DESAIN PROSES PENGOLAHAN PADA AGROINDUSTRI KOPI ROBUSTA MENGGUNAKAN MODIFIKASI TEKNOLOGI OLAH BASAH BERBASIS PRODUKSI BERSIH
ELIDA NOVITA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Desain Proses Pengolahan Pada Agroindustri Kopi Robusta Menggunakan Modifikasi Teknologi Olah Basah Berbasis Produksi Bersih adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juni 2012
Elida Novita P 062070171
ABSTRACT ELIDA NOVITA. Processing Design at Robusta Coffee Agroindustry Using Modified Wet Process Technology Based on Cleaner Production. Under direction of RIZAL SYARIEF, ERLIZA NOOR, and RUBIYO. Coffee in Indonesia included 5 main crops commodities, and 10 main export commodities. Since 2008, Indonesia is the third exporter countries after Brazil, and Vietnam. Coffee has been shown to have definitely beneficial for Indonesian farmer as source of income, and contributes for regional development, so its sustainability should be maintained. One of constraints faced by farmers is low quality of coffee beans due to post-harvest handling. Most coffee producer in Indonesia is smallholder Robusta coffee which used to dry process for coffee berry. Application of wet process is more sophisticated than the dry process, but leads to better quality coffee bean, though need high input of water, and produce wastewater that can pollute the environment. It should be designed coffee processing based on clean production to minimize, and prevent the wastewater generated from processing. Development of processing technologies based on cleaner production is a part of sustainability development strategies on smallholder coffee agroindustry. Therefore, the main objective of this research is to design sustainability of smallholder coffee processing using wet technology that has quality oriented to improve farmer productivity, and incomes without dismissing social, and environmental interests. In particular, the general objective is achieved through several phases with their aims as follows; (1) to formulate coffee agroindustry sustainability framework based on economic, environmental, social, and institutional indicators, (2) to determine the sustainability status of smallholder coffee agroindustry, (3) to modify wet technology on Robusta coffee processing by water minimizing, (4) to design of waste treatment system on smallholder coffee agroindustry, (5) to formulate the structure of smallholder coffee agroindustry development which based on cleaner production. Research is conducted through several stages in the research field of coffee plantation area (Sidomulyo village, Jember Regency), laboratories (Jember University, and AWMC, The University of Queensland), and pilot plant unit (Indonesian Coffee and Cocoa Research Institute). Sustainability analysis showed the value of sustainability is 58,94% (sustainable enough) with 10 main leverage factors. Modified wet technology through water minimization can reach optimum levels at 2,987 – 3,345 m3/tonne of coffee berry. Within this volume, the quality of green coffee could be maintained, and wastewater minimized until 67% compared to conventional wet processing. Waste treatment designed of coffee processing have been done through reduce, reuse, and recycle (3R) to obtain the economic value of by-products. Economic analysis showed smallholder coffee agroindustry which applied modified wet technology based on cleaner production has higher feasibility, and flexibility compared with the dry processing mainly deal with fluctuation of world coffee prices. Development of smallholder Robusta coffee can be performed based on the structures of needs, constraints, required changes, goals, and indicators obtained through the ISM simulation. Keywords: Robusta, coffee, wet process, cleaner production, sustainability, ISM
RINGKASAN ELIDA NOVITA. Desain Proses Pengolahan pada Agroindustri Kopi Robusta Menggunakan Modifikasi Teknologi Olah Basah Berbasis Produksi Bersih. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF, ERLIZA NOOR, dan RUBIYO. Kopi termasuk 10 komoditas ekspor utama Indonesia, dan 5 komoditas perkebunan utama yang peranannya cukup penting terhadap perekonomian nasional. Sekitar 96% produksi kopi Indonesia berasal dari perkebunan rakyat dengan jumlah keluarga petani yang terlibat sebanyak 1,9 juta. Sebagai salah satu dari 5 besar negara produsen kopi di dunia, terutama kopi Robusta, Indonesia ternyata masih menghadapi berbagai macam kendala yang dapat mempengaruhi keberlanjutan pertanian kopi. Salah satu kendala yang dihadapi adalah kendala pasca panen yang mempengaruhi mutu kopi terutama di tingkat petani. Rendahnya mutu kopi Robusta yang dihasilkan petani umumnya disebabkan upaya pengolahan pasca panen yang masih menghasilkan kopi asalan. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu kopi adalah penerapan pengolahan basah. Pada pengolahan basah, buah kopi akan melalui proses sortasi dan fermentasi yang dipercaya dapat meningkatkan cita rasa. Akan tetapi pengolahan basah membutuhkan input dan menghasilkan keluaran limbah cair yang besar sehingga menimbulkan dampak lingkungan. Untuk meminimalkan dan mencegah limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan basah, perlu dirancang suatu proses pengolahan yang berbasis produksi bersih. Pengembangan teknologi pengolahan kopi rakyat berbasis produksi bersih adalah bagian dari strategi pengembangan agroindustri kopi Robusta rakyat secara berkelanjutan. Oleh karena itu tujuan utama penelitian ini adalah mendesain proses pengolahan kopi Robusta menggunakan teknologi olah basah yang berorientasi mutu secara berkelanjutan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani tanpa mengabaikan kepentingan sosial dan lingkungan. Penelitian dilakukan secara bertahap dengan tujuan masing-masing tahap penelitian adalah : (1) menyusun kerangka penilaian keberlanjutan agroindustri kopi rakyat berdasarkan indikator ekonomi, lingkungan, sosial, dan kelembagaan, (2) menentukan status keberlanjutan agroindustri kopi rakyat, (3) melakukan modifikasi teknologi pengolahan kopi Robusta menggunakan teknologi olah basah melalui upaya meminimalkan air, (4) mendesain sistem penanganan limbah proses pengolahan kopi rakyat, (5) merumuskan struktur pengembangan agroindustri kopi Robusta rakyat berbasis produksi bersih. Penelitian dilaksanakan melalui studi literatur, penelitian lapangan, penelitian skala laboratorium, dan pilot plan untuk mendapatkan data sekunder, dan primer. Metode pengumpulan data untuk penyusunan kerangka keberlanjutan, penilaian status keberlanjutan, dan strukturisasi pengembangan agroindustri kopi Robusta rakyat dilakukan melalui wawancara, diskusi, kuisioner, dan survey lapangan. Penilaian keberlanjutan menggunakan metode multidimensional scaling (MDS) dalam software Rap-Coffee hasil modifikasi Rapfish. Strukturisasi elemen pengembangan agroindustri kopi dilakukan menggunakan software ISM (Interpretative Structural Modelling). Metode pengumpulan data untuk modifikasi teknologi pengolahan basah dan desain penanganan limbah proses pengolahan kopi Robusta dilakukan melalui percobaan
skala laboratorium dan pilot plant. Upaya meminimalkan air proses pengolahan pada tahap pengupasan dan pencucian merupakan bagian dari modifikasi teknologi pengolahan basah. Analisis neraca massa dan emisi pengolahan dilakukan untuk menentukan titik sumber limbah, volume air, dan jenis bahan bakar yang terbaik dalam konsep produksi bersih. Analisis mutu fisik, dan cita rasa kopi dibutuhkan untuk menentukan rentang optimum penggunaan air yang dapat diterapkan pada pengolahan kopi. Karakterisasi limbah cair, dan limbah padat yang dihasilkan dari proses pengolahan membantu menentukan jenis, dan tahapan penanganan limbah yang dapat diaplikasikan pada agroindustri kopi rakyat. Untuk mengetahui kelayakan penerapan modifikasi teknologi olah basah dilakukan analisis kelayakan lingkungan, sosial, dan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan kerangka keberlanjutan agroindustri dibutuhkan untuk melakukan penilaian terhadap keberadaan agroindustri kopi Robusta rakyat terutama dalam menghadapi perkembangan isu lingkungan, dan sosial. Kerangka umum keberlanjutan agroindustri kopi rakyat dalam penelitian ini dibangun berdasarkan dimensi ekonomi, lingkungan, sosial, dan kelembagaan. Simulasi Rap-Coffee untuk mengetahui nilai keberlanjutan agroindustri kopi rakyat saat ini di KUPK Sidomulyo, Jember menunjukkan nilai cukup berlanjut (58,94%). Berdasarkan analisis faktor pengaruh dalam Rap-Coffee, terdapat 6 faktor dimensi ekonomi, 1 faktor dimensi lingkungan, 2 faktor dimensi sosial, dan 1 faktor dimensi kelembagaan yang menentukan tingkat keberlanjutan. Kualitas atau mutu produk sebagai bagian dari faktor pengaruh dimensi ekonomi harus ditingkatkan karena menentukan kontinuitas ekspor kopi Indonesia sebagai salah satu produsen kopi dunia. Peningkatan mutu kopi rakyat dapat dilakukan melalui penerapan pengolahan basah meskipun menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan. Penerapan modifikasi teknologi olah basah berbasis produksi bersih melalui minimisasi air proses hingga 67% mampu mempertahankan mutu kopi secara fisik, dan cita rasa jika dibandingkan pengolahan basah konvensional sekaligus meminimalkan volume air limbah yang dihasilkan. Volume total air proses minimum dapat dilakukan pada rentang 2,987 – 3,345 m3/ton buah kopi dengan volume air pengupasan 0,731 – 0,784 m3 , dan volume air pencucian 2,256 – 2,561 m3/ton buah kopi. Konsep produksi bersih juga dapat diterapkan melalui pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar mesin-mesin pengolahan kopi. Pemanfaatan biodiesel dengan rasio 8 : 2 untuk solar, dan residu CPO (crude palm oil) yang dilakukan mampu menurunkan emisi CO2 hingga 40%. Aplikasi teknologi olah basah dengan minimisasi air harus terintegrasi dengan sistem penanganan limbah karena tingginya konsentrasi bahan organik yang dihasilkan. Penanganan limbah cair, dan limbah padat dilakukan untuk mendapatkan nilai ekonomis dari produk samping. Sistem penanganan limbah cair proses pengolahan kopi dilakukan melalui tahapan pengolahan primer anaerobik, pengolahan sekunder koagulasi flokulasi, dan pengolahan tersier adsorpsi-filtrasi. Pengolahan primer limbah cair pengolahan kopi menggunakan digester anaerobik mampu menghasilkan biogas dengan konsentrasi gas metan hingga 60% (teoritis 70%) dengan tingkat produksi 38,7 m3/hari. Nilai ini lebih tinggi daripada pemanfaatan limbah kotoran ternak yang mencapai 16 – 18 m3/hari. Pengolahan tersier pada tahapan penanganan limbah cair dapat dilakukan apabila efluen yang dihasilkan ingin didaur ulang untuk pengolahan
kopi kembali. Beberapa produk samping yang dihasilkan, dan dapat dimanfaatkan dari penanganan limbah adalah biogas, pupuk cair, air daur ulang, briket, pakan ternak, kompos, media jamur, dan papan partikel. Hasil analisis kelayakan ekonomi berdasarkan parameter NPV, IRR, B/C dan PBP menunjukkan bahwa agroindustri kopi rakyat yang menerapkan modifikasi teknologi olah basah berbasis produksi bersih memiliki nilai kelayakan ekonomi lebih besar dibandingkan pengolahan kering yang selama ini dilakukan petani. Pada perhitungan umur industri selama 10 tahun, NPV yang dapat dicapai sebesar Rp. 1.131.058.923, IRR sebesar 51,94%, B/C sebesar 3,88, dan masa pengembalian modal adalah 1,8 tahun. Analisis sensitivitas terhadap penurunan harga biji kopi hingga 10% menunjukkan kemampuan agroindustri yang menerapkan pengolahan basah berbasis produksi bersih lebih tinggi menghadapi fluktuasi harga kopi dunia. Strukturisasi pengembangan agroindustri kopi rakyat di KUPK Sidomulyo dapat dilakukan melalui pencapaian elemen-elemen kunci dalam penentuan kebutuhan, kendala pengembangan, perubahan yang diinginkan, tujuan yang ingin dicapai, dan indikator pengembangan yang terjadi. Hasil analisis ISM menghasilkan kebutuhan pengembangan pasar, dan peningkatan pendapatan untuk mengatasi kendala keterbatasan akses pasar. Analisis ISM juga menghasilkan elemen kunci tujuan yang harus dicapai adalah pencapaian peningkatan kualitas bahan baku, dan produk, peningkatan nilai ekspor, dan adanya perbaikan kinerja kelembagaan. Elemen perubahan yang harus diupayakan adalah dengan melalui pengembangan pola pengolahan kopi rakyat yang berbasis kelompok, dan berorientasi bisnis serta perluasan pasar. Indikator kunci yang menunjukkan telah berhasilnya pengembangan agroindustri kopi rakyat adalah bila telah terpenuhinya kebutuhan mendasar dari para pekerja, dan petani dalam agroindustri kopi secara berkelanjutan. Penerapan modifikasi teknologi olah basah berbasis produksi bersih membutuhkan pemahaman, dan sosialisasi terus menerus agar dapat diterima oleh kelompok tani, dan masyarakat. Terutama mengingat petani kopi telah terbiasa menerapkan pengolahan kering. Oleh karena itu dibutuhkan standar pengolahan kopi untuk agroindustri tingkat usaha kecil, dan menengah yang dapat membantu petani menerapkan pengolahan berbasis produksi bersih. Pengenalan modifikasi teknologi olah basah dapat dilakukan secara langsung dengan memberikan gambaran keuntungan jangka panjang dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pemahaman bahwa peningkatan keberlanjutan dimensi lingkungan akan meningkatkan ekonomi petani harus terus diupayakan. Keikutsertaan kelompok tani secara aktif dalam mengadopsi teknologi bersih, dan dukungan stakeholder terkait akan membantu peningkatan keberlanjutan agroindustri kopi Robusta.
©Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. Dilarang mengumpulkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
DESAIN PROSES PENGOLAHAN PADA AGROINDUSTRI KOPI ROBUSTA MENGGUNAKAN MODIFIKASI TEKNOLOGI OLAH BASAH BERBASIS PRODUKSI BERSIH
ELIDA NOVITA
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperolah gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tertutup: Senin, 14 Mei 2012 pukul 14.00 WIB 1.
Prof. Dr. Ir. Surjono H.Sutjahjo, M.S.
2.
Dr. Ir. S. Joni Munarso, M.S.
Pada Ujian Terbuka: Rabu, 30 Mei 2012 pukul 13.00 WIB 1.
Dr. Ir. Ade Wachyar, M.S.
2.
Dr. Siswoyo Soekarno, S.T.P, M.Eng
Judul Disertasi
: Desain Proses Pengolahan pada Agroindustri Kopi Robusta Menggunakan Modifikasi Teknologi Olah Basah Berbasis Produksi Bersih
Nama
: Elida Novita
NRP
: P062070171
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS. Ketua
Prof. Dr. Ir. Erliza Noor Anggota
Dr. Ir. Rubiyo, M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian : 30 Mei 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia, dan ridho-Nya, sehingga penyusunan, dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Rangkaian tahapan penelitian dengan judul “Desain Proses Pengolahan pada Agroindustri Kopi Robusta Menggunakan Modifikasi Teknologi Olah Basah Berbasis Produksi Bersih” telah dilaksanakan mulai bulan Juli 2009 hingga September 2011. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS., Prof. Dr. Ir. Erliza Noor, Dr. Ir. Rubiyo, M.Si, dan Dr. Ir. Sri Mulato, M.S., APU, atas perhatian, kepercayaan, kesabaran, bimbingan, arahan, wawasan ilmu yang diberikan, kritik, saran, serta waktu yang disediakan selama penulisan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi ini. Penghargaan dan ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo dan Dr. Ir. S. Joni Munarso, M.S yang telah memberikan waktunya, saran, dan perbaikan membangun pada disertasi ini sebagai penguji pada ujian tertutup. Terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Ade Wachyar, M.S. dan Dr. Siswoyo Soekarno, S.T.P, M.Eng sebagai penguji pada ujian terbuka atas saran-sarannya untuk kesempurnaan disertasi ini. Penghargaan , dan ucapan terima kasih yang besar juga disampaikan kepada Ketua Program Studi PSL periode 2007 – 2010, Prof. Dr. Ir. Surjono H.Sutjahjo, M.S., Ketua Pelaksana Harian periode tahun 2010, Dr.drh. Hasim, dan Ketua Program Studi PSL periode 2011 hingga saat ini, Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ketua Jurusan Teknik Pertanian , dan Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember, Rektor Universitas Jember, dan Direktur Eksekutif I-MHERE Project Universitas Jember yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang S3 di IPB melalui beasiswa domestic degree training I-MHERE Project. Demikian pula ucapan terima kasih disampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti program Sandwich-Like selama 3,5 bulan di The University of Queensland, Queensland, Australia tahun 2009-2010 dan mendapatkan bantuan dana penelitian melalui Hibah Disertasi Doktor tahun 2011. Terima kasih yang sebesar-besarnya tak lupa penulis sampaikan kepada karyawan dan peneliti di unit pasca panen dan unit pengujian mutu Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Dr. Surip Mawardi, Dr. Sukrisno Widyotomo, Ir. Yusianto, Ir. Cahya Ismayadi, M.Sc., Edy Suharyanto, S.TP, M.P., Novie Pranata Erdiansyah, S.P., Dwi Nugroho, S.P, Ir. Sulistyowati, Pak Kholik, Mbak Ike, Mbak Erna, Mbak Ninik, Mbak Indah, Pak Lesmono, Mas Yaya dll), Kelompok Tani Sidomulyo 1 dan petugas penyuluh lapangan di KUPK
Desa Sidomulyo, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember khususnya Bapak Soewarno, Bapak Samuji dan Bapak Adikarta, sekretaris eksekutif AEKI Jawa Timur (Ir, Ichwan) dan AEKI Pusat Jakarta (Ir. Kirom), Dr. Siswoyo Soekarno, Dr. Evita Soliha Hani, Dr. Pujiyanto, Dr. Jani Januar, Ir. Djoko Soejono, MP, Luh Putu Suciati, SP, M.Si., Dr. Demitria Dewi yang telah banyak memberikan bantuan dan meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis selama penelitian. Greatly grateful and appreciation for Prof. Dr. Ricardo Bello Mendoza, Dr. Gatut Sudarjanto, Dr. Wolfgang Gernjak, Dr.Krisantini, Arseto Bagastyo, S.T, M.Sc for their assistance and amazing discussion selama menjalankan penelitian sebagai bagian dari kegiatan sandwich-like di Advance Water Management Centre, The University of Queensland, Australia. Penghargaan yang tulus atas kerja samanya kepada rekan-rekan peneliti, mahasiswa dan teknisi yang membantu selama penelitian, Mustapit, S.P., M.Si, Sudarko, S.P, M.Si, Ir. Suryanto, M.P., Abdul Mukhlis Ritonga, S.T.P., M.Sc, Ahmad Cholid, S.T.P., Yunanti, S.T.P., Putri Framitasari, S.T.P., Anwar Suhadi, S.T.P., dan Suhardi S.T. Penghormatan dan ucapan terima kasih atas doa dan kasih sayang yang tidak pernah putus dari ayahanda Masril Ridwan (alm), ibunda Astikanah Tries Prayoganingsih, suami Heri Supriyanto dan putra-putriku tercinta, Daffa Hilmy Novriyanto dan Tsanya Hutari Balqis Zayyanti (Nina). Terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), khususnya angkatan 2007 atas kebersamaan dan kerjasamanya selama menempuh pendidikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh karyawan Program Studi PSL (Mas Subur, Mbak Ririn, Mbak Suli, Mbak Erlin dan Mas Kris) yang telah banyak memberikan bantuan selama menempuh pendidikan doktor di PSL. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2012
Elida Novita
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada tanggal 30 Nopember 1973 sebagai anak satu-satunya dari pasangan Masril Ridwan dan Astikanah Tries Prayoganingsih. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Industri Pertanian (TIN), Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) dan menamatkannya pada tahun 1997. Pada tahun 1997, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi ke Program Studi Teknik dan Manajemen Sumberdaya Air Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) melalui beasiswa Karyasiswa DUE-Project dengan ikatan dinas di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember. Program Magister Teknik ITS diselesaikan awal tahun 2000. Pada tahun 2007, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) melalui beasiswa pendidikan dalam negeri (domestic degree training) I-MHERE Project Universitas Jember. Penulis saat ini bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember sejak tahun 1998 hingga sekarang. Mata kuliah yang diasuh terutama berada dalam lingkup Laboratorium Teknik Pengendalian dan Konservasi Lingkungan (TPKL) Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember. Beberapa mata kuliah yang diasuh adalah Teknik Pengendalian Sumberdaya Air, Pengantar Ilmu Lingkungan, Manajemen Kualitas Air, Mekanika Fluida, Ekonomi Teknik, dan Riset Operasional. Artikel ilmiah penulis sebagai bagian dari disertasi yang telah diterbitkan adalah sebagai berikut: 1. Analisis Neraca Massa Pada Rancangan Minimalisasi Air Proses Pengolahan Biji Kopi dalam Agro Techno Vol.1 No. 8 Juli-Desember 2009 ISSN 1829-6149. 2. Peningkatan Mutu Biji Kopi Rakyat dengan Pengolahan Semi Basah Berbasis Produksi Bersih diterbitkan dalam Jurnal Agroteknologi Vol.4, No.1, Januari 2010 ISSN 1978-1555. 3. Smallholder Coffee Processing Design Using Wet Technology Based On Clean Production diterbitkan dalam Journal of Applied Sciences in Environmental Sanitation Vol.7 No. 2, June 2012 ISSN 0126-2807. 4. Biodegradability Simulation of Coffee Wastewater Using Instant Coffee telah diterima dan akan diterbitkan dalam jurnal BIOTROPIA Vol. 19 No. 1 June 2012 ISSN 0215-2334. 5. Sustainability Analysis of Smallholder Coffee Agroindustry disampaikan secara oral dalam 1st International Conference on Energy, Environment and Climate Changes tanggal 26-27 Agustus 2011 di Ho Chi Minh University, Ho Chi Minh City, Vietnam.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertanian Kopi Menurut Najiyati dan Danarti (2006), kopi adalah spesies tanaman tahunan berbentuk pohon. Di dunia perdagangan, dikenal beberapa golongan kopi, tetapi yang paling sering dibudidayakan hanya kopi Arabika, Robusta, dan Liberika. Secara lengkap, klasifikasi botani kopi adalah sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi: Angiospermae Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Rubiales
Famili
: Rubiaceae
Genus
: Coffea
Spesies : coffea sp. Pada umumnya tanaman kopi berbunga setelah berumur sekitar dua tahun. Bila bunga sudah dewasa, terjadi penyerbukan dengan pembukaan kelopak dan mahkota yang akan berkembang menjadi buah. Kulit buah yang berwarna hijau akan menguning dan menjadi merah tua seiring dengan pertumbuhannya. Waktu yang diperlukan dari bunga menjadi buah matang sekitar 6-11 bulan, tergantung jenis dan lingkungan. Kopi Arabika membutuhkan waktu 6-8 bulan, sedangkan kopi Robusta 8-11 bulan. Bunga umumnya mekar awal musim kemarau dan buah siap dipetik di akhir musim kemarau. Di awal musim hujan, cabang primer akan memanjang dan membentuk daun-daun baru yang siap mengeluarkan bunga pada awal musim kemarau mendatang (Najiyati dan Danarti 2006). Jika dibandingkan dengan kopi Arabika, pohon kopi Robusta lebih rendah dengan ketinggian sekitar 1,98 hingga 4,88 meter saat tumbuh liar di kawasan hutan.
Pada saat
dibudidayakan melalui pemangkasan, tingginya sekitar 1,98 hingga 2,44 meter (Retnandari dan Tjokrowinoto 1991). Buah kopi terdiri dari daging buah dan biji. Daging buah terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan kulit luar (exocarp), daging buah (mesocarp), dan kulit tanduk (endocarp) yang tipis, tetapi keras. Kulit luar terdiri dari satu lapisan tipis. Kulit buah yang masih muda berwarna hijau tua yang kemudian berangsur-angsur
11
12
menjadi hijau kuning, kuning, dan akhirnya menjadi merah, merah hitam jika buah tersebut sudah masak sekali. Daging buah yang sudah masak akan berlendir dan rasanya agak manis. Biji terdiri dari kulit biji dan lembaga (Ciptadi dan Nasution 1985; Najiyati dan Danarti 2006). Kulit biji atau endocarp yang keras biasa disebut kulit tanduk. Lembaga (endosperma) merupakan bagian yang dimanfaatkan untuk membuat minuman kopi (Gambar 4.)
(a)
(b)
Gambar 3 Bunga kopi (a) dan tahap awal perkembangan buah (b) (Sumber: Najiyati dan Danarti 2006)
Gambar 4 Bagian-bagian buah kopi Gambar 5 Kopi Robusta (Sumber: Najiyati dan Danarti 2006) Menurut Ciptadi dan Nasution (1985), buah kopi umumnya mengandung 2 butir biji, tetapi kadang-kadang hanya mengandung satu butir saja. Biji kopi ini disebut biji kopi lanang/kopi jantan/kopi bulat. Buah kopi yang sudah masak pada umumnya akan berwarna kuning kemerahan sampai merah tua. Tetapi ada juga yang belum cukup tua tetapi telah terlihat berwarna kuning kemerahan pucat yaitu kopi yang terserang hama bubuk buah kopi. Buah kopi yang terserang hama bubuk ini mengering di tangkai atau luruh ke tanah. Buah kopi yang kering
13
tersebut dipetik dan yang luruh di tanah dipungut secara terpisah dari buah masak yang dinamakan pungutan ”lelesan”. Pada akhir masa panen dikenal rampasan atau racutan yaitu memetik semua buah yang tertinggal di pohon sampai habis, termasuk yang masih muda. Petikan rampasan ini dimaksudkan guna memutus siklus hidup hama bubuk buah. Pemetikan buah kopi dilakukan secara manual (Ciptadi dan Nasution 1985; Najiyati dan Danarti 2006). Di dunia perdagangan dikenal beberapa golongan kopi, tetapi yang paling sering dibudidayakan hanya kopi Arabika, Robusta, dan Liberika. Kopi Robusta bukan nama spesies karena kopi ini merupakan keturunan dari beberapa spesies kopi terutama Coffea canephora.
Kopi Robusta berasal dari hutan-hutan
khatulistiwa di Afrika, yang membentang dari Uganda hingga Sudan Selatan, bahkan sampai Abyssinia Barat sepanjang curah hujan mencukupi.
Kopi ini
masuk ke Indonesia pada tahun 1900 dan saat ini termasuk jenis yang mendominasi perkebunan kopi di Indonesia (Retnandari dan Tjokrowinoto 1991). Di beberapa negara Afrika dan Asia, kopi menjadi sumber pendapatan utama dalam pertanian subsisten untuk memenuhi kebutuhan mendasar seperti kesehatan, pendidikan dll. Petani di negara-negara tersebut tergantung hampir sepenuhnya pada kopi. Di awal abad 21, pada saat harga kopi dunia menurun, pernah terjadi kelaparan di beberapa daerah penghasil kopi di negara Nicaragua dan Guatemala. Ditinjau dari sisi sosial ekonomi, kopi juga telah membentuk aktivitas-aktivitas pengolahan, jasa, dan tradisi yang berkaitan secara historis terhadap terbentuknya kelas kapitalis dan institusi sosial lainnya. Kopi merupakan sumber pendapatan untuk lebih 125 juta masyarakat di 52 negara berkembang. Sekitar 25 juta orang yang sebagian besar adalah usaha kecil menengah menanam kopi pada 11,8 juta ha lahan, menghasilkan 6,6 juta ton kopi per tahun. Seperempat kopi yang ditanam dikonsumsi di negara asal dan tiga perempatnya diperdagangkan secara global. Kopi merupakan komoditas ke-2 terbesar yang diperdagangkan di dunia setelah minyak (Pelupessy 2003). Buah kopi dipetik kemudian diubah menjadi biji kopi yang siap diekspor dalam rantai perdagangan global. Biji kopi diolah menjadi kopi bubuk, dikemas, dan dijual kepada konsumen setelah tiba di negara pengimpor.
14
Tabel 1 Total produksi tahunan negara eksportir kopi beras Negara Volume ekspor (x 1000 bags) 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Brazil 42512 36064 45992 39470 48095 43484 Vietnam 19340 16467 18500 18200 19467 18300 Colombia 12541 12504 8664 8098 8523 7800 7483 7777 Indonesia 9612 11380 9129 8250 Ethiopia 5551 5967 4949 6931 7500 8312 India 4563 4319 3950 4764 5033 5333 Mexico 4200 4150 4651 4200 4850 4300 Guatemala 3950 4100 3785 3835 3950 3750 Honduras 3461 3842 3450 3575 4326 4500 Peru 4319 3063 3872 3286 3986 5443 Sumber: ICO (2012)
Produsen kopi utama dunia adalah Brazil. Vietnam yang merupakan pendatang baru menjadi pesaing utama Indonesia karena memproduksi kopi yang sejenis.
Pada saat ini perkebunan kopi Indonesia kalah bersaing dengan
perkebunan kopi Vietnam karena perkebunan kopi Indonesia umumnya sudah berumur tua dan produktivitasnya rendah (Herman 2008). Seiring penurunan ekspor biji kopi dari Colombia, posisi Indonesia saat ini naik menjadi nomor 3 sejak tahun 2008. Komoditas kopi memegang peranan penting dalam sejarah perekonomian Indonesia sejak periode kolonial Belanda. Berjangkitnya penyakit tanaman kopi antara tahun 1910-1914 menyebabkan penurunan produksi kopi secara drastis dan mulai diperkenalkannya varietas kopi Robusta yang lebih tahan penyakit di Jawa. Kopi Robusta segera menyebar ke daerah lain di luar Jawa khususnya Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, dan Aceh.
Pertumbuhan kopi Robusta
melampaui produksi kopi Arabika pada tahun 1935-1940. Masa suram produksi kopi terjadi pada masa Perang Dunia II (PD II) ketika Indonesia dijajah Jepang hingga masa setelah proklamasi. Perkebunan kopi yang tidak terawat dengan baik menyebabkan merosotnya produk kopi yang berada di bawah perkebunan besar. Di sisi lain, areal dan produk kopi rakyat cenderung meningkat. Pada tahun 1955, luas areal tanaman kopi rakyat mencapai 148.000 ha, sedangkan luas areal perkebunan besar kopi mencapai 47.100 ha. Produksi kopi rakyat pada saat yang sama mencapai 47.300 ton, sedangkan produksi kopi perkebunan besar mencapai 15.200 ton.
15
Sejak orde baru, terjadi pergeseran struktur industri kopi yang semula didominasi oleh perkebunan besar di masa kolonial Belanda menuju struktur industri yang didominasi perkebunan kopi rakyat. Pada tahun 1940, perbandingan antara perkebunan besar dan rakyat adalah 19:1. Pada tahun 1988, perbandingan tersebut berubah menjadi 1:19 yang terutama didominasi perkebunan rakyat di luar Pulau Jawa. Pergeseran dominasi ini memberikan kontribusi dalam daya adaptasi perkebunan kopi terhadap situasi harga kopi yang cenderung fluktuatif di pasar internasional.
Pada saat harga di pasar internasional turun, perkebunan
besar cenderung menurunkan jumlah kopi yang dipetik dan mengurangi lahan usaha.
Sebaliknya, petani kopi melakukan penanaman tumpang sari yang
menjamin stabilitas pendapatan petani dan meningkatkan jumlah kopi yang dipetik untuk dapat mempertahankan derajat kehidupan subsistensi. Pada saat harga jatuh, petani berusaha di luar sektor kopi yang pada saat harga kopi tinggi, usaha tersebut ditinggalkan. Perubahan struktur dari dominasi perkebunan besar ke dominasi perkebunan rakyat akan mempengaruhi karakteristik output yang dihasilkan.
Menurut
Kasyrino (2002), beberapa perbedaan karakteristik output antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat adalah meliputi; (1) skala usaha, (2) teknologi yang diterapkan, dan (3) tingkat interaksi yang diterapkan. Pada saat ini terdapat 3 kelompok produsen kopi di Indonesia, yaitu Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS), dan Perkebunan Rakyat. Perkebunan rakyat mendominasi perkebunan kopi yang ada di Indonesia. Terdapat perbedaan karakteristik antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Bagi perkebunan besar, usaha tani kopi adalah suatu perusahaan, menerapkan prinsip-prinsip perusahaan yang jelas. Sebaliknya, tanaman kopi bagi rakyat merupakan jaminan kelangsungan hidupnya prinsip safety first merupakan pedoman utama bagi petani. Adanya perbedaan tempat dan perilaku menimbulkan perbedaan dalam produksi dan mutu kopi yang dihasilkan. Mutu kopi Indonesia terutama kopi rakyat hingga saat ini masih menjadi masalah karena mutunya yang dinilai kurang baik oleh negara konsumen.
16
2.2. Pengembangan Kopi Rakyat Berbasis Agroindustri Kopi telah memberikan keuntungan bagi petani kopi, tetapi belum dapat menjamin untuk memenuhi keperluan rumah tangga petani. Karena dibandingkan dengan para pelaku ekonomi dalam rantai usaha tani dan pemasaran kopi, petani memiliki posisi paling lemah. Para pedagang dan eksportir memiliki peluang untuk memperoleh keuntungan meskipun pada tingkat harga terendah. Petani yang telah mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan tidak dapat menyesuaikan dengan rendahnya harga kopi. Hal ini akan mempengaruhi pola pengelolaan kopi pada tahap berikutnya yang selanjutnya berpengaruh terhadap mutu kopi yang dihasilkan dan pendapatan petani (Retnandari dan Tjokrowinoto 1991). Beberapa keterbatasan petani kopi dan industri pengolahan kopi rakyat skala kecil adalah sebagai berikut: 1.
Keseragaman dan kepastian ketersediaan produk yang rendah yang menyebabkan rendahnya standar dan harga produk.
2.
Keterbatasan akses terhadap pembiayaan.
3.
Ketidakmampuan memenuhi volume yang dipersyaratkan pembeli komersial.
4.
Umumnya tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan pembiayaan operasional dari sumber-sumber formal.
5.
Kesulitan untuk mengakses pasar terkait faktor logistik, ketidaktepatan, dan rendahnya persiapan pengolahan kopi yang bermutu baik.
6.
Mekanisme resiko yang terbatas meskipun bergerak dalam suatu kelompok tani.
7.
Kelompok tani cenderung berorientasi sosial, memiliki manajemen pengelolaan yang rendah. Pembangunan pertanian pada dasarnya adalah suatu upaya untuk
meningkatkan kualitas hidup petani, yang dicapai melalui strategi investasi dan kebijaksanaan pengembangan profesionalitas dan produktivitas tenaga kerja pertanian, pengembangan sarana, dan prasarana ekonomi, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disertai dengan penataan dan pengembangan kelembagaan pedesaan (Kasryno 2002). Potensi pertanian memiliki potensi besar dalam menghasilkan produk pertanian dan potensi kebutuhan potensial terhadap hasil industri yang relatif tinggi
17
Menurut Yusdja dan Iqbal (2002), agroindustri mempunyai peran yang sangat besar dalam pembangunan pertanian di Indonesia terutama dalam rangka transformasi struktur perekonomian dan dominasi sektor pertanian ke dominasi sektor industri.
Peran agroindustri adalah menciptakan nilai tambah hasil
pertanian di dalam negeri, penyediaan lapangan kerja khususnya dapat menarik tenaga kerja sektor pertanian ke sektor agroindustri, meningkatkan penerimaan devisa melalui ekspor hasil agroindustri, memperbaki pembagian pendapatan dan menarik pembangunan sektor pertanian. Agroindustri dapat dipandang sebagai langkah pertama menuju industrialisasi. Agroindustri berasal dari 2 kata yaitu agricultural dan industry yang berarti suatu industri yang menggunakan hasil pertanian sebagai bahan baku utamanya; atau suatu industri yang menghasilkan suatu produk yang digunakan sebagai sarana atau input dalam usaha pertanian. Austin (1981) diacu dalam Yusdja dan Iqbal (2002), mengidentifikasikan agroindustri sebagai pengolahan bahan baku yang bersumber dari tanaman atau binatang. Pengolahan yang dimaksud meliputi pengolahan berupa proses transformasi dan pengawetan melalui perubahan fisik atau kimiawi, penyimpanan, pengepakan dan distribusi. Ciri kegiatan agroindustri adalah (i) meningkatkan nilai tambah, (ii) menghasilkan produk yang dapat dipasarkan atau digunakan atau dimakan, (iii) meningkatkan daya simpan, dan (iv) menambah pendapatan dan keuntungan produsen. Said dan Haritz (1998), mendefinisikan agroindustri sebagai kegiatan industri yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut. Dengan demikian agroindustri meliputi industri pengolahan hasil pertanian, industri yang memproduksi peralatan dan mesin pertanian, industri input pertanian, dan industri jasa sektor pertanian. Menurut Saptana dan Sumaryanto (2002), di antara komoditas pertanian, komoditas perkebunan mempunyai interdependensi yang sangat kuat dengan industri pengolahan karena sebagian besar output sektor perkebunan digunakan sebagai bahan baku industri pengolahan. Kelembagaan merupakan salah satu aspek yang sangat strategis dalam pengembangan industri perkebunan. Organisasi
yang
mungkin
beroperasi
dalam
mata
rantai
kelembagaan
18
pembangunan agroindustri adalah petani atau kelompok tani, koperasi petani, pedagang, perusahaan lokal, perusahaan multinasional, dan BUMN. Aspek lain yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan agroindustri perkebunan adalah pemilihan teknologi untuk meningkatkan nilai tambah dan kualitas hasil perkebunan. Teknologi pengolahan yang dibutuhkan harus sesuai dengan (i) kebutuhan pasar terutama menyangkut kualitas yang dipersyaratkan, (ii) mempertimbangkan kompleksitas teknologi dan biaya yang dibutuhkan, (iii) sesuai dengan kapasitas yang akan digunakan, dan (iv) sesuai dengan kapasitas kemampuan manajemen. Nilai tambah dari agroindustri perkebunan umumnya bersumber dari usaha tani tanaman perkebunan dan pengolahan produk primer. Apabila teknologi yang digunakan sederhana, maka kualitas produk perkebunan rakyat umumnya juga beragam.
Oleh karena itu peningkatan nilai tambah agroindustri perkebunan
sebaiknya dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan mutu hasil usahatani, usaha pengolahan, dan sistem pemasarannya secara simultan. Sebagai salah satu tanaman perkebunan yang memegang peranan penting dalam perekonomian nasional, Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan berusaha untuk tetap memperkuat peranan kopi, baik di luar negeri, dan dalam negeri melalui
upaya-upaya yang tertuang dalam Road Map
Komoditas Kopi 2005-2025 1.
Kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu tanaman kopi
2.
Peningkatan ekspor dan nilai tambah kopi
3.
Dukungan penyediaan pembiayaan
4.
Pemberdayaan petani Hasil
Simposium
Kopi
tahun
2006
meletakkan
landasan
bagi
pengembangan agroindustri kopi rakyat dengan menitikberatkan pada faktorfaktor berikut: (1) pengembangan komoditas kopi rakyat sebagai komoditas potensial penghasil pendapatan petani, devisa negara, dan pelestarian lingkungan melalui pengkajian aspek-aspek keunggulan komparatifnya, (2) penyempurnaan teknologi pengolahannya termasuk yang berteknologi tinggi, (3) pemasyarakatan inovasi teknologi yang dihasilkan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao melalui
19
program Prima Tani, dan (4) Revitalisasi Kopi. Program Revitalisasi Kopi yang dapat diterapkan untuk mendukung agroindustri kopi rakyat meliputi a.
Perbaikan mutu hasil dan sistem pemasaran
b.
Pembinaan penerapan teknologi olah basah di tingkat kelompok tani
c.
Adopsi program pendampingan untuk meningkatkan produktivitas, mutu hasil, harga jual, dan pendapatan para petani.
d.
Diversifikasi, intensifikasi, rehabilitasi, dan peremajaan
e.
Perluasan segmentasi pasar kopi dengan upaya mengurangi hambatan antara lain penerapan 4C (Common Code for Coffee Community).
f.
Menerapkan
inovasi
teknologi
pascapanen
untuk
pengolahan
dan
pengembangan diversifikasi produk kopi skala UMKM. g.
Peningkatan permintaan produk-produk kopi yang dikaitkan dengan isu keamanan pangan, lingkungan, kesejahteraan pekerja serta keberlanjutan, perlu diantisipasi sejak dini oleh para pelaku agribisnis dan disosialisasikan kepada para petani kopi.
h.
Teknologi olah basah hemat air yang dihasilkan Puslitkoka perlu dimanfaatkan dalam penerapan pengolahan kopi basah melalui sistem kelompok tani untuk meningkatkan mutu kopi rakyat dan pendapatan petani serta melestarikan sumber daya alam.
i.
Penerapan model sistem usaha tani perkebunan kopi terintegrasi dengan ternak, pemanfaatan limbah kebun dengan teknologi pengomposan, penanganan susu kambing, dan perbaikan sistem budidaya. Sebagai komoditas pertanian penting yang diperdagangkan di dunia, saat ini
usaha pertanian, agroindustri, dan pemasarannya dituntut untuk dilaksanakan berdasarkan konsep berkelanjutan. Sertifikasi kopi merupakan salah satu langkah untuk menjamin pelaksanaan pertanian kopi secara berkelanjutan.
Beberapa
contoh sertifikasi kopi yang ada adalah Organic, Fairtrade, Rainforest Alliance dan lainnya.
Sejumlah klasifikasi telah ditetapkan untuk menilai kelayakan
keberlanjutan perkebunan kopi berdasarkan standar ekonomi, sosial dan lingkungan. Standar ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan yang dicetuskan oleh WCED tahun 1983 yang kemudian diadopsi di berbagai bidang kehidupan.
20
2.3 Konsep Pembangunan Berkelanjutan pada Agroindustri Kopi Rakyat Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dengan memperhatikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (WCED 1987 diacu dalam Munasinghe 1993). Konsep ini mencakup 3 perspektif utama yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan.
Ekonomi mengarah pada peningkatan kesejahteraan
manusia, terutama peningkatan konsumsi barang dan jasa. Domain lingkungan memfokuskan pada perlindungan dari integritas dan daya lenting sistem ekologis. Domain sosial menekankan pada pengayaan hubungan antara manusia, pencapaian aspirasi kelompok dan individu, serta memperkuat institusi dan nilainilai sosial (Munasinghe 2010). Efisiensi, pertumbuhan,
EKONOMI
Equity intra generasi, Kesempatan kerja
stabilitas
Valuasi, Internalisasi
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Equity intra generasi, Partisipasi
SOSIAL Kemiskinan, pemberdayaan, kultur
LINGKUNGAN Biodiversity, SDA, polusi
Gambar 6 Elemen pembangunan berkelanjutan Pembangunan dalam kerangka keberlanjutan, digambarkan sebagai proses untuk meningkatkan kesempatan yang memungkinkan manusia secara individu dan komunitas untuk mencapai aspirasinya dan seluruh potensinya dalam periode waktu yang mendukung, dengan menjaga daya lenting (resiliensi) dari sistem ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Pembangunan berkelanjutan membutuhkan
peningkatan kapasitas adaptif dan kesempatan untuk memperbaiki sistem ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Dalam pembangunan berkelanjutan terjadi
proses perubahan yang didalamnya terdapat upaya eksploitasi sumber daya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan dalam
21
keadaan selaras serta berupaya meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia (Munasinghe 2010). Keberlanjutan ekonomi mencari untuk memaksimumkan aliran pendapatan yang dapat dibangkitkan dengan upaya sedikitnya dalam menjaga keberadaan aset (kapital) yang menghasilkan output yang menguntungkan.
Keberlanjutan
lingkungan menitikberatkan pada kelangsungan hidup menyeluruh dan fungsi dari sistem alami. Keberlanjutan sosial umumnya merujuk pada perbaikan keberadaan manusia dan seluruh kesejahteraan sosial yang menghasilkan peningkatan dalam kapital sosial.
Sistem sosioekonomik-ekologis dapat menyusun sekaligus
menjaga tingkat keragaman yang menjamin daya lenting dari ekosistem dimana konsumsi dan produksi manusia tergantung padanya (Munasinghe 2010). Paradigma pembangunan berkelanjutan telah diterapkan secara luas pada berbagai sektor maupun bidang,
definisi keberlanjutan secara operasional
mempunyai berbagai dimensi yang luas (Glavic dan Lukman 2007). Meskipun demikian, menurut Pulselli et al. (2008), konsep keberlanjutan masih menunjukkan ketidakkonsistenan terkait pelaksanaan antara pemerintah dengan swasta, terutama terkait dengan prioritas tujuan yang akan dicapai, aspek sosial ekonomi, dan perbedaan pemahaman waktu antara siklus ekonomi dan politik. Beberapa prinsip dan aturan telah dihasilkan untuk memudahkan pelaksanaan konsep keberlanjutan. Sebagai contoh adalah Daly (1990) diacu dalam Pulselli et al. (2008), menjelaskan beberapa prinsip dasar keberlanjutan adalah: (a) penggunaan sumber daya alam yang tidak boleh melebihi kemampuan regenerasinya, (b) emisi yang dihasilkan dari proses produksi dan konsumsi tidak boleh melebihi kemampuan absorpsi dan kapasitas regenerasi dari ekosistem, (c) penggunaan sumber daya yang tidak terbaharukan haruslah melahirkan kompensasi terhadap substitusi penggunaan sumberdaya terbarukan yang mencukupi. Daly (1992) diacu dalam Pulselli et al. (2008), mengajukan 3 kriteria untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, yaitu, (1) aktivitas manusia yang dilakukan dalam skala keberlanjutan, (2) efisiensi alokasi sumber daya, yang mencakup pula sumber daya ekologi yang langka secara ekonomi, dan (3) distribusi hasil yang seimbang. Terdapat sejumlah kerangka
22
penilaian keberlanjutan yang telah dikembangkan. Menurut Singh et al. (2009), indikator dan indikator gabungan telah banyak digunakan sebagai alat untuk pengambilan kebijakan dan menilai penampilan dari perkembangan lingkungan, ekonomi, sosial, dan teknologi.
Indikator ini dibangun dari nilai-nilai dan
pengetahuan yang dibentuk oleh manusia dan digunakan untuk memberikan kesimpulan, pemusatan dan pertimbangan terhadap kompleksitas lingkungan yang dinamis dapat memberikan sejumlah informasi yang bermakna. Indikator dapat membantu menentukan keputusan terbaik dan paling efektif dengan menyederhanakan, memperjelas, dan menggabungkan berbagai informasi yang tersedia bagi pemegang kebijakan. Indikator juga dapat membantu menghubungkan pengetahuan sosial dan fisik dapat digunakan untuk mengukur dan mengkalibrasi perkembangan yang ada menuju tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan. Indikator juga dapat berfungsi sebagai peringatan awal untuk mencegah kemunduran dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Indikator juga merupakan alat yang sangat bermanfaat untuk mengkomunikasikan ide, pemikiran, dan nilai-nilai. Pemilihan terhadap indikator secara lebih luas ditentukan oleh tujuan pembuatan indikator tersebut (United Nations 2007). Penilaian keberlanjutan dalam
sektor usaha ataupun industri telah
dipusatkan pada studi keberlanjutan proses pengolahan dalam industri. Menurut Adams dan Ghaly (2007), penilaian keberlanjutan dalam industri spesifik umumnya berdasarkan tiga pilar keberlanjutan yaitu lingkungan, ekonomi, dan sosial.
Menurut Reed (1997) diacu dalam Adams dan Ghaly (2007),
keberlanjutan sistem lingkungan berarti: (a) kestabilan sumber daya yang menjadi basis usaha industri, (b) mencegah usaha eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya yang dapat pulih, (c) pengurangan terhadap sumberdaya yang tidak dapat pulih hanya apabila dapat dilakukan investasi untuk sumberdaya substitusi. Labuschagne et al. (2005); Hall (2000) dan Pauli (1998) diacu dalam Adams dan Ghaly (2007), menggariskan poin-poin keberlanjutan ekonomi meliputi halhal sebagai berikut; (a) sistem ekonomi yang berkelanjutan harus mampu menghasilkan barang dan jasa secara terus menerus, (b) adanya penjagaan terhadap tingkat pengelolaan oleh pemerintah dan investor luar, (c) menghindari ketidakseimbangan antara sektor pertanian dan produksi industri, (d) peningkatan
23
efisiensi dalam penggunaan sumber daya alam, dan (e) peningkatan nilai tambah produk dari sumber-sumber tersebut. Reed (1997) diacu dalam Adams dan Ghaly (2007), menekankan pentingnya kestabilan sistem sosial secara berkelanjutan agar tercapainya kesamaan dalam distribusi dan kesempatan dalam jasa sosial seperti kesehatan dan keamanan, kesamaan gender dan kekuasaan, akuntabilitas politik dan partisipasi serta laju populasi yang berkelanjutan. Keberlanjutan kelembagaan menurut UN (1992) dan Spangenberg et al. (2002) diacu dalam Adams dan Ghaly (2007) meliputi kerangka dan kapasitas kelembagaan yang memusatkan pada keberadaan organisasi kelembagaan dan sistem yang mendukung keberlanjutan pembangunan dan adanya efektivitas dari organisasi. Oleh karena itu untuk membangun suatu kerangka penilaian keberlanjutan, metodologi yang mencakup seluruh dimensi keberlanjutan merupakan langkah pertama yang harus dibangun. Berdasarkan metodologi ini, pembagian kerangka, kriteria spesifik, dan batasan akan ditentukan.
100%
95% 85%
90%
sangat penting
80% 70%
agak penting
59%
60%
51%
48%
50%
33%
40%
37% 26%
30%
12%
20% 10%
3%
0%
Kualitas Kopi Ketersediaan
Ketepatan
Kesadaran Konsumen
Harga Rendah
Gambar 7 Penilaian atribut kepentingan pembelian kopi berkelanjutan Sumber: Giovannucci 2001
Menurut Giovannucci (2001), alat penilaian keberlanjutan pertanian kopi saat ini yang telah dilakukan adalah melalui pemberian sertifikasi Organic, Shade Coffee, dan Fair Trade. Meskipun belum sepenuhnya menjamin perlindungan terhadap lingkungan, dan sosial, tetapi melalui sertifikasi ini, kopi yang diperdagangkan mendapat harga premium.
Hal ini merupakan langkah awal
24
untuk memberikan manfaat lingkungan, ekonomi, dan sosial bagi produsen (petani kopi).
Pencapaian kopi berkelanjutan berarti seorang produsen yang
berkelanjutan harus memenuhi tujuan lingkungan dan sosial jangka panjang serta mampu bersaing secara efektif dengan pelaku pasar lainnya untuk mencapai harga yang mampu menutupi biaya produksi dan memungkinkan baginya untuk menerima margin keuntungan dari perdagangan produk kopi. Beberapa faktor yang mempengaruhi pembelian kopi yang berkelanjutan disajikan pada Gambar 7. Kualitas atau mutu kopi merupakan landasan untuk mencapai keberlanjutan. Hal ini didasarkan pendapat bahwa keberlanjutan pertanian kopi dapat dicapai melalui pemeliharaan tanaman kopi dan produk kopi yang berkualitas baik. Melalui kualitas kopi yang memadai, petani akan mampu bersaing secara kompetitif. Meskipun terkadang pasar tidak selalu menghargai kopi yang bermutu tinggi, dibutuhkan standar mutu kopi. Importir, distributor, pengecer, dan penjual kopi bubuk belum sepenuhnya terlibat untuk meningkatkan keberlanjutan kopi. Hal ini dimungkinkan karena industri hilir telah mendapatkan manfaat dari peningkatan kualitas dan harga premium dari sertifikasi kopi. Keberlanjutan usaha pertanian kopi haruslah terus diusahakan
agar terdapat
sinergi antara petani dan pasar. Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang memperoleh sertifikasi kopi berkelanjutan dengan dominasi kopi organik sekitar 24%. Persyaratan utama yang harus dilakukan oleh petani organik adalah sebagai berikut. 1.
Meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah melalui pengomposan dan metode alamiah lainnya seperti penanaman tanaman penyumbang nitrogen ataupun pupuk hewani.
2.
Menggunakan metode ekologis untuk mengontrol hama dan penyakit daripada menggunakan pestisida atau fungisida kimia.
3.
Memberikan perlindungan terhadap burung-burung dan hewan yang berada di perkebunan kopi.
4.
Melindungi keragaman tanaman dengan penanaman tanaman selain tanaman kopi.
5.
Meminimalkan erosi tanah dan melakukan penjagaan areal hutan
25
6.
Menyediakan keamanan ekonomi di daerah perdesaan dengan menyediakan pekerjaan padat karya terutama pada saat panen dan menumbuhkan berbagai varietas tanaman pangan yang bermanfaat.
7.
Meminimalkan pencemaran dari limbah cair pengolahan kopi dengan mengurangi penggunaan air, melakukan resirkulasi air jika memungkinkan, dan menerapkan sistem anaerobik untuk menghasilkan air bersih setelah pemanfaatannya.
8.
Mengikuti standar organik yang ketat untuk menghasilkan tanaman yang berkualitas dan memenuhi persyaratan sertifikasi organik.
9.
Melindungi dan mempertahankan keberadaan pertanian tradisional yang telah dibangun berdasarkan keselarasan dengan alam. Dengan demikian pengusahaan agroindustri kopi yang berkelanjutan
hendaknya diupayakan berdasarkan persyaratan sertifikasi pertanian kopi yang berkelanjutan. Menurut Pujiyanto (2007), konsep produksi kopi berkelanjutan pada dasarnya mengacu pada konsep pertanian berkelanjutan.
Pertanian
berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya alam dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan manusia yang terus berubah dan sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan, dan melestarikan sumber daya alam. Sistem produksi kopi yang berkelanjutan memiliki 4 dimensi, yaitu dimensi lingkungan fisik, dimensi ekonomi, dimensi sosial serta dimensi kesehatan. Dimensi lingkungan fisik meliputi kelestarian lahan (tanah, air, dan sumberdaya genetik flora dan fauna) dan kelestarian produksi kopi. Dimensi ekonomi adalah adanya saling ketergantungan dan saling menguntungkan antar pelaku agribisnis kopi. Dimensi sosial meliputi dampak sosial agribisnis kopi serta kesejahteraan petani dan karyawan yang terlibat dalam agribisnis kopi. Dimensi kesehatan berarti tidak berdampak negatif terhadap kesehatan. Dengan demikian terdapat 3 ciri agroindustri kopi rakyat yang berkelanjutan. 1. Produktivitas dan keuntungan dapat dipertahankan atau ditingkatkan dalam waktu yang relatif lama memenuhi kebutuhan manusia pada masa sekarang atau masa mendatang. 2. Sumberdaya alam khususnya sumber daya pertanian kopi rakyat yang menghasilkan bahan baku agroindustri kopi rakyat dapat dipelihara dengan
26
baik dan bahkan terus ditingkatkan karena keberlanjutan agroindustri tersebut sangat tergantung dari tersedianya bahan baku. 3. Dampak negatif dari adanya pemanfaatan sumber daya alam dan adanya agroindustri kopi dapat diminimalkan. Teknologi memainkan peran sangat penting dalam pembangunan pertanian kopi berkelanjutan karena teknologi merupakan salah satu jalan yang sangat penting dalam berinteraksi dengan lingkungan. Dengan teknologi, sumberdaya alam
dieksplorasi,
memodifikasinya
untuk
kepentingan
manusia,
dan
mengadaptasinya dengan ruang untuk manusia. Penggunaan teknologi mampu memberikan perubahan drastis dalam kualitas kehidupan banyak orang. Teknologi yang berkelanjutan merupakan suatu cara untuk memajukan kehidupan sosial menuju keberlanjutan. Teknologi berkelanjutan merupakan solusi praktis untuk mencapai pembangunan ekonomi dan kepuasan manusia agar selaras dengan lingkungan.
Teknologi ini haruslah mendukung, berkontribusi terhadap
pembangunan berkelanjutan melalui pengurangan resiko, meningkatkan efektifitas biaya, meningkatkan efisiensi proses, dan menciptakan proses, produk atau jasa yang
secara
lingkungan
menguntungkan,
tidak
membahayakan,
dan
menguntungkan bagi manusia. Teknologi yang berkelanjutan haruslah memenuhi karakteristik berikut. 1. Meminimalkan konsumsi bahan baku dan energi.
Penggunaan energi dan
sumber daya tidak terbaharukan haruslah diminimalkan karena konsumsi sumberdaya telah mencakup peningkatan kekacauan material dan energi, menurunkan kemampuan penggunaannya di masa depan. Melalui pemanfaatan material dan energi untuk proses konsumsi berarti menurunkan potensi penggunaannya untuk generasi saat ini dan mendatang. Oleh karena itu, penggunaan sedikit mungkin bahan dan energi “doing more with less,” merupakan tujuan mendasar dari keberlanjutan. 2. Menjaga kepuasan manusia. Teknologi yang berkelanjutan haruslah mampu memenuhi kebutuhan populasi. Dengan demikian dibutuhkan teknologi yang mampu
menyesuaikan
keinginan
manusia
dan
perbedaan
budaya.
Kemungkinan terjadinya konflik antara kriteria lingkungan dan ekonomi haruslah dapat dikompromikan tanpa harus mengabaikan kebutuhan manusia.
27
Pemenuhan keinginan berarti perbedaan antara bertahan untuk hidup dan kehidupan. 3. Meminimalkan dampak negatif lingkungan. Merupakan hal yang penting untuk meminimalkan
dampak
negatif
dan
memaksimalkan
dampak
positif
lingkungan sebagai tujuan yang penting karena lingkungan terdiri dari ekosistem yang harus mampu mendukung kehidupan manusia di bumi. Keberlanjutan ras manusia membutuhkan pemeliharaan dan penjagaan ekosistem untuk melakukan penjagaan keanekaragaman, habitat yang memadai dan daya lenting ekosistem. Berkaitan dengan pemanfaatan teknologi dalam suatu usaha industri maka kerangka keberlanjutan menurut Spangenberg dan Bonniot (1998) diacu dalam Adams dan Ghaly (2007) dapat digunakan seperti yang disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan Kerangka Wuppertal, semua teknologi yang digunakan serta kelembagaan yang terlibat dalam proses pembangunan diarahkan untuk memenuhi kepentingan manusia masa sekarang maupun masa mendatang. Jadi teknologi yang digunakan sesuai dengan daya dukung sumber daya alam, tidak ada degradasi lingkungan, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial diterima oleh masyarakat. Indikator Tekno ekologi cth: penggunaan SD & energi, limbah. performans Intensitas SD produksi, pekerjaan, jasa dan perusahaan
Distribusi akses terhadap sumber daya lingkungan
Indikator Kelembagaan cth: kapasitas, efisiensi & partisipasi stakeholder
Indikator Ekonomi cth: performans, B/C, efisiensi, resiko ekonomi
Disparitas pendapatan, keberlanjutan dan pendidikan
Indikator Sosial: cth: Hubungan komunitas, tenaga kerja
Gambar 8 Indikator keberlanjutan Kerangka Wuppertal (Spangenberg dan Bonniot 1998) diacu dalam Adams dan Ghaly (2007)
28
Menurut Pelupessy (2003), berdasarkan studi yang dilakukan oleh Nestel tahun 1995 mengenai aktivitas perkopian di Mexico, penerapan sistem ekologis dan sosial ekonomi masih dilakukan secara terpisah dan hanya terhubung saat berkaitan dengan aktivitas petani produsen.
Pemanfaatan teknologi dalam
aktivitas pengolahan kopi masih memiliki potensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Oleh karena itu perlu dipetakan dampak lingkungan utama untuk setiap tahapan aktivitas pengolahan dalam sistem input output pengolahan kopi 2.4 Proses Pengolahan Kopi Proses pengolahan kopi adalah tahapan yang mengubah buah kopi setelah panen menjadi biji kopi yang dapat diperdagangkan (biji kopi beras). Menurut Mulato et al. (2006), buah kopi atau kopi gelondong basah adalah buah kopi hasil panen dari kebun, kadar airnya masih berkisar antara 60-65% dan biji kopinya masih terlindung oleh kulit buah, daging buah, lapisan lendir, kulit tanduk, dan kulit ari. Biji kopi beras adalah biji kopi yang sudah dikeringkan dengan kadar air berkisar antara 12 – 13%. Biji kopi ini telah mengalami beberapa tingkat proses pengolahan sudah terlepas dari daging buah, kulit tanduk, dan kulit arinya. Secara umum pengolahan kopi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pengolahan kering dan basah. Pengolahan kopi secara basah biasa disebut W.I.B (West Indische Bereiding), sedangkan pengolahan kering disebut O.I.B (Oost Indische Bereiding) atau disebut pula dengan cara G.B (Gawone Bereiding) (Ciptadi dan Nasution 1985). Menurut Najiyati dan Danarti (2006), pengolahan kering terutama ditujukan untuk kopi Robusta. Di perkebunan besar, pengolahan kering hanya digunakan untuk kopi berwarna hijau, kopi rambang dan kopi yang terserang bubuk. Selain pengolahan basah dan pengolahan kering, saat ini dikenal metode pengolahan semi basah (semi wet method) yang terutama dilakukan di Brazil. 2.4.1. Proses Pengolahan Kering Pengolahan kering dibagi beberapa tahap, yaitu sortasi gelondong, pengeringan, dan pengupasan. Tahap pengupasan kulit (hulling) pada pengolahan kering agak berbeda dengan pengolahan basah. Pada pengolahan kering, hulling
29
bertujuan untuk memisahkan biji kopi dari kulit buah, kulit tanduk, dan kulit ari. Umumnya proses pengolahan kering membutuhkan waktu 2 minggu dan hanya dapat dilakukan di daerah yang beriklim kering dan panas (Winston et al. 2005). Menurut Clarke dan Macrae (1989), pengolahan kering adalah metode yang paling lama digunakan. Metode ini mudah dikerjakan dan membutuhkan lebih sedikit mesin, lebih ekonomis dan sederhana dibandingkan pengolahan basah. Pengolahan dilakukan dengan pengeringan pada seluruh buah.
Terdapat 3
langkah dasar pengolahan kering yaitu pembersihan, pengeringan, dan pengulitan. Buah yang telah dipanen disortir dan dibersihkan untuk memisahkan yang belum matang, terlalu matang dan buah rusak serta untuk menghilangkan kotoran, tanah, ranting, dan daun. Kemudian buah kopi dihamparkan di bawah sinar matahari baik di atas semen, bata atau di atas tikar dengan ketebalan lapisan tidak lebih dari 5 cm. Pengadukan dengan menggaruk atau pembalikan dilakukan beberapa kali untuk mencapai efisiensi pengeringan. Proses ini dapat menghabiskan waktu 4 minggu sebelum buah kering dengan kandungan air maksimum 12,5% tergantung pada kondisi cuaca (Clifford dan Wilson 1985). Pada perkebunan besar, mesin pengering sesekali dapat digunakan untuk mempercepat proses setelah kopi melalui pengeringan awal di bawah sinar matahari selama beberapa hari. Proses pengeringan merupakan tahap terpenting pada pengolahan kering karena dapat memberikan efek pada kualitas akhir biji kopi beras. Kopi yang terlalu kering akan mengkerut dan menghasilkan terlalu banyak biji hancur pada saat pengupasan. Kopi yang tidak kering memiliki kadar air tinggi dan cenderung cepat rusak akibat serangan jamur dan bakteri. Sebelum dijual, buah kering dikuliti, disortasi, dan diklasifikasi (grading). Semua lapisan luar buah kering dibuang pada pemrosesan di mesin pengupasan. Sebagian besar kopi Robusta diproses dengan metode ini. Akan tetapi metode ini sebaiknya tidak digunakan di daerah yang memiliki curah hujan tinggi karena kelembaban yang tinggi ataupun frekuensi hujan yang tinggi selama pemanenan. Biji kopi hasil pengolahan kering umumnya tidak seragam terutama yang berasal dari kopi rakyat harganya lebih rendah daripada biji kopi hasil pengolahan basah.
30
Panen Buah
Panen Buah
Panen Buah
Sortasi Buah
Sortasi Buah
Sortasi Buah
Pengupasan buah (pulping) + air
Pengupasan buah (pulping) + air
Buah terpisah dari kulit dan lendir
Buah terpisah dari kulit dan lendir
Pencucian
Fermentasi Pencucian
Demucilager
Biji kopi dengan kulit tanduk
Biji kopi dengan kulit tanduk
Pengeringan
Pengeringan
Pengeringan
Pengupasan Kulit Tanduk (Hulling)
Pengupasan Kulit Tanduk (Hulling)
Pengupasan Kulit Tanduk (Hulling)
Sortasi
Sortasi
Sortasi
Penggudangan
Penggudangan
Penggudangan
Olah Basah
Olah Semi Basah
Olah Kering
Gambar 9 Diagram alir pengolahan biji kopi Sumber: Winston et al. (2005) ; Mulato et al. (2006)
Di beberapa daerah di Jawa Timur, pengolahan kering dilakukan dengan terlebih dahulu memecah kulit buah kopi. Setelah pemanenan, buah dipecah dengan mesin pemecah (kneuzer) yang bersih. Kemudian buah dihamparkan di alas/lantai jemur dengan ketebalan < 4cm. Buah pecah kulit tidak boleh dijemur langsung di atas tanah karena biji dapat terserang jamur. Proses pengeringan dituntaskan hingga kadar air 12%. Waktu pengeringan pada metode olah kering dengan buah pecah kulit umumnya lebih cepat dibandingkan metode olah kering umumnya, akan tetapi membutuhkan penanganan khusus untuk mencegah timbulnya jamur (Ismayadi dan Zaenudin 2003).
31
2.4.2. Proses Pengolahan Basah Menurut
Sivetz
dan
Desrosier
(1979),
proses
pengolahan
basah
membutuhkan penggunaan alat spesifik dan kuantitas air yang mencukupi. Apabila dilakukan dengan baik, metode ini menjamin kualitas biji kopi terjaga dengan baik, menghasilkan biji kopi beras (green coffee) yang seragam dan lebih sedikit kerusakan. Oleh karena itu kopi yang diolah dengan metode ini umumnya mendapatkan kualitas yang lebih baik dan harganya lebih tinggi.
Karena
membutuhkan air dalam jumlah banyak dapat menyebabkan terjadinya masalah kekurangan air terutama pada saat musim kemarau. Proses pengolahan basah dimulai dengan pemanenan yang lebih teliti dengan
hanya mengambil buah-buah kopi yang berwarna merah dan sedikit
mungkin buah yang belum atau terlalu masak.
Pengolahan secara basah
memerlukan modal besar tetapi proses lebih cepat dan mutu yang dihasilkan lebih baik.
Oleh karena itu, pengolahan basah banyak dilakukan oleh perkebunan
nasional (PT Perkebunan Nusantara), perkebunan swasta yang cukup besar atau kelompok tani yang membentuk koperasi. Perbedaan pokok antara pengolahan kering dan pengolahan basah adalah pada olah kering pengupasan daging buah, kulit tanduk dan kulit ari dilakukan setelah kering (kopi gelondong), sedangkan pengolahan basah pengupasan daging buah dilakukan sewaktu masih basah, meningkatkan mutu dan rasa kopi setelah menjadi bubuk dan diminum. Mulato et al. (2006); Najiyati dan Danarti (2006), pengolahan basah dilakukan melalui tujuh tahap, yaitu tahap sortasi buah, pengupasan kulit dan daging buah (pulping), fermentasi, pencucian, pengeringan, hulling, dan sortasi biji. a. Sortasi Buah Sortasi buah sebaiknya telah dilakukan sejak di kebun untuk memisahkan buah merah dan buah campuran hijau-kuning-merah.
Kotoran seperti daun,
ranting, tanah, dan kerikil juga harus dibuang karena dapat merusak mesin pengupas (pulper). Pada tahap sortasi gelondong, buah kopi merah yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam bak sortasi yang berisi air akan terpisah antara buah kopi yang sehat dan berisi dengan buah kopi yang hampa dan terserang bubuk. Kopi gelondong yang sehat akan tenggelam kemudian disalurkan ke
32
mesin pulper, sedangkan gelondong yang terapung diolah secara kering (Clifford dan Wilson 1985). b. Pengupasan Buah Kopi (Pulping) Pengupasan kulit dan daging buah kopi (pulping) merupakan salah satu tahapan proses yang sangat penting dalam pengolahan kopi basah.
Proses
pengupasan dilakukan dengan menggunakan mesin pengupas yang dapat dibuat dari bahan logam. Pada pengolahan basah, buah kopi sebaiknya telah mencapai tingkat kematangan optimal antara lain ditandai dengan kulit buah berwarna merah seragam dan segar yang harus dikupas dan dipisahkan dari bagian biji HS. Pada saat pengupasan harus diusahakan agar kulit tanduk masih tetap melekat pada butiran biji (Ciptadi dan Nasution 1985). Proses pengupasan sebaiknya tidak lebih dari 12-24 jam setelah pemetikan untuk mencegah terjadinya pembusukan buah (Clifford dan Wilson 1985). Umumnya proses pengupasan dan pemisahan kulit buah dibantu oleh sejumlah air dilakukan secara mekanis baik dengan sumber tenaga penggerak manual maupun dengan motor listrik atau motor bakar. Pengupasan kulit buah berlangsung di dalam celah di antara permukaan silinder yang berputar (rotor) dan permukaan plat atau pisau yang diam (stator) (Mulato et al. 2006; Clifford dan Wilson 1985). Menurut Widyotomo et al. (2009), dasar kerja mesin pulper yaitu menggencet buah kopi dengan suatu silinder yang berputar terhadap suatu dasar plat yang bertonjolan. Buah kopi yang masuk ke dalam corong mesin pulper, kemudian jatuh pada permukaan silinder yang sedang berputar. Selanjutnya buah kopi didesak dan dihimpit di antara silinder dan sebuah alat pememar. Dengan tekanan himpit tersebut maka biji yang masih berkulit tanduk dan sebagian lendir terlepas dari daging buahnya. Kedua bagian dari buah kopi tersebut dipisahkan oleh suatu plat dari karet. Mengingat pengupasan dilakukan secara mekanik, terkadang masih meninggalkan sejumlah daging buah residu selain lendir yang melekat pada biji. Residu ini harus dibuang seluruhnya untuk mencegah kontaminasi biji kopi oleh bahan yang akan dihasilkan oleh degradasi lendir saat fermentasi. pencucian awal sebelum fermentasi dilakukan untuk membuang residu ini.
Proses
33
c. Fermentasi Clarke dan Macrae (1989) menjelaskan setelah proses pulping (pengupasan kulit buah), dilakukan fermentasi yang bertujuan untuk membantu melepaskan lapisan lendir yang menyelimuti kopi yang keluar dari mesin pulper. Proses fermentasi akan mengurai pulpa (lendir) biji kopi lebih mudah dicuci. Sivetz dan Desrosier (1979), pulpa yang menempel pada kulit dapat menimbulkan resiko kerusakan cita rasa. Lendir mengandung enzim yang dapat menghidrolisa dan mendegradasi pektin. Biji yang telah dikupas atau dicuci pada proses olah basah diletakkan di tangki fermentasi besar selama 24-36 jam, tergantung suhu, lapisan lendir, dan konsentrasi enzim. Akhir proses fermentasi dapat diduga dengan meraba permukaan biji. Apabila biji kopi telah kehilangan tekstur halusnya dan terasa lebih kasar, fermentasi berakhir. Menurut Clifford dan Wilson (1985); Mulato et al. (2006), prinsip fermentasi adalah peruraian senyawa-senyawa yang terkandung di dalam lapisan lendir oleh mikroba alami dan dibantu dengan oksigen dari udara.
Proses
fermentasi dapat dilakukan secara basah (merendam biji kopi dalam genangan air) dan secara kering (tanpa rendaman air). Selama proses fermentasi, akan terjadi pemecahan komponen lapisan lendir (protopektin dan gula) dengan dihasilkannya asam-asam dan alkohol. Proses fermentasi yang terlalu lama akan menghasilkan kopi beras yang berbau apek karena terjadi pemecahan komponen isi lembaga (Ciptadi dan Nasution 1985). Secara rinci Clarke dan Macrae (1989), menjelaskan perubahan yang dapat terjadi selama proses fermentasi adalah sebagai berikut. 1.
Pemecahan komponen lendir. Bagian terpenting dari lapisan lendir ini adalah komponen protopektin yaitu suatu material kompleks yang tidak larut dari daging buah. Material inilah yang terpecah dalam proses fermentasi. Ada yang berpendapat bahwa terjadinya pemecahan lendir adalah sebagai akibat bekerjanya suatu enzim yang terdapat dalam buah kopi. Enzim ini termasuk sejenis katalase yang akan memecah protopektin dalam buah kopi. Dengan bertambah matangnya buah kopi, maka kandungan pektinase bertambah banyak.
Enzim ini adalah protopektinase yang sangat sensitif terhadap
perubahan pH. Pada pH fermentasi 5,5 – 6,0 pemecahan lendir akan berjalan
34
cukup cepat. Apabila pH diturunkan menjadi 4 maka kecepatan pemecahan menjadi 2 kali lipat lebih cepat. Pada saat proses pengupasan buah kopi, sebagian besar enzim tersebut terpisahkan dari kulit dan daging buah, akan tetapi sebagian kecil masih tertinggal dalam bagian sari buah kopi. 2.
Pemecahan gula. Sukrosa merupakan komponen penting dalam daging buah. Kadar gula akan meningkat dengan cepat selama proses pematangan buah yang dapat diketahui dengan adanya rasa manis pada buah kopi. Gula merupakan senyawa yang larut dalam air. Dengan adanya tahap pencucian akan menyebabkan kehilangan kandungan gula. Proses ini terjadi sewaktu perendaman dalam bak pengumpul dan pemisahan buah. Oleh karena itu kadar gula dalam daging biji akan mempengaruhi konsentrasi gula di dalam lendir beberapa jam setelah fermentasi. Gula merupakan substrat bagi mikroorganisme. Bakteri pemecah gula ini bekerja 5 sampai 24 jam dalam proses fermentasi. Sebagai hasil proses pemecahan gula adalah asam laktat dan asam asetat dengan kadar asam laktat yang lebih besar. Dengan terbentuknya asam ini pH akan turun menjadi lebih kecil dari 5. Akan tetapi pada akhir fermentasi asam laktat akan dikonsumsi oleh bakteri
terjadi
kenaikan pH lagi. Asam-asam lain yang dihasilkan dari proses fermentasi ini adalah etanol, asam butirat dan propionat 3.
Perubahan warna kulit. Biji kopi yang telah terpisahkan dari pulp, maka kulit ari akan berwarna coklat. Demikian pula jaringan daging biji akan berwarna sedikit kecoklatan yang semula berwarna abu-abu atau abu-abu kebiruan. Proses pencoklatan ini terjadi akibat oksidasi polifenol. Warna coklat yang kurang menarik ini dapat dicegah dalam proses fermentasi dengan menggunakan air pencucian yang bersifat alkalis. Lebih lanjut Sulistyowati dan Sumartona (2002), menjelaskan fermentasi
yang lama akan menyebabkan keasaman kopi meningkat karena terbentuknya asam-asam alifatik.
Apabila fermentasi diperpanjang, terjadi perubahan
komposisi kimia biji kopi dimana asam-asam alifatik akan berubah menjadi esterester asam karboksilat yang dapat menyebabkan cacat dan cita rasa busuk. Menurut Cortez dan Menezez (2000), apabila teknologi dan iklim menguntungkan bagi perkembangan mikroorganisme, pemecahan lapisan lendir
35
terjadi seiring produksi alkohol dan asam-asam.
Akan tetapi jika proses
fermentasi dihentikan tepat setelah lapisan lendir dikonsumsi, konsumsi biji kopi (endosperma) tidak akan terjadi dan kualitas biji terjaga. Sebaliknya, jika proses fermentasi diteruskan, lapisan selular biji kopi akan terdegradasi, beberapa komponen kimia akan rusak dan mempengaruhi rasa dan aroma, dengan munculnya Rio flavor, earthy, ataupun fermented dan terbentuknya biji cacat berwarna hitam dan stinker.
Pemahaman mengenai proses fermentasi ini
melahirkan metode pengolahan baru yang dikenal dengan metode semi basah ”semi wet method”. Pada metode semi basah, kulit buah kopi yang masak dilepaskan secara manual ataupun mekanis menggunakan pulper dengan penambahan air sebagaimana proses olah basah.
Lendir yang masih menempel dilepaskan
menggunakan alat khusus ”demucilager”. Biji kopi kemudian dikeringkan hingga mencapai kadar air 12%, tanpa ada proses fermentasi (Winston et al. 2005). Unit ini lebih efisien dan efektif tanpa proses fermentasi dan pencucian.
Hanya
menggunakan air sebesar 0,5 L/kg buah kopi. Menurut Calvert (1999), proses semi basah merupakan langkah lebih maju untuk memperbaiki mutu biji kopi yang dihasilkan dari proses pengolahan kering. Meskipun proses semi basah lebih cepat dibandingkan pengolahan basah, akan tetapi tidak sepenuhnya demucilager mampu membersihkan lendir yang terdapat pada buah kopi, masih mempengaruhi cita rasa kopi setelah disangrai. Oleh karena itu disarankan, biji kopi yang telah dikupas lendirnya melalui tahap fermentasi beberapa jam agar bakteri dapat mendegradasi lendir yang tersisa. Kemudian proses selanjutnya adalah pencucian dan pengeringan untuk mempertahankan mutu biji kopi. d. Pencucian (Washing). Pencucian selanjutnya dilakukan untuk menghilangkan seluruh lapisan lendir dan kotoran lainnya yang masih tertinggal setelah difermentasi. Ciptadi dan Nasution (1985); Najiyati dan Danarti (2006), biji kopi dialirkan ke dalam bak pencucian yang segera diaduk-aduk dengan tangan atau diinjak-injak dengan kaki. Pencucian dengan mesin pencuci dilakukan dengan memasukkan biji kopi ke dalam suatu mesin
pengaduk yang berputar pada sumbu horizontal dan
36
mendorong biji kopi dengan air tetap mengalir.
Pengaduk mekanik ini akan
memisahkan lapisan lendir yang masih melekat pada biji dan lapisan lendir yang telah terpisah ini akan terbuang lewat aliran air yang seterusnya terbuang. Metode pencucian juga dapat dilakukan secara sederhana dengan melakukannya pada bak memanjang yang airnya terus mengalir. Di dalam bak tersebut, kopi diaduk-aduk dengan tangan atau kaki untuk melepaskan sisa lendir yang masih melekat. Pencucian berakhir apabila biji kopi tidak terasa licin lagi bila diraba. Kandungan air biji setelah proses pencucian adalah sekitar 60%. e. Pengeringan Proses pengeringan dilakukan setelah pencucian untuk mengurangi kandungan air dari dalam biji kopi HS yang semula 60-65% hingga menjadi 12%. Pada kadar air ini, biji kopi HS relatif aman untuk dikemas dalam karung dan disimpan di dalam gudang pada kondisi lingkungan tropis. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan cara penjemuran, mekanis dan kombinasi keduanya (Clifford dan Wilson 1985; Mulato et al. 2006; Najiyati dan Danarti 2006). Penjemuran merupakan cara yang mudah dan murah untuk pengeringan biji kopi. Jika cuaca memungkinkan, proses pengeringan sebaiknya dipilih dengan cara penjemuran penuh (full sun drying) hingga kadar air 20-25% kemudian dilanjutkan dengan pengering mekanis untuk menjaga kontinuitas sumber panas. Secara teknis, penjemuran akan memberikan hasil yang baik jika terpenuhi syaratsyarat berikut. 1.
Sinar matahari mempunyai intensitas yang cukup dan dapat dimanfaatkan secara maksimal.
2.
Lantai jemur dibuat dari bahan yang mempunyai sifat menyerah panas.
