubikayu 2005 – 2009. Propinsi 2005 Lampung 190,00 Sumatera Utara 125,00 Jawa Barat 176,00 Jawa Tengah 165,00 Sulawesi Tengah 134,00 Sulawesi Selatan 168,00 Jawa Timur 159,00 Sulawesi Tenggara 173,00 DIY 152,00 Kalimantan Timur 154,00 Sumber: BPS (2010)
(kuintal/ha) di 10 propinsi di Indonesia tahun
2006 194,00 126,00 180,00 168,00 140,00 173,00 158,00 161,00 167,00 155,00
Tahun 2007 201,86 125,98 182,25 171,63 153,74 165,76 153,29 160,23 159,48 159,86
2008 242,09 194,19 186,08 174,04 167,90 169,22 160,34 178,61 142,77 154,30
2009 246,15 232,82 186,34 175,45 173,24 169,84 152,65 149,12 153,13 151,33
Lampiran 6. Perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas ubikayu di Propinsi Lampung tahun 2005-2009. Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 Sumber : BPS, 2010
Luas Panen (Ha) 252.984 283.430 316.806
Produksi (Ton) 4.806.254 5.499.403 6.394.906
Produktivitas (Kuintal/Ha) 190,00 194,00 201,86
318.969 320.344
7.721.882 7.885.116
242,09 246,15
104 Lampiran 7. Karakteristik beberapa varietas unggul ubikayu. Varietas Adira-1
Adira-2
Darul Hidayah
Adira-4
Karakteristik Dilepas tahun 1978; umur 7-10 bulan; bentuk daun menjari agak lonjong; warna pucuk daun coklat; warna tangkai daun merah bagian atas dan merah muda bagian bawah; warna batang muda hijau muda; warna batang tua coklat; warna kulit umbi coklat bagian luar dan kuning bagian dalam; warna daging umbi kuning; kualitas rebus baik; rasa enak; kadar tepung/pati 45%; kadar protein 0,5% (basah); kadar HCN 27,5 ppm; hasil rata-rata 22 t/ha umbi basah; agak tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus); tahan bakteri hawar daun (Cassava Bacterial Blight, CBB), tahan penyakit layu (Pseudomonas solanacearum), (Xanthomonas manihotis). Dilepas tahun 1978; umur 8-12 bulan; bentuk daun menjari agak lonjong dan gemuk; warna pucuk daun ungu; warna tangkai daun merah muda bagian atas dan hijau muda bagian bawah; warna batang muda hijau muda; warna batang tua putih coklat; warna kulit umbi putih coklat bagian luar dan ungu muda bagian dalam; warna daging umbi putih; kualitas rebus baik; rasa agak pahit; kadar tepung/pati 41%; kadar protein 0,7% (basah); kadar HCN 124 ppm; hasil rata-rata 22 t/ha umbi basah; cukup tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus); tahan penyakit layu (Pseudomonas solanacearum). Dilepas tahun 1998; Umur 8-12 bulan; Bentuk daun Menjari agak ramping; Warna daun pucuk hijau agak kekuningan; Warna tungkai daun tua merah; Warna batang muda hijau; Warna batang tua putih; Kulit ari batang tipis mudah menge-lupas (tidak tahan disimpan lama); Warna kulit umbi bagian luar putih kecoklatan, bagian dalam merah jambu; Warna daging umbi putih; Tekstur daging umbi padat; Bentuk umbi memanjang; Kualitas rebus baik; rasa kenyal seperti ketan; Kadar pati 25,00– 31,52%; Kadar HCN Rendah (<40 ppm); Potensi hasil 102,10 t /ha umbi segar; Agak peka terhadap serangan hama tungau merah (tetranichus sp) dan penyakit busuk jamur. Dilepas tahun 1987; umur 8 bulan; bentuk daun biasa agak lonjong; warna pucuk daun hijau; warna tangkai daun merah kehijauan (muda hijau kemerahan) bagian atas dan hijau kemerahan (hijau muda) bagian bawah; warna batang muda hijau muda; warna batang tua abu-abu; warna kulit umbi coklat bagian luar dan ros bagian dalam; warna daging umbi putih; kualitas rebus bagus tetapi agak pahit; rasa agak pahit; kadar tepung/pati 25-30%; kadar protein 0,8% (basah); kadar HCN 68 ppm; hasil 25-40 t/ha umbi basah; cukup tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus); tahan bakteri
Keunggulan Umur 7-10 bulan Hasil 22 ton/ha Kadar pati 45% Kadar HCN 27,5 ppm
Umur 8-12 bulan Hasil 22 ton/ha Kadar pati 41% Kadar HCN 124 ppm
Umur 8-12 bulan Hasil 102,1 ton/ha Kadar pati 25-31,52% Kadar HCN < 40 ppm
Umur 8 bulan Hasil 25-40 ton/ha Kadar pati 25-30% Kadar HCN 68 ppm
105 Varietas
Karakteristik hawar daun CBB,tahan penyakit layu (Pseudomonas solanacearum),( Xanthomonas manihotis).
