VI. DESAIN PROSES PENGOLAHAN KOPI ROBUSTA DENGAN MODIFIKASI TEKNOLOGI OLAH BASAH
6.1. Pendahuluan Peningkatan kualitas produksi merupakan salah satu atribut kunci keberlanjutan agroindustri kopi rakyat.
Menurut Herman dan Susila (2003),
perbaikan kualitas dibutuhkan tidak hanya untuk memperbaiki citra kopi Indonesia, tetapi diharapkan dapat membantu perbaikan harga kopi tingkat petani sekaligus membangkitkan peran kopi bagi perekonomian Indonesia. Musebe et al. (2007), mutu kopi ditentukan terutama oleh perlakuan di kebun (40%), perlakuan pasca panen (40%), dan pengolahan sekunder (20%).
Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan pasca panen (pengolahan primer) yang baik dapat membantu meningkatkan kualitas atau mutu biji kopi. Metode pengolahan menentukan mutu produk akhir serta memiliki potensi pencemaran yang berbeda. Penerapan metode olah basah pada proses pengolahan kopi merupakan salah satu upaya meningkatkan mutu produk akhir, meskipun memiliki potensi pencemaran cukup besar.
Pendekatan produksi bersih pada
proses pengolahan kopi mencakup 3 hal yang saling berhubungan yaitu; (1) lebih sedikit menggunakan sumber daya alam, (2) lebih sedikit limbah yang ditimbulkan, dan (3) lebih sedikit pencemar yang dibuang ke lingkungan alamiah. Upaya untuk mengurangi volume limbah cair atau minimisasi input air proses pada titik-titik dimana limbah dihasilkan merupakan salah satu tahapan pencegahan polusi (Theodore dan Mc.Guinn 1992). Pendekatan produksi bersih juga dilakukan dengan upaya mengurangi emisi yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar fosil. optimum
pada
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan volume air
proses
pengolahan
mempertahankan mutu kopi.
basah
kopi
Robusta
dengan
tetap
Untuk meminimalkan emisi yang terbuang ke
lingkungan, dievaluasi alternatif penggunaan bahan bakar nabati terhadap tingkat emisi yang dihasilkan ke lingkungan.
123
124
6.2. Metode Penelitian 6.2.1. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer berasal dari hasil pengamatan dan perhitungan di lokasi penelitian. Data sekunder berasal dari literatur dan hasil-hasil penelitian terkait pengolahan kopi. 6.2.2. Variabel yang diamati Variabel yang diamati meliputi; volume input dan output per perlakuan dalam tahapan proses pengolahan kopi (neraca massa), mutu fisik, dan cita rasa (cup test) biji kopi yang dihasilkan per perlakuan dan emisi proses pengolahan kopi dan kebutuhan peralatan pendukung. 6.2.3. Metode Analisis Data Modifikasi teknologi pada proses pengolahan kopi basah dilakukan berdasarkan proses pengolahan basah yang telah dilakukan oleh Mulato et al. (2006). Adapun tahapan analisis data adalah sebagai berikut; 1.
Melakukan identifikasi tahapan proses pengolahan kopi modifikasi olah basah yang berpotensi menyumbangkan limbah/emisi.
2.
Menentukan desain perlakuan minimisasi air (volume air) pada proses pengolahan kopi berdasarkan hirarki pencegahan pencemaran (Theodore dan Mc Guinn 1992). Volume air ditentukan berdasarkan Mulato et al. (2006) yaitu volume air pengupasan dan pencucian tidak lebih dari 3 m3 dan 6 m3 per ton buah kopi. Ulangan perlakuan dilakukan sebanyak 3 kali (triplicate).
3.
Melakukan analisis nerasa massa pengolahan kopi dengan minimisasi air (Himmelblau 1982).
4.
Mengukur emisi yang dihasilkan dari mesin pengupasan (pulper) dan pencucian (washer) yang menggunakan bahan bakar solar dan biodiesel.
5.
Melakukan analisis mutu fisik biji kopi dan cita rasa seduhan (cup test). Mutu fisik biji kopi berdasarkan persyaratan mutu dalam SNI 01-2907-2008. Uji cita rasa seduhan (cup test) dilakukan oleh panelis ahli dan terlatih dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Secara umum rangkaian rancangan penelitian desain proses pengolahan
kopi dengan modifikasi teknologi disajikan pada Gambar 35.
125
Buah kopi petik merah
Penggunaan air ulang
Sortasi rambang Buah merah terpilih
Input air pengupasan dengan perlakuan volume
Pengupasan buah
Emisi
Biji kopi berkulit tanduk Alternatif bahan bakar
Analisis emisi
Pulp+Limbah cair
Fermentasi kering
Penanganan limbah cair (anaerobik, koagulasi dan filtrasi)
Biji kopi berkulit tanduk Analisis limbah cair Air pencucian dengan perlakuan volume
Pencucian Kopi HS Pengeringan Kopi HS Pengupasan kulit tanduk
Kopi beras (green coffee)
Pulp+Limbah cair Emisi
Analisis emisi
Deskripsi: Rancangan volume air pengupasan (m3.ton-1 buah kopi): K1 : 1,44–1,48 (50%) K2 : 0,73–0,78 (74%) K3 : 0,23–0,28 (90%) Rancangan volume air pencucian (m3.ton-1 buah kopi): 1. C1 : 2,25–2,27 (57%) C2: 1,54–1,81 (70%) C3: 1,09–1,13 (81%) 2. C4 : 4,81–5,93 (0%) C5: 3,67–3,85 (35%) C1 (57%) C2 (70%) Kulit tanduk+kulit ari
Alternatif bahan bakar : 1. Solar, 2. Biodiesel
Analisis: 1. Mutu fisik 2. Cita rasa seduhan
Gambar 35 Rancangan penelitian modifikasi teknologi olah basah pada proses pengolahan kopi Robusta 6.3. Hasil dan Pembahasan 6.3.1. Minimisasi Air Pada Proses Pengolahan Kopi Modifikasi Olah Basah Pengolahan basah merupakan perbaikan proses pengolahan kering. Penggunaan air pada proses pengolahan dengan modifikasi olah basah adalah; (1) sebagai media untuk mengklasifikasi kualitas buah kopi melalui sortasi rambang, (2) media pengaliran buah kopi untuk memudahkan proses pengupasan buah (pulping), dan (3) untuk membersihkan biji kopi dari lendir yang terdegradasi (washing) setelah proses fermentasi sekaligus mencegah proses fementasi berlebih (over fermentation). Upaya minimisasi input air merupakan bagian dari upaya penerapan produksi bersih pada proses kopi olah basah. Upaya meminimalkan air proses diharapkan dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat limbah cair sekaligus meningkatkan mutu kopi rakyat. Penerapan teknologi bersih mengacu pada konsep 3R (reduce, reuse, and recycle) pada keseluruhan aliran proses pengolahan. Untuk memperkirakan titik-titik dimana limbah dihasilkan serta besaran polutan pada perlakuan minimisasi air proses pengolahan kopi digunakan
126
diagram alir neraca massa. Neraca massa juga dapat digunakan untuk mengevaluasi konsumsi sumberdaya dan pembangkitan limbah produk ataupun proses. Tahapan proses pengolahan kopi olah basah dengan modifikasi meliputi proses sortasi rambang untuk buah kopi merah, proses pengupasan kulit buah (pulping), fermentasi kering, pencucian biji kopi (washing), pengeringan biji kopi secara mekanis, dan pengupasan kulit tanduk dan kulit ari pada kopi HS. Potensi limbah cair terutama dihasilkan dari tahapan proses sortasi rambang, pengupasan buah (pulping) dan pencucian biji kopi (washing).
Potensi limbah padat
dihasilkan dari tahapan proses pengupasan buah, pencucian biji kopi, dan pengupasan kulit kopi HS (hulling). a. Sortasi Proses sortasi pada pengolahan kopi dapat dilakukan melalui 3 tahapan, yaitu (1) sortasi sejak di kebun yang dikenal dengan pemetikan selektif untuk memilih buah kopi yang telah masak, (2) sortasi ukuran menggunakan grader apabila diinginkan buah kopi dengan ukuran tertentu yang seragam, (3) sortasi rambang untuk memisahkan buah kopi merah kualitas baik dari buah kopi kualitas rendah dan kotoran yang terikut. pemanenan (Gambar 36).
Sortasi warna sangat ditentukan oleh cara
Sortasi kelas membantu pengaturan ukuran celah
mesin pada proses pengupasan. Sortasi rambang bertujuan untuk memisahkan buah kopi superior (baik) dengan kopi rambang yang inferior (jelek). Bercampurnya kopi inferior dengan buah kopi superior akan menurunkan mutu fisik dan cita rasa.
Pemilihan kopi merah merupakan syarat awal untuk
mendapatkan kopi superior pada pengolahan basah. Buah kopi superior adalah buah kopi yang masak, bernas dengan ukuran cenderung seragam. Buah kopi inferior adalah buah kopi yang cacat, hitam, pecah, berlubang, atau tercampur daun, ranting, atau tanah. Pada tahap sortasi, limbah yang dihasilkan berupa kotoran dan buah campuran kuning-hijau yang masih memiliki nilai produk melalui pengolahan kering.
Buah kopi setelah dipanen sebaiknya langsung dibawa ke sentra
pengolahan dan diproses agar tidak terjadi kerusakan buah yang dapat
127
mempengaruhi mutu biji. Air yang digunakan untuk sortasi rambang dapat digunakan kembali pada proses pulping sehingga limbah cair dapat dihindari.
Kuning Hijau
Merah Kehitaman
Merah
Gambar 36 Buah kopi petik Minimisasi air pada proses pengolahan kopi dengan modifikasi olah basah dilakukan berdasarkan volume air per ton buah kopi yang dapat diolah. Adapun volume air dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan pengaturan kran air pengaliran.
Penelitian perlakuan minimisasi air dibatasi pada tahap proses
pengupasan buah (pulping) dan pencucian biji kopi (washing). b. Minimisasi Air Proses Pengupasan (Pulping) Pulping meliputi pengupasan bagian kulit luar berwarna merah (exocarp) dan lapisan pulp putih (mesocarp) serta pemisahan antara pulp dan biji. Buah kopi yang belum matang berwarna hijau dan keras akan sangat sulit dikupas. Prinsip pengupasan daging buah secara mekanik menggunakan mesin (pulper) adalah dengan cara menekan buah di antara permukaan yang diam dan bergerak. Daging dan kulit buah akan terpisah ke satu sisi, sedangkan biji yang masih terselubung lapisan berlendir dan kulit tanduk (parchment) menuju ke sisi lain. Pengaturan jarak diperlukan untuk mencegah biji pecah dan hasil kupasan lebih bersih. Penyemprotan air ke dalam silinder bersama buah kopi merah diusahakan tidak lebih dari 3 m3 per ton buah kopi.