3.
Tebal tumpukan biji kopi di lantai jemur haruslah optimal.
4.
Pembalikan rutin dilakukan untuk efisiensi panas.
5.
Biji kopi berasal dari buah kopi yang masak.
6.
Penyerapan ulang air dari permukaan lantai jemur harus dicegah. Pengering mekanis juga dapat digunakan untuk mengeringkan biji kopi
mulai dari kadar air awal 60 – 65 %, terutama jika memang cuaca tidak memungkinkan untuk melakukan penjemuran. Dengan mengoperasikan pengering
37
mekanis secara terus menerus (siang dan malam), maka kadar air 12% dapat dicapai selama 48 – 54 jam. f. Pengupasan Kulit Tanduk (Hulling) Setelah proses pengeringan, biji kopi sebaiknya didiamkan terlebih dahulu hingga 24 jam untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan lingkungan sebelum digiling. Hulling atau pengupasan kulit tanduk bertujuan untuk memisahkan biji kopi yang sudah kering dari kulit tanduk dan kulit ari. Di dalam mesin huller, biji kopi dihimpit dan diremas kulit tanduk dan kulit ari terlepas. Kulit yang sudah terlepas dari biji akan dihembuskan keluar biji keluar dari mesin dalam keadaan bersih.
Biji kopi yang keluar dari huller adalah kopi beras yang siap disortasi
untuk diklasifikasikan mutunya. Biji kopi beras juga harus disortasi secara fisik atas dasar ukuran dan cacat bijinya. Sortasi biji kopi beras juga bertujuan untuk memisahkan biji kopi dari kotoran-kotoran non kopi seperti serpihan daun, kayu atau kulit kopi. Pemisahan berdasarkan ukuran dapat menggunakan ayakan mekanis maupun manual. Biji kopi yang telah disortasi kemudian dikemas dalam karung goni. Setiap karung mempunyai berat bersih 60 kg dan diberi label yang menunjukkan jenis mutu dan identitas produsen. Penanganan pasca panen sangat mempengaruhi mutu kopi. Mutu kopi rakyat yang masih rendah karena kurang tepatnya penanganan pascapanen sering menjadi masalah. Di tingkat petani, seringkali kurang diperhatikan hal-hal yang menyangkut tingkat kematangan buah. Petik buah merah sering dicampur dengan buah hijau kemudian langsung dikeringkan. Hal yang juga sering terjadi adalah pada saat pengolahan kering, kopi setengah kering dibungkus karung dan disimpan di rumah hingga menunggu matahari bersinar. Selain itu karung yang digunakan hendaknya benar-benar bersih untuk menghindari pembusukan buah yang akhirnya menimbulkan cacat biji. Kirom (2005) menyatakan nikmat kopi dapat hilang karena adanya cacat biji. Cacat biji kopi sangat menentukan dan mempengaruhi cita rasa seduhan kopi yang dihasilkan.
Bahkan apabila cacat kopi tersebut relatif dominan akan
menutup cita rasa dan aroma kopi yang sesungguhnya. Biji kopi ini di Indonesia disebut kopi asalan.
Menurut Atmawinata (1995), eksportir perlu melakukan
38
pengolahan kembali atas kopi asalan ini untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang masih tercampur di dalamnya seperti batu, kulit kering, ranting dan benda asing lainnya serta mengeringkannya kembali hingga kadar airnya 12%. Menurut Wibawa et al. (2005), mutu cita rasa kopi Robusta hasil olah kering mempunyai nilai rendah dengan kisaran sangat buruk hingga dapat diterima. Nilai cita rasa body cukup baik, tetapi aroma dan flavor rendah hingga sedang. Apabila penjemuran telah menggunakan lantai jemur yang baik, bau tanah/earthy rendah atau hampir tidak ada. Sementara itu, cita rasa kopi olah basah jauh lebih baik dengan aroma, flavor, dan body lebih kuat. Berdasarkan analisis cita rasa, kopi olah basah umumnya memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan kopi olah kering.
Hal ini didasarkan pada asumsi
bahwa, pada kopi olah basah, persentase buah masak lebih tinggi, sebaliknya pada kopi olah kering mengandung campuran buah mentah dan terlalu masak. Perbedaan jenis pengolahan juga memiliki efek yang berbeda terhadap kandungan gula dan flavor biji kopi yang akhirnya mempengaruhi proses metabolisme yang kompleks pada biji selama pengolahan dan pengeringan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa metabolisme selama proses panen turut mempengaruhi mutu kopi hingga panen berakhir. Akhirnya proses pengeringan juga turut menentukan kualitas kopi, terutama jika kadar air tinggi pada biji dapat meningkatkan pertumbuhan mikroba dan pembentukan mikotoksin (Weldesenbet et al. 2008). Proses pengolahan basah terutama dilakukan untuk kopi Arabika. Biji kopi yang dihasilkan mempunyai kualitas lebih baik harga lebih tinggi seperti jenis Colombia dan Other Milds. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Cortez dan Menezez (2000), kopi yang dihasilkan dari pengolahan basah memberikan cita rasa lebih nikmat dibanding kopi yang dihasilkan dari pengolahan kering. Kekurangan proses basah banyak menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan apabila tidak dilakukan penanganan dan penggunaan energi untuk peralatan cukup besar. Sebagai ilustrasi; apabila dilakukan pengolahan basah untuk 5,5 ton buah kopi, maka biji kopi bersih yang dihasilkan sebanyak 1 ton, 2 ton kulit buah kopi, limbah cair 22730 liter dengan 80 kg BOD, dan 0,28 ton limbah kulit ari kopi (Adams dan Dougan 1989).
Per ton biji kopi ekspor,
dihasilkan 3 ton kulit buah kopi, 150 kg kulit tanduk, dan kulit ari serta 6 ton
39
BOD yang mencemari perairan (Calvert 1998). Menurut Pelupessy (2003), input lingkungan pada proses pengolahan basah adalah air bersih, energi dan bahan bakar seperti minyak, dan kayu bakar. Sementara output yang dikeluarkan berupa pencemaran air oleh bahan-bahan organik, limbah padat (buah yang belum masak, rusak, terlalu masak, dan daging buah/pulp), bau yang tidak sedap, dan kulit ari. Biji kopi beras yang dihasilkan sekitar 18,5 % sementara 80% lebih berupa limbah organik dan cair. Sebagian dari limbah tersebut dapat dimanfaatkan kembali. Untuk setiap ton biji kopi yang diekspor, perkebunan kopi yang umumnya berada di pedesaan harus melakukan penanganan lanjutan untuk 3 ton pulp basah, 150 kg kulit tanduk, dan 6 ton limbah cair yang memiliki konsentrasi bahan organik tinggi. Di beberapa negara Amerika Tengah seperti Costa Rica, industri pengolahan kopi menyumbangkan polusi terbesar untuk sektor agroindustri. Pada tahun 1990, banyak industri pengolahan kopi yang membuang limbah cairnya langsung ke sungai dan menimbulkan beban organik yang sangat tinggi. Saat ini, peraturan membatasi konsentrasi limbah cair yang boleh dibuang ke sungai adalah 1250 mg/L untuk BOD dan 1500 mg/L untuk COD (Adams dan Ghaly 2005). Beban pencemaran yang cukup tinggi serta kebutuhan peralatan yang cukup banyak pada proses pengolahan basah tentu membutuhkan investasi dan biaya penanganan yang besar. akan sulit diterapkan pada usaha kopi rakyat yang umumnya terbatas pada modal dan lahan. Menurut Pelupessy (2003), secara umum terlihat adanya korelasi negatif antara harga/kualitas dari varietas kopi (Colombian Milds, Other Milds, Brazilian Naturals, dan Robusta) terhadap sifat ramah lingkungan. Menurut Mulato et al. (2006), basis usaha kopi rakyat di Indonesia umumnya terdiri atas kebun-kebun kecil dengan luas areal rata-rata petani antara 0.5 hingga 2 hektar. Jumlah buah per panen relatif kecil antara 50-200 kg, maka sebaiknya pengolahan hasil panen yang dipilih adalah pengolahan yang dilakukan secara berkelompok. Melalui proses giling basah, mutu biji kopi yang dihasilkan lebih bermutu dibandingkan pengolahan kering.
40
Panen Buah
Sortasi Buah
Pengupasan buah (pulping) + air Buah terpisah dari kulit dan lendir
Fermentasi kering
Pencucian Biji kopi dengan kulit tanduk
Pengeringan Pengupasan Kulit Tanduk (Hulling) Sortasi
Penggudangan
Modifikasi Olah Basah
Gambar 10 Proses giling basah (modifikasi proses olah basah) Sumber: Mulato et al. (2006)
Pada proses giling basah (wet hulling), kulit buah dibuang melalui proses mekanik menggunakan pulper. Kemudian biji kopi yang berkulit tanduk dan berlendir disimpan dalam wadah karung plastik atau tempat dari plastik yang bersih selama 12 -24 jam. Pengolahan ini banyak diterapkan oleh petani kopi Arabika di NAD, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan.
Pengolahan ini
menghasilkan kopi dengan citarasa yang sangat khas dan berbeda dengan kopi yang diolah secara basah penuh (WP). Ciri khas kopi yang diolah proses basah ini adalah berwarna gelap dengan fisik kopi agak melengkung. Kopi Arabika
41
yang diolah dengan cara ini biasanya memiliki tingkat keasaman lebih rendah dengan body lebih kuat dibanding dengan kopi olah basah tradisional umumnya. Proses giling basah juga dapat diterapkan untuk kopi Robusta. Secara umum kopi yang diolah secara basah mutunya sangat baik. Melalui modifikasi proses basah dapat mempersingkat waktu proses dibandingkan pengolahan basah umumnya. 2.5 Mutu Kopi Menurut Heuman (1994); Leroy et al. (2006), mutu kopi menggambarkan karakteristik yang melekat pada kopi dan umumnya ditentukan oleh konsumen sebagaimana produk pangan atau minuman lainnya. Pemahaman terhadap mutu kopi dapat berbeda mulai tingkat produsen hingga konsumen. Bagi produsen terutama petani, mutu kopi dipengaruhi oleh kombinasi tingkat produksi, harga, dan budaya. Pada tingkat eksportir maupun importir, mutu kopi dipengaruhi oleh ukuran biji, jumlah cacat, peraturan, ketersediaan produk, karakteristik, dan harga. Pada tingkat pengolahan kopi bubuk, kualitas kopi tergantung pada kadar air, stabilitas karakteristik, asal daerah, harga, komponen biokimia, dan kualitas cita rasa. Bahkan cita rasa dapat berbeda untuk setiap konsumen ataupun negara. Pada level konsumen, pilihan kopi tergantung pada harga, aroma, dan selera, pengaruh terhadap kesehatan serta aspek lingkungan maupun sosial (Salla 2009). Pada saat mutu kopi ditentukan oleh konsumen, hal ini dapat berarti tidak semua kopi dapat menemukan pembelinya. Kopi dengan mutu rendah pun dapat diterima jika konsumen menginginkannya. Meskipun demikian penjagaan mutu dapat dilakukan sejak pemilihan bibit hingga tahap pengolahan. Mutu biji kopi beras tergantung pada iklim, tanah, jenis kopi, dan karakteristik pengembangan genetisnya. Pada saat panen, parameter yang terutama harus diperhatikan adalah kematangan buah dan waktu pengolahannya.
Kopi yang terbaik pun dapat
menghasilkan flavor astringent jika dipanen pada saat belum matang atau dibiarkan terlalu lama sebelum diolah. Jenis pengolahan dapat mempengaruhi mutu kopi. Pengolahan kering memperkaya aroma dan body. Pengolahan basah menghasilkan aroma lebih baik dan rasa asam. Beberapa tahun terakhir ini, isu lingkungan seperti organic, fair trade atau kategori kopi berkelanjutan lainnya juga mempengaruhi pilihan konsumen.
Kriteria kopi ramah lingkungan
memberikan jaminan bagi produsen kopi untuk menerima harga yang layak
42
bahkan di atas kualitas standar karena telah melakukan penjagaan mutu dan sesuai kebutuhan pasar. Roaster juga mendapatkan keuntungan dengan meyakinkan petani produsen untuk melakukan pengolahan kopi sesuai standar (Viani tanpa tahun). Kriteria yang umumnya digunakan untuk memilih biji kopi yang berkualitas terutama olah roaster adalah berdasarkan kriteria analitis (kadar air dan jumlah cacat) dan organoleptik (uji cita rasa). Roaster kopi specialty umumnya espresso membutuhkan kualitas spesial yang diperoleh dari Arabika olah kering, tidak adanya biji belum matang yang dapat menyebabkan flavor, astringent, dan metallic. Roaster skala besar membutuhkan kopi berkualitas baik dalam jumlah besar terutama jenis kopi Robusta.
Sistem klasifikasi biji kopi terutama
digunakan dalam perdagangan kopi dengan mempertimbangkan hal-hal berikut. Jenis pengolahan yang digunakan untuk kopi Arabika dan Robusta Hasil uji organoleptik dan aspek ekonomisnya Indikasi cacat yang serius, hal ini dapat diaplikasikan secara umum dalam perdagangan. Berdasarkan standar ISO 10470:2004 yang menjadi acuan bagi SNI, cacat kopi adalah; (a) adanya benda asing yang bukan berasal dari kopi, (b) adanya benda asing yang bukan biji kopi, seperti potongan kulit kopi, (c) bentuk biji yang tidak normal dari segi kesatuannya (integritasnya), (d) biji yang tidak normal dari visualisasinya seperti biji hitam dan (e) biji yang tidak normal yang menyebabkan cacat rasa setelah disangrai dan diseduh (BSN 2008). Hasil penelitian Wibowo (1985) membagi jenis cacat atau kerusakan biji kopi menjadi (1) kerusakan sejak dari kebun, (2) kerusakan selama pengolahan dan (3) adanya benda asing yang bukan biji kopi. Jenis kerusakan yang dimulai sejak dari kebun adalah jenis cacat biji berlubang, biji hitam dan biji muda. Cacat biji hitam yang terjadi karena penyakit buah kopi dinilai sebagai cacat paling berat, karena aroma biji hitam ini tidak menyenangkan dan rasanya seperti kayu membusuk (Darmawan 1982 diacu dalam Wibowo 1985). Cacat karena biji hitam meliputi cacat biji hitam, biji hitam sebagian, dan biji hitam pecah. Biji hitam yang pecah dapat terjadi karena proses pengolahan.
43
Cacat biji hitam dan biji muda berasal dari buah kopi muda. Buah yang masih muda dengan tingkat kematangan tertentu jika diolah akan menghasilkan biji kopi berwarna hitam keriput. Buah yang lebih tua menghasilkan biji hijau keriput, sedangkan yang lebih tua lagi menghasilkan biji hijau tidak keriput (Hardjosuwito dan Hermansyah 1985). Cacat biji muda diperkirakan berasal dari terikutnya buah kopi muda pada proses pemetikan ataupun sortasi buah merah yang kurang sempurna. Cacat biji berlubang terutama disebabkan oleh adanya serangan serangga, yaitu hama penggerek buah kopi atau hama bubuk buah kopi (Hypothenemus hampei Ferr). Buah kopi yang terserang hama bubuk akan mengering di tangkai atau jatuh ke tanah serta berlubang. Buah kopi yang terserang hama bubuk akan terlihat berwarna kuning kemerahan pucat seperti buah kopi masak, pengolahan menjadi cacat biji hitam.
setelah
Biji berlubang dapat menyebabkan
kerusakan mutu kimia. Cacat biji berlubang juga dapat timbul saat penyimpanan karena serangan serangga, terutama jika kadar air biji tinggi. Menurut Wibowo (1985), kelompok cacat berikutnya adalah cacat yang terjadi selama pengolahan. Jenis cacat yang dapat terjadi adalah biji pecah, biji bertutul-tutul, biji berkulit tanduk, dan biji coklat.
Biji pecah dikategorikan
sebagai biji cacat, karena jika disangrai bersama dengan biji utuh kemungkinan akan memberikan rasa terbakar pada kopi seduhan. Cacat biji pecah dan biji berkulit tanduk dapat terjadi selama pengupasan kulit majemuk, yaitu jika kerja huller tidak sempurna. Biji berkulit tanduk adalah biji kopi yang masih terbungkus oleh kulit tanduk yang membungkus biji tersebut dalam keadaan utuh maupun besarnya sama dengan atau lebih besar dari ¾ bagian kulit tanduk utuh. Sementara biji pecah adalah biji kopi yang tidak utuh dengan besarnya sama atau kurang dari ¾ bagian biji yang utuh. Biji coklat adalah biji kopi yang setengah atau lebih bagian luarnya berwarna coklat. Biji coklat umumnya terjadi karena pengeringan yang tidak benar, buah terlalu masak atau fermentasi yang berlebihan (over fermented). Kopi gelondong adalah buah kopi kering yang masih terbungkus dalam kulit majemuknya, baik dalam keadaan utuh maupun besarnya sama atau lebih dari ¾ bagian kulit majemuk yang utuh.
Kopi gelondong dapat terjadi pada saat
44
pengupasan buah (pulping) yang tidak sempurna. Cacat kopi gelondong sangat tidak disukai konsumen, karena rasa pulp yang dominan. Menurut Sivetz dan Foote (1973), komponen terbesar pada pulp kopi adalah air dan serat kasar, masing-masing 42,5 % dan 27,5%. Selama pengeringan dan penyangraian, air akan menguap dan serat kasar akan terbakar, rasa dominan pada kopi seduhannya adalah rasa serat terbakar. Kelompok cacat pada biji kopi berikutnya adalah adanya kontaminasi benda asing yang bukan termasuk biji kopi. Jenis cacat ini meliputi (1) cacat karena adanya kulit tanduk baik berukuran besar, sedang maupun kecil, (2) cacat karena adanya kulit kopi ukuran besar, sedang maupun kecil dan (3) cacat karena adanya ranting, tanah, batu berukuran besar, sedang maupun kecil. Menurut Yusianto dan Mulato (2002), jika total cacat karena kontaminasi benda asing mencapai 20-25%, maka biji kopi termasuk kategori kopi asalan. Berdasarkan SNI 01-2907-2008, kulit kopi berukuran besar adalah kulit majemuk (pericarp) dari kopi gelondong dengan atau tanpa kulit ari (silver skin) dan kulit tanduk (parchment) di dalamnya yang berukuran lebih besar dari ¾ bagian kulit majemuk utuh. Sedangkan kulit kopi berukuran sedang, apabila ukurannya di antara ½ sampai dengan ¾ bagian kulit majemuk yang utuh. Kulit kopi berukuran kecil berukuran kurang dari ½ bagian kulit majemuk yang utuh. Kontaminasi benda asing lainnya adalah adanya kulit tanduk.
Kulit tanduk
berukuran besar adalah kulit tanduk yang terlepas atau tidak terlepas dari biji kopi yang berukuran lebih besar dari ¾ bagian kulit tanduk utuh.
Kulit tanduk
berukuran sedang yaitu kulit tanduk berukuran ½ sampai ¾ bagian kulit tanduk utuh.
Sedangkan kulit tanduk berukuran kecil yaitu kulit tanduk berukuran
kurang dari ½ bagian kulit tanduk. Kulit tanduk ini diperkirakan berasal dari proses pelepasan kulit tanduk yang kurang sempurna (hulling). Kandungan benda asing ranting, tanah, batu yang berukuran besar, sedang dan kecil termasuk cacat kontaminasi benda asing. Ranting, tanah, dan batu dikategorikan berukuran besar jika memiliki panjang atau diameter lebih dari 10 mm. Ranting, tanah, batu termasuk berukuran sedang dan kecil jika memiliki panjang atau diameter 5 mm – 10 mm dan kurang dari 5 mm. Ranting, tanah,
45
ataupun batu dapat berasal dari proses sortasi awal yang belum sempurna sebelum proses pengolahan buah. Menurut Moreno et al. (1995), uji cita rasa merupakan atribut penilaian penting kualitas kopi dan dapat menjadi tolok ukur harga. Uji cita rasa dapat dilakukan melalui evaluasi sensorik secara organoleptik oleh panel tester kopi yang berpengalaman. Kualitas kopi merupakan hal yang sangat penting bagi industri kopi.
Kualitas organoleptik kopi dapat terkait dengan keberadaan
komponen-komponen kimia yang terkandung di dalam kopi baik yang bersifat volatil (mudah menguap) maupun komponen non volatil.
Aroma volatile
terutama terbentuk bila biji kopi difermentasi dengan baik pada waktu tertentu. Keasaman (acidity) dan rasa pahit (bitterness) terbentuk dari komponen non volatil dalam kopi. Asam klorogenat merupakan salah satu komponen kimia kopi yang terdekomposisi bertahap seiring dengan pembentukan aroma volatile dan senyawa polimer. Asam klorogenat terlepas sebagai CO2 yang ditandai dengan cita rasa astringent (sepat). Selain asam klorogenat, rasa pahit pada biji kopi juga dipengaruhi oleh kadar kafein. Kontribusi kafein terhadap cita rasa pahit kurang dari 10%. Kafein adalah zat perangsang syaraf yang sangat penting dalam bidang farmasi dan kedokteran. Kafeol merupakan salah satu zat pembentuk citarasa dan aroma. Secara umum, kualitas organoleptik kopi terutama ditentukan oleh proses penyangraian akhir setelah tercapainya mutu biji kopi yang memenuhi persyaratan. 2.6 Pendekatan Konsep Produksi Bersih Perencanaan agroindustri kopi berkelanjutan terdiri dari 2 elemen utama yaitu pembangunan agroindustri kopi dan keberlanjutan.
Untuk menuju
pembangunan berkelanjutan, pembangunan agroindustri hendaknya dilandasi konsep keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan perkebunan kopi. Hal ini berarti kegiatan agroindustri kopi sebagai salah satu kegiatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi hendaknya dilaksanakan tanpa harus menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat. Teknologi di dalam agroindustri adalah faktor penting untuk mendukung daya saing internasional dan salah satu unsur dasar dalam meningkatkan produktivitas, memperbaiki produk dan meningkatkan nilai tambah yang tinggi
46
(Mangunwidjaja dan Sailah 2005).
Oleh karena itu pemilihan teknologi dalam
proses pengolahan kopi sebaiknya juga didasarkan atas kriteria ekonomi meliputi nilai tambah, kesempatan kerja, orientasi ekspor dan potensi bagi pengembangan selanjutnya. Menurut Mawardi (2008), salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membangun daya saing komoditas kopi rakyat, adalah membangun sistem produksi yang kompetitif. Sistem produksi yang dibangun sekurang-kurangnya mampu menghasilkan tiga hal, yaitu; (1) jumlah produksi minimal yang dibutuhkan pasar, (2) memberikan jaminan mutu dan keamanan pangan, serta (3) memberikan jaminan pasok yang berkelanjutan. Konsep Produksi Bersih berkaitan erat dengan Konsep Pembangunan Berkelanjutan karena merupakan suatu jalan menuju pembangunan ekonomi dan pemanfaatan teknologi yang ramah terhadap lingkungan. Dengan demikian dalam aplikasinya, produksi bersih terkait erat dengan Agenda 21 dan merupakan suatu jalan menuju pembangunan ekonomi dan pemanfaatan teknologi (IPTEK) yang ramah terhadap lingkungan. Produksi bersih (cleaner production) diartikan sebagai pendekatan operasional ke arah pengembangan sistem produksi dan konsumsi, yang dilandasi suatu pendekatan pencegahan bagi perlindungan lingkungan (Pudjiastuti 1999).
Berdasarkan definisi UNEP (1994), produksi
bersih adalah aplikasi secara kontinyu dari suatu strategi pencegahan lingkungan terhadap proses dan produk untuk mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan. Program produksi bersih merupakan upaya proaktif dalam sistem produksi untuk tidak melakukan tindakan dan proses apa pun, sebelum yakin benar bahwa produknya nanti akan lebih bersih dan ramah terhadap lingkungan hidup. Bagi proses produksi, produksi bersih meliputi peningkatan efisiensi dan efektivitas dalam pemakaian bahan baku, energi, dan sumberdaya lainnya, menghapuskan bahan baku beracun dan mengurangi jumlah dan toksisitas semua emisi dan limbah sebelum meninggalkan proses.
Bagi produk, strategi
dititikberatkan pada pengurangan dampak selama daur hidupnya mulai dari pengadaan bahan baku sampai pembuangan.
Pada jasa, produksi bersih
menitikberatkan pada upaya penggunaan proses 3R (reduce, reuse, dan recycle) secara menyeluruh pada setiap kegiatannya, mulai dari penggunaan bahan baku
47
hingga pembuangan akhir.
Menurut definisi Indonesia Cleaner Industrial
Production (ICIP) dalam Noor (2006), produksi bersih adalah segala upaya yang dapat mengurangi jumlah bahan berbahaya, polutan atau kontaminan yang terbuang melalui saluran pembuangan limbah atau terlepas ke lingkungan (termasuk emisi-emisi yang cepat menguap di udara), sebelum didaur ulang, diolah atau dibuang. Penerapan praktek-praktek produksi bersih dalam agroindustri dapat membantu menghemat bahan baku dan energi, memastikan pengurangan atau penghapusan bahan beracun, serta mengurangi jumlah, dan toksisitas emisi dan limbah selama proses produksi. Pendekatan produksi bersih dapat diterapkan melalui daur ulang, modifikasi proses, perbaikan operasional, dan perubahan input.
Pencegahan pencemaran melalui penerapan teknologi bersih memiliki
tujuan untuk meningkatkan produktivitas dengan memberikan tingkat efisiensi yang lebih baik pada penggunaan bahan baku, energi dan air, mendorong performansi lingkungan yang lebih baik dengan rancangan yang ramah lingkungan namun efektif dari segi biaya (UNIDO 2002 diacu dalam Indrasti dan Fauzi 2009). Ruang lingkup produksi bersih disajikan dalam Gambar 11. Korhonen (2004) diacu dalam Adams dan Ghaly (2005), menjelaskan bahwa produksi bersih adalah tahapan awal untuk mengaplikasikan kerangka ekologi industri dalam suatu industri.
Produksi bersih meminimalkan limbah yang
dihasilkan dari proses produksi melalui metoda mengurangi jumlah sumber daya yang digunakan dan meningkatkan produktivitasnya. Produksi bersih merupakan jembatan
konseptual
yang
menghubungkan
antara
industrialisasi
dan
keberlanjutan (Geiser 2001). Produksi bersih telah menjadi promotor teknologi yang ramah lingkungan. Inovasi teknologi yang ramah lingkungan (teknologi bersih) meliputi pengkajian proses dan bahan baku yang dilakukan sedemikian rupa hasil samping dan limbah yang ditimbulkan tidak mencemari lingkungan.
48
PRODUKSI BERSIH
Strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat terpadu dan preventif
Diterapkan dalam produksi dan siklus pelayanan
Proses:
Produk: Reduksi limbah melalui rancangan yang lebih baik Penggunaan limbah untuk produksi baru
Konservasi bahan baku, energi dan air Pengurangan jumlah atau tingkat toksisitas emisi pada sumber Evaluasi dari pilihan teknologi Reduksi biaya dan teknologi
Pelayanan: Efisiensi manajemen lingkungan dalam rancangan dan pengiriman
Dampak: Perbaikan efisiensi Performansi lingkungan yang lebih baik Peningkatan keuntungan kompetitif
Gambar 11 Definisi dan ruang lingkup produksi bersih (UNIDO 2002 diacu dalam Indrasti dan Fauzi 2009) Teknologi produksi bersih merupakan gabungan antara teknik pengurangan limbah pada sumber pencemar (source reduction) dan teknik daur ulang. Dalam produksi bersih, limbah yang dihasilkan dalam keseluruhan proses produksi merupakan indikator ketidakefisienan proses produksi. Oleh karena itu apabila dilakukan optimasi proses, limbah yang dihasilkan juga akan berkurang. Aplikasi teknologi bersih dalam tahapan proses produksi mencakup beberapa modifikasi terhadap teknologi yang digunakan. Modifikasi teknologi untuk mereduksi penggunaan bahan baku, energi dan limbah yang dihasilkan apabila dilakukan sejak awal dapat meningkatkan keuntungan. Akan tetapi jika tidak memungkinkan untuk melakukan modifikasi teknologi sejak awal, maka perlu diterapkan upaya-upaya pencegahan pencemaran. Upaya pencegahan pencemaran berbeda dengan teknologi “end of pipe” dimana pencemaran yang terjadi baru ditangani setelah diproduksi. Pada pencegahan pencemaran, terdapat
49
prioritas pengelolaan semua jenis keluaran (output) limbah dari proses industri. Keluaran yang dikelola meliputi limbah air, padat, dan gas terutama yang termasuk kategori limbah B3. TEKNIK PRODUKSI BERSIH
PENGURANGAN SUMBER PENCEMAR Penggunaan Kembali Pengambilan ke proses asal Penggantian bahan baku untuk proses lain
Mengubah Material Input Pemurnian material Penggantian material produksi
Pengendalian Sumber Pencemar
DAUR ULANG
Pengambilan Kembali Diproses untuk: Mendapatkan kembali bahan asal Memperoleh produk samping
Mengubah Teknologi Pengubahan proses Pengubahan tata letak, peralatan atau perpipaan
Penggunaan Kembali Pengambilan ke proses asal Penggantian bahan baku untuk proses lain
Tata Cara Operasi Tindakan-tindakan prosedural Pencegahan kehilangan Pemisahan aliran limbah Peningkatan penanganan material Penjadwalan produksi
Gambar 12 Teknik-teknik produksi bersih (USAID 1997 diacu dalam Indrasti dan Fauzi 2009). Menurut Pudjiastuti (1999), aspek keuntungan lingkungan dan ekonomis yang dapat dicapai melalui penerapan konsep produksi bersih. o Peningkatan mutu produk o Peningkatan efisiensi proses produksi o Peningkatan efisiensi penggunaan energi dan penurunan penggunaan utilitas o Standard Operation Procedure (SOP) lebih baik o Hasil/produk meningkat o Menurunkan resiko kerugian lingkungan dan kesehatan masyarakat o Menurunkan biaya operasi o Memperbaiki citra perusahaan o Mengurangi dampak terhadap lingkungan o Memperbaiki manajemen dalam perusahaan Kendala yang dapat dihadapi dalam penerapan produksi bersih pada industri antara lain adalah:
50
1.
Kendala ekonomi yang timbul apabila kalangan usaha tidak mendapatkan keuntungan dalam penerapan produksi bersih.
Contohnya adalah biaya
tambahan peralatan dan besarnya modal atau investasi dibandingkan upaya pengontrolan pencemaran secara konvensional 2.
Kendala teknologi yang timbul karena kurangnya sosialisasi atau penyebaran informasi mengenai konsep produksi bersih, penerapan sistem baru, dan tidak memungkinkan adanya penambahan peralatan karena keterbatasan ruang kerja atau produksi.
3.
Kendala sumberdaya manusia berupa kurangnya dukungan dari pihak manajemen puncak, keengganan untuk berubah, baik secara individu maupun organisasi, lemahnya komunikasi internal tentang proses produksi yang baik, pelaksanaan manajemen organisasi perusahaan yang kurang fleksibel, birokrasi yang sulit, dan kurangnya dokumentasi dan penyebaran informasi. Setiap bahan baku yang diolah senantiasa akan menghasilkan produk dan
hasil samping berupa limbah. Limbah yang dihasilkan haruslah diminimalkan. Menurut OECD (2000) diacu dalam Indrasti dan Fauzi (2009), minimisasi limbah merupakan suatu kegiatan pencegahan dan pengurangan pada bahan untuk meningkatkan kualitas dari limbah akhir yang dihasilkan dari berbagai proses yang berlangsung hingga pembuangan akhir. Berdasarkan hirarki minimisasi limbah, tindakan yang sering dilakukan. 1. Upaya mengurangi atau meniadakan pembentukan limbah di sumbernya dalam lingkungan operasi industri sebagai contoh in-process dan closed loop recycling. 2. Menggunakan kembali (re-use) ataupun daur ulang (recycle) limbah di lokasi pabrik atau di tempat lain jika diperlukan. 3. Menggunakan teknologi pengolahan yang aman untuk mengurangi limbah beracun, mobilitas atau volumenya. Pilihan ini umumnya masih menghasilkan residu padat yang menjadi masalah pada pilihan berikutnya. 4. Membuang limbah ke lingkungan setelah dilakukan penanganan terlebih dahulu atau disimpan dalam jangka panjang daripada melakukan pembuangan langsung ke udara, air ataupun tanah.
51
Perubahan
On-Site Off-Site
On-Site Off-Site
On-Site Off-Site
Pengurangan Pada Sumber
Prosedur Teknologi Input Bahan Produk
Daur Ulang atau Penggunaan Kembali
Operasi Transfer Massa
Pemisahan Limbah
Operasi Transfer Massa
Pengentalan Limbah
Operasi Transfer Massa
Pendekatan Terbaik Dipilih
Tukar Menukar Limbah On-Site Off-Site
Penanganan Limbah
Pembuangan Akhir
Insinerasi Non-Insinerasi
Land Farming Deep Well Injection Landfilling Ocean Dumping
Pemantauan dan Pengawasan
Pendekatan Terakhir Dipilih
Gambar 13 Hirarki minimisasi limbah (Theodore & Mc Guinn 1992). Suatu organisasi produksi akan selalu melakukan perbaikan untuk mengembangkan usahanya. Dalam hal ini pilihan produksi bersih menjadi hal yang layak dipertimbangkan. Alasan pertama, adalah karena melalui program produksi bersih, mekanisme pengembangan secara kontinyu akan memberikan hasil terbaik yang dapat diimplementasikan dalam rancangan proses. Kedua, melalui tindakan produksi bersih, mungkin pada tahap awal tidak akan memberikan hasil langsung terhadap performa operasional, tetapi usaha perbaikan yang kontinyu akan memberikan dampak signifikan pada implementasi produksi bersih. Menurut Tseng et al. (2006), pelaksanaan program produksi bersih di Taiwan, pada awalnya terkait dengan peran manajemen dalam perusahaan sebagai penentu kebijakan. Namun akhirnya melalui perbaikan yang dilakukan secara kontinyu, tindakan produksi bersih memberikan pengaruh signifikan terhadap performa operasi perusahaan. Hal ini berarti tidak hanya berdampak di kalangan manajemen tetapi hingga ke level paling bawah.
52
Kasus serupa juga terjadi di Norway dimana usaha-usaha kecil dan menengah (UKM) pada awalnya tidak menerima konsep produksi bersih, karena keterbatasan sumber daya manusia.
Namun saat ini, UKM di Norway tidak
hanya memiliki sistem manajemen lingkungan yang menerapkan konsep produksi bersih, tetapi telah memiliki sistem akuntasi internal dan manajemen lingkungan, laporan praktek produksi bersih, pengembangan produk yang sadar lingkungan, LCA, serta menghasilkan produk lingkungan yang bermutu (Fet 2005). 2.7 Strategi Penanganan Limbah Upaya penerapan teknologi bersih pada proses pengolahan kopi rakyat dianalisis melalui penentuan strategi yang tepat dalam mengelola limbah industri. Untuk mengetahui akar penyebab terbentuknya limbah perlu dilakukan analisis proses transformasi dan konversi bahan baku (input) menjadi produk (output) sebagaimana tercantum pada Gambar 14 (Romli et al. 2003). Analisis proses transformasi memudahkan memahami mekanisme proses yang terjadi dalam pengolahan kopi.
Gambar 14 Diagram skematik proses transformasi dan konversi input menjadi produk output (Romli et al. 2003)
53
Gambar 15 Diagram skematik strategi pengelolaan limbah (Romli et al. 2003) Strategi pengelolaan limbah yang dapat dilakukan pada proses transformasi mencakup tiga hal, yaitu upaya pengelolaan pada tahap proses, pemanfaatan internal dan pemanfaatan eksternal sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 15. Pada tahapan proses perlu dilakukan berbagai upaya yang menjamin minimumnya kehilangan produk (yield loss). Ini meliputi penentuan tipe dan jenis teknologi yang digunakan, kondisi operasi dan proses yang optimum (misalnya suhu, tekanan, lama waktu, pH, dan lain-lain), jenis, dan tingkat kemurnian bahan baku dan reagen, dan desain serta spesifikasi produk yang akan dihasilkan. Upaya kedua yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan secara internal bahanbahan yang masih bernilai ekonomi ataupun bahan yang masih dapat ditingkatkan nilai tambahnya, baik melalui proses daur ulang, pakai ulang ataupun perolehan kembali (recovery). Upaya ketiga pada dasarnya serupa dengan yang kedua, hanya saja pemanfaatannya secara eksternal. Hal ini memungkinkan pemanfaatan bahan-bahan yang masih berguna dalam suatu skala usaha yang lebih besar lebih layak secara ekonomi. Berdasarkan diagram skematik di atas, maka neraca aliran bahan menjadi hal yang mendasar untuk mengukur aliran materi pada berbagai tahapan proses
54
dalam sistem. Neraca massa digunakan untuk mengevaluasi konsumsi sumber daya dan pembangkitan limbah dari produk ataupun proses. 2.8 Penanganan Limbah Cair Pemilihan metode penanganan limbah cair tergantung pada kualitas dan variasi dari sumber limbah yang akan ditangani dan tujuan dari upaya penanganan.
Menurut Droste (1997), penanganan limbah cair yang umum
dilakukan adalah dengan melakukan kombinasi penanganan fisika-kimia dan biologi. Meskipun demikian mungkin saja hanya dilakukan penanganan fisikakimia. Beberapa contoh metode penanganan limbah cair adalah menggunakan karbon aktif, reaktor anaerobik, koagulasi-flokulasi, ekualisasi, penyaringan, filtrasi, insinerasi (pengabuan), sistem kolam, netralisasi, sedimentasi, dll. Pencemaran limbah pengolahan kopi dapat menimbulkan ancaman terhadap lingkungan flora dan fauna.
Beberapa proses pengolahan kopi yang ramah
lingkungan telah dikembangkan dan diuji di berbagai negara penghasil kopi. Meskipun demikian pencemaran lingkungan terutama hanya dapat dikontrol melalui kombinasi upaya minimisasi limbah dan pengolahan limbah cair yang efektif (Mburu 2004; Chanakya dan de Alwis 2004). Pemanfaatan limbah hasil pengolahan kopi juga menjadi pilihan potensial untuk pengendalian pencemaran. Beberapa upaya penanganan limbah cair adalah untuk pengairan tanaman (irigasi), kolam pengendapan anaerobik, aerasi buatan, reaktor biogas, dan pembuangan ke lahan basah terkonstruksi. Pembuangan limbah cair ke lahan basah terkonstruksi dapat dianggap sebagai metode termurah untuk penanganan air limbah kopi untuk proses pemupukan tanah. Akan tetapi metode ini dapat mengakibatkan pengasaman, penghambatan aliran air dan anaerobiosis jika sifat fisik tanah dan komposisi air limbah tidak diperhitungkan. Penanganan anaerob yang dioperasikan di reactor kedap udara, dapat menjadi pilihan yang menarik untuk mengolah air limbah pengolahan kopi karena kemampuannya menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar (Murthy et al. 2004;. Von Enden dan Calvert 2002).
Akan tetapi metode ini dibatasi oleh variasi konsentrasi dan volume
limbah karena proses anaerobik memerlukan kestabilan proses (Mendoza dan Rivera 1998).
55
2.8.1. Penanganan Fisika-Kimia Menurut Droste (1997), beberapa penanganan fisika kimia yang dapat diterapkan untuk penanganan limbah cair adalah; penyaringan dan sedimentasi, aerasi, koagulasi dan flokulasi, filtrasi, adsorpsi karbon, dan netralisasi. Penyaringan dan sedimentasi merupakan metode yang mudah dan murah untuk diterapkan. Penyaringan terutama dilakukan untuk memisahkan material yang berukuran besar dan kasar sebelum memasuki saluran atau pipa. Sedimentasi merupakan proses pemisahan padatan tersuspensi dari air dengan bantuan gravitasi. Sedimentasi merupakan proses yang paling sering dijumpai di hampir semua unit penanganan limbah cair (Wastewater Treatment Plant = WWTP) untuk mengurangi pencemar dari air (Colic et al. 2005). Tujuan dari proses penyaringan limbah cair adalah untuk memisahkan kontaminan yang tidak terlarut dari aliran air.
Kontaminan ini dapat berupa
partikel anorganik dan organik tersuspensi serta koloid.
Proses penyaringan
limbah cair yang mengandung konsentrasi partikel tersuspensi dan teremulsi tinggi dapat dilakukan melalui proses koagulasi flokulasi dan pemisahan padatancairan menggunakan flotasi, sedimentasi, atau filtrasi. Penanganan fisika kimia untuk partikel terlarut juga dapat dilakukan dengan proses adsorpsi, proses membran, dan pelunakan air. Koagulasi dan flokulasi biasanya digunakan untuk penanganan air dan limbah cair. Koagulasi merupakan proses destabilisasi partikel-partikel koloid. Partikel-partikel utama dilapisi oleh lapisan kimia yang melekatkan dan membentuk flok-flok berukuran lebih besar (aglomerasi) yang dapat mengendap beberapa waktu kemudian. Menurut Reynolds dan Richards (1996), koagulasi adalah penambahan koagulan pada putaran cepat yang menyebabkan destabilisasi padatan tersuspensi dan koloidal dan kemudian membentuk gumpalan awal dari partikel-partikel terstabilisasi.
Flokulasi adalah pengadukan lambat untuk
meningkatkan saling hubung partikel yang goyah meningkatkan penyatuannya (aglomerasi) (Steel dan McGhee 1985).
Tujuan proses ini adalah untuk
meningkatkan efisiensi reduksi koloid dan partikulat dalam proses filtrasi dan pengendapan. Proses koagulasi dan flokulasi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti komponen pembentuk warna limbah cair, pH, kekeruhan, kadar dan
56
susunan mineral, suhu, kecepatan, dan lama pengadukan serta sifat koagulan dan flokulan yang digunakan (Cohen dan Hannah 1971). Beberapa koagulan yang umum digunakan dalam penanganan limbah cair adalah alum [Al2(SO4)3], feri klorida [FeCl3], fero sulfat [FeSO4], dan beberapa polielektrolit seperti PAC (polialuminium klorida). Saringan pasir (filtrasi) terutama banyak dilakukan untuk penanganan air bersih. Penurunan signifikan dari bakteri dan beberapa mikroba dapat terjadi dalam proses filtrasi.
Pasir silika merupakan medium yang paling sering
digunakan untuk penanganan air bersih (Droste 1997). Mekanisme yang dominan terjadi pada proses filtrasi adalah difusi dan sedimentasi. Efisiensi proses filtrasi tergantung pada area permukaan dari media. Filtrasi yang dikombinasikan dengan proses koagulasi flokulasi dapat menghasilkan air bersih dengan turbiditas rendah. Karbon juga telah lama diketahui dapat menurunkan padatan terlarut dalam cairan.
Karbon mampu mengadsorb substansi terlarut ke dalam celah-celah
permukaannya yang porous. Karbon aktif merupakan adsorben dan material yang teradsorb adalah adsorbat. Karbon aktif paling sering digunakan untuk menyerap kontaminan organik, tetapi dapat juga digunakan untuk menyerap kontaminan anorganik dan logam toksik lainnya. Beberapa jenis karbon aktif adalah granular activated carbon (GAC) dan powdered activated carbon (PAC). Pada saat karbon aktif telah mengalami kejenuhan pada proses penanganan, maka harus dilakukan regenerasi menggunakan proses kimia atau termal. 2.8.2. Penanganan Biologi Proses biologi pada limbah cair terutama digunakan untuk mengurangi bahan organik koloid dan terlarut dalam limbah cair.
Beberapa organik
tersuspensi juga dapat dimetabolisir karena sifat flokulasi alami dan pengendapan biomassa yang terbentuk dalam proses biologi. Menurut Droste (1997), proses biologi pada dasarnya proses yang berlangsung secara alami. organik
dalam
air
secara
alami
akan
terdegradasi
Karena bahan
karena
kehadiran
mikroorganisme dalam badan air penerima. Akan tetapi, konsentrasi pencemar yang tinggi dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan pada badan air. Proses penanganan biologi dirancang untuk mempercepat proses degradasi dan netralisasi limbah sebelum akhirnya harus dibuang ke badan air penerima.
57
Proses anaerobik sebagaimana proses aerobik merupakan bagian dari penanganan biologi.
Pada proses aerobik dibutuhkan aliran oksigen untuk
menjamin kerja bakteri aerobik dalam memecah dan mendegradasi limbah. Ketersediaan oksigen yang cukup merupakan hal penting untuk dipenuhi dalam proses aerobik. Sebaliknya pada proses anaerobik, tidak membutuhkan input udara (oksigen) dan menghasilkan lumpur (sludge) lebih sedikit.
Proses
anaerobik mungkin membutuhkan input energi akan tetapi mampu menghasilkan energi lebih besar dalam bentuk produksi metana. Secara sederhana, reaksi penguraian senyawa organik secara anaerobik adalah sebagai berikut: Anaerob Bahan organik CH4 + CO2 + H2 + N2 + H2O Mikroorganisme Menurut Malina dan Pohland (1992); Droste (1997), konversi substrat organik oleh mikroorganisme anaerobik menjadi metana merupakan proses biogenik yang kompleks mencakup sejumlah populasi mikroorganisme. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 16, proses konversi secara keseluruhan terkait hubungan simbiotik langsung maupun tidak langsung antara sejumlah grup mikroorganisme. Toerin et al. (1970) diacu dalam Droste (1997), menyatakan bahwa proses biokimia dengan keterlibatan mikroorganisme tersebut dapat dibagi menjadi tiga tahapan proses, yaitu; 1.
Hidrolisis, merupakan tahapan penting awal dalam metabolisme anaerobik. Pada tahap ini terjadi pemecahan molekul yang berukuran besar dan kompleks terlarut dan tak terlarut (polimer) seperti karbohidrat, lemak, dan protein menjadi molekul yang berukuran lebih kecil seperti asam amino, gula sederhana, asam lemak, dan beberapa alkohol oleh enzim-enzim ekstraseluler yang dapat ditransportasi ke dalam sel mikroorganisme dan dimetabolisasi sebagai sumber makanan. Laju dekomposisi tahap hidrolisis tergantung pada karakteristik substrat. Transformasi dari selulosa dan hemiselulosa umumnya membutuhkan waktu lebih lama dan berlangsung lambat dibandingkan dekomposisi protein.
2.
Asetogenesis dan formasi asam.
Mikroorganisme yang sama yang
melakukan proses hidrolisis melakukan fermentasi hingga ke tahap ini. Lebih
58
detil, proses asetogenesis dapat dibagi menjadi tahap fermentasi dan oksidasi anaerobik. Tahap fermentasi tergantung pada aneka mikroorganisme dan substrat yang digunakan. Berbagai organisme cenderung aktif pada tahap ini dibandingkan tahap proses lainnya, antara lain Enterobacterium, Bacteriodes, Acetobacterium, dan Eubacterium. Selama tahap fermentasi, produk akhir dari hidrolisis difermentasi menjadi karbon organik, komponen molekul dengan BM rendah, hidrogen, dan karbondioksida.
Asam propionat dan
butirat diuraikan oleh bakteri asetogenik menjadi asam asetat. Produk utama dari tahap ini adalah asam asetat. Tahap oksidasi anaerobik merupakan tahap lanjut pemecahan rantai asam lemak yang tidak terjadi pada tahap fermentasi. Oksidasi anaerobik merupakan tahapan sangat penting dalam proses biogas karena merupakan penghubung antar reaksi oleh organisme pengoksidasi dan penghasil metan pada tahap metanogenesis. Konsentrasi gas hidrogen yang diproduksi sangat menentukan kelanjutan proses. Jika gas hidrogen yang dihasilkan terlalu tinggi, maka oksidasi anaerobik akan berhenti dan mikroorganisme tidak akan memiliki energi yang cukup untuk tumbuh dan akhirnya mati. 3.
Metanogenesis. Produk utama dari proses anaerobik dapat terjadi melalui dua cara. Cara utama adalah fermentasi produk utama pada fase pembentukan asam, asam asetat menjadi metana dan karbondioksida. Asetat merupakan sumber utama penghasil biogas yang diproduksi dalam tangki anaerobik. Bakteri yang berperan dalam tahap ini adalah bakteri asetoklastik (acetophilic) berdasarkan reaksi berikut; CH3COOH CH4 + CO2 Kemudian karbondioksida dan hidrogen yang terbentuk dalam reaksi penguraian disintesa oleh bakteri pembentuk metana menjadi metana dan air (hydrogenophilic methanogens) dengan reaksi sebagai berikut: 4H2 + CO2 CH4 + H2O
59
Polimer organik
H2O
Hidrolisis Bahan organik Karbohidrat, Protein, Lemak
HIDROLISIS
Hidrolisis enzim ekstra seluler Molekul organik terlarut Gula, asam lemak, asam amino
Bakteri pembentuk asam
ASIDOGENESIS 62%
30% Asam butirat, asam propionat
5% Asam asetat
3% Bakteri asetogenesis
H2 + CO2
METANOGENESIS Metanogenesis dari asam asetat
67%
33% CH4 + CO2
Metanogenesis dari penggunaan hidrogen)
Gambar 16 Pola umum degradasi polimer organik menjadi metana dalam fermentasi anaerobik (Malina dan Pohland 1992). Malina dan Pohland (1992), menguraikan tahapan konversi menjadi 9 tahap, dengan setiap tahapan dimediasi oleh sekelompok mikroorganisme dan enzim yang spesifik. Tahapan tersebut adalah sebagai berikut. (1) Hidrolisis enzimatik dari polimer organik menjadi monomer intermediet organik seperti gula, asam lemak, dan asam amino. (2) Fermentasi dari monomer organik menjadi hidrogen (format), bikarbonat, piruvat, alcohol, dan asam lemak rendah (asetat, butirat dan propionat). (3) Oksidasi dari produk organik yang telah direduksi menjadi hidrogen (formate), bikarbonat, dan asetat oleh OHPA (obligate hydrogen-producing acetogens). (4) Respirasi asetogenik dari bikarbonat oleh homoacetogens (HA). (5) Oksidasi dari produk organik yang telah direduksi (alkohol, butirat, dan propionat) menjadi bikarbonat dan asetat oleh bakteri pereduksi nitrat (NRB-
60
nitrate-reducing bacteria) dan bakteri pereduksi sulfat (SRB-sulfate reducing bacteria). (6) Oksidasi dari asetat menjadi bikarbonat oleh NRB dan SRB. (7) Oksidasi dari hidrogen (format) oleh NRB dan SRB. (8) Fermentasi metan aseticlastic. (9) Respirasi metanogenik dari bikarbonat Bakteri metanogenik sangat penting keberadaannya pada tahapan stabilisasi anaerobik. Akan tetapi, metanogenik hanya memanfaatkan substrat sederhana untuk pertumbuhan dan metabolisme. Oleh karena itu, pada kondisi sumber yang kaya akan substrat organik, diperkirakan 2/3 dari metana diproduksi melalui konversi mikrobial yang diturunkan dari metil asetat dan 1/3 diturunkan dari reduksi karbondioksida. Lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap laju pertumbuhan mikroorganisme proses anaerobik. Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain: 1.
Temperatur. Gas dapat dihasilkan pada suhu antara 4 – 60oC dan dijaga konstan.
Bakteri akan menghasilkan enzim yang lebih banyak pada
temperature optimum. Semakin tinggi temperatur reaksi juga akan semakin cepat tetapi bakteri akan semakin berkurang. Beberapa jenis bakteri dapat bertahan pada rentang temperatur tertentu dapat dillihat pada tabel berikut : Tabel 2 Temperatur optimum bakteri Jenis Bakteri Rentang temperature (oC) Temperatur Optimum (oC) a. Cryophilic 2 – 30 12 – 18 b. Mesophilic 20 – 45 25 – 40 c. Thermophilic 45 – 75 55 – 65 2.
pH (keasaman). Bakteri penghasil metana sangat sensitif terhadap perubahan pH. Rentang pH optimum untuk jenis bakteri penghasil metana antara 6,4 – 7,4. Bakteri yang tidak menghasilkan metana tidak begitu sensitif terhadap perubahan pH dan dapat bekerja pada pH antara 5 hingga 8,5. Karena proses anaerobik terdiri dari dua tahap yaitu tahap pembentukan asam dan tahap pembentukan metana, maka pengaturan pH awal proses sangat penting. Tahap pembentukan asam akan menurunkan pH awal. Jika penurunan ini
61
cukup besar akan dapat menghambat aktivitas mikroorganisme penghasil metana. Untuk meningkatkat pH dapat dilakukan dengan penambahan kapur. 3.
Konsentrasi substrat. Konsentrasi substrat dapat mempengaruhi proses kerja mikroorganisme. Kondisi yang optimum dicapai jika jumlah mikroorganisme sebanding dengan konsentrasi substrat.
Kandungan air yang tinggi
memudahkan proses penguraian. 4.
Zat beracun. Zat organik maupun anorganik baik terlarut maupun tersuspensi dapat menjadi penghambat ataupun racun bagi pertumbuhan mikroorganisme jika terdapat dalam konsentrasi tinggi. Kemampuan proses anaerobik untuk mendegradasi pencemar organik yang
bervariasi terutama sangat dipengaruhi oleh kondisi proses dan konsentrasi senyawa organik. Senyawa organik yang memiliki konsentrasi tinggi cenderung memiliki efek inhibitor
pencemar organik akan mudah didegradasi pada
konsentrasi rendah. Secara umum, proses mesofilik memiliki kapasitas biodegradasi yang paling besar karena variabilitas mikroorganisme yang dapat berkembang biak pada kondisi ini dibandingkan pada kondisi temperature tinggi. Waktu tinggal limbah cair dapat menjadi faktor yang menentukan, karena banyak pencemar organik lambat didegradasi.
Kontaminan yang diketahui dapat
mempengaruhi proses pembentukan biogas (anaerobik) adalah senyawa benzene (fenol, xylene, benzene, dan toluene), phthalates dalam plastik, senyawa alifatik dan aromatik, dan berbagai komponen nitrogen. 2.9 Penanganan Limbah Padat Proses Pengolahan Kopi Proses pengolahan kering dari buah kopi menjadi biji dilakukan dengan mengupas lapisan kulit buah (exocarp), daging buah (mesocarp), dan kulit tanduk (endocarp).
Ketiga lapisan yang terkupas ini disebut husk (kulit).
Pada
pengolahan basah, proses pengupasan lapisan kulit buah (exocarp) dan sebagian besar daging buah (mesocarp) menghasilkan pulp kopi.
Biji kopi yang
dikeringkan pada pengolahan basah disebut dengan kopi berkulit kering (dry parchment coffee), karena lapisan endocarp belum dikupas. Proses pengupasan lapisan endocarp menghasilkan kulit kopi (hull). Persentase lapisan exocarp, mesocarp, dan endocarp kira-kira 60% dari total berat buah kopi.
62
Limbah pulp kopi dari proses pengolahan basah apabila tidak ditangani akan menimbulkan bau yang tidak menyenangkan dan menarik bagi lalat dan serangga. Komposisi pulp kopi terutama mengandung karbohidrat, protein, serat, lemak, kafein, polifenol, dan pektin (Gathua et al. 1991). Apabila limbah organik ini dibuang ke sungai, proses dekomposisinya akan menyebabkan pencemaran terhadap ekosistem akuatik
air sungai tidak lagi dapat dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan. Menurut Sanchez et al. (1999), pulp kopi umumnya dibuang tanpa ada perlakuan dan ditinggalkan begitu saja dengan harapan proses degradasi terjadi secara alami tanpa adanya pengontrolan terhadap bau dan beban nutrien yang menjadi lindi (leachates). Proses degradasi alami terjadi selama 6 hingga 8 bulan hingga bahan organik yang ada stabil dan meninggalkan residu nitrogen tidak lebih dari 2% berat kering. Pengomposan merupakan salah satu teknologi yang dapat diterapkan untuk menangani kulit buah kopi, karena tidak membutuhkan investasi yang besar dan mampu menghasilkan pupuk berbahan organik tinggi. Pulp kopi dapat dimanfaatkan menjadi kompos.
Penggunaan kompos
sebagai bahan pembenah tanah dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah untuk mempertahankan dan menambah kesuburan tanah pertanian. Karakteristik umum yang dimiliki kompos adalah: (1) mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah bervariasi tergantung bahan asal; (2) menyediakan unsur hara secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas, (3) mempunyai fungsi utama memperbaiki kualitas kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah. Pulp kopi menghasilkan kompos bermutu lebih baik dibandingkan kulit kopi karena kandungan haranya yang lebih tinggi (Baon et al. 2005). Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan C/N tanah. Rasio C/N merupakan perbandingan antara karbohidrat (C) dan nitrogen (N).
Rasio C/N tanah berkisar antara 10 – 12.
Apabila bahan organik
mempunyai rasio C/N mendekati atau sama dengan rasio C/N tanah, maka bahan tersebut dapat digunakan tanaman. Prinsip pengomposan adalah menurunkan rasio C/N bahan organik sama dengan C/N tanah (<20). Semakin tinggi rasio C/N bahan organik maka proses pengomposan atau perombakan bahan semakin
63
lama.
Proses perombakan bahan organik terjadi secara biofisiko-kimia,
melibatkan aktifitas biologi mikroba dan mesofauna.
Secara alami proses
peruraian tersebut bisa dalam keadaan aerob maupun anaerob. Proses penguraian aerobik dan anaerobik secara garis besar sebagai berikut: Mikroba aerob Bahan organik + O2
H2O + CO2 + hara + humus + energi N, P, K
Bahan organik
Mikroba anaerob CH4 + hara + humus N, P, K
Komponen N, P, dan K dibutuhkan untuk aktivitas metabolisme sel mikroorganisme pengurai. Menurut Pujiyanto (2007), berdasarkan nilai KTK (Kapasitas Tukar Kation), kulit buah kopi dapat dimanfaatkan sebagai ameliorant tanah alami untuk meningkatkan nilai KTK tanah. Peningkatan nilai KTK tanah berarti peningkatan kapasitas retensi kation hara hara tidak tercuci oleh air hujan. Amelioran kulit buah kopi dapat meningkatkan pertumbuhan pertumbuhan bibit kopi. Amelioran kulit buah kopi dengan pupuk buatan bekerja sinergis dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hal ini berarti meningkatkan efektifitas aplikasi pupuk anorganik. Kulit buah kopi sebagai limbah padat berpotensi untuk dikonversi menjadi pakan ternak, pupuk, ekstraksi nitrogen dan produksi biogas. Calvert (1999), pulp kopi yang masih mengandung kafein dan tannin yang bersifat toksik dinilai masih membahayakan untuk dijadikan pakan ternak. Tetapi dengan perlakuan tertentu melalui proses fermentasi terlebih dahulu komponen caffeine dan tannin dapat didegradasi oleh bakteri selama 4 - 6 bulan menjadi pakan ternak yang layak dan bernilai.
Menurut Londra dan Andri (2009), limbah kopi terfermentasi dapat
dimanfaatkan sebagai pakan penguat dan memacu produktifitas ternak serta mensubstitusi kebutuhan dedak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan pakan penguat sebanyak 200 g/ekor/hari dan enzim philazim sebanyak 2,5 gram/ekor/hari meningkatkan produksi susu kambing PE (peranakan etawah) hingga mencapai 800 – 1200 gram/ekor/hari. Peningkatan pertumbuhan
64
kambing ini disebabkan kandungan protein dan energi yang lebih tinggi dari limbah kopi dibanding pakan hijauan. Menurut Braham dan Bressani (1979), pulp kopi yang dihasilkan dalam jumlah besar juga dapat dimanfaatkan sebagai media jamur.
Melalui
pencampuran antara pulp dan kulit tanduk, dapat mempercepat pertumbuhan jamur Shiitake, Linchi, Ganoderma, dan jamur lainnya. Kulit tanduk kopi yang kaya akan lignoselulosa dan dapat dijadikan bahan bakar untuk menghasilkan gas. Bekalo dan Reinhardt (2010), menyatakan potensi lain dari pemanfaatan produk samping hasil pertanian seperti hull dan husk kopi adalah sebagai bahan baku pembuatan papan partikel yang ramah lingkungan. Kandungan selulosa dan hemiselulosa bahan yang hampir serupa dengan kayu menyebabkan husk dan hull kopi dapat digunakan untuk menggantikan 50% penggunaan kayu dalam pembuatan papan partikel. Yusianto et al. (1999), telah melakukan percobaan pembuatan papan partikel dengan menggunakan kulit kopi yang berasal dari pengolahan kering (husk) dan kulit tanduk (hull) dari pengolahan basah menggunakan bahan perekat ultra formaldehida (UF) cair, pengeras NH4CL, NH4OH, parafin, asam oleat, trietanol amin, dan air. Papan partikel dari kulit tanduk pengolahan basah terlihat cerah dengan warna kehitaman menyebar, tidak mudah ditumbuhi kapang karena tidak mengandung gula akibat proses pulping dan pencucian. Sementara papan partikel dari kulit kopi hasil pengolahan kering masih mengandung gula dan senyawa lainnya sangat disukai mikroorganisme dan mudah ditumbuhi kapang. 2.10 Teknik Interpretative Structure Modelling (ISM) Kopi telah memberikan manfaat tersendiri bagi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia karena mampu memberi penghidupan pada sekitar 5 juta jiwa.
Jumlah tersebut hanya dari lingkungan perkebunan, belum termasuk
industri kopi yang melibatkan cukup banyak tenaga kerja (Hakim 2003). Meskipun usaha tani kopi rakyat memegang peranan penting dalam perkopian di Indonesia, tetapi kondisi pengelolaan usaha tani kopi rakyat masih relatif kurang baik dibandingkan perkebunan besar negara.
65
Proses transformasi dan konversi input menjadi output pada pengolahan kopi, peningkatan nilai tambah agroindustri kopi dan keterkaitannya dengan aspek sosial masyarakat serta lingkungan merupakan komponen sistem yang kompleks, saling terkait dan berpengaruh dalam keberlanjutan agroindustri kopi rakyat. Pendekatan sistem merupakan salah satu cara untuk mempelajari perilaku sistem agroindustri kopi rakyat yang dapat digunakan sebagai dasar perbaikan kinerja sistem tersebut. Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis.
Pendekatan sistem
merupakan cara pandang yang bersifat menyeluruh (holistik) yang memfokuskan pada integrasi dan keterkaitan antar komponen (Hartrisari 2007; Marimin 2004). Dengan kata lain, sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagianbagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan yang kompleks.
Pengertian secara sistematis dapat dilihat pada
Gambar 17.
Gambar 17 Pengertian sistem Salah satu teknik pendekatan sistem yang dapat dikembangkan untuk melakukan perencanaan kebijakan pengembangan agroindustri kopi rakyat adalah melalui model struktur. Menurut Lendaris (1980), model struktur adalah suatu proses yang mencakup partisipasi lebih dari satu orang. Model ini diaplikasikan dalam banyak kasus dimana partisipan bekerja bersama terhadap suatu permasalahan dan permasalahan tersebut didefinisikan dalam suatu sistem (elemen, interkoneksi, dll). Proses dimulai dengan sistem yang terkait dengan data, ide, ketrampilan dan atau pengetahuan yang berasal dari berbagai partisipan dan diakhiri dengan pencapaian pemahaman terhadap sistem oleh partisipan, baik secara individu maupun secara kelompok. Secara definitif, Warfield (1973) diacu dalam Lendaris (1980), menyatakan bahwa model struktur adalah metodologi sistem yang menggunakan grafik dan kata-kata dalam pola terdefinisi untuk
66
membuat gambaran struktur dari permasalahan yang kompleks, sistem ataupun suatu lingkup studi.
ISM (Interpretative Structural Modelling) adalah model
struktur yang pertama kali dikenalkan oleh J. Warfield tahun 1973 untuk menganalisis sistem sosioekonomi yang kompleks.
Melalui ISM, Warfield
membentuk suatu struktur hierarki dari satu set elemen berdasarkan informasi minimum yang dapat diperoleh melalui hubungan berpasangan. ISM adalah proses pengkajian kelompok dimana model struktural dihasilkan untuk menggambarkan hal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat. Menurut Saxena (1992) diacu dalam Marimin (2004), ISM bersangkut paut dengan interpretasi dari suatu obyek yang utuh atau perwakilan sistem melalui aplikasi teori grafis secara sistematis dan berulang (iterative). ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh dan struktur prioritas (Eriyatno 1998 diacu dalam Marimin 2004). ISM juga dapat digunakan untuk menggambarkan kriteria hubungan antar dalam organisasi (Tabrizi et al. 2010). ISM merupakan salah satu metodologi proses berbasis computer yang membantu kelompok mengidentifikasi, membangun peta dari hubungan yang kompleks antara berbagai elemen, menganalisis elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki.
Elemen-elemen tersebut dapat merupakan tujuan kebijakan,
target organisasi, faktor-faktor penilaian, dan lain-lain yang terkait langsung maupun tidak langsung menjadi suatu model. ISM merupakan suatu metodologi perencanaan yang interaktif dan diimplementasikan dalam sebuah wadah kelompok. Eriyatno (1998) diacu dalam Marimin (2004), menyatakan bahwa metodologi dan teknik ISM dibagi menjadi dua langkah, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi subelemen.
Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari
struktur di dalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Program yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-
67
elemen dimana setiap elemen selanjutnya dilakukan pembagian menjadi sejumlah sub elemen sampai memadai. Teknik ISM memberikan dasar analisis dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam memformulasikan kebijakan serta perencanaan strategis. ISM mampu mengubah suatu sistem yang tidak jelas dan kompleks menjadi model yang lebih definitif untuk bermacam manfaat. Studi perencanaan program terkait dapat memberikan pengertian mendalam mengenai elemen dan peranan kelembagaan guna mencapai solusi yang lebih baik dan mudah diterima (Marimin 2004).
Ide dasar dari ISM adalah menggunakan pengalaman praktis dan
pengetahuan untuk membuat suatu sistem yang lengkap dan membaginya menjadi beberapa sub sistem (elemen) serta membangun model struktur multilevel. ISM sering digunakan untuk menyediakan pemahaman mendasar dari situasi yang kompleks seperti halnya dapat diberikan suatu rangkaian aksi untuk memecahkan suatu masalah.
ISM mengkombinasikan tiga model bahasa yaitu kata-kata,
digraph, dan matematika diskrit sebagai metodologi untuk melakukan strukturisasi permasalahan yang kompleks. ISM menggabungkan elemen-elemen terukur pada skala ordinal dan menjadikan faktor kualitatif terintegrasi sebagai bagian dari model. 2.11. Posisi Strategis dan Kebaruan Penelitian Pengembangan proses pengolahan kopi rakyat menggunakan pengolahan basah terutama diarahkan pada perbaikan mutu. Penerapan pengolahan basah terutama dilakukan untuk kopi jenis Arabika yang memiliki harga premium di pasaran. Kekonsistenan dan jaminan mutu biji kopi setelah pengolahan basah mendorong penerapannya pada kopi Robusta rakyat. Hal ini terutama mengingat dominasi kopi Robusta rakyat sebagai salah satu komoditas ekspor Indonesia. Perbaikan mutu biji kopi rakyat akan mempengaruhi harga tingkat petani dan selanjutnya memberikan perbaikan hajat hidup petani kopi Indonesia. Penelitian terkait upaya penerapan pengolahan basah pada kopi rakyat telah banyak dilakukan. Demikian pula penelitian mengenai dampak negatif penerapan pengolahan basah terhadap lingkungan telah lama dikaji dan menghasilkan beberapa upaya penanganan limbah yang dianggap efektif menurunkan tingkat
68
pencemaran lingkungan. Beberapa upaya penanganan pencemaran bahkan telah mengarah pada penerapan konsep produksi bersih pada industri kopi. Akan tetapi kajian yang ada terutama dilakukan untuk pengolahan kopi Arabika dan berada dalam skala perkebunan besar. Harga kopi Arabika yang lebih tinggi di pasaran dibandingkan kopi Robusta mampu memberikan hasil seimbang dengan pengupayaan proses pengolahan yang ramah lingkungan.
Terutama karena
investasi untuk penanganan limbah tidaklah murah. Terkait kopi Robusta rakyat, saat ini masih sedikit kajian terkait penerapan olah basah dan dampak negatifnya pada kopi Robusta yang diupayakan dalam skala perkebunan rakyat. Harga kopi dunia yang cenderung fluktuatif menimbulkan kekhawatiran akan keberlanjutan pengolahan basah pada kopi Robusta rakyat di Indonesia. Petani masih berpendapat bahwa penerapan olah basah lebih kompleks dan membutuhkan investasi lebih besar dibandingkan pengolahan kering, sulit mendapatkan keuntungan dari pengusahaannya. Posisi strategis penelitian disajikan pada Tabel 3. Sistem Keberlanjutan Agroindustri Kopi Rakyat
Indikator Keberlanjutan
Pengurangan Sumber Pencemar
Modifikasi Proses
Penilaian Indikator (Indeks Keberlanjutan)
Paradigma Keberlanjutan
Peningkatan Mutu Produk & Efisiensi Proses
Strategi Peningkatan Keberlanjutan
Desain Proses Pengolahan Kopi Rakyat Berkelanjutan
Data Kuantitatif & Kuantifikasi Indikator
Data Kuantitatif Proses Industri
Dimensi & Indikator Keberlanjutan
Alat Pencapaian Keberlanjutan
Keterkaitan antar Indikator
Teknik Produksi Bersih pada Industri
Dinamika Indikator Keberlanjutan
Pengurangan Sumber Pencemar & Daur Ulang
Teknik Penentuan Indikator Keberlanjutan
Peningkatan Mutu & Efisiensi
Prediksi Indikator Keberlanjutan
Skenario Kebijakan
Aspek Perekayasaan Industri yang Berkelanjutan
Gambar 18 Ranah desain proses pengolahan kopi rakyat Penelitian desain proses pengolahan kopi rakyat yang berbasis produksi bersih dikembangkan berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya. Penerapan
69
desain proses pengolahan ini diharapkan dapat dilakukan secara berkelanjutan penilaian terhadap tingkat keberlanjutan pengolahan kopi rakyat saat ini dapat mendukung strategi penerapannya. Tabel 3 Posisi strategis penelitian No
Penelitian
Aspek yang dikaji a b c d √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
1 Wahyudi et al. (1999) 2 Mulato et al. (1999) 3 Prete et al. (2000) 4 Mori et al. (2001) 5 Musebe et al. (2007) 6 Giovannucci (2001) 7 Abadiga (2010) 8 Barbier et al.(2003) 9 Olguin et al. (2004) 10 Winston et al. (2005) 11 Wibawa et al. (2005) 12 Adams & Ghaly (2007) 13 Giovannucci et al. (2008) 14 Soemarno et al. (2009) 15 Leloup et al. (2010) 16 Yusianto & Mawardi (2010) 17 Magesa et al. (2010) 18 Kebede et al. (2010) 19 Mburu (2010) 20 Mulato & Suharyanto (2010) 21 Eakin et al. (2011) 22 Penelitian yang dilakukan Keterangan: a). Pengolahan b). Mutu c). Keberlanjutan e). Evaluasi f). Modifikasi UKM = Usaha Kecil dan Menengah UMB = Usaha Menengah dan Besar
Objek Jenis Skala Arabika UMB Arabika UMK Arabika Arabika Arabika Arabika Arabika Robusta Robusta Arabika Arabika Arabika Robusta Arabika Arabika Arabika Robusta Arabika Robusta
UMB UKM
UKM UKM UKM UMB UKM UKMB UKM UMB UKM UKM UKM
Sifat e f √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
d). Produksi bersih
Konsep yang menjadi rujukan penelitian ini adalah konsep yang berhubungan dengan pengolahan kopi yang mampu meningkatkan mutu dan efisiensi pengolahan, kerangka keberlanjutan dan strategi pengembangan industri kecil dan menengah.
Modifikasi proses dapat dilakukan untuk mengurangi
pencemaran dan meningkatkan efisiensi pengolahan. Hasil penelitian yang dibutuhkan untuk mendukung desain proses pengolahan kopi rakyat berbasis produksi bersih adalah penelitian yang membahas tentang pengolahan kopi, desain proses berbasis produksi bersih, teknik penanganan pencemaran, identifikasi indikator, metode penilaian, serta upaya pencapaian keberlanjutan. Hasil-hasil penelitian yang telah dicapai dan posisi strategis penelitian dapat digambarkan dalam bentuk peta jalan (road map) pada Gambar 19.
70
Pengolahan
Kajian dan Penelitian Sebelumnya Proses basah Proses kering Proses semi basah
Cortez & Menezez, 2000; Winston et al. 2005; Mulato et al. 2006 ; Leloup et al. 2010 ; Mori et al. 2001
Teknik Sistem Keberlanjutan
Produksi Bersih
Aplikasi konsep ekologi industri (Adams & Ghaly, 2005) Minimisasi air Chanakya & De Alwis, 2004 Mburu (2010) Penanganan limbah Calvert, 1997 (anaerobik) Dinsdale et al. 1997 (anaerobik) Mendoza & Rivera, 1998 (anaerobik) Teresa et al. 2007 (Flokulasi & AOP) Bruno & Oliveira, 2008 (anaerobik) Devi et al. 2008 (karbon aktif) Ean, 2008 (koagulasi & flokulasi) Mulato & Suharyanto (2010) Kerangka Keberlanjutan Ekonomi, ekologi, etika, sosial, teknologi (Pitcher & Preikshot, 2001) Ekonomi, ekologi, sosial, kelembagaan (Adams & Ghaly, 2007)
Posisi Strategis Penelitian
Modifikasi olah basah pada kopi rakyat
Konsep & aplikasi di UKM (Berkel, 1999)
Pengolahan kopi rakyat berbasis mutu dan produksi bersih secara berkelanjutan
Kerangka & penilaian keberlanjutan
Teknik kuantitatif penentuan indikator keberlanjutan
ISM Kebutuhan, kendala, perubahan, tujuan, indikator, kegiatan, pelaku (Machfud, 2001) Kendala (Yasar & Neczan, 2007) Kendala & tujuan (Indrawanto, 2009) Tujuan, masyarakat, kendala, perubahan, lembaga (Kholil et al. 2008)
Strategi aplikasi produksi bersih pada kopi rakyat
Gambar 19 Peta jalan (road map) penelitian Desain proses pengolahan kopi Robusta yang berbasis produksi bersih memiliki 2 (dua) kebaruan, yaitu: 1.
Kebaruan dari segi kajian modifikasi teknologi olah basah dengan meminimalkan air proses dan tetap mempertahankan mutu kopi.
2.
Kebaruan dari segi luaran yaitu kerangka umum penilaian keberlanjutan agroindustri kopi rakyat, desain sistem pengolahan kopi Robusta yang berbasis produksi bersih, dan strukturisasi pengembangan agroindustri kopi rakyat.
III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1. Letak Geografis dan Keadaan Wilayah Luas areal perkebunan kopi 99.122 Ha menjadikan Jawa Timur sebagai salah satu sentra produksi kopi di Indonesia. Dua daerah penghasil kopi utama di Jawa Timur adalah Kabupaten Malang dan Jember. Keberadaan perkebunan kopi di kedua daerah ini tidak terlepas dari sejarah perkebunan kopi zaman kolonial Belanda yang memusatkan perkebunan kopinya di kedua daerah tersebut. Jawa Timur terutama terkenal dengan kopi Arabika dan Robusta hasil pengolahan basah yang dikenal dengan WIB coffee. Kopi tersebut terutama diproduksi oleh perkebunan besar negara dan swasta. Pengusahaan komoditi kopi di Kabupaten Jember saat ini terutama adalah kopi Robusta baik yang diusahakan oleh rakyat maupun perkebunan besar. Kopi rakyat di Kabupaten Jember adalah kopi yang diusahakan oleh rakyat melalui pembinaan langsung Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Kabupaten Jember. Kopi rakyat sudah diusahakan sejak zaman Belanda karena bias keberadaan Perkebunan Besar milik Pemerintah Kolonial Belanda. Pada saat itu para pekerja perkebunan mencoba menanam kopi di lahan-lahan mereka yang berada di sekitar lokasi perkebunan yang letaknya berada di lereng-lereng pegunungan dan mencakup hampir seluruh wilayah kecamatan. Hingga saat ini komoditi kopi merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan andalan perkebunan rakyat di Kabupaten Jember. Sebaran luas areal kopi rakyat saat ini mencapai 5.524,01 ha yang tersebar hampir diseluruh kecamatan dengan sentra areal kopi berada di 8 kecamatan yaitu Kecamatan Silo (2.192,23 ha), Jelbuk (615,51 ha), Ledokombo (534, 21 ha), Sumberjambe (572,92 ha), Panti (389,09 ha), Tanggul (256,09 ha) dan Sumberbaru (282,50 ha).
Desa Sidomulyo merupakan salah satu desa yang
terletak di Kecamatan Silo, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur. Secara topografis, Desa Sidomulyo dikelilingi oleh pegunungan atau perbukitan, diantaranya Pegunungan Argopuro di sebelah utara, Pegunungan Pace/Sanen di sebelah selatan dan Gunung Gumitir di sebelah timur. 71
Dilihat dari potensi
72 alamnya,
Desa
Sidomulyo
termasuk
desa
perkebunan
(desa-
sidomulyo.blogspot.com).
Gambar 20 Kabupaten Jember Secara geografis, Desa Sidomulyo berada di dataran rendah dan perbukitan dengan batas-batas wilayah sebagai berikut (Gambar 21). Sebelah utara
: Desa Sumberjati (Kec. Silo)
Sebelah selatan
: Desa Pace dan Mulyorejo (Kec. Silo)
Sebelah barat
: Desa Garahan (Kec. Silo)
Sebelah timur
: Desa Curah Leduk (Kec. Kalibaru, Kab. Banyuwangi)
Desa Sidomulyo memiliki keadaan geografis berupa dataran dengan ketinggian tanah setinggi ± 560 m dari permukaan laut. Curah hujan di Desa Sidomulyo rata-rata sebesar ± 2000 mm/tahun dengan suhu rata-rata adalah ± 21 °C dengan kelembaban udara mencapai 75-90%. Kondisi iklim demikian sangat cocok untuk pertumbuhan tanaman kopi Robusta. Jarak dari Desa Sidomulyo sampai ke pusat pemerintahan Kecamatan Silo adalah ± 13 km. Jarak Desa Sidomulyo dengan ibukota kabupaten/kotamadya daerah tingkat II adalah ± 40 km, sedangkan jarak dari Desa Sidomulyo ke ibukota provinsi daerah tingkat I
73
adalah ± 246 km. Fasilitas sarana dan prasarana yang menghubungkan antara desa dengan desa, desa dengan kabupaten, maupun desa dengan ibukota provinsi mudah dijangkau karena banyak tersedia angkutan umum.
SIDOMULYO
Gambar 21 Desa Sidomulyo Adapun luas Desa Sidomulyo kurang lebih 5.145,57 hektar dengan penggunaan sebagian besar untuk areal perkebunan dan hutan.
Penggunaan
lainnya adalah untuk pemukiman umum, pertanian sawah, ladang/tegalan, bangunan, sarana rekreasi, dan olahraga serta lainnnya. Tata guna tanah di Desa Sidomulyo, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember ditunjukkan pada Tabel 4. 3.2. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian Desa Sidomulyo merupakan salah satu desa sentra penghasil kopi di Kecamatan Silo yang mengalami perkembangan cukup pesat dalam sistem pertaniannya. Petani kopi di desa tersebut telah mampu menerapkan sistem agribisnis, memiliki pabrik kopi, dan agroindustri hilir kopi. Selain itu terdapat juga lembaga penunjang seperti Koperasi Buah Ketakasi serta kelompok tani kopi. Penduduk Desa Sidomulyo menggantungkan kehidupan ekonominya pada potensi geografis dan sumber daya alamnya yang sesuai untuk pertanian. Secara rinci, struktur mata pencaharian penduduk Desa Sidomulyo disajikan pada Tabel 5.
