VII. PENANGANAN LIMBAH PROSES PENGOLAHAN KOPI RAKYAT BERBASIS PRODUKSI BERSIH
7.1. Pendahuluan Modifikasi proses pengolahan basah dengan perlakuan minimisasi air pada taraf tertentu mampu meningkatkan mutu kopi rakyat. Berdasarkan hasil analisis mutu fisik dan cita rasa diketahui bahwa perlakuan minimisasi air proses sebesar 67% dengan volume air rata-rata 3,012 m3/ton pada rentang 2,987 - 3,345 m3/ton menjadi pilihan yang dapat diterapkan oleh agroindustri rakyat.
Akan tetapi
perlakuan minimisasi air diperkirakan mempengaruhi konsentrasi limbah cair dan padat yang dihasilkan. Limbah cair adalah air yang telah dimanfaatkan dan harus diolah sebelum dibuang ke badan air, sehingga tidak menyebabkan pencemaran sumber air. Berdasarkan KepMen LH No. 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri, limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh kegiatan industri atau kegiatan usaha lainnya yang dibuang ke lingkungan yang diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan. Meskipun telah dilakukan upaya untuk mengurangi air proses pengolahan kopi, tetapi limbah cair dan limbah padat masih dihasilkan. Upaya penanganan limbah cair dan limbah padat dibutuhkan agar aktivitas agroindustri kopi rakyat tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan teknologi penanganan limbah cair dan limbah padat yang mampu mengurangi dampak negatif proses pengolahan kopi dan mendesain sistem penanganan limbah yang sesuai dengan kemampuan dan memberikan nilai tambah bagi peningkatan pendapatan masyarakat desa. Teknologi penanganan limbah yang tepat diharapkan dapat meningkatkan keberlanjutan agroindustri kopi rakyat dalam dimensi lingkungan, ekonomi, sosial dan kelembagaan. 7.2. Metode Penelitian 7.2.1. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer berasal dari hasil pengamatan dan perhitungan di lokasi penelitian. Data sekunder 161
162
berasal dari literatur dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan limbah proses pengolahan kopi. 7.2.2. Variabel yang diamati Variabel yang diamati meliputi volume dan konsentrasi limbah cair dan limbah padat yang dihasilkan, konsentrasi limbah cair setelah penanganan, karakteristik unit penanganan limbah cair (metode fisika-kimia dan biologi) dan metode penanganan limbah padat, kebutuhan bahan dan alat unit penanganan limbah cair dan limbah padat. 7.2.3. Metode Analisis Data 1.
Melakukan inventarisasi data-data yang diperoleh dari neraca massa proses pengolahan kopi modifikasi olah basah.
2.
Melakukan inventarisasi karakteristik limbah cair dan padat yang dihasilkan dari perlakuan minimisasi air pengolahan kopi olah basah dan literatur.
3.
Analisis degradabilitas limbah cair sebagai studi pendukung karakteristik limbah cair perlakuan minimisasi proses pengolahan kopi.
4.
Analisis efluen unit penanganan limbah cair yang menggunakan metode filtrasi, koagulasi flokulasi dan anaerobik.
5.
Analisis alternatif pemanfaaatan limbah padat proses pengolahan kopi berdasarkan literatur yang ada.
6.
Karakterisasi tahapan penanganan limbah cair dalam sistem pengolahan kopi rakyat.
7.3. Hasil dan Pembahasan 7.3.1. Analisis Limbah Cair Proses Pengolahan Kopi Modifikasi Olah Basah Proses pengolahan yang mengubah buah kopi menjadi biji kopi disebut pengolahan kopi primer. Output yang dihasilkan dari proses pengolahan primer yang menggunakan modifikasi teknologi olah basah adalah biji kopi HS bersih dengan kadar air 12%, limbah cair dan limbah padat. Perlakuan minimisasi air pada proses pengolahan kopi dengan modifikasi olah basah terbukti mampu meningkatkan mutu biji sekaligus meminimumkan volume limbah cair yang dihasilkan. Rentang minimum air proses pengolahan yang dapat diterapkan adalah
163
2,987 - 3,345 m3/ton buah kopi yang meliputi ± 0,731 – 0,784 m3/ton untuk proses pengupasan dan ± 2,256 – 2,561 m3/ton buah kopi untuk proses pencucian. Nilai ini mampu mengurangi limbah cair ke lingkungan hingga 67% dari total volume air proses yang biasa dilakukan. Rendemen hasil pengolahan kopi untuk mendapatkan biji kopi siap ekspor rata-rata sebesar 18 – 19%. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Braham dan Bressani (1979), biji kopi yang diperoleh dari proses pengolahan basah sebesar 191 gram dari 1000 gram buah kopi. Mulato et al. (2006), menyatakan rendemen hasil pengolahan kopi Arabika berkisar antara 16 – 20% sedangkan kopi Robusta dapat mencapai 20 – 22%. Pada pengolahan basah, proses pengupasan dapat dilakukan dengan minimal air terutama karena dilakukan pada buah kopi merah.
Bagian-bagian yang
membentuk buah kopi terutama adalah kulit buah (skin), daging buah (pulp), kulit tanduk (parchment), kulit ari (silverskin) dan biji (bean) (Gambar 63). Daging buah kopi merah yang telah masak mengandung lendir dan senyawa gula yang rasanya manis. Lapisan lendir ini pada buah muda sangat sedikit dan bertambah hingga buah masak kemudian berkurang apabila buah telah lewat masak (Yusianto dan Mulato, 2002).
Komposisi kimia daging buah kopi masak
disajikan pada Tabel 19. (Kulit tanduk)
(Kulit luar) (Daging buah)
(Cangkang)
(Biji kopi) (Tangkai buah)
(Kulit ari)
Gambar 63 Penampang membujur buah kopi Buah kopi merah merupakan buah masak, mengandung air buah dan lendir yang cukup untuk berlangsungnya proses pengupasan.
Air pada proses
pengupasan terutama dibutuhkan sebagai pembawa buah kopi menuju silinder mesin pengupas. Limbah cair proses pengupasan diperkirakan mengandung komponen-komponen kimia yang berasal dari kulit, daging buah dan lendir.
164
Meskipun tidak seluruh lendir dapat dilepas dan masih melekat pada lapisan kulit biji kopi. Proses pencucian menghilangkan lendir yang telah terdegradasi selama fermentasi dan menghasilkan biji kopi yang masih berkulit tanduk (parchment coffee = biji kopi HS). Tabel 19 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Komposisi kimia daging buah kopi masak Komponen Jumlah (%) Air 42,66 Serat 27,44 Gula 9,46 Tannin 8,56 Mineral 3,77 Lemak dan resin 1,18 Minyak volatil 0,11 Lain-lain 6,82
Sumber: Yusianto dan Mulato (2002)
Perlakuan minimisasi air pada proses pengolahan kopi bertujuan untuk meminimumkan volume limbah cair yang dihasilkan. Akan tetapi diperkirakan mempengaruhi tingkat konsentrasi limbah cair yang dihasilkan. Analisis kualitas limbah cair hasil perlakuan minimisasi air diperlukan untuk menentukan penanganan yang tepat agar limbah tidak mencemari lingkungan. Limbah cair proses pengolahan kopi terutama dihasilkan dari proses pengupasan dan pencucian. Adapun aliran limbah cair kopi tersebut tidak konstan dengan beban pencemaran cenderung seragam. Proses pengolahan kopi yang kontinyu tergantung pada aliran air proses pengupasan (pulping) dan pencucian (washing). Hasil analisis parameter limbah cair disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Hasil analisis limbah cair perlakuan minimisasi air pengolahan kopi No Parameter Proses Pengupasan Proses Pencucian Satuan 1 pH 4,00 - 5,50 3,84 - 4,28 2 BOD 6000 - 13000 4000 - 11000 mg/L O2 3 COD 14000 - 26000 7000 - 21000 mg/L O2 4 BOD/COD 0,5 – 0,6 0,4 – 0,6 5 TSS 400 - 23000 8600 - 25000 mg/L 6 TDS 1200 - 1500 800 - 2100 mg/L 7 Fosfat 17 - 33 14 - 24 mg/L PO4-P 8 Nitrat 55 - 64 3,82 - 88,35 mg/L NO3-N 79 Total N 300 - 400 170 - 630 mg/L NH3-N 10 Total Karbon 8000 - 10000 4000 - 10000 mg/L 11 Total VSS 13000 - 17000 6400 - 18000 mg/L
165
Limbah cair proses pengupasan dan pencucian memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda, terutama mengandung padatan tersuspensi yang berasal dari komponen organik dan anorganik.
Limbah cair proses pengupasan terutama
mengandung gula fermentasi, sedangkan limbah cair proses pencucian lebih kental karena kandungan lendir. Kandungan lendir yang terdegradasi selama fermentasi ini menyebabkan nilai pH limbah cair pencucian lebih asam dibandingkan tahap pengupasan. Karakteristik limbah cair proses pengolahan kopi di berbagai tempat menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda meskipun berasal dari proses pengolahan basah maupun semi basah (Tabel 21 dan Tabel 22). Air limbah yang cenderung asam, kandungan bahan organik tinggi serta tingkat padatan yang besar berasal dari kandungan lendir dan pulpa kopi selama proses pengupasan dan pencucian. Karakteristik inilah yang akan menentukan upaya penanganan yang dapat diterapkan. Tabel 21 Perbandingan hasil analisis limbah cair pengolahan kopi di India No 1 2 3 4 5 6 7
Parameter pH Total Solid (mg/L) COD (mg/L) BOD/COD Total gula (mg/L) Gula pereduksi (mg/L) Asiditas (mg/L)
Pulper (a) 4-7 4000 – 10000 1500 - 9000 0,5 – 0,86 800 - 6000 50 - 1800
Washer (semi washed) (a) 4-6 1200 – 44000 1200 – 41700 0,5 – 0,9 1000 - 36700 200 - 22200
Pulper (b) 3,9 – 6,9 3100 - 30800 2600 - 25800 0,37 – 0,97 2300 - 23000 800 - 6000
Washer (semi washed) (b) 4 – 6,3 16400 – 70000 15500 – 65000 0,5 – 0,9 14300 – 53000 5300 – 30000
100 - 800
70 - 1300
100 - 1600
200 - 1900
Sumber: Astra 2002 diacu dalam Chanakya dan de Alwis 2004 a: perkebunan dengan penanganan anaerobik parsial dan pengontrolan penggunaan air b: perkebunan dengan bioreaktor dan pengontrolan air dalam pengolahan basah
Menurut Mburu et al. (1994); Von Enden dan Calvert (2002), limbah cair proses pengupasan mengandung konsentrasi pencemar yang tinggi karena kandungan bahan-bahan organik hasil proses pengupasan daging buah (saat mesocarp dikupas) dan lendir. Pulpa dan lendir ini terdiri atas sejumlah protein, gula dan lendir dalam bentuk pektin seperti karbohidrat polisakarida. Selvamurugan et al. (2010), menjelaskan kandungan gula yang tinggi ini menyebabkan air proses pengupasan akan cepat terfermentasi oleh kerja enzim
166
bakteri yang terdapat pada buah kopi. Adapun komponen lain dari air proses pengupasan adalah asam dan kimia toksik seperti polifenol (tannin dan kafein). Tabel 22 Perbandingan karakteristik limbah cair proses pengolahan kopi No
1 2 3 4 5 6 7 8
Parameter
pH BOD COD TSS TDS Fosfat Total N Total VSS
Mendoza & Rivera (1998) (semi wet) 5,4 1443 mg/L 2480 mg/L -50-90% ----
Bruno & Oliveira (2008) (wet process) 4,2 3100 – 14340 mg/L 5000 – 35000 mg/L 2978 – 3590 mg/L ---1488 mg/L
Selvamurugan et al., (2010) (wet process) 3,88 – 4,21 3800 – 4780 mg/L 6420 - 8480 mg/L 2390 – 2820 mg/L 1130 – 1380 mg/L -125,8 – 173,2 mg/L --
Penghilangan lendir pada biji kopi dilakukan sepanjang proses fermentasi selama 14 – 18 jam hingga lendir terdegradasi dan dapat dihilangkan dengan mudah oleh air melalui proses pencucian. Air limbah yang berasal dari perlakuan minimisasi air cenderung kental karena tingginya kandungan pektin yang berasal dari lendir, protein dan gula yang terlarut. Proses fermentasi gula menjadi etanol dan CO2 menyebabkan kondisi asam pada air.
