PENGEMBANGAN MODEL PENGELOLAAN ANGGARAN SEKOLAH BERBASIS PARTISIPASI Bambang Ismanto, Entri Sulistari, dan Gustin Tanggulungan
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi best practices pengelolaan anggaran sekolah dan menyusun model pengelolaan anggaran berbasis partisipasi pemangku kepentingan. Model pengelolaan anggaran yang partisipatif menjadi alternatif dalam penyusunan program dan penetapan anggaran sekolah. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data FGD, depth interview dan studi dokumentasi praktek pengelolaan anggaran sekolah. Subjek penelitian adalah Sekolah negeri dan swasta di Kota Salatiga meliputi SD, SMP, SMA dan SMK. Sumber penelitian meliputi dokumen pengelolaan anggaran sekolah, dan Manajemen anggaran Sekolah baik Kepala Sekolah, guru Komite Sekolah, Orang tua dan Tokoh Agama dan Masyarakat.Penelitian menunjukkan bahwa Pengelolaan anggaran sekolah baik SD, SMP, SMA dan SMK telah melibatkan pihak-pihak seperti Komite Sekolah, Tokoh Masyarajkat, Guru dan Kepala Sekolah. Penetapan wajib belajar 9 tahun (SD dan SMP) gratis menjadi kendala sekolah dalam melibatkan orang tua dan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan anggaran. Sementara itu sumber penerimaan dari APBD bagi Sekolah Negeri dan sebagian Swasta belum dapat memenuhi kebutuhan dalam pengembangan program sekolah yang bermutu. Keterbatasan sumber Pendapatan Asli daerah berakibat tambahan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) belum dapat memenuhi kebutuhan operasional sekolah dan personil peserta didik. Pengelolaan anggaran sekolah yang bersumber dari Pemerintah (APBN) dan Pemerintah Daerah (APBD) dilaksanakan sesuai regulasi keuangan daerah. Sedangkan sumber-sumber keuangan yang dari masyarakat dikelola berdasarkan prinsip kesepakatan para pemangku kepentingan. Partisipasi masyarakat diperlukan untuk memecahkan kebutuhan anggaran sekolah yang dapat menjamin pelaksanaan program yang dapat meningkatkan mutu pendidikan. Berbagai kebutuhan dan usulan pemecahan anggaran sekolah dijelaskan dan disosialisasikan secara transparan kepada pemangku kepentingan untuk mendapatkan solusi pemecahan. Kata kunci : Model, Anggaran, Sekolah, Partisipasi
1
PENDAHULUAN Pergeseran pemerintahan sentralistik mengarah ke desentralistik di Indonesia sekitar Tahun 2001 membawa implikasi perubahan tata kelola pendidikan di Kabupaten / Kota. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan mengelola pendidikan sesuai potensi, dan aspirasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pemecahan masalah pemerataan, akses dan mutu pendidikan dilakukan sejak tahapan perencanaan, implementasi dan pengawasan programprogram pendidikan. Partisipasi masyarakat dalam hal ini pemangku kepentingan seperti orang tua, Komite Sekolah, Tokoh Masyarakat, mendinamiskan Kepala Sekolah bersama guru dan tenaga kependidikan dalam memberdayakan potensi sekolah dan masyarakat. Anggaran sekolah merupakan salah satu agenda dalam pemecahan masalah manajemen sekolah. Keterbatasan sumber-sumber penerimaan sekolah dari siswa (orang tua), Pemerintah (Daerah) dan masyarakat menjadi kendala dalam peningkatan mutu pendidikan seiring perkembangan teknologi informasi dan arus globalisasi. Sumber penerimaan dari Pemerintah baik APBN dan APBD diatur secara ketat sesuai regulasi administrasi keuangan Negara. Upaya mengembangkan sumber-sumber penerimaan dari masyarakat khususnya orang tua murid pada SD/MI dan SMP/MTs terkendala eforia pendidikan gratis wajib belajar 9 tahun. PerMendiknas No: 44 Tahun 2012 melarang SD/MI dan SMP/MTs untuk menarik pungutan pendidikan dari orang tua murid. Kendala ini memerlukan dukungan dan masyarakat untuk peningkatan mutu pendidikan. Hanushek, Eric A. (1996), menilai bahwa pendidikan merupakan investasi sumber daya manusia. Amerika Serikat memiliki komitmen untuk mengalokasikan anggaran negaranya baik dari pemerintah federal, negara bagian dan pemerintah lokal guna meningkatkan akses dan mutu pendidikan. Sumber daya pendidikan yang terdapat disekolah diarahkan agar dapat dipergunakan siswa bersama guru dalam meningkatkan kompetensinya. Desentralisasi keuangan daerah perlu mendapatkan respon positif dari manajemen sekolah baik SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK/MAK dalam menyusun program yang relevan dengan peningkatan mutu dan daya saing lulusan. Menurut Ismanto (2011), keterbatasan pengalaman manajerial dan administrasi keuangan Kepala Sekolah serta tidak adanya dukungan tenaga administrasi SD di Kota Salatiga Provinsi Jawa Tengah menjadi hambatan dan kendala dalam pengelolaan sumber daya keuangan sekolah. Tata kelola keuangan Sekolah swasta relatif lebih maju. Manajemen Sekolah terdiri Kepala Sekolah dibantu Wakil dan difasilitasi tenaga Tata Usaha, Putakawan bahkan laboran. Implikasi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan anggaran sekolah adalah implementasi MBS. Pengelolaan dana bersumber APBN/APBD Sekolah diwajibkan melaksanakan administrasi keuangan sesuai regulasi keuangan daerah. Tata kelola anggaran sekolah berbasis partisipasi perlu melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan sekoah sejak perencanaan, implementasi dan pengawasan anggaran sekolah. Model pengelolaan anggaran sekolah tidak cukup dikembangkan berdasarkan regulasi keuangan daerah sebagai dasar pengelolaan APBD. Partisipasi masyarakat perlu diakomodasikan untuk memahami masalah dan kebutuhan pendidikan serta dukungan pemenuhan anggaran pendidikan. Keterlibatan masyarakat dalam mengupayakan pendanaan pendidikan sangat dimungkinkan dan dijamin PP 48 tahun 2008. Upaya mengidentifikasikan sumber daya, mengelaborasi aspirasi dan kepentingan peningkatan mutu dan daya saing SDM perlu diwadahi (diakses) dalam model pengelolaan anggaran sekolah. Pengalaman praktis sekolah dalam mengelola anggaran menjadi masukan dalam merancang proses penganggaran, penatausahaan dan pertanggungjawaban anggaran yang mengakomodasikann aspirasi dan sumber daya pemangku kepentingan. 2