Penggunaan air dibutuhkan untuk
membantu pengaliran buah kopi ke dalam silinder pulper sekaligus membersihkan lapisan lendir (Mulato et al. 2006). Rancangan perlakuan minimisasi air input pada proses pengupasan buah kopi (K) dilakukan antara 0,237 – 1,480 m3/ton buah kopi atau 50-90% penurunan dari volume standar dengan pengaliran berikut: a. 0,237 m3 – 0,287 m3/ton buah kopi (90%) perlakuan K3 (debit 0,0618 l/det), b. 0,731 m3 – 0,784 m3/ton buah kopi (74%) perlakuan K2 (debit 0,2232 l/det), c. 1,441 m3 – 1,480 m3/ton buah kopi (50%) perlakuan K1 (debit 0,2843 l/det).
128
Perlakuan K1 menjadi kontrol sebagai pengaliran air yang umum diterapkan di Puslitkoka dalam upaya meminimalkan air proses pengupasan.
1 – drum berputar 2 – piringan pemeras 3 – piringan pemisah 4 – bak penampung 5 – buah kopi 6 – biji kopi 7 – pulp kopi
Gambar 37 Mesin pengupas buah kopi (Pulper) Sumber: Schumacher Centre for Technology & Development, UK, Tanpa Tahun
Proses pengupasan buah dengan perlakuan meminimalkan air menghasilkan biji kopi berkulit tanduk dengan kadar air 65-72%. Limbah yang dihasilkan berupa limbah cair dan daging buah (pulp). Pulp kopi yang dihasilkan pada tahapan ini cukup besar hingga 50% dari total berat buah kopi yang dikupas. Biji kopi yang dihasilkan dari proses pengupasan ini memiliki kadar air rata-rata 77,4%. Volume limbah cair yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan volume air yang masuk ke dalam proses karena terdapat air yang terikut bersama pulp dan biji kopi. Untuk mengetahui pengaruh minimisasi air terhadap proses pengupasan dilakukan analisis varian dan uji lanjut Duncan. Buah merah terpilih (1 ton) Kadar air 59 – 70% Air 0,23 – 1,48 m3/ton
Pengupasan buah (pulping)
Limbah cair (0,04 – 1,14) m3/ton Pulp (0,33 – 0,57 ton)
Biji kopi HS basah (0,70 – 0,81) ton Kadar air 65 – 72%
Gambar 38 Neraca massa proses pengupasan Berdasarkan hasil analisis varian dan uji lanjut Duncan, perlakuan minimisasi air pada proses pengupasan memiliki pengaruh signifikan terhadap volume limbah cair yang dihasilkan. Perlakuan minimisasi air tidak berpengaruh secara nyata terhadap pulp dan biji HS yang dihasilkan. Akan tetapi, volume air minimum (90%) menghambat pemisahan antara biji dan pulp, sehingga masih
129
terdapat buah kopi yang tidak terkupas setelah proses. Selain itu dalam pelaksanaan penelitian, volume air minimum ternyata mempengaruhi
kinerja
mesin pengupasan (pulper) yang membutuhkan kajian lebih lanjut. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, penggunaan air input minimal dapat dilakukan pada debit 0,223 l/det atau setara dengan rata-rata volume air 0,784 m3/ton buah (minimisasi air 74%). Tabel 13 Hasil uji lanjut Duncan pada proses pengupasan Perlakuan (% penurunan) K1 (50%) K2 (74%) K3 (90%) K1 (50%) K2 (74%) K3 (90%) K1 (50%) K2 (74%) K3 (90%)
Pengupasan (per 50 kg buah kopi) Limbah cair (kg) Pulp (kg) Biji HS (kg) b ab 57,00 28 39ab a ab 20,70 28,25 38,75ab a a 10,84 16,5 37,00a 56,15b 27,00ab 40,75ab a ab 20,35 27,00 39,75ab 6,59a 20,25a 35,00a b ab 53,8 27,75 40,5ab 20,06a 26,5ab 40,0ab a a 2,05 23,75 37,50a
Pengupasan mekanik masih meninggalkan residu di permukaan kulit tanduk. Residu ini harus dibuang seluruhnya untuk mencegah kontaminasi biji kopi oleh bahan yang akan dihasilkan dari proses degradasi lendir.
Proses fermentasi
dilakukan untuk menghilangkan lapisan lendir tersebut. c.
Fermentasi Menurut Ciptadi dan Nasution (1985); Siswoputranto (1992), fermentasi
bertujuan untuk menghilangkan lapisan lendir yang tersisa di permukaan kulit tanduk biji kopi melalui penguraian senyawa-senyawa dalam lendir oleh bakteri. Proses fermentasi juga dimaksudkan untuk membentuk unsur-unsur citarasa khas dari kopi. Fermentasi dapat dilakukan selama 12 hingga 24 jam. Menurut Mulato et al. (2006), fermentasi kering dilakukan pada modifikasi proses olah basah untuk menghemat air dengan cara menumpuk biji kopi HS basah dalam suatu bak yang kemudian ditutup karung goni. Suhu awal fermentasi adalah 29 oC dan akan meningkat di akhir fermentasi mencapai 31oC. Fermentasi berakhir saat lendir sudah tidak menempel pada biji yaitu setelah 13-15 jam. Pada proses fermentasi ini, tidak ada perubahan aliran massa yang signifikan. Perubahan yang terjadi adalah pada karakteristik biji kopi HS.
130
Menurut Clarke dan Macrae (1985), perubahan yang terjadi selama proses fermentasi biji kopi adalah sebagai berikut; 1.
Pemecahan komponen mucilage (lendir). Bagian yang terpenting dari lapisan berlendir ini adalah komponen protopektin yang merupakan kompleks tak larut.
Material inilah yang pecah pada saat proses fermentasi akibat
bekerjanya suatu enzim sejenis katalase yang akan memecah protopektin dalam buah kopi. 2.
Pemecahan gula. Kadar gula akan meningkat dengan cepat selama proses pematangan buah dengan meningkatnya rasa manis. Oleh karena itu kadar gula dalam daging biji akan mempengaruhi konsentrasi gula dalam lendir beberapa jam setelah fermentasi. Hasil dari proses pemecahan gula adalah asam laktat dan asam asetat, dengan kadar asam laktat yang lebih besar. Asam-asam lain yang dihasilkan dari proses fermentasi adalah etanol, asam butirat dan propionat.
3.
Perubahan warna kulit.
Biji kopi yang telah terpisahkan dari pulp akan
menyebabkan kulit ari berwarna coklat. Jaringan daging biji akan berwarna sedikit kecoklatan, yang semula berwarna abu-abu atau abu-abu kebiruan. Proses pencoklatan ini terjadi akibat oksidasi polifenol yang dapat dicegah dengan menggunakan pemakaian air pencucian yang bersifat alkalis. Biji kopi HS basah (0,70 – 0,81 ton) Kadar air 65 – 72%
Fermentasi kering Kadar air 64 – 72% Biji kopi HS basah (0,70 – 0,81 ton)
Gambar 39 Neraca massa proses fermentasi Akhir dari proses fermentasi ditetapkan secara visual, dimana biji kopi kehilangan tekstur halusnya dan terasa lebih kasar. Menurut Chanakya dan de Alwis (2004), lapisan lendir (mucilage) yang licin pada biji kopi memiliki ketebalan lebih kurang 1,5 mm, dan tembus pandang. Metode fermentasi dan pencucian dengan pengausan (washing) merupakan kombinasi metode yang
131
paling populer untuk menghilangkan lapisan lendir.
Adapun biji kopi yang
dihasilkan disebut kopi kulit (HS). d. Minimisasi Air Proses Pencucian (Washing) Perlakuan minimisasi air pada proses pencucian dilakukan melalui 2 tahapan pada masa panen yang berbeda yaitu di tahun 2009 (tahap 1) dan tahun 2010 (tahap 2). Minimisasi air pada tahap 1 terutama ditujukan untuk mengetahui kebutuhan air minimum, pengaruhnya terhadap neraca massa proses dan mutu hasil pengolahan. Uji mutu yang dilakukan pada tahap ini hanyalah uji mutu fisik. Signifikansi pengaruh diukur berdasarkan uji statistik (analisis varian dan uji lanjut Duncan). Berdasarkan perlakuan tahap 1 dapat dilakukan minimisasi air tahap 2. Minimisasi air tahap 2 terutama dilakukan untuk mengetahui perbedaan mutu biji dari hasil perlakuan minimum dan perlakuan air pencucian yang biasa diterapkan pada proses pengolahan kopi. Pada perlakuan minimisasi air tahap 2 juga dilakukan perbandingan dengan biji kopi hasil olah kering yang berasal dari tempat berbeda. Signifikansi pengaruh minimisasi tahap 2 diukur berdasarkan uji mutu fisik dan cita rasa biji kopi. 2
1
1 – aliran air 2 – biji kopi HS 3 – sirip pencuci berputar 4 – silinder berlubang horisontal 5 – lendir + kotoran bersama air 6 – biji kopi HS yang sudah bersih
3 4 5
6
Gambar 40 Mesin pencuci biji kopi (washer) Pencucian (washing) dilakukan setelah fermentasi untuk menghilangkan sisa lendir yang masih menempel di kulit tanduk dengan bantuan mesin pencuci (washer). Biji kopi HS dimasukkan ke dalam corong silinder secara kontinyu yang disertai semprotan aliran air ke dalam silinder. Sirip pencuci yang berputar mengangkat massa biji kopi ke permukaan silinder.