Hal ini dikarenakan etanol
dikonversi menjadi asam asetat saat bereaksi dengan oksigen. Proses asidifikasi ini menyebabkan pH larutan menjadi asam, mencapai nilai 4 bahkan kurang. C6H12O6 2 CH3CH2OH + 2 CO2 Gula etanol karbondioksida 2 CH3CH2OH + O2 2 CH3COOH Etanol oksigen asam asetat Keasaman yang tinggi akan mempengaruhi efisiensi penanganan limbah cair dan merusak kehidupan akuatik jika dibuang ke badan air.
Lendir yang
terkonversi setelah proses pencucian (Tabel 23) akan membentuk lapisan tebal (padatan tersuspensi) pada permukaan limbah cair, hitam di atas dan jingga coklat di dasar (Gambar 64). Lapisan tebal ini akan menutup jalan air pada saluran dan menyebabkan kondisi anaerobik saat dibuang ke badan air. Substansi lain yang dapat ditemukan pada limbah cair kopi adalah bahan kimia toksik seperti tannin, alkaloid (kafein), dan polifenol.
Komponen-
167
komponen ini apabila dibuang ke lingkungan akan menyebabkan proses degradasi bahan organik sulit didegradasi secara biologis (Selvamurugan et al. 2010). Tabel 23 Beberapa perbandingan komposisi lendir Komponen Air Protein Gula - Glukosa (pereduksi) - Sukrosa (non pereduksi Pektin Abu
Komposisi (%) Murthy et al.(2004) Braham & Bressani (1979) 84,20 8,00 2,50 1,60 1,00 0,70
30,0 20,0 35,8 17,0
Limbah cair proses pengolahan kopi berwarna coklat terutama berasal dari komponen flavonoid kulit buah pada saat pengupasan (Lampiran 1.). Limbah cair kopi selain berbau tidak sedap, juga akan berubah warna menjadi hitam beberapa saat kemudian. Flavonoid umum ditemui pada buah-buahan berwarna lainnya seperti anggur. Menurut Selvamurugan et al. (2010), warna buah ini sebenarnya merupakan prekursor bagi terbentuknya warna coklat humus seperti air rawa yang tidak berbahaya bagi spesies akuatik karena tidak menyebabkan peningkatan nilai BOD ataupun COD. Akan tetapi warna coklat yang gelap ini dapat berdampak negatif terhadap proses fotosintesis dan transformasi nutrien pada tanaman air selain menurunkan nilai estetika.
Gambar 64 Lapisan padatan limbah cair pengolahan kopi Tingginya nilai COD dan BOD pada limbah cair pengolahan kopi terutama pada limbah cair perlakuan minimisasi menunjukkan besarnya jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik pada kondisi aerobik, temperatur dan waktu inkubasi yang terstandar. Pengaruh perlakuan minimisasi
168
air pada proses pengolahan kopi disajikan pada Gambar 65, Gambar 66, dan Gambar 67.
Gambar 65 Hubungan minimisasi air pengupasan dengan bahan organik dan pH pada limbah cair
Gambar 66 Hubungan minimisasi air pencucian dengan bahan organik dan pH pada limbah cair Konsentrasi bahan organik limbah cair (BOD, COD dan TSS) menunjukkan kecenderungan menurun seiring bertambahnya volume air yang digunakan pada tahap pengupasan dan pencucian buah kopi.
Nilai pH limbah cair
proses
pengolahan kopi secara umum berkisar antara 3,80 – 5.50. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara perlakuan minimisasi air terhadap pH.
Nilai padatan
tersuspensi (TSS) pada proses pencucian cenderung lebih tinggi daripada proses pengupasan. Hal ini disebabkan karena bagian terbesar bahan organik berupa lendir setelah proses fermentasi terbawa air proses pencucian.
169
Gambar 67 Zone segitiga untuk BOD/COD Rasio BOD/COD pada limbah cair proses pengolahan kopi berada di antara 0,4 – 0,6 yang menunjukkan tingkat biodegradabilitas bahan organik untuk dilepas ke lingkungan. Menurut Samudro dan Mangkoedihardjo (2010), apabila rasio BOD/COD berada di antara 0,1 dan 1,0 maka limbah cair termasuk kategori biodegradable.
Rasio BOD/COD biodegradable menunjukkan kemampuan
substansi bahan organik dalam limbah cair untuk diuraikan menjadi komponen yang lebih sederhana oleh bakteri atau mikroorganisme. Batasan tersebut dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan sistem penanganan yang sesuai bagi limbah cair. Analisis total padatan dan total karbon pada limbah cair proses pengolahan kopi membantu menentukan upaya penanganan limbah yang sesuai (Gambar 67). Parameter total padatan (TDS, TSS dan VSS) dan total karbon menunjukkan penurunan konsentrasi seiring kenaikan volume air.
Pola ini serupa dengan
penurunan konsentrasi BOD maupun COD pada Gambar 66. Secara umum padatan tersuspensi merupakan indikator besarnya kandungan bahan organik dalam limbah yang menyumbang 60% nilai BOD. Padatan tersuspensi yang mudah menguap (VSS) merupakan pendekatan jumlah kandungan bahan organik. Bahan organik tersebut dapat terdekomposisi menjadi air, karbondioksida dan amonia yang bersifat mudah menguap saat dianalisis pada suhu 550oC.
170
Gambar 68 Hubungan minimisasi air pencucian dengan total padatan dan karbon pada limbah cair Analisis total karbon menunjukkan jumlah karbon yang terikat dalam komponen organik dan anorganik. Melalui analisis VSS dapat diketahui potensi bahan organik (komponen karbon) yang teroksidasi menjadi komponen lebih sederhana dan mudah menguap. Nilai VSS yang lebih tinggi daripada nilai total karbon merupakan indikator bahwa komponen karbon yang ada pada limbah cair adalah komponen organik (Droste 1997). Beban pencemaran limbah cair proses pengolahan kopi mencapai 75% dengan kandungan organik tinggi dan padatan terpresipitasi sebagai lendir yang dapat meningkatkan COD dan menurunkan nilai pH. Kombinasi keasaman yang tinggi, BOD dan COD yang tinggi akan menurunkan kemampuan suplai oksigen jika dibuang ke badan air, sehingga dapat menimbulkan permasalahan lingkungan yang harus ditangani. Akan tetapi limbah cair kopi yang kaya akan kandungan gula dan pektin dapat cepat terdegradasi. Didukung oleh rasio BOD/COD yang tinggi menunjukkan kelayakannya untuk ditangani melalui proses biologi. Untuk mengoptimalkan proses penanganan limbah cair, pH sebaiknya diusahakan berada pada kisaran netral (6,5 – 7,5). 7.3.2. Analisis Limbah Padat Proses Pengolahan Kopi Olah Basah Perlakuan minimisasi air proses pengupasan dan pencucian memiliki dampak signifikan terhadap volume limbah cair tetapi tidak signifikan terhadap jumlah biji serta pulpa yang dihasilkan. Meskipun demikian proses pengupasan
171
kulit tanduk dan kulit ari lebih mudah dilakukan pada biji kopi yang mendapat perlakuan air banyak. Limbah padat maupun limbah cair dari proses pengupasan dan pencucian merupakan hasil samping yang akan menimbulkan masalah apabila tidak diolah. Pulpa, kulit tanduk dan kulit ari merupakan limbah padat yang dapat diubah menjadi produk samping bernilai ekonomis, sehingga dapat meningkatkan penghasilan petani. Proses pengupasan menghasilkan limbah padat yang cukup besar berupa kulit dan daging buah kopi (Lampiran 1). Berdasarkan analisis neraca massa, persentase limbah padat yang dihasilkan dari proses pengupasan dapat mencapai kisaran 40-60%. Nilai ini menunjukkan potensi pencemaran yang besar dari limbah padat jika tidak dimanfaatkan.
Pulpa kopi jika tidak diolah akan
menimbulkan bau yang tidak sedap dan mengundang lalat maupun serangga lainnya.
Selama masa pengolahan biji kopi, limbah pulpa kopi ini akan
menumpuk, menyebabkan gangguan lingkungan seperti bau yang tidak sedap, mengundang lalat maupun serangga lainnya.
Pulpa kopi juga dapat menjadi
vektor agen penyakit ketika dibuang ke badan air dan menyebabkan pencemaran air tanah. Selain itu drainase dari timbunan pulpa dapat mencemari sumber air di sekitarnya (Gambar 69).
Gambar 69 Timbunan pulpa kopi Menurut Kebede et al. (2010), komposisi pulpa kopi terutama merupakan bahan organik yang terdiri atas karbohidrat, protein, serat, lemak, kafein, polifenol, dan pektin. Oleh karena itu dekomposisi pulpa kopi ini bersama-sama limbah cair saat dibuang ke badan air akan menyebabkan kerusakan ekosistem dan air sungai tidak sesuai lagi dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Meskipun demikian, sebagai limbah padat industri kopi, kulit kopi yang
172
mengandung bahan organik tinggi berpotensi untuk dimanfaatkan kembali. Melalui hasil analisis limbah padat dapat diketahui potensi pemanfaatan limbah padat proses pengolahan kopi. Hasil analisis komposisi limbah padat kopi dan beberapa hasil analisis yang mendukung disajikan pada Tabel 24 dan Tabel 25. Tabel 24 Komposisi limbah padat proses pengolahan kopi Bahan
Pulpa Kulit tanduk
Minyak & Lemak 1,06 0,51
Komposisi (%) Serat CTotal kasar organik N 20,42 45,15 4,55 39,68 42,71 2,65
Abu 5,51 23,12
Protein kasar a) 7,80
Ca a)
P a)
0,23
0,02
a) Rubiyo et al. (2006)
Tabel 25 Perbandingan komposisi kimia pulpa kopi dari berbagai sumber Komponen Murthy et al. (2004) Ekstrak eter Serat kasar Protein kasar Abu BETN Tannin Pektin Gula non pereduksi Gula pereduksi Asam khlorogenik Kafein Total asam kafeat Lemak
0,48 21,4 10,1 1,5 31,3 7,8 6,5 2,0 12,4 2,6 2,3 1,6 %
Komposisi (%) Londra& Braham & Bressani (1979) Andri (2008) Segar Kering Kering dan terfermentasi 0,48 2,50 2,60 21,4 3,40 21,0 20,8 6,67 2,10 11,2 10,7 1,50 8,30 8,80 15,8 44,4 49,2 1,80 – 8,56 6,50 2,00 12,4 2,60 1,30 1,60 1,04
Keterangan: BETN (Bahan ekstrak tanpa nitrogen)
Analisis komponen organik pada limbah padat kopi membantu menentukan proses daur ulang (recycle) sebagai bahan dasar pakan ternak, kompos, pupuk, briket, produksi biogas maupun alternatif pemanfaatan lainnya.
Rata-rata
kandungan serat kasar pada kulit kopi maupun kulit tanduk cukup tinggi demikian pula dengan kandungan C-organik memiliki potensi dimanfaatkan sebagai kompos ataupun pupuk.
Nilai kalori kulit tanduk kopi adalah sebesar 4600
kkal/kg sedangkan pulpa kopi pada kandungan air 5% memiliki nilai kalori 3300 kkal/kg (Adams dan Dougan 1989) berpotensi sebagai sumber bahan bakar. Meskipun agak sulit diterapkan pada pulpa kopi yang diperoleh dari pengolahan basah karena masih mengandung kadar air bahan yang tinggi (84%).