Malang-1
Dilepas tahun 1992; umur 9-10 bulan; bentuk daun menjari agak gemuk; warna pucuk daun hijau keunguan; warna tangkai daun tua bagian atas dan bagian bawah hijau kekuning-kuningan dengan bercak merah ungu dibagian pangkal; warna batang muda hijau muda; warna batang tua hijau keabuabuan; warna kulit umbi putih kecoklatan bagian luar dan bagian dalam; warna daging umbi putih kekuningan; kualitas rebus baik; rasa agak pahit; kadar tepung/pati 32-36%; kadar protein 0,5% (basah); kadar HCN <40 ppm (metode asam pikrat); hasil rata-rata 36,5 t/ha umbi basah (24,3-48,7 t/ha); toleran tungau merah (Tetranichus bimaculatus); toleran bercak daun (Cercospora sp.). Dilepas tahun 1992; umur 8-10 bulan; bentuk daun menjari dengan cuping sempit; warna pucuk daun hijau muda kekuningan; warna tangkai daun tua bagian atas dan bagian bawah hijau muda kekuningkuningan; warna batang muda hijau muda; warna batang tua coklat kemerahan; warna kulit umbi coklat kemerahan bagian luar dan putih kecoklatan bagian dalam; warna daging umbi kuning muda; kualitas rebus baik; rasa enak (manis); kadar tepung/pati 32-36%; kadar protein 0,5% (basah); kadar HCN <40 ppm (metode asam pikrat); hasil rata-rata 31,5 t/ha umbi basah (20-42 t/ha); agak peka tungau merah (Tetranichus bimaculatus); toleran bercak daun (Cercospora sp.) dan hawar daun CBB. Tidak bercabang; agak tahan terhadap hama tungau merah; umur 9 bulan; hasil 39,7 t/ha; warna kulit luar umbi coklat; warna kulit dalam umbi putih; daging umbi putih, rasa pahit (kadar HCN>100 ppm); kadar tepung/pati 25-32%. Bercabang tinggi, agak tahan terhadap hama tungau merah (Tetranichus bimaculatus); umur 9 bulan; hasil 36,5 t/ha; warna kulit umbi putih; warna kulit dalam umbi kekuning-kuningan; daging umbi putih; rasa pahit (kadar HCN >100 ppm); kadar pati 2532%. Tegak; tidak bercabang; tahan terhadap CBB; umur 8-10 bulan; hasil 35-40 t/ha; warna kulit umbi krem keputihan; warna kulit dalam umbi putih kemerahan; rasa pahit (kadar HCN >100 ppm); kadar tepung/pati 25-30%. Tidak bercabang; tahan terhadap CBB; umur 9 bulan; hasil 38 t/ha; warna kulit umbi putih; warna kulit dalam umbi keunguan; rasa pahit (kadar HCN >100 ppm); kadar pati 19-30%.