Sisa-sisa lendir pada
permukaan kulit tanduk akan terlepas dan tercuci oleh aliran air. Kotoran akan
132
menerobos lewat lubang-lubang pada dinding silinder dan massa biji yang sudah bersih terdorong oleh sirip pencuci ke arah ujung pengeluaran silinder (Gambar 40). d.1. Minimisasi Air Pencucian Tahap 1. Proses pengaliran air pada mesin pencuci tipe kontinyu menggunakan 2 aliran air dari atas bersamaan dengan pemasukan biji kopi HS dan aliran dari lubang bawah yang membantu sirip pencuci. Sebagaimana proses pengupasan, minimisasi air proses juga dilakukan pada tahap pencucian dengan kisaran air pencucian tahap 1 antara 1,093 – 2,561 m3/ton buah kopi. Volume air rata-rata perlakuan minimisasi proses pencucian (C) adalah sebagai berikut; a. 1,093 m3 – 1,131 m3/ ton buah kopi (81%) perlakuan C3 (debit air 0,1491 l/det) b. 1,542 m3 – 1,806 m3/ton buah kopi (70%) perlakuan C2 (debit air 0,2344 l/det ) c. 2,256 m3 – 2,561 m3/ton buah kopi (57%) perlakuan C1 (debit air 0,3042 l/det). Berdasarkan minimisasi air pencucian tahap 1 ini dilakukan analisis neraca massa dan analisis varian untuk mengetahui volume dan pengaruh perlakuan terhadap limbah dan biji kopi HS yang dihasilkan. Biji kopi HS Kadar air 64 – 72% Air 1,09 – 2,56 m3/ton
Limbah cair + lendir (1,34 – 2,57) m3/ton
Pencucian Pulp (0,01 – 0,03) ton Kadar air 50 – 60% Biji Kopi HS (0,47 – 0,51) ton
Gambar 41 Neraca massa proses pencucian Kadar air biji kopi HS setelah proses pencucian sebesar 50 – 60%. Hal ini diperkirakan karena biji kopi telah bersih dari lendir yang terdegradasi selama fermentasi.
Lendir yang semula menempel pada permukaan biji kopi HS
dialirkan bersama-sama limbah cair dan pulp yang masih terikut sejak proses pengupasan. Pulp yang dihasilkan pada tahap ini sangat sedikit (1,92%). Limbah cair yang dihasilkan dari proses pencucian cenderung lebih kental dibandingkan limbah cair proses pengupasan karena kandungan lendir dalam jumlah dominan.
133
Biji kopi HS pada tahap pencucian telah berkurang hingga rata-rata 50% dari total buah kopi yang digunakan. Berdasarkan hasil analisis varian dan uji lanjut Duncan, perlakuan minimisasi air proses pencucian menunjukkan perbedaan signifikan pada volume limbah cair yang dihasilkan. Volume limbah cair yang dihasilkan akan menurun seiring minimisasi air proses.
Tahap pencucian merupakan salah satu titik
terjadinya pencemaran karena adanya limbah cair bercampur lendir (mucilage) dan pulp (sisa kulit kopi) yang dihasilkan.
Meskipun volume limbah cair
menurun seiring perlakuan minimisasi air, tetapi diperkirakan terjadi peningkatan konsentrasi polutan.
Perlakuan minimisasi air menunjukkan bahwa volume
limbah cair tidak berbeda secara signifikan antara perlakuan C2 dan C3. Meskipun demikian penentuan kelayakan minimisasi air akan ditentukan oleh mutu biji kopi. Interaksi perlakuan pengupasan dan pencucian akan menentukan mutu biji kopi akhir. Tabel 14. Hasil uji lanjut Duncan proses pencucian Perlakuan (% penurunan) K1C1(57%) K2C1(57%) K3C1(57%) K1C2(70%) K2C2(70%) K3C2(70%) K1C3(81%) K2C3(81%) K3C3(81%)
Pencucian Limbah cair (kg) Pulp (kg) 134,05b 0,6a b 132,78 1,23a b 133,125 0,925a 107,70a 1,05a a 104,125 0,875a ab 114,975 1,225a 80,5a 1a a 91,725 0,975a a 87,775 0,775a
Biji HS (kg) 23,50a 24,25a 24,00a 25,50a 25,50a 23,50a 26,25a 25,50a 25,50a
d.2. Minimisasi Air Pencucian Tahap 2 Perlakuan minimisasi air tahap 2 dilakukan setelah diketahui hasil mutu fisik biji kopi dari perlakuan tahap 1. Tujuan minimisasi air pencucian tahap 2 adalah untuk mengetahui pengaruh minimisasi air lanjutan terhadap mutu fisik dan cita rasa biji kopi. Pada perlakuan pencucian, volume air proses pengupasan buah kopi diupayakan konstan antara 0,731 – 0,784 m3/ton (K2=74%) dengan volume air pencucian rata-rata sebagai berikut; a. 4,809 – 5,933 m3/ton buah kopi untuk perlakuan C4 (0%). b. 3,678 – 3,853 m3/ton buah kopi untuk perlakuan C5 (35%).
134
c. 2,256 – 2,561 m3/ton buah kopi yang sama dengan perlakuan C1 (57%). d. 1,542 – 1,806 m3/ton buah kopi yang sama dengan perlakuan C2 (70%) Pada tahap perlakuan ini juga dilakukan análisis terhadap buah kopi yang berasal dari periode panen rampasan dan biji kopi hasil pengolahan kering. Biji kopi hasil perlakuan olah basah dan olah kering dari Kebun Kaliwining milik Puslitkoka juga dibandingkan dengan biji kopi hasil olah basah dan olah kering yang berasal dari perkebunan kopi rakyat KUPK Desa Sidomulyo.
Menurut
Ciptadi dan Nasution (1985); Mulato et al.(2006), perlakuan saat panen dapat mempengaruhi mutu kopi, dimana buah kopi yang dipanen saat panen rampasan diperkirakan memiliki karakteristik mutu berbeda dengan buah kopi yang dipanen saat panen raya. Adapun kopi olah basah Sidomulyo dicuci dengan volume air ± 7 m3/ton dan proses fermentasi yang tidak sepenuhnya fermentasi kering, terkadang direndam dalam bak semen dengan volume air tertentu. Kopi olah basah Sidomulyo mengalami pengeringan alami dengan sinar matahari, sebaliknya kopi olah basah Kaliwining menggunakan pengering mekanis. Biji kopi HS yang dihasilkan dari proses pencucian merupakan biji kopi olah basah yang masih berkadar air rata-rata 60%. Hal ini sesuai pernyataan Chanakya dan De Alwis (2004), bahwa setelah proses pencucian biji kopi harus mendapat perlakuan pengeringan karena berkadar air antara 55-60%. e.
Pengeringan Pengeringan dapat dilakukan melalui penjemuran dengan sinar matahari
ataupun menggunakan pengering mekanis hingga kadar air mencapai maksimal 12% (SNI 01-2907-2008). Apabila menggunakan pengering mekanis berbahan bakar kayu pada suhu 50o - 60o C, lama pengeringan rata-rata sekitar 3 - 4 hari (50 jam secara teoritis dengan suhu di awal proses suhu 60 – 70o). Pengeringan cenderung lebih lama berlangsung pada biji kopi yang berasal dari perlakuan air proses minimum. Biji kopi HS yang dihasilkan dari proses pengeringan telah menurun hingga 24% dari total buah kopi gelondong yang diproses. Penguapan air dihitung berdasarkan neraca massa mencapai 31% dari volume biji kopi HS sebelum pengeringan.
135
Biji kopi HS (0,47 – 0,51) ton Kadar air 50 – 60%
Pengeringan
Uap air (0,25 – 0,31) ton
Kadar air 12 – 12,5% Biji kopi HS (0,21 – 0,24) ton
Gambar 42 Neraca massa proses pengeringan Penjemuran sinar matahari umumnya dilakukan selama 8 hingga 10 hari, tergantung temperatur udara dan kelembaban. Pengeringan dengan sinar matahari dapat dilakukan di atas semen datar. Biji dihamparkan setebal 2 sampai 10 cm, dan dibalik secara berkala untuk menjamin biji menjadi kering sempurna. Pada saat puncak periode pemanenan, penggunaan pengering mekanis sangat membantu. Meskipun demikian, proses ini harus dikontrol dengan hati-hati untuk mendapatkan kekeringan yang memuaskan dan murah secara ekonomis tanpa merusak kualitas. Secara visual, biji kopi kering hasil olah basah memiliki penampilan lebih baik daripada biji kopi kering hasil olah kering. Biji kopi olah basah cenderung berwarna lebih terang dan bersih. Biji kopi hasil olah basah setelah disangrai juga akan memiliki warna agak putih pada alur di tengah keping bijinya.
Biji WP Kebun Kaliwining
Biji DP Kebun Kaliwining
Gambar 43 Perbandingan visual biji kopi HS hasil olah basah dan olah kering Keterangan: WP : wet process (olah basah) DP ; dry process (olah kering)
f.
Pengupasan Kulit Tanduk (Hulling) Setelah pengeringan, proses pengupasan kulit tanduk (hulling) dapat
dilanjutkan atau kopi HS disimpan hingga saatnya diekspor.