Struktur mata pencaharian penduduk Desa Sidomulyo mayoritas 87,98%
sebagai petani pemilik, penggarap, buruh tani, dan peternak. Mayoritas petani
74 terutama adalah petani kopi Robusta.
Petani juga tidak tidak hanya
mengusahakan kopi, tetapi juga mengusahakan tanaman seperti alpokat, kelapa, pisang, petai, dan sengon sebagai tanaman penaung.
Hal ini memungkinkan
karena desa dikelilingi oleh kawasan hutan dan pegunungan yang subur. Sehingga memiliki potensi cukup besar untuk menjalankan usaha pertanian dan peternakan.
Pada umumnya selain menjadi petani juga berprofesi sebagai
peternak kambing, sapi, dan ayam.
No 1. 2.
3. 4.
5.
6.
8.
9.
Tabel 4 Luas wilayah Desa/Kelurahan Sidomulyo menurut penggunaan Penggunaan Luas (Ha) Persentase (%) Pemukiman Umum 16,00 0,311 Pertanian Sawah a. Sawah Irigasi 55,00 1,069 b. Sawah Setengah Teknis 150,00 2,915 c. Sawah Tadah Hujan 56,60 1,100 Ladang/Tegalan 636,00 12,360 Perkebunan a. Rakyat 309,90 6,023 b. Negara 1.192,50 23,175 c. Swasta 542,60 10,545 Hutan a. Hutan Lindung 1.849,90 35,591 b. Hutan Produksi 772,70 15,017 c. Hutan Cagar Alam 135,00 2,624 Bangunan a. Perkantoran 0,50 0,010 b. Sekolah 2,50 0,049 c. Pasar 0,50 0,010 d. Jalan 1,80 0,035 Rekreasi dan Olahraga a. Lapangan Sepak Bola 1,50 0,029 b. Lapangan Voli dan Basket 0,50 0,010 Lain-lain 2,50 0,049 Jumlah 5.145,57 100
Sumber : Profil Desa Sidomulyo (Bapemas 2009)
Struktur mata pencaharian kedua penduduk desa adalah sebagai PNS, pekerja di bidang jasa/perdagangan (11,51%).
Jasa perdagangan meliputi
pedagang, pemilik toko, dan pelaku bisnis lainnya. Struktur mata pencaharian ketiga adalah pekerja di sektor industri. Sektor industri dalam hal ini meliputi profesi pengusaha agroindustri seperti pembuat makanan ringan (keripik
75
singkong, tempe, dan tahu), pengolah biji kopi, tenaga atau staf pabrik Gondorukem, pemecah batu dari PTPN, dll. Tabel 5 Distribusi penduduk Desa Sidomulyo berdasarkan mata pencaharian Struktur Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Persentase (%) Petani, peternak, buruh tani 5.162 87,98 PNS, Jasa/Perdagangan 675 11,51 Sektor Industri 30 0,51 5.867 100 Jumlah Sumber: Profil Desa Sidomulyo (Bapemas 2009)
3.3. Keadaan dan Potensi Perkebunan Menurut data Profil Desa Sidomulyo (Bapemas 2009), sumber produksi tananam perkebunan yang diusahakan penduduk meliputi tanaman kopi, cengkeh, tembakau, tebu dan buah-buahan seperti alpukat, durian, mangga, rambutan, dan salak dengan luas keseluruhan perkebunan rakyat 309,87 ha. Kondisi alam dan potensi geografis Desa Sidomulyo sangat cocok untuk tanaman kopi khususnya spesies Robusta sp yang menjadi sumber tanaman perkebunan utama. Produksi kopi di Desa Sidomulyo diusahakan di atas lahan dengan luas total 170 ha dengan potensi produksi 180 ton.
Adapun varietas kopi Robusta yang umum ditanam
adalah Tugusari dengan klon BP 308. Anggota kelompok tani Sidomulyo juga memiliki tanah garapan di hutan milik Perhutani yang ditanami kopi dengan aturan dalam 1 ha kebun minimal tanaman kerasnya (“leger” bahasa lokal) sebanyak 400 pohon. Seorang anggota kelompok tani minimal memiliki satu garapan yang luasnya kurang lebih 0,25 ha dengan jumlah tanaman kopi sekitar 400 pohon.
Pada tahun 2009, luas
keseluruhan hutan yang dikelola bersama masyarakat 434,35 ha. Namun luas lahan tersebut termasuk luas kebun yang dikelola oleh anggota kelompok tani di luar Desa Sidomulyo. Potensi produksi kebun kopi di hutan tersebut kurang lebih 116,21 ton per tahun. Adapun bulan panen kopi biasanya terjadi antara bulan Mei hingga bulan September. Waktu panen yang cukup lama ini dikarenakan tanaman kopi mengalami 3 kali masa panen raya dalam 1 kali musim tanam. Tanaman kopi yang dimiliki oleh para petani di Desa Sidomulyo merupakan tanaman kopi yang produktif dengan rata-rata umur kopi 5 tahun ke atas. Produktivitas rata-rata tanaman kopi pada saat penelitian (2009), berkisar antara 0,7-1,1 ton/Ha kopi beras.
Rata-rata produktivitas ini sedikit menurun
76 dibandingkan tahun 2006, dimana produktivitas rata-rata tanaman kopi berkisar antara 0,9-1,1 ton/Ha kopi beras. Penurunan produksi ini terutama disebabkan faktor alam yang mengakibatkan pembungaan bakal calon buah banyak yang gagal. 3.4. Gambaran Kegiatan Pengolahan dan Pemasaran Kopi Robusta Bulan panen kopi biasanya terjadi antara bulan Mei hingga bulan September dengan puncak panen antara Juli-Agustus. Penanganan pasca panen yang umum dilakukan oleh petani kopi rakyat di Desa Sidomulyo adalah pengolahan kering. Beberapa kelompok tani pernah melakukan pengolahan basah pada tahun 2004. Sejak tahun 2010, Kelompok Tani Sidomulyo memulai kembali melakukan pengolahan basah yang bekerja sama dengan Community Development (Comdev) dari I-MHERE (Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency) Project –UNEJ (Universitas Jember), dan Puslitkoka (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao). Petani lebih memilih sistem pengolahan kering karena proses pekerjaan lebih mudah dan tidak membutuhkan air seperti pengolahan basah, sehingga metoda ini dinilai petani kopi di Desa Sidomulyo sebagai cara pengolahan kopi yang paling efektif dan efisien. Selain itu kopi yang diproduksi di daerah ini umumnya digunakan sebagai campuran untuk pengolahan kopi bubuk. Pengolahan kering yang diterapkan di Desa Sidomulyo adalah pengolahan kering pecah kulit. Pemanenan buah kopi umumnya untuk buah kopi petik merah dan kuning umumnya dilakukan selama 3 kali masa panen selama bulan Juli hingga September. Setelah panen, buah kopi dipecah menggunakan alat yang disebut kneuzer. Buah kopi yang telah dipecah dikeringkan selama 7 – 10 hari di atas lantai semen hingga mencapai kadar air 13 – 15%. Kopi pecah kulit yang telah kering kemudian dikupas menggunakan huller. Tahap akhir adalah proses sortasi jika diinginkan oleh pembeli. Pada pengolahan basah, petani menerapkan pemetikan selektif sejak di pohon. Setelah pemetikan buah kopi merah, buah kopi dikupas (pulping). Setelah pengupasan kulit buah, biji kopi difermentasi selama ± 12 - 24 jam dalam bak fermentasi. Pencucian biji kopi dilakukan secara manual ataupun menggunakan mesin pencucian (washer). Biji kopi kemudian dikeringkan selama 4 - 5 hari
77
untuk mencapai kadar air 12%. Pada saat ini, pengeringan biji kopi olah basah untuk ekspor tidak dilakukan hingga kadar air 12% tapi hingga kering angin dengan kadar air ± 40% untuk selanjutnya diolah kembali di tingkat eksportir. Pemetikan Buah
Pemetikan Buah
Sortasi Buah
Sortasi Buah
Pemecahan Kulit Buah (Kneuzer)
Pengupasan Kulit Buah (Pulping) Fermentasi
Pencucian (Washing)
Pengeringan
Pengeringan
Pengupasan Kulit
Pengupasan Kulit Tanduk (Hulling)
Pengeringan KA ± 40%
Sortasi Buah Pengemasan
Olah Kering Pecah Kulit
Pengemasan
Olah Basah
Gambar 22 Pengolahan kopi di Desa Sidomulyo Selama masa panen puncak, praktek pengolahan terutama difokuskan pada kuantitas dan kecepatan pengolahan bukan faktor kualitas. Pemanenan dimulai sejak pagi hari hingga siang hari dengan total waktu panen sekitar 7-8 jam. Setelah panen, pada hari yang sama atau keesokan harinya, buah yang telah dipanen dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok pertama adalah buah yang masak, terlalu masak, dan agak masak. Kelompok kedua adalah buah yang belum matang. Buah ini cukup lunak untuk dapat dikupas menggunakan pulper. Buah yang belum masak dapat merusak mesin, sehinggga diproses berbeda. Pekerjaan ini terutama dilakukan oleh wanita, pada saat kaum lelaki bekerja memanen kopi di kebun. Proses sortasi ini dapat menghabiskan waktu yang lama. Terutama pada saat panen puncak proses pengolahan ini dapat berlangsung hingga malam hari.
78 Pengeringan kopi pada pengolahan basah di pabrik menggunakan teknik penjemuran para-para (kopi yang sudah di cuci ditiriskan lalu dijemur hal ini untuk mempercepat pengeringan). Pembuangan limbah di pabrik dibuat oleh kelompok tani, koperasi, dan pihak terkait. Limbah padat kopi yang dihasilkan pernah diuji coba sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik padat dan cair oleh mahasiswa PKP (Praktek Kerja Profesi) I-MHERE Project dan KKT (Kuliah Kerja Terpadu) LPM (Lembaga Pengabdian Masyarakat) dari Universitas Jember. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk pengelolaan usaha tani kopi rakyat di Desa Sidomulyo berasal dari tenaga kerja dalam keluarga dan luar keluarga. Upah yang berlaku untuk tenaga kerja pada umumnya adalah sebanyak Rp 12.000 hingga Rp 15.000/orang/hari.
Sistem upah yang berlaku di Desa Sidomulyo
dibedakan berdasarkan jenis kelamin (antara pria dan wanita nilainya tidak sama). Selain itu upah yang diberlakukan juga dilihat dari tingkat kesulitan pekerjaan yang berat, seperti: sulaman, pemupukan, rempesan, tokokan, dan sebagainya dilakukan oleh tenaga kerja pria, sedangkan tenaga kerja wanita melakukan pekerjaan yang lebih ringan, seperti sortiran, petik bubuk, petik raya, racutan, dan lelesan. Industri pengolahan kopi yang terdapat di Desa Sidomulyo termasuk kategori industri kecil dan industri rumah tangga. Melalui koperasi, kelompok petani kopi melakukan pengolahan sendiri menjadi biji kopi dan kopi bubuk yang dipasarkan ke daerah-daerah lain di Jawa Timur. Kopi bubuk yang dipasarkan umumnya masih dikemas secara sederhana menggunakan plastik. Sehingga masih membutuhkan perbaikan kemasan untuk menjamin kualitas aroma dan rasa kopi yang dipasarkan. Pemasaran biji kopi yang dilakukan oleh petani pada umumnya adalah dengan cara langsung dijual oleh para anggota kelompok tani kepada kelompok tani lain, koperasi, dan pedagang pengumpul yang ada di Desa Sidomulyo sehingga meniadakan biaya transportasi.
Akan tetapi selain dijual kepada
pedagang pengumpul di Desa Sidomulyo sendiri, ada juga beberapa anggota kelompok tani yang menjual hasil kopinya di luar Desa Sidomulyo, yaitu Sempolan melalui Toko Baru sebagai pedagang pengumpul di daerah Sempolan dan sekitarnya.
79
Para anggota kelompok tani tidak memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan harga jual kopi ke pedagang pengumpul. Antara anggota kelompok tani yang satu dengan anggota kelompok tani yang lainnya memiliki harga jual yang berbeda-beda, karena mereka akan memilih para pedagang pengumpul yang bersedia membeli hasil kopinya dengan harga yang lebih tinggi. Harga kopi pada tahun 2011 berkisar antara Rp. 20.000 hingga Rp. 24.000, tahun 2010 berkisar antara Rp 18.000/kg hingga Rp 20.000/kg kopi beras. Pada tahun sebelumnya, harga kopi rata-rata berkisar antara Rp 15.000/kg hingga Rp 16.000/kg kopi beras. Ketidakpastian harga kopi dunia yang berubah-ubah setiap tahun turut mempengaruhi petani. Apabila harga kopi rendah maka sebagian besar petani dapat beralih ke usaha lain, sehingga perawatan tanaman kopi berkurang yang akhirnya mempengaruhi mutu biji kopi. Apabila harga kopi tinggi, petani cepatcepat menjual biji kopinya. Setelah selesai panen, biji kopi dijemur beberapa hari, dilakukan pengolahan kering dan kemudian langsung dijual tanpa disortasi terlebih dahulu. Kendala lain adalah kebiasaan petani untuk mengambil buah kopi sebelum matang di pohon sehingga pada saat panen buah kopi masih tercampur antara buah kopi yang matang, belum matang, dan terlalu matang. Hal ini tentu tidak akan menghasilkan kopi yang baik terutama setelah menjadi bubuk dan diolah menjadi minuman. Kebiasaan ini mereka lakukan terutama karena keinginan mereka untuk mendapatkan uang lebih cepat, terutama bagi petani yang hanya mengandalkan pada kebun kopi. Anggota kelompok tani kopi di Desa Sidomulyo memiliki kerjasama pemasaran dengan PT Indokom Citra Persada (PT ICP). Pada tahun 2007, PT Indokom Citra Persada menargetkan jumlah ekspor kopi untuk wilayah Kecamatan Silo Utara (meliputi daerah Garahan dan Sidomulyo) sebanyak 290 ton kopi beras, sedangkan Desa Sidomulyo mampu memenuhi ekspor kopinya sekitar 40 ton. Salah satu kelompok tani di Desa Sidomulyo yaitu Kelompok Tani Sidomulyo I telah mendapatkan sertifikat kopi layak ekspor dari Utz Certified sebagai kopi organik melalui PT ICP. Utz Certified merupakan sertifikat yang diberikan oleh Utz Kapeh Foundation sebagai salah satu lembaga sertifikasi komoditas kopi yang berpusat di Amsterdam, Netherlands yang dipercaya oleh PT ICP untuk menilai kelayakan mutu kopi yang akan diekspor. Utz Certified berarti
80 kopi yang baik di dalam bahasa Maya, memberikan jaminan kualitas sosial, dan lingkungan dalam produksi kopi yang diharapkan oleh pabrik atau konsumen. Kopi yang bersertifikat Utz Certified berarti telah diproduksi menurut kriteria Code of Conduct (Utz Certified, 2010). Melalui sertifikat tersebut, produsen kopi untuk segala ukuran dan asal dapat menunjukkan bahwa kopinya menggunakan praktek pertanian yang baik, pengelolaan usaha tani yang efisien, dan produksi yang bertanggung jawab. Untuk pembeli dan roaster kopi, sertifikat tersebut merupakan jaminan produksi kopi yang bertanggung jawab. Pengawasan internal untuk kopi rakyat di Desa Sidomulyo berada di bawah PPL (Petugas Penyuluh Lapang). Penerapan teknik budidaya kopi yang ramah lingkungan merupakan tanda bahwa petani kopi Desa Sidomulyo memiliki kemauan untuk meningkatkan pendapatan dan melakukan perbaikan terhadap kualitas kopi yang dihasilkannya. PT Indokom Citra Persada (PT ICP) umumnya membeli kopi hasil produksi petani dengan kualitas asalan sehingga diperlukan sortasi dalam perusahaan untuk memisahkan antara biji kopi yang akan diekspor dengan biji kopi yang hitam, pecah dan substandar lainnya. Apabila kadar air dalam biji kopi masih di atas standar ekspor, maka perusahaan melakukan pengeringan ulang hingga mencapai kadar air yang diinginkan. Mutu kopi yang bagus dipasarkan untuk kebutuhan ekspor, sedangkan mutu kopi yang kurang memenuhi standar ekspor dipasarkan untuk kebutuhan lokal. Kadar air yang belum memenuhi syarat ekspor dapat menyebabkan harga kopi di tingkat petani rendah, karena eksportir harus mengolahnya hingga diperoleh standar mutu yang dipersyaratkan dalam perdagangan. Kadar air yang tinggi dapat menimbulkan tumbuhnya jamur serta berbagai bentuk cacat lain, seperti bau apek, pemucatan warna, dan akhirnya menurunkan harga jual. PT ICP juga membeli kopi beras hasil olah basah petani dengan harga lebih tinggi dari harga yang ditawarkan untuk kopi beras hasil olah kering.
Petani
pernah melakukan olah basah pada tahun 2004 dan 2005 akibat rendahnya harga kopi olah kering berturut-turut sebesar Rp. 5.725,- dan Rp. 8.423,- per kg. PT ICP membeli kopi hasil olah basah petani 25,5% lebih tinggi dari harga yang ditawarkan untuk kopi beras hasil olah kering atau senilai Rp. 7.000,- pada tahun
81
2004 dan Rp. 11.000,- pada tahun 2005 (lebih tinggi 30,6% dari kopi beras olah kering). Tetapi pada tahun 2006 dan 2007, petani tidak melakukan olah basah karena harga kopi olah kering yang relatif tinggi, berturut-turut Rp. 12.450,- dan Rp. 15.657,- per kg kopi beras. 4.5.
Profil Umum Kelompok Tani Sidomulyo I Teknik olah basah kopi yang dilakukan petani kopi Desa Sidomulyo mampu
menghasilkan kopi kualitas ekspor. Meskipun pada awalnya tidak mudah untuk mengajak petani kopi melakukan olah basah kembali. Namun, berkat kerjasama antara I-MHERE, Dinas Perkebunan Kabupaten Jember, masyarakat, Puslit Kopi Kakao Indonesia dan kelompok tani yang ada di Desa Sidomulyo, maka olah basah sebagai peningkatan mutu kopi petani Sidomulyo dapat dilaksanakan. Menurut Sudarko (2010), pembentukan kelompok tani kopi di Desa Sidomulyo dilatarbelakangi oleh keinginan untuk membentuk suatu perkumpulan anggota atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama sehingga dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi. Kelompok tani Suluh Tani merupakan perintis dari kelompok tani yang ada di Desa Sidomulyo. Kelompok Suluh Tani berdiri sejak tahun 1983.
Kemudian untuk memudahkan koordinasi melalui
persetujuan anggota kelompok, Suluh Tani dipecah menjadi 3 kelompok tani berdasarkan dusun, yaitu Sidomulyo, Krajan, dan Curah Manis.
Seiring
pertambahan penduduk maka terjadi pula penambahan jumlah dusun di Desa Sidomulyo, sehingga terbentuk 2 kelompok tani lagi. Sehingga saat ini terdapat 5 kelompok tani yaitu Kelompok Tani Suluh Tani, Sidomulyo I, Curah Manis, Tunas Jaya, dan Kelompok Tani Barokah. Kelompok Tani Sidomulyo I didirikan pada tahun 1997 dengan anggota sebanyak 30 orang dan total luas lahan anggota 30 ha. Saat ini jumlah anggota telah mencapai 170 orang. Adapun tujuan dan asas kelompok ini adalah. 1. Berdasarkan gotong royong, saling bahu membahu serta tidak menyimpang dari azas Pancasila dan UUD 1945 2. Meningkatkan produktivitas usaha tani dengan teknologi pengendalian hama terpadu sesuai dengan potensi wilayah dan peluang pasarnya
82 3. Memperbaiki penanganan hasil lepas panen sesuai dengan kebutuhan dan mutu yang lebih menguntungkan 4. Melestarikan dan mendayagunakan musuh alami serta mempertahankan kondisi agroekosistem perkebunan yang ramah dan berkelanjutan dan 5. Menampung aspirasi anggota. Struktur kelompok tani Sidomulyo I dapat dilihat pada Gambar 23. Ketua kelompok bertugas sebagai koordinator. Sekretaris di bagian administrasi dan bendahara di bidang pendanaan. Ketua kelompok mempunyai kewajiban dan hak antara
lain:
(1)
menentukan
tata
kehidupan
kelompok,
(2)
menyetujui/mendisposisikan segala keuangan yang ada kaitannya dengan kelompok, (3) menyampaikan pertanggungjawaban pengurus dalam rapat anggota pada akhir masa jabatannya, (4) mengolah hasil laporan tiap bagian/seksi, dan (5) memberi informasi dan mendampingi tamu dinas dan luar. Sekretaris memiliki kewajiban dan hak: (1) bertanggungjawab atas administrasi kelompok, (2) menyusun notulen rapat anggota bersama atau rapat anggota tahunan, (3) bersama ketua menyusun rencana kerja, (4) mempersiapkan dan menyimpan surat-surat penting serta dokumen kelompok, dan (5) mengatur rapat-rapat internal kelompok. Bendahara berkewajiban: (1) mengatur dana-dana dengan persetujuan anggota, (2) mengatur belanja atau pendapatan kelompok, (3) menyusun rencana anggaran pendapatan dan belanja kelompok dan (4) mengatur dan menyelamatkan hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan kelompok. Seksi bidang saprodi usahatani berkewajiban: (1) mencatat populasi tanaman kebun, (2) menyediakan sarana dan prasarana produksi dan reproduksi, (3) mengatur dan menentukan tata kerja di kebun kelompok. Seksi produksi dan pengolahan hasil berkewajiban: (1) menyediakan sarana dan prasarana produksi hasil perkebunan kelompok, (2) mengolah dan memperbaiki mutu kopi hasil kelompok, (3) merencanakan dan mengkoordinir kegiatan teknologi pengolahan hasil pertanian kebun kopi. Seksi pemasaran berkewajiban: (1) mengatur dan menentukan pemasaran dan (2) menggali kemitraan/kerjasama dengan pihak ketiga baik mengenai bibit maupun hasil produksi dan pemasarannya.
Seksi
humas bertugas: (1) merencanakan pengembangan usaha kelompok, dan (2)
83
mencari terobosan baru di luar usaha kelompok tani yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup kelompok. KETUA
SEKRETARIS
SEKSI SAPRODI
SEKRETARIS
SEKSI HUMAS
SEKSI PRODUKSI & PENGOLAHAN
SEKSI PEMASARAN
ANGGOTA
Gambar 23 Struktur Kelompok Tani Sidomulyo I Kelompok Tani Sidomulyo I merupakan kelompok yang memiliki jejaring usaha cukup banyak di antara kelompok yang lainnya.
Pada tahun 2007
mendapatkan sertifikasi kopi layak ekspor dari Utz Certified, lembaga sertifikasi Belanda yang memungkinkan terjadinya MoU (Memorandum of Understanding) dengan eksportir PT ICP. Pada tahun yang sama, kelompok tani juga melakukan kontrak kerjasama dengan Universitas Jember untuk program Community Development Program I-MHERE project selama tiga setengah tahun yang dibiayai oleh World Bank. Selain itu pada tahun 2009, mendapat bantuan modal dari Dinas Perkebunan melalui program CSR (Corporate Social Responsibility). Kelompok Tani Sidomulyo I juga sering mengikuti pelatihan dan lokakarya seperti Studi Banding ke KSD Cipta Mandiri Bali tahun 2003, Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLHPT), dan Sekolah Lapangan (SL) Agribisnis, Diklat Koperasi dan UMKM di Malang tahun 2009. Kelompok Tani Sidomulyo I ikut berpartisipasi dalam Program Penelitian Belanda tentang penyakit bubuk kopi (PBKO) pada tahun 2009, lokakarya pemasaran, dan manajemen industri kopi, pelatihan pupuk organik serta pelatihan internet melalui program I-MHERE. Kelompok Tani Sidomulyo I juga secara aktif berkonsultasi dengan Pusat
84 Puslitkoka, Jember serta PPL Dinas Perkebunan Kabupaten Jember terkait permasalahan dan pengembangan kelompok tani. Untuk memperlancar komunikasi dan penyebaran informasi, Kelompok Tani Sidomulyo rutin melakukan pertemuan mingguan dan bulanan. Pertemuan mingguan dilakukan melalui acara pengajian rutin (Jamaah Nurul Jadid) setiap Jumat malam.
Pertemuan bulanan melalui arisan setiap tanggal 1 yang
dilanjutkan diskusi kelompok serta penyuluhan dari PPL. Melalui arisan pula dapat dikumpulkan dana untuk modal usahatani dengan dana minimal Rp 20.000,dan maksimal tidak terbatas. Adapun iuran wajib anggota kelompok sebanyak Rp 1000,-. Berbagai
kegiatan
kelompok
juga
diadakan
untuk
meningkatkan
kebersamaan dan upaya belajar bersama, misalnya melalui kerja bakti yang disebut girikan. Girikan adalah kegiatan gotong royong yang sering dipakai untuk praktek kebun, kerja bersama ataupun membantu anggota kelompok tani lain dalam usaha tani kopi. Girikan dilakukan di kebun kopi milik anggota kelompok tani dengan luasan kerja maksimal 0,5 ha secara bergiliran tiap minggu pada hari jumat pagi. Apabila ada anggota yang berhalangan hadir tanpa izin, maka ketua mengenakan denda sebanyak Rp 30.000,-. Denda ini juga berlaku bagi anggota yang melanggar kesepakatan dengan memberikan makanan selain rokok dan air minum saat kebunnya mendapat giliran dibantu. Tujuan pemberian denda ini adalah agar anggota kelompok dapat berpartisipasi aktif dalam semua kegiatan tanpa merasa berat hati. Pada tanggal 8 Desember 2007, Kelompok Tani Sidomulyo I dengan difasilitasi Tim Commnity Development (Comdev) I-MHERE Project Universitas Jember membentuk Koperasi Buah Ketakasi (Buah Kelompok Tani Kopi Sidomulyo). Ide pendirian koperasi ini berawal dari keinginan pengurus dan anggota untuk mengembangkan diri secara mandiri dalam usaha kopi yang tidak terbatas pada budidaya kopi (on farm) tetapi hingga pemasaran dan pengolahan kopi (off farm). Pendirian Koperasi Ketakasi ini dilatarbelakangi beberapa hal. 1.
Keberadaan
lembaga
koperasi
diharapkan
(a)
mampu
mengurangi
ketergantungan kebutuhan modal yang dibutuhkan petani kopi terhadap para tengkulak; (b) wadah pembelajaran bagi petani dalam pengembangan
85
kerjasama yang saling membutuhkan dan menguntungkan, (c) menciptakan budaya menabung para petani. 2.
Menciptakan sinergi antara lembaga akademis (Universitas Jember) dengan lembaga koperasi melalui transformasi informasi dan teknologi.
3.
Membangun akses yang kuat antara lembaga keuangan dengan koperasi melalui penyediaan fasilitas pemodalan usaha.
4.
Membangun akses yang kuat dengan lembaga pemasaran, khususnya lembaga eksportir dan AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia) yang berkedudukan di Jawa Timur melalui penyediaan informasi pasar dan harga kopi. Kelompok Tani Sidomulyo I memulai kembali sistem pengolahan basah
yang dipercaya dapat meningkatkan mutu kopi pada tahun 2010. Melalui bantuan dan kerjasama dengan Universitas Jember dan Puslitkoka dalam I-MHERE Project, kelompok tani mendapatkan fasilitas pengolahan basah yang salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu kopi yang dihasilkan. Penerapan sistem pengolahan basah diharapkan dapat membantu meningkatkan pendapatan petani sekaligus meningkatkan mutu kopi. Kegiatan pemasaran biji kopi olah basah yang dihasilkan tetap melalui PT ICP. Hingga saat ini beberapa prestasi yang telah dimiliki oleh Kelompok Tani Sidomulyo I, antara lain: (1) menjadi tim penerima tamu Puslitkoka, Indonesia saat kunjungan kebun kopi rakyat terutama tamu-tamu dari luar negeri seperti Kanada, Columbia, Australia, Belanda, dan Perancis, (2) kelompok yang berhasil menerapkan teknologi olah basah pada kopi rakyat, (3) pelopor kelompok yang mendapatkan Utz Certification dari Belanda untuk memenuhi GAP (Good Agricultural Practices) yang meliputi aspek ramah lingkungan, sosial ekonomi, pekerja, dan masyarakat sekitar dan penciptaan eco friendly cultivation, (4) kelompok yang mendirikan koperasi serta usaha kerja sama dengan Bank Jatim, Bank Mandiri, Universitas Jember, dan Dinas Perkebunan yang sudah berkembang pesat dengan badan hukum 518/500.BH/XVI.7/436.313/2007, dan pada Rapat Anggota Tahunan (RAT) 2009 telah memiliki jumlah aktiva Rp 198.762.680,-, (5) mengolah kopi sampai siap konsumsi dalam bentuk kemasan bubuk dengan kapasitas sekali sangrai 70 kg dengan daerah pemasaran kota-kota di Jawa Timur. Pada tahun 2010 koperasi mendapatkan akses permodalan dari
86 Bank Jatim sebesar 1,5 milyar rupiah. Keberadaan pabrik mini tempat pengolahan basah kopi dengan kapasitas produksi 1 ton dalam 4 jam dan hasil kopi HS kurang lebih 750 liter belum mampu memenuhi standar kualitas dan menampung panen anggota koperasi. Oleh karena itu masih dibutuhkan tenaga manual untuk menyempurnakan pengolahan dan modifikasi alat-alat yang ada.
Sarana dan
fasilitas Kelompok Tani Sidomulyo yang telah dimiliki disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Sarana dan fasilitas Kelompok Tani Sidomulyo I Item Jumlah (buah/unit) Sarana budidaya dan pengolahan kopi (a) Handsprayer 21 (b) Hummermill 3 (c) Timbangan gantung 9 (d) Gunting pangkas 54 (e) Gergaji 53 (f) Pisau okulasi 12 (g) Timbangan duduk 3 (h) Alat pengering kopi stasioner 3 (i) Alat pengupas kulit (pulper) 1 (j) Alat pencuci biji kopi (washer) 1 (k) Alat pemisah kulit (huller) 2 (l) Alat sangrai dan penggilingan kopi 1 (m) Alat pres pengemas 1 (n) Alat pengukur kadar air kopi (koka tester) 1 (o) Seperangkat penampung dan pipa sumber air 1 (p) Pabrik mini pengolahan basah 1 Sarana pertemuan (a) Balai desa 1 (b) Koperasi 1 Sarana penggalian modal (a) Koperasi serba usaha Buah Ketakasi 1 (b) Kios pertanian 1 Sarana komunikasi dan arsip (a) Laporan kegiatan kelompok 1 (b) Telepon seluler dan interkom 25 (c) Koleksi buku tentang kopi dan lainnya 60
IV. METODE PENELITIAN 4.1.
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan sejak bulan Agustus 2009 hingga Agustus 2011.
Lokasi penelitian dilaksanakan di (1) Unit Produksi dan Pengolahan Pasca Panen serta Lab.Pengujian Mutu, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Jember, (2) Laboratorium Teknik Pengendalian dan Konservasi Lingkungan (TPKL) Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember, (3) Laboratorium Pengelolaan Lingkungan Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya (4) Kawasan Usaha Perkebunan Kopi (KUPK) Desa Sidomulyo, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember Jawa Timur dan (5) Advance Water Management Centre (AWMC) The University of Queensland, Queensland, Australia. Penetapan lokasi KUPK Desa Sidomulyo ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut. 1. Kabupaten Jember merupakan produsen kopi kedua terbesar di Jawa Timur dengan jumlah petani kopi di tahun 2008 mencapai 17090 orang. 2. Kecamatan Silo merupakan daerah penghasil kopi terbesar di Kabupaten Jember (Bapemas 2009) 3. Desa Sidomulyo memiliki potensi besar dalam pengembangan agroindustri kopi rakyat karena lebih dari setengah jumlah penduduknya bekerja pada sektor perkebunan kopi rakyat. 4. Produksi kopi per tahun di Desa Sidomulyo mencapai rata-rata 500 ton kopi gelondong basah merupakan potensi produksi yang memenuhi untuk kelayakan suatu usaha secara kontinyu. 5. Rata-rata penjualan biji kopi beras untuk diekspor melalui PT. Indokom Citra Persada (PT ICP) mencapai 136,6 ton pada tahun 2007 dan meningkat hingga 150 ton pada tahun 2009. Pada tahun 2010, kelompok tani melalui koperasi melakukan proses olah basah dengan produksi 26,6 ton biji kopi beras. 6. Kelompok Tani Desa Sidomulyo telah memiliki lembaga koperasi yang mampu memberikan wadah bagi petani kopi untuk mengembangkan diri secara mandiri.
87
88
7. Kelompok Tani Desa Sidomulyo telah memiliki sertifikat Utz Certified melalui PT ICP. Utz Certified merupakan jaminan bahwa biji kopi yang dihasilkan berasal dari perkebunan kopi organik sehingga produk biji kopi dapat diterima di luar negeri. 4.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini. a. Buah kopi gelondong merah dan bahan-bahan kimia yang digunakan dalam, analisis dan pengolahan limbah cair atau padat di laboratorium. Buah kopi berasal dari Kebun Kaliwining milik Puslitkoka, Jember. Sebagai kontrol adalah buah kopi yang berasal dari Perkebunan Rakyat Desa Sidomulyo. Kopi Kebun Kaliwining adalah kopi jenis Robusta dengan aneka ragam klon kopi di antaranya BP42, 234, 288, 358, 409, 939, 936, 436, 534 dan SA 203, 237. Kopi Desa Sidomulyo terutama varietas Tugusari klon BP 308. b. Bahan wawancara terstruktur dan in depth-interview untuk analisis keberlanjutan multidimensional dengan MDS (Multi Dimensional Scaling) dan analisis Interpretative Structure Modelling (ISM). Alat-alat yang digunakan dalam penelitian. a. Peralatan dan fasilitas untuk survei (kamera, alat tulis, stopwatch dll) b. Fasilitas pengolahan kopi olah basah (bak sortasi, pulper, washer,
pengering mekanis, grader, huller dll), c. Fasilitas pengujian mutu kopi (neraca analitik, plastik sampel, ayakan
lubang bulat ukuran diameter 5,5 mm, 6,5 mm dan 7,5 mm dll), d. Peralatan analisis dan pengolahan limbah cair (botol dan plastik sampel,
jar test, tabung ukur, neraca analitik, beaker glass, erlenmeyer glass, gas chromatography, pH meter, pengaduk kaca, furnace, inkubator, sentrifus, desikator, test tube, flask volumetric, pipet ukur, dan lain-lain). e. Peralatan lain seperti alat ukur emisi, karung plastik (goni), terpal, dll.
4.3. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 4.3.1. Keberlanjutan Agroindustri Kopi Rakyat Penilaian keberlanjutan agroindustri kopi rakyat dilakukan terlebih dahulu dengan membangun kerangka keberlanjutan.
Kerangka keberlanjutan disusun
berdasarkan empat dimensi keberlanjutan agroindustri kopi rakyat yaitu dimensi
89
ekonomi, lingkungan, sosial dan kelembagaan. Jenis data yang digunakan untuk menyusun kerangka keberlanjutan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder berasal dari literatur. Data primer bersumber dari responden, pakar terpilih dan hasil pengamatan di lokasi penelitian. Metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, diskusi, kuisioner dan survey lapangan. Responden berasal dari wilayah penelitian yang terdiri dari pakar dan stakeholder yang berkaitan dengan pengembangan agroindustri kopi rakyat di Desa Sidomulyo. Jumlah responden sebanyak 48 orang yang berasal dari petani, pedagang, dinas terkait dan pakar yang berasal dari Puslitkoka dan Universitas Jember. Penilaian keberlanjutan agroindustri kopi rakyat yang berada di KUPK Desa Sidomulyo menggunakan metode multiattribute non parametric (multidimensional scaling = MDS).
Rap-Coffee
merupakan modifikasi software berbasis excel Rapfish yang mampu melakukan penilaian keberlanjutan secara cepat (Pitcher dan Preikshot 2001). 4.3.2. Desain Proses Pengolahan Kopi dengan Modifikasi Teknologi Olah Basah Proses pengolahan kopi dengan teknologi olah basah membutuhkan input air pada tahap pengupasan kulit buah dan pencucian setelah fermentasi. Untuk meminimalkan limbah cair yang dihasilkan, dilakukan upaya meminimalkan air proses. Tahapan dan kebutuhan air untuk modifikasi pengolahan basah dilakukan berdasarkan Mulato et al. (2006) yaitu sebagai berikut: a.
Tahapan pengolahan terdiri atas sortasi buah di kebun, sortasi rambang, pengupasan kulit buah menggunakan pulper, fermentasi kering, pencucian menggunakan washer, pengeringan mekanis, dan pengupasan kulit tanduk dari kopi HS (biji kopi hasil pengolahan basah).
b.
Perlakuan meminimalkan air proses dilakukan pada tahap pengupasan dan pencucian berturut-turut tidak lebih dari 3 m3/ton dan 6 m3/ton buah kopi. Perlakuan ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah perlakuan meminimalkan air pada proses pengupasan dan pencucian. Tahap kedua adalah perlakuan meminimalkan air pada proses pencucian. Rancangan penelitian menggunakan RAL (rancangan acak lengkap) faktorial 3 taraf.
90
Pengamatan dan pengambilan data penelitian meliputi volume buah kopi, air dan bahan bakar sebagai masukan proses serta volume biji kopi, limbah padat dan limbah cair sebagai keluaran yang dihasilkan untuk setiap tahapan proses. Pengambilan data primer dibutuhkan untuk membuat neraca massa dan kajian emisi mesin pengolahan. Penelitian dilakukan secara ulangan selama 2 periode masa panen dan analisis contoh secara triplicate. Keluaran proses berupa limbah cair, limbah padat dan emisi bahan bakar dianalisis untuk mengetahui besarnya konsentrasi pencemaran proses pengolahan kopi. Pengambilan sampel biji kopi untuk mengetahui pengaruh perlakuan minimisasi air terhadap mutu fisik dan cita rasa biji kopi. Analisis mutu fisik biji kopi berdasarkan SNI 01-2907-2008.
Perlakuan terbaik adalah yang mampu
menghasilkan biji kopi dengan mutu fisik sedang (minimum 4B) dengan cita rasa yang disukai panelis. Analisis cita rasa (cup test) dilakukan melalui uji organoleptik oleh panelis ahli dan terlatih dari Puslitkoka. 4.3.3. Penanganan Limbah Proses Pengolahan Kopi Rakyat Berbasis Produksi Bersih Parameter analisis limbah cair meliputi pH, BOD (biochemical oxygen demand), COD (chemical oxygen demand), TSS (total suspended solid), TDS (total dissolved solid), fosfat, nitrat, total karbon, total nitrogen dan total VSS (volatile suspended solid). Parameter analisis limbah padat meliputi komposisi minyak dan lemak, serat kasar, total karbon organik dan total abu. Penanganan limbah cair proses pengolahan kopi dilakukan dengan menerapkan pengolahan anaerobik, koagulasi-flokulasi dan adsorpsi-filtrasi. Simulasi biodegradabilitas limbah cair menggunakan larutan kopi instan merupakan penelitian pendukung karakterisasi limbah cair pengolahan kopi berdasarkan konsentrasi COD limbah cair pada perlakuan air proses.
Proses
anaerobik untuk pengolahan limbah cair pengolahan kopi dipilih karena kemampuannya menghasilkan biogas.
Analisis komposisi biogas dari uji
biodegradabilitas dan proses anaerobik dilakukan untuk mengetahui efektivitas proses anaerobik dalam menurunkan konsentrasi pencemaran. Proses koagulasi-flokulasi dilakukan pada limbah cair proses pengolahan kopi dan air limbah (efluen) hasil pengolahan anaerobik.
Koagulan yang
91
digunakan adalah aluminium sulfat (Al2 (SO4)3) atau yang dikenal dengan alum, ferri klorida (FeCl3) dan polyaluminium chloride (PAC).
Ketiga koagulan
tersebut umum digunakan dalam proses penjernihan air dan limbah cair. Penentuan pH dan dosis optimum dilakukan berdasarkan penelitian pendahuluan dan literatur terkait. Penelitian terutama dilakukan menggunakan jar test untuk mengetahui dosis dan pH optimum serta efektivitas proses koagulasi untuk menurunkan konsentrasi pencemaran. Proses filtrasi hanya dapat dilakukan untuk air limbah yang memiliki konsentrasi pencemaran rendah. Oleh karena itu sampel air limbah proses filtrasi berasal dari air limbah proses pengolahan kopi rakyat di KUPK Sidomulyo dan efluen hasil pengolahan anaerobik.
Parameter pengamatan proses koagulasi
flokulasi dan filtrasi adalah pH, COD dan warna. Penanganan limbah padat proses pengolahan kopi telah banyak dilakukan dengan berbagai aplikasi produk bernilai ekonomis. Oleh karena itu pemilihan penanganan limbah padat dilakukan berdasarkan studi literatur dan analisis secara kualitatif berdasarkan kesesuaian kondisi sosial masyarakat di Sidomulyo. Berdasarkan karakteristik limbah cair, air limbah keluaran (efluen) proses pengolahan dan karakteristik limbah padat, maka dapat ditentukan secara kualitatif rangkaian penanganan limbah proses pengolahan kopi yang memiliki nilai tambah. Integrasi desain penanganan limbah dan proses pengolahan kopi yang menerapkan modifikasi olah basah merupakan desain sistem pengolahan kopi rakyat yang ramah lingkungan dan memiliki nilai tambah. 4.3.4. Analisis Lingkungan, Sosial dan Ekonomi Proses Pengolahan Kopi Berbasis Produksi Bersih Data yang digunakan untuk melakukan analisis lingkungan, sosial dan ekonomi proses pengolahan kopi dengan modifikasi olah basah berasal dari data primer dan sekunder. Analisis lingkungan dilakukan secara kualitatif berdasarkan penilaian terhadap dampak negatif dan positif yang timbul terhadap lingkungan dari penerapan proses pengolahan kopi dengan modifikasi teknologi olah basah berbasis produksi bersih.
Penilaian dampak lingkungan akibat limbah cair
pengolahan kopi didasarkan pada baku mutu sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi
92
Kegiatan Industri. Analisis sosial dilakukan secara kualitatif berdasarkan kondisi sosial masyarakat KUPK Sidomulyo untuk menerapkan proses pengolahan kopi olah basah berbasis produksi bersih.
Analisis kelayakan ekonomi dilakukan
berdasarkan parameter NPV (net present value), IRR (internal rate of return), PBP (payback period) dan B/C (benefit cost ratio). Analisis kelayakan ekonomi membantu pengambilan keputusan bagi agroindustri kopi rakyat untuk memilih proses pengolahan kopi dengan modifikasi olah basah atau tetap melakukan proses pengolahan kering. 4.3.5. Strukturisasi Pengembangan Agroindustri Kopi Rakyat di KUPK Sidomulyo, Kabupaten Jember Penerapan proses pengolahan kopi rakyat dengan modifikasi teknologi olah basah berbasis produksi bersih bertujuan untuk meningkatkan mutu kopi rakyat tanpa mengorbankan kepentingan lingkungan dan sosial masyarakat. Integrasi proses pengolahan kopi berbasis produksi bersih dalam agroindustri kopi rakyat membutuhkan perencanaan secara sistem agar dapat diterapkan secara berkelanjutan.
Pendekatan sistem pengembangan agroindustri kopi rakyat
berbasis produksi bersih dilakukan menggunakan teknik pemodelan interpretasi struktural (ISM). Data yang digunakan untuk teknik ISM adalah data sekunder dan primer. Data sekunder berdasarkan literatur dibutuhkan untuk menentukan elemen-elemen pendukung pengembangan agroindustri kopi rakyat berbasis produksi bersih. Data primer diperoleh dari stakeholder agroindustri kopi rakyat yang berada di lokasi penelitian. Metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, diskusi dan pengisian kuisioner. Jumlah responden sebanyak 16 orang yang telah mewakili unsur petani, dinas terkait, asosiasi eksportir kopi dan pakar yang berasal dari Puslitkoka dan Universitas Jember. Stakeholder akan membantu menentukan kelayakan dan melakukan penilaian struktural elemen pendukung pengembangan agroindustri kopi rakyat. Penilaian struktural dapat dilakukan dengan menentukan hubungan kontekstual antar
elemen
faktor-faktor
pengembangan.
Teknik
ISM
dikembangkan
berdasarkan matriks hubungan biner yang disebut model ISM-VAXO. Analisis ISM dilakukan menggunakan simulasi program komputer.
V. ANALISIS KEBERLANJUTAN AGROINDUSTRI KOPI ROBUSTA RAKYAT DI KUPK SIDOMULYO, KABUPATEN JEMBER
5.1. Pendahuluan Agroindustri mempunyai peran yang sangat besar dalam pembangunan pertanian di Indonesia terutama dalam rangka transformasi struktur perekonomian dan dominasi sektor pertanian ke dominasi sektor industri. Sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan, pengembangan agroindustri kopi rakyat hendaknya didasarkan pada kriteria pembangunan berkelanjutan yang mengacu pada keberlanjutan aktifitas manusia dalam pertanian kopi, alokasi yang efisien dalam pemanfaatan sumberdaya termasuk sumberdaya ekologis dan distribusi yang seimbang. Untuk menjamin keberlanjutan agroindustri kopi rakyat dibutuhkan alat analisis yang mampu melakukan penilaian dan menjadi panduan bagi pemegang kebijakan atau stakeholder terkait. Kerangka penilaian keberlanjutan merupakan salah satu alat bantu untuk melakukan evaluasi terhadap keberlanjutan suatu aktivitas. Kerangka ini disusun berdasarkan paradigma pembangunan berkelanjutan dalam KTT Bumi di Rio tahun 1992 yang melahirkan Agenda 21. Beberapa kerangka metodologi telah diidentifikasi untuk mengukur keberlanjutan di bidang pertanian ataupun masyarakat hingga ke tingkat kabupaten. Meskipun untuk berbagai kerangka keberlanjutan tersebut masih terdapat perbedaan dimensi dan karakteristik sistem pertanian berkelanjutan yang diusulkan sebagai indikator penilaian keberlanjutan. Mengacu pada Tunstall (1992, 1994); Gallopin (1997); Syers et al. (1995); Coughlan (1996), indikator berfungsi untuk (a) menilai suatu kondisi dan perubahan, (b) membandingkan antara tempat dan situasi, (c) menilai kondisi dan tren yang terkait dengan tujuan dan target, (d) menyediakan informasi lebih dini, dan (e) mengantisipasi kondisi dan tren di masa mendatang. Oleh karena itu dibutuhkan suatu batasan dari setiap variabel indikator untuk menunjukkan titik perubahan signifikan yang ada. Berdasarkan batasan inilah dapat dibuat peringkat untuk masing-masing indikator. 93
94
Analisis terhadap keberlanjutan agroindustri kopi rakyat dilakukan untuk menilai keberlanjutan dan menentukan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi keberlanjutan aktifitas pertanian dan pengolahan kopi rakyat. Dengan demikian dibutuhkan kerangka penilaian berdasarkan indikator di setiap dimensi keberlanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk membangun kerangka penilaian keberlanjutan agroindustri kopi rakyat dan melakukan penilaian terhadap aktivitas agroindustri kopi Robusta rakyat di Kawasan Usaha Perkebunan Kopi (KUPK) Sidomulyo, Kabupaten Jember sebagai salah satu sentra utama penghasil kopi rakyat di Jawa Timur. 5.2. Metode Penelitian 5.2.1. Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari hasil survey, wawancara, indepth interview, kuisioner, dan hasil pengamatan. Adapun data sekunder berasal dari studi literatur.
Pemilihan responden disesuaikan dengan
kondisi lingkungan dan jumlah responden yang akan diambil yaitu responden yang dianggap dapat mewakili dan memahami permasalahan yang diteliti. Penentuan responden dilakukan secara sengaja (purposive) terhadap tokoh masyarakat, petani dan pedagang terutama yang berada di Desa Sidomulyo, pakar agroindustri kopi rakyat yang berasal dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jember, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia serta Universitas Jember. Penentuan
responden
pakar
dipilih
berdasarkan
beberapa
pertimbangan berikut. a. Mempunyai pengalaman yang kompeten sesuai bidang yang dikaji. b. Memiliki reputasi, kedudukan/jabatan, dan kompetensi sesuai bidang kajian c. Memiliki kredibilitas tinggi, bersedia, dan atau berada pada lokasi yang dikaji.
95
5.2.2. Variabel yang diamati Berdasarkan studi literatur dan diskusi dengan pakar (in-depth interview) dapat ditentukan variabel atau indikator keberlanjutan yang meliputi dimensi ekonomi, lingkungan, sosial dan kelembagaan. Penentuan indikator keberlanjutan juga didasarkan pada hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai kerangka penilaian keberlanjutan (Singh et al. 2009). Indikator keberlanjutan yang telah ditetapkan menjadi ukuran penilaian keberlanjutan agroindustri kopi rakyat. 5.2.3. Metode Analisis Data Langkah-langkah analisis data meliputi tahapan berikut: 1. Penentuan indikator keberlanjutan berdasarkan analisis kualitatif interpretatif dengan pemangku kepentingan (stakeholder). 2. Melakukan penilaian keberlanjutan sesuai indikator berdasarkan diskusi dengan responden, survey lapangan, dan studi literatur. 3. Analisis keberlanjutan menggunakan metode multidimensional scalling (MDS) dan analisis Monte Carlo yang terintegrasi dalam modifikasi software Rapfish menjadi Rap-Coffee. MULAI
Penentuan Atribut (meliputi berbagai kategori)
Kondisi Kawasan Saat Ini
Skoring Kawasan (mengkonstruksi angka referensi untuk good, bad, dan anchor) Multidimensional Scaling Ordination (untuk setiap atribut)
Simulasi Monte Carlo (Analisis ketidakpastian)
Leveraging Factor (Analisis anomali)
Analisis Keberlanjutan
Gambar 24
Prinsip analisis MDS menggunakan modifikasi software Rapfish (Rap-Coffee)
96
Teknik MDS merupakan teknik analisis statistik multivariat yang mampu mengintegrasikan berbagai dimensi. MDS dapat digunakan untuk membangun sebuah ”peta” yang menunjukkan hubungan antara sejumlah objek berdasarkan tabel jarak antara objek (Manly 1994).
Simulasi Monte Carlo menunjukkan
indikasi variabilitas dari penilaian yang dilakukan. Sehingga simulasi Monte Carlo dapat menunjukkan keandalan analisis. 5.3. Hasil dan Pembahasan 5.3.1. Kerangka Penilaian Keberlanjutan Menurut Giovannucci et al. (2008), sebagai komoditas yang bernilai bagi negara produsen maupun konsumen, usaha keberlanjutan kopi telah lama dilakukan sejak upaya sertifikasi kopi pertama tahun 1967. Upaya keberlanjutan kopi dilakukan sejak rantai pertama petani kopi hingga pedagang/eksportir, industri pengolahan, dan rantai pemasaran.
Berdasarkan pendekatan yang
komprehensif menurut Manahan (2007); Giovanucci et al. (2008) terhadap produksi, distribusi, penggunaan sumber daya, produk akhir, maksimal keuntungan dari penggunaan bahan baku maupun energi yang tidak dapat diperbaharui, serta upaya menghindari produksi limbah dan pencemaran ke lingkungan dapat dirancang indikator penilaian keberlanjutan agroindustri kopi rakyat dalam 4 dimensi ekonomi, lingkungan, sosial, dan kelembagaan. Berdasarkan studi literatur, penilaian di lapangan, konsultasi pakar dan petani dapat disusun indikator penilaian keberlanjutan agroindustri kopi rakyat yang disajikan pada Tabel 7. Indikator penilaian keberlanjutan disusun dalam 4 dimensi (ekonomi, lingkungan, sosial dan kelembagaan) yang masing-masing memiliki peringkat nilai sebagai dasar Kerangka Penilaian Keberlanjutan Agroindustri Kopi Rakyat. Kerangka penilaian ini terutama disusun berdasarkan konsep indikator keberlanjutan kopi internasional (Giovannucci et al., 2008), dimensi industri kopi berkelanjutan (Adams dan Ghaly 2007), pendapat pakar dan kondisi umum kopi rakyat di Indonesia. Meskipun penyusunan indikator dan kerangka penilaian dilatarbelakangi usaha agroindustri kopi rakyat yang ada di KUPK Sidomulyo, Kabupaten Jember, akan tetapi kerangka penilaian ini dapat berlaku umum untuk agroindustri kopi rakyat di Indonesia.
97
No I
II
III
IV
Tabel 7 Indikator penilaian keberlanjutan agroindustri kopi Dimensi Indikator Ekonomi 1. Pendapatan 2. Biaya produksi dan pemasaran 3. Keberadaan kredit usaha 4. Manajemen usahatani 5. Kualitas produksi 6. Peluang pasar 7. Keuntungan Lingkungan 1. Manajemen energi 2. Manajemen air 3. Manajemen penggunaan lahan 4. Manajemen sumberdaya keanekaragaman hayati 5. Pengurangan polusi 6. Daur ulang dan penggunaan ulang (recycle & reuse) 7. Penyimpanan karbon (carbon sequestration) Sosial 1. Kesehatan dan keamanan 2. Jam kerja dan upah 3. Hak-hak dasar 4. Relasi sosial 5. Persepsi dan kepuasan petani Kelembagaan 1. Pengambilan keputusan yang terintegrasi 2. Pengembangan kapasitas 3. Ilmu pengetahuan dan teknologi 4. Kesadaran sosial dan informasi 5. Aturan-aturan dan kerjasama internasional 6. Tata aturan/peranan civil society 7. Kerangka aturan dan kelembagaan 8. Kesiapan akan bencana (mitigasi dan adaptasi) 9. Partisipasi publik
5.3.2. Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Agroindustri Kopi Keberlanjutan ekonomi merupakan salah satu persyaratan terhadap kontinuitas suatu aktivitas produksi, sehingga dimensi ekonomi menjadi dimensi yang
cukup
penting
dalam
pendekatan
pembangunan
berkelanjutan.
Keberlanjutan ekonomi dalam agroindustri kopi tidak hanya merupakan upaya penjagaan aktivitas produksi tetapi lebih merupakan upaya penjagaan mata pencaharian, kebutuhan sosial dan lingkungan komunitas masyarakat pedesaan. Masyarakat perdesaan umumnya memiliki sedikit kesempatan untuk berusaha pada sumber-sumber penghasilan lain. Berdasarkan hasil pengolahan data dari kuisioner di KUPK Sidomulyo dapat diketahui skor untuk masing-masing atribut (Tabel 8).
98
Tabel 8
Nilai indikator keberlanjutan ekonomi agroindustri kopi di KUPK Sidomulyo, Jember No. Atribut Ekonomi Skor Baik Buruk Keterangan Pendapatan 3 0 (1) Kecil (
UMK (3) Besar >> UMK Biaya produksi 0 3 (0)Sangat besar (1) besar ; 2 2 dan pemasaran (2) sedang ;(3) kecil Kredit usaha 3 0 (0)Tidak ada akses untuk 3 1 kredit (1) Ada akses tetapi tidak punya kredit; (2) Ada akses dan pernah punya kredit; (3) Ada akses dan punya kredit Manajemen usaha 3 0 (0)Pertanian subsisten (1) 4 3 tani pertanian semi komersial ; (2) pertanian komersial; (3) pertanian dengan basis industri Kualitas produksi 3 0 (0)Tidak memperhatikan 5 1 kualitas produksi (1)Belum sepenuhnya memperhatikan mutu; (2) Menunjukkan perhatian terhadap mutu; (3) Adanya usaha meningkatkan mutu secara kontinyu Peluang pasar 3 0 (0)Tidak adanya peluang 6 2 pasar (1) Peluang pasar ada tapi masih terbatas; (2) Peluang pasar ada dengan kualitas baik; (3) Peluang pasar terbuka luas Keuntungan 3 0 (0) Tidak ada (1) kecil; (2) 7 2 sedang; (3) besar
Sumber: data diolah (2011)
Atribut manajemen usaha tani memiliki skor tertinggi (3) dibandingkan keenam atribut lainnya.
Pola pertanian yang sebagian telah berupaya untuk
melakukan pengolahan buah kopi menjadi biji kopi sesuai kualifikasi ekspor, upaya awal pengolahan biji kopi menjadi kopi bubuk serta secara terbatas memanfaatkan hasil samping pengolahan merupakan penilaian lebih terhadap keberadaan usaha tani di KUPK Sidomulyo. Adanya usaha untuk memperbaiki tingkat produksi, peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bagian dari pertanian berbudaya industri. Dukungan terutama berasal dari keinginan
99
petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Sidomulyo 1 untuk menjadi petani berbudaya industri. Pakpahan (1999) menyatakan bahwa pertanian yang berbudaya industri adalah suatu sistem pertanian yang dibangun melalui rekayasa dan pemanfaatan iptek guna meningkatkan nilai tambah setinggi mungkin. Melalui upaya rekayasa dan penerapan teknologi secara tepat, baik masukan, proses maupun pengendalian kualitasnya, diharapkan akan diperoleh produk yang tepat seperti yang dikehendaki, baik dalam jenis, jumlah metode maupun waktu.
Gambar 25 Hasil analisis Rap-Coffee dimensi ekonomi Berdasarkan analisis dengan Rap-Coffee, dapat diketahui bahwa nilai keberlanjutan agroindustri pada dimensi ekonomi adalah cukup yaitu sebesar 62.54% (Gambar 25).
Faktor-faktor yang memberikan pengaruh (leverage
factor) tingkat keberlanjutan dimensi ekonomi agroindustri di KUPK Sidomulyo disajikan pada Gambar 26. Leverage analysis menunjukkan bahwa nilai faktor-faktor pengaruh dimensi ekonomi berada pada rentang antar 1% dan 8%. Menurut Pitcher dan Preikshot (2001), apabila nilai faktor pengaruh secara merata berada pada rentang 2 dan 6% serta tidak ada faktor pengaruh yang bernilai lebih dari 8%, maka tidak ada atribut yang dominan dalam dimensi. Dengan demikian secara umum hampir seluruh
100
atribut
dimensi
ekonomi
mempengaruhi
status
keberlanjutan
ekonomi
agroindustri KUPK Sidomulyo kecuali atribut keuntungan. Penilaian terhadap manajemen usaha tani yang telah baik harus dipertahankan. Di sisi lain perbaikan terhadap biaya produksi, kualitas produksi dan peluang pasar perlu menjadi perhatian khusus untuk meningkatkan keberlanjutan dimensi ekonomi.
Leverage of Attributes
1,91
Keuntungan
3,05
Peluang pasar
4,49
Attribute
Kualitas produksi
5,33
Manajemen usahatani
2,52
Kredit usaha
Biaya produksi & pemasaran
7,76
2,15
Pendapatan
0
2
4
6
8
10
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 26 Hasil analisis leverage dimensi ekonomi Faktor eksternal seperti tingkat harga kopi dunia yang cenderung fluktuatif cukup mempengaruhi kesediaan petani untuk melakukan upaya-upaya perbaikan kualitas produksi. Menurut Giovannucci et al. (2008), tingkat harga kopi dunia yang fluktuatif terutama dipengaruhi oleh faktor persediaan, cuaca dan kondisi perekonomian. Mengingat upaya perbaikan kualitas produksi berbanding linier dengan biaya produksi, kedua indikator ini saling berkaitan di lapangan. Pada saat harga kopi dunia tinggi, umumnya petani tidak segan untuk melakukan tindakan operasional produksi yang mampu meningkatkan kualitas biji kopi seperti perawatan tanaman secara optimal maupun melakukan pengolahan basah. Upaya ini secara langsung akan mempengaruhi biaya produksi karena metode
101
olah kering dialihkan ke metode olah basah dengan input produksi yang lebih besar. Akan tetapi pada saat harga kopi dunia rendah, petani cenderung memilih metoda olah kering yang lebih murah dan sederhana proses pengolahannya meskipun mutu yang dihasilkan lebih rendah. Secara khusus, atribut biaya produksi menjadi cukup mempengaruhi dimensi ekonomi. Pemetikan buah kopi selektif untuk mengambil buah kopi masak mengharuskan pelaksanaan panen tidak dilakukan secara serentak tetapi berkali-kali. Insentif memadai bagi pemetik kopi akan mendorong sortasi selektif sejak di kebun. Pemberian insentif ini seharusnya seimbang dengan peningkatan harga untuk biji kopi bermutu baik. Dengan demikian upaya perbaikan kualitas produksi dan stabilitas biaya produksi diharapkan mampu meningkatkan nilai keberlanjutan agroindustri di KUPK Sidomulyo. Indikator lain yang cukup berpengaruh adalah peluang pasar. Peluang pasar merupakan variabel yang sulit diukur, tetapi menunjukkan adanya hubungan antara produsen dan upaya keberlanjutan dalam struktur industri. Salah satu penilaian yang dilihat dari peluang pasar adalah keberadaan eksportir tetap, adanya sertifikasi serta kualitas informasi pasar yang mampu diterima oleh produsen. 5.3.3. Analisis Keberlanjutan Dimensi Lingkungan Agroindustri Kopi Pertumbuhan usaha pengolahan kopi secara global menimbulkan perhatian terhadap kepentingan lingkungan baik di tingkat lokal maupun internasional. Perhatian terhadap lingkungan terutama terkait keanekaragaman hayati, konservasi ekosistem hutan, penggunaan agrokimia, pencemaran air dan tanah. Penilaian dimensi lingkungan (Tabel 9) dilakukan berdasarkan pengamatan lapangan, pendapat responden/pakar, serta aktivitas dan pengalaman petani terkait yang diamati selama usaha pertanian dan pengolahan kopi dilakukan. Manajemen sumber daya lahan memiliki skor tertinggi dibandingkan atribut dimensi lingkungan lainnya. Petani kopi menyadari bahwa produktivitas tanaman kopi untuk keberlanjutan bahan baku ditentukan oleh upaya-upaya pengelolaan lahan. Status kepemilikan lahan (milik pribadi) turut mendukung keperdulian petani untuk menjaga kualitas lahannya yang menjadi sumber pendapatan mereka. Meskipun tidak seluruh tanaman kopi yang diusahakan berasal dari lahan pribadi,
102
petani juga mendapatkan keuntungan dari pengusahaan bersama lahan perkebunan kopi dengan Perhutani.
Kerjasama ini telah terjalin lama dengan pembinaan
kelembagaan yang harus diupayakan tetap menguntungkan bagi kedua belah pihak. Tabel 9 Nilai indikator keberlanjutan lingkungan agroindustri kopi di KUPK Sidomulyo, Jember No Atribut Skor Baik Buruk Keterangan Lingkungan Manajemen 3 0 (0) Tergantung pada 1 jenis 1 2 energi sumber energi (1) Menggunakan 2 jenis sumber energi, dengan ketergantungan pada energi tak terbaharukan; (2) Menggunakan 2 sumber energi, tidak sepenuhnya tergantung pada energi tak terbaharukan (3) Ada usaha diversifikasi energi dan menggunakan lebih dari 2 sumber energi Manajemen air 3 0 (0)Menggunakan air 2 2 sumur/air permukaan, belum ada upaya konservasi (1) Menggunakan sumber air tanah, belum ada upaya konservasi (2) Menggunakan sumber air tanah, bertahap melakukan upaya konservasi; (3) Menggunakan sumber air tanah & air permukaan, rutin melakukan upaya konservasi Manajemen 3 0 (0) Tidak ada upaya 3 3 sumberdaya lahan pencegahan erosi ataupun konservasi; (1) Mulai melakukan upaya konservasi secara minimal (2) Melakukan upaya konservasi dengan bimbingan ;(3) Melakukan upaya konservasi secara mandiri dan kontinyu. Keanekaragaman 3 0 (0) Monokultur (1) 4 2 hayati Tanaman kopi dengan
103
5
Pengurangan polusi
2
3
0
6
Daur ulang dan penggunaan kembali (recycle & reuse/2R)
2
3
0
7
Penyimpanan karbon
2
3
0
penaung dan penutup tanah yang seragam; (2) Tanaman kopi dengan aneka tanaman penutup tanah dan tanaman penaung; (3)Tanaman kopi dengan tanaman industri (komersial) sebagai penaung dan aneka jenis tanaman penutup tanah (0) Tidak ada upaya pencegahan polusi dan berdampak besar (1) Belum ada upaya pengurangan polusi tetapi polusi berdampak kecil; (2) Telah ada perhatian untuk mengurangi polusi; (3)Telah ada upaya mengurangi polusi secara kontinyu dan menguntungkan (0)Belum memahami upaya 2R (1) Mengetahui tetapi belum ada upaya 2R; (2) Masih jarang melakukan upaya 2R (3) Telah memahami dan mampu melakukan 2R secara ekonomis (0) Densitas, kualitas tanaman rendah & lingkungan rendah (1) Densitas cukup dengan kualitas tanaman dan lingkungan rendah; (2) Densitas dan kualitas tanaman sedang, kualitas lingkungan cukup; (3) Densitas dan kualitas tanaman berpotensi besar, kualitas lingkungan baik
Sumber: data diolah (2011)
Upaya pengelolaan lahan juga dilakukan untuk menjaga keberlanjutan sertifikasi kopi organik dari Utz Certified. Peran stakeholder seperti PPL dari Dinas Perkebunan Kabupaten Jember secara kontinyu serta perhatian Puslitkoka yang berada di Kabupaten Jember dalam hal ini cukup besar membantu petani
104
secara kontinyu melakukan manajemen lahan secara baik. Pada praktek pertanian organik, terdapat pendekatan secara sistem untuk menyeimbangkan dan mengoptimalkan pertanian kopi dalam ekosistem yang juga memiliki fungsi ekonomi atau produktif (standar International Federation of Organic Agricultural Movement/IFOAM).
Utz Certified meletakkan kriteria dasar sosial dan
lingkungan yang mendukung praktek manajemen, dan pertanian yang baik dan diwadahi dalam Global Gap Code for Coffee dengan komponen sosial tambahan (Utz Certified 2010). Hasil analisis Rap-Coffee dimensi lingkungan (Gambar 27) menunjukkan status cukup berkelanjutan (59.15%). Nilai keberlanjutan terutama dipengaruhi oleh atribut manajemen sumberdaya lahan (Gambar 28) yang memiliki penilaian tinggi.
Meskipun nilai atribut lain kurang dari 2% yang menunjukkan belum
adanya pengaruh signifikan terhadap nilai keberlanjutan, tetapi atribut kemampuan penyimpanan karbon dan pengurangan polusi jika diusahakan dapat membantu mendukung dimensi keberlanjutan lingkungan agroindustri kopi rakyat.
Gambar 27 Hasil analisis Rap-Coffee dimensi lingkungan Karakteristik alami tanaman kopi yang merupakan bagian dari ekosistem multifungsi dalam areal hutan mendukung kemampuan penyimpanan karbon
105
dalam perspektif perubahan iklim. Dengan demikian pengusahaan tanaman kopi yang tetap berupaya memperhatikan karakteristik alaminya merupakan usaha produktif menarik dan menguntungkan bagi lingkungan. Upaya penjagaan karbon dalam tanah dan biomassa di atas tanah dapat dilakukan melalui pengelolaan tanah, pemangkasan yang terjadwal, dan pengelolaan limbah.
Adanya inisiatif
sertifikasi yang mempromosikan tanaman pelindung dan keanekaragaman hayati dalam perkebunan kopi, secara langsung memiliki peran penting dalam upaya penjagaan kapasitas penyimpanan karbon dan mengurangi dampak rumah kaca.
Leverage of Attributes Penyimpanan karbon
1,38
0,99
Pengurangan polusi
1,07
Attribute
Daur ulang dan penggunaan ulang
Keanekaragaman hayati
0,82
Manajemen sumberdaya lahan
5,17
Manajemen air
0,76
Manajemen energi
0,94 0
1
2
3
4
5
6
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 28 Hasil analisis leverage dimensi lingkungan Adanya industri pengolahan kopi di KUPK Sidomulyo yang mulai menerapkan metode olah basah berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan yang selanjutnya akan mengancam keberlanjutan KUPK Sidomulyo. Pencemaran bahan organik dari proses pengolahan kopi dengan sistem olah basah ke badan air dapat menimbulkan permasalahan, terutama karena tingginya konsentrasi pencemar dalam bentuk pulp, limbah cair, dan kulit kopi. Dampak lingkungan
106
terjadi karena polutan organik yang dibuang ke badan air dapat mengambil oksigen dalam jumlah besar yang sangat dibutuhkan oleh kehidupan akuatik. Oleh karena itu dibutuhkan upaya dan teknologi untuk mencegah pencemaran, melakukan konversi pencemar agar layak dibuang ke badan air. Pemanfaatan limbah padat menjadi produk bernilai ekonomis juga perlu dilakukan untuk meningkatkan status keberlanjutan lingkungan. Atribut pengurangan polusi secara tidak langsung berkaitan dengan upaya penjagaan karbon dan mengurangi dampak rumah kaca. Melalui pemanfaatan limbah padat hasil olah kering sebagai pupuk organik yang ditebar di lahan kebun kopi merupakan salah satu cara yang telah dilakukan petani untuk menjaga keberlanjutan siklus nutrien dalam perkebunan kopi. Upaya-upaya penjagaan lingkungan ini hendaknya masih terus diupayakan dalam agroindustri kopi yang telah menerapkan proses olah basah.
Dalam hal ini, pemahaman dan
keikutsertaan petani di KUPK Sidomulyo menentukan upaya-upaya yang perlu dilakukan terkait atribut pengurangan polusi. Aktivitas pengolahan kopi dapat menyumbangkan emisi gas rumah kaca (GRK) karena penggunaan energi dan transportasi. Jenis sumber energi sangat mempengaruhi besarnya emisi GRK yang dikeluarkan. Pengolahan kopi yang menggunakan pengeringan mekanis berbahan bakar kayu atau bahan bakar fosil serta pembuangan residu atau limbah proses dapat mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya perkebunan kopi. Melalui upaya pencegahan pencemaran dan daur ulang sumberdaya pengolahan dapat mempertahankan keseimbangan sistem agroindustri kopi. Pola perkebunan yang telah menerapkan tanaman penaung dan penutup tanah merupakan salah satu persyaratan kopi organik.
Beberapa keuntungan
pemilihan tanaman penaung dan penutup tanah adalah menjaga keberadaan siklus nutrien, menjaga kestabilan pendapatan petani meskipun dapat mengurangi produktivitas kopi.
Pola keanekaragaaman tanaman di perkebunan kopi
membantu petani untuk dapat merespon perubahan karena fluktuasi harga kopi dunia. Pada saat harga kopi merosot, petani dapat lebih mengintensifkan tanaman lainnya sebagai kompensasi pendapatan tanpa harus menggantikan tanaman kopi sebagai tanaman utama.
107
Reed (1997) diacu dalam Adams dan Ghaly (2007) menegaskan bahwa keberlanjutan sistem lingkungan akan mempengaruhi keberlanjutan usaha produksi. Hal ini berarti dibutuhkan adanya upaya untuk: (a) menjaga kestabilan sumber daya yang menjadi basis usaha industri, (b) mencegah usaha eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya yang dapat pulih, (c) pengurangan sumberdaya yang tidak dapat pulih hanya apabila dapat dilakukan investasi untuk sumberdaya substitusi. Dengan demikian upaya pengurangan polusi, upaya penggunaan kembali maupun daur ulang dari output yang dihasilkan haruslah diupayakan. Peningkatan pemahaman masyarakat dapat ditingkatkan melalui pendayagunaan lembaga masyarakat yang ada di KUPK Sidomulyo. 5.3.4. Analisis Keberlanjutan Dimensi Sosial Agroindustri Kopi Keberlanjutan dimensi sosial dari agroindustri kopi terutama didasarkan pada kecenderungan petani kopi untuk menerima usaha pengolahan kopi yang diharapkan mampu meningkatkan pendapatan mereka. Penilaian terhadap atribut keberlanjutan dimensi sosial disajikan pada Tabel 10. Hasil analisis Rap-Coffee pada dimensi sosial disajikan pada Gambar 29. Tingkat keberlanjutan dimensi ekonomi umumnya memiliki pengaruh terhadap keberlanjutan dimensi sosial agroindustri kopi. Sebagai contoh adalah manajemen usaha tani, penilaian yang tinggi terhadap manajemen usaha tani baik oleh petani maupun pakar menimbulkan persepsi dan kepuasan tersendiri bagi petani dalam dimensi sosial. Peluang pasar yang terbuka luas akan lebih dirasakan bagi petani dengan modal besar yang telah memiliki usaha pengolahan sendiri dibandingkan petani kecil yang memiliki keterbatasan untuk memiliki usaha pengolahan sendiri. Peluang pasar yang luas membuka kesempatan untuk agroindustri kopi berkembang dapat memperkuat keterikatan antara petani dengan pertanian kopi. Menurut COSA diacu dalam Giovannucci et al. (2008), peningkatan akses pasar dimensi ekonomi pada petani kecil hanya sekitar 53% dibandingkan petani besar dengan signifikansi peningkatan keuntungan 58%. Oleh karena itu bagi petani kecil akan lebih signifikan peningkatan dampaknya dari upaya pengembangan agroindustri kopi apabila dilakukan secara kelompok.
108
Tabel 10 No 1
2
3
4
5
Nilai indikator keberlanjutan sosial agroindustri kopi di KUPK Sidomulyo, Jember Atribut Sosial Skor Baik Buruk Keterangan Kesehatan dan 3 0 (0) Belum ada akses 3 keamanan pemeliharaan kesehatan, keamanan lingkungan; (1) Belum ada akses pemeliharaan kesehatan,tetapi lingkungan aman ataupun Ada akses kesehatan tetapi tidak ada keamanan; (2) Ada akses kesehatan dan penjagaan keamanan secara terbatas; (3) Akses kesehatan mudah dan keamanan terjamin Jam kerja dan 3 0 (0) Upah dan perhitungan jam 2 upah kerja tidak layak; (1) Upah belum layak meskipun jam kerja sesuai aturan; (2) Upah dan jam kerja diberikan secara layak (memenuhi kehidupan fisik minimum) ;(3) Upah dan jaminan jam kerja di atas kebutuhan hidup minimum Hak-hak dasar 3 0 (0) Belum terpenuhinya hak-hak 2 dasar pekerja dan masyarakat; (1) Pemenuhan hak-hak dasar masih kurang; (2) Pemenuhan hak-hak dasar terpenuhi tetapi belum ada jaminan; (3) Telah ada jaminan terhadap pemenuhan hak-hak dasar Relasi sosial 3 0 (0) Keterkaitan masyarakat 2 dengan perkebunan dan pengolahan lemah; (1) Keterkaitan dengan perkebunan kuat tetapi pengolahan kurang kuat; (2) Keterkaitan dengan usaha perkebunan dan pengolahan kopi baik; (3) Keterkaitan dan keterlibatan masyarakat dengan usaha perkebunan dan pengolahan kopi sangat kuat Persepsi dan 3 0 (0) negatif, tidak puas; (1) 2 kepuasan negatif, kurang puas; (2) positif petani cukup memuaskan; (3) positif sangat memuaskan
Sumber: data diolah (2011)
109
Penilaian keberlanjutan terhadap dimensi sosial agroindustri kopi berada pada kisaran cukup berlanjut (59,22%). Atribut jaminan kesehatan dan keamanan yang memiliki nilai tinggi, menjadi faktor pengaruh bagi keberlanjutan dimensi sosial.
Penilaian ini didasarkan pada keberadaan fasilitas kesehatan maupun
pelayanan kesehatan masyarakat yang baik di Desa Sidomulyo mampu mendukung keberadaan usaha agroindustri kopi rakyat. Kawasan perkebunan kopi yang relatif bersih dan masih bebas dari pencemaran air, tanah maupun udara.
Sumber air bersih yang bebas dimanfaatkan oleh masyarakat serta
keamanan lingkungan perdesaan mendukung penilaian responden yang tinggi untuk atribut kesehatan dan keamanan.
Gambar 29 Hasil analisis Rap-Coffee dimensi sosial Atribut persepsi dan kepuasan petani merupakan faktor pengaruh kedua yang memegang peran penting terhadap status keberlanjutan dimensi sosial (Gambar 30). Persepsi dan kepuasan petani akan terkait dengan pemenuhan terhadap atribut keberlanjutan lainnya. Sehingga cukup kompleks untuk merumuskan penilaian dalam atribut ini. Menurut Giovannucci et al. (2008), penilaian terhadap atribut persepsi dan kepuasan petani hendaknya didasarkan pada penilaian petani terhadap harapan dan tingkat kepuasan pada parameter
110
hubungan sosial antara petani, kualitas lingkungan, kesehatan masyarakat, hubungan antara pengurus dan anggota kelompok tani, kemampuan manajerial pengurus serta pendapatan petani.
Oleh karena itu untuk meningkatkan status
keberlanjutan dimensi sosial akan terkait dengan upaya peningkatan status keberlanjutan pada dimensi yang lain (ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan). Leverage of Attributes
Attribute
Persepsi dan kepuasan petani
2,68
Relasi sosial
1,76
Hak-hak dasar
1,82
Jam kerja & upah
1,94
Kesehatan & kemanan
4,53
0
1
2
3
4
5
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 30 Hasil analisis leverage dimensi sosial Rata-rata petani mengelola kebunnya masing-masing dengan bantuan saudara ataupun tetangga dalam lingkungan perkebunan. Kecuali pada musim panen puncak, dimana beban kerja di kebun maupun di pabrik tinggi, maka pemilik kebun menerima tenaga kerja dari luar kebun. Umumnya karyawan yang bekerja di kebun maupun di pabrik menerima hasil kerja dalam bentuk bagi hasil ataupun uang yang telah sesuai dengan rata-rata upah harian yang berlaku. Bagi karyawan yang bekerja di pabrik, mereka juga menerima upah lembur jika harus mengolah melebihi jam kerja terutama pada saat panen puncak. Aturan tersebut berlaku umum dan telah menjadi kebiasaan tanpa adanya peraturan tertulis.
111
Hubungan antara petani kopi dan kebun kopinya secara umum cenderung fluktuatif seiring fluktuasi harga kopi di pasar, dan pada gilirannya hal ini akan berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja. Pada saat harga kopi tinggi, petani rajin memelihara kebun dan tanaman kopinya.
Pada saat itu petani rajin
memupuk tanaman, secara teratur melakukan pemangkasan, membersihkan kebun dan berusaha menyerap teknologi baru, pada saat tertentu tentu saja petani memerlukan banyak tenaga kerja. Tetapi pada saat harga rendah petani hampir tidak berhubungan dengan kopinya, mereka dapat jarang memupuk, memangkas maupun membersihkan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Lyn Square dalam Retnandari dan Tjokrowinoto (1991), permintaan tenaga kerja di banyak negara sedang berkembang di sektor pertanian dipengaruhi faktor ketidakpastian harga, ketidakmerataan dan ketidakefisienan distribusi dana investasi. Pemberian harga yang lebih tinggi terhadap petani yang mampu menghasilkan kopi bermutu baik diharapkan mampu mendukung kontinuitas pemeliharaan tanaman kopi yang selanjutnya mempengaruhi tingkat penyerapan tenaga kerja agroindustri kopi rakyat. 5.3.5. Analisis Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Agroindustri Kopi Kelembagaan memegang peranan penting selain keberadaan sumber daya alam, modal, teknologi, dan sumber daya manusia dalam pembangunan pertanian Indonesia. Kelembagaan umumnya berada dalam konteks sosial. Akan tetapi terkait dengan peran yang cukup besar dari kelembagaan terutama untuk perkembangan petani kopi di Indonesia, maka kelembagaan menjadi dimensi tersendiri untuk dinilai status keberlanjutannya.
