LAPORAN HASIL
PENGKAJIAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN KELAPA MENDUKUNG AGROINDUSTRI Pengkajian Sistem Agroindustri Kelapa Terpadu Skala Rumah Tangga Di Kabupaten Donggala
Oleh: Caya Khairani Yogi Purna Rahardjo A. Dalapati Sumarni
BPTP SULAWESI TENGAH BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN 2007
1
PENGKAJIAN SISTEM AGROINDUSTRI KELAPA TERPADU SKALA RUMAH TANGGA DI KABUPATEN DONGGALA
ABSTRAK Propinsi Sulawesi Tengah salah satu daerah penghasil kelapa. Pada tahun 2003, luas areal kelapa mencapai 181.633 ha dengan produksi 207.730 ton. Areal perkebunan rakyat mencapai 98 persen dari pertanaman usaha tani kelapa yang umumnya dikelola secara konvensional. Luas pertanaman kelapa di Kabupaten Donggala sebesar 32.715 Ha atau 20% dari total luas tanaman kelapa di Sulawesi Tengah. Hasil PRA di desa poor farmers di Kabupaten Donggala menunjukkan bahwa diperlukan inovasi teknologi pasca panen komoditas kelapa untuk meningkatkan pendapatan petani. Berdasarkan hasil survei inventarisasi potensi dan teknologi agroindustri kelapa di Sulawesi Tengah diketahui pada sub pengolahan khususnya minyak kelapa mengalami persaingan tidak sehat, inefisiensi pabrik dan keterbatasan modal. Penetrasi pasar minyak kelapa olahan petani jumlahnya terbatas dan tidak kontinyu dengan tingkat keuntungan petani hanya Rp. 13.300/hari atau Rp. 300/botol Inovasi teknologi yang diperkenalkan dan diujicobakan di tingkat petani telah menghasilkan Standar Operasional Process (SOP) pengolahan minyak kelapa sehat dan VCO serta prosedur keamanan pangan yang berisi prinsip-prinsip HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). SOP minyak kelapa dan VCO yang ada telah menjadi pedoman bagi petani kooperator di desa Lero dan desa Lero Tatari. Khusus produk minyak kelapa sehat (Lanaco) telah diperoleh izin penyebarannya dengan No. Depkes. PIRT 205720502014. Pengolahan limbah kelapa berupa air kelapa menjadi nata de coco dapat memberikan keuntungan tambahan bagi pengrajin sebesar Rp. 255.232,- dengan syarat semua air kelapa yang ada diolah dengan optimal. Pengolahan tempurung kelapa menjadi arang tempurung untuk setiap 25 kg tempurung kelapa menghasilkan keuntungan tambahan bagi petani sebesar Rp.3750 dan bila setiap pembakaran arang tempurung terdapat 20% arang tempurung yang hancur yang kemudian diolah menjadi briket arang tempurung kelapa akan menambah pendapatan bagi pengrajin sebesar Rp. 1.175. Hasil analisis perkembangan kelompok dan aktifitas anggota dalam pemasaran produk diketahu bahwa untuk pemasaran VCO dibutuhkan sebuah lembaga terpadu (kelompok usaha bersama) yang khusus memasarkan VCO yang dibuat oleh setiap anggota kelompok. Produk minyak kelapa sehat dapat dilakukan mandiri oleh setiap anggota kelompok yang ada. Sedangkan produk nata de coco memerlukan aktivitas produksi yang higienis sehingga diperoleh hasil nata de coco yang baik. Respon petani terhadap teknologi yang diperkenalkan cukup tinggi yaitu sebesar 70,71%. Kelemahan penerapan teknologi di tingkat petani disebabkan oleh harga peralatannya yang cukup tinggi, kurang terampil petani membuat produk dan pemasaran produk tersebut. Terjadi peningkatan pendapatan dari proses pengolahan minyak sebesar 2,8% dari total pendapatan perbulan atau 13,95% bila dibandingkan dari usaha minyak kelapa yang biasa mereka lakukan (20% dari total pendapatan per bulan).
Kata Kunci: Pengolahan hasil samping, Pendapatan, Pemasaran, VCO
2
PENDAHULUAN Kemiskinan menurut Levitan (1980) adalah kondisi kekurangan barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Kemiskinan oleh Hermanto et al (1999) dalam Bakri et al (2006), dapat disebabkan oleh 1) kemiskinan fisik atau alami yang disebabkan sumberdaya alam tidak dapat mendukung kehidupan masyarakat., 2) kemiskinan budaya dan kultural yakni budaya yang ada bersifat menghambat kemajuan walaupun potensi sumberdaya yang ada tidak miskin, 3) kemiskinan kelembagaan yang diakibatkan oleh peraturan-peraturan yang ada tidak mampu mendorong dan menolong golongan lemah, 4) kombinasi antar sebab kemiskinan lainnya. Pembangunan pertanian yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatan produktivitas, stabilitas, kontiunitas dan equitabilitas. Proses pembangunan ini dilakukan melalui pemberdayaan petani miskin dengan melibatkan partisipasi masyarakat sebagai pengguna teknologi. Ruang kaji yang mendukung pembangunan pertanian adalah 1) mempertahankan pertumbuhan produksi pangan, 2) intensifikasi lahan yang belum termanfaatkan, 3) meningkatkan nilai tambah teknologi melalui diversifikasi produk dengan nilai yang lebih tinggi, 4) meningkatkan akses keluarga tani ke bahan pangan dengan kandungan gizi yang lebih dan 5) teknologi tepat guna yang dapat memberdayakan petani miskin. Desa Lero, Kecamatan Sindue, kabupaten Donggala merupakan wilayah suburban yang terletak tidak jauh dari kota besar, dimana wilayah tersebut termasuk kategori miskin dengan jumlah keluarga miskin sebanyak 215 KK. Lokasi desa yang dekat dengan kota mempunyai keunggulan dekat dengan pasar sehingga pengembangan industri pengolahan hasil skala rumah tangga di nilai cocok untuk dilakukan. Potensi pertanian yang dominan adalah jagung, kelapa, kakao dan ternak. Menurut Lay dan Novarianto (2006) pemberdayaan petani dapat dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap pemulihan dan pengembangan. Tahap pemulihan, untuk mendidik dan mendorong motivasi petani dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi pengolahan, sehingga petani mampu meningkatkan motivasi dan kepercayaan pada kemampuan sendiri. Tahap pengembangan, diarahkan untuk mengembangkan agroindustri skala pedesaan dan
3
kelembagaan ekonomi petani kelapa yang mandiri. Pada tahap pengembangan diharapkan petani mampu mengembangkan kelembagaan ekonomi yang mandiri untuk mendukung pengembangan agroindustri. Penerapan teknologi kelapa terpadu dan pemberdayaan kelompok wanita tani diharapkan dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh keluarga miskin dan menjadi jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi.
DASAR PERTIMBANGAN Penerapan teknologi baru dan pengembangan industri rumah tangga merupakan salah satu program pembangunan pertanian yang terus mendapat perhatian. Pada sub-sektor perkebunan seperti komoditas kelapa yang dikelola petani, pengembangan usaha diversifikasi baik secara vertikal maupun horizontal masih relatif rendah. Pada kondisi usaha tani yang demikian maka nilai pendapatan yang diraih per satuan areal unit usaha tani juga rendah. Berdasarkan hasil survei, permasalahan yang dialami oleh pengusaha kecil adalah adanya persaingan harga dan kekurangan modal. Dengan kondisi kapasitas produksi dan kemampuan produksi yang rendah, serta harga yang tidak kompetitif menyebabkan produksi minyak kelapa berada di bawah kapasitas dan terancam gulung tikar. Kondisi petani/pengrajin yang mengolah kelapa secara tradisional tidak mengalami perkembangan, cakupan pemasaran yang terbatas dan tingkat skala usaha relatif kecil sehingga tingkat keuntungan yang diperoleh juga terbatas. Hal ini dikarenakan persaingan di sektor industri minyak makan yang sangat kompetitif, terutama membanjirnya produk minyak kelapa olahan pabrik dan minyak kelapa sawit serta jenis minyak nabati lainnya. Perbaikan teknologi pengolahan kelapa di tingkat petani di Kabupaten Donggala telah dilakukan sejak tahun 2006. Teknologi ini merupakan modifikasi pembuatan suplemen kesehatan (VCO) dengan menggunakan cuka. Perbedaannya terletak pada saat pemanenan minyak di sore hari, bila tidak ditemui minyak yang terpisah akibat kurang lamanya pemanasan maka
santan kemudian didiamkan lagi semalam dan kemudian keesokan
harinya minyak yang telah ada beserta sebagian blondo yang berada diatas dimasak kembali dengan menggunakan metode dua kali pemanasan. Perbaikan teknologi juga pada penggunaan kemasan botol plastik sehingga dapat dijual di swalayan atau toko serta
4
perbaikan pada tahap-tahap kegiatan lainnya seperti kebersihan, pemakaian air dan lainnya yang dapat menjaga kualitas minyak. Sehingga seluruh usaha perbaikan akan mendorong terbukanya kesempatan untuk meraih pendapatan yang lebih besar jika dikelola secara intensif. Peluang ekonomi ini juga bergantung pada proses pemasaran yang tepat, pembinaan dan dukungan dari pemerintah daerah. Melalui pengembangan agroindustri kelapa terpadu di Kabupaten Donggala diharapkan dapat meningkatkan peluang berusaha dan bekerja serta pendapatan petani yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan dan dapat mengatasi masalah kemiskinan di daerah tersebut. Untuk mendukung berjalannya sistem agroindustri kelapa terpadu yang produktif, efisien, dan berkelanjutan maka komponen teknologi inovatif dan komponen kelembagaan yang dapat menjamin penerapan teknologi tersebut harus ditumbuhkan secara bersamaan. Kelapa terdiri atas sabut, tempurung kelapa, daging dan air kelapa. Pembuatan minyak kelapa hanya mengolah daging kelapa sehingga air kelapa dan tempurung kelapa tidak digunakan padahal kedua hasil ikutan tersebut dapat diolah dan bila dijual dapat menambah pendapatan. Teknologi pengolahan air kelapa dan tempurung kelapa menggunakan teknologi sederhana yang dapat diterapkan oleh petani. Menurut Suryonotonegoro (2002) bahwa dengan terpuruk kondisi petani kelapa, termasuk moral petani merupakan fenomena mendasar yang perlu dikaji dan ditata kembali. Pemberdayaan petani dapat dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap pemulihan dan pengembangan. Tahap pemulihan, untuk mendidik dan mendorong motivasi petani dalam meningkatkan
produktivitas
dan
efisiensi
pengolahan,
sehingga
petani
mampu
meningkatkan motivasi dan kepercayaan pada kemampuan sendiri. Tahap pengembangan, diarahkan untuk mengembangkan agroindustri skala pedesaan dan kelembagaan ekonomi petani kelapa yang mandiri. Pada tahap pengembangan diharapkan petani mampu mengembangkan kelembagaan ekonomi yang mandiri untuk mendukung pengembangan agroindustri.