Output proses
hulling berupa biji kopi beras (green bean), kulit tanduk, dan kulit ari. Untuk mencapai keseragaman dan meningkatkan efisiensi pengupasan, sebaiknya dilakukan sortasi ukuran terlebih dahulu sebelum proses hulling. Pada tahap
136
pengupasan dimungkinkan terjadinya kehilangan massa karena kulit ari biji kopi yang keluar dari sistem dalam jumlah minimum. Persentase kulit tanduk dan kulit ari yang dihasilkan dari proses pengupasan ini dapat mencapai 5% dari total buah kopi gelondong yang diproses. Kulit tanduk dan kulit ari masih memiliki nilai tambah ekonomis jika dimanfaatkan. Rata-rata persentase biji kopi beras yang dihasilkan pada proses pengolahan modifikasi olah basah ini adalah 18-19%. Biji Kopi HS (0,21 – 0,24) ton Kadar air 12 – 12,5%
Pengupasan kering kulit kopi HS
Kulit tanduk & kulit ari (0,03 – 0,05) ton
Kopi beras (0,18 – 0,19) ton
Gambar 44 Neraca massa proses hulling Berdasarkan perhitungan neraca massa rata-rata dapat diketahui rata-rata volume air, limbah cair, dan limbah padat yang dihasilkan melalui perlakuan minimisasi air proses pengolahan kopi (Tabel 15). Perlakuan minimisasi air terbukti mampu mengurangi volume limbah cair yang dihasilkan pada proses pengolahan kopi. Secara umum, neraca massa total hasil perlakuan minimisasi air tahap pengupasan (pulping) dan pencucian (washing) pada proses pengolahan kopi dengan modifikasi teknologi disajikan pada Gambar 45. Tabel 15 Volume air, limbah cair dan limbah padat rata-rata pengolahan kopi No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Perlakuan (% minimisasi) K1C1(58%) K2C1(67%) K3C1(72%) K1C2(67%) K2C2(73%) K3C2(77%) K1C3(72%) K2C3(79%) K3C3(85%)
Pengupasan (satuan/ton buah) Air (m3) Pulp (kg) 1,480 560,0 0,754 565,0 0,287 330,0 1,478 540,0 0,742 540,0 0,237 405,0 1,441 555,0 0,731 530,0 0,266 475,0
Pencucian (satuan/ton buah) Air (m3) Pulp (kg) 2,271 12,0 2,258 24,6 2,256 18,5 1,542 21,0 1,710 17,5 1,806 24,5 1,093 20,0 1,131 19,5 1,110 15,5
Total air (m3/ton) In Out 3,751 3,709 3,012 2,937 2,543 2,514 3,020 2,949 2,452 2,383 2,043 2,043 2,534 2,434 1,862 1,803 1,376 1,376
Total pulp (kg/ton) Out 572,0 589,6 348,5 561,0 557,5 429,5 575,0 549,5 490,5
Sumber limbah padat terbesar dihasilkan pada tahap pengupasan buah kopi berupa pulp buah kopi yang dapat mencapai 50-60% dari total produksi. Limbah padat ini juga berpotensi menjadi sumber pencemaran lingkungan, sehingga
137
memerlukan penanganan khusus. Potensi limbah cair terbesar terutama dihasilkan dari proses pencucian biji kopi setelah fermentasi. Melalui pengurangan air input pada proses pengolahan kopi diharapkan dapat mengurangi beban pencemaran dari agroindustri kopi.
Beberapa perbandingan penggunaan air untuk proses
pengolahan kopi di berbagai negara disajikan pada Tabel 16. Buah merah terpilih (1 ton) Kadar air 59 – 70% Limbah cair (0,04 – 1,14) m3/ton
Pengupasan buah
Air 0,23 – 1,48 m3/ton
Biji kopi HS basah
Pulp (0,33 – 0,57 ton)
(0,70 – 0,81) ton Kadar air 65 – 72%
Fermentasi kering Kadar air 64 – 72%
Biji kopi HS basah
Limbah cair + lendir (1,34 – 2,57) m3/ton
Air 1,09 – 2,56 m3/ton
Pencucian
Biji kopi HS basah
Pulp (0,01 – 0,03) ton
(0,47 – 0,51) ton Kadar air 50 – 60%
Pengeringan
Uap air (0,25 – 0,31) ton
Biji kopi HS (0,21 – 0,24) ton Kadar air 12 – 12,5%
Pengupasan kering kulit kopi HS
Kulit tanduk & kulit ari (0,03 – 0,05) ton
Biji kopi beras (0,18 – 0,19) ton
Gambar 45 Neraca massa proses pengolahan kopi perlakuan minimisasi air 4,0
600 500
3,0
400
2,5
2,0
300
1,5
Pulp (kg)
Volume air (m3/ton)
3,5
200
1,0 100
0,5 0,0
0 58
66
67
72
72 73 77 Persentase minimisasi Pengupasan Pencucian
79 Pulp Kupas
85 Pulp Cuci
Gambar 46 Volume air dan pulp yang dihasilkan pada perlakuan minimisasi
138
Tabel 16 Perbandingan penggunaan air pengolahan kopi di berbagai negara Pengolahan Kopi
Negara
Semi basah, olah basah India Olah basah, reuse air proses Kenya
Penggunaan air (m3/ton buah) 3 4–6
Olah basah dan pengolahan lingkungan (Becolsub) Olah basah, reuse dan recycling air Semi basah dan olah basah
Colombia
1–6
Papua New Guinea Vietnam
4–8
Olah basah tradisional
Vietnam
20
Olah basah tradisional Semi basah, pengupasan mekanis (demucilager) Semi basah, pengupasan mekanis (demucilager) Olah basah tradisional Olah basah, reuse air Olah basah tradisional
Vietnam Brazil
14 -17 4
Mexico
3-4
Nicaragua Nicaragua Indonesia
4 – 15
16 11 16 - 18
Sumber Murthy et al.,(2004) Von Enden & Calvert, (2002) Von Enden & Calvert, (2002) Von Enden & Calvert, (2002) Von Enden & Calvert, (2002) Von Enden & Calvert (2002) Deepa et al. (2000) De Matos et al (2001) Mendoza & Rivera (1998) Biomat (1992) Grendelman (2006) Yahmadi (1972)
Limbah padat (pulp) yang dihasilkan dari perlakuan minimisasi air pada proses pengupasan menunjukkan tren sama dengan volume air proses (Gambar 46). Semakin sedikit air yang digunakan, semakin sedikit pulp yang keluar ke penampungan. Pulp tidak terkupas sempurna dan terbawa ke penampungan biji kopi. Sebaliknya perlakuan minimisasi air proses pencucian tidak mempengaruhi volume limbah padat, karena pulp yang dihasilkan adalah sisa proses pengupasan yang terbawa oleh air dan lendir. Hasil ini mendukung analisis varian dan uji lanjut Duncan pada masing-masing proses. Berdasarkan hasil analisis varian dan uji lanjut Duncan volume air minimum yang dapat diterapkan pada proses pengolahan kopi adalah perlakuan K2 untuk proses pengupasan dan C2 untuk proses pencucian. Kombinasi perlakuan K2C2 membutuhkan total volume air proses rata-rata adalah 2,452 m3/ton buah kopi atau persentase minimisasi air total sebesar 73%. Dengan demikian nilai ini masih lebih rendah dibandingkan total volume air yang dibutuhkan pada proses pengolahan basah di Vietnam, India, Kenya, Papua New Guinea, dan Nicaragua. Meskipun demikian analisis mutu fisik biji kopi hasil perlakuan dibutuhkan untuk mengetahui pengaruh lebih lanjut perlakuan minimisasi air.
139
6.3.2. Analisis Mutu Biji Kopi Karakteristik bahan baku biji kopi yang diamati pada penelitian ini meliputi kadar air, ukuran biji, mutu fisik dan cita rasa. Analisis mutu fisik biji kopi dilakukan pada 2 tahapan perlakuan penelitian, yaitu: (a) analisis mutu fisik hasil perlakuan tahap pertama yaitu minimisasi air proses pengupasan dan pencucian, (b) analisis mutu fisik dan cita rasa (cup test) hasil perlakuan tahap kedua yaitu minimisasi air proses pencucian dibandingkan dengan biji kopi olah kering dan biji kopi hasil pengolahan rakyat. Pengujian mutu fisik biji kopi mengacu pada SNI No.01-2907-2008 yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional untuk menetapkan penggolongan dan persyaratan mutu fisik biji kopi Robusta. Uji cita rasa kopi (cup test) dilakukan oleh panelis ahli dan terlatih yang telah berpengalaman dan bersertifikasi dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Biji kopi olah kering dan biji kopi olah basah dari Kebun Sidomulyo dianalisis sebagai kontrol perlakuan pengolahan yang dilakukan rakyat. Masingmasing sampel biji kopi HS dan gelondong kering diambil sebanyak ± 1,5 - 2 kg untuk pengujian mutu fisik dan uji cita rasa (cup test).
Biji kopi HS dan
gelondong kering yang telah melalui proses penjemuran dikupas menggunakan huller, kemudian masing-masing perlakuan diambil sampel sebanyak 300 kg untuk pengujian mutu fisik. Setelah dilakukan pemisahan biji cacat pada uji mutu fisik, biji kopi disangrai untuk seterusnya dilakukan uji cita rasa (cup test). Berdasarkan hasil pengukuran, biji kopi yang berasal dari Kebun Kaliwining dan Kebun Rakyat Sidomulyo termasuk kategori kecil. Kadar air biji kopi hasil perlakuan minimisasi dan biji kopi olah basah yang berasal dari Kebun Sidomulyo diusahakan berada pada kisaran 12%. Kadar air merupakan salah satu sifat fisik yang akan mempengaruhi mutu kopi, berkaitan dengan daya simpan untuk mencegah perubahan warna, tumbuhnya jamur, dan mikroorganisme lainnya. Perlakuan minimisasi air tidak menunjukkan perbedaan kadar air secara signifikan. Menurut Wibowo (1985), kadar air 12% dengan toleransi 1% merupakan batasan yang dapat menjamin keamanan selama penyimpanan karena pada kondisi tersebut pertumbuhan jamur minimal. Kadar air aman untuk penyimpanan adalah 11,62% pada suhu 30oC atau 11,24% pada suhu 35oC (Atmawinata 1995).
140
Sebaliknya biji dengan kadar air lebih rendah daripada 9% (terlalu kering) akan menyebabkan kerusakan cita rasa dan warna (Sivetz dan Desrosier 1979). Dengan demikian, untuk menjamin kemantapan penyimpanan biji kopi, akan lebih baik apabila pengeringan dilakukan hingga kadar air biji kopi maksimum sebesar 11%. Berdasarkan SNI 01-2907-2008 (BSN 2008), cacat kopi adalah; (a) adanya benda asing yang bukan berasal dari kopi, (b) adanya benda asing yang bukan biji kopi, seperti potongan kulit kopi, (c) bentuk biji yang tidak normal dari segi kesatuannya (integritasnya), (d) biji yang tidak normal dari visualisasinya seperti biji hitam, dan (e) biji yang tidak normal yang menyebabkan cacat rasa setelah disangrai dan diseduh. Wibowo (1985) membagi jenis cacat atau kerusakan biji kopi menjadi (1) kerusakan sejak dari kebun, (2) kerusakan selama pengolahan, dan (3) adanya benda asing yang bukan biji kopi. Adapun hasil penelitian ini disajikan pada uraian berikut. a.