Terutama, tanpa adanya
kelembagaan yang baik, seluruh keberadaan faktor-faktor produksi dalam dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial akan sulit mendukung keberlanjutan agroindustri kopi rakyat. Menurut Pakpahan (1999), kelembagaan memegang peranan penting dalam pembangunan pertanian di samping keberadaan sumber daya alam, permodalan, teknologi, dan SDM. Kelembagaan memiliki dua (2) arti, pertama kelembagaan mendefinisikan nilai, baik ataupun buruk, salah atau benar. Bagi masyarakat, kelembagaan dapat juga berarti tradisi/tata aturan yang telah terintegrasi dalam kehidupan mereka. Kedua, kelembagaan dalam arti organisasi yang tidak hanya
112
terdiri atas nilai dan aturan main, tetapi juga struktur, partisipan, teknologi, dan lingkungan yang mampu mentransformasikan input menjadi output masyakat. Atribut serta skoring untuk dimensi kelembagaan di kawasan KUPK dapat dilihat pada Tabel 11. Kelembagaan petani di KUPK Sidomulyo menjadi aspek yang cukup penting , terutama karena kelembagaanlah yang mengendalikan, mengontrol, atau mengatur interdependensi antar pelaku ekonomi terhadap sumber daya. Petani yang berusaha dengan luas lahan rata-rata 2 ha akan lebih efisien dan produktif serta berkelanjutan jika berusaha dalam bentuk kelompok tani. Melalui kelompok tani, para petani akan lebih kuat dari segi kelembagaan maupun permodalan. Tabel 11 Nilai indikator keberlanjutan dimensi kelembagaan agroindustri kopi di KUPK Sidomulyo, Jember No Atribut Skor Baik Buruk Keterangan Kelembagaan Pengambilan 3 0 (0)Tidak pernah dilakukan 1 3 keputusan yang (1) Dilakukan terbatas terintegrasi antar pengurus; (2) Kadang dilakukan melibatkan anggota; (3) Selalu melibatkan anggota Upaya 3 0 (0) Tidak dilakukan (1) 2 2 Pengembangan Dilakukan jika ada kapasitas dukungan pihak lain ; (2) Ada upaya melakukan secara mandiri; (3) Kontinyu dilakukan Upaya peningkatan 3 0 (0)Tidak dilakukan (1) 3 2 ilmu pengetahuan Dilakukan dengan dan teknologi dukungan pihak lain; (2) Ada upaya melakukan secara mandiri; (3) Kontinyu dilakukan Kesadaran sosial dan 3 0 (0) Belum mengetahui 4 2 informasi kebutuhan akan kesadaran sosial dan informasi (1)Mengetahui dibutuhkannya kesadaran sosial dan informasi ; (2) Menyadari kebutuhan sosial dan informasi dengan upaya yang terbatas; (3) Selalu berupaya memenuhi
113
5
Aturan-aturan kerjasama internasional
dan
2
3
0
6
Ketersediaan tata aturan/peranan civil society
2
3
0
7
Kerangka aturan dan kelembagaan
2
3
0
8
Kesiapan akan bencana (mitigasi dan adaptasi)
1
3
0
9
Partisipasi publik
2
3
0
Sumber: data diolah (2011)
kebutuhan sosial dan informasi (0) Belum mengetahui (1) Mengetahui namun belum ada upaya penerapan ; (2) Mengetahui dengan upaya menerapkan secara terbatas; (3) Mengetahui dan berupaya menerapkan. (0) Belum mengetahui; (1) Mengetahui secara terbatas per individu; (2) Telah memiliki secara terbatas; (3) Memiliki secara jelas dan komprehensif (0) Belum memiliki pemahaman (1) Mengetahui secara terbatas (2) Telah memiliki dalam organisasi secara terbatas; (3) Telah ada jaminan penerapan kerangka aturan dan kelembagaan (0) Belum mengetahui resiko bencana sebagai faktor ketidakpastian (1) Mengetahui resiko bencana tetapi belum ada kesiapan; (2) Mulai berkoordinasi dalam tindakan mitigasi dan adaptasi; (3) Telah ada koordinasi keluar dalam tindakan mitigasi dan adaptasi (0) Belum mengetahui (1) Mengetahui namun belum ada partisipasi; (2) Kadang-kadang melakukan upaya pelibatan partisipasi publik; (3) Memahami dan selalu melibatkan peran partisipasi publik
114
Penilaian tertinggi diberikan pada atribut pengambilan keputusan yang terintegrasi berdasarkan upaya pelibatan seluruh anggota kelompok tani dalam setiap pengambilan keputusan terutama yang terkait dengan kepentingan anggota. Kelompok Tani Sidomulyo I secara aktif mengikuti aktifitas pengembangan organisasi dan usaha perkebunan kopi seperti Forum Komunikasi Penyuluhan Pertanian (FKPP), diskusi kelompok, temu wicara, widya wisata, kegiatan sosial, dan kegiatan penunjang lainnya.
Keberadaan tenaga penyuluh pertanian dari
Dinas Perkebunan, kerjasama dengan lembaga lain seperti Puslitkoka Indonesia, Universitas
Jember,
dan
Politeknik
Negeri
Jember
turut
mendukung
pengembangan kelembagaan di KUPK Sidomulyo.
Gambar 31 Hasil analisis Rap-Coffee dimensi kelembagaan Hasil analisis keberlanjutan dimensi kelembagaan (Gambar 31.) menunjukkan status cukup berlanjut (54,87%). Penilaian yang tinggi terhadap atribut pengambilan keputusan terintegrasi ternyata tidak memberikan pengaruh dominan terhadap nilai keberlanjutan dimensi kelembagaan. Analisis faktor pengaruh (leverage) menunjukkan atribut yang dominan mempengaruhi status keberlanjutan kelembagaan adalah kesiapan akan bencana (mitigasi & adaptasi) dalam konteks perubahan iklim (Gambar 32.). Meskipun demikian dua atribut lain yang dapat mendukung peningkatan keberlanjutan adalah pengembangan keputusan terintegrasi, dan partisipasi publik. Karena kedua faktor pengaruh ini
115
telah berjalan dengan baik sejak pembentukan Kelompok Tani Sidomulyo 1 yang akhirnya melahirkan Koperasi Buah Ketakasi sebagai upaya pengembangan kelembagaan. Leverage of Attributes 1,257
Partisipasi publik Kesiapan akan bencana (mitigasi & adaptasi)
2,485 0,025
Kerangka aturan & kelembagaan
0,155
Attribute
Tata aturan/peranan civil society
Aturan & kerjasama internasional
0,008
Kesadaran sosial dan informasi
0,029
0,208
Iptek
0,272
Pengembangan kapasitas
1,928
Pengambilan keputusan terintegrasi 0
1
2
3
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 32 Hasil analisis leverage dimensi kelembagaan Prinsip dasar yang harus dipenuhi dalam pengembangan kelembagaan di pedesaan agar dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan adalah : a). Prinsip otonomi (spesifik lokal); b). Prinsip pemberdayaan petani dan c). Prinsip kemandirian lokal.
Kelembagaan petani memiliki titik strategis (entry point)
dalam menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan. Untuk itu segala sumberdaya yang ada di pedesaan perlu diarahkan/diprioritaskan dalam rangka peningkatan profesionalisme dan posisi tawar petani (kelompok tani) (Pakpahan 1999). Keberadaan kelompok tani yang telah memiliki badan usaha dalam bentuk koperasi sangat membantu memperkuat kelembagaan petani.
Mendukung
pernyataan Kasryno (2002), melalui koperasi, petani dapat diharapkan memiliki kekuatan untuk (1) memperjuangkan hak-haknya, (2) memperoleh posisi tawar
116
dan informasi pasar yang akurat terkait harga kopi dunia, dan (3) berperan dalam melakukan negosiasi dan penentuan harga kopi yang diproduksi anggotanya. Selain itu melalui koperasi, kelompok tani akan lebih mudah mendapatkan akses permodalan dan pasar untuk keberlanjutan pengolahan kopi yang bermutu. Lebih jauh Pakpahan (1999), menyebutkan 4 kriteria agar kelompok tani itu kuat dan mampu berperan aktif dalam memperjuangkan hak-haknya, yaitu: (1) kelompok tani harus tumbuh dari petani sendiri, (2) pengurusnya berasal dari para petani dan dipilih secara berkala, (3) memiliki kekuatan kelembagaan formal, dan (4) bersifat partisipatif. Penilaian yang rendah terhadap atribut kesiapan akan bencana (mitigasi & adaptasi) ternyata mempengaruhi nilai keberlanjutan.
Hal ini terkait dengan
belum adanya pemahaman mengenai dampak perubahan iklim terhadap usaha agroindustri kopi rakyat. Mitigasi adalah proses mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk meminimalkan dampak negatif bencana yang akan terjadi. Dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran, dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Mitigasi merupakan investasi jangka panjang bagi kesejahteraan
masyarakat. Salah satu langkah mitigasi untuk mengurangi dampak perubahan iklim terhadap agroindustri kopi adalah pemanfaatan biofuel, upaya diversifikasi tanaman naungan dan penutup di areal perkebunan kopi, serta langkah-langkah konservasi lahan. Melakukan upaya daur ulang air, meningkatkan efisiensi atau mengurangi
intensitas
penggunaan
air merupakan
contoh-contoh
upaya
menerapkan adaptasi dalam penggunaan air. Adaptasi
terhadap
perubahan
iklim
adalah
kemampuan
atau
kecenderungan makhluk hidup dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah akibat perubahan iklim untuk dapat tetap hidup dengan baik. Adaptasi terhadap perubahan iklim secara khusus dicirikan oleh penyesuaian terhadap sistem ekonomi, ekologis dan sosial terhadap perubahan iklim, pengaruh dan dampaknya untuk mencegah meluasnya dampak dan kemampuan untuk mengambil keuntungan dari peluang baru. Adaptasi juga mencakup penyesuaian kemampuan individu, kelompok ataupun organisasi untuk menerima adanya
117
perubahan dan menerapkan keputusan melakukan adaptasi (merubah kapasitas penerimaan menjadi suatu tindakan).
Menurut Wreford et al. (2010), tiga tipe
adaptasi adalah sebagai berikut; 1.
Mengurangi sensitifitas dari sistem yang terkena dampak; sebagai contoh meningkatkan kapasitas reservoir, menanam tanaman keras yang mampu menahan perubahan iklim, mengelola tanah yang mampu menahan banjir
2.
Mengubah paparan sumber yang diprediksi dapat menimbulkan bencana dengan cara membuat sistem peringatan dini atau persiapan bahaya seperti peramalan musim dan aksi antisipasi lainnya.
3.
Meningkatkan resiliensi dari sistem sosial dan ekologis yang dapat dicapai dengan aksi-aksi generik untuk mengkonservasi sumber daya, juga mencakup pengukuran spesifik terhadap kemampuan populasi melakukan perbaikan dari adanya kehilangan. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka dibutuhkan suatu pendidikan
masyarakat terkait dampak perubahan iklim. Melalui pendekatan kebijakan publik diharapkan dapat memotivasi masyarakat ataupun kelompok tani di kawasan perkebunan kopi untuk membuat suatu aturan maupun upaya dalam menangani dampaknya.
Investasi dapat diberikan oleh pemerintah maupun stakeholder
terkait untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola dampak. Salah satu aplikasi pemahaman terhadap aturan dan kerjasama internasional yang selama ini berusaha diwujudkan di KUPK Sidomulyo adalah sertifikasi.
Perwujudan produk yang tersertifikasi organik dengan bantuan
eksportir kopi lebih mudah dilakukan oleh petani di Sidomulyo karena diupayakan melalui kelompok tani yang kuat.
Meskipun atribut aturan dan
kerjasama internasional tidak termasuk komponen kunci keberlanjutan tetapi sertifikasi secara formal dan luas yang direkomendasikan oleh eksportir kopi membantu keberlanjutan para produsen kopi skala kecil. Lebih jauh COSA (The Committee
on
Sustainability
Assessment)
dalam
Giovannucci
menempatkan keberadaan sertifikasi dalam prioritas tinggi.
(2008),
Proses penilaian
sertifikasi secara ideal terutama mencakup adanya proses transparansi dalam organisasi, upaya penyediaan informasi dan perluasan pasar, aktivitas komersial, kesehatan, pendidikan, dan sosial, serta adanya manajemen resiko harga produk.
118
Menurut Sudarko (2010), perkembangan produktivitas dan kualitas kopi di KUPK Sidomulyo menunjukkan perkembangan yang baik setelah adanya kelompok tani. Petani yang berkelompok menunjukkan produktivitas yang lebih tinggi dengan yang tidak berkelompok.
Adanya keterikatan antar anggota
kelompok, pengurus dan keaktifan kelompok tani Sidomulyo dalam pembinaan yang
sering
dilakukan
oleh
stakeholder
terkait
mendukung
kemajuan
kelembagaan. Berdasarkan kondisi dan penilaian keberlanjutan di atas, maka diharapkan Kelompok Tani di KUPK Sidomulyo mampu menjadi kelompok yang kuat dan mandiri, mampu meningkatkan pendapatannya, memiliki akses pasar, maupun perbankan secara berkelanjutan. 5.3.6. Penilaian Multidimensi Keberlanjutan Pembagian dimensi keberlanjutan merupakan gambaran secara mendetail untuk melihat sejauh mana pelaksanaan atribut keberlanjutan per dimensi. Meskipun demikian di dalam pelaksanaannya tidaklah dapat dipisahkan antar dimensi tersebut. Oleh karena itu penilaian terhadap keberlanjutan suatu kegiatan haruslah didasarkan pada keseimbangan antara dimensi.
Berdasarkan
pembahasan sebelumnya dapat dilihat nilai keberlanjutan untuk masing-masing dimensi ekonomi, lingkungan, sosial, dan kelembagaan yang menunjukkan nilai cukup (Tabel 12.). Analisis Monte Carlo yang terintegrasi dalam Rap-Coffee merupakan metode simulasi untuk mengevaluasi kesalahan secara acak (random error) yang mungkin terjadi selama proses komputasi menentukan nilai ordinasi dari masingmasing dimensi keberlanjutan.
Analisis Monte Carlo juga bermanfaat untuk
mengevaluasi stabilitas hasil penilaian MDS dan kesalahan pemasukan data (Pitcher dan Preikshot 2001). No 1 2 3 4
Tabel 12 Parameter statistik dimensi keberlanjutan Dimensi Nilai Indeks Nilai Stress R2 Monte Carlo (%) (%) Ekonomi 62,54 0,14 0,92 61,75 Lingkungan 59,15 0,15 0,95 58,43 Sosial 59,22 0,15 0,95 58,84 Kelembagaan 54,87 0,15 0,95 54,40 Gabungan 58,94
119
Ekonomi
100
80 62,54 60 40 20
Kelemba gaan
0
59,15
54,87
Lingkung an
59,22
Sosial
Gambar 33 Gabungan penilaian indeks keberlanjutan Hasil simulasi Rap-Coffee untuk gabungan keempat dimensi menunjukkan nilai cukup berlanjut (58,94%). Untuk mengetahui gambaran keterkaitan antara dimensi keberlanjutan pada kegiatan agroindustri di KUPK Sidomulyo secara skematis disajikan pada Gambar 33. Rap-Coffee
untuk
Adapun validasi terhadap hasil simulasi
masing-masing dimensi
menunjukkan
nilai
koefisien
determinasi (R2) yang cukup tinggi antara 0,94 – 0,95. Nilai S stress rata-rata sebesar 0,13 yang lebih rendah dari 0,25 menunjukkan bahwa goodness of fit hasil simulasi Rap-Coffee dapat mempresentasikan model dengan baik (Alder et al. 2003). Analisis ini diperkuat dengan selisih hasil analisis MDS dengan analisis Monte Carlo pada tingkat kepercayaan 95% yang lebih kecil dari 1 yaitu antara 0,3 – 0,8 menunjukkan bahwa perhitungan MDS menggunakan Rap-Coffee memiliki tingkat presisi tinggi (Pitcher dan Preikshot 2001).
120
Dimensi ekonomi
Dimensi lingkungan
Dimensi sosial
Dimensi kelembagaan
Gambar 34 Analisis Monte Carlo dimensi keberlanjutan 5.4. Kesimpulan Penilaian keberlanjutan agroindustri kopi rakyat secara cepat menggunakan Rap-Coffee tergantung pada pendekatan penilaian atribut pada skala yang sederhana.
Meskipun berbagai faktor dapat diukur, akan tetapi atribut yang
mempengaruhi nilai keberlanjutan didasarkan pada kategori tertentu dan rentang hasil ordinasi keberlanjutan MDS.
Ordinasi dua dimensi dari Rap-Coffee
memberikan kesimpulan secara grafis mengenai posisi keberlanjutan masingmasing dimensi yang berada pada rentang nilai baik (good) dan jelek (bad). RapCoffee juga dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan yang telah dilaksanakan selama ini yang tercermin dari nilai masing-masing indikator.
121
Berdasarkan leverage analysis, faktor pengaruh dominan pada masingmasing dimensi terdiri dari 6 faktor pengaruh dimensi ekonomi, 1 faktor pengaruh dimensi lingkungan, 2 faktor pengaruh dimensi sosial, dan 1 faktor pengaruh dimensi kelembagaan. Sepuluh faktor penentu keberlanjutan agroindustri kopi rakyat KUPK Sidomulyo berdasarkan penilaian adalah sebagai berikut. 1.
Biaya produksi dan pemasaran (ekonomi)
2.
Manajemen usaha tani (ekonomi)
3.
Manajemen sumberdaya lahan (lingkungan)
4.
Kesehatan dan keamanan (sosial)
5.
Kualitas produksi (ekonomi)
6.
Peluang pasar (ekonomi)
7.
Persepsi dan kepuasan petani (sosial)
8.
Kredit usaha (ekonomi)
9.
Kesiapan akan bencana (kelembagaan)
10. Pendapatan (ekonomi) Dominasi faktor pengaruh dimensi ekonomi pada penilaian keberlanjutan agroindustri kopi rakyat menunjukkan masih besarnya dimensi ekonomi dibandingkan ketiga dimensi keberlanjutan lainnya. Kondisi ini umum terjadi di negara-negara berkembang yang masih memprioritaskan kepentingan ekonomi dibandingkan
sosial,
lingkungan,
maupun
kelembagaan.
Peningkatan
keberlanjutan agroindustri kopi rakyat harus didasarkan pada upaya peningkatan ekonomi petani kopi melalui peningkatan keberlanjutan dimensi lingkungan, sosial, dan kelembagaan. Peningkatan ekspor dan mutu kopi rakyat serta peningkatan nilai tambah produk kopi nasional mendukung tekad Departemen Pertanian Indonesia untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen kopi maupun produk kopi unggulan dunia tahun 2025 (Renstra Pembangunan Perkebunan 2010-2014).
Peran serta dan
dukungan stakeholder kopi dibutuhkan dalam melakukan upaya perbaikan kualitas kopi antara lain melalui upaya pemberian insentif harga yang memadai di tingkat petani untuk kopi yang berkualitas baik, penyediaan kredit bagi petani untuk mengatasi kebutuhan petani akan uang tunai yang mendesak dan pengadaan peralatan produksi yang mendukung peningkatan mutu kopi, pemberdayaan
122
kelembagaan petani serta kegiatan penyuluhan dalam mengupayakan penerapan standar mutu kopi dunia. Keberhasilan upaya perbaikan mutu kopi Indonesia tidak hanya memperbaiki citra kopi Indonesia, akan tetapi dapat membantu perbaikan harga kopi tingkat petani sekaligus membangkitkan peran kopi bagi perekonomian Indonesia. Upaya peningkatan keberlanjutan di agroindustri KUPK Sidomulyo berdasarkan keempat dimensi diharapkan akan mendukung pencapaian rencana tersebut.
VI. DESAIN PROSES PENGOLAHAN KOPI ROBUSTA DENGAN MODIFIKASI TEKNOLOGI OLAH BASAH
6.1. Pendahuluan Peningkatan kualitas produksi merupakan salah satu atribut kunci keberlanjutan agroindustri kopi rakyat.
Menurut Herman dan Susila (2003),
perbaikan kualitas dibutuhkan tidak hanya untuk memperbaiki citra kopi Indonesia, tetapi diharapkan dapat membantu perbaikan harga kopi tingkat petani sekaligus membangkitkan peran kopi bagi perekonomian Indonesia. Musebe et al. (2007), mutu kopi ditentukan terutama oleh perlakuan di kebun (40%), perlakuan pasca panen (40%), dan pengolahan sekunder (20%).
Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan pasca panen (pengolahan primer) yang baik dapat membantu meningkatkan kualitas atau mutu biji kopi. Metode pengolahan menentukan mutu produk akhir serta memiliki potensi pencemaran yang berbeda. Penerapan metode olah basah pada proses pengolahan kopi merupakan salah satu upaya meningkatkan mutu produk akhir, meskipun memiliki potensi pencemaran cukup besar.
Pendekatan produksi bersih pada
proses pengolahan kopi mencakup 3 hal yang saling berhubungan yaitu; (1) lebih sedikit menggunakan sumber daya alam, (2) lebih sedikit limbah yang ditimbulkan, dan (3) lebih sedikit pencemar yang dibuang ke lingkungan alamiah. Upaya untuk mengurangi volume limbah cair atau minimisasi input air proses pada titik-titik dimana limbah dihasilkan merupakan salah satu tahapan pencegahan polusi (Theodore dan Mc.Guinn 1992). Pendekatan produksi bersih juga dilakukan dengan upaya mengurangi emisi yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar fosil. optimum
pada
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan volume air
proses
pengolahan
mempertahankan mutu kopi.
basah
kopi
Robusta
dengan
tetap
Untuk meminimalkan emisi yang terbuang ke
lingkungan, dievaluasi alternatif penggunaan bahan bakar nabati terhadap tingkat emisi yang dihasilkan ke lingkungan.
123
124
6.2. Metode Penelitian 6.2.1. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer berasal dari hasil pengamatan dan perhitungan di lokasi penelitian. Data sekunder berasal dari literatur dan hasil-hasil penelitian terkait pengolahan kopi. 6.2.2. Variabel yang diamati Variabel yang diamati meliputi; volume input dan output per perlakuan dalam tahapan proses pengolahan kopi (neraca massa), mutu fisik, dan cita rasa (cup test) biji kopi yang dihasilkan per perlakuan dan emisi proses pengolahan kopi dan kebutuhan peralatan pendukung. 6.2.3. Metode Analisis Data Modifikasi teknologi pada proses pengolahan kopi basah dilakukan berdasarkan proses pengolahan basah yang telah dilakukan oleh Mulato et al. (2006). Adapun tahapan analisis data adalah sebagai berikut; 1.
Melakukan identifikasi tahapan proses pengolahan kopi modifikasi olah basah yang berpotensi menyumbangkan limbah/emisi.
2.
Menentukan desain perlakuan minimisasi air (volume air) pada proses pengolahan kopi berdasarkan hirarki pencegahan pencemaran (Theodore dan Mc Guinn 1992). Volume air ditentukan berdasarkan Mulato et al. (2006) yaitu volume air pengupasan dan pencucian tidak lebih dari 3 m3 dan 6 m3 per ton buah kopi. Ulangan perlakuan dilakukan sebanyak 3 kali (triplicate).
3.
Melakukan analisis nerasa massa pengolahan kopi dengan minimisasi air (Himmelblau 1982).
4.
Mengukur emisi yang dihasilkan dari mesin pengupasan (pulper) dan pencucian (washer) yang menggunakan bahan bakar solar dan biodiesel.
5.
Melakukan analisis mutu fisik biji kopi dan cita rasa seduhan (cup test). Mutu fisik biji kopi berdasarkan persyaratan mutu dalam SNI 01-2907-2008. Uji cita rasa seduhan (cup test) dilakukan oleh panelis ahli dan terlatih dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Secara umum rangkaian rancangan penelitian desain proses pengolahan
kopi dengan modifikasi teknologi disajikan pada Gambar 35.
125
Buah kopi petik merah
Penggunaan air ulang
Sortasi rambang Buah merah terpilih
Input air pengupasan dengan perlakuan volume
Pengupasan buah
Emisi
Biji kopi berkulit tanduk Alternatif bahan bakar
Analisis emisi
Pulp+Limbah cair
Fermentasi kering
Penanganan limbah cair (anaerobik, koagulasi dan filtrasi)
Biji kopi berkulit tanduk Analisis limbah cair Air pencucian dengan perlakuan volume
Pencucian Kopi HS Pengeringan Kopi HS Pengupasan kulit tanduk
Kopi beras (green coffee)
Pulp+Limbah cair Emisi
Analisis emisi
Deskripsi: Rancangan volume air pengupasan (m3.ton-1 buah kopi): K1 : 1,44–1,48 (50%) K2 : 0,73–0,78 (74%) K3 : 0,23–0,28 (90%) Rancangan volume air pencucian (m3.ton-1 buah kopi): 1. C1 : 2,25–2,27 (57%) C2: 1,54–1,81 (70%) C3: 1,09–1,13 (81%) 2. C4 : 4,81–5,93 (0%) C5: 3,67–3,85 (35%) C1 (57%) C2 (70%) Kulit tanduk+kulit ari
Alternatif bahan bakar : 1. Solar, 2. Biodiesel
Analisis: 1. Mutu fisik 2. Cita rasa seduhan
Gambar 35 Rancangan penelitian modifikasi teknologi olah basah pada proses pengolahan kopi Robusta 6.3. Hasil dan Pembahasan 6.3.1. Minimisasi Air Pada Proses Pengolahan Kopi Modifikasi Olah Basah Pengolahan basah merupakan perbaikan proses pengolahan kering. Penggunaan air pada proses pengolahan dengan modifikasi olah basah adalah; (1) sebagai media untuk mengklasifikasi kualitas buah kopi melalui sortasi rambang, (2) media pengaliran buah kopi untuk memudahkan proses pengupasan buah (pulping), dan (3) untuk membersihkan biji kopi dari lendir yang terdegradasi (washing) setelah proses fermentasi sekaligus mencegah proses fementasi berlebih (over fermentation). Upaya minimisasi input air merupakan bagian dari upaya penerapan produksi bersih pada proses kopi olah basah. Upaya meminimalkan air proses diharapkan dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat limbah cair sekaligus meningkatkan mutu kopi rakyat. Penerapan teknologi bersih mengacu pada konsep 3R (reduce, reuse, and recycle) pada keseluruhan aliran proses pengolahan. Untuk memperkirakan titik-titik dimana limbah dihasilkan serta besaran polutan pada perlakuan minimisasi air proses pengolahan kopi digunakan
126
diagram alir neraca massa. Neraca massa juga dapat digunakan untuk mengevaluasi konsumsi sumberdaya dan pembangkitan limbah produk ataupun proses. Tahapan proses pengolahan kopi olah basah dengan modifikasi meliputi proses sortasi rambang untuk buah kopi merah, proses pengupasan kulit buah (pulping), fermentasi kering, pencucian biji kopi (washing), pengeringan biji kopi secara mekanis, dan pengupasan kulit tanduk dan kulit ari pada kopi HS. Potensi limbah cair terutama dihasilkan dari tahapan proses sortasi rambang, pengupasan buah (pulping) dan pencucian biji kopi (washing).
Potensi limbah padat
dihasilkan dari tahapan proses pengupasan buah, pencucian biji kopi, dan pengupasan kulit kopi HS (hulling). a. Sortasi Proses sortasi pada pengolahan kopi dapat dilakukan melalui 3 tahapan, yaitu (1) sortasi sejak di kebun yang dikenal dengan pemetikan selektif untuk memilih buah kopi yang telah masak, (2) sortasi ukuran menggunakan grader apabila diinginkan buah kopi dengan ukuran tertentu yang seragam, (3) sortasi rambang untuk memisahkan buah kopi merah kualitas baik dari buah kopi kualitas rendah dan kotoran yang terikut. pemanenan (Gambar 36).
Sortasi warna sangat ditentukan oleh cara
Sortasi kelas membantu pengaturan ukuran celah
mesin pada proses pengupasan. Sortasi rambang bertujuan untuk memisahkan buah kopi superior (baik) dengan kopi rambang yang inferior (jelek). Bercampurnya kopi inferior dengan buah kopi superior akan menurunkan mutu fisik dan cita rasa.
Pemilihan kopi merah merupakan syarat awal untuk
mendapatkan kopi superior pada pengolahan basah. Buah kopi superior adalah buah kopi yang masak, bernas dengan ukuran cenderung seragam. Buah kopi inferior adalah buah kopi yang cacat, hitam, pecah, berlubang, atau tercampur daun, ranting, atau tanah. Pada tahap sortasi, limbah yang dihasilkan berupa kotoran dan buah campuran kuning-hijau yang masih memiliki nilai produk melalui pengolahan kering.
Buah kopi setelah dipanen sebaiknya langsung dibawa ke sentra
pengolahan dan diproses agar tidak terjadi kerusakan buah yang dapat
127
mempengaruhi mutu biji. Air yang digunakan untuk sortasi rambang dapat digunakan kembali pada proses pulping sehingga limbah cair dapat dihindari.
Kuning Hijau
Merah Kehitaman
Merah
Gambar 36 Buah kopi petik Minimisasi air pada proses pengolahan kopi dengan modifikasi olah basah dilakukan berdasarkan volume air per ton buah kopi yang dapat diolah. Adapun volume air dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan pengaturan kran air pengaliran.
Penelitian perlakuan minimisasi air dibatasi pada tahap proses
pengupasan buah (pulping) dan pencucian biji kopi (washing). b. Minimisasi Air Proses Pengupasan (Pulping) Pulping meliputi pengupasan bagian kulit luar berwarna merah (exocarp) dan lapisan pulp putih (mesocarp) serta pemisahan antara pulp dan biji. Buah kopi yang belum matang berwarna hijau dan keras akan sangat sulit dikupas. Prinsip pengupasan daging buah secara mekanik menggunakan mesin (pulper) adalah dengan cara menekan buah di antara permukaan yang diam dan bergerak. Daging dan kulit buah akan terpisah ke satu sisi, sedangkan biji yang masih terselubung lapisan berlendir dan kulit tanduk (parchment) menuju ke sisi lain. Pengaturan jarak diperlukan untuk mencegah biji pecah dan hasil kupasan lebih bersih. Penyemprotan air ke dalam silinder bersama buah kopi merah diusahakan tidak lebih dari 3 m3 per ton buah kopi.
Penggunaan air dibutuhkan untuk
membantu pengaliran buah kopi ke dalam silinder pulper sekaligus membersihkan lapisan lendir (Mulato et al. 2006). Rancangan perlakuan minimisasi air input pada proses pengupasan buah kopi (K) dilakukan antara 0,237 – 1,480 m3/ton buah kopi atau 50-90% penurunan dari volume standar dengan pengaliran berikut: a. 0,237 m3 – 0,287 m3/ton buah kopi (90%) perlakuan K3 (debit 0,0618 l/det), b. 0,731 m3 – 0,784 m3/ton buah kopi (74%) perlakuan K2 (debit 0,2232 l/det), c. 1,441 m3 – 1,480 m3/ton buah kopi (50%) perlakuan K1 (debit 0,2843 l/det).
128
Perlakuan K1 menjadi kontrol sebagai pengaliran air yang umum diterapkan di Puslitkoka dalam upaya meminimalkan air proses pengupasan.
1 – drum berputar 2 – piringan pemeras 3 – piringan pemisah 4 – bak penampung 5 – buah kopi 6 – biji kopi 7 – pulp kopi
Gambar 37 Mesin pengupas buah kopi (Pulper) Sumber: Schumacher Centre for Technology & Development, UK, Tanpa Tahun
Proses pengupasan buah dengan perlakuan meminimalkan air menghasilkan biji kopi berkulit tanduk dengan kadar air 65-72%. Limbah yang dihasilkan berupa limbah cair dan daging buah (pulp). Pulp kopi yang dihasilkan pada tahapan ini cukup besar hingga 50% dari total berat buah kopi yang dikupas. Biji kopi yang dihasilkan dari proses pengupasan ini memiliki kadar air rata-rata 77,4%. Volume limbah cair yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan volume air yang masuk ke dalam proses karena terdapat air yang terikut bersama pulp dan biji kopi. Untuk mengetahui pengaruh minimisasi air terhadap proses pengupasan dilakukan analisis varian dan uji lanjut Duncan. Buah merah terpilih (1 ton) Kadar air 59 – 70% Air 0,23 – 1,48 m3/ton
Pengupasan buah (pulping)
Limbah cair (0,04 – 1,14) m3/ton Pulp (0,33 – 0,57 ton)
Biji kopi HS basah (0,70 – 0,81) ton Kadar air 65 – 72%
Gambar 38 Neraca massa proses pengupasan Berdasarkan hasil analisis varian dan uji lanjut Duncan, perlakuan minimisasi air pada proses pengupasan memiliki pengaruh signifikan terhadap volume limbah cair yang dihasilkan. Perlakuan minimisasi air tidak berpengaruh secara nyata terhadap pulp dan biji HS yang dihasilkan. Akan tetapi, volume air minimum (90%) menghambat pemisahan antara biji dan pulp, sehingga masih
129
terdapat buah kopi yang tidak terkupas setelah proses. Selain itu dalam pelaksanaan penelitian, volume air minimum ternyata mempengaruhi
kinerja
mesin pengupasan (pulper) yang membutuhkan kajian lebih lanjut. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, penggunaan air input minimal dapat dilakukan pada debit 0,223 l/det atau setara dengan rata-rata volume air 0,784 m3/ton buah (minimisasi air 74%). Tabel 13 Hasil uji lanjut Duncan pada proses pengupasan Perlakuan (% penurunan) K1 (50%) K2 (74%) K3 (90%) K1 (50%) K2 (74%) K3 (90%) K1 (50%) K2 (74%) K3 (90%)
Pengupasan (per 50 kg buah kopi) Limbah cair (kg) Pulp (kg) Biji HS (kg) b ab 57,00 28 39ab a ab 20,70 28,25 38,75ab a a 10,84 16,5 37,00a 56,15b 27,00ab 40,75ab a ab 20,35 27,00 39,75ab 6,59a 20,25a 35,00a b ab 53,8 27,75 40,5ab 20,06a 26,5ab 40,0ab a a 2,05 23,75 37,50a
Pengupasan mekanik masih meninggalkan residu di permukaan kulit tanduk. Residu ini harus dibuang seluruhnya untuk mencegah kontaminasi biji kopi oleh bahan yang akan dihasilkan dari proses degradasi lendir.
Proses fermentasi
dilakukan untuk menghilangkan lapisan lendir tersebut. c.
Fermentasi Menurut Ciptadi dan Nasution (1985); Siswoputranto (1992), fermentasi
bertujuan untuk menghilangkan lapisan lendir yang tersisa di permukaan kulit tanduk biji kopi melalui penguraian senyawa-senyawa dalam lendir oleh bakteri. Proses fermentasi juga dimaksudkan untuk membentuk unsur-unsur citarasa khas dari kopi. Fermentasi dapat dilakukan selama 12 hingga 24 jam. Menurut Mulato et al. (2006), fermentasi kering dilakukan pada modifikasi proses olah basah untuk menghemat air dengan cara menumpuk biji kopi HS basah dalam suatu bak yang kemudian ditutup karung goni. Suhu awal fermentasi adalah 29 oC dan akan meningkat di akhir fermentasi mencapai 31oC. Fermentasi berakhir saat lendir sudah tidak menempel pada biji yaitu setelah 13-15 jam. Pada proses fermentasi ini, tidak ada perubahan aliran massa yang signifikan. Perubahan yang terjadi adalah pada karakteristik biji kopi HS.
130
Menurut Clarke dan Macrae (1985), perubahan yang terjadi selama proses fermentasi biji kopi adalah sebagai berikut; 1.
Pemecahan komponen mucilage (lendir). Bagian yang terpenting dari lapisan berlendir ini adalah komponen protopektin yang merupakan kompleks tak larut.
Material inilah yang pecah pada saat proses fermentasi akibat
bekerjanya suatu enzim sejenis katalase yang akan memecah protopektin dalam buah kopi. 2.
Pemecahan gula. Kadar gula akan meningkat dengan cepat selama proses pematangan buah dengan meningkatnya rasa manis. Oleh karena itu kadar gula dalam daging biji akan mempengaruhi konsentrasi gula dalam lendir beberapa jam setelah fermentasi. Hasil dari proses pemecahan gula adalah asam laktat dan asam asetat, dengan kadar asam laktat yang lebih besar. Asam-asam lain yang dihasilkan dari proses fermentasi adalah etanol, asam butirat dan propionat.
3.
Perubahan warna kulit.
Biji kopi yang telah terpisahkan dari pulp akan
menyebabkan kulit ari berwarna coklat. Jaringan daging biji akan berwarna sedikit kecoklatan, yang semula berwarna abu-abu atau abu-abu kebiruan. Proses pencoklatan ini terjadi akibat oksidasi polifenol yang dapat dicegah dengan menggunakan pemakaian air pencucian yang bersifat alkalis. Biji kopi HS basah (0,70 – 0,81 ton) Kadar air 65 – 72%
Fermentasi kering Kadar air 64 – 72% Biji kopi HS basah (0,70 – 0,81 ton)
Gambar 39 Neraca massa proses fermentasi Akhir dari proses fermentasi ditetapkan secara visual, dimana biji kopi kehilangan tekstur halusnya dan terasa lebih kasar. Menurut Chanakya dan de Alwis (2004), lapisan lendir (mucilage) yang licin pada biji kopi memiliki ketebalan lebih kurang 1,5 mm, dan tembus pandang. Metode fermentasi dan pencucian dengan pengausan (washing) merupakan kombinasi metode yang
131
paling populer untuk menghilangkan lapisan lendir.
Adapun biji kopi yang
dihasilkan disebut kopi kulit (HS). d. Minimisasi Air Proses Pencucian (Washing) Perlakuan minimisasi air pada proses pencucian dilakukan melalui 2 tahapan pada masa panen yang berbeda yaitu di tahun 2009 (tahap 1) dan tahun 2010 (tahap 2). Minimisasi air pada tahap 1 terutama ditujukan untuk mengetahui kebutuhan air minimum, pengaruhnya terhadap neraca massa proses dan mutu hasil pengolahan. Uji mutu yang dilakukan pada tahap ini hanyalah uji mutu fisik. Signifikansi pengaruh diukur berdasarkan uji statistik (analisis varian dan uji lanjut Duncan). Berdasarkan perlakuan tahap 1 dapat dilakukan minimisasi air tahap 2. Minimisasi air tahap 2 terutama dilakukan untuk mengetahui perbedaan mutu biji dari hasil perlakuan minimum dan perlakuan air pencucian yang biasa diterapkan pada proses pengolahan kopi. Pada perlakuan minimisasi air tahap 2 juga dilakukan perbandingan dengan biji kopi hasil olah kering yang berasal dari tempat berbeda. Signifikansi pengaruh minimisasi tahap 2 diukur berdasarkan uji mutu fisik dan cita rasa biji kopi. 2
1
1 – aliran air 2 – biji kopi HS 3 – sirip pencuci berputar 4 – silinder berlubang horisontal 5 – lendir + kotoran bersama air 6 – biji kopi HS yang sudah bersih
3 4 5
6
Gambar 40 Mesin pencuci biji kopi (washer) Pencucian (washing) dilakukan setelah fermentasi untuk menghilangkan sisa lendir yang masih menempel di kulit tanduk dengan bantuan mesin pencuci (washer). Biji kopi HS dimasukkan ke dalam corong silinder secara kontinyu yang disertai semprotan aliran air ke dalam silinder. Sirip pencuci yang berputar mengangkat massa biji kopi ke permukaan silinder.
Sisa-sisa lendir pada
permukaan kulit tanduk akan terlepas dan tercuci oleh aliran air. Kotoran akan
132
menerobos lewat lubang-lubang pada dinding silinder dan massa biji yang sudah bersih terdorong oleh sirip pencuci ke arah ujung pengeluaran silinder (Gambar 40). d.1. Minimisasi Air Pencucian Tahap 1. Proses pengaliran air pada mesin pencuci tipe kontinyu menggunakan 2 aliran air dari atas bersamaan dengan pemasukan biji kopi HS dan aliran dari lubang bawah yang membantu sirip pencuci. Sebagaimana proses pengupasan, minimisasi air proses juga dilakukan pada tahap pencucian dengan kisaran air pencucian tahap 1 antara 1,093 – 2,561 m3/ton buah kopi. Volume air rata-rata perlakuan minimisasi proses pencucian (C) adalah sebagai berikut; a. 1,093 m3 – 1,131 m3/ ton buah kopi (81%) perlakuan C3 (debit air 0,1491 l/det) b. 1,542 m3 – 1,806 m3/ton buah kopi (70%) perlakuan C2 (debit air 0,2344 l/det ) c. 2,256 m3 – 2,561 m3/ton buah kopi (57%) perlakuan C1 (debit air 0,3042 l/det). Berdasarkan minimisasi air pencucian tahap 1 ini dilakukan analisis neraca massa dan analisis varian untuk mengetahui volume dan pengaruh perlakuan terhadap limbah dan biji kopi HS yang dihasilkan. Biji kopi HS Kadar air 64 – 72% Air 1,09 – 2,56 m3/ton
Limbah cair + lendir (1,34 – 2,57) m3/ton
Pencucian Pulp (0,01 – 0,03) ton Kadar air 50 – 60% Biji Kopi HS (0,47 – 0,51) ton
Gambar 41 Neraca massa proses pencucian Kadar air biji kopi HS setelah proses pencucian sebesar 50 – 60%. Hal ini diperkirakan karena biji kopi telah bersih dari lendir yang terdegradasi selama fermentasi.
Lendir yang semula menempel pada permukaan biji kopi HS
dialirkan bersama-sama limbah cair dan pulp yang masih terikut sejak proses pengupasan. Pulp yang dihasilkan pada tahap ini sangat sedikit (1,92%). Limbah cair yang dihasilkan dari proses pencucian cenderung lebih kental dibandingkan limbah cair proses pengupasan karena kandungan lendir dalam jumlah dominan.
133
Biji kopi HS pada tahap pencucian telah berkurang hingga rata-rata 50% dari total buah kopi yang digunakan. Berdasarkan hasil analisis varian dan uji lanjut Duncan, perlakuan minimisasi air proses pencucian menunjukkan perbedaan signifikan pada volume limbah cair yang dihasilkan. Volume limbah cair yang dihasilkan akan menurun seiring minimisasi air proses.
Tahap pencucian merupakan salah satu titik
terjadinya pencemaran karena adanya limbah cair bercampur lendir (mucilage) dan pulp (sisa kulit kopi) yang dihasilkan.
Meskipun volume limbah cair
menurun seiring perlakuan minimisasi air, tetapi diperkirakan terjadi peningkatan konsentrasi polutan.
Perlakuan minimisasi air menunjukkan bahwa volume
limbah cair tidak berbeda secara signifikan antara perlakuan C2 dan C3. Meskipun demikian penentuan kelayakan minimisasi air akan ditentukan oleh mutu biji kopi. Interaksi perlakuan pengupasan dan pencucian akan menentukan mutu biji kopi akhir. Tabel 14. Hasil uji lanjut Duncan proses pencucian Perlakuan (% penurunan) K1C1(57%) K2C1(57%) K3C1(57%) K1C2(70%) K2C2(70%) K3C2(70%) K1C3(81%) K2C3(81%) K3C3(81%)
Pencucian Limbah cair (kg) Pulp (kg) 134,05b 0,6a b 132,78 1,23a b 133,125 0,925a 107,70a 1,05a a 104,125 0,875a ab 114,975 1,225a 80,5a 1a a 91,725 0,975a a 87,775 0,775a
Biji HS (kg) 23,50a 24,25a 24,00a 25,50a 25,50a 23,50a 26,25a 25,50a 25,50a
d.2. Minimisasi Air Pencucian Tahap 2 Perlakuan minimisasi air tahap 2 dilakukan setelah diketahui hasil mutu fisik biji kopi dari perlakuan tahap 1. Tujuan minimisasi air pencucian tahap 2 adalah untuk mengetahui pengaruh minimisasi air lanjutan terhadap mutu fisik dan cita rasa biji kopi. Pada perlakuan pencucian, volume air proses pengupasan buah kopi diupayakan konstan antara 0,731 – 0,784 m3/ton (K2=74%) dengan volume air pencucian rata-rata sebagai berikut; a. 4,809 – 5,933 m3/ton buah kopi untuk perlakuan C4 (0%). b. 3,678 – 3,853 m3/ton buah kopi untuk perlakuan C5 (35%).
134
c. 2,256 – 2,561 m3/ton buah kopi yang sama dengan perlakuan C1 (57%). d. 1,542 – 1,806 m3/ton buah kopi yang sama dengan perlakuan C2 (70%) Pada tahap perlakuan ini juga dilakukan análisis terhadap buah kopi yang berasal dari periode panen rampasan dan biji kopi hasil pengolahan kering. Biji kopi hasil perlakuan olah basah dan olah kering dari Kebun Kaliwining milik Puslitkoka juga dibandingkan dengan biji kopi hasil olah basah dan olah kering yang berasal dari perkebunan kopi rakyat KUPK Desa Sidomulyo.
Menurut
Ciptadi dan Nasution (1985); Mulato et al.(2006), perlakuan saat panen dapat mempengaruhi mutu kopi, dimana buah kopi yang dipanen saat panen rampasan diperkirakan memiliki karakteristik mutu berbeda dengan buah kopi yang dipanen saat panen raya. Adapun kopi olah basah Sidomulyo dicuci dengan volume air ± 7 m3/ton dan proses fermentasi yang tidak sepenuhnya fermentasi kering, terkadang direndam dalam bak semen dengan volume air tertentu. Kopi olah basah Sidomulyo mengalami pengeringan alami dengan sinar matahari, sebaliknya kopi olah basah Kaliwining menggunakan pengering mekanis. Biji kopi HS yang dihasilkan dari proses pencucian merupakan biji kopi olah basah yang masih berkadar air rata-rata 60%. Hal ini sesuai pernyataan Chanakya dan De Alwis (2004), bahwa setelah proses pencucian biji kopi harus mendapat perlakuan pengeringan karena berkadar air antara 55-60%. e.
Pengeringan Pengeringan dapat dilakukan melalui penjemuran dengan sinar matahari
ataupun menggunakan pengering mekanis hingga kadar air mencapai maksimal 12% (SNI 01-2907-2008). Apabila menggunakan pengering mekanis berbahan bakar kayu pada suhu 50o - 60o C, lama pengeringan rata-rata sekitar 3 - 4 hari (50 jam secara teoritis dengan suhu di awal proses suhu 60 – 70o). Pengeringan cenderung lebih lama berlangsung pada biji kopi yang berasal dari perlakuan air proses minimum. Biji kopi HS yang dihasilkan dari proses pengeringan telah menurun hingga 24% dari total buah kopi gelondong yang diproses. Penguapan air dihitung berdasarkan neraca massa mencapai 31% dari volume biji kopi HS sebelum pengeringan.
135
Biji kopi HS (0,47 – 0,51) ton Kadar air 50 – 60%
Pengeringan
Uap air (0,25 – 0,31) ton
Kadar air 12 – 12,5% Biji kopi HS (0,21 – 0,24) ton
Gambar 42 Neraca massa proses pengeringan Penjemuran sinar matahari umumnya dilakukan selama 8 hingga 10 hari, tergantung temperatur udara dan kelembaban. Pengeringan dengan sinar matahari dapat dilakukan di atas semen datar. Biji dihamparkan setebal 2 sampai 10 cm, dan dibalik secara berkala untuk menjamin biji menjadi kering sempurna. Pada saat puncak periode pemanenan, penggunaan pengering mekanis sangat membantu. Meskipun demikian, proses ini harus dikontrol dengan hati-hati untuk mendapatkan kekeringan yang memuaskan dan murah secara ekonomis tanpa merusak kualitas. Secara visual, biji kopi kering hasil olah basah memiliki penampilan lebih baik daripada biji kopi kering hasil olah kering. Biji kopi olah basah cenderung berwarna lebih terang dan bersih. Biji kopi hasil olah basah setelah disangrai juga akan memiliki warna agak putih pada alur di tengah keping bijinya.
Biji WP Kebun Kaliwining
Biji DP Kebun Kaliwining
Gambar 43 Perbandingan visual biji kopi HS hasil olah basah dan olah kering Keterangan: WP : wet process (olah basah) DP ; dry process (olah kering)
f.
Pengupasan Kulit Tanduk (Hulling) Setelah pengeringan, proses pengupasan kulit tanduk (hulling) dapat
dilanjutkan atau kopi HS disimpan hingga saatnya diekspor.
Output proses
hulling berupa biji kopi beras (green bean), kulit tanduk, dan kulit ari. Untuk mencapai keseragaman dan meningkatkan efisiensi pengupasan, sebaiknya dilakukan sortasi ukuran terlebih dahulu sebelum proses hulling. Pada tahap
136
pengupasan dimungkinkan terjadinya kehilangan massa karena kulit ari biji kopi yang keluar dari sistem dalam jumlah minimum. Persentase kulit tanduk dan kulit ari yang dihasilkan dari proses pengupasan ini dapat mencapai 5% dari total buah kopi gelondong yang diproses. Kulit tanduk dan kulit ari masih memiliki nilai tambah ekonomis jika dimanfaatkan. Rata-rata persentase biji kopi beras yang dihasilkan pada proses pengolahan modifikasi olah basah ini adalah 18-19%. Biji Kopi HS (0,21 – 0,24) ton Kadar air 12 – 12,5%
Pengupasan kering kulit kopi HS
Kulit tanduk & kulit ari (0,03 – 0,05) ton
Kopi beras (0,18 – 0,19) ton
Gambar 44 Neraca massa proses hulling Berdasarkan perhitungan neraca massa rata-rata dapat diketahui rata-rata volume air, limbah cair, dan limbah padat yang dihasilkan melalui perlakuan minimisasi air proses pengolahan kopi (Tabel 15). Perlakuan minimisasi air terbukti mampu mengurangi volume limbah cair yang dihasilkan pada proses pengolahan kopi. Secara umum, neraca massa total hasil perlakuan minimisasi air tahap pengupasan (pulping) dan pencucian (washing) pada proses pengolahan kopi dengan modifikasi teknologi disajikan pada Gambar 45. Tabel 15 Volume air, limbah cair dan limbah padat rata-rata pengolahan kopi No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Perlakuan (% minimisasi) K1C1(58%) K2C1(67%) K3C1(72%) K1C2(67%) K2C2(73%) K3C2(77%) K1C3(72%) K2C3(79%) K3C3(85%)
Pengupasan (satuan/ton buah) Air (m3) Pulp (kg) 1,480 560,0 0,754 565,0 0,287 330,0 1,478 540,0 0,742 540,0 0,237 405,0 1,441 555,0 0,731 530,0 0,266 475,0
Pencucian (satuan/ton buah) Air (m3) Pulp (kg) 2,271 12,0 2,258 24,6 2,256 18,5 1,542 21,0 1,710 17,5 1,806 24,5 1,093 20,0 1,131 19,5 1,110 15,5
Total air (m3/ton) In Out 3,751 3,709 3,012 2,937 2,543 2,514 3,020 2,949 2,452 2,383 2,043 2,043 2,534 2,434 1,862 1,803 1,376 1,376
Total pulp (kg/ton) Out 572,0 589,6 348,5 561,0 557,5 429,5 575,0 549,5 490,5
Sumber limbah padat terbesar dihasilkan pada tahap pengupasan buah kopi berupa pulp buah kopi yang dapat mencapai 50-60% dari total produksi. Limbah padat ini juga berpotensi menjadi sumber pencemaran lingkungan, sehingga
137
memerlukan penanganan khusus. Potensi limbah cair terbesar terutama dihasilkan dari proses pencucian biji kopi setelah fermentasi. Melalui pengurangan air input pada proses pengolahan kopi diharapkan dapat mengurangi beban pencemaran dari agroindustri kopi.
Beberapa perbandingan penggunaan air untuk proses
pengolahan kopi di berbagai negara disajikan pada Tabel 16. Buah merah terpilih (1 ton) Kadar air 59 – 70% Limbah cair (0,04 – 1,14) m3/ton
Pengupasan buah
Air 0,23 – 1,48 m3/ton
Biji kopi HS basah
Pulp (0,33 – 0,57 ton)
(0,70 – 0,81) ton Kadar air 65 – 72%
Fermentasi kering Kadar air 64 – 72%
Biji kopi HS basah
Limbah cair + lendir (1,34 – 2,57) m3/ton
Air 1,09 – 2,56 m3/ton
Pencucian
Biji kopi HS basah
Pulp (0,01 – 0,03) ton
(0,47 – 0,51) ton Kadar air 50 – 60%
Pengeringan
Uap air (0,25 – 0,31) ton
Biji kopi HS (0,21 – 0,24) ton Kadar air 12 – 12,5%
Pengupasan kering kulit kopi HS
Kulit tanduk & kulit ari (0,03 – 0,05) ton
Biji kopi beras (0,18 – 0,19) ton
Gambar 45 Neraca massa proses pengolahan kopi perlakuan minimisasi air 4,0
600 500
3,0
400
2,5
2,0
300
1,5
Pulp (kg)
Volume air (m3/ton)
3,5
200
1,0 100
0,5 0,0
0 58
66
67
72
72 73 77 Persentase minimisasi Pengupasan Pencucian
79 Pulp Kupas
85 Pulp Cuci
Gambar 46 Volume air dan pulp yang dihasilkan pada perlakuan minimisasi
138
Tabel 16 Perbandingan penggunaan air pengolahan kopi di berbagai negara Pengolahan Kopi
Negara
Semi basah, olah basah India Olah basah, reuse air proses Kenya
Penggunaan air (m3/ton buah) 3 4–6
Olah basah dan pengolahan lingkungan (Becolsub) Olah basah, reuse dan recycling air Semi basah dan olah basah
Colombia
1–6
Papua New Guinea Vietnam
4–8
Olah basah tradisional
Vietnam
20
Olah basah tradisional Semi basah, pengupasan mekanis (demucilager) Semi basah, pengupasan mekanis (demucilager) Olah basah tradisional Olah basah, reuse air Olah basah tradisional
Vietnam Brazil
14 -17 4
Mexico
3-4
Nicaragua Nicaragua Indonesia
4 – 15
16 11 16 - 18
Sumber Murthy et al.,(2004) Von Enden & Calvert, (2002) Von Enden & Calvert, (2002) Von Enden & Calvert, (2002) Von Enden & Calvert, (2002) Von Enden & Calvert (2002) Deepa et al. (2000) De Matos et al (2001) Mendoza & Rivera (1998) Biomat (1992) Grendelman (2006) Yahmadi (1972)
Limbah padat (pulp) yang dihasilkan dari perlakuan minimisasi air pada proses pengupasan menunjukkan tren sama dengan volume air proses (Gambar 46). Semakin sedikit air yang digunakan, semakin sedikit pulp yang keluar ke penampungan. Pulp tidak terkupas sempurna dan terbawa ke penampungan biji kopi. Sebaliknya perlakuan minimisasi air proses pencucian tidak mempengaruhi volume limbah padat, karena pulp yang dihasilkan adalah sisa proses pengupasan yang terbawa oleh air dan lendir. Hasil ini mendukung analisis varian dan uji lanjut Duncan pada masing-masing proses. Berdasarkan hasil analisis varian dan uji lanjut Duncan volume air minimum yang dapat diterapkan pada proses pengolahan kopi adalah perlakuan K2 untuk proses pengupasan dan C2 untuk proses pencucian. Kombinasi perlakuan K2C2 membutuhkan total volume air proses rata-rata adalah 2,452 m3/ton buah kopi atau persentase minimisasi air total sebesar 73%. Dengan demikian nilai ini masih lebih rendah dibandingkan total volume air yang dibutuhkan pada proses pengolahan basah di Vietnam, India, Kenya, Papua New Guinea, dan Nicaragua. Meskipun demikian analisis mutu fisik biji kopi hasil perlakuan dibutuhkan untuk mengetahui pengaruh lebih lanjut perlakuan minimisasi air.
139
6.3.2. Analisis Mutu Biji Kopi Karakteristik bahan baku biji kopi yang diamati pada penelitian ini meliputi kadar air, ukuran biji, mutu fisik dan cita rasa. Analisis mutu fisik biji kopi dilakukan pada 2 tahapan perlakuan penelitian, yaitu: (a) analisis mutu fisik hasil perlakuan tahap pertama yaitu minimisasi air proses pengupasan dan pencucian, (b) analisis mutu fisik dan cita rasa (cup test) hasil perlakuan tahap kedua yaitu minimisasi air proses pencucian dibandingkan dengan biji kopi olah kering dan biji kopi hasil pengolahan rakyat. Pengujian mutu fisik biji kopi mengacu pada SNI No.01-2907-2008 yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional untuk menetapkan penggolongan dan persyaratan mutu fisik biji kopi Robusta. Uji cita rasa kopi (cup test) dilakukan oleh panelis ahli dan terlatih yang telah berpengalaman dan bersertifikasi dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Biji kopi olah kering dan biji kopi olah basah dari Kebun Sidomulyo dianalisis sebagai kontrol perlakuan pengolahan yang dilakukan rakyat. Masingmasing sampel biji kopi HS dan gelondong kering diambil sebanyak ± 1,5 - 2 kg untuk pengujian mutu fisik dan uji cita rasa (cup test).
Biji kopi HS dan
gelondong kering yang telah melalui proses penjemuran dikupas menggunakan huller, kemudian masing-masing perlakuan diambil sampel sebanyak 300 kg untuk pengujian mutu fisik. Setelah dilakukan pemisahan biji cacat pada uji mutu fisik, biji kopi disangrai untuk seterusnya dilakukan uji cita rasa (cup test). Berdasarkan hasil pengukuran, biji kopi yang berasal dari Kebun Kaliwining dan Kebun Rakyat Sidomulyo termasuk kategori kecil. Kadar air biji kopi hasil perlakuan minimisasi dan biji kopi olah basah yang berasal dari Kebun Sidomulyo diusahakan berada pada kisaran 12%. Kadar air merupakan salah satu sifat fisik yang akan mempengaruhi mutu kopi, berkaitan dengan daya simpan untuk mencegah perubahan warna, tumbuhnya jamur, dan mikroorganisme lainnya. Perlakuan minimisasi air tidak menunjukkan perbedaan kadar air secara signifikan. Menurut Wibowo (1985), kadar air 12% dengan toleransi 1% merupakan batasan yang dapat menjamin keamanan selama penyimpanan karena pada kondisi tersebut pertumbuhan jamur minimal. Kadar air aman untuk penyimpanan adalah 11,62% pada suhu 30oC atau 11,24% pada suhu 35oC (Atmawinata 1995).
140
Sebaliknya biji dengan kadar air lebih rendah daripada 9% (terlalu kering) akan menyebabkan kerusakan cita rasa dan warna (Sivetz dan Desrosier 1979). Dengan demikian, untuk menjamin kemantapan penyimpanan biji kopi, akan lebih baik apabila pengeringan dilakukan hingga kadar air biji kopi maksimum sebesar 11%. Berdasarkan SNI 01-2907-2008 (BSN 2008), cacat kopi adalah; (a) adanya benda asing yang bukan berasal dari kopi, (b) adanya benda asing yang bukan biji kopi, seperti potongan kulit kopi, (c) bentuk biji yang tidak normal dari segi kesatuannya (integritasnya), (d) biji yang tidak normal dari visualisasinya seperti biji hitam, dan (e) biji yang tidak normal yang menyebabkan cacat rasa setelah disangrai dan diseduh. Wibowo (1985) membagi jenis cacat atau kerusakan biji kopi menjadi (1) kerusakan sejak dari kebun, (2) kerusakan selama pengolahan, dan (3) adanya benda asing yang bukan biji kopi. Adapun hasil penelitian ini disajikan pada uraian berikut. a.
Analisis Mutu Fisik Biji Kopi Minimisasi Tahap 1. Minimisasi air proses pengupasan dan pencucian berpengaruh signifikan
terhadap volume limbah cair yang dihasilkan. Volume air proses pengupasan sebaiknya dilakukan antara 0,731–0,784 m3/ton buah kopi (74%) karena berpengaruh terhadap jumlah biji dan proses pengupasan. Perlakuan minimisasi pencucian tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah biji dan limbah padat yang dihasilkan. Akan tetapi diperkirakan berpengaruh terhadap mutu biji kopi. Minimnya air pada proses pengupasan diperkirakan mempengaruhi kinerja pulper untuk memisahkan pulp dan biji kopi sehingga jumlah biji cacat meningkat. Demikian pula pada proses pencucian dimana air sangat dibutuhkan untuk menghilangkan lendir yang menempel pada biji kopi. Apabila air yang digunakan sangat sedikit, lendir tidak sepenuhnya tercuci sehingga mempengaruhi kebersihan biji kopi.
Dengan demikian apabila total air pengupasan dan
pencucian semakin sedikit, akan memperbesar nilai cacat. Mutu fisik biji kopi hasil perlakuan minimisasi air pada proses pengupasan dan pencucian berada pada kelas mutu 4 dan 5 (SNI 01-2907-2008). Kelas mutu 4A memiliki jumlah nilai cacat maksimum 45 – 60. Kelas mutu 4B memiliki jumlah nilai cacat maksimum 61 – 80. Kelas mutu 5 memiliki jumlah nilai cacat
141
maksimum 81 – 150. Perlakuan minimisasi air pada proses pengupasan dan pencucian menunjukkan terjadinya penurunan mutu pada persentase minimisasi air sebesar 77, 79, dan 85% (Gambar 47). Tabel 17 Mutu fisik biji kopi perlakuan proses pengupasan dan pencucian No
Jenis Cacat
1
Persentase Minimisasi Air 1 biji hitam
58% 4
67% 9
72% 10
66% 12
73% 7
77% 9
72% 5
79% 9
85% 8
2
1 biji hitam sebagian
6,5
5
7,5
3
5
4
4
5
4,5
3
1 biji hitam pecah
0
4
8,5
1
5
6,5
6
7,5
9
4
1 kopi gelondong
10
10
20
8
11
27
11
16
28
5
1 biji coklat
1,75
1,25
1,75
3
3,5
5
5,5
5
8,75
6
1 kulit kopi ukuran besar
2
0
1
0
0
3
4
3
4
7
1 kulit kopi ukuran sedang
3
4
6
2,5
4
9
4
7,5
4
8 9
1 kulit kopi ukuran kecil 1 biji berkulit tanduk
2,4 5
2,6 5,5
4 6,5
2,4 4,5
5,6 7.5
7 12,5
7,4 12
9 12,5
18 17,5
10
1 kulit tanduk ukuran besar
0
0
0
0
0
0,5
0,5
0,5
4,5
11
1 kulit tanduk ukuran sedang
0
0
0
0
0,4
0,4
0,2
0,2
2,6
12
1 kulit tanduk ukuran kecil
0
0
0,1
0,4
0,2
0,5
0,2
0,6
1
13
1 biji pecah
6,8
7,4
7,6
10
11
14
13,6
15,6
21
14
1 biji muda
2
1,6
1,8
4
2
2
1,8
2
3,2
15
1 biji berlubang satu
0,2
0,1
0,1
0
0
0,1
0,3
0,2
0,1
16
1 biji berlubang lebih dari satu 1 biji bertutul-tutul
0,2
0
0,4
0,2
0
0,4
0
0,2
0,2
0
0,5
0,7
0
0,5
1,5
0
0,5
1,6
1 ranting, tanah atau batu berukuran besar 1 ranting, tanah atau batu berukuran sedang 1 ranting, tanah atau batu berukuran kecil
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4
0
2
2
2
0
1
1
2
1
2
1
1
1
2
44,85
51,95
77,95
56,00
64,70
105,40
78,50
97,30
137,95
4A
4A
4B
4A
4B
5
4B
5
5
17 18 19 20
Total Nilai Kategori Mutu
Jumlah Nilai Cacat
Hasil análisis mutu fisik biji kopi menunjukkan kesimpulan yang tidak jauh berbeda dengan hasil análisis uji lanjut Duncan.
Minimisasi air pada tahap
pengupasan dan pencucian masih dapat dilakukan pada perlakuan K2 dan C2. Meskipun nilai mutu yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan biji kopi dengan air maksimum, tetapi mutu biji kopi berada dalam kategori mutu sedang (4B).
142
Nilai Cacat
4,0
Total Air
140
3,5
5
Total Nilai Cacat
120
100
2,5
5
5
80
40 20
4A
1,5
4B
4A
4A
2,0
4B
4B
60
3,0
1,0
Total Air Proses (m3/ton)
160
0,5
0
0,0
58
66
67
72 72 73 77 Persentase Minimisasi (%)
79
85
Gambar 47 Hubungan minimisasi air dan nilai mutu Perlakuan minimisasi air mempengaruhi persentase cacat biji kopi karena pengolahan (Gambar 48).
Berdasarkan kategori Wibowo (1985), kerusakan
selama pengolahan yang dapat menimbulkan cacat biji kopi adalah biji pecah, biji bertutul-tutul, biji berkulit tanduk dan biji coklat.
Biji pecah dikategorikan
sebagai biji cacat, karena jika disangrai bersama dengan biji utuh kemungkinan akan memberikan rasa terbakar pada kopi seduhan.
Nilai cacat biji pecah
menempati persentase terbesar yang hampir terjadi di setiap perlakuan (Gambar 49). Cacat biji pecah dapat terjadi pada saat proses pengupasan kulit buah kopi (pulping) karena karakteristik fisik buah kopi yang beragam dalam bentuk dan ukuran (Wahyudi et al. 1999). Proses sortasi ukuran awal pada buah kopi sebelum pulping dapat membantu mengurangi cacat biji karena pengolahan. 100%
4A
4A
4A
58
66
67
4B
4B
4B
5
5
5
Persentase Cacat
80%
60%
40%
20%
0%
72 72 73 77 79 85 Persentase Minimisasi Air Cacat dari kebun Cacat karena pengolahan Benda asing
Gambar 48 Persentase cacat biji kopi perlakuan minimisasi air tahap 1
143
60
Persentase cacat (%)
50 40 30 20 10 0
58
66
67
72
72
73
77
79
85
Biji bertutul-tutul
0,00
0,00
0,96
0,90
0,00
0,77
1,42
0,51
1,16
Biji pecah
15,16
17,86
14,24
9,75
17,32
17,00
13,28
16,03
15,22
Biji berkulit tanduk
11,15
8,04
10,59
8,34
15,29
11,59
11,86
12,85
12,69
Biji coklat
3,90
5,36
2,41
2,25
7,01
5,41
4,74
5,14
6,34
Kopi gelondong
22,30
14,29
19,25
25,66
14,01
17,00
25,62
16,44
20,30
Persentase Minimisasi Air (%)
Gambar 49 Persentase cacat biji kopi karena pengolahan dengan minimisasi air tahap 1 Cacat biji pecah juga dapat terjadi selama pengupasan kulit majemuk, sebagaimana cacat biji berkulit tanduk. Cacat ini dapat terjadi jika kerja huller tidak sempurna, karena kadar air biji kopi HS yang lebih dari 12%. Menurut Mulato et al. (2006), mesin pengupas biji kopi HS terutama dirancang untuk mengupas biji kopi HS dengan kadar air mendekati 12%. Jika kadar air makin tinggi, kapasitas pengupasan akan turun, dan jumlah biji pecah akan sedikit meningkat. Kadar air berpengaruh pada ukuran biji kopi. Makin tinggi kadar air biji kopi, ukuran bijinya semakin besar. Oleh karena itu, lebar celah, dan ukuran saringan perlu dimodifikasi jika mesin pengupas tersebut akan dipakai untuk mengupas biji kopi dengan kadar air yang masih tinggi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengupasan sebaiknya dilakukan pada biji kopi yang telah dingin karena sifat fisiknya telah stabil. Biji kopi hasil pengeringan sebaiknya dianginkan [tempering] dahulu selama 24 jam. Cacat biji coklat umumnya terjadi karena pengeringan yang tidak benar, buah terlalu masak atau fermentasi yang berlebihan (over fermented) terutama ditemui pada biji kopi dengan perlakuan air pencucian paling minimum (C3). Hal ini diperkirakan terjadi karena lapisan lendir pada biji kopi perlakuan C3 tidak sepenuhnya hilang pada saat proses pencucian.
Lendir terutama mengandung
senyawa gula yang memiliki sifat higroskopis (menyerap air). Oleh karena itu
144
apabila biji kopi masih mengandung lendir yang tidak sepenuhnya hilang pada saat proses pencucian, biji kopi cenderung lembab yang dapat menghambat proses pengeringan. Gula juga menjadi media tumbuh bakteri yang sangat baik sehingga dapat merusak mutu biji kopi. Lendir juga dapat menyebabkan kotoran non kopi mudah lengket sehingga menghalangi proses pengeringan dan menyebabkan kontaminasi. Menurut Von Enden dan Calvert (2002), konsep dasar pengolahan basah pada kopi adalah menghilangkan lapisan lendir buah kopi untuk meningkatkan mutu biji. Oleh karena itu, semakin minim air pencucian yang digunakan, akan mempengaruhi mutu biji kopi. Akan tetapi semakin besar air pencucian yang digunakan akan meningkatkan volume pencemaran.
Berdasarkan kondisi
tersebut, penelitian ini berusaha mendapatkan volume air proses yang optimum dalam perlakuan minimisasi air. Menurut Yusianto dan Mulato (2002), kadar air awal biji yang beragam juga akan menyebabkan proses pengeringan tidak sempurna, sehingga terjadi cacat biji coklat. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya biji coklat, sebaiknya kadar air biji kopi diseragamkan terlebih dahulu misalnya dengan melakukan pengeringan awal (pre-drying) sebelum dimasukkan ke pengering mekanis. Pengeringan dengan suhu tinggi yang terlalu lama sebaiknya dihindari, agar tidak menimbulkan warna permukaan biji kopi kecoklatan. Cacat kopi gelondong cukup dominan terjadi yang diakibatkan proses pengupasan buah (pulping) yang tidak sempurna. Cacat kopi gelondong sangat tidak disukai konsumen, karena rasa pulp yang dominan dapat menimbulkan rasa serat terbakar pada kopi seduhan. b.
Analisis Mutu Fisik Biji Kopi Minimisasi Air Tahap 2. Perlakuan minimisasi air tahap pertama pada proses pengolahan kopi
menunjukkan pengaruh terhadap mutu fisik biji kopi. Batas minimisasi air pada tahap pengupasan buah kopi dari hasil penelitian berkisar antara 0,73 - 0,78 m3/ton buah kopi (74%). Adapun perlakuan minimisasi air pada proses pencucian menunjukkan perbedaan mutu fisik untuk volume air di bawah 1,54 – 1,81 m3/ton biji kopi (70%).
145
Tabel 18 Mutu fisik biji kopi perlakuan minimisasi air proses pencucian No
Jenis Cacat Persentase Minimisasi Air
Jumlah Nilai Cacat 38a
50a
67a
73a
27b
50b
64b
73b
WPS mo
DPK wg
DPS mo
1
1 biji hitam
4
11
7
10
9
16
23
14
8
21
32
2
1 biji hitam sebagian
15
9
16
11
17
19,5
25,5
16
9
3
33
3
1 biji hitam pecah
0
2,5
0,5
8,5
4
4,5
3,5
6
8,5
3
9
4
1 kopi gelondong
12
12
11
10
30
26
21
14
0
44
0
5
1 biji coklat 1 kulit kopi ukuran besar 1 kulit kopi ukuran sedang 1 kulit kopi ukuran kecil
5,75
6
5
1,75
3
5,25
4
8,5
3,5
0,5
7,5
0
4
0
6
0
0
0
7
1
0
0
6,5
7
7
6
4
7,5
2,5
9,5
0
2
0,5
6,2
7,6
7,6
4,6
22,4
16,8
11
7,2
0,6
15,2
0,4
1 biji berkulit tanduk 1 kulit tanduk ukuran besar 1 kulit tanduk ukuran sedang 1 kulit tanduk ukuran kecil 1 biji pecah 1 biji muda 1 biji berlubang satu 1 biji berlubang lebih dari satu 1 biji bertutul-tutul 1 ranting, tanah atau batu berukuran besar 1 ranting, tanah atau batu berukuran sedang 1 ranting, tanah atau batu berukuran kecil Total Nilai
7,5
6
4,5
6,5
6
1,5
8,5
4
9
0,5
0
0
0,5
0
0
0
0,5
0
0
5
0
0
0
0,2
0
0
0
0,2
0
0
2,4
0
0
0
0,1
0,2
0,2
0
0,2
0
0
0,9
3,6
0
6,4 7,2 0,2
5 5,8 0
10,6 7 0
9 5,8 0
7,4 6 0,1
9 7,2 0,2
8 12,2 0,1
10 7,4 0
6,6 1 0
74,6 8,2 1,5
21,8 4,6 6,4
0,2
0
0,4
0,6
0
0,4
0,4
0
0,2
5
12,6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
20
0
2
0
0
2
0
0
0
0
10
0
0
1
2
0
0
1
0
1
0
2
4
70,95
79,7
78,8
79,95 110,9 115,8 119,7 104,6
55,7
199,1 151,8
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kategori Mutu 4B 4B 4B 4B 5 5 5 5 4A 6 Keterangan: DP: Kopi olah kering WP : Kopi olah basah Kwg: Kebun Kaliwining (Puslitkoka) Smo: KUPK Sidomulyo WPSmo: penurunan air 26% a: periode panen puncak b: periode panen rampasan
Untuk mengetahui lebih lanjut pengaruh minimisasi air proses pencucian terhadap mutu biji kopi dilakukan analisis mutu fisik dan cita rasa biji kopi hasil perlakuan proses pencucian pada tahap minimisasi air kedua. Volume air proses pengupasan diupayakan konstan dengan persentase penurunan 74%. Volume air proses pencucian dengan persentase penurunan 57, 70, 0, dan 35 %. Penurunan 57 dan 70% diulang kembali pada minimisasi air tahap kedua.
6
146
Pada tahap perlakuan ini juga dilakukan perlakuan minimisasi air untuk buah kopi yang berasal dari periode panen rampasan. Buah kopi panen rampasan adalah buah kopi yang dipanen pada saat akhir panen, dimana buah tersisa di pohon dipanen seluruhnya untuk memutus siklus hama buah kopi.
Menurut
Ciptadi dan Nasution (1985) ; (Mulato et al. 2006), perlakuan saat panen dapat mempengaruhi mutu kopi, dimana buah kopi yang dipanen saat panen rampasan diperkirakan memiliki karakteristik mutu yang lebih rendah dibandingkan dengan buah kopi yang dipanen saat panen raya. Kopi olah kering dan olah basah dari KUPK Sidomulyo merupakan kontrol terhadap perlakuan. Pada biji kopi hasil pengolahan basah di Kebun Sidomulyo (WP Smo) jumlah cacat yang ditemui lebih sedikit dibandingkan biji kopi dari Kebun Kaliwining (Gambar 50). Biji kopi yang berasal dari masa panen rampasan memiliki jumlah cacat lebih besar dibandingkan biji kopi yang berasal dari masa panen puncak. Hal ini karena mutu buah kopi dari Kebun Sidomulyo maupun Kebun Kaliwining pada masa panen puncak lebih baik dibandingkan mutu buah kopi masa panen rampasan. 250
8,0 7,0
Kontrol
6,0
Total Nilai Cacat
6
5,0
150
6 100
5 50
4B
4B
4B
5
4,0 3,0
5 5
2,0
4B
4A
0
Total Air Proses (m3/ton)
Panen Rampasan (Akhir)
Panen Puncak 200
1,0 0,0
38
50
67
73
27
50
Persentase Minimisasi Air (%)
64
73
DKwg Dsmo Wsmo
Total Nilai Cacat
Total Air Proses
Gambar 50 Mutu biji kopi antar perlakuan, jenis proses dan periode panen Perlakuan air yang lebih besar tidak sepenuhnya dapat meningkatkan mutu biji kopi apabila bahan baku yang diolah memiliki mutu rendah. Mutu biji kopi dipengaruhi oleh mutu buah kopi sejak di kebun. Buah kopi pada perlakuan tahap kedua memiliki persentase cacat yang timbul dari kebun lebih besar dibandingkan
147
buah kopi pada perlakuan tahap pertama (Gambar 51). Mutu biji kopi perlakuan olah basah tahap kedua lebih rendah (4B) dibandingkan mutu biji kopi perlakuan olah basah pada perlakuan tahap pertama (4A). Meskipun demikian perlakuan modifikasi olah basah menghasilkan mutu biji kopi yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan olah kering (Gambar 51). Hal ini diperkirakan terjadi karena adanya sortasi buah merah yang selektif, proses fermentasi dan tahapan proses yang tepat menjamin keseragaman mutu biji dan cita rasa kopi dari perlakuan olah basah.
Panen Puncak
100
Persentase Cacat (%)
4B
Panen Rampasan (Akhir)
4B
4B
4B
50
67
73
80
Kontrol 6
5
5
5
5
27
50
64
73
6
4A
60 40 20 0 38
DKwg
Dsmo Wsmo
Cacat karena pengolahan
Benda asing
Persentase Minimisasi Air (%) Cacat dari kebun
Gambar 51 Persentase cacat biji kopi perlakuan minimisasi air pencucian Biji kopi yang mendapat perlakuan olah basah memiliki pola cacat cenderung seragam dibandingkan biji kopi yang berasal dari proses pengolahan kering, meskipun berasal dari kebun kopi berbeda (Gambar 51). Sebaliknya pada kopi yang diolah menggunakan proses pengolahan kering, cacat biji kopi dapat memiliki pola berbeda. Hal ini dimungkinkan karena buah kopi yang diolah dengan proses olah basah melalui tahap sortasi awal untuk memilih buah kopi merah yang layak untuk diolah. Selanjutnya buah kopi yang tidak memenuhi syarat untuk diolah dengan proses basah, diolah dengan proses kering pada biji.
148
Persentase Cacat (%)
70
Panen Puncak
Kontrol
Panen Akhir (Rampasan)
60 50 40 30 20 10 0 38
50
67
Biji bertutul-tutul
0,00
0,00
Biji pecah
9,02
6,27
Biji berkulit tanduk 10,57
7,53
5,71
DKw g
Dsm o
Wsm o
73
27
50
64
73
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
13,45
11,26
6,67
7,78
6,68
9,56
37,47
14,36
11,85
8,13
5,41
1,30
7,10
3,82
0,25
0,00
16,16
Biji coklat
8,10
7,53
6,35
2,19
2,71
4,54
3,34
8,13
0,25
4,94
6,28
Kopi gelondong
16,91
15,06
13,96
12,51
27,05
22,46
17,54
13,38
22,10
0,00
0,00
Persentase Minimisasi Air (%)
Gambar 52 Persentase cacat biji kopi karena pengolahan dengan minimisasi air tahap kedua Cacat kopi gelondong, biji pecah, dan biji berkulit tanduk adalah cacat dominan yang ditemui pada buah kopi dengan perlakuan olah basah (Gambar 52). Mutu buah kopi dari Kebun Kaliwining yang dianalisis pada perlakuan ulangan kedua diperkirakan mengalami penurunan sejak dari kebun dibandingkan buah kopi pada perlakuan tahap pertama, sehingga nilai mutunya menurun. Buah kopi hasil pengolahan kering umumnya hanya didominasi oleh 2 jenis cacat yaitu cacat biji pecah dan kopi gelondong.
Buah kopi olah kering dari Kebun
Kaliwining sebagian besar merupakan buah kopi yang tidak lolos tahap sortasi awal untuk proses olah basah. Oleh karena itu mutu buah kopi ini jauh berbeda dengan mutu buah kopi olah basah.