Malang-2
Malang-4
Malang-6
UJ-3
UJ-5
Keunggulan
Umur 9-10 bulan Hasil 48,7 ton/ha Kadar pati 32-36% Kadar HCN < 40 ppm
Umur 8-10 bulan Hasil 42 ton/ha Kadar pati 25-31,52% Kadar HCN < 40 ppm
Umur 9 bulan Hasil 39,7 ton/ha Kadar pati 25-32% Kadar HCN >100 ppm
Umur 9 bulan Hasil 36,5 ton/ha Kadar pati 25-32% Kadar HCN >100 ppm
Umur 8-10 bulan Hasil 35-40 ton/ha Kadar pati 25-30% Kadar HCN >100 ppm
Umur 9 bulan Hasil 38 ton/ha Kadar pati 19-30% Kadar HCN >100 ppm
Sumber: Wargiono (2006); Balitkabi (2005); Balitkabi (2004).
106 Lampiran 8. Daftar perusahaan Industri tapioka di Provinsi Lampung No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
Nama Perusahaan PT.Lenggang Citra Lestari PT.Astra Swadaya Andalas Maju PT.Luhur Perkasa Maju Dinamika PT.Wira Kencana Adi Perdana Hutomo Budiono PT.Sungai Budi Perkasa Widarto PT.Eka Inti Tapioka Murni Handoko Winata PT.Gunung Sumber Kasih PT.Bali Bungasari PT.Rama Utara PT.Eka Inti Tapioka Murni Handoko Winata PT.Multi Agro Coorpiration Drs.Kusuma Subagjo PT.Wira Tapioka Mandiri PT.Eka Inti Tapioka Mas PT.Huma Indah Mekar PT.Budi Acid Jaya (Eks.Bumi Lampung Permai) Santoso Winata PT.Umas Jaya Farm Slamet Winata PT.Pola Kesatrian Jaya PT.Budi Acid Jaya Slamet Winata PT.Bumi Acid Jaya (Eks.CV.Bumi Waras) PT.Teguh Wibawa Bhakti Persada PT.Ersindo Dwi Mitra Lestari PT.Lestari Eka Perdana PT.Bali Bunga Sari Perusahaan Tapioka Sanggar Buana PT.Budi Acid Jaya Eks PT.Sungai Budi PT.Budi Acid Jaya Eks.CV.Bumi Wara Alwi PT.Wilang Sari PT.Wira Kencana Adi Perdana PT.Wira Kencana Adi Perdana PT.Sinar Pematang Mulia PT.Budi Acid Jaya Eks.CV.Bumi Waras PT.Budi Acid Jaya Eks.CV.Bumi Waras Sumber Agung Tapioka Bumi Nabung Bangun CV.Sinar Bintang Suka Bumi Mataram Tapioka Karya Kencana Bumi Nabung I Bumi Nabung II Betry PT.Bumi Jaya Murni PT.Budi Acid Jaya Gunung Sugih Agung
Kapasitas Produksi per tahun (ton) 15.000 63.000 120.000 75.000 18.000 37.000 10.000 30.000 540 75.000 40.000 75.000 37.000 12.000 24.000 10.000 18.000 60.000 63.000 4.140 18.000 14.000 30.000 945 43.000 75.000 945 17.000 30.000 30.000 7.500 45.000 75.000 750 750 2.268 1.000 2.160 850 190 750 608 580 1.260 48.000 1.000