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk : (1) Mengetahui praktek (tata kelola) pengelolaan penganggaran sekolah sesuai ketentuan pengelolaan keuangan daerah, (2)Memahami peran serta kepala sekolah, guru, orang tua/wali murid, komite sekolah, tokoh agama dan masyarakat dalam proses perencanaan penatausahaan & pertanggungjawaban anggaran sekolah, (3)Mengidentifikasikan kekuatan, kelemahan, peluang dan kendala dalam strategi pengelolaan anggaran sesuai regulasi APBD (4)Mengidentifikasikan sumber daya pemangku kepentingan sekolah dalam pengelolaan anggaran (tahap perencanaan, penatausahaan & pertanggungjawaban) (5)Apakah indikator kunci peran pemangku kepentingan dalam proses penganggaran sekolah yang relevan dengan peningkatan mutu dan daya saing lulusan, (6)Bagaimanakah model proses penganggaran, penatausahaan dan pertanggungjawaban anggaran sekolah berbasis partisipasi pemangku kepentingan TINJAUAN PUSTAKA Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008, Pendanaan pendidikan adalah penyediaan sumberdaya keuangan yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan. Dana pendidikan adalah sumber daya keuangan yang disediakan untuk menyelenggarakan dan mengelola pendidikan yang meliputi: biaya satuan pendidikan; biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan; dan biaya pribadi peserta didik. Prinsip pengelolaan anggaran sekolah diharapkan dapat menjamin keadilan (tanpa diskriminasi), efisiensi (kewajaran), transparan (terbuka), dan akuntabilitas publik (dapat dipertanggungjawabkan). Secara administratifi pengelolaan dana pendidikan oleh satuan pendidikan dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga penyelenggara atau satuan pendidikan, serta peraturan satuan pendidikan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat. Hal ini sesuai amanat pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.Perencanaan partisipatif dalam anggaran sekolah dapat mengembangkan fungsi kognitif, instrumental, politik dan sosial. Fungsi Kognitif: menghasilkan keputusan yang rasional mempertimbangkan kajian akademis, masukan, kritik kelompok terkait, alokasi sumber daya. Fungsi Instrumental; Alat mempertemukan berbagai kepentingan dalam pengambilan keputusan. Fungsi politik: mengurangi resistensi keputusan berdasarkan keputusan bersama, legitimasi public. Fungsi sosial; mengidentifikasi kebutuhan riil di masyarakat dan menyelesaikan problem utama. Papke, (2000), menyatakan bahwa di Amerika Serikat, salah satu hal penting adalah tanggung jawab pemerintah untuk membangkitkan pendapatan terpisah dari tanggung jawab untuk menghasilkan layanan. Pemerintah Daerah dan sekolah distrik atau kota termasuk yang independen, mempunyai tanggung jawab secara penuh untuk menyediakan layanan pendidikan. Pemerintah Daerah hanya mengalokasikan sekitar 45.5 % untuk layanan pendidikan. Negara Bagian sekitar 48.1 % dan pemerintah federal menyumbang sekitar 6.4 % sekaligus menyediakan sisa kekurangan dana. 3
Proses partisipasi publik perlu disusun sejak perencanaan, implementasi, pengawasan dan pertanggungjawaban penggunaan dana pendidikan. Hal ini relevan dengan penelitian Louis Volante (2007) di Kanada yang menjelaskan bahwa tanggung-jawab bidang pendidikan adalah tiga stake holder kunci yaitu Wajib pajak, pemilih resmi (rakyat dewasa), dan guru. Tidak berlebihan jika pada level dasar, wajib pajak ingin 'know-how' sistem pendidikan yang sedang berlangsung dan mengharapkan pemerintah serta sekolah untuk menyediakan bukti di terhadap nilai investasi mereka. Menurut Gaffar (2008), terdapat enam tahap penyusunan kebijakan publik yaitu : (1)Problem identification (identifikasi masalah), (2) Criteria (penetapan criteria alternatif pemecahan masalah), (3)Alternatif Solutions (penyusunan alternatif pemecahan masalah), (4)Evaluation of alternative (evaluasi alternatif pemecahan masalah), (5)Exhibit the decision (pengambilan keputusan) dan (6) Monitoring outcome (Monitor outcome/hasil). Dunn (2003), berpendapat bahwa setiap analisis kebijakan berorientasi pada Masalah. Perumusan masalah, dapat dipandang sebagai suatu proses dengan empat tahap yang saling tergantung, yaitu pencarian masalah, pendefinisian masalah, spesifikasi masalah, dan pengenalan masalah. Untuk mengatasi situasi masalah harus mengenali situasi yang merupakan isu publik yang terjadi di masyarakat. Meta masalah yaitu masalah diatas masalah atau juga dikenal sebagai tuntutan masalah yang belum terstruktur. Masalah substantif didefinisikan dari meta masalah, yaitu dipilih dari masalah ekonomi, masalah sosial budaya, masalah politik, dan lain-lain. Dunn (2003), mengklasifikasikan model-model analisis kebijakan meliputi : model diskriptif, model normatif, model simbolik dan model prosedural. Dalam hal ini Suharto (2005) menyatakan bahwa setiap model perumusan kebijakan terdapat