Adapun buah kopi olah kering KUPK
Sidomulyo merupakan buah kopi hasil panen yang langsung diolah tanpa proses sortasi. Karakteristik cacat biji kopi hasil olah kering dari Kebun Sidomulyo dan Kebun Kaliwining memiliki pola yang sedikit berbeda. Pada biji kopi Kebun Kaliwining, buah kopi yang tidak layak diolah secara basah, diolah kering. Pengeringan terutama dilakukan di atas lantai jemur semen yang diberi alas plastik/terpal. Apabila cuaca tidak memungkinkan untuk melakukan penjemuran, proses pengeringan dilanjutkan menggunakan pengering mekanis, sehingga kadar air biji kopi terkontrol.
149
Buah kopi dari Kebun Sidomulyo yang diolah dengan proses kering umumnya mengalami tahap pemecahan buah terlebih dahulu sebelum dijemur (buah pecah kulit). Proses pemecahan buah kopi menggunakan alat pemecah sederhana (kneuzer). Setelah dipecah, buah kopi dijemur di atas alas plastik/terpal atau lantai jemur semen. Lama penjemuran kopi pecah kulit ini biasanya antara 8 – 10 hari ter gantung cuaca. Pada tahap pengeringan, buah kopi yang dijemur di lantai jemur harus dibolak-balik atau digaruk agar kering merata. Menurut Ismayadi dan Zaenudin (2003), proses pengolahan dengan pemecahan buah (kopi pecah kulit) lebih higienis dan cepat dibandingkan cara pengolahan biasa tanpa pemecahan buah. Akan tetapi pada daerah yang relatif basah atau sering terjadi hujan, proses pengeringan dengan pemecahan buah rawan terhadap kerusakan biji karena serangan jamur. Buah kopi yang telah dipecah tidak dapat dijemur di atas permukaan tanah karena akan menjadi kotor dan kusam. Selain itu kopi tidak dapat disimpan dalam bentuk masih berkulit. Oleh karena itu kopi hasil penjemuran biasanya langsung dikupas dengan mesin huller portabel atau yang dipasang pada rangka mobil. Menurut Yusianto dan Mulato (2002), penilaian biji kopi berdasarkan sifat fisik tidak sepenuhnya dapat menjamin mutu seduhan, tetapi dapat mengantisipasi sebagian besar cacat citarasa seduhan kopi.
Kesalahan-kesalahan prakiraan
citarasa seduhan kopi berdasarkan sifat fisik dapat diperkecil dengan uji seduhan (cup test).
Bagaimanapun, hasil olahan akhir kopi adalah berupa seduhan,
sehingga uji seduhan merupakan pelengkap yang sangat penting dari semua cara uji yang telah ada meskipun masih belum dapat distandardisasi. c.
Analisis Cita Rasa (Cup Test) Kopi Perlakuan Minimisasi Tahap Kedua. Biji kopi hasil pengolahan merupakan bahan dasar utama seduhan kopi. Uji
seduhan atau cita rasa (cup test) kopi Robusta meliputi pengujian fragrance, aroma, flavor, body, bitterness, astringency, aftertaste, clean cup, balance, dan preference. Uji cita rasa terutama dilakukan oleh panelis ahli dan panelis terlatih. Uji cita rasa cenderung subyektif, tergantung pada keahlian panelis dan pelatihan yang telah dilakukan. Uji cita rasa terutama dilakukan untuk mengevaluasi profil aroma dan flavor dari kopi. Meskipun demikian uji cita rasa juga dapat digunakan untuk mengevaluasi adanya cacat pada kopi atau untuk membuat campuran kopi.
150
Q.Fragrance
Q.Aroma
I. Fragrance
I.Aroma
10 Panen Puncak
Panen Akhir (Rampasan)
Kontrol
8
Nilai Uji
6 4 2
0 38
50
67
73
27
50
64
73
DKwg
Dsmo Wsmo
Persentase Minimisasi Air (%)
Gambar 53 Uji cita rasa untuk fragrance dan aroma kopi Keterangan: Q = kualitas, I = intensitas
Hasil uji cita rasa untuk masing-masing perlakuan minimisasi air tahap 2 disajikan pada Gambar 53, Gambar 54, Gambar 55, dan Gambar 56. Fragrance adalah aroma kopi sangrai.
Adapun aroma dinilai setelah kopi
sangrai ditambahkan air panas ke dalam cangkir seduhan.
Aroma kopi
mempengaruhi semua atribut flavor kopi kecuali rasa di mulut, rasa manis, asin, pahit, dan asam yang dapat dirasakan langsung oleh lidah. Aroma kopi terutama muncul karena kandungan senyawa-senyawa volatil aromatik yang dapat dirasakan hidung (Moreno et al. 1995). Intensitas menunjukkan banyaknya rasa yang ada dalam cangkir kopi, yang berkisar sangat kuat hingga sangat ringan. Intensitas juga menunjukkan kuat lemahnya penginderaan terhadap rasa yang ada dalam cangkir kopi. Adapun kualitas menunjukkan perbedaan kualitas, keserasian ataupun keharmonisan rasa. Fragrance dan aroma kopi Robusta dari musim panen raya cenderung meningkat karena perlakuan olah basah dibandingkan kopi yang berasal dari olah kering. Meskipun tidak menunjukkan perbedaan signifikan antar perlakuan. Perlakuan minimisasi air menunjukkan terjadinya peningkatan kualitas dan intensitas fragrance maupun aroma kopi sangrai kecuali pada buah kopi yang berasal dari panen rampasan. mempengaruhi cita rasa kopi bubuk.
Perbedaan mutu fisik biji kopi ternyata
151
Q.Flavor
10
Body
Panen Puncak
I.Flavor
Bitterness Kontrol
Panen Rampasan
Nilai Uji
8 6 4 2
0 38
50
67
73
27
50
64
73
DKwg
Dsmo
Wsmo
Persentase Minimisasi Air (%)
Gambar 54 Uji cita rasa untuk flavor, body dan bitterness kopi Keterangan: Q = kualitas, I = intensitas
Hasil uji seduhan untuk flavor dan body (Gambar 54) menunjukkan pola yang tidak jauh berbeda dengan uji fragrance dan aroma. Flavor menggambarkan rasa kopi.
Flavor merupakan gabungan dari seluruh penilaian kualitas kopi
mencakup body, asiditas, dan aroma. Body merupakan rasa atau persepsi yang menggambarkan tekstur kopi secara fisik di mulut. Sensasi kekayaan tekstur dan rasa menunjukkan nilai body dari kopi. Bitterness adalah rasa pahit yang menjadi ciri khas kopi. Pada tingkat rendah, rasa pahit membantu mengurangi keasaman kopi dan menambah dimensi rasa minuman. Namun pada tingkat tinggi, senyawa yang menimbulkan rasa pahit kopi dapat mengalahkan komponen rasa yang lain dan menghasilkan efek tidak menyenangkan. Kepahitan berkorelasi dengan total padatan terlarut pada kopi. Kualitas dan intensitas flavor serta nilai body cenderung meningkat pada perlakuan dengan air yang minimum, meskipun perbedaannya tidak signifikan. Menurut Sulistyowati (2001), kopi Robusta memiliki body yang lebih tinggi meskipun aroma dan perisanya lebih rendah dibandingkan kopi Arabika. Nilai bitterness pada Kopi Sidomulyo lebih tinggi daripada Kopi Kaliwining. Menurut Sivetz dan Foote (1973); Ciptadi dan Nasution (1985), bitter adalah rasa pahit yang tidak enak seperti kina. Bitter merupakan ciri khas kopi Robusta karena kandungan kafein yang tinggi dan aromanya yang tidak sekuat Arabika.
152
Terdapat perbedaan pola biji kopi hasil perlakuan olah basah (dari Kebun Kaliwining) dan biji kopi dari Kebun Sidomulyo (Wsmo). Biji kopi Kaliwining hasil pengolahan basah memiliki pola bitterness yang menurun dan peningkatan body kecuali pada kopi yang berasal dari panen rampasan, meskipun perubahannya tidak signifikan.
Sebaliknya, biji kopi Sidomulyo pengolahan
basah menunjukkan peningkatan bitterness dan body dengan perubahan cukup signifikan. Akan tetapi, body yang merupakan ciri khas kopi Robusta, rata-rata menunjukkan peningkatan karena pengolahan basah. Clifford dan Wilson (1985) menyatakan bahwa proses pengolahan kopi secara basah atau kering tidak mempengaruhi bitterness dari kopi.
Namun demikian hasil yang diperoleh
menunjukkan perbedaan nyata. Hal ini diperkirakan karena bitterness terutama dipengaruhi oleh kandungan padatan terlarut pada kopi, kafein, dan asam klorogenat (chlorogenic acid) yang juga mempengaruhi astringency kopi. Astringency
10
Q.Aftertaste
Panen Puncak
I.Aftertaste
Clean cup
Panen Rampasan
Kontrol
Nilai Uji
8 6
4 2 0 38
50
67
73
27
50
64
73
DKwg
Dsmo
Wsmo
Persentase Minimisasi Air
Gambar 55 Uji cita rasa untuk astringency, aftertaste, dan clean cup kopi Keterangan: Q = kualitas, I = intensitas
Uji cita rasa juga dilakukan pada parameter astringency, aftertaste, dan clean cup (Gambar 55.).
Menurut Ciptadi dan Nasution (1985), astringent
adalah flavor yang menyebabkan wajah mengkerut karena sepat. Astringency, merupakan sebuah rasa yang kering, asam, asin dan umumnya menimbulkan sensasi tidak menyenangkan yang terdeteksi sebagian besar sisi lidah. Konsumen dapat mengartikan astringency sebagai atribut asin ataupun atribut pahit. Aftertaste adalah suatu rasa yang tertinggal dimulai lebih lama dari biasanya
153
Clean cup menurut Sweet Maria’s Coffee Glossary
setelah meminum kopi.
(2011) mengacu pada flavor kopi yang bebas dari cacat dan tercemar. Misalnya bebas dari flavor buah terfermentasi, bebas dari aroma tanah, dan aroma kuat yang timbul dari cacat biji kopi. Sebagaimana bitterness, pola astringency kopi hasil pengolahan basah cenderung menurun.
Meskipun komponen yang terutama mempengaruhi
astringency adalah kafein dan chlorogenic acid, tetapi kepastian perubahan kedua komponen ini karena faktor pengolahan membutuhkan penelitian lebih lanjut. Selain itu, komponen kimia kopi lainnya meskipun dalam skala kecil turut mempengaruhi bitterness dan astringency. Pengolahan basah tidak merubah kualitas dan intensitas aftertaste pada kopi Kaliwining. Intensitas aftertaste kopi Sidomulyo juga tidak menunjukkan perubahan, akan tetapi kualitas aftertaste cenderung meningkat karena pengolahan basah.
Nilai clean cup pada Kopi
Sidomulyo menunjukkan kenaikan cukup signifikan dibandingkan Kopi Kaliwining. Preference
10 Panen Puncak
Balance Kontrol
Panen Rampasan
Nilai Uji
8 6 4
2 0 38
50
67
73
27 50 64 73 Persentase Minimisasi Air (%)
DKwg
Dsmo
Wsmo
Gambar 56 Uji cita rasa untuk balance dan preference kopi Parameter cita rasa kopi Robusta berikutnya adalah balance dan preference (Gambar 56).
Balance pada cup test menunjukkan adanya keharmonisan
ataupun keseimbangan terminologi rasa yang jelas dan sulit untuk diungkapkan. Keharmonisan juga menunjukkan adanya proporsionalitas dalam kualitas dan karakter yang mild/ringan tanpa adanya dominasi (Sweet Maria’s Coffee Glossary, 2011). Keseimbangan merupakan kombinasi antara flavor dan sensasi
154
tekstural atau antara aftertaste dan flavor pada kopi seduhan.
Preference
menunjukkan kesukaan ataupun kecenderungan terhadap kopi seduhan. Nilai preference dapat digunakan untuk menggambarkan keinginan atau pemilihan konsumen secara umum terhadap mutu kopi seduhan. Penilaian atribut balance dan preference menunjukkan pola seragam. Terdapat kecenderungan dari panelis ahli untuk memilih kopi hasil pengolahan basah.
Perlakuan minimisasi air pada proses pencucian biji kopi yang
menurunkan kesan clean cup pada kopi Kaliwining tidak mempengaruhi preference panelis.
Bahkan terdapat kecenderungan panelis memilih kopi
seduhan dari biji kopi dengan perlakuan air pencucian minimal (67%) yang ditunjukkan dengan nilai tinggi pada preference. Berdasarkan hasil uji mutu fisik, perlakuan minimisasi air 67% dan 73% merupakan pilihan untuk menerapkan modifikasi olah basah berbasis minimisasi air pada pengolahan kopi. Hasil uji cita rasa secara keseluruhan menunjukkan bahwa perlakuan minimisasi air tidak secara signifikan mempengaruhi mutu kopi seduhan.
Panelis tetap memilih kopi yang berasal dari hasil pengolahan basah
meskipun diolah dengan air minimal. Untuk mengetahui lebih jauh pengaruh pengolahan basah terhadap seduhan kopi digambarkan dalam bentuk diagram sarang (nest diagram).
64
73
choco, agak flat
50
medicinal, earthy
27
floral, herbal
73
Kontrol
choco, nuty, agak flat
67
astr a.taste, flat, mild
50
agak flat, clean
38
goog, bitt, a.taste, hi gh body, buttery
75
dirty, agak flat
80
Panen rampasan
choco, v.bitter, astringent
85
Choco, v.bitter, mild
Nilai Uji Cita Rasa
90
Cho, dirty, astr, a.taste, flat
Panen puncak
95
DKwg Dsmo Wsmo
Persentase Minimisasi Air (%) Gambar 57 Total penilaian uji cita rasa kopi
Total Nilai
155
Q.Aroma 8
Balance
6
Q.Flavor
4
2
Astringency
Preference
0
Clean
Bitterness Body 67%
DKwg
73%
Gambar 58 Diagram sarang cita rasa kopi olah kering dan olah basah terpilih Perlakuan minimisasi air 67% pada buah kopi yang diperoleh saat panen puncak menunjukkan nilai atribut flavor, balance dan aroma yang lebih baik dibandingkan kopi olah kering (DP Kwg) dan perlakuan minimisasi air 73% dari buah kopi saat panen puncak. Meskipun untuk atribut clean, ternyata kopi olah kering memiliki nilai lebih tinggi. Akan tetapi karena preference konsumen dan secara keseluruhan atribut perlakuan 67% lebih disukai dibandingkan sampel yang lain, maka perlakuan 67% menjadi pilihan untuk penerapan perlakuan olah basah dengan minimisasi air. Q.Aroma 8
Balance
6
Q.Flavor
4 2
Astringency
0
Clean
Preference
Bitterness
67% 73%
Body
38%
Gambar 59 Diagram sarang cita rasa kopi perlakuan minimisasi air terpilih
156
Q.Aroma 8 6
Balance
Q.Flavor
4
2 0
Clean
Preference
DSmo
Body
Bitterness
WSmo
Gambar 60 Diagram sarang cita rasa kopi olah kering dan olah basah Sidomulyo Perbandingan antara perlakuan minimisasi air dalam bentuk diagram sarang (Gambar 59) menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam aplikasi pengolahan basah yang menggunakan prinsip hemat air (67%, 73%) dan air yang lebih banyak (38%). Minimisasi air dapat dilakukan dengan batasan penggunaan air proses yang tidak menyebabkan kerusakan atau cacat biji pada saat pengolahan. Analisis cita rasa kopi Sidomulyo menunjukkan perbedaan yang signifikan penerapan pengolahan basah terhadap mutu kopi rakyat (Gambar 60). Secara keseluruhan, atribut cita rasa kopi olah basah (WP Smo) menunjukkan peningkatan cita rasa yang signifikan dibandingkan kopi olah kering (DP Smo). Pengolahan basah dapat meningkatkan cita rasa clean dan bright (Sulistyowati 2001). Akan tetapi jika pengolahan kurang baik, akan menimbulkan cacat cita rasa seperti sour dan fermented. Kopi hasil olah kering umumnya menghasilkan biji kopi dengan mutu tidak konsisten. Cita rasanya akan lebih baik bila sebelum pengeringan buah dipecah terlebih dahulu (Illy dan Viani 1995 diacu dalam Sulistyowati 2001), seperti yang dilakukan kebanyakan petani di Jawa Timur. Pengolahan kering yang kurang baik dapat menimbulkan cacat cita rasa, seperti earthy, mouldy, dan musty.
Akan tetapi bila pengolahan cara kering
dilakukan dengan baik, dapat menghasilkan body lebih tinggi (Sivetz dan Desrosier 1979).
157
6.3.3. Analisis Emisi Proses Pengolahan Kopi Modifikasi Olah Basah Analisis dilakukan untuk mengetahui perbedaan emisi bahan bakar yang dibuang ke lingkungan jika menggunakan 2 jenis bahan bakar yang berbeda yaitu solar dan biodiesel. Biodiesel merupakan campuran antara bahan bakar solar dan biofuel yang berasal dari residu pengolahan Crude Palm Oil (CPO) dengan perbandingan 80% : 20%. Pemilihan bahan bakar yang ramah lingkungan dapat meningkatkan keberlanjutan proses pengolahan terutama dari dimensi ekologi. Berdasarkan indikator keberlanjutan dimensi lingkungan, terdapat 3 indikator yang akan terpengaruh melalui penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan, yaitu (1) indikator manajemen energi, (2) indikator pengurangan polusi, dan (3) indikator penyimpanan karbon. Penggunaan bahan bakar biodiesel merupakan salah satu upaya mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar solar, yang akan meningkatkan nilai keberlanjutan indikator manajemen energi. Pengukuran emisi yang dihasilkan dari mesin pengupasan (pulper) dan pencucian (washer) dengan menggunakan 2 jenis bahan bakar yaitu solar dan biodiesel.
Tingkat emisi yang rendah dari bahan bakar biodiesel dapat
mengurangi dampak pencemaran udara dan efek rumah kaca. Penggunaan biodiesel pada proses pengupasan buah dan pencucian biji kopi mampu mengurangi tingkat emisi hingga 40% (Gambar 61.). Emisi Solar
Emisi CO2 (gr/ton)
5,0
Emisi Biodiesel
4,0 WASHER
PULPER 3,0
2,0 1,0
0,0 50
74
90
57
70
81
Persentase Minimisasi Air (%)
Gambar 61 Perbandingan penggunaan bahan bakar dan emisi CO2
158
Putaran mesin awal
Emisi CO2 (%)
80
Putaran mesin konstan
60
40 20
0 Solar
Biodiesel Pulper
Solar
Biodiesel Washer
Gambar 62 Perbandingan emisi CO2 pada putaran mesin Putaran mesin yang tinggi pada awal proses dapat meningkatkan emisi CO2 ke lingkungan hingga 50% terutama pada mesin pencucian (washer). Pemanfaatan biodiesel berpengaruh menurunkan tingkat emisi karena putaran mesin awal hingga 30% (Gambar 62). Penurunan emisi ke lingkungan berarti mengurangi polusi yang dapat meningkatkan nilai keberlanjutan. Upaya mengurangi emisi ke lingkungan dari proses pengolahan yang menggunakan pembakaran juga berarti upaya mengurangi terbuangnya gas karbondioksida ke udara yang merupakan bagian penilaian terhadap indikator penyimpanan karbon. Mengingat aspek penggunaan biodiesel pada desain proses pengolahan kopi yang berbasis produksi bersih ini masih merupakan studi awal, sehingga perlu dilakukan kajian lanjut mengenai pemanfaatan alternatif bahan bakar nabati ataupun energi ramah lingkungan lain yang dapat digunakan pada proses pengolahan kopi rakyat untuk meningkatkan status keberlanjutannya. 6.4. Kesimpulan Teknologi olah basah secara umum mampu meningkatkan cita rasa kopi seduhan apabila dibandingkan dengan pengolahan kering. Berdasarkan uji mutu fisik dan uji citarasa pada seduhan kopi, modifikasi teknologi olah basah dengan meminimalkan air proses dapat mempertahankan mutu kopi Robusta rakyat jika dibandingkan pengolahan basah konvensional. Perlakuan minimisasi air pada proses pengupasan maupun pencucian hingga taraf tertentu dapat dilakukan tanpa mempengaruhi mutu biji kopi.
Perlakuan minimisasi air proses pengupasan
159
hingga 74% dari volume air awal 3 m3 atau sebesar 0,784 m3/ton buah kopi dan minimisasi air proses pencucian hingga 57% atau kombinasi perlakuan menghasilkan penurunan minimisasi air total sebesar 67% (volume air 2,987 3,345 m3/ton buah kopi) merupakan batasan minimal air dalam pengolahan basah kopi.
Pada kombinasi perlakuan tersebut, cita rasa seduhan lebih disukai
dibandingkan kopi yang berasal dari perlakuan dengan volume air proses lebih banyak. Upaya pemanfaatan bahan bakar yang terbarukan atau biodiesel dalam pengolahan kopi basah terbukti mampu mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang dibuang ke lingkungan. Pemanfaatan biodiesel ataupun bahan bakar nabati yang lebih ramah lingkungan selanjutnya diharapkan mampu meningkatkan status keberlanjutan terutama pada dimensi lingkungan.
VII. PENANGANAN LIMBAH PROSES PENGOLAHAN KOPI RAKYAT BERBASIS PRODUKSI BERSIH
7.1. Pendahuluan Modifikasi proses pengolahan basah dengan perlakuan minimisasi air pada taraf tertentu mampu meningkatkan mutu kopi rakyat. Berdasarkan hasil analisis mutu fisik dan cita rasa diketahui bahwa perlakuan minimisasi air proses sebesar 67% dengan volume air rata-rata 3,012 m3/ton pada rentang 2,987 - 3,345 m3/ton menjadi pilihan yang dapat diterapkan oleh agroindustri rakyat.
Akan tetapi
perlakuan minimisasi air diperkirakan mempengaruhi konsentrasi limbah cair dan padat yang dihasilkan. Limbah cair adalah air yang telah dimanfaatkan dan harus diolah sebelum dibuang ke badan air, sehingga tidak menyebabkan pencemaran sumber air. Berdasarkan KepMen LH No. 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri, limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh kegiatan industri atau kegiatan usaha lainnya yang dibuang ke lingkungan yang diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan. Meskipun telah dilakukan upaya untuk mengurangi air proses pengolahan kopi, tetapi limbah cair dan limbah padat masih dihasilkan. Upaya penanganan limbah cair dan limbah padat dibutuhkan agar aktivitas agroindustri kopi rakyat tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan teknologi penanganan limbah cair dan limbah padat yang mampu mengurangi dampak negatif proses pengolahan kopi dan mendesain sistem penanganan limbah yang sesuai dengan kemampuan dan memberikan nilai tambah bagi peningkatan pendapatan masyarakat desa. Teknologi penanganan limbah yang tepat diharapkan dapat meningkatkan keberlanjutan agroindustri kopi rakyat dalam dimensi lingkungan, ekonomi, sosial dan kelembagaan. 7.2. Metode Penelitian 7.2.1. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer berasal dari hasil pengamatan dan perhitungan di lokasi penelitian. Data sekunder 161
162
berasal dari literatur dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan limbah proses pengolahan kopi. 7.2.2. Variabel yang diamati Variabel yang diamati meliputi volume dan konsentrasi limbah cair dan limbah padat yang dihasilkan, konsentrasi limbah cair setelah penanganan, karakteristik unit penanganan limbah cair (metode fisika-kimia dan biologi) dan metode penanganan limbah padat, kebutuhan bahan dan alat unit penanganan limbah cair dan limbah padat. 7.2.3. Metode Analisis Data 1.
Melakukan inventarisasi data-data yang diperoleh dari neraca massa proses pengolahan kopi modifikasi olah basah.
2.
Melakukan inventarisasi karakteristik limbah cair dan padat yang dihasilkan dari perlakuan minimisasi air pengolahan kopi olah basah dan literatur.
3.
Analisis degradabilitas limbah cair sebagai studi pendukung karakteristik limbah cair perlakuan minimisasi proses pengolahan kopi.
4.
Analisis efluen unit penanganan limbah cair yang menggunakan metode filtrasi, koagulasi flokulasi dan anaerobik.
5.
Analisis alternatif pemanfaaatan limbah padat proses pengolahan kopi berdasarkan literatur yang ada.
6.
Karakterisasi tahapan penanganan limbah cair dalam sistem pengolahan kopi rakyat.
7.3. Hasil dan Pembahasan 7.3.1. Analisis Limbah Cair Proses Pengolahan Kopi Modifikasi Olah Basah Proses pengolahan yang mengubah buah kopi menjadi biji kopi disebut pengolahan kopi primer. Output yang dihasilkan dari proses pengolahan primer yang menggunakan modifikasi teknologi olah basah adalah biji kopi HS bersih dengan kadar air 12%, limbah cair dan limbah padat. Perlakuan minimisasi air pada proses pengolahan kopi dengan modifikasi olah basah terbukti mampu meningkatkan mutu biji sekaligus meminimumkan volume limbah cair yang dihasilkan. Rentang minimum air proses pengolahan yang dapat diterapkan adalah
163
2,987 - 3,345 m3/ton buah kopi yang meliputi ± 0,731 – 0,784 m3/ton untuk proses pengupasan dan ± 2,256 – 2,561 m3/ton buah kopi untuk proses pencucian. Nilai ini mampu mengurangi limbah cair ke lingkungan hingga 67% dari total volume air proses yang biasa dilakukan. Rendemen hasil pengolahan kopi untuk mendapatkan biji kopi siap ekspor rata-rata sebesar 18 – 19%. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Braham dan Bressani (1979), biji kopi yang diperoleh dari proses pengolahan basah sebesar 191 gram dari 1000 gram buah kopi. Mulato et al. (2006), menyatakan rendemen hasil pengolahan kopi Arabika berkisar antara 16 – 20% sedangkan kopi Robusta dapat mencapai 20 – 22%. Pada pengolahan basah, proses pengupasan dapat dilakukan dengan minimal air terutama karena dilakukan pada buah kopi merah.
Bagian-bagian yang
membentuk buah kopi terutama adalah kulit buah (skin), daging buah (pulp), kulit tanduk (parchment), kulit ari (silverskin) dan biji (bean) (Gambar 63). Daging buah kopi merah yang telah masak mengandung lendir dan senyawa gula yang rasanya manis. Lapisan lendir ini pada buah muda sangat sedikit dan bertambah hingga buah masak kemudian berkurang apabila buah telah lewat masak (Yusianto dan Mulato, 2002).
Komposisi kimia daging buah kopi masak
disajikan pada Tabel 19. (Kulit tanduk)
(Kulit luar) (Daging buah)
(Cangkang)
(Biji kopi) (Tangkai buah)
(Kulit ari)
Gambar 63 Penampang membujur buah kopi Buah kopi merah merupakan buah masak, mengandung air buah dan lendir yang cukup untuk berlangsungnya proses pengupasan.
Air pada proses
pengupasan terutama dibutuhkan sebagai pembawa buah kopi menuju silinder mesin pengupas. Limbah cair proses pengupasan diperkirakan mengandung komponen-komponen kimia yang berasal dari kulit, daging buah dan lendir.
164
Meskipun tidak seluruh lendir dapat dilepas dan masih melekat pada lapisan kulit biji kopi. Proses pencucian menghilangkan lendir yang telah terdegradasi selama fermentasi dan menghasilkan biji kopi yang masih berkulit tanduk (parchment coffee = biji kopi HS). Tabel 19 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Komposisi kimia daging buah kopi masak Komponen Jumlah (%) Air 42,66 Serat 27,44 Gula 9,46 Tannin 8,56 Mineral 3,77 Lemak dan resin 1,18 Minyak volatil 0,11 Lain-lain 6,82
Sumber: Yusianto dan Mulato (2002)
Perlakuan minimisasi air pada proses pengolahan kopi bertujuan untuk meminimumkan volume limbah cair yang dihasilkan. Akan tetapi diperkirakan mempengaruhi tingkat konsentrasi limbah cair yang dihasilkan. Analisis kualitas limbah cair hasil perlakuan minimisasi air diperlukan untuk menentukan penanganan yang tepat agar limbah tidak mencemari lingkungan. Limbah cair proses pengolahan kopi terutama dihasilkan dari proses pengupasan dan pencucian. Adapun aliran limbah cair kopi tersebut tidak konstan dengan beban pencemaran cenderung seragam. Proses pengolahan kopi yang kontinyu tergantung pada aliran air proses pengupasan (pulping) dan pencucian (washing). Hasil analisis parameter limbah cair disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Hasil analisis limbah cair perlakuan minimisasi air pengolahan kopi No Parameter Proses Pengupasan Proses Pencucian Satuan 1 pH 4,00 - 5,50 3,84 - 4,28 2 BOD 6000 - 13000 4000 - 11000 mg/L O2 3 COD 14000 - 26000 7000 - 21000 mg/L O2 4 BOD/COD 0,5 – 0,6 0,4 – 0,6 5 TSS 400 - 23000 8600 - 25000 mg/L 6 TDS 1200 - 1500 800 - 2100 mg/L 7 Fosfat 17 - 33 14 - 24 mg/L PO4-P 8 Nitrat 55 - 64 3,82 - 88,35 mg/L NO3-N 79 Total N 300 - 400 170 - 630 mg/L NH3-N 10 Total Karbon 8000 - 10000 4000 - 10000 mg/L 11 Total VSS 13000 - 17000 6400 - 18000 mg/L
165
Limbah cair proses pengupasan dan pencucian memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda, terutama mengandung padatan tersuspensi yang berasal dari komponen organik dan anorganik.
Limbah cair proses pengupasan terutama
mengandung gula fermentasi, sedangkan limbah cair proses pencucian lebih kental karena kandungan lendir. Kandungan lendir yang terdegradasi selama fermentasi ini menyebabkan nilai pH limbah cair pencucian lebih asam dibandingkan tahap pengupasan. Karakteristik limbah cair proses pengolahan kopi di berbagai tempat menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda meskipun berasal dari proses pengolahan basah maupun semi basah (Tabel 21 dan Tabel 22). Air limbah yang cenderung asam, kandungan bahan organik tinggi serta tingkat padatan yang besar berasal dari kandungan lendir dan pulpa kopi selama proses pengupasan dan pencucian. Karakteristik inilah yang akan menentukan upaya penanganan yang dapat diterapkan. Tabel 21 Perbandingan hasil analisis limbah cair pengolahan kopi di India No 1 2 3 4 5 6 7
Parameter pH Total Solid (mg/L) COD (mg/L) BOD/COD Total gula (mg/L) Gula pereduksi (mg/L) Asiditas (mg/L)
Pulper (a) 4-7 4000 – 10000 1500 - 9000 0,5 – 0,86 800 - 6000 50 - 1800
Washer (semi washed) (a) 4-6 1200 – 44000 1200 – 41700 0,5 – 0,9 1000 - 36700 200 - 22200
Pulper (b) 3,9 – 6,9 3100 - 30800 2600 - 25800 0,37 – 0,97 2300 - 23000 800 - 6000
Washer (semi washed) (b) 4 – 6,3 16400 – 70000 15500 – 65000 0,5 – 0,9 14300 – 53000 5300 – 30000
100 - 800
70 - 1300
100 - 1600
200 - 1900
Sumber: Astra 2002 diacu dalam Chanakya dan de Alwis 2004 a: perkebunan dengan penanganan anaerobik parsial dan pengontrolan penggunaan air b: perkebunan dengan bioreaktor dan pengontrolan air dalam pengolahan basah
Menurut Mburu et al. (1994); Von Enden dan Calvert (2002), limbah cair proses pengupasan mengandung konsentrasi pencemar yang tinggi karena kandungan bahan-bahan organik hasil proses pengupasan daging buah (saat mesocarp dikupas) dan lendir. Pulpa dan lendir ini terdiri atas sejumlah protein, gula dan lendir dalam bentuk pektin seperti karbohidrat polisakarida. Selvamurugan et al. (2010), menjelaskan kandungan gula yang tinggi ini menyebabkan air proses pengupasan akan cepat terfermentasi oleh kerja enzim
166
bakteri yang terdapat pada buah kopi. Adapun komponen lain dari air proses pengupasan adalah asam dan kimia toksik seperti polifenol (tannin dan kafein). Tabel 22 Perbandingan karakteristik limbah cair proses pengolahan kopi No
1 2 3 4 5 6 7 8
Parameter
pH BOD COD TSS TDS Fosfat Total N Total VSS
Mendoza & Rivera (1998) (semi wet) 5,4 1443 mg/L 2480 mg/L -50-90% ----
Bruno & Oliveira (2008) (wet process) 4,2 3100 – 14340 mg/L 5000 – 35000 mg/L 2978 – 3590 mg/L ---1488 mg/L
Selvamurugan et al., (2010) (wet process) 3,88 – 4,21 3800 – 4780 mg/L 6420 - 8480 mg/L 2390 – 2820 mg/L 1130 – 1380 mg/L -125,8 – 173,2 mg/L --
Penghilangan lendir pada biji kopi dilakukan sepanjang proses fermentasi selama 14 – 18 jam hingga lendir terdegradasi dan dapat dihilangkan dengan mudah oleh air melalui proses pencucian. Air limbah yang berasal dari perlakuan minimisasi air cenderung kental karena tingginya kandungan pektin yang berasal dari lendir, protein dan gula yang terlarut. Proses fermentasi gula menjadi etanol dan CO2 menyebabkan kondisi asam pada air.
Hal ini dikarenakan etanol
dikonversi menjadi asam asetat saat bereaksi dengan oksigen. Proses asidifikasi ini menyebabkan pH larutan menjadi asam, mencapai nilai 4 bahkan kurang. C6H12O6 2 CH3CH2OH + 2 CO2 Gula etanol karbondioksida 2 CH3CH2OH + O2 2 CH3COOH Etanol oksigen asam asetat Keasaman yang tinggi akan mempengaruhi efisiensi penanganan limbah cair dan merusak kehidupan akuatik jika dibuang ke badan air.
Lendir yang
terkonversi setelah proses pencucian (Tabel 23) akan membentuk lapisan tebal (padatan tersuspensi) pada permukaan limbah cair, hitam di atas dan jingga coklat di dasar (Gambar 64). Lapisan tebal ini akan menutup jalan air pada saluran dan menyebabkan kondisi anaerobik saat dibuang ke badan air. Substansi lain yang dapat ditemukan pada limbah cair kopi adalah bahan kimia toksik seperti tannin, alkaloid (kafein), dan polifenol.
Komponen-
167
komponen ini apabila dibuang ke lingkungan akan menyebabkan proses degradasi bahan organik sulit didegradasi secara biologis (Selvamurugan et al. 2010). Tabel 23 Beberapa perbandingan komposisi lendir Komponen Air Protein Gula - Glukosa (pereduksi) - Sukrosa (non pereduksi Pektin Abu
Komposisi (%) Murthy et al.(2004) Braham & Bressani (1979) 84,20 8,00 2,50 1,60 1,00 0,70
30,0 20,0 35,8 17,0
Limbah cair proses pengolahan kopi berwarna coklat terutama berasal dari komponen flavonoid kulit buah pada saat pengupasan (Lampiran 1.). Limbah cair kopi selain berbau tidak sedap, juga akan berubah warna menjadi hitam beberapa saat kemudian. Flavonoid umum ditemui pada buah-buahan berwarna lainnya seperti anggur. Menurut Selvamurugan et al. (2010), warna buah ini sebenarnya merupakan prekursor bagi terbentuknya warna coklat humus seperti air rawa yang tidak berbahaya bagi spesies akuatik karena tidak menyebabkan peningkatan nilai BOD ataupun COD. Akan tetapi warna coklat yang gelap ini dapat berdampak negatif terhadap proses fotosintesis dan transformasi nutrien pada tanaman air selain menurunkan nilai estetika.
Gambar 64 Lapisan padatan limbah cair pengolahan kopi Tingginya nilai COD dan BOD pada limbah cair pengolahan kopi terutama pada limbah cair perlakuan minimisasi menunjukkan besarnya jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik pada kondisi aerobik, temperatur dan waktu inkubasi yang terstandar. Pengaruh perlakuan minimisasi
168
air pada proses pengolahan kopi disajikan pada Gambar 65, Gambar 66, dan Gambar 67.
Gambar 65 Hubungan minimisasi air pengupasan dengan bahan organik dan pH pada limbah cair
Gambar 66 Hubungan minimisasi air pencucian dengan bahan organik dan pH pada limbah cair Konsentrasi bahan organik limbah cair (BOD, COD dan TSS) menunjukkan kecenderungan menurun seiring bertambahnya volume air yang digunakan pada tahap pengupasan dan pencucian buah kopi.
Nilai pH limbah cair
proses
pengolahan kopi secara umum berkisar antara 3,80 – 5.50. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara perlakuan minimisasi air terhadap pH.
Nilai padatan
tersuspensi (TSS) pada proses pencucian cenderung lebih tinggi daripada proses pengupasan. Hal ini disebabkan karena bagian terbesar bahan organik berupa lendir setelah proses fermentasi terbawa air proses pencucian.
169
Gambar 67 Zone segitiga untuk BOD/COD Rasio BOD/COD pada limbah cair proses pengolahan kopi berada di antara 0,4 – 0,6 yang menunjukkan tingkat biodegradabilitas bahan organik untuk dilepas ke lingkungan. Menurut Samudro dan Mangkoedihardjo (2010), apabila rasio BOD/COD berada di antara 0,1 dan 1,0 maka limbah cair termasuk kategori biodegradable.
Rasio BOD/COD biodegradable menunjukkan kemampuan
substansi bahan organik dalam limbah cair untuk diuraikan menjadi komponen yang lebih sederhana oleh bakteri atau mikroorganisme. Batasan tersebut dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan sistem penanganan yang sesuai bagi limbah cair. Analisis total padatan dan total karbon pada limbah cair proses pengolahan kopi membantu menentukan upaya penanganan limbah yang sesuai (Gambar 67). Parameter total padatan (TDS, TSS dan VSS) dan total karbon menunjukkan penurunan konsentrasi seiring kenaikan volume air.
Pola ini serupa dengan
penurunan konsentrasi BOD maupun COD pada Gambar 66. Secara umum padatan tersuspensi merupakan indikator besarnya kandungan bahan organik dalam limbah yang menyumbang 60% nilai BOD. Padatan tersuspensi yang mudah menguap (VSS) merupakan pendekatan jumlah kandungan bahan organik. Bahan organik tersebut dapat terdekomposisi menjadi air, karbondioksida dan amonia yang bersifat mudah menguap saat dianalisis pada suhu 550oC.
170
Gambar 68 Hubungan minimisasi air pencucian dengan total padatan dan karbon pada limbah cair Analisis total karbon menunjukkan jumlah karbon yang terikat dalam komponen organik dan anorganik. Melalui analisis VSS dapat diketahui potensi bahan organik (komponen karbon) yang teroksidasi menjadi komponen lebih sederhana dan mudah menguap. Nilai VSS yang lebih tinggi daripada nilai total karbon merupakan indikator bahwa komponen karbon yang ada pada limbah cair adalah komponen organik (Droste 1997). Beban pencemaran limbah cair proses pengolahan kopi mencapai 75% dengan kandungan organik tinggi dan padatan terpresipitasi sebagai lendir yang dapat meningkatkan COD dan menurunkan nilai pH. Kombinasi keasaman yang tinggi, BOD dan COD yang tinggi akan menurunkan kemampuan suplai oksigen jika dibuang ke badan air, sehingga dapat menimbulkan permasalahan lingkungan yang harus ditangani. Akan tetapi limbah cair kopi yang kaya akan kandungan gula dan pektin dapat cepat terdegradasi. Didukung oleh rasio BOD/COD yang tinggi menunjukkan kelayakannya untuk ditangani melalui proses biologi. Untuk mengoptimalkan proses penanganan limbah cair, pH sebaiknya diusahakan berada pada kisaran netral (6,5 – 7,5). 7.3.2. Analisis Limbah Padat Proses Pengolahan Kopi Olah Basah Perlakuan minimisasi air proses pengupasan dan pencucian memiliki dampak signifikan terhadap volume limbah cair tetapi tidak signifikan terhadap jumlah biji serta pulpa yang dihasilkan. Meskipun demikian proses pengupasan
171
kulit tanduk dan kulit ari lebih mudah dilakukan pada biji kopi yang mendapat perlakuan air banyak. Limbah padat maupun limbah cair dari proses pengupasan dan pencucian merupakan hasil samping yang akan menimbulkan masalah apabila tidak diolah. Pulpa, kulit tanduk dan kulit ari merupakan limbah padat yang dapat diubah menjadi produk samping bernilai ekonomis, sehingga dapat meningkatkan penghasilan petani. Proses pengupasan menghasilkan limbah padat yang cukup besar berupa kulit dan daging buah kopi (Lampiran 1). Berdasarkan analisis neraca massa, persentase limbah padat yang dihasilkan dari proses pengupasan dapat mencapai kisaran 40-60%. Nilai ini menunjukkan potensi pencemaran yang besar dari limbah padat jika tidak dimanfaatkan.
Pulpa kopi jika tidak diolah akan
menimbulkan bau yang tidak sedap dan mengundang lalat maupun serangga lainnya.
Selama masa pengolahan biji kopi, limbah pulpa kopi ini akan
menumpuk, menyebabkan gangguan lingkungan seperti bau yang tidak sedap, mengundang lalat maupun serangga lainnya.
Pulpa kopi juga dapat menjadi
vektor agen penyakit ketika dibuang ke badan air dan menyebabkan pencemaran air tanah. Selain itu drainase dari timbunan pulpa dapat mencemari sumber air di sekitarnya (Gambar 69).
Gambar 69 Timbunan pulpa kopi Menurut Kebede et al. (2010), komposisi pulpa kopi terutama merupakan bahan organik yang terdiri atas karbohidrat, protein, serat, lemak, kafein, polifenol, dan pektin. Oleh karena itu dekomposisi pulpa kopi ini bersama-sama limbah cair saat dibuang ke badan air akan menyebabkan kerusakan ekosistem dan air sungai tidak sesuai lagi dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Meskipun demikian, sebagai limbah padat industri kopi, kulit kopi yang
172
mengandung bahan organik tinggi berpotensi untuk dimanfaatkan kembali. Melalui hasil analisis limbah padat dapat diketahui potensi pemanfaatan limbah padat proses pengolahan kopi. Hasil analisis komposisi limbah padat kopi dan beberapa hasil analisis yang mendukung disajikan pada Tabel 24 dan Tabel 25. Tabel 24 Komposisi limbah padat proses pengolahan kopi Bahan
Pulpa Kulit tanduk
Minyak & Lemak 1,06 0,51
Komposisi (%) Serat CTotal kasar organik N 20,42 45,15 4,55 39,68 42,71 2,65
Abu 5,51 23,12
Protein kasar a) 7,80
Ca a)
P a)
0,23
0,02
a) Rubiyo et al. (2006)
Tabel 25 Perbandingan komposisi kimia pulpa kopi dari berbagai sumber Komponen Murthy et al. (2004) Ekstrak eter Serat kasar Protein kasar Abu BETN Tannin Pektin Gula non pereduksi Gula pereduksi Asam khlorogenik Kafein Total asam kafeat Lemak
0,48 21,4 10,1 1,5 31,3 7,8 6,5 2,0 12,4 2,6 2,3 1,6 %
Komposisi (%) Londra& Braham & Bressani (1979) Andri (2008) Segar Kering Kering dan terfermentasi 0,48 2,50 2,60 21,4 3,40 21,0 20,8 6,67 2,10 11,2 10,7 1,50 8,30 8,80 15,8 44,4 49,2 1,80 – 8,56 6,50 2,00 12,4 2,60 1,30 1,60 1,04
Keterangan: BETN (Bahan ekstrak tanpa nitrogen)
Analisis komponen organik pada limbah padat kopi membantu menentukan proses daur ulang (recycle) sebagai bahan dasar pakan ternak, kompos, pupuk, briket, produksi biogas maupun alternatif pemanfaatan lainnya.
Rata-rata
kandungan serat kasar pada kulit kopi maupun kulit tanduk cukup tinggi demikian pula dengan kandungan C-organik memiliki potensi dimanfaatkan sebagai kompos ataupun pupuk.
Nilai kalori kulit tanduk kopi adalah sebesar 4600
kkal/kg sedangkan pulpa kopi pada kandungan air 5% memiliki nilai kalori 3300 kkal/kg (Adams dan Dougan 1989) berpotensi sebagai sumber bahan bakar. Meskipun agak sulit diterapkan pada pulpa kopi yang diperoleh dari pengolahan basah karena masih mengandung kadar air bahan yang tinggi (84%).
173
7.3.3. Desain Penanganan Limbah Cair Upaya minimisasi air proses pengolahan kopi masih menghasilkan limbah cair yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Karakteristik limbah cair dalam bentuk suspensi komponen organik dan anorganik yang kaya akan gula terfermentasi dan cairan kental dari tahap pencucian lendir (mucilage). Tingginya nilai BOD dapat mencapai 13.000 mg/l, COD mencapai 26.000 mg/l serta rendahnya tingkat keasaman dari limbah cair hasil minimisasi air akan menimbulkan beban pencemaran yang tinggi terhadap lingkungan. Baku mutu limbah cair yang dapat dibuang adalah 100 mg/l untuk BOD dan 250 mg/L untuk COD berdasarkan KepMen LH No. 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri. Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 45 Tahun 2002 tentang baku mutu limbah cair bagi industri atau kegiatan usaha lainnya di Jawa Timur memberikan batasan lebih ketat khusus untuk industri pengupasan biji kopi/coklat yaitu maksimum 75 mg/L untuk BOD dan 200 mg/L untuk COD dengan volume limbah cair maksimum adalah 40 m3/ton produk. Oleh karena itu dibutuhkan upaya penanganan yang sesuai untuk diterapkan pada unit pengolahan kopi rakyat.
Berdasarkan tahapan pencegahan polusi
menurut Theodore dan Mc. Guinn (1992), maka tahapan berikut yang dapat dilakukan adalah upaya daur ulang atau penggunaan kembali limbah dan upaya pengolahan limbah. Daur ulang limbah dapat dilakukan dengan memperbaharui bahan baku yang masih dapat digunakan. Pengolahan limbah dapat dilakukan melalui penerapan metode fisika, kimia maupun biologi untuk mengurangi beban pencemaran dan mempermudah tahap pembuangan akhir. Kebede et al. (2010), menyatakan upaya pemanfaatan limbah proses pengolahan kopi merupakan pilihan potensial lain untuk mengontrol pencemaran. Beberapa pilihan yang dapat dilakukan untuk menangani limbah cair adalah melakukan pembuangan di lahan pertanian dengan limbah cair, aplikasi kolam anaerobik, aerasi buatan, reaktor biogas dan pemanfaatan lahan terancang untuk pembuangan limbah cair telah dicoba di berbagai negara produsen kopi. Metode yang murah dan dapat membantu menyuburkan tanah pernah dicobakan di Brazil dengan membuang limbah cair di lahan dan memanfaatkannya langsung untuk mengairi kopi (Ribeiro et al. 2009 diacu dalam Kebede et al. 2010). Akan tetapi,
174
teknik ini dapat menyebabkan asidifikasi tanah, genangan air, dan menyebabkan metabolisme tanah dalam kondisi anaerobiosis. Penanganan secara anaerobik yang dioperasionalkan pada suatu reactor merupakan pilihan yang menarik karena mampu menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar (Murthy et al. 2004; Von Enden dan Calvert 2002). Meskipun dalam penanganannya membutuhkan stabilitas proses yang baik agar efisiensi penanganan tercapai (Mendoza dan Rivera 1998). Menurut Mendoza dan Rivera (1998), bioteknologi anaerobik secara umum merupakan penanganan yang sesuai untuk limbah kegiatan agroindustri terutama di negara-negara berkembang karena biaya yang lebih terjangkau, menghasilkan energi, kebutuhan pengawasan operasional yang rendah dan kemampuannya untuk menangani limbah yang diproduksi musiman.
Karakteristik limbah cair
kopi yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi membuatnya sesuai untuk ditangani dengan metode biologi anaerobik. Limbah cair proses pengolahan kopi dihasilkan hanya pada saat panen kopi yaitu kurang lebih selama 3 hingga 5 bulan setiap tahunnya. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan variabilitas konsentrasi dan volume limbah cair yang cukup tinggi pada panen puncak dan menurun setelah periode panen. 7.3.4. Simulasi Biodegradabilitas Limbah Cair Proses Pengolahan Kopi Kandungan bahan organik yang tinggi dalam limbah cair pengolahan kopi memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan melalui proses anaerobik.
Menurut Angelidaki et al. (2007), proses metabolisme
anaerobik merupakan proses biokimia kompleks yang saling berkaitan antara grup mikrobial. Oleh karena itu perlu dilakukan penilaian tingkat biodegradabilitas limbah cair proses pengolahan kopi melalui potensi pembentukan metana (biogas) menggunakan komposit mikroorganisme yang berasal dari reaktor anaerobik. Gunaseelan (1997) menyatakan analisis biochemical methane assay (BMP) dapat dilakukan untuk menentukan output CH4 (metana) dari substrat organik dan untuk memantau tingkat toksisitas anaerobik. BMP merupakan metode yang berharga, cepat dan tidak mahal untuk menentukan potensi dan laju pengembangan konversi biomassa dan limbah menjadi CH4.
175
Studi simulasi biodegradabilitas pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi konversi limbah cair kopi pada konsentrasi bahan organik tinggi yang diperoleh dari perlakuan minimisasi air proses pengolahan menjadi biogas dalam suasana anaerobik.
Simulasi dilakukan pada berbagai tingkat
konsentrasi limbah cair dan jenis konsorsium mikroorganisme dalam vessel berukuran 100 ml (Gambar 70). Fluktuasi konsentrasi limbah cair kopi pada saat proses pengolahan dan masa panen kopi yang terbatas menyebabkan masa untuk mendapatkan limbah cair dengan konsentrasi tertentu juga terbatas. Sebagai pendekatan, penelitian ini menggunakan larutan kopi instan sebagai limbah cair kopi sintetik dengan mempertimbangkan karakteristik yang berbeda antara keduanya. Daoming dan Forster (1994) juga pernah menggunakan kopi instan sebagai bahan simulasi limbah cair kopi untuk menentukan pengaruh faktor penghambat dalam penanganan anaerobik termofilik.
Gambar 70 Contoh vessel untuk uji biodegradabilitas anaerobik Limbah cair kopi sintetik dibuat dari larutan kopi instan dengan pertimbangan ketersediaan bahan pada saat pelaksanaan penelitian dan kemudahan untuk membuat larutan limbah cair pada rentang konsentrasi COD tertentu. Pembuatan konsentrasi larutan disesuaikan dengan rentang konsentrasi COD terlarut yang diperoleh dari hasil perlakuan minimisasi air. Suhu dan pH proses dijaga pada kondisi optimum proses yaitu pada suhu 37oC dan pH netral (6,5 – 7,0) kecuali pada batch 1. Adapun komposisi limbah cair sintetik pada berbagai tingkat konsentrasi COD disajikan pada Tabel 27. Komposisi kimia limbah cair kopi ditentukan oleh kandungan organik pada pulpa kopi dan biji kopi. Limbah cair kopi yang berasal dari proses pengolahan buah umumnya mengandung polisakarida cukup tinggi, sedangkan pada kopi
176
instan telah menurun hingga 50%. Degradasi pada kopi instan diduga terutama pada polifenol, mineral, protein dan gula-gula pereduksi yang ada. Tabel 26 Rancangan simulasi biodegradabilitas (BMP test) kopi instan Batch COD (g/L) Inokulum pH 1 a. 10 Campuran Tanpa penyesuaian pH b. 20 granular dan c. 30 floccular sludge 2 a. 10 b. 15 Granular sludge 6,5 – 7,0 c. 20 d. 30 Tabel 27 Komposisi larutan limbah cair sintetik dari kopi instan Komposisi Larutan kopi dengan tingkat COD (gr) 10 g/L 20 g/L 30 g/L Protein 0,077 0,115 0,153 Karbohidrat 0,459 0,688 0,918 Gula 0,076 0,114 0,153 Serat 0,382 0,574 0,765 Polifenol&melanoidin 0,275 0,413 0,551 Kafein 0,053 0,080 0,107 pH larutan
5,28
5,15
5,03
Granular sludge yang digunakan berasal dari komposit mikroorganisme (lumpur aktif) reactor Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB). Sedangkan floccular sludge merupakan komposit mikrooganisme heterogen dalam bentuk lumpur tersuspensi yang berasal dari lumpur aktif reaktor anaerobik Continuous Stirred Tank Reactor (CSTR). Liu et al. (2002), menyatakan UASB dan CSTR merupakan bagian dari sistem anaerobik yang dapat digunakan untuk menangani limbah.
UASB
merupakan teknologi yang dikembangkan berdasarkan pemahaman terhadap aktifitas bakteri metanogenesis pada laju alir cepat. Adanya aliran ke atas yang cepat dalam reaktor UASB serta pola aktifitas bakteri metanogenesis untuk membentuk lapisan tersuspensi memacu perkembangan konsorsium metanogenik membentuk diri sendiri menjadi granule yang lebih kental daripada air melalui aliran limbah cair menuju bagian atas reactor. UASB dikembangkan terutama untuk
menangani
limbah
cair
yang
berkonsentrasi
tinggi.
Densitas
mikroorganisme granular yang tinggi memudahkan proses pemisahan efluen
177
limbah cair yang telah terpurifikasi dengan biomassa. Kelemahan UASB adalah padatan partikulat dalam limbah cair yang cenderung dapat menganggu sistem. Reaktor CSTR diadaptasi dari reaktor aerobik untuk mengolah limbah organik yaitu menggunakan lumpur aktif hasil penanganan sekunder untuk mengolah langsung limbah cair. Adanya agitasi (pemutaran) mekanis pada tangki aerobik bertujuan untuk menjadi partikulat agar tetap dalam bentuk tersuspensi dan memudahkan memasukkan oksigen ke dalam larutan. Pemutaran mekanis pada tangki anaerobik mempengaruhi laju pertumbuhan konsorsium bakteri terhadap lingkungan pada kondisi asidogenesis dan metanogenesis. Dinamika bakteri cenderung tidak seragam pada reaktor CSTR.
A
B
Gambar 71 Komposit mikroorganisme (a) Flokular, (b) Granular a.
Uji Biodegradabilitas Batch 1. Analisis biodegradabilitas batch 1 (Gambar 72) dilakukan pada tingkat
konsentrasi COD 10 g/L, 20 g/L dan 30 g/L limbah cair untuk mengetahui kemampuan mikroorganisme. Pengujian dilakukan secara triplikat dengan uji biodegradabilitas selulosa sebagai bagian dari komponen karbohidrat dilakukan sebagai kontrol perlakuan. Pengujian dilakukan tanpa penyesuaian pH untuk mengetahui
kemampuan
komposit
mikroorganisme
gabungan
dalam
mendegradasi limbah cair. Kemampuan komposit gabungan mikroorganisme flokular dan granular dalam mendegradasi limbah cair sangat baik pada konsentrasi COD 10 g/L dan cenderung menurun seiring peningkatan konsentrasi COD. Kemampuan adaptasi komposit mikroorganisme cukup baik dimana proses degradabilitas dapat berlangsung meskipun pada konsentrasi COD tinggi. Aktifitas metanogenik yang
178
tinggi dari lumpur granular dan bakteri asetogenik dari lumpur flokular berkontribusi menjaga keberlangsungan proses degradasi pada konsentrasi COD tinggi (30 g/L). Meskipun pada awal proses, reaksi pembentukan metana sangat dipengaruhi oleh tingginya kandungan bahan organik dalam suasana asam (kandungan gas hidrogen).
Gambar 72 Komposisi gas yang dihasilkan proses anaerobik batch 1. Kestabilan proses pembentukan gas metana tergantung pada konsentrasi COD. Semakin tinggi konsentrasi COD menunjukkan semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kestabilan. Pada sampel dengan konsentrasi 10 g/L, 20 g/L dan 30 g/L membutuhkan waktu berturut-turut 10 hari, 15 hari dan 25 hari
179
untuk mencapai kesetimbangan pembentukan gas metana. Fase awal dari proses anaerobik adalah hidrolisis yang terjadi pemecahan molekul berukuran besar dan kompleks menjadi molekul yang berukuran lebih kecil.
Kandungan bahan
organik yang tinggi pada sampel dengan konsentrasi COD tinggi serta transformasi komponen selulosa dan hemiselulosa tentu membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan sampel dengan konsentrasi bahan organik lebih rendah. Hal ini juga menyebabkan kumulatif pembentukan gas metana pada konsentrasi COD tinggi lebih besar dibandingkan pada konsentrasi COD rendah. Pada awal proses anaerobik, sampel dengan konsentrasi tinggi (30 g/L) mengalami suasana asam yang mempengaruhi stabilitas proses.
Tingginya
persentase hidrogen hingga hari ke-10 diperkirakan terjadi pada fase bakteri asetogenesis dan formasi asam (asidogenesis).
Pada fase ini terjadi oksidasi
anaerobik yang merupakan penentu keberlanjutan proses anaerobik hingga fase metanogenesis.
Apabila gas hidrogen yang dihasilkan terlalu tinggi dan
mikroorganisme yang ada dalam reaktor tidak dapat bertahan, maka tidak akan terjadi fase berikutnya karena mikroorganisme yang ada mati.
Meskipun tidak
ada proses netralisasi limbah cair sebelum proses anaerobik, komposit mikroorganisme granular dan flokular dalam reaktor ternyata mampu bertahan menghadapi suasana asam. Setelah hari ke-10, proses pembentukan gas metan pada fase metanogenesis dapat berlangsung lancar dan menghasilkan komposisi biogas atau gas metan hingga 70%. Berdasarkan hasil perlakuan, diperoleh komposisi rata-rata gas metana dan karbondioksida berturut-turut adalah 60 – 70% dan 30 - 40%. Menurut Borjesson dan Berglund (2006), komposisi biogas terutama terdiri atas CH4 (60 – 70%) dan CO2 (30 – 40%), dengan kandungan uap air dan beberapa gas-gas nitrogen, hidrogen sulfida dan ammonia. Uji biodegradabilitas secara umum berlangsung baik pada batch 1 meskipun tanpa perlakuan netralisasi.
Hal ini sesuai dengan penelitian Dinsdale et al.
(1997) yang menggunakan reactor UASB dengan tahapan pre-asidifikasi. Netralisasi dengan NaOH pada pH 6,0 dan HRT (hydraulic retention time) 24 jam tidak
dibutuhkan untuk efisiensi proses asidogenesis.
Efluen dari tahapan
asidogenik dengan pH 5,2 tidak membutuhkan netralisasi dengan NaOH sebelum
180
memasuki tahapan metanogenik.
Tidak adanya netralisasi pada kisaran pH
tersebut ternyata membantu meningkatkan performa reaktor UASB termofilik. Proses UASB 2 tahap (asidogenik dan metanogenik) memberikan peningkatan performa secara konsisten dibandingkan sistem 1 tahap.
Tahap asidifikasi
berperan dalam kemampuan reactor menerima laju beban tinggi. Penelitian oleh Chen et al. (2008), menjelaskan bahwa meskipun sebagian besar mikroorganisme bekerja pada rentang pH netral yaitu pada rentang pH 7,0 – 7,5 tetapi beberapa mikroorganisme tetap aktif pada pH rendah ataupun pH tinggi. Pada saat fermentasi, mikroorganisme penghasil asam (floccular sludge) mengelola hidupnya untuk hidup dalam suasana asam hingga pH 5,0. Sebaliknya, mikroorganisme penghasil metana (granular sludge) berkembang baik pada pH netral. b. Uji Biodegradabilitas Batch 2. Uji biodegradabilitas batch 1 yang menggunakan 2 jenis komposit mikroorganisme mampu mendegradasi limbah cair sintetik. Uji biodegradabilitas batch 2 hanya menggunakan komposit bakteri granular yang berasal dari reaktor UASB. Waktu degradabilitas batch 2 pada konsentrasi yang sama lebih singkat dibandingkan batch 1.
Sludge granular yang telah mengandung bakteri
metanogenesis memungkinkan kandungan metana berada dalam vessel sejak awal proses anaerobik. Komposit bakteri granular tanpa komposit flokular ternyata tidak mampu untuk mendegradasi limbah cair pada konsentrasi 30 g/L. Proses anaerobik tidak berlangsung optimum dimana komposisi gas karbondioksida lebih besar (40-50%) daripada komposisi gas metana (20-30%).
Komposisi gas metana mencapai
puncaknya pada hari ke-2 kemudian cenderung stabil hingga 40 hari. Meskipun demikian komposit bakteri granular masih menunjukkan kemampuannya untuk mendegradasi komponen kompleks selulosa pada konsentrasi 1 g/L.
Pereira
(2009), waktu degradasi anaerobik untuk mencapai konversi COD bahan organik menjadi gas metana dipengaruhi oleh kualitas komposit bakteri dan kualitas lingkungan. Bakteri metanogenik
yang dominan pada
sludge granular
diperkirakan tidak bekerja optimum pada kondisi asam fase asidogenesis.
181
Gambar 73 Komposisi gas yang dihasilkan dari proses anaerobik batch 2 Fase asidogenesis yang terjadi setelah fase hidrolisis diperkirakan tidak dapat berlangsung sempurna pada sampel dengan konsentrasi COD tinggi (30 g/L). Pada fase ini, selain substrat, aneka mikroorganisme turut mempengaruhi kelancaran proses degradasi. Semakin banyak organisme yang aktif, semakin baik proses fermentasi hasil fase hidrolisis menjadi karbon organik, komponen molekul sederhana, hidrogen dan karbondioksida. Semakin tinggi konsentrasi COD, semakin besar pula dihasilkan hidrogen yang cenderung menyebabkan suasana asam.
182
Netralisasi pH limbah cair di awal proses ternyata tidak selalu mampu menjaga keseimbangan reaksi asam basa pada fase formasi asam (asidogenesis). Konsentrasi gas hidrogen dan pembentukan asam yang tinggi sebagai akibat dekomposisi bahan organik serta karakteristik bakteri granular yang hanya bekerja optimal pada fase metanogenesis, menyebabkan oksidasi anaerobik berhenti. Pada kondisi ini, mikroorganisme diperkirakan tidak memiliki lagi energi yang cukup untuk tumbuh dan akhirnya mati (Droste 1997). Sebagai akibatnya proses metanogenesis tidak dapat berlangsung sempurna dan sebagian besar komponen organik tidak dapat dikonversi menjadi metana. Produksi metana hanya dapat terjadi pada kondisi pH netral. Metabolisme anaerobik merupakan proses konversi komponen organik dalam kondisi tidak adanya oksigen menjadi komponen karbon sederhana, karbondioksida dan intermediate lainnya.
Ketiga tahapan penting dalam proses
anaerobik adalah hidrolisis, asidogenesis dan metanogenesis. Stabilitas proses anaerobik
tergantung
pada
komposisi
mikroorganisme
metabolik
yang
membentuk asam dan hidrogen, pH dan suhu lingkungan. Meskipun bakteri metanogenik memainkan peran penting dalam keseluruhan proses degradasi karena kemampuannya menghasilkan gas metan sebagai biogas. Akan tetapi grup metabolit lainnya seperti bakteri pembentuk asam pada proses hidrolisis, bakteri obligat yang menghasilkan asetogen pada fase asidogenesis juga berperan mempercepat proses metanogenesis. Pertumbuhan mikroorganisme yang berbeda di berbagai rentang pH menjadikan gabungan komposit mikroorganisme granular dan flokular pada batch 1 lebih baik daripada batch 2. Pada konsentrasi COD tinggi (30 g/L), gas metana terutama mulai diproduksi hari ke 23 pada batch 1 dan hari ke-3 pada batch 2. Setelah hari ke 23, hidrogen cenderung menghilang dengan meningkatnya persentase gas metana hingga masa stabilisasi yaitu pada hari ke-61 dimana persentase metana mencapai 70%. Sebaliknya pada batch 2, gas metana hanya mampu mencapai persentase tertinggi pada hari ke-3.
Bakteri metanogenik yang merupakan komponen
terbesar dalam komposit bakteri granular bekerja optimum selama masa itu dan terstabilkan hingga hari ke-40.
183
Proses degradasi konsentrasi bahan organic yang tinggi serta menghasilkan hidrogen dengan persentase besar menyebabkan bakteri granular tidak bekerja optimal karena suasana asam. Komposisi VFA (volatile fatty acids) menunjukkan kondisi lingkungan di dalam vessel (reaktor anaerobik sederhana). Tingginya komposisi
VFA
dapat
menyebabkan
metanogenesis gagal (Tabel 28).
proses
degradasi
organik
hingga
Kombinasi inokulum dibutuhkan untuk
mendegradasi limbah cair kopi sintetik berkonsentrasi tinggi meskipun membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan inokulum yang bersifat spesifik. Kemampuan adaptasi dan rentang tropis dari komposisi mikroorganisme dalam inokulum mampu mengatasi suasana asam dan organik kompleks dalam limbah cair kopi sintetik. Tabel 28 Rata-rata komposisi biogas dan VFA pada konsentrasi COD 30 g/L Komponen Satuan Batch 1 Batch 2 CH4 % 57,01 27,38 CO2 % 40,85 46,96 H2 % 0,00 8,54 ppm acetic acid 389,92 756,46 ppm propionic acid 80,84 117,98 iso-butyric acid ppm 27,89 31,40 ppm butyric acid 688,33 987,97 iso-valeric acid ppm 42,79 51,17 valeric acid ppm 21,24 24,67 hexanoic acid ppm 22,98 43,83 Limbah cair proses pengolahan kopi memiliki kandungan bahan organik tinggi terutama yang dihasilkan dari perlakuan minimisasi limbah cair. Akan tetapi kandungan bahan organik yang tinggi menunjukkan potensi besar untuk menghasilkan biogas selama proses metabolisme anaerobik berjalan optimal. Hal ini didukung oleh Wilkie et al. (2004), bahwa produksi gas pada proses fermentasi besarnya proporsional dengan laju pemanfaatan substrat, formasi produk dan pertumbuhan microbial. Oleh karena itu agar proses degradasi anaerobik dapat berjalan optimal, kondisi lingkungan seperti pH dan suhu proses, serta komposit bakteri yang beragam perlu dijaga.
184
7.3.5. Proses Penanganan Anaerobik Limbah Cair Penanganan
anaerobik
merupakan
proses
biologi
yang
mampu
menghasilkan energi (biogas) dengan teknologi yang sederhana dan biaya relative murah. Selain itu tidak membutuhkan lahan yang luas dan tidak menghasilkan lumpur dalam jumlah besar, jika dibandingkan penanganan aerobik. Penanganan anaerobik mampu mengurangi pencemaran dari proses pengolahan kopi sekaligus menghasilkan bahan bakar. Selama ini proses anaerobik telah banyak diterapkan untuk menangani limbah cair organik dari industri termasuk limbah pengolahan sayuran dan buah serta limbah pertanian. Penanganan anaerobik yang menghasilkan biogas membutuhkan digester untuk menangkap gas metana yang dihasilkan sehingga tidak terbuang ke lingkungan dan menyebabkan dampak rumah kaca.
Gas metana (CH4) memiliki dampak 21 kali lebih tinggi
dibandingkan gas karbondioksida (CO2).
Menurut Wahyuni (2010), prinsip
bangunan digester adalah menciptakan suatu ruangan kedap udara (anaerob) yang menyatu dengan saluran pemasukan serta saluran atau bak pengeluaran. Bak pemasukan dapat berfungsi untuk melakukan homogenisasi ataupun melakukan netralisasi dari bahan baku limbah cair dan padat. Bak pengeluaran ataupun bak penampungan dapat berfungsi sebagai tempat bahan sisa (sludge) hasil perombakan bahan organik dari digester yang telah terurai. Beberapa aplikasi penanganan anaerobik yang telah diterapkan pada limbah cair pengolahan kopi disajikan pada Tabel 29. Biogas Outlet Valve
Agitator Axle
Floating Biogas Doom Water Seal Channel
Mansory Inner Wall Mansory Outer Wall
GAS HOLDER = 28 m3 Slurry Pump Powered by Biogas
FEED STOCKS INLET
OUTLET Overflow Gate
Scrapper SLURRY = 30 m
3
Gambar 74 Gambar skematik digester tipe sirkular Sumber: Seijin Unit Pasca Panen Puslitkoka (2011)
185
Digester yang digunakan pada aplikasi anaerobik pengolahan limbah cair pengolahan kopi di Puslitkoka merupakan digester bertipe sirkular tipe terapung sistem campuran dengan konstruksi bata di dalam tanah berukuran 30 m3. Penangkap gas dibuat dari lapisan baja mengambang berukuran 28 m3 yang diinstalasi pada bagian atas digester (Gambar 74.) Tabel 29 Perbandingan berbagai karakteristik digester anaerobik Sumber
Jenis Digester
Mendoza dan UAHR Rivera (1998) Von Enden dan Calvert (2002) Houbron et al. (2003)
Kolam asam & netralisasi. UASB Mixed reactors 2 tahap
Chanakya dan 1. Lagoon de Alwis (2004) 2. Plug flow system dengan variasi biomassa Bruno dan UASB (upflow Oliveira (2008) anaerobic sludge blanket) 2 tahap
Selvamurugan M et al. (2010)
UAHR (uplow anaerobic hybrid reactor) : kombinasi UASB dan UAF
Karakteristik Proses HRT : 22 jam OLR = 1,89 kg COD/m3.hari HRT: 4 – 6 jam
HRT : 10 hari
HRT : 21 hari OLR : 0,05 – 0,2 kg/ m3.hari OLR : 2 kg/m3.hari COD HRT : 7 -10 hari Tahap 1: HRT 5,2 hari pada OLR: 2,6 g/L COD Tahap 2: HRT 2,6 hari pada OLR: 0,5 g/L COD
HRT: 18 jam OLR: 9,55 kg/m3.hari
Efisiensi BOD : 1483 mg/L COD : 2480 mg/L COD eff: 77,2% BOD in: 20000 mg/L BOD eff : 90% COD asidifikasi : 85% COD total : 95% CH4 : 80%, 0,381 g/L COD Dari proses 23 ton buah kopi menghasilkan 1,886 CH4 m3/hari COD eff: 60%
COD > 25 g/L COD eff : 90% Gas: 0,5 m3/kg.hari COD in: 15440 – 23040 mg/L, COD out 1: 1100 – 11500 mg/L COD out 2: 420 – 9000 mg/L COD eff: 66 – 98% TSS eff : 93 – 97% CH4 (1): 69 – 89% CH4 (2): 52 – 73% BOD in: 3800 – 4780 mg/L COD in: 6420 – 8480 mg/L TOC in: 0,36 – 0,48 TSS in: 2390 – 2820 mg/L TDS in: 1130-1380 mg/L COD eff: 61 % BOD eff : 66 % TS eff : 58 % Biogas : 60,7 % Produksi biogas: 430 L/kg COD
186
Perlakuan minimisasi air terpilih adalah pada rata-rata volume air proses 3,012 m3/ton buah kopi dengan volume air proses pencucian rata-rata 0,754 m3/ton buah kopi dan proses pencucian 2,258 m3/ton buah kopi (Tabel 30.). Pada perlakuan ini mutu biji kopi telah meningkat dibandingkan proses olah kering dan tidak menunjukkan perbedaan dengan perlakuan minimisasi pada volume air yang lebih besar. Karakteristik limbah cair pengolahan kopi menunjukkan kesesuaian penanganan menggunakan proses anaerobik dalam digester untuk menghasilkan biogas sebagai produk samping yang diinginkan. Semakin sedikit volume air yang digunakan semakin tinggi konsentrasi bahan organik dan semakin besar potensi menghasilkan biogas. Tabel 30 Neraca massa proses pengolahan kopi perlakuan minimisasi air terpilih Komponen Input Output Biji Kopi Limbah Buah kopi, kg 1000 Air pengolahan, liter 3012 Total, kg 4012 Biji kopi, kg 185 Kulit buah dan pulpa pengupasan, kg 565 Pulpa pencucian 24,6 Kulit tanduk 53 Limbah cair + lendir (mucilage), kg 2937,4 Penguapan dan kehilangan air, kg 247 Total, kg 4012 a.
Netralisasi Limbah Cair Limbah cair kopi pengolahan kopi yang memiliki pH rendah (4,0) sebelum
dialirkan ke digester anaerobik sebaiknya dinetralkan terlebih dahulu dengan penambahan batu kapur (CaCO3 = 1g/L) hingga mencapai pH minimal 5,0 atau pH netral (6,5 – 7,0). Ketika CaCO3 dilarutkan dalam air akan menyebabkan CaCO3 terurai berdasarkan reaksi: CaCO3 + 2H2O H2CO3 + Ca(OH)2 H2CO3 H2O + CO2 (langsung bereaksi) Alternatif lain untuk meningkatkan alkalinitas limbah cair adalah CaO. Akan tetapi kelarutannya yang rendah dan presipitasi dari Ca sebagai garam karbonat dapat menimbulkan permasalahan operasional pada unit pengolahan. Hubungan kenaikan pH dan penambahan CaO dan CaCO3 disajikan pada Gambar 75.
187
(a)
(b) Gambar 75 Penambahan alkali dan kenaikan pH limbah cair kopi (a) CaCO3, (b) CaO Menurut Bello dan Rivera (1998), pemilihan alkali sangat penting. Penggunaan alkali NaOH untuk limbah cair sebagaimana Na2CO3 dan MgO akan bereaksi dengan CO2 untuk membentuk bikarbonat. Penambahan bahan kimia untuk netralisasi haruslah sesuai kebutuhan agar tidak terjadi peningkatan pH yang drastis yang dapat menjadi inhibitor proses berikutnya. Pada penanganan limbah cair, reaksi netralisasi yang mengikat karbondioksida membantu mengurangi gas CO2 dalam proses anaerobik. Bello dan Rivera (1998), menganjurkan penggunaan bahan kimia lain yang dapat digunakan untuk netralisasi limbah cair dan mudah diperoleh di kalangan petani yaitu urea. Komponen nitrogen organik ini memiliki kemampuan
188
biodegradasi pada proses anaerobik yang menghasilkan peningkatan alkalinitas seiring lepasnya ammonium.
Metabolisme urea yang dibangun membiarkan
sumber alkalinitas untuk menjaga ketersediaan tingkat alkalinitas bikarbonat dalam sistem dan menyediakan mikroorganisme dengan nitrogen yang penting untuk mendukung sintesa dari biomassa baru. Urea dipergunakan secara luas di pertanian, lebih murah harganya sehingga akan banyak tersedia di kawasan perkebunan kopi rakyat. Reaksi netralisasi yang dapat terjadi pada limbah cair oleh urea adalah sebagai berikut:
Amoniak cenderung bersifat toksik sedangkan ammonium kurang toksik. Konsentrasi ammonia dalam air tergantung pada pH dan temperature. Semakin tinggi pH dan temperature air, semakin tinggi juga konsentrasi ammonia. b. Operasional Digester Anaerobik Dekomposisi bahan organik menghasilkan biogas merupakan proses yang terjadi alami, seperti yang terjadi pada lahan basah, lahan sawah, perut ruminansia dan lainnya. Rumen sapi pada prinsipnya bekerja seperti digester biogas mini dengan komposisi mikroorganisme yang lengkap. Oleh karena itu digester biogas buatan umumnya menggunakan kotoran sapi yang dapat berperan sebagai inokulan untuk memulai proses biogas. Suhu yang tinggi pada rumen sapi (± 39°C) dan mikroorganisme di dalamnya telah teradaptasi pada temperatur yang sesuai untuk menghasilkan biogas pada digester anaerobik. Digester anaerobik untuk penanganan limbah cair kopi dapat dioperasikan sebelum musim panen kopi dengan input larutan kotoran sapi (1:1).
Proses
terbentuknya biogas terjadi setelah 21 hari dengan produksi 2 – 6 m3/hari (Gambar 76). Total produksi biogas mencapai 16 – 18 m3/hari hingga tiba saat panen kopi. Masa panen kopi umumnya berlangsung sejak bulan Juni hingga bulan September. Pada saat panen kopi, input larutan kotoran ternak digantikan oleh limbah cair proses pengolahan kopi. Komposisi gas metan (CH4) dalam biogas mencapai nilai 55 - 60%. Pengukuran komposisi gas metan dilakukan selama siklus produksi sebanyak 3 kali di awal panen, saat panen dan setelah
189
panen kopi. Laju produksi biogas meningkat setelah 20 hari setelah pemberian input limbah cair proses pengolahan kopi hingga 40 m3/hari.
Berdasarkan
perhitungan dari konsentrasi input dan output digester (Tabel 31), perkiraan produksi biogas perhari adalah 38,7 m3 . Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan pengukuran di lapangan pada saat panen puncak. Berdasarkan pengamatan, ratarata produksi biogas dari limbah cair pengolahan kopi lebih tinggi dibandingkan penggunaan larutan kotoran ternak (Gambar 77).
Gambar 76 Laju produksi biogas selama 1 siklus produksi kopi
Gambar 77 Profil produksi biogas harian dengan 2 jenis input berbeda
190
Digester beroperasi pada rentang temperatur antara 28 – 32oC yang menunjukkan temperature optimum bagi bakteri mesofilik untuk menghasilkan biogas. Waktu tinggal padatan atau yang disebut dengan Solid Retention Time (SRT) dari digester dengan kapasitas 30 m3 adalah 13 hari. Laju alir limbah optimum adalah 2,33 m3/hari. Menurut Alatiqi et al., (1998), SRT pada digester campuran sama dengan HRT (hydraulic retention time). HRT merupakan salah satu
parameter
mikroorganisme.
proses
anaerobik
yang
dapat
mempengaruhi
performa
HRT menentukan kemampuan mikroorganisme untuk
melakukan proses hidrolisis bahan organik partikulat dan melakukan tahapan asidifikasi dari komponen organik terlarut. Karakteristik limbah cair berdasarkan perlakuan minimisasi dan keluaran digester ditampilkan dalam Tabel 31. Tabel 31. Karakteristik air dan limbah cair pengolahan anaerobik Jenis air
pH
Air awal proses Air rambang Limbah cair proses (pengupasan + pencucian) Efluen anaerobik Penurunan (%)
7,15 5,19 4,79 6,57
BOD (mg/L) 35 229 6665
COD (mg/L) 80 418 15203,8
821 89,38
2160 87,74
BOD/ COD 0,55 0,44 0,38
TSS (mg/l) 32 139 11828,98
VSS (mg/L)
16218,58
920 91,60
2584 84,07
Menurut Anonim (2003), karbon dan nitrogen merupakan komponen penting untuk pembentukan sel dan metabolisme anaerobik. Rasio karbon dan nitrogen dari limbah cair proses pengolahan kopi dapat mempengaruhi proses metabolisme. Rasio karbon dan nitrogen optimum antara 25 : 1 hingga 30 :1. Unsur karbon C dimanfaatkan sebagai sumber energi di dalam proses metabolisme dan perbanyakan sel oleh bakteri. Sementara unsur nitrogen (N), digunakan untuk sintesis protein atau pembentukan protoplasma. Selama proses metabolisme, karbon dimanfaatkan untuk menghasilkan CO2 dan CH4, sehingga karbon akan tereduksi dan menurunkan rasio C/N di akhir proses. Di sisi lain, akan meningkatkan konsentrasi nitrogen. Bahan organik yang mempunyai kandungan C terlalu tinggi menyebabkan proses penguraian berjalan lambat. Sebaliknya jika C terlalu rendah maka sisa nitrogen akan berlebihan sehingga terbentuk amonia (NH3). Kandungan amoniak yang berlebihan dapat meracuni bakteri.
Nilai C/N rata-rata limbah cair
191
pengolahan kopi yang berasal dari proses pengupasan dan pencucian berturutturut adalah 28 : 1 dan 20 : 1.