173
7.3.3. Desain Penanganan Limbah Cair Upaya minimisasi air proses pengolahan kopi masih menghasilkan limbah cair yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Karakteristik limbah cair dalam bentuk suspensi komponen organik dan anorganik yang kaya akan gula terfermentasi dan cairan kental dari tahap pencucian lendir (mucilage). Tingginya nilai BOD dapat mencapai 13.000 mg/l, COD mencapai 26.000 mg/l serta rendahnya tingkat keasaman dari limbah cair hasil minimisasi air akan menimbulkan beban pencemaran yang tinggi terhadap lingkungan. Baku mutu limbah cair yang dapat dibuang adalah 100 mg/l untuk BOD dan 250 mg/L untuk COD berdasarkan KepMen LH No. 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri. Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 45 Tahun 2002 tentang baku mutu limbah cair bagi industri atau kegiatan usaha lainnya di Jawa Timur memberikan batasan lebih ketat khusus untuk industri pengupasan biji kopi/coklat yaitu maksimum 75 mg/L untuk BOD dan 200 mg/L untuk COD dengan volume limbah cair maksimum adalah 40 m3/ton produk. Oleh karena itu dibutuhkan upaya penanganan yang sesuai untuk diterapkan pada unit pengolahan kopi rakyat.
Berdasarkan tahapan pencegahan polusi
menurut Theodore dan Mc. Guinn (1992), maka tahapan berikut yang dapat dilakukan adalah upaya daur ulang atau penggunaan kembali limbah dan upaya pengolahan limbah. Daur ulang limbah dapat dilakukan dengan memperbaharui bahan baku yang masih dapat digunakan. Pengolahan limbah dapat dilakukan melalui penerapan metode fisika, kimia maupun biologi untuk mengurangi beban pencemaran dan mempermudah tahap pembuangan akhir. Kebede et al. (2010), menyatakan upaya pemanfaatan limbah proses pengolahan kopi merupakan pilihan potensial lain untuk mengontrol pencemaran. Beberapa pilihan yang dapat dilakukan untuk menangani limbah cair adalah melakukan pembuangan di lahan pertanian dengan limbah cair, aplikasi kolam anaerobik, aerasi buatan, reaktor biogas dan pemanfaatan lahan terancang untuk pembuangan limbah cair telah dicoba di berbagai negara produsen kopi. Metode yang murah dan dapat membantu menyuburkan tanah pernah dicobakan di Brazil dengan membuang limbah cair di lahan dan memanfaatkannya langsung untuk mengairi kopi (Ribeiro et al. 2009 diacu dalam Kebede et al. 2010). Akan tetapi,
174
teknik ini dapat menyebabkan asidifikasi tanah, genangan air, dan menyebabkan metabolisme tanah dalam kondisi anaerobiosis. Penanganan secara anaerobik yang dioperasionalkan pada suatu reactor merupakan pilihan yang menarik karena mampu menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar (Murthy et al. 2004; Von Enden dan Calvert 2002). Meskipun dalam penanganannya membutuhkan stabilitas proses yang baik agar efisiensi penanganan tercapai (Mendoza dan Rivera 1998). Menurut Mendoza dan Rivera (1998), bioteknologi anaerobik secara umum merupakan penanganan yang sesuai untuk limbah kegiatan agroindustri terutama di negara-negara berkembang karena biaya yang lebih terjangkau, menghasilkan energi, kebutuhan pengawasan operasional yang rendah dan kemampuannya untuk menangani limbah yang diproduksi musiman.
Karakteristik limbah cair
kopi yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi membuatnya sesuai untuk ditangani dengan metode biologi anaerobik. Limbah cair proses pengolahan kopi dihasilkan hanya pada saat panen kopi yaitu kurang lebih selama 3 hingga 5 bulan setiap tahunnya. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan variabilitas konsentrasi dan volume limbah cair yang cukup tinggi pada panen puncak dan menurun setelah periode panen. 7.3.4. Simulasi Biodegradabilitas Limbah Cair Proses Pengolahan Kopi Kandungan bahan organik yang tinggi dalam limbah cair pengolahan kopi memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan melalui proses anaerobik.
Menurut Angelidaki et al. (2007), proses metabolisme
anaerobik merupakan proses biokimia kompleks yang saling berkaitan antara grup mikrobial. Oleh karena itu perlu dilakukan penilaian tingkat biodegradabilitas limbah cair proses pengolahan kopi melalui potensi pembentukan metana (biogas) menggunakan komposit mikroorganisme yang berasal dari reaktor anaerobik. Gunaseelan (1997) menyatakan analisis biochemical methane assay (BMP) dapat dilakukan untuk menentukan output CH4 (metana) dari substrat organik dan untuk memantau tingkat toksisitas anaerobik. BMP merupakan metode yang berharga, cepat dan tidak mahal untuk menentukan potensi dan laju pengembangan konversi biomassa dan limbah menjadi CH4.
175
Studi simulasi biodegradabilitas pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi konversi limbah cair kopi pada konsentrasi bahan organik tinggi yang diperoleh dari perlakuan minimisasi air proses pengolahan menjadi biogas dalam suasana anaerobik.
Simulasi dilakukan pada berbagai tingkat
konsentrasi limbah cair dan jenis konsorsium mikroorganisme dalam vessel berukuran 100 ml (Gambar 70). Fluktuasi konsentrasi limbah cair kopi pada saat proses pengolahan dan masa panen kopi yang terbatas menyebabkan masa untuk mendapatkan limbah cair dengan konsentrasi tertentu juga terbatas. Sebagai pendekatan, penelitian ini menggunakan larutan kopi instan sebagai limbah cair kopi sintetik dengan mempertimbangkan karakteristik yang berbeda antara keduanya. Daoming dan Forster (1994) juga pernah menggunakan kopi instan sebagai bahan simulasi limbah cair kopi untuk menentukan pengaruh faktor penghambat dalam penanganan anaerobik termofilik.
Gambar 70 Contoh vessel untuk uji biodegradabilitas anaerobik Limbah cair kopi sintetik dibuat dari larutan kopi instan dengan pertimbangan ketersediaan bahan pada saat pelaksanaan penelitian dan kemudahan untuk membuat larutan limbah cair pada rentang konsentrasi COD tertentu. Pembuatan konsentrasi larutan disesuaikan dengan rentang konsentrasi COD terlarut yang diperoleh dari hasil perlakuan minimisasi air. Suhu dan pH proses dijaga pada kondisi optimum proses yaitu pada suhu 37oC dan pH netral (6,5 – 7,0) kecuali pada batch 1. Adapun komposisi limbah cair sintetik pada berbagai tingkat konsentrasi COD disajikan pada Tabel 27. Komposisi kimia limbah cair kopi ditentukan oleh kandungan organik pada pulpa kopi dan biji kopi. Limbah cair kopi yang berasal dari proses pengolahan buah umumnya mengandung polisakarida cukup tinggi, sedangkan pada kopi
176
instan telah menurun hingga 50%. Degradasi pada kopi instan diduga terutama pada polifenol, mineral, protein dan gula-gula pereduksi yang ada. Tabel 26 Rancangan simulasi biodegradabilitas (BMP test) kopi instan Batch COD (g/L) Inokulum pH 1 a. 10 Campuran Tanpa penyesuaian pH b. 20 granular dan c. 30 floccular sludge 2 a. 10 b. 15 Granular sludge 6,5 – 7,0 c. 20 d. 30 Tabel 27 Komposisi larutan limbah cair sintetik dari kopi instan Komposisi Larutan kopi dengan tingkat COD (gr) 10 g/L 20 g/L 30 g/L Protein 0,077 0,115 0,153 Karbohidrat 0,459 0,688 0,918 Gula 0,076 0,114 0,153 Serat 0,382 0,574 0,765 Polifenol&melanoidin 0,275 0,413 0,551 Kafein 0,053 0,080 0,107 pH larutan
5,28
5,15
5,03
Granular sludge yang digunakan berasal dari komposit mikroorganisme (lumpur aktif) reactor Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB). Sedangkan floccular sludge merupakan komposit mikrooganisme heterogen dalam bentuk lumpur tersuspensi yang berasal dari lumpur aktif reaktor anaerobik Continuous Stirred Tank Reactor (CSTR). Liu et al. (2002), menyatakan UASB dan CSTR merupakan bagian dari sistem anaerobik yang dapat digunakan untuk menangani limbah.
UASB
merupakan teknologi yang dikembangkan berdasarkan pemahaman terhadap aktifitas bakteri metanogenesis pada laju alir cepat. Adanya aliran ke atas yang cepat dalam reaktor UASB serta pola aktifitas bakteri metanogenesis untuk membentuk lapisan tersuspensi memacu perkembangan konsorsium metanogenik membentuk diri sendiri menjadi granule yang lebih kental daripada air melalui aliran limbah cair menuju bagian atas reactor. UASB dikembangkan terutama untuk
menangani
limbah
cair
yang
berkonsentrasi
tinggi.
Densitas
mikroorganisme granular yang tinggi memudahkan proses pemisahan efluen
177
limbah cair yang telah terpurifikasi dengan biomassa. Kelemahan UASB adalah padatan partikulat dalam limbah cair yang cenderung dapat menganggu sistem. Reaktor CSTR diadaptasi dari reaktor aerobik untuk mengolah limbah organik yaitu menggunakan lumpur aktif hasil penanganan sekunder untuk mengolah langsung limbah cair. Adanya agitasi (pemutaran) mekanis pada tangki aerobik bertujuan untuk menjadi partikulat agar tetap dalam bentuk tersuspensi dan memudahkan memasukkan oksigen ke dalam larutan. Pemutaran mekanis pada tangki anaerobik mempengaruhi laju pertumbuhan konsorsium bakteri terhadap lingkungan pada kondisi asidogenesis dan metanogenesis. Dinamika bakteri cenderung tidak seragam pada reaktor CSTR.
A
B
Gambar 71 Komposit mikroorganisme (a) Flokular, (b) Granular a.
Uji Biodegradabilitas Batch 1. Analisis biodegradabilitas batch 1 (Gambar 72) dilakukan pada tingkat
konsentrasi COD 10 g/L, 20 g/L dan 30 g/L limbah cair untuk mengetahui kemampuan mikroorganisme. Pengujian dilakukan secara triplikat dengan uji biodegradabilitas selulosa sebagai bagian dari komponen karbohidrat dilakukan sebagai kontrol perlakuan. Pengujian dilakukan tanpa penyesuaian pH untuk mengetahui
kemampuan
komposit
mikroorganisme
gabungan
dalam
mendegradasi limbah cair. Kemampuan komposit gabungan mikroorganisme flokular dan granular dalam mendegradasi limbah cair sangat baik pada konsentrasi COD 10 g/L dan cenderung menurun seiring peningkatan konsentrasi COD. Kemampuan adaptasi komposit mikroorganisme cukup baik dimana proses degradabilitas dapat berlangsung meskipun pada konsentrasi COD tinggi. Aktifitas metanogenik yang
178
tinggi dari lumpur granular dan bakteri asetogenik dari lumpur flokular berkontribusi menjaga keberlangsungan proses degradasi pada konsentrasi COD tinggi (30 g/L). Meskipun pada awal proses, reaksi pembentukan metana sangat dipengaruhi oleh tingginya kandungan bahan organik dalam suasana asam (kandungan gas hidrogen).
Gambar 72 Komposisi gas yang dihasilkan proses anaerobik batch 1. Kestabilan proses pembentukan gas metana tergantung pada konsentrasi COD. Semakin tinggi konsentrasi COD menunjukkan semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kestabilan. Pada sampel dengan konsentrasi 10 g/L, 20 g/L dan 30 g/L membutuhkan waktu berturut-turut 10 hari, 15 hari dan 25 hari
179
untuk mencapai kesetimbangan pembentukan gas metana. Fase awal dari proses anaerobik adalah hidrolisis yang terjadi pemecahan molekul berukuran besar dan kompleks menjadi molekul yang berukuran lebih kecil.