tiga tahapan yang saling terkait yaitu identifikasi, evaluasi dan implementasi. Dalam hal ini, Santoso (2010), model kebijakan publik memiliki karakteristik yaitu sederhana dan jelas (clear), ketepatan identifikasi aspek penting problem kebijakan (precise), menolong untuk pengkomunikasian (communicable), usaha langsung untuk memahami kebijakan publik secara lebih baik (managable) dan memberikan penjelasan dan memprediksi konsekuensi (consequences). Revitalisasi desentralisasi pendidikan pada satuan pendidikan diwujudkan dalam Manajemen Berbasis Sekolah. Dalam konsepsi manajemen ini, Sekolah memberdayakan potensi lingkungan internal dan eksternal untuk mendukung pencapaian visi, misi dan program yang ditetapkan. Dalam hal ini, Rohiat (2008:55) menyatakan bahwa MBS merupakan model manajemen yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggung jawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas / keluwesan lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumber daya, dan mendorong sekolah meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat mewujudkan mutu pendidikan. Karlsen et.al. (1999), dalam penelitian tentang desentralisasi tata kelola pendidikan di Kolumbia menyimpulkan bahwa pergerakan desentralisasi dari pusat dan pergerakan pemusatan dalam arah kebalikannya secara normal mendorong ke arah tekanan, tidak hanya antara badan pusat dan lokal, tetapi juga di antara berbagai institusi dan kelompok di tingkat pusat serta lokal. Penelitian Terhadap perbedaan paham desentralisasi serta manajemen lokal, merepresentasikan satu cakupan luas dari praktek berbagai negara. Strategi pemerintah baru yang sepertinya bermanfaat untuk mencapai satu koneksi lebih dekat antara ekonomi dan 4
pendidikan. Keduanya, di tingkat lokal dan pusat, desentralisasi nampak untuk mempromosikan komersialisasi dan privatisasi dalam bidang pendidikan. MBS juga merupakan salah satu model manajemen strategik. Hal ini berarti meningkatkan pencapaian tujuan melalui pengerahan sumber daya internal dan eksternal. Menurut Thomas Wheelen dan J. David Hunger (1995), empat langkah utama dalam menerapkan perencanaan strategik yaitu (1) memindai lingkungan internal dan eksternal (2) merumuskan strategi yang meliputi perumusan visi-misi, tujuan organisasi, strategi, dan kebijakan (3) implementasi strategi meliputi penyusunan program, penyusunan anggaran, dan penetapan prosedur (4) mengontrol dan mengevaluasi kinerja. Sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah (Umaedi:1999) Bersama - sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain METODE PENELITIAN Pendekatan penelitian yang relevan dengan pengembangan model pengelolaan anggaran sekolah berbasis partisipasi adalah kualitatif. Pemahaman fenomenologis tentang alokasi anggaran pendidikan dari APBD dan APBN menjadi titik tolak perlunya kehadiran pemangku kepentingan dalam pengelolaan sekolah. Subyek penelitian adalah Sekolah Negeri yang meliputi 5 unit SD Negeri (SD Salatiga 1, SD 2, SD Argomulyo, SD Tingkir, SD Blotongan), 5 SMP (SMP 2, 3, 4, 7, dan 9) dan 5 SMA/SMAN (SMAN 2, SMAN 3, SMK 1, 2, 3). Pemilihan subyek penelitian mempertimbangkan lokasi perdesaan dan perkotaan sebagai representasi keswadayaan social. Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumentasi, Focus Group Discussion (FGD) dan Depth Interview. Setiap metode pengumpulan data didukung panduan pelaksanaan kegiatan pengumpulan data. Studi dokumentasi dilakukan atas dokumen RAPBS, serta Pelaksanaan dan Pertanggung jawaban APBS. Analisis data meliputi 3 (tiga) kegiatan utama yaitu analisis konteks, reduksi data dan mengurai fokus. Analisis konteks dilakukan dengan output terdiskripsinya subyek penelitian, aktivitas dan fenomena dalam pengelolaan anggaran sekolah. Reduksi data meliputi kegiatan menseleksi temuan-temuan yang relevan dengan upaya membangun prototype model. Pada tahap mengurai fokus, dalam penelitian dipergunakan alat bantu analisis SWOT untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan kendala pengembangan model anggaran sekolah baik berdasarkan regulasi keuangan daerah dan partisipasi pemangku kepentingan. Sebagai wujud akuntabilitas dilakukan triangulasi data dengan melakukan member check, silang informan dan jika dipandang perlu dilakukan 5
perpanjangan waktu pengumpulan data sesuai situasi kondisi sosial pemnagku kepentingan sekolah. HASIL PENELITIAN Kota Salatiga termasuk salah satu daerah di Provinsi Jawa Tengah yang menunjukkan keberhasilan dalam pelaksanaan wajib belajar 9 tahun di Provinsi Jawa Tengah (target APM SD/MI sekitar 96,04 % dan APK SMP/MTs sekitar 99,72 %). APK Kota Salatiga tingkat SD/MI mencapai 101,92%, APK SMP/MTs mencapai 108,63%, APK SMA/MA/SMK mencapai 106,33 %. Sedangkan APM SD/MI mencapai 100,66% APM SMP/MTs mencapai 78,86%, APM SMU/MA mencapai 73,49%. Anggaran Sekolah menjadi bagian dalam Pengelolaan Keuangan Daerah dalam hal ini Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh karena seluruh sekolah di Kota Salatiga sejak SD, SMP, SMA dan SMK baik negeri dan swasta mendapatkan alokasi pembiayaan pendidikan dari APBD. Terutama Satuan pendidikan SD dan SMP sebagai pelaksanaan wajib belajar 9 tahun mendapatkan alokasi anggaran yang relatif besar dari APBD Kota Salatiga. Pada tabel berikut tampak bahwa total biaya penyelenggaraan pendidikan Tahun 2011 pendidikan SD di Kota Salatiga sebesar Rp 32.062.062.000, SMP sebesar Rp.24.829.279.000 dan SMA sebesar: Rp 8.322.152.000; serta SMK sebesar Rp 7.280.973.000. Ini berarti bahwa biaya penyelenggaraan pendidikan tertinggi di SD dan terendah di SMK. Tabel 1. Biaya dan Sumber Pembiayaan Pendidikan SD, SMP, SMA dan SMK Di Kota Salatiga