5
TUJUAN Tujuan Umum a. Mempelajari keragaan agribisnis kelapa dari sisi potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia, tingkat pendapatan, produksi, pemanfaatan, distribusi dan pemasaran. b. Mendapatkan model agroindustri kelapa skala rumah tangga di Sulawesi Tengah dan lembaga usaha bersama. c. Memberikan nilai tambah bagi petani kelapa dan pengrajin kelapa baik dari kelapa maupun dari produk ikutan lainnya sehingga meningkatkan pendapatan petani. Tujuan Tahun Anggaran 2007 a. Mendapatkan model agroindustri kelapa skala rumah tangga di Kabupaten Donggala b. Meningkatkan kemampuan petani dalam penerapan teknologi minyak kelapa dan hasil olahan.
KELUARAN Luaran Umum (Akhir) a. Diketahuinya permasalahan dan kondisi teknologi pada pengolahan minyak kelapa. b. Dihasilkan model agroindustri kelapa skala rumah tangga di Sulawesi Tengah yang lebih baik. Penumbuhkembangan lembaga usaha bersama yang menunjang adopsi teknologi dan pemasaran produk. c. Peningkatan kemampuan petani/pengrajin dalam penerapan teknologi, penguasaan aset produksi, modal dan pasar sehingga menambah pendapatan sebesar 25 persen. Luaran Tahun 2007 a. Dihasilkannya model agroindustri kelapa skala rumah tangga di Kabupaten Donggala b. Kemampuan pengrajin kelapa meningkat dalam penerapan teknologi minyak kelapa dan hasil olahan.
6
PERKIRAAN MANFAAT DAN DAMPAK •
Terselenggaranya pengelolaan agroindustri kelapa terpadu, melalui penerapan perbaikan teknologi minyak kelapa dan hasil ikutan lainnya dalam kerangka lembaga usaha bersama sehingga usaha tersebut menjadi produktif, efisien dan berkelanjutan.
•
Terjadi
peningkatan
pendapatan
petani/pengrajin
melalui
penyelenggaraan
agroindustri kelapa terpadu sebesar 15-25 persen. •
Membuka lapangan kerja baru dan masuknya investor atau pihak swasta dalam pembangunan desa.
METODOLOGI Pendekatan Pengkajian ini merupakan pengkajian agribisnis dan kemitraan yang berbasis komoditi pertanian unggulan daerah yang mencakup pengembangan paket teknologi inovatif dan kelembagaan ekonomi petani yang dapat memfasilitasi berlangsungnya penerapan paket teknologi inovatif secara berkelanjutan bagi pencapaian kesejahteraan seluruh lapisan petani. Pendekatan agribisnis dalam pengkajian ini memperhatikan struktur dan keterkaitan subsistem yang ada meliputi inovasi teknologi dan kelembagaan. Waktu dan Tempat Kegiatan Pengkajian dilakukan di Desa Lero dan Desa Lero Tatari, Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala yang merupakan lokasi pengkajian di tahun sebelumnya. Pelaksanaan pengkajian ini dimulai pada bulan Januari hingga Desember 2007. Jumlah Petani Kooperator Petani yang dilibatkan dalam pengkajian adalah pengrajin minyak kelapa yang sudah dibina sejak tahun 2006 dan kelompok wanita tani lainnya yang ada di kedua desa tersebut. Pengkajian dilaksanakan dengan pendekatan rumah tangga petani sebagai kooperator sebanyak 40 orang yang dibagi dalam 4 (empat) unit usaha kooperator. Pembinaan petani difokuskan pada kinerja kelembagaan, perintisan pasar dan kerjasama dengan pedagang.
7
Penguatan Kelembagaan Petani Keberhasilan aktivitas usaha tidak terlepas dari kinerja dan kuantitas kelembagaan yang ditumbuhkembangkan untuk mendukungnya. Dalam kegiatan ini lembaga yang ditumbuhkembangkan adalah lembaga usaha bersama dan terpadu. Lembaga usaha bersama merupakan wadah petani untuk bersama–sama memperluas kesempatan usaha yang disertai peningkatan kemampuan mereka dalam penguasaan aset, teknologi, modal dan pasar. Karakteristik pasar produk yang mensyaratkan permintaan kuantitas produk dan perizinan usaha secara bertahap akan diselesaikan bersama. Penumbuhkembangan lembaga usaha bersama dilakukan secara bertahap sesuai dengan tahapan kemampuan sumberdaya manusia petani. Penumbuhkembangan lembaga usaha bersama dilakukan secara bertahap sesuai dengan tahapan kemampuan sumberdaya manusia petani.
Untuk itu, paling tidak
diperlukan waktu tiga tahun. Selama kurun waktu tersebut tahapan penumbuhkembangan lembaga usaha bersama dilakukan sebagai berikut: •
Tahun pertama, tahun 2006 : penumbuhan unit usaha
•
Tahun kedua, tahun 2007
: penguatan unit usaha menjadi lembaga usaha bersama
•
Tahun ketiga, tahun 2008
: pemanfaatan
lembaga
usaha
bersama
dan
menumbuhkan kemitraan usaha Untuk mengurangi resiko dan mengembangkan usahanya kelompok dibina untuk dapat memproduksi beberapa produk baik berupa minyak maupun hasil ikutannya. Model kelembagaan yang diintroduksikan adalah model multiusaha dan model kerjasama monousaha yang merupakan pengembangan model monousaha yang dilakukan oleh petani. Inovasi Teknologi Untuk menjaga dan meningkatkan kualitas produksi yang dihasilkan kelompok, perlu didampingi dalam penerapan teknologi baik dalam pengolahan minyak maupun dalam pengolahan hasil ikutan berupa pelatihan dan demosntrasi hasil. Teknologi yang tersedia
8
yang telah siap diterapkan adalah teknologi pengolahan tempurung kelapa seperti arang tempurung, briket dan teknologi pengolahan air kelapa menjadi nata de coco. Pengumpulan dan Analisis Data Data yang diamati berupa analisis biaya inovasi, teknologi kinerja unit usaha dan pendapatan yang kemudian dianalisis secara deskriptif, melalui analisis finansial yaitu perhitungan ratio pendapatan atas biaya dari tiap unit usaha yang ada. Analisis kelayakan usaha dengan menggunakan uji Revenue Cost Ratio (R/C) yang dikemukakan oleh Soekartawi (1995) sebagai berikut: Total Revenue (TR) R/C = -------------------------Total Cost (TC)
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Inovasi Teknologi 1.
Perbaikan Minyak Kelapa Sehat Teknologi perbaikan minyak kelapa yang telah dikaji sejak tahun 2006, masih
menyisakan persoalan yaitu kemasan dan pemasaran minyak tersebut. Telah diketahui kemasan botol yang digunakan di tahun 2006 secara ekonomis tidak layak jual dan kemasan yang ada tidak dapat secara kontinu tersedia sehingga di tahun 2007, kemasan minyak kelapa bermutu tersebut dijual dalam bentuk kemasan isi ulang berukuran 850 ml dan 1800 ml. Produk olahan ini telah direspon oleh Pemerintah Daerah melalui Badan Pengembangan Masyarakat Desa (BPMD) Provinsi Sulawesi Tengah menilai minyak kelapa yang dibuat oleh petani dalam kemasan isi ulang tersebut telah cukup memberikan nilai tambah. Produk minyak kelapa yang dikemas dalam kemasan isi ulang telah di ekspose pada acara pameran teknologi tepat guna di Manado. Para pengunjung memberikan apresiasi yang baik mengenai produk tersebut dan tercatat minyak kelapa yang ada terjual seluruhnya. Lanaco atau Minyak-ku dijual dengan harga per kemasan 900 ml Rp. 11.000 (petani) yang kemudian dijual dengan harga paling mahal Rp. 12.500,-. Produk ini telah mempunyai izin pengedaran dengan kode PIRT 205720502014. Berdasarkan hasil uji organoleptik minyak kelapa yang dihasilkan dari penambahan cuka yang kemudian dimasak ternyata tidak menimbulkan rasa khas minyak kelapa yang selama ini disukai oleh konsumen. Oleh karena itu, dicoba memasak blondo yang tersisa bersama minyak mentah. Hal ini merupakan masukan dari pengrajin bahwa wangi khas minyak timbul bila sisa blondo yang ada dimasak bersama minyak. Pemasakan seluruh blondo dan minyak menjadi satu seperti halnya pembuatan minyak cara petani menghasilkan minyak kelapa yang tidak berwarna cerah dan bila di simpan terdapat kotoran di bagian bawahnya. Hal ini menyebabkan kualitas minyak kelapa tersebut tidak layak untuk dijual dengan jangka waktu lama. Minyak yang dihasilkan juga terasa lengket dilidah dan agak berbau tengik bila disimpan agak lama. Usaha perbaikan minyak kelapa 10
akhirnya diperoleh dengan cara memasak blondo yang ada terlebih dahulu, sedangkan minyak mentah dimasukkan setelah terdapat minyak hasil pemasakan blondo yang sebelumnya blondo dipisahkan. Minyak kelapa yang dihasilkan untuk meningkatkan kejernihannya juga disaring dengan kertas saring. Pada Gambar 1 disajikan perbedaan hasil minyak kelapa yang dimasak seluruhnya dan metode perbaikan.