Kandungan bahan
organik yang tinggi pada sampel dengan konsentrasi COD tinggi serta transformasi komponen selulosa dan hemiselulosa tentu membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan sampel dengan konsentrasi bahan organik lebih rendah. Hal ini juga menyebabkan kumulatif pembentukan gas metana pada konsentrasi COD tinggi lebih besar dibandingkan pada konsentrasi COD rendah. Pada awal proses anaerobik, sampel dengan konsentrasi tinggi (30 g/L) mengalami suasana asam yang mempengaruhi stabilitas proses.
Tingginya
persentase hidrogen hingga hari ke-10 diperkirakan terjadi pada fase bakteri asetogenesis dan formasi asam (asidogenesis).
Pada fase ini terjadi oksidasi
anaerobik yang merupakan penentu keberlanjutan proses anaerobik hingga fase metanogenesis.
Apabila gas hidrogen yang dihasilkan terlalu tinggi dan
mikroorganisme yang ada dalam reaktor tidak dapat bertahan, maka tidak akan terjadi fase berikutnya karena mikroorganisme yang ada mati.
Meskipun tidak
ada proses netralisasi limbah cair sebelum proses anaerobik, komposit mikroorganisme granular dan flokular dalam reaktor ternyata mampu bertahan menghadapi suasana asam. Setelah hari ke-10, proses pembentukan gas metan pada fase metanogenesis dapat berlangsung lancar dan menghasilkan komposisi biogas atau gas metan hingga 70%. Berdasarkan hasil perlakuan, diperoleh komposisi rata-rata gas metana dan karbondioksida berturut-turut adalah 60 – 70% dan 30 - 40%. Menurut Borjesson dan Berglund (2006), komposisi biogas terutama terdiri atas CH4 (60 – 70%) dan CO2 (30 – 40%), dengan kandungan uap air dan beberapa gas-gas nitrogen, hidrogen sulfida dan ammonia. Uji biodegradabilitas secara umum berlangsung baik pada batch 1 meskipun tanpa perlakuan netralisasi.
Hal ini sesuai dengan penelitian Dinsdale et al.
(1997) yang menggunakan reactor UASB dengan tahapan pre-asidifikasi. Netralisasi dengan NaOH pada pH 6,0 dan HRT (hydraulic retention time) 24 jam tidak
dibutuhkan untuk efisiensi proses asidogenesis.
Efluen dari tahapan
asidogenik dengan pH 5,2 tidak membutuhkan netralisasi dengan NaOH sebelum
180
memasuki tahapan metanogenik.
Tidak adanya netralisasi pada kisaran pH
tersebut ternyata membantu meningkatkan performa reaktor UASB termofilik. Proses UASB 2 tahap (asidogenik dan metanogenik) memberikan peningkatan performa secara konsisten dibandingkan sistem 1 tahap.
Tahap asidifikasi
berperan dalam kemampuan reactor menerima laju beban tinggi. Penelitian oleh Chen et al. (2008), menjelaskan bahwa meskipun sebagian besar mikroorganisme bekerja pada rentang pH netral yaitu pada rentang pH 7,0 – 7,5 tetapi beberapa mikroorganisme tetap aktif pada pH rendah ataupun pH tinggi. Pada saat fermentasi, mikroorganisme penghasil asam (floccular sludge) mengelola hidupnya untuk hidup dalam suasana asam hingga pH 5,0. Sebaliknya, mikroorganisme penghasil metana (granular sludge) berkembang baik pada pH netral. b. Uji Biodegradabilitas Batch 2. Uji biodegradabilitas batch 1 yang menggunakan 2 jenis komposit mikroorganisme mampu mendegradasi limbah cair sintetik. Uji biodegradabilitas batch 2 hanya menggunakan komposit bakteri granular yang berasal dari reaktor UASB. Waktu degradabilitas batch 2 pada konsentrasi yang sama lebih singkat dibandingkan batch 1.
Sludge granular yang telah mengandung bakteri
metanogenesis memungkinkan kandungan metana berada dalam vessel sejak awal proses anaerobik. Komposit bakteri granular tanpa komposit flokular ternyata tidak mampu untuk mendegradasi limbah cair pada konsentrasi 30 g/L. Proses anaerobik tidak berlangsung optimum dimana komposisi gas karbondioksida lebih besar (40-50%) daripada komposisi gas metana (20-30%).
Komposisi gas metana mencapai
puncaknya pada hari ke-2 kemudian cenderung stabil hingga 40 hari. Meskipun demikian komposit bakteri granular masih menunjukkan kemampuannya untuk mendegradasi komponen kompleks selulosa pada konsentrasi 1 g/L.
Pereira
(2009), waktu degradasi anaerobik untuk mencapai konversi COD bahan organik menjadi gas metana dipengaruhi oleh kualitas komposit bakteri dan kualitas lingkungan. Bakteri metanogenik
yang dominan pada
sludge granular
diperkirakan tidak bekerja optimum pada kondisi asam fase asidogenesis.
181
Gambar 73 Komposisi gas yang dihasilkan dari proses anaerobik batch 2 Fase asidogenesis yang terjadi setelah fase hidrolisis diperkirakan tidak dapat berlangsung sempurna pada sampel dengan konsentrasi COD tinggi (30 g/L). Pada fase ini, selain substrat, aneka mikroorganisme turut mempengaruhi kelancaran proses degradasi. Semakin banyak organisme yang aktif, semakin baik proses fermentasi hasil fase hidrolisis menjadi karbon organik, komponen molekul sederhana, hidrogen dan karbondioksida. Semakin tinggi konsentrasi COD, semakin besar pula dihasilkan hidrogen yang cenderung menyebabkan suasana asam.
182
Netralisasi pH limbah cair di awal proses ternyata tidak selalu mampu menjaga keseimbangan reaksi asam basa pada fase formasi asam (asidogenesis). Konsentrasi gas hidrogen dan pembentukan asam yang tinggi sebagai akibat dekomposisi bahan organik serta karakteristik bakteri granular yang hanya bekerja optimal pada fase metanogenesis, menyebabkan oksidasi anaerobik berhenti. Pada kondisi ini, mikroorganisme diperkirakan tidak memiliki lagi energi yang cukup untuk tumbuh dan akhirnya mati (Droste 1997). Sebagai akibatnya proses metanogenesis tidak dapat berlangsung sempurna dan sebagian besar komponen organik tidak dapat dikonversi menjadi metana. Produksi metana hanya dapat terjadi pada kondisi pH netral. Metabolisme anaerobik merupakan proses konversi komponen organik dalam kondisi tidak adanya oksigen menjadi komponen karbon sederhana, karbondioksida dan intermediate lainnya.
Ketiga tahapan penting dalam proses
anaerobik adalah hidrolisis, asidogenesis dan metanogenesis. Stabilitas proses anaerobik
tergantung
pada
komposisi
mikroorganisme
metabolik
yang
membentuk asam dan hidrogen, pH dan suhu lingkungan. Meskipun bakteri metanogenik memainkan peran penting dalam keseluruhan proses degradasi karena kemampuannya menghasilkan gas metan sebagai biogas. Akan tetapi grup metabolit lainnya seperti bakteri pembentuk asam pada proses hidrolisis, bakteri obligat yang menghasilkan asetogen pada fase asidogenesis juga berperan mempercepat proses metanogenesis. Pertumbuhan mikroorganisme yang berbeda di berbagai rentang pH menjadikan gabungan komposit mikroorganisme granular dan flokular pada batch 1 lebih baik daripada batch 2. Pada konsentrasi COD tinggi (30 g/L), gas metana terutama mulai diproduksi hari ke 23 pada batch 1 dan hari ke-3 pada batch 2. Setelah hari ke 23, hidrogen cenderung menghilang dengan meningkatnya persentase gas metana hingga masa stabilisasi yaitu pada hari ke-61 dimana persentase metana mencapai 70%. Sebaliknya pada batch 2, gas metana hanya mampu mencapai persentase tertinggi pada hari ke-3.
Bakteri metanogenik yang merupakan komponen
terbesar dalam komposit bakteri granular bekerja optimum selama masa itu dan terstabilkan hingga hari ke-40.
183
Proses degradasi konsentrasi bahan organic yang tinggi serta menghasilkan hidrogen dengan persentase besar menyebabkan bakteri granular tidak bekerja optimal karena suasana asam. Komposisi VFA (volatile fatty acids) menunjukkan kondisi lingkungan di dalam vessel (reaktor anaerobik sederhana). Tingginya komposisi
VFA
dapat
menyebabkan
metanogenesis gagal (Tabel 28).
proses
degradasi
organik
hingga
Kombinasi inokulum dibutuhkan untuk
mendegradasi limbah cair kopi sintetik berkonsentrasi tinggi meskipun membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan inokulum yang bersifat spesifik. Kemampuan adaptasi dan rentang tropis dari komposisi mikroorganisme dalam inokulum mampu mengatasi suasana asam dan organik kompleks dalam limbah cair kopi sintetik. Tabel 28 Rata-rata komposisi biogas dan VFA pada konsentrasi COD 30 g/L Komponen Satuan Batch 1 Batch 2 CH4 % 57,01 27,38 CO2 % 40,85 46,96 H2 % 0,00 8,54 ppm acetic acid 389,92 756,46 ppm propionic acid 80,84 117,98 iso-butyric acid ppm 27,89 31,40 ppm butyric acid 688,33 987,97 iso-valeric acid ppm 42,79 51,17 valeric acid ppm 21,24 24,67 hexanoic acid ppm 22,98 43,83 Limbah cair proses pengolahan kopi memiliki kandungan bahan organik tinggi terutama yang dihasilkan dari perlakuan minimisasi limbah cair. Akan tetapi kandungan bahan organik yang tinggi menunjukkan potensi besar untuk menghasilkan biogas selama proses metabolisme anaerobik berjalan optimal. Hal ini didukung oleh Wilkie et al. (2004), bahwa produksi gas pada proses fermentasi besarnya proporsional dengan laju pemanfaatan substrat, formasi produk dan pertumbuhan microbial. Oleh karena itu agar proses degradasi anaerobik dapat berjalan optimal, kondisi lingkungan seperti pH dan suhu proses, serta komposit bakteri yang beragam perlu dijaga.
184
7.3.5. Proses Penanganan Anaerobik Limbah Cair Penanganan
anaerobik
merupakan
proses
biologi
yang
mampu
menghasilkan energi (biogas) dengan teknologi yang sederhana dan biaya relative murah. Selain itu tidak membutuhkan lahan yang luas dan tidak menghasilkan lumpur dalam jumlah besar, jika dibandingkan penanganan aerobik. Penanganan anaerobik mampu mengurangi pencemaran dari proses pengolahan kopi sekaligus menghasilkan bahan bakar. Selama ini proses anaerobik telah banyak diterapkan untuk menangani limbah cair organik dari industri termasuk limbah pengolahan sayuran dan buah serta limbah pertanian. Penanganan anaerobik yang menghasilkan biogas membutuhkan digester untuk menangkap gas metana yang dihasilkan sehingga tidak terbuang ke lingkungan dan menyebabkan dampak rumah kaca.
Gas metana (CH4) memiliki dampak 21 kali lebih tinggi
dibandingkan gas karbondioksida (CO2).