NO 1 2 3 4 5 6
Sumber APBN Yayasan Orang Tua APBD Jateng APBD Salatiga Lainnya Jumlah Biaya Jumlah Siswa Unit cost
SD 7.092.515 1.095.954 4.807.808 1.141.758 17.325.307 598.720 32.062.062 16.905 1.896,60
SMP 6.984.196 300.584 4.019.899 50.000 12.911.132 563.468 24.829.279 8.589 2.890,82
SMA 710.478 675.839 4.870.400 43.698 1.416.485 605.253 8.322.152 4.327 1.923,31
SMK 1.000.044 1.187.779 3.887.574 0 0 1.205.576 7.280.973
9.005 808,55
Sumber : Profil Pendidikan Kota Salatiga Tahun 2011 (diolah) Sumber penerimaan pada tingkat SD sumber penerimaan terbesar berasal dari APBD Kota Salatiga sebesar Rp 17.325.307.000 dan terendah sumber lainnya sebesar Rp 598.720.000. Pada tingkat SMP sumber biaya pendidikan terbesar berasal APBD Kota Salatiga sebesar Rp12.911.132.000 dan terendah bersumber dari Yayasan sebesar Rp 300.584.000. Yayasan yang dimaksudkan adalah Lembaga Penyelenggara Pendidikan Swasta. Pada tingkat SMA, sumber pembiayaan pendidikan terbesar berasal dari orang tua/wali siswa sebesar Rp4.870.400.000 dan terendah dari APBD Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 43.698.000. Sedangkan sumber penerimaan biaya pendidikan SMK terbesar dari 6
orang tua sebesar Rp3.887.574 dan Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Salatiga tidak membantu anggaran pendidikan SMK. Pada tabel di atas, memperlihatkan jumlah siswa SD sebanyak 16.905 jiwa, SMP :8.589 jiwa, SMA : 4.327 jiwa dan SMK sebanyak : 9.005. Berdasarkan data ini, maka unit cost (biaya pendidikan per anak setahun) pada tingkat SD sebesar Rp 1.896.600, SMP sebesar Rp 2.890.820, SMA sebesar Rp 1.923.310 dan SMK sebesar Rp 808.550. Ini berarti bahwa unit cost biaya pendidikan tertinggi di Kota Salatiga pada tingkat SMP. Pemerintah Kota Salatiga mulai Tahun 2009 mengalokasikan Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA). Alokasi BOSDA SD/SDLB setiap sekolah per tahun Rp 10.000.000; dan SMP/SMPLB sebesar Rp. 20.000.000; per tahun. Sedangkan bantuan biaya peserta didik SD/SDLB per bulan Rp 4.000 dan SMP/SMPLB sebesar Rp 12.000 per bulan. Kebijakan ini sebagai upaya mendukung biaya penyelenggaraan satuan pendidikan yang selama ini bersumber dari Bantuan Operasional Sekolah. Seperti yang tampak pada gambar berikut, alokasi anggaran pendidikan / sekolah integral dalam APBD Kota Salatiga, ditetapkan pada Peraturan Daerah. APBD dijabarkan berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) hasil Musrenbang sejak tingkat Kelurahan, Kecamatan dan Kota Salatiga. Partisipasi masyarakat dimulai sejak Musrenbang, pembahasan Dn penetapanan Kebijakan Umum Anggaran, Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) dan APBD oleh DPRD dan Walikota Salatiga. Dalam pembahasan KUA PPAS dan RAPBD, masyarakat dapat memberikan masukan dan pertimbangan pembahsan anggaran pendidikan / sekolah melalui Komisi yang yang membidangi pendidikan, Badan Anggaran dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Terbatasnya sumber-sumber penerimaan APBD Kota Salatiga tampaknya tidak bisa mencukupi kebutuhan biaya operasional penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah. Dalam penyelenggaraan pendidikan dasar SD dan SMP sebagai implementasi wajib belajar 9 tahun, Pemerintah dan Pemda semestinya mengalokasikan dana melalui APBN dan APBD serta direncanakan sejak Musrenbang dan penetapan KUA PPAS. Alur penyusunan dan pengelolaan anggaran sekolah sesuai regulasi keuangan daerah, disajikan dalam gambar berikut : RPJM
RPJMD
5 tahun
5 tahun
5 tahun
Renstra SKPD 1 tahun
SEKOLAH
Renja SKPD
MUSRENBANG
1 tahun
RKP
RKPD
1 tahun
1 tahun
Dibahas bersama DPRD
PPAS
KUA
NOTA KESEPAKATAN PIMPINAN DPRD WALI KOTA SALATIGA
RKA-SKPD
PEDOMAN PENYUSUNAN RKA-SKPD
TAPD
RAPERDA APBD
1 tahun
Gambar : 1. Proses Perencanaan Program dan Anggaran Sekolah sesuai Regulasi APBD 7
Pengalaman beberapa sekolah baik negeri dan swasta yang telah menyusun program dan anggaran sesuai dengan Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan ternyata penyusunan anggaran dalam bentuk RKAS memiliki nilai tambah dibandingkan RAPBS. Oleh karena, penyusunan RKAS menerapkan prinsip-prinsip : (1)Demand driven (berdasarkan kebutuhan, (2)Data driven, realistik sesuai dengan hasil analisis konteks, (3)Dapat memperbaiki prestasi belajar peserta didik, (4)Membawa perubahan yang lebih baik (peningkatan/ pengembangan), dan (5)Sistematis, terarah, terpadu (saling terkait & sepadan), dan menyeluruh, dan (6)Tanggap terhadap perubahan,(7)Bersifat partisipasif, keterwakilan, dan transparansi, dan (8)Berdasarkan pada hasil review dan evaluasi. Secara menyeluruh pengelolaan keuangan sekolah yang bersumber dari APBD Kota Salatiga disajikan dalam gambar berikut :
RKJM – RPS 4 Tahun
Disiapkan Kep Sek dan dibahas – ditetapkan bersama Komite Sekolah
RKAS / RAPBS
Sebelum tahun ajaran baru, RKAS/RAPBS dibahas bersama antara orang tua didik, sekolah dan komite sekolah dan disahkan menjadi APBS oleh Dinas Pendidikan paling lambat akhir bulan Juli pada awal tahun pelajaran
KAS/ APBS
PELAKS. ANGGARAN Seluruh dana pendidikan sekolah dikelola sesuai sistem anggaran daerah
KAS/APBSP
Jika ada penambahan/ pengurangan dana
Pelaporan Dan Pertanggung Jawaban 1. 2.