(a)
(b)
Gambar 1. Minyak kelapa yang dimasak seluruhnya (a) dan metode perbaikan (b). Pada gambar 1, terlihat pada minyak yang dimasak seluruhnya terdapat kotoran yang tersisa (a) dan sedangkan di gambar (b) kotoran tidak ada lagi setelah dimasak secara bertahap. Setelah cara pembuatan minyak kelapa diperoleh, masalah yang timbul adalah ketidaksamaan mutu produk yang dihasilkan oleh setiap kelompok. Untuk itu usaha memperbaikinya adalah merumuskan Standard Operation Procedure (SOP) pembuatan minyak dengan tetap berprinsip pada penanganan tindakan titik-titik kritis sumber bahaya yang mungkin ada atau dikenal dengan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). HACCP terdiri atas 7 (tujuh) prinsip yang direkomendasikan dalam SNI 01-4852-1998. Tujuh prinsip yang menjadi acuan dalam HACCP adalah sebagai berikut : Prinsip 1: Analisis bahaya dan pencegahannya Prinsip 2: Identifikasi Critical Control Points (CCPs) di dalam proses Prinsip 3: Menetapkan batas kritis untuk setiap CCP Prinsip 4: Menetapkan cara pemantauan CCP Prinsip 5: Menetapkan tindakan koreksi Prinsip 6: Menyusun prosedur untuk verifikasi Prinsip 7: Menetapkan prosedur pencatatan Semua komponen tersebut disajikan dalam bentuk matriks/Tabel, yaitu Tabel penetapan tingkat resiko dari produk; Tabel analisis bahaya bahan baku dan tahap proses;
11
serta Tabel penentuan Critical Control Point (CCP) dan Critical Point (CP). Matriks CCP, memuat proses yang termasuk CCP beserta titik kritis dan prosedur yang harus ditempuh untuk mengendalikannya. Matriks CP, memuat proses yang termasuk CP beserta titik kritis dan prosedur yang harus ditempuh untuk mengendalikannya. Tahapan proses pembuatan VCO dan minyak kelapa sehat selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2. Buah kelapa Dikupas
Buah kelapa Dikupas
Butiran kelapa Dibelah
Sabut Butiran kelapa
Dibelah Belahan kelapa
Daging dipisahkan
Air kelapa Belahan kelapa
Daging dipisahkan Tempurung Daging kelapa
Diparut
Diparut Kelapa parut
Ditambah air 1:3 dan diperas
Ditambah air 1:3 dan diperas
Daging kelapa
Kelapa parut Ampas
Santan Didiamkan 3 jam diatas sinar matahri, krim dipisah
Santan Didiamkan 3 jam diatas sinar matahri, krim dipisah
Krim Tambahkan Cuka makan, diamkan 2 jam diatas sinar matahari
Krim Blondo
Tambahkan Cuka makan, diamkan selama semalam Minyak mentah
Minyak mentah Minyak Mentah disaring
Blondo yang diatas dan di bawah
Minyak kelapa Murni
Dimasak dengan 2 kali pemanasan
Minyak kelapa hasil pemasakan blondo dan minyak mentah
Minyak Kelapa Bermutu
Gambar 2.
Diagram alir proses pembuatan minyak kelapa sehat dan VCO
12
13
Penentuan Tingkat Resiko Penetapan tingkat resiko dilakukan berdasarkan Tabel resiko sesuai yang ada di dalam SNI. Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa produk VCO termasuk tingkat resiko III, karena produk terkait dengan tiga kelompok bahaya, bahaya C, E dan F. Sedangkan minyak kelapa termasuk tingkat resiko satu atau hampir tidak mempunyai tingkat bahaya yang berarti. Produk VCO tergolong bahaya C karena pada proses pembuatannya tidak dimasak dan air yang digunakan apabila tidak sempurna perebusan/pemasakannya. Bahaya yang mungkin timbul dapat disebabkan oleh kapang dan bakteri dari air seperti E. coli. Pada proses penanganan bila terlambat segera dipanen maka VCO menjadi bau dan tidak segar (rusak).
Tabel 1. Kelompok tingkat resiko Kelompok Bahaya
Tingkat bahaya Karakteristik VCO
Minyak Kelapa Sehat
Makanan yang mengandung potensi bahaya paling tinggi, umumnya makanan yang tidak disterilkan dan dikhususkan konsumen beresiko tinggi
-
-
Makanan mengandung bahan yang mudah diserang mikroba atau sensitif terhadap bahaya kimia atau fisik
-
-
Makanan yang diproses tanpa melalui tahap pemanasan atau tahap lain yang berfungsi untuk membunuh mikroba atau menghilangkan bahaya kimia atau fisik
+
-
D
Makanan yang mudah sebelum dikemas
-
-
E
Makanan yang menjadi berbahaya untuk dikonsumsi bila tidak ditangani dengan hati-hati
+
+
F
Makanan yang dapat langsung dimakan tanpa pemanasan terlebih dahulu
+
-
Tiga (+)
Satu (+)
A B
C
Kategori resiko
terkontaminasi
ulang
14
Bahaya E, artinya terdapat potensi terjadinya kontaminasi kembali apabila terjadi kesalahan penanganan selama distribusi, penjualan dan penanganan oleh konsumen. Kesalahan seperti rusaknya tutup kemasan/telah terbuka sehingga menjadi tengik. Akan tetapi bila kemasan VCO dan minyak kelapa rusak masih dapat dikonsumsi jika masih dibawah 1 bulan. Bahaya F, artinya potensi terkontaminasi terjadi bila terdapat mikrorganisme yang dapat hidup di minyak dan kemudian berkembang dengan pesat. Produk VCO dikonsumsi dengan cara langsung dimakan tanpa proses pemanasan terlebih dahulu. Analisis Bahaya dan Penetapan CCP Bahan Baku Analisis bahaya bahan baku dilakukan dengan cara mendaftarkan semua bahaya yang mungkin terdapat dalam bahan dan kemudian dibuat dalam bentuk Tabel yang disajikan pada Tabel 2. Tingkat resiko ditentukan berdasarkan seberapa besar akibat yang akan ditimbulkan oleh suatu bahaya dan apakah bahaya tersebut sering atau kemungkinan besar terjadi. Tabel 2. Analisis bahaya bahan baku dan bahan pembantu Jenis Bahan Air
Bahaya Air kotor, air belum masak
Resiko
Tindakan Pencegahan
Tinggi
- penggunaan air sesuai persyaratan air minum
Rendah
- sortir buah, daging buah rusak jangan digunakan - cuci daging buah sampai bersih - buang bagian yang rusak, busuk
Daging Buah kelapa
Kelapa telah terbuka sehingga daging buah berjamur (tidak segar)
Santan
Kotor, tercemar tanah, diminum ternak
Sedang
Cuka
Terkontaminasi, palsu, dosis terlalu tinggi
Sedang
Botol
Kotor, bagian atas retak/pecah
Sedang
Kemasan isi ulang
Bocor, kotor
Tinggi
- simpan di tempat yang tidak dijangkau ternak dan ditutup - tepat waktu panen dan cuci dan bilas peralatan secara baik -simpan di tempat bersih dan ditutup rapat - apabila telah lama tidak dipergunakan segera ganti dengan yang baru - dosis sesuai ukuran dan kebutuhan - susun botol yang masih baru dalam kardus dan dalam plastik, tutup rapat. - bila berdebu dapat di cuci bersih tanpa detergen kemudiaan di sterilisasi kering (oven) atau dikering anginkan - buang botol yang retak atau ada bagian yang pecah - buang kemasan yang bocor - bila berdebu dapat di cuci bersih dengan detergen kemudiaan di kering anginkan
15
Tutup botol
Berdebu, kotor
Ringan
- sortir tutup, yang rusak/kotor jangan digunakan.
Ada lima bahan yang dianalisis bahayanya, yaitu air, daging kelapa, santan, dan cuka. Selain itu dianalisis juga bahan kemasan, yaitu botol, isi ulang dan tutup botol. Berdasarkan kondisi pada Tabel 2 dan dibantu CCP decision tree untuk bahan baku, maka hanya air dan botol yang menjadi CCP dengan tingkat resiko tinggi yang disajikan pada Tabel 4. Di dalam Tabel tersebut ada empat kolom, yaitu kolom jenis bahan, kolom bahaya, kolom tingkat resiko dan kolom tindakan pencegahan.