Analisis Mutu Fisik Biji Kopi Minimisasi Tahap 1. Minimisasi air proses pengupasan dan pencucian berpengaruh signifikan
terhadap volume limbah cair yang dihasilkan. Volume air proses pengupasan sebaiknya dilakukan antara 0,731–0,784 m3/ton buah kopi (74%) karena berpengaruh terhadap jumlah biji dan proses pengupasan. Perlakuan minimisasi pencucian tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah biji dan limbah padat yang dihasilkan. Akan tetapi diperkirakan berpengaruh terhadap mutu biji kopi. Minimnya air pada proses pengupasan diperkirakan mempengaruhi kinerja pulper untuk memisahkan pulp dan biji kopi sehingga jumlah biji cacat meningkat. Demikian pula pada proses pencucian dimana air sangat dibutuhkan untuk menghilangkan lendir yang menempel pada biji kopi. Apabila air yang digunakan sangat sedikit, lendir tidak sepenuhnya tercuci sehingga mempengaruhi kebersihan biji kopi.
Dengan demikian apabila total air pengupasan dan
pencucian semakin sedikit, akan memperbesar nilai cacat. Mutu fisik biji kopi hasil perlakuan minimisasi air pada proses pengupasan dan pencucian berada pada kelas mutu 4 dan 5 (SNI 01-2907-2008). Kelas mutu 4A memiliki jumlah nilai cacat maksimum 45 – 60. Kelas mutu 4B memiliki jumlah nilai cacat maksimum 61 – 80. Kelas mutu 5 memiliki jumlah nilai cacat
141
maksimum 81 – 150. Perlakuan minimisasi air pada proses pengupasan dan pencucian menunjukkan terjadinya penurunan mutu pada persentase minimisasi air sebesar 77, 79, dan 85% (Gambar 47). Tabel 17 Mutu fisik biji kopi perlakuan proses pengupasan dan pencucian No
Jenis Cacat
1
Persentase Minimisasi Air 1 biji hitam
58% 4
67% 9
72% 10
66% 12
73% 7
77% 9
72% 5
79% 9
85% 8
2
1 biji hitam sebagian
6,5
5
7,5
3
5
4
4
5
4,5
3
1 biji hitam pecah
0
4
8,5
1
5
6,5
6
7,5
9
4
1 kopi gelondong
10
10
20
8
11
27
11
16
28
5
1 biji coklat
1,75
1,25
1,75
3
3,5
5
5,5
5
8,75
6
1 kulit kopi ukuran besar
2
0
1
0
0
3
4
3
4
7
1 kulit kopi ukuran sedang
3
4
6
2,5
4
9
4
7,5
4
8 9
1 kulit kopi ukuran kecil 1 biji berkulit tanduk
2,4 5
2,6 5,5
4 6,5
2,4 4,5
5,6 7.5
7 12,5
7,4 12
9 12,5
18 17,5
10
1 kulit tanduk ukuran besar
0
0
0
0
0
0,5
0,5
0,5
4,5
11
1 kulit tanduk ukuran sedang
0
0
0
0
0,4
0,4
0,2
0,2
2,6
12
1 kulit tanduk ukuran kecil
0
0
0,1
0,4
0,2
0,5
0,2
0,6
1
13
1 biji pecah
6,8
7,4
7,6
10
11
14
13,6
15,6
21
14
1 biji muda
2
1,6
1,8
4
2
2
1,8
2
3,2
15
1 biji berlubang satu
0,2
0,1
0,1
0
0
0,1
0,3
0,2
0,1
16
1 biji berlubang lebih dari satu 1 biji bertutul-tutul
0,2
0
0,4
0,2
0
0,4
0
0,2
0,2
0
0,5
0,7
0
0,5
1,5
0
0,5
1,6
1 ranting, tanah atau batu berukuran besar 1 ranting, tanah atau batu berukuran sedang 1 ranting, tanah atau batu berukuran kecil
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4
0
2
2
2
0
1
1
2
1
2
1
1
1
2
44,85
51,95
77,95
56,00
64,70
105,40
78,50
97,30
137,95
4A
4A
4B
4A
4B
5
4B
5
5
17 18 19 20
Total Nilai Kategori Mutu
Jumlah Nilai Cacat
Hasil análisis mutu fisik biji kopi menunjukkan kesimpulan yang tidak jauh berbeda dengan hasil análisis uji lanjut Duncan.
Minimisasi air pada tahap
pengupasan dan pencucian masih dapat dilakukan pada perlakuan K2 dan C2. Meskipun nilai mutu yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan biji kopi dengan air maksimum, tetapi mutu biji kopi berada dalam kategori mutu sedang (4B).
142
Nilai Cacat
4,0
Total Air
140
3,5
5
Total Nilai Cacat
120
100
2,5
5
5
80
40 20
4A
1,5
4B
4A
4A
2,0
4B
4B
60
3,0
1,0
Total Air Proses (m3/ton)
160
0,5
0
0,0
58
66
67
72 72 73 77 Persentase Minimisasi (%)
79
85
Gambar 47 Hubungan minimisasi air dan nilai mutu Perlakuan minimisasi air mempengaruhi persentase cacat biji kopi karena pengolahan (Gambar 48).
Berdasarkan kategori Wibowo (1985), kerusakan
selama pengolahan yang dapat menimbulkan cacat biji kopi adalah biji pecah, biji bertutul-tutul, biji berkulit tanduk dan biji coklat.
Biji pecah dikategorikan
sebagai biji cacat, karena jika disangrai bersama dengan biji utuh kemungkinan akan memberikan rasa terbakar pada kopi seduhan.
Nilai cacat biji pecah
menempati persentase terbesar yang hampir terjadi di setiap perlakuan (Gambar 49). Cacat biji pecah dapat terjadi pada saat proses pengupasan kulit buah kopi (pulping) karena karakteristik fisik buah kopi yang beragam dalam bentuk dan ukuran (Wahyudi et al. 1999). Proses sortasi ukuran awal pada buah kopi sebelum pulping dapat membantu mengurangi cacat biji karena pengolahan. 100%
4A
4A
4A
58
66
67
4B
4B
4B
5
5
5
Persentase Cacat
80%
60%
40%
20%
0%
72 72 73 77 79 85 Persentase Minimisasi Air Cacat dari kebun Cacat karena pengolahan Benda asing
Gambar 48 Persentase cacat biji kopi perlakuan minimisasi air tahap 1
143
60
Persentase cacat (%)
50 40 30 20 10 0
58
66
67
72
72
73
77
79
85
Biji bertutul-tutul
0,00
0,00
0,96
0,90
0,00
0,77
1,42
0,51
1,16
Biji pecah
15,16
17,86
14,24
9,75
17,32
17,00
13,28
16,03
15,22
Biji berkulit tanduk
11,15
8,04
10,59
8,34
15,29
11,59
11,86
12,85
12,69
Biji coklat
3,90
5,36
2,41
2,25
7,01
5,41
4,74
5,14
6,34
Kopi gelondong
22,30
14,29
19,25
25,66
14,01
17,00
25,62
16,44
20,30
Persentase Minimisasi Air (%)
Gambar 49 Persentase cacat biji kopi karena pengolahan dengan minimisasi air tahap 1 Cacat biji pecah juga dapat terjadi selama pengupasan kulit majemuk, sebagaimana cacat biji berkulit tanduk. Cacat ini dapat terjadi jika kerja huller tidak sempurna, karena kadar air biji kopi HS yang lebih dari 12%. Menurut Mulato et al. (2006), mesin pengupas biji kopi HS terutama dirancang untuk mengupas biji kopi HS dengan kadar air mendekati 12%. Jika kadar air makin tinggi, kapasitas pengupasan akan turun, dan jumlah biji pecah akan sedikit meningkat. Kadar air berpengaruh pada ukuran biji kopi. Makin tinggi kadar air biji kopi, ukuran bijinya semakin besar. Oleh karena itu, lebar celah, dan ukuran saringan perlu dimodifikasi jika mesin pengupas tersebut akan dipakai untuk mengupas biji kopi dengan kadar air yang masih tinggi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengupasan sebaiknya dilakukan pada biji kopi yang telah dingin karena sifat fisiknya telah stabil. Biji kopi hasil pengeringan sebaiknya dianginkan [tempering] dahulu selama 24 jam. Cacat biji coklat umumnya terjadi karena pengeringan yang tidak benar, buah terlalu masak atau fermentasi yang berlebihan (over fermented) terutama ditemui pada biji kopi dengan perlakuan air pencucian paling minimum (C3). Hal ini diperkirakan terjadi karena lapisan lendir pada biji kopi perlakuan C3 tidak sepenuhnya hilang pada saat proses pencucian.
Lendir terutama mengandung
senyawa gula yang memiliki sifat higroskopis (menyerap air). Oleh karena itu
144
apabila biji kopi masih mengandung lendir yang tidak sepenuhnya hilang pada saat proses pencucian, biji kopi cenderung lembab yang dapat menghambat proses pengeringan. Gula juga menjadi media tumbuh bakteri yang sangat baik sehingga dapat merusak mutu biji kopi. Lendir juga dapat menyebabkan kotoran non kopi mudah lengket sehingga menghalangi proses pengeringan dan menyebabkan kontaminasi. Menurut Von Enden dan Calvert (2002), konsep dasar pengolahan basah pada kopi adalah menghilangkan lapisan lendir buah kopi untuk meningkatkan mutu biji. Oleh karena itu, semakin minim air pencucian yang digunakan, akan mempengaruhi mutu biji kopi. Akan tetapi semakin besar air pencucian yang digunakan akan meningkatkan volume pencemaran.
Berdasarkan kondisi
tersebut, penelitian ini berusaha mendapatkan volume air proses yang optimum dalam perlakuan minimisasi air. Menurut Yusianto dan Mulato (2002), kadar air awal biji yang beragam juga akan menyebabkan proses pengeringan tidak sempurna, sehingga terjadi cacat biji coklat. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya biji coklat, sebaiknya kadar air biji kopi diseragamkan terlebih dahulu misalnya dengan melakukan pengeringan awal (pre-drying) sebelum dimasukkan ke pengering mekanis. Pengeringan dengan suhu tinggi yang terlalu lama sebaiknya dihindari, agar tidak menimbulkan warna permukaan biji kopi kecoklatan. Cacat kopi gelondong cukup dominan terjadi yang diakibatkan proses pengupasan buah (pulping) yang tidak sempurna. Cacat kopi gelondong sangat tidak disukai konsumen, karena rasa pulp yang dominan dapat menimbulkan rasa serat terbakar pada kopi seduhan. b.