Menurut Wahyuni (2010), prinsip
bangunan digester adalah menciptakan suatu ruangan kedap udara (anaerob) yang menyatu dengan saluran pemasukan serta saluran atau bak pengeluaran. Bak pemasukan dapat berfungsi untuk melakukan homogenisasi ataupun melakukan netralisasi dari bahan baku limbah cair dan padat. Bak pengeluaran ataupun bak penampungan dapat berfungsi sebagai tempat bahan sisa (sludge) hasil perombakan bahan organik dari digester yang telah terurai. Beberapa aplikasi penanganan anaerobik yang telah diterapkan pada limbah cair pengolahan kopi disajikan pada Tabel 29. Biogas Outlet Valve
Agitator Axle
Floating Biogas Doom Water Seal Channel
Mansory Inner Wall Mansory Outer Wall
GAS HOLDER = 28 m3 Slurry Pump Powered by Biogas
FEED STOCKS INLET
OUTLET Overflow Gate
Scrapper SLURRY = 30 m
3
Gambar 74 Gambar skematik digester tipe sirkular Sumber: Seijin Unit Pasca Panen Puslitkoka (2011)
185
Digester yang digunakan pada aplikasi anaerobik pengolahan limbah cair pengolahan kopi di Puslitkoka merupakan digester bertipe sirkular tipe terapung sistem campuran dengan konstruksi bata di dalam tanah berukuran 30 m3. Penangkap gas dibuat dari lapisan baja mengambang berukuran 28 m3 yang diinstalasi pada bagian atas digester (Gambar 74.) Tabel 29 Perbandingan berbagai karakteristik digester anaerobik Sumber
Jenis Digester
Mendoza dan UAHR Rivera (1998) Von Enden dan Calvert (2002) Houbron et al. (2003)
Kolam asam & netralisasi. UASB Mixed reactors 2 tahap
Chanakya dan 1. Lagoon de Alwis (2004) 2. Plug flow system dengan variasi biomassa Bruno dan UASB (upflow Oliveira (2008) anaerobic sludge blanket) 2 tahap
Selvamurugan M et al. (2010)
UAHR (uplow anaerobic hybrid reactor) : kombinasi UASB dan UAF
Karakteristik Proses HRT : 22 jam OLR = 1,89 kg COD/m3.hari HRT: 4 – 6 jam
HRT : 10 hari
HRT : 21 hari OLR : 0,05 – 0,2 kg/ m3.hari OLR : 2 kg/m3.hari COD HRT : 7 -10 hari Tahap 1: HRT 5,2 hari pada OLR: 2,6 g/L COD Tahap 2: HRT 2,6 hari pada OLR: 0,5 g/L COD
HRT: 18 jam OLR: 9,55 kg/m3.hari
Efisiensi BOD : 1483 mg/L COD : 2480 mg/L COD eff: 77,2% BOD in: 20000 mg/L BOD eff : 90% COD asidifikasi : 85% COD total : 95% CH4 : 80%, 0,381 g/L COD Dari proses 23 ton buah kopi menghasilkan 1,886 CH4 m3/hari COD eff: 60%
COD > 25 g/L COD eff : 90% Gas: 0,5 m3/kg.hari COD in: 15440 – 23040 mg/L, COD out 1: 1100 – 11500 mg/L COD out 2: 420 – 9000 mg/L COD eff: 66 – 98% TSS eff : 93 – 97% CH4 (1): 69 – 89% CH4 (2): 52 – 73% BOD in: 3800 – 4780 mg/L COD in: 6420 – 8480 mg/L TOC in: 0,36 – 0,48 TSS in: 2390 – 2820 mg/L TDS in: 1130-1380 mg/L COD eff: 61 % BOD eff : 66 % TS eff : 58 % Biogas : 60,7 % Produksi biogas: 430 L/kg COD
186
Perlakuan minimisasi air terpilih adalah pada rata-rata volume air proses 3,012 m3/ton buah kopi dengan volume air proses pencucian rata-rata 0,754 m3/ton buah kopi dan proses pencucian 2,258 m3/ton buah kopi (Tabel 30.). Pada perlakuan ini mutu biji kopi telah meningkat dibandingkan proses olah kering dan tidak menunjukkan perbedaan dengan perlakuan minimisasi pada volume air yang lebih besar. Karakteristik limbah cair pengolahan kopi menunjukkan kesesuaian penanganan menggunakan proses anaerobik dalam digester untuk menghasilkan biogas sebagai produk samping yang diinginkan. Semakin sedikit volume air yang digunakan semakin tinggi konsentrasi bahan organik dan semakin besar potensi menghasilkan biogas. Tabel 30 Neraca massa proses pengolahan kopi perlakuan minimisasi air terpilih Komponen Input Output Biji Kopi Limbah Buah kopi, kg 1000 Air pengolahan, liter 3012 Total, kg 4012 Biji kopi, kg 185 Kulit buah dan pulpa pengupasan, kg 565 Pulpa pencucian 24,6 Kulit tanduk 53 Limbah cair + lendir (mucilage), kg 2937,4 Penguapan dan kehilangan air, kg 247 Total, kg 4012 a.
Netralisasi Limbah Cair Limbah cair kopi pengolahan kopi yang memiliki pH rendah (4,0) sebelum
dialirkan ke digester anaerobik sebaiknya dinetralkan terlebih dahulu dengan penambahan batu kapur (CaCO3 = 1g/L) hingga mencapai pH minimal 5,0 atau pH netral (6,5 – 7,0). Ketika CaCO3 dilarutkan dalam air akan menyebabkan CaCO3 terurai berdasarkan reaksi: CaCO3 + 2H2O H2CO3 + Ca(OH)2 H2CO3 H2O + CO2 (langsung bereaksi) Alternatif lain untuk meningkatkan alkalinitas limbah cair adalah CaO. Akan tetapi kelarutannya yang rendah dan presipitasi dari Ca sebagai garam karbonat dapat menimbulkan permasalahan operasional pada unit pengolahan. Hubungan kenaikan pH dan penambahan CaO dan CaCO3 disajikan pada Gambar 75.
187
(a)
(b) Gambar 75 Penambahan alkali dan kenaikan pH limbah cair kopi (a) CaCO3, (b) CaO Menurut Bello dan Rivera (1998), pemilihan alkali sangat penting. Penggunaan alkali NaOH untuk limbah cair sebagaimana Na2CO3 dan MgO akan bereaksi dengan CO2 untuk membentuk bikarbonat. Penambahan bahan kimia untuk netralisasi haruslah sesuai kebutuhan agar tidak terjadi peningkatan pH yang drastis yang dapat menjadi inhibitor proses berikutnya. Pada penanganan limbah cair, reaksi netralisasi yang mengikat karbondioksida membantu mengurangi gas CO2 dalam proses anaerobik. Bello dan Rivera (1998), menganjurkan penggunaan bahan kimia lain yang dapat digunakan untuk netralisasi limbah cair dan mudah diperoleh di kalangan petani yaitu urea. Komponen nitrogen organik ini memiliki kemampuan
188
biodegradasi pada proses anaerobik yang menghasilkan peningkatan alkalinitas seiring lepasnya ammonium.
Metabolisme urea yang dibangun membiarkan
sumber alkalinitas untuk menjaga ketersediaan tingkat alkalinitas bikarbonat dalam sistem dan menyediakan mikroorganisme dengan nitrogen yang penting untuk mendukung sintesa dari biomassa baru. Urea dipergunakan secara luas di pertanian, lebih murah harganya sehingga akan banyak tersedia di kawasan perkebunan kopi rakyat. Reaksi netralisasi yang dapat terjadi pada limbah cair oleh urea adalah sebagai berikut:
Amoniak cenderung bersifat toksik sedangkan ammonium kurang toksik. Konsentrasi ammonia dalam air tergantung pada pH dan temperature. Semakin tinggi pH dan temperature air, semakin tinggi juga konsentrasi ammonia. b. Operasional Digester Anaerobik Dekomposisi bahan organik menghasilkan biogas merupakan proses yang terjadi alami, seperti yang terjadi pada lahan basah, lahan sawah, perut ruminansia dan lainnya. Rumen sapi pada prinsipnya bekerja seperti digester biogas mini dengan komposisi mikroorganisme yang lengkap. Oleh karena itu digester biogas buatan umumnya menggunakan kotoran sapi yang dapat berperan sebagai inokulan untuk memulai proses biogas. Suhu yang tinggi pada rumen sapi (± 39°C) dan mikroorganisme di dalamnya telah teradaptasi pada temperatur yang sesuai untuk menghasilkan biogas pada digester anaerobik. Digester anaerobik untuk penanganan limbah cair kopi dapat dioperasikan sebelum musim panen kopi dengan input larutan kotoran sapi (1:1).
Proses
terbentuknya biogas terjadi setelah 21 hari dengan produksi 2 – 6 m3/hari (Gambar 76). Total produksi biogas mencapai 16 – 18 m3/hari hingga tiba saat panen kopi. Masa panen kopi umumnya berlangsung sejak bulan Juni hingga bulan September. Pada saat panen kopi, input larutan kotoran ternak digantikan oleh limbah cair proses pengolahan kopi. Komposisi gas metan (CH4) dalam biogas mencapai nilai 55 - 60%. Pengukuran komposisi gas metan dilakukan selama siklus produksi sebanyak 3 kali di awal panen, saat panen dan setelah
189
panen kopi. Laju produksi biogas meningkat setelah 20 hari setelah pemberian input limbah cair proses pengolahan kopi hingga 40 m3/hari.
Berdasarkan
perhitungan dari konsentrasi input dan output digester (Tabel 31), perkiraan produksi biogas perhari adalah 38,7 m3 . Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan pengukuran di lapangan pada saat panen puncak. Berdasarkan pengamatan, ratarata produksi biogas dari limbah cair pengolahan kopi lebih tinggi dibandingkan penggunaan larutan kotoran ternak (Gambar 77).
Gambar 76 Laju produksi biogas selama 1 siklus produksi kopi
Gambar 77 Profil produksi biogas harian dengan 2 jenis input berbeda
190
Digester beroperasi pada rentang temperatur antara 28 – 32oC yang menunjukkan temperature optimum bagi bakteri mesofilik untuk menghasilkan biogas. Waktu tinggal padatan atau yang disebut dengan Solid Retention Time (SRT) dari digester dengan kapasitas 30 m3 adalah 13 hari. Laju alir limbah optimum adalah 2,33 m3/hari. Menurut Alatiqi et al., (1998), SRT pada digester campuran sama dengan HRT (hydraulic retention time). HRT merupakan salah satu
parameter
mikroorganisme.
proses
anaerobik
yang
dapat
mempengaruhi
performa
HRT menentukan kemampuan mikroorganisme untuk
melakukan proses hidrolisis bahan organik partikulat dan melakukan tahapan asidifikasi dari komponen organik terlarut. Karakteristik limbah cair berdasarkan perlakuan minimisasi dan keluaran digester ditampilkan dalam Tabel 31. Tabel 31. Karakteristik air dan limbah cair pengolahan anaerobik Jenis air
pH
Air awal proses Air rambang Limbah cair proses (pengupasan + pencucian) Efluen anaerobik Penurunan (%)
7,15 5,19 4,79 6,57
BOD (mg/L) 35 229 6665
COD (mg/L) 80 418 15203,8
821 89,38
2160 87,74
BOD/ COD 0,55 0,44 0,38
TSS (mg/l) 32 139 11828,98
VSS (mg/L)
16218,58
920 91,60
2584 84,07
Menurut Anonim (2003), karbon dan nitrogen merupakan komponen penting untuk pembentukan sel dan metabolisme anaerobik. Rasio karbon dan nitrogen dari limbah cair proses pengolahan kopi dapat mempengaruhi proses metabolisme. Rasio karbon dan nitrogen optimum antara 25 : 1 hingga 30 :1. Unsur karbon C dimanfaatkan sebagai sumber energi di dalam proses metabolisme dan perbanyakan sel oleh bakteri. Sementara unsur nitrogen (N), digunakan untuk sintesis protein atau pembentukan protoplasma. Selama proses metabolisme, karbon dimanfaatkan untuk menghasilkan CO2 dan CH4, sehingga karbon akan tereduksi dan menurunkan rasio C/N di akhir proses. Di sisi lain, akan meningkatkan konsentrasi nitrogen. Bahan organik yang mempunyai kandungan C terlalu tinggi menyebabkan proses penguraian berjalan lambat. Sebaliknya jika C terlalu rendah maka sisa nitrogen akan berlebihan sehingga terbentuk amonia (NH3). Kandungan amoniak yang berlebihan dapat meracuni bakteri.