Analisis Bahaya dan Penetapan CCP Proses Produksi Analisis bahaya tahap proses dilakukan berurutan sesuai diagram alir proses produksi minyak (Gambar 2). Berdasarkan pertimbangan tingkat resiko bahaya di Tabel 1 dan jawaban atas lima pertanyaan CCP decision tree, pada tahap proses produksi yang disajikan pada Tabel 3, ditetapkan ada 4 tahap yang termasuk titik kritis (CCP), yaitu tahap pemerasan santan, penambahan cuka, pemanenan minyak mentah dan pengemasan minyak serta penyaringan minyak. Pemerasan santan menjadi CCP karena tahap ini menggunakan air sebagai bahan pengekstrak minyak menjadi santan yang kadang tidak mempergunakan air yang sesuai bagi air minum (tidak dimasak). Batas kritisnya adalah santan tidak tercemar kotoran atau air yang kurang baik. Monitoring dilakukan sebelum proses pemerasan dimulai yaitu dari higienis pekerja dan pemeriksaan visual terhadap santan yang dihasilkan. Penambahan cuka menjadi CCP karena tahap ini penting untuk mengoptimalkan pemisahan santan, akan tetapi bila terlalu banyak ditambahkan maka santan menjadi asam dan berpengaruh terhadap VCO yang dihasilkan. Selain itu cuka yang tidak baik (kadaluarsa) juga menurunkan kemampuan cuka memisahkan santan. Titik kritis dari tahap ini adalah nilai pH santan setelah ditambahkan cuka tidak melebihi 4 dengan dosis setiap 20 ml cuka untuk 50 butir kelapa dan kondisi cuka masih baik digunakan. Tahap lain yang menjadi CCP adalah proses pemanenan dan penyaringan minyak. Apabila waktu panen terlalu lama maka VCO yang dihasilkan akan terjadi penurunan kualitas dengan meningkatnya bilangan peroksida dan kadar asam lemak bebas. Proses penyaringan yang tidak sesuai yaitu berada dalam ruangan yang tidak tertutup dengan peralatan tidak bersih
16
serta tercampurnya blondo dalam minyak lebih dari satu hari sehingga menyebabkan VCO yang dihasilkan menjadi rusak. Tahap proses lain yang menjadi CCP adalah pengemasan minyak yang sering terjadi adalah tutup botol VCO rusak atau isi VCO tumpah ke luar akibat isi VCO dalam botol terlalu penuh. Tahapan yang termasuk CP adalah pendiaman santan I, pendiaman santan II sedangkan pada pembuatan minyak kelapa pada proses pemasakan dan pendiaman minyak. Proses pendaman santan baik I dan II menjadi penting untuk memisahkan air dan minyak. Apbila pengrajin tidak meletakan wadah yang berisi santan maka potensi rusak karena tercemar oleh hewan (diminum) dan pasir cukup tinggi. Tahap ini tidak menjadi CCP karena masih ada proses penyaringan sewaktu dipanen dan wadah tersebut dapat ditutup dengan kain kassa sehingga kotoran tidak langsung masuk ke dalam wadah serta ada tahap lain yaitu penyaringan minyak sebagai tahap terakhir sebelum minyak dikemas. Tahap lain yang menentukan untuk menjaga kualitas produk, khususnya dari segi rasa dan warna adalah proses pemasakan minyak. Pemanasan minyak dengan mencampur blondo dan minyak mentah biasanya kurang terkontrol dari segi panasnya. Padahal bila blondo terlalu kering/coklat akan menentukan kualitas minyak kelapa yang dihasilkan. Oleh karena itu, batas kritis CP ini adalah waktu perebusan blondo selama 5- 10 menit atau hingga blondo berubah menjadi agak kecoklatan. Pendinginan minyak kelapa setelah dimasak harus secara alami agar tidak menimbulkan embun uap air dan masuk ke dalam minyak kelapa dan merubah warna minyak menjadi keruh dan meningkatkan potensi tengik akibat air. Dengan alasan tersebut maka proses pendinginan ini dijadikan CP dengan harapan dapat mengontrol kualitas produk terutama dari segi rasa dan warna. Sewaktu pendinginan minyak cukup dilakukan di suhu kamar dan aman dari kotoran/debu. Hasil analisis CP disajikan pada Tabel 5.
17
Tabel 3. Analisis bahaya pada proses produksi VCO dan minyak kelapa Tahap Pengupasan, pembelahan dan pencungkilan daging kelapa Penerimaan dan penyortiran daging kelapa Pemarutan daging kelapa
Bahaya - Kontaminasi silang dari alat - Adanya pencemaran fisik - Daging kelapa berjamur/rusak - Mikrobiologi (kapang) - Kontaminasi silang dari alat
Sumber bahaya
Resiko
Kondisi alat yang kotor
Ringan
- Pencucian alat setiap akan dan selesai digunakan
Bahan baku busuk/rusak
Ringan
- Penyortiran daging kelapa dari yang busuk dan rusak. - Pembuangan bagian yang busuk dan rusak.
Kondisi alat yang kotor
Ringan
- Pencucian alat setiap akan dan selesai digunakan
- Bahan baku busuk/ rusak - Kebersihan tangan - Air kotor /tercemar.
Tinggi
Pemerasan Santan
- Adanya cemaran fisik - Kontaminasi dari air. - Mikrobiologi
Pendiaman Santan I
- Adanya cemaran fisik dan debu dari udara
- Kondisi lingkungan kotor
Sedang
Penambahan Cuka
- Kontaminasi cuka/ bahan lain - Santan terlalu asam
- Masa simpan cuka lewat - Salah dosis pemberian cuka
Tinggi
Pendiaman Santan II
- Adanya cemaran fisik dan debu dari udara
- Kondisi lingkungan kotor
Sedang
Pemanenan Minyak Mentah, penyaringan minyak
- Kontaminasi dari alat dan udara - Mikrobiologi
Pemasakan Blondo (Minyak Kelapa)
- Overheating - Tidak masak
Pemasakan kedua (Minyak)
- Overheating
- Kondisi alat dan lingkungan yang kotor - Air sisa limbah pemanenan - Pemanenan lewat waktu - Delay terlalu lama - Minyak masih mentah dan ada cairan blondo yang tersisa - Delay terlalu lama
Pendinginan Minyak
- Perubahan fisik (keruh) - Kontaminasi dari alat
- Uap air yang tidak keluar - Kondisi alat yang kotor
- Kontaminasi dari botol - Kontaminasi dari udara
- Botol tidak bersih dan plastik tidak dapat disterilisasi - Botol tidak langsung ditutup - Proses pengliman plastik kurang kuat (Minyak kelapa)
Pengemasan Minyak
Tindakan pengendalian
Tinggi
Sedang Ringan Sedang
Tinggi
- Kelapa hasil parut segera diolah jangan lebih dari 3 jam - Sanitasi pekerja - Penggunaan air bersih dan tidak terkontaminasi atau sebaiknya air yang sudah matang (untuk VCO). - Santan yang diwadahkan ditutup dan jauhkan dari ternak - Simpan di tempat bersih dan ditutup rapat, cek kadaluarsanya - Gunakan alat pengukur dosis cuka disesuaikan dengan jumlah buaha (per 50 buah) - Santan yang diwadahkan ditutup dan jauhkan dari ternak - Gunakan kertas saring baru setiap hari - Sewaktu disaring dilakukan dalam ruangan tertutup atau corong ditutup sewaktu menyaring - Saring hingga lebih dari 3 kali penyaringan - Hentikan proses masak bila telah berwarna agak kecoklatan - Lanjutkan proses pemasakan hingga blondo agak coklat - Pemanasan dihentikan bila minyak sudah mendidih - Gunakan alat dari stainless yang bersih/ tidak berkarat dan jangan di tutp seaktu masih panas - Pencucian alat setiap akan dan selesai digunakan - Pastikan botol yang akan digunakan sudah bersih dari kotoran, lap dengan alkohol bila perlu - Penutupan botol segera setelah pengisian - Cek hasil pengliman plastik, perbaiki lagi bila perlu
18
Tahap
Bahaya
Sumber bahaya
Pelabelan
Tidak teridentifikasi adanya bahaya
Penyimpanan
VCO dan berbahaya
Minyak
Kelapa
Penyimpanan kadaluarsa
Resiko
melewati
Sedang
Tindakan pengendalian
- Menerakan tanggal kadaluarsa - VCO kadaluarsa tidak dikonsumsi
Tabel 4. Matriks CCP pada proses produksi VCO dan minyak kelapa Tahap
CCP No.
Monitoring Jenis Bahaya
Batas Kritis
Tindakan koreksi Metode
Frekuensi
Pemerasan Santan
1
Mikrobiologi, fisik
Santan bersih dari cemaran dan bagian yang rusak
Pemeriksaan visual
Setiap pemerasan santan
Pekerja mencuci tangan sebelum bekerja, gunakan air matang untuk mengekstrak santan pada VCO.
Penambahan Cuka
2
Kimia
Nilai pH santan tidak melebihi 4 dan 20 ml cuka untuk 50 butir kelapa, Cuka masih baik digunakan
Penggunaan Indikator pH
Setelah penambahan cuka
Apabila santan terlalu asam ditambahkan air atau santan lainnya.
Tidak ada terdapat kotoran yang melayang-layang dalam minyak.
Visual
Setiap proses
Saring kembali minyak yang ada
Uji mikroorganisme
Sampling setiap 6 bulan
Perbaiki sanitasi dan higienis pegawai
Visual
Setiap proses
Saring kembali minyak yang ada
Pemanenan Minyak Mentah, penyaringan minyak
3
Pengemasan Minyak
4
Mikrobiologi, Fisik
Jumlah mikroorganisme tidak tinggi Fisik
Tidak ada terdapat kotoran yang melayang-layang dalam minyak. Tidak ada kebocoran Seal/tutup
Uji bau cuka
Ganti cuka yang tidak baik.
Ganti tutup atau seal kemabli kemasan tersebut
19
Tabel 5. Matriks CP pada proses produksi VCO dan minyak kelapa Tahap
CP No.
Pendiaman Santan I
1
Pendiaman Santan II
2
Pemasakan Blondo (Minyak Kelapa)
3
Pendinginan Minyak
4
Batas Kritis
Monitoring Metode
Tidak terdapat kotoran/hewan kontak langsung dengan santan
Tindakan koreksi Frekuensi
yang
Pemeriksaan secara visual
Setiap proses
Buang santan yang ada atau diproses menjadi minyak kelapa
Tidak terdapat kotoran/hewan yang kontak langsung dengan santan Minyak mentah terpisah sempurna
Pemeriksaan secara visual
Setiap proses
Waktu pemasakan blondo tidak lebih dari 15 menit dan angkat bila blondo berwarna agak coklat
Pengukuran waktu pemasakan atau penampakan visual dari blondo (ditekan keras) Pemeriksaan secara visual
Setiap proses
Buang santan yang ada atau diproses menjadi minyak kelapa Minyak langsung dipanen segera setelah terpisah semua Angkat minyak dari pemasakan segera setelah selesai waktunya atau berubah warna blondonya
Minyak dingin sempurna dan bila ditempatkan ke plastik tidak berembun, tidak ada kotoran yang masuk ke minyak
Setiap proses
Letakan minyak di dalam wadah yang terhindar dari kotoran, saring minyak yang telah dingin
20
21
2.