Laporan hasil kegiatan wajib dibuat Laporan kegiatan selama 1 tahun anggaran disampaikan kepada diknas paling lambat tgl 5 januari tahun berikutnya
Gambar 2. Pengelolaan Keuangan Sekolah yang bersumber dari APBD
Program pengawasan tidak hanya terbatas pada proses pembelajaran saja, tetapi pengawasan dan kontrol dilaksanakan secara menyeluruh untuk setiap program dan kegiatan pendidikan di sekolah. Hal ini dilakukan agar sekolah dapat terus menerus mengevaluasi diri untuk meningkatkan kinerjanya, sehingga peningkatan mutu pendidikan di sekolah tersebut secara umum dapat terlaksana. Pengawasan juga merupakan bantuan dalam pengembangan untuk memperoleh kondisi yang lebih baik, terutama bantuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Selain itu, pengawasan juga merupakan suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu seseorang atau sekelompok orang agar dapat melakukan pekerjaannya secara efektif, serta merupakan pekerjaan pembinaan yang menggunakan sejumlah teknik atau pendekatan dalam memberikan dorongan dan 8
bantuan secara profesional untuk memperbaiki kinerja. Sesuai Permendiknas No. 19 Tahun 2007 Standar Pengelolaan Pendidikan Para Kepala Sekolah menyatakan bahwa pengawasan pengelolaan sekolah meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut hasil pengawasan. Sebagai pertanggungjawaban anggaran, Laporan Tahunan Sekolah dibahas dalam forum komite sekolah. Aspek-aspek apa saja yang perlu dilaporkan, bagaimana format laporannya, dan siapa/gugus tugas mana yang melakukannya dan perlu dibahas lebih lanjut. Yang pasti adalah bahwa laporan tahunan sekolah sangat bermanfaat bagi sekolah sendiri dan para stakeholdernya. Laporan Tahunan Sekolah merupakan kesempatan bagi sekolah untuk memberikan pertanggungjawaban terhadap stakeholder sekolah (khususnya orang tua). Melalui media ini mereka memperoleh informasi yang jujur, objektif, dan dapat dipercaya mengenai kinerja sekolah dan hasil belajar murid. Laporan Tahunan Sekolah yang telah dibahas dan mendapat penerimaan sekolah, selanjutnya akan disampaikan ke Dinas Pendidikan Kota Salatiga sebagai bahan untuk melakukan review sekolah. Dalam perwujudan good governance pengelolaan anggaran sekolah, Pemerintah Kota Salatiga memfasilitasi dan membantu staf sekolah atas tindakannya yang akan dilakukan sekolah, mengembangkan kinerja staf sekolah dan kinerja siswa dan seleksi karyawan. Partisipasi Pemangku kepentingan dalam Penyusunan anggaran sekolah di Kota Salatiga dengan kegiatan sebagai berikut : Mengidentifikasikan kebutuhan sekolah untuk kegiatan operasional dan peningkatan mutu lulusan, Pelibatan Guru, menyusun kegiatan yang relevan pemecahan masalah belajar dan mutu siswa, Pelibatan Tenaga kependidikan menyusun kegiatan yang relevan dengan peningkatan sarana prasarana sekolah pemecahan masalah belajatr dan mutu siswa, Pelibatan Siswa, Orang Tua dalam menyusun kegiatan pemecahan masalah belajatr dan mutu siswa, Komite Sekolah menjadi bagian prakarsa, inisiator dan Perencanaan, penatausahaan dan pertanggungjawaban APBS Upaya pemecahan masalah anggaran pendidikan di Kota Salatiga melalui MBS disajikan dalam gambar berikut.