Nilai C/N rata-rata limbah cair
191
pengolahan kopi yang berasal dari proses pengupasan dan pencucian berturutturut adalah 28 : 1 dan 20 : 1.
Untuk meningkatkan proses metabolisme
anaerobik dapat ditambahkan bahan organik lain yang memiliki nilai C/N tinggi. Penelitian Raphael dan Velmourougane (2011) menunjukkan nilai C/N kulit buah kopi (pulpa) rata-rata 35,5 : 1. Penambahan kulit buah kopi yang dihasilkan dari proses pengupasan ke dalam reaktor anaerobik dapat membantu meningkatkan C/N hingga proses metabolisme optimum untuk meningkatkan produksi biogas. Akan tetapi ukuran kulit buah kopi yang masih berukuran besar dapat menyebabkan proses hidrolisis terhambat.
Oleh karena itu dibutuhkan
penanganan pendahuluan untuk memperkecil ukuran kulit buah kopi. University of Southampton and Greenfinch Ltd (2003), pengurangan ukuran partikel dapat memberikan luasan permukaan yang lebih besar untuk melancarkan proses hidrolisis oleh bakteri pada digester. Proses hidrolisis dari kulit buah dan limbah cair kopi menghasilkan asam amino dan gula sederhana yang digunakan oleh mikroorganisme untuk menghasilkan sel dan produk intermediet seperti asam propionat, asam butirat, asam lemak rantai panjang dan alkohol.
Komponen-komponen tersebut
merupakan substrat bagi bakteri metanogenik untuk menghasilkan metana. Digester anaerobik yang menggunakan input tambahan limbah padat kulit buah kopi sebagai bahan baku untuk mengoptimalkan produksi biogas dapat menurunkan beban penanganan limbah padat. Terutama karena limbah padat kulit buah kopi dapat mencapai 60% dari output yang dihasilkan dalam proses pengolahan buah kopi. Proses anaerobik yang memanfaatkan kulit buah kopi sebagai campuran input limbah cair pengolahan kopi harus dijaga pada kondisi volume padatan sebesar 12-13%. Melalui proses hidrolisis, asidogenesis dan metanogenesis yang terjadi dalam digester anaerobik, konsentrasi limbah cair pengolahan kopi dapat turun hingga 90% sekaligus menghasilkan biogas yang mengandung gas-gas metan, karbondioksida, hidrogen, nitrogen dan asam-asam volatil lainnya.
Efluen
anaerobik ini dapat dimanfaatkan sebagai pupuk cair organik. Metan memiliki daya bakar sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi. Biogas merupakan salah satu alternatif pemanfaatan produk samping yang memberikan andil untuk
192
memenuhi kebutuhan bahan bakar atau energi. Biogas dapat digunakan dalam berbagai keperluan untuk memasak, penerangan, pompa air, boiler, dsb. Adapun komposisi efluen proses anaerobik disajikan pada Tabel 32. Tabel 32 Komposisi efluen proses anaerobik Slurry Value 15,5 C/N 6,6 – 7,5 pH 1,83 N (mg/L) 1,225 P (mg/L) Proses fermentasi anaerobik pada prinsipnya dapat dibagi menjadi 2 fase utama yaitu fase fermentasi asam dan fermentasi metana. Fase pertama adalah fermentasi asam yang menghasilkan produk-produk intermediet yang terutama didominasi olah asam-asam volatile (VFA).
Fase fermentasi metana
mengkonversi produk intermediet menjadi produk yang lebih stabil terutama metana
dan
karbondioksida.
Karakteristik
mikroorganisme,
kebutuhan
lingkungan seperti pH dan suhu optimum dapat berbeda pada kedua fase tersebut. Kedua fase fermentasi yang terjadi dalam satu reaktor disebut digester anaerobik konvensional.
Penanganan limbah cair pengolahan kopi secara anaerobik
konvensional relatif mudah untuk diterapkan selain menghasilkan biogas sebagai sumber energi. Lumpur proses anaerobik yang dihasilkan cenderung lebih stabil sehingga memudahkan pemanfaatannya. 7.3.6. Proses Fisika Kimia Penanganan Limbah Cair Proses penanganan limbah cair kopi yang memiliki konsentrasi bahan organik tinggi dengan digester anaerobik sistem campuran belum sepenuhnya menghasilkan efluen penanganan yang dapat dibuang ke badan air (BOD maksimum 100 mg/L dan COD maksimum 250 mg/L).
Alternatif upaya
penanganan limbah cair proses pengolahan kopi adalah proses kimia dan fisika. Proses kimia melalui koagulasi flokulasi merupakan salah satu proses yang dikaji untuk menangani limbah cair pengolahan kopi karena dianggap efektif, murah dan mudah dalam penanganan limbah cair (Edzwald 1993), sepanjang dilakukan pada kondisi optimum proses. Proses penanganan fisika melalui penyaringan merupakan proses penanganan limbah cair yang sejak dahulu telah diterapkan
193
untuk penanganan limbah cair proses pengolahan kopi di perkebunan besar Indonesia. Alternatif penanganan limbah cair proses pengolahan kopi dengan proses fisika dan kimia dilakukan untuk mengetahui efisiensi kedua proses tersebut jika diterapkan pada sistem penanganan limbah cair proses pengolahan kopi. Perlakuan proses kimia dilakukan pada beberapa konsentrasi limbah cair kopi yang berasal dari efluen proses anaerobik dan limbah cair yang berasal dari UPK Desa Sidomulyo. Koagulan yang digunakan merupakan jenis koagulan yang umum digunakan yaitu Al2(SO4)3,
yang dikenal
dengan nama alum, FeCl3
dan PAC
(Polyaluminimum chloride). Efektifitas proses koagulasi hanya dapat terjadi pada kondisi optimum proses. Kondisi optimum proses diantaranya adalah pH larutan dan dosis koagulan yang menentukan keberhasilan penurunan konsentrasi limbah cair. Penggunaan dosis yang berlebih akan menyebabkan restabilisasi kompleks partikel koloid pada limbah cair. Pada pra perlakuan telah ditentukan pH dan dosis optimum yang dapat diaplikasikan pada limbah cair kopi.
Penggunaan
koagulan pada pH dan dosis optimum akan menunjukkan penurunan konsentrasi polutan koloid maksimum. Larutan Ca(OH)2 ataupun CaCO3 dapat digunakan untuk meningkatkan pH sekaligus berfungsi sebagai koagulan pendukung. Tabel 33 Efisiensi proses pengolahan kimia dan fisika limbah cair kopi Penanganan Kimia: a. Alum b. FeCl3 c. Alum + Ca d. FeCl3 + Ca e. Alum f. PAC Fisika d) a) b) c) d)
pH awal
pH akhir
COD awal (mg/L)
4,5 4,5 4,5 4,5 7,12 7,12 4,64 7,12
5,5 4,3 6,0 5,5 6,0 6,5 4,80 7,50
5000a) 5000 a) 5000 a) 5000 a) 1960b) 1960b) 1520 c) 1960 b)
pH:dosis optimum 6,0:5g/L 5,0:7,5g/L 6,0:5g/L 6,0:7,5g/L 6,0:5g/L 7,0:5g/L
COD akhir ΔCOD (mg/L) (%) 2453 1404 2121 1448,9 191,01 137,49 618,08 622,33
50,93 71,91 57,58 71,02 90,25 92,98 59,34 68,25
ΔWarna (%) 89,15 97,84 88,47 96,36 70,48 88,25 45,08 40,15
limbah cair kopi efluen proses anaerobik limbah cair di Puslitkoka, Kab. Jember limbah cair proses pengolahan kopi di KUPK Sidomulyo, Kab. Jember kombinasi ijuk, silica, karbon aktif & zeolit
Penentuan koagulan berpengaruh nyata terhadap penurunan warna, TSS dan COD.
Pada penelitian yang pernah dilakukan untuk limbah cair yang
mengandung melanoidin, penggunaan feri klorida ataupun garam-garam besi lebih
194
efektif dibandingkan alum. Akan tetapi efluen yang dihasilkan cenderung di bawah pH netral sehingga membutuhkan penanganan lanjutan (Novita 2001). Penggunaan koagulan FeCl3 pada penelitian ini juga menunjukkan persentase penurunan yang lebih besar pada limbah cair proses pengolahan kopi dibandingkan penggunaan alum (Gambar 78). Akan tetapi lumpur besi yang dihasilkan cukup besar serta pH larutan akhir yang cenderung asam akan menimbulkan permasalahan pada saat penanganan akhir. Kombinasi Ca pada perlakuan koagulasi dimaksudkan untuk menggantikan NaOH yang lebih mahal harganya sehingga mencapai pH optimum proses.
Akan tetapi lumpur akhir
cukup besar sehingga membutuhkan penanganan khusus setelah proses selesai. Lumpur proses koagulasi flokulasi dalam jumlah besar di beberapa industri telah banyak dimanfaatkan untuk pembuatan coneblock ataupun batako. Membutuhkan kajian lebih lanjut apabila akan dilakukan pemanfaatan lumpur proses koagulasi flokulasi. Penurunan warna lebih signifikan terjadi pada limbah cair proses pengolahan kopi dibandingkan penurunan COD. Hal ini diperkirakan karena proses koagulasi tidak mampu menggoyahkan partikel-partikel bahan organik kompleks limbah cair kopi. Akan tetapi proses koagulasi flokulasi cukup efektif dilakukan pada efluen proses anaerobik, karena bahan organik kompleks telah diurai oleh mikroorganisme anaerobik. Dengan demikian, penurunan konsentrasi bahan organik dapat terjadi seiring penurunan warna efluen anaerobik.
Gambar 78 Grafik penurunan COD dan warna pada limbah cair kopi
195
Menurut Stumm dan O’Melia (tanpa tahun) diacu dalam Benefield et al. (1982), untuk merangsang partikel koloid bergabung membentuk gumpalan pada proses koagulasi dibutuhkan cara penggoyahan partikel yang dapat dicapai melalui penekanan lapisan ganda listrik dan penyerapan untuk netralisasi. Penekanan lapisan ganda listrik dicapai melalui penambahan elektrolit bermuatan yang berlawanan dengan muatan partikel koloid. Selanjutnya penggoyahan partikel koloid juga akan terjadi apabila elektrolit yang ditambahkan dapat diserap oleh partikel koloid sehingga muatan partikel menjadi netral.
Penyerapan
elektrolit ini hanya mungkin terjadi jika muatan partikel mempunyai konsentrasi cukup kuat mengadakan gaya tarik menarik antara partikel koloid dengan koagulan (Koenig 1987). Reaksi alum dan feri klorida dalam air dapat berbeda sehingga kekuatan penggoyahan partikel koloid limbah cair juga berbeda. Menurut Eckenfelder (1986), reaksi alum dan feri klorida adalah sebagai berikut; Al2(SO4)3 + 6HCO3- 2 Al(OH)3 + 3 SO4-2 + 6CO2 FeCl3 + 3 H2O Fe(OH)3 + 3H+ + 3ClAlum lebih stabil dalam penggunaannya dan flok aluminium hidroksida yang terbentuk bersifat gelatin sehingga akan mengabsorpsi partikel koloid. Sementara feri klorida bekerja dengan dua mekanisme, yaitu sebagian ion Fe3+ akan menetralkan muatan koloid dan sebagian ion Fe3+ mengalami hidrolisis. Reaksi hidrolisis feri klorida mirip dengan reaksi hidrolisis alum pada persamaan reaksi sebelumnya. Proses koagulasi dan flokulasi dapat dilakukan pada limbah cair kopi instan. Menurut Ean (2008), feri klorida menunjukkan kemampuan lebih baik dibandingkan aluminium sulfat untuk mengolah limbah cair kopi instan. Tingkat penurunan turbiditas dan TSS mencapai 95,38% dan 91,43% menggunakan feri klorida. Sedangkan aluminium sulfat menurunkan turbiditas dan TSS sebesar 87,65% dan 88,57%. Feri klorida juga mampu menurunkan warna dan COD sebesar 95% dan 66,45%. Aluminium sulfat mampu menurunkan warna dan COD sebesar 90% dan 66,45%. Proses fisika dengan prinsip filtrasi dan adsorpsi dapat digunakan untuk menangani limbah cair kopi dan efluen anaerobik meskipun dengan efisiensi
196
rendah. Penanganan filtrasi pada penelitian ini menggunakan pasir halus silica, karbon aktif dan zeolit untuk proses adsorpsi dan penyaringan. Penggunaan ijuk pada awal proses dimaksudkan untuk menyaring polutan yang berukuran besar. Efisiensi penurunan polutan lebih besar pada efluen anerobik dibandingkan pada limbah cair kopi.