Permanfaatan Hasil Samping Pengolahan hasil samping kelapa tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya
bahan baku yang tersedia sehingga diperlukan pemantapan unit usaha yang telah ada. Proses perbaikan teknologi minyak kelapa di kelompok wanita tani di Desa Lero dan bertambahnya jumlah kelompok baru menyebabkan pemanfaatan pengolahan hasil samping kelapa masih sebatas pemanfaatannya secara parsial dan tidak kontinu. Beberapa produk yang dapat dihasilkan dari limbah berupa air kelapa dan arang tempurung adalah nata de coco, arang tempurung dan briket arang tempurung. a. Air Kelapa Setiap buah kelapa terdapat air kelapa dengan rendemen 34% dari berat kelapa. Apabila petani kelapa memproduksi minyak kelapa sebanyak 50 butir kelapa maka dihasilkan 48 liter air kelapa. Air kelapa tersebut bila diolah menjadi nata de coco memerlukan waktu pengolahan selama 7 hari. Setiap wadah berisi 2 liter air kelapa dan menghasilkan nata berbentuk lembaran seberat 600 gram. Bila di tambahkan air sirup dan di kemas dalam kemasan gelas menghasilkan 15 gelas setiap 2 liter air kelapa. Alur proses pembuatan nata de coco disajikan pada Gambar 3. Pembuatan nata de coco mendapatkan respon positif pengrajin dikarenakan selama ini air kelapa yang ada tidak dimanfaatkan. Hanya untuk dijadikan sebagai unit usaha masih diperlukan pembinaan lebih lanjut, seperti standar mutu, modal dan strategi pemasaran. Permasalahan usaha nata de coco yang dialami oleh petani di desa lero adalah proses inkubasi nata de coco yang kadangkala tidak higienis sehingga nata tidak terbentuk sempurna. Pada saat awal pelatihan nata de coco di petani sekitar bulan Juli, tingkat keberhasilan pembuatan nata de coco cukup tinggi sebesar 75%, hanya satu kelompok yang tidak berhasil melakukannya. Pada bulan Agustus dengan menggunakan
starter
yang
diperbanyak
dari
bulan
sebelumnya,
tingkat
keberhasilannya menurun drastis hingga hanya 30% saja, bilapun nata berhasil dihasilkan bentuknya sangat tipis. Besar dugaan ketidakberhasilan pembuatan lembaran nata adalah terkontaminasinya wadah, starter yang dipergunakan telah turunan yang terakhir dan perubahan iklim (sering hujan). Resiko biaya yang harus ditanggung petani bila terjadi kegagalan pembuatan nata untuk setiap wadah berukuran 2 liter sebanyak Rp. 1200,-. Kontaminasi yang terjadi
22
diduga berasal dari sanitasi peralatan dan ruangan yang tidak terjaga dengan baik. Manajemen pengelolaan starter nata juga merupakan salah satu syarat mutlak bagi keberlanjutan usaha nata de coco, padahal pengelolaan starter nata masih ditangani oleh tim BPTP. Usaha penyediaan starter nata telah dilakukan dengan membeli starter murni dari Balai Industri Agro di Bogor dalam bentuk padat (kering) dan cair. Akan tetapi starter cair yang dikirim terlambat masuk ke palu sehingga starter tersebut menjadi rusak. Sedangkan starter padat yang ada tidak tumbuh setelah diperbanyak dikarenakan telah membentuk lapisan nata dan kesalahan penanganan. Disisi lain penangguhan perjalanan juga berpengaruh terhadap ketersediaan starter nata de coco. Air Kelapa
Penyaringan Pemanasan
Nutrisi
Pewadahan Pendinginan Inokulasi Inkubasi Pemanenan Lembaran Nata Pemotongan Perendaman Perebusan Penirisan Perebusan dalam larutan Gula Pengemasan
Nata siap santap
Gambar 3. Proses pembuatan nata de coco 23
Hasil ujicoba nata de coco yang berhasil dibuat dibandingkan cara pembuatan yang dilakukan oleh staf BPTP Sulawesi Tengah disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil uji nata de coco Percoban
Tebal (cm)
Berat (gram)
Berat Akhir (gram)
Air sisa (ml)
Rendemen
Pengrajin Lero (1)
0,5
560
400
1300
0,35
Pengrajin Lero (2)
0,4
350
250
1400
0,30
BPTP (1)
0,87
790
560
1000
0,50
BPTP (2)
1
820
640
875
0,56
Rata-rata
0,79
630
463
1143.75
0, 43
Formulasi sirup nata de coco juga telah diperoleh yaitu bila terdapat nata de coco sebanyak 1000 gram atau setara dengan 17 gelas maka dibutuhkan air sirup sebanyak 3,5 liter. Menurut uji kesukaan nata yang pernah dilakukan di tahun 2007, panelis menyukai rasa sirup nata dengan perbandingan setiap satu liter sirup menggunakan 150 gram gula dan 1 gram asam sitrat. Penambahan CMC dan crean of tartar dapat dilakukan untuk memberikan efek kental dan lebih jernih akan tetapi bila disimpan di suhu yang agak tinggi akan terlihat rusak dengan adanya kotoran yang melayanglayang. Nata de coco yang ada telah dapat disimpan hingga 2 bulan dan secara visual belum berubah.
b. Tempurung Kelapa Tempurung kelapa merupakan lapisan keras dengan tebal 3-5 mm yang banyak mengandung silikat (SiO2). Tempurung kelapa dapat dimanfaatkan untuk berbagai industri seperti arang tempurung dan karbon aktif. Setiap pengolahan minyak kelapa sebanyak 50 butir kelapa di hasilkan 41 kg tempurung kelapa. Arang yang dihasilkan dari pembakaran dengan lubang tanah bermutu rendah, karena bercampur dengan tanah, dan berkadar air tinggi, akibatnya harga jual rendah (Lay dan Novarianto, 2006). Oleh karena itu pengolahan tempurung kelapa pada menggunakan alat klin drum. Drum dimodifikasi dengan membuat lubang udara yang dapat di tutup dan dibuka sehingga proses pembakaran tempurung dapat dengan cepat terjadi. Proses
24
pembakaran dimulai dengan mengisi drum dengan tempurung hingga penuh dan kemudiaan dibakar, kemudian bila seluruhnya telah terbakar ditambahkan kembali tempurung, penambahan tempurung dilakukan terus sampai drum penuh. Pada bagian bawah drum yang berisi arang yang telah terbakar disegerakan ditutup agar tidak menjadi abu. Setelah seluruh tempurung telah terbakar sempurna, api dimatikan dengan cara menutup drum. Arang yang dihasilkan rata- rata terdiri atas fraksi arang sebesar 85%, fraksi tempurung tidak terbakar (10%), fraksi hancuran arang (5%). Berdasarkan pengujian yang dilakukan pada pembuatan arang tempurung menggunakan klin drum dan lubang tanah dengan masing-masing pada jumlah tempurung 30 Kg dihasilkan pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil pembakaran arang tempurung No.
Komponen Pengujian
Lubang Tanah
Klin Drum
1.
Lama Waktu
25 menit
30 menit
2.
Berat Hasil
7,5 kg (belum dijemur)
6,5 kg
3.
Fraksi Hancur
1,6 kg
2,1 kg
4.
Tidak Terbakar
0,4 kg
0,4 – 1,5 kg
5.
Mutu Arang
Masih perlu dijemur, agak basah. Dominan arang berukuran kecil
Tidak dijemur, sudah siap jual. Dominan arang masih berukuran besar
Pada Tabel 7 diketahui hasil pembakaran arang tempurung kelapa dengan menggunakan lubang tanah lebih cepat terbakar dikarenakan hasil pembakaran tempurung dapat dengan mudah dipantau dan angin membantu mempercepat proses pembakaran. Waktu pembakaran klin drum tidak berbeda jauh dengan pembakaran lubang tanah dikarenakan klin drum telah dimodifikasi dengan membuat lubang ventilasi udara yang dapat dibuka-tutup. Proses pembakaran klin drum tergantung keahlian dari petani dikarenakan bila pembakaran tidak sempurna maka fraksi hancur dan tempurung yang tidak terbakar akan meningkat sehingga rendemen arang semakin. Pengolahan tempurung kelapa menjadi arang tempurung, kadangkala menghasilkan remahan atau butiran arang yang cukup banyak dan untuk mengatasi permasalahan ini, perlu dikembangkan pembuatan arang briket (Lay, 1993 dalam Lay dan Novarianto, 2006).