9
WAJAR 9 TH SALATIGA (SD/MI – SMP/MTs) - UUD 1945 (Psl 31) -UU 20/2003 (Psl 6 dan 34) -PP 47/2008 Wajar 9 Thn -PP 48/2008 Pendn Penddlk -PP 19 2005 – PP 32 2013 -PERDA PENDIDIKAN (2009)
Pemda (APBN-APBD) -Akses -Terbatas - Politik -Kompleks
Visi-Misi Sekolah -Mutu -Akhlak Mulia -Keberpihakan -Daya Saing
Pemenuhan Anggaran Sekolah -Kecukupan -Keadilan -Keberlanjutan
Masyarakat -Persepsi Wajar - Mis konsepsi Pungutan dan Sumbangan - Good Governance Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah -Perencanaan -Implementasi -Pengawasan dan -Pengendalian
Gambar 3. Implementasi MBS Dalam Pengelolaan Anggaran Sekolah
Peran masyarakat bukan hanya dukungan finansial, tetapi juga dengan menjaga dan menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tertib serta menjalankan kontrol sosial di sekolah. Peran tokoh-tokoh masyarakat dengan jalan menjadi penggerak, informan dan penghubung, koordinator dan pengusul. Input dalam hal ini siswa sekolah adalah anggota masyarakat. Dan para lulusan akan kembali ke masyarakat setelah menamatkan pendidikan di sekolah. Upaya menjalin komunikasi masyarakat dilakukan para Kepala Sekolah, Guru dan Komite Sekolah di Kota Salatiga guna memperoleh dukungan dan masukan konstruktif dalam pengembangan sekolah. Menurut Para Kepala Sekolah di Kota Salatiga, bentuk hubungan antara sekolah dengan para stakeholdernya terbagi menjadi tiga model. Model pertama adalah profesional, kedua yaitu advokasi, dan ketiga ialah kemitraan. Model Kemitraan mengandung pembagian tanggungjawab dan inisiatif antara keluarga, sekolah dan masyarakat yang ditujukan pada pencapaian target kependidikan tertentu. Model profesional mengandalkan pada layanan pegawai sekolah dan para pakar, sehingga hubungan yang terjalin dengan pihak orangtua atau masyarakat umumnya hanya satu arah. Adapun model advokasi terkesan lebih mendudukkan dirinya sebagai usaha oposisi terhadap kebijakan pendidikan pada umumnya dan sekolah pada khususnya. Model kemitraan mengandalkan pada kepentingan pribadi orang tua dan anggota masyarakat yang mau tidak mau membuat mereka berpartisipasi dalam aktivitas yang berkaitan dengan sekolah. Dalam melakukan analisis terhadap fungsi dan faktor-faktornya, maka berlaku ketentuan berikut: Untuk tingkat kesiapan yang memadai, artinya, minimal memenuhi kriteria kesiapan yang diperlukan untuk mencapai sasaran, dinyatakan sebagai kekuatan bagi faktor internal atau peluang bagi faktor eksternal. Sedangkan tingkat kesiapan yang kurang 10
memadai, artinya, tidak memenuhi kriteria kesiapan minimal, dinyatakan sebagai kelemahan bagi faktor internal atau ancaman bagi faktor eksternal. Untuk menentukan kriteria kesiapan, diperlukan standar, kecermatan, kehati-hatian, pengetahuan, dan pengalaman yang cukup agar dapat diperoleh ukuran kesiapan yang tepat. Identifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan kendala penyusunan anggaran berbasis partisipasi masyarakat tampak pada tabel berikut. Tabel 2. Analisis Lingkungan Internal Tahapan 1. Perencanaan
-
1. Implementasi
-
Lingkungan Internal Kekuatan Kelemahan Pendidikan sbg prioritas - Keterbatasan skill perencana program pembangunan Kota Salatiga dan anggaran Anggaran Pendidikan > 38%) - Plafond dan priortas APBD membatasi APBD Salatiga kreativitas Keberhasilan APK Wajar > 100 % - Proses politik APBD memperlemah Komitmen DPRD dan Walikota akses partisipasi sejak musrenbang dalam Perencanaan APBD - Ketidaksiapan regulasi tata kelola anggaran pendidikan Dukungan skill DPPKAD Aplikasi Teknologi Informasi
-
Keterbatasan skill penatausahaan keuangan daerah Akses anggaran sekolah belum on line menekan partisipasi Belum tersusunnya SPM dan SOP tata kelola keuangan sekolah Keterbatasan auditor internal sekolah Lemahnya sistem pengendalian keuangan sekolah Belum disusunnya SPM dan SOP Anggaran Sekolah
2.
Pengawasan
-
Komitmen Komite Sekolah Dinamika Supervisi dan Bimbingan Pengawas Komitmen Inspektorat Dalam good governance Sekolah
-
Tabel 3. Analisis Lingkungan Eksternal Tahapan 1.Perencanaan
Lingkungan Internal -
2. Implementasi
-
3. Pengawasan
-
Peluang Pendidikan mjd tanggungjawab Pemerintah, Pemda dan masyarkat Aplikasi teknologi informasi dalam pengelolaan anggaran Komitmen Orang tua dan masyarakat dalam mendukung mutu dan daya saing sekolah Aplikasi teknologi informasi dalam penatausahaan Kerja sama Akademisi PT dalam pelaksanaan program Kondusivitas masyarakat Salatiga
Reformasi pendidikan mendinamiskan pengawasan Komitmen PT (UKSW) dalam good governance sekolah 11
-
-
-
-
-
Ancaman-kendala Kampanye pendidikan dasar gratis menekan program kreatif dan bermutu Eforia politik transparansi berarti buka-bukaan kurang mendukung kondusivitas kerja Moral hazard lelang proyek pendidikan menunda program sekolah Sistem auditing Keuangan daerah dan perpajakan yang ketat dan kompleks Eforia politik menekan partisipasi pendidikan Pemberitaan Pers yang tidak seimbang dengan kondisi manajemen sekolah