Untuk meningkatkan proses metabolisme
anaerobik dapat ditambahkan bahan organik lain yang memiliki nilai C/N tinggi. Penelitian Raphael dan Velmourougane (2011) menunjukkan nilai C/N kulit buah kopi (pulpa) rata-rata 35,5 : 1. Penambahan kulit buah kopi yang dihasilkan dari proses pengupasan ke dalam reaktor anaerobik dapat membantu meningkatkan C/N hingga proses metabolisme optimum untuk meningkatkan produksi biogas. Akan tetapi ukuran kulit buah kopi yang masih berukuran besar dapat menyebabkan proses hidrolisis terhambat.
Oleh karena itu dibutuhkan
penanganan pendahuluan untuk memperkecil ukuran kulit buah kopi. University of Southampton and Greenfinch Ltd (2003), pengurangan ukuran partikel dapat memberikan luasan permukaan yang lebih besar untuk melancarkan proses hidrolisis oleh bakteri pada digester. Proses hidrolisis dari kulit buah dan limbah cair kopi menghasilkan asam amino dan gula sederhana yang digunakan oleh mikroorganisme untuk menghasilkan sel dan produk intermediet seperti asam propionat, asam butirat, asam lemak rantai panjang dan alkohol.
Komponen-komponen tersebut
merupakan substrat bagi bakteri metanogenik untuk menghasilkan metana. Digester anaerobik yang menggunakan input tambahan limbah padat kulit buah kopi sebagai bahan baku untuk mengoptimalkan produksi biogas dapat menurunkan beban penanganan limbah padat. Terutama karena limbah padat kulit buah kopi dapat mencapai 60% dari output yang dihasilkan dalam proses pengolahan buah kopi. Proses anaerobik yang memanfaatkan kulit buah kopi sebagai campuran input limbah cair pengolahan kopi harus dijaga pada kondisi volume padatan sebesar 12-13%. Melalui proses hidrolisis, asidogenesis dan metanogenesis yang terjadi dalam digester anaerobik, konsentrasi limbah cair pengolahan kopi dapat turun hingga 90% sekaligus menghasilkan biogas yang mengandung gas-gas metan, karbondioksida, hidrogen, nitrogen dan asam-asam volatil lainnya.
Efluen
anaerobik ini dapat dimanfaatkan sebagai pupuk cair organik. Metan memiliki daya bakar sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi. Biogas merupakan salah satu alternatif pemanfaatan produk samping yang memberikan andil untuk
192
memenuhi kebutuhan bahan bakar atau energi. Biogas dapat digunakan dalam berbagai keperluan untuk memasak, penerangan, pompa air, boiler, dsb. Adapun komposisi efluen proses anaerobik disajikan pada Tabel 32. Tabel 32 Komposisi efluen proses anaerobik Slurry Value 15,5 C/N 6,6 – 7,5 pH 1,83 N (mg/L) 1,225 P (mg/L) Proses fermentasi anaerobik pada prinsipnya dapat dibagi menjadi 2 fase utama yaitu fase fermentasi asam dan fermentasi metana. Fase pertama adalah fermentasi asam yang menghasilkan produk-produk intermediet yang terutama didominasi olah asam-asam volatile (VFA).
Fase fermentasi metana
mengkonversi produk intermediet menjadi produk yang lebih stabil terutama metana
dan
karbondioksida.
Karakteristik
mikroorganisme,
kebutuhan
lingkungan seperti pH dan suhu optimum dapat berbeda pada kedua fase tersebut. Kedua fase fermentasi yang terjadi dalam satu reaktor disebut digester anaerobik konvensional.
Penanganan limbah cair pengolahan kopi secara anaerobik
konvensional relatif mudah untuk diterapkan selain menghasilkan biogas sebagai sumber energi. Lumpur proses anaerobik yang dihasilkan cenderung lebih stabil sehingga memudahkan pemanfaatannya. 7.3.6. Proses Fisika Kimia Penanganan Limbah Cair Proses penanganan limbah cair kopi yang memiliki konsentrasi bahan organik tinggi dengan digester anaerobik sistem campuran belum sepenuhnya menghasilkan efluen penanganan yang dapat dibuang ke badan air (BOD maksimum 100 mg/L dan COD maksimum 250 mg/L).
Alternatif upaya
penanganan limbah cair proses pengolahan kopi adalah proses kimia dan fisika. Proses kimia melalui koagulasi flokulasi merupakan salah satu proses yang dikaji untuk menangani limbah cair pengolahan kopi karena dianggap efektif, murah dan mudah dalam penanganan limbah cair (Edzwald 1993), sepanjang dilakukan pada kondisi optimum proses. Proses penanganan fisika melalui penyaringan merupakan proses penanganan limbah cair yang sejak dahulu telah diterapkan
193
untuk penanganan limbah cair proses pengolahan kopi di perkebunan besar Indonesia. Alternatif penanganan limbah cair proses pengolahan kopi dengan proses fisika dan kimia dilakukan untuk mengetahui efisiensi kedua proses tersebut jika diterapkan pada sistem penanganan limbah cair proses pengolahan kopi. Perlakuan proses kimia dilakukan pada beberapa konsentrasi limbah cair kopi yang berasal dari efluen proses anaerobik dan limbah cair yang berasal dari UPK Desa Sidomulyo. Koagulan yang digunakan merupakan jenis koagulan yang umum digunakan yaitu Al2(SO4)3,
yang dikenal
dengan nama alum, FeCl3
dan PAC
(Polyaluminimum chloride). Efektifitas proses koagulasi hanya dapat terjadi pada kondisi optimum proses. Kondisi optimum proses diantaranya adalah pH larutan dan dosis koagulan yang menentukan keberhasilan penurunan konsentrasi limbah cair. Penggunaan dosis yang berlebih akan menyebabkan restabilisasi kompleks partikel koloid pada limbah cair. Pada pra perlakuan telah ditentukan pH dan dosis optimum yang dapat diaplikasikan pada limbah cair kopi.
Penggunaan
koagulan pada pH dan dosis optimum akan menunjukkan penurunan konsentrasi polutan koloid maksimum. Larutan Ca(OH)2 ataupun CaCO3 dapat digunakan untuk meningkatkan pH sekaligus berfungsi sebagai koagulan pendukung. Tabel 33 Efisiensi proses pengolahan kimia dan fisika limbah cair kopi Penanganan Kimia: a. Alum b. FeCl3 c. Alum + Ca d. FeCl3 + Ca e. Alum f. PAC Fisika d) a) b) c) d)
pH awal
pH akhir
COD awal (mg/L)
4,5 4,5 4,5 4,5 7,12 7,12 4,64 7,12
5,5 4,3 6,0 5,5 6,0 6,5 4,80 7,50
5000a) 5000 a) 5000 a) 5000 a) 1960b) 1960b) 1520 c) 1960 b)
pH:dosis optimum 6,0:5g/L 5,0:7,5g/L 6,0:5g/L 6,0:7,5g/L 6,0:5g/L 7,0:5g/L
COD akhir ΔCOD (mg/L) (%) 2453 1404 2121 1448,9 191,01 137,49 618,08 622,33
50,93 71,91 57,58 71,02 90,25 92,98 59,34 68,25
ΔWarna (%) 89,15 97,84 88,47 96,36 70,48 88,25 45,08 40,15
limbah cair kopi efluen proses anaerobik limbah cair di Puslitkoka, Kab. Jember limbah cair proses pengolahan kopi di KUPK Sidomulyo, Kab. Jember kombinasi ijuk, silica, karbon aktif & zeolit
Penentuan koagulan berpengaruh nyata terhadap penurunan warna, TSS dan COD.
Pada penelitian yang pernah dilakukan untuk limbah cair yang
mengandung melanoidin, penggunaan feri klorida ataupun garam-garam besi lebih
194
efektif dibandingkan alum. Akan tetapi efluen yang dihasilkan cenderung di bawah pH netral sehingga membutuhkan penanganan lanjutan (Novita 2001). Penggunaan koagulan FeCl3 pada penelitian ini juga menunjukkan persentase penurunan yang lebih besar pada limbah cair proses pengolahan kopi dibandingkan penggunaan alum (Gambar 78). Akan tetapi lumpur besi yang dihasilkan cukup besar serta pH larutan akhir yang cenderung asam akan menimbulkan permasalahan pada saat penanganan akhir. Kombinasi Ca pada perlakuan koagulasi dimaksudkan untuk menggantikan NaOH yang lebih mahal harganya sehingga mencapai pH optimum proses.
Akan tetapi lumpur akhir
cukup besar sehingga membutuhkan penanganan khusus setelah proses selesai. Lumpur proses koagulasi flokulasi dalam jumlah besar di beberapa industri telah banyak dimanfaatkan untuk pembuatan coneblock ataupun batako. Membutuhkan kajian lebih lanjut apabila akan dilakukan pemanfaatan lumpur proses koagulasi flokulasi. Penurunan warna lebih signifikan terjadi pada limbah cair proses pengolahan kopi dibandingkan penurunan COD. Hal ini diperkirakan karena proses koagulasi tidak mampu menggoyahkan partikel-partikel bahan organik kompleks limbah cair kopi. Akan tetapi proses koagulasi flokulasi cukup efektif dilakukan pada efluen proses anaerobik, karena bahan organik kompleks telah diurai oleh mikroorganisme anaerobik. Dengan demikian, penurunan konsentrasi bahan organik dapat terjadi seiring penurunan warna efluen anaerobik.
Gambar 78 Grafik penurunan COD dan warna pada limbah cair kopi
195
Menurut Stumm dan O’Melia (tanpa tahun) diacu dalam Benefield et al. (1982), untuk merangsang partikel koloid bergabung membentuk gumpalan pada proses koagulasi dibutuhkan cara penggoyahan partikel yang dapat dicapai melalui penekanan lapisan ganda listrik dan penyerapan untuk netralisasi. Penekanan lapisan ganda listrik dicapai melalui penambahan elektrolit bermuatan yang berlawanan dengan muatan partikel koloid. Selanjutnya penggoyahan partikel koloid juga akan terjadi apabila elektrolit yang ditambahkan dapat diserap oleh partikel koloid sehingga muatan partikel menjadi netral.
Penyerapan
elektrolit ini hanya mungkin terjadi jika muatan partikel mempunyai konsentrasi cukup kuat mengadakan gaya tarik menarik antara partikel koloid dengan koagulan (Koenig 1987). Reaksi alum dan feri klorida dalam air dapat berbeda sehingga kekuatan penggoyahan partikel koloid limbah cair juga berbeda. Menurut Eckenfelder (1986), reaksi alum dan feri klorida adalah sebagai berikut; Al2(SO4)3 + 6HCO3- 2 Al(OH)3 + 3 SO4-2 + 6CO2 FeCl3 + 3 H2O Fe(OH)3 + 3H+ + 3ClAlum lebih stabil dalam penggunaannya dan flok aluminium hidroksida yang terbentuk bersifat gelatin sehingga akan mengabsorpsi partikel koloid. Sementara feri klorida bekerja dengan dua mekanisme, yaitu sebagian ion Fe3+ akan menetralkan muatan koloid dan sebagian ion Fe3+ mengalami hidrolisis. Reaksi hidrolisis feri klorida mirip dengan reaksi hidrolisis alum pada persamaan reaksi sebelumnya. Proses koagulasi dan flokulasi dapat dilakukan pada limbah cair kopi instan. Menurut Ean (2008), feri klorida menunjukkan kemampuan lebih baik dibandingkan aluminium sulfat untuk mengolah limbah cair kopi instan. Tingkat penurunan turbiditas dan TSS mencapai 95,38% dan 91,43% menggunakan feri klorida. Sedangkan aluminium sulfat menurunkan turbiditas dan TSS sebesar 87,65% dan 88,57%. Feri klorida juga mampu menurunkan warna dan COD sebesar 95% dan 66,45%. Aluminium sulfat mampu menurunkan warna dan COD sebesar 90% dan 66,45%. Proses fisika dengan prinsip filtrasi dan adsorpsi dapat digunakan untuk menangani limbah cair kopi dan efluen anaerobik meskipun dengan efisiensi
196
rendah. Penanganan filtrasi pada penelitian ini menggunakan pasir halus silica, karbon aktif dan zeolit untuk proses adsorpsi dan penyaringan. Penggunaan ijuk pada awal proses dimaksudkan untuk menyaring polutan yang berukuran besar. Efisiensi penurunan polutan lebih besar pada efluen anerobik dibandingkan pada limbah cair kopi.
Dengan demikian penanganan fisika lebih sesuai untuk
penanganan sekunder daripada untuk penanganan primer limbah cair kopi. Karbon aktif yang digunakan pada penelitian ini merupakan jenis karbon aktif granular yang umum digunakan pada proses adsorpsi limbah cair dan air minum. Karbon aktif digunakan untuk mengadsorpsi padatan terlarut hingga padatan tersuspensi/koloid. Meskipun dalam pemanfaatannya akan dipengaruhi oleh konsentrasi polutan, waktu kontak, pH dan dosis karbon aktif. Menurut Chaudhuri dan Khairi (2011), permukaan karbon aktif granular yang luas dengan mikro pori, mikro volume dan diameter rata-rata pori cenderung seragam cukup efektif menangani limbah cair yang terkontaminasi logam berat. Ukuran pori yang kecil akan memberikan waktu kontak lebih lama pada limbah cair sehingga mampu mengoptimalkan proses adsorpsi.
Gambar 79 Perbandingan efisiensi pengolahan fisika pada limbah cair kopi Karbon aktif dapat dibuat dari limbah pertanian dengan karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan karbon aktif berbasis batubara. Salah satu contoh sumber karbon aktif adalah sabut kelapa yang merupakan residu pengolahan kelapa yang mudah diperoleh dan murah. Sabut kelapa kaya akan lignin (16– 45%), hemiselulosa (24–47%), dan pektin (2%) (Han dan Rowell 1996; Conrad dan Hansen 2007). Grup karboksilat dan fenolat dari lignin, hemiselulosa dan
197
pektin merupakan bagian penting dalam pengikatan logam-logam berat Conrad dan Hansen 2007). Selain karbon aktif, zeolit juga umum digunakan dalam proses adsorpsi dan penyaringan. Zeolit memiliki kemampuan untuk tukar kation. Zeolit adalah aluminosilikat dengan rasio Si/Al yang memiliki kemampuan untuk adsorpsi selektif air, limbah cair, karbondioksida, hidrogen sulfida dan polutan lain. Adsorpsi sejauh ini merupakan metode yang cukup baik, efektif, murah dan mudah diterapkan untuk menurunkan konsentrasi polutan. Pasir silica selain dapat menyaring padatan tersuspensi juga mampu mendekomposisi polutan terlarut.
Dengan demikian pasir silica membantu
mengurangi padatan tersuspensi pada limbah cair. Menurut El Taweel dan Ali (2000), penyaringan air menggunakan pasir silica juga dapat menurunkan total coliform, penurunan kekeruhan terutama bila dilakukan secara bertahap. Meskipun demikian secara estetika air yang terfilter tidak ada perbedaan berdasarkan parameter fisika dan kimia. 7.3.6. Desain Penanganan Limbah Padat Proses Pengolahan Kopi Limbah padat proses pengolahan basah kopi berupa kulit, daging buah (pulp) dan kulit tanduk apabila tidak ditangani akan menimbulkan bau tidak sedap dan menarik serangga dan lalat.
Limbah padat akhirnya dapat menimbulkan
masalah kesehatan lingkungan dan estetika.
Apabila limbah tersebut tidak
dimanfaatkan secara optimal dan ditumpuk di sekitar lokasi pengolahan selama beberapa bulan, akan menimbulkan bau busuk dan cairan yang mencemari lingkungan.
Menurut Rathinavelu dan Graziosi (2005), upaya pemanfaatan
limbah padat kopi telah dilakukan berpuluh-puluh tahun yang lalu terutama pemanfaatan pulpa kopi menjadi pakan ternak, asam cuka, biogas, ekstrak kafein, pektin, enzim pektat, protein, dan kompos. Salah satu upaya untuk mendukung pertanian berkelanjutan melalui perbaikan tanah adalah pemanfaatan secara maksimal limbah proses produksi kopi. Limbah pulpa kopi memiliki kadar bahan organik dan unsur hara yang memungkinkan untuk memperbaiki tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar C-organik pulpa kopi adalah 45,3 %, kadar nitrogen 2,98 %, fosfor 0,18 %, dan kalium 2,26 %. Selain itu pulpa kopi juga
198
mengandung unsur Ca, Mg, Mn, Fe, Cu, dan Zn. Pulpa kopi kaya akan serat, karbohidrat, protein, mineral dan sejumlah pektin. Pembuatan pakan
Silase dari pulp kopi
Pakan ternak
Pengeringan
Tepung pulp kopi
Pakan ternak
Pengepresan
Bagas-pulp kopi
Penambahan air (juice) Pulp Kopi
Ekstraksi
Proses mikrobial
Produk kaya protein
Pakan ternak
Pulp kopi
Caffein Ekstraksi
Pulp kopi
Protein Fermentasi alami
Pupuk organik + energi (gas) Enzim pektinase
Lain
Ekstrak konsentrasi pulp kopi Cuka
Gambar 80 Beberapa alternatif pemanfaatan pulpa kopi (Braham dan Bressani 1979) Pakan ternak Ekstraksi pelarut Kulit tanduk kopi (hull)
Residu
Wax (lilin) Bahan bakar Arang + asam asetat Enzim pektinase
Lendir (mucilage)
Proses mikrobial (kaya protein) Pektin
Gambar 81 Beberapa alternatif pemanfaatan kulit tanduk dan lendir kopi (Braham dan Bressani 1979)
Produk lain yang menarik dimanfaatkan adalah lendir (mucilage) yang terletak di antara daging buah dan kulit kopi dan merupakan 5% berat kering dari buah kopi (Bressani et al. 1972). Lendir terdiri atas lapisan kental 0,5 – 2 mm yang kuat melekat pada kulit buah. Lendir merupakan lapisan koloid dan bersifat hidrogel (lyophilic). Lendir mengandung air, pektin, gula, dan asam organik. Selama fase pematangan buah kopi, kalsium pektat yang berada di tengah lamella dan protopektin dari dinding selular dikonversi menjadi pektin. Transformasi atau proses hidrolisis protopektin ini menyebabkan disintegrasi dari dinding sel,
199
meninggalkan plasma sel. Selain pektin, plasma ini mengandung gula dan asam organik yang diturunkan dari proses konversi dan metabolisme tepung menjadi gula (Carbonell dan Vilanova 1974 diacu dalam Braham dan Bressani 1979). Lendir umumnya sulit untuk diperoleh karena mekanisme proses pengupasan dan pencucian pada pengolahan basah. Lendir akan terbawa bersama air dan akan terolah seterusnya melalui fermentasi.
Oleh karena itu apabila
diinginkan substansi pektat, maka perlu dilakukan daur ulang air atau menggunakan pulpa kopi sebagai bahan baku. Berdasarkan studi literature dan pengamatan di lapangan, beberapa alternative pemanfaatan limbah padat proses pengolahan basah kopi rakyat adalah sebagai berikut; 1.
Briket. Limbah padat kopi dapat dijadikan briket, terutama untuk kulit kopi yang berasal dari pengolahan kering.
Dari 1 kilogram kulit kopi yang
dihasilkan dalam proses pengolahan biji kopi dapat dihasilkan 4 ons briket. Pengolahan itu dilakukan dengan mengambil kulit kopi. Pada kulit kopi hasil pengolahan basah, perlu dilakukan pengeringan terlebih dahulu. Selanjutnya, limbah dijadikan arang dan kemudian dicetak. Briket dari limbah kopi itu siap dipakai
dalam
bentuk
cetakan
bulat,
sebesar
buah
kemiri.
Cara
memanfaatkannya sama dengan briket batu bara.
Gambar 82 Contoh briket kulit kopi pengolahan kering 2.
Limbah kopi untuk pakan ternak.
Daging buah kopi (pulpa) dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak dengan konsentrasi maksimum 20% dan mampu menghemat hingga 30% biaya pakan ternak. Komposisi pulpa kopi mengandung protein 75-150 g/kg, lemak 20-70 g/kg dan karbohidrat 210-320 g/kg (Rojas et al. 2003). Menurut Beltran et al. (2011), pulpa kopi yang kaya akan pektin dan karbohidrat terlarut berpotensi sebagai sumber campuran pakan ternak.
Akan tetapi kandungan faktor antinutrisi seperti kafein,
200
polifenol dan tannin membatasi campuran pulpa kopi tidak dapat melebihi 20%.
Bressani et al. (1972) menyatakan kandungan lignin, pentosa dan
heksosa yang tinggi pada kulit kopi membutuhkan penanganan khusus. Pemanfaatan yang mungkin dan telah dikembangkan untuk kulit kopi adalah sebagai sumber energi bagi proses pengeringan kopi. 3.
Papan partikel. Kulit tanduk kering dari pengolahan kopi mengandung air 7,8%, serat kasar 77%, abu 0,5%, ekstrak nitrogen 18,9% (Elias 1979 diacu dalam Yusianto et al. 1999). Serat kasar terdiri dari selulosa, pentosa, lignin serta bahan berlignoselulosa yang berpeluang digunakan sebagai bahan baku papan partikel.
Pulpa kopi berserat kasar agak rendah, namun masih
memungkinkan sebagai bahan pengisi papan partikel. Bahan baku papan partikel dapat berasal dari kulit buah proses pengolahan kering dan kulit tanduk pengolahan basah. Papan partikel dari kulit tanduk hasil pengolahan basah tidak mudah ditumbuhi kapang, karena sudah tidak mengandung gula dari proses pengupasan dan pencucian. Sebaliknya papan partikel dari kulit kopi pengolahan kering mudah ditumbuhi kapang dan memiliki kandungan serat rendah.
Dengan demikian kulit tanduk hasil pengolahan basah
menunjukkan potensi besar pembuatan papan partikel. Menurut Bekalo dan Reinhardt (2010), kandungan selulosa dan hemiselulosa yang besar pada kulit kopi dan kulit tanduk kopi dapat menggantikan kayu hingga 50% dalam pembuatan papan partikel. Pembuatan papan partikel berbahan baku kulit kopi dengan penggunaan dan jumlah resin yang sesuai bahkan sanggup memenuhi standar Eropa (Gambar 83). 4.
Biogas.
Daging dan kulit buah kopi hasil proses pengupasan masih
mengandung gula yang cukup besar, sehingga potensial bagi pembentukan biogas bersama-sama limbah cair proses pengolahan basah. Menurut Calle (1955) diacu dalam Braham dan Bressani (1979), 30 kg pulpa kopi yang dicampur dengan kotoran sapi mampu menghasilkan 670 liter metan setelah 72 hari. Residu proses ini juga kaya akan nitrogen dan sesuai digunakan sebagai pupuk organik.
201
Gambar 83 Papan partikel berbahan baku liimbah padat kopi Sumber: Bekalo dan Reinhardt (2010)
5.
Kompos. Menurut Calvert (1998), pulpa kopi hanya mengandung 1/5 nutrien yang berasal dari tanah, dimana 4/5 nutrien terbawa oleh biji siap ekspor. Meskipun demikian, daging buah kopi merupakan sumber yang baik untuk humus dan karbon organik.
Rathinavelu dan Graziosi (2005), kompos
merupakan sumber hara tanaman, bahan pembenah kesuburan fisik dan biologi tanah. Kecepatan suatu bahan menjadi kompos terutama dipengaruhi oleh C/N bahan. Semakin mendekati C/N tanah, maka bahan akan lebih cepat menjadi kompos.
Tanah pertanian yang baik mengandung perbandingan
unsur C dan N yang seimbang. Keseimbangan yang baik ialah C/N = 10/12 atau C : N = 10 : 12. Bahan-bahan organik yang memiliki C/N tinggi harus dikomposkan terlebih dahulu sebelum digunakan.
Menurut Baon et al.
(2005), pulpa kopi menghasilkan kompos bermutu lebih baik. Kandungan hara kompos pulpa kopi jauh lebih tinggi dibandingkan kompos kulit kopi. Selain itu rasio C/N pulpa kopi lebih sesuai untuk proses pengomposan (Tabel 34). Tabel 34 Perbandingan kandungan hara pada limbah padat kopi. Perlakuan Bahan : Pulpa (pulp) Kulit tanduk Campuran
C/N
C/P
N/P
pH
15,4 a 67,2 a 29,7 b
277 b 972 a 514 b
16 a 16 a 17 a
6,7 a 6,6 a 7,0 a
Sumber: Baon et al. (2005).
Untuk menghasilkan kompos dengan nisbah C/N > 15, pulpa kopi membutuhkan waktu 4 minggu sedangkan kulit tanduk lebih dari 8 minggu. Erwiyono et al. (2001), kompos kulit buah kopi memberikan pengaruh
202
tertinggi pada produksi kopi Robusta dibandingkan kompos dari sumber lain seperti belotong, kotoran sapi, kotoran kambing dan daun tanaman penaung. 6.
Media Jamur.
Limbah padat kopi menurut Fan dan Soccol (2005),
merupakan media yang sesuai untuk pertumbuhan jamur.
Berikut
perbandingan komposisi nutrisi pada limbah padat kopi untuk pertumbuhan jamur (Tabel 35.). Menurut Bermudez et al. (2001), efisiensi pulpa kopi menunjukkan potensi biologi pertumbuhan jamur tiram tertinggi (168,5 – 179,4%) dibandingkan kulit kelapa (90%) dan kulit kakao (84,5%). Fan et al. (2000) diacu dalam Fan dan Soccol (2005) efisiensi produksi jamur shitake dapat mencapai 90%, meskipun aplikasinya di petani baru mencapai 50%. Tabel 35 Perbandingan komposisi nutrisi kulit kopi dan pulpa kopi Komponen Protein (%) Lipid (%) Selulosa (%) Abu (%) Ekstrak non-nitrogen Tanin Kafein
Kulit Kopi 9,2 – 11,3 2,0 – 2,3 13,2 – 27,6 3,3 – 4,1 57,8 – 66,1 4,5 – 5,4 0,8 – 1,1
Pulpa Kopi 8,5 – 12,1 1,5 – 2,0 15,1 – 20,3 5,5 – 6,8 45,5 – 54,3 1,6 – 2,4 0,5 – 0,7
Sumber; Fan dan Soccol (2005).
7.3.7. Rekomendasi Penanganan Limbah Proses Pengolahan Kopi Buah kopi harus melalui proses panjang untuk dikonsumsi. Proses tersebut sering membutuhkan sejumlah besar air dan menghasilkan limbah padat dan cair. Minimisasi air pada proses pengolahan kopi metode olah basah belum sepenuhnya dapat memecahkan permasalahan yang timbul pada unit pengolahan kopi rakyat, karena masih ada limbah yang dihasilkan. Limbah tersebut dapat diubah menjadi produk bernilai ekonomis untuk menambah pendapatan petani kopi. Penerapan teknologi yang tepat untuk mengolah limbah cair serta pemanfaatan produk samping (by products) pengolahan kopi sangat dibutuhkan.
Produk samping
adalah sesuatu yang turut dihasilkan pada saat mengolah suatu produk atau hasil sekunder/hasil samping dari suatu proses produksi. Mburu (2010), minimisasi air proses pengolahan dapat dilakukan dengan mendaurulang air proses dengan beberapa batasan. Air proses sortasi rambang dapat digunakan untuk air proses pengupasan. Air proses pengupasan tidak dapat digunakan kembali untuk keperluan lain melainkan hanya untuk proses
203
pengupasan sebanyak 2-3 kali. Modifikasi peralatan akan membantu mengurangi kebutuhan air, meskipun dalam penerapannya membutuhkan penilaian lanjut yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Menurut Calvert (1998), keuntungan resirkulasi air proses pengupasan untuk proses pengupasan kembali adalah mempercepat aksi bakteri mendegradasi komponen lendir pada proses fermentasi.
Apabila air bersih berlebih yang
digunakan untuk proses pengupasan, maka akan banyak gula terlarut yang dapat tercuci sebelum proses fermentasi. Kondisi demikian akan mengurangi kerja bakteri pembusuk yang menguntungkan dan menambah bakteri ataupun kapang yang menghasilkan asam-asam tingkat tinggi seperti propionat dan butirat yang dapat menyebabkan onion flavor pada biji kopi. Meskipun demikian dibutuhkan pengawasan terhadap kondisi air proses pengupasan terutama tingkat gula dan enzim yang terlarut. Oleh karena itu, pada saat air daur ulang yang digunakan untuk proses pengupasan mulai mengental dan pekat, air ini harus dibuang. Lebih lanjut Calvert (1998) menjelaskan proses fermentasi yang berfungsi mendegradasi lendir dari daging buah kopi tidak dapat digantikan dengan proses mekanis jika kualitas akhir biji kopi yang diinginkan. Berdasarkan hasil penelitian terhadap kualitas limbah cair, limbah padat serta upaya penanganannya pada proses pengolahan kopi, maka dapat diterapkan sistem tertutup penanganan limbah (Gambar 84). Sistem tertutup penanganan limbah merupakan bagian penerapan konsep ekoteknologi untuk meningkatkan kualitas lingkungan terutama kualitas badan air dan tanah.
Jacobi (2004),
memberikan contoh penerapan ekoteknologi pada pertanian kopi di Matagalpa, Nicaragua untuk meningkatkan kualitas air.
Pertanian kopi di Matagalpa
memanfaatkan kombinasi teknologi UASB, penggunaan bio-filter (kolam dengan tanaman air) untuk mengolah limbah cair proses pengolahan. Adapun air setelah penanganan (efluen) dialirkan ke areal pertanian melalui irigasi sprinkler. Desain sistem tertutup proses pengolahan kopi dan alternatif penanganan limbah pengolahan kopi merupakan desain integrasi pengolahan kopi dan penanganan limbah pengolahan yang berbasis produksi bersih. Pengolahan kopi rakyat berdasarkan prinsip minimisasi air optimum yang mampu meningkatkan mutu biji kopi sekaligus menurunkan volume limbah cair yang dihasilkan.
204
Desain terintegrasi penanganan limbah meliputi upaya penanganan limbah cair dan limbah padat yang bernilai ekonomis dan menerapkan konsep 3R (reduce, reuse, and recycle). Desain penanganan limbah cair dapat dibagi menjadi beberapa tahap, meliputi (1) pra penanganan, (2) penanganan primer, (3) penanganan sekunder dan (4) penanganan tersier. 1.
Proses netralisasi limbah cair dalam tahap pra penanganan akan dibutuhkan apabila limbah cair yang dihasilkan memiliki nilai pH di bawah 5,0.
2.
Penanganan primer dilakukan dengan menerapkan teknologi pembangkitan biogas. Digester anaerobik yang mampu menghasilkan biogas dapat disesuaikan dengan kapasitas pengolahan kopi KUPK Sidomulyo. Adapun biogas yang dihasilkan dapat dialirkan kembali ke sentra pengolahan kopi sebagai bahan bakar proses pengeringan ataupun dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai alternatif pengganti kayu bakar dan LPG untuk memasak.
3.
Penanganan sekunder dapat diterapkan dengan tujuan mendapatkan kembali air hasil pengolahan limbah untuk dimanfaatkan kembali pada proses sortasi dan pengupasan buah kopi (pulping). Alternatif tahap penanganan sekunder meliputi; (1) proses sedimentasi, (2) proses koagulasi flokulasi, dan (3) pembuatan pupuk cair dari air limbah keluaran (efluen) digester anaerobik.
4.
Penanganan tersier meliputi beberapa alternatif yaitu; (1) filtrasi atau penyaringan efluen proses sedimentasi, (2) filtrasi atau penyaringan efluen proses koagulasi flokulasi, (3) penanganan lumpur atau limbah padat dari penanganan limbah cair. Sebagaimana penanganan limbah cair, upaya penanganan limbah padat
proses pengolahan kopi juga dilakukan berdasarkan beberapa alternatif penanganan yang meliputi; 1.
Pemanfaatan pulpa kopi dari proses pulping untuk pembuatan pakan ternak, kompos dan media produksi jamur.
2.
Pemanfaatan pulpa dan kulit tanduk kopi untuk pembuatan briket, kompos, papan partikel ataupun bahan baku reaktor anaerobik.
3.
Pemanfaatan limbah padat hasil penanganan limbah cair untuk pembuatan kompos ataupun papan partikel.
205
7.4. Kesimpulan Limbah cair proses pengupasan dan pencucian buah kopi kaya akan bahan organic dan kandungan padatan terlarut.
Rasio BOD/COD yang termasuk
kategori biodegradable dan proporsi kandungan padatan yang mudah menguap (VSS)
menunjukkan
kesesuaian
penanganan
secara
biologi
anaerobik.
Penanganan limbah cair pengolahan kopi dengan digester anaerobik konvensional relatif mudah untuk diterapkan selain menghasilkan biogas sebagai sumber energi. Lumpur proses anaerobik yang dihasilkan cenderung lebih stabil sehingga memudahkan pemanfaatannya.
Kandungan makronutrien yang masih cukup
tinggi dari efluen proses anaerobik memiliki potensi untuk dimanfaatkan kembali. Penanganan sekunder dan tersier dapat dilakukan terhadap efluen anaerobik yang disesuaikan dengan tujuan akhir pengolahan. Proses koagulasi dan flokulasi telah terbukti efektif untuk menurunkan warna limbah cair. Proses sedimentasi dan filtrasi lebih sesuai untuk menurunkan padatan terendapkan pada penanganan tersier.
Upaya memanfaatkan kembali efluen penanganan limbah cair
membutuhkan kajian lanjut untuk mengetahui pengaruhnya terhadap proses fermentasi dan mutu kopi akhir. Penanganan limbah padat pengolahan kopi diarahkan kepada pembuatan produk yang bernilai ekonomis dan mampu untuk dilakukan masyarakat di KUPK Sidomulyo. Beberapa alternatif pembuatan produk ekonomis dari limbah padat pengolahan kopi adalah pembuatan briket, pakan ternak, papan partikel, kompos, bahan baku reaktor biogas dan media produksi jamur.
Kajian lanjut mengenai
ketersediaan bahan baku, sumberdaya manusia dan kemampuan teknologi serta pasar yang tersedia akan membantu keberlanjutan penanganan limbah padat proses pengolahan kopi sebagai bagian dari sistem keberlanjutan agroindustri kopi di KUPK Sidomulyo.
Agroindustri kopi rakyat yang menerapkan prinsip
produksi bersih diterapkan melalui integrasi sistem tertutup proses pengolahan kopi berbasis meminimalkan air, upaya penanganan limbah cair dan limbah padat yang menerapkan konsep 3R (reduce, reuse and, recycle).
206
Gambar 84 Sistem tertutup proses pengolahan dan alternatif penanganan limbah pengolahan kopi rakyat
207
VIII. ANALISIS LINGKUNGAN, SOSIAL DAN EKONOMI AGROINDUSTRI KOPI ROBUSTA RAKYAT BERBASIS PRODUKSI BERSIH
8.1. Pendahuluan Kopi organik (organic coffee), kopi yang ramah lingkungan (friendly coffee) dan kopi dalam perdagangan yang adil (fair trade) adalah klasifikasi sertifikat kopi berkelanjutan.
Kopi tersebut mendapatkan penghargaan harga premium
sekaligus memberikan keuntungan bagi produsennya. Meskipun demikian tidak berarti kopi yang berada di luar sertifikat tersebut adalah kopi yang tidak berkelanjutan.
Ketiga kategori sertifikasi tersebut diberikan terkait
kualitas
keberadaan perkebunan dan pengolahan kopi yang mampu memberikan keseimbangan dalam memenuhi kebutuhan lingkungan, sosial dan ekonomi untuk keberlanjutan.
Akan tetapi, dalam kenyataannya pasar kopi dunia terutama
digerakkan oleh faktor ekonomi, sehingga biaya lingkungan dan sosial hendaknya telah masuk dalam harga kopi. Mutu kopi yang baik merupakan persyaratan utama keberlanjutan pertanian kopi yang telah berlaku sejak lama sebelum muncul sertifikasi kopi. Karena mutu yang terjamin merupakan salah satu indikator kemampuan petani untuk bersaing di pasar dunia. Seiring persyaratan dimensi keberlanjutan kopi, mutu yang baik tidak saja cukup untuk menjamin penerimaan biji kopi di pasar dunia. Pasar kopi dunia masih memiliki kecenderungan untuk menerima kopi dengan kualitas minimal selama mendukung keberlanjutan lingkungan dan sosial. Terutama bagi jenis kopi Robusta yang umumnya digunakan untuk coffee blending. Oleh karena itu peningkatan mutu menjadi hal yang penting untuk diupayakan seimbang dengan upaya peningkatan keberlanjutan lingkungan dan sosial. Sistem pengolahan kopi rakyat yang menerapkan teknologi olah basah berbasis produksi bersih berorientasi pada pencapaian tujuan untuk meningkatkan mutu kopi sekaligus ramah terhadap lingkungan. Sistem hendaknya merupakan satu kesatuan usaha yang bersifat dinamis, keterbukaan terhadap lingkungan dan memiliki pengendalian yang terintegrasi (Marimin 2004).
Dengan demikian
keberadaan agroindustri kopi rakyat sebagai suatu sistem dapat berkelanjutan.
207
208
Transformasi sebagai suatu proses perubahan input menjadi output yang dilakukan oleh sistem pengolahan kopi rakyat meliputi modifikasi proses olah basah dengan penerapan upaya minimisasi air, penerapan teknologi penanganan limbah cair, dan padat yang menghasilkan produk samping bernilai ekonomis. Penilaian kelayakan secara lingkungan dan ekonomi dari sistem pengolahan kopi rakyat akan membantu menentukan keputusan penerapannya dalam masyarakat. 8.2. Metodologi 8.2.1. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer berasal dari hasil wawancara, pengamatan dan perhitungan pada tahapan penelitian sebelumnya. Data sekunder berasal dari literatur dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan agroindustri kopi rakyat. 8.2.2. Variabel yang diamati Variabel yang diamati meliputi; volume dan karakteristik keluaran proses pengolahan kopi, investasi dan biaya produksi peralatan proses pengolahan kopi dan penanganan limbah, karakteristik efluen penanganan limbah, luasan lahan dan kapasitas produksi, ketersediaan tenaga kerja, usaha lain, dan karakteristik masyarakat KUPK Sidomulyo. 8.2.3. Metode Analisis Data 1.
Analisis keekonomian agroindustri kopi Robusta rakyat berbasis produksi bersih berdasarkan parameter finansial NPV, IRR, PBP, dan B/C (Nurmalina et al. 2010).
2.
Analisis lingkungan secara kualitatif berdasarkan potensi dampak sistem agroindustri kopi rakyat berbasis produksi bersih.
3.
Analisis sosial secara kualitatif berdasarkan kondisi dan karakteristik masyarakat KUPK untuk menerapkan konsep produksi bersih dalam agroindustri kopi Robusta rakyat.
209
8.3 Hasil dan Pembahasan 8.3.1. Analisis Lingkungan Metode pengolahan basah kopi yang lebih kompleks dibandingkan pengolahan kering bertujuan untuk meningkatkan kualitas biji kopi. Akan tetapi metode ini menghasilkan limbah cair, emisi dan produk samping yang dapat menurunkan kualitas lingkungan bahkan dapat berdampak pada perubahan iklim. Modifikasi olah basah yang dihasilkan pada penelitian ini melalui penerapan minimisasi air proses masih menghasilkan limbah cair dengan konsentrasi tinggi. Melalui penerapan konsep produksi bersih, limbah cair berkonsentrasi tinggi dan produk samping yang melimpah dapat diolah kembali dan memberikan manfaat bagi petani kopi. Musim panen kopi di KUPK Sidomulyo umumnya berlangsung pada bulan Mei hingga September yang termasuk pada musim kering. Penerapan proses pengolahan basah yang membutuhkan air tentu akan mempengaruhi kebutuhan air sehari-hari masyarakat, terutama pada saat panen puncak (Juni-Agustus). Selain itu pembuangan limbah cair pengolahan kopi ke sungai yang memiliki debit rendah akan menimbulkan beban pencemaran yang tinggi (Gambar 85). Pengolahan kopi rakyat di KUPK Sidomulyo yang mulai menerapkan proses pengolahan basah masih menggunakan volume air yang cukup besar dengan rata-rata 6 – 7 m3/ton buah kopi. Air yang digunakan berasal dari sumber air yang berjarak ± 6 km dan dialirkan melalui pipa. Air ini digunakan juga untuk melayani kebutuhan air sehari-hari masyarakat di KUPK Sidomulyo. Adapun sungai yang menjadi tempat pembuangan limbah cair proses pengolahan kopi adalah sungai kecil yang terletak tidak jauh dari sentra pengolahan kopi.
Gambar 85 Pencemaran badan air oleh limbah cair pengolahan kopi rakyat
210
Pembuangan limbah cair ke badan air akan menimbulkan pencemaran terutama bagi masyarakat di hilir sungai. Konsentrasi bahan organik yang tinggi serta debit air yang rendah pada musim kering akan meningkatkan beban pencemaran dibandingkan pada musim basah. Perlakuan minimisasi air dapat mengurangi input air proses, tetapi meningkatkan konsentrasi bahan organik pada limbah cair. Tanpa adanya penanganan limbah yang tepat, minimisasi air proses akan memberikan beban lebih besar terhadap pengolahan kopi rakyat. Melalui minimisasi air proses dan penanganan limbah cair diharapkan dapat mengurangi pencemaran air sekaligus meningkatkan ketersediaan air bersih bagi masyarakat terutama pada musim kering.
Berikut konsentrasi pencemaran di sungai dan
prediksi pencemaran jika diterapkan penanganan limbah cair di KUPK Sidomulyo (Gambar 86).
Gambar 86 Prediksi konsentrasi pencemaran bahan organik di sungai Konsentrasi bahan organik di sungai pada musim kering telah melebihi nilai baku mutu air sungai kelas 3 untuk parameter BOD berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pembuangan limbah cair hasil pengolahan kopi ke sungai meningkatkan konsentrasi BOD dan COD sungai sebesar 31% dan 30%. Apabila diterapkan perlakuan minimisasi air proses tanpa pengolahan dan tetap dibuang ke sungai, konsentrasi BOD dan COD sungai akan meningkat hingga 116% dan 131% jauh di atas ambang batas. Pemilihan tahap pengolahan limbah cair mempengaruhi
211
konsentrasi air limbah hasil penanganan (efluen) yang dibuang ke sungai. Tahap penanganan tersier merupakan pilihan yang terbaik apabila air limbah harus dibuang ke sungai. Efluen hasil pengolahan tahap tersier jika tidak dikembalikan ke pengolahan hanya meningkatkan konsentrasi BOD dan COD sungai sebesar 1,25% dan 1,45%. Meskipun demikian, pilihan untuk membuang efluen hasil penanganan limbah ke sungai sebaiknya dihindari dalam penerapan konsep produksi bersih, karena masih ada peluang untuk pemanfaatan efluen. Analisis lingkungan secara umum penerapan konsep produksi bersih pada agroindustri kopi rakyat dapat diuraikan sebagai berikut; 1.
Minimisasi air proses dapat dilakukan dengan cara mengurangi volume air proses pengupasan dan pencucian hingga 67% (± 3,012 m3/ton buah kopi), menggunakan air tahap sortasi rambangan untuk proses pengupasan dan melakukan daur ulang air limbah yang telah diolah. Penggunaan kembali air sortasi untuk proses pengupasan mampu meningkatkan proses fermentasi yang akhirnya meningkatkan kualitas kopi.
2.
Limbah cair yang dihasilkan dari proses pengolahan kopi memiliki pH yang rendah serta lebih kental dengan kandungan bahan organik tinggi seperti pektin, protein dan gula. Lendir yang terdegradasi akan terpresipitasi dari larutan dan membentuk lapisan permukaan yang tebal berwarna hitam di atas dan lumpur kecoklatan di bawahnya. Lapisan ini dapat menutupi jalan air dan berkontribusi terhadap kondisi anaerobik dan bau yang tidak sedap. pH yang rendah dan konsentrasi yang tinggi dari polutan organik akan membahayakan kesehatan manusia, mengurangi kandungan oksigen dan mengganggu kehidupan biota air jika langsung dibuang ke badan air permukaan. Oleh karena itu dibutuhkan teknologi penanganan yang layak dan mampu memberikan nilai tambah pada proses pengolahan kopi rakyat.
3.
Aplikasi proses anaerobik yang mampu menghasilkan biogas pada tahap pengolahan primer limbah cair proses pengolahan kopi merupakan hal yang menguntungkan bagi lingkungan serta menjadi sumber energi dari sumber daya terbarukan.
Residu proses anaerobik masih bermanfaat dalam
meningkatkan nutrien tanaman. Pada konsentrasi limbah cair yang rendah (< 700 mg/L COD), proses anaerobik dapat menjadi tidak bermanfaat bahkan
212
dapat meningkatkan emisi ke lingkungan, karena gas metan terlarut bersama efluen.
Demikian pula pada pH limbah cair di bawah nilai 5,0, perlu
dilakukan penetralan untuk mencegah kematian dan tidak optimalnya kerja mikroorganisme pengurai. 4.
Aplikasi digester anaerobik merupakan teknologi yang tepat untuk mengurangi pencemaran gas metana pada limbah pertanian.
Digester
anaerobik memberikan peluang untuk melakukan pencegahan pencemaran, mengurangi volume limbah melalui produksi gas metan dan produk samping yang bernilai ekonomis. Karakteristik dasar teknologi anaerobik yang alami layak untuk dikembangkan untuk memulihkan biomassa yang telah dimanfaatkan sebagai contoh memanfaatkan lumpur hasil proses anaerobik yang bersifat stabil menjadi kompos yang bernilai bagi pertanian. 5.
Penggunaan biodiesel pada mesin pengolahan dan pemanfaatan biogas dapat mengurangi konsumsi bahan bakar fosil yang berdampak pengurangan emisi gas rumah kaca, gas-gas nitrogen oksida, hidrokarbon dan partikulat. Biodiesel mampu mengurangi tingkat emisi hingga 40%. Penurunan tingkat emisi dari proses anaerobik dapat bervariasi tergantung pada konsentrasi bahan baku, efisiensi teknologi dan pemanfaatan akhir produk. Menurut Borjesson dan Berglund (2006), sistem pembangkitan biogas untuk menangani limbah cair dapat menurunkan emisi gas CO2 hingga 35 – 60%, dibandingkan proses pengolahan lain. Akan tetapi tidak mempengaruhi emisi gas lain secara signifikan umumnya hanya sekitar 5%.
6.
Pengolahan sekunder dan tersier terhadap efluen proses anaerobik dengan metode fisika-kimia akan meningkatkan kualitas efluen sehingga dapat dimanfaatkan kembali untuk proses pengolahan kopi.
7.
Limbah padat proses pengolahan kopi yang mencapai 60% merupakan potensi besar untuk dimanfaatkan menjadi produk bernilai ekonomi. Pemanfaatan limbah padat yang disesuaikan dengan potensi lokal mampu meningkatkan kualitas tanah pertanian, pendapatan petani, mengurangi penggunaan pupuk anorganik, mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencegah pencemaran air tanah.
213
8.
Proses pengolahan kopi umumnya berlangsung sekitar 5 bulan selama masa panen dalam satu tahun.
Di luar musim panen kopi, untuk menjaga
keberlangsungan operasional reaktor anaerobik, kotoran ternak seperti sapi dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku. Pemanfaatan biomassa perkebunan seperti limbah daun juga dapat digunakan sebagai bahan baku reaktor. Pemanfaatan bahan baku selain limbah cair proses pengolahan kopi meningkatkan fleksibilitas operasional reaktor biogas. 9.
Air limbah keluaran proses anaerobik yang masih memiliki nutrisi tinggi pada dasarnya dapat dimanfaatkan untuk mengairi pertanian.
Akan tetapi
dibutuhkan kajian lebih lanjut untuk mengetahui dampaknya terhadap resiko kesehatan lingkungan.
Beberapa keuntungan dari penggunaan kembali
limbah cair untuk pertanian adalah; (a) konservasi air dengan mendaur ulang dan mengembalikan air tanah, (b) metode paling murah untuk menangani limbah cair, (c) mengurangi pencemaran air sungai, (d) mengkonservasi nutrient dengan menggunakannya sebagai pupuk cair, (e) meningkatkan produksi pertanian, dan (f) menyediakan sumber air bagi petani. Meskipun demikian terdapat beberapa potensi kerugian yang perlu dipertimbangkan, yaitu; (a) resiko kesehatan bagi petani dan masyarakat yang memanfaatkan produk pertanian, (b) potensi kontaminasi air tanah terutama oleh nitrat, (c) potensi penciptaan habitat vektor penyakit seperti nyamuk di daerah pertanian. 8.3.2. Analisis Sosial Perubahan metode pengolahan kopi dari pengolahan kering menjadi pengolahan basah yang lebih kompleks membutuhkan teknologi dan kapasitas sumber daya manusia yang sesuai. Teknologi merupakan kendaraan perubahan sosial yang membantu manusia untuk meningkatkan taraf hidupnya. Peningkatan taraf hidup membantu meningkatkan struktur sosial sebagai bagian dari aspek keberlanjutan. Akan tetapi di sisi lain, perubahan teknologi dapat menyebabkan perubahan aliran materi pada proses alami sehingga meningkatkan resiko lingkungan dan berkurangnya sumber daya alam yang selanjutnya mempengaruhi keberadaan manusia. Oleh karena itu teknologi yang dibutuhkan adalah teknologi
214
yang mampu menjaga keseimbangan antara kegiatan pelaku ekonomi dan kendala resiko yang dihadapi oleh manusia dan lingkungan. Penerapan teknologi bersih dalam pengolahan kopi rakyat di KUPK Sidomulyo melalui modifikasi teknologi olah basah membutuhkan dukungan dan keikutsertaan secara aktif dari petani kopi. Proses perubahan ini berarti proses adaptasi yang dapat memberikan keuntungan maupun dampak negatif bagi masyarakat. Pengembangan kemampuan teknis, ekonomi dan manajerial pada masyarakat di KUPK Sidomulyo dibutuhkan untuk mengatasi kendala lingkungan, sumber daya alam serta faktor resiko dan ketidakpastian. Adaptasi masyarakat terhadap teknologi bersih dapat diupayakan melalui sosialisasi penerapan dan pendidikan berdasarkan pemahaman bahwa penerapan konsep produksi bersih dapat meningkatkan ekonomi masyarakat serta ramah terhadap lingkungan.
Proses perubahan ini sebaiknya diperkenalkan secara
bertahap dan terbuka melalui kelompok tani. Kesadaran pelaku agroindustri kopi di KUPK Sidomulyo untuk melakukan pencegahan pencemaran dan mendaur ulang bahan organik yang telah diproses harus terus diupayakan.
Beberapa
kegiatan yang telah diperkenalkan hingga saat ini adalah upaya pemanfaatan limbah padat melalui pembuatan briket, pakan ternak dan kompos. Meskipun masih terbatas pada limbah padat hasil pengolahan kering. Pengenalan teknologi disertai dengan gambaran keuntungan secara langsung dan jangka panjang baik dari segi biaya dan aspek sosial. Adapun dampak yang dapat timbul ditangani secara hati-hati sehingga tidak menimbulkan konflik sosial. Lebih jauh, sumber daya sosial yang ada dapat diperkuat dengan melibatkan partisipasi kelompok tani dalam mendesain, implementasi dan pengelolaan fasilitas pengolahan kopi rakyat yang berbasis produksi bersih. Fasilitas bersama untuk penanganan limbah yang bersumber dari limbah cair kopi, limbah kotoran ternak dan limbah organik lainnya yang terdapat di lingkungan dapat dikelola bersama sebagai wujud partisipasi terhadap intervensi teknologi yang dipilih. Pengembangan strukturisasi kepentingan untuk mengevaluasi pilihan konsep produksi bersih akan membantu pelaku agroindustri kopi rakyat dan stakeholder terkait.
215
Menurut Cantlon and Koenig (1999), suatu insentif ekonomi yang diberikan oleh pemerintah ataupun lembaga terkait akan membantu proses adaptasi dalam sistem agroindustri kopi rakyat.
Proses adaptasi yang terinternalisasi dalam
kelembagaan dan melibatkan stakeholder terkait akan memudahkan petani menerapkan proses pengolahan basah berbasis produksi bersih.
Keterkaitan
antara kelompok tani dan stakeholder dalam sistem agroindustri kopi rakyat untuk mengadopsi
teknologi
membutuhkan
perencanaan
yang
berkelanjutan.
Perencanaan ini sebaiknya dikembangkan mengikuti perubahan sosial yang dapat timbul karena teknologi baru. 8.3.3. Analisis Ekonomi Kelayakan suatu adopsi teknologi ataupun modifikasi proses pengolahan kopi rakyat yang berbasis produksi bersih hendaknya dihitung berdasarkan nilai ekonomi sehingga dapat memberikan gambaran kelayakan penerapan teknologi tersebut. Perhitungan kelayakan penerapan modifikasi olah basah pada proses pengolahan kopi rakyat yang berbasis produksi bersih didasarkan pada jenis investasi yang dibutuhkan untuk pengolahan dan penanganan limbah ataupun produk samping serta harga pembelian buah kopi dan penjualan biji kopi tahun 2010 di tingkat petani. Analisis kelayakan dilakukan dengan asumsi tidak ada kenaikan ataupun penurunan harga selama periode investasi.
Asumsi ini
dibutuhkan untuk membantu melakukan perbandingan antara kedua jenis metode pengolahan.
Analisis kelayakan penerapan modifikasi olah basah berbasis
produksi bersih dibandingkan dengan usaha pengolahan kering yang telah dilakukan (Tabel 36). Penerapan teknologi olah basah pada proses pengolahan kopi rakyat membutuhkan investasi lebih besar dibandingkan penerapan teknologi olah kering, terutama pada pengadaan (1) mesin pengupasan (pulper), (2) mesin pencucian (washer), (3) wadah fermentasi, (4) wadah sortasi rambang, dan (5) tangki air proses. Penerapan konsep produksi bersih pada teknologi olah basah juga menambah investasi yang dibutuhkan terutama pada pengadaan unit penanganan limbah dan produk samping, antara lain (1) digester, (2) kolam netralisasi, (3) tangki penanganan fisik-kimia, dan (4) lahan penanganan produk samping. Pemanfaatan produk samping dari proses pengolahan merupakan nilai
216
tambah bagi agroindustri kopi rakyat. Modifikasi proses olah basah memberikan nilai tambah lebih besar dibandingkan proses olah kering.
Hal ini akan
meningkatkan pendapatan petani.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tabel 36 Perbandingan nilai kelayakan pengolahan kopi robusta rakyat Parameter Modifikasi Olah Basaha) Olah Keringb) Umur (n) 10 tahun 10 tahun Waktu proses 4 - 5 hari 10 – 15 hari HOK proses 97,5 73 Buah kopi Rp. 5.000,Rp. 5.000,Kopi beras Rp. 24.000,Rp. 24.000,NPV Rp 1.131.058.923,Rp. 338. 501.633,IRR (%) 51,94 43,71 Net B/C 3,88 2,86 PBP 1,8 tahun 2,5 tahun
Keterangan: a). Teknologi olah basah berbasis produksi bersih b). Teknologi olah kering dan penjualan kulit kopi kering
Berdasarkan hasil perhitungan, tingkat harga jual biji kopi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kelayakan agroindustri kopi rakyat (Lampiran 2). Oleh karena itu perlu dilakukan analisis sensitifitas untuk mengetahui sejauhmana pengaruh penurunan harga terhadap agroindustri kopi rakyat yang menerapkan modifikasi proses olah basah dan proses olah kering (Tabel 37). Nilai investasi proses pengolahan kopi yang menerapkan konsep produksi bersih lebih besar dibandingkan proses pengolahan kering, karena membutuhkan fasilitas yang lebih banyak. Akan tetapi usaha ini masih mampu bertahan pada saat terjadi penurunan harga kopi dibandingkan penerapan teknologi olah kering. Pada saat terjadi penurunan harga jual kopi beras sebesar 2,5%, penerapan proses pengolahan kering pada agroindustri kopi rakyat masih dinilai layak dengan nilai net B/C 1,40 dan masa pengembalian modal (PBP) turun hingga 6,13 tahun dibandingkan PBP awal selama 2,5 tahun. Akan tetapi penurunan harga jual lebih lanjut hingga 5%, tidak mampu mempertahankan kelayakan penerapan proses olah kering. Pada kondisi harga ini, nilai NPV selama 10 tahun menjadi negatif dan net B/C menjadi negatif.
Hal ini berarti agroindustri kopi rakyat yang
menerapkan proses pengolahan kering merugi (Tabel 37).
217
Tabel 37 Analisis sensitivitas penurunan harga jual biji kopi Penurunan harga NPV IRR B/C PBP (tahun) 2,5% 5% 10 %
Olah kering Modifikasi Olah basah Olah kering Modifikasi Olah basah Olah kering Modifikasi Olah basah
Rp 73.080.833,Rp 865.638.123,Rp (192.339.968),Rp 600.217.323,Rp (723.181.568),Rp 69.375.723,-
18,96 47,08 --39,62 --14,68
1,40 3,21 -0,06 2,53 -2,97 1,18
6,13 2,26 --2,95 --7,9
Penerapan teknologi bersih pada pengolahan basah melalui pemanfaatan produk samping mampu mempertahankan kelayakan agroindustri kopi rakyat pada saat terjadi penurunan harga kopi. Pada taraf sensitifitas harga sebesar 5%, nilai NPV masih cukup besar dengan net B/C sebesar 2,53 dan masa PBP 2,95 tahun. Penurunan harga kopi beras hingga 10% masih menunjukkan kelayakan usaha, meskipun beresiko karena PBP yang lama dan nilai NPV yang jauh menurun.
Akan tetapi penerapan modifikasi olah basah jauh lebih layak
dibandingkan pengolahan kering. Oleh karena itu, aplikasi teknologi olah basah pada kopi rakyat haruslah diupayakan. Unit-unit penanganan produk samping yang cukup bervariasi seperti pembuatan pakan ternak, kompos, briket dan lain-lain dapat dilakukan di rumahrumah anggota kelompok tani.
Pemanfaatan produk samping dapat membuka
peluang usaha baru sekaligus meningkatkan kondisi perekonomian petani. Biogas yang dihasilkan dari digester anaerobik dapat dimanfaatkan oleh seluruh anggota kelompok tani, meskipun di luar masa panen kopi. Pemanfaatan biogas untuk keperluan rumah tangga dapat membantu mengurangi ketergantungan terhadap satu sumber energi sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Akan tetapi aplikasi modifikasi teknologi basah membutuhkan upaya terus menerus dan konsisten karena kompleksnya fasilitas dan peralatan yang harus ditangani. Selain itu dibutuhkan wawasan dan pengelolaan yang menyeluruh. Keikutsertaan secara aktif anggota kelompok tani dalam adopsi teknologi bersih akan sangat membantu penerapannya. Dengan demikian anggota akan merasakan dampak positif dari nilai ekonomi penanganan produk samping. Peran stakeholder terkait seperti dukungan pemerintah, lembaga pendidikan dan penelitian, lembaga keuangan dan eksportir kopi sangat dibutuhkan kelompok tani. Pelaksanaan secara terpadu akan
218
lebih mudah diterapkan dalam suatu wadah kelembagaan agroindustri kopi Robusta rakyat. 8.4.
Kesimpulan Sistem pengolahan kopi Robusta rakyat yang menerapkan konsep produksi
bersih dilakukan dalam suatu sistem agroindustri kopi rakyat. Pendekatan sistem dapat menjamin kesatuan usaha yang bersifat dinamis, terbuka terhadap perubahan
yang
berkelanjutan.
dilakukan
dalam
pengendalian
yang
terintegrasi
dan
Analisis lingkungan, sosial dan ekonomi penerapan teknologi
bersih dalam modifikasi teknologi olah basah menunjukkan nilai positif. Secara lingkungan, penerapan teknologi bersih dapat dilakukan secara kontinyu dan konsisten sesuai tujuan sehingga tidak menimbulkan dampak kerusakan ekologis. Penerapan teknologi bersih membutuhkan pemahaman dan sosialisasi yang terus menerus agar diterima oleh petani kopi dan masyarakat karena pelaksanaannya yang lebih kompleks dibandingkan pengolahan kering.
Terutama mengingat
masyarakat telah terbiasa menerapkan pengolahan kering yang lebih sederhana. Penerapan pengolahan basah berbasis teknologi bersih dalam agroindustri kopi rakyat memiliki nilai kelayakan ekonomi lebih besar dibandingkan pengolahan kering serta memiliki fleksibilitas tinggi menghadapi fluktuasi harga kopi dunia.
IX. STRUKTURISASI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KOPI RAKYAT DI KUPK SIDOMULYO, KABUPATEN JEMBER
9.1. Pendahuluan Sistem pengolahan kopi Robusta rakyat berbasis produksi bersih yang diupayakan untuk diterapkan di KUPK Desa Sidomulyo membutuhkan perencanaan yang terkait dengan upaya pengembangan agroindustri kopi rakyat. Perencanaan agroindustri hendaknya dilakukan melalui pendekatan sistem secara berkelanjutan sehingga dapat menghasilkan operasional sistem yang lebih efektif. Dengan demikian untuk menjamin keberlanjutan penerapan sistem pengolahan kopi rakyat berbasis produksi bersih dalam agroindustri kopi rakyat di KUPK Desa Sidomulyo dibutuhkan upaya strukturisasi sistem pengembangan yang dapat memberikan dasar dalam memahami permasalahan terkait. Strukturisasi sistem pengembangan agroindustri kopi rakyat di KUPK Desa Sidomulyo tidak bisa terlepas dari keberadaan koperasi sebagai suatu lembaga yang menaungi kelompok tani dan berperan penting dalam pengambilan keputusan. Kelembagaan pada dasarnya mempunyai dua pengertian, yaitu kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dalam interaksi personal dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hirarki (Hayami dan Kikuchi 1981). Kelembagaan sebagai aturan main diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dan lingkungannya, yang menyangkut hak-hak dan perlindungan hak-hak serta tanggung jawabnya.
Kelembagaan sebagai suatu
organisasi menurut Winardi (2003), dapat dinyatakan sebagai sebuah kumpulan orang-orang yang dengan sadar berusaha untuk memberikan sumbangsih mereka ke arah pencapaian suatu tujuan umum. Kelembagaan sebagai suatu organisasi biasanya merujuk pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintah, koperasi, bank, dan sebagainya Pembangunan kelembagaan merupakan suatu proses untuk memperbaiki kemampuan suatu lembaga (institution) dalam menggunakan sumberdaya yang tersedia, berupa manusia (human) maupun dana (financial) secara efektif. Keefektifan suatu lembaga tergantung pada lokasi, aktivitas, dan teknologi yang 219
220
digunakan oleh suatu lembaga. Konsep keefektifan diartikan sebagai kemampuan suatu lembaga dalam mendefinisikan seperangkat standar dan menyesuaikannya dengan tujuan operasionalnya. Koperasi merupakan salah satu bentuk kelembagaan sosial ekonomi yang sesuai diterapkan dalam pengembangan pertanian. Koperasi adalah lembaga yang tidak hanya mementingkan aspek sosial saja tetapi juga memperhatikan aspekaspek ekonomi (Baga el al. 2009). Pengembangan koperasi di KUPK Sidomulyo, Kabupaten Jember dilatarbelakangi oleh kelemahan Kelompok Tani Sidomulyo I terhadap akses layanan usaha, seperti lembaga keuangan dan lembaga pemasaran. Keinginan untuk mengembangkan usaha agroindustri kopi melalui lembaga ekonomi
yang dapat
menjalankan
fungsi
kemitraan
dengan
adil
dan
menghilangkan ketergantungan terhadap pedagang pengumpul serta adanya dukungan dari stakeholder terkait melahirkan KSU (Koperasi Serba Usaha) Buah Ketakasi pada tahun 2007. Upaya penerapan modifikasi teknologi olah basah berbasis produksi bersih bertujuan meningkatkan mutu kopi rakyat sekaligus meningkatkan nilai tambah agroindustri kopi rakyat akan lebih mudah diterapkan dalam pengelolaan koperasi Buah Ketakasi. Melalui KSU Buah Ketakasi, dukungan pemerintah, lembaga pendidikan dan penelitian serta lembaga keuangan maupun eksportir kopi dapat disalurkan dan dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah
untuk
melakukan
strukturisasi
langkah-langkah
pengembangan
agroindustri kopi rakyat dalam menerapkan modifikasi teknologi olah basah. 9.2. Metode Penelitian 9.2.1. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Data yang diperoleh untuk tahapan perumusan strategi pengembangan agroindustri kopi rakyat berbasis produksi bersih meliputi data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dari kuisioner dan wawancara, in-depth
interview dengan kelompok tani, pakar, dan instansi terkait.
Data sekunder
meliputi potensi pengembangan kopi rakyat, data sosial ekonomi, aspek lingkungan dalam agroindustri kopi rakyat yang diperoleh dari studi literatur.
221
9.2.2. Variabel yang diamati Variabel analisis ISM (Interpretative Structural Modelling) berupa faktorfaktor pendukung yang dibutuhkan dalam upaya penerapan teknologi pengolahan kopi rakyat berbasis produksi bersih dalam agroindustri kopi rakyat. Faktorfaktor pendukung ini diperoleh dari hasil analisis keberlanjutan dan desain proses pengolahan kopi rakyat. Beberapa contoh variabel analisis ISM adalah kebutuhan, kendala pengembangan, perubahan yang diinginkan, tujuan pengembangan, dan indikator pengembangan. Hubungan langsung berkaitan dengan hubungan kontekstual. 9.2.3. Metode Analisis Data Langkah-langkah analisis ISM disajikan pada Gambar 87.
ISM dapat
digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh (misalnya: dukungan atau pengabaian), struktur prioritas (Marimin 2004). Deskripsi singkat langkah-langkah ISM: a. Mengidentifikasi kemudian mendata elemen. Hal ini dapat diperoleh melalui penelitian ataupun brainstorming. b. Membangun sebuah hubungan kontekstual antar elemen yang tergantung pada tujuan pemodelan. c. Membuat matriks interaksi tunggal terstruktur (Structural Self Interaction Matrix/SSIM).
Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap
elemen hubungan yang dituju. Empat simbol yang digunakan untuk mewakili tipe hubungan yang ada antara 2 elemen dari sistem, adalah o V : hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, tidak sebaliknya o A : hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, tidak sebaliknya o X : hubungan interrelasi antara Ei dan Ej (dapat sebaliknya) o O : menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan d. Mempersiapkan Matriks Reachability (Reachability Matrix/RM) untuk mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner.
Aturan
konversi sebagai berikut: o Jika hubungan V dalam SSIM, maka Eij = 1 dan Eji = 0 dalam RM. o Jika hubungan A dalam SSIM, maka Eij = 0 dan Eji = 1 dalam RM o Jika hubungan X dalam SSIM, maka Eij = 1 dan Eji = 1 dalam RM
222
o Jika hubungan O dalam SSIM, maka Eij = 0 dan Eji = 0 dalam RM. e. Pengujian dan transformasi menjadi Matrik Reachability. Matrik E’ bersifat Reachability jika memenuhi syarat berikut: 1) Reflexive, E’ + I = E’, 2) Transitif, jika (E’)2 = E’ f. Mengklasifikasi sub-elemen berdasarkan urutan nilai Driver Power dan nilai Dependence masing-masing sub elemen. g. Membuat digraph (directional graph), yaitu sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung dan level hirarki, h. Membangkitkan ISM dengan memindahkan seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual,. Program Studi Pustaka/survey pakar/brainstorming, diskusi pakar Penentuan elemen, sub elemen Penentuan hubungan kontekstual antara sub elemen pada setiap elemen Pembuatan matriks SSIM untuk setiap elemen Bentuk Reachability Matrix (RM) setiap elemen Uji matriks dengan aturan transitivity
tidak
OK
Modifikasi SSIM
Ya
Tentukan level melalui pemilihan
Tetapkan Drive dan Drive Power setiap subelemen Ubah RM menjadi format lower triangular RM Susun digraph dari lower triangular
Susun ISM dari setiap elemen
Tentukan rank dan hirarki dari subelemen Tetapkan Drive Dependence Mantriks setiap elemen Plot sub elemen pada empat sektor Klasifikasi sub elemen pada 4 peubah kategori
Gambar 87 Tahapan analisis dalam software ISM 9.3. Hasil dan Pembahasan Strukturisasi sistem pengembangan agroindustri kopi rakyat direkayasa dengan menggunakan Teknik Permodelan Interpretasi Struktural (Interpretative
223
Structure Modeling - ISM). Elemen-elemen dalam sistem pengembangan terdiri dari 5 elemen dengan masing-masing sub elemen. Elemen sistem pengembangan terdiri dari. (1) Kebutuhan Pengembangan. (2) Kendala Pengembangan. (3) Perubahan Yang Diinginkan. (4) Tujuan Pengembangan. (5) Indikator Pengembangan Proses strukturisasi sistem pengembangan agroindustri kopi rakyat di KUPK Desa Sidomulyo didasarkan atas masukan pendapat stakeholder terkait hubungan kontekstual antar sub-elemen sistem. Hubungan kontekstual antar subelemen sistem disajikan pada Tabel 38.
Model transformasi hubungan
kontekstual antar elemen tersebut menjadi matriks hubungan biner yang disebut model ISM-VAXO. Analisisnya dilakukan dalam simulasi program komputer. Informasi yang penting untuk memahami struktur sistem pengembangan adalah hirarki sub-elemen di antara sub elemen yang lain, klasifikasi sub-elemen berdasarkan karakteristik yang dinyatakan dengan tingkat driver-power dan tingkat dependency masing-masing sub-elemen serta identifikasi sub-elemen kunci. Identifikasi sub elemen kunci berdasarkan nilai driver-power tertinggi. Tabel 38 Hubungan kontekstual elemen sistem pengembangan Nama elemen Hubungan Kontekstual Kebutuhan Sub-elemen kebutuhan yang satu mendukung terpenuhinya sub-elemen kebutuhan yang lain Kendala/Masalah Sub-elemen kendala yang satu menyebabkan sub elemen kendala yang lain Perubahan Sub-elemen perubahan yang satu dibutuhkan untuk mendukung atau mendorong sub-elemen perubahan yang lain Tujuan Sub-elemen tujuan yang satu memberikan kontribusi tercapainya sub-elemen tujuan yang lain Indikator Sub-elemen indikator pencapaian tujuan pengembangan yang satu memberikan kontribusi terhadap sub-elemen indikator yang lain
224
9.3.1. Strukturisasi Elemen Kebutuhan Pengembangan Elemen kebutuhan dalam sistem pengembangan agroindustri kopi rakyat yang menerapakan modifikasi olah basah berbasis produksi bersih di KUPK Desa Sidomulyo berdasarkan hasil kajian terdiri dari 9 sub-elemen kebutuhan. (1) Pengembangan Teknologi Pasca Panen (B-1) (2) Pengembangan Kelembagaan Usaha (B-2) (3) Pengembangan Peralatan Pasca Panen (B-3) (4) Pengembangan Pasar (B-4) (5) Pengembangan Alternative Sumber Modal (B-5) (6) Pembinaan Petani (B-6) (7) Pemanfaatan Limbah Proses Pengolahan (B-7) (8) Peningkatan Pendapatan (B-8) (9) Pengembangan Pertanian Berbudaya Industri yang Berkelanjutan (B-9). Berdasarkan keluaran model ISM-VAXO, struktur hirarki sub-elemen kebutuhan terhadap pengembangan agroindustri kopi rakyat terdiri dari 2 tingkatan seperti disajikan pada Gambar 88.
Struktur hirarki menunjukkan
hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub-elemen kebutuhan, dimana terpenuhinya sub-elemen kebutuhan didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada hirarki di bawahnya.
LEVEL 1
LEVEL 2
1. Pengbangan 3. Pengmbangan 5. Pengmbangan 2. Pengmbangan 6. Pembinaan Tek. Pasca Peralatan Pasca Alt. Sumber Kelembagaan Petani Panen Panen Modal
4. Pengembangan Pasar
7. Pemanfaatan Limbah Proses
8. Peningkatan Pendapatan
Gambar 88 Struktur hirarki sub elemen kebutuhan sistem
9. Pengmbangan Pertanian Berbud. Industri
225
D R I V E R P O W E R
Independent
Linkage
Autonomous
Dependent DEPENDENCE
Gambar 89 Diagram klasifikasi sub elemen kebutuhan sistem Berdasarkan struktur hirarki sub elemen kebutuhan sistem, sub elemen kunci dari elemen kebutuhan sistem adalah sub elemen pengembangan pasar (B4) dan sub elemen peningkatan pendapatan (B-8). Sub elemen pengembangan pasar termasuk dalam kelompok independent. Hal ini berarti keberhasilan dalam memenuhi kebutuhan pengembangan pasar (B-4) akan membantu terpenuhinya kebutuhan pengembangan yang lain. Sub elemen kunci kebutuhan peningkatan pendapatan (B-8) dapat bersifat independent ataupun autonomous terhadap sub elemen yang lain.
Akan tetapi untuk kehati-hatian, sub elemen kebutuhan
peningkatan pendapatan (B-8) akan dimasukkan ke dalam kelompok independent sehingga menjadi salah satu sub elemen kebutuhan yang dapat mempengaruhi sub elemen kebutuhan lainnya. Berdasarkan diagram klasifikasi sub elemen kebutuhan sistem dari model ISM, kebutuhan pengembangan teknologi pasca panen (B-1), kebutuhan pengembangan kelembagaan (B-2), kebutuhan pengembangan peralatan (B-3) dan pembinaan petani (B-6) termasuk dalam kelompok autonomous yang berarti memiliki faktor ketergantungan dan pendorong yang rendah atau memiliki pengaruh tidak langsung terhadap sub elemen yang lain.
Kebutuhan
pengembangan sub elemen B-1, B-2, B-3, dan B-6 dapat terpenuhi tanpa pengaruh langsung dari kebutuhan pengembangan sub elemen yang lain.
226
Sub elemen pengembangan alternatif sumber modal (B-5), pemanfaatan limbah proses penanganan (B-7), dan pengembangan pertanian berbudaya industri yang berkelanjutan (B-9) termasuk kelompok dependent. Hal ini berarti sub elemen B-5, B-7, dan B-9 memiliki ketergantungan dalam pengembangannya terhadap
sub
elemen
yang
lain.
Dengan
demikian
kebutuhan
untuk
mengembangkan sub elemen (B-5), (B-7), dan (B-9) akan sangat ditentukan terhadap pemenuhan kebutuhan pengembangan sub elemen yang lain. Apabila dikaitkan dengan upaya penerapan konsep produksi bersih pada agroindustri kopi rakyat, peran elemen pengembangan pasar cukup dominan. Hal ini semakin diperkuat dengan kebutuhan akan peningkatan pendapatan yang menjadi sub elemen independent. Elemen kebutuhan pemanfaatan limbah dan pengembangan pertanian berbudaya industri yang berkelanjutan adalah salah satu ciri penerapan konsep produksi bersih. Apabila pasar menginginkan produk yang berasal dari proses pengolahan yang ramah lingkungan, agroindustri kopi rakyat dapat berubah untuk memenuhi kebutuhan pasar dengan harapan akan terjadi peningkatan pendapatan. Meskipun di dalam prakteknya, upaya perubahan ini masih menghadapi kendala yang membutuhkan keikutsertaan stakeholder terkait untuk mengatasi kendala-kendala. 9.3.2. Strukturisasi Elemen Kendala/Masalah Pengembangan Sub elemen kendala/masalah dalam pengembangan agroindustri kopi rakyat berbasis produksi bersih di KUPK Desa Sidomulyo terdiri atas 9 sub elemen kendala/masalah. (1) Skala usaha yang kecil (K-1) (2) Keterbatasan penguasaan teknologi pengolahan (K-2) (3) Keterbatasan pemahaman akan nilai sumberdaya alam (K-3) (4) Keterbatasan akses pasar/ekspor (K-4) (5) Keterbatasan sumber modal (K-5) (6) Ketergantungan pada pedagang pengumpul dan eksportir (K-6) (7) Ketergantungan lahan pengusahaan kopi (K-7) (8) Kualitas bahan baku dan produk yang rendah (K-8) (9) Konflik internal antara anggota kelompok tani (K-9)
227
Analisis ISM-VAXO menunjukkan bahwa struktur hirarki sub elemen kendala/masalah pengembangan terdiri atas 2 tingkatan (2 level) seperti yang disajikan pada Gambar 90. Sub elemen kunci dari kendala/masalah agroindustri kopi rakyat adalah keterbatasan akses pemasaran produk (K-4) khususnya untuk produk biji kopi robusta yang berasal dari pengolahan basah. Elemen kunci sekaligus merupakan kendala langsung yang mempengaruhi sub elemen kendala lainnya. Teratasinya sub elemen kunci akan memberikan kontribusi yang sangat berarti untuk keberhasilan sistem pengembangan agroindustri kopi rakyat. Pemasaran kopi rakyat yang selama ini dihasilkan oleh KUPK Desa Sidomulyo terutama masih dalam bentuk biji dan sedikit dalam bentuk bubuk dari proses pengolahan kering. Adapun penjualan kopi rakyat hasil pengolahan basah masih terbatas kepada eksportir dalam kondisi kering angin atau kadar air berkisar 40% yang selanjutnya akan dikeringkan di tingkat eksportir. Meskipun demikian kelompok tani melalui KSU Buah Ketakasi telah berusaha memulai melakukan pengolahan lanjutan dari biji kopi hasil pengolahan basah sehingga dapat memperluas diversifikasi produk meski masih dipasarkan secara terbatas.
LEVEL 1
1. Skala Usaha yang Kecil
2. Ktbatasan penguasan tek. pengolahan
3. Ktbatasan pmhaman nilai SDA
6. Ktgantungan 7. Ktgantungan 8. Kualitas 5. Ktbatasan pedgang pgmpul lahan bahan baku & sumber modal & eksportir pgusahaan kopi produk rendah
9. Konflik internal antar anggota klpk
4. Ktbatasan akses pasar/ ekspor
LEVEL 2
Gambar 90 Struktur hirarki sub elemen kendala/masalah pengembangan Kopi sebagai tanaman yang bernilai ekonomi mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap perkembangan harga di pasar internasional. Kenaikan dan penurunan harga kopi tersebut berpengaruh kepada tingkat kesejahteraan petani dan sikap petani dalam melakukan investasi terhadap kebun kopi yang dimiliki.
Sikap petani dalam merespon perubahan harga di pasar
internasional tersebut berkaitan erat dengan sistem usaha tani kopi rakyat. Sistem hubungan kelompok tani dengan eksportir secara langsung melalui koperasi merupakan salah satu alternative sistem tataniaga kopi. Pada sistem ini sangat
228
penting mencantumkan besarnya harga dasar pembelian (floor price) oleh eksportir dan besarnya harga dasar ini dapat dibuat berdasarkan kualitas ekspor yang dihasilkan. Suatu insentif harga untuk kopi yang berkualitas baik akan sangat membantu kontinuitas penerapan modifikasi teknologi olah basah. Pada langkah awal usaha penerapan modifikasi teknologi olah basah, bantuan dari stakeholder seperti lembaga keuangan dan eksportir akan sangat membantu koperasi dalam menanggulangi kesulitan dana. Dana ini dibutuhkan untuk membeli buah kopi yang berkualitas dari anggota kelompok tani, terutama apabila terjadi penurunan harga kopi dunia. Selanjutnya koperasi diharapkan dapat memiliki “Dana Kopi” sendiri yang pemanfaatannya haruslah diatur secara rinci dan jelas. Pemerintah dapat dilibatkan sebagai pengawas untuk menjaga keberlanjutan kerjasama antara koperasi, lembaga keuangan, dan eksportir. Lembaga keuangan dan koperasi hendaknya berada dalam bentuk kerjasama simbiosis mutualisme dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian untuk mewujudkan manfaat bagi keduanya. Dalam hal ini, lembaga keuangan tidak hanya berperan sebagai penyedia tambahan modal usaha, tetapi sebaiknya menjadi sumber informasi dan konsultan bagi koperasi. Sub elemen skala usaha yang kecil (K-1), keterbatasan penguasaan teknologi pengolahan (K-2), keterbatasan pemahaman nilai SDA (K-3), ketergantungan pada pedagang pengumpul (K-6), ketergantungan lahan pengusahaan kopi (K-7), kualitas bahan baku dan produk yang rendah (K-8), konflik internal antara anggota kelompok tani (K-9) merupakan sub elemen yang termasuk kelompok autonomous (Gambar 91) dan cenderung tidak dipengaruhi oleh kendala/masalah sub elemen kendala lain. Meskipun di dalam realitas, tidak sepenuhnya seluruh sub elemen dalam kelompok autonomous
dapat berdiri
sendiri dan tidak mendapat pengaruh dari sub elemen lain. Meskipun demikian, hal tersebut dapat juga berarti bahwa stakeholder agroindustri kopi rakyat tidak menganggap bahwa sub elemen K-1, K-2, K-3, K-6, K-7, K-8, K-9, termasuk dalam kendala dominan yang dapat mempengaruhi upaya pengembangan agroindustri kopi rakyat berbasis produksi bersih.