Analisis Mutu Fisik Biji Kopi Minimisasi Air Tahap 2. Perlakuan minimisasi air tahap pertama pada proses pengolahan kopi
menunjukkan pengaruh terhadap mutu fisik biji kopi. Batas minimisasi air pada tahap pengupasan buah kopi dari hasil penelitian berkisar antara 0,73 - 0,78 m3/ton buah kopi (74%). Adapun perlakuan minimisasi air pada proses pencucian menunjukkan perbedaan mutu fisik untuk volume air di bawah 1,54 – 1,81 m3/ton biji kopi (70%).
145
Tabel 18 Mutu fisik biji kopi perlakuan minimisasi air proses pencucian No
Jenis Cacat Persentase Minimisasi Air
Jumlah Nilai Cacat 38a
50a
67a
73a
27b
50b
64b
73b
WPS mo
DPK wg
DPS mo
1
1 biji hitam
4
11
7
10
9
16
23
14
8
21
32
2
1 biji hitam sebagian
15
9
16
11
17
19,5
25,5
16
9
3
33
3
1 biji hitam pecah
0
2,5
0,5
8,5
4
4,5
3,5
6
8,5
3
9
4
1 kopi gelondong
12
12
11
10
30
26
21
14
0
44
0
5
1 biji coklat 1 kulit kopi ukuran besar 1 kulit kopi ukuran sedang 1 kulit kopi ukuran kecil
5,75
6
5
1,75
3
5,25
4
8,5
3,5
0,5
7,5
0
4
0
6
0
0
0
7
1
0
0
6,5
7
7
6
4
7,5
2,5
9,5
0
2
0,5
6,2
7,6
7,6
4,6
22,4
16,8
11
7,2
0,6
15,2
0,4
1 biji berkulit tanduk 1 kulit tanduk ukuran besar 1 kulit tanduk ukuran sedang 1 kulit tanduk ukuran kecil 1 biji pecah 1 biji muda 1 biji berlubang satu 1 biji berlubang lebih dari satu 1 biji bertutul-tutul 1 ranting, tanah atau batu berukuran besar 1 ranting, tanah atau batu berukuran sedang 1 ranting, tanah atau batu berukuran kecil Total Nilai
7,5
6
4,5
6,5
6
1,5
8,5
4
9
0,5
0
0
0,5
0
0
0
0,5
0
0
5
0
0
0
0,2
0
0
0
0,2
0
0
2,4
0
0
0
0,1
0,2
0,2
0
0,2
0
0
0,9
3,6
0
6,4 7,2 0,2
5 5,8 0
10,6 7 0
9 5,8 0
7,4 6 0,1
9 7,2 0,2
8 12,2 0,1
10 7,4 0
6,6 1 0
74,6 8,2 1,5
21,8 4,6 6,4
0,2
0
0,4
0,6
0
0,4
0,4
0
0,2
5
12,6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
20
0
2
0
0
2
0
0
0
0
10
0
0
1
2
0
0
1
0
1
0
2
4
70,95
79,7
78,8
79,95 110,9 115,8 119,7 104,6
55,7
199,1 151,8
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kategori Mutu 4B 4B 4B 4B 5 5 5 5 4A 6 Keterangan: DP: Kopi olah kering WP : Kopi olah basah Kwg: Kebun Kaliwining (Puslitkoka) Smo: KUPK Sidomulyo WPSmo: penurunan air 26% a: periode panen puncak b: periode panen rampasan
Untuk mengetahui lebih lanjut pengaruh minimisasi air proses pencucian terhadap mutu biji kopi dilakukan analisis mutu fisik dan cita rasa biji kopi hasil perlakuan proses pencucian pada tahap minimisasi air kedua. Volume air proses pengupasan diupayakan konstan dengan persentase penurunan 74%. Volume air proses pencucian dengan persentase penurunan 57, 70, 0, dan 35 %. Penurunan 57 dan 70% diulang kembali pada minimisasi air tahap kedua.
6
146
Pada tahap perlakuan ini juga dilakukan perlakuan minimisasi air untuk buah kopi yang berasal dari periode panen rampasan. Buah kopi panen rampasan adalah buah kopi yang dipanen pada saat akhir panen, dimana buah tersisa di pohon dipanen seluruhnya untuk memutus siklus hama buah kopi.
Menurut
Ciptadi dan Nasution (1985) ; (Mulato et al. 2006), perlakuan saat panen dapat mempengaruhi mutu kopi, dimana buah kopi yang dipanen saat panen rampasan diperkirakan memiliki karakteristik mutu yang lebih rendah dibandingkan dengan buah kopi yang dipanen saat panen raya. Kopi olah kering dan olah basah dari KUPK Sidomulyo merupakan kontrol terhadap perlakuan. Pada biji kopi hasil pengolahan basah di Kebun Sidomulyo (WP Smo) jumlah cacat yang ditemui lebih sedikit dibandingkan biji kopi dari Kebun Kaliwining (Gambar 50). Biji kopi yang berasal dari masa panen rampasan memiliki jumlah cacat lebih besar dibandingkan biji kopi yang berasal dari masa panen puncak. Hal ini karena mutu buah kopi dari Kebun Sidomulyo maupun Kebun Kaliwining pada masa panen puncak lebih baik dibandingkan mutu buah kopi masa panen rampasan. 250
8,0 7,0
Kontrol
6,0
Total Nilai Cacat
6
5,0
150
6 100
5 50
4B
4B
4B
5
4,0 3,0
5 5
2,0
4B
4A
0
Total Air Proses (m3/ton)
Panen Rampasan (Akhir)
Panen Puncak 200
1,0 0,0
38
50
67
73
27
50
Persentase Minimisasi Air (%)
64
73
DKwg Dsmo Wsmo
Total Nilai Cacat
Total Air Proses
Gambar 50 Mutu biji kopi antar perlakuan, jenis proses dan periode panen Perlakuan air yang lebih besar tidak sepenuhnya dapat meningkatkan mutu biji kopi apabila bahan baku yang diolah memiliki mutu rendah. Mutu biji kopi dipengaruhi oleh mutu buah kopi sejak di kebun. Buah kopi pada perlakuan tahap kedua memiliki persentase cacat yang timbul dari kebun lebih besar dibandingkan
147
buah kopi pada perlakuan tahap pertama (Gambar 51). Mutu biji kopi perlakuan olah basah tahap kedua lebih rendah (4B) dibandingkan mutu biji kopi perlakuan olah basah pada perlakuan tahap pertama (4A). Meskipun demikian perlakuan modifikasi olah basah menghasilkan mutu biji kopi yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan olah kering (Gambar 51). Hal ini diperkirakan terjadi karena adanya sortasi buah merah yang selektif, proses fermentasi dan tahapan proses yang tepat menjamin keseragaman mutu biji dan cita rasa kopi dari perlakuan olah basah.
Panen Puncak
100
Persentase Cacat (%)
4B
Panen Rampasan (Akhir)
4B
4B
4B
50
67
73
80
Kontrol 6
5
5
5
5
27
50
64
73
6
4A
60 40 20 0 38
DKwg
Dsmo Wsmo
Cacat karena pengolahan
Benda asing
Persentase Minimisasi Air (%) Cacat dari kebun
Gambar 51 Persentase cacat biji kopi perlakuan minimisasi air pencucian Biji kopi yang mendapat perlakuan olah basah memiliki pola cacat cenderung seragam dibandingkan biji kopi yang berasal dari proses pengolahan kering, meskipun berasal dari kebun kopi berbeda (Gambar 51). Sebaliknya pada kopi yang diolah menggunakan proses pengolahan kering, cacat biji kopi dapat memiliki pola berbeda. Hal ini dimungkinkan karena buah kopi yang diolah dengan proses olah basah melalui tahap sortasi awal untuk memilih buah kopi merah yang layak untuk diolah. Selanjutnya buah kopi yang tidak memenuhi syarat untuk diolah dengan proses basah, diolah dengan proses kering pada biji.
148
Persentase Cacat (%)
70
Panen Puncak
Kontrol
Panen Akhir (Rampasan)
60 50 40 30 20 10 0 38
50
67
Biji bertutul-tutul
0,00
0,00
Biji pecah
9,02
6,27
Biji berkulit tanduk 10,57
7,53
5,71
DKw g
Dsm o
Wsm o
73
27
50
64
73
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
13,45
11,26
6,67
7,78
6,68
9,56
37,47
14,36
11,85
8,13
5,41
1,30
7,10
3,82
0,25
0,00
16,16
Biji coklat
8,10
7,53
6,35
2,19
2,71
4,54
3,34
8,13
0,25
4,94
6,28
Kopi gelondong
16,91
15,06
13,96
12,51
27,05
22,46
17,54
13,38
22,10
0,00
0,00
Persentase Minimisasi Air (%)
Gambar 52 Persentase cacat biji kopi karena pengolahan dengan minimisasi air tahap kedua Cacat kopi gelondong, biji pecah, dan biji berkulit tanduk adalah cacat dominan yang ditemui pada buah kopi dengan perlakuan olah basah (Gambar 52). Mutu buah kopi dari Kebun Kaliwining yang dianalisis pada perlakuan ulangan kedua diperkirakan mengalami penurunan sejak dari kebun dibandingkan buah kopi pada perlakuan tahap pertama, sehingga nilai mutunya menurun. Buah kopi hasil pengolahan kering umumnya hanya didominasi oleh 2 jenis cacat yaitu cacat biji pecah dan kopi gelondong.
Buah kopi olah kering dari Kebun
Kaliwining sebagian besar merupakan buah kopi yang tidak lolos tahap sortasi awal untuk proses olah basah. Oleh karena itu mutu buah kopi ini jauh berbeda dengan mutu buah kopi olah basah.
Adapun buah kopi olah kering KUPK
Sidomulyo merupakan buah kopi hasil panen yang langsung diolah tanpa proses sortasi. Karakteristik cacat biji kopi hasil olah kering dari Kebun Sidomulyo dan Kebun Kaliwining memiliki pola yang sedikit berbeda. Pada biji kopi Kebun Kaliwining, buah kopi yang tidak layak diolah secara basah, diolah kering. Pengeringan terutama dilakukan di atas lantai jemur semen yang diberi alas plastik/terpal. Apabila cuaca tidak memungkinkan untuk melakukan penjemuran, proses pengeringan dilanjutkan menggunakan pengering mekanis, sehingga kadar air biji kopi terkontrol.