Pendidikan menjadi salah satu layanan publik yang mendapatkan dukungan Pemerintah Kota, DPRD dan masyarakat Kota Salatiga. Adanya suatu keyakinan bahwa reformasi manajemen pendidikan persekolahan dengan menggunakan pendekatan model MBS merupakan tuntutan yang mendesak, karena kompleksitas masa depan pendidikan dituntut harus makin bermutu dan berkualitas sesuai dengan harapan masyarakat. Guru menjadi bagian utama dalam pelaksanaan program sekolah. Guru menjadi kepercayaan Komite Sekolah dalam menyusun program, merancang anggaran dan mengkoordinasikan kegiatan (anggaran sekolah). Keterlibatan guru ini sebagai wujud tanggung jawab dan media belajar dalam proses kaderisasi sekolah. Dari pengalaman Kepala Sekolah, keterlibatan guru ini menjadi indikator loyalitas dan komitmen dalam pengembangan profesi. Dalam lingkup sekolah di Kota Salatiga memandang MBS sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah di sekolah, tetapi MBS bukan satu-satunya model yang dapat mendongkrak mutu dan kualitas pendidikan tanpa memperhatikan dukungan faktor lain. Ada sejumlah faktor lain yang dapat menentukan dan mempengaruhi keberhasilan MBS misalnya tingkat ekonomi masyarakat, sosial budaya, politik dan taraf pendidikan masyarakat, kebijakan pemerintah, organisasi atau kepemimpinan kepala sekolah, strategi pembelajaran di kelas, tata laksana sekolah, profesionalisme tenaga guru dan tenaga kependidikan lainnya. Hal tersebut merupakan komponen yang harus diperhatikan dalam konteks manajemen sekolah. Para pihak seperti Kepala Sekolah, Guru dan Komite Sekolah di Kota Salatiga mengusulkan persyaratan implementas MBS yaitu: a. kepala sekolah dan guru Profesional; b. Komitmen dan partisipasi orang tua; c. Dukungan alokasi dana; d.mutu pembelajaran dan daya saing lulusan; e. Partisipasi stakeholder pendidikan f. Implementasi Program Sekolah. Implementasi
MBS di Kota Salatiga dilaksanakan secara bertahap dengan
memperhatikan kondisi sekolah dan kondisi sosial masyarakat serta mempertimbangkan faktor geografis, demografis, budaya setempat, dan potensi dasar yang dimiliki masyarakat sekolah. Dalam pelaksanaan MBS, sekolah
menerapkan pola pendekatan idiografik
(membolehkan adanya kebebasan cara melaksanakan MBS). Walaupun demikian, masih dapat menggunakan pendekatan nomotetik melaksanakan MBS secara “seragam” terutama pada waktu pelaksanaan program kegiatan dengan memperhatikan ketentuan standar pelayanan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pemikiran para Kepala sekolah di Salatiga dalam mengakomodasi aspirasi, harapan dan kebutuhan stakeholder sekolah, dipandang 12
perlu dikembangkan wadah untuk
menampung dan menyalurkannya. Wadah yang dimaksudkan adalah Forum partisipasi dimana representasi pada stakeholder sekolah terwakili secara proporsional. Komite sekolah merupakan suatu badan yang berfungsi sebagai forum resmi untuk mengakomodasi dan membahas hal-hal yang menyangkut kepentingan kelembangan sekolah dalam penyusunan perencanaan strategik sekolah, penyusunan perencanaan tahunan sekolah, dan memikirkan upaya-upaya untuk memajukan sekolah, serta memantau kinerja sekolah. Di lingkungan SD, SMP, SMA dan SMK di Kota Salatiga, Manajemen Berasis Sekolah keberadaannya dalam membantu mewujudkan sebuah sekolah yang madiri dan efektif sudah mendesak. Peran serta masarakat dalam membangun sekolah diperlukan, karena mereka adalah user atau pemakai out put sekolah, apa yang mereka inginkan perlu didengar, apa yang mereka butuhkan perlu kita penuhi, agar kita tidak ditinggalkan mereka. Managemen Berbasis Sekolah (MBS), merupakan pendekatan pembangunan sekolah yang melibatkan masarakat secara penuh dan bertanggung jawab selalui struktur yang dibentuk atau organisasi yang mewadahi mereka. Untuk itu diperlukan soerang kepala sekolah yang mempunyai kemampuan manajerial, peka terhadap tuntutan dan perubahan masyarakat, teknologi informasi, akses anggaran dan komunikasi publik untuk menjamin MBS optimal, aspiratif dan menghasilkan program sekolah yang bermutu, kreatif dan inovatif.
PENUTUP Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat disimpulkan bahwa : a. Pengelolaan anggaran sekolah SD, SMP, SMA dan SMK Kota Salatiga pada umumnya direncanakan, diimplementasikan dan diawasi secara partisipatif. Keterlibatan Komite Sekolah semakin mendinamiskan Manajermen dalam mengembangkan program dan sumber-sumber pendanaan pendidikan b. Pihak-pihak yang tergabung dalam Komite Sekolah dalam hal ini perwakilan orang tua, Tokoh Masyarakat, Guru dan Kepala Sekolah telah berperan sesuai prinsip manajemen berbasis sekolah. Kebutuhan dan potensi sekolah menjadi acuan dalam menyusun program dan anggaran sekolah. c. Keterbatasan skill dilingkungan sekolah menjadi kelemahan dalam pengelolaan anggaran berbasis partisipasi. Program pendidikan gratis SD dan SMP serta terbatasnya alokasi APBD untuk menambah BOS Provinsi dan APBN menjadi kendala dalam peningkatan mutu dan daya saing sekolah.