Dengan demikian penanganan fisika lebih sesuai untuk
penanganan sekunder daripada untuk penanganan primer limbah cair kopi. Karbon aktif yang digunakan pada penelitian ini merupakan jenis karbon aktif granular yang umum digunakan pada proses adsorpsi limbah cair dan air minum. Karbon aktif digunakan untuk mengadsorpsi padatan terlarut hingga padatan tersuspensi/koloid. Meskipun dalam pemanfaatannya akan dipengaruhi oleh konsentrasi polutan, waktu kontak, pH dan dosis karbon aktif. Menurut Chaudhuri dan Khairi (2011), permukaan karbon aktif granular yang luas dengan mikro pori, mikro volume dan diameter rata-rata pori cenderung seragam cukup efektif menangani limbah cair yang terkontaminasi logam berat. Ukuran pori yang kecil akan memberikan waktu kontak lebih lama pada limbah cair sehingga mampu mengoptimalkan proses adsorpsi.
Gambar 79 Perbandingan efisiensi pengolahan fisika pada limbah cair kopi Karbon aktif dapat dibuat dari limbah pertanian dengan karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan karbon aktif berbasis batubara. Salah satu contoh sumber karbon aktif adalah sabut kelapa yang merupakan residu pengolahan kelapa yang mudah diperoleh dan murah. Sabut kelapa kaya akan lignin (16– 45%), hemiselulosa (24–47%), dan pektin (2%) (Han dan Rowell 1996; Conrad dan Hansen 2007). Grup karboksilat dan fenolat dari lignin, hemiselulosa dan
197
pektin merupakan bagian penting dalam pengikatan logam-logam berat Conrad dan Hansen 2007). Selain karbon aktif, zeolit juga umum digunakan dalam proses adsorpsi dan penyaringan. Zeolit memiliki kemampuan untuk tukar kation. Zeolit adalah aluminosilikat dengan rasio Si/Al yang memiliki kemampuan untuk adsorpsi selektif air, limbah cair, karbondioksida, hidrogen sulfida dan polutan lain. Adsorpsi sejauh ini merupakan metode yang cukup baik, efektif, murah dan mudah diterapkan untuk menurunkan konsentrasi polutan. Pasir silica selain dapat menyaring padatan tersuspensi juga mampu mendekomposisi polutan terlarut.
Dengan demikian pasir silica membantu
mengurangi padatan tersuspensi pada limbah cair. Menurut El Taweel dan Ali (2000), penyaringan air menggunakan pasir silica juga dapat menurunkan total coliform, penurunan kekeruhan terutama bila dilakukan secara bertahap. Meskipun demikian secara estetika air yang terfilter tidak ada perbedaan berdasarkan parameter fisika dan kimia. 7.3.6. Desain Penanganan Limbah Padat Proses Pengolahan Kopi Limbah padat proses pengolahan basah kopi berupa kulit, daging buah (pulp) dan kulit tanduk apabila tidak ditangani akan menimbulkan bau tidak sedap dan menarik serangga dan lalat.
Limbah padat akhirnya dapat menimbulkan
masalah kesehatan lingkungan dan estetika.
Apabila limbah tersebut tidak
dimanfaatkan secara optimal dan ditumpuk di sekitar lokasi pengolahan selama beberapa bulan, akan menimbulkan bau busuk dan cairan yang mencemari lingkungan.
Menurut Rathinavelu dan Graziosi (2005), upaya pemanfaatan
limbah padat kopi telah dilakukan berpuluh-puluh tahun yang lalu terutama pemanfaatan pulpa kopi menjadi pakan ternak, asam cuka, biogas, ekstrak kafein, pektin, enzim pektat, protein, dan kompos. Salah satu upaya untuk mendukung pertanian berkelanjutan melalui perbaikan tanah adalah pemanfaatan secara maksimal limbah proses produksi kopi. Limbah pulpa kopi memiliki kadar bahan organik dan unsur hara yang memungkinkan untuk memperbaiki tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar C-organik pulpa kopi adalah 45,3 %, kadar nitrogen 2,98 %, fosfor 0,18 %, dan kalium 2,26 %. Selain itu pulpa kopi juga
198
mengandung unsur Ca, Mg, Mn, Fe, Cu, dan Zn. Pulpa kopi kaya akan serat, karbohidrat, protein, mineral dan sejumlah pektin. Pembuatan pakan
Silase dari pulp kopi
Pakan ternak
Pengeringan
Tepung pulp kopi
Pakan ternak
Pengepresan
Bagas-pulp kopi
Penambahan air (juice) Pulp Kopi
Ekstraksi
Proses mikrobial
Produk kaya protein
Pakan ternak
Pulp kopi
Caffein Ekstraksi
Pulp kopi
Protein Fermentasi alami
Pupuk organik + energi (gas) Enzim pektinase
Lain
Ekstrak konsentrasi pulp kopi Cuka
Gambar 80 Beberapa alternatif pemanfaatan pulpa kopi (Braham dan Bressani 1979) Pakan ternak Ekstraksi pelarut Kulit tanduk kopi (hull)
Residu
Wax (lilin) Bahan bakar Arang + asam asetat Enzim pektinase
Lendir (mucilage)
Proses mikrobial (kaya protein) Pektin
Gambar 81 Beberapa alternatif pemanfaatan kulit tanduk dan lendir kopi (Braham dan Bressani 1979)
Produk lain yang menarik dimanfaatkan adalah lendir (mucilage) yang terletak di antara daging buah dan kulit kopi dan merupakan 5% berat kering dari buah kopi (Bressani et al. 1972). Lendir terdiri atas lapisan kental 0,5 – 2 mm yang kuat melekat pada kulit buah. Lendir merupakan lapisan koloid dan bersifat hidrogel (lyophilic). Lendir mengandung air, pektin, gula, dan asam organik. Selama fase pematangan buah kopi, kalsium pektat yang berada di tengah lamella dan protopektin dari dinding selular dikonversi menjadi pektin. Transformasi atau proses hidrolisis protopektin ini menyebabkan disintegrasi dari dinding sel,
199
meninggalkan plasma sel. Selain pektin, plasma ini mengandung gula dan asam organik yang diturunkan dari proses konversi dan metabolisme tepung menjadi gula (Carbonell dan Vilanova 1974 diacu dalam Braham dan Bressani 1979). Lendir umumnya sulit untuk diperoleh karena mekanisme proses pengupasan dan pencucian pada pengolahan basah. Lendir akan terbawa bersama air dan akan terolah seterusnya melalui fermentasi.
Oleh karena itu apabila
diinginkan substansi pektat, maka perlu dilakukan daur ulang air atau menggunakan pulpa kopi sebagai bahan baku. Berdasarkan studi literature dan pengamatan di lapangan, beberapa alternative pemanfaatan limbah padat proses pengolahan basah kopi rakyat adalah sebagai berikut; 1.
Briket. Limbah padat kopi dapat dijadikan briket, terutama untuk kulit kopi yang berasal dari pengolahan kering.
Dari 1 kilogram kulit kopi yang
dihasilkan dalam proses pengolahan biji kopi dapat dihasilkan 4 ons briket. Pengolahan itu dilakukan dengan mengambil kulit kopi. Pada kulit kopi hasil pengolahan basah, perlu dilakukan pengeringan terlebih dahulu. Selanjutnya, limbah dijadikan arang dan kemudian dicetak. Briket dari limbah kopi itu siap dipakai
dalam
bentuk
cetakan
bulat,
sebesar
buah
kemiri.
Cara
memanfaatkannya sama dengan briket batu bara.
Gambar 82 Contoh briket kulit kopi pengolahan kering 2.
Limbah kopi untuk pakan ternak.
Daging buah kopi (pulpa) dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak dengan konsentrasi maksimum 20% dan mampu menghemat hingga 30% biaya pakan ternak. Komposisi pulpa kopi mengandung protein 75-150 g/kg, lemak 20-70 g/kg dan karbohidrat 210-320 g/kg (Rojas et al. 2003). Menurut Beltran et al. (2011), pulpa kopi yang kaya akan pektin dan karbohidrat terlarut berpotensi sebagai sumber campuran pakan ternak.
Akan tetapi kandungan faktor antinutrisi seperti kafein,
200
polifenol dan tannin membatasi campuran pulpa kopi tidak dapat melebihi 20%.
Bressani et al. (1972) menyatakan kandungan lignin, pentosa dan
heksosa yang tinggi pada kulit kopi membutuhkan penanganan khusus. Pemanfaatan yang mungkin dan telah dikembangkan untuk kulit kopi adalah sebagai sumber energi bagi proses pengeringan kopi. 3.
Papan partikel. Kulit tanduk kering dari pengolahan kopi mengandung air 7,8%, serat kasar 77%, abu 0,5%, ekstrak nitrogen 18,9% (Elias 1979 diacu dalam Yusianto et al. 1999). Serat kasar terdiri dari selulosa, pentosa, lignin serta bahan berlignoselulosa yang berpeluang digunakan sebagai bahan baku papan partikel.
Pulpa kopi berserat kasar agak rendah, namun masih
memungkinkan sebagai bahan pengisi papan partikel. Bahan baku papan partikel dapat berasal dari kulit buah proses pengolahan kering dan kulit tanduk pengolahan basah. Papan partikel dari kulit tanduk hasil pengolahan basah tidak mudah ditumbuhi kapang, karena sudah tidak mengandung gula dari proses pengupasan dan pencucian. Sebaliknya papan partikel dari kulit kopi pengolahan kering mudah ditumbuhi kapang dan memiliki kandungan serat rendah.
Dengan demikian kulit tanduk hasil pengolahan basah
menunjukkan potensi besar pembuatan papan partikel. Menurut Bekalo dan Reinhardt (2010), kandungan selulosa dan hemiselulosa yang besar pada kulit kopi dan kulit tanduk kopi dapat menggantikan kayu hingga 50% dalam pembuatan papan partikel. Pembuatan papan partikel berbahan baku kulit kopi dengan penggunaan dan jumlah resin yang sesuai bahkan sanggup memenuhi standar Eropa (Gambar 83). 4.
Biogas.
Daging dan kulit buah kopi hasil proses pengupasan masih
mengandung gula yang cukup besar, sehingga potensial bagi pembentukan biogas bersama-sama limbah cair proses pengolahan basah. Menurut Calle (1955) diacu dalam Braham dan Bressani (1979), 30 kg pulpa kopi yang dicampur dengan kotoran sapi mampu menghasilkan 670 liter metan setelah 72 hari. Residu proses ini juga kaya akan nitrogen dan sesuai digunakan sebagai pupuk organik.
201
Gambar 83 Papan partikel berbahan baku liimbah padat kopi Sumber: Bekalo dan Reinhardt (2010)
5.
Kompos. Menurut Calvert (1998), pulpa kopi hanya mengandung 1/5 nutrien yang berasal dari tanah, dimana 4/5 nutrien terbawa oleh biji siap ekspor. Meskipun demikian, daging buah kopi merupakan sumber yang baik untuk humus dan karbon organik.