149
Buah kopi dari Kebun Sidomulyo yang diolah dengan proses kering umumnya mengalami tahap pemecahan buah terlebih dahulu sebelum dijemur (buah pecah kulit). Proses pemecahan buah kopi menggunakan alat pemecah sederhana (kneuzer). Setelah dipecah, buah kopi dijemur di atas alas plastik/terpal atau lantai jemur semen. Lama penjemuran kopi pecah kulit ini biasanya antara 8 – 10 hari ter gantung cuaca. Pada tahap pengeringan, buah kopi yang dijemur di lantai jemur harus dibolak-balik atau digaruk agar kering merata. Menurut Ismayadi dan Zaenudin (2003), proses pengolahan dengan pemecahan buah (kopi pecah kulit) lebih higienis dan cepat dibandingkan cara pengolahan biasa tanpa pemecahan buah. Akan tetapi pada daerah yang relatif basah atau sering terjadi hujan, proses pengeringan dengan pemecahan buah rawan terhadap kerusakan biji karena serangan jamur. Buah kopi yang telah dipecah tidak dapat dijemur di atas permukaan tanah karena akan menjadi kotor dan kusam. Selain itu kopi tidak dapat disimpan dalam bentuk masih berkulit. Oleh karena itu kopi hasil penjemuran biasanya langsung dikupas dengan mesin huller portabel atau yang dipasang pada rangka mobil. Menurut Yusianto dan Mulato (2002), penilaian biji kopi berdasarkan sifat fisik tidak sepenuhnya dapat menjamin mutu seduhan, tetapi dapat mengantisipasi sebagian besar cacat citarasa seduhan kopi.
Kesalahan-kesalahan prakiraan
citarasa seduhan kopi berdasarkan sifat fisik dapat diperkecil dengan uji seduhan (cup test).
Bagaimanapun, hasil olahan akhir kopi adalah berupa seduhan,
sehingga uji seduhan merupakan pelengkap yang sangat penting dari semua cara uji yang telah ada meskipun masih belum dapat distandardisasi. c.
Analisis Cita Rasa (Cup Test) Kopi Perlakuan Minimisasi Tahap Kedua. Biji kopi hasil pengolahan merupakan bahan dasar utama seduhan kopi. Uji
seduhan atau cita rasa (cup test) kopi Robusta meliputi pengujian fragrance, aroma, flavor, body, bitterness, astringency, aftertaste, clean cup, balance, dan preference. Uji cita rasa terutama dilakukan oleh panelis ahli dan panelis terlatih. Uji cita rasa cenderung subyektif, tergantung pada keahlian panelis dan pelatihan yang telah dilakukan. Uji cita rasa terutama dilakukan untuk mengevaluasi profil aroma dan flavor dari kopi. Meskipun demikian uji cita rasa juga dapat digunakan untuk mengevaluasi adanya cacat pada kopi atau untuk membuat campuran kopi.
150
Q.Fragrance
Q.Aroma
I. Fragrance
I.Aroma
10 Panen Puncak
Panen Akhir (Rampasan)
Kontrol
8
Nilai Uji
6 4 2
0 38
50
67
73
27
50
64
73
DKwg
Dsmo Wsmo
Persentase Minimisasi Air (%)
Gambar 53 Uji cita rasa untuk fragrance dan aroma kopi Keterangan: Q = kualitas, I = intensitas
Hasil uji cita rasa untuk masing-masing perlakuan minimisasi air tahap 2 disajikan pada Gambar 53, Gambar 54, Gambar 55, dan Gambar 56. Fragrance adalah aroma kopi sangrai.
Adapun aroma dinilai setelah kopi
sangrai ditambahkan air panas ke dalam cangkir seduhan.
Aroma kopi
mempengaruhi semua atribut flavor kopi kecuali rasa di mulut, rasa manis, asin, pahit, dan asam yang dapat dirasakan langsung oleh lidah. Aroma kopi terutama muncul karena kandungan senyawa-senyawa volatil aromatik yang dapat dirasakan hidung (Moreno et al. 1995). Intensitas menunjukkan banyaknya rasa yang ada dalam cangkir kopi, yang berkisar sangat kuat hingga sangat ringan. Intensitas juga menunjukkan kuat lemahnya penginderaan terhadap rasa yang ada dalam cangkir kopi. Adapun kualitas menunjukkan perbedaan kualitas, keserasian ataupun keharmonisan rasa. Fragrance dan aroma kopi Robusta dari musim panen raya cenderung meningkat karena perlakuan olah basah dibandingkan kopi yang berasal dari olah kering. Meskipun tidak menunjukkan perbedaan signifikan antar perlakuan. Perlakuan minimisasi air menunjukkan terjadinya peningkatan kualitas dan intensitas fragrance maupun aroma kopi sangrai kecuali pada buah kopi yang berasal dari panen rampasan. mempengaruhi cita rasa kopi bubuk.
Perbedaan mutu fisik biji kopi ternyata
151
Q.Flavor
10
Body
Panen Puncak
I.Flavor
Bitterness Kontrol
Panen Rampasan
Nilai Uji
8 6 4 2
0 38
50
67
73
27
50
64
73
DKwg
Dsmo
Wsmo
Persentase Minimisasi Air (%)
Gambar 54 Uji cita rasa untuk flavor, body dan bitterness kopi Keterangan: Q = kualitas, I = intensitas
Hasil uji seduhan untuk flavor dan body (Gambar 54) menunjukkan pola yang tidak jauh berbeda dengan uji fragrance dan aroma. Flavor menggambarkan rasa kopi.
Flavor merupakan gabungan dari seluruh penilaian kualitas kopi
mencakup body, asiditas, dan aroma. Body merupakan rasa atau persepsi yang menggambarkan tekstur kopi secara fisik di mulut. Sensasi kekayaan tekstur dan rasa menunjukkan nilai body dari kopi. Bitterness adalah rasa pahit yang menjadi ciri khas kopi. Pada tingkat rendah, rasa pahit membantu mengurangi keasaman kopi dan menambah dimensi rasa minuman. Namun pada tingkat tinggi, senyawa yang menimbulkan rasa pahit kopi dapat mengalahkan komponen rasa yang lain dan menghasilkan efek tidak menyenangkan. Kepahitan berkorelasi dengan total padatan terlarut pada kopi. Kualitas dan intensitas flavor serta nilai body cenderung meningkat pada perlakuan dengan air yang minimum, meskipun perbedaannya tidak signifikan. Menurut Sulistyowati (2001), kopi Robusta memiliki body yang lebih tinggi meskipun aroma dan perisanya lebih rendah dibandingkan kopi Arabika. Nilai bitterness pada Kopi Sidomulyo lebih tinggi daripada Kopi Kaliwining. Menurut Sivetz dan Foote (1973); Ciptadi dan Nasution (1985), bitter adalah rasa pahit yang tidak enak seperti kina. Bitter merupakan ciri khas kopi Robusta karena kandungan kafein yang tinggi dan aromanya yang tidak sekuat Arabika.
152
Terdapat perbedaan pola biji kopi hasil perlakuan olah basah (dari Kebun Kaliwining) dan biji kopi dari Kebun Sidomulyo (Wsmo). Biji kopi Kaliwining hasil pengolahan basah memiliki pola bitterness yang menurun dan peningkatan body kecuali pada kopi yang berasal dari panen rampasan, meskipun perubahannya tidak signifikan.
Sebaliknya, biji kopi Sidomulyo pengolahan
basah menunjukkan peningkatan bitterness dan body dengan perubahan cukup signifikan. Akan tetapi, body yang merupakan ciri khas kopi Robusta, rata-rata menunjukkan peningkatan karena pengolahan basah. Clifford dan Wilson (1985) menyatakan bahwa proses pengolahan kopi secara basah atau kering tidak mempengaruhi bitterness dari kopi.
Namun demikian hasil yang diperoleh
menunjukkan perbedaan nyata. Hal ini diperkirakan karena bitterness terutama dipengaruhi oleh kandungan padatan terlarut pada kopi, kafein, dan asam klorogenat (chlorogenic acid) yang juga mempengaruhi astringency kopi. Astringency
10
Q.Aftertaste
Panen Puncak
I.Aftertaste
Clean cup
Panen Rampasan
Kontrol
Nilai Uji
8 6
4 2 0 38
50
67
73
27
50
64
73
DKwg
Dsmo
Wsmo
Persentase Minimisasi Air
Gambar 55 Uji cita rasa untuk astringency, aftertaste, dan clean cup kopi Keterangan: Q = kualitas, I = intensitas
Uji cita rasa juga dilakukan pada parameter astringency, aftertaste, dan clean cup (Gambar 55.).
Menurut Ciptadi dan Nasution (1985), astringent
adalah flavor yang menyebabkan wajah mengkerut karena sepat. Astringency, merupakan sebuah rasa yang kering, asam, asin dan umumnya menimbulkan sensasi tidak menyenangkan yang terdeteksi sebagian besar sisi lidah. Konsumen dapat mengartikan astringency sebagai atribut asin ataupun atribut pahit. Aftertaste adalah suatu rasa yang tertinggal dimulai lebih lama dari biasanya
153
Clean cup menurut Sweet Maria’s Coffee Glossary
setelah meminum kopi.
(2011) mengacu pada flavor kopi yang bebas dari cacat dan tercemar. Misalnya bebas dari flavor buah terfermentasi, bebas dari aroma tanah, dan aroma kuat yang timbul dari cacat biji kopi. Sebagaimana bitterness, pola astringency kopi hasil pengolahan basah cenderung menurun.
Meskipun komponen yang terutama mempengaruhi
astringency adalah kafein dan chlorogenic acid, tetapi kepastian perubahan kedua komponen ini karena faktor pengolahan membutuhkan penelitian lebih lanjut. Selain itu, komponen kimia kopi lainnya meskipun dalam skala kecil turut mempengaruhi bitterness dan astringency. Pengolahan basah tidak merubah kualitas dan intensitas aftertaste pada kopi Kaliwining. Intensitas aftertaste kopi Sidomulyo juga tidak menunjukkan perubahan, akan tetapi kualitas aftertaste cenderung meningkat karena pengolahan basah.
Nilai clean cup pada Kopi
Sidomulyo menunjukkan kenaikan cukup signifikan dibandingkan Kopi Kaliwining. Preference
10 Panen Puncak
Balance Kontrol
Panen Rampasan
Nilai Uji
8 6 4
2 0 38
50
67
73
27 50 64 73 Persentase Minimisasi Air (%)
DKwg
Dsmo
Wsmo
Gambar 56 Uji cita rasa untuk balance dan preference kopi Parameter cita rasa kopi Robusta berikutnya adalah balance dan preference (Gambar 56).