13
d. Sumber daya Guru menjadi ujung tombak dalam pengelolaan anggaran sekolah. Motivasi dan komitmen guru dalam merevitalisasikan Manajemen Berbasis Sekolah sebagai proses kaderisasi dan wujud rasa tanggung jawab kepada Sekolah. Kepala sekolah menjadi motivator dan pengarah dalam mengerahkan guru dalam menata dan melaksanakan program dan anggaran sekolah. Berdasarkan kesimpulan di atas disarankan bahwa a. Penyusunan tata kelola anggaran sekolah berbasis partisipasi dalam bentuk penyusunan regulasi seperti Peraturan Daerah atau Peraturan Walikota Salatiga diperlukan. Dengan demikian, sekolah dan masyarakat memiliki acuan payung hukum dalam melibatkan pihak-pihak sejak tahapan perencanaan program, anggaran, implementasi, pengawasan dan pertanggungjawaban program sekolah. b. Keterlibatan pihak-pihak dalam Komite Sekolah perlu lebih dinamiskan fokus pada pemecahan masalah (kebutuhan) sekolah. Program sosialisasi, training, workshop, dan pemberian apresiasi para Tokoh Penggiat Sekolah akan semakin meningkatkan motif dan komitmen dalam peningkatan mutu pendidikan di Kota Salatiga c. Penempatan tenaga administrasi terutama di SD dan peningkatan kapasitas (kompetensi) penyusunan program dan pengelolaan anggaran baik di SD, SMP, SMA dan SMK diperlukan guna meningkatkan mutu pengelolaan anggaran sekolah. d. Keterlibatan guru dalam Komite Sekolah perlu diberikan apresiasi sebagai tugas administrasi dalam pembinaan profesi guru. Dengan demikian para guru merasa keberadaannya dalam Komite Sekolah mendapatkan apresiasi.
14
DAFTAR PUSTAKA Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006, Standar Biaya Pendidikan, Biaya Operasi Sekolah Dasar, Jakarta Bush, Robin dan Yuna Farhan 2010, Kinerja Pengelolaan Anggaran Daerah 2009 Study di 41 Kabupaten/Kota di Indonesia, kerja sama The Asia Foundation dan FITRA Cohen, William., A., (2002), The New Art of the Leader, (Alih Bahasa Hendrikus Leko ; Seni baru Tentang Pemimpin, Memimpin Dengan Integritas dan Kehormatan), Jakarta : PT. Prenhallindo. Cohn, Elchanan., (1979). The Economics of Education. Revised Edition, Massachusetts: A Subsidiary of Harper & Row Publisher, Inc, Coombs, Philip H and Jacques Hallak, (1972), Managing Educational Cost, London, Oxford University Press Decentralized Basic Education (DBE), 2008, Panduan Fasilitasi Perhitungan Biaya Operasional Pendidikan (BOSP) dan Penyusunan Kebijakan, Jakarta, Kerjasama MenkoKesra, Depdikdiknas, Depag dengan Usaid. Amerika Serika Serikat. Fattah, Nanang. (2007), Analisis Kebijakan dan Pengelolaan Pendidikan Dasar (Modul), Sekolah Pasca Sarjana, Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia ------------------,(2000). Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosda Karya.
Gaffar, M.F, (2008), Pembiayaan Pendidikan Nasional Indonesia, Tantangan, Peta Permasalahan dan Strategi Perubahan Manajemen Pembiayaan Pendidikan Nasional Indonesia, (makalah tidak dipublikasikan), Disajikan pada Konvensi Nasional pendidikan Indonesia VI, di Universitas Pendidikan Ganesha, Bandung, Hotel Aston, 17 – 19 November 2008. Hanushek, Eric A. (1996), Measuring Investment in Education, Journal of Economic Perspectives-Volum 10, Number 4--Fall 1996-Pages 9-30, http://links.jstor.org/sici?sici=0895309%28199623%2910%3A4%3C9%3AMIIE%3E2.0.CO%3B2-1 Ismanto, Bambang, (2011), Kebijakan Pendanaan Pendidikan, Disertasi (tidak dipublikasikan), Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung …….., (2010), Profil APBD Kota Salatiga tahun 2005-2010, Progdi Pendidikan Ekonomi, FKIP UKSW, Salatiga ……, (2007), Kajian Peraturan Daerah Penyelenggaraan Pendidikan Kota Salatiga, Diskusi Penyusunan Raperda bersama Dewan Pendidikan Salatiga ……., (2008), Integrasi Pendanaan Pendidikan dalam APBD Kota Salatiga, Workshop Komisi I Bidang Pemerintahan/Pendidikan DPRD Kota Salatiga Jones, Thomas,H, (1985), Introduction To School finance : Technique and Social Policy, Macmillan Company : New York Karlsen Gustav E., (1999), Decentralized-Centralism" Governance in Education: Evidence from Norway and British Columbia, Canada, Canadian Journal of Educational Administration and Policy, Issue #13, December 6, 1999.
15
Lotz, Jorgen, 2005, Accountability and Control in the Financing of Local Government in Denmark, ISSN 1608-7143, OECD JOURNAL ON BUDGETING Volume 5 – No. 2 Louis Volante, Educational Quality and Accountability in Ontario dalam Canadian Journal of Educational Administration and Policy, Issue #58, January 21, 2007. © by CJEAP and the author(s). Mulyono, 2010, Konsep Pembiayaan Pendidikan, Ar-Ruzz, Yogyakarta Papke, (2000), National Tax Journal, Vol. 53 no. 1 (March 2000) pp. 153-168, Thomas Wheelen dan J. David Hunger.1995. Essential of Strategic Management. PrenticeHall. New Jersey. Umaedi, 1999, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah, Sebuah pendekatan baru dalam pengelolaan sekolah untuk peningkatan mutu, http://www.ssep.net/director.html, Unduh 22 Maret 2012 Widodo, et.al. (2008), Peran Komite Sekolah SMP di Kota Semarang, Jurnal Media Penelitian Pendidikan, IKIP, PGRI Semarang, ISSN : 19878-936X Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas), Nomor : tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan Pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama Progdi Pendidikan Ekonomi, (2011), Masterplan Pendidikan Kabupaten Semarang Tahun 2013-2017 (Kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Semarang) Rohiat, 2008, Manajemen Sekolah, Teori Dasar dan Praktik, PT Refika Aditama, Bandung Undang-Undang, Nomor : 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ------------, Undang-Undang Nomor : 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ------------,Undang-Undang Nomor : 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ------------,Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ------------, Undang-Undang Nomor : 34 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
16
17