107 No.
Nama Perusahaan
Kapasitas Produksi per tahun (ton) 1.000 2.000 3.500 580 6.000 1.000 2.000 1.250 6.000 648 945 190 1.500 200 4.500 8.000 1.000 30.000 40.000
47 Sinar Bahuga 48 PT.Adi Wira Satu Pertiwi 49 Setia Budi 50 Tapioka Subur Makmur 51 Johali 52 Tapioka Sanggar Buana 53 Banjar Sari 54 Selamet 55 Jangkar Mas 56 Gayatri 57 Hang Tuah 58 Gunung Intan 59 Sentral Intan 60 Sri Budoyo 61 Gunung Intan 62 Gunung Sugih 63 Way Raman 64 CV.Bumi Waras 65 PT.Matuli Biaoja Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung (2006)
108
Lampiran 9. Hasil evaluasi metode quickscan proses produksi industri tapioka TINDAKAN FAKTOR
KEMUNGKINAN
KOREKSI DITOLAK
1.Ingredient a.) Ubikayu
Terlalu muda atau terlalu tua
Diganti / dikembalikan ke supplier
Mempengaruhi konsentrasi pati, kadar padatan terlarut
Usia ubikayu yang optimum
Kadar pati rendah
Disesuaikan dengan skala
Mempengaruhi viskositas bubur pati
Banyak lender
Dicuci sampai lendir hilang
Warna kuning hingga lebam
Diganti (dikembalikan ke supplier)
Produk akhir jelek; menyebabkan reaksi pencoklatan Mempengaruhi warna tepung
Kadar pati sesuai standar(24 %) Tanpa lendir
Tidak bersih Air terlalu banyak/ terlalu sedikit
Mengulang proses pencucian; mengganti air secara periodik Menyesuaikan jumlah air
Mencemari tepung sehingga menurunkan kualitas produk Masih ada lendir yang dapat menyebabkan pencoklatan
Bersih / tidak ada kulit yang masih terikut Bersih tanpa lendir
c.) Pemarutan
Tidak sempurna
Menyempurnakan pemarutan
Menurunkan kadar pati produk
Kadar pati > 86 % kadar serta halus rendah
Koreksi mesin
Granula pati yang keluar <90%
d.) Filtering
Granula pati yang keluar terlalu sedikit Tidak sempurna, penyaring rusak
Melakukan dengan sempurna, koreksi alat
Kadar impurities yang rendah
Kandungan kotoran masih tinggi
Melakukan dengan sempurna
Kadar pati tinggi, kadar serat rendah
Serat masih terbawa
Melakukan ekstraksi secara bertahap
Kemurnian tinggi, kadar serat rendah
Granula pati yang keluar > 90% Mengurangi kemurnian produk (mengandung ampas) Mengurangi kemurnian produk Mempengaruhi kemurnian produk
2. Processing b.) Pencucian
e.) Ekstraksi
108
DITERIMA
Warna putih cerah
109
TINDAKAN FAKTOR
KEMUNGKINAN
KOREKSI DITOLAK
DITERIMA
f.) De-Watering
Kadar air susu pati masih tinggi
Koreksi alat; putaran silinder diatur konstan 1450 rpm
Kadar air sudah sesuai untuk drying
g.) Pengeringan /drying
Suhu terlalu rendah atau terlalu tinggi
Drying pada temperatur optimum 5060oC;
Warna, rasa, bau yang sesuai
Kelembaban tinggi
Mengatur kelembaban yang sesuai; meniupkan aliran udara panas; kontrol suhu
Produk yang kering
Kadar air awal pati basah masih tinggi Waktu drying terlalu lama/ singkat
Kembali ke (penyempurnaan tahap dewatering Menyesuaikan dengan standar waktu
Drying sulit,produk tidak cukup kering Produk belum cukup kering
Kadar air yang optimum untuk drying Produk kering
Laju aliran udara tidak konstan
Stabilisasi laju aliran udara
Kadar air produk tidak seragam
Kontaminasi mikroba
Penyimpanan aseptis
Menurunkan kualitas (bau apek, warna kuning karena jamur)
Kadar air produk yang seragam Tidak ada perubahan
h.) Pengemasan dan penyimpanan
Menyulitkan pengeringan (beban draying berat) produk tidak kering Menurunkan kualitas warna, bau, dan rasa produk Produk yang belum cukup kering
109
110 Lampiran 10. Estimasi Biaya Instalasi Biogas Industri Tapioka No. Rincian Harga 1 Desain detail 675,000,000.00 Sub Total 675,000,000.00 2
3
4