229
D R I V E R
Independent
P O W E R
Linkage
Autonomous Dependent DEPENDENCE
Gambar 91 Diagram klasifikasi sub elemen kendala/masalah pengembangan Adapun sub elemen kendala keterbatasan sumber modal (K-9) termasuk kelompok dependent yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi terhadap sub elemen kendala lainnya. Hal ini berarti sub elemen kendala K-9 dapat diatasi apabila sub elemen kendala lainnya dalam sistem pengembangan agroindustri dapat diselesaikan.
Sub elemen kendala K-9 dan K-4 termasuk sub elemen
dimensi ekonomi yang menjadi indikator masih besarnya faktor ekonomi mempengaruhi upaya pengembangan agroindustri kopi rakyat. 9.3.3. Strukturisasi Elemen Perubahan Dalam Pengembangan Pengembangan agroindustri kopi rakyat yang berbasis pada produksi bersih diharapkan dapat memberikan perubahan yang dikehendaki. Berdasarkan hasil penelitian, elemen perubahan yang diinginkan dalam pengembangan terdiri dari 9 sub elemen. (1) Penerapan teknologi perkebunan kopi berbasis ekologis (P-1) (2) Pengembangan pola pengolahan kopi rakyat berbasis kelompok berorientasi bisnis (P-2) (3) Peningkatan kontinuitas serta kualitas bahan baku (P-3) (4) Penerapan teknologi pengolahan kopi yang ramah lingkungan (P-4) (5) Peningkatan peran dan keterlibatan instansi pemberi modal (P-5) (6) Peningkatan kualitas dan diversifikasi produk kopi (P-4) (7) Perluasan pasar dan ekspor (P-7)
230
(8) Peningkatan pola kelembagaan yang mendukung peran serta stakeholder agribisnis kopi (P-8) (9) Peningkatan efisiensi proses produksi (P-9) Hasil verifikasi strukturisasi pengembangan agroindustri kopi rakyat menghasilkan keluaran model ISM-VAXO berupa struktur hirarki elemen perubahan yang diinginkan dalam 2 tingkatan, seperti disajikan pada Gambar 92. Hal ini dapat berarti perubahan pada satu sub-elemen di tingkat 2 akan mendorong terjadinya sub elemen perubahan pada hirarki di atasnya. 1. Penerapan 3. Peningkatan 4.Penerapan 5.Peran& tek. perkbunan kontinuitas & tek.p’olah ramah K’terlibatan berbasis ekologi kualitas bhn bku lngkungan pemberi modal
LEVEL 1
2. Pgbangan berbasis kelpk bisnis
LEVEL 2
6. Kualitas & diversifikasi produk
8. Pola lembaga 9. Efisiensi m’dukung proses produksi stakeholder
7. Perluasan pasar & ekspor
Gambar 92 Struktur hirarki sub elemen perubahan yang diinginkan
D R I V E R P O W E R
Independent
Linkage
Autonomous
Dependent DEPENDENCE
Gambar 93 Diagram klasifikasi sub elemen perubahan yang diinginkan Sub elemen pengembangan pola pengolahan kopi yang berbasis kelompok dan berorientasi bisnis (P-2), dan sub elemen perluasan pasar dan ekspor (P-7) termasuk ke dalam kelompok independent yang memiliki ketergantungan rendah
231
dan pengaruh cukup tinggi terhadap sub elemen perubahan lainnya. Kedua sub elemen ini menjadi sub elemen kunci dari perubahan yang diinginkan dalam pengembangan agroindustri kopi rakyat berbasis produksi bersih.
Berdasarkan
Gambar 92 dapat diketahui bahwa dengan adanya perubahan dari sub elemen kunci akan mendorong secara langsung terjadinya perubahan-perubahan lain yang diinginkan dalam pengembangan agroindustri kopi rakyat. Pengembangan produk-produk hasil pengolahan langsung dari biji kopi merupakan salah satu upaya perubahan untuk meningkatkan nilai tambah industri kopi rakyat. Melalui pembudayaan minum kopi tidak hanya merangsang pertumbuhan industri kopi rakyat juga membuka peluang promosi kopi Indonesia, sehingga petani kopi rakyat tidak hanya tergantung pada ekspor semata. Sub elemen perubahan dari penerapan teknologi perkebunan yang berbasis ekologis (P-1) termasuk kelompok dependent. Sub elemen perubahan penerapan teknologi perkebunan ditentukan oleh perubahan sub elemen lain dan adanya perubahan sub elemen ini memiliki kekuatan pengaruh yang rendah terhadap perubahan sub elemen lainnya. Perkebunan kopi rakyat yang telah mendapat sertifikasi organic melalui anggota eksportir kopi merupakan salah satu upaya kerjasama antara kelompok tani dan stakeholder untuk meningkatkan kualitas perkebunan kopi rakyat. Peran PPL (Petugas Penyuluh Lapangan) dari dinas perkebunan dan keikutsertaan peneliti dari Puslitkoka cukup dominan mempengaruhi perubahan usaha perkebunan kopi ke arah organik.
Kategori
organic harus dipertahankan karena menjadi salah satu karakteristik kopi rakyat di KUPK Sidomulyo, Jember yang telah mendapat pengakuan internasional. Menurut Todaro (1983), penggunaan teknologi merupakan salah satu faktor atau komponen pertumbuhan ekonomi disamping akumulasi modal dan pertumbuhan populasi. Teknologi yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, umumnya membutuhkan investasi yang cukup besar di awal terutama terkait investasi yang membutuhkan modal dan keterampilan yang cukup tinggi. Karakteristik
penyerapan
tenaga
kerja
yang
sangat
khusus
turut
mempengaruhi perubahan pada budaya industri kopi rakyat. Hubungan antara petani kopi dan kebun kopi sangat fluktuatif seiring dengan fluktuasi harga kopi di pasar yang pada gilirannya akan berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja.
232
Pemilihan buah kopi petik merah yang merupakan salah satu persyaratan untuk pengolahan basah tentu membutuhkan tenaga kerja lebih terampil dibandingkan pengolahan kering. Selain itu operasional proses pengolahan yang menggunakan mesin dan peralatan yang lebih kompleks dibandingkan pengolahan kering membutuhkan tenaga kerja khusus. Tenaga kerja tersebut dapat diperoleh dari anggota kelompok tani yang telah mendapatkan pelatihan. Berdasarkan pendapat seluruh pakar yang diagregatkan, sebagian besar sub elemen perubahan berada dalam kelompok autonomous (Gambar 93).
Sub
elemen peningkatan kontinuitas dan kualitas bahan baku (P-3), sub elemen penerapan teknologi pengolahan yang ramah lingkungan (P-4), sub elemen peran dan keterlibatan pemberi modal (P-5), sub elemen kualitas dan diversifikasi produk (P-6), sub elemen pola kelembagaan yang mendukung peran stakeholder (P-8), dan sub elemen efisiensi proses produksi (P-9) memiliki ketergantungan dan pengaruh yang tidak langsung terhadap sub elemen lainnya.
Meskipun
demikian perubahan yang signifikan pada ke enam sub elemen perubahan tersebut dapat memberikan nilai perubahan terhadap perkembangan agroindustri kopi rakyat. 9.3.4. Strukturisasi Elemen Tujuan Pengembangan Elemen tujuan pengembangan dari agroindustri kopi rakyat yang berupaya menerapkan konsep produksi bersih berdasarkan hasil penelitian dapat diuraikan menjadi 11 sub elemen tujuan meliputi hal-hal berikut. (1) Peningkatan pendapatan petani (T-1) (2) Peningkatan kualitas lingkungan (T-2) (3) Perbaikan efisiensi dan produktivitas (T-3) (4) Pengembangan nilai tambah produk kopi rakyat (T-4) (5) Peningkatan posisi tawar kopi rakyat (T-5) (6) Peningkatan kualitas bahan baku dan produk kopi rakyat (T-6) (7) Perluasan akses dan kemudahan memperoleh modal usaha (T-7) (8) Peningkatan pendapatan daerah (T-8) (9) Penurunan konflik internal pengurus dan peserta (T-9) (10) Peningkatan nilai ekspor bagi kopi rakyat (T-10) (11) Perbaikan kinerja kelembagaan usaha kopi rakyat (T-11)
233
Analisis model ISM-VAXO terhadap sub elemen tujuan pengembangan disajikan dalam struktur hirarki dan diagram klasifikasi sub elemen tujuan pengembangan. Strukturisasi sub elemen tujuan pengembangan agroindustri kopi rakyat diwujudkan dalam bentuk diagram alir struktur dua level (Gambar 94). Sub elemen kunci tujuan pengembangan berada pada level 2 yang akan mempengaruhi sub elemen kunci di atasnya.
LEVEL 1
LEVEL 2
1. Peningkatan pendapatan petani
2. Peningkatan kualitas lingkungan
3. Perbaikan efisiensi dan produktivitas
4. Pngembangan 5. Peningkatan nilai tambah posisi tawar kopi produk rakyat
6. Peningkatan kualitas bahan baku & produk
10. Peningkatan nilai ekspor
7. Perluasan akses modal usaha
8. Peningkatan pendapatan daerah
9. Penurunan konflik internal
11. Perbaikan kinerja kelembagaan
Gambar 94 Struktur hirarki sub tujuan pengembangan Sub elemen peningkatan kualitas bahan baku dan produk kopi rakyat (T-6), peningkatan nilai ekspor kopi rakyat (T-10) dan perbaikan kinerja kelembagaan usaha kopi rakyat (T-11) menjadi sub elemen kunci tujuan pengembangan dan termasuk dalam kelompok independent (Gambar 95). Hal ini berarti ketiga sub elemen kunci tujuan pengembangan tersebut berpengaruh dan menjadi pendorong untuk terwujudnya sub elemen tujuan pengembangan lainnya. Dengan demikian segala kegiatan yang akan dilakukan dalam aktifitas agroindustri kopi rakyat hendaknya bertujuan untuk mewujudkan ketiga sub elemen kunci tersebut. Perbaikan kinerja kelembagaan salah satu nya adalah melakukan kerjasama dengan lembaga terkait seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jember, Puslitkoka, Perkebunan Besar, AEKI dan lain-lain. Kerja sama dengan AEKI dijalin melalui sistem “Bapak Asuh”. Sebagai asosiasi eksportir kerja sama tidak hanya pada pemasaran, melainkan dalam semua hal yang berkaitan dengan kopi. Sebagai penyalur ke pasar luar negeri, eksportir berkepentingan terhadap mutu kopi yang baik, dimana hal ini harus dimulai sejak awal proses menghasilkan kopi. Tujuan kerjasama adalah membina petani kopi yang meliputi peningkatan produktivitas dan mutu serta pendapatan petani. Untuk itu kerjasama diarahkan pada peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani, peningkatan
234
produktivitas dan mutu, perbaikan harga di tingkat petani serta pengadaan sarana dan prasarana penunjang. Sub elemen tujuan peningkatan pendapatan petani (T-1), perbaikan efisiensi dan produktivitas (T-3), pengembangan nilai tambah produk kopi rakyat (T-4), peningkatan nilai tawar posisi kopi rakyat (T-5), perluasan akses dan kemudahan memperoleh modal usaha (T-7), dan sub elemen tujuan penurunan konflik internal (T-9) termasuk ke dalam kelompok autonomous. Dengan demikian terwujudnya tujuan sub elemen T-1, T-3, T-4, T-5, T-7, dan T-9 memiliki pengaruh dan pendorong yang tidak besar terhadap terwujudnya tujuan sub elemen lain. Meskipun demikian terwujudnya tujuan sub elemen dalam kelompok autonomous dapat berpengaruh tidak langsung terhadap terwujudnya sub elemen tujuan lain.
D R I V E R P O W E R
Independent
Linkage
Dependent
Autonomous DEPENDENCE
Gambar 95 Diagram klasifikasi sub elemen tujuan pengembangan Sub elemen tujuan peningkatan kualitas lingkungan (T-2) berada di antara kelompok dependent dan autonomous.
Akan tetapi untuk kehati-hatian, sub
elemen T-2 dimasukkan ke dalam kelompok dependent bersama sub elemen peningkatan pendapatan daerah (T-8).
Hal ini berarti sub elemen tujuan
peningkatan kualitas lingkungan (T-2) dan sub elemen
tujuan peningkatan
pendapatan daerah (T-8) akan tercapai apabila sub elemen tujuan lainnya telah terpenuhi.
235
9.3.5. Strukturisasi Elemen Indikator Pengembangan Elemen indikator pengembangan agroindustri kopi rakyat yang berbasis produksi bersih merupakan upaya untuk melakukan penilaian awal bagaimana konsep produksi bersih sebagai bagian dari upaya keberlanjutan agroindustri kopi rakyat dapat diterapkan.
Elemen indikator pengembangan agroindustri kopi
rakyat yang berbasis produksi bersih dapat diwujudkan secara rinci menjadi 12 sub elemen indicator. (1)
Meningkatnya kualitas biji dan produk kopi (I-1)
(2)
Meningkatnya kualitas lingkungan (menurunnya tingkat pencemaran) (I-2)
(3)
Meningkatnya nilai tambah produk dan proses pengolahan kopi (I-3)
(4)
Meningkatnya peluang kerja dan pendapatan petani kopi (I-4)
(5)
Dapat diterapkannya upaya perbaikan sanitasi lingkungan (I-5)
(6)
Dapat diterapkannya konsep dan upaya K-3/Keselamatan dan Kesehatan Kerja (I-6)
(7)
Meningkatnya kinerja kelembagaan kopi rakyat (I-7)
(8)
Tingkat kepuasan dan persepsi petani terhadap agroindustri kopi baik (I-8)
(9)
Mudahnya akses dana dan bantuan modal (I-9)
(10) Terpenuhinya kebutuhan mendasar pekerja dan petani secara berkelanjutan (I-10) (11) Menurunnya tingkat konflik antar stakeholder yang terlibat (I-11) (12) Meningkatnya efisiensi dan produktivitas proses produksi (I-12) Keluaran model ISM-VAXO berupa struktur hirarki elemen indikator sistem pengembangan agroindustri kopi rakyat yang berbasis produksi bersih terdiri atas 2 tingkat seperti yang disajikan pada Gambar 96. Sub elemen kunci dari
indikator pengembangan agroindustri kopi rakyat adalah terpenuhinya
kebutuhan mendasar pekerja dan petani secara berkelanjutan (I-10). Sub elemen kunci indikator pengembangan termasuk kelompok independent sebagaimana sub elemen kunci pada elemen lain pengembangan agroindustri kopi yang telah diuraikan sebelumnya. Hal ini berarti dalam menerapkan konsep produksi bersih untuk mengembangkan agroindustri kopi rakyat, pemenuhan kebutuhan dasar pekerja dan petani merupakan hal yang penting untuk dilaksanakan. Pemenuhan
236
terhadap sub elemen kunci ini akan mempengaruhi terwujudnya sub elemen indikator pengembangan lainnya. Apabila dikaitkan dengan analisis keberlanjutan yang telah dilaksanakan, pemenuhan terhadap indikator kebutuhan mendasar pekerja dan petani ini sesuai dengan indikator keberlanjutan sosial.
Hal ini berarti terwujudnya indikator
kebutuhan mendasar petani dan pekerja menjamin keberlanjutan sosial agroindustri kopi rakyat di KUPK Desa Sidomulyo.
LEVEL 1
1. Meningkat 2. Meningkat 4. Meningkatnya 5. Perbaikan 6. Penerapan 7. Meningkat 8. Tingkat 9. Akses dana 11. Menurunnya 12. Efisiensi & 3. Meningkatnya kualitas biji & kualitas peluang kerja & sanitasi konsep & kinerja kepuasan & dan bantuan konflik produktivitas nilai tambah produk kopi lingkungan pendapatan lingkungan upaya K3 kelembagaan persepsi petani mudah stakeholder meningkat
LEVEL 2
10. Terpnuhi kbthan dasar pekerja,petani Gambar 96 Struktur hirarki sub elemen indikator pengembangan
D R I V E R P O W E R
Independent
Linkage
Autonomous
Dependent DEPENDENCE
Gambar 97 Diagram klasifikasi sub elemen indikator pengembangan Keluaran model ISM-VAXO menunjukkan bahwa indikator meningkatnya kualitas biji dan produk kopi (I-1), meningkatnya kualitas lingkungan (I-2), meningkatnya nilai tambah (I-3), meningkatnya peluang kerja dan pendapatan
237
petani (I-4), penerapan konsep K3 (I-6), meningkatnya kinerja kelembagaan (I-7), kemudahan memperoleh dana dan bantuan (I-9), menurunnya konflik antar stakeholder (I-11), dan meningkatnya efisiensi dan produktivitas produksi (I-12) termasuk ke dalam kelompok autonomous (Gambar 97). Sub elemen perbaikan sanitasi lingkungan (I-5) dan sub elemen tingkat kepuasan dan persepsi petani (I8) termasuk dalam kelompok dependent. Sub elemen yang termasuk kelompok dependent berarti terwujudnya indikator ditentukan oleh terwujudnya sub elemen indikator lainnya. Adapun sub elemen indikator yang termasuk kelompok autonomous berarti terwujudnya indikator tersebut tidak dipengaruhi langsung oleh sub elemen indikator lainnya. KEBUTUHAN: 1. Pengembangan Pasar 2. Peningkatan Pendapatan
PERUBAHAN: 1. Pengembangan Pola Pengolahan Kopi Rakyat Berbasis Kelompok Berorientasi Bisnis 2. Perluasan Pasar & Ekspor
KENDALA/MASALAH: 1. Keterbatasan Akses Pasar/Ekspor
SISTEM PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KOPI RAKYAT BERBASIS PRODUKSI BERSIH
TUJUAN: 1. Peningkatan Kualitas Bahan Baku dan Produk Kopi Rakyat 2. Peningkatan Nilai Ekspor Kopi Rakyat 3. Perbaikan Kinerja Kelembagaan Usaha Kopi Rakyat
INDIKATOR: 1. Terpenuhinya Kebutuhan Mendasar Pekerja & Petani Secara Berkelanjutan
Gambar 98 Sub elemen kunci sistem pengembangan agroindustri kopi rakyat berbasis produksi bersih berkelanjutan. Secara agroindustri
umum, kopi
strukturisasi
rakyat
elemen
disajikan dalam
dalam
sistem
pengembangan
Gambar 98.
Strukturisasi
pengembangan agroindustri kopi rakyat yang akan menerapkan sistem pengolahan kopi rakyat berbasis produksi bersih terutama diharapkan dapat mewujudkan kebutuhan pasar terutama pasar ekspor. Mengingat saat ini sebagian besar biji kopi yang diproduksi adalah untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Peningkatan kualitas biji kopi ekspor merupakan salah satu tujuan diterapkannya sistem pengolahan kopi rakyat berbasis produksi bersih. Mengingat pelaksanaan pengolahan kopi berbasis produksi bersih tidak mungkin dilakukan perseorangan
238
melainkan dalam suatu organisasi, terkait dengan institusi lain dalam suatu aturan dan hubungan, maka peningkatan kinerja kelembagaan juga menjadi tujuan pengembangan. Beberapa kendala yang harus dihadapi oleh KUPK Desa Sidomulyo dalam pengembangan agroindustri kopi rakyat adalah keterbatasan akses pasar terutama pasar ekspor.
Mengingat masih terbatasnya pasar kopi Robusta rakyat yang
diolah secara basah. Saat ini belum ada perbedaan harga secara signifikan antara kopi Robusta yang diolah kering dengan kopi Robusta yang diolah basah. Oleh karena itu harapan adanya insentif harga langsung dari pemerintah bagi petani yang bersedia melakukan olah basah untuk meningkatkan mutu biji kopi Robusta masih dinantikan. AEKI yang diwakili oleh anggotanya (PT Indocom) saat ini menjadi bapak asuh petani produsen melalui KSU Buah Ketakasi. AEKI memberikan bantuan prasarana produksi, menjamin pemasaran petani dengan langsung menampung produksi petani. Sebagai imbalannya, petani harus menjual kopi dalam keadaan baik.
Adanya sertifikasi kopi yang dikelola melalui eksportir, meningkatkan
upaya petani untuk mempertahankan keberadaan pemeliharaan tanaman kopi sesuai criteria organik. Pengembangan agroindustri kopi rakyat merupakan salah satu kegiatan perekonomian nasional yang berbasis di perdesaan dan mengakar ke rakyat. Dengan demikian memiliki peluang besar untuk mempercepatan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi.
Pengembangan teknologi pengolahan yang berbasis
produksi bersih pada agroindustri kopi Robusta rakyat selain bertujuan untuk meningkatkan kualitas biji kopi, meningkatkan pendapatan petani dan menjaga kualitas lingkungan. Oleh karena itu melalui konsep tersebut, agroindustri kopi rakyat sebagai bagian dari industri perkebunan dapat menciptakan kondisi yang seimbang antara dimensi sosial, lingkungan dan ekonomi untuk mencapai keberlanjutannya. Melalui keseimbangan tersebut diharapkan tidak akan timbul permasalahan kekurangan/kelebihan bahan baku, pencemaran lingkungan, dan konflik sosial. Pakpahan (1999), menegaskan bahwa industri perkebunan dan kehutanan masa depan harus efisien, produktif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Masyarakat perkebunan sudah selayaknya memiliki tradisi baru yaitu acquisitive
239
atau technological and knowledge based society.
Hal ini berarti dalam
pengembangan agroindustri kopi, petani sebagai komponen sosial diharapkan memiliki kemampuan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian melalui pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan konsep produksi bersih dalam rangka
meningkatkan
mutu
produk,
lingkungan,
nilai
ekonomi
serta
keberlanjutannya. Kelembagaan koperasi yang telah ada dalam sentra kopi rakyat hendaknya dapat memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan organisasi-organisasi bisnis lainnya yang ada saat ini untuk bisa bertahan dalam perekonomian global. Keunggulan kompetitif didefinisikan sebagai suatu kekuatan organisasional yang secara jelas menempatkan suatu perusahaan di posisi terdepan dibandingkan pesaing-pesaingnya.
Salah satu keunggulan kompetitif koperasi adalah
hubungannya dengan anggota. Partisipasi anggota merupakan hal yang penting dalam pengembangan koperasi.
Tanpa adanya partisipasi anggota, akan
menyebabkan terjadinya penurunan efisiensi dan efektifitas koperasi. Salah satu tolak ukurnya adalah kontribusi anggota untuk selalu ikut serta dalam program pengembangan koperasi. 9.4. Kesimpulan Strukturisasi pengembangan agroindustri kopi rakyat di KUPK Sidomulyo, Kabupaten Jember yang akan menerapkan sistem pengolahan kopi rakyat berbasis produksi bersih terutama diharapkan dapat mewujudkan kebutuhan pasar ekspor. Pengembangan agroindustri kopi rakyat ini dilaksanakan dalam wadah kelembagaan koperasi yang tumbuh dari keinginan anggota kelompok tani untuk mengembangkan usahanya. Strukturisasi upaya pengembangan dilakukan untuk mengetahui kebutuhan, kendala, perubahan, tujuan pengembangan yang ingin dicapai oleh seluruh stakeholder. Selain itu penentuan indikator pengembangan dalam suatu sistem agroindustri yang berkelanjutan akan membantu koperasi di masa mendatang dalam melakukan evaluasi perubahan yang akan dilakukan. Peran serta anggota koperasi untuk dapat mengikuti perubahan akan memberikan kemudahan dalam mencapai posisi pasar yang kuat. Penjagaan hubungan antar stakeholder akan memberikan kesempatan bagi koperasi untuk selalu belajar. Proses belajar dibutuhkan dalam menghadapi perubahan yang
240
berkaitan dengan kemajuan teknologi, perbaikan kualitas, dan upaya diversifikasi produk sesuai preferensi konsumen.
Hal ini diharapkan akan mendukung
keberlanjutan agroindustri kopi rakyat khususnya di KUPK Sidomulyo, Kabupaten Jember.
X. PEMBAHASAN UMUM Kopi Robusta yang diusahakan dari perkebunan rakyat merupakan salah satu komoditas utama perkebunan Indonesia.
Krisis kopi tahun 2000
menyebabkan harga biji di tingkat petani sangat rendah serta berdampak pada keberlanjutan pertanian kopi rakyat.
Hal ini terutama karena besarnya
ketergantungan kopi Indonesia terhadap pasar ekspor, dimana hampir 70% biji kopi yang diproduksi diekspor ke luar negeri dan hanya 30% yang dikonsumsi dalam negeri. Selain itu rendahnya mutu biji kopi turut mempengaruhi harga kopi Indonesia di pasar dunia.
Berlakunya resolusi ICO (International Coffee
Organization) 407 tahun 2002 yang kemudian diamandemen dengan resolusi ICO 420 tahun 2004 menetapkan larangan ekspor bagi kopi yang bermutu rendah (dengan jumlah cacat lebih dari 150 untuk Robusta). Resolusi ini menuntut upaya perbaikan mutu kopi di Indonesia, mengingat Indonesia termasuk salah satu negara yang terkena larangan. Tuntutan akan kopi bermutu tinggi serta perkembangan isu lingkungan dan sosial mewarnai pasar kopi dunia yang melahirkan konsep kopi berkelanjutan. Meskipun di sisi lain, penjualan kopi bermutu rendah masih bertahan. Pasar kopi saat ini terutama didominasi oleh kopi-kopi bermutu tinggi yang dijual di café maupun supermarket.
Konsep kopi berkelanjutan menunjukkan perhatian
konsumen terhadap isu-isu degradasi lingkungan karena pola pertanian kopi yang monokultur, dampak kesehatan akibat residu kimia pada biji kopi, kesenjangan sosial dalam perdagangan internasional serta fluktuatifnya perekonomian kopi. Selama kurun waktu 20 tahun, pasar kopi berkelanjutan tumbuh dengan cepat seiring peningkatan kesadaran konsumen. Sebagai salah satu bagian dari pasar kopi dunia, perkembangan agroindustri kopi rakyat di Indonesia hendaknya didasarkan pada konsep keberlanjutan kopi dunia. Kerangka keberlanjutan agroindustri kopi rakyat Indonesia dikembangkan dari konsep keberlanjutan kopi dunia dan kondisi pertanian kopi di Indonesia. Kerangka keberlanjutan disusun berdasarkan atribut-atribut dimensi ekonomi, lingkungan, sosial dan kelembagaan yang dapat dinilai pelaksanaannya dalam agroindustri kopi rakyat. Dimensi kelembagaan merupakan pengembangan dari
241
242
dimensi sosial yang lebih spesifik menggambarkan karakteristik pembangunan pertanian melalui kelompok tani.
Pada tahun 2007, Commision on Sustainable
Development (CSD) telah melakukan penambahan indikator kelembagaan dalam kerangka pembangunan keberlanjutan untuk mendukung tercapainya MDGs (Millenium Development Goal) di berbagai negara di dunia (UN 2007). Dengan demikian,
indikator
kelembagaan
yang
dimasukkan
dalam
Kerangka
Keberlanjutan Kopi Rakyat sesuai dengan perkembangan indikator pembangunan berkelanjutan. Penilaian keberlanjutan agroindustri kopi rakyat saat ini di KUPK Sidomulyo Kabupaten Jember menggunakan simulasi Rap-Coffee menunjukkan nilai cukup berlanjut (58,94%). Hasil analisis keberlanjutan menunjukkan urutan atribut keberlanjutan yang berpengaruh dalam masing-masing dimensi (Gambar 99).
Penilaian yang dilakukan oleh stakeholder masih menunjukkan besarnya
peranan dimensi ekonomi dalam penilaian keberlanjutan agroindustri kopi rakyat.
E K O N O M I
1. Biaya produksi & pemasaran 2. Manajemen usaha tani 3. Kualitas produksi 4. Peluang pasar 5. Kredit usaha
L I N G K U N G A N
1. Manajemen sumberdaya lahan 2. Penyimpanan karbon 3. Pengurangan polusi 4. Daur ulang dan penggunaan ulang 5. Manajemen energi
6. Pendapatan
6. Keanekaragaman hayati
7. Keuntungan
7. Manajemen air
S O S I A L
1. Kesehatan dan keamanan 2. Persepsi dan kepuasan petani 3. Jam kerja & upah 4. Hak-hak dasar 5. Relasi sosial
K E L E M B A G A A N
1. Kesiapan akan bencana 2. Keputusan terintegrasi 3. Partisipasi publik 4. Pengembangan kapasitas 5. IPTEK 6. Tata aturan 7. Kesadaran sosial & informasi 8. Kerangka aturan & kelembagaan 9. Aturan, kerjasama internasional
Gambar 99 Urutan indikator keberlanjutan agroindustri kopi rakyat Hal ini ternyata sesuai dengan penilaian terhadap penerapan konsep pembangunan berkelanjutan menurut Adams dalam IUCN (2006).
Pendekatan keseimbangan
yang terintegrasi lebih baik dibutuhkan untuk mencapai konsep keberlanjutan yang ideal (Gambar 100). Karena kegiatan pembangunan haruslah layak secara ekonomi (economically viable), dapat diterima secara sosial (socially acceptable) serta bersifat ramah lingkungan (environmentally-friendly).
243
Gambar 100 Tiga pilar pembangunan berkelanjutan antara teori, realitas dan perubahan yang dibutuhkan (Adams 2006) Dukungan terhadap perkembangan kopi yang berkelanjutan tidak hanya secara ekonomi tetapi juga sosial dan lingkungan agar dapat melahirkan standar kopi tersertifikasi.
Kopi yang diusahakan di KUPK Sidomulyo, telah
mendapatkan sertifikat kopi organik dari Utz Certified melalui eksportir kopi PT Indocom. Penghargaan terhadap kopi organik sebagai bagian dari kopi yang berkelanjutan tidak terlepas dari mutu biji kopi yang dihasilkan. Giovannucci (2001), menjelaskan mutu kopi merupakan landasan penerapan kopi yang berkelanjutan.
Mutu kopi juga menjadi salah satu indikator dalam dimensi
keberlanjutan ekonomi agroindustri kopi rakyat. Peningkatan mutu kopi dapat dilakukan dengan penerapan teknologi yang tepat.
Teknologi dapat meningkatkan efisiensi proses melalui pengurangan
penggunaan sumberdaya menjadi produk. Teknologi juga dapat dikembangkan untuk memitigasi dampak terhadap lingkungan.
Teknologi memegang peran
penting terhadap keberlanjutan karena menyediakan alat bagi manusia untuk mengambil sumberdaya dari lingkungan dan merubahnya sesuai kebutuhan. Teknologi juga membawa konsekuensi dampak lingkungan yang timbul dari proses pengolahan sumberdaya. Peningkatan mutu kopi rakyat dilakukan melalui modifikasi teknologi olah basah berdasarkan konsep produksi bersih. Teknologi olah basah telah dipercaya dapat meningkatkan mutu kopi karena diterapkan pada buah kopi matang dan melalui proses fermentasi yang mampu meningkatkan cita rasa kopi. Penerapan konsep produksi bersih pada proses pengolahan kopi dapat diupayakan melalui minimisasi air proses, penggunaan biodiesel, penanganan limbah cair, dan limbah padat yang memberikan nilai tambah ekonomi.
244
Minimisasi
air
proses
pengolahan
kopi
dapat
diterapkan
meningkatkan mutu kopi sekaligus mengurangi volume air limbah.
untuk Rentang
volume air proses minimal yang dapat diterapkan adalah 2,987 – 3,345 m3/ton buah kopi.
Meskipun mutu kopi cenderung meningkat seiring pertambahan
volume air proses, akan tetapi penggunaan volume air minimum pada tingkat tersebut mampu meningkatkan mutu biji kopi (grade 4) dibandingkan pengolahan kering (grade 6).
Selain itu, biji kopi yang dihasilkan tidak menunjukkan
perbedaan signifikan pada mutu fisik dan cita rasa dibandingkan biji kopi yang dihasilkan dari pengolahan basah umumnya.
Minimisasi air proses dapat
menurunkan volume air proses hingga 67% dibandingkan pengolahan air basah yang biasa diterapkan bahkan mencapai 85% dibandingkan pengolahan basah tradisional. Penggunaan biodiesel membantu menurunkan emisi ke lingkungan terutama bila diterapkan lebih lanjut pada pengolahan kopi rakyat.
Oleh karena itu
penggunaan biodiesel membutuhkan kajian lebih lanjut. Terutama mengingat berbagai alternatif bahan bakar ramah lingkungan yang dapat diterapkan. Kajian secara ekonomis, teknis teknologis, dan kemudahan masyarakat untuk mendapatkan bahan bakar tersebut akan membantu pencapaian konsep produksi bersih pada agroindustri kopi rakyat. Penerapan modifikasi teknologi olah basah melalui minimisasi air proses mampu meningkatkan mutu kopi meskipun meningkatkan konsentrasi bahan organik pada limbah cair. Sehingga dibutuhkan suatu sistem penanganan limbah yang terintegrasi dengan proses pengolahan kopi rakyat. Tingginya konsentrasi bahan organik limbah cair (COD dapat mencapai 26.000 mg/L) merupakan potensi terbentuknya biogas melalui pengolahan menggunakan digester anaerobik. Kualitas efluen yang dihasilkan dari digester anaerobik meningkat hingga 90% dari kualitas awal limbah cair hasil pengolahan kopi.
Digester anaerobik
merupakan penanganan limbah secara biologi yang dianggap tepat dan cukup mudah untuk diterapkan pada agroindustri kopi rakyat. Beberapa keuntungan penerapan digester anaerobik adalah memiliki efisiensi penurunan konsentrasi limbah organik yang tinggi, menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan, lebih sedikit menghasilkan lumpur, dan mudah untuk diterapkan. Meskipun efisiensi
245
pengolahan anaerobik tinggi (90%), tetapi efluen yang dihasilkan dari digester anaerobik belum layak untuk dibuang ke lingkungan, sehingga dibutuhkan penanganan sekunder bahkan tersier. Pemilihan penanganan hingga tahap tersier disesuaikan dengan tujuan pemanfaatan akhir dari efluen yang dihasilkan. Produk samping yang masih dapat dimanfaatkan dan bernilai ekonomis dari tahapan penanganan limbah cair adalah biogas, pupuk cair, air daur ulang, dan air untuk pengairan. Pengolahan kopi menghasilkan limbah padat yang besar mencapai 60% dari total volume produksi awal. Limbah padat utama yang dihasilkan dari proses pengolahan kopi adalah pulp kopi dan kulit tanduk.
Limbah padat tersebut
bersifat organik dan memiliki nilai ekonomi apabila dilakukan penanganan secara tepat. Penanganan limbah padat sebaiknya terintegrasi bersama penanganan limbah cair untuk meningkatkan efisiensi penanganan dalam sistem agroindustri kopi rakyat. Beberapa alternatif pemanfaatan limbah padat yang dapat diterapkan di KUPK Sidomulyo, Silo, Kabupaten Jember adalah pembuatan briket, pakan ternak, kompos, media produksi jamur, dan papan partikel. Secara sistematis, sistem pengolahan kopi rakyat berbasis produksi bersih disajikan dalam Gambar 101.
Gambar 101 Skema sistem pengolahan kopi rakyat berbasis produksi bersih Aplikasi modifikasi teknologi pengolahan basah melalui upaya minimisasi air berbasis produksi bersih pada agroindustri kopi rakyat membutuhkan investasi lebih besar tetapi memiliki nilai lebih layak dibandingkan pengolahan kering.
246
Fluktuasi harga kopi dunia merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kelayakan dan keberlanjutan pertanian kopi. Nilai tambah ekonomi dari produk samping pengolahan kopi dapat mendukung keberlanjutan agroindustri kopi rakyat.
Penerapan teknologi minimisasi air pada pengolahan kopi juga dapat
menjadi solusi terhadap permasalahan kesulitan air untuk proses pengolahan yang umumnya terjadi di daerah-daerah perkebunan kopi di Indonesia. Konsep produksi bersih pada agroindustri kopi rakyat membutuhkan upaya terus menerus dan konsisten.
Wawasan dan pengelolaan yang menyeluruh
terhadap proses konversi buah kopi menjadi biji kopi tidak semata-mata berdasarkan konsep ekonomi. Perspektif sosial dan lingkungan adalah bagian dari sistem pengolahan sejak awal yang harus dikelola untuk menjaga keberlanjutan agroindustri kopi rakyat. Keikutsertaan secara aktif kelompok tani dalam adopsi teknologi bersih serta penghargaan terhadap upaya peningkatan mutu biji kopi dari stakeholder terkait akan membantu pengembangan agroindustri kopi rakyat. Strukturisasi upaya pengembangan agroindustri kopi rakyat melalui penerapan konsep produksi bersih direkayasa menggunakan teknik pemodelan interpretative
ISM
(Interpretative
Structure
Modelling).
Strukturisasi
pengembangan dilaksanakan dalam lembaga koperasi yang telah dibentuk atas dasar keinginan bersama kelompok tani. Strukturisasi dianalisis berdasarkan 5 elemen sistem yaitu kebutuhan, kendala pengembangan, perubahan yang diinginkan, tujuan, dan indikator pengembangan. Kebutuhan pengembangan pasar dan peningkatan pendapat menjadi dasar bagi upaya pemenuhan kebutuhan sistem lainnya. Sub elemen keterbatasan akses pasar/ekspor merupakan kendala utama pengembangan yang harus ditangani pertama kali sebelum sub elemen kendala lainnya. Berdasarkan keterbatasan pengembangan akan pasar, dibutuhkan pengembangan agroindustri kopi ke arah perluasan pasar dan ekspor, serta pola pengolahan kopi rakyat yang berorientasi bisnis dalam kelompok. Tujuan pengembangan agroindustri rakyat terutama diarahkan untuk peningkatan kualitas bahan baku dan produk, peningkatan nilai ekspor, dan perbaikan kinerja kelembagaan. Adapun indikator utama yang menunjukkan telah tercapainya upaya pengembangan agroindustri kopi rakyat
247
dapat dilihat pada sub elemen terpenuhinya kebutuhan dasar anggota kelompok tani maupun pekerja yang terlibat. Berdasarkan hasil analisis ISM, terdapat kecenderungan sub elemen sistem yang termasuk dalam dimensi ekonomi menjadi dasar bagi pemenuhan sub elemen lainnya. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil analisis keberlanjutan, yang menggambarkan masih besarnya dimensi ekonomi dalam pengembangan agroindustri kopi rakyat.
Meskipun demikian sub elemen berdimensi sosial
ternyata dominan sebagai ukuran keberhasilan pengembangan agroindustri. Faktor eksternal menjadi faktor pendorong utama perubahan untuk pengembangan agroindustri kopi rakyat di KUPK Sidomulyo.
Oleh karena itu, kelembagaan
agroindustri kopi rakyat hendaknya mampu dan terus berusaha melakukan perbaikan sehingga mampu mengikuti dinamika perubahan kopi internasional. Perkembangan pertanian kopi cenderung dipengaruhi oleh kebijakan kopi internasional.
Perkembangan kopi dunia yang mengarah pada konsep kopi
berkelanjutan yang ramah lingkungan dan meniadakan kesenjangan sosial ternyata tidak sepenuhnya mempengaruhi perkembangan kopi di Indonesia. Dominasi kepentingan ekonomi masih menjadi dasar untuk melakukan perubahan sesuai persyaratan internasional.
Meskipun demikian, perubahan pandangan
kelompok tani dan stakeholder terkait harus terus diupayakan untuk menyeimbangkan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam rangka pencapaian pembangunan yang berkelanjutan.
Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan memberikan gambaran bahwa pemenuhan indikator dimensi lingkungan secara langsung akan membantu meningkatkan ekonomi petani. Terutama didasarkan pemahaman bahwa keberlanjutan sumberdaya akan menentukan keberlanjutan kegiatan ekonomi. Selain itu, dimensi sosial sebagai salah satu elemen keberlanjutan yang menunjukkan interaksi antara manusia dan sistem lingkungan juga harus dijaga. Penerapan konsep produksi bersih dalam agroindustri kopi rakyat adalah salah satu upaya menjaga keseimbangan antara dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial pertanian kopi yang berkelanjutan.
248
249
XI. KESIMPULAN DAN SARAN
11.1. Kesimpulan 1.
Agroindustri kopi Robusta rakyat di KUPK Sidomulyo, Kabupaten Jember saat ini dinilai cukup berlanjut (nilai indeks keberlanjutan 58,94%) karena memiliki kekuatan sebagai sumber pendapatan utama dan memiliki peluang pasar ekspor yang tinggi (aspek ekonomi), memiliki kesesuaian untuk persyaratan produk kopi ramah lingkungan (aspek lingkungan), memberikan kepuasan bagi petani (aspek sosial) dan pertumbuhan kelompok tani yang positif (aspek kelembagaan).
2.
Salah satu faktor penting untuk meningkatkan keberlanjutan agroindustri kopi rakyat adalah peningkatan mutu. Untuk itu modifikasi teknologi olah basah yang berbasis produksi bersih dengan minimisasi pemakaian air sebesar 67% atau setara dengan pengurangan air dari 9 menjadi 3 m3/ton buah kopi menunjukkan mutu kopi dapat dipertahankan dan produksi lebih ramah terhadap lingkungan.. Produksi dengan menggunakan biodiesel untuk mesinmesin pengolahan kopi mampu menurunkan emisi CO2 hingga 40%.
3.
Modifikasi minimisasi air proses perlu diikuti dengan pengolahan limbah terpadu. Pada pembuatan biogas, peningkatan konsentrasi bahan organik pada limbah cair dapat meningkatkan volume biogas yang dihasilkan hingga 2,4 kali. Penggunaan sistem penanganan limbah cair dengan teknik anaerobikkoagulasi flokulasi-adsorpsi dan pemanfaatan limbah padat dapat memberi nilai tambah bagi agroindustri kopi, berupa ; a. Pemanfaatan biogas dapat menurunkan emisi gas CO2 hingga 60% b. Daur ulang air proses dapat mengurangi penggunaan air bersih hingga 25%. c. Penurunan limbah padat hingga 60%, dengan pemanfaatan untuk pakan ternak, kompos, media jamur, papan partikel, dan bahan baku digester anaerobik.
4.
Aplikasi teknologi olah basah berbasis produksi bersih dinilai layak dan memiliki fleksibilitas lebih tinggi (NPV Rp. 1.131.058.923, IRR 51,94%, B/C 3,88 dan PBP 1,8 tahun) dibandingkan pengolahan kopi kering.
250
5.
Penerapan teknologi olah basah berbasis produksi bersih berdasarkan analisis ISM harus dilakukan dengan mengembangkan agroindustri kopi rakyat yang berbasis kelompok dan berorientasi bisnis, serta upaya perluasan pasar. Pengembangan agroindustri kopi dapat dicapai melalui peningkatan kualitas bahan baku dan produk, peningkatan nilai ekspor, dan perbaikan kinerja kelembagaan. Keberhasilan pengembangan dapat dinilai dari terpenuhinya kebutuhan mendasar petani dan pekerja yang terlibat dalam agroindustri kopi secara berkelanjutan.
11.2. Saran Untuk penerapan pengolahan kopi berbasis produksi bersih disarankan beberapa hal yaitu. 1.
Dibutuhkan sosialisasi secara terus menerus pada kelompok tani dan masyarakat untuk memberikan pemahaman mengenai keuntungan teknologi ini.
2.
Perlu dibuat standar pengolahan kopi untuk agroindustri rakyat yang termasuk skala usaha kecil menengah sehingga dapat membantu petani menerapkan teknologi ini.
3.
Dibutuhkan pemberian insentif harga berupa kenaikan harga pembelian oleh eksportir atau instansi terkait terhadap biji kopi yang dihasilkan petani sebagai insentif terhadap perbaikan lingkungan.
4.
Perlu dilakukan kajian mutu kopi yang dihasilkan dari penggunaan air daur ulang.
5.
Perlu dilakukan peningkatan efisiensi mesin pengolahan kopi (pulper dan washer).
6.
Pemanfaatan biogas hasil digester anaerobik untuk proses pengeringan biji kopi secara mekanis sebagai alternatif penggunaan kayu bakar yang dilakukan saat ini.
DAFTAR ISI
Halaman Daftar Isi………………………………………………………………………
xv
Daftar Tabel ………………………………………………………………….
xix
Daftar Gambar ………………………………………………………………
xxi
Daftar Lampiran ……………………………………………………………. xxiv Glosari I.
…………………………………………………..
1
Latar Belakang ………………………………………………… Tujuan Penelitian …………………………………………….. Kerangka Pemikiran …………………………………………… Perumusan Masalah …………………………………………. Manfaat Penelitian ……………………………………………. Hipotesis Penelitian …………………………………………… Novelty (Kebaruan penelitian)…………………………………..
1 3 3 6 9 9 9
……………………………………………
11
PENDAHULUAN 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 1.6. 1.7.
II.
…………………………………………………………………….. xxv
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertanian Kopi ………………………………………………… 11 2.2. Pengembangan Kopi Rakyat Berbasis Agroindustri ………… 16 2.3. Konsep Pembangunan Berkelanjutan pada Agroindustri Kopi Rakyat . …………………………………………………………………… 20 2.4. Proses Pengolahan Kopi ………………………………………. 28 2.4.1. Proses Proses Pengolahan Kering …………………….. 28 2.4.2. Proses Pengolahan Basah ……………………………… 31 a. Sortasi Buah …………………………………………. 31 b. Pengupasan Buah Kopi (Pulping) …………………… 32 c. Fermentasi …………………………………………… 33 d. Pencucian (Washing) ………………………………… 35 e. Pengeringan …………………………………………. 36 f. Pengupasan Kulit Tanduk (Hulling) ………………….. 37 2.5. Mutu Kopi ……………………………………………………. 41 2.6. Pendekatan Konsep Produksi Bersih …………………………. 45 2.7. Strategi Penanganan Limbah …………………………………. 52 2.8. Penanganan Limbah Cair …………………………………….. 54 2.8.1. Penanganan Fisika Kimia ……………………………… 55 2.8.2. Penanganan Biologi …………………………………… 56 2.9. Penanganan Limbah Padat Proses Pengolahan Kopi …………. 61
xv
xvi
2.10. Teknik Interpretative Structure Modelling (ISM) …………….. 2.11. Posisi Strategis dan Kebaruan Penelitian ……………………..
64 67
…………………
71
Letak Geografis dan Keadaan Wilayah ……………………….. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian ……………… Keadaan dan Potensi Perkebunan ……………………………. Gambaran Kegiatan Pengolahan dan Pemasaran Kopi Rakyat … Profil Umum Kelompok Tani Sidomulyo I …………………..
71 73 75 76 81
………………………..…………
87
III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5.
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………. 87 4.2. Bahan dan Alat ……………………………………………… 88 4.3. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ……………………………. 88 4.3.1. Keberlanjutan Agroindustri Kopi Rakyat ……………. 88 4.3.2. Desain Proses Pengolahan Kopi Robusta dengan Modifikasi Teknologi Olah Basah …………………………….…… 89 4.3.3. Penanganan Limbah Proses Pengolahan Kopi Robusta Berbasis Produksi Bersih ……………………………… 90 4.3.4. Analisis Lingkungan, Sosial, Ekonomi Agroindustri Kopi Rakyat Berbasis Produksi Bersih ……………………….. 91 4.3.5. Stukturisasi Pengembangan Agroindustri Kopi Rakyat di KUPK Sidomulyo, Kabupaten Jember …………………. 92 V. ANALISIS KEBERLANJUTAN AGROINDUSTRI KOPI RAKYAT DI KUPK SIDOMULYO, KABUPATEN JEMBER ……………. 93 5.1. Pendahuluan …………………………………………………. 5.2. Metode Penelitian ……………………………………………. 5.2.1. Metode Pengumpulan Data ……………….…………… 5.2.2. Variabel yang Diamati ……………………..…………. 5.2.3. Metode Analisis Data ………………………………….. 5.3. Hasil dan Pembahasan ………………………………………. 5.3.1. Kerangka Penilaian Keberlanjutan …………………… 5.3.2. Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekonomi …………… 5.3.3. Analisis Keberlanjutan Dimensi Lingkungan…………… 5.3.4. Analisis Keberlanjutan Dimensi Sosial ………………. 5.3.5. Analisis Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan ………. 5.3.6. Penilaian Multidimensi Keberlanjutan ………………… 5.4. Kesimpulan …………………………………………………..
93 94 94 95 95 96 96 97 101 107 111 118 120
xvii
VI. DESAIN PROSES PENGOLAHAN KOPI ROBUSTA DENGAN MODIFIKASI TEKNOLOGI OLAH BASAH ………………….. 123 6.1. Pendahuluan ………………………………………………….. 123 6.2. Metode Penelitian ……………………………………………. 124 6.2.1. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ……………... 124 6.2.2. Variabel yang Diamati ………………………………. 124 6.2.3. Metode Analisis Data ……………………………….. 124 6.3. Hasil dan Pembahasan ………………………………………. 125 6.3.1. Minimisasi Air Pada Proses Pengolahan Kopi ………… 125 a. Sortasi ………………………………………………. 126 b. Minimisasi Air Proses Pengupasan (Pulping)………… 127 c. Fermentasi ………………………………………… 129 d. Minimisasi Air Proses Pencucian (Washing) ………… 131 e. Pengeringan ………………………………………… 134 f. Pengupasan Kulit Tanduk (Hulling) ………………… 135 6.3.2. Analisis Mutu Biji Kopi ……………………………… 139 a. Analisis Mutu Fisik Biji Kopi Minimisasi Air Tahap 1.. 140 b. Analisis Mutu Fisik Biji Kopi Minimisasi Air Tahap 2.. 144 c. Analisis Cita Rasa Kopi Perlakuan Minimisasi Air ….. 149 6.3.3. Analisis Emisi Proses Pengolahan Kopi Modifikasi Olah Basah …………………………………………………. 157 6.4. Kesimpulan ………………………………………………….. 158 VII. PENANGANAN LIMBAH PROSES PENGOLAHAN KOPI ROBUSTA BERBASIS PRODUKSI BERSIH …………………… 161 7.1. Pendahuluan ……………………………………………….. 161 7.2. Metode Penelitian ………………………………………….. 161 7.2.1. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ………………. 161 7.2.2. Variabel yang Diamati ……………………………….. 162 7.2.3. Metode Analisis Data ………………………………… 162 7.3. Hasil dan Pembahasan ……………………………………….. 162 7.3.1. Analisis Limbah Cair Proses Pengolahan Kopi Modifikasi Olah Basah ……………………………………………. 162 7.3.2. Analisis Limbah Padat Proses Pengolahan Kopi Modifikasi Olah Basah ………………………………………….. 170 7.3.3. Desain Penanganan Limbah Cair …………………….. 173 7.3.4. Simulasi Biodegradabilitas Limbah Cair Proses Pengolahan Kopi …………………………………………………… 174 a. Uji Biodegradabilitas Batch 1 ……………………. 177 b. Uji Biodegradabilitas Batch 2 …………………… 180 7.3.5. Proses Penanganan Anaerobik Limbah Cair ………… 184 a. Netralisasi Limbah Cair …………………………. 186 b. Operasional Digester Anaerobik ………………… 188 7.3.6. Proses Fisika Kimia Penanganan Limbah Cair ……….. 192
xviii
7.3.7. Desain Penanganan Limbah Padat ……………………. 197 7.4. Rekomendasi Penanganan Limbah ………………………….. 202 7.5. Kesimpulan ………………………………………………….. 205 VIII. ANALISIS LINGKUNGAN, SOSIAL, EKONOMI AGROINDUSTRI KOPI RAKYAT BERBASIS PRODUKSI BERSIH …………… 207 8.1. Pendahuluan ……………………………………………………. 8.2. Metodologi …………………………………………………… 8.2.1. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ……………… 8.2.2. Variabel yang Diamati ……………………………….. 8.2.3. Metode Analisis Data ……………………………….. 8.3. Hasil dan Pembahasan ……………………………………….. 8.3.1. Analisis Lingkungan …………………………………. 8.3.2. Analisis Sosial ………………………………………… 8.3.3. Analisis Ekonomi ……………………………………. 8.4. Kesimpulan …………………………………………………..
207 208 208 208 208 208 208 213 215 217
IX. STRUKTURISASI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KOPI RAKYAT DI KUPK SIDOMULYO, KABUPATEN JEMBER …. 219 9.1. Pendahuluan ………………………………………………….. 9.2. Metode Penelitian …………………………………………… 9.2.1. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ………………. 9.2.2. Variabel yang Diamati ……………………………….. 9.2.3. Metode Analisis Data ………………………………… 9.3. Hasil dan Pembahasan ………………………………………. 9.3.1. Strukturisasi Elemen Kebutuhan Pengembangan ……… 9.3.2. Strukturisasi Elemen Kendala/Masalah Pengembangan .. 9.3.3. Strukturisasi Elemen Perubahan dalam Pengembangan ... 9.3.4. Strukturisasi Elemen Tujuan Pengembangan ………….. 9.3.5. Strukturisasi Elemen Indikator Pengembangan ………. 9.4. Kesimpulan …………………………………………………... X. PEMBAHASAN UMUM
………………………………………… 241
XI. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA
219 220 220 221 221 223 224 226 229 232 235 239
……………………………………. 249
………………………………………………….. 251
LAMPIRAN ……………………………………………………………….. 267
xix
DAFTAR TABEL
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Total produksi tahunan negara eksportir kopi beras ….……………….. 14 Temperatur optimum bakteri ……………………….………………... 60 Posisi strategis penelitian …………………………….………………. 69 Luas wilayah Desa/Kelurahan Sidomulyo menurut penggunaan ......... 74 Distribusi penduduk Desa Sidomulyo berdasarkan struktur mata pencaharian ........................................................................................... 75 Sarana dan fasilitas Kelompok Tani Sidomulyo I ................................ 86 Indikator penilaian keberlanjutan agroindustri kopi ............................ 97 Nilai indikator keberlanjutan ekonomi agroindustri kopi di KUPK Sidomulyo, Jember ………………………………………………..…. 98 Nilai indikator keberlanjutan lingkungan agroindustri kopi di KUPK Sidomulyo, Jember ……………………………………………………. 102 Nilai indikator keberlanjutan sosial agroindustri kopi di KUPK Sidomulyo, Jember ………………………………………………………………… 108 Nilai indikator keberlanjutan dimensi kelembagaan agroindustri KUPK Sidomulyo, Jember ………………………………………………..…. 112 Parameter statistik analisis keberlanjutan …………………………….. 118 Hasil uji lanjut Duncan pada proses pengupasan .................................. 129 Hasil uji lanjut Duncan pada proses pencucian ..................................... 133 Volume air, limbah cair dan padat proses pengolahan kopi ................. 136 Perbandingan penggunaan air pengolahan kopi di berbagai negara .…. 138 Mutu fisik biji kopi perlakuan proses pengupasan dan pencucian ........ 141 Mutu fisik biji kopi perlakuan proses pencucian …………………..…. 145 Komposisi kimia daging buah kopi masak ………………………..…. 164 Hasil analisis limbah cair perlakuan minimisasi air pada pengolahan kopi …..……………………………………………………………………… 164 Perbandingan hasil analisis limbah cair pengolahan kopi di India ….... 165 Perbandingan karakteristik limbah cair proses pengolahan kopi .......... 166 Beberapa perbandingan komposisi lendir …………………………….. 167 Komposisi limbah padat proses pengolahan kopi …………………….. 172 Perbandingan komposisi kimia pulp kopi dari berbagai sumber …….. 172 Rancangan simulasi biodegradabilitas (BMP) …………………..…… 176 Komposisi larutan limbah cair sintetik dari kopi instan ………………. 176 Rata-rata komposisi biogas dan VFA (Volatile Fatty Acid) pada konsentrasi COD 30 g/L ………………………………………….……………….. 183 Perbandingan berbagai karakteristik digester anaerobik ……….……. 185 Neraca massa proses pengolahan kopi perlakuan minimisasi air terpilih
xx
31 32 33 34 35 36 37 38
…….………………………………………………………………..….. Karakteristik air dan limbah cair pengolahan anaerobik ……….…...... Komposisi efluen proses anaerobik …………………………….……. Efisiensi proses pengolahan kimia dan fisika limbah cair ……….…… Perbandingan kandungan hara pada limbah padat kopi ………………. Perbandingan komposisi nutrisi kulit dan pulp kopi …………..……… Perbandingan nilai kelayakan pengolahan kopi rakyat. ……….……… Analisis sensitivitas penurunan harga jual biji kopi ………….………. Hubungan kontekstual elemen sistem pengembangan ………..………
186 190 192 193 201 202 215 216 223
xxi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Kerangka pemikiran penelitian. …………………..…………………. 5 Perumusan masalah penelitian ………………………………………. 8 Bunga kopi dan tahap awal perkembangan buah …………………..… 12 Bagian-bagian buah kopi ………………….………………………… 12 Kopi robusta ……………………………….………………………… 11 Elemen pembangunan berkelanjutan ………..………………………. 20 Penilaian atribut kepentingan pembelian kopi yang berkelanjutan ….. 23 Indikator keberlanjutan Kerangka Wuppertal ……………………….. 27 Diagram alir pengolahan biji kopi ………………………………….. 30 Proses giling basah (modifikasi proses olah basah) ………………… 40 Definisi dan ruang lingkup produksi bersih ………………………… 48 Teknik-teknik produksi bersih ……………………………………..… 49 Hirarki minimisasi limbah ………………………………… 51 Diagram skematik proses transformasi dan konversi input menjadi produk output ………………………………………………………….………. 52 Diagram skematik strategi pengelolaan limbah ………………………. 53 Pola umum degradasi polimer organik menjadi metana dalam fermentasi anaerobik …………………………………………………..……….. 59 Pengertian sistem …………………………………………………… 65 Ranah desain proses pengolahan kopi rakyat ……………………….. 68 Peta jalan (road map) penelitian ……………………….……………. 70 Kabupaten Jember ……………………………………..…………….. 72 Desa Sidomulyo ……………………………………….……………. 73 Pengolahan kopi di Desa Sidomulyo ………………….……………. 77 Struktur Kelompok Tani Sidomulyo I ………………..…………….. 83 Prinsip analisis MDS menggunakan modifikasi software Rapfish (RapCoffee) ................................................................................................. 95 Hasil analisis Rap-Coffee dimensi ekonomi ………….…………….. 99 Hasil analisis leverage dimensi ekonomi ……………………………. 100 Hasil analisis Rap-Coffee dimensi lingkungan …………………….. 105 Hasil analisis leverage dimensi lingkungan ........................................ 105 Hasil analisis Rap-Coffee dimensi sosial ………..…………………... 109 Hasil analisis leverage dimensi sosial .................................................. 110 Hasil analisis Rap-Coffee dimensi kelembagaan ............................... 114 Hasil analisis leverage dimensi kelembagaan ……………..………… 115 Gabungan penilaian indeks keberlanjutan ………………..…………. 119 Analisis Monte Carlo dimensi keberlanjutan …………….…………. 120
xxii
35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67
Rancangan penelitian modifikasi teknologi olah basah pada proses pengolahan kopi rakyat …………………………….………………… 125 Buah kopi petik …………………………………….……………….. 127 Mesin pengupas buah kopi (pulper) …………………………………. 128 Neraca massa proses pengupasan ........................................................ 128 Neraca massa proses fermentasi …………………….……………….. 130 Mesin pencuci biji kopi (washer) …………………..……………….. 131 Neraca massa proses pencucian ……………………………………… 132 Neraca massa proses pengeringan ………………..…………………. 135 Perbandingan visual biji kopi HS olah basah dan kering ……….…… 135 Neraca massa proses hulling …………………………………….…... 136 Neraca massa proses pengolahan kopi perlakuan minimisasi air ......... 137 Volume air dan pulp yang dihasilkan pada perlakuan minimisasi air…. 137 Hubungan minimisasi air dan nilai mutu ……………………………. 142 Persentase cacat biji kopi perlakuan minimisasi air tahap 1 ………… 142 Persentase cacat biji kopi karena pengolahan dengan minimisasi air tahap 1 ………………………………………………………………………….. 143 Mutu biji kopi antar perlakuan, jenis proses dan periode panen ……… 146 Persentase cacat biji kopi perlakuan minimisasi air pencucian ………. 147 Persentase cacat biji kopi karena pengolahan dengan minimisasi air tahap kedua …………………………………………………………………. 148 Uji cita rasa untuk fragrance dan aroma kopi ……………………….. 150 Uji cita rasa untuk flavour,body dan bitterness kopi ………………… 151 Uji cita rasa untuk astringency, aftertaste dan clean cup kopi ………… 152 Uji cita rasa untuk balance dan preference kopi ……………………… 153 Total penilaian uji cita rasa kopi ……………………………………… 154 Diagram sarang cita rasa kopi olah kering dan olah basah perlakuan terpilih …………………………………………………………………………. 155 Diagram sarang cita rasa kopi pengolahan basah perlakuan minimisasi air terpilih …………………………………………………………………. 155 Diagram sarang cita rasa kopi olah kering dan olah basah Sidomulyo ………………………………………………………………………..... 156 Perbandingan penggunaan bahan bakar dan emisi CO2 ……………….. 157 Perbandingan emisi CO2 pada putaran mesin ………………………… 158 Penampang membujur buah kopi ……………………………………. 163 Lapisan padatan limbah cair pengolahan kopi .................................... 167 Hubungan minimisasi air proses pengupasan dengan bahan organik dan pH pada limbah cair ..................................................................................... 168 Hubungan minimisasi air proses pencucian dengan bahan organik dan pH pada limbah cair .................................................................. ................... 168 Zone segitiga untuk BOD/COD .............................................................. 169
xxiii
68
Hubungan minimisasi air pencucian dengan parameter total padatan dan total karbon pada limbah cair ................................................................ 170 69 Timbunan pulpa kopi ……………………………………………….. 171 70 Contoh vessel untuk uji biodegradabilitas anaerobik ………….……. 175 71 Komposit mikroorganisme ……………………………………..……. 177 72 Komposisi gas yang dihasilkan proses anaerobik batch 1 ………..…. 178 73 Komposisi gas yang dihasilkan proses anaerobik batch 2 ………..…. 181 74 Gambar skematik digester tipe sirkular ………………………………. 184 75 Penambahan alkali dan kenaikan pH limbah cair kopi ………….…... 187 76 Laju produksi biogas selama 1 siklus produksi kopi …………….…. 189 77 Profil produksi biogas harian dengan 2 jenis input berbeda ………… 189 78 Grafik penurunan COD dan warna pada limbah cair kopi …………. 194 79 Perbandingan efisiensi pengolahan fisika pada limbah cair ……….… 196 80 Beberapa alternatif pemanfaatan pulp kopi ………………………… 198 81 Beberapa alternatif pemanfaatan kulit tanduk kopi dan lendir buah kopi ……………………………………………………………………….…. 198 82 Contoh briket kulit kopi pengolahan kering ……………………..….. 199 83 Papan partikel berbahan baku limbah padat kopi …………………….. 201 84 Sistem tertutup alternatif pemanfaatan limbah proses pengolahan kopi rakyat ……………………………………………………………..…. 206 85 Pencemaran badan air oleh limbah cair pengolahan kopi rakyat ……. 209 86 Konsentrasi pencemaran bahan organik di sungai ………….............. 210 87 Tahapan analisis dalam software ISM ………………………………. 222 88 Struktur hirarki sub elemen kebutuhan sistem ………………………. 224 89 Diagram klasifikasi sub elemen kebutuhan sistem ………………….. 225 90 Struktur hirarki sub elemen kendala pengembangan ……………….. 227 91 Diagram klasifikasi sub elemen kendala pengembangan ……………. 229 92 Struktur hirarki sub elemen perubahan yang diinginkan ……………. 230 93 Diagram klasifikasi sub perubahan yang diinginkan ………………… 230 94 Struktur hirarki sub elemen tujuan pengembangan ………………….. 233 95 Diagram klasifikasi sub elemen tujuan pengembangan ……………… 234 96 Struktur hirarki sub elemen indikator pengembangan ……………….. 236 97 Diagram klasifikasi sub elemen indikator pengembangan ………….. 236 98 Sub elemen kunci sistem pengembangan agroindustri kopi rakyat berbasis produksi bersih yang berkelanjutan …………………………………. 237 99 Urutan indikator keberlanjutan agroindustri kopi rakyat ………….… 242 100 Tiga pilar pembangunan berkelanjutan antara teori, realitas dan perubahan yang dibutuhkan …………………………………………………….. 243 101 Skema sistem pengolahan kopi rakyat berbasis produksi bersih …….. 245
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 2 3 4 5 6 7
Foto-foto desain proses pengolahan kopi …………………………… Standar mutu biji kopi SNI 01-2907-2008 ………………….……….. Perhitungan aliran kas tahunan proses pengolahan kopi ……..……… Perhitungan biaya investasi dan biaya variabel …………………….. Aliran neraca massa perlakuan minimisasi air ……………………… Hasil analisis limbah cair pengolahan kopi ………………………… Kuisioner penelitian ISM …………………………………………..
267 281 283 285 287 293 295
DAFTAR PUSTAKA Abadiga AA. 2010. Assessment of coffee quality and its related problems in Jimma Zone of Oromia Regional State, [Thesis]. Jimma: Jimma University. Adams M, Ghaly AE. 2005. Application of Industrial Ecology to the Central American Coffee Industry. In: Proceedings of the Second Exergy, Energy and Environment Symposium; Kos, Greece, 3 – 7 July 2005. Paper No. IEEES2 – 006. Adams M, Ghaly AE. 2007. An integral framework for sustainability assessment in agro-industries: Application to The Costa Rican Coffee Industry. International Journal of Sustainable Development and World Ecology 13: 83102. Adams MR, Dougan J. 1989. Waste Products. Di dalam Clarke RJ, Macrae R, editor. Coffee Vol. 2. New York: Elsevier Applied Science. hlm 257-287. Adams WM. 2006. The future of sustainability: Re-thinking environment and development in the twenty-first century. Di dalam Report of the IUCN Renowned Thinkers Meeting; IUCN, 29-31 January 2006. www.iucn.org. [1 April 2012]. Alatiqi IM, Hamoda MF, Dadkhah AA. 1998. Kinetic Analysis of Thermophilic Anaerobic Digestion of Wastewater Sludge. Water, Air and Soil Pollution 107: 393-407. Netherlands: Kluwer Academic Publisher. Alder J, Pitcher TJ, Preikshot D, Kaschner K, Ferriss B. 2003. How Good as Good? A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of the Sustainability status of Fisheries of The North Atlantic. Sea Around US: Method Rev; pp.136-140. Angelidaki I et al. 2007. Anaerobic Biodegradation, Activity and Inhibition (ABAI). Di dalam Task Group Meeting 9th to 10th October 2006 in Prague. Bygningstorvet: Institute of Environment & Resources, Technical University of Denmark. Atmawinata O. 1995. Pengeringan buah kopi dalam bangunan tembus cahaya. Pelita Perkebunan Vol.11 No.3:181-189. Baga LM, Yanuar R, Feryanto WK, Aziz K. 2009. Koperasi dan Kelembagaan Agribisnis : Suatu Peran Penting dalam Pengembangan Sistem Agribisnis. Diktat Kuliah. Bogor: Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. [BAPEMAS] Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Jember. 2009. Profil Desa Sidomulyo. Jember: Bapemas. Baon JB, Sukasih R, Nurkholis. 2005. Laju dekomposisi dan kualitas kompos limbah padat kopi: pengaruh aktivator dan bahan baku kompos. Pelita Perkebunan 2005 21(1): 31-42. Barbier B, Hearne RR, Gonzalez JM, Nelson A, Castaneda OM. 2003. Tradeoffs between economic efficiency and contamination by coffee processing a
251
252
bioeconomic model at the watershed level in Honduras. Di dalam Proceedings of the 25th International Conference of Agricultural Economics (IAAE) di Durban, South Africa, 16-22 August 2003. Bekalo SA, Reinhardt HW. 2010. Fibers of Coffee Husk and Hulls for the Production of Particleboard. Materials and Structure 43: 1049-1060. Beltran PP, Flores JGE, Campos ARM, Lopez IE, Amor, AAR, Angel GY, Medina MF, Nova FA, Ortega OAC. 2011. On-farm evaluation of the effect of coffee pulp supplementation on milk yield and dry matter intake of dairy cows grazing tropical grasses in Central Mexico. Trop Anim Health Prod. Published online 26 November 2011. Springerlink. DOI 10.1007/s11250-011-0025-9. Benefield LD, Judkins JF, Weand BL. 1982. Process Chemistry for Water and Wastewater Treatment. Englewood Cliffs, NJ : Prentice-Hall Inc. Publishers. Berkel RV. 1999. Cleaner Production Opportunities for Small to Medium Sized Enterprises. Waste and Recycle Convention in Australian, 5-9 August 1999. http://infohouse.p2ric.org/ref/13/12030.pdf. [25 Mei 2010]. Bermudez RC, Garcia N, Gross P, Serrano M. 2001. Cultivation of Pleurotus on Agricultural Substrates in Cuba. Micologia Aplicada International 13 (1); 25 – 29. [BIOMAT]. 1992. Estudio y diseño de la Planta de Tratamiento de los Desechos del Café en la finca "San Luis". Matagalpa, Nicaragua: Alcaldía de Matagalpa and Oficina Biogás y Saneamiento Ambiental. Borjesson P, Berglund M. 2006. Environmental system analysis of biogas systems – Part I: Fuel-cycle emissions. Biomas and Bioenergi 30: 469 – 485. Braham JE, Bressani R. 1979. Coffee Pulp. Composition, Technology and Utilization. Ottawa, Canada: The Institute of Nutrition of Central America and Panama (INCAP) and IDRC. Bressani R., Elias LG, Brenes GRA. 1972. Improvement of protein quality by amino acid and protein supplementation. Di dalam Bigwood EJ, editor. International Encyclopedia of Food and Nutrition. Protein and Amino Acid Functions. Vol. II, Chapter 10. Oxford, England : Pergamon Press. Bromokusumo AK, Slette J. 2010. Indonesia Coffee Annual 2010. Global Agricultural Information Network. USDA Foreign Agricultural Service. Bruno M, de Oliveira RA. 2008. Anaerobic treatment of wastewater from coffee pulping in upflow anaerobic sludge blanket (UASB) in two stages. Di dalam Proceedings of Livestock Environment Conference VIII: Iguassu Falls, Brazil, 31 August - 4 September 2008. ASABE Publication Number 701P0408. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. Standar Nasional Indonesia SNI 012907-2008. Biji Kopi. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
253
Calvert KC. 1997. The Treatment of Coffee Wastewater. The Biogas Option. A Review and Preliminary Report of Ongoing Research. Coffee Research Report no. 50. Coffee Industry Corporation Ltd. Papua New Guinea: Kainantu. Calvert KC. 1998. The Microbiology of Coffee Processing, part 1. PNGCRI Coffee Research Newsletter. Calvert KC. 1999 The Microbiology of Coffee Processing, part 3. PNGCRI Coffee Research Newsletter. Cantlon JE, Koenig HE. 1999. Sustainable Ecological Economics. Ecological Economics 31 : 107 -121. Chanakya HN, de Alwis AAP. 2004. Environmental Issues and Management in Primary Coffee Processing. Process Safety and Environmental Protection, 82(B4): 291-300. www. ingentaselect.com. [24 Juni 2010]. Chaudhuri M, Khairi NN. 2011. Adsorptive Removal of Chromium(VI) from Aqueous Solution by an Agricultural Waste-Based Activated Carbon. Water Air Soil Pollution. Published online: 29 Oktober 2011. http://www.springerlink.com. [15 Januari 2012]. Chen Y, Cheng JJ, Creamer KS. 2008. Inhibition of Anaerobic Digestion Process: A Review. Bioresource Technology 99: 4044 – 4064. Ciptadi W, Nasution MZ. 1985. Pengolahan Kopi. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian IPB. Clarke RJ, Macrae R, editor. 1989. Coffee Volume 2: Technology. London and New York: Elsevier Applied Science. Clifford MN, Willson KC. 1985. Coffee: Botany, Biochemistry and Production of Beans and Beverages. London: Croom Helm. Cohen JM, Hannah SA. 1971. Coagulation and Flocculation. Water Quality and Treatment. A Handbook of Public Water Supplies. New York: McGraw Hill Book Company. Colic M, Morse DE, Morse WO, Miller JD. 2005. New developments in mixing, flocculation and flotation for industrial wastewater pretreatment and municipal sludge thickening. Di dalam Proceedings of 78th Annual Conference of the Water Environmental Federation, Washington DC: WEFTEC. http://www.cleanwatertech.com. [24 Maret 2011]. Conrad K, Hansen HCB. 2007. Sorption of zinc and lead on coir. Bioresource Technology January 2007, Vol. 98, No. 1; 89-97. Cortez JG, Menezez HC. 2000. Recent developments in Brazilian coffee quality: new processing systems, beverage characteristics and consumer preferences. Di dalam: Sera T, Soccol CR, Pandey A, Roussos S, editor. Proceedings of the 3rd International Seminar on Biotechnology in the Coffee Agro-Industry; Londrina, Brazil. Netherlands: Kluwer Academic Publisher. hlm 339-346. Coughlan K. 1996. Assessing The Sustainability of Cropping Systems in Pacificland Countries: Biophysical Indicators of Sustainability. In
254
Sustainable Land Management in The South Pacific. Di dalam: Howlet D, editor. Network Document No. 19. Thailand: International Board for Soil Research and Management. Daoming S, Forster CF. 1994. Inhibitory effects in the thermophilic anaerobic treatment of a simulated coffee wastewater. Environmental Technology 1994 Volume 15 Issue 3 ; 287 - 292. Deepa GB, Chanakya HN, de Alwis AAP, Manjunath GR, Devi V. 2002. Overcoming pollution of lakes and water bodies due to coffee pulping activities with appropriate technology solutions. Di dalam Proceedings of Symposium on Conservation, Restoration and Management of Aquatic Ecosystems Paper 4. Bangalore and Canada: Centre for Ecological Sciences, Indian Institute of Science (IIS) and the Karnataka Environment Research Foundation [KERF] and Commonwealth of Learning. De Matos TA, Lo Monaco PA, Pinto AB, Fia R, Fukunaga DC. 2001. Pollutant Potential of Wastewater of the Coffee Fruits Processing. Brazil: Federal University of Viçosa, Department of Agricultural Engineering. Devi R, Singh V, Kumar A. 2008. COD and BOD reduction from coffee processing wastewater using avocado peel carbon. Bioresource Technology 99; 1853-1860. Dinsdale RM, Hawkes R, Hawkes DL. 1997. Mesophilic and Thermophilic Anaerobic Digestion with Thermophilic Pre-acidification of Instant-Coffee Production Wastewater. Water Research Vol. 31 No. 8: 1931-1938. Ditjenbun [Direktorat Jenderal Perkebunan]. 2011. Statistik Perkebunan 20092011. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. Djajadiningrat ST. 2001. Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Bandung: Departemen Teknik Industri ITB. Droste RL. 1997. Theory and Practice of Water and Wastewater Treatment. Canada: John Wiley & Sons, Inc. Hoboken. Eakin H, Tapia LAB, Diaz RM, Castellanos E, Haggar J. 2011. Adaptive capacity and social environmental change: Theoretical and operational modeling of smallholder coffee systems response in Mesoamerican Pacific Rim. Environmental Management (2011) 47:352-367. Ean EW. 2008. Pretreatment of Instant Coffee Wastewater by Coagulation and Flocculation, [Disertasi]. Malaysia: Universiti Teknologi Malaysia. http://eprints.utm.my. [12 November 2011]. Eckenfelder WW Jr. 1986. Principles of Water Quality Management. Massachusetts: CBI Publishing Company, Inc. Edzwald JK. 1993. Coagulation in drinking water treatment: particles, organics and coagulants. Water Science Technology 27; 21-35. El Taweel G, Ali GH. 2000. Evaluation of Roughing and Slowsand Filters for Water Treatment. Kluwer Academic Publishers: Water, Air, and Soil Pollution 120; 21–28.
255
Erwiyono R, Nurkholis, Baon JB. 2001. Laju perombakan kulit buah kopi, jerami dan cacahan kayu dengan perlakuan mikroorganisme dan kualitas kompos yang dihasilkan. Pelita Perkebunan 2001, 17(2): 64-71. Fan L, Soccol CR. 2005. Shitake bag cultivation. Di dalam Mushroom Grower’s Handbook 2. http://www.fungifun.org. [18 Desember 2011]. [FAO] Food and Agricultutal Organization. 2010. Summary of World Food and Agricultural Statistics. FAO Statistical Yearbooks. http://www.fao.org/faostat. [23 Januari 2012]. Fet AM. 2005. From Cleaner Production to Advanced Product Development Strategies- a Business Success Story. Di dalam Proceedings at 3rd International Conference Industrial Ecology for a Sustainable Future. Stockholm: Royal Institute of Technology. Gallopin G. 1997. Indicators and Their Use: Information for Decision Making. Di dalam: Moldan B, Billharz S, editor. Report on The Project on Indicators of Sustainable Development. Chichester: John Wiley and Sons,. Gathua B, Rantala P, Maatta R. 1991. Coffee industry wastes. Water Science Technology 24, 53-60. Geiser K. 2001. Cleaner Production Perspectives 2: Integrating CP into Sustainability Strategies. UNEP Industry and Environment, January – June, 2001: 33-36. Ghazinoory S. 2005. Cleaner production in Iran: necessities and priorities. Journal of Cleaner Production 13 (2005): 755-762. Giovannucci D. 2001. Sustainable Coffee Survey of The North American Coffee Industry. America: North American Commission for Environmental Cooperation and Specialty Coffee Association of America. Giovannucci D, Potts J, Killian B, Wunderlich C, Schuller S, Soto G, Schroeder K, Vagneron I, Pinard F. 2008. Seeking Sustainability: COSA Preliminary Analysis of Sustainability Initiatives in the Coffee Sector. Winnipeg, Canada: Commitee on Sustainability Assessment. Glavic P, Lukman R. 2007. Review of sustainability terms and their definitions. Journal of Cleaner Production (15): 1875 – 1885. [Gubernur Jawa Timur]. 2002. Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 45 Tahun 2002 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Industri atau Kegiatan Usaha Lainnya di Jawa Timur. Surabaya: Gubernur Jawa Timur. Gunaseelan VN. 1997. Anaerobic digestion of biomass for methane production: a review. Biomass and Bioenergy Vol. 13, No. 1/2: 83-114. Grendelman ER. 2006. Tratar las Aguas Mieles. Wageningen University, subdepartments: Irrigation & Water Engineering Group and Environmental Technology. [Unpublished internship paper]. Netherlands: Wageningen University.