Rathinavelu dan Graziosi (2005), kompos
merupakan sumber hara tanaman, bahan pembenah kesuburan fisik dan biologi tanah. Kecepatan suatu bahan menjadi kompos terutama dipengaruhi oleh C/N bahan. Semakin mendekati C/N tanah, maka bahan akan lebih cepat menjadi kompos.
Tanah pertanian yang baik mengandung perbandingan
unsur C dan N yang seimbang. Keseimbangan yang baik ialah C/N = 10/12 atau C : N = 10 : 12. Bahan-bahan organik yang memiliki C/N tinggi harus dikomposkan terlebih dahulu sebelum digunakan.
Menurut Baon et al.
(2005), pulpa kopi menghasilkan kompos bermutu lebih baik. Kandungan hara kompos pulpa kopi jauh lebih tinggi dibandingkan kompos kulit kopi. Selain itu rasio C/N pulpa kopi lebih sesuai untuk proses pengomposan (Tabel 34). Tabel 34 Perbandingan kandungan hara pada limbah padat kopi. Perlakuan Bahan : Pulpa (pulp) Kulit tanduk Campuran
C/N
C/P
N/P
pH
15,4 a 67,2 a 29,7 b
277 b 972 a 514 b
16 a 16 a 17 a
6,7 a 6,6 a 7,0 a
Sumber: Baon et al. (2005).
Untuk menghasilkan kompos dengan nisbah C/N > 15, pulpa kopi membutuhkan waktu 4 minggu sedangkan kulit tanduk lebih dari 8 minggu. Erwiyono et al. (2001), kompos kulit buah kopi memberikan pengaruh
202
tertinggi pada produksi kopi Robusta dibandingkan kompos dari sumber lain seperti belotong, kotoran sapi, kotoran kambing dan daun tanaman penaung. 6.
Media Jamur.
Limbah padat kopi menurut Fan dan Soccol (2005),
merupakan media yang sesuai untuk pertumbuhan jamur.
Berikut
perbandingan komposisi nutrisi pada limbah padat kopi untuk pertumbuhan jamur (Tabel 35.). Menurut Bermudez et al. (2001), efisiensi pulpa kopi menunjukkan potensi biologi pertumbuhan jamur tiram tertinggi (168,5 – 179,4%) dibandingkan kulit kelapa (90%) dan kulit kakao (84,5%). Fan et al. (2000) diacu dalam Fan dan Soccol (2005) efisiensi produksi jamur shitake dapat mencapai 90%, meskipun aplikasinya di petani baru mencapai 50%. Tabel 35 Perbandingan komposisi nutrisi kulit kopi dan pulpa kopi Komponen Protein (%) Lipid (%) Selulosa (%) Abu (%) Ekstrak non-nitrogen Tanin Kafein
Kulit Kopi 9,2 – 11,3 2,0 – 2,3 13,2 – 27,6 3,3 – 4,1 57,8 – 66,1 4,5 – 5,4 0,8 – 1,1
Pulpa Kopi 8,5 – 12,1 1,5 – 2,0 15,1 – 20,3 5,5 – 6,8 45,5 – 54,3 1,6 – 2,4 0,5 – 0,7
Sumber; Fan dan Soccol (2005).
7.3.7. Rekomendasi Penanganan Limbah Proses Pengolahan Kopi Buah kopi harus melalui proses panjang untuk dikonsumsi. Proses tersebut sering membutuhkan sejumlah besar air dan menghasilkan limbah padat dan cair. Minimisasi air pada proses pengolahan kopi metode olah basah belum sepenuhnya dapat memecahkan permasalahan yang timbul pada unit pengolahan kopi rakyat, karena masih ada limbah yang dihasilkan. Limbah tersebut dapat diubah menjadi produk bernilai ekonomis untuk menambah pendapatan petani kopi. Penerapan teknologi yang tepat untuk mengolah limbah cair serta pemanfaatan produk samping (by products) pengolahan kopi sangat dibutuhkan.
Produk samping
adalah sesuatu yang turut dihasilkan pada saat mengolah suatu produk atau hasil sekunder/hasil samping dari suatu proses produksi. Mburu (2010), minimisasi air proses pengolahan dapat dilakukan dengan mendaurulang air proses dengan beberapa batasan. Air proses sortasi rambang dapat digunakan untuk air proses pengupasan. Air proses pengupasan tidak dapat digunakan kembali untuk keperluan lain melainkan hanya untuk proses
203
pengupasan sebanyak 2-3 kali. Modifikasi peralatan akan membantu mengurangi kebutuhan air, meskipun dalam penerapannya membutuhkan penilaian lanjut yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Menurut Calvert (1998), keuntungan resirkulasi air proses pengupasan untuk proses pengupasan kembali adalah mempercepat aksi bakteri mendegradasi komponen lendir pada proses fermentasi.
Apabila air bersih berlebih yang
digunakan untuk proses pengupasan, maka akan banyak gula terlarut yang dapat tercuci sebelum proses fermentasi. Kondisi demikian akan mengurangi kerja bakteri pembusuk yang menguntungkan dan menambah bakteri ataupun kapang yang menghasilkan asam-asam tingkat tinggi seperti propionat dan butirat yang dapat menyebabkan onion flavor pada biji kopi. Meskipun demikian dibutuhkan pengawasan terhadap kondisi air proses pengupasan terutama tingkat gula dan enzim yang terlarut. Oleh karena itu, pada saat air daur ulang yang digunakan untuk proses pengupasan mulai mengental dan pekat, air ini harus dibuang. Lebih lanjut Calvert (1998) menjelaskan proses fermentasi yang berfungsi mendegradasi lendir dari daging buah kopi tidak dapat digantikan dengan proses mekanis jika kualitas akhir biji kopi yang diinginkan. Berdasarkan hasil penelitian terhadap kualitas limbah cair, limbah padat serta upaya penanganannya pada proses pengolahan kopi, maka dapat diterapkan sistem tertutup penanganan limbah (Gambar 84). Sistem tertutup penanganan limbah merupakan bagian penerapan konsep ekoteknologi untuk meningkatkan kualitas lingkungan terutama kualitas badan air dan tanah.
Jacobi (2004),
memberikan contoh penerapan ekoteknologi pada pertanian kopi di Matagalpa, Nicaragua untuk meningkatkan kualitas air.
Pertanian kopi di Matagalpa
memanfaatkan kombinasi teknologi UASB, penggunaan bio-filter (kolam dengan tanaman air) untuk mengolah limbah cair proses pengolahan. Adapun air setelah penanganan (efluen) dialirkan ke areal pertanian melalui irigasi sprinkler. Desain sistem tertutup proses pengolahan kopi dan alternatif penanganan limbah pengolahan kopi merupakan desain integrasi pengolahan kopi dan penanganan limbah pengolahan yang berbasis produksi bersih. Pengolahan kopi rakyat berdasarkan prinsip minimisasi air optimum yang mampu meningkatkan mutu biji kopi sekaligus menurunkan volume limbah cair yang dihasilkan.
204
Desain terintegrasi penanganan limbah meliputi upaya penanganan limbah cair dan limbah padat yang bernilai ekonomis dan menerapkan konsep 3R (reduce, reuse, and recycle). Desain penanganan limbah cair dapat dibagi menjadi beberapa tahap, meliputi (1) pra penanganan, (2) penanganan primer, (3) penanganan sekunder dan (4) penanganan tersier. 1.
Proses netralisasi limbah cair dalam tahap pra penanganan akan dibutuhkan apabila limbah cair yang dihasilkan memiliki nilai pH di bawah 5,0.
2.
Penanganan primer dilakukan dengan menerapkan teknologi pembangkitan biogas. Digester anaerobik yang mampu menghasilkan biogas dapat disesuaikan dengan kapasitas pengolahan kopi KUPK Sidomulyo. Adapun biogas yang dihasilkan dapat dialirkan kembali ke sentra pengolahan kopi sebagai bahan bakar proses pengeringan ataupun dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai alternatif pengganti kayu bakar dan LPG untuk memasak.
3.
Penanganan sekunder dapat diterapkan dengan tujuan mendapatkan kembali air hasil pengolahan limbah untuk dimanfaatkan kembali pada proses sortasi dan pengupasan buah kopi (pulping). Alternatif tahap penanganan sekunder meliputi; (1) proses sedimentasi, (2) proses koagulasi flokulasi, dan (3) pembuatan pupuk cair dari air limbah keluaran (efluen) digester anaerobik.
4.
Penanganan tersier meliputi beberapa alternatif yaitu; (1) filtrasi atau penyaringan efluen proses sedimentasi, (2) filtrasi atau penyaringan efluen proses koagulasi flokulasi, (3) penanganan lumpur atau limbah padat dari penanganan limbah cair. Sebagaimana penanganan limbah cair, upaya penanganan limbah padat
proses pengolahan kopi juga dilakukan berdasarkan beberapa alternatif penanganan yang meliputi; 1.
Pemanfaatan pulpa kopi dari proses pulping untuk pembuatan pakan ternak, kompos dan media produksi jamur.
2.
Pemanfaatan pulpa dan kulit tanduk kopi untuk pembuatan briket, kompos, papan partikel ataupun bahan baku reaktor anaerobik.
3.
Pemanfaatan limbah padat hasil penanganan limbah cair untuk pembuatan kompos ataupun papan partikel.
205
7.4. Kesimpulan Limbah cair proses pengupasan dan pencucian buah kopi kaya akan bahan organic dan kandungan padatan terlarut.
Rasio BOD/COD yang termasuk
kategori biodegradable dan proporsi kandungan padatan yang mudah menguap (VSS)
menunjukkan
kesesuaian
penanganan
secara
biologi
anaerobik.
Penanganan limbah cair pengolahan kopi dengan digester anaerobik konvensional relatif mudah untuk diterapkan selain menghasilkan biogas sebagai sumber energi. Lumpur proses anaerobik yang dihasilkan cenderung lebih stabil sehingga memudahkan pemanfaatannya.
Kandungan makronutrien yang masih cukup
tinggi dari efluen proses anaerobik memiliki potensi untuk dimanfaatkan kembali. Penanganan sekunder dan tersier dapat dilakukan terhadap efluen anaerobik yang disesuaikan dengan tujuan akhir pengolahan. Proses koagulasi dan flokulasi telah terbukti efektif untuk menurunkan warna limbah cair. Proses sedimentasi dan filtrasi lebih sesuai untuk menurunkan padatan terendapkan pada penanganan tersier.
Upaya memanfaatkan kembali efluen penanganan limbah cair
membutuhkan kajian lanjut untuk mengetahui pengaruhnya terhadap proses fermentasi dan mutu kopi akhir. Penanganan limbah padat pengolahan kopi diarahkan kepada pembuatan produk yang bernilai ekonomis dan mampu untuk dilakukan masyarakat di KUPK Sidomulyo. Beberapa alternatif pembuatan produk ekonomis dari limbah padat pengolahan kopi adalah pembuatan briket, pakan ternak, papan partikel, kompos, bahan baku reaktor biogas dan media produksi jamur.
Kajian lanjut mengenai
ketersediaan bahan baku, sumberdaya manusia dan kemampuan teknologi serta pasar yang tersedia akan membantu keberlanjutan penanganan limbah padat proses pengolahan kopi sebagai bagian dari sistem keberlanjutan agroindustri kopi di KUPK Sidomulyo.
Agroindustri kopi rakyat yang menerapkan prinsip
produksi bersih diterapkan melalui integrasi sistem tertutup proses pengolahan kopi berbasis meminimalkan air, upaya penanganan limbah cair dan limbah padat yang menerapkan konsep 3R (reduce, reuse and, recycle).
206
Gambar 84 Sistem tertutup proses pengolahan dan alternatif penanganan limbah pengolahan kopi rakyat