Fasilitas 1. Gas Engine Genset System 3.2 MW 2. Equipment, pump, installation work 3. Piping System & Gas Piping 4. Gas Solid Separator, Plate Settle 5. Electrical & Control System 6. Gas Blower & Control Panel 7. Gas Flare 8. Acid Pond Mixer 9. Scada System & PLC Panel
12,375,000,000.00 2,260,000,000.00 2,264,500,000.00 1,150,000,000.00 895,000,000.00 265,000,000.00 360,000,000.00 462,500,000.00 243,000,000.00 Sub Total 20,275,000,000.00
Konstruksi Sub Total
3,800,000,000.00 3,800,000,000.00
Sub Total
250,000,000.00 250,000,000.00
Lain-lain
TOTAL
25,000,000,000.00
111 Lampiran 11. Perhitungan CO2 PERHITUNGAN REDUKSIReduksi CO2 Baseline Emission from avoided methane emission BEy.ww.tread= Qy.ww * jumlah(CODy.ww.removed.i*B0.ww*M CFww.treatment.i*GWP_CH4)
Quantity y.ww (m3) 89,249
jumlah
0.056448
COD removed (ton/m3)
B0.ww (CH4/kg COD)
0.016
0.21
M FCww
0.8
GWP_CH4
Baseline Emission y.ww.tread (ton CO2 e)
21
5,038
Dimana: - Quantity y.ww adalah jumlah limbah cair yang diolah melalui CIGAR - COD removed = dihitung menggunakan asumsi efektivitas alat yang digunakan sesuai perhitungan yang dilakukan pada saat perancangan yaitu 0,016 ton m3 - BO = bangkitan metane dari air limbah yang diolah berdasarkan perhitungan IPCC 2006 adalah 0,25 CH4/kg COD - M FC = perhitungan faktor koreksi metanuntuk industri kecil yang digunakan oleh IPCC 2006 yaitu 0,8 (Tabel III.H.1) - GWP = potensi pemanasan global yang diakibatkan oleh metan berdasarkan ketentuan dari UNFCCC yaitu 21 BEy.power= Egy*Efelectricity Electricity Generator in EF electricity year (M Wh) 38.78 0.82
Baseline Emission y power (ton CO2 e) 31.80
Dimana: - Electricity Generator in year = jumlah listrik yang dibutuhkan oleh industri yaitu 38,78 M Wh per tahun - EF electricity = faktor emisi dari penggunaan generator dengan bahan bakar fosil sesuai ketentuan UNFCCC yaitu 0,82 BE= BE ww tread + BE y power Baseline Baseline Emission in ww Emission in y tread power (ton (ton CO2 e) CO2 e) 5,037.91
31.80
Baseline Emission (ton CO2 e) 5,069.71
112 Lampiran 12. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, 2006
113
Lampiran 13. Wawancara dengan petugas quality control dalam tahapan proses produksi tapioka
Lampiran 14. Wawancara dengan Salah satu manager pabrik mengenai penentuan kadar pati dalam ubikayu
114
Lampiran 15. Pengambilan sampel air limbah dari separator
Lampiran 16. Air limbah yang berasal dari pencucian ubikayu
115
Lampiran 17. Pengambilan air limbah di IPAL industri iapioka
Lampiran 18. Pengukuran di lokasi (Temperatur, pH, dan DO) bersama Dr. Ir. Udin Hasanudin, M.T.
116
Lampiran 19. Kunjungan Prof.Dr.Ir. H.M.H. Bintoro, M.Agr. ke lokasi salah satu industri tapioka
117 Lampiran 20. Limbah padat yang cukup melimpah masuk ke kolam penampungan air limbah
Lampiran 21. Limbah onggok yang dihasilkan dari proses produksi industri tapioka
118 Lampiran 22. Salah satu IPAL Industri tapioka
Lampiran 23. Salah satu outlet IPAL akhir industri tapioka
Lampiran 24. Spektrofotometer HACH 4000U untuk mengukur COD
119
Lampiran 25. Digestion Reactor DRB 200 untuk pemanas COD
Lampiran 26. Inkubator dan furnace untuk analisa TS dan VTS
Lampiran 27. Desikator dan timbangan analitik 4 digit
120
Lampiran 28. Gas Chromatography dan seperangkat PC untuk analisa konsentrasi biogas
Lampiran 29. Reagen COD yang telah diisi sampel air limbah
121
Lampiran 30. Hasil biogas yang dimanfaatkan untuk memasak
Lampiran 31. Generator biogas dengan kapasitas 3.2 MW