Balance pada cup test menunjukkan adanya keharmonisan
ataupun keseimbangan terminologi rasa yang jelas dan sulit untuk diungkapkan. Keharmonisan juga menunjukkan adanya proporsionalitas dalam kualitas dan karakter yang mild/ringan tanpa adanya dominasi (Sweet Maria’s Coffee Glossary, 2011). Keseimbangan merupakan kombinasi antara flavor dan sensasi
154
tekstural atau antara aftertaste dan flavor pada kopi seduhan.
Preference
menunjukkan kesukaan ataupun kecenderungan terhadap kopi seduhan. Nilai preference dapat digunakan untuk menggambarkan keinginan atau pemilihan konsumen secara umum terhadap mutu kopi seduhan. Penilaian atribut balance dan preference menunjukkan pola seragam. Terdapat kecenderungan dari panelis ahli untuk memilih kopi hasil pengolahan basah.
Perlakuan minimisasi air pada proses pencucian biji kopi yang
menurunkan kesan clean cup pada kopi Kaliwining tidak mempengaruhi preference panelis.
Bahkan terdapat kecenderungan panelis memilih kopi
seduhan dari biji kopi dengan perlakuan air pencucian minimal (67%) yang ditunjukkan dengan nilai tinggi pada preference. Berdasarkan hasil uji mutu fisik, perlakuan minimisasi air 67% dan 73% merupakan pilihan untuk menerapkan modifikasi olah basah berbasis minimisasi air pada pengolahan kopi. Hasil uji cita rasa secara keseluruhan menunjukkan bahwa perlakuan minimisasi air tidak secara signifikan mempengaruhi mutu kopi seduhan.
Panelis tetap memilih kopi yang berasal dari hasil pengolahan basah
meskipun diolah dengan air minimal. Untuk mengetahui lebih jauh pengaruh pengolahan basah terhadap seduhan kopi digambarkan dalam bentuk diagram sarang (nest diagram).
64
73
choco, agak flat
50
medicinal, earthy
27
floral, herbal
73
Kontrol
choco, nuty, agak flat
67
astr a.taste, flat, mild
50
agak flat, clean
38
goog, bitt, a.taste, hi gh body, buttery
75
dirty, agak flat
80
Panen rampasan
choco, v.bitter, astringent
85
Choco, v.bitter, mild
Nilai Uji Cita Rasa
90
Cho, dirty, astr, a.taste, flat
Panen puncak
95
DKwg Dsmo Wsmo
Persentase Minimisasi Air (%) Gambar 57 Total penilaian uji cita rasa kopi
Total Nilai
155
Q.Aroma 8
Balance
6
Q.Flavor
4
2
Astringency
Preference
0
Clean
Bitterness Body 67%
DKwg
73%
Gambar 58 Diagram sarang cita rasa kopi olah kering dan olah basah terpilih Perlakuan minimisasi air 67% pada buah kopi yang diperoleh saat panen puncak menunjukkan nilai atribut flavor, balance dan aroma yang lebih baik dibandingkan kopi olah kering (DP Kwg) dan perlakuan minimisasi air 73% dari buah kopi saat panen puncak. Meskipun untuk atribut clean, ternyata kopi olah kering memiliki nilai lebih tinggi. Akan tetapi karena preference konsumen dan secara keseluruhan atribut perlakuan 67% lebih disukai dibandingkan sampel yang lain, maka perlakuan 67% menjadi pilihan untuk penerapan perlakuan olah basah dengan minimisasi air. Q.Aroma 8
Balance
6
Q.Flavor
4 2
Astringency
0
Clean
Preference
Bitterness
67% 73%
Body
38%
Gambar 59 Diagram sarang cita rasa kopi perlakuan minimisasi air terpilih
156
Q.Aroma 8 6
Balance
Q.Flavor
4
2 0
Clean
Preference
DSmo
Body
Bitterness
WSmo
Gambar 60 Diagram sarang cita rasa kopi olah kering dan olah basah Sidomulyo Perbandingan antara perlakuan minimisasi air dalam bentuk diagram sarang (Gambar 59) menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam aplikasi pengolahan basah yang menggunakan prinsip hemat air (67%, 73%) dan air yang lebih banyak (38%). Minimisasi air dapat dilakukan dengan batasan penggunaan air proses yang tidak menyebabkan kerusakan atau cacat biji pada saat pengolahan. Analisis cita rasa kopi Sidomulyo menunjukkan perbedaan yang signifikan penerapan pengolahan basah terhadap mutu kopi rakyat (Gambar 60). Secara keseluruhan, atribut cita rasa kopi olah basah (WP Smo) menunjukkan peningkatan cita rasa yang signifikan dibandingkan kopi olah kering (DP Smo). Pengolahan basah dapat meningkatkan cita rasa clean dan bright (Sulistyowati 2001). Akan tetapi jika pengolahan kurang baik, akan menimbulkan cacat cita rasa seperti sour dan fermented. Kopi hasil olah kering umumnya menghasilkan biji kopi dengan mutu tidak konsisten. Cita rasanya akan lebih baik bila sebelum pengeringan buah dipecah terlebih dahulu (Illy dan Viani 1995 diacu dalam Sulistyowati 2001), seperti yang dilakukan kebanyakan petani di Jawa Timur. Pengolahan kering yang kurang baik dapat menimbulkan cacat cita rasa, seperti earthy, mouldy, dan musty.
Akan tetapi bila pengolahan cara kering
dilakukan dengan baik, dapat menghasilkan body lebih tinggi (Sivetz dan Desrosier 1979).
157
6.3.3. Analisis Emisi Proses Pengolahan Kopi Modifikasi Olah Basah Analisis dilakukan untuk mengetahui perbedaan emisi bahan bakar yang dibuang ke lingkungan jika menggunakan 2 jenis bahan bakar yang berbeda yaitu solar dan biodiesel. Biodiesel merupakan campuran antara bahan bakar solar dan biofuel yang berasal dari residu pengolahan Crude Palm Oil (CPO) dengan perbandingan 80% : 20%. Pemilihan bahan bakar yang ramah lingkungan dapat meningkatkan keberlanjutan proses pengolahan terutama dari dimensi ekologi. Berdasarkan indikator keberlanjutan dimensi lingkungan, terdapat 3 indikator yang akan terpengaruh melalui penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan, yaitu (1) indikator manajemen energi, (2) indikator pengurangan polusi, dan (3) indikator penyimpanan karbon. Penggunaan bahan bakar biodiesel merupakan salah satu upaya mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar solar, yang akan meningkatkan nilai keberlanjutan indikator manajemen energi. Pengukuran emisi yang dihasilkan dari mesin pengupasan (pulper) dan pencucian (washer) dengan menggunakan 2 jenis bahan bakar yaitu solar dan biodiesel.
Tingkat emisi yang rendah dari bahan bakar biodiesel dapat
mengurangi dampak pencemaran udara dan efek rumah kaca. Penggunaan biodiesel pada proses pengupasan buah dan pencucian biji kopi mampu mengurangi tingkat emisi hingga 40% (Gambar 61.). Emisi Solar
Emisi CO2 (gr/ton)
5,0
Emisi Biodiesel
4,0 WASHER
PULPER 3,0
2,0 1,0
0,0 50
74
90
57
70
81
Persentase Minimisasi Air (%)
Gambar 61 Perbandingan penggunaan bahan bakar dan emisi CO2
158
Putaran mesin awal
Emisi CO2 (%)
80
Putaran mesin konstan
60
40 20
0 Solar
Biodiesel Pulper
Solar
Biodiesel Washer
Gambar 62 Perbandingan emisi CO2 pada putaran mesin Putaran mesin yang tinggi pada awal proses dapat meningkatkan emisi CO2 ke lingkungan hingga 50% terutama pada mesin pencucian (washer). Pemanfaatan biodiesel berpengaruh menurunkan tingkat emisi karena putaran mesin awal hingga 30% (Gambar 62). Penurunan emisi ke lingkungan berarti mengurangi polusi yang dapat meningkatkan nilai keberlanjutan. Upaya mengurangi emisi ke lingkungan dari proses pengolahan yang menggunakan pembakaran juga berarti upaya mengurangi terbuangnya gas karbondioksida ke udara yang merupakan bagian penilaian terhadap indikator penyimpanan karbon. Mengingat aspek penggunaan biodiesel pada desain proses pengolahan kopi yang berbasis produksi bersih ini masih merupakan studi awal, sehingga perlu dilakukan kajian lanjut mengenai pemanfaatan alternatif bahan bakar nabati ataupun energi ramah lingkungan lain yang dapat digunakan pada proses pengolahan kopi rakyat untuk meningkatkan status keberlanjutannya. 6.4. Kesimpulan Teknologi olah basah secara umum mampu meningkatkan cita rasa kopi seduhan apabila dibandingkan dengan pengolahan kering. Berdasarkan uji mutu fisik dan uji citarasa pada seduhan kopi, modifikasi teknologi olah basah dengan meminimalkan air proses dapat mempertahankan mutu kopi Robusta rakyat jika dibandingkan pengolahan basah konvensional. Perlakuan minimisasi air pada proses pengupasan maupun pencucian hingga taraf tertentu dapat dilakukan tanpa mempengaruhi mutu biji kopi.
Perlakuan minimisasi air proses pengupasan
159
hingga 74% dari volume air awal 3 m3 atau sebesar 0,784 m3/ton buah kopi dan minimisasi air proses pencucian hingga 57% atau kombinasi perlakuan menghasilkan penurunan minimisasi air total sebesar 67% (volume air 2,987 3,345 m3/ton buah kopi) merupakan batasan minimal air dalam pengolahan basah kopi.
Pada kombinasi perlakuan tersebut, cita rasa seduhan lebih disukai
dibandingkan kopi yang berasal dari perlakuan dengan volume air proses lebih banyak. Upaya pemanfaatan bahan bakar yang terbarukan atau biodiesel dalam pengolahan kopi basah terbukti mampu mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang dibuang ke lingkungan. Pemanfaatan biodiesel ataupun bahan bakar nabati yang lebih ramah lingkungan selanjutnya diharapkan mampu meningkatkan status keberlanjutan terutama pada dimensi lingkungan.