256
Hakim N. 2003. Strategi pemasaran kopi dalam menghadapi over supply, isu ecolabeling dan isu ochratoxin. Warta Penelitian Kopi dan Kakao, 9(1): 2238. Han JS, Rowell JS. 1996. Chemical Composition of Fibers. Di dalam Rowell RM, Young RA, Rowell J, editor. Paper and Composites from Agrobased Resources. London: CRC. Hardjosuwito B, Hermansyah. 1985. Biji kopi asal buah hijau dinilai dengan sistem nilai cacat. Menara Perkebunan 1985 vol. 53(3): 96-100. Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik, Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. Bogor: Seameo Biotrop. Hayami Y, Kikuchi M. 1981. Asian Village Economy at the Crossroads. An Economic Approach to Institutional Change. Tokyo: University of Tokyo Press. Herman. 2008. Perkembangan dan Prospek Komoditas Kopi. Tinjauan Komoditas Perkebunan Vol 8 No.1 Desember 2008. Bogor: Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Herman, Susila WR. 2003. Perbaikan Mutu Kopi Tidak Bisa Ditunda. http://www.ipard.com/art_perkebun/0020504wrs.asp. [15 Januari 2010]. Heuman J. 1994. Coffee Quality, a search for definition. Tea and Coffee Trade Journal. http://www.albusiness.com/manufacturing/food-manufacturingfood-coffee-tea/431070-1.html. [19 Februari 2011]. Himmelblau DM. 1982. Basic Principles and Calculations in Chemical Engineering. 4th edition. London: Prentice-Hall International, Inc. Houbron E, Larrinaga A, Rustrian E. 2003. Liquefaction and methanazation of solid and liquid coffee wastes by two phase anaerobic digestion process. Water Science and Technology. IWA Publishing Vol. 48 No. 46: 255-262. Indrasti NS, Fauzi AM. 2009. Produksi Bersih. Bogor: IPB Press. Indrawanto C. 2009. Kajian pengembangan industri akar wangi (Vetiveria zizanoides L.) menggunakan interpretative structural modeling. Informatika Pertanian Volume 18 No. 1, 2009; 1 – 18. [ICO] International Coffee Organization. 2004. Coffee Market Report. Agustus 2004. International Coffee Organization. http://www.ico.org . 9p. [12 Maret 2009]. [ICO] International Coffee Organization. 2007. International Coffee Agreement 2007. Copy of authentic text. http://dev.ico.org/documents/ica2007e.pdf. [15 Maret 2010]. [ICO] International Coffee Organization. 2012. Monthly Coffee Market Report. April 2012. International Coffee Organization. http://www.ico.org. [19 Mei 2012]. Ismayadi C, Zaenudin. 2003. Pola produksi infestasi jamur dan upaya pencegahan kontaminasi ochratoxin-A pada kopi Indonesia. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 2003, 19(1): 45-60.
257
Jacobi J. 2004. The Potential of Eco-Technological Wastewater Treatment for Improvement of The Drinking Water Quality of Matagalpa, Nicaragua. [Thesis]. Department Environmental Technology, Wageningen University. www.iwe.wur.nl. [15 Desember 2011]. Kasryno F. 2002. Strategi Pembangunan Pertanian yang Berorientasi pada Petani Kecil dalam Analisis Kebijaksanaan: Paradigma Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agroindustri. Di dalam Sudaryanto T, Rusastra IW, Syam A, Ariani M, editor. Analisis Kebijaksanaan: Paradigma Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agro Industri. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kavanagh P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project. Rapfish Software Description (for Microsoft Excel). Vancouver, Canada: University of British Columbia. Fisheries Centre. Kirom M. 2005. Nikmat kopi hilang karena cacat biji. 124/Th.XI/Januari-Februari 2005: 12-13.
Kopi Indonesia
Kholil, Eriyanto, Sutjahjo SH, Soekarto SH. 2008. Pengembangan model kelembagaan pengelola sampah kota dengan metode ISM (Interpretative Stuctural Modeling) studi kasus di Jakarta Selatan. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia Vol 2 April 2008; 31 – 48. Koenig L. 1987. Fundamental Consideration in The Removal of Organic Substances from Water. A General Review. Control of Organic Substances in Water and Wastewater. New Jersey: Noyes Data Corporation. Kebede YK, Kebede T, Assefa F, Amsalu A. 2010. Environmental Impact of Coffee Processing Effluent on The Ecological Integrity of Rivers Found in Gomma Woreda of Jimma Zone, Ethiopia. Ecohydrology and Hydrobiology Vol. 10 No. 2-4 : 259-270. Labuschagne C, Brent AC, van Erck RPG. 2005. Assessing the sustainability performances of industries. Journal of Cleaner Production (13): 373386. Lang DJ, Scholz RW, Binder CR, Wiek A, Beat S. 2007. Sustainability potential analysis (SPA) of landfill – systemic approach: theoretical considerations. Journal of Cleaner Production (15): 1628 – 1638. Leloup V, Gancel C, Liardon R, Rytz A, Pithon A. 2010. Impact of wet dan dry process on gree coffee composition and sensory characteristic. Di dalam Proceedings of 22th International Conference on Coffee Science, 2010. Bali, Indonesia: ASIC. 3-8 Oktober 2010. Lendaris GG. 1980. Structural modelling. A tutorial guide. IEEE Transactions on Systems, Man and Cybernetics Vol. SMC-10 No. 12: 807-840. Leroy T, Ribeyre F, Bertrand B, Charmetant P, Dufour M, Montagnon C, Marraccini P, Pot D. 2006. Genetics of coffee quality. Mini Review. Brazilian J. Plant. Physiol. 18(1) : 219-342.
258
Liu Y, Xu HL, Show KY, Tav JH. 2002. Anaerobic granulation technology for wastewater treatment. Kluwer Academic Publishers: World Journal of Microbiology & Biotechnology 18: 99-113. Londra IM, Andri KB. 2009. Potensi pemanfaatan limbah kopi untuk pakan penggemukan kambing peranakan Etawah. Makalah di dalam Seminar Nasional Inovasi untuk Petani dan Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian. Malang, 28 Juli 2009.. Machfud. 2001. Rekayasa Model Penunjang Keputusan Kelompok dengan Fuzzy-logic untuk Sistem Pengembangan Agroindustri Minyak Atsiri. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Magesa JM, Swai FB, Mushi IK, Ngh’oma NM, Mdemu S, Teri JM. 2010. The impact of participatory village based training for increased coffee productivity, production and income in Tanzania. Di dalam Proceedings of 22th International Conference on Coffee Science, 2010. Bali, Indonesia: ASIC. 3-8 Oktober 2010. Malina JF, Pohland FG. 1992. Design of Anaerobic Processes for The Treatment of Industrial and Municipal Wastes. Water Quality Management Library. Lancaster-Basel, USA: Technomic Publishing Co., Inc.. Manahan SE. 2007. Environmental Science and Technology. A Sustainable Approach to Green Science and Technology. Boca Raton, Florida : CRC Press Taylor & Francis Group. Mangunwidjaja D, Sailah I. Penebar Swadaya.
2005. Pengantar Teknologi Pertanian.
Manly BFJ. 1994. Multivariate Statistical Methods, a Primer. Chapman & Hall.
Jakarta: London:
Marimin. 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo. Mawardi S. 2008. Strategi ekspor komoditas perkebunan dalam situasi krisis finansial global, kasus pada kopi. Makalah di dalam Seminar Nasional dan Display Product Dies Natalis Fakultas Pertanian Universitas Jember ke-44. Jember, 23 Desember 2008. Mburu JK. Thuo JT, Marder RC. 1994. The characterization of wastewater from coffee processing factories in Kenya. Kenya Coffee 59; 1757-1763. Mburu JK. 2004. Coffee processing waste management. Di dalam Proceedings of 20th International Conference on Coffee Science, 11 – 15 Oktober 2004. Bangalore, India : ASIC: 513-516. Mburu JK 2010. Coffee Processing Water Minimization Options. Di dalam Proceedings of 22th International Conference on Coffee Science, 2010. Bali, Indonesia: ASIC. 3-8 Oktober 2010. Mendoza RB, Rivera CMF. 1998. Start-up of an anaerobic hybrid UASB⁄filter reactor treating wastewater from a coffee processing plant. Anaerobe Environmental Microbiology Vol. 4: 219 – 225.
259
[MenLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 1995. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep-51/MENLH/10 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri. Jakarta: MENLH. www.menlh.go.id. [21 April 2009]. Moreno G, Moreno E, Cadena G. 1995. Bean characteristics and cup quality of the Colombian variety (Coffea arabica) as judged by international tasting panels. Di dalam The Proceedings of the 16th International Scientific Colloquium on Coffee. Kyoto, Japan: 574-583. Mori EEM, Bragagnolo N, Morgano MA, Anjos VDA, Yotsuyanagi K, Faria EV, Iyomasa JM. 2001. Brazil coffee growing regions and quality of natural, pulped natural and washed coffees. Di dalam Proceedings of 19th International Conference on Coffee Science, Trieste, Italy. 14-18 May 2001. Mulato S, Atmawinata O, Yusianto, Widyotomo S, Martadinata. 1999. Kajian penerapan pengolahan kopi Arabika secara kelompok: Studi kasus di Kabupaten Aceh Tengah. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao 15(1): 143-160. Mulato S, Suharyanto E. 2010. Case study of biogas production from plant-based materials and animal manure resources available in the coffee farm. Di dalam Proceedings of 22th International Conference on Coffee Science, 2010. Bali, Indonesia: ASIC. 3-8 Oktober 2010. Mulato S, Widyotomo S, Suharyanto E. 2006. Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kopi. Jember: Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Munashinge M. 1993. Environmental Economic and Sustainable Development. Washington DC: Environmental Departemen of The World Bank. Munasinghe M. 2010. Sustainomics Framework and Practical Application. MIND Press. Srilanka: Munasinghe Institute for Development. Murthy KVN, D’Sa A, Kapur G. 2004. An Effluent Treatment-Cum-Electricity Generation Option at Coffee Estates: Is it Financially Feasible? Draft for International Energy Initiative at Bangalore. http://www.ieiais.org/IEIBLRREWSUReport.pdf. [15 Februari 2010]. Musebe R, Agwanda C, Mekonen M. 2007. Primary coffee processing in Ethiopia: patterns, constraints and determinants. African Crop Science Conference Proceedings Vol. 8: 1417 – 1421. Egypt: African Crop Science Society. Mutakin F, Salam AR, Driyo AD. 2008. Peta Ekspor Impor 2008 dan Proyeksi Ekspor Indonesia Tahun 2009. Economic Review No. 214, Desember 2008. Najiyati S, Danarti. 2006. Kopi, Budidaya dan Penanganan Pasca Panen. Jakarta: Penebar Swadaya. Noor E. 2006. Produksi Bersih. Materi Pelatihan Audit Lingkungan, 11-20 September 2008. Cisarua: Kerjasama Departemen Biologi FMIPA dengan PKSDM Ditjen Dikti Depdiknas. [21 Agustus 2008]. Novita E. 2001. Optimasi Proses Koagulasi Flokulasi pada Limbah Cair yang Mengandung Melanoidin. Jurnal Ilmu Dasar Vol.2 No.2 ; 61-67.
260
Nurmalina R, Sarianti T, Karyadi A. 2010. Studi Kelayakan Bisnis. Bogor: Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Olguin EJ, Sanchez G, Mercado G. 2004. Cleaner production and environmentally sound biotechnology for the prevention of upstream nutrient pollution in the Mexican coast of the Gulf of Mexico. Ocean and Coastal Management 47 (2004): 641-670. Pakpahan A. 1999. Kerangka Kelembagaan untuk Pertanian Indonesia Masa Depan. Makalah Simposium Nasional Rekonseptualisasi Pembangunan Pertanian Sebagai Basis Ekonomi Bangsa Proposal untuk Pemerintahan Baru, Jakarta 23-24 Juli 1999. Pelupessy W. 2003. Environmental Issues in The Production of Beverages: Global Coffee Chain. Di dalam: Mattsson B, Sonesson U, editor. Environmentally-Friendly Food Processing. Cambridge England: CRC Press, Woodhead Publishing Limited. hlm 95-115. Pereira CPP. 2009. Anaerobic Digestion in Sustainable Biomass Chains. Ph.D [Thesis]. Netherland: Wageningen University. [15 Agustus 2011]. Pitcher TJ, Preikshot DB. 2001. Rapfish: A Rapid Appraisal Technique to Evaluate the Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49(3); 255-270. Presiden Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta. http://www.iec.co.id/pdf. [10 Maret 2009]. Prete CEC, Sera T, Foncesa ICB. 2000. Electric conductivity of exudates of green coffee and its relationship with the quality of the beverage. Di dalam: Sera T, Soccol CR, Pandey A, Roussos S, editor. Coffee Biotechnology and Quality. Proceedings of the 3rd International Seminar on Biotechnology in the Coffee Agro-Industry; Londrina, Brazil, 2000. Netherlands: Kluwer Academic Publishers. Hlm 321-338. Pudjiastuti L. 1999. Produksi Bersih. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pullselli FM, Ciampalinia F, Leiperth C, Tiezzia E. 2008. Integrating methods for the environmental sustainability: the SpIn-Eco project in The Province of Siena (Italy). Journal of Environmental Management 86 (2008): 332341. Pujiyanto. 2007. Pemanfaatan kulit buah kopi dan bahan mineral sebagai amelioran tanah alami. Pelita Perkebunan 23 (2) 2008: 104-117. Raphael K, Velmourougane K. 2011. Chemical and microbiological changes during vermicomposting of coffee pulp using exotic (Eudrilus eugeniae) and native earthworm (Perionyx ceylanesis) species. Biodegradation 2011 Jun 22(3);497-507. Rathinavelu R, Graziosi G. 2005. Potential Alternative Uses of Coffee Wastes and By-Products. ICO: ICS-UNIDO. http://foodscience.psu.edu. [25 Maret 2011].
261
Retnandari ND, Tjokrowinoto M. 1991. Yogyakarta: Penerbit Aditya Media.
Kopi Kajian Sosial Ekonomi.
Reynolds TD, Richards PA. 1996. Unit Operations and Processes in Environmental Engineering. 2nd ed. Boston: PWS Publishing Company: 166 –218. Rojas JBU, Amato JAJVS, Huisman EA. 2003. Biological Treatments Affect The Chemical Composition of Coffee Pulp. Bioresource Technology 89 (2003): 267–274. Romli M, Suryani A, Hambali E, Suprihatin. 2003. Pedoman Teknis Pengelolaan Limbah untuk Industri Kecil. Bogor: Kementrian Lingkungan Hidup dan Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Rubiyo, Suharyanto, Guntoro S. 2007. Pengkajian Sistem Usahatani Kopi Robusta Integrasi dengan Ternak Kambing di Bali. Di dalam Wahyudi T et al, editor. Prosiding Simposium Kopi 2006, Surabaya 2 -3 Agustus 2006. Jember: Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Said EG, Harizt IA. 1998. Reorientasi pembangunan ekonomi Indonesia dalam era reformasi: Peranan sektor agribisnis dan agroindustri. Usahawan No. 10 Th XXVII Oktober 1998. Salla MH. 2009. Influence of genotype, location and processing methods on the quality of coffee (Coffea arabica L.) [thesis]. Hawassa, Ethiopia: School of Graduate Studies Hawassa University. Samudro G, Mangkoedihardjo S. 2010. Review on BOD, COD and BOD/COD ratio: a triangle zone for toxic, biodegradable and stable levels. International Journal of Academic Research Vol. 2 No. 4 Juli 2010. URL: www.ijar.lit.az. [12 Januri 2011] Sanchez G, Olguin EJ, Mercado G. 1999. Accelerated Coffee Pulp Composting. Biodegradation 10: 35-41. Netherlands: Kluwer Academic Publisher. Saptana, Sumaryanto. 2002. Profil Industri Perkebunan dan Industri Berbahan Baku Hasil Tanaman Perkebunan. Di dalam Sudaryanto T, Rusastra IW, Syam A, Ariani M, editor. Analisis Kebijasanaan: Paradigma Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agro Industri. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Selvamurugan M, Doraisamy P, Maheswari M, Nandakumar NB. 2010. High rate anaerobic treatment of coffee processing wastewater using upflow anaerobic hybrid reactor. Iran J.Environmental Health Science and Engineering 2010 Vol.7 No. 1; 129 -136. Schumacher Centre for Technology & Development. Tanpa Tahun. Small Scale Coffee Processing. Practical Action. UK: Warwickshire. Singh RK, Murty HR, Gupta SK, Dikshit AK. 2009. An overview of sustainability assessment methodologies. Ecological Indicators, 9(2), 189212.
262
Siswoputranto PS. 1993. Penerbit Kanisius,
Kopi Internasional dan Indonesia.
Yogyakarta:
Sivetz M, Desrosier NW. 1979. Coffee Technology. Westport Connecticut: AVI Publishing Company, Inc. Sivetz M, Foote HE. 1973. Coffee Processing Technology Vol 1. Connecticut: The AVI Publishing Inc. Slette J, Wiyono IE. 2011. Indonesia Coffee Annual 2011. Global Agricultural Information Network. USDA Foreign Agricultural Service. Soemarno D, Mawardi S, Maspur, Prayuginingsih H. 2009. Peningkatan nilai tambah pengolahan kopi arabika metode basah menggunakan kegiatan bermediasi (Motramed) pada unit pengolahan hasil di Kabupaten NgadaNTT. Pelita Perkebunan Vol.25 (1) 2009 : 38-54. Sofyar CF. 2004. Pengembangan kebijakan usaha kecil yang berbasis produksi bersih [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Steel EW, Mc Ghee TJ. 1985. Water Supply and Sewage. New York: McGraw Hill Book Company. Sudarko. 2010. Hubungan Dinamika dan Peran Kelompok dengan Kemajuan Anggota dalam Penerapan Inovasi Teknologi Usaha Tani Kopi Rakyat (Kasus di Desa Sidomulyo Kecamatan Silo Kabupaten Jember). [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sulistyowati. 2001. Faktor yang berperan terhadap cita rasa seduhan kopi. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 2001, 17(2): 138 – 148. Sulisyowati, Sumartona. 2002. Metode Uji Cita Rasa Kopi. Materi Pelatihan Uji Cita Rasa Kopi 19-21 Februari 2002. Jember: Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Suryana A. 2006. Arah penelitian dan pengembangan pertanian dalam mendorong perkopian nasional yang tangguh. Makalah di dalam Simposium Kopi Tahun 2006 di Surabaya. Jember: Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Sweet Maria. 2011. Sweet Maria’s Coffee Glosary. http://www.sweetmarias.com [12 Agustus 2011]. Syers JK, Hamlin A, Pusparajah E. 1995. Development of Indicators and Thresholds for the Evaluatioon of Sustainable Land Management. Di dalam Proceedings of 15th World Congress of Soil Science Commision V Volume 6a, Acapulco, Mexico, July 1994. Mexico: International Society of Soil Science: Mexican Society of Soil Science. Tabrizi RS, Foong YP, Ebrahimi N. 2010. Using interpretive structural modelling to determine the relationships among knowledge management criteria inside Malaysian organizations. World Academy of Science, Engineering and Technology 72, 2010; 727 - 732.
263
Teresa ZP, Gunther G, Fernando H. 2007. Chemical oxygen demand reduction in coffee wastewater through chemical flocculation and advanced oxidation processes. Journal of Environmental Sciences 19; 300–305. Theodore L, McGuinn YC. Nostrand Reinhold.
1992.
Pollution Prevention.
New York: Van
Tseng ML, Chiu ASF, Chinag JH. 2006. The relationship of continuous improvement and cleaner production on operational performance: An empirical study in electronic manufacturing firms, Taiwan, China. International Journal of Management Science and Engineering Management Vol.1 No. 1: 71-80. Tunstall D. 1992. Developing Environmental Indicators: Definitions Framework and Issues. Draft Paper. Background Materials for the World Resources Institute Workshop on Global Environmental Indicators. Washington DC, Desember 1992. International Institute for Sustainable Development. http://sd-cite.iisd.org [23 Maret 2009]. Tunstall D. 1994. Developing and Using Indicators of Sustainable Development in Africa: An Overview (Draft Paper) Prepared for the Network For Environment and Sustainable Development in Africa (NESDA). The Gambia: Thematic Workshop on Indicators of Sustainable Development, Banjul, The Gambia, 16 – 18 Mei 1994. International Institute for Sustainable Development. http://sd-cite.iisd.org [23 Maret 2009]. [UNEP] United Nations Environment Programme. 1994. Government Strategies and Policies for Cleaner Production. Paris: UNEP Industry & Environment. United Nations. 2007. Indicators of Sustainable Development: Guidelines and Methodologies. Third edition. New York: United Nations Publication. University of Southampton and Greenfinch Ltd. 2003. Biodigestion of Kitchen Waste. A Comparative Evaluation of Mesophilic and Thermophilic Biodigestion fot The Stabilisation and Sanitation of Kitchen Waste. Final Report. UK: University of Southampton and Greenfinch Ltd. www.southampton.ac.uk [12 Mei 2011]. Utz Certified. 2010. Utz Certified Good Inside Code of Conduct for Coffee version 1.2. www.Utzcertified.org [15 Maret 2011]. Viani R. Tanpa Tahun. Global Perspectives in Quality Improvement. Unpublished paper of FAO Consultant. Corseaux, Switzerland. http://www.journal.au.edu/au_techno/jul2002/article7.pdf [15 Januari 2011]. Von Enden JC, Calvert KC. 2002. Review of Coffee Waste Water Characteristics and Approaches to Treatment. New Zealand: Intercargill. Wahyudi T, Ismayadi C, Sulistyowati. 1999. Kajian pengolahan beberapa varietas kopi jawa pengaruhnya terhadap mutu. Pelita Perkebunan 1999, 15(1): 56–67. Wahyuni S. 2010. Biogas. Jakarta: Penebar Swadaya.
264
Weldesenbet B, Sualeh A, Mekonin N, Indris S. 2008. Coffee processing and quality research in Ethiopia. Di dalam Proceedings of a National Work Shop Four Decades of Coffee Research and Development in Ethiopia, 14-17 August 2007. Addis Ababa, Ethiopia : EIAR. hlm 307-316. Wibawa A, Mawardi S, Sulistyowati. 2005. Membangun agribisnis kopi robusta di Bali. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao 2005, 21(2):60-76 Wibowo W. 1985. Evaluasi Karakteristik Berbagai Jenis Biji Kopi Cacat dan Sifat Organoleptik Seduhannya [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Widyotomo S, Mulato S, Ahmad H, Soekarno S. 2009. Kinerja pengupas kulit buah kopi segar tipe silinder ganda horisontal. Pelita Perkebunan 2009, 25(1) : 55-75. Wilkie AC, Smith PH, Bordeaux FM. 2004. An economical bioreactor for evaluating biogas potential of particulate biomass. Bioresource Technology 2004, 92 : 103-109. Winardi J. 2003. Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Grafindo Persada.
Jakarta: Raja
Winston E, Lak JO, Marsh T, Lempke H, Chapman K. 2005. Arabica Coffee Manual for Myanmar. Thailand: FAO Regional Office for Asia and Pacific. http://www.fao.org. [21 Agustus 2009]. Wreford A, Moran D, Adger N. 2010. Climate Change and Agriculture, Impacts, Adaptation and Mitigation. OECD Publications. www.oecd.org [21 Agustus 2011]. Yahmadi M. 1972. Budidaya dan Pengolahan Kopi. Jember: Balai Penelitian Perkebunan Bogor Sub Balai Penelitian Budidaya Jember. Yasar O, Neczan O. 2010. Analyzing the barriers encountered in innovation process through interpretive structural modeling: evidence from Turkey. Yönetim ve Ekonomi 17/2 (2010); 207-225. Yusianto, Mawardi S. 2010. Flavor profiles of robusta coffee processed by wet hulling and pulped natural method. Di dalam Proceedings of 22th International Conference on Coffee Science, 2010. Bali, Indonesia: ASIC. 3-8 Oktober 2010. Yusianto, Mulato S. 2002. Pengolahan dan Komposisi Kimia Biji Kopi: Pengaruhnya terhadap Cita Rasa Seduhan. Materi Pelatihan Uji Cita Rasa Kopi. Jember: Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Yusianto, Widyotomo S, Mulato S. 1999. Studi pembuatan papan partikel dari kulit kopi kering. Pelita Perkebunan 1999, 15(3) : 188-202. Yusdja Y, Iqbal M. 2002. Kebijaksanaan Pembangunan Agroindustri dalam Analisis Kebijaksanaan: Paradigma Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agroindustri. Di dalam Sudaryanto T, Rusastra IW, Syam A, Ariani M, editor. Analisis Kebijasanaan: Paradigma Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agro Industri. Bogor: Pusat Penelitian dan
265
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Balai Penelitian& Pengembangan Pertanian. Zaenudin, Abdoellah S. 2002. Pengembangan teknologi mendukung perkopian nasional. Makalah Simposium Kopi Tahun 2002 di Denpasar. Jember: Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
GLOSARI
Acidity
Dikenal juga dengan istilah keasaman untuk cita rasa kopi yang mengacu pada kejelasan, ketajaman, rasa buah atau seperti rasa anggur (wine) yang banyak ditemukan pada kopi arabika. Kopi dengan keasaman tinggi dikategorikan sebagai kopi asam yang sebenarnya tidak berkaitan dengan asam (pH). Kopi pada dasarnya memiliki rentang pH alami antara 5 hingga 6.
Adaptasi (perubahan iklim)
Kemampuan atau kecenderungan makhluk hidup dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah akibat perubahan iklim untuk dapat tetap hidup dengan baik.
Adsorpsi
suatu proses yang terjadi ketika suatu fluida, cairan maupun gas , terikat kepada suatu padatan atau cairan (zat penjerap, adsorben) dan akhirnya membentuk suatu lapisan tipis atau film (zat terjerap, adsorbat) pada permukaannya.
Aftertaste
Rasa seduhan kopi setelah ditelan. Cita rasa akhir dapat beraneka macam seperti rasa coklat, terbakar, pedas, tembakau, tajam dll.
Agroekosistem
Pertanian yg bersifat hubungan timbal balik antara sekelompok manusia (masyarakat) dan lingkungan fisik dari lingkungan hidupnya guna memungkinkan kelangsungan hidup kelompok manusia (masyarakat) itu.
Alum (tawas)
Nama komersial dari aluminimum sulfat dengan rumus umum Al2(SO4)3.14,3 H2O. Salah satu jenis koagulan yang terdiri dari senyawa anhidrat yang sangat popular dan sangat luas penggunaannya.
Anaerobik
Organisme yang tidak membutuhkan kehadiran oksigen untuk tumbuh. Pengolahan limbah cair anaerobik adalah pengolahan limbah cair menggunakan mikroorganisme anaerobik.
Aroma
Adalah bau/aroma kopi setelah diseduh yang terkait erat dengan cita rasa kopi. Tanpa aroma, flavor kopi hanya akan terbatas pada rasa manis, asam, asin, dan pahit. Banyak nuansa cita rasa kopi tercermin dalam bau yang dapat dihirup oleh hidung. Sebagai contoh adalah floral, winey, chocolatey, spicy, tobacco, earthy, dan fruity. Aroma kopi juga dapat dialami setelah minum kopi pada saat uap mengarah ke hidung.
xxv
xxvi
Astringent
Suatu rasa kering, asam, asin, dan sensasi rasa yang tidak menyenangkan yang terdeteksi pada sebagian besar sisi lidah.
Balance
Keseimbangan rasa kopi yang merata di seluruh lidah. Percampuran berbagai macam kopi dengan benar dapat membuat kopi beraroma dan seimbang. Keseimbangan rasa tidak selalu berarti positif, karena beberapa orang dapat memilih kopi dengan rasa yang memiliki perbedaan nyata.
B/C
Benefit cost ratio adalah rasio antara manfaat yang bernilai positif dengan manfaat yang bernilai negatif.
Biji berkulit tanduk
Biji kopi yang masih terbungkus oleh kulit tanduk yang membungkus biji tersebut dalam keadaan utuh maupun besarnya sama dengan atau lebih besar dari ¾ bagian kulit tanduk utuh. (~ Kopi HS)
Biji coklat
Biji kopi yang setengah atau lebih bagian luarnya berwarna coklat
Biji pecah
Biji kopi yang tidak utuh dengan besarnya sama atau kurang dari ¾ bagian biji yang utuh
Biodegradasi
Penguraian (dekomposisi) suatu zat menjadi senyawasenyawa dasar pembentuknya yang lebih sederhana oleh mikroorganisme, misalnya bakteri.
Biodiesel
Bahan bakar yang terdiri dari campuran mono--alkyl ester dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi bahan bakar mesin diesel dan terbuat dari sumber-sumber yang dapat diperbaharui seperti minyak sayur atau lemak hewan.
Biofuel
Bahan bakar hayati adalah setiap bahan bakar baik padatan, cairan ataupun gas yang dihasilkan dari bahanbahan organik. Biofuel dapat dihasilkan secara langsung dari tanaman atau secara tidak langsung dari limbah industri, komersial, domestik atau pertanian.
Biogas
Gas yang dihasilkan dari aktivitas anaerobik atau fermentasi bahan-bahan organik termasuk diantaranya; kotoran manusia dan hewan, limbah domestik (rumah tangga), sampah atau limbah yang bersifat biodegradable dalam kondisi anaerobik. Kandungan utama dalam biogas adalah metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2).
Bitter
Rasa pahit yang keras, tidak menyenangkan yang terdeteksi di belakang lidah. Bitterness merupakan
xxvii
karakteristik dari kopi yang terlalu lama disangrai, diekstrak berlebihan ataupun berasal dari kopi cacat. BOD (biochemical oxygen demand)
Jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk mengoksidasi hampir semua zat organik yang terlarut dan sebagian zat organik yang tersuspensi di dalam air.
Body
Rasa fisik di mulut dan tekstur akan kopi. Kopi dengan fuel bodied memiliki rasa yang kuat, adanya krim, dan menyenangkan di mulut. Body dari kopi (ringan, medium ataupun kuat) tergantung pada padatan terlarut, tersuspensi, dan kandungan minyak yang diekstraksi dari biji kopi yang dapat bervariasi antara tipis dan berair hingga tebal dan berkrim.
Cacat kulit kopi
Cacat biji kopi karena adanya kulit majemuk (pericarp) dari kopi gelondong dengan atau tanpa kulit ari (silver skin) dan kulit tanduk (parchment)
Cacat kulit tanduk
Cacat kopi karena adanya kulit tanduk yang terlepas atau tidak terlepas dari biji kopi
Chocolatey
Rasa atau aroma seperti coklat. Kopi jarang sekali memiliki rasa atau aroma seperti coklat, tapi beberapa kopi dari Amerika Tengah dan Yaman memiliki aroma coklat yang berbeda dengan rasa sedikit pahit, manis coklat.
Clean
Aroma yang bersih dari kopi tanpa adanya rasa tajam atau rasa yang tidak umum.
COD (chemical oxygen demand)
Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik dalam air atau limbah cair.
Community development
Suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas (masyarakat) melalui partisipasi aktif, dan jika memungkinkan, berdasarkan inisiatif masyarakat
CSR
Corporate Social Responsibility adalah suatu tindakan atau konsep perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggung jawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada.
CSTR
Continuous Stirred Tanki Reactor adalah reaktor tangki berpengaduk dimana pengaduk yang bekerja diasumsikan sempurna sehingga konsentrasi tiap komponen dalam reaktor seragam sebesar konsentrasi aliran yang keluar dari reaktor. Reaktor ini biasa digunakan pada reaksi homogen dimana bahan baku dan katalisnya berfasa cair, atau reaksi antara cair dan gas dengan katalis cair.
xxviii
Demucilager
Mesin pengupas lendir pada proses pengolahan kopi semi basah yang menggunakan bantuan air dan gesekan. Contoh demucilager adalah Aquapulpers, Penagos atau Pinhalense Demucilager.
Digester
Tempat/unit pengolahan air limbah yang berbentuk silinder besar.
Earthy
Karakteristik segar dari tanah atau kentang mentah. Apabila dikaitkan dengan karakteristik cacat, earthy dapat terjadi karena jamur yang muncul selama proses panen dan pengolahan. Earthy umumnya ditemukan pada kopi hasil pengolahan semi basah dari Indonesia.
Efluen
Keluaran/hasil/aliran yang keluar setelah mengalami suatu proses. Atau disebut juga aliran yang keluar dari suatu outlet.
Ekologi
Ilmu mengenai hubungan saling ketergantungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya
Ekosistem
Sistem yang terdiri atas tumbuhan, hewan, dan organism lain serta semua komponen abiotik (yang tidak hidup).
Emisi
Pelepasan atau pengeluaran suatu zat dari sumbernya
Fair trade coffee
Adalah klasifikasi sertifikasi kopi yang berarti kopi dibeli langsung dari produsennya dan diberi harga tinggi daripada harga kopi standar. Tujuan sertifikasi adalah untuk mempromosikan kondisi kesehatan dan insentif ekonomi yang lebih baik
Fermentasi kopi
Peruraian senyawa-senyawa yang terkandung di dalam lapisan lendir oleh mikroba alami dan dibantu dengan oksigen dari udara. Fermentasi merupakan tahap penting pada proses pengolahan basah yang bertujuan untuk membersihkan lapisan lendir secara mudah. Proses ini harus dilakukan segera setelah pemetikan buah dan dapat berlangsung selama 12 -24 jam tergantung pada suhu dan faktor lainnya.
Fermented
Rasa cacat pada kopi karena terlalu masak atau mendekati busuk. Fermented dapat terjadi karena proses pengolahan basah yang buruk, buah yang terlalu masak atau terjadinya kontaminasi selama pengolahan.
Filtrasi (penyaringan)
Proses penyaringan air untuk memisahkan sisa-sisa flok atau padatan lain yang terbawa oleh air dengan cara melewatkan air baik secara horizontal maupun vertikal atau dengan tekanan melalui lapisan media filter
xxix
(misalnya pasir). Flat
Ketiadaan rasa dan aroma pada kopi.
Flavor
Menggambarkan rasa kopi secara keseluruhan mencakup kualitas body, acidity, dan aroma. Jika kopi dalam keseimbangan yang baik, tidak ada satupun dari komponen ini yang lebih kuat dari komponen yang lain.
Flok
Padatan tersuspensi dan partikel koloid yang mengalami destabilisasi dan membentuk gumpalan yang mudah mengendap.
Flokulasi
Proses pembentukan dan penggabungan flok-flok padatan dalam air atau limbah cair menjadi flok-flok yang lebih besar, agar mudah diendapkan di unit pengendapan.
Floral
Aroma bunga yang ditemukan di beberapa kopi dan umumnya dirasakan bersama-sama dengan aroma buah atau herbal lainnya.
Fragrance
Adalah bau dari kopi sebelum ditambahkan air. Sejumlah bau yang tidak menyenangkan dari kopi dapat berasal dari cacat biji kopi.
GAP
Good Agricultural Practices adalah kumpulan prinsip (standar) yang diterapkan pada produksi pertanian dan pengolahannya sehingga dihasilkan produk yang aman, sehat, dan tetap memperhatikan aspek ekonomis, sosial, dan kelestarian lingkungan serta memenuhi standar internasional.
Herbal
Aroma yang terkait dengan aroma rumput yang baru dipotong, tumbuhan, daun hijau segar, dan buah yang belum matang. Karakteristik herbal merupakan aroma yang khas dari kopi yang belum sepenuhnya memenuhi kadar air 10 – 12% karena pengolahan.
HOK
Hari Orang Kerja adalah jumlah hari yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan.
Hulling
Suatu tahapan proses dalam pengolahan dimana biji kopi dipisahkan dari lapisan kulit tanduk.
In-depth interview
Teknik penelitian kualitatif yang melibatkan wawancara individu secara mendalam dengan sejumlah kecil responden untuk mengeksplorasi perspektif responden mengenai suatu ide, program atau situasi.
Influen
Aliran yang memasuki suatu sistem penanganan limbah, dan bisa juga disebut inflow (aliran masuk).
xxx
IRR
Internal rate of return adalah tingkat discount rate yang menghasilkan NPV sama dengan nol dinyatakan dalam satuan persentase.
ISM (Interpretative Structure Modeling)
Proses pengkajian kelompok dimana model struktural dihasilkan untuk menggambarkan hal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan metode grafis.
Jar test
Percobaan laboratorium yang bertujuan menentukan kadar koagulan optimal bagi jenis air tertentu. Umumnya menggunaakn 6 sampel air dengan kadar koagulan berbeda-beda di dalam 6 gelas kimia berkapasitas 1 hingga 2 liter serta pengaduk dari bahan non-korosif.
Kafein
Zat perangsang syaraf yang sangat penting dalam bidang farmasi dan kedokteran
Kafeol
Salah satu zat pembentuk citarasa dan aroma pada kopi
Karbon aktif
Salah satu bahan untuk pengolahan air yang memiliki daya serap tinggi berbentuk serbuk halus atau silinder granular dengan ukuran butiran hingga 6 mm dan mempunyai berat jenis 400 kg/m3. Karbon aktif mampu menyerap bahanbahan organik, Fe (besi), Mn (mangan), H2S, bau, dan warna.
Kelembagaan
1. Suatu aturan formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan perlindungan hak-hak serta tanggung jawabnya. 2. Sebuah kumpulan orang-orang yang dengan sadar berusaha memberikan sumbangsih mereka ke arah pencapaian suatu tujuan umum. Umumnya merujuk pada lembaga-lembaga formal.
Koagulasi
Proses pencampuran yang seragam antara koagulan dengan air yang akan diolah melalui pengadukan cepat. Proses destabilisasi partikel-partikel tersuspensi dan koloid dalam air.
Kopi asalan
Bij kopi yang dihasilkan oleh petani dengan metode dan sarana pengolahan yang sangat sederhana, kadar airnya relatif tinggi (>16%), dan belum disortasi.
Kopi beras
Biji kopi yang telah diolah dan dikeringkan hingga kadar air 12%.
Kopi gelondong
Buah kopi kering setelah diolah dengan proses pengolahan kering (tanpa air dalam pengolahan). Biji kopi masih
xxxi
kering
terlindung oleh kulit daging buah, lapisan lendir, kulit tanduk, dan kulit ari dalam kondisi kering.
Kopi HS(hoornschil)
Biji kopi berkulit tanduk (cangkang) hasil pengolahan secara basah (WP = wet process). Kulit daging buah (pulp) dan lapisan lendir telah dihilangkan melalui beberapa tahapan proses secara mekanis atau fermentasi dan pencucian.
Kopi organik
Kopi yang telah disertifikasi oleh pihak ketiga dimana pertumbuhannya tidak menggunakan pestisida, herbisida ataupun bahan kimia lainnya.
Lendir (mucilage)
Lapisan kental yang terdapat pada buah kopi, terletak di antara kulit luar dan lapisan kulit yang mengelilingi biji. Pada pengolahan basah, lendir ini didegradasi melalui proses fermentasi yang kemudian dicuci bersih.
Limbah
Bahan buangan atau hasil samping dari suatu proses produksi baik berbentuk padat, cair atau gas yang dapat menimbulkan pencemaran.
Lingkungan
Kesatuan ruang dengan semua benda (baik mati dan makhluk hidup), daya, keadaan, perilaku yang mempengaruhi, dan dipengaruhi oleh perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Medicinal
Aroma obat atau seperti yodium. Aroma ini dapat berasal dari proses pengeringan buah saat masih berada di pohon. Aroma ini tidak dapat disembunyikan meskipun dicampur dengan kopi lain.
Mild
Rasa kopi yang halus dan lembut.
MoU
Memorandum of Understanding atau nota kesepahaman adalah sebuah dokumen legal yang menjelaskan persetujuan antara dua belah pihak.
Mutu
Karakteristik yang melekat pada suatu produk
Netralisasi
Proses penambahan asam atau basa untuk menetralisir suatu larutan yang bersifat basa ataupun cenderung asam.
NPV
Net present value adalah selisih antara total present value manfaat dengan total present value biaya
Nutty
Aroma dan karakteristik rasa seperti kacang segar.
O.I.B
Oost Indische Bereiding atau Proses kering atau dry process (DP) atau G.B (Gawone Bereiding)
Panen lelesan
Buah kopi yang terserang hama bubuk dapat mengering di
xxxii
tangkai atau luruh ke tanah. Buah kopi yang kering dan luruh di tanah dipungut dan dipisahkan dari buah masak. Panen buah ini disebut panen pungutan “lelesan”. Panen racutan
Panen buah kopi yang dilakukan pada akhir masa panen dan dilakukan terhadap semua buah yang tertinggal di pohon hingga habis. Panen ini bertujuan untuk memutus siklus hidup hama bubuk buah.
Parchment
Lapisan kulit tanduk yang mengelilingi biji kopi yang dapat hilang selama proses pengolahan (hulling).
PBP
Payback period adalah periode yang dibutuhkan untuk mengukur seberapa cepat investasi bisa kembali.
Penanganan primer
Tahap pengolahan yang membuat perubahan terbesar/dominan terhadap bahan/limbah yang diolah.
Pengering mekanis
Metode pengeringan dengan menggunakan pemanas sebagai alternatif pengeringan dengan sinar matahari. Terutama dilakukan pada saat cuaca tidak mendukung atau pada saat lantai penjemuran tidak lagi memiliki kapasitas memadai untuk mengeringkan biji kopi. Meskipun demikian pengeringan dengan sinar matahari lebih baik hasilnya dibandingkan menggunakan pengering mekanis.
Produksi bersih
Aplikasi secara kontinyu dari suatu strategi pencegahan lingkungan terhadap proses dan produk untuk mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan
Proses basah
Metode untuk mengubah buah kopi menjadi biji kopi siap ekspor dengan menggunakan air. Proses ini menggunakan air untuk mengangkut buah ke pabrik pengolahan, proses sortasi rambang, pengupasan buah kopi (pulping), fermentasi, dan proses pencucian. Kemudian biji kopi yang telah dicuci dijemur di bawah sinar matahari atau di atas para-para. Kopi proses basah disebut juga sebagai kopi yang dicuci.
Proses kering
Salah satu metode untuk mengubah buah kopi menjadi biji kopi siap ekspor. Pada pengolahan kering, buah yang dipetik dari pohon dikeringkan di bawah sinar matahari langsung atau di atas matras, tanpa pengupasan kulit atau sortasi berbasis air ataupun fermentasi Proses kering merupakan metoda alami yang telah dilakukan berabadabad, sederhana, dan sedikit penggunaan mesin.
Proses semi basah
Proses pengolahan buah kopi kopi yang menggunakan cara manual atau mekanis untuk melepaskan kulit buah kopi. Adapun lendir yang masih menempel dilepaskan
xxxiii
menggunakan alat khusus ”demucilager”. Proses semi basah paling sering digunakan di Brasil. Di Indonesia, proses giling basah biasa dikategorikan proses semi basah, meskipun sebenarnya proses giling basah yang juga menerapkan fermentasi kering termasuk kategori proses olah basah. Pulp
Lapisan daging buah yang mengandung lendir yang terletak di antara kulit buah dan biji kopi.
Pulping
Tahap pertama dalam pengolahan basah kopi yang bertujuan untuk melepaskan kulit buah kopi dan menghasilkan kopi dengan kulit tanduk
Recovery
Perolehan kembali-upaya memanfaatkan kembali limbah dengan cara memprosesnya untuk memperoleh kembali salah satu atau lebih komponen yang terkandung di dalamnya.
Recycle-daur ulang
Pemanfaatan kembali bahan yang berasal dari limbah yang bernilai ekonomis, melalui proses pengolahan untuk menghasilkan produk yang sama atau dalam bentuk lain.
Reduce-mengurangi
Menerangkan sesuatu upaya untuk mengurangi atau memperkecil dari kondisi/ukuran semula.
Residu
Zat/bagian yang tersisa setelah terjadinya suatu proses
Resiliensi
Kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian atau masalah yang terjadi
Retensi waktu Retention time
Waktu alir, yaitu waktu yang dibutuhkan suatu aliran untuk mengalir melewati suatu bentang saluran/ruang tertentu.
Reuse-penggunaan kembali
Pemanfaatan limbah dengan cara menggunakannya kembali untuk keperluan/fungsi yang sama, tanpa proses pengolahan atau perubahan bentuk.
Sistem
Suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan yang kompleks.
Sortasi
Tahapan memilih biji kopi agar memenuhi persyaratan ekspor berdasarkan ukuran, warna, ataupun densitas.
Stakeholder
Segenap pihak yang terkait dengan isu dan permasalahan yang sedang dibahas
Sweetness
Manisnya kopi yang sangat berbeda dengan rasa gula. Kopi yang manis biasanya diidentikkan dengan ringan dan lembut. Rasa terasa di langit-langit mulut dan tidak
xxxiv
terdapat cacat atau rasa keras lainnya. Sweetness juga dapat mengungkapkan rasa buah di ujung lidah. Total Dissolved Solid (TDS)
Bahan terlarut dalam air yang tidak tersaring dengan kertas saring millipore dengan ukuran pori 0,45 μm. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang terlarut dalam air, mineral, dan garam-garamnya. Atau bahan-bahan terlarut (diameter < 10 -6 mm) dan koloid (diameter < 10 -6 mm - < 10 -3 mm) yang berupa senyawa kimia dan bahan-bahan lain yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45 µm.
Total Solid (TS)
Total dari zat padat terlarut (TDS) dan zat padat tersuspensi (TSS), baik yang bersifat organik maupun anorganik.
Total Suspended Solid (TSS)
Padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan anorganik yang dapat disaring dengan kertas millipore 0,45 μm.
UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket)
Unit pengolahan biologis air limbah secara anaerobik, dengan arah aliran air limbah dari bawah reactor menuju ke atas. Aliran air limbah akan terhambat dan tersaring, sehingga akan berproses pada lapisan sludge blanket yang terbentuk.
Volatile solid
Padatan-padatan yang dikandung mempunyai sifat mudah menguap.
Warna
Unsur/ komponen pencemar air yang terutamaa disebabkan oleh proses dekomposisi zat organik, garam mineral, oksida besi, mangan serta zat-zat organik berbentuk koloid
W.I.B
West Indische Bereiding atau proses basah atau wet process (WP)
air
limbah
dan
LAMPIRAN 1. FOTO-FOTO DESAIN PROSES PENGOLAHAN KOPI
Buah kopi
Sortasi buah kopi merah
Buah kopi merah
Kelas 1
Kelas 3 Kelas 2 Sortasi ukuran buah kopi
267
Kelas 4
268
Proses sortasi rambang
BUAH
BIJI
PULP
Pemisahan pulp dan biji menggunakan pulper
Proses fermentasi kering
269
(a) (b) Biji kopi setelah pengupasan (a) dan setelah fermentasi (b)
Mesin pencuci tipe kontinyu
K12 C12
K22 C12
K32 C12
Sampel perlakuan biji kopi setelah proses pencucian
270
Proses pengeringan biji kopi HS dengan pengering mekanis
Proses pengeringan dengan sinar matahari
OLAH KERING
OLAH BASAH
Biji kopi hasil pengolahan kering dan pengolahan basah
271
Proses pengupasan kulit tanduk dengan huller
Limbah cair dari proses pengupasan (pulping)
(a) Sebelum fermentasi (b) Setelah fermentasi Lendir pada biji kopi selama proses pengolahan basah
272
Limbah cair dari proses pencucian (washing)
Kolam penampungan limbah cair
Limbah padat (pulp) hasil proses pengupasan buah kopi
273
Limbah kulit tanduk biji kopi (hull)
Proses anaerobik batch 1
Inkubator suhu 37oC
Pengujian degradabilitas limbah cair sintetik menggunakan kopi instan
Analisis komposisi biogas dengan GC (gas chromatography)
274
Digester anaerobik limbah cair pengolahan kopi di Puslitkoka, Jember
Screw conveyor untuk membawa pulp kopi ke digester anaerobik
A
B
Influen (A) dan efluen (B) digester anaerobik
275
Limbah proses pengolahan kopi di KUPK Sidomulyo
Pembuangan limbah cair proses pengolahan kopi ke sungai di KUPK Sidomulyo
PAC
Alum Al2(SO4)3
Fe2Cl3
Efluen proses koagulasi pada limbah cair kopi KUPK Sidomulyo
276
A
B
Efluen anaerobik
Efluen filtrasi
Influen (A) dan efluen (B) proses filtrasi
Biodiesel (campuran solar dan CPO)
Pengujian emisi CO2 pada mesin pengolahan kopi
277
Hasil pengujian emisi CO2 pada mesin pengolahan kopi
Sampling biogas
Biji kopi dari KUPK Sidomulyo dan hasil perlakuan minimisasi air
278
Kulit tanduk
Kulit kopi ukuran kecil
Kulit kopi ukuran sedang
Kulit kopi ukuran besar
Biji berkulit tanduk
Biji hitam pecah
Biji hitam
Biji hitam sebagian
Biji berlubang >1
Biji muda
Biji coklat
Biji pecah
Kopi gelondong
Cacat pada biji kopi
Sortasi ukuran biji kopi
Persiapan sampel kopi untuk uji cita rasa (cup test)
279
Sampel uji cita rasa (cup test)
Lembar evaluasi cita rasa kopi
Uji cita rasa oleh panelis
280
281
LAMPIRAN 2. STANDAR MUTU BIJI KOPI BERDASARKAN SNI 012907-2008
Tabel 1. Syarat Umum
Tabel 2. Syarat mutu khusus kopi robusta pengolahan kering
Tabel 3. Syarat mutu khusus kopi robusta pengolahan basah
Tabel 4. Syarat penggolongan mutu kopi robusta dan arabika
282
Tabel 5. Penentuan besarnya nilai cacat pada biji kopi
LAMPIRAN 3. PERHITUNGAN ALIRAN KAS TAHUNAN PROSES PENGOLAHAN KOPI Aliran kas tahunan proses pengolahan kopi dengan modifikasi teknologi olah basah berbasis produksi bersih No
Uraian Komponen
I
Investasi
II
Penjualan
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
392.185.000
1. Penerimaan
1.728.000.000
1.728.000.000
1.728.000.000
1.728.000.000
1.728.000.000
1.728.000.000
1.728.000.000
1.728.000.000
1.728.000.000
1.728.000.000
2. By products
596.022.720
596.022.720
596.022.720
596.022.720
596.022.720
596.022.720
596.022.720
596.022.720
596.022.720
596.022.720
3. Salvage value
22.700.000
Total Penerimaan III
2.324.022.720
2.324.022.720
2.324.022.720
2.324.022.720
2.324.022.720
2.324.022.720
2.324.022.720
2.324.022.720
2.324.022.720
2.346.722.720
1.1. Tenaga kerja
32.400.000
32.400.000
32.400.000
32.400.000
32.400.000
32.400.000
32.400.000
32.400.000
32.400.000
32.400.000
1.2. Penyusutan
24.261.750
24.261.750
24.261.750
24.261.750
24.261.750
24.261.750
24.261.750
24.261.750
24.261.750
24.261.750
4.852.350
4.852.350
4.852.350
4.852.350
4.852.350
4.852.350
4.852.350
4.852.350
4.852.350
4.852.350
1.800.000.000
1.800.000.000
1.800.000.000
1.800.000.000
1.800.000.000
1.800.000.000
1.800.000.000
1.800.000.000
1.800.000.000
1.800.000.000
2.2. Tenaga kerja
19.200.000
19.200.000
19.200.000
19.200.000
19.200.000
19.200.000
19.200.000
19.200.000
19.200.000
19.200.000
2.3. Biaya By products
70.732.880
70.732.880
70.732.880
70.732.880
70.732.880
70.732.880
70.732.880
70.732.880
70.732.880
70.732.880
Pengeluaran 1. Biaya tetap
1.3. Pemeliharaan 2. Biaya variabel 2.1. Bahan baku
2.4. Angsuran Total Pengeluaran IV
Penghasilan Pajak
V
Penerimaan setelah pajak Aliran kas tahunan Diskon Faktor
VI
(392.185.000)
44.825.000
44.825.000
44.825.000
44.825.000
44.825.000
44.825.000
44.825.000
44.825.000
44.825.000
44.825.000
1.996.271.980
1.996.271.980
1.996.271.980
1.996.271.980
1.996.271.980
1.996.271.980
1.996.271.980
1.996.271.980
1.996.271.980
1.996.271.980
327.750.740
327.750.740
327.750.740
327.750.740
327.750.740
327.750.740
327.750.740
327.750.740
327.750.740
350.450.740
80.825.222
80.825.222
80.825.222
80.825.222
80.825.222
80.825.222
80.825.222
80.825.222
80.825.222
87.635.222
246.925.518
246.925.518
246.925.518
246.925.518
246.925.518
246.925.518
246.925.518
246.925.518
246.925.518
262.815.518
246.925.518
246.925.518
246.925.518
246.925.518
246.925.518
246.925.518
246.925.518
246.925.518
246.925.518
262.815.518
1
0,909
0,826
0,751
0,683
0,621
0,564
0,513
0,467
0,424
0,386
PW tahunan
(392.185.000)
224.455.296
203.960.478
185.441.064
168.650.129
153.340.747
139.265.992
126.672.791
115.314.217
104.696.420
101.446.790
PW kumulatif
(392.185.000)
(167.729.704)
36.230.774
221.671.838
390.321.967
543.662.713
682.928.705
809.601.496
924.915.713
1.029.612.133
1.131.058.923
283
284
Aliran kas tahunan proses pengolahan kopi dengan metode olah kering No
Uraian Komponen
I
Investasi
II
Penjualan
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
182.185.000
1. Penerimaan
1.728.000.000
2. By products
216.000.000
1.728.000.000 1.728.000.000 1.728.000.000 216.000.000
216.000.000
216.000.000
1.728.000.000 1.728.000.000 216.000.000
216.000.000
1.728.000.000
1.728.000.000
1.728.000.000
1.728.000.000
216.000.000
216.000.000
216.000.000
216.000.000
3. Salvage value
6.500.000
Total Penerimaan III
1.944.000.000
1.944.000.000 1.944.000.000 1.944.000.000
1.944.000.000 1.944.000.000
1.944.000.000
1.944.000.000
1.944.000.000
1.950.500.000
Pengeluaran 1. Biaya tetap 1.1. Tenaga kerja
10.800.000
10.800.000
10.800.000
10.800.000
10.800.000
10.800.000
10.800.000
10.800.000
10.800.000
10.800.000
1.2. Penyusutan
5.850.000
5.850.000
5.850.000
5.850.000
5.850.000
5.850.000
5.850.000
5.850.000
5.850.000
5.850.000
1.3. Pemeliharaan
1.170.000
1.170.000
1.170.000
1.170.000
1.170.000
1.170.000
1.170.000
1.170.000
1.170.000
1.170.000
1.800.000.000 1.800.000.000
1.800.000.000
1.800.000.000
1.800.000.000
1.800.000.000
19.200.000
19.200.000
19.200.000
19.200.000
2. Biaya variabel 2.1. Bahan baku
1.800.000.000
2.2. Tenaga kerja
19.200.000
2.3. Angsuran
10.595.000
Total Pengeluaran IV
V
19.200.000
19.200.000
19.200.000
10.595.000
10.595.000
10.595.000
1.847.615.000 1.847.615.000 1.847.615.000
19.200.000
19.200.000
10.595.000
10.595.000
10.595.000
10.595.000
10.595.000
10.595.000
1.847.615.000 1.847.615.000
1.847.615.000
1.847.615.000
1.847.615.000
1.847.615.000
Penghasilan
96.385.000
96.385.000
96.385.000
96.385.000
96.385.000
96.385.000
96.385.000
96.385.000
96.385.000
102.885.000
Pajak
11.957.750
11.957.750
11.957.750
11.957.750
11.957.750
11.957.750
11.957.750
11.957.750
11.957.750
13.365.500
Penerimaan setelah pajak
84.427.250
84.427.250
84.427.250
84.427.250
84.427.250
84.427.250
84.427.250
84.427.250
84.427.250
89.519.500
Aliran kas
84.427.250
84.427.250
84.427.250
84.427.250
84.427.250
84.427.250
84.427.250
84.427.250
84.427.250
89.519.500
Diskon Faktor
VI
1.847.615.000
1.800.000.000 1.800.000.000 1.800.000.000
(182.185.000) 1
0,909
0,826
0,751
0,683
0,621
0,564
0,513
0,467
0,424
0,386
PW tahunan
(182.185.000)
76.744.370
69.736.909
63.404.865
57.663.812
52.429.322
47.616.969
43.311.179
39.427.526
35.797.154
34.554.527
PW kumulatif
(182.185.000)
(105.440.630)
(35.703.721)
27.701.144
85.364.955
137.794.278
185.411.247
228.722.426
268.149.952
303.947.106
338.501.633
284
285
LAMPIRAN 4 PERHITUNGAN BIAYA INVESTASI DAN VARIABEL Komponen Biaya Investasi Pengolahan Kopi Berbasis Produksi Bersih No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Komponen Lahan dan Bangunan Perpipaan Mesin grading buah kopi Mesin pengering mekanis Mesin pulper kulit kopi Mesin washer Mesin huller Sortasi biji Unit Penanganan Limbah Unit Limbah Padat Total
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Harga 117.185.000 3.000.000 20.000.000 64.000.000 42.000.000 36.000.000 45.000.000 20.000.000 40.000.000 5.000.000 392.185.000
Komponen Biaya Variabel Pengolahan Kopi Berbasis Produksi Bersih No 1 2 3 4 5 6 7 8
Komponen Biaya Naker pemetikan Naker penjemuran Naker sortasi kopi beras Kompos Pupuk cair Biogas Pakan ternak Briket Total
Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp
Biaya 9.600.000,00 4.800.000,00 4.800.000,00 19.200.000,00 25.200.000,00 5.000.000,00 9.332.880,00 12.000.000,00 89.932.880,00
286
287
LAMPIRAN 5 ALIRAN NERACA MASSA PERLAKUAN MINIMISASI AIR Air (74 liter) Buah merah terpilih (50 kg)
Perlakuan K1C1
Pengupasan buah
Limbah Cair (57 kg) Pulp (28 kg)
Biji kopi (39 kg)
Fermentasi kering Biji kopi (39 kg) Air (113.57 liter)
Pencucian
Limbah Cair + Lendir (128.47 kg) Pulp (0.6 kg)
Biji Kopi basah (23.5 kg)
Pengeringan
Uap air (12.60 kg)
Biji Kopi HS (10.9 kg)
Pengupasan kering kulit kopi HS
Kulit tanduk (2.70 kg)
Biji Kopi (8.2 kg)
Aliran neraca massa rata-rata perlakuan K1C1 (58%) Air (37.70 liter) Buah merah terpilih (50 kg)
Perlakuan K2C1
Pengupasan buah
Limbah Cair (20.70 kg) Pulp (28.25 kg)
Biji kopi (38.75 kg)
Fermentasi kering Biji kopi (38.75 kg) Air (112.90 liter)
Pencucian
Limbah Cair + Lendir (126.17 kg) Pulp (1.23 kg)
Biji Kopi basah (24.25 kg)
Pengeringan
Uap air (12.35 kg)
Biji Kopi HS (11.9 kg)
Pengupasan kering kulit kopi HS
Kulit tanduk (2.65 kg)
Biji Kopi (9.25 kg)
Aliran neraca massa rata-rata perlakuan K2C1 (67%)
288
Air (14.34 liter) Buah merah terpilih (50 kg)
Pengupasan buah
Perlakuan K3C1
Limbah Cair (10.84 kg) Pulp (16.5 kg)
Biji kopi (37 kg)
Fermentasi kering Biji kopi (37 kg) Air (112.80 liter)
Pencucian
Limbah Cair + Lendir (124.88 kg) Pulp (0.93 kg)
Biji Kopi basah (24 kg)
Pengeringan
Uap air (13.63 kg)
Biji Kopi HS (10.38 kg)
Pengupasan kering kulit kopi HS
Kulit tanduk (1.63 kg)
Biji Kopi (8.75 kg)
Neraca massa rata-rata perlakuan K3C1 (72%)
Neraca massa rata-rata perlakuan K1C2 (67%)
289
Air (37.1 liter) Buah merah terpilih (50 kg)
Perlakuan K2C2
Pengupasan buah
Limbah Cair (20.35 kg) Pulp (27 kg)
Biji kopi (39.75 kg)
Fermentasi kering Biji kopi (39.75 kg) Air (85.5 liter)
Pencucian
Limbah Cair + Lendir (98.8 kg) Pulp (0.88 kg)
Biji Kopi basah (25.5 kg)
Pengeringan
Uap air (14.45 kg)
Biji Kopi HS (11.05 kg)
Pengupasan kering kulit kopi HS
Kulit tanduk (1.64 kg)
Biji Kopi (9.41 kg)
Neraca massa rata-rata perlakuan K2C2 (73%) Air (11.84 liter) Buah merah terpilih (50 kg)
Perlakuan K3C2
Pengupasan buah
Limbah Cair (6.59 kg) Pulp (20.25 kg)
Biji kopi (35 kg)
Fermentasi kering Biji kopi (35 kg) Air (90.30 liter)
Pencucian
Limbah Cair + Lendir (100.58 kg) Pulp (1.23 kg)
Biji Kopi basah (23.5 kg)
Pengeringan
Uap air (12.84 kg)
Biji Kopi HS (10.67 kg)
Pengupasan kering kulit kopi HS
Kulit tanduk (1.70 kg)
Biji Kopi (8.97 kg)
Neraca massa rata-rata perlakuan K3C2 (77%)
290
Air (72.05) Buah merah terpilih (50 kg)
Perlakuan K1C3
Pengupasan buah
Limbah Cair (53.8 kg) Pulp (27.75 kg)
Biji kopi (40.5 kg)
Fermentasi kering Biji kopi (40.5 kg) Air (54.65 liter)
Pencucian
Limbah Cair + Lendir (67.90 kg) Pulp (1.0 kg)
Biji Kopi basah (26.25 kg)
Pengeringan
Uap air (15.53 kg)
Biji Kopi HS (10.73 kg)
Pengupasan kering kulit kopi HS
Kulit tanduk (1.60 kg)
Biji Kopi (9.13 kg)
Neraca massa rata-rata perlakuan K1C3 (72%) Air (36.56 liter) Buah merah terpilih (50 kg)
Perlakuan K2C3
Pengupasan buah
Limbah Cair (20.06 kg) Pulp (26.5 kg)
Biji kopi (40.0 kg)
Fermentasi kering Biji kopi (40.0 kg) Air (56.55 liter)
Pencucian
Limbah Cair + Lendir (70.08 kg) Pulp (0.98 kg)
Biji Kopi basah (25.5 kg)
Pengeringan
Uap air (13.95 kg)
Biji Kopi HS (11.55 kg)
Pengupasan kering kulit kopi HS
Kulit tanduk (1.95 kg)
Biji Kopi (9.57 kg)
Neraca massa rata-rata perlakuan K2C3 (79%)
291
Air (13.3 liter) Buah merah terpilih (50 kg)
Pengupasan buah
Limbah Cair (2.05 kg) Pulp (23.75 kg)
Biji kopi (37.5 kg)
Perlakuan K3C3
Fermentasi kering Biji kopi (37.5 kg)
Air (55.5 liter)
Pencucian
Limbah Cair + Lendir (66.73 kg) Pulp (0.78 kg)
Biji Kopi basah (25.5 kg)
Pengeringan
Uap air (14.93 kg)
Biji Kopi HS (10.58 kg)
Pengupasan kering kulit kopi HS
Kulit tanduk (1.43 kg)
Biji Kopi (9.15 kg)
Neraca massa rata-rata perlakuan K3C3 (85%)
292
293
LAMPIRAN 6 HASIL ANALISIS LIMBAH CAIR PENGOLAHAN KOPI
Hasil analisis air proses sortasi rambang No Kode 1 R1 2 R2 Rata-rata
pH 5,41 4,97 5,19
BOD 115,3 343,0 229,15
COD 306,8 528,8 417,80
TSS 61,8 216,7 139,25
Hasil analisis air proses pengupasan perlakuan minimisasi No Kode 1 K11 2 K12 Rata-rata (50%) 3 K21 4 K22 Rata-rata (74%) 5 K31 6 K32 Rata-rata (90%)
Vol (m3/ton) 1,480 1,444 1,462 0,754 0,742 0,748 0,287 0,237 0,262
BOD (mg/L) 6264,4 8000,6 7132,5 8949,9 11753,1 10351,5 12678,5 13267,4 12972,9
COD (mg/L) TSS (mg/L) pH 14436,5 378,0 5,46 15330,9 823,3 4,89 14883,7 600,65 5,17 17763,9 956,7 4,88 26021,5 966,7 4,13 21892,7 961,7 4,51 23478,4 1079,3 4,40 26896,5 1567,3 4,17 25187,4 1323,3 4,29
Hasil analisis air proses pencucian perlakuan minimisasi air tahap pertama No Kode 1 C32 2 K11C31 3 K21C31 4 K31C31 Rata-rata (81%) 5 C22 6 K11C21 7 K21C21 8 K31C21 Rata-rata (70%) 9 C12 10 K11C11 11 K21C11 12 K31C11 Rata-rata (57%)
Vol (m3/ton) 1,013 1,196 1,230 1,202 1,160 1,457 1,632 1,786 2,150 1,756 2,203 2,333 2,268 2,362 2,291
pH BOD (mg/L) 4,00 8718,4 4,24 8690,4 4,28 9072,0 4,21 7692,1 4,18 8543,2 4,03 8568,5 4,28 8156,3 4,11 7467,3 4,12 7382,8 4,13 7893,7 3,99 6714,7 4,11 5937,4 4,11 5150,8 4,13 6505,4 4,08 6077,1
COD (mg/L) TSS (mg/L) 19141,3 12145 19248,7 14000 20143,1 14250 18658,3 11800 19297,8 13048,7 19016,1 14450 18515,2 12000 17692,3 11000 17298,7 14550 18130,6 13000,0 15241,5 13400 13942,7 14450 12670,3 13950 14695,3 12450 14137,4 13562,5
294
Hasil analisis limbah cair proses pengupasan perlakuan minimisasi air tahap kedua Parameter Volume air (m3/ton) pH TSS (mg/L) TDS (mg/L) TS (mg/L) BOD (mg/L) COD (mg/L Fosfat (mg/L) Nitrat (mg/L) Total N (mg/L) Total Karbon (mg/L) Total VSS (mg/L)
K21 (74%) 0,756 4,52 17782 1254 19036 11059,2 20480 33,12 55,12 404,37 8400 13340
K22 (74%) 0,644 4,43 23088 1428 24516 8640 16000 17,7 63,53 356,52 10000 17316
Hasil analisis limbah cair proses pencucian perlakuan minimisasi air tahap kedua Parameter Volume air (m3/ton) pH TSS (mg/L) TDS (mg/L) TS (mg/L) BOD (mg/L) COD (mg/L Fosfat (mg/L) Nitrat (mg/L) Total N (mg/L) Total Karbon (mg/L) Total VSS (mg/L)
K21C2 (57%) 2,472 3.84 14868 1331 16200 7499,52 15120 22,78 6,78 363,35 6690 11150
K22C2 (57%) 2,565 4.02 24532 2016 26368 10248,32 21440 23,33 88,35 632,68 10650 18264
K21C5 (35%) 3,778 3,95 10512 972 11484 4215,2 8800 17,82 4,61 303,2 4680 11484
K22C5 (35%) 3,853 3,93 14522 1314 14522 6220,1 12720 22,78 6,64 453,58 6320 10890
K21C4 (0%) 4,809 3,85 12510 1110 13620 6091,6 12560 14,36 8,31 318,23 5750 9382
K22C4 (0%) 5,933 3,87 8628 852 9480 3494,4 7280 15,89 3,82 171,95 4100 6470
295
LAMPIRAN 7 KUISIONER PENELITIAN ISM KUISIONER PENELITIAN (INTERPRETATIVE STRUCTURE MODELLING) DESAIN MODEL PROSES PENGOLAHAN KOPI RAKYAT MENGGUNAKAN TEKNOLOGI SEMI BASAH BERBASIS PRODUKSI BERSIH Kuis ini dibuat dalam rangka mendapatkan justifikasi mengenai aspek, kriteria dan hubungan konstektual antar elemen pengembangan industri pengolahan kopi rakyat yang berbasis produksi bersih khususnya di wilayah Kabupaten Jember. Pada kuisioner ini dibutuhkan penilaian Bapak/Ibu, selaku pakar proses pengolahan kopi rakyat khususnya yang berkaitan dengan Elemen KEBUTUHAN, KENDALA/MASALAH, PERUBAHAN, TUJUAN DAN INDIKATOR dalam pengembangan industri pengolahan kopi rakyat yang berbasis produksi bersih. Atas perkenan Bapak/Ibu, kami mengucapkan terima kasih. IDENTITAS PENELITI Judul Penelitian Nama Mahasiswa Program Studi Alamat Telepon/Email
: Desain Proses Pengolahan Pada Agroindustri Kopi Robusta Menggunakan Modifikasi Teknologi Olah Basah Berbasis Produksi Bersih : Elida Novita : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan LingkunganSPs IPB : Jl. Lingkar Perwira No. 8, Pondok Tazkia, Darmaga, Bogor : 0811354686 / [email protected]
======================================================== IDENTITAS PAKAR Nama Pakar
: .........................................................
Instansi
: .........................................................
Alamat
: .........................................................
296
SEKILAS MENGENAI ISM DAN AGROINDUSTRI PENGOLAHAN KOPI RAKYAT Interpretative Structure Modelling (ISM) adalah suatu metodologi untuk menggambarkan struktur dari suatu sistem yang akan dikaji. Struktur adalah penggambaran pengaturan dari elemen-elemen dan hubungan antar elemen dalam membentuk suatu sistem. Melalui proses identifikasi struktur yang ada dalam suatu sistem akan memberikan kontribusi yang besar dalam menangani permasalahan dalam sistem secara efektif dan memberikan sumbangan yang berarti dalam proses pengambilan keputusan. ISM berkenaan dengan interpretasi dari hubungan antar elemen dari suatu sistem yang didasarkan atas hubungan kontekstual tertentu. Agroindustri kopi rakyat disini adalah industri pengolahan kopi primer milik rakyat yang menggunakan teknologi olah basah dan berbasis produksi bersih. Industri pengolahan kopi rakyat berbasis produksi bersih adalah usaha pengolahan kopi primer yang diharapkan mampu meminimalkan produksi limbah yang dihasilkan melalui upaya meminimalkan limbah cair, pemanfaatan limbah menjadi produk yang bernilai ekonomis (nilai tambah) serta pemanfaatan kembali air limbah (daur ulang). Berdasarkan kondisi agroindustri kopi rakyat di Kab. Jember terutama di Desa Sidomulyo, maka akan dibuat 5 elemen sistem pengembangan agoindustri kopi berkelanjutan, yaitu (1) Elemen Kebutuhan Pengembangan, (2) Elemen Kendala/Masalah, (3) Elemen Perubahan yang diinginkan, (4) Elemen Tujuan Pengembangan, dan (5) Elemen Indikator Pengembangan yang masing-masing elemen terdiri atas sub elemen. Proses strukturisasi dari 5 (lima) elemen sistem pengembangan agroindustri kopi yang berkelanjutan akan diperoleh berdasarkan masukan dari para stakeholder terkait. Hubungan kontekstual antar sub elemen dalam sistem pengembangan adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Hubungan Kontekstual Antar Elemen Nama Elemen Kebutuhan Pengembangan Kendala/Masalah Perubahan yang diinginkan Tujuan Indikator
Hubungan Kontekstual Sub elemen kebutuhan yang satu mendukung terpenuhinya sub elemen kebutuhan yang lain Sub elemen kendala yang satu menyebabkan sub elemen kendala yang lain Sub elemen perubahan yang satu menyebabkan atau mendorong sub elemen perubahan yang lain Sub elemen tujuan yang satu memberikan kontribusi tercapainya sub elemen tujuan yang lain Sub elemen indikator pencapaian tujuan yang satu memberikan kontribusi terhadap sub elemen indikator yang lain
297
PETUNJUK PENGISIAN Terdapat 5 elemen sistem pengembangan industri pengolahan kopi primer rakyat berbasis produksi bersih yang perlu dipertimbangkan, yaitu: (1) Elemen Kebutuhan Pengembangan, (2) Elemen Kendala/Masalah, (3) Elemen Perubahan yang diinginkan, (4) Elemen Tujuan Pengembangan, dan (5) Elemen Indikator Pengembangan. Masing-masing elemen memiliki sub elemen. Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan antar sub-elemen pada setiap elemen dengan memilih huruf-huruf V, A, X dan O, dimana; V : Jika sub-elemen yang ke-1 lebih penting atau harus lebih dahulu ditangani dibandingkan dengan sub-elemen ke-2 A : Jika sub-elemen yang ke-2 lebih penting atau harus lebih dahulu ditangani dibandingkan dengan sub-elemen ke-1 X : Jika kedua sub-elemen sama pentingnya atau keduanya harus ditangani bersama O : Jika kedua sub-elemen tidak sama penting atau kedua sub-elemen bukan prioritas yang harus ditangani. 1. Pertanyaan yang diajukan akan berbentuk perbandingan antara suatu sub elemen dengan sub elemen baris lainnya. 2. Jawaban dari pertanyaan tersebut diberi nilai oleh responden (pakar) berdasarkan tingkat kepentingan dari sub elemen-sub elemen yang dibandingkan secara berpasangan. 3. Nilai komparasi berupa kode V, A, X ataupun O dan dituliskan dalam kotakkotak yang tersedia.
Contoh pengisian: Sub elemen kebutuhan ke-i
Sub elemen kebutuhan ke-j yang akan dicapai b-1
b-1 b-2 b-3 b-4 Keterangan: Nilai pada a) Nilai pada b) Nilai pada c) Nilai pada d) Nilai pada e) Nilai pada f)
b-2 X
b-3 V
a)
X
b-4 A
b)
O
c)
A
d)
X
e)
V
f)
X
X : sub elemen b-1 lebih penting dibandingkan sub elemen b-2 : sub elemen b-3 lebih penting dibandingkan sub elemen b-1 : kedua sub elemen (b-1 dan b-4) tidak sama penting/ bukan prioritas yang harus ditangani : sub elemen b-3 lebih penting dibandingkan sub elemen b-2 : kedua sub elemen sama pentingnya : sub elemen b-3 lebih penting dibandingkan sub elemen b-4
298
1. ELEMEN KEBUTUHAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KOPI RAKYAT BERBASIS PRODUKSI BERSIH. b-1 b-2 b-3 b-4 b-5 b-6 b-7 b-8 b-9
: : : : : : : : :
Pengembangan teknologi pasca panen Pengembangan kelembagaan usaha Pengembangan peralatan pasca panen Pengembangan pasar Pengembangan alternatif sumber modal Pembinaan petani Pemanfaatan limbah proses pengolahan Peningkatan pendapatan Pengembangan pertanian berbudaya industri yang berkelanjutan
Sub elemen kebutuhan ke-i b-1 b-2 b-3 b-4 b-5 b-6 b-7 b-8 b-9
Sub elemen kebutuhan ke-j yang akan dicapai b-1 X
b-2
b-3
b-4
b-5
b-6
b-7
b-8
X X X X X X X X
2. ELEMEN KENDALA/MASALAH SISTEM PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KOPI RAKYAT BERBASIS PRODUKSI BERSIH. k-1 k-2 k-3 k-4 k-5 k-6 k-7 k-8 k-9
b-9
: Skala usaha yang kecil : Keterbatasan penguasaan teknologi pengolahan Keterbatasan pemahaman akan nilai sumberdaya alam : Keterbatasan akses pasar/ekspor : Keterbatasan sumber modal : Ketergantungan pada pedagang pengumpul dan eksportir : Ketergantungan lahan pengusahaan kopi : Kualitas bahan baku dan produk yang rendah : Konflik internal antara anggota kelompok tani
299
Sub elemen kendala ke-i
Sub elemen kendala ke-j yang akan dicapai K-1 X
K-1 K-2 K-3 K-4 K-5 K-6 K-7 K-8 K-9
K-2
K-3
K-4
K-5
K-6
K-7
K-8
K-9
X X X X X X X X
3. ELEMEN PERUBAHAN YANG DIINGINKAN DALAM SISTEM PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KOPI RAKYAT BERBASIS PRODUKSI BERSIH. p-1
:
p-2
:
p-3 p-4
: :
p-5 p-6 p-7 p-8
: : : :
p-9
:
Penerapan teknologi perkebunan kopi yang berbasis ekologis Pengembangan pola pengolahan kopi rakyat berbasis kelompok berorientasi bisnis Peningkatan kontinuitas serta kualitas bahan baku Penerapan teknologi pengolahan kopi yang ramah lingkungan Peningkatan peran dan keterlibatan instansi pemberi modal Peningkatan kualitas dan diversifikasi produk kopi Perluasan pasar dan ekspor Peningkatan pola kelembagaan yang mendukung peran serta stakeholder agribisnis kopi Peningkatan efisiensi proses produksi
300
Sub elemen perubahan ke-i
Sub elemen perubahan ke-j yang akan dicapai P-1 X
P-1 P-2 P-3 P-4 P-5 P-6 P-7 P-8 P-9
P-2 P-3 P-4
P-5
P-6
P-7
P-8
P-9
X X X X X X X X
4. ELEMEN TUJUAN YANG DIINGINKAN DALAM PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KOPI RAKYAT BERBASIS PRODUKSI BERSIH. t-1 t-2 t-3 t-4 t-5 t-6 t-7 t-8 t-9 t-10 t-11
: : : : : : : : : : :
Peningkatan pendapatan petani Peningkatan kualitas lingkungan Peningkatan efisiensi & produktivitas Pengembangan nilai tambah produk kopi rakyat Peningkatan posisi tawar kopi rakyat Peningkatan kualitas bahan baku dan produk kopi rakyat Perluasan akses dan kemudahan memperoleh modal usaha. Peningkatan pendapatan daerah Penurunan konflik internal pengurus dan peserta Peningkatan nilai ekspor bagi kopi rakyat Perbaikan kinerja kelembagaan usaha kopi rakyat.
301
Sub elemen tujuan ke-i T-1 T-2 T-3 T-4 T-5 T-6 T-7 T-8 T-9 T-10 T-11
Sub elemen tujuan ke-j yang akan dicapai T-1 X
T-2
T-3
T-4
T-5
T-6
T-7
T-8
T-9
T-10 T-11
X X X X X X X X X X
5. ELEMEN INDIKATOR PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KOPI RAKYAT BERBASIS PRODUKSI BERSIH. i-1 i-2 i-3 i-4 i-5 i-6 i-7 i-8 i-9 i-10 i-11 i-12
: Meningkatnya kualitas biji dan produk kopi rakyat : Meningkatnya kualitas lingkungan (penurunan tingkat pencemar) : Meningkatnya nilai tambah produk dan pengolahan kopi rakyat : Meningkatnya peluang kerja dan pendapatan rakyat : Dapat diterapkannya upaya perbaikan sanitasi lingkungan : Dapat diterapkannya konsep dan upaya K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) : Meningkatnya kinerja kelembagaan kopi rakyat. : Tingkat kepuasan dan persepsi petani terhadap agroindustri kopi meningkat : Mudahnya mendapatkan akses dana dan bantuan modal : Terpenuhinya kebutuhan mendasar pekerja dan petani secara berkelanjutan : Menurunnya tingkat konflik antar stakeholder yang terlibat : Meningkatnya efisiensi dan produktivitas proses produksi
302
Sub elemen tujuan ke-i I-1 I-2 I-3 I-4 I-5 I-6 I-7 I-8 I-9 I-10 I-11 I-12
Sub elemen indikator ke-j yang akan dicapai I-1 X
I-2
I-3
I-4
I-5
I-6
I-7
I-8
I-9
I-10
I-11
I-12
X X X X X X X X X X X
SEKIAN DAN TERIMA KASIH ATAS KESEDIAAN BAPAK/IBU. SEMOGA KERJASAMA BAPAK/IBU BERMANFAAT UNTUK PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KOPI ROBUSTA RAKYAT DI INDONESIA HORMAT SAYA ELIDA NOVITA