25
Hancuran arang yang dihasilkan kemudiaan di bentuk menjadi briket arang tempurung dengan menggunakan sagu sebagai perekat. Sagu yang digunakan sebanyak 5% dari berat hancuran arang yang digunakan. Jumlah sagu sebanyak 5% merupakan rekomendasi dari balai litbang kehutanan. Sebelumnya untuk memeproleh briket yang baik dilakukan pengujian bahan perekat yang baik dan murah secara ekonomis di BPTP. Bahan perekat yang dibandingkan adalah penggunaan tepung tapioka, tanah liat dan sagu serta kontrol dengan menggunakan briket batu bara. Komposisi briket yang digunakan terdiri atas 1). Briket arang tempurung perekat sagu dengan perbandingan arang tempurung 90%; sagu 10%, 2) Briket arang tempurung dengan perekat tapioka dengan perbandingan arang tempurung 95% dan tapioka 5%, 3) Briket arang tempurung dengan perekat tanah liat dengan perbandingan 65% dan 35% tanah liat. Selain uji bakar briket tersebut juga diamati lama masak air sebanyak 2 liter dan ubi jalar seberat 100 gram. Parameter yang diamati adalah waktu yang dibutuhkan untuk menjadi bara, waktu yang dibutuhkan untuk memanaskan air hingga mencapai suhu 500C dan 1000C. Serta dihitung waktu hingga ubi jalar menjadi masak. Sisa air hasil pemasakan selama 90 menit dihitung dan dibandingkan dengan penggunaan gas dan minyak tanah pada pemasakan serupa. Uji pembakaran briket dicoba dengan diawali membasahi briket dengan minyak tanah hingga diperoleh bara api yang siap digunakan. Kegiatan percobaan ini diulang sebanyak 2 kali. Pada uji bakar briket batu bara diulang sebanyak tiga kali dikarenakan bara tidak terjadi secara sempurna. Hingga tujuh briket yang direndam minyak tanah dari total 17 briket yang digunakan baru diperoleh bara yang optimal. Pada briket arang tempurung dengan penggunaan tapioka dan sagu pada tahapan percobaan pembakaran hanya diulang dua kali. Hal ini berarti uji pembakaran briket arang tempurung lebih baik dibandingkan briket batu bara. Proses pengeringan yang baik dalam pembuatan briket juga menyebabkan briket mudah terbakar. Pada penggunaan perekat tanah liat yang terlalu banyak (35%) menghasilkan briket yang sangat keras dan tidak mudah terbakar. Penggunaan tanah liat sebaiknya digunakan sedikit saja dan dicampur dengan sagu atau perekat lain. Menurut Balitka pada Indonext.com (2007) diketahui bahwa penggunaan tanah liat sebaiknya hanya 10% dari berat total.
26
Pembakaran briket semakin cepat dengan menggunakan pecahan arang yang lebih kecil dan mengurangi jenis tepung/bubuk arang, sehingga terdapat rongga udara. Walaupun penggunaan bubuk arang atau tanah liat tetap diperlukan agar briket lebih kompak dan tidak mudah pecah. Pada Tabel 8 disajikan uji pembakaran briket.
Tabel 8. Uji pembakaran briket arang Komponen Pengujian Isi Penuh (kg)/jumlah
Kompor
Menjadi Bara (menit)
Briket Batu Bara
Briket dengan Perekat Tapioka
Briket dengan Perekat Sagu
Briket dengan Perekat Tanah Liat
1,25 /17
1,1 /10
1,0 /10
1,4 /9
28,24 menit
35 menit
20 menit
Tidak menyala
Setelah diperoleh bara, kemudian dilakukan pengujian lama pemasakan air yang kemudian pemasakan ubi. Ubi dimasak setelah air di panci mendidih. Kemampuan briket, arang, briket batubara, gas dan minyak tanah disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Kemampuan briket arang, gas dan minyak tanah Komponen Pengujian
Briket Batu Bara
Briket dengan Gas(max) Perekat Sagu
Minyak Tanah
Suhu 50oC (menit)
4.30
8
3
4
Suhu 100oC (menit)
15
17
10.30
13.30
Beda Waktu
11
9
7
9.30
Ubi Masak (menit)
26
24
21
23
960 (setelah 90 menit)
930 (90 menit)
600 (60 menit)
1120 (45 menit)
11,89
23,33
19,56
Sisa Air (ml)
Rata-rata air (ml) menguap 11,56 per menit
Pada Tabel 9 diketahui bahwa untuk memasak ubi, waktu yang dibutuhkan tidak jauh berbeda dengan sumber energi yang digunakan. Padahal berdasarkan kalor yang dikeluarkan melalui jumlah air yang menguap per menit diketahui kalor terbesar pada sumber energi gas dan minyak tanah. Hal ini berarti pada pemasakan bahan yang
27
sedikit lebih baik menggunakan sumber energi yang tidak mengeluarkan kalor yang terlalu besar sehingga lebih efisien. Pemanasan suhu air hingga mendidih lebih baik menggunakan bara dibandingkan menggunakan api. Hal ini dapat dilihat pada perbedaan waktu yang diperlukan untuk menaikan suhu 50 menjadi 100oC yang semakin cepat dengan menggunakan briket walaupun bila ditotalkan waktu yang diperlukan untuk mendidikan air lebih cepat menggunakan minyak tanah dan gas. Pada Tabel 3 juga diketahui kemampuan briket batu bara dan briket arang tempurung hampir sama walaupun diakhir pengujian secara fisik batu bara lebih kokoh dibandingkan briket arang tempurung yang mudah luruh. Minyak tanah yang dihabiskan selama 45 menit pemasakan sebanyak 510 ml. Sedangkan jumlah briket yang diperlukan untuk memanaskan air sebanyak 2 liter selama 90 menit sebanyak 1,1 kg. Bila diasumsikan penggunaan minyak tanah selama 90 menit adalah 1020 atau dua kali jumlah minyak yang habis selama 45 menit, maka setiap 1 kg briket dapat menggantikan minyak tanah sebanyak 930 ml. Kelemahan briket arang tempurung adalah kurang praktis yang membutuhkan waktu cukup lama 15 – 25 menit untuk menjadikan briket menjadi bara. Berdasarkan uji briket arang secara kasar diperoleh hasil yang disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil pengujian briket arang tempurung dan briket impor Komposisi Briket Arang Tempurung Sagu Briket Balitka (tanah liat) Briket Impor*
Kadar Air (%)
Zat Menguap (%)
Kadar Abu (%)
Karbon terikat (%)
Kalori (kal/gr)
10,97
18,98
9,68
71,4
6323
5,9
**
3,5
78,2
6854,9
3,1
20,7
2,4
73,8
7143
Keterangan *: PT Giga Haksa (2007).
Pada Tabel 10 diketahui kadar air briket tempurung kelapa yang dibuat oleh pengarjin masih mempunyai kadar air yang tinggi. Hal ini yang menyebabkan briket yang dihasilkan dapat dengan mudah rusak. Selain itu kerusakan pada briket yang dimiliki petani juga disebabkan arang tempurung yang ada tidak halus dan masih
28
mengandalkan tenaga tekan yang rendah sehingga kerapatannya rendah. Akan tetapi bila dilihat dari jumlah kalori setiap gramnya tidak berbeda dengan briket lainnya. c. Analisis Finansial Kelapa Terpadu Proses pembuatan lanaco dan laurico di lakukan secara bertahap dan tidak dilakukan pemisahan kelapa untuk konsumsi lokal dan meningkatkan pendapatan petani. Akan tetapi syarat buah kelapa yang digunakan tetap menggunakan kelapa tua terbaik. Nata de coco dalam perhitungan ini di asumsikan semua air kelapa digunakan seluruhnya. Pada produk yang digunakan oleh petani dinilai sebagai produk yang dapat di jual. Pada perhitungan tenaga kerja dihitung berdasarkan tenaga kerja yang dialokasikan (termasuk pribadi petani dan tenaga kerja keluarga). Pada Tabel 12 disajikan usaha kelapa terpadu dibandingkan dengan pengolahan kelapa menjadi minyak Tabel 11. Analisis usaha kelapa terpadu dan pengolahan minyak kelapa selama sebulan No. Rincian Kegiatan
1 2
Tenaga Kerja (HOK) Bahan Buah Kelapa (buah) Air Kelapa (l) Tempurung Kelapa (kg) Arang Tempurung (kg) Biaya Kelapa
3
Biaya Bahan Tambahan (ongkos parut, label, kemasan, gula,asam asetat, bakan bakar, biaya penyusutan peralatan dll) Total Biaya
Usaha Minyak Kelapa
Usaha VCO
Usaha Minyak Kelapa Sehat
Usaha Nata De Coco
Usaha Usaha Arang Briket Tempurung Arang
Kelapa Terpadu (total)
8000
4000
4000
8000
2000
1000
22000
100
30
70
-
-
-
100
-
-
.
96
-
-
96
-
-
-
-
25
-
25
-
-
-
-
-
1.25
1.25
70000
21000
49000
0
0
0
70000
20000
63442
23333
816768
1500
700
905743.8
98000
88442
76333
824768
3500
1700
994743.8
29
No. Rincian Kegiatan
Usaha Minyak Kelapa
Usaha VCO
4
Produksi
5 6 7
HPP Harga Jual Keuntungan
18,5 btl abc 5.292/btl 7000/btl 31.630
21,8 btl 125 ml 4,054 10000/btl 129.739
Usaha Minyak Kelapa Sehat
Usaha Nata De Coco
Usaha Usaha Arang Briket Tempurung Arang
7,8 liter
720 gelas
5.3 kg
1.3 kg
667 1000/kg 1.750
1,360 1500/kg 175 403.900
9,814 1,146 12000/liter 1500/gelas 17.000 255.232
Kelapa Terpadu (total)
Peningkatan pendapatan bagi pengrajin minyak kelapa terlihat terjadi pada pengolahan minyak kelapa terpadu walaupun pada usaha minyak kelapa sehat keuntungannya yang diperoleh tidak besar hal ini dikarenakan biaya kemasan isi ulang yang cukup besar yaitu sebesar 1200/ buah. Harga kemasan dapat diturunkan hingga setengah harganya dengan membeli kemasan dalam jumlah yang banyak dan berpeluang meningkatkan keuntungan sebesar Rp. 3.150,-. Keuntungan yang diperoleh pada setiap produksi usaha kelapa terpadu dengan basis 100 butir kelapa adalah sebesar Rp. 403.900,- yang berarti meningkat dari sebelumnya hanya Rp. 31.360,3.
Penguatan Kelembagaan Pada Tahun 2006, telah terbentuk 2 kelompok tani yang megolah VCO dan minyak
kelapa Pada tahun 2007, pengkajian dikembangkan menjadi 4 kelompok tani dengan mengikutsertakan wanita tani yang telah aktif bergabung dalam kegiatan desa atau latar belakang anggota berbeda dengan kelompok sebelumnya yang sebagaian besar pengrajin minyak. a. Pemberdayaan Kelompok Proses pemberdayaan kelompok dilakukan dengan memperbaiki manajemen produksi. Selama ini (tahun 2006) proses produksi minyak kelapa bermutu dan VCO dilakukan oleh petani tidak secara kontinu dan hanya berdasarkan pesanan. Setelah pembentukan kelompok baru dan anggota kelompok tani terampil membuat produk maka upaya awal yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja kelompok adalah pemupukan modal kelompok yang kemudiaan dikembangkan menjadi modalnya.
30
Prinsip keterbukaan, transparansi dan kebersamaan menjadi dasar dari aktivitas kelompok. Untuk mendukung berjalannya aktivitas kelompok turut diberikan daftar hadir, buku kas dan jumlah persediaan. Pada Tabel 12, disajikan disajikan perkembangan kelompok yang ada di desa lero Tabel 12. Perkembangan kelompok di Desa Lero dan Lero Tatari hingga Desember 2007 Uraian
Melati
Mawar
Dara Membangun
Tatari
Kehadiran
79%
100%
63%
31%
Penurunan kehadiran tiap bulan Frekuensi Produksi/bulan Rata-rata jumlah kelapa yang diolah tiap produksi (buah) Harga Kelapa per buah (Rp.) Rata-rata Keuntungan/bulan (Rp) Rata-rata keuntungan/produksi (Rp) Produksi dari Agustus 2007 VCO Minyak Kelapa Arang Tempurung Kelapa Nata De Coco
1%
-
13%
25%
2-4 115
1-2 73
3-7 74
0-2 28
500-700 164.000
300-800 58.900
600-800 217.140
600-1000 28.900
60.880
45.000
54.600
18.900
2 liter 65,9 liter 3 karung 7 gelas
13,8 liter 129,5 liter 3 karung 27 gelas
8 liter 133,2 liter 1 karung -
Berdasarkan Tabel 12, diketahui bahwa
3,8 liter 8 liter 1 karung 5 gelas
kehadiran tiap anggota menjadi
permasalahan yang selalu muncul di tiap kelompok kecuali pada kelompok Mawar. Pada kelompok Mawar, ketidakhadiran anggota kelompok sangat kecil terjadi dikarenakan lokasi rumah anggota berada dekat dan sebagian besar anggota adalah keluarga. Selain itu sistim yang dibangun di kelompok mawar mengharuskan tiap anggotanya membawa kelapa untuk diolah. Kekurangan kinerja kelompok Mawar adalah proses produksi minyak masih tergantung atas ketersedian kelapa yang ada. Pengrajin tidak berani mengambil keputusan untuk meningkatkan produksi, membeli bahan baku (kelapa) serta mempunyai kecenderungan menerapkan kembali ke teknologi lama (petani) yang ada dibandingkan memproduksi VCO ataupun minyak kelapa sehat. Modal yang ada hanya dipergunakan 15% untuk diputar. Kelompok melati mempunyai kinerja yang cukup baik, hal itu terlihat dari keaktifan anggota, jumlah produksi per bulan, kemampuan penyediaan kelapa
31
(jumlah kelapa per prosses produksi) dengan harga kelapa yang tidak mahal. Akan tetapi produk yang diproduksi masih terbatas pada minyak kelapa. Pengrajin masih ragu untuk memasarkan VCO secara mandiri sehingga tergantung dengan pihak BPTP dalam pemasarannya. Dengan jumlah produksi yang besar menyebabkan nilai keuntungan berproduksi lebih besar dibandingkan kelompok lainnya. Berdasarkan aktivitas penggunaan uang kelompok (modal), pengrajin hanya menggunakan 20% dari dana yang tersedia. Kedua kelompok mawar dan melati tidak mampu mengatur dan mengambil resiko untuk memperoleh hasil yang lebih besar. Akan lebih baik bila pengrajin mau membagi kelompok menjadi beberapa unit usaha. Uang yang ada dibagi sesuai dengan anggota yang ada. Pada kelompok Dara Membangun, kinerja kelompok tergolong baik, hal ini terlihat dari rata-rata keuntungan per bulan sebesar Rp. 217.140,- atau bila dibagi per anggota sebesar Rp. 36.000,- per bulan. Akan tetapi tingkat kehadiran anggota cukup rendah hal ini mungkin disebabkan oleh cukup padatnya proses produksi yang berlangsung. Kebijakan yang diterapkan di kelompok Dara Membangun adalah membagi keuntungan kelompok di awal yang dilakukan sejak bulan November, tercatat uang sebesar Rp. 135.000,- dibagikan ke anggota atau masing-masing memperoleh Rp. 22.500,-. Disisi lain, pengrajin hanya menggunakan uang yang ada kurang dari 10%. Yante (1999) mengemukakan bahwa manajemen dalam industri rumah tangga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan pelatihan yang pernah ditempuh. Kelompok Tatari merupakan salah satu contoh kelompok yang tidak berjalan dengan baik. Ketua kelompok tatari tidak terbuka dengan anggota sehingga ada sebagan uang modal yang di kelola tidak dipergunakan untuk kemajuan kelompok. Beliau memberikan peminjaman ke orang lain yang akhirnya macet dan uang tersebut tidak kembali. Selain itu rendahnya jumlah produksi minyak dan VCO yang dibuat dikarenakan kelapa yang ada tidak mudah diperoleh dengan harga yang cukup tinggi. Dana yang dikelola hanya 16% dari total dana yang ada.
32
b. Pemasaran Produk Pemasaran produk minyak kelapa baik dalam bentuk produk kelapa sehat (terkemas) maupun minyak kelapa biasa tidaklah susah. Seluruh produk minyak kelapa yang dibuat habis terjual 1-2 hari setelah dibuat. Perbedaan kebiasaan cara pembuatan ternyata berpengaruh dengan persepsi pemebli. Walaupun cara pembuatannya sama, produk minyak kelapa yang berasal dari kelompok melati kurang disukai oleh pembeli lokal dibandingkan dengan produk yang dibuat oleh kelompok Dara Membangun. Hal ini dikarenakan sebelum adanya perbaikan teknologi pengrajin yang tergabung dalam kelompok Melati memperoleh santan dengan cara diinjak. Oleh karena itu pengrajin melati cenderung menjualnya secara aktif dipasar. Sedangkan produk kelompok Dara Membangun tidak pernah menjual minyak kelapa secara khusus ke pasar dikarenakan telah habis terjual ke masyarakat disekitar. Pada kelompok Dara Membangun, pembuatan VCO sering dilakukan walaupun saat pembuatannya masih tergantung dengan kelancaran VCO terjual. Pada bulan September dan Oktober, mereka tidak memproduksi VCO dikarenakan masih tersedia stok VCO sebanyak 25 botol hasil produksi bulan Agustus. Proses penjualan VCO cukup lancar di Bulan November dan mereka berinisiatif memproduksi kembali di Bulan Desember. Pada Tabel 13 disajikan perbandingan proses pemasaran produk dari setiap kelompok. Tabel 13 Perbandingan pemasaran produk dari setiap kelompok. Bulan
Dara Membangun
Melati
Mawar
Prod Pnj Minyak Kelapa Bermutu (botol ABC)
S
Prod
Pnj
S
Prod
Pnj
S
Agustus
47
47
0
56
56
0
28
28
0
September
59
28
31
65
65
0
30
30
0
Oktober
20
46
5
37
37
0
28
28
0
November
62
37
30
59
59
0
26
26
0
Desember
29
18
41
0
0
0
14
14
0
33
Dara Membangun
Bulan Rata-rata
Melati
Mawar
Prod
Pnj
S
Prod
Pnj
S
Prod
Pnj
S
43
35
21,4
43
43
0
25
25
0
VCO (botol ukuran 125 ml) Agustus
60
35
25
56
15
41
8
7
1
September
0
8
17
8
8
41
8
3
6
Oktober
0
4
13
0
4
37
0
2
4
November
50
25
38
0
0
37
0
2
2
Desember
0
9
29
0
0
37
0
1
1
Rata-rata
22
16
24,4
13
5
38,6
3
3
2,8
Keterangan : Prod = Produksi, Pnj = Penjualan, S = Penyimpanan
Pada Tabel 13, diketahui penjualan minyak kelapa bermutu tidak mengalami kesulitan dalam penjualan. Akan tetapi pada pembuatan VCO dan pemasarannya walaupun kurang lancar, kelompok Dara Membangun minimal menjual VCO dalam sebulan yaitu sebanyak 4 botol. Akan lebih baik bila stok VCO tersedia setiap bulannya sebanyak 16 botol VCO. Sedangkan pada kelompok mawar terlihat pengrajin mulai menjauhi teknologi VCO setelah bulan Agustus, hal ini dikarenakan banyak VCO yang diproduksi tidak laku terjual. Pada kelompok Mawar jumlah VCO yang dihasilkan tidak terlalu besar dan ternyata seluruh VCO yang ada dapat terjual seluruhnya.
c. Gabungan Kelompok Berdasarkan rapat evaluasi, diketahui adanya ketimpangan pemasaran khususnya VCO. Sehingga disepakati di bentuk kelompok usaha bersama, salah satu tugasnya adalah memasarkan VCO dan menjaga kualitas produk yang dihasilkan dari setiap anggota.
Untuk mendukung kinerja kelompok bersama maka setiap kelompok
dipaksa menyerahkan setiap bulannya 1 liter VCO untuk di bawa ke Kota Palu. Motor dari pemasaran VCO adalah kelompok Dara Membangun. Efektifitas dan kesolidan kelompok bersama akan diuji di masa depan. Hal ini disebabkan masing-masing kelompok masih terdapat jurang perbedaan pemahaman, sifat dan pengetahuan atas manfaat kelompok bersama. Oleh karena itu, peran 34
pembinaan dan pengurus yang terpilih menjadi penting untuk menjaga jalannya aktivitas organisasi tersebut. 4.
Respon Teknologi dan Kelembagaan Dari beberapa komponen teknologi yang diperkenalkan, telah di ajarkan kepada 26
petani kooperator dengan tingkat respon teknologi disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Tingkat respon petani terhadap komponen teknologi kelapa Komponen Teknologi Respon Teknologi (%) Pengolahan Daging Kelapa Minyak Kelapa dalam 100 Kemasan Minyak kelapa murni (VCO) 100 Limbah Kelapa Briket Arang Tempurung 50,00 Kelapa Alat Pembakaran Tempurung 72,73 Kelapa Dodol Kelapa 36,36 Kelembagaan Administrasi Kelompok 68,18 (kelembagaan produksi) Simpan Pinjam 9,09 Kelembagaan penyediaan 63,64 kelapa bersama Pemasaran Pemasaran Minyak di Desa 93,18 Pemasaran Minyak di Palu 72,73 Pemasaran VCO di Desa 68,18 Pemasaran VCO di Palu 59,09
Bobot Skor
Nilai Skor
40
10
60
15
40
5
40
7,27
20
1,88
45
7,67
20
0,45
35
5,56
20 20 30 30 400
4,66 3,63 5,11 4,43 70,71%
Dari daftar di atas terlihat pembuatan minyak kelapa baik untuk suplemen kesehatan (VCO) ataupun meode perbaikan minyak kelapa yang dikemas mempunyai nilai respon teknologi yang tinggi. Nilai respon teknologi yang tinggi tersebut disebabkan sebagian besar kelompok telah melakukannya sesuai dengan anjuran yang diberikan akan tetapi nilai respon teknologi ini akan semakin rendah bila dilihat secara perorangan/ anggota. Respon
35
teknologi merupakan persepsi atau pandangan petani bahwa komponen teknologi dapat diterima baik oleh petani. Komponen teknologi yang masih belum diterima dengan baik oleh petani adalah teknologi briket arang tempurung, pengolahan dodol kelapa dan kegiatan simpan pinjam. Teknologi nata de coco tidak dinilai dikarenakan tingkat keberhasilannya masih rendah, sehingga otomatis nilai responnya pun rendah. Teknologi briket tidak diyakini oleh petani disebabkan cara pembuatan dan masih dibutuhkan tenaga untuk menmbuat briket menyala dengan baik (dikipas-kipaskan). Pembuatan dodol kelapa kurang disukai karena masa simpannya tidak lama dan kadangkala bila jumlah tepung yang digunakan tidak tepat maka rasanya tidak enak. Kasus peminjaman uang kelompok ke perorangan di kelompok tatari memberikan efek negatif atas kegiatan simpan pinjam, walaupun di kelompok mawar dan melati kegiatan simpan pinjam telah berjalan dengan baik. Tingkat respon petani terhadap teknologi pengolahan kelapa sebesar 70,71% dikategorikan baik mengingat hasil penelitian van den Ban dan Hawkins (1999) menunjukkan bahwa diperlukan waktu yang lama antara saat pertama kali petani mendengar suatu inovasi dengan periode melakukan adopsi. Diperlukan waktu 4 tahun bagi petani untuk menerapkan suatu teknologi rekomendasi secara utuh.
5.
Peningkatan Kesejahteraan Berdasarkan data dari survei pendasaran yang dilakukan di tahun 2006 diketahui total
rata-rata pendapatan petani dalam sebulan sebesar Rp. 632.611 yang 60 persen berasal dari pendapatan berkebun dan 20 persen dari mengolah minyak. Pendapatan petani lainnya berasal dari pekerjaan yang tidak menentu hasilnya seperti memancing, memanjat kelapa dan membuat kue. Tingkat kesejahteraan keluarga pengrajin dihitung berdasarkan tingkat pengeluaran selama setahun kemudian dibagi dengan jumlah anggota keluarga yaitu besaran pendapatan perkapita. Apabila besaran pendapatan perkapita lebih besar dari Rp. 1.173.000/kapita/tahun (BPS, 2005) maka pengrajin tersebut tergolong diatas garis kemiskinan. Dari survei diketahui bahwa 60% pengrajin dibawah garis kemiskinan sedangkan selebihnya berada di bawah kemiskinan. Diharapkan pengrajin yang berada diatas garis kemiskinan dapat menjadi motivator bagi anggota yang lain. Khusus Desa Lero tatari hampir 75% pengrajin berada di bawah garis kemiskinan.
36
Dari Tabel 12, diketahui bahwa usaha pengolahan kelapa memberikan keuntungan per bulan yang berbeda-beda setiap kelompok. Bila keuntungan tersebut dibagikan secara merata dan sesuai dengan jumlah orang yang aktif setiap bulannya maka pada kelompok dara membangun setiap anggota aktif berhak memperoleh Rp. 36.190,-, Anggota kelompok melati sebesar Rp. 20.500,-. Akan tetapi pada kelompok Mawar dan Tatari hanya memperoleh secara berturut-turut sebesar Rp. 7362,5 dan Rp. 7225. Keuntungan ini dapat lebih besar lagi bila kedua kelompok tersebut bersedia meningkatkan frekuensi kerja, jumlah produksi dan pada kelompok yang terlalu banyak anggotanya di bagi dua. Jumlah pendapatan tambahan dari kegiatan pengolahan kelapa yang rata-rata sebesar Rp. 17.650,-per bulan bila dibandingkan dengan rata-rata pendapatan petani dalam sebulan yang diperoleh dari hasil survei pendasaran hanya sebesar 2,8%. Sedangkan bila diibandingkan dengan pendapatan yang berasal dari pengolahan minyak yang biasa mereka lakukan (20% dari pendapatannya) maka terjadi peningkatan pendapatan sebesar 13,95%. Besarnya peningkatan persen pendapatan dapat lebih besar lagi bila petani mau untuk meningkatkan produksi dan menggiatkan pemasaran produknya seperti yang diprediksi dari analisis usahatani kelapa terpadu yang disajikan pada Tabel 11.
KESIMPULAN 1.
Inovasi teknologi yang diperkenalkan dan diujicobakan di tingkat petani telah menghasilkan Standar Operasional Process (SOP) pengolahan minyak kelapa sehat dan VCO serta prosedur keamanan pangan yang berisi prinsip-prinsip HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). SOP minyak kelapa dan VCO yang ada telah menjadi pedoman bagi petani kooperator di desa Lero dan desa Lero Tatari. Khusus produk minyak kelapa sehat (Lanaco) telah diperoleh izin penyebarannya dengan No. Depkes. PIRT 205720502014.
2.
Pengolahan limbah kelapa berupa air kelapa menjadi nata de coco dapat memberikan keuntungan tambahan bagi pengrajin sebesar Rp. 255.232,- dengan syarat semua air kelapa yang ada diolah dengan optimal. Pengolahan tempurung kelapa menjadi arang tempurung untuk setiap 25 kg tempurung kelapa menghasilkan keuntungan tambahan bagi petani sebesar Rp.3750 dan bila setiap pembakaran arang tempurung terdapat 20%
37
arang tempurung yang hancur yang kemudian diolah menjadi briket arang tempurung kelapa akan menambah pendapatan bagi pengrajin sebesar Rp. 1.175. 3.
Hasil analisis perkembangan kelompok dan aktifitas anggota dalam pemasaran produk diketahu bahwa untuk pemasaran VCO dibutuhkan sebuah lembaga terpadu (kelompok usaha bersama) yang khusus memasarkan VCO yang dibuat oleh setiap anggota kelompok. Produk minyak kelapa sehat dapat dilakukan mandiri oleh setiap anggota kelompok yang ada. Sedangkan produk nata de coco memerlukan aktivitas produksi yang higienis sehingga diperoleh hasil nata de coco yang baik.
4.
Respon petani terhadap teknologi yang diperkenalkan cukup tinggi yaitu sebesar 70,71%. Penerapan teknologi di tingkat petani secara luas masih mempunyai kendala terutama disebabkan kekurangan modal dan pemasaran produk tersebut akibat keterbatasan kemampuan petani miskin sehingga membutuhkan pembinaan lebih lanjut dari pihak pemerintah daerah. Pada pembuatan nata de coco masih diperlukan pengulangan untuk meningkatkan kemampuan petani untuk membuatnya
5.
Terjadi peningkatan pendapatan dari proses pengolahan minyak sebesar 2,8% dari total pendapatan perbulan atau 13,95% bila dibandingkan dari pendapatan usaha minyak kelapa yang biasa mereka lakukan.
38
DAFTAR PUSTAKA Bakhri, S. A. Ardjahanhar dan F. F. Munier. 2006. Prosiding Seminar Nasional BPTP Sulawesi Tengah tahun 2006. BPTP Sulawesi Tengah. Palu BPS. 2005. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2005, Biro Pusat Statistik (BPS). Jakarta Rindengan, Barlina dan Hengky Novarianto. 2004. Pembuatan dan Pemanfaatan Minyak Kelapa Murni. Penebar Swadaya, Jakarta. Haksa, Giga. 2007. Penawaran Produk Coconut Shell Briquettes di PT Giga Perkasa. www.gigahaksa.indonetwork.co.id/sell. Akses Desember 2007 Lay A. dan H. Novarianto. Arang Briket Kelapa Sebagai Sumber Energi Terbarukan. Konferensi Nasional Kelapa VI. Gorontalo, 16-18 Mei 2006. Badang Litbang Pertanian. Bogor. Lay, A. 1993. Strategi pengembangan industri kelapa terintegrasi. Tesis Pascasarjana Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB. Bogor. Levitan, S.A. 1980. “Program in Aid of The Poor 1980”; Policy Studies in Employment And Walfare- John Wiley New York. Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia-Press (UI-Press), Jakarta. Suryonotonegoro, O.A. 2002. Pemberdayaan petani kelapa. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan Indragiri Hilir Riau, 22-24 Oktober 2002. Van den Ban, A.W. dan H.S. Hawkins, 1999. Penyuluhan Pertanian (Terjemahan) Penerbit Kanisius. Yogyakarta Yante, 1999. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Melalui Pengembangan Industri Kecil Di Jayapura Dan Prospek Serta Strategi Pembinaanya Menuju Industri Modern. http://www. digilib.